Pendekar Jembel 11

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 11


muslihat yang lebih hebat."
"Kau tidak mempercayai kakakmu sendiri?" Lam-sing
menegas dengan sangsi.
"Semalam dia telah bicara padaku, coba dengarkan, akan
kuceritakan padamu," segera Ang-ing menuturkan apa yang
dipercakapkan semalam dengan Su Pek-to.
Lam-sing sampai melongo sekian lamanya, katanya
kemudian, "Jika demikian jadi dia tetap tidak melepaskan
maksudnya hendak menjodohkan kau kepada Swe Benghiong.
Hanya karena kau menolak, maka terpaksa
menyanggupi pilihanmu?"
"Benar," sahut Su Ang-ing. "Bahkan hubungannya dengan
Swe Beng-hiong dan Sat-Hok-ting juga belum pernah putus.
Seorang jago Sat Hok-ting yang paling kuat, namanya Bun Totjeng,
kemarin dulu baru tiba di sini. Cuma dia mengetahui
kau kenal dia, maka sengaja tidak muncul."
Kejut Lam-sing sungguh tidak kepalang, katanya dengan
suara rada gemetar, "Jadi.....jadi semua ini adalah
perangkap kakakmu?"
"Sudah tentu," sahut Ang-ing. "Selama 20-an tahun
menjadi kakak beradik masakah aku tidak kenal pribadinya?"
"Lantas bagaimana baiknya" Eh, Ang-ing, marilah kita
minggat bersama!"
"Jangan kau sangka kakakku tidak berjaga-jaga sama
sekali, lebih-lebih malam ini, banyak tokoh yang berkumpul,
jangan harap bisa lolos dari sini."
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu....."
"Tinggal saja di sini dan bertindak menurut gelagat!"
Jantung Le Lam-sing memukul keras, ia membatin sendiri,
"Benar, tinggal di sini menjadi suami-istri dulu, jangan sia-siaan
malam pengantin baru ini."
Sudah tentu ia tidak enak mengutarakan isi hatinya, ia
hanya bisa bertanya, "Melihat gelagat bagaimana?"
"Kita pura-pura menjadi suami-istri yang rukun agar tidak
dicurigai kakak," tutur Ang-ing. "Kita mencari kesempatan
yang baik untuk membekuknya. Keempat Hiangtju adalah
orang kepercayaannya, tapi banyak anak buah bawahan tidak
sependirian dengan tingkah-polahnya, terutama tindakannya
menjilat pihak penguasa. Asalkan kita dapat mengatasi dia,
kukira banyak anggota akan mendukung kita. Aku sih tidak
ingin menjadi Pangtju segala, tapi Liok-hap-pang jelek-jelek
adalah suatu Pang besar, jika dapat kita gunakan sebagai
kawan seperjuangan dengan pasukan pergerakan, besar
manfaatnya" Untuk mana Le-toako apakah kau bersedia
bekerja sama dengan aku?"
"Nona pantas sebagai ksatria wanita yang terpuji, sungguh
aku sangat kagum, cuma ada sesuatu yang aku belum paham,
kau.....kau....."
Yang belum dipahami Le Lam-sing adalah mengapa Angmg
cuma ingin pura-pura menjadi suami-istri dengan dia"
Karena rasa sangsinya itu, dalam ucapan ia tidak berani
menganggap dirinya sebagai seorang suami Jagi, sehingga
dengan ramah ia memanggil "nona" kepada Ang-ing.
Pelahan-lahan Ang-ing berkata pula, "Kau adalah sobat baik
Kim Tiok-liu, kuyakin kau akan dapat memahami diriku. Di
dalam kamar kita adalah sahabat, di luar kamar barulah kita
mengaku sebagai suami-istri. Asalkan kita merasa tidak
bersalah, biarpun Kim Tiok-liu mengetahui juga dia akan
memaafkan kita."
Ucapan ini benar-benar merupakan siraman air dingin di
atas kepala Le Lam-sing. Wajah Lam-sing sebentar pucat
sebentar merah, pikirnya, "Pantas Tiok-liu tidak mau datang
bersama aku, pantas begitu sikapnya ketika aku
mengutarakan isi hatiku kepadanya. Pantas Ang-ing menyuruh
pelayannya yang melakukan upacara nikah dengan aku" Ai.
jelas Tiok-liu bermaksud menjadikan perjodohanku ini, tapi
akulah yang berdosa padanya!"
Sebagai seorang pemuda yang simpatik dan mudah
terdorong oleh perasaannya, seketika ia ketok-ketok
kepalanya sendiri demi mengetahui duduknya perkara antara
Su Ang-ing dan Tiok-liu, teriaknya, "Bodoh amat aku ini, sudah
lama seharusnya aku mengetahui hubungan cinta kalian. Aku
harus menemukan kembali Kim Tiok-liu, akan kukatakan
bahwa dialah orang yang kau cintai!"
"Ssst!" Ang-ing mendesis. "Pelahan sedikit suaramu, kemana
kau hendak mencari Kim Tiok-liu pada saat ini" Jika kau
tidak sabar mungkin kau sendiri akan tertangkap lebih dulu."
Nyata Su Ang-ing tidak tahu bahwa sebenarnya tadi Kim
Tiok-liu sudah datang, cuma secara diam-diam ia telah pergi
lagi. Namun masih belum meninggalkan lingkungan markas
Liok-hap-pang. Kim Tiok-liu mengintip di belakang jendela, ia melihat Su
Ang-ing yang berada di dalam kamar pengantin, juga sudah
mendengar ucapan Le Lam-sing yang merayu mesra tadi,
hanya saja ia tidak mendengar ucapan Su Ang-ing yang
terakhir. Waktu Le Lam-sing memeriksa keluar kamar, pada
saat itulah Kim Tiok-liu meninggalkan tempat itu.
Justru karena Kim Tiok-liu tidak mendengar ucapan Su knging
yang terakhir sehingga timbul banyak kesalahpahaman.
Tiok-liu pikir kiranya orang yang disukai Ang-ing memang
benar Le-toako adanya. Kalau tidak, mana dia mau menjalani
upacara perkawinan segala. Menurut gelagatnya Su Pek-to
agaknya [juga benar-benar rela mengawinkan adik
perempuannya kepada BLe-toako, kalau tidak, mengapa di
luar tiada perjagaan sama sekali"
Kiranya Kim Tiok-liu sudah mengetahui di sekitar kamar
pengantin itu tiada seorang pun yang mengintip. Tapi ia tidak
tahu bahwa orang yang melakukan upacara pernikahan
dengan Le Lam-sing pada siang harinya hanya seorang
pelayan Su Ang-ing.
Selagi Kim Tiok-liu merasa pilu dan lesu, maksudnya
hendak tinggal pergi saja, tiba-tiba terpikir pula olehnya, "Ah,
tidak penar, kalau Ang-ing tidak menaruh curiga apa-apa,
mengapa dia menyuruh Le-toako memeriksa keluar kamar.
Tentunya dia juga tahu adanya perangkap kakaknya, maka
timbul rasa curiganya. Sekarang belum jelas duduk perkara
yang sebenarnya, mara boleh kutinggal pergi begini saja?"
Belum lenyap pikirannya, tiba-tiba dilihatnya sesosok
bayangan melesat ke arah kamar pengantin, Tiok-liu terkejut.
"He, perempuan siluman itu sudah pulang!"
Dengan matanya yang terlatih, di bawah sinar bulan dan
bintang yang remang-remang, dapat dikenalnya bayangan itu
dalah Tang Tjap-sah-nio. Pulangnya Tang Tjap-sah-nio tidak
embuatnya gentar, soalnya perempuan itu mengetahui jejak
[Kim Tiok-liu, maka pulangnya itu tentu akan melaporkan
kepada Su Pek-to tentang kedatangan Kim Tiok-liu di Yangtjiu
ini. Kim Tiok-liu pikir toh kedatangan dirinya bakal ketahuan,
aling penting sekarang harus mengawasi gerak-gerik
perempuan siluman itu yang mungkin akan membahayakan
Le-toako dan Ang-ing.
Segera ia mengeluarkan Ginkangnya yang tinggi terus
menguntit di belakang Tang Tjap-sah-nio. Tak terduga, baru
dua-tiga langkah, mendadak kakinya terasa menginjak tempat
kosong. Kiranya di bawah adalah sebuah lubang jebakan.
"Biang", kontan sebuah batu besar menindih pula dari atas.
Bukan main kejut Kim Tiok-liu, pada detik paling gawat
itulah ia sempat memancalkan kedua kakinya selagi tubuhnya
terapung, dengan demikian dapatlah kedua kakinya menahan
dinding lubang jebakan itu, ketika batu besar itu menurun ke
bawah, dapatlah ditolak dengan pelahan ke samping, dengan
menggunakan tenaga tolakan itu tubuhnya lantas meloncat
keluar lubang. Dengan cepat luar biasa ternyata Tang Tjap-sah-nio
menyambut dengan sabetan sambil menjengek, "Bocah she
Kim, sudah lama kutunggu kau di sini!"
Pada saat yang hampir sama, dari semak-semak pohon
sana juga meloncat keluar seorang sembari melontarkan
pukulan kepada Kim Tiok-liu, bentaknya sambil terbahakbahak,
"Haha, dunia ini benar-benar sangat sempit, di
manapun kita selalu bertemu. Kim Tiok-liu, sungguh tidak
nyana kita berjumpa pula di sini!"
Pendatang ini ternyata bukan lain daripada musuh
bebuyutan Kim Tiok-liu, yakni Bun To-tjeng adanya.
Karena baru saja meloncat keluar dari lubang jebakan, kaki
Tiok-liu belum sempat berdiri di atas tanah sudah keburu
ditolak oleh tenaga pukulan Bun To-tjeng, keruan tubuhnya
terus terhuyung ke depan. Dalam pada itu cambuk Tang Tjapsah-
nio sudah menyambar tiba.
"Ai, celaka!" seru Tiok-liu sembari menjatuhkan diri,
berbareng itu ujung cambuk terus dipegangnya sembari
melejit bangun, dengan demikian pukulan kedua Bun To-tjing
sempat dihindarkan dan Tang Tjap-sah-nio kena diseret
mendekat. Ketika Bun To-tjeng hendak melancarkan pukulan ketiga
lagi, lekas ia mengurungkan maksudnya agar tidak mengenai
teman sendiri. Sementara itu cepat sekali Tiok-liu sudah melolos
pedangnya, cambuk Tjap-sah-nio itu ditabas hingga putus
ujungnya, menyusul secepat kilat ia menusuk pula ke arah
Tjap-sah-nio. "Hahaha! Untung tidak tersabet oleh cambukmu!" seru fiokliu
dengan tertawa.
Sungguh Tjap-sah-nio mendongkol tidak kepalang, dengan
murka ia membentak, "Anak kurangajar, berani kau
permainkan ibumu!" Berbareng cambuknya lantas melayani
serangan Kim Tiok-liu tidak kalah cepatnya.
Permainan cambuk adalah kepandaian kebanggaan Tjapsah-
nio, tak terduga lantaran ujungnya sudah terkurung
sebagian sehingga serangannya selalu terpaut sekian saja dan
selalu meleset mengenai sasarannya.
Betapa cepat ilmu pedang Kim Tiok-liu, sekali serangan
Tang Tjap-sah-nio tidak kena, tahu-tahu Tiok-liu sudah
menubruk maju, dimana sinar pedang berkelebat, "jret" tahutahu
baju Tang Tjap-sah-nio sudah tergores robek sehingga
kelihatan kutangnya yang berwarna merah jam bon, samarsamar
kulit dagingnya yang putih bersihpun kelihatan. Untung
Tjap-sah-nio cukup gesit berkelit, kalau tidak tentu tubuhnya
sudah ditembus oleh pedang Kim Tiok-liu.
"Jangan kurangajar anak keparat!" bentak Bun To-tjeng.
Berbareng kedua telapak tangannya terus menghantam
sepenuh tenaga sehingga menerbitkan suara gemuruh.
Kim Tiok-liu kenal betapa lihai pukulan orang, terpaksa
dilepaskannya Tang Tjap-sah-nio, pedangnya membalik untuk
menusuk tangan Bun To-tjeng. Namun dengan tenaga
pukulannya. Bun To-tjeng menggoncang tusukan pedang Kim
Tiok-liu ke samping, lalu ganti pukulan lain lagi.
"Hm, biarpun lihai Sam-siang-sin-kangmu, bisa berbuat apa
terhadapku?" jengek Kim Tiok-liu dengan tertawa. Habis itu
cepat sekali ia mengitar ke belakang Bun To-tjeng sembari
menusuk 'Tay-tjui-hiat' di pinggangnya, biarpun di malam
gelap ternyata serangan Kim Tiok-liu sangat jitu.
Terkesiap juga Bun To-tjeng, sungguh tidak nyana,
berpisah hanya sebulan saja kepandaian bocah ini sudah maju
sedemikian pesat, lekas ia menggeser ke samping, berbareng
tangannya membalik dan menghantam pula. Dalam pada itu
cambuk Tang Tjap-sah-nio juga sudah menyambar tiba.
Dengan serangan gabungan mereka berdua barulah serangan
Kim Tiok-liu itu dapat dibendung.
Pertempuran sengit yang terjadi di tengah taman ini
ternyata suaranya terdengar juga oleh Le Lam-sing dan Su
Ang-ing di kamar pengantin.
"He, seperti ada orang bertempur di sana, coba kau pergi
melihatnya, Le toako," kata Ang-ing.
"Ya, seperti suara Kim Tiok-liu," kata Lam-sing. "Apakah
aku sedang mimpi?"
Baru ia bermaksud keluar, tiba-tiba terdengar suara keriatkeriut,
dinding kamar mendadak terpentang sebuah pintu
rahasia, bagaikan iblis saja tahu-tahu Su Pek-to sudah muncul,
je-ngeknya, "Hm, kau tidak perlu keluar lagi, Kim Tiok-liu
sudah kena kubekuk."
Kaget Lam-sing bukan main, dengan gugup ia menyambut
kedatangan musuh, tapi sekali pukul Su Pek-to membikin Lamsing
tergetar mundur, menyusul ia melangkah maju, lima
jarinya bagaikan kaitan tajam mencengkeram ke tulang
pundak Lam-sing.
Cepat Ang-ing menutuk dari samping dan tepat mengenai
'Hong-hu-hiat' di pinggang Su Pek-to. Mestinya Su Pek-to
memiliki kepandaian menutup Hiat-to sehingga tidak takut
tutukan adik perempuannya, tapi betapapun Hiat-to yang
tertutuk itu terasa kesemutan juga, cengkeramannya menjadi
kurang kuat sehingga memberi kesempatan kepada Le Lamsing
untuk mem-berosot pergi.
"Lekas ambil pedangmu!" seru Ang-ing.
Kiranya Hian-tiat-polriam itu selalu dibawa serta oleh Le
Lam-sing, cuma dalam kamar pengantin pedang pusaka itu dia
gantung di dinding. Karena peringatan Ang-ing, buru-buru
Lam-sing melompat ke sana untuk mengambil pedangnya.
Su Pek-to juga bermaksud merebut pedang itu, tapi sudah
didahului satu langkah oleh Le Lam-sing. Ia menjadi murka,
je-ngeknya, "Hm, benar-benar adik perempuanku yang baik
sehingga bersekongkol dengan orang luar untuk mengeroyok
kakaknya sendiri." Berbareng tangan kanan lantas
mencengkeram ke arah Ang-ing, sedang tangan kiri memukul
pula ke arah Le Lam-sing.
Sedikit mengegos, Lam-sing menghindarkan pukulan Su
Pek-to, pedang lantas dilolos dan bentaknya, "Lihat pedang!"
Sudah tentu Su Pek-to kenal betapa lihainya pedang wasiat
itu, ia tahu melulu tenaga pukulan sendiri terang tidak mampu
melawan senjata lihai itu, terpaksa ia menarik kembali
serangannya pada Ang-ing, dengan tenaga tolakan kedua
tangan barulah mampu menggoncang pergi Hian-tiat-pokiam
yang bobotnya ada ratusan kati itu.
"Nona Su, lekas kau lari keluar dulu!" teriak Lam-sing.
Sekuat tenaga ia memutar pedang dan berturut-turut
menabas tiga kali ke arah Su Pek-to.
Merasa kewalahan menghadapi pedang wasiat yang berat
itu, terpaksa Pek-to menyambar sebuah meja untuk
menangkis. "Crat, brak", meja tertabas hancur menjadi


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa potong, menyusul di belakang adik perempuannya
segera Su Pek-to melompat keluar kamar.
Saat itu baru saja Su Ang-ing sempat menancap kakinya di
luar, belum lagi berdiri tegak tahu-tahu ia sudah disambut
oleh sabetan cambuk dari tempat gelap.
Kiranya Tang Tjap-sah-nio berlari ke sini hendak memberi
laporan kepada Su Pek-to dan kebetulan memergoki Su Anging,
waktu nona ini melompat keluar kamar. Karena tidak
disangka-sangka sehingga badan Ang-ing tersabet, ia menjadi
gusar, dampratnya, "Tjap-sah-nio, kau juga berani kurangajar
padaku?" Ia melepaskan cambuk yang terlilit di pinggangnya terus
balas menyerang. Kedua orang sama-sama ahli permainan
cambuk, masing-masing pun tahu gaya permainan lawan. Di
tengah sambaran angin cambuk itu tahu-tahu kedua cambuk
terlibat menjadi satu.
"Ang-ing, jangan kau salahkan aku, lantaran kau
mengkhianati kakakmu, terpaksa aku berlaku kasar padamu,"
kata Tang Tjap-sah-nio dengan tertawa.
Mendadak Ang-ing merasakan ditolak oleh suatu tenaga
dahsyat dari belakang, tanpa kuasa tubuh Ang-ing berputar.
Kiranya Su Pek-to sudah berada di belakangnya dan
mengeluarkan tenaga pukulan dorong kincir sehingga
membikin Ang-ing berputar-putar kehilangan keseimbangan
badan Sesudah menabas hancur meja tadi, Lam-sing juga lantas
menyusul melompat keluar kamar, tapi sekali ini ia didahului
oleh Su Pek-to, baru saja Lam-sing hendak menusuk dengan
pedangnya, tahu-tahu Ang-ing sudah kena dicengkeram oleh
Su Pek-to terus diangkat untuk dipakai sebagai tameng.
"Ini, tusuklah!" bentak Su Pek-to sambil menyodorkan
tubuh Su Ang-ing.
Keruan Lam-sing menarik pedangnya dengan gugup,
dengan mendongkol ia mendamprat, "Keparat, begitu caranya
kau memperlakukan adik perempuan sendiri, kau manusia
atau binatang?"
"Hm, dengan maksud baik kujodohkan adik perempuanku
kepadamu, tapi kalian malah berkomplot hendak membikin
celaka padaku, memangnya kau masih mengharapkan aku
memberi ampun lagi padanya?" jengek Su Pek-to.
"Siapa sudi meminta ampun padamu?" jawab Lam-sing
dengan gusar. "Lepaskan Ang-ing dan marilah kita bertempur
satu lawan satu."
"Hah, memangnya kau kira aku gentar terhadap pedangmu
yang besar itu?" sahut Su Pek-to dengan lantang. Ia
lemparkan Su Ang-ing kepada Tang Tjap-sah-nio dan berkata,
"Jaga baik-baik budak hina ini, kubereskan mereka sesudah
kubekuk bocah ini."
Baru saja Lam-sing bermaksud menubruk maju untuk
merampas Su Ang-ing dari Tang Tjap-sah-nio, tahu-tahu Su
Pek-to sudah melolos pedangnya dan merintangi dia
jengeknya "Hm, sudah waktunya juga pedangmu itu pulang
kandang kepada pemilik yang sesungguhnya."
"Jika mampu bolehlah kau ambil saja" dengus Lam-sing.
Hian-tiat-pokiam diangkat, segera ia menabas kepala lawan.
Dengan gerak tipu 'Ki-hwe-liau-thian' atau mengangkat
obor menerangi langit, Su Pek-to menangkis dengan
pedangnya begitu tepat sehingga batang pedangnya menahan
batang pedang pusaka Le Lam-sing, menyusul Su Pek-to
memuntir pedangnya dan seketika Lam-sing merasa
tangannya kesemutan, hampir Hian-tiat-pokiam terlepas dari
cekalan. Ia menjadi nekad, sambil menggerung murka ia terus
menubruk maju bersama pedangnya. Terdengarlah suara
"trang" yang keras disertai meletiknya lelatu api, pedang Su
Pek-to gum-pil sebagian, cuma tidak sampai kutung. Lam-sing
sendiri ter-getai mundur dua-tiga tindak dengan agak
sempoyongan. "Biarpun pedang wasiat, mampu berbuat apa padaku?"
bentak Su Pek-to sembari mendesak maju.
Dalam keadaan tubuh setengah miring, cepat Lam-sing
memutar pedangnya menabas pula ke belakang. "Trang",
kembali kedua pedang beradu, pedang Su Pek-to tetap tidak
terkuning, tapi kembali gumpil.
Dua gebrakan mati-matian ini sungguh sangat bahaya
sungguh di luar dugaan, Le Lam-sing tidak berhasil
mengurungi pedang lawan, sebaliknya Su Pek-to juga
terperanjat. Su Pek-to sudah pernah beberapa kali bertempur
dengan Le Lam-sing dan tahu benar kekuatan sendiri masih
jauh di atas pemuda itu. Gebrakan tadi juga merupakan jurus
andalannya, keras dan lunak berjalan sekaligus. Siapa duga di
bawah perlawanan Le Lam sing yang dahsyat, pedangnya
sampai gumpil lagi.
Baru sekarang ia tahu bahwa Lwekang Le Lam-sing meski
belum menandingi dia, tapi juga di atas perkiraannya. Bahkan
daya Hian-tiat-pokiam juga jauh di atas dugaannya.
Sesudah kecundang oleh Hian-tiat-pokiam, Su Pek-to
menjadi lebih bernapsu untuk merebut kembali pusaka itu.
Segera ia bersuit, beramai-ramai anak buah Su Pek-to lantas
memburu da tang.
"Maju Djing-hu, yang lain mundur dan siap dengan anak
panah," perintah Su Pek-to.
Djing-hu Todjin terhitung jago nomor tiga di dalam Liok?
hap-pang, ilmu pedangnya boleh dipuji. Su Pek-to tahu hanya
Djing-hu Todjin saja yang mampu bertempur melawan Le
Lam-sing, yang lain tentu tidak berguna. Cuma masih bisa
menyuruh mereka menyiapkan panah berbisa untuk
mencegah larinya Le Lam-sing.
Sekarang Le Lam-sing harus menghadapi lawan dari muka
dan belakang, berkat Hian-tiat-pokiam yang ampuh ia masih
bisa bertempur sekuatnya, gesit sekali Djing-hu Todjin
memainkan pedangnya, beberapa kali Lam-sing luput
menabas pedang lawan itu, sebaliknya ia hampir tertusuk
malah. Di tengah pertarungan sengit itu tiba-tiba terdengar suara
suitan panjang, segera Le Lam-sing mengenali suara Kim Tiok
liu itu, ia menjadi kuatir, pikirnya, "Kim Tiok-liu telah lolos dari
kepungan musuh, mana boleh aku terus bertempur di sini?"
Belum lenyap pikirannya, tahu-tahu Djing-hu Todjin
melancarkan suatu serangan ke arahnya. Lam-sing menduga
lawannya tentu gentar terhadap Hian-tiat-pokiam dan tidak
berani mendesak maju. besar kemungkinan serangan Djing-hu
itu hanya pancingan belaka saja, maka ia sengaja mengambil
resiko, ia tidak menghindar, sebaliknya terus menubruk maju
ke arah Su Pek-to.
Keruan Su Pek-to kaget, sama sekali ia tidak menyangka Le
Lam-sing berani berbuat nekad demikian, ia hendak menarik
pedangnya, tapi sudah terlambat, terdengarlah suara
mendering nyaring, sekali ini pedang Su Pek-to benar-benar
terkurung oleh tebasan Hian-tiat-pokiam.
Tanpa pikir Su Pek-to lantas membuang pedangnya,
sebelah kakinya melayang dalam jarak teramat dekat, Le Lamsing
tidak sempat menghindarkan lagi, ia kena didepak
dengan tepat, kontan tubuhnya mencelat jauh.
Lantaran depakan itu, imbangan badan Su Pek-to menjadi
berat sebelah juga, sehingga dia pun terbanting jatuh.
Depakan itu membuat pinggang Le Lam-sing kesakitan,
Ltapi untung juga baginya karena tusukan Djing-hu Tjodjin
ladi menjadi mengenai tempat kosong lantaran tubuh Le Lamsing
terdepak mencelat. Kalau tidak tentu tulang pundaknya
sudah tembus oleh tusukan tersebut.
Diam-diam Djing-hu gegetun, ketika dilihatnya Le Lam-sing
jatuh di sebelah sana, disangkanya pemuda itu sudah ter luka,
kesempatan baik tidak boleh disia-siakan, cepat ia memburu
maju hendak menambah tusukan pedangnya.
Tapi baru saja pedangnya bergerak, mendadak Le Lam-sing
melompat bangun sambil membentak, "Ini, biar kau pun
merasakan kelihaianku!"
Tadi Lam-sing hampir saja tertusuk pedang, rasa dongkol
Djing-hu Todjin belum lagi terlampias, maka sekarang
kesempatan baik baginya untuk melabrak lawannya. Le Lamsing
menabas dengan gemas lagi kuat, betapapun lincah ilmu
pedang Djing-hu Todjin, namun disebabkan salah hitung
sehingga dia terbalik kecundang. "Trang", pedang Djing-hu
tertabas kutung, pntung dia berkelit dengan cepat sehingga
tidak terluka. Namun begitu hebat daya serangan Hian-tiatpokiam
itu sehingga dadapnya seakan-akan disodok oleh
suatu tenaga dahsyat, tanpa ampun lagi darah tertumpah dari
mulutnya. Di sebelah sana Su Pek-to sudah melompat bangun lagi,
bentaknya dengan gusar, "Lepaskan panah!" Seketika anak
buahnya yang sudah siap sedari tadi lantas menghamburkan
panah berbisa. Sembari memutar pedangnya untuk membela diri, Le Lamsing
lantas membentak juga, "Ini, kalian pun merasakan aku
punya! Memangnya hanya kalian punya senjata rahasia?"
Berbareng tangannya menabur ke depan, "Biang" sebuah
senjata rahasia yang ia lemparkan ke atas atap rumah
meledak. Itulah senjata rahasia tunggal keluaran keluarga Le
Lam-sing yang terkenal, Tok-bu-kiam-tjiam-liat-yam-tan
(granat kabut berbisa berjarum emas).
Senjata rahasia itu mestinya berbisa bilamana kaburnya
bertebaran, tapi oleh Lam-sing diganti dengan kabut yang tak
berbisa, hanya saja jarum yang diledakkan itulah paling sukar
diduga oleh lawan. Keruan beberapa orang yang bersembunyi
di atas rumah itu kontan menjerit dan terguling ke bawah.
Lubang itu segera diisi oleh Le Lam-sing, cepat ia melompat
ke atas rumah itu. Tapi pada saat dia melintasi tembok yang
tinggi dan melompat ke taman belakang sana, sekonyongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
konyong otot kakinya terasa kaku kencang dan hampir
terbanting jatuh.
Kiranya depakan Su Pek-to tadi tidaklah ringan, meski dia
menahan sakit sekuatnya, tapi untuk melompat sudah tidak
segesit biasanya.
Alangkah lihainya Su Pek-to, sekali pandang saja ia lantas
mengetahui kelemahan Le Lam-sing itu, dengan terbahakbahak
ia terus mengejar, bentaknya, "Bocah cilik, hendak lari
kemana kau?"
Saat itu Lam-sing baru saja melompat ke bawah, tiba-tiba
ia disambut oleh bentakan seseorang, "Ini, rasakan!" Kiranya
seorang anak buah Liok-hap-pang yang bersenjatakan Tok-katong-
djin (patung tembaga berkaki satu) yang beratnya
ratusan kati. Sejak tadi jago Liok-hap-pang ini bersembunyi di situ. maka
ia tidak menyaksikan pertarungan antara Le Lam-sing dan Su
Pek-to, sehingga tidak tahu pula betapa lihainya Hian-tiat-po
kiam. la yakin senjatanya sendiri teramat berat sehingga tidak
memandang sebelah mata terhadap pemuda yang tampaknya
lemah seperti Le Lam-sing.
"Kau cari mampus!" Lam-sing balas menggertak.
Baru saja orang itu mendengus tak acuh, sekonyongkonyong
terdengar suara nyaring keras, Hian-tiat-pokiam
sudah kena membacok patung tembaga lawan, lapisan
tembaga terkupas dan lelatu api meletik, orang itupun tergetar
mundur beberapa tindak, sembari menyemburkan darah segar
akhirnya orang itu roboh terguling. Walaupun dia tidak terluka
dan senjatanya yang berat itupun tidak terkurung oleh Hiantiat-
pokiam, tapi tidak urung isi perutnya tergetar jungkir-balik
dan tidak terhindar dari kematian.
Waktu Lam-sing memandang ke depan, ternyata Tiok-liu
lagi dikerubut oleh tiga musuh di sebelah gunung-gunungan
sana. Seorang pengeroyoknya adalah Bun To-tjeng, dua orang
lagi adalah Djiau Sik dan Wan-hay Hwesio. Kedua orang ini
adalah pengganti Tang Tjap-sah-nio untuk membantu Bun Totjeng.
Di bawah keroyokan tiga jago tangguh, tampaknya Kim
Tiok-liu rada kewalahan, tapi dengan gerak tubuhnya yang
gesit dan lincah, dalam waktu singkat Bun To-tjeng juga tak
bisa mengapa-apakan dia.
Kejut dan girang pula Le Lam-sing, serunya, "Kim-hiante,
inilah aku!" Sekuatnya ia melompat maju, pedangnya lantas
menusuk ke arah Bun To-tjeng.
Namun sebelum ujung pedang tiba, Bun To-tjeng sudah
lantas mengebaskan sebelah tangannya ke belakang dengan
tenaga sakti 'Sam-sing-sin-kang', lantaran pinggangnya sakit,
kuda-kudanya menjadi kurang kuat, tanpa kuasa Lam-sing
tergetar berputar ke samping dan tepat berhadapan dengan
Djiau Sik. Djiau Sik adalah bandit yang ganas, begitu melihat
kesempatan baik, segera goloknya membacok ke arah Le
Lam-sing. Dari jauh Djing-hu Todjin sempat melihat kejadian itu, ia
terkejut kuatir dan cepat berteriak, "Awas, Djiau-site jangan
keras lawan keras!"
Namun sudah terlambat, golok dan pedang sudah
kebentur. Disertai suara mendering nyaring tahu-tahu golok
Djiau Sik yang tebal itu terkurung menjadi dua. Tidak cuma
demikian saja, bahkan sebelah lengan Djiau Sik juga ikut
tertabas buntung oleh Hian-tiat-pokiam. Saking sakitnya Djiau
Sik jatuh kelengar.
Dalam pada itu secepat kilat Le Lam-sing mengangkat
pedangnya menabas pula ke arah Wan-hay, ia terkesiap dan
tidak berani menangkis dengan keras lawan keras. Namun
begitu ia juga tidak mampu menghindarkan serangan Le Lamsing
itu, "trang", golok Way-hay juga tertabas putus. Untung
ia tidak menangkis dengan tenaga penuh sehingga tidak
sampai terluka dalam meski goloknya kutung. Walaupun
demikian ia pun tergetar mundur, darah di rongga dada serasa
bergolak, ia terhuyung-huyung beberapa tindak ke belakang
baru mampu menenangkan diri. Seperti ayam jago yang kena
jalu, Wan-hay tidak berani maju lagi.
Sementara itu secepat terbang Su Pek-to sudah memburu
tiba, tangannya memegang Tok-ka-tong-djin anak buahnya
tadi. Kiranya dia menyadari kekuatan Hian-tiat-pokiam yang
terlalu lihai. Kalau senjata biasa saja tentu sukar melawannya,
sebab itulah ia mengambil senjata anak buahnya yang sudah
tewas itu, harapannya dengan senjata yang berat ini dapat
digunakan untuk menandingi Hian-tiat-pokiam.
Menyusul Tang Tjap-sah-nio juga datang, ia telah berganti
cambuk, bersama Bun To-tjeng ia mengembut Kim Tiok-liu


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Pertarungan sengit kembali terjadi, dengan patung
tembaga yang berat itu Su Pek-to lantas menghantam kepala
Le Lam-sing, Lam-sing membarengi menabas dengan cepat.
Suara mendering nyaring memekak telinga, badan patung
tembaga itu men-dekuk, tapi Lam-sing tergetar mundur duatiga
tindak. Terkesiap hati Lam-sing, pikirnya, "Dalam hal tenaga dalam
jelas aku bukan tandingannya, aku harus memenangkan dia
dalam kebagusan ilmu pedang."
Dalam pada ini Su Pek-to membentak, "Lepas pedang!"' Ia
mendesak maju dengan gerak tipu 'Hing-in-toan-hong' atau
lawan melintang memutus puncak gunung, patung tembaga
diserampangkan ke pinggang Le Lam-sing.
"Huh, belum tentu mampu kau!" jengek Lam-sing.
Pedangnya berputar sehingga memancarkan titik-titik perak,
terdengar suara "trang-tring" nyaring berulang-ulang disertai
bertebarannya remukan tembaga, pedang pusaka masih tetap
terpegang kencang di tangan Le Lam-sing, sebaliknya tubuh
patung tembaga Su Pek-to itu sudah babak belur.
Kiranya ilmu pedang yang dimainkan Le Lam-sing sekapang
adalah Tui-hong-kiam-hoat ajaran Kim Si-ih, pedang berputar
secepat kilat, dalam sekejap saja sudah belasan tusukan
mengenai badan patung tembaga musuh.
Sebenarnya maksud Su Pek-to hendak merontokkan
pedang pusaka lawan dengan patung tembaga yang berat itu,
setiap Ikali belum lagi pedang lawan terpukul, tahu-tahu Le
Lam-sing sudah berganti jums serangan. Dengan demikian
patung tembaganya berbalik babak-belur terkena pedang
lawan. Namun demikian patung tembaga yang berat itu jauh lebih
[menguntungkan daripada Su Pek-to menggunakan senjata
biasa. Sekalipun pedang tembaga babak-belur juga masih
mampu menahan Hian-tiat-pokiam yang dahsyat.
Kelemahan Le Lam-sing terletak pada pinggangnya yang
pnasih sakit kena depakan tadi, kuda-kudanya kurang kuat,
ge-b-ak-geriknya kurang gesit, jika makan tempo lama tentu
akhir-hya akan payah. Untung Su Pek-to sekarang memakai
senjata berat yang belum biasa digunakan, pula senjata berat
tidak selin-|ah pedang biasa, sebab itulah dalam pertarungan
sengit ini selingan lebih banyak dilakukan oleh Le Lam-sing
daripada Su Pek-to.
Di sebelah sana Bun To-tjeng dan Tang Tjap-sah-nio berfcia
juga sedang mengembut Kim Tiok-liu dengan sengit.
Dengan segenap kepandaiannya dapatlah Kim Tiok-liu
bertahan dengan sama kuatnya. Keuntungan Kim Tiok-liu
terletak pada ilmu pedangnya yang bagus dan Ginkangnya
yang tinggi, tapi dalam hal tenaga dalam ia rada kalah kuat.
Bun To-tjeng sendiri karena mendapat bantuan Tang Tjapsah-
nio, maka ia dapat melancarkan Sam-siang-sin-kang
dengan sepenuhnya, 20-30 jurus kemudian, meski Kim Tiok-liu
masih mampu bertahan, tapi jidatnya sudah mulai keluar
keringat. Di tengah pertempuran itu terdengar Le Lam-sing berseru,
"Kim-hiante, aku ingin memberitahukan sesuatu padamu. Anging,
dia....." "Terjang keluar dulu dari sini, nanti kita bicarakan lagi,"
sahut Tiok-liu.
"Tidak, satu detik tidak kukatakan padamu, satu detik pula
hatiku tidak tenteram," ujar Lam-sing.
"Aku sudah tahu, kita masih tetap saudara yang baik, aku
tidak menyalahkan kau," kata Tiok-liu.
Lam-sing mengira Tiok-liu telah mendengar semua
percakapannya dengan Ang-ing, ia merasa lega. Ia pikir jika
Kim Tiok-liu sudah mendengar percakapannya dengan Su
Ang-ing, maka urusan akan menjadi lebih baik daripada ia
memberitahukannya langsung hal ini tentu akan membuatnya
kikuk. Lantaran bicara, pemusatan perhatiannya menjadi sedikit
kendur, kesempatan itu digunakan oleh Su Pek-to untuk
menyerang dengan lebih gencar, seketika Lam-sing kerepotan
dan terdesak di bawah angin.
Sebagai seorang ahli silat, Kim Tiok-liu dapat melihat
gelagat, ia pikir kalau keadaan demikian berlangsung terus,
akhirnya mereka berdua tentu akan rugi. Tiba-tiba ia
mendapat akal, cepat ia meloncat ke samping sambil
berteriak, "Le-toako, marilah kita bertukar lawan!"
Secepat buning terbang Kim Tiok-liu terus menubruk ke
sana, pedangnya terus menusuk 'Hong-hu-hiat' di punggung
Su Pek-to. Tapi lihai juga Su Pek-to, meski diserang dari muka dan
belakang, mendadak ia mengkerutkan tubuh, palung tembaga
terus diputar dan disabetkan, Lam-sing terdesak mundur,
"Trang", tusukan Kim Tiok-liu juga tepat mengenai badan
patung tembaga sehingga terguncang melenceng. Dalam pada
itu dengan cepat sekali Le Lam-sing sudah melompat ke sana
untuk merna-paki Bun To-tjeng dan Tang Tjap-sah-nio.
Su Pek-to menjadi gusar, bentaknya, "Bagus bocah she
Kim, kau ingin mampus, biarlah kukabulkan niatmu!"
"Jiwaku cuma satu, jika kau mampu boleh saja coba
mengambilnya dan tidak perlu omong kosong," sahut Kim
Tiok-liu dengan tertawa. Tapi pedangnya tidak pernah kendur,
berbareng itu ia sudah memutar pedangnya secepat kilat,
dalam sekejap saja ia sudah melancarkan enam kali enam
sama dengan 36 jurus serangan sehingga Su Pek-to kelabakan
dan tidak mampu balas menyerang.
Sebenarnya kalau bicara tentang kepandaian sejati, Su Pekto
masih di atas Kim Tiok-liu, tapi lantaran ia dia
menggunakan senjata yang terlalu berat, kalau digunakan
untuk menghadapi Hian-tiat-pokiam memang sangat mujarab,
sebaliknya kalau digunakan untuk melayani Kim Tiok-liu yang
memiliki Ginkang teramat tinggi, mau tak mau menjadi terlalu
kaku. Sebab itulah Kim Tiok-liu sengaja bertukar lawan
dengan Le Lam-sing.
Perhitungan Kim Tiok-liu memang tepat, sesudah
melepaskan diri dari Su Pek-to, Le Lam-sing menjadi
bertambah tangkas, Bun To-tjeng dan Tang Tjap-sah-nio tidak
sanggup menahan serangannya. Dengan Hian-tiat-pokiam
yang lihai Le Lam-sing menyerang dengan gencar. Bun Totjeng
masih sanggup melayani sekadarnya, sebaliknya Tang
Tjap-sah-nio sama sekali tidak mampu mendekati Le Lamsing.
Ketika cambuknya yang panjang menyabet, sekali tabas
dengan Hian-tiat-pokiam, kontan cambuknya tertabas putus.
Habis itu, berturut-turut tiga kali tabasan, laksana segulung
sinar putih, secepat kilat Le Lam-sing lantas menerjang ke
arah Bun To-tjeng.
Bun To-tjeng terkesiap malah, pikirnya pemuda itu sudah
nekat dan mau mengadu jiwa dengan dia. Cepat ia
mengerahkan Sam-siang-sin-kang, kedua tangannya memukul
sekaligus ke depan sehingga terjangan Le Lam-sing itu ditolak
ke samping. Meski meleset menerjang Su Pek-to, tapi Le Lam-sing terus
menerjang ke depan, dalam sekejap saja ia tiba di pagar
tembok sana, sekali tabas dengan pedangnya ia membikin
pintu taman terpentang, lalu berlari keluar.
Su Pek-to menjadi murka, teriaknya, "Biarlah bocah she Le
itu lari, tapi bocah she Kim harus kubekuk. Kalian semua
kembali ke sini untuk menangkapnya!"
"Hm, mau datang atau mau pergi bagiku adalah bebas, kau
mampu berbuat apa atas diriku?" jengek Kim Tiok-liu.
"Sret", ia memberikan suatu serangan pura-pura, menyusul
ia lantas meloncat ke samping dan kebetulan Bun To-tjeng
lantas kepergok di depannya.
"He, apakah kau ingin minum pilku lagi?" seru Tiok-liu
dengan tertawa. Kakinya menutul, tubuhnya terus mengapung
ke atas dan tepat melayang lewat di atas kepala Bun To-tjeng.
Bun To-tjeng melancarkan pukulan, tapi luput, tenaga
pukulan Bun To-tjeng itu berbalik digunakan oleh Kim Tiok-liu
untuk melayangkan tubuhnya lebih pesat, ia berjumpalitan
sekali di atas udara, ketika turun ke bawah kakinya sudah
menancap di atas pagar tembok.
Pada saat itulah sayup-sayup di luar ada suara suitan,
mendadak Su Pek-to menggertak, "Turun!" Ia mengerahkan
segenap tenaganya, pukulan kedua tangan terus dilancarkan
sekaligus dari jauh.
Tenaga pukulan dari jauh Su Pek-to itu benar-benar luar
biasa dahsyatnya, sedikitnya ada beberapa meter jauhnya dari
tempat berdiri Kim Tiok-liu di atas pagar tembok itu, tapi
tenaga pukulan Su Pek-to membuatnya tergoncang dan tak
sanggup menahan diri lebih lama di tempatnya.
Kim Tiok-liu tahu di luar pagar tembok sana pasti ada
musuh yang bersembunyi, suara suitan tadi tentu tanda
penghubung dengan kawan di bagian dalam taman, namun
Kim Tiok-liu tidak dapat memikirkannya lagi, dengan
meminjam tenaga pukul-lan Su Pek-to tadi ia terus
berjumpalitan dan melayang ke bawah sembari berseru, "Kau
tidak perlu mendesak aku, tanpa kau min-ta juga aku tidak
sudi tinggal lebih lama di tempatmu yang busuk ini!"
Tak terduga, selagi badannya masih mengapung di atas
udara, tiba-tiba terdengar suara "cit-cit" yang ramai disertai
ge-merdepnya sinar emas, secomot jarum yang halus tahutahu
berhamburan ke arahnya.
Karena badan masih terapung, pula pengaruh tenaga
pukulan Su Pek-to tadi, belum lagi Kim Tiok-liu sempat
mengambil posisi yang baik dan tahu-tahu sudah diserang
dengan senjata rahasia, keruan sukar baginya untuk
menghindar, terpaksa ia mengebaskan lengan baju
sekenanya, walaupun demikian dua batang jarum tetap
mengenai tubuhnya.
Bwe-hoa-tjiam, senjata rahasia jarum adalah jenis Am-gi
yang paling halus, yang diincar adalah Hiat-to. Hiat-to Kim
Tiok-liu tidak terkena jarum itu, maka ia mengira tidak
menjadi soal. Tidak terduga, baru saja kakinya menyentuh
tanah, mendadak badannya terasa gatal dan pegal. Rupanya
Bwe-hoa-tjiam yang mengenai tubuhnya itu bukan jarum
biasa, tapi adalah jarum berbisa.
Kim Tiok-liu menjadi gusar. "Siapa yang melepaskan
senjata gelap" Kalau berani keluarlah bertempur dengan aku!"
tantangnya. Belum lenyap suaranya, seorang dengan nada dingin men-
Bwab, "Kim Tiok-liu, lebih baik kau bersiap-siap menunggu
ajalmu saja, aku tiada tempo buat mengiringi permainanmu!"
Ketika Kim Tiok-liu memperhatikan orang yang bersuara li
antara gerombolan sana, kiranya pembicara itu adalah Hotoanio,
mak inang Tjiok Hek-koh.
"Huh, hanya jarum sekecil ini saja bisa mengapakan diriku?"
jengek Kim Tiok-Iiu. Segera ia memutar pedangnya
mener-jang ke tengah musuh, yang diburu adalah Ho-toanio.
Anak buah Liok-hap-pang mana mampu menahan ilmu
pedang Kim Tiok-liu yang lihai, maka terdengarlah jeritan
ngeri susul-menyusul, dalam sekejap saja belasan orang
sudah dirobohkan. Untung Kim Tiok-liu tidak bermaksud
banyak membunuh orang, maka orang-orang itu hanya
tertusuk bagian tertentu saja dan tidak sampai binasa.
Kejut Ho-toanio tidak kepalang, pikirnya. "Aku punya' Bwehoa-
tjiam adalah Am-gi yang sangat lihai yang kurendam
dengan lima macam racun, jauh lebih lihai dari racun yang kuminumkan
mereka di dalam teh tempo hari, tapi bocah ini
ternyata tidak keracunan tampaknya, memangnya dia punya
badan kebal?"
la sudah merasakan lihainya Kim Tiok-liu, ia sudah kapok
dan tidak berani menyambut serangan Kim Tiok-liu, baru
sekali dua gebrak saja ia lantas menyingkir. Pada saat itulah
Su Pek-to sudah memburu tiba, serunya lantang, "Kim Tiokliu,
kita belum selesai tadi, kalau berani janganlah kau lari!"
Sesudah mendesak mundur Ho-toanio, tiba-tiba Kim Tiokliu
merasa matanya berkunang-kunang, kepala pun rada
pusing. Kiranya Hou-de-sin-kang (ilmu sakti pelindung badan)
yang dikuasai Kim Tiok-liu hanya sanggup mengulur waktu
bekerjanya racun, tapi tidak dapat memunahkan racun yang
sudah menyusup ke dalam tubuh. Sebab itulah, jika
menghadapi lawan yang lemah masih dapat dia layani, tapi
sekarang melayani musuh tangguh seperti Su Pek-to tentu
saja tidak sanggup.
Cepat Kim Tiok-liu menguatkan semangatnya, sahurnya
dengan tertawa. "Jika kau mampu bolehlah kejar ke sini!"
Untuk mengerahkan tenaga murni buat menahan
menyusupnya racun lebih dalam, dengan sendirinya Ginkang
Tiok-liu menjadi terpengaruh.
Betapa lihainya Su Pek-to, sekilas pandang saja ia lantas
mengetahui keadaan Kim Tiok-liu itu, tanyanya kepada Hotoanio,
"Apakah bocah itu telah kena senjata rahasiamu?"
"Benar," sahut Ho-toanio. "Dia telah kena jarumku, tadi aku
juga.....!"
Dia seperti ingin bicara apa-apa lagi, tapi Su Pek-to sudah
Itlantas bergelak tertawa dan berkata, "Bagus, biar kubekuk
dulu bocah ini. Malam ini sekali-kali tidak boleh dia lolos lagi."
Sem-ibari bicara ia terus mengudak ke arah Kim Tiok-liu
sehingga ^Ho-toanio ketinggalan di belakang.
"Dalam waktu singkat rasanya Su Pek-to tak mampu
menyusul aku, tapi setengah jam lagi mungkin aku tidak
sanggup Bertahan lagi," demikian pikir Kim Tiok-liu. Segera ia
berseru dengan menggunakan ilmu 'Toan-im-djip-bit'
(memancarkan gelombang suara) dan mengumandangkan
suaranya ke tempat jauh, "Le-toako! Le-toako!"
Rupanya ia menguatirkan keselamatan Le Lam-sing, maksudnya
hendak bergabung dengan dia agar bisa bekerja sama
menghadapi musuh.
Ia mengulangi seruannya dua-tiga kali, tapi tiada jawaban
dari Le Lam-sing.
Dalam pada itu Ho-toanio sudah menyusul dekat, jengeknya,
"Huh, Le lam-sing sudah mampus sejak tadi, boleh kau
menyusulnya ke akhirat saja!"
"Dasar mulut got!" damprat Kim Tiok-liu. "Kau perempuan
bejat ini berani mengutuk Le-toako, sebentar bila kepergok
tentu kubikin perhitungan padamu!"
Ho-toanio menjengek, "Hm, aku sendiri yang membunuh
jrJia, habis kau mau apa" Jika mau bikin perhitungan, hayolah
se-Ikarang saja! Huh, kau ingin lari saja mungkin tidak mampu
lagi-'" Karena punya sandaran Su Pek-to, ia menjadi tabah dan


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ti-lak gentar terhadap Kim Tiok-liu.
Sudah tentu Kim Tiok-liu tidak gampang dipancing, ia batas
memaki, "Buat apa kau buru-buru, akan kucatat utangmu ini,
kelak akan kubereskan dengan kau!"
Walaupun Kim Tiok-liu tidak percaya pada ocehan Hotoanio,
tapi karena tiada mendapat sahutan Le Lam-sing tadi,
mau tak mau ia merasa kuatir juga. Ia pikir apakah mungkin
dalam waktu sesingkat itu Le Lam-sing sudah sempat lari jauh
sehingga tidak mendengar suaranya"
Dalam pada itu kepala Kim Tiok-liu bertambah pening, ia
coba menghimpun semangatnya, waktu menoleh, Su Pek-to
dan Ho-toa-nio tampak sudah makin mendekat. Tiok-liu
menduga dirinya tak bisa bertahan terlalu lama lagi, ia heran
mengapa bala bantuan Kay-pang belum muncul. Untuk
sementara harus mencari akal untuk menghindarkan kejaran
musuh. Saat itu ia sudah berlari sampai di jalanan kota, dengan
mengumpulkan tenaga sekuatnya ia melompat ke atas rumah
penduduk, beberapa kali loncatan tibalah ia di suatu
persimpangan, di situlah ia melompat turun, lalu menyelinap
ke suatu gang yang sepi.
Mendadak kehilangan jejak Kim Tiok-liu, Su Pek-to hanya
bergelak tertawa malah, katanya, "Tentu racun di tubuh bocah
itu sudahi mulai bekerja, merasa tidak kuat berlari lebih jauh
lagi, maka dia lantas bersembunyi. Baiklah, akan kutangkap
dia seperti menangkap kura-kura di dalam genteng."
Namun ia pun kuatir Kim Tiok-liu menyergapnya secara
mendadak dari tempat persembunyiannya, maka ia lantas
menghentikan langkah, pikirnya menunggu kedatangan anak
buahnya untuk kemudian sekitar jalan situ akan dikepung dan
digeledah. Tidak lama kemudian datanglah berturut-turut Ho-toanio,
Djing-hu Todjin, Wan-hay dan Tang Tjap-sah-nio. Segera Su
Pek-to mengatur ketiga Hiangtju itu mengadakan pencarian.
Ia sendiri teringat sesuatu, ia bertanya pada Ho-toanio, "Apa
yang kau ucapkan benar-benar terjadi atau cuma untuk
menggertak saja?"
Dengan tertawa Ho-toanio menjawab, "Meski aku bukan
tandingan Kim Tiok-liu, tapi kemampuan membunuh Le Lamsing
masih ada. Pangtju tidak perlu sangsi, dengan mataku
sendiri kusaksikan dia sudah mati."
Tapi Su Pek-to masih ragu-ragu. katanya, "Dia membawa
Hian-tiat-pokiam, cara bagaimana kau bisa membunuh dia?"
Ia pikir kalau benar nenek itu membunuh Le Lam-sing,
mengapa meski bilang menyaksikan kematian pemuda itu. Kan
rada-rada tidak masuk diakal"
Ho-toanio menjawab, "Begini terjadinya, aku bersembunyi
di tempat gelap dan secara tiba-tiba kuserang dia dengan tiga
macam senjata rahasia, ia telah kena sebuah Tau-kut-ting dan
sebuah Hu-kui-kian. Baik paku maupun anting-anting yang kusambitkan
itu semuanya berbisa. Sesudah terkena senjata
rahasiaku, ia tidak sanggup melawan aku lagi, aku mendesak
dia ke fepi sungai dan baru hendak kuhabiskan nyawanya,
mendadak ia Sendiri terjun ke dalam sungai. Mungkin ingin
mati dengan ma-at sempurna. Hehe, Lwekang bocah she Le
itu tidak sehebat im Tiok-liu, pula sudah terkena senjata
rahasiaku yang berbisa, i tengah sungai yang berarus deras
itu, biarpun punya nyawa gkap juga akan tamat riwayatnya."
"Dan bagaimana dengan Hian-tiat-pokiam yang dia ba-a?"
tanya Su Pek-to.
"Bersama orangnya sudah tenggelam ke dasar sungai,"
saut Ho-toanio.
"Sayang sekali pedang pusaka itu tenggelam, sukar lagi
dicari," ujar Su Pek-to dengan rasa gegetun, tapi juga mereka
se-ang, sebab kematian Le Lam-sing tentu tidak pernah
disang-fcan lagi bila pemuda itu benar terjun ke dalam sungai
dengan embawa serta pedang yang berat itu.
Selagi bicara, tiba-tiba terdengar suara tanda bahaya yang
itiup oleh anak buah Liok-hap-pang dari jurusan timur sana.
Su fek-to terkejut, katanya, "Siapakah yang berani mencari
perkara aku. Lekas pergi bertanya!" Tapi tanpa pergi
bertanya, orang yang melaporkan sudah Mang, "Celaka,
Pangtju, orang Kay-pang menyerbu kemari di-Smpin oleh
sepasang pemuda-pemudi, yang pemuda memakai pedang
berhawa dingin, setiap orang yang tersentuh pedangnya
lantas menggigil tak bisa berkutik. Yang perempuan juga
sangat lihai, senjata rahasia jarum yang dia taburkan
semuanya berbisa, tidak sedikit kawan kita yang sudah
terluka. Keadaan rada gawat, harap Pangtju lekas kembali ke
sana!" Kejut dan girang pula Ho-toanio, katanya, "Tentu mereka
adalah Hek-koh dan bocah she Tan itu."
"Hahaha, jika begitu kedatangan mereka menjadi
kebetulan," seru Su Pek-to dengan gelak tertawa. "Kau tidak
perlu menyesal karena gagal menjadi comblang, biarlah aku
sendiri pergi meminangnya."
Rupanya apa yang terjadi di kota Tjelam atas diri Tjiok
Hek-koh dan Tan Kong-tjiau sudah dilaporkan oleh Tang Tjapsah-
nio kepada Su Pek-to. Begitulah ia lantas putar balik ke
markas sendiri untuk menghadapi serbuan Kay-pang dan
berusaha menangkap hidup-hidup Tjiok Hek-koh. Hanya Bun
To-tjeng yang ditinggalkan untuk memimpin pencarian Kim
Tiok-liu. Kembali kepada Kim Tiok-liu yang bersembunyi di suatu
gang yang sepi, ketika terdengar suara riuh pengejarpengejar-
nya, ia menjadi kuatir. Pada saat itulah mendadak
dari suatu po-jokan muncul seorang terus mencengkeramnya.
Tiok-liu terkejut, baru saja ia hendak menggunakan Kimna-
djiu-hoat untuk balas menangkap lawan, mendadak orang
itu membisikinya. "Jangan gugup, akulah adanya!"
Baru sekarang Kim Tiok-liu melihat jelas orang itu, ia
menjadi kegirangan dan berkata, "Kiranya kau, Li-toako.
Bagaimana kau pun berada di sini?"
Kiranya orang itu adalah Li Tun, ia menjawab, "Aku sengaja
datang memberi bantuan padamu. Lekas ikut padaku, nanti
kita bicarakan di dalam sana."
Saat itu masih pagi buta, setiap rumah sunyi senyap dan
tertutup rapat, hanya ada sebuah rumah tampak membukakan
pintu. Yang membuka pintu bukan lain daripada tunangan Li
Tun, yakni Ho Djay-hong.
Memasuki rumah itu, Tiok-liu berkata, "Sebentar orangorang
Liok-hap-pang pasti akan mengadakan penggeledahan,
bersembunyi di sini juga bukan tempat yang aman."
"Jangan kuatir, aku punya jalan yang baik," ujar Li Tun
tertawa. Ia memindahkan sebuah gentong air yang besar, di bawah
I gentong besar itu ada balok batu, ketika balok itu digeser,
tertampaklah di bawahnya sebuah liang yang gelap.
"Jalanan di bawah tanah ini menembus jalan raya pintu
timur kota," kata Li Tun. "Sekalipun tempat ini digeledah juga
jalan rahasia ini takkan diketemukan."
Dengan membawa sebuah lentera kerudung, Ho Djay-hong
berjalan di depan.
"Kiranya di sini ada pula kamar rahasia, cara bagaimana
[kau memperoleh tempat sebaik ini?" tanya Tiok-liu dengan
tertawa. "Tempat ini sudah kuatur sejak dahulu," tutur Li Tun. "Te-i
rus terang, kembaliku ke Yangtjiu kali ini bermaksud menolong
keluar nona Su, tapi belum ada kesempatan baik bagiku.
Untunglah Li-totju dari Kay-pang biasanya saling memberi
berita, tadi beliau mengirim orang memberi kabar padaku dan
baru kutahu malam ini kau menerjang ke dalam Liok-happang.
Aku .kuatir keselamatanmu, ketika mendengar suara
ramai-ramai segera kuburu ke sini untuk membantu dan benar
saja menemukan kau di sini, sungguh sangat kebetulan."
"Kabarnya nona Su hendak kawin dengan pemuda she Le
itu, bagaimana duduknya perkara ini?" tanya Djay-hong.
"Le-toako adalah saudara-angkatku, Su Pek-to bermaksud
biemperalat dia, maka pura-pura menjodohkan adik
perempuannya kepada Le-toako, tapi sebenarnya cuma suatu
perangkap be-[faka." tutur Tiok-liu.
"Lalu bagaimana keadaan nona Su sekarang?" tanya Djaytiong.
"Ai, nona Su adalah orang baik. jika tiada bantuannya
dahulu terhadap engkoh Tun, tentu kita takkan seperti
sekarang ini."
"Nona Su belum sempat melarikan diri," tutur Tiok-liu.
"Cuma kuduga Su Pek-to tidak sampai membikin susah adik
perempuannya sendiri, sebab ia masih ingin memperalat Anging
untuk mengambil hati Sedjiang Tjiangkun Swe Beng-hiong.
Baiklah kita mencari akal lagi untuk menolongnya."
Sampai di sini ia teringat kepada ucapan Djay-hong tadi
tentang "Seperti sekarang ini", ia coba bertanya. "Apakah
kalian sudah menikah?"
"Banyak terima kasih atas bantuanmu di Tjelam dahulu
sehingga Djay-hong terlepas dari cengkeraman bangsat she
Tjo itu," sahut Li Tun. "Sesudah peristiwa itu, sebulan
kemudian mereka ayah dan anak lantas menemukan diriku.
Cuma sayang kami tidak sempat mengundang kau minum
arak pernikahan kami."
"Selamat selamat! Dan dimanakah ayah mertuamu
sekarang?" tanya Tiok-liu teringat kepada salah sangkanya
dahulu akan hubungan Li Tun dan Su Ang-ing diam-diam Kim
Tiok-liu merasa geli sendiri.
"Ayahnya sekarang berada di Sedjiang, tidak lama lagi aku
pun akan pergi ke sana," tutur Li Tun.
Dan baru saja Kim Tiok-liu hendak bertanya lebih lanjut,
tiba-tiba Li Tun berkata dengan kaget. "He, Kim-toako, apakah
kau terkena racun" Coba lentera itu dekatkan ke sini, Djayhong,
coba kuperiksa."
"Ah, tak perlu diperiksa lagi, hanya jarum berbisa yang tak
berarti saja, aku masih bisa bertahan, marilah kita keluar dulu
dari tempat ini," sahut Kim Tiok-liu.
"Eh, jangan engkau meremehkan jarum sekecil ini," ujar Li
Tun. "Jarum ini adalah Ngo-tok-tjiam (jarum panca bisa)
keluaran Thian-mo-kau. Lekas kau duduk yang tenang, akan
kuo-bati kau. Jika terlambat mungkin akan sukar disembuhkan
dalam waktu singkat."
Melihat Li Tun bicara dengan prihatin, terpaksa Tiok-liu
duduk bersila, sembari mengerahkan Lwekang, segera
membiarkan Li Tun mengadakan penyembuhan baginya.
Lebih dulu Li Tun mencabut keluar jarum berbisa di dalam
daging Kim Tiok-liu dengan bantuan sepotong batu sembrani,
lalu dikeluarkan dari kotaknya sebuah jarum perak halus
panjang, dengan cara penyembuhan 'tusuk jarum' itu. ia
mencocok Hiat-to yang bersangkutan, ketika jarum dicabut,
keluarlah cairan darah hitam kental. Seketika Kim Tiok-liu
merasa badannya menjadi segar.
Li Tun merasa lega, katanya, "Untung Lwekangmu sangat
kuat sehingga sembuhnya juga begini cepat. Apakah kau
masih ingat apa yang kukatakan di atas Tji-lay-san dahulu"
Waktu itu kau tidak sudi mempelajari isi Pek-tok-tjin-keng
milik Thian-mo-kau, kukatakan bukan maksud kita akan
menggunakannya untuk membikin celaka sesamanya, tapi
kalau sudah mahir menguasai isi kitab itu akan banyak
manfaatnya bagi kita. Sama 'halnya semacam senjata, kalau
senjata itu berada di tangan orang jahat akan membantu
kejahatannya, tapi kalau berada di tangan orang baik tentu
akan berguna untuk menolong sesamanya."
"Benar juga ucapanmu itu," sahut Tiok-liu tertawa. "Tapi
sama saja bagiku bila engkau yang menguasai isi kitab itu. O
ya, bicara menolong orang, aku menjadi teringat kepada
seorang temanku yang harus minta pertolonganmu. Dia punya
tunangan kena diracuni orang, racun itu baru akan bekerja
tiga bulan kemudian. Apakah kau dapat menyembuhkannya?"
Li Tun terkejut, katanya, "Kepandaian menggunakan racun
waktu hanya dimiliki tokoh-tokoh Thian-mo-kau saja. Apakah
orang yang memberi racun adalah nenek iblis she Ho itu?"
"Benar, memang dia," sahut Tiok-liu. "Dia adalah bekas
pelayan Le Seng-lam dahulu, jarum yang mengenai diriku juga
disambitkan olehnya. Kiranya kau pun tahu dia?"
"Tadi malahan aku sudah melihat dia, cuma dia tidak
melihat aku. Kutahu dia pasti akan meminta Pek-tok-tjin-keng
padaku, maka aku sengaja menghindari dia."
Tergerak hati Kim Tiok-liu, cepat ia menegas, "Dimana kau
melihat dia" Selain dia apakah masih ada orang lain lagi?"
"Di tepi sungai seberang jalan sana," sahut Li Tun. "Dia
sedang bertempur dengan seorang. Orang itu terdesak jatuh
ke dalam sungai, aku sembunyi di tempat yang agak jauh
sehingga tidak sempat berbuat apa-apa. Aku pun sadar bukan
tandingan nenek keparat itu, terpaksa aku menghindari dia."
"Macam apakah orang itu" Bukankah dia bersenjatakan
pedang?" tanya Tiok-liu dengan kuatir.
"Kurang jelas. Cuma dari sinar mengkilat yang terpancar
dalam kegelapan tampaknya seperti pedang."
"Wah celaka!" keluh Tiok-liu.
"Ada apa" Siapakah orang itu?" tanya Li Tun kuatir.
"Dia adalah saudara angkatku yang bernama Le Lam-sing
itu. Pedang yang dia bawa adalah Hian-tiat-pokiam yang tiada
bandingannya di jagad ini."
"Apakah saudara-angkatmu itu tidak mahir berenang?"
tanya Li Tun. Seketika Kim Tiok-liu merasa berkurang rasa kuatirnya,
jawabnya, "Seperti diriku, Le Lam-sing juga dibesarkan di kepulauan
yang dikelilingi laut. Kuyakin kepandaiannya bermain
di dalam air tidak kalah daripada diriku."
"Arus sungai itu hanya di bagian tertentu saja agak deras,
di bagian hilir air sangat tenang, apalagi kedua tepi yang
berdekatan dengan kota seringkah berlabuh kapal-kapal besar
saudagar. Asalkan Le-toako itu tidak terluka parah, dengan
kemahiran berenangnya mungkin takkan mengakibatkan
kematian baginya. Sepulangnya kita ke markas Kay-pang,
dapat kita minta bantuan Li Bo untuk mencarinya."
Tapi yang dikuatirkan Kim Tiok-liu adalah Hian-tiat-pokiam
yang dibawa Le Lam-sing itu sangat berat. Ia pikir Le-toako
tentu tidak bodoh, pada saat gawat tentu dia akan membuang
pedangnya untuk menyelamatkan diri.
"Ada berita apa dari Kay-pang" Bala bantuan yang akan
mereka kirim entah sudah datang belum?" tanya Tiok-liu
kemudian. "Menurut penghubung yang dikirim Kay-pang. katanya


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sudah siap menyerbu melalui pintu timur untuk
menerjang jalan belakang Liok-hap-pang. Lewat tengah
malam segera mereka bergerak."
"Ai, kenapa aku begini bodoh," tiba-tiba Tiok-liu mengetok
kepala sendiri karena teringat sesuatu. "Memang aku sudah
berjanji dengan mereka, jika lewat tengah malam aku tidak
kembali, kuminta mereka boleh lantas bergerak."
"Tempat keluar jalan rahasia ini tepat di ujung pintu timur
sana," kata Li Tun.
Seketika Kim Tiok-liu melompat bangun, serunya, "Baik,
lekas kita berangkat ke sana agar mereka tidak cemas."
Saat itu anak buah Kay-pang sedang melakukan pertemtouran
seru dengan pihak Liok-hap-pang. Belum sampai
mereka penyerbu markas besar Liok-hap-pang, di tengah jalan
sudah kepergok oleh rombongan Su Pek-to yang keburu
memutar balik. "Li Bo, aku sengaja membiarkan Kay-pang kalian membuka
cabang di Yangtjiu, selama ini kita hidup berdampingan sebara
tenteram, kenapa sekarang kau berani mengusik pihakku?"
bentak Su Pek-to begitu berhadapan dengan Li Bo.
"Kau bersekongkol dengan pihak penguasa dan menindas
rakyat kecil, sudah lama aku hendak mencari kau untuk
membikin perhitungan," Li Bo balas membentak. "Sekarang
kau memasang perangkap hendak bikin susah Le-kongtju dan
Kim-siau-hiap lagi. Kedua pemuda itu adalah sahabat baik
Kay-pang, maha boleh kutinggal diam tanpa ikut campur" Jika
kau ingin damai, hayolah lekas lepaskan kedua sahabat baik
kami itu."
Su Pek-to bergelak tertawa, jawabnya, "Kau ini barang apa
sehingga berani bicara sama derajat dengan aku" Biasanya
aku puma memberi sedikit penghargaan padamu mengingat
Tiong-feangtju kalian, tapi kau lantas mendapat hati dan
berani main gila padaku" Baik, kukatakan terus terang
padamu, Le Lam-sing dan Klm Tiok-liu sudah kubunuh semua,
jika perlu boleh kau menyusul mereka ke akhirat."
Li Bo adalah murid Kay-pang kantong delapan, di dalam
Kay-pang terhitung tokoh yang berkedudukan cukup tinggi,
tapi kalau dibandingkan Su Pek-to memang masih terpaut
jauh. Belum mendekat, Su Pek-to sudah lantas melancarkan
pukulan dari jauh. Hanya pukulan dari jauh ini saja Li Bo
sudah tidak tahan, seketika dadanya terasa sesak seperti
digodam, namun begitu Li Bo tetap pantang mundur.
Baru saja Su Pek-to hendak menghabisi jiwanya,
sekonyong-konyong sinar dingin berkelebat dari samping, Tan
Kong-tjiau menusuk dengan Peng-pok-han-kong-kiam yang
lihai sambil membentak, "Bukankah kalian hendak menuntut
balas padaku, nah, sekarang aku sudah datang sendiri."
Lwekang Su Pek-to sangat tinggi, sudah tentu hawa dingin
Han-kong-kiam tidak dapat melukainya, hanya membuatnya
merasa dingin saja. Ia terkejut dan girang pula, pikirnya, "Aku
kehilangan Hian-tiat-pokiam, kebetulan dapat kurebut pedang
ini sebagai gantinya."
Segera ia mengincar dengan baik, sekali jarinya menyentik,
"ering", pedang Tan Kong-tjiau itu diselentik pergi.
Seketika Kong-tjiau merasa tangannya pegal, terasa pula
panas dan dingin berkecamuk seperti di musim panas
mendadak direndam di dalam kolam air es, tanpa kuasa Kongtjiau
menggigil sendiri.
Kiranya selentikan Su Pek-to itu telah menolak kembali
hawa dingin yang terpancar dari Peng-pok-han-kong-kiam,
hingga menyerang Tan Kong-tjiau sendiri.
Su Pek-to tertawa senang, katanya "Bisa berbuat apa
pedangmu ini padaku" Lebih baik kau berikan saja padaku
daripada tak sesuai bagimu." Berbareng ia terus menubruk
maju, segera ia hendak mencengkeram pedang Kong-tjiau itu.
Hanya sekali gebrak saja Kong-tjiau sudah kecundang, mau
tak mau timbul penilaian rendah Su Pek-to terhadap Kong
Tjiau. Tak terduga meski Lwekang Kong-tjiau tidak dapat
menandinginya, tapi dia masih mempunyai kepandaian
simpanan lain. Ketika Su Pek-to mengulurkan tangan, Kongtjiau
lantas membentak, "Jika mampu boleh coba ambil!"
Mendadak sinar pedang gemerlapan, seketika Su Pek-to
tidak tahu darimana datangnya serangan pedang Kong-tjiau
itu. Sekonyong-konyong Su Pek-to merasa beberapa Hiat-to
tertentu terasa diserang hawa dingin, keruan ia terkejut, ia
tidak berani ^mencengkeram lebih lanjut, cepat ia memukul
untuk mendesak mundur Kong-tjiau.
Kiranya ilmu pedang Kong-tjiau itu adalah ajaran Pengtjoan
Thian-li yang belum pernah dikenal Su Pek-to, lantaran
terlalu memandang enteng lawannya sehingga hampir ia
termakan. Untung tenaga dalam Su Pek-to sangat tinggi,
cepat ia me-nutup Hiat-to dan menjalankan hawa murni,
dalam sekejap saja pawa dingin yang menyusup ke dalam
tubuhnya telah dipunahkan semua.
Dalam pada itu belum lagi Kong-tjiau sempat berdiri tegak
karena tenaga pukulan lawan tadi, dengan cepat sekali Su
Pek-to udah menubruk maju lagi.
Sekarang Su Pek-to tidak berani memandang enteng laannya
ia menyerang dengan hebat, hanya beberapa jurus saja
Kong-tjiau sudah terdesak dan kelabakan. Mendadak Su Pekto
melihat suatu kesempatan, ia membentak, "Lepas
pedangmu!" Berbareng ia terus mencengkeram tulang pundak
lawan. Dalam keadaan demikian, kalau Kong-tjiau ingin memper-
|fahankan pundak dan lengannya terpaksa ia harus memutar
pe-"ang untuk menangkis. Padahal Su Pek-to sudah siap
dengan seangan susulan yang seketika dapat merampas
pedangnya itu. Tampaknya Kong-tjiau pasti akan terjebak tipunya, tahuahu
pandangan Su Pek-to menjadi silau oleh berhamburnya
ama-warni, seutas ular panjang mendadak memagut ke arahfea.
Keruan ia terkesiap dan tidak tahu senjata aneh apakah
yang enyerangnya ini"
Sebelum tahu jelas apa senjata aneh itu, terpaksa ia hanya
menghindar saja. Namun begitu toh tidak urung punggungnya
tersabet juga oleh senjata berwarna-warni itu.
Sesudah diperhatikan, baru diketahui bahwa orang yang
datang membantu Kong-tjiau itu adalah seorang 'gadis cantik',
seketika rasa gusar Su Pek-to buyar, katanya dengan tertawa,
"Eh, kiranya nona Hek-koh bukan" Apakah kau tahu siapa
aku" Ho-toanio, coba ke sini....." Belum selesai ucapannya, tibatiba
punggungnya terasa gatal luar biasa sehingga terpaksa ia
menggeliat dan ingin menggaruk.
Kong-tjiau tertawa geli, katanya kepada Hek-koh, "Adik
Hek, sungguh tidak nyana dia masih mempunyai kepandaian
memainkan joget monyet."
Kiranya senjata Tjiok Hek-koh itu disebut 'Kim-tjoa-sok' (tali
ular emas), senjata berbentuk ular yang terbuat dari logam,
ujung kepala yang mirip ular itu tersimpan obat bubuk, siapa
saja yag terkena bubuk obat itu seketika akan terasa gatal tak
kepalang dan dengan sendirinya tidak punya semangat buat
bertempur lebih lama. Jika tiada obat pemunah yang tepat,
maka bagian yang kena obat bubuk itu akan membusuk dalam
waktu tiga hari dan akhirnya orangnya akan binasa.
"Jangan kuatir Pangrju, aku punya obat pemunahnya!" seru
Ho-toanio. Su Pek-to merasa lega, ia pikir bocah ini harus kubereskan
dulu, nanti saja kuminta obat kepada Ho-toanio. Dasarnya dia
memang seorang yang sok gagah, sambil menahan rasa gatal
ia malah bergelak tertawa dan berkata, "Hanya sedikit racun
saja bisa berbuat apa padaku" Biar kau kenal dulu
kelihaianku!" Habis berkata, segera ia melontarkan pukulan
yang dahsyat. Pedang Kong-tjiau tergoncang ke samping,
bahkan Kong-tjiau sendiri-pun tergetar mundur sempoyongan.
Lekas Hek-koh maju membantu pula, tapi sekali ini Su Pekto
sudah siap sedia. Begitu 'Kim-tjoa-sok' disabetkan oleh Hekkoh,
segera ia mengibaskan lengan baju untuk melibat tali ular
itu sambil mengejek, "Bagus juga senjatamu ini, berikan saja
padaku!" Sekali terlibat, Tjiok Hek-koh tidak kuat menguasai
senjatanya lagi, seketika Kim-tjoa-sok terbetot lepas.
Menyusul Su Pek-to lantas melancarkan pukulan dahsyat
untuk memaksa Tan Kong-tjiau menyingkir, dengan demikian
Kong-tjiau dan Hek-koh menjadi terpisah.
Cepat Ho-toanio memburu maju, seru Su Pek-to, "Eh,
bujuklah nonamu ini, mana boleh dia berkelahi dengan aku,
kan lucu namanya!"
Tjiok Hek-koh menjadi gusar, dampratnya, "Kurangajar,
kau mengoceh apa?"
Ho-toanio lantas merintangi Hek-koh, katanya dengan
tertawa, "Siotjia, barangkali kau belum tahu. Orang yang
pernah kubicarakan padamu adalah Su-pangtju ini. Kelak
kalian akan menjadi suami-istri, mana boleh kalian berkelahi
sendiri?" "Siapa sudi menjadi suami-istri dengan dia," damprat Hekkoh.
"'Jika kau suka boleh kau kawin sendiri dengan dia."
"Ai, usiaku sudah selanjut ini, biarpun aku mau pasti dia
lidak sudi," sahut Ho-toanio tertawa. "Siotjia, selama ini
kuanggap kau seperti anak kandungku sendiri, kenapa kau
tidak membiarkan hidupku selanjutnya rada bahagia sedikit.
Rasanya juga bidak merugikan kau, jika kau mendapatkan
suami seperti Su-pangtju."
Saat itu Kong-tjiau sedang dilabrak oleh Su Pek-to,
keadaannya rada runyam tapi Hek-koh tak berdaya karena
dirintangi Ho-toanio. Saking gusarnya terpaksa ia mengancam,
"Toanio, ludimu akan kubalas dengan caraku sendiri, tapi
kalau kau me-feiaksa aku menjadi istri bangsat she Su ini, hm,
sekali-sekali ti-Bak bisa. Nah, jika kau mendesak lagi, terpaksa
aku pun tidak lenai lagi padamu."
Ho-toanio sengaja berlagak menyesal, katanya "Ah, terpyata
kau tidak dapat memahami maksud baikku. Sekarang
kau ?udah besar dan tidak mau mendengar nasehat mak
inang lagi, ya, apa yang dapat kukatakan. Cuma jangan kau
lupa, tujuh hari lagi racun dalam badanmu akan kambuh,
untuk itu kau masih memerlukan obat pemunah dariku."
Dengan mendongkol Hek-koh menjawab, "Memang kaulah
yang membesarkan aku, paling-paling kuserahkan kembali
jiwaku ini padamu, juga tidak sudi aku mengemis obat
pemunah segala."
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar seorang
memuji, "Betul nona Tjiok jangan takut terhadap gertakannya.
Kukira masih ada orang lain mampu memunahkan racun yang
dia berikan padamu."
Dari suaranya itu segera Tjiok Hek-koh kenal siapa
pembicara itu, keruan ia kegirangan, sebaliknya kaget Hotoanio
tidak kepalang, kiranya Kim Tiok-liu sudah tiba.
Baru saja Ho-toanio bermaksud lari, tertampak sesosok
bayangan melayang ke hadapannya.
"Keparat, biar aku mengadu jiwa padamu!" bentak Hotoanio
dengan nekat. Sepuluh jarinya bagaikan cakar burung
terus mencengkeram, sepuluh kuku jarinya yang panjang itu
terendam semua oleh air racun.
"Hm, kematianmu sudah di depan mata, kau masih berani
membikin susah orang lain!" jengek Kim Tiok-liu, berbareng
pedangnya lantas menyambar. Sungguh indah dan tepat
sekali tebasan pedangnya kontan kesepuluh kuku jari Hotoanio
tertebas kurung hingga hampir rata sampai akarnya.
"Ampuni dia Kim-tayhiap!" teriak Tjiok Hek-koh.
Kontan Kim Tiok-liu mengangkat kakinya Ho-toanio
ditendangnya hingga terguling, dampratnya "Kau perempuan
siluman ini benar-benar lebih jahat daripada germo yang
memeras anak piaraannya. Mengingat permintaan ampun
nona Tjiok, aku hanya mengurungi kukumu yang berbisa ini.
Jika kau masih tidak mau insyaf dan tetap mau membikin
susah nona Tjiok, lain kali pasti akan kupenggal kepalamu."
Cepat Ho-toanio merangkak bangun, kalau bisa ia ingin
punya empat kaki, terbirit-birit ia berlari kembali ke markas
Liok-hap-pang, mana dia berani menanggapi ancaman Kim
Tiok-liu tadi. Dengan cepat luar biasa begitu Ho-toanio digebah lari,
segera Kim Tiok-liu melompat ke hadapan Su Pek-to.
Saat itu Su Pek-to sedang mengangkat sebelah tangannya
hendak menabok ke atas kepala Kong-tjiau, tiba-tiba nampak
sinar pedang berkelebat, Kim Tiok-liu menabas pinggangnya
terpaksa Su Pek-to menarik kembali pukulannya kepada Kongtjiau
sambil mengegos ke samping.
"Tan-toako," seru Tiok-liu. "Silakan kau dan nona Tjiok
pergi membantu kawan-kawan kita dari Kay-pang, biar aku
sendiri yang menjajal Su-toapangtju ini."
Kong-tjiau memangnya sudah kepayahan setelah matimatian
melawan Su Pek-to sekian lamanya ia pun sadar tidak
bisa memberi bantuan apa-apa kepada Kim Tiok-liu, terpaksa
ia menurut ucapan Kim Tiok-liu itu dan mengundurkan diri.
"Hahaha Su-toapangtju, bukankah kau sengaja mencari aku
buat menentukan siapa yang lebih unggul" Nah, lekaslah
maju. Hayo, biar aku mengalah tiga jurus padamu!" seru Tiok-
I liu lengan bergelak tertawa.
Dalam batin Su Pek-to sangat terkejut, ia pikir bocah ini
benar-benar luar biasa. Sudah terang tadi dia terkena jarum
berbisa Ho-toanio dan tampak rada payah, sebab itulah tadi
dia tidak berani bertempur dengan aku. Mengapa selang
sebentar saja | dia sudah pulih seperti tidak terjadi apa-apa.
Tapi sebagai seorang Pangtju, sudah tentu ia tidak mandah
diolok-olok oleh Kim Tiok-liu di depan orang banyak, kontan ia
balas membentak, "Kurangajar, kau adalah jago yang sudah
keok di bawah tanganku, siapa minta kau mengalah padaku?"
"Aku kan cuma menimbang kekuatanmu sudah banyak
berkurang sesudah bertempur sekian lamanya dengan Tantoako,
aku tidak bisa mengambil keuntungan demikian ini,
maka aku harus mengalah tiga jurus padamu," kata Tiok-liu.
Gusar sekali Su Pek-to, bentaknya. "Baik. boleh coba kau
mengalah. Mungkin kau harus menjilat kembali ludahmu
nanti!" Segera ia mengerahkan tenaga dalam, sekaligus ia
terus menghantam dengan kedua telapak tangannya.
"Ai, keji amat!" seru Tiok-liu sembari menggeser ke
samping dengan langkah sempoyongan, tampaknya
langkahnya itu lambat, tapi mendadak ia berjumpalitan lewat
di sebelah bawahnya.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tadinya orang lain menduga pukulan Su Pek-to itu pasti
akan mengenasi sasarannya, tak terduga ujung baju Kim Tiokliu
saja tidak tersenggol. Sebaliknya sesudah berdiri tegak lagi,
Kim Tiok-liu lantas mengejek dengan tertawa, "Sungguh lihai!
Tapi untung tidak kena!"
Kong-tjiau merasa lega dan baru tahu Kim Tiok-liu sengaja
mempermainkan Su Pek-to. Dalam pada itu kedua pihak
sudah terlibat dalam pertempuran sengit. Orang Liok-happang
jauh lebih banyak daripada anak buah Kay-pang
sehingga keadaan rada terdesak. Terpaksa Kong-tjiau dan
Hek-koh berlari ke sana untuk membantu pihak Kay-pang.
Dalam pada itu, karena serangan pertama tidak kena,
pukulan kedua dan ketiga susul menyusul dilancarkan lagi oleh
Su Pek-to. Tenaga pukulan susul menyusul itu benar-benar
sangat dahsyat, namun tetap tak bisa mengenai Kim Tiok-liu,
sebaliknya mendadak bayangan Kim Tiok-liu memenuhi
sekelilingnya. Keruan Su Pek-to kaget dan tidak tahu dari arah
mana lawannya akan menyerang, lekas ia menarik kembali
tangannya untuk membela diri.
Tiba-tiba ia merasa tengkuknya silir dingin, kiranya Kim
Tiok-liu mengitar ke belakang dan meniupkan hawa padanya.
Sungguh gusar Su Pek-to tak terkatakan, bentaknya murka,
"Bangsat cilik, berani mempermainkan aku!" Tangannya
kembali memukul, meski belum sampai tubuhnya memutar,
namun tempat yang diserang selalu bagian yang mematikan di
tubuh Kim Tiok-liu.
Karena jarak kedua orang teramat dekat, sekalipun Kim
iTiok-liu cukup gesit menghindar, "bret", tidak urung bajunya
terobek juga. Berturut-turut Kim Tiok-liu menghindar tiga kali serangan,
meski tidak sampai terluka, namun juga sudah berkeringat, ia
pikir tidak boleh lagi sok aksi dan sudah waktunya melayani
lawan dengan sungguh-sungguh. Segera ia melolos pedang,
katanya dengan tertawa, "Su-toapangtju, sudah cukup aku
mengalah tiga I jurus, ada ubi ada talas, sudah diberi harus
membalas. Sekarang aku tidak mengalah lagi."
Dari malu Su Pek-to tambah murka, ia berjingkrak seperti I
singa luka, segera ia menerjang lagi. la tidak tahu juga
kemurkaannya inilah yang diminta Kim Tiok-liu, di saat musuh
sudah Hcalap, Tiok-liu justru menggunakan Thian-lo-poh-hoat
yang lin-fcah untuk main kucing-kucingan dengan lawan,
seperti kupu-kupu menari saja ia menyelinap kian kemari di
sisi Su Pek-to. [pedangnya juga tidak tinggal diam, sebentar
menabas, lain saat menusuk, yang diarah selalu tempat
mematikan di tubuh Su Pek-to.
Keadaan Su Pek-to sekarang sama halnya dengan seperti
[Kim Tiok-liu pada pertarungan pertama tadi, karena terkena
racun gatal dari Kim-tjoa-soknya Tjiok Hek-koh sehingga
perha-iian Su Pek-to terpencar, maka daya tahannya juga
berkurang, bedanya tadi Kim Tiok-liu cukup tahu diri, ia lantas
menghindarkan pertarungan lebih lama, sebaliknya sekarang
Su Pek-to terlalu kepala batu, ia sengaja menyerang dengan
lebih kalap. Di tengah sambaran angin pukulan dan berdesingnya
pelangnya, terkadang Su Pek-to mesti berjingkrak dan
membungkuk sembari menggeliat, lagaknya sangat lucu.
Kiranya obat bubuk yang ditaburkan oleh Tjiok Hek-koh di
atas punggungnya itu sudah terserap ke dalam kulit dan melimbulkan
rasa gatal yang aneh. Hal inilah yang membuat Su
iek-to tidak tahan, celakanya ia mesti menghadapi Kim Tiok-liu
|engan sepenuh tenaga sehingga tidak sempat mengerahkan
Lwekang untuk menolak serangan racun itu.
"Hahaha, singa ngamuk sekarang berubah menjadi joget
monyet!'* ejek Kim Tiok-liu dengan tertawa. "Eh, apakah kau
masih ingin meneruskan pertarungan ini?" Meski mulutnya
menyatakan jangan meneruskan pertarungan ini, namun
pedangnya berbalik menyerang dengan lebih gencar dan lebih
lihai. Ketiga Hiangtju yang diandalkan Su Pek-to serta Bun Totjeng
saat ini masih sibuk mencari Kim Tiok-liu di kota barat,
tak tahunya Kim Tiok-liu sekarang sudah berada di timur dan
sedang melabrak Su Pek-to.
Diam-diam Su Pek-to menyesalkan dirinya sendiri yang
salah mengatur, sehingga jago-jago yang diandalkan itu
belum nampak kembali. Terpaksa ia mengambil keputusan
untuk mengundurkan diri dulu, seorang laki-laki sejati harus
bisa mulur dan bisa mengkeret menurut gelagat, kalau tidak
lekas menyingkir sekarang mungkin sebentar lagi akan
mengalami kerugian lebih besar. Maklumlah sudah sekian
lamanya ia terkena racun gatal itu, ia pikir harus lekas pulang
untuk minta obat pemunah kepada Ho-toanio.
Sekuatnya Su Pek-to memukul lagi untuk mendesak
mundur Kim Tiok-liu, lalu bentaknya, "Malam ini aku mengalah
padamu, nanti akan kubikin perhitungan padamu secara total.
Li-totju, kau harus sadar bahwa takkan menguntungkan kalian
bila pertempuran ini diteruskan. Mengingat hubungan kita
selama ini yang selalu damai, urusan malam ini kita sudahi
sampai di sini saja, bagaimana pendapatmu?"
Situasi saat itu memang menguntungkan Liok-hap-pang
walaupun Su Pek-to tidak unggulan melawan Kim Tiok-liu,
lantaran Kim Tiok-liu sudah muncul dengan selamat, Li Bo
juga tidak ingin banyak menimbulkan korban anak buahnya,
segera ia menjawab, "Baik, kau minta ampun, biarlah aku
meluluskan kau. Adapun urusan lain hari biarlah tergantung
keadaan lain hari, apa kau mau menuntut balas atau tidak
juga boleh terserah, rasanya Kay-pang juga tidak takut
padamu." Segera kedua pihak sama-sama menarik kembali
pasukannya, cepat Su Pek-to pulang ke rumah untuk minta
obat pemunah kepada Ho-toanio. Kim Tiok-liu dan Kong-tjiau
serta Hek-koh juga ikut Li Bo kembali ke markas cabang Kaypang.
Selesai Kim Tiok-liu menuturkan pengalamannya di Liokhap-
pang, tiba-tiba Kong-tjiau teringat sesuatu, tanyanya,
"Kim-heng, tadi kau mengolok-olok nenek iblis itu, katanya
racun yang dia minumkan kepada Hek-koh itu tidak
memerlukan obat pemurahnya. Apakah ucapanmu ini
sungguh-sungguh" Tapi sampai saat ini Le-toako masih belum
ditemukan."
"Kata-kataku itu sudah tentu sungguh-sungguh," sahut
Tiok-liu tertawa. "Orang yang mampu memunahkan racun
rahasia Thian-mo-kau ini sekarang juga berada di sini. Silakan
keluar. Li-heng."
Begitulah Kim Tiok-liu lantas memperkenalkan Li Tun
kepada yang lain, lalu katanya, "Meski Le-toako belum
ditemukan, tapi hadirnya Li-heng ini akan sama saja, sebab Liheng
ini sudah mahir betul mempelajari isi Pek-tok-tjin-keng
Thian-mo-kau, kepandaian-nya memunahkan racun kuyakin
jauh di atas perempuan iblis reyot itu."
Kong-tjiau dan Hek-koh kegirangan, cepat mereka
mengucapkan terima kasih lebih dulu kepada Li Tun.
Sesudah memeriksa nadi Tjiok Hek-koh, lalu Li Tun
memberi sebungkus obat pemunah serta mengajarkan cara
mengurut untuk memunahkan racun kepada Kong-tjiau.
Dengan demikian Kong-tjiau yang harus mengadakan
penyembuhan bagi Hek-koh. Untungnya cara mengurut itu
tidak terlalu sukar sehingga de-pgan cepat Kong-tjiau sudah
memahaminya. Kemudian Kong-tjiau minta sebuah kamar kepada Li Bo, i
situlah ia mengobati Hek-koh menurut petunjuk Li Tun. Seangkan
Kim Tiok-liu dan Li Tun lantas berunding dengan Li I
tentang langkah-langkah selanjurnya.
"Kim-heng, ada sesuatu yang tadi belum sempat kukatakan
bpadamu," kata Li Tun. "Ketika di Sedjiang aku sudah
berjumpa dengan Suhengmu Kang Hay-thian."
"Oo, apakah dia menitipkan pesan apa-apa untukku?" seru
Tiok-liu dengan girang.
"Sudah tentu Kang-tayhiap tidak tahu aku bakal bertemu
dengan kau." sahut Li Tun. "Cuma, di tempat mereka sana
jelas sangat memerlukan tenaga. Melihat suasananya,
sesudah geger-geger malam ini. Su Pek-to pasti akan
mengadakan penjagaan yang keras. Jago-jago Liok-hap-pang
jauh lebih banyak daripada kita, untuk sementara kukira sukar
buat menolong nona Su. Menurut pendapatku, ada lebih baik
kita berangkat ke Sedjiang saja untuk menantikan mereka
masuk lubang sendiri."
Kim Tiok-liu lantas tahu apa maksud Li Tun, selanya,
"Benar, setelah peristiwa ini, tentu Su Pek-to pasti akan
mengantar adik perempuannya ke Sedjiang untuk dinikahkan
dengan Swe Beng-hiong secara paksa, di sini kita tidak bisa
menandingi dia, di Sedjiang tentu kita dapat melabraknya."
"Saat ini kota Sedjiang masih diduduki oleh pasukan kerajaan,
tapi di luar kota adalah wilayah kekuasaan pasukan
pergerakan yang berpangkal di Thay-liang-san," demikian Li
Tun meneruskan. "Pemimpin pasukan pergerakan Tiok Sianghu
adalah tokoh Bu-lim angkatan tua, Kang-tayhiap juga
sudah berada di sana. Jika Su Pek-to mengantar adik
perempuannya ke sana tentu akan kebetulan bagi kita untuk
mencegatnya dengan bantuan dari kawan-kawan di sana."
"Cukup seorang Kang-tayhiap, sekalipun ada tiga orang Su
Pek-to juga bukan tandingannya," ujar Li Bo dengan tertawa.
"Baik, aku pun ikut ke sana bersama kalian."
Memangnya Kim Tiok-liu lagi kuatir kalau-kalau Su Pek-to
menuntut balas kepada Kay-pang bilamana mereka sudah
berangkat, sekarang Li bo mau ikut pergi, hal ini menjadi
kebetulan, katanya dengan tertawa,. "Bagus, di Yangtjiu sini
sukar bagimu untuk melawan Liok-hap-pang yang
berpengaruh, nanti setiba di Sedjiang baru kita membikin
perhitungan total dengan Su Pek-to."
Selesai mengambil keputusan, maka ketika fajar tiba segera
mereka pun berangkat. Keadaan Tjiok Hek-koh sudah pulih
kembali setelah diobati oleh Kong-tjiau menurut petunjuk Li
Tun. Bersama orang banyak Kong-tjiau dan Hek-koh juga ikut
ke Sedjiang. Setelah mengobrak-abrik Liok-hap-pang, meski Kim Tiok-liu
tidak berhasil menolong Su Ang-ing sedikitnya muslihat Su
Pek-to sudah digagalkan. Untuk sementara Su Ang-ing masih
terkurung, tapi rasanya takkan membahayakan jiwanya, hal
yang maling membuatnya kuatir hanyalah Le Lam-sing saja.
Bagaimana dengan keadaan Le Lam-sing dan kemana
perginya" Pada malam itu setelah terserang senjata rahasia Ho-toa-
Inio, untuk menghindari pengejaran lebih lanjut dan kuatir
disusul oleh Su Pek-to, terpaksa Le Lam-sing terjun ke dalam
sungai. Arus sungai bagian itu kebetulan rada deras, untung Le
Lam-sing mahir berenang, arus yang mengalir deras itu dapat
dia gunakan menghemat tenaga. Ia mengerahkan Lwekang
untuk menutup Hiat-to yang dekat dengan tempat luka
keracunan, ia membiarkan tubuhnya dihanyutkan oleh ombak
dengan tangan tetap menggenggam kencang Hian-tiatpokiam.
Dengan daya apung air, untuk membawa pedang
yang berat itu menjadi tidak sukar baginya.
Meski terluka Le Lam-sing masih dapat bertahan, tidak
terlalu lama ia sudah terhanyut jauh ke hilir, kota Yangtjiu
telah |auh ditinggalkannya di belakang. Namun begitu, Lamsing
habis bertempur sengit, sekarang harus bergulat pula di
tengah ge-ilombang ombak, masih harus pula memegangi
Hian-tiat-pokiam yang ratusan kati beratnya, sesudah berada
di tempat yang tenang arusnya terpaksa ia harus berenang
untuk mencapai tepi. Tenaga yang dikeluarkan lambat-laun
berkurang dan sukar dipertahankan lagi, tapi Lam-sing masih
sayang membuang pelang pusaka itu.
"He, ada ikan besar! Lekas kalian membantu!" demikian
teriak nelayan tua dengan girang, lalu beramai-ramai mereka
mengangkat jaring yang berisi Le Lam-sing itu.
Remang-remang kelihatan di kejauhan ada berkelipnya api,
iSeperti pelita pada perahu nelayan. Ia pikir asalkan masih
sanggup bertahan sebentar lagi mungkin akan dapat
mencapai perahu nelayan itu. Tak terduga, lantaran
tenaganya banyak susut, pe-nutup Hiat-to menjadi kurang
kuat, racun di dalam badan mulai bekerja, kepala terasa
pusing. Ia tahu gelagat jelek, mestinya bermaksud timbul ke
permukaan air untuk berteriak minta tolong, tapi celaka, sekali
dia menggunakan tenaga, bukannya timbul ke atas sebaliknya
malah tenggelam ke bawah.
Hal ini disebabkan dia membawa Hian-tiat-pokiam yang
berarti badannya diberi beban lebih seratus kati, sekali
tenaganya sudah lemah, tentu saja sukar baginya untuk
timbul ke permukaan air. Sebenarnya pada saat antara hidup
dan mati itu, ia harus membuang pedangnya, tapi lantaran
bekerjanya racun tera-mat cepat dan di luar dugaan, ketika ia
menyadari keadaan berbahaya itu, namun dalam sekejap saja
pikirannya menjadi gelap. Dalam keadaan demikian secara
otomatis tangan Le Lam-sing masih terus menggenggam
kencang Hian-tiat-pokiam.
Saat itu sudah dekat fajar. Dasar belum waktunya Le Lamsing
harus menghadap raja akhirat, kebetulan kepergok oleh
se-buali perahu nelayan yang pagi-pagi itu sudah keluar
menjala ikan. Nelayan di atas perahu itu terdiri dari tiga orang ayah berranak,
ketiga nelayan tua itu menebarkan jaringnya, kebetulan
Le Lam-sing terjaring. Ketika nelayan itu menarik sekuatnya
dan badan Le Lam-sing berputar, hampir saja nelayan tua itu
terseret jatuh ke dalam air.
Keruan nelayan tua itu terkejut dan bergirang pula, serunya
cepat, "He, ada ikan besar! Lekas kalian membantu!"
Kedua puteranya yang masih muda dan tangkas itu lantas
[memburu maju membantu menarik jaring. "Ah, mana
mungkin ada ikan besar seberat ini?" ujar puteranya yang
sulung. Belum lenyap suaranya, putera nelayan yang kecil juga
sudah berteriak, "He, bukan ikan, tapi manusia!"
"Manusia juga tidak seharusnya begini berat?" ujar
kakaknya setelah menggerundel.
"Menolong sesama adalah kewajiban setiap orang, lekas
menariknya ke atas," kata nelayan tua.
Beramai-ramai mereka lantas mengangkat jaring dan
melepaskan Le Lam-sing.
Kedua puteranya itu terheran-heran, yang seorang berkata,
"Orang ini tidak kekar, tampaknya malah seperti anak sekolah


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lemah, mengapa bobotnya begini berat" Jangan-jangan
pada badannya membawa emas perak yang berharga?"
"Mana mungkin orang terjun ke dalam air dengan
membawa serta emas perak beratus kati beratnya?" sanggah
yang lain. "Aku berani memastikan dia tidak membawa emas
perak segala hanya kulihat ada sebatang pedang. Ai, janganjangan
dia adalah bajak laut?" Habis berkata ia coba meraba
badan Le Lam-sing, lalu katanya pula dengan tertawa "Benar
juga dugaanku, dia sama sekali tidak gablek duit satu sen pun.
Hm, bajunya sih tampak mentereng"
Rupanya pakaian Le Lam-sing masih tetap pakaian
pengantin kemarin yang belum sempat berganti, sudah tentu
ia pun tidak membawa sangu apa-apa ketika lari keluar dari
kamar pengantin.
Si nelayan tua lantas berkata, "Kita adalah nelayan yang
mengutamakan kebajikan, masakah kita boleh mengincar
harta benda orang" Tak peduli siapa dia, kita selamatkan dia
paling perlu."
Saat itu ada sebuah kapal dagang yang berlabuh di tepi
sungai seperti terkejut oleh apa yang dialami perahu nelayan
ini, kapal itu sedang didayung kemari. Karena sibuk menolong
orang, maka si nelayan tua tidak ambil pusing datangnya
kapal lain. Nelayan tua menyuruh kedua puteranya menggencet keluar
air yang memenuhi perut Le Lam-sing, untuk ini pedang yang
masih tergenggam di tangan Lam-sing harus disingkirkan
dulu. Putera sulung nelayan itu pernah belajar sejurus dua silat
kampungan, ia berlagak seperti jagoan, Hian-tiat-pokiam terus
hendak diangkat begitu saja.
Sudah tentu sama sekali tak tersangka olehnya bahwa
pedang itu mempunyai bobot lebih seratus kati, keruan ia
menjerit kaget, Hian-tiat-pokiam tergeser ke samping Le Lamsing,
nelayan muda itupun keseleo tulang pinggangnya, dan
terbanting jatuh. Papan perahu sampai pecah karena jatuhnya
Hian-tiat-pokiam.
Si nelayan tua terkejut dan cepat mengangkat bangun pujteranya,
omelnya "Ai, kenapa kau tidak hati-hati."
"Tak apa-apa" sahut anak muda itu. "Sekarang tahulah
aku. bukan orangnya yang berat, tapi pedangnya ini yang
sangat berat."
Adiknya menjadi tertarik, ia coba memegang Hian-tiatpokiam,
benar juga bergeming saja tidak meski dia sudah
memeras segenap tenaganya.
Selagi ayah beranak itu merasa heran, sementara itu kapal
Idagang tadi sudah merapat di samping perahu nelayan,
seorang laki-laki baju hitam berewok tiba-tiba melompat tiba.
Nelayan tua kaget dan rada takut-takut pula ia coba berta-I
nya, "Ada keperluan apakah tuan ini?"
"Kulihat kalian sedang menolong seseorang, maka sengaja
melihat ke sini," sahut laki-laki baju hitam itu. "He, bukankah
dia si Ong" Hai, Ong, kenapa kau!"
Kejut dan senang pula si nelayan tua, cepat ia tanya
"Apakah dia kawanmu?"
"Benar, baru kemarin dulu kami berjumpa di Yangtjiu,
mapan kami pesiar bersama-sama, kenapa dia terjaring oleh
kapan dari dalam sungai. O ya memang kutahu dia sedang
sedih karena sesuatu urusan, tapi mestinya tidak perlu
membunuh diri legala. Ai, jangan-jangan ini cuma suatu
kecelakaan saja atau pia memang sengaja bunuh diri?"
Laki-laki baju hitam itu bermuka kasar dan berbadan kekar,
tapi ceriwis seperti perempuan bawel. Putera sulung nelayan
menjadi tidak sabar, katanya, "Kami tidak tahu apa-apa, boleh
kau tanya dia bila dia sudah siuman."
"Aneh, mengapa dia masih belum siuman," kata nelayan
tua. "Baiklah akan kutolong dia, banyak terima kasih atas
bantuan kalian, dan pedangnya itupun kubawa sekalian," kata
laki-laki itu sembari menyodorkan sepotong uang emas
kepada nelayan tua, katanya, "Ini sedikit tanda terima kasih
harap sudi menerimanya."
Sebagai rakyat kecil yang tidak suka terkena perkara, si
nelayan tua memang lagi kuatir kalau-kalau orang yang
ditolongnya dari dalam sungai itu tidak bisa hidup kembali,
maka maksud orang baju hitam membawa pergi temannya itu
menjadi kebetulan baginya, cepat ia menjawab, "Ah,
menolong sesama adalah kewajiban kita, mana boleh kami
menerima pemberian-mu.
"Ah, jangan sungkan," ujar laki-laki itu, sebelah tangannya
mengempit Le Lam-sing, tangan yang lain mengangkat Hiantiat-
pokiam, lalu ia melompat kembali ke kapalnya sendiri.
Keruan ketiga ayah beranak nelayan itu terkesima semua,
mereka pikir laki-laki ini bertenaga begini besar, besar
kemungkinan adalah kawanan yang sekomplotan dengan si
Ong tadi. Ketika laki-laki baju hitam melompat kembali ke haluan
kapal sendiri, di situ sudah menunggu seorang nona, dengan
heran si nona bertanya, "Siapakah dia, ayah" Pedang ini....."
Nona itu berlatih silat sejak kecil, walaupun belum terhitung
ahli. juga dapat melihat bahwa Hian-tiat-pokiam itu tentu
bukan senjata biasa, kalau tidak, pasti takkan seberat itu.
Yang membuatnya lebih heran adalah ayahnya yang biasanya
tidak pernah berbuat sesuatu yang bajik, mengapa sekali ini
mau menolong seorang yang belum dikenalnya"
"Jangan kau urus, pindahkan dulu orang ini ke dalam kabin
dan tutup jendelanya," kata laki-laki itu.
Dengan ragu-ragu si nona terpaksa melakukan apa yang
diperintahkan, lalu laki-laki itu memerintahkan juru mudi
menjalankan lagi perahunya.
Sesudah memindahkan Le Lam-sing ke dalam kabin, si
nona merasa lega ketika diketahui pernapasan Lam-sing cukup
lancar. Ia coba memberikan secawan arak, tidak tahu bahwa
Lam-sing keracunan, sesudah dicekoki arak, menjalarnya
racun menjadi bertambah cepat.
Selang tidak lama Le Lam-sing masih tak sadar, waktu si
nona memeriksa lebih teliti, dilihatnya di tengah alis Lam-sing
bersemu hitam kebiru-biruan. Jidatnya juga panas sekali, si
nona menjadi kuatir dan gugup. "Kenapa masih belum
siuman" Apakah dia keracunan atau tertutuk Hiat-ro
tertentunya?" ujarnya.
Untung Le Lam-sing pernah mendapat ajaran inti Lwekang
dari Kim Si-ih, hawa murni di dalam tubuh terus bekerja tanpa
berhenti, meski di bawah sadar juga timbul kemampuannya
menolak racun. Hanya saja tidak sebaik seperti pengerahan
tenaga dalam keadaan biasa.
Begitulah dalam keadaan samar-samar mendadak Le Lamsing
merasa perutnya seperti disayat-sayat, tanpa terasa ia
merintih, "Aduh, Tiok-liu! Dimana kau Tiok-liu!"
Si nona menjadi girang, serunya, "He, kau memanggil
siapa" Bangun, bangunlah!
Tapi setelah menyebut nama Tiok-liu dua kali, saking
sakitnya, kembali Lam-sing pingsan lagi.
Keruan nona itu tak berdaya, terpaksa ia keluar untuk
minta petunjuk kepada ayahnya, saat itu masih pagi sepi,
sekitar situ tiada perahu lain. Laki-laki baju hitam itu
memerintahkan juru mudi berlabuh ke tepi. Keruan tukang
perahunya heran dan bertanya, "Di sini bukan tempat
keramaian, katanya tuan mau ke Yangtjiu, kenapa berlabuh di
sini?" Belum habis pertanyaannya, mendadak tukang perahu itu
sudah roboh tertutuk. Kebetulan si nona baru menongol dari
dalam kabin, ia menjadi terkejut dan berseru, "He, ayah, apa
yang kau lakukan?"
Namun laki-laki itu sudah lantas mencekik pula leher si
tukang perahu, lalu diangkat dan dilemparkan ke dalam
sungai. Si nona bermaksud mencegah, tapi sudah terlambat.
"Ai, ayah, kenapa engkau membunuh orang yang tidak
berdosa?" seru si nona penuh penyesalan.
"Hahaha, selama hidup ayahmu sudah tidak sedikit
membunuh orang, hanya seorang tukang perahu saja apa
artinya?" ujar laki-laki itu.
Apa daya, urusan sudah terjadi, terpaksa si nona menahan
tangisnya, pikirnya, "Setelah dihajar sekali oleh Kim Tiok-Iiu,
kukira ayah sudah insyaf akan perbuatannya selama ini. Siapa
duga watak jahatnya masih tidak berubah, apa yang dikatakan
hanya untuk membohongi aku saja."
"Dasar budak bodoh, yang mati toh bukan ayahmu, kenapa
kau berduka," omel laki-laki baju hitam. "Eh, bocah itu sudah
siuman belum?"
"Orang itu seperti keracunan, sukar membuatnya siuman,"
jawab si nona. "O. coba kuperiksa," kata laki-laki itu sembari mendayung
perahunya ke dalam semak alang-alang di tepian sungai, lalu
ia masuk ke dalam kabin perahu dengan memegang Hian-tiatpo-
kiam. Selesai memeriksa keadaan Lam-sing, laki-laki itu
menggumam sendiri, "Ya, seperti keracunan, tapi biarkan dia
mati saja asalkan pedang ini tidak hilang."
"Siapakah dia, ayah?" tanya si nona.
"Aku tidak kenal bocah ini, hanya aku tahu akan Hian-tiatpokiam
ini." "Hian-tiat-pokiam apa maksud ayah?"
"Su Pek-to mendapat sebuah benda mestika yang disebut
Hian-tiat yang bobotnya puluhan kali lebih berat daripada besi
biasa. Kutahu sudah lama Su Pek-to bermaksud
menggembleng besi mumi itu menjadi pedang untuk
dipersembahkan kepada Sat-tjongkoan, tetapi kemudian
kabarnya Hian-tiat itu dicuri orang, ada berita yang
mengatakan pencurinya adalah adik perempuan Su Pek-to
sendiri dan ada yang bilang dicuri oleh Kim Tiok-liu, yang pasti
aku tidak tahu jelas. Kedatangan kita kali ini justru hendak
menemui Su Pek-to, Hian-tiat-pokiam ini entah mengapa bisa
berada di tangan bocah yang tak dikenal ini. Demi pedang ini
terpaksa aku menolong dia dan akan kita serahkan kepada Su
Pek-to, orang bersama pedangnya. Haha, ini benar-benar
suatu kejadian yang sangat kebetulan."
"Tapi tukang perahu yang tak berdosa ini kenapa juga ayah
bunuh?" ujar si nona.
"Hian-tiat-pokiam ini adalah benda mestika yang diincar
oleh setiap orang Bu-lim, sekalipun Su Pek-to sendiri juga
ingin merahasiakannya. Dengan membunuh si tukang perahu,
apa yang terjadi takkan diketahui orang lain. Haha, dengan
Hian-tiat-pokiam ini kita dapat pergi menemui Su Pek-to dan
kukira dia pasti akan suka padamu."
"Kau bilang apa" Mengapa aku perlu disukai orang she Su
itu?" omel si nona.
"Anak Siang apakah kau masih terkenang kepada bocah
she Tjin itu" Kukira lebih baik kau melenyapkan pikiranmu,
orang adalah murid kaum Tjing-pay, mana dia sudi padamu"
Andaikan dia mau juga aku tidak boleh. Kedatangan kita
mencari Su Pek-to sekali ini, adalah kumaksudkan meminta dia
menjadi saudara agar Kim Tiok-liu keparat itu tidak berani
main gila padaku. Memangnya kau sangka perbuatannya
secara paksa menjodohkan kau kepada bocah she Tjin itu,
benar-benar timbul dari sukarelaku?"
Kiranya laki-laki baju hitam ini adalah Hong Tju-tjiau yang
pernah menjadi jago pengawal itu dan si nona adalah puterinya,
Hong Biau-siang. Tempo hari Hong Tju-tjiau kepergok
Kim Tiok-liu di tengah jalan, ia menjadi ketakutan melanjutkan
perjalanannya ke kotaraja dan terpaksa pulang ke rumah, tapi
makin dipikir makin dendam.
Tidak lama Hong Tjiu-tjiau mendengar berita tentang
pengacauan Kim Tiok-liu di rumah Sat Hok-ting, tapi kabarnya
dikalahkan oleh Pangtju Liok-hap-pang Su Pek-to dan
melarikan diri. Sudah tentu berita itu tidak seluruhnya benar,
namun Hong Tju-tjiau percaya sepenuhnya. Ia pikir kalau bisa
berdaya mengadakan kontak dengan Su Pek-to, jika puterinya
bisa dijodohkan kepada Su Pek-to, maka selanjurnya tidak
perlu takut lagi kepada Kim Tiok-liu yang dianggap selalu
merongrongnya. Sebenarnya Hong Tju-tjiau sudah kenal Su Pek-to, hanya
tidak dapat berhubungan, la tahu beberapa tahun yang lalu Su
Pek-to telah kematian istrinya dan sampai sekarang belum
menikah lagi, isteri yang mati juga tidak meninggalkan anak.
Walaupun usia Su Pek-to sudah mendekati 40-an, tapi tidaklah
merendahkan puterinya jika Su Pek-to mau. Soalnya sekarang
adalah dengan cara bagaimana supaya Su Pek-to mau
mengambil puterinya sebagai isteri.
Hong Tju-tjiau pikir puterinya tidaklah jelek, pertama harus
diusahakan agar Su Pek-to melihat muka Biau-siang, kalau
ada maksud, baru kemudian gampang mencari orang
perantara. Karena itulah ia mendustai Biau-siang dan
mengajaknya keluar mencari Tjin Goan-ko.
Seperti diketahui, Hong Biau-siang mengetahui ayahnya
telah dipaksa oleh Kim Tiok-liu agar menjodohkannya kepada
Goan-ko, meski ia merasa tindakan Kim Tiok-liu itu rada-rada
sembrono, tapi di dalam hati Biau-siang merasa senang, maka
ia percaya saja kepada bujukan ayahnya.
Tak terduga belum sampai di Yangtjiu sudah menemukan
Le Lam-sing bersama Hian-tiat-pokiam. hal ini membuat Hong
Tju-tjiau kegirangan karena mendapatkan kado yang tepat
untuk Su Pek-to.
Begitulah Biau-siang menjadi kebat-kebit setelah
mengetahui maksud tujuan ayahnya itu. Ia pikir dahulu ada
Kim Tiok-liu yang menyelamatkan dia, sekarang kemana
mencari seorang Kim Tiok-liu lagi"
Teringat pada Kim Tiok-liu, tiba-tiba hati Biau-siang
tergerak, segera ia berkata, "Ayah, bagaimana baiknya
dengan orang yang masih belum siuman ini."
Hong Tju-tjiau mengerut kening, katanya, "Mestinya dia
akan kuserahkan kepada Su Pek-to, tapi melihat gelagatnya
dia tak bisa hidup lebih lama lagi, terpaksa kubiarkan dia lebih
cepat meninggalkan dunia fana ini."
Mendadak Biau-siang mencegahnya, "Jangan ayah, orang
ini jangan kau bunuh."
"Sebab apa?" tanya Hong Tju-tjiau dengan mendelik.
"Tahukah kau siapa dia?" tanya Biau-siang.
"Memangnya kau tahu?"
Kebetulan saat itu Le Lam-sing menggeliat, tiba-tiba
tergerak hati Biau-siang, katanya, "Akan kucoba dia


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan sendiri siapa dia?" Habis itu ia lantas berjongkok
dan mendadak berteriak di tepi telinga Lam-sing, "Kim Tiok-liu
datang! Kim Tiok-liu datang!"
Dalam keadaan samar-samar mendadak Le Lam-sing
mendengar teriakan itu, seketika ia siuman dan berseru,
"Dimana dia" Dimana?"
Hong Tju-tjiau terkejut, tanyanya segera, "Pernah apamu
Kim Tiok-liu itu?"
Pelahan-lahan Le Lam-sing membuka katanya, katanya
heran, "He, mengapa aku berada di sini" Tempat apakah ini"
Siapa kalian" Dan dimana Kim Tiok-liu?"
Lantaran Lam-sing pernah meyakinkan inti Lwekang ajaran
Kim Si-ih, biarpun dalam keadaan tak sadar juga hawa murni
di dalam tubuh tetap bekerja. Pengaruh arak yang
diminumnya itu sudah lenyap, mestinya ia baru akan sadar
sedikit waktu lagi. Cuma disebabkan ia selalu teringat pada
Kim Tiok-liu, ketika Hong Biau-siang meneriaki nama Kim Tiokliu
di tepi telinganya, seketika ia seperti terjaga bangun dari
mimpi. "Aku adalah kawan Kim Tiok-liu, coba katakan padaku Kim
Tiok-liu sekarang berada dimana, akan kuundang dia ke sini,"
kata Biau-siang.
Seketika timbul letikan harapan dalam benak Le Lam-sing,
katanya, "Aku adalah saudara angkat Kim Tiok-liu, dia
sekarang berada di Yangtjiu, asalkan kau bertemu dengan
orang Kay-pang tentu akan lantas mengetahui dimana Kim
Tiok-liu berada."
"Baik, pasti akan kuhubungkan dengan Kim Tiok-liu, silakan
kau mengaso dulu," kata Biau-siang. Ia merapatkan pintu
kabin, lalu ayahnya ditarik ke haluan perahu, katanya dengan
bisik-bisik, "Ayah, sekarang kau sudah tahu siapakah dia,
mana boleh kau membunuhnya lagi?"
"Dia adalah saudara angkat Kim Tiok-liu, aku bertambah
napsu untuk membunuhnya," ujar Hong Tju-tjiau.
"Apakah ayah mampu melawan Kim Tiok-liu" Apalagi jika
engkau membunuh saudara angkatnya, mustahil dia mau
mengampuni kau?"
Teringat kepada kepandaian Kim Tiok-liu yang tinggi itu,
mau tak mau Hong Tju-tjiau mengkirik juga, tapi ia tetap
berkata dengan kepala batu, "Siapa yang tahu jika aku
membunuhnya?"
"Apakah keluarga nelayan itu tidak akan menyiarkan berita
tentang orang yang ditolong mereka dari sungai, apalagi ada
sebatang pedang yang luar biasa beratnya, bukan tidak
mustahil Kim Tiok-liu akan dapat mengusutnya."
"Ya, tadi seharusnya kubunuh sekalian nelayan-nelayan
itu." "Tapi biarpun ayah membunuh keluarga nelayan itu juga
tiada gunanya." "Sebab apa?"
"Karena masih ada orang yang mengetahui perbuatanmu."
"Siapa?"
"Aku!"
"Kau" Jadi kau juga akan melawan aku, ayahmu sendiri?"
"Anak tidak berani, tapi aku harus merintangi perbuatan
ayah justru karena untuk kebaikan ayah sendiri. Terutama
mengingat ayah sudah berjanji akan menjadi orang baik."
"Hm, tampaknya kau memang anak perempuan berbakti,
kukira yang kau lakukan adalah untuk kebaikan bocah she Tjin
itulah, Kim Tiok-liu adalah teman Tjin Goan-ko dan orang ini
adalah saudara angkat Kim Tiok-liu, makanya kau lebih suka
membela orang luar. Pendek kata aku harus membunuhnya."
"Ayah, untuk membunuhnya kau harus melangkahi dulu
mayatku, kalau tidak mulutku takkan dapat kau sumbat."
Hong Tju-tjiau menjadi serba runyam, katanya kemudian,
"Baik, aku takkan membunuh dia. Tempat ini sudah dekat
Yangtjiu, akan kuserahkan dia kepada Su Pek-to saja. Aku
tidak mampu melawan Kim Tiok-liu, tapi Pangtju Liok-happang
tentunya tidak gentar padanya."
"Ayah, sebenarnya apa maksud tujuanmu membawa aku
.pergi ke Yangtjiu ini, dari nada ucapanmu tadi agaknya tidak
cocok dengan bujukanmu padaku. Kukira lebih baik ayah
jangan menuju ke Yangtjiu sana."
Serba susah juga Hong Tju-tjiau, ia tahu kalau secara
terang-terangan mengatakan maksud tujuannya, tentu anak
perempuannya itu takkan menurut. Sebaiknya dirahasiakan
saja, kalau sudah tiba di Yangtjiu masakah anak dara ini bisa
lari" Segera ia berkata, "Apa sebabnya kau menganjurkan
jangan ke Yangtjiu?"
"Bukankah Kim Tiok-liu sekarang berada di sana, padahal
kau pun tahu Su Pek-to pernah juga dikalahkan oleh Kim Tiokliu,
maka tidak perlu kau mimpi akan mendapatkan sandaran
yang mampu menjagoi kau."
Sesungguhnya Hong Tju-tjiau sudah kapok benar-benar
menghadapi Kim Tiok-liu, tapi ia pun tidak rela menyianyiakan
kesempatan akan dapat menjilat Su Pek-to, maka
dengan tetap kepala batu ia menjawab, "Ah, mana bisa. Su
Pek-to adalah jago nomor satu di dunia ini, betapapun lihainya
bocah she Kim itu juga tidak berani menginjak Yangtjiu."
Belum habis pembicaraan mereka, tiba-tiba sebuah kapal
layar meluncur tiba menghilir dengan cepat. Haluan kapal itu
terpancang sebuah panji hitam bergambarkan enam
tengkorak, itulah tanda pengenal Liok-hap-pang.
"Itulah kapal Liok-hap-pangr seru Hong-tjiau dengan
girang, segera ia mendayung perahunya keluar dari semak
alang-alang. Sementara itu kapal layar itu sudah mendekat,
seorang laki-laki yang berdiri di haluan kapal kebetulan
dikenal. Orang Liok-hap-pang itu mengkerut kening ketika melihat
Hong Tju-tjiau, pikirnya sungguh sial, telah kuhindarkan
kawan-kawan lain, di sini kepergok lagi kenalan lama.
Kiranya saat ini orang Liok-hap-pang ini bermaksud
melarikan diri dari kekangan Liok-hap-pang makanya dia
kuatir kepergok oleh orang yang dikenalnya.
Orang ini bernama Ong Kiat, ketika Li Tun masih di dalam
Liok-hap-pang mereka adalah teman yang cukup baik. Berkat
pengaruh Li Tun, sudah lama Ong Kiat ingin kembali ke jalan
yang benar. Selama dua tahun ini banyak juga anak buah
Liok-hap-pang yang tidak puas terhadap sepak terjang Su
Pek-to. Sebab itulah Ong Kiat lebih-lebih ingin melepaskan diri
dari genggaman Su Pek-to, sayangnya selama ini belum ada
kesempatan. Sekali ini berhubung Su Pek-to ingin menemukan kembali
Hian-tiat-pokiam yang dibawa kabur Le Lam-sing itu, ia
mengerahkan belasan kapal ke sepanjang sungai dengan
harapan akan menemukan mayat Lam-sing dan di situ akan
dicari Hian-tiat-pokiam yang tenggelam ke dasar sungai.
Arus sungai Tiangkang di daerah Yangtjiu itu cukup deras,
sebab itulah yang dikirim adalah perahu-perahu cepat kemudi
satu orang. Selain mahir mengemudikan perahu cepat itu
harus pula ahli menyelam. Dan Ong Kiat adalah seorang di
antaranya yang ditugaskan mencari Le Lam-sing itu.
Mestinya Ong Kiat berangkat bersama teman-temannya,
tapi berkat hafalnya akan wilayah perairan Yangtjiu, di tengah
jalan ia meninggalkan teman-temannya dan meluncurkan
perahunya ke hilir, saat itu sudah 60 - 70 li jauhnya dari
Yangtjiu dan boleh dikata sudah di luar wilayah pengaruh
Liok-hap-pang. Asal beberapa puluh li lagi sudah dapat
mencapai lautan bebas dan berarti selamatlah dia melepaskan
diri dari Liok-hap-pang.
Tak terduga di sini ia kepergok oleh Hong Tju-tjiau, sebe-
Bum sempat berbuat apa-apa Hong Tju-tjiau sudah
menyapanya [lebih dulu. Terpaksa Ong Kiat mendekatkan
perahunya sesudah mendapat akal, balasnya menyapa, "Aha,
kiranya Hong-taydjin adanya!"
Karena tidak ingin bertemu dengan orang Liok-hap-pang,
segera Hong Biau-siang masuk ke kabin untuk menjaga I e
Lam-sing. Dalam pada itu Hong Tju-tjiau sedang menjawab,
"Kudatang untuk berkunjung kepada Pangtju kalian, apakah
Su-pang-tju baik-baik saja" Sudah lama tidak bertemu, silakan
pindah kemari untuk bicara."
"Aku masih ada tugas, biarlah kita mengobrol sebentar saja
dengan begini. Eh, kedatangan Hong-taydjin ini sangat baik,
tapi Pangtju kami dalam keadaan kurang baik."
Hong Tju-tjiau terkejut, cepat ia tanya, "Apa yang terjadi?"
"Sungguh memalukan bila diceritakan, semalam Liok-happang
kami telah diserbu musuh, sampai-sampai Pangtju kami
pun terluka."
"Hah, selama ini Pang kalian malang melintang di seluruh
Kangouw, siapa yang begitu berani memusuhi kalian?"
"Yang memusuhi kami adalah Kay-pang, katanya kami
mengekor kepada kerajaan, maka mereka bertekad akan
menumpas kami."
"Kepandaian Li Bo yang memimpin cabang Kay-pang di
Yangtjiu kan bukan apa-apa kalau dibandingkan Pangtju
kalian, memangnya Pangtju mereka si pengemis tua Tiong
Tiang-thong telah datang sendiri ke Yangtjiu?"
"Pengemis tua tidak datang, tapi pengemis cilik yang
datang. Kepandaian pengemis cilik itu sungguh lihai, empat
Hiang-tju kami pernah kecundang semua, semalam Pangtju
kami juga dilukai olehnya."
Sungguh kejut Hong Tju-tjiau tidak kepalang, dari kata-kata
Ong Kiat itu sudah dapat diperkirakan siapakah pengemis cilik
yang dimaksudkan itu, namun ia masih bertanya, "Siapakah
pengemis cilik itu" Darimana Kay-pang mendapatkan tokohtokoh
selihai itu?"
"Dia bukan anggota Kay-pang, hanya dia suka berdandan
sebagai pengemis. Hong-taydjin, kabarnya kau pernah
mendatangi rumah Kang Hay-thian bersama Bun To-tjeng,
malahan Bun To-tjeng juga pernah kecundang, tentunya kau
tahu siapa dia."
"Hah, jadi Kim Tiok-liu adanya" Sungguh aku tidak percaya
Su-pangtju kalian juga kecundang di tangannya."
"Ya memang Kim Tiok-liu, putera Kim Si-ih dan Sute Kang
Hay-thian itu. Lihai amat dia, hanya sekali mengadu pukulan
dengan Pangtju kami, sesaat itu tidak apa-apa tapi
sekembalinya di rumah, Pangtju lantas muntah darah, melihat
keadaannya itu agaknya cukup parah."
Padahal luka yang diderita Su Pek-to adalah karena bubuk
racun yang ditebarkan Tjiok Hek-koh dan sekarangpun sudah
sembuh. Kata-kata Ong Kiat yang sengaja dilebih-lebihkan itu
hanya bertujuan menakut-nakuti Hong Tju-tjiau saja agar
lekas pergi. Hong Tju-tjiau menjadi bungkam, dalam hati ia mengeluh,
"Wah, celaka! Kukira Su Pek-to dapat diandalkan sebagai
sandaran, tak tahunya dia pun dikalahkan bocah she Kim itu,
malahan Kay-pang juga sudah memusuhi Liok-hap-pang, jika
aku terus ke Yangtjiu kan berarti masuk jaring sendiri."
Dalam pada itu Ong Kiat berkata pula "Sekarang Pangtju
berbaring tak bisa bergerak, beliau kuatir Kay-pang dan bocah
she Kim itu menyerbu lagi, maka sedang minta bantuan. Aku
juga ditugaskan mencari bala bantuan makanya kubilang
kedatangan Hong-taydjin ini sangat kebetulan dan dapat pula
membantu Pangtju kami. Nah, maafkan jika sekarang aku
harus buru-buru melanjutkan perjalanan."
Begitulah Hong Tju-tjiau menyaksikan Ong Kiat pergi
dengan perasaan bimbang, la tidak tahu bahwa pada saat itu
Ong Kiat sedang tertawa geli karena dia kena digertak dan
tampaknya pasti tidak berani menuju ke Yangtjiu lagi, hal ini
berarti akan memperlambat diketahui kaburnya Ong Kiat oleh
Su Pek-to. Sementara itu Le Lam-sing sedang duduk bersila dan lagi
menghimpun tenaga sedikit demi sedikit. Namun caranya ini
hanya dapat sekadar untuk melawan bekerjanya racun, untuk
memunahkan harus digunakan penyembuhan dengan tusuk
jarum, untuk ini diperlukan pertolongan orang lain. Maka
waktu Hong Biau-siang masuk, segera ia berkata "Apakah kau
punya batu sembrani?"
"Apakah kau hendak menggunakannya untuk mencabut
Am-gi?" sahut Biau-siang "Baiklah, akan kubantu kau. Kita
sama-sama putera-puteri Kangouw, tidak perlu pantang
tentang laki-laki dan perempuan segala Dimanakah tempat
lukamu?" "Di punggung, di belakang pundak, koreklah daging yang
membusuk itu, lalu sedot jarumnya dengan batu sembrani!"
kata Lam-sing. "Aku tahu," sahut Hong Biau-siang. Segera ia merobek baju
Lam-sing sehingga kelihatan lukanya yang hitam, ia terkejut,
"He, lihai amat jarum berbisa ini!"
Ia coba menekan daging sekitar luka itu, lalu bertanya
"Sakit tidak?"
"Tak apa-apa koreklah," sahut Lam-sing.
Dengan pisau kecil yang tajam, Biau-siang lantas mengorek
daging yang sudah membusuk itu dan memencet keluar darah
yang berbisa menyusul batu sembrani digunakan menyedot
jarumnya. Sedikitpun Lam-sing ternyata tidak merintih.
Selesai mencabut jarum berbisa itu, kebetulan Biau-siang
mendengar percakapan Ong Kiat yang mengatakan Su Pek-to
telah dikalahkan Kim Tiok-liu, keruan ia bergirang. Dilihatnya
Lam-sing lagi mengumpulkan semangat, selang sejenak
barulah Lam-sing membuka mata dan bertanya "Apakah kau
punya jarum perak buat Tjiam-tjiu (penyembuhan tusuk
jarum)." "Jarum jahit sih ada," sahut Biau-siang.
"Jarum jahit tidak bisa digunakan." kata Lam-sing. lalu ia
mencoba mengalihkan pandangan ke atas kepala si nona.
Tergerak hati Biau-siang, segera ia mencabut tusuk konde
perak, katanya, "Apakah ini bisa dipakai?"
"Bisa, hanya....."
"Tidak apa, katakanlah padaku cara mencocok jarum ini,"
kata Biau-siang yang dapat menerka apa maksud Lam-sing
itu. Kiranya penyembuhan dengan tusuk jarum untuk
memunahkan racun, perlu melepaskan pakaian agar tujuh
Hiat-to yang bersangkutan dapat ditusuk, selain itu lengan
celana juga perlu digulung agar Koan-tiau-hiat di bagian
dengkul bisa ditusuk. Walaupun putera-puteri Kangouw tidak
mempersoalkan pantangan laki-laki perempuan juga kurang
sedap dilihat orang.
Pada saat itulah tiba-tiba Hong Tju-tjiau melangkah masuk,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rupanya Ong Kiat baru saja pergi, serunya dengan tertawa
"Eh, kau sudah segar kembali. Apakah kau hendak melakukan
pemunahan racun dengan tusuk jarum" Baiklah akan
kubantu." "Jangan ayah!" tiba-tiba Biau-siang menyela.
"Kenapa?" tanya Tju-tjiau bingung.
"Eh, rupanya ayah lupa bahwa penyakit rematik tanganmu
sering kumat dan suka gemetar, mana bisa tepat tusukan
jarumnya nanti. Biarlah aku saja yang melakukan."
"Sakit rematik?" kata Tju-tjiau melenggong, tapi segera ia
tahu maksud anak perempuannya yaitu kuatir kalau-kalau dia
mencelakai bocah ini.
Sudah tentu Hong Tju-tjiau tidak punya maksud baik
terhadap Le Lam-sing, tapi untuk sementara ia masih raguragu
karena kuatir Kim Tiok-liu akan menuntut balas padanya.
Pula ia tahu maksud jahatnya pasti akan dirintangi puterinya,
terpaksa ia hanya tertawa dan berkata "Ya. memang benar
ucapanmu. Bolehlah kau menyembuhkan dia aku akan
menjaga di luar."
Le Lam-sing lantas mengajarkan cara tusuk jarum, lalu ia
melepaskan bajunya dan membiarkan Biau-siang menusuk
Hiat to tertentu dengan tusuk konde perak tadi. Karena belum
begitu paham, sampai lama barulah selesai dan jidat Biausiang
sudah penuh keringat.
Sesudah mengaso sebentar sambil menunggu Lam-sing
memakai bajunya kembali, lalu Biau-siang berkata "Apakah
kau mendengar apa yang dibicarakan ayah dengan
kenalannya tadi?"
"Tidak, ada berita apa?" tanya Lam-sing, lantaran sedang
memusatkan tenaga dalam buat menolak racun, maka Lamsing
Amanat Marga 7 Elang Pemburu Karya Gu Long Neraka Hitam 2
^