Pedang Naga Kemala 9

Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


pemerintah " Sungguh aneh," kata kakek itu. "Bukankah dia mempunyai pengaruh besar di
kalangan pejabat pemerintah ?"
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
243 "Gara-gara pembasmian madat itu, suhu. Akan tetapi menurut keterangan, ada seorang
puterinya yang dapat meloloskan diri, namanya Ciu Kui Eng dan kabarnya ia itu lihai sekali.
Kelak aku akan mencarinya dan minta dia mempertanggungjawabkan dosa-dosa ayahnya
kepadaku."
"Jadi selama ini engkau sama sekali tidak peroleh jejak Koan Jit murid Thian-tok itu "
San-tok mendesak karena kakek ini tertarik sekali untuk bisa mendapatkan pusaka Giok-liong-
kiam. "Beberapa kali aku menemukan jejaknya, akan tetapi selalu hanya memperoleh jalan
buntu. Akan tetapi jejaknya yang kedapati di daerah Tapie-san membawaku ke sebuah tempat
yang luar biasa, suhu. Aku tidak menemukan dia di sana, jejaknya hilang lagi akan tetapi aku menemukan sesuatu yang amat aneh dan mengerikan."
"Apa itu ?"
"Aku menemukan sebuah guha yang dalamnya terdapat sebuah sumber air yang
mengeluarkan asap berbau aneh. Dan di situ nampak sesosok mayat terendam, akan tetapi mayat
itu sama sekali tidak membusuk. Banyak pula tengkorak manusia kulihat di dalam guha itu. Ihh, mengerikan dan aku segera pergi meninggalkan tempat itu."
"Ehhh " Menarik sekali ! Mari kita ke sana."
"Untuk apa, suhu ?"
"Menarik sekali ceritamu. Tentu ada hal-hal yang penting di situ. Bawa aku ke sana,
Hong Hong."
Demikianlah, kedua orang guru dan murid itu lalu melakukan perjalanan dan pada pagi
hari itu mereka sudah tiba di lereng puncak di Pegunungan Tapie-san seperti yang diceritakan
oleh Lian Hong kepada gurunya. Setelah tiba di puncak, Lian Hong membawa suhunya ke guha
itu. Guha itu aneh sekali. Mulut guha lebar akan tetapi tidak berapa tinggi sehingga ketika
memasuki guha San-tok yang agak jangkung harus menunduk. Dan di sebelah dalam guha itu
tumbuh sebatang pohon yang daunnya sudah rontok semua, tinggal cabang dan ranting yang
sudah mengering. Melihat keadaan ini, mudah diduga bahwa guha ini dahulunya bukan guha dan
terbentuk dengan runtuhnya batu-batu besar dari puncak menimbun tempat itu sehingga pohon
itupun tertimbun batu dan kini berada di dalam sebuah guha. Begitu memasuki guha itu, yang
nampak adalah sebatang pohon yang tinggal batang, cabang dan rantingnya, dan terciumlah bau
yang aneh dan keras. Juga nampak asap mengepul, terasa hawa yang agak panas.
"Di sinilah tempatnya, suhu," kata Lian Hong dan gadis ini sudah berlutut di tepi sebuah
kolam kecil di mana terdapat air yang bergolak dan mengeluarkan asap yang berbau belerang. Di tepi kolam itu terdapat batu-batu besar dan nampak ada beberapa buah tengkorak manusia di situ.
Akan tetapi yang amat mengerikan, di tengah-tengah kolam itu nampak seorang kakek tua renta
yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua. Kakek itu nampak terendam di dalam air
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
244 sebatas dada, kelihatan seperti orang tidur saja, tubuhnya tak bergerak-gerak dan kedua matanya terpejam.
"Ah-ah-ah, sungguh menarik .......... !" kata San-tok yang berdiri di tepi kolam sambil
meneliti keadaan kolam itu.
"Aneh akan tetapi tidak ada apa-apanya, suhu. Aku pernah datang ke sini dan melihat
keadaan ini, aku lalu cepat pergi lagi. Ketika menyelidiki jejak Koan Jit, jejak itu membawaku ke sini, akan tetapi di sini aku kehilangan jejaknya. Tidak nampak seorangpun manusia di
puncak ini sehingga aku tidak dapat mencari keterangan lagi tentang dia."
"Hemm, kalau Koan Jit sampai mendatangi tempat ini, berarti amat penting. Mungkin
ada rahasia tersembunyi di tempat ini. Mari kita selidiki," kata kakek itu dan mulailah dia melakukan penyelidikan, meneliti dinding batu di sekitar tempat itu. Akan tetapi tidak ada
sesuatu yang aneh. Semua dinding adalah batu-batu yang wajar saja dan makin jelaslah kini
bahwa tempat itu, mata air panas dan pohon itu, tadinya merupakan tempat terbuka dan kemudian tertimbun oleh batu-batu dari puncak yang agaknya longsor ke bawah. Akan tetapi peristiwa itu tentu telah terjadi lama sekali sehingga membentuk sebuah guha aneh ini. Lian Hong juga
membantu suhunya melakukan penyelidikan. Sampai beberapa jam lamanya mereka mencari-
cari tanpa hasil.
"Suhu, kalau ada rahasianya, agaknya terdapat dalam kolam air ini," tiba-tiba Lian Hong
berkata. "Lihat, mayat kakek itu tidak membusuk, ini saja menunjukkan bahwa air sumber ini,
yang bergolak seperti mendidih dan mengeluarkan asap berbau aneh, mengandung sesuatu yang
luar biasa, yang membuat mayat itu tidak rusak."
"Ha, engkau benar, Hong Hong. Tentu rahasianya terdapat di dalam sumber atau mata air
itu. Orang itu agaknya sejak dahulu duduk di situ sampai mati dan air panas yang mengandung
belerang itu membuat mayatnya tidak rusak. Sudah beberapa kali aku melihat sumber air seperti ini yang keluar dari dalam perut bumi. Tidak ada yang aneh mengenai air seperti itu. Akan
tetapi kolam ini seperti dibuat merendam tubuhnya. Lihat batu-batuan itu, bukankah batu-batu besar itu seperti sengaja diletakkan di situ untuk membentuk kolam " Dan air yang luber
mengalir keluar melalui samping guha. Kalau batu-batu itu digempur dan dibongkar, tentu
dasarnya akan nampak dan siapa tahu di situ letak rahasianya."
Dibantu oleh muridnya, San-tok lalu membongkar batu-batu besar itu. Kepandaian dan
tenaga sakti guru dan murid itu memungkinkan mereka membongkar batu-batu besar dan
akhirnya air yang berbau belerang itupun mengalir turun karena batu-batu yang menjadi
bendungan itu bobol. Air mengalir dengan cepatnya dan kini rendaman pada tubuh mayat itu
semakin dangkal saja. Setelah air itu hanya tinggal sejengkal saja dalamnya dan hanya menutupi kaki yang bersila itu sampai sebatas perut, nampaklah coretan-coretan itu merupakan huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan memperhunakan jari tangan saja !
"Aih, benar, tulisan-tulisan itulah yang amat penting dan agaknya tidak ditemukan oleh
Koan Jit !" kata San-tok dengan girang. Biarpun dia seorang datuk kaum sesat, namun San-tok di waktu mudanya pernah mempelajari ilmu kesusasteraan dengan tekun sehingga dia mampu
membaca dan mengerti huruf-huruf yang agak kuno itu. Lian Hong sendiri yang sejak kecil ikut Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
245 San-tok, hanya sempat mempelajari ilmu membaca sekedarnya saja maka tentu ia tidak mampu
kalau harus membaca tulisan huruf-huruf kuno itu. Dengan suara bisik-bisik yang hanya dapat
didengar oleh Lian Hong, San-tok lalu membaca huruf-huruf itu satu demi satu sehingga dapat
dirangkai menjadi kalimat-kalimat yang jelas.
"Srigala-srigala hina pencari pusaka
satu demi satu mampus di tangan Kwi Ong-ya !
Tetapi karena Thian-te-pai gerombolan hina
memaksa aku bersembunyi di sini dan bertapa !
Giok-liong-kiam pusaka pembuka rahasia
penyimpan benda-benda pusaka berharga
tak mungkin ditemukan siapapun juga
tanpa bantuan Giok-liong-kiam ke dua !
Akulah pembuat Giok-liong-kiam ke dua
dari batu sumber menggantikan kemala !
Di dalam gagangnya tersimpan rahasia
tempat simpanan Giok-liong-kiam pertama !"
Setelah membaca semua kalimat itu, San-tok tiba-tiba tertawa bergelak. Lian Hong yang
belum begitu mengerti akan arti tulisan itu, memandang heran dan bertanya, "Suhu, mengapa
suhu tertawa setelah membaca tulisan itu ?"
"Ha " ha " ha, betapa lucunya ! Agaknya si Kwi-ong (Raja Setan) ini selain lihai, juga
amat cerdik dan licin, pandai berkelakar pula. Hong Hong, dari tulisannya ini jelaslah bahwa si Koan Jit itu, murid pertama si gendut Thian-tok, hanya menguasai Giok-liong-kiam palsu. Ha "
ha, yang dijadikan rebutan selama ini oleh semua tokoh kang-ouw, yang menimbulkan kekacauan
dan keributan itu bukan Giok-liong-kiam aseli, melainkan tiruan yang dibuat oleh Kwi-ong ini.
Ha " ha " ha !"
"Apakah yang suhu maksudkan dengan semua itu " Aku tidak mengerti .........."
Kakek itu masih tertawa bergelak, kemudian setelah ketawanya mereda, baru dia
menerangkan kepada muridnya. "Dari tulisannya itu dapat kita ketahui semuanya, Hong Hong.
Kakek luar biasa ini berjuluk Kwi-ong, julukan yang jumawa sekali. Agaknya dialah yang
dahulu berhasil menguasai Giok-liong-kiam yang aseli. Tentu banyak tokoh persilatan yang
berusaha merebut pusaka itu, akan tetapi dia berhasil membunuh mereka satu demi satu. Lihat
saja tengkorak-tengkorak yang berserakan di sini, agaknya itulah musuh-musuhnya yang
dibunuhnya karena hendak merampas Giok-liong-kiam. Akan tetapi dari tulisannya dapat diduga
bahwa dia merasa gentar menghadapi desakan Thian-te-pai yang agaknya pada waktu itu
memiliki banyak orang pandai. Thian-te-pai memaksa dia bersembunyi dan bertapa, dan dia lalu memperoleh akal, menyembunyikan pusaka Giok-liong-kiam di suatu tempat rahasia lalu dia
membuat sebuah Giok-liong-kiam palsu. Ha " ha, dia membuatnya dari batu kali atau batu di
sumber ini sebagai pengganti kemala. Dan agaknya pusaka palsu inilah yang akhirnya terjatuh
juga ke tangan Thian-te-pang atau Thian-te-pai dan menjadi pusaka simpanan perkumpulan itu
sampai akhirnya dicuri orang dan menjadi perebutan, dan akhirnya dicuri dari tangan Thian-tok oleh muridnya sendiri. Ha " ha, kalau diingat betapa kita semua ribut-ribut memperebutkan
benda palsu ! Akan tetapi, hanya Kwi-ong inilah yang tahu bahwa rahasia tempat penyimpanan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
246 Giok-liong-kiam yang aseli berada di dalam gagang Giok-liong-kiam yang palsu. Dan kini
agaknya hanya kita yang mengetahuinya. Biarpun pusaka di tangan Koan Jit itu palsu, akan
tetapi bagi kita masih tetap berharga karena di dalam gagangnya terkandung rahasia
penyimpanan yang aseli. Dan agaknya, pusaka Giok-liong-kiam itu diperebutkan orang bukan
hanya karena pusaka itu berharga dan amat langka, melainkan pusaka itupun menyembunyikan
rahasia penyimpanan benda-benda pusaka yang amat berharga. Mengertikah engkau kini, Hong
Hong ?" Lian Hong mengangguk dan memandang kagum kepada mayat telanjang yang terendam
air sampai ke perut itu. "Bukan main. Kakek ini dahulunya tentu pandai sekali, suhu."
Gurunya mengangguk, akan tetapi kakek ini masih terus menyelidiki batu-batu di sekitar
tempat mayat itu duduk bersila dan akhirnya dia menemukan apa yang dicari. Yaitu coretan
huruf-huruf kecil di sebuah batu yang merupakan catatan tentang Giok-liong-kiam ! Agaknya di tempat inilah Kwi-ong membuat pusaka yang palsu dan dia membuat catatan-catatan Giok-liong-kiam aseli agar pelmasuan itu dapat dibuat sebaik mungkin. Catatan itu menggambarkan macam
Giok-liong-kiam, ukurannya san sebagainya. San-tok lalu mengeluarkan sebuah kipas dan
dengan teliti dia mencatat semua itu di atas kipasnya. Setelah selesai, dibantu oleh Lian Hong, kakek ini lalu kembali memasang batu-batu besar sebagai bendungan dan tak lama kemudian, air
sumber yang terbendung itu membuat kolam yang merendam tubuh Kwi-ong berikut batu-batu di
sekelilingnya. Akan tetapi terlebih dahulu San-tok yang cerdik itu melenyapkan tulisan-tulisan di permukaan batu dengan gempuran-gempuran, menggunakan batu lain sehingga permukaan batu
itu hancur dan tulisannyapun lenyap.
"Hong Hong, engkau sudah melihat semua ini dan kini makin jelas pula betapa
pentingnya kita dapat menguasai Giok-liong-kiam. Aku akan kembali ke Wuyi-san di mana aku
akan mencoba akal yang pernah dipergunakan Kwi-ong, dan engkau pergilah menyelidiki di
mana adanya Koan Jit. Akan tetapi jangan engkau turun tangan karena hal itu tentu amat
berbahaya."
"Suhu menyuruh aku menyelidiki, akan tetapi kalau sudah kuketahui tempatnya, aku tidak
boleh turun tangan. Apa maksud suhu ?"
"Aku akan membuat Giok-liong-kiam palsu seperti yang pernah dilakukan Kwi-ong. Aku
sudah mencatat segala bentuk dan ukurannya. Sementara aku mencoba membuat yang palsu itu,
engkau pergi mencarinya. Setelah engkau berhasil, cepat mengabarkan padaku. Kita harus dapat menukar pusaka di tangan Koan Jit itu dengan yang palsu."
Lian Hong semakin tidak mengerti. Ia mengerutkan alisnya dan memandang wajah
suhunya dengan heran. "Suhu ini aneh sekali. Sudah mengerti bahwa pusaka di tangan Koan Jit itu palsu, mengapa kini suhu hendak menukarnya lagi dengan yang palsu buatan suhu " Kalau
memang sudah kita ketahui tempatnya, kita rampas saja pusaka itu, kenapa susah-susah hendak
menukarnya seolah-olah suhu takut kepada Koan Jit itu ?"
Kakek kurus itu tertawa lebar. "Ha-ha-ha, engkau belum mengerti, muridku yang baik.
Aku tidak takut kepada Koan Jit, bahkan terhadap gurunya sekalipun aku tidak takut. Akan tetapi ketahuilah, semua orang di dunia persilatan berlumba untuk memperebutkan pusaka itu. Kini
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
247 mereka semua tahu bahwa pusaka itu berada di tangan Koan Jit sehingga mereka semua tentu
akan mencari Koan Jit. Kalau kita merampas pusaka itu begitu saja dari tangan Koan Jit, tentu perhatian semua tokoh persilatan berbalik kepada kita dan kehidupan kita tentu tidak akan
tenteram lagi. Ingat saja halnya Kwi-ong yang akhirnya mati di tempat ini tanpa dapat
menikmati pusaka yang dikuasainya. Maka, kita menukar pusaka itu dan biarkan semua orang
mencari dan memusuhi Koan Jit sedangkan kita diam-diam memiliki pusaka itu dan mencari
rahasianya. Bagaimana kaupikir ?"
Lian Hong memandang kagum kepada suhunya. "Wah, ternyata suhu tidak kalah lihai
dan cerdiknya dibandingkan dengan Kwi-ong !" Ia memuji dari dalam hatinya.
"Ha-ha-ha, baru engkau mengenal suhumu, ya " Nah, kita sekarang berpisah di sini. Aku
kembali ke Wuyi-san dan engkau pergilah dan mencari Koan Jit. Orang macam dia tentu suka
akan daerah yang bergolak. Dan perang madat mendatangkan pergolakan di selatan. Maka,
sebaiknya ke sanalah engkau mencari. Semua orang kang-ouw berkumpul di sana dan lebih
mudah bagimu untuk mencari keterangan."
Guru dan murid inipun saling berpisah. Untuk kedua kalinya Lian Hong melakukan
perjalanan seorang diri dalam usahanya mencari jejak Koan Jit yang amat licin bagai belut itu.
Jilid XI ***** THIAN-TE-PAI atau Thian-te pang amat terkenal di jaman itu karena perkumpulan ini
merupakan satu di antara perkumpulan-perkumpulan yang gigih menentang pemerintah penjajah
Mancu. Mereka terdiri dari orang-orang gagah segala aliran yang bergabung dalam satu wadah,
sejak bertahun-tahun mengadakan penentangan, pengacauan dan perlawanan terhadap pasukan
pemerintah Mancu, mengobarkan pemberontakan di mana-mana. Banyak sudah anggauta
mereka yang tewas dalam pertempuran-pertempuran melawan pasukan pemerintah, namun
mereka tidak pernah jera. Bahkan anggauta mereka semakin banyak saja, terdiri dari orang-orang gagah segala aliran dan suku. Selain ini, juga mereka mengadakan hubungan baik dengan
perkumpulan-perkumpulan lain yang mempunyai tujuan sama, yaitu menentang pemerintah Ceng
dan kalau mungkin menghalau penjajah Mancu dari tanah air.
Ketika terjadi perang madat yang berlangsung selama tiga tahun itu, orang-orang Thian-
te-pang juga bergerak. Akan tetapi karena mereka menjadikan pemerintah Mancu sebagai
sasaran utama, maka perang antara pemerintah melawan orang-orang kulit putih itu membuat
mereka seolah-olah memperoleh bantuan dari orang-orang kulit putih. Karena itu, mereka
sengaja tidak menyerang orang kulit putih, melainkan menghantam pemerintah yang sedang
sibuk melawan musuh asing itu. Biarpun demikian, bukan berarti bahwa Thian-te-pang suka
bersekongkol dengan orang-orang kulit putih. Maka, setelah perang dihentikan dan pemerintah
Ceng yang dipimpin kaisar yang lemah itu tunduk kepada orang kulit putih, menyerahkan banyak
kota dan perlakuan istimewa terhadap orang-orang kulit putih, diam-diam para pendekar,
termasuk orang-orang Thian-te-pang, menjadi marah bukan main.
Pada waktu itu, Thian-te-pang diketuai oleh seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih
yang bernama Ma Ki Sun, seorang ahli silat yang pandai, seorang gagah sejati yang sejak muda
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
248 sudah bangkit menentang pemerintah penjajah. Dia diwakili oleh Coa Bhok, sutenya sendiri
yang juga lihai ilmu silatnya. Mereka berdualah yang memimpin Thian-te-pang. Akan tetapi,
selama beberapa tahun ini, Thian-te-pang seolah-olah kehilangan pamornya, seperti menyuram
akibat lenyapnya pusaka Giok-liong-kiam dari tangan mereka. Pusaka ini tadinya dianggap
semacam simbol kekuatan dan semangat Thian-te-pang, dan membuat mereka dihargai dan
dikagumi di dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah Giok-liong-kiam lenyap dicuri orang,
pandangan dunia persilatan terhadap Thian-te-pang agak menurun. Mereka menganggap bahwa
lenyapnya pusaka itu menunjukkan kelemahan Thian-te-pang yang tidak mampu menjaga pusaka
sendiri sampai dapat dicuri orang. Tentu saja pihak Thian-te-pang sudah berusaha mati-matian untuk mencari pencurinya dan merampas kembali pusaka mereka sehingga ketika terjadi
perebutan, murid pertama Thian-te-pang yang bernama Lui Siok Ek ikut pula memperebutkan.
Bahkan ketika para tokoh mendatangi Siauw-bin-hud, wakil ketua Thian-te-pang yang bernama
Coa Bhok juga hadir. Namun, semua usaha mereka sia-sia belaka. Giok-liong-kiam tetap tak
dapat mereka temukan.
Seperti telah kita ketahui, ketika terjadi perang madat, orang-orang Thian-te-pang banyak
yang berjuang di Kanton dan daerahnya, dan banyak pula menarik orang-orang gagah untuk
bekerja sama dengan mereka. Di antara orang-orang gagah ini terdapat Ong Siu Coan yang telah berpisah dari sutenya, yaitu Gan Seng Bu yang pergi bersama isterinya, Sheila. Melihat adanya kesempatan baik untuk memenuhi cita-citanya melalui Thian-te-pang yang besar dan kuat, ketika pasukan itu kembali ke Bukit Kijang Putih di Propinsi Hunan, Siu Coan ikut pula bersama
rombongan orang-orang Thian-te-pang. Para murid dan anggauta Thian-te-pang tentu saja
menerimanya dengan tangan terbuka karena mereka semua sudah mengenal kelihaian pemuda
ini. Thian-te-pang mengadakan rapat, dipimpin oleh Ma Ki Sun dan sute atau wakilnya, Coa
Bhok. Siu Coan yang diterima sebagai seorang sahabat dan tamu, juga diperkenalkan hadir.
Yang hadir di dalam ruangan luas itu adalah para tokoh Thian-te-pang, murid-murid kepala dan
komandan-komandan regu, tidak kurang dari limapuluh orang banyaknya, memenuhi ruangan
yang biasanya menjadi tempat berlatih silat para anggauta dan murid Thian-te-pang. Ma Ki Sun dan Coa Bhok mempunyai murid-murid yang jumlahnya duapuluh orang lebih, dan para murid
ini lalu melatih silat kepada para anggauta Thian-te-pang.
Siu Coan yang hadir sebagai tamu, mengamati keadaan di situ. Dilihatnya bahwa tempat
yang menjadi markas besar Thian-te-pang ini merupakan sebuah perkampungan yang dilengkapi
dengan tembok tinggi seperti benteng di lereng Bukit Kijang Putih itu. Tempat yang baik sekali dan kuat untuk pertahanan. Dan di dalamnya terdapat segala macam senjata, juga mempunyai
anggauta yang tidak kurang dari tigaratus orang banyaknya, tersebar di mana-mana. Pendeknya, sebuah perkumpulan yang cukup kuat. Dia memperhatikan Ma Ki Sun, ketua perkumpulan itu,
dan wakilnya. Ma Ki Sun sudah berusia sedikitnya enampuluh tiga tahun, bertubuh tinggi kurus dengan mata yang sebelah kiri buta dan tidak berbiji lagi. Dengan mata sebelah ini dia pernah malang melintang sebagai seorang pendekar di selatan sehingga di dikenal dengan julukan It-gan Lam-eng (Pendekar Selatan Mata Satu). Seperti juga para anggauta Thian-te-pang, di baju ketua ini, di bagian dada, terdapat lukisan bulatan yang mengambarkan Im-yang, akan tetapi berbeda
dengan para anggauta yang lukisannya disulam benang biasa, lukisan di baju sang ketua ini
disulam dengan benang emas. Sikapnya penuh wibawa dan matanya yang tunggal itu melirik ke
kanan kiri dengan tajam dan sinarnya mencorong. Orang ke dua, yang menjadi wakil ketua dan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
249 juga sutenya, bernama Coa Bhok, nampak tinggi kurus pula, akan tetapi sikapnya angkuh,
nampak dari tarikan mulutnya yang agak sinis dan dagu serta pandang matanya yang
membayangkan kekerasan hati.
Di tempat itu sudah diatur meja sembahyang, lengkap dengan hidangan dan lilin-lilin
yang dinyalakan. Kemudian, Coa Bhok sebagai wakil suhengnya, bangkit berdiri dari tempat
duduknya dan terdengar suaranya yang lantang dan tegas.
"Para murid dan anggauta Thian-te-pang. Sebelum rapat dimulai, lebih dulu akan
diadakan upacara sembahyang untuk menghormat arwah para pahlawan yang telah gugur dalam
perang yang lalu." Setelah berkata demikian, diapun duduk kembali, memberi kesempatan
kepada suhengnya sebagai ketua untuk mengucapkan "amanat"nya.
Ma Ki Sun bangkit berdiri, tubuhnya lebih jangkung dari pada sutenya. Justeru matanya
yang tinggal satu itulah yang mendatangkan wibawa besar, pikir Siu Coan sambil melihat dan
mendengarkan penuh perhatian.
"Anak-anak sekalian !" terdengar kakek mata satu itu berkata. "Kita adalah pendekar-
pendekar tanah air, patriot-patriot bangsa yang berjuang tanpa pamrih, hanya dengan satu tujuan, yaitu membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah ! Akan tetapi, perjuangan
kita tidak akan sia-sia. Bangsa kita akan terbebas dari belenggu penjajahan, dan kalau kita gugur, nama kita akan dipuja selamanya sebagai pahlawan. Karena itu, kita tidak boleh melupakan
kawan-kawan seperjuangan yang gugur baru-baru ini dan marilah kita sembahyangi mereka agar
roh mereka mendapat tempat yang baik, dan nama mereka akan dipuja selamanya."
Siu Coan tersenyum di dalam hatinya, senyum mengejek. Mungkin nama beberapa orang
pentolan saja yang akan diingat selamanya, akan tetapi nama para perajurit biasa, siapa yang akan mengingatnya " Nama itupun akan terlupa. Perjuangan tanpa pamrih " Mana mungkin itu,
cemooh hatinya. Menumbangkan penjajah hanya merupakan jalan saja, tidak hanya habis sampai
di situ. Aku jelas tidak mau berjuang tanpa pamrih, dengan sia-sia.
Akan tetapi ketika sang ketua dan wakilnya bersembahyang dan memberi kesempatan
kepada para tamu untuk bersembahyang, Siu Coan juga bersembahyang, akan tetapi tidak seperti
mereka yang mengangkat hio membara, melainkan dengan cara membungkuk sedikit di depan
meja sembahyang. Tentu saja semua orang memandang dengan heran, akan tetapi mereka yang
tahu bahwa pemuda ini tertarik akan Agama Kristen yang dibawa oleh orang kulit putih, hanya
tersenyum mengejek. Betapapun juga, tidak ada yang berani menegurnya karena mereka semua


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maklum akan kelihaian pemuda ini. Ma Ki Sun mengerutkan alisnya, akan tetapi juga tidak
menegur, mengingat bahwa pemuda ini hanya seorang tamu dan kabarnya telah banyak berjasa
dalam perang membantu perjuangan Thian-te-pang.
Setelah semua orang selesai sembahyang dan meja sembahyang disingkirkan, dimulailah
rapat itu. Mula-mula sang ketua membicarakan soal pusaka Giok-liong-kiam.
"Mendapatkan kembali pusaka itu merupakan kewajiban kita, akan tetapi tidak begitu
mutlak perlu," kata Ma Ki Sun. : Yang penting adalah soal perjuangan. Seperti kita semua
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
250 ketahui, pemerintah penjajah Mancu yang mulai bobrok itu telah secara tak tahu malu menakluk
kepada orang-orang kulit putih dan menyerahkan kota-kota penting begitu saja kepada mereka.
Penjilat-penjilat tak tahu malu itu sungguh terkutuk ! Madat akan dimasukkan lagi dan bangsa kita akan dijejali barang beracun itu sampai akhirnya kita menjadi bangsa yang lemah dan
pemadatan ! Ini harus kita tentang ! Kita harus mengerahkan tenaga untuk mengganggu dan
menyerang mereka, sekarang kita mulai mendekati kota raja dan mengadakan kekacauan di
daerah kota raja !"
Akan tetapi, para murid dan anggauta Thian-te-pang nampak saling pandang dan agaknya
tidak semangat menyambut anjuran sang ketua ini. Hal ini adalah hasil dari permainan kasak-
kusuk yang dilakukan Siu Coan selama ini di antara mereka. Dengan cerdik dia, tanpa mencela
secara terang-terangan, mengatakan bahwa Thian-te-pang perlu memperoleh pimpinan baru yang
perkasa dan pandai. Dan dia sengaja menyinggung betapa pusaka Giok-liong-kiam merupakan
lambang kebesaran Thian-te-pang dan hilangnya pusaka itu menunjukkan kemerosotan Thian-te-
pang, maka perlu segera didapatkan kembali. Dan sekarang, sang ketua bahkan meremehkan
Giok-liong-kiam, dan mengajak mereka untuk mengganggu daerah kota raja yang amat
berbahaya karena di daerah itu penjagaan pasukan kerajaan amatlah kuatnya. Melakukan
pengacauan di daerah kota raja sama saja dengan membunuh diri ! Karena itulah, mereka saling pandang dan tidak menyambut ucapan sang ketua itu dengan semangat seperti biasanya. Apa lagi mereka masih lelah, baru saja pulang dari pertempuran-pertempuran yang melelahkan di mana
mereka kehilangan banyak teman.
Melihat sikap para anak buah ini, Ma Ki Sun dan sutenya saling pandang. Kemudian
sutenya, Coa Bhok, berseru dengan suara lantang, "Apakah di antara kalian ada yang hendak
mengajukan usul ?"
Tentu saja para murid dan para anggauta itu tidak berani menentang kehendak ketua
mereka, maka merekapun kini hanya saling pandang dan akhirnya mereka memandang kepada
Siu Coan. Pemuda ini tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.
"Pangcu, aku ingin mengajukan usul-usul !"
"Ong-sicu !" jawab Coa Bhok dengan alis berkerut. Ini adalah rapat para anggauta
Thian-te-pang, sicu sebagai orang luar tidak berhak mencampuri. Maaf, kami tidak dapat
menerima usul dari luar." Sedikit banyak Coa Bhok sudah mendengar tentang pemuda ini dari
para muridnya. Seorang pemuda yang lihai, akan tetapi aneh. Tak seorangpun mengetahui asal-
usulnya, dari perguruan mana, dan juga bahwa sute dari pemuda ini telah menikah dengan
seorang wanita kulit putih. Orang seperti itu mana boleh dipercaya " Apa lagi tadi pemuda itu melakukan sembahyang secara aneh dan melanggar adat kebiasaan.
Siu Coan tidak mundur oleh teguran ini. "Maaf, aku terpaksa mencampuri karena melihat
hal-hal yang baik dalam Thian-te-pang. Aku menganggap Thian-te-pang sebagai saudara
seperjuangan, dan aku tahu bahwa para anggauta ingin sekali mengajukan usul-usul namun
mereka tidak berani. Kini aku akan maju sebagai wakil pembicara mereka. Saudara-saudara,
bagaimana kalau aku menjadi wakil pembicara kalian untuk menyampaikan segala ketidakpuasan
yang menekan batin kalian " Setujukah ?"
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
251 Sudah banyak Siu Coan mempengaruhi para anggauta Thian-te-pai, apa lagi mereka yang
kagum menyaksikan sepak terjangnya, maka mereka ini serentak menyatakan setuju dan suara ini
diikuti saja oleh para anggauta lain yang agaknya sudah kehilangan pegangan itu.
"Setujuuuuu .......... !" Terdengar suara serentak mereka. Ma Ki Sun dan Coa Bhok
saling pandang dan akhirnya Ma Ki Sun mengangguk.
"Baiklah," kata Coa Bhok denga suara kering dan ketus. "Kalau memang para anggauta
menghendaki, engkau boleh menyatakan usul-usulmu, Ong-sicu."
"Terima kasih, akan tetapi sebelumnya aku minta agar pangcu berjanji bahwa sebelum
aku selesai menyatakan usul-usulku, maka usul-usulku tidak boleh dipotong. Berjanjilah bahwa aku akan diperbolehkan menyatakan usul-usulku sampai aku habis bicara."
Ma Ki Sun melambaikan tangannya dengan tidak sabar. "Baik, bicaralah, orang muda !"
"Aku hanya menjadi juru pembicara para anggauta Thian-te-pang. Kami semua merasa
tidak puas terhadap kebijaksanaan yang diambil oleh pimpinan. Pertama, setelah Giok-liong-
kiam dicuri orang dan terlepas dari tangan kita, maka pamor Thian-te-pang menjadi suram.
Karena itu, urusan mencari dan merampas kembali Giok-liong-kiam merupakan hal terpenting
dan menyangkut kehormatan dan nama besar Thian-te-pang sendiri. Maka kami tidak setuju
kalau dinomorduakan. Giok-liong-kiam harus didapatkan kembali lebih dulu !"
Siu Coan berhenti sebentar untuk memberi kesempatan para anggauta menyatakan
persetujuan mereka. Kemudian dia menyambung dengan cepat, "Ke dua, melakukan
pengacauan dan menyerang ke daerah kota raja pada saat ini adalah sama sekali tidak tepat.
Pemerintah penjajah baru saja berbaik dengan orang-orang kulit putih sehingga kedudukan
mereka kuat, sebaliknya kita baru saja bertempur dan kehilangan banyak tenaga. Kita harus
menghimpun kekuatan lebih dulu, bergabung dengan golongan lain kalau perlu, dan setelah kita
kuat benar barulah kita bergerak. Akan tetapi, jangan jadikan Thian-te-pang sebagai kelompok pengacau-pengacau tak berarti saja. Kita bercita-cita, bukan hanya untuk menjadi sekedar
pengacau, melainkan kalau mungkin kita akan gulingkan pemerintah penjajah Mancu !"
Kembali terdengar tepuk tangan dan seruan-seruan pujian dari para anggauta. Mereka
telah dibangkitkan oleh ucapan Siu Coan.
"Ke tiga, kami sama sekali tidak setuju dengan ucapan ketua ketika diadakan upacara
sembahyang tadi. Buat apa kita berjuang mati-matian, mengorbankan nyawa kalau sekedar
mencari nama kosong belaka " Kita berjuang harus dengan cita-cita, dengan pamrih luhur !
Thian-te-pang harus berjuang bukan hanya untuk dicap sebagai pahlawan kalau mati, melainkan
untuk merampas tahta kerajaan dan kalau berhasil kelak, setiap orang anggauta Thian-te-pang,
tidak terkecuali, harus mendapatkan kedudukan atau pangkat sesuai dengan jasa-jasa mereka !
Dengan demikian, tidak akan percuma kalau sekarang kita berjuang dengan taruhan nyawa juga,
sehingga kelak dapat memperoleh pahala untuk mengangkat nama dan derajat keluarga, juga
menjamin kemakmuran bagi kehidupan mereka !"
Sekali ini, tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut ucapan Siu Coan sehingga tidak
dapat disangsikan lagi dukungan mereka terhadap Siu Coan. Ma Ki Sun dan Coa Bhok dengan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
252 muka pucat saling pandang dan keduanya merasa betapa ada bahaya besar mengancam mereka,
setidaknya kedudukan mereka.
Akan tetapi sebelum mereka sempat bicara, kembali Siu Coan sudah mengangkat kedua
tangan keatas, dan terdengar suaranya melengking mengatasi semua suara bising. Dua orang
pimpinan Thia-te-pang terkejut karena mereka maklum bahwa suara itu didukung oleh tenaga
khikang yang amat kuat !
"Saudara-saudara sekalian, harap tenang !" dan kini semua orang diam, memperhatikan
Siu Coan dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh semangat.
"Masih ada satu hal lagi yang teramat penting, lebih penting dari pada yang terdahulu.
Kami berpendapat bahwa pimpinan Thian-te-pang sekarang ini sudah tidak becus, sudah terlalu
tua dan tidak mungkin dapat memajukan Thian-te-pang, maka kami usulkan agar diganti oleh
tenaga muda yang lebih bersemangat !"
Sekali ini, semua anggauta terdiam dan wajah mereka berobah, dengan penuh ketegangan
mereka memandang ke arah Ma Ki Sun dan Coa Bhok. Tentu saja sebagai murid-murid Thian-
te-pang mereka tidak berani mendukung ucapan itu walaupun di dalam hati, mereka setuju sekali.
Ma Ki Sun dan Coa Bhok kini saling pandang dengan muka pucat dan Coa Bhok sudah
meloncat berdiri. "Orang she Ong ! Sikapmu sungguh keterlaluan dan tidak bersahabat !
Apakah engkau hendak mengajak murid-murid kami berkhianat ?"
"Coa-pangcu harap sabar dulu. Aku sama sekali tidak mengajak mereka berkhianat,
melainkan bicara sejujurnya saja. Pimpinan Thian-te-pang tidak becus mendapatkan kembali
pusaka Giok-liong-kiam dan telah memperlihatkan kepemimpinan yang tidak baik. Maka,
wajarlah kalau pimpinan sekarang yang sudah terlalu tua dan lemah mundur saja untuk diganti
oleh yang muda dan kuat !"
Coa Bhok tersenyum mengejek. "Orang she Ong. Mereka semua adalah murid-murid
kami, siapakah di antara mereka yang dapat melebihi kekuatan kami ?"
"Wah, banyak !" kata Ong Siu Coan. "Di antaranya aku sendiripun mampu melebihi
kekuatan kalian."
"Keparat !" Kini Coa Bhok meloncat ke depan menghadapi Siu Coan yang juga sudah
meninggalkan kursinya dan berdiri di tengah-tengah ruangan itu. Keduanya kini saling
berhadapan seperti dua ekor jago yang siap untuk saling serang. "Jadi engkau menghendaki
kedudukan ketua Thian-te-pang ?"
"Kalau kalian yang sudah tua dan lemah tahu diri, aku akan sanggup memimpin Thian-te-
pang jauh lebih baik dari pada kalian orang-orang tua yang sudah lemah !"
"Jahanam bermulut besar ! Ingin kulihat apakah kepandaianmu juga sebesar mulutmu !"
bentak Coa Bhok yang sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Berkata demikian,
wakil ketua Thia-te-pang ini sudah mencabut sebatang pedang. Dia marah sekali, akan tetapi
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
253 sebagai seorang wakil ketua sebuah perkumpulan besar yang merasa dirinya telah menduduki
tingkat tinggi, dia merasa tidak enak kalau harus menyerang seorang lawan yang begitu muda
dengan senjata tanpa memberi kesempatan kepada lawan.
Ong Siu Coan, keluarkanlah senjatamu !" tantangnya sambil melintangkan pedangnya di
depan dada. Akan tetapi Siu Coan tersenyum, suaranya lantang terdengar oleh semua orang ketika dia
bicara. Pada waktu itu, keributan itu sudah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar
ruangan sehingga kini lubang pintu dan jendela penuh dengan kepala-kepala tersembul
memandang ke dalam, kepala para anggauta Thian-te-pang.
"Aku datang bukan untuk berkelahi, melainkan mengatakan hal-hal yang sebenarnya.
Akan tetapi kalau Coa-pangcu yang bernafsu untuk menyerang dan membunuhku, silahkan. Aku
sendiri sama sekali tidak takut menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja."
Ucapan ini sekaligus merupakan teguran bahwa dia sebagai tamu akan diserang oleh tuan
rumah yang memulai perkelahian itu, akan tetapi juga suatu sikap memandang rendah dan
menentang yang membuat wajah wakil ketua Thian-te-pang itu sebentar menjadi pucat sebentar
menjadi merah. "Orang she Ong ! Kalau tidak engkau yang menggeletak mati di ujung pedangku, akulah
yang harus mampus di tanganmu. Lihat senjata !" Dan kakek itu sudah menerjang maju dan
mengirim serangan dengan pedangnya secara kilat dan dahsyat sekali.
Betapapun cepatnya tusukan pedang yang menuju ke arah tenggorokan Siu Coan itu,
namun Siu Coan lebih cepat lagi. Tubuhnya sudah mencelat ke kiri dan tusukan itu mengenai
angin kosong. Sebagai seorang ahli pedang yang tangguh, begitu pedangnya luput mengenai
sasaran, pergelangan tangannya bergerak dan pedang itu membuat gerakan memutar terus
menyambar dengan bacokan yang lebih dahsyat lagi ke arah leher Siu Coan. Pemuda itu
merendahkan tubuh membiarkan pedang lewat dan cepat dia meloncat ke atas ketika pedang itu
sudah datang lagi dari lain jurusan membabat kedua kakinya ! Pedang itu terus bergerak cepat menghujankan serangan dan sebentar kemudian pedang itu sudah lenyap bentuknya dan berobah
menjadi segulungan sinar putih yang menyambar-nyambar. Akan tetapi bentuk tubuh Siu Coan
juga sudah lenyap. Hanya bayangan tubuhnya saja yang berloncatan ke sana-sini sehingga
pedang yang bayangannya berobah banyak itu seolah-olah hanya menyerang bayangan kosong
saja ! Semua mata yang nonton perkelahian itu hampir tak pernah dikejapkan. Semua orang
memandang dengan hati tegang. Para murid dan anggauta Thian-te-pang maklum betapa lihainya
wakil ketua itu bermain pedang dan kini Siu Coan menghadapinya dengan tangan kosong saja !
Mereka sudah membayangkan bahwa tak lama lagi tentu tubuh pemuda itu akan roboh mandi
darah, tewas atau terluka berat. Akan tetapi, makin cepat pedang itu berkelebat, makin cepat pula tubuh Siu Coan bergerak menghindar sehingga jangankan tubuh pemuda itu dilanggar pedang,
bahkan ujung baju pemuda itupun tidak pernah tergores pedang sama sekali ! Dan agaknya
pemuda itu dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya, hal ini terbukti dari suara
ketawanya yang kadang-kadang terdengar, bahkan terdengar pula suaranya penuh ejekan.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
254 "Nah, bukankah kau sudah terlalu tua dan gerakanmu terlalu lemah dan lamban, Coa-
pangcu ?" Mendengar suara ketawa dan ejekan ini, para penonton menjadi terheran-heran dan
kagum bukan main. Dianggap oleh mereka bahwa agaknya tidak masuk akal kalau ada orang
mampu menghadapi pedang Coa Bhok dengan tangan kosong, dan masih sempat tertawa-tawa
bahkan mengeluarkan suara mengejek. Mereka tahu bahwa Siu Coan lihai, akan tetapi tidak
pernah menduga bahwa pemuda itu memiliki kesaktian seperti itu ! Juga ketua Thian-te-pang,
Ma Ki Sun, terbelalak kaget. Kakek ini adalah suhengnya dari Coa Bhok dan lebih lihai dari
pada sutenya. Akan tetapi dia tidaklah seangkuh Coa Bhok yang terlalu percaya akan kepandaian sendiri sehingga suka memandang ringan orang lain. Melihat betapa selama lebih dari duapuluh jurus sutenya yang menggunakan pedang itu terus menerus menyerang pemuda itu tanpa berhasil
sedikitpun juga, bahkan melihat pemuda itu benar-benar memiliki kepandaian yang jauh lebih
tinggi tingkatnya dari pada sutenya. Dia merasa heran dan terkejut akan kenyataan ini, akan
tetapi dia masih cukup waspada untuk berseru kepada sutenya.
"Sute, sudahlah, jangan berkelahi lagi !" katanya dengan maksud agar sutenya tidak
menderita malu dan bahkan agar sutenya tidak menderita malu dan bahkan mungkin terancam
bahaya. Akan tetapi, Coa Bhok sudah memuncak kemarahannya. Kehebatan lawan dan ejekan
lawan tadi sudah meracuni batinnya dan dia merasa lebih baik mati dari pada harus menghentikan serangannya dan mengaku kalah !
"Biarlah, suheng. Dia atau aku yang mati !" teriaknya dan dia memperhebat
serangannya. Siu Coan bukan seorang bodoh. Tadinya sedikitpun tidak terlintas dalam benaknya untuk
merobohkan lawannya dengan luka berat, apa lagi membunuhnya. Dia tahu bahwa dua orang
kakek ini, bagaimanapun juga, merupakan guru-guru dari para anggauta Thian-te-pang sehinnga
mereka itu masih akan mampu mempengaruhi para anggauta. Dia bermaksud untuk
menanamkan kekuasaannya di Thian-te-pang tanpa mengganggu para pimpinannya, hanya
menundukkan saja dan dia dapat mempergunakan kekuatan Thian-te-pang untuk mencapai
tujuannya. Akan tetapi, melihat sikap Coa Bhok, tahulah dia bahwa orang ini kalau dibiarkan
hidup, akhirnya tentu akan menjadi orang yang selalu memusuhinya, baik berterang ataupun
dengan menggelap. Cegahan ketua Thian-te-pang tadi meyakinkan hatinya bahwa dengan ketua
itu dia masih boleh mengharapkan kerja sama, akan tetapi terhadap Coa Bhok yang keras hati ini harus diambil tindakan tegas, akan tetapi harus diatur sedemikian rupa agar para anggauta Thian-te-pang tidak akan menjadi sakit hati kepadanya.
Siu Coan membiarkan lawannya mengamuk terus. Dengan ilmu silat Ngo-heng Lian-
hoan Kun-hoat yang amat hebat dari Thian-tok, dia mampu menghindarkan semua serangan itu.
Dan kini kadang-kadang dia menangkis dengan tangannya, tangan yang sudah diisi dan dialiri
tenaga ilmu kebal Kim-ciong-ko. Ilmu Kim-ciong-ko ini dapat membuat tubuhnya seperti
dilindungi baju emas saja. Sebetulnya, melihat ilmu ini saja yang membuat kedua tangan
pemuda itu mampu menangkis pedangnya tanpa lecet sedikitpun juga, sudah cukup bagi Coa
Bhok untuk menyadari bahwa dia kalah jauh. Namun kakek ini keras hati dan dia menganggap
bahwa Siu Coan sudah melontarkan penghinaan terhadap dia dan suhengnya, maka dia tetap
tidak mau mundur dan menyerang terus walaupun kini napasnya mulai empas-empis. Bersilat
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
255 pedang memang lebih cepat melelahkan, karena membutuhkan tenaga tambahan untuk
menggerakkan pedang. Walaupun pedangnya itu pedang tipis dan tidak sangat berat, akan tetapi kalau harus menyerang terus sejak tadi, tenaganya mulai berkurang juga.
Siu Coan cukup waspada. Dia melihat lowongan baik. Kalau hanya untuk merobohkan
kakek itu saja, sejak tadipun dia akan mampu melakukannya. Akan tetapi merobohkan lawan
seperti yang dikehendakinya, membutuhkan waktu karena dia harus mencari kesempatan baik
dan gerak cepat yang luar biasa.
Tiba-tiba saja, tanpa dapat dilihat oleh semua orang kecuali ketua Thian-te-pang
bagaimana terjadinya, kakek Coa Bhok mengeluarkan teriakan mengaduh dan tubuh kakek itu
roboh miring dan tewas seketika dengan tubuh mandi darah, pedang yang gagangnya masih
dipegangnya itu telah menusuk dadanya sendiri sampai tembus ! Karena pedang itu tepat
menembus jantung, maka kakek itupun tewas seketika. Semua orang terkejut dan terbelalak.
Siu Coan berdiri dan memandang mayat itu, menarik napas panjang dan berkata, "Coa-
pangcu sungguh keras hati, memilih bunuh diri dari pada menderita kekalahan. Sayang, sayang
.......... !" Barulah para anggauta Thian-te-pang maklum bahwa wakil ketua itu telah membunuh diri karena merasa akan menderita kekalahan. Mereka menjadi semakin kagum terhadap pemuda
itu dan mereka juga semakin tegang, ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh ketua mereka
terhadap Siu Coan.
Ma Ki Sun bangkit dari kursinya, menanggalkan jubahnya yang lebar, lalu
memerintahkan murid-muridnya untuk menyingkirkan mayat sutenya. "Urus jenazahnya baik-
baik," katanya dengan suara datar. Setelah mayat itu diangkut, dia lalu melangkah perlahan
menghampiri Siu Coan yang masih berdiri di tengah ruangan itu. Di lantai masih ada darah dan melihat ini, sakit juga rasa hati Ma Ki Sun, teringat betapa sutenya sejak muda membantunya dan sutenya adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, seorang patriot yang gagah berani. Akan
tetapi tak disangkanya, sutenya tewas di tangan seorang pemuda yang sama sekali tidak ada
nama, walaupun harus diakuinya bahwa kepandaian pemuda itu benar-benar amat hebat.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
256 Sejenak mereka saling pandang, pandang mata ketua itu penuh selidik, pandang mata Siu
Coan menanti dengan sikap waspada.
"Orang muda, sebetulnya apakah yang kaucari di sini ?" tanyanya dengan suara lirih dan
tegas. Siu Coan menjura dengan hormat. "Harap pangcu maafkan kalau peristiwa berekor
seperti ini. Adalah Coa-pangcu yang memaksaku .........."
"Aku mengerti, orang muda. Akan tetapi, apakah sebenarnya kehendakmu ?"
Melihat mata yang hanya satu itu memandangnya penuh selidik, seolah-olah dapat
menembus dan menjenguk isi hatinya, diam-diam Siu Coan bergidik dan dia cepat-cepat
menjawab dengan suara lantang agar terdengar oleh semua orang.
"Pangcu, aku hanya ingin agar Thian-te-pang menjadi sebuah perkumpulan patriot yang
kuat dan kelak akan berhasil menggulingkan kerajaan penjajah Mancu. Aku ingin menghimpun
seluruh kekuatan para pejuang untuk bersatu dan menghalau penjajah dari tanah air."
"Hemm, jadi engkau ingin menjadi ketua Thian-te-pang ?"
"Bukan hanya Thian-te-pang, melainkan aku ingin memimpin seluruh pasukan pejuang
yang menentang pemerintah penjajah, ingin mendirikan sebuah kekuatan baru yang meliputi
segenap rakyat jelata untuk bangkit melawan penjajah !" Ucapan ini keluar dari lubuk hati Siu Coan, terdengar penuh semangat sehingga membakar semangat para anggauta Thian-te-pang
yang menyebabkan perasaan suka dan kagum mereka terhadap Siu Coan meningkat.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
257 Sikap Siu Coan ini agaknya mulai meyakinkan hati Ma Ki Sun pula. Dia bukan seorang
yang ambisius dan diapun mengerti bahwa karena usianya sudah makin menua, sudah wajarlah
kalau Thian-te-pang dipegang oleh tenaga muda dan mungkin saja akan menjadi semakin kuat


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan maju. "Baiklah, Ong-sicu. Akan tetapi karena saat ini aku yang menjadi pangcu, kalau engkau
ingin mengambil alih kursi pimpinan, engkau harus dapat pula mengalahkan aku."
Siu Coan merasa tidak enak dan khawatir kalau-kalau para anggauta Thian-te-pang yang
dia tahu sudah mulai suka kepadanya, akan berobah sikap kalau dia sampai mencelakai ketua
Thian-te-pang yang juga menjadi guru mereka ini. Kalau tadi para anggauta Thian-te-pang tidak marah melihat tewasnya Coa Bhok adalah karena mereka melihat Coa Bhok seperti membunuh
diri, dan melihat adanya ketua Thian-te-pang di situ yang akan mengambil keputusan. Tentu saja Coa Bhok tadi bukan membunuh diri, melainkan dibunuhnya sedemikian rupa sehingga
nampaknya seperti bunuh diri. Ketika dia memperoleh kesempatan, dengan kecepatan kilat dia
menotok tengkuk kakek itu sehingga tubuhnya kaku dan pada detik berikutnya, dia menusukkan
pedang yang masih dipegang tangan kanan kakek itu ke dalam dada kakek itu sendiri !
"Pangcu, aku tidak ingin berkelahi !"
"Akupun bukan menantangmu berkelahi seperti yang dilakukan sute tadi, melainkan
sebagai peraturan belaka. Siapa yang hendak menjadi ketua Thian-te-pang selagi ketuanya yang lama masih ada dan belum mengundurkan diri, maka calon ketua baru itu harus mampu
mengalahkan ketua lama. Nah, aku sudah siap, majulah orang muda !"
Tidak seperti sutenya, kini Ma Ki Sun tidak mempergunakan senjata, walaupun dia juga
seorang ahli pedang. Kakek ini, melihat perkelahian tadi saja, sudah maklum bahwa diapun
bukan lawan pemuda ini ! Walaupun dia menggunakan pedang, akhirnya dia akan kalah juga.
Dengan maju tanpa pedang, dia akan dapat melihat apa sesungguhnya kehendak pemuda ini dan
bagaimana sikapnya. Apakah pemuda ini tetap akan membunuhnya " Kalau demikian, dia masih
ada kesempatan untuk memperingatkan para muridnya dan membuka kedok Siu Coan yang tadi
membunuh Coa Bhok.
Tidak ada jalan lain bagi Siu Coan kecuali menerima tantangan ketua Thian-te-pang itu.
"Baik, pangcu, aku sudah siap," katanya.
Karena maklum akan lihainya pemuda itu, Ma Ki Sun tidak bersikap sungkan-sungkan
lagi dan diapun membuka serangan, disambut dengan tenang oleh Siu Coan. Terjadilah
perkelahian tangan kosong yang seru, lebih seru dari pada tadi karena kini Ma Ki Sun bersilat dengan hati-hati dan diam-diam dia mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan
tenaga sinkangnya. Akan tetapi, Siu Coan yang ingin memberi muka kepada kakek ini, demi
berhasilnya apa yang dicita-citakan, menandinginya dengan seimbang. Kalau dia menghendaki,
pemuda ini tentu akan mampu merobohkannya, karena sesungguhnya, ilmu yang dikuasai
pemuda ini masih setingkat lebih tinggi dari pada ketua Thian-te-pang. Namun, Siu Coan tidak mau merobohkan lawannya dan selalu menangkis, mengelak dan membalas serangan sekedarnya
saja. Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
258 Ma Ki Sun bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak
pengalaman pula. Dia tahu bahwa memang lawannya banyak mengalah. Apa lagi ketika pada
suatu saat dia menyerang, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena ditotok, akan tetapi
sebelum dia roboh, pemuda itu sudah membebaskan kembali totokannya. Semua ini terjadi
sedemikian cepatnya sehingga hanya diketahui dan dirasakan oleh Ma Ki Sun sendiri saja.
Diam-diam dia merasa semakin kagum. Pemuda ini benar-benar hebat. Kalau memang benar
pemuda itu mempunyai watak baik, seorang pendekar sejati, maka diapun ikut bergembira bahwa
pihak pejuang memperoleh seorang tenaga muda yang demikian baiknya. Akan tetapi dia
bergidik membayangkan bahwa pemuda itu termasuk golongan sesat yang akan menyelewengkan
perjuangan. "Dukk !" Dua lengan bertemu dan Siu Coan menambah sedikit tenaganya, sehingga
pertemuan tenaga melalui lengan itu membuat ketua Thian-te-pang terhuyung ke belakang
dengan napas terengah-engah dan muka pucat penuh keringat.
"Ong-sicu, engkau memang hebat dan pantas menjadi ketua Thian-te-pang !" kata kakek
itu. Tentu saja Siu Coan gembira bukan main dan dia sudah cepat memberi hormat kepada
kakek itu, lalu berkata lantang, ditujukan kepada semua anggauta Thian-te-pang. "Aku bukan
datang untuk merampas kedudukan ketua ! Aku datang untuk membantu Thian-te-pang menjadi
sebuah perkumpulan yang besar, mengembalikan kehormatan Thian-te-pang, memperoleh
kembali Giok-liong-kiam dan memperbesar perkumpulan ini menjadi kekuatan yang kelak akan
menjadi pelopor bagi semua patriot untuk mengenyahkan penjajah dari tanah air !"
Para anggauta Thian-te-pang bersorak gembira. Juga Ma Ki Sun merasa gembira sekali.
Memang sutenya tewas di tangan pemuda ini. Akan tetapi sesungguhnya, dia melihat sendiri
tadi, bahwa pemuda ini sama sekali tidak berniat membunuh sutenya sebelum sutenya dengan
nekat menghendaki adu nyawa. Kiranya pemuda ini hanya ingin diterima menjadi seorang
anggauta kehormatan saja yang tentu akan membantu kemajuan Thian-te-pang, sedangkan
kedudukan ketua masih diberikan kepadanya !
Demikianlah, mulai hari itu, Thian-te-pang menerima Ong Siu Coan sebagai seorang
pemimpin tanpa kedudukan ! Karena maklum bahwa pemuda ini lihai bukan main, semua mata
para anggauta ditujukan kepadanya dan pemuda inipun dengan cerdiknya lalu merobah cara
berlatih silat, memberi petunjuk beberapa pukulan yang lihai sehingga mereka semua semakin
tunduk kepadanya. Akan tetapi, pertama-tama yang dilakukannya adalah mengerahkan mereka
itu untuk menyelidiki di mana adanya Koan Jit. Tentu saja dengan dalih bahwa Thian-te-pang
harus mendapatkan kembali pusakanya itu agar nama dan kehormatannya dapat terangkat lagi.
Padahal, jauh di sudut hatinya tersimpan keinginan untuk menguasai sendiri pusaka itu apa bila sudah dapat dirampasnya dari Koan Jit.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kecewa rasa hati Siu Coan ketika para anggauta
thian-te-pang itu tidak pernah berhasil dalam mencari dan menemukan jejak Koan Jit. Orang
yang menjadi suhengnya itu ternyata benar-benar amat licin. Seolah-olah menghilang ditelan
bumi saja. Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
259 Langkah kedua yang diambil oleh Siu Coan adalah mulai menyebarkan agama baru yang
dipeluknya, yaitu Agama Kristen yang mulai menarik hatinya. Akan tetapi, dasar wataknya
sombong, baru saja berkenalan dengan agama baru itu, dia sudah merasa menjadi ahli, bahkan
merasa bahwa pengertiannya yang baru secuwil tentang kitab suci agama itu, sudah menandingi
pengertian para pendeta agama itu sendiri. Dia merasa seolah-olah dia menjadi seorang petugas suci, seorang pendeta yang menyebarkan ajaran agama itu demi kepentingan manusia. Padahal,
ayat-ayat suci yang harus dipelajari dan harus ditafsirkan secara benar dan tepat itu, dia tafsirkan sendiri menurut kemauan sendiri, disesuaikan dengan keinginan hatinya.
Sikap Siu Coan yang tidak menentang bangsa kulit putih, bahkan kini dia secara terang-
terangan hendak menyebarluaskan agama yang oleh para patriot dianggap sebagai agama bangsa
kulit putih yang jahat, yang telah menyebar racun madat, mendatangkan kecurigaan dan
kekecewaan. Agama baru Kristen itu oleh para patriot juga dianggap sebagai pelajaran yang
mengandung racun. Hal ini tidaklah aneh. Pertama adalah karena pada waktu itu, kenyataan
bahwa orang kulit putih menyelundupkan madat yang meracuni rakyat, membuat semua orang
terutama yang berjiwa patriot, membenci orang kulit putih dan tidak percaya kepada mereka. Hal ini mengakibatkan kecurigaan sehingga apapun yang dimasukkan oleh orang kulit putih, juga
agama mereka, merupakan sesuatu yang beracun, enak memang, akan tetapi merusak badan dan
batin ! Ke dua adalah karena pada waktu itu, agama oleh para pedagang kulit putih itu memang dijadikan senjata untuk menaklukkan orang-orang pribumi, melunakkan sikap mereka,
memperoleh kepercayaan mereka. Dapat dibuktikan menurut catatan sejarah betapa semua
negeri yang akhirnya menjadi jajahan kaum kulit putih, sebelum mengenal bedil orang kulit
putih, lebih dahulu mengenal agama mereka. Sudah menjadi kenyataan pula bahwa masuknya
kompeni atau serdadu orang-orang barat itu selalu dipelopori dengan masuknya para pendeta
sebagai pembuka jalan.
Di dunia ini terdapat banyak sekali agama atau pelajaran kebatinan yang tujuannya
sebenarnya hanya satu, yakni : menuntun manusia agar hidup dengan bersih, dalam arti kata tidak saling mengganggu, bahkan saling menolong, memperbesar nyala api cinta kasih antara manusia
dan melenyapkan kebencian, iri hati, permusuhan dan sebagainya. Tidak ada satupun di antara
agama-agama itu yang mempunyai tujuan buruk ! Namun, baiknya agama tidak menjamin
baiknya manusia. Bahkan manusia sendirilah yang menentukan apakah agama yang dianutnya
itu benar-benar menjadi obor dan petunjuk kebersihan hidup ataukah sebaliknya. Manusia yang
menentukan karena manusia adalah kehidupan ini. Agama adalah agama, tidak baik tidak buruk,
suatu pelajaran hidup, makanan rohani juga obat batin. Baik buruknya tergantung si pemakai,
ialah manusia. Penggunaan yang benar dari manusia dapat membuat agama sebagai penyedar batin yang
menyeleweng, sebagai obor penyuluh bagi batin yang menderita, penuntun bagi manusia yang
makin menjauhkan diri dari pada Alam dan pencipta-Nya. Akan tetapi sebaliknya, penggunaan
yang keliru dari manusia dapat saja membuat agama menjadi penimbul kemunafikan, menjadi
bahan bentrokan antara agama, menjadi pembangkit kesombongan dan ketinggian hati karena
merasa diri paling bersih, paling benar dan paling suci. Hal ini bukan sekedar dongeng,
melainkan kenyataan yang dapat kita lihat setiap hari di sekeliling kita, bahkan di dalam batin kita sendiri.
Ketidaksenangan yang timbul di kalangan para anggauta Thian-te-pang yang masih setia
terhadap Ma Pangcu, membuat mereka curiga dan teliti mengikuti gerak-gerik Siu Coan. Dan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
260 akhirnya mereka melihat bahwa jalan hidup pemuda itu jauh dari pada bersih ! Pemuda itu
bahkan tidak segan-segan untuk melakukan kejahatan-kejahatan. Pernah mereka melihat
bayangan pemuda itu memasuki gedung seorang hartawan dan pada keesokan harinya, tersiar
berita bahwa hartawan itu kehilangan benda-benda berharga ! Dan pernah pula di sebuah kota
terjadi penculikan-penculikan wanita cantik dan pada keesokan harinya wanita-wanita itu
kedapatan tewas di dalam hutan. Dan di antara para anggauta pernah melihat Siu Coan pada pagi hari keluar dari dalam hutan itu !
Memang tidak mungkin dapat menangkap pemuda itu pada saat dia melakukan kejahatan,
tidak mungkin menangkap basah karena pemuda itu amat lihai. Akan tetapi, mereka menjadi
semakin curiga. Terutama sekali Ma Ki Sun. Diam-diam kakek ini lalu mengadakan hubungan
dengan para pendekar dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ada pendekar yang mengenal Siu Coan sebagai murid dari datuk iblis Thian-tok !
Diam-diam Ma Pangcu mengumpulkan murid-murid utamanya dan mengundang tokoh-
tokoh persilatan, di antaranya dua orang hwesio Siauw-lim-si dan dua orang tosu Kun-lun-pai.
Mereka lalu mengadakan pertemuan di sebuah kuil Siauw-lim-si di belakang Bukit Kijang Putih,
tanpa setahu Siu Coan.
"Ong Siu Coan memang memiliki ilmu silat yang amat lihai dan lagaknya seolah-olah dia
benar-benar hendak menghimpun kekuatan untuk meruntuhkan kekuatan penjajah. Akan tetapi
sepak terjangnya sungguh berlawanan dengan lagaknya. Banyak hal pada dirinya yang amat
meragukan dan mengkhawatirkan, karena itu kami mengundang para suhu dan totiang untuk
membantu kami memecahkan persoalan ini."
"Bicaralah, pangcu. Kamipun sudah banyak mendengar tentang orang she Ong itu," kata
Giok Cin Cu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang berpakaian tosu.
"Pertama sekali yang perlu diketahui adalah kenyataan bahwa Ong Siu Coan adalah
murid datuk sesat Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia, yang pernah menyamar
sebagai Siauw-bin-hud dan merampas pusaka kami Giok-liong-kiam. Bahkan sekarangpun yang
melarikan pusaka itu adalah murid pertamanya yang bernama Koan Jit, hal ini kita semua sudah
mendengarnya."
"Omitohud ?"". !" Seorang di antara tokoh Siauw-lim-pai berseru kaget. "Jadi anak
murid Thian-tok sekarang menkadi pemimpin Thian-te-pang " Sungguh berbahaya !"
"Ke dua, dia tidak memusuhi orang kulit putih, bahkan condong untuk bersahabat dengan
orang kulit putih. Sutenya, murid ke tiga dari Thian-tok, kabarnya bahkan telah menikah dengan seorang gadis kulit putih. Ini merupakan bukti bahwa dia sama sekali tidak memusuhi orang
kulit putih yang jelas merupakan ancaman bagi keselamatan bangsa."
Mereka yang mendengar keterangan ini mengangguk-angguk maklum. Tidak ada
seorangpun di antara para patriot itu yang setuju dengan membanjirnya orang kulit putih di kota-kota yang telah dibuka oleh keputusan Kaisar Tao Kuang yang ketakutan terhadap penyerbuan
orang kulit putih itu.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
261 "Ada hal lain yang amat berbahaya," kata pula Ma Ki Sun, sekali ini sengaja hendak
membakar hati para hwesio Siauw-lim-pai dan para tosu Kun-lun-pai. "Ong Siu Coan kini
melakukan kegiatan menyebarkan agama baru dari orang kulit putih, bahkan dia berani menghina
agama-agama kita, mengatakan bahwa Agama Buddha dan Agama To merupakan agama
tersesat."
"Siancai .......... !" seru para tosu Kun-lun-pai.
"Omitohud .......... !" para hwesio Siauw-lim-pai juga berseru marah.
Demikianlah, para tokoh itu lalu mengambil keputusan untuk menentang Ong Siu Coan
dan mengenyahkan pemuda itu dari Thian-te-pang agar perkumpulan ini tidak dibawa
menyeleweng ke jalan sesat. Siasat diatur dan waktu telah ditentukan.
Dengan dalih merayakan ulang tahun perkumpulan mereka, Ma Ki Sun berhasil
membujuk Siu Coan untuk menyetujui diadakannya perayaan sederhana sambil mengundang
para tokoh persilatan yang menjadi sahabat Thian-te-pang. Siu Coan sama sekali tidak tahu
bahwa ketika perayaan itu tiba saatnya, Ma Ki Sun sudah membuat persiapan yang amat matang.
Para muridnya telah diberi tahu dan murid-murid itupun mempengaruhi para anggauta sehingga
sebagian besar para anggauta Thian-te-pang sudah maklum bahwa pemuda yang lihai itu sama
sekali tidak cocok untuk menjadi pemimpin perkumpulan mereka. Selain itu, juga para tokoh
persilatan yang hadir sebagai tamu, semua adalah sahabat-sahabat Ma Ki Sun yang sudah siap
turun tangan membantu kalau keadaan memaksa.
Di tengah-tengah perayaan itulah Ma Ki Sun bangkit berdiri dan mengumumkan kepada
semua anggauta bahwa mulai hari itu, Thian-te-pang harus kembali ke jalan benar. "Sudah
beberapa bulan lamanya perkumpulan kita melakukan penyelewengan-penyelewengan dan semua
hal ini harus dihentikan. Hal ini terjadi setelah Ong-sicu memimpin kita, oleh karena itu,
mengingat bahwa Ong-sicu bukan merupakan anggauta Thian-te-pang, mulai hari ini kami semua
minta kepada Ong-sicu untuk mengundurkan diri dan jangan mencampuri urusan Thian-te-pang
kami." Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah diduga oleh Siu Coan. Wajah pemuda ini
menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang kepada
ketua Thian-te-pang itu. Diapun bangkit berdiri dan dengan sikap tenang dia berkata, "Apakah ini berarti bahwa Ma-pangcu menantangku untuk mengadu kepandaian ?"
"Sama sekali bukan begitu," jawab Ma Ki Sun. "Kami semua tahu bahwa sicu memiliki
kepandaian tinggi. Akan tetapi sicu bukan anggauta kami, dan kalau sicu hendak memaksakan
kehendak menjadi pimpinan kami, hal itu berarti bahwa sicu sebagai orang luar hendak memaksa
diri menguasai kami. Kalau benar demikian, terpaksa kami seluruh anggauta Thian-te-pang akan bangkit dan menentang sicu sebagai orang luar yang hendak mengacau perkumpulan
kami !" Siu Coan marah sekali dan dia melayangkan pandangannya kepada mereka yang hadir.
Kaget juga hatinya ketika melihat betapa semua anggauta Thian-te-pang berkumpul di situ dan
kebanyakan dari mereka telah bangkit dan siap menentangnya dengan pandang mata
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
262 Bermusuhan ! Bahkan dia melihat pula para hwesio dan tosu yang hadir, dari perkumpulan-
perkumpulan persilatan besar, sudah siap pula membela tuan rumah.
"Omitohud, kalau Thian-te-pang dikacau orang luar, pinceng sekalian sebagai sahabat-
sahabatnya tidak akan tinggal diam !" kata seorang hwesio Siauw-lim-pai.
"Benar, pinto bersama saudara semua juga akan membela Thian-te-pang dari gangguan
orang luar !" kata seorang tosu tinggi kurus yang bermuka kuning.
Siu Coan bukan orang bodoh. Dia tidak gentar menghadapi semua orang Thian-te-pang.
Akan tetapi diapun tahu bahwa tak mungkin dia akan menang menghadapi pengeroyokan mereka
semua, apa lagi diingat bahwa di antara para tamu terdapat tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-
lun-pai yang lihai. Juga, kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dia akan kehilangan rasa suka mereka, padahal dia masih mengharapkan bantuan orang-orang Thian-te-pang, setidaknya para
anggauta yang suka kepadanya dan yang bahkan sudah menerima agama baru yang disiarkannya.
Dalam waktu beberapa puluh detik saja, pemuda yang cerdik ini sudah dapat memutar otaknya
dan diapun tetap bersikap tenang, bahkan dia lalu menjura ke arah Ma KI Sun dan suaranya
terdengar lantang, lembut dan tenang.
"Ma-pangcu, sejak dahulupun aku tidak ingin mengganggu Thian-te-pang, melainkan
hendak memajukan perkumpulan ini. Akan tetapi kalau Ma-pangcu dan para anggauta Thian-te-
pang tidak menghendaki bantuanku, tidak mengapalah. Aku akan mundur sekarang juga. Akan
tetapi, tentu Ma-pangcu dan semua anggauta tidak akan menganggap aku sebagai musuh,
melainkan sebagai seorang sahabat, bukan ?"
Ma Ki Sun sendiri tercengang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu akan demikian
mudahnya mengalah ! Tadinya dia bahkan mengharapkan pemuda itu akan menjadi marah dan
akan memberontak dan melawan agar dia dapat mengeroyoknya bersama para anggauta dan para
tamu yang lihai agar dia dapat membasmi pemuda yang lihai dan berbahaya ini. Akan tetapi
siapa kira, pemuda itu bersikap demikian mengalah dan lunak sehingga tentu saja tidak ada
alasan baginya untuk mengeroyoknya ! Terpaksa dia balas menjura kepada pemuda itu.
"Tentu saja Ong-sicu tetap menjadi sahabat kami, karena bagaimanapun juga, maksud
sicu memimpin perkumpulan kami adalah baik walaupun sepak terjang sicu tidak cocok dengan
pendirian kami." Dia masih mengharapkan agar pemuda itu membantah sehingga ada bahan
untuk saling bertentangan. Akan tetapi, pemuda itu tersenyum, menjura dan duduk lagi sambil
mengucapkan terima kasih ! Melihat sikap pemuda ini, tentu saja para tamupun tidak ada yang
dapat mencela, bahkan ada di antara mereka yang diam-diam memuji sikap pemuda itu yang
dianggap tahu diri dan tidak mencari keributan. Karena sikap pemuda ini, maka tidak terjadi
peristiwa sesuatu di dalam pesta dan semenjak hari itu, Siu Coan meninggalkan Thian-te-pang
dengan aman, sama sekali tidak mau memancing keributan. Memang pemuda ini pandai bukan
main. Dengan sikapnya ini, maka kelak akan banyak di antara para anggauta Thian-te-pang yang mau masuk menjadi anggauta perkumpulan baru yang didirikannya, yaitu perkumpulan yang
diberinya nama Pai-sang-ti-hui (Perkumpulan Pemuja Tuhan), sebagai suatu perkumpulan yang
memeluk Agama Kristen, akan tetapi yang di dalamnya mengandung cita-cita untuk
meruntuhkan kekuasaan Mancu yang menguasai tanah air.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
263 Pulau yang tidak begitu jauh dari daratan besar itu disebut Pulau Layar karena dari jauh
bentuknya seperti layar sebuah perahu besar dan berwarna hitam. Letaknya di lautan kuning,
kurang lebih hanya tiga li dari daratan. Para nelayan mengenal pulau ini sebagai pulau kecil milik seorang hartawan she Tang, akan tetapi tidak ada nelayan berani mencoba mendekati pulau itu karena hartawan itu terkenal memiliki banyak anak buah yang galak dan kejam, juga mereka
itu terkenal sebagai orang-orang yang pandai ilmu silat, terutama sekali ilmu dalam air. Pernah ada tiga orang nelayan muda yang terlalu berani, mencari ikan dekat pulau itu. Karena daerah ini jarang didatangi para nelayan, maka perairan di dekat pulau mengandung banyak ikan.
Tiba-tiba sebuah perahu kecil hitam meluncur dekat dan dua orang muda yang tampan
menegur para nelayan itu. Melihat bahwa yang mengganggu mereka hanya dua orang pemuda
yang kelihatan tampan dan bertubuh kecil, tiga orang nelayan muda yang kuat-kuat itu tidak
takut, bahkan membantah sehingga terjadi percekcokan. Tiba-tiba dua orang pemuda tampan
dalam perahu hitam itu berloncatan ke dalam air, menyelam dan tak lama kemudian, perahu
nelayan itupun terbalik dan tentu saja tiga orang nelayannya ikut tercebur ! Mereka diseret ke bawah permukaan air dan akhirnya dua orang di antara mereka tewas, yang seorang berhasil
menyelamatkan diri membawa cerita menyeramkan tentang pulau itu dan para penghuninya yang
galak dan kejam.
Pulau layar ini memang dihuni oleh seorang hartawan yang kaya raya bernama Tang Kok
Bu atau yang lebih terkenal lagi di dunia persilatan sebagai seorang datuk sesat berjuluk Hai-tok (Racun Lautan), seorang di antara Empat Racun Dunia yang terkenal itu. Hai-tok Tang Kok Bu
di waktu dahulu adalah seorang datuk sesat yang menguasai lautan, menjadi raja di antara para bajak laut. Pekerjaan ini mendatangkan hasil bajakan yang amat besar dan setelah usianya
semakin tua, Hai-tok menghentikan kegiatannya dan hidup di Pulau Layar sebagai seorang
hartawan yang kaya raya.
Hai-tok sudah kehilangan isterinya semenjak puterinya masih kecil, anak tunggal ini
bernama Tang Ki dan setelah kematian isterinya, Hai-tok hidup secara yang tidak wajar. Dia
menerima murid-murid yang terdiri dari pria-pria yang tampan, pemuda-pemuda remaja yang
ganteng dan mulailah kehidupannya sebagai seorang homo, seorang kakek yang suka bermesraan


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pemuda-pemuda tampan. Hanya seorang di antara muridnya yang tak pernah
diganggunya walaupun murid ini tampan juga, yaitu murid pertamanya yang sejak kecil bersama
puterinya telah dilatihnya. Karena sejak kecil menjadi muridnya, maka Lee Song Kim, demikian nama murid itu, selain memiliki ilmu yang lihai, juga dianggap seperti anak sendiri sehingga Hai-tok tidak pernah mengganggunya. Murid-murid lain diambil murid setelah menjadi pemuda
remaja dan mereka ini tidak memperoleh latihan ilmu silat yang terlalu tinggi, melainkan lebih banyak bertugas sebagai pelayan-pelayan dan juga penghibur-penghibur. Tidak kurang dari
tigapuluh orang murid yang tampan-tampan yang menjadi pelayan dan anak buah ini dan selain
puteri tunggalnya, Tang Ki, tidak ada seorangpun wanita lain yang tinggal di pulau itu !
Pada pagi hari itu, Hai-tok Tang Kok Bu sudah berada di luar gedungnya yang indah, di
halaman luar gedungnya dan nampak dia marah-marah. Suaranya lantang ketika dia memarahi
belasan orang pemuda ganteng yang berlutut di atas tanah, di depan kakinya. "Kalian ini
memang manusia- manusia tolol yang tiada guna !" bentaknya berkali-kali dan belasan orang
anak buah atau juga muridnya itu berlutut dengan muka pucat dan tubuh gemetar. "Masa
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
264 mencari satu orang saja, sampai berbulan-bulan pergi menghabiskan banyak biaya, belum juga
berhasil !"
Memang menakutkan kalau Hai-tok sedang marah-marah. Kakek yang usianya sudah
kurang lebih tujuhpuluh tahun ini bertubuh tinggi besar dengan muka merah, pakaiannya mewah
dan seperti pakaian hartawan kota saja. Sepasang matanya yang besar itu melotot dan mukanya
yang merah itu menambah kebuasannya. Dia marah-marah karena belasan orang murid pilihan
ini gagal setelah berbulan-bulan meninggalkan pulau dan berpencaran untuk mencari jejak
seorang yang bernama Koan Jit, murid pertama Thian-tok yang melarikan pusaka Giok-liong-
kiam. Pagi hari itu mereka pulang ke Pulau Layar dan membawa laporan bahwa mereka gagal
menemukan orang yang mereka cari-cari.
"Percuma saja kalian kuberi makan enak, kuberi pakaian indah-indah, kuberi kehidupan
yang mewah dan mulia di sini, bahkan menjadi murid-muridku ! Kini diberi satu macam tugas
saja tidak becus melaksanakan dengan baik. Mau bicara apa kalian ?"
Seorang di antara mereka, yang tertua, berusia kurang lebih duapuluh empat tahun,
agaknya memberanikan diri mewakili saudara-saudaranya dan berkata, "Mohon suhu sudi
mengampuni teecu sekalian karena sesungguhnya teecu sekalian telah mati-matian mencari jejak
Koan Jit itu. Akan tetapi, suasana di selatan amat kacau dan teecu menduga dia berada di daerah selatan yang tadinya kacau dilanda perang madat, suhu. Dalam keadaan kacau-balau dengan
banyaknya pejuang, teecu menemukan kesukaran, bahkan kalau bertanya-tanya, kadang-kadang
teecu dicurigai orang, disangka mata-mata orang kulit putih."
"Huh, alasan kosong ! Sialan benar kalian !" Kakek tinggi besar itu tetap marah-marah
dan pada saat itu terdengar seruan nyaring.
"Ayah sendiri yang bersalah, mengapa menyalahkan mereka ?"
Hai-tok menoleh dan memandang marah kepada puterinya. Akan tetapi, kemarahan
terhadap puterinya selalu dikekangnya. Mana mungkin dia marah kepada anak tunggalnya yang
amat disayangnya itu " Seorang gadis berusia kurang lebih delapanbelas tahun muncul. Gadis
ini memang puteri atau anak tunggal Hai-tok, akan tetapi dalam hal berpakaian, ia tidak seperti ayahnya yang selalu berpakaian mewah. Tidak, gadis ini sama sekali tidak mengenakan pakaian
mewah, bahkan mukanya tidak dirias terlalu menyolok. Pakaiannya ringkas walaupun terbuat
dari bahan yang bagus. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh kenakalan, wajahnya selalu
berseri dan mulut itu selalu tersenyum. Manis bukan main karena di tepi mulutnya terdapat
sebuah tahi lalat hitam kecil yang menjadi pemanis. Dengan sikap manja gadis yang bernama
Tang Ki itu mendekat dan menghampiri ayahnya, lalu menggandeng tangan kakek itu.
"Sudahlah, ayah. Kalau ayah sering marah-marah, ayah akan jatuh sakit lagi. Bukankah
sebulan yang lalu, karena sering marah-marah, ayah pernah jatuh sakit parah ?" Sikapnya manja akan tetapi juga kelihatan sayangnya terhadap orang tua itu.
"Huh, Kiki, bagaimana engkau malah menyalahkan ayahmu " Mereka ini yang tolol,
tidak becus ! Engkau tidak tahu betapa pentingnya Giok-liong-kiam itu bagiku !"
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
265 "Tentu saja salah ayah sendiri. Mereka ini orang-orang macam apa maka ayah beri tugas
sedemikian beratnya " Sejak dulupun aku sudah mengatakan bahwa biarlah aku saja yang
melakukan penyelidikan terhadap Koan Jit. Harap ayah ingat. Koan Jit adalah murid pertama
Thian-tok. Mereka ini akan mampu berbuat apakah terhadap dirinya ?"
"Benar apa yang dikatakan sumoi, suhu !" Tiba-tiba muncul pula seorang pemuda dari
dalam gedung megah itu. Pemuda ini usianya kurang lebih duapuluh tahun. Wajahnya tampan
dan pakaiannya mewah seperti gurunya, bahkan pesolek karena rambutnya disisir halus, mukanya
seperti ada bekas bedak lamat-lamat. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang
sarungnya indah terukir dan diberi ronce-ronce merah di gagangnya, di pinggang depan terselip sepasang pisau belati. Kuncirnya yang tebal hitam itu jelas bekas diminyaki licin, dan berbau harum. Pakaiannya seperti orang pelajar, akan tetapi karena dia membawa pedang dan pisau
belati, jelas bahwa dia seorang yang tidak lemah. Inilah dia Lee Song Kim, murid utama Hai-tok yang sejak kecil digemblengnya dan mewarisi banyak ilmunya dan dianggap sebagai putera
sendiri. Karena itu, biarpun tidak semanja Tang Ki atau yang biasa disebut Kiki, pemuda ini
berani mencampuri percakapan antara ayah yang sedang marah dan puterinya itu. Kalau murid
lain, seorang di antara pemuda-pemuda tampan yang menjadi anak buah pula, sampai
bagaimanapun tidak akan berani selancang itu karena salah-salah mereka akan dipukul mampus !
"Si Koan Jit itu tentu lihai sekali. Kalau sumoi dan teecu yang berangkat, tentu kami
berdua akan mampu menemukannya dan sekalian merampas Giok-liong-kiam untuk suhu !" kata
pula pemuda itu setelah dengan gerakan cepat dia tiba di dekat Hai-tok dan Kiki.
"Kurasa tidak perlu kalian berdua pergi, salah seorang saja," kata Hai-tok.
"Tapi, suhu, kalau kami pergi berdua, teecu dapat membantu sumoi dan sekalian
melindunginya. Harap suhu ingat bahwa murid pertama Thian-tok itu tentu lihai bukan main dan berbahayalah kalau sumoi pergi seorang diri saja ?""."
"Suheng, jangan lancang kau ! Aku tidak minta bantuanmu, juga tidak butuh
perlindunganmu !" Kiki merajuk dan bersungut sambil melirik marah ke arah pemuda itu. Lee
Song Kim tersenyum senang. Sejak kecil mereka berangkat bersama, berada di satu tempat dan
berlatih silat bersama-sama sehingga di waktu kecil mereka berdua itu merasa saling suka seperti kakak beradik saja. Akan tetapi setelah mereka dewasa, Lee Song Kim merasakan ada perobahan
dalam hatinya. Dia kagum dan terpikat oleh kecantikan dan kemanisan wajah sumoinya, dan
timbul gairahnya melihat betapa sumoinya itu kini berobah menjadi seorang gadis yang makin
hari makin nampak molek dan memikat hati. Apa lagi setelah dia mulai berkenalan dengan
wanita ketika dia meninggalkan pulau dan bermain-main dengan para nelayan dan para penghuni
di dusun-dusun dekat pantai. Dia membanding-bandingkan para wanita pelacur yang dikenalnya,
wanita dusun pantai yang dihubunginya, dengan sumoinya dan nampaklah oleh matanya bahwa
sumoinya itu jauh lebih menarik dan menang dalam segala hal ! Mulailah dia tergila-gila dan
diam-diam dia merindukan sang sumoi dan mengharapkan kelak sumoinya itu akan menjadi
isterinya. Dengan demikian, bukan saja dia akan mendapatkan seorang isteri yang cantik jelita, juga gagah perkasa dan boleh diandalkan, melainkan juga dapat mewarisi harta peninggalan yang amat banyak dari gurunya kalau guru yang menjadi ayah mertua itu meninggal kelak !
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
266 "Aih, sumoi, aku bermaksud baik. Koan Jit adalah murid pertama Thian-tok, tentu lihai
dan berbahaya sekali. Baru kalau kita maju berdua, banyak harapan akan dapat membekuk dia
dan merampas pusakanya. Tidakkah benar demikian, suhu " Apakah suhu akan merelakan dan
tega melihat sumoi pergi sendirian dan kelak berhadapan dengan Koan Jit lalu mengalami
celaka " Kalau ada teecu di sampingnya, teecu akan membelanya dengan taruhan nyawa !"
"Phuahh ! Lagaknya !" Kiki kembali menegur. "Jangan kaupandang rendah aku,
suheng ! Kaukira aku ini anak kecil yang perlu kaujaga " Hemm, lihat saja. Akulah yang
berhasil merampas Giok-liong-kiam !"
"Kiki, kukira pendapat suhengmu ada benarnya. Terlalu berbahaya kalau engkau pergi
seorang diri. Memang kepandaianmu sudah cukup untuk menjaga diri, akan tetapi menghadapi
murid utama Thian-tok, engkau harus hati-hati. Kalau kalian maju berdua, aku tanggung kalian takkan kalah. Kepandaian Thian-tok dan aku seimbang. Hanya mungkin engkau kalah
pengalaman dan kalah latihan, mengingat bahwa murid Thian-tok yang pertama itu sudah jauh
lebih tua. Sebaiknya kalau engkau pergi berdua dengan suhengmu."
"Ah, aku tidak suka pergi berdua !" kata Kiki merajuk.
"Kalau begitu, biarkan teecu yang pergi, suhu, dari pada membiarkan sumoi terancam
bahaya." Sang guru mengangguk-angguk dan melihat ini, Kiki cemberut lalu pergi ke dalam
kamarnya. Percakapan dengan puteri dan muridnya itu membuat hati Hai-tok terhibur sehingga
kemarahannya mereda dan hal ini menyelamatkan para murid yang baru pulang itu dari
kemarahan dan hukuman selanjutnya.
Setelah memperoleh ijin dari gurunya, Song Kim lalu membuat persiapan untuk
berangkat besok pagi-pagi meninggalkan Pulau Layar. Dia mengumpulkan belasan orang murid
yang baru pulang pagi tadi dan mendengar keterangan mereka tentang hasil penyelidikan mereka.
Menurut penuturan mereka, jejak Koan Jit menuju ke selatan dan lenyap di antara kekacauan
yang terjadi karena perang madat di selatan. Keterangan ini membuat Song Kim mengambil
keputusan untuk melakukan penyelidikan ke selatan pula.
Malam itu sunyi di pulau itu. Hai-tok telah tidur nyenyak ditemani dua orang murid atau
anak buah yang baru pulang pagi tadi. Sesosok bayangan berkelebat dengan cepat sekali keluar dari gedung itu melalui sebuah jendela kamar. Itulah bayangan Kiki yang sudah berpakaian
ringkas, menggendong sebuah buntalan berisi pakaian. Dengan gerakan yang amat lincah, gadis
itu memandang ke kanan kiri yang sudah sunyi. Ia tahu bahwa di depan gedung, seperti biasa,
terdapat beberapa orang murid yang melakukan penjagaan secara bergilir. Maka iapun lalu
meloncat dan berlari cepat ke arah belakang gedung keluarganya, melompati pagar tembok di
belakang kemudian, di bawah sinar bulan, ia terus lari memutar menuju ke pantai di mana
perahu-perahu milik mereka berada.
Ia tahu bahwa di tempat ini juga terdapat beberapa orang murid berjaga, menjaga perahu-
perahu mereka kalau-kalau ada orang luar yang mendarat di pulau mereka. Ia tahu dengan pasti di mana mereka berjaga. Ia ingin pergi dengan diam-diam karena kalau sampai ketahuan
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
267 ayahnya, tentu ayahnya akan menahannya. Ayahnya terlalu sayang kepadanya sehingga tidak
akan membiarkan ia pergi seorang diri saja. Kalau ia sudah dapat keluar dari pulau, maka
amanlah, ayahnyapun tidak akan dapat menyusulnya karena ia boleh mengambil jalan ke
manapun tanpa meningalkan jejak di atas air. Sekali ini, ia tidak ingin mencoba untuk pergi
dengan perahu tanpa setahu para penjaga. Hal ini akan sukar sekali dan sebelum ia berlayar jauh, tentu para penjaga sudah melihatnya. Maka, iapun lalu dengan cepat menyembunyikan buntalan
pakaiannya, kemudian dengan santai ia menghampiri tempat jaga. Ada tiga orang murid berjaga
di situ. Tiga orang murid ini tercengang melihat betapa malam-malam gadis itu datang ke tempat
penjagaan mereka. Hampir semua murid atau anak buah di pulau itu tentu saja diam-diam
merindukan gadis yang cantik jelita dan yang merupakan satu-satunya wanita di pulau itu, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani bersikap sembarangan, tahu akan kelihaian Kiki. Dan Kiki yang amat manja itu, melihat bahwa para pemuda itu datang ke pulau sudah pemuda remaja dan
hanya menerima latihan silat sekedarnya saja dari ayahnya, tidak mau disamakan dengan mereka
dan tidak sudi disebut suci, melainkan mengharuskan mereka menyebutnya siocia (nona) !
Keangkuhan karena manja dari Kiki ini diikuti pula oleh Song Kim yang minta disebut kongcu
(tuan muda) oleh para anak buah. Tingkah dua orang muda ini diketahui oleh Hai-tok, akan
tetapi didiamkan saja karena kakek inipun melihat perbedaan tingkat dan derajat antara dua orang muda itu dengan anak buahnya.
"Selamat malam, siocia !" tegur mereka ketika melihat munculnya Kiki. Dengan sikap
wajar Kiki mengangguk lalu berkata, "Malam ini aku ingin berjaga di pantai. Kalian berjagalah di depan gedung, memperkuat penjagaan di sana atau kalau kalian lelah, kalian boleh tidur."
"Tapi, siocia .........." Mereka meragu karena peraturan guru mereka amat keras tentang
penjagaan ini. Siapa yang memperoleh giliran jaga, sama sekali tidak boleh meninggalkan
tempat penjagaan.
"Tidak ada tapi ! Aku yang memerintahkan, siapa yang akan melarang " Aku ingin
bergadang dan berjaga di sini malam ini, apakah kalian akan menghalangi aku ?"
Dibentak seperti itu, tentu saja tiga orang itu menjadi pucat dan tergesa-gesa mereka lalu
meninggalkan tempat penjagaan di pantai dan berlari-larian ke tengah pulau. Setelah mereka
pergi, dan ia maklum bahwa mereka tidak akan berani mengganggu ayahnya malam ini dengan
laporan, Kiki cepat mengambil buntalannya dan segera meloncat ke dalam sebuah perahu kecil
hitam setelah melepaskan tali pengikat perahu itu. Tak lama kemudian perahunyapun meluncur
ke tengah lautan setelah didayungnya dan kemudian layar dikembangkan dan menangkap angin.
Sama sekali Kiki tidak tahu bahwa pada saat itu, sesosok tubuh manusia bergantung pada dasar
perahunya, dan wajah orang itu tersenyum menyeringai penuh kepuasan. Orang itu bukan lain
adalah Song Kim !
Kiranya pemuda yang cerdik ini telah dapat menduga akan rasa penasaran di hati
sumoinya dan pergaulannya sejak kecil dengan sumoinya membuat dia dapat mengenal watak
keras sumoinya. Dia dapat menduga bahwa sumoinya mungkin sekali akan mendahuluinya pergi
meninggalkan pulau untuk mencari Koan Jit. Karena itu, diam-diam dia bersembunyi di dekat
pantai tanpa setahu para penjaga. Setelah dia melihat berkelebatnya bayangan sumoinya dari
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
268 jauh, dia makin yakin akan tepatnya persangkaannya. Maka diapun cepat masuk ke dalam air.
Sebagai murid Hai-tok, tentu saja pemuda ini memiliki kepandaian yang luar biasa di dalam air.
Dia dapat bersembunyi di dalam air sampai lama, menggunakan sebatang alang-alang untuk
pernapasan. Dia melihat sumoinya meloncat ke dalam sebuah perahu, diam-diam dia berenang di
bawah permukaan air dan mengikuti perahu itu sampai meluncur dibawa kekuatan angin yang
ditangkap layar dan dia memegangi dasar perahu itu, bergantung dan ikut terbawa oleh perahu.
Tiba-tiba udara yang tadinya terang oleh sinar bulan, kini menjadi gelap. Agaknya ada
awan mendung tebal menutupi sinar bulan. Cuaca di atas permukaan laut menjadi gelap sama
sekali. "Sialan !" Kiki mengomel sambil memandang ke atas di mana awan yang tebal dan amat
lebar bergantung di angkasa menutupi sinar bulan. Akan tetapi ia adalah anak laut dan sudah
biasa berlayar, maka ia dapat mengarahkan perahunya tepat ke barat walaupun bulan tertutup
awan. Cuaca menjadi semakin gelap. Karena Kiki mengenal daerah lautan di situ, iapun tahu
bahwa ia harus berhati-hati karena di daerah ini terdapat beberapa tonjolan batu karang yang
berbahaya. Karena itu, maka iapun duduk mengemudikan perahu dengan hati-hati dan
mencurahkan seluruh perhatiannya. Perahu mulai oleng dan ombak mulai datang. Air laut
memercik ke tubuh perahu mengeluarkan bunyi seperti dendang yang amat terkenal bagi telinga
Kiki. Karena perhatiannya dipusatkan pada kemudi, dan karena suara gaduh air menutupi suara
lain, ia sama sekali tidak tahu bahwa di luar perahu, ada bayangan hitam bergerak merayap
perlahan-lahan memanjat perahunya dan kini bayangan itu tiba di belakangnya. Seperti ada
sesuatu yang memperingatkannya, ia menoleh akan tetapi terlambat karena pada saat itu, dua
buah lengan yang kuat sudah merangkulnya dari belakang dan jari tangan yang terlatih baik
sudah menotok jalan darahnya. Seketika tubuh Kiki menjadi lemas. Biarpun ia masih dapat
melihat dan mendengar dengan baik dalam keadaan sadar, namun ia tidak dapat melihat siapa
orang yang telah menotoknya. Bahkan bayangan orang itupun hampir tidak nampak, demikian
gelapnya cuaca.
Akan tetapi yang membuat gadis ini terkejut setengah mati, bahkan menjadi ngeri
ketakutan adalah ketika tiba-tiba orang itu menindihnya, mendekapnya dan menciuminya dengan
buas dan penuh nafsu berahi ! Hanya terdengar suara ah-ah-uh-uh dari mulut orang itu dan terus menciumi seluruh tubuh dan mukanya, bahkan menggigit bibirnya dengan gemas. Kiki adalah
seorang gadis yang belum pernah berdekatan dengan pria seperti ini, dan biarpun ia sudah banyak membaca tentang itu, juga naluri kewanitaannya yang memperingatkan, namun selamanya belum
pernah ia merasakan hal seperti itu. Ia ingin menjerit, ingin meronta, ingin membunuh orang itu.
Biarpun ia tidak tahu siapa, akan tetapi ia tahu bahwa orang ini tentu seorang laki-laki. Karena tidak berdaya, Kiki menjadi ketakutan dan hampir pingsan karena ia sudah dapat setengah
menduga bahwa laki-laki ini tentu akan memperkosanya dengan buas !
Akan tetapi, tiba-tiba perahu itu oleng keras dan mereka berdua terguling-guling, hampir
terlempar keluar dari dalam perahu. Pria itu mengeluarkan suara menggerutu, akan tetapi
agaknya dia memang tidak ingin dikenal maka tidak mengeluarkan kata-kata, lalu meloncat
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
269 berdiri, melepaskan tubuh Kiki yang tadi ditindih dan dipeluknya. Perahu tetap oleng ke kanan kiri.
Kiki yang rebah miring itu terkejut juga. Badai telah tiba dengan mendadak dan
menyerang perahu ! Bisa berbahaya di daerah yang banyak batu karangnya ini ! Laki-laki itu
agaknya maklum pula. Dengan kuat dia mengemudikan perahu, melawan ombak yang semakin
membesar. Tiba-tiba tubuh Kiki bergulingan ketika perahu miring. Tentu saja Kiki merasa ngeri sekali karena kalau tubuhnya terlempar keluar, tidak ada harapan lagi baginya untuk hidup.
Kalau saja tidak tertotok, dengan ilmunya bermain di air mungkin ia akan dapat menyelamatkan
diri. Akan tetapi totokan itu demikian lihainya sehingga ia tidak mampu bergerak sama sekali !
Biarpun tidak dapat melihat, laki-laki itu, yang tentu para pembaca dapat menduganya,
adalah Song Kim, dapat mendengar gerakan tubuh Kiki yang terguling-guling. Terpaksa dia
melepaskan kemudi dan cepat menyambar tubuh Kiki. Perahu menjadi semakin oleng,
berputaran malah. Laki-laki itu mengeluarkan suara mengguman seperti menyumpah, lalu
memanggul tubuh Kiki dengan lengan kiri dan tangan kanannya cepat menyambar kemudi lagi.
Perahu meluncur lurus, melawan ombak yang makin menghebat.
Denga cepat Song Kim lalu mengikat tubuh Kiki kepada tihang layar. Hal ini dilakukan
sedapat mungkin dengan sebelah tangan saja, kadang-kadang dengan dua tangan akan tetapi
harus cepat memegang kemudi lagi kalau perahunya berputar. Akhirnya dia berhasil juga
mengikat tubuh sumoinya itu pada tiang layar. Lengan, dada, paha dan kakinya dilibat-libat
denga tali yang amat kuat itu, juga dia tidak lupa mengikat tangan gadis itu karena maklum
bahwa kalau sumoinya terbebas dari totokan, tentu akan mampu melepaskan diri kalau kaki
tangannya tidak diikat erat-erat. Tali perahu itu kuat sekali. Bahkan air lautpun dapat ditahannya, maka ikatan pada diri gadis itu luar biasa kuatnya.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
270 Pemuda itu berang dan kecewa bukan main. Nasibnya telah begitu baik sehingga dia
mendapatkan kesempatan yang akan memungkinkan dia memuaskan nafsunya terhadap
sumoinya itu tanpa kelihatan oleh siapapun juga, bahkan tanpa dapat diketahui oleh sumoinya.
Bagaikan makanan, tadi makanan itu telah berada di mulutnya, tinggal mengunyah dan menelan
saja ! Akan tetapi nasib pula yang demikian jahil sehingga makanan itu terpaksa
dimuntahkannya kembali. Tiba-tiba saja ada badai datang menyerang sehingga kalau dia tidak
mengikat tubuh sumoinya pada tiang layar, tentu tubuh itu akan terlempar keluar. Bukan saja
niatnya tadi gagal sama sekali, juga kini dia bahkan harus berusaha keras untuk melawan badai, menyelamatkan perahu dan juga sumoinya, juga dirinya sendiri ! Sialan ! Kalau saja dia tidak menotok sumoinya, kalau saja dia tidak melakukan usahanya memperkosa tadi, tentu kini dengan
mudah dia membebaskan totokannya atas diri Kiki dan mereka berdua akan dapat meloloskan
diri dengan lebih mudah. Tidak seperti sekarang, dia terpaksa mengikat tubuh Kiki agar jangan ditelan air dan harus berjuang amat keras seorang diri agar perahu itu tidak karam. Betapapun juga, dia masih mengandung harapan agar dia dapat segera menyelamatkan perahu dan sumoinya
dari badai, kemudian karena cuaca masih amat gelap, di tempat aman dia masih akan dapat
melanjutkan maksud hatinya yang tadi. Mengingat akan kemungkinan itu, dia menelan ludah dan
mengemudikan perahu dengan amat hati-hati.
Lee Song Kim adalah seorang anak yatim piatu, anak seorang bajak laut yang amat kejam
dan jahat. Ketika dia berumur empat tahun, ayahnya yang juga merupakan seorang pemberani,
bentrok dengan Hai-tok dan inilah kesalahan besar ayahnya dalam kehidupannya. Dia terbunuh
oleh Hai-tok, dan isterinya yang masih muda dan cukup cantik tidak terlepas pula dari
penghinaan Hai-tok terhadap orang yang berani menghinanya. Dia menangkap dan memperkosa
isteri bajak itu, bahkan setelah beberapa hari kemudian dia memberikan wanita itu kepada anak buah bajak laut yang berpesta pora terhadap diri wanita itu sampai tewas. Akan tetapi anak
tunggalnya, yaitu Song Kim, menarik perhatian Hai-tok. Dengan matanya yang tajam datuk sesat ini melihat adanya bakat yang amat baik pada diri anak itu. Maka dia mengampuni anak itu dan mengambilnya sebagai murid. Song Kim yang sama sekali tidak mengetahui asal usulnya,
menjadi murid yang terkasih, bahkan diperlakukan sebagai putera sendiri oleh Hai-tok. Ketika itu, ibu Kiki masih hidup dan Kiki sendiri baru berusia kurang lebih tiga tahun.
Karena hidup di dalam lingkungan orang-orang yang suka bertindak kasar dan kejam,
melakukan segala macam kemaksiatan, dan mungkin juga karena memang pembawaan dan
darahnya, maka semua itu mudah sekali menular pada batin Song Kim. Dia amat cerdik, amat
kejam dan jahat, akan tetapi semua itu disembunyikan di balik tampangnya yang menarik,
sikapnya yang amat ramah dan jenaka. Dan dia memang sungguh tergila-gila kepada Kiki, dia
mencinta Kiki karena sejak kecil bergaul dengan Kiki dan merasa cocok dengan watak gadis itu


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang jenaka periang dan gagah berani. Kalau sekarang dia begitu tega untuk memperkosa gadis
itu adalah justeru terdorong rasa cintanya, menurut batin dan kelicikannya sendiri. Dia
berpendapat bahwa sekali dia berhasil memperkosa gadis itu, tanpa diketahui oleh gadis itu
sendiri, berarti dia telah memiliki kekuasaan atas diri Kiki. Kalau kelak sampai gagal dia akan dapat mempergunakan rahasia ini untuk memaksa Kiki ! Dengan adanya rahasia yang
diketahuinya sendiri itu, bahwa Kiki telah diperkosanya, kelak dia akan dapat memaksa gadis itu untuk menjadi isterinya dan tidak mungkin menjadi isteri orang lain.
Tentu saja seorang pemuda seperti Song Kim tidak sadar sama sekali bahwa cinta kasih
adalah perasaan yang amat halus dan suci, yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh nafsu
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
271 keinginan apapun. Yang diciptakan oleh nafsu-nafsu keinginan hanyalah pengejaran kesenangan
belaka, baik melalui berahi, melalui cita-cita dan sebagainya.
Akan tetapi, nasib agaknya kurang membantu Song Kim pada malam hari itu. Badai amat
besar dan buas, mempermainkan dia dan perahunya sampai berjam-jam lamanya. Dia sendiri
kehilangan arah perahunya, dan hanya mengemudikan perahu dengan satu tujuan, yaitu agar
perahunya tidak sampai karam. Itu saja ! Dia tidak tahu bahwa perahu itu diombang-ambingkan ombak ganas dan diseret jauh ke selatan ! Kegelapan cuaca membuat dia tidak tahu pula bahwa
kini perahunya sebetulnya sudah berada dekat dengan daratan.
"Braaakkkk .......... !!" Tiba-tiba perahunya membentur karang dan demikian kerasnya
benturan itu sehingga hampir saja tubuh Song Kim terlempar keluar perahu ! Dia dapat cepat
meloncat dan kedua tangannya memeluk tihang layar sehingga tubuhnya tidak terlempar. Akan
tetapi, perahunya pecah dan tihang layar itupun hampir roboh, kemudian perlahan-lahan perahu
itu tenggelam ! Tentu saja tidak akan tenggelam seluruhnya, hanya kemasukan air dan akhirnya tentu akan terbalik dan mengambang. Dia berpikir cepat. Dia harus menyelamatkan sumoinya,
akan tetapi juga tidak boleh membuka mulut, tidak boleh membuka ikatan kaki tangan sumoinya.
Dia memang cerdik. Pelukan pada tihang itu diperkuat dan dengan sekuat tenaga, dia menjebol
tihang layar itu dan ketika tihang itu ambruk, dia sengaja merangkul tihang itu dan membawanya meloncat keluar perahu yang mulai miring !
"Byuurrr .......... !" Air muncrat tinggi dan tubuhnya bersama tihang di mana tubuh Kiki
masih terikat disambut ombak. Air itu hangat ! Bukan main gembiranya hati Song Kim. Ini
berarti daratan sudah tidak jauh lagi ! Untung masih ada kelebihan tali untuk mengikat tubuh Kiki tadi, dan kini dia menarik tali ini, lalu berenang ke arah daratan yang dapat dikira-kirakannya melihat arah ombak. Tihang yang kini menjadi balok meluncur dengan tenang
dibelakangnya, dan tubuh Kiki terlentang di atas balok.
Perhitungannya memang tepat. Tak lama kemudian, kakinya menyentuh pasir dan
dengan cepat dia menarik tihang itu ke tepi. Terus diseretnya tihang itu dan melihat kenyataan bahwa dia telah selamat, juga Kiki telah selamat dan masih terikat pada tihang, hampir dia
bersorak kegirangan. Bagaimanapun juga, nasibnya masih baik ! Pada saat itu, malam sudah
hampir berganti pagi. Sudah ada sinar remang-remang dan Song Kim melihat tubuh yang indah
itu terlentang di atas tihang. Pakaian yang basah itu melekat pada tubuh Kiki dan kembali gelora nafsu berahi melanda batin Song Kim. Dia harus bertindak cepat, pikirnya. Sebentar lagi kalau sudah ada sinar menerangi wajahnya, sumoinya akan dapat mengenalnya dan celakalah kalau
begitu. Sumoinya tentu akan melapor kepada suhunya dan jangan harap dia akan dapat hidup
lagi ! Karena terdorong oleh gairah nafsu, juga kegirangan bahwa niatnya akan tercapai, dia lalu
menubruk tubuh di atas tihang itu dan kembali dia melanjutkan perbuatannya di atas perahu,
memeluk dan menciumi muka Kiki yang basah kuyup itu. Kiki sudah terbebas dari totokan,
namun tidak mampu melepaskan diri dari ikatan. Tali yang basah air laut itu demikian kuatnya, seperti masuk ke dalam daging kaki dan tangannya yang terikat, dan makin ia meronta, seperti
semakin kuat saja. Iapun berusaha untuk mencoba melihat orang yang mendekap dan
menciuminya, akan tetapi cuaca masih terlalu gelap untuk dapat mengenal orang itu walaupun
kini dia dapat melihat bahwa bayangan ini tentu seorang laki-laki. Akan tetapi, perbuatan orang itu yang menciuminya dan meraba-raba tubuhnya membuat Kiki yang biasanya gagah berani itu
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
272 tak dapat menahan lagi untuk menjerit sekuat tenaga. Dan karena totokan itu sudah pulih, maka jeritan minta tolong yang mengandung tenaga khikang amat kuat itu terdengar melengking tinggi dan tentu terdengar sampai jauh !
Song Kim terkejut bukan main. Akan tetapi dia menenangkan hatinya. Tak mungkin
jeritan itu dapat terdengar orang lain. Mana ada orang di tepi laut yang demikian sunyinya " Apa lagi waktunya masih demikian pagi, bahkan masih malam dan gelap. Akan tetapi untuk
mencegah agar gadis itu tidak menjerit lagi, dia cepat menotok atau menekan jalan darah di leher Kiki dan gadis inipun tidak mampu lagi mengeluarkan suara.
Akan tetapi sebelum Song Kim dapat melanjutkan niatnya yang keji dan cabul, tiba-tiba
terdengar bentakan suara seorang laki-laki, "Siapakah itu dan apa yang terjadi " Mengapa ada suara wanita menjerit ?"
Song Kim terkejut sekali dan mengangkat muka. Nampaklah seorang laki-laki datang
berlari menghampiri dengan sebuah obor di tangan. Kiranya laki-laki itu yang tadi bicara. Tidak aneh kalau suaranya dapat ditangkapnya, karena tentu angin yang membawa suara itu sampai
dapat terdengar dari jauh.
Hampir dia mengeluarkan suara makian. Niatnya sudah demikian dekat tercapai, ada saja
datang gangguan. Apa lagi obor itu sungguh berbahaya. Kalau dibawa dekat tentu akan
menyinari mukanya dan Kiki akan dapat mengenalnya. Maka diapun cepat melompat dan lari
menyambut orang yang datang membawa obor itu. Kebetulan sekali orang itu datang dari arah
kaki Kiki sehingga gadis ini dapat melihat pria yang membawa obor itu. Seorang pria muda
karena sinar obor menimpa mukanya. Wajah yang gagah. Pakaiannya petani. Seorang petani
muda ! Hatinya penuh kekhawatiran. Apa yang akan dapat dilakukan seorang petani muda "
Dan laki-laki yang menawannya itu agaknya bukan orang lemah, terbukti dari caranya
menotoknya dan juga kegagahannya diperlihatkan ketika melawan badai di tengah lautan.
Celaka, petani muda itu hanya datang mengantarkan nyawa, pikirnya.
Untung bahwa kedua kakinya berada di luar ikatan dan berada di kanan kiri tihang, tidak
di atasnya, dan dara ini dapat menggerak-gerakkan kedua kaki itu karena yang terikat hanya
sampai di lutut. Dengan pengerahan tenaga pada kedua kakinya, Kiki dapat menggerakkan kedua
kaki yang sudah hilang sepatunya itu pada pasir di bawah dan menekan. Ia berhasil ! Tihang itu bergerak. Ia terus mempergunakan kedua kakinya sehingga akhirnya ia dapat membawa tihang
layar itu kembali ke air dan begitu menyentuh air, tihang itupun hanyut dan mengambang ! Lega hati Kiki. Dengan kedua kakinya, ia akan dapat mengatur kesimbangan tihang itu sehingga
tubuhnya akan tetap terlentang di atas tihang dan ia dapat menggunakan kedua kakinya untuk
mendayung sedikit-sedikit pula untuk membuat tihang itu seperti perahu yang meluncur
perlahan-lahan ! Apa saja akan dilakukannya dan akan ditempuhnya asal ia dapat
menghindarkan diri dari laki-laki biadab itu ! Lebih baik diancam bahaya mati di lautan dari pada bahaya di tangan laki-laki itu.
Jilid XII *****
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
273 Akan tetapi, Kiki belum mau mati kelaparan di atas tihang. Kalau tihang itu sampai
hanyut ke tengah, sukarlah baginya untuk dapat mendayung ke pantai hanya dengan kedua kaki
sebatas lutut. Maka diarahkan perahu istimewa itu ke sekumpulan batu karang dan akhirnya
tihang layar itu dapat berhenti melintang di balik batu-batu karang, tidak nampak dari daratan.
Dan dari tempat ia rebah terlentang, kini ia dapat melihat bayangan hitam dua orang yang sedang berkelahi di pantai !
Dapat dibayangkan kemarahan hati Song Kim melihat munculnya laki-laki yang
membawa obor. Dia menganggap bahwa orang itu menjadi penghalang besar, sengaja datang
untuk menganggunya ! Demikianlah ulah orang yang sedang dimabok nafsunya sendiri, yang
sedang mengejar suatu kesenangan. Siapa saja yang menjadi penghalang akan diterjangnya,
tidak perduli orang itu sengaja menghalang maupun tidak sengaja. Semua penghalang, baik
ataupun buruk, salah ataukah tiada, harus dihancurkan ! Dia berlari cepat menyambut dan begitu berhadapan, tanpa banyak cakap lagi diapun menerjang, mengirim pukulan-pukulan maut dengan
dahsyat ! Pukulan-pukulannya itu dilakukan dengan jurus-jurus maut karena Song Kim tidak
mau gagal, tidak mau kepalang tanggung. Lebih cepat membunuh orang ini lebih baik agar dia
tidak sampai terlambat untuk melaksanakan hasrat hatinya terhadap Kiki.
"Heiii .......... !" orang itu berseru kaget bukan main dan membuat gerakan cepat.
"Bressss .......... !!" Kini Song Kim yang terkejut setengah mati. Orang itu dapat
menangkis pukulan-pukulannya dan hanya obornya saja yang terlepas dan padam, akan tetapi
jangankan membunuh orang itu, merobohkannyapun serangannya tadi tidak mampu. Sebaliknya,
tangkisan orang itu terasa amat kuat olehnya sehingga tangannya yang tertangkis sampai tergetar hebat. Jelaslah bahwa orang pembawa obor ini bukan seorang petani biasa seperti nampak pada
pakaiannya tadi, melainkan seorang yang memiliki kepandaian silat inggi dan tenaga sinkang
yang cukup kuat !
Pemuda Pulau Layar ini sama sekali tidak tahu bahwa tidak menyangka bahwa dia
berhadapan dengan orang yang jauh lebih melampaui dugaan-dugaannya, karena dia berhadapan
dengan murid terkasih dari Siauw-bin-hud, tokoh sakti dari Siauw-lim-pai itu. Pemuda itu adalah Tan Ci Kong.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Ci Kong pemuda gemblengan Siauw-bin-
hud itu, menyelamatkan Ciu Kui Eng, puteri tunggal dari orang yang menyebabkan kehancuran
keluarga ayahnya, dari ancaman maut ketika Kui Eng dikeroyok oleh pasukan pemerintah dan
keluarga gadis ini terbasmi habis, rumahnya terbakar gara-gara madat yang menjadi penyebab
keruntuhan keluarga ayahnya. Madat pula yang tadinya mendatangkan kemewahan dan
kekayaan pada keluarga Ciu, dan madat juga yang akhirnya membinasakannya. Setelah
menolong Kui Eng dan berpisah dari gadis itu di luar kota Tung-kang setelah gadis itu yang
tadinya salah paham tahu bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-bin-hud dan telah
menyelamatkannya, Ci Kong lalu berkelana. Dia menjumpai banyak peristiwa yang
menyedihkan sewaktu terjadi perang madat. Dan di dalam pergolakan dan kekacauan yang
terjadi selama tiga tahun itu, Ci Kong bersikap sebagai seorang pendekar sejati. Dia menentang siapa saja yang melakukan kekejaman dan kejahatan, membela yang lemah tertindas. Sesuai
dengan ajaran kakek Siauw-bin-hud, pemuda ini tidak pernah mau melibatkan diri dalam perang
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
274 melainkan bertindak tegas sebagai seorang pendekar pembela keadilan berdasarkan
perikemanusiaan, tidak mencampuri urusan politik dan negara.
Betapapun juga, dia tahu akan segala yang telah terjadi tentang penyerbuan pasukan kulit
putih dan lemahnya kaisar. Diapun tahu bahwa akibat sikap kaisar yang lemah, kaum kulit putih menjadi semakin berani untuk memperlebar jaringan perdagangan mereka yang merusak rakyat,
yaitu perdagangan candu. Hal ini tentu saja berlawanan dengan hati nuraninya, maka beberapa
kali, seorang diri Ci Kong menggunakan kepandaian untuk mencuri sejumlah besar candu dan
membakarnya di dalam hutan.
Pada malam hari itu, semalam suntuk dia berjaga di pantai karena dia mendengar bahwa
ada usaha kaum penyelundup untuk menyelundupkan sejumlah candu dengan perahu dari kapal
orang kulit putih dan mendarat di pantai sunyi itu. Dia bermaksud untuk merampas candu itu dan membakarnya atau membuangnya ke lautan. Akan tetapi, datang badai mengamuk sehingga
ngeri juga rasa hati Ci Kong melihat gelombang lautan mengganas seperti itu. Dia
membayangkan dengan hati ngeri betapa para nelayan yang pada malam hari itu kebetulan berada
di tengah lautan tentu sedang berjuang mati-matian melawan amukan badai, bahkan dengan hati
penuh iba dia membayangkan pula perahu yang dihadangnya itu, perahu yang kabarnya akan
menyelundupkan candu dari kapal orang kulit putih. Ketika mendapat kenyataan bahwa tidak
ada sebuahpun perahu yang mendarat malam itu, dia menduga bahwa tentu perahu penyelundup
itu karam oleh badai, atau mungkin juga membatalkan pelayaran. Dia menanti sampai hampir
pagi, berlindung di dalam sebuah guha di antara batu-batu besar dari hembusan angin badai yang keras, dan menerangi guha itu dengan sebuah obor.
Kemudian, tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita. Terkejutlah hatinya ketika
mendengar jerit yang datangnya dari pantai itu. Tentu ada perahu yang berhasil dihempaskan
badai ke pantai, pikirnya. Dan tentu orang-orang itu membutuhkan pertolongan. Dia lalu
membawa obor dan meloncat ke luar guha, berlari menuju pantai sambil berteriak menanya siapa
yang berada di pantai dan mengapa ada suara wanita menjerit.
Karena pandang matanya silau oleh sinar obor yang dipegangnya sendiri, dan cuaca masih
amat gelap, maka Ci Kong hanya remang-remang melihat seorang laki-laki meloncat bangun dan
di bawah seperti ada wajah seorang wanita. Akan tetapi dia tidak sempat memperhatikan karena tiba-tiba saja laki-laki itu menyerangnya dengan dahsyat. Dia terkejut bukan main. Serangan itu bukan serangan sembarangan saja, melainkan pukulan-pukulan yang amat dahsyat dan
berbahaya. Dari angin pukulannya saja tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang
berilmu tinggi. Maka diapun cepat bergerak melakukan elakan dan tangkisan. Demikian
hebatnya serangan orang itu sehingga obornya terpental, terlempar dan padam. Akan tetapi dia berhasil menghindarkan serangan maut itu dengan tangkisan-tangkisan dan mendapat kenyataan
ketika lengannya bertemu dengan lengan penyerang itu bahwa penyerangnya memiliki dan
menggunakan tenaga sinkang yang kuat dalam penyerangannya tadi.
Selain terkejut dan heran mendapat seorang lawan yang demikian tangguhnya di tempat
sunyi ini, hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, Song Kim juga menjadi penasaran dan
marah sekali. Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
275 "Keparat yang bosan hidup !" bentaknya dan diapun sudah menyerang lagi, kini
menggunakan sepasang belati yang selalu terselip di pinggangnya !
Pendekar Cacad 9 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Jodoh Si Mata Keranjang 5
^