Pedang Naga Kemala 3

Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Lima orang itu adalah orang-orang kang-ouw yang cukup maklum bahwa orang seperti
kakek tua ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan dan sangat boleh jadi sekali kakek ini adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai walaupun tak seorang di antara mereka merasa
pernah mengenalnya. Tidak ada pula ciri-ciri yang mengingatkan mereka akan seorang datuk
persilatan, baik dari para pendekar maupun kaum sesat. Karena itu, mereka tidak berani
sembarangan mengganggu kakek itu. Akan tetapi, karena mereka ingin sekali memiliki Giok-
liong-kiam dank arena mereka melihat sendiri betapa pedang pusaka itu tadi melayang ke arah
sini, tetap saja terdapat kecurigaan besar dalam hati mereka bahwa tentu kakek ini yang main-
main tadi, mempergunakan semacam ilmu yang amat luar biasa. Yang membuat mereka ragu-
ragu adalah karena mereka tidak melihat Giok-liong-kiam di situ. Entah kalau disembunyikan di balik jubah kuning yang longgar itu, demikian mereka menduga-duga dan lima pasang mata
menunjukkan pandangannya dengan penuh selidik ke arah jubah kuning yang menutupi tubuh si
kakek gendut. Lui Siok Ek yang merasa paling berhak atas pusaka itu, pusaka Thian-te-pai yang hilang
dicuri orang setengah tahun yang lalu, memberanikan hatinya dan diapun melangkah maju. Akan
tetapi begitu dia melangkah maju, empat orang lainnyapun ikut pula melangkah maju,
sejengkalpun tidak membiarkan tokoh Thian-te-pai itu lebih dekat dengan kakek itu dari mereka !
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
60 Lui Siok Ek tidak perduli dan diapun menjura dengan sikap hormat kepada kakek gundul yang
masih duduk bersila sambil memejamkan mata itu.
"Harap locianpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan. Saya Lui Siok Ek ?"". " tiba-
tiba saja tokoh Thian-te-pai itu menghentikan kata-katanya karena mendadak kakek itu membuka
kedua matanya dan sepasang mata itu mengeluarkan cahaya begitu mencorong membuat dia
tertegun. "Ha " ha " ha !" Tiba-tiba hwesio gendut itu tertawa bergelak-gelak dan seluruh
tubuhnya yang gendut itu berguncang. Suara ketawanya sambung-menyambung dan semua
orang yang berada di situ terkejut bukan main dan cepat-cepat mereka mengerahkan tenaga
dalam untuk mempertahankan diri karena suara ketawa itu mengandung tenaga khikang yang
membuat isi perut mereka terguncang pula ! Hwesio itu menghentikan suara ketawanya, sejenak
memandang kepada mereka bergantian seolah-olah diapun merasa agak heran melihat betapa
lima orang itu kuat menghadapi suara ketawanya. Lalu dia memandang pula kepada Lui Siok Ek
dan berkata, suaranya parau, "Engkau tentu seorang murid Thian-te-pai, ada keperluan apakah
kalian mengganggu tidurku ?"
Lui Siok Ek cepat menjura. "Harap locianpwe sudi memaafkan saya. Saya kehilangan
pusaka perkumpulan kami yang disebut Giok-liong-kiam dan tadi pusaka itu melayang ke arah
sini. Kalau locianpwe mengetahui, mohon dapat memberi petunjuk agar saya dapat
membawanya kembali ke perkumpulan kami."
"Ha " ha " ha "ha ............ !" Kembali kakek gendut itu tertawa dan sekali ini suara
ketawanya lebih hebat dari pada tadi. Agaknya dia telah menambah khikang dalam suara
ketawanya. Dan lima orang itu merasa betapa kaki mereka gemetar dan isi perut mereka
terguncang hebat ! Mau tidak mau mereka terpaksa segera menjatuhkan diri bersila dan
mengerahkan sinkang untuk melindungi diri mereka karena kalau dilanjutkan tanpa pertahanan
sinkang, tentu mereka akan dapat menderita luka dalam oleh serangan suara itu ! Suara ketawa itu susul-menyusul bagaikan gelombang, semakin lama semakin hebat ! Lima orang itu kini
memejamkan kedua mata, memusatkan seluruh kekuatan sinkang mereka untuk menahan
gelombang suara yang seolah-olah menembus telinga mereka dan menusuk-nusuk jantung
mereka. Tubuh mereka tergetar hebat dan keringat sebesar kedele mulai membasahi muka dan
leher mereka. Mereka terkejut dan gelisah sekali. Mereka seperti terperosok ke dalam jurang yang berbahaya. Untuk keluar tidak mungkin karena sudah terlanjur. Menghentikan sebentar saja pemusatan sinkang mereka, tentu mereka akan terluka. Melanjutkanpun sampai kapan "
Mereka sudah hampir tidak kuat dan terpaksa mereka menahan napas untuk membantu kekuatan
mereka. Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan lima orang itu terseret oleh perobahan tiba-
tiba ini dan tanpa dapat bertahan lagi, kelimanya lalu muntah darah segar ! Mereka semua
menderita luka dalam tubuh, walaupun tidak berbahaya sekali namun cukup membuat mereka
terkejut dan maklum bahwa kakek ini tidak berniat baik terhadap mereka. Begitu membuka
mata, mereka lalu bangkit dan melangkah mundur untuk mengatur jarak agar tidak terlampau
dekat dan agar mereka dapat berjaga diri.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
61 Dengan mulut masih menyeringai lebar, kakek itu lalu berkata, "Omitohud .......... !
manusia saling bermusuhan hanya untuk memperebutkan benda mati ! Mana mungkin
kehidupan ini menjadi aman tenteram dan penuh kedamaian kalau manusia saling hantam hanya
untuk memperebutkan benda mati " Ha " ha " ha" Kini lima orang itu sudah siap untuk berjaga diri, akan tetapi suara ketawanya sekali ini tidak mengandung tenaga khikang yang menyerang.
Akan tetapi, melihat wajah gundul yang tertawa-tawa dan menyeringai lebar itu, melihat jubah
kuning dan kepala gundul yang menunjukkan bahwa kakek itu seorang hwesio, lima orang itu
lalu teringat akan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang namanya amat terkenal akan tetapi menurut kabar tidak pernah keluar dari dalam kamarnya di mana dia bersamadhi dan bertapa sampai
belasan tahun lamanya ! Hwesio tokoh Siau-lim-pai itupun hanya dikenal julukannya saja, yaitu Siauw-bin-hud (Buddha Bermuka Tertawa) !
Kam Hong Tek, pendekar selatan yang pernah selama beberapa tahun berguru kepada
seorang hwesio Siauw-lim-pai perantau, memberanikan diri untuk maju memberi hormat dan
bertanya, "Harap locianpwe sudi memaafkan kelancangan saya. Apakah saya yang bodoh
berhadapan dengan locianpwe Siauw-bin-hud ?"
Mendengar ini, empat orang lain memandang tajam penuh perhatian, akan tetapi juga
merasa gentar karena mereka semua sudah mendengar bahwa pertapa yang disebut Siauw-bin-
hud adalah seorang locianpwe yang amat tinggi ilmu kepandaiannya dan merupakan angkatan tua
yang dihormati.
Kembali kakek itu tertawa, ketawa biasa tanpa pengerahan khikang yang menyerang
seperti tadi. Karena mulutnya lebar, maka ketawanya yang menyeringai itu membuat mukanya
seperti terbelah dua atau retak lebar di tengah-tengah. "Ha " ha " ha, dan engkau yang
berpakaian putih ini apakah bukan bernama Kam Hong Tek ?"
Kam Hong Tek terkejut, akan tetapi kekagetannya disusul oleh rasa kaget mereka semua
ketika kakek itu melanjutkan, "Dan nona tentulah yang bernama Theng Ci murid kepala Ang-
hong-pai, bukan " Dan engkau yang tampan ini siapa lagi kalau bukan Pek-bin Tiat-ciang "
Dan engkau yang tinggi besar dan gagah ini, pinceng kira tentu seorang perwira pengawal istana yang menyamar. Bukankah engkau yang bernama Tang Kui ?"
Tentu saja semua orang terkejut. Kakek ini selain memiliki khikang yang luar biasa
kuatnya, ternyata memiliki pula pemandangan yang amat luas sehingga begitu berjumpa sudah
dapat mengenal mereka semua ! Padahal, kakek ini dikabarkan selalu menyenbunyikan diri
dalam sebuah ruang pertapaan di kuil Siauw-lim-si ! Apakah kakek ini memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia "
Tang Kui yang menjadi besar hatinya karena kakek itu mengenalnya sebagai seorang
komandan pengawal istana, hendak mempergunakan kedudukannya dan kewibawaan kaisar
untuk mencari keuntungan. Dia menjura dengan sikap gagah seorang perwira tinggi tulen kepada kakek itu.
"Locianpwe sungguh bijaksana dapat mengenal saya dalam penyamaran. Saya yakin
locianpwe mempunyai kebijaksanaan pula untuk mengingat bahwa saya adalah seorang utusan sri
baginda kaisar untuk mencari dan membawa pusaka Giok-liong-kiam ke istana."
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
62 Kembali kakek itu tertawa. "Ha " ha " ha, Tang-ciangkun. Apa hubungannya tugasmu
dengan pinceng (aku) ?"
"Maaf, locianpwe. Karena tadi saya melihat Giok-liong-kiam melayang ke arah tempat
ini, saya mohon petunjuk locianpwe apakah locianpwe tahu di mana adanya pusaka itu."
"Kalian berlima siap untuk saling bunuh dalam memperebutkan Giok-liong-kiam ! Kalau
pinceng tidak tahu di mana adanya pusaka itu, tentu pinceng tidak dapat memberi tahu kalian.
Sebaliknya kalau pinceng tahu di mana, pinceng juga tidak dapat memberi tahu kalian karena
kalian tentu akan saling bunuh. Lebih baik pinceng simpan sendiri saja. Sudahlah, pinceng
sedang beristirahat dan tidak mau diganggu lagi. Kalian harap pergi dari sini !" Setelah berkata demikian, kakek itu kembali memejamkan kedua matanya dan merangkapkan kedua tangan di
depan dada seperti tadi, sedikitpun tidak bergerak lagi !
Lima orang itu menjadi ragu-ragu, bahkan saling pandang seperti hendak saling bertanya
dan minta pendapat, lupa bahwa mereka itu masing-masing pernah bermusuhan dan siap untuk
saling bunuh dalam memperebutkan Giok-liong-kiam ! Memang lucu dan aneh, akan tetapi
merupakan kenyataan yang dapat kita lihat sehari-hari dalam kehidupan di sekeliling kita betapa harta dapat mempermainkan kita manusia, akan tetapi juga dapat mempersatukan manusia
dengan manusia lain kalau memang kepentingan mereka bersama menguntungkan ! Maka
sesungguhnya bukanlah harta yang berkuasa dan mempermainkan manusia melainkan batin
sendiri yang dicengkeram oleh ke aku-an dan nafsu ingin memperoleh keuntungan bagi diri
sendiri sebesarnya,. Demi memperoleh keuntungan untuk diri sendiri inilah, kawan dapat
menjadi lawan dan sebaliknya, lawan dapat berubah menjadi kawan. Hal seperti ini menjadi
landasan dari setiap peristiwa antara manusia di dunia, bahkan dapat meluas menjadi antar
kelompok dan antar bangsa dan Negara ! Saling memperebutkan keuntungan inilah yang
menyebabkan terjadinya perang antara dua bangsa yang bersahabat, sebaliknya dapat
menyebabkan terjadinya persahabatan antara kedua bangsa yang tadinya bermusuhan.
Kita tinggal membuka mata melihat saja semua ini terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam
batin kita sendiripun demikian karena keadaan dunia tidaklah berbeda dari keadaan di dalam
batin kita sendiri. Dari batin manusia peroranganlah tercetusnya konflik yang dapat melebar dan meluas menjadi konflik antara manusia dan konflik antara bangsa.
Lima orang itu hampir merasa yakin kini bahwa Giok-liong-kiam tentu berada di tangan
kakek ini, mungkin disembunyikan di balik jubahnya yang lebar dan longgar. Akan tetapi,
mereka tidak berani bertanya lagi dan pula, apa yang dapat mereka lakukan terhadap kakek ini "
Baru diserang oleh suara ketawa saja, mereka sudah muntah darah dan sampai sekarangpun dada
mereka masih terasa nyeri. Kalau kini mereka mempergunakan kekerasan untuk memaksa kakek
itu mengaku dan menyerahkan Giok-liong-kiam, sama saja dengan mati konyol atau bunuh diri.
"Sudahlah !" teriak Tang Kui yang sudah meloncat mundur dan pergi dari situ. Empat
orang tokoh lain juga pergi dan isi hati mereka sama semua. Bagaimanapun juga, mereka kini
tahu dimana adanya Giok-liong-kiam, yaitu di tangan Siauw-bin-hud, tokoh Siauw-lim-pai yang
aneh itu ! Dan hal ini saja sudah dapat menghibur hati mereka karena mereka dapat melaporkan kepada atasan mereka, atau dapat menyusun kekuatan untuk kelak mencoba merampas pusaka
yang sudah mereka ketahui berada di mana.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
63 *** Akan tetapi, semenjak peristiwa itu terjadi, Giok-liong-kiam dianggap hilang oleh dunia
kang-ouw walaupun mereka tahu bahwa pedang itu berada di tangan Siauw-bin-hud dari Siauw-
lim-pai. Bahkan kaisar sendiri mendapat nasihat dari para penasihatnya agar tidak
mempergunakan kekerasan terhadap Siauw-lim-si hanya karena urusan pedang yang memang
tadinya bukan pusaka istana. Istana hanya mengutus serombongan pembesar untuk meminta
keterangan kepada Siauw-lim-si tentang pedang Giok-liong-kiam, dan ketua kuil memberi
jawaban dengan pasti bahwa Siauw-lim-pai tidak tahu sama sekali tentang Giok-liong-kiam, dan
bahwa selama puluhan tahun ini hwesio tua yang bernama Siauw-bin-hud tidak pernah
meninggalkan ruangan di mana dia mengurung diri dan bertapa! Tentu saja jawaban ini dianggap sebagai pengingkaran untuk tetap menguasai pedang pusaka itu, namun kaisar menghabiskan
urusan itu sampai di situ saja. Negara sudah menghadapi terlalu banyak pemberontakan, dan
urusan menghadapi orang-orang asing berkulit putih juga sudah mendatangkan banyak
kepusingan, maka sungguh amat merugikan kalau pemerintah harus bersikap kasar dan
memancing permusuhan baru dengan pihak Siauw-lim-pai.
Lui Siok Ek juga melapor kepada ketua Thian-te-pai yang merasa terkejut sekali
mendengar bahwa Giok-liong-kiam kini berada di tangan orang Siauw-lim-pai. Karena antara
Thian-te-pai dan Siauw-lim-pai tidak ada hubungan apa-apa, walaupun tidak pernah terjadi
permusuhan, maka ketua Thian-te-pai hanya mengirim murid-murid kepala untuk menyerahkan
surat kepada ketua Siauw-lim-pai, di mana dia bertanya dengan hormat apakah Siauw-lim-pai
mendengar atau tahu tentang di mana adanya Giok-liong-kiam, pusaka perkumpulan mereka
yang hilang dicuri orang setengah tahun yang lalu. Ketua Siauw-lim-pai menjawab bahwa
Siauw-lim-pai sungguh tidak tahu sama sekali dan kalau tahu tentu dengan senang hati membantu Thian-te-pai menemukan kembali pusakanya ! Jawaban ini membuat hati para tokoh Thian-te-pai mendongkol. Sudah jelas Siauw-bin-hud yang menguasai pusaka itu dan pihak Siauw-lim-si
masih pura-pura tidak tahu. Akan tetapi merekapun tidak dapat berbuat sesuatu karena tentu saja tidak mau menanam permusuhan dengan perkumpulan yang sekuat Siauw-lim-pai.
Biarpun tidak ada yang berani menuntut kepada Siauw-lim-pai, akan tetapi dari lima
orang itu tersiarlah berita di seluruh dunia kang-ouw bahwa Giok-liong-kiam yang diperebutkan itu kini berada di tangan Siauw-bin-hud tokoh Siauw-lim-pai.
Dan enam tahun lewat tanpa ada suatu peristiwa terjadi sehubungan dengan pedang
pusaka Giok-liong-kiam. Orang di dunia persilatan seolah-olah sudah melupakan peristiwa
perebutan Giok-liong-kiam itu. Dan memang perebutan pusaka itu hanya terjadi dan timbul
setelah tersiar kabar bahwa pusaka itu dicuri orang dari Thian-te-pai. Ketika pusaka itu masih menjadi pusaka Thian-te-pai, tidak ada orang atau golongan yang begitu gatal tangan untuk
mencoba merampasnya dari tangan Thian-te-pai, sebuah perkumpulan yang amat kuat, apa lagi
karena Thian-te-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah
penjajah Mancu dank arena itu dihormati oleh semua golongan. Kini, setelah pusaka itu berada di tangan Siauw-lim-pai, tentu saja orang menjadi semakin segan untuk mencoba merampasnya.
Akan tetapi, secara diam-diam tentu saja banyak orang yang masih menginginkan pusaka
itu, hanya tidak berani menyatakan secara berterang. Bahkan ada pihak-pihak yang menyusun
kekuatan dan bersikap hati-hati, tidak berani sembarangan turun tangan terhadap perkumpulan
seperti Siauw-lim-pai sebelum merasa yakin akan kekuatan sendiri.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
64 Enam tahun telah berlalu sejak pedang pusaka Giok-liong-kiam lenyap dan dunia kang-
ouw mengetahui bahwa pedang itu berada di tangan Siauw-bin-hud, seorang tokoh tua Siauw-
lim-pai. Selama enam tahun itu tidak pernah terjadi sesuatu di Siauw-lim-si, dan dunia kang-ouw seolah-olah melupakan pusaka itu, karena memang negara berada dalam kekacauan.
Pemberontakan-pemberontakan kecil berkobar di mana-mana, dan makin banyaklah rakyat
dikuasai asap madat. Bahkan madat mulai menyusup ke dalam gedung-gedung para pembesar
sehingga banyaklah pembesar mulai kecanduan. Makin banyak madat dimasukkan ke Tiongkok,
makin banyak pula kekayaan negara dikuras. Yang puas mengelus perut gendut karena
memperoleh untung yang luar biasa banyaknya adalah orang-orang kulit putih, terutama Bangsa
Inggeris, dan juga orang-orang India yang menyediakan madat itu.
Suatu pagi yang cerah. Kecerahan pagi itu terasa sekali nikmatnya di sebuah puncak
bukit kecil. Sinar matahari yang cerah menjadi semakin segar dan hangat karena sejuknya hawa udara yang jernih di bukit itu. Matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang agak kemerahan bercampur kuning menjadi keemasan. Masih lembut, belum keras panas seperti sinar di tengah
hari. Cahaya keemasan lembut itu memandikan seluruh permukaan bukit, rata dan tidak pilih
kasih. Cahaya yang indah itu menggugah bumi dari pada kelelapan malam gelap. Tanah
menguap tipis, hangat dan sedap baunya, menghalau kabut pagi yang agaknya masih bermalasan
untuk meninggalkan bumi yang sedap. Bunga-bunga yang sudah mekar menjadi berseri, masih
basah oleh embun, menerima cahaya matahari dengan penuh kebahagiaan. Embun yang tadinya
dingin menyelimuti kelopak-kelopak bunga, kini terasa menyegarkan dan indah bergantungan di
kelopak daun, berkilauan dan tersenyum-senyum. Daun-daun juga bangkit menghijau, segar dan
menyambut cahaya matahari pagi sebagai sesuatu yang baru, yang sama sekali terlepas dan tiada kaitannya dengan malam tadi, dengan siang kemarin. Rumput-rumput hijau juga berseri-seri,
pucuk-pucuk rumput kekuningan bersemi dan seperti anak-anak yang tiada mengenal susah,
bergembira menyambut dan memasuki hidup. Burung-burung berkicau bersuka ria, kegembiraan
yang spontan dan tidak dibuat-buat, lincah berloncatan dari dahan ke dahan, saling tegur dengan salam manis kepada teman-temannya, siap untuk bersama-sama menghadapi hari baru yang
cerah. Sukarlah menggambarkan keindahan pagi. Keindahan yang hanya dapat dinikmati
dengan penghayatan, dengan rasa, bukan untuk digambarkan atau diceritakan. Keindahan dan
kebahagiaan yang dapat dinikmati setiap orang manusia. Sayang seribu sayang, jarang sekali ada orang dapat lagi menikmati keindahan yang membahagiakan itu. Pikiran kita terlalu sibuk
dengan urusan lahiriah, mencari uang, menuntut ilmu, sosial, politik, agama, pengejaran
kesenangan, pelarian dari kesusahan dan sebagainya. Cobalah sekali-kali, makin sering semakin baik, kita melepaskan diri dari semua itu, kita tinggalkan semua itu agar batin kita kosong sama sekali dari pada segala macam konflik dan masalah kehidupan, lalu kita masuki pagi yang baru
ini, kita biarkan diri seperti sehelai rumput yang menikmati embun dan cahaya keemasan.
Pagi itu terasa amat sunyi di kuil Siauw-lim-si yang terletak di puncak bukit kecil itu.
Sunyi yang mengamankan hati, sunyi penuh keriangan dan kebahagiaan yang bukan timbul
karena senang akan sesuatu. Namun, sejak matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang
mendahuluinya, para hwesio di kuil itu sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pekerjaan yang merupakan tugas sehari-hari, pekerjaan yang diulang-ulang sehingga tidak ada artinya lagi bagi si pekerja. Menyapu pekarangan, memikul air, menyalakan api di dapur, membersihkan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
65 meja sembahyang, ataupun membaca liam-keng atau doa sambil mengetuk-ngetuk kayu. Semua
ini dilakukan seperti otomatis, tanpa gairah lagi, seperti kalau kita pergi ke kantor, ke sekolah, ke pasar atau sibuk di dapur. Dan tahu-tahu usia telah menjadi tua oleh pekerjaan yang telah
menjadi gerakan kebiasaan tanpa isi ini.
Dapatkah kita menikmati segala hal yang kita lakukan, termasuk pergi sekolah, belajar,
bekerja di kantor, berbelanja di pasar, masak di dapur, segala sesuatu itu " Dapatkah " Hal ini hanya kita sendiri yang mampu menyelidiki, mampu mempelajari dan mampu menjawabnya !
Mari kita mengguncang diri, seperti anjing kalau mengguncang tubuh mengeringkan diri dari air atau melemparkan kutu-kutu dari badan, mari kita melepaskan belenggu dari semua ikatan
kebiasaan itu ! Dan mari kita melakukan APA SAJA, ketika bekerja, ketika mandi, ketika
makan, ketika kita bicara, bahkan ketika kita termenung, apa saja yang kita lakukan, pernapasan kita, gerakan kaki tangan kita, GERAKAN PIKIRAN kita, mari kita lakukan semua gerakan lahir
batin itu dengan penuh KESADARAN, bukan gerakan robot atau otomatis, melainkan gerakan
dilakukan dengan penuh PENGAMATAN, dengan penuh kewaspadaan dan penuh kesadaran,
penuh perhatian. Mari kita buka mata dan lihat, kita amati setiap gerak badan dan batin KITA SENDIRI, dan mari hentikan mengamati orang lain. Kita MASUK dengan seluruh jiwa raga ke
dalam sesuatu yang kita lakukan ! Sejak bangun tidur sampai pulas, dan bahkan pengamatan itu masih hidup selagi kita tidur. Mau coba " Marilah !
Sudah menjadi kebiasaan para hwesio untuk bangun pagi-pagi sekali. Kebiasaan yang
amat baik karena hal ini menyehatkan badan dan pikiran. Kuil Siauw-lim-pai tidaklah sebesar
ratusan tahun yang lalu. Bentrokan-bentrokan dengan pemerintah, terutama pemerintah Kerajaan Mancu yang berkuasa, selama ratusan tahun membuat Siauw-lim-pai terpecah belah dan
mengalami kemunduran. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja Siauw-lim-si merupakan satu
di antara kuil-kuil terbesar di seluruh negeri. Dan Siauw-lim-pai, yaitu perkumpulan yang terdiri dari murid-murid Siauw-lim-si di bidang ilmu silat, tetap saja merupakan partai persilatan
terbesar. Haruslah diakui bahwa ilmu silat Siauw-lim-pai merupakan ilmu silat tertua, bahkan merupakan sumber dari hampir semua ilmu silat yang kemudian bertumbuhan dan bermunculan
di dunia persilatan. Ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat murni, yang diciptakan oleh orang-orang suci, oleh para cerdik pandai yang berbatin bersih. Ilmu silat yang diperkembangkan untuk keuletan badan, kebesaran jiwa dan ketenangan batin, yang dirangkai dengan ilmu batin yang
tinggi berdasarkan agama. Oleh karena aliran ini masih aseli maka cara berlatihnya juga amat berat. Bukan seperti ilmu-ilmu silat yang sengaja dipelajari dengan pamrih untuk berkelahi,
mudah dipelajari dan mudah dipraktekkan untuk perkelahian, namun sama sekali tidak ada
manfaatnya untuk kemajuan batin.
Tidak kurang dari limapuluh orang hwesio tinggal di kuil Siauw-lim-si yang besar dan
luas itu. Kuil itu memang amat luas dan merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikelilingi tembok tinggi. Dahulu, pernah di masa jayanya kuil ini menampung penghuni sebanyak hampir
duaratus orang.
Yang menjadi ketua bernama Thian He Hwesio, seorang kakek tinggi kurus yang usianya
enampuluh tahun lebih, dibantu oleh beberapa sute (adik seperguruan) yang bertugas sebagai
kepala bagian. Sebagai ketua, Thian He Hwesio hanya menangani pelajaran agama, mengepalai
upacara-upacara sembahyang dan menentukan peraturan-peraturan serta mengambil keputusan
akan segala masalah yang timbul di antara mereka. Para sute-sutenya adalah Thian Kong Hwesio Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
66 yang bertugas sebagai pelatih ilmu silat kepada para murid, Thian Tek Hwesio bertugas sebagai kepala rumah tangga, dan Thian Khi Hwesio bertugas mengatur semua urusan yang berhubungan
dengan luar kuil. Mereka semua ini adalah hwesio-hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi dan
nama mereka disegani di seluruh dunia persilatan, bukan hanya karena kepandaian mereka, akan
tetapi juga karena sepak terjang para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan juga karena
para hwesio ini tidak pernah mau mencampuri urusan di luar linkungan mereka sendiri.
Di pagi yang cerah itu, semua hwesio melaksanakan tugas masing-masing seperti biasa.
Hanya ada sedikit perobahan terjadi di dalam kuil itu dan setiap perobahan tentu disambut
dengan penuh kegembiraan oleh mereka. Kebiasaan yang dilakukan setiap hari tanpa ada
perobahan menimbulkan jemu. Akan tetapi sedikit perobahan itu hanya dianggap baru selama
dua tiga hari saja dan sesudah itupun tenggelam lagi dan hampir terlupa oleh mereka. Perobahan itu adalah keluarnya seorang kakek hwesio dari dalam ruangan pertapaannya di mana dia tinggal selama hampir duapuluh tahun. Hwesio ini adalah seorang hwesio gendut yang dikenal sebagai
Siauw-bin-hud !
Hwesio tua ini adalah paman guru dari Thian He Hwesio dan tiga orang sutenya yang
menjadi pimpinan kuil. Merupakan satu-satunya hwesio yang masih hidup dari tingkatannya.
Menurut perkiraan para ketua itu, tentu usia susiok (paman guru) mereka itu tidak kurang dari delapanpuluh tahun. Dapat dibayangkan betapa heran rasa hati mereka ketika pada suatu pagi,


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seminggu yang lalu, paman mereka itu tahu-tahu sudah duduk bersila di ruangan belakang dan
kepada hwesio yang bertugas di situ minta agar disediakan air hangat untuk mencuci muka dan
bubur untuk sarapan pagi. Mereka semua segera berkumpul dan memberi hormat kepada susiok
mereka. Kemudian Siauw-bin-hud ini memang mengejutkan sekali. Biasanya, para murid Siauw-
lim-pai hanya tahu bahwa di sebuah ruangan tertutup terdapat seorang hwesio tua yang duduk
bertapa. Ruangan ini terkunci dan tak seorangpun boleh memasukinya, kecuali petugas yang
setiap hari meninggalkan makanan dan air minum ke dalam ruangan itu. Yang kelihatan hanya
punggung kakek itu yang menghadap dinding.
Dan kini, setelah duapuluh tahun bertapa di dalam ruangan itu, Siauw-bin-hud keluar dari
tempat pertapaannya dan yang amat mengherankan, tubuhnya masih gendut bulat, padahal
makannya hanya sekedarnya saja. Dan senyumnya yang ramah itu masih tak pernah
meninggalkan mukanya yang bulat.
Tentu saja berita aneh ini bocor keluar dinding kuil, dari mulut para hwesio yang sedang
bertugas di luar dan bertemu dengan penduduk di luar kuil. Dan secara luar biasa sekali, berita tentang munculnya Siauw-bin-hud yang sudah duapuluh tahun bertapa itu dengan amat cepatnya
tersiar ke dunia kang-ouw.
Dan pada pagi hari itu, hanya sepekan kemudian, nampak beberapa orang datang menuju
ke kuil Siauw-lim-si, mendaki bukit dari berbagai jurusan. Seperti sudah dijanjikan lebih dulu saja, pada waktu yang bersamaan, di pekarangan luar pintu gerbang kuil Siauw-lim-si kini
berkumpul beberapa orang yang terdiri dari beberapa rombongan.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
67 Rombongan pertama adalah Nam San Losu, ketua kuil dekat puncak bukit mata air Si-
kiang atau yang dikenal pula dengan nama Sungai Mutiara. Kakek tinggi besar muka hitam ini
walaupun sudah berusia enampuluh enam tahun, masih dapat melakukan perjalanan cepat dan
dapat mendaki bukit menuju ke puncak kuil Siauw-lim-si tanpa banyak kesukaran. Dia ditemani
oleh seorang sutenya dan juga oleh seorang anak laki-laki berusia tigabelas tahun. Seorang anak laki-laki yang berpakaian sederhana seperti anak petani, wajahnya membayangkan kegagahan
dan keberanian, tubuhnya tegap dan sikapnya gagah. Terutama sekali sepasang mata yang tajam
itu, dengan hiasan alis yang tajam tebal, membuat anak ini walaupun sederhana dan seperti anak petani, namun nampak bukan anak sembarangan. Anak ini adalah Tan Ci Kong. Seperti kita
ketahui, enam tahun yang lalu Tan Ci Kong, putera tunggal mendiang Tan Seng atau Tan Siucai,
oleh paman angkatnya, Sie Kian yang tinggal di Nan-ning, diantar kepada Nam San Losu dan
diterima sebagai murid oleh ketua kuil itu. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Nam San Losu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi ketua kuil Budha di bukit mata air
Si-kiang itu. Rombongan ke dua adalah seorang kakek kurus berbaju tambal-tambalan seperti seorang
pengemis, akan tetapi pakaiannya yang penuh tambalan itu bersih, juga mukanya yang penuh
cambang bauk itu nampak bersih. Dengan matanya yang sipit dan mulutnya yang selalu senyum-
senyum, kakek ini nampak lucu. Dia ditemani oleh seorang anak perempuan yang berusia
sebelas tahun, seorang anak yang bermata lebar dan tajam penuh keberanian memandang ke
sekelilingnya. Anak perempuan ini adalah Siauw Lian Hong dan kakek itu bukan lain adalah Bu-
beng San-kai, kakek yang telah menolongnya dari kebakaran dan yang kemudian menjadi
kakeknya, juga gurunya, juga satu-satunya orang di dunia ini yang dekat dengan anak yatim piatu itu.
Rombongan ke tiga terdiri dari lima orang, dipimpin oleh seorang kakek berusia
enampuluh tahun, yang tinggi kurus dan gagah perkasa akan tetapi agak angkuh sikapnya,
bersama empat orang yang usianya beberapa tahun lebih muda darinya. Lima orang laki-laki ini semua bersikap gagah dan di dada mereka nampak lukisan gambar Im-yang, yaitu bulatan yang
terbagi dua dengan warna hitam dan putih sebagai tanda Im-yang, dua sifat yang saling
bertentangan, juga saling berkaitan, dua sifat yang menggerakkan, menciptakan dan mengadakan
segala yang ada di dunia ini. Dari pakaiannya ini mudah diduga siapa mereka, yaitu tokoh-tokoh perkumpulan Thian-te-pai yang terkenal. Di antara mereka terdapat pula Lui Siok Ek, murid
kepala Thian-te-pai yang pernah memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam pada enam tahun yang
lalu. Rombongan ke empat adalah tiga orang yang berpakaian perwira tinggi, di antara mereka
nampak Tang Kui, raksasa yang pernah menyamar sebagai petani dan yang pada enam tahun
yang lalu pernah pula memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam. Dua orang yang lain adalah dua
perwira yang kedudukannya lebih tinggi dan ilmu silatnya jauh lebih lihai dari pada Tang Kui, terutama sekali kakek yang bertubuh kecil pendek itu, yang berjenggot panjang dan baju
seragamnya agak kebesaran dan kedodoran. Kelihatannya lucu dan tidak ada apa-apanya, akan
tetapi dialah Pouw Ciangkun, seorang komandan pengawal pribadi kaisar yang amat tangguh dan
terkenal karena ilmu kepandaiannya yang tinggi.
Rombongan ke lima terdiri dari seorang kakek tinggi besar bermuka merah yang
pakaiannya mewah sekali, bersikap angkuh, yang diikuti oleh tujuh orang pemuda antara berusia Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
68 duapuluh sampai duapuluh lima tahun. Tujuh orang pemuda ini rata-rata bermuka tampan.
Bahkan pesolek seperti wanita, dengan pakaian yang indah-indah. Biarpun kakek itu hanya
seperti seorang hartawan besar, akan tetapi rombongan lain yang melihatnya nampak terkejut dan gelisah. Hal ini tidaklah mengherankan karena kakek bermuka merah ini terkenal sekali sebagai seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti orang. Kakek ini pernah merajalela di dunia
persilatan sebagai seorang tokoh sesat dan akhirnya setelah berhasil menjadi orang yang amat
kaya raya, lalu mengundurkan diri dan kabarnya tinggal di sebuah pulau di Lautan Kuning,
dinamakan Pulau Layar karena bentuknya dari jauh seperti layar sebuah perahu. Di pulau inilah dia tinggal sebagai seorang raja, bersama para pelayan dan pembantunya, juga murid-muridnya.
Akan tetapi semenjak tinggal di pulau itu, Tang Kok Bu ini dijuluki orang Hai-tok (Racun
Lautan), tidak pernah muncul di dunia kang-ouw walaupun kaum sesat masih menganggapnya
sebagai seorang datuk mereka yang ditakuti.
Lima rombongan ini hanya saling pandang dengan heran karena tanpa berjanji mereka
pada pagi hari itu berkumpul di depan pintu gerbang Siauw-lim-si. Biarpun tidak saling bicara, mereka semua diam-diam dapat menduga bahwa kedatangan mereka itu mengandung maksud
yang sama, yaitu tentu ada hubungannya dengan keluarnya Siauw-bin-hud dari tempat
pertapaannya seperti yang menjadi berita hangat di dunia kang-ouw, dan ada hubungannya
dengan Giok-liong-kiam !
Akan tetapi agaknya maksud kedatangan Nam San Losu, sutenya dan muridnya tidak
sama dengan maksud kedatangan rombongan lain. Nam San Losu bersama sutenya dan Tan Ci
Kong sudah berlutut di depan pintu gerbang dan kakek itu berseru dengan suara halus namun
mengandung tenaga khikang sehingga menggema ke dalam pintu gerbang. "Murid Nam San
datang berkunjung untuk memberi hormat kepada para suhu !"
Mendengar seruan ini, tak lama kemudian beberapa orang hwesio membuka pintu
gerbang. Tentu saja sebagai ahli-ahli silat pandai, para hwesio di dalam kuil sudah tahu akan kedatangan banyak orang di depan pintu gerbang itu. Dua orang hwesio menyambut Nam San
Losu dengan sikap hormat.
"Kiranya Nam San suheng dan Nam Thi suheng yang datang berkunjung !" kata dua
orang hwesio tua yang membuka pintu gerbang itu.
"Kami mendengar bahwa susiok Siauw-bin-hud telah keluar dari tempat pertapaannya,
dan kami mohon dapat menghadap beliau," kata pula Nam San Losu. Mendengar ini, dua orang
hwesio penyambut itu lalu mempersilahkannya masuk. Pada saat itu muncullah seorang hwesio
yang pendek kecil berusia enampuluh lima tahun lebih, dari dalam dan melihat hwesio yang
pendek kecil dan kelihatan lemah ini, Nam San Losu cepat menjura dengan sikap hormat.
"Thian Tek suheng, terimalah hormat pinceng." Si pendek kecil itu membalas
penghormatan tamu dari selatan itu. "Ah, kiranya Nam San sute yang datang berkunjung.
Silahkan, sute, toasuheng dan juga susiok berada di ruangan belakang." Setelah mempersilahkan tamu yang masih keluarga Siauw-lim-si sendiri itu masuk, Thian Tek Hwesio lalu keluar dan
berdiri di ambang pintu gerbang menghadapi para rombongan lain. Nam San Losu diikuti oleh
Nam Thi Hwesio, juga Ci Kong, lalu masuk ke dalam.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
69 Ci Kong membuka mata lebar-lebar untuk memperhatikan segala yang nampakdi dalam
kuil besar ini. Sudah banyak dia mendengar penuturan gurunya tentang kuil Siauw-lim-si, dan
kini dia melihat kenyataan betapa kuil itu memang jauh lebih luas dan besar dibandingkan kuil di selatan, di mana dia hidup selama enam tahun mempelajari ilmu-ilmu dari gurunya. Juga dia
mendengar penuturan gurunya dan para paman gurunya tentang kakek Siauw-bin-hud yang amat
mengagumkan hatinya. Bukan hanya karena kakek itu baru saja keluar setelah bertapa selama
duapuluh tahun lebih, juga bahwa menurut suhunya kakek itu memiliki kesaktian yang amat
hebat, akan tetapi juga dia kagum mendengar betapa kakek itu namanya telah menggemparkan
seluruh dunia persilatan karena dikabarkan telah merampas Giok-liong-kiam yang menjadi
barang pusaka yang diperebutkan oleh para tokoh persilatan. Karena itu, hatinya girang sekali ketika gurunya mengajak dia untuk pergi mengunjungi Siauw-lim-si.
Ketika mereka memasuki kuil, para hwesio di kuil itu yang semua mengenal Nam San
Losu dan Nam Thi Hwesio, menyambut mereka dengan ramah dan seorang di antara mereka
mengantar tiga orang tamu itu ke ruangan belakang yang lebar.
Di dalam ruangan itu telah duduk seorang hwesio yang tua dan gendut sekali, demikian
gendutnya sampai nampak bulat. Jubahnya kuning menutupi semua tubuh dan sepatunya dari
kain, juga sudah agak butut seperti jubahnya. Yang menarik para hwesio ini adalah wajahnya
yang selalu tersenyum itu sehingga wajah itu nampak demikian ramah dan mencerminkan watak
yang halus dan budiman. Sinar matanya juga lembut dan sinar mata itu begitu penuh pengertian dan agaknya tidak ada apapun yang akan kakek ini merasa heran. Sukarlah mengira-ngirakan
berapa usia kakek ini, karena walaupun sikapnya memperlihatkan usia yang sudah amat tua,
namun wajahnya yang bulat itu tidak dihiasi keriput karena gendutnya. Di depan kakek gendut
ini duduk bersila pula tiga orang hwesio, yaitu Thian He Hwesio, Thian Kong Hwesio dan Thian
Khi Hwesio, tiga di antara empat orang pengurus atau ketua Siauw-lim-si di waktu itu karena
orang ketiga, Thian Tek Hwesio, sedang keluar menyambut para tamu.
Begitu melihat hwesio gendut itu, diam-diam Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio
merasa kagum dan terheran-heran. Duapuluh tahun lebih yang lalu, mereka pernah bertemu
dengan paman guru mereka ini, dan sekarang, setelah duapuluh tahun lebih lewat, agaknya kakek gendut itu masih sama saja, sedikitpun tidak nampak perobahan ! Setelah tiba di ruangan itu, Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek gendut,
diikuti pula dari belakang oleh Ci Kong.
"Susiok, terimalah hormat dari teecu," kata Nam San Losu dengan sikap hormat.
"Susiok ?"". !" Nam Thi Hwesio juga memberi hormat dengan berlutut. Ci Kong
hanya berlutut saja tanpa mengeluarkan suara, hatinya gentar dan juga kagum.
Hwesio gendut itu menoleh dan senyumnya melebar ketika dia melihat dua orang hwesio
itu. "Aha, bukankah kalian ini Nam San dan Nam Thi " Bagus sekali ! Bagaimana kabarnya di selatan " baik-baik sajakah ?"
Dua orang hwesio dari selatan itu menghaturkan terima kasih, kemudian barulah mereka
memberi hormat kepada tiga orang suheng mereka sebagai tuan rumah. Thian He Hwesio
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
70 membalas penghormatan itu. "Sute, jauh-jauh sute datang dari selatan, apakah ada keperluan
khusus untuk dibicarakan ?"
"Suheng, pertama-tama karena sudah lama kami tidak berkunjung dan merasa rindu,
maka kesempatan ini kami pergunakan untuk berkunjung ke Siauw-lim-si. Kedua kalinya,
karena mendengar berita bahwa susiok telah keluar dari tempat pertapaan, maka kami ingin
sekali menghadap dan mohon petunjuk, dan ketiga kalinya, kamipun mendengar berita rebut-
ribut tentang Giok-liong-kiam, maka kami ingin sekali mendengar bagaimana sebenarnya hal
yang telah terjadi karena ini menyangkut nama Siauw-lim-pai."
"Ahhh ?"?" !" Thian He Hwesio menarik napas panjang. "Justeru urusan itulah
yang kini sedang kita bicarakan. Sudah selama enam tahun kami di Siauw-lim-si selalu didatangi orang yang secara halus maupun kasar menyindirkan bahwa Giok-liong-kiam kita rampas dan
kita sembunyikan. Karena pada waktu itu susiok masih bertapa, kami tidak berani menganggu.
Dan sekarang, menurut susiok, beliau sama sekali tidak tahu akan pedang Giok-liong-kiam itu.
Bukankah ini membuat orang merasa menyesal bukan main ?"
"Ha " ha " ha " ha ?"". !" Kakek gendut itu tertawa bergelak sampai seluruh
tubuhnya bergoyang-goyang. Diam-diam Ci Kong mengangkat mukanya memandang dengan
heran. Kakekitu tertawa begitu polos, tidak dibuat-buat seperti orang yang merasa geli
mendengarkan sesuatu yang lucu. Padahal, dia sendiri tidak melihat atau mendengar sesuatu
yang lucu menggelikan. Apa sih yang ditertawakan oleh kakek gendut aneh itu, pikirnya heran.
Akan tetapi lima orang hwesio tua yang berlutut di situ tidak merasa heran dan mereka hanya
menanti saja dengan sabar sampai susiok mereka menghentikan ketawanya.
"Ha " ha " ha, Thian He, apakah sampai sekarang engkau masih juga berpikiran seperti
kanak-kanak " Segala macam urusan yang terjadi di dunia ini, baik yang menyerempet diri kita maupun yang bukan, adalah peristiwa yang terjadi, suatu kenyataan yang tak dapat dibantah lagi, dan bagaimanapun juga, semua itu sumbernya terletak pada diri sendiri. Menyesal atau tidak
menghadapinya, terserah kepada kita. Apakah hanya dengan penyesalan saja segala urusan dapat diselesaikan " Tidak, sebaliknya malah. Penyesalan mendatangkan kemarahan dan dendam, dan
semua itu malah mengacaukan urusan karena mengeruhkan batin. Jelaslah bahwa ada orang
yang memalsukan namaku untuk merampas pedang pusaka. Buakankah demikian
persoalannya ?"
"Benar, susiok. Enam tahun yang lalu, pedang pusaka Giok-liong-kiam yang tadinya
disimpan oleh Thian-te-pai sebagai pedang pusaka, lenyap dicuri orang. Dunia kang-ouw
menjadi gempar dan semua orang merasa berhak untuk mencari dan memiliki pedang yang sudah
terlepas dari tangan Thian-te-pai itu dan terjadilah perebutan. Kemudian, berita terachir
mengatakan bahwa susiok yang telah merampas pedang itu. Nah, bukankah hal ini amat
membuat hati penasaran, apa lagi kalau susiok sendiri telah mengatakan bahwa susiok sama
sekali tidak tahu tentang pedang itu, apa lagi merampasnya ?" Orang memalsu nama susiok,
mana hal itu dapat dikatakan bersumber pada diri kita sendiri ?" Thian He Hwesio, ketua Siauw-lim-si itu membantah sambil mengerutkan alisnya, bagaimanapun juga merasa tidak enak
dikatakan masih kekanak-kanakan oleh susioknya di depan para sutenya.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
71 "Ha " ha " ha, mari kita diam sejenak menjernihkan batin agar kita dapat menghadapi
kenyataan dengan waspada dan tidak dipengaruhi oleh nafsu-nafsu yang mengeruhkan hati,"
kata kakek gendut itu yang lalu memejamkan kedua matanya. Lima orang hwesio itupun lalu
bersila dan memejamkan mata, memangku kedua tangan. Ci Kong yang melihat ini maklum
bahwa suhunya dan yang lain-lain sedang bersamadhi agar batin menjadi kosong. Dia duduk
bersila dan memandang semua itu dengan heran. Tak lama kemudian kakek gendut membuka
matanya dan tertawa, membuat yang lain juga membuka mata.
"kalian renungkan baik-baik. Andaikata di dunia ini tidak ada Siauw-bin-hud, andaikata
Siauw-lim-pai bukan merupakan partai persilatan yang dianggap kuat, apakah ada orang yang
mau jahil memalsu namaku dan Siauw-lim-pai " Nah, sumber semua peristiwa ini didasari
keadaanku dan keadaan Siauw-lim-pai, bukan " Jadi sumbernya berada dalam diri sendiri.
Berbahagialah orang yang sama sekali tidak ada nama dan tidak dikenal, berbahagialah orang-
orang yang berada di tempat paling bawah sehingga tidak nampak menonjol."
"Omitohud, baru sekarang teecu dapat melihat kebenaran ucapan susiok. Memang,
dengan penyesalan dan kemarahan kita tidak akan dapat mengatasi masalah, bahkan
mengeruhkan batin. Akan tetapi, maaf, susiok, apakah dengan berdiam diri saja masalahnya juga dapat teratasi " Semua orang kang-ouw tentu akan menuduh kita yang menyembunyikan pedang
pusaka itu," kata pula Thian He Hwesio.
"Bahkan kini di luar telah datang banyak orang yang menurut dugaan teecu sudah pasti
ada urusannya dengan Giok-liong-kiam," sambung Thian Ki Hwesio yang lebih mengenal
keadaan dunia luar kuil karena dialah yang menjadi ketua yang bertugas menghadapi semua
urusan di luar kuil.
Dengan wajah masih tersenyum ramah dan pandang mata sama sekali tidak memancarkan
emosi batin, kakek gendut itu berkata, "Menghadapi urusan dengan nafsu amatlah tidak benar,
akan tetapi menghadapinya dengan acuh juga tidak dapat membereskan urusan. Kita harus
menghadapi segala macam peristiwa dengan waspada dan dengan kewaspadaan akan timbul
kebijaksanaan dalam bertindak. Omitohud ............" Kakek itu kini memandang ke arah Ci Kong dengan sinar mata berseri penuh kagum. Anak itu sedang memandang kepada Siauw-bin-hud dengan sinar mata mencorong seperti mata anak harimau, dan ketika kakek itu menerima
pandang matanya, mereka saling tatap sejenak dan terkagumlah hati kakek itu.
"Siapakah anak itu ?" tanya Siauw-bin-hud tanpa melepaskan pandang matanya ke arah
Ci Kong. "Maaf, susiok, teecu tadi sampai lupa melaporkan. Anak ini bernama Tan Ci Kong dan
sejak kurang lebih enam tahun yang lalu menjadi murid teecu. Dia sudah yatim piatu dan
ayahnya seorang siucai yang tewas karena madat ............"
"Hemm, demikian hebatkah benda beracun itu kini merajalela ?" Kakek gendut bertanya
dan masih terus memandang ke arah Ci Kong.
"Ayahnya bukan seorang pemadatan, susiok. Sebaliknya malah, ayahnya seorang siucai
yang gagah perkasa dan menentang peredaran madat. Dia menentangnya dengan tulisan-tulisan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
72 sehingga menyeretnya ke dalam kesukaran. Akan tetapi sampai saat terakhir, sebelum tewas
dalam tahanan, Tan siucai masih menyebar tulisan-tulisan yang menentang madat, mengecam
pemerintah dan memperingatkan rakyat akan bahayanya menghisap madat. Dia tewas dan karena
putera tunggalnya ini tidak lagi mempunyai sanak keluarga, teecu lalu mengambilnya sebagai
murid dan berdiam di kuil teecu."
"Hebat ?"". hebat ?"". !" Kakek gendut itu mengusap perutnya dan memandang
dengan kagum. Entah siapa yang dipujinya, mendiang Tan Siucai ataukah puteranya itu. Akan
tetapi, pandang matanya yang tadinya lembut itu kini mencorong tajam dan dia menemukan
bahan yang amat baik pada diri anak berusia tigabelas tahun itu.
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kuil dan seorang hwesio tergesa-gesa
masuk ke ruangan itu dan melaporkan bahwa di luar banyak tamu secara paksa minta bertemu
dengan Siauw-bin-hud. Thian Tek Hwesio berusaha mencegah mereka, akan tetapi mereka
menjadi ribut dan hendak memaksa masuk.
"Hemm, sungguh tak tahu diri mereka itu !" kata Thian He Hwesio dan sekali
menggerakkan tubuh, dia sudah berkelebat keluar dari ruangan itu diikuti pula oleh Thian Kong Hwesio dan Thian Khi Hwesio.
Siauw-bin-hud agaknya tidak memperdulikan semua itu dan dia melambaikan tangan
kepada Ci Kong yang tidak ikut keluar. Di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua saja.
Melihat betapa kakek itu melambaikan tangan, Ci Kong lalu bangkit dan menghampiri kakek itu
lalu duduk bersila di depannya, menatap wajah kakek itu tanpa takut-takut. Siapa akan merasa takut terhadap seorang kakek gendut yang tersenyum-senyum begitu ramahnya.
Siauw-bin-hud tidak bicara apa-apa, akan tetapi kedua tangannya meraba-raba tubuh Ci
Kong, dari ujung kepala sampai ke kaki, memijat-mijat dan menekan-nekan dan tiada hentinya
dia mengeluarkan suara ketawa kecil. "Aha, sudah kuduga ?"". hmmm, hebat memang ".
?"" Ci Kong tidak tahu apa yang dimaksudkan kakek itu, akan tetapi dia telah mempelajari
ilmu silat selama enam tahun dan diapun dapat menduga bahwa rabaan-rabaan itu tentulah
merupakan semacam ujian bagi kakek itu untuk mengetahui kemajuan dalam hal latihan silat.
Jilid IV ***** Tiba-tiba terdengar suara teriakan Thian He Hwesio, ketua Siauw-lim-pai. Biasanya
kakek ini kalau bicara halus biarpun tegas, akan tetapi sekali ini suaranya keras dan agak kasar tanda bahwa dia sedang dilanda kemarahan.
"Cu-wi (anda sekalian) adalah orang-orang terhormat, mengapa bersikap begini kerdil "
Sudah pinceng katakan bahwa susiok masih perlu beristirahat dan belum siap menerima
kunjungan tamu, mengapa cu-wi memaksa " Sekali lagi kami tekankan bahwa susiok dan kami
semua tidak tahu menahu tentang Giok-liong-kiam dan cu-wi harus tahu bahwa Siauw-lim-pai
tidak pernah membohong !"
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
73 Kini terdengar suara-suara "duk " duk " duk !" seperti ada benda yang amat berat
dipukul-pukul di atas tanah, lalu disambung suara yang mengandung kekuatan khikang yang
hebat. "Hemm aku datang untuk bertemu dengan Siauw-bin-hud seorang, dan tidak ingin
berurusan dengan Siauw-lim-pai. Siauw-bin-hud sudah keluar dari tempat persembunyiannya,
apakah dia masih takut bertemu orang ?"
Mendengar suara ini, tiba-tiba Siauw-bin-hud yang masih meraba-raba kepala Ci Kong,
tertawa bergelak. "Ha " ha " ha, apakah itu bukan suara Hai-tok yang terdengar begitu keras ?"
Suaranya lirih saja, akan tetapi agaknya terdengar dari luar karena suara di luar tiba-tiba terhenti dan sunyi. Kemudian terdengar kembali suara Hai-tok, sekali ini suaranya mengandung
kehalusan, seperti orang menghormat.
"Siauw-bin-hud, aku orang she Tang memang ingin bertemu denganmu. Silahkan


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar!" Mendengar ini, kembali Siauw-bin-hud tertawa dan diapun bangkit sambil menggandeng
tangan Ci Kong. "Mari, anak baik .......... eh, siapa namamu tadi ?"
"Nama saya Tan Ci Kong, susiok-couw !" kata Ci Kong dengan sikap hormat. Memang
selama enam tahun tinggal di kuil bersama Nam San Losu, dia bukan hanya menerima
gemblengan ilmu silat, akan tetapi juga ilmu sastera sehingga dia mengenal tata susila seperti seorang terpelajar. Kini kakek gendut dan anak laki-laki itu bergandengan tangan berjalan
keluar, menyusul lima orang hwesio yang tadi keluar untuk menemui para tamu. Sebagai
saudara-saudara seperguruan, Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio tadi juga ikut keluar
menyusul tiga orang suheng mereka.
Empat orang hwesio itu segera minggir memberi jalan ketika mereka melihat susiok
mereka muncul keluar, menuntun Ci Kong. Dan semua mata para tamu itupun kini ditujukan
kepada hwesio gendut itu yang tersenyum-senyum ramah, menyapu semua tamu dengan pandang
matanya. Setelah berhadapan dengan mereka, hwesio gendut itu tertawa, suara ketawanya lepas
dan tidak terkendali, keluar dari perutnya dan terdengar ramah menyenangkan, seperti suara
ketawa orang yang kegirangan.
"Heh " heh " heh, setelah duapuluh tahun lebih menyendiri, tetap saja tidak dapat bebas
dari urusan dengan orang-orang lain. Ha " ha, jelaslah kini bahwa tidak mungkin hidup
sendirian saja, hidup berarti antar hubungan, baik dengan manusia lain, dengan mahluk lain,
dengan benda maupun pikiran sendiri ?"". Tak salah ?"". Tak salah ?"". "
Dia pasang mata menatap kakek gendut itu penuh perhatian, penuh selidik. Mereka
adalah Tang Kui, perwira istana yang bertubuh tinggi besar itu dan Lui Siok Ek, tokoh Thian-te-pai. Dua orang inilah yang pada enam tahun yang lalu pernah ikut memperebutkan Giok-liong-
kiam dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa pedang pusaka itu lenyap bersama
munculnya kakek gendut yang bukan lain adalah Siauw-bin-hud. Dan mereka berdua berani
bersumpah bahwa orang yang mereka temui enam tahun yang lalu adalah kakek gendut yang kini
berhadapan dengan mereka walaupun tokoh Thian-te-pai Lui Siok Ek melihat sesuatu yang
diam-diam membuat dia meragu. Ada perbedaan dalam sinar mata kakek ini dengan kakek enam
tahun yang lalu. Dia melihat sinar mata mencorong hebat dari kakek yang dahulu, sedangkan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
74 sinar mata kakek ini demikian lembut dan penuh pengertian. Betapapun juga, kecuali perbedaan pada sinar mata ini, hampir segalanya kakek ini tiada bedanya dengan kakek yang muncul dalam
perebutan Giok-liong-kiam enam tahun yang lalu. Gundulnya, gendut bulatnya, jubah kuning
sampai sepatunya .......... dan kembali Lui Siok Ek tertegun. Sepatunya memang sama, sepatu
kain, akan tetapi telapak sepatu kakek yang dahulu itu berlapis besi. Ini dia ingat benar,
sedangkan telapak sepatu kakek ini tetap dari kain lunak. Akan tetapi, sinar mata yang berbeda itu mungkin saja menunjukkan kemajuan batin kakek itu selama enam tahun ini, dan tentang
telapak sepatu, ah, bisa saja kakek itu kini tidak membubuhkan lapisan besi karena tidak sedang melakukan perjalanan jauh. Dia bisa keliru akan tetapi tetap saja ada keraguan dalam hatinya.
Akan tetapi perwira Tang Kui tidak melihat perbedaan-perbedaan itu Tang Kui tidak
melihat perbedaan-perbedaan itu dan begitu melihat Siauw-bin-hud muncul, langsung saja dia
menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek gundul itu dan berkata dengan suara lantang,
"Dia inilah yang dahulu merampas Giok-liong-kiam !"
Siauw-bin-hud memandang kepada Tang Kui sambil tersenyum. Pandang matanya sama
sekali tidak marah, melainkan penuh kesabaran seperti seorang kakek yang baik melihat
kenakalan cucunya. "Si-cu (orang gagah), apakah engkau melihat sendiri pinceng merampas
pusaka itu ?" tanyanya halus.
Tang kui cemberut dan mukanya menjadi merah karena marah. Dia adalah seorang yang
jujur dan kasar, dan tidak suka berpura-pura. "Locianpwe adalah seorang pendeta yang
dihormati, mengapa masih berpura-pura seperti anak kecil " Enam tahun yang lalu, begitu
bertemu Locinpwe sudah mengenal aku sebagai Tang Kui, perwira pengawal istana !"
Kakek itu tersenyum lebar, juga matanya lebar. "Ahhh, betapa anehnya. Bahkan dalam
mimpipun pinceng belum pernah jumpa dengan ciangkun, sama tidak pernahnya pinceng
mendengar apa lagi melihat pusaka yang bernama Giok-liong-kiam."
"Aku belum gila untuk menuduh locianpwe yang bukan-bukan. Akan tetapi dia itu
dahulupun pernah menjadi saksi !" Tang Kui menunjuk ke arah Lui Siok Ek dan kini semua
mata memandang ke arah tokoh Thian-te-pai itu.
Lui Siok Ek sedang berdiri bingung. Memang dia melihat perbedaan, dan juga suara
ketawa kakek gendut ini sama sekali tidak mengandung tenaga khikang yang menggetarkan
jantung seperti kakek enam tahun yang lalu, walaupun dalam suara kakek ini terasa pula adanya tenaga yang amat kuat. Kini, dituding secara tiba-tiba oleh Tang Kui, dia menjadi gugup dan
melihat betapa semua orang memandang kepadanya, diapun mengangguk.
"Memang benar, locianpwe Siauw-bin-hud dari Siauw-lim-pai yang telah mengambil
Giok-liong-kiam ketika terjadi perebutan di antara kami."
"Aha, sudah dua orang yang menjadi saksi mata ! Wah, ini berat jadinya untukku !" kata
kakek gendut. "Kalau saja pinceng tidak yakin benar bahwa pinceng selama duapuluh tahun
bertapa dalam ruangan, tentu pinceng mulai tidak yakin kepada diri sendiri ! Akan tetapi,
pinceng sudah menyelidiki diri sendiri dan tidak pernah pinceng meninggalkan ruangan, jadi,
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
75 tidak mungkin mengambil pusaka. Eh, apakah jiwi-sicu melihat sendiri pinceng mengambil
pedang itu ?"
Lui Siok Ek mengerutkan alisnya. Seperti juga Tang Kui, ketika enam tahun yang lalu
dia berhadapan dengan Siauw-bin-hud, kakek ini sudah mengenalnya, akan tetapi kini agaknya
tidak mengenalnya. "Kami tidak melihat sendiri. Kami berlima sedang memperebutkan pusaka
itu. Giok-liong-kiam terlempar ke udara dan meleset ke arah di mana kami menemukan
locianpwe duduk bersamadhi. Siapa lagi kalau bukan locianpwe yang mengambilnya ?"
"Duk " duk " dukk !" Semua orang kembali terkejut karena ketika kakek tinggi besar
muka merah itu menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah, maka tanah di sekitar tempat itu
seperti tergetar dan terdengar suara keras seperti benda berat yang dipukul-pukulkan itu, bukan ujung sebatang tongkat emas yang tidak begitu besar. Dari ketukan tongkat ini saja sudah dapat dibayangkan betapa kuatnya tenaga yang tersembunyi di dalam lengan tangan yang besar itu.
Dan memang nama Hai-tok (racun lautan) Tang Kok Bu sudah terkenal di seluruh dunia
persilatan, maka semua orang memandang kepadanya dengan agak gentar.
"Aku tahu bahwa Siauw-bin-hud bukanlah seorang pengecut, melainkan seorang datuk
persilatan yang besar namanya. Tidak perlu banyak cakap lagi tentang urusan tetek bengek.
Yang jelas, Siauw-bin-hud telah memiliki Giok-liong-kiam melalui ilmu kepandaiannya yang
hebat sehingga dia mampu mengambil pusaka itu tanpa diketahui orang lain. Dalam dunia
persilatan memang ada peraturan bahwa siapa menang, dia berhak meraih pahalanya. Enam
tahun yang lalu dia menang, dan kini setelah dia keluar, aku orang she Tang mohon diberi
kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang telah menguasai Giok-liong-kiam. Kalau aku
kalah, sudahlah, aku tidak akan banyak ribut lagi tentang pusaka itu."
"Omitohud ?"". !" Siauw-bin-hud berkata lirih akan tetapi masih tersenyum lebar
dan sabar. "Hai-tok makin tua semakin keras saja. Apakah orang seperti engkau ini tidak mau
menerima penjelasan orang seperti aku bahwa pinceng sungguh tidak pernah melihat Giok-liong-
kiam, apa lagi memilikinya ?"
"Aku tidak pernah menuduh, hanya mendengarkan berita di luaran dan kini ada dua orang
saksi mata. Mungkin mereka benar, mungkin pula engkau yang benar, siapa tahu akan kebenaran
yang sesungguhnya " Yang penting, mari kita menguji kepandaian. Kalau aku kalah, sudahlah,
aku akan minta maaf dan akan pergi dari sini, akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan Giok-liong-kiam kepadaku."
"Wah, wah, wah, tulang-tulangku sudah tua ini bernasib sial hendak menerima gebukan
orang Hai-tok, bagaimana kalau aku kalah akan tetapi aku tidak memiliki pusaka itu untuk dapat diserahkan kepadamu ?"
"Dunia kang-ouw mempunyai bukti-bukti bahwa engkau yang merampasnya, maka
engkau harus dapat pula membuktikan bahwa bukan engkau perampasnya !"
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
76 "Ha " ha " ha, dengan lain kata, engkau menghendaki aku mencari perampasnya yang
agaknya mempergunakan namaku ?"
"Begitulah dan bersiaplah, Siauw-bin-hud !"
"Nanti dulu. Tamulu bukan hanya engkau seorang, melainkan masih ada beberapa orang
lagi. Kautunda dulu niatmu, Hai-tok, aku ingin bertanya kepada yang lain-lain." Lalu kakek
gendut itu dengan sikap tenang, sabar dan peramah memalingkan mukanya kepada rombongan
perwira istana yang dipimpin oleh Pouw Gun atau Pouw Ciang-kun itu. "Cu-wi sekalian ini apa
juga datang untuk urusan pusaka yang hilang itu ?"
Pouw Gun menjura dengan sikap tegas dan hormat. Sebagai seorang perwira tinggi,
sikapnya tegas dan berwibawa, akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi diapun menghormati angkatan yang lebih tua seperti Siauw-bin-hud. "Locianpwe, saya Pouw Gun bersama beberapa
orang teman datang sebagai utusan sri baginda kaisar. Karena seorang di antara saudara muda
kami, yaitu Tang Kui, pernah mendapatkan Giok-liong-kiam yang kemudian dirampas oleh
locianpwe, maka kami atas nama sri baginda kaisar mohon dengan hormat agar locianpwe
menyerahkannya kepada kami."
"Heh " heh, semua orang minta pusaka itu dariku. Aneh ! Ciangkun, kalau cu-wi
menjunjung perintah sri baginda kaisar, tentu membawa surat perintah."
Wajah panglima yang bertubuh kecil itu menjadi merah. "Maaf, locianpwe, selama enam
tahun ini, Siauw-lim-pai tidak mengakui tentang Giok-liong-kiam, oleh karena itu, urusan ini
menjadi urusan pribadi. Kami ditugaskan untuk mencari dan membawa Giok-liong-kiam ke
istana. Andaikata kami harus berurusan dengan Siauw-lim-si, tentu kami akan membawa surat
perintah. Akan tetapi karena Siauw-lim-si tidak mengakui, dank arena ada saudara kami yang
melihat sendiri bahwa pusaka itu ?"". oleh locianpwe ?"". "
"Ha " ha, Pouw-ciangkun, jelaskan saja apa yang hendak kaulakukan sekarang," kakek
gendut itu memotong dengan suara kasihan melihat kegugupan perwira itu.
"Seperti saya katakan tadi, kami mohon dengan hormat agar locianpwe suka
menyerahkan pusaka itu kepada kami, demi nama sri baginda kaisar."
"Kalau pinceng tidak dapat memberikannya bagaimana ciangkun ?"
"Terpaksa saya melupakan kebodohan sendiri mohon petunjuk dari locianpwe."
"Aha ! Menantang lagi ! Kiranya engkau tidak sendirian dalam hal berkeras kepala
untuk memukuli badanku yang sudah tua, Hai-tok. Baiklah, kautunggu dulu, ciangkun, aku akan
bertanya kepada rombongan lain." Kakek itu tanpa menanti jawaban lalu menghadapi
rombongan Thian-te-pai yang berdiri berbaris dengan sikap gagah.
"Cu-wi tentu utusan perkumpulan Thian-te-pai," katanya ramah sambil memandang ke
arah dada orang-orang itu. "Lalu apa kehendak cu-wi datang mencari aku orang tua ?"
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
77 Coa Bhok yang gagah dan angkuh melangkah maju menghadapi Siauw-bin-hud. "Saya
Coa Bhok sebagai wakil ketua Thian-te-pai, mewakili perkumpulan kami untuk memohon
kebijaksanaan locianpwe Siauw-bin-hud. Pusaka Giok-liong-kiam sejak dahulu menjadi pusaka
perkumpulan kami, bahkan menjadi lambang kebesaran perkumpulan Thian-te-pai kami. Enam
tahun lebih yang lalu, pusaka kami itu lenyap dicuri orang dan setelah itu timbullah perebutan di antara orang-orang kang-ouw untuk mencari dan merampasnya . Sute kami Lui Siok Ek ini pada
enam tahun yang lalu hampir berhasil merebut kembali pusaka kami itu, akan tetapi menurut
keterangannya tadi, pusaka itu oleh locianpwe dirampas. Karena selama enam tahun ini
locianpwe berada dalam pertapaan, kami segan untuk berurusan dengan Siauw-lim-si dan
mendengar locianpwe telah keluar, kami memberanikan diri untuk datang menghadap dan minta
kembali pusaka yang disimpankan oleh locianpwe itu.?"
Ucapan wakil ketua Thian-te-pai ini tegas, jelas dan menghormat. Biarpun mulutnya
masih tersenyum, akan tetapi Siauw-bin-hud menarik napas panjang. "Sayang sekali, andaikata
pinceng benar-benar menemukan pusaka yang hilang itu, dengan hati senang dan rela tentu akan
pinceng serahkan kepada cu-wi. Akan tetapi bagaimana kalau pinceng tidak tahu tentang pusaka itu ?"
"Karena ada saksi-saksi mata, ke mana kami harus mencari kecuali pada locianpwe "
Dan andaikata benar ada yang memalsukan nama locianpwe, hal itu adalah urusan locianpwe
pribadi dengan pemalsu itu."
"Aha, dengan arti lain, cu-wi hendak memaksaku untuk mendapatkan pusaka itu dan
mengembalikan kepada Thia-te-pai ?"
"Begitulah !"
"Wah " wah " wah, runyam sekali ini !" Siauw-bin-hud mengelus kepala Ci Kong yang
masih berdiri di dekatnya. Dia heran melihat anak itu mukanya merah dan matanya
mengeluarkan sinar marah. "Eh, kau kenapa, anak baik ?"
"Susiok-couw, orang-orang ini sungguh tidak memiliki rasa keadilan sama sekali, mau
menangnya sendiri saja dan mendesak susiok "couw secara sewenang-wenang !" Ci Kong
berseru dengan suara nyaring. Kakek gendut itu tertawa bergelak dan mengelus kepala Ci Kong
dengan halus. "Wah " wah, kalau engkau begini keras, lalu apa bedanya dengan mereka yang keras
juga " Tenanglah, anak baik dan kita lihat saja perkembangannya."
"Heh " heh " heh " heh, banyak lalat dan hawanya panas, sungguh tidak nyaman ..........!"
tiba-tiba terdengar suara orang mengomel. Semua orang menoleh dan ternyata yang mengomel
itu adalah Bu-beng San-kai yang duduk agak jauh dari orang-orang lain, duduk sembarangan saja di atas rumput sambil mengipasi tubuhnya seolah-olah dia benar-benar merasa gerah padahal
hawa di puncak bukit itu tentu saja sejuk ! Seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang cantik mungil, bermata lebar dan bersikap pendiam duduk di belakangnya, hanya sepasang
matanya yang lebar itu saja bergerak memandangi semua orang akan tetapi mulutnya yang kecil
merah itu tak pernah dibukanya.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
78 "Jembel badut !" tiba-tiba Hai-tok Tang Kok Bu mengejek. "Agaknya yang kaumaki
lalat itu termasuk dirimu sendiri, kalau tidak demikian, mau apa engkau muncul di sini !"
Siauw-bin-hud memandang kakek kurus yang bajunya tambal-tambalan itu dan diapun
tertawa bergelak. "Ha " ha " ha, kiranya ada pula Bu-beng San-kai di sini ! Wah " wah, San-kai, apakah benar dugaan Hai-tok bahwa engkaupun datang untuk memperebutkan Giok-liong-kiam "
Semua orang, kecuali Hai-tok, terkejut bukan main dan kini mereka memandang kea rah
pengemis tua itu dengan mata terbelalak. Bu-beng San-kai " Sebuah nama yang pernah
menggemparkan dunia persilatan, dan tak seorangpun di antara mereka, kecuali Hai-tok dan
Siauw-bin-hud, menyangka bahwa kakek jembel yang nampaknya tidak ada apa-apanya itu
ternyata adalah Bu-beng San-kai ! Kalau disebut San-tok (Racun Gunung) tentu semua orang
akan lebih kaget lagi tadi. Akan tetapi nama Bu-beng San-kai (Pengemis Berkipas Tak Bernama) atau San-tok (Racun Gunung) juga sama saja. Di dunia persilatan, pernah muncul empat orang
tokoh yang amat hebat, yang dinamakan Racun-racun Dunia. Mereka adalah San-tok (Racun
Gunung) yaitu yang berjuluk pula Bu-beng San-kai, lalu Hai-tok (Racun Lautan) yang kini
menjadi orang kaya di Pulau Layar. Masih ada dua orang lagi, yaitu Thian-tok (Racun Langit)
dan Tee-tok (Racun Bumi) yang tidak pernah didengar orang pula, entah berada di mana.
Kalau orang-orang seperti Hai-tok dan San-tok kini muncul, dapat dibayangkan betapa penting
dan berharganya Giok-liong-kiam !
Kalau Tang Kok Bu, seperti julukannya, Hai-tok, dahulunya adalah datuk para bajak laut,
sebaliknya San-tok adalah datuk para perampok di pegunungan dan hutan-hutan. Akan tetapi,
berbeda dengan Hai-tok yang kini nampaknya menjadi orang kaya raya, San-tok masih kelihatan
miskin, bahkan pakaiannya seperti seorang pengemis.
Bu-beng San-kai atau San-tok terkekeh mendengar ucapan Hai-tok dan Siauw-bin-hud
dan diapun menjawab, "Siauw-bin-hud, engkau tahu bahwa aku bukan seorang yang mata duitan
atau haus akan harta. Aku datang hanya untuk menonton keramaian, dan apa salahnya stelah
sama tuanya kita saling membuktikan siapa yang menjadi loyo lebih dahulu di antara kita semua tuabangka-tuabangka ini " Ha " ha " ha !" Dan diapun mengebutkan kipasnya semakin cepat.
Kipas itu butut saja, akan tetapi begitu dikebut dengan cepat, semua orang yang berada di situ hampir menggigil karena hawa menjadi semakin dingin seperti ada angin besar yang lewat !
Siauw-bin-hud mengenal empat racun dunia sejak masih muda, bahkan mereka itu boleh
dibilang merupakan saingan-sainganya dalam dunia persilatan. Sejak dahulu, ilmu kenpaian
antara para Racun Dunia itu sebanding, dan masing-masing di antara mereka juga hampir dapat
menandingi tingkat kepandaian Siauw-bin-hud sendiri yang ketika itu masih menjadi seorang
tokoh Siauw-lim-pai yang disegani. Hanya selisih sedikit saja kepandaian tokoh Racun Dunia ini dengan kepandaian para Racun Dunia itu. Kini, melihat munculnya dua orang ini, diam-diam
Siauw-bin-hud maklum bahwa mereka berdua itu bukan semata-mata mencari pedang pusaka
karena haus akan harta, melainkan dalam usia tua itu agaknya hendak melanjutkan persaingan
waktu dahulu untuk menjadi orang nomor satu. Atau mungkin juga mereka itu masih memiliki
keinginan untuk menjadi Bu-lim Beng-cu (Pemimpin Rimba Persilatan) yang disegani dan
dihormati seluruh dunia persilatan !
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
79 Sebelum Siauw-bin-hud menjawab, tiba-tiba saja Ci Kong sudah melompat ke depan dan
dengan membusungkan dada dia menghadapi para tamu itu, memandang kepada mereka dengan
sinar mata mencorong. "Kalian ini orang-orang tak tahu malu, tamu-tamu tak diundang datang
mengganggu susiok-couw, seorang tua yang tidak berdosa. Apakah kalian tidak malu " Kalau
memang kalian berhati kejam, biarlah aku yang maju mewakili susiok-couw, kalian boleh bunuh
atau siksa aku untuk memuaskan hati kalian yang kotor dan jahat !"
Tentu saja sikap dan ucapan Ci Kong itu sama sekali tidak terduga-duga dan semua orang
menjadi tertegun. Bahkan Nam Sam Losu sendiri terkejut, tidak mengira bahwa muridnya akan
seberani dan selancang itu. Mukanya sudah menjadi pucat karena marah dan malu. Dia sebagai
gurunya harus bertanggung jawab atas kelancangan muridnya itu, apa lagi mengingat nama Siau-
lim-pai yang dapat tercemar karena sikap anak itu. Juga para tamu menjadi kaget dan heran, apa lagi mendengar bahwa anak itu menyebut susiok-couw (paman kakek guru) kepada Siauw-bin-hud ! Seorang anak kecil, duabelas tahun, dengan tingkat yang serendah itu dari Siau-lim-pai, berani menantang mereka yang terdiri dari orang-orang berkedudukan tinggi di dunia persilatan, bahkan dua di antara mereka adalah San-tok dan Hai-tok !!
Akan tetapi sebelum Nam San Losu sempat memarahi muridnya, Siauw-bin-hud sudah
tertawa geli. "Ha " ha " ha, orang-orang tua memang sudah penuh dengan kepalsuan,
kemurkaan, loba tamak dan menjadi hamba dari pada kesenangan, kehilangan kewajaran dan
kehilangan perikemanusiaan. San-tok dan Hai-tok, kalian kalau dibandingkan dengan bocah ini
............ wah, kalah jauh sekali !"
"Huh !" Hai-tok mendengus. "Dibandingkan anakku yang di rumah, dia itu bukan apa-
apa, Siauw-bin-hud !"
"Heh " heh, benarkah dia begitu hebat. Siauw-bin-hud " Aku tidak percaya !" berkata
demikian, San-tok atau Bu-beng San-kai lalu menggerakkan kakinya dan dalam keadaan duduk
tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan dan dia sudah berdiri di depan Ci Kong sambil
tersenyum-senyum. Ci Kong sama sekali tidak menjadi gentar dan memandang kakek
berpakaian jembel itu dengan sepasang mata mencorong.
"Bocah bernyali besar, kalau engkau tidak membolehkan aku mengganggu susiok-
couwmu, lalu kau mau apa " Apa kau berani melawan aku ?"
Sikap dan ucapan ini membuat Ci Kong marah bukan main. "Apa lagi engkau, biar raja
iblis sekalipun akan kulawan kalau dia jahat dan hendak mengganggu kami !" bentaknya.
"Wah " wah, agaknya engkau memang memiliki ilmu yang lihai maka kecil-kecil berani
menantang aku. Nah, coba kulihat, apakah engkau berani memukul perutku ini ?" Kakek itu
mencoba untuk membusungkan perutnya yang kempis.
Ditantang begitu, Ci Kong menjadi marah dan hatinya terasa panas. Sudah enam tahun
lamanya dia belajar silat di kuil Siauw-lim-si, dipimpin langsung oleh Nam San Losu. Dia
mengenal jenis pukulan-pukulan berbahaya, apa lagi pukulan yang ditujukan kea rah perut. Dia mengenal pukulan yang menggetarkan jantung, pukulan yang merusak isi perut. Akan tetapi
karena di samping mempelajari ilmu silat diapun mempelajari ilmu budi pekerti dan ilmu batin, hatinya penuh welas asih dan betapapun marahnya, dia tidak tega untuk melakukan pemukulan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
80 yang berbahaya bagi seorang kakek yang sudah tua itu. Hanya tantangan itu saja yang
memaksanya untuk memukul.
"Baik, aku akan memukulmu seperti yang kau tantang itu. Bersiaplah !" katanya sambil
memasang kuda-kuda.


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha " ha, kauwakili susiok-couwmu memukulku, dan kerahkan semua tenagamu !"
Kakek kurus itu menantang.
Ci Kong tidak tahu betapa Nam-San-Losu, gurunya, sudah bergerak hendak mencegahnya
akan tetapi tiba-tiba gurunya terkejut karena tubuhnya seperti disedot angina dari belakang yang membuatnya tidak mampu bergerak. Ketika suhunya menengok, ternyata Siauw-bin-hud sudah
mengulurkan tangannya dan kini kakek itu tersenyum lebar dan memberi isyarat agar dia tidak
melakukan sesuatu terhadap anak itu. Legalah hati Nam San Losu karena dia maklum bahwa
susioknya itu tentu tidak akan membiarkan muridnya celaka, hanya dia merasa heran mengapa
susioknya itu seperti mendukung sikap dan perbuatan Ci Kong yang dianggapnya kurang ajar
terhadap tingkatan yang tua. Ngeri dia membayangkan apa akan menjadi akibatnya kalau
muridnya itu memukul tubuh San-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia itu ! Dia sudah
mendengar nama ini dan agaknya tingkat kepandaian susioknya, Siauw-bin-hud sajalah yang
dapat mengimbangi kepandaian Empat Racun Dunia. Bahkan para suhengnya sendiri yang kini
menjadi para pemimpin Siauw-lim-pai juga tidak akan mampu menandingi San-tok !
"Hyaaaattt ?"". !" Ci Kong yang sudah melihat kakek itu bersiap diri, lalu menerjang
ke depan, tangan kanannya dikepal dan memukul ke arah perut. Menurut yang sudah
dipelajarinya, memukul bagian lunak dari tubuh lawan sebaiknya memutar kepalan tangan karena
hasilnya akan lebih baik, sehingga tangan membuat gerakan seolah-olah membor perut lawan.
Akan tetapi karena dia tidak berniat mencelakai lawan, hanya sekedar "menghajar" saja untuk memperlihatkan bahwa dia benar-benar berani menentang siapa saja yang hendak mengganggu
susiok-couwnya, dia memukul biasa saja kea rah perut kecil itu.
"Bukkk ?"". !" Pukulan itu tepat mengenai perut bawah kakek kurus itu, akan tetapi
sedikitpun kakek itu tidak menangkis atau mengelak, juga tidak bergoyang sedikitpun oleh
pukulan si anak kecil. Ci Kong yang merasa betapa kepalan tangannya memasuki daging lunak
sekali, menjadi terkejut dan cepat menarik kembali tangannya. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika kepalan tangannya memasuki perut itu tidak dapat ditarik kembali, bahkan kepalannya
tidak dapat dibuka ! Dia mengangkat muka memandang, dan melihat betapa wajah San-tok
masih menyeringai biasa, dan sepasang mata kakek itu memancarkan sinar aneh. Kembali dia
berusaha membetot tangannya, namun tiba-tiba tubuhnya malah terasa lemas kehilangan semua
tenaga dan kepalan tangannya terasa hangat, lalu semakin lama menjadi semakin panas !
"Heh " heh " heh, Siauw-bin-hud, engkau benar. Anak ini jauh lebih baik dari pada aku
atau Hai-tok, dan aku kagum sekali !"
Melihat keadaan muridnya yang nampak lemas dan tidak mampu menarik kembali
tangannya dari perut San-tok, tentu saja Nam-San-Losu menjadi terkejut sekali. Dia maklum
bahwa nyawa muridnya terancam maut, maka dengan nekat diapun bangkit dan melangkah maju
untuk menolongnya. Akan tetapi kembali tubuhnya tersedot ke belakang dan Siauw-bin-hud
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
81 memberi isyarat dengan pandang matanya agar dia tidak sembarangan bergerak. Nam-San-Losu
mentaatinya karena kakek inipun maklum bahwa keadaan muridnya itu seperti telah ditolong.
Sedikit saja dia bergerak dengan mudah San-tok akan dapat membunuh anak itu.
"Ha " ha " ha, San-tok. Jelas dia jauh lebih baik, tidak seperti engkau yang tanpa malu-
malu memperdayakan seorang anak kecil. Apa kehendakmu ?" Siauw-bin-hud berkata, dengan
sikap masih tenang. Diapun maklum betapa licik dan jahatnya Empat Racun Dunia, akan tetapi
dia menghadapi kelicikan San-tok yang kini mengancam nyawa cucu muridnya itu dengan tenang
dan sikap yang masih ramah tanpa dibuat-buat. Bagi seorang yang tingkat kebatinannya seperti Siau-bin-hud, sudah tidak mengenal lagi rasa dendam atau khawatir, juga tidak dipengaruhi lagi oleh emosi. Dan kewajaran ini seperti kembali kepada sifat kanak-kanak yang bersih dan polos, namun matang dan tidak menjadi permainan emosi sehingga tenang dan jernih bagaikan air
telaga dalam yang tenang.
"Ha " ha, apa lagi, Siauw-bin-hud, kalau bukan Giok-liong-kiam yang ingin kulihat "
Aku ingin sekali melihat macamnya benda yang diperebutkan itu."
"Dan untuk itu kau akan membebaskan anak itu ?"
"Heh " heh, seperti kaukatanan tadi, anak ini jauh lebih baik dari pada aku atau Hai-tok,
mana aku mau merusak bahan sebaik ini " Tentu dia kubebaskan."
"Ha " ha " ha, Racun Gunung, kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk tetap menyangka
bahwa aku menyembunyikan pusaka itu, bukan " Pusaka itu tidak ada padaku."
"Aku percaya padamu dan kiranya ada orang lain yang mempergunakan namamu untuk
merampas pusaka itu. Akan tetapi, seperti dikatakan orang Thian-te-pai itu, penggunaan namamu oleh orang lain itu adalah urusanmu. Aku minta agar engkau mencari pemalsu itu, merampas
kembali Giok-liong-kiam kemudian memberikan kepadaku !"
"San-tok !" Tiba-tiba Hai-tok membentak marah. "Enak saja kau memaki orang lain
tadi, kini engkau sendiri yang hendak memaksa Siauw-bin-hud menyerahkan pusaka kepadamu !
Tak tahu malu !"
"Heh " heh, siapa tak tahu malu ?" kata kakek kurus. "Aku hanya ingin melihat,
kemudian akan kuputuskan siapa yang berhak menyimpan pusaka itu kelak. Nah, Siauw-bin-
hud, bagaimana ?"
Siauw-bin-hud tersenyum lebar. "Heh " heh, tanpa kauminta sekalipun, aku merasa
sudah menjadi kewajibanku untuk mencari pusaka itu. Pusaka itu sudah lenyap selama enam
tahun dan kalian tidak mampu mendapatkannya kembali. Karena itu, sudah adillah kiranya kalau kalian memberi waktu enam tahun juga kepada pinceng untuk mencarinya. Enam tahun lagi,
pada hari dan bulan yang sama, pinceng harap cu-wi suka datang kesini dan kita lihat saja apakah pinceng berhasil mendapatkannya kembali."
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
82 "Setuju .......... !" San-tok atau Bu-beng San-kai berseru, mendahului orang lain yang
masih ragu-ragu dan memandang dengan alis berkerut. "Nah, terimalah kembali cucu muridmu,
Siauw-bin-hud !"
Semua orang memandang ke arah Ci Kong yang masih bergantung pada perut kakek itu
dengan tangan kanannya menancap di perut itu sampai di pergelangan tangan. Anak itu sudah
lemas dan kini kulit muka dan tangannya nampak kehijauan ! Begitu kakek kurus itu
menggerakkan perutnya, anak yang sudah pingsan itu terlempar ke belakang, ke arah Siauw-bin-
hud yang cepat menangkapnya lalu merebahkan anak itu di atas tanah.
Melihat betapa kulit muridnya menjadi kehijauan dan anak itu pingsan, Nam San Losu
menjadi terkejut dan gelisah sekali. Akan tetapi diapun seorang kakek yang berpengetahuan luas Dan dia tidak berani sembarangan bergerak, menyerahkan segalanya kepada susioknya. Sungguh
heran dia melihat betapa susioknya setelah meletakkan telapak tangannya ke dada Ci Kong, lalu tertawa girang, dan memandang ke arah San-tok lalu berkata, "Ha " ha " ha, San-tok. Agaknya selama ini engkau telah memperoleh banyak kemajuan, lahir batin. Terima kasih !"
Tiba-tiba, terdengar bentakan halus, "Kakek berwatak keji !" Dan tahu-tahu anak
perempuan yang sejak tadi berada di belakang Bu-beng San-kai atau San-tok dan hanya menjadi
penonton saja seperti yang lain, tiba-tiba meloncat ke depan dan sudah menghadap Siauw-bin-
hud sambil mengeluarkan suara celaan setengah memaki itu.
Siauw-bin-hud mengangkat muka memandang. Dia masih bersila ketika memeriksa
tubuh Ci Kong dan melihat anak perempuan yang berdiri di depannya, dia tersenyum ramah lalu
menoleh ke arah San-tok yang hanya memandang sambil tersenyum-senyum.
"Nona kecil, mengapa engkau datang-datang memaki aku ?" tanya Siauw-bin-hud.
Anak perempuan itu adalah Lian Hong. Sejak tadi anak ini mengikuti jalannya peristiwa
dan melihat betapa anak laki-laki yang pemberani itu menjadi korban karena membela kakek
gendut, hatinya merasa penasaran sekali. Apa lagi melihat sikap kakek gendut yang menerima
cucu muridnya yang pingsan itu sambil tertawa-tawa, bahkan mengucapkan terima kasih kepada
gurunya, hatinya memberontak. Ia mengenal gurunya sebagai seorang kakek yang wataknya
aneh luar biasa, maka iapun tidak dapat mengerti apa arti perbuatan gurunya itu. Karena itu, melihat betapa gurunya tadi menerima pukulan anak laki-laki dan membuat anak laki-laki
pingsan dengan kulit kehijauan, ia tahu bahwa anak itu keracunan akan tetapi ia tidak berani
menegur gurunya yang juga menjadi kakeknya itu. Kemarahannya karena merasa kasihan dan
penasaran melihat anak laki-laki itu menjadi korban, kini ditimpakan kepada Siauw-bin-hud yang dianggapnya menjadi gara-gara.
"Engkau ini orang tua yang keji dan tak tahu diri ! Semua urusan pusaka ini adalah gara-
garamu, akan tetapi engkau tidak mau maju sendiri, malah membiarkan seorang anak kecil maju
mewakilimu sehingga terluka. Patutkah itu ?"
"Hemmm, anak perempuan licik !" Tiba-tiba Hai-tok mengejek. "Gurumu yang
mencelakai anak itu, dan engkau malah memaki Siauw-bin-hud !" Hati kakek yang menjadi
Racun Lautan ini sudah mendongkol sekali melihat permainan antara Siauw-bin-hud dan San-tok
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
83 sehingga dia sendiri terdesak. Dua orang itu sudah membuat janji-janji dan menganggap orang-
orang lain yang hadir di situ seolah-olah tidak ada dan tidak memiliki hak suara untuk
menentukan tentang urusan Giok-liong-kiam.
Lian Hong menoleh ke arah kakek pesolek itu. "Kakekku dipukul dan hanya membela
diri !" teriaknya membela kakeknya.
"Heh " heh " heh, jadi engkau cucu San-tok, ya " Bagus, memang cocok sekali menjadi
cucu si Racun Gunung. Nona cilik, kalau benar pinceng membiarkan cucu muridku ini mewakili
pinceng memukul kakekmu, habis engkau mau apa terhadap diri pinceng ?"
"Cucu muridmu telah mewakili engkau memukul kakekku, maka akupun kini mewakili
kakekku untuk membalas memukulmu. Ada pepatah mengatakan bahwa satu pukulan layak
dibalas dua pukulan, akan tetapi melihat engkau sudah terlalu tua, lebih tua dari kakekku, biar aku membalas dengan satu pukulan pula."
"Ha " ha " ha, San-tok, cucumu ini hebat sekali, sama hebatnya dengan cucu muridku.
Nah, baiklah, kau pukullah aku, nona cilik !"
"Bersiaplah kau, kakek tua !" Lian Hong memasang kuda-kuda dan kini iapun menerjang
kedepan, mengirim tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam kea rah kepala
kakek yang masih duduk bersila itu. Tamparannya ini hebat sekali, karena biarpun ia baru
berusia sebelas tahun, selama enam tahun ini Lian Hong menerima gemblengan yang keras dari
kakeknya atau gurunya.
"Wah, bagus ?"". !" Siauw-bin-hud memuji dan sama sekali tidak mengelak.
"Plakkk !" Telapak tangan itu tepat mengenai kepala yang gundul dan hal ini tentu saja
dianggap amat kurang ajar oleh para hwesio Siauw-lim-pai yang memandang dengan mata
mendelik. Ingin mereka memukul anak perempuan yang berani menampar kepala susiok mereka
itu. Akan tetapi, Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar dan kini terulanglah peristiwa seperti yang terjadi pada diri Ci Kong tadi. Lian Hong merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat lunak dan dingin seperti es ! Ketika ia hendak menarik kembali
tangannya, ternyata telapak tangan itu melekat pada batok kepala yang halus itu. Berkali-kali ia mengerahkan tenaga untuk membetotnya kembali, akan tetapi makin dibetot makin melekat dan
semakin dingin sehingga ia menggigil dan kehabisan tenaga untuk meronta.
Dan sebentar saja iapun pingsan dengan tangan masih menempel pada kepala kakek itu !
Terdengar Hai-tok terkekeh. "Ha " ha " ha, ternyata Siauw-bin-hud setelah bertapa
duapuluh tahun, tidak berobah menjadi dewa. Sama saja dengan San-tok !"
Mendengar ejekan ini, Siauw-bin-hud tertawa lalu dia menggerakkan kepalanya sambil
berkata, "San-tok, kauterimalah cucumu yang baik ini !"
Dan tubuh anak perempuan yang pingsan itupun terlempar ke arah Bu-beng San-kai yang
cepat menyambutnya. Ternyata Lian Hong pingsan dengan muka kebiruan seperti orang yang
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
84 menderita kedinginan hebat ! San-tok meletakkan telapak tangannya ke punggung cucunya, lalu
tertawa girang.
"Ha " ha " ha, agaknya engkau bukan orang yang suka berhutang, Siauw-bin-hud.
Terima kasih !"
Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran. Jelas bahwa San-tok tadi melukai Ci
Kong, akan tetapi Siauw-bin-hud malah berterima kasih, dan sekarang, Siauw-bin-hud melukai
Lian Hong akan tetapi San-tok juga berterima kasih ! Hanya Hai-tok yang ilmunya paling tinggi di antara mereka yang lain, diam-diam merasa mendongkol sekali. Dia dapat menduga bahwa
dua orang kakek itu bukan melukai untuk mencelakakan, melainkan masing-masing telah
menyalurkan tenaga ke dalam tubuh dua orang anak itu sehingga dua orang anak itu bukannya
dirugikan, malah menerima tenaga yang hebat. Dua orang kakek itu telah saling menukar
kebaikan ! "Cukuplah semua permainan sandiwara dan badut ini !" Hai-tok berkata dan diapun
melangkah maju menghadapi Siauw-bin-hud. "Siauw-bin-hud, mari kita main-main sebentar saja
untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemilik Giok-liong-kiam, baik sekarang maupun
kelak." Kakek ini sudah mengangkat tongkatnya ke atas. Tongkat itu panjangnya lima kaki,
berlapis emas dan terhias batu permata sehingga nampak indah dan berkilauan ketika
diangkatnya di depan dada.
"Wah " wah, Racun Lautan ini hendak menjual lagak di sini " Kita sama-sama menjadi
tamu di Siauw-lim-si, sungguh tidak enak kalau aku membiarkan saja engkau mengacau.
Pergilah dan jangan membikin malu aku sebagai sama-sama tamu Siauw-lim-si !" Tiba-tiba Bu-
beng San-kai atau San-tok sudah melompat ke depan, menghadapi Hai-tok dengan kipas bututnya
di tangan. Dua orang kakek itu, dua di antara Empat Racun Dunia, kini saling berhadapan dengan
mata melotot seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak saling bertempur mati-matian.
Entah sudah berapa puluh kali dua orang ini dahulu saling mengukur kepandaian dan belum
pernah di antara mereka ada yang menang atau kalah. Di antara empat orang Racun Dunia,
memang tidak ada yang lebih kuat atau lebih lemah. Mereka masing-masing memiliki
keistimewaan sendiri dan karena maklum bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang dapat
menjagoi, maka merekapun dapat bekerja sama kalau menghadapi lawan. Tentu saja untuk
membela kepentingan sendiri, para tokoh sesat ini seringkali saling gempur sendiri. Dan
sekarangpun, setelah belasan tahun tidak saling jumpa dan berhubungan, kini sekali bertemu
mereka sudah siap untuk saling gebuk lagi ! Tentu saja semua orang memandang dengan hati
tegang sekali. Sudah belasan tahun mereka mendengar nama besar Empat Racun Dunia dan baru
sekarang berkesempatan melihat orangnya, dua diantara mereka, bahkan kini dua orang itu siap
untuk saling serang. Tentu saja mereka merasa tegang dan juga gembira karena berkesempatan
menyaksikan kehebatan dua orang yang dianggap sakti dan jahat seperti iblis itu.
"Bagus !" Hai-tok Tang Kok Bu membentak marah. "Biarkan kita membuat
perhitungan di sini dan lihat, siapa yang lebih pantas menjadi pemilik Giok-liong-kiam !"
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
85 "Nanti dulu !" Tiba-tiba Pouw Gun atau Pauw-ciangkun, perwira tinggi dari istana itu
melangkah maju, "Ji-wi locianpwe tidak berhak menentukan sebagai calon pemilik Giok-liong-
kiam. Hendaknya ji-wi ketahui bahwa sri baginda kaisar telah mengutus kami untuk mencari dan membawa pusaka itu ke istana !"
"Tidak ! Kamilah yang paling berhak karena pusaka itu adalah pusaka perkumpulan
kami yang hilang dicuri orang !" kata Coa Bhok, wakil ketua Thian-te-pai yang merasa
penasaran melihat orang-orang membicarakan Giok-liong-kiam tanpa memperdulikan mereka
yang merasa paling berhak atas pusaka itu.
Dua orang kakek yang tadi sudah saling berhadapan untuk berkelahi itu, kini tiba-tiba
saling pandang dan tersenyum. Dari pandang mata yang saling tatap itu, keduanya mengalami
kegembiraan di jaman dahulu dan seolah-olah pandang mata mereka menjadi isyarat bagi mereka
untuk bersatu, walaupun hanya untuk sementara, guna menghadapi lawan yang datang dari luar
menentang mereka ! Secara otomatis, keduanya lalu membalikkan tubuh, membagi tugas !
Karena dia seorang yang hidup sebagai seorang hartawan kaya raya, agaknya Hai-tok masih
merasa sungkan untuk berurusan dengan orang pemerintah, maka dia memilih berhadapan
dengan orang-orang Thian-te-pai ! Sambil tersenyum mengejek dan melintangkan tongkat
emasnya di depan dada, dia menghadapi Coa Bhok wakil ketua Thian-te-pai dan empat orang
adik seperguruannya.
"Hemm, Kalian ini anak-anak kecil, sudah tidak becus menjaga Giok-liong-kiam, juga
tidak becus menemukannya kembali selama enam tahun ini, sekarang hendak berlagak
mencampuri urusan dan perjanjian orang-orang tua " Pergilah dan jangan kalian mengganggu
kami !" Karena Hai-tok sudah memilih lawan, terpaksa San-tok menghadapi Pouw Gun dan dua
orang temannya. Tentu saja kakek yang hidup sebagai seorang perantau miskin dan jembel ini
tidak takut berurusan dengan para pengawal istana. "Heh " heh " heh, biasanya, utusan lebih
sombong dari pada yang mengutusnya. Kalian hanya utusan, kalau tidak berhasil menemukan
Giok-liong-kiam, laporkan saja ke atasan bahwa kalian tidak berhasil. Kenapa hendak
mencampuri urusan kami orang-orang tua ?"
Tentu saja orang-orang dari dua rombongan itu menjadi marah mendengar ucapan dua
orang kakek yang memandang rendah itu. Terutama sekali Pouw-ciangkun dan dua orang
temannya. Mereka adalah perwira-perwira pengawal dari istana, dan di istana dikenal sebagai
jagoan, terutama sekali Pouw Gun, dan sekarang mereka sama sekali tidak dipandang mata oleh
seorang kakek jembel. Biarpun Pouw Gun pernah mendengar akan nama Bu-beng San-kai, akan
tetapi dia tidak takut, didukung oleh kedudukannya dan oleh dua orang temannya yang sudah siap untuk membantunya.
"Bagus, kau orang-orang tua hendak memberontak terhadap petugas istana ?" Bentaknya
dan dia sudah mengeluarkan pedangnya, diikuti pula oleh si raksasa Tang Kui dan seorang
temannya lagi yang kedudukannya lebih tinggi dari pada Tang Kui dan memiliki ilmu silat lebih tinggi pula. Sebagai perwira-perwira istana, tentu saja mereka tidak dilarang membawa senjata dan masing-masing kini sudah mencabut golok mereka, berdiri di kanan kiri Pouw Gun yang
memegang pedang. Meluhat ini, San-tok terkekeh.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
86 "Majulah, majulah ?"?" heh " heh, sudah lama kipasku tidak menepuk lalat-lalat
hijau !" Jelas bahwa ucapannya ini merupakan ejekan, mengejek para perajurit Mancu yang oleh sebagian orang patriot diejek sebagai lalat-lalat hijau. Pouw Gun dan dua orang temannya sudah membuat gerakan mengurung dan membentuk barisan segi tiga, seorang di belakang, dan dua
orang di depan kanan kiri. Yang di belakang adalah Pouw Gun sedangkan dua orang temannya
yang bergolok siap di depan kakek kurus yang memegang kipas dan nampak enak-enakan
mengipasi tubuhnya yang kurus.
Sementara itu, Coa Bhok dan empat orang saudaranya juga sudah mengepung kakek
tinggi besar bermuka merah itu. Coa Bhok maklum akan kelihaian Hai-tok, maka diapun tidak
malu-malu untuk maju bersama empat orang sutenya. Mengapa mesti malu " Urusan ini adalah
urusan perkumpulan, untuk merebut kembali pusaka perkumpulan, bukan urusan pribadi
sehingga boleh saja mereka maju bersama. Apa lagi mereka menghadapi seorang di antara
Empat Racun Dunia sehingga pengeroyokan mereka tidak akan ditertawakan orang kang-ouw.
Karena pada zaman itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan keras bagi siapa saja untuk
membawa senjata tajam, apa lagi akhir-akhir ini setelah timbul banyak pemberontakan kecil di
mana-mana, maka Thian-te pai juga melarang murid-muridnya membawa senjata. Bahkan
perkumpulan itu kini lebih mengutamakan ilmu silat tangan kosong dan semua murid
memperdalam ilmu silat tangan kosong mereka. Mereka bahkan menciptakan ilmu silat khas
mereka yang diberi nama Thian-te-kun, yang sesungguhnya hanya merupakan ilmu silat tangan
kosong yang diperbarui dan dikembangkan dari Im-yang-kun, namun dimasuki gerakan-gerakan
dan langkah-langkah khas dari ilmu silat Thian-te-pai. Kini, dalam menghadapi Hai-tok, mereka berlima yang mengepung ini juga tidak memegang senjata tajam.
Melihat ini, Hai-tok lalu sengaja menyelipkan tongkat emasnya, senjatanya yang paling
ampuh, di pinggangnya dan berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, sama sekali
tidak mengacuhkan pengepungan lima orang itu, sikapnya sama benar dengan sikap San-tok !
Seperti dikomando saja, tiga orang perwira tinggi yang mengeroyok San-tok dan lima
orang Thian-te-pai yang mengeroyok Hai-tok itu bergerak dan melakukan penyerangan. Tiga
orang perwira tinggi yang diopimpin oleh Pouw Gun itu melakukan penyerangan dengan teratur
sekali. Tang Kui dan temannya yang memegang golok menyerang dari kanan kiri, menggunakan
golok mereka, yang seorang membacok kepala dan yang kedua membabat pinggang. Serangan
ini disusul dengan selisih beberapa detik saja oleh Pouw Gun yang menusukkan pedangnya ke
punggung kakek kurus itu dan kemudian pedang itu dikelebatkan untuk mencegat semua jalan
keluar ! Sungguh merupakan serangan gabungan yang susul-menyusul, bahkan saling
bersambungan dan berbahaya sekali. Akan tetapi, apa yang terjadi "
Kakek kurus yang memegang kipas itu, yang berdiri seenaknya dengan kipas dikebut-
kebutkan mengipasi tubuhnya, sama sekali tidak menggeser kakinya, sama sekali tidak mengelak, hanya kebutan kipasnya yang tadi mengebuti tubuhnya saja yang berobah gerakannya. Kipas itu
berkelebatan ke kanan kiri lalu ke belakang dan terdengar suara nyaring tiga kali yang akibatnya membuat tiga orang perwira tinggi itu berloncatan ke belakang dengan muka pucat. Juga Pouw


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gun meloncat ke belakang dan menatap pedangnya sendiri dengan muka pucat karena tadi,
tangkisan kipas butut itu membuat lengannya tergetar hebat, bahkan hampir lumpuh ! Kiranya, gagang kipas yang hanya terbuat dari bambu itu, ketika menangkis tiga buah senjata itu,
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
87 menimbulkan suara nyaring seolah-olah senjata mereka bertemu dengan baja, dan yang luar biasa sekali, setiap kali terbentur senjata tajam, gagang kipas itu langsung melesat dan ujung gagang itu menotok pergelangan tangan. Begitu tepat totokannya sehingga lengan itu seketika menjadi
hampir lumpuh !
Sementara itu, Hai-tok juga sudah menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh Thian-te
pai. Karena ilmu silat Thian-te-kun yang mereka pergunakan itu merupakan penggabungan
tenaga lemas dan kasar, lima orang itu menyerang dengan berselang-seling, ada yang melakukan
pemukulan dengan amat kuat, ada pula yang menampar dengan lembut namun mengandung
tenaga singkang yang berbahaya. Serangan mereka juga bertubi dan saling susul, karena mereka itu memasang bentuk barisan Ngo-heng-tin dan mengepung dari lima jurusan. Akan tetapi, sikap kakek tinggi besar berpakaian mewah ini tidak kalah anehnya dari sikap San-tok. Dia membuat
gerakan seperti menari, kedua lengannya bergerak ke kanan kiri muka belakang dan dari kedua
ujung lengan bajunya menyambar angin yang amat kuat dan ........ empat orang sute dari Coa
Bhok terpental, sedangkan Coa Bhok sendiri terhuyung ke belakang ! Padahal wakil ketua
Thian-te-pai ini memiliki tenaga singkang yang cukup kuat ! Sukar untuk dapat dipercaya betapa hanya dengan angin pukulan saja, Hai-tok membuat lima orang lawan yang tangguh itu
terpelanting. Tentu saja wajah Coa Bhok berubah merah sekali. Sebagai wakil ketua Thian-te-
pai, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, akan tetapi kenapa menghadapi kakek ini, padahal dibantu empat orang sutenya, mereka berlima dibuat tidak berdaya seperti lima orang
anak kecil saja ! Dia menjadi penasaran dan bersama empat orang sutenya mengepung lagi,
seperti juga tiga orang perwira tinggi sekarang sudah mengepung tubuh San-tok yang masih
berdiri tegak. Tiga orang perwira tinggi itu sudah menyerang lagi dengan senjata mereka, kini secara
berbareng karena mereka maklum bahwa lawan terlalu tangguh untuk diserang secara bergantian.
Tiga batang senjata tajam itu menyerang dari tiga jurusan dalam detik yang sama. Akan tetapi, tiba-tiba mata tiga orang itu menjadi gelap ketika kipas itu mengebut dan berkelebatan di depan muka mereka. Hawa dingin dari angin kipas membuat mereka tidak dapat membuka mata dan
tahu-tahu dua orang teman Pouw Gun terpukul gagang kipas, perlahan saja di pundak mereka
namun cukup membuat mereka terpelanting dengan golok terlepas dari tangan karena tubuh
mereka kehilangan tenaga dan pundak terasa nyeri bukan main. Adapun Pouw Gun yang lebih
lihai dan bertindak hati-hati, dapat mengelak dari sambaran kipas dan tahu-tahu pedangnya sudah menusuk dari samping ke arah lambung San-tok. Kakek ini miringkan tubuh, tangan kirinya
bergerak ke bawah dan mencengkeram pergelangan tangan Pouw Gun yang terpaksa melepaskan
pedangnya karena dia merasa seolah-olah pergelangan tangannya itu patah-patah. Di lain detik, tengkuknya sudah dicengkeram oleh tangan kiri San-tok dan tidak mampu berkutik lagi !
Di lain bagian dengan amat mudahnya Hai-tok juga sudah membuat para pengeroyoknya
Kocar kacir. Serangan-serangan lima orang itu yang dilakukan lebih cepat dan kuat disambutnya Dengan totokan-totokan kedua ujung lengan bajunya sehingga dalam segebrakan saja, empat
orang sute dari Coa Bhok sudah roboh oleh totokan. Coa Bhok dapat menangkis totokan ujung
lengan baju, akan tetapi pada saat itu tangan kanan Hai-tok sudah bergerak mencengkeram ke
arah ubun-ubun kepalanya. Coa bhok terkejut sekali dan dengan menarik tubuh atasnya ke
belakang, cengkeraman itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, cengkeraman itu hanya gertak
saja, atau berfungsi sebagai gertakan kalau dielakkan, karena secepat ular mematuk, ujung lengan baju dari tangan yang mencengkeram itu telah mencuat ke depan dan tahu-tahu sudah menotok
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
88 dan mengenai jalan darah di pundak Coa Bhok, seketika tubuh wakil ketua Thian-te-pai ini
menjadi lemas dan Hai-tok telah mencengkeram tengkuknya !
"Hai-tok, terimalah ini !" terdengar San-tok berseru sambil melontarkan tubuh Pouw Gun
yang dicengkeramnya tadi.
"Nih, untukmu !" Hai-tok juga berteriak. Keduanya sama-sama melontarkan tubuh orang
yang dicengkeram tengkuknya, dengan maksud untuk saling menyerang karena setelah kini tidak
ada lagi yang menjadi penghalang, dua orang Racun Dunia ini telah teringat kembali akan
persaingan mereka ! Dua batang tubuh yang sudah tidak mampu bergerak itu melayang ke udara
dan saling bertumbukan di udara. Sungguh sial bagi mereka, tubuh mereka yang melayang itu
tepat sekali saling hantam muka sama muka.
"Dukkk .......... !" Darah muncrat dari hidung dua orang itu yang sama sekali tidak
berdaya untuk mengelakkan tubrukan antar hidung itu dan tubuh mereka terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan !
Dua orang perwira yang maklum bahwa mereka tidak mampu menang menghadapi
San-tok, segera menolong Pouw-Gun, memanggulnya dan membawanya pergi tanpa pamit. Juga
empat orang tokoh Thian-te-pai menolong wakil ketua mereka dan menggotongnya pergi tanpa
pamit. Terlalu hebat peristiwa yang menimpa dua golongan ini. Pouw Gun adalah jagoan
pengawal istana yang biasanya amat ditakuti, juga Coa Bhok adalah wakil ketua Thian-te-pai
yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini, dua orang itu hanya
menjadi barang permainan yang sama sekali tidak berdaya di tangan dua orang Racun Dunia.
Kini dua orang kakek itu sudah saling berhadapan lagi, seperti lupa akan perkelahian
yang baru saja terjadi. Dalam perkelahian tadipun mereka bersaing, tidak mau kalah dan
memang mereka menyelesaikan perkelahian itu dalam dua gebrakan saja !
"San-tok, kalau aku dapat mengantarmu ke alam baka sekarang, matipun aku akan dapat
terpejam !" kata Hai-tok.
"Ha " ha " ha, aku yang akan membuat engkau mampus dengan mata melek, Racun
Lautan !" balas Bu-beng San-kai.
Belum habis ucapan ini Hai-tok sudah menerjang maju didahului oleh sinar kuning emas
karena menghadapi lawan berat ini, Si Racun Lautan sudah mencabut tongkat emasnya dan
menyerang dengan dahsyat. Tongkat emas itu berobah menjadi sinar berkeredepan menyambar
bagaikan kilat cepatnya.
Si Racun Gunung tidak mau kalah. Kipas bututnya mengebut dengan tangkisan yang
amat kuat. "Cringgg .......... !" Bunga api berpijar dan keduanya menarik kembali senjata mereka,
lalu saling serang lagi dengan cepat dan bertenaga kuat. Angin sambaran senjata mereka
bersiutan, kadang-kadang berdesing saking cepat dan kuatnya. Makin cepat gerakan mereka,
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
89 makin kabur lagi pandang mata mereka yang nonton perkelahian itu. Bayangan tubuh mereka
segera diselubungi gulungan dua sinar, putih dan kuning emas.
Para hwesio Siauw-lim-pai memandang dengan sinar mata penuh kagum, bahkan mereka
yang belum begitu tinggi tingkatnya, tak dapat mengikuti gerakan dua orang tokoh sakti itu
dengan jelas. Kini hampir seluruh hwesio Siauw-lim-pai berada di luar dan sejak tadi nonton
peristiwa hebat yang terjadi di luar pintu gerbang kuil mereka. Yang dapat mengikuti
perkelahian antara dua orang itu dengan jelas hanyalah Siauw-bin-hud seorang. Kakek ini juga merasa kagum dan maklum bahwa dua orang itu memang memiliki ilmu silat yang kiranya sukar
dicari bandingannya pada jaman itu. Betapa sukarnya kedua orang itu mengumpulkan semua
ilmu kepandaian itu, betapa lamanya mereka melatih dan mencari ilmu-ilmu itu. Timbullah rasa sayang dalam hati hwesio gendut ini. Dua orang itu sudah tua, tidak perlu bertanding untuk
saling membunuhpun akan berapa lama lagi mereka dapat mempertahankan hidup masing-
masing " Dia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, biarpun akan makan waktu yang
lama, tentu seorang di antara mereka akan tewas, atau setidaknya keduanya akan menderita luka yang amat parah. Usia mereka sudah terlalu tua untuk dapat bertahan dalam perkelahian seperti itu. Dia dapat melihat dengan jelas betapa Hai-tok menang kuat dan tongkatnya itu lihai bukan main, akan tetapi di lain pihak, San-tok menang cepat dan agaknya menang daya tahannya,
menang kuat napasnya.
"Omitohud, belum cukupkah main-main ini " Ha " ha, kalian seperti dua orang anak
kecil berebut kembang gula saja !" Sambil berkata demikian, tiba-tiba nampak tubuh yang
gendut itu bergerak maju seperti sebuah bola besar dan tahu-tahu kakek tua renta gendut itu
sudah masuk di antara dua gulungan sinar. Terdengar dua orang Racun Dunia itu berseru kaget
dan dua gulungan sinar itupun lenyap. San-tok dan Hai-tok masing-masing meloncat ke
belakang dan mereka memandang kepada Siauw-bin-hud dengan mata terbelalak penuh kagum.
Ketika mereka sedang berkelahi dengan penuh semangat tadi, tentu saja mereka melihat
masuknya hwesio tua ini. Mereka menganggap kebetulan karena mereka memperoleh
kesempatan untuk menguji hwesio ini yang sejak dahulu memang belum pernah dapat mereka
kalahkan. Dengan menambah kecepatan gerakan dan besarnya tenaga, mereka mengharapkan
untuk dapat membuat Siauw-bin-hud tidak mampu memisahkan mereka, bahkan membahayakan
keadaan hwesio tua itu sendiri. Akan tetapi, begitu tubuh gendut itu masuk dan kedua tangannya mendorong, ada hawa pukulan yang demikian kuatnya sehingga keduanya tidak sanggup
bertahan lagi, masing-masing terdorong ke belakang dan tentu akan terhuyung kalau saja mereka tidak cepat melompat ke belakang untuk melenyapkan tenaga dorong yang amat hebat itu !
San-tok lebih dulu dapat menguasai dirinya. "Ha " ha, memang hanya Siauw-bin-hud
yang kiranya mampu menguasai Giok-liong-kiam pada enam tahun yang lalu dan Siauw-bin-hud
pula yang kini akan dapat membongkar rahasia ini dan menemukan kembali Giok-liong-kiam."
Dia lalu melangkah mundur sambil mengipasi tubuhnya yang berkeringat. Perkelahian melawan
Hai-tok tadi menyadarkannya bahwa dia sudah tua dan bahwa Hai-tok merupakan lawan yang
masih seperti dulu, tangguh dan sukar dikalahkan.
Diam-diam Hai-tok masih merasa penasaran terhadap San-tok. Akan tetapi, melihat
munculnya Siauw-bin-hud, diapun merasa tidak enak untuk mendesak. Perbuatan Siauw-bin-hud
yang melerai tadi saja sudah membayangkan bahwa hwesio tua ini merupakan lawan yang lebih
berat dibandingkan San-tok, padahal Racun Gunung itupun masih cukup berat baginya dan dia
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
90 tidak terlalu yakin akan dapat mengalahkan kakek kurus itu. Maka diapun menyimpan
tongkatnya, menarik napas panjang.
"Sudahlah, akupun harus tahu diri. Enam tahun lagi, kalau aku masih hidup, aku ingin
melihat engkau memenuhi janjimu, Siauw-bin-hud. Atau kalau tidak, tentu ada yang mewakili
aku !" Setelah berkata demikian, dia mendengus dan memberi isyarat kepada tujuh orang
pemuda yang mengiringkannya. Tujuh orang pemuda itu adalah anak buahnya, atau lebih tepat
lagi pelayan-pelayan dan juga kekasih-kekasihnya, karena kakek majikan Pulau Layar ini
memang suka sekali dengan pemuda-pemuda remaja yang tampan halus. Semenjak intrinya
meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang kini sudah berusia kurang lebih
sebelas tahun, kakek ini mulai dengan pemuda-pemuda tampan ! Kesukaan memelihara pemuda-
pemuda tampan sebagai pengganti selir-selir wanita ini memang banyak dimiliki oleh hartawan-
hartawan atau bahkan pejabat-pejabat tinggi di jaman itu.
Setelah rombongan dari Pulau Layar ini pergi, San-tok lalu berlutut dekat murid atau cucu
angkatnya yang masih pingsan. Kini wajah Lian Hong tidak begitu kebiruan lagi, mulai putih,
dan pernapasannya juga mulai longgar. Beberapa kali dia mengurut leher dan punggung gadis
cilik itu dan akhirnya Lian Hong siuman. Ketika kakek ini mengangkat muka, dia melihat betapa Siauw-bin-hud melakukan hal yang sama terhadap diri Ci Kong dan pemuda cilik itu siuman
lebih dahulu. "Ha " ha " ha, anak baik, sungguh engkau menerima keuntungan besar sekali. Hayo
cepat menghaturkan terima kasih kepada Bu-beng San-kai !" kata Siauw-bin-hud kepada Ci
Kong. Tentu saja anak ini mengerutkan alisnya dengan penasaran. Jelas bahwa kakek itu tadi
mencelakakannya melalui penyaluran tenaga dalam, bagaimana sekarang susiok-couwnya bahkan
menyuruh dia menghaturkan terima kasih "
"Hong Hong, cepat kauhaturkan terima kasih kepada Siauw-bin-hud yang telah memberi
petunjuk padamu !" Mendengar ini, Lian Hong cemberut, akan tetapi ia tahu bahwa kakeknya
yang suka senyum-senyum itu berwatak aneh dan tidak mau dibantah, maka biarpun dengan hati
panas, terpaksa iapun melangkah maju dan hampir saja ia bertabrakan dengan Ci Kong yang juga
melangkah maju untuk memenuhi perintah susiok-couwnya. Lian Hong tidak mau minggir, dan
Ci Kong yang mengalah dan mengelak ke pinggir. Gadis cilik itu agaknya menanti dan sengaja
bersikap lambat.
"Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih kepada locianpwe dan maafkan
kelancangan saya tadi." Ci Kong menambah kalimatnya karena anak yang cerdikini maklum
bahwa susiok-couwnya tidak mungkin menyuruhnya berterima kasih kalau tidak ada sesuatu
yang menguntungkan dirinya. Karena itulah, di samping menghaturkan terima kasih, sekalian dia minta maaf mengingat betapa tadi dia bersikap lancang dan berani memukul perut kakek itu.
Melihat betapa pemuda cilik itu telah memberi hormat sambil berterima kasih kepada
Jodoh Rajawali 30 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Durjana Dan Ksatria 9
^