Pedang Pembunuh Naga 4

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 4


Sukma Tidak Buyar berpikir sangat lama baru menjawab:
"Hanya ada satu kemungkinan, bahwa tindakan Liang-gie Sie-seng, sengaja tidak diberitahukan kepada istrinya. Maka ia tidak tahu sama sekali segala perbuatan suaminya dan si pembunuh itu mungkin setelah mendapatkan barangnya lalu kabur jauh-jauh."
"Siapakah pembunuhnya?"
"Tentang ini" bagaimana kita dapat menduganya?"
"Jika kita dapat membukakan Oey-Yung Hong dari keterangan wanita itu mungkin kita dapat mencari tanda-tanda jejak pembunuhnya!"
"Satu-satunya jalan memang hanya itu saja!"
"Nah, mari kita kubur jenazahnya!"
"Baiklah."
Dua pemuda itu lalu bertindak, dengan cepat mengubur jenazah wanita itu bahkan melekatkan batu nisan di atas makamnya. Setelah scmua selesai, Hui Kiam lalu berkata:
"Mari kita masuk. Dari jenazah Liang-gie Sie-seng mungkin kita dapat menduga siapa pembunuhnya"."
"Luka yang terdapat di badan Oey Yu Cu itu merupakan luka pedang, sudah tentu Liang-gie Sie-seng tidak kecualian!"
"Itu belum tentu. Umpama Sam-goan Lojin, jika di jidatnya tiada terdapat tanda tiga jari."
"Baiklah, mari jalan...."
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang menegur mereka: "Apakah kalian berdua mencari mati?"
Dua pemuda itu terkejut, kedua-duanya berpaling. Begitu melihat, Sukma Tidak Buyar ternganga. Hui Kiam yang wajahnya terlalu dingin juga berdiri terpesona.
Terpisah kira-kira tiga tombak di tempat kedua pemuda itu berdiri, nampak seorang wanita cantik sekali. Badannya mengenakan pakaian sutera yang putih sekali, pakaian dalamnya
berwarna merah jambu, tampak tegas bentuk badannya yang padat yang penuh daya penarik.
Cantik sekali. Kecantikannya itu tidak dapat dilukiskan dengan pena. Kecantikannya membuat orang terpesona, tetapi tidak berani memandang lama.
Siapa percaya bahwa di dalam dunia ini ada makhluk demikian cantik"
Ia seharusnya bidadari yang tinggal di kahyangan.
Suasana untuk sesaat agaknya menjadi sunyi.
Sinar mata wanita cantik itu yang penuh daya penarik ditujukan ke wajah Hui Kiam, kemudian beralih turun kepada perut, paha dan kaki, selanjutnya memandang lagi dari bawah ke atas lalu berhenti di wajahnya.
Hui Kiam dapat merasakan seluruhnya bahwa dirinya diperhatikan sedemikian rupa, tetapi ia tidak berdaya melawan juga tidak berdaya untuk mengelakkan pandangan itu. Semacam perasaan yang belum pernah ada timbul dari dalam hati sanubarinya membuat wajahnya dan sikapnya yang dingin telah lenyap seketika dan berubah menjadi warna kemerah-merahan.
Wanita itu tersenyum, tenang sikapnya tetapi sikap itu sangat menggiurkan dan menggayakan.
Dalam senyumnya yang memikat hati, agaknya mengandung semacam pengaruh yang kuat yang membuat orang terbenam dalam mabuk dan pikiran yang bukan-bukan.
"Hm!" terdengar suara tarikan napas, mirip suara keluhan tetapi juga mirip dengan orang yang mengigau. Suara itu keluar
dari mulut Sukma Tidak Buyar. Entah ia sudah lupa akan dirinya sendiri atau hilang semangatnya. Mungkin ia merasa tidak adil terhadap perhatian si cantik jelita yang hanya ditujukan kepada Hui Kiam....
Suara tarikan napas itu telah memecahkan kesunyian tetapi sebentar sudah kembali seperti semula, keadaan menjadi sunyi sepi
lagi. Agaknya semua perhatian ditujukan kepada paras yang cantik luar biasa itu.
Jantung Hui Kiam tergoncang. Ia tahu bahwa ia sendiri sudah tidak mampu mengendapkan perasaannya sendiri.
Ia juga tahu bahwa tidak seharusnya berlaku demikian. Tetapi ia tidak dapat mengendalikan pandangan matanya. Ia berusaha tetapi selalu sia-sia, bagaikan ada semacam kekuatan hebat yang tidak berdaya menguasai dirinya sendiri.
Wanita cantik itu untuk kedua kalinya mengajukan senyumnya yang semakin memikat hati makin mengiurkan.
Hui Kiam merasakan bahwa dirinya sudah melayang-layang di tempat yang kosong.
Sinar mata si cantik ditujukan kepada Sukma Tidak Buyar.
Hui Kiam bagaikan seorang yang baru terlepas dari tindihan barang berat, mendapat kesempatan untuk bernapas, pada saat itu ia baru dapat melihat bahwa di belakang diri si jelita itu, masih ada seorang perempuan muda cantik, tetapi dibandingkan dengan kecantikan si jelita tadi, kecantikannya bukan merupakan apa-apa lagi.
Perempuan muda itu matanya memandang lurus ke depan dengan sikapnya dingin. Sinar matanya memancarkan perasaannya yang peuh dendam sehingga sangat tidak sesuai dengan suasana pada saat itu. Sikap demikian itu, agaknya telah menyadarkan pikiran Hui Kiam, ia seperti berada dalam kabut yang dapat melihat setitik sinar terang.
Warna merah di mukanya telah lenyap, darahnya mengalir seperti biasa, ia menarik napas dalam-dalam.
Ketika sinar mata si cantik yang menggiurkan itu untuk kedua kalinya ditujukan kepada wajahnya, meski ia merasa terpengaruh tetapi sudah dapat menguasai perasaannya sendiri.
"Kau adalah Penggali Makam?"
Pertanyaan itu keluar dari mulut si jelita kedengarannya sangat menarik sekali.
"Aku benar, bolehkah aku bertanya"."
Huit Kiam ingin berusaha untuk menindas perasaannya sendiri, tetapi ia tidak bisa, sikapnya tidak seperti biasanya yang dingin angkuh.
"Aku bernama Tong-hong Hui-bunl"
"Oh, nona Tong-hong"."
"Aku bukan nona lagi, sebutan ini... kau panggil aku kakak saja sudah cukup?"
Searang wanita, meminta seorang laki-laki yang baru dikenalnya memanggil dirinya "kakak", bukan saja ganjil, tetapi juga mendekati suatu perbuatan yang tidak tahu malu. Tetapi ucapan yang keluar dari mulutnya itu, agaknya sedikitpun tidak menusuk telinga atau menyinggung perasaan, sedikitpun tidak dirasakan aneh, sebaliknya malah menimbulkan perasaan hangat bagi yang mendengarkan.
Wajah Hui Kiam merasa panas. Ia lalu merobah sebutannya:
"Nyonya......."
"Apakah kau merasa sayang memanggil aku kakak?"
"Ini..... ini.. .. kita satu sama lain masih asing."
"Bukankah kita sekarang sudah kenal" Adik, sebutan itu jika dipandang dari sudut umur kita, tidak ada apa-apa yang kurang patut!"
Hui Kiam tidak dapat mengeluarkan perkataan itu, disebabkan karena sifatnya yang dingin dan angkuh.
Si cantik itu berkata pula sambil bersenyum:
"Adik, nama julukanmu ini tidak bagus, dengan keadaan sendiri sangat tidak sesuai, robah saja!"
Nada suara itu bagaikan terhadap kepada satu sahabat akrab yang sudah lama berkenalan, sedikitpun tidak merasa asing.
Dengan tanpa banyak pikir lalu menjawab:
"Tetapi aku merasa senang dan puas dengan nama julukan ini."
"Oh! Ya sudah. Siapa gurumu?"
"Suhu sudah menutup mata. Maaf aku tidak dapat menyebut namanya."
Teringat akan suhunya, dalam hatinya timbul pula rasa dendam dan bencinya, maka di wajahnya segera menunjukkan perobahan dingin dan angkuh lagi seperti biasa.
Si jelita itu diam sejenak kemudian berkata pula dengan ramai senyuman:
"Adik, kita baru berkenalan, tidak usah bicara banyak-banyak, di kemudian hari apabila ada kesempatan kita boleh bicara lagi. Apakah kau ingin masuk ke lembah Bu-hwee-kok?"
Hui Kiam mengawasi lembah di luar gua sejenak, lalu berkata:
"Apakah tempat ini bernama lembah Bu-hwee-kok?"
"Ya! Apakah kau tidak tahu, setiap tumbuhan di dalam lembah ini, tiada satu yang tidak mengandung racun, betapapun tinggi kepandaianmu, kalau sudah masuk juga tidak bisa kembali lagi. Itulah sebabnya dinamakan Bu-hwec-kok, yang berarti Lembah Tidak Bisa Balik Lagi."
Hui Kiam terkejut. Ia mengawasi Sukma Tidak Buyar, nyata pemuda itu saat itu sedang berdiri sambil mengarahkan pandangan mata lurus kepada hidungnya, bagaikan seorang padri yang sedang bersemedi. Sikapnya itu sangat lucu dan menggelikan, mungkin ia takut pandangan matanya kebentrok dengan si jelita maka ia juga tidak mengganggu padanya, kemudian berkata pula kepada si jelita:
"Kalau semua tumbuhan dalam lembah ini mengandung racun, sehingga tidak ada manusia yang keluar dari sini dalam keadaan hidup, mengapa Liang-gie Sie-seng suami-istri masih bisa terbunuh?"
"Sudah tentu ini hanya menurut keadaan biasa dan bagi manusia umumnya, tetapi di atasnya orang pandai masih ada yang lebih pandai, segala sesuatu ada terkecualinya!"
Keterangan itu memang masuk di akal, tetapi pikiran lain timbul dalam hati Hui Kiam, maka ia lalu bertanya pula:
"Kalau bagitu pembunuh Liang-gie Sie-seng suami-istri, kau ..."
"Panggil aku kakak saja!"
Hui Kiam diam saja, ia sesungguhnya tak dapat mengeluarkan sebutan demikian.
Si jelita itu berkata sambil menatap Hui Kiam.
"Adik! Aku hanya berkata menurut anggapan biasa, sama sekali tidak tahu pembunuhnya. Jika sekarang kau tidak sebutkan itu, aku malah masih belum tahu bahwa Liang-gie Sie-seng sudah menutup mata!"
"Kita bisa berjumpa di sini sesungguhnya sangat kebetulan...."
"Bukan kebetulan, melainkan jodoh. Adik, apakah kau percaya soal jodoh?"
Nada itu diucapkan dengan suara yang sangat meggiurkan sehingga Hui Kiam mulai terpengaruh lagi perasaannya, padahal waktu sebelumnya di dalam dadanya kecuali perasaan dendam dan sakit hati sudah tidak ada tempat lagi bagi yang lain, tetapi pada saat ini perasaan itu telah tergoncang pengaruh si jelita telah menembus tembok penjagaan dalam hatinya bahkan sudah barhasil menyusup ke dalam hati sanubarinya.
Si jelita itu melanjutkan ucapannya.
"Adik, dalam hatimu sudah mengakui tetapi kau tidak berani berkata, betul tidak" Tidak apa, kakakmu dapat mengerti ini, sudah cukup sebetulnya, dalam kujelaskan juga, tidak ada harganya sama sekali mengapa kau bisa datang kemari, bukankah karena kitab Thian-gie Po-kip bagian bawah itu, betul tidak" Aku juga mendengar kabar itu sehingga datang kemari, mungkin ada orang datang lebih dulu, mungkin juga masih ada orang yang akan datang
lagi, tetapi tidak lebih dulu atau ketinggalan kita telah berjumpa di sini, maka dapat diartikan sebagai jodoh, bukan soal kebetulan seperti apa yang kau katakana. Perkataan kebetulan yang kau ucapkan tadi, di dalamnya masih ada mengandung maksud lain, betul tidak?"
Hui Kiam tunduk seratus persen terhadap keterangan si cantik itu, sinar matanya menunjukkan perasaan di dalam hatinya.
Si jelita itu menutup mulutnya, ia mengawasi Hui Kiam seperti pertama baru ketemu tadi.
Akhirnya, Hui Kiam runtuh semangatnya, ia tidak dapat lagi mempertahankan perasaannya. Dengan suara yang kurang tegas akhirnya ia mengeluarkan perkataan:
"Kakak!"
Si cantik itu tertawa, agaknya ia merasa puas. Ia maju beberapa langkah dan berkata dengan suara perlahan: "Adik, mendengar panggilanmu ini, di dalam dunia ini rasanya aku sudah tidak menginginkan apa-apa lagi!"
Apakah maksud ucapan itu" Dalam hati Hui Kiam mengerti, sehingga sesaat itu perasaannya bergolak, jantungnya berdebar keras.
Manusia tetap manusia yang terdiri dari darah dan daging, bukan terbuat dari kayu atau batu. Betapapun dingin perasaannya, satu waktu bisa runtuh juga. Teori cuma dapat dipertahankan dalam keadaan biasa, jika berjumpa dengan keadaan yang luar biasa, lain pula artinya. Demikian pula dengan keadaan Hui Kiam, ia dingin menyendiri dan angkuh tetapi sekarang telah berubah seluruhnya.
"Kakak, apakah kau juga tahu soal kitab Thian-gie Po-kip itu?"
Sudah tentu bagi orang-orang rimba persilatan sering menggunakan sebagai gantinya mata.
"Dan sekarang bagaimana?"
"Sudah saja!"
"Tetapi aku tidak boleh tidak harus mendapatkannya!"
"Mengapa?"
"Tidak apa-apa, aku... hanya ingin dapatkan kitab itu!"
"Kau agaknya masih ada perkataan yang belum kau jelaskan?"
Hui Kiam terkejut, ia dikagumkan oleh ketegasan wanita itu. Tetapi biar bagaimana rahasia dirinya sendiri ia harus pegang teguh. Maka ia lalu menjawab:
"Aku tidak menyangkal. Tetapi setiap orang sudah tentu mempunyai rahasia hatinya sendiri yang perlu dirahasiakan."
"Tepat, ialah kita tidak usah membicarakan soal ini. Adik, apakah kau suka mendengar perkataanku?"
"Coba kau terangkan!"
"Apakah kau bermusuhan dengan Persekutuan Bulan Emas?"
"Mengapa kau mengajukan pertanyaan ini?"
"Jawablah dulu pertanyaanku."
"Tidak ada permusuhan pribadi, yang ada hanya permusuhan umum!"
"Apakah artinya permusuhan umum?"
"Rimba persilatan daerah Tionggoan tidak mengijinkan sepak terjangnya yang sewenang-wenang, kebenaran dan keadilan rimba persilatan tidak boleh diinjak-injak."
"Tetapi... aku... sangat khawatir suatu ketika nanti kau binasa di tangan orang-orang Bulan Emas!"
"Aku tidak memperhitungkan kalah menang atau rugi diriku sendiri!" la berhenti sejenak lalu berkata pula: "Apakah kakak ada hubungan dengan persekutuan itu?"
"Oh! Tidak, kau jangan berpikir yang bukan-bukan, aku hanya sangat mengkhawatirkan dirimu, karena Persekutuan Bulan Emas itu mempunyai banyak orang pembantu yang mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi, sehingga tidak boleh kau pandang ringan. Kabarnya telah kau binasakan beberapa anak buahnya...."
"Memang betul!"
"Maka itu persekutuan itu pasti tidak akan membiarkanmu begitu saja."
"Aku tidak perduli, aku hanya tahu berbuat apa yang aku harus perbuat."
"Kegagahan seorang yang tak memakai perhitungan!"
Hui Kiam kembali terkejut dan terheran-heran. Wanita itu bukan saja mempunyai kecantikan yang luar biasa, tetapi juga mempunyai pengetahuan yaug melebihi dari manusia biasa. Agaknya Tuhan hanya mencurahkan cintaNya padanya seorang saja sehingga semua keindahan di luar dan di dalam, telah diberikan kepadanya. Dengan perasaan kagum ia menjawab:
"Ucapan kakak memang benar!"
Pada saat itu Sukma Tidak Buyar tiba-tiba membuka mulut dan berkata:
"Toako, kita harus pergi!"
Paras wanita cantik itu nampak berubah. Ia bertanya dengan heran:
"Apa, ia memanggilmu Toako?"
Hui Kiam menjawab sambil tertawa:
"Dia....."
Baru saja mengeluarkan perkataan "dia"..... telah disela oleh suara tertawanya Sukma Tidak Buyar.
Dengan sikap sungguh-sungguh Sukma Tidak Buyar berkata:
"Enci tidak tahu....."
"Apa" Kau" memanggil aku enci?"
"Seharusnya memang begitu. Dengarkan keteranganku dulu, enci nanti mengerti sendiri. Toakoku ini menurut urutan tingkatan, masih setingkat lebih tua daripadaku. Mengenai usia memang aku yang lebih tua, apa boleh buat hubungan persahabatan kami begitu dalam, jadi terpaksa memanggilnya toako. Sekarang dia adalah adikmu, sudah tentu terpaksa aku juga memanggilmu enci."
Keterangan gila itu, hampir saja membuat Hui Kiam tertawa karena gelinya.
To-hong Hui Bun dengan alis berdiri ia bertanya:
"Siapa gurumu?"
Ia ingin dari jawaban Sukma Tidak Buyar untuk menduga asal-usul perguruan Hui Kiam.
Dengan sungguh-sungguh Sukma Tidak Buyar menjawab:
"Guruku, orang-orang menyebut namanya Tidak Buyar Sukmanya!"
"Apa" Tidak Buyar Sukmanya, sedang kau mempunyai nama julukan Sukma Tidak Buyar."
"Benar, begitulah gurunya beginilah muridnya."
"Tetapi dalam rimba persilatan aku belum pernah dengar ada orang kuat yang mempunyai nama julukan Tidak Buyar Sukmanya."
"Suhu jarang bergerak di dunia Kang-ouw."
"Berapa banyak persaudaraan dalam perguruanmu?"
"Oh! Tidak banyak, cuma delapan!"
"Apakah semua menggunakan nama julukan Sukma Tidak Buyar?"
"Benar! Benar."
Hui Kiam malah merasa bingung, sebab ia sendiri tidak tahu asal-usul Ie It Hoan, ia tidak tahu keterangannya itu diberikan seenaknya saja ataukah benar-benar, tetapi dari tiga orang Sukma Tidak Buyar yang dijumpainya, hanya dia seoranglah yang menyaru, dari sini
bisa ditarik suatu kesimpulan, bahwa keterangan mengenai saudara seperguruan yang katanya ada delapan orang, pasti bohong belaka.
Pada saat itu, beberapa bayangan orang telah muncul. Orang yang muncul lebih dahulu adalah seorang pemuda cukup tampan dengan pakaian seperti orang pelajar, tangannya membawa kipas, sayang nampaknya agak ceriwis. Dia bukan lain dari pada Bu-theng Kongcu. Di belakangnya ada dua orang pemuda dan tiga orang laki-laki berpakaian hitam dan membawa pedang selaku pengiringnya.
Kongcu itu begitu melihat Hui Kiam, wajahnya segera berobah, kemudian ia berkata:
"Manusia benar saja, dimana selalu akan berjumpa, kita kembali bertemu di sini!"
"Orang she Kang, hari ini kau jangan berharap bisa kabur lagi dalam keadaan hidup!" jawab Hui Kiam dingin.
"Mustahil."
Ucapan selanjutnya mendadak ditelan kembali. Sepasang matanya terus memandang paras Tong-hong Hui Bun dengan mata liar. Lama sekali, ia baru berkata lagi sambil tertawa cengar-cengir:
"Nona benar-benar bagaikan dewi yang turun dari kahyangan, aku yang rendah sungguh beruntung dapat berjumpa dengan nona, maafkan dosaku yang berlaku lancang ini!"
Mata Hui Kiam memancarkan sinar beringas kalau ia ingat bagaimana perbuatan Kongcu biadab itu hendak memperkosa diri Wanita Tanpa Sukma. Ia merasa benci terhadap sikapnya itu yang ditujukan kepada Tong-hong Hui Bun itu. Perempuan cantik ini kini sudah mempunyai tempat terpenting dalam hati Hui Kiam, ini juga berarti bahwa Hui Kiam selama itu bersikap dingin, ternyata sudah timbul cintanya terhadap perempuan yang mempunyai kecantikan luar biasa itu. Sudah tentu ia tidak dapat membiarkan kelakuan kongcu yang cerewet itu. Selagi hendak bertindak.....
Sukma Tidak Buyar tiba-tiba mengeluarkan suara batuk-batuk. Ia memberi isyarat dengan mata kepada Hui Kiam sehingga Hui Kiam mengurungkan maksudnya.
Alis To-hong Hui Bun berdiri. Dengan suara yang merdu ia berkata:
"Kau panggil aku nona, itulah kurang tepat, panggil aku cian-pwee masih boleh. Aku sedikitnya lebih tua duapuluh tahun dari usiamu!"
Untuk sesaat lamanya Bu-theng Kongcu nampak tercengang, tetapi ia berkata sambil tertawa cengar-cengir:
"Nona main-main......."
"Apa yang kuucapkan adalah hal yang sebenarnya!"
"Kalau begitu, baik aku menurut panggil kau cianpwe, bolehkah aku numpang tanya..."
"Siapakah namamu?"
"Namaku Kang-Lie, julukanku Bu-theng Kongcu!"
Sehabis berkata kembali ia menjura, semua tulang-tulangnya agaknya merasa lemas, sikapnya itu sesungguhnya sangat memuakkan.
Dengan senyuman sangat mengiurkan Tong-hong Hui Bun berkata:
"Oh, kau adalah Bu-theng Kongeu Kang-Lie!"
Bu-theng Kongcu nampaknya girang sekali, sikapnya sebagai pemuda yang gemar pipi licin telah ditunjukkan dengan nyata. Sambil kipas-kipaskan kipasnya ia berkata:
"Apakah Cian-pwee sudah lama tahu namaku yang rendah?"
"Kabarnya Bu-theng Kongcu kalau membunuh orang tidak membiarkan bangkainya tinggal utuh, kalau memperkosa perempuan tidak pernah meninggalkah nyawanya. Apakah semua itu benar?"
Wajah Bu-theng Kongcu berobah seketika, tetapi sebentar saja balik seperti biasa. Sambil menggoyang-goyangkan tangannya ia menjawab:
"Cianpwe jangan mendengarkan segala kabar bohong yang tersiar di luaran, kau lihat apakah aku orang semacam itu?"
"Dengan maksud apa kau datang kemari?"
"Hanya ingin menonton keramaian. Sungguh tidak disangka aku berjumpa dengan Cianpwee, aku benar merasa sangat beruntung sekali."
"Sudah cukup kata-katamu?"
"Oh! Cianpwe masih belum memberitahuku namanya yang mulia... ?"
Senyum yang terakhir di bibir Tong-hong Hui Bun telah lenyap seketika, parasnya yang menggiurkan diliputi oleh kcmurkaan. Kemudian ia berkata:
"Kang Lie, dengan memandang muka gurumu kali ini aku beri ampun kepadamu satu kali. Lekas kau enyah dari sini!"
Hui Kiam saat itu juga hampir tidak dapat mengendalikan kemarahannya, tetapi di lain pihak ia juga merasa bingung dan terheran-heran ketika mendengar perkataan perempuan cantik itu tadi. Dilihat dari luar, usia Tong-hong Hui-Bun belum cukup tiga puluh tahun, tetapi mengapa ia menyuruh Bu-theng Kongcu memanggilnya Cianpwee" Dari pembicaraannya jelas ia merupakan seorang Kang-ouw kawakan.
Bu-theng Kongcu ketika mendengar perkataan Tong-hong Hui Bun nampaknya sangat terkejut sehingga mundur selangkah dan kemudian berkata:
"Apakah Cianpwee juga kenal suhuku?"
"Aku menyuruhmu pergi!" jawab Tong-hong Hui Bun dingin.
Bu-theng Kongcu nampak berpikir keras, kemudian dengan sekonyong-konyong timbul pula sikapnya yang bawel. Dengan bertindak maju semakin dekat ia berkata:
"Aku sudah mendapat warisan suhu."
Perkataan itu siapapun mengerti apa yang dimaksudkan sebab, guru pemuda ceriwis itu bukan saja berkepandaian tinggi tetapi juga terkenal romantis dengan perbuatannya yang cabul.
Hui Kiam hampir bergerak. Ia tidak menyangka bahwa kongcu biadab itu berani berlaku tidak senonoh terhadap wanita pujaannya itu.
Sekali lagi Sukma Tidak Buyar mencegah Hui Kiam bertindak, ia memberi isyarat supaya menunggu dulu reaksi Tong-hong Hui Bun.
Perempuan muda yang berdiri di belakang Tong-hong Hui Bun, dengan paras gusar berkata kepada Tong-hong Hui Bun dengan suara pelahan:
"Ibu majikan!"
Perkataan ibu majikan itu membuat Hui Kiam sekujur badannya dirasakan dingin. Kalau begitu perempuan cantik itu sudah bersuami.
Tong-hong Hui Bun dengan tangannya memberi isyarat kepada wanita di belakangnya supaya tak berbicara, kemudian dengan sekonyong-konyong parasnya menunjukkan senyumnya yang menggiurkan, lalu berkata:
"Kang Lie, jadi kau tidak tega meninggalkan aku?"
Bu-theng Kongcu benar-benar sudah hampir tidak terkendalikan. Sambil membongkokkan badan ia berkata:
"Aku dengan sungguh-sungguh mengharap dapat melakukan apa-apa untuk kepentingan perempuan cantik semacam kau, setiap waktu aku selalu turut perintahmu!"
"Apakah itu benar?"
"Sekalipun mati aku juga tidak berani berbuat yang berlawanan dengan kehendakku!"
Tong-hong Hui Bun tiba-tiba berkata dengan suara bengis:
"Baik, aku sekarang menyuruhmu mati dengan segera. Lebih dulu korek dua biji matamu, kemudian kau belah sendiri perutmu supaya aku bisa melihat kau apa benar-benar tidak mempunyai usus."
Bu-theng Kongcu melompat mundur tiga-empat langkah. Ia berkata dengan suara gemetar:
"Ini" ini"."
"Aku menyuruhmu pergi, tetapi kau sebaliknya tidak tahu diri!"
"Cianpwee barang kali main-main saja."
"Bukan main-main melainkan bersungguh-sungguh!"
"Bukankah Cianpwee berkata kenal dengan suhu?"
"Tidak usah banyak bicara, lekaslah bertindak!"
Dalam waktu sekejap mata saja suasana telah berobah seluruhnya.
Wajah Bu-theng Kongcu beberapa kali menunjukkan perobahan. Akhirnya ia bersikap seseorang yang minta dikasihani. Ia berkata:
"Cian-pwee mungkin percaya segala omongan yang tersiar di dunia Kang-ouw mengenai diriku. Sebetulnya aku....."
To-Hong Hui Bun segera mengulapkan tangan dan berkata kepada perempuan muda di belakangnya:
"Siao Ciau, bereskanlah dia!"
Perempuan muda itu lalu bertindak maju....
Bu-theng Kongcu menunjukkan senyumnya yang ceriwis. Ia berkata kepada perempuan itu sambil menunjuk dengan kipasnya:
"Nona begini cantik aku benar-benar tidak tega merusaknya. Begini saja?" ia lalu berpaling dan berkata kepada salah seorang anak muda di belakangnya:
"Kau temani nona ini main-main beberapa jurus saja, tetapi jangan bertindak terlalu berat!"
Tindakan Kongcu itu sudah nyata, karena kedudukannya sendiri, ia tidak mau bertanding dengan orang bawahannya orang cantik itu.
Perempuan muda itu semakin gusar karena dianggapnya tidak dipandang mata oleh Bu-theng Kongcu. Saat itu ia juga berada tidak jauh di depan Kongcu, sedangkan Tong-hong Hui Bun menyaksikan semua itu dengan berseri-seri, nampaknya tidak seperti sedang menghadapi pembunuhan.
Sekujur badan Hui Kiam gemetar, ini berlainan sekali dengan sifat biasanya. Sudah beberapa kali ia pernah menghadapi kematian, tapi belum pernah sedemikian terpengaruh perasaannya.
Sebaliknya dengan Sukma Tidak Buyar saat itu nampak sangat tenang sekali, itulah menunjukkan kecerdasan berpikir pemuda itu. Dengan suara perlahan ia berkata kepada Hui Kiam:
"Toako, kita menonton saja, jangan bertindak apa-apa."
Sifatnya pemuda pengawal Bu-theng Kongcu itu nampaknya sudah ketularan sifat Kongcunya, dengan sinar matanya yang ceriwis terus memandang perempuan muda itu seraya berkata:
"Nona, aku Tan Peng......"
Tetapi sebelum dapat mengeluarkan perkataan selanjutnya, mulutnya sudah mengeluarkan jeritan, kakinya mundur terhuyung-huyung dan kemudian rubuh di tanah tidak bisa bangun lagi.
Perempuan muda itu bertindak terlalu cepat juga terlalu tiba-tiba, hampir semua orang tidak melihat dengan cara bagaimana ia turun tangan membinasakan lawannya.
Hui Kiam dan Sukma Tidak Buyar yang menyaksikan itu juga tercengang. Kepandaian perempuan itu sesungguhnya sangat mengejutkan.
Sebaliknya dengan Tong-hong Hui Bun, sikapnya masih biasa seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Bu-theng Kongcu dan empat orang pengawal yang lainnya, seketika tertegun, wajahnya berobah.
Perempuan muda itu dengan sikapnya tetap dingin berkata kepada Bu-theng Kongcu:
"Sekarang aku hendak membunuhmu!"
Bu-theng Kongcu mengawasi bangkai pemuda bekas pengawalnya sejenak lalu berkata kepada Tong-hong Hui Bun:
---ooo0dw0ooo---
JILID 8 SAMPAI berjumpa di lain waktu, sekarang aku ingin pergi dulu!"
Tetapi baru saja ia bergerak, tiba-tiba terdengar ucapan perempuan muda itu yang berkata: "Sudah terlambat!"
Kemudian dengan kecepatan yang luar biasa melesat ke tengah udara, tangannya diayun dan memaksa Bu-theng Kongcu balik ke tempat semu la.
Wajah Bu-theng Kongcu mengunjukkan perasaan kaget dan ketakutan.
Empat orang pengawal Bu-theng Kongcu selagi Bu-theng Kongcu bergerak sudah kabur, maka ketika Bu-theng Kongcu terpaksa balik oleh perempuan muda tadi, empat orang pengawalnya sudah berada sejauh sepuluh tombak lebih.
Sekonyong-konyong, empat orang pengawa1 itu seperti terkena pengaruh gaib, badannya tertarik ke atas kemudian roboh di tanah tanpa bersuara.
Hui Kiam terkejut, matanya lalu ditujukan kearah Tong-hong Hui Bun. Ia segera dapat lihat tangan perempuan cantik itu baru saja telah bergerak. Jelaslah sudah, bahwa empat pengawal itu, sudah
dibunuh mati olehnya, entah dengan senjata rahasia ataukah ilmu gaib macam apa, yang mampu membunuh orang dalam jarak sepuluh tombak lebih.
Perempuan cantik bagaikan bidadari, telah sedemikian ganas caranya mengambil hidup manusia, jikalau tidak menyaksikan sendiri, sebetulnya orang tidak akan percaya.
Tong-hong Hui Bun mengawasi Hui Kiam sambil tersenyum manis, sehingga hati Hui Kiam tergoncang keras.
Di antara suara bentakan, senjata kipas Bu-theng Kongcu sudah menyerang dengan hebat nya kepada perempuan muda itu.
Gerakan perempuan muda itu ternyata juga luar biasa hebatnya. Dalam tiga gebrakan saja sudah berhasil melumpuhkan serangan Bu-theng Kongcu. Lima jurus kemudian Kongcu itu sudah terdesak dan tidak mampu balas menyerang sama sekali.
Hui Kiam diam-diam terperanjat. Perempuan muda itu kedudukannya sebagai pelayan, tetapi kepandaiannya sedemikian tinggi, entah bagaimana kepandaian Tong-hong Hui Bun sendiri.
Serangan perempuan muda itu selalu ditujukan kepada bagian atas dan bawah, bagian tengah tidak pedulikan, agaknya ia sudah tahu bahwa Kongcu itu mengenakan pakaian kulit lemas yang melindungi dirinya.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan wanita muda itu, Bu-theng Kongcu dengan badan terhuyung-huyung mundur sampai lima-enam langkah.
Wanita muda itu terus mendesak, jari tangannya bergerak, menotok jalan darah di bagian mukanya".
Bu-theng Kongcu membentangkan kipasnya dari dalam kipas itu menyembur segumpal jarum halus.
Pertempuran dengan jarak dekat sesungguhnya amat sulit sekali untuk menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia, tetapi kali ini dapat diuji pula betapa tingginya kepandaian wanita muda itu
sambil mengibaskan kedua lengan bajunva, badannya melompat minggir ke samping sehingga terhindar dari serangan tersebut.
Bu-theng Kongcu menggunakan kesempatan terluang yang hanya sekejap mata saja, sudah melesat tingg dan menghilang...."
Tetapi sebentar kemudian terdengar suara jeritan yang mengerikan. Hui Kiam terperanjat ketika ia menengok ke arah Tong-hong Hui Bun. Wanita cantik itu ternyata sudah tidak kelihatan bayangannya, entah dalam sekejap ia sudah berlalu belum lagi hilang perasaan herannya Tong-hong Hui Bun sudah balik dari arah dirinya Bu-theng Kongcu tadi berlalu, dengan wajah penuh senyuman yang memikat hati.
Hui Kiam segera berkata kepadanya:
"Bagus sekali, sungguh luar biasa kepandaian enci!"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik, apakah kau suka?"
Tong-hong Hui Bun balik bertanya dan sambil tersenyum.
Pertanyaan yang mengandung dua maksud itu kembali telah menggoncangkan hati Hui Kiam. Tetapi ia ingat bahwa wanita muda tadi pernah memanggilnya ibu majikan, sehingga perasaannya seketika berubah menjadi murung. Perubahan sikap itu tidak dapat mengelabuhi mata Tong-hong Hui Bun maka ia segera berkata dengan suara lemah lembut:
"Adik, apakah yang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa, aku hanya'merasa....."
"Merasa apa?"
"Perkenalan kita ini barangkali bukan jodoh melainkan dosa."
Sehabis berkata, wajahnya mendadak merah karena di samping Sukma Tidak Buyar ia sendiri juga merasa heran mengapa bisa berkata demikian.
Tong-hong Hui Bun dengan sinar matanya yang jernih berkata dengan suara merdu:
"Mengapa?"
Dengan wajah merah dan suara pilu Hui Kiam berkata:
"Sayang kita bertemu sesudah kau kawin!"
Paras Tong-hong Hui Bun yang cantik menunjukkan sinar girang, sehingga nampaknya semakin cantik, terutama biji matanya yang jernih, mengeluarkan daya penarik semakin hebat.
"Adik, ini masih belum terhitung terlambat, hanya...."
"Hanya apa?"
"Encimu adalah seorang yang sudah pernah kawin, aku takut kau menganggap aku"."
"Tidak terhitung terlambat" Apakah ...."
"Dia sudah meninggalkan aku untuk selama-lamanya."
Siapakah yang dimaksudkan dengan perkataan 'dia' itu tidak usah dikata, sudah tentu adalah suaminya. Jawaban itu membuat hati Hui Kiam berdebar keras, ia kini baru tahu bahwa wanita cantik itu ternyata sudah menjadi janda.
la masih ingin berkata banyak, tetapi karena masih ada orang lain di sampingnya, ia tidak dapat mengeluarkan kata-katanya hanya memandang dengan matanya, agaknya sudah mengutarakan isi hatinya dalam pandangan matanya itu.
Tong-hong Hui Bun berkata dengan suara sedih:
"Adik, apakah..... kau tidak pandang rendah diriku?"
"Tidak!"
"Andaikata, usiaku lebih tua darimu, bahkan jauh lebih tua seperti apa yang kau bayangkan?"
"Itu tidak penting!"
"Apakah kau... cinta padaku?"
Hui Kiam yang sebetulnya bukan pemuda yang gemar paras cantik, bahkan sebaliknya, di waktu yang sudah-sudah, sikapnya
selalu dingin terhadap segala apa, soal istilah cinta tidak dikenalnya, tetapi sekarang, ia jatuh dalam pengaruh perempuan cantik luar biasa itu. Dengan susah payah dia baru dapat mengeluarkan perkataan:
"Ya !"
"Toako!" demikian suara yang keluar dari mulut Sukma Tidak Buyar.
"Hem!" sahutnya Hui Kiam, tetapi mata nya masih belum beralih dari badan Tong-hong Hui Bun itu.
Sukma Tidak Buyar lalu berkata dengan suara lebih keras:
"Kita masih mempunyai urusan yang belum diselesaikan, perlu harus mengejar waktu!"
Ucapan itu menyadarkan pikiran Hui Kiam yang sudah kacau, tentang kematian suami-isteri Liang-gie Sie-seng, sehingga perjalanannya mencari kitab Thian-gie Po-kip telah menubruk tempat kosong, sementara si Orang Tua Tiada turunan yang sudah berangkat lebih dulu ke lembah Ciok-beng-gam, sudah menantikannya di dekat makam pedang, dan tentang kematian toasupeknya di bawah gunung Tay-hong-san dalam usahanya mencari makam pedang itu, ia sendiri yang sebagai murid keturunan Lima Kaisar Rimba Persilatan, jikalau tidak membereskan peristiwa berdarah itu dan melanjutkan cita-cita perguruannya, bagaimana ia mempunyai muka menemui guru dan supeknya yang berada di alam baka.
Oleh karena berpikir demikian maka pikirannya yang bukan-bukan telah lenyap seketika. Dengan tegas ia berkata kepada Tong-hong Hui Bun:
"Enci, adikmu masih mempunyai urusan, sekarang ingin minta diri dulu !"
"Kau... mau pergi?"
Suara yang mengandung daya penarik ditambah dengan sikapnya merayu, semakin hebat daya penarikannya.
Hati Hui Kiam trrgoncang, hampir ia merubah pikirannya, tetapi biar bagaimana ia masih teguhkan pikirannya, maka lalu menjawab:
"Ya!"
Tong-hong Hui Bun berkata dengan suara sedih:
"Kita merasa sayang berjumpa agak terlambat, mengapa tergesa-gesa berpisah" Semoga kita bisa berjumpa lagi." Sepasang matanya yang jernih terus melancarkan pengaruhnya di muka Hui Kiam, kemudian berkata: "Adik, aku menantikan waktu supaya dapat berjumpa lagi denganmu!"
Hui Kiam menundukkan kepala, ia tidak berani memandang mata perempuan cantik itu. Dengan suara perlahan ia berkata:
"Begitu juga dengan aku!"
"Kalau begitu sampai berjumpa lagi."
"Enci, di mana alamatmu?"
"Alamatku" Adik, kediamanku sangat terpencil apalagi sebagian besar waktuku berada di luaran. Begini saja, selanjutnya aku bisa mengirim orang untuk berhubungan denganmu."
"Enci, baiklah begitu saja, sekarang aku hendak pergi!"
Sehabis berkata ia sudah lompat melesat sejauh sepuluh tombak lebih, seolah-olah lari menyingkir dari tempat bahaya. Sukma Tidak Buyar terus mengikutnya. Di sepanjang jalan dua kawan itu tiada berkata apa-apa.
Sikap Hui Kiam agak dingin, ia seperti mendapatkan sesuatu, juga seperti kehilangan sesuatu. Bayangan perempuan cantik yang mempunyai kecantikan luar biasa itu, terus terbayang dalam otaknya. Ia mencoba memikirkan sejenak urusan orang lain, tetapi selalu gagal. Perempuan itu telah menempati seluruh hatinya, juga membangkitkan perasaan yang selama itu terpendam dalam hatinya.
Berjalan kita-kira beberapa puluh pal, Sukma Tidak Buyar baru berkata:
"Toako, kau agaknya berobah menjadi lain orang."
"Aku... berobah?"
"Aku lihat ya. Toako, suka dengan kecantikan memang merupakan kodrat alam, aku tidak bisa bilang apa-apa, hanya harap kau berlaku sedikit tenang dan berpikir masak-masak karena sekali salah tidak bisa merupakan sesal vntuk selama-lamanya!"
"Apa maksud perkataanmu ini?"
"Asal-usul perempuan itu masih merupakan satu teka-teki. Mereka majikan dan pelayannya semua mempunyai kepandaian luar biasa, terutama caranya membunuh orang dengan sikap tanpa berubah, kalau aku memikirkan itu masih agak jeri."
"Adik Huan, kau terlalu banyak berpikir, manusia semua mempunyai sifatnya sendiri-sendiri. Jikalau Tuhan memang pilih kasih terhadap seseorang, tidak mungkin Cuma memberikan kepadanya kecantikan di luarnya saja.
"Tetapi segala perkara di dalam dunia ini kadang-kadang di luar dugaan kita!"
"Ucapanmu memang benar, tetapi terhadap dia aku tidak sangsi!"
"Toako, dia ada seorang perempuan yang sudah pernah kawin...."
"Aku tahu, ini apa salahnya?"
"Toako, aku harap soal ini tidak akan mempengaruhi cita-citamu sebagai seorang kesatria gagah."
Ucapan itu menggetarkan perasaan hati Hui Kiam. Sejak perkenalan, baru pertama kali ini Ie It Huan berkata kepadanya menggunakan nada dan sikap sungguh-sungguh sehingga timbullah pertanyaan kepada dirinya sendiri, apakah sebetulnya yang telah kita perbuat" Benar ataukah salah"
Hanya dalam waktu setengah hari saja sudah merooah pikiran dan penghidupan Hui Kiam. Apakah ini yang dinamakan jodoh, ataukah dosa"
la tidak mau memikirkan terlalu dalam, karena itu merupakan soal yang mempersulit dirinya. Tetapi, terhadap Ie It Huan tidak boleh tidak ia haruS menunjukkan sikapnya, maka ia lalu berkata dengan tegas:
"Adik Huan, aku akan tetap dengan pendirianku!"
Adalah sebuah danau persegi yang luasnya kira-kira setengah hektar. Air danau itu dingin sekali, kalau orang berendam di dalamnya, kulit dan tulang-tulang dirasakan mengilu. Sekitar danau itu adalah lereng bukit yang terjal, hanya ada sebuah jalanan sempit yang cuma dilalui oleh dua orang yang berjalan bersama yang menuju ke tepi danau. Kedua sisi jalan itu merupakan dinding yang terdiri dari lamping gunung yang kelihatan langit nan biru. Keadaan itu sesungguhnya luar biasa anehnya.
Di sekitar danau itu jarak lima tombak tidak terdapat tumbuh-tumbuhan alam.
Bagian belakang danau itu juga merupakan lamping gunung. Di situ terdapat banyak batu hitam yang besar dan yang kecil. Pemandangan alam yang aneh itu menimbulkan rasa ketakutan.
Batu-batu hitam besar yang merupakan rimba batu itu, entah ciptaan alam ataukah buatan manusia.
Menurut cerita orang, di dalam rimba batu hitam itu terdapat sebuah makam. Bukan makam manusia, tetapi makam yang berisi pedang, karena di bawah makam itu tersimpan sebuah pedang purbakala dan buku kitab pelajaran ilmu silat.
Cerita itu entah timbul dari jaman kapan, tapi yang sudah terang sudah menggemparkan dunia rimba persilatan, sehingga banyak orang-orang rimba persilatan termasuk orang-orang berbagai partay berduyun-duyun pergi ke tempat itu untuk menyelidik kebenaran cerita tersebut.
Hari ini di waktu tengah hari, sinar matahari menyinari air di permukaan danau sehingga keadaannya terang benderang, hanya tempat yang merupakan rimba batu hitam itu, keadaannya masih tetap menyeramkan.
Di jalanan yang sempit itu, nampak bergerak banyak bayangan orang. Semua itu adalah orang rimba persilatan yang menuju ke rimba batu hitam itu.
Di antara rombongan orang itu terdapat seorang berpakaian berwarna putih yang sangat menyolok, orang itu bukan lain daripada si Penggali Makam Hui Kiam. Di sampingnya ada seorang pelajar setengah umur. Ia adalah Sukma Tidak Buyar le It Hoan yang sudah menyamar.
Dua pemuda itu ketika tiba di tepi danau segera dapat lihat di situ sudah terdapat banyak orang. Orang-orang biasa, imam dan padri, nampaknya lengkap semua golongan ada, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang, sedang jalanan yang sempit itu masih nampak banyak yang mendatangi.
Di antara banyak orang itu tidak hentinya terdengar suara rintihan. Dimana-mana terdapat orang yang terluka, sehingga keadaannya semakin menyeramkan.
Dengan suara perlahan Hui Kiam berkata kepada Ie It Hoan:
"Orang-orang ini bagaimana caranya terluka?"
Ie It Hoan menjawab berkata sambil menggelengkan kepala:
"Aku juga tidak tahu apa sebabnya, lihat saja dulu."
Seorang orang tua berambut putih dengan tangan membawa tongkat berjalan mendekati dua orang itu. Ia adalah Orang Tua Tiada Turunan yang datang terlebih dahulu.
Dengan tanpa lagi menunggu dua orang itu membuka mulut, orang Tua Tiada Turunan lebih dulu sudah berkata:
"Rimba batu hitam itu adalah sebuah barisan aneh ciptaan orang dari jaman purbakala. Makam pedang itu berada di tengah-tengah barisan batu hitam. Orang-orang yang menerjang masuk ke dalam
barisan itu semua telah dimusnahkan kepandaiannya kemudian terlempar keluar, itulah orang-orang yang sekarang pada merintih-rintih itu."
Hui Kiam terperanjat, ia berkata:
"Kalau begitu dalam barisan itu pasti ada orangnya?"
"Nampaknya memang benar."
"'Apakah semua benda berharga yang tersimpan dalam makam itu sudah diambil oleh orang lain?"
"Mungkin."
Hati Hui Kiam berdebar. Karena makam pedang itu mengakibatkan kematian Toasupeknya, sedangkan barang-barang dalam makam pedang itu seharusnya menjadi kepunyaan perguruannya, maka biar bagaimana tidak boleh terjatuh di tangan orang lain.
Besar kemungkinan bahwa orang dalam barisan itu adalah orang yang dahulu mencelakakan diri toasupeknya, mungkin adalah si jago pedang berkedok yang dahulu mencelakakan diri suhunya dan tiga supeknya yang lain. Memikir akan itu darahnya dirasakan bergolak. Wajahnya yang dingin nampak sangat beringas.
Pada saat itu rombongan orang banyak itu mendadak nampak gempar. Seorang imam dengan pedang di tangan setindak demi setindak menuju ke makam pedang.
Sukma Tidak Buyar lalu berkata:
"Goan-hie, tokoh nomor satu dari partai Butong-pay. Kita lihat!"
Semua mata ditujukan kepada dirinya Goan-hie. Di antara orang banyak terdengar suara orang berkata sambil menghela napas:
"Jago pedang nomor satu dari Bu-tong barangkali tidak luput dari nasib malang, akan kehilangan seluruh kepandaiannya, sayang!"
Goan-hie setiba di tepi barisan aneh itu lalu berhenti. Badannya agak gemetar, jubah imamnya yang lebar telah tergoyang-goyang. Jelas bahwa perasaannya sangat tegang.
Sebentar kemudian, ia agaknya sudah mengambil keputusan. Dengan membusungkan dada dan mengacungkan pedangnya ia melangkah masuk ke dalam barisan batu hitam. Nampak ia berjalan beberapa putaran lalu menghilang.
Semua orang menantikan dengan menahan napas.
Sebentar kemudian terdengar suara riuh. Di antara suara riuh itu, tampak sesosok bayangan manusia terlempar keluar dari barisan batu hitam dan jatuh tercebur ke dalam danau. Air danau yang semula tenang telah timbul gelombang dan kemudian gelombang itu meluas dan menghilang. Keadaan menjadi tenang kembali.
Orang Tua Tiada Turunan berkata sambil menghela napas:
"Pembukaan tamatlah sudah riwayatnya jago pedang nomor satu dari partay Bu-tong. Ia adalah merupakan seorang yang bernasib malang di antara begitu yang bernasib serupa dengannya. Andaikata ia terlempar jatuh di tepi danau, meskipun kepandaiannya musnah, tetapi jiwanya masih ada, tetapi karena terjatuh di dalam danau, sehingga bangkainya pun musnah!"
Hui Kiam berkata dengan perasaan heran:
"Sekalipun mati kelelap, tetapi bangkainya toh bisa timbul lagi?"
"Kau coba saja, danau itu dingin sekali bulu ayampun tidak bisa mengambang jikalau tidak begitu, jumlahnya anak murid Bu-tong-pay yang ikut datang kemari sedikitnya ada sepuluh orang lebih, mengapa mereka tidak pergi mencari!"
"Ah!" demikian Hui-Kiam berseru dengan suara gemetar.
Tiba-tiba terdengar suatu tertawa aneh sehingga suara riuh menjadi tenang.
Seorang tua berambut merah berpakaian baju panjang warna-warni, dengan langkah lebar berjalan menuju ke tepi danau. Semua orang yang menyaksikan kedatangan orang tua itu semua menyingkir memberikan jalan kepadanya, setiap orang menunjukkan perasaan terkejut dan takut.
Sukma Tidak Buyar segera berseru:
"Eh! Mengapa iblis tua ini juga datang kemari?"
"Siapakah dia itu?" demikian Hui-Kiam bertanya.
"Iblis Rambut Merah, manusia buas yang sudah lama terkenal di kalangan Kang-ouw. Ia adalah seorang buas yang tak ada taranya, mempunyai kesukaan makan hati manusia, ia menganggap pembunuhan sebagai barang mainan, tetapi biasanya jarang sekali mengunjukkan diri di muka umum."
Sementara itu Iblis Berambut Merah itu sudah berada di luar garis barisan batu hitam. Rambutnya yang merah nampak berdiri, baju panjangnya yang berwarna-warni melembung bagaikan balon, kedua tangannya diangkat naik dan kemudian didorong maju, dari tangannya itu meluncur keluar hembusan angin hebat menggulung ke arah barisan aneh itu, tetapi, heran sekali hembusan angin hebat itu, ketika menggulung ke dalam barisan itu tiba-tiba lenyap, sedikitpun tidak menimbulkan reaksi apa.
Iblis berambut merah itu berpaling dan mengawasi semua orang yang berada di situ sejenak, sekonyong-konyong lompat melesat tinggi, di tengah udara, ia berputaran sejenak lalu bagaikan seekor burung besar yang melayang turun ke sebuah batu hitam yang tingginya dua tombak, ketika badannya terpisah kira-kira beberapa kaki dari batu tersebut secara tiba-tiba menghilang ke dalam barisan batu.
Untuk sesaat lamanya tidak terdapat tanda gerakan apa-apa. Diantara orang banyak itu ada beberapa orang yang berkata:
"Apakah iblis tua itu sudah berhasil masuk ke dalam makam pedang?"
Selagi semua orang masih diliputi berbagai pertanyaan, Iblis Berambut Merah itu sekonyong-konyong muncul kembali dari dalam barisan dan lari keluar dengan tindakan sempoyongan.
Diantara suara riuh yang keluar dari mulutnya orang banyak, Iblis Berambut Merah itu nampak roboh, kaki dan tangannya berkelojotan sebentar, kemudian tak berkutik lagi.
Iblis Berambut Merah itu merupakan satu-satunya orang yang tidak terlempar keluar, namun dia juga tidak luput dari kematian. Orang banyak pada maju mengerumuni untuk menyaksikan bangkai Iblis Berambut Merah itu. Ternyata tiada terdapat luka apa-apa, hanya lima panca indranya yang mengeluarkan darah, jelas kematiannya itu disebabkan oleh luka dalamnya. Iblis Berambut Merah itu terkenal dengan serangan ilmu tangannya yang bagaikan geledek hebatnya, tetapi akhirnya mati di bawah tangan kosong juga.
Dari semula ia datang dan melancarkan serangan tangan kosong, serta kemudian ia melayang tinggi dan turun ke dalam barisan itu, agaknya mengerti bagaimana caranya masuk ke dalam barisan itu, maka setelah dia terluka parah tidak sampai terlempar keluar bahkan masih mampu lari keluar dari dalam barisan.
Barisannya sudah merupakan suatu barisan aneh, ditambahi lagi dengan terlampau tingginya kepandaian dan kekuatan orang dalam barisan itu, sehingga setiap orang yang menyaksikan mau tidak mau merasa takut, sehingga akhirnya satu persatu mundur teratur meninggalkan tempat yang sangat berbahaya itu.
Hui Kiam berkata sendiri:
"Mereka akhirnya telah mundur teratur!"
Sesosok bayangan orang sekonyong-konyong mendekati dirinya dan berkata dengan suara merdu:
"Penggali Makam, selamat bertemu!"
Hui-Kiam berpaling, orang yang menegurnya itu ternyata adalah Wanita Tanpa Sukma.
Berbeda dengan sikap dan kelakuan biasanya, Wanita Tanpa Sukma berkata dengan sikap sungguh-sungguh:
"Penggali Makam, mengenai urusan barang antaran kepada orang itu, aku sudah menyelesaikannya sendiri, kau tentunya tidak membenci aku lagi, bukan?"
"Aku merasa bersimpati dengan nasib nona, tapi aku harap selanjutnya jangan terlalu banyak membunuh orang yang tidak berdosa!"
"Hal ini aku tidak mungkin, karena aku hendak menuntut balas. Aku dapat mengakhiri perbuatanku ini apabila aku sudah tidak bernyawa!"
"Bu-theng Kongcu sudah binasa, kau tidak perlu mencarinya lagi!"
"Apa" Siapa yang telah membunuhnya?"
"Tentang ini maaf aku tidak dapat memberitahukan kepadamu. Hanya ada satu hal yang perlu aku jelaskan bahwa orang yang membunuhnya itu adalah seorang wanita."
"Oh!"
Wanita Tanpa Sukma agaknya merasa masgul karena tidak dapat membunuh dengan tangan sendiri Kongcu keparat itu.
Pada saat itu matahari sudah mendoyong ke barat. Keadaan di tepi danau gelap. Orang-orang yang berada di situ jumlahnya tinggal beberapa orang saja. Yang paling menyedihkan adalah orang-orang yang sudah dimusnahkan kepandaiannya, orang-orang itu jalanpun perlu dibimbing orang, mereka nampaknya sangat menyesal atas perbuatannya yang sangat gegabah.
Hui Kiam tiba-tiba merasakan ada beberapa orang yang memandang dirinya dengan sinar mata buas. Ketika ia berpaling, ternyata ada tujuh-delapan orang yang berjalan menghampirinya. Sebagai kepala dari orang-orang itu adalah seorang tua berpakaian hitam yang matanya cuma tinggal sebuah. Di pinggang orang tua itu tergantung sebilah pedang besar yang aneh bentuknya. Matanya yang cuma tinggal satu, memancarkan sinarnya yang menakutkan.
La bukan lain daripada kepala bagian penyelidik Persekutuan Bulan Emas, Ko Han San yang karena ketakutan dengan munculnya seorang perempuan berkerudung sehingga mengorek biji matanya
sendiri, ketika sedang menyelidiki Iblis Perempuan Bertusuk Konde Emas di gunung Sin-lie-hong.
Ko Han San yang nampaknya masih dendam sakit hati terhadap Hui Kiam, lalu berkata dengan nada suara yang menyeramkan:
"Penggali Makam, hari ini kau pasti mati!"
"Ko Han San, kaulah barangkali yang akan mati!" jawab Hui Kiam dengan nada suara dingin.
Ko Han San dengan matanya yang cuma satu, mengawasi orang lain, mulutnya berkata:
"Orang Tua Tiada Turunan, Wanita Tanpa Sukma!" tatkala matanya tiba kepada Sukma Tidak Buyar ia tercengang dan berkata:
"Tuan siapa?"
"Sukma Tidak Buyar!"
"Kau juga Sukma Tidak Buyar?"
"Benar, kalau palsu kau boleh tukar!"
"Hm," mata Ko Han San kembali menatap wajah Orang Tua Tiada Turunan, lalu berkata pula sambil tertawa yang dibuat-buat:
"Kepala komando pasukan persekutuan kami sangat mengharapkan kedatangan tuan."
Orang Tua Tiada Turunan mendelikkan sepasang matanya, dengan perasaan hati mendongkol berkata:
"Ciok Siao Ceng sudah sedemikian lanjut usianya akan tetapi masih tidak tahu diri, aku tidak sudi mendengar namanya disebut lagi."
"Tuan jangan menuruti hati sendiri, dan memaki orang seenaknya. Tuan harus bisa memikirkan akibatnya!"
"Apakah kau hendak menggunakan Bulan Emas untuk mengancam diriku?"
"Bukan berarti mengancam. Persekutuan kami selamanya dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan."
"Hem!"
"Apakah kalian bertiga datang bersama-sama dengan Penggali Makam?"
Hiu Kiam segera menyahut:
"Orang she Ko, jikalau maksud kedatanganmu ini hanya kau tujukan kepada aku seorang saja, tak perlu kau merembet-rembet orang lain."
"Penggali Makam, apakah maksudmu tidak merembet orang lain?"
"Urusan ini memang tiada ada hubunganya dengan orang lain!"
"Bagus sekali, hunus pedangmu."
Ko Han San menghunus pedangnya yang besar.
Hui Kiam tidak berani berlaku gegabah. Dalam pertempuran di lembah gunung Sin-lie-hong dahulu, cuma dalam waktu sepuluh jurus telah terluka kedua-duanya. Jikalau ia tidak mengandalkan ilmu pedargnya yang mempunyai gerak tipu luar biasa itu, dalam soal kekuatan tenaga dalam ia masih kalah setingkat dengan musuhnya itu.
Sambil menghunus pedangnya, Hui Kiam berdiri seenaknya, ujung pedang menunjuk ke bawah.
Orang-orang yang masih belum pergi dari tempat itu, balik kembali hendak menyaksikan suatu pertempuran yang dahsyat.
Dari sikap kedua pihak, dapat diduga bahwa itu akan merupakan suatu pertandingan ilmu pedang yang hebat.
Orang Tua Tiada Turunan, Sukma Tidak Buyar dan Wanita Tanpa Sukma dengan sendirinya menjadi sekelompok. Semua mundur ke belakang dua tombak jauhnya.
Delapan anak buah Ko Han San mengambil sikap mengurung. Lapisan terakhir adalah orang yang hendak menonton.
Dengan tiba-tiba terdengar suara beradunya pedang. Orang tidak tahu siapa yang turun tangan lebih dulu, hanya selagi semua mata masih ditujukan pada mereka, dengan cepat sekali masing-masing saling menyerang satu kali, setelah itu kedua-duanya melompat mundur lagi dan berdiri di tempat semula, seolah-olah belum pernah bergerak.
Hanya gelombang hembusan angin yang keluar dari sambaran pedang mereka terpancar sekitarnya sejarak lima tombak lebih.
Ketegangan setiap orang yang menyaksikan pertempuran tersebut, tidak kalah hebatnya dengan orang bertempur sendiri.
Nafsu membunuh yang menakutkan, tergores nyata di wajah orang yang sedang bertempur sehingga menimbulkan perasaan ngeri bagi yang melihat.
Orang Tua Tiada Turunan dan Sukma Tidak Buyar saling memberi isyarat dengan mata, seolah-olah hendak memberitahukan bahwa jikalau perlu mereka juga akan bertindak.
Hanya Wanita Tanpa Sukma yang nampaknya masih tenang-tenang saja dengan paras penuh senyuman.
Suara beradunya pedang yang memecahkan telinga, menggetarkan semua orang yang menonton. Ternyata kedua pihak sudah saling menyerang lagi. Kali ini kedua pihak nampaknya sudah mengeluarkan seluruh kekuatannya, muka kedua orang nampak merah membara. Demikianlah selanjutnya serangan ketiga, keempat, kelima" telah berlangsung dengan cepat.
Badan kedua pihak sudah terdapat banyak tanda darah.
Karena hebatnya pertempuran, sehingga orang-orang yang menyaksikan tanpa sadar mundur, dengan demikian kalangan untuk menghindari pertempuran nampak semakin luas.
Kematian terjadi setiap saat, tetapi dalam keadaan kekuatan kedua pihak berimbang pada akhirnya pasti akan terluka kedua-duanya.
Dalam suasana demikian gawat sekonyong-konyong terdengar suara bentakan: "Tahan!"
Dua orang yang sedang bertempur sengit itu seketika lalu berhenti bertempur.
Seorang wanita muda berpakaian kuning tua muncul di tengah kalangan.
Hui Kiam terkejut, dengan munculnya wanita muda ini mungkin Tong-hong Hui-Bun juga akan datang, satu bayangan dari seorang wanita yang mempunyai kecantikan luar biasa segera terbayang di otaknya, jantungnya segera berdebar keras.
Ko-Han San ketika melihat kedatangan wanita muda itu, wajahnya berubah seketika. Baru saja mulutnya mengeluarkan perkataan:
"Nona...."
Wanita muda itu sudah mengulapkan tanganya dan memotong perkataannya. Dengan suara dingin sekali ia berkata:
"Aku mendapat perintah dari pemilik tanda batu kumala hendak minta pelajaran beberapa jurus darimu!"
Saat itu semua orang baru mengetahui bahwa di tangan wanita muda itu sedang mecngangkat tinggi sepotong batu kumala yang gemerlapan sebesar telapak tangan.
Ko Han San dengan tangan badan gemetaran mundur tiga langkah. Ia berkata dengan suara ketakutan:
"Tidak berani!"
Siapakah orang yang mempunyai batu kumala itu" Mengapa ia mempunyai pengaruh demikian besar sehingga membuat Ko Han San yang mempunyai kedudukan sebagai kepala bagian penyelidik Persekutuan Bulan Mas, sampai ketakuian setengah mati" Setiap orang yang menyaksikan kejadian itu hatinya merasa terheran-heran.
Hanya Hui Kiam dan Sukma Tidak Buyar yang terkecuali, karena mereka berdua mengetahui siapa adanya wanita muda itu.
Hati Hui Kiam tergoncang keras, pikirannya kalut, sebab ia sudah tahu bahwa pemilik batu kumala itu sudah tentu adalah wanita pujaannya, To-hong Hui-Bun, tetapi asal-usul yang sebenarnya ia sendiri pun tak tahu.
Persekutuan Bulan Mas merupakan suatu persekutuan yang amat rahasia dan besar pengaruhnya, sedang Ko-Han San yang mempunyai kedudukan tidak rendah di dalam persekutuan itu ternyata begitu takut terhadap sepotong batu kumala itu.
Hui-Kiam melirik kepada Sukma Tidak Buyar. Agaknya ia ingin minta keterangan dari adik angkatnya yang terkenal amat cerdik dan banyak akalnya serta mempunyai pengetahuan luas tentang keadaan dunia Kang-ouw. Tetapi ia yang ia dapat dari adik angkatnya itu hanya satu sikap yang bingung. Terang bahwa ia tidak kenal asal-usul batu kumala itu.
Wanita muda itu perlahan-lahan menyimpan lagi batu kumalanya, kemudian berkata:
"Kalau kau memang tidak sudi memberi pelajaran, itu terserah padamu sendiri."
Hanya beberapa patah kata itu saja sudah cukup membuat Ko Han San yang biasanya amat sombong, bungkam dalam seribu bahasa yang kemudian membalikkan badannya dan mengeloyor pergi. Perbuatannya itu segera diturut oleh delapan anak buahnya.
Orang Tua Tiada Turunan yang terkenal sebagai jago tua sudah banyak pengalaman, juga melengak ketika menyaksikan keadaan demikian.
Wanita muda itu lalu berpaling dan berkata kepada yang lain-lainnya.
''Tuan-tuan juga boleh pergi!"
Perkataan itu besar sekali pengaruhnya, tiada seorangpun yang berani menentang, semuanya lalu mengundurkan diri.
Dengan demikian yang tinggal hanya Hui Kiam, Orang Tua Tiada Turunan, Sukma Tidak Buyar, Wanita Tanpa Sukma dan wanita muda itu.
Hui Kiam menyimpan lagi pedangnya lalu menghampiri wanita muda itu seraya berkata:
"Bagaimana nona tahu aku"."
Tanpa menanti perkataan selanjutnya, wanita muda itu sudah berkata sambil tersenyum:
"Kedatangan "budakmu' ini hanya secara kebetulan saja yang sedang kebetulan lewat di sini."
"Oh!"
Hui Kiam ingin berkata apa-apa, tetapi ia merasa tidak enak untuk mengeluarkannya.
Wanita muda itu berkata pula:
"Apakah kedatangan Siaohiap ini hendak menyelidiki barang-barang dalam kuburan pedang itu?"
"Benar!"
"Jikalau tidak mengerti caranya memecahkan barisan batu aneh ini, mungkin maksud itu susah tercapai!"
"Nona juga, tahu..."
"Budakmu hanya berkata menurut apa adanya saja. Melihat keadaannya makam pedang ini sudah ada yang punya, jikalau hendak merebut dengan menempuh bahaya, apakah ada harganya?"
Hui Kiam diam, sudah tentu ia tidak dapat menerangkan bahwa barang-barang dalam makam pedang itu adalah peninggalan perguruannya. Apapun yang akan terjadi, ia juga akan mengambilnya kembali untuk menunaikan tugas yang diberikan oleh gurunya. Di samping itu, barang-barang dalam makam itu mempunyai hubungan erat dengan kitab pusaka Thian-gie Po-kip. Karena ia sendiri sudah berhasil mempelajari ilmu silat yang
terdapat dalam kitab pusaka itu bagian atasnya, maka pelajaran bagian bawah yang terdapat dalam kitab itu serta pedang pusaka yang berada dalam makam itu ia pasti akan mendapatkannya, untuk menyelesaikan tugasnya menuntut balas bagi bunda dan gurunya. Mungkin orang yang berada dalam barisan itu justru musuh besarnya sendiri.
la ingin menanyakan jejaknya Tong-hong Hui Bun, tetapi ia mulu membuka mulut.
Wanita muda itu ternyata sangat cerdik, ia agaknya sudah mengerti apa yang dipikirkan oleh pemuda itu. Maka ia membuka mulut lebih dahulu:
"Ibu majikan karena ada urusan melakukan perjalanan ke barat, setelah kembali nanti pasti akan menjumpai Siaohiap."
Mendung yang meliputi wajah Hui Kiam telah lenyap seketika. Dengan mata bersinar ia berkata:
"Aku menantikan kedatangannya!"
Sukma Tidak Buyar berkata dengan suara aneh yang dibuat-buat:
"Sejak dahulu orang gagah tidak sanggup melalui jebakan wanita cantik, jangan coba-coba meniru kelakuannya lagi romantis, ini merupakan hutang asmara"."
Hui Kiam memelototkan matanya, sehingga Sukma Tidak Buyar tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Perempuan muda itu sekonyong-konyong berpaling dan berkata pada Wanita Tanpa Sukma:
"Apakah kau yang mempunyai julukan Wanita Tanpa Sukma, yang dalam kalangan Kang-ouw pada waktu belakangan ini ramai menyiarkan sebagai ular berbisa?"
Pertanyaan itu agak kasar, sehingga paras Wanita Tanpa Sukma berobah seketika, lalu berkata:
"Benar, mengapa?"
"Kau tidak boleh mendekati dia!"
"Dia... dia siapa?"
"Aku tidak perlu bertengkar mulut dengan kau. Ingat, perbuatanmu itu jika kau lakukan kepada dirinya, itu berarti mencari mati."
Yang dimaksudkan dengan perkataan "dia" oleh perempuan muda itu sudah tentu adalah Hui Kiam, maka wajah Hui Kiam seketika itu menjadi merah, pikirannya sangat gelisah.
Wanita Tanpa Sukma lalu berkata dengan suara gusar:
"Kita satu sama lain sama-sama perempuan, kau jangan berlaku keterlaluan! Siapakah kau ini?"
"'Siapa aku, kau tidak perlu tahu. Ingat peringatanku!"
"Kau, kentut...."
"Kau memaki siapa?"
"Memaki kau, mau apa?"
"Kau mencari mampus!"
Kata-kata yang terakhir, ditutup dengan satu gerakan menyambar tangan Wanita Tanpa Sukma. Tetapi Wanita Tanpa Sukma segera membabat dengan tangannya, sehingga tangan wanita muda itu ditarik kembali untuk menghindarkan serangan tersebut, ia lalu menyambar lagi dengan gerakan yang lebih cepat.
Sebentar terdengar suara jeritan kaget, baju Wanita Tanpa Sukma kena tersambar dan menjadi koyak. Wanita Tanpa Sukma dengan cepat menutupi bagian dada yang terkoyak dengan lengan bajunya, lalu mundur beberapa langkah dan berkata dengan suara bengis:
"Budak hina, kau cuma merupakan satu budak yang diperintah orang, ingat pada suatu hari aku pasti akan membunuhmu!"
Sehabis berkata demikian, dengan cepat lari ke jalan lembah vang sempit....
Tiba-tiba terdengar suara ting, sebuah benda jatuh dari badan Wanita Tanpa Sukma.
Perempuan muda sambil berseru: "Kau tidak bisa pergi jauh!" segera lari mengejar.
Hui Kiam ketika menyaksikan benda yang jatuh dari badan Wanita Tanpa Sukma, jantungnya tergoncang hebat, wajahnya berubah seketika. Ia membungkukkan badan mengambil benda tersebut kemudian berkata dengan suara gemetar:
"Oh, dia."
Badannya juga bergerak pergi menyusul.


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang Tua Tiada Turunan tergoncang pikirannya menyaksikan kejadian tadi, ia lalu berkata kepada Sukma Tidak Buyar:
"Bagaimana mungkin adalah dia?"
"Siapakah dia itu"'' bertanya Sukma Tidak Buyar dengan perasaan bingung.
"Bocah, apakah kau tidak melihat potongan uang logam kuno yang jatuh dari badan Wanita Tanpa Sukma tadi?"
"Potongan uang logam" Oh! Dia adalah orang yang sedang dicari oleh Hui-Kiam itu. Potongan uang logam itu bukankah benda yang dipunyai oleh Hwee-tee Pui-Un Tiong, bagaimana bisa terjatuh di tangannya?"
"Bocah, kau mengaku seorang pintar tetapi sangat bodoh. Budak itu kalau bukan anak perempuan Hwee-tee tentunya adalah muridnya."
"Mari kita susul...."
Keduanya segera menyusul keluar lembah.
Hui Kiam setelah menemukan potongan uang logam itu hatinya merasa cemas karena jalanan sempit tidak dapat lari dengan pesat, baru keluar dari mulut lembah, telinganya telah mendengar suara jeritan ngeri. Suara jeritan itu bagaikan bunyi geledek yang menyambar kepalanya sehingga semangatnya terbang seketika.
Mungkinkah sudah terjadi peristiwa mengerikan"
Terpisah sejarak sepuluh tombak dari mulut lembah tampak berdiri wanita muda berpakaian kuning tua, sedang di tanah nampak rebah menggeletak diri Wanita Tanpa Sukma.
Bagaikan banteng terluka Hui Kiam memburu, dengan badan setengah berjongkok di hadapan Wanita Tanpa Sukma untuk memeriksa keadaannya, ternyata mulut dan dadanya mengeluarkan darah, napasnya tersengal-sengal nampaknya sudah hampir putus nyawanya.
"Sucie! Sucie!" demikian Hui-Kiam memanggil seperti orang gila.
Wanita muda itu parasnya berubah seketika. Dengan perasaan terkejut dan ketakutan ia mundur dua langkah. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat.
Wanita Tanpa Sukma perlahan-lahan membuka matanya. Parasnya pucat bagaikan kertas, kulit mukanya penuh keringat namun tetap membungkam.
"Sucie, kau.... kau tak boleh mati!"
Wanita Tanpa Sukma mengawasinya dengan sinar mata sayu.
Hui Kiam mengeluarkan sopotong uang logam dari badannya, ia lalu merangkapkannya satu dengan yang lain. Ternyata benar, bahwa itu adalah satu uang logam yang dibelah menjadi dua potong.
la lalu menunjukkan potongan uang logam itu di depan Wanita Tanpa Sukma.
Wanita Tanpa Sukma rupanya mengerti. Bibirnya bergerak-gerak, tetapi cuma dapat mengeluarkan beberapa patah kata yang diucapkan dengan suara lemah sekali:
"Kiu kiong san.... Jien" Ong...."
Setelah itu ia lalu memejamkan matanya, tidak dapat membukanya lagi. Ia telah menutup mata untuk selama-lamanya.
Hui Kiam duduk lemas di tanah, tangan dan kakinya dirasakan kesemutan, semangatnya seperti sudah runtuh.
Ia sungguh tidak menduga bahwa Wanita Tanpa Sukma itu adalah anak perempuannya Pui Un Tiong, Pui Cerg Un. Uang logam dapat dipersatukan, tetapi oranguya sudah mati dan kitab pusaka Thian-gie Po-kip juga tak tahu berada di mana.
Ia tidak tahu bagaimana kitab pusaka itu bisa terjatuh di tangan Sam-goan Lojin dan kemudian dirampas orang lagi.
Andaikata Sam-goan Lojin merupakan pembunuhnya yang membunuh empat supeknya, karena Sam-goan-pang sudah musnah, maka sekarang sudah tidak akan dapat dicari kemana jatuhnya kitab pusaka itu. Andaikata ada sebab yang lain, maka teka-teki itu bukankah tidak dapat diungkap untuk selama-lamanya"
"Kiu Kiong San..... Jien.....Ong!" perkataan itu berulang-ulang diucapkan dalam hatinya lalu dalam hatinya bercekat, pikirnya: Suhu dan keempat supeknya semua telah terkena senjata rahasia jarum melekat tulang dan senjata itu adalah senjata kepunyaan Jien Ong; salah seorang dari Raja Rimba Persilatan. Dalam kata terakhir sucie tadi terang sudah menunjukkan bahwa jago pedang berkedok dulu ada hubungannya dengan Jien Ong, maka kalau bukan Jien Ong sendiri tentu adalah muridnya, dan Jien Ong itu tentunya masih mengasingkan diri di gunurg Kiu Kiong San.
Akan tetapi, siapakah gerangan yang berada di dalam makam pedang itu"
Dan akhirnya, siapakah pula gerangan yang membunuh mati suami istri Liang-gie Sie-seng serta kemudian membawa lari kitab pusaka"
Istri Liang-gie Sie-seng pernah menyuruh ia mencari seorang perempuan yang bernama Oey Yu Hong. Ini adalah kunci sangat penting, jikalau dapat menemukannya mungkin bisa menemukan semuanya. Tetapi kenapa harus mencari perempuan itu"
Segala pikiran, dalam waktu sesingkat itu telah tertumpuk di dalam otaknya.
Matanya menatap lagi ke paras Wanita Tanpa Sukma, hatinya timbul lagi lain pikiran.
Ia sudah mati dan perempuan ini mungkin satu-satunya orang terdekat dalam perguruannya tetapi ia sudah menutup mata. Kalau ia ingat pertama kali berjumpa dengannya lalu dipermainkan dengan kepala orang dibuat barang antaran, dan selanjutnya ia telah menggunakan kecantikannya untuk memikat pemuda-pemuda bangor yang gemar paras cantik, lalu dibunuhnya, walaupun tingkah lakunya itu tak dapat dibenarkan tetapi keadaannya dan nasibnya patut dikasihani.
Ia sekarang sudah menutup mata bahkan dengan membawa kandungan, dengan demikian dua nyawa hilang dalam waktu sekejap mata.
Perempuan muda berpakaian kuning tua itu kini telah membuka mulut. Ia berkata dengan suara sedih:
"Adakah ia itu suciemu?"
Pertanyaan itu membawa kembali kepada Hui Kiam untuk menghadapi keadaan sebenarnya. Ia segera bangkit. Dengan wajah beringas dan suara gemetar ia berkata:
"Kau....telah membunuhnya...."
"Tetapi mengapa Siao Hiap siang-siang tidak menerangkan kedudukannya?"
"Aku sekarang baru tahu."
"Aku merasa menyesal atas perbuatanku tadi."
Begitu enak kau bicara?"
"Habis bagaimana?"
"Aku minta kau bayar jiwa."
Paras perempuan muda itu beberapa kali berubah, kemudian berkata:
"Ini adalah salah paham, salah paham yang tak dapat dihindarkan."
"Tidak perduli bagaimana, aku tidak boleh tidak harus membunuhmu."
Perempuan muda itu dengan sikap tenang sekali berkata:
"Kau tidak bisa membunuh aku, sedangkan aku sendiri juga tidak bisa bertindak terhadap kau. Biarlah soal ini nanti dibereskan oleh ibu majikan sendiri.
Teringat akan diri Tong-hong Hui Bun, dalam hati Hui Kiam terjadi perobahan aneh, seketika ia tidak bisa berbuat apa-apa, sementara ia masih belum tahu apa yang harus dilakukan, perempuan muda itu dengan kecepatan bagaikan kilat sudah menghilang.
Hui Kiam mengawasi perginya perempuan itu dengan pikiran kalut.
Sukma Tidak Buyar menghampiri dengan tindakan pelan-pelan. Dengan nada suara penuh perhatian dan simpatik ia berkata:
"Toako, adakah Wanita Tanpa Sukma ini adalah sucimu?"
Hui Kiam menganggukkan kepala.
"Apakah keterangan itu keluar dari mulutnya sendiri?"
"Bukan, menurut dugaanku sendiri!"
"Dugaan, berdasarkan apa?"
"Potongan uang logam ini."
"Boleh dipercaya?"
"Mengapa tidak ?"
"Umpamanya potongan uang logam itu didapatkan dari tangan orang lain, seperti halnya dengan kitab pusaka itu yang telah beberapa kali pindah tangan....."
"Tidak mungkin, uang logam itu sendiri sedikitpun tiada ada harganya, bahkan aku mempunyai bukti."
"Bukti apa?"
"Di puncak gunung Tay-hong-san aku pernah melihat makam si-supek yang didirikan oleh anak perempuannya yang bernama Piu Ceng Un, dan kini potongan uang logam ini berada di badannya, apa yang harus kita sangsikan?"
"Oh, begitu! Sayang ia sudah menutup mata."
"Aku harus membunuh wanita budak itu!"
"Toako, tenanglah sedikit. Ini ada kesalahpahaman. Ia tidak tahu siapa adanya ia sedang kau sendiri juga baru sekarang mengetahuinya."
Dua butir air mata menetes turun dari kelopak mata Hiu Kiam, ini karena perasaan sedih atas kematian sucengnya itu.
Orang Tua Tiada Turunan membuka mulut dan berkata dengan perlahan-lahan:
"Coba kau periksa keadaannya lagi, lihat masih ada barang lainnya yang dapat kau gunakan untuk membuka rahasia ini atau tidiak?"
Hui Kiam tertegun. Satu laki-laki menggeledah badannya seorang wanita, ini ada perbuatan kurang sopan terhadap yang mati. Tetapi karena itu sangat penting, maka setelah berpikir agak lama akhirnya ia memaksakan diri. Dengan sangat hati-hati memeriksa badan Wanita Tanpa Sukma, tetapi tidak dapatkan apa-apa.
"Di sini tempatnya cukup baik. Biarlah kita kubur jenasahnya di sini saja," berkata Orang Tua Tiada Turunan.
Dengan perasaan duka Hui Kiam anggukkan kepala. Sukma Tidak Buyar lalu membantunya menggali tanah untuk mengubur jenazah Wanita Tanpa Sukma.
Penguburan selesai. Di atas batu nisan cuma ditulis namanya Pui Ceng Un, tidak ditulis nama julukannya yang tak sedap itu.
Sukma Tidak Buyar lalu bertanya kepada Hui Kiam:
"Toako, bagaimana tindakan kita selanjutnya?"
"Aku hendak menyelidiki makam pedang."
"Sekarang?"
"Ya!"
Orang Tua Tiada Turunan lalu berkata sambil menggoyangkan tangannya:
"Jangan sekarang, belum tiba saatnya. Dalam sesuatu hal, kita harus berpikir dulu masak-masak, baru bertindak. Dengan sejujurnya, kita bertiga masih bukan tandingan orang dalam makam pedang itu, apalagi masih ada barisan batu hitam mujijat yang merintangi. Jikalau kita menerjang masuk secara gegabah, akibatnya pasti sama dengan orang-orang yang mati atau terluka itu.
Hal ini kita terpaksa menundanya dulu. Cari dulu jalan untuk memecahkan barisan gaib itu, baru kita pikirkan yang lainnya."
Hui Kiam pikir memang benar. Dalam keadaan seperti sekarang tidak perlu menempuh bahaya itu. Maka kemudian berkata:
"Dalam rimba persilatan pada dewasa ini entah siapa yang mengerti ilmu barisan ajaib itu?"
Orang Tua Tiada Turunan itu berpikir sejenak lalu berkata:
"Menurut cerita orang, hanya Jien-ong, salah satu dari tokoh Tiga Raja Rimba Persilatan yang mengerti ilmu barisan itu."
"Apa" Jien-ong"!"
"Benar!"
"Boanpwee bolehkah mencarinya?"
"Bagaimana kau dapat mencarinya?"
"Beliau mengasingkan diri di gunung Kiu-kiong-san...."
"Kau dengar dari siapa?"
Karena sewaktu Wanita Tanpa Sukma mengeluarkan kata terakhir kepada Hui Kiam sebelum ia menutup mata Orang Tua Tiada Turunan dan Sukma Tidak Buyar tidak ada di sampingnya, maka memajukan pertanyaan itu.
Hui-Kiam lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Wanita Tanpa Sukma.
"Soal ini sangat rumit, kita harus berpikir masak-masak. Pertama, andaikata benar bahwa Wanita Tanpa Sukma itu adalah anak perempuan si-supekmu, maka maksudnya memberitahukan nama itu, mungkin hendak mengatakan bahwa pembunuh Lima Kaisar dulu adalah Jin-ong. Dengan adanya Jarum Melekat Tulang yang digunakan sebagai senjata rahasia untuk melumpuhkau ke Lima Kaisar, hal ini nampaknya sangat mendekati dengan kenyataan. Tetapi juga mungkin bukan itu yang dimaksudkan."
"Boanpwee mengerti!"
"Mengerti apa?"
"Bukankah cianpwee mengatakan bahwa dalam dunia rimba persilatan pada dewasa ini, hanya Jin-ong seorang yang mahir ilmu barisan gaib itu...?"
"Bukan cuma dia seorang. Dalam dunia ini banyak sekali orang pandai, ia cuma merupakan salah satu diantaranya yang aku tahu."
"Ya, andaikata Jin-ong adalah penjahat yang membunuh suhu dan empat supek itu atau orang yang menjadi biang keladinya, sudah tentu ia tidak akan melepaskan salah satu bagian dari kitab pusaka Thian-kie Po-kip, yang merupakan motif dari pembunuhan tersebut. Karena ia mahir ilmu barisan, maka dalam makam pedang itu mungkin adalah muridnya atau orang yang terdekat dengannya yang menjaga. Dengan lain perkataan, ia sudah dapatkan barang-barang pusaka yang berada dalam makam itu."
"Emmm. Memang beralasan. Tapi apabila benar dia sudah mendapatkan barang-barang itu, mengapa tidak kabur jauh-jauh" Mengapa bahkan menyiarkan secara luas?"
"Tentang ini... mungkin ada maksud lain atau tujuan...."
"Kau tidak boleh pergi ke gunung Kiu-kiong-san!"
"Mengapa?"
"Dengan kepandaian seperti sekarang ini, jika dibanding dengan Jin-ong masih selisih jauh sekali. Coba kau pikir, apabila rahasia dirimu terbuka, bagaimana akibatnya" Taruhlah kau dapat menemukan dirinya dan dapat membuktikan bahwa ia adalah pembunuhnya, namun kau bisa berbuat apa?"
Hui Kiam tertegun, untuk sesaat lamanya tidak bisa menjawab.
Orang Tua Tiada Turunan berkata pula:
"Bagimu, yang terpenting pada saat ini iaah mencari kitab pusaka Thian-khie Po-kip bagian bawah. Apabila kau berhasil menemukannya dan berhasil mempelajari isinya yang merupakan pelajaran ilmu silat tinggi tiada taranya, maka kau baru bisa bicara soal menuntut balas dendam!"
"Jika tidak dapat menemukan kitab pusaka itu, apakah seumur hidup boanpwe tidak usah memikirkan soal penuntutan balas dendam?"
"Bukan begitu. Barangsiapa berkemauan keras pasti berhasil. Dalam perjalanan hidup manusia, kadang-kadang susah diduga, maka kau jangan sekali-kali patah semangat. Kau merupakah salah seorang yang mempunyai bakat luar biasa, yang kuketemukan dalam seumur hidupku. Aku dapat meramalkan, di kemudian hari kau pasti akan menjadi seorang kuat. Bencana dalam rimba persilatan sedang meningkat, semoga kau di samping usahamu untuk membalas dendam terhadap musuh-musuhmu, jangan melupakan untuk menegakkan kebenaran dalam rimba persilatan. Jadilah seorang kesatria tulen, untuk membasmi segala kejahatan!"
Hui Kiam sangat terharu, dengan sikap menghormat ia berkata:
"Boanpwee akan selalu ingat pesan Cianpwee."
Orang Tua Tiada Turunan menepuk pundak Hui Kiam seraya berkata:
"Hui Kiam, tidak sedikit orang yang menaruh harapan kepada dirimu, harap baik-baik membawa diri!"
Hui Kiam terkejut, ia bertanya:
"Perkataan cianpwe ini pasti ada maksudnya?"
"Sudah tentu. Aku tidak akan mengatakan sembarangan, tetapi sekarang ini masih terlalu pagi untuk memberitahukannya kepadamu!"
"Apakah Boanpwe ada itu harga mendapat perhatian cianpwe?"
"Usaha berada di tangan manusia, tetapi berhasil atau tidak tergantung pada Tuhan.
Sampai di sini dulu pesanku. Sebaiknya kita bicarakan soal-soal yang sebenarnya. Bagaimana dalam perjalananmu ke lembah Bu-hiap untuk mencari Liang-gie Sie-seng?"
"Liang-gie Sie seng suami istri sudah binasa!"
"Ow!"
''Istrinya bernama Oey Yu Cu, sebelum menutup mata, ia minta boanpwe mencari seora"ng wanita yang tidak dikenal, sesungguhnya tidak ubahnya bagaikan mencari jarum di dasar lautan."
"Istrinya Liang-gie Sie-seng masih meninggalkan pesan apa lagi?"
"Tidak ada. Ia menyangkal bahwa Liang-gie Sie-seng bersekutu dengan Auw-yang Hong membasmi Sam-goan-pang, juga menyangkal membunuh Auw yang-Hong. Boanpwee tidak keburu menanyakan pembunuhnya, ia sudah putus nyawanya."
"Aaaa! Peristiwa ini nampaknya semakin aneh dan semakin ruwet, tetapi semua tergantung kepada kita sendiri, biar bagaimana harus kita cari sampai ketemu!" Kemudian orang tua itu berpaling dan berkata kepada Sukma Tidak Buyar:
"Bocah, coba kau usahakan untuk berhubungan dengan setan tua pemabukan. Beritahukanlah kepadanya semua kejadian ini."
"Baik," jawab Sukma Tidak Buyar sambil mengangkat pundak.
Siapakah yang dimaksudkan dengan setan tua pemabukan itu" Apakah suhunya Sukma Tidak Buyar" Akan tetapi Sukma Tidak Buyar pernah mengatakan bahwa suhunya sudah meninggal dunia.
Orang Tua Tiada Turunan berpaling dan berkata lagi kepada Hui Kiam:
"Aku hendak pergi ke pusat persatuan pengemis untuk mencari sesepuhnya, Co Hoa yang mempunyai nama julukan Seribu Telinga, minta tolong kepadanya untuk menyelidiki orang perempuan yang bernama Oey Yu Hoa itu, juga orang yang menggunakan senjata rahasia tusuk konde emas, yang kau katakan itu dan mati hidupnya To-liong Kiam-khek."
"Atas bantuan locianpwee ini, terlebih dahulu boanpwee ucapkan banyak-banyak terima kasih."
"Tidak usah. Oh, aku lupa menanyakan kepadamu, siapakah perempuan muda tadi itu?"
Hui Kiam merasa jengah, dia terpaksa dengan singkat menceritakan perkenalannya dengan Tong-hong Hui Bun, tetapi tidak menyebut hubungan dan perasaannya sendiri terhadap wanita cantik itu, namun sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, walaupun Hui Kiam tidak menerangkan, ia juga sudah dapat menduga sebagian, maka ia lalu berkata dengan suara hambar:
"Untuk menghadapi orang-orang dunia Kang-ouw, harap kau berlaku hati-hati. Sudahlah, aku hendak jalan dulu."
Selagi hendak berlalu, kembali ia menengok kepada Sukma Tidak Buyar dan berkata kepadanya:
"Bocah kau juga harus berangkat."
Setelah Orang Tua Tiada Turunan berlalu, pikiran Hui Kiam kusut, kebaikan Orang Tua Tiada Turunan dan kegiatannya untuk membantu dirinya, membuat ia merasa sangat terharu tetapi dengan tanpa alasan menerima budi orang, ia juga merasa tidak enak.
---ooo0dw0ooo---
JILID 9 Ia mengawasi Sukma Tidak Buyar, ingin menanyakan siapa yang dimaksudkan dengan setan pemabukan, tetapi belum sampai dikeluarkan, ia sudah telan kembali, ia khawatir akan menyinggung perasaan orang lain.
"Toako, tujuanmu selanjutnya?" bertanya Sukma Tidak Buyar.
"Aku?"
Hui Kiam tersenyum pahit. Banyak sekali yang akan dilakukannya tetapi semuanya masih belum diketahui bagaimana harus dimulai. Pembunuh ibunya, pemilik tusuk konde emas hingga kini masih belum diketahui ada di mana" Pesan ibunya untuk membunuh To-liong Kiam-khek. Pemilik loteng merah juga minta ia carikan To liong Kiam-khek, tetapi dimana orangnya" Dan lagi siapa musuh perguruannya serta dimana adanya kitab pusaka Thian-kie Po-kip"
Semua ini, mana yang harus dikerjakan lebih dahulu"
"Toako, kau masih belum menjawab pertanyaanku?" demikian Sukma Tidak Buyar menegur pula.
"Aku dari sini akan menuju ke barat."
"Ke barat?"
"Ya."
Hui Kiam sendiri juga tidak tahu mengapa dapat mengeluarkan jawaban demikian. Untuk apa ke barat" Apakah oleh karena perempuan muda tadi pernah mengatakan bahwa ibu majikannya sedang melakukan perjalanan ke barat, sekembalinya tentu akan menjumpainya.
Sementara musuh-musuhnya masih belum diketemukan, pengaruh kejahatan di rimba persilatan sedang merajalela, bolehkah ia tenggelam dalam gelombang asmara"
Pertanyaan itu telah menggugah hatinya, sehingga diam-diam bergidik sendiri. Akan tetapi, kecantikan luar biasa Tong-hong Hui-Bun telah mencengkram hatinya. Perasaan dan hatinya waras yang terlintas dalam otaknya, dalam waktu sekejap mata saja sudah buyar lagi.
Sejak jaman dahulu kala, ada berapa orangkah yang sanggup menebus jaring asmara"
Seolah-olah baru tersadar, Sukma Tidak Buyar tertawa menyeringai, kemudian berkata:
"Kalau begitu, sampai berjumpa lagi!"
Ia lalu menyoja dan kemudian membalikkan badan....
Tetapi tiba-tiba matanya terbuka lebar, kakinya seperti terpaku, tidak bisa bergerak lagi.
Hui- Kiam mengangkat mukanya. Sinar matanya beradu dengan sinar mata tajam. Sekujur badannya bagaikan terkena strom listrik. Ia tertegun. Perasaan kaget, jeri dan benci timbul dalam hatinya.
Kira-kira dua tombak dari tempat ia berdiri, orang berpakaian warna lila memakai kerudung di mukanya, memandang ke arahnya dengan sinar matanya bagaikan hantu.
Pertemuan dengan orang berpakaian warna lila itu pada waktu belum lama berselang kembali terbayang dalam otaknya. Sulit untuk dibayangkan betapa tinggi kepandaian orang berbaju lila itu. Jikalau bukan Sukma Tidak Buyar dan Orang Tua Tiada Turunan yang menggunakan nama penghuni loteng merah untuk memancing pergi orang baju lila itu, ia sendiri tentu tidak bisa hidup lagi hingga hari ini.
Dan kini orang itu telah muncul lagi di hadapannya.
Meskipun dalam hati merasa gentar, tetapi di luarnya masih tetap dingin angkuh.
Munculnya orang berpakaian lila itu benar-benar di luar dugaannya.
Sukma Tidak Buyar yang banyak akalnya saat itu juga cuma bisa berdiri gemetar, tidak bisa berbuat apa-apa.
Orang berpakaian lila itu membuka suara. Setiap patah perkataannya bagaikan tikaman pisau belati kepada ulu hatinya.
"Kau siapa?" pertanyaannya itu ditujukan kepada Sukma Tidak Buyar.
Suara Sukma Tidak Buyar sudah tidak setenang seperti biasanya. Ia menjawab dengan suara rendah:
"Aku Sukma Tidak Buyar!"
"Kau juga bernama Sukma Tidak Buyar?"
"Benar!"
"Hari ini sukmamu harus buyar!"
Ucapan terakhir masih berkumandang, orangnya sudah bergerak bagaikan kilat cepatnya, kemudian disusul oleh suara jeritan Sukma Tidak Buyar yang lalu rubuh di tanah.
Hui Kiam menjadi murka. Dengan tidak menghiraukan kepandaiannya sendiri yang masih belum mampu menandingi kekuatan musuhnya, sudah menghunus pedangnya, dan dengan kecepatan bagaikan kilat menyerang orang berpakaian lila itu.
Orang berbaju lila itu menghindarkan badannya. Serangan Hui Kiam yang sudah terkenal kedahsyatannya itu mengenakan tempat kosong.
Hui Kiam merasa gemas dan sedih atas kematian adik angkatnya, sehingga matanya beringas. Ketika serangan pertama mengenakan tempat kosong lalu menyusul serangan yang kedua.
Orong berbaju lila berkelit lagi, entah dengan cara bagaimana ia sudah berhasil menghunus pedangnya.
Hui Kiam semakin penasaran. Bagaikan banteng ketaton ia mengamuk tanpa menghiraukan jiwanya sendiri. Serangan ketiga dilancarkan lagi.
Orang berbaju lila itu kini menangkis dengan pedangnya. Nampaknya tidak ada yang aneh, tetapi serangan Hui Kiam yang sangat hebat itu ternyata sudah dapat dibendung.
Ketika senjata kedua pihak saling beradu, Hui Kiam mundur tiga langkah. Tangan yang memegang pedang dirasakan seperti patah hingga tak mampu menggunakan pedang lagi.
Ujung pedang orang berbaju lila itu mengancam enam bagian jalan darah di dada Hui Kiam, tetapi kemudian ditarik kembali. Sepasang matanya melalui lubang kerudunguya memancarkan sinar tajam, agaknya hendak menembusi hati Hui Kiam, kemudian berkata dengan nada suara dingin kaku:
"Penggali Makam, untuk kedua kalinya aku ampuni jiwamu!"
"Aku tak butuh pengampunanmu!"
"Kalau aku hendak mengambil jiwamu, setiap saat aku dapat melakukannya!"
"Sebaiknya kau bunuh aku sekarang saja, jikalau tidak, kau nanti akan menyesal!"
"Menyesal?"
"Benar, sebab aku sudah bersumpah hendak membunuhmu!"
"Hahaha. Penggali Makam, kau benar-benar sombong. Apakah kau tahu apa sebabnya aku tidak mau membunuh mati padamu?"
"Mengapa?"
"Sebab aku masih hendak menggunakan dirimu!"
"Hahaha. Orang berbaju lila, apakah kau sedang bermimpi?"
"Apakah kau ingin tahu rahasianya penghuni loteng merah?"
Pertanyaan itu benar-benar mempunyai daya penarik besar sekali, sebab belum lama berselang ketika Hui-Kiam dikejar oleh orang-orang Persekutuan Bulan Mas, pernah melintasi jembatan yang menghubungkan dengan loteng merah, sehingga terlepas dari kematian. Kemudian penghuni loteng merah memberi ampun akan
kesalahannya yang tak disengaja bahkan minta kepadanya untuk mencari seseorang yang bernama Su-ma-Suan, dengan nama julukannya To-liong Kiam-khek, tetapi orang itu justru merupakan musuhnya sendiri yang menurut pesan ibunya terakhir supaya mencari dan membunuhnya. Ia sendiri juga tak tahu sebetulnya apa permusuhan antara To-liong Kiam-khek dengan ibunya. Sedang penghuni loteng merah itu minta kepadanya mencarikan orang itu juga, sudah tentu ada sebab musaabnya. Jika ia merasakan rahasianya penghuni loteng merah itu, mungkin bisa membantu usahanya untuk mencari keterangan tentang diri To-liong Kiam-khek di masa yang lampau.
Kecuali itu, karena tertarik oleh perasaan ingin tahu siapa sebetulnya penghuni loteng merah itu. Dari kepandaian pelayannya saja, ia dapat menduga bahwa penghuni loteng merah itu pastilah bukan orang sembarangan.
Tetapi, sewaktu untuk pertama kali ia berjumpa dengan orang berbaju lila itu, pernah ditanyakan apa sebabnya penghuni loteng merah itu tidak membunuh mati dirinya, dan sekarang kembali ia memajukan pertanyaan demikian, apakah maksud dan tujuannya" Dengan sangat mudah orang berbaju lila itu telah membunuh Sukma Tidak Buyar, satu bukti bahwa ia ada seorang buas dan ganas perbuatannya. Maksud dan tujuan manusia buas ini, perlu dipikir masak-masak.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu berkata:
"Kalau ingin tahu, kau mau apa?"
"Aku boleh beritahukan kepadamu!"
"Urusan ini rupanya tidak sedemikian mudah?"
"Sudah tentu. Kau sungguh pintar, memang ada syaratnya!"
"Apakah syaratnya?"
"Kau ceritakan apa sebabnya penghuni loteng merah itu tidak membunuhmu!"
Otak Hui Kiam bekerja keras. Iblis itu berulang-ulang menanyakan soal itu, apakah maksudnya" Soal itu sebetulnya tidak ada apa-apanya yang mengherankan, sebab kala itu penghuni loteng merah sudah menerangkan kepadanya; karena tidak sengaja melintasi jembatan maut itu, maka diberi perkecualian, bahkan diberikan obat untuk memulihkan kckuatannya, itu adalah suatu kebaikan yang ia tak dapat lupakan, sementara permintaan penghuni loteng merah itu untuk mencarikan To-liong Kiam-khek, bukankah merupakan syarat kebebasannya. Ini satu bukti bahwa penghuni loteng merah itu masih tahu aturan, maka sekalipun diberitahukan juga tidak ada halangan. Tetapi hati dan maksud orang berbaju lila itu susah diduga. Ia sendiri tidak boleh berlaku gegabah terhadapnya, supaya penghuni loteng merah itu tidak terembet-rembet atas perbuatannya.
Karena berpikir demikian, maka akhirnya ia berkata dengan nada suara dingin:
"Aku tidak merasa senang dengan syarat itu!"
"Tetapi hari ini tidak boleh tidak kau harus menceritakan!"
"Tidak bisa!"
"Kalau begitu kematianmu sudah di depan mata...."
"Kcpandaianku masih terlalu rendah, aku tidak bisa berkata apa-apa. Tetapi andaikata aku tidak mati, aku bersumpah hendak menuntut balas untuk Sukma TidakBuyar."
"Apa kau yakin bisa hidup terus?"
"Itu adalah urusanku sendiri!"
Orang berbaju lila itu tidak berkata apa-apa lagi. Sepasang matanya mendadak memancarkan sinar aneh. Ketika mata Hui Kiam beradu dengan sinar mata itu, semangatnya mendadak tergoncang. Ia merasa sinar mata itu mengandung pengaruh gaib, tetapi ia tidak sanggup mengelakkan pandangan matanya yang aneh itu. Lambat-laun pikirannya terganggu, kemudian kusut.
Ia mencoba berusaha untuk menenangkan pikirannya, tetapi tidak berhasil. Perasaannya terhadap segala urusan telah berobah, semua kebencian, kemarahan dan dendaman telah lenyap. Bahkan ia sudah seperti melupakan dirinya sendiri berada di mana. Orang berbaju lila yang berada di depannya menjadi satu bayangan yang tidak berarti....
"Jawab, apa sebab penghuni loteng merah membebaskan dirimu?"
Pertanyaan itu telah mengingatkan kepadanya apa yang telah terjadi di loteng merah dahulu. Selagi hendak memberi keterangan....
Tiba tiba suatu kesadaran terlintas dalam otaknya, semangatnya terbangun seketika. Agaknya tersadar untuk sementara. Dengan suara agak gemetar ia berkata:
"Orang berbaju lila, kau berbuat apa?"
"Eh! Kau benar-benar keras kepala, semangatmu ternyata cukup kuat!"
Selama berkata, orang berbaju lila itu matanya semakin bersinar, sehingga kesadaran yang terlintas dalam otak Hui Kiam musnah lagi, kembali ia berada dalam keadaan bingung.
Orang berbaju lila itu mengulangi lagi pertanyaannya:
"Kau pernah melintasi jembatan maut, lalu masuk ke loteng merah?"
"Ya," jawab Hui Kiam seperti orang yang mimpi.
"Menurut peraturan yang ditetapkan oleh penghuni loteng merah, barang siapa yang melintasi jembatan maut itu, harus dibunuh mati."
"Kemudian aku baru tahu!"
"Tetapi kau tidak dibunuh?"
"Ya, ia mengatakan kecualian aku."
"Apa sebab?"
"Sebab ia menganggap aku tidak sengaja melanggar peraturannya, bukan bermaksud hendak mengganggu!"
"Apakah kau berjumpa dengan penghuni loteng merah itu sendiri?"
"Tidak!"
"Benarkah kau tidak pernah melihatnya?"
"Cuma bertemu dengan anak muridnya yang bernama Siu Bie, kemudian mendengar suara penghuni loteng merah sendiri."
"Ia berkata apa kepadamu?"
"Ia memintaku untuk mencarikan seseorang untuk menyampaikan pesannya!"
"Mencari siapa?"
"Seorang laki-laki bernama Su-ma Suan dengan nama julukannya To-liong Kiam-khek."
"Oh!" orang berbaju lila itu nampaknya terperanjat. "Apakah kau kenal laki-laki yang bernama To-liong Kiam-khek itu?"
"Tidak kenal!"
"Ia minta kau sampaikan pesan apa padanya?"
"Suruh bertanya kepada Su-ma Suan, apakah ia sudah lupa janjinya pada sepuluh tahun berselang?"
"Emmm!"
Sinar mata aneh orang berbaju lila itu lenyap seketika, dia mendongak ke atas memandang langit dan awan putih yang berjalan di angkasa, entah apa yang sedang dipikir.
Hui Kiam sadar dari keadaan tidak ingat diri, apa yang terbentang di depan matanya masih tetap orang berbaju lila itu dan jenazahnya Sukma Tidak Buyar yang membujur di tanah. Kebencian tumbuh lagi dalam hatinya. Samar-samar ia masih ingat sinar mata aneh orang berbaju lila itu, dan kemudian pikirannya
sendiri telah menjadi kacau. Tetapi apakah sebenarnya yang telah terjadi" Sedikitpun ia tidak tahu. la terheran-heran. Dia mencoba berusaha untuk memikirkan kembali, tetapi percuma saja.
"Orang berbaju lila, baru saja kau berbuat apa?" demikian ia berkata dengan perasaan takut.
Orang berbaju lila itu mengawasinya, kemudian berkata dengan nada suara dingin:
"Tidak apa-apa, hanya sedikit ilmu mengalihkan semangat yang tidak berarti."
Hui Kiam terperanjat, ia mundur dua langkah, lalu bertanya dengan suara gemetar:
"Ilmu mengalihkan semangat?"
"Benar!"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau...."
"Aku cuma minta kau mengatakan apa yang terkandung dalam hatimu!"
"Apa.... aku sudah menjawab?"
"Emm! Sudah menjawab seluruhnya!"
Hui Kiam bergidik, apakah ia sudah menceritakan asal-usul dirinya" Kalau benar, hal ini akan membawa akibat sangat hebat. Maka ia mundur lagi satu langkah, keringat dingin mengucur keluar membasahi sekujur badannya.
"Aku.... apakah yang aku katakan?"
"Kau telah menceritakan bagaimana penghuni loteng merah itu membebaskan dirimu."
"Lainnya?"
"Kau mencarikan untuknya seseorang guna menyampaikan pesannya."
Hui Kiam merasa lega hati, nampaknya ia belum sampai menceritakan asal-usul dirinya.
Ini merupakan satu keuntungan besar baginya karena jikalau tidak, hebat sekali akibatnya.
Jika asal-usul dirinya tersiar di kalangan kang-ouw, maka semua musuh-musuh gurunya pasti tidak akan melepaskan dirinya.
"Orang berbaju lila, perbuatanmu ini sangat rendah dan sangat memalukan."
"Bocah, kau jangan berlaku kurang ajar, barangkali kau melaksanakan permintaan penghuni loteng merah itu, betul tidak?"
Pertanyaan itu agaknya mengandung maksud, sehingga hati Hui Kiam tergerak. Ia memang hendak mencari To-liong Kiam-khek, ini lebih penting daripada permintaan penghuni loteng merah. Ia coba menenangkan pikirannya, jawabnya:
"Kalau ya mau apa?"
"Aku dapat membantu kau!"
"Kau... hendak membantu aku?"
"Apakah kau tidak percaya?"
"Memang susah untuk dipercaya."
"Kau curiga maksudku?"
"Tepat."
"Aku boleh menjelaskan kepadamu, sebabnya aku menanya kepadamu, karena tertarik oleh sifatku yang ingin tahu, sebab tindakan pengecualian terhadap dirimu, menimbulkan kecurigaanku!"
"Maksudmu mungkin bukan cuma itu saja?"
"Percaya atau tidak, terserah kepadamu!"
"Dan kau membunuh Sukma Tidak Buyar, bagaimana kau hendak memberi keterangan?"
"Karena ia menggunakan merek penghuni loteng merah untuk mempermainkan aku."
"Karena ia telah melakukan perbuatan rendah itu, rekening ini aku nanti akan minta nanti kepadamu!"
Orang berbaju lila itu tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Penggali Makam, kau sangat sombong, tetapi juga jujur dan berani. Karena itu, kali ini aku lepaskan kau, untuk memberi kesempatan kepadamu. Tapi ingat, kesempatan tak banyak!"
"Ini sudah dikatakan!"
"Jejak To-liong Kiam-khek dalam dunia ini barangkali cuma aku seorang yang tahu!"
"Apakah" dia masih belum mati?"
"Sungguh tidak jauh dari kematiannya!"
"Dia di mana?"
"Apakah kau ingin tahu?"
"Benar, kau minta upah apa?"
"Penggali Makam, tidak usah upah. Aku boleh beritahukan kepadamu cuma-cuma. Hitung-hitung sebagai balasan atas keteranganmu mengenai penghuni loteng merah!"
Hati Hui Kiam tergerak. Ia segera akan mengetahui jejak musuh besarnya sehingga dapat melaksanakan sebagian tugasnya, juga dapat menenangkan pikiran arwah ibunya yang berada di alam baka. Penemuan ini sesungguhnya tak diduga-duga, sudah tentu ia merasa girang.
"Kalau begitu aku ingin mendengarnya!"
"Pada lima belas tahun berselang, To-liong Kiam-khek Su-ma Suan karena salah satu sebab telah membunuh mati seorang muridnya tokoh kenamaan yang mempunyai nama julukan Manusia Agung Dalam Dunia. Kemudian Manusia Agung Dalam Dunia pergi menuntut balas kepadanya. Ia telah memusnahkan kepandaian To-liong Kiam-khek dan mengorek kedua biji matanya, lalu dimasukkan ke dalam sebuah goa di gunung Keng-san supaya ia menemukan ajalnya sendiri.
Aku dahulu pernah datang ke goa tersebut, dengan tak sengaja mengetahui rahasia ini."
"Apa benar?"
"Tidak ada perlunya aku membohong!"
Hui Kiam lalu timbul hasrat hendak menyampaikan kabar itu lebih dulu kepada penghuni loteng merah, hitung-hitung untuk memenuhi janjinya dan kemudian pergi ke gunung Keng-san, untuk mencari sendiri To-liong Kiam-khek untuk menunaikan tugas yang diberikan oleh ibunya.
Ia lalu berkata sambil menyoja:
"Musuh tinggal musuh benci tinggal benci,tetapi kebaikan tetap kebaikan, hal ini aku seharusnya mengucapkan terima kasih kepadamu."
"Tidak perlu. Ingat, lain kali jika aku bertemu lagi dengan kau, aku tidak akan melepaskan kau lagi!"
"Sama-sama!"
"Sampai ketemu lagi!"
Selelah mengucapkan demikian, orang berbaju lila itu lalu menghilang.
Hui Kiam berdiri bingung sejenak, matanya mengawasi jenazah Sukma Tidak Buyar. Air matanya meleleh keluar. Ia berjalan menghampiri. Dengan suara sedih ia berkata:
"Adik Hoan, tenangkanlah pikiranmu. Aku pasti akan menuntut balas untukmu!"
Tidak jauh dari tempat itu, adalah makam Pui Ceng Un, anak perempuan si-supeknya. Dalam waktu tidak ada setengoh hari ia, telah mengubur dua jenazah yang semua ada hubungan dengan dirinya. Satu adalah sucinya, sedang yang lain adalah adik angkatnya, dan kematian dua orang itu justru karena dirinya.
Ia membuat lubang sedalam satu tombak kemudian mengangkat jenazah Sukma Tidak Buyar untuk dimasukkan ke dalam lobang tersebut dengan airmata bercucuran....
Kematian adik angkatnya itu sesungguhnya sangat menyedihkan.
Selagi hendak menimbuni tanah, mendadak Sukma Tidak Buyar membuka mulutnya dan berkata dengan suara lembut:
"Toako, apa kau benar-benar hendak mengubur aku!"
Hui Kiam kaget, bulu badannya berdiri. Orang yang sudah mati bagaimana bisa bicara" Apakah benar sukmanya tak buyar" Tetapi tubuhnya sudah dingin.
Ia menggigil, rasa takut timbul dalam hatinya.
Ia mencoba menghapus air matanya, untuk mengawasi dan memeriksa dengan seksama.
Sukma Tidak Buyar benar-benar sudah membuka matanya.
"Adik Hoan, kau.....kau....." suaranya gemetar tak dapat melanjutkan lagi.
"Toako, aku belum mati!"
"Kau... benar-benar... tetapi....."
"Jangan hentikan tanganmu. Orang berbaju lila itu mungkin masih di dekat-dekat sini. Teruskanlah kau mengubur aku, tetapi tanahnya longgarkan sedikit."
Hui Kiam hampir tidak percaya, bahwa dalam dunia ada kejadian seaneh itu, orang yang sudah mati bisa hidup lagi. Pikirnya, apakah ia sedang mimpi" Tetapi apa yang dia saksikan, apa yang ia sentuh semuanya adalah benar.
Tangannya yarg gemetaran meraba-raba jantung Sukma Tidak Buyar. Ternyata masih hangat dan berdenyut, ia benar-benar masih hidup.
Tetapi ia agaknya masih belum mau percaya bahwa itu adalah suatu kenyataan. Memang hal demikian merupakan suatu hal yang
luar biasa, suatu kejadian! Dulu Sukma Tidak Buyar pernah dikejar-kejar oleh Manusia Gelandangan, tetapi ia tak melihat dengan mata kepala sendiri, sudah dipukul mati atau tidak, ia hanya menemukan makamnya. Selanjutnya Sukma Tidak Buyar itu menunjukan diri lagi. Meskipun kala itu ia terkejut, tetapi karena tidak melihat sendiri kematiannya, dianggapnya hanya terluka parah saja. Tetapi sekarang keadaannya berbeda....
"Adik Hoan, bagaimanakah sebetulnya?"
Dengan suara sangat halus sekali Sukma Tidak Buyar berkata:
"Hati hati, jangan sampai terbuka rahasia sehingga orang berbaju lila itu akan balik lagi, aku nanti akan mati benar-benar. Kepandaian yang diturunkan suhu kepadaku ini sesunggubnya memang luar biasa, bisa berpura-pura terluka parah juga bisa berpura-pura mati. Itulah sebabnya, juga modalnya begitu berani menggunakan nama julukan Sukma Tidak Buyar untuk berkelana di dunia Kang-ouw. Mengertikah kau" Lekas, sehabis mengubur aku kau harus lekas berlalu dari sini, aku bisa keluar sendiri dari dalam lobang. Jangan lupa kau juga harus mendirikan batu nisan untukku!"
Kini Hui-Kiam baru percaya bahwa Sukma Tidak Buyar benar-benar masih hidup sehingga lenyaplah semua kesedihannya.
Ia melakukan semua apa yang diminta oleh Sukma Tidak Buyar.
Selama dikubur, badan Sukma Tidak Buyar terus bergerak, di bagian bawahnya terbuka sebuah lubang, sehingga masih dapat menyaksikan berlalunya Hui-Kiam.
"Toako, kau jalan dulu!" demikian ia minta kepada Hui-Kiam setelah selesai mengubur.
"Adik Hoan, apa yang dikatakan orang berbaju lila tadi, apakah kau dengar seluruhnya?"
"Ya!"
"Apakah kau percaya?"
"Masih merupakan satu pertanyaan besar!"
"Mengapa?"
"Manusia Agung di Dunia yang ia sebutkan tadi, sudah meninggal dunia pada dua puluh tahun berselang, bagaimana ia katakan mati pada lima belas tahun berselang" Bahkan ia masih bisa menuntut balas dendam untuk muridnya dan mencelakakan dirinya To-liong Kiam-khek?"
"Oh.. .ini"."
"Tetapi kematian Manusia Agung Dalam Dunia juga merupakan satu kabar saja. Apakah benar-benar belum mati juga masih menjadi satu pertanyaan. Coba saja kau lakukan seperti apa yang ia katakan. Orang Berbaju Lila itu tidak tahu kalau kau bermusuhan dengan To-liong Kiam-khek, maksudnya cuma hendak meminjam kau untuk menyampaikan kabar kepada penghuni loteng mera. Mungkin dalam hal ini ada apa-apanya. Coba saja kau lakukan, aku nanti bisa atur lebih jauh!''
"Bagaimana kau hendak mengaturnya?"
"Kau tidak usah mengambil pusing, pergilah!"
Hui Kiam menganggukkan kepala. Ia lalu menghampiri makam Pui Ceng Un untuk memberi hormat penghabisan. Matanya dengan tanpa sadar memandang ke arah jalanan yang menuju ke makam pedang. Ia ingin coba-coba menyelidiki makam itu. Setelah berpikir masak-masak, kemudian ia turut pesannya Orang Tua Tiada Turunan yang minta kepadanya supaya bersabar.
Ia lalu meninggalkan tempat tersebut dan berjalan menuju ke loteng merah.
Hari itu juga ia sudah tiba di luar pekarangan loteng merah di depan jembatan maut.
Ingat akan kejadian yang sudah lalu, pikirannya tergoncang. Pengalaman manusia hidup, benar-benar sangat berlainan coraknya.
la mengawasi ujung seberang jembatan maut, lalu melintasi dengan langkah lebar.
Baru saja ia melintasi jembatan maut itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan:
"Berhenti!"
Seorang perempuan muda berbaju lila, Siu-Bie, sudah berada di hadapannya.
"Oh, nona Siu, kau baik-baik saja?" sahutnya Hui Kiam sambil menyoja.
"Aaaa! Penggali Makam, kiranya kau. Ada urusan apa kau datang kemari?"
"Untuk memenuhi janji kepada suhumu!"
"Oh! Apakah... aku boleh bertanya namamu yang mulia?"
"Namaku Hui Kiam!"
Siu Bie menatap wajah Hui Kiam sejenak, kemudian berkata:
"Hui Siaohiap, silahkan!"
Sebentar kemudian, Hui Kiam sudah sampai ke kamar barat yang dahulu ia pernah bercakap-cakap dengan penghuni loteng merah.
Siu Bie lalu berkata:
"Harap siaohiap suka tunggu sebentar, nanti aku beritahukan kepada suhu!"
"Silahkan nona!"
Tidak berapa lama, Siu Bie yang masuk ke dalam sudah keluar lagi. Sama seperti dulu, di belakang pintu yang tertutup tirai sntra hijau, terdengar suaranya penghuni loteng merah yang agak parau:
"Penggali Makam, kau benar-benar seorang yang pegang kepercayaan!"
"Nyonya terlalu memuji. Inilah merupakan kewajibanku sebagai seorang Kang-ouw."
"Apakah... kau sudah bertemu dengan dia?"
"Belum, tetapi dapat kabar tentang dirinya!"
"Aaaa!" suaranya menunjukkan perasaannya tergoncang. "Kabar apa?"
Hui Kiam lalu menceritakan keterangan yang ia dapat dari orang berbaju lila.
Penghuni loteng merah itu berkata dengan suara gemetar:
"Apa" Semua kepandaiannya telah musnah, matanya buta?"
"Begitulah kabarnya!"
"Kau katakan dia dibuang ke dalam gua di salah satu puncak gunung Keng-san?"
"Ya!"
"Ya Allah! Aku telah curiga kepadanya, rnembencinya. Siapa tahu ia mengalami nasib sedemikian menyedihkan!" Suaranya itu mengandung sesalan terhadap diri sendiri dan kedukaan yang sangat basar.
Setelah hening lama ia lalu berkata pula:
"Penggali Makam, sukakah kau melakukan sesuatu lagi untukku?"
"Coba Nyonya sebutkan!"
"Tolong kau bawa To-liong Kiam-khek!"
"Tentang ini... maaf, terpaksa aku merasa sangat keberatan!"
"Apakah... kau tidak suka?"
"Mengapa Nyonya tidak mencarinya sendiri?"
"Aku.. .tidak bisa!"
Dalam hati Hui Kiam merasa bingung dan heran. Ia berkata:
"Aku sungguh tidak mengerti."
"Penggali Makam, jikalau aku bukan karena terikat oleh sumpahku sendiri tidak bisa meninggalkan loteng merah ini, aku tidak akan minta pertolonganmu!"
Hui Kiam kembali dibikin bingung. Sumpah, sumpah apakah itu" Mengapa ia tidak bisa meninggalkan loteng merah"
Akan tetapi ia tidak ingin bertanya lebih jauh, ia hanya merasa keberatan atas permintaan perempuan itu.
"Siu Bie," demikianlah penghuni loteng merah itu berkata terus, "Buka pintu. Suruhlah ia masuk. Aku akan bicara berhadap-hadapan."
"Ya!"
Siu Bie berlalu membuka salah satu pintu dari pintu yang seluruhnya berjumlah delapan, lalu berkata kepada Hui Kiam:
"Hui siaohiap, silahkan masuk!"
Hati Hui Kiam berdebar, ia segera akan dapat melihat paras asli perempuan misterius itu. Tetapi apakah maksud perempuan itu berlaku demikian" Karena bagi perempuan itu sendiri berbicara teraling oleh tirai atau berhadapan muka, agaknya tidak ada bedanya.
Sambil berpikir ia menggerakkan kakinya. Ia berjalan masuk ke kamar. Begitu melangkah di ambang pintu yang tertutup tirai, perlengkapan yang ada di dalam kamar menimbulkan perasaan segan baginya.
Di tengah-tengah kamar di atas sebuah kursi besar, duduk seorang perempuan cantik setengah tua. Ia tidak mengenakan pupur, parasnya nampak pucat pasi, alisnya agak dikerutkan, agaknya mengandung kedukaan yang tiada terhingga. Tidak perlu banyak dipikir, Hui Kiam segera dapat menduga bahwa perempuan itu adalah penghuni loteng merah yang sangat misterius itu.
"Silahkan masuk ."
Hui Kiam lalu duduk di salah satu kursi sambil menyatakan terima kasihnya.
Seorang perempuan muda berbaju lila yang lain, menyediakan secawan teh lalu berlalu lagi, sedang Siu Bie tetap berada di luar tidak turut masuk.
Penghuni loteng merah berkata dengan suara perlahan-lahan:
"Hui siaohiap, dari mana kau dapatkan berita itu?"
"Dari seorang berpakaian lila yang mukanya memakai kerudung."
"Orang berbaju lila?"
"Ya. Apa nyonya kenal kepadanya?"
"Tidak. Bagaimana nama julukannya?"
"la cuma mengatakan bahwa nama julukannya Orang Berbaju Lila. Tentang dirinya yang aku ketahui hanya itu saja!"
"Oh!"
Penghuni loteng merah itu menundukkan kepalanya, agaknya sedang berpikir keras. Suasana dalam kamar nampak sunyi. Lama sekali, wanita itu baru mengangkat kepalanya, dan berkata:
"Hui siaohiap, aku ulangi permintaanku tadi!"
"Maaf aku tidak dapat melakukan!"
"Mengapa?"
"Nvonya tentunya masih ingat bahwa dulu aku pernah memberitahukan terus-terang bahwa To-liong Kiam- khek itu adalah musuh besarku. Kalau aku bertemu muka dengannya, aku pasti akan membunuhnya."
"Tetapi sekarang seluruh kepandaiannya sudah musnah, kedua matanya sudah buta, apakah kau masih tega turun tangan?"
"Sekalipun ia sudah binasa, aku juga akan menghajar bangkainya."
Perkataan itu diucapkan sedemikian tegas, menandakan betapa besar kebencian Hui Kiam terhadap To liong Kiam-khek.
Paras penghuni loteng merah yang pucat lantas berubah, sinar matanya sayu telah berubah menjadi beringas. Ia berkata dengan suara keras:
"Di antara kalian sebetulnya ada perrnusuhan apa" Mengapa begitu besar rasa dendam sakit hatimu terhadapnya?"
"Tentang ini maaf aku tidak dapat memberitahukan!"
"Apakah kau tidak boleh tidak harus membunuhnya?"
"Ya!"
"Jikalau aku tidak mengijinkan bagaimana!"
"Tiada seorang pun yang dapat merintangi tindakanku!"
"Apakah kau yakin?"
"Mendengar ucapanmu ini, apakah kau ingin bertindak terhadap diriku?"
"Jikalau kau tetap hendak penuhi pikiranmu sendiri, kau nanti segera mengetahui apa akibatnya."
Hui-Kiam seketika itu naik darah. Ia bangkit dan berkata dengan suara gemetar:
"Kedatanganku ini semata-mata hanya untuk memenuhi janji, karena aku tidak ingin berlaku sebagai manusia rendah. Jikalau aku tidak terikat dengan janjiku ini, tidak perlu aku datang kemari bahkan aku bisa pergi sendiri ke goa itu, untuk membunuh lebih dulu dirinya To-liong Kiam-khek, baru aku memberitahukan kepadamu!"
Penghuni loteng merah seketika tak menjawab. Kemudian berkata:
"Nampaknya aku terpaksa akan melanggar sumpahnya untuk meninggalkan tempat ini. Penggali Makam, aku sekarang tidak akan bertindak apa-apa terhadap kau, tetapi setiba di gunung Keng-san, susah dikata. Terhadap perbuatanmu untuk memenuhi janji terhadap aku, aku tetap menerima budimu ini. Kata-kataku sudah cukup sampai disini dan sekarang kau boleh pergi!"
Hui Kiam lalu minta diri keluar dari kamar itu menuju ke jembatan maut lagi untuk menyeberang keluar. Sementara dalam hati berpikir, "Nampaknya penghuni loteng merah itu segera akan
berangkat ke gunung Keng-san maka aku sendiri harus lebih dulu tiba di sana. Jikalau tidak, apabila nanti dirintangi olehnya, akan sulit sekali bagiku menuntut balas. Lagi pula bila To-liong Kiam-khek sudah berada di tangan penghuni loteng merah itu, lebih sulit bagiku untuk melakukan pesan mendiang ibuku."
Setelah melintasi jembatan maut, ia segera berjalan menuju ke gunung Keng-san. Untuk menghindarkan bentrokan dengan orang-orang Persekutuan Bulan Mas, sehingga mentelantarkan usahanya, maka ia tidak berani mengambil jalan raya, sebaliknya melalui jalan pegunungan yang sunyi.
Di perjalanan, ia teringat kata-kata Sukma Tidak Buyar, yang katanya bisa mengatur sendiri. Kata-katanya itu mungkin ada sebabnya. Tetapi apa yang akan diaturnya" Apakah akibat yang akan terjadi antara diri sendiri dengan penghuni loteng merah itu sudah diduganya lebih dulu" Atau....
la ingin lekas-lekas sampai di tempat itu, maka ia sudah lupa makan dan minum.
Hari esoknya ketika matahari sudah terbit, Hui-Kiam sudah berada di bawah kaki gunung Keng-san.
Daerah pegunungan Keng-san ternyata sangat luas. Hendak mencari salah satu tempat di daerah yang luas itu sesungguhnya bukan soal mudah. Bagaimana ia harus mencari supaya jangan sampai perjalanannya sia-sia" Itulah yang sangat penting. Sayang waktu itu ia tak menanya dengan jelas di mana letaknya goa itu.
Ia telah menanyakan daerah pegunungan itu, tetapi tiada seorangpun yang tahu di mana letaknya goa itu. Akhirnya ia menanyakan kepada salah seorang tukang berburu hewan. Olehnya diberitahukan letaknya goa yang dicari itu. Goa itu ternyata terletak di tempat yang sunyi, terpisah beberapa puluh pal dari tempat ia berdiri, bahkan masih harus melalui sepuluh puncak lebih.
Tetapi ada satu petunjuk, biar bagaimana lebih baik dari ada mencari di sini secara membabi-buta. Sudah tentu untuk mencapai ke tempat tersebut hanya soal waktu saja. Karena ia
sudah tidak mempunyai waktu untuk berpikir lebih banyak, yang perlu ia sudah harus tiba lebih dulu ke tempat tersebut, jangan sampai diketahui oleh penghuni loteng merah.
Ia menurut garis jalan yang ditunjuk pemburu tadi. Setelah melewati puncak gunung yang ditunjuk, ia lari menuju ke utara.
Setelah dengan beruntun mendaki tiga puncak gunung, ia baru berhenti, untuk mencari arah tujuannya.
Tiba-tiba, sebuah makam besar dan megah telah menarik perhatiannya. Di daerah pegunungan yang sepi sunyi ini, siapakah gerangan yang dikubur bahkan dibangun makam yang demikian megah"
Dengan tanpa dirasa ia berjalan menghampiri makam tersebut. Matanya segera menyentuh beberapa huruf yang tertulis di atas batu hitam. Huruf-huruf itu demikian bunyinya:
DISINI BERSEMAYAM NYONYA SU-MA, TERLAHIR HUI UN KHENG.
Hui Kiam merasakan bagaikan disambar geledek hingga untuk sesaat lamanya ia berdiri tertegun. Hatinya terguncang keras, hampir saja ia roboh tidak ingat orang.
Ini merupakan suatu kejadian aneh yang tidak mungkin terjadi.
Ia mengsosok-gosok matanya untuk melihat sekali lagi. Ternyata sedikitpun tidak salah, masih tetap beberapa huruf itu.
Ia seolah-olah menjumpai suatu kejadian ganjil. Ia mundur beberapa langkah. Kakinya merasa lemas, sehingga ia berdiri menyandar di sebuah pohon cemara. Ia berusaha untuk menenangkan pikirannya. Ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, apakah pikirannya masih normal"
Hui Un Kheng dan Jok Sok Siancu adalah nama dan julukan ibu almarhumnya sendiri.
Kalau demikian halnya, Su-ma Suan yang mempunyai nama julukan To-liong Kiam-khek, yang dalam pesan ibunya adalah orang yang harus dibunuhnya itu, ternyata adalah ayahnya sendiri. la
masih ingat di waktu ia masih kecil pernah beberapa kali menanyakan kepada ibunya, siapakah nama ayahnya, tetapi selalu tidak mendapat jawaban yang memuaskan, jawaban yang didapat hanya mengatakan, bahwa ayahnya sudah lama meninggal dunia! Tetapi kalau ditanya lagi, selalu dijawab bahwa saatnya belum tiba untuk mendapat jawaban.
Ya Tuhan, apakah sebetulnya telah terjadi"
Dahulu, ia sendiri masih belum mengerti apa-apa mengenai dirinya yang harus memakai she Lie menuruti sang ibunya, belum pernah ia merasa curiga.
Entah berapa lama telah berlalu. Pikirannya yang kusut perlahan-lahan tenang kembali. Ia lalu berpikir, setelah ibuku mati terbunuh dan terbakar jenazahnya, semua itu telah kusaksikan sendiri. Dan waktu suhu Tho-tee, Sun Thian Kuat lewat di sini dan kemudian mengambilku sebagai murid, beliau telah mengubur abu ibuku. Semua itu aku saksikan dengan mata sendiri. Bagaimana bisa dikubur di tempat ini"
Andaikata itu merupakan suatu kejadian yang kebetulan, tetapi di dalam dunia ini meskipun ada orang yang bersamaan nama, tetapi tak mungkin juga bersamaan shenya bahkan nama julukannya. Hakekatnya, hal itu tidaklah mungkin, sebab nama gelar ibunya di dalam rimba persilatan sudah cukup terkenal.
Dari batu nisan itu dapat diduga bahwa batu itu didirikan oleh Su-ma Suan (yang juga berarti ayahnya sendiri). Tetapi mengapa dalam pesan ibunya menyuruh dia membunuh mati Suma-Suan, bahkan namanya dirangkaikan dengan nama julukannya seorang Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas.
Pendekar Super Sakti 5 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pendekar Kidal 17
^