Pendekar Jembel 6

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 6


begitu, akulah yang sembrono. Aku.....aku sangka kau dan Li
Tun.....Eh, kiranya tidak!"
"Ya atau tidak adalah urusanku, kau tidak perlu ikut
campur!" semprot Su Ang-ing dengan masih marah.
"Maaf, sudilah kau jangan marah lagi!" pinta Tiok-liu
dengan tersenyum. "Sudah tentu aku tak berani ikut campur
urus-nmu. Cuma betapapun kita adalah kawan bukan" Jika
kau ada esulitan, sudah seharusnya sebagai kawan mesti ikut
menang-ung sedih bukan" Nona Su, jika kau ddak mencari Li
Tun, aka marilah kita bersama-sama pergi ke kotaraja,
maukah" Segala urusan akan lebih kuat dihadapi berdua
daripada sendirian."
Dasar masih hijau, Kim Tiok-liu sedikitpun belum pandai
menyelami perasaan anak perempuan, jika sebelum dia
menyebut Li Tun mungkin Su Ang-ing mau menerima
ajakannya itu, tapi sekarang ajakannya itu menjadi terlalu
menyolok, bahkan memberi kesan pada Ang-ing seakan-akan
dia adalah pemuda bangor.
Dengan marah Su Ang-ing lantas berkata, "Apa kau kira
aku harus minta perlindungan kaum pria" Hm, kau terlalu
memandang enteng padaku. Biarpun kepandaianku lebih
rendah juga tidak perlu mohon perlindunganmu. Sudahlah,
kau boleh pergi ke arahmu dan aku melanjutkan
perjalananku."
"Ai, aku ini memang tidak pintar bicara, kembali membikin
marah padamu lagi," ujar Tiok-liu sambil memburu maju.
"Mana aku berani memandang enteng padamu, kau adalah
jantan di antara kaum wanita, aku justru teramat kagum
padamu." "Siapa minta dikagumi kau" Aku cuma minta kau enyah
supaya aku bisa tenang," sahut Su Ang-ing.
Tengah mereka cekcok, tiba-tiba terdengar suara derapan
kaki kuda. Bun To-tjeng tampak mendatangi dengan cepat,
dari jauh ia sudah berteriak-teriak, "Kim Tiok-liu, kau jangan
lari!" "Lihat itu nona Su, kita tidak berangkat sejak tadi, sekarang
kita menghadapi kesulitan lagi," kata Tiok-Liu.
Waktu Su Ang-ing menoleh, dilihatnya di belakang Bun Totjeng
ada tiga penunggang kuda lagi. Seorang adalah
pemimpin Hay-soa-pang, Soa Djian-hong. Kedua penunggang
lainnya adalah anak buah kakaknya, yaitu Tang Tjap-sah-nio
serta Wan-hay Hwesio.
"Jangan lari anak keparat"' demikian Bun To-tjeng berteriak
pula dari jauh.
"Ya, kita memang tidak boleh lari lagi, jika lari tentu dia
menyangka kita takut padanya," kata Tiok-liu kepada Ang-ing.
Kesempatan ini hendak digunakannya bersatu dengan Su Anging
untuk menghadapi musuh, dengan demikian percekcokan
mereka tadi dapat didamaikan. Selain itu rasanya ia pun sukar
meloloskan diri, sebab betapapun sukar berlomba dengan
kecepatan kuda-kuda pilihan tunggangan Bun To-tjeng dan
kawan-kawannya itu.
"Anak bangsat, hari ini aku harus mengadu jiwa padamu,"
demikian Bun To-tjeng membentak pula dan dengan cepat
bagai terbang kudanya sudah membeda) tiba.
"Eh, kok marah-marah, apakah kau kematian anakmu?"
Tiok-liu mengolok-olok.
"Kau masih berani mengutuk dia" Anak Tiong ingin sekali
menghancur-luluhkan tubuhmu baru terlampiaskan rasa
dendam-i nya padamu," teriak Bun To-tjeng dengan murka.
"O, jadi putramu itu masih hidup," kata Tiok-liu. "Aku kan
sudah menyembuhkan dia, kau tidak berterima kasih padaku,
ke-I napa malah memusuhi aku. Kan terlalu ini namanya."
Merah padam wajah Bun To-tjeng saking marahnya, ia
melompat turun dari kuda, tudingnya pada Kim Tiok-liu sambil
memaki, "Anak keparat, kau telah mempermainkan kami
secara rendah, sekarang kau masih berani mengolok-olok?"
Habis berkata, dengan tenaga Sam-siang-sin-kang segera
ia i menghantam.
Kiranya Bun To-tjeng telah meminumkan 'obat penawar'
pemberian Kim Tiok-liu itu kepada putranya dan benar juga
dengan gampang Hiat-to yang tertutuk itupun lantas dapat
dibuka, tapi sesudah bisa bergerak, kontan Bun Seng-tiong
lantas tumpah habis-habisan, sampai-sampai air kuning dalam
perutnya juga muntah keluar.
Setelah Bun Seng-tiong menceritakan apa yang terjadi
semalam, barulah Bun To-tjeng mengetahui mereka telah
dipermainkan Kim Tiok-liu, keruan ia menjadi murka.
Begitulah, Kim Tiok-liu segera menggunakan jurus 'Hunhoa-
hut-liu' (mengurai rumput menyampuk pohon) untuk
menangkis serangan Bun To-tjeng tadi, katanya dengan
tertawa, "Sudah kukatakan bahwa obatku itu memang sangat
mujarab, sekarang buktinya memang cespleng, mengapa kau
mengatakan aku mempermainkan kau?"
Dalam pada itu Soa Djian-hong, Tang Tjap-sah-nio dan
Wan-hay Hwesio juga sudah memburu tiba.
"Adik Ing, kau datang ke sini, mengapa tidak menemui
aku," demikian sapa Soa Djian-hong kepada Su Ang-ing.
"Bocah she Kim ini bukan manusia baik-baik, jangan kau
tertipu." "Aku tidak baik, sedikitnya tidak lebih busuk daripada kau,"
ujar Tiok-liu dengan tertawa. "Selamanya aku tidak pernah
mengikat saudara di muka, tapi di belakang memakai muslihat
hendak merebut benda mestika orang."
Yang dimaksud Kim Tiok-liu adalah persekongkolan Soa
Djian-hong dengan Bun To-tjeng yang hendak merebut Hiantiat
milik Su Pek-to itu, maka baru sekarang Soa Djian-hong
mengetahui bahwa pembicaraan rahasianya telah didengar
semua oleh Kim Tiok-lin. Kuatir kalau Tiok-liu bicara lebih
banyak lagi, cepat ia membentak, "Keparat, kau berani
menipu nona Su, untuk itu aku harus mencabut jiwamu. Tjapsah-
nio, boleh kau menasihati adik Ing, ini mengenai urusan
dalam Pang kalian, aku tidak enak ikut campur."
Soa Djian-hong cukup kenal kepandaian Su Ang-ing yang
tinggi, ia kuatir si nona maju membantu Kim Tiok-liu, hal ini
akan membuatnya serba susah, maka dia sengaja
menyodorkan tanggung jawab si nona kepada Tang Tjap-sahnio.
Su Ang-ing baru saja marah-marah kepada Kim Tiok-liu,
dilihatnya pemuda itu mulai bergebrak dengan Bun To-tjeng,
mestinya ia dapat tinggal lari sendiri, tapi sekarang ia masih
tetap menonton di samping dan tidak mau pergi.
Melihat Su Ang-ing tidak maju membantu Tiok-liu, Tang
Tjap-sah-nio menyangka si nona telah berbalik pikiran, segera
didekatinya dan menyapa, "Adik Ing, kau adalah gadis
bijaksana, sejelek-jeleknya saudara sendiri tetap lebih baik
daripada orang luar. Kakakmu tahu kau tertipu oleh bocah ini,
jika kau mau pulang tentu dia takkan menyalahkan kau. Bocah
ini bukan saja musuh Liok-hap-pang kita, bahkan dia telah
menyalahi empat organisasi Kangouw yang terbesar. Jika kau
tetap berada bersama dia tentu akan banyak mengalami
kesukaran. Marilah sekarang kita lekas pulang saja."
Kiranya tempo hari Tang Tjap-sah-nio telah bertemu
dengan Kiong Peng-hoan, Ko Tay-sing dan lain-lain di Sohtjiu,
maka dia mendapat tahu Su Ang-ing berada bersama Kim
Tiok-liu, Hian-tiat juga berada di tangan mereka. Sembari
mengirim kabar ke markas Liok-hap-pang, ia sendiri lantas
mengikuti jejak Kim Tiok-liu.
Ketika sampai di Hay-soa-pang, kebetulan bersamaan
dengan waktu pulangnya Bun To-tjeng dengan membawa
'obat penawar' pemberian Kim Tiok-liu. Tahu bahwa Kim Tiokliu
belum pergi jauh, segera mereka mengejarnya dengan
menunggang kuda cepat. Dan betul juga Kim Tiok-liu
diketemukan bersama Su Ang-ing, sehingga mereka lebih
yakin lagi bahwa Su Ang-ing memang telah berkomplot
dengan Kim Tiok-liu.
Su Ang-ing menjadi gusar mendengar kata-kata Tjap-sahnio
yang menganggap dia minggat bersama Kim Tiok-liu,
segera ia balas mendamprat, "Kau jangan ngaco-belo, pendek
kata aku tidak mau pulang."
Tang Tjap-sah-nio jadi melengak, katanya pula, "Adik Ing,
apakah bocah ini ada harganya untuk kau ikuti selamanya"
Laki-laki yang jauh lebih hebat dari dia kan masih banyak."
"Tutup mulutmu!" bentak Ang-ing dengan gusar. "Jangan
kau salahkan aku jika kau membacot lagi!"
Karena sudah telanjur omong, Tang Tjap-sah-nio juga tak
mau kalah, katanya puia, "Adik Ing, atas perintah kakakmu,
kami harus mencarimu dan dibawa pulang. Aku tidak ingin
pakai kekerasan, tapi....."
"Sudahlah, yang jelas aku tidak mau pulang. Kalau mampu
oleh coba kau tangkap aku saja," kata Ang-ing dengan menengek.
Tiada jalan lain terpaksa Tjap-sah-nio berkata, "Jika kau
etap kepala batu, maaf terpaksa aku 'mempersilakan' kau
pulang." Habis berkata, segera cambuknya menyabet ke depan.
"Bagus! Boleh juga kita coba permainan cambuk masingmasing,"
sambut Ang-ing, segera cambuknya juga diayun ke
depan. Kedua orang sama-sama pemain cambuk, cuma biasanya
Su Ang-ing memandang hina terhadap pribadi Tjap-sah-nio,
maka kedua orang lahirnya saja akur, tapi dalam batin tidak
cocok satu sama lain. Meski sama-sama jago Liok-hap-pang,
tapi keduanya belum pernah bertanding.
Sekarang kedua cambuk beradu, seketika cambuk perak Su
Ang-ing terguncang ke samping oleh cambuk Tjap-sah-nio,
tapi dengan sedikit memutar ujung cambuknya, kembali Anging
menyabet pula dari jurusan yang tak terduga-duga.
Cepat Tang Tjap-sah-nio mengegos, ujung cambuk Ang-ing
hampir menyerempet lewat di atas gelung kondenya. Kiranya
bicara tentang tenaga, Tjap-sah-nio lebih kuat tetapi soal
kepandaian main cambuk dan perubahan-perubahan tipu
serangan, Ang-ing terlebih bagus.
Kalau di sini Ang-ing dan Tjap-sah-nio bertempur dengan
sengit, adalah di sebelah sana Kim Tiok-liu dan Soa Djianhong
juga sudah bergebrak.
Waktu itu Kim Tiok-liu sedang menggunakan gerakan 'lttju-
keng-thian' atau pilar tunggal menahan langit, dengan
sebelah tangan segera ia mematahkan tenaga Sam-siang-sinkang
yang dilancarkan Bun To-tjeng. Melihat ada kesempatan
segera Soa Djian-hong ikut menghantam, angin pukulannya
membawa bau amis yang memuakkan.
Kiranya yang dilatih Soa Djian-hong ialah 'Tok-soa-tjiang'
(pukulan pasir berbisa), jika terkena pukulannya tentu sang
korban akan mati dengan kulit daging membusuk.
Namun dengan gesit Tiok-liu sempat mengegos, katanya
sambil mendekap hidung, "Wah, bau bacin! Seluruh badanmu
rupanya penuh racun, agaknya kau pun perlu sebutir obat
penawar." Tiba-tiba Soa Djian-hong melihat sebelah tangan Tiok-liu
membawa sesuatu yang sangat berat, sebagai seorang bandit
berpengalaman segera Soa Djian-hong tahu apa itu. Cepat ia
membentak, "Bocah she Kim, benda apa yang kau bawa itu?"
"Hehe, tidak lain adalah benda yang kau incar itu," sahut
Tiok-liu dengan tertawa ejek. "Ini kukembalikan asalkan kau
mampu menyambutnya."
Lantaran sudah pernah tertipu, sekarang Soa Djian-hong
menjadi setengah percaya setengah tidak. Ketika melihat Kim
Tiok-liu mengepruldcan kotak itu ke arahnya, ia pikir dengan
tenaga pukulan sendiri yang kuat boleh juga dicoba benar
tidak isi kotak itu.
Mendadak Bun To-tjeng berseru padanya, "Awas, jangan
ada kekerasan!"
Dalam pada itu Wan-hay juga tidak mau tinggal diam, ia
tidak berani menyalahi Su Ang-ing, sebaliknya di Hangtjiu ia
pernah dipermainkan oleh Kim Tiok-liu, rada dendam itu
belum terlampias, maka sekarang ia lantas mencabut golok
dan maju membantu. Kebetulan dia yang menangkiskan
gempuran kotak Kim Tiok-liu ke arah Soa Djian-hong itu.
"Trang", biarpun Gwakang (tenaga luar) Wan-hay sudah
mencapai puncaknya, namun tetap tak bisa menandingi
tenaga dalam Kim Tiok-liu yang lihai itu. Apalagi yang
dipegang Kim Tiok-liu itu adalah Hian-tiat yang sangat berat,
hanya kotaknya saja yang terbuat dari kayu, maka golok Wanhay
itu kena membacok di atas kotak kayu sehingga pecah,
tapi ketika golok bertemu Hian-tiat, seketika mata golok itu
mereyot sendiri. Tangan Wan-hay tergetar panas pegal dan
tergentak mundur dua tiga langkah, bahkan masih
sempoyongan pula.
Sekali memutar tubuh, dengan gemas Kim Tiok-liu lantas
menggempur Bun To-tjeng pula dengan besi wasiat. Tapi Bun
To-tjeng tak menyambutnya berhadapan, ia menggeser ke
samping, kedua tangannya terus menolak ke depan, dengan
tepat sekali serangan Kim Tiok-liu itu kena dielakkan.
Soa Djian-hong terkejut dan bergirang, teriaknya, "Hai,
memang benar Hian-tiat adanya!"
Belum lagi mulutnya terkatup kembali, tiba-tiba terasa
sesuatu benda kecil menyambar masuk ke dalam
kerongkongan, baunya bacin.
Berani berkata berani berbuat, rupanya Kim Tiok-liu telah
membuktikan ucapannya tadi dan memilin satu butir daki
terus dijentikkan ke mulut lawan. Ketika sadar apa yang
terjadi, hendak dimuntahkan keluar juga tidak keburu lagi, 'pil'
istimewa itu tertelan mentah-mentah ke dalam perut.
Sungguh murka Soa Djian-hong tidak kepalang, bentaknya
menggelegar, "Bangsat, kalau hari ini aku tidak membunuh
kau, aku bersumpah tidak menjadi manusia!"
Segera ia mengeluarkan sepasang Boan-koan-pit, kembali
ia mengembut bersama Bun To-tjeng. Sesudah mengetahui
yang dipegang Kim Tiok-liu adalah betul-betul Hian-tiat, maka
ia tidak berani lagi melawannya dengan bertangan kosong.
Di sebelah sana, sesudah dapat berdiri tegak lagi, Wan-hay
juga menjadi murka dan kembali menubruk maju sambil
membentak, "Anak keparat, hari ini kalau bukan kau yang
mampus biarlah aku yang mati!"
Dengan tertawa Tiok-liu menjawab, "Wah, kalian bertiga
sama-sama menginginkan nyawaku, padahal jiwaku cuma
satu dan sudah kubawa semua ke sini, aku tidak punya serep
jiwa lagi. Sebaiknya bagaimana ini" Ah, aku tidak mau pilih
kasih, maaf terpaksa tidak kuberi semua."
Sembari mendagel tahu-tahu tangannya sudah melolos


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang, secepat kilat ia terus menusuk ke arah Soa Djianhong.
Lekas Soa Djian-hong menyilangkan kedua Baon-koanpitnya
untuk menangkis, tapi sekonyong-konyong ujung
pedang Kim Tiok-liu menabas miring ke bawah, keruan Soa
Djian-hong terkejut, lekas ia melompat mundur, keringat
dingin sampai mengucur membasahi dahinya.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa sesudah mendesak
mundur Bun To-tjeng, segera pedang Kim Tiok-liu menusuk
pula ke muka Wan-hay, lekas Wan-hay menangkis. "Trang",
kembali mata goloknya gumpil sebagian, padahal yang
digunakan Kim Tiok-liu hanya pedang biasa dan jauh lebih
enteng daripada golok Wan-hay, keruan kejut Wan-hay lebih
daripada tadi terhadap Lwekang Tiok-liu yang lihai.
Dengan ilmu pedangnya yang aneh dan hebat, secepat kilat
Tiok-liu menggempur tiga jago tangguh sampai lawanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lawannya berkeringat dingin semua. Tapi hasil serangan itu
diperoleh karena serangan kilat dan di luar perhitungan
musuh, kalau bicara tentang kepandaian sejati Kim Tiok-liu
hanya bisa menangkan setiap lawannya dengan satu lawan
satu, dikeroyok dua orang saja Kim Tiok-liu sudah kewalahan,
apalagi sekarang dikerubut tiga. Untungnya dia memegang
Hian-tiat yang membikin musuh menjadi jeri, ilmu pedangnya
juga sangat bagus.
Di antara musuh-musuh itu kepandaian Bun To-tjeng yang
paling tinggi, Sam-siang-sin-kang yang dimilikinya cukup kuat
untuk menandingi pukulan Kim Tiok-liu, hanya terhadap ilmu
pedang Tiok-liu yang hebat itu dia rada jeri.
Kepadandaian Soa Djian-hong setingkat di bawah Bun Totjeng,
yang dia andalkan adalah Tok-soa-tjiang, tapi sekarang
ia jeri terhadap besi wasiat di tangan Kim Tiok-liu itu sehingga
terpaksa menandingi dengan menggunakan Boan-koan-pit,
dengan demikian daya tempur Soa Djian-hong menjadi kurang
kuat pula. Begitulah, maka Kim Tiok-liu sebegitu jauh dapat
menandingi ketiga lawan tangguh dengan sama kuatnya,
namun keadaan sama kuat ini hanya dapat bertahan sampai
50 -60 jurus saja, sesudah itu, setelah ketiga lawannya mulai
tenang dan rasa jeri mulai lenyap, maka kerjasama mereka
menjadi bertambah rapat, Kim Tiok-liu mulai merasa
kerepotan. Sementara itu pertarungan cambuk lawan cambuk antara
Su Ang-ing dan Tang Tjap-sah-nio juga mulai tampak asor dan
unggulnya. Tentang tenaga memang Tjap-sah-nio lebih kuat
sedikit, tapi lantaran dia tidak berani membikin cidera Su Anging
sehingga dia selalu kena diberondong serangan si nona.
Sekali serangan Su Ang-ing menggunakan jurus 'Hay-uhthian-
hong' atau hujan angin di lautan bebas, untuk mendesak
mundur Tang Tjap-sah-nio, berbareng itu Su Ang-ing dengan
cepat melompat ke sebelah Kim Tiok-liu, "taarrr", cambuknya
lantas menyabet ke arah Wan-hay.
Waktu itu Wan-hay bermaksud menyerang tempat luang
Kim Tiok-liu yang tak terjaga, tak tersangka mendadak Su
Ang-ing menyerangnya. Hanya terlihat sinar perak berkelebat,
hendak menangkis sudah tidak keburu lagi, "tam", dengan
tepat kepala Wan-hay yang gundul itu tersabet Untung Su
Ang-ing tidak bermaksud membunuhnya, tapi serangan itu
hanya sekedar siasat saja, walaupun begitu kepalanya sudah
babak belur. Keruan Wan-hay terkejut dan murka pula, ia berjingkrak
dan mengumpat, "Aduuh! Mak....."
Watak Wan-hay memang kasar, mestinya ia hendak
memaki "Maknya", tapi mendadak ia ingat bahwa si nona
adalah adik perempuan sang Pangtju yang tidak boleh dicaci
maki begitu, sebab itu berarti memaki sang Pangtju juga, oleh
karena itu caci makinya itu menjadi kagok dan terdengar
seperti berkaok "aduh mak."
Sehabis serangannya itu, Su Ang-ing menjadi rada tidak
enak, katanya, "Bukan maksudku hendak melukai kau, tapi
kalian mengeroyok kami berdua, maka kau tidak dapat
menyesali aku."
Mendengar Su Ang-ing memaki kata-kata "kami berdua",
alangkah senangnya Kim Tiok-liu. Seketika semangatnya
terbangkit, berturut-turut dengan jurus 'Pek-hong-koan-djit'
dan 'Wan-kiong-sia-tiau', ia mendesak mundur Bun To-tjeng
dan Soa Djian-hong, lalu katanya dengan tertawa, "Wan-hay,
kau sudah tua, mengapa masih merengek-rengek memanggil
ibu" Kalau kau kangen kepada ibumu lekas kau pulang saja!"
Tidak kepalang gusar Wan-hay, ia berteriak murka, "Nona
Su, aku tidak bermaksud menyalahi kau, tapi aku harus
mengadu jiwa dengan bocah ini!"
Kim Tiok-liu geleng-geleng kepala, katanya tertawa, "Ai,
dengan maksud baik aku menasehati kau, tapi kau malah
tidak mau terima."
Sembari berkata, dengan gerakan 'Boat-in-kian-djit',
menyingkap awan tampak matahari, sekaligus ia mematahkan
tiga kali serangan golok Wan-hay yang dilancarkan secara
berantai. Di sebelah lain Soa Djian-hong bertempur dengan Su Anging,
setelah menangkis cambuk si nona, Boan-koan-pitnya
terus menutuk. Namun gerakan Su Ang-ing teramat gesit,
sedikit bergeser saja ia sudah berada di samping Kim Tiok-liu
sehingga serangan Soa Djian-hong itu mengenai tempat
kosong. Dengan marah Soa Djian-hong berseru, "Adik Ing,
mengingat hubungan baik kakakmu, tidaklah pantas kita
berkelahi, tapi hendaklah kau pun jangan keterlaluan. Kau
telah mencuri Hian-tiat, mengacau tempatku, dalam
pandanganmu apa kau menghargai aku" Sekarang kau boleh
pilih dua jalan, kau akan ikut pulang bersama Tang Tjap-sahnio
atau kau tetap kepala batu dan hendak bermusuhan
dengan kami, jika kau pilih jalan terakhir ini, maka terpaksa
aku akan mewakilkan kakakmu memberi hajaran padamu!"
"Soa-pangtju," jawab Su Ang-ing. "Hian-tiat adalah milik
kami, jika aku mengambil kembali, mana bisa dikatakan
mencuri" Mestinya kau harus berterima kasih padaku, kecuali
kalau kau bermaksud mengangkangi benda mestika ini."
Karena bersalah, Soa Djian-hong menjadi kikuk, katanya,
"Budak liar, kakakmu telah mengatur baik-baik perjodohanmu,
tapi kau malah terpikat oleh bocah ini. Sebagai saudara angkat
kakakmu, aku pun boleh memberi hajaran padamu."
"Huh, orang macam kau juga berani menghajar orang
lain?" jengek Kim Tiok-liu. "Ini, akulah yang akan menghajar
kau!" Sembari berkata, ia terus mengangkat Hian-tiat dan
berlagak hendak dihantamkan kepada Soa Djian-hong, lekas
Djian-hong melangkah mundur. Tak terduga cambuk Su Anging
lantas menyambar ke arahnya, biarpun ia cukup cepat
berkelit, tapi tidak urung pundaknya juga sudah keserempet
ujung cambuk sehingga bajunya sobek.
"Itu dia, hajar yang tepat!" ejek Kim Tiok-liu sambil
tertawa, berbareng itu pedangnya terus menusuk Bun Totjeng.
Namun dengan Sam-siang-sin-kang, dapatlah ia
mematahkan serangan Kim Tiok-liu. Tiba-tiba cambuk Su Anging
menyabet tiba, tapi segera terguncang pergi oleh tenaga
yang timbul dari Sam-siang-sin-kang itu.
Ang-ing terkejut dan diam-diam mengakui Bun To-tjeng
jauh lebih lihai daripada Soa Djian-hong, pantas sudah sekian
lamanya Kim Tiok-liu masih belum mampu mengalahkan
mereka, tampaknya jalan yang paling baik adalah lekas kabur
saja. Sebaliknya Bun To-tjeng juga terkejut, pantas begitu cepat
Su Pek-to mendapat nama, adik perempuannya saja begini
lihai, maka kepandaian kakaknya dapatlah dibayangkan.
Dalam pada itu Tang Tjap-sah-nio sudah menubruk maju
pula ke arah Ang-ing, katanya dengan menyeringai, "Adik
yang baik, jika kau tetap kepala batu, terpaksa aku harus
mengantar kau pulang untuk diserahkan kepada kakakmu."
Tidak kepalang dongkol Ang-ing, tapi di bawah kerubutan
lawan-lawan tangguh, ia tidak ingin banyak omong lagi.
Dengan semangat ia bertempur sejajar dengan Kim Tiok-liu,
untung Tang Tjap-sah-liu berempat tidak berani mencelakai
Su Ang-ing, dengan demikian Kim Tiok-liu menjadi ikut
longgar, namun lama kelamaan tentu mereka akan kehabisan
tenaga dan tertawan.
Karena sudah mengambil keputusan akan kabur saja, maka
pada suatu kesempatan, mendadak Su Ang-ing mendesak
mundur Wan-hay, dari tempat luang itu segera ia menerjang
keluar kepungan, lalu teriaknya pada Kim Tiok-liu, "Lari!"
Bun To-tjeng dan Soa Djian-hong sedang menghadapi
serangan Kim Tiok-liu, Tang Tjap-sah-nio sendiri tidak mampu
merintangi kaburnya Ang-ing.
Dengan Ginkang Kim Tiok-liu yang tinggi, mestinya tidak
sukar baginya untuk lari, tapi ia pikir pihak lawan menunggang
kuda pilihan, jika mereka mengejar lagi akhirnya tentu juga
akan tersusul. Namun saat itu Su Ang-ing sudah mendahului
lari, Kim Tiok-liu tidak sempat banyak berpikir lagi, terpaksa ia
ikut berlari pula, benar juga, Bun To-tjeng berempat segera
mengejar dengan berkuda.
Kuda Tang Tjap-sah-nio paling cepat, ketika sudah rada
dekat, segera ia menyambitkan dulu tiga buah 'Gin-soh' (tusuk
konde perak) ke arah Kim Tiok-liu.
Gin-soh yang disambitkan Tang Tjap-sah-nio rada istimewa,
selain membawa suara mendenging, di dalam batang Gin-soh
itu tersimpan pula jarum-jarum berbisa, bila musuh menabas
dan Gin-soh itu pecah, maka jarum berbisa itu akan
menyambar keluar.
Cara menyambit senjata rahasia Tang Tjap-sah-nio juga
istimewa, tiga buah Gin-soh mengarah tiga tempat yang
berbeda, sebuah mengarah Thay-yang-hiat di pelipis Kim Tiokliu,
yang kedua mengarah Soan-ki-hiat di bagian dada dan
yang ketiga mengincar Goan-tiau-hiat di bagian dengkul.
Tapi Tang Tjap-sah-nio tidak menyangka bahwa cara Kim
Tiok-liu menangkis senjata rahasia juga sangat bagus, apalagi
ia menyangka Kim Tiok-liu membawa Hian-tiat dan tangan lain
memegang pedang. Asalkan salah satu benda itu dipakai meiiyampuk
Gin-soh tentu jarum berbisa di dalamnya akan
segera berhamburan.
Namun Kim Tiok-liu menghadapinya dengan tertawa dan
berkata, "Aku tidak kekurangan sangu dan tidak perlu benda
perak ini, terima saja kembali semuanya!"
Berbareng pedangnya berputar sebagai kitiran, tahu-tahu
ketiga buah Gin-soh itu melayang kembali ke arah Tjap-sahnio.
Tenaga yang digunakan Kim Tiok-liu sangat tepat,
sehingga ketiga buah Gin-soh itu tepat dibentur dan melayang
balik tanpa menghamburkan jarum berbisa di dalamnya
Yang lebih hebat lagi, menyambarnya kembali ketiga Ginsoh
itu berlainan pula kecepatannya, ketika Tang Tjap-sah-nio
mengayun cambuknya bermaksud membelit Gin-soh yang
pertama, tahu-tahu Gin-soh kedua malah mendahului
melayang tiba. Karena tidak terduga-duga, hampir saja Tjap-sah-nio
termakan oleh Gin-soh kedua. Untung dia cukup cekatan,
cepat ia mernbe-rosot ke bawah, cambuknya teras membalik
sehingga Gin-soh kedua tetap kena dibelit olehnya.
Tapi dengan demikian Gin-soh pertama dan ketiga tidak
sempat lagi dihadapi Tjap-sah-nio. Kedua senjata rahasia itu
masing-masing menyambar ke arah Wan-hay dan Soa Djianhong.
Rupanya Kim Tiok-liu tahu kepandaian Bun To-tjeng
paling tinggi, maka yang dia serang adalah kedua orang yang
lebih lemah itu.
Wan-hay mengenal Gin-soh milik Tjap-sah-nio itu berisi
jarum berbisa, ia tidak berani menangkapnya, dengan
kelabakan ia menjatuhkan diri ke bawah kuda. Walaupun
begitu, hampir saja batok kepalanya terpapas oleh Gin-soh
yang menyambar tiba itu, terpaksa Wan-hay menggelinding di
atas tanah. Yang celaka adalah Soa Djian-hong, ia tidak tahu lihainya
Gin-soh itu dengan tenaga pukulan Tiat-soa-tjiang yang hebat,
segera ia memapak! datangnya Gin-sob itu.
"Jangan!" seru Tang Tjap-sah-nio.
Namun sudah terlambat, pukulan Soa Djian-hong yang
dahsyat itu telah menghancurkan Gin-soh dan jarum berbisa
di dalamnya lantas berhamburan ke arahnya.
Lekas Bun To-tjeng membantunya dengan pukulan dari
jauh untuk menyampuk pergi jarum-jarum berbisa itu, hanya
jarak mereka ada beberapa meter jauhnya, tenaga
pukulannya tidak dapat sekaligus menjatuhkan jarum-jarum
berbisa itu, akhirnya ada sebuah jarum tetap mengenai Soa
Djian-hong. Kudanya juga jatuh terguling karena goncangan
tenaga pukulan Bun To-tjeng yang dahsyat itu, sehingga Soa
Djian-hong ikut terbanting jatuh.
Di antara empat orang, sudah ada dua orang jatuh dari
kuda, malahan Soa Djian-hong terluka pula. Kedua orang yang
lain, meski Tjap-sah-nio tidak sampai jatuh dari atas kudanya
juga menjadi ciut nyalinya. Hanya Bun To-tjeng saja yang
masih tetap menghadapi lawannya dengan tenang di atas
kudanya. Sungguh tak terduga oleh Tang Tjap-sah-nio bahwa
senjata rahasianya malah mendatangkan bencana bagi teman
sendiri, ia menjadi malu dan mendongkol pula, berbareng ia
juga merasa keder. Sekarang ia menjadi serba susah apakah
mesti mengejar musuh atau mesti menolong kawan sendiri
lebih dulu. Selagi ragu-ragu, tiba-tiba terdengar Su Ang-ing berseru
menyindir, "Tjap-sah-nio, kau berani menyerang aku dengan
senjata rahasia. Ini, kau pun merasakan aku punya!"
Padahal sasaran Tang Tjap-sah-nio adalah Kim Tiok-liu, tapi
Su Ang-ing sengaja mencari alasan belaka. Tahu-tahu
terdengarlah "biang" satu kali, senjata rahasia Su Ang-ing
sudah dilontarkan dan meletus di depan mereka dengan
mengepulkan asap yang tebal.
Kiranya senjata rahasia Su Ang-ing itu berbentuk bundar,
kalau dilemparkan lantas meletus dan mengeluarkan asap.
Dahulu Le Seng-lam, cikal-bakal Thian-mo-kau, suka
menggunakan sejenis senjata rahasia lihai yang disebut 'Tokbu-
kim-tjiam-liat-hwe-tan' (sejenis granat berasap dan berisi
jarum beracun), entah dari mana Su Pek-to dari Liok-hap-pang
berhasil menjiplak cara pembuatan senjata rahasia itu. Hanya


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja senjata rahasia yang dilemparkan Su Ang-ing ini tidak
mengandung jarum ber-bija dan tidak berapi, yang ada cuma
kabut tebal saja pula tidak beracun. Soalnya Su Ang-ing tidak
ingin menggunakan senjata rahasia yang keji, yang dia
harapkan asalkan cukup untuk mengelabui mata musuh agar
dirinya dapat kabur dengan selamat.
Tang Tjap-sah-nio tik tahu apakah kabut itu beracun atau
tidak, yang jelas senjata rahasia berasal dari Thian-mo-kau itu
memang sangat lihai, maka lekas dia menarik Wan-hay ke
atas kuda terus mengundurkan diri ke belakang.
Soa Djian-hong sudah terluka ia lebih-lebih tidak berani
bertempur lagi, tertinggal Bun To-tjeng sendirian menjadi
tidak mampu berbuat apa-apa. Kualir terjebak musuh di
tengah kabut tebal itu, terpaksa ia pun lekas ikut mundur.
Di bawah alingan kabut tebal itu, Kim Tiok-liu dapat
mundur ke dalam hutan. Ia merasa Su Ang-ing seperti berlari
ke situ, akan tetapi setelah kabut lenyap dan suasana tenang,
ternyata bayangan si nona sudah tak nampak lagi. Cepat ia
berseru memanggil dengan Lwekang yang tinggi, tapi keadaan
hutan tetap sunyi senyap tiada terdengar jawaban Su Ang-ing.
Akhirnya Kim Tiok-liu keluar dari hutan itu, dilihatnya di
depan sana ternyata ada jalan simpang tiga, entah ke jurusan
mana Su Ang-ing pergi. Hampa rasa hati Kim Tiok-liu, ia
merasa seperti kehilangan sesuatu, pikirnya, "Tampaknya dia
sengaja hendak menghindari aku, terang tidak dapat
menemukan dia lagi"
Ia menjadi mendongkol kepada Bun To-tjeng dan kawankawannya
yang mengacau itu sehingga membikin hilangnya
Su Ang-ing. Sungguh kalau menuruti wataknya, ia ingin
mengejar ke Hay-soa-pang lagi untuk memberi hajaran
setimpal kepada Soa Djian-hong, Tang Tjap-sah-nio dan lainlain.
tapi setelah dia pikir lagi dengan kepala dingin, ia merasa si
nona yang telah pergi itu jelas mempunyai hubungan yang
baik dengannya, terbukti dari pertarungan tadi, dimana Su
Ang-ing bersatu dengannya melawan empat musuh. Pula dari
sikap marah si nona ketika disinggung tentang hubungannya
dengan Li Tun, jelas Su Ang-ing bukanlah kekasih Li Tun. Hal
ini benar-benar melegakan tekanan perasaan yang
ditanggungnya selama beberapa hari ini, pikirnya, "Mungkin
nona Su merasa kikuk karena olok-olok kawanan bedebah itu,
maka dia sengaja menghindari aku. Kukira beberapa hari lagi
tentu dia takkan memikirkannya lagi, kelak kalau bertemu biar
lebih dulu aku minta maaf padanya. Sekarang, aku harus
berangkat ke kotaraja untuk urusan penting."
Begitulah Kim Tiok-liu lantas menyeberangi sungai menuju
ke utara. Suatu hari sampailah dia di kota Tjelam, suatu kota
yang indah permai dengan Tay-beng-oh yang terkenal. Ia pikir
hari ulang tahun Sat Hok-ting masih ada lima enam hari lagi
dan masih sempat dicapai, maka lebih dulu ia ingin pesiar ke
danau yang terkenal itu.
Segera ia mencari hotel untuk menginap. Besok paginya
setelah sarapan ia lantas berjalan-jalan ke Tay-beng-oh yang
terletak di selatan kota dan di bawah kaki Djian-hud-san
(gunung seribu Budha).
Ia menyewa sebuah perahu kecil seberang. Air danau sangat tenang dan jernih, bayangan kuil
megah di lereng Djian-hud-san tampak menggantung terbalik
di tengah danau, ditambah lagi pepohonan yang menghijau
permai bagai lukisan, sungguh tidak terkatakan rasa gembira
hati Kim Tiok-liu. Yang kurang di antara kegembiraannya itu
hanyalah di kala ia memandang bayangannya sendiri yang
tercermin di andarmu itu,, alangkah hampa hatinya karena
yang tertampak di situ hanya bayangannya sendiri.
Di tengah lamunannya itu, tiba-tiba Tiok-liu mendengar
suara tersiaknya air, sebuah perahu layar meluncur lewat
dengan cepat melampaui perahunya. Sekilas Tiok-liu melihat
di dalam perahu itu ada seorang yang seperti sudah
dikenalnya, tiba-tiba ia teringat bahwa orang itu adalah Kiong
Peng-hoan, Hiangtju dari Ang-eng-hwa yang pernah
bergebrak dengan dia.
Perahu Kiong Peng-hoan melaju ke depan dengan cepat
haiya sekejap saja sudah meninggalkan perahu Kim Tiok-liu,
rupanya dia tidak melihat Kim Tiok-liu.
Selama ini jago-jago Kangouw yang pernah dijumpai Kim
Tiok-liu termasuk para pemimpin bermacam-macam
organisasi, meski Kiong Peng-hoan cuma seorang Hiangtju di
dalam Ang-eng-hwe, tapi bicara tentang ilmu silat sejati boleh
dikata setingkat dengan Bun To-tjeng dan jauh di atas
pemimpin-pemimpin organisasi yang pernah dijumpai Kim
Tiok-liu. "Entah untuk urusan apa Kiong Peng-hoan datang ke sini"
Jangan-jangan mereka mengetahui jejakku dan sengaja
menyusul aku ke sini untuk merebut Hian-tiat ini" Tapi
mengapa dia sendirian" Dalam pertandingan pedang tempo
hari, walaupun dia kalah satu jurus padaku, namun dia
merupakan jago pedang paling tinggi yang pernah kujumpai
selama aku pulang ke daratan sini. Namun Ang-eng-hwe
tidaklah buruk di dalam Kangouw, bila Kiong Peng-hoan mau
berkawan dengan aku, tiada jeleknya aku bersahabat dengan
dia. Ah, sudahlah, tak usah mengurusi dia, coba aku ke
seberang saja dulu."
Setelah menepi, Tiok-liu membayar sewa perahu dan
mendarat, namun bayangan Kiong Peng-hoan sudah tidak
nampak lagi. Ia coba berjalan menyusuri tepi danau, sampailah ia di suatu
gardu pemandangan yang indah. Di situlah kaum pelancong
suka beristirahat dan minum-minum, pikir Tiok-liu, "Jika
bertemu Kiong Peng-hoan, biar aku bertanding pedang lagi
dengan dia, kalau tidak bertemu aku akan pesiar sendiri."
Dengan tujuan yang tidak tetap itu, ia pun memasuki gardu
itu untuk sekedar beristirahat.
Tiba-tiba terdengar suara tambur bertalu-talu, itulah
tambur yang biasa dibunyikan oleh kaum penjual obat dan
sebang-sanya. Ternyata ada seorang tua dan seorang wanita
muda penjual suara, di samping gardu itulah kedua ayali
beranak itu memasang dasaran dan mulai membunyikan
tambur untuk penonton. Lantaran iseng, Kim Tiok-liu juga
lantas ikut merubung maju untuk menonton.
Wanita muda itu adalah seorang nona 17-18 tahun dan
cukup cantik, sebaliknya sang ayah yang sedang mengiringi
tembangnya dengan rebab itu adalah seorang laki-laki
berwajah buruk. Di antara penonton, ada beberapa orang
pemuda bangor yang terus memberi sindiran, "Hahaha,
sungguh tidak nyana burung gagak juga melahirkan burung
kenari!" Kalau orang lain cuma memperhatikan wajah baik buruknya
ayah dan anak itu, adalah Kim Tiok-liu yang diam-diam
terkesiap, "Ayah dan anak ini jelas berlatih ilmu silat,
tampaknya laki-laki tua ini adalah seorang jago Lwekang
malah." Ternyata olok-olok pemuda bangor tadi sama sekali tidak
digubris oleh ayah dan anak pengamen itu. Setelah menyetel
senar rebabnya, laki-laki bermuka buruk itu lantas membuka
suara, "Banyak terima kasih atas perhatian para penonton,
sekarang akan kusuruh budakku ini menembangkan dua
babak cerita kuno, jika ada salahnya, mohon para penonton
sudi memberi maaf."
Pemuda bangor tadi lantas menanggapi dengan cengarcengir,
"Ah, tembang nona cantik tentulah sangat merdu
juga." Laki-laki itupun tidak marah, ia memberi hormat dan
berkata pula, "Bilamana para penonton menganggap bagus
tembang budakku ini nanti, maka tolonglah membantu
sekedarnya." Habis berkata ia lantas mulai menggesek
rebabnya. Nona cilik itupun mulai memukul tamburnya yang
kecil itu sambil menarik suara, yang dia tembangkan adalah
suatu cerita percintaan Li Tjeng dan Ang Hut di zaman
permulaan dinasd Tong. Suara si nona ternyata sangat merdu
dan mempesona, sampai pemuda-pemuda bangor tadi
menahan napas dan tidak sempat berolok-olok lagi.
Selesai sebuah lagu, laki-laki tua itu lantas menanggalkan
topinya sebagai wadah, baru saja ia hendak minta sedekah
kepada para penonton, tiba-tiba ada orang berseru, "Bagus,
merdu bonar suaranya! Kau tidak perlu lagi minta-minta di
sini, apa ar-tin>a mendapatkan sedikit uang receh begini"
Bawa saja anak gadismu dan minta persen saja kepada tuan
muda kami, bilamana beliau senang, tanggung selama
hidupmu akan terjamin tidak kekurangan sandang-pangan."
Air muka laki-laki itu segera berubah, jawabnya,
"Selamanya aku tidak kenal tuan muda kalian, mana aku
berani berkunjung kepada beliau."
"Hahaha, jika kau sudah ke sana kan tenis kenal?" ujar
orang itu tertawa. "Hehe, kau tidak kenal tuan muda kami,
tapi tuan muda kami sudah sejak tadi kenal perawanmu."
Kim Tiok-liu melihat orang lain yang berbicara itu
berdandan sebagai tukang pukul, mukanya benjal-benjol, di
belakangnya ada tujuh atau delapan laki-laki kekar, pikirnya,
"Mungkin mereka ini adalah kawanan hamba keluarga buaya,
coba aku ingin tahu cara bagaimana kedua ayah dan anak itu
membereskan mereka."
Rupanya dugaan Kim Tiok-Iiu tidak keliru, begitu melihat
rombongan laki-laki itu, seketika penonton yang berjubel tadi
lantas bubar semua dan tinggal beberapa pemuda bangor tadi
yang masih berdiri rada jauh mengikuti apa yang bakal terjadi.
Bahkan satu dua orang di antaranya menambahkan, "Aha,
rupanya Tjo-kongtju penujui si perawan, sungguh rejekimu
tidak kecil."
Kim Tiok-Iiu menjadi ikut mendongkol, maka ia sengaja
hendak mempermainkan kawanan budak yang kurang ajar itu,
segera ia merogoh sepotong uang emas terus dilemparkan ke
dalam topi laki-laki tua tadi.
Laki-laki tua itu rada heran, namun sikapnya tenang-tenang
saja sambil mengucapkan terima kasih, sebaliknya laki-laki
berdandan tukang pukul itu menjadi gusar, bentaknya, "Bocah
kurang ajar! Apakah kau ingin bertanding kekayaan dengan
Kongtjuya (tuan muda) kami?"
"Ah, mana aku berani?" jawab Tiok-Iiu dengan tertawa.
"Aku hanya seorang anak miskin, masakah aku berani
menghina orang seperti kaum budak yang tidak tahu diri?"
Tukang pukul itu menjadi murka, tanpa bicara lagi ia terus
menubruk ke arah Kim Tiok-Liu.
"Eeh, jangan! Aku tidak pintar berkelahi!" ujar Tiok-Iiu
sambil menggoyang-goyang tangan.
Sekonyong-konyong si nona jelita tadi menyelinap di
tengah-tengah mereka dan berseru, "Aku akan ikut kalian
pergi menemui Kongtjuya kalian, tapi kau tidak boleh
sembarangan memukul orang."
Rupanya tukang pukul itu ingin cepat-cepat memboyong si
jelita, maka ia hanya mendelik kepada Kim Tiok-Iiu, lalu
berkata, "Baiklah, jika nona memintakan ampun, biarlah
kulepaskan bocah itu. Marilah berangkat!"
Berbareng ia lantas hendak menarik tangan si nona. "Apaapaan
main pegang-pegang segala" Memangnya kau anggap
aku ini orang macam apa" Tidak, aku tidak jadi ikut pergi!"
demikian omel nona itu sembari mengetok dengan alat
pemukul tamburnya.
Karena tidak terduga-duga, pukulan si nona tak bisa
dielakkan, kontan tangan tukang pukul itu terasa "kaku. Baru
sekarang ia terkejut dan mengetahui si cantik memiliki
kepandaian tinggi, tapi ia pun tidak mau menyerah, tangan
kanan kaku kesemutan, segera tangan kiri hendak
mencengkeram bahkan sebelah kaki terus menyerampang
pula. Diam-diam si nona merasa gemas, omelnya, "Dasar anjing
yang suka berlagak galak, rasanya kau perlu diberi hajaran
yang setimpal. Enyahlah!"
Baru habis ucapannya, tahu-tahu cengkeraman dan serampangan
kaki tukang pukul itu mengenai tempat kosong,
malahan mendadak tahu-tahu tukang pukul itu telah dibekuk
oleh si nona, bahkan tengkuknya terasa sakit. Bagaikan
mencengkeram anak ayam, setelah diputar satu kali terus
dilemparkan. Tanpa ampun lagi tukang pukul itu terbanting dengan
keras, bahkan terdengar pula suara jeritan beberapa orang,
ternyata yang dibanting adalah si tukang pukul, tapi yang
menggeletak ada lima enam orang banyaknya.
Kiranya si nona melemparkan si tukang pukul ke arah
gerombolan pemuda bangor tadi. Keruan celakalah mereka,
semua terjungkal dan terguling-guling, saking gelinya Kim
Tiok-Iiu bertepuk tangan dan terbahak-bahak.
Padahal tempat berdiri gerombolan pemuda bangor itu ada
belasan meter jauhnya, tapi sekaligus si nona jelita mampu
melemparkan si tukang pukul yang bobotnya ada ratusan kati
ke tempat itu, sehingga pemuda-pemuda bangor itu
tertumbuk jatuh semua. Kekuatan si nona ini keruan membikin
kawanan budak tadi menjadi ketakutan setengah mati, tanpa
disuruh lagi mereka lari tunggang langgang, hanya sekejap
saja sudah kabur semua.
Meski Kim Tiok-liu tidak heran oleh kepandaian si nona, tapi
begitu kuat tenaga si nona juga rada-rada di luar dugaannya,
diam-diam ia harus mengakui nona yang masih muda belia itu
memiliki tenaga yang terpuji.
Dalam pada itu nona pengamen tadi berkata kepada lakilaki
tua, "Ayah, kita jangan mengambil uang emas orang."
Dan baru saja ia hendak mengembalikan uang emas tadi
kepada Kim Tiok-liu, tiba-dba laki-laki tua itu berseru
kepadanya dengan gugup, "Budak Hong, kau telah membikin
onar. Lekas pergi. Lekas!"
Akan tetapi si nona tetap acuh tak acuh, katanya dengan
sikap enggan, "Ah, paling-paling cuma seorang buaya darat
saja, kenapa mesti takut."
"Ai, kau budak liar ini benar-benar tidak kenal tebalnya
bumi dan tingginya langit," ujar laki-laki tua itu. "Orang-orang
itu tidak boleh disatroni, jago mereka masih belum datang.
Lekas kau kembalikan emas itu kepada tuan ini dan kita lekas
pergi dari sini, jika terlambat sebentar lagi mungkin sudah
kasip." Melihat ayahnya berkata dengan sungguh-sungguh dan
gelisah, si nona menjadi ragu-ragu, segera ia mengembalikan
uang emas tadi kepada Kim Tiok-liu, lalu melangkah pergi.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laki-laki tua itu masih menoleh dan berkata kepada Khn
Tiok-liu, "Banyak terima kasih atas pertolongan Siangkong
(tuan muda). Silakan Siangkong juga lekas pergi dari sini saja
agar tidak mendatangkan kesukaran."
Melihat ayah dan anak itu begitu tergesa-gesa perginya,
Tiok-liu merasa heran juga. Padahal kepandaian ayah dan
anak itu jelas tidak rendah, mengapa mesd begitu ketakutan"
Belum lenyap pikirannya, tiba-tiba nampak tiga
penunggang kuda mendatangi dengan cepat Kedua ayah dan
anak pengamen tadi baru saja sampai di tepi danau sudah
tersusul oleh ketiga penunggang kuda itu, segera mereka
melompat turun dan mengepung ayah dan anak itu.
Seorang di antara ketiga penunggang kuda itu adalah
pemuda likuran tahun, mukanya putih seperti berpupur,
bibirnya merah bagai digincu. Tangan mengebaskan sebuah
kipas kertas lempit putih, tampaknya rada-rada romantis
orangnya. Kedua orang pengiringnya itu bertubuh tinggi dan pendek.
Yang tinggi besar dan kekar, kepalanya gundul kelimis, ketika
mengenali laki-laki tua pengamen itu, ia lantas mendengus,
"O, kiranya Ho-lotoa adanya."
Sedangkan yang pendek kedua matanya bersinar tajam,
Thay-yang-hiat di bagian pelipis menonjol, di pinggangnya
terselip sepasang Boan-koan-pit, sekali lihat saja orang akan
segera mengetahui dia pasti jago Lwekang yang mahir, ia
tidak bersuara, hanya mengamat-amati kedua ayah dan anak
itu. Diam-diam Kim Tiok-liu menduga pemuda berpupur itu
tentunya 'Kongtjuya' yang dimaksudkan itu, kedua pengiring
tampaknya tidak lemah kekuatannya, entah betapa lebih tinggi
daripada si tukang pukul tadi. Ia pura-pura ingin menonton
keributan itu, pelahan-lahan ia mendekati.
Terlihat 'Kongtjuya' itu mengadang di depan si nona jelita
sambil menggoyang-goyang kipas, katanya dengan
tersenyum, "Sudah lama Tjayhe kagum terhadap kecantikan
dan kepandaian nona yang serba pintar, maka tadi telah
kukirim orang mengundang nona agar sudi mampir ke
kediamanku. Tak terduga kawanan budak itu rupanya tidak
pandai bicara sehingga membikin marah nona, untuk mana
biarlah Tjayhe mohon maaf."
Si nona dengan angkuh menerima penghormatan Kongtju
itu tanpa membalas, dengan muka bersungut ia menjawab,
"Kami ayah dan anak cuma berkelana mencari sesuap nasi
saja, kami merasa belum begitu rendah sehingga mesti mintaminta
kepada orang kaya dan kaum berpengaruh. Apakah kau
mengundang dengan halus atau secara kasar, sekali aku
bilang tidak sudi tetap tidak sudi. Nah, lekas kau minggir!"
Selamanya Kongtjuya itu tidak pernah diolok-olok demikian,
keruan ia menjadi murka, tapi ia coba bersabar dan berkata
pula dengan mengiring tawa, "Ah, ucapan nona terlalu keras,
Tjayhe mengundang nona dengan setulus hati, mana aku
berani menganggap kau sebagai kaum pengamen yang
rendah." "Sudahlah, kau sudah habis bicara belum" Aku tiada tempo
buat mengobrol dengan kau!" sahut si nona aseran.
Karena malu, Kongtjuya itu lantas menjengek, "rim, jadi
nona tetap tidak sudi ikut" Maaf, mau tidak mau kau harus
ikut padaku!"
Berbareng tangannya terus hendak menarik si nona.
"Kurang ajar!" bentak si nona dengan gusar. "Baik, ingin
kulihat dengan kepandaian apa kau mampu mengundang
aku!" Segera gada kecil pemukul tambur itu secepat kilat
mengetok ke atas tangan lawan.
Dengan cara demikianlah tadi ia menghajar si tukang
pukul, sekarang ia menggunakan cara ini pula untuk memukul
Kongtjuya itu. Pada saat yang sama itu ada dua orang berseru berbareng,
"Awas Kongtju!"
"Awas Hong-dji!"
Yang pertama adalah seruan si gundul dan yang lain adalah
ayah si nona. Namun pada detik yang hampir sama terdengar Kongtjuya
itu menjengek, "Hm, budak hina yang tidak tahu diri!"
Kipasnya mendadak terpentang terus digunakan menahan
ketokan pemukul tambur si nona.
Pemukul tambur itu meski bukan senjata tajam, tapi
sebuah kipas kertas kalau terketuk paling sedikit juga akan
robek dan berlubang. Namun aneh bin ajaib, terdengar "plok"
satu kali, kipas si Kongtjuya ternyata tidak rusak, sebaliknya
alat ketok tambur si nona yang mencelat terlepas dari cekalan.
Dengan tertawa, pengiring Kongtjuya yang pendek itu
berkata kepada kawannya, "Jangan kuatir, anak dara itu
bukan tandingan Kongtju kita."
Baru sekarang Kim Tiok-Iiu terkejut, walaupun kepandaian
Kongtjuya itu masih belum masuk hitungan bagi Kim Tiok-Iiu,
tapi seorang pemuda keluarga hartawan atau bangsawan bisa
memiliki kepandai setinggi itu benar-benar di luar dugaannya.
Terdengar Kongtjuya itu sedang bergelak tertawa dan
berkata, "Haha, nona manis, kukira lebih baik kau ikut pergi
bersama aku saja!"
Sembari bicara, gagang kipasnya segera mengetok juga ke
tangan si nona dengan cara yang sama seperti si nona
menyerangnya tadi.
Melihat putrinya dihina, walau insyaf dirinya bukan
tandingan ketiga orang lawannya, terpaksa laki-laki tua
pengamen yang dipanggil "Ho-Iotoa" tadi harus bertindak
juga. \Pada saat kipas Kongtjuya itu sedang mengetok, Holotoa
lantas membentak, "Di dunia ini masakah ada cara
mengundang tamu dengan kekerasan begini?"
Dengan cepat jarinya bagai kaitan menyambar dan tepat
mencengkeram kipas Kongtjuya itu.
Ketika si Kongtjuya membetot sekuatnya, "krak", kipas itu
patah menjadi dua. Lihai juga Kongtjuya itu, menyusul
tangannya membalik terus memukul, ternyata tenaga
pukulannya juga sangat kuat.
Ho-lotoa menyambut pukulan itu dengan sebelah tangan,
ketika kedua tangan beradu, si Kongtjuya merasa tangannya
seperti memukul pada gundukan kapas yang lunak. Menyusul
lengan Kongtjuya itu kena dipegang Ho-lotoa terus dipuntir
hingga keseleo, terkilir ruas tulangnya.
Rupanya Ho-lotoa insyaf kekuatan musuh yang sukar
dilawan, untuk bisa lolos dari bahaya, lebih dulu Kongtjuya itu
harus ditawan sebagai sandera. Tapi kepandaian Kongtjuya itu
juga tidak lemah, untuk bisa mengalahkan sedikitnya juga
diperlukan beberapa puluh jurus, apalagi kedua pengiringnya
yang lihai itu setiap saat dapat maju membantu bila melihat
tuan mereka terancam.
Oleh karena itu Ho-lotoa menggunakan akal, ia memancing
beradu pukulan dan mendadak membikin tulang lengan si
Kongtjuya terkilir, dengan demikian ia terus menubruk maju
dan segera hendak mencengkeram pula tulang pundak si
Kongtjuya, jika sekali Kongtjuya itu sudah dibekuk, maka
betapapun lihai musuh-musuhnya juga dia tidak gentar lagi.
Tapi gerak cepat Ho-lotoa itu ternyata masih terlambat
juga, pada saat jarinya hampir menyentuh pundak si
Kongtjuya, sekonyong-konyong dari belakang suatu kekuatan
dahsyat menyambar tiba, sehingga Ho-lotoa terpaksa harus
menjaga diri lebih dulu. Dan sedikit ayal itulah tahu-tahu
Kongtjuya itu sudah ditarik orang ke sebelah sana.
Orang yang memaksa Ho-lotoa menjaga diri lebih dulu itu
adalah laki-laki gundul yang bertubuh tinggi besar itu,
berulang-ulang Ho-lotoa menggunakan 'Hut-in-djiu' yang
lemas ternyata tetap tidak mampu melawan pukulan lawan
yang dahsyat. Kim Tiok-liu mengenal ilmu silat dari berbagai aliran,
setelah menyaksikan beberapa jurus ia menjadi terkejut.
Kiranya yang digunakan laki-laki gundul itu ialah Krm-kongtjiang-
lik yang tulen dari Siau-lim-pay. Kim-kong-tjiang adalah
tenaga pukulan yang paling dahsyat, pantas Ho-lotoa tidak
mampu mematahkan pukulan lawan, apalagi kekuatannya
memang kalah setingkat daripada lawannya.
Di sebelah sana, si pendek bermata tajam yang menarik
minggir si Kongtjuya tadi telah menyembuhkan tulang
Kongtjuya yang terkilir itu. Habis itu barulah ia merasa lega
dan minta maaf kepada tuannya, rupanya semula mereka
menyangka sang Kongtjuya yang suka unggul itu tentu akan
menang, andaikan berbahaya juga masih sempat untuk
menolongnya, siapa duga Ho-lotoa menggunakan cara yang
licin sehingga Kongtjuya mereka itu kecundang.
Setelah tulang lengannya dibetulkan kembali, Kongtjuya itu
menjadi murka, dengan gemas ia berteriak, "Rasa benciku
takkan terlampias jika kau tidak membekuk budak liar ini."
Si pendek tahu tuan mudanya jauh lebih unggul jika
dibandingkan si nona, sedang Ho-lotoa lagi dicecar oleh
temannya yang tinggi itu dan tidak mungkin dapat membantu
putrinya. Sebab itulah ia merasa tidak kuatir lagi dan
membiarkan sang Kongtjuya melabrak si nona.
Saat itu si nona sedang merasa cemas melihat keadaan
ayahnya yang sudah mulai payah itu, dalam pada itu si
Kongtjuya sudah menubruk tiba. Si nona menjadi gusar, " Sret
", ia melolos sebilah Liu-yap-to (golok bermata sempit
panjang) dan membentak, "Bagus, kalian ini memang pandai
menindas rakyat kecil, biar kupotong dulu cakar anjingmu ini!"
Tapi Kongtjuya yang sudah mulai mencengkeram itu
hakikatnya tidak memandang sebelah mata terhadap golok si
(nona, 1 sedikit mengegos segera ia mendesak maju terus
menyambar pula pergelangan tangan si nona sambil
mengejek, "Nona manis, marilah kita bermesraan!"
Sungguh gusar si nona tak terkatakan, terpaksa ia mengertak
gigi dan bertempur mati-matian. Cuma sayang selisih ilmu
silatnya terlalu jauh dibanding Kongtju itu, biar goloknya telah
diputar seperti kitiran tetap tak bisa mengapa-apakan lawan,
hanya belasan jurus saja ia sendiri sudah berulang kali
terancam bahaya.
Melihat putrinya terdesak, Ho-lotoa menjadi kuatir, akan
tetapi ia sendiri pun sukar melepaskan diri dari pukulan lawan
yang dahsyat. Karena cemasnya, cara berkelahinya menjadi
rada ngawur pula.
Diam-diam Kim Tiok-liu menganggap sudah waktunya
harus maju menolong, tapi sebelum ia bertindak, mendadak
ada seorang pendatang memburu datang dan berseru, "Ehm,
Peng-pangtju tampaknya semangat benar bertempur dengan
orang" Apakah persoalannya, dapatkah kau ceritakan
padaku?" Pendatang ini tak lain tak bukan adalah Kiong Peng-hoan.
Ketika Ho-lotoa mendengar suara Kiong Peng-hoan yang
penuh tenaga dalam itu, ia menjadi terkejut dan tambah
kuatir kalau-kalau Kiong Peng-hoan adalah begundal musuh,
ini berarti lebih sukar lagi untuk meloloskan diri baginya.
Tak diketahuinya bahwa laki-laki gundul lawannya itu jauh
lebih kaget daripada dia ketika mengetahui kedatangan Kiong
Peng-hoan, namun wajahnya masih menampilkan senyuman
yang dibuat-buat sambil menjawab, "Kiong-hiangtju, angin
apa yang telah meniup kau ke sini" Silakan tunggu sebentar,
segera kita dapat bicara lebih baik."
"Ah, kau tentu kenal watakku yang tidak sabaran, selama
hal yang membingungkan ini tak terjawab tentu aku tak bisa
menunggu lagi," kata Kiong Peng-hoan dengan tertawa sambil
melirik ke arah si pendek.
"Kiong-hiangtju," demikian kata si pendek dengan hambar,
"Kuanjurkan lebih baik engkau jangan ikut campur urusan
orang lain."
"Wah, kiranya Lian-tjerju juga berada di sini, selamat
bertemu!" seru Kiong Peng-hoan. "Eh, kenapa sih, apakah
urusan ini tidak boleh diketahui orang lain?"
"Sudah kukatakan jangan ikut campur, nanti sesudah
selesai pertarungan ini, akan kuiringi kau pergi minum arak,"
sahut si pendek.
"Soal minum arak dapat ditunda, tapi urusan di depan mata
inilah tidak boleh ditarik lagi," kata Kiong Peng-hoan. "Jika
mesti menunggu selesainya pertarungan ini maka gadis orang
tentu akan cemas."
Mendengar ucapan Kiong Peng-hoan itu, Kim Tiok-liu
menjadi girang, pikirnya, "Jika orang she Kiong itu mau turun
tangan, tentu aku tidak perlu maju lagi. Dari ucapannya tadi,
agaknya orang yang tinggi itu she Peng dan si pendek she
Lian adalah Tjetju (kepala bandit dan sebangsanya) segala,
hal ini benar-benar aneh. Mengapa jago Liok-lim terima
menjadi anjing pengekor kaum bangsawan?"
Dalam pada itu si pendek berjingkrak mendengar kata-kata
Kiong Peng-hoan tadi, dengan mata mendelik segera ia
berteriak, "Kiong Peng-hoan, sesungguhnya kau mau apa?"
"Mau apa" Mau pengakuan kalian! Aku ingin tahu dimana
kesalahan kedua ayah dan anak yang kalian labrak ini?" jawab
Kiong Peng-hoan. "Coba ceritakan dan biar aku yang
mengadili, kalau tidak, huh....."
"Kalau tidak, lantas mau apa?" bentak si pendek dengan
gusar. "Kalau tidak, maka jelas aku pasti akan ikut campur urusan
ini!" sambung Kiong Peng-hoan.
Lantaran jawaban Kiong Peng-hoan itu, perhatian si gun-|
dul she Peng menjadi terpencar sehingga Ho-lotoa dapat
memperbaiki posisinya, sedangkan Kongtjuya itu juga rada
lengah. Mestinya ia dapat mencengkeram si nona, tapi sedikit
terlena, beberapa kali tangkapannya lantas meleset.
Peng dan Lian berdua mengenal asal-usul Kiong Penghoan,
betapapun mereka rada jeri padanya, sebaliknya
Kongtjuya itulah yang tidak tahan, dengan gusar ia lantas
mendamprat, "Kutu macam apa kau" Lian-suhu, tangkap saja
dia!" Sambil mengedip si pendek, si gundul she Peng lantas
berkata, "Kongtjuya tidak tahu bahwa Kiong-hiangtju ini dari
Ang-eng-hwe. Hehe, dia adalah kawan sekaum kami."
"Kawan sekaum apa" Aku tidak berani ikut-ikut, kudengar
kalian sudah menjadi pengawal keluarga Tjo, nama dan
pangkat sudah menumplek pada kalian. Dan yang ini tentunya
Tjo-kong-tju adanya, sungguh besar sekali lagaknya. Liantjetju,
Kongtjuya sudah ada perintah, silakan kau maju
menangkap aku saja!" ejek Kiong Peng-hoan.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keruan orang she Peng dan she Lian itu merah jengah
mukanya, kiranya nama lengkap si gundul adalah Peng Kiyong
dan yang pendek bernama Lian Sing-hou. Keduanya
adalah gembong yang pernah mengepalai suatu gerombolan
bandit di suatu pegunungan.
Rupanya si Kongtjuya tidak kenal kelihaian Kiong Penghoan,
dengan gusar ia membentak, "Peduli Ang-eng-hwe apa
segala" Hanya suatu perkumpulan kecil saja berani
menggertak aku" Kau berani kurang ajar padaku, biar kucabut
dulu kepalamu!"
Karena marah lantaran Lian Sing-hou tidak mau
menangkap Kiong Peng-hoan seperti perintahnya tadi, maka
lebih dulu ia mendesak mundur si nona pengamen, lalu ia
menubruk maju ke arah Kiong Peng-hoan.
"Ah, Kongtjuya tidak perlu susah-susah, jika kau
menginginkan kepalaku, biarlah aku menghaturkan padamu
saja!" je-ngek Kiong Peng-hoan, baru habis ucapannya tahutahu
Kongtjuya itu sudah menubruk tiba.
"Jangan, Kongtju!" teriak Lian Sing-hou cepat.
Ternyata sudah tak keburu lagi, terdengarlah suara
mendesirnya angin, sebuah topi tahu-tahu melayang dari
tangan Kiong Peng-hoan. Rupanya ia menggunakan topinya
sebagai senjata rahasia, pada saat yang sama pula sebilah
pisau terbang juga disambitkan oleh Lian Sing-hou.
Ketika si Kongtjuya terkejut karena angin keras menyambar
dari depan, lekas ia menundukkan kepala. Maka terdengarlah
suara "sret" sekali, topi itu kena dipapas menjadi dua oleh
pisau terbang Lian Sing-hou, tapi pisau itupun terbentur ke
arah lain dan jatuh berbarengan dengan kedua belahan topi,
dari sini saja dapat dinilai bahwa tenaga Kiong Peng-hoan
jelas lebih tinggi daripada Lian Sing-hou.
Ada yang lebih mengejutkan, yaitu mendadak si Kongtjuya
merasa kepalanya rada silir-silir, ketika diraba, ternyata
sebagian rambutnya terkupas oleh topi tadi, malahan
rambutnya saat itu sedang bertebaran di atas tanah. Coba
pisau Lian Sing-hou tidak datang tepat pada waktunya, tentu
kulit kepala si Kongtjuya sudah ikut terkelupas, keruan
Kongtjuya itu menjadi ketakutan dan lekas menyingkir ke
pinggir. Setelah gebrakan itu, kedua pihak sama-sama tidak mau
mengalah lagi, segera Lian Sing-hou melolos sepasang Boankoan-
pit dan membentak, "Orang she Kiong, aku cuma
mengingat Ang-eng-hwe saja maka tak ingin cekcok dengan
kau, memangnya kau sangka aku jeri padamu?"
"Bagus, jika begitu biarlah kita bicara di muka," jawab
Kiong Peng-hoan. "Urusan sekarang ini sama sekali tiada
sangkut-pautnya dengan Ang-eng-hwe. Hanya urusanku
sendiri lantaran aku kebetulan melihat ketidak-adilan dan
mencari perkara padamu. Nah, kau mau apa sekarang?"
"Kau terlalu menghina, Kiong Peng-hoan!" teriak Lian Singhou
gusar. "Baiklah, mari kita coba-coba dan masing-masing
tidak perlu menyangkut-pautkan golongan mana pun juga."
Habis berkata ia lalu melangkah maju, kedua Boan-koan-pit
lantas menutuk, pada umumnya pertandingan di antara jagojago
kelas tinggi jarang terjadi mulai penyerangan dari depan,
jelas Lian Sing-hou ingin memancing kemarahan Kiong Penghoan
untuk menarik keuntungan selanjutnya.
Namun Kiong Peng-hoan cukup cerdik. "Bagus!" sambil
membentak pedangnya terus bergerak, mestinya ia mengira
akan dapat menyampuk jatuh sepasang Boan-koan-pit lawan,
akan tetapi di tengah suara mendering beradunya senjata,
tahu-tahu Boan-koan-pit musuh masih terus menyusup lewat
di tengah sinar pedangnya.
Terkesiap juga Kiong Peng-hoan, pikirnya, "Pantas si
pendek ini begini garang, ilmu Tiam-hiat dari keluarga Lian
mereka ternyata memang tiada bandingnya."
Meski kekuatan Kiong Peng-hoan lebih unggul dari
lawannya, tapi karena belum paham benar cara Tiam-hiat
lawan itu, terpaksa ia harus melayani dengan hati-hati untuk
mencari kesempatan baik, hanya sekejap saja 50 jurus sudah
hampir berlalu.
Melihat ilmu Tiam-hiat Lian Sing-hou itu, hati Kim Tiok-liu
juga terkesiap. Ia merasa cara menutuk dengan Boan-koan-pit
begitu seperti sudah pernah dilihatnya, hanya entah dimana"
Tanpa terasa ia melangkah maju lebih dekat untuk mengikuti
pertarungan itu.
Sejenak kemudian barulah Kim Tiok-liu tahu jelas, kiranya
ilmu Tiam-hiat itu berasal dari 'Si-pit-tiam-patmeh' (empat
potlot menutuk delapan sendi), soalnya yang digunakan Lian
Sing-hou hanya sepasang Boat-koan-pit saja, jadi kurang
lengkap menurut ilmu Tiam-hiat aslinya yang harus dimainkan
dengan dua pasang Boan-koan-pit sekaligus.
Dahulu kira-kira dua puluh tahun yang lalu di kotaraja, Kim
Si-ih pernah bertempur melawan sepasang saudara kembar
yang mahir Tiam-hiat, nama mereka Lian Sing-pik dan Lian
Sing-giok. Dengan empat batang Boan-koan-pit, kedua
bersaudara itu dapat bekerja sama dengan sangat rapat,
dalam sejurus saja mereka mampu menutuk delapan
persendian di tubuh lawan, lihainya tidak kepalang. Pada
permulaan Kim Si-ih juga kewalahan juga meng-hadapi
mereka, tapi lambat-laun setelah memahami cara Tiam-hiat
mereka, barulah Kim Si-ih dapat mengalahkannya.
Lian Sing-hou ini adalah saudara sepupu dari kedua
saudara kembar Lian Sing-pik dan Lian Sing-giok, tapi usia
masing-masing selisih rada jauh, jika umur kedua saudara
kembar itu kini sudah lebih 60 tahun, sebaliknya usia Lian
Sing-hou baru 40-an saja. Sejak dikalahkan Kim Si-ih, sudah
lama Lian Sing-pik dan Lian Sing-giok hidup tirakat di rumah.
Di antara anak murid keluarga Lian, hanya Lian Sing-hou saja
yang berhasil meyakinkan ilmu kebanggaan keluarga mereka,
cuma dia tidak punya pasangan yang dapat memainkan Boankoan-
pit bersama, maka dia hanya dapat menggunakan
sepasang potlotnya itu untuk menutup empat persendian saja.
Kim Tiok-liu pernah dijelaskan oleh ayahnya tentang segala
macam ilmu silat di dunia ini, walaupun dia belum pernah
mempelajari ilmu Tiam-hiat istimewa itu secara mendalam,
tapi cukup paham dimana letak kelihaiannya. Karena tidak
lengkapnya permainan Boan-koan-pit Lian Sing-hou itu, maka
banyak titik kelemahannya yang dapat dilihat oleh Kim Tiokliu.
Lantaran sangat tertarik oleh pertarungan itu, tanpa terasa
Kim Tiok-liu melangkah lebih dekat lagi.
Lian Sing-hou dan Peng Ki-yong tidak kenal siapa dia,
mereka cuma merasa pemuda itu terlalu berani, namun begitu
mereka tidak menaruh perhatian padanya.
Sebaliknya Kiong Peng-hoan menjadi kaget demi melihat
datangnya Kim Tiok-liu, diam-diam ia kuatir jika pemuda ini
sengaja hendak mencari perkara padanya untuk membalas
peristiwa perebutan Hian-tiat tempo hari, maka akan berabe
juga urusannya.
Di sebelah sana, Peng Ki-yong yang menghadapi Ho-lotoa
menjadi tidak sabar lagi terutama dengan ikut campurnya
Kiong Peng-hoan. Segera ia mempergencar serangannya
sehingga Ho-lotoa menjadi kewalahan. Pada suatu
kesempatan, "biang", dengan tepat Ho-lotoa kena dihantam
terpental beberapa meter jauhnya, mulutnya mengeluarkan
darah. Dengan kuatir si nona cepat memburu maju untuk memayang
sang ayah dan bertanya, "Bagaimana keadaanmu,
ayah?" Ho-lotoa menarik napas panjang, katanya, "Tidak apa-apa,
Hong-dji, kau lekas pergi saja dari sini!"
Rupanya hantaman Peng Ki-yong tadi telah membikin
giginya rompal beberapa biji, tapi tidak parah lukanya. Kuatir
kalau anak gadisnya tertawan oleh si Kongtjuya yang masih
terus mengawasi di samping itu, maka ia mendesak putrinya
lekas melarikan diri.
"Dan kau bagaimana ayah?" tanya si nona.
"Budak goblok, mana boleh ayah ikut lari?" sahut Ho-lotoa.
Maklumlah bahwa Ho-lotoa adalah seorang laki-laki yang
mengutamakan setia kawan orang Kangouw. Kiong Peng-hoan
yang selamanya tidak kenal dia tapi sudi membelanya,
sekarang dia mana boleh melarikan diri dngan meninggalkan
Kiong Peng-hoan.
Namun begitu sesudah bertempur sekian lama tenaga Holoata
sudah mulai payah. Setelah berganti napas segera ia
bermaksud maju lagi, tapi baru melangkah satu dua tindak,
napasnya lantas memburu.
Sekali pukul dapat memaksa Ho-lotoa mundur, Peng Kiyong
lalu menganggap ayah dan anak itu sudah merupakan isi
sakunya yang setiap saat dapat dicomot, maka segera ia
berlari menuju ke arah Kiong Peng-hoan, serunya dengan
kaku, "Orang she Kiong, apakah kau tetap ingin ikut campur
urusan ini?"
"Tak perlu banyak bacot, majulah sekalian!" jawab Kiong
Peng-hoan dengan ketus.
Peng Ki-yong menjadi gusar, "Bagus, karena kau tidak
memandang sebelah mata kepada kami berdua terpaksa kami
akan sempurnakan kau!"
Sekali tangan bergerak, kontan ia menghantam dengan
sebelah telapak tangan.
Pukulan ini adalah Tay-lik-kim-kong-tjiang dari Siau-lim-si
yang lihai, dimana tenaga pukulannya tiba seketika sinar
pedang tergoncang buyar. Kesempatan itu segera digunakan
oleh Lian Sing-hou, Boan-koan-pitnya terus menutuk ke muka
Kiong Peng-hoan.
Mendadak Kiong Peng-hoan sedikit berjongkok, menyusul
tubuhnya menggeliat sempoyongan seperti orang mabuk
disertai bentakan, "Lihat pedang!"
Sekali putar secepat kilat sinar pedangnya menyambar ke
arah Peng Ki-yong.
Tadinya Peng Ki-yong mengira Kiong Peng-hoan sudah
tidak tahan lagi, sama sekali tidak terduga ilmu pedangnya
sedemikian aneh dan mendadak melancarkan serangan
balasan, karena itu hampir saja Peng Ki-yong termakan. Cepat
ia mengebaskan lengan bajunya. "Bret", terpapaslah sebagian
lengan bajunya berbareng ia melompat mundur, dengan
demikian dapatlah ia melontarkan pula tenaga pukulannya
yang dahsyat itu untuk mendesak mundur Kiong Peng-hoan.
Kiranya yang digunakan Kiong Peng-hoan adalah ilmu
pedang 'Tjui-pat-sian', delapan dewa mabuk, tampaknya
sempoyongan, tapi di sinilah letak kelihaian ilmu pedang itu
dan tak terduga oleh musuh.
Cuma lawannya juga jago kelas tinggi, ilmu pedang Kiong
Peng-hoan itu hanya dapat dibuat menggertak sementara
saja, untuk bertahan lama tentunya sukar. Maka setelah dua
tiga puluh jurus lagi, kembali ia tercecar oleh serangan musuh.
Ho-lotoa tidak bisa tinggal diam, dengan nekat ia lantas
menerjang maju. Gadis itu cukup kenal watak ayahnya,
terpaksa ia pun angkat senjata dan menyerbu sambil
berteriak, "Kalau mati, biarlah kita ayah dan anak mati
bersama!" "Hm, memangnya kalian sudah bosan hidup dan ingin lekas
menghadap raja akhirat" Jangan buru-buru dulu, sebentar
juga akan kubereskan kalian!" demikian jengek Peng Ki-yong,
berbareng ia terus melontarkan satu pukulan ke arah Ho-lotoa
sehingga orang tua itu tergentak sempoyongan beberapa
langkah ke belakang.
Untung Peng Ki-yong harus mencurahkan tenaganya untuk
melayani Kiong Peng-hoan, sehingga Ho-lotoa tidak sampai
ter-Iuka pula. Cuma setelah tergentak mundur, sadarlah Holotoa
bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi, ia hanya bisa
menghela napas panjang belaka.
Di sebelah sana si Kongtjuya tampaknya ingin coba-coba
maju lagi, tadi ia sudah merasakan lihainya Ho-lotoa, biarpun
orang tua itu sekarang kelihatan sudah payah, tapi seketika ia
pun tidak berani menerjangnya.
Diam-diam Ho-lotoa telah mengambil keputusan bilamana
orang she Kiong yang sudi menolongnya itu sampai menjadi
korban keganasan musuh, maka dirinya juga akan membunuh
diri untuk membalas budinya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang bergelak
tertawa, tahu-tahu Kim Tiok-liu melangkah ke depan ayah dan
anak itu dan tertawa keras terhadap ketiga orang yang sedang
bertempur sengit itu.
Ho-lotoa dan putrinya sama melengak, mereka pikir apakah
orang ini sudah gila" Tapi karena munculnya Kim Tiok-liu,
perhatian Ho-lotoa menjadi terpencar, tekadnya hendak
membunuh diri tadi menjadi terlupa seketika.
Dalam pada itu Kim Tiok-liu masih terus tertawa terpingkalpingkal.
Diam-diam Ho-lotoa mulai merasa sangsi, katanya kepada
putrinya dengan suara pelahan, "Aneh, begini dekat orang ini
berdiri di situ dan sama sekali tidak gentar terhadap tenaga
pukulan Peng Ki-yong yang dahsyat itu."
Suara tertawa Kim Tiok-liu itu makin nyaring dan makin
keras, itulah suara tawa yang dipancarkan dengan Lwekang
yang kuat, sehingga perasaan ketiga orang yang sedang
bertempur itu terganggu semua. Lantaran tidak tahu maksud
tujuan Kim Tiok-liu sehingga Kiong Peng-hoan juga terkejut.
Lian Sing-hou yang pertama-tama tidak tahan, bentaknya
segera, "Kau bocah ini mengapa tertawa seperti orang gila?"
"Pertama, aku menertawai kau!" sahut Kim Tiok-liu sambil
menudingnya. "Apa yang kau tertawai?" damprat Lian Sing-hou dengan
murka. "Hahaha," kembali Kim Tiok-liu latah. "Aku menertawai ilmu
tutukan Boan-koan-pit yang kau mainkan itu, mestinya empat
pit menutuk delapan nadi ternyata kau cuma menguasai
setengahnya saja, tapi kau sudah berani main pamer di sini.
Ai, rupanya keluarga Lian sudah kehabisan bibit yang
berbakat, sungguh kasihan."
Lian Sing-hou terperanjat, dari mana bocah ini kenal ilmu
kebanggaan keluarga kami itu" Segera ia membentak,
"Biarpun aku cuma menguasai setengahnya saja, juga kau
tidak mampu mematahkannya. Jika tidak percaya boleh kau
coba." "Jangan buru-buru dulu, setelah kenyang tertawa barulah
kita berunding lagi," ujar Kim Tiok-liu.
Peng Ki-yong terkesiap, tanyanya, "Kau ingin menertawai
siapa lagi?"
"Kedua, menertawai kau!" sahut Tiok-liu.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menertawai aku dalam hal apa?"
"Tertawa karena ilmu pukulanmu yang tidak becus itu,"
kata Tiok-liu. "Murid Siau-Iim-si seperti kau benar-benar cuma
membikin malu perguruan saja."
Padahal Peng Ki-yong punya Tay-lik-im-kong-tjiang itu
adalah ajaran Siau-lim-si yang murni, sejak keluar dari
perguruan, ilmu pukulannya itu jarang ada tandingannya.
Keruan ia menjadi gusar atas olok-olok Kim Tiok-liu itu,
bentaknya, "Baik, kau berani memandang enteng pada tenaga
pukulanku, maka bolehlah kau maju untuk mencobanya."
"Hahaha! Jadi kau tidak percaya" Baiklah, sekarang juga
aku sudah maju!" seru Kim Tiok-liu sambil melompat ke
tengah kalangan.
Peng Ki-yong tidak tahu kotak yang dibawa Kim Tiok-liu
berisi Hian-tiat yang ampuh, maka waktu melihat kotak Kim
Tiok-liu itu disodokkan ke arahnya segera disambutnya
dengan suara gertakan sambil memukul.
Tenaga pukulan Peng Ki-yong mampu menghancurkan
batu, ia yakin apapun isi kotak itu pasti akan bisa dihantamnya
hingga hancur. Dengan tertawa Kim Tiok-liu mengolok-olok, "Awas, benda
ini tidak boleh disenggol!"
Belum habis ucapannya, "biang", pukulan Peng Ki-yong
sudah mengenai sasarannya. Kotak Kim Tiok-liu itu pecah berantakan,
tapi Peng Ki-yong yang konyol, telapak tangannya
babak belur, tulang tangan hampir patah, ia tergetar mundur
beberapa tindak, sedapat mungkin ia menahan rasa sakit
sehingga tidak sampai menjerit.
Melihat Peng Ki-yong tak sampai terjungkal karena
menghantam Hian-tiat itu, diam-diam Kim Tiok-liu mengakui
ketangkasan lawan, kalau melulu bertanding tenaga pukulan
mungkin sukar untuk dilawan. Tapi Tiok-liu memang sengaja
hendak membikin murka musuh, sesudah membuatnya
meringis kesakitan, lalu mengolok-oloknya lagi, "Nah,
bagaimana" Sudah kukatakan pukulanmu tidak becus,
sekarang sudah terbukti bukan?"
Dengan menahan sakit Peng Ki-yong membentak, "Kau
main licik, apa isi kotakmu itu sehingga aku tertipu" Hm, jika
kau berani, cobalah adu pukulan dengan aku?"
"Sebelumnya sudah kuperingatkan, kau sendiri yang
sengaja membentur kotakku," ujar Tiok-liu tertawa.
"Tidak perlu banyak bacot, apa kau berani bertanding
terang-terangan dengan aku?" tantang Ki-yong dengan wajah
merah padam. "Mengapa tidak berani?" sahut Tiok-liu sambil tertawa
memandang ke atas. "Ini, lihat pukulanku!"
Dengan sikap acuh tak acuh itulah Tiok-liu lantas
melancarkan pukulan, keruan Peng Ki-yong sangat
mendongkol. "Bagus!" bentaknya sembari menyambut pukulan
lawan. Karena melihat usia Kim Tiok-liu baru 20-an, Peng Ki-yong
menduga betapapun kepandaiannya tentu juga terbatas.
Sebab itulah ia hanya menggunakan sebelah tangan untuk
memukul, walaupun demikian, karena sudah sangat
mendongkol, maka pukulannya dilontarkan dengan sepenuh
tenaga dengan maksud membinasakan Kim Tiok-liu.
"Bagus!" Kim Tiok-liu menirukan lagak lagu orang, cuma
pukulannya tidak diteruskan ke depan, sebaliknya mendadak
ditarik kembali.
Keruan Peng Ki-yong kecelik, pukulannya yang dahsyat
bagai gugur gunung hu ternyata mengenai tempat kosong.
Bara saja ia hendak memaki, tiba-tiba Kim Tiok-liu sudah
mendahului menggertak, "Awas!" Serentak tenaga pukulannya
dikerahkan. Inilah siasat Kim Tiok-liu yang menghindarkan
pukulan lawan yang dahsyat lalu menyerang musuh pada
waktu pukulan musuh sudah telanjur dilontarkan.
Maka terdengarlah suara "krak" sekali, tulang lengan Peng
Ki-yong patah seketika dan menjulai lemas tak bisa berkutik.
Meski kemenangan Kim Tiok-liu itu diperoleh dengan main
akal, tapi dalam jarak dekat sama sekali ia tidak terluka oleh
tenaga pukulan lawan, bahkan mampu balas menyerang dan
mematahkan tulang lengan musuhnya, betapapun
kekuatannya ini membuat Lian Sing-hou terkejut juga.
"Nah, bagaimana?" ejek Tiok-liu dengan tertawa. "Sudah
jelas bukan" Kau sendiri kan yang konyol?"
Keringat di jidat Peng Ki-yong sampai sebesar kedelai
karena menahan sakit, ia harus cepat menyambung tulangnya
yang patah jika tidak ingin cacat untuk selamanya. Terpaksa ia
me-ngertak gigi menahan sakit, yang penting menyambung
tulang dulu dan tidak sempat adu mulut lagi dengan Kim Tiokliu.
"Jangan kuatir, boleh rawat dirimu dengan bebas, aku tidak
sudi menghajar anjing yang sudah kecebur kali," ejek Tiok-liu
pula, lalu ia memutar ke hadapan Lian Sing-hou dan berkata,
"Nah, sekarang giliran kau si pendek ini! Kiong-toako, harap
serahkan padaku saja."
Tanpa berkata Kiong Peng-hoan lantas menyingkir ke
samping. Lian Sing-hou lantas berkata, "Tadi kau menyatakan bisa
mematahkan aku punya Keng-sin-pit-hoat?"
Kepandaian Lian Sing-hou sebenarnya lebih tinggi daripada
Peng Ki-yong, yaitu berkat Boan-koan-pit yang lihai itu, tapi
dalam hal tenaga dia lebih lemah daripada Peng Ki-yong.
Sekarang terbukti tangan Peng Ki-yong malahan patah dalam
adu pukulan tadi, tentu saja ia tidak berani mengadu tenaga
dengan Kim Tiok-liu, jadi kata-katanya tadi dimaksudkan
melulu bertanding ilmu tutukan saja.
Tiba-tiba Ho-lotoa menyeletuk, "Orang tidak punya Boankoan-
pit, peduli cara bagaimana orang hendak menghajar
kau?" Dengan tertawa Tiok-liu lantas menyambung, "Jangan
kuatir, meski aku tidak punya Boan-koan-pit juga aku sanggup
memainkan ilmu empat pensil menutuk delapan nadi. Apa
yang sudah kukatakan tentu kupegang teguh, si pendek ini
harus dibikin kapok lahir batin."
Sudah tentu Lian Sing-hou tidak mau percaya, seorang diri
dapat memainkan ilmu empat pensil menutuk delapan nadi,
segera ia membentak, "Baik, bolehlah kau coba mematahkan
se-ranganku!"
Berbareng kedua Boan-koan-pit lantas bergerak dan
menutuk di dua tempat yang berlainan.
Tapi dengan jarinya yang tajam seperti belati, di bawah
sambaran pensil musuh, Kim Tiok-liu terus menyelonong maju
malah dan balas menutuk satu kali dengan tangan kiri, begitu
pula jari tangan yang lain ikut menutuk lagi satu kali. Yang
digunakan memang benar adalah 'Keng-sin-pit-hoat' dari
keluarga Lian dan sekaligus merupakan jurus anti serangan
Lian Sing-hou tadi.
Keruan Lian Sing-hou terkejut, baru sekarang ia sadar
bahwa lawannya memang rada-rada luar biasa. Cepat ia
melompat mundur dan berganti serangan, tapi Kim Tiok-liu
tidak memberi kelonggaran lagi padanya, segera ia mendesak
maju, jarinya bekerja naik turun, dalam sejurus saja sekaligus
ia menutuk berbagai Hiat-to di badan musim sehingga Lian
Sing-hou kelabakan untuk menangkisnya.
Sembari menyerang Kim Tiok-liu seraya memberi
'pelajaran' pula tentang dimana letak kelemahan lawannya
dan dima-na permainan lawan yang salah. Yang diuraikan itu
semuanya adalah rahasia Keng-sin-pit-hoat keluarga Lian yang
tak diajarkan kepada orang luar, tapi Kim Tiok-liu ternyata
seperti apal di luar kepala, bahkan caranya lebih lihai pula.
Kelemahan dan kesalahan yang ditunjukkan Kim Tiok-liu itu
ada sebagian memang tidak diketahui Lian Sing-hou, ada pula
yang diketahui tapi memang tak mampu dimainkannya. Jadi
sudah jelas Kim Tiok-liu memang sangat apal Keng-sin-pithoat
keluarganya, hal ini mau tak mau membuatnya kagum
dan tunduk. Sesudah berpikir, Lian Sing-hou sadar dirinya sudah terang
kalah, kalau pertarungan diteruskan, dirinya hanya akan
dibuat bulan-bulanan saja sehingga makin memalukan. Cuma
sebagai seorang Kangouw ternama, ia merasa tidak rela begini
saja mengaku kalah kepada seorang pemuda yang masih
hijau. Tiba-tiba ia mendapat akal, lebih dulu ia menangkis satu
serangan Kim Tiok-liu, lalu berkata, "Benar, kepandaianmu
memang di atasku, tapi yang kau mainkan juga belum
terhitung 'empat pensil menutuk delapan nadi'. Untuk bisa
mengalahkan aku, dengan suka rela kau harus
memperlihatkan kepandaianmu lagi."
Dengan kata-kata demikian maksudnya ia hendak menagih
pernyataan Kim Tiok-liu tadi, yang katanya mampu
memainkan ilmu 'empat pensil menutuk delapan nadi'.
Padahal setiap orang tahu, jika melulu pakai kedua tangan
paling-paling hanya bisa 'dua pensil menutuk empat nadi' saja.
Maka Ho-lotoa lantas memaki, "Sudah kalah masih berani
sembarangan mengoceh, sungguh tidak tahu malu?"
"Habis kan dia sendiri yang berkata begitu tadi," sahut Lian
Sing-hou dengan mendengus.
"Jangan ribut, apa yang sudah kukatakan sudah tentu akan
kupenuhi!" seru Kim Tiok-liu.
Habis berkata, mendadak ia menubruk maju, ia
mengeluarkan suatu jurus serangan aneh yang belum dikenal
Lian Sing-hou, hanya satu jurus saja sekaligus ia menutuk
empat Hiat-to di tubuh lawan. Selagi Lian Sing-hou merasa
bingung karena tidak tahu cara bagaimana harus menangkis,
sekonyong-konyong tangannya terasa anteng, sepasang Boankoan-
pitnya tahu-tahu sudah kena dirampas Kim Tiok-liu.
"Lihatlah ini ilmu 'empat pensil menutuk delapan nadi'
sudah dimulai!" seru Kim Tiok-liu, berbareng kedua pensil
rampasan itu terus disambitkan ke depan, menyusul secepat
kilat ia terus menubruk maju, kedua pensil tadi menyambar
menyilang dan tepat kena menutuk empat Hiat-to di badan
Lian Sing-hou, sedangkan jarinya yang digunakan seperti
Boan-koan-pit juga sekaligus menutuk empat Hiat-to yang
lain. Inilah gerakan 'empat pensil menutuk delapan nadi' yang
mestinya harus dimainkan oleh dua oang sekaligus.
Karena sudah tertutuk, Lian Sing-hou menjadi tak bisa
berkutik. "Haha, sekarang kau tunduk atau tidak?" kata Kim Tiok-liu
dengan tertawa. "Aku tidak ingin melenyapnya permainan Pit
keluargamu, biarlah hari ini aku melepaskan kau saja."
Habis itu ia lantas menepuk beberapa kali di badan Lian
Sing-hou, sehingga Hiat-to yang tertutuk itu terbuka semua.
Ketika melihat gelagat tidak menguntungkan, sejak tadi
Peng Ki-yong dan si Kongtjuya sudah ngacir. Sesudah bisa
bergerak, sudah tentu Lian Sing-hou juga tidak berani tinggal
lebih lama di situ, dengan muka pucat seperti mayat segera ia
pun melangkah pergi.
Kim Tiok-liu lantas mendekati Kiong Peng-hoan, katanya,
"Kiong-hiangtju, sungguh tak nyana berjumpa lagi di sini."
Dengan sikap dingin Kiong Peng-hoan segera menjawab,
"Ya, sungguh beruntung bisa berjumpa pula di sini. Banyak
terima kasih atas bantuanmu."
"Dahulu aku belum kenal pribadimu sehingga rada kurang
hormat padamu, sekarang marilah kita bersahabat saja," kata
Tiok-liu dengan tertawa. "Siaute she Kim bernama Tiok-liu."
Seperti diketahui tempo hari sesudah kalah bertanding
pedang, Kiong Peng-hoan pernah bertanya nama Kim Tiok-liu,
tapi karena Tiok-liu memandangnya sebagai musuh sehingga
tidak sudi memberitahukan namanya.
Kiong Peng-hoan lantas memberi hormat dan berkata pula,
"Aku merasa berhutang budi atas bantuanmu tadi. Tentang
janji bertanding pedang tiga tahun yang akan datang, biarlah
kuba-talkan saja, sekarang juga kumohon diri."
Kim Tiok-liu melengak malah, katanya, "Apakah kau masih
marah padaku" Jika kau inginkan Hian-tiat ini. dapatlah
kuberikan padamu. Tentang kejadian tadi adalah seharusnya
memberi bantuan pada setiap ketidak-adilan."
Ketika mendengar disebutnya Hian-tiat, Ho-lotoa tampak
merasa heran dan sangsi sambil memperhatikan kotak yang
dibawa Tiok-liu itu, agaknya ingin berkata apa-apa, tapi tidak
jadi. Meski watak Kim Tiok-liu suka ugal-ugalan, tapi ia pun
seorang yang punya perasaan. Di kala dia benar-benar ingin
bersahabat dengan orang, maka segala apa dapat
dikorbankan olehnya. Walau Hian-tiat adalah benda mestika
yang jarang dilihat, tapi ia lebih mengutamakan persahabatan
daripada kebendaan.
Tapi bagi Kiong Peng-hoan, ucapan Kim Tiok-liu itu
dirasakan sebagai sindiran, dengan kurang senang ia berkata,
"Memang tidak salah, tadinya aku memang ingin merebut
Hian-tiat ini, tapi untuk bisa merebutnya harus menggunakan
kepandaian sejati, mana aku berani tidak tahu diri dan
sembarangan mengincar barang orang lain. Kepandaianmu
jauh lebih dnggi da-riku, aku pun tahu tidak sesuai untuk
memiliki benda mestika ini, buat apa kau mesti mengolok-olok
padaku lagi?"
"Ai, dasar aku tidak pintar bicara, kembali aku
menyinggung perasaanmu lagi, "ujar Tiok-liu sambil menghela
napas. "Tapi maksudku benar-benar ingin bersahabat, lain
tidak. Harap kau jangan salah paham."
"Kim-heng sudi bersahabat dengan aku, tapi aku merasa
tidak sesuai," sahut Kiong Peng-hoan tak acuh, habis itu ia
lantas putar tubuh dan tinggal pergi.
Mestinya Ho-lotoa hendak mengucapkan terima kasih
kepada Kiong Peng-hoan, tapi menjadi tidak sempat lagi.
"Meski orang ini rada angkuh, tapi juga punya jiwa ksatria,"
kata Tiok-liu tertawa, tapi diam-diam ia pun dapat mengerti
perasaan orang yang telah dikalahkan olehnya itu, tentunya
masih penasaran, semoga kelak dia akan kenal pribadiku.
Dalam pada itu Ho-lotoa dan gadisnya lantas mengucapkan
teruna kasih atas pertolongan Kim Tiok-liu serta
memperkenalkan nama mereka. Baru sekarang Tiok-liu
mengetahui Ho-lotoa itu bernama Kian-hiong, putrinya
bernama Ho Djay-hong.
"Ho-taysiok, lukamu rasanya tidak terlalu berat, aku ada
sebutir Siau-hoan-tan, silakan kau meminumnya," kata Tiokliu.
Ho Kian-hiong terkejut, ia tahu Siau-hoan-tan itu adalah
obat mujizat dari Siau-lim-si, katanya segera, "Lukaku tidak
ada artinya, janganlah obat sebagus ini tersia-sia."
"Obat ini adalah hasil copetan seorang pamanku, silakan


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau ambil saja, aku masih banyak," ujar Tiok-liu tertawa.
Ho Kian-hiong adalah seorang Kangouw yang tidak suka
berpura-pura, maka tanpa sungkan-sungkan lagi ia lantas
menerima Siau-hoan-tan itu dan diminum, katanya kemudian,
"Budi kebaikanmu ini entah cara bagaimana harus kubalas.
Kelak asalkan Kim-siangkong memerlukan tenagaku, biar
terjun ke lautan api juga aku takkan menolak. Sekarang
marilah lekas kita tinggalkan tempat yang tidak aman ini."
"Mereka sudah kuhajar hingga kocar-kacir, apakah masih
berani datang lagi?" ujar Tiok-liu dengan tertawa.
Tapi Ho Kian-hiong sudah lantas bebenah barangbarangnya,
lalu buru-buru tinggal pergi bersama putrinya.
Walaupun merasa enggan, terpaksa Kim Tiok-liu ikut pergi
juga dengan membawa Hian-tiat itu.
Ho Kian-hiong bukan terluka dalam, maka sesudah minum
Siau-hoan-tan, langkahnya tetap secepat terbang. Ginkang
putrinya itupun tidak rendah dan dapat mengikuti sang ayah
dengan kencang. Namun Kim Tiok-liu jauh lebih cepat lagi,
dalam sekejap saja ia sudah melampaui ayah dan anak itu.
Karena sudah tahu yang dibawa Kim Tiok-liu itu adalah
Hian-tiat, sebagai seorang Kangouw kawakan, segera Ho Kianhiong
dapat menilai besi murni yang amat berat itu. Jika Kim
Tiok-liu dapat berlari secepat itu dengan membawa benda
berat, apalagi kalau bertangan kosong, keruan Ho Kian-hiong
sangat kagum. Untunglah seringkah Kim Tiok-liu melambatkan
langkahnya untuk menunggu mereka.
Dengan Ginkang mereka bertiga sekaligus telah menempuh
20 li lebih, mereka telah melintasi Djian-hud-san dan jauh
berada di luar kota Tje-lam.
"Sudahlah, boleh kita mengaso sekarang," kata Ho Kianhiong
dengan menghela napas lega.
"Orang macam apakah Kongtjuya itu, mengapa begitu
sewenang-wenang perbuatannya?" tanya Tiok-liu kemudian.
"Dan kedua jago pengawalnya itu memang lihai juga, entah
mengapa mereka rela menjadi budak orang?"
"Asal usul Kongtjuya itu tidaklah sembarangan, dia adalah
putra kesayangan Tjo Tjin-yong," tutur Ho Kian-hiong.
"Siapa itu Tjo Tjin-yong?" tanya Tiok-liu.
"Agaknya Kim-siangkong jarang mengurusi persoalan di
luaran," ujar Kian-hiong. "Tjo Tjin-yong ini adalah Perdana
Menteri yang berkuasa sekarang. Dia jauh lebih kejam
daripada bangsa Boan yang menjajah kita sehingga sangat
dibenci oleh rakyat jelata."
"O, kiranya demikian. Aku baru pulang dari luar lautan
sehingga tidak mengetahui seluk-beluk negeri sendiri."
"Tjo Tjin-yong hanya mempunyai seorang anak laki-laki itu
sehingga sangat memanjakan dia, oleh sebab itu dia selalu
berbuat sewenang-wenang di kampung halamannya. Putranya
itu gemar belajar silat, di rumahnya banyak memelihara jagojago
Kangouw yang kemaruk harta dan kedudukan, diam-diam
mereka pun menjadi antek kerajaan penindas rakyat."
"Tahu begitu mesdnya aku memberi hajaran setimpal
kepada Kongtjuya itu," ujar Tiok-liu tertawa. "Baiklah,
setibanya di Pakkhia nanti aku mesti mencari perkara pada
bapaknya itu."
"Jadi Kim-siangkong hendak menuju ke Pakkhia?" tanya
Kian-hiong. "Benar!"
"Apakah ada sangkut-paut dengan urusan ulang tahun Sattjongkoan
yang akan datang nanti?"
"Darimana kau pun mengetahui?" tanya Tiok-liu heran.
"Maaf, apakah Hian-tiat yang engkau bawa ini rampasan
dari orang-orang Lidk-hap-pang?"
"Benar, kiranya kau pun kenal asal usul Hian-tiat ini."
Tiba-tiba Ho Djay-hong ikut bicara dengan kejut dan
girang, "Eh, kiranya inilah Hian-tiat yang hendak digunakan
oleh Su Pek-to untuk memelet Sat-tjongkoan itu. Bolehkah aku
melihatnya?"
"Boleh saja. Cuma kau harus hati-hati, Hian-tiat itu sangat
berat, awas kalau jatuh," kata Tiok-liu.
Setelah memeriksa Hian-tiat itu, berulang-ulang mulut Ho
Djay-hong berkecek memuji, "Benar-benar benda mestika.
Meski kalung mutiara itu tiada batas nilainya, kalau
dibandingkan Hian-tiat ini mungkin masih kalah jauh."
"Tidak," kata Ho Kian-hiong dengan tertawa. "Kukira dalam
pandangan Sat Hok-ting kalung mutiara mestika itu akan jauh
lebih disukai."
"Benar juga ayah?" ujar Djay-hong dengan air muka rada
muram, lalu ia menyerahkan kembali Hian-tiat itu kepada Kim
Tiok-liu. Diam-diam Tiok-liu heran, "Tampaknya mereka sangat jelas
terhadap seluk beluk Liok-hap-pang, entah ada hubungan
apakah di antara mereka."
Dan baru saja ia ingin bertanya, tiba-tiba Ho Kian-hiong
sudah mendahului berkata, "Kim-siangkong, aku ingin
numpang tanya seseorang padamu. Di dalam Liok-hap-pang
ada seorang yang bernama Li Tun. Apakah engkau tahu?"
"Aku justru teman sekaum dengan dia," sahut Tiok-liu
dengan tertawa.
Seketika Ho Djay-hong tampak sangat senang dan cepat
bertanya, "Jika demikian, jadi engkau sudah kenal dia, tapi
entah teman sekaum apa yang kau maksudkan?"
"Dia mencuri kalung mutiara mestika Liok-hap-pang, aku
pun mencuri Hian-tiat pusaka Liok-hap-pang, di sinilah kami
adalah sekaum," tutur Tiok-liu dengan terbahak. "Cuma saja
kalung mutiara mestika yang berhasil dicurinya itu kini sudah
dibuang ke dalam kolam jurang sehingga akulah yang lebih
untung daripada dia."
Lalu ia pun menceritakan pengalamannya waktu bertemu
dengan Li Tun di atas Tji-lay-san tempo hari.
"Banyak terima kasih atas bantuan Kim-siangkong yang
telah menyelamatkan dia," kata Ho Kian-hiong. "Kami justru
lagi kuatir, kalau-kalau dia sampai kena ditangkap kembali
oleh orang Liok-hap-pang. Entah sekarang dia berada
dimana?" "Sejak berpisah di Tji-lay-san aku pun tidak tahu lagi kemana
perginya," hjtur Tiok-liu. "Cuma kau pun tak perlu
kuatir, Liok-hap-pang sendiri kini sedang banyak menghadapi
macam-macam urusan, mereka harus mengumpulkan barang
hantaran lain untuk Sat Hok-ting, hendak mencari adik
perempuan Pang-tju mereka pula, malahan ingin merebut
kembali Hian-tiat ini, mana mereka ada tempo buat mencari
jejak Li Tun. Mereka pun tahu Hian-tiat ini lebih berharga
daripada mutiara, jejakku juga blak-blakan, tentu orang-orang
Liok-hap-pang akan mencari aku lebih dulu."
"Benar, engkau yang membelokkan perhatian Liok-happang
terhadap Li Tun, yang berarti melindungi dia pula," ujar
Kian-hiong. "Cuma dengan demikian engkau sendiri menjadi
tambah resiko, hal ini membuat kami ikut merasa tidak enak."
"Aku tidak takut pada Liok-hap-pang, andaikan Su Pek-to
tidak mencari aku, malah aku sendiri yang akan mencari dia,"
ujar Tiok-liu tertawa. "Ho-taysiok, sedemikian perhatianmu
terhadap Li Tun, entah dia pernah apa dengan kalian."
Wajah Ho Djay-hong tampak merah jengah dan menunduk,
sebaliknya Ho Kian-hiong lantas berkata, "Bicara terus terang,
Li Tun adalah calon menantuku. Dia telah bertunangan
dengan budakku ini sejak kecil, mestinya aku bermaksud
mengawinkan mereka dalam tahun ini juga, siapa duga terjadi
perisdwa Liok-hap-pang ini."
Mendengar ucapan Ho Kian-hiong itu, Kim Tiok-liu menjadi
kegirangan dan lupa daratan, dengan gembira ia bersorak,
"Itulah bagus sekali!"
Sorakannya itu sudah tentu membikin Ho Djay-hong
tambah malu sebab disangkanya Kim Tiok-liu bergirang atas
ikatan perjodohan mereka, tak tahunya Kim Tiok-liu
bergembira atas dirinya sendiri. Sebab selama ini Tiok-liu
menyangka Li Tun adalah kekasih Su Ang-ing dan baru
sekarang ia mengetahui telah salah sangka.
Dalam pada itu Ho Kian-hiong berkata pula, "Ketika budak
Hong mengetahui larinya Li Tun dari Liok-hap-pang, dia
menjadi kuatir sekali, selama belum bertemu dengan Li Tun,
terpaksa aku mengiringi dia keluar rumah untuk mencari. Agar
gampang menarik perhatian Li Tun, budak Hong sengaja
menyamar sebagai gadis pengamen. Untung sejak kecil dia
memang suka menari dan menyanyi sehingga hal-hal seperti
itu dapatlah sekadar dilakukannya di muka umum."
"Bukan cuma sekadar saja, sesungguhnya dia memang
mahir," kata Tiok-liu dengan tertawa. "Dengan nyanyian nona
Hong tentulah dengan mudah akan memancing datang
jantung-hatinya yang dicari."
"Ah, Kim-siangkong suka bercanda saja," kata Djay-hong
agak malu-malu.
"Aku akan menuju ke Pakkhia dan kalian hendak mencari Li
Tun, maka biarlah kita mengambil jalan sendiri-sendiri," kata
Tiok-liu kemudian. "Nona Ho, bila sudah bertemu Li Tun,
tolong sampaikan salamku kepadanya."
Begitulah karena merasa tekanan batinnya sudah lenyap,
perasaan Kim Tiok-liu menjadi senang, jalannya juga tambah
cepat meski membawa serta Hian-tiat yang berat itu. Pada
hari kedua ia sudah menyeberangi Hongho dan waktu lohor
dia sampai di kota Uhsia.
Uhsia terletak di tepi utara Hongho, menurut cerita, kota itu
dibangun oleh raja Uh waktu beliau bertekad membendung
bahaya banjir sungai Kuning yang setiap tahun banyak
menimbulkan korban itu. Di tengah kota ada sebuah restoran
terkenal dengan nama 'Gi-tjiau-lau' yang terkenal karena
araknya yang enak. Bangunan restoran itu lebih tinggi
daripada rumah-rumah penduduk di dalam kota sehingga para
tamu leluasa menikmati pemandangan Hongho.
Sudah tentu Rim Tiok-liu tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan baik untuk mengunjungi restoran yang terkenal
itu, apalagi dia memang paling suka minum arak.
Rupanya hari itu tidak banyak kaum pelancong, penduduk
setempat biasanya suka minum arak di waktu malam.
Sekarang baru lohor, sudah tentu loteng restoran itu cuma
ada Kim-Tiok-liu sendirian. Hal ini kebetulan malah bagi Kim
Tiok-liu, ia justru dapat minum sepuas-puasnya tanpa
diganggu orang lain, dengan hati-hati ia menaruh kotak berisi
Hian-tial itu di bawah meja, lalu memesan arak.
Maksud Kim Tiok-liu menaruh Hian-tiat itu di bawah meja
agar supaya tidak menarik perhatian orang. Untung papan
loteng restoran cukup kuat, walaupun begitu juga
mengeluarkan suara gedubrakan waktu kotak itu dilepaskan.
Pelayan yang menyaksikan itu merasa heran, tapi ia
menduga isi kotak itu tentunya bukan benda mestika, maka ia
tidak ambil pusing lebih jauh.
Sambil menenggak araknya, Kim Tiok-liu memandang jauh
ke tengah gelombang ombak Hongho yang bergolak dengan
hebatnya itu. Kalau dibandingkan arus sungai Panjang (Tiangkang)
yang telah diseberanginya bulan lalu memang berbeda
sekali keadaannya. Sembari melamun tanpa terasa sudah
lebih setengah poci arak Hun-tjiu yang terkenal itu ditenggak
ke dalam perutnya.
Sesungguhnya kekuatan minum arak Kim Tiok-liu tidaklah
besar, setengah poci arak itu sudah membuatnya rada mabuk.
Memandangi ombak Hongho itu, tanpa terasa ia
mendeklamasikan sanjak pujangga Go Bong-in di zaman Song
yang memuji jasa besar raja Uh dalam membendung banjir
Hongho itu. Raja Uh membendung banjir Hongho adalah kejadian pada
masa tiga ribu tahun yang lampau. Perubahan-perubahan
selama itu sudah tentu sukar lagi diketemukan bekas-bekas
bendungan yang dibangun oleh raja yang bijaksana itu.
Namun begitu jasanya tetap terukir abadi di dalam lembaran
sejarah dan tak terlupakan oleh angkatan terakhir.
Teringat kepada orang-orang arif bijaksana di zaman
lampau, diam-diam Kim Tiok-liu membatin pula, "Setiap orang
yang berbuat baik bagi rakyat tentu takkan dilupakan oleh
rakyat. Memang benar tenaga setiap orang sangat terbatas,
meski aku tidak dapat menirukan kaum Nabi di zaman lampau,
paling sedikit aku harus belajar dan meniru mereka untuk
berbuat sesuatu yang baik bagi rakyat jelata."
Begitulah sambil melamun kembali Tiok-liu menembangkan
sanjak lagi. Untung di atas loteng restoran itu tiada tamu lain,
kalau ada tentu Tiok-liu akan disangka orang sinting.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang berkata
dengan tertawa, "Bagus, saudara cilik ini benar-benar orang
yang tahu kesenangan!"
Suara tertawa orang itu keras dan nyaring menusuk telinga,
ketika Kim Tiok-liu berpaling dengan rada tercengang, terlihat
dua orang melangkah ke atas loteng restoran. Yang berbicara
itu berjalan di depan, usianya kira-kira baru 40-an tahun,
jidatnya ?ebar, mukanya kereng. Orang yang ikut di
belakangnya ternyata Kiong Peng-hoan adanya.
Memangnya Kim Tiok-liu sudah heran ketika mendengar
suara tertawa orang itu, ia menjadi tambah tak menduga
waktu melihat ikut datangnya Kiong Peng-hoan. Di bawah
pengaruh arak yang dihabiskan lebih setengah poci itu,
dengan tertawa segera Kim Tiok-liu berseru, "Aha, orang
hidup memang diri ?ana-mana selalu bertemu, marilah, mari,
mari....."
Baru saja ia hendak menyapa Kiong Peng-hoan agar
mengiringi minum arak, tiba-tiba dilihatnya Kiong Peng-hoan
sedang menggoyang-goyangkan tangan padanya sembari
menge-dipi, lalu menuding pula ke arah jendela.
Kiong Peng-hoan berjalan di belakang orang itu sehingga
isyarat yang diberikan itu hanya dapat dilihat oleh Kim tiok-liu.
Walaupun sudah rada mabuk, tapi terhadap isyarat umum itu
dapatlah dipahami dengan baik, Tiok-liu tahu maksud Kiong
Peng-hoan menyuruhnya pura-pura tidak saling kenal, selain
itu disuruh lekas lari saja.
Diam-diam Tiok-liu heran, "Orang lihai macam apakah dia
mi, sehingga aku disuruh kabur oleh Kiong Peng-hoan?"
Tapi satu kata pun Kiong Peng-hoan tidak berani bicara,
hanya secara sembunyi memberi isyarat di belakang orang,
terang Kiong Peng-hoan merasa takut kepada orang itu.
Padahal ilmu pedang dan jiwanya yang angkuh telah dikenal
Kim Tiok-liu, mengapa dia sedemikian takut kepada orang ini,
sungguh hal ini membuat Kim Tiok-liu tidak habis pikir. Karena
itulah ucapan "Kiong-hiangtju" yang mestinya akan diucapkan


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi lantas ditelan kembali. Namun begitu ia pun tidak mau lari
sebagaimana anjuran isyarat Kiong Peng-hoan tadi, bahkan ia
terus duduk seenaknya dan memandang beberapa kejap lebih
cermat ke arah orang itu.
Rupanya orang itu salah sangka Kim Tiok-liu menyapa
kedatangannya, dengan tertawa ia lantas menjawab, "Adik
cilik, kau ini benar-benar orang baik. Memang betul, orang
hidup di-mana saja selalu berjumpa, dan berjumpa juga tidak
perlu mesti kenal. Marilah, mari, mari kita minum arak. Biar
aku menyuguh kau dulu satu cawan!"
Air muka Kiong Peng-hoan tampak berubah, kembali ia
menggeleng sebagai tanda jangan kepada Kim Tiok-liu. Tapi
Tiok-liu pura-pura tidak tahu, bahkan ia lantas berkata malah,
"Bagus, bertemu secara kebetulan lebih menyenangkan
daripada sengaja mengundang. Marilah silakan duduk,
jangankan cuma satu cawan, sepuluh cawan pun jadi!"
Melihat sikap orang itu bukanlah orang sembarangan,
paling tidak tentu tokoh Kangouw ternama, Tiok-liu pikir
peduli amat siapa dia, biarlah bersahabat dulu dan urusan
belakang. Memangnya ia sudah rada mabuk, maka sikapnya
menjadi rada-rada sinting, ketika berbangkit menyambut
sembari memegangi poci arak.
Orang itu kelihatan semakin senang, katannya, "Adik cilik,
bagaimana kekuatanmu minum arak" Apa kau berani
bertanding minum dengan aku?"
Habis ini ia lantas menoleh dan berkata kepada Kiong
Peng-hoan, "Sejak dahulu aku bertanding minum arak dengan
Totju kalian dan berakhir seri, selama sepuluh tahun ini aku
belum pernah ketemu tandingan lagi!"
Di bawah pengaruh arak tanpa pikir Kim Tiok-liu lantas
menerima tantangan itu, katanya, "Baik, aku akan bertanding
minum arak dengan kau!"
"Jiwa adik cilik yang suka blak-blakan sungguh jarang
kulihat di dunia ini," ujar orang itu tertawa. "Hasil
pertandingan arak ini nanti, tak peduli siapa yang menang
atau kalah, yang pasti aku mengikat sahabat dengan kau ini.
Nah, pelayan, bawakan saru guci Huntjiu (arak yang harum)
paling baik!"
Setelah permintaannya disediakan, segera orang itu
mengangkat guci arak dan berkata, "Satu guci ini berisi tiga
puluh kati arak, mungkin tidak cukup untuk kuminum sendiri,
ambilkan satu guci lagi!"
Pelayan sampai terbelalak matanya dan melelerkan
lidahnya, tapi permintaan tamu semakin banyak berarti
penjualan yang makin besar bagi restorannya, tentu saja ia
tidak ambil pusing apakah dua guci arak itu akan terminum
habis atau tidak. Segera ia pergi mengambilkan lagi satu guci
Huntjiu dan ditaruh di samping Kim Tiok-liu, lalu di depan
kedua orang masing-masing disediakan pula sebuah mangkuk
besar. "Kiong-hiangtju, silakan kau pun ikut minum!" orang itu
lantas mengundang Kiong Peng-hoan.
Tapi dengan tertawa Peng-hoan menjawab, "Kekuatanku
minum arak terlalu sedikit, aku terima menyerah saja."
"Baiklah, jika kau tidak mau ikut silakan kau menjadi juri
bagi kami,"kata orang itu. "Aku akan mulai bertanding minum
dengan adik cilik ini, setiap orang sekali minum satu mangkuk
secara bergiliran, yang tidak sanggup minum lagi dianggap
kalah." "Su-pangtju," kata Kiong Peng-hoan tertawa, "Engkau
adalah jago minum arak yang terkenal, Totju kami yang
terkenal ahli minum juga sangat kagum padamu. Pertandingan
ini belum berlangsung saja sudah jelas siapa yang akan kalah
atau menang, masakah perlu aku menjadi juri apa segala"
Kulihat adik cilik inipun sudah cukup banyak menengak, kalau
sampai jatuh mabuk akan kurang baik. Ada lebih baik kalian
saling minum tiga mangkuk saja sebagai tanda
persahabatan?"
Kata-kata Kiong Peng-hoan sesungguhnya sama saja
seperti memberitahukan kepada Kim Tiok-liu siapakah yang
sedang dihadapinya itu.
Baru sekarang Tiok liu sadar, pikirnya, "O kiranya orang
inilah kakak Su Ang-ing, Pangtju Liok-hap-pang, Su Pek-to
yang terkenal itu. Pantas sejak tadi Kiong Peng-hoan memberi
tanda padaku agar lekas melarikan diri."
"Siapa bilang aku mabuk?" seru Tiok-liu dengan mendelik.
"Dalam hal minum arak, selamanya aku tidak sudi mengaku
kalah, peduli dia jago arak atau raja minum juga harus cobacoba
dulu denganku."
Dan baru sekarang juga ia mengetahui sebab apa Kiong
Peng-hoan rada-rada takut kepada Su Pek-to. Soalnya Liokhap-
pang dan Ang-eng-hwe adalah dua organisasi yang sama
besar dan sama kuat di dunia Kangouw, kedudukan Su Pek-to
adalah Pangtju, sebaliknya Kiong Peng-hoan cuma seorang
Hiangtju saja, jadi bukannya dia harus takut kepada Su Pekto,
hanya saja ia mesti bersikap hormat sebagai orang yang
berkedudukan lebih rendah.
Memangnya Kim Tiok-liu sedang berusaha buat bertemu
dengan Su Pek-to, sekarang diketahui Su Pek-to sudah berada
di hadapannya, mana dia mau pergi seperti apa yang
dianjurkan Kiong Peng-hoan. Segera ia berseru dengan
mendelik, "Siapa bilang aku mabuk" Dalam hal minum arak
selamanya aku tidak sudi mengaku kalah, peduli dia jago arak
atau raja minum juga harus coba-coba dulu dengan aku."
"Haha, bagus, bagus!" seru Su Pek-to tertawa. "Aku paling
suka pada sifat anak muda yang tidak mudah menyerah.
Kiong-hiangtju, kau tidak perlu kuatir bagi adik cilik ini, kalau
dia sampai mabuk biarlah aku yang akan merawat dia."
"Betul, ada ubi ada talas, jika kau mabuk juga aku yang
akan merawat kau," jawab Kim Tiok-liu. "Marilah minum!"
Habis berkata ia terus angkat guci arak di sampingnya itu
dan menuang semangkuk penuh, lalu mendahului menenggak
habis dengan sekaligus.
"Adik cilik sungguh orang yang tulus!" puji Su Pek-to
sembari mengacungkan ibu jarinya, menyusul ia pun
menghabiskan satu mangkuk arak.
Begitulah mereka berdua terus saling bergilir semangkuk
demi semangkuk, hanya sekejap masing-masing sudah
menghabiskan sepuluh mangkuk arak. Mangkuk yang mereka
gunakan cukup besar, satu kali isi tidak kurang dari satu kati
arak. Namun yang mereka hadapi adalah satu guci yang berisi
30 kati, jadi sepuluh mangkuk besar baru sepertiga saja dari
guci itu. Kim Tiok-liu tampak basah kuyup mandi keringat, di atas
kepalanya seperti menguapkan kabut putih. Para pelayan
sama melongo heran sehingga beramai-ramai merubung
untuk menonton.
Meski tadi Kim Tiok-liu sudah rada mabuk, tapi pikirannya
toh belum sampai kabur. Sudah tentu ia tahu kekuatan minum
dirinya tidak tinggi, jika harus bertanding sungguh-sungguh
dengan Su Pek-to, jangankan satu guci, cuma tiga mangkuk
saja mungkin dia sudah jatuh mabuk. Soalnya dia telah
menggunakan Lwekang yang maha tinggi, semua arak yang
masuk perutnya ditolak keluar menjadi air keringat. Sebab
lebih banyak dia minum satu mangkuk pikirannya malah
menjadi lebih jernih daripada tadi.
Setelah menghabiskan sepuluh mangkuk, Su Pek-to
mengetok mangkuknya di atas meja, serunya dengan tertawa,
"Adik cilik kau bukan lagi adu minum arak dengan aku tapi
yang benar adu Lwekang."
"Kau cuma mengatakan bertanding minum arak, asalkan
tetap sanggup minum kan boleh," ujar Tiok-liu. "Soal dengan
cara apa aku minum arak kan urusanku sendiri."
"Tepat," kata Su Pek-to. "Kau ingin minum dengan cara apa
boleh silakan, asalkan kau dapat memenangkan aku, tidak
nanti aku ingkar janji. Tapi aku juga tak mau mengambil
keuntungan darimu, aku akan tetap minum seperti biasa, ingin
kulihat apakah Lwekangmu lebih tinggi atau kekuatanku
minum arak lebih besar?"
Dengan ucapannya itu jelas ia sangat bangga terhadap
kekuatan minumnya sendiri dan tidak akan menggunakan
Lwekang seperti Kim Tiok-liu, ia merasa kurang terhormat jika
mengalahkan Tiok-liu dengan Lwekang.
Kim Tiok-liu juga tidak peduli, ia terus angkat gucinya dan
sekarang tanpa pakai mangkuk lagi, tapi terus dituang ke
dalam mulut. Hanya sekejap saja perutnya menjadi buncit,
melembung seperti ditiup.
"Bagus!" puji Su Pek-to sambil menggabruk meja. "Aku
benar-benar kagum terhadap caramu minum ini."
Walaupun berkata demikian, diam-diam timbul juga rasa
curiga Su Pek-to. Terang usia Kim Tiok-liu masih sangat muda,
tapi Lwekangnya ternyata begini lihai, siapapun anak muda
ini" Padahal pergaulan Su Pek-to sangat luas, andaikan belum
kenal tentu juga sudah mendengar bila ada jago muda
sehebat ini. Setelah dipikir tetap ia tidak ingat dari golongan
mana ada seorang tokoh yang memiliki Lwekang setinggi ini.
Sekonyong-konyong hatinya tergetar. "Jangan-jangan dia
inilah si pengemis cilik itu?" demikian ia menduga-duga.
Sedikit banyak jago-jago utama Liok-hap-pang semua
sudah pernah menelan pil pahit dari Kim Tiok-liu. Ketika mulamula
Djing-hu Todjin berjumpa dengan Kim Tiok-liu di atas
Tji-lay-san memang Kim Tiok-liu dalam keadaan berdandan
sebagai pengemis, sebab itulah dalam benak Su Pek-to selalu
terkesan gambaran seorang 'pengemis cilik' yang dilukiskan
oleh pem-bantu-pembantunya yang kccundang itu, walaupun
kemudian baru diketahuinya bahwa Kim Tiok-liu bukan
pengemis sesungguhnya.
Kotak yang ditaruh Kim Tiok-liu di bawah meja itu dengan
sendirinya menimbulkan curiga Su Pek-to, walaupun kotak
merah itu bukan kotak aslinya, tapi besar dan bentuknya
serupa. Su Pek-to tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, hanya
diam-diam kakinya menjulur dan mendadak mencungkil,
seketika kotak yang berisi Hian-tiat seberat ratusan kati itu
mencelat ke atas, "biang", meja tergetar pecah dan
menerobos ke udara.
"Bagus, kiranya kau inilah bocah she Kim itu!" bentak Su
Pek-to, tidak dihiraukannya lagi Kim Tiok-liu, tapi lebih dulu ia
lantas merebut Hian-tiat itu.
"Haya, aku benar-benar sudah mabuk!" mendadak Kim
Tiok-liu berteriak sambil mengusap-usap perutnya dan
sekonyong-konyong arak memancur seperti pancuran air dari
mulutnya. Cepat Su Pek-to mengebas dengan lengan bajunya
sehingga air arak itu muncrat ke pinggir seperti air hujan,
beberapa pelayan dan pegawai restoran yang merubung
menonton di samping sama kecipratan dan berkaok-kaok
kesakitan. Meski Su Pek-to tidak sampai tersemprot air arak itu, tapi
pandangannya menjadi kabur juga oleh air arak yang
bertebaran itu. Kesempatan itu tidak diabaikan oleh Kim Tiokliu,
segera ia merebut kotak Hian-tiat itu.
Dengan membedakan suara, Su Pek-to lantas melontarkan
pukulannya. "Plak", Kim Tiok-liu menyambut serangan lawan
sambil berseru, "Kepandaian bagus" Di sini kurang leluasa,
marilah kita turun ke bawah saja."
"Baik, jangan kau coba lari!" bentak Su Pek-to, dengan suatu
gerakan manis segera ia pun melayang keluar jendela dan
menyusul dengan kencang di belakang Kim Tiok-liu.
Kim Tiok-liu tidak berhasil menyambar kotak Hian-tiat tadi
dan buru-buru sudah melompat keluar loteng restoran. Su
Pek-to menduga Kiong Peng-hoan tentu akan mewakilkan dia
mengurus kotak berharga itu, maka cepat ia terus menyusul
melompat turun, yang dia kuaturkan adalah larinya Kim Tiokliu.
"Memangnya sudah lama aku ingin coba mengukur kepandaianmu,
mana bisa aku melarikan diri?" ujar Tiok-liu tertawa.
Berbareng itu ia lantas mendahului menyerang, dengan jurus
'Siang-liong-dji-tju', dua naga mengambil mutiara, sebelum Su
Pek-to sempat berdiri tegak segera ia menyerang mukanya.
Tapi dengan memiringkan tubuh dan mengkeret ke
samping, kontan Su Pek-to juga lantas memukul.
"Aduh, celaka! Sungguh tenaga pukulan yang lihai!" seru
Tiok-liu sambil berjongkok dengan lagak seperti tidak sanggup
menahan tenaga pukulan lawan.
"Hm, baru kau tahu kelihaianku?" jengek Su Pek-to.
Belum habis suaranya, tahu-tahu Kim Tiok-liu mengusap
telapak tangannya ke depan, jari tangan yang lain terus
menutuk dari bawah.
Yang digunakan Kim Tiok-liu adalah ilmu Tiam-hiat tunggal
ajaran ayahnya, perhatian Su Pek-to terpancing oleh usapan
tangan Kim Tiok-liu yang pertama, tak terduga tangan yang
lain terus menyambar tiba dari bawah dan tahu-tahu iganya
terkena jarinya.
Walaupun begitu Kim Tiok-liu juga tergetar mundur dua
tiga tindak, ia sempat berseru, "Robohlah, robohlah!"
Tapi begitu merasa iganya kesemutan, seketika Su Pek-to
mengerahkan Lwekang untuk menghalau Hiat-to yang buntu
tertutuk itu, bentaknya dengan murka, "Anak setan, apa yang
kau gembar-gemborkan?"
Bukannya roboh, sebaliknya tenaga pukulannya bertambah
kuat. Keruan Kim Tiok-liu terperanjat, pikirnya, "Pantas Su Pek-to
dapat menjagoi dunia Kangouw, nyatanya memang punya
kepandaian hebat."
Seperti diketahui ilmu Tiam-hiat yang lihai itu banyak
digunakan Kim Tiok-liu untuk mengalahkan musuh tangguh,
bahkan lawan lihai seperti Bun To-tjeng juga tidak paham cara
memunahkan tutukannya, untuk menolong putranya yang
ditutuk Kim Tiok-liu terpaksa Bun To-tjeng mesti bersikap
ramah untuk memohon kemurahan hati Kim Tiok-liu. Sungguh
tidak terduga bahwa Su Pek-to meski tidak paham cara
membuka Hiat-to yang tertutuk tapi mampu mengerahkan
tenaga dalam sendiri untuk memunahkannya, cukup dari sini
saja sudah memperlihatkan bahwa Lwekang Su Pek-to masih
lebih tinggi dari Kim Tiok-liu.
Namun bukan cuma Kim Tiok-liu saja yang terkejut, Su
Pek-to juga tidak kepalang kagetnya di samping mendongkol
pula. Sebagai tokoh Kangouw terkemuka, sekarang ternyata
kena kecundang oleh seoang anak muda, meski tidak sampai
ter-luka, namun paling tidak sudah terhitung kalah satu jurus.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saking gusarnya terus saja kedua telapak tangan memukul
sekaligus, kalau bisa sungguh sekali hantam Kim Tiok-liu
hendak dibinasakan olehnya.
Tapi Kim Tiok-liu lantas mengeluarkan Thian-lo-poh-hoat
yang lincah untuk menghindarkan serangan yang lihai itu. Ia
pun tidak mau terima diserang, begitu mundur segera ia pun
menubruk maju lagi dan balas menyerang.
Yang digunakan Kim Tiok-liu adalah siasat menghindari
kekuatan lawan dan menyerang kelemahannya, caranya gesit
dan berakal sehingga mau tak mau Su Pek-to merasa kagum,
pikirnya, "Pantas empat jago andalanku serta Bun To-tjeng
dan Soa Djian-hong berturut-turut kecundang olehnya."
Rahasia Peti Wasiat 8 Legenda Kematian Karya Gu Long Pukulan Naga Sakti 20
^