Hati Budha Tangan Berbisa 3

Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bagian 3


ang-thian-ong berpaling kepada Ji
-- Bun dan menambahkan: "Anak muda, tiada urusanmu lagi disini, silakan pergi!"
Ji Bun tidak peduli pertengkaran mereka, mumpung ada kesempatan segera ia meninggalkan tempat ini.
"Jangan pergi," seru perempuan berkerudung, namun bersamaan waktunya Siang-thian-ong juga bergerak, sebat sekali Ji Bun berkisar dan berbalik badan, badanpun melejit tinggi meluncur ke sana, terdengar suara menggelegar di belakangnya, agaknya kedua bangkotan tua itu sudah saling hantam.
Hadirin yang berjejal di bawah panggung sudah bubar, keadaan panggung kini sudah kosong melompong dan sunyi ditingkah sinar surya dan terang benderang. Segera Ji Bun beranjak menuju ke arah bangunan gedung besar dan megah itu.
Seorang laki-laki baju hitam segera menyambut kedatangannya, sapanya sambil merangkap tangan: "Apakah tuan ini Te-gak Suseng?"
Ji Bun mengangguk.
"Silakan ikut Cayhe," kata orang itu.
Di bawah peturjuk laki-laki ini Ji Bun lantas memasuki gedung besar itu. Setelah melewati lorong pintu yang panjang, mereka tiba di sebuah pekarangan luas, tampak meja perjamuan sudah tersebar ratusan banyaknya, suara gelak-tawa bercampur percakapan yang
-- ramai. Tidak kelihatan tamu perempuan hadir dalam perjamuan ini, agaknya mereka dijamu di tempat lain.
Dengan tajam Ji Bun sapukan pandangnya ke seluruh gelanggang, ia ingin menemukan bayangan Siangkoan Hong di antara hadirin. Namun ia kecewa, walau sudah menjelajah segala pelosok pekarangan luas tempat perjamuan, ia tetap tak menemukan jejak Siangkoan Hong.
Akhirnya Ji Bun menyusur ke serambi panjang dipinggir ruang pendopo, diam-diam Ji Bun merasa heran, ke mana dirinya hendak dibawa" Pada serambi luar ini berderet lima meja perjamuan, jelas sekali kelima meja perjamuan adalah diperuntukkan para tokoh-tokoh tingkat tinggi. Tengah ia kebingungan, dilihatnya laki-laki baju hitam yang menunjuk jalan tadi membungkuk badan ke arah meja tengah, serunya:
"Tamu sudah tiba!" lalu dia mundur dan berdiri di samping.
Bayangan seorang duduk, di tengah-tengah meja perjamuan itu kelihatan bangkit dan mengulur tangan, serunya: "Sahabat muda, silakan duduk!"
Orang yang berbangkit dari tempat duduk dan ymnyilakan dirinya duduk ini terang adalah Wi-to-hwe Hwecu. Ji Bun menjadi kaget dan kebingungan, mimpipun ia tidak habis mengerti bagaimana mungkin dirinya dipandang sebagai tamu kehormatan" Namun kenyataan tidak memberi kesempatan untuk ragu-ragu, cepat ia membungkuk dan menyahut: "Aku yang rendah tak berani menerima kehormatan setinggi ini."
-- "Ah, rendah hati, silakan, silakan duduk!"
Seluruh hadirin yang sudah duduk mengelilingi meja perjamuan serempak berbangkit juga, sorot mata mereka tertuju ke arah Ji Bun. Sorot mata mereka sama-sama mengunjuk tanda tanya, kenapa Te-gak Suseng bisa mendapat kehormatan setinggi ini"
Apa sebetulnya hubungan kedua pihak" Sudah tentu Ji Bun sendiripun tidak mengerti. Setelah basa basi ala kadarnya, terpaksa dia menduduki kursi kosong di sebelah kiri.
Di antara orang yang duduk semeja dia hanya kenal Bu-cing-so seorang, yang lain masih asing dan tidak dikenalnya. Air muka Wi-to-hwecu kelihatan kereng berwibawa, namun kaku dan dingin, sepintas pandang membuat perasaan orang terasa risi.
Bubur sarang burung yang panas mengepul dan bau sedap segera disuguhkan. Cukup sekali tarik napas saja sudah terasakan sesuatu oleh Ji Bun. Seketika ia mengerut kening, hampir saja ia berteriak kaget, hidungnya yang sudah terlatih baik merasakan adanya sesuatu yang tidak beres pada hidangan bubur sarang burung ini. Hidangan ini tercampur racun, malah racun jahat yang tidak berbau tidak berwarna, namun bekerja lambat, siapapun sulit mengetahuinya.
Semua hadirin adalah tokoh-tokoh persilatan yang terpandang, kebanyakan adalah para pimpinan sesuatu golongan atau aliran, atau pemimpin yang berkuasa di suatu daerah. Mereka termasuk kaum pendekar yang meliputi enam puluh tiga wilayah di selatan
-- dan utara. Jikalau mereka semua keracunan dan binasa, betapa hebat akibatnya.
Dia ingin membongkar muslihat ini, namun segera pikirannya bergerak. Karena ia tahu cara penggunaan racun ini adalah ajaran tunggal dari perguruannya, kecuali ayahnya, ia kira tiada orang kedua dalam Kangouw yang mampu meracik dan membuat racun ini. Apa tujuan ayah menggunakan racun di sini" Untuk menuntut balas" Padahal belum tentu semua hadirin adalah musuh.
Terbayang tragedi di Jing-goan-si, mereka pun mati keracunan dalam perjamuan, kenapa hal itu bisa terjadi" Perlukah dia sekarang menggagalkan tragedi itu terulang lagi"
Tengah bimbang, di antara orang-orang yang hadir dalam perjamuan itu seorang laki-laki kurus berwajah tirus tiba-tiba berteriak dengan gemetar: "Dalam bubur ada racun!"
Teriakannya seketika membuat seluruh hadirin menjadi ribut, semuanya berubah air mukanya, malah tidak sedikit yang berseru kaget: "Ha, racun?"
Hanya Wi-to-hwecu saja yang berlaku tenang-tenang tanpa menunjukkan perubahan apa-apa, ia berpaling dan berpesan kepada seorang pengawal pribadinya: "Perjamuan segera dihentikan, suruh Cengkoan kemari."
Perjamuan sebanyak ratusan meja itu tidak mungkin bisa dihentikan begitu saja, namun perintah yang dikeluarkan adalah menghentikan penyuguhan hidangan, agaknya pihak Wi-to-hwe
-- memang sudah berhati-hati dan berjaga jaga akan segala kemungkinan.
Tanpa terasa Ji Bun melirik ke arah orang tua kurus itu, betapa kejut hatinya, karena racun yang digunakan dan tercampur di dalam bubur sarang burung ini boleh dikatakan tidak berwarna dan tidak berbau, kecuali orang yang tahu cara meracik dan membuatnya, dari penciuman khusus baru bisa membedakannya. Siapakah orang tua ini dan bagaimana asal usulnya, apa iapun kenal akan racun ini"
Wi-to-hwecu berpaling ke arah orans tua kurus, katanya "Tidak meleset dari dugaanmu, kalau tidak sungguh sulit bagiku memberikan pertanggungan jawab pada seluruh hadirin."
Bergetar kulit muka orang tua kurus, katanya: "Permainan kotor dan rendah ini, sungguh amat memalukan sekali."
Wi-to-hwecu segera berseru lantang:" Tuan-tuan boleh silakan makan minum sepuasnya, tiada apa-apa!"
Suara ribut-ribut lambat laun mereda dan berubah gelak tawa dan percakapan pula.
Kembali Ji Bun mengarahkan pandangan pada orang tua kurus itu, kebetulan orang itu juga memandang Ji Bun, katanya pelahan:
"Kabarnya sahabat muda ini juga paham dan ahli di bidang racun?"
Tersirap darah Ji Bun, pikirnya, aku hanya sekali menolong Siangkoan Hong dan sekali menawarkan racun permainan orang-orang Cip-po-hwe dan semua itu tidak diketahui orang lain,
-- berdasarkan apa orang tua ini bertanya demikian" "Kabarnya", kata-kata ini mengandung arti yang luas, mungkinkah .........
Segera ia berbangkit dan menjawab: "Hanya tahu sedikit kulitnya saja, belum terhitung ahli, dari mana tuan mengetahui?"
"Ha ha, sahabat muda, tiada sesuatu yang ada di Kangouw ini yang serba rahasia."
Serasa menciut jantung Ji Bun.
"Sahabat muda," ujar Wi-to-hwecu sambil menunjuk si orang tua kurus, "marilah kuperkenalkan, di dalam kalangan racun dia berjuluk
........."
Tiba-tiba Ji Bun ingat seseorang, tanpa terasa ia berteriak menukas: "Apakah Cui Bu-tok Cianpwee?"
"Betul," seru Wi-to-hwecu manggut-manggut, "sekali sahabat muda tebak lantas kena."
KembaJi Ji Bun berdiri memberi hormat, katanya: "Maaf, Wanpwee berlaku kurang hormat."
Cui Bu-tok tergelak-gelak, katanya: Ah, tidak apa!"
Dari ayahnya Ji Bun pernah meadengar cerita mengenai tokoh racun yang aneh ini. Di jaman ini hanya dia seorang yang terhitung betul-betul ahli dalam permainan racun. Nama aslinya adalah Cu Ngo tok. Sifatnya pendiam dan suka menyendiri, aneh lagi, jarang
-- bergaul dengan siapapun, maka dia menggunakan nama Ngo-tok (hanya aku sendiri).
Soal racun memang dipelajarinya secara mendalam, tiada racun yang tidak mampu dipunahkan olehnya. Namun selama hidup belum pernah dia melukai orang dengan keahlian racunnya itu. Nama Ngo-tok dan Bu-tok (tak beracun) hampir sama, maka kaum persilatan memanggilnya Cui Bu-tok, nama aslinya malah dilupakan orang.
Sepuluh tahun yang lalu, kabarnya orang tua ini sudah mengasingkan diri, tidak mau mencampuri urusan duniawi lagi, bahwa Wi-to-hwe dapat mengundangnya, sungguh kejadian yang luar biasa.
Wi-to-hwecu angkat cangkir, katanya: "Kali ini Cui-loheng sudi turun gunung kembali, sudi menerima jabatan Cong-tam-ciang-ling dari perkumpulan kita, sungguh kita semua merasa beruntung.
Marilah saudara-saudara, kita habiskan secangkir ini demi kejayaan dan ketenteraman kaum persilatan."
Ji Bun ikut minum bersama orang banyak.
Cui Bu-tok menuding bubut sarang burung sambil berkata kepadanya: "Sahabat muda tentunya tahu racun apakah ini?"
Ji Bun pura-pura kikuk, sahutnya tertawa: "Racun ini tak bernama dan tidak berbau, akupun sulit membedakannya."
-- Pada saat itulah seorang laki-laki berpakaian biru mendatangi dengan langkah tergesa-gesa terus memberi hormat dan melapor:
"Congkoan Ko Cin-jin menghadap Hwecu."
"Ko-congkoan, apakah diketahui ada orang mencampur racun dalam hidangan?"
"Ya, hamba sedang mengusut dan mohon ampun akan keteledoran ini," sahut orang she Ko itu.
"Siapakah menurut pendapat Congkoan yang mencampur racun ini?"
"Soal ini ...... sebelum diperoleh bukti-bukti yang nyata, hamba tidak berani memberi kepastian dan bertindak."
"Kalau demikian, Congkoan sudah menaruh curiga terhadap seseorang?"
"Ya, benar."
"Perintahkan pada Heng-tong Bun-tongcu untuk menghadap dan membawa anak buahnya, tangkaplah orang-orang yang mencurigakan."
Congkoan Ko Cin-jin segera memberi hormat dan mengundurkan diri.
Berdebar-debar jantung Ji Bun, bahkan pejabat Heng-tong (seksi hukum) dipanggil, jelas hendak membuka sidang dan memberi
-- hukuman terbadap orang-orang yang bersalah di hadapan umum.
Racun yang digunakan ini jelas adalah hasil racikan khas ayahnya, memangnya siapa lagi yang menggunakan racun di sini"
Segera seorang tua beralis tebal dan bermata besar, bercambang lebat datang diiringi empat laki-laki berbadan kekar berotot kencang.
Begitu tiba orang yang terdepan segera mamberi hormat, serunya:
"Heng-tong Bun Kiat-san menunggu perintah."
"Segera persiapkan," kata Wi-to-hwe-cu dengan merendahkan suara, "setelah perjamuan bubar segera membuka sidang."
"Terima perintah!" Bun Kiat-san lantas membawa anak buahnya mengundurkan diri.
Perjamuan besar ini bubar kira-kira menjelang tengah malam, tamu-tamu yang menginap segera dipersilakan memasuki kamar-kamar yang sudah disediakan. Namun tak sedikit pula yang malam itu juga turun gunung, dalam waktu sekejap keadaan menjadi sepi.
Ji Bun punya maksud tujuan sendiri, tengah ia bimbang apakah tetap tinggal atau pergi, Wi-to-hwecu sudah berpaling ke arahnya, katanya: "Sahabat muda, silakan menghadiri sidang kita yang pertama."
Ji Bun tertegun, umumnya persidangan untuk menghukum atau memutuskan sesuatu dalam setiap Pang atau Pay, perguruan silat atau perkumpulan selalu diadakan secara tertutup dan rahasia, tak pernah orang luar dipersilakan hadir. Karena si?dang ini dilakukan
-- untuk urusan dalam perkumpulan itu sendiri, maka Ji Bun menjadi rikuh dan bingung.
Sukar baginya meraba maksud orang menahan dirinya.
Mungkinkah asal usul dirinya sudah dike?tahui mereka dan dirinya dicurigai sebagai orang yang menaruh racun dalam hidangan"
Namun tadi orang sudah memerintahkan untuk membekuk orang yang dicurigai menaruh racun.
"Saudara mungkin merasa kejadian ini di luar kebiasaan bukan"
Perkumpulan kita baru berdiri dengan resmi, lantas terjadi peristiwa yang memalukan ini, kalau tidak konangan dan segera dicegah dan bertindak, betapa banyak orang yang akan menjadi korban, perkumpulan kita akan berdosa terhadap ribuan kaum persilatan sepanjang masa. Oleh karena itu, malam ini kita bersidang dengan mengundang para Ciang-bun-jin dari segala aliran dan golongan yang hadir."
"Oh," lega hati Ji Bun, namun dia berkata heran: "Aku yang rendah ini dari golongan keroco, mana bisa mendapat kehormatan ini ........"
"Jangan merendah diri, silakan ikut kami saja."
Walau hatinya tidak tenteram, namun Ji Bun ingin juga tahu siapakah orang yang menaruh racun, maka ia tidak banyak bicara lagi.
^^^^ -- Lilin sebesar kepalan sedang menyala terang di dalam ruangan besar yang cukup muat ratusan orang, tiga meja besar berjajar di ujung tengah kiri dalam bentuk segi tiga. Asap dupa mengepul tinggi di meja tengah yang di belakangnya tertaruh sebuah papan cendana yang diukir huruf indah berbunyi,
"Thian Te" (langit dan bumi).
Memang luar biasa dan berbeda dari meja pemujaan dari berbagai perguruan silat lain yang menaruh abu pemujaan cakal bakal perguruannya, yang dipuja Wi-to-hwe adalah Thian Te, maksudnya mereka berazas tujuan demi langit dan bumi untuk memberantas kelaliman, memang sesuai benar dengan nama perkumpulannya.
Dua meja yang lain, yang di sebelah kiri diduduki Wi-to-hwecu, yang kanan ternyata ditaruh tandu berhias yang misterius itu. Di belakang Wi-to-hwecu berderet berdiri tujuh orang tua, termasuk Bu-cing-so, Siang-thian-ong dan Cu Bu-tok. Ji Bun teringat pada perempuan berkerudung kain sari itu, entah bagaimana kesudahan perkelahian kedua orang tua itu setelah dirinya pergi"
Deretan meja kursi yang berjajar di sebelah kanan di mana Ji Bun berduduk bercampur dengan para ketua dan pimpinan berbagai cabang persilatan, berhadapan dengan meja perjamuan sana. Heng-tong Tongcu Bun Kiat-san berdiri dengan membusungkan dada bersama delapan anak buahnya.
-- Kesunyian mencekam perasaan dalam ruang yang besar dengan hadirin yang begini banyak, hanya api lilin saja yang kadang-kadang meletik berbunyi.
Tiba-tiba sebuah suara lantang kumandang di depan pintu ruangan: "Oh-hiangcu, datang menghadap untuk, terima perintah!"
"Masuklah!" seru Wi-to-hwecu dengan suara berat.
Seorang tua bermuka pucat kehijauan melangkah masuk dengan menunduk, di belakangnya diiringi dua laki-laki kekar berpakaian serba merah, jelas laki-laki tua bermuka kehijauan ini digusur masuk sebagai terdakwa dalam perkara peracunan ini.
Langkah laki-laki muka hijau rada sempoyongan dan ragu, kepalanya tetap menunduk terus menuju ke tengah dan berdiri di belakang Bun Kiat-san.
"Buka sidang!" Heng-tong Tongcu Bun Kiat-san segera memberi aba-aba.
"Buka ...... sidang ......." sepuluh anak buahnya serempak meniru berseru lantang dan panjang. Tegang seluruh hadirin, semua menaruh perhatian benar. Wajah Wi-to-hwecu tetap tenang hanya kulit mukanya bergerak-gerak, lalu berkata dengan suara berat: "Go-hiangcu, kau sudah tahu apa dosamu?"
Laki-laki itu angkat kepalanya, suaranya gemetar: "Hamba tidak tahu dosa apa yang telah kulakukan?"
-- "Sewaktu masuk menjadi anggota perkumpulan kita kau telah bersumpah terhadap Bumi dan Langit, betapapun kau sudah menjadi anak murid perkumpulan kita, kau mau mengakui hal ini tidak?"
"Ya, itu kuakui," jawab laki-laki itu.
"Kalau begitu, berlututlah terhadap pemujaan Bumi dan Langit."
Laki-laki baju hitam berlutut dan menyembah ke arah pemujaan, entah sengaja atau tidak, dikala membungkuk badan, kepalanya sedikit miring dan matanya melirik ke arah Ji Bun.
Lirikan sekejap itu cukup membuat Ji Bun merinding dan tersirap seperti kesetrom listrik. Dari lirikan orang sekaligus ia sudah dapat mengenali siapa sebetulnya Hiangcu she Go itu, lahirnya ia tetap berlaku tenang, namun detak jantungnya berdebur laksana ombak mengamuk, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Setelah laki-laki baju hitam berlutut, berkata pula Wi-to-hwecu:
"Menaruh racun di dalam makanan, dengan tujuan membunuh para undangan perkumpulan kita, siapa yang menyuruhmu melakukan ini?"
"Hamba betul-betul tidak tahu menahu akan hal ini."
"Go Gun, jangan lupa, kau pernah bersumpah dihadapan Bumi dan Langit, sebaiknya berterus terang saja."
"Harap kebijaksanaan Hwecu."
-- "Hm, Go Gun, ratusan murid perkumpulan yang mengadakan perjamuan di Jing goan-si, semuanya mati keracunan, bukankah itupun hasil karyamu?"
"Bukan, hamba sungguh penasaran."
Tiba-tiba kumandang dari dalam tandu hias: "Berikan bukti-bukti kepadanya."
Seperti dipukul godam jantung Ji Bun demi mendengar bukti yang hendak diajukan oleh pihak Wi-to-hwe. Seperti diketahui, tanpa juntrungan tempo hari ia main terjang ke dalam Jing-goan-si serta memergoki pembunuhan itu, orang dalam tandu itu menuduh dirinya pembunuhnya. Untung Thian-thay-mo-ki muncul dan menunjukkan tanda perguruannya dan menolong jiwanya, kiranya para korban, itu adalah murid-murid Wi-to-hwe .....
Wi-to-hwecu tertawa dingin, katanya: "Go Gun, nama aslimu bukan Go Gun, bukan?"
Bergetar badan laki-laki berbaju hitam, dia tidak bersuara, sorot matanya kembali melirik Ji Bun. Semakin tidak tenang perasaan Ji Bun, kalau laki-laki ini mengakui asal usulnya dan menuding siapa pula dirinya, betapa akibatnya sungguh sukar dibayangkan.
Kepandaian orang dalam tandu, Bu-cing-so, Siang-thian-ong, semua sudah pernah dia saksikan sendiri. Tentunya kepandaian Hwecu ini juga bukan main hebatnya, dirinya terang bukan tandingan mereka.
-- "Bun-tongcu!" seru Hwecu tiba-tiba.
"Hamba di sini."
"Copot kedok mukanya!"
"Terima perintah!" Bun Kiat-san segera melangkah maju.
Tiba-tiba laki-laki baju hitam melompat bangun, tangannya terus menjotos ke arah Wi-to-hwecu.
Terdengar gerungan rendah dari dalam tandu, segulung angin berkisar secara aneh menyambar dari dalam tandu, jotosan kencang laki-laki berbaju hitam seketika sirna tanpa bekas.
Sementara Bun Kiat-san sudah menubruk maju seperti harimau menerkam mangsanya. Sekali telikung dan tekan, dia terus tutuk Hiat-to laki-laki berbaju hitam, hanya sekali mendengus laki itu roboh terkulai tak bergerak lagi.
Bun Kiat-san lantas meraih ke mukanya, kedok yang tipis halus segera tercomot ditangannya. Tertampaklah seraut wajah yang merah seperti buah kurma berkulit kasar.
Wi-to-hwecu menyeringai dingin, katanya: "Inilah dia, aslinya Coangkoan Ji-sing-po, bernama Pui Ping-jio."
Seluruh hadirin berjingkat kaget, kepala Lo-han-tong dari Siau-lim-si, It-sim Taysu segera bersabda Buddha, suaranya lantang bagai
-- lonceng bergema, katanya: "Ji-sing-pocu, Ji Ing-hong melakukan perbuatan kotor yang memalukan ini, apakah tujuannya?"
Bu-cing-so segera menanggapi: "Maksud tujuannya amat besar, kemungkinan ingin merajai dan berkuasa di seluruh Kangouw."
Pejabat ketua Bu-tong-Pay Cin-ji Totiang ikut menimbrung dengan suara kereng: ''Kabarnya markas Ji-sing-po diserbu dan seluruh anggotanya mati terbunuh, apakah hal ini memang sengaja dilakukan sendiri oleh Ji Ing-hong untuk mengelabui mata umum?"
Seperti ditusuk sembilu hati Ji Bun, terbayang olehnya pemandangan seram dan mengerikan di Ji-sing-po, namun ia harus tekan perasaan dan tak boleh membeberkan rahasia ini, namun tekadnya untuk menuntut balas semakin besar.
Orang dalam tandu bersuara pula: "Silakan Hwecu memberi keputusan hukum sesuai peraturan perkumpulan kita!"
Secara tidak langsung ucapannya ini hendak menyatakan bahwa sidang dan keputusan yang terjadi di dalam Wi-to-hwe orang luar tiada hak turut campur.
Ketua Bu-tong dan pimpinan Siau-lim-si tahu mereka telah kelepasan omong, maka selanjutnya mereka hanya tutup mulut saja.
"Pui Ping-jio," bentak Wi-to-hwecu bengis, "Aku tetap memanggilmu Go-hiangcu, sekarang tahukah apa dosamu?"
-- "Mau bunuh atau mau sembelih silahkan," teriak Pui Ping-jio beringas, "utang jiwa ini kelak pasti ada orang yang menagih ......"
"Tutup mulutmu, kau pernah bersumpah masuk anggota, peduli bagaimana asalmu dan apa tujuannya, kau tetap harus menerima putusan hukum perkumpulan kita, Bun-tongcu ....."
"Hamba sudah siap!"
"Apa hukumannya bagi anak murid kita yang melanggar undang-undang dan memberontak?"
"Menurut undang-undang nomor satu, bagi yang khianat harus dihukum mati."
"Gusur dia keluar!"
"Baik!" sahut Bun Kiat-san sambil mengusap tangan, dua orang segera maju memapah Pui Ping-jio keluar.
Ji Bun tidak tahu apa tujuan ayahnya menyelundupkan Congkoan Pui Ping-jio ke dalam Wi-to-hwe dan dua kali menaruh racun dalam makanan, namun dari situasi dan keadaan ini, tujuannya untuk menuntut balas. Menuntut balas sakit hati soal apa belumlah jelas, kemungkinan Wi-to-hwecu ini adalah salah seorang yang menimbulkan banjir darah di Ji-sing-po. Tak kuasa mengendalikan perasaannya lagi, tiba-tiba ia berdiri ......"
"Saudara muda, apakah kau punya usul dan ingin bicara?" tanya Wi-to-hwecu.
-- Ji Bun tahan mentah-mentah air mata yang hendak menetes dan darah yang hendak menyembur keluar, dia kendalikan pula rasa benci dan dendamnya. Dengan sikap rikuh dan kikuk ia berkata:
"Cayhe punya urusan penting yang harus segera diselesaikan, harap Hwecu suka memberi izin supaya Cayhe boleh mengundurkan diri lebih dulu."
Sudah tentu ini hanya alasan yang dibuat-buat, alasan yang sekenanya diucapkan karena terdesak oleh keadaan. Ia harus menolong Pui-congkoan, namun keadaan tidak mengidzinkan dan ia memang tidak mampu, maka dengan mendelong ia harus menyaksikan orang sendiri dihukum mati. Oleh karena itu hanya menyingkir saja jalan satu-satunya buat meringankan tekanan batinnya.
Wi-to-hwecu tertawa lebar, katanya: "Saudara muda boleh silakan, kusuruh orang untuk mengantarkan, kalau ada waktu harap suka mampir lagi."
Orang dalam tandu menimbrung: "Tempo hari aku salah paham dan turun tangan, apakah Siauhiap suka memaafkan kesalahan itu?"
Dalam hati amat dendam, namun mulut Ji Bun menjawab:
"Terlalu berat kata-katamu ini, urusan sekecil itu kenapa dipikirkan?"
Sementara itu Pui Ping-jio sudah digusur keluar nasibnya tidak perlu ditanyakan lagi. Hati Ji Bun seperti dibakar, sedetikpun tak tahan lagi tinggal di sini. Setelah memberi hormat, bergegas dia berjalan keluar.
-- Setiba dilapangan luas, seorang berbaju hitam lantas mendekatinya, sapanya sedikit membungkuk: "Harap Siauhiap tunggu sebentar, hamba akan siapkan seekor kuda."
Ji Bun angkat tangan, katanya: "Tidak perlulah."
Sekali kaki menutul badannya terus melesat ke arah luar gunung.
Dendam bertumpuk dalam hatinya, membuat napas serasa sesak, rasanya ingin dia membunuh sepuasnya untuk melampiaskan dendamnya. Namun kenyataan tidak memungkinkan, dia harus bekerja sesuai rencana.
Dari kejadian hari ini, ia percaya bahwa secara diam-diam ayahnya sudah mulai bergerak. Lebih tersiksa perasaannya karena sedemikian jauh ia belum mengetahui siapakah sebetulnya musuh besarnya.
Setelah tiba di luar gunung, ia berdiri sejenak menghirup napas panjang untuk melapangkan perasaannya. Tiba-tiba tak jauh dari tempatnya berdiri dari arah kiri sana berkelebat sesosok bayangan orang menyelinap lenyap ke dalam hutan. Memangnya Ji Bun sedang merasa dongkol tak terlampiaskan, segera ia menubruk ke hutan sana.
4.11. Kehilangan Anting Kenangan
Bayangan seorang bertubuh tinggi kekar tampak berdiri di dalam hutan. Dari sinar matahari yang menembus dari celah-cela dedaunan
-- pohon, dilihatnya jelas orang ini berjubah sutera mengenakan kerudung kepala.
Tanpa pikir ia menubruk maju terus menyerang dengan pukulan ganas.
"Bun-ji, gila kau!" bentak bayangan kekar itu.
Mendengar suara bentakan ini, segera Ji Bun menahan terjangan dan menghentikan pukulannya, teriaknya: "Apakah ayah?"
"Ya, inilah aku, kenapa kau?"
"Ayah!" seperti seorang anak yang tersiksa tahu-tahu berjumpa ayah bundanya, tak tertahan lagi air matanya lantas bercucuran.
"Nak, kau ............."
"Yah, benteng kita .............."
"Kau sudah tahu?"
"Ya, siapakah pembunuhnya
"Orang-orang Wi-to-hwe itulah."
"Oh ....., mereka?" terpancar cahaya penuh nafsu membunuh dari mata Ji Bun, darah terasa mendidih dalam rongga dadanya.
-- "Nak, kenapa begitu melihat aku lantas kau menyerang seganas itu?"
"Tahukah ayah ada seorang menyaru dirimu, dua kali dia menyerangku ........."
"Apa, ada orang menyamar diriku?"
"Ya, persis sekali, tulen atau palsu sukar kubedakan."
"Mungkin perbuatan orang-orang Wi-to-hwe.... ."
"Tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Baru saja aku menjadi tamu kehormatan mereka, dan mereka belum tahu asal usulku."
"Kau keliru nak, betapa keji culas muslihat orang-orang Kangouw, kemungkinan mereka memang sudah mengatur secara rapi."
Memang tidak salah, demikian pikir Ji Bun, tanpa sebab kenapa dirinya diundang sebagai tamu kehormatan, malah diminta hadir dalam sidang mereka, dalam hal ini pasti ada latar belakang dan tujuan tertentu. Seketika ia bergidik sendiri, namun bara dendamnya semakin menyala.
"Yah, siapakah Wi-to-hwecu sebenarnya?" tanyanya kemudian.
-- "Sekarang belum diketahui secara pasti, kemungkinan salah seorang musuhku dulu."
"Dari mana ayah mendapat tahu."
"Nak, muka yang kau lihat itu bukan wajah aslinya, dia mengenakan kedok."
"Oh, pantas tak enak dipandang, tentunya ayah bisa menebak siapa dia, berapa gelintir saja orang-orang yang berkepandaian setinggi itu."
"Dunia terlalu luas, serba serbi dunia sukar diraba pula, musuh tangguh yang sekarang kemungkinan adalah kaum keroco masa lalu, darimana kita bisa merabanya dengan tepat?"
"Apakah Siang-thian-ong dan lain-lain itupun ikut dalam peristiwa ini" Ada orang bernama Siangkoan Hong, apakah dia pembunuh utamanya?"
Tiba-tiba orang berkedok menyurut mundur, suaranya gemetar:
"Kau kenal Siangkoan Hong?"
"Ya, beberapa waktu yang lalu, ia tergeletak luka-luka di pinggir jalan, napas sudah kempas-kempis karena keracunan, anak memang terlalu banyak ulah dan telah menolongnya."
"Dia tahu asal usulmu?"
"Tidak tahu"
-- "Betul, memang dia pembunuh utamanya."
"Siapakah Siangkoan Hong itu?"
"Terakhir dari Jit-sing-pat-siang (delapan panglima dari Jit-sing), belakangan dia lari menjadi pengkhianat."
Mendelik biji mata Ji Bun, hal ini benar-benar di luar dugaannya, bahwa Siangkoan Hong adalah nomor kedelapan dari Jit-sing-pat-ciang, sejak meningkat besar dan tahu urusan, seingatnya anak buah ayahnya yang diandalkan hanya Jit-sing-lak-ciang (enam panglima) saja.
"Yah, lalu di mana salah seorang yang lain"
"Dialah tertua dari Jit-sing-pat-siang, sepuluh tahun yang lalu lari bersama Siangkoan Hong."
"Siangkoan Hong menyapu bersih benteng kita, Lak-ciang dibantainya pula, apakah tujuannya?"
"Ayah sendiri sampai sekarang belum jelas kemana maksud tujuan mereka itu, untuk ini kita harus langsung tanya kepadanya."
"Bukankah ayah pernah bentrok dengan dia?"
"Ya, namun dia tidak pernah mengatakan alasannya. Lwekang dan Kepandaian silatnya sekarang teramat tangguh di luar
-- dugaanku, lika-liku persoalan itu kukira tidak mudah untuk diselami
....." "Kalau demikian Siangkoan Hong pasti salah seorang dari Wi-tohwe?"
"Kemungkinan besar."
"Oh, ya, ayah, tentang Pui-congkoan, dia. . . ."
"Kenapa?"
"Muslihatnya konangan musuh waktu menaruh racun dalam hidangan, kini dia sudah berkorban."
Bergetar tubuh orang berkedok, teriaknya dengan beringas: "Apa yang pernah dia katakan?"
"Sepatah katapun dia tidak mengaku."
"Bagus, bagus! Aku bersumpah akan menuntutkan balas baginya
...... sebetulnya ah, hanya menambah jumlah tagihan saja."
"Ayah, maafkan anak bicara terus terang, seluruh ketua cabang persilatan pada jaman ini boleh dikatakan hadir semua dalam perjamuan mereka, jikalau melihat Pui-congkoan berhasil .........."
"Nak, ayahmu ini tidak suka bila banyak orang dalam dunia ini tak tunduk kepadaku."
-- Ucapan seorang durjana, Ji Bun merasa tertusuk kupingnya mendengar kata-kata ini, namun ia berhadapan dengan ayah sendiri, apa yang bisa ia katakan"
Setelah dengan rasa serba salah, akhirnya Ji Bun bertanya dengan haru: "Yah, dimanakah ibu sekarang?"
"Akupun sedang mencarinya."
"Ibu tidak sampai tertimpa bencana, bukan?"
"Sudah tentu tidak. Entah kelak."
Berkerutuk gigi Ji Bun saking gemas, katanya dengan murka:
"Bagaimana rencana ayah selanjutnya" "
"Membalas dendam tentunya. Ayah sudah mengatur rencana, lebih baik kau tetap bekerja seorang diri mencari kesempatan untuk memberantas musuh satu persatu untuk mengurangi kekuatan mereka, namun harus hati-hati dan jangan sampai meninggalkan bekas-bekas yang mencurigakan."


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak mengerti dan akan bekerja, seperti petunjuk ayah."
"Baiklah, kita ayah beranak tidak, bisa kumpul bersama, sekaligus juga untuk tetap merahasiakan asal usulmu, kalau ada urusan akan kusuruh orang mengadakan kontak ......."
"Yah, masih ada suatu hal, soal lamaran puteri keluarga Ciang di Kayhong ........"
-- "Keluarga hancur jiwa terancam, hal itu tidak usah disinggung lagi. Nak, jaga dirimu baik-baik, ayah berangkat dulu!"
Habis kata-katanya, sekali berkelebat lenyaplah bayangannya, meluncur ke dalam kegelapan sana.
Baru sekarang Ji Bun ingat perkataan Thian-thay-mo-ki, bahwa dia pernah meninggalkan tanda mata di atas kepala orang berkedok, kenapa tadi dia lupa memeriksa dan membuktikan, sudah tentu curiga terhadap ayah sendiri adalah sesuatu yang janggal dan menggelikan. Namun hal ini harus diberitahu kepada beliau, dengan tanda-tanda ini beliau bisa ikut mencari orang yang menyarunya itu.
Keluarga berantakan, rumahpun sudah hancur, inilah tragedi yang paling mengenaskan dalam dunia. Dengan terlongong ia berdiri mematung di bayang-bayang kegelapan hutan, sedapat mungkin ia memusatkan pikirannya yang kalut.
Apa rencana ayahnya" Bagaimana dirinya harus bergerak" Ke mana pula ia harus menemukan ibunya" Di mana Siangkoan Hong bersembunyi" Bahwa keparat itu adalah musuh ayahnya, namun telah ditolongnya malah, sungguh perbuatan brutal yang lucu.
Jikalau sejak mula dirinya sudah punya pendirian seperti sekarang, kesalahan tentu tidak perlu terjadi"
Mengingat musuh-musuhnya, perasan Ji Bun menjadi berat, mereka sudah diketahui adalah bangkotan-bangkotan silat yang sukar ditandingi. Bicara soal menuntut balas, sungguh sukarnya
-- buka main, dan ayahnya seperti menyembunyikan sesuatu, tidak mau menjelas asal mula dari permusuhan ini.
Pikirannya teringat kepada Gadis baju merah Pui Ci-hwi pula, semula ia merasa cemburu akan pergaulan pujaan hatinya ini dengan pemuda baju putih dari Cip-po-hwe yang bejat itu. Kini rasa cemburu ini sudah lenyap, karena Pui Ci-hwi mengakui sebagai salah seorang Wi-to-hwe. Mereka adalah pembunuh-pembunuh yang membantai seluruh penghuni Jit-sing-po, maka Pui Ci-hwi menjadi salah seorang musuhnya pula, dendam dan cinta selamanya takkan berdiri berdampingan.
Tanpa terasa ia terbayang pula pada Ciang Bing-cu serta merta ia merogoh saku, mengeluarkan anting-anting batu pualam pemberian nona itu. Anting-anting yang punya arti terlalu besar di mana saja ia berada dengan sesuka hati boleh ambil dan menggunakan uang.
Anting-anting ini terhitung pusaka yang tak ternilai harganya.
Baru sekarang ia sempat memperhatikan anting-anting ini, sebetulnya tiada sesuatu yang istimewa, tak ubahnya dengan anting umumnya. Dengan teliti ia bolak-balik memeriksanya, namun tidak diperoleh sesuatu yang mencurigakan, apakah keluarga Ciang tidak takut orang memalsu anting-anting ini untuk menggerogoti harta kekayaannya"
Sekonyong-konyong sebuah bayangan berkelebat laksana kilat menyambar, begitu cepat dan luar biasa sekali, bagai setan dan seperti iblis. Ji Bun bukan kaum kroco, secara refleks ia melancarkan serangan mematikan, namun bayangan itu tidak berhenti, sekali berkelebat tahu-tahu sudah lenyap pula.
-- Keruan bukan kepalang kaget Ji Bun. Tiba-tiba merasakan anting-anting yang dipegangnya telah lenyap, bertambah besar kejutnya.
Jika anting-anting itu terjatuh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di Kangouw, betapa besar akibat yang bakal timbul karenanya" Mungkinkah orang sudah tahu manfaat atau kegunaan dari anting-anting itu serta mengintai dan mengincarnya selama ini.
"Kurcaci kurang ajar!" hardik Ji Bun, badan?nya melenting secepat kilat mengejar ke arah lenyapnya bayangan. Waktu itu malam gelap gulita, hutan lebat sehingga pandangan remang-remang, untuk mengejar seorang yang punya gerak gerik begitu cepat dan gesit, jelas tiada harapan sama sekali. Setiba di luar hutan, mana ada bayangan manusia.
Gemetar badan Ji Bun saking murka, dengan lesu ia menghentikan pengejarannya, hatinya lebih merasa jeri dan ngeri daripada penasaran. Untuk pertama kali ini serangan dirinya yang ampuh kehilangan gunanya. Hal ini tidak pernah terjadi, betapapun tinggi kepandaian silat seorang, kecuali tidak kena dengan telak, kalau terpukul pasti jiwanya melayang. Namun bayangan yang satu ini tetap dapat kabur dan menghilang setelah terkena serangannya.
Kecuali ayahnya, tak terpikir olehnya jago silat mana yang mampu bertahan hidup setelah kena serangannya, sungguh hebat dan mengerikan. Siapakah orang yang kuat bertahan dari pukulan yang mematikan ini" Mungkinkah perbuatan orang-orang Wi-tohwe"
-- Sayang gerakan bayangan itu teramat cepat, hakikatnya ia tidak jelas membedakan bentuk bayangan itu. Bagaimana ia harus memberi pertanggungan jawab kepada Ciang Bing-cu" Inilah persoalan penting dan terbesar.
Orang yang tahu bahwa dirinya membawa anting-anting itu hanya Thian-thay-mo-ki seorang, namun Thian-thay-mo-ki takkan kuat menghadapi pukulan yang mematikan. Pula gerak-geriknya tidak segesit itu. Ji Bun jadi menyesal kenapa semula ia tidak menolak saja pemberian anting-anting ini, namun menyesalpun sudah kasip.
Sedang terlongong dan kehabisan akal, kupingnya mendengar desiran seperti lambaian pakaian yang tertiup angin. Tampak sesosok bayangan berlari mendatangi dari arah hutan sana. Kontan Ji Bun menyambutnya dengan bentakan: "Berhenti!"
Bayangan segera berhenti, Ji Bun segera menubruk maju, setelah dekat dan melihat jelas, diam-diam ia merasa sebal, ternyata pendatang ini adalah Thian-thay-mo-ki."
"Dik," kata Thian-thay-mo-ki, untunglah kau bersuara, kalau tidak kita takkan bertemu di sini."
Memangnya hati sedang gundah, maka Ji Bun menyambut dengan tak acuh: "Kau mengejar aku" Ada keperluan apa?"
"Agaknya kau kurang senang?"
-- Tiba-tiba tergetar hati Ji Bun, mungkinkah perempuan berkerudung kain sari itulah yang merebut anting-antingnya, kepandaian orang begitu tinggi, kemungkinan sekali dialah orang yang melakukannya, dan lagi yang tahu akan hal ini hanya Thian-thay-mo-ki, bukan mustahil ia memberitahu rahasia ini kepada gurunya, betapapun arti dari anting-anting itu teramat besar, maka dengan sikap dingin ia bertanya: "Mana gurumu?"
"Guruku?"
"Ya, perempuan berkerudung kain sari hijau itu."
"Dik, watak guruku terlalu nyentrik, kejadian yang kau alami anggaplah tidak ada."
"Memangnya aku tidak ambil peduli."
"Syukurlah kalau begitu."
"Siapakah nama julukan gurumu yang mulia?"
"Maafkan untuk hal ini, guruku tak senang namanya diketahui orang luar, sudah puluhan tahun beliau tidak muncul di Kangouw."
"Kali ini gurumu turun gunung, tentunya mempunyai maksud-maksud tertentu?"
"Memang benar, namun itu urusan pribadi beliau."
"Gurumu masih ada di atas gunung ini?"
-- "Tidak, setelah berkelahi dengan Siang-thian-ong, ia lantas meninggalkan tempat ini. Dik agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu?"
"Ya, ada sedikit."
"Boleh beritahukan padaku?"
"Anting-anting pemberian Ciang Bing-cu tempo hari itu baru saja direbut seseorang."
"Apa, direbut orang" Ada orang berani merebut barang dari tangan Te-gak Suseng memangnya dia sudah bosan hidup. Dik siapakah dia?"
Berkilat laksana bintang kejora biji mata Ji Bun di dalam kegelapan, dengan tajam ia tatap muka Thian-thay-mo-ki, seolah-olah hendak menyelami hatinya, apakah sikapnya ini pura-pura belaka atau bicara setulus hati, dengan dingin ia menjawab: "Gerak gerik orang itu sangat mengejutkan, tidak sempat kulihat jelas bagaimana bentuk bayangannya,"
Diliputi rasa kaget dan heran suara Thian-thay-mo-ki:
"Memangnya tokoh macam apakah dia" Mungkin ia sudah tahu manfaat anting-anting itu, kalau tidak buat apa dia merebutnya."
"Tapi soal anting-anting itu tiada orang lain yang tahu."
"Jadi kau curiga akan perbuatan guruku?"
-- "Aku tidak mengatakan demikian."
"Untuk ini aku berani tanggung, guruku takkan sudi melakukan perbuatan serendah ini."
Sikapnya yang sungguh-sungguh membuat Ji Bun percaya, keduanya berdiam sesaat lamanya, akhirnya Thian-thay-mo-ki bersuara pula: "Dik, apakah gerak-gerik bayangan itu teramat cepat dan aneh?"
"Ya, seperti setan iblis layaknya."
"Mungkinkah ...... si dia?"
"Dia ......... siapa?"
Sejenak berpikir baru Thian-thay-mo-ki berkata: "Pernahkah kaudengar nama Biau-jiu Siansing (si Tuan bertangan gaib)?"
"Pernah kudengar, kabarnya jejak orang ini pergi datang tidak menentu, pandai menyamar, jarang orang melihat wajah aslinya
....." "Dinilai kepandaiannya, mungkin hanya beberapa gelintir saja yang sejajar dengan Biau-jiu Siansing di jaman ini, pula kepandaiannya mencuri begitu hebat, seumpama memetik bintang mengambil rembulan, Lweekangnya kabarnya juga teramat tinggi."
"Cici menyangka akan perbuatannya?"
-- "Ini hanya dugaan saja."
"Cara bagaimana kita bisa menemukan dia?"
"Sulit, tapi ....... " Thian-thay-mo-ki mengerut kening dan berpikir sekian lama, lalu menyambung pula: "Untuk mencari dia memang sesukar memanjat langit, terpaksa kita harus paksa dia sendiri yang muncul."
"Memaksa muncul bagaimana?"
"Kita tawan seseorang sebagai sandera untuk memancingnya."
"Apa, menawan orang sebagai sandera?"
"Selain itu tiada cara lain."
"Lalu siapa yang harus kita tawan?"
"Kau kira cara ini boleh dilakukan" Baiklah, biarlah kuberitahu sebuah kisah rahasia dunia, persilatan kecuali aku mungkin tiada orang kedua yang tahu. Biau-jiu Siansing punya seorang gundik, tinggal di ........."
"Gundik! Jadi dia punya keluarga?"
"Dengarkan ceritaku, gundiknya itu tinggal di sebuah gedung di dalam kota Cinyang, dari gundik ini dia mendapatkan seorang
-- putera, kira-kira berusia sepuluh, begitu besar kasih sayangnya terhadap puteranya ini ......."
"Dari mana Cici mengetahui hal ini?"
"Dua tahun yang lalu, aku ada urusan ke Cinyang, karena mengejar seorang musuh aku kesasar memasuki sebuah gedung kuno. Kutemukan penghuni gedung kuno ini adalah seorang ibu dan puteranya yang masih kecil, pembantunya semua adalah perempuan. Namun gedung kuno itu dipajang dan dihias serba mewah dan antik. Kebetulan seorang tua bungkuk melompat masuk tidak melalui pintu tapi dari atas tembok belakang, gerakannya gesit dan cepat sekali. Semula aku kira orang ini adalah maling atau sebangsa panca longok, namun dugaanku ternyata meleset. Dari pembicaraan mereka yang kucuri dengar, baru aku tahu bahwa orang tua bungkuk kurus itu ternyata adalah Biau-jiu Siansing yang tersohor di Kangouw ..........."
"Orang tua renta bungkuk?"
"Itu bukan wajah aslinya, waktu itu kupikir seorang gadis tak enak mencuri dengar pembicaraan pribadi orang lain, maka secara diam-diam aku mengundurkan diri. Namun pengalamanku yang tak terduga itu, menimbulkan suatu ilham dalam benakku malah."
Ji Bun berkata: "Maksud Cici hendak menculik puteranya itu dan dijadikan sandera" Kenapa tidak kita luruk saja ke gedung itu, kalau kepergok kebetulan malah, kalau tidak ketemu boleh kita tunggu sampai dia muncul ........"
-- "Terlalu rendah kau menilai Biau-jiu Siansing, duplikatnya teramat banyak, pandai dan cerdik lagi. Jika tidak kau pegang kelemahannya, jangan harap kau bisa berurusan sama dia."
"Baiklah, mari sekarang berangkat ke Cinyang."
"Nanti dulu."
"Cici masih ada urusan apa lagi?"
"Masin ingat tentang Sek-hud itu?"
"Sek-hud" Memangnya kenapa?"
"Pui Ci-hwi atau gadis baju merah itu sudah membeberkan rahasia tempat penyimpanan Sek-hud itu kepada putera ketua Cip-po-hwe yang bernama Liok Kin itu."
"Pemuda baju putih itu bernama Liok Kin" Memangnya kenapa lagi?"
"Konon kabarnya Sek-hud merupakan benda pusaka yang tak ternilai, kini bakal terjatuh tangan Cip-po-hwe ......."
"Kukira tidak mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin?"
"Jago-jago kosen Wi-to-hwe masakah berpeluk tangan saja?"
-- "Bukan begitu soalnya, Lok Kin mengaku sebagai putera seorang keluarga In di Jiciu, hakikatnya Pui Ci-hwi tidak tahu akan asal usulnya, dengan segala daya dan akal licik Liok Kin berhasil menggait dengan tujuan memperoleh Sek-hud itu. Kini mereka sudah turun dari Tong-pek-san, bagaimana nasib Pui Ci-hwi selanjutnya sulit diramalkan. Betapapun terlalu banyak jumlah jago-jago kosen Wi-to-hwe, dalam waktu dekat ini kita mungkin sukar bertindak."
Terbayang wajah molek dari gadis baju merah bak mutiara nan cemerlang dalam benak Ji Bun. Dalam hati diam-diam ia memperingatkan diri sendiri bahwa nona itu adalah musuh, mati hidupnya tiada sangkut paut dengan dirinya.
Akan tetapi iapun menyadari bahwa sesuatu sedang menggelitik di dalam lubuk hatinya, sehingga dia sukar mengendalikan perasaannya lagi. Kekotoran jiwa dan kebejatan pemuda baju putih Liok Kin membuatnya tak tahan untuk berpeluk tangan.
Akan tetapi dari jauh Thian-thay-mo-ki ke sini mencari dirinya untuk memberi tahu hal ini, apa pula maksudnya" Semestinya dia benci pada Pui Ci-hwi karena orang ini menjadi saingan beratnya.
Maka ia lantas bertanya: "Cici, maksudmu menghendaki aku menolongnya dari cengkeraman Liok Kin yang kotor itu?"
"Betul, bukankah kau mencintainya?"
Ji Bun melengak, tanyanya: "Cici, kau tidak membencinya?"
"Kenapa aku harus membencinya" Aku kasihan padanya malah."
-- "Kasihan" Kenapa Cici malah kasihan padanya?"
"Karena gadis yang masih suci bersih tidak menyadari bahwa dirinya dipermainkan orang."
Kata-kata ini seketika membakar rasa cemburu Ji Bun, memang aneh perasaan manusia, dia kasmaran terhadap Pui Ci-hwi sampai perintah orang tua yang menyuruhnya melamar puteri keluarga Ciang di Kayhong dia batalkan begitu saja, namun kenyataan gadis yang di kejar-kejar ini tidak membalas cintanya, kini malah diketahuinya bahwa nona, itu adalah komplotan para musuhnya.
Kenyataan ini tidak kuasa menahan rasa cemburunya, hal ini membuat Ji Bun sendiri tidak mengerti kenapa teraknir ini ia kehilangan pegangan akan sifatnya dulu yang keras kepala.
Mungkinkah Thian-thay-mo-ki sengaja mengatur muslihat dengan pura-pura "mundur untuk siap melangkah maju setindak," sekaligus memperlihatkan kebesaran cintanya" Kalau dugaan benar, akal muslihatnya ini sungguh lihay dan jitu. Karena ia tidak menaruh perhatian terhadap Sek-hud, akhirnya ia bertanya: "Apa Cici ada maksud mereebut Sek-hud itu?"
"Tidak. Bagaimana tindakanmu selanjutnya?"
"Kenapa Cici tidak beritahu kepada Wi-to-hwe supaya mereka bereskan sendiri?"
"Aku tidak sudi berhubungan dengan mereka "
-- "Lalu kenapa kau beritahu kepadaku ........."
"Dik, jangan berbelit-belit, aku tahu cintamu hanya tertuju kepada Pui Ci-hwi," sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah rawan.
"Terhadapku, hakikatnya melirikpun kau tidak sudi, mungkin kau pandang aku ini perempuan jalang, atau mungkin kau pandang aku perempuan liar yang sudah kehilangan bentuk aslinya, bahwa belakangan ini kau mau bergaul dengan aku hanyalah bermuka-muka saja ......."
Diam-diam Bun mengakui akan kelihayan Thian-thay-mo-ki, tukasnya: "Cici jangan salah paham."
"Dik, jangan kau menyangkal, tidak perlu memberi penjelasan.
Dengarkan, walau aku tahu akan hal ini, namun aku tetap senang bersamamu, dulu aku pernah lancang mulut mengatakan kita adalah sejenis, dari golongan sesat, anggaplah ucapanku itu hanya isapan jempol belaka, yang betul kau bukan akupun bukan. Kau sudah kupahami, bahwa cinta hakikatnya tidak boleh dipaksakan, tiada yang kupinta dan tiada yang kuharapkan. Aku hanya mohon sukalah kau tetap pandang aku sebagai teman biasa. Mungkin kau mengira aku punya tujuan tertentu, namun aku ingin berterus terang kepadamu, tidak sama sekali. Aku rela mengabulkan cita-citamu, itulah sebabnya kenapa aku mau membeberkan semua rahasia ini kepadamu, kuharap Pui Ci-hwi selanjutnya mau mengubah sikapnya terhadap kau."
Ji Bun betul-betul terharu, ia terpukul dan malu diri akan sikap dan perlakuannya selama ini terhadap Thian-thay-mo-ki. Terang sekali bahwa penilaiannya selama ini terhadap perempuan genit ini
-- memang salah sama sekali, yang betul dia ini seorang perempuan yang patut dipuji dan perempuan teladan.
Namun pikiran lain segera menyangkal akan pikiran bajiknya ini, sembilan diantara sepuluh orang perempuan dalam dunia ini umumnya berjiwa cemburu, kecuali cinta jarang terjadi persahabatan yang kental di antara laki dan perempuan, karena biasanya persahabatan itu tidak akan bertahan lama, dinilai dari nama julukan Thian-thay-mo-ki, siapapun sukar mau percaya bahwa jiwanya begitu luhur.
Namun kenyataan, ia tidak kuasa mendebatnya. Dirinya tetap tidak menaruh cinta terhadapnya, yang terang rasa kurang senangnya jauh lebih menjalari sanubarinya, sehingga sedemikian jauh ia tetap tidak mau percaya bahwa perempuan ini berjiwa bersih. Namun ia toh harus menghadapi kenyataan ini, katanya:
"Cici, aku amat berterima kasih."
"Apa kau bicara setulus hatimu?"
Rada panas kulit muka Ji Bun, dengan suara lirih dia mengiakan.
"Baiklah, marilah kita berangkat!"
"Berangkat ke mana?"
"Kita harus mencegah Liok Kin membawa Pui Ci-hwi pulang ke markas besar Cip-po-hwe."
-- Kalau Pui Ci-hwi betul-betul kejeblos ke dalam markas Cip-po-hwe, maka hancurlah jiwa-raga Pui Ci-hwi, peduli bagaimana sikap dan perasaannya sekarang terhadapnya, betapapun Ji Bun tak dapat berpeluk tangan membiarkannya terjatuh ke tangan Liok Kin,
"Apakah masih ada waktu," tanyanya.
"Ada, kita langsung kejar ke markas besar Cip-po-hwe, pasti bisa menyandaknya."
4.12. Kuil Mesum Siong-cu-am
Semula Ji Bun masih bimbang, apa manfaatnya" Kalau setengah hari yang lalu ia mendengar berita ini, tanpa pikir tentu ia akan mengejarnya, namun setelah bertemu dengan ayahnya dan tahu siapa-apa musuhnya, maka pikirannya banyak berubah. Bahwa ia pernah berbuat salah menolong jiwa Siangkoan Hong yang menjadi musuh utama keluarganya, apakah kesalahan itu harus terulang dengan menolong Pui Ci-hwi lagi. Namun sesuatu kekuatan yang mengeram dalam sanubarinya seolah-olah menyetir pikirannya, sehingga dia tak kuasa lagi mengendalikan diri. Akhirnya dia manggut-manggut dan berkata: "Baiklah, mari berangkat."
Keduanya segera meluncur ditengah malam gulita, sekuat tenaga mereka berlari. Sejam kemudian, sinar cemerlang sudah menongol di ufuk timur sana, kokok ayampun sudah bersahutan. Setelah terang tanah baru mereka mendapatkan sebuah kedai di pinggir jalan, kedai udik ini umumnya menyediakan kue-kue kasar dan terbuat dari bahan-bahan kasar pula. Walau masih terlalu pagi, namun orang-orang desa yang membawa dagangannya ke kota
-- banyak yang mampir untuk tangsal perut dan melepaskan lelah sekadarnya.
Mereka memilih tempat duduk menunggu sekian lamanya baru dilayani oleh seorang laki-laki gemuk yang berlepotan minyak, setelah manggut-manggut pelayan ini bertanya: "Tuan dan nyonya hendak makan atau minum arak?"
Sekilas Ji Bun melirik kepada Thian-thay-mo-ki, katanya: "Ada bubur?"
"Ada bubur beras menir, ada pula bakpau yang masih panas
......" "Baik, sediakan pula nyamikan lain yang enak," pinta Ji Bun.
"Harap tunggu sebentar, segera kami siapkan," sahut pelayan terus mengundurkan diri.
Di tengah keributan tamu-tamu yang makan minum itu, terdengar seorang yang bersuara serak sedang berkata: "Baru saja pergi sepasang, kini datang pula sepasang, kedua pasangan adalah orang-orang yang mempesona, cuma sayang yang ........." Kata-katanya tidak dilanjutkan, namun kata-katanya yang terakhir terang ditujukan kepada Ji Bun, cepat Thian-thay-mo-ki berkata: "Nah kau sudah dengar, mereka belum lagi pergi jauh, dalam satu jam lagi pasti bisa menyandaknya."
Lekas mereka makan minum sekenyangnya terus melanjutkan perjalanan dengan kecepatan lari mereka, lima puluh li kira-kira
-- sudah mereka tempuh, namun bayangan pemuda baju putih dan Pui Ci-hwi tetap tidak kelihatan.
Ji Bun menjadi gelisah, katanya: "Mungkin kita kesasar ......"
Thian-thay-mo-ki menengadah melihat cuaca, katanya:
"Sekarang masih pagi, mari kita kejar lagi ke depan."
Mereka mempercepat langkah mengejar ke depan, tanpa terasa hari sudah menjelang tengah hari, di depan sana membentang hutan yang rimbun, di dalam hutan lapat-lapat kelihatan warna merah seperti bangunan kelenteng.
Ji Bun menghentikan langkah, katanya: "Apa perlu masuk ke kelenteng itu untuk memeriksanya, mungkin mereka sedang istirahat di sana."
Tengah mereka bicara, tiba-tiba tampak sesosok bayangan langsing berkelebat di dalam hutan. Tanpa banyak kata Ji Bun segera melesat ke sana, sebuah kelenteng kecil mungil indah berdiri di dalam hutan, pigura di atas pintu bertatahkan tulisan "Siong-cu-am". Agaknya kelenteng ini memuja Siongcu-nio-nio. Ji Bun langsung mendekati pintu, belum lagi ia mengetuk pintu, kebetulan pintu kelenteng dibuka, seorang Nikoh muda yang memegang kebutan muncul, dengan sebelah tangan ia memberi hormat serta bertanya: "Sicu datang dari mana?"
Tampak Nikoh ini bersolek, alis lentik, bibir bergincu, pipinya kemerahan dan tingkah lakunya agak genit. Ji Bun tahu kelenteng ini
-- pasti tempat mesum, maka menjawab dengan suara kasar dan kaku:
"Mencari orang!"
Nikoh itu unjuk rasa heran dan bingung, tanyanya: "Siapa yang kau cari?"
"Seorang laki dan perempuan."
"Omitohud, kelenteng kami adalah tempat suci, mana ada laki perempuan, mungkin Sicu ........"
"Cayhe harus memeriksanya ke dalam."
"Sicu, laki-laki dilarang masuk ke dalam kelenteng."
Thian-thay-mo-ki segera beranjak maju, katanya dengan tertawa nyaring: "Kalau aku tidak jadi soal bukan?" sembari berkata langsung melangkah masuk.
Nikoh muda ini segera melintangkan kebutnya, katanya: "Sicu ini harap tahu diri."
"Kelenteng adalah terbuka untuk umum bagi yang ingin menderma, Suhu cilik kenapa merintangi aku?"
"Sicu keliru, kelenteng kami tidak terima sumbangan."
"Kebetulan menghemat uangku," ujar Thian-thay-mo-ki terus menerjang masuk.
-- Berubah air muka si Nkoh, serunya: "Sicu mau pakai kekerasan?"
"Boleh saja!" jengek Thian-thay-mo-ki tak acuh. Mulut bicara kaki tetap melangkah badan langsung menumbuk ke arah kebutan si Nikoh yang melintang. Sekali si Nikoh memutar pergelangan, benang kebutan yang terbuat dari bulu ekor kuda tahu-tahu berubah keras laksana kawat tajam menyongsong terjangan Thian-thay-mo-ki.
Gerakan ini cukup keji dan hebat, namun Thian-thay-mo-ki cukup menyampuk sekali sambil membentak: "Beginikah tingkah seorang beribadat?"
Sampokan ini membuat Nikoh muda itu sempoyongan mundur, Thian-thay-mo-ki langsung berlari ke dalam. Dengan mendelik Nikoh muda ini pandang bayangan Thian-thay-mo-ki menghilang dan tetap mengadang di pintu. Lekas sekali terdengar suara gedebukan dan suara bentakan dari dalam disusul jeritan kesakitan. Cepat Ji Bun menerjang ke dalam.
"Berhenti, Sicu!" bentak si Nikoh muda.
"Ingin mampus kau?" jawab Ji Bun.
Nikoh muda itu menyurut menghadapi tatapan Ji Bun yang berwibawa, cepat sekali Ji Bun melesat ke dalam, setelah membelok ke kiri di belakang dinding tertampak rebah seorang gadis berbaju hijau, di sebelah sana Thian-thay-mo-ki tengah berhadapan dengan seorang Nikoh tua dan empat Nikoh muda yang mengepungnya.
Kedua pihak belum berhantam. Begitu Ji Bun berhenti, Nikoh muda yang mengejar dari belakang sudah tiba, kebut terus menyabet punggung Ji Bun.
-- Ji Bun berkelit membalik badan, katanya: "Kuperingatkan lagi kepadamu, jangan cari mampus!" Kelima Nikoh di sebelah dalam serempak alihkan pandangannya kemari.
Nikoh muda itu anggap tidak dengar peringatannya, begitu kebutannya luput, kembali ia melangkah maju, telapak tangan kiri secepat kilat menebas ke depan.
Membesi dingin muka Ji Bun, kali ini ia tidak bergerak dan tak bersuara, diam saja membiarkan pukulan lawan mengenai tubuhnya.
"Huaaah!" jeritan tertahan keluar dari keluar mulut Nikoh muda itu terus terguling dua kali dan tak bergerak lagi.
Berubah hebat air muka kelima Nikoh yang lain, terunjuk amarah yang meluap pada muka Nikoh tua itu, desisnya gemetar: "Siapa Sicu ini?"
"Aku yang rendah Te-gak Suseng."
Berubah bingung dan jeri muka Nikoh tua yang diliputi amarah, keempat Nikoh muda itupun pucat dan ketakutan serta berlompatan menyingkir kebelakang.
Segera Thian-thay-mo-ki berlari ke belakang.
"Cegat dia!" Nikoh tua memberi perintah, keempat Nikoh muda itu serentak mengadang maju, namun tanpa berpaling Thian-thay-mo-ki gerakkan kedua tangannya, di tengah suara keluhan tertahan, keempat Nikoh muda itu tersentak mundur berputar-putar.
-- Sekali berkelebat lagi bayangan Thian-thay-mo-ki sudah lenyap ke dalam pintu ini samping sana. Sambil menggerung gusar keempat Nikoh muda itu beramai-ramai mengejar ke dalam.
Nikoh tua tuding Ji Bun, serunya: "Te-gak Suseng, apa maksudmu kemari?"
"Mencari orang."
"Cari siapa?"
"Bocah she Liok."
"Kau terlalu mengbina, berani kau berlaku kasar dan membunuh orang dalam kelenteng suci ......."
Ji Bun menunjuk gadis baju hijau yang tergeletak di pinggir tembok sana, tanyanya: "Siapakah gadis yang mati itu?"
"Peduli siapa dia, kalian harus membayar hutang jiwa ini."
"Kuulangi perkataanku, apakah bocah she Liok dan gadis baju merah ada di dalam kelenteng ini?"
"Te-gak Suseng, kelenteng adalah tempat suci, mana boleh kau menghina dan bikin kotor di sini ......" saking murka badan Nikoh tua sampai gemetar.
-- Ji Bun jadi rikuh akan sepak terjangnya, biarpun para Nikoh di sini semua cabul dan tidak menjalankan ajaran agama semestinya, namun tanpa sebab dan alasan dirinya tanya keterangan bocah she Liok, padahal kemungkinan para Nikoh ini memang tidak tahu siapa sebetulnya Liok Kin itu. Kini dua jiwa sudah menjadi korban, ia jadi menyesal akan kebrutalannya.
Beruntun terdengar pula jeritan dari belakang, agaknya keempat muda itu sudah dirobohkan Thian-thay-mo-ki. Tengah ia terlongong, dilihatnya Nikoh tua dihadapannya menggerakkan ke dua tangan.
Baru saja Ji Bun hendak balas menyerang, tiba-tiba disadarinya bahwa pukulan lawan tidak membawa gempuran tenaga atau samberan angin, namun serangkum bau harum segera merangsang hidungnya. Tanpa terasa ia bergelak tertawa, katanya: "Orang beribadat ternyata juga pakai racun, sayang kau keliru berhadapan dengan aku."
Seketika terunjuk mimik jeri dan ketakutan pada muka Nikoh tua, suaranya. bergetar: "Kau kau tidak takut racun?"
"Bicara soal racun, kau, hanya bertingkah saja di hadapan seorang ahli."
Nikoh tua melangkah mundur, tangan kanan pelahan bergerak naik, waktu tangannya terangkat sejajar kepalanya, telapak tangannya sudah berubah hitam legam, matanya beringas dan menakutkan sekali.
Ji Bun mengejek dingin: "Hek-sat-jiu! Baru setengah sempurna!"
-- "Serahkan jiwamu!" ditengah bentakan yang menusuk kuping, jari-jari tangan si Nikoh yang hitam bagai cakar, tahu-tahu mencengkeram ke arah Ji Bun, gerakannya cepat, aneh dan ganas sekali, agaknya kepandaian silat Nikoh tua ini tidak rendah.
Namun Ji Bun pandang serangan ini seperti sentuhan belaka tanpa dihiraukan. Jari-jari lawan dibiarkan mencengkeram pundaknya, kukunya yang runcing sampai mencakar kulit dagingnya.
Tapi Ji Bun tenang-tenang tanpa unjuk sesuatu katanya:
"Sebetulnya Cayhe tidak ingin membunuhmu."
Nikoh tua itu menyeringai, berbareng telapak tangannya menabas tegak. Serangan ini diluar dugaan Ji Bun, namun reaksinya cukup cepat, meski tidak sempat menangkis atau balas menyerang, namun untuk menggunakan ilmu mujijatnya yang mematikan masih cukup berkelebihan.
"Blang", diselingi keluhan tertahan, Ji Bun muntah darah dengan badan terjengkang. Hampir dalam waktu yang sama, Nikoh tua itupun sempoyongan ke belakang, tangannya yang gemetar menuding Ji Bun yang sedang merangkak bangun, mulutnya berteriak menakutkan: "Kau .... kau....." bayangan abu-abu tiba-tiba berkelebat, melesat melampaui wuwungan rumah terus lenyap.
Ji Bun melengak, untuk kedua kalinya ilmu mujijatnya yang mematikan gagal membunuh lawan yang pertama adalah orang misterius yang merebut anting-anting itu, sejak dirinya berkelana hanya dua kali kekecualian ini, selain tidak sempat menggunakan ilmunya yang ganas itu, biasanya setiap korbannya pasti mampus.
-- Setelah terlongong sekian lamanya, baru dia teringat pada Thian-thay-mo-ki yang sudah sekian lamanya melabrak ke dalam dan tiada kedengaran suaranya, mungkinkah mengalami sesuatu. Maka bergegas ia lari ke belakang, di antara bayang-bayang pepohonan yang rimbun, di sana berderet tiga bangunan yang mungil, di papiliun mungil itu menggeletak empat sosok mayat, suasana sunyi senyap tak kedengaran suara apapun.
Sekali lompat Ji Bun tiba di serambi papiliun itu, dari jendela ia melongok ke dalam, tampak kamar-kamar dipajang begitu indah dan serba mewah, bahwa tempat ini tidak mirip tempat suci yang biasa dihuni sebangsa Nikoh yang memeluk agama, mungkin kelenteng ini hanyalah berkedok untuk berbuat mesum dan kejahatan lainnya.
Yang tengah adalah ruangan tamu, panjangnya tak ubahnya seperti istana raja, kamar yang belakang adalah kamar tidur, pajangan dan barang-barang yang ada mirip dengan kamar pertama. Ketiga kamar ini semua kosong, tak tampak bayangan orang.
Terkerut alis Ji Bun, sesaat ia kehilangan Thian-thay-mo-ki terang takkan pergi begitu saja tanpa pamit, memangnya ke mana dia"
Kecerdikan dan kepandaian silatnya meyakinkan takkan mengalami sesuatu di luar dugaan, namun ke mana dan di mana dia"
Tengah bingung dan mencari, tiba-tiba dilihatnya sebuah gambar dewi Koan-im yang tergantung di dinding kamar tengah itu bergerak pelahan, maka muncullah sebuah pintu sempit yang tiba cukup untuk lewat seorang. Berdegup jantung Ji Bun, hatinya menjadi
-- tegang, disaat siap-siap bertindak, dilihatnya seseorang menerobos keluar dari pintu gelap itu, kiranya Thian-thay-mo-ki adanya.
"He, apa yang telah terjadi?" tanya Ji Bun keheranan.
Dengan langkah gemulai Thian-thay-mo-ki bertindak keluar, katanya sambil acungkan jempolnya ke belakang: "Kamar di bawah tanah itu megah sekali, tak kalah dengan kamar puteri raja."
"Apa yang kautemukan di sana?"
"Tempat ini adalah salah satu cabang Cip-po-hwe ......"
"Cabang Cip-po-hwe?" seru Ji Bun kaget.
"Dik, coba kau masuk melihatnya sendiri. Sebentar kau akan paham."
"Kalau benar tempat ini cabang Cip-po-hwe, bocah she Liok itu pasti mampir kemari."
"Memang tadi dia kemari, kini sudah pergi pula."
"Lalu Pui Ci-hwi?"
"Masuklah dulu melihatnya."
Tak habis heran Ji Bun karena didesak untuk memeriksa kamar di bawah tanah, namun rasa tertarik memang tak tertahan lagi, sekilas ia melirik terus melangkah masuk.
-- Di belakang pintu sempit ini adalah sebuah lorong panjang yang pakai undakan, di ujung loteng sana adalah jalanan datar halus yang cukup lebar sepanjang puluhan tombak. Tiga kamar kembali berjajar segitiga di ujung sana, sehingga di tengah-tengah ketiga kamar ini merupakan pekarangan yang cukup luas. Kamar yang tengah tertutup kerai dengan pintu tertutup rapat, dua kamar di kanan kiri semua tertutup dan digembok dari luar.
Setelah bimbang sebentar Ji Bun menyingkap kerai mandorong pintu dan melangkah masuk ke kamar tengah. Bahwa Thian-thay-mo-ki menyuruh dirinya memeriksa kamar di bawah tanah ini, ia menduga pasti ada apa-apa di dalam ketiga kamar ini.
Begitu melangkah masuk bau wangi segera merangsang hidung, tampak pajangan berwarna warni, sampaipun meja kursi semua terbuat dari barang-barang antik yang berukir indah dan hidup, jelas semua ini adalah barang-barang peninggalan jaman dahulu kala.
Sebuah ranjang kayu cendana terletak di bagian dalam dengan kasur tinggi dan seprei jambon, kelambu menjuntai turun, keadaan ini tak ubahnva seperti kamar tidur seorang permaisuri raja.
Bahwa di dalam sebuah kelenteng dibangun kamar-kamar seindah ini, maka dapatlah dibayangkan apa gunanya tempat-tempat seperti ini. Tiba-tiba matanya bentrok dengan noda-noda darah yang berceceran diatas ranjang darah kental yang belum kering, jantungnya berdegup semakin keras, dengan langkah lebar ia memburu maju serta menyingkap kelambu.
-- "Hah!" tiba-tiba ia menjerit tertahan dan menyurut mundur, selebar mukanya merah jengah. Ternyata di atas ranjang menggeletak dua sosok mayat, mayat yang di atas adalah seorang perempuan gundul atau Nikoh muda yang cantik menggiurkan, yang dibawah adalah laki-laki bercambang dan bertubuh kekar.
Keduanya saling tindih dan telanjang bulat, badan bagian atas sudah terpisah. Namun keempat kaki mereka masih saling tindih, dari badan merekalah darah itu mengalir ke bawah kasur.
Selama ini Ji Bun belum pernah melihat adegan yang memalukan seperti ini, sekian lamanya ia tertegun di tempatnya. Lama sekali baru ia sadar kembali, ia duga pada saat kedua laki perempuan ini berbuat mesum kepergok oleh Thian-thay-mo-ki, lalu dibunuhnya.


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagai gadis perawan sudah tentu dia malu menjelaskan, maka dia suruh dirinya turun kemari menyaksikan sendiri.
Ji Bun menggeram gusar, di mana kaki tangannya bergerak, semua perabot di dalam kamar ini disapunya porak poranda, sudah tentu perbuatannya ini tiada gunanya, mungkin hanya untuk melampiaskan rasa sebal dari menghilangkan rasa malunya saja.
Cepat ia berlari keluar lalu menarik pintu kamar di sebelah kiri, begitu pintu terbuka seketika dia berjingkat. Seorang gadis berbaju hijau rebah tak bernapas di dalam kamar, dandanannya mirip dengan gadis berbaju hijau yang mati di bawah tembok di luar tadi.
Seperti apa yang dikatakan Thian-thay-mo-ki, bahwa Siong-cu-am ini adalah salah satu cabang Cip-po-hwe, kedua gadis baju hijau ini terang adalah murid-murid yang datang dari markas pusat seperti
-- yang pernah dilihatnya tempo hari. Sayang sekali, Nikoh tua itu sempat melarikan diri.
Kembali ia menarik pintu kamar terakhir, pajangan kamar ini tak ubahnya seperti kamar di tengah, perabuan yang berbentuk binatang terletak di atas meja masih mengepulkan asap dupa yang wangi semerbak. Kelambu setengah terbuka, bantal guling dan seprei morat marit, seperti baru saja di tiduri orang dan belum lama meninggalkan tempat ini. Selain itu tiada apa-apa lagi yang patut diperiksa, maka. Ji Bun lekas keluar meninggalkan kamar bawah tanah itu.
"Bagaimana" " tanya Thian-thay-mo-ki tersenyum begitu dia keluar.
"Tempat mesum yang kotor, bakar saja," kata Ji Bun dengan uring-uringan.
"Demikian juga pikiranku," ujar Thian-thay-mo-ki.
"Darimana Cici tahu kalau tempat ini cabang Cip-po-hwe?"
"Kau sudah lihat mayat gadis baju hijau itu" Dialah yang mengaku sebagai dayang-dayang Liok Kin, ke mana sang majikan pergi, ke situlah pula mereka berada ......."
"Ada kabar Pui Ci-hwi?"
"Ada, satu jam yang lalu mereka sudah pergi pula," sahut Thian-thay-mo-ki. "Dia sudah tergenggam di tangan Liok Kin ......."
-- Mendelu perasaan Ji Bun, memang aneh perasaan itu, ia sudah tahu bahwa gadis berbaju merah adalah sekomplotan dengan musuh, iapun sudah tegas memutuskan harapannya untuk mempersuntingnya, kini setelah urusan mendesak, tak kuasa ia mengendalikan diri sendiri, biasanya sikapnya dingin, angkuh dan nyentrik, namun tali asmara ini begitu ulet dan kencang mengikat sukma, tak kuasa dia memutuskan begitu saja.
"Hayolah Dik, kita kejar lagi," ajak Thian-thay-mo-ki.
"Kejar ke mana?"
"Ke mana mereka akan mendapatkan Sek-hud itu."
"Sek-hud?" hakikatnya Ji Bun tak punya minat terhadap Sek-hud, maka reaksinya tawar saja, katanya: "Kukira kita tidak usah bercapek lelah, tujuan Cip-po-hwe adalah mengumpulkan harta benda yang serba antik, namun untuk tujuan kali ini pasti mereka salah alamat, para bangkotan dari Wi-to-hwe itu cukup untuk membikin mereka kocar kacir."
"Betul ucapanmu, namun jiwa Pui Ci-hwi sulit dipertahankan lagi
............."
"Ada orang lain yang akan menagih jiwanya"."
"Memangnya apa pula maksud tujuan perjalanan kita ini?"
-- Setelah tertegun Ji Bun berkata: "Aku hanya ingin membantai bocah she Liok itu."
"Marilah kita kejar, kalau tidak bisa terlambat."
"Kenapa tergesa-gesa, markas Cip-po-hwe memangnya bakal pindah ke lain tempat?"
"Bukan markas Cip-po-hwe tujuan kita."
"Habis mau ke mana?"
"Biara nomor satu di kolong langit ini."
"Maksudmu Pek-ciok-am?" Ji Bun menegas, "apakah bocah she Liok itu ........."
"Menurut pengakuan gadis baju hijau itu, Liok Kin sedang menggusur Pui Ci-hwi ke sana untuk mengambil Sek-hud, ini sesuai apa yang kucuri dengar waktu di Tong-pek-san. Pui Ci-hwi pernah memberitahu kepada Liok Kin bahwa Sek-hud disembunyikan di puncak Pek-ciok-hong di belakang Pek-ciok-am itu"
Berkerut alis Ji Bun, katanya: "Sek-hud adalah peninggalan penting perguruan Pu.i Kenapa dia berani membocorkan rahasia ini kepada orang luar?"
Thian-thay-mo-ki cekikikan, katanya: "Hubungan laki perempuan memangnya amat lugu, terutama bagi seorang gadis yang baru mekar, sulitlah dijelaskan."
-- Secara tidak langsung ia mau bilang bahwa hubungan kedua muda mudi ini sudah melampaui batas kesusilaan, sudah tentu menusuk bagi pendengaran Ji Bun, emosinya jadi sukar ditekan lagi."
"Cici tahu di mana letak Pek-ciok-am itu?"
"Tahu saja, kalau siang malam menempuh perjalanan, besok pagi kita bisa sampai di tempat tujuan."
"Hayolah kita susul ke sana."
"Bakar dulu sarang rase yang mesum ini."
Kain gordin penutup kain pemujaan disiram minyak lalu mereka sulut dengan api lilin, cepat sekali api berkobar. Sebentar saja kelenteng itu sudah menjadi lautan api. Setelah meninggalkan Siong-cu-am, mereka menuju ke arah timur.
Fajar menyingsing, kabut pagi masih tebal, hawa terasa dingin segar. Pada sebuah jalan pegunungan yang kecil berliku tampak dua bayangan orang tengah mengayun langkah berlari bagai terbang, mereka adalah Te-gak Suseng dan Thian-thay-mo-ki. Dari jauh Thian-thay-mo-ki menuding puncak di depan sana yang tertampak sebuah bangunan berwarna putih, katanya: "Itulah Pek-ciok-am yang dipandang sebagai biara nomor satu di kolong langit ini."
-- Ji Bun hanya mengiakan saja tanpa bicara, cepat sekali mereka sudah tiba di depan biara, pintu tertutup. Seluruh bangunan ini serba putih dibangun dari kepingan batu putih.
"Mari kita langsung menuju ke belakang puncak!" ajak Thian-thay-mo-ki.
Ji Bun mengawasi pintu biara, katanya: "Apa tidak masuk dulu melihat keadaan di dalam?"
"Orang luar biasanya di larang masuk, walau (Nikoh sakti) sudah wafat, namun peraturan ini masih tetap dipatuhi oleh segala lapisan."
Pada saat itulah, sekilas terlihat oleh Ji Bun serombongan orang sedang mendatangi dari bawah gunung mengiringi sebuah tandu, katanya: "Orang dalam tandu! Tak nyana pihak Wi-to-hwe juga sudah mendapat kabar dan meluruk kemari."
5.13. Perebutan Sek-hud
Beberapa kali Thian-thay-mo-ki menoleh ke bawah, katanya:
"Kalau mereka sudah datang, kita tidak usah turun tangan."
Ji Bun punya perhitungan tersendiri, ia tak mau berjumpa dengan orang-orang Wi-to-hwe, lekas ia berkata: "Cici, bagaimana kalau kita menyingkir dulu?"
-- Heran tak mengerti Thian-thay-mo-ki melirik kepada Ji Bun.
katanya: "Baiklah, kita sembunyi di dalam gerombolan bambu sana."
Segera mereka menyingkap dedaunan menyelinap ke dalam semak-semak.
Tiba-tiba Ji Bun ingat sesuatu, tanyanya: "Cici, sebetulnya siapa ketua Wi-to-hwe?"
"Bukankah kau diundang sebagai tamu terhormat dan duduk semeja dengan dia?"
"Aku tidak tahu siapa dia, memangnya aku heran kenapa aku dihormati begitu rupa."
Derap langkah rombongan orang, radi semakin dekat. Tampak tujuh delapan bayangan orang berlompatan, meluncur ke depan biara, tandu kecil itu cepat sekali juga sudah tiba. Dengan seksama Ji Bun mengintip dari celah-celah dedaunan, tanpa terasa ia menjadi heran, tandu kecil ini bukan tandu milik "orang dalam tandu," itu, pengiring-pengiring tandupun tiada yang dikenalnya, rombongan dari manakah orang-orang ini"
Tandu diturunkan menghadap ke pintu biara, tiga orang tua pengiring dan lima laki-laki kekar segera berdiri sejajar meluruskan tangan di samping tandu. Terdengar suara orang perempuan yang seperti sudah dikenalnya dari dalam tandu: "Ho-tongcu, bawa orangmu dan periksa, ke dalam biara."
-- Salah satu di antara ketiga orang tua yang bermuka lonjong berdagu panjang dengan jenggot pendek dan segera mengiakan sambil membungkuk, sahutnya: "Lapor Hwecu, selama puluhan tahun ini, tiada seorangpun yang berani memasuki biara ini."
Baru sekarang Ji Bun mengerti, ternyata Cip po hwe-cu yang berada di dalam tandu ini, tak tersangka karena mengincar Sek-hud, sekali ini dia turun tangan sendiri memimpin seluruh anak buahnya.
Dingin suara Cip-po hwe-cu: "Ho-tongcu, itulah perintahku!"
Ho-tongcu mengiakan sambil membungkuk pula. Sekali ulap tangan, tiga laki-laki kekar segera tampil dan mengintil di belakang orang she Ho ini dan melangkah ke arah biara.
Dengan rasa kebat-kebit Ho-tongcu melangkah ke depan pintu.
Setelah ragu-ragu sebentar segera ia nekat mendorong pintu, tak terduga pintu biara hanya dirapatkan saja, sekali dorong lantas terbuka.
Dari luar memandang ke dalam, tanaman kembang dan pepohonan teratur rajin, undakan dan serambi panjang semuanya serba putih bersih tanpa berdebu seakan-akan setiap saat selalu dibersihkan orang. Namun suasana tetap hening.
Tepat mengadang pintu berdiri sebuah pilar batu persegi yang ditatah beberapa huruf berbunyi:
"Tempat suci untuk membina diri, orang biasa dilarang masuk."
-- Sambil mengawasi batu pilar ini, Ho-tongcu dan ketiga laki-laki kekar tak berani melangkah masuk.
Cip-po hwe-cu bersuara dari dalam tandu: "Ho-tongcu, Pek- ciok Sin-ni sudah meninggal, memangnya apa yang kau takuti?"
Rasa takut kelihatan di roman Ho-tongcu, katanya sambil menoleh dengan suara gemetar: "Hwecu, itu hanya kabar angin
........."
"Kau berani menentang perintahku?" dengus Cip-po hwe-cu,
"Hm, Li-tongcu."
Seorang tua lain yang bermuka bentuk segi tiga segera mengiakan dan tampil kemuka. "Kau masuk dan periksa," kata Hwecu.
"Terima perintah," sahut Li-tongcu, membusung dada dan segera melangkah lebar memasuki biara.
Mungkin demi gengsi atau. karena takut akan peraturan perkumpulan, Ho-tongcu segera nekat mendahului melompat masuk ke dalam.
"Hiiiaaaat!" jeritan ngeri tiba-tiba kumandang, tampak Ho-tongcu yang melesat masuk itu terpental keluar dan "bluk" terbanting tak bergerak lagi, Li-tongcu dan ketiga laki-laki kekar itu sama terbelalak dan mematung.
-- Di tempat sembunyinya Ji Bun berpaling kepada Thian-thay-mo-ki, bisiknya: "Apakah Pek-ciok Sin-ni masih hidup?"
Thian-thay-mo-ki menggeleng tanda tidak tahu, mukanya serius dan curiga. Dari reaksi beberapa orang ini, agaknya Pek-ciok Sin-ni memang seorang tokoh yang teramat disegani.
Berputar otak Ji Bun, tanyanya pula: "Cici, peduli siapa yang berada di dalam Pek-ciok-am, Sek-hud adalah milik pribadi Sin-ni, walau Liok Kin diberi petunjuk oleh Pui Ci-hwi, usahanya pasti akan sia-sia, malah mungkin jiwapun bisa melayang."
"Memangnya, Pui Ci-hwi terbius dan tak kuasa akan diri sendiri, kukira para bangkotan Wi-to-hwe itu sudah mengetahui."
Agaknya Cip-po hwe-cu juga kaget akan kejadian diluar dugaan ini. Lama sekali dia tak bersuara, akhirnya dia berseru lantang:
"Tokoh kosen siapakah yang ada di dalam?"
Tiada reaksi atau penyahutan. Sementara itu, Ho-tongcu yang terlempar keluar ternyata masih hidup dan sedang merangkak bangun dengan lemas gemetar, suaranya tersendat: "Lapor Hwecu
....... hamba ........"
"Kau kenapa?"
"Kepandaian silat dan Lweekangku punah,"
"Apa kau lihat jelas siapa yang menyerangmu?"
-- "Tidak, baru saja hamba melangkah masuk, entah diterjang angin dari arah mana tahu-tahu badan terpental keluar."
Kembali Cip-po hwe-cu berseru: "Sahabat yang ada di dalam biara kenapa tidak sudi keluar?"
Tetap tiada sahutan, suasana menjadi hening, dan mencekam.
"Li-tengcu, kalian mundur saja," Cip-po hwe-cu memberi aba-aba. Seperti mendapat pengampunan, ke empat orang itu bergegas berlari balik.
Cip-po hwe-cu mendengus, jengeknya: "Sahabat tidak perlu main sembunyi, kalau malu dilihat orang, baiklah aku mohon diri saja."
Lalu ia perintahkan anak buahnya: "Ho-tongcu boleh bawa dua orang turun gunung lebih dulu, yang lain ikut aku ke belakang puncak."
Cepat sekah rombongan mereka lantas meninggalkan tempat ini.
"Kita bagaimana?" tanya Ji Bun, kepada Thian-thay-mo-ki.
"Marilah kita lihat tontonan ramai," ajak Thian-thay-mo-ki. Dari arah samping yang berlawanan, mereka lantas menuju ke Pek-ciok-hong, puncak bagian belakang itu.
Di mana-mana batu putih melulu, tiada rumput atau pepohonan yang tumbuh di sini, hanya di ujung jurang sana tumbuh beberapa pohon siong yang tua dan angker. Tepat di tengah-tengah serakan
-- batu putih itu terdapat sebuah panggung yang menyerupai kembang teratai.
Di tengah panggung ini berdiri pula sebuah menara setinggi beberapa tombak. Pada bagian muka menara ini ditatah sebuah papan batu di mana terukir sebaris huruf yang berbunyi:
"Tempat semayam Pek-ciok Sin-ni nan abadi."
Kiranya di sinilah tempat kuburan jenazah Pek-ciok Sin-ni.
Di belakang panggung ini, menjulang kelangit sebuah puncak yang menembus mega, begitu tinggi dan curam puncak ini, kira-kira terpaut tujuh delapan tombak dengan Pek-ciok-hong disini, jurang di bawahnya tak terlihat dasarnya.
Bayangan orang banyak bermunculan di Pek-ciok-hong, jumlahnya tidak kurang 50an, agaknya demi mendapatkan Sek-hud, kali ini Cip-po-hwe benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya.
Sambil mengendap dan menggeremet Ji Bun dan Thian-thay-mo-ki terus merambat naik ke puncak, lalu menyembunyikan diri di lekukan batu.
Setelah dekat, dilihatnya Liok Kin bersama Pui Ci-hwi duduk berendeng di atas batu yang berbentuk menyerupai seekor naga.
Cip-po hwe-cu sudah keluar dari tandu, duduk diatas sebuah batu yang mencuat keluar tak jauh dari anaknya, di belakangnya berderet puluhan anak buahnya.
-- Di belakang panggung teratai sana, delapan laki-laki berotot kekar berdiri dengan membawa cangkul, sekop, linggis dan martir besar. Seorang tua baju hitam mondar mandir seperti sedang mengukur, akhirnya dia berhenti lima tombak di belakang panggung menara itu.
Liok Kin berpaling ke arah Pui Ci-hwi dan berkata dengan suara halus dan ramah: "Adik Hwi, tidak salah lagi tempat itu?"
Dengan kaku seperti linglung Pui Ci-hwi mengangguk.
Liok Kin segera memberi perintah dengan suara lantang: "Lekas keduk, harus bekerja cepat dan sekuat tenaga."
Maka ramailah suara berkerontangan bekerjanya cangkul, linggis dan martir, batu-batu kerikil beterbangan muncrat kemana-mana.
Ji bun mengertak gigi, katanya: "Cici, agak Pui Ci-hwi memang sudah terbius ......"
"Lalu apa yang hendak kau lakukan?"
"Akan kutamatkan dulu bocah she Liok itu."
"Nanti dulu."
"Ada apa?"
"Kukira ada apa-apa yang kurang beres, peduli siapa orang dalam biara yang memunahkan ilmu silat Ho-tongcu, yang jelas dia adalah
-- sepihak dengan Pui Ci-hwi, kenapa sejauh ini dia tetap menonton saja. Adegan-adegan tegang masih akan menyusul."
"Cip-po hwe-cu sudah tahu bahwa maksudnya telah diketahui orang, namun dia masih nekat pasti dia punya keyakinan."
Thian-thay-mo-ki manggut-manggut. Tapi kenyataan justeru di luar dugaan, selama ini tiada orang yang muncul mencegah pengedukan ini.
Sebuah papan batu akhirnya terbongkar keluar, disusul suara kaget dan kegirangan: "Sek-hud!"
Cip-po hwe-cu segera membentak: "Minggir semua!"
Belum lenyap kumandang suaranya, bagai kilat dia sudah melesat ke tempat galian. Delapan laki-laki yang gemerobyos keringat itu segera mundur ke samping. Setelah mengawasi tempat galian dengan seksama, akhirnya Cip-po hwe-cu menengadah sambil terloroh-loroh riang.
Seluruh anggota Cip-po-hwe yang hadir sama menjulur leher sepanjang mungkin dari tempatnya ingin melihat lubang galian.
Cip-po hwe-cu pelan-pelan membungkuk badan mengulur tangan ke dalam lubang, dikeluarkannya sebuah patung Budha yang terbuat dari batu putih setinggi satu kaki, agaknya patung Budha ini dibuat dan diukir oleh seorang ahli sehingga dilihat dari kejauhan sungguh elok dan hidup.
-- Ji Bun berkata gemetar: "Mereka berhasil."
"Kulihat ada yang janggal," kata Thian-thay-mo-ki.
"Apanya yang janggal?"
"Apa kau tidak lihat patung itu berlubang di bagian badannya, kukira ada yang tidak beres."
"Pandangan Cici memang tajam, pengetahuanmu juga amat tinggi."
Ji Bun memuji sejujurnya, sejak wataknya berubah, baru pertama kali ini ia memuji orang lain.
Thian-thay-mo-ki membalas dengan senyuman riang, katanya:
"Apa kau bukan menyindirku, Dik?"
"Aku bicara setulus hati."
"Banyak terima kasih."
Sementara itu, tampak Cip-po hwe-cu tengah membolak-balik patung Budha itu serta memeriksanya dengan teliti. Akhirnya dia berpaling ke arah gadis baju merah dan bertanya dengan keheranan: "Nona Pui, kenapa Sek-hud (patung Budha batu) ini tidak berhati?"
Keadaan Pui Ci- hwi tetap linglung, sahutnya datar: "Entah aku tidak tahu."
-- "Dulu waktu kau melihat Sek-hud ini apa demikian juga keadaannya?"
"Ya, gadis baju merah itu mengiakan.
Sekonyong-konyong Cip-po hwe-cu menjerit kaget, patung yang dipegangnya tahu-tahu lenyap. Tampak seorang laki-laki tua bungkuk berdiri tiga tombak di ujung sana, patung Budha itu telah berpindah ke tangannya.
Bagaimana orang tua bungkuk ini muncul dan cara bagaimana dia merebut Sek-hud seluruh hadirin tiada yang tahu dan melihat jelas.
"Siapakah si bungkuk ini?" tanya Ji Bun terperanjat.
Suara Thian-thay-mo ki rada gemetar: "Dari gerak-geriknya itu, mungkin...."
Belum habis percakapan mereka di sini, di sana Cip-po hwe-cu sudah membentak dengan bengis: "Biau-jiu Siansing, dari mencuri kini kau berani terang-terangan main rebut?"
Orang tua bungkuk terkekeh-kekeh, katanya: "Kwik Un-hiang, cara bagaimana kau bisa mengenalku sebagai Biau-jiu Siansing?"
"Panca longok macammu ini, memangnya ada orang duanya dalam Kangouw?"
-- "Anggaplah kau menebak betul, tapi Kwik-hwecu, kau memakiku panca longok, memangnya kau sendiri ini apa ....."
"Lebih baik kau kembalikan patung itu."
"Kalau tidak?"
"Aku bersumpah takkan melepaskanmu."
"Ah, aku tidak peduli."
Mendengar laki-laki bungkuk ini adalah Biau-jiu Siansing, si maling sakti yang terkenal di Kangouw, seketika Ji Bun naik pitam, tak usah diragukan lagi, orang yang merebut anting-anting giok dari tangannya pasti dia orangnya. Dari caranya merebut patung tadi terbukti sama dengan cara orang merebut anting-anting dari tangannya, maka tanpa ragu segera ia melompat keluar.
"Te-gak Suseng!" teriak Cip-po hwe-cu kaget, mukanya seketika beringas dan diliputi nafsu menmbunuh.
Ji Bun hanya melirik sekejap terus melangkah ke arah Biau-jiu Siansing.
Berputar biji mata Biau-jiu Siansing, katanya :
"Te- gak Suseng, kau juga ingin merebut Sek- hud?"
"Cayhe tidak punya minat."
-- "Lalu apa kehendakmu?"
"Janganlah sudah tahu pura-pura tanya, dalam hatimu sudah tahu apa maksudku."
"Agaknya Lohu belum pernah bermusuhan dengan kau?"
"Hm, ucapanmu ini menjadikan kau ini lebih rendah dari panca-longok, maling yang hina dina ......."
"Tutup mulutmu, Te-gak Suseng, bicaralah yang sopan terhadap Lohu."
"Sopan" Apa kau setimpal bicara soal kesopanan?"
Dengan penuh keheranan Biau-jiu Siansing menatap Ji Bun, katanya kemudian: "Anak muda, ada urusan apa boleh dikesampingkan dulu, biar Lohu bereskan urusan dengan mereka."
Menyala sinar mata Ji Bun, jengeknya dingin: "Jangan kau nanti berusaha lari ......."
"Omong kosong, memang gelaran Biau-jiu Sian?sing tidak berharga seperti penilaianmu itu?"
"Baik, boleh kau bereskan dulu urusanmu."
Sorot mata Biau-jiu Siansing beralih ke arah Cip-po hwe-cu, katanya berseri tawa: "Kwik Un-hiang, dalam sepuluh tahun ini kau sudah tumbuh sayap, siluman kecil menjadi setan besar, malah
-- mendirikan perkumpulan, membuka markas segala, kini menjadi ketuanya pula. Mencuri, menipu, merampok, membegal dan merampas, semua itu dari satu sumber, apa kau masih tahu aturan?"
Berubah air muka Cip-po hwe-cu, tanyanya: "Aturan apa?"
"Keluarga punya aturan, golongan punya disiplin, dikalangan maling ada sumbernya yang terdiri delapan tingkat."
Mundur setapak Cip-po hwe-cu, seluruh anak buahnyapun tersirap dan berubah air mukanya.
Maka terdengar Biau-jiu Siansing membentak dengan bengis:
"Dalam delapan tingkat itu, kau termasuk yang mana?"
Gemetar sekujur badan Cip-po hwe-cu, suaranyapun tersendat: Geledek, kilat, angin, api, gunung, air, tanah dan kayu, aku termasuk gunung dari tingkat bawah."
Biau-jiu Siansing terloroh-loroh, katanya: "Tingkatan dan kemampuanmu masih terlalu jauh, ketahuilah aku termasuk tingkat kilat dari tingkat atas."
Pucat keabu-abuan selebar muka Cip-po hwe-cu, katanya, menunduk: "Maaf akan kelancangan Wanpwee."
"Kwik Un-hiang, bagaimana kalau kubawa Sek-hud ini?"
"Terserah, aku tak berani banyak mulut lagi."
-- "Aku tahu, dalam hati kau memberontak, biarlah kuberitahu. Pek-ciok Sin-ni menjadi simbol yang diagungkan di seluruh lapisan persilatan, Pek-ciok-am adalah tempat suci yang tak boleh dilanggar oleh golongan manapun, kau berani paksa anak buahmu masuk ke biara sini, betapa besar dosamu..."
Cip-po hwe-cu mengiakan sambil manggut-manggut.
"Dan lagi di pintu biara sudah kuberi tanda pengenalku menandakan bahwa golongan kilat sudah mencampuri urusan ini, tapi kau masih berani melanggarnya, malahan berani menantang lagi, sungguh bodoh dan picikkan?"
Kembali Cip-po hwe-cu hanya mengiakan saja.
Berkata Biau-jiu Siansing lebih lanjut: "Sekarang lihatlah pertanda yang ada di atas batu piramid itu."
"Hah!" waktu berpaling ke arah samping lubang yang digali anak buahnya tadi, seketika dia menjerit kaget sambil mundur tiga langkah.
Seperti mengajar dan memberi peringatan kepada bawahannya saja Biau-jiu Siansing berbicara lebih lanjut: "Menurut undang-undang kalangan kita, sesama golongan tidak boleh saling rebutan, masing-masing tingkat ada perbedaan, untuk kali ini kau terhitung melanggar undang-undang karena berani menentang tingkat yang lebih tinggi."
-- Lenyap wibawa dan keangkeran Cip-po hwe cu, badannya gemetar sampai perhiasan diatas kepalanya ikut bergoyang-goyang.
Biau jiu Siansing ulapkan tangan: "Mengingat kau bersalah tanpa sengaja, biarlah kuampuni kali ini, pergilah!"
"Banyak terima kasih!" tersipu-sipu Cip-po hwe cu berkata memberi hormat terus putar badan memberi perintah kepada anak buahnya: "Turun gunung!"
Dengan menggandeng Pui Ci-hwi, Liok Kin berdiri hendak melangkah pergi. Tapi Ji Bun lantas melesat ke depan Liok Kin, jengeknya: "Tinggalkan dia!"
Pui Ci-hwi melerok sekali kepada Ji Bun tanpa memberi reaksi apa-apa, keadaannya mirip sekali dengan Ciang Bing-cu tempo hari, karena kesadarannya terpengaruh oleh obat bius.
Liok Kin mengertak gigi, desisnya: "Te-gak Suseng, apa hakmu?"
"Tanpa hak apa-apa, kalau kau masih ingin hidup lekaslah menyingkir saja."
"Jangan takabur dan menghina orang, Te-gak Suseng, dia tidak mencintaimu."
Kata-kata setajam sembilu menusuk ulu hati Ji Bun. Seketika beringas wajahnya: "Kau ingin mampus?" hardiknya.
-- Cip-po hwe-cu menghampiri, katanya: ''Te-gak Suseng, tempo hari kau berani bikin onar di markas kami, membunuh orang, menculik tawananku lagi, biarlah perhitungan itu kita bereskan sekalian."
Ji Bun berputar menghadapi Cip-po hwe-cu, tantangnya: "Bagus sekali, cara bagaimana menyelesaikannya?"
"Utang jiwa bayar jiwa."
"Jiwa ragaku ada di sini, kalau kau mampu boleh kau renggutnya.
Hayolah mulai!"
Tongcu she Li dan seorang kawannya tiba-tiba menubruk maju, puluhan anak buah yang lain serentak ikut merubung maju, semua siap meraba senjata. Suasana menjadi tegang.
"Anak muda," seru Biau-jiu Siansing, "urusan kita biar diselesaikan lain hari saja, aku tidak sabar menunggu di sini."
Ji Bun melompat mundur, teriaknya: "Tunggu sebentar ....."
belum habis perkataannya, tahu-tahu segulung angin keras menerpa ke arahnya, ternyata secara licik Cip-po hwe-cu menyerang ketika perhatian Ji Bun terpencar.
Ji Bun tidak menduga bahwa lawan akan turun tangan, tenaga gerakan ditambah damparan pukulan dahsyat ini, maka tubuhnya melayang kencang menerjang ke arah menara di panggung teratai sana. Jika badannya sampai menubruk menara batu, pasti hancur lebur.
-- Untunglah serangkum angin lembut tahu-tahu menghembus enteng dari arah samping sana sehingga luncuran tubuhnya yang kencang itu menjadi lambat. Pada detik-detik sebelum badannya membentur menara, Ji Bun merasakan daya luncuran tubuhnya tiba-tiba jauh berkurang.
Maka lekas dia kerahkan kekuatan memberatkan tubuh, berbareng tangan menekan ke bawah, badan berputar lagi sehingga dia berjumpalitan dan turun dengan enteng. Namun selebar mukanya sudah berubah merah padam.
Orang yang menolongnya dengan dorongan serangkum angin enteng tadi adalah Biau-jiu Siansing. Ji Bun tenangkan diri sebentar, katanya kemudian: "Terima kasih akan bantuan tuan."
"Tidak usah, rase kecil yang datang bersamamu itu cukup baik sekali latihannya, begitu sabarnya sampai sedemkian jauh masih belum mau muncul." Yang dimaksud jelas Thian-thay-mo-ki. Ji Bun menjadi kikuk dan risi.
Sebuah tawa nyaring tiba-tiba berkumandang, Thian-thay-mo-ki terpaksa unjuk diri, tubuhnya yang gempal dan padat laksana segumpal bara yang menyala, membuat semua laki-laki yang hadir terbeliak. Biau-jiu Siansing nienatap Ji Bun, katanya: "Anak muda, sebetulnya ada persoalan apa diantara kita?"
Belum Ji Bun menjawab, tiba-tiba gelombang gelak-tawa yang keras menusuk telinga menggetar bumi bergema dari kejauhan,
-- cepat sekali tahu-tahu sudah dekat di bawah bukit, hawa di atas puncak seketika seperti bergolak hebat.
"Bu-ciang-so datang," Thian-thay-mo-ki berteriak tertahan.
Semua hadirin memang gemetar dengan muka pucat terpengaruh oleh gelombang tawa yang hebat ini, hanya Biau-jiu Siansing saja yang kelihatan masih tenang-tenang seperti tidak terpengaruh sama sekali. Serta merta Ji Bun kerahkan kekuatannya menurut ajaran Thian-thay-mo-ki untuk menolak pengaruh Thian-cin-ci-sut ini, betul juga napas yang tadinya memburu dan darah yang mendidih seketika tertekan kembali.
Hanya dalam waktu sekejap saja, para anak buah Cip-po-hwe yang berkepandaian dan Lwekangnya rendah, satu persatu meringis kesakitan sambil mendekap kuping serta menungging. Untunglah gelombang tawa itu cepat sekali sirap, tahu-tahu dua orang sudah muncul dihadapan orang banyak, kedua orang aneh ini adalah Bu-cing-so dan Siang-thian-ong.
Membara dendam dan sakit hati Ji Bun, namun lahirnya dia tetap tenang, ia insaf bahwa dirinya bukan tandingan kedua bangkotan aneh ini.
Dalam pada itu, Siang-thian-ong dan Bu-cing-so langsung meluruk ke arah Biau-jiu Siansing serta berdiri dikanan-kirinya, agaknya kedua bangkotan tua inipun sengaja datang hendak merebut Sek-hud di tangan Biau-jiu Siansing itu.
-- 5.14. Sam-Cay-Ciat ..... Penyelamat
Lekas Cip-po hwe-cu memberi tanda, bersama anak buahnya, beramai mereka mengundurkan diri turun gunung tanpa bersuara lagi. Liok Kin tetap menggandeng tangan Pui Ci-hwi, di tengah iringan anak buahnya, merekapun ikut mengundurkan diri.
"Orang she Liok," seru Ji Bun, "jangan harap kau bisa pergi begini mudah."
Segera ia menubruk maju pula, Li-tongcu dan seorang Tongcu yang lain segera mengadang sambil melontarkan pukulan telapak tangan, kali ini Ji Bun sudah waspada, sembari berkelit dari damparan pukulan lawan, ia berkisar terus balas memukul.
"Plak, plok," disusul jeritan ngeri, seketika kedua orang ini terjungkir balik dan tak bergerak lagi, jiwanya melayang.
Cip-po hwe-cu menggerung gusar menubruk ke arah Ji Bun, kedua telapak tangannya menghantam dengan seluruh kekuatannya.
Sebagai seorang ketua dari suatu perkumpulan, sudah tentu Lweekangnya bukan olah-olah hebatnya. Serangan yang dilandasi kemarahan ini, boleh dikata sedahsyat gugur gunung.
Betapapun lihay Ji Bun, tak urung dia terpental juga oleh gempuran sengit ini, dengan sempoyongan akhirnya punggungnya menumbuk cagak batu darah seakan-akan bergolak di rongga dadanya.
-- Sementara itu, Liok Kin sudah menarik Pui Ci-hwi berlari lebih dulu diiringi anak buahnya.


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Minggir!" tiba-tiba Thian-thay-mo-ki membentak, sebelah tanganpun bekerja menghamburkan segenggam So-li-sin-ciam (jarum sakti gadis suci), maka terdengar jerit dan keluh orang banyak saling susul, puluhan anak buah Cip-po-hwe terguling menjadi korban, sebat sekali tahu-tahu Thian thay-mo-ki sudah mencegat di hadapan Liok Kin.
"Orang she Liok, lepaskan dia!"
"Tidak bisa!"
"Pihak Wi-to-hwe pasti akan mengobrak-abrik sarangmu."
Sambil memicingkan kedua matanya, Liok Kin mengawasi Thian-thay-mo-ki dengan penuh gairah, Thian-thay-mo-ki segera unjuk senyum genit se?mekar kembang dimusim semi, katanya dengan kemayu: "Siau-hwecu, agaknya kaupun amat romantis."
Liok Kin tertawa lebar, katanya: "Nona secantik bidadari, siapa yang takkan terpesona?"
Semakin manis tawa Thian-thay-mo-ki, begitu menggiurkan dengan gerak-gerik yang menarik lagi, katanya sambil melangkah maju: "Siau-hwecu, agaknya kaupun pintar menilai dan memilih."
Tegak alis Liok Kin, katanya: "Sudah tentu, memangnya kau kira aku ini seperti anak keparat sedingin batu itu."
-- "Bagus sekali," ujar Thian-thay-mo-ki, tiba-tiba ia bergerak secepat kilat mencengkeram pergelangan tangan Liok Kin.
Lekas Liok Kin miringkan tubuh seraya menarik Pui Ci-hwi untuk menghadang di depannya, jengeknya dingin: "Thian-thay-mo-ki, jangan kau kira aku ini sebodoh kerbau."
Gerakan Thian-thay-mo-ki begitu cepat, baru saja Liok Kin buka mulut, jari-jari tangannya sudah menyentuh pundak Pui Ci-hwi.
"Blang" tahu-tahu sekenanya Pui Ci-hwi menamparkan tangannya.
Kontan Thian-thay-mo-ki digamparnya mundur tiga langkah.
Bahwa dalam keadaan linglung Pui Ci-hwi bisa menyerang, sungguh di luar dugaan Thian-thay-mo-ki, sunguh heran dan gemas pula hatinya.
Disebelah sana Ji Bun tengah melabrak Cip-po hwe-cu dengan sengit, Cip-po hwe-cu tahu bahwa serangan Ji Bun hanya bisa dilancarkan dalam jarak dekat, maka dia tetap mempertahankan jarak tertentu dengan serangan Bik-khong-ciang (pukulan dari jauh), dalam waktu dekat keduanya masih sama kuat alias setanding.
Sementara Bu-cing-so dan Siang-thian-ong tanpa berkedip mengawasi Biau-jiu Siansing, maling sakti yang menjagoi seluruh dunia dengan gerak geriknya yang luar biasa. Selama itu kedua pihak masih sama bertahan dalam kewaspadaan tanpa bicara, namun dalam hati masing-masing cukup mengetahui bila menilai kepandaian silat dan Lwekang, kedua bangkotan tua ini cukup berkelebihan untuk membunuh Biau-jiu Siansing.
-- Bahwa kedua jago kosen ini masih mengulur waktu, karena mereka tidak berani gegabah. Sekali meleset perhitungan orang pasti dapat melarikan diri, atau mungkin ada soal-soal lain yang dikuatirkan pula.
"Orang she Liok," teriak Thian-thay-mo-ki, "mampuslah kau!"
Sekonyong-konyong, seorang nenek tua ubanan berpakaian warna-warni muncul segesit setan melayang. Begitu aneh dan mendadak munculnya nenek ubanan ini, sehingga tiada orang yang menyadari kehadirannya, seakan-akan sejak tadi memang dia sudah berada di situ.
Tanpa terasa Thian-thay-mo-ki melenggong. Begitu sorot matanya bentrok dengan pandangan orang, seketika dia bergetar seperti kena aliran listrik, serta merta dia menyurut mundur. Tatapan mata nenek tua ini seakan-akan memiliki daya magnit yang menyedot sukma sehingga orang yang dipandang merasa dirinya, terlalu kecil, terpencil dan patah semangat.
Sorot mata nenek tua itu menyapu ke arah Liok Kin, bibirnya yang kering tiba-tiba bergerak, katanya dingin: "Anak kelinci, lekas lepaskan dia!"
Liok Kin patuh, cepat ia lepaskan pegangannya, seakan-akan sorot mata dan perkataan nenek tua ini mempunyai kekuatan yang tak mampu dilawannya, lekas dia mundur ke belakang.
-- Berkata pula nenek berpakaian warna-warni ini: "Nenek tua hari ini tidak ingin membunuhmu, jiwa anjingmu sementara biar kutinggalkan!"
Habis berkata dia tarik dan kempit Pui Ci-hwi terus berkelebat menghilang entah ke mana.
Thian-thay-mo-ki masih terlongong, mulutnya menggumam:
"Diakah" Ya, pasti dia! Tak nyana dia juga menjadi anggota Wi-tohwe ........"
Lamunan Thian-thay-mo-ki buyar dikejutkan suara seseorang yang mengerang menahan sakit, waktu ia berpaling, dilihatnya Ji Bun terhuyung-huyung sambil muntah darah, keruan serasa remuk hatinya. Tersipu-sipu dia melompat ke sana sambil bertanya dengan penuh perhatian: "Bagaimana keadaanmu, Dik?"
Ji Bun mengertak gigi, dengan tangannya dia menyeka darah yang meleleh di mulutnya, sahutnya kemudian: "Ah, tidak apa-apa."
Dalam waktu sekejap, Cip-po hwe-cu dan anak buahnya sudah lari turun gunung secepat terbang, puluhan mayat anak buahnya ditinggalkan begitu saja.
Ji Bun mendesis penuh dendam: "Sakit hati ini pasti kubalas. Cici, mana Pui Ci-hwi?"
Berubah air muka Thian-thay-mo-ki, hatinya kecut dan mendelu, namun sikapnya tetap halus dan ramah: "Sudah dibawa pergi orang mereka sendiri."
-- Terpukul batin Ji Bun, ia sendiri tak mengerti kenapa dirinya masih perihatin terhadap keselamatan si nona" Bukankah dia sehaluan dengan musuh"
Pikiran bekerja matapun melirik ke arah sana, dilihatnya Bu-cing-so dan Siang-thian-ong masih mengawasi Biau-jiu Siansing saja.
Sedikitpun tak pernah kendur perhatian mereka.
Sorot mata Biau-jiu Siansing lambat laun mengunjuk perasaan gelisah. Maklumlah ditatap, diawasi dan dijaga oleh dua bangkotan silat yang lihay ini. Betapapun aneh dan lihay gerak geriknya, juga tak berani sembarang bergerak. Sekali salah langkah dan tak berhasil meloloskan diri, nama besar dan ketenarannya bakal runtuh total.
Beberapa kejap pula, tiba-tiba Siang-thian-ong buka suara:
"Sahabat, tinggalkan Sek-hud, kau boleh pergi sesuka hatimu."
Biau-jiu Siansing ngakak, katanya: "Kalau aku yang rendah ini turun gunung dengan bertangan kosong, apakah tidak malu terhadap nenek moyang, sendiri?"
"Memangnya kau mampu membawanya pergi?"
"Mungkin saja."
"Boleh, silakan coba," jengek Bu-cing-so. "Lohu tak sabar menunggu lagi."
-- "Kenapa kalian tidak turun tangan saja?" tantang Biau-jiu Siansing malah.
Bergeming badan Siang-thian-ong yang bulat tambun bagai bola itu, katanya:" Sahabat, hati kita masing-masing sama tahu bukan?"
Dengam bingung sekilas Ji Bun melirik Thian-thay-mo-ki, maksudnya ingin tanya apa sebetulnya yang sedang dilakukan ketiga orang ini, kenapa selama ini mereka bertahan dan mempersoalkan siapa lebih dulu yang harus turun tangan.
Thian-thay-mo-ki tahu maksudnya, ia geleng-geleng bahwa dirinyapun tidak tahu.
Biau-jiu Siansing angkat Sek-hud di tangannya itu, katanya menyeringai: "Apa kalian tidak memberi keringanan kepadaku?"
"Kecuali kau tinggalkan Sek-hud itu!"
"Baiklah kutegaskan sekali lagi, barang yang sudah berada di tanganku tak mungkin kulepaskan pula."
"Jadi perlu bertahan secara berlarut-larut begini?"
"Kalau kalian punya hobby demikian, biarlah aku iringi saja."
"Jika Lohu melancarkan Thian-cin-ci-sut sekuat tenaga, sementara saudara Siang-thian-ong menyerang dengan Siang-thian-sin-ciang, kau tahu apa akibatnya bagi dirimu?"
-- "Cayhe yakin pasti dapat gugur bersama dengan salah satu di antara kalian."
"Umpama benar begitu, lalu apa yang dapat kau peroleh?"
"Memangnya apa pula yang bisa kalian dapatkan?"
Ji Bun benar-benar bingung dan tak mengerti akan percakapan mereka. Mungkinkah Biau-jiu Siansing memiliki ilmu mematikan yang masih disimpannya. Begitu hebatkah ilmunya itu sampai dia tidak gentar menghadapi kedua lawan tangguh ini"
Firasat lain membuat Ji Bun semakin bingung dan tak habis mengerti pula. Barusan dia terpukul luka parah sampai muntah darah oleh Bik-khong-chiang Cip-po hwe-cu. Namun sekarang dia rasakan dadanya longgar, darah mengalir seperti biasa tiada tanda-tanda terluka.
Belum lagi dia minum obat, juga tidak mengerahkan tenaga murni untuk berobat, namun luka-luka dalamnya sembuh sendirinya, apa pula yang terjadi atas dirinya" Sudah tentu dia tidak bisa mengemukakan perasaannya ini, hanya dalam hati saja ia bertanya-tanya.
"Maling cilik," kata Siang-thian-ong kuatir, apa kau ingin gugur bersama Sek-hud?"
Sahut Biau-jiu Siansing tanpa pikir: "Betul, namun satu diantara kalian atau keduanya juga pasti ikut menjadi korban."
-- "Memang aku sudah bosan hidup, tak jadi soal jika aku iringi kematianmu," ujar Siang-thian-ong.
"Ha ha ha ha, setimpal, aku yang rendah ini mendapat iringan seorang gembong silat masuk liang kubur, matipun takkan menyesal."
"Nah, siaplah, Lohu akan turun tangan!"
Pada saat itulah tiba-tiba sebuah suara serak dengan nada yang kuat berkata: "Orang mati meninggalkan nama, kalau maling tua harus mampus secara demikian, memang tenteramlah arwahmu di alam baka!"
Suara lenyap orangnyapun muncul, kiranya seorang laki-laki berpakaian pelajar warna biru sepasang matanya memancar terang, namun roman mukanya rada pucat sehingga berlawanan dengan sorot matanya, tangannya memegang kipas yang besar, di punggungnya menggemblok sebuah kantong atau tas pelajar.
Biau-jiu Siansing melirik kepada pendatang ini, katanya: "Saudara ini orang kosen dari mana?"
Pelajar pertengahan umur itu membentang kipasnya serta melingkupkan pula, katanya: "Cayhe adalah Jit-sing-ko-jin (orang lama dari Jit-sing)."
"Apa" Jit-sing-ko-jin?" seru Biau-jiu Siansing.
-- "Belum pernah kudengar."
"Maling tua, kau bisa mencuri segala benda di dunia ini, namun belum tentu mengenal semua tokoh-tokoh tenar di jagat ini."
"Ehm, ya, memang betul."
Mendengar pelajar ini menyebut dirinya sebagai "orang lama dari Jit-sing", bergetar badan Ji Bun. la dilahirkan di Jit-sing-po, sedang ayahnya adalah Jit-sing po-cu. Bahwa orang ini mengatakan dirinya juga orang dari Jit-sing, memangnya dia ada hubungan dan sangkut paut dengan Jit-sing-po" Dengan cepat dan cermat otaknya bekerja, membayangkan kembali bayangan orang ini, apakah pernah dilihat atau dikenalnya, namun tiada membawa hasil.
Yang terbayang justeru tragedi yang mengerikan dengan pembantaian besar-besaran dari seluruh penghuni Jit-sing-po itu, betapa dendam hatinya. Kini ibunyapun belum diketahui parasnya, hati terasa pilu dan sedih. Musuh besar dihadapan, namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, sampai asal usul diri sendiri juga harus dirahasiakan.
Betapa derita siksa batin ini sungguh tak terlukiskan dengan kata.
Ini hanya perubahan pikiran batinnya, sudah tentu Thian-thay-mo-ki tidak tahu akan hal ini, karena dia tidak tahu riwayat hidup Ji Bun.
Sorot mata Jit-sing-ko-jin yang tajam itu sekilas melirik juga ke arah Ji Bun. Begitu saling ber?adu mata, serta merta bergetar perasaan Ji Bun, didapatinya sinar mata yang berkilat ini sayup-sayup mengandung nafsu mem
Bukit Pemakan Manusia 14 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 2
^