Pedang Pembunuh Naga 5

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 5


Kematian ibunya telah terjadi pada sebelas tahun berselang dan menurut perkataan Orang Berbaju Lila, To-liong Kiam-khek Suma Suan dimusnahkan kepandaiannya oleh Manusia Agung di Dunia dan kemudian dibuang ke dalam goa terpencil ini terjadi pada lima belas tahun berselang. Perbedaan waktu empat tahun ini bagaimana harus dicari keterangannya"
Selain daripada itu, manusia cuma bisa mati satu kali, tidak mungkin bisa dua kali.
Abu ibunya telah dikubur dalam pekarangan rumahnya sendiri. Hal ini sedikitpun tidak salah. Tetapi siapakah Hui Un Kheng yang bersemayam di dalam makam ini"
La cuma merasa kepalanya mau pecah, pikirannya kusut, tetapi teka-teki mengenai kuburan ini sedikitpun tak mampu memikirkan.
Hanya ada satu kemungkinan. Dua orang itu sangat kebetulan bersamaan she, nama, dan bersamaan julukan. Tetapi ibunya menyuruhnya membunuh To-liong Kiam-khek, suatu bukti bahwa ibunya sudah tak asing lagi dengannya.
Teka-teki ini hanya To-liong Kiam-khek sendiri yang bisa memecahkan.
Tetapi penghuni loteng merah juga mencari To-liong Kiam-khek, apakah maksudnya....
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba tersadar bahwa ia sendiri harus sampai lebih dulu daripada penghuni loteng merah untuk menemukan To-liong Kiam-khek.
Dengan perasaan masih penuh keheranan ia mengawasi batu nisan itu sejenak, lalu membalikkan badan....
Mendadak ia berseru: "Ah!"
Di hadapannya ternyata ada berdiri orang berbaju lila yang misterius dan menakutkan itu.
Sesaat manusia misterius itu berada di belakangnya ia sedikitpun tidak tahu.
Orang Berbaju Lila menegur dengan suaranya yang seram:
"Penggali Makam, perlu apa kau berada di sini?"
Dengan sinar mata dingin Hui Kiam mengawasi orang berbaju lila itu kemudian berkata:
"Ini ada hubungan apa denganmu?"
"Terhadap makam ini kau agaknya menaruh perhatian besar?"
"Mengapa?"
"Aku perlu peringatkan kepadamu, tidak boleh kau gentayangan di tempat ini. Ini merupakan suatu perbuatan tak sopan terhadap orang di dalam makam!"
Hui Kiam terperanjat. Perkataan Orang Berbaju Lila ini mengandung arti besar sekali. Mondar-mandir di dekat kuburan dianggapnya kurang sopan terhadap orang dalam makam. Mengapa ia junjung begitu tinggi kepada orang yang bersemayam dalam kuburan ini" Mungkin semua teka-teki yang meliputi dirinya dapat diungkap dari keterangan orang berbaju lila ini. Maka dengan pura-pura berlaku acuh tak acuh ia berkata:
"Ada hubungan apa kau dengan orang yang bersemayam dalam kuburan ini?"
"Tentang ini kau tak perlu tahu."
"Demikian menghormatnya kau terhadap orang dalam kuburan itu?"
?"Kataku! Kau jangan banyak bicara..."
"Orang Berbaju Lila, di dalam rimba persilatan sebetulnya ada berapa yang bernama Hui Un Kheng dan julikan Jiok-siok Siancu?"
Orang Berbaju Lila itu nampak tercengang, lalu berkata:
"Bocah, apa maksud pertanyaanmu ini?"
"Harap kau jawab dulu pertanyaanku tadi."
"Sudah tentu cuma satu orang."
Hati Hui Kiam kembali berdebar keras, tetapi di luarnya masih coba berlaku tenang dan lalu bertanya pula:
"Apakah orang dalam kuburan itu adalah istrinya To liong Kiam-khek?"
"Bukankah di atas batu nisan itu sudah ditulis dengan nyata?"
"Apakah To-liong Kiam-khek mempunyai turunan?"
Bocah, pertanyaanmu semakin aneh, kau sebetulnya mau apa?"
"Kita satu sama lain harus berlaku terus terang, kau pikir bagaimana?"
Mata orang berbaju lila itu memancarkan sinar aneh. Hui Kiam teringat ilmu gaib mengalihkan semangat orang itu, maka lalu berkata dengan suara bengis:
"Apa kau hendak menggunakan ilmu gaib lagi?"
"Aku tidak ada itu maksud. Jikalau kau bicara terus terang, aku tidak perlu berbuat demikian!"
Hui Kiam berpikir bolak-balik. Ini merupakan suatu kesempatan paling baik untuk mengetahui semua rahasia yang meliputi dirinya. Maka ia lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Ini bukan rahasia apa-apa, aku hanya tertarik oleh perasaan heran, sekalipun kau menggunakan ilmu mengalihkan semangat, juga tidak ada gunanya?"
"Bocah, kau tadi menanya apakah To-liong Kiam-khek mempunyai turunan, apakah maksud pertanyaanmu ini?"
"Jikalau di dalam rimba persilatan ada dua orang yang mempunyai nama dan julukan yang serupa, maka pertanyaanku tadi kau tak usah jawab. Tetapi jikalau cuma ada seorang, keadaannya lalu berlainan."
"Oh! Coba kau katakan!"
"Tahukah kau bahwa Jiok Sok siansu itu ada mempunyai berapa suami?"
"Bocah, kau jangan melampau, hati-hati aku nanti hajar dirimu."
"Tetapi inilah kuncinya semua persoalan."
"Sudah tentu cuma mempunyai seorang suami, ialah Suma Suan yang mempunyai nama julukan To-liong Kiam-khek!"
"Mempunyai turunan?"
"Tidak punya."
"Kau keliru!"
"Mengapa?"
"Aku pernah dengar seorang angkatan tua rimba persilatan yang mengatakan bahwa pada sepuluh tahun berselang ia pernah berjumpa dengan Jiok Sok Siancu, yang membawa seorang anak laki-laki berusia kira-kira tujuh delapan tahun."
Orang Berbaju Lila itu sikapnya berbeda dengan biasanya, ia menggeram kemudian berkata:
"Sepuluh tahun berselang tidak mungkin!"
"Mengapa tidak mungkin?"
"Jiok-sok Siancu meninggal dunia pada lima belas tahun berselang. Memang benar waktu ia meninggal sedang dalam mengandung, jenazahnya dikubur sendiri oleh To liong Kiam-khek Suma Suan......"
"Mengapa kau tahu begitu jelas?"
"Suma Suan sendiri yang menceritakan kepadaku."
"Kalau begitu apa yang kudengar itu ternyata bohong semuanya!"
"Semua omong kosong, bocah, kau lekas pergi, sekarang aku masih belum pikir membunuh kau!"
Hui Kiam merasa bingung, tetapi ia masih terus berkata:
"Menurut keterangan Cian-pwee itu katanya kejadian itu benar seluruhnya!"
"Aku suruh kau pergi!"
"Selain daripada itu, Cian-pwee itu malah masih mengatakan, bahwa Jiok-sok Siancu itu pernah minta tolong kepadanya....."
"Minta tolong apa?"
"Untuk membunuh To-liong Kiam-khek Suma Suan!"
"Apakah hal itu terjadi pada sepuluh tahun berselang?"
"Benar!"
"Ha ha ha bocah, kau melantur. Pada sepuluh tahun berselang tulang-tulangnya Jiok-so Sian-cu sudah berada di dalam tanah ha ha"."
Sambil mengeluarkan suara tertawanya yang terakhir, Orang Baju Lila itu sudah menghilang.
Hui Kiam berdiri tertegun, kejadian itu membingungkan dirinya. Jikalau di dunia ini tidak ada dua orang yang bersamaan nama dan julukannya, tidak mungkin akan terjadi kejadian-kejadian, kecuali To-liong Kiam-khek mempunyai maksud lain, ia sengaja menciptakan kejadian aneh itu dengan maksud untuk membingungkan hati orang, maka teka-teki itu, tetap harus dicari pada dirinya sendiri.
Dengan adanya kejadian itu telah menghambat waktunya hampir setengah jam. Dengan pikiran masih diliputi berbagai pertanyaan, Hui Kiam melanjutkan perjalanannya ke goa yang dicari.
Satu jam kemudian, dengan menurut petunjuk pemburu binatang itu, benar saja ia menemukan sebuah puncak gunung yang menjulang tinggi bagaikan sebuah potongan batu besar. Keadaannya sangat berbahaya, benar-benar lain daripada yang lain.
Ia lalu berpikir mungkin inilah puncak gunung yang dimaksudkan itu, maka seketika itu 'ia menggunakan ilmunya yang meringankan tubuh. Setelah melalui beberapa rintangan yang sangat berbahaya akhirnya ia tiba dipuncaknya.
Puncak gunung itu hampir seluruhnya merupakan batu besar dan tajam. Batu-batu itu bentuknya sangat aneh. Sebagian licin bagaikan kaca tetapi sebagian lagi menonjol tajam, sehingga bentuknya mirip dengan belahan bangku. Di salah satu bagian belakang batu besar itu terdapat sebuah lubang goa di dalam.
Perasaan Hui Kiam mulai tegang. Karena penemuan makam itu tadi, membuat perasaan terhadap perkara ini semakin besar perhatiannya. Nampaknya memang benar To-liong Kiam-khek berada dalam gua ini.
Ia harus menerjang masuk" Ataukah memanggil namanya dulu"
Selagi masih belum dapat mengambil keputusan, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dingin. Di hadapannya sudah berdiri perempuan yang menjadi penghuni loteng merah.
Bukan kepalang terkejut Hui Kiam. Ia sungguh tidak menduga Penghuni Loteng Merah itu telah tiba sedemikian tepat waktunya sebelum ia bertindak apa-apa. Bagaimana akibatnya, ia sendiri tidak dapat membayangkan.
Di belakangnya Penghuni Loteng Merah diikuti oleh empat perempuan muda berbaju lila. Siu-Bie, juga terdapat di antaranya.
Hui-Kiam mengawasi Penghuni Loteng Merah dengan perasaan takut, karena hanya Siu Bie seorang, ia sendiri belum mampu menandingi, apa lagi gurunya"
Paras Penghuni Loteng Merah yang pucat diliputi oleh warna merah karena tergoncang perasaannya. Lalu dengan nada suara dingin ia berkata kepada Hui-Kiam:
"Hui siaohiap, begitu cepat kau tiba?"
"Nyonya sendiri juga tidak kalah cepatnya."
Penghuni Loteng Merah itu nampak berpikir sejenak, lalu berkata dengan sikap sungguh-sungguh.
"Penggali Makam, aku ucapkan terima kasih kepadamu yang telah menemukan tempat kediamannya. Kau bermaksud hendak menuntut balas, sedangkan aku akan melindungi dirinya dengan sepenuh tenaga. Dengan terus terang, tidak nanti kau akan kesampaian maksudmu. Di samping itu keadaan sekarang ini masih merupakan satu teka-teki yang perlu kita ungkap dulu."
"Tetapi sebelum tercapai maksudku aku tidak akan berhenti dalam usahaku!"
"Dengarkan dulu pembicaraanku. Terlebih dahulu kita mengadakan perjanjian secara terhormat........"
"Perjanjian apa yang kau maksudkan perjanjian yang terhormat itu?"
"Untuk sementara kau jangan bertindak dulu, tunggu aku cari ia dulu. Jikalau benar seperti apa yang dikatakan bahwa seluruh kepandaiannya sudah musnah, maka kau harus tunggu aku berusaha untuk memulihkan kepandaiannya kemudian aku nanti memberikan kesempatan kepadamu untuk bertanding secara adil. Bagaimana?"
Meski dalam hati Hui-Kiam merasa keberatan tetapi keadaan sudah berubah demikian rupa. Jikalau ia tidak terima, barangkali kesempatan untuk bertanding saja sudah tak ada.
Karena berpikir demikian, maka ia lalu menjawab:
"Perjanjian itu aku terima, tetapi ada satu permintaan!"
"Permintaan apa?"
"Aku hendak bertanya dulu beberapa patah kata kepadanya!"
"Boleh, begitulah kita tetapkan. Jikalau kau tidak mengindahkan perjanjian ini dan bertindak sesukanya, kau nanti akan kehilangan kesempatan menuntut balas untuk selama-lamanya. Ini bukan suatu gertakan saja. Salah satu di antara murid-muridku ini bisa mengambil jiwamu dalam waktu tiga jurus saja."
Ucapan itu memang tidak dilebih-lebihkan. Hui Kiam juga mengakui kebenarannya. Tetapi sifatnya yang angkuh tidak dapat digertak begitu saja, maka lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Aku selamanya tidak kena diancam 'Hujie" aku harus balas, dendam sakit hati aku harus tutup!"
Penghuni Loteng Merah berkata sambil tertawa hambar:
"Tetapi segala sesuatunya kita harus jelaskan lebih dulu." Sehabis itu ia berkata pula kepada empat anak muridnya:
"Kamu menjaga di luar."
'"Ya!" Demikian empat anak muridnya itu menyambut lalu berdiri terpencar, masing-masing terpisah dua tombak menjaga di sekitar mulut goa.
Hui-Kiam dalam hati penuh rasa marah tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tindakannya Penghuni Loteng Merah memang bukan merupakan suatu ancaman bahkan boleh dikata cukup adil, maka mau tidak mau ia harus menurut.
Penghuni Loteng Merah mulai berjalan menuju ke mulut goa....
Tiba di depan goa, Penghuni Loteng Merah menghentikan kakinya, dengan suara agak gemetar ia berkata ke dalam goa:
"Apakan di dalam ada orang?"
Tidak ada jawaban dari dalam.
"Kawan lama dari Loteng Merah datang berkunjung!"
Kembali tidak ada jawaban, suasana menjadi tegang.
"Adakah Su-ma Suan yang berada di dalam gua?"
Setelah mengucapkan pertanyaan itu, dari dalam goa terdengar suara rintihan yang menimbulkan rasa tidak enak bagi yang mendengarnya.
Penghuni Loteng Merah berpaling mengawasi Hui Kiam sejenak, berkata lagi dengan suara keras:
"Sahabat mana yang berada di dalam gua?"
Satu suara kasar yang sangat menusuk telinga terdengar dari dalam gua:
"Pergi, aku tidak suka bertemu dengan siapapun juga!"
"Apakah kau To-liong Kiam-khek Su-ma Suan?"
"Ki-ki-ki"!" Demikian suara ketawanya tidak sedap didengarnya dari dalam gua. "Su-ma Suan sudah lama mati!"
Penghuni Loteng Merah berkata dengan suara keras:
"Su-ma Suan, aku kenali suaranya, kau... lekas keluar!"
Dalam gua untuk sesaat nampak sunyi, lama baru terdengar suara tarikan napas sedih lalu terdengar jawabannya:
"Kau... lupakanlah. Untuk apa kau mendesak aku. Aku sekarang" sudah merupakan orang yang hampir mati!"
Ucapan itu merupakan suatu pengakuan bahwa orang dalam gua itu benar adalah To-liong Kiam-khek. Wajah Hui Kiam berubah seketika. Bermacam pikiran mengaduk dalam otaknya. Semula dalam pikirannya, ia telah menanam rasa dendam benci karena menerima pesan ibunya, tetapi setelah dengan tanpa sengaja menemukan sebuah makam yang megah dan mencurigakan itu, perasaan dendam dan bencinya diliputi oleh kabut yang merupakan suatu teka-teki besar.
Penghuni Loteng Merah sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, badannya gemetar. Ia berkata dengan suara sedih:
"Su-ma Suan, apakah kau sudah melupakan sumpah janjimu pada sepuluh tahun berselang?"
"Aku..... tidak lupa, sedikitpun tidak lupa, tetapi .... inilah takdir."
"Keluarlah!"
"Aku sudah bersumpah dalam hidupku ini tidak akan menemui siapapun juga."
"Termasuk aku?"
"Adik Khim, simpanlah kenang-kenangan itu. Hatiku sekarang sudah beku seperti batu."
"Kabarnya kepandaianmu sudah musnah, kedua matamu sudah buta" Apakah itu benar?"
"Ha ha ha, adik Khim, kita berjumpa cuma menambah kesengsaraan hati kita satu sama lain sudah cukup, sebelum aku mati, dapat dengar suaramu, aku sudah merasa puas...."
"Engko Suan, aku datang!"
Penghuni Loteng Merah lalu menggerakkan kakinya berjalan masuk ke dalam goa....
"Adik Khim, apa kau mendesak aku supaya lekas maju?"
Penghuni Loteng Merah untuk sesaat tercengang, tetapi kemudian dengan secepat kilat ia melesat ke dalam goa.
Hampir bersama waktunya ketika Penghuni Loteng Merah bergerak, tiba-tiba terdengar orang berseru dengan suara cemas:
"Cegah padanya, ini adalah suatu rencana keji."
Perkataan rencana keji itu ketika masuk ke telinga Hui Kiam, ia hampir sudah tidak sempat untuk mencari tahu darimana datangnya suara itu, dengan cepat ia melesat ke mulut goa. Tetapi ternyata masih terlambat setengah tindak karena pada saat itu Penghuni Loteng Merah menghilang ke dalam goa.
Empat wanita muda berbaju lila juga segera bergerak ke mulut goa.
Selagi Hui Kiam hendak menerjang ke dalam goa, suara itu terdengar pula:
"Lekas mundur! Jikalau tidak, kalian nanti akan mati konyol semuanya!"
Hui Kiam dan empat wanita muda itu tercengang.
Pada saat itu mendadak terdengar suara ledakan hebat yang terbit dari dalam goa. Asap tebal dan potongan batu terlempar keluar dari dalam goa. Tanah sekitar goa itu tergoncang hebat.
Hui Kiam dan empat wanita muda itu, semangatnya hampir terbang seketika. Untung mereka semua berkepandaian tinggi, daya reaksinya juga tepat, dalam saat yang paling tepat mereka sudah melompat mundur ke tempat yang aman.
Suara ledakan itu menggema cukup lama. Di bekas tempat ledakan, kecuali runtuhan batu tidak terdapat apa-apa lagi.
Hui Kiam dan empat wanita muda itu dengan wajah pucat berdiri di tempat sejarak lima tombak. Masing-masing bagaikan patung. Pikiran mereka kusut semua.
Kejadian ini sesungguhnya merupakan satu kejadian di luar dugaan.
Penghuni Loteng Merah sudah mati. To-liong Kiam-khek juga mati. Kedua-duanya mati terpendam hidup-hidup dalam runtuhan batu.
Siapakah yang merencanakan akal keji ini"
Siapakah itu pula orang yang memberi peringatan" Jikalau bukan itu orang yang memberi peringatan, yang menjadi korban barangkali bukan cuma Penghuni Loteng Merah seorang saja.
---ooo0dw0ooo---
JILID 10 HUI Kiam berusaha menenangkan pikirannya. Ia mulai menganalisa dari semua orang yang berhubungan dengan kejadian ini. Yang memberi kabar itu adalah seorang berbaju lila dan orang baju lila itu belum lama berselang pernah mengunjukkan diri di depan makam yang megah itu kemudian menghilang secara misterius. Apakah tidak mungkin dia....
Berpikir sampai di situ badannya gemetaran. Orang berbaju lila itu berkali-kali menanyakan; apa sebabnya ia yang masuk ke loteng merah, tidak dibinasakan. Dan yang terakhir orang itu telah menggunakan ilmu mengalihkan semangat untuk menanyakan apa yang telah terjadi di loteng merah itu, sehingga di luar keinginannya sendiri ia sudah menceritakan semuanya, kemudian orang berbaju lila itu mengabarkan tentang diri To-liong Kiam-khek yang dibuang ke dalam gua ini. Tidak salah lagi, orang baju lila itulah yang merencanakan rencana keji ini. Tujuannya ialah hendak membinasakan penghuni loteng merah, tetapi dengan demikian dengan tanpa disadari ia sudah merupakan komplotan dalam kejahatan ini.
Andaikata benar bahwa orang yang berada dalam gua itu adalah To-liong Kiam-khek dan sekarang To-liong Kiam-khek sudah mati,
maka usahanya untuk menuntut balas terhadapnya tidak akan terlaksana lagi.
Siu Bie tiba-tiba menghunus pedangnya. Dengan wajah beringas dan suara bengis ia berkata kepada Hui Kiam:
"Penggali Makam, sekarang kau harus bertanggung jawab!"
Hui-Kiam terperanjat. Ia balik bertanya: "Nona Siu, kau minta aku tanggung jawab?" Sementara itu tiga perempuan lainnya sudah lari ke tempat yang bekas terjadinya peledakan tadi, ingin mencari bangkai majikannya.
Sambil kertak gigi, Siu Bie berkata: "Penggali Makam, siapa biang keladinya?"
Hui Kim dapat mengerti perasaan nona itu maka ia menjawab dengan tenang: "Nona Siu bicara harus dipikir dulu masak-masak, aku sendiri juga hampir masuk ke dalam gua itu!"
"Nyatanya kau toh masih hidup!"
"Kau tentunya dengar suara orang yang memberi perintah tadi?"
"Apakah itu bukan suatu rencana yang sudah diatur lebih dulu?"
"Kalau begini mengapa kalian berempat juga masih hidup"''
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri bercampur dengan beberapa suara bentakan. Hui Kiam dan Siu Bie, menengok ke arah datangnya suara itu. Dekat tanda bekas ledakan tadi, tampak seorang laki-laki berpakaian warna lila yang memakai kerudung di mukanya. Salah satu dari perempuan muda berbaju lila, sudah binasa di bawah pedang laki-laki berbaju lila itu.
Dengan kemurkaan yang meluap Hui Kiam berseru:
"Orang berbaju lila, kiranya adalah kau!"
Sementara itu orang berbaju lila itu menggerakkan pedangnya bagaikan kilat cepatnya, kembali merobohkan satu perempuan muda yang melawannya.
Siu Bie menggeram, lalu menubruknya dengan pedang terhunus.
Hui Kiam kini sudah mendapat kenyataan bahwa orang berbaju lila itulah yang telah merencanakan pembunuhan kejam ini, maka seketika itu dengan tanpa pikir kekuatan tenaganya sendiri juga segera maju menyerang.
Dua orang itu baru tiba di tempat pertempuran, perempuan muda yang ketiga sudah mati lagi di bawah pedang orang berbaju lila.
Siu-Bie segera menyerang hebat orang berbaju lila itu.
Orang berbaju lila itu menangkis dengan pedangnya. Ketika kedua senjaia itu saling beradu masing-masing mundur satu langkah. Dari sini ternyata bahwa kekuatan Siu-Bie jauh lebih tinggi daripada tiga kawannya yang sudah mati.
Dengan suara bengis Siu-Bie menegur:
"Kau siapa" Mengapa bertindak begitu kejam?"
Orang berbaju lila itu menjawab dengan suara seram:
"Budak, di alam baka suhumu nanti bisa memberitahukannya kepadamu!"
"Iblis, aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Sudah tentu aku juga tidak akan membiarkan kau hidup sendiri!"
Keduanya saling menyerang lagi. Kedua pihak masing-masing mengeluarkan gerak tipunya yang aneh-aneh. Dalam waktu sangat cepat beberapa jurus sudah berlalu. Tiba-tiba terdengar suara bentakan orang berbaju lila:
"Rebah!"
Lalu disusul oleh suara jeritan, badan Siu Bie terhuyung-huvung, kemudian roboh.
"Orang berbaju lila, kau iblis kejam!"
Hui Kiam mengeluarkan suara bentakan keras. Dengan gerak tipu ilmu pedangnya yang luar biasa, dengan tenaga sepenuhnya ia melakukan serangannya.
Orang berbaju lila itu baru saja hendak membinasakan Siu Bie yang roboh terluka. Karena serangan Hui Kiam yang amat dahsyat itu, terpaksa mengurungkan maksudnya. Dia menggunakan pedangnya untuk menangkis pedang Hui Kiam. Ketika dua pedang saling beradu, orang berbaju lila itu karena dalam keadaan tergesa-gesa sehingga terpental mundur.
Serangan kedua Hui Kiam sudah menyusul.
Orang berbaju lila itu tiba-tiba tertawa, kemudian menyambut serangan Hui Kiam yang hebat itu. Kali ini Hui Kian yang terdesak mundur sampai tiga langkah.
Terdengar pula suara bentakan orang berbaju lila. Pedang Hui Kiam tiba-tiba terlepas dari tangannya.
Ujung pedang orang berbaju lila itu mengancam dada Hui Kiam. Dengan suara seram berkata:
"Penggali Makam, nampaknya aku terpaksa akan membunuh mati dirimu!"
Dada Hui Kiam dirasakan hampir meledak. Tetapi ia tidak berdaya. Ia hanya menantikan kematiannya saja.
Ujung pedang perlahan-lahan nancap ke dada Hui Kiam, darah mulai mengalir keluar....
Tiba-tiba terdengar suara:
"Tahan!"
Suara itu meskipun suara bentakan, tetapi didengarnya merdu sekali.
Hui Kiam yang mendengar suara itu hatinya berdebar keras, ia sudah dapat mengenali bahwa suara itu adalah suaranya To-hong Hu Bun si wanita cantik luar biasa.
Orang berbaju lila itu dengan tanpa sadar menarik kembali pedangnya".
Sesosok bayangan orang sudah berada di depan mereka. Dia sedikitpun tidak salah adalah To-hong Hui Bun.
Kedatangan perempuan cantik di tempat tersebut benar-benar di luar dugaan Hui Kiam. Maka ia lalu berseru:
"Enci!"
Orang berbaju lila itu berseru terkejut:
"Apa" Enci?"
"Kau jangan menyentuh dirinya!" berkata Tong-hong Hui Bun dengan suara dingin.
Dengan mata beringas orang berbaju lila itu berkata:
"Kau... apa maksudmu!"
"Tidak apa-apa, aku hanya tidak mengijinkan kau mengganggu seujung rambutnya saja!"
"Kau tentunya tidak bersungguh-sungguh?"
"Sungguh-sungguh!"
"Ucapanmu ini sangat aneh?"
"Kau" kau" bermaksud apa terhadap dirinya?"
"Aku anggap dia sebagai adikku, maka aku berkewajiban melindungi keselamatannya!"
Orang berbaju lila itu mundur sampai tiga-empat langkah, jelas sekali bahwa perasaannya telah tersinggung.
Sebaliknya dengan Hui Kiam. Saat itu ia tercengang. Kalau didengar dari pembicaraan mereka, antara Tong-hong Hui Bun dengan orang berbaju lila itu agaknya pernah ada hubungan satu sama lain. Tetapi entah hubungan apa"
Orang berbaju lila itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak kemudian baru berkata:
"Tong-hong Hui-Bun, dari sudut usiamu, kau patut menjadi ibunya."
"Tutup mulut!"
"Kau" benarkah...."
"Aku minta kau tutup mulut!"
Orang berbaju lila itu menggeram hebat. Dengan tiba-tiba dan kecepatan bagaikan kilat pedangnya menikam Hui Kiam. Serangannya itu agaknya dilakukan dengan pikiran gelap sehingga ia turun tangan sedemikian kejam dan ganas, sampai Hui Kiam tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menyingkir.
"Kau berani!"
Di antara suara bentakan, Tong-hong Hui Bun dengan kecapatan bagaikan kilat melancarkan serangan dari samping. Jari kiri digunakan untuk menotok.
Hui-Kiam cuma merasakan sakit di dadanya yang ternyata sudah terluka oleh ujung pedang sehingga darah mengucur keluar, sedangkan orang berbaju lila itu sendiri nampak mundur terhuyung-huyung.
Jikalau Tong-hong Hui-Bun tidak cepat bertindak, niscaya Hui Kiam saat itu sudah binasa di ujung pedang orang berbaju lila itu.
Sinar mata yang memancar keluar melalui kerudung orang berbaju lila itu, nampaknya bagai binatang buas. Kebuasan dan kekejamannya serta kebenciannya bagi siapa yang melihatnya mungkin tidak akan melupakan seumur hidupnya. Mata itu terus mengawasi paras Tong-hong Hui Bun yang cantik, agaknya ingin menelannya hidup-hidup.
Dengan perasaan agak tidak tenang Tong-hong Hui Bun mundur selangkah.
Lama orang berbaju lila itu baru mengeluarkan perkataannya. Suaranya menunjukkan perasaan hatinya yang terluka, tetapi hal itu berlainan jauh dengan sikap yang ditunjukkannya, lalu berkata:
"Hui Bun, aku harap kau bukan sungguh-sungguh demikian. Pikir saja"."
Tong-hong Hui Bun dengan cepat lantas memotong perkataannya. Ia berkata:
"Dalam seumur hidupku tidak gampang-gampang aku merubah keputusan yang sudah kuambil."
Orang berbaju lila itu agaknya sudah tidak dapat mengendalikan dirinya. Ia membentak dengan suara keras:
"Hingga hari ini aku baru mengenal watakmu yang sebenarnya. Tong-hong Hui Bun, kau ingin bagaimana?"
"Aku harap selanjutnya kau jangan melihat aku lagi!"
"Pererrpuan hina, kau"!" berkata orang baju lila itu dengan suara gemetar.
Paras Tong-hong Hui Bun mengunjukkan sikapnya yang menakutkan. Sikap yang biasanya menarik dan men ggiurkan, kini telah lenyap sama sekali, dan sinar matanya yang memikat hati telah berubah menjadi sedemikian buasnya.
Hui Kiam saat itu sudah menotok jalan darahnya sendiri untuk menghentikan mengucurnya darah. Sikap yang ditujukan oleh Tong-hong Hui-Bun menimbulkan perasaan jerih dalam hatinya. Kini ia telah dapat melihat sifat lain di balik sifat yang halus lembut dan menarik hati.
Tong-Hong Hui-Bun maju beberapa tindak. Dengan suara dingin ia berkata:
"Karena kau mengeluarkan perkataan tidak sopan, maka jangan sesalkan aku bertindak keterlaluan terhadap dirimu!"
"Sungguh tidak diduga kau seorang perempuan sedemikian."
"Sekarang tahu masih keburu."
"Sayang Tuhan telah memberikan kepadamu paras begitu cantik, tetapi jiwamu"."
"Tutup mulutmu!"
"Aku menyesal."
"Sekali lagi kukatakan, selanjutnya jangan sampai aku melihat kau lagi, untuk selama-lamanya!"
Pikiran orang berbaju lila itu terguncang hebat. Sambil menghentakkan kakinya ia berkata:
"Baik suatu hari kelak aku pasti akan membunuh kau!"
Sehabis berkata ia balikkan badannya hendak berlalu.
"Tunggu dulu!"
Tong Hong Hui Bun dengan kecepatan luar biasa telah bergerak dan merintangi di hadapan orang berbaju lila yang sudah berada di tempat sejauh lima tombak, kemudian berkata sambil mengulapkan tangannya:


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau ingin berlalu begitu saja?"
"Habis mau apa"''
"Tinggalkan kepandaianmu!"
"Apa?"
"Tinggalkan kepandaianmu, dan bertindaklah sendiri!"
"Ha, ha, ha, Tong Hong Hui Bun, hatimu lebih jahat daripada binatang buas. Apakah kau kira kau sanggup melakukan itu?"
"Aku selamanya cuma berkata cukup satu kali saja, tidak ada suatu yang tidak dapat aku lakukan."
"Kalau begitu terpaksa aku mengadu jiwa denganmu!"
"Itu berarti kau mencari mati sendiri!"
Keduanya lalu bertempur sengit. Ini merupakan suatu pertempuran dahsyat yang jarang terjadi.
Di sana muridnya Penghuni Loteng Merah, Siu Bie sedang berdiri dengan susah payah. Parasnya pucat pasi, bajunya penuh darah. Ia mendekati Hui Kiam lalu berkata kepadanya:
"Hui Siaohiap, keliru sekali anggapanku terhadap dirimu!"
"Tidak apa!"
"Utang darah ini aku nanti akan membuat perhitungan dengan orang berbaju lila itu. Sekarang aku mempunyai permintaan yang kurang pantas"."
"Nona Siu, kau katakan saja!"
"Kalau keadaan mengijinkan, tolong kau kubur jenazah tiga kawanku itu!"
"Boleh, aku pasti akan melakukannya."
"Aku akan ingat budimu ini. Sampai berjumpa lagi."
Sehabis berkata ia lalu berjalan turun gunung. Jelas sekali, bahwa Siu Bie ini merupakan seorang perempuan yang luar biasa. Ia tahu bahwa keadaannya sendiri sangat berbahaya. Ia tidak sudi mengorbankan jiwanya secara cuma-cuma, maka ia lekas-lekas menyingkir, supaya di kemudian hari bisa menuntut balas."
Pertempuran antara Tong Hong Hui Bun dan orang berbaju lila sudah berlangsung sepuluh jurus lebih. Kepandaian Tong Hong Hui Bun sesungguhnya luar biasa, hanya dengan sepasang tangan kosong ia menghadapi orang berbaju lila yang menggunakan senjata pedang, dan toch ia sudah berhasil mendesak lawannya sedemikian rupa, sampai tidak mampu balas menyerang sama sekali.
Hui Kiam memasang matanya menyaksikan pertempuran hebat itu.
Perlahan-lahan orang berbaju lila itu terdesak mundur ke tepi jurang yang dalam sekali. Apa yang mengherankan, setiap serangan pedang orang berbaju lila selalu dipunahkan oleh Tong-hong Hui Bun bahkan dibalas dengan serangan yang mematikan. Nampaknya perempuan cantik itu kenal baik gerakan ilmu pedang orang berbaju lila itu. Jikalau tidak, tidak mungkin ia dapat menghadapi sedemikian tenangnya.
Orang berbaju lila itu agaknya sudah mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan sangat berbahaya. Ia berusaha untuk menukar tempat supaya dapat menghindarkan dirinya terjatuh dalam jurang. Tetapi Tong Hong HuiLBun agaknya sengaja mendesaknya ke jalan buntu, sedikitpun tidak mengendorkan serangannya.
Akhirnya ketika suara bentakan keras keluar dari mulut perempuan cantik itu, badan orang berbaju lila sudah melayang turun ke dalam jurang.
Hui Kiam lalu berseru:
"Jangan biarkan ia mati!"
Tetapi sudah terlambat, suara jeritannya orang berbaju lila itu perlahan-lahan menghilang ke bawah jurang.
Benar seperti apa yang dikatakan oleh orang berbaju lila, mungkinkah ia hanya mempunyai kecantikan di luarnya, tetapi hatinya jahat bagaikan ular berbisa"
Mengapa ia memaksa orang berbaju lila itu terjun ke dalam jurang"
Di antara ia dengan orang berbaju lila agaknya pernah terjalin hubungan apa-apa. Hubungan apakah sebetulnya"
Hui Kiam merasa berduka, perempuan pujaannya, ternyata tidak begitu sempurna seperti apa yang ia bayangkan.
Tong-Hong Hui-Bun perlahan-lahan membalikkan badannya. Parasnya masih menunjukkan senyumnya yang manis seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Anggapan yang tumbuh dalam hati Hui-Kiam, telah lenyap seketika ditelan oleh senyuman manis itu.
Ia memang terang cantik. Kecantikannya itu menyebabkan orang tidak berani menimbulkan kesan buruk terhadap dirinya, apalagi mencurigai perbuatannya. Semua itu seolah-olah merupakan dosa terhadap dirinya.
"Adik."
Suara yang membawa daya penarik, ditambah dengan sinar matanya yaag jernih dan berpengaruh, membuat jantung Hui Kiam tergoncang hebat. Pikiran yang bukan-bukan timbul dalam otaknya.
"Apakah kau anggap encimu terlalu kejam?"
"Ini..." Hui Kiam tidak tahu bagaimana harus menjawab.
"Kau yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana menyedihkan kematian Penghuni Loteng Merah dan muridnya...."
"Apakah itu benar rencana kejam Orang Berbaju Lila?"
"Kiranya tidak ada salah!"
"Mengapa ia harus membinasakan Penghuni Loteng Merah?"
"Ini aku tidak tahu lagi!"
"Sayang."
"Sayang apa?"
"Ada beberapa pertanyaan aku ingin mendapatkan keterangan dari dirinya. Sayang ia sudah mati."
"Pertanyaan apa?"
"Umpama ini dengan menggunakan akal kejam seperti itu hanya untuk membinasakan jiwa penghuni loteng merah, mengapa ia harus berbuat demikian" Dan suara orang dari dalam goa yang digunakan sebagai umpan, suara siapakah itu?"
"Urusan tidak ada hubungan dengan kita sendiri sudahi saja!"
Hui-Kiam hampir mengeluarkan perkataan yang terkandung dalam hatinya, tetapi ia urungkan lalu mengalihkan pembicaraannya ke lain soal.
"Enci ada hubungan apa dengan orang berbaju lila itu?"
Paras Tong-hong Hui Bun agak berubah. Ia berkata:
"Hubungan" Tidak ada. Adik, apakah kau anggap aku cantik?"
Wajah Hui Kiam merasa panas. Ia berkata dengan suara tidak lampias:
"Cantik, cantik sekali. Aku tidak tahu apakah dalam dunia masih ada orang kedua yang kecantikannya dapat dibandingkan dengan enci?"
"Itulah hubungannya. Karena aku cantik, maka ia selalu mengejar aku. Bukan cuma ia saja, lelaki yang lainnya juga demikian!"
"Maka kau membunuhnya?"
"Aku seharusnya dulu-dulu sudah membunuhnya mati. Tadi, karena aku melihat perbuatannya yang tidak mempunyai prikemanusiaan sama sekali, apa lagi perbuatannya yang hendak mengambil jiwamu, maka aku terpaksa bertindak terhadap dirinya."
"Oh," dalam hati Hui Kiam terlintas suatu perasaan aneh. Ia berkata pula:
"Dari golongan mana orang berbaju lila itu?"
"Tidak tahu. Tiada seorang yang pernah melihat wajah aslinya."
"Apakah... aku boleh menanyakan asal-usul Enci?"
Tong hong Hui Bun mengunjukkan senyumnya yang mengandung misteri, lalu berkata:
"Kau segera akan mengetahui sendiri, tapi bukan sekarang."
Hui Kiam tidak menanyakan lagi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, sewaktu Penghuni Loteng Merah hendak masuk ke dalam goa, pernah terdengar suara orang yang memberi peringatan. Juga karena peringatan orang itu, sehingga ia sendiri tidak mengalami nasib seperti Penghuni Loteng Merah. Karena orang itu lebih dulu memberi peringatan yang menunjukkan bahwa itu suatu rencana keji, maka orang itu pasti tahu sebab-sebabnya rencana itu. Tetapi sayang, orang itu tidak mengunjukkan diri maka tidak diketahui siapa adanya.
Karena berpikir demikian, maka ia lalu bertanya:
"Apakah enci pernah melihat di dekat-dekat sini ada orang?"
"Tidak, rasanya juga tidak mungkin."
"Tetapi ketika Penghuni Loteng Merah mendapat kecelakaan, aku pernah mendengar ada suara orang yang memperingatkan."
"Oh!"
Tong Hong Hui Bun lalu bergerak badannya, lalu melesat ke atas puncak gunung. Ia mengitari puncak gunung itu sebentar lalu turun lagi dan berkata:
"Aku percaya di atas gunung ini kecuali kau dan aku tidak ada orang yang ketiga. Oh, perempuan yang terluka tadi sudah pergi, ia sungguh cerdik!"
Hui Kiam segera ingat akan janjinya terhadap Siu Bi, maka lalu berkata:
"Aku hampir lupa. Aku tadi sudah menerima baik permintaan perempuan itu untuk mengubur jenazah tiga kawannya."
Sehabis itu lalu menghampiri tiga jenazah perempuan muda itu. Setelah mencari tempat yang agak datar, ia lalu membuat sebuah lobang untuk mengubur jadi satu tiga jenazah perempuan itu.
"Adik, lukamu sendiri...."
Hui-Kiam baru merasakan sakit di dadanya sendiri. Ketika ia melihat lukanya, ternyata sudah mengeluarkan darah lagi.
Paras Tong-hong Hui Bun mengunjukkan rasa kasihan. Ia mengernyitkan alisnya. Dari badannya mengeluarkan sebuah kantong indah. Ia membuka kantong itu. Di dalamnya ada sebuah botol kecil sebesar ibu jari, lalu membuka tutupnya dan mengeluarkan isinya yang berupa bubuk berwarna putih. Bubuk itu lalu diulaskan ke bagian yang luka. Sungguh heran, darahnya segera berhenti mengalir.
Keduanya berdiri dekat sekali, sehingga bau harum menusuk hidung Hai Kiam. Sepasang biji matanya yang jernih, bibirnya yang merah semeringah menimbulkan daya penarik luar biasa sehingga Hui Kiam hampir tidak bisa bernapas. Jantungnya berdebar keras.
Tong Hong Hui Bun kembali mengunjukkan senyumnya yang menggiurkan. Senyuman itu telah membikin runtuh pertahanan Hui Kiam yang terakhir".
Dengan tanpa dapat menguasai dirinya sendiri ia lalu memeluk diri perempuan cantik itu. Untuk pertama kalinya Hui Kiam tenggelam dalam arusnya asmara.
Dengan tiba-tiba suara siulan tajam terdengar nyaring. Tong Hong Hui Bun dengan perlahan mendorong Hui Kiam. Hui Kiam kini baru dapat melihat sinar merah melesat ke angkasa, dan suara tajam itu adalah suara yang keluar dari sinar merah tadi.
Hui Kiam menenangkan pikirannya. Ia lalu berkata:
"Inilah tanda panah api yang biasa digunakan oleh orang-orang Kang-ouw. Apakah?""
To-hong Hui Bun berkata dengan tergesa-gesa:
"Adik, aku pergi ke depan untuk melihat apa yang telah terjadi. Kau di sini tunggu aku."
Sehabis berkata, dengan tanpa menantikan jawaban ia sudah bergerak dan sebentar sudah menghilang!
Hui Kiam seperti baru tersadar dari impiannya yang indah, perasaan yang seolah-olah kehilangan sesuatu, benar-benar sangat tidak enak baginya.
Mengapa ia pergi begitu tergesa-gesa" Jelas bahwa tanda tadi itu ada hubungannya dengan dirinya. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa diri perempuan cantik itu tidak terlepas dari lingkungan sesuatu partay
atau golongan persilatan di dunia Kang-ouw. Akan tetapi, dalam rimba persilatan dewasa ini, partay atau golongan mana yang mempunyai orang berkepandaian demikian tinggi" Dengan kepandaian orang berbaju lila
yang sudah susah dicari tandingannya ternyata sudah dipaksa terjun ke dalam jurang dengan hanya sepasang tangan kosong saja, ini benar-benar merupakan suatu hal yang tidak habis dipikir,
kepandaiannya agaknya sama dengan kecantikannya yang tidak dapat dicari tandingannya lagi, dan perempuan itu kini telah jatuh cinta kepadanya.
Lama Hui Kiam berdiri terpaku, pikirannya balik kepada kenyataan. To-liong Kiam-khek sudah terkubur hidup-hidup di dalam goa. Dari ucapan Penghuni Loteng Merah tadi yang mengatakan: "Su-ma Suan, aku dapat mengenali suaramu"." Dapat diduga bahwa orang dalam goa sudah tentu To-liong Kiam-khek, dan orang berbaju lila itu telah menggunakan Hui Kiam untuk menyampaikan kabar, serta menggunakan To-liong Kiam-khek sebagai umpan, lalu meledakkan goa itu. Apa maksudnya ia harus membinasakan Penghuni Loteng Merah"
Andaikata permusuhan, dengan kepandaiannya orang berbaju lila itu, apakah dia tidak berani menentang secara terang-terangan" Mengapa ia menggunakan akal sedemikian rendah"
Karena kedua pihak orang yang bersangkutan sudah mati semua, maka pertanyaan itu akan merupakan teka-teki untuk selama-lamanya.
Dalam pesan ibunya sebelum menutup mata pernah minta kepadanya supaya membunuh To-liong Kiam-khek. Tetapi di atas puncak gunung tadi ia telah menemukan makam ibunya yang menunjukkan bahwa antara ibunya dan To-liong Kiam-khek pernah ada hubungan suami istri. Yang paling aneh ialah ibunya dikubur di dalam pekarangan rumahnya sendiri. Mengapa di gunung itu terdapat kuburannya lagi. Apakah itu juga merupakan akal jahatnya orang berbaju lila"
Sayang, To-liong Kiam-khek sudah mati, demikian juga orang berbaju lila itu, maka rahasia ini juga akan turut terkubur.
Selagi terbenam dalam lamunannya, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri yang agaknya keluar dari mulutnya seorang wanita. Buan kepalang terkejut Hui Kiam. Apakah Tong Hong Hui Bun".
la sudah tak mempunyai kesempatan untuk berpikir lagi, juga tidak memikirkan kepandaiannya sendiri dan kepandaian Tong-hong
Hui Bunyang tiada taranya. Ia hanya ingat keselamatan diri wanita yang mengeluarkan
suara jeritan itu.
Dengan tanpa menghiraukan bahaya pada dirinya sendiri, ia lari menuju ke arah suara jeritan itu. Setelah melalui beberapa puncak gunung ia menduga sudah tiba di tempat datangnya suara jeritan tadi, tetapi ia tak dapat melihat apa-apa, terpaksa ia menghentikan kakinya, pikirannya tidak karuan.
Kembali suara jeritan yang mengerikan masuk ke telinganya. Suara itu seolah-olah keluar dari lembah sebelah kanan yang tak jauh dari tempatnya.
Ia balik ke kanan, lari menuju ke lembah yang tidak dikenalnya itu.
Tidak berapa lama, ia sudah berada di mulut lembah. Ia segera lari masuk tanpa dipikir lagi.
Belum sepuluh tombak ia masuk ke dalam lembah, hidungnya dapat mencium bau amis bukan kepalang terkejutnya. Matanya mulai mencari di belakang sebuah pohon. Tampak sepotong gaun. Waktu ia menghampiri, segera dapat lihat dua jenazah orang perempuan rebah terlentang berlumuran darah. Dua perempuan itu mengenakan pakaian serupa yang berwarna kuning tua.
Pakaian serupa dan warna itu, bukankah dandanannya para pelayan Tong-Hong Hui-Bun"
Waktu ia memeriksa lagi, ternyata paras dua perempuan itu sudah hancur tidak dapat dikenali lagi.
Pembunuhan secara kejam ini sudah tidak asing bagi Hui-Kjam. Ia teringat kepada diri perempuan berbaju hijau yang mengenakan kerudung. Ketika ia pergi mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas, juga membunuh orang dengan cara demikian.
Orang-orang Persekutuan Bulan Emas, ketika menyaksikan perempuan berbaju hijau itu, ketakutan setengah mati sehingga kabur dengan mengorek biji matanya sendiri.
Di luar dugaannya perempuan berbaju hijau itu telah melepaskan dirinya bahkan memberi waktu kepadanya satu tahun untuk membuat perhitungan.
Siapakah perempuan berbaju hijau itu" Apakah ia sudah muncul ke dunia Kang-ouw"
Ia masih ingat waktu perempuan itu mengunjukkan diri, pernah menggunakan sapu tangannya membuat lingkaran di tengah udara. Tanda semacam ini yang membuat ketakutan Ko Han San sampai ia mengorek biji matanya sendiri dan kemudian kabur.
Tanda apakah itu" Tanda ia mengunjukkan diri, ataukah".
Ia tidak sempat untuk memikirkan itu. Menurut keadaan yang ia saksikan, ia telah membuat analisa. Dua korban itu, adalah pelayan Tong-hong Hui Bun. Waktu mereka tahu tidak sanggup melawan, segera mengeluarkan tanda bahaya, maka Tong-hong Hui Bun lekas-lekas menyusul hendak memberi bantuan. Tetapi nampaknya sudah tidak berhasil menolong, dan orang yang melakukan pembunuhan itu mungkin sekali adalah perempuan berbaju hijau yang pernah dijumpainya itu. Tetapi apa motifnya ia sudah tidak dapat menduga lagi.
Dengan kepandaian Tong-hong Hui Bun, halya tidak mungkin tidak dapat menandingi perempuan itu. Tetapi kemana ia sekarang"
Diantara dua perempuan yang mati itu apakah termasuk pelayan yang mengikuti Tong-hong Hui Bun" Kalau benar, maka sucinya Pui Ceng Un atau Wanita Tanpa Sukma yang bina,sa di tangannya, sudah tidak bisa menuntut balas lagi.
Mengingat diri Pui Ceng Un, segera ia teringat perkataan terakhir yang menyebutkan nama gunung Kiu Kiong San dan nama Jien Ong.
Maksud perkataan itu sudah tentu hendak mengunjukkan bahwa Jien Ong berdiam di gunung Kiu Kiong San. Tetapi apakah maksudnya" Jien Ong itu adalah musuh perguruannya, ataukah ada
orang yang mempunyai hubungan dengan sepotong uang logam itu"
Pada saat itu, sesosok bayangan orang tiba-tiba melayang turun di hadapannya dengan tanpa mengeluarkan suara.
Orang itu ternyata adalah pelayan Tong Hong Hui Bun yang pernah membunuh mati sucinya. Maka seketika itu timbul amarahnya. Tetapi ia masih mencoba mengendalikan diri dan menanyakan kepadanya:
"Majikanmu?"
"Sedang mengejar musuh!"
"Mengejar musuh. Apakah seorang wanita berbaju hijau yang mengenakan kerudung?"
"Benar, mengapa kau tahu?"
"Dari muka yang mengakibatkan kematian dua wanita itu aku segera dapat menduganya."
"Oh!"
"Apakah mereka berdua tadi jalan bersama-sama denganmu?"
"Hem!"
Dari wajah perempuan itu tidak dapat dicari sedikitpun rasa kasihan terhadap kematian kawannya, seolah-olah dua kawannya yang mati itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya, sebaliknya malah ia menunjukkan betapa mengejek, sikap itu, Hui Kiam benar-benar tidak mengerti.
"Dari golongan mana wanita berbaju hijau yang memakai kerudung itu?"
"Ia berdiri sendiri. Ia adalah murid Raja Pembunuh yang dahulu pernah bermusuhan hebat dengan Tiga Raja Rimba Persilatan!"
Hui Kiam terperanjat. Ia menegaskan pula:
"Apakah benar ia muridnya si Raja Pembunuh?"
"Sedikitpun tak salah!"
"Sekarang kita harus membuat perhitungan antara kau denganku!"
"Perhitungan apa?"
"Atas perbuatanmu yang sudah membunuh Wanita Tanpa Sukma!"
Perempuan muda itu tertawa dingin, lalu berkata:
"Kau ingin membuat perhitungan bagaimana?"
"Utang DARAH bayar DARAH!"
"Tetapi kepandaian dan kekuatanmu pada saat ini belum mampu membunuhku. Habis bagaimana?"
"Tidak halangan, kita boleh coba."
"Aku sudah mengatakan bahwa soal ini biarlah dibereskan oleh ibu majikan?"
"Tetapi aku hendak menagih sendiri padamu."
"Tetapi aku tak sempat. Sampai berjumpa lagi!"
Sebabis mengucap demikian, dengan cepat ia segera pergi.
"Lari kemana?"
Hui Kiam murka sekali. Sehabis membentak demikian ia lalu lompat mengejar.
Perempuan muda itu ternyata hebat sekali kepandaiannya. Dikejar oleh Hui Kiam, ia telah mengerahkan lari pesatnya sedemikian rupa, sehingga terpisah makin lama makin jauh dengan yang mengejar.
Meskipun Hui Kiam sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetapi tidak berhasil mengejarnya. Sebentar kemudian, perempuan itu tiba-tiba membelok ke suatu tikungan dan menghilang. Hui Kiam sangat mendongkol, tetapi ia tidak berbuat apa-apa.
la telah mendapat kesan bahwa perempuan muda itu tadi tidak sebegitu menghormat seperti apa yang ia bayangkan. Terutama sikapnya terhadap kematian kawannya, agaknya tidak tergerak
hatinya sama sekali. Hal ini merupakan suatu kejadian yang sangat ganjil.
Oleh karena Tong-Hong Hui-Bun sudah pergi mengejar musuhnya, sudah tentu ia sendiri tidak perlu menantikan di gua bekas terjadi peledakan tadi.
Maka ia lalu lari turun ke bawah gunung.
Selagi berjalan, tiba-tiba ia merasakan hembusan angin hebat menggulung dari sisinya sehingga menahan perjalanannya.
Hui-Kiam terperanjat, sementara masih belum tahu siapa yang merintangi perjalanannya itu, di hadapannya telah berdiri seorang perempuan berpakaian warna hijau dengan memakai kerudung di mukanya.
Perempuan itu bukan lain daripada perempuan kuat yang ia temukan di puncak gunung Sin-lie-bong dahulu.
Perempuan itu telah menunjukkan diri di hadapannya, tetapi tidak tampak bayangan Tong-Hong Hui Bun, sedangkan menurut perempuan muda pelayan Tong-Hong Hui Bun, telah dikatakan bahwa ibu majikannya sedang pergi mengejar musuhnya. Tetapi kini yang sudah menunjukkan diri dan kemana yang lainnya"
Ia tidak berhasil mengejar ataukah....
Perempuan berbaju hijau berkerudung itu berkata sambil tertawa dingin:
"Penggali Makam, kita telah berjumpa lagi?"
Hui Kiam juga menyahut dengan nada suara dingin:
"Benar-benar merupakan pertemuan yang tidak diduga-duga!"
"Waktu perjanjian kita untuk bertemu dalam waktu satu tahun masih belum tiba waktunya, tetapi kita telah berjumpa lagi di sini. Penggali Makam, jikalau kau sekarang masih belum mempunyai persiapan cukup, janji itu masih tetap berlaku, maka hari ini kau tidak perlu mengambil tindakan apa-apa."
Hui-Kiam meskipun beradat tinggi hati teta
pi ia mengetahui baik keadaan sendiri pada
dewasa itu belum sanggup menandingi lawannya itu. Oleh karena perempuan itu sudah menyatakan lebih dulu tidak perlu mengambil tindakan apa-apa, sudah tentu ia juga tidak perlu bertindak, lalu berkata:
"Dalam waktu satu tahun aku berjanji pasti akan menepati janji itu."
Perempuan berbaju hijau itu berkata sambil tertawa ringan:
"Mari kita bicarakan soal sekarang."
"Sekarang apa yang perlu dibicarakan?"
"Sudah tentu ada. Kedatanganku ini justru sengaja mencari kau!"
"Mencari aku?"
"Yah!"
"Ada keperluan apa nona mencari aku?"
"Kabarnya dari Wanita Tanpa Sukma kau telah mendapatkan sepotong uang logam, adakah itu benar?"
Hui Kiam terperanjat. Ia mundur selangkah baru menjawab:
"Benar, tetapi ada hubungan apa dengan nona?"
"Sudah tentu ada, bahkan besar sekali sangkut-pautnya."
"Aku tidak mengerti!"
"Urusan orang lain sudah tentu kau tidak mengerti, juga tidak ada perlunya bagimu untuk dimengerti atau tidak. Sekarang kau serahkan potongan uang logam itu kepadaku, dan masing-masing boleh mengambil jalannya sendiri-sendiri."
Hui Kiam berpikir keras, bagaimana perempuan itu bisa tahu bahwa ia mendapatkan sepotong uang logam itu dari Wanita Tanpa Sukma" Sedangkan waktu itu hanya Sukma Tidak Buyar, Orang
Tua Tiada Turunan dan Tong-hong Hui Bun bersama pelayannya yang menyaksikannya. Selain mereka sudah tidak ada orang lain yang ada di situ, dari manakah ia mendapatkan kabar itu" Potongan uang logam itu adalah barang kepercayaan perguruannya. Bagi barang itu sendiri sedikitpun tidak ada harganya. Apakah maksud perempuan berbaju hijau itu minta benda tersebut"
Andaikata yang diminta itu merupakan barangnya sendiri yang telah hilang, mungkin dapat diartikan kalau perempuan itu sudah mengetahui bahwa benda itu mengandung rahasia yang ada hubungannya dengan kitab pusaka Thian-khi Po-kip. Tetapi barang yang diminta itu justru kepunyaan Wanita Tanpa Sukma, sekalipun ia mendapatkannya juga tidak ada gunanya.
"Apakah maksud dan tujuan nona minta potongan uang logam itu?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Tetapi barang itu di tanganku."
"Itulah sebabnya maka aku minta supaya barang itu kau serahkan kepadaku."
Jika aku tidak mau menyerahkannya?"
"Rasanya tidak mungkin kau tidak mau menyerahkan barang itu."
Kesombongan hati Hui Kiam tiba-tiba timbul. Ia lalu berkata dengan nada suara sombong!
"Tidak bisa!"
"Sepotong potongan uang logam bagi kau Penggali Makam sedikitpun tidak ada gunanya!"
Apakah barang itu sangat berguna bagi nona?"
"Sudah tentu!"
"Apakah gunanya?"
Sepatah demi sepatah perempuan berbaju hijau itu berkata:
"Tentang ini kau tidak perlu tahu lagi!"
Oleh karena benda itu merupakan tanda kepercayaan perguruannya, bagaimana boleh diserahkan kepada orang lain, maka Hui Kiam lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Maaf, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu."
"Penggali Makam, aku beritahukan kepadamu bahwa aku sudah bertekad bulat hendak mendapatkan potongan uang logam itu."
"Aku juga perlu menerangkan, kecuali aku sudah mati, uang logam ini tidak boleh terjatuh ke tangan orang lain."
"Kau terlalu sombong."
"Terserah anggapanmu sendiri."
"Jika kau benar-benar hanya karena sepotong uang logam ini kau harus mengorbankan jiwamu, apakah itu berharga?"
Hui Kiam diam-diam bergidik, tetapi sikapnya semakin dingin. Dengan perasaan mendongkol ia berkata:
"Ada harganya atau tidak, itu urusanku sendiri."
"Apakah hendak memaksa aku untuk bertindak?"
"Terserah kepadamu."
Perempuan berbaju hijau itu sambil mengeluarkan suara dari hidung, lalu mengulur tangan menyambar Hui-Kiam....
Hui Kiam segera membentak dengan suara keras:
"Tunggu dulu!"
Perempuan berbaju hijau itu menarik kembali tangannya dan berkata:
"Bagaimana" Kau suka menyerah?"
"Aku ingin berkata sedikit!"
"Kau ingin bertanya apa" Katakanlah."
"Kemana perginya pemilik tanda batu kumala?"
"Pemilik tanda batu kumala" Siapa yang kau maksudkan?"
"Wanita yang mengejar kau tadi."
"Oh! Kau maksudkan dia apakah dia pemilik tanda batu kumala" Aku tidak perduli siapa dia, namun dia mempunyai kecantikan luar biasa, kepandaiannya juga tinggi. Kita berkejar-kejaran cukup lama. Barang kali ia merasa tidak gembira maka lalu berlalu."
"Apakah sebabnva kau membunuh ketiga pelayan perempuannya?"
"Hal ini kau tidak perlu bertanya, kau serahkan saja sepotong uang logam itu sudah cukup!"
Hui Kiam dalam hati berpikir, kitab pusaka Thian-khi Po-kip sudah jatuh di tangan orang lain, maka uang logam ini juga sudah tidak ada gunanya, tidak ada halangan diserahkan kepadanya.
Oleh karena berpikir demikian maka ia lalu berkata:
"Boleh kuserahkan kepadamu, tetapi kau harus menjawab pertanyaanku!"
"Coba kau katakan!"
"Bagaimana kau tahu aku mendapatkan sepotong uang logam ini dari diri Wanita Tanpa Sukma sehingga perlu kau mencari dan minta dariku?"
"Ada orang memberikan kabar kepadaku."
"Siapa?"
"Seorang perempuan bernama Oey-Yu Hong."
"Apa" Oey Yu Hong katamu"!"
Semangat Hui Kiam seketika lalu terbangun. Justru ia sedang mencari Oey Yu Hong dan kini perempuan berbaju hijau itu telah menyebutkan namanya, ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang tidak terduga-duga. Jikalau dapat menemukan Oey Yu Hong, segera mengetahui teka-teki kematian Liang Gee Sieseng dan di mana jatuhnya kitab pusaka itu. Tetapi apa maksud dan tujuan ia memberi kabar ini kepada perempuan berbaju hijau itu" Bagaimana pula ia tahu tentang uang logam itu"
"Apakah kau ingin membalas dendam kepada Oey Yu Hong?"
"Tidak, aku sama sekali aku tidak kenal dengan wanita itu, hanya aku justru sedang mencarinya."
"Kau mencari dia?"
"Ya. Apakah kau heran?"
"Kau benar tidak kenal Oey Yu Hong?"
"Tidak kenal."
"Benar-benar kau tidak kenal?"
"Benar tidak kenal!"
"Kau toh belum lama berpisah dengan perempuan pelayan tadi, betul tidak?"
"Ya, ya, ya!"
"Itulah dia perempuan yang bernama Oey Yu Hong!"
"Aaaaaa!"
Hui Kiam benar-benar tergetar perasaannya. Ia sungguh tidak menduga bahwa pelayan perempuan Tong-hong Hui Bun itu adalah Oey Yu Hong, dan ia justru pembunuh Wanita Tanpa Sukma.
"Sudah cukup sampai di sini, kau serahkan barang itu."
Hui Kiam terpaksa mengambil potongan uang logam yang diminta, kemudian ia melemparkannya kepada perempuan berbaju hijau itu seraya berkata:
"Nah sambutlah, jangan kau hilangkan. Pada suatu ketika nanti akan kuminta kembali!"
Perempuan berbaju hijau itu setelah menyambut potongan uang logam itu ia memeriksanya.


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak setelah mengetahui bahwa barang itu tidak salah, baru dimasukkan ke dalam sakunya.
Hui-Kiam yang juga mempunyai sepotong dari potongan uang logam itu, karena hampir setiap hari ia membuat main-main, maka
begitu meraba ia sudah dapat mengenali dengan tepat potongan yang mana yang menjadi kepunyaannya dan yang mana kepunyaan Wanita Tanpa Sukma, sedikitpun tidak khawatir akan salah.
Dan apa maksud perempuan berbaju hijau itu menghendaki sepotong uang logam itu, ia sudah tidak dapat menerkanya lagi. Tetapi biar bagaimana, ia sudah mengambil keputusan lambat atau cepat ia hendak minta kembali dari tangannya. Meskipun potongan uang logam itu sendiri sudah kehilangan fungsinya, tetapi merupakan barang kepercayaan perguruannya, tidaklah patut terjatuh di tangan orang lain. Asal ia dapat menemukan Oey Yu Hong, rasanya tidak sulit hanya untuk mengetahui maksudnya perempuan berbaju hijau itu meminta potongan uang logam tersebut.
Perempuan berbaju hijau itu berkata:
"Penggali Makam, sampai berjumpa lagi. Mengenai perjanjian satu tahun itu, kau tidak perlu pergi jauh ke gunung Bu-san. Di dunia Kang-ouw suatu saat kita bisa bertemu. Asal kau sudah yakin benar mempunyai cukup kepandaian, di mana saja dan kapan saja kamu boleh membuat perhitungan."
Sehabis berkata demikian ia laiu pergi.
Dengan mengawasi berlalunya perempuan itu, Hui Kiam berdiri tertegun sedang dalam otaknya ia berpikir: andaikata aku mempunyai cukup kekuatan, tak sampai aku dihinanya.
Ketika ia baru muncul di dunia Kang-ouw ia yakin akan kepandaian sendiri, tapi setelah mengalami kekalahan beberapa kali, ia baru tahu bahwa di dalam rimba persilatan masih banyak orang yang lebih pandai dan tinggi kepandaiannya daripada kepandaian sendiri, dan kepandaian yang dipunyainya hampir tidak berarti sebab kadang-kadang hampir tidak dapat melindungi jiwanya sendiri. Maka kalau ia menuntut balas ia harus belajar lebih dalam lagi. Satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan kepandaian yang diinginkan, hanya mencari kembali kitab pusaka bagian bawah yang telah hilang itu. Dalam hendak mendapatkan kembali barang tersebut, asal dapat menemukan Oey-Yu-Hong, mungkin bisa
mendapatkan keterangan dari mulutnya. Karena Oey-Yu-Hong adalah pelayan Tong-Hong Hui-Bun, rasanya tidak khawatir tidak dapat menemukan dirinya.
Karena Tong Hong Hui Bun sudah menjanjikan kepadanya untuk menunggu di tempat semula, biar bagaimana ia pasti akan balik lagi. Mungkin Oey-Yu-Hong ikut kepadanya.
Karena itu maka ia lalu berjalan balik menuju ke gua bekas terjadinya peledakan tadi.
Hari sudah mulai senja. Cuacanya di pegunungan itu sudah mulai agak gelap.
Ketika ia tiba di atas gunung yang berhadapan dengan gua bekas terjadi peledakan tadi, ia dapat melihat dengan tegas keadaan sekitar gua itu. Andaikata ada orang datang, ia pasti dapat melihatnya. Maka ia mencari tempat untuk duduk. Sepasang matanya terus ditujukan ke arah seberang.
Tetapi hingga cuaca gelap, tempat itu tidak terdapat tanda-tanda adanya orang datang.
Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara orang berkata:
"Penggali Makam, tidak usah tunggu lagi!"
Hui Kiam berpaling. Ia segera dapat melihat bahwa orang yang bicara itu adalah perempuan muda pelayan Tong Hong Hui Bun. Bukan kepalang rasa girangnya. Ia justru sedang mencari dirinya dan kini ia telah muncul di hadapannya.
Perempuan muda itu berkata pula:
"Ibu majikan menyuruhku menyampaikan kabar kepadamu. Ia minta kau jangan menunggunya lagi. Ia masih mempunyai urusan yang perlu segera diurus, maka sudah berangkat lebih dahulu."
Sehabis berkata, ia segera membalikkan badan dan berlalu.
Hui Kiam segera lompat melesat dan menghadang di hadapannya seraya berkata:
"Nona jangan pergi dulu!"
Perempuan iiu menunjukkan sikap tidak senang. Ia berkata dengan suara dingin:
"Ada apa?"
"Aku ingin bertanya kepada nona...."
"Maaf, aku tidak sempat."
"Apakah nona bernama Oey Yu Hong?"
Paras perempuan itu berubah seketika, dia berkata:
"Kalau ya mau apa?"
Jawaban itu seolah-olah sudah merupakan suatu pengakuan.
"Jikalau benar aku ingin berbicara sebentar, jikalau bukan, silahkan."
"Kalau begitu aku beritahukan kepadamu, memang benar aku adalah Oey Yu Hong."
"Bagus sekali, nona Oey, aku justru sedang mencarimu."
"Mencari aku" Untuk apa?"
"Adakah nona kenal dengan seorang perempuan bernama Oey Yu Cu?"
"Kalau kenal kau mau apa?"
"Ia minta aku mencari nona untuk menyampaikan beberapa patah kata. Ia masih pernah apa dengan nona?"
Mata Oey Yu Hong nampak merah, ia berkata:
"Ia adalah kakakku!"
Hui Kiam diam-diam menganggukkan kepala. Ia berkata:
"Mengapa nona tidak mau duduk dulu, marilah kita bicara sebentar!"
Dua orang itu setelah duduk di tanah, Hui Kiam segera bertanya:
"Apakah kakakmu itu istrinya Liang Gie Sie-seng?"
"Boleh dikata ya, juga boleh dikata bukan."
"Lo, lo, lo, apa maksud perkataanmu ini?"
"Ini agaknya tidak perlu diberitahukan kepadamu."
Oleh karena aku menerima pesan orang yang menutup mata, tidak boleh tidak aku harus menanyakannya!"
Sepasang mata Oey Yu Hong mengembang air mata. Setelah berpikir agak lama, ia baru berkata dengan suara sedih:
"Ia pesan urusan apa kepadamu?"
"Aku menanyakan kepadanya siapa orang yang mencelakakan dirinya. Sayang ia sudah tidak mempunyai tenaga untuk menjawab. Ia cuma berkata setelah menemukan kau, nanti dapat mengerti segala-galanya."
"Ya, aku mengerti."
"Apakah kematian kakakmu dan suaminya karena sejilid kitab pusaka?"
"Bukan, itu hanya merupakan cerita burung yang sengaja dibuat-buat. Suami kakakku sehingga menemukan ajalnya barangkali juga masih belum mengerti."
Hui Kiam merasa kecewa, tetapi ia berkata pula:
"Apakah bukan karena kitab pusaka pelajaran ilmu silat?"
"Bukan. Kematian Sam Goan Lojin dan Oey Yang Hong juga bukan karena kitab pusaka. Segala desas-desus yang mengenai kitab pusaka itu, sebetulnya cuma ciptaan sang pembunuh yang sengaja untuk mengalihkan perhatian orang."
"Oh oh oh!"
Hui Kiam terkejut. Kalau demikian halnya, kitab pusaka itu belum muncul di dunia, dengan demikian maka pesan Wanita Tanpa Sukma, harus dipikir kembali secara masak-masak. Tetapi pembunuh yang membinasakan penghidupan orang kuat rimba persilatan, mengapa harus menggunakan cara demikian alibi"
"Baru saja nona berkata tentang diri Oey Yu Cu"."
Dengan air mata bercucuran, Oey Yu Hong menunjukkan sikap gemas dan penasaran. Dia berkata dengan suara gemetar:
"Dengan kepandaianku sendiri, barangkali tidak mampu untuk menuntut balas baginya, tetapi aku bisa berbuat dengan tanpa menghiraukan caranya."
"Bagaimana?"
"Kakakku telah mendapat perintah menggunakan dirinya sebagai umpan, untuk membuat perhubungan dengan Liang Gie Sie-seng. Maksudnya semata-mata hanya untuk mencuri resepnya pembuatan racun. Dalam dunia rimba persilatan dewasa ini, Liang Gie Sie-seng terhitung satu-satunya orang terpandai menggunakan racun."
"Dan selanjutnya?"
"Ia telah berhasil melaksanakan sebagian dari tugasnya, tetapi kemudian ia jatuh cinta benar-benar kepadanya, maka akhirnya ia tak luput dari kematian."
"Kalau begitu orang yang memberi perintah kepada Oey Yu Cu, juga adalah orang yang melakukan pembunuhan besar-besaran kemudian menyiarkan kabar angin itu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Siapakah?"
Oey Yu Hong nampak ragu-ragu, agaknya merasa takut. Setelah berpikir sejenak, ia balik menanya:
"Bagaimana kau tahu aku adalah Oey Yu Hong?"
"Perempuan berbaju hijau berkerudung yang memberitahukannya kepadaku!"
"Dia yang memberitahukan kepadamu?"
"Benar! O, ya, nona beritahukan apa kepadanya?"
"Mungkin aku telah membuat kekeliruan."
"Apa artinya?"
"Kau ingin tahu?"
"Aku ingin tahu sebabnya. "
"Mungkin setelah aku memberitahukan kepadamu, aku bisa membunuh mati kau untuk menutup rahasia!"
Dari sikap perempuan itu boleh dipastikan bahwa apa yang dikatakan bukanlah merupakan gertak sambel belaka. Tetapi karena watak tinggi hati Hui Kiam, semakin menghadapi teka-teki yang penuh rahasia, semakin keras kemauannya untuk mengetahui keinginannya maksudnya tidak mau melepaskan begitu saja bahkan masih berkata dengan sikap tenang:
"Apakah sedemikian pentingnya?"
"Sudah tentu!"
"Coba nona ceritakan!"
"Hal ini boleh dikata suatu kebetulan. Di bawah kaki gunung Keng-san, aku telah berjumpa dengan perempuan berbaju hijau yang mengenakan kerudung. Ia minta keterangan kepadaku tentang jejaknya diri Jiok Siao Tin. Maka terbukalah pikiranku, aku ingin menggunakan dirinya untuk menuntut balas."
"Siapakah Jiok Siao Tin?"
"Wanita Tanpa Sukma."
"Oh!" Hui Kiam terperanjat. Kemudian ia berkata pula dengan suara gemetar:
"Jiok Siao Tin adalah Wanita Tanpa Sukma?"
"Ya, mengapa?"
"Apakah ia bukan bernama Pui Ceng Un?"
"Siapakah Pui Ceng Un itu"''
Pikiran Hui Kiam seketika itu menjadi kalut. Pertanyaan Oey Yu Hong itu seolah-olah tidak masuk ke dalam telinganya. Ia memerlukan ketenangan untuk berpikir. Selama itu ia telah menganggap bahwa Wanita Tanpa Sukma adalah anak piatu si-
supeknya. Sesungguhnya tidak disangka bahwa dugaannya itu keliru sama sekali. Ia hanya menduga Wanita Tanpa Sukma dari sepotong uang logam yang jatuh dari badannya. Hakekatnya Wanita Tanpa Sukma belum pernah mengakui nama yang sebenarnya, sebab ketika itu ia sudah tidak bisa berkata lagi.
Tetapi sepotong uang logam itu adalah barang yang menjadi kepunyaan si-supeknya, mengapa bisa berada di dalam tangannya"
Apakah artinya perkataan terakhir yang diucapkan mengenai gunung Kui-kong-san dan orang yang bernama Jien Ong" Apakah tuan ada hubungannya dengan sepotong uang logam itu"
Apakah sebabnya perempuan baju hijau berkerudung itu minta potongan uang logam itu"
Semakin ia memikir, pikirannya semakin kalut!
Oey Yu Hong bertanya pula:
"Siapa yang kau katakan dengan Pui Ceng Un tadi?"
"Salah satu saudara seperguruan dengan aku."
"Apakah kau sudah anggap Wanita Tanpa Sukma sebagai Pui Ceng Un?"
"Ya!"
"Paras mereka mirip satu sama lain ataukah"."
"Aku belum pernah melihat muka Pui Ceng Un hanya".
la sebetulnya ingin mengatakan bahwa dugaannya itu berdasar atas sepotong uang logam itu. Tetapi ia pikir hal itu kurang pantas sebab itu ada rahasia dalam perguruannya, bagaimana boleh dibocorkan kepada orang luar"
Maka ia menelan kembali ucapannya.
"Hanya kesalahan paham saja?"
"Ya!" Hui-Kiam terpaksa menjawab demikian.
"Penggali Makam, aku membunuh Wanita Tanpa Sukma karena atas perintah ibu majikanku sebab kelakuannya dan perbuatannya
terlalu kejam dan rendah. Khawatir kau akan terperosok dalam akal muslihat maka ibu majikan menyuruhku menyingkirkan dirinya. Sekarang aku sudah jelaskan duduk perkaranya, apakah kau masih ingin membuat perhitungan denganku?"
Hui-Kiam telah berpikir lalu berkata:
"Karena kesalahan paham maka perhitungan ini kita hapuskan saja."
"Kakakku sebetulnya menyuruh kau menyampaikan perkataan apa?"
"Ia hanya berkata asal dapat menemukan kau kini ia bermaksud minta aku mengabarkan kematiannya kepadamu, dan menyuruh kau menuntut balas. Tetapi setelah ia menutup mata, kau dengan ibu majikanmu telah tiba di tempat kejadian itu maka urusan ini tidak perlu disampaikan lagi. Hanya".
"Hanya apa?"
"Aku masih kurang mengerti. Ketika nona tiba di tempat kejadian itu, terang nona sudah melihat sendiri kuburan baru kakak nona, mengapa nona tidak mengunjukkan sikap apa-apa" Apakah dalam hal ini ada sebab-musababnya?"
Oey Yu Hong tidak menjawab langsung, sebaliknya mengalihkan ke lain soal.
"Aku sudah mulai bertindak untuk melakukan pembalasan dendam. Di sini aku ucapkan terima kasih kepadamu atas budimu yang sudah mengubur jenazah kakakku."
'Kau ingin menggunakan muridnya si Raja Pembunuh yang merupakan dirinya perempuan berbaju hijau berkudung itu, ini juga merupakan salah satu usaha yang cukup baik."
"Aku tidak menyangkal!"
"Apakah sebabnya perempuan berbaju hijau itu minta kepadaku sepotong uang logam itu?"
"Sebab itu adalah barang kepunyaan Wanita Tanpa Sukma Ciok Siao Tin."
"Rasanya tak mungkin cuma sebab itu saja?"
"Kalau begitu tanyalah kau kepada orangnya sendiri."
"Ya, aku harus pergi mencarinya. Nona Oey, kau belum mengatakan siapa orangnya yang membunuh kakakmu?"
Oey Yu Hong tiba-tiba berkata dengan suara bengis:
"Sebaiknya kau jangan menanyakan soal ini."
---ooo0dw0ooo---
JILID 11 TETAPI aku ingin tahu motif dan tujuan dari serentetan pembunuhan itu."
"Aku tadi sudah terangkan, setelah aku menjelaskan kepadamu, aku bisa membunuhmu untuk menutup rahasia maka sebaiknya kau jangan bertanya."
'Tetapi jikalau aku pasti ingin tanya bagaimana?"
"Ini berarti kau mendesak aku untuk membunuhmu."
"Mengapa?"
"Aku tidak ingin rencanaku untuk membalas dendam dirusak oleh tangan orang!"
"Ini benar-benar sulit dipahami, aku sendiri juga ingin menuntut balas kepada musuh-musuhku. Bagi nona rasanya ada baiknya tidak ada ruginya."
"Apakah benar kau ingin tahu?"
"Ya!"
Oey Yu Hong lalu mengawasi keadaan sekitarnya, kegelapan sudah menutupi seluruh daerah pegunungan itu, keadaan sunyi-sepi, ia berkata dengan suara rendah:
"Setelah nanti aku jelaskan, segera akan bertindak."
Nada suara yang menakutkan itu membuat bergidik siapa yang mendengarnya.
Tetapi Hui Kiam sudah tetap dengan keinginannya yang keras maka ia berkata dengan tegas:
"Katakanlah, bagiku tidak menjadi soal."
"Kalau begitu kau dengarlah, biang keladi dari serentetan pembunuhan ini adalah......."
Sayang sebelum memberitahukan siapa orangnya, Oey Yu Hong tiba-tiba menjerit dan kemudian rubuh untuk tidak bangun lagi.
Kejadian yang tidak terduga-duga ini benar-benar sangat mengejutkan, dan menyesalkan Hui Kiam, dengan suatu geraman hebat dia lompat melesat ke atas batu cadas yang letaknya paling tinggi, matanya mencari di sekitarnya. tetapi keadaan tetap sunyi, tidak tampak apa-apa.
Dengan perasaan agak gelisah, ia balik ke tempat di mana Oey Yu Hong tadi roboh tetapi keadaan nona itu sudah sangat payah, dari mulutnya cuma terdengar perkataannya yang diucapkan dengan terputus-putus: "Jarum melekat....... tulang............."
"Nona Oey! Nona Oey......!"
Tetapi Oey Yu Hong sudah tidak dapat menyahut. Kaki tangannya berkelojotan, lalu melepaskan napasnya yang terakhir.
Kepala Hui Kiam hampir mau pecah, sekujur badannya gemetar. Ia berdiri tertegun di tempatnya sambil mengawasi jenazah Oey Yu Hong tanpa dapat berbuat apa-apa.
Suhunya sendiri dan Si-supeknya, telah binasa karena jarum melekat tulang, dan sekarang Oey Yu Hong juga karena senjata rahasia itu. Jelas bahwa pembunuhnya merupakan satu orang. Bedanya adalah kalau suhunya dan si-supeknya setelah terkena senjata tersebut masih bisa hidup dalam waktu yang lama, tetapi Oey Yu Hong segera binasa. Nampaknya nona itu terkena senjata di bagian jalan darah yang terpenting.
Jarum melekat tulang ini merupakan senjata tunggal Jien Ong. Yang menggunakan senjata Jien Ong sendiri ataukah muridnya"
Oey Yu Hong selagi hendak menyebutkan nama pembunuhnya telah dibunuh, jelas maksudnya supaya ia menghilangkan salah seorang yang mengetahui rahasianya. Kalau begitu si pembunuh itu sudah lama mengintai di sekitarnya.
Tetapi mengapa pembunuh itu tidak membunuh Hui Kiam sekalian"
Apakah jago pedang berkedok yang pada sepuluh tahun berselang menganiaya suhunya dan si-supeknya, juga merupakan pembunuh yang melakukan serentetan pembunuhan yang terjadi di waktu paling akhir ini"
Hui Kiam memikirkan itu semua. Otaknya semakin kusut, dadanya dirasakan sesak. Dalam keadaan demikian, sesosok bayangan manusia telah mendekatinya bagaikan gerakan hantu.
Meskipun Hui Kiam sedang melamun, tetapi daya refleknya masih cukup kuat. Mengetahui ada orang yang mendekati dirinya, ia segera menegur dengan suara keras:
"Siapa?"
"Toako, aku!"
Jawaban itu ternyata keluar dari mulut Ie It Hoan atau Sukma Tidak Buyar.
Dalam waktu dan keadaan demikian, munculnya Sukma Tidak Buyar itu, benar-benar di luar dugaan Hui Kiam.
Ie It Hoan lalu berkata sambil menunjuk jenazah Oey Yu Hong.
"Apakah yang telah terjadi?"
Dengan sepasang mata menatap wajah Ie It Hoan, Hui Kiam menjawab dengan suara pelahan:
"Ia telah dibunuh secara menggelap, terkena senjata rahasia jarum melekat tulang!"
"Oh!"
"Dalam waktu keadaan seperti ini, bagaimana kau bisa datang kemari?"
"Aku kebetulan lewat di bawah kaki gunung, tiba-tiba terdengar suara jeritan. Tertarik perasaan ingin tahu lalu aku datang kemari. Tidak kuduga di sini ada Toako."
"Adakah kau tadi melihat jejak orang atau tidak?"
"Ada, sesosok bayangan hitam lari ke bawah gunung, karena terlalu cepat, aku tidak lihat itu lelaki atau perempuan!"
"Kau datang dari mana?"
"Dari bawah kaki gunung."
"Apakah kau juga datang ke goa bekas terjadi peledakan itu?"
"Barangkali lebih pagi dua jam dari pada kedatanganmu......"
"Sebelum terjadi peledakan yang mengakibatkan kematian perghuni loteng merah, pernah terdengar suara orang yang memperingatkan"."
Ie It Hoan lalu memotong sambil menganggukkan kepala.
"Benar, itu adalah aku."
"Mengapa kau tidak mau menunjukkan diri untuk memberitahukan, supaya penghuni loteng merah tidak terjatuh ke dalam akal muslihatnya manusia keji?"
"Toako, aku tidak dapat, berlaku demikian!"
"Kau tidak bisa"..... Apakah maksudmu?"
Ie It Hoan membentangkan kedua tangannya, menunjukkan sikap tidak berdaya, lalu berkata dengan wajah murung:
"Toako, sekali lagi telah mati. Yang membunuh tetap adalah orang yang berpakaian warna lila itu. Untung ia tidak menggunakan pedang. Aku terpaksa harus ganti dandananku lagi jikalau tidak aku nanti akan dicincang olehnya."
Sambil mengerutkan keningnya Hui Kiam bertanya:
"Apakah sebetulnya telah terjadi?"
Ie It Hoan berkata sambil menghela napas:
"Ketika kita berpisah, bukankah aku pernah berkata kepadamu bahwa aku akan mengatur dengan caraku sendiri" Dan setelah mengganti rupa dan pakaian, aku segera lari kemari. Maksudku ialah hendak menyelidik lebih dulu tempat ini. Baru saja aku tiba di puncak gunung lalu berjumpa dengan orang berbaju lila itu. Ia keluar dari dalam gua. Aku segera dapat melihat bahwa dalam urusan ini ada hal-hal yang tidak beres. Orang berbaju lila itu sungguh kejam, dengan tanpa mengapa ia sudah menghajar aku hingga aku roboh di tanah"."
"Oh!"
"Jikalau aku tidak mengandalkan ilmu gaib pelajaran dari suhu, aku paksa darahku mengalir keluar dari lubang panca inderaku, untuk berpura-pura mati, aku tidak akan lolos dari tangannya.
Orang baju lila itu mengira aku benar-benar sudah mati, lalu melemparkan diriku ke belakang gua itu. Sewaktu kalian datang aku tahu tetapi setelah aku menggunakan akal pura-pura mati itu memerlukan waktu cukup lama untuk memulihkan keadaanku, maka aku tidak dapat mengunjukkan diri untuk memberitahukan. Pada akhirnya, karena keadaan sudah mendesak, dengan tanpa pikir apa yang akan terjadi atas diriku, aku terpaksa membuka suara untuk memberi peringatan. Sebelum kekuatan pulih kembali, aku telah menggunakan kekuatan tenaga dalam untuk mengeluarkan peringatan, ini sebetulnya amat berbahaya. Dengan adanya suaraku itu, entah berapa banyak penderitaan aku harus alami, hanya Tuhan saja yang mengetahui...."
"Kalau begitu apa yang telah terjadi kau sudah tahu semua?"
"Sudah tentu, termasuk perbuatan toako yang berpelukan sangat mesra dengan wanita cantik itu."
Hui-Kiam merasa malu, kemudian berkata:
"Bicara terus terang, apa orang yang berada di dalam goa itu benar-benar To-liong Khiam-khek?"
"Tentang ini aku tidak tahu, karena baru saja aku tiba di puncak gunung sudah berjumpa dengan bangsat berbaju lila itu, sehingga tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk melakukan penyelidikan."
"Orang berbaju lila itu sudah dipaksa oleh Tong Hong Hui Bun terjun ke bawah jurang, barangkali sudah hancur lebur badannya!"
"Aku tahu!"
"Dalam hal ini bagaimana pandanganmu?"
"Ruwet dan acak-acakkan."
"Adik Hoan, coba kau periksa luka mana yang menyebabkan kematian wanita ini?"
Ie It Hoan mendelikkan matanya, maksudnya ialah hendak mengatakan mengapa kau sendiri tidak mau bertindak sebaliknya minta orang yang memeriksa. Tetapi perkataan itu tidak dikeluarkan dari mulutnya, ia hanya mengangkat pundaknya berjalan menghampiri jenazah Oey Yu Hong, kemudian ia memeriksa sambil berjongkok, setelah itu ia berkata dengan suara kaget:
"Toako, apakah dia bukan pelayan kekasihmu?"
Istilah 'kekasih" itu sangat menusuk pendengaran Hui Kiam, maka seketika itu pipi Hui Kiam lantas merah, kemudian berkata:
"Siapa kata bukan, ia juga adik perempuan istri Siang-gie Sie-seng Oey Yu Hong"."
"Uh! Dia, apa yang dikatakannya?"
"Ia masih belum sempat mengatakan nama pembunuhnya, sudah dibinasakan. Sebelum menarik napasnya yang penghabisan ia masih sempat mengeluarkan perkataan jarum melekat tulang."
"Maksud pembunuh itu tentunya supaya ia menutup mulut untuk selama-selamanya!"
"Kecuali ini mungkin sudah tidak ada perkataan yang lebih baik untuk menjelaskan."
"Tetapi orang yang melakukan pembunuhan ini juga aneh, ia mengapa tidak bertindak apa-apa terhadap Toako?"
"'Aku juga merasa heran. Mungkin pembunuh itu menganggap tidak ada perlunya membunuh aku."
"Keterangan ini sangat lemah!"
"Adik Hoan, apakah kau sudah berhasil menyelidiki riwayat penghuni loteng merah?"
"Belum!"
"Baiklah, mari kita lekas pergi menyelidik."
Ie It Hoan setelah memeriksa keadaan jenazah Oey Yu Hong, tiba-tiba ia berkata dengan suara gemetar:
"Ah, sungguh hebat kepandaian orang itu, serangannya itu mengenakan dengan tepat ke bagian jalan darah terpenting.
Hui Kiam juga memeriksa di bagian jalan darah belakang kepala Oey Yu Hong. Terdapat gumpalan darah yang sudah membeku. Jikalau bukan karena lebih dulu sudah mempunyai kesan tentang jarum beracun melekat tulang itu, maka sedikit luka yang terdapat di atas kepala itu, sesungguhnya tidak mudah dilihat.
Ie It Hoan meraba-raba badan sang korban itu sejenak lalu berkata sambil leletkan lidahnya:
"Sungguh hebat, jarum itu ternyata sudah menusuk ke lain bagian. Apa perlu kita keluarkan?"
"Sudah tentu perlu!"
"Kalau begitu terpaksa kita harus membelah kepala korban ini."
"Apa boleh buat. Seandainya arwah nona Oey mengetahui maksud kita, dia juga akan maafkan tindakan kita ini."
le It Hoan lalu mengeluarkan sebilah pisau belati kecil. Dari bagian batok kepala sang korban mulai dibedah kulitnya, dan dalam
bagian kulit kepala itu, ia mengeluarkan sebatang jarum halus berwarna hitam. Ia letakkan jarum itu di atas telapak tangannya lalu berkata:
"Malam ini kita telah membuka mata, dapat menyaksikan jarum melekat tulang yang kita pernah dengar dalam ceritanya saja."
Hui Kiam memeriksa dengan seksama. Jarum baja yang bentuknya sangat halus itu ternyata dibuat sedemikian halusnya. Jarum yang demikian halus ini sudah tentu kalau sudah masuk dalam badan manusia sulit dikeluarkannya. Sementara ada racunnya atau tidak, masih belum diketahui.
Ie It Hoan bertanya dengan sikap sungguh-sungguh:
"Toako, kau anggap pembunuhnya itu orang bagaimana?"
"Jien Ong sendiri atau muridnya!"
"Andaikata Jien Ong masih hidup, usianya tentu sudah seratus tahun. Kabarnya Jien Ong adalah orang dari golongan kebenaran."
"Ini susah dikatakan. Mungkin perbuatan muridnya, yang tidak baik kelakuannya."
"Tetapi apa maksud dan tujuannya?"
"Sudah tentu karena kitab pusaka Thian-Gee Po-kip."
"Dengan kepandaian dan kedudukan Jien Ong, apakah ada harganya bagi Jien Ong melakukan perbuatan semacam itu?"
"Suhu dan Supek semua mati karena jarum melekat tulang itu, kenyataannya ini sudah cukup untuk memberi penjelasan semuanya. Coba pikir dengan kepandaian Sam Goan Lojin dan tokh dia masih binasa. Di dalam dunia ini ada berapa yang dapat melakukan perbuatan seganas itu?"
"Tetapi orang-orang Sam Goan Pang kebanyakan karena racun"."
"Oey Yu Hong adalah seorang yang mengetahui keadaan dalam, maka pembunuh itu membunuhnya untuk menutup rahasianya."
Toako, Oey Yu Hong adalah pelayannya Tong Hong Hui Bun, kalau ia tahu mungkin Tong Hong Hui Bun sudah tahu....."
"Hmmm! Tentang ini aku bisa mencari keterangan."
"Apakah tindakan kita selanjutnya?"
"Lebih dulu kita kubur jenazah Oey Yu Hong, kemudian aku hendak pergi ke gunung Kiu Kong San!"
"Untuk mencari Jien Ong?"
"Ya!"
"Apakah itu tidak terlalu berbahaya?"
"Aku toh tidak bisa tinggal diam. Semula aku mengira Wanita Tanpa Sukma adalah suciku Pui Ceng Un. Perkataan terakhir yang ia katakan adalah untuk menunjukkan pembunuhnya, dan sekarang Oey Yu Hong sudah membuktikan bahwa Wanita Tanpa Sukma bukannya Pui Ceng Un. Tetapi barang kepercayaan uang logam si Supek berada di badannya, maka perkataan terakhir Wanita Tanpa Sukma, sudah tentu mengandung maksud lain. Sedangkan jarum melekat tulang sudah membuktikan adalah barangnya Jien Ong atau muridnya, maka ia tidak terlepas dari sangkaan. Kecuali kita harus mencari keterangan sendiri sudah tidak ada lain jalan lagi."
"Mengapa tidak cari Tong-hong Hui Bun lebih dulu?"
"Ia sulit dicari jejaknya. Tetapi aku yakin cepat atau lambat aku bisa berjumpa lagi dengannya."
Dua orang itu setelah mengubur jenazah Oey Yu Hong, lalu meninggalkan tempat tersebut. Ketika melalui jalan di mana terdapat makam megah itu, Hui Kiam segera berhenti dan pergi menghampiri makam tersebut. Tulisan di atas batu nisan itu kembali terbentang di depan matanya.
Ie It Hoan dengan perasaan heran mengikuti di belakangnya. Setelah melihat bunyi tulisan itu, lalu berkata:
"Yiok sok Siancu Hui Un Khing adalah istrinya To Liong Kiam-khek?"
Hui Kiam hanya menyahut hem. Tidak menjawab apa-apa.


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ie It Hoan sudah tentu tidak dapat menduga bahwa Hui Un Khing adalah ibu Hui Kiam. Ia berkata pula:
"Hem! Sungguh ada artinya suami istri sama-sama dikubur di gunung Kiong San, hanya terpisah beberapa puncak gunung saja, Jiok-siok siancu dan masih ada To Liong Kiong khek yang membuatkan kuburan baginya, sedangkan To Liong Kiang-khek sendiri, telah dikubur hidup-hidup oleh orang berbaju lila bersama-sama perghuni loteng merah. Kejadian dalam dunia setiap saat memang bisa berobah, kita sebagai orang-orang Kang-ouw sesungguhnya sulit diduga di mana tempat bersemayam kita terakhir."
Pikiran Hui-Kiam sangat kusut. Semua persoalan itu telah mengganggu pikirannya. Ie-It Hoan yang menyaksikan Hui Kiam bagaikan sedang melamun lalu berkata:
"Toako, bagaimanakah sebetulnya?"
Hui-Kiam berkata sambil menggelengkan kepala:
"Tidak tahu, mari kita pergi."
Turun dari gunung Kiong-San, menginjak jalan raya, cuaca sudah terang.
Ie-It Hoan hendak melakukan perjalanannya ke barat untuk mengurus urusannya sendiri, Hui-Kiam melakukan perjalanannya ke Timur untuk mendaki gunung Kiu-Kiong-San. Dengan demikian mereka terpaksa harus berpisah.
Hui Kiam dalam perjalanannya itu setelah menyebrangi sungai Han-cui ia membelok ke selatan.
Hari itu selagi berjalan, ia telah dapat lihat sepuluh bayangan orang yang lari mendatanginya, sebentar saja sudah berada dekat di
hadapannya. Kedua pihak lalu berpapasan. Hui Kiam terperanjat, karena orang-orang itu ternyata adalah orang-orang Persekutuan Bulan Emas di bawah pimpinan Ko Han San.
Musuh lama bertemu lagi. Hui Kiam berpikir, bahwa pertempuran darah tidak dapat disingkirkan lagi. Kalau satu lawan satu untuk menghadapi Ko Han San tidak menjadi soal, tetapi ditambah dengan anak buahnya yang sedemikian banyak jumlahnya, agaknya susah diduga bagaimana kesudahannya.
Ko Han San mengawasi Hui Kiam dengan satu matanya kemudian berpaling dan bertanya kepada anak buahnya:
"Bagaimana?"
Satu di antara anak buahnya menjawab:
"Bapak komandan, menurut pendapatku yang bodoh, saatnya belum tiba, jangan kita terlalu sombong!"
Sekali lagi Ko Han-San mengawasi Hui Kiam, kemudian berkata sambil mengulapkan tangannya:
"Jalan!"
Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanannya.
Hui-Kiam merasa bingung. Kalau tadinya ia mengira pertempuran darah tidak akan terhindar, tidak disangka, musuh-musuhnya itu berlaku begitu saja tanpa menegur apa-apa. Yang dimaksudkan oleh salah satu anak buahnya dengan perkataan saatnya belum tiba, jangan berlaku semberono. Apakah artinya" Sedangkan kalau melihat keadaannya adalah mudah sekali bagi mereka untuk menghadapi dirinya, mengapa harus mengatakan belum tiba saatnya?"
Sejak mengutungkan lengan tangan satu utusan dari Persekutuan Bulan-Emas di pusat Sam Goan Pang, Hui Kiam lalu menumbuhkan bibit pembunuhan dengan persekutuan tersebut. Maka kalau perkataan ini keluar dari orang-orangnya Bulan Emas dan melepaskan dirinya begitu saja, sesungguhnya tidak dapat dimengerti.
Dengan rupa-rupa pertanyaan dalam otaknya, ia melanjutkan perjalanannya.
Hari itu ia sedih tiba di gunung Kiu Kong San, tetapi di mana orangnya yang harus dicarinya"
Lima puluh tahun berselang dalam kalangan Kang-ouw tidak terdengar lagi namanya Tiga Raja Rimba Persilatan, maka boleh diduga bahwa tempat tinggal Jien Ong pasti merupakan tempat tersembunyi, untuk mencarinya mungkin bukan merupakan suatu usaha yang sangat mudah.
Kedatangannya itu meskipun mengandung maksud, tetapi boleh dikata tidak. Maksudnya memang mencari Jien Ong, tetapi mencari di daerah pegunungan yang demikian luas jadi berubah mencari tanpa tujuan.
Ia memilih tempat-tempat yang agak tinggi dan memperhatikan tempat-tempat yang letaknya paling tersembunyi. Tetapi dengan demikian ia sudah membuang waktu setengah harian. Di waktu malam ia terpaksa makan rangsum kering yang ia bawa dan tidur ke dalam gua.
Hari kedua, ia melanjutkan usahanya untuk mencarinya.
Diantara suara menderunya angin gunung, samar-samar terdengar suara bunyi genta kuil. Hui Kiam coba memperhatikan bunyi suara itu. Bunyi genta itu, ternyata keluar dari dalam rimba yang lebat. Dalam hatinya selalu berpikir: Tidak diduga bahwa tempat yang jarang diinjak oleh manusja, juga terdapat kuil. Mengapa aku tidak pergi kesana, mungkin dapat menemukan apa-apa, setidak-tidaknya lebih baik daripada mencari tanpa tujuan.
Karena berpikir demikian, maka ia lari menuju ke rimba tersebut.
Tiba di tempat yang dituju, tampak olehnya sebuah kuil tua yang keadaannya hampir rusak. Ada sebuah jalan kecil yaug menuju ke kuil tersebut, nampaknya sudah bertahun-tahun jalan itu tidak dilalui oleh manusia.
Hui Kiam setelah berpikir sejenak, lalu berjalan menuju ke kuil tua itu.
Kuil itu tidak besar, di sana-sini keadaannya sudah banyak yang rusak, suatu tanda bahwa usia kuil itu sudah terlalu tua, di atas
pintu terdapat sepotong papan hitam dengan tulisan huruf berwarna emas.
Suara genta terdengar dari dalam kuil, samar-samar terdengar pula suara orang membaca doa.
Hui Kiam menghela napas dalam, dia berjalan menuju ke pendopo. Keadaan dalam pendopo itu ternyata merupakan suatu perbandingan yang amat menyolok dengan keadaan di luarnya.
Kalau keadaan di luar kuil nampak sudah banyak yang rusak, tetapi keadaan dalam pendopo dirawat sedemikian bersih. Di atas meja sembahyang terdapat patung tua dan pelita minyak. Di atas meja sembahyang masih ada asapnya yang mengepul dari dupa sembahyangan. Seorang padri tua berlutut di hadapan meja sembahyang. Dengan satu tangan mengetok meja sembahyang, tangan yang lain melakukan suatu gerakan tertentu ke tempat yang kosong, tetapi setiap kali ia gerakkan tangan ke atas segera terdengar nyaringnya suara genta. Hui Kiam yang menyaksikan pemandangan tersebut diam-diam hatinya bergidik.
Sebuah genta besar, terpancang di satu sudut di dalam pendopo itu, terpisah di tempat berlututnya padri tua itu sedikitnya masih ada tiga atau empat tombak, tetapi padri tua itu hanya dengan kekuatan tenaga sebuah tangannya yang digerakkan ke arah genta dari jarak sejauh itu, ternyata dapat membunyikan genta itu dengan satu nada suara yang tetap. Dari situ dapat dibuktikan bahwa padri tua itu pastilah bukan orang dari golongan sembarangan.
Ketika Hui Kiam memasuki pendopo, padri tua itu agaknya tidak mengetahui, ia masih tetap membaca doanya.
la menunggu cukup lama, padri tua itu baru selesai membaca doanya, kemudian bersujud di hadapan patung. Selesai beribadat, baru bangkit.
Kini Hui Kiam baru dapat melihat dengan tegas muka padri tua itu. Alisnya sudah putih seluruhnya, kulit pipinya sudah berkeriput, namun nampaknya sangat agung. Jubahnya banyak tambalan, sepasang kakinya telanjang sehingga mirip benar dengan patung hidup.
Hui Kiam lalu maju memberi hormat seraya berkata:
"Boanpwee Hui Kiam, atas kedatangan boanpwee yang sudah mengganggu ketenangan Taysu, mohon dimaafkan."
Padri tua itu membuka matanya. Dia mengawasi Hui Kiam sejenak, lalu berkata dengan suara agak serak:
"O-mie-to-hud, siaosicu datang darimana?"
Kalau bukan karena telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Hui Kiam benar-benar tidak percaya kalau padri tua itu adalah orang rimba persilatan yang berkepandaian tinggi. Atas pertanyaan orang padri tua itu, ia lalu menjawab dengan sikap menghormat:
"Boanpwee datang ke gunung ini hendak mencari seseorang. Karena mendengar suara genta, sehingga datang kemari. Siapa tahu kalau mengganggu ketenangan Taysu!"
"O-mie-to-hud, sungguh berdosa, dalam kuil yang terletak di pegunungan yang sepi ini, tidak ada barang untuk melayani siecu, hanya air jernih dari sumber gunung di luar kuil ini, cukup segar rasanya, harap siecu suka mengambilnya sendiri."
"Bolehkah boanpwee menanya, gelar Taysu yang terhormat?"
"Lolap Kak Hui!"
"Oh, bolehkah boanpwee minta tolong Taysu memberi petunjuk untuk sesuatu?"
Padri itu mengamat-amati Hui Kiam sejenak, lalu berkata:
"Siaosicu bukan orang golongan Budha, lolap tidak dapat memberi petunjuk."
"Boanpwee hanva ingin minta keterangan tentang dirinya seseorang....."
"Sudah lama lolap tidak mencampuri urusan dunia, barangkali tidak dapat memberi keterangannya!"
"Kedatangan boanpwee ini sebetulnya hendak mengunjungi seorang cianpwee dari rimba persilatan...."
"Siapa ?"
"Jien Ong locianpwee!"
Paderi tua itu memiringkan kepalanya untuk memikir, kemudian ia berkata:
"Emmm! Siecu itu memang ada, tetapi kau sudah tidak dapat menemukannya."
Hui-Kiam sangat girang karena dianggapnya akan mendapat keterangan tentang diri orang yang dicari, maka ia buru buru berkata:
"Mengapa?"
"Sebab siecu itu sudah menutup mata beberapa puluh tahun berselang!"
"Apa" Jien Ong... sudah menutup mata" Tidak mungkin."
Padri tua itu mengangkat muka dan berkata:
"Siecu kata bahwa hal itu tidak mungkin?"
"Ya!"
"Kalau begitu kau tentunya menganggap lolap telah membohong?"
"Tidak! Bukan begitu maksud boanpwee. Kedatangan boanpwee ini adalah atas permintaan seorang nona......"
"Siaosicu, maafkan saja, lolap tidak ingin campur urusan dunia!"
"Nona itu telah minta pertolongan boanpwee sebelum ia menutup mata, sehingga boanpwee jauh-jauh datang kemari"."
Padri tua itu mengerutkan alisnya yang putih dan panjang, lalu berkata:
"Liesicu itu siapa namanya?"
"Dikalangan Kang-ouw ia mendapat nama julukan Wanita Tanpa Sukma."
"Anak durhaka!" demikian padri tua itu membentak dengan suara keras.
Hui Kiam terperanjat, hingga ia mundur selangkah.
Padri tua itu membuka lebar-lebar matanya. Dari matanya yang semula sayu, tiba-tiba melancarkan sinar tajam.
Hui Kiam bercekat, dalam hatinya berpikir:
Apakah padri tua ini justru.....
Kembali ia memberi hormat seraya berkata:
"Apakah Taysu kenal padanya?"
"Tidak kenal, tidak kenal. Siecu, silahkan!"
Hui Kiam yakin bahwa dugaannya tak keliru, maka ia keraskan hatinya dan berkata pula:
"Locianpwe adalah murid Buddha, tentunya tahu pantangan golongan Buddha yang kelima."
Mata padri tua itu kembali nampak bersinar. Ia menjawab dengan tegas:
"Harap Siaosicu jangan coba menggunakan ketajaman lidah!"
Setelah berpikir bolak-balik akhirnya Hui Kiam mengambil keputusan hendak membuka kartu. Ia berkata:
"Bukankah Looianpwe sendiri adalah Jien Ong?"
Sikap Padri Tua itu berubah seketika. Dengan suara tenang ia berkata:
"O-mie To hud, Buddha kami yang penuh kasih, sudah beberapa puluh tahun Tecu memencilkan diri, karena dasarnya kurang teguh sehingga melanggar pantangan! Sejenak ia berdiam, kemudian berkata pula:
"Siao siecu, di dalam dunia ini sudah tiada orang yang bernama Jien Ong."
Hui Kiam adalah seorang pemuda cerdik. Menyaksikan sikap padri tua itu, sudah dapat memastikan bahwa dugaannya sendiri tidak keliru, maka ia mendesak terus:
"Maksud Locianpwe hendak mengatakan bahwa nama Jien Ong itu sudah mati ....."
"Siao siecu, Jien Ong itu baik nama maupun orangnya sudah tak ada."
"Rasanya Locianpwe sudah tak dapat menyangkal lagi!"
"Mengapa?"
"Orangnya sudah mati tentunya sudah tak dapat menggunakan jarum melekat tulang untuk membunuh orang secara beruntun runtun."
Wajah padri tua itu kembali nampak berubah-rubah, sepasang matanya memancarkan sinar menakutkan. Dengan suara bengis ia berkata:
"Apa katamu?"
Dengan berani Hui Kiam menjawab:
"Boanpwee berkata bahwa jarum melekat tulang itu telah menimbulkan bencana."
"Apakah perkataanmu ini ada buktinya?"
"Sudah tentu ada!"
Ia lalu mengeluarkan sebuah jarum baju yang diambilnya keluar dari atas kepala Oey Yu Hong. Ia meletakkan jarum itu di telapak tangannya lalu berkata:
"Harap Locian-pwee memeriksanya sendiri!"
Paderi tua itu mengulurkan tangannya untuk mengambil jarum di tangan Hui Kiam. Setelah ia memeriksa, kulit mukanya nampak
berkerinyut badannya gemetar. Ia mundur sampai tiga empat langkah, kemudian berkata:
"Jarum melekat tulang, bagaimana mungkin?"
Wajah Hui Kiam berubah merah padam. Ia berkata:
"Darimana kau mendapatkan jarum ini?"
"Dari badan si korban."
"Siapakah korban itu?"
"Seorang perempuan muda."
"Perempuan muda! Kau maksudkan Wanita Tanpa Sukma?"
"Bukan, seorang wanita lain!"
"Ini..... Bagaimana mungkin ...."
"Locianpwee tokh tidak akan menyangkal kalau ini adalah benda Locianpwee sendiri?"
"Ya.....benar! Tetapi....."
Hawa amarah Hui Kiam meluap seketika. Keadaan mengenaskan tentang kematian suhunya dan supeknya, terbayang dalam otaknya, dan pada saat itu apa yang telah dihadapinya adalah seorang yang menakutkan, juga merupakan musuh besarnya, maka ia lalu berkata
dengan suara gemetar:
"Jien Ong, bagaimana cara kematian Lima Kaisar Rimba Persilatan?"
Padri tua itu berseru terkejut, kemudian ia ganti bertanya:
"Bagaimana dengan Lima Kaisar?"
"Sudah menutup mata semua, tetapi mereka masih penasaran!"
"Kau......."
"Aku adalah orang yang menagih hutang dari Lima Kaisar itu."
"Lolap sudah beberapa puluh tahun tidak mencampuri urusan dunia...."
"Dengan kedudukan Locianpwe, agaknya tidak perlu menyangkal dengan dalil apapun juga....."
"Siao siecu, apakah kau anggap hal ini Lolap perlu harus menyangkal?"
"Tetapi mengapa Locianpwee tidak mengaku terus terang saja?"
"Mengaku apa?"
"Mengaku membunuh orang!"
Pada saat itu, tiba-tiba Hui Kiam merasa di belakang dirinya terasa hembusan angin. Baru saja ia hendak menyingkir, pundaknya dirasakan seperti dicengkeram tangan orang. Badannya lalu terangkat naik, kemudian dilemparkan keluar. Untung orang itu tidak bermaksud melukai dirinya, sampai ia jatuh keluar baru bisa melompat bangun lagi, sebelum ia berdiri tegak di hadapannya berdiri seorang perempuan berpakaian hitam setengah tua. Dengan paras gusar perempuan itu mengawasinya dengan sinar mata yang tajam.
Orang yang telah melemparkan dirinya, pastilah perempuan setengah tua itu.
Padri tua itu masih berdiri di tempatnya, ia berkata kepada perempuan setengah tua itu:
''Giok Coan, jangan menyusahkan dirinya, tanyailah dengan terus terang."
"Ya, giehu."
Dari percakapan antara mereka, Hui Kiam tahu bahwa perempuan setengah tua yang bernama Giok Coan itu adalah anak angkatnya Jien Ong, tetapi seorang padri dengan seorang perempuan biasa berbahasakan demikian, rasanya kurang tepat, terutama tentang Jien Ong yang ternyata sudah menjadi padri, hal itu sesungguhnya di luar dugaannya.
Perempuan berbaju hitam itu berkata dengan nada suara dingin:
"Baru saja kau mengatakan bernama Hui Kiam!"
"Benar."
"Muridnya Lima Kaisar?"
"Benar," untuk pertama kali Hui Kiam mengakui dirinya terhadap orang luar.
"Tadi kau berkata bahwa ada seorang perempuan bernama Wanita Tanpa Sukma yang menunjukkan jalan kau datang kemari?"
"Ya, kenapa?"
"Apakah ia sudah binasa?"
"Ya."
Paras wanita itu tampak pucat, ia berkata kepada dirinya sendiri:
"Anak durhaka, memang tidak bisa hidup lama. Aku sudah menduga ia pasti akan mengalami nasib serupa itu."
Sehabis berkata ia mencucurkan air mata.
Hati Hui Kiam tergerak, ia lalu berkata:
"Wanita Tanpa Sukma adakah...."
Perempuan berbaju hitam itu coba berusaha untuk mengendalikan kesedihan dalam hatinya. Ia berkata:
"la adalah anak angkatku."
Perempuan berbaju hitam itu adalah anak angkat Jien Ong. Sedang Wanita Tanpa Sukma adalah anak angkat perempuan berbaju hitam itu. Perhubungan ini agaknya sangat ganjil.
Perempuan berbaju hitam menanya:
"Dengan cara bagaimana ia menemui ajalnya?"
"Dibunuh oleh seorang perempuan yang bernama Oey-Yu Hong dan Oey-Yu Hong itu kemudian juga binasa karena jarum melekat tulang?"
"Benar!"
"Apakah kau melihat orang yang menggunakan senjata jarum itu?"
"Tidak, ia menyerang secara menggelap dalam waktu malam gelap gulita."
"Bagaimana ia bisa menunjukkan kau kemari?"
"Sebab sepotong uang logam."
"Oh! Kalau begitu kau adalah orang yang memegang sepotong uang logam lainnya?"
Hui-Kiam terperanjat. Ia berkata:
"Ya. Bolehkah Boan-pwee bertanya, mengapa Cian-pwee....."
"Pada lima tahun berselang, anak-anakku ini di tengah perjalanan telah menjumpai seorang perempuan muda yang terluka parah, nampaknya sudah tidak dapat ditolong lagi. Perempuan itu mengeluarkan sepotong belahan uang logam. Ia minta anak angkatku itu untuk mencari orang yang membawa belahan uang logam lainnya...."
"Oh!"
Badan Hui Kiam sempoyongan. Perempuan yang terluka parah yang hampir mati itu adalah sucinya sendiri yarg bernama Pui-Ceng Un.
"Selain daripada itu ia masih berpesan apa lagi kepadamu?"
"Anak angkat Cian-pwee itu sebelum menutup mata hanya mengucapkan perkataan: "Kiu Kiong-San... Jien Ong", selain itu tidak sempat mengucapkan apa-apa lagi."
"Bagaimana kau tahu ia mempunyai sepotong uang logam itu?"
"Sebab uang itu terjatuh di tanah ketika ia sedang bertempur dengan seseorang. Ketika Boan-pwee melihat uang logam itu segera mengejar, tetapi ia sudah terluka di tangan lawannya."
Perempuan berbaju hitam itu kembali menitikkan air mata, terang bahwa ibu angkat itu mau tak mau merasa sedih atas kematian anaknya.
Hui Kiam dengan tidak sabaran bertanya pula:
"Bolehkah boanpwee bertanya, perempuan itu meninggalkan pesan apakah?"
"la berkata, supaya anak angkatku memberitahukan kepada orang yang memegang sepotong uang logam yang lain itu, bahwa barangnya sudah terjatuh di tangan jago pedang berkedok yang merupakan musuh lama dalam perguruannya."
Hui Kiam kembali heran dan terkejut oleh keterangan itu. Kiranya kitab pusaka Thian-kie Po-kip sudah terjatuh di tangan musuh. Siapakah jago pedang berkedok itu"
Apakah orang yang menggunakan jarum melekat tulang itu atau bukan, tetapi jarum itu merupakan senjata tunggalnya Jien Ong, jadi jago pedang berkedok itu jikalau bukan Jien Ong sendiri, pasti adalah orang yang mempunyai hubungan erat dengannya, tetapi siapakah"
Diakah orang yang bersembunyi di dalam makam pedang itu"
Diakah orang yang membunuh Oey Yu Hong"
Tetapi Sam Goan Lojin, Auw Yang Hong dan suami istri Liang Gie Sie-seng, orang-orang ini semua binasa karena kitab itu, bagaimana harus diartikan".............
Perempuan berbaju hitam itu berkata pula dengan suara sedih:
"Belum lama berselang, dengan tidak disengaja aku mendengar kabar perbuatan yang terkutuk anak angkatku itu. Aku sebetulnya sedang bersiap-siap untuk mencari dia..... Ah, ah, ah!"
"Sungguh tidak kuduga. Dia adalah seorang anak perempuan yang baik, sayang dunia Kang-ouw yang sudah penuh kejahatan telah merusaknya."
Karena pikiran Hui Kiam sedang kusut, ia tidak memperhatikan kedukaan perempuan itu. Ia bertanya pula:
"Kemudian bagaimana dengan perempuan yang luka parah itu?"
"Mungkin telah binasa, tetapi hal itu tidak disebut-sebut oleh anakku."
"Oh."
Hui Kiam merasa sangat sedih. Nasib malang yang menimpa diri perguruannya dan sucinya sudah cukup menyedihkan, tetapi semua itu agaknya masih belum khawatir, jago pedang berkedok itu masih berkeliaran dalam dunia, sepasang tangannya yang sudah berlumuran darah masih tetap mengancam dan akan minta lebih banyak korban jiwa manusia.
Pcrempuan berbaju hitam itu tiba-tiba berkata dengan sikap sungguh-sungguh:
"Sekarang kita balik kembali kepada pembicaraan semula, untuk membicarakan peristiwa berdarah yang berhubungan dengan jarum melekat tulang itu...."
Padri tua itu berkata sambil menggerakkan tangannya:
"Mari kembali!"
Hui Kiam dan perempuan berbaju hitam kedua-duanya masuk ke pendopo. Tiga orang itu berdiri berhadap-hadapan di tengah pendopo.
Padri tua itu dengan sikap yang agung, berkata dengan suara perlahan:
"Siao-Sie-cu, sebelum kau mengetahui lolap berada di sini, apakah kau sudah menganggap pasti lolap sebagai pembunuh?"
Karena pembicaraan itu sudah meningkat sedemikian jauh sehingga tidak perlu disembunyikan lagi. Tetapi hati Hui Kiam sedikit banyak masih merasa ragu-ragu. Andaikata padri tua itu benar adalah pembunuhnya, sedangkan ia sendiri sudah menyatakan asal-usul dirinya, kalau padri itu hendak mengambil
jiwanya sesungguhnya mudah sekali, tetapi keadaan mendadak tidak boleh ia harus berlaku terus terang, maka ia lalu menjawab:
"Kenyataannya memang begitu!"
Rahasia Peti Wasiat 6 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Durjana Dan Ksatria 4
^