Pendekar Jembel 7

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 7


Serentak Su Pek-to melancarkan tiga kali pukulan lagi,
belum lagi reda tenaga pukulan pertama, segera disusulkan
lagi kekuatan pukulan kedua dan begitu pula terakhir jauh
lebih kuat daripada pukulan duluan, laksana gugur gunung
dahsyatnya, jika kena jangan ditanya lagi akibatnya.
Kim Tiok-liu terpaksa mundur beberapa tindak lagi, Su Pekto
lantas membentak, "Kau telah melarikan adikku kemana"
Lekas bilang atau segera kucabut nyawamu!"
"Hah, aku lagi ingin mencari tahu dimana beradanya Anging
dan kau malah bertanya padaku," kata Tiok-liu dengan
tertawa. "Hehehe, kau ini percuma saja sebagai seorang
Pangtju besar, tampaknya kau ini suka membual belaka."
"Aku pernah membual tentang apa?" damprat Su Pek-to
dengan mendelik.
"Habis kalau cuma mengandalkan sedikit kepandaianmu ini
cara bagaimana kau mampu mencabut nyawaku" Bukankah
hualanmu ini tidak tahu malu?"jengek Tiok-liu.
Su Pek-to berjingkrak murka, tanpa bicara lagi ia
menyerang lebih gencar dan lebih sengit.
Lwekang Kim Tiok-liu memang kalah kuat, tapi Tiok-liu
mahir macam-macam ilmu silat yang aneh-aneh dari berbagai
aliran yang tidak dikuasai Su Pek-to. Maka ia dapat
mematahkan setiap serangan dan kalau pelu juga
menghindar. Dalam sekejap saja 35 jurus sudah berlalu dan
Su Pek-to tetap tak bisa me-ngapa-apakan Kim Tiok-liu.
Tapi meski Su Pek-to tak bisa membinasakan Kim Tiok-liu
namun cukup payah juga cara Kim Tiok-liu melayani,
tampaknya saja Tiok-liu masih tenang-tenang dan seenaknya,
tapi sebenarnya ia telah menggunakan segenap
kemampuannya barulah dapat mengimbangi serangan Su Pekto.
Di tengah pertarungan sengit itu tiada hentinya terdengar
suara gemertak dan gedubrakan, kiranya banyak papan merek
toko di tepi jalan jatuh terpukul oleh tenaga pukulan mereka
yang dahsyat, orang yang berlalu-lalang juga tidak berani
mendekat, terpaksa juragan-juragan toko yang berdekatan itu
menganggap sial dan lekas menutup pintu agar tidak
menderita kerugian lebih besar.
Sembari mematahkan serangan Su Pek-to, berkatalah Kim
Tiok-liu, "Su-pangtju, ada sepatah-kataku, entah kau sudi
mendengarkan atau tidak?"
"Apa maksud ucapanmu ini?" bentak Su Pek-to sembari
mengirim satu jotosan.
Dengan langkah Thian-lo-poh-hoat dapatlah Kim Tiok-liu
menghindarkan serangan itu, lalu menjawab, "Apa barangkali
kau menyangka adik perempuanmu minggat lantaran diriku"
Hah, salah, salah besar jika demikian anggapanmu! Padahal
semuanya ini adalah salahmu sendiri yang telah mencemarkan
nama baik keluargamu sendiri."
Su Pek-to menjadi gusar, bentaknya, "Tutup mulut! Kau
berani sembarangan mengoceh, akan....."-mestinya ia hendak
mengatakan "akan kumampuskan kau", ucapan demikian
sudah menjadi kebiasaannya sehari-hari. Tadi ia diolok-olok
oleh Kim Tiok-liu, tiba-tiba ia menjadi teringat memang dirinya
tidak punya kemampuan untuk membunuh lawannya, maka
urunglah kata-kata itu dikeluarkan.
Kim Tiok-liu lantas berkata pula dengan tertawa, "Kau mau
apa aku tidak ambil pusing. Hanya saja kerongkonganku yang
mirip keselak ini harus kutumpahkan barulah merasa puas.
Terus terang kukatakan, aku dan adik perempuanmu hanya
teman yang baru kenal saja, mana mungkin aku membawanya
lari" Soalnya kau tidak pantas memaksa dia kawin dengan
orang yang tak disukai, karena marahnya itulah maka dia
minggat dari rumah."
"Jadi segala apa telah diceritakan padamu oleh budak itu?"
seru Su Pek-to dengan mengertak gigi.
"Biarpun aku baru kenal adik perempuanmu, tapi tak bisa
tidak aku harus membela ketidak-adilan ini," sahut Tiok-liu.
"Pikirkan saja, orang she Swe itu cuma seorang sampah
masyarakat persilatan, mana boleh kau paksa adikmu untuk
kawin dengan dia" Dengan ilmu silatmu yang hebat ini
mestinya kau bisa menjadi seorang tokoh yang berguna,
mengapa kau mesti kemaruk kepada kemewahan dan
kedudukan dengan jalan memelet kaum pembesar dan
mencari muka kepada kerajaan?"
"Kurang ajar!"damprat Su Pek-to dengan murka. "Seorang
bocah ingusan macam kau juga berani mengajari aku?"
Seraya menyambut serangan Su Pek-to yang menjadi
semakin ganas, Tiok-liu tetap berkata dengan halus, "Bukan
maksudku mengajari kau, tapi semuanya adalah demi
kebaikanmu. Su-pangtju, dengan tulus hati aku menasehati
kau, jika kau dapat insyaf dan mau kembali ke jalan yang
benar, bukan saja kalian kakak beradik dapat akur kembali
satu sama lain, bahkan para ksatria Kangouw juga pasti akan
memaafkan kekeliruanmu."
Saking gusarnya Su Pek-to berjingkrak dan berkaok-kaok,
"Apakah ocehanmu sudah habis" Hm, aku Su Pek-to
selamanya berbuat menurut keinginan sendiri, perlu apa orang
memaafkan aku segala?"
"Ya, apa boleh buat!" ujar Tiok-liu sambil mengangkat
bahu. "Kau tidak mau menuruti nasihatku, buat apa aku
banyak omong lagi. Sudahlah, habis!"
Dengan gusar sekali kembali Su Pek-to melancarkan lagi
serangan-serangan dahsyat, pikirnya gemas, "Andaikan aku
tidak mampu membunuh bocah ini juga paling sedikit harus
ku-paksakan gugur bersama. Kekuatannya lebih lemah dariku,
jika sama-sama terluka tentu dia akan lebih parah."
Karena sudah punya pikiran nekat itu, maka setiap
serangan Su Pek-to adalah jurus-jurus mematikan semua.
Sejak Kim Tiok-liu berkelana belum pernah ditemuinya
lawan selihai ini. Pertempuran ini jauh lebih dahsyat dan lebih
berbahaya daripada pertarungannya melawan Bun To-^jeng
di rumah Kang Hay-thian tempo hari, meski ia sudah bertahan
60-an jurus tetap tak bisa lebih unggul, sebaliknya badan
sudah bermandi keringat. Ia pikir kalau pertarungan demikian
diteruskan, seumpama tidak sampai kalah juga akan sangat
merugikan kesehatannya.
Saat itu Kiong Peng-hoan juga sedang mengikuti
pertarungan mereka di samping dengan menjinjing kotak
berisi Hian-tiat itu. Ketika melihat Kim Tiok-liu berada dalam
posisi yang lemah, tiba-tiba ia mendapat pikiran, pelahanlahan
ia lantas menggeser maju.
Tiba-tiba ia berseru, "Jangan kuatir Su-pangtju, biar
kuhantam pecah kepalanya!" Berbareng itu kotak yang
dibawanya itu terus dilemparkan ke atas kepala Kim Tiok-liu.
Dengan gusar Su Pek-to lantas membentak, "Aku tidak
perlu bantuan orang lain, kau jangan maju dan merintangi
aku!" Maklumlah sebagai tokoh terkemuka, mana sudi Su Pek-to
menerima bantuan orang, apalagi saat itu ia berada di atas
angin, la tidak tahu bahwa di mulut saja Kiong Peng-hoan
mengatakan mau membantu dia, tapi sesungguhnya yang
dibantu adalah Kim Tiok-liu. Kotak berisi Hian-tiat yang dia
lemparkan itu ternyata sangat jitu, sekali tangkap saja kotak
itu sudah jatuh ke tangan Kim Tiok-liu. Su Pek-to bermaksud
merebutnya lagi namun sudah terlambat.
Segera Kiong Peng-hoan pura-pura gugup dan berteriak,
"Haya, celaka! Tidak jadi menghancurkan kepala bocah itu
sebaliknya kotak itu kena dirampas olehnya!"
Tapi ia lantas menambahi lagi, "Tolong Su-pangtju, lekas
rebut kembali benda itu! Berikan hajaran setimpal pada bocah
kurang ajar itu!"
Karena Hian-tiat itu jatuh ke tangan Kim Tiok-liu lagi. Su
Pek-to menjadi terkejut dan gusar pula, segera ia menubruk
maju hendak merebut, dengan jurus 'Wan-kiong-sia-tiau' atau
mementang busur memanah burung, jarinya terus mencolok
ke muka Kim Tiok-liu dan tangan lain dipakai mencengkeram
tangan lawan pula.
Dengan tertawa Tiok-liu berkata, "Jangan marah, Pangtju
yang baik! Ini, terimalah Hian-tiatmu!"
Berbareng itu ia terus berkelit ke samping, sebaliknya kotak
berisi Hian-tiat terus disodokkan ke depan.
Karena gerakan Kim Tiok-liu itu, serangan Su Pek-to yang
sebelah menjadi luput dan tangan yang lain kalau diteruskan
tentu akan menghantam kotak berisi besi wasiat itu dan
akibatnya bukan mustahil tulang tangan sendiri yang akan
patah. Lekas ia berganti gerakan dan menarik kembali
serangannya, ia melancarkan jurus serangan lain sembari
melangkah mundur.
Serangan 'mementang busur memanah burung' Su Pek-to
tadi sebenarnya sangat indah, tak terduga kena dipatahkan
oleh Kim Tiok-liu dengan bantuan kotak Hian-tiat.
Menyaksikan itu, Kiong Peng-hoan yang berdiri di pinggir
lantas bersorak memuji, "Bagus! Sungguh bagus!"
Entah yang dia puji itu Su Pek-to atau Kim Tiok-liu.
"Kau memuji siapa?" demikian Tiok-liu lantas menanggapi.
"Serangannya memang sangat bagus, tapi caraku menyambut
dia juga tidak jelek. Baiklah, anggap saja kami sama kuat.
Marilah kita coba-coba lagi!"
Habis berkata kotak Hian-tiat diangkat dan diputar satu
lingkaran terus dihantamkan ke atas kepala Su Pek-to dengan
jurus 'Thay-san-ap-teng', gunung Thay menindih kepala
Dengan memegang besi wasiat yang beratnya ratusan kati
itu, Kim Tiok-liu menjadi seperti harimau tumbuh sayap,
seketika dari terdesak berbalik menjadi penyerang. Keruan Su
Pek-to sangat gusar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam hal kelincahan Kim Tiok-liu memang lebih unggul,
ditambah lagi Ginkang yang tinggi serta Thian-lo-poh-hoat
yang aneh, maka gerak tubuh Kim Tiok-liu tidak lebih lamban
daripada Su Pek-to.
Di belakang punggung Su Pek-to tersandang juga pedang,
tapi di bawah serangan Kim Tiok-liu yang kini juga
menggencar menjadi tidak sempat untuk melolos senjata.
Sekarang tenaga pukulannya dipunahkan oleh Hian-tiat yang
ampuh itu, jadi dia yang berada di pihak terserang, diam-diam
ia menjadi gegetun tadi terlalu memandang enteng lawannya.
Soalnya dari semula Kim Tiok-liu menghadapi dia dengan
bertangan kosong, dengan sendirinya ia pun tidak pantas
menggunakan senjata lebih dulu.
Su Pek-to mulai berkeringat, lambat-laun pertahanannya
menjadi payah. Sebaliknya Kiong Peng-hoan yang menjadi
penonton masih terus bersorak, keruan Su Pek-to tambah
mendongkol. Dengan memutar kotak Hian-tiat yang dipakai sebagai
senjata itu, lingkaran pertahanan Kim Tiok-liu semakin meluas
sehingga Su Pek-to terdesak mundur dalam jarak beberapa
meter jauhnya. Suatu ketika mendadak Kim Tiok-liu memutar
tubuh terus lari.
Semula Su Pek-to kuatir kalau pemuda itu mendesak dan
menyerangnya lagi, siapa duga Tiok-liu malah melarikan diri
lebih dulu, Su Pek-to menjadi bingung dan tidak tahu apa
yang hendak diperbuat Kim Tiok-liu.
Pada saat lain tiba-tiba nampak Kim Tiok-liu mencemplak
ke atas kudanya di depan restoran tadi, sambil terbahak Tiokliu
berseru, "Banyak terima kasih buat kau punya Hian-tiat ini
dan terima kasih pula atas kuda tungganganmu ini. Mengingat
ha-diah-hadiahmu ini aku tidak menghajar kau lagi. Haha,
selamat tinggal!"
Kuda Su Pek-to itu adalah kuda pilihan yang jarang
terdapat, sekarang digondol lari oleh Kim Tiok-liu, keruan rasa
gusarnya tak terkatakan, berturut-turut ia menyambitkan tiga
buah Kim-tji-piau (piau bentuk mata uang), tapi Kim Tiok-liu
dapat menyampuk jatuh sebuah senjata rahasia itu, kedua
Kim-tji-piau yang lain jatuh di tengah jalan karena tidak
mampu menyusul kecepatan lari kuda. Sesungguhnya Su Pekto
juga tahu serangannya itu takkan mengenai sasarannya,
dia hanya sekadar melampiaskan rasa gemasnya saja.
"Jangan kau terlalu pelit," seru Kim Tiok-liu dari jauh sambil
bergelak tertawa. "Hian-tiat ini kuterima dengan senang hati,
jika kau merasa berat terhadap kudamu ini boleh anggaplah
aku pinjam pakai. Setibanya di Pakkhia tentu akan
kukembalikan padamu."
Ketika ucapannya selesai orangnya juga sudah berada
beberapa li jauhnya sehingga kalimat terakhir entah didengar
atau tidak oleh Su Pek-to.
Sesudah mengalahkan Su Pek-to, mendapatkan kuda bagus
lagi, keruan senang hati Kim Tiok-liu tak terlukiskan, pikirnya,
"Jika berjumpa dengan Ang-ing akan kuceritakan kejadian ini
dan tentu dia akan tertawa terpingkal-pingkal. Dia sudah
kenyang dikekang oleh kakaknya, kuda ini biarlah kuserahkan
kembali padanya agar dia dapat melampiaskan
mendongkolnya di depan kakaknya itu."
Tapi segera teringat pula ia telah membikin marah Su Pekto,
tentu dia akan berusaha merintangi pergaulan Ang-ing
dengan dirinya. Kemudian ia menjadi tertawa sendiri,
sedangkan si nona mau bergaul dengan dirinya atau tidak
juga belum diketahui, masakah sudah terburu-buru berpikir
terlampau jauh"
Begitulah Kim Tiok-liu terus melarikan kudanya secepat
terbang, pengaruh arak yang baru ditenggaknya itu rupanya
belum lenyap sama sekali sehingga dia banyak bertingkah di
atas kudanya, sembari bernyanyi kecil dengan lagu 'kembang
kacang', sebuah lagu kesukaan kaum pengemis.
Sudah tentu orang di tepi jalan sama menyangka dia orang
gila dan beramai-ramai sama menyingkir. Namun kepandaian
menunggang kuda Kim Tiok-liu sangat mahir, sekali-kali
kudanya tidak nanti menerjang orang berjalan.
Sekaligus ia melarikan kudanya sekian lamanya dan entah
sudah berapa jauh, ketika tiba-tiba nampak dari depan juga
datang seorang penunggang kuda, sesudah rada dekat
mendadak penunggang kuda itu membelokkan kudanya dan
menuju ke bukit di samping jalan.
Sebenarnya Kim Tiok-liu tidaklah heran karena sepanjang
jalan orang-orang sama menghindari kudanya. Tapi cara
menghindar penunggang kuda ini rada-rada istimewa, rupanya
orang itu menjadi kaget ketika mendadak nampak Kim Tiokliu,
cepat ia menarik topinya untuk menutupi setengah
mukanya. Dan sebelum Kim Tiok-liu melihat jelas mukanya dia
sudah sempat melarikan kudanya ke lereng bukit. Padahal
untuk menghindari juga tidak perlu sejauh itu, masakah


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai naik ke bukit segala"
Keruan pikiran Kim Tiok-liu menjadi tergerak, samar-samar
ia merasa orang itu memang seperti sudah dikenalnya. Cepat
ia pun membelokkan kuda dan menyusul ke atas bukit sambil
berseru, "He, kawan, barangkali kau ajak berlomba balap kuda
dengan aku, marilah kita coba-coba."
Melihat Kim Tiok-liu mengejarnya, orang itu tambah gugup.
Karena merasa tidak dapat lolos lagi, terpaksa orang itu
menghentikan kudanya dan melompat turun terus
membungkuk pada Kim Tiok-liu mohon diampuni.
"Kiranya kau!" kata Kim Tiok-liu dengan tertawa setelah
mengetahui siapa orang itu.
Kiranya adalah Hong Tju-tjiau yang pernah menjebak Tjin
Goan-ko dengan arak 'mabuk seribu hari' itu.
Dengan suara gemetar Hong Tju-tjiau berkata, "Kim-tayhiap,
kejadian tempo hari adalah gara-gara perbuatan Bun Totjeng,
aku cuma terpaksa ikut-ikutan saja."
Hong Tju-tjiau menyaksikan sendiri cara Kim Tiok-liu
mengalahkan Bun To-tjeng tempo hari, maka sekarang ia
menjadi seperti tikus bertemu kucing di hadapan Kim Tiok-liu.
"Bagaimanapun juga kau adalah serigala satu sarang
dengan Bun To-tjeng," kata Kim Tiok-liu dengan tertawa.
"Cuma kau memang pengecut dan melarikan diri di garis
depan." Keruan Hong Tju-tjiau ketakutan setengah mati karena
menyangka Kim Tiok-liu hendak membunuhnya
Tak terduga Tiok-liu lantas bergelak tertawa dan berkata
pula "Aku tidak mau membikin kotor pedangku untuk
membunuh kau. Tapi kau harus berjanji sesuatu padaku."
"Silakan Kim-tayhiap mengatakan," sahut Tju-tjiau cepat.
"Dimanakah anak perempuanmu?" tanya Tiok-liu
mendadak. Hong Tju-tjiau tampak menyengir, jawabnya "Budak itu
entah..... entah menghilang kemana, aku pun sedang
mencarinya"
Diam-diam ia membatin, jangan-jangan dia penujui anak
perempuanku itu"
"Kau hendak mencari anak perempuanmu untuk kemudian
dipaksa kawin kepada Bun Seng-tiong itu bukan?" tanya Tiokliu.
"O, tidak, tidak,"sahut Tju-tjiau cepat. "Bocah she Bun itu
mana dapat dibandingkan Kim-tayhiap, mana bisa aku penujui
dia Bocah she Bun itu paling-paling cuma seperti si cebol
merindukan rembulan, sesungguhnya kami sangat
memandang hina padanya."
"Baiklah, jika begitu aku akan menjadi comblang bagimu,
aku menghendaki kau mengawinkan anak perempuan itu
dengan Tjin Goan-ko. Kau harus menurut, tidak suka juga
harus menurut. Kalau tidak segera kuhantam patah kedua
kakimu." Baru sekarang Hong Tju-tjiau mengetahui maksud Kim
Tiok-liu hanya menjadi comblang bagi kawannya saja dan
bukan dia sendiri yang mengincar anak gadisnya pikirnya "Di
dunia ini masakah ada comblang begini?"
Tapi di mulut terpaksa ia menjawab, "Baik, baik, kalau Kimtayhiap
sudi menjadi comblang tentu tidak salah lagi. Inilah
suatu kehormatan besar bagiku, mana aku berani menolak."
"Kau jangan menurut di mulut saja, tapi di dalam hati main
gila?" kata Kim Tiok-Liu dengan tertawa. "Awas kedua kakimu
lika kelak kau memaksa lagi anak perempuanmu kawin
dengan orang lain. Untuk mematahkan kakimu adalah terlalu
gampang bagiku, tak peduli kau sembunyi dimana juga akan
kucari kau."
"Kim-tayhiap jangan kuatir," sahut Tju-tjiau. "Begitu aku
menemukan anak perempuanku segera akan kuantar dia ke
Bu-tong-san untuk dikawinkan dengan Tjin Goan-ko."
"Itupun tidak perlu buru-buru," ujar Tiok-Liu. "Asalkan kau
tidak menghalangi urusan mereka sudah cukup, kapan mereka
mau kawin, boleh kawin terserah mereka sendiri."
Kembali Hong Tju-tjiau mengiakan berulang-ulang.
"Baiklah, mengingat anak perempuanmu itu bolehlah aku
mengampunimu," kata Tiok-liu dengan tertawa. Lalu ia
menambahkan, "Dan ada lagi, aku perlu pinjam sedikit uang
padamu." Lekas Hong Tju-tjiau mengeluarkan seluruh bekalnya dan
berkata, "Silakan Kim-tayhiap pakai saja."
"O, kau menghadiahkan padaku?" tanya Tiok-liu tertawa
"Eh, boleh juga, anggaplah sebagai balas jasa comblang, ya!"
Begitulah dengan tertawa puas atas hasil kerjanya itu ia
lantas melarikan kudanya ke arah datangnya tadi. Pikirnya di
tengah jalan, "Rupanya Tjin Goan-ko itu merasa malu-malu,
sehingga tidak mungkin dia disuruh mengajukan lamaran
sendiri. Sekarang aku telah menjadi comblangnya perjodohan
ini jelas sudah terikat dengan pasti. Cuma akulah yang
menjadi comblang bagi Tjin Goan-ko, tapi entah siapakah
yang akan menjadi comblang bagiku?"
Setelah melarikan kudanya sekian lama, akhirnya sampai di
suatu kota, hari pun sudah mulai gelap. Ia mendapatkan
sebuah hotel paling besar di kota itu, tapi baru saja ia turun
dari kuda di depan pintu hotel, tahu-tahu juragan hotel dan
kawanan pelayan sudah menantikan kedatangannya dengan
hormat di situ. Melihat kelakuan mereka itu Kim Tiok Liu
menjadi bingung malah.
Karena habis berkelahi, pula menempuh perjalanan jauh
sehingga badan Kim Tiok-liu penuh debu. Setelah turun dari
kuda, dengan risih ia berkata kepada juragan hotel itu, "Aku
cuma seorang miskin saja, kalian tidak perlu begitu sungkan
kepadaku."
Si juragan hotel tampak melengak, tapi dengan
membungkuk tubuh dan penuh hormat ia berkata, "Ah,
engkau orang tua suka bercanda, sungguh kami bahagia dan
mendapat kehormatan besar atas kunjunganmu ini. Jika
pelayanan kami kurang sempurna, masih diharapkan engkau
orang tua sudi memaafkan."
"Engkau orang tua" adalah istilah umum di daerah ini
sebagai tanda hormat kepada pihak yang diajak bicara. Tapi
usia Kim Tiok-liu sendiri masih sangat muda, ia merasa lucu
juga atas panggilan demikian itu.
Maka dengan tertawa Tiok-liu menjawab, "Boleh juga
pelayanan kalian ini, cuma sayang aku hanya akan menginap
semalam saja. Kuda ini hendaklah kau rawat sebaik-baiknya."
Dengan penuh hormat juragan hotel itu mengiakan dan
segera memberi pesan pegawainya untuk memandikan kuda
itu dan diberi makan yang baik di kandang.
Lalu juragan hotel itu membawa Kim Tiok-liu ke dalam,
katanya, "Kami sudah menyediakan sebuah kamar besar yang
merupakan kamar paling bagus di dalam hotel ini."
Tapi Tiok-liu menggeleng, katanya, "Besar atau bagus tidak
menjadi soal, aku ingin kamarku yang menghadap ke kandang
kuda." Semula juragan kuda itu melengak, tapi ia lantas paham
maksud Kim Tiok-liu, katanya "Ah, janganlah engkau kuatir,
pasti tiada seorang pun yang berani mati mencuri kudamu."
Tapi dituruti juga keinginan Kim Tiok-liu dengan
memilihkan sebuah kamar yang berhadapan dengan kandang
kuda. menyusul dibawakan pula meja daharan.
"Wah. mana aku bisa menghabiskan makanan sebanyak
ini?" ujar Tiok-liu.
"Maafkan jika kami tidak tahu selera tuan, maka persediaan
ini kami tambahkan seadanya, silakan dicicipi saja," sahut
pemilik hotel itu.
Kim Tiok-liu menjadi rikuh diperlakukan begitu baik, unlung
dia membekal uang pemberian Hong Tju-tjiau itu, segera
dikeluarkannya sepotong uang perak dengan maksud sebagai
panjar atau uang muka. Tapi pemilik hotel keburu mencegah,
kalanya, "Jika engkau orang tua sudi mampir ke tempat kami,
hal ini sudah merupakan suatu kehormatan besar, mana kami
berani lagi menerima pembayaran dari tuan."
"Mana boleh begini," kata Tiok-liu. "Kalian adalah orang
dagang, mana boleh aku membikin rugi kau."
Tapi biarpun ia memaksa, tetap juragan hotel tidak mau
menerima pembayaran, bahkan kelihatan gugup. Akhirnya
Tiok-liu menyimpan kembali uangnya dan berkata, "Baiklah,
jika kau terima rugi, terpaksa aku tak bisa menolak."
Selesai makan, diam-diam Kim Tiok-liu merenungkan hal
yang aneh itu, ia benar-benar tidak paham dengan alasan apa
pemilik hotel itu sedemikian menyanjung kedatangannya"
Lantaran curiga hingga malam itu dia hanya duduk semedi di
atas ranjang dan tidak berani tidur pulas.
Kira-kira lewat tengah malam, tiba-tiba terdengar di luar
hotel ada suara kuda meringkik, dua tamu datang lagi.
Terdengar juragan hotel sendiri keluar menyambut, suara
pendatang itu membikin kaget Kim Tiok-liu. Ternyata kedua
tamu baru itu bukan lain daripada jago-jago Liok-hap-pang,
yaitu Tang Tjap-suh-sio dan Djing-hu Todjin. Seperti
diketahui, tadinya Tang Ijap-sah-nio berada bersama Wan-hay
Hwesio, entah mengapa wkarang teman berjalannya ganti
bersama Djing-hu Todjin.
Di tengah malam sunyi, dengan kepandaian 'Thing-hongnan-
gi' (mendengarkan angin membedakan senjata) yang
tinggi dapatlah Kim Tiok-liu mengikuti percakapan orangorang
di luar itu. Terdengar Tang Tjap-sah-nio sedang bertanya, "Apakah di
hotelmu ini ada perempuan Kangouw yang mencurigakan?"
"Tidak ada, bahkan tamu perempuan sendiri juga tidak
ada," sahut juragan hotel.
"Jika begitu, apakah tiada kawan sehaluan yang tinggal di
sini?" tanya Djing-hu Todjin.
"Hamba justru lagi hendak melapor kepada kedua Hiangtju
bahwa ada seorang saudara dari Pang kalian yang bermalam
di sini," tutur si pemilik hotel.
"Oya" Siapakah dia itu?" Tang Tjap-sah-nio menegas.
"Hamba tidak kenal dia," sahut pemilik hotel.
"Habis darimana kau mengetahui dia adalah orang kami?"
tanya Tjap-sah-nio.
"Kuda yang dia pakai adalah kuda tunggangan Su-pangtju
sendiri." Mendengar laporan ini, agaknya Tang Tjap-sah-nio
terkejut, cepat ia menegas lagi, "Apa betul" Kau tidak salah
lihat?" "Su-pangtju sudah sering tinggal di hotel kami ini. beliau
punya kuda bagus itu mana bisa salah lihat lagi," sahut pemilik
hotel. "Orang macam apa penunggang kuda itu?" tanya Djing-hu.
"Tampaknya adalah pemuda yang baru berumur 20-an."
Djing-hu menjadi heran dan ragu-ragu, katanya kemudian,
"Inilah sangat aneh, apakah mungkin....."
"Ya, hamba sendiri pun merasa aneh," ujar pemilik hotel.
"Jelas dia masih sangat muda, tapi telah mendapat
kepercayaan begitu tinggi dari Su-pangtju untuk memakai
kudanya." Baru sekarang Kim Tiok-liu paham duduk perkaranya,
rupanya pemilik hotel itu ada hubungan dengan Liok-happang,
waktu melihat kuda yang dia pakai, disangkanya Su
Pek-to yang meminjamkan kuda padanya, orang yang dapat
meminjam kuda sang Pangtju sudah tentu bukan tokoh
sembarangan, pantas dia melayaninya dengan penuh hormat.
Dalam pada itu itu terdengar Djing-hu Todjin lagi berkata,
"Apa mungkin perbuatan bocah itu lagi?"
Tang Tjap-sah-nio tidak menjawab, agaknya sedang
berpikir. Rupanya pemilik hotel menjadi sangsi, katanya, "Apakah
kedua Hiangtju tidak tahu orang itu" Apakah perlu aku
mengundang dia ke sini untuk bertemu?"
"Tidak perlu kau membikin kaget dia, biar aku yang pergi
menengok dia," ujar Tang Tjap-sah-nio. "Djing-hu Totiang,
sila-knn kau pergi ke kandang kuda, jika betul adalah kuda
Pangtju, sedapat mungkin jangan membiarkannya jatuh ke
tangan orang luar."
Sedikit banyak Djing-hu Todjin dan Tang Tjap-sah-nio
sudah menduga, si pemuda itu tentu Kim Tiok-liu adanya.
Cuma mereka rada ragu-ragu, sebab dengan kepandaian Kim
Tiok-liu rasanya belum mampu merebut kuda dari tangan
Pangtju mereka.
Tang Tjap-sah-nio tahu Kim Tiok-liu sukar dilawan, maka
dia melarang pemilik hotel memanggilnya, tapi diam-diam ia
hendak menyergap Kim Tiok-liu dengan senjata rahasia
berbisa. Jika Tang Tjap-sah-nio rada jeri terhadap Kim Tiok-liu,
sebaliknya Kim Tiok-liu juga tidak yakin dapat mengalahkan
kedua lawan tangguh itu. Melulu Tang Tjap-sah-nio saja sudah
ambang kekuatannya dengan dia, ditambah lagi Djing-hu Tod|
in yang merupakan jago nomor tiga dari Liok-hap-pang,
yaitu cuma di bawah Su Pek-to dan Tang Tjap-sah-nio. Kalau
jago kedua dan ketiga Liok-hap-pang itu bersatu mengembut,
terang Kim Tiok-liu merasa susah untuk menang. Maka
sebelum Tang I jup-sah-nio mendatangi kamarnya, lebih dulu
ia sudah mengatur tipu akal untuk meloloskan diri nanti.
Begitulah waktu sampai di depan pintu kamar Kim Tiok-liu,
segera Tang Tjap-sah-nio mengeluarkan sebuah bumbung
panjang kecil dan ditusukkan ke celah pintu, dipaskan ke arah
ir-mpat tidur, lalu ditiupkan tiga batang jarum berbisa.
Tak terduga, meski jarum berbisa itu mengenai tempat
tidur dengan tepat keadaan di dalam tetap sunyi senyap. Tang
Tjap-sah-nio menjadi ragu-ragu apakah mungkin sekaligus
Kim Tiok-liu terkena jarumnya itu dan tanpa bersuara lantas
mati" Tang Tjap-sah-nio yakin dengan kepandaiannya sendiri
tidak mudah dikalahkan Kim Tiok-liu dalam beberapa puluh
jurus, apalagi dia masih mempunyai bala bantuan, yaitu Djinghu
Todjin. Maka untuk melihat jelas keadaan di dalam kamar
segera ia mendobrak pintu, dengan sebelah tangan memutar
cambuk segera ia menerjang ke dalam.
Sesungguhnya ia sudah berlaku waspada dan sangat hatihati,
akan tetapi toh masih tetap masuk perangkap Kim Tiokliu.
Baru saja pintu terpentang dan dia melangkah ke dalam,
seketika terdengar suara gemerantang disertai mendeburnya
air yang berbau pesing.
Kiranya Kim Tiok-liu sengaja menggantung sebuah pispot di
atas pintu, di dalam pispot terisi air kencing yang masih
hangat karena baru saja dikuras dari perutnya. Waktu Tang


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjap-sah-nio mendobrak pintu, begitu daun pintu terpentang,
kontan pispot itupun terbalik dan menyiram kepala Tang Tjapsah-
nio dengan air seni yang bau itu.
Biasanya Tang Tjap-sah-nio paling resikan, keruan saja
kejadian ini membuatnya serba berabe dan konyol. Saking
murkanya ia terus menyabet dengan cambuknya tanpa
menghiraukan badannya yang basah air kencing itu, tapi sekali
cambuknya menyabet, segera ia mengetahui bahwa di atas
tempat tidur tiada terdapat orang Seketika ia pun sadar bahwa
dia dipermainkan Kim Tiok-liu dan pemuda itu saat mana pasti
sudah meninggalkan kamarnya.
Benar juga, pada saat itu pula terdengar Djing-hu Todjin
sedang berkaok-kaok. "Lekas kemari, Simoay! Bocah keparat
itu berada di sini!"
Kiranya sesudah mengatur jebakan pispotnya, diam-diam
Kim Tiok-liu lantas mengeluyur keluar melalui jendela, la
datang lebih dulu satu langkah daripada Djing-hu Todjin, jadi
di kandang kuda itulah Djing-hu memergoki Kim Tiok-liu.
Kontan Djing-hu Todjin lantas mengayun kebutnya untuk
menyabet, maksudnya hendak merintangi Kim Tiok-liu
membawa lari kuda sang Pangtju itu. Kebutnya adalah benda
lemas, tapi Djing-hu dapat menggunakannya untuk menutuk
Hiat-to sehingga berwujud sejenis senjata yang aneh. Tapi ia
ketanggor pada Kim Tiok-liu sehingga kepandaiannya itu tidak
mempan. Mendadak pedang Kim Tiok-liu berputar, ditnana sinar
pedangnya berkelebat, terdengar suara "ering-ering" yang
halus, belum lagi kebut Djing-hu mengenai sasarannya tahutahu
buntut kebutnya malah terpapas sebagian.
Segera Kim Tiok-liu mengangkat kotaknya yang berisi lliantiat
terus disodokkan ke depan, tahu akan kelihaiannya isi
kotak itu, lekas Djing-hu melompat mundur.
Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Kim Tiok-liu,
dengan cepat luar biasa ia melompat ke dalam kandang kuda
dan menarik keluar binatang tunggangan itu. Dengan matimatian
Djing-hu Todjin bermaksud merintangi, tapi Kim Tiokliu
lantas membentak, "Kurang ajar! Barangkali kau sudah
bosan hidup Vd" Biarlah kumampuskan kau lebih dulu!"
Habis berkata ia terus menerjang ke arah Djing-hu dengan
memutar kotak Hian-tiat.
Keruan Djing-hu Todjin ketakutan dan lekas melompat
mundur. Dalam pada itu dengan murka Tang Tjap-sah-nio sudah
memburu tiba, bentaknya, "Anak keparat, berani kau
mempermainkan nyonya besarmu" Jangan kau lari!"
Akan tetapi sesudah mendesak mundur Djing-hu, dengan
bcrgelak tertawa Kim Tiok-liu sudah mencemplak kuda dan
iK'rseru, "Wah, bau busuk sekali! Aku tidak sudi melayani peicmpuan
busuk macam kau, aku akan pergi saja lebih enak!"
Ketika Tang Tjap-sah-nio menyabet dengan cambuknya,
n.imun mengenai tempat kosong, sebaliknya debu pasir yang
di-jitngkitkan oleh membedalnya kuda membuat mukanya
yang masih basah oleh air kencing tadi menjadi bertambah
kotor. Alangkah murka Tang Tjap-sah-nio, di sisi lain terdengar
suara gelak tertawa Kim Tiok-liu yang makin menjauh itu dan
akhirnya lenyap dalam kegelapan malam.
Setelah melarikan kudanya sekian jauh, mendadak Tiok-liu
teringat pada pertanyaan Tang Tjap-sah-nio dan Djing-hu
Todjin kepada pemilik hotel tadi, mengapa begitu datang
mereka lantas bertanya adakah seorang wanita yang
bermalam di situ, jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Su
Ang-ing" Apakah barangkali Su Ang-ing juga berada di daerah
ini" Belum habis berpikir, tiba-tiba terdengar suara derapan
kaki kuda yang berkumandang dari tempat jauh, dari suaranya
yang ramai dapat diduga ada empat lima orang penunggang
kuda. Diam-diam Tiok-liu merasa heran, ada urusan apakah
rombongan orang itu melarikan kuda mereka di tengah malam
buta demikian"
Dasar watak Kim Tiok-liu memang usil, suka ikut campur
urusan orang lain. Lantaran ingin tahu, segera ia memburu ke
arah sana dengan kudanya yang cepat itu, tidak antara lama
ia sudah dapat menyusul penunggang-penunggang kuda itu.
Di bawah sinar bulan remang-remang, dapatlah dilihat
bahwa penunggang kuda yang paling depan itu adalah
seorang wanita, di belakangnya ada tiga penunggang kuda
yang sedang mengejar. Segera Tiok-liu dapat mengenali dua
orang di antaranya, yaitu Ko Tay-sing, Totju dari Djing-liongpang,
seorang lagi adalah Toh Tay-giap Totju Pek-hou-pang.
Kedua orang ini pernah bergebrak dengan Tiok-liu ketika
mereka bersama Kiong Peng-hoan hendak merampas Hian-tiat
yang waktu itu dibawa Su Ang-ing di luar kota Sohtjiu tempo
hari. Adapun wanita yang paling depan, karena jaraknya rada
jauh sehingga Kim Tiok-liu hanya dapat membedakannya
sebagai seorang wanita dari bajunya, apakah Su Ang-ing atau
bukan masih belum diketahui.
Di antara pengejar itu ada seorang di antaranya tak dikenal
Kim Tiok-liu, kuda orang ini paling cepat, kini jaraknya dengan
wanita itu tinggal beberapa meter saja, terdengar orang itu
membentak, "Besar amat nyalimu budak keparat, barang kami
berani kau rampas."
Orang itu bersenjata tombak, karena jaraknya makin dekat,
segera tombaknya menusuk ke depan. Tapi wanita itu sempat
memutar pedangnya menangkis ke belakang, walaupun
tangkis-annya tepat tapi dia kalah kuat dalam hal tenaga
sehingga duduknya di atas kuda rada sempoyongan, terpaksa
ia melompat turun dari kudanya.
Baru sekarang Kim Tiok-liu melihat jelas wajah wanita itu,
ternyata bukan Su Ang-ing, tapi adalah Hong Biau-siang.
Padahal siang tadi Kim Tiok-liu baru bertanya pada Hong Tjutjiau
tentang putrinya, tak terduga malamnya sudah lantas
bertemu. Sesudah mengetahui siapa wanita itu, meski rada
kecewa tapi timbul juga rasa kejut dan girangnya yang tak
tersangka sebelumnya.
Sesudah memaksa Hong Biau-siang melompat turun dari
kuda, orang tadi mendadak juga bersuara heran, katanya,
"Wah, mungkin kita salah sasaran, ilmu pedang betina ini rada
lain, dia seperti....." belum habis suaranya tiba-tiba ia menjerit
dan terperosot juga dari atas kuda.
Kiranya Kim Tiok-liu kuatir dia membikin celaka Hong Biausiang,
maka dengan sepotong uang perak yang digunakan
sebagai senjata rahasia, tepat mengenai punggung orang itu.
Menyusul secepat terbang ia melarikan kudanya memburu
maju. Sejak tadi Ko Tay-sing dan kawan-kawannya juga sudah
t.ihu ada orang menyusul di belakang mereka, cuma disangka
sesama kawan Liok-lim yang sedang mengejar wanita itu,
maka mereka tidak menaruh perhatian. Mereka baru terkejut
dan cepat berpaling ketika kawan mereka terjungkal.
Tiok-liu lantas membentak, "Kurang ajar! Dasar bandit, dimona-
mana kalian selalu berbuat kejahatan!"
Berbareng kotak Hian-tiat itu terus dihantamkan.
Cepat Ko Tay-sing menangkis dengan toya yang bergigi
tajam, "trang", tahu-tahu toya patah menjadi dua, tangan Ko
Tay-sing sampai berdarah tergetar. Keruan ia ketakutan
setengah mati, tanpa pikir lagi ia memutar kudanya dan
melarikan diri.
Toh Tay-giap tidak tinggal diam, ia putar sepasang gaetannya
terus menyerang dari samping.
"Kau pun bukan manusia baik-baik, pakailah sedikit tanda
jasa ini!" bentak Tiok-liu. Sekali menyentak tali kekangnya,
kuda 'Tjau-ya-say-tju' milik Su Pek-to mendadak melompat
maju, "sret", pedang Kim Tiok-liu lantas menusuk.
Sungguh kaget Toh Tay-giap tidak kepalang, lekas ia
mendekam di atas pelana dan melarikan kudanya, kedua
gaetan dipakai melindungi kepala. Dimana sinar pedang
berkelebat sepasang gaetan itu tertabas kutung, bahkan
pundaknya juga tergores luka, untung kepalanya tidak kena
Hong Biau-siang juga terkejut dan girang pula setelah
melihat Kim Tiok-liu, serunya "Bukankah kau adalah
peng.....penge....."
Dahulu Kim Tiok-liu menyamar sebagai pengemis ketika
datang ke rumahnya bersama Tjin Goan-ko, tapi sekarang ia
berdandan sebagai seorang Kongtju yang cakap, maka ucapan
"pengemis" yang hampir dikeluarkan Hong Biau-siang itu
terpaksa ditelan kembali.
Tapi dengan tertawa Tiok-liu lantas menjawab, "Benar,
memang aku adalah pengemis kecil yang datang ke rumahmu
bersama Tjin Goan-ko dahulu itu. Eh, kenapa mereka
menguber kau?"
"Aku pun tidak tahu," jawab Hong Biau-siang. "Mohon
tanya siapakah nama tuan penolong yang mulia?"
"Aku she Kim bernama Tiok-liu," sahut Tiok-liu tertawa.
"Aku tidak suka dipanggil tuan segala. Lebih baik kau tetap
memanggil aku sebagai pengemis cilik saja."
Habis itu segera ia angkat laki-laki yang terjungkal kena
sambitan senjata rahasianya tadi, ia tepuk Hiat-to bagian
punggung yang tertimpuk, lalu membentaknya. "Kenapa
kalian mengejar nona Hong, lekas katakan!"
Tiba-tiba wajah laki-laki itu mengunjuk rasa girang, katanya
"Nona Hong apakah nama ayahmu adalah Tju-tjiau?"
Hong Biau-siang mengerut kening, katanya "Kau kenal
ayahku" Apa pekerjaanmu di masa lalu?"
Laki-laki itu lantas tertawa, "Aha, ini benar-benar orang
sendiri tapi tidak saling kenal. Aku adalah sobat lama ayahmu,
dahulu waktu dia menjadi Siwi (jago pengawal) kerajaan, aku
sendiri berdagang tanpa modal (menjadi perampok) di daerah
Ekpak dan banyak mendapat bantuan ayahmu sehingga
pekerjaan selalu lancar. Dari ilmu pedangmu tadi sudah
kusangsikan dirimu dan ternyata kau memang betul adalah
putrinya."
Kiranya orang ini dahulunya adalah perampok, begal dan
Hong Tju-tjiau adalah pelindungnya sebagai balas jasa Hong
Tju-tjiau mendapat bagian dari hasil yang tidak halal itu.
Orang ini mengira Kim Tiok-liu juga ada hubungannya dengan
Hong Tju-tjiau, maka sengaja menonjolkan bekas majikannya
itu untuk mencari selamat.
Tak terduga Kim Tiok-liu lantas mendelik dan
membentaknya, "Jangan cerewet! Lekas mengaku, apa
sebabnya kau mengejar nona Hong?"
"Ah, ini cuma suatu salah paham saja" jawab orang itu
dengan menyengir. "Soalnya beberapa barang antaran dari
berbagai Pangtju dan Totju yang dikirim ke kotaraja sebagai
hadiah ulang tahun Sat-tjongkoan telah dirampas oleh seorang
wanita di tengah jalan. Wanita ini datang pergi secara
misterius dan belum pernah ada yang melihat mukanya.
Sebab itulah Ko Tay-ing dari Djing-liong-pang telah
menyebarkan Liok-lim-tiap (undangan kaum perampok) dan
minta kawan-kawan Liok-lim bantu mencarikan jejak wanita.
Setiap wanita Kangouw yang gerak-geriknya mencurigai tentu
diperiksa. Sebab itulah, sebab itulah....."
"O, jadi kalian juga menyangka aku adalah wanita itu?"
kata Hong Biau-siang.
"Ah, Sat-tjongkoan adalah bekas atasan ayahmu, mana
mungkin kau merampas barang antarannya," ujar laki-laki itu.
"Semuanya ini adalah salah kami sendiri yang salah sangka
padamu." "Hm, aku justru menyesal tidak punya kepandaian seperti
wanita itu, jika punya kepandaian setinggi itu aku pun pasti
akan merampas barang-barangnya," kata Biau-siang.
Laki-laki itu jadi terkejut, sama sekali tak terpikir olehnya
bahwa Hong Biau-siang dapat bicara demikian, seketika ia
menjadi melongo bingung.
"Apa Liok-hap-pang juga menerima Liok-lim-tiap?" tanya
Tiok-liu. "Liok-hap-pang adalah pemimpin dari semua gerombolan
dan perkumpulan Kangouw, mana bisa Ko Tay-sing
mengirimkan Liok-lim-tiap segala kepada Su-pangtju?" tutur
laki-laki itu. "Cuma keempat Hiangtju dari Liok-hap-pang juga
tidak tinggal diam, demi setia kawan sesama orang Kangouw,
mereka tampil ke muka ikut dalam perburuan wanita itu."
Orang ini mengira Kim Tiok-liu ada sangkut pautnya
dengan Liok-hap-pang, maka tanpa bosan ia memberi
penjelasan, la tidak tahu bahwa yang ingin diketahui Kim Tiokliu
sebenarnya adalah Su Ang-ing, sebab Tiok-liu menduga
wanita yang membegal barang-barang antaran para pemimpin
perkumpulan Kangouw itu pastilah Su Ang-ing adanya,
soalnya kini hanya tinggal 'pembuktian" saja.
"Apakah keempat Hiangtju itupun ingin menangkap wanita
itu, mereka tidak takut padanya?" tanya Tiok-liu.
"Waktu keempat Hiangtju menyanggupi bantuannya,
pernah mengemukakan suatu syarat, yaitu tidak akan
mencelakai wanita itu, tapi akan menawannya hidup-hidup,
aku pun tidak tahu apa sebabnya," tutur orang itu. "Apakah
Kim-kongtju ada pertanyaan lagi, bolehkah hamba pergi dari
sini?" "Tidak boleh!" bentak Tiok-liu.
Orang itu terkejut, maka ia memohon dengan takut, "Harap
Kongtju mengingat Hong Tju-tjiau dan Liok-hap-pang, kita kan
orang sendiri?"
"Baik, mengingat Hong Tju-tjiau dan Su Pek-to, aku akan
memberi persen kau dua kali tempelengan," kata Tiok-liu.
Keruan laki-laki itu ketakutan, tapi sebelum sempat minta
ampun tangan Kim Tiok-liu sudah menyambar. "Plak-plok" dua
kali, seketika laki-laki itu terkapar tak bisa berkutik.
"Kematianmu boleh kuampuni, tapi hajaran setimpal tidak
bisa diampuni," kata Tiok-liu tertawa. "Biarlah kau tidur di sini,
12 jam kemudian tentu kau akan bergerak sendiri."
Kiranya Hiat-to laki-laki itu telah ditampar Kim Tiok-liu dan
jatuh pingsan. "Kim-tayhiap, apakah engkau telah memunahkan ilmu
silatnya?" tanya Biau-siang.
"Benar, aku sudah meremas tulang pundaknya, selanjutnya
ia tidak dapat berbuat jahat lagi," sahut Tiok-liu. "Kudanya ini
juga kuda pilihan, bolehlah kau ambil saja."
Saat mana kuda laki-laki itu sedang makan rumput di
lereng bukit situ, baru saja Kim Tiok-liu hendak mendekatinya,
tiba-tiba terdengar pula suara derapan kaki kuda yang ramai,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua penunggang kuda tampak datang lagi. Ternyata mereka
adalah kedua jago Liok-hap-pang yang lain, yaitu Wan-hay
dan Djiau Sik. Dari jauh Wan-hay sudah melihat Hong Biau-siang, ia
berseru heran dan berkata, "Perempuan itu kan bukan Susiotjia
kita, mungkin mereka salah menguber orang."
"Ya, aneh, kemana perginya Ko-pangtju dan Toh-pangtju?"
kata Djiau Sik.
Biarpun sudah menjadi Hwesio, tapi dasar Wan-hay
memang mata keranjang, karena melihat Hong Biau-siang
cukup cantik, ia lantas berkata, "Tak peduli siapakah
perempuan ini, kita tangkap saja dulu dan urusan belakang."
Lantaran terus mengincar Hong Biau-siang sehingga sama
sekali Wan-hay tidak memperhatikan kalau di sebelah sana
masih ada lagi Kim Tiok-liu. Djiau Sik yang segera melihat Kim
Tiok-liu juga berada di situ, keruan ia terkejut dan menjerit,
"Wah, susah!"
"Kenapa susah?" tanya Wan-hay yang masih belum kapok
itu. "Lihatlah itu, tampaknya seperti bocah she Kim," kata Djiau
Sik. Mendadak Kim Tiok-liu lantas menoleh, dengan gelak
tertawa ia berkata, "Haha, kiranya kau masih kenal pengemis
cilik seperti aku ini" Ko Tay-sing dan Toh Tay-giap tidak becus
semua, sekali gebrak sudah lari, memangnya aku lagi merasa
getol berkelahi, kebetulan sekali kedatangan kalian ini."
Ketika memutar tubuh tadi, Kim Tiok-liu sudah menyiapkan
segenggam batu kerikil, di tengah gelak tawanya itu, batu
kerikil itu lantas dihamburkan bagai hujan.
Ilmu silat Wan-hay dan Djiau Sik kalau dibandingkan
dengan Tang Tjap-sah-nio serta Djing-hu Todjin boleh dikata
selisih rada jauh, apalagi mereka sudah kapok benar-benar
karena pernah dihajar oleh Kim Tiok-liu, sekarang kepergok
lagi, tentu saja mereka ketakutan. Djiau Sik yang lebih dulu
melihat Kim Tiok-liu, maka dia menahan kudanya, begitu Tiokliu
berpaling segera ia memutar kuda dan melarikan diri
sehingga tidak sampai tertimpuk oleh batu-batu kerikil.
Yang konyol adalah Wan-hay, lantaran buru-buru ingin
menangkap Hong Biau-siang maka ketika sudah rada dekat
barulah dia melihat Kim Tiok-liu. Ketika dihujani batu-batu
kerikil itu, cepat ia memutar goloknya, tapi tidak urung sebuah
batu kerikil mengenai kepalanya yang gundul sehingga keluar
kecap merah. Lekas ia memutar kudanya melarikan diri, saking
dongkolnya ia masih berani berteriak, "Bocah shc Kim, kalau
bisa cobalah kejar kemari"'"
Rupanya ia bermaksud memancing Kim Tiok-liu untuk
menemui Tang Tjap-sah-nio dan Djing-hu. Ia tidak tahu
bahwa kedua lawannya itu juga baru saja kecundang oleh Kim
Tiok-liu. Dengan tertawa Tiok-liu menjawab, "Tang Tjap-sah-nio
sedang menunggu kau untuk mencuci kakinya, lebih baik aku
tidak mengganggu tugasmu itu!"
Djiau Sik paling takut kepada Kim Tiok-liu, ia merasa lega
ketika melihat Kim Tiok-liu tidak mengejar, katanya, "Rupanya
bocah itu romantis juga."
Wan-hay gemas dan cemburu, ia mendengus lalu berkata,
"Bocah busuk itu benar-benar kurang ajar. Adik perempuan
Pangtju telah diapusi, sekarang dia berhasil memelet anak
dara itu pula. Jika Pangtju kita mengetahui, mustahil beliau
tidak berjingkrak murka. Coba pikir, Hian-tiat Pangtju sudah
dicuri olehnya, adik perempuannya dibawa minggat pula, tapi
sekarang toh ditinggalkan anak busuk ini."
"Kukira kalau Pangtju mengetahui hal ini malah lebih baik,"
ujar Djiau Sik tertawa. "Soal marah sudahlah pasti, tetapi
mungkin juga diam-diam Pangtju merasa senang."
Wan-hay laitas paham juga maksud Djiau Sik, serunya, "Ya,
betul! Berjasa juga kalau kita laporkan hal ini kepada Pangtju."
Dari jauh samar-samar Hong Biau-siang mendengar
sebagian percakapan kotor mereka itu, sungguh gusarnya
tidak kepalang dan jengah pula.
Dalam pada itu Kim Tiok-liu sudah menuntun kuda
rampasan tadi dan diserahkan kepada Hong Biau-siang.
"Engkau hendak kemana, Kim-tayhiap?" tanya Biau-siang.
Karena olok-olok Djiau Sik berdua tadi ia menjadi ragu-ragu,
bila berada bersama Kim Tiok-liu mungkin akan
mendatangkan prasangka jelek orang lain. Tapi ia kuatir juga
terjadi apa-apa jika melanjutkan perjalanan sendirian.
Dengan tertawa Tiok-liu berkata, "Apakah kau
menguatirkan Goan-ko?"
Muka Biau-siang menjadi merah. "Ah, Kim-tayhiap suka
bercanda saja."
"Tidak, tidak, aku tidak bercanda," kata Tiok-liu dengan
sungguh-sungguh. "Tapi aku bicara yang benar, kau harus
memberi muka kepadaku sekali ini."
Biau-siang menjadi bingung, tanyanya, "Memberi muka
apa" Kim-tayhiap telah menolong jiwaku, kalau ada apa-apa
katakan terus terang saja."
"Baiklah, kukira kau akan menurut juga kepada kata-kataku
ini," kata Tiok-liu dengan tertawa senang. "Meski urusan ini
sebelumnya aku tidak minta persetujuanmu, tapi aku yakin
kau tentu akan menerima dengan baik."
Keruan Biau-siang bertambah sangsi, tanyanya cepat,
"Sesungguhnya urusan apakah?"
"Aku telah menjadi comblang bagimu," tutur Kim Tiok-liu.
"Ayahmu sudah berjanji akan menjodohkan kau pada Tjin
Goan-ko dan pasti tidak akan memaksa kau kawin dengan
orang lain."
Seketika muka Biau-siang menjadi merah dan menunduk.
"Eh, bagaimana, kau suka atau tidak?" seru Tiok-liu.
"Dimanakah kau bertemu dengan ayahku?" tanya Biausiang
dengan suara lirih.
"Aha, kau tidak membantah berarti kau sudah setuju," ujar
Tiok-liu tertawa. "Ayahmu justru menuju ke jurusan sana,
kudamu cukup cepat, tidak terlalu lama tentu kau akan dapat
menyusulnya."
Habis itu ia lantas menceritakan apa yang terjadi kemarin.
Malu dan girang pula hati Hong biau-siang, pikirnya;
"Setelah ayah diancam olehnya, jika selanjutnya beliau mau
kembali ke jalan yang baik, aku harus bersyukur akan hal ini.
Tapi meski ayah sudah menyanggupi perjodohan ini, namun
Tjin Goan-ko adalah murid golongan Beng-bun-tjing-pay,
entah orang tua atau gurunya suka meluluskan atau tidak?"
Kim Tiok-liu seperti tahu isi hatinya, dengan tertawa ia
berkata, "Guru Goan-ko adalah terhitung aku punya Wanpwe
(angkatan muda), jika aku yang menjadi comblangnya betapa
pun gurunya harus setuju juga. Janganlah kau kualir."
"Ah, Kim-tayhiap bercanda lagi," sahut Biau-siang dengan
wajah merah. "Eh, meski tingkatanku lebih tinggi daripada guru Goan-ko,
tapi aku dan Goan-ko bergaul dengan tingkatan yang sama,
mengapa kau panggil Tayhiap apa segala," kata Tiok-liu
dengan sungguh-sungguh. "Kau sudah setuju akan
perantaraanku ini, maka selanjurnya kau adalah iparku, cukup
kau panggil Toako saja padaku."
Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak, sebaliknya Hong
Biau-siang menjadi kikuk, ia mencemplak ke atas kudanya dan
tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Maka Tiok-liu berkata lagi, "Ayahmu kenal dengan orangorang
tadi, jika kau sudah bergabung dengan ayahmu, tentu
tidak perlu kuatir dibikin susah lagi oleh orang-orang itu.
Cuma aku ingin memberi nasihat kepada ayahmu agar pulang
saja ke Tji-lay-san, jangan kemaruk kedudukan segala dan
pergi lagi ke ko-taraja."
"Banyak terima kasih, Kim..... Kim-toako," kemudian
Biau-siang menjawab dengan memberi hormat. "Engkau
teramat baik terhadap kami ayah dan anak, selama hidupku
ini tentu takkan lupa. Aku pasti akan menasihati ayahku untuk
menuruti omonganmu ini."
"Baiklah, sekarang bolehlah kita berangkat ke arah masingmasing,
nanti kalau kau akan menikah dengan Goan-ko
jangan-jangan lupa mengundang aku," ujar Tiok-liu tertawa.
Setelah melakukan hal yang dianggapnya menyenangkan
itu, dengan bergelak tertawa berangkatlah Tiok-liu dengan
melarikan kudanya secepat terbang.
Sepanjang jalan Tiok-liu selalu mencari berita Su Ang-ing,
akan tetapi sampai hari tibanya di kotaraja, tetap tidak
mendapatkan sesuatu keterangan apapun.
Ia yakin wanita yang telah merampas barang-barang
antaran beberapa perkumpulan Kangouw kepada Sat Hok-ting
itu kecuali Su Ang-ing rasanya tiada orang lain lagi. Kalau dia
sudah merampas barang antaran itu, besar kemungkinan nona
itu-pun akan datang ke kotaraja.
Begitulah diam-diam Tiok-liu mengambil keputusan akan
mencari lebih jauh nona itu di kotaraja. Karena kudanya yang
bagus itu, waktu sampai di kotaraja ternyata masih ada empat
hari lagi baru jatuh hari ulang tahun Sat Hok-ting.
Tiok-liu teringat kepada pesan sang Suheng yang
menyuruhnya 'hati-hati tapi tabah' itu, pikirnya. "Baru pertama
kali ini aku datang di kotaraja, di sini jago-jago kelas wahid tak
terhitung banyaknya, meski aku tidak gentar juga perlu
berlaku waspada. Mata telinga Liok-hap-pang amat banyak,
hubungan mereka pun luas dengan macam-macam orang
Kangouw, bila melihat aku menunggang kuda Pangtju mereka,
tentu akan segera dikenali. Paling baik aku mencari pondokan
pada seorang kenalan yang ada hubungan baik dengan ayah
atau Suhengku."
Akan tetapi meski sudah dipikir kian kemari tetap tidak
ingat ada kenalan yang pantas untuk didatangi, memang
banyak juga kenalan ayahnya dan Kang Hay-thian,
kebanyakan adalah ketua suatu aliran persilatan, pemimpin
cabang tersendiri atau kaum pahlawan, tapi kebanyakan di
antaranya sudah meninggal dunia atau mengasingkan diri,
yang masih hidup juga tidak akan berdiam di kotaraja.
Tapi akhirnya Tiok-liu ingat kepada seseorang, meskipun
orang ini tiada hubungan baik dengan perguruannya, tapi
secara tidak langsung juga ada hubungan. Orang ini adalah Te
Kin, seorang Piauthau (jago pengawal) tua dari dari Tin-wan
Piau-kiok yang kini sudah pensiun.
Te Kin adalah kawan sekerja ayah Ubun Hiong, dan Kim
Tiok-liu sendiri sekarang terhitung Susiok Ubun Hiong. Te Kin
dan Ubun Long, ayah Ubun Hiong, adalah jago-jago pengawal
Tin-wan Piaukiok, Ubun Hiong sendiri dibesarkan di dalam
perusahaan pengawalan itu, maka Te Kin memandangnya
sebagai putra sendiri pula. Belasan tahun yang lalu barang
kawalan Ubun Long telah dibegal oleh Utti Keng di daerah
Liautang, peristiwa itu telah membuat perusahaan Ubun Long
mengalami kebangkrutan dan mengakibatkan kematiannya
pula dengan menyedihkan. Waktu itu Ubun Hiong masih kecil,
berkat bantuan Te Kin juga, Ubun Hiong tidak sampai kapiran.
Kemudian Ubun Hiong diterima menjadi murid Kang Hay-thian
dan menyelesaikan permusuhannya dengan Utti Keng serta
mendapat ganti rugi, dengan demikian Tin-wan Piaukiok dapat
dibuka kembali. Malahan ketika menyelesaikan urusan itu di
kotaraja, Utti Keng telah dikhianati oleh murid murtadnya.
Kang Hay-thian, Ubun Hiong dan lain-lain menyerbu penjara
dan menggegerkan kotaraja, barulah Utti Keng dapat
diselamatkan. Peristiwa di kotaraja itu juga mendapat bantuan
Te Kin yang tidak sedikit (Dalam cerita Geger Dunia
Persilatan). Kim Tiok-liu mempunyai catatan alamat yang diberi Ubun
Hiong, maka ia lantas menyiapkan kartu nama, lalu pergi
mencari Te Kin.
Sampai di rumah yang dituju, terlihat pintu tertutup rapat.
Sesudah menggedor pintu sekian lamanya barulah nampak
keluar seorang laki-laki setengah umur.
"Tuan mencari siapa?" tanya orang itu heran dan sangsi
ketika melihat Kim Tiok-liu dengan kudanya yang bagus itu.
Lebih dulu Tiok-liu menyodorkan kartu namanya, lalu
menjawab, "Aku adalah Susiok Ubun Hiong. Tolong tanya
apakah Te-lotjianpwe berada di rumah?"
Orang itu tambah terkejut melihat umur Kim Tiok-liu yang
masih muda itu tapi mengaku sebagai Susiok Ubun Hiong. Ia
heran darimana mendadak muncul seorang Susiok Ubun
Hiong. "Apakah kau tak percaya aku adalah Susiok Ubun Hiong?"
Tiok-liu menambahkan dengan tertawa. "Tapi nanti kalau aku
sudah menerangkan kepada Te-lotjianpwe tentu segalanya
akan menjadi jelas."
Diam-diam Tiok-liu merasa kurang senang, sebab dari Ubun
Hiong diketahuinya bahwa Te Kin adalah seorang yang baik
hati dan suka bergaul, mengapa orang begini dingin terhadap
tamu yang berkunjung padanya"
Tiba-tiba orang itu menyodorkan kembali kartu nama Kim
Tiok-liu, katanya dengan hambar, "Sesungguhnya ayah sudah
meninggal, maksud baik kunjungan tuan ini kami merasa
berterima kasih. Cuma sayang beliau sudah meninggal dunia,
maka kartu inipun kami tidak berani menerima."
Habis berkata lantas ia memberi hormat sebagai tanda
mengantar tamu.
Keruan Tiok-liu terkejut. "Bilakah Te-lotjianpwe meninggal
dunia?" tanyanya.
"Ayah sudah meninggal lebih sebulan yang lalu," jawab
laki-laki itu. "Aku dipesan oleh Kang-suheng supaya datang
menyambangi ayahmu, Ubun-sutit juga berulang kali berpesan
agar menyampaikan salamnya kepada ayahmu, siapa duga
beliau sekarang sudah meninggal dunia," demikian kata Tiokliu
dengan ge-getun. "Jika demikian aku mohon diperbolehkan
memberi hormat di depan layon Te-lotjianpwe sekedar
menyampaikan pesan Suheng dan Sutitku itu."
Dengan menonjolkan nama Kang Hay-thian, mau tak mau
laki-laki itu mesti berpikir dua kali dan sukar untuk menolak
lagi. Terpaksa ia mengundang Kim Tiok-liu masuk ke dalam
rumah. Setiba di ruangan pemujaan, benar juga tertampak ada
sebuah meja sembahyang dengan sebuah lengpay (papan
kayu tanda kematian) yang tertulis nama Te Kin. Diam-diam
Tiok-liu membatin, "Wah. jika demikian kedatanganku
memang tidak kebetulan, mestinya aku dapat mondok di sini,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapa tahu sekarang hanya datang untuk memberi
penghormatan kepada layonnya."
Laki-laki tadi berdiri di samping untuk membalas hormat.
Selesai Kim Tiok-liu menjalankan adat penghormatan, laki-laki
itu masih berdiri di situ dengan menghadap ke pintu, sikapnya
itu jelas adalah sikap hendak mengantar pulang tamunya.
Tapi Tiok-liu tidak menggubris padanya, tanpa disuruh ia
terus berduduk di kursi. Tiada jalan lain terpaksa laki-laki itu
mengiringi berduduk dan mengajak bicara. Setelah saling
memberi tahu nama, barulah Kim Tiok-liu mengetahui dia
bernama Te Bok, putra sulung Te Kin. Te Bok masih ada
seorang adik yang di rumah saat itu, namanya Te Yu.
Ketika mengetahui nama dan asal-usul Kim Tiok-liu, dalam
hati Te Bok menjadi sangsi dan heran, pikirnya, "Sudah lebih
20-an tahun Kim-tayhiap mengasingkan diri di lautan tanpa
kabar sedikitpun. Apakah selama ini dia kawin dan punya anak
juga tidak diketahui, entah orang ini benar-benar putranya
atau palsu?"
Lalu Te Bok bertanya pula sedikit urusan yang menyangkut
Kang Hay-thian serta Ubun Hiong. Untuk hal ini Tiok-liu ada
yang tahu dan ada pula yang tidak tahu, maklumlah tempo
hari ia cuma tinggal satu hari di rumah Kang Hay-thian,
dengan sendirinya apa yang dia ketahui tentang diri Suheng
dan Sutitnya sangat terbatas.
Karena itu Te Bok menjadi tambah sangsi, sebaliknya Kim
Tiok-liu juga merasa heran, pikirnya, "Katanya ayahnya mati,
tapi mengapa sikapnya biasa saja tanpa kelihatan sedih.
Pantasnya orang yang datang melayat mestinya diberitahu
hal-hal yang menyebabkan kematian ayahnya serta apa-apa
yang menyangkut almarhum pada saat sebelum kematiannya.
Tapi putra almarhum ini malahan bertanya melulu kepada
tamunya, sedikitpun tiada tanda-tanda sedang berkabung,
sungguh aneh."
Selagi mereka bicara, di belakang ruang layon itu lapatlapat
ada suara langkah orang yang sangat pelahan, begitu
mendengar. Kim Tiok-liu lantas tahu Ginkang orang itu sangat
tinggi. Kelakuan demikian itu jelas tidak ingin diketahui orang
lain, Kim Tiok-liu menjadi heran, buat apa diam-diam orang itu
mengintipnya" Semakin dipikir, Tiok-liu merasa di balik itu
tentu ada sesuatu yang tidak beres.
Melihat tuan rumah tidak suka menerima tamu, Kim Tiok liu
merasa rikuh sendiri, akhirnya ia pikir daripada tinggal lebih
lama di situ menghadapi sikap dingin tuan rumah lebih baik
pergi saja, maka ia lantas berbangkit untuk mohon diri.
"Silakan Kim-heng duduk lagi sejenak," kata Te Bok, lalu ia
masuk ke ruang dalam. Tidak lama kemudian ia keluar lagi
bersama seorang hamba tua yang membawa sebuah 'Kimgoan-
po' (lantakan emas berbentuk melengkung). Lalu Te Bok
berkata, "Kim-heng datang dari jauh untuk melayat, sungguh
kami merasa sangat berterima kasih. Ini ada sedikit sangu,
mohon Kim-heng sudi menerimanya."
Kim Tiok-liu menjadi gusar, masakah dirinya dianggap
orang yang sengaja datang untuk mencari sangu saja. Segera
ia mengambil lantakan emas itu, katanya dengan tertawa,
"Haha, meski aku orang miskin juga masih tidak perlu mencari
sangu kepada orang lain. Hadiahmu ini sungguh aku tidak
berani menerima."
Habis berkata ia terus menaruh kembali lantakan emas itu
ke dalam nampan. Kedua ujung lantakan emas itu mestinya
melengkung, tapi kena dipencet oleh Kim Tiok-liu, emas itu
menjadi gepeng.
Hamba tua itu lantas memegang juga lantakan emas itu,
katanya dengan pelahan, "Wah, karena marahnya Kim-siangkong,
terpaksa membikin capek padaku juga. Kim-goan-po itu
kalau tidak dibetulkan seperti bentuk semula tentu tidak
berharga."
Sembari bicara ia terus meremas-remas dan memencet
lantakan emas itu, benar juga, dalam waktu singkat saja Kimgoan-
po itu sudah pulih seperti bentuk semula. Lwekang
hamba tua itu jelas tidak di bawah Kim Tiok-liu.
Keruan Tiok-liu terkejut, mestinya ia sudah mau memohon
diri seketika ia membatalkan maksudnya itu, katanya sambil
memberi hormat, "Mohon tanya siapakah nama Lotjianpwe?"
Sekarang Tiok-liu yakin orang ini pasti bukan kaum hamba
biasa saja. Tapi orang tua itu tidak lantas menjawab, ia mengulurkan
tangan dan berkata, "Kim-siauhiap, baru hari ini kita
berjumpa, sungguh aku merasa sangat senang"
Tiok-liu tahu orang hendak menjajal kekuatannya, diamdiam
ia bersiap sedia dan segera menjabat tangannya. Di luar
dugaan orang tua itu hanya berjabat tangan biasa dan tidak
menggunakan tenaga dalam. Cuma pada waktu menjabat
tangan, jarinya sempat meraba cincin pualam yang dipakai
Kim Tiok-liu itu.
Cincin pualam yang dipakai Kim Tiok-liu adalah buatan dari
batu kemala dingin dari dasar lautan, yaitu kemala pusaka
warisan Kiau Pak-beng, karena dia sengaja datang
menyambangi Te Kin, maka sejak tadi cincin itu telah dipakai.
Cincin pualam itu terasa dingin bila orang menyentuhnya,
maka orang tua itu lantas mengenalnya, katanya dengan
gelak tertawa, "Haha, Kim-heng memang betul putra Kimtayhiap.
Aku sendirilah Te Kin adanya."
Meski Te Kin tidak termasuk teman Kim Si-ih, tapi dahulu
waktu Kim Si-ih bertanding dengan Beng Sin-thong di depan
kuil agung Siau-lim-si, tatkala mana Te Kin juga ikut
menyaksikan di antara orang banyak. Maka ia mengenal Kim
Si-ih, sebaliknya Kim Si-ih tidak kenal dia. Cuma barangbarang
tinggalan Kiau Pak-beng seperti busur dan panah
pualam yang diwariskan kepada Kim Si-ih juga diketahui oleh
Te Kin. Untuk sejenak Kim Tiok-liu melengak, tapi ia lantas paham
juga persoalannya, pikirnya, "Ya, siapa lagi yang memiliki
tenaga selihai ini di rumahnya kalau bukan Te Kin sendiri."
Segera Te Bok juga maju ke hadapan Kim Tiok-liu dan
minta maaf, "Harap Kim-heng jangan salah paham, soalnya
kita baru kenal, terpaksa aku mengundang ayah menjajal
engkau." Kim Tiok-liu merasa girang jawabnya, "Ah memang
kedatanganku juga terlalu sembrono. Cuma aneh, Lotjianpwe
tampaknya sehat walafiat, entah mengapa, mengapa....."
"O, tentang kematianku yang pura-pura ini memang bukan
tidak beralasan," tukas Te Kin. "Cerita ini agak panjang,
silakan Kim-laute duduk di dalam dan nanti kita bicarakan
lebih lanjut."
Di dalam segera disiapkan perjamuan, setelah menyilakan
Kim Tiok-liu berduduk, lalu Te Kin berkata, "Kim-laute adalah
Susiok Ubun Hiong dengan sendirinya kita adalah orang
sendiri pula. Silakan engkau tinggal di sini saja dan tidak perlu
mencari penginapan di luar. Marilah kita minum tiga cawan
dulu sebagai tanda selamat datang kepadamu."
Diam-diam Kim Tiok-liu mengakui bahwa orang tua itu
memang betul-betul suka bersahabat dan berjiwa riang.
Segera ia menjawab dengan tertawa, "Sesungguhnya
kedatanganku inipun hendak membikin repot padamu."
"Kabarnya Ubun Hiong sudah menikah, apakah Kim-laute
juga hadir pada upacara perkawinannya?" tanya Te Kin.
"Ya, kebetulan aku hadir pada waktunya yang tepat,
malahan terjadi sedikit keonaran di sana," sahut Tiok-liu, lalu
ia pun menuturkan kejadian tempo hari itu.
"Aku jadi terkenang juga kepada kedua bocah Lim To-kan
dan Li Kong-he, agaknya mereka pun sudah dewasa bukan"
Apakah mereka masih berkumpul di rumah Kang-tayhiap
sana?" tanya Te Kin pula.
"Ya, usia mereka cuma satu dua tahun lebih muda dariku,
mereka sudah dewasa semua," jawab Tiok-liu. "Cuma
sekarang mereka tidak berada lagi di rumah Sulteng, mereka
ikut Siang-koan Thay ke Sedjiang. Hal inipun terjadi pada hari
perkawinan Ubun Hiong itu, tatkala itu Siangkoan Thay datang
secara mendadak dengan membawa berita kecelakaan Tiok
Siang-hu yang disergap musuh serta jatuhnya Sedjiang ke
tangan musuh. Sebab itulah Suheng mengirim Yap Boh-hoa
Sutit pergi ke Sedjiang untuk membantu mereka, To-kan dan
Kong-he lantas ikut serta juga ke sana pada keesokan harinya.
Selain ditugaskan untuk membantu Tiok Siang-hu, Boh-hoa
juga punya urusan lain....."
"Urusan perkawinan mereka bukan?" sela Te Kin dengan
tertawa. "Betul," sahut Tiok-liu. "To-kan mendapatkan putri
Siangkoan Thay dan Kong-he mendapat putri Tiok Siang-hu.
Lantaran Tiok Siang-hu tidak dapat mengantar putrinya ke
tempat Suheng, terpaksa merekalah yang pergi ke sana untuk
perjodohan mereka itu. Sudah tentu kedua anak muda itu
sangat girang ketika Suheng mengijinkan keberangkatan
mereka." Tiok-liu bicara seakan-akan seorang paman guru yang tua,
Te Kin menjadi tertawa dan menegurnya, "Kim-laute, para
Sutit-mu sudah akan kawin semua, dan bagaimana dengan
kau sendiri" Apa kau sudah punya tunangan?"
"Ai, agaknya ayah bermaksud jadi comblang bagi Kimsiauhiap?"
sela Te Bok dengan tertawa. "Tapi mungkin Kimsiauhiap
tidak perlu lagi menguatirkan urusan ini."
Muka Tiok-liu menjadi merah karena teringat kepada Su
Ang-ing, katanya kemudian, "Ayahku sendiri baru menikah
pada umur 40 tahun, sekarang aku baru berusia 20 tahun.
Marilah kita bicara yang lain saja. Pada hari pernikahan Ubun
Hiong engkau ternyata tidak datang sehingga membikin
mereka merasa kecewa."
"Waktu itu aku sedang pura-pura mati, orang mati mana
bisa pergi menghadiri perjamuan kawin?" tutur Te Kin tertawa.
"Baiklah, jika kau buru-buru ingin tahu sebab-musababnya,
biar sekarang juga akan kuceritakan."
Setelah minum seceguk araknya, lalu Te Kin mulai
bercerita, "Urusan ini sedikit banyak ada sangkut-pautnya
dengan ketiga Sutitmu itu. Tahun itu Ubun Hiong pulang ke
sini, hal ini diketahui oleh seorang bekas Piauthau Tin-wan
Paukiok yang bernama Ting Ko, Ubun Hiong tidak tahu bahwa
Ting Ko ini telah menjual diri kepada pihak kerajaan, maka dia
terpancing oleh Ting Ko di suatu tempat minum, untung aku
dan Kong-he keburu datang, sekali hantam kubinasakan Ting
Ko, akhirnya dapatlah kami menyelamatkan diri. Akan tetapi
pada saat itu juga To-kan ditangkap oleh begundal Ting Ko di
dalam hotelnya. Kemudian Suhengmu sendiri datang ke sini
dan mengobrak-abrik untuk menolong Utti Keng, berbareng
dengan itu To-kan juga tertolong keluar." (Dapat dibaca dalam
Geger Dunia Persilatan)
"Peristiwa itupun aku pernah mendengar dari Suheng,
cuma tidak sejelas cerita Lotjianpwe sekarang." kata Tiok-liu.
Lalu Te Kin menyambung lagi ceritanya, "Ting Ko punya
seorang putra bernama Ting Pin. Setelah ayahnya kubunuh,
dia ketakutan dan lari meninggalkan Pakkhia, hal ini baru
kuketahui belakangan. Padahal aku cuma terpaksa membunuh
Ting Ko, sejahat-jahatnya Ting Ko adalah bekas teman
sekerja, apalagi ayah dan anak tidaklah sama, mana bisa aku
sembarangan membikin susah lagi kepada putranya Ting Ko."
"Setelah meninggalkan Pakkhia, dua tahun yang lalu Ting
Pin masuk Liok-hap-pang dengan Pangtjunya yang bernama
Su Pek-to, kabarnya ilmu silat Su Pek to sangat lihai.
Walaupun Ting Pin tidak mendapat kedudukan tinggi di dalam
Liok-hap-pang, tapi cukup mendapat kepercayaan Su Pek-to."
"Aku tahu jelas tentang diri Su Pek-to itu," kata Tiok-liu.
"Beberapa hari yang lalu aku baru saja bergebrak dengan dia.
Ilmu silatnya memang benar sangat kuat, tapi menurut
pandanganku juga belum tentu dapat mengalahkan Telotjianpwe."
"Jika demikian, agaknya Kim-laute juga sudah mengetahui
beberapa hari ini Taylwe-tjongkoan Sat Hok-ting akan
merayakan ulang tahunnya yang ke-60."
"Ya, Su Pek-to juga akan datang memberi selamat kepada
Sat Hok-ting, hal ini sudah lama aku mendapat tahu."
"Dengan datangnya Su Pek-to ke kotaraja kali ini, tentu
orang-orang penting di dalam Liok-hap-pang juga akan ikut
datang. Meski Ting Pin itu belum terhitung empat tokoh utama
Liok-hap-pang, tapi termasuk salah seorang kepercayaan Su
Pek-to. Dari kabar yang kudapat, katanya Ting Pin sesumbar
akan menuntut balas kematian ayahnya, maka ada
kemungkinan dia akan ambil kesempatan ikut Su Pek-to
datang ke kotaraja ini untuk mencari perkara padaku."
"O, kiranya Te-lotjianpwe sengaja menghindari
persengketaan ini, maka pura-pura meninggal dunia," kata
Tiok-liu. "Padahal Lotjianpwe kan tidak perlu unjuk kelemahan
demikian dan /terhina nama baikmu. Biarpun Ting Pin itu
dibantu oleh Su Pek-to juga kita boleh coba-coba melabrak
mereka." "Aku sudah tua, dapat tidak aku menandingi Su Pek-to
*adalah soal lain, bagiku sudah tiada hasrat buat berebut
kemenangan di dunia Kangouw lagi, apalagi permusuhan lebih
baik dihapus daripada diikat, buat apa mesti mengikat
permusuhan lagi tanpa sebab dengan Liok-hap-pang. Karena
pikiranku inilah, setelah aku mempertimbangkan cukup lama
barulah aku mengambil keputusan demikian."
"Tapi kalau mereka tidak mau percaya, lantas bagaimana?"
tanya Tiok-liu.
"Waktu aku jatuh sakit, banyak handai-taulan yang datang
menjenguk, di waktu jenazahku hendak dikubur juga banyak
teman yang melayat. Sudah tentu sakitku juga pura-pura,
jenazah juga palsu, di dalam peti mati berisi batu belaka. Tapi
kalau aku sendiri tidak membongkar rahasia ini, darimana
orang bisa tahu kematianku sungguh-sungguh atau purapura."
"Demi untuk menghindari permusuhan lebih lanjut,
Lotjianpwe benar-benar telah berusaha sekuat tenaga," ujar
Tiok-liu dengan gegetun.
"Kalau Ting Pin sudah pulang, dari orang-orang Tin-wan
,Piau-kiok tentu dia akan mendapat tahu kematianku,
masakah dia menaruh curiga lagi" Dan kalau Ting Pin sudah
melihat sendiri Lengpay pemujaanku, apalagi yang dia bisa
berbuat kepadaku?"
"Dan kalau dia masih dendam dan menuntut balas kepada
Te-toako, lantas bagaimana?" ujar Tiok-liu.
"Su Pek-to adalah tokoh Kangouw terkemuka, dia hanya
cocok untuk bertarung dengan aku, tidak nanti ia merecoki
anak muda seperti anakku, hal ini aku berani memastikan."


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang ditanya Kim Tiok-liu adalah Ting Pin, tapi jawaban Te
Kin mengenai Su Pek-to, tampaknya tanya jawab itu tidak
cocok, tapi rasa kuatir Kim Tiok-liu sudah lantas terhapus.
Sebab harus diketahui bahwa ilmu silat kedua putra Te Kin
juga tidak lemah, asalkan Su Pek-to tidak tampil ke muka,
mana berani Ting Pin mencari gara-gara kepada mereka.
"Bila Su Pek-to datang, jika kebetulan aku tidak berada di
sini, kuda ini sebaiknya jangan sampai dilihat olehnya," kata
Tiok-liu tertawa.
"Kuda ini dapat dititipkan kepada tetanggaku yang baik,"
sahut Te Kin. "Kim-laute kedatanganmu ke kotaraja ini apakah
ada urusan lain?"
Karena tidak ingin Te Kin dan anaknya ikut kuatir, maka
Kim Tiok-liu pikir urusannya biarlah diberitahu nanti saja
sesudah hari ulang tahun Sat Hok-ting sudah lewat. Maka
dengan tertawa ia menjawab, "Ah, juga tidak ada urusan apaapa,
lantaran aku baru pulang ke daratan sini, maka kupikir
mesti pesiar kemari."
"Baiknya kau belum pernah datang ke Pakkhia sini,
mungkin tiada orang yang kenal kau," ujar Te Kin. "Cuma
dalam beberapa hari ini tentu banyak jago dan tokoh dari
berbagai kalangan Kangouw akan datang memberi selamat
kepada Sat Hok-ting. Maka sebaiknya Kim-laute berlaku lebih
hati-hati saja."
Kim Tiok-liu mengiakan dan bilang terima kasih.
Watak Kim Tiok-liu memang suka bergerak, besok paginya
juga ia lantas keluar pesiar. Selama tiga hari berturut-turut ia
banyak melancong ke tempat-tempat ternama di kotaraja itu.
Pada hari keempat hasratnya pesiar semakin timbul, pikirnya,
"Besok adalah hari ulang tahun Sat Hok-ting, hari ini aku
harus pesiar dulu ke Ban-li-tiang-sia (tembok besar), kalau
tidak, bila besok terjadi apa-apa tentu aku akan menyesal
karena besar kemungkinan tiada kesempatan lagi untuk
melancong ke tempat termashur dan bersejarah itu."
Begitulah pagi-pagi sekali ia sudah keluar kota menuju ke
Pat-tat-nia yang jaraknya ada ratusan li, di situlah tembok
besar berlingkar-lingkar di lereng bukit itu. Karena kuatir
kudanya dikenali orang, maka Kim Tiok-liu berangkat berjalan
kaki, dengan Ginkangnya yang tinggi tidak lama begitu sang
surya terbit ia sudah berada di atas bukit.
Benteng tembok besar yang berada di Pat-tat-nia itu adalah
Ki-yong-koan. Panjang tembok besar itu dimulai dari Kah-kokkoan
di timur sampai San-hay-koan di barat, seluruhnya ada
12 ribu li. Dipandang dari atas bukit, tembok besar yang
melingkar-lingkar itu mirip benar ular raksasa. Benteng Kiyong-
koan memang merupakan suatu tempat tamasya
termashur di Pakkhia di samping tempat yang lain.
Di bagian barat benteng itu ada sebuah panggung baru
yang seluruhnya terbuat dari batu pualam, ada ukiran arcaarca
besar dan kutipan kitab ajaran Buddha. Panggung
pualam di benteng ini adalah sebuah bangunan yawng
berlatar agama Buddha dan sangat terkenal, tempat ini
mempunyai nilai tinggi bagi perkembangan agama Buddha di
masa lampau. Kim Tiok-liu sendiri tidak paham ajaran Buddha segala, ia
hanya kagum terhadap ukir-ukiian indah itu, maka hanya
sebentar saja ia lantas meneruskan ke tempat lain. Banyak
tempat-tempat bersejarah yang dilihatnya pula, yaitu tempat
bekas panglima-panglima terkenal dari keluarga Nyo di zaman
Song ketika bertugas membendung serangan suku bangsa
Hun. Berada di tempat bekas pahlawan-pahlawan itu, timbul
juga rasa kagum dan hormat Kim Tiok-liu terhadap patriotpatriot
bangsa itu. Selagi ia termenung akan jasa-jasa pahlawan itu, tiba-tiba
terdengar suara "crang-cring" yang terkadang jelas dan lain
saat hanya sayup-sayup saja lalu lenyap. Suara itu adalah
suara petikan kecapi yang merdu. Ia tahu di dekat situ
memang ada suatu tempat tamasya yang disebut 'Tan-khimkiam'
(selat memetik kecapi), karena aliran mata air yang
menimbulkan bunyi seperti kecapi, maka selat itu diberi nama
demikian. Maka Tiok-liu tidak memperhatikan suara kecapi itu,
ia meneruskan langkahnya ke tempat yang tinggi di bukit Pattat-
nia. Pada suatu tebing yang amat curam, dilihatnya ada
tertatah dua huruf 'Thian-hian' (bahaya langit), dan memang
keadaan di situ teramat terjal dan berbahaya. Di atas tebing
itulah tembok besar menyusur lewat. Tiok-liu memanjat ke
atas benteng tembok besar itu, sejauh mata memandang,
tembok besar yang menyusur berlingkar-lingkar melintasi
bukit dan gunung itu seakan tiada ujungnya dan bersambung
dengan awan putih di ujung langit.
Tiba-tiba terdengar pula bergemanya suara kecapi, Tiok-liu
terkejut. Sekali ini terdengar dengan jelas bahwa memang
betul ada orang yang sedang memetik kecapi dan bukan suara
gemercik air yang mirip suara kecapi. Ia menjadi heran,
siapakah yang memetik kecapi di atas tembok besar itu" Ia
yakin kalau bukan orang kosen tentulah orang terpelajar yang
suka akan kesunyian. Kalau kebetulan bertemu tiada jeleknya
untuk diajak berkenalan, demikian pikirnya.
Segera ia berjalan terus mengikuti tembok besar itu,
sesudah dekat, ia menjadi melongo karena apa yang
dilihatnya sama sekali di luar dugaan.
Menurut dugaan Kim Tiok-liu semula, orang kosen yang
memetik kecapi itu mestinya seorang pertapa yang berjenggot
panjang, siapa tahu yang dilihatnya adalah seorang muda
yang usianya sebaya dengan dirinya, paling-paling juga lebih
tua dua tiga tahun saja.
Tiok-liu coba mendekatinya, tapi orang itu seperti
memandang tapi tidak melihat, perhatiannya melulu
tercurahkan pada petikan kecapinya.
Ibu Kim Tiok-liu. yaitu Kok Tji-hoa adalah murid
kesayangan Lu Si-nio. Sedangkan Lu Si-nio adalah putri Lu
Liu-liang, yaitu pujangga termashur di masa akhir dinasti Beng
dan permulaan dinasti Boan. Sebab itulah Kok Tji-hoa tidak
cuma memperoleh ajaran ilmu pedang dari Lu Si-nio. bahkan
juga seluruh kepandaian Lu Si-nio dalam hal seni lukis,
bersyair, main catur dan main kecapi.
Sejak kecil Kim Tiok-liu mendapat didikan dari ayah-ibunya,
terhadap permainan kecapi walaupun belum semahir
ibunya, tapi juga sudah cukup pandai.
Waktu itu anak muda itu sedang memetik kecapinya
dengan sebuah lagu roman yang melukiskan sepasang mudamudi
sedang bermesraan. Bayangan Su Ang-ing lantas timbul
dalam lamunan Kim Tiok-liu sehingga tanpa terasa ia pun
bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti irama kecapi orang.
Tiba-tiba suara kecapi berganti irama lagi, sekarang
lagunya bernada sedih, sampai akhirnya lagu Kim Tiok-liu
menjadi ikut berduka memikirkan Su Ang-ing yang
dirindukannya itu entah kapan baru dapat bertemu pula.
Tanpa terasa ia telah berada di samping pemuda itu dan baru
sekarang pemuda itu menyadari kedatangan Kim Tiok-liu, tapi
ia hanya memandang sekejap saja padanya, lalu memetik
kecapinya lagi.
Ketika kemudian suara kecapi sudah berhenti, Kim Tiok-liu
lantas memuji, "Permainan kecapi yang bagus, tapi manusia
hidup tidak lebih seratus tahun, buat apa mesti berduka
demikian?"
Pemuda itu memandang sekejap lagi kepada Kim Tiok-liu,
mendadak ia berbangkit sambil meletakkan kecapinya,
katanya, "Saudara paham lagu kecapiku, tentunya juga
seorang ahli. Aku ingin mendengarkan permainanmu pula."
Kim Tiok-liu juga tidak menolak, segera ia berduduk dan
memangku kecapi.
Sebagai seorang yang kenal kwalitas barang, Kim Tiok-liu
melihat kecapi itu adalah barang kuno dan berwarna loreng,
salah satu ujungnya seperti bekas terbakar. Bagi orang yang
tidak tahu mungkin akan menyangka kecapi itu hnaya
sepotong arang bekas hangus terbakar, tapi Kim Tiok-liu tahu
itu adalah sebuah kecapi cantik yang tak ternilai harganya,
dalam seni kecapi disebut 'Djiau-bwe-khim' (kecapi ekor
hangus). Begitulah ia lantas memuji, "Ehm, kecapi bagus, mungkin
ini adalah benda kuno dari zaman Tjun-tjhiu."
Pemuda tadi tampak rada heran, katanya, "Betul, saudara
benar-benar seorang yang ahli. tentunya juga mahir
memainkannya."
"Ah, permainanku hanya kampungan saja, harap saudara
jangan menertawakannya nanti," sahut Tiok-liu tertawa. Habis
itu ia lantas menyentil senar kecapi dan mulai memetiknya.
Berbeda dengan lagu si pemuda tadi yang sedih merawan,
sebaliknya lagu Kim Tiok-liu bernada gagah bersemangat,
namun sama-sama mahir.
"Saudara benar-benar teman sepahamku, baiklah, kecapi
ini kuberikan padamu saja," kata pemuda itu tiba-tiba.
Kim Tiok-liu terkejut, sahurnya, "Mana Siaute berani
menerima benda yang tak ternilai ini."
Si pemuda tertawa panjang, katanya, "Manusia paling sukar
mencari teman sepaham, hanya sebuah kecapi hangus saja
apa artinya?"
Memangnya Kim Tiok-liu adalah seorang yang bersifat
bebas dan berhati terbuka, karena ucapan si pemuda yang
tulus itu, ia pikir kalau tidak menerima pemberian itu malah
akan menunjukkan kekerdilan jiwanya, maka tanpa sungkansungkan
ia lantas menerima dengan baik pemberian kecapi
itu, jawabnya dengan tertawa, "Maksud baik saudara tak
dapat kutolak, cuma sesudah menerima hadiah ini, entah
kapan baru Siaute dapat membalas?"
"Apa susahnya jika kau ingin membalas," ujar si pemuda
tertawa sambil menuding pedang yang tergantung di
pinggang Kim Tiok-liu, kemudian sambungnya, "Saudara
berkelana dengan membawa pedang, tentulah seorang ahli
pedang pula, bagaimana kalau aku memetik kecapi mengiringi
permainan pedangmu?"
Seketika terbangkit semangat Tiok-liu, sahutnya, "Aku
memang pernah belajar ilmu pedang selama beberapa tahun,
tapi kepandaianku terlalu cetek. Kalau saudara berhasrat
melihat ta-rian pedangku, biarlah aku mengiringinya."
Setelah pasang kuda-kuda. Kira Tiok-liu lantas melolos
pedang, dimana sinar pedang berkelebat, seketika pandangan
mata menjadi silau.
"Bagus!" si pemuda memuji, segera ia memangku kecapi
dan mulai memetiknya.
Kim Tiok-liu sengaja mau memamerkan kepandaiannya,
segera ia memainkan bagian Thian-san-kiam-hoat yang paling
bagus, yaitu 'Si-mi-kiam-hoat' dengan gayanya yang indah.
Perhatiannya dicurahkan dalam permainan pedangnya
sehingga lagu apa yang dibawakan kecapi pemuda itu tak
dihiraukan olehnya.
Pada suatu saat, mendadak suara kecapi menjadi sumbang.
Kiranya dalam keadaan terpesona akan kebagusan ilmu
pedang Kim Tiok-liu itu, si pemuda menjadi sedikit lena dan
suara kecapinya terpengaruh oleh ilmu pedang yang indah itu.
Tapi segera pemuda itu sadar dan berkata, "Ilmu pedang
saudara benar-benar tiada bandingannya di dunia!"
Ia lantas membetulkan nada kecapinya dan mulai
memusatkan perhatian sehingga dapatlah mengiringi gerak
tipu ilmu pedang Kim Tiok-liu itu dengan sama bagusnya.
Diam-diam Kim Tiok-liu sangat heran, pikirnya, "Apa
barangkali ia pun paham gaya ilmu pedang Si-mi-kiam-hoat,
kalau tidak mengapa suara kecapinya dapat mengikuti gaya
pedangku dengan tepat?"
Karena pikirannya bercabang sehingga permainan pedang
Kim Tiok-liu menjadi rada menyimpang pula. Mestinya saat itu
pedangnya berputar dengan rapat sekali, namun sedikit lena
gerak pedangnya menjadi rada kendur. Tiba-tiba pemuda itu
meraup segenggam batu kerikil terus ditaburkan ke arah Kim
Tiok-liu. Terdengarlah serentetan suara "cring-cring", batu kerikil itu
hancur menjadi bubuk, tapi ada satu biji kerikil kecil dapat
menerobos melalui lingkaran sinar pedang dan mengenai
badan Kim Tiok-liu.
Kim Tiok-liu terkejut dan cepat berhenti, meski kerikil
sekecil itu tidak membahayakan dia, tapi dia terkejut karena
sedikit lubang kelemahan itu ternyata dapat diincar dengan
jitu oleh pemuda itu.
Dalam pada itu terdengar si pemuda sedang berkata
dengan tertawa, "Tadi akulah yang salah, tapi sekali ini
mungkin kau yang salah."
Tiok-liu bergelak tertawa, jawabnya, "Pandangan saudara
memang tajam, sungguh aku sangat kagum. Kiranya saudara
juga seorang ahli ilmu pedang, numpang tanya siapakah
gerangan gurumu yang mulia?"
"Haha, ahli apa, paling-paling hanya beberapa jurus cakar
kucing saja," ujar pemuda itu. "Aku paling suka terus terang.
Bicara tentang kepandaian memetik kecapi akulah yang lebih
pandai, tapi dalam hal ilmu pedang kau jauh lebih mahir
daripa-daku."
Diam-diam Kim Tiok-liu merasa sangsi, pikirnya, "Aneh,
darimana dia kenal ilmu pedangku yang berasal dari Thiansan-
kiam-hoat dengan tambahan oleh ayahku sendiri, apakah
mungkin ilmu pedang leluhurnya mempunyai persamaan
dengan ilmu pedangku ini?"
Kim Tiok-liu merasa watak pemuda itu sangat cocok
dengan dirinya, segera ia berkata, "Banyak terima kasih atas
ke-sudian saudara menganggap Siaute sebagai teman
sepaham. Jika tidak menolak, bagaimana kalau kita
mengangkat saudara saja" Siaute she Kim, bernama Tiok-liu,
tahun ini tepat berumur 20."
"O, Kim..... Tiok-liu?" tukas pemuda itu. "Ada seorang
Kim Si-ih, Kim-tayhiap yang termashur, entah pernah ada
hubungan apa dengan Kim-heng?"
"Beliau adalah ayahku," sahut Tiok-liu.
Air muka pemuda itu tampak rada berubah, katanya, "Jika
demikian aku merasa tidak berani bersaudaraan dengan kau."
"Ai, tadi kau baru saja mencela aku sungkan menerima
pemberian kecapimu, sekarang mengapa kau merendah diri
begini?" ujar Tiok-liu tertawa. "Ayahku memang seorang
pendekar yang termashur, tapi aku kan cuma seorang
pengemis cilik yang masih hijau pelonco."
Pemuda itupun bergelak tertawa, katanya, "Haha, Kim-laute


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar seorang yang menarik. Sungguh tidak nyana
sekali bertemu saja kita lantas menjadi karib. Aku she Li
bernama Lam-sing, tahun ini berumur 22 tahun, lebih tua dua
tahun dari-padamu, maka tanpa sungkan-sungkan lagi aku
akan memanggil kau sebagai adik."
Tiok-liu sangat girang segera mereka saling memberi
hormat sebagai tanda terikat persaudaraan, lalu Tiok-liu
memanggil "Toako" kepada Li Lam-sing, pikirnya, "Aneh,
mengapa aku tidak pernah mendengar nama Toako, Kangsuheng
paling suka kepada pemuda yang berbakat, biarlah
kelak aku akan bertanya padanya."
Sementara itu hari sudah jauh lewat lohor, sang surya
sudah condong ke barat, Kim Tiok-liu harus bersiap-siap untuk
pengacauan pesta ulang tahun Sat Hok-ting besok, maka ia
lantas minta maaf dan mohon diri kepada Li Lam-sing,
katanya, "Siau-te tinggal di Gang Topi, di rumah seorang
kawan she Te. bilamana Toako ada tempo, dua hari lagi
silakan mampir."
"Baiklah, silakan kau pulang dulu, aku ingin pesiar sebentar
lagi," sahut Li Lam-sing. Padahal Kim Tiok-liu telah
memberitahukan alamatnya, namun dia tidak balas memberi
tahu tempat tinggalnya.
Baru saja Kim Tiok-liu melangkah pergi, tiba-tiba Li Lamsing
meneriakinya, "Kim-laute, kembali dulu! AL mengapa kau
begini pelupa!"
Kim Tiok-liu tertegun dan menoleh dengan bingung.
Dengan tertawa Li Lam-sing berkata, "Ini, kau melupakan
kecapi ini."
Jawab Kim Tiok-liu dengan rasa menyesal, "Sekali-kali
bukan maksudku kurang menghargai hadiah Toako ini,
soalnya ini adalah benda mestika yang jarang terdapat, maka
Siaute merasa...."
Li Lam-sing menjadi kurang senang, selanya, "Apakah kau
anggap kecapi ini jauh lebih berharga daripada persahabatan
kita" Barang yang telah kuberikan tidak nanti kutarik kembali.
Jika kau tidak mau biarlah kubanting hancur saja."
Lekas Kim Tiok-liu menerima kecapi itu, katanya, "Harap
toako jangan marah, Siaute akan menerimanya dengan
senang hati. Sesungguhnya......"
"Sesungguhnya apa?" Li Lam-sing menegas.
Padahal Kim Tiok-liu tidak sengaja main sungkan-sungkan,
soalnya dia merasa kecapi itu terlalu bernilai, waktu mohon
diri pikirannya juga rada limbung sehingga lupa membawa
serta kecapi pemberian Li Lam-sing itu, maka ia cuma
menjawab, "Ah, tidak apa-apa."
"Urusan apa?" kembali Lam-sing menegas.
"Sayang pedangku ini bukan benda mestika," sahut Kim
Tiok-liu sambil menepuk sarung pedangnya. "Namun aku
berjanji pasti akan mempersembahkan sebuah pedang pusaka
kepadamu."
"Apa" Jadi kau sangka pemberianku itu mengharapkan
imbalan darimu?"
"Bukan begitu maksudku, hanya saja untuk memenuhi citacita
saja. Kau anggap aku teman sepaham permainan kecapi
dan menghadiahkan sebuah kecapi kuno padaku. Aku pun
anggap kau sebagai teman sepaham ilmu pedang, maka aku
pun harus menghadiahkan sebatang pedang pusaka padamu.
Untuk ini aku sudah bicara di muka, kelak kalau kau menolak
pedangku, itu berarti kau memandang rendah persahabatan
kita seperti pernah kau ucapkan sendiri."
Diam-diam Li Lam-sing geli, barang yang belum ada
wujudnya sudah dibicarakan secara begitu serius. Namun
begitu ia pun terharu akan ketulusan hati Kim Tiok-liu dan
menjawab, "Jika demikian aku ingin mengucapkan terima
kasih lebih dulu padamu."
Begitulah dengan rasa girang lalu Kim Tiok-liu pulang ke
kota dengan membawa kecapi antik itu. Untung pintu kota
belum ditutup, setiba di rumah Te Kin, hari sudah magrib. Te
Kin dan putranya sedang menantikan dia untuk dahar
bersama. "Pesiar kemanakah kau selama sehari suntuk?" tanya Te
Kin dengan tertawa.
Tiok-liu minta maaf karena pulang terlambat, jawabnya.
"Aku pesiar ke Tembok Besar dan berhasil mengikat seorang
sahabat, kecapi kuno ini adalah hadiah teman baru itu."
Te Kin tidak paham seni musik segala, dia hanya kuatir kalau-
kalau Kim Tiok-liu membikin gara-gara. Maka ia memberi
pesan, "Kau baru datang ke sini, adalah jamak kalau ingin
pesiar sepuasnya. Cuma, besok adalah hari ulang tahun Sat
Hok-ting, banyak sekali orang-orang Kangouw yang
berkumpul ke kotanya ini, maka hendaklah kau waspada dan
hati-hati sedikit, kenalan yang belum diketahui asal-usulnya
sementara jangan digauli dulu."
"Banyak terima kasih atas nasihat Lorjianpwe, cuma
temanku ini jelas adalah seorang yang baik hati dan tidak
perlu dikuatirkan," ujar Tiok-liu.
Selesai bersantap, tiba-tiba Kim Tiok-liu bertanya, "Telotjianpwe,
engkau adalah penduduk Pakkhia asli, tentunya
pergaulanmu meliputi segala macam aliran dan kalangan."
Te Kin tertawa sambil mengelus jenggotnya, katanya.
"Entah kau ingin mencari tahu orang macam apa" Rasanya
aku akan kenal bilamana orang itu mempunyai sedikit nama
saja di Pakkhia sini."
"Aku mempunyai sepotong Hian-tiat dan ingin mencari
seorang pandai besi untuk menggemblengnya menjadi
sebatang Pokiam (pedang wasiat)," tutur Tiok-liu. "Sebab
itulah aku ingin tahu apakah di kota Pakkhia ini ada ahli
gembleng pedang yang mahir."
Te Kin terkejut, katanya, "Konon Hian-tiat hanya terdapat
di puncak Kun-lun-san, bobotnya puluhan kali daripada besi
biasa, sungguh tidak terduga kau memiliki benda mestika
demikian. Kukira ahli gembleng pedang yang paling terkenal di
kota Pakkhia sekarang juga tidak sesuai untuk menggembleng
pedangmu ini."
Kim Tiok-liu rada kecewa, katanya, "Jika tidak ada ahlinya,
biarpun punya benda mestika juga tidak berguna."
Setelah merenung sejenak, kemudian Te Kin berkata pula,
"Aku mempunyai seorang kenalan yang cocok untuk
menggembleng pedangmu, cuma pekerjaannya bukan tukang
gembleng pedang. Jika aku yang mohon bantuannya mungkin
dia akan menerima dengan baik. Cuma sayang sementara ini
aku tidak dapat keluar rumah, terpaksa harus menunggu
selesainya urusan-ku ini."
Tiok-liu lega, ia pikir bila pedangnya sudah jadi digembleng
nanti, akan dihadiahkannya kepada Li-toako untuk membalas
kebaikannya, maka setelah mengucapkan terima kasih kepada
Te Kin, lalu ia kembali ke kamarnya.
Besok paginya Kim Tiok-liu lantas mulai merias mukanya
dengan obat-obatan pemberian Ki Hiau-hong. Ia menyaru
sebagai seorang setengah umur, mukanya yang putih itu telah
berubah menjadi coklat kekuning-kuningan, lalu ditambahi lagi
kumis di atas bibir.
Saat itu Te Kin dan Te Bok sedang menunggu Kim Tiok-liu
untuk sarapan pagi, ketika mendadak mereka melihat seorang
asing muncul dari belakang, Te Bok terperanjat dan
membentak, "Siapa kau?"
"Aku!" sahut Tiok-liu dengan tertawa.
"Penyamaranmu sungguh pandai, Kim-laute," puji Te Kin.
"Hanya saja suaramu belum berubah, harus dibikin rada parau
sedikit supaya mirip orang yang sudah berumur. Entah sebab
apa mendadak Kim-laute berganti rupa demikian?"
"Aku ingin jalan-jalan keluar," sahut Tiok-liu.
"Bukankah hari ini tepat hari ulang tahun Sat Hok-ting,"
ujar Te Bok. "Sebab itulah maka aku sengaja menyamar agar tidak
dikenali orang, biarpun teman sendiri," kata Tiok-liu.
"Apakah hari ini tidak bisa tinggal di rumah saja?" ujar Te
Kin. "Aku sudah ada janji dengan teman, tidak baik jika tidak
datang," kata Tiok-liu. Ia kuatir Te Kin mencegahnya, maka
tidak diceritakan maksud tujuannya yang sebenarnya.
Te Kin tidak mencegahnya lagi, katanya kemudian, "Hari ini
mungkin ada seorang tamu, jika Kim-laute selesai menemui
teman hendaklah pulang siangan sedikit."
Tiok-liu mengiakan dan meninggalkan rumah, ia tidak tahu
siapa tamu yang dimaksudkan Te Kin itu, tapi ia yakin yang
dimaksud tentu bukanlah Ting Pin atau Su Pek-to, sebab hari
ini terang Su Pek-to akan pergi memberi selamat kepada Sat
Hok-ting dan tidak mungkin mencari perkara kepada Te Kin.
Di tengah jalan tiba-tiba Tiok-liu teringat, untuk memasuki
kediaman Sat Hok-ting mungkin tidaklah mudah, bisa jadi
diperlukan tanda pengenal tertentu.
Selagi ragu-ragu, dilihatnya di depan sana ada dua orang
yang tampaknya adalah orang-orang Kangouw pula, tiba-tiba
Tiok-liu mendapat akal, cepat ia menyusul ke depan dan purapura
menegur, "Apakah saudara-saudara juga hendak
menghadiri pesta ulang tahun Sat-tjongkoan?"
Kedua orang itu menoleh dan menjawab, "Saudara dari
kalangan mana?"
"Ah, Siaute cuma seorang 'pekerja tunggal' (artinya begal
yang bekerja sendirian) saja," sahut Tiok-liu. "Kebetulan aku
punya teman she Bun yang ada hubungan baik dengan Sattjongkoan,
berkat undangannya aku pun ikut-ikutan
meramaikan suasana pesta nanti."
"Teman she Bun yang kau maksudkan apakah bernama
Bun To-tjeng?" tanya kedua orang itu dengan penuh rasa
kagum. "Benar, apakah kalian juga kenal dia?" Tiok-liu.
"Ah, tidak," jawab kedua orang itu. "Siapakah nama Toako
yang terhormat?"
Kim Tiok-liu memberi suatu nama palsu sekenanya,
menyusul ia pun bertanya nama mereka. Kiranya orang yang
jangkung bernama Thio Hong dan yang lebih pendek bernama
Li Ijong. Yang bernama Thio Hong berkata, "Cukong kami tidak
sehebat cukongmu, cuma berkat bantuan seorang teman yang
bekerja pada Sat-tjongkoan maka kami berhasil mendapatkan
dua kartu undangan."
Baru sekarang Tiok-liu tahu bahwa dugaannya ternyata
tidak meleset, memang betul, untuk masuk ke tempat Sat
Hok-ting itu diperlukan tanda masuk, ia mencoba bertanya
lagi, "Entah saudara-saudara dari kalangan mana?"
"Seperti saudara, kami juga dari kalangan pekerja tanpa
modal," sahut kedua orang itu.
"Kabarnya banyak sekali pemimpin-pemimpin golongan dan
aliran akan hadir juga, tentu banyak sekali anak buah yang
mereka bawa kemari," kata Tiok-liu pula.
"Benar," sahut Li Tjong. "Menurut kabar, Pangtju dari
Djing-liong-pang dan banyak gembong-gembong lain katanya
juga sudah datang semua, belum terhitung anak buahnya
yang entah berapa puluh orang masing-masing komplotan."
"Begitu banyak tamu-tamu yang datang, apakah tidak
kuatir ada orang jahat ikut menyelundup ke situ?" ujar Tiok-liu
dengan tertawa.
"Mana bisa?" kata Thio Hong. "Tamu-tamu yang datang
pada umumnya dijamin oleh pemimpin masing-masing, selain
itu diharuskan membawa kartu undangan. Penyambutpenyam-
Imt yang ditugaskan juga cukup banyak, jika ada
muka baru vang mencurigakan tentu sukar lolos dari
pengawasan mereka."
Diam-diam Tiok-liu berpikir, paling perlu mendapatkan dulu
kartu undangannya, tentang penyambut tamu adalah urusan
lunti. Begitulah ia pura-pura berjalan di sebelah Li Tjone, diamdiam
ia mengerahkan tenaga dalam, ujung jarinya menutuk
pe-lahan di iga kiri Li Tjong di bagian 'Kian-hong-hiat' dan
ternyata sama sekali tidak diketahui sasarannya.
Hiat-to yang ditutuk itu ada hubungannya dengan usus
besar, maka sejenak kemudian mendadak Li Tjong merasa
perutnya sakit seperti dipuntir-puntir, keringat dingin sampai
mengucur, berjalan saja rasanya tidak sanggup lagi.
Keruan Thio Hong terkejut dan cepat bertanya, "He. kenapakah
kau, Li-heng?"
Mulut Li Tjong tampak berbusa, sahurnya dengan setengah
merintih, "Aku.....aku seperti sakit, perutku seakan disayatsayat."
"He, Li-heng sakit perut" Aku rada paham ilmu pertabib-an,
coba kuperiksa," Tiok-liu pura-pura berseru, lalu ia memegang
nadi pergelangan Li Tjong, kemudian pura-pura berseru
kuatir, "Wah, celaka!"
"Bagaimana" Sakit apa dia?" tanya Thio Hong kuatir.
"Ini sakit usus buntu, harus lekas diobati supaya tidak kasip,"
kata Tiok-liu. "Di depan sana ada rumah obat, kukira
lebih baik Li-heng diperiksakan sekalian kepada tabib di situ.
Semoga dalam waktu singkat Li-heng akan sembuh kembali."
Perut Li Tjong memangnya lagi kesakitan setengah mati, ia
menjadi tambah takut demi mendengar keterangan Kim Tiokliu
itu, dengan sangat memohon katanya, "Thio-heng, harap
bantu memayang aku ke sana. Selamat paling perlu, pesta itu
tidak jadi pergi saja."
Meski rada kecewa, tapi sebagai saudara angkat, Thio Hong
tidak enak untuk meninggalkan Li Tjong. Terpaksa ia mesti
menolong adik angkatnya lebih dulu, katanya kepada Kim
Tiok-liu, "Maaf saudara, terpaksa aku harus merawat Li-hiante
dahulu, tolong engkau beritahukan teman kami bila bertemu
di tempat Sat-tjongkoan nanti."
Kim Tiok-liu mengiakan, lalu ia tinggal pergi sendiri dengan
rasa geli. Kiranya waktu memegang nadi Li Tjong tadi secara cepat
sekali ia berhasil menggerayangi saku Li Tjong dan mencopet
kartu undangannya. Sesudah jauh, Tiok-liu coba memeriksa
kartu undangan itu dan ternyata tidak pakai nama orang yang
diundang, dengan demikian dapatlah ia masuk ke tempat Sat
Hok-ting dengan leluasa.
Tapi setiba di luar kediaman Sat Hok-ting, ternyata tamutamu
sudah berbondong-bondong berebut masuk ke dalam
sehingga sangat menyibukkan para penyambutnya. Namun
begitu tamu-tamu itu tampaknya diawasi dengan teliti,
terutama tamu yang datang sendirian. Diam-diam Kim Tiok-liu
merasa sangsi cara bagaimana menyusup ke dalam.
Di tengah keragu-raguan itu, tanpa sengaja Kim Tiok-liu


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menginjak kaki seorang tamu lain. Orang itu menjadi marah
dan mendamprat, "Apa kau tidak punya mata!"
Berbareng Kim Tiok-liu terus dicengkeram bahunya.
Setelah beradu muka, Kim Tiok-liu menjadi terkejut,
kiranya orang ini adalah The Hiong-to yang dahulu yang
pernah me-ngerubutnya di luar kota Sohtjiu bersama Ko Taysing,
Toh Tay-giap dan Kiong Peng-hoan bertiga.
Kuatir dikenali orang, terpaksa Kim Tiok-liu tidak berani
bersuara, sebaliknya The Hiong-to menjadi terkejut sendiri
sesudah mencengkeram bahu Kim Tiok-liu, sebab
cengkeramannya itu sama sekali tidak membikin Kim Tiok-liu
meringis kesakitan, sebaliknya tangan sendiri terasa ditusuktusuk
oleh senjata tajam.
Kebetulan di samping ada orang melerai, "Sudahlah, samasama
tamu, jangan membikin gara-gara di sini."
Maka The Hiong-to menjadi ada alasan dan segera melepas
tangan, katanya, "Tidak apa-apa, aku bermaksud membiarkan
saudara ini jalan di depan."
Diam-diam ia merasa heran akan kelihaian Kim Tiok-liu,
tokoh macam apakah dia ini" Demikian ia bertanya-tanya di
dalam hati. Dalam pada itu mendadak ada orang berseru, "The-toako,
kau pun sudah datang!"
Kim Tiok-liu menjadi girang demi mengenali suara orang
itu, kiranya orang yang menegur The Hiong-to itu bukan lain
daripada Kiong Peng-hoan.
Melihat kenalan lama di situ, dengan gembira The Hiong-to
lantas mendekatinya dan tidak ambil pusing kepada Kim Tiokliu
lagi. katanya kepada Kiong Peng-hoan, "Kiong-hiang-tju,
kiranya kau pun menjadi penyambut tamu di sini. Apakah
Kongsun-totju kalian juga sudah datang?"
Kongsun Hong adalah ketua Ang-eng-hwe yang terkenal di
dunia Kangouw, namanya sejajar dengan Su Pek-to, malahan
orangnya jauh lebih baik daripada Su Pek-to, watak Kongsun
Hong sangat tinggi hati. The Hiong-to mengira dia pasti tidak
sudi hadir di tengah pesta Sat Hok-ting itu, makanya ia
mengajukan pertanyaan tadi kepada Kiong Peng-hoan.
Kiong Peng-hoan segera menjawab, "Mestinya Totju kami
tidak mau datang, namun Su-pangtju ikut mengajaknya
sehingga akhirnya ikut hadir juga. Aku sendiri merasa iseng,
maka ikut-ikutan menyambut tamu di sini."
Agaknya Sat Hok-ting tahu Kiong Peng-hoan mempunyai
pergaulan yang luas, maka dia sengaja diminta bantuan untuk
ikut menyambut tamu dengan tujuan mengawasi kalau-kalau
ada orang yang mencurigakan.
Kim Tiok-liu lantas ikut masuk ke dalam, tapi seorang
penyambut tamu lantas memapaknya dan menegur, "Maaf,
apakah saudara ada kartu undangan" Saudara dari.....?"
Tanpa menjawab Kim Tiok-liu lantas menyodorkan kartu
undangan yang dicopetnya dari Li Tjong, lalu pura-pura
memergoki Kiong Peng-hoan di situ, tanpa peduli penyambut
tamu itu ia lantas mendekati Kiong Peng-hoan dan pura-pura
menyapa, "Aha, Kiong-hiangtju, dini benar kedatanganmu di
sini!" Karena pergaulannya yang luas, jika orang kenal Kiong
Peng-hoan dan sebaliknya dia tidak kenal orang itu adalah hal
yang jamak, maka ketika Kiong Peng-hoan mengingat-ingat
siapakah gerangan yang menegurnya itu, tahu-tahu Kim Tiokliu
sudah mendekat dan menjabat tangannya sambil berkata
dengan tertawa, "Tempo hari Kiong-hiangtju tiada waktu
ketika bertemu di tepi Tay-beng-oh, sekarang kita harus
minum bersama sepuas-puasnya ya?"
Begitu kedua tangan berjabatan, segera Kiong Peng-hoan
merasa tenaga dalam yang disalurkan Kim Tiok-liu, maka
lapat-lapat ia sudah dapat menduga beberapa bagian siapa
gerangan yang sedang dihadapinya itu, sebab sudah beberapa
kali ia pernah bergebrak dengan Kim Tiok-liu. Ditambah lagi
ucapan Kim Tiok-liu, dengan sendirinya ia lebih yakin lagi
siapa gerangan-nya.
Kiong Peng-hoan terkejut dan mengakui pula keberanian
Kim Tiok-liu, pikirnya, "Jika dia berani menerjang masuk ke
sini, masakah aku tidak berani mengambil risiko untuk
menjamin keselamatannya" Paling-paling aku putus hubungan
dengan Su Pek-to daripada dipandang rendah oleh bocah ini."
Maka dengan bergelak tertawa ia menjawab, "Silakan
masuk, Kim-heng. Hari ini mungkin aku masih belum sempat
mengiringi minum kau, namun Totju kami cukup bijaksana,
asalkan kau bilang sahabatku, tentu beliau akan minum
sepuas-puasnya dengan kau."
Di balik kata-katanya itu, ia hendak memberi isyarat bahwa
Totju mereka, yaitu Kongsun Hong, bukan sekaum dengan Su
Pek-to, adalah tiada jeleknya jika Kim Tiok-liu berkenalan dulu
dengan beliau, andaikan terjadi apa-apa juga akan mendapat
kelonggaran dari Kongsun Hong.
Begitulah melihat percakapan Kim Tiok-liu dengan Kiong
Peng-hoan yang disertai gurau segala, para penyambut tamu
menyangka mereka adalah sahabat lama, dengan sendirinya
Tiok-liu tidak ditanyai lebih lanjut, maka dengan leluasa
dapatlah Kim Tiok-liu masuk ke dalam serta diantar ke tempat
duduknya. Kim Tiok-liu coba memandang sekitarnya, terlihat Ku Taysing,
The Hiong-to, Toh Tay-giap. Soa Djian-hong dan lain-lain
sama berada di situ, hanya Su Pek-to yang tidak nampak.
Ketika pandangannya berpindah ke sudut sana, sekilas di
lihatnya ada seorang pemuda duduk sendirian di pojok situ
dan asyik minum dengan kepala tertunduk. Hati Kim Tiok-liu
tergerak, ia merasa pemuda itu seperti pernah dikenalnya,
cuma tidak ingat dimana"
Dalam pada itu terdengar dua orang tamu lain di
sebelahnya sedang pasang omong, kata seorang di antaranya,
"Apakah sudah waktunya kita masuk ruang dalam untuk
menyampaikan selamat kepada tuan rumah?"
"Tuan rumah sedang sibuk melayani tamu agung di ruang
dalam, rasanya belum tiba waktunya upacara," sahut
temannya. "Apa kau tahu, Su-pangtju dari Liok-hap-pang dan
Kongsun-totju dari Ang-eng-hwe telah datang semua"
Biasanya Kongsun-totju tidak suka berhubungan dengan kaum
pejabat pemerintah, sekarang dia mau datang memberi
selamat ulang tahun, tentu saja Sat-tjongkoan akan
melayaninya dengan baik."
Rupanya orang ini menganggap dia mempunyai sumber
berita yang tajam, maka ingin mendahului mengemukakan
berita belakang layar yang diketahuinya.
Kawannya tadi menjawab dengan tertawa, "Aku sudah
tahu, tapi ada baiknya juga jika kita menambah pengalaman
di ruangan dalam sana."
"Menambah pengalaman apa?" tanya temannya tadi.
"O, jadi kau belum tahu" Banyak sekali benda-benda
sumbangan dari berbagai pihak, semuanya dipajang di ruang
pesta dalam, bahkan ada pula hadiah mestika dari Sri
Baginda." Setelah mendengarkan percakapan kedua orang, waktu
Kim Tiok-liu berpaling lagi, ternyata pemuda yang seperti dike
nalnya tadi sudah tidak kelihatan, mungkin sudah masuk ke ru
angan pesta di dalam. Segera Kim Tiok-liu ikut di belakang ke
dua orang tadi dan masuk ke ruang dalam.
Ruang pesta beberapa kali lebih luas daripada ruang tamu
"li depan. Di tengah berjajar beberapa meja besar penuh
dengan mncam-macam hadiah sumbangan dari berbagai
pihak. Yang imling menarik perhatian adalah kado pemberian
Sri Baginda Knja, yaitu sepasang Semangka zamrut yang
mulus tanpa cacat. Kedua adalah sebuah Ho-siu-oh (sejenis
bahan obat) yang ber-nentuk manusia dan sudah berumur
ribuan tahun. Ho-siu-oh demikian sangat sukar dicari, konon
adalah obat mujarab untuk mengembalikan tenaga muda.
Rupanya sesudah kehilangan kalung mutiara dan besi murni
pusaka, dengan segala daya upaya Su Pek-to telah
mendapatkan lagi Ho-siu-oh yang berharga ini.
Diam-diam Kim Tiok-liu berpendapat, daripada sepasang
Semangka zamrut itu, ia lebih suka pada Ho-siu-oh itu,
pikirnya, "Aku sudah merampas dia punya Hian-tiat dan
pinjam pakai dia punya kuda, kalau sekarang aku mencuri lagi
Ho-siu-oh ini tentu akan membikin Su Pek-to mati kaku saking
murka, tapi buat apa nku terlalu serakah."
Setelah Semangka zamrut dan Ho-siu-oh tadi, kado-kado
berharga berikutnya adalah sebuah tanduk badak yang
berasal dori sejenis badak di dataran tinggi Tibet. Konon
tanduk badak itu paling mujarab digunakan sebagai obat anti
racun, umpama uda minuman beracun, asal tanduk itu
dimasukkan ke dalam cawan, seketika tanduk badak yang
mulus itu akan berubah men-iadi hitam. Katanya tanduk badak
ini adalah kado kiriman dari Ituddha Hidup dari Tibet yang tak
bisa hadir, dia hanya mengutus Lama anak buahnya dengan
membawa kado berharga itu sebagai tanda penghormatan
kepada Sat Hok-ting. Selain ketiga macam benda-benda
mestika tersebut, masih banyak lagi benda-benda mestika
yang lain. Begitulah para tamu-tamu sembari mengagumi barang-bamng
hadiah yang beraneka ragam itu sambil pasang omong
pula, rida yang berkata, "Sebenarnya lebih banyak lagi kadokado
yang dikirim kepada Sat-tjongkoan, kabarnya di tengah
jalan ada ?bagian telah dibegal orang jahat."
"Apakah kau tahu macam apakah orang yang berani
membegal barang-barang antaran untuk Sat-tjongkoan itu?"
tanya seorang di antaranya.
Yang tadi lantas menjawab, "Konon adalah seorang wanita
berkedok, tiada seorang pun yang kenal asal-usulnya."
Kim Tiok-liu tertawa geli sendiri mendengarkan percakapan
orang-orang itu, tapi di antara rasa gelinya itu timbul pula rasa
kecewanya. Sebab salah satu tujuan kedatangannya dengan
menempuh bahaya ini adalah ingin bisa berjumpa dengan Su
Ang-ing, tapi sampai saat ini bayangan si nona ternyata tidak
kelihatan. "Apakah dia tidak berani datang karena dia telah membegal
barang-barang antaran untuk Sat Hok-ting atau dia sudah
datang, tapi aku sendiri yang tidak melihatnya?" demikian
Tiok-liu menimang-nimang sendiri. Karena ingin lekas
menemukan Su Ang-ing, maka ia pun tiada minat buat
meneliti kado-kado itu.
Para tamu wanita yang ikut hadir di situ terbagi dua
golongan. Satu golongan adalah keluarga wanita kaum
pembesar yang ikut datang bersama sang suami, jenis ini
bersembunyi di ruang belakang dan tidak bercampur dengan
tamu-tamu lelaki. Golongan lain adalah wanita-wanita
Kangouw, misalnya Tang Tjap-sah-nio dari Liok-hap-pang dan
sebangsanya. Tamu-tamu wanita golongan ini ikut bercampur
di tengah ruang pesta. Cuma jumlahnya terbatas dan
gampang dicari, namun di antaranya ternyata tiada seorang
pun yang mirip Su Ang-ing.
Selagi Kim Tiok-liu merasa ragu-ragu apakah Su Ang-ing
datang atau tidak, tiba-tiba telinganya tertarik oleh
percakapan dua orang, kata seorang di antaranya, "Kabarnya
beberapa hari yang lalu mereka telah salah tubruk, masakah
anak perempuan Hong Tju-tjiau disangka sebagai begal
wanita itu. Laute datang dari jurusan sana, apakah
mengetahui peristiwa itu?"
"O, aku.....aku belum tahu," sahut yang ditanya.
"Inilah aneh, kukira seharusnya kau mengetahui kejadian
itu?" ujar yang pertama tadi.
"Soa-pangtju, ucapanmu ini lebih-lebih aneh. Mengapa aku
harus mengetahui menurut anggapanmu?" sahut orang itu
mendongkol. Suara jawaban ini tiba-tiba mengingatkan Kim Tiok-liu
seperti suara seorang yang sudah dikenalnya. Cepat ia
mencari ke arah datangnya suara itu. Ternyata pembicaraan
itu dilakukan Soa Djian-hong dengan seorang pemuda yang
tak lain tak bukan adalah pemuda yang duduk di pojok ruang
tamu tadi. Dengan sorot mata yang sangsi, Soa Djian-hong
tampak sedang menanyai pemuda itu.
Seketika timbul juga kecurigaan Kim Tiok-liu, baru dia
hendak mendekat ke sana, mendadak suara berisik di ruang
pesta itu menjadi tenang dan sunyi, ada orang sedang
mendesis, "Sssstt, itu dia tuan rumah sudah keluar!"
Waktu Kim Tiok-liu berpaling, dilihatnya seorang pembesar
berjubah mentereng di tengah iringan para pengawal telah
muncul. Tak perlu ditanya lagi pembesar ini tentulah Sat Hokting
adanya. Di kanan-kiri Sat Hok-ting adalah Bun To-tjeng dan Su Pekto,
cuma mereka mengikut rada jauh di belakang. Masih ada
lagi seorang yang hampir jalan berendeng bersama Sat Hokting,
orang ini setengah umur dan berjubah kain kasar,
sikapnya lebih mirip seorang kampungan. Sudah tentu sangat
menarik perhatian orang bahwa seorang kampungan muncul
bersama di tengah pesta pora Sat Hok-ting itu.
Kim Tiok-liu juga terheran-heran, ia coba bertanya orang di
sebelahnya dan baru diketahui bahwa orang itu adalah Kongsun
Hong, ketua Ang-eng-hwe yang termashur. Begitu berada
di ruang pesta, segera Kongsun Hong meninggalkan Sat Hokting
dan pergi mencari teman-teman karibnya.
Diam-diam Kim Tiok-liu membatin, "Tampaknya Kongsun
Hong ini memang tidak sama dengan Su Pek-to. Agaknya dia
tidak sudi menghamba kepada kaum penguasa, tapi buat apa
lagi dia datang ke sini" Kan lebih baik tidak hadir" Apa cuma
disebabkan ajakan Su Pek-to yang tidak enak ditolak?"
Munculnya Sat Hok-ting untuk menerima penghormatan
dan ucapan selamat dari tetamunya, berturut-turut para tamu
lantas maju memberi hormat. Soa Djian-hong juga lantas
meninggalkan pemuda yang ditanyai tadi dan buru-buru
hendak mengucapkan selamat kepada Sat Hok-ting. Di tengah
ramai-ramai itu, sedikit lena Kim Tiok-liu kembali kehilangan
jejak pemuda tadi.
Walaupun para tamu berebut ingin memberi selamat
kepada Sat Hok-ting, namun cukup tertib juga suasananya.
Yang maju lebih dulu adalah golongan Pangtju, Totju dan
pemimpin aliran, orang-orang yang merasa kedudukannya
lebih rendah terima antri di belakang.
Selesai Soa Djian-hong memberi selamat kepada Sat Hokting,
menyusul lalu Toh Tay-giap dan Ko Tay-sing berdua.
Tapi sekonyong-konyong seorang laki-laki tegap bergodek
lebat tampil ke depan mendahului Ko Tay-sing berdua sambil


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berseru, "Aku pun datang memberi selamat padamu!"
Selagi semua orang tercengang, mendadak laki-laki tegap
itu mencengkeram Sat Hok-ting. Gerakan dan caranya benarbenar
luar biasa cepatnya.
Sebagai Tjongkoan atau kepala dari semua jagoan dan
pasukan istana, sudah tentu ilmu silat Sat Hok-ting tidaklah
rendah, lapi sekali kena dicengkeram laki-laki itu ternyata
lantas tidak bisa berkutik dan merasa kesakitan.
"Jangan bergerak kalau tidak ingin aku meremas hancur
tulangmu?" bentak pula laki-laki itu kepada Sat Hok-ting yang
sedang meronta. Berbareng itu sikutnya lantas bekerja,
kontan badan Ko Tay-sing yang besar itu telah mencelat pergi
dan sekaligus menumbuk Toh Tay-giap yang berdiri di
belakangnya dan terguling semua.
Kiranya Ko Tay-sing berdua bermaksud menyerang laki-laki
itu dari belakang tapi orang itu seperti mempunyai mata di
punggung, tahu-tahu malah Ko Tay-sing berdua yang dibikin
roboh. Karena kejadian yang terlalu mendadak dan di luar dugaan,
sampai Bun To-tjeng yang berada di samping Sat Hok-ting
juga tidak sempat menolong.
Seketika itu para tamu pun dibikin ter-kesima, mendadak
ada orang berteriak, "He, itu dia Utti Keng!"
Pendekar Pemetik Harpa 30 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Bukit Pemakan Manusia 8
^