Pedang Golok Yang Menggetarkan 23

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 23


saat sangat mendesak. ia ingat pelbagai jurus atau tipu silatnya itu.
Bahkan dengan lincah dan tepat sekali ia dapat menggunakannya,
maka juga latihannya menjadi berarti sekali, menjadi sangat mahir.
Itulah kemajuan yang diperolehnya berkat sang tempo dan
pengalaman- Setiap pertempuran bagaikan penerangan baginya,
membuat matanya seperti terbuka dan hatinya terang bercahaya.
Selekasnya ia mencekal pedang lawan, terus saja bengcu ini
menyerang Cit Kiamcu, yang ia tusuk kerongkongannya, hingga ahli
pedang lawan it uterkejut, sambil lekas lekas berkelit diapun
mencoba menangkis tikaman
Siauw Pek menarik kembali tikamannya itu, tetapi ia tidak
berhenti sampai disitu pedangnya itu ditarik kembali untuk
diteruskan ditikamkan kepada sam kiamcu, pemilik pedang itu.
Tanpa pedang, sam kiamcu menjadi tidak berdaya, syukur dia
masih mempunyai kesebatan, terutama dia tak menjadi bingung
maka dengan gesit dia melompat mundur, guna menyelamatkan
dirinya. Ketua Kim Too Bun tak berhenti. Gagal menyerang sam kiamcu,
ia meneruskan menyerang pula cit kiamcu. Kalau tadiialah yang
didesak, sekarang ia yang berbalik mendesak kedua lawan itu.
Cit kiamcu tak sempat menangkis, terpaksa dia berkelit dengan
melompat mundur, pedangnya dikibaskan, untuk sekalian
menangkis, tapi dia menangkis tempat kosong.
Selekasnya lawan melompat, Siauw Pek berbalik menyerang pula
jago pedang yang ketiga itu. Hingga terus menerus ia membuat
kedua lawan itu makin mundur saja.
Didesak begitu rupa, kedua kiamcu bagaikan tak sempat
bernafas. Dengan demikian buruklah keadaannya
Cara berkelahinya Siauw Pek itu membuat heran dan kagum
mereka yang menonton pertempuran. Selama ini, belum pernah
Siauw Pek berkisar dari tempat dimana dia berdiri.
Dia melainkan memutar tubuh apabila perlu. pula dia
menggerakkan pedangnya berulang ulang itu bagaikan dia sedang
bermain main, tak tampak dia menggunakan tenaga hebat.
Ruang menjadi sangat sunyi, walaupun disitu, dipihak lawan,
berkumpul puluhan orang. Mereka itu menonton sambil mendelong,
umpama kata, bernafaspun tak berani.
Si wanita juga menonton dengan kekaguman, baru kemudian
terdengar dia berseru "Berhenti "
Kedua kiamsu lompat mundur dengan segera. Mereka memang
Ciut nyaliny a. Mereka mundur tanpa menghiraukan bakal diserbu.
Kenyataannya memang demikian. Selagi mereka melompat itu,
bergantian lengan mereka ditepuk Siauw Pek dengan ujung pedang.
Keduanya kaget, keduanya menjerit pedang mereka terlepas dan
jatuh kelantai Dengan kedua tangannya menekan meja dengan suara rada
menggetar, siwanita berseru^ "Bagus Inikah ilmu pedang Tay Pie
Kiam hoat yang kesohor didalam dunia?"
Siauw Pek tertawa hambar.
"Ilmu pedang Tay Pie Kiam hoat adalah ilmu pedang bukan
sembarang ilmu" berkata ia "Kecuali tongcu yang turun tangan
sendiri, tak dapat aku gunakan itu"
Wanita itu melengak. Lalu dia berkata agak tertahan: "Aku tahu
kau siapa. Kau sebaliknya tak tahu..."
"Setahuku kaulah Chee Liong Tongcu" kata Siauw Pek.
Nyata sekali hati si wanita bersitegang sendirinya. Mendadak ia
mengangkat tangan kanannya, menyingkirkan cala di mukanya, lalu
bernafas sedang suaranya menggetar: "Kau lihat... Kau lihat baik
baik. Sebelumnya ini pernah kah kau melihat roman punco?"
Siauw Pek mengawasi. Ia menatap. Tiba tiba ia merasa tubuhnya
menggigil, saking tegang hatinya. Kedua matanya terbuka lebar.
"Mustahilkah kau..." sahutnya.
Wanita itu adalah seorang nona usia muda dua puluh lebih
sedikit, kulitnya putih bersih dan halus, romannya cantik. Akan
tetapi, tanpa cala, terlihatlah air matanya meleleh turun kepada
kedua belah pipinya.
Ban Liang heran, dia mengawasi dengan penuh kecurigaan.
sekonyong konyong dia berseru: "Waspada, bengcu Seng Kiong Sin
Kun sangat banyak akal muslihatnya"
"Siapa kah kau?" Kho Kong pun bertanya bengis.
"Lihat pedang" mendadak si nona berseru, lalu dia
menggerakkan tangannya kearah dada sianak muda yang bertabiat
keras itu. Menyusul itu tampak suatu sinar emas berkelebat
berkilauan. Ban Liang terperanjat. Ia tahu itulah semacam senjata rahasia.
Karena ia kuatir Kho Kong tidak dapat mengelakkan diri, ia segera
melompat sambil mengulur tangan menyambuti senjata rahasia itu.
Diantara sinar terang cahaya api, pada badan senjata rahasia itu,
yang merupakan sebuah pedang kecil, tampak ukiran empat huruf
"Kiu Heng Cie Kiam" "Pedang Sakit Hati".
Kho Kong tak sabar, dia merampas senjata rahasia itu dari
tangah sijago tua, selekasnya sinar matanya bentrok dengan ukiran
empat huruf, dia tidak tahan sabar lagi untuk tidak berseru^ "Kiu
Heng Cie Kiam" Ban Liang segera tertawa terbahak bahak.
"Kiranya Kiu Heng Cie Kiam yang menggemparkan dunia Kang
ouw adalah Chee liong Tongcu" katanya. "Sungguh dunia aneh,
makin lama tambah banyak segala sesuatu yang mujijat Keanehan"
Sementara itu terdengar suara Siauw Pek suara yang hampir tak
tegas: "oh, kakak..."
"Ya, adik..." terdengar si nona, yang mendadak menangis keras,
terus dia berlompat maju, lari kepada si anak muda, untuk
menubruk dan merangkul. "Adikku"
Hanya sekejap. kedua muda mudi ini sudah saling berpelukan
sambil menangis keras dan bersedu sedang Semua orang menjadi
heran, hingga semuanya berdiri diam dengan tertegun saja.
Oey Eng dan kawan kawan tahu yang bengcu mereka itu
mempunyai seorang enCie, kakak wanita yang bernama Bun Koan,
yang hilang dimuka jembatan maut Seng Su Kio didalam medan
pertempuran, katanya kakak itu tertawan musuh, yang hilang entah
kemana selama itu, tidak disangka dialah pemilik dari Kiu Heng Cie
Kiam. Pedang Sakit hati, dan sekarang orangnya berada disini,
bahkan sebagai Chee liong Tongcu, ketua dari Ruang Naga IHijau
dari Seng Kiong Sin Kun
Dari heran orang menjadi terharu. Itulah karena mereka
mendengar tangisan kakak beradik ini.
Bahkan sejumlah wanita berbaju hitam lainnya turut menangis
juga karena merekalah pelayan pelayan Nona Bun Koan-
Baru selang sekian lama sesudah ia dapat menguasai dirinya,
Nona Coh berkata. "Adik, ayah dan kakak kita mati secara sangat
menyedihkan, maka itu kita harus membalaskan kepenasaranannya
" "Jangan kuatir, kakak"jawab Siauw Pek sambil menangis.
"Adikmu pasti..."
Tak dapat pemuda itu melanjutkan kata katanya. Karena ia
tercegah oleh kesedihannya.
Ketika itu Ban Liang bertindak maju, menghampiri kakak beradik
itu, sambil mengangkat tangannya ia berkata. "Sekarang ini saatnya
bekerja, bengcu, maka itu harap bengcu dapat menguatkan hati,
untuk menguasai kesedihan bengcu, untuk kita mulai dengan usaha
kita" Dengan tiba tiba saja, semangat Coh Bun Koan terbangun.
"Benar kata orang tua yang gagah ini " katanya nyaring. Ia terus
mencekal keras tangan adiknya, untuk berkata. "Adikku, saat ini
adalah saat pembalasan kita. Kita harus bangkit sekarang, tak dapat
kita mengasi lewat, mensia siakan saat yang baik ini "
Siauw Pek mengangguk. "Benar, kakak " sahutnya. "Sakit hati
kita yang dalam bagaikan lautan mana adikmu berani lupakan "
si nona mengangguk. Lalu dia berpaling kepada Ban Liang.
"Maaf, loocianpwee, aku masih belum ketahui she dan nama
besar loocianpwee?" katanya hormat.
Ban Liang merangkap kedua tangannya.
"Aku si tua ialah Ban Liang, huhoat dari Kim Too Bun." sahutnya
sijago tua. Bun Koan mengangguk, ia mengucap terima kasih, terus ia
berpaling kepada Oey Eng dan Kho Kong kedua pemuda kawan Ban
Liang itu. "Itulah kedua adik angkatku, Oey Eng dan Kho Kong." Siauw Pek
lekas lekas memperkenalkan.
Kedua pemuda itu mengangguk pada sinona.
"Kami semua adalah orang orang Kim Too Bun, nona tak usah
sungkan sungkan terhadap kami," katanya. Bun Koan membalas
hormat. "oh, kiranya kedua saudara Oey dan Kho" ucapnya. Kemudian
setelah itu, ia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah peles dan
membuka tutupnya serta menuang keluar isinya, lima butir pil,
sambil berbuat begitu, ia berkata merendah, "maafkan aku atas
perbuatanku tadi. Inilah obat pemunah, silahkan telan "
Siauw Pek lekas lekas menyambut obat itu, paling dahulu ia
menelan sebutir, lalu sisanya ia bagi bagikan kepada Su Kay Taysu.
Ban Liang, Oey dan Kho Kong untuk mereka menelannya tanpa
ditunda pula. obat itu berwarna kuning tua dan besarnya seperti kacang
kedele, beda daripada pil yang tadi diberikan kepada Uh bun Ceng
dan lainnya. Karena kelainan itu, Siauw Pek heran-
"Kakak. adakah ini obat yang lainnya?" tanyanya.
Ditanya begitu, Nona Bun Koan tertawa manis, lekas lekas ia
menyusut air matanya. Tapi selekasnya itu, ia berkata: "Semua
orang Seng Kiong Sin Kun menjadi musuh musuh kita, mana dapat
aku melepaskan mereka" Dengan banyak susah aku telah mengatur
tipu memancing mereka datang kemari Untuk menghabiskan
mereka itu rasanya masih kurang, karena itu mustahil aku sudi
memberikan mereka obat untuk membebaskan mereka?"
Siauw Pek terkejut.
"oh," serunya. "Kalau begitu..."
"Semua obat itu, bukannya obat pemunah," berkata Bun Koan,
"itulah bahkan obat yang mempercepat bekerjanya racun. Syukur
Su Kay Taysu tak makan, kalau tidak. oh, itulah kesalahan....
(Halaman hilang)
Paras Siauw Pek pucat saking kagetnya. "Kakak, kau..." katanya.
Alis si nona berkerut.
"Adik," katanya, "apakah kau hendak mengatakan aku telengas
dan gila akan pembunuhan?"
"Mana berani aku mencela dan menyesaikan kau, kakak," berkata
si anak muda. "Aku hanya merasa, makin banyak kita
membinasakan orang itulah perbuatan yang menentang peri
kemanusiaan, itulah..."
Baru berkata sampai disitu, mendadak si anak muda
menghentikan sendiri kata katanya. Ia melihat kakaknya menangis
pula, air matanya meleleh dengan tiba tiba. Hanya sejenak, ia
menambahkan. "Sudah lama aku mengetahui adanya satu
perkumpulan rahasia kaum Kang ouw yang menggunakan pedang
kecil yang berukirkan empat huruf Kiu Heng Cie Kiam, yang
usahanya melulu memusuhi orang orang dari sembilan Pay besar,
empat Bun, tiga IHwee dan dua Pang kakak ada sangkut pautnya
dengan perkumpulan itu atau tidak?"
Bun Koan menangis semakin sedih.
"Bukannya saja kakakmu ini ada sangkut pautnya," sahutnya,
"bahkan itulah perkumpulan yang dibangun oleh kakakmu sendiri.
Akulah pemimpinnya, adikku"
Siauw Pek kagum, hingga ia menatap kakaknya itu.
Su Kay Taysu berempat juga tak kurang kagumnya, hingga
mereka pada menghela nafas. Tak mudah bagi seorang nona untuk
berusaha demikian besar pandai, berani dan gagah
"Adik, tahukah kau apa artinya 'Kiu Heng' dari empat huruf Kiu
Heng Cie Kiam itu?" tanya Bun Koan"
Pastilah itu diartikan sakit hati, karena sakit hati keluarga kita
besar dan dalam bagaikan lautan," sahut Siauw Pek. Nona Coh
mengangguk, air matanya bercucuran deras.
"Benar..." sahutnya, "Bukankah keluarga terdiri dari seratus-jiwa
lebih " Bukankah kematian keluarga kita itu sangat menyakiti hati"
Sakit hati laksana lautan itu dapatkah tak dibalas?"
"Pembalasan sudah selayaknya. Tanpa pembalasan pastilah ayah
dan kakak tak tenang dialam baka..."
"Hutang darah dibayar dengan darah, itulah sudah selayaknya "
kata si nona. "Maka itu, setiap jiwa keluarga kita harus dibalaskan
satu demi satu. Nama Kiu Heng Cie Kiam telah menggemparkan
dunia Kang ouw tetapi selama itu, aku belum membunuh seratus
orang, karenanya, dapatkah dikatakan perbuatanku melewati batas
atau menentang peri kemanusiaan" Habis sebutan apa hendak
dikatakan buat pembunuhan terhadap seratus jiwa lebih keluarga
kita itu?"
"Tidak, kakak..."
Siauw Pek kuatir kakak itu mencelanya lemah.
Bun Koan tertawa sedih.
"Keluarga kita telah dicelakai orang, hingga tinggal kita berdua.
Bukankah dulu itu telah kau lihat dengan matamu sendiri bagaimana
hebat kebinasaan ayah dan kakak kita?"
"Kakak..." sahut Siauw Pek. yang berduka sangat. Dia jadi
diingatkan pula akan peristiwa yang menyakiti hati itu. "Sebenarnya,
kakak, ketika itu aku tak dapat melihat dengan mata sendiri."
"Kau tidak melihat sendiri, aku sebaliknya" berkata kakak itu,
bersedih berbareng mendongkol, dan gusar. "Aku melihat ayah dan
kakak mati membela diri, tubuhnya rebah ditanah dengan
berlumuran darah. Tak dapat aku melupakan itu, tak seumur
hidupku Sampai ini hari di ini detik, masih berbayang pemandangan
pertempuran hari itu. Setiap mengingat sakit hati itu, aku bagaikan
tak sudi hidup lebih lama pula didalam dunia ini, aku menyesal dan
membenci."
"Ah, sudahlah kakak. sudah," Siauw Pek memotong sambil ia
menangis. "Aku sengaja mengatakan semua ini, adikku, karena aku kuatir
kau melupakannya" kata kakak itu. Dia sangat gusar tetapi diapun
sangat sedih. "Kita harus menuntut balas dengan menghabiskan
tenaga kita agar tak jadi anak yang tak berbakti, yang tak
menunaikan tugasnya sebagai anak sejati"
"Biar bagaimana, kakak, tak nanti aku melupakan sakit hati
keluarga kita itu" kata Siauw Pek dengan air mata bercucuran. Bun
Koan menghela napas.
"Asal kau tak melupakannya, adikku," katanya. "pastilah roh ayah
dan kakak di dunia baka akan merasa terhibur."
JILID 46 Su Kay Taysu kagum terhadap si nona. Diam diam ia
mengawasinya. "Dia sangat bersakit hati, hingga perbuatannya jadi begini
telengas," pikirnya. "cara bagaimana aku harus membujuknya,
membuatnya mengerti, supaya dia mencari musuh musuh besarnya
yang langsung, supaya dia tak melakukan terlalu banyak
pembunuhan semacam ini?"
Ketika itu, hati Nona Coh sudah menjadi tenang, maka ia


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpaling kepada sekalian pengikutnya, habis mengawasi mereka
itu, ia berkata. "Inilah Coh Siauw Pek, adik kandung dari punco.
Mari kalian mengenalnya." Berkata begitu, nona itu menunjuk
adiknya itu. Beberapa puluh orang itu dengan segera berpaling kepada Siauw
Pek, dengan serempak mereka memberi hormat sambil
membungkuk, dan dengan serempak mereka memanggil, "Coh
Tayhiap" "Hiap" ialah orang gagah, dan "tay" yang besar.
Siauw Pek merangkap kedua tangannya membalas hormat,
sambil merendah dia berkata. "Aku masih berusia muda, aku
mengharap petunjuk dari kalian."
Segera terdengar pula suara Bun Koan, nyaring. "Saudaraku ini
adalah Kim Too BengCu. Kalian telah menyaksikan kegagahannya,
karena itu, tak usah punco menyebutnya lebih banyak pula."
Semua orang itu mengangguk tanpa mengatakan sesuatu. Siauw
Pek terlihat tegas bagaimana kewibawaan kakaknya itu terhadap
orang orang bawahannya.
Sementara itu hati suci dan pemurah dari Su Kay Taysu tak
tenang disebabkan ia memikirkan it ceng semua yang terdiri dari
beberapa puluh jiwa, maka itu, selagi semua diam, ia merangkap
kedua tangannya terhadap si nona dan bertanya, "Nona Coh, orang
tadi yang berjumlah tiga puluh lebih, telah matikah mereka semua
karena bekerjanya racun ?"
Sepasang alis lentik si nona bergerak. matanyapun bersinar.
"Loosiansu" ia berkata tanpa menyangkal atau mengiakan
pertanyaan si pendeta, "agaknya loosiansu sangat memperhatikan
nasib mereka itu. Apakah loosiansu menghendaki hidupnya mereka
atau kematiannya ?"
Hati Siauw Pek tidak tenang. Sikap kakaknya itu sikap keras. Tak
ingin ia ada perselisihan diantara kakak itu dan Su Kay. Karena itu
sebelum sipendeta menjawab, ia mendahului datang sama tengah.
"Siauw Lim Pay telah kehilangan kitab kitab pusakanya,"
demikian ia berkata kepada kakaknya itu, "dan semua orang itu ada
sangkutpautnya dengan pusaka tersebut, karenanya losiansu sangat
menguatirkan kalau kalau mereka mati semuanya hingga tak ada
lagi jalan mencari tahu tentang kitab pusaka itu."
"Pada saat ini mereka masih belum mati" sahut Bun Koan, dingin.
Mendengar kata kata kakaknya itu, sedikit itu legalah hati Siauw
Pek. Ia segera memutar haluan.
"Kakak," katanya "kaulah pemilik Kiu IHeng Cie Kiam, tetapi
kenapa kaupun menjadi tongcu dari chee liong Tong dari Seng
Kiong Sin Kun?"
Kakak itu tertawa hambar.
"Kedudukan tongcu dariku ini adalah kedudukan sementara
waktu, karena terpaksa oleh suasana," sahutnya. "Aku
menggunakan tubuh lain orang..."
Ia mengernyitkan alisnya, terus ia menghela napas perlahan-
Hanya sedetik ia melanjutkan kata katanya. "Guna membalas sakit
hati besar dari Pek Ho Bun, kakakmu ini perlu mengumpulkan
tenaga yang besar, sambil berbareng melakukan pembalasan
terhadap setiap musuh kita. Telah aku berpikir keras, telah aku
menggunakan banyak daya, masih belum berhasil aku mencari
musuh musuh besar kita, si biang keladi. Barulah yang paling
belakang ini, aku berhasil mendapat tahu tentang suatu rahasia
besar..." Siauw Pek heran, hatinya tertarik. "Rahasia apakah itu, kakak?"
tanyanya. Sinar mata si nona bermain main- Disitu tampak cahaya
kesedihan dan kegusaran- Ia masih muda tetapi telah banyak
pengalamannya, penderitaannya membuat hatinya jadi membaja.
Maka juga, walaupun ia sangat berduka, sanggup ia
mempertahankan melelehnya air mata.
"Rahasia itu menyangkut nama baik keluarga kita," sahutnya,
dingin. "Rahasia itu panjang untuk dituturkan. Lain kali saja akan
aku ceritakan kepadamu..."
Siauw Pek mengerti. Disitu banyak orang luar sedang ceritera si
kakak mengenai keluarganya. Tetapi ia berduka. Iapun malu kalau
ia ingat, ia adalah seorang pria tetapi usahanya masih kalah dari
usaha kakaknya itu. Tanpa merasa, air matanya menetes turun...
Bun Koan bagaikan hendak meredakan kesedihan adiknya itu, ia
barkata: "Aku mengetahui rahasia ini sesudah aku masuk didalam
rombongan Seng Kiong Sin Kun. Itulah mengenai si biang jahat.
Karena itu aku segera berusaha keras untuk mencari tahu
sarangnya. Baru beberapa hari yang lalu, dengan kebetulan saja aku
dapat membekuk mulutnya aku mendapat tahu tentang
pendurhakaan dan penghinaan pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie
itu" "Siapakah itu Khouw Hong Tie?" tanya Siauw Pek. Ia tak kenal
nama itu. Ban Liang menyela. "Dia adalah ketua dari Tiat ciang Bun. salah
satu dari keempat Bun."
Bun Koan mengangguk.
"Ban Loo Enghiong benar," bilangnya. "Memang Khouw Hong Tie
itu ketua Tiat ciang Bun. Aku kaget sekali waktu aku bertemu
dengannya"
Siauw Pek heran. "Kenapakah, kakak?" tanyanya.
"Duduknya begini," sang kakak menerangkan "pada setengah
bulan terdahulu, selagi aku berada diwilayah KangCiu tengah
menyelidiki letak Seng Kiong, disana seCara kebetulan aku bertemu
dengan Khouw Hong Tie. Dia justru tengah menyelidiki tentang
pemilik pedang Kiu Heng Cie Kiam. Kami berdua bentrok. kami
berkelahi, Khouw Hong Tie kalah, dia mati ditanganku, dibawah
pedang emasku."
"Pedang emas" ialah "kim kiam" (Kim emas, Kiam pedang).
Si nona berfikir sedetik, lalu sambungnya. "Ketika itu telah aku
ketahui bahwa ayah dan kakak kita telah terbinasa ditangan orang
orang dari sembilan pay besar, empat bun, tiga hwee dan dua pang,
bahwa orang yang dibelakang layar ialah Seng Kiong Sin Kun, akan
tetapi supaya mudah pembalasanku, guna memperkurang
perintangku, habis membinasakan Khouw Hong Tie, diam diam aku
mengubur mayatnya. Perbuatanku itu tersimpan bagaikan rahasia,
bahkan orang orang Tiat ciang Bun juga tak ada yang tahu bahwa
ketuanya telah terbinasa ditanganku. Siapa tahu, selewatnya setelah
bulan itu, mendadak aku bertemu pula dengan Khouw Hong Tie
yang masih hidup,.."
Siauw Pek mengerutkan alisnya.
"Seng Kiong sin Kun, pandai dalam ilmu merubah wajah muka
orang," berkata dia "Dia pandai membuat satu orang mirip dengan
orang lainnya hingga mereka berdua itu menjadi kembar, sulit
dibedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Khouw Hong Tie
itu pastilah karya dia "
"Ketika itu aku heran bukan main," Bun Koan meneruskan
Ceriteranya. "Aku menyembunyikan diri, seCara diam diam aku
awasi gerak gerik Khouw Hong Tie. Begitulah aku mendapat tahu
dia memerintahkan orang orang Tiat ciang Bun mengenakan tutup
kepala dan muka warna hitam, mereka itu diperintahkan lekas pergi
ke gunung Siong San untuk menyambut it Tie, pendeta Siauw Lim
Sie yang berkhianat dan memberontak itu."
Siauw Pek terperanjat.
"Teranglah bahwa kaum Kang ouw atau Bu Lim telah
terpedayakan Seng Kiong Sin Kun" katanya. "Dia Cerdik dan licik,
dia pandai mempermainkan orang tanpa orang sadar bahwa dirinya
dijadikan boneka, tanpa orang insyaf bahwa dia telah diperintah
melakukan segala sesuatu yang tak wajar..."
"Tapi itu tak selamanya benar," berkata sang kakak, tawar.
Siauw Pek heran.
"Bagaimana itu?" tanyanya.
"Dari sembilan pay besar, empat bun tiga hwee dan duapang,
telah ada banyak orang pentingnya yang sudah menakluk kepada
Seng Kiong Sin Kun It Tie dari Siauw Lim Sie ialah salah satu
contoh. Yang lainnya lagi seperti Gouw In cu dari Bu Tong Pay, Hoat
ceng dari Ngo Bie Pay dan Shie Siang Hin dari Khong Tong Pay.
Mereka itu bertakluk kepada sin Kun semenjak sepuluh tahun yang
lampau" "Itulah kejadian yang sungguh diluar dugaan orang" berkata
Siauw Pek masgul, hingga kembali ia mengerutkan dahinya.
"Mereka toh ketua ketua dari keempat partai besar yang
kedudukannya tinggi dan mulia" Kenapa mereka justru tunduk
terhadap orang yang mencelakai guru mereka masing masing ?"
"Peristiwa di Yan In Hong itu terjadi menurut rencana Seng Kiong
Sin Kun," Bun Koan menerangkan terlebih jauh. "Dia bekerja
dibelakang layar. Yang turun tangan ialah It Tie berempat itu.
Dengan lebih tegas, mereka menjadi mata mata Sin Kun, mereka
berkhianat terhadap partai sendiri. mereka merampas kedudukan
ketua partainya masing masing dengan bantuan Sin Kun itu.
Dengan begitu juga Sin Kun jadi mengumpul tenaga bantuan untuk
dirinya sendiri, guna Cita cita yang besar. Dia hendak merajaiBu Lim
dunia Rimba Persilatan."
su Kay kaget hingga mukanya menjadi pucat.
"Nona," tanyanya. "Dari manakah nona ketahui semua ini ?"
Nona Coh tertawa dingin.
"Apakah taysu tidak percaya?" dia balik bertanya.
"Loolap percaya, nona," sahut Su Kay tetap. "Hanya saja urusan
ini sangat mengejutkan. saking anehnya hingga sulit orang
mempercayainya."
Bun Koan tetap tertawa dingin.
"Ketua kalian, It Tie telah kabur dengan membawa kitab kitab
pusaka partai kalian, dia berkhianat dan memberontak^ tidakkah itu
sangat mengejutkan ?" tanyanya. "Toh kejadiannya benar benar
dan terbeber dihadapan mata kita, mau atau tidak. orang mesti
mempercayainya "
Tajam dan keras suara si nona. Siauw Pek kuatir su Kay nanti
tersinggung, maka ia mengawasi kakaknya itu dan berkata: "Apakah
dari partai partai lainnyapun ada lagi yang berkhianat dan
memberontak itu ?"
"Tentang itu, aku masih belum memperoleh keterangan," sahut
sang kakak, yang merandak sejenak. "Hanya saja, terhadap yang
dia belum pengaruhi, Seng Kiong Sin Kun menggunakan siasat
lainnya, yaitU ia menyamarkan ketua ketua partai yang
bersangkutan itu, ia memalsukan segala titah partai, supaya orang
orang partai yang belum ditaklukkan itu dapat diperintah sesukanya
olehnya. Ini juga merupakan suatu siasat yang lihay sekali."
Tiba tiba : "Coh Bun Koan, rahasia yang kau ketahui tak sedikit
jumlahnya" demikian terdengar satu suara mengalun yang
memasuki pendopo besar itu.
Hanya sejenak itu, tubuh Siauw Pek sudah bergerak. untuk
melesat keluar toatian guna mencari orang yang berbicara itu. Tapi
sama sebatnya, Bun Koan telah menyambar dan menarik lengan
adiknya itu, mencegahnya melompat keluar.
"Siapa disana?" tanya Nona Coh sambil mencegah saudaranya
itu. Suara tadi yang datangnya bagaikan dari atas udara, terdengar
pula: "Kalian kakak beradik, bukankah kalian berniat untuk
membalaskan sakit hati ayah dan kakakmu ?"
Bun Koan tidak menjawab, hanya dia bertanya dingin: "Kaukah
Seng Kiong sin Kun?"
"Tak salah Itulah punco" sahut suara itu.
Darah Siauw Pek bergolak mendengar mengetahui orang itu ialah
musuh besarnya. Kembali ia hendak melompat keluar pendopo,
untuk mencarinya. Tapi Bun Koan mencekal keras tangan adiknya
itu. "Jikalau benar kau sendirilah yang hadir, Sin Kun," kata si Nona.
"mengapa kau tak sudi menampakkan diri ?"
Suara itu menjawab pula, sama sabarnya seperti barusan: "Punco
masih mempunyai urusan, buat sementara ini belum dapat punco
menemui kalian kakak beradik sekarang ini baiklah kamu rajin rajin
melatih ilmu silat kamu, untuk menanti hari pertemuan kita "
Mata Siauw Pek merah membara. "Kakak, lepaskan tanganku"
katanya. sebelum Bun Koan menjawab adiknya, terdengar pula suara tadi.
"Walaupun ilmu silatmu sempurna, kau masih bukan
tandinganku" demikian katanya, mencemooh. "Dibelakang hari kita
akan bertemu pula, maka sekarang janganlah kau bergusar tak
karuan " makin lama suara itu terdengar makin jauh, sampai pada kata
kata "tak karuan", suara tinggal bagaikan nyamuk. Maka teranglah
bahwa orang telah pergi jauh. Siauw Pek gusar hingga tubuhnya
menggigil sendirinya, hingga ia mengucurkan air mata
Untuk sejenak. Bun Koan berdiam ia agaknya sangat bersusah
hati, ia merasa kasihan terhadap adiknya itu, tetapi dilain saat
muncul pula sikap dingin dan agungnya. "Mungkin dia itu memang
jauh lebih lihay dari pada kita," katanya tawar.
"Sekalipun kita tak dapat melawan dia, tak dapat kita
membiarkannya berlalu sesukanya" berkata sang adik, yang hatinya
masih panas. "Saat ini bukan saatnya menggunakan kekerasan," kata Bun
Koan sabar, tetapi nada suaranya sangat dingin. "Buat apa kita
mengumbar hawa amarah kita jikalau itu toh tak ada faedahnya ?"
Su Kay Taysu, yang sejak tadi berdiam saja, menghela napas.
Iapun mengagumi ketenangan nona itu.
"Loolap pun tadi berniat menyusul keluar pendopo, loolap ingin
memaksa dia memperlihatkan diri Sayang loolap tak tahu dia
sebenarnya berada dimana..."
"Adik, sabar," berkata Bun Koan kemudian- "Buat menuntut
balas, memang mesti kita cari dia " Ia memutar tubuh kebelakang,
untuk memerintahkan seorang berseragam hitam dibelakangnya itu:
"coba pergi lihat di pendopo belakang, Uh bun ceng masih ada atau
tidak." "Baik, nona" berkata pengikut itu, yang terus lari ke belakang.
Menyaksikan gerak gerik si nona, Ban Liang berkata didalam
hatinya: "Nona ini cerdas Sekali, dia pula teliti, memang pantas dia
menjadi pemimpin..."
Tidak lama, pengikut tadi sudah kembali dengan lari lari terengah
engah, agaknya dia heran dan kaget, hingga ketika dia memberikan
laporannya, suaranya bergemetar. "Nona, orang orang tawanan kita
telah mati semuanya "
Menyusul pengikut itu, muncul empat orang berseragam hitam
yang bertubuh besar. Mereka segera berlutut didepan si nona, paras
mereka pucat sekali, suatu tanda mereka heran, kaget dan takut.
Bun Koan menatap bengis kepada keempat orang itu, yang tak
dapat segera berkata kata. "Kamu toh yang bertugas menjaga
pendopo belakang?" tanyanya, keren.
Dengan muka pucat, dengan roman ketakutan, empat orang itu
mengangguk. "Benar..." sahutnya, susah.
Siauw Pek mengawasi kakaknya. Ia mendapat kenyataan kakak
itu gusar sekali, hingga ada kemungkinan dia akan menjatuhkan
hukuman mati kepada empat pengikutnya itu. Maka lekas lekas ia
campur bicara. "Apakah mereka semua mati disebabkan bekerjanya racun?" ia


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendahului menanya mereka itu.
Bun Koan mendahului orang orangnya itu menjawab adiknya.
"Tak mungkin mereka itu terbinasa karena bekerjanya racun"
ujarnya. "Pasti kematian itu hasil perbuatan seng Kiong Sin Kun- Dia
tidak dapat menolong, dia juga tak menyukai orang terjatuh
kedalam tanganku, karena itu, dia membinasakan mereka semua "
Keempat orang itu takut bukan main-
Hati Su Kay pun berdenyutan, hingga berulang kali ia memuji
Sang Buddha. ia takut Nona Coh kembali membunuh orang. Lekas
ia berkata, "Seng Kiong Sin Kun hebat luar biasa sekalipun kita,
tidak dapat kita mencegahnya berlalu dari sini, apa pula ini empat
orang petugas..."
"Bagaimana dengan Uh bun ceng dan Khouw Hong Tie?" si nona
tanya pula, dingin.
"Telah hamba memeriksanya, semua tiga puluh sembilan
tawanan lengkap mayatnya, satu pun tidak kurang," menjawab si
pengikut wanita.
"Amidha Buddha " Su Kay memuji, "orang itu sangat kejam, dia
gemar sekali membinasakan orang, tak dapat dia dikasih hidup
didalam dunia"
Saking gusarnya, pendeta ini menjadi hilang sabar.
Bun Koan menatap pendeta itu, dari roman mukanya, ia hendak
mencemooh, tapi lantas diulapkannya tangannya kepada empat
orang petugasnya itu.
Bukan main girangnya keempat orang itu, lekas lekas mereka
menghaturkan terima kasih sesudah itu, lekas lekas juga mereka
mengundurkan diri.
Seberlalunya empat orang pengikut itu, Bun Koan berkata: "Apa
yang aku lakukan sebegitu jauh adalah apa yang dinamakan
pembunuh pembunuh gelap. Aku pula tidak mempunyai tempat
kediaman yang tetap, karena itu, aku singgah dimana aku suka..." ia
menoleh kepada Ban Liang, dan memanggil: "Ban Loo Enghiong"
"Ada apa, nona?" menjawab sijago tua, sambil merangkap kedua
tangannya. "Baru saja Seng Kiong Sin Kun mengatakan dia mempunyai
urusan, dapatkah loo Enghiong menerka urusan itu urusan apa?"
sinona bertanya.
Seng su Poan berpikir cepat.
"Mungkin itu mengenai It Tie," sahutnya.
"Dugaanku sama dengan dugaan loo Enghiong," sinona berkata.
"Rupa rupanya Seng Kiong sin Kun masih belum berhasil
mendapatkan kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie itu."
"Siauw Lim Pay mengerahkan tenaganya secara besar besaran,"
Siauw Pek turut bicara, "dengan begitu It Tie menjadi terdesak
sampai dia kehabisan jalan lolos, kelangit tak dapat naik, kebumi tak
dapat masuk. karena itu, pastilah tak mudah seandainya Seng Kiong
Sin Kun menghendaki kitab kitab pusaka itu..." sekonyong konyong
alis sinona terbangun.
"Ada pepatah yang mengatakan, Kerajaan cin kehilangan
menjangannya, dunia sama memburu mengejarnya," katanya.
"Demikian dengan halnya barang pusaka Siauw Lim Pay itu, karena
sekarang pusaka itu tak ada pemiliknya lagi, sudah selayaknya saja
jikalau kita bekerja keras untuk mencoba merampasnya"
Su Kay Taysu jengah sendirinya mendengar kata kata polos dari
sinona, yang bicara tanpa tedeng aling aling lagi sekalipun
dihadapannya ada pendeta dari Siauw Lim Sie. Orang Siauw Lim Pay
yang masih mempunyai hak atas kitab kitab pusaka itu. Bahkan
Siauw Pek sendiri turut jengah juga .
Bun Koan melihat semua orang bungkam, ia tertawa tawar.
"Adik" katanya.
"Ada apa kakak?" tanya si anak muda.
Nona Coh mengawasi saudara mudanya itu, tanyanya: "Diantara
musuh keluarga Coh yang dahulu mengejar ngejar kita, ada juga
pendeta pendeta dari Siauw Lim Pay, kau tahu atau tidak"
Siauw Pek menghela napas ia dapat menerka hati kakak itu. Sang
anak tengah bergusar.
"Itulah perbuatan It Tie satu orang" sahutnya perlahan- "It Tie
telah menjadi murid murtad dan durhaka, penghianat dari kuil dan
partainya, maka itu janganlah kita karena kita membenti It Tie satu
orang, menyama ratakan semua orang Siauw Lim Sie."
Bun Koan tetap tertawa dingin. Katanya bengis: "It Tie menjadi
musuh besar kita, dia juga murid murtad dan durhaka dari Siauw
Lim Sie .Jikalau kita Cari dan bekuk dia, kita toh tidak bersalah,
bukan ?" "Memang, kakak..."
Nona itu tertawa, bengis nadanya. Segera ia memberikan
perintahnya, ia memeCah orang orangnya buat pergi turun gunung,
untuk nanti berkumpul dikaki gunung Siong San, pusat Siauw Lim
Sie. Perintah itu ditaati, dengan Cepat semua kiamsu serba hitam itu
memeCah diri dalam tujuh pasukan keCil dan segera berangkat
turun gunung, menuju ketempat yang ditunjuk itu.
Tatkala waktu fajar yang Cerah, Bun Koan juga lalu berangkat
bersama empat pelayan kepercayaannya, Siauw Pek turun bersama
Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong dan Su Kay Taysu. Pendeta ini
likat atau tidak, terpaksa harus turun bersama. ia dapat memahami
jalan pikiran Nona Coh. Ia insyaf kekeliruan pihaknya, walaupun
semua itu disebabkan pengkhianatan It Tie seorang.
Pikiran Su Kay Taysu sama dengan pikiran Siauw Pek. Untuk
membekuk It Tie, mereka berdua sependapat. Untuk merampas
kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie, itulah urusan lain-Itu pula
pekerjaan tak mudah. Maka juga mereka terserah pada sang waktu
nanti... Rombongan Siauw Pek, bahkan Siauw Pek sendiri, jeri terhadap
kewibawaan Nona Coh. Nona itu gagah, keras hati dan pandai
mengambil keputusan Cepat. orang boleh tak takut tetapi orang
harus menghormati atau mengaguminya...
Sambil berjalan itu, Bun Koan mengambil kesempatan berbicara
banyak dengan adiknya yang dia tanyakan pengalamannya
semenjak mereka terpaksa berpisah di muka jembatan maut seng
Su Kio -Jembatan Hidup atau Mati.
Siauw Pek menuturkan segala pengalaman bagaimana ia berhasil
melintasi jembatan itu hingga bertemu dengan Kie Tong dan Siang
Go hingga memperoleh pelajaran ilmu pedang dan ilmu golok kedua
jago itu, bagaimana dalam perjalanan mengembara ia bertemu Oey
Eng dan Kho Kong dan Ban Liang sijago tua, bagaimanakah ia
mendapat warisan golok ceng Go Loojin sehingga ia membangun
Kim Too Bun, partainya itu. ia menceritakan perjalanannya
mengunjungi Hoan Tiong Beng sehingga ia bertemu dengan kedua
Nona Hoan, yang membantunya melawan musuh musuhnya sampai
mereka berhasil menolong ketua dari Ngo Bie Pay, sampai paling
belakang itu mereka menempur orang orang Seng Kiong Sin Kun.
"Dengan kedua saudara Hoan itu, pernah satu kali aku bertemu
muka," berkata sang kakak. yang menghela napas. "Mereka itu
Cerdas sekali dan Cantik, sayang Thian yang berkuasa tak
memberkahi mereka..."
"Mungkin kamu belum jelas, kakak," kata Siauw Pek. "Walaupun
mereka itu bercacat, mereka bukan main cerdik dan pandainya,
mereka melebihi kebanyakan orang."
"Syukurlah kalau begitu"
Nona Coh mengangguk. lalu ia menambahkan^ "Di bawah
perintahku ada tujuh orang kiamsu. Kepada mereka itu aku telah
menjanjikan diriku, yaitu aku akan menikah dengan satu
diantaranya yang paling gagah dan lihay maka juga mereka itu
selalu bekerja mati matian membantu aku. Mereka berebut
membuat pahala supaya dapat mendahului memilikiku."
Mendengar keterangan itu, Siauw Pek melengak. Tidak tahu ia
harus berkata apa. Hati Su Kay Taysu berdebar sendirinya. Pikirnya:
"Aneh Nona ini. Saking kerasnya keinginan menuntut balas, ia
sampai bertindak tanpa pikir panjang lagi, hingga tubuhnya sendiri
dijadikan taruhan hadiah"
Siauw Pek sebaliknya terharu sekali, ia berduka.
"Kakak..." katanya, air matanya mengucur turun. Ia menangis
sesegukan. "Putusanku telah tetap adikku," berkata Bun Koan-
Jikalau dapat, kakak, baik kakak batalkan janjimu itu," berkata
sang adik. "Tanggung jawab menuntut balas sakit hati kita serahkan
kepadaku saja, aku tak akan mundur sekalian pun aku mesti
kehilangan kepalaku" Bun Koan tertawa.
"Tak usah kau pikirkan aku," katanya. "Mulanya aku bersendirian,
aku kekurangan tenaga, aku bertindak saking terpaksa. Sekarang ini
lain-.." Tengah mereka bicara itu, tampak kiamsu,jago pedang, lari
mendatangi Cepat sekali. Alis Bun Koan terbangun. Darijauh jauh ia
sudah mengenali jagonya itu.
"Ngo kiamsu, ada apakah?" tanyanya.
"Ngo kiamsu" ialah jago yang nomor lima (ngo).
Kiamsu itu berumur kira kira empat puluh tahun, mahir ilmunya,
ringan tubuhnya, setelah datang dekat, dia memberi hormat seraya
memberikan laporannya. "Baru Siok hee menerima laporan bahwa
pihak Siauw Lim Sie telah memperoleh bala bantuan maka juga
mereka bisa lolos dan lari menuju ketimur."
"Apakah ada berita mengenai It Tie?" tanya Bun Koan-
"Belum." sahut ngo kiamsu. Dia agak bersangsi sejenak baru dia
menambahkan. "Pagi ini ada serombongan besar orang orang
berkerudung kepala tiba disini, mereka itu segera bentrok dengan
pihak Siauw Lim Sie, tapi anehnya, mereka bertempur sambil berlari
lari. Rupanya mereka itu sama sama mencari It Tie."
Nona Coh berpikir Cepat, maka Cepat juga ia memberikan
perintahnya. "Perintahkan semua orang mengenakan kerudung
kepala Kalau terjadi sesuatu lekas memberikan laporan"
"Baik" menjawab ngo kiamsu, yang terus memberi hormat dan
pergi. Siauw Pek memandang kakaknya itu. "Apakah kakak berniat
menyusul ke timur?" ia tanya. Bun Koan menggeleng kepala. "Kita
harus pergi dahulu ke Siong San."
Sang adik heran-
"Untuk apakah?" tanyanya.
"Tentu saja untuk selagi api bekobar kita membarengi
merampok" sahut kakak itu terus terang. "Kita harus berdaya
merampas kitab kitab pusaka itu" sambung Bun Koan-
Mau atau tidak. Coh Siauw Pek tersenyum.
"Pihak Siauw Lim Sie telah meluruk keluar, maksudnya yang
utama ialah mencari It Tie" berkata ia, "Maksud mereka itu ialah
untuk mendapat kembali kitab kitab pusaka mereka. Kenapa
sekarang kakak mau pergi ke Siong San. Bagaimanakah pendapat
kakak?" tanya si adik.
Bun Koan bersikap dingin ketika menjawab adiknya itu. "Sampai
didetik ini tidak seorang pun jua yang berhasil menemukan It Tie.
Bahkan Seng Kiong Sin Kun sudah berhasil memiliki kitab kitab itu,
pasti dia dapat seCara langsung menghadapi pihak Siauw Lim Sie
tak usah dia kelabakan seperti ini." Si anak muda terCengang.
"Kalau begitu" katanya ragu ragu "jadi kakak maksudkan It
Tie..." "Itu Tie belum meninggalkan Siong San"
Su Kay yang berdiri dibelakang kakak beradik itu dia heran sekali
hingga dia terkejut.
"Nona, apakah yang dijadikan dasar pendapatmu ini?" tanyanya
"Kenapa nona percaya It Tie belum meninggalkan gunung kami?"
Bun Koan bersikap tawar seperti biasa.
"Berdasarkan pengalamanku hidup menderita delapan atau
sembilan tahun," sahutnya.
Su Kay berdiri tertegun, Nada suara si nona tetap bernada
bermusuhan- Terang si nona sangat sakit hati. Karena ini, sulit buat
ia membuka mulut guna menjelaskan sesuatu.
"Kakak" Siauw Pek berkata pula. "Kakak berpendapat begini,
mesti ada sebabnya, sayang aku bodoh, tak dapat aku menerkanya.
Maukah kakak menjelaskannya?" tanya Siauw Pek.
Selama berbicara itu, mereka masih berlari lari. Bahkan Bun Koan
lari cepat dengan menggunakan ilmu ringan tubuh. Sambil lari itu,
dengan suara sabar, ia menjawab. "it Tie cerdik dan licik, dia
berontak. dia pasti telah memikirkannya masak masak. Dia telah
menjadi ketua partai, pasti dia tahu jelas keadaan partainya itu,
terutama tentang kekuasaan partai. Dia tentu tahu baik sekali
bahwa dalam ilmu silat dia tak dapat melayani kesembilan tiangloo,
dan juga dia mengerti bahwa sulit baginya menyingkir lolos dari
tangan para tiangloo itu."
"Jadi kakak maksudkan, untuk dapat lolos, It Tie perlu gunakan
tipu daya yang licik itu."
"Memang" sahut Bun Koan- "Tapi akal itu banyak macamnya.
Akal apakah harus digunakan" Dia memikir tipu daya tonggeret
melepaskan kerangkanya. Begitulah dia sendiri, dia tetap berdiam di
dekat Siong San- Dia menanti sampai orang orang turun gunung
semua baru ia melihat selatan, akan menggunakan akal lainnya buat
pergi lolos." Siauw Pek berpikir.
"Itu benar juga ," katanya. "Andaikata para pengejarnya pergi
keselatan, dia dapat menyamar dan kabur keutara, dengan begitu
dia tentu tak nanti kena tersusul dan tertawan."
Hati Su Kay terasa dingin mendengar pembicaraan kakak beradik
itu, Sinona menerka benar. Karena itu, ia segera campur bicara.
"Sudah lama It Tie takluk kepada Seng Kiong sin Kun," demikian
katany, "Maka itu selolosnya dari Siauw Lim Sie, dia tentu pergi ke
Seng Kiong, untuk memohon perlindungan"
"Itu belum tentu," kata si nona. "Ketika ia menakluk kepada Seng
Kiong sin Kun, itulah kejadian pada banyak tahun yang lalu, akan
tetapi didalam Siauw Lim Sie, dia telah berkuasa selama sembilan
tahun, dia pegang kekuasaan besar, ada kemungkinan, karena
kedudukannya yang tinggi itu, dia sudah memikir lain yaitu dia jadi
sungkan berada dibawah perintah orang."
Pengalaman membuat sinona dapat berpikir luas, maka juga
dalam urusan It Tie ini, beda pendapatnya dari Siauw Pek atau Su
Kay Taysu Siauw Pek heran hingga ia berdiam.
"Jadi kakak." tanyanya kemudian, "kau berpendapat bahwa It Tie
akan atau sudah memberontak terhadap Seng Kiong Sin Kun?"
"Demikianlah perkiraanku" jawab sang kakak. "Kekuasaan adalah
unsur yang aneh. orang dapat ketagihan terhadapnya. Demikianpun
aku sendiri. pada waktu pertama kali aku membangun Kiu Heng Cie
Kiaw maksud utama dari aku ialah menyelesaikan sakit hati pribadi,
tetapi sesudah lewat sekian lama, setelah aku berhasil seperti
sekarang, cita citaku melampaui itu. Tak mudah buatku melepaskan
kekuasaanku ini. Tanpa kekuasaan, aku akan merasa kesepian dan
kehilangan..."
"Aku berpikir sebaliknya, kakak," berkata Siauw Pek. "Aku justru
merasa hidup merdeka dan sebatang kara. Itulah bebas sekali,
itulah jauh lebih menyenangkan daripada kita menjelajah kesana
kemari, hingga kita bagaikan terikat..." Bun Koan tertawa.
"Berapakah jumlah orang orang mu, adikku?" tanyanya, dingin.
"Semua cuma terdiri dari enam atau tujuh orang," sahut Siauw
Pek tersenyum. "Mereka itu bukanlah orang orangku hanya saudara
saudari saja."
"Karena itu,jadinya, kau tak pernah merasa memegang
kekuasaan?" kata sang kakak. "Kau tak pernah menikmati itu" Sang


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adik menggeleng kepala.
"Aku tak tahu apakah kenikmatan kekuasaan-" sahutnya.
Bun Koan memandang adiknya. Katanya: "Seandainya ada
banyak sekali orang yang hidup matinya, kemuliaan dan
kehilangannya, kesenangan dan kesedihannya, semua berada dalam
genggamanmu, semua mengandal kepadamu seorang diri, untukmu
mereka bersedia menyerbu api, mengurbankan jiwa Bukankah
dengan begitu kau bakal merasakan dirimu luar biasa sekali"
Bukankah kau jadi bertanggung jawab" Bagaimana perasaanmu
andaikata kau dapat memanggil, lalu ratusan orang menyahuti, yah
kalau kau suka, dapat kau menyuruh mereka hidup. Jikalau kau
membenci, dapat kau membinasakan mereka itu. Ada kau
menggedrukkan kakimu, lantas langit dan bumi guncang" Bukankah
itu akan membuatmu merasa dirimu besar sekali?"
Mendengar kata kata kakaknya itu, Siauw Pek berpikir: "Dilihat
dari sikap kakak sekarang, pastilah sudah bahwa selama hidupnya ia
telah menderita sangat. Kalau tidak, mengapa ia jadi gemar akan
kekuasaan besar serta pimpinan?"
Bun Koan menghela napas. Adiknya itu tidak menjawab. ia
berkata pula. "Sekarang ini keluarga Coh mempunyai kau satu
satunya putra, maka itu tak lama lagi aku akan serahkan semua
pengikutku kepada Kim Too Bun, untuk dengan Sepenuh tenagaku
aku menunjang kepadamu supaya kau berhasil menjadi seorang
besar kaum Bu Lim, supaya dengan demikian cepat kau menghadapi
Seng Kiong Sin Kun"
Siauw Pek agak tak sepaham dengan kakaknya itu.
"Tujuanku hanya untuk membalaskan sakit hati, yang lainnya
ialah urusan belakangan," katanya.
Tapi dengan tawar Bun Koan berkata: "Kau harus ketahui bahwa
kaki tangan Seng Kiong sin Kun tersebar diseluruh negeri Sin Kun
dapat memerintah atas demikian banyak pengikutnya, mestinya dia
berkepandaian tinggi luar biasa Kau bersendirian saja, mana dapat
kau menuntut balas?"
Siauw Pek tertawa.
"Menurut terkaan kau kakak It Tie jadinya ada didekat dekat
sekitar gunung Siong San?" tanya ia, menyimpangi pembicaraan-
"Aku hanyalah menerka," sahut kakak itu. "Mungkin aku keliru. It
Tie kabur dengan menggondol kitab kitab pusaka yang sangat
berharga, mungkin karena kitab kitab itu, timbullah ketamakannya.
Maka juga dia telah mendurhakai terhadap Seng Kiong Sin Kun-.."
Sampai disitu, Su Kay Taysu campur bicara
"Jikalau It Tie berhianat terhadap Seng Kiong sin Kun, apakah itu
bukan berarti dia menanam dua permusuhan, hingga didepan dan
dibelakangnya dia ada seterunya?" tanya pendeta beribadat itu.
"Dengan demikian, walaupun dunia ada besar lebar sebagaimana
adanya ini tapi tak ada tempat lagi dimana dia dapat berdiam diri."
"Hm" sinona memperdengarkan suara tawarnya. "Dunia begini
luas dimana saja orang dapat menyembunyikan dirinya.
Umpamakata aku menjadi dia, akan aku pilih sebuah kota besar dan
ramai dimana akan aku tempatkan diriku. Akan aku salin rupa dan
wajahku, untuk aku hidup menyendiri, guna meyakinkan pelajaran
pelajaran istimewa dari kitab kitab pusaka itu. Aku percaya tanpa
tiga atau lima tahun aku akan sudah berhasil memahami semuanya
dengan sempurna, hingga selanjutnya aku dapat pulang ke Siong
San guna merampas kembali kekuasaan ketua partai, guna bangun
mengangkat diri, untuk menghadapi Seng Kiong Sin Kun, buat
merampas pengaruh si Raja Sakti itu, supaya aku menjadi jago
tunggal didalam dunia ini. Bukankah itu mudah?"
Siauw Pek kagum berbareng heran buat pikiran kakaknya itu.
"Pernah aku menempur sembilan tiangloo," berkata ia mencari
penjelasan, "mereka itu mempunyai masing masing kepandaian
yang istimewa maka itu buat It Tie merampas kekuasaan partai,
buat ia menaklukkan kesembilan tiangloo, itulah sulit sekali."
"Seorang diri adikku menempur sembilan tiangloo, bagaimanakah
kesudahannya?" Bun Koan tanya.
"Kesembilan tiangloo belum mengeluarkan seluruh
kepandaiannya, dan Su Kay Taysu senantiasa mengalah, karena itu
kesudahannya aku beruntung keluar sebagai pemenang," sahut
Siauw Pek terus terang. Ia tidak menyebutkan bahwa ia tidak
menggunakan goloknya, belum sampai ia memakai golok yang
ampuh itu. Bun Koan tertawa dingin-
"Mana mungkin orang menempur tetapi bermain mengalah?"
katanya. "Pastilah itu disebabkan mereka tak berdaya untuk
mengalahkan kau maka mereka mengambil sikap menolak perahu
menuruti aliran air, hingga nampaknya mereka mengalah"
Berkata begitu, Nona Coh segera berpaling kepada Su Kay Taysu.
"Apakah kitab kitab pusaka yang dibawa kabur itu memuat ilmu
ilmu luhur yang istimewa?" ia tanya pendeta itu.
"Itulah tujuh puluh dua ilmu silat istimewa dari Siauw Lim Pay,"
sang pendeta rada likat.
"Dan taysu, berapa macamkah diantara ilmu ilmu silat itu yang
taysu dapat menguasai?" si nona tanya pula tanpa sungkan
sungkan. "Ilmu silatku sangat terbatas," jawab Su Kay. Dia bersangsi
sejenak. lalu dia menambahkan. "Yang dibawa buron It Tie sama
sekali sembilan belas jilid, diantara sembilan belas macam itu, loolap
baru mempelajari tiga rupa, walaupun demikian, loolap masih belum
mencapai kesempurnaan."
"Telah lama aku dengar ilmu silat Siauw Lim Sie banyak rupa dan
perubahannya," berkata pula si nona, "dengan berpangkal kepada
kepandaian taysu, maka tak sukarlah akan menerka kepandaian
tiangloo tiangloo yang lainnya. Hanyalah, tak tahu bagaimana
dengan bakat It Tie?"
"Dia berbakat baik sekali," su Kay akui. Jikalau tidak, tidak nanti
suheng Su Hong sangat menyayanginya."
"Kalau begitu, untuk mempelajari belasan kitab itu, dia cuma
membutuhkan tempo beberapa tahun saja" berkata si nona.
"Selewatnya beberapa tahun, pastilah dia mampu untuk
mengalahkah kesembilan tiangloo..."
Paras si pendeta menjadi pucat. "Nona benar," ia mengakui.
"Nona cerdas sekali." Bun Koan tertawa tawar.
"Jikalau It Tie dapat mengalahkan kesembilan tiangloo," katanya,
"dia pasti segera merampas kembali kekuasaannya. Siauw Lim Pay
mempunyai demikian banyak murid, tak usah dijerikan lagi untuk
menghadapi Seng Kiong sin Kun. Bukankah berkuasa sendiri jauh
terlebih baik daripada It Tie berlindung kepada seng Kiong Sin Kun
dan buat selama lamanya hidup dibawah perintah orang ?"
Su Kay berdiam, akan tetapi otaknya bekerja. Makin lama makin
ia menghargai si nona, yang berpikir tajam dan luas, yang
berpandangan jauh. Benarlah apa yang dibilang nona itu.
"Nona ini cerdas tak dibawahnya Nona Hoan," pikirnya. "Dia pula
sangat teliti. Dengan dia pandai silat, dia sungguh liehay..."
Karena ini, sendirinya hati Su Kay menjadi tidak tenang. Sungguh
celaka kalau It Tie dapat dibiarkan hidup merdeka selama beberapa
tahun hingga dia memperoleh kesempatan mempelajari isi semua
sembilan belas kitab pusaka itu.
Sementara itu perjalanan dilanjutkan terus, pada suatu hari
tibalah mereka di kaki gunung Siong san yang tersohor itu, gunung
yang menjadi pusat partai Siauw Lim Pay atau kuil Siauw Lim Sie
Gunung Siong San terpecah dua, ialah Thay Sit San disebelah
timur dan Siauw Sit San di sebelah barat. Thay Sit San disebut juga
Gwa Hong. Gunung itu letaknya disebelah utara kecamatan Teng
Hong, propinsi Holam (Honan).
Tatkala itu sudah tengah malam, jagat sunyi dan gelap. Dikaki
bukit itu ketujuh kiamsu sudah siap menanti perintah pemimpinnya.
Bun Koan melihat letak gunung, setelah itu ia memberikan
perintahnya buat orang orangnya membagi diri, buat mendaki
dengan berbareng, guna mencari It Tie Taysu, si ketua murtad dan
durhaka dari Siauw Lim Sie atau Siauw Lim Pay. Biar bagaimana, Su
Kay Taysu toh bersangsi bahwa It Tie masih ada digunung itu.
"Nona," tanyanya, tertawa hambar, "apakah nona benar benar
merasa pasti bahwa It Tie masih belum meninggalkan gunung Siong
San?" "Keadaan kita sekarang ini bagaikan permainan catur, sulit untuk
menerka pasti," sahut Bun Koan- "Aku juga hendak bekerja sekuat
tenagaku, guna mengadu untung"
"Gunung Siong San atau Siauw Sit San ini, luas seratus lie lebih,"
berkata pula sang pendeta. "Dan tempatnya yang lebat dimana
orang dapat menyembunyikan diri sangat banyak jumlahnya.
Umpama benar It Tie berada di sini, tanpa petunjuk jalan, mana
bisa kita mencarinya" Seharusnya kita mencari orang yang kenal
baik keadaan disini..."
"Yang mengenal baik tempat ini hanyalah taysu sendiri" berkata
sinona terus terang.
Su Kay terkejut, cepat sekali ia berkata di dalam hati: "Aku
menjadi murid Siauw Lim Sie, mana dapat aku membantu orang lain
merampas kitab pusaka partaiku..." karena ini ia berdiam, matanya
mengawasi tanah.
Siauw Pek tidak menghendaki adanya bentrokan diantara
kakaknya dan pendeta itu. ia menghela nafas, lalu ia berkata^
"Kakak... baiklah kakak ketahui, kitab pusaka itu adalah milik Siauw
Lim Pay." "Aku tahu itu" sang kakak memotong, "memang itulah kitab kitab
tanpa pemilik"
"Siauw Lim Pay bekerja sama dengan kita dia kawan serikat
kita..." kata Siauw Pek.
"Memang sekarang kitalah sahabat sahabat" Nona Coh
memotong pula. "Tetapi dahulu, ketika orang menyerbu dan
membasmi Pek Ho Po, diantara para penyerbu itu ada orang orang
Siauw Lim Sie"
"Itulah perbuatan It Tie seorang," berkata sang adik, "kita harus
mencari It Tie untuk berhitungan dengannya, tak usahlah kita
mencari kitab kitab milik Siauw Lim Pay itu..."
"Kau belum tahu" berkata sang kakak, "kitab kitab pusaka itu
amat berbahaya bagi kita. Jika kitab dimiliki It Tie, kelak di belakang
hari, dia dapat pakai kepandaiannya itu untuk menentang kita
Sebaliknya, kalau kita yang mendapati, buat kita besar faedahnya
dalam usaha kita mencari balas"
Siauw Pek dapat mengakui kebenaran pendapat kakak itu, tetapi
ia toh berkata: "kakak aku berhasil memiliki rangkap dua dua
kepandaian Thian kiam dan Pa Too, bahkan paling belakang ini
telah aku insyaft kemurniannya, karena itu, didapatnya kitab kitab
Siauw Lim Pay itu bagiku tak ada gunanya"
"Hmmm" Bun Koan memperdengarkan suaranya yang dingin,
"kau masih sangat muda, apa yang kau pikirpun terlalu sederhana"
Siauw Pek bingung dan masgul sekali. Tahulah ia bahwa kesan
kakaknya terhadap Su Kay Taysu buruk sekali, sudah mendalam,
dan itu bahaya kalau kesan itu tidak lekas lekas disingkirkan,
bahkan itu akan menambah buruk...
"Kakak." katanya kemudian, sabar sekali, "kakak mempunyai
rencana atau pikiran apa yang sempurna" coba tolong kakak
tuturkan untuk membuka hatiku yang cupat..." Kakak itu tertawa
tawar. "Tidak ada rencana atau pikiranku yang sempurna" sahutnya.
"Aku ingin mendapatkan kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie itu guna
memakainya mengekang murid murid Siauw Lim Pay, guna
memerintahkan mereka itu maju di depan, supaya pertempuran
mereka melawan Seng Kiong Sin Kun membuat Sin Kun lemah, dan
untuk akhirnya kitalah yang menempurnya secara memutuskan,
guna menunaikan pembalasan kita "
Siauw Pek semua mengawasi nona itu, yang pikirannya
sempurna dan tak ada bagiannya yang dapat dicela itu.
Adalah Su Kay Taysu, yang kagum berbareng mendongkol. ia
tertawa dingin dan berkata: "Nona, pikiranmu ini sempurna sekali "
"Dendam kesumat besarku ini membuat kami tak dapat bersama
sama musuh hidup dikolong langit," berkata si nona, "karena itu,
saking terpaksa, aku harus mengambil segala macam daya upaya
yang muncul dalam benak pikiranku"
Dengan sungguh sungguh, pendeta itu berkata pula. "Walaupun
terpaksa, cara yang digunakan harus cara yang berterus terang..."
Dengan tawar Bun Koan kata, "Ketika dahulu hari orang
menyerang Pek Ho Po, kami dikepung dan dibUnuh bUnuhi bukan
oleh orang orang yang berlaku terus terang, bukan oleh bangsa laki
laki sejati. Apa yang kami akan lakukan sekarang ini ialah kami
cuma menelad contoh orang orang busuk dan jahat itu " Su Kay
Taysu bungkam. "Luar biasa keras hatinya nona ini hingga keputusannya sukar
diubah," katanya didalam hati. "Tak dapat ia diajak bicara..."
Tepat tengah si pendeta berpikir itu, telinga mereka mendengar
suara tindakan kaki dari beberapa orang. Walaupun suara itu sangat
perlahan tetapi Siauw Pek dan Su Kay Taysu tahu baik, itulah suara
serombongan orang orang yang biasa keluar malam, yang tengah
mendatangi. Siauw Pek lalu mengulapkan tangannya.
"St, perlahan" katanya hampir berbisik. "Ada serombongan orang
tengah mendatangi kemari, entah apa maksudnya, maka itu mari
kita bersembunyi dahulu, sesudah kita melihat jelas, baru kita
memikir buat bertindak."
Semua orang setuju, semua segera lari menyembunyikan diri
diantara semak semak rumput ditepi jalan.
Siauw Pek bersama kakaknya bersembunyi dibelakang sebuah
pohon besar. Didalam tempo yang pendek tampak tibanya beberapa puluh
orang, yang semua berhenti dikaki gunung Siong San itu. Paling
belakang terdapat sebuah joli yang digotong dua orang wanita
dengan kaki kaki yang besar dan tubuhnya kekar. Malam sunyi
sekali. semua orang itu berdiri diam.
Seorang yang bertubuh jangkung kurus, mendekati joli dengan
tirainya yang hijau. Dia menjura kea rah joli itu seraya berkata:
"Lapor kepada Hoa Siang Sudah sampai dikaki gunung Siong San"
Bun Koan terperanjat mendengar disebutnya nama Hoa Siang itu,
tanpa merasa tubuhnya menggigil sejenak. Siauw Pek sebaliknya
melengak. "Nama Seng Keng Hoa Siang pernah kudengar," bilangnya.
Bun Koan berbisik: "Seng Kiong Hoa Siang bukanlah hanya satu
orang" Dari dalam joli terdengar satu suara wanita yang halus tetapi
nyaring: "Sin Kun telah membilang pasti, It Tie masih belum
meninggalkan gunung Siong San, maka itu mengertilah kamu, sejak
saat ini, jikalau sampai It Tie dikejar lolos, kamu semua adalah
bagian mati"
Mendengar suara Hoa Siang itu, Siauw Pek berpikir: "Nyatalah
pikiran Sin Kun sama dengan terkaan kakakku "
Tengah berpikir begitu, tiba tiba ia melihat tubuh kakaknya itu
bergemetar, maka ia menjadi heran-
Bun Koan merasa bahwa adik itu mengetahui ia terkejut, segera
ia menggenggam tangan sang adik sambil ia berbisik: "Perhatikan
musuh. Jangan bicara "
Siauw Pek mengangguk. Ia heran pula sebab ia merasa tangan
kakaknya itu dingin. "Kakak gagah dan pintar, apa benar dia begini


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jeri terhadap Hoa Siang ?"pikirnya.
Sementara itu tampak sijangkung kurus mengulapkan tangannya,
atas mana beberapa puluh orangnya Hoa Siang itu segera pergi
dengan memencar diri, mencari pelbagai jalan naik, untuk terus
mendaki. Kembali pemuda ini heran- Ia mendapat kenyataan puluhan
orang itu mempunyai masing masing ilmu ringan tubuh yang mahir,
maka itu nyatalah mereka bukannya sembarangan orang
Bun Koan juga rupanya merasa seperti Siauw Pek mengenai
kepandaian orang orang Hoa Siang itu, bahkan diluar dugaan sang
adik, sekonyong konyong ia memperdengarkan bentakannya:
"Berhenti"
Didalam kegelapan dan kesunyian, bentakan itu terdengar nyata
diseluruh kaki gunung itu, bahkan semua orang Seng Kiong Hoa
Siang terkejut, hingga serempak mereka itu menghentikan lari
mereka. Semua menoleh mengawasi kearah dari mana bentakan itu
datang. Selagi Siauw Pek keheran heranan, juga wanita didalam joli itu
tak kurang terkejutnya, dengan satu singkapan tangannya, dia
mementang tenda jolinya, hingga tubuhnya segera tampak. Hingga
terlihat dialah seorang wanita setengah umur.
"Siapa disana ?" terdengar dia membentak menanya.
Dengan pedang ditangan, Bun Koan keluar dari tempatnya
bersembunyi, dengan nyaring ia menjawab memperkenalkan dirinya
terus terang. "Kamilah Coh Bun Koan dan Coh Siauw Pek. kakak
beradik dari Pek Ho Po"
Wanita itu menjejakkan kakinya, lalu kedua wanita yang
menggotong joli menurunkan jolinya itu, setelah mana dengan
pesat dia melompat turun, untuk berdiri ditengah jalan tanjakan. Dia
melihat kelilingan.
"Mana Coh Siauw Pek?" dia tanya. Didalam gelap. dia tak dapat
melihat tegas kepada pemuda she Coh itu.
Siauw Pek maju kedepan, untuk berdiri berendeng dengan
kakaknya itu. "Disinilah dua saudara Coh" ia menjawab sabar.
Dengan mata bersinar, wanita itu mengawasi si anak muda.
"Apakah benar kau Coh Siauw Pek ketua dari Kim Too Bun yang
baru dibangun itu?" dia tanya menegasi.
Siauw Pek mengangguk. "Benar" sahutnya. "Anda siapakah?"
"seng Kiong Hoa siang" sahut si wanita itu singkat dan tawar.
"She nama anda?" Siauw Pek tegaskan, dingin-
Dengan sikap tawar, wanita itu menjawab. " orang Seng Kiong
biasanya tak memberitahukan she dan namanya " Berkata begitu,
dia memandang kesekitarnya, terus dia berkata pula. "Diantara
kalian masih ada beberapa sahabat lagi, kenapa mereka itu tak
sekalian memperlihatkan diri?"
Ban Liang segera keluar dari tempat sembunyinya. ia diturut oleh
Su Kay Taysu, Oey Eng dan Kho Kong serta keempat pengikut Bun
Koan- Seng Kiong Hoa siang mengawasi dengan tajam. Dia seperti
menimbang nimbang berapa tinggi, atau berapa liehay, ilmu silat
rombongan Siauw Pek itu. Kemudian dengan dingin juga, dia
berkata. "Taysu itu tampak bukan seperti sembarang orang,
rupanya taysu adalah dari pihak Siauw Lim Sie dan ternama besar"
Mulanya Su Kay melengak. tetapi lekas dia menjawab. "Loolap.
Su Kay" "Nah, benar juga pendeta luhur dari huruf Su" berkata wanita itu.
"Maaf aku kurang hormat "
Bibir su Kay bergerak, akan tetapi dia batal membuka mulutnya.
Hoa Siang sementara itu segera mengulapkan tangannya seraya
berkata, "Pat siang Sie turut aku menyambut musuh. Yang lainnya
semua tetap mencari It Tie. Jikalau ada orang yang merintangi,
bunuh saja "
Menyusul suara itu, muncullah delapan orang yang bergerak
sebat bagaikan bayangan, yang memernahkan diri dikedua sisi
wanita itu, sedangkan semua orang yang lainnya bergerak untuk
melanjutkan mendaki gunung.
Delapan orang itu ialah yang disebut "pat sia ngSie", yaitu
delapan (pat) pengiring atau pengikut (siang-Sie) .
Bun Koang tertawa dingin melihat aksi si wanita.
"Apakah kau sangka, dengan mengandalkan delapan orang mu
itu, keselamatanmu akan terjamin?" tanyanya.
Seng Kiong Hoa siang tertawa terbahak bahak.
"Telah punco dengar halnya Kiu Heng Cie Kiam adalah ilmu yang
luar biasa sekali, sekarang kebetulan kita bertemu disini, ingin aku
belajar kenal dengannya" katanya jumawa.
Paras Bun Koan nampak berubah, sambil menghUnus
pedangnya, ia bertindak majU, untuk menghampiri lawan itu.
"Kakak, tunggu" Siauw Pek mencegahnya. "Berilah pembukaan
ini pada adikmu"
Bun Koan berkata perlahan: "Hendak aku melihat dahulu
kepandaian dia ini..." Lalu ia memperCepat langkahnya.
Hoa Siang tertawa pula.
"Punco cuma mau melihat Kiu Heng Cie Kiam" kata dia. "Jikalau
bicara dari hal kepandaian, tak usahlah punco yang turun tangan
sendiri" Bun Koan tidak menghiraukan orang mengejeknya.
"Aku kuatir kau tak dapat berpikir banyak lagi" katanya seraya
terus menikam dada lawan-
Hoa siang tertawa tawar, terus sebelah tangannya diulapkan.
Atas itu majulah seorang dengan pa kaian hijau, menyambut
Nona Coh. Bun Koan melihat orang majU tanpa senjata, ia tidak
mempedulikan, terus ia memutar pedangnya, untuk membabat.
orang berbaju hijau itu melompat mundur, akan berkelit, habis
itu, dia maju pula seraya menyerang. Dia mengarah lengan kanan
Bun Koan- Itulah serangan pembalasan yang lihay.
Dengan Cepat Bun Koan berpikir: "Pantas dia cuma
meninggalkan delapan orang pengiringnya, kiranya mereka ini liehay
semuanya" Berpikir demikian, habis mengelit tangannya itu, iapun
mengulangi serangannya. Menikam lawan
orang itu berkelit. seperti tadi, habis berkelit dia membalas
menyerang pula. Kali ini, dia menukar tangannya. Tak tampak
pertanda bahwa dia suka mengalah. Dengan begitu bertempurlah
mereka berdua. Dengan cepat, lima jurus telah lewat
Mendadak dari kiri gunung terdengar suara bentrokan senjata
yang nyaring, dibarengi dengan bentakan bentakan. Dibawa sang
angin suara itu terdengar jelas sekali
Mendengar suara itu, Siauw Pek menghunus pedangnya sambil
berseru: "Kakak. silahkan mundur Serahkan mereka ini kepadaku"
sepasang alis kakak itu terbangun, nampak dia menjadi sangat
bengis. "Siauw Pek. dengar" katanya nyaring. Dia pun tak menyebut
"adik" lagi, langsung namanya saja, "lebih dahulu kau bekuk seng
Kiong Hoa Siang ini Dia sangat bersangkut paut dengan sakit hati
ayah kita. Biar bagaimana, jangan biarkan dia lolos"
Siauw Pek melengak. Dia berpikir: "Pantaslah selekasnya melihat
Hoa Siang, sifat kakak jadi bengis luar biasa Kiranya dia ini
bersangkut paut dengan kematian ayahku"
Tapi tak lama ia berpikir, mendadak saja darahnya menjadi
bergelora. Maka sambil berseru seraya melompat pada wanita
setengah umur itu ^
Justru sianak muda maju, dua orang berbaju hijaupun berseru
berlompat menghadang
orang yang disebelah kiri adalah siorang jangkung kurus. Dialah
pemimpin dari Pat siangSie. Dia bersenjatakan thie cio, besi cagak
tiga dengan ujung tajam, hitam berkilau.
Siauw Pek bagaikan telah dipalu kakaknya rasa sakit hatinya
membuatnya panas sekali, maka kali ini, ia menjadi beda dari pada
biasanya. Dengan hati panas, lenyaplah sabar "Mundur" ia
membentak bengis seraya ia menyerbu kedua orang berbaju hijau
itu Kedua orang itu terkejut, apalagi yang di sebelah kanan, di dalam
segebrakan saja segera memperdengarkan jeritan kesakitan. itulah
sebab pedang Thian Kiam telah mengenai lengannya, hingga
senjatanya jatuh seketika.
Lawan yang dikiri terkejut, tetapi dia gesit dia lekas menarik
kembali lengannya, maka selamatlah lengannya itu. Dia pula tabah
dan berani, selekasnya bebas dari ujung pedang dia menyerang
pula. Dia tak menghiraukan bahwa kawannya sudah terluka.
Siauw Pek terkejut juga . Diluar dugaannya orang ini demikian
berani dan gesit. Segera dia berkelit.
Menyaksikan pertempuran itu Ban Liang berseru, "Mari" Ia pula
mendahului berlompat maju. ia segera diturut Oey Eng dan Kho
Kong serta empat pengikutnya Bun Koan-
Melihat majunya semua orang Kim Too Bun itu, Su Kay Taysupun
tidak tinggal diam, ia segera turun tangan, maka didalam tempo
sekejap ramailah pertempuran di kaki gunung itu. Masing masing
orang mencari lawannya sendiri.
Seng Kiong Hoa Siang masih belum turun tangan, dia menonton
dengan sangat, perhatian penuh. Hati pemimpin wanita ini guncang
juga mendapat kenyataan semua musuh liehay sekali. sedangkan
dipihaknya jumlahnya cuma delapan orang. Hingga mereka itu
segera terdesak.
Selagi bertempur itu, kembali terdengar suara nyaring dari nona
Coh. "Malam yang panjang banyak impiannya, tak dapat kita ayal
ayalan- Adikku, lekas kau maju membekuk Hoa Siang"
Tapi seruan Bun Koan itu disambut tawa Hoa Siang, yang terus
berkata keras. "oh Coh Bun Koan yang baik. Alasan apakah kau
punyai maka kau menuduh punco bersangkut paut dengan sakit hati
ayah kamu?"
"Berdasarkan suara bicaramu"
Hoa Siang nampak terkejut, hingga dia tercengang. cuma
sekejap. dia tertawa nyaring. "Punco tidak mengerti..." dia berseru.
Suara itu diputuskan bentakan Siauw Pek. Pemuda itu yang
menjadi garang luar biasa, telah membuat kutung lengan kanannya
salah seorang pengiring Hoa Siang Hoa siang kaget sekali, mukanya
jadi pucat. "Dengar" teriaknya segera "Tong Tiat Jie Nio, maju..Bereskan
bocah itu"
"Tong Tiat Jie Nio" berarti "dua wanita Djie nio) kuningan (tong)
dan besi (tiat)". Nyatalah mereka adalah kedua wanita tukang
gotong joli itu. Karena perintah itu, keduanya lantas mencabut dua
palang gotongan joli, dan dengan bersenjatakan itu mereka maju
kepada Siauw Pek. jadi merekalah yang bernama Tong Nio dan Tiat
Nio. Melihat majunya dua orang itu, Siauw Pek berpikir "Mungkinkah
mereka ini jauh terlebih liehay daripada para siangSie?" Tapi selagi
berpikir itu, ia menyambut dan menyerang terlebih dahulu
Kali ini Tay Pie Kiam Hoat tak lagi digunakan seperti biasanya
yaitu ayal ayalan-sebaliknya kali ini pedang itu menjadi gesit luar
biasa. Didalam satu atau dua gebrakan, Tong Tiat Jie Nio hendak
segera dikurung, tak peduli mereka berdUa liehay sekali.
Kedua wanita itu bermuka kuning dan hitam itulah rupanya yang
membuat mereka memperoleh nama atau sebutannya itu. Mereka
bisa bekerja dengan rapih, ialah satu menjaga, lainnya menyerang,
atau sebaliknya. Mereka mencoba mendesak.
Selagi pertempuran itu berjalan mendadak terdengar Bun Koan
berseru. Nyatalah sinona telah berhasil menikam lawannya. Tapi,
diluar dugaannya, lengan kirinya juga tergores ujung thie cio
lawannya, yang tak kalah liehaynya.
Tanpa menghiraukan lukanya, Bun Koan menendang roboh
lawannya itu. "Kakak, lekas mundur dan beristirahat" Siauw Pek berseru.
"Serahkan mereka kepadaku"
Tapi sang kakak membentak: "Jangan banyak omong Lekas
bertempur dan meneruskannya." Dan habis membentak itu, ia
lompat ke arah Hoa siang Wanita setengah umur itu tertawa lebar,
suaranya tawar.
"Kau cari mampus sendiri. Jangan kau sesalkan punco" serunya.
Dan dia menyambut Nona Coh dengan tusukan jari tangannya
JILID 47 Bun Koan tidak tahu lawan menggunakan tipu apa, tetapi ia
sudah nekad, ia tidak menghiraukannya, maka ia maju terus sambil
menabas dengan pedangnya.
"Hai, wanita galak" Hoa Siang berkata tawar sambil dia berkelit,
terus dia menyerang lengan kanan si nona. Dia liehay sekali. Dia
gesit dan berani.
Melihat majunya sikakak. Siauw Pek bingung juga. Inilah sebab
Tong Tiat Jie Nio benar benar liehay, mereka dapat berkelahi
bersama untuk melibatnya.
Dilain pihak. lawan Ban Liang berimbang dengannya. Sebaliknya
Oey Eng dan Kho Kong mereka kalah setingkat, akan tetapi dua
suadara ini berkelahi dengan semangat penuh.
Su Kay Taysu dapat melayani lawannya, hanya ia tidak berkelahi
dengan sungguh sungguh. Sebabnya ialah dia ragu ragu terhadap
Bun Koan, karena nona Coh telah mengatakan terus terang hendak
merampas kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie. Mana dapat dia
membantu sinona karena merampas kitab kitabnya itu sendiri" oleh
karena ia berkelahi dengan setengah hati, pat siangsi menjadi tak
mudah terkalahkan lekas lekas. Lagi lagi terdengar tawa Seng Kiong
Hoa siang. Tawa itu tak sedap didengar Siauw Pek.
Sambil tertawa dia mendesak Bun Koan- Liehay jeriji
tangannnya,jari itu dapat menoel lengan kiri nona Coh yang tadi
terlukakan senjata lawannya yang semula.
"Kau Liehay" seru Hoa siang sambil merangsek.
Terserang lengan kirinya itu, Bun Koan bermandikan peluh. Ia
merasakan nyeri pada lengannya itu, yang segera saja bagaikan
mati menjadi kaku. Tapi ia menguatkan hati, ia nekad, ia
menyerang terus dengan tangan kanannya
Hoa Siang heran orang demikian tangguh, sehingga ia mesti
lompat kesisi kanan.
Pada saat itu, Siauw Pek dibikin gusar oleh Tong Tiat Jie Nio,
sebab pedangnya tak sanggup merusak senjata kedua lawan itu.
Senjata mereka bukannya kayu tapi besi istimewa, sampai tak
mempan pedang. Dalam panas hatinya, sianak muda berseru: "Ban Huhoat, golok"
Ban Liang terkejut mendengar suara sianak muda. Tapi ia
mengerti keadaan. Tanpa sangsi lagi, ia berlompat mundur
meninggalkan lawannya, untuk menghampiri ketuanya itu,
selekasnya ia menginjak tanah, ia menghunus Pa Too, yang terus
dilemparkan pada pemiliknya.
Siauw Pek menyambut golok ampuhnya, setelah mana ia berseru
nyaring sekali.
"Aduh" terdengar jeritan Tong Tiat Jie Nio saling susul. Itulah
jeritan tertahan sebab keduanya segera roboh terguling, karena
kepala mereka tertabas sebatas leher, darahnya muncrat
berhamburan- Mereka terbinasa bagaikan tanpa merasa sebab
mereka tak melihat bagaimana bekerjanya Toan Hun It Too
selekasnya Siauw Pek lompat menyambut goloknya.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aksi Siauw Pek membuat musuh kaget sekali, hingga serempak
mereka itu berhenti berkelahi, semua mengawasi ketua dari Kim
Too Bun itu. Ban Liang dan yang lainnyapuntak menjadi kecuali. Semua mata
diarahkan pada golok ampuh itu
Sementara itu, bagaikan tak ada yang melihatnya Siauw Pek
sudah berada didepan Seng Kiong Hoa Siang, hingga mereka itu
berdua terpisah satu dengan lain cuma sejarak enam kaki. Muka
Siauw Pek merah padam mengawasi wanita setengah umur itu
Hoa Siangpun mengawasi tajam, tapi matanya bagaikan
medelong, sedang mukanya pucat pasi. Sebab diapun kesima oleh
gerakan Pa Too Selagi mata kedua belah pihak bagaikan bentrok satu dengan
lain, karena masing masing sinarnya yang tajam dan bengis,
mendadak mata Siauw Pek bergerak. menyusul mana tangannya
yang memegang golok bergerak pula.
Hoa siang kaget sekali. Ia menerka tentulah musuh hendak
menyerangnya. Maka ia segera mendahului berlompat berkelit.
Walaupun begitu, dia tidak diam saja, dia terus menggerakkan
kedua tangannya untuk menyerang lawan
Bun Koan telah menyaksikan liehaynya Pa Too, ia terkejut. Tanpa
merasa, ia menyerukan adiknya. "Jangan habisi dia"
Siauw Pek mendengar suaranya kakak itu, hampir ia
menggerakkan goloknya. Syukur ia dapat berlaku cepat, sembari
batal menyerang, ia berlompat mundur
Justru itu, satu sinar kuning emas berkelebat kearah Seng Kiong
Hoa Siang, pada saat dia menyerang Siauw Pek. Serangan Hoa
siang tak dapat dibatalkan lagi, walaupun serangan itu tak
mengenai sasarannya. Dilain pihak sinar kuning emas itu, ialah Kiu
Heng Cie Kiam tak terelakkan atau tertangkis. pedang sakit hati
menancap dijalan darah eng cong dari Hoa Siang. Maka sekejap itu,
wanita setengah umur itu mati kutu. Kalau pedang tak dicabut, dia
tak dapat bergerak, sebaliknya pedang itu tak meminta jiwa orang
Habis menyerang lawan itu, Bun Koan menunjuk kepada orang
orang musuh sambil ia berseru : "Adik, kalau kau belum puas,
habisilah sisa sisa rombongan itu"
Nona Coh maksudkan orang orangnya Seng Kiong Hoa siang itu.
Bukan main kagetnya sisa pat siangsie, saking takutnya mereka
lupa pada pemimpin mereka, lantas mereka memutar tubuh untuk
lari kabur guna menyelamatkan diri mereka. Mereka jeri terhadap
golok ampuh dari lawan
Melihat lawan lari, Bun Koan gusar sekali. Selama itu ia lupa pada
nyeri lengannya. Sambil berseru ia menimpukkan Kiu Heng Cie Too
golok mautnya "Aduh" menjerit seorang siangSie, yang roboh
terguling dan jiwanya terbang melayang. syukur buat lima yang lain,
mereka dapat kabur terus. Siauw Pek menoleh kepada kakaknya.
"Sayang kakak aku berayal, maka bebaslah mereka itu" katanya
menyesaL Sang Kakak berkata dingin : "Hari ini kau berbelas kasihan
adikku. Ingatlah lain kali kau tak dapat berbuat begini. Lolosnya
mereka berlima berarti tambah lima orang lawan yang tangguh"
Muka Siauw Pek merah. Ia jengah. Kakak itu benar. Maka ia
bungkam. Bun Koan segegra membuka tindakan lebar menghampiri Seng
Kiong Hoa Siang. Ia meluncurkan tangan kanannya, menyambar
leher baju pemimpin wanita dari rombongan Seng Kiong Sin Kun itu.
Hoa Siang tak berdaya tetapi dia sadar. Dia kaget. Mendadak dia
mengerahkan tenaganya menggunakan kedua tangannya untuk
menyambar lengan nona Coh
"Hm, kau cari mampus?" bentak Bun Koan gusar.
Hoa Siangpun gusar. "Jikalau kau hendak membunuh aku,
bunuhlah" kata dia "Jikalau kau berani menghina punco, orang Seng
Kiong tak akan melepaskanmu"
Nona Coh tertawa dingin, "aku hendak membunuh habis semua
orang Seng Kiong" katanya keras dan sengit. "Tak satu jiwa jua
akan aku biarkan hidup. Siapa perduli kamu hendak melepaskan aku
atau tidak"
Dengan satu pengerahan tenaganya, Bun Koan membebaskan
lengannya dari cengkeraman Hoa Siang, lalu dengan lain gerakan
yang menyusul, ia membuka melowek leher baju orang hingga
tampak sebuah leher yang putih dan halus, hingga ia merdeka
menatapnya. "Kau sangka punco merubah wajahku?" tanya Hoa Siang, "Hmm"
Bun Koan tidak menjawab, ia hanya menatap muka orang,
mengawasi dengan tajam, sedetikpun kedua matanya tak berkedip.
Siauw Pek bertindak mendekati kakaknya itu. "apakah kakak
menerka wajah dia telah dirubah oleh Seng Kiong Sin Kun?" ia
bertanya kepada sang kakak.
Dengan paras yang bengis, Bun Koan menggelengkan kepala. Ia
menjawab keren "Dia ini tak mengubah atau diubah wajahnya, akan
tetapi rasanya kita pernah melihatnya. Hanya karena lamanya sang
waktu, sekarang aku sudah lupa, sulit buat mengingat ingatnya."
Siauw Pek heran hingga ia melongo. Iapun menatap orang
tawanannya itu sambil ia mengasah otaknya. Tak dapat ia ingat
dimana ia bertemu atau menemukan orang semacam wanita
setengah umur ini.
Bahu Seng Kiong Hoa siang masih tetap tertancapkan pedang Kiu
Heng Cie Kiam dan darahnya masih mengalir terus, karena lukanya
itu, dia telah kehabisan tenaga. Dia menahan rasa nyerinya hingga
selain darahnya itu, dia juga bermandikan peluh pada dahi dan
mukanya. Dia telah memikir untuk menghabiskan jiwanya tetapi
belum ingin dia mewujudkan itu. Dia masih mengharap datangnya
ketika baik guna meloloskan diri. Siapa tahu kalau ada datang
pertolongan"
Tiba tiba Bun Koan menggertakkan giginya, sedangkan matanya
terbuka lebar, kedua biji matanya itu merah membara. Tiba tiba
dengan dua jari telunjuknya dia menyentil pedangnya yang
menancap dibahu musuh, hingga pedang itu berbunyi nyaring.
Jalan darah eng cong yang tertancap pedang itu disebut juga
jalan darah siang hiat hay, adanya ditetek kiri, satu cun enam hun
diatasan tetek itu. Dan pedang itu nancap dalam sampai tiga cun
(dim). Karena sentilan itu, yang membuat pedang bergerak. Hoa
Siang merasai nyeri yang bukan buatan, hingga dia menjerit keras
dan pingsan- Siauw Pek gagah dan hatinya kuat akan tetapi tak tega dia
melihat penderitaan Hoa Siang, hingga hatinya berdenyutan-
"Kakak....." katanya
Bun Koan gusar, dia menegur keras "Percuma kau memiliki ilmu
silat yang lihay. Terhadap musuh besar, mengapa kau tak bersakit
hati" Hmm, hendak aku lihat kalau nanti kau sudah mati, kau
mempunyai mUka atau tidak menemui orang tua dan saudara kita
dialam baka"
Siauw Pek diam melongo, mukanya pucat. Hebat teguran kakak
itu. Lalu dahinya mengucurkan pelUh. Lekas lekas ia tunduk. Tak
berani ia menentang kakaknya itu.
Bun Koan mengawasi pula lawannya. Ia menggerakkan sebelah
tangannya, menepuk tubuh orang yang telah jatuh dan rebah
terkulai. Hanya sebentar, Hoa siang sadar perlahan lahan-
"Kau she apa?" tanya Bun Koan bengis.
Muka Hoa Siang basah dengan peluhnya, napasnya memburu.
"Kenapa kau tidak mau membunuh punco?" tanyanya. Dia tidak
menjawab. Bahkan dia mengawasi bengis. Nona Coh tertawa dingin.
"Kau harus dibunuh, itulah bagianmu" katanya. "juga mudah
untuk membunuh mu. Membunuhmu bukanlah urusan terlalu
penting. Kau tahu, seratus lebih jiwa orang Pek Ho Po mati tidak
karuan" Hoa Siang melengak. hanya sebentar, kemudian dia menengadah
langit, terus dia tertawa dingin. Nyaring tawanya itu Hingga
terdengarlah kumandangnya diantara gunung dan lembah lembah.
Su Kay Taysu dan Ban Liang bersama mengawasi saja, hati
mereka berdenyutan-
Itulah suatu pemandangan yang hebat. Bagaimana nasibnya Hoa
Siang" Apakah tindakan selanjutnya dari nona Coh, yang seluruh
dirinya dikuasai sang amarah" Selang sesaat, terdengar suara
bengis dari Hoa Siang.
"Jikalau punco tidak bicara terus terang, tak puas hatiku" katanya
nyaring. "Dan kau pun tentu sama tak puasnya. Nah, kautanyalah
akan aku jawab kau"
"Hm" Bun Koan tertawa dingin. "Kau benar. Untukmu mencari
jalan mampus sama sukarnya"
Hening sedetik. Lalu puteri almarhum Coh Kiam Pek bertanya,
suaranya tetap dingin "Kau she apa" Dan siapa namamu?"
Siauw Pek terCengang sejenak. lalu segera dia menyela. "Ingat,
tak dapat kau mengarang Cerita dan mengaco belo"
Hoa siang berani sekali. Dia menahan rasa nyerinya. "AKu
beritahu kepadamu" sahutnya. "Aku Teng So Keng"
"Ha, benar benar kau" seru Bun Koan- ia tertawa. "Seharusnya
dapat aku menerka siang siang?"
Siauw Pek berpikir : "Teng So Keng Nama ini rasanya pernah aku
dengar...."
Segera terdengar suara Bun Koan- "Dia ini adalah saudara
seperguruan dari ibu kita. Pada kira kira sepuluh tahun yang lalu,
dia pernah datang ke Pek Ho Po. Tatkala itu kau masih terlalu kecil
adikku...."
Sepasang alis sianak muda bergerak. SEkarang ia ingat, pada
suatu hari pada masa keCilnya itu, pernah kakaknya ini
menuntunnya mengajak main main diluar dusun, ketika itu ada
datang seorang wanita yang mencari ibunya. Menurut ibunya,
wanita itu adalah saudara seperguruan sang ibu. Yang lainnya, tidak
ia ingat lagi. sepasang mata tajam dari Bun Koan bagaikan pisau belati
mengupas wajah Teng So Keng.
"Aku tanya kau" tanyanya pula, tawar dan bengis : "Seng Kiong
Sin Kun sipengacau dunia Kang ouw itu, orang macam apakah dia
sebenarnya?"
Paras So Keng tersungging senyuman hambar.
"Seng Kiong Sin Kun?" dia balik bertanya, suaranya
mencemoohkan. "Banyak sekali. Kau hendak tanyakan Seng Kiong
Sin Kun yang mana?"
Bun Koan gusar sekali. Ia menyangka bahwa dia diejek.
Tangannya segera diangkat, jari tangannya sudah ditekuk, untuk
menyentil pula pedangnya. "Tahan" seru So Keng, mukanya pucat.
Ia insyaf artinya ancaman nona itu.
"Tak dapat kau bersikap berkepala batu" kata nona Coh. "Paling
benar kau tahu diri"
Peluh So Keng masih bercucuran turun.
"Kau meraba salah" katanya, nadanya keras. "Telah punco
katakan bahwa punco bersikap berbicara terus terang. Tak usah kau
menggunakan lagi tangan atau kakimu" Siauw Pek mengernyitkan
alisnya. "Kalau menurut kau," ia menyesaL "Seng Kiong Sin Kun itu satu
nama palsu belaka. Benarkah pemimpin Seng Kiong bukan cuma
satu." So Keng tertawa menyeringai.
"Tak salah" sahutnya "kau cerdas"
"Nah, berapakah jumlahnya pemimpin Seng Kiong?" Bun Koan
tanya. Nona itu senantiasa bersikap dingin.
"Hitung saja tiga orang" sahut So keng. Agaknya dia menjawab
secara licik. Kedua alis Bun Koan terbangun.
"Kau sebutkan satu dahulu" perintahnya "Yang pertama"
"Yang pertama?" So Keng mengulangi. "Ialah seorang dengan
seluruh tubuhnya kaku beku yang macamnya mirip tulang belulang
didalam liang kubur, yang tangannya tak mempunyai tenaga
sekalipun untuk mencekal seekor ayam"
Bun Koan tertawa seram. "Bagaimana yang nomor dua?" Teng
So Keng tertawa tergelak gelak.
"Seng Kiong Sin Kun yang nomor dua adalah seorang yang dapat
mencinta sejak bakatnya" sahutnya. "Disamping itu ia pula seorang
raja hantu yang punya hati sakit gila"
"Dia aneh" pikir Siauw Pek. "Kenapa dia mengaco belo begini
rupa" Mungkinkah karena goncangan yang sangat hebat maka juga
otaknya jadi tergerak rusak?" ia membathin.
Bun Koan terdiam. Ia tidak berpikir sebagai adiknya itu, ia cuma
mengawasi siwanita setengah usia itu. Kalau toh ia berpikir, ia
menerka nerka apa yang tersembunyi didalam kata kata So Keng
itu. Si wanita tawanan itu. Melihat sinona berdiam saja, So Keng
tertawa dengan terbahak bahak.
"Masih ada Seng Kiong Sin Kun yang nomor tiga" katanya tanpa
menanti pertanyaan-"Eh, kenapa kah kau tidak tanyakan Seng Kiong
Sin Kun yang nomor tiga itu?"
Bukannya gusar, Bun Koan justru tertawa. "Bicara terus"
perintahnya agak ketus.
Kembali So Keng tertawa. Tetap nada tawanya nada mengejek.
Habis tertawa, dia menjawab. "Seng Kiong Sin Kun yang ketiga itu"
Hahahah Dialah yang diluarnya manis budi dan sopan santun tetapi
hatinya bukan main busuknya. Dialah seorang wanita yang sangat
cabul" Bun Koan tertawa tawar. "Bicara terus" perintahnya.
"Tahukah kau siapakah wanita itu?" balik tanyanya. "Dialah kamu
berdua kakak beradik empunya."
Tiba tiba kemurkaan Bun Koan meluap. Sebelah tangannya
melayang dan.... plok satu suara nyaringga ring terdengar dari pipi
si wanita she Teng itu.
Tubuh So Keng terhuyung, mulutnya mengeluarkan darah. Hebat
tamparan itu. Sebab beberapa buah giginya copot
Su Kay bersama Ban Liang dan Oey Eng serta Kho Kong berdiri
mematung. Mereka heran menyaksikan gerak gerik Bun Koan-
Hebat tindak tanduk nona ini, sedangkan nampaknya dialah berbudi
halus dan lemah lembut.
Beda adalah sikap Siauw Pek. Kata kata wanita she Tong itu
membuatnya ingat sesuatu hingga pikirannya menjadi gelap.
Bun Koan juga terdiam, tapi tubuhnya bergerak. ia membungkuk
akan menjumput sebutir gigi So Keng, habis meneliti itu, ia masuki
gigi itu kedalam sebuah peles kumala yang ia keluarkan dari
sakunya. Dengan perlahan ia menyimpan pula pelesnya itu. ia tidak
mencuci atau menyusut dulu gigi yang berdarah itu.
Itu sebenarnya adalah sebuah gigi palsu. Itulah gigi yang
didalamnya tersimpan semacam obat berbisa yang paling dahsyat.
Itulah racun yang sengaja disimpan untuk saat terakhir. Siapa yang
menelan itu, tak ampun lagi, dia akan mati seketika. Itulah racun
untuk membunuh diri
So Keng telah memikir habis bicara, hendak dia menelan gigi
beracun itu, supaya dia tak usah menderita malu dan nyeri lebih
lama pula. Tapi dia kalah cerdik, dia kalah sebat dari Sinona Coh.
Bahkan Sinona telah mencegahnya mati Dengan begitu, dia juga
terCegah mengucapkan terus kata katanya itu.
Nona Coh tertawa dingin, sinar matanya menatap wanita
tawanannya itu. Lalu dengan tenang, tetapi dengan nada dingin ia
berkata "Aku Coh Bun Koan, dengan tubuhku yang lemah, aku telah
menjelajah dunia Kang ouw dimana aku hidup sengsara, terlunta


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lunta dengan penderitaan, maksudku satu satunya ialah menuntut
balas. Hm...Tahukah kau, pengalaman pahit apajuga yang telah aku
alami?" Mendengar kata kata kakaknya itu, tanpa merasa air mata Siauw
Pek keluar bercucuran. Didalam hatinya, anak muda ini berkata
"Siapa kira kakak demikian menderita karena setiap saat tak pernah
dia melupakan sakit hati kita."
"Akulah seorang laki laki, dapatkah aku tak melakukan
pembalasan" Sementara itu, sekian tak dapat aku membantu
kakakku ini, tidakkah aku harus malupada diri sendiri?"
Ketika itu, terus So Keng menatap bengis kepada Bun Koan- Dia
sangat gusar, tapi dia tak berdaya. Mulutnyapun terasa sangat nyeri
sebab giginya yang copot terpaksa itu Mulutnya itu masih belepotan
darah. Karena darah itu dia mirip hantu. Tepat waktu itu, tampak Cit
kiam Cu lari mendatangi.
"Lapor" serunya, selekasnya dia datang dekat kepada
pemimpinnya. "Dibelakang gunung ini ada sebuah gua batu, tak
dapat kami menyerbunya, karena itu aku datang untuk meminta
petunjuk" Mata Bun Koan terbuka lebar. cepat luar biasa ia menotok So
Keng. "Cie In Han Giok" ia memanggil.
Dua orang perempuan dengan pakaian abu abu muncul dengan
segera. "Hambamu disini, nona" berkata mereka, yang menghampiri
nonanya itu. Keduanya menjura dalam.
Dengan mata tajam nona Coh mengawasi kedua nona itu lalu
dengan suara dingin, ia berkata : "Ini perempuan bersama Teng So
Keng aku serahkan kepada kamu ingat, jikalau kau alpa
menjaganya, kamu mesti datang kepadaku dengan kamu
menenteng kepalamu"
"Baik nona" sahut kedua hamba itu tanpa menghiraukan
ancaman hebat itu. Mereka toh diperintah menenteng kepala
mereka sendiri. Bun Koan segera menoleh kepada Cit kiamcu.
"Jalan" perintahnya, sedangkan tangannya diulapkan
Cit Kiamcu menerima perintah itu, segera dia memutar tubuh,
buat berlari pergi.
"Mari" Bun Koan mengajak kawan kawannya seraya ia
mendahului bergerak menyusul kiamcunya itu.
Su Kay memandang kearah mana cit kiamcu lari pergi itu. Ia tahu
itulah arah belakang puncak Siauw Sit san- Didalam hati terkejut.
"Aneh" pikirnya "Disitu toh tak ada tempat sembunyi it Tie pasti
ketahui baik gunung ini, kenapa ia sembunyi dibelakang gunung?"
Pendeta ini berpikir demikian karena ia menerka It Tie mungkin
bersembunyi dalam gua.
cepat sekali orang telah melintas wihara Bin Pek Am. Lewat
belum jauh, dari situ sudah terdengar suara berisik dari bentroknya
alat alat senjata berCampuran dengan CaCian dan bentak bentakanBun
Koan rupanya telah mendengar suara itu, ia percepat larinya
dengan satu lompatan, ia melewati dan mendahului cit kiamcu
untuk lari terus dengan pes at sekali. Siauw Pek semuapun segera
mempercepat larinya.
sElewatnya sebuah dinding gunung, disana terdengar suara
nyaring dari seorang wanita. Dia itu mencaci sembari tertawa
mengejek. Terdengar pula suaranya ini tegas dan terang "Mahluk
mahluk tak tahu mampus atau hidup. Lekas kamu titahkan Seng
Kiong Sin Kun datang menemui aku.Jika tidak, aku bunuh habis
kamu semua"
Menyusul perintah atau ancaman ini, terdengarlah jeritan aduh
dari seorang lelaki.
"Itulah suara nona Thio" seru Kho Kong.
"Nona Thio, siapakah?" tanya Bun Koan-
"Nona Thio Giok Yauw" sahut Siauw Pek. "Dialah nona gagah dari
Kim Too Bun"
Karena menerka kepada Giok Yauw itu, semua orang makin
mempercepat larinya.
Kira kira pertengahan gunung, dimana tampak tanah datar yang
berdinding batu gunung dan pada dinding itu kedapatan delapan
atau sembilan buah gua yang tinggi setinggi manusia. Diantara sinar
bintang bintang, ditanah air itu terlihat seorang tua yang rambutnya
kusut riap riapan, yang duduk numprah didepan salah satu gua,
sedang didepan gua, seorang nona tengah menempur serombongan
orang. Nona itu sendirian saja.
Selekasnya dia melihat pemandangan didepan matanya itu, Coh
Bun Koan menitahkan keenam kiamcu mengepalai masing masing
bawahannya untuk menyerbu kearah gua itu. Dilain pihak. Siauw
Pek segera berseru:
"Tahan itulah orang sendiri. Kakak lekas titahkan mereka
menghentikan penyerangan"
"Berhenti" sinona memerintahkan setelah ia melihat kelilingnya,
setelah mana, ia maju terus.
Melihat pemimpinnya itu, keenam kiamcu segera menitahkan
orang orangnya mengundurkan diri, maka disitu lalu terbuka sebuah
halaman besar. Dengan titah Bun Koan itu, berhentilah
pertempuran- Nona didepan itu, ialah Thio Giok Yauw segera melihat Siauw Pek
yang maju terus ketempat pertempuran itu.
"ooh bengcu" berseru nona Thio melihat ketuanya itu. ia lalu
memberi hormat. "Bengcu baik"
Siauw Pek mengangguk.
Thio Giok Yauw juga segera melihat Bun Koan, ia mengawasi
sejenak. lalu ia merangkap kedua tangannya memberi hormat
seraya menyapa. "Kiranya kakak Coh. Terimalah hormat adikmu"
Bun Koan membalas hormat.
"Nona gagah sekali" pujinya. Terus ia mengawasi slorang tua
didepan gua itu.
"Itulah Han in Taysu" Siauw Pek lekas lekas memberi keterangan
kepada kakaknya. Ialah ketua terdahulu Ngo Bie Pay ia berCacat
karena disiksa oleh Seng Kiong Sin Kun yang kejam"
Bun Koan melihat muka pendeta itu rusak dan kedua kakinya
buntung, tahulah ia bahwa Siauw Pek tidak mendustainya. Maka ia
maju, akan memberi hormat kepada pendeta itu seraya hatur maaf.
Han In Taysu membalas hormat, sesudah mana, ia menoleh pada
Siauw Pek. "oh bengcu. Kenapa bengcu bisa tiba disini?"
"Kami datang kemari untuk mencari It Tie,"jawab Siauw Pek.
"Menurut terkaan kakakku ini, ketua Siauw Lim Sie itu mesti
bersembunyi disini, sebab dia tentunya belum meninggalkan Slong
San" Mendengar itu, kedua mata Han In bersinar terang terus dia
tertawa. "Dasar orang gagah, pandangnya sama" katanya. "Nona Hoan
juga menerka serupa. Mereka berada didalam gua."
Su Kay Taysu mendelong mengawasi gua yang ditunjuk itu. la
berpiklr. "SEingat loolap, disini tak ada gua..." katanya.
Han In Taysu menunjuk pada tumpukan rumput, batu dan tanah
disini mulut gua.
"Mulanya memang sukar mencari gua ini," bilangnya. "Gua telah
tertutup batu batu besar tertutupnya sudah buat banyak bulan dan
tahun, telah penuh tumbuh rumput, hingga dari luar tak nampak
pertanda apa juga. Kecuali orang yang cerdik panda iseperti nona
Hoan, walaupun delapan atau sepuluh tahun lamanya orang
mencari, tak nanti dia dapat menemukan inilah semacam gua
rahasia" Tiba tiba dari dalam gua itu terdengar suara nona Hoan : "Taysu,
jangan terlalu memuji. Kami gagal"
Menyusul kata kata itu, Soat Kun tampak bertundak keluar
dengan sebelah tangannya dibahu Soat Gie, adiknya. Mereka
berjalan dengan perlahan- Dibelakang mereka menyusul Oey Ho Ciu
ceng sijenjang kuning. tangan kanannya mengangkat tinggi
sebatang obor, tangan kirinya mengangkat tongkat pat poo sian thung serta
jubahnya seorang pendeta. Segera dia mendahului kedua nona.
Han In Taysu yang bercokol dimulut gua sekali, telah menggeser
tubuh kesisi, membuka jalan buat nona nona itu.
SElekasnya berada diluar gua, Soat Kun menghadapi Siauw Pek,
sang ketua, untuk memberi hormat seraya mengucapkan kata kata
bahwa ia datang menghadap. Tentu saja adiknyalah yang mengisiki
diarah mana berdirinya ketua mereka itu. cepat Cepat Siauw Pek
membalas hormat. "Nona banyak Capai" ia menghibur.
Soat Gie dan Ciu ceng turut memberi hormat kepada ketua itu.
Lega hati Siauw Pek melihat Ciu ceng sudah sembuh seluruhnya,
bahkan sikapnya gagah, sedang kata katanya barusan selagi
menghormati ketuanya tenang dan tegas. Itulah bukti bahwa dia
telah bebas seluruhnya dari pengaruh kekangan Seng Kiong Sin
Kun, si Raja Sakti dari Istana Nabi...
SEgera anak muda ini berkata kepada Bun Koan kakaknya,
sambil menunjuk kedua nona Hoan : "Kakaknya, inilah kedua nona
Hoan Soat Kun dan Hoan Soat Gie, puteri puterinya almarhum Hoan
Tiong Beng..."
Bun Koan tertawa, ia menyela adiknya itu dengan berkata.
"Selama aku hidup terlunta lunta, pernah aku bertemu dengan
kedua saudara Hoan ini"
"Apakah disana Nona Coh Bun Koan ya, kakak Coh?" bertanya
Soat Kun. "Benar, inilah aku" jawab Bun Koan, tertawa. "Aku girang adik,
setelah berpisah beberapa tahun, hari ini aku nampak kau sehat
walafiat melebihi dahulu hari. Hendak aku memberi selamat
padamu" Soat Kun tersenyum.
"Kakaklah yang harus diberi selamat" ujarnya. "Kakak tidak
kurang suatu apa dan bahkan telah bertemu dengan saudaramu.
Sungguh aku girang"
Sejenak itu, Bun Koan menghela napas. Lalu ia berkata pula.
"Dahulu hari itu, jikalau tidak ada adik berdua yang memberi
petunjuk kepadaku, mungkin tubuhku telah menjadi kerangka yang
tersia sia ditanah belukar, mana dapat aku hidup sampai sekarang
ini" Juga adik berdua telah menunjang adikku ini. Adik, kau melepas
budi bukan main besarnya,aku bersyukur tak habisnya"
"Jangan bersyukur kakak. jangan menghaturkan terima kasih,"
berkata nona Hoan merendah. "Aku berbuat apa yang seharusnya
saja." Tiba tiba su Kay taysu menyela. "Nona Hoan, tongkat ditangan
Ciu Siecu itu mirip tongkat yang biasa digunakan It Tie..." Soat Kun
mengangguk. "Benar, itu benar tongkatnya It Tie" sahutnya. Setelah itu ia
berpaling kepada Ciu ceng. Walaupun kedua matanya tak melihat,
nona ini dapat berpaling kepada siapa dia suka.
Ciu ceng sangat mengagumi dan menghormati nona itu, begitu
dia melihat si nona menoleh kepadanya, ia sudah dapat menerka
maksud orang, maka segera ia bertindak menghampiri Su Kay
Taysu. "Inilah senjata It Tie, sebaiknya taysu yang menyimpannya,"
katanya kepada tiangloo
Dari Siauw Lim Sie itu. Ia mengangsurkan tongkat patpo
sianthung dengan sikap menghormat. Su Kay membalas hormat.
"Terima kasih Siecu" katanya, seraya menyambut tongkat itu.
Biarpun tongkat itu tongkat It Tie, ia bersikap menghormati. It Tie
pula pernah satu kali menjadi ketuanya.
"Pat poo sian-tung" berarti tongkat suci dengan delapan mustika.
Itulah sebab tongkat itu terbuat dari besi pilihan bercampur emas
merah, hingga nampaknya berkilauan, sedang pembuatannya indah
sekali. Itu pula tongkat ketua Siauw Lim Sie atau Siauw Lim Pay,
yang tak biasa ditunjukkan pada orang luar.
Su Kay Taysu berdiam mengawasi tongkat partainya itu.
Tongkatnya ada, orangnya tiada. Maka sejenak itu rupa rupa
perasaan memenuhi otaknya. Kemudian ia mengawasi jubah
pendeta ditangan Ciu ceng. Hendak menanyakan halnya jubah itu
tetapi ia batal sendirinya. Ia berada didepan banyak orang, tak
dapat ia membuka mulutnya....
Didalam rombongan itu cuma Siauw Pke seorang yang tetap
menghargai Su Kay. Ia melihat roman sang pendeta, ia dapat
menerka hati orang. Maka ia mengawasi Ciu ceng dan bertanya :
"Saudara Ciu, jubah ditangan saudara itu milik siapakah?"
"Jubah ini serta tongkat itu sama sama terdapat didalam gua,
terletak sia sia" sahut Oey Ho siJenjang Kuning. "Nona Hoan
menerka kepada miliknya It Tie, tetapi ia belum berani
memastikannya. Karena mungkin nona masih hendak memeriksa
terlebih jauh, barusan aku menjemput dan membawanya sekalian."
"Sungguh dia dapat menjadi pembantuku yang berharga," pikir
Siauw Pek. Ia melihat Ciu ceng teliti.
Sementara itu orang she Ciu itu meletakkan jubah ditanah untuk
dibeber, untuk dilihat tegas oleh semua orang. Su Kay menghampiri,
untuk memeriksa.
"Tak keliru terkaan nona Hoan" katanya nyaring. "Ini memang
jubah It Tie."
Mendengar begitu, Bun Koan mementang kedua tangannya.
"Tak salah lagi, pasti sudah It Tie telah melakukan penyamaran"
serunya. "Dia telah menukar dandanan, ini menambah kesulitan kita
mencarinya"
"Tak salah, inilah jubah It Tie" Su Kay memastikan. "Pada ujung
jubah ada tandanya, tanda dari pendeta tukang Cuci."
"Nona Hoan, apakah yang nona pikir mengenai sepak terjang it
Tie ini?" "It Tie kabur meninggalkan Siauw Lim Sie." berkata Soat Kun,
"itu artinya dia berkhianat kepada partainya dan memberontak
untuk pergi kepada Seng Kiong Sin Kun kepada siapa dia hendak
menyerahkan kitab kitab pUsaka, akan tetapi mendadak rupanya dia
merubah pikirannya, dia hendak berkhianat jUga terhadap Seng
Kiong Sin Kun, maka ditengah jalan dia memisahkan diri dari
sekalian pengikutnya, kemudian dia kembali dan pergi ke gua ini
untuk menukar pakaian menyalin diri, untuk selanjutnya dia buron
sendiri saja. Teranglah sudah bahwa dia hendak mengangkangi
sendiri sembilan belas kitab pusaka itu."
Bun Koan mengangguk.
"Akupun menerka demikian" katanya.
MEndengar kata kata kedua nona. Su Kay Taysu berpikir "Seng
Kiong Sin Kun jauh terlebih liehay dari pada It Tie, daripada kitab
kitab pusaka itu terjatuh kepada Sin Kun, lebih baiklah dimiliki It Tie,
sedangkan untuk mencarinya ada terlebih mudah."
Oleh karena mendapat pikiran begini, tanpa merasa wajah
pendeta ini menjadi tak suram seperti tadi tadinya. Ia mendapat
harapan dan karena menjadi sedikit terhibur, sedikit girang.
"Hanyalah" Nona Hoan berkata pula, "mungkin masih ada satu
hal yang membuat orang tak mengerti, tak mencurigai."
"Apakah itu nona?" tanya Siauw Pek. "Bersediakah nona
menerangkannya?" Bun Koan juga menanyakan demikian-
"Didalam gua itu kedapatan mayat seorang pendeta muda" sahut
nona Hoan "Sedangkan pada dinding gua, ada bekas bekas dari
suatu pertarungan seru. Mungkin saat It Tie nyamar itu ada orang
yang memergoki dan menyerangnya dan orang itu pasti liehay
sekali. Tak dapat dipastikan siapa yang menang dan siapa yang


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalah dan bagaimana kesudahannya pertempuran dahsyat itu. Sulit
untuk menerkanya..."
"Rupanya ada orang yang menerka sebagai kita hanya dialah
terlebih sebat" kata Bun Koan dingin-Soat Kun tersenyum.
"Itulah sebab mengapa aku beranggapan bahwa kali ini kita
sudah kalah," bilangnya.
"Tapi siapakah orang itu?" tanya Siauw Pek. "Mungkinkah dia
Seng Kiong Sin Kun?"
"Jikalau dia benar Seng Kiong sin Kun, tak dapat tidak kita mesti
mengaguminya" berkata pula nona Hoan-
Tiba tiba Su Kay Taysu berkat bersemangat: "Ciu Siecu, tolong
pinjamkan obor padaku" Ciu ceng menyerahkan obornya.
Dengan mencekal alat penerangan itu, Su Kay lari masuk
kedalam gua. "Kakak Coh, bengcu," Soat kun tanya, "apakah kakak dan bengcu
tak mau masuk kegua untuk memeriksanya?" Bun Koan tertawa.
"Nona telah melihatnya, pasti tak ada yang terlewat" sahutnya.
Sekonyong konyong wajah Soat Gie berubah, cepat sekali dia
mencekal tangan kiri Soat Kun kakaknya. Itulah suatu cara bicara
diantara kedua saudara itu, yang orang lain tak tahu artinya.
Soat Kun lantas menoleh memandang kepada Han Giok.
"Siapa kah itu yang nona pondong?" ia tanya.
Bun Koan lekas mewakili orangnya menjawab. "inilah pelayanku
yang bernama Han Giok. Wanita yang dia pondong bernama Teng
So Keng, salah satu Hoa Siang."
"Wanita itu telah mati, kenapa mayatnya tak ditinggalkan?" Soat
Kun bertanya pula.
Bun Koan tercengang, ia lalu menoleh. Ia melihat kedua mata So
Keng separuh meram dan mulutnya separuh tertutup, tubuhnya
lemah lunglai, tanda bahwa jiwanya benar sudah melayang.
Han Giok dan Cie in kaget sekali. Mereka yang bertanggung
jawab terhadap tawanan itu. Saking bingungnya, air mata mereka
lantas meleleh keluar.
Bukan main gusarnya Bun Koan, hingga kedua tangannya
melayang kemuka kedua pelayan itu. Kedua pelayan itu, dengan
muka pucat berdiam saja. Mereka tidak menangkis dan berkelit.
Cepat luar biasa Siauw Pek maju menghadang didepan kedua
pelayan itu. "Maafkan mereka kakak" katanya tersenyum. "Menurut aku ini
bukan kesalahan mereka berdua..."
Soat Kun juga berkata: "Menurut kata Soat Gie, adikku. so Keng
itu mati disebabkan kumatnya lukanya yang lama."
Suara nona Hoan perlahan dan tenang. Bun Koan masih saja
gusar. "orang mati didalam pondongannya mereka tak tahu" demikian
katanya sengit. " orang demikian sembarangan, apakah yang dapat
mereka lakukan. Buat apakah mereka hidup lebih lama?"
Siauw Pek sabar sekali. Dia tertawa dan berkata : "So Keng mati
belum lama. Aku berada dekat mereka, aku juga tak tahu dia telah
mati. Karena itu, mereka tak dapat sesalkan-"
Terus ia menoleh kepada kedua pelayan itu : "Mayat itu sudah
tak perlu lagi, pergilah kamu bawa pergi"
Han Giok berlalu dengan memondong mayat So Keng, ia
meletakkannya sedikit jauh, setelah kembali, bersama sama Cie In
ia mengasih hormat kepada nonanya seraya mengucap terima kasih
yang mereka telah diberi ampun. Mereka juga sangat bersyukur
kepada Siauw Pek, orang yang menolong jiwa mereka.
Ketika itu terlihat Su Kay Taysu keluar dari dalam gua, wajahnya
suram. "Apakah Taysu mendapatkan sesuatu?" Siauw Pek mendahului
bertanya. Pendeta Siauw Lim itu menghela napas.
"Yang mati itu Leng Kong," menjawab dia. "Dialah murid
tersayang dari It Tie."
"Apakah taysu telah memeriksa tubuhnya?" Siauw Pek tanya
pula. "Mungkinkah taysu mendapatkan sesuatu pertanda" "
"Leng Kong mati terkena pukulan tangan seorang laykee" sahut
Su Kay pula. "Itu bukan pukulan ilmu silat Siauw Lim Pay"
"Jikalau begitu, pastilah selagi It Tie merias diri melakukan
penyamaran, orang telah datang menyerangnya," Siauw Pek
mengutarakan terkaanya. Su Kay mengangguk.
"Selalu loolap menguatirkan kitab kitab pusaka itu terjatuh
kedalam tangan Seng Kiong Sin Kun," ia menjelaskan, "melihat
keadaan didepan mata ini, kekuatiran loolap itu menjadi bertambah
tambah..."
Bun Koan mendengar pembicaraan adiknya dengan pendeta itu,
ia lalu memikir sesuatu, maka segera ia menoleh kepada Soat Kun.
"Nona Hoan" sapanya.
"Ya, ada apakah kakak Coh?" Soat Kun bertanya. "ada apakah
pengajaran kakak"
"Nona berdua saudara Cerdas dan pintar sekali, aku sangat
kagum," kata Bun Koan-
Soat Kun tersenyum.
"Kakak memuji saja padaku" bilangnya.
Bun Koan tersenyum.
"Nona" tanyanya, "bagaimanakah anggapan nona tentang Seng
Kiong sin Kun" Sebenarn dia orang macam apakah?"
Alls Soat Kun berkenyit, kedua matanya terus dipejamkan. ia
berpikir. "Selama sepuluh tahun ini dunia Kang ouw telah dikacaukan
Seng Kiong Sin Kun" katanya setelah hening sejenak, "sebaliknya
dia sendiri bagaikan si naga sakti yang terbenam didalam kabut dan
mega. tak nampak kepala dan ekornya."
"Demikianiah adanya" Bun Koan membenarkan- "Memang hebat
tindak tanduk Seng Kiong sin Kun. Dia menyebabkan Pek Ho Po
musnah, sekarang dia membuat Siauw Lim Sie hampir jungkir balik
seluruhnya. Lihat Han in Taysu ini, ia tersiksa lahir dan batin,
sampai mempunyai rumah tetapi tak dapat pula ng kerumahnya itu.
Toh sampai didetik ini, si Raja sakti belum tampak roman wajahnya.
Sebenarnya dia laki laki atau wanita, dia tua atau muda"
Bagaimanakah kepandaian silatnya" Dia dari partai apakah" Kami
bersaudara, rumah tangga kami hancur, keluarga kami mati dan
berantakan, kami sendiri sekarang mesti terlunta lunta dalam
perantauan Bagi kami tak jelas bagaimana macam musuh kami itu.
Tidakkah itu memalukan?" Soat Kun menghela napas perlahan"
Sekarang ini kita cuma dapat menerka nerka" katanya sabar.
"Pertama tama sin Kun adalah seorang yang banyak sekali akalnya."
"Nona benar," Su kay taysu turut bicara. "Seng Kiong Sin Kun
pandai sekali mencari tahu urusan dalam dari orang lain, dia pandai
menempatkan mata mata, guna mengacaukan keadaan dalam dari
pihak yang dia tak sukai atau yang hendak diruntuhkannya. Dengan
kelicikannya dia pakai tenaga orang lain tenaga musuh untuk
merobohkan musuhnya oleh karena itu, kita cuma bisa melawan ia
dengan kecerdasan juga..." Nona Hoan mengangguk.
"Tadi tadinya mungkin Sin Kun tidak pandai ilmu silat" katanya
"Hanya sekarang baru lewat beberapa tahun, dia rupanya menjadi
liehay sekali..."
"Mungkin nona benar" Han In Taysu turut bicara. "Buktinya ialah
pengalamanku yang pahit getir ini...."
Mendengar suara pendeta ketua terdahulu dari Ngo Bie Pay itu,
semua orang berpaling kepadanya. Kasihan si pendeta tua, yang
sekarang memiliki tubuh dan rupa tak keruan macam....
Han In Taysu menghela napas dua kali dalam dalam, itu
pertanda bahwa hatinya bergolak.
"Setelah peristiwa hebat dan menyedihkan dipuncak Yan in Hong
itu" berkata ia pula, "loolap telah terjatuh didalam tangan Seng
Kiong Sin Kun. Dia menyiksa loolap dengan segala macam tangan
jahat, maksudnya yang utama ialah memaksa loolap membeber
kepadanya segala macam ilmu silat istimewa dari Ngo Bie Pay.
Kalau dia memang sudah liehay sejak semula, tak nanti dia ingin
sekali memperoleh ilmu silat Ngo Bie Pay".
"Itulah peristiwa delapan atau sembilan tahun yang telah
lampau," berkata Ban Liang. "Dahulu itu dia sudah sangat cerdik
dan liehay, sekarang ini tentu dia bertambah liehay, bahkan liehay
luar biasa. Karena itu tak dapat memandang ringan terhadapnya."
Ban Liang bicara dari hal yang benar, orang rata rata
menganggukkan kepalanya.
"Taysu" tanya Bun Koan terhadap Han in Taysu kepada siapa ia
berpaling, "taysu telah melihat Sin Kun beberapa kali, apakah taysu
ingat dan mengenalinya?"
"Selama loolap dikurung dan disiksa. Loolap telah bertemu
dengannya delapan atau sembilan kali" menyahut Han in "akan
tetapi setiap kali loolap berhadapan dengannya, dia selalu menyalin
rupa dan usia bahkan lagu suaranya juga berbeda. Adakalanya dia
tampak bagaikan imam tua, ada kalanya dia tampak bagaikan imam
tua, ad akalanya pula seperti pemuda pelajar yang tampan, hingga
sangat sulit untuk mengenali diri dia yang sebenarnya."
"Dengan demikian teranglah dia pasti menyamar" kata Bun Koan
tawar. "oleh karena itu taysu, kenapa taysu mau percaya merekalah
satu orang ialah dialah Seng Kiong Sin Kun sendiri" Tak dapatkan ia
memakai lain orang sebagai penggantinya, orang dalam
penyamaran?"
"TEpat pertanyaan nona." berkata Han In- Lalu dia berdiam
sejenak. Ketika pada lain saat dia melanjutkan, dia balik bertanya.
"Nona, apakah nona pernah memikirkan sesuatu" Tubuh orang,
rambut dan kulitnya dapat diubah, akan tetapi toh ada satu bagian
dari anggotanya yang sukar, ya, yang tak dapat diubah sama sekali"
Bun Koan berdiam untuk berpikir. Ia bisa menerka apa yang
dimaksud pendeta itu. Ia berdiam terus, menantikan orang bicara
lebih jauh. Han in berdiam hanya sejenak.
"Nona beramai pasti ketahui bahwa sinar mata orang tak dapat
disamarkan." katanya melanjutkan- "Pada mata Seng Kiong Sin Kun
ada suatu sinar kelobaan, kelicikan dan kekejaman, yang tak mudah
dilupakan- Sinar mata itu tak pernah berubah. Pertama kali loolap
berhadapan dengannya, loolap telah melihat sinar mata itu yang
membuat loolap mendapat kesan yang tak dapat dilupakan-"
Kembali ketua Ngo Bie Pay itu menarik napas dalam dalam,
untuk melegakan hatinya.
"Ketika pertama kali jahanam itu memaksa loolap membuka
rahasia ilmu silat istimewa dari partaiku dan menolak dengan keras,
dengan segera saja dengan kejam dia membacok kutung sebelah
kakiku kaki yang kanan" berkata pula Han In Taysu, "Nah, nona
beramai boleh pikir, sakit demikian besar, mana dapat loolap
melupakannya" Tatkala itu loolap melihat tegas bagaimana sinar
matanya memain sinar mata dari kekejaman. SEkarangpun dapat
loolap membayangkannya."
"Maka itu selanjutnya, taysu mengenali dia dari sinar matanya
itu?" tanya Bun Koan-
"Ya, setiap kali loolap dihadapkan untuk dipaksa, setiap kali dia
menganiaya loolap. setelah kakiku lalu telinga dan mukaku.
Sekarang beg inilah keadaan tubuh ragaku" Siauw Pek menoleh
kepada kakaknya.
"Teng So Seng membilangi kita bahwa Seng Kiong Sin Kun terdiri
dari tiga orang" kata ia, "katanya Sin Kun pria dan wanita, karena
Seruling Samber Nyawa 12 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Kisah Sepasang Rajawali 10
^