Pedang Naga Kemala 8

Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


"Dessss .......... !" Sebuah tendangan yang amat keras dari samping mengenai pangkal
paha si muka bopeng dan tubuhnya terlempar dan terguling-guling. Dua orang kawannya
terkejut dan marahlah mereka ketika melihat bahwa yang menendang kawan mereka itu adalah
seorang laki-laki yang berpakaian sederhana dan memakai topi bambu sederhana dan lebar.
Laki-laki ini tubuhnya sedang saja, akan tetapi nampak kokoh kuat. Bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada bidang yang ditumbuhi bulu halus. Dari pakaian yang ketat dan
ringkas itu, membayang otot-otot lengan dan kakinya. Seorang pria yang nampak kuat sekali,
berwajah sederhana namun gagah dan sinar matanya tajam dan jernih penuh kejujuran dan
keterbukaan, juga keberanian. Si muka bopeng juga sudah bangkit berdiri, mukanya merah
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
212 matanya melotot dan dia menyambar goloknya yang tadi diletakkan di atas tanah ketika dia
hendak memperkosa Sheila.
"Jahanam keparat !" bentaknya marah sambil mengelebatkan goloknya. "Siapakah
anjing yang tak tahu diri, berani sekali menentang kami Tung-hai Sam-liong (Tiga Naga Laut
Timur) ?" Pemuda itu adalah Gan Seng Bu. Mendengar julukan yang amat muluk dan besar itu, dia
menahan senyum. Sebagai seorang yang selama ini aktip dalam pergerakan menentang
pemerintah penjajah, tentu saja dia mengenal tokoh-tokoh di sekitar Kanton. Dan tidak ada
golongan pendekar atau tokoh sesat sekalipun di daerah ini yang memiliki julukan seperti itu.
Hal ini hanya menunjukkan bahwa tiga orang ini hanyalah bajingan-bajingan kecil yang suka
memakai nama-nama besar, akan tetapi tetap saja nama itu tidak terkenal karena tindakan-
tindakan mereka hanyalah kejahatan-kejahatan kecil dan rendah saja sehingga nama julukan
itupun tidak dihiraukan orang. Banyak sekali terdapat penjahat-penjahat kecil seperti ini, segala tukang copet, maling dan rampok kecil saja menggunakan nama-nama julukan yang setinggi
langit. Akan tetapi kegelian hatinya melihat lagak mereka dan mendengar julukan mereka tidak mengusir rasa muak dan marah dari dalam lubuk hati Seng Bu. Dia memang murid seorang
datuk sesat yang teramat jahat seperti Thia-tok itu, akan tetapi di dalam dadanya terkandung api kegagahan yang membuat dia muak melihat tiga orang pria yang kuat hendak memperkosa
seorang gadis, walaupun gadis kulit putih sekalipun. Bagi orang-orang yang berjiwa gagah, tidak ada kejahatan yang lebih hina dan rendah dari pada kejahatan pria memperkosa atau menghina
wanita dengan kekerasan.
"Kalian berjuluk naga akan tetapi perbuatan kalian lebih hina dari pada tiga ekor cacing
busuk !" Seng Bu memaki. Belum habis kata-katanya, si bopeng sudah menyerang dengan
goloknya, menggerakkan golok itu yang menyambar dahsyat ke arah leher Seng Bu, disusul oleh
dua orang kawannya yang juga sudah menggerakkan golok menyerang pemuda itu. Melihat ini,
Sheila terkejut dan merasa ngeri. Gadis ini tadi cepat bangkit duduk setelah tiga orang yang hendak memperkosanya itu melepaskannya dan ia kini berdiri di sudut dengan wajah pucat.
Melihat betapa tiga orang laki-laki jahat itu kini menggerakkan golok yang tajam menyerang
pemuda gagah yang menolongnya, Sheila tak dapat menahan dirinya berseru nyaring.
"Jangan bunuh dia .......... ! Ah, jangan .......... !" Akan tetapi teriakannya segera terhenti dan memandang terbelalak. Ia hampir tidak dapat percaya akan pandangannya sendiri. Pemuda
yang menolongnya itu diserang oleh tiga orang lawannya, dengan golok tajam dan tiga batang
golok itu menyambar-nyambar ganas. Agaknya sudah tidak mungkin lagi pemuda itu akan dapat
menyelamatkan diri dari serangan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi, secara aneh sekali ia melihat betapa pemuda itu, kini topi bambunya terlepas dari kepala dan tergantung dengan tali kepunggungnya, berloncatan seperti seekor burung saja, menyelinap di antara sinar golok dan
begitu pemuda itu menggerakkan kaki tangannya, terdengar teriakan-teriakan keras dan tiga
orang penjahat itu tahu-tahu sudah terlempar ke kanan kiri dan terbanting roboh tak mampu
bangkit kembali ! Entah mati entah hidup, akan tetapi jelas bahwa mereka bertiga itu diam tak bergerak-gerak walaupun tidak nampak ada luka di tubuh mereka. Pemuda gagah perkasa itu
menyambar sebatang golok yang terlepas dari tangan pemiliknya.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
213 Sheila tidak mengenal pemuda itu dan tidak tahu orang macam apa adanya pemuda itu.
Melihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang pengeroyoknya dan kini memegang golok,
hatinya menjadi ngeri dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan kakinya dan lari
pontang-panting. Robeknya gaun bagian depan sebatas paha itu malah menguntungkan baginya
karena ia dapat berlari kencang dengan langkah lebar. Karena kebingungan dan ketakutan, Sheila malah lari kembali ke arah kereta. Melihat tubuh ayah ibunya yang masih menggeletak di dekat kereta, Sheila menjerit dan lupalah ia akan rasa takutnya. Ia lalu lari menghampiri mayat-mayat itu dan menubruk mayat ibunya, menangis mengguguk.
"Ibu .........., bawalah aku .......... bawalah aku .......... !" Tangisnya.
Tiba-tiba sebuah tangan yang amat kuat menangkap pergelangan lengan kanannya dan
Sheila seketika menghentikan tangisnya. Tubuhnya tiba-tiba ditarik ke atas dan ia terpaksa
bangkit berdiri. Dengan air mata berlinang dan muka pucat sekali ia menatap wajah orang yang menariknya. Tasa takutnya berkurang ketika ia melihat bahwa yang menariknya bangun dan kini
memegang lengan kirinya itu bukan lain adalah pemuda yang tadi merobohkan tiga orang jahat
itu. Sheila terbelalak menatap wajah pria itu, wajah yang gagah sekali akan tetapi yang pada saat itu diliputi kekerasan, kejantanan yang mengagumkan akan tetapi juga mengerikan. Apa lagi
melihat tangan pria ini memegang sebatang golok yang demikian tajam dan runcing.
"Le .......... lepaskan aku .........." kata Sheila lirih dan memelas.
Pria itu mengendurkan pegangannya, agaknya rasa halus dan lunak dan hangat dari lengan
yang dipegangnya itu mengejutkan dan membuatnya risi. Akan tetapi dia tidak melepaskan
pegangannya. "Kau harus pergi dari sini, nona." Akhirnya dia berkata.
"Tidak .......... ! Tidak .........., aku ingin bersama ayah ibuku .......... !" Ia menengok kembali ke arah dua buah mayat di dekat kereta.
"Nona, jangan bodoh. Mereka itu sudah tewas dan engkau masih hidup. Mari kita pergi
dari sini, cepat .......... !"
Seng Bu lalu menarik lengan gadis itu. Sheila meronta dan mempertahankan, akan tetapi
ia merasa betapa tenaga pemuda itu luar biasa kuatnya. Ia tetap mogok sehingga tubuhnya
terseret sampai berada di sisi lain dari kereta yang miring itu dan kini mayat ayah ibunya yang berada di balik kereta tidak nampak lagi.
Seng Bu berhenti menyeret dan membalik sambil menghardik gadis itu. "Apakah engkau
ingin mati tinggal di sini ?"
Dibentak secara kasar begitu, Sheila menjadi tersinggung dan timbul kemarahannya. Ia
menentang pandang mata pemuda itu dengan sepasang matanya yang jeli akan tetapi yang pada
saat itu basah dengan air mata. Sejenak mereka saling tatap dan terpaksa Seng Bu menundukkan pandang matanya, tidak tahan melawan lebih lama. Jantungnya berdebar tegang. Sudah sering
dia melihat wanita kulit putih, walaupun dari jarak jauh. Baru sekarang dia berdekatan, bahkan memegang lengannya yang halus lunak dan hangat. Dari dekat, nampak jelas sekali rambut itu.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
214 Rambut yang seperti benang emas, yang pernah membuat dia bergidik ketika melihat untuk
pertama kalinya. Tak pernah dia dapat membayangkan bagaimana rambut kepala tidak hitam
atau putih beruban, melainkan kuning emas ! Dan mata itu. Begitu lebar dan indah, dengan
manik mata bukan hitam putih, melainkan biru dan kelihatan dalam seperti lautan biru ! Dan
kulit yang putih sekali itu, tiada cacat sedikitpun, tidak seperti kulit orang-orang kulit putih yang pernah dia lihat penuh totol-totol merah. Gadis ini cantik bukan main. Buah dada yang hanya separuh tertutup gaun tipis itu nampak begitu padat, membusung dan nampak keras dan penuh.
Dia tidak berani memandang lebih lama lagi dan menunduk.
"Nona, engkau akan mati kalau tinggal lebih lama di sini .........." akhirnya dia berkata.
"Aku tidak takut mati. Lepaskan dan biarkan aku mati di sini !" jawab Sheila dengan
tegas walaupun ia tidak meronta lagi.
Seng Bu menjadi marah dan jengkel. Keadaan amat gawat dan berbahaya. Dia termasuk
kelompok seperti Thian-te-pang yang tidak memusuhi orang kulit putih karena pada waktu itu,
orang kulit putih dianggap malah berjasa dengan menentang pemerintah Mancu. Yang dimusuhi
oleh kelompoknya hanyalah pemerintah penjajah dan dalam hal ini, dia sendiri hanya terbawa-
bawa dan ikut-ikutan dengan suhengnya saja yang menjadi tokoh penting dalam Thian-te-pang
sekarang. Akan tetapi, pada waktu itu pergolakan terjadi di Kanton dan golongan anti orang kulit putih amat banyak dan amat kuat. Mereka adalah pendekar-pendekar yang timbul kemarahannya
karena orang kulit putih menyebar madat, lalu ada pula golongan-golongan penjahat yang
menyelundup atau menyusup ke dalam perjuangan para pendekar ini, mereka ini menyusup untuk
dapat merampok rumah-rumah orang kulit putih yang kaya, dengan dalih memusuhi mereka
seperti para pendekar. Tiga orang yang tadi dirobohkannya adalah penjahat-penjahat pula. Dia dan golongannya sama sekali bukan pembela orang kulit putih, hanya tidak memusuhi mereka
pada saat itu. Kalau tadi dia menyelamatkan gadis kulit putih ini hanya terdorong oleh
perasaannya, oleh sifat kegagahannya yang tidak mau membiarkan tiga orang laki-laki
memperkosa seorang gadis yang tidak berdaya. Dan kini, setelah bersusah payah menolong, dan
hendak menyelamatkan gadis itu dari tempat berbahaya itu, si gadis menolak dan memilih mati !
"Nona, kalau mereka datang dan membunuhmu, hal itu tidak perlu kita pusingkan lagi.
Akan tetapi bagaimana kalau mereka membawamu dan memperlakukan seperti tiga orang
penjahat tadi " Apakah engkau menghendaki hal itu terjadi atas dirimu ?"
Ucapan itu seperti sengatan yang menyakitkan. Wajah gadis itu berobah pucat dan ia
sudah menengok ke kanan kiri dengan sikap ketakutan. "Jangan .......... ! Tolonglah aku .........."
"Kalau begitu, mari kita pergi. Kita harus cepat pergi dari sini, lebih cepat lebih baik."
Baru sekarang Sheila teringat akan pesan ayahnya. Ia harus cepat pergi ke kapal !
Peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya tadi sempat membuat ia lupa lagi akan niatnya
melarikan diri.
"Ouhhh .......... tolonglah saya, tolong antarkan saya ke kapal. Saya harus segera pergi ke
sana, menyelamatkan diri ?"". !" katanya dan menuding ke arah pantai yang masih agak jauh
dari tempat itu.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
215 Seng Bu menengok ke timur. Tentu saja, menggunakan kepandaiannya, dia akan dapat
menerobos dan membawa nona ini sampai ke pantai, ke kapal. Akan tetapi ada dua hal yang
membuat dia mengambil keputusan untuk tidak melakukan hal ini. Pertama, andaikata dia
berhasil melarikan nona ini sampai ke kapal, dia sendiri tentu akan dicurigai dan tidak merupakan hal yang mustahil kalau dia langsung saja ditembak dan dibunuh oleh orang kulit putih. Dan ke dua, entah bagaimana, dia tidak ingin melihat gadis itu pergi meninggalkan dia !
Seng Bu menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, nona. Lihat, ada kebakaran-kebakaran
di sana. Mereka telah menghadang di jalan dan mereka bahkan akan menyerang kapal-kapal itu.
Kalau nona ke sana, sebelum sampai di kapal tentu akan tertawan." Dia tidak berbohong karena kalau Sheila pergi sendirian ke pantai, tentu dara itu akan terhadang dan tertangkap. Tentu saja kalau dia yang membawanya, dengan mengandalkan kepandaiannya, banyak kemungkinan gadis
itu akan selamat sampai di pantai !
Sheila menjadi bingung. Dengan matanya yang lebar dan basah ia lalu memandang wajah
pemuda itu. "Habis .......... lalu aku harus pergi ke mana .......... ?"
"Mari ikut bersamaku, nona. Aku akan menyelamatkanmu. Percayalah, aku akan
melindungimu dengan taruhan nyawaku, nona."
Sepasang mata yang basah itu terbelalak, penuh keheranan, penuh terima kasih dan
keharuan. Kata-kata pemuda itu, apa lagi yang terakhir, menimbulkan kesan mendalam di hati
Sheila dan wajah itu nampak demikian simpatik, demikian mengagumkan sehingga terasa ada
kedamaian dan keamanan yang menenangkan di hatinya.
"Baiklah, aku tidak tahu harus ke mana .......... aku tidak punya siapa-siapa lagi .........."
"Mari, nona," kata Seng Bu yang melihat bayangan banyak orang datang dari sebelah
selatan. Dia menggandeng tangan Sheila, tidak lagi memegang pergelangan lengannya dan
menarik gadis itu, diajaknya lari ke barat.
Akan tetapi, baru kurang lebih satu mil mereka berjalan, tiba-tiba Sheila terpekik dan
memandang ke depan dengan mata terbelalak. Di depan mereka nampak serombongan orang
laki-laki yang jumlahnya duapuluh orang lebih, semua memegang senjata dan nampak mereka itu
menyeramkan sekali, dengan senjata di tangan, dengan pakaian kusut, mata beringas dan sikap
membayangkan kekerasan. Dan bukan hanya Sheila yang terkejut, akan tetapi Seng Bu juga
kaget sekali. Dia mengenal mereka itu sebagai golongan anti kulit putih ! Celaka, pikirnya, tak mungkin menyembunyikan kenyataan bahwa gadis yang berjalan di sampingnya adalah seorang
gadis kulit putih dan tentu mereka takkan tinggal diam ! Dan yang membuat hatinya merasa
tidak enak adalah ketika dia mengenal mereka itu sebagai pendekar-pendekar pejuang, bukan
orang-orang jahat.
"Maaf, terpaksa aku memperlakukanmu sebagai tawananku !" Seng Bu berbisik dan kini
dia sudah menyambak rambut kuning emas yang panjang itu dan menyeretnya.
"Auuwww .......... !" Sheila menjerit kaget dan ketakutan, tidak mengerti mengapa kini
penolongnya bersikap demikian terhadap dirinya.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
216 Kini rombongan orang dari depan itu telah berada di situ. Mereka nampak gagah perkasa
dan kuat, akan tetapi karena pada saat itu mereka berada dalam suasana perang, di mana semua
kebencian ditumpahkan melalui darah, mereka kelihatan beringas dan liar.
"Iblis putih betina !" Terdengar seruan-seruan mereka. Mereka adalah orang-orang yang
membenci orang kulit putih dan menyebut orang kulit putih itu "iblis putih". Ramailah duapuluh lima orang itu kini mengurung Seng Bu yang menyeret rambut Sheila. Melihat pemuda ini
menyeret rambut Sheila, mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa.
"Hei, kawan !" teriak pemimpin mereka, seorang laki-laki yang berusia limapuluh tahun
lebih, berperut gendut dan memegang sebatang ruyung besar. "Dari mana kau memperoleh iblis
putih betina ini dan kenapa tidak langsung saja dibunuh ?"
Seng Bu tersenyum. "Aku telah membunuh seluruh keluarganya dan dia kubawa untuk
kusiksa di depan makam ayahku yang tewas karena madat. Baru akan kubunuh dia di depan
makam ayah agar disiram dengan darahnya !"
Hampir pingsan Sheila mendengar kata-kata penolongnya yang kini menyeret rambutnya
itu. Ia menjadi bimbang. Bagaimana kalau benar seperti yang dikatakan pemuda itu bahwa ia
sedang dibawa untuk disembelih di atas makam ayah pemuda ini " Ia bergidik dan hanya
merintih di dalam hati, hanya dapat memejamkan mata dan berdoa kepada Tuhan agar
melindungi dirinya.
Mendengar ucapan Seng Bu, terdengar suara ketawa dan orang-orang itu memuji Seng
Bu. "Bagus, memang iblis-iblis putih patut disembelih semua diatas makam korban madat.
Selamat, kawan, semoga kebaktianmu itu diterima oleh arwah orang tuamu," kata si gendut yang lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk melanjutkan perjalanan.
"Hayo cepat !" Seng Bu menghardik Sheila dan mendorongnya sehingga gadis itu
terhuyung dan jatuh bangun, ditertawai oleh rombongan orang itu. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara rombongan itu berseru, "Haiii ! Ia adalah puteri Opsir Hellway !"
Seng Bu tidak memperdulikan seruan itu karena dia sendiripun tidak tahu siapa adanya
gadis ini, akan tetapi tiba-tiba si gendut berteriak keras, "Hai, kawan. Berhenti dulu !"
Dengan sikap tenang, sambil memegang lengan Sheila, Seng Bu berhenti dan
membalikkan tubuhnya. Si gendut itu dengan langkah lebar menghampirinya, diikuti seorang
laki-laki bermata juling.
"Benarkah katamu, A-kong ?" tanya si gendut kepada si mata juling. Si mata juling
mendekat dan sepasang matanya yang juling meneliti Sheila. Gadis inipun merasa seperti pernah melihat laki-laki bermata juling ini.
"Tidak salah lagi ! Ketika aku mengunjungi keponakanku yang bekerja sebagai pelayan
di rumahnya aku pernah melihat gadis ini !" kata si juling dan sekarang Sheila teringat bahwa Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
217 memang si juling ini pernah mengunjungi seorang di antara para pelayannya yang oleh pelayan
itu diperkenalkan sebagai seorang pamannya dari dusun.
Si gendut kini menghadapi Seng Bu. "Kawan, gadis ini adalah puteri Opsir Hellway."
"Kalau begitu, mengapa " Aku tidak tahu siapa, akan tetapi siapapun gadis ini, ia harus
menjadi korban di makam ayahku !" kata Seng Bu dengan sikap tenang.
"Tidak, kawan. Ia puteri opsir, merupakan tangkapan penting. Ia harus kami bawa
sebagai tawanan penting. Pemimpin kami akan girang sekali mendapatkan tawanan opsir itu.
Opsir itu di samping Kapten Elliot merupakan musuh-musuh besar, dan puterinya tentu
merupakan tawanan penting sekali !"
"Tidak bisa. Akulah yang menangkapnya dan ia adalah tawananku !" kata Seng Bu.
Si gendut mengerutkan alisnya. "Kawan, kami adalah para pejuang, dan dalam
perjuangan, urusan pribadi harus dikesampingkan. Berikan gadis ini kepada kami dan jasamu
akan kami catat, kami laporkan kepada atasan kami !"
"Aku tidak perduli. Gadis ini menjadi tawananku dan siapapun tidak boleh
merampasnya!"
"Kau mau menjadi pengkhianat ?" Bentak si gendut.
"Aku bukan anak buahmu, aku tidak mengkhianati siapa-siapa."
"Tidak perlu banyak cakap, rampas saja gadis itu !" terdengar teriakan-teriakan. Seng Bu
maklum akan gawatnya keadaan, maka cepat ia menotok jalan darah di pundak Sheila yang
membuat gadis itu seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak, kemudian dengan tangan
kirinya Seng Bu memondong tubuh yang lemas itu di atas pundak kirinya. Sejenak jari-jarinya
menyentuh kulit daging yang lunak dan halus, akan tetapi semua perasaan aneh ini ditekannya
dan diapun meloncat ke depan.
Orang-orang itu berteriak-teriak dan beberapa orang sudah menghadang. Akan tetapi
Seng Bu menerjang mereka dan empat orang terpelanting ke kanan kiri ketika kaki tangannya
bergerak. Seng Bu hanya menggerakkan golok untuk menangkis senjata-senjata yang diarahkan
kepadanya, terutama sekali untuk menjaga agar tubuh yang dipondongnya tidak sampai terkena
bacokan atau tusukan. Begitu goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dia membuat
beberapa buah senjata lawan beterbangan. Tentu saja orang-orang itu merasa terkejut bukan
main. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu demikian lihainya. Hal ini menimbulkan
kecurigaan mereka dan mereka lalu mengepung. Si gendut yang memegang ruyung besar itu lalu
menubruk, menggerakkan ruyungnya menghantam ke arah tubuh Sheila yang dipanggul di atas
pundak kiri Seng Bu.
"Wuuuutttt .......... tranggg !!" Golok Seng Bu menangkis dan si gendut hampir
terpelanting. Dia mengeluarkan seruan kaget. Si gendut yang memimpin kelompok orang itu
terkenal dengan julukan Gajah Sakti. Dari julukannya ini saja dapat diduga bahwa dia tentu
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
218 memiliki tenaga yang kuat seperti gajah. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa kagetnya
ketika ruyungnya yang besar dan berat itu tadi ditangkis oleh Seng Bu, tubuhnya terpelanting dan hampir saja terlempar !
Seng Bu tidak ingin melayani orang-orang itu lebih lama lagi. Setelah dengan tamparan
gagang golok dan tendangan kaki dia merobohkan beberapa orang penghalang di depan,
tubuhnya meloncat jauh ke depan. Melihat betapa pemuda itu, sambil memondong tubuh gadis
itu, dapat melayang jauh ke depan seperti terbang, semua orang melongo dan menjadi jerih.
Kiranya yang mereka keroyok adalah seorang yang memiliki kepandaian sehebat itu ! Karena
mengejarpun tidak akan ada gunanya, si gendut dan teman-temannya hanya memandang sampai
bayangan Seng Bu yang memondong tubuh Sheila lenyap di dalam gerombolan pohon-pohon
lebat dalam sebuah hutan.
Sampai beberapa lamanya Seng Bu berlari kencang. Bari setelah dia merasa yakin bahwa
tidak ada orang yang mengejarnya lagi, dia berhenti dan dengan hati-hati dia menurunkan tubuh Sheila sambil membebaskan totokannya. Kembali jari-jari tangannya menyentuh kulit daging
yang lunak halus dan hamgat ketika dia menurunkan tubuh itu dan hidungnya mencium bau
keringat wanita bercampur dengan minyak harum yang keluar dari tubuh dan rambut Sheila.
Jantungnya berdebar kencang, akan tetapi Seng Bu dapat menekan batinnya sehingga jantungnya
berdenyut normal kembali.
Kini Sheila berdiri memandang dengan bengong dan sepasang matanya menatap wajah
Seng Bu penuh selidik. Ia sedang menimbang-nimbang, sedang menduga-duga, dengan siapa ia
berhadapan, orang macam apa adanya pemuda ini dan baik ataukah buruk niat yang terkandung
di hati dalam dada yang bidang itu. Dan diapun kagum bukan main karena kini ia merasa yakin
bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar ahli silat seperti yang pernah dibacanya dan
didengarnya dari dongeng para pelayannya.
"Kau .......... kembali telah menolong dan menyelamatkan aku dari tangan gerombolan
itu." "Karena itulah kukatakan tadi bahwa engkau harus cepat pergi. Terlalu berbahaya di
daerah ini dan banyak sekali rombongan seperti mereka itu."
"Siapakah gerombolan itu ?"
"mereka bukan gerombolan jahat, sama sekali bukan seperti tiga orang bajingan yang
menangkapmu pertama kali itu. Tidak, mereka tadi adalah sepasukan patriot, orang-orang gagah yang memusuhi orang kulit putih." Baru dia teringat bahwa yang diajak bicara adalah seorang
gadis kulit putih. "Maaf, aku tidak dapat menyalakan mereka .........." Dan dengan berani Seng Bu menentang pandang mata itu.
Sheila menarik napas panjang, lalu berkata lirih. "Tidak, akupun tidak dapat menyalakan
mereka !"

Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ucapan ini mengejutkan dan mengherankan hati Seng Bu dan dialah yang kini
memandang wajah gadis itu penuh selidik. "Apa " Benarkah itu " Mereka memusuhi
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
219 bangsamu, bahkan membunuh bangsamu, juga orang tuamu terbunuh oleh mereka dan kau tidak
menyalakan mereka " Apa maksudmu ?"
Kembali Sheila menarik napas panjang. "Bangsaku bersalah, aku sudah sejak lama tidak
setuju dengan perdagangan candu mereka. Benda itu berbahaya, meracuni rakyat. Aku melihat
akibat-akibat mengerikan dari madat itu. Jadi kalau sekarang bangsamu marah dan memusuhi
bangsaku, bagaimana aku dapat menyalakan mereka " Andaikata aku menjadi mereka, akupun
akan berbuat demikian !"
Seng Bu terbelalak, matanya memandang kagum.
"Aihh, engkau .......... engkau seorang gadis yang bijaksana sekali !"
"Dan engkau .......... engkau tentu seorang pendekar yang pandai ilmu silat."
Seng Bu semakin heran. "Eh, bagaimana engkau bisa tahu tentang pendekar silat ?"
"Aku banyak membaca tentang pendekar dan banyak mendengar dari para pelayanku "."
Seng Bu mengangguk-angguk. "Kiranya nona seorang terpelajar. Ah, baru teringat aku
bahwa nona, biarpun seorang asing kulit putih, akan tetapi pandai sekali berbahasa daerah dan kata-katamu sopan halus seperti orang terpelajar."
"Sejak berusia empat tahun aku tinggal di sini, tentu saja aku pandai bahasa sini.
Benarkah engkau menolongku dengan maksud baik, ingin menyelamatkan aku " Tidak akan
kaubawa untuk .........." wajah gadis itu memandang jijik.
"Untuk apa. Nona ?"
"Untuk kaubunuh di makam ayahmu agar darah ku membasahi makam ayahmu .......... ?"
Ia bergidik ngeri.
Seng Bu menggeleng kepala. "Tidak, tadi hanya kupakai agar mereka mau membiarkan
aku membawamu pergi. Siapa kira ada yang mengenalmu. Jadi kau anak opsir ?"
Sheila mengangguk. "Ayah dan ibu telah tewas .........." dan tiba-tiba ia menangis lagi,
menangis terisak-isak karena teringat akan mayat ayah ibunya yang menggeletak di dekat kereta.
Seng Bu memandang gadis yang kini tak dapat menahan kesedihannya itu. Sheila merasa
betapa tubuhnya lemas tak bertenaga lagi setelah kini terlepas dari bahaya dan teringat akan ayah bundanya. Ia menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tak memperdulikan betapa pakaiannya
menjadi kotor. Ia menutupi muka dengan kedua tangan, akan tetapi isaknya makin keras dan air mata mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya. Seng Bu merasa kasihan sekali dan diapun menghiburnya dengan suara lirih.
"Sudahlah, nona. Mereka sudah tewas, ditangisi sampai bagaimanapun tidak ada
gunanya. Yang sudah mati tidak perlu dipikirkan lagi, yang penting memikirkan yang masih
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
220 hidup dan engkau masih hidup, nona." Seng Bu bukan orang yang pandai mengatur kata-kata,
maka ucapan yang keluar dari lubuk hatinya ini walaupun mempunyai maksud yang amat baik,
namun tidak dimengerti oleh Sheila dan gadis itu menjadi makin mengguguk karena seolah-olah
diingatkan oleh pemuda itu bahwa hanya ialah seorang yang masih hidup seorang diri saja di
dunia yang penuh bahaya ini, di sebuah negeri asing yang kejam terhadap dirinya.
Melihat seorang gadis menangis demikian sedihnya, hal yang baru pertama kali ini
dialami oleh Seng Bu, hati pemuda ini diliputi keharuan dan rasa kasihan yang mendalam dan
suara tangis itu demikian memilukan hatinya sehingga tanpa disadarinya lagi kedua matanya
menjadi basah !
"Aku ?"". aku memang masih hidup ?"". akan tetapi apa artinya " Aku ?"".
aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hidup sebatangkara di sini ?"". !" kata Sheila di antara tangisnya.
"Nona, engkau tidak sendirian dalam hal ini. Akupun hidup sebatangkara, tidak punya
siapa-siapa lagi, ayah ibuku juga ?"". sudah mati semua, terbunuh ?""."
Sheila yang tadinya sesenggukan itu tiba-tiba saja menghentikan tangisnya, mengangkat
muka dari lindungan kedua tangannya dan dengan mata merah basah memandang wajah Seng
Bu, sinar matanya penuh selidik dan kedua alisnya berkerut. "Orang tuamu ?"". Mereka mati
karena ?"". madat ?"". ?" Suaranya mengandung penuh kekhawatiran, dan teringatlah ia
akan kata-kata ancaman yang dipergunakan oleh pemuda itu kepada gerombolan yang tadi
hendak menawannya.
Seng Bu menggeleng kepala. "Sama sekali tidak. Mereka tewas .......... karena kekacauan
yang timbul oleh pemberontakan. Aku melihat .......... mereka terbunuh tanpa dapat berbuat apa-apa .........." Seng Bu menghentikan kata-katanya dan kesedihan memenuhi hatinya karena
percakapan itu mengingatkan dia akan keadaan dirinya sendiri, akan kematian ayah bundanya
dan akan semua kesengsaraan yang pernah dialaminya dan baru sekali ini dia bicarakan dengan
orang lain. Tanpa terasa olehnya, kedua matanya menjadi basah, bahkan ada dua butir air mata mengalir turun di atas pipinya.
Melihat betapa pemuda yang demikian gagah perkasa itu menitikan air mata, Sheila
menjadi terharu sekali. Gadis ini kini tidak merasa begitu berduka lagi, melainkan terharu dan kasihan kepada Seng Bu. Kini air mata yang jatuh menitik dari kedua matanya berbeda lagi
dengan air matanya yang tadi, seperti juga air mata yang jatuh dari mata Seng Bu berbeda dengan air mata yang membasahi kedua matanya sebelum dia terkenang akan keadaan dirinya sendiri.
Tangis merupakan suatu peristiwa amat penting dari kehidupan, bahkan air mata tidak
terpisahkan dari kehidupan seorang manusia. Kebohongan besarlah kalau seorang mengatakan
bahwa dia tidak pernah menangis ! Setidaknya, tentu dia pernah menangis dalam hatinya. Dan
tentu dia banyak menangis pula di waktu masih kecil, setiap hari menangis entah berapa kali.
Bahkan menurut penyelidikan para cendekiawan, tangis merupakan suatu keharusan bagi
manusia karena tangis merupakan obat yang amat mujarab, merupakan suatu pelepasan segala
ganjalan, pelampiasan segala kekecewaan dan kemarahan. Tanpa tangis, mungkin usia manusia
menjadi lebih pendek dari pada kepanjangan usia pada umumnya seperti sekarang ini.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
221 Tangis bukan hanya menjadi tanda kedukaan hatinya, bahkan kegembiraan yang besar,
manusia menitikkan air mata seperti orang menangis. Kegembiraan besar mendatangkan
keharuan yang membuat orang menangis pula. Agaknya hanya dalam suara tangis sajalah
terdapat suatu kesungguhan, suatu kewajaran, walaupun tentu saja ada tangis yang dibuat-buat.
Betapapun juga, tangis tidaklah sepalsu tawa.
Suara pertama dari manusia adalah tangis. Begitu terlahir, manusia dari bangsa apapun
juga, mengeluarkan suara pertama itu, ialah menangis. Dan suara ini adalah suara kemanusiaan, suara suci karena dikeluarkan dari mulut manusia sebagai gerakan pertama kali, keluar tanpa
dikehendaki, suara yang sama sekali tidak mengandung emosi, atau pamrih. Karena itu, suara
yang wajar ini dikenal oleh seluruh manusia di dunia tanpa membedakan bangsa dan bahasa,
menjadi satu-satunya suara yang amat dekat dengan manusia berbangsa apapun juga. Dari suara
tangis, kita tidak akan mampu membedakan apakah tangis itu keluar dari mulut seorang
berbangsa ini atau itu. Kelahiran manusia diiringi tangis, tangisnya sendiri. Kematiannyapun diiringi tangis, tangis mereka yang ditinggalkan. Kehidupan itu sendiri, antara lahir dan mati, penuh dengan selingan tangis !
Sesungguhnya, tangis merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hidup, dan tangis
merupakan pertanda dari keadaan batin yang macam-macam pula. Tangis duka didasari oleh rasa
iba diri, seperti yang dilakukan oleh Sheila dan Seng Bu ketika keduanya teringat akan keadaan diri mereka masing-masing. Ada pula tangis haru yang didasari oleh rasa iba terhadap orang lain.
Ada tangis karena kegembiraan yang besar. Tangis karena kemarahan. Tangis merupakan
pencerminan keadaan batin yang diusik emosi.
Demikian dekatnya tangis dengan kehidupan kita sehingga tangis inipun mudah sekali
menular. Berada di antara banyak orang yang sedang menangis, sukarlah bagi kita menahan diri agar tidak ikut menitikkan air mata.
Gan Seng Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, yang sejak kecil sudah
digembleng oleh keadaan yang pahit, oleh kesukaran, kemudian digembleng ilmu oleh seorang
datuk sesat yang sakti. Semenjak menjadi murid Thian-tok, dia tidak lagi pernah menangis,
seolah-olah hatinya telah membeku. Hanya karena memang pada dasarnya dia tidak suka akan
kejahatan, dan memiliki watak gagah perkasa, maka dia tidak terseret oleh watak gurunya yang
aneh, jahat dan amat kejam itu.
Akan tetapi, begitu bertemu dengan Sheila, terjadilah perobahan yang besar dan luar
biasa, yang membuat Seng Bu sendiri menjadi bingung dan terkejut. Dalam waktu sehari,
bahkan baru beberapa jam saja, setelah bertemu dengan Sheila, dia beberapa kali mengalami
guncangan batin, jantungnya berdebar penuh ketegangan, penuh kekhawatiran, dan lebih hebat
lagi, kini dia sampai dua kali menitikan air mata dalam keadaan yang berbeda ! Pertama,
keharuan dan iba terhadap diri gadis itu membuat dia tidak dapat menahan air matanya, dan kini, setelah teringat akan keadaan diri sendiri, dia menitikkan air mata karena iba diri dan duka.
Kedukaan, saling iba, dan persamaan nasib itu mendekatkan dua hati yang bertemu dalam
keadaan yang demikian mengharukan dan menyedihkan. Mereka duduk di atas rumput, kini
tidak bicara, hanya sinar mata mereka saling pandang dengan penuh getaran perasaan.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
222 "Engkau sungguh patut dikasihani, nona." Akhirnya Seng Bu berkata untuk menghibur
hati sendiri. Memang tidak ada cara yang paling mujarab untuk mengobati kesedihan diri sendiri dari pada mengalihkan perhatian kepada nasib lain orang, sehingga iba diri berobah menjadi iba kepada orang lain.
Jilid X ***** "Engkaulah yang patut dikasihani," jawab Sheila. Mereka saling merasa kasihan, dan
mereka sama sekali tidak sadar bahwa rasa iba ini merupakan jembatan yang dekat sekali untuk
menyeberang kepada cinta asmara.
"Tidak, nona. Aku adalah orang dari negeri ini, dan aku langsung terlibat, bahkan aku
juga ikut aktip dalam pergolakan sehingga sudah sepantasnya kalau aku menjadi korban
gelombang ini. Akan tetapi engkau, engkau seorang asing dan engkau sama sekali tidak tahu-
menahu tentang semua ini .......... dan engkau menjadi korban .........."
"Tidak ! Pandanganmu itu keliru, sahabat yang gagah. Setiap orang tentu menjadi sebab
dari pada akibat yang menimpa dirinya sendiri. Ayah bertugas di sini, dan ayah ikut pula
mendorong kereta kejahatan yang berupa penyelundupan madat ke negeri ini. Itulah sebab
terjadinya musibah hari ini. Dan apa bila ada angin ribut melanda, angin tidak memilih pohon apa saja tentu akan dilandanya, daun apa saja, bunga apa saja mungkin rontok oleh amukan angin dan badai. Biar aku tinggal di negeriku sendiri, kalau di sana terjadi badai seperti di sini, kalau terjadi pergolakan, mungkin saja aku tertimpa dan menjadi korban. Dalam hal ini, aku tidak
menyalahkan siapa-siapa, melainkan kesalahan pihakku sendiri, orang tuaku dan bangsaku."
Seng Bu tertegun. Demikian mendalam arti kata-kata gadis itu, demikian bijaksana
sehingga sukar ditangkapnya secara jelas, namun samar-samar dia dapat mengerti. Memang
gadis itu seorang yang bijaksana, luas pengetahuannya biarpun usianya masih muda, karena ia
banyak membaca. Bacaan, kalau dilakukan dengan tekun, kalau dilakukan dengan pencurahan
perhatian, merupakan sumber pengetahuan dan pengertian dan memupuk kebijaksanaan.
Seorang bijaksana akan melihat bahwa segala akibat itu tentu bersebab, dan kalau diteliti, maka segala akibat yang menimpa diri sendiri sudah pasti sebabnya bersumber pada diri sendiri pula.
Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk mencari kesalahan di luar diri sendiri, untuk mencari
kambing hitam atau keranjang sampah. Hal ini sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan
mengeruhkan pikiran, menimbulkan dendam dan permusuhan, kebencian kepada yang berada di
luar diri. Mengapa kita tidak pernah mau menjenguk ke dalam diri sendiri untuk mencari sebab dari pada setiap akibat yang timbul dan yang menimpa diri kita sendiri " Bukankah hal ini timbul karena kita sudah membuat dan menciptakan sebuah gambaran tentang diri kita sendiri, sebuah
gambaran yang menjadi raja "aku" " Aku yang paling baik, paling benar, dan paling patut
dikasihani, menjadikan kita menjadi rendah diri atau tinggi hati, satu di antara dua. Keakuan yang membuat kita enggan untuk mencari kesalahan pada diri sendiri.
Kalau kita tertipu seseorang, kita condong untuk mencurahkan semua perhatian kepada si
penipu, menyalahkannya, menuntutnya, membencinya, mendendam dan mencari jalan untuk
membalasnya berikut bunganya. Mengapa kita tidak menghentikan pencurahan keluar itu dan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
223 mencari sebabnya dalam diri sendiri " Kalau kita melakukan hal itu, maka akan nampaklah oleh kita sebabnya yang terutama adalah pada diri kita, yaitu karena kita lengah, karena kita bodoh, karena kita lemah, maka kita sampai tertipu. Pengamatan terhadap diiri sendiri ini jauh lebih besar manfaatnya, dapat membuat kita sadar dan menganggap peristiwa itu sebagai suatu
pengalaman berharga, sebagai pelajaran sehingga selanjutnya kita akan berhati-hati, akan
waspada sehingga tidak sampai tertipu lagi. Pandangan keluar, sebaliknya, mendatangkan emosi, dendam dan kebencian dan tidak akan menambah kewaspadaan kita sehingga kelak mungkin saja
hal yang sama terulang lagi karena kelengahan kita sendiri.
Dalam menghadapi setiap peristiwa yang menimpa kita, demikian kata orang bijaksana,
kita tidak menyalahkan Tuhan tidak mengutuk Setan, melainkan mencari sebab-musababnya
dalam diri kita sendiri !
"Nona, engkau tabah menghadapi semua penderitaan, membuat aku kagum sekali,"
akhirnya Seng Bu menyatakan kekaguman hatinya.
"Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan denganmu, sobat. Engkau gagah perkasa,
engkau berbudi mulia, biarpun aku seorang asing sama sekali bagimu, bahkan dari bangsa asing
yang telah banyak menimbulkan kesengsaraan kepada bangsamu, engkau masih mau
menolongku, bahkan melindungiku dengan taruhan nyawa. Bolehkah aku mengenal namamu ?"
"Namaku Gan Seng Bu, hidup sebatangkara saja di dunia ini."
"Gan Seng Bu " Nama yang gagah."
"Dan engkau siapakah, nona ?"
"Namaku Sheila."
"Sheila ?"". " Sheila ?"". ?" Seng Bu tidak memberi komentar, akan tetapi
beberapa kali bibirnya bergerak menyebut nama Sheila dengan lembut dan tidak kaku. Diam-
diam Sheila merasa girang bahwa namanya Sheila, sebuah nama yang tidak akan sukar
terucapkan oleh mulut pribumi yang sukar menyebut huruf "r". Coba namanya Margaret atau
lain nama yang menggunakan huruf itu tentu akan sukar bagi Seng Bu untuk menyebutnya.
Tidak, nama Sheila tidak sukar bagi lidah Seng Bu.
"Biarlah aku menyebutmu Seng Bu saja dan engkau menyebutku Sheila tanpa nona,
bagaimana ?"
Ketika Seng Bu mengangguk tersenyum, Sheila juga tersenyum dan pada saat itu
keduanya sudah lupa sama sekali akan keharuan dan kesedihan mereka tadi. Memang, suka atau
duka hanyalah permainan pikiran belaka yang menimbulkan emosi, kalau pikiran tidak lagi
tertuju kepada hal itu, tentu tidak ada pula duka atau suka !
"Seng Bu, setelah engkau mengajakku sampai ke tempat ini, lalu selanjutnya
bagaimanakah " Aku seharusnya pergi ke kapal dan menyelamatkan diri dengan orang-orang
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
224 kulit putih lainnya. Akan tetapi jalan ke sana sudah terputus dan aku berada di sini. Bagaimana selanjutnya " Engkau tidak akan meninggalkan aku begini saja di sini, bukan ?"
"Aih, tentu saja tidak, Sheila. Aku tidak akan berbuat kepalang tanggung. Aku sudah
berani mengajakmu ke sini, aku harus dapat mempertanggungjawabkan dan selanjutnya aku akan
melindungimu sampai .......... sampai engkau selamat benar."
Makin yakinlah hati Sheila akan kegagahan Seng Bu, akan kesungguhan hatinya
melindunginya dan hatinya mulai pasrah. Ia akan merasa aman kalau selalu berada di dekat
pemuda ini, dalam keadaan bagaimanapun juga.
"Terima kasih, Seng Bu. Akan tetapi, ke mana selanjutnya kita akan pergi ?" Ia menatap
wajah yang gagah itu. "Apakah engkau mempunyai rumah ?"
Seng Bu tersenyum dan semua bayangan kekerasan meninggalkan garis-garis wajahnya
ketika dia tersenyum. Dia menggeleng kepalanya dan Sheila melihat kuncir rambut yang hitam
gemuk dan panjang itu bergoyang di depan dada pemuda itu. Rambut yang hitam mengkilap,
gemuk panjang, bagus sekali.
"Aku adalah seorang yang hidup sebatangkara, tidak memiliki apa-apa, Sheila. Juga tidak
mempunyai rumah. Akan tetapi untuk sementara ini, aku tinggal bersama kawan-kawan lain di
dalam sebuah hutan di mana dibangun pondok darurat besar di mana kami tinggal bersama."
"Kawan-kawan ?"
"Ya, kawan-kawan seperjuangan, orang-orang gagah yang mempunyai cita-cita yang
serupa, yaitu mengenyahkan penjajah asing dari tanah air."
"Ah, sekarang aku tahu !" Sheila berkata dengan sikap gembira. "Aku sudah pernah baca
dan mendengar tentang pendekar-pendekar patriot yang bercita-cita membebaskan tanah air dari
cengkeraman pemerintah Mancu. Ada perkumpulan Tombak Merah, Pintu Besar, Thian-te-pang.
Yang manakah perkumpulanmu ?"
Seng Bu menggeleng kepalanya. "Aku bebas, tidak terikat perkumpulan yang manapun,
Sheila. Akan tetapi ada kukenal mereka itu karena kami setujuan, dan yang kini berkumpul dan bersembunyi di dalam hutan itu, sebagian besar memang anggauta-anggauta Thian-te-pang,
sebagian pula adalah pejuang-pejuang sukarela seperti aku, termasuk suhengku yang menjadi
tokoh Thian-te-pai yang terkenal pula."
Sheila lalu diajak melanjutkan perjalanan oleh Seng Bu, memasuki sebuah hutan besar
dan di tengah-tengah hutan itu Sheila dan Seng Bu disambut oleh puluhan orang. Mereka semua
terheran-heran melihat munculnya Seng Bu bersama seorang gadis kulit putih yang cantik jelita.
Mereka itu semua semua adalah orang-orang yang sejak kecil dididik memusuhi penjajah Mancu,
dan merupakan pejuang-pejuang yang ingin meruntuhkan kekuasaan Mancu, tidak mempunyai
rasa permusuhan terhadap bangsa kulit putih walaupun hal ini bukan berarti bahwa mereka
menyukai orang kulit putih. Tidak, kebanyakan dari mereka tidak suka kepada orang kulit putih, terutama sekali dengan adanya penyebaran madat. Namun, mereka tidak memusuhi bangsa asing
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
225 ini secara terbuka. Oleh karena itu, biarpun Sheila disambut dengan penuh keheranan, namun
tidak ada yang memusuhi atau ingin mengganggunya. Seng Bu lalu memperkenalkan Sheila
sebagai seorang gadis yang kehilangan semua keluarganya yang tewas oleh mereka yang anti
bangsa kulit putih dan bahwa dia telah menyelamatkan gadis itu dari gangguan penjahat-penjahat yang hendak memperkosanya. Mendengar ini, orang-orang yang kebanyakan berjiwa pendekar
itu ikut merasa simpati dan mereka menyambut kedatangan Sheila dengan sikap ramah, apa lagi
setelah mendengar dari mulut Sheila sendiri betapa gadis asing yang pandai bicara daerah ini
mengagumi perjuangan mereka. Sheila pandai bicara daerah, dan sikapnya juga ramah, wajahnya
manis menarik, maka sebentar saja semua orang merasa suka dan kasihan kepadanya. Di dalam
rombongan besar ini terdapat pula wanita-wanita, ada wanita yang menjadi anggauta keluarga
para pejuang itu, ada pula wanita gagah yang memang menjadi anggauta pasukan. Mereka yang
tidak suka akan kekerasan bekerja sebagai pelayan dapur umum. Karena adanya para wanita
yang menerima Sheila sebagai seorang sahabat, maka gadis inipun merasa senang dan tidak
terasing hidup di antara para pejuang itu. Dan lucunya, para wanita di dalam rombongan itu, dan juga sebagian besar di antara mereka, diam-diam menganggap bahwa Sheila adalah pacar atau
calon isteri Gan Seng Bu ! Semua orang menganggap hal ini sebagai suatu yang lumrah, bahkan
ketika mendengar desas-desus ini, baik Seng Bu maupun Sheila hanya senyum-senyum saja.
Hanya ada satu orang yang menerima berita ini dengan alis berkerut, dengan hati yang tidak suka dan orang ini bukan lain adalah Ong Siu Coan !
Mula-mula Ong Siu Coan juga bukan merupakan anggauta Thian-te-pang. Akan tetapi
sejak kecil dia memang bercita-cita untuk menentang pemerintah Mancu dan berjuang untuk
mengusir penjajah dari tanah air. Maka, begitu bertemu dengan perkumpulan seperti Thian-te-
pang yang terdiri dari orang-orang yang memiliki cita-cita demikian pula, hatinya segera tertarik dan diapun menggabungkan diri. Dan Siu Coan merupakan seorang pejuang yang gagah perkasa,
berilmu tinggi sehingga sebentar saja namanya terkenal sekali di antara orang-orang Thian-te-
pang, bahkan dia dianggap sebagai seorang tokoh Thian-te-pang walaupun dia tidak menjadi
anggauta secara syah. Dalam perkelahian dan penyerbuan terhadap pasukan pemerintah, Siu
Coan selalu berada di depan dan dicontoh oleh lain-lainnya, bahkan menjadi pemimpin mereka.
Ketika berjumpa dengan sutenya dalam keributan di sekitar Kanton, Siu Coan membujuk sutenya
untuk bergabung. Seng Bu tidak memiliki cita-cita seperti suhengnya, namun dia berjiwa
pendekar dan melihat bahwa Thian-te-pang terdiri dari orang-orang gagah yang juga membela
kaum lemah, diapun tidak berkeberatan untuk menggabungkan diri.
Ketika melihat sutenya pulang ke hutan bersama seorang gadis kulit putih yang cantik,
mula-mula Siu Coan hanya tersenyum saja dan menyambut dengan sikap biasa saja. Akan tetapi,
aneh sekali, begitu mendengar bahwa gadis itu adalah pacar dan calon isteri Seng Bu, mulailah timbul perasaan tidak enak di dalam hatinya. Dia sendiri tidak tahu bahwa itu adalah permulaan perasaan iri ! Mulailah dia memperhatikan Sheila dan makin diperhatikan, makin kagum dia
karena baru sekarang dia melihat bahwa Sheila adalah seorang gadis yang cantik sekali, dan
memiliki bentuk tubuh yang amat menggairahkan !
Perlu diketahui bahwa Thian-tok yang menjadi guru dua orang pemuda itu adalah seorang
datuk sesat yang berhati kejam sekali. Juga Thian-tok, seperti kebanyakan datuk sesat lalinnya, mempunyai watak mata keranjang dan suka menggoda wanita. Memang, setelah usianya tua
sekali, yaitu setelah menjadi guru kedua orang muda itu, kegilaannya akan wanita tidaklah seperti dahulu di waktu muda. Dahulu Thian-tok terkenal sebagai pengganggu wanita, tidak perduli
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
226 wanita itu isteri orang yang sudah mempunyai anak, ataukah gadis yang masih remaja, asal dia
tertarik tentu akan diculiknya begitu saja. Ketika dia menjadi guru Siu Coan dan Seng Bu, hanya beberapa kali saja dia menculik wanita dan hal inipun diketahui oleh dua orang muridnya. Diam-diam Seng Bu hanya merasa tidak senang, akan tetapi tidak berani menentang gurunya.
Sebaliknya, Siu Coan diam-diam merasa senang dan bahkan mencoba untuk mengintai apa yang


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diperbuat oleh suhunya. Dan secara diam-diam pula, di luar tahu sutenya, beberapa kali Siu
Coan juga mengikuti jejak gurunya, mengganggu wanita dengan paksa atau dengan halus.
Demikianlah, terdapat suatu watak buruk tersembunyi di balik lubuk hati Siu Coan yang
kelihatannya bersikap sebagai seorang pejuang, seorang patriot dan pendekar yang gagah perkasa itu. Dan melihat Sheila, timbul pula gairahnya yang didorong oleh perasaan iri dan cemburu
terhadap sutenya, apa lagi melihat betapa Sheila selalu bersikap manis dan mesra terhadap Seng Bu. Mulailah dia mendekati gadis kulit putih itu, mula-mula hal ini dilakukan ketika Seng Bu sedang tidak ada, dan secara wajar seperti seorang sahabat.
Dibandingkan dengan Seng Bu, Siu Coan lebih pandai bicara, pandai membawa diri dan
menyesuaikan diri dengan keadaan sekelilingnya. Juga dia lebih pandai dalam hal kesusasteraan, lebih luas pengetahuan umumnya, dan tentu saja jauh lebih pandai dibandingkan dengan Seng Bu
mengenai tulisan dan bacaan karena di waktu kecilnya Siu Coan pernah bersekolah, tidak seperti Seng Bu yang hanya anak keluarga pemburu yang kasar. Oleh karena itu setelah Siu Coan
melakukan pendekatan, tidak mengherankan kalau Sheila cepat tertarik sekali dan nampak
bergaul akrab dengan Siu Coan.
Sheila kini menjadi semakin kagum saja setelah hidup di tengah-tengah para pendekar
dan pejuang itu. Ia mengagumi kejujuran mereka, kegagahan mereka, dan betapa orang-orang ini hanya untuk menunjang sebuah cita-cita membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah, rela
hidup demikian bersahaja, kehilangan keluarga, bahkan mempertaruhkan nyawa demi cita-cita
mereka. Ia merasa kagum sekali.
Ketika Siu Coan mendekati, tentu saja ia sambut dengan ramah. Siu Coan adalah suheng
dari Seng Bu dan ternyata bahwa suheng dari sahabat baiknya ini adalah seorang yang demikian
pandainya, tidak saja pandai ilmu silatnya, akan tetapi juga luas pengetahuannya dan enak diajak bicara. Bahkan tidak seperti Seng Bu yang agak pendiam dibandingkan dengan sang suheng ini.
Lambat laun Seng Bu maklum juga bahwa di antara Sheila dan suhengnya terdapat jalinan
persahabatan yang akrab. Akan tetapi diapun tidak menentang, karena dia merasa tidak berhak melarang Sheila bergaul dengan siapapun juga, apa lagi dengan suhengnya sendiri. Memang ada
perasaan cemburu di dalam hatinya, akan tetapi perasaan ini segera dibantahnya sendiri dan
diusirnya. Dia tidak berhak untuk cemburu ! Apanyakah Sheila itu " Hanya seorang sahabat !
Biarpun selama berbulan-bulan ini hidup bersama di dalam suatu kelompok, biarpun antara dia
dan Sheila terdapat hubungan yang manis dan nampak mesra, namun belum pernah mereka
menyinggung soal asmara. Dan dia selalu menghormati Sheila, tidak pernah menggodanya
dengan kurang ajar, bahkan tidak pernah berani memperlihatkan gejolak hatinya yang sebetulnya sudah jatuh cinta sejak pertemuan pertama dahulu !
Bukan hanya jasmani Sheila yang menarik perhatian Siu Coan. Ada suatu hal lain lagi
yang amat menarik hatinya ketika dia mulai mendekati Sheila seringkali bercakap-cakap dengan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
227 gadis itu. Hal yang amat menarik hatinya ini adalah tentang Agama Kristen ! Di dalam
percakapan itu, mereka berdua menyinggung soal agama dan Sheila lalu bercerita tentang
agamanya. Dan sungguh aneh sekali, Siu Coan tertarik bukan main. Mula-mula memang
menjadi taktiknya saja untuk mendekati gadis itu, membicarakan soal agama gadis itu. Akan
tetapi, makin lama dia semakin tertarik dan banyak bertanya tentang pelajaran dalam agama itu.
Dengan senang hati Sheila menceritakan segalanya, bahkan gadis itu lalu memberi tahu kepada
Siu Coan tentang Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa daerah ! Dan karena Siu
Coan mendesak untuk dapat membaca kitab itu, Sheila memberi tahu bahwa ada beberapa orang
di Kanton yang memiliki kitab terjemahan itu, yaitu mereka yang sudah masuk Agama Kristen.
Semenjak waktu itu, mulailah Siu Coan tertarik kepada Agama Kristen dan diam-diam dia
melakukan banyak hubungan dengan pemuka-pemuka Kristen di Kanton, yaitu bangsa sendiri
yang sudah memeluk agama itu dan dari merekalah dia memperoleh kitab terjemahan. Pada
waktu itu, terjemahan Alkitab dalam Bahasa Tiongkok amatlah buruknya. Tanpa bimbingan
seorang pendeta atau seorang ahli, tidak mudah menangkap arti terjemahan itu. Akan tetapi Siu Coan yang memiliki watak tinggi hati dan menganggap diri sendiri paling pintar, tidak
membutuhkan bimbingan dan dia mempelajari sendiri kitab terjemahan itu. Dia sendiri yang
membuat penafsirannya dan mulailah dia menganut agama baru yang dicampuradukkan dengan
agama-agama lain yang pernah dipelajarinya. Mulailah orang muda yang memang berwatak
aneh, cerdik dan luar biasa ini membentuk sebuah agama baru yang aneh, pencampuran dari
Agama Kristen dan agama-agama yang lebih dulu. Atau semacam Agama kristen yang berbahu
pengaruh pelajaran Agama-agama Buddha, Tao, dan Khong-hu-cu ! Masih dicampuri lagi
dengan segala macam tradisi turun-temurun. Di dalam dada pemuda ini mulai dipengaruhi dua
unsur yang amat kuat. Pertama adalah cita-cita menentang penjajah Mancu, kebencian yang
mendalam terhadap penjajah Mancu, dan ke dua adalah pembentukan Agama Kristen yang tanpa
disadarinya telah menyimpang dari pada prlajaran yang sebenarnya itu.
Kebanyakan dari kita, terutama di dunia modern akhir-akhir ini, condong untuk menilai
seseorang melalui agamanya, atau kebangsaannya, kesukuannya, kelompoknya, kedudukannya,
pendidikannya, atau bahkan dari kekayaannya ! Karena penilaian seperti itu, tentu saja lalu
bermunculan konflik-konflik antar agama, antar suku, antar kelompok dan sebagainya. Masing-
masing pihak tentu saja menilai pihak sendiri paling baik dan paling benar, sedangkan pihak lain yang paling salah dan paling buruk ! Padahal, seperti dapat kita lihat dari kenyataan, bukan dari teori, baik buruknya seseorang sama sekali tidak tergantung dari agamanya, kebudayaannya, dan sebagainya itu. Baik buruknya seseorang tergantung dari perbuatannya dan batinnya, karena
perbuatan itu mencerminkan keadaan batin. Agama, kebangsaan, kedudukan dan sebagainya
adalah pakaian yang dikenakan pada seseorang manusia. Betapapun indah dan bersihnya pakaian
itu, kalau manusia yang memakainya kotor dan buruk, tentu saja akan tetap kotor dan buruk, dan bukan tidak mungkin bahwa pakaian yang bersih itu akan terbawa menjadi kotor. Agama
hanyalah suatu pelajaran bagi manusia agar hidup menurut jalur yang benar dan baik, akan tetapi tentu saja bukan agamanya yang menentukan, melainkan manusianya sendiri karena dapat saja
dia menyeleweng dari pada jalur itu.
Sayang bahwa banyak yang tidak melihat kenyataan ini. Kita terlalu mementingkan
pakaian-pakaiannya sehingga melupakan manusia itu sendiri. Banyak pertikaian timbul di antara manusia karena pakaian itu, karena agama, karena suku, karena bangsa, karena kedudukan dan
kekayaan, dan semua ini bersumber kepada keakuan yang ingin senang, ingin benar sendiri.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
228 Demikian pula yang terjadi dengan Ong Siu Coan, dia bukan orang sembarangan. Sejarah
membuktikan bahwa Ong Siu Coan (1814 " 1864) kelak menjadi seorang pemimpin besar dari
kelompok pejuang yang pernah menggegerkan Tiongkok dengan gerakan yang terkenal dengan
nama Tai-peng ! Akan tetapi sungguh patut disesalkan bahwa manusia Ong Siu Coan yang
terbuai oleh cita-cita, terbuai oleh segala macam pelajaran yang diciptakannya sendiri sehingga dia menjadi tersesat.
Dia demikian tertarik kepada Sheila dan mulai bermimpi untuk menjadi seorang
pemimpin rakyat seperti yang dicita-citakan, memimpin rakyat bangkit menentang penjajah
dengan Sheila sebagai isteri di sampingnya, dan dia bersama Sheila akan menyebarkan agama
barunya ! Terdorong oleh perasaan ini, pada suatu pagi dia mencari Sheila. Gadis itu sedang mencuci pakaian bersama para wanita lain di anak sungai yang jernih airnya, di lereng bukit.
Dengan amat ramah Siu Coan lalu membantu gadis itu mencuci pakaian. Tentu saja Sheila tidak
mau menolak bantuan ini, akan tetapi sambil tertawa Siu Coan berkata,
"Sheila, apakah pakaianmu terlalu kotor maka engkau malu kalau aku membantumu
mencucinya ?" Ucapan ini tentu saja membuat Sheila tidak dapat menolak lagi dan terpaksa
memberikan beberapa baju luar yang sedang dicucinya, sedangkan ia mencuci pakaian dalamnya.
Tentu saja perbuatan Siu Coan ini memimpin suara ketawa tertahan dan senyum simpul
para wanita yang sedang mencuci pakaian. Bagi mereka, mencuci pakaian adalah pekerjaan
wanita dan kalau ada laki-laki yang ikut mencuci pakaian, apa lagi pakaian wanita yang
dicucinya, maka hal itu sungguh lucu dan juga tidak pantas ! Hal ini agaknya disadari oleh Siu Coan, dan pemuda yang cerdik ini lalu mendapatkan kesempatan untuk mempropagandakan
kepercayaan barunya.
"Kenapa kalian mentertawakan aku " Karena aku membantu cucian Sheila " Ah, tentu
kalian berpikir bahwa mencuci pakaian tidak pantas bagi pria " Itu adalah pikiran yang kuno dan kotor yang harus dibuang. Di dalam pandangan Tuhan, derajat pria dan wanita sama saja. Kalau wanita boleh mencuci pakaian pria, kenapa pria tidak boleh mencuci pakaian wanita " Pria
bukanlah manusia istimewa yang harus dibedakan dan lebih tinggi derajatnya dari pada wanita.
Kalian harus mempelajari agama baruku, maka kalian akan dapat berpikiran maju seperti aku dan derajat kalian akan sama dengan pria."
Ucapan Siu Coan tentang derajat, tentang persamaan hak antara pria dan wanita itu pada
waktu itu terdengar amat janggal dan lucu, maka ramailah orang-orang perempuan itu terkekeh
mentertawakan. Akan tetapi Siu Coan hanya tersenyum saja dan memang pemuda ini pandai
sekali membawa diri sehingga banyak wanita yang suka dan kagum kepadanya.
Setelah selesai mencuci pakaian, Siu Coan mengantarkan Sheila pulang membawa
cuciannya. Kesempatan inilah dipergunakan Siu Coan untuk mengajaknya bicara berdua saja.
Di tengah perjalanan, dia mengajak gadis itu berhenti.
"Ada apakah, Siu Coan " Engkau kelihatan ada sesuatu yang amat penting untuk
dibicarakan denganku ?" tanya Sheila.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
229 "Memang tepat dugaanmu, Sheila. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang amat penting,
sesuatu yang amat suci dan untuk itu, semalam aku telah menerima petunjuk sendiri dari Tuhan."
"Ahhh, benarkah ?" Sheila sendiri kadang-kadang terkejut dengan pernyataan Siu Coan.
Pernah pemuda itu menceritakan betapa semalam dia digoda setan dan setan itu diusirnya dengan kekuatan doa. Pernah pula suatu kali dia mengatakan bahwa semalam dalam keadaan antara
sadar dan tidak sadar dia bertemu dengan Jesus !
"Aku tidak membohong, Sheila. Dan petunjuk itu mengatakan bahwa kelak aku akan
menjadi raja .........."
"Ehh .......... ?"
"Bukan raja seperti kaisar penjajah sekarang, melainkan raja di antara rakyat untuk
membebaskan rakyat dari penjajah, untuk menuntun rakyat ke jalan terang, untuk mengajak dan
membawa rakyat ke kaki Tuhan .........."
"Hemm, itu bagus sekali, Siu Coan."
"Dan di sampingku ada engkau, Sheila. Engkaulah yang membantuku, bahkan engkau
yang memperkuat imanku, mempertebal keberanianku dan memperteguh tekadku, menambah
semangatku."
"Aku, Ah, itupun baik sekali," kata Sheila yang mengira bahwa Siu Coan tentu hanya
menceritakan mimpinya saja dan apa salahnya kalau ia juga dimasukkan ke dalam mimpi itu "
"Baik sekali, Sheila " Benarkah itu ?" Dan tiba-tiba Siu Coan memegang tangan Sheila
dengan lembut. "Benarkah engkau menganggapnya baik sekali ?"
Barulah Sheila gelagapan. Pegangan Siu Coan demikian kuatnya sehingga menakutkan
hatinya. Juga naluri kewanitaannya merasakan hal tidak wajar. Apa lagi ketika ia menyambut
pandang mata pemuda itu, melihat betapa sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang aneh, sinar mata seorang laki-laki yang penuh berahi ! Sheila gemetar dan dengan hati-hati ia menarik
tangannya terlepas dari genggaman tangan Siu Coan dan hatinya merasa lega karena pemuda itu
tidak menahannya.
"Tentu saja aku menganggapnya baik. Bukankah hal itu baik sekali " Dan pula,
bukankah hal itu hanya mimpi saja, Siu Coan ?"
"Bukan, bukan mimpi, Sheila ! Melainkan petunjuk yang kulihat nyata sekali. Peristiwa
yang akan terjadi kelak, akan tetapi yang sudah dapat kulihat dengan jelas sekarang ini. Sheila, karena itulah pagi-pagi ini aku menemuimu, dan aku ingin bertanya kepadamu. Maukah engkau
berada di sampingku selalu " Maukah engkau membantuku, Sheila ?"
Pertanyaan itu diajukan dengan suara menggigil dan mengandung getaran aneh sehingga
Sheila memandang dengan mata terbelalak. Sepasang mata yang biru laut itu memandang penuh
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
230 selidik, lalu ia bertanya, "Apa yang kaumaksudkan, Siu Coan " Bicaralah yang jelas dan terus terang !"
Siu Coan menghela napas panjang. Dia tidak merasa heran kalau ada orang tidak
mengerti maksud hatinya, karena kadang-kadang suara hatinya "terlampau tinggi" untuk orang
lain dan harus dijelaskan.
"Baiklah, Sheila, dengan kata-kata biasa, aku hendak mengatakan bahwa aku cinta
padamu dan bahwa aku ingin sekali engkau dapat menjadi isteriku."
Kini Sheila benar-benar terkejut. Hal itu sama sekali tak pernah disangkanya. Memang
ia suka bergaul dengan pemuda ini, suka bercakap-cakap karena selain Siu Coan mempunyai
sikap yang menarik dan menyenangkan, juga pemuda ini pandai sekali. Lebih-lebih karena Siu
Coan menaruh perhatian demikian mendalamnya tentang Agama Kristen. Akan tetapi sama
sekali tidak pernah disangkanya bahwa Siu Coan menaruh hati kepadanya. Bukankah sudah jelas
bagi Siu Coan dan bagi semua orang bahwa ia dan Seng Bu mempunyai pertalian hati yang
mendalam " Bukankah merupakan hal yang jelas bahwa ia dan Seng Bu saling mencinta " Dan
tiba-tiba saja gadis itu teringat betapa ia dan Seng Bu belum pernah mengatakan cinta itu satu sama lain, walaupun tentu saja mereka dapat saling merasakan tentang hal itu melalui sinar mata, melalui senyum dan getaran kata-kata.
"Ah, tidak, Siu Coan ! Hal itu tidak mungkin !"
Siu Coan menerima tamparan pada jantungnya ini dengan tenang, hanya matanya saja
yang mengeluarkan sinar mata aneh dan wajahnya tetap biasa, mulutnya tetap tersenyum.
"Sheila, mengapa engkau menolak " Aku cinta padamu dan mengharapkan engkau menjadi
isteriku, kenapa engkau menolak ?" Siu Coan baru saja terjun ke dalam pemikiran yang
dianggapnya bebas seperti pikiran barat, seperti pikiran pembawa Agama Kristen itu, yaitu
orang-orang dari barat yang berkulit putih. Maka diapun penasaran kalau ada wanita menolak
cintanya, karena dia masih memandang wanita seperti keadaan nenek moyangnya, lupa bahwa
Sheila adalah seorang wanita barat yang sudah benar-benar bebas dalam hal memilih jodoh !
Betapapun juga, tidak enak bagi Sheila untuk mengatakan terus terang bahwa ia tidak
mencinta Siu Coan, maka iapun hanya menggeleng kepalanya saja, lalu menundukkan muka
karena ngeri melihat sinar mata pemuda itu berobah sedemikian aneh dan liar, seolah-olah dari situ terpancar ancaman yang amat hebat walaupun sikap pemuda itu masih tenang dan halus
seperti biasa. "Sheila, engkau menolakku karena engkau mencinta Seng Bu sute, bukan " Karena
engkau dan dia sudah ada ikatan batin untuk kelak menjadi suami isteri ?" Pertanyaan yang tiba-tiba ini seperti todongan pistol pada dadanya dan amat mengejutkan karena hal itu sesungguhnya merupakan rahasia hatinya dan belum pernah diutarakan, bahkan kepada Seng Bu sekalipun
belum pernah ia menyatakan isi hatinya, walaupun ia tahu bahwa Seng Bu mencintanya dan ia
yakin pula bahwa pemuda gagah perkasa itupun dapat menduga akan isi hatinya.
Kini ditanya seperti itu, Sheila tidak membantah dan untuk menghindarkan desakan
selanjutnya dari pemuda itu, iapun mengangguk. "Benar, aku mencinta Seng Bu, jawabnya lirih Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
231 karena diam-diam iapun merasa kasihan kepada Siu Coan karena terpaksa cintanya hanya
bertepuk sebelah tangan.
Siu Coan menarik napas panjang, nampak kecewa sekali akan tetapi sinar matanya masih
berkilauan aneh. "Sheila, sudah kaupikir masak-masakkah hal itu " Apakah engkau tidak keliru pilih " Ingat, sute adalah seorang kafir, tidak seagama denganmu, pengikut setan !"
Sheila mengerutkan alisnya. Memang, di antara bangsanya yang beragama Kristen,
banyak yang menganggap bahwa orang-orang pribumi yang tidak beragama kristen sebagai
orang-orang yang ingkar, orang-orang yang tidak beriman, bahkan dianggap orang-orang biadab.
Akan tetapi ia sudah banyak bergaul dengan mereka ini, dengan pelayan-pelayan rumah
keluarganya, dan sudah banyak menyelami dan mempelajari kebudayaan mereka sehingga ia
memperoleh kenyataan bahwa dalam hal kebudayaan, dalam hal ketata-susilaan dan peradaban,
penduduk pribumi yang sederhana itu tidak kalah oleh orang-orang kulit putih. Bahkan filsafat hidup yang mereka anut amat tinggi.
"Siu Coan, harap engkau tidak berkata demikian. Biarpun Seng Bu bukan seorang yang
beragama Kristen, namun dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, seorang pria yang
budiman, sopan dan terhormat. Engkau tentu mengenal watak dari sutemu sendiri. Dan aku
cinta padanya, mencinta orangnya, bukan agamanya. Kelak, perlahan-lahan aku akan dapat
menuntunnya agar dia dapat masuk agamaku."
"Hemm, kaupikirkan dulu baik-baik, Sheila, agar kelak engkau tidak akan menyesal
namun sudah terlambat. Terus terang saja, biarpun sute juga seorang pria yang gagah perkasa, namun dia sama sekali tidak sepadan menjadi jodohmu. Dia bodoh, pengetahuannya sempit,
jalan pikirannya sederhana, tanpa cita-cita, dan engkau akan hidup melarat dengan dia. Nah,
biarlah lain kali kalau engkau sudah memikirkan hal ini masak-masak, kita bicara lagi."
Wajah gadis itu berobah merah dan matanya memancarkan sinar kemarahan mendengar
pemuda kekasih hatinya dijelek-jelekkan oleh Siu Coan. "Siu Coan, tidak perlu kau memburuk-
burukkan sutemu sendiri di depanku. Aku mencintanya, dan cinta tidak memandang kemelaratan
dan kebodohan. Tak perlu kupikirkan lagi, dan mengenai hubungan antara kita tidak perlu
dibicarakan lagi !"
Siu Coan menggoyangkan kedua pundaknya lalu meninggalkan gadis itu dengan cepat
karena pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Seng Bu yang datang dari jauh. Ketika dia pergi dengan berlari cepat, agaknya baru saja meninggalkan Sheila, Seng Bu menegur ramah,
"Suheng .......... !" Akan tetapi yang ditegur terus lari, menolehpun tidak sehingga Seng Bu merasa heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu suhengnya itu tidak mendengar seruannya dan diapun melanjutkan larinya menghampiri Sheila. Dia mengerutkan alisnya dengan hati khawatir
ketika melihat Sheila masih berdiri di situ dan wajah gadis itu nampak masih merah dan wajah
itupun membayangkan ketegangan hati.
"Sheila, apakah yang telah terjadi " Bukankah suheng tadi dari sini ?"
Sheila memandang wajah Seng Bu, lalu menarik napas panjang dan mengangguk.
"Benar, dia baru saja meninggalkan aku dengan marah agaknya."
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
232 "Eh " Kenapakah " Apa yang telah terjadi antara kalian sehingga suheng menjadi marah
kepadamu ?"
Sheila mengaku terus terang. "Dia kecewa karena cintanya kutolak."
Seng Bu terbelalak dan menatap wajah Sheila penuh selidik. Wajah gadis itu segar dan
manis sekali karena tadi sambil mencuci pakaian gadis itu mandi dan menggosok kulit mukanya
dengan batu halus seperti yang dilakukan oleh wanita-wanita lain. Apa lagi kini gadis itu merasa tegang, kedua pipinya menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah lebar itu bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi.
"Apa .......... apa maksudmu ?" sama sekali dia tidak mengira bahwa suhengnya juga
mencinta gadis kulit putih ini, maka tentu saja pengakuan Sheila tadi mengejutkan hatinya.
Sheila tersenyum untuk menenangkan hatinya sendiri, juga hati Seng Bu, lalu berkata
dengan halus, "Seng Bu, tadi suhengmu itu mengatakan bahwa dia cinta padaku dan bahwa dia
ingin aku menjadi calon isterinya."
Biarpun pemberitahuan pertama tadi sudah dimengertinya, namun penjelasan ini tetap
saja amat mengherankan dan mengejutkan hati Seng Bu. Suhengnya " Kelihatan sama sekali
tidak memperlihatkan perasaan itu terhadap Sheila, dan suhengnya tahu benar bahwa dia
mencinta Sheila.
"Dan .......... dan kau .......... ?"
"Tentu saja aku menolaknya dan dia kelihatan kecewa, lalu pergi meninggalkan aku."
"Akan tetapi .......... kenapa, Sheila " Kenapa kau .......... kau menolaknya " Suheng
adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan dia mempunyai cita-cita yang besar untuk
menjadi seorang pemimpin besar." Tentu saja Seng Bu sudah tahu benar akan cita-cita
suhengnya yang selalu didengung-dengungkan itu.
"Kenapa " Karena aku tidak cinta padanya."
"Mengapa engkau tidak cinta padanya, Sheila ?" Seng Bu bertanya, di dalam suaranya
terkandung nada mendesak yang aneh dan kini pemuda itu menatap wajah Sheila dengan tajam,
penuh selidik. "Ouhhh ?"". Seng Bu, alangkah kejam hatimu mengajukan pertanyaan seperti itu.
Seng Bu, perlukah kita berpura-pura lagi " Perlukah selama ini kita saling menyembunyikan
perasaan " Engkau tentu tahu mengapa aku tidak bisa mencinta orang lain. Engkau tentu tahu
bahwa aku hanya mencinta seorang pria saja di dunia ini dan aku tahu pula bahwa dia
mencintaku sepenuh hatinya. Akan tetapi ?"". pria itu masih berpura-pura lagi, bertanya
mengapa aku tidak mencinta pria lain ! Betapa kejamnya engkau ".." Dan Sheila lalu terisak
menangis. Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
233 Hati Seng Bu diliputi keharuan dan melihat Sheila menangis, suatu dorongan kuat
membuat dia melangkah maju dan di lain saat, entah siapa yang memulai gerakan itu, tahu-tahu
Sheila telah berada dalam dekapannya. Gadis itu merebahkan mukanya di dada yang bidang itu
dan merasa aman sentausa penuh kedamaian. Kedua matanya menitikkan air mata dan kedua
lengannya memeluk leher, sedangkan kedua lengan Seng Bu melingkari tubuhnya dalam
rangkulan ketat, seolah-olah pemuda itu khawatir kalau-kalau tubuh yang dirangkulnya itu akan terlepas.
"Maafkan aku, Sheila. Aku tahu bahwa engkau cinta padaku dan bahwa akupun cinta
padamu, bahwa tanpa kata sekalipun kita sudah yakin akan cinta kita masing-masing. Akan
tetapi aku .......... aku selalu khawatir akan kehilangan engkau, Sheila. Aku .....aku merasa betapa aku ini kesasar, bodoh dan miskin, merasa tidak layak berada di sampingmu .......... karena itu
.......... tadi aku meragu .........."
Ah, sudahlah Seng Bu. Aku hanya mencinta engkau seorang, sejak pertema kita saling
jumpa dan aku takkan mau berpisah lagi dari sisimu .........."


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan aku .......... aku hanya memiliki engkau seorang .........."
Mereka saling dekap dan Sheila yang memulai lebih dahulu ketika mereka saling
mencium, karena Seng Bu takkan berani mendahuluinya, apa lagi dia seorang pemuda yang sama
sekali belum pernah berdekatan dan berhubungan dengan seorang wanita. Pada saat itu, mereka
merasa merasa semakin yakin akan cinta kasih masing-masing, perasaan cinta yang terasa sampai jauh sekali di dasar hati masing-masing, kemesraan yang membuat semua bulu di tubuh mereka
meremang. Suara cekikikan para wanita yang tadi mencuci pakaian bersama Sheila, menyadarkan dua
orang muda itu dari keadaan yang asyik masyuk itu. Mereka cepat saling melepaskan rangkulan
dan keduanya menjadi jengah kemalu-maluan, wajah mereka kemerahan dan mereka
membiarkan para wanita itu lewat tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Ada orang melihat kita, Sheila, ini berarti bahwa kita harus cepat-cepat menikah agar
tidak menjadi pergunjingan orang. Maukah engkau menikah denganku ?"
Sheila mencium pipi dan dagu pemuda itu dengan hidungnya, kelembutan yangmembuat
Seng Bu hampir menitikkan air mata saling saking bangga, haru dan bahagianya. "Engkau masih
bertanya lagi " Setiap saat aku bersedia, Seng Bu, setiap saat. Sudah sejak lama aku merasa bahwa aku adalah milikmu, seluruhnya, aku telah menyandarkan seluruh kehidupanku
kepadamu."
Sambil menggandeng tangan Sheila, Seng Bu lalu menemui kawan-kawan
seperjuangannya dan mengumumkan bahwa dia hendak melangsungkan pernikahannya dengan
Sheila di dalam hutan itu juga. Semua kawan seperjuangannya yang merasa kagum kepada Seng
Bu akan kegagahannya, bersorak gembira dan mereka lalu bergotong royong membuat persiapan
untuk pesta sekedarnya menyambut pernikahan itu. Diam-diam Ong Siu Coan tentu saja merasa
iri hati dan marah sekali, akan tetapi pada lahirnya, dia juga menyambut dengan gembira ketika Seng Bu minta pendapatnya dan doa restunya.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
234 Demikianlah, pernikahan antara Seng Bu dan Sheila terjadi di dalam hutan itu, dirayakan
oleh para pejuang. Suasana cukup meriah dan gembira malam itu walaupun tidak ada pesta besar seperti kalau pernikahan dirayakan di kota dalam suasana damai dan tenteram. Malam itu dengan penerangan api unggun dan beberapa belas lampu minyak, para pejuang merayakan pesta
pernikahan itu. Seng Bu mengenakan pakaian bersih, dan Sheila mengenakan pakaian pengantin
yang dipinjamkan dari seorang wanita. Ia nampak cantik jelita dalam pakaian mempelai yang
baginya lucu itu, dan sepasang mempelai dipertemukan oleh para wanita dan diberi selamat oleh para pejuang.
Malam itu pesta sederhana dirayakan para pejuang sampai menjelang tengah malam.
Tiba-tiba terdengar suara tambur dan terompet dan semua pejuang terkejut setengah mati ketika tiba-tiba nampak banyak sekali pasukan pemerintah menyerbu. Kiranya hutan itu sudah
dikepung oleh pasukan pemerintah yang jumlahnya ratusan orang ! Tentu saja suasana menjadi
panik. Para pejuang cepat memadamkan api unggun, juga lampu-lampu dan dalam keadaan
remang-remang, hanya diterangi cahaya bulan sepotong, para pejuang melakukan perlawanan
mati-matian. Dalam keadaan kacau itu, tentu saja Seng Bu juga terkejut dan cepat dia siap siaga
membantu teman-teman. "Sheila, engkau bersembunyi di pondok kita, aku akan membantu
kawan-kawan mengusir pasukan pemerintah," kata Seng Bu setelah tadi menggandeng tangan
isterinya dan membawanya ke pondok yang disediakan untuk mereka oleh kawan-kawan mereka.
Sheila yang bermuka pucat dan ketakutan itu mengangguk, akan tetapi masih memegangi tangan
suaminya, "Jangan lama-lama .......... cepat ambil aku kembali ..... aku tidak mau berpisah lama darimu ....."
Seng Bu mencium isterinya lalu melompat ke luar, siap dengan penuh semangat
membantu teman-temannya menghadapi pasukan pemerintah yang datang menyerbu. Dia tidak
tahu bagaimana pasukan pemerintah dapat mengetahui tempat persembunyian para pejuang itu
dan menyerbu di malam itu, kebetulan ketika pernikahannya sedang dirayakan.
Akan tetapi belum jauh dia berlari, tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku saking kagetnya. Dia
mendengar jeritan Sheila ! Bagaikan dikejar setan, Seng Bu lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat kembali ke pondok. Dapat dibayangkan betapa rasa kaget, heran dan juga marahnya ketika dia melihat suhengnya meloncat keluar dari pondok sambil memondong tubuh Sheila.
"Suheng !!" bentaknya marah sekali dan segera dia melompat menghadang.
"Eh, sute. Aku datang untuk menyelamatkan Sheila !" kata Siu Coan gugup dan diapun
melepaskan tubuh Sheila yang dipondongnya secara paksa tadi.
Sheila lalu lari merangkul suaminya, menahan tangisnya. "Aku ".. aku tidak mau dia
larikan, dan dia memaksaku ?"". !"
"Aku hanya ingin menolong dan menyelamatkannya, keadaan gawat sekali." Kembali
Siu Coan berkata.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
235 Seng Bu mengerutkan alisnya. Marah dia melihat betapa tadi dengan paksa tubuh
isterinya dipondong oleh suhengnya. Biarpun dengan alasan menolong dan ingin
menyelamatkan, akan tetapi tidak pantas kalau suhengnya memaksa orang yang mau ditolong.
Tentu ada sesuatu yang tidak pantas.
"Suheng !" bentaknya. "Tidak pantas kau maksa isteriku !"
Siu Coan yang tertangkap basah itu menjadi malu dan kini dia menjadi marah. "Eh, sute,
apa maksudmu " Aku datang untuk menyelamatkan isterimu dan engkau marah-marah " Engkau
sungguh kurang ajar !"
"Suheng, bukan aku yang kurang ajar, melainkan engkau yang tidak tahu sopan !" Seng
Bu juga membentak marah.
"Keparat, sudah berani engkau melawanku ?" Siu Coan berseru dan diapun menerjang
maju dan mengirim pukulan hebat ke arah kepala sutenya. Seng Bu yang juga sudah menjadi
marah cepat menangkis dan membalas. Berkelahilah suheng dan sute ini dan Seng Bu mendapat
kenyataan yang mengejutkan dan juga membuatnya marah bahwa suhengnya menyerangnya
dengan penuh kesungguhan dan kebencian, melancarkan pukulan-pukulan maut ! Agaknya,
semua perasaan iri yang terpendam di dalam batin Siu Coan, saat itu hendak diluapkan maka dia menyerang bertubi-tubi penuh kemarahan. Seng Bu yang sama sekali tidak menyangka bahwa
suhengnya akan menyerang seperti itu, terkejut dan sebuah tendangan menyerempet pahanya,
membuatnya terhuyung ke belakang. Dan melihat sutenya terhuyung, Siu Coan agaknya semakin
nekat dan melanjutkan serangannya dengan pukulan bertubi-tubi. Tentu saja Seng Bu yang
sedang terhuyung itu menjadi terdesak terus dan hanya main mundur, menangkis sambil
mengelak. Siu Coan menyeringai girang. Ada alasan dan kesempatan baginya untuk membunuh
sutenya dan merampas Sheila yang membuatnya tergila-gila ! Sesungguhnya, dia tidak begitu
tergila-gila kepada Sheila karena pada hakekatnya, Siu Coan lebih gila kedudukan dan cita-cita dari pada wanita. Akan tetapi, melihat Sheila menolaknya dan memilih Seng Bu, dia merasa iri dan iri inilah yang mendorongnya menjadi nekat untuk membunuh sutenya dan merampas Sheila.
Seng Bu tentu saja sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya
untuk membela diri. Untung baginya bahwa tentu saja dia mengenal semua gerakan serangan
suhengnya, sehingga betapapun hebat dan dahsyat datangnya serangannya, dan biarpun dia
sedang terhuyung, akan tetapi dalam keadaan terdesak itu dia masih mampu menghindarkan diri
dari serangkaian pukulan dan tendangan maut.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras. "Darrr ..... !" Tubuh Siu Coan terhuyung dan
tangan kirinya menekan pundak kanan yang berdarah. Seng Bu terkejut dan menengok. Kiranya
Sheila telah menembakkan pistol kecil. Pistol ini memang tak pernah terpisah dari badan gadis itu, selalu disembunyikan dalam lipatan bajunya dan kini, melihat suaminya terdesak, iapun
dengan nekat lalu mengeluarkan pistolnya dan menembak ke arah Siu Coan. Gadis ini memang
pernah dilatih menggunakan pistol oleh ayahnya, dan pistol itupun pemberian ayahnya, maka ia
dapat menembak dengan cepat. Gerakan Siu Coan yang berusaha mengelak secara refleks ketika
letusan terdengar membuat peluru yang ditujukan ke arah dada itu hanya mengenai ujung pangkal Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
236 lengan. Akan tetapi cukup membuat kulit terkupas dan daging menonjol di ujung pundak juga
tertembus peluru, nyerinya bukan kepalang karena luka itu seperti terbakar oleh besi panas.
"Sheila jangan tembak lagi !" Seng Bu berseru kaget melihat suhengnya terluka. Dia
mengira bahwa suhengnya terluka dadanya, karena darah mengalir dan membasahi baju
suhengnya itu. Dan pada saat itu, belasan orang anggauta pasukan pemerintah datang menyerbu ! Seng
Bu yang melihat suhengnya masih lemah terhuyung, terancam tusukan tombak seorang perajurit,
melompat ke depan dan sekali tendang, perajurit itu roboh dan suhengnya terbebas dari ancaman maut. Melihat ini, Siu Coan tersenyum.
"Orang berhati lemah .........." katanya dan karena pada saat itu, lebih banyak lagi datang
pasukan yang menyerbu, terpaksa diapun membela diri dengan sebelah tangannya saja, yaitu
tangan kiri karena tangan kanannya tidak dapat digerakkan karena nyeri. Seng Bu lalu
menyambar sebatang pedang lawan setelah dia kembali merobohkan lawan berpedang itu, dan
memutar pedangnya sambil berseru, "Sheila, ke dinilah kau ! Suheng, larilah, aku
melindungimu !"
"Dar-darr .......... !!" Kembali Sheila meletuskan pistolnya dua kali. Seorang pengeroyok
roboh dan yang lain mundur karena jerih terhadap senjata api.
Seng Bu melompat mendekati Sheila, bangga dan kagum melihat ketabahan isterinya.
Kembali dia berkata kepada Siu Coan, "Suheng, mari kita lari. Kau lebih dulu. Aku dan Sheila melindungimu dari belakang !"
Siu Coan tersenyum pahit. Melihat kenyataan betapa kini malah dilindungi oleh dua
orang calon korbannya, benar-benar merupakan pel pahit baginya. Akan tetapi diapun maklum
akan ancaman bahaya. Pihak pasukan itu terlalu besar dan kini kawan-kawan seperjuangan
mereka juga sudah terdesak dan cerai berai. Maka tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dia
meloncat dan lari ke barat, diikuti oleh Seng Bu dan Sheila. Mereka dihadang lagi dan setelah tiga kali meletuskan pistolnya sehingga pelurunya dalam pistol habis, Seng Bu lalu memondong
isterinya dengan lengan kiri, tangan kanannya memegang pedang dan sambil melindungi
isterinya dalam pondongan dan suhengnya yang terluka, akhirnya dia berhasil membawa mereka
berdua lolos dari kepungan dan tiba di luar hutan itu dalam cuaca yang gelap.
"Suheng, kita berpisah di sini dan maafkan kami, maafkanlah segala yang telah terjadi."
Setelah berkata demikian, Seng Bu yang memondong isterinya lalu meloncat dan berlari cepat
menuju ke barat. Siu Coan berdiri bengong, lalu menarik napas panjang. Bagaimanapun juga,
biar Sheila telah melukainya dengan pistol, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya, namun Sheila dan Seng Bu tadi telah melindunginya mati-matian pula ! Sudahlah, pikirnya, ia bukan
jodohku. Menurut pelajaran agama barunya, memaafkan orang lain adalah perbuatan mulia,
bahkan terdapat pelajaran yang menganjurkan agar kalau kita dipukul pipi kiri kita, kita harus menyerahkan pipi kanan kita ! Siu Coan tersenyum seorang diri. Biarlah dia memaafkan Seng
Bu dan Sheila, bahkan menurut pelajaran agamanya, dia harus mencinta musuh-musuhnya, maka
biarlah dia melepaskan mereka dengan hati mencinta. Dan Siu Coan tersenyum, merasa betapa
hatinya mekar, penuh dengan kebanggaan, penuh dengan harapan untuk menerima pahala karena
dia telah berbuat jasa.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
237 Betapa banyaknya di antara kita memiliki kebanggaan dan harapan seperti yang dimiliki
Siu Coan itu. Semua agama mengajarkan agar kita hidup sebagai manusia yang baik, karena
hanya hidup baik ini yang menjadikan kita bermanfaat bagi dunia, bagi manusia. Akan tetapi kita mau hidup baik karena di balik itu terdapat harapan dan pamrih agar kita memperoleh pahala,
memperoleh hadiah, baik hadiah itu dinamakan Sorga atau Nirwana ataukah kesempurnaan atau
segala macam kata kata yang muluk lagi. Karena adanya ancaman hukum bagi yang berbuat
jahat, dan janji pahala bagi yang berbuat baik, maka kita condong untuk berbuat baik. Memang inilah tujuannya, akan tetapi, hal ini pula yang membuat kita menjadi manusia-manusia palsu,
menjadi munafik, menjadi srigala-srigala berkedok domba, yang berbuat baik dan menjauhi
perbuatan jahat HANYA karena kita ingin memperoleh pahala dan ingin dijauhkan dari pada hukuman. Kebaikan yang dilakukan dengan sengaja ini tentu berpamrih, dan pamrih membuat
kita menjadi munafik, membuat perbuatan kita adalah palsu, karena perbuatan itu bukan
perbuatan baik, melainkan suatu cara bagi kita untuk memperoleh pahala, cara untuk
menghindarkan hukuman !
"Cintailah musuh-musuh" adalah serangkaian kata-kata yang amat indah dan suci kalau
kita dapat menangkap maknanya. Kalau tidak, tentu akan menimbulkan keraguan karena di situ
terdapat dua kata yang berlawanan, yaitu "cinta" dan "musuh". Biasanya, cinta berkaitan dengan sahabat, dan yang berkaitan dengan musuh adalah benci. Maka, cintailah musuhmu seakan-akan
mengandung makna yang berlawanan atau saling bertolak belakang. Akan tetapi sesungguhnya
pelajaran ini mengandung makna yang sekaligus menghapuskan benci dari dalam hati
berdasarkan kasih. Bukan berarti suatu waktu kita mencintai musuh kita dan di lain waktu kita siling berbunuhan dengan musuh itu ! Ini sama sekali tak masuk akal dan omong kosong. Akan
tetapi, kita dapat mencintai orang yang memusuhi kita ! Mungkin banyak orang memusuhi kita,
membenci kita, tidak senang kepada kita, karena mungkin iri hati, dengki, salah paham dan
sebagainya lagi. Biarlah mereka itu membenci kita, akan tetapi orang yang memiliki sinar kasih dalam batinnya, tidak akan membalas kebencian itu, tidak membalas permusuhan itu, melainkan
menghadapi mereka yang memusuhi kita dengan cinta kasih antara manusia ! Tidaklah ini indah, besar dan mulia sekali " Kita dapat melihat cinta kasih seperti itu, cinta kasih Tuhan melalui sinar matahari, melalui harumnya bunga, melalui tanah, air, hawa, udara. Biar ada manusia yang mengutuk dan membenci alam dan semua kekuasaan Tuhan, namun tetap saja semua itu
memberikan dengan rela, kepada siapa saja tanpa pilih kasih, kepada mereka yang membenci
sekalipun. Orang yang sejahat-jahatnya sekalipun, yang segala tindakannya berlawanan dengan
kebaikan, akan tetap memperoleh hawa udara, memperoleh sinar matahari, dapat menikmati
keharuman bunga, sama seperti orang yang paling baik, paling saleh sekalipun.
Akan tetapi, seperti Ong Siu Coan kita selalu ingin untung, lahir maupun batin, oleh
karena itu berbondong-bondong orang lari ke agama dengan dasar ingin untung itulah. Ingin
memperoleh hiburan batin karena pahitnya kehidupan, ingin memperoleh jaminan keadaan yang
enak menyenangkan setelah mati kelak, ingin memperoleh berkah sebanyaknya. Lenyapkanlah
janji-janji pahala dan hadiah ini dari agama, dan para munafik itu tentu akan mundur
meninggalkannya dan yang tinggal hanyalah mereka yang benar-benar sadar dan waspada akan
segala kekotoran yang memenuhi batin sendiri, karena hanya mereka inilah yang akan dapat
berobah. Orang yang sadar akan kekotoran diri sendiri sajalah yang akan dapat berobah menjadi bersih, tanpa ada usaha membersihkan karena usaha membersihkan ini akan menumpuk pamrih
dan menciptakan kemunafikan.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
238 Semua agama tentu mengajarkan kebaikan, akan tetapi bagi kehidupan manusia, yang
penting adalah manusianya, bukan agamanya. Semua manusia di dunia ini mengaku beragama
atau mempunyai pegangan sesuatu yang menggariskan jalan hidup yang harus ditempuhnya.
Semenjak ribuan tahun semua pelajaran kerohanian ini tersebar di antara seluruh manusia di
dunia. Akan tetapi, bagaimana hasilnya " Manusia tetap saja hidup dalam lembah kesengsaraan, hidup dalam neraka dunia yang penuh dengan kebencian, iri hati, dengki, kemurkaan,
permusuhan sehingga cinta kasih makin muram kehilangan sinarnya karena tertutup oleh segala
macam hawa nafsu angkara yang merupakan debu-debu kotor hitam tebal itu. Permusuhan
terjadi bukan hanya antara perorangan, bukan hanya antara suku dan antara kelompok, bahkan
meluas menjadi antara bangsa, antara negara sehingga timbullah perang yang amat kejam,
pembunuhan dan pembantaian semena-mena yang lebih biadab dari pada perbuatan golongan
yang dianggap masih liar dan buas sekalipun ! Jelaslah di sini bahwa manusianya yang
menentukan, bukan agamanya. Dan jelaslah bahwa yang dapat merobah manusia adalah diri
sendirimasing-masing, dengan pengenalan diri sendiri sehingga nampak segala kekotoran yang
membutakan mata hati, yang menulikan telinga hati.
Demikianlah halnya dengan Ong Siu Coan. Pemuda ini memiliki cita-cita yang muluk,
dan makin besar cita-cita seseorang, makin besar pulalah "aku"nya dan makin besar pamrihnya
sehingga semua perbuatannya ditujukan dengan pamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri
sendiri sebesar-besarnya. Perbuatan itu mungkin di mata umum bisa disebut perbuatan buruk
atau perbuatan baik, akan tetapi apapun macam perbuatan itu, selalu di belakangnya terkandung pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Tidak ada seorangpun mengetahui bahwa penyerbuan
pasukan pemerintah di malam hari itupun adalah hasil perbuatan Ong Siu Coan ! Dialah yang
diam-diam mengirim berita tempat persembunyian para pejuang itu kepada pihak pasukan
pemerintah ! Dia rela berkhianat untuk kepentingan diri sendiri, untuk melampiaskan iri hatinya terhadap Seng Bu, kemarahannya terhadap Sheila, dan untuk membuka kesempatan agar dia
dapat merampas Sheila dengan dalih menyelamatkanya, dan kalau mungkin membunuh sutenya
sendiri. Tentu saja pihak pasukan pemerintah tidak tahu bahwa yang mengirim berita itu adalah Ong Siu Coan. Dan memang bukan maksud Siu Coan untuk membantu pasukan pemerintah.
Sama sekali tidak ! Dia membenci pemerintah Mancu, dan dia bercita-cita untuk membasmi
pemerintah penjajah itu. Kalau dia dapat berbuat khianat pada malam hari itu adalah karena ada pamrih terhadap Seng Bu dan Sheila.
Karena serbuan itu, beberapa orang pejuang tewas dan selebihnya cerai berai dan kacau
balau, kocar kacir. Dan Siu Coan melarikan diri ke selatan, dan beberapa hari kemudian dia
sudah bergabung kembali dengan orang-orang Thian-te-pang dan dia memperoleh perawatan
dengan baik. Untung tidak ada yang tahu tentang peristiwa antara dia dan Seng Bu, dan mereka mengira bahwa tembakan yang mengenai ujung pundak Siu Coan itu dilakukan oleh seorang
opsir pasukan pemerintah.
*** Peristiwa pembakaran madat di Kanton itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pembakaran
madat yang lebih dari satu juta kilogram banyaknya itu juga mulai menyalakan api perang yang
kemudian terkenal dengan sebutan Perang Madat selama tiga tahun ( tahun 1839-1842).
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
239 Peristiwa pembakaran madat disusul pembunuhan terhadap orang kulit putih yang
sesungguhnya dilakukan oleh golongan-golongan yang anti kulit putih, bukan oleh pemerintah
Mancu, dianggap oleh pemerintah Inggris sebagai suatu penghinaan terhadap bangsanya. Apa
lagi ada laporan dari Kapten Charles Elliot yang didesak oleh para pedagang untuk minta bantuan pasukan, maka pemerintah Inggris lalu mengirim armada ke timur. Kapal-kapal perang dengan
pasukan-pasukan yang cukup kuat dikirim dan Kanton diserang dari lautan, dihujani peluru
meriam. Pasukan-pasukan Inggris berusaha untuk mendarat akan tetapi usaha mereka itu selalu
menemui perlawanan yang amat kuat. Dalam hal ini, tanpa persekutuan yang syah, pemerintah
penjajah Mancu menerima bantuan yang amat besar dari rakyat, dari perkumpulan-perkumpulan
para patriot yang tidak suka melihat bangsa kulit putih hendak menguasai tanah air. Para
pendekar segera bangkit dan untuk sementara menghentikan kegiatan mereka memusuhi
pemerintah Mancu karena mereka kini menganggap bahwa ancaman pasukan asing itu lebih
berbahaya. Terjadilah perang di mana-mana, perang antara senjata api melawan anak panah dan
senjata-senjata tajam. Pasukan Inggris tidak pernah berhasil mendarat karena perlawanan yang amat kuat. Panglima Lim Ce Shu memimpin pasukannya dan melakukan perlawanan mati-matian, dan penyerbuan pasukan Inggris itu akhirnya hanyalah kandas di pantai-pantai saja, di mana akibat-akibat perang terjadi. Perampokan-perampokan, pembunuhan-pembunuhan dan
perkosaan-perkosaan terjadilah di pantai-pantai terhadap penduduk yang berada di sekitar pantai.
Namun, pasukan-pasukan kulit putih itu akhirnya harus mengakui bahwa kekuatan kekuatan
pihak musuh di daratan terlalu sukar untuk dapat ditembus. Setelah peperangan yang kacau ini berlangsung hampir tiga tahun lamanya, Ingggris hanya berhasil menduduki Pulau Hongkong
yang letaknya di depan kota Kanton. Pulau ini dijadikan pangkalan oleh armada Inggris, namun semua penyerangan mereka di daerah pantai timur daratan Tiongkok selalu mengalami
kegagalan. Kalau pasukan Inggris yang dipukul mundur melarikan diri ke kapal-kapal perang
mereka, maka perang masih juga terjadi di darat, yaitu pasukan-pasukan para patriot yang anti pemerintah penjajah lalu berbalik dan menyerang pasukan pemerintah sendiri ! Memang mereka
ini sejak dahulu ingin menjatuhkan kekuasaan Mancu, dan mereka ikut menghalau orang kulit
putih bukan untuk membantu pemerintah, melainkan khawatir kalau-kalau bangsa kulit putih
akan menguasai tanah air mereka. Tentu saja pukulan-pukulan bertubi dari orang kulit putih
yang datang dari luar, dan pukulan-pukulan para pemberontak dalam negeri membuat pasukan
pemerintah Mancu menjadi lemah. Hal ini diketahui dengan baik oleh para mata-mata yang
disebar oleh Inggris. Akhirnya dalam tahun 1842, Inggris dengan cerdik lalu menyelundupkan
kapal-kapalnya melalui Sungai Yang-ce-kiang, berlayar mudik.
Pemerintah Mancu di Peking terkejut bukan main. Dengan dikuasainya sungai besar itu
oleh orang kulit putih, maka hubungan antara Lembah Yang-ce-kiang dan Peking tertutup dan
terancam. Keselamatan keluarga kaisar di Peking dapat terancam kalau begitu. Istana menjadi gentar dan panik, dan melalui menteri-menteri yang memang condong untuk berbaik dengan
orang-orang kulit putih yang mendatangkan banyak keuntungan kepada mereka melalui madat,
akhirnya pemerintah Mancu membujuk Inggris menghentikan perang ! Tentu saja hal ini sama
dengan pernyataan tunduk dan kalah !
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
240 Sebagai pihak pemenang yang ditakuti, Inggris mempergunakan kesempatan itu sebaik-
baiknya ! Kemenangan dalam tahun 1842 ini membuat mereka dapat memaksa kaisar untuk
melakukan hal-hal yang membikin panas hati dan perut para patriot. Pertama-tama, untuk
menyenangkan hati orang-orang kulit putih itu, kaisar memecat Panglima Lim Ce Shu dan
membuangnya ! Kemudian, Hongkong di serahkan kepada Inggris begitu saja ! Pelabuhan-
pelabuhan di Tiongkok Selatan, termasuk Kanton, dibuka lebar-lebar dan diperbolehkan
menerima pedagang-pedagang kulit putih untuk masuk dan berdagang di situ dengan bebas, juga
diperbolehkan untuk bertempat tinggal di situ sebagai pedagang-pedagang yang dihormati.
Bahkan orang-orang kulit putih lainnya, seperti orang-orang Portugal dan orang-orang Perancis, ikut-ikutan membonceng kemenangan Inggris ini dan ikut-ikutan menuntut agar merekapun
diperbolehkan membuka perdagangan di pelabuhan-pelabuhan itu. Sebagai negara yang kalah


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perang, pemerintah Mancu yang sudah tidak berdaya itu terpaksa menuruti tuntutan-tuntutan itu.
Makin banyaklah perjanjian-perjanjian "perdamaian" dibuat, yang sesungguhnya merupakan
perjanjian yang menguntungkan orang-orang kulit putih dan terpaksa disetujui oleh pemerintah
Mancu. Yang merasa tidak puas dan marah adalah para pendekar yang mewakili rakyat untuk
mempertahankan tanah air dari kekuasaan asing. Pemerintah Mancu adalah pemerintah asing
yang menjajah. Pemerintah itu belum juga dapat dihalau, dan sekarang sudah bertambah lagi
dengan bercokolnya orang-orang asing kulit putih yang menjajah melalui perdagangan !
Tentu saja hal ini menambah adanya pemberontakan-pemberontakan dan kekacauan-
kekacauan. Dan orang-orang kulit putih, untuk melindungi diri sendiri di tempat yang tidak
aman itu, membentuk pasukan-pasukan keamanan sendiri, memperlengkapi diri dengan senjata
api dan melalui para pedagang itu, mulailah orang kulit putih mendirikan pangkalan-pangkalan
militer dengan dalih menjaga keamanan para warganya yang berdagang di negeri itu.
Perang madat memang berakibat luas sekali. Perang madat ini menunjukkan bahwa
kekuatan pemerintah Mancu yang sudah hampir duaratus tahun menjajah Tiongkok itu mulai
kehilangan sinarnya, mulai lemah dan nampak awal-awal keruntuhannya. Dan perang itupun
membuka pintu bagi orang asing kulit putih untuk memperluas cengkeraman mereka terhadap
negara itu melalui perdagangan yang dipaksakan oleh senjata api. Dan hal ini lambat laun akan menjadi penjajahan-penjajahan. Kekuasaan Kerajaan Mancu digerogoti, daerah-daerah
kekuasaannya mulai dikuasai oleh orang-orang asing itu. Seperti dapat tercatat dalam catatan sejarah, Bangsa Perancis saja kelak dalam tahun 1862 akan menguasai Kamboja, kemudian
duapuluh tahun kemudian menguasai An-nam (Viet-nam) setelah lebih dulu menguasai Cochin
China pada tahun 1863. Juga Portugal kemudian menguasai Macao. Inggrispun bukan hanya
puas dengan memiliki Hongkong, melainkan meluaskan kekuasaannya sampai akhirnya
menduduki Birma yang tadinya mengakui kekuasaan pemerintah Ceng di jaman Kaisar Kian
Liong. Sejarah yang membuktikan bahwa pemerintah yang tidak disukai oleh rakyatnya, akan
kehilangan kekuatannya. Betapapun kuatnya bala tentara yang dimiliki sebuah pemerintahan,
namun tanpa dukungan rakyat, kekuatan itu akan rapuh. Sebaliknya, kalau pemerintah didukung
rakyat, tidak akan mudah bagi kekuatan luar untuk merobohkannya. Hal ini adalah karena ajang yang dijadikan arena pertempuran adalah tempat dan milik rakyat, dan bantuan-bantuan rakyat
inilah yang paling menentukan. Pihak lawan akan selalu dirongrong dan akan menjadi lemah
kalau rakyat setempat setia kepada pemerintah yang disukainya, dan tidak akan dapat menguasai tempat yang telah direbutnya itu sepenuhnya. Sebaliknya pasukan-pasukan pemerintah yang
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
241 didukung oleh rakyat, dimanapun akan memperoleh bantuan-bantuan sehingga kedudukan
mereka menjadi kuat.
Dalam perang yang terjadi sebagai akibat dibakarnya madat yang amat banyak itupun
nampak jelas sekali betapa manusia pada umumnya menjadi hamba daripada angkara murka yang
dipupuk oleh nafsu ingin senang sendiri. Pamrih untuk menyenangkan diri sendiri inilah yang
menghalau semua kesadaran dan kebijaksanaan, menimbulkan kekejaman, haus kemenangan
dengan cara apapun juga. Dan melalui tindakan sewenang-wenang, sedangkan yang kalah hanya
akan menurut, tentu saja dengan terpaksa dan dengan dendam kebencian mulai tumbuh di dalam
hati, dan dendam ini akan terus tumbuh di dalam hati, dan dendam ini akan terus tumbuh
membesar dan kelak tentu akan pecah menjadi lawanan dan pembalasan !
Kita tinggalkan dulu keadaan pemerintah Ceng yang mulai lemah itu, dan marilah kita
menengok peristiwa lain yang terjadi di sebuah puncak di Pegunungan Tapie-san. Seorang gadis dan seorang kakek berjalan bersama-sama mendaki puncak itu. Mereka itu kelihatannya seperti
seorang kakek pengemis bersama seorang gadis yang pakaiannya juga penuh tambalan, seperti
orang biasa saja yang banyak berkeliaran pada waktu itu, orang-orang yang miskin dan setengah terlantar sebagai akibat perang dan pemberontakan yang terjadi di mana-mana. Banyak rakyat
yang pada waktu itu terpaksa pergi mengungsi, meninggalkan kampung halaman, rumah dan
semua harta miliknya. Kalau sudah merasa aman dan kembali, banyak yang sudah tidak dapat
menemukan rumah mereka kembali, apa lagi harta milik mereka. Sudah habis dirampok dan
dibongkar orang. Karena itu, banyaklah orang-orang yang jatuh miskin dan terlantar, berkeliaran tanpa tempat tinggal seperti halnya kakek dan gadis itu.
Akan tetapi sesungguhnya kakek dan gadis ini bukan orang-orang terlantar, bukan
gelandangan yang miskin dan tidak mempunyai tempat tinggal. Kakek itu usianya sudah
tujuhpuluh tahun lebih, rambutnya yang awut-awutan itu cukup bersih. Kakek itu pakaiannya
penuh tambalan, tangan kirinya memegang sebuah tongkat kayu butut dan sebuah kipas butut
terselip di pinggangnya. Biarpun pakaiannya penuh tambalan, namun pakaian itu cukup bersih
dan biarpun dia kelihatan miskin dan papa, namun dia selalu senyum-senyum sendiri, matanya
yang sipit itu kadang-kadang berkedip-kedip lucu. Gadis itupun tidak kalah menariknya.
Seorang gadis berusia kurang lebih delapanbelas tahun, dengan wajah yang manis, sepasang
matanya lebar dan jeli. Memang pakaiannya butut penuh tambalan biarpun bersih, dan sepasang
rambut yang gemuk hitam dan panjang itu dikuncir dua secara sederhana, tidak mengenakan
perhiasan secuilpun, akan tetapi gadis ini memiliki wajah manis dan kulit yang nampak pada
muka, leher dan tangannya amat putih bersih dan halus mulus, tubuhnya juga memiliki bentuk
yang padat dan ramping menggairahkan, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar
mengharum. Seperti juga kakek itu, gadis ini mempunyai sebuah kipas yang tersembul di
kantong bajunya.
Siapakah mereka " Mereka adalah penghuni-penghuni puncak Naga Putih di Pegunungan
Wuyi-san dan kakek itu bukan lain adalah Bu-beng San-kai (Jembel Gunung Tanpa Nama) atau
lebih terkenal lagi dengan julukan San-tok (Racun Gunung), seorang di antara Empat Racun yang pernah menjadi datuk-datuk paling sakti di antara para datuk kaum sesat ! Dan gadis itu adalah muridnya, murid tunggalnya yang bernama Siauw Lian Hong !
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
242 Kita telah mengenal Lian Hong, puteri tunggal mendiang guru silat Siauw Teng di dusun
Tung-kang dekat Kanton itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua tahun yang lalu Lian Hong ikut bersama gurunya mengunjungi Siauw-lim-si di mana Siauw-bin-hud menceritakan
kepada para tamunya bahwa pusaka Giok-liong-kiam kini berada di tangan Hek-eng-mo Koan Jit,
murid Thian-tok yang merampas pusaka itu dari tangan gurunya. Ketika meninggalkan Siauw-
lim-pai, San-tok lalu memberi kesempatan kepada muridnya untuk pergi merantau selama dua
tahun, selain untuk mencari jejak orang bernama Koan Jit itu, juga untuk meluaskan pengalaman dan memperdalam ilmu kepandaian yang selama ini dilatihnya. Kakek ini sudah percaya
sepenuhnya kepada muridnya.
Akan tetapi, belum juga lewat dua tahun, gadis itu telah kembali ke puncak Naga Putih di
Pegunungan Wu-yi-san, menemui suhunya yang sedang tekun bersamadhi. Kakek itu tentu saja
girang melihat muridnya yang amat disayangnya, dan lebih girang lagi hatinya melihat kenyataan bahwa muridnya itu juga mengenakan pakaian yang dihias tambalan ! Hal ini saja menunjukkan
bahwa murid itu berbakti dan setia kepadanya, melanjutkan "tradisi" keturunan perguruan yang
suka memakai pakaian tambalan !
Lian Hong memberi hormat sambil berlutut di depan kaki gurunya yang juga menjadi
kakek angkatnya itu dan kakek itu lalu bangkit dari pertapaannya. Dia mendengar laporan
muridnya bahwa murid itu terpaksa menghentikan usahanya mencari jejak Hek-eng-mo Koan Jit
yang menguasai pusaka Giok-liong-kiam, karena keadaan keruh oleh adanya perang madat.
Kemudian gadis itu mengatakan bahwa karena sukar mencari jejak orang di waktu keadaan
sekacau itu, di mana terjadi pertempuran-pertempuran kacau balau antara pasukan kulit putih
yang menyerang dengan kapal-kapal besar, dan golongan yang anti pemerintah, juga golongan
yang anti kulit putih, maka ia mengambil keputusan untuk menghentikan penyelidikannya dan
pulang ke Puncak Naga Putih.
"Ah, Hong Hong, kenapa urusan perang saja membuat engkau mundur ?" San-tok
mencela muridnya. "Kalau kita tidak mencari pusaka itu, tentu yang lain akan dapat menemukan lebih dulu. Mungkin dalam keadaan kacau karena perang, pusaka itu tidak ada artinya, akan
tetapi kelak kalau sudah tidak ada perang, orang-orang akan kembali memperhatikan pusaka itu.
Pemilik pusaka itu sama dengan bukti bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia
persilatan dan kalau engkau mampu merampasnya, maka namamu akan terangkat paling tinggi
dan aku sebagai gurumu akan ikut merasa bangga."
"Suhu sebetulnya pusaka itu tidak terlalu menarik bagiku. Aku lebih tertarik untuk
mencari musuh-musuh besarku, pembunuh ayah ibuku. Akan tetapi ketika aku pergi ke Tung-
kang, ternyata si jahanam Ciu Lok Tai telah tewas bersama keluarganya ketika diserbu oleh
pasukan pemerintah. Dan akupun belum berhasil mencari dua orang musuh lain, yaitu Gan Ki
Bin dan Lok Hun yang sudah lama pindah dari Tung-kang dan tidak lagi menjadi pengawal-
pengawal Ciu Wan-gwe."
"Wah, jadi keluarga Ciu Wan-gwe telah terbasmi dan tewas semua oleh pasukan
Hati Budha Tangan Berbisa 4 Pendekar Riang Karya Khu Lung Kisah Si Bangau Putih 12
^