Pendekar Jembel 15

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 15


yang besar, sedikitnya cukup untuk menebus kekalahan
mereka. Kongsun Yan terus mengejar ke jurusan lari pasukan
musuh tanpa menghiraukan prajurit-prajurit yang berceraiberai
dan ketinggalan di sepanjang jalan dalam kelompokkelompok
yang tak teratur. Ada juga beberapa prajurit yang
berani mengganggu Kongsun Yan, tapi semuanya dibunuh
oleh si nona. Sepanjang jalan, Kongsun Yan terus berganti kuda segar
yang banyak terdapat di jalan, dua hari kemudian jejak Lamsing
masih belum diketahui, jago musuh juga tiada seorang
pun yang dijumpai.
Hari keempat, di tengah jalan Kongsun Yan bertemu
dengan seorang kenalan, yakni Kiong Peng-hoan, tangan
kanan ayahnya sendiri. Di dalam Ang-eng-hwe, baik
kepandaian maupun kedudukan Kiong Peng-hoan ini hanya di
bawah Kongsun Hong saja.
Sungguh girang sekali Kongsun Yan, ia lantas menyapa,
"Kiong Peng-hoan Sioksiok, kau pun datang kemari?"
"Justru lantaran kau, ayahmu merasa kuatir, maka aku
diutus mencari kau," sahut Kiong Peng-hoan tertawa.
"Kabarnya Sedjiang sudah direbut oleh pasukan pergerakan,
entah betul tidak. Mestinya aku akan mencari kau ke kota itu."
"Memang betul kabar itu," kata Kongsun Yan. "Temanmu
yang baik Kim Tiok-liu berada di sana."
"Lalu kau sendiri kenapa tidak di sana, sebaliknya sendirian
berada di sini?" tanya Kiong Peng-hoan.
"Aku lagi mencari seorang kawan yang terluka, aku
menyangsikan dia ditawan musuh," tutur Kongsun Yan.
"Paman Kiong, dalam perjalananmu apakah kau melihat orang
menggiring seorang pemuda yang terluka?"
Kiong Peng-hoan menggeleng katanya, "Tidak, siapakah
pemuda yang kau maksud itu?"
"Le Lam-sing!" sahut si nona.
"O, kiranya dia. Kabarnya ilmu silat Lam-sing juga sangat
hebat. Siapakah yang mampu menawan dia?"
"Aku hanya mengetahui dia terluka oleh pukulan Su Pek-to,
siapa yang menawan dia, aku pun tidak tahu. Paman Kiong
Peng-hoan, engkau juga kenal dia?"
"Aku pernah melihat dia ketika tahun lalu dia bersama Kim
Tiok-liu membikin onar di istana Sat Hok-ting. Jika aku
bertemu dia di tengah jalan, tentu aku masih ingat akan
wajahnya."
Kongsun Yan sangat kecewa, ia coba bertanya lagi,
"Apakah di tengah jalan kau tiada melihat orang yang
mencurigakan?"
"Orang macam apakah yang mencurigakan?" tukas Kiong
Peng-hoan sambil berpikir sejenak. "Rasanya toh tidak ada. O
ya, aku menjadi teringat pada dua orang guru-murid yang
kulihat itu, mereka jarang muncul di dunia Kangouw selama
ini. Mungkin mereka termasuk orang-orang yang
mencurigakan?"
"Siapakah mereka itu dua orang guru-murid?" tanya si nona
cepat. "Yang Go dan Kiong Peng-ya. Kabarnya mereka adalah
orang sealiran Beng Sin-thong. Yang Djik-hu, ayah Yang Go
adalah Sute Beng Sin-thong. Sesudah Beng Sin-thong dan
Yang Djik-hu mati, di zaman ini yang mahir ilmu Siu-lo-im-satkang
hanya tinggal mereka guru-murid saja."
"Jangan kau bercerita tentang asal-usul mereka, tuturkan
dulu dimana dan kapan kau melihat mereka?" sela Kongsun
Yan cepat. "Semalam ketika aku menginap di suatu penginapan kecil di
kota kecil yang bernama Hek-tjiok-kang di depan sana. Aku
tidak mempunyai hubungan baik dengan Yang Go, hanya
pernah mengenalnya saja. Waktu aku masuk penginapan itu,
pantasnya dia menyapa padaku, tapi entah mengapa dia purapura
tidak tahu. Kuanggap dia kepala besar, maka aku pun tak
mempeduiikan dia,"
"Ya, tentu mereka itulah," seru Kongsun Yan girang.
"Sayang kau tidak mencari tahu tingkah laku mereka, besar
kemungkinan Lam-sing tertawan oleh mereka dan
disembunyikan di kamar dalam keadaan Hiat-to tertutuk."
"Rasanya Yang Go jarang sekali berhubungan dengan kaum
pembesar, mengapa sekali ini dia hadir di tempat Swe Benghiong?"
"Mereka guru dan murid justru adalah tokoh undangan Swe
Beng-hiong, dalam pertempuran sengit di kediaman Swe
lleng-hiong itu, pernah juga Yang Go muncul dalam waktu
lingkat, agaknya telah mengadu pukulan satu kali dengan Kim
liok-liu, kemudian entah kemana larinya. Kiong Peng-ya juga
pernah bergebrak dengan aku, lalu juga menghilang.
Sekarang ?nisannya menjadi jelas, tentu Yang Go yang telah
menawan Le Lam-sing, dalam keadaan kacau itulah mereka
mengeluyur pergi lebih dulu."
"Benar, benar, uraianmu memang masuk diakal. Pantas
Yang Go pura-pura tidak melihat aku, rupanya kuatir aku
menanyai dia."
"Marilah kita menyusul ke sana, mungkin masih keburu. Ke
jurusan manakah mereka itu?"
"Karena ingin lekas menemui kau, maka pagi tadi aku
sudah meninggalkan penginapan itu sebelum Yang Go
berangkat Hek-tjiok-kang ada dua jalan yang menuju ke
Lantjiu dan Hong-tiong. Entah mereka mengambil jalan yang
mana." "Baik, jika begitu marilah kita menyusul mereka masingmasing
satu jurusan. Untung tiada jalan simpang ketiga."
"Nanti dulu," cegah Kiong Peng-hoan. "Bagaimana ilmu silat
Yang Go itu masih belum diketahui jelas. Tapi mengingat dia
meyakinkan Siu-lo-im-sat-kang, maka kepandaiannya pasti
sangat hebat, kita jangan memandang enteng padanya. Kita
boleh mengejarnya dari dua jurusan, tapi kalau kau
menemukan dia, jangan buru-buru bergebrak dengan dia.
Kuberi sebatang Tjoa-yam-tji (panah berapi) padamu, bila kau
menemukan jejak mereka segera lepaskan panah berapi ini
sebagai tanda. Daerah Hok-tjiok-kang seluas puluhan li adalah
tanah lapang, rasanya api panah ini dapat kulihat dari jauh.
Sebaliknya kalau aku yang menemukan mereka juga akan
kulepaskan panah isyarat ini."
Kongsun Yan menyatakan baik dan menerima Tjoa-yam tji
itu terus berangkat. Mereka membagi dua jurusan untuk men
cari jejak Le Lam-sing.
Kuda tunggangan Kongsun Yan sudah berlari beberapa
hari, sekarang dia mempercepat lagi larinya, kira-kira satu jam
kemudian kuda itu mulai lelah dan terpaksa dilambatkan,
jalanai pegunungan di depan juga semakin terjal.
Hati Kongsun Yan tambah gelisah, sayang tiada kuda ram
pasan yang dapat dibuat ganti. Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar sayup-sayup suara seruling yang merawan hati,
sungguh girang Kongsun Yan tak terperikan, ia menjadi lupa
pada pesan Kiong Peng-hoan, tanpa terasa ia terus berteriak,
"Le-toako! Lc-toako!"
Ia tidak tahu peniup seruling itu Le Lam-sing atau bukan,
dan apakah pemuda itu mendengar teriakannya. Yang jelas
suara seruling tadi mendadak berhenti setelah teriakannya itu.
Seketika Kongsun Yan sadar, pikirnya, "Celaka! Teriakan-ku
tadi tentu pula didengar oleh Yang-Go dan bisa jadi dia akan
mengambil tindakan yang tidak menguntungkan Le-toako."
Tapi sudah telanjur salah, terpaksa Kongsun Yan
melepaskan Tjoa-yam-tji untuk memanggil Kiong Peng-hoan,
lalu ia mempercepat lari kudanya menyusul ke depan.
Setelah melintasi suatu tanjakan, benar juga terlihat ada
tiga orang berada di atas bukit sana. Seperti dugaannya,
ketiga orang itu adalah Yang Go, Kiong Peng-ya dan Le Lamsing.
Sebenarnya Yang Go telah menutuk Hiat-to Le Lam-sing,
[tapi menghadapi jalan pegunungan yang sukar dilalui, pula
merasa telah jauh meninggalkan kota Sedjiang, maka Yang Go
membuka Hiat-to pemuda itu dan memaksa dia berjalan
sendiri. Ia menduga Le Lam-sing takkan mampu lari meski dia
membuka Hiat-to yang tertutuk itu, karena pemuda itu sudah
terluka dalam. Selain itu Yang Go juga ingin memperalat Lamsing,
yaitu bermaksud membangun kembali Thian-mo-kau.
Dalam keadaan serba susah, lari tidak mampu, mati pun
tidak bisa, untuk menghibur hati yang kesal itu Lam-sing
meniup seruling, tak terduga suara serulingnya telah
memancing kedatangan Kongsun Yan. Keruan Lam-sing
terkejut melihat munculnya si nona, cepat ia berseru, "Adik
Yan, lekas kau kembali!" "Jangan buka mulut!" bentak Yang
Go. Berbareng Kiong Peng-ya juga mencabut belati dan
mengancam mulut Le Lam-sing, "Suhu menyuruh kau tutup
bacot, dengar tidak" Jika kau berani buka mulut lagi, segera
kutikam dengan belati ini!"
"Kau berani mengganggu seujung rambutnya, akan
kuminta ayah membinasakan kalian!" teriak Kongsun Yan
dengan gusar dan kuatir.
"Hahaha!" Yang Go bergelak tertawa. "Apakah kau kira aku
kena digertak dengan nama ayahmu" Pula, tangan ayahmu
juga tidak mampu menjulur sepanjang ini, seumpama seperti
keinginanmu, kelak ayahmu dapat membunuh kami, tapi apa
yang dapat diperbuat ayahmu jika sekarang juga kami
membinasakan dulu kekasihmu ini" Eh, anak dara, kukira lebih
baik kita berunding saja dan kau tidak perlu omong besar."
Kongsun Yan menjadi kuatir juga, terpaksa ia menjawab,
"Apa yang bisa dirundingkan dengan kalian?"
"Terus terang kukatakan bahwa sebenarnya kami tidak
bermaksud jahat terhadap Le-kongtju, sebaliknya kami malah
hendak mengangkat dia menjadi Kautju Thian-mo-kau kami.
Soalnya dia tidak menerima maksud baik kami, maka terpaksa
kami mesti membikin susah dia. Nona Kongsun, hendaklah
kau membantu kami membujuk dia agar suka menjadi Kautju
dan kau sendiri akan menjadi nyonya Kautju, bukankah serba
baik semuanya?"
"Adik Yan, jangan mau diapusi oleh kata-katanya yang
manis, percayalah padaku, lekas kau pulang saja!" seru Lamsing.
Kiong Peng-ya menjadi gusar, "Plak-plak", beberapa kali ia
menampar muka Le Lam-sing sambil membentak, "Keparat
yang tidak tahu maksud baik orang, rupanya kau lebih suka
dihajar adat" Tutup bacotmu saja, kalau tidak, hm, belatiku ini
benar-benar akan masuk mulutmu!" Berbareng ia
mengacungkan belatinya ke muka Le Lam-sing.
Namun Le Lam-sing hanya menjawab dengan tersenyum
mengejek meski darah mengalir dari sudut mulutnya.
"Peng-ya tidak perlu buru-buru menghajar dia," kata Yang
Go. Kongsun Yan menjadi gusar juga, teriaknya, "Kau.....kau
berani menganiaya dia?"
"Muridku ini memang rada berangasan, nona Kongsun, kau
jangan marah," kata Yang Go. "Bagaimana kalau aku
mengusulkan kau ikut perjalanan kami ini, jika kau tidak mau
membujuk dia, juga aku tidak memaksa, cukup sepanjang
jalan kau merawatnya saja."
Sembari bicara Yang Go terus memapak maju seperti mau
menyambut kedatangan Kongsun Yan. Sejenak Kongsun Yan
merasa ragu-ragu, mendadak ia berseru, "Baik!" Berbareng
pecutnya menyabet, ia melarikan kudanya ke atas bukit.
Kiranya Kongsun Yan belum kenal kelihaian Yang Go, ia
pikir dapat menangkap Yang Go secara mendadak untuk
memaksanya membebaskan Le Lam-sing. Tak terduga Yang
Go juga mempunyai pikiran yang serupa, Kongsun Yan hendak
ditawannya sebagai sandera untuk mengancam Kongsun
Hong. Sekonyong-konyong Lam-sing meloncat ke bawah jurang
yang tak diketahui betapa dalamnya, selagi rubuhnya masih
melayang di udara, dia sempat berteriak, "Adik Yan, turutilah
kata-kataku, lekas pulang saja!"
Menurut jalan pikiran Lam-sing, dengan kematiannya
sendiri walaupun akan membikin si nona berduka, tapi dapat
memaksanya pulang. Pertama ia merasa dirinya sudah terluka
parah, kedua ia tidak sudi teraniaya dan dihina, ketiga ia
cukup mengetahui Kongsun Yan sekali-kali bukan tandingan
Yang Go, ia tidak ingin merembet si nona ikut tertawan
musuh, maka bertekad membunuh diri saja.
Kiong Peng-ya yang bertugas menjaga Lam-sing sama
sekali tidak menyangka pemuda itu akan membunuh diri.
Ketika mendengar suara Lam-sing, keruan ia kelabakan dan
cepat hendak meraihnya, namun sudah terlambat.
Sesaat itu baik Kongsun Yan maupun Yang Go sama-sama
kaget. Setelah tertegun sejenak, segera Konsun Yan merasa
kepala pusing, bumi dan langit terasa berputar, benaknya
hampa se-ikan-akan dirinya sendiri pun lenyap. Secara samarsamar
ia menyebut nama Lam-sing, entah berduka atau
gusar, dengan sendirinya ia terus menerjang ke atas.
Yang Go sehabis tertegun, segera timbul maksud
membunuh si nona untuk menutupi dosanya ini, agar
rahasianya me maksa kematian Le Lam-sing tidak sampai
diketahui Kim Tiok-liu dan lain-lain. Begitulah kedua orang
sama-sama berlari mendekat, Yang Go menghimpun kekuatan
pada telapak tangan mendadak ia melontarkan Siu-lo-im-satkang
yang ampuh. Terdampar oleh tenaga pukulan yang dahsyat itu, kud?
Kongsun Yan tergetar berjingkrak dan si nona terlempar ke
atas Untung juga dia terlempar ke atas sehingga kudanya itu
yang mesti terkena pukulan Yang Go, namun ia pun
merasakan angin dingin menyambar lewat di bawah kakinya.
Hawa dingin merasuk tulang itu sedikit menjernihkan pi
kiran Kongsun Yan, dalam keadaan masih terapung itu segera
ia berjumpalitan, laksana elang menyambar mangsanya, ia
menu kik sambil menusukkan pedangnya ke arah Yang Go.
Pukulan Siu-lo-im-sat-kang rada membuang tenaga mumi,
saat itu Yang Go belum sempat menghimpun tenaga lagi
untuk melancarkan pukulan lebih lanjut, sementara itu sinar
pedang su dah berkelebat, ujung pedang Kongsun Yan sudah
menusuk kt ubun-ubun kepalanya.
Sungguh kejut Yang Go tak terkatakan, sebisanya ia
mengebaskan lengan bajunya ke atas, jari tangan yang
terlindung di bawah lengan baju itu juga menjentik
"Cring", lengan baju Yang Go terobek, sebagian ujung jan
tengahnya juga teriris pedang, tapi tusukan Kongsun Yan
itupun meleset.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapa ganasnya Yang Go, begitu memutar tubuh segera i*
melancarkan serangan maut, kelima jarinya laksana kaitan
teri? meraih dan menangkap, untung Kongsun Yan cukup
gesit, ceng keraman ke pundaknya itu dapat dihindarkan,
namun terasa p? nas pedas juga terserempet oleh jari-jari
lawan itu. Dengan tertawa menyeringai Yang Go berkata, "Ingin balas
dendam terang kau tidak mampu, lebih baik aku sempunak.m
kalian saja agar kau dan Le Lam-sing bisa menjadi sepasang
merpati di akhirat."
Tiba-tiba Kongsun Yan teringat kepada Lam-sing, ia pikir
memang betul juga aku harus menyusulnya. "Enyah!"
bentaknya mendadak, berturut-turut tiga serangan nekat
memaksa Yang Go cepat mengegos ke samping.
Tanpa ayal Kongsun Yan lantas menyelinap lewat ke
sebelah sana, keruan Kiong Peng-ya kaget, disangkanya yang
dituju si nona adalah dia, terpaksa ia bersiap menghadapi
musuh. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa Kongsun Yan
sudah menerjang tiba, pedangnya terus menusuk ke
mukanya. Terpaksa Kiong Peng-ya berjongkok ke bawah,
tangan kanan menyanggah dari bawah dan tangan kiri dipakai
memegang per-gelangan tangan lawan.
Gerakan Kiong Peng-ya ini sebenarnya adalah cara merebut
senjata lawan dengan tangan kosong, suatu gerak tipu yang
bagus. Siapa duga serangan Kongsun Yan teramat cepat, baru
saja ia mulai bergerak, tahu-tahu pundaknya sudah kena
pedang duhi. Bahkar. Kongsun Yan terus membentak,
"Enyah!" Kontan muka Kiong Peng-ya babak belur terkena cap
tangan, dengan tepat ia kena digampar oleh Konsun Yan dan
jatuh terkapar. "Mati aku!" keluh Kiong Peng-ya dalam hati. Di
luar dugaan, Kongsun Yan ternyata tidak menggubrisnya lagi,
tapi terus melompati tubuhnya melayang ke depan dan berlari
ke tepi jurang.
Kongsun Yan melongok ke bawah, tertampak awan tebal
mengapung di udara hingga keadaan jurang di bawahnya
tidak kelihatan, hanya sayup-sayup terendus bau harum
bunga semerbak, bayangan Lam-sing sama sekali tidak
nampak. Namun dalam benak si nona tiba-tiba timbul suatu
lukisan seakan di bawah jurang itu adalah sorga dunia lain,
dengan tersenyum bahagia Le lam-sing tampak menjulurkan
kedua tangannya sedang menantikan kedatangannya.
"Engkoh Lam, tunggulah aku!" teriak Kongsun Yan. Pada
saat itulah tiba-tiba terdengar seman Kiong Pengiman.
"Jangan, anak Yan!"
Akan tetapi sudah tertambat, Kongsun Yan sudah terjun ke
bawah jurang. Rupanya begitu melihat Tjoa-yam-tji dilepaskan Kongsun
Yan tadi, segera Kiong Peng-hoan memburu datang, namun
toh masih tetap terlambat sejenak, menyaksikan si nona
membunuh Bin terjun ke jurang tanpa berdaya menolongnya.
Dari sedih Kiong Peng-hoan menjadi murka, "siuuur",
seperti anak panah terlepas dari busurnya, ia terus melayang
ke depan dari punggung kudanya, selagi terapung di udara
pedang sudah dilolosnya, secepat kilat ia menusuk ke arah
Yang Go. "Kiong-hiangtju, kau sendiri menyaksikan nona Kongsun
membunuh diri sendiri dan tiada sangkut-pautnya dengan
aku," leru Yang Go.
"Kentut!" bentak Kiong Peng-hoan yang wataknya memang
keras. "Bukan kau yang memaksa kematiannya, masakah dia
bisa membunuh diri." Dengan sengit dalam sekejap saja ia
ludah menyerang enam kali enam sama dengan 36 kali.
Kiong Peng-hoan adalah jago pedang nomor satu dalam
Ang-eng-hwe, kepandaiannya jauh di atas Kongsun Yan. Di
bawah serangannya yang membadai itu, Yang Go sama sekali
tidak sempat balas menyerang dengan mengerahkan Siu-loim-
wt-kang. Terpaksa ia berusaha menangkis sebisanya.
Lantaran tidak sempat menggunakan Siu-lo-im-sat-kang,
lama-lama Yang Go bertambah payah, terasa ujung pedang
lawan seakan mengiris-iris mukanya dan setiap saat jiwanya
bisa imblas, sungguh kejut Yang Go tak terhingga, cepat ia
berteriak, Teng-ya, lekas gunakan Siu-lo-im-sat-kang!"
Sebenarnya Kiong Peng-ya sedang ketakutan, karena teriikan
sang guru itu terpaksa ia menabahkan hati dan
melancarkan ?Tangan. Cuma Siu-lo-im-sat-kang yang
dilatihnya belum sempurna, Kiong Peng-hoan hanya dibuat
menggigil dingin saja. Numun begitu sudah memberi
kesempatan bernapas bagi Yang Uo, dari bahaya berubah
menjadi selamat.
Dalam pada itu Kiong Peng-ya telah menghimpun tenaga
dan memukul lagi. Dua kali diganggu, Kiong Peng-hoan
menjadi gemas, bentaknya, "Kurangajar! Biar kubinasakan kau
lebih dulu!" Habis berkata ia terus menubruk ke arah Kiong
Peng-ya. Keruan Kiong Peng-ya ketakutan setengah mati, ia
bermaksud menghindar, tetapi sudah kasip, terdengar suara
jeritan ngeri dibarengi dengan berkelebatnya sinar pedang,
kontan pe dang Kiong Peng-hoan mengurungi tubuh Kiong
Peng-ya menjadi dua potong.
Meski dengan gampang Kiong Peng-hoan berhasil
memotong badan Kiong Peng-ya. tapi kesempatan itu
digunakan oleh Yang Go untuk melancarkan Siu-lo-im-satkang
lagi. Sudah tentu Siu-lo-im-sat-kang Yang Go berbeda jauh
daripada muridnya, baru saja Kiong Peng-hoan membalikkan
tu buh, sudah terasa sambaran angin dingin, satu tenaga
pukulan dahsyat menimpa ke arahnya.
"Biarlah aku mengadu jiwa dengan kau!" bentak Kiong
Peng-hoan nekat. Di tengah sambaran angin pukulan dan
berkelebatnya sinar pedang, mendadak terdengar jeritan Yang
Go, sambil melompat mundur beberapa meter jauhnya,
tubuhnya tc lah terluka tiga tempat oleh tusukan pedang.
Kiong Peng-hoan bermaksud menambahi serangan lagi,
tiba-tiba pergelangan tangan sendiri terasa kaku, pedang
hampir terlepas dari cekalan. Kiranya dia telah dilukai oleh
pukulan Siu-lo-im-sat-kang Yang Go yang dahsyat dan maha
dingin itu, darahnya hampir membeku, persendian juga kaku.
Yang Go bersandar pada suatu batu pedas, katanya dengan
terengah-engah, "Cobalah kau maju kemari!" Ia tidak tahu
bagaimana keadaan luka lawannya, maka tidak berani
sembarang an menyerang lagi. Ia menduga luka Kiong Penghoan
tentu juga tidak ringan, kalah atau menang hanya
tergantung pada siapa yang bisa bertahan lebih lama, maka ia
sengaja diam saja dan menyuruh lawan yang maju.
Untung juga Yang Go tidak berani menyerang lagi, Kiong
Peng-hoan juga merasakan gelagat tidak menguntungkan,
paling penting sekarang menyelamatkan diri, pulang dan
melapor saja kepada cukongnya, yaitu Kongsun Hong. Maka ia
pura-pura hendak menerjang maju, tapi mendadak
menjatuhkan diri dan menggelinding ke bawah bukit.
Kuda tunggangan Kiong Peng-hoan sudah terlatih, ketika
melihat majikannya jatuh ke bawah, cepat ia berlari
mendekati. Sekuatnya Kiong Peng-hoan merangkak ke atas
kuda, lalu melarikan diri.
Baru sekarang Yang Go mengetahui keadaan Kiong Penghoan
jauh lebih parah daripada dia, diam-diam ia menyesal
tidak menyerang lebih lanjut sehingga lawan sempat lari. Tapi
ia menaksir luka parah akibat pukulan Siu-lo-im-sat-kang itu
pasti takkan tahan lama, di tengah jalan Kiong Peng-hoan
pasti akan mati. Karena Yang Go sendiri terluka tidak ringan,
terpaksa ia pun melanjutkan perjalanan sesudah
membubuhkan obat luka untuk menghindari kejaran musuh
lain Dugaan Yang Go ternyata tidak meleset, tidak terlalu jauh
Kiong Peng-hoan melarikan diri, ia sudah tidak tahan lagi,
badannya kedinginan luar biasa, akhirnya ia terperosot jatuh
dari kudanya dan tak sadarkan diri.....
Kembali mengenai Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing yang berangkat
bersama untuk mencari Le Lam-sing. Hari itu di
tengah jalan, tiba-tiba mereka bertemu dengn seorang petani
yang terus menegur, "Apakah kalian datang dari Sedjiang?"
Kim Tiok-liu membenarkan dan balas bertanya ada urusan
apa" Petani itu menjawab bahwa tetangganya, paman Thio,
menyuruhnya menyampaikan kabar kepada ksatria di Sedjiang
yang bernama Kim Tiok-liu.
Keruan Tiok-liu heran, padahal dia tidak tahu siapakah
paman Thio itu, darimana kenal padanya" Segera ia bertanya
lagi, "Aku justru kenal baik dengan Kim Tiok-liu, kabar apa
yang ikan kau sampaikan padanya, coba beritahukan padaku,
nanti aku akan meneruskan padanya."
Maka petani itu lantas menjawab, "Kemarin dulu paman
Thio telah menolong seorang sakit parah, orang itu
mengatakan mempunyai seorang kawan baik bernama Kim
Tiok-liu yang kini berada di Sedjiang, paman Thio diminta
memanggilkan tuan Kim itu. Namun paman Thio sudah terlalu
tua, ia sendiri tidak sanggup berangkat, terpaksa aku yang
disuruhnya."
Kejut dan girang pula Kim Tiok-liu, ia menyangka orang
yang sakit parah itu tentu Le Lam-sing adanya. Cepat ia
berkata lagi, "Jika demikian, lekas kau membawa kami pergi
menjenguk teman yang sakit keras itu dan berdaya
mengobatinya."
Petani itu mengiakan, cepat ia membawa Kim Tiok-liu
berdua kembali ke dusunnya. Ketika memasuki gubuk seorang
petani tua, dilihatnya di atas dipan berbaring seorang,
ternyata Kiong Peng-hoan adanya. Kim Tiok-liu terkejut,
serunya, "He, Kiong-heng, mengapa kau berada di sini,
kenapa kau?"
Ternyata Kiong Peng-hoan tidak bisa menjawab. Menurut
keterangan petani tua, katanya sejak pagi Kiong Peng-hoan
sudah tidak sadarkan diri, kaki dan tangannya juga sudah
kaku dan dingin.
Cepat Tiok-liu memegang nadinya, memang terasa badan
Kiong Peng-hoan sedingin es, cuma nadinya masih bekerja
walaupun lemah.
"Bagaimana?" tanya Ang-ing pelahan.
"Dia terluka kena racun dingin Siu-lo-im-sat-kang, mungkin
ilmu silatnya sukar pulih seluruhnya," kata Tiok-liu. Ia coba
mengerahkan tenaga murni sendiri untuk melancarkan jalan
darah Kiong Peng-hoan. Selang agak lama, ubun-ubun Kim
Tiok-liu tampak mengepul kabut tipis, keringat bercucuran.
Tapi wajah Kiong Peng-hoan yang tadinya pucat sudah mulai
bersemu merah dan akhirnya matanya pelahan melek.
Girang sekali Ang-ing dan si petani tua, Kiong Peng-hoan
lantas mengenali Kim Tiok-liu, dengan mengulum senyum,
bibirnya tampak bergerak-gerak seperti mau bicara. Cepat
Tiok-liu menempelkan telinganya.
Dengan suara lemah Kiong Peng-hoan berkata, "Keadaanku
tiada harapan lagi, kecuali kalau ada obat mujizat. Tolong kau
suka....."
"Jangan kuatir, aku justru punya obat mujizat, lebih baik
kau mengaso dulu, rawatlah badanmu lebih penting," sela Kim
Tiok-liu dengan tertawa.
Su Ang-ing heran, ia menarik Kim Tiok-liu ke pinggir dan
bertanya pelahan, "Darimana kau punya obat mukjizat?"
"Benar, bahkan obat ini adalah milik keluargamu," sahut
Tiok-liu tertawa. "Apakah kau lupa pada sumbangan kakakmu
pada hari ulang tahun Sat Hok-ting."
"O, kiranya yang maksudkan Ho-siu-oh yang berumur
ribuan tahun itu," tukas Ang-ing.
Sebagaimana diketahui berulang-ulang Su Pek-to
mengganti kado ulang tahun yang dikirimkannya kepada Sat
Hok-ting dahulu, akhirnya yang dikirim adalah Ho-siu-oh yang
sukar dicari itu. Tak terduga Ho-siu-oh itupun jatuh ke tangan
Kim Tiok-liu ketika berarhai-ramai mereka mengacau pesta
ulang tahun Sat Hok-ting.
"Ho-siu-oh ini mestinya kusimpan untuk kau, kebetulan
Kkarang dapat digunakan menolong jiwa Kiong-toako," kata
Tiok-liu, lalu ia mengeluarkan Ho-siu-oh (sejenis tumbuhtumbuhan
bahan obat sebangsa Kolesom) dan dipotong
menjadi lapisan-lapisan kecil tipis, petani tua itu diminta tolong
menyeduh menjadi teh untuk diminumkan kepada Kiong Penghoan.
Menurut taksiran Kim Tiok-liu-liu, setelah tiga kali minum
leh Ho-siu-oh itu, tiga hari paling lambat tentu Kiong Penghoan
Nidah bisa bangun. Keadaan ternyata lebih cepat
daripada duga-Mi Kim Tiok-liu, pagi hari kedua keadaan Kiong
Peng-hoan sudah tampak segar, maka buru-buru ia
menyatakan isi hatinya, "Kim-heng, aku mohon bantuanmu
mengirim kabar kepada To-||u kami bahwa puteri Totju telah
tewas." "Haah, Kongsun Yan tewas?" seru Ang-ing dan Tiok-liu
bersamaan dengan kaget.
"Ya, aku menyaksikan sendiri dia terjun ke bawah jurang,"
tutur Kiong Peng-hoan. "Menurut pengamatanku, kematian
nonn Yan adalah karena didesak oleh Yang Go, tapi
tampaknya juga timbul dari dorongan hatinya."
"Kenapa bisa demikian?" tanya Tiok-liu tidak paham.
Pikiran Ang-ing tergerak, katanya, "Tujuan Kongsun Yan
adalah mencari Le Lam-sing, jangan-jangan dia mendapatkan
berita apa-apa yang menyedihkan tentang Lam-sing?"
"Memang tidak salah dugaanmu," ujar Kiong Peng-hoan
"Waktu terjun kudengar dia menyerukan nama Le Lam-sing,
sebelumnya aku tidak mengetahui bahwa mereka ternyata
sudah jatuh cinta satu sama lain."
"Kau juga bertemu dengan Le Lam-sing?" tanya Tiok-liu.
"Tidak, dari seruannya yang mengharukan, kukira Le Lamsing
sudah mendahuluinya tewas di bawah jurang itu."
"Dimana letak tempat itu" Marilah kita menyelidikinya,
andaikan benar mereka sudah mati harus kita temukan juga jc
nazahnya," ujar Tiok-liu.
Namun Kiong Peng-hoan tidak dapat mengatakan dengan
tepat apa nama tempat kejadian itu, hanya diketahui suatu
bukit terjal yang terletak di timur Hok-tjiok-kang. Untuk
mencari tem pat yang tepat waktu Kongsun Yan bunuh diri
menurut Kiong Peng-hoan adalah sukar.
Kim Tiok-liu pikir kesehatan Kiong Peng-hoan sedikitnya
memerlukan waktu belasan hari baru bisa pulih kembali, mana
dia sabar menunggu sekian lamanya. Keruan ia menjadi


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelisah Jika Kongsun Yan dan Le Lam-sing benar-benar sudah
mati ti-1 daklah menjadi soal lagi, tapi kalau cuma terluka
parah yang mc merlukan pertolongan, maka terlambat
datangnya akan berarti celaka pula bagi kedua muda-mudi itu.
Mendadak Kiong Peng-hoan teringat kepada suasana yany
menyolok di atas bukit tempat kejadian itu, cepat ia berkata
"Warna tanah bukit itu rada berbeda daripada tempat lain,
yaitu rada bersemu merah, di atas bukit penuh tumbuh
bunga-bunga liar."
"Aku tahu tempat itu," tiba-tiba si petani tua menimbrung.
"Bukit itu namanya Tu-tjiok-san, di bawahnya adalah suatu
lembah yang curam, namanya Tho-hoa-kok Jaraknya dari sini
kira-kira 70 li, dari dusun langsung menuju ke selatan,
bilamana sudah tercium bau harum bunga yang semerbak
maka itulah tempatnya."
"Baik, segera aku berangkat ke sana," kata Tiok-liu. 'Tapi
tempat itu tidaklah mudah untuk didatangi," kata pula si
petani tua. "Apa sebabnya?" tanya Tiok-liu. "Coba ceritakan lebih
jelas." "Tho-hoa-kok itu adalah sebuah lembah sunyi yang
dikelilingi bukit-bukit sehingga tiada terdapat jalan masuk ke
sana. Untuk bisa mencapai dasar lembah itu harus merambat
langsung ke bawah dari atas bukit Tu-tjiok-san itu. Lebih
berbahaya lagi dasar lembah itu adalah tempat yang angker.
Di dasar lembah itu tumbuh beribu-ribu pohon Tho liar, pada
musim semi seperti sekarang ini, bunga Tho mekar semerbak
dan di dasar lembah itu-pun timbul Tho-hoa-tjing."
"Tho-hoa-tjing" Apakah kau maksudnya semacam kabut
yang berbisa?" Kim Tiok-liu menegas. "Tapi jangan kuatir, aku
punya obat penawar racun yang mujarab, betapapun lihainya
juga takkan mengganggu diriku."
Petani tua itu percaya ucapan Kim Tiok-liu karena telah
menyaksikan pengobatannya kepada Kiong Peng-hoan. Ia
hanya menambahkan pesan agar Tiok-liu berhati-hati bila
berangkat ke lana. Tiok-liu mengucapkan terima kasih, lalu
meninggalkan Su Ang-ing untuk merawat Kiong Peng-hoan,
segera ia berangkat ke Tu-tjiok-san.
Sesuai dengan petunjuk petani itu, setiba di Tu-tjiok-san,
dengan gampang saja Tiok-liu dapat menemukan Tho-hoakok.
Dipandang dari atas jurang tempat Kongsun Yan berdiri
dahulu, memang benar hawa berbisa yang menguap dari
dasar lembah itu sangat tebal, bau harum bunga juga
menusuk hidung, hanya menghirup napas beberapa kali saja
kepala Rim Tiok-liu sudah terasa pusing.
Untuk keselamatannya Tiok-liu mengulum Pik-ling-tan
buatan dari teratai salju Thian-san, lalu dengan Ginkangnya
yang tinggi ia merambat ke bawah laksana kera gesitnya.
Tidak terlalu lama akhirnya dia dapat mencapai dasar lembah
itu. Diam-diam ia merasa kuatir, lembah sedalam itu,
ditambah lagi hawa berbisa begitu keras, mungkin Lam-sing
dan Kongsun Yan sudah tewas di situ.
Akan tetapi setelah melangkahi tanah lembah itu, mau tak
mau Kim Tiok-liu merasa heran. Ternyata di atas tanah
laksana dilapisi bunga yang amat tebal sehingga kakinya
seperti menginjak permadani dari bulu. Ia coba menginjak
dengan kuat, ternyata di bawahnya adalah tanah lumpur.
"Le-toako! Nona Kongsun!" Tiok-liu berteriak nyaring
namun tiada jawaban, setelah menjelajahi lembah bunga Tho,
juga tidak nampak bayangan seorang pun.
Setiba di ujung hutan Tho, terlihat sebuah air terjun
mencurah keras dari dinding jurang sebelah atas dan
menimbulkan suara gemuruh, ternyata ke depan lagi sudah
buntu, tiada jalan keluar.
Tiok-liu heran, ia pikir kalau kedua muda-mudi itu sudah
mati tentu juga meninggalkan tulang-belulang. Namun ia pun
tidak berani mempunyai pikiran mengharapkan kedua
temannya itu masih hidup, meski tidak menemukan tulang
jenazahnya juga terpaksa menganggap mereka sudah mati.
Sedih rasa hati Kim Tiok-liu, terutama bila teringat pada
peristiwa pelemparan Hian-tiat-pokiam dari Le Lam-sing
kepadanya di tengah pertempuran sengit itu, dengan pedang
pusaka itulah baru ia sendiri mampu menandingi Su Pek-to
dan Bun To-tjeng berdua Jadi jiwanya sendiri boleh dikata
Lam-sing yang menyelamatkan. Coba kalau Lam-sing tidak
melemparkan Hian-tiat-pokiam kepadanya tentu Yang Go tidak
mampu menawannya Pemuda itu telah berkorban untuknya
tapi dirinya menemukan tulang belulangnya saja tidak mampu.
Makin dipikir makin pedih hati Kim Tiok-liu. Kembali ia
memanjat ke atas gunung sehingga tempo sehari suntuk
hilang percuma Besoknya ia kembali ke rumah petani tua itu, ternyata
Kiong Peng-hoan sudah bisa berjalan dengan bersandar
dinding, la menceritakan apa yang dilihatnya di Tho-hoa-kok
itu kepada Kiong Peng-hoan serta Su Ang-ing. Kiong Penghoan
juga menduga Lam-sing dan Kongsun Yan tentu sudah
mati, ia menjadi sedih dan mengalirkan air mata mengingat
tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana ditugaskan
oleh sang Totju.
Setelah termenung-menung sejenak, Su Ang-ing berkata
"Kau bilang dasar lembah itu penuh tertimbun rontokan bunga
yang tebal, tanahnya juga lunak. Dalam keadaan demikian
orang yang terjun di situ belum tentu akan jatuh mati."
"Semoga demikian hendaknya" kata Tiok-liu. "Tapi
andaikan masih hidup rasanya juga sukar keluar dari lembah
itu dengan selamat."
"Sudahlah, paling penting sekarang kita berusaha
membalaskan sakit hati mereka" kata Kiong Peng-hoan.
"Cuma keadaanku sukar pulih dalam waktu singkat, tugas
mengirim berita....."
"Mengirim berita kepada Kongsun-lotjianpwe tugasku," lela
Tiok-liu. "Cuma kau harus mencari suatu tempat perawatan
yang lebih sempurna."
Esoknya Kim Tiok-liu lantas menyewakan sebuah kereta
dan mengawal Kiong Peng-hoan ke Thay-liang-san. Saat itu
pandean pergerakan sudah melepaskan kota Sedjiang dan
kembali ke pegunungan yang merupakan pangkalan utama
gerakan militer untuk sementara berhenti. Ketika mengetahui
nasib Le Lam-king dan Kongsun Yan itu, semua orang sama
merasa gegetun. I - Kim Tiok-liu berjanji pada Tiok Siang-hu,
sesudah membiaskan sakit hati Le Lam-sing segera dia akan
kembali. Sedangkan langkah pertama menuntut balas itu ialah
menyampatkan berita duka kepada Kongsun Hong.
Keberangkatan Kim Tiok-liu ke selatan dengan sendirinya
disertai oleh Su Ang-ing. Li Tun dan Ho Djay-hong memimpin
anggota-anggota Liok-hap-pang pulang dulu ke Yangtjiu,
pesan yang ditinggalkan kepada Su Ang-ing ialah minta si
nona bersama Kim Tiok-liu lekas kembali ke Yangtjiu untuk
menggantikan kedudukan Pangtju secara resmi.
Begitulah Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing lantas berangkat
menuju tempat kediaman Kongsun Hong. Sepanjang jalan
tiada terjadi apa-apa. Suatu hari sampailah di Hoa-im-koan di
daerah Siamsay. Pegunungan Hoa-san yang terkenal terletak
di selatan kota kabupaten itu.
Waktu itu sudah bulan ketiga musim semi, pemandangan
indah permai. Kim Tiok-liu bercerita kisah dunia persilatan di
masa lampau, katanya, "Di atas Hoa-san, dahulu tinggal
seorang tabib sakti sahabat ayahku dan ayah angkat
Toasuheng pula Konon ilmu pengobatannya sangat sakti,
segala macam penyakit aneh juga dapat disembuhkan
olehnya. Cuma sayang ilmunya itu sekarang telah lenyap."
"Apakah kau maksudkan Hoa-san-ih-un Hoa Thian-hong?"
tukas Ang-ing. "Meski dia sudah lama meninggal, tapi ilmunya
tidaklah lenyap."
"O, kiranya kau pun tahu akan tabib sakti itu," kata Tiok liu.
"Memang dia punya seorang anak perempuan dan mewarisi
ilmunya. Tapi menurut cerita ayah, katanya puterinya itu diper
istri oleh seorang raja suatu negeri kecil di wilayah barat sana.
dengan sendirinya ia tak melakukan pengobatan lagi bagi
orang sakit."
"Rupanya kau tidak mengetahui bahwa Hoa-lotjianpwe itu
masih mempunyai ahli waris lain, yaitu seorang bekas
kacungnya yang kini umurnya kira-kira 20-an tahun," kata
Ang-ing. "Kacung itu sekarang memakai nama agama Sok-sik
Todjin, dulu dua orang Liok-hap-pang kami pernah terkena
senjata rahasia berbisa musuh dan telah disembuhkan oleh
Sok-sik Totiang, makanya aku kenal asal-usulnya."
"O, barangkali dia masih kecil ketika ayahku berkenalan
dengan Hoa-lotjianpwe, makanya ayah tidak pernah menyebut
dia. Kalau diurutkan, Sok-sik Totiang itu masih terhitung
teman kita, sayang kita harus meneruskan perjalanan dan
tidak sempat menjenguknya."
Tengah berbicara, tiba-tiba dari atas gunung berjalan turun
seorang wanita tani dengan menangis sedih. Ang-ing merasa
kasihan, lalu ia mencoba menegurnya, "Ada apa bibi menangis
sedemikian sedih" Cobalah katakan, mungkin aku bisa
memberi bantuan seperlunya."
"Banyak terima kasih atas maksud baik nona," sahut wanita
tani itu. "Tapi dasar nasibku yang sial. Anakku mendapat
penyakit berat, menurut tabib kita, katanya sukar
disembuhkan kecuali mengundang tabib sakti yang tinggal di
puncak Hoa-san sana. Namun memang nasibku yang jelek
sehingga semuanya sia-sia belaka."
"Ada apa dengan tabib Totiang di atas Hoa-san itu" Apakah
dia keluar berkelana atau menolak undanganmu?" tanya Tiokliu.
"Bukan, bukan," sahut wanita itu. "Totiang itu justru sangat
baik hati, cuma sayang, beliau sudah mati kemarin." Sampai di
sini kembali ia menangis sedih lagi.
"Totiang itu sudah mati?" Ang-ing menegas dengan
terkejut. "Ya, tidak salah lagi, malahan peti matinya masih belum
dikubur, orang yang datang melayat juga masih berkumpul di
utas gunung sana," sahut wanita itu. "O, meninggalnya
Totiang itu berarti pula jiwa anakku tak tertolong lagi, aku pun
tidak Ingin hidup merana lagi di dunia ini."
"Bibi jangan kuatir, mungkin aku dapat mengobati penyakit
anakmu itu," ujar Kim Tiok-liu. "Pil ini kau bawa pulang dan
minumkan kepada anakmu, selain itu kuberi lagi sepuluh tail
penik, belikan jamu kuat dan makanan yang berguna bagi
kesehatan anakmu."
Kiranya pil yang diberikan Kim Tiok-liu itu adalah Siauhoan-
tan yang diperolehnya dari Ki Hiau-hong, pil itu berasal
dari Siau-lim-si dan merupakan obat mujarab untuk macammacam
penyakit dalam.
Sebenarnya wanita tani itu sukar mempercayai keterangan
Kim Tiok-liu, tapi orang bermaksud baik, daripada hilang
harapan, apa salahnya kalau dicoba. Maka sambil
mengucapkan terima kasih banyak, wanita itu menerima obat
dan uang pemberian Kim Tiok-liu, lalu pulang.
Seperginya wanita tani itu, Su Ang-ing berkata kepada Kim
Tiok-liu, "Aku merasa urusan ini rada-rada tidak beres."
"Benar," sahut Tiok-liu. "Kematian Sok-sik Todjin tentu ada
apa-apanya. Sebagai kawan kekeluargaan, sepantasnya kita
melayat juga ke atas gunung."
Begitulah mereka lantas naik ke Hoa-san, sampai di ping
gang gunung tertampaklah sebuah kuil, di depan pintu tergan
tung tenglong, di dalam kuil terdengar suara ribut orang
banyak. Dahulu Hoa Thian-hong sendiri tinggal di puncak Hoa-san,
sam pai di tangan Sok-sik Todjin untuk memudahkan
pengobatan kepada rakyat-rakyat dusun, maka di tengah
gunung itu telah di bangun cabang kuil itu.
"Tentu inilah kuil kediaman Sok-sik Totiang," kata Tiok liu.
"Aneh, orang sudah mati kenapa ribut-ribut seperti ada yang
bertengkar di tempat ini?"
Mereka coba masuk ke kuil itu, terdengar suara kasar
seorang sedang berteriak, "Aku tidak percaya, coba buka peti
matinya, aku ingin melihat."
Seorang lagi menjawab, "Guruku benar-benar sudah wafat,
peti mati beliau juga sudah dipantek rapat."
"Sudah dipantek rapat juga harus dibuka!" teriak orang
tadi. Menyusul terdengarlah suara berkeriutnya tutup peti
mati, kebetulan Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing sempat ikut
menyaksikan pembukaan tutup peti mati.
Ketika tutup peti dibuka, beberapa laki-laki tegap segera
merubung maju untuk melihat, terdengar mereka berseru,
"He. benar-benar Sok-sik Todjin adanya!"
"Memangnya aku sudah mengatakan guruku telah
meninggal, tapi kalian tetap tidak percaya dan memaksa
membuka peti mati segala. Hm, sekarang kalian mau percaya
tidak?" omel seorang, rupanya murid Sok-sik Todjin.
"Ya, aneh, seperti mati keracunan" Tidak perlu disangsikan
lagi, tentu perbuatan keji Thian-mo-kau?" demikian beberapa
laki-laki tegap tadi saling ribut dan kecewa.
Kim Tiok-liu juga terkejut, pikirnya di dalam hati, "Mengapa
mereka mencurigai perbuatan keji Thian-mo-kau?" Segera ia
mendesak maju dan berseru, "Coba kulihat!"
Ternyata mayat yang terbujur di dalam peti mati itu tampak
tidak wajar, muka gelap dan lubang hidung berdarah. Tiok-liu
menjadi sangsi, sebab keadaan demikian memang mirip kena
jarum berbisa Thian-mo-kau, tapi nenek she Ho itu sudah
mati. siapa lagi yang mahir menggunakan jarum berbisa
begitu" Li Tun pasti tidak mau berbuat demikian.
Mendadak seorang di antara hadirin itu mengenali Ang-ing
dan berseru, "He, nona Su, engkau juga datang! Sobat ini....."
Ang-ing meiengak, segera ia pun ingat siapa penegur itu,
sahurnya, "O, kiranya Sun-hiangtju dari Tiang-keng-pang."
"Benar, Tjayhe memang Sun Pek-siu dari Tiang-keng
pang," kata orang itu. "Kawan-kawan, inilah adik perempuan
Su-pangtju dari Liok-hap-pang."
"Kim-siauhiap ini adalah Sute Kang-tayhiap, Kang Hay
thian," Ang-ing memperkenalkan pula Kim Tiok-liu.
Tiang-keng-pang adalah salah satu gerombolan berpenga
ruh di lembah Hongho, termasuk gerombolan yang tunduk ke
pada pimpinan Liok-hap-pang. Sun Pek-siu pernah berkunjung
ke Yangtjiu, maka Ang-ing kenal dia. Cuma Pek-siu tidak tahu
Su Pek-to sudah mati di Sedjiang serta penggantian Ang-ing
atas jabatan Pangtju kakaknya itu.
Kang Hay-thian dan Su Pek-to adalah tokoh-tokoh yang
terkenal oleh setiap orang Kangouw, maka begitu mengetahui


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka masing-masing adalah Sute Kang Hay-thian dan adik
perempuan Su Pek-to, beramai-ramai orang yang hadir di situ
antas maju memberi hormat.
"Kedatangan Kim-siauhiap sungguh amat kebetulan, urusan
ini mungkin hanya Kang-tayhiap saja yang bisa memberi
keadilan kepada kami," kata pula Sun Pek-siu.
"Bagaimana duduknya perkara, harap menjelaskan," pinta
Liok-liu. Sun Pek-siu menutup kembali tutup peti mati tadi dan
meminta maaf kepada tuan rumah, lalu menutur, "Lantaran
tidak sabar dan ingin minta pertolongan Sok-sik Totiang untuk
mengobati ketua-ketua dari beberapa perkumpulan kami yang
diracun oleh Thian-mo-kau, maka kami membikin ribut di sini.
Tak tersangka Sok-sik Totiang sendiri juga mengalami nasib
jelek." "Thian-mo-kau meracuni pemimpin-pemimpin kalian,
bukankah Thian-mo-kau sudah bubar lebih 20 tahun yang lalu,
mengapa sekarang muncul kembali dan berbuat sekeji ini?"
tanya Kim Tiok-liu. "Tapi dengan dasar apa kalian mengatakan
semua ini adalah perbuatan Thian-mo-kau?"
"Memang Thian-mo-kau dahulu telah dibubarkan berkat
tindakan ayah Kim-siauhiap," kata Sun Pek-siu. "Tapi barubaru
ini muncul Kautju baru, Thian-mo-kau telah dibangun
kembali. Permusuhan beberapa perkumpulan kami dengan
Thian-mo-kau juga timbul dari urusan ini."
"Siapakah Kautju Thian-mo-kau yang baru itu?" Tiok-liu
menegas. "Kabarnya adalah cucu keponakan Le Seng-iam, cikal-bakal
Thian-mo-kau, namanya Le Lara-sing," tutur Sun Pek-siu.
"Le Lam-sing" Mana bisa dia" Kalian tidak keliru?" seru
Tiok-liu terkejut.
Kim Tiok-liu bertanya lebih lanjut duduknya perkara, lalu
Sun Pek-siu menceritakan pengalaman mereka.
Kiranya bulan yang lalu mereka mendapat undangan dari
Thian-mo-kau agar menghadiri kebangkitan kembali ThianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mo-kau oleh Pangtju baru bernama Le Lam-sing, ternyata
undangan itu disertai pula dengan gertakan dan ancaman.
"Sebagai seorang yang hidupnya selalu bermain senjata,
sudah tentu kami tidak gentar terhadap segala ancaman,
namun demikian kami pun tidak berani memandang enteng
Thian-mo-kau dan senantiasa waspada," demikian Sun Pek-siu
menutur lebih lanjut. "Tak terduga ancaman Thian-mo-kau itu
ternyata bukan gertakan omong kosong belaka, Pangtju kami
tetap kena perangkap Thian-mo-kau. Waktu itu Pangtju kami
baru pulang dari suatu tugas di tempat lain, di suatu kedai di
tengah perjalanan beliau berhenti minum, pemilik kedai itu
adalah teman kami sendiri sehingga tidak perlu disangsikan.
Siapa duga sehabis Pangtju kami minum semangkuk teh,
hanya sebentar saja Pangtju melanjutkan perjalanan lantas
merasa perut seperti dibakar, makin lama makin parah, maka
tahulah Pangtju tentu keracunan Dua orang teman yang
mengiringi Pangtju segera bertindak, yang seorang mengawal
Pangtju pulang kemari, seorang lagi kembali ke sana mencari
si kakek pemilik kedai."
"Tapi setiba di kedai itu ternyata kakek itu sudah mati
terbunuh, di samping mayatnya tertinggal sepucuk surat yang
menyatakan korban-korban yang ingin hidup hendaklah minta
ampun kepada Thian-mo-kau. Sudah jelas maksud kejinya
agar kami diharuskan tunduk kepada Thian-mo-kau. Oleh
karena kami tidak sudi menyerah, maka datang kemari hendak
minta tolong kepada Sok-sik Totiang, tak terduga beliau juga
sudah meninggal dengan nasib yang sama."
Selesai Sun Pek-siu menutur, yang lain-lain juga menceri
takan pengalaman masing-masing dan ternyata hampir serupa
seperti apa yang dialami Tiang-keng-pang.
"Coba Kim-siauhiap," kata Sun Pek-siu pula. "Betapa
kejinya bocah she Le itu, baru saja menjadi Kautju sudah
bertindak sekejam itu. Kami merasa tidak sanggup melawan
Thian-mo-kau, maka sekarang hanya mohon Kim-siauhiap
membela kami secara adil."
"Baiklah, tentu akan kuselidiki urusan ini dengan jelas,"
sahut Kim Tiok-liu. "Cuma perlu kalian ketahui, Su Pek-to dari
Liok-hap-pang sekarang sudah meninggal."
"Su-pangtju sudah meninggal, setinggi itu kepandaian
beliau, masakah juga kena dicelakai bocah she Le itu?" seru
Sun Pek-siu kaget.
"Su-pangtju tidak tewas di tangan Le Lam-sing, tapi dia
membunuh diri sendiri," kata Kim Tiok-liu. "Tentunya kalian
maklum, manusia yang berbuat tidak baik tentu akan
menebus dosanya sendiri dengan setimpal. Percuma saja Su
Pek-to berkepandaian tinggi, tapi dia rela menjadi anjing alapalap
Kerajaan, akhirnya dia terpencil sendiri dan menghadapi
jalart buntu, lalu membikin tamat riwayatnya sendiri."
Sun Pek-siu dan lain-lain melongo bingung mendengar
kematian Su Pek-to itu.
Kim Tiok-liu lantas melanjutkan, "Mungkin kalian belum
lahu apa yang terjadi di Sedjiang" Su Pek-to menggabungkan
diri dengan Swe Beng-hiong, anak buah Liok-hap-pang tak
sudi lagi menjadi pengekor pemimpinnya sebelum Su Pek-to
membunuh diri semua anak buahnya mengangkat nona Su
menjadi Pangtju baru, walaupun nona Su adalah adik kandung
Su Pek-to, lapi pribadinya tidak sama, nona Su sendiri yang
membinasakan Swe Beng-hiong, Liok-hap-pang sekarang
sudah resmi menggabungkan diri ke dalam pasukan
pergerakan."
"Kematian kakakku adalah akibat kejahatannya sendiri," Su
Ang-ing menyambung. "Aku sendiri merasa malu karena ti-ilnk
bisa menyadarkan dia ke jalan yang benar. Semoga kalian
menganggap kematian kakakku sebagai cermin dan jangan
sampai tersesat lagi."
Sun Pek-siu dan lain-lain biasanya memang tunduk di
bawah pengaruh Liok-hap-pang, cuma rasa takut mereka lebih
besar daripada rasa tunduk kepada Su Pek-to, sekarang
diketahui Liok-hap-pang telah berganti pimpinan, mereka
menjadi girang dan menyatakan akan tetap setia di bawah
pimpinan Liok-hap-pang.
"Li Tun yang kami angkat menjadi wakil Pangtju mahir
memunahkan segala macam racun yang dikerjakan Thian-mokau,
maka kalian jangan kuatir, tentu akan kusuruh dia
menyembuhkan Pangtju-pangtju kalian. Soal menghadapi
Thian-mo-kaii juga kami akan berdaya dengan cara paling
baik, cuma dalam urusan ini banyak hal-hal yang
mencurigakan, aku dan Kim-siauhiap akan menyelidiki dulu
duduknya perkara, sebelum persoalannya menjadi jelas,
hendaklah kalian bersabar dan jangan bentrok dengan Thianmo-
kau." Sun Pek-siu dan lain-lain mengucapkan terima kasih dan
menyatakan taat kepada perintah Su Ang-ing itu, lalu Ang-ing
dan Kim Tiok-liu mendahului meninggalkan kuil itu.
"Urusan ini benar-benar sangat aneh, bagaimana menurut
pandanganmu?" tanya Ang-ing kepada Tiok-liu di tengah
jalan. "Aku yakin Kautju baru Thian-mo-kau tentu Le-toako
palsu," sahut Tiok-liu. "Setahuku Yang Go pernah
menggunakan macam-macam cara untuk memaksa Le-toako
agar menerima menjadi Kautju baru mereka, waktu itu Letoako
bahkan marah dan bergebrak dengan mereka, coba
pikir, masakah sekarang din mau mencari susah sendiri
dengan membentuk kembali Thian-mo-kau?"
"Ya, aku juga berpikir tentu Le-toako palsu, cuma ada
sesuatu tanda tanya besar yang tak bisa kupahami."
"Apakah kau menyangsikan Le-toako mungkin sekait musih
hidup?" "Benar, sebab kalau dia benar-benar sudah tewas, darimana
lagi Le Lam-sing palsu ini munculnya" Tidak sedikit orangorang
Bu-lim yang mengenal Le-toako, masakah Le Lam-sing
palsu ini tak takut kedoknya bakal terbongkar oleh orangorang
yang mengenal dia?"
"Apakah maksudmu mungkin Le-toako berada di bawah
pengaruh dan paksaan orang?"
"Aku mengenal watak Le-toako yang keras, tidak nanti dia
mau takluk di bawah pengaruh orang lain, cuma kalau
misalnya Yang Go memberinya semacam obat yang membuat
pikiran sehatnya menjadi kabur, lalu menjadikan dia sebagai
boneka, bukankah hal ini mungkin sekali terjadi?"
"Memang bukan mustahil bisa terjadi demikian, sebab cara
menaruh racun orang Thian-mo-kau memang teramat aneh.
Cuma ada suatu yang kusangsikan. Menurut cerita Kiong
Peng-hoan, sesudah bergebrak dengan dia tempo hari, Yang
Go sendiri terluka tidak ringan, dalam keadaan demikian
masakah dia berani terjun ke bawah jurang untuk mencari Letoako."
"Kalau begitu bagaimana pandanganmu" Apakah kita harus
langsung menemui Kautju baru itu untuk mengetahui asli atau
palsu?" tanya Ang-ing.
"Menemui Kautju baru itu adalah pasti akan kita lakukan,
cuma sebelumnya akan lebih baik bila kita bisa memperoleh
bahan-bahan keterangan yang lebih banyak. Untuk sekarang
ini biarlah kita teruskan rencana semula, yaitu menemui
Kongsun Hong lebih dulu. Pertama, kita harus menyampaikan
pesan dari Kiong Peng-hoan yang tidak bisa ditunda lagi.
Kedua, sebagai organisasi Kangouw yang besar tentu Thianmo-
kau mengundang juga pihak Ang-eng-hwe untuk
menghadiri kebangkitan kembali agama mereka itu. Entah
Kongsun Hong sendiri hadir ke sana atau tidak" Kalau hadir
tentu dia sudah bertemu dengan Kautju baru itu, maka
dapatlah kita mendapat keterangan lebih jelas bila sudah
bertemu dengan Kongsun Hong nanti!"
"Benar juga pendapatmu, marilah kita lantas menuju ke
rumah Kongsun Hong," sahut Ang-ing.
Begitulah mereka lantas langsung menuju ke kota Bu-koh
di Soatang. Nama Kongsun Hong sangat terkenal di kota itu,
maka tanpa susah-payah dapatlah Kim Tiok-liu mendapat
ketelengan dimana tempat ketua Ang-eng-hwe itu.
Di tengah jalan, mereka pernah dilampaui beberapa kelom
pok penunggang kuda, semuanya sama berpaling
memperhatikan mereka berdua. Kim Tiok-liu tidak curiga apaapa,
ia mengira orang-orang itu mungkin sekali adalah anak
buah Ang eng-hwe yang mendahului pulang memberi laporan
kepada pimpinannya.
Rumah Kongsun Hong terletak di suatu dusun di selatan
kota, setelah menyusur sebuah hutan cemara, dari jauh
tertampaklah sebuah gedung besar. Ternyata di depan rumah
sudah menunggu sederetan orang. Ang-ing mengenal dua di
antaranya, yaitu Tjeng Wan dan Tjin Tjong, masing-masing
menduduki pimpinan ketiga dan keempat dalam Ang-eng-hwe.
Menyangka pihak tuan rumah hendak menyambut
kedatangan mereka, Tiok-liu dan Ang-ing sangat senang,
cepat mereka memapak maju. Baru saja Kim Tiok-liu hendak
membuka suara, mendadak rombongan orang-orang Ang-enghwe
itu terpencar, lalu mengepung mereka di tengah.
Semuanya menghadapi mereka dengan sikap bermusuhan.
Keruan Kim Tiok-liu heran, katanya, "Apa.....apa artinya
ini?" "Bukan urusanmu, Kim Tiok-liu, kau minggir ke sana," seru
Tjeng Wan. Sedangkan Tjin Tiong sudah menuding Ang-ing dan
mendamprat, "Selama ini Ang-eng-hwe tidak pernah gentar
terhadap Liok-hap-pang kalian, tapi budak busuk macam kau
sekarang berani main gila lagi ke sini?"
Su Ang-ing terkejut dan bingung sahurnya, "Apa maksud
ucapan Tjin-hiangtju ini" Kedatanganku adalah untuk
menemui Tjongtotju kalian. Bilamana perbuatan Liok-happang
kami di masa lalu ada sesuatu yang tidak layak, biarlah
nanti di hadapan Kongsun-totju akan....."
Belum selesai ucapannya, orang-orang Ang-eng-hwe itu
sudah mencaci-maki dengan berisik, Tjeng Wan yang marahmarah
dan memaki, "Kongsun-totju belumlah mati, jika kau
dalang buat mencari kabar kematiannya tentu kau akan
kecewa." "Cari kabar apa?" teriak Tjin Tiong. "Kedatangannya ini
jelas hendak menghina kita, tak perlu banyak bicara lagi
dengan dia, Teng-toako, kau maju dulu atau aku saja."
"Baiklah Su Ang-ing, marilah kita satu lawan satu, lolos
senjatamu," bentak Tjeng Wan segera.
Sudah tentu Kim Tiok-liu ikut heran, pikirnya, "Jika cuma
urusan percekcokan kedua organisasi rasanya mereka takkan
begini murka, tentu dalam hal ini ada sebab-sebab lain."
Segera ia melangkah maju dan berseru, "Ada urusan apa
marilah kita bicara baik-baik, bagaimana kalau kita bicarakan
setelah menemui Kongsun-totju?"
"Kim Tiok-liu, kami menghormati kau dan Suhengmu,
hendaklah kau jangan membela budak busuk itu, bila kau
membelanya terpaksa kami juga tidak sungkan lagi padamu!"
bentak Tjin Tiong.
Di sebelah sini masih bicara, di sebelah sana Tjeng Wan
sudah tidak sabar lagi dan mulai menyerang Su Ang-ing.
"Kau tidak mau memakai senjata, bolehlah kita coba-coba
ilmu pukulan!" bentak Tjeng Wan sambil melancarkan pukulan
dari kanan kiri.
"Berhenti!" bentak Tiok-liu. "Kalian ini tahu aturan tidak"
Maksud kedatangan nona Su belum diketahui kalian, kenapa
kau tidak memberi kesempatan bicara padanya?"
Tjing Tiong segera melolos senjata, jengeknya, "Maksud
kedatangan budak liar ini sudah kami ketahui, sebaliknya
maksud kedatanganmu yang belum kami ketahui.
Sesungguhnya kau akan membantu pihak mana?"
"Hah, masakah perlu ditanya lagi, dia datang bersama
budak itu, dia adalah teman baik Le Lam-sing pula, jelas dia
juga musuh kita, buat apa sungkan padanya pula!" demikian
beberapa anak buah Ang-eng-hwe lantas berteriak.
Tapi Tjin Tiong hanya merintangi majunya Kim Tiok-liu
saja, mungkin dia sungkan kepada Kang Hay-thian, maka
tidak berani sembarangan bergebrak dengan Kim Tiok-liu.
Dalam pada itu ilmu pukulan Tjeng Wan yang lihai sudah
membikin Su Ang-ing terdesak mundur, dalam keadaan
terkepung Su Ang-ing menjadi tidak leluasa mengeluarkan
Ginkang-nya yang diandalkan itu.
Melihat keadaan yang gawat dan sukar diselesaikan dengan
kata-kata, terpaksa Kim Tiok-liu harus bertindak. Saat itu


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilihatnya Tjeng Wan sudah mengirim satu pukulan geledek
dan tampaknya Su Ang-ing sukar menghindar. Tanpa pikir lagi
Tiok-liu lantas membentak, "Minggir!" Mendadak tubuhnya
menggeliat, selicin belut saja tahu-tahu sudah menyusup
lewat di sisi Tjin Tiong.
Sama sekali Tjin Tiong tidak menduga akan gerakan Kim
Tiok-liu yang aneh itu, ketika goloknya diangkat hendak
membacok, tahu-tahu Kim Tiok-liu sudah menggeser sampai
di sebelah Su Ang-ing. Ketika tangan Kim Tiok-liu bergerak,
seketika tenaga pukulannya terpancar. Tjeng Wan merasa
suatu tenaga lunak seakan-akan menghadang di depannya,
tenaga pukulan lunak itu tidak keras rasanya, tetapi cukup
membuatnya tergetar mundur. Rupanya Kim Tiok-liu hanya
menggunakan tenaga pukulan Tay-si-mi-tjiang yang lunak
sekadar membikin keder lawan saja. Bahkan tenaga yang
terpancar meluas ke sekitarnya sehingga Tjin Tiong dan lainlain
juga terdesak mundur.
Tjin Tiong menjadi gusar, dengan mencaci maki goloknya
terus membacok, tapi yang di arah adalah Su Ang-ing.
Betapapun ia harus berpikir dua kali untuk menyerang Sute
Kang-tay-hiap. Mendengar sambaran senjata di belakangnya, Kim Tiok-liu
tidak peduli serangan itu ditujukan kepada siapa, tanpa pikir ia
merebut sebatang gada seorang anak buah Ang-eng-hwe
terus disampukkan ke belakang. "Trang," golok Tjin Tiong
mencelat ke udara, sebaliknya gada Kim Tiok-liu itupun
terkutung menjadi dua. Kim Tiok-liu membuang kutungan
gada itu dan diam-diam merasa kagum terhadap tenaga Tjin
Tiong yang kuat itu.
Melihat golok yang berat mencelat ke udara dan melayang
jatuh ke bawah, anak buah Ang-eng-hwe menjadi panik dan
beramai-ramai lari menyingkir. Pada saat itulah Kim Tiok-liu
dan Su Ang-ing bergandengan tangan dan melompat ke atas
sepotong batu besar yang menyerupai panggung.
Dalam pada itu Tjin Tiong telah menangkap kembali
goloknya, dengan muka merah padam ia menuding Kim Tiokliu
dan berteriak, "Jika berani, janganlah kau lari, marilah kita
coba-coba lagi."
"Sebelum bertemu Kongsun-totju masakah aku mau pergi
sekalipun kau mengusir kami," kata Tiok-liu dengan tertawa.
"Kongsun-totju tidak mau menemui kau!" seru Tjin Tiong
gusar. "Belum kau laporkan, darimana kau mengetahui Kongsuntotju
tidak meu menemui aku?" kata Tiok-liu. "Baiklah, kau tak
mau menyampaikan kedatanganku ini, terpaksa aku
menyampaikan sendiri maksud kedatanganku ini."
Habis berkata mendadak ia berseru lantang, "Kim Tiok-liu
dan Su Ang-ing mohon bertemu dengan Kongsun-totju, tapi
entah mengapa dihalangi oleh para Hiangtju kalian, harap
Kongsun-totju mengizinkan bertemu."
Dari nada ucapan dan sikap orang-orang Ang-eng-hwe itu,
Kim Tiok-liu menduga bisa jadi Kongsung Hong sedang sakit
atau lagi mengalami sesuatu urusan di luar dugaan, tapi
asalkan dia di rumah pasti akan mendengar suaranya.
Yang digunakan Kim Tiok-liu adalah ilmu penyusupan
gelombang suara yang hebat, keruan semua orang merasa
anak telinga tergetar, semuanya menjadi takut.
Memang Kim Tiok-liu sengaja juga memamerkan
kelihaiannya, segera ia melolos Hian-tiat-pokiam pula dan
menggumam sendiri, "Alas batu ini tidak rata, terpaksa kita
harus membikin licin dulu untuk bisa duduk enak." Habis
berkata pedangnya bekerja dengan cepat menabas kian
kemari, hanya sekejap saja permukaan batu besar yang
tadinya tidak rata itu telah dikupas sehingga licin seperti
permukaan meja.
Melihat kepandaian Kim Tiok-liu yang luar biasa itu, Tjin
Tiong dan anak buahnya yang sudah mengepung di sekeliling
batu itu menjadi keder dan tidak berani sembarangan
menyerang lagi.
Dengan tersenyum Tiok-liu lalu berkata, "Marilah kita
mengaso dulu di sini Ang-ing, kita menunggu berita
penerimaan Kongsun-totju sebentar lagi." Habis itu mereka
lantas duduk seenaknya di atas altar batu itu.
Keruan Tjin Tiong dan lain-lain sangat mendongkol, tapi
tidak bisa berbuat apa-apa.
Benar juga dugaan Kim Tiok-liu, tidak lama kemudian
keluarlah seorang dan berseru padanya, "Kim-siauhiap,
Kongsun-totju menyilakan engkau masuk."
Yang keluar ini adalah tokoh kelima Ang-eng-hwe, yaitu
Tjiok Hian. "Dan bagaimana dengan nona Su?" tanya Tiok-liu.
"Nona Su diharap menunggu sementara di luar sini,
Kongsun-totju ingin bicara sendiri dengan Kim-siauhiap," kata
Tjiok Hian. Kim Tiok-liu memandang sekelilingnya, tampaknya Tjin
Tiong dan lain-lain masih marah dan bukan mustahil Ang-ing
akan diserang lagi bila ditinggalkan sendirian.
Melihat keraguan Kim Tiok-liu, Tjiok Hian lantas berseni
pula, "Totju ada perintah agar nona Su jangan diganggu meski
dia adalah adik Su-pangtju Liok-hap-pang yang bermusuhan
dengan kita. Apalagi Nona Su datang bersama Kim-siauhiap,
hendaklah kalian menghormati-nya seperti tamu-tamu yang
lain." Tjeng Wan dan lain-lain menunduk sambil mengiakan. Tjing
Tiong tidak bersuara, tapi tidak berani melanggar perintah
pemimpinnya itu.
Dengan hati lega barulah Kim Tiok-liu mengikuti Tjiok Hian
masuk ke rumah Kongsun Hong, setelah mengetahui Tjiok
Hian adalah orang yang pernah ikut membantu In-tjengtju di
samping Tjin Goan-ko, ketika putri In-tjengtju hendak diculik
oleh kawanan bandit, maka Kim Tiok-liu mempunyai kesan
baik terhadap tokoh kelima Ang-eng-hwe ini. Cuma sayang,
ketika ditanya keadaan Kongsun Hong apakah sakit atau ada
halangan lain, ternyata Tjiok Hian tidak mau memberi
keterangan. Terpaksa Kim Tiok-liu tidak bertanya lebih jauh lagi,
dengan penuh tanda tanya ia tetap mengikuti Tjiok Hian ke
dalam ' kamar tidur Kongsun Hong. Dilihatnya Kongsun Hong
berba-Lring di tempat tidurnya dengan muka pucat kuning,
dahinya ber-semu kehitam-hitaman. Kim Tiok-liu terkejut,
baru sekarang ia [tahu bahwa ketua Ang-eng-hwe itu kiranya
keracunan. Dalam hati Kim Tiok-liu membatin apakah dia juga
kena dikerjai oleh ketua Thian-mo-kau yang baru itu.
"Kebetulan sekali kedatanganmu ini, Kim-siauhiap, silakan
Iduduk, marilah kita bicara sedikit," sambut Kongsun Hong
dengan suara lemah.
Setelah memberi salam hormat dan baru Kim Tiok-liu hen-
Wak buka suara, namun Kongsun Hong sudah mendahului,
"Aku Ltahu kau tentu sangsi dan ingin minta keterangan
padaku, sebaliknya aku pun ada macam-macam pertanyaan
padamu." "Entah Kongsung-loijianpwe ingin mengetahui urusan
apakah?" tanya Kim Tiok-liu.
"Bukankah kau baru datang dari Sedjiang?" tanya Kongsun
Hong. "Benar!"
"Anak perempuanku Kongsun Yan juga berada di sana,
apakah kau melihat dia?"
Kim Tiok-liu menjadi serba susah, padahal maksudnya
hendak menyampaikan berita titipan Kiong Peng-hoan tentang
kecelakaan Kongsun Yan, siapa duga Kongsun Hong sendiri
se-Uang sakit, bila peristiwa anak perempuannya itu
diberitahukan, mungkin sekali akan menambah berat
penyakitnya. Melihat Kim Tiok-liu terdiam, Kongsun Hong menghela
napas, katanya pula, "Barangkali anak perempuanku
mengalami nasib buruk bukan, hanya saja aku masih
mempunyai sedikit harapan, semoga berita ini tidak benar
adanya." Kim Tiok-liu menjadi heran darimana ketua Ang-eng-hwc ini
memperoleh kabar" Terpaksa ia menjawab dengan nada
sedih, "Jika Lotjianpwe sudah tahu, maka aku pun tidak perlu
bicara lagi. Namun aku pernah menyelidiki lembah Tho-hoakok
itu dan tidak menemukan jenazah putrimu. Bisa jadi
seperti apa yang diharapkan Lotjianpwe, masih ada harapan
baik." Sebaliknya Kongsun Hong menjadi bingung sekarang, ia
menegas, "Apa yang kau maksudkan" Jadi putriku tidak tewas
di kota Sedjiang?"
Kim Tiok-liu bertambah heran, cepat ia bertanya,
"Sebenarnya berita apa yang telah sampai pada Lotjianpwe?"
"Jika dia tidak tewas di Sedjiang lalu siapa pula orang yang
membunuh dia?" gumam Kongsun Hong.
Tahu hal ini tentu ada suat u yang ganjil, cepat Kim Tiok-liu
menerangkan, "Yang Go yang memaksa putrimu terjun ke
dalam jurang itu bersama Le Lam-sing."
"Hah, kau bilang musuh anak perempuanku itu ialah Yang
Go?" Kongsun Hong menegas. "Bahkan Le Lam-sing juga
mengalami nasib sama berbareng dengan anak Yan" Ah, ini
benar-benar sukar dipercaya."
"Habis menurut kabar yang Lotjianpwe terima, siapakah
musuh putrimu itu?" tanya Kim Tiok-liu.
"Apa bukan Su Pek-to dari Liok-hap-pang?"
"Siapakah yang menyampaikan berita ini kepada
Lotjianpwe?"
"Siapa lagi kalau bukan Le Lam-sing!"
Keruan Kim Tiok-liu tak habis bingungnya katanya "Kau
bertemu sendiri dengan Le Lam-sing. Sendiri?"
"Ya, sepuluh hari yang lalu aku bertemu dengan dia h*
sendiri yang mengatakan padaku, mana bisa keliru lagi."
Tiba-tiba pikiran Kim Tiok-liu tergerak, tanyanya "Kong sunlotjianpwe
seperti keracunan, siapakah yang melakukan hal
ini?" "Juga perbuatan keparat Le Lam-sing itu!" sahut Kongsun
Hong. "Inilah aneh, jika dengan maksud baik Le Lam-sing
menyampaikan kabar padamu, kenapa meracuni Lotjianpwe
pula?" Sebagai orang yang berpengalaman, Kongsun Hong
menduga ucapan Kim Tiok-liu itu tentu ada hal-hal yang tidak
beres, katanya kemudian, "Kejadian ini rada panjang untuk
diceritakan. Kim-siauhiap, kau bilang Yang Go yang
mencelakai anak perempuanku, apakah kau menyaksikan
sendiri?" "Kiong Peng-hoan sendiri yang melihatnya" kata Tiok-liu.
"Tapi Su Pek-to membunuh diri kusaksikan sendiri. Waktu Su
Pek-to mati, puterimu masih baik-baik berada di sana maka
tentang Le Lam-sing ysng menjadi Kautju baru Thian-mo-kau
itu tulen atau palsu, yang jelas berita yang disampaikan
kepada Lotjianpwe jelas adalah palsu."
"Tapi kenapa Kiong Peng-hoan tidak melaporkan sendiri
kepadaku," kata Kongsun Hong.
"Sebab dia terluka oleh Siu-lo-im~sat-kang Yang Go," kata
Kim Tiok-liu menceritakan pengalaman Kiong Peng-hoan
tempo hari serta apa yang telah dilihatnya di Tho-hoa-kok.
Jika yang menceritakan kejadian itu adalah orang lain tentu
Kongsun Hong "tidak percaya tapi sekarang Kim Tiok-liu yang
menceritakan padanya walaupun tetap ragu-ragu, mau tak
mau ia percaya juga.
"Jika demikian, akulah yang telah masuk perangkap
mereka," kata Kongsun Hong kemudian.
"Le Lam-sing yang ditemui Lotjianpwe itu mungkin adalah
samaran yang sangat mirip," kata Kim Tiok-liu.
"Ya, sekarang aku pun curiga. Akan kuceritakan
pengalamanku tempo hari, coba kita pecahkan persoalan ini
nanti." Setelah minum seteguk, lalu Kongsun Hong
melanjutkan, "Tahun yang lalu aku dan anak perempuanku
bertemu dengan Le lain sing dan Hong Biau-siang di tepi
Tiang-kang, di situlah anak perempuanku ikut mereka ke
Sedjiang, kejadian ini tentu sudah kau ketahui bukan?"
"Ya, nona Hong memberitahukan padaku," sahut Tiok-liu
"Waktu itu Le-toako menderita luka dan tak bisa melawan putera
kesayangan Bun To-tjeng, sehingga nona Hong juga
hampir tertawan musuh. Untung puterimu menolong mereka
sehingga Bun Seng-tiong digebah lari. Bulan yang lalu nona
Hong meni? kah dengan Tjin Goan-ko dari Bu-tong-pay di
Thay-liang-san, mereka merasa berhutang budi atas
pertolongan kalian dahulu ini."
"O, syukurlah nona Hong itu kini mendapatkan jodoh yarnjj
baik, sungguh menggembirakan," kata Kongsun Hong. Dahulu
ia menyangka Hong Biau-siang adalah kekasih Le Lam-sing.
maka ia tidak berani mengemukakan maksudnya akan
memungut menantu pemuda itu. Akan tetapi sekarang
puterinya mengalami nasib malang dan Le Lam-sing tidak
diketahui baik bu suknya atau memang benar pemuda itulah
yang sekarang menjabat sebagai ketua Thian-mo-kau" Ia pikir
buat apalagi mengoriangkan urusan ini selagi puterinya sudah
tiada. Melihat wajah Kongsun Hong menjadi muram, Tiok-liu tahu
tentu orang tua itu sedang berduka, ia coba menghiburnya,
"Jika Le Lam-sing belum mati, maka putrimu tentu juga masih
hidup. Yang penting sekarang kita mesti menyelidiki dahulu
tulen atau palsunya Le Lam-sing yang menjadi ketua Thianmo-
kau itu." "Ya, marilah kita kembali pada pokok persoalan ini," kata
Kongsun Hong. "Waktu itu karena cukup lama tiada berita dari
puteriku yang berada di Sedjiang, maka aku menyuruh Kiong
Peng-hoan menjenguknya ke kota itu. Tak terduga belum lagi
Kiong Peng-hoan pulang, suatu hari aku menerima sepucuk
surat undangan Le Lam-sing yang meminta aku hadir
menyaksikan pengangkatannya sebagai Kautju baru, aku
diminta datang lebih dini dua hari untuk berunding urusan
penting. Pertemuanku jadi di langsungkan, tapi sungguh tidak
nyana akhirnya aku mesti menelan pil pahit di tangan seorang
bocah ingusan, benar-benar memalukan."
"Aku sendiri tidak setuju bangkit kembalinya Thian-mo-au,
sebagaimana pendirian ayahmu beberapa puluh tahun yang
lalu ketika menasihatkan mereka untuk membubarkan agama
itu. Buat apa susah-susah membangun perkumpulan yang
sudah punah itu sementara banyak pasukan pergerakan sudah
berkembang dengan pesatnya dan sedang berjuang di medan


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perang?" "Tepat ucapan Lotjianpwe, Le Lam-sing pernah menolak
ujukan Yang Go untuk menjadi ketua Thian-mo-kau dengan
alasan demikian," kata Tiok-liu.
"O, jadi jauh sebelumnya sudah terjadi hal demikian?"
tanya Kongsun Hong.
"Ya, makanya aku tidak percaya Le Lam-sing mau mengupendiriannya
di bawah kekangan Yang Go." "Walaupun
demikian aku tetap memenuhi undangannya, rutama aku
sangat ingin tahu kabar tentang puteriku. Dua hari bih dini
aku sudah pergi ke Tji-lay-san untuk menemuinya, berbareng
itu aku pun berpikir akan menasihatkan dia untuk
mengurungkan maksudnya membangun kembali Thian-mokau."
Tiba-tiba pikiran Kim Tiok-liu tergerak, tanyanya, "Setiba
Tji-lay-san, apakah kau bertemu juga dengan Yang Go?"
"Justru dia yang menyambut kedatanganku. Sayang waktu
aku tidak tahu dialah orang yang membikin celaka puteriku,
kalau tidak tentu sudah kupukul mampus dia."
"Apa yang dikatakan Yang Go padamu?" tanya Tiok-liu.
"Dia bilang Le-kautju baru saja pulang dari Sedjiang, lantaran
terlalu lelah, maka jatuh sakit dan belum lagi sembuh, maka
mungkin sekali tak bisa banyak bicara dengan aku."
"Itulah suatu titik yang mencurigakan, mungkin karena dia
Le Lam-sing palsu, maka kuatir terbongkar kedoknya jika
banyak bicara," ujar Tiok-liu.
Ya, waktu itu kukatakan bahwa aku hanya ingin bicara
sekedarnya dan mau tahu urusan penting apa yang hendak
dirundingkan dengan aku, lalu Yang Go mengantar aku ke
ruangan dalam untuk menemui Le Lam-sing."
"Apakah kau jelas melihat Le Lam-sing itu benar-benar
orang yang asli?"
"Kulihat wajahnya rada pucat, mukanya memang mirip
Lam-sing, hanya rada kurus sedikit. Tatkala itu kukira dia
sedang sakit, maka tidak begitu memperhatikannya. Tapi
kalau dipikir sekarang, selain mukanya rada kurasan daripada
Lam-sing, Kautju baru itupun berbeda suara, sayang waktu itu
aku tidak menaruh curiga sehingga kena diperdayai olehnya."
"Menurut cerita Kautju baru itu," demikian Kongsung Hong
melanjutkan. "Katanya sesudah dia bersama puteriku berada
di Sedjiang, segera mereka ikut dalam penyerbuan kediaman
Swe Beng-hiong, di situlah puteriku katanya tewas terbunuh
oleh Su Pek-to, dia sendiri juga terluka, untung ditolong oleh
Yang Go dan berhasil melarikan diri. Berita itu membuat aku
sangat gusar dan berduka, dia lantas membujuk dan
menghasutku untuk menghadapi Liok-hap-pang bersama
dengan Thian-mo-kau mereka, katanya mumpung Su Pek-to
belum pulang ke tempat pangkalannya sebaiknya Liok-happang
digempur dan dicaplok saja, bila anak buahnya sudah
kocar-kacir tentu akan memudahkan membalas dendam
kematian putriku."
"Sungguh akal yang keji," kata Tiok-liu.
"Dalam hal ini justru aku ingin minta saran darimu. Katamu
tadi Yang Go dan Su Pek-to adalah sekaum, bila Kautju baru
ini adalah boneka Yang Go, mengapa dia mengajak aku
mencaplok Liok-hap-pang?"
"Agaknya Lorjianpwe belum tahu bahwa Liok-hap-pang
sekarang sudah berganti Pangtju. Pangtju baru Liok-hap-pang
sekarang ialah nona Su Ang-ing, Su Pek-to sendiri sudah mati
di Sedjiang. Yang Go dan begundalnya tentu sudah menduga,
setelah nona Su menjabat Pangtju pastilah Liok-hap-pang
tidak mau mengekor mereka lagi dan tentu bergabung dengan
pasukan pergerakan. Makanya mereka ingin turun tangan
lebih dulu, dengan meminjam senjata Ang-eng-hwe kalian
untuk menggempur Liok-hap-pang."
"Untung aku tidak masuk perangkapnya. Padahal untuk I
menuntut balas kematian puteriku yang waktu itu kusangka
di-I bunuh oleh Su Pek-to, juga tidak perlu kuminta bantuan
mereka dan menyerang Liok-hap-pang secara mendadak
selagi pemim-I pinnya tidak di tempat. Oleh sebab itulah
dengan ketus aku menolak ajakannya, sebaliknya sebagai
orang tua aku lalu membujuk dia mengurungkan maksudnya
membangun kembali Thian-mo-kau. Lantaran pembicaraan
satu sama lain tidak cocok, pula tidak mau mengganggu orang
yang sedang sakit, segera aku mohon diri. Sesuai adat
istiadat, Kautju baru itu menyuguhkan teh dan mengantar
tamu." "Itulah dia, Di dalam teh itu pasti ada apa-apanya,
Lorjianpwe telah meminumnya?"
"Aku tetap menyangka dia sebagai Le Lam-sing yang tulen,
meski pembicaraan tidak cocok toh aku tidak curiga dia akan
meracuni aku, maka tanpa sangsi teh yang dia suguhkan
padaku lantas kuminum. Tapi begitu masuk perut segera aku
merasakan sesuatu yang tidak beres, namun sudah kasip,
terdengar suara gemerantang, keparat itu membanting
cangkir teh terus berlari masuk ruangan belakang. Ternyata di
belakang tempat tidurnya itu ada pintu rahasianya."
"Cepat aku mencengkeram dia, tapi luput. Berbareng Yang
Go lantas menyerang aku dengan Siu-lo-im-sat-kang, katanya,
'Kongsun-totju, sekali kau sudah datang ke sini, maka silakan
tinggal saja di sini.' Hm, biarpun sedikit kepandaian Yang Go
Itu rasanya masih belum mampu menahan diriku. Baru saja ia
bicara, sekali hantam kupatahkan dua potong tulang iganya,
kontan membikin suara tertawanya berubah menjadi jeritan
ngeri, cuma sayang tenaga pukulanku tidak sempat
kukerahkan sepenuhnya sehingga tidak membinasakan dia."
"Rupanya kamar tidur itu banyak pesawat rahasianya,
begitu Yang Go tergetar keluar oleh pukulanku segera ia
mengerahkan pesawat rahasianya, tiga lapis papan baja lantas
anjlok sehingga aku terkurung di tengah. Dari luar Yang Go
mengejek, katanya, 'Di dalam teh itu hanya ditaruh sedikit
Toan-djong-san (puyer pemutus usus), dengan Lwekang
Kongsung-totju yang tinggi mungkin tidak memerlukan obat
pemunah kami, tapi bila sekali-kali kau tidak tahan, maka
sebaiknya kau jangan kepala batu, silakan berunding saja
dengan kami.' Hm, ia menyangka dengan demikian aku dapat
digertak dan dipaksa, hm, sungguh tidak kenai watakku,
rupanya dia belum kenal siapa aku ini."
"Wah, kiranya begitu rapi mereka mengatur, kemudian cara
bagaimana Kongsun-lotjianpwe meloloskan diri?" tanya Tiok
liu. "Serapi-rapinya pengaturan mereka toh ada lubangnya
juga," ujar Kongsun Hong dengan tertawa. "Mereka sama
sekali tidak menyangka aku akan membobol atap rumah dan
menerjang keluar."
"Sungguh hebat pukulan Lotjianpwe, tentu atap rumah itu
jebol diterjang olehmu bukan?" seru Tiok-liu.
"Ya, setelah menerjang keluar, aku merebut pula seekor
kuda tanpa ada yang mampu merintangi diriku," kata Kongsun
Hong dengan bangga. "Setiba di rumah barulah terpaksa aku
berbaring, tapi diserang iblis itu membungkuk sedikit saja aku
tidak sudi."
Kagum sekali Khn Tiok-liu terhadap ketangkasan jago tua
itu, katanya dengan tertawa "Kukira bukan pengaturan
mereka yang kurang tapi, soalnya mereka tidak menyangka
bahwa setelah Lotjianpwe minum Toan-djong-san masih
mampu memukul ambrol atap rumah, sampai-sampai tiga
lapis papan baja di tambah pukulan Siu-lo-im-sat-kang Yang
Go juga tidak mampu mengurung engkau."
"Tapi dengan demikian terpaksa aku harus berbaring sebu
lan lebih lama untuk memunahkan racun di dalam badanku,"
ku ta Kongsun Hong dengan senyum getir. "Dan karena aku
tidak dapat bangun sehingga terjadi salah paham hari ini.
Kalau tidak tentu anak-buahku takkan bersikap kasar terhadap
kalian tadi."
"Inilah tak bisa menyalahkan mereka" kata Tiok-liu.
"Hubunganku yang baik dengan Le-toako cukup diketahui
mereka sebelum jelas tulen palsunya Le-toako tentu mereka
tidak berani membiarkan aku menemui engkau. Apalagi
mereka menganggap Su Pek-to sebagai musuh pembunuh
puterimu."
"Walaupun demikian juga tidak pantas sikap kasar mereka
itu terhadap kalian," kata Kongsun Hong. Lalu ia menyuruh
Tjiok Hian memanggil masuk Tjin-tiong dan Tjeng Wan serta
mengundang Su Ang-ing, di hadapan mereka diterangkan
duduknya perkara yang menimbulkan salah paham itu. Lalu
Tjeng Wan dan Tjin Tiong diperintahkan minta maaf kepada
Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing.
"Sayang karena kesehatanku, mungkin aku harus istirahat
belasan hari lagi," kata Kongsun Hong.
"Lotjianpwe tidak perlu banyak berpikir, segera aku dan
nona Su akan berangkat ke Tji-lay-san," kata Tiok-liu.
"Terhadap keparat Yang Go itu rasanya Wanpwe masih
sanggup melayani."
"Menurut perkiraanku, tidak sedikit begundal yang
dikumpulkan Yang Go dalam usahanya membangun kembali
Thian-mo-kau, maka Kim-siauhiap hendaklah hati-hati bila
masuk sarang mereka."
"Banyak terima kasih atas perhatian Lotjianpwe, sudah
tentu Wanpwe sedapat mungkin akan menghindarkan
pertempuran terbuka dengan mereka yang berjumlah jauh
lebih banyak. Wanpwe lebih menitik-beratkan menghantam
mereka dengan tipu daya."
"Harap menjelasan," pinta Kongsun Hong.
"Maksudku hendak menyusup ke ruangan induk Thian-mokau
dan membekuk hidup-hidup Kautju baru mereka itu.
Asalkan dia mengaku sebagai Le Lam-sing palsu, tentu anak
buah Thian-mo-kau yang lama akan mengangkat senjata dan
berontak. Tatkala mana Yang Go dan sisa-sisa begundalnya
tentu tak bisa berbuat apa-apa lagi."
"Waktu aku lolos dari sana, terhadap bangunan di sana lapat-
Iapat masih ingat, akan kulukiskan sebuah peta yang
mungkin ada manfaatnya bagimu."
Tiok-liu bergirang dan mengucapkan terima kasih pula.
Begitulah malam itu Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing lantas
menginap di rumah Kongsun Hong, besoknya mereka lantas
berangkat ke Tji-lay-san setelah menerima gambar peta.
Suatu malam yang tenang di lereng gunung Tji-lay-san, di
bawah sinar bulan yang remang-remang, sayup-sayup
terdengar suara kresak-kresek pelahan seperti jatuhnya daun
kering. Itulah suara dua orang pejalan malam yang memiliki
Ginkang sangat tinggi. Mereka adalah Kim Tiok-liu dan Su
Ang-ing. Tji-lay-san bukan tempat asing lagi bagi Kim Tiok-liu, cuma
kedatangannya kali ini dengan perasaan yang lain daripada
dulu. Waktu dulu dia adalah 'pengemis cilik' yang suka
menggelandang kian kemari, pesiarnya ke Tji-lay-san
terdorong oleh hasratnya ingin menikmati pemandangan
pegunungan itu. Sekarang dia datang lagi dengan maksud
tujuan tertentu, kalau bisa ia ingin dalam sekejap saja sudah
berada di sarang Thian-mo-kau dan membongkar teka-teki Le
Lam-sing tulen atau palsu itu.
Mereka berlari arak-berarak, Kim Tiok-liu berada di depan.
Tidak lama kemudian, samar-samar tembok sebuah kelenteng
bobrok di tanjakan depan sudah kelihatan, kata Tiok-liu,
"Kelenteng bobrok ini tadinya adalah tempat pemujaan Thianmo-
kau, menurut Kongsun-totju, Thian-mo-kau semula berada
di atas gunung, maka kelenteng bobrok ini mungkin tidak
diperhatikan dan ditelantarkan begitu saja. Bicara tentang
kelenteng bobrok ini aku menjadi teringat kepada suatu
peristiwa yang secara tidak langsung ada juga sangkutpautnya
dengan dirimu."
"O, kejadian apa yang menyangkut-pautkan diriku?" tanya
Ang-ing dengan tertawa.
"Di dalam kelenteng inilah aku mengenal Li Tun," tutur
Liok-liu. "Malam itu dia bersembunyi di situ dan sedang
membakar ubi, aku masuk ke situ dan minta sedekah
padanya. Kebetulan Djing-hu Todjin dan Djiau Sik yang diutus
kakakmu juga menguber tiba. Aku membantu
menyembunyikan Li Tun di dalam sebuah genta raksasa, lalu
mempermainkan Djing-hu Todjin dan Djiau Sik sehingga Li
Tun terhindar dari bahaya. Ternyata di dalam genta raksasa
itu terukir rahasia isi Pek-tok-tjin-keng, kitab pusaka Thianmo-
kau, terhindar dari bahaya, Li Tun mendapatkan untung
pula. Kemudian baru aku mengetahui sebabnya dia dicari
kakakmu adalah karena dia mencuri serenteng mutiara
mestika yang sedianya oleh kakakmu akan dikirim kepada Sat
Hok-ting sebagai hadiah ulang tahunnya"
"Akulah yang membantu mencuri mutiara mestika itu," kata
Ang-ing tertawa.
"Ya, makanya aku bilang ada sangkut-pautnya dengan
dirimu secara tidak langsung. Peristiwa itulah yang
menimbulkan seleraku untuk merampas hadiah ulang tahun
yang akan dikirimkan kakakmu itu, sehingga kemudian aku
dapat mengenal kau."
Tengah bicara jarak kelenteng bobrok itu sudah semakin
dekat, tiba-tiba Ang-ing bersuara heran, katanya "He, di dalam
kelenteng ada sinar api. Aku seperti mencium bau sedap, bisa
jadi ada orang sedang memanggang makanan di situ."
Belum habis ucapannya, Kim Tiok-liu sudah lantas mele-tat
ke depan, sekilas Ang-ing mendengar Tiok-liu membisikinya
"Lekas kau periksa kelenteng itu, hati-hati sedikit!"
Kiranya sembari mengeluarkan Ginkang yang tinggi dan
berlari ke depan, berbareng Kim Tiok-liu menggunakan ilmu
mengirim gelombang suara untuk bicara kepada Ang-ing
sehingga meski tubuhnya sudah melayang jauh ke depan
kedengaran wperti dia bicara dengan berbisik di tepi telinga
Ang-ing. Ang-ing merasa heran, tapi dilakukannya juga apa yang
dibalakan Tiok-liu itu. Ginkang Ang-ing tidak sehebat Tiok-liu,
maka tidak lama kemudian sesudah dia masuk kelenteng itu
Kim Tiok-liu juga sudah datang.
"Di dalam sini hanya terdapat gundukan api unggun ini dan
tidak nampak ada orang," kata Ang-ing. "Kemanakah kau
barusan?" "Siapa yang kau cari?"
"Tadi apa kau tidak melihat sesosok bayangan orang
bersembunyi di balik tembok pagar di belakang kelenteng ini,
samar-samar setengah kepalanya kelihatan menongol."
"Apa betul?" Ang-ing sangat heran. "Aku sendiri tidak tahu.
O, barang kali aku tidak terlalu memperhatikannya."


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitu aku melihat bayangannya, orang itu lantas
menghilang seperti bayangan setan. Padahal di belakang
kelenteng tiada terdapat tempat yang dapat dibuat
bersembunyi, jangan-jangan dia bersembunyi ke dalam
hutan." "Pantas mendadak kau berlari ke sana sehingga membikin
kaget aku, lalu apa yang kau ketemukan di sana?"
"Tidak menemukan apa-apa, bahkan suara sedikitpun tidak
terdengar."
"Dengan Ginkangmu sekarang, dapatlah dihitung dengan
jari orang di zaman ini yang mampu menandingi Ginkangmu,
maka begitu kau melihat dia dan terus mengubernya,
seharusnya sukar baginya untuk bisa lolos."
"Ya, paling tidak jejaknya pasti dapat kulihat, tapi hutan
yang tidak terlalu lebat itu ternyata tiada terdapat apa-apa.
Sungguh aku tidak percaya orang tadi bisa bersembunyi
dengan begitu cepat. Namun di atas langit masih ada langit,
orang pandai masih ada yang lebih pandai....."
"Jika betul ada seorang yang punya Ginkang lebih lihai
daripada kau, maka hal ini benar-benar luar biasa dan aneh.
Jangan-jangan dia....."
Ternyata apa yang terpikir oleh Ang-ing juga terpikir oleh
Tiok-liu. "Kau sangka dia adalah Le-toako?" tanyanya.
Ang-ing mengangguk, katanya, "Ya, entah mengapa aku
seperti mempunyai firasat Le-toako pasti belum mati. Bila dia
mengetahui ada orang memalsukan dirinya tentu dia akan
datang ke sini untuk menyelidiki. Bisa jadi secara kebetulan
juga datang pada malam ini."
"Aku berharap angan-anganmu ini akan benar-benar
menjadi kenyataan," kata Tiok-liu tertawa.
"Kau tidak percaya dia masih hidup?" tanya Ang-ing.
"Andaikan masih hidup, tetapi dia terluka oleh Siu-lo-imsat-
kang Yang Go, mana bisa dia datang ke tempat sejauh ini
dengan luka parah yang belum sembuh, bahkan bisa
menggunakan Ginkang yang begitu hebat Pula, bila melihat
kita, mustahil Le-toako tidak segera muncul untuk menemui
kita?" "Urusan ini kita ke sampingkan dulu, yang penting malam
ini kita harus menyelidiki, yang pasti di kelenteng ini tadi
memang ada orangnnya. Coba lihat api unggun yang masih
menyala ini, bahkan ubi bakar juga belum habis dimakan."
"Keadaan sekarang sangat mirip dengan pertemuanku
dengan Li Tun dahulu, tapi orang ini pasti bukan Li Tun. Ginkangnya
selisih jauh dengan orang tadi."
"Bisa juga orang yang membakar ubi ini sudah pergi
sebelum kita tiba. Sebaliknya orang yang kau uber itu entah
benar atau cuma bayangan belaka."
"Ya, ucapanmu ini membikin aku ikut sangsi juga, mungkin
mataku sudah kabur. Ah, sudahlah, tak perlu diurus lagi. Ubi
bakar ini enak benar baunya, coba kita bagi rejeki ini."
"Wah, tampaknya kau hampir-hampir mengiler," goda Su
Ang-ing tertawa.
"Memangnya perutku sudah lapar, marilah kita makan
kenyang agar nanti bisa bertugas dengan baik disarang Thinmo-
kau." Sementara itu sudah lewat tengah malam, hawa terasa
dingin, malam yang remang-remang itu menambah seramnya
suasana bahkan turun hujan gerimis lagi.
"Inilah cuaca paling baik bagi pejalan malam seperti kita,"
kata Tiok-liu dengan girang. "Marilah kita berangkat."
Setiba di atas gunung, terlihat bangunan berdiri di sana-sini
berjajar laksana benteng. Rupanya tidak sedikit begundal yang
dikumpulkan Yang Go sehingga dalam waktu beberapa bulan
saja sarang Thian-mo-kau itu dapat berkembang dengan
pesat. Dengan Ginkang mereka memanjat ke atas pohon besar
yang amat tinggi, dari atas dapatlah mereka mengikuti
keadaan di dalam benteng. Tertampak di bagian luar adalah
selapis pagar tembok dengan empat pintu besi pada empat
penjuru. Di dalam pagar tembok terdapat beberapa puluh
rumah, satu di bagian tengah paling megah, menurut petunjuk
peta yang dibuat Kongsun Hong, itulah pendopo tempat
tinggal Kautju Thian-mo-kau.
Empat buah pintu gerbang itu sudah tertutup rapat dan
dijaga oleh seorang peronda yang mondar-mandir dengan
membawa tetabuhan. Di emper pintu tergantung lampu angin
yang cukup terang, bila ada orang bermaksud menyusup ke
dalam pasti akan terlihat oleh penjaga itu.
"Meski tinggi pagar tembok itu tidaklah menjadi soal bagi
kita, yang sulit adalah cara bagaimana membereskan penjaga
itu," bisik Ang-ing.
Maklumlah penjaga itu merangkap sebagai peronda, bila
penjaga itu dibunuh, tentu di bagian dalam takkan mendengar
suara tetabuhan tanda waktu dan seketika akan menimbulkan
curiga. Selagi bingung, tiba-tiba mereka melihat datangnya dua
orang, rupanya seorang adalah kepala jaga dan yang lain
adalah penjaga baru yang sudah waktunya menggantikan
temannya. Setelah selesai mengganti penjaga, kepala jaga
memberi pesan agar penjaga baru itu menjalankan tugasnya
dengan baik, lalu pergi ke pos jaga yang lain.
Seperti kawannya, terdengar penjaga baru membunyikan
tanda waktu sambil menggerundel sendiri, "Sungguh sial,
sudah dingin, hujan lagi!"
Mendadak Kim Tiok-liu mendapat akal, ia mematahkan
sebatang ranting kayu terus disambitkan ke punggung
penjaga yang waktu itu berdiri membelakangi arahnya.
Dengan tepat Hin-sui-hiat penjaga itu tersambit. Selagi
penjaga itu menggeliat B sempoyongan, bagai burung
cepatnya Kim Tiok-liu melayang dan sempat memegangi
tubuh si penjaga sebelum roboh, lalu tetabuhan tanda waktu
itu pun dipukul menirukan si penjaga tadi.
Penjaga-penjaga di empat pintu gerbang itu masing-masing
terpisah jauh, hanya saling mendengar suara tanda waktu
yang dibunyikan dan tidak bisa melihat muka masing-masing.
Bila suara tanda waktu di sebelah sini terdengar tentu ketiga
penjaga yang lain tidak menaruh curiga.
Sesudah Ang-ing ikut meloncat turun, Tiok-liu lantas
berkata, "Lekas kau pakai baju penjaga itu dan pakai topinya
pula." Penjaga itu badannya kurus kecil sehingga rada cocok
bajunya dipakai Ang-ing, selesai berdandan, Tiok-liu berkata
pula I "Ang-ing, untuk sementara hendaklah kau menjadi
peronda. Bila kepergok orang boleh kau bunuh saja dia
Asalkan dalam waktu setengah jam aku tak diketahui musuh
tentu segala sesuatunya akan beres kuselidiki."
Segera Ang-ing mengambil alat tetabuhan dan dibunyikan,
sedangkan Kim Tiok-liu mengangkat tubuh penjaga tadi dan
dilarikan ke dalam hutan, disembunyikan di antara dua potong
batu besar sehingga sukar terlihat. Habis itu dengan Ginkang
yang tinggi Kim Tiok-liu melintasi pagar tembok menurut
petunjuk peta tanpa diketahui setan sekalipun tahu-tahu dia
sudah berada di ruangan dalam tempat tinggal Kautju Thianmo-
kau. Dilihatnya kamar itu masih ada cahaya lampu, bayangan
orang terbayang di tirai jendela. Kim Tiok-liu bersembunyi di
belakang sebuah gunung-gunungan yang paling dekat dan
coba mengintip ke dalam, ia terkejut karena orang yang
dilihatnya ternyata mirip benar dengan Le Lam-sing, diamdiam
ia mengakui betapa pandai cara penyamaran orang itu.
Agaknya orang di dalam kamar itupun merasakan sesuatu
dan tampaknya sedang pasang kuping, mendadak ia
menyirap-kan lampu.
Dasar kepandaiannya tinggi, nyali Kim Tiok-liu juga besar.
Tanpa peduli segala bahaya ia terus meloncat maju dan
menolak daun jendela, cepat ia melayang masuk ke dalam
kamar. "Siapa kau?" bentak orang itu dengan suara tertahan.
Belum lenyap suaranya, sekali cengkeraman Kim Tiok-liu
sudah memegang orang itu, tapi dari suaranya tadi Tiok-liu
menjadi heran dan sangsi pula. Sebab tidak hanya
penyamaran orang itu sangat mirip Le Lam-sing, bahkan
suaranya juga sama. Padahal menurut cerita Kongsun Hong,
katanya suara Kautju baru itu rada serak, karena itu Kongsun
Hong kemudian menyesal mengapa tidak menaruh curiga
kepada orang yang bersuara serak yang bukan suara Le Lamsing
itu. Tapi sekarang yang didengar Tiok-liu adalah benar-benar
suara Le Lam-sing, ia menjadi tertegun dan heran akan
kemiripan orang
Rupanya kepandaian orang itupun tidak lemah, begitu kena
dicengkeram Kim Tiok-liu segera ia menggunakan tipu
'melolos baju melepaskan diri', dengan licin ia mengelakkan
diri, lalu balas menutuk 'Ih-gi-hiat' di bawah iga Kim Tiok-liu.
Biarpun keadaan gelap, tapi jitu amat tempat yang di arah
olehnya. Kembali Tiok-liu bersuara heran sambil menangkis tutukan
orang, serunya, "Siapa kau ini?"
Kiranya Tiok-liu mengenali tipu serangan orang adalah satu
jurus ciptaan ayahnya sendiri.
Benar juga, segera terdengar orang itupun berseru kaget,
"He, kau adik Tiok-liu?" Rupanya setelah bergebrak satu-dua
jurus, orang itupun segera mengenali kepandaian Tiok-liu.
Kejut Tiok-liu lebih hebat, pikirnya, "Apa mungkin Le-toako
betul-betul. Tapi, ah, tidak bisa, mana Le-toako mau
mengekor di bawah perintah orang lain dan melakukan
kejahatan bersama bangsat tua Yang Go" Tapi gerak tipunya
barusan memang benar-benar Le-toako adanya."
Dengan rasa sangsi ia mengelak ke samping, lalu meraba
meja dan bermaksud menyalakan lampu. Tapi mendadak
orang itu bersenandung pelahan membawakan syair
perkenalan mereka untuk pertama kalinya dahulu, syair ini
hanya Le Lam-sing dan Kim Tiok-liu yang tahu, orang lain
pasti tidak. Maka dengan sangsi lagi Tiok-liu berseru tertahan, "He,
kiranya benar Le-toako adanya. Tapi.....tapi bagaimana bisa
terjadi begini?"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tindakan orang
mendatangi, bisik Le Lam-sing, "Cobalah kau melihat apa yang
akan terjadi sebentar lagi dan tentu kau akan jelas duduknya
perkara." Segera ia menarik Tiok-liu dan bersembunyi di
belakang tempat tidur.
Sementara itu dua orang sudah dekat di luar kamar,
terdengar suara Yang Go berkata, "Coba kau pikirkan masakmasak
malam ini, besok kita bicara lagi."
Dengan lirih Lam-sing membisiki Tiok-liu, "Orang yang
datang bersama Yang Go inilah Kautju gadungan yang
memalsukan diriku itu."
Dalam pada itu terdengar suara seorang lagi, yaitu Kautju
gadungan yang dimaksud Le Lam-sing itu sedang berkata,
"Eh, Yang-supek, aku ingin bicara lagi dengan engkau, silakan
duduk sebentar di dalam kamar."
Rupanya dia ingat betul waktu keluar kamar tadi daun
jendela telah ditutup rapat, sekarang diketahui terbuka, maka
ia menduga telah terjadi apa-apa di dalam kamarnya. Maka ia
pura-pura mengajak Yang Go ke dalam kamar, tapi
sebenarnya sebagai isyarat
"Kebetulan sekali kedatangan mereka," bisik Tiok-liu
kepada Le Lam-sing.
Pada saat malah daun pintu didobrak Yang Go, belum lagi
melangkah masuk segera ia melancarkan pukulan Siu-lo-imsat-
kang Di luar dugaan, pada saat yang sama cepat Kim Tiok-liu
juga melompat keluar dari tempat persembunyiannya, kedua
jarinya laksana pisau terus menutuk ke Soan-ki-hiat di dada
lawan. Hebat juga Yang Go, serangan tiba-tiba itu tidak
membuatnya bingung, cepat ia memutar balik tangannya,
dengan Kim-na-djiu-hoat ia hendak memegang pergelangan
tangan Kim Tiok-liu. Namun Kim Tiok-liu tidak kalah cepat,
tangannya ditarik ke bawah, dari menutuk berubah menjadi
telapak tangan terus memukul ke dada Yang Go.
Cepat Yang Go menangkis, kedua tangan beradu, Yang Go
tergetar mundur dua tiga tindak, Tiok-liu sendiri tergetar
keluar kamar. Sungguh kejut Yang Go tidak terkatakan, Siu-lo-im-satkangnya
yang sudah mendekati tingkatan paling sempurna
ternyata tidak mampu merobohkan lawannya, bahkan berani
beradu tangan dan mendesaknya mundur malah.
Yang Go sudah pernah beberapa kali bergebrak dengan
Kim Tiok-liu, sekarang dalam keadaan gelap walaupun belum
melihat jelas mukanya juga sudah tahu siapa yang
dihadapinya. Saat itu Kautju gadungan tadi yang ikut di belakang Yang
Go baru saja mau masuk ke dalam kamar, lekas Yang Go
berseru padanya, "Lekas lari!"
"Tak bisa lari lagi!" seru Tiok-liu dengan tertawa, bagai
burung terbang saja ia terus menyambar ke arah Kautju itu.
Tentu saja Yang Go maklum murid keponakan yang diang
katnya menjadi Kautju itu tidak mungkin sanggup menahan
serangan Kim Tiok-liu, terpaksa ia pun menirukan gerakan Kim
Tiok-liu, ia pun meloncat ke atas dan mengadu pukulan pula di
udara dengan Kim Tiok-liu.
Sembari berlari menyingkir Kautju gadungan itupun
berteriak, "Ada mata-mata musuh! Lekas tangkap!" Tapi baru
beberapa langkah ia sempat berlari, tahu-tahu tulang
pundaknya sudah terasa sakit, kiranya ia kena dicengkeram
oleh Le Lam-sing.
Dalam pada itu Yang Go merasa dadanya seperti digodam
karena adu pukulan tadi, waktu turun ke bawah ia berada di
balik gunung-gunungan sana dan menduduki tempat yang
menguntungkan dan siap melayani serangan Kim Tiok-liu,
jengeknya: "Kim Tiok-liu, sekalipun kau punya tiga kepala dan enam
tangan juga malam ini jangan harap bisa lolos dari sini!
Jangan kau sangka kami dapat digertak karena Kautju kami
tertangkap oleh kalian, sebaiknya kita berunding secara baikbaik
saja." Sementara itu anak buah Thian-mo-kau sudah merubung
tiba ketika mendengar teriakan sang Kautju tadi, sedangkan


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Le Lam-sing juga menyeret tawanannya ke dalam kamar dan
berseru kepada Kim Tiok-liu, "Kim-hiante, lekas masuk ke
sini!" Tiok-liu menjadi heran, pikirnya, "Kenapa Le-toako begini
gegabah" Jumlah musuh sangat banyak, jika menerjang
keluar mati-matian mungkin bisa lolos. Tapi kalau
bersembunyi di dalam kamar bukankah akan mirip burung
masuk kurungan dan mati konyol?" Tapi lantaran Le Lam-sing
sudah mendahului masuk, terpaksa ia mengikuti juga.
Sungguh senang Yang Go tak terhingga melihat Lam-sing
dan Tiok-liu bersembunyi ke dalam kamar. Ia terbahak-bahak
dan berseru lantang, "Kim Tiok-liu, masakah kalian mau
menjadi kura-kura selama hidup dengan mengkeret di dalam
kamar" Ini, biar kalian kenal dulu sedikit kelihaianku!"
Habis berkata ia terus mengambil sepasang busur dan
panah beracun dari anak buah Thian-mo-kau yang sementara
itu sudah berbondong tiba dan mengepung rapat kamar itu.
"Le Lam-sing kau adalah ahli racun, sekarang silakan
periksa kedua panah ini, coba cukup lihai tidak racun pada
ujungnya?" seru Yang Go pula sambil membidikkan dua anak
panah susul-menyusul ke dalam kamar dan menancap di
dinding. Habis itu ia mengambil pula sebuah bumbung
penyemprot, sekali tekan pesawat bumbung seketika api
tersembur, kontan daun jendela kamar terjilat api dan
berkobar. Tanpa ayal Kim Tiok-liu melontarkan pukulan, angin
pukulan dahsyat seketika memadamkan api yang baru mulai
berkobar itu. Namun lantas tercium bau busuk yang
memusingkan kepala jelas api semprotan itupun beracun.
"Kim Tiok-liu," kata Yang Go pula "Kalau cuma beberapa
pasang busur panah dan beberapa buah semprotan saja tentu
tak bisa mengapa-apakan dirimu, tapi sekarang tersedia
beratus, bahkan beribu alat senjata tersebut, sekalipun
kepandaianmu setinggi langit dan punya serep nyawa sepuluh
juga tak bisa selamat. Hehe, paling-paling aku membiarkan
Sutitku ikut terbakar bersama kalian, dalam sekejap saja
kamar itu dapat kumusnah-kan dan kalian akan menjadi abu,
maka kalau kau cukup cerdik, lekas menyerah saja. Untuk ini
kuberikan tempo setengah jam, boleh coba kalian pikirkan!"
Dari dalam kamar Kim Tiok-liu dapat melihat panah dan
bumbung semprotan tak terhitung banyaknya dan semuanya
sudah diarahkan ke pintu dan jendela kamar, pikirnya,
"Melihat gelagamya, sekalipun menerjang keluar juga sukar
menyelamatkan diri. Namun daripada mati konyol di sini tanpa
berdaya." Baru saja ia hendak bicara dengan Le Lam-sing, tiba-tiba
Lam-sing membisikinya, "Jangan kuatir, aku ada akal untuk
menyelamatkan diri. Coba kaujaga keparat ini, tidak perlu
menutuk Hiat-tonya"
Sambil mencengkeram tulang pundak Kautju gadungan itu,
Tiok-liu mengancamnya, "Jangan coba bergerak sekali
bergerak segera kuhabisi nyawamu!"
Dilihatnya Le Lam-sing sedang memindahkan tempat tidur
besar itu, lalu berjongkok dan meraba-raba lantai, terdengar
dia menggumam sendiri, "Tiga kaki setengah dari dinding, di
atas ubin ada tanda dekukan mirip gelang. Nah, inilah dia!"
Kiranya dahulu waktu ayah-bunda Lam-sing membangun
kamar tidur Kautju itu, dipakai ubin hijau yang kuat dan tebal,
oleh sebab itu selama lebih 20 tahun ini belumlah rusak.
Bangunan-bangunan tambahan yang didirikan Yang Go ini
sama sekali tidak dipengaruhi bangunan lama, tetapi terutama
ponda sinya ada yang diperbaiki juga cuma bagian atasnya.
Begitulah setelah Lam-sing membongkar dua buah ubin
besar, maka tertampaklah sebuah lubang, seketika terendus
ban busuk apek.
Tiok-liu mengeluarkan dua biji Pik-ling-tan buatan teratai
salju Thian-san yang khasiatnya sangat bagus untuk
menawarkan racun. Sebiji diberikan kepada Lam-sing, dia
sendiri minum sebiji, lalu Kautju gadungan yang memalsukan
Le Lam-sing itu sekalian diseret masuk ke dalam liang itu.
Lam-sing menyalakan geretan, ternyata di bawah adalah
sebuah jalan lorong yang tak terlihat ujungnya. Lubang masuk
itu ada dua sayap daun pintu batu. Sesudah masuk, Lam-sing
merapatkan lagi daun pintu batu itu, katanya dengan tertawa,
"Mereka tidak paham cara membuka dan menutupnya, untuk
membobol pintu batu ini sedikitnya memakan waktu dua tiga
hari." Rupanya Kautju gadungan itu sama sekali tidak menduga
bahwa di bawah tempat tidur terdapat sebuah jalan rahasia
demikian, keruan ia melongo heran, hawa busuk di dalam
lorong itu lantas terhisap lebih banyak ke dalam perutnya,
seketika perutnya berontak dan tumpah habis-habisan.
"Nah, biarpun kau memalsukan diriku dan menjadi Kautju
segala toh kau tidak mengetahui tempat rahasia ini," ejek
Lam-sing dengan mendengus. "Sekarang lekas kau mengaku
terus terang, kau bersengkongkol dengan Yang Go dan
melakukan hal-hal memalukan ini, sebenarnya apa tipu
muslihat yang kalian rencanakan?"
Dengan menahan bau busuk apek dengan muka cemberut
terpaksa Kautju gadungan itu minta ampun, katanya, "Hal ini
tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku, aku cuma menjadi
boneka Yang Go belaka. Dia adalah Supekku, dia bilang
wajahku rada mirip kau, maka aku diharuskan menyaru
sebagai dirimu dan diangkat menjadi Kautju, terpaksa aku
menurut saja. Tujuannya dengan menjadikan diriku sebagai
bonekanya, Thian-mo-kau dibangun kembali dan digunakan
sebagai alat pemeras terhadap pemerintah kerajaan untuk
mengadakan tawar-menawar, dengan modal inilah dia ingin
mendapatkan kedudukan dan kekuasaan. Demikianlah harap
Kautju memberi ampun!"
"Hm, siapa sudi menjadi Kautju segala?" jengek Lam-sing.
"Hm, kau keparat ini biarpun bukan biang keladinya, tapi kau
sudi didalangi orang, kau pun harus merasakan sedikit
kelihaianku. Kematianmu dapat diampuni, hukuman badan
tidak boleh tidak."
Lalu ia menutuk Hiat-to orang itu dan membuatnya tak bisa
berkutik, katanya pula, "Biar kau tidur dua hari di sini, sesudah
Yang Go menjebol pintu batu tentu kau akan tertolong keluar,
kalau Yang Go tidak datang adalah nasibmu yang sial."
Habis itu barulah Lam-sing sempat bertanya pada Kim Tiokliu,
"Kim-hiante, cara bagaimana kau mendapat tahu urusan di
sini" Dimanakah nona Su, apakah dia datang bersamamu?"
"Dia menunggu di luar, entah kepergok musuh tidak?"
sahut Tiok-liu. "Aku sudah bertemu dengan Kongsun Hong,
bagaimana dengan Kongsun Yan?"
"Dia juga menunggu di luar," kata Lam-sing. "Marilah kita
keluar mencari mereka."
Begitulah sambil berjalan lalu Le Lam-sing menuturkan
pengalamannya tempo hari.
Ketika dia terjun ke bawah jurang dahulu itu, Lam-sing
mengira jiwanya pasti akan melayang. Tak tersangka, waktu
badannya jatuh di tanah, rasanya seperti jatuh di atas
permadani yang empuk, walaupun rada sakit juga, tapi tidak
terluka sedikit-pun.
Kemudian dia baru mengetahui bahwa rontokan daun dan
bunga di dasar lembah sunyi itu lama kelamaan berubah
menjadi tanah dan lumpur yang lunak sehingga jiwanya dapat
diselamatkan. Hawa di dasar jurang itu sumpek dan lembab, padahal
musim semi belum lagi tiba, hawa di luar masih dingin, tapi di
bawah jurang itu beratus ribu pohon Tho mekar bunganya
dengan semarak. Menghadapi pemandangan indah dan aneh
itu, semangat Lam-sing terbangkit, cepat ia merangkak
bangun. Siapa tahu kejadian aneh masih menyusul lagi, tiupan
angin pegunungan sayup-sayup membawa suara orang
bertempur di atas jurang sana, keruan Lam-sing terkejut, ia
pikir mengapa Kongsun Yan masih berada di situ dan tidak
mau lekas pergi.
Belum lenyap pikirannya, tiba-tiba terdengar suara angin
menderu, sesosok tubuh jatuh lagi dari atas dan tepat jatuh di
sebelah Lam-sing. Cepat Lam-sing membangunkannya, ketika
diperiksa, siapa lagi kalau bukan Kongsun Yan.
Lolos dari maut, kedua muda-mudi merasa seperti baru
saja bermimpi buruk saja, perasaan Lam-sing sangat
terguncang. Maklumlah, maksudnya terjun ke jurang karena
dia tidak mau membikin susah Kongsun Yan, ia mengira
setelah menyaksikan dia membunuh diri tentu si nona akan
melarikan diri. Siapa tahu Kongsun Yan terus ikut terjun ke
jurang, sama sekali berlawanan dengan perkiraannya.
Begitulah tanpa terasa mereka saling menggenggam
tangan masing-masing dengan kencang dengan airmata
berlinang. "Sungguh tidak nyana bahwa kita bisa selamat," kata Lamsing
kemudian. "Tapi kita sama-sama terluka oleh Siu-lo-imsat-
kang, di bawah jurang setinggi dan curam begini, cara
bagaimana kita bisa keluar dengan selamat?"
"Pendeknya tekadku sudah bulat, mati atau hidup biarlah
kita berada bersama," sahut Kongsun Yan. "Maka kalau kita
tak bisa keluar dengan selamat dari sini juga tidak menjadi
soal." Kata-kata ini diucapkan dengan nada tegas sehingga
membikin Lam-sing merasa terharu dan malu sendiri malah.
Maklumlah Lam-sing pernah patah hati, walaupun sebelumnya
ia pun mengetahui Kongsun Yan menaruh hati padanya, tapi
selama itu ia pura-pura tidak tahu dan menganggap si nona
seperti adik perempuannya saja. Tak terpikir olehnya bahwa
sedemikian mendalam Kongsun Yan jatuh cinta padanya.
Saking terharunya tanpa terasa ia terus memeluk erat si nona,
ia pikir orang sudi berkorban baginya, mana boleh dirinya
mengecewakan cintanya yang suci itu.
"Adik Yan, sekarang aku menjadi tidak ingin mati lagi," kata
Lam-sing kemudian dengan tertawa.
"Bukankah sudah kukatakan, kau hidup, maka aku pun
hidup di sampingmu," sahut Kongsun Yan.
"Hanya takdir mau mengabulkan cita-cita kita atau tidak?"
"Bisa hidup sehari lebih lama biarlah kita hidup sehari lagi.
Kupikir, mengalami bahaya besar tidak mati tentu bakal
mendapat rejeki. Kukira kita pasti dapat keluar dari sini
dengan selamat."
"Benar, kita rawat dulu kesehatan kita di sini pelahan kita
mencari jalan keluar."
Walaupun begitu katanya, tapi ucapan Lam-sing itu hanya
sekedar menghibur Kongsun Yan saja. Luka pukulan Siu-lo-imsat-
kang terang sukar disembuhkan dengan obat kecuali
menggunakan tenaga dalam sendiri yang sudah sempurna,
padahal Lwekang Kongsun Yan belum tinggi, bahkan juga
Lam-sing sendiri.
Tapi seperti kata-kata Kongsun Yan tadi, terpaksa mereka
pasrah nasib saja dan melewatkan waktu menurut keadaan.
Dan untuk mempertahankan hidup, mereka harus mencari
makanan. Padahal di lembah pohon Tho itu kabut berbisa
sangat tebal, jangankan manusia dan binatang sukar hidup di
situ, bahkan burung juga tidak berani bersarang di situ.
Sebagai seorang ahli racun, setelah memeriksa sekitar hutan
Tho itu, Lam-sing lantas mengetahui betapa lihainya hawa
beracun di lembah ini, untuk mengisi perut hanya boleh
memetik buah Tho saja, tapi ada hawa bunga Tho beracun,
tentunya buah Hio sendiri juga beracun.
Namun Kongsun Yan tidak peduli, katanya dengan tertawa,
"Buah Tho ini beracun atau tidak bukan soal, toh hidup kita
hanya untuk menanti ajal saja. Coba lihat, sebelum mati kita
dapat berdiam di tempat sorga yang indah ini, sungguh mati
pun aku tidak kecewa"
Mendengar si nona menyebut lembah yang penuh bau
busuk itu sebagai sorga indah. Mau tak mau Lam-sing
tersenyum kecut. Tiba-tiba pikirannya tergerak, pikirnya "Ya
aneh, mengapa sudah sekian lamanya aku mengisap hawa
berbisa ini, bukan saja belum mati, bahkan merasa pusing
kepala saja tidak?"
Ia lihat wajah Kongsun Yan juga tiada tanda-tanda lesu
bahkan semangat si nona kelihatan tambah segar, ia
bertanya, "Adik Yan. coba kau bernapas panjang, apakah
dadamu terasa sesak dan muak."
Dengan tersenyum Kongsun Yan lalu menarik napas
panjang lalu berkata "Ehm, harum sekali sungguh
menyegarkan!"
Lam-sing menjadi bingung malah. Ia heran, mestinya
mereka bertambah parah karena mengendus hawa berbisa ini,
tapi sekarang bahkan racun dingin pukulan Siu-lo-im-sat-kang
yang mengeram di dalam tubuh mereka menjadi berkurang
malah. Tanpa terasa mereka mendekati sebuah air terjun, tiba-tiba
Kongsun Yan berseru girang, "Lihatlah kakak Lam, ada
makanan di sini!" Kiranya di kolam air terjun itu banyak
terdapat ikan. Lam-sing terheran-heran, padahal burung saja tidak berani
bersarang di lembah ini, tapi di dalam air ada ikannya hal ini
sungguh di luar dugaannya.
"Sayang kita tidak punya pancing," kata Kongsun Yan.
"Biarlah kuminum sekenyangnya."
"Jangan!" cegah Lam-sing karena kualir air kolam itu
beracun. Namun Kongsun Yan sudah berjongkok dan menghirup air
kolam itu beberapa teguk lalu ia mengangkat kepala dan
menjawab, "Kenapa jangan" Air ini rasanya segar dan manis!"
Lam-sing tertegun, pikirnya, "Cepat atau lambat toh akan
mati. Peduli air dan ikan itu beracun atau tidak, paling penting
sekarang adalah menyambung hidup!"
Begitulah, tanpa berkata lagi segera ia terjun ke dalam
kolam, dia memang mahir menyelam, maka dengan gampang
ia irapat menangkap beberapa ekor ikan. Malam itu mereka
berpes-la dengan dahar ikan bakar.
Ikan segar yang ditangkap dari kolam itu ternyata gemuk
dan lezat rasanya, mereka makan dengan lahap, kata Kongsun
Yan dengan tertawa, "Asalkan setiap hari makan ikan lezat
begini, maka puaslah aku hidup bersama kau di lembah bunga
Tho ini selamanya."
Tak terduga selesai makan ikan bakar itu, mendadak Kongsun
Yan merasa perutnya menjadi panas. Tak lama kemudian


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekujur badan serasa dibakar. "O, matilah aku!" ia merintih
dan tanpa pikir ia terus melompat ke dalam kolam untuk
berendam dengan air dingin.
Kuatir si nona mengalami sesuatu, cepat Lam-sing juga ikut
terjun ke kolam. Terdengar Kongsun Yan berkata pula dengan
tertawa, "Alangkah segarnya berendam di sini daripada badan
panas seperti terbakar."
Seketika pikiran Lam-sing tergerak lagi, pikirnya, "Mestinya
kami terkena racun dingin pukulan Siu-lo-im-sat-kang,
mengapa berendam di dalam air tidak merasa dingin
sedikitpun" Jangan-jangan hawa berbisa di lembah ini dan
ikan yang kami makan adalah obat mujarab penyembuh racun
dingin?" Maka ia tidak mencegah lagi, sebaliknya ikut bermain air di
dalam kolam bersama si nona. Sebagai ahli racun ia tahu teori
yang disebut 'serang racun dengan racun7.
Benar juga, setelah tiga hari berturut-turut mereka makan
ikan bakar, ketika mereka coba mengerahkan tenaga, ternyata
hawa murni di dalam tubuh dapat bergerak dengan lancar.
Sampai hari kelima hawa berbisa dari pukulan Siu-lo-im-satkang
Yang Go sudah dapat dipunahkan seluruhnya.
"Ikan ini tidak boleh dimakan lagi," kata Lam-sing. "Jika
makan lebih banyak lagi tentu kita akan keracunan malah."
Ia termenung-menung sejenak, mendadak ia berjingkrak
girang dan berseru, "Kita bisa lolos dengan selamat! Marilah
ikut padaku!"
Kongsun Yan merasa sangsi, tanyanya, "Apakah kau
mendapatkan jalan keluarnya" Untuk memanjat jurang
sedemikian! curam ini mungkin kita tidak sanggup."
"Tak perlu susah-susah, lembah ini ada jalan keluarnya,"
sahut Lam-sing tertawa.
Girang Kongsun Yan, tapi ia masih ragu-ragu dan kembali
menegas, "Apa betul" Tapi lembah ini sudah kita periksa dan
tiada suatu jalan keluar yang kita temukan?"
"Di belakang situ!" kala Le Lam-sing sambil menunjuk ke
arah air terjun.
"O, darimana kau tahu?" tanya Kongsun Yan dengan kejut-
kejut girang. "Ikan di dalam kolam ini datangnya ikut air terjun, kau
memperhatikan tidak?" tanya Lam-sing.
"Lalu bagaimana?" tanya si nona.
"Di tengah air terjun sukar hidup bagi ikan, maka dapat
diperkirakan ikan-ikan pasti tidak terjun dari atas gunung.
Harpa Iblis Jari Sakti 11 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pendekar Super Sakti 24
^