Pedang Pembunuh Naga 12

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 12


dari Loteng Merah...."
"Dan kemudian?"
"la telah pergi tak kembali. Suhu menunggu sehingga bertahun-tahun lamanya dan akhirnya mati di bawah tangan kejam Orang Berbaju Lila."
"Kalau begitu To-liong Khiam Khek sudah mengecewakan hatinya!"
"Tetapi suhu tidak membencinya. Sepuluh tahun lamanya ia merana, ia hanya sesalkan nasibnya sendiri yang tidak beruntung. Ia masih percaya bahwa kekasihnya itu pasti akan kembali....."
"Tetapi ia toh tidak kembali....."
"Ya, aku pernah beranikan diri berkata kepada suhu, seorang lelaki yang tidak setia kepada anak istrinya, mungkinkah setia terhadap diri perempuan lain" Tetapi segera digebah oleh suhu. Suhu masih percaya kekasihnya itu pasti menemukan halangan di luar dugaan. Jikalau tidak pasti tidak akan mengingkari janji."
Hui Kiam diam-diam berpikir. Dahulu ketika Orang Berbaju Lila menggunakan dirinya untuk menyampaikan pesan kepada Penghuni Loteng Merah, menurut keterangannya, ayah Hui Kiam karena hendak menuntut balas kepada Manusia Teragung, akhirnya dimusnahkan kepandaiannya, dibutakan kedua matanya dan ditawan dalam goa di puncak gunung batu itu dengan demikian sudah tentu tidak bisa
menepati janji Penghuni Loteng Merah. Apakah karena itu maka ibunya timbul salah paham dan dianggapnya ayahnya itu menyia-
nyiakan dirinya dan oleh karena itu pula lalu timbul bencinya, sehingga dalam pesan-pesannya yang terakhir minta ia membunuhnya" Kemungkinan ini ada, juga merupakan keterangan satu-satunya.
Karena berpikir demikian, maka rasa benci terhadap ayahnya telah lenyap seketika. Apa yang menyedihkan ialah ibuuya sehingga pada saat kematiannya masih belum tahu keadaannya yang sebenarnya, sedangkan sang ayah yang dibenci itu pada sepuluh tahun kemudian binasa di tangan Orang Berbaju Lila....
Oleh karena itu pula, rasa bencinya terhadap Orang Berbaju Lila semakin tebal. Musuh terhadap perguruannya, musuh terhadap ibunya telah tertumpuk pada dirinya.
Apa sebab Orang Berbaju Lila harus membunuh Penghuni Loteng Merah"
Ia mengaku merupakan sahabat akrab dengan Hui Kiam, tetapi mengapa harus dibunuh sekalian"
Apakah di dalam ini ada menyangkut soal asmara"
"Nona Siu, apakah maksudnya Orang Berbaju Lila membinasakan suhu dan To-liong Kiam Khek?" demikian ia coba mencari keterangan dari Siu-bie.
"'Entahlah!"
"Umpamanya, suhumu sebelum berkenalan dengan To-liong Kiam Khek apakah pernah berkenalan dengan lelaki lain?"
"Suhu pernah berkata, dalam seumur hidupnya ia cuma kenal dan jatuh cinta kepada To-liong Kiam-khek seorang saja!"
"Tetapi perbuatan Orang Berbaju Lila itu tentu ada sebabnya?"
"Ya, namun ia tidak mau mcnjelaskan, sedangkan aku sendiri juga tidak mempunyai pegangan untuk menduga-duganya."
"Aku akan berusaha supaya hal ini dapat kubikin terang. Nona Siu, dewasa ini lebih baik kau jangan menjumpainya lagi."
"Mengapa?"
"Maafkan aku harus berkata terus terang, kau masih bukan tandingannya."
"Ya, tentang ini aku tahu, tetapi musuh suhu adalah merupakan yang terbesar, bagaimana aku boleh tinggal diam begitu saja?"
"Aku sendiri dengan dia juga mempunyai permusuhan sangat dalam. Satu hari kelak ia pasti akan mendapatkan balasannya yang setimpal."
Siu-bie menghela napas panjang. Air mata mengalir berlinang membasahi kedua pipinya.
Hui Kiam benar-benar ingin balik kembali ke ruang bawah tanah kuil tua untuk menyelesaikan persoalan dengan Orang Berbaju Lila. Tetapi ia segera teringat bahwa perbuatan itu pasti akan mendapat rintangan dari Orang Tua Tiada Turunan dan Ie It Hoan.
Sedangkan ditilik dari peristiwa yang terjadi di Wisma Pahlawan, pengaruh Orang Berbaju Lila itu sebetulnya tak boleh dipandang ringan. Untuk menghadapi Persekutuan Bulan Emas, menghindari bencana yang mengancam dunia rimba persilatan merupakan salah satu tenaga yang cukup kuat. Karena itu maka untuk menyelesaikan persoalan pribadinya sendiri itu, terpaksa harus menunggu sampai lain waktu.
Karena berpikir demikian maka ia lalu berkata kepada Siu-bie:
"Nona Siu, sampai bertemu lagi, karena masih ada urusan aku hendak jalan lebih dahulu!"
Siu-bie menggerakkan bibirnya, tapi tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, akhirnya baru dapat mengeluarkan perkataan:
"Silahkan!"
Jantung Hui Kiam bergoncang. Seolah-olah hendak menyingkir dari bahaya ia cepat-cepat berlalu, karena dari sikap dan mata Siu-bie, ia dapat merasakan pikiran gadis itu. Sekarang terhadap soal wanita ia mencoba menghindarkan diri sedapat mungkin, sebab Tong-hong Hui Bun dan Cui Wan Tin sudah cukup memusingkan kepalanya, bagaimana ia berani melibatkan diri dalam urusan perempuan lagi"
---ooo0dw0ooo---
JILID: 24 IA sekarang berada di persimpangan jalan. Pergi ke Makam Pedang lebih dulu dan kemudian ke gereja Siao-lim-sie, ataukah balik ke kota Lam-sia untuk mencari Tong-hong Hui Bun"
Selagi masih belum dapat mengambil keputusan, tiba-tiba terdengar suara orang perempuan memanggilnya:
"Siangkong, berhenti dulu!"
Hui Kiam terpaksa berhenti. Dari dalam rimba muncul keluar sesosok bayangan manusia.
Orang itu bukan lain dari pada pelayan perempuannya Tong-hong Hui Bun.
Untuk sesaat lamanya Hui Kiam berdiri tertegun. Ia tidak tahu bagaimana harus berbuat. Pelayan perempuan itu setelah memberi hormat lalu berkata:
"Siangkong, tidak disangka di sini aku akan menjumpai kau."
"Ada urusan apa?" bertanya Hui Kiam dingin.
"Budakmu telah mendapat perintah majikan, untuk mencari kau."
"Mencari aku ?"
"Ya, budakmu mendapat perintah mengundang siangkong."
"Sungguh kebetulan, aku justru hendak mencari dia. Mari tunjukkan jalan."
Pelayan perempuan itu setelah mengucapkan perkataan baik, lalu lari ke dalam rimba.
Hui Kiam mengikuti di belakangnya. Otaknya masih terbayang peristiwa panggung Lui-tay, wisma pahlawan, bangkai manusia telanjang dan jebakan wanita cantik.
Ia sudah mengambil keputusan bahwa segala persoalan itu, hari ini harus dibereskan.
Setelah melalui rimba lebat sepanjang kira-kira lima pal tibalah di kaki bukit. Di depan matanya segera terbentang sebuah bangunan rumah yang indah berikut pekarangan dan taman bunga yang beraneka warna.
Pelayan itu menghentikan kakinya dan berkata:
"Sudah tiba."
Hui Kiam juga berhenti. Tiba-tiba seorang lelaki berbaju hitam lari di sampingnya dan menyesapkan segulung kertas ke dalam tangannya....
Pelayan perempuan itu segera berpaling dan menegurnya:
"Siapa?"
Orang berbaju hitam itu sudah berada sejauh tiga tombak, tetapi ketika mendengar teguran itu segera menyahut sambil menundukkan kepala:
"Tecu peronda di bawah perintah anggota pelindung hukum!"
"'Kau berani mati, berani berjalan sembarangan di tempat ini!"
"Ya, teecu tahu salah!"
"Hem! Hati-hati jiwa anjingmu, pergilah!"
"Ya!"
Orang berbaju hitam itu segera berlalu tanpa menengok lagi.
Hui Kiam merasa curiga. Orang berbaju hitam mengaku sebagai peronda terhadap pelayan perempuan itu menyebut dirinya teecu, sikapnya menunjukkan ketakutan sedangkan pelayan wanita itu sendiri hanya merupakan seorang pelayan. Kalau begitu, kedudukan Tong-hong Hui Bun dalam persekutuan itu pasti sangat tinggi.
Tempat apakah ini" Apa yang disesapkan dalam tangannya oleh orang yang berbaju hitam itu tadi"
Hui Kiam tidak sempat untuk memikirkan jawabannya, pelayan itu sudah berkata lagi:
"Siangkong tunggu sebentar, budakmu hendak mengabarkan kepada majikan supaya keluar menyambut."
Setelah pelayan itu berlalu Hui Kiam membuka gulungan kertas yang ada di tangannya ternyata terdapat tulisan yang berbunyi: "Toako, harap berdiri tegak dergan pendirianmu. Ingatlah kepentingan rimba persilatan!"
Hui Kiam segera mengerti itu adalah perbuatan Ie It Hoan. Ia segera menghancurkan kertas itu diam-diam memuji keberanian dan kecerdikan saudara angkatnya itu.
Sementara itu Tong-hong Hui Bun sudah muncul berjalan menghampiri dirinya.
Hui Kiam seolah-olah terpagut ular, sesaat lamanya ia berdiri tertegun.
Tong-hong Hui Bun masih tetap cantik seperti biasa, hanya saat itu seperti diliputi oleh kekesalan hatinya. Hal ini sedikit banyak telah mempengaruhi kecantikannya.
Hui Kiam sedapat mungkin menindas perasaannya yang tergoncang hebat. Ia berkata dengan nada suara dingin:
"Enci, tak disangka kita berjumpa di sini!"
"Ya, memang benar ada saat kejadian di luar dugaan. Mari kita masuk."
Hui Kiam pada saat itu, karena pikirannya terpengaruh oleh kejadian yang baru saja dialami maka terhadap kekasihnya itu, seperti merasa asing lagi.
Hui Kiam menutup rapat mulutnya. Memasuki rumah yang indah ini, apa yang disaksikannya benar-benar di luar dugaannya. Perlengkapan perabot rumah itu sangat sederhana. Jika dibandingkan dengan istana yang dahulu dibakar oleh Orang Berbaju Lila, perbedaan itu bagaikan langit dan bumi.
"Duduklah!"
Hui Kiam duduk di salah satu kursi warna hijau.
Pelayan wanita itu setelah menyuguhi the wangi lalu mengundurkan diri.
Tong-hong Hui Bun lama memandang Hui Kiam kemudian baru berkata dengan suara dingin:
"Adik, sejak kau terkena racun dedaunan dan kemudian kecebur ke dalam sungai di jembatan panjang, tak sekejap pun aku melupakan dirimu. Hari ini adalah pertemuan kita pertama kali sejak kau mengalami kejadian itu."
Disebutnya kejadian yang sudah lampau itu, Hui Kiam tergoncang. Lagi ia menindas perasaan itu katanya dengan tenang:
"Ya, untung Tuhan masih melindungi, sehingga aku tidak mati...."
"Tahukah kau bahwa ada orang merusak perhubungan kita?"
"Ini harus dilihat pendirian orang itu!"
"Adik, kau sudah berubah."
"Yang berubah mungkin enci sendiri!"
"Adik, kau agaknya penasaran"."
Perkataan itu justru mengenakan persoalan yang ada di dalam hati Hui Kiam, maka ia lalu berkata:
"Tentang ini aku tidak menyangkal semuanya!"
Bola mata Tong-hong Hui Bun nampak berputaran kemudian berkata:
"Andaikata hari ini bukan pelayanku yang menjumpai kau...."
"Aku justru sedang mencari kau!"
"Kalau begitu kebetulan sekali, kita berdua boleh bicara terus terang!"
"Inilah yang kuharapkan!"
"Adik, pertama jawablah pertanyaanku, apakah di dalam hatimu masih ada aku?"
Sinar matanya yang tadi begitu dingin kini telah berubah sangat menggiurkan. Pandangan matanya itu, sesungguhnya mengandung daya penarik yang luar biasa. Hati Hui Kiam berdebaran, otaknya yang semula diliputi oleh kabar kecurigaan kini mulai buyar lagi. Terapi budi pekertinya masih amat kuat dan sifatnya yang tinggi hati dan sombong, saat itu juga menguasai dirinya, maka ia segera menjawab dengan tenang:
"Ada, sehingga pada saat kita berpisahan di atas jembatan panjang itu, sedikitpun tidak berubah!"
"Dan sekarang?"
"Kalau mau dikata tergoncang, itu adalah karena kau sendiri yang menjadi gara-garanya."
Paras Tong-hong Hui Bun menunjukkan beberapa kali perubahan, tetapi ia tidak meyatakan apa-apa. Ini suatu bukti betapa tenang pikirannya untuk menghadapi semua itu. Lama sekali ia baru membuka suara:
"Aku pernah berkata mungkin aku salah, belum mulai sudah melakukan kesalahan!"
Salah apakah yang dimaksudkan" Hubungan antara dia dan Hui Kiam ataukah".
Hui Kiam tidak dapat menduga maksud yang terkandung dalam perkataan perempuan cantik itu. Hakekatnya pada saat itu ia juga sudah tidak mempunyai pikiran untuk mengenali ucapannya itu. Maka ia segera berkata:
"Enci, aku tahu bahwa enci pernah menjadi Taycu di atas panggung Lui-tay yang didirikan oleh Persekutuan Bulan Emas?"
"Benar!"
"Tahukah kau apa latar belakangnya?"
"Sudah tentu tahu!"
"Kau sudah tahu bahwa itu adalah satu perbuatan terkutuk, bukan" Mengapa kau masih melakukannya?"
Dengan tenang dan acuh tak acuh Tong-hong Hui Bun menjawab:
"Ada satu alasan yang harus kulakukan!"
"Alasan apa?"
"Aku adalah salah satu anggota Persekutuan Bulan Emas. Aku mendapat perintah untuk melakukan pekerjaan itu!"
Hui Kiam tercengang, tetapi ia tidak merasa heran. Dari segala tanda-tanda dan tindak-tanduknya memang sudah tahu bahwa Tong-hong Hui Bun mempunyai hubungan dengan Persekutuan
Bulan Emas. Sekarang hanya dibuktikannya dan diakuinya sendiri saja. Maka ia segera mengerti pesan Ie It Hoan. Dalam tulisannya ia mengatakan supaya ia berdiri teguh dengan pendiriannya: kebenaran dan kejahatan memang tak bisa hidup bersama-sama. Ia takut karena urusan pribadinya sehingga melupakan kepentingan umum.
Ia juga merasa bahwa pergaulan antara mereka mungkin keliru, tetapi perasaan itu menimbulkan penderitaan bagi dirinya, sebab cintanya kepada perempuan itu memang setulusnya dan sekarang kedua pihak harus saling berdiri berhadapan sebagai musuh.
Di masa yang lampau pemimpin Persekutuan Bulan Emas pernah memerintahkan anak buahnya jangan bermusuhan dengannya, semua itu kiranya adalah usul Tong-hong Hui Bun.
Tetapi, mengapa ia paksa orang-orangnya seperti Ko Han San, dan Malaikat Bumi dan Langit, dan beberapa puluh utusan Bulan Emas membunuh diri sendiri" Apa pula maksudnya"
Berpikir demikian ia lalu berkata:
"Tentang kedudukanmu seharusnya aku mengetahui, tetapi...."
"Tetapi apa?"
"Kau pernah memaksa Ko Han San dan lain-lainnya orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam persekutuan untuk membunuh diri, apa sebabnya?"
"Sebab mereka harus mati. Aku hanya menjalankan perintah saja."
"Harus mati?"
"Hem, dalam suatu partay ada mempunyai peraturannya sendiri, negara juga ada undang-undang. Tentang ini kau tidak perlu tahu."
"Kalau begitu kau jadi taycu itu apakah karena terpaksa?"
"Benar!"
Mata Hui Kiam menatap wajah Tong-hong Hui Bun. Sepatah demi sepatah ia berkata:
"Enci, aku nempunyai suatu permintaan!"
Tong-hong Hui Bun juga dengan sikap sungguh-sungguh ia berkata:
"Permintaan apa?"
"Meninggalkan Persekutuan Bulan Emas."
"Itu tidak mungkin!" jawabnya tanpa ragu-ragu.
Hui Kiam tiba-tiba bangkit, wajahnya pucat badannya gemetar.
Tong-hong Hui Bun berkata pula dengan suara parau:
"Bagaimana jikalau aku mintamu menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas?"
"Aku minta kau meninggalkan persekutuan itu hanya mengharap supaya kau meninggalkan lejahatan, tetapi kau memajukan permintaan sebaliknya. Ini toch tidak aturan, bukan?"
Tepat pada saat itu dari belakang mereka terdengar suara orang tua berkata:
"Dalam rimba persilatan memang tidak ada soal peraturan."
Hui Kiam terkejut ia memutar, dan apa yang disaksikannya seketika itu darahnya bergolak jantungnya berdebaran, karena di dekat salah satu pintu, berdiri seorang yang tinggi besar yang mengenakan kerudung.
Orang itu tidak lain dari pada pemimpin Persekutuan Bulan Emas sendiri.
Munculnya pemimpin Bulan Emas secara tiba-tiba itu, sesungguhnya di luar dugaannya.
Pertempuran sengit dan mati-matian yang berlangsung di Wisma Pahlawan terbayang kembali di dalam otaknya.
Pemimpin Bulan Emas itu dengan sinar mata yang tajam menatap Hui Kiam, kemudian mengawasi Tong-hong Hui Bun baru berkata:
"Anak, kau terlalu menuruti hatimu sendiri!"
Tong-hong Hui Bun menundukkan kepala sambil membungkam.
Pemimpin persekutuan itu berdiam sejenak, lalu berkata pula:
"Kau sedang memain aku...." Sekali lagi matanya mengawasi Hui Kiam, lalu berkata pula dengan suara bengis:
"Kau seharusnya siang-siang memberitahukan asal-usulnya kepadaku."
Kalau diperhatikan pembicaraan mereka, antara pemimpin Bulan Emas dengan Tong-hong Hui Bun ada hubungan yang dalam sekali.
Dengan nada suara dingin Hui Kiam berkata:
"Tuan pemimpin, tidak disangka sedemikian cepat kita berjumpa lagi."
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu dengan sinar mata yang dalam, kembali menatap wajah Hui Kiam, lalu berkata dengan suara keren.
"Bocah, tadi aku baru tahu dari budak ini asal usul tentang dirimu...."
"Kau sudah tahu kau mau apa?"
"Aku tidak akan melepaskan kau lagi. Hari ini kau pasti mati."
Hui Kiam sangat murka. Ia berkata dengan suara bengis.
"Apabila nyawaku masih ada, aku juga hendak membunuhmu."
"Tetapi kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi."
Pemimpin Bulan Emas itu perIahan-lahan menghunus pedangnya, Bulan Emas.
Hui Kiam tatkala meraba gagang pedangnya, ia baru ingat bahwa pedangnya terkerat menjadi dua potong, karena tadi malam terpapas oleh pedang lawannya. Sebetulnya antara mereka berdua ilmu pedangnya selisih sedikit sekali, tetapi karena pedang Bulan Emas adalah sebilah pedang luar biasa tajamnya, maka dewasa itu berarti ia menghadapi lawannya dengan tangan kosong. Jika
dengan tangan kosong untuk menghadapi pedang tajam itu, sudah tentu tidak menguntungkan dirinya.
Berpikir demikian ia bergidik sendiri.
Sementara itu pedang Bulan Emas sudah diangkat. Hawa pedang menimbulkan hawa dingin di sekitar ruangan itu.
Hui Kiam yang sudah tiada bersenjata, terpaksa mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya pada dua jari tangannya, siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan ....
Paras Tong Hong Hui Bun sebentar-sebentar berubah. Tiba-tiba ia berkata:
"Ayah!"
Ucapan Tong-hong Hui Bun itu bagaikan palu mengetuk hati Hui Kiam. Ia sungguh tak menduga bahwa Tong-hong Hui Bun adalah anak perempuan pemimpin Persekutuan Bulan Emas. Pantas Ie It Hoan, Orang Tua Tiada Turunan, Orang Menebus Dosa berulang kali memperingatkannya supaya jangan jatuh cinta kepada perempuan cantik itu.
Mengapa mereka tidak mau menjelaskan hubungan ini" Apakah takut setelah dirinya mengetahui keadaan yang sebenarnya akan berbalik di pihak Bulan Emas"
Badan Hui Kiam gemetar. Pantas Tong-hong Hui Bun menolak usulnya untuk meninggalkan Persekutuan Bulan Emas.
Kalau demikian halnya, hubungannya dengan perempuan itu seharusnya lekas diakhiri....
Tetapi manusia bukanlah dewa. Walaupun ia sudah bertekad hendak memutuskan perhubungannya dengan si cantik itu, tetapi begitu berhadapan dengan kenyataannya, ia sudah tidak dapat kendalikan perasaannya sendiri. Betapapun juga, orang susah untuk melepaskan diri dari libatan asmara.
Dengan tanpa disadari matanya melirik kepada Tong-hong Hui Bun....
Hanya sekejap itu saja pedang Bulan Emas dengan kecepatan bagaikan kilat sudah menyerang dirinya.
Hampir saja ia binasa di ujung pedang tajam itu. Tetapi bersamaan pada saat itu, sesuatu kekuatan tenaga dalam meluncur dari sampingnya mendorong dirinya sampai tiga kaki. Dengan demikian ia lolos dari ancaman bahaya.
Orang yang mendorong dirinya itu bukan lain daripada Tong Hong Hui Bun sendiri.
Hui Kiam segera perbaiki posisinya. Serangan meluncur keluar dari dua tangannya.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas menyambut dengan pedangnya. Hembusan angin keluar dari jari tangan itu, menimbulkan suara nyaring. Tubuh pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang tinggi besar nampak mundur terhuyung-huyung.
Kekuatan serangan jari tangan Hui Kiam itu sangat ampuh sekali, dapat menembusi logam dan batu keras. Kalau pedang Bulan Emas itu bukan pedang sakti, sudah pasti akan patah. Tetapi walaupun pedangnya tidak rusak, namun orangnya yang memegang pedang sudah mundur sampai dua langkah. Dapat diduga sampai di mana hebatnya serangan jari tangan itu.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas dengan sinar mata tajam mengawasi Tong-hong Hui Bun, lalu berkata dengan suara bengis:
"Apa artinya perbuatanmu itu?"
"Anakmu... anakmu... tidak dapat mengendalikan perasaan sendiri..." jawab Tong-hong Hui Bun dengan suara gemetar.
"Budak, kau sudah salah satu kali, bagaimana bisa salah lagi?"
"Tetapi...."
"Apakah kau sudah memikirkan akibatnya?"
"Sudah!"
"Kalau begitu kau menyingkirlah!"
"Tidak!"
"'Apakah maksudmu?"
Tong-hong Hui Bun menatap wajah Hui Kiam, lama baru bisa berkata:
"Ayah, ijinkanlah anakmu mengasingkan diri dengan dia, tidak akan muncul lagi di dunia Kang-ouw untuk selama-lamanya!"
Hui Kiam kembali gemetar. Otaknya berpikir keras, perasaannya telah bergolak oleh ucapan itu. Ia sungguh tidak menduga Tong-hong Hui Bun ingin mengasingkan diri dengannya dan tidak mencampuri urusan dunia Kang-ouw lagi ....
Pemimpin Bulan Emas menjawab dengan suara keras:
"Budak, apa kau gila?"
"Tidak, anak sudah berpikir masak-masak. Selama hidup anakmu di dalam dunia ini tidak mendapat kebahagiaan apa-apa, hanya dia"."
"Kau sedang mempermainkan jiwamu sendiri!"
"Sampai mati anak tidak akan menyesal!"
"Budak, tahukah kau sampai batas mana kekuatan tenaga dan kepandaiannya?"
"Ayahmu apabila tidak mengandalkan pedang Bulan Emas ini, masih belum tahu siapa kalah dan siapa menang. Untuk dewasa ini, dalam dunia persilatan sulit untuk mencari orang yang dapat menandingi kekuatannya, apaolagi...."
Apa yang dimaksudkan oleh perkataannya itu tidak dilanjutkan. Percakapan berhenti sampai disitu.
Pada saat itu pesan Ie It Hoan terbayang lagi dalam otaknya Hui Kiam. Semangatnya terbangun. Maka permusuhan perguruannya, permusuhan ibunya dan kepentingan rimba persilatan, telah menguasai dirinya.
Terlintas suatu pikiran hendak kabur karena ia merasakan betapa berat tugas dan kewajiban yang dipikulnya. Ia tidak boleh sembarangan pertaruhkan jiwanya.
Tetapi pada saat itu, pemimpin Bulan Emas sudah melakukan serangannya lagi.
Hui Kiam dengan menggunakan gerakan kakinya yang luar biasa, sudah berada di luar pintu ruangan.
Tetapi sebelum berdiri tegak, pemimpin Bulan Emas sudah mengejar sambil menyerang dengan pedangnya.
Hui Kiam mendorong dengan dua tangannya, melakukan serangan dengan menggunakan gerak tipu Thi Gee Si-koan.
Karena serangan itu dilaksanakan tergesa-gesa, kekuatannya tidak dapat dipusatkan. Hanya karena hebatnya kekuatan tenaga dalam serangan itu, hingga membuat serangan pedang pemimpin Bulan Emas untuk sementara tidak berdaya.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Hui Kiam. Dengan cepat ia melesat keluar. Tanpa pikir lagi segera melarikan diri.
la berlari sepanjang jalanan pegunungan, entah berapa jauh. Setelah di belakang tidak terdengar suara baru berhenti. Ia berpaling, ternyata tidak ada yang mengejar. Ia menarik napas lega, bibirnya menunjukkan senyum getir. Ini adalah untuk pertama kalinya ia lari dari hadapan musuhnya.
Ia tahu peninpin Persekutuan Bulan Emas tentu tidak akan berdiam begitu saja, apalagi mengandalkan senjata pedangnya yang sangat ampuh dengan sendirinya kedudukannya cukup kuat, kalau ia sendiri tidak segera mengambil pedang sakti dari Makam Pedang, sebetulnya tidak sanggup menghadapinya.
Pada saat itu ucapan Tong-hong Hui Bun kepada ayahnya berkumandang lagi dalam telinganya. Pikirannya tergoncang keras. Untuk sesaat lamanya ia berdiri termangu-mangu.
Kecantikan Tong-hong Hui Bun yang bagaikan bidadari terbayang lagi dalam matanya.
Tiba-tiba ia ingat bahwa ia dengan pemimpin Persekutuan Bulan Emas sudah merupakan musuh bebuyutan. Kalau tidak berhasil membunuhnya pasti akan mati terbunuh. Andaikata pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu, pada suatu hari nanti binasa di tangannya, bagaimana perasaan Tong-hong Hui Bun.
Berpikir sampai di situ, perasaan takutnya dan pilu timbul dalam hatinya. Semua itu tidak diperhitungkan olehnya, dan sekarang satu-satunya jalan ialah memutuskan hubungan dengannya....
Lama ia berpikir, akhirnya ia telah mengambil keputusan untuk mengakhiri perhubungannya dengan Tong-hong Hui Bun.
Karena ia sudah mengambil keputusan, pikirannya merasa lega. Ia melanjutkan perjalanannya ke Makan Pedang!
Hari ini, ketika berjalan di bawah kaki gunung Keng-san, tiba-tiba teringat diri ayahnya yang dicelakakan oleh Orang Berbaju Lila bersama Penghuni Loteng Merah. Walaupun ia sendiri belum pernah melihat wajah ayahnya, tetapi hubungan darah daging biar bagaimana masih melekat. Apalagi kalau diingat pedang To-liong Kiam peninggalan ayahnya yang diberikan oleh Orang Menebus Dosa kini telah rusak oleh pedang Bulan Emas, maka ia ingin menengok bekas tempat ayahnya mendapat kecelakaan itu, sekalian untuk menanam pedang itu di tempat tersebut.
Berpikir sampai di sini, ia segera mendaki gunung Keng-san. Di waktu lohor ia sudah di tempat tersebut.
Mengingat dirinya sendiri yang sudah diperalat oleh Orang Berbaju Lila sehingga menjadi pembunuh ayahnya sendiri dan Penghuni Loteng Merah, ia merasa gemas sekali. Ia ingin segera mencari Orang Berbaju Lila untuk membalas dendam.
Tiba di tempat itu ia terkejut, sebab mulut goa yang tertutup oleh batu besar itu ternyata sudah disingkirkan oleh tangan orang.
Siapakah yang membuka tutup dan menyingkirkan batu itu"
Jika ditilik orangnya, orang yang menyingkirkan batu itu pasti menggunakan waktu yang cukup lama. Tetapi apakah maksudnya"
Sejenak ia merasa sangsi. Dengan rupa-rupa pertanyaan dalam hatinya, ia berjalan muncul ke mulut goa ....
Ia sengaja menimbulkan suara. Apabila di dalam goa atau dekat tempat itu ada orang, karena mendengar suaranya pasti akan muncul.
Tiba di depan mulut goa, sesosok bayangan orang tiba-tiba melesat keluar. Hui Kiam terkejut. Ia sudah siap untuk menyerang orang itu. Ketika bayangan orang itu berada di hadapannya lalu berhenti, keduanya seketika itu merasa terkejut.
Ternyata orang yang keluar dari dalam goa itu bukan lain daripada murid kepala Penghuni Loteng Merah Siu-bie.
Hui Kiam yang lebih dulu menegurnya.
"Nona Siu, aku tidak sangka kau berada di sini."
Siu-bie membereskan rambutnya yang terurai di kedua pipinya, lalu berkata:
"Aku juga tak menduga kau datang kemari."
"Apakah batu-batu ini nona yang menyingkirkan dari tempatnya?"
"Ya, aku menggunakan waktu satu malam dan setengah hari dan baru berhasil memindahkan batu ini."
"Apakah nona hendak"."
"Aku bermaksud hendak memindahkan tulang-tulang suhu dan dikumpulkan secara selayaknya!"
"Ow! Apa sudah selesai?"
"Sudah, nah itulah!"
Hui Kiam mengikuti ke arah yang ditunjuk oleh Siu-bie. Benar saja, tidak jauh dari situ ada tanah kuburan yang masih baru. Ia segera bertanya pula:
"Bagaimana dengan tulang-tulang To-liong Kiam-khek?"
"Sungguh aneh, di dalam goa itu hanya ada tulang-tulang suhu, tak terdapat tulang-tulang lainnya...."
Sekujur badan Hui Kiam gemetar. Ia berkata:
"Apa" Di situ tak ada tulang-tulang To-liong Kiam khek?"
"Ya, untuk itu aku melakukan pemeriksaan lama sekali!"
"Ini mana mungkin?"
"Aku juga tak rnengerti. Ketika suhu tiba di dalam gua batu itu, ia pernah mendengar sendiri suaranya To-1iong Kiam khek. Jikalau tidak pasti tidak akan masuk ke gua ini secara gegabah...."
"Ini tak habis dimengerti"."
Setelah itu Hui Kiam lari masuk ke dalam goa. Batu-batu di dalam goa itu masih belum dibersihkan tetapi sudah jelas keadaannya. Di bagian atas banyak yang retak, agaknya bisa roboh di setiap saat.
Goa itu dalamnya kira-kira tiga puluh tombak. Di satu bagian, menunjukkan tempat terjadinya peledakan yang sangat hebat.


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siu Bie ikut masuk ke dalam. Ia berkata sambil menunjuk ke satu tempat:
"Tulang-tulang suhu kudapatkan di tempat ini. Keadaannya masih utuh. Nampaknya waktu terjadi peledakan di mulut goa, mulut goa itu tertutup sehingga suhu mati tidak bisa bernapas...."
Pikiran Hui Kiam sangat kalut. Sudah tentu ia tidak dapat menceritakan kepada Siu-bie bahwa To-liong Kiam Khek itu adalah ayahnya sendiri. Setelah ia melihat keadaan itu sejenak, baru berkata:
"Hal ini kita tidak dapat memikirkan. Nona Siu, sebelumnya kau, apakah ada orang lain yang datang lebih dulu?"
"Tidak, tumpukan batu ini semua aku yang menyingkirkan."
"Bukankah ini sangat aneh?"
"Rasanya ada satu kemungkinan."
"Kemungkinan apa?"
"Apakah siaohiap pernah perhatikan bahwa dalam gua ini ada terdapat banyak cabang jalanan?"
"Ah?"
"Lihatlah, di sini ada satu jalan dalam goa ini tidak besar, telah tertutup oleh runtuhan batu yang tidak dapat digeser oleh tenaga manusia mungkin To-liong Kiam-khek terkubur dalam lobang goa ini...."
Sekujur badan Hui Kiam dirasakan kaku. Sedapat mungkin ia menindas perasaannya dan menahan jangan sampai menitikkan air mata!
"Ya, kemungkinan itu memang ada."
Hui Kiam merasa sedih, karena di masa hidupnya ia belum pernah melihat ayahnya, dan sesudah binasa tidak menemukan tulangnya.
Siu-bie agaknya dapat menduga ada apa-apa dalam hati pemuda itu, maka lalu berkata:
"Mengapa siaohiap agaknya sangat memperhatikan To-liong Kiam Khek?"
"Tidak apa-apa, hanva tertarik oleh perasaan aneh saja," jawab Hui Kiam membohong.
"Jadi dari jauh siaohiap datang kemari, apakah hanya lantaran tertarik merasa heran saja?"
Pertanyaannya itu hampir Hui Kiam tidak bisa menjawab, tetapi karena sudah tak ada lain jalan, ia terpaksa membohong terus. Sambil menepuk pedang di pinggangnya ia berkata:
"Kedatanganku ini, sudah tentu bukan tidak ada sebabnya"."
"Bolehkah siaohiap memberitahukannya kepadaku?"
"Belum lama berselang, sahabatku telah memberi hadiah pedang ini. Pedang ini bernama To-liong Kiam, katanya adalah peninggalan To-liong Kiam Khek yaug dahulu biasa digunakannya"."
"Ow! To liong Kiam."
"Beberapa hari berselang, waktu aku bertempur dengan menggunakan pedang ini, pedang ini telah rusak di tangan musuh. Maka kedatanganku kemari ini hendak mengubur pedang ini bersama pemiliknya."
Dengan perasaan heran Siu-bie mengawasi pedang Hui Kiam, lalu berkata:
"Pedang ini kau dapat dari tangan siapa?"
"Dari Orang Menebus Dosa!"
"Orang Menebus Dosa" Nama julukan ini aku belum pernah mendengarnya. Bagaimana macamnya orang itu?"
"Menyesal sekali, aku sendiri juga belum pernah bertemu muka dengannya. Ia adalah seorang yang sangat misterius. Pedang ini dihadiahkan kepadaku melalui tangan orang lain."
"Dengan cara bagaimana senjata To-liong Kiam Khek bisa berada di tangan Orang Menebus Dosa itu?"
Tentang ini bagi Hui Kiam sendiri juga masih merupakan suatu pertanyaan maka ia tak dapat menjawabnya:
"Di masa hidupnya mereka adalah sahabat akrab, tetapi sampai di mana hubungan mereka, aku sendiri juga tidak tahu!"
Siu-bie menggeleng-gelengkan kepala, tidak berkata apa-apa.
Hui Kiam tiba-tiba ingat suatu soal yang sangat penting, lalu berkata:
"Nona Siu, tempo hari tergesa-gesa ada suatu hal aku lupa menyatakan kepadamu."
"Siaohiap katakan saja!"
"Suhumu Penghuni Loteng Merah dengan Hiat-ie Nio-cu mempunyai hubunban apa?"
"Guru dengan murid!"
"Ow! Pantas saja hendak mencari Orang Berbaju Lila untuk membuat perhitungan. Kabarnya Sucomu masih mempunyai seorang anak wanita?"
"Ya, ia bernama Pek-leug-lie Khong Yang Hong!"
"Di mana anak perempuannya itu berada?"
"Sudah menghilang!"
"Apa tidak pernah dengar kabar?"
"Suco sudah mengasingkan diri sudah duapuluh tahun lamanya, sedangkan anak perernpuannya menghilang pada lima belas tahun berselang, sehingga kini tidak ada kabar beritanya."
"Kenapa?"
"Kabarnya pada lima belas tahun berselang Kang Yang Hong dengan Siao-lim-sie timbul perselisihan."
"Apakah munculnya kembali Sucomu ke dunia Kang-ouw hanya hendak mencari anak perempuannya?"
"Ya!"
"Ia bagaimana hendak bertindak selanjutnya?"
"Kabarnya Suco sudah berangkat menuju ke Siao-lim-sie!"
"Ow!"
Hui Kiam terperanjat mendengar kabar itu. Dengan adatnya seperti Hiat-ie Nio-cu itu, kedatangannya ke Siao-liem-sie pasti akan menimbulkan pertumpahan darah hebat. Sedangkan Pek-li Khong Yang Hong itu merupakan pemilik tusuk konde berkepala burung Hong mungkin juga adalah pembuuuh ibunya. Dengan demikian, sudah tentu ia tidak membiarkan Hiat-ie Nio-cu berbuat sesukanya. Meski hati Hui Kiam pada saat itu amat gelisah, tetapi di luarnya tenang-tenang saja.
Sebentar kemudian, ia sudah mengambil keputusan hendak mendahului Hiat-ie Nio-cu ke gereja Siao-lim-sie untuk mencari di mana adanya Pek-leng-lie.
Ia lalu bertanya kepada Siu-bie:
"Sudah berapa lama Sucomu pergi ke Siao-liem-sie?"
"Belum lama, kira-kira satu jam berselang!"
Hui Kiam menarik napas lega. Ia yakin dapat mengejar. Matanya mengawasi lubang cabang gua yang tertutup oleh batu itu. Memang benar agaknya susah dibuka oleh tenaga manusia, maka niatnya hendak mencari tulang-tulang ayahnya sudah tidak mungkin lagi. Ia lalu berkata:
"Nona Siu, harap kau suka menyingkir. Aku hendak mengubur pedang ini dan menutup goa!"
Siu-bie menganggukkan kepala dan berjalan keluar ....
Setelah Siu-bie berlalu Hui Kiam baru meloloskan pedangnya. Dengan sikap yang menghormat sekali ia meletakkan pedang itu ke tanah kemudian berlutut. Sambil menangis bercucuran air mata ia berkata sendiri:
"Ayah, anakmu bila dapat menuntut balas bagi ayah! Anakmu juga tidak mampu melindungi pedangmu serta tidak mengubur jenazahmu secara baik-baik. Dosa ini besar sekali, semoga ayah hendak mengampuni!"
Sehabis berdoa ia berbangkit dan berjalan keluar. Tiba di luar gua ia lalu mengangkat tangannya menyerang ke mulut gua sehingga mulut gua itu tertutup rapat lagi.
Selesai melakukan itu baru meninggalkan tempat itu".
Selagi hendak berjalan, Siu-bie menghampiri dan berkata kepadanya:
"Apakah siaohiap hendak pergi sekarang juga?"
"Ya, nona Siu sampai berjumpa lagi."
"Siaohiap"."
"Nona Siu masih ada pesan apa lagi?"
Kedua pipi Siu-bie nampak merah. Ia berkata dengan suara tidak lancar:
"Siaohiap agaknya masih belum melupakan kejadian waktu pertama kali aku berlaku kasar terhadap siaohiap di hadapan Loteng Merah!"
"Aku sama sekali tiada bermaksud demikian."
Dimatanya Siu-bie terlintas sinar aneh. Dengan sikap kemalu-maluan ia tersenyum dan berkata:
"Kalau begitu mengapa tergesa-gesa hendak pergi?"
Hati Hui Kiam tergerak, tetapi ia pura-pura tidak mengerti.
"Harap nona sudi memaafkan, karena aku masih ada urusan yang sangat penting, lain waktu saja kita bicara lebih banyak!"
Setelah itu, ia menunduk memberi hormat dan lari turun gunung.
Siu-bie mengawasi berlalunya pemuda itu sambil menghela napas panjang.
Hui Kiam bukan tidak tahu isi hati gadis itu, tetapi bagaimana ia berani bermain api" Cui Wan Tin mempunyai kedudukan penting dalam hati ini, sedangkan Tong-hong Hui Bun membuat hatinya patah....
Setelah meninggalkan gunung Keng-san, ia lari menuju ke lembah Cok-beng-gan. Ia harus berusaha untuk membujuk dan menyadarkan Cui Wan Tin supaya dapat mengambil pedang sakti, jikalau tidak ia pasti akan binasa di tangan pemimpin Bulan Emas.
Dengan berjalan siang malam tanpa istirahat, akhirnya ia tiba di Makam Pedang.
Keadaan di situ tidak terdapat perobahan hanya tiada orang Persekutuan Bulan Emas yang merintangi. Hui Kiam memandang ke arah barisan batu ajaib. Jantungnya berdentang keras. Perkataan
Cui Wan Tin yang penuh kasih sayang, agaknya masih berkumandang dalam telinganya.
Dengan putusnya hubungan dengan Tong-hong Hui Bun, sekarang Cui Wan Tin merupakan kekasih satu-satunya. Ia akan mencintai dirinya dengan setulus hati.
Setelah melalui danau dingin, ia tiba di hadapan barisan batu ajaib.
Kedatangannya segera disambut oleh Cui Wan Tin secara tidak terduga-duga.
Hui Kiam merasa sangat gembira, tetapi juga gugup.
"Adik Tin, kau baik-baik saja?"
Cui Wan Tin mengangkat kepalanya, parasnya nampak pucat.
"Engko Kiam, akhirnya kau kembali."
Hui Kiam memeluk dirinya dan mengelus-elus pipinya, seraya berkata:
"Adik Tin, kau nampak kurus."
Muka Cui Wan Tin mengembang air mata tapi ia masih bisa tersenyum. Jawabnya dengan suara parau:
"Engko Kiam, kau pergi juga membawa hatiku. Tahukah kau betapa sukarnya aku melewati hariku sepanjang masa itu?"
Cinta kasihnya dan perhatiannya terhadap pemuda itu, telah ditumpahkan semua dalam ucapannya yang sangat singkat itu.
Hati Hui Kiam merasa tidak enak, sebab kedatangan ini hanya untuk mengambil pedang sakti. Datangnya secara tergesa-gesa, perginya begitu juga. Baru saja berjumpa ia terpaksa harus berpisah lagi. Ini agaknya akan membawa kedukaan lebih hebat baginya.
"Adik Tin, mari kita masuk untuk bicara."
Cui Wan Tin melepaskan diri dari pelukan Hui Kiam. Mereka berjalan bergandengan. Setelah berada di dalam kamar batu, mereka duduk berendapan.
"Engko Kiam, kau tentunya sudah lapar, biarlah aku masak nasi dulu untukmu...."
"Tidak usah! Di jalanan aku tadi sudah makan, sekarang masih belum lapar. Ada suatu hal ingin kurundingkan denganmu!"
"Hal apa?"
Hui Kiam merasa susah membuka mulutnya tetapi tidak boleh tidak ia harus menyatakan. Maka akhirnya ia berkata:
"Tentang pedang sakti itu!"
Paras Cui Wan Tin berubah. Pikirannya sangat kalut. Parasnya yang sudah pucat bertambah pucat.
"Adik Tin, kau kenapa?" bertanya Hui Kiam. Cui Wan Tin menangis tersedu-sedu, lama baru berkata:
"Engko Kiam, apakah kedatanganmu ini semata-mata hanya karena pedang sakti ini?"
"Adik Tin, aku tidak menyangkal, tetapi cintaku terhadap dirimu masih seperti sediakala!"
"Engko Kiam, aku tidak perlu ribut denganmu tentang soal ini. Sekalipun hatimu berubah akupun tetap mencintai dirimu. Sekalipun dunia akan kiamat cintaku ini takkan berubah."
"Adik Tin, begitu pula aku."
"Baiklah, engko Kiam kedatanganmu ini karena semata-mata pedang sakti itu pasti ada syaratnya?"
"Ya, dengan terus terang aku membutuhkan."
"Engko Kiam, aku tidak dapat melanggar perintah ayah. Kalau kau menghendaki jiwaku, aku akan menyerah kepadamu tanpa ragu-ragu, tetapi pedang ini"."
"Adik Tin, hitung-hitunglah pinjam untuk sementara, setelah kupakai nanti kukembalikan!"
"Aku tidak bisa terima. Seandainya pemiliknya datang aku tak dapat menyerahkan bagaimana?"
Hui Kiam menghela napas panjang. Ia tidak berdaya menghadapi kekasihnya yang kukuh dengan pendiriannya itu.
"Sebetulnya siapakah yang berhak memiliki pedang sakti itu?"
"Aku juga tidak tahu!"
"Setidak-tidaknya kala itu ayahmu pasti meninggalkan pesan!"
"Itu memang ada!"
"Nah, bolehkah kau beritahukan kepadaku?"
"Engko Kiam, aku seharusnya memberitahukan kepadamu, tetapi pesan ayah tidak boleh dilanggar. Harap kau suka memaafkan."
Hui Kiam menggaruk telinga, ia berkata:
"Adik Tin, jika aku kata bahwa aku adalah orang yang berhak memiliki pedang sakti itu"."
"Kau"!"
"Ya!"
Cui Wan Tin nampak sangat heran. Ia berkata:
"Engko Kiam, aku terhadap kau selalu berlaku jujur dan tulus hati, tetapi kau jangan mempermainkan aku!"
"Tidak, apa yang kukatakan adalah sebenar-benarnya!"
"Aku tidak percaya!"
"Kalau nanti aku menceritakan keadaan yang sebenarnya, kau pasti akan percaya."
"Kau tidak kata apa-apa lagi, di waktu ayah hendak berlalu, hanya meninggalkan pesan, barang siapa yang dapat memberikan barang bukti tanda kepercayaan, pedang itu boleh kuserahkan padanya!"
"Bukti baraog tanda kepercayaan?"
"Ya!"
"Barang tanda kepercayaan apa?"
"Aku tidak dapat memberitahukan kepadamu!"
"Bagaimana dengan ayahmu?"
Cui Wan Tin nampak bersedih, air mata mengalir turun. Katanya:
"Mungkin sudabh tak ada di dalam dunia!"
"Mungkin" Apakah artinya?"
"Di waktu berlalu ayah pernah berkata jikalau dalam satu tahun ia tak balik lagi pasti sudah mengalami pasti buruk, dan sekarang beberapa tahun sudah berlalu."
"Siapakah nama ayahmu?"
Cu Wan Tin lama memandang Hui Kiam, baru menjawab dengan suara gemetar:
"Kim-tee Cui Pin. Ia menjadi kepala dalam barisan Lima Kaisar Rimba Persilatan pada masa itu."
Hui Kiam melompat bangun bagaikan disambar geledek. Katanya dengan suara gemetar:
"Kim-tce Cui Pin?"
Cui Wan Tin juga bangkit dan mundur beberapa tindak. Agaknya dikejutkan oleh perubahan sikap Hui Kiam itu.
"Benar!" demikian jawabnya.
Wajah Hui Kiam nampak berkernyit karena pikirannya tergoncang keras. Lama ia baru berkata:
"Seharusnya aku sudah dapat memikirkan itu, tetapi sudah lupa!"
Paras Cui Wan Tin berubah. Ia berkata dengan suara gemetar:
"Kau seharusnya ingat apa?"
"Tentang dirimu!"
"Kau...."
"Adik Tin, tahukah kau siapa aku ini?"
"Bukankah kau Hui Kiam si Penggali Makam?"
"Aku maksudkan asal-usul diriku."
"Siapa?"
"Aku adalah muridnya To-tee Sun Thian Hiat."
Sekujur badan Cui Wan Tin gemetar. Sekonyong-konyong ia menubruk Hui Kiam dan memegang dua lengannya. Katanya sambil menggoyangkan dua lengan pemuda itu:
:Engkoh Kiam, kenapa dahulu kau tidak menjelaskannya?"
Hui Kiam berusaha menenangkan pikirannya, lalu berkata:
"Sama-sama! Kita tiada kesempatan untuk memberi keterangan!"
Cui Wan Tin berkata sambil memejamkan matanya:
"Ya Tuhan, apakah ini benar?"
Hui Kiam mengeluarkan dua potong uang logam kuno. Ia lalu berkata:
"Adik Tin, kau seharusnya tahu asal-usul uang logam ini?"
Cui Wan Tin ketika menyaksikan benda itu, sekonyong-konyong mundur beberapa langkah dan menyenderkan badannya di dinding. Mulutnya menggumam sendiri:
"Uang logam kuno... benda kepercayaan... pemilik pedang sakti....."
Mata Hui Kiam terbuka lebar. Katanya dengan suara girang:
"Apakah benda ini yang kau tunggu sebagai tanda kepercayaan?"
"Engko Kiam, aku... hampir gila. Bagaimana dalam dunia ada kejadian begini aneh?"
Hati Hui Kiam berdebaran. Apa yang dimaksudkan oleh Cui Wan Tin sebagai pemilik pedang sakti, ternyata adalah dirinya sendiri. Ini sesungguhnya di luar dugaannya. Untung, selama itu, tak terjadi kejadian hebat karena salah paham.
Seandainya Cui Wan Tin kukuh tidak mau menjelaskan keadaannya yang sebenarnya sedang ia sendiri tak berpikir panjang atau ingat tentang uang logam kuno itu lalu memintanya secara paksa, bagaimana akhirnya"
Waktu pertama kali ia masuk ke dalam Makam Pedang, hampir saja binasa di ujung pedang sakti itu. Kalau mengingat itu semua diam-diam ia juga bergidik.
Ia menenangkan kembali perasaannya dan berkata:
"Menuiut aturan aku seharusnya memanggilmu suci."
"Tidak, tidak! Usiamu lebih tua daripada usiaku, sebaiknya kita tetap dengan panggilan semula."
"Adik Tin, duduklah. Tenanglah sedikit."
"Aku, aku bagaimana bisa tenang...?"
"Duduklah, kita bicara dengan tenang."
Keduanya duduk lagi. Mereka saling berpandangan dan tersenyum.
"Engko Kiam, beritahukanlah semua pengalamanmu."
Hui Kiam lalu menceritakan semua pengalamannya sejak ia berguru dengan suhunya. Dan ketika ia menuturkan sampai ke bagian di bawah kaki gunung Tay-hong-san menemukan jenazah Cui Pin ....
Cui Wan Tin lalu menjerit, dan menangis dengan sedihnya. Demikian lama ia menangis. Hui Kiam tahu tidak dapat dicegahnya, maka ia membiarkannya menangis sepuas-puasnya.
Setelah puas menangis, Cui Wan Tin baru berkata dengan suara duka:
"Kalau aku tidak dapat membunuh Orang Berbaju Lila, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!"
"Adik Tin, perkara menuntut balas dendam adalah kewajibanku."
Cui Wan Tin juga tidak membantah. Ia berdiam sejenak, ia lalu berkata pula:
"Kalau begitu, Lima Kaisar Rimba Persilatan sudah meninggal seluruhnya."
"Ya."
"Tadi kau berkata bahwa si-susiok masih ada seorang anak perempuan."
"Ya, ia bernama Pui Ceng Un. Karena tekadnya hendak menuntut balas, telah mengalami nasib sangat menyedihkan"."
"Coba kau jelaskan duduk perkaranya?"
"Ia telah berguru kepada si Raja Pembunuh, seorang yang sudah terkenal dalam golongan orang jahat. Karena harus menurut perintah iblis, ia telah dirusak mukanya...."
"Ah!"
"Belum lama berselang, si Raja Pembunuh itu terbunuh oleh Iblis Singa, sehingga sekarang aku sendiri tak tahu di mana jejak Pui suci itu."
"Kita harus berusaha mencarinya."
"Itu sudah tentu."
"Kau tadi masih menceritakan tentang jarum melekat tulang."
Ya, suhu dengan sisupek mati karena jarum melekat tulang. Tetapi Orang Berbaju Lila tetap mengatakan bahwa dalam pertempuran dengan suhu serta sisupek dahulu mengandalkan kepandaian masing-masing. Ia tidak tahu tentang jarum melekat tulang. Aku telah berusaha dan akhirnya menemukan Jien Ong,
pemilik jarum melekat tulang itu. Tetapi sudah beberapa puluh tahun Jien Ong tidak menginjak kaki ke dunia Kang-ouw lagi. Ia bahkan sudah cukur rambut menjadi padri. Maka soal ini hingga kini masih tetap menjadi persoalan. Tetapi aku sudah bersumpah biar bagaimana aku harus menyelidiki persoalan ini."
"Apakah kau menganggap perkataan Orang Berbaju Lila itu boleh dipercaya?"
"Ia agaknya tak perlu harus menyangkal!"
"Bagaimana dengan kepandaiannya?"
"Hem, hem" dalam rimba persilatan dewasa ini, boleh terhitung salah satu orang terkuat!"
"Apakah kau pernah bertempur dengannya?"
"Ya, tetapi belakangan ini ia nampaknya sengaja menyingkir dariku!"
Selanjutnya lalu Hui Kiam menceritakan bagaimana keadaan rimba persilatan dewasa ini yang sudah bersatu bati dan bertekad hendak menentang usaha Persekutuan Bulan Emas yang hendak menguasai rimba persilatan. Orang-orang yang bertekad maksud itu termasuk juga Orang Berbaju Lila.
Cui Wan Tin menggelengkan kepala dan berkata sambil menarik napas:
"Pertikaian dan pembunuhan dalam rimba persilatan selalu tidak ada habis-habisnya."
Hui Kiam lalu mengalihkan pembicaraannya ke lain soal. Ia berkata:
"Adik Tin, kau juga ceritakan bagaimana pengalamanmu sendiri?"
"Dahulu ayah telah membawa gambar peta yang terdapat dalam kitab Thian Gie Po kip untuk mencari di mana adanya pedang sakti ini. Setelah mengalami berbagai kesulitan, akhirnya menemukan tempat ini. Karena ayah melihat tempat ini letaknya sangat tersembunyi, sangat cocok digunakan untuk melatih pertandingan,
maka bawa ibu dan aku berdiam di sini, kemudian ayah balik seorang diri untuk menghubungi para susiok sekalian."
Berkata sampai di sini, ia berdiam sejenak lalu berkata:
"Tidak lama kemudian ayah pulang seorang diri. Katanya empat susiok tidak ingin meninggalkan usaha-usahanya ladang mereka untuk tinggal di sini bersama-sama. Pedang sakti yang sudah diketemukan itu, untuk sementara dibawah perlindungan ayah. Sebab ayah dan empat susiok tidak pernah menerima murid, apalagi kitab pelajaran ilmu silat mengandung arti yang sangat dalam tidak dapat dipelajari dengan secara mudah, kemudian mereka pikir hendak mencari keturunan seorang murid yang berbakat luar biasa, lalu dididik bersama untuk menyambung keturunan kepandaian Lima Kaisar."
"Jadi para supek sekalian sebelum terjadi peristiwa itu sudah ada maksud mencari murid."
"Pada waktu itu sisusiok telah menunjukkan uang logam kuno yang selalu disimpan dan tidak pernah terpisah dari badannya, menyatakan di kemudian hari apabila menemukan murid yang berbakat, akan diberikan uang logam itu sebagai tanda kepercayaan untuk memiliki pedang sakti ini. Hal ini telah diperhatikan sebaik-baiknya oleh ayah."
"Selanjutnya?"
"Setengah tahun kemudian, ayah pergi menengok para susiok yang mempelajari Thian Gie Po-kip itu. Di waktu pergi, ayah meninggalkan beberapa perkataan untuk aku menjaga diri. Tak disangka kepergian ayah itu ternyata tidak kembali lagi untuk selama-lamanya...."
"Urusan di dalam dunia sesungguhnya memang susah diduga."
"Aku dengan ibu menjaga di tempat ini. Lima tahun kemudian, ibu telah jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Tinggallah aku seorang diri yang harus menuntut penghidupan yang sangat sengsara ini"."
Hui Kiam juga merasa pilu. Ia berkata:
"Adik Tin, untung kau adalah seorang perempuan tabah, kau telah sanggup memikul penderitaan itu."
Air mata Cui Wan Tin berlinang-linang, tetapi ia masih bisa tersenyum. Dengan sikap agak kemalu-maluan ia berkata:
"Untung aku berjumpa dengan engko Kiam. Ini telah berarti memberikan semangat hidup bagiku dengan sesungguhnya. Jikalau bukan karena pesan ayah yang harus menjaga pedang sakti ini, mungkin jiwaku tidak akan hidup sampai sekarang."
"Adik Tin, selama aku masih bernyawa, aku tidak akan meninggalkan kau."
"Engko Kiam."
Begitu girang perasaan Cui Wan Tin. Ia menjatuhkan diri dalam pelukan Hui Kiam. Hui Kiam juga memeluk dirinya erat-erat.
Untuk sementara mereka telah melupakan segala kesengsaraan dan pengalaman getir selama hidupnya. Mereka sedang terbenam dalam lautan asmara.
Seperti apa yang dikatakan Cui Wan Tin, keturunan Lima Kaisar dan muridnya, total jendral hanya ia tinggal sendiri, Pui Ceng Un dan Hui Kiam tiga orang saja, tidak lebih tidak kurang, sedangkan ia sendiri dengan Hui Kiam hubungannya merupakan saudara seperguruan dan juga merupakan kekasih.
Kedua pemuda-pemudi itu tenggelam dalam lautan asmara. Dalam keadaan demikian masing-masing hampir tak dapat kendalikan perasaannya sehingga hampir saja melakukan perbuatan yarg terlarang....
Untung Hui Kiam segera tersadar. Ia menindas perasaannya, setelah itu mendorong Cui Wan Tin dan berkata kepadanya:
"Adik Tin, dendam musuh kita belum terbalas, lima arwah suhu dan sisupek yang di akhirat tentu belum merasa senang. Sebelum selesai tugas kita, kita.... tidak boleh berlaku sembarangan."
Cui Wan Tin juga sadar kembali. Sambil menunduk ia berkata dengan suara perlahan:
"Engko Kiam, kau sungguh hebat juga bukan seperti lelaki sembarangan. Pilihan susiok atas dirimu sedikitpun tidak salah" aku merasa sangat malu!"
"Tidak! Adik Tin, kau tidak perlu sesalkan dirimu sendiri. Siapapun juga tidak ada yang salah. Bukankah kita semua masih baik-baik saja?"
Cui Wan Tin tersenyum. Ia melirik kepada Hui Kiam, kemudian menunduk lagi. Sikap kemalu-maluan dari seorang gadis, telah ditunjukkan dengan tegas, sehingga hati Hui Kiam berdebar.
"Adik Tin, di lain ruangan di dalam kamar ini, bukankah itu makam ibumu?"
"Ya, aku masih ingat aku pernah beritahukan kepadamu."
"Bolehkah aku berziarah ke situ?"
"Apakah kau anggap perlu?"
"Adik Tin, peraturan tidak boleh kita tinggalkan begitu saja."
Ia lalu bangkit, bersama-sama dengan Cui Wan Tin memasuki ke lain kamar di mana terdapat makam ibu Cui Wan Tin.
Hui Kiam segera bertindak maju dan berlutut di hadapan makam sedang Cui Wan Tin berdiri di samping membalas hormat.
Selesai melakukan upacara penghormatan, Hui Kiam berkata kepada Cui Wan Tin:
"Adik Tin, aku terpaksa harus minta diri darimu lagi!"
Paras Cui Wan Tin berubah. Dia berkata dengan suara sedih:
"Engkoh Kiam, apa kau hendak pergi lagi?"
Dengan suara lembut Hui Kiam menjawab:
"Adik Tin, aku tidak boleh tidak pergi lagi. Untuk mencari jejak musuhku yang membunuh ibu, aku harus pergi ke gereja Siao-lim-sie mencari Hiat-ie Nio-cu, sebelum hantu wanita itu tiba ke sana."


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engko Kiam, ini adalah soal penting, aku tidak boleh merintangi kau!"
"Jikalau tidak terpaksa, aku pun tidak akan meninggalkanmu!"
"Tunggu dulu sebentar, aku ambilkan pedang untukmu!"
Cui Wan Tin masuk ke lain kamar. Sebentar ia keluar lagi sambil membawa pedang sakti Thian Gee Sin-kiam. Ia berlutut di hadapan kuburan ibunya. Pedangnya diangkat tinggi di atas kepalanya, mulutnya kemak-kemik mendoa:
"Ayah ibu, anak sudah menyelesaikan tugas yang ayah ibu berikan!''
Hui Kiam sangat terharu menyaksikan keadaan itu. Ia berlutut menyambut pedang itu, sementara mulutnya berkata:
"Suhu, supek sekalian dan supek Bo, teecu bersumpah hendak menggunakan pedang ini untuk menuntut balas dendam perguruan dan menegakkan keadilan serta kebenaran."
Setelah upacara selesai, dengan tangan sendiri Cui Wan Tin menyarungkan pedang itu di pinggang Hui Kiam. Dengan sikap mesra ia berkata:
"Engko Kiam, aku hendak berdiam di sini mengawasi arwah ibu. Harap kau lekas pulang!"
"Adik Tin, setelah selesai tugasku, aku segera pulang!"
"Baiklah, aku akan menunggumu!"
"Harap kau baik-bak merawat diri. Aku sekarang hendak berangkat!"
"Apakah kau tidak makan sedikit saja?"
"Tidak usah. Waktu sudah mendekat, aku khawatir akan terlantar usahaku!"
Cui Wan Tin dengan sikap berat mengantar Hui Kiam sampai di luar makam. Setelah Hui Kiam berlalu jauh dan tidak terlihat olehnya, ia baru masuk kembali lagi.
Hui Kiam juga merasa sangat berduka. Ia dapat membayangkan bagaimana perasaan Cui Wan Tin seorang gadis yang hidup
menyendiri di dalam ruangan di bawah tanah yang tidak kelihatan sinar matahari. Ini benar-benar merupakan suatu penderitaan yang tidak mudah dijalani oleh setiap orang. Kalau pada waktu sebelumnya, boleh dikata ia harus mentaati pesan ayahnya untuk melindungi pedang sakti itu dan menantikan pemiliknya yang berhak mendapatkan pedang tersebut, tetapi ia sekarang tugasnya itu telah selesai, yang dinantikan hanya kedatangannya sendiri.
Tiba-tiba suatu pikiran timbul dalam otaknya, membuat ia seketika itu merasa khawatir. Apakah tidak mungkin perbuatan Iblis Singa dulu tidak akan terulang lagi"
Pada waktu sebelumnya, Cui Wan Tin masih bisa mengandalkan barisan gaib yarg melindungi Makam Pedang dan pedang saktinya, itu sudah cukup untuk melindungi keselamatan jiwanya. Tetapi sekarang pedang sakti itu sudah dibawa olehnya, ini berarti ia sudah kehilangan senjata untuk melindungi dirinya. Dengan kepandaian yang dipunyai olehnya, ditambah dengan barisan gaib itu, biar orang-orang biasa dalam rimba persilatan tidak perlu dikhawatirkan tetapi apabila ketemu dengan seorang kuat seperti Iblis Singa, inilah yang berbahaya.
Tetapi ia sendiri tidak boleh meninggalkan pedang sakti itu, juga tidak boleh tidak pergi, sedangkan diajak jalan bersarna-sama juga kurang leluasa".
Setelah berpikir bolak balik, akhirnya ia dapat suatu pikiran. Sedapat mungkin ia hendak menyiarkan berita tentang didapatkannya pedang sakti itu. Asal berita itu sudah tersiar luas di dunia Kang-ouw, dengan sendirinya sudah tentu mengurangi perhatian orang-orang dunia Kang-ouw terhadap pedang sakti itu, dan perhatian itu bahkan ada kemungkinan dialihkan pada dirinya sendiri dengan demikian sehingga ia tidak usah khawatir Cui Wan Tin akan mendapat gangguan lagi.
Karena sudah mendapat pikiran demikian, hatinya merasa lega.
Oleh karena hubungan antara ia dengan Cui Wan Tin sudah jelas, begitu juga cintanya juga sudah kokoh hingga hubungannya
terhadap Tong-hong Hui Bun sudah mulai jauh, dan keputusannya hendak mengakhiri hubungannya juga semakin mantap.
---ooo0dw0ooo---
JILID 25 SELAGI ia berjalan seenaknya, tiba-tiba terdengar suara minta ia berhenti.
Hui Kiam merandek. Hatinya diam-diam berpikir nampaknya Persekutuan Bulan Emas masih belum melepaskan pengawasannya terhadap Makam Pedang, tetapi ini sangat kebetulan baginya, karena dengan demikian usahanya untuk menyiarkan berita tentang didapatnya pedang itu, tidak usah repot lagi.
Beberapa bayangan orang muncul keluar dari tempat sembunyi mereka.
Sebagai kepala rombongan itu, tidak asing lagi bagi Hui Kiam, ia adalah Ong Geng Kauw yang menjadi komandan pasukan anak buah Persekutuan Bulan Emas. Di belakang dirinya diikuti oleh enam orang berbaju hitam. Dengan nada suara dingin Hui Kiam berkata:
"Kiranya adalah kau, sudah lama kita tak berjumpa!"
"Sama-sama! Sudah lama aku menantikan kedatanganmu, hampir saja aku merasa kecewa tetapi akhirnya aku menemukan juga."
"Jadi kau memang menunggu aku?"
"Betul!"
"Ada keperluan apa?"
Mata Ong Geng Kauw ditujukan pada pedang sakti yang tergantung di pinggang Hui Kiam. Katanya dengan sikap cengar-cengir:
"Pedang yang tergantung di pinggangmu itu"."
"Pedang Thian-khi Sinkiam, benda pusaka dalam Makam Pedang."
"Ha, ha, ha, kau benar-benar seorang jujur."
"Kalau begitu maksudmu menunggu aku ternyata bohong, yang kau tunggu sebetulnya adalah pedang ini, betul tidak?"
"Memang betul."
"Larangan yang dikeluarkan oleh pemimpin tidak boleh bermusuhan deugan aku...."
Larangan itu telah dicabut kembali."
"Bagus!"
"Kau membawa pedang sakti ini berkelana di dunia Kang-ouw barangkali kurang tepat."
"Mengapa kurang tepat?"
"Kau barangkali akan menjadi pusat incaran perhatian orang banyak."
"Ini adalah urusanku sendiri, perlu apa kau pikirkan itu?"
"Ini adalah maksud baikku."
"Maksud baikmu aku terima dengan baik, sebaliknya kau belum menerangkan maksud yang sebenarnya?"
"Kau tentunya tahu sendiri maksud dan tujuan kami yang selalu menjaga Makam Pedang itu?"
"Aku tidak mengerti!"
"Kalau begitu aku boleh beritahukan kepadamu, maksud kami mengadakan penjagaan itu ialah jangan sampai pedang sakti terjatuh kepada tangan lain!"
Hui Kiam meskipun pada saat itu hatinya panas, tetapi ia masih mengendalikan perasaannya. Katanya dengan suara dingin:
"Pedang sudah berada di tanganku, sekarang kau mau apa?"
"Kalau begitu harap kau serahkan pedang itu kepada kami!"
Hui Kiam hampir saja ketawa geli, tetapi kemudian berkata dengan sikap menghina:
"Perkataan ini sesungguhnya tidak tahu malu, juga tidak mengukur tenagamu sendiri!"
"Belum tentu!"
"Jikalau kau mampu melawan satu jurus saja di bawah pedangku ini, pedang ini aku segera berikan padamu"
"Tetapi aku tidak ingin mengadu kekuatan denganmu."
"Apa itu berarti aku harus menyerahkan begitu saja?"
"Begitulah!"
"Ha, ha, ha, Ong Geng Kauw, Persekutuan Bulan Emas sudah melakukan banyak perbuatan yang menimbulkan bencana rimba persilatan. Kejahatannya itu sudah tak dapat didiamkan lagi, maka aku bermaksud untuk menahan kalian semua supaya tak dapat berlalu dari sini."
Enam orang berbaju hitam yang berada di belakang Ong Geng Kauw tidak mengunjukkan apa-apa. Sikapnya tenang sekali.
Keadaan itu menimbulkan kecurigaan Hui Kiam. Apakah mereka ada yang diandalkan" Dengan sikap tak berobah Ong Geng Kauw berkata:
"Hui Kiam, tafsiran dan kenyataan merupakan dua soal, aku percaya kau pasti akan menyerahkan pedangmu itu!"
"Orang she Ong, kau ada mempunyai akal keji apa, boleh saja kau keluarkan!"
"He he he, akal keji" Bukan, hanya ada seorang nona mengharap kau menyerahkan pedang ini untuk menolong dirinya."
Hui Kiam terperanjat. Mungkinkah Cui Wan Tin sudah terjatuh ke dalam tangan mereka"
"Siapa?"
"Saudara seperguruanmu!"
"Siapakah dia?"
"Nah, itu dia kau lihat sendiri!"
Dari belakang batu besar, dua orang berpakaian hitam sedang membawa seorang wanita berpakaian hijau, lalu berhenti di hadapan Hui Kiam terpisah sejauh tiga tombak.
Hui Kiam ketika melihat siapa wanita itu, bukan kepalang terkejutnya sebab wanita yang tertawan itu bukan lain daripada anak perempuan sisupeknya, Pui Ceng Un. Kerudung yang menutupi mukanya sudah tak ada, hingga tampak tegas raut mukanya yang terdapat banyak tanda guratan yang buruk sekali dalam pandangan mata.
Sambil tertawa puas Ong Geng Kauw berkata:
"Bagaimana?"
Hui Kiam bagaikan seorang kalap, ia menghunus pedang saktinya....
Ong Geng Kauw mengangkat tangannya dan berkata:
"Hui Kiam, kau tentunya tidak ingin melihat darah mengalir dari badannya, bukan?"
Pada saat itu salah satu dari dua orang yang menawan Pui Ceng Un, telah meletakkan tangannya di atas kepala gadis itu.
Hui Kiam dengan badan gemetar dan suara bengis ia berkata:
"Kalau aku tidak basmi habis orang-orang Bulan Emas, aku bersumpah tak mau jadi orang."
"Hui Kiam itu adalah urusan lain, mari sekarang membicarakan urusan ini."
"Urusan ini?"
"Hem, ini ada soal yang bersifat perdagangan!"
"Ong Geng Kauw, kau sebetulnya mau apa?"
"Dengan pedangmu kau boleh menukar jiwa saudara perempuanmu ini!"
"Kau manusia rendah tak bermalu...."
"Anggaplah begitu!"
"Jikalau aku tak mau?"
"Itu tak mungkin!"
"Mengapa tidak?"
"Ia akan mati di dalam keadaan tak utuh!"
Hui Kiam sangat mendongkol. Percuma saja ia berkepandaian tinggi, karena saat itu ia tak berdaya sama sekali. Ia sungguh tak menduga Pui Ceng Un bisa jatuh di tangan mereka.
Karena gadis itu adalah anak satu-satunya siaupeknya, bagaimana boleh binasa di tangan mereka"
Tetapi pedang sakti Thian-khi Si-kiam juga merupakan barang pusaka sangat penting dalam perguruannya. Suhunya sendiri dan empat supeknya, lantaran pedang itu dan kitab Thian Gee Po-kiep telah mengalami nasibnya yang membawa kematiannya, bagaimana boleh diberikan" Apalagi pedang itu akan digunakan olehnya untuk membereskan persoalan menuntut balas dan membasmi kejahatan.
Betapapun gusarnya pada saat itu, karena Pui Ceng Un berada di tangan mereka, ia tidak berdaya sama sekali.
Hendak membinasakan orang-orang itu baginya sangat mudah sekali, tetapi bagaimana dengan Pui Ceng Un"
Pui Ceng Un sendiri pada saat itu tidak menunjukkan sikap apa-apa. Sinar matanya suram jauh berlainan dengan sikap biasanya. Sudah jelas kalau bukan ditotok jalan darahnya, tentunya sudah dimusnahkan kepandaiannya.
Dahulu dengan mudah ia membikin takut Ko han-san, sehingga dengan rela mengorek biji matanya sendiri dan lari terbirit-birit, sungguh tidak disangka sekarang ia telah terjatuh di tangan musuh-musuhnya.
Yang mengherankan ialah dengan cara bagaimana orang-orang itu dapat mengetahui hubungan ia dengan sucinya itu"
"Ong Geng Kauw, apakah kau sudah dapat memastikan bahwa aku akan menyerah?"
"Sudah tentu, sebab ia adalah keturunan satu-satunya dalam perguruanmu."
"Dari mana kau tahu?"
"Pertama, ia sudah mengakui sendiri. Kedua, jikalau tidak benar, kau tentunya sudah bertindak sejak tadi."
"Apakah... dia sudah mengaku?"
Terus terang kuberitahukan padamu, di bawah ilmu sihir pemimpin kami, tiada seorangpun yang mampu mempertahankan rahasia dalam hatinya!"
Sekarang Hui Kiam mau tidak mau percaya keterangan itu, karena ia sendiri juga sudah pernah dipengaruhi oleh ilmu sihir itu oleh Orang Berbaju Lila. Ia tidak menyangka bahwa Persekutuan Bulan Emas juga paham ilmu sihir semacam itu.
"Ong Geng Kauw, bebaskanlah dia!"
"Apa kau anggap kau sanggup melakukan?"
"Aku tidak akan lepaskan pedang sakti ini. Kalian semua yang ada di sini, akan menggantikan jiwa baginya!"
Ong Geng Kau tidak menduga Hui Kiam bisa mengeluarkan pikiran demikian. Seketika itu wajahnya berobah dan mundur dua langkah. Kalau benar Hui Kiam tega mengorbankan Pui Ceng Un, mereka satupun tidak bisa lolos dari bawah tangannya, sebab kepandaian pemuda itu ia sudah tahu benar-benar.
Tetapi benarkah Hui Kiam akan berbuat demikian"
Biar bagaimana Ong Geng Kauw adalah seorang yang banyak pengalaman, setelah berpikir sejenak ia berkata dengan suara dingin:
"Kami hanya bekerja melakukan perintah saja, kau dengar atau tidak terserah kepadamu sendiri!"
Hui Kiam menggerakkan pedangnya".
Tangan orang berbaju hitam juga bergerak di atas kepala Pui Ceng Un, tetapi gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Hui Kiam dengan hati pilu menurunkan lagi pedangnya.
Ong Geng Kauw sudah dapat lihat bahwa Hui Kiam tidak akan mengorbankan jiwa Pui Ceng Un, maka ia mendesak lagi:
"Hui Kiam, jual beli ini, kau tidak boleh tidak harus melakukan. Kalau kau mempunyai kepandaian, di kemudian hari kau masih bisa mengambil kembali pedang ini, tetapi orang yang sudah mati tidak bisa hidup lagi."
"Kau berani?"
"Mengapa aku tidak berani" Kalau aku tidak berani aku tidak akan menerima tugas ini."
Hui Kiam tidak berdaya, kecuali menyerah sudah tiada jalan lain lagi baginya.
Sementara itu Ong Geng Kauw lalu berkata:
"Hui Kiam, kau bersedia melakukan jual beli ini atau tidak" Sepatah jawaban sudah cukup jikalau tidak dia akan kubawa kembali. Hanya aku perlu menerangkan lebih dulu, apa yang akan terjadi selanjutnya, susah untuk diduga"."
"Kau hendak perlukan bagaimana?"
"Dia tak akan dibunuh. Meskipun wajahya telah rusak, tetapi ia seorang gadis yang mempunyai dasar kuat, ini besar sekali gunanya!"
Dada Hui Kiam dirasakan hampir meledak, kemarahannya hampir tak dapat dikendalikannya lagi. Ia teringat kepada pasukan Im-hong Tui, juga teringat kepada Delapan Iblis dari Negara Thian-tik yang pandai rupa-rupa ilmu gaib dari golongan sesat. Jikalau Pui Ceng Un jatuh di tangan mereka, akibatnya akan lebih hebat daripada kematian.
Dalam keadaan tidak berdaya, ia hanya memohon kepada suhu dan sisupeknya untuk memberi petunjuk sebaik-baiknya.
Ong Geng Kauw yang menyaksikan Hui Kiam sudah tidak berdaya, lalu berkata:
"Hui Kiam, sampai berjumpa lagi!"
"Tunggu dulu!"
"Apakah kau suka menerima jual beli ini?"
"Aku... terima!"
Dengan susah payah Hui Kiam akhirnya mengeluarkan perkataan itu.
"Kalau begitu kau serahkan dulu pedangmu!"
"Kau bebaskan dulu orangnya atau tidak akan mengingkari janjiku!"
"Dengan kepandaianmu, sudah tentu kau tidak usah khawatir akan mengingkari janji!"
"Maksudmu bagaimana?"
Ong Ceng Kauw agaknya sudah merencanakan lebih dulu. Dengan tanpa banyak pikir ia berkata:
"Setelah kau menyerahkan pedang dan menerima kembali saudara seperguruanmu, kalau kau bertindak hendak merampas pedang, mungkin bukan perkara susah"."
"Dan menurut pikiranmu bagaimana?"
"Kau serahkan dulu pedangmu. Setelah kuperiksa betul atau tidak, pedang itu akan kubawa untuk memberi lapor kepada atasanku. Kau boleh tunggu di sini, tunggu sampai aku kembali aku segera bebaskan saudara!"
Hui Kiam benar-berar sangat murka, tetapi ia tidak berdaya sama sekali. Ini benar-benar merupakan suatu tindakan yang sangat jahat. Apabila pedang sakti terlepas dari tangannya dan apabila pemimpin Persekutuan Bulan Emas muncul secara tiba-tiba, jangan
kata ia sudah tidak mampu menolong jiwa Pui Ceng Un, bahkan jiwanya sendiri mungkin akan dikorbankan.
Tetapi dapatkah melakukan perbuatan itu"
Sementara itu Ong Ceng Kauw sudah mendesak lagi:
"Bagaimana" Aku tidak dapat menunggu lama-lama."
Hui Kiam tidak berdaya. Ia memasukkan lagi pedangnya ke dalam sarungnya ....
Ong Geng Kauw yang sangat licik lalu berkata:
"Kau lemparkan kemari!"
Hui Kiam agaknya sudah hilang semangatnya, ia sudah hendak melemparkan pedang itu ke arah Ong Geng Kauw.
Pada saat itu tiba-tiba muncul dua orang berpakaian hitam. Satu di antaranya berkata dengan suara keras:
"Perintah dari panji Kim-hoan-kie!"
Dua orang itu lalu mengangkat tinggi di atas kepalanya sebuah panji segitiga, yang terlukis gambar lingkaran emas melingkari bulan sabit.
Panji ini merupakan tanda perintah paling berwibawa dalam Persekutuan Bulan Emas. Kecuali pemimpinnya sendiri, semua anak buahnya harus tunduk.
Ong Geng Kauw dan enam orang berpakaian hitam, semuanya berlutut menyambut panji itu.
Hui Kiam sebaliknya, berdiri bingung di tempatnya.
Orang berpakaian hitam yang memegang panji itu membacakan firmannya sepatah demi sepatah:
"Perintah, orang tawanan segera dibawa balik ke pusat perkumpulan."
Hui Kiam terkejut, pikirannya bekerja keras. Keadaan sudah mendesak demikian rupa, ia terpaksa harus bertindak tegas. Ia tidak akan membiarkan orang-orang itu membawa pergi sucinya.
Biar bagaimana ia harus bertindak tanpa memperhitungkan akibatnya.
Ong Geng Kauw lama tidak menjawab. Jelas bahwa perintah yang datangnya secara tiba-tiba ini sangat mengejutkan dirinya.
Orang berbaju hitam itu menyimpan lagi panjinya. Keduanya menghampiri Pui Ceng Un dengan maksud mengambil nona itu dari tangan dua orang yang semula menjaga dirinya.
Ong Geng Kauw merasa curiga terhadap kedatangan perintah secara tiba-tiba itu. Lama ia tidak mengeluarkan pertanyaan terima kasih.
Hui Kiam sudah mengambil keputusan, jikalau perlu ia akan berlaku nekad, tidak akan membiarkan sucinya terjatuh di tangan kalangan iblis lagi.
Pada saat itu, Ong Geng Kauw telah membuka mulut:
"Bolehkah aku bertanya, perintah ini diberikan oleh siapa?"
Orang berbaju hitam yang membawa perintah itu menjawab dengan suara gusar:
"Ong Thong-leng, apakah kau berani lawan perintah?"
"Hamba tidak berani."
"Mengapa kau memajukan pertanyaan demikian?"
"Sebab dalam satu hari ini dengan beruntun hamba menerima perintah yang berlainan!"
"Di mana panji emas ini sampai, itu berarti seolah-olah kedatangan Bengcu sendiri."
"Hamba tahu."
"Mengapa kau masih belum menyatakan terima kasih?"
"Ong Geng Kauw mentaati perintah!"
"Silahkan kembali ke posmu sendiri!"
Pada saat itu Ong Geng Kauw baru berani berdiri. Dengan sinar mata yang tajam ia mengawasi dua orang berbaju hitam, kemudian berkata:
"Tuan-tuan berdua apakah ingin membawa tawanan itu sendiri?"
"Benar!"
"Bagaimana tentang keselamatan tawanan?"
"Ong Tong-leng tidak usah khawatir!"
"Bolehkah aku bertanya, di mana sekarang Bengcu berada?"
"Di markas pusat perkumpulan!"
"Apakah tuan-tuan berdua datang dari markas pusat?"
"'Hem!"
Wajah Ong Geng Kauw segera berubah. Dengan suara keras ia berkata:
"Bengcu tidak berada di pusat, kalian kawanan tikus dari mana berani menipu panji emas?"
"Tangkap!"
Dua orang berbaju hitam itu masing-masing menghunus senjatanya. Satu di antaranya dengan cepat mundur sambil menarik diri Pui Ceng Un, yang lain melintangkan pedangnya untuk menghadapi musuhnya.
Dua orang berbaju hitam itu yang semula menawan Pui Ceng Un menerjang lebih dulu. Perbuatan itu segera ditiru oleh enam kawannya.
Kejadian itu di luar dugaan Hui Kiam. Ia sungguh tidak menyangka bahwa panji emas yang merupakan tanda perintah tertinggi itu ternyata adalah palsu.
Di antara suara saling bentak, terjadilah pertempuran kalut.
Dua orang berbaju hitam itu dengan cepat sudah terkurung oleh rombougan anak buah Persekutuan Bulan Emas.
Satu di antaranya segera berseru:
"Penggali Makam, kau tunggu apa lagi?"
Hui Kiam pada saat itu seolah-olah baru sadar dari mimpinya. Sambil mengeluarkan suara bentakan keras, ia menghunus pedang saktinya menyerbu Ong Geng Kauw.
"Ahh"!"
Di antara suara jeritan terkejut, wajah Ong Geng Kauw pucat pasi. Pedang di tangannya hanya tinggal gagangnya saja.
Hui Kiam berkata dengan suara bengis:
"Ong Geng Kauw, serahkan jiwamu!"
Pedang sakti itu bergerak 1agi, lalu disusul oleh suara jeritan ngeri.
Darah segar menyembur. Ong Geng Kauw terpapas putung menjadi dua potong.
Hui Kiam menoleh pun tidak, ia sudah menyerbu ke rombongan orang-orang berbaju hitam.
Suara jeritan ngeri terdengar berulang-ulang, darah merah berhamburan, orang-orang berbaju hitam itu, satu persatu roboh bergelimpangan.
Hanya dalam waktu sekejap mata saja tinggal seorang yang masih hidup, tetapi sudah ketakutan setengah mati, sukmanya seolah-olah sudah terbang dari raganya, ia berdiri bagaikan patung.
Hui Kiam memang sengaja meninggalkan seorang yang diberi hidup, seketika itu lalu berkata kepada orang itu sambil menunjukkan dengan pedangnya:
"Tuan mudamu untuk pertama kalinya mencoba kesaktiannya pedang ini. Karena mengingat jangan sampai membunuh orang yang tiada berdosa, aku biarkan kau hidup. Pergilah!"
Orang berbaju hitam itu bagaikan mendapat keampunan besar, segera lari terbirit-birit.
Dua orang yang membawa perintah palsu itu segera berkata:
"Kegagahan siaohiap, hari ini telah membuka mataku."
Hui Kiam menyimpan kembali pedang saktinya, lalu menjawab dengan suara merendah:
"Tuan-tuan terlalu memuji. Tuan datang dari mana?"
"Aku yang rendah hanya mendapat perintah untuk menolong nona ini," menjawab salah seorang di antaranya.
"Atas perintah siapa?"
"Orang Menebus Dosa."
"Orang Menebus Dosa?" demikian Hui Kiam bertanya dengan suara terkejut.
"Ya."
Terhadap orang yang mengaku sebagai Orang Menebus Dosa itu, Hui Kiam semakin bingung. Orang itu bukan saja sudah mengetahui ten
tang dirinya, bahkan segala gerak geriknya sedikitpun tidak terlepas dari perhatiannya. Siapakah sebetulnya orang itu" Mengapa ia berlaku demikian misterius"
Orang berbaju hitam itu berkata pula:
"Aku yang rendah telah mendapat perintah untuk membawa nona itu."
"Apa" Kalian hendak bawa ia pergi?"
"Ya, nona ini sudah terkena racun jahat, sehingga pikirannya menjadi linglung, harus dipunahkan racunnya dengan cepat...."
"Dia .... sudah terkena racun jahat?"
"Siaohiap seharusnya dapat melihat sendiri pikirannya sudah tidak normal lagi."
"Apakah majikanmu dapat menolong?"
"Begitulah maksudnya."
Hui Kiam mengalihkan pandangannya ke arah Pui Ceng Un lalu menegur:
'Suci, apa kau masih mengenaliku?"
Mata Pui Ceng Un terbuka lebar memandang lurus. Terhadap pertanyaan Hui Kiam sedikitpun tidak ada reaksinya, seolah-olah satu bangkai hidup.
Hui Kiam merasa sedih, hampir saja menitikkan air mata tetapi ia menahannya. Ia tidak suka mengucurkan air mata di hadapan orang luar.
"Siapakah sebetulnya tuanmu itu?"
"Orang Menebus Dosa."
"Yang kumaksudkan adalah kedudukannya dan asal-usulnya?"
"Tentang ini, maaf aku tak dapat menjawab!"
Hui Kiam menarik napas panjang. Dengan suara duka ia berkata:
"Sampaikan kepada tuanmu, di sini aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih!"
"Siaohiap tidak perlu banyak aturan!"
"Tuan-tuan berdua mendapat perintah untuk membawa pergi suciku ini?"
"Ya!"
"Apakah tidak takut akan dipegat oleh kaki tangan Persekutuan Bulan Emas?"
"Tentang ini sudah diatur sebaik-baiknya oleh tuanku sendiri!"
Hui Kiam merasa sulit. Ia sebetulnya tidak tega sucinya dibawa oleh orang yang belum dikenalnya, tetapi karena sang suci itu ditolong oleh orang tersebut, apalagi memang benar sucinya itu sudah terkena racun yang ia sendiri tidak sanggup menyembuhkan, maka setelah berpikir agak lama baru berkata:
"Bolehkah aku ingin bertanya kemana kau hendak membawanya pergi?"
"Maaf, aku tidak dapat memberitahukan."
Hui Kiam agak mendongkol. Katanya:


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana jikalau aku tidak setuju tuan-tuan berdua membawanya?"
"Menurut keterangan dari junjunganku, siaohiap pasti tidak akan meuyulitkan kita, sebab nona ini kecuali junjunganku sudah tak ada orang lagi yang bisa menolong!"
Hui Kiam terpaksa bungkam. Tak lama kemudian ia baru mengambil keputusan. Katanya:
"Sampaikan kepada junjunganmu, tentang budinya itu akan kuingat selama-lamanya!"
"Aku yang rendah pasti akan sampaikan!"
"Kalau begitu silahkan!"
Dua orang berbaju hitam itu lalu pamitan kepada Hui Kiam. Salah seorang di antaranya mengempit tubuh Pui Ceng Un dan berlalu meninggalkan Hui Kiam.
Setelah dua orang itu berlalu, Hui Kiam baru melanjutkan perjalanannya menuju ke gunung Siong-san.
Gunung Siong-san, di mana gereja Siao-liem-sie yang sangat terkenal itu telah dibangun di atasnya.
Kuil tua yang lama sudah tersohor dalam rimba persilatan daerah Tiong Goan, waktu itu matahari sudah naik tinggi, tetapi tidak terdengar suara genta berbunyi, begitu pula suara orang membaca kitab suci. Seluruh kuil sunyi senyap. Ini merupakan suatu pemandangan yang belum pernah ada, juga seharusnya tidak ada.
Seluruh kuil yang letaknya di atas bukit Siao-siong di pegunungan Siong-san itu seolah-olah diliputi oleh kabut kedukaan.
Dari bawah kaki gunung sehingga pintu tiada tampak bayangan seorangpun juga. Fakta sudan nyatae, bahwa gereja yang merupakan pusatnya partay Siao-liem Pay yang sangat terkenal dan memegang pimpinan semua partay besar rimba persilatan daerah Tiong Goan tentunya telah mengalami suatu peristiwa besar. Memang benar kenyataannya memang demikian, Siao-liem Pay sedang menghadapi ujian berat, antara utuh dan hancur.
Di hadapan pendopo di tengah-tengah pekarangan gereja anak murid Siao-liem Pay berbagai generasi yang jumlahnya ribuan jiwa, telah duduk berderet dua baris berhadapan satu sama lain, di tengah-tengah terdapat tempat kosong dari pendopo depan terus menuju pendopo Wie-tho-thian.
Dalam pendopo itu juga sudah penuh kepala manusia gundul kelimis. Mereka berdiri berbaris dengan rapi. Suasana nampak suram.
Barisan pertama terdiri dari delapan belas padri, anak murid bagian "Lo-han-tong" yang juga merupakan salah satu tenaga inti dalam partay itu.
Barisan kedua terdiri dari para padri yang menjabat jabatan kepala pelbagai bagian.
Di tengah-tengah, di atas tempat duduk yang terdiri tiga lapis kasur, duduk seorang padri yang lanjut usianya, wajahnya agung, ia sambil memejamkan mata, seolah-olah sedang bersemedi.
Dia adalah Ciang-bun-jin, atau ketua Siao-liem Pay generasi itu, Bu-siang Sian-su.
Di kedua sampingnya, berdiri pengawalnya yang terdiri dari sepuluh orang padri.
Di belakang Bu-siang Sian-su, adalah delapan paderi anggota pelindung hukum. Seorang di belakangnya lagi, juga merupakan barisan yang terakhir, adalah sepuluh paderi yang merupakan anggota sesepuh.
Dalam ruangan yang berkumpul seribu lebih kawanan paderi itu, suasananya nampak amat sunyi. Ini benar-benar sunyi, sehingga jarum jatuh pun bisa terdengar suaranya.
Dalam suasana sunyi itu tiba-tiba terdengar suara Bu-siang Sian-su membuka mulut, suaranya agak gemetar:
"Beberapa hari berselang, Bu-tong-pay sudah mengikuti jejak perkumpulan golongan pengemis Kay-pang menyerah kepada Persekutuan Bulan Emas. Hanya partay kita yang merupakan partay satu-satunya yang belum menyerah."
Karena perasaannya terpengaruh, ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula:
"Partay kita sejak didirikan oleh Couwsu, kita meskipun pernah mengalami bencana, tetapi berkat perlindungan Budha yang Maha Mulia, bencana ini kita dapat hindarkan. Tetapi kali ini keadaannya sangat berlainan, malapetaka sudah melanda rimba persilatan. Kami sebagai ketua merasa sangat malu, tidak mampu melindungi nasib Siao-liem...."
Kembali ia terdiam, suasana nampak semakin suram tegang.
"Batas waktu sudah akan habis," demikian Bu-siang Sian-su melanjutkan, "Sekali lagi kami menyampaikan maksud kami semula. Kecuali murid-murid pelindung hukum yang sudah ditunjuk, yang lainnya segera meninggalkan kuil!"
Suasana semakin sunyi, juga semakin gawat! Tetapi tidak ada reaksi apa-apa, semua padri yang hadir di situ tetap membungkam bagaikan patung.
Dengan perasaan sedih Bu-siang Sian-su berkata pula:
"Semoga arwah Cowsu kita dapat memaafkan tindakan kami yang sangat terpaksa ini. Nasib Siao-liem Pay tidak boleh dikorbankan atas tindakan kami ini, maka semua murid partay Siao-liem, kecuali yang sudah mempunyai tempat meneduh, semua harus pergi ke Pho-thian, berusaha untuk membangun kembali kekuatan Siao-liem Pay."
Kembali tidak terdengar suara sambutan dari semua murid Siao-liem-pay yang hadir di situ. Setiap orang menunjukkan sikap yang merupakan suatu perpaduan daripada perasaan sedih dan kebulatan tekad yang kuat.
Bu siang Sian-su perlahan-lahan bangkit dari tempat duduk. Matanya menyapu semua hadirin sejenak, kemudian berkata dengan suara nyaring:
"Ini adalah perintah, apakah semua anak murid berani menentang?"
"O Mie To Hud!"
Suara memuji nama Budha itu terdengar riuh sebagai jawaban atas pertanyaan ketuanya!
Bu-siang Siansu tidak berdaya, wajahnya berubah seketika.
Ketua anggota sesepuh Ngo-ih lalu berkata:
"Para saudara ingin mempertaruhkan partay kita hingga titik darah yang penghabisan. Semangat jantan ini dapat kita mengerti dan hargakan! Tetapi kita harus melihat dulu keadaannya. Bencana kali ini, bukan hanya mengancam partay Siao-lim saja, melainkan seluruh rimba persilatan. Saudara karena ingin mendapatkan nama baik, rela mengorbankan seluruh partay yang didirikan oleh Cowsu ini bukanlah suatu perbuatan yang patut dipuji. Selain daripada itu, sejak berdiri, partay kita belum pernah terjadi ada murid yang berani menentang perintah. Walaupun peristiwa luar merupakan peristiwa luar biasa, tetapi masih belum diijinkan oleh peraturan partay kita. Maka diharap para saudara pikir dulu masak-masak."
Bu-siang Siansu membentak dengan suara keras:
"Sesudah keluar perintah, tindakan segera jalankan! Harap saudara segera siap untuk melakukan perintah ini."
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara genta tiga kali. Dalam keadaan gawat demikian, suara genta itu sesungguhnya sangat menusuk telinga.
Wajah Bu-siang Sian-su berubah seketika. Begitu pula para anggota sesepuh dan lain-lainnya.
Ketegangan telah memuncak.
Pengawal yang berdiri di samping ketuanya segera berkata:
"Batas waktu belum sampai, mengapa....?"
Belum lagi habis ucapannya, di depan pintu pendopo Wie-to-tian, dalam salah satu sudut pekarangan, muncul seorang nenek berambut putih. Nenek itu badannya kurus kering, pakaiannya penuh tanda darah, sepasang matanya memancarkan sinar yang menakutkan sehingga bagaikan hantu yang muncul di siang hari bolong.
Padri Bu-kauw yang bertugas sebagai pengawas gereja, lalu bangkit dan berkata kepada ketuanya:
"Ciangbun suheng, orang yang datang itu adalah Hiat-ie Nio-cu."
"Kami tahu," jawab Bu-siang Sian-su.
"Harap suheng mengeluarkan perintah."
"Tanyakan dulu maksud kedatangannya!"
"Baik."
Bu-kauw mengundurkan diri pergi menghampiri Hiat-ie Nio-cu.
Semua padri yang hadir di situ setiap orang mengunjukkan perasaan gusarnya, karena menurut peraturan dalam Kuil Siao-lim-sie tidak mengijinkan kaum wanita masuk.
Hiat-ie Nio-cu tidak menghiraukan Bu-kauw, sebaliknya berkata dengan suara nyaring:
"Bu-siang, kau sungguh bertingkah. Apakah aku si nenek harus datang menghadap padamu?"
Semua murid Siao-liem-sie hanya bisa mengawasi dengan mata melotot karena perbuatan Hiat-ie Nio-cu yang masuk ke kuil itu, sudah berarti melanggar peraturan kuil. Apalagi perkataannya yang
tidak sopan itu terhadap ketuanya, perbuatan itu bagi Siao-liem-pay merupakan suatu penghinaan besar.
Bu-kauw yang sudah berada di hadapan Hiat-ie Nio-cu kira-kira delapan langkah, lalu berkata sambil merangkapkan kedua tangannya:
"Liesicu tentunya tahu larangan kuil kami."
"Larangan apa?" tanya Hiat-ie Nio-cu dingin.
"Kaum wanita dilarang masuk kuil...."
"Omong kosong, kalau aku suka datang, aku harus datang."
"Kedatangan lisicu ini pasti ada maksudnya?" bertanya Bu-kauw dengan menahan sabarnya.
"Sudah tentu. Suruh Bu-siang yang bicara!"
"O Mie tho hud! Pinceng mendapat perintah di sini sudah menanyakan maksud kedatangan lisicu!"
"Aku bicara selamanya hanya satu kali saja. Kau menyingkir!"
Betapapun sabarnya Bu-kauw juga tidak mudah dihina di hadapan umum, maka lalu berkata dengan sikap keren:
"Liesicu jangan keterlaluan!"
"Apa kau ingin mencari mampus?" jawabnya Hiat-ie Nio-cu sambil tertawa dingin.
Dari dalam rombongan paderi terdengar suara marah.
Setelah memuji nama Budha, Bu-kauw berkata:
"Lie-sicu anggap kuil Siao-liem-sie sebagai apa?"
Wajah Hiat-ie Nio-cu tiba-tiba berubah bengis dan menakutkan. Ia berjalan maju, nampaknya hendak menyerbu ke dalam....
Bu-kauw segera mengangkat kedua tangan. Hiat-ie Nio-cu melanjutkan langkah kakinya, satu tangannya dikibaskan. Gerakan Bu-kauw yang sebetulnya merupakan ancaman saja tapi begitu
melihat nenek itu benar-benar turun tangan, ia segera mengerahkan kekuatan tenaganya, dipusatkan ke dua tangannya.
Dengan demikian sehingga kekuatan kedua pihak saling beradu. Setelah menimbulkan getaran hebat, Bu-kauw mundur terhuyung-huyung sampai empat langkah. Kulit di mukanya berkerenyit beberapa kali, ujung bibirnya mengalirkan darah.
Semua murid Siao-liem-sie pada berdiri. Tetapi karena harus mentaati peraturan, tiada satu pun yang bertindak.
Hiat-ie Nio-cu melalui samping Bu Kauw terus menuju ke pendopo di mana ketua kuil sedang memimpin rapat.
Delapan padri dari anggota pelindung hukum segera berteriak. Mereka terbagi menjadi dua golongan maju merintangi hantu wanita itu.
Hiat-ie Nio-cu menggereng dengan matanya yang aneh.
"Bu-siang, apa kau mendesak aku melakukan pembunuhan di sini?"
Bu-siang Siansu sungguh tidak kecewa menjadi seorang pemimpin. Walaupun dalam hati sangat marah tetapi ia masih menunjukkan sikapnya sebagai pemimpin. Dengan sikap yang tenang dan sabar, melambaikan tangannya seraya berkata:.
"Saudara-saudara pelindung hukum, berikan jalan kepadanya!"
Delapan anggota pelindung hukum itu terpaksa mentaati perintah pemimpin, mereka menyingkir ke kanan dan ke kiri.
Bu-siang Sian-su dengan tenang maju menghampiri hantu wanita itu seraya berkata sambil merangkapkan kedua tangannya:
"Harap siecu suka memberitahukan maksud kedatanganmu!"
"Bu-siang, pada lima belas tahun berselang ada seorang wanita muda yang bernama Pek-leng-lie Khong Yang Hong datang ke kuil Siao-liem Sie untuk minta sebutir pil Tay-hoan-tan telah kalian hina dengan mengandalkan kekuatan jumlah orang kalian yang lebih banyak, betulkah ada kejadian seperti ini?"
Bu-siang Sian-su setelah memuji nama Budha lalu berkata:
"Memang betul ada kejadian ini. Tetapi apa yang dikatakan menghina dengan mengandalkan kekuatan orang banyak, inilah tidak tepat!"
"Tentang ini sekarang jangan dibicarakan dulu. Aku hanya ingin bertanya kepadamu, di mana wanita itu sekarang berada?"
"Maaf, kami tidak dapat menjawab!"
"Apa sebabnya?"
"Dulu Siao-lie Sicu itu minta pil Tay-hong-tan dengan secara kekerasan. Ia telah melukai beberapa puluh anak murid golongan kami. Akhirnya kami terpaksa memerintahkan anak murid kami menangkap dirinya dengan menggunakan barisan Lo-han-tin. Tetapi setelah kami tangkap, sebagai orang beribadah yang selalu mengutamakan kasih sayang sebagai pedoman kita, maka pada akhirnya kami berikan juga obat pil yang diminta itu, dan kemudian membebaskannya...."
"Benarkah begitu?"
"Sebagai orang beribadah dipantang membohong!"
"Dan di mana sekarang orangnya berada?"
"Kami tadi sudah katakan bahwa hal ini kami tidak dapat menjawab."
"Apakah sudah kau bunuh untuk melenyapkan jejaknya?"
Sekujur badan Bu-siang Sian-su gemetar. Jawabnya:
"Si-cu jangan sembarangan berkata!"
Mata Hiat-ie Nio-cu tiba-tiba nampak beringas. Ia berkata dengan suara bengis:
"Bu-siang, tidak perlu bicara banyak-banyak, hari ini kau harus mempertanggungjawabkan persoalan ini!"
"Kami tidak dapat, juga tidak perlu menanggung jawab!"
"Apakah kau harus cuci tangan begitu saja?"
"Kenyataannya memang demikian!"
"Bu-siang, jikalau sekarang tidak bertanggung jawab soal ini, aku beritahukan kepadamu" hem, aku akan membuka pantangan membunuh secara besar-besaran. Aku akan mencuci kuil Siao-liem ini dengan darah kalian!"
Begitu mendengar ucapan hantu wanita itu, suasana menjadi sangat gawat. Dengan tanpa sadar Bu-siang Sian-su telah mundur satu langkah. Delapan anggota pelindung hukum dan seluruh anggota sesepuh serta semua kepala bagian, sudah siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan.
Pada lima belas tahun berselang, anak perempuan Hiat-ie Nio-cu Pek-leng-lie Khong Yang Hong telah mengunjungi kuil Siao-liem-sie untuk minta pil obat Tay-huan-tan. Di situ timbul perselisihan, kemudian jadilah pertempuran hebat. Pek-leng-lie berhasil melukai sepuluh lebih anak murid Siao-liem-sie, tetapi akhirnya ia tertangkap dalam barisan Lo-han-tin.
Sekarang Hiat-ie Nio-cu telah datang sendiri untuk menanyakan anak perempuannya. Kepandaian dan kekuatan Hiat-ie Nio-cu masih jauh lebih tinggi daripada anak perempuannya, sekalipun semua anak murid Siao-lim-sie yang berkepandaian tinggi, barangkali juga masih bukan tandingannya. Tentang ini hampir semua orang dalam hati sudah mengerti, namun demikian mereka toh tidak akan membiarkan hantu wanita itu berbuat sesuka hatinya!
Pada saat itu sudah hampir tengah hari. Batas waktu terakhir yang diberikan oleh Persekutuan Bulan Emas sudah hampir tiba. Ini berarti kuil Siao-lim-sie itu sedang menghadapi bencana besar.
Di bawah ancaman dan tekanan hebat dari dua pihak, antara Hiat-ie Nio-cu dan Bulan Emas, semua orang Siao-liem-pay tidak berani membayangkan bagaimana akibatnya.
Ini adalah merupakan suatu kejadian yang sangat menyedihkan bagi partay golongan orang benar di daerah Tiong Goan, juga menggunakan betapa lemahnya keadaan berbagai partay golongan benar pada waktu itu.
Bu-siang Sian-su sebagai pemimpin dari partay besar itu, selagi menghadapi nasib antara mati dengan hidup dan hancur atau utuh partainya, penderitaan dalam hatinya sesungguhnya tidak dapat kita membayangkannya.
Ia semula memang bermaksud hendak membubarkan sebagian anak muridnya untuk meninggalkan sedikit sisa kekuatan golongan Siao-lim-pay, supaya di kemudian hari bisa bangkit lagi, tetapi karena kedatangannya Hiat-ie Nio-cu, maksud itu telah buyar.
Baik Hiat-ie Nio-cu maupun Persekutuan Bulan Emas, ancaman dan tekanan kepada Siao-lim pay, tidak ada bedanya. Setiap anak murid Siao-liem Pay yang ada di situ semua telah menunjukkan kemarahan. Mereka telah bertekad bulat hendak mempertahankan kuil Siao-liem-sie dan partay Siao-liem Pay hingga titik darah yang terakhir.
Oleh karena kebulatan tekad ini, telah mengurangi rasa takut untuk menghadapi musuh yang lebih kuat.
Hiat-ie Nio-cu memperdengarkan pula suaranya. Katanya yang bengis:
"Bu-siang, bagaimana kau hendak mempertanggungjawabkan?"
"Kami tidak dapat bertanggung jawab!"
"Kalau begitu kau jangan sesalkan aku akan berlaku kejam!"
Begitu menutup mulut, ia segera membentang sepuluh jari tangannya. Bagaikan binatang buas menerkam empat paderi anggota pelindung hukum yang berdiri di barisan depan.
Empat padri anggota pelindung hukum itu mengerakkan tangan dengan serentak untuk menyambut serangan itu.
Dua kali terdengar suara jeritan ngeri. Dua dari empat anggota pelindung hukum itu telah roboh.
Empat anggota pelindung hukum yang lainnya segera maju. Bersama-sama dengan dua anggota pelindung hukum yang pertama, sama-sama melancarkan serangan terhadap dirinya hantu wanita itu.
Delapan anggota pelindung hukum itu, kepandaian mereka hanya di bawah sepuluh anggota sesepuh saja, maka kita dapat membayangkan betapa hebatnya kekuatan enam orang yang bertindak serentak itu.
Tetapi Hiat-ie Nio-cu merupakan suatu hantu wanita yang sudah beberapa puluh tahun namanya yang menggetarkan semua orang rimba persilatan baik dalam golongan putih maupun golongan hitam, kepandaian maupun kekuatan hantu wanita itu, masih jauh lebih tinggi daripada delapan anggota pelindung hukum itu.
Selama pertempuran berlangsung, dua di antara enam pelindung hukum itu, kembali sudah binasa di tangan hantu wanita itu, tetapi di pihaknya hantu wanita sendiri juga terpukul mundur.
Semua anak murid Siao-liem-sie yang ada di situ, telah menyaksikan dengan hati panas dan mata melotot.
Sepuluh anggota sesepuh juga sudah bergerak. Mereka berdiri berbaris di belakang pemimpinnya.
Jatuh korban dan mengalirnya darah di pendopo tempat suci itu, telah menjadikan tempat suci itu berubah menjadi tempat penjagalan yang mengerikan.
Pada saat itu, kembali terdengar suara genta yang seolah-olah merupakan pertanda hari kiamat yang akan dihadapi oleh Siao-liem-sie.
Bu-siang Sian-su yang paling terpengaruh perasaan dan pikirannya. Badannya sampai gemetar. Ia lalu mengeluarkan perintah kepada semua anak muridnya supaya balik ke tempat masing-masing.
Suasana balik seperti keadaan sebelum Hiat-ie Nio-cu muncul, hanya kurang empat anggota pelindung hukum. Jenazahnya empat pelindung hukum itu segera digotong masuk ke dalam.
Hiat-ie Nio-cu yang belum mengerti apa sebabnya, sebaliknya malah berdiri dengan mulut ternganga.
Pada saat itu, delapan orang berpakaian hitam diam-diam sudah muncul di depan pintu. Yang berjalan paling depan tangannya memegang kedua panji kecil berbentuk segi tiga. Ia mengacungkan tinggi-tinggi panji itu, kemudian berkata dengan suara nyaring:
"Utusan Bulan Emas, di sini dengan membawa perintah pemimpin kami minta kepada pemimpin partay Siao-lim pay untuk memberi jawaban terakhir!"
Lama baru terdengar jawaban Bu-siang Sian-su:
"Partay kami tidak akan merusak ajaran dan larangan serta pantangan yang diwariskan oleh Couwsu kami, untuk mengabdi kepada kawanan iblis!"
Utusan yang membawa panji itu menyimpan kembali panjinya, kemudian berkata dengan suara keras:
"Ciangbunjin, apakah ini merupakan jawaban partaymu?"
"Betul!"
"Kau tidak sayang akan terjadi banjir darah di kuil ini?"
Sementara itu banyak orang berpakaian hitam muncul dari berbagai penjuru, sehingga dalam waktu sekejap mata saja sudah merupakan tembok manusia. Orang-orang itu semuanya memegang senjata tajam.
Nampaknya Persekutuan Bulan Emas itu sudah berkeputusan hendak menundukkan Siao-lim-pay dengan kekerasan.
Mata Bu-siang Sian-su perlahan-lahan menyapu kepada semua anak muridnya yang berada di situ. Mukanya telah berobah demikian rupa. Padri tua yang bertindak sebagai pemimpin itu sebetulnya tidak tega mengorbankan nasib murid yang jumlahnya seribu lebih itu, tetapi kecuali menyerah masuk menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas, sudah tentu tiada jalan lain lagi!
Tiba-tiba Hiat-ie Nio-cu berpaling menghadapi delapan orang utusan Bulan Emas.
Delapan utusan itu nampaknya agak terkejut. Utusan yang membawa panji itu, terang sebagai kepala rombongan delapan orang itu, saat itu segera menegurnya:
"Nyonya bukankah Hiat-ie Nio-cu?"
Dengan suara bengis Hiat-ie Nio-cu menjawab:
"Betul! Aku masih ada sedikit perhitungan dengan Bu-siang yang masih belum dibereskan. Kalian menyingkir jauh dulu!"
Delapan utusan itu seketika itu berobah wajahnya. Orang yang bertindak sebagai kepala itu lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Nyonya terlalu sombong!"
"Apakah kalian ingin mencari mampus?"
"Belum lama berselang nyonya telah menghancurkan cabang persekutuan kami dan membunuh orang-orangnya, perbuatanmu ini kita masih belum membuat perhitungan denganmu!"
"Apakah dengan kalian sekawanan kelinci ini aku harus membuat perhituongan?"
Tepat pada saat itu tiba-tiba terdengar nada suara yang tajam dan dingin menyahut:
"Hiat-ie Nio-cu, kau jangan omong besar!"
Delapan utusan itu ketika mendengar suara itu, segera menyingkir di kedua samping. Hampir bersamaan pada saat itu, seorang tua bertubuh tinggi besar, telah muncul di situ.
Hiat-ie Nio-cu ketika melihat kedatangan orang itu, wajahnya segera berobah. Katanya dengan nada suara dingin:
"Iblis Gajah, apakah kau masih belum mati?"
'"Ha, ha, aku masih ingin hidup beberapa tahun lagi!"
"Apakah maksud kedatanganmu ini?"
"Hendak mengirim kawanan padri untuk menghadap kepada Budha!"
Semua anak murid Siaolim-pay mendengarkan percakapan dua orang itu dengan tenang. Meskipun mereka sedang terancam bahaya maut, tetapi tiada satu pun yang menunjukkan perasaan takut, walaupun mereka tahu bahwa mereka tidak ada yang diandal kecuali kebulatan tekad yang hendak hancur bersama-sama musuhnya.
Dengan sikap menghina Hiat-ie Nio-cu |berkata:
"Iblis Gajah, dengan nama, derajat dan kedudukanmu, sungguh tidak kusangka kau juga rela menjadi budak orang!"
Walaupun ucapan iblis itu merupakan suatu penghinaan besar, tetapi Iblis Gajah tidak marah, sebaliknya memperdengarkan suara tertawanya yang aneh, kemudian berkata:
"Nenek tua, kita tidak perlu bicara banyak-banyak. Tadi kau mengatakan hendak membereskan perhitungan dengan Siao-liem-pay, apakah itu betul?"
"Betul!"
"Dengan cara bagaimana kau hendak membereskan perhitungan itu?"
"Kuhendak cuci kuil ini dengan darah mereka untuk menuntut balas anak perempuan itu!"
"Itu bagus sekali, kita justru satu maksud dan satu tujuan. Nah, silahkan!"
Sebagai orang yang berpengalaman, Hiat-ie Nio-cu ketika mendengar perkataan itu segera mengerti maksud Iblis Gajah ku. Maka lalu menjawab sambil berkata:
"Siluman tua, kau jangan mengintip orang dari lubang kunci pintu, sehingga dapat menyaksikan segalanya dengan sepuas-puasnya. Apakah kau kira aku tidak mengerti maksud hatimu yang hendak meminjam tanganku untuk membereskan kawanan kepala gundul itu" Sebaliknya kalian dapat mencapai tujuan kalian tanpa mengeluarkan tenaga, setelah itu kalian baru turun tangan
terhadapku, untuk membuat perhitungan perbuatanku di kuil Thian Ong-sie hari itu, betul tidak?"
"Kecerdasanmu ternyata masih tetap seperti dahulu kala. Tentang perbuatanmu, di kuil Thian Ong-sie itu persekutuan kami sudah pasti hendak minta penanggungan jawabmu. Tetapi andaikata kau ingin menyimpan tenagamu, silahkan kau mundur ke rumah kuil."
Jawaban itu cukup pedas, satu sama lain nampaknya tidak mau mengalah.
Hiat-ie Nio-cu setelah berpikir sejenak lalu berkata:
"Ijinkan aku untuk bertanya lagi kepada si gundul itu...."
"Silahkan."
Hiat-ie Nio-cu membalikkan badannya, berjalan menghampiri pemimpin Siao-lim-pay, kemudian berkata:
"Bu-siang, kau tentunya sudah melihat sendiri nasib apa yang akan dihadapi oleh Siao-lim-pay?"
"Sebagai orang dari golongan benar, sebagai orang jantan, partay kami lebih suka hancur lebur tidak sudi menyerah bertekuk lutut di hadapan musuh."
"Katamu kedengarannya sangat agung. Jawablah terus terang, di mana anak perempuanku itu sekarang" Aku nanti akan keluar dari pertikaian ini."
"Kami tadi sudah mengatakan, memang benar-benar Pek-leng-lie dahulu pernah ditangkap, tetapi kemudian kami telah memerintah supaya dibebaskan lagi. Bagaimana kami tahu di mana sekarang ia berada?"
"Omong kosong. Mengapa sejak kejadian itu di kalangan Kang-ouw lalu tiada tampak lagi jejak anak perempuan ini?"
"Tentang ini bagaimana aku dapat menjawab?"
"Kalau begitu kau jangan menyesal!"
"Yang menyesal barangkali sicu sendiri."
Hiat-ie Nio-cu tiba-tiba membalikkan badannya dan berkata pada si Iblis Gajah:
"Tidak halangan apabila kita bergandengan tangan untuk nembereskan keadaan di sini dulu. Urusan kita pribadi nanti kita bicarakan lagi. Bagaimana kau pikir?"
"Begitupun boleh, bertiindaklah."
Hiat-ie Nio-cu lalu bergerak menerjang pemimpin Siao-lim-pay.....
Enam anggota pelindung hukum segera bertiindak dengan serentak untuk menyambut serangan musuh itu.
Bersamaan dengan itu, enam orang utusan Bulan Emas juga sudah bertindak.
Dari pihak anak murid Siao-liem-sie, ini juga tidak mau tinggal diam lagi. Mereka juga bergerak untuk menghadapi musuhnya.
Sebentar kemudian, terjadilah suatu pertempuran kalut. Suara beradunya senjata tajam yang diseling dengan suara bentak dan jeritan terdengar di sana sini. Darah mulai mengalir, korban juga jatuh saling menyusul.
Suatu pembunuhan besar-besaran yang sangat mengerikan telah berlangsung di ruangan tempat suci itu.
Duel 2 Jago Pedang 5 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Hati Budha Tangan Berbisa 9
^