Pendekar Jembel 8

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 8


Laki-laki bergodek itu bergelak tertawa, katanya, "Betul,
aku Utti Keng adanya! Aku telah membikin kalian terkejut.
Soalnya anak buah kami sedang kelaparan, daripada hadiahhadiah
ini kalian sumbangkan kepada pembesar anjing ini, ada
lebih baik berikan saja kepadaku. Silakan kalian tetap berada
di tempat masing-masing, kalau tidak, jangan salahkan aku
jika terpaksa aku mengambil tindakan kepada kawan-kawan
sendiri." Utti Keng adalah seorang begal besar yang terkenal di
Kwan-gwa, lima tahun yang lalu kota Pakkhia juga pernah
digegerkan oleh perbuatannya. Sekarang dia berada di tengah
pasukan pemberontak di Siau-kim-djwan. Kedatangannya ini
bertujuan hendak 'pinjam' perlengkapan kepada Sat Hok-ting.
Para tamu yang cukup kenal siapa Utti Keng itu menjadi
ketakutan oleh gertakannya tadi. Ada yang mengetahui Utti
Keng telah menjadi pemimpin pemberontak bertambah kuatir
pula kalau-kalau Sat Hok-ting akan celaka. Mereka pun heran
cara bagaimana Utti Keng dapat menyusup ke kediaman Sat
Hok-ting" Selesai Utti Keng mengucapkan kata-kata tadi, lalu ada
tujuh atau delapan orang yang berpakaian sebagai kaum
hamba menerobos ke depan, tiap orang membawa sebuah
karung besar, tanpa disuruh lagi mereka lantas menyapu
bersih semua barang-barang berharga di atas beberapa meja
itu ke dalam karung mereka.
Rupanya orang-orang itu adalah anak buah Utti Keng yang
lebih dulu telah diselundupkan dan siap bertugas. Lantaran
Sat Hok-ting merayakan hari ulang tahunnya secara besarbesaran,
dengan sendirinya tenaga pelayan tidak mencukupi
dan terpaksa mengambil tenaga dari luar. Dengan menyogok
beberapa orang kepercayaan Sat Hok-ting, akhirnya Utti Keng
berhasil menyelundupkan anak buahnya itu. Adapun Utti Keng
sendiri menggunakan cara lain untuk masuk ke situ, hal ini
akan diuraikan nanti
Di saat anak buah Utti Keng sedang memindahkan barangbarang
berharga ke dalam karung mereka, di antara tamutamu
itu ada dua orang tanpa sengaja telah bergerak, maksud
mereka entah hendak mencegah atau karena lain hal, tapi
pada saat mereka bergerak itulah kontan mereka lantas
menjerit. Di bawah kesaksian orang banyak itulah entah cara
bagaimana kedua orang itu lantas menggeletak tak bernyawa
lagi. Tiba-tiba terlihat seorang wanita berbaju hitam telah berdiri
di ambang pintu ruang pesta itu dan berseru dengan nada
mengancam, "Tuanku sudah bicara di muka tadi, siapa yang
tidak tunduk kepada tuanku dan coba-coba bergerak maka
dua orang inilah contohnya!"
Melihat wanita baju hitam ini, semua orang tambah
merinding. Kiranya wanita ini adalah istri Utti Keng, namanya Ki Sengin
dengan julukan 'Djian-djiu-koan-im', si Dewi Kwan Im
bertangan seribu. Diberi julukan 'tangan seribu' adalah karena
kemahiran Ki Seng-in menggunakan berbagai macam senjata
rahasia secara sekaligus sehingga sukar bagi musuh untuk
melawannya. Begitu muncul Ki Seng-in lantas membuktikan julukannya
dengan membunuh dua orang, dengan cara bagaimana dan
senjata rahasia apa dia membunuh korban-korbannya tiada
yang tahu, keruan semua orang saling pandang dengan jeri.
"Kepandaian hebat!" tiba-tiba ada seorang menanggapi,
kiranya adalah Bun To-tjeng. Belum lenyap suaranya, "Cringcring"
dua buah mata uang menyambar ke depan dari
tangannya. Saat itu hampir semua barang-barang hadiah yang
tertumpuk di atas meja itu sudah disapu ke dalam karung
anak buah Utti Keng tadi, hanya tertinggal sepasang
Semangka zamrut dan Ho-siu-oh yang terletak di tengahtengah
meja itu. Senjata rahasia mata uang yang disambitkan
Bun To-tjeng itu sama sekali di luar dugaan. Ada seorang di
antaranya masih keburu menyambar Semangka zamrut itu.
Untuk Ho-siu-oh ternyata agak terlambat, tahu-tahu Ho-siuoh
itu telah terbang tanpa sayap.
Apa sebabnya bisa 'terbang tanpa sayap'" Kiranya cara Bun
To-tjeng menyambitkan Piau mata uang itu sangat aneh, dua
buah mata uang dapat mengepit kanan-kiri Ho-siu-oh itu dan
diangkat ke atas, setelah berputar satu lingkaran lalu kembali
lagi ke tangan Bun To-tjeng.
"Bagus, orang she Bun, apa kau ingin bertanding Am-gi
dengan aku?" jengek Ki Seng-in, kontan tiga titik bintang
lantas menyambar ke arah Bun To-tjeng.
Di antara tamu-tamu itu banyak juga terdapat ahli Am-gi
atau senjata rahasia, mereka tahu itulah tiga buah Tau-kutting,
paku penembus tulang, yang khusus digunakan
menyerang Hiat-to.
"Benar," sahut Bun To-tjeng, "Aku memang ingin belajar
kenal dengan kemahiran senjata rahasia si Dewi Kwan Im
bertangan seribu."
Habis berkata, kembali tiga buah mata uang terbang pula
ke depan, terdengarlah suara "cring-cring" beberapa kali, dua
buah Tau-kut-ting dan dua buah mata uang saling tumbuk di
tengah udara dan jatuh semua. Tapi Tau-kut-ting yang ketiga
sebelum membentur mata uang mendadak membelok, lalu
menyambar pula ke muka Bun To-tjeng.
Sama sekali Bun To-tjeng tidak menduga begitu aneh dan
hebat cara menggunakan Am-gi si Dewi Kwan Im bertangan
seribu, untuk menangkap paku maut itu sudah terlambat,
dalam keadaan kepepet terpaksa ia mengkeretkan kepalanya
ke bawah, "tring", paku lantas menancap di sandaran kursi
besar yang didudukinya.
Gebrakan ini boleh dikata sama kuatnya dan masingmasing
mempunyai kemahiran sendiri-sendiri. Bobot mata
uang lebih enteng daripada paku, tapi Bun To-tjeng mampu
membentur jatuh paku Ki Seng-in itu dengan mata uangnya,
jelas tenaga dalam Bun To-tjeng lebih kuat setingkat. Namun
Bun To-tjeng juga tidak dapat membentur semua paku itu,
bicara tentang kemahiran memainkan senjata rahasia juga
memang Ki Seng-in lebih bagus.
Tapi Ki Seng-in merasa kehilangan muka karena senjata
rahasianya dipukul jatuh, dengan gusar segera ia hendak
melabrak musuh lebih lanjut.
Namun Utti Keng lantas mencegahnya, "In-moay, buat apa
cemas" Jika urusan di sini sudah selesai, kita masih bisa
mencari dia untuk membikin perhitungan. Apa kau kuatir Hosiu-
oh itu ditelan mentah-mentah olehnya?"
"Baiklah, apa kau berani bertanding lagi di lain tempat,
orang she Bun?" Ki Seng-in menantang.
"Apa yang kutakutkan" Jika perlu boleh sekarang juga kita
mencari suatu tempat bertanding!" sahut Bun To-tjeng.
"Jangan kena pancingannya, adik In," kata Utti Keng, habis
itu mendadak ia membentak, "Orang she Bun, jangan banyak
bicara lagi. Mulai saat ini. jika kau berani sembarangan
bergerak segera aku membinasakan Sat-taydjin kalian ini!"
Di tengah ruang pesta itu tidaklah kurang jago-jago lihai,
seperti Su Pek-to, Bun To-tjeng dan sebagainya, tentang
kepandaian sejati mungkin mereka lebih kuat daripada Utti
Keng dan istrinya, tapi lantaran Sat Hok-ting berada di
cengkeraman Utti Keng, kalau dia sampai kalap bukan
mustahil tuan rumah itu akan dibunuh benar-benar olehnya.
Sebab itulah mereka menjadi mati kutu dan tidak berani
sembarangan bertindak.
Begitulah dalam sekejap saja semua barang hadiah di atas
meja sudah ludes dimasukkan ke dalam karung anak buah Utti
Keng tadi, lalu Utti Keng berkata pula dengan tertawa, "Nah.
Sat-taydjin, harap kau memberi perintah untuk membuka
pintu gerbang agar mereka bisa keluar. Jika kawan-kawanmu
itu ada yang mengganggu seujung rambut saja, aku lantas
membeset kulitmu, tahu tidak?"
Sat Hok-ting merasa tak berdaya, terpaksa ia mengiakan
dan menuruti segala perintah Utti Keng.
Lebih dulu Utti Keng sudah menyiapkan kuda di luar, begitu
keluar pintu, anak buahnya lantas menyemplak ke atas kuda
idan dilarikan. Hanya Utti Keng dan istrinya masih tinggal di
ruang pesta. "Utti-tolju, sekarang kau bisa lepas tangan kan?" ujar Sat
Hok-ting. "Kenapa mesti buru-buru, tunggulah sebentar lagi," jawab
Utti Keng. Tidak lama kemudian, terdengarlah suara "tut-tut"
berkumandang dari jauh.
Lalu berkatalah Utti Keng dengan tertawa, "Rupanya kau
cukup tahu gelagat dan tidak mengirim orang buat
membuntuti kawan-kawan kami itu."
Kiranya suara "tut-tut" itu adalah tanda pemberitahuan
selamat telah sampai di tempat yang aman dari anak buahnya
tadi. "Sekarang dapat melepaskan aku bukan?" pinta Sat Hokting
dengan tersenyum getir.
"Sebentar lagi tentu aku akan melepaskan kau, cuma
sementara ini harus membikin capek padamu, silakan antar
aku keluar kota dulu," kata Utti Keng.
Sat Hok-ting melengak, katanya dengan tergagap, "Ini.....
ini....." "Ini itu apa?" jengek Utti Keng. "Apa kau tidak percaya
padaku?" "Aku merasa cara demikian rada-rada....."
"Rada-rada apa" O, kau merasa malu" Kau ingin pamor
atau ingin jiwa?"
Sat Hok-ting tidak berani banyak omong lagi dan terpaksa
mengiakan. Utti Keng bergelak tertawa, katanya. "Laki-laki sejati
selamanya mesti pegang janji. Sesudah keluar pintu kota aku
lantas melepaskan kau. Nah, berangkatlah sekarang!"'
Belum lenyap suaranya, mendadak telapak tangan Su Pekto
menggablok ke punggung Sat Hok-ting sambil membentak,
"Penjahat begini mana boleh dilepaskan!"
Tindakan Su Pek-to ini benar-benar terlalu mendadak,
bukan saja orang lain terkejut, bahkan Utti Keng sendiri juga
tidak menduga. Mestinya Utti Keng mencengkeram kencang pundak Sat
Hok-ting, tapi karena pukulan Su Pek-to ini, seketika Utti Keng
merasa suatu tenaga dahsyat menggetar genggaman
tangannya, tanpa terasa cengkeramannya menjadi kendur.
Menyusul dengan cepat luar biasa Su Pek-to sudah menyeret
mundur Sat Hok-ting.
Rupanya sejak tadi Su Pek-to terus memeras otak
memikirkan cara yang baik untuk menyelamatkan Sat Hokting,
ketika Utti Keng memaksa Sat Hok-ting mengantarkan
keluar kota, tiba-tiba ia mendapat akal bagus.
Menurut perhitungan Su Pek-to, karena ingin menggunakan
tawanannya sebagai sandera tentu Utti Keng tidak berani
sembarangan membunuh Sat Hok-ting. Dengan tepat Su Pekto
juga memperhitungkan, yang dijaga Utti Keng adalah
serangan orang kepadanya, tentu tidak menyangka ada orang
akan menyerang Sat Hok-ting malah. Karena itulah Su Pek-to
menggunakan ilmu pukulan 'Ke-san-ta-gu' (memukul kerbau
dari balik gunung), tenaga pukulannya itu takkan melukai Sat
Hok-ting, tapi yang terpukul adalah Utti Keng. Dan benar juga,
Utti Keng kena diakali.
"Maaf, Sat-taydjin," seru Su Pek-to sambil mendorong Sat
Hok-ting ke samping.
Utti Keng menjadi tidak keburu lagi merebut kembali
sanderanya itu, dengan gusar ia lantas membentak, "Keparat!
Biarlah kau yang mati menggantikan Sat Hok-ting!"
Dengan ilmu pukulan "Ke-san-ta-gu' tadi Su Pek-to tidak
berhasil melukai Utti Keng, ia lantas tahu kekuatan lawan
sama kuatnya dengan dirinya, dengan tertawa ia menjawab,
"Besar amat kata-katamu, sekarang kaulah yang sukar untuk
terbang keluar sekali pun tumbuh sayap!"
Berbareng ia lantas menyambut pukulan Utti Keng.
"Brak", kedua tangan beradu, Utti Keng menggeliat. Su
Pek-to tergentak mundur dua langkah. Dengan cepat Utti
Keng lantas melangkah maju, dengan kepalan kiri dan telapak
kanan ia menghantam dan memotong bertubi-tubi sembari
membentak, \ "Memangnya aku tidak berpikir buat keluar lagi
dari sini, tapi sedikitnya aku harus mampuskan kau dulu!"
Serangannya sekarang mendekati cara yang nekad untuk
gugur bersama musuh sehingga lebih dahsyat daripada tadi.
Kepandaian Su Pek-to tidaklah di bawah Utti Keng, tapi
mau tak mau ia rada keder juga menghadapi sikap Utti Keng 1
yang beringas itu. "Bret", mendadak baju bagian bahu Su Pekto
kena dijambret robek oleh Utti Keng sehingga pundaknya
terasa ' pedas, untung tidak sampai terluka.
Di sebelah sana, setelah bisa tenang kembali, Sat Hok-ting i
lantas membentak, "Hayo, lekas kalian tangkap bandit itu!
Tidak bisa menawan hidup-hidup, matikan saja juga boleh!"
Biasanya Bun To-tjeng suka sombong bahwa ilmu silatnya
nomor satu di dunia ini, ia merasa tidak enak untuk
mengembut Utti Keng, ia pikir berjasa juga bila aku dapat
menawan penjahat wanita itu, maka segera ia melompat maju
dan menubruk ke arah Ki Seng-in.
"Bagus, sekarang juga aku membikin perhitungan
padamu!" seru Ki Seng-in, berbareng dengan itu bermacammacam
senjata rahasianya lantas berhamburan.
"Si Dewi bertangan seribu benar-benar tidak bernama
kosong!" puji Bun To-tjeng. Ia menggunakan angin
pukulannya serta meloncat ke atas sehingga senjata-senjata
rahasia itu ada (yang tergoncang melenceng ke jurusan lain
dan ada yang menyambar lewat di bawah kakinya.
Tapi yang celaka adalah para tamu yang lain, mereka pun
berjubel-jubel sehingga tambah sukar untuk menghindari
hujan senjata rahasia itu, kontan yang roboh ada belasan
orang. Ada lagi yang ditumbuk jatuh oleh kawannya sendiri,
ada lagi dua orang yang paling sial terpukul pingsan karena
keserempet oleh tenaga pukulan Bun To-tjeng.
Keruan tamu-tamu yang lain sama ketakutan dan beramairamai
lari keluar. Di tengah ruang pesta itu tertinggal jagojago
kelas tinggi dengan para pengawalnya yang terpaksa
harus bertempur mati-matian demi tuan mereka. Jumlah
seluruhnya di ruang pesta yang luas itu kini tinggal beberapa


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puluh orang saja sehingga cukup leluasa untuk bertarung.
Keempat Hiangtju bawahan Su Pek-to juga tidak tinggal
diam lagi, ketika melihat sang Pangtju rada kewalahan
menghadapi lawannya, segera mereka mengembut maju
tanpa memikirkan etika orang persilatan lagi.
Karena dikeroyok, Utti Keng menjadi terdesak. Tang Tjapsah-
nio paling ganas, sebaliknya Utti Keng memandang
enteng padanya karena dianggap dia cuma seorang wanita,
tak terduga bahwa di antara empat Hiangtju itu justru Tang
Tjap-sah-nio adalah yang paling lihai. Karena meleng itulah
Utti Keng kena disabet oleh cambuk Tang Tjap-sah-nio,
seketika punggungnya babak belur.
Di sebelah sana, Bun To-tjeng juga sedang bertempur
dengan Ki Seng-in. kepandaian Bun To-tjeng memang lebih
tinggi daripada Ki Seng-in. Melihat suaminya terluka, Ki Sengin
tambah gelisah dan tak berdaya untuk membantunya.
Begitulah Utti Keng dan Ki Seng-in lantas terkurung rapat
oleh musuh dan tampaknya sukar mempertahankan diri lagi.
Dengan terbahak Sat Hok-ting berkata, "Nyali kalian suami
istri bandit ini benar-benar terlalu besar, sampai-sampai
rumahku juga berani kalian garong. Hehe, barang-barang
yang sudah kalian gondol lari itu harus kalian kembalikan
seluruhnya dengan lengkap!"
Nyata sekali nadanya menghendaki Utti Keng dan Ki Sengin
ditangkap hidup-hidup untuk memperoleh barangbarangnya
yang dirampas tadi. Padahal tadi ia memerintahkan
membunuh mereka.
Dalam pada itu Kim Tiok-liu sedang berpikir, "Utti Keng
sengaja datang mencari perbekalan bagi pasukan pergerakan,
dia benar-benar seorang pahlawan. Mana boleh aku diam saja
tanpa membantunya?"
Baru saja Kim Tiok-liu hendak turun tangan, ternyata dia
telah didahului oleh seorang lain. Orang itu bukan lain
daripada si pemuda yang dicurigainya dan dicari-carinya tadi.
Begitu pemuda itu melompat maju, segera kopiahnya
lantas ditanggalkan sehingga tampak rambutnya yang
panjang, serunya, "Koko, buat apa kau membantu pihak yang
jahat?" Siapa lagi dia kalau bukan Su Ang-ing adanya. Munculnya
Su Ang-ing benar-benar membikin segenap hadirin menjadi
geger. Kim Tiok-liu juga kejut dan girang, seketika ia
terkesima malah.
Sat Hok-ting juga kaget, bentaknya, "Siapa kau" Siapa
adalah kakakmu?"
"Aku ini adalah adik perempuan Su-pangtju dari Liok-happang,
aku pun ambil bagian dalam pembegalan barang-barang
antaran bagi pembesar anjing macam kau ini."
"Su-pangtju, apa-apaan ini?" tanya Sat Hok-ting kepada Su
Pek-to dengan muka mcmbesi.
Muka Su Pek-to menjadi merah padam, sahutnya,
"Perbuatan adik perempuanku yang sembrono itu tentu akan
kuberi hukuman setimpal!"
Segera ia meninggalkan Utti Keng dan memapak Su Angmg.
"Koko, dengarkanlah kata-kataku....."
Tapi Su Pek-to lantas membentak sebelum Su Ang-ing meliinjutkan
ucapannya, "Tutup mulut! Aku tidak punya adik
perempuan seperti kau!"
Rupanya Su Pek-to kuatir ucapan Su Ang-ing itu melantur
dan merugikan dia, maka segera ia mendahului memukul
untuk memutus kata-kata adik perempuannya.
Begitu Su Pek-to melancarkan serangan kepada Su Anging,
seketika ada dua orang lagi yang serentak menubruk ke
arahnya. Seorang di antaranya adalah Kim Tiok-liu dengan
gerakan kilat, tapi seorang lagi jaraknya lebih dekat dengan
Su Ang-ing, gerakannya juga tidak kalah cepatnya daripada
Kim Tiok-liu sehingga dia dapat mendahului satu langkah.
Ketika mendadak Su Pek-to merasa dari belakang ada
sambaran angin tajam, Su Pek-to terkesiap dan heran
darimana datangnya jago lihai demikian" Tanpa menoleh
tangannya lantas mencengkeram ke belakang, yang diarah
adalah tulang pundak lawan.
Ujung pedang orang itu berputar dengan cepat dan
berubah menusuk In-gi-hiat di bawah iga Su Pek-to, serangan
ini memaksa musuh harus menyelamatkan diri lebih dulu,
maka terpaksa Su Pek-to mengegos ke samping, menyusul
terus menendang.
Melihat serangan lawan cukup ganas, mendadak orang itu
melompat ke atas, menyusul pedangnya lantas menikam ke
bawah. Namun dengan cepat sekali Su Pek-to juga sudah
mencabut pedangnya, dengan gerakan 'Ki-hwe-Iiau-thian'
(mengangkat obor menyuluh langit), pedangnya menangkis ke
atas, terdengarlah suara mendering nyaring memekak telinga.
Beberapa jurus serangan itu sama-sama dilakukan dalam
sekejap dan menggunakan segenap kemahiran masingmasing,
sedikit lengah saja darah pasti akan mengalir. Meski
gebrakan-gebrakan itu menunjukkan Su Pek-to lebih unggul
sedikit, tapi ia pun terkejut karena tak mampu melukai
lawannya. Dalam pada itu dengan lincahnya orang tadi berjumpalitan
di udara, lalu berdiri tegak di sebelah Su Ang-ing, katanya
dengan tertawa, "Nona Su, kita pernah merasakan
kesenangan bersama, hari ini juga sepantasnya bahu
membahu menghadapi kesukaran!"
"Budak hina, siapakah bocah ini?" bentak Su Pek-to kepada
Ang-ing dengan mata mendelik.
"Dia adalah temanku, kenapa sih?" jawab Ang-ing.
"O, kau ingin tahu diriku?" orang itupun menanggapi
dengan tertawa. "Aku adalah teman sekelompotan dengan
adikmu dalam perampasan barang antaran untuk Sat-taydjin
ini. Eh, kenapa kau marah-marah, mestinya aku bermaksud
berbagi rejeki padamu."
Su Pek-to menjadi murka, teriaknya, "Bagus, kiranya kau
sengaja memecah belah kami kakak beradik, aku harus
membinasakan kau!"
"Sret-sret" dua kali, beruntun ia menabas, begitu kuat
tenaganya sehingga menerbitkan suara angin yang keras.
"Koko, kau yang memaksa aku bergebrak dengan kau!"
seru Ang-ing sambil memutar cambuk, bersama pedang orang
tadi mereka melayani serangan Su Pek-to.
Sementara itu Kim Tiok-liu sudah dapat mengenali siapa
orang itu. Ia menjadi kaget dan bergirang pula, pikirnya tidak
habis mengerti, "Bagaimanakah duduknya perkara ini" Jadi Litoako
juga sudah lama kenal Ang-ing?"
Kiranya pemuda yang melabrak Su Pek-to itu tak lain tak
bukan adalah Li Lam-sing yang telah mengangkat saudara
dengan Kim Tiok-liu di atas Tembok Besar kemarin itu.
Lantaran sedikit melenggong itulah ada dua jago pengawal
Sat Hok-ting sempat maju mencegat Kim Tiok-liu. Tapi sekali
bergebrak, "plak-plok" dua kali, kontan kedua jago pengawal
itu kena dihantam oleh Kim Tiok-liu dan tersungkur tak
bangun la-g?- Setelah melancarkan serangan itu, barulah Kim Tiok-liu
merasa pukulannya terlalu keras, terhadap dua lawan keroco
begitu mestinya tidak perlu memakai pukulan mematikan.
Rupanya tanpa terasa Kim Tiok-liu telah melampiaskan rasa
dongkolnya di atas badan kedua jago pengawal itu, namun ia
sendiri pun tidak tahu apa sebabnya mendadak ia naik pitam.
Di sebelah sana Li Lam-sing dan Su Ang-ing berbareng juga
telah melihat Kim Tiok-liu. Karena dalam keadaan menyamar,
seketika Su Ang-ing belum mengenali Kim Tiok-liu, tapi Li
Lam-sing lantas tahu siapa dia begitu melihat ilmu pukulannya
tadi. "Toako," seru Kim Tiok-liu setelah merobohkan kedua
pencegatnya itu.
"Haha, kau pun sudah datang, Hiante?" sahut Li Lam-sing
dengan tertawa. "Aku cukup kuat menjaga nona Su, tidak
usah kau membantu ke sini, hajar saja kawanan anjing itu!"
"Kiranya kau, Kim-toako!" baru sekarang Su Ang-ing
mengenali Kim Tiok-liu.
Tiga orang sama-sama bicara, tapi Kim Tiok-liu yang rada
kacau pikirannya, dia hanya menyapa "Toako", lalu tidak
melanjutkan lagi.
Di sebelah sana Su Pek-to menyerang dengan lebih gencar
sehingga Su Ang-ing juga terpaksa harus mencurahkan
segenap perhatiannya untuk bertahan.
Utti Keng yang seorang diri melawan empat Hiangtju dari
Liok-hap-pang rada terdesak di bawah angin, tapi tidak terlalu
payah. Sedangkan Ki Seng-in melawan Bun To-tjeng
tampaknya rada kewalahan.
Kim Tiok-liu tidak sempat banyak berpikir, ia cukup kenal
kepandaian Su Ang-ing dan Li Lam-sing, ia yakin Su Pek-to
pasti sukar mengalahkan mereka. Sebaliknya keadaan Ki
Seng-in paling berbahaya, maka Kim Tiok-liu lantas melompat
ke sana, Bun To-tjeng lantas diterjang.
Panca indera Bun To-tjeng sangat tajam, begitu mendengar
angin menyambar dari belakang, kontan ia terus
mencengkeram ke belakang. Cengkeraman ini sangat jitu,
dengan tepat nadi per-gelangan tangan Kim Tiok-liu
terpegang. Biasanya kalau urat nadi pergelangan terpegang,
betapapun tinggi ilmu silatnya juga tak bisa berkutik lagi.
Bun To-tjeng sudah tahu sasarannya itu adalah Kim Tiokliu,
tapi sama sekali tak terduga bahwa sekali cengkeram saja
lantas berhasil. Terkilas juga pikiran heran dan sangsi dalam
benak Bun To-tjeng. Benar juga, belum lagi ia sempat berpikir
lebih banyak, tiba-tiba tangannya terasa kesemutan, ujung jari
Kim Tiok-liu balas menutuk dan tepat mengenai persendian
antara jari telunjuk dan ibu jari.
Kiranya Kim Tiok-liu memiliki kepandaian memutar balik I
Hiat-to, ia tidak takut urat nadinya dicengkeram musuh.
Namun berbahaya juga jika tercengkeram, tenaga dalamnya
kurang leluasa dikerahkan, namun maksudnya hendak
menutuk roboh Bun To-tjeng hanya berhasil membuatnya
kesemutan saja.
Walaupun begitu Bun To-tjeng juga sudah terkejut, agar
tidak kecundang lebih jauh, lekas ia melepas tangannya. Ke-'
sempatan itu segera digunakan oleh Ki Seng-in untuk
mengayun cambuknya. "Taarrr", Bun To-tjeng tidak mampu
berkelit, terpaksa ia menggunakan lengannya untuk
menangkis, cambuk Ki Seng-in kena disengkelit pergi, namun
lengan Bun To-tjeng lantas babak belur.
Dengan bantuan Kim Tiok-liu sehingga Bun To-tjeng kena
didesak mundur, segera Ki Seng-in melompat keluar dari
kalangan pertempuran, dengan gerakan 'Thian-li-san-hoa'
(bidadari menabur bunga), segera ia menghujani musuh yang
mengembut sang suami dengan senjata rahasia.
Tang Tjap-sah-nio memutar cambuknya bagai kiliran,
terdengarlah suara "trang-tring" yang ramai, tiada sebuah
senjata rahasia yang dihamburkan Ki Seng-in itu yang
mengenai tubuhnya. Di bawah perlindungannya, Wan-hay
juga terhindar dari serangan Am-gi itu. Djing-hu Todjin yang
ilmu pedangnya sangat tinggi juga berhasil menyampuk jatuh
senjata rahasia yang menyambar ke arahnya. Tapi Hiangtju
yang keempat, yaitu Djiau Sik, ketika senjata rahasia yang
dihamburkan Ki Seng-in itu tiba, dia lagi sibuk menangkis
bacokan golok Utti Keng, dengan sendirinya, ia tidak sempat
menjaga diri dan terkena sebuah Bwe-hoa-tjiam yang
dihamburkan Ki Seng-in itu.
Mestinya ilmu silat Djiau Sik juga tidak rendah, tak terduga
Bwe-hoa-tjiam yang kecil itu dengan tepat mengenai
persendian tangannya yang penting, seketika sebelah
tangannya tak bisa bergerak.
Betapa lihainya Utti Keng, secepat kilat goloknya lantas
membacok, lengan yang sudah kena Bwe-hoa-tjiam itu
terbacok pula, keruan Djiau Sik menjerit kesakitan seperti babi
mau disembelih. Untung dia lantas melompat pergi sehingga
terhindar dari kematian, namun begitu sekujur badannya juga
sudah mandi darah, lalu roboh tak sadarkan diri.
Dalam pada itu Ki Seng-in sudah melompat ke hadapan
Tang Tjap-sah-nio, dengusnya, "Hm, kau perempuan keparat
ini juga bisa main cambuk segala, marilah kita coba cambuk
masing-masing."
Ki Seng-in termashur dengan dua macam kepandaiannya,
yaitu ilmu pedang dan permainan cambuk. Pertempurannya
melawan Bun To-tjeng tadi belum dapat dikeluarkan seluruh
kemahirannya. Sekarang bertemu Tang Tjap-sah-nio yang
kekuatannya rada rendah daripada Bun To-tjeng, kedua pihak
menjadi setanding. Hanya ilmu pedang Ki Seng-in lebih lihai
sehingga Tang Tjap-sah-nio terdesak dan kerepotan untuk
menangkis. Di sebelah sana sesudah Tiok-liu mendesak mundur Bun
To-tjeng tadi, ia lantas bergelak tertawa dan berseru,
"Hahaha! Terima kasih! Banyak terima kasih!"
Kiranya pada gebrakan tadi Kim Tiok-liu memainkan
kemahirannya jurus 'tangan panjang' untuk menggerayangi
baju Bun To-tjeng sehingga Ho-siu-oh tadi berhasil dicuri
kembali. Dari samping Soa Djian-hong dan The Hiong-to lantas
menerjang maju. Soa Djian-hong tiba lebih dulu. Kim Tiok-liu
lantas menyambutnya dengan tertawa dan berseru, "Banyak
terima kasih atas pelayananmu tempo hari ketika aku mampir
di tempatmu. Hari ini aku pun ingin balas menyuguh secawan
arak padamu."
Berbareng ia terus menyambar satu poci arak terus
dilemparkan ke muka Soa Djian-hong. Dengan telapak tangan
yang mampu menghancurkan pilar batu, Soa Djian-hong
lantas menghantam, "brak", poci arak itu terpukul hanciir
sehingga muka Soa Djian-hong sendiri terciprat arak. matanya
terasa pedas dan hampir tidak bisa melek lagi.
Dalam pada itu dengan cepat sekali Kim Tiok-liu menubruk
tiba, dari sambaran angin yang keras Soa Djian-hong tahu
juga lawannya sudah berada di depan, dengan mata masih
tertutup segera ia menjotos ke depan. Namun Kim Tiok-liu
menggeser ke samping, sekali pegang dan lempar disertai
bentakan, "Pergi!"
Kontan Soa Djian-hong kena disengkelit dan mencelat pergi
seperti bola. Cepat Kim Tiok-liu memutar tubuh untuk menghadapi The
Hiong-to. Karena kenal kelihaian Kim Tiok-liu, The Hiong-to
menjadi gugup, lekas ia mengirim pukulan telapak tangan
sambil membentak, "Biarlah aku mengadu jiwa padamu!"


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Telapak tangan The Hiong-to itu tampak merah membara
dan membawa bau amis, nyata ia meyakinkan Tok-soa-tjiang
(pukulan pasir berbisa) yang ganas, ia menyangka Kim Tiok-liu
tidak berani beradu tangan dengan dia. Tak terdua Kim Tiokliu
hanya mengacungkan jari tengahnya ke atas, tepat
menuding ke *Lau-kiong-hiat' di tengah telapak tangannya.
"Kau ingin mengadu jiwa" Akan kulumpuhkan dulu cakar
anjingmu ini, coba cara bagaimana kau akan mengadu jiwa?"
jengek Kim Tiok-liu dengan tertawa.
Sebagai seorang jagoan, sudah tentu The Hiong-to terkejut
melihat tutukan jari Kim Tiok-liu yang memapak pukulannya
itu. Kalau Lau-kiong-hiat di tengah telapak tangan sampai
tertu-tuk oleh ilmu Tiam-hiat berat pihak lawan, sekali hawa
murninya 'bocor' seketika ilmu Tok-soa-tjiang yang dilatihnya
secara susah payah itu akan punah dan sukar untuk
dipulihkan kembali dalam waktu singkat.
Dengan sendirinya The Hiong-to tidak berani mengadu jiwa
segala, lekas ia menggenggam telapak tangannya menjadi
kepalan. Dalam keadaan gugup itu, belum sempat kepalannya
memukul, tahu-tahu tangannya sudah disambar oleh Kim
Tiok-liu lalu dipuntir, "krak", persendian tulang lengannya
dipuntir patah mentah-mentah.
Dengan mengerang kesakitan, tanpa ampun The Hiong-to
roboh terkapar dan tak sadarkan diri.
Di sebelah sana Su Pek-to sempat menangkap tubuh Soa
Djian-hong yang mencelat ke arahnya tadi, tapi tidak sempat
menolong The Hiong-to.
Su Pek-to menjadi gusar, ia melepaskan Soa Djian-hong,
lalu berkata, "Soa-toako, kau gantikan aku, biar aku yang
membereskan bocah itu!"
Soa Djian-hong lantas maju menempur Li Lam-sing dan Su
Pek-to terus menerjang ke arah Kim Tiok-liu.
Saat itu Bun To-tjeng sudah dapat berganti napas, rasa
kaku telapak tangannya juga sudah reda, ketika melihat Su
Pek-to sudah bertempur melawan Kim Tiok-liu, ia tidak mau
berebut tanding dengan Su Pek-to, segera ia beralih ke sana
untuk membantu Soa Djian-hong. Jadi sekarang dua lawan
dua, Su Ang-ing berkawankan Li Lam-sing dan bertahan
dengan sengit. Kim Tiok-liu dapat menghindarkan serangan Su Pek-to
dengan manis, Su Pek-to bertambah gusar, pedangnya diputar
bagai kitiran dan mendesak lebih kencang, bentaknya, "Anak
keparat, kau telah mencuri benda pusakaku, mencuri pula
kudaku, sekarang berani merampas lagi hadiah yang
kupersembahkan kepada Sat-taydjin, jika ketiga macam
barang itu tidak kau kembalikan, biarlah kau ganti dengan
jiwamu saja!"
"Hahaha, percuma saja kau sebagai seorang Pangtju,
masakah peraturan Kangouw biasa saja tidak paham," ujar
Kim Tiok-liu dengan gelak tertawa. "Apakah kau tidak ingat
bilamana harta sudah jatuh di tangan orang, mana mungkin
disuruh mengembalikan begitu saja. Ya, kecuali kalau
sebelumnya dinyatakan sebagai pinjaman, itu memang soal
lain." "Bangsat, kematianmu sudah di depan mata, masih berani
bicara seenak perutmu!" jengek Su Pek-to, dimana sinar
pedangnya menyambar, "bret", tahu-tahu baju Kim Tiok-liu di
bagian dada terobek.
Sungguh berbahaya sekali serangan Su Pek-to itu, untung
Kim Tiok-liu dapat melangkah mundur tepat pada waktunya
dengan langkah ajaib Thian-lo-poh-hoat, kalau tidak tentu
dadanya sudah tembus.
Melihat itu Su Ang-ing sampai menjerit kuatir. sedikit
lengah saja cambuknya kena disampuk Bun To-tjeng ke
samping. Untung Li Lam-sing keburu membantunya, kalau
tidak cambuknya tentu sudah direbut oleh Bun To-tjeng.
"Lekas geser ke sini, Kim-hiante!" seru Li Lam-sing.
Sangat terharu hati Kim Tiok-liu mendengar suara mereka
berdua. Lebih-lebih jeritan Su Ang-ing tadi, walaupun tanpa
disertai kata-kata, namun suara si nona yang menguatirkan
dia itu sudah cukup membangkitkan semangatnya.
Begitulah segera Kim Tiok-liu juga lantas melolos pedang,
katanya dengan tertawa, "Su-pangtju, Lwekang dan
pukulanmu sudah kukenal, sekarang marilah kita coba-coba
ilmu pedang!"
Dalam pada itu suasana medan pertempuran menjadi
kacau, namun yang benar-benar bertarung hanya jago-jago
kelas terkemuka saja, banyak pengawal yang tidak mungkin
ikut bertempur hanya bisa ikut bersorak saja di samping.
Kim Tiok-liu mengeluarkan ilmu pedang Tui-hong-kiamhoat
yang cepat dan lincah, dalam sekejap saja ia menyerang
enam kali enam menjadi tiga puluh enam serangan.
Mau tak mau Su Pek-to terkejut, pikirnya, "Tidak sedikit ahli
pedang di dunia yang kuketahui, bocah ini sekalipun belum
terhitung jago nomor saru, tapi sudah jauh lebih lihai dari ahli
pedang yang pernah kukenal itu. Kalau melulu bicara tentang
ilmu pedang mungkin aku pun kalah dibandingkan dia."
Melihat Su Pek-to sama sekali tidak terdesak mundur
biarpun dirinya telah melancarkan 36 kali serangan sekaligus,
mau tak mau Kim Tiok-liu juga terkesiap.
Ilmu pedang Su Pek-to memang tidak sebagus Kim Tiok-liu,
tapi dia memegang teguh pada kunci ilmu silat yang
mengutamakan ketabahan dan ketenangan. Usia Kim Tiok-liu
masih muda, ilmu silatnya belum mencapai tingkatan yang
sempurna, maka setiap perubahan serangannya yang bagus
dan aneh itu selalu dapat ditangkis oleh Su Pek-to. Di tengah
pertarungan sengit itu, mendadak terdengar "trang" satu kali,
pedang Kim Tiok-liu tahu-tahu malah kena ditebas kutung oleh
pedang Su Pek-to.
Dengan demikian Su Pek-to dapat merintangi Kim Tiok-liu
agar tidak bergabung dengan Li Lam-sing dan Su Ang-ing,
sebaliknya kedua muda-mudi yang tersebut belakangan itupun
sukar menggeser ke sini karena kena dihalangi oleh Bun Totjeng.
Kim Tiok-liu menggunakan langkah ajaib Thian-lo-poh
untuk main petak umpet dengan Su Pek-to, ia mengitari
sebuah meja besar sehingga Su Pek-to tidak mampu
menangkapnya. Pikir Tiok-liu, "Yang memiliki ilmu silat paling tinggi di
antara musuh-musuh ini adalah Su Pek-to, jika aku terus
melibatkan dia dalam kejar-mengejar dengan aku, tentu Litoako
dan nona Su akan ada kesempatan buat meloloskan
diri." Dengan pikiran demikian ia menjadi tidak perlu berusaha
menggabungkan diri dengan Li Lam-sing dan Su Ang-ing.
Padahal dengan Ginkang Kim Tiok-liu yang hebat, sekalipun di
bawah rintangan Su Pek-to juga tidak mudah untuk
bergabung dengan mereka, tapi juga tidak berarti tidak
mungkin samf^e-kali.
Di sebelah lain keadaan Utti Keng dan Ki Seng-in ternyata
sudah berada di atas angin. Tang Tjap-sah-nio tidak unggulan
melawan Ki Seng-in, dia hanya mampu menangkis saja dan
tak sanggup balas menyerang. Lebih-lebih Djing-hu Todjin dan
Wan-hay Hwesio. mereka kerepotan di bawah serangan golok
Utti Keng yang amat gencar.
Sedangkan pihak Li Lam-sing dan Su Ang-ing, boleh di-kata
sama kuatnya melawan Bun To-tjeng dan Soa Djian-hong.
Tenaga pukulan *Sam-siang-sin-kang' yang dikeluarkan Bun
To-tjeng memang sangat dahsyat,, Li Lam-sing rada
kewalahan menahan serangannya meski dengan ilmu
pedangnya yang aneh dan lihai. Sebaliknya cambuk Su Anging
selincah ular naga. dengan bertangan kosong Soa Djianhong
tidak mampu mengalahkan si nona
Su Pek-to menjadi tidak sabar lagi. teriaknya "Soa-toako,
berikan hajaran setimpal kepada budak itu, mampuskan saja
juga aku tidak menyalahkan kau!"
Ia mengira Soa Djian-hong merasa segan kepadanya
sehingga bermurah tangan kepada adik perempuannya, ia
tidak tahu bahwa tadi Soa Djian-hong disengkeliti dulu oleh
Kim Tiok-liu sehingga kehilangan semangat tempur, sekarang
melawan Su Ang-ing lagi, tenaga pun sudah banyak
berkurang. Jelek-jetek Soa Djian-hong sebenarnya terhitung jago kelas
wahid di dunia Kangouw, kepandaiannya lebih tinggi setingkat
dibandingkan Su Ang-ing. Memangnya ia merasa malu karena
tidak mampu mengalahkan seorang anak perempuan, kini
didesak lagi oleh Su Pek-to, ia menjadi tambah gelisah. Dalam
keadaan pikiran kacau, tahu-tahu cambuk Su Ang-ing sempat
mampir lagi di punggungnya, keruan Soa Djian-hong berkaokkaok
kesakitan. Tepat pada saat yang sama, mendadak terdengar jeritan
keras yang mengerikan melebihi suara kaokan Soa Djian-hong
itu. Kiranya Wan-hay Hwensio kena dibacok oleh golok Utti
Keng sehingga lengan kirinya tertabas buntung, saking
kesakitan Wan-hay bergulingan di atas tanah.
"Yang menghindari aku akan hidup, yang merintangi aku
pasti mati! Hayolah coba maju lagi!" teriak Utti Keng murka.
Tang Tjap-sah-nio tidak berani mengadang lagi, cepat ia
bergeser ke pinggir, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Utti
Keng dan Ki Seng-in, dengan cepat mereka lantas menerjang
keluar. "Su-pangtju, tangkap benggolan penjahat paling penting!"
teriak Sat Hok-ting.
Maksud Sat Hok-ting agar Su Pek-to memburu penjahat
utamanya, yaitu Utti Keng. Dalam pandangan Sat Hok-ting,
sudah tentu Utti Keng dan istrinya jauh lebih penting daripada
seorang bocah tak terkenal seperti Kim Tiok-liu
Di kala Sat Hok-ting berteriak memberi perintah, ada juga
anak buahnya saling membicarakan kelakuan Su Pek-to yang
dianggap aneh itu, masakah penjahat utamanya tidak diurus,
sebaliknya malah main petak umpet, main kejar-mengejar
dengan anak muda. Bahkan ada di antaranya yang
mengatakan Su Pek-to sengaja main sandiwara,
sesungguhnya bersekongkol dengan musuh, tapi pura-pura
menyuruh orang lain menghajar adik perempuannya.
Panca indera Su Pek-to yang tajam meski dalam
pertempuran itu, dengan sendirinya mendengar juga bisikbisik
orang-orang itu. Keruan ia sangat mendongkol dan kuatir
pula, ia pikir kalau sampai Ang-ing lolos mungkin sekali Sat
Hok-ting akan curiga kepadanya.
Dengan mengerang keras, kontan sebuah meja ditendang
terbalik oleh Su Pek-to.
"Eh, jangan marah, pertandingan kita belum rampung,
marilah kita mulai lagi!" ejek Kim Tiok-liu dengan tertawa.
Sambil mengegos ia terus menambahi satu pukulan sehingga
meja itu mencelat ke samping, beberapa pengawal yang sial
terbentur, kepala pecah dan darah mengalir.
Setiba di luar pintu tadi Ki Seng-in masih sempat menoleh
dan berseru kepada Kim Tiok-liu, "Adik cilik, angkat kaki saja!"
Berbareng ia menghamburkan lagi macam-macam senjata
rahasia ke arah Bun To-tjeng
Selagi Bun To-tjeng kerepotan rnenyampuk senjata-senjata
rahasia itu, segera Li Lam-sing dan Su Ang-ing ikut menerjang
keluar. Hahaha! Memang betul sudah waktunya aku harus angkat
kaki!" seru Kim Tiok-liu dengan tertawa sembari kaki
menendang dan tangan mendorong, beberapa buah meja
besar seketika berjungkir balik. Banyak pengawal yang tidak
sempat menghindar menjadi babak belur tertumbuk oleh
meja-meja itu. Malahan Ki Seng-in belum puas dengan serangannya tadi,
sebelum tinggal pergi ia menghamburkan pula dua genggam
senjata rahasia lagi, dalam sekejap belasan orang terluka pula.
Su Pek-to sangat gusar, pedangnya diputar kencang,
senjata-senjata rahasia Ki Seng-in itu tersampuk jatuh. Ketika
ia mengejar keluar, dilihatnya Kongsun Hong hanya berdiri
menonton saja di situ.
"Kongsun-toako," kata Su Pek-to sambil memberi hormat,
"Betapapun hari ini mohon Toako memberi bantuan, bocah
she Kim itu kuserahkan padamu."
Tanpa menunggu jawaban Kongsun Hong, terus saja Su
Pek-to mengudak ke depan.
Saat itu Utti Keng suami istri bersama Li Lam-sing dan Su
Ang-ing sudah kabur ke arah dua jurusan, Utti Keng dan Ki
Seng-in menuju ke timur, sebaliknya Lam-sing dan Ang-ing lari
ke barat. Belasan jagoan Sat Hok-ting yang ikut mengejar
keluar juga lantas membagi diri dalam dua kelompok. Su Pekto
menjadi ragu-ragu ketika harus memilih antara dua jurusan
itu, apakah Utti Keng yang harus ditangkap atau Ang-ing yang
harus dibekuk. Yang paling akhir keluar dari ruang pesta itu adalah Kim
Tiok-liu, segera ia kepergok oleh Kongsun Hong yang
menantikannya. "Usiamu sangat muda, tapi ilmu silatmu sungguh hebat,
siapakah gurumu?" tanya Kongsun Hong dengan tertawa.
"Rasanya tempat ini bukan tempat yang baik untuk bicara
secara bersahabat," sahut Tiok-liu.
Diam-diam Kongsun Hong mendongkol akan keangkuhan
Kim Tiok-liu, segera ia pasang kuda-kuda dan berkata pula,
"Tidak kau katakan masakah aku tidak bisa tahu?"
Kim Tiok-liu terus mendahului memotong dengan telapak
tangan, Kongsun Hong membalik tangannya hendak
menangkap, tapi Tiok-liu dengan cepat menggunakan jari
untuk me-nutuk. Sambil tertawa Kongsun Hong lantas
menggenggam tangannya sehingga ujung jari Kim Tiok-liu
dengan cepat mengenai 'Lau-kiong-hiat' di tengah telapak
tangan lawan. Hiat-to di telapak tangan itu cukup penting, kalau tertutuk
sedikitnya setengah badan akan menjadi lumpuh. Tak terduga
Kongsun Hong ternyata tenang-tenang saja seperti tidak
terjadi apa-apa. Tahu gelagat jelek, lekas Kim Tiok-liu menarik
tangannya, tapi ia bertambah kaget ketika merasa telapak
tangan lawan mengeluarkan semacam kekuatan mengisap,
tangannya sukar ditarik kembali. Baru sekarang ia tahu
kepandaian Kongsun Hong ternyata lebih tinggi daripada Su
Pek-to. Melihat keadaan itu Kiong Peng-hoan menjadi kuatir, lekas
ia berseru, "Pangtju, sembelih ayam tidak perlu pakai golok
jagal sapi, bocah itu serahkan padaku saja!"
Ia kuatir sang Pangtju melukai Kim Tiok-liu, maka sengaja
hendak melerai.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Kongsun Hong mendadak terhuyung ke belakang
dan tahu-tahu Kim Tiok-liu sudah kabur keluar. Kongsun Hong
menghela napas dan berkata, "Licin betul bocah itu. Kukira
kau bukan tandingannya, lebih baik ikut aku pergi mengejar
Utti Keng saja."
Girang dan kejut pula Kiong-Peng-hoan, ia senang karena
Kim Tiok-liu bisa lolos dengan selamat. Kejutnya karena sang
Pangtju bisa kalah gebrak dengan Kim Tiok-liu, hal ini benarbenar
di luar dugaannya.
Kiong Peng-hoan tidak tahu, tapi Kim Tiok-liu sendiri cukup
paham bahwa Kongsun Hong yang sengaja melepaskan dia,
kalau tidak masakah dia mampu kabur begitu saja"
Ia terus berlari ke depan, dilihatnya anak buah Sat Hok-ting
berkelompok ada yang ke timur dan ada yang ke barat.
Banyak pula yang berteriak-teriak pada kawannya, "Bengolan
bandit itu sangat ganas, kukira lebih selamat mengejar ke
barat saja!"
"Tidak, anak dara itu adalah adik perempuan Su Pek-to,
[buat apa kita mencari penyakit ke sana!" demikian jawab
yang lain. Dari percakapan orang-orang itu, Kim Tiok-liu dapat
menarik kesimpulan bahwa Utti Keng dan Ki Seng-in lari ke jurusan
timur, sedangkan Li-Lam-sing dan Su Ang-ing lari ke
arah Barat. Pikirnya, "Ang-ing didampingi oleh Li-toako, tentu
Su Pek-to tak mampu mengalahkan mereka. Aku sendiri, ai,
lebih baik aku menuju ke timur saja!"
Sesungguhnya ia ingin bertemu dengan Su Ang-ing, tapi
sekarang ia malah menuju ke arah yang berlawanan dengan si
nona. Hatinya menjadi hampa, entah getir, entah kecut
rasanya. Di tempat lain, selagi Su Pek-to merasa ragu-ragu harus
mengejar ke jurusan mana. Tiba-tiba Kongsun Hong menyusul
tiba dan berkata kepada Su Pek-to, "Utti Keng lari ke timur,
akan kukejar dia. Urusan rumah tanggamu sendiri aku tidak
mau ikut campur!"
Su Pek-to menjadi girang, katanya, "Jika toako yang turun
tangan, tentu suami istri bandit seperti Utti Keng tidak mampu
Hari lagi. Dan bagaimana dengan bocah itu?"
"Bocah itu sangat licin, sekali cengkeram tidak kena ia
lantas kabur," sahut Kongsun Hong. "Karena dia bukan
penjahat utamanya, biarkan saja dia pergi. Bagaimana dengan
kau, jika sukar melawan mereka segera akan kupanggil Bun
To-tjeng pergi membantumu."
Muka Su Pek-to menjadi merah jengah, pikirnya, masakah
aku harus gentar kepada bocah itu" Maka katanya kemudian,
"Baiklah kita mengejar musuh ke arah masing-masing, nanti
bertemu pula dengan tawanan kita."
Su Pek-to kenal Ginkang Kim Tiok-liu yang bagus, makanya
ia tidak menyangsikan keterangan Kongsun Hong tadi.
Sebaliknya ia malah kuatir kalau Kim Tiok-liu kabur ke
jurusannya ini, jika sampai kepergok lagi, meski dirinya tidak
sampai kalah juga akan terlibat pertempuran lama dengan
pemuda itu dan untuk menyusul Ang-ing menjadi tidak
gampang. Begitulah Kim Tiok-liu mengeluarkan Ginkiangnya yang
tinggi untuk lari ke depan, kawanan pengawal Sat Hok-ting
yang ikut mengejar itu hanya merasa angin menyambar lewat
di samping mereka, tahu-tahu sesosok bayangan hitam sudah
melayang ke depan, hakikatnya mereka tidak jelas siapakah
Kim Tiok-liu itu.
Tidak lama kemudian Kim Tiok-liu sudah keluar dari
gerbang timur kotaraja, di luar kota kembali diketemukan lagi
persimpangan jalan. Selagi ragu-ragu apakah dapat menyusul
Utti Keng atau tidak, tiba-tiba dilihatnya dua jago pengawal
berjalan kembali dengan saling memayang dan merintih
kesakitan. Rupanya mereka kena senjata rahasia Ki Seng-in
dan berlari kembali dengan menderita luka-luka.
Segera Kim Tiok-liu membekuk pengawal-pengawal itu
sambil membentak, "Kemana larinya Utti Keng?"
Dengan ketakutan orang itu menjawab, "Mereka.....mereka
sudah lewat Tjit-li-po, kalau tuan menyusulnya dengan cepat
masih keburu."
Sekali depak Kim Tiok-liu merobohkan orang itu sembari
merampas pedangnya, lalu melangkah pergi dengan cepat.
Tjit-li-po yang dikatakan kira-kira tujuh li arah luar kota
sehingga tidak terlalu lama Kim Tiok-liu juga sudah melalui
kota kecil itu.
Tapi belum lagi Utti Keng dan Ki Seng-in tersusul, tahutahu
kepergok Bun To-tjeng serta Soa Djian-hong berdua.
Agaknya mereka berdua jeri juga terhadap kelihaian Utti Keng
dan isterinya, sehingga mereka tidak berani mengejar terlalu
cepat, sembari menunggu datangnya bala bantuan dari
belakang. Siapa duga ketika Bun To-tjeng menoleh, yang terlihat
adalah Kim Tiok-liu. Ia melenggong, tapi lantas bergelak
tertawa dan berseru, "Aha, ke sorga kau tidak mau, ke neraka
justru kau tuju. Sekali ini ingin kulihat apa yang dapat kau
perbuat?" Menurut perhitungan Bun To-tjeng, dengan tenaga
gabungan Soa Djian-hong belum pasti mampu mengalahkan
Utti Keng dan istrinya, tapi untuk menandingi Kim Tiok-liu
seorang sudah tentu tidak sulit.
Dengan tertawa Tiok-liu lantas menjawab, "Orang she Bun,
apakah kau sudah melupakan budi pemberian obat kepada
anakmu?" Bun To-tjeng menjadi gusar, segera ia bermaksud
menubruk maju dan Kim Tiok-liu juga siap melolos pedang
menghadapi musuh. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
keleneng-an kuda, tampak Kongsun Hong dan Kiong Penghoan
menyusul tiba dengan menunggang kuda. Dari jauh
Kongsun Hong lantas berteriak, "Bun-totju dan Soa-pangtju,
kalian diminta Su-pangtju agar pergi ke sana untuk
membantunya, bocah ini boleh serahkan padaku saja. Setelah
membekuk bocah ini baru kubekuk pula Utti Keng, masakah
mereka mampu kabur lagi?"
Mestinya Bun To-tjeng rada sangsi, tapi dasar dia memang
licik, daripada dia bertempur melawan Kim Tiok-liu ada lebih
haik tidak, apalagi ia pun percaya apa yang dikatakan
Kongsun Hong itu, maka jawabnya, "Baiklah, jika demikian
kuserahkan bocah ini kepadamu."
Habis itu ia lantas memutar balik ke arah semula, Soa
Djian-hong sudah pernah menelan pil pahit dari Kim Tiok-liu,
sudah tentu ia pun cepat ikut berlari pergi.
Kongsun Hong meneriaki mereka pula, "Jika bertemu Kopangtju
dan lain-lain, suruh mereka balik semua. Aku tidak
perlu dibantu."
Diam-diam Bun To-tjeng menganggap Kongsun Hong
terlalu takabur, bahkan lebih sombong daripada Su Pek-to,
terpaksa la pun mengiakan dari jauh.
Segera Kongsun Hong pura-pura mengeprak kudanya
mengejar Kim Tiok-liu sambil berteriak, "Jangan lari, anak
kecil! Hmm, tadi kau berhasil lolos, sekali ini jangan harap bisa
kabur pula!"
Mulutnya saja Kongsun Hong gembar-gembor, tapi tali
kekang kudanya ditarik kencang sehingga kudanya tak bisa
membeda! sepenuh tenaga.
Kim Tiok-liu bukan anak bodoh, segera ia tahu apa yang
dilakukan Kongsung Hong itu sengaja diperlihatkan saja
kepada Bun To-tjeng, maka ia lantas mempercepat
langkahnya, ia lari secepat terbang ke depan dengan Ginkang
yang tinggi sehingga dalam jarak dekat kuda pun sukar
menyusulnya. "Ginkang yang hebat!" puji Kongsun Hong sembari
melepaskan tali kekang kudanya dan mengejar secepatnya.
Tidak lama kemudian bayangan Bun To-tjeng sudah tidak
nampak lagi. Dalam pada itu Utti Keng dan Ki Seng-in tampak
berdiri di tepi jalan sedang menunggu.
"Adik cilik, sekarang tidak perlu lari lagi," seru Kongsun
Hong dengan tertawa.
"Kongsun-pangtju, berkelahi terang aku bukan tandinganmu,
kalau tidak lari kan bisa runyam," sahut Tiok-liu dengan
tertawa. "Siapakah yang mengajak berkelahi padamu?" ujar
Kongsun Hong sambil terbahak.
Utti Keng juga bergelak tertawa, serunya sambil memberi
hormat, "Adik cilik, atas bantuanmu tadi aku merasa sangat
berterima kasih. Kongsun-pangtju ini adalah sobat lamaku,
kau adalah sahabatku yang baru. Kita sama-sama sahabat,
jika kau tiada urusan lain, marilah kita bicara lebih asyik.
Kongsun-toako, tidak sedikit bantuanmu padaku kali ini, aku
pun belum mengucapkan terima kasih padamu."
Kiranya penyusupan Utti Keng dan Ki Seng-in ke dalam
istana Sat Hok-ting sekali ini adalah berkat perlindungan
Kongsun Hong. Mereka menyamar sebagai anggota Ang-enghwe.
Di waktu merampas barang-barang sumbangan di ruang
pesta itu barulah memperlihatkan keaslian mereka.
"Kiranya si tua ini bersekongkol dengan Utti keng, pantas
dia sudi berkunjung ke tempat Sat Hok-ting," demikian Kim
Tiok-liu membatin.
Segera ia memberi hormat kepada Kongsun Hong selaku
orang yang lebih muda, sapanya dengan tertawa, "Tadi telah
banyak berlaku kurang sopan, harap Lotjianpwe sudi
memaafkan."
"Bagus sekali ilmu silatmu, siapakah gurumu, sudikah
memberi tahu?" tanya Kongsun Hong.
Kiong Peng-hoan lantas maju menemui Kim Tiok-liu, segera
memperkenalkan pemuda itu kepada pemimpinnya, "Pang-tju,
Kim-laute ini adalah pendekar muda Kim Tiok-liu yang barubaru
ini membikin geger dunia Kangouw."
Setelah mendengar nama Kim Tiok-liu serta asal-usulnya,
Utti Keng lantas berkata dengan tertawa, "Kiranya kau adalah
Sute Kang-tayhiap, pantas ilmu silatmu begitu hebat."
"Pernah ada hubungan apa antara kau dengan Kim Si-ih.
Kim-tayhiap?" tanya Kongsun Hong.
"Beliau adalah ayahku," sahut Tiok-liu. Kongsun Hong
bertambah gembira, katanya, "Aku pernah bertemu ayahmu
satu kali di Siau-lim-si, kalau dihitung, hal itu adalah kejadian
lebih 20 tahun yang lalu. Ayahmu adalah tokoh yang aku
kagumi, kita boleh bergaul seperti angkatan yang sama saja,
sehutanmu Lotjianpwe padaku tak berani kuterima."
"Kim-laute, setelah geger ini, tidak cocok lagi bagimu untuk
tinggal di Pak k h ia sini, apakah kau mau berangkat ke Siaukim-
djwan bersamaku?" kata Utti Keng. "Yap Boh-hoa sudah
berada di sana, kedua Sutitmu, yaitu Li Kong-he dan Li To-kan
juga sudah berada di tempat Tiok Siang-hu, segera kami juga
akan kembali ke sana."
"Aku masih ada sedikit urusan sehingga mungkin harus
tinggal sepuluh hari sampai setengah bulan di sini," sahut
Tiok-liu. "Aku tinggal di rumah Te-lopiauthau, rasanya tidak
perlu kuatir akan terjadi apa-apa."
"Jika demikian aku akan berangkat dulu dan menunggu kau
di Siau-kim-djwan," kata Utti Keng. "Aku tidak sempat
mengunjungi Te-lopiauthau, harap kau suka menyampaikan
salamku padanya."
"Baiklah, jika mau berangkat, lekaslah kalian berangkat,
kalau orang-orang itu mengejar tiba tentu akan terjadi
keributan lagi," ujar Kongsun Hong.
"Dan kau bagaimana, Kongsun-toako?" tanya Utti Keng
"Bantuanmu padaku meski belum diketahui mereka, kelak
tentu juga akan konangan. Rasanya kau pun tidak aman jika
kembali ke sana lagi."
"Aku toh tidak ingin menjadi begundal Sat Hok-ting, bual
apa aku kembali ke sana?" sahut Kongsun Hong tertawa. "Aku
justru akan pulang ke tempatku sendiri, kalau perlu akan kukibarkan
sekalian panji pemberontakanku secara terangterangan,
coba saja Sat Hok-ting dan Su Pek-to mampu
berbuat apa terhadap diriku?"
Sungguh girang sekali Utti Keng, katanya, "Bagus! Jika
Toako sudah mengerek panji pergerakan, tentu sebagian
besar pemimpin organisasi Kangouw takkan tersesat lagi
mengikuti jejak Su Pek-to."
Begitulah mereka lantas berpisah ke jurusan masingmasing,
Kim Tiok-liu menunggu sesudah gelap baru menyusup
masuk lagi ke kotanya.
Setelah mengalami huru-hara siang harinya, malam itu di
jalanan kota penuh prajurit-prajurit peronda. Untung malam
ini tiada bulan, berkat Ginkang yang tinggi dapatlah Kim Tiokliu
mengelabui prajurit-prajurit itu dan sampai di rumah Te Kin
dengan selamat. Sementara itu sudah dekat tengah malam.
Kim Tiok-liu merasa bimbang apakah Li Lam-sing yang
sudah mengetahui pondokannya itu akan datang
menyambanginya bersama Su Ang-ing atau tidak, la yakin Li
Lam-Sing dan Su Ang-ing tentu dapat menyelamatkan diri
juga dari kejaran Su Pek-to.
Teringat kepada Su Ang-ing, hati Kim Tiok-liu terasa seperti
kehilangan sesuatu. Meskipun siangnya ia sengaja
memisahkan diri dengan mereka, tapi dalam lubuk hatinya
sesungguhnya ia ingin bertemu dengan si nona.
"Pantas dalam nada kecapi yang dipetik Toako kemarin itu
penuh rasa rindu, kiranya orang yang dirindukannya adalah
nona Su. Sekali ini mungkin aku tidak salah lagi, melihat
gelagatnya, siang tadi agaknya Toako belum mengetahui
hubunganku dengan nona Su. Jika benar dia mencintai nona
Su, ya, biarlah aku mengalah," demikian pikir Tiok-liu.
Waktu Kim Tiok-liu melompat ke dalam pekarangan rumah
Te Kin, terlihat di ruang tamu masih ada sinar lampu, dari
balik jendela terlihat empat bayangan orang. Selain Te Kin dan
Te Bok masih ada lagi seorang tua dan seorang pemuda. Te
Kin sedang main catur dengan orang tua itu, Te Bok dan
pemuda itu sedang mengikuti pertandingan tersebut.
Pemuda itu duduk menghadap keluar sehingga mukanya
kelihatan rada mirip dengan Te Bok. Tiok-liu rada kecewa
karena pemuda itu ternyata bukan Li Lam-sing, pikirnya,
"Pemuda ini mungkin adalah putera Te Kin yang kedua, entah
siapakah gerangan orang tua itu?"
Waktu melompat turun dari pagar tembok tadi sebenarnya
tidak sedikitpun Kim Tiok-liu menerbitkan suara, tapi kakek di
dalam rumah ternyata sudah tahu, sekenanya ia mencomot
sebuah biji catur terus disambitkan keluar tanpa berpaling.
Yang diincar adalah Moa-hiat yang bisa mengakibatkan kaku


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lumpuh di bawah iga. Di tengah malam serangannya ternyata
sangat jitu. Tiok-liu terkesiap dan mengakui kelihaian si kakek, ia ingat
pagi tadi sebelum berangkat, Te Kin menyuruhnya lekas
pulang untuk menemui seorang tamu, apakah kakek ini yang
dimaksudkan"
Baru saja Tiok-liu menangkap biji catur yang menyambar
ke arahnya itu, terdengar Te Kin sudah berkata di dalam.
"Tong-heng, inilah Kim-siauhiap yang kukatakan itu."
Orang tua itu lantas berbangkit, katanya dengan tertawa,
"O, maaf, maaf! Harap Kim-laute jangan marah, kukira Su
Pek-to yang datang mencari perkara kepada Te-hiante."
Setelah berada di dalam, demi melihat baju Kim Tiok-liu
banyak bernoda darah, Te Kin terkejut, tanyanya kuatir. "Apa
kau terluka?"
"Aku telah melukai beberapa anak buah Sat Hok-ting,
syukur tidak sampai terluka," sahut Tiok-liu tertawa.
"Sungguh berani kau ini, ketika tadi aku mendengar ada
orang membikin kacau pesta ulang tahun Sat Hok-ting, segera
aku menduga tentu kau ambil bagian di sana," ujar Te Kin.
Sebagai keluarga yang hidupnya dari usaha pengawalan
dan selamanya berkecimpung di dunia Kangouw, meski Te Kin
jarang keluar rumah, namun mempunyai sumber berita yang
cukup tajam. Begitulah Kim Tiok-liu juga lantas
memberitahukan secara ringkas kejadian siang tadi.
"Ternyata Utti Keng masih segagah dahulu waktu
mengobrak-abrik penjara kerajaan di sini, sebaliknya aku
sudah tua renta dan tak berguna lagi," ujar Te Kin dengan
gegetun. "Cuma sayang dia datang dan pergi lagi secara
tergesa-gesa, kalau tidak, alangkah senangnya pertemuan
sobat-sobat lama yang secara kebetulan bisa berkumpul ini."
Lalu ia pun memperkenalkan si kakek kepada Kim Tiok-liu,
kiranya orang tua itu she Tong bernama Kiat-hu. Ketika
berada di rumah Tan Thian-ih dulu, telah banyak Kim Tiok-liu
mendengar cerita berbagai tokoh Bu-lim yang ternama,
seorang di antaranya adalah Tong Kiat-hu ini.
Segera Tiok-liu memberi hormat sebagai kaum muda,
pikirnya. "Menurut cerita Tan-sioksiok, katanya orang she
Tong ini adalah ahli senjata rahasia di daerah Sutjwan, entah
ada urusan apa dia pun datang ke Pakkhia sini?"
"Kim-laute," demikian Te Kin berkata lagi, "Kau sungguh
sangat mujur. Sudah belasan tahun lamanya Tong-toako ini
tidak pernah meninggalkan rumahnya, sekali ini secara
kebetulan dia datang ke sini dan mondok di Ho-hud-si di Sesan.
Pemimpin kuil Ho-hud-si yang bergelar Su-khong
Siangdjin adalah guru putera bungsuku, Te Hian ini, beliau
adalah sahabat kendal Tong-toako. Meski aku sudah minta dia
tinggal di rumahku ini, tapi Tong-toako merasa Ho-hud-si lebih
tenang dan bersih. Coba hari ini kalau bukan mengenai Hiantiat
yang kau bawa ini tidak nanti Tong-toako sudi datang
kemari." "Ah, kau si tua ini pakai pura-pura mati segala untuk
menghindari musuh, memangnya kau minta aku menjaga
layon-mu?" sahut Tong Kiat-hu dengan kelakar.
"Sekali ini bukan maksudku menyuruh kau menjaga layonku,
tapi minta kau menjadi tukang besi," kata Te Kin.
"Kim-laute, mungkin kau belum tahu bahwa Tong-toako ini
bukan cuma ahli Am-gi saja, bahkan dia adalah ahli gembleng
pedang nomor satu di dunia ini. Kemarin waktu kubicarakan
padamu sesungguhnya aku masih sangsi apakah dia mau
diundang ke sini."
"Hian-tiat adalah benda mestika yang jarang diketemukan,
aku sudah setua ini juga belum pernah melihatnya, tentu
sekarang aku pun ingin menambah pengalaman," ujar Tong
Kiat-hu. "Kim-laute, bicara sejujurnya, sedikit kepandaianku ini
mungkin akan membikin rusak Hian-tiatmu yang sukar dicari
ini. Apakah kau tidak kuatir?"
Alangkah girangnya Kim Tiok-liu, sahutnya "Tong-lotjianpwe
sudi memberi pertolongan sebesar ini, sungguh Wanpwe
lidak tahu cara bagaimana harus membalas kebaikanmu. Maka
Lotjianpwe tidak perlu main sungkan-sungkan lagi,"
"Kalian berdua sama-sama tidak perlu main sungkansungkan,"
seru Te Kin tertawa. "Bicara sesungguhnya di
seluruh dunia hanya Tong-toako saja yang cocok untuk
menggembleng pedang wasiat ini, sebaliknya setelah
mengetahui adanya Hian-tiat ini. jika Kim-laute tidak
membiarkan Tong-toako yang menggemblengnya, tentu juga
dia akan getol dan bukan mustahil akan merebut Hian-tiatmu
ini untuk ditempa."
"Ucapanmu ini benar-benar kena betul di lubuk hatiku."
ujar Tong Kiat-hu tertawa.
Kitn Tiok-liu lantas kembali ke kamarnya, setelah salin
pakaian lalu Hian-tiat itu dibawanya keluar untuk diperlihatkan
kepada Tong Kiat-hu.
Setelah menimang sebentar, berulang-ulang Tong Kiat-hu
memuji, "Sungguh benda mestika, jika ditempa menjadi
pedang, pasti akan menjadi raja dari segala macam senjata.
Cuma untui menempa pedang wasiat demikian aku masih
perlu sedikit peralatan."
"Untuk ini kau jangan kuatir, sudah kusediakan
sebelumnya," kata Te Kin. "Aku ada sebuah ruang di bawah
tanah, sudah kupasang pula sebuah pompa angin besar, dua
martil besar juga sudah aku persiapkan. Sebentar boleh kau
periksa alat itu apakah cocok untuk dipakai atau tidak."
"Sungguh cermat jalan pikiranmu, Te-hiante," puji Tong
Kiat-hu sesudah meninjau bengkel itu. "Menempa di bawah
tanah begini pasti suaranya takkan terdengar di luar. Baiklah,
besok juga aku akan mulai bekerja."
Melihat Te Kin dan Tong Kiat-hu begitu bersungguh hati
bagi urusannya, Kim Tiok-liu merasa sangat berterima kasih
tapi hatinya merasa masgul juga. Pedang yang ditempa ini
tujuannya hendak dihadiahkan kepada Li Lam-sing. Sekarang
Li Lam-sing dan Su Ang-ing entah pergi kemana, ia tidak tahu
apakah mereka akan datang"
Begitulah sehari itu Kim Tiok-liu berharap akan datangnya
Li Lam-sing dan Su Ang-ing, tapi bayangan mereka tetap tidak
kelihatan. Tanpa terasa tujuh hari sudah berlalu, Hian-tiat itu
sudah ditempa sempurna, pedang wasiat sudah hampir jadi.
Tapi Li Lam-sing dan Su Ang-ing masih belum muncul juga.
Kemanakah perginya Li Lam-sing dan Su Ang-ing"
Bagaimanakah keadaan mereka"
Tempo hari secara bahu-membahu, Li Lam-sing dan Su
Ang-ing telah berhasil menerjang keluar dari istana Sat Hokting.
Tidak lama kemudian mereka telah berada di luar kota
dan jauh meninggalkan pasukan yang mengejarnya. Waktu
mereka menoleh, hanya kelihatan Su Pek-to seorang diri yang
masih mengejar ke arah mereka.
Meski kepandaian Su Pek-to lebih tinggi daripada adik
perempuannya, tapi dalam hal Ginkang ia tidak unggulan,
maka jarak kedua pihak menjadi makin lama tambah jauh
ketinggalan. Kuatir tersusul oleh kakaknya, sekaligus Su Ang-ing berlari
belasan li jauhnya tanpa berhenti dan juga tidak mengajak
bicara pada Li Lam-sing. Dengan tertawa Li Lam-sing berkata,
[^Sekarang bolehlah kita berlari pelahan sedikit, tampaknya
ka-kakmu sudah tertinggal jauh."
Su Ang-ing merasa lega dan melambatkan larinya, sekonyong-
konyong pikirannya tergerak dan teringat sesuatu, ia
terus berhenti dan berkata sambil menoleh. "Dimanakah Kim
Tiok-liu" Apakah tadi dia berhasil lari keluar?"
"Kulihat dia pun berhasil lari keluar, cuma entah lari ke
jurusan mana?" kata Lam-sing. "Namun kau tak perlu kuatir,
kepandaiannya lebih hebat dariku, kakakmu juga tidak
mengejar dia, bagaimanapun dia pasti dapat menyelamatkan
diri." "Aku kenal kepandaiannya," kata Ang-ing. "Cuma....."
"Cuma apa?" Lam-sing menegas.
Sebenarnya Su Ang-ing hendak menyatakan "Cuma aku
ingin bertemu dia", tapi ketika melihat Li Lam-sing
menatapnya ydengan sorot mata yang rada aneh, tiba-tiba ia
merasa kikuk dan segera mengubah ucapannya menjadi.
"Cuma aku merasa heran, pika kau melihat dia, seharusnya
dia juga melihat dirimu, mengapa dia tidak menyusul ke
jurusan sini?"
Li Lam-sing juga merasa heran, sahurnya, "Ya, mungkin dia
membelok ke sana untuk mencari Utti Keng. Jadi kau pun
sudah kenal dia?"
"Dia memanggil kau sebagai Toako, apa kalian adalah
saudara angkat" Aku kenal dia belum lagi ada sebulan
lamanya," tutur Ang-ing.
"Hahaha! Apa kau kira aku adalah sobat lamanya" Haha,
justru baru kemarin kami saling kenal. Coba aneh tidak?"
"Baru kenal kemarin" Begitu kenal lantas angkat saudara"
Sungguh aku tidak habis mengerti."
"Persahabatan sejati yang penting adalah saling pengertian
dan bukan soal lama atau baru berkenalan, betul tidak
menurut pendapatmu?"
Muka Su Ang-ing menjadi merah, pikirnya, "Apa barangkali
dia sudah mengetahui hubunganku dengan Kim T iok-liu dan
sengaja menggoda aku" Ai, dasar anak tolol, entah apa saja
yang telah diceritakan Kim Tiok-liu kepada saudara angkatnya
ini?" Sebagai seorang nona yang cerdik dan masih suci, sudah
tentu Ang-ing dapat memahami isi hati Tiok-liu dari tingkah
lakunya yang terus menguntitnya sepanjang jalan dahulu itu.
Tapi sebelum ada sesuatu kepastian ia pun merasa malu bila
Kim Tiok-liu sudah mengutarakan soal itu kepada orang lain.
Sekarang ia mengira Kim Tiok-liu telah menceritakan isi
hatinya kepada Li Lam-sing, juga diam-diam ia mendongkol
kepada Kim Tiok-liu, tapi juga timbul rasa senang bercampur
malu. Padahal sama sekali Li Lam-sing tidak tahu menahu
tentang huubngannya dengan Kim Tiok-liu, lebih-lebih tidak
tahu bahwasanya di antara mereka sudah saling jatuh hati.
Tujuan Li Lam-sing juga hendak memancing perasaan Su Anging
terhadap dia sendiri.
Maka diam-diam Lam-sing merasa girang ketika dilihatnya
wajah Ang-ing bersemu merah, pikirnya, "Ah, tampaknya dia
memahami maksudku, lantas apa yang harus kukatakan pada
langkah selanjurnya?"
Begitulah kedua orang sama-sama mempunyai pikirannya
sendiri dan sama-sama salah wesel akan maksud masingmasing.
Selagi pikiran mereka diliputi kegelisahan, tiba-tiba
terdengar suara derapan kuda yang ramai, dari depan tampak
ada beberapa perwira tentara mendatangi dengan melarikan
kuda mereka secepat terbang. Dalam pada itu dari belakang
tampak Su Pek-to juga sudah menyusul tiba. Ginkang Su Pekto
selisih tidak jauh daripada Ang-ing, tapi tenaga dan
napasnya lebih kuat, berlari dalam jarak jauh sudah tentu
Ang-ing kewalahan.
Dari jauh Su Pek-to sudah mengenali siapa perwira pe-i
nunggang kuda yang datang itu, dengan girang ia lantas
berseru, "Swe-tjiangkun, lekas cegat bocah itu!"
Kiranya perwira itu adalah Swe Beng-hiong, panglima tenpara
kerajaan di Sedjiang yang baru pulang ke kotaraja atas
panggilan Kaisar untuk memberi laporan situasi di daerah
kekuasaannya itu.
Dari belakang ada pengejar, di depan ada pencegat,
terpaksa Ang-ing mati kutu. Ia tahu kepandaian Swe Benghiong
tidak di bawah kakaknya, ia pun tahu kakaknya justru
akan memaksa dia untuk kawin dengan perwira tinggi ini.
Sekarang kepergok di tengah jalan, keruan ia merasa kuatir.
Sebaliknya Li Lam-sing tidak kenal kelihaian Swe Benghiong,
serunya kepada Ang-ing, "Jangan gugup, terjang saja
ke depan!"
Berbareng itu tangannya lantas mengayun, terdengarlah
suara letusan, segulung asap tebal lantas bertebaran ke
depan, di tengah kabut itu tampak gemcrdep sinar emas
dengan menerbitkan suara bercitcit.
Heran dan girang pula Su Ang-ing, katanya, "He, kau pun
(dapat menggunakan senjata rahasia seganas ini?"
Kiranya senjata rahasia yang digunakan Li Lam-sing itu
bernama 'granat gas racun berjarum emas'. Keluarga Su juga
birnya senjata rahasia serupa, tapi sekali lihat, Ang-ing lantas
tahu granat gas racun yang dilemparkan Li Lam-sing itu jauh
itebih lihai daripada senjata rahasia yang biasa digunakan
keluarganya. Benar saja, di tengah gemerdepnya sinar emas dan asap
tebal itu, terjungkir-baliklah beberapa penunggang kuda itu
dengan jeritan mengaduh, beberapa pengiring Swe Benghiong
roboh semua. Hanya Beng-hiong yang masih tetap di
atas kudanya, bahkan berhasil menembus jaringan kabut
beracun itu. Dengan cepat sekali Swe Beng-hiong melarikan kudanya ke
hadapan Li Lam-sing, jengeknya gusar, "Hm, anak keparat,
keji benar senjata rahasiamu, tapi di hadapanku apa yang bisa
kau lakukan lagi dengan sedikit kepandaianmu ini" Coba
rasakan dulu cambukku ini!" Berbareng itu cambuk kudanya
terus memecut ke arah Li Lam-sing.
Cepat Li Lam-sing melolos pedangnya dan balas
membentak, "Menggelinding turun kau dari kudamu!"
Tapi Swe Beng-hiong mendengus dan membentak pula,
"Lepas pedang!"
Cambuknya berputar, tahu-tahu batang pedang Li Lam-sing
telah terbelit.
Li Lam-sing berusaha menabas, tapi sia-sia, karena batang
pedang terbelit sehingga cambuk lawan sukar ditebas putus.
Maksud Swe Beng-hiong sebenarnya hendak merampas
pedang Li Lam-sing, tapi gagal, sebaliknya ia hampir terseret
jatuh ke bawah kuda oleh tenaga betotan Li Lam-sing.
Swe Beng-hiong terkejut dan baru sekarang mengetahui Li
Lam-sing bukan lawan yang enteng, mendadak ia kempit
perut kudanya sehingga binatang itu terpaksa mencongklang
cepat ke depan, seru Swe Beng-hiong, "Biar kau rasakan, coba
kau mau melepaskan pedangmu atau tidak?" Nyata ia
bermaksud menyeret Li Lam-sing.
Tak terduga cara demikian malah memberi kesempatan
baik kepada Li Lam-sing untuk melompat ke atas hingga mirip
ayunan. Sebelum Swe Beng-hiong bisa menarik kembali
cambuknya, tiba-tiba Li Lam-sing sudah menikamkan


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya yang masih terbelit cambuk itu ke arah Swe Benghiong.
Terpaksa Swe Beng-hiong melepaskan cambuknya dan
cepat melompat turun dari kudanya, Li Lam-sing juga lantas
menancapkan kaki di atas tanah karena kehilangan pegangan.
"Keparat, masih berani melawan lagi?" bentak Swe Benghiong
sambil menubruk maju, pada saat Li Lam-sing belum
siap siaga ia hendak menangkapnya lebih dulu.
"Bagus!" sambut Li Lam-sing, bagai gasingan cepatnya
tubuhnya berputar, langkahnya tampak rada sempoyongan,
tapi gerak pedangnya sangat lihai.
Sebagai ahli pedang Swe Beng-hiong lantas tahu ilmu
pedang yang dimainkan Li Lam-sing itu adalah 'Ilmu pedang
dewa mabuk' yang hebat, ia tidak berani memandang enteng
lagi kepada lawannya, cepat ia menendang disertai pukulan
untuk mendesak mundur Li Lam-sing.
Dalam pada itu Su Pek-to sudah menyusul tiba dan
berseru, "Berhenti dulu, akan kutanya bocah ini. Hei, siapakah
yang mengajarkan senjata rahasia begini padamu" Apakah
kau ada hubungannya dengan Thian-mo-kau?"
"Hm, masakah kau sesuai untuk menanyai asal-usulku?"
jengek Lam-sing.
Swe Beng-hiong tidak mau mengendurkan serangannya,
kembali kedua tangannya memukul beruntun dengan Imyang-
tjiang, kedua kakinya juga menendang susul-menyusul
sehingga Li Lam-sing cuma mampu menangkis saja.
Setelah berada di atas angin barulah Swe Beng-hiong
berkata, "Peduli siapa dia, bekuk dia paling perlu. Hm, dia
berani membunuh anak buahku, jika aku membinasakan dia
juga tidak keterlaluan!"
Rupanya timbul juga rasa cemburu Swe Beng-hiong karena
dilihatnya Li Lam-sing berada bersama Su Ang-ing yang ingin
dipersuntingnya itu, maka kalau bisa ia ingin sekali hantam
membinasakan Lam-sing.
"Bocah ini telah merampok barang-barang Sat-tjongkoan,
paling baik kalau menawannya hidup-hidup untuk diserahkan
kepada Sat-tjongkoan," kata Su Pek-to.
Sementara itu Swe Beng-hiong sudah rada di atas angin,
tupi juga belum mampu mengapa-apakan Li Lam-sing. Maka
Su Pek-to yang merasa serba salah, kuatir Swe Beng-hiong
tidak mampu menangkap Li Lam-sing dan pemuda itu berhasil
kabur, tapi juga kuatir kalau-kalau Swe Beng-hiong
membunuh Li Lam-sing, padahal ia merencanakan akan
menawan hidup-hidup Li Lam-sing untuk ditanyai keteranganketerangan
lain. Maka terpaksa menonjolkan nama Sat Hokting,
menyusul ia pun ikul mengembut dengan maksud dapat
mendahului menangkap Li Lam-sing sebelum dibinasakan oleh
Swe Beng-hiong.
Tentu saja Li Lam-sing kewalahan dikeroyok dua jago kelas
satu, tampaknya sekali cengkeram tentu tulang pundaknya
akan kena dipegang oleh Su Pek-to. Mendadak terdengar
"tam-" sekali, cambuk perak Su Ang-ing menyabet dan tepat
dapat merintangi cengkeraman kakaknya itu.
Ketika cengkeraman Su Pek-to mengenai tempat kosong,
kembali Su Ang-ing sudah memutar cambuknya lagi tems mengadang
di tengah antara kakaknya dan Li Lam-sing, serunya,
"Koko, kau adalah seorang Pangtju, mana boleh kau tidak
menghargai kedudukan dirimu dengan main keroyok begini?"
Sungguh gusar Su Pek-to tidak kepalang, bentaknya, "Kau
masih ingat kepada kakakmu sendiri" Hm, dia pernah apamu
sehingga kau membantunya sedemikian rupa?"
"Koko, bangsa kita telah dijajah ratusan tahun, masakah
kau malah membantu musuh untuk menindas bangsa sendiri?"
sahut Ang-ing. "Jika kau berdiri di pihak musuh terpaksa aku
harus membantunya."
Muka Su Pek-to menjadi merah, bentaknya pula, "Kurang
ajar, urusan negara masakah dapat dimengerti oleh budak liar
seperti kau" Lekas ikut aku pulang!"
"Asalkan kau berjanji takkan menjadi kaki-tangan kerajaan
musuh, segera aku akan ikut kau pulang," kata Ang-ing.
"Urusanku tidak perlu kau ikut campur," jengek Pek-to.
"Hm, sekarang kau sudah bersayap dan ingin terbang pergi
ya" Ingin kulihat apakah kau mampu terbang dari telapak
tanganku."
Kuatir Ang-ing omong hal-hal yang kurang enak didengar,
segera Su Pek-to melancarkan serangan, dengan angin
pukulannya ia menggoncang pergi cambuk Ang-ing, lalu
menubruk maju, Ang-ing hendak ditangkapnya dengan
bertangan kosong.
"Koko, kaulah yang memaksa aku bergebrak dengan kau,"
seru Ang-ing dengan marah. Sekali sendai, selincah ular naga
cambuknya lantas melingkar. Su Pek-to tidak berhasil
memegang ujung cambuk Ang-ing, sebaliknya pergelangan
tangannya hampir terlilit.
Kakak beradik itu berkelahi sendiri, hal ini kebetulan bagi
Swe Beng Hiong, kepulangannya ke kotaraja ini selain untuk
urusan dinas juga maksudnya hendak mengajukan lamaran
kepada Su Ang-ing. Sekarang nona itu dipergoki membikin
gara-gara, untung Su Pek-to yang melayani sendiri adik
perempuannya, kalau tidak, tentu Swe Beng-hiong akan
merasa serba salah.
Maka dengan tertawa ia berkata, "Su-pangtju tidak perlu
marah, adikmu masih terlalu muda sehingga gampang dibujuk
oleh mulut manis musuh. Di depan Sat-tjongkoan akan
kututupi urusanmu ini, tapi kau pun jangan melukai adikmu."
"Terima kasih," sahut Pek-to. "Hendaklah kau pun jangan
membunuh bocah itu."
Swe Beng-hiong mengiakan, ia tahu Su Pek-to ingin
menawan hidup-hidup Li Lam-sing untuk dimintai keterangan,
jika ia memukulnya menjadi cacat, asalkan mulutnya masih
bisa bicara tentu jadilah.
Dalam hal tenaga dan pengalaman bertempur, Swe Benghiong
di atas Li Lam-sing, setelah mengambil keputusan keji
itu, setiap serangannya lantas menggunakan cara keji untuk
membikin lumpuh Li Lam-sing.
Dengan segenap tenaga Li Lam-sing menlayani serangan
musuh tanpa memikirkan bahayanya, tapi Su Ang-ing sudah
melihat serangan Swe Beng-hiong yang ganas itu.
Mendadak Swe Beng-hiong membentak, "Kena!"
Di tengah angin pukulannya itu, terlihat Li Lam-sing
melompat mundur beberapa meter jauhnya dengan langkah
sempoyongan, sebaliknya baju Swe Beng-hiong tahu-tahu
tertembus tiga lubang.
Kiranya Li Lam-sing keserempet oleh angin pukulan Swe
Beng-hiong, tapi 'Tui-hong-kiam-hoat' yang dimainkannya
cepat luar biasa, ketika Swe Beng-hiong mendesak maju,
hampir saja badannya berlubang oleh tusukan pedang Li Lamsing.
Su Ang-ing tidak tahu baju Swe Beng-hiong sudah bolongbolong,
yang dilihatnya cuma mencelatnya Li Lam-sing,
keruan ia terkejut kuatir. Dalam pada itu, saat ia rada lena
itulah ujung cambuknya kena dipegang oleh Su Pek-to.
"Aku tidak terluka, kau jangan kuatir!" seru Lam-sing.
Ang-ing merasa lega, sebelah tangannya cepat mencabut
belati untuk menabas ujung cambuk sehingga bebas dari
cengkeraman kakaknya.
Menurut perhitungan Su Pek-to, menyusul dengan
gampang adik perempuannya akan dapat dibekuk, siapa duga
Ang-ing dapat lolos dengan memutus ujung cambuk. Ia
menjadi gusar, bentaknya, "Bagus, jadi kau hanya membela
orang luar melulu, buat apa aku mempunyai adik perempuan
seperti kau ini" Anak keparat itu tidak terluka, biar aku
melukai kau dulu supaya kau tahu rasa!"
"Jangan, jangan!" seru Swe Beng-hiong, berbareng itu
kembali ia menubruk lagi ke arah Li Lam-sing.
Sebenarnya Swe Beng-hiong rada ngeri juga ketika
mengetahui bajunya sendiri kena dilubangi oleh pedang Li
Lam-sing. Cuma hatinya menjadi panas ketika mendengar Su
Pek-to mendamprat Ang-ing dan mengatakan nona itu
membela orang luar. Maka tanpa pikir lagi kembali ia
menerjang Li Lam-sing dengan rasa cemburu.
Sesungguhnya Li Lam-sing sudah menderita sedikit luka,
hanya ia tidak mau Ang-ing merasa kuatir baginya. Sekarang
melihat Swe Beng-hiong menerjang lagi dengan kalap, ia
menjadi nekat juga, pikirnya, "Katak buduk seperti kau juga
ingin memeluk bidadari" Sekalipun jiwaku melayang juga akan
kugagalkan cita-citamu."
Begitulah kedua orang kembali bergebrak lagi, dengan ilmu
pedangnya Li Lam-sing masih menambahkan pula pukulan
telapak tangan yang lain.
"Bagus, boleh juga kita coba-coba tenaga pukulan!" seru
Swe Beng-hiong dengan tertawa. Dengan angin pukulannya ia
menggoncang pedang Li Lam-sing, lalu memapak pukulan
Lam-sing dengan telapak tangan. "Plak", kedua tangan
beradu, tubuh Li Lam-sing mencelat ke atas dan berjungkir
balik sampai beberapa meter jauhnya.
Seketika itu Lam-sing merasa kepala pusing dan mata
berkunang-kunang, langit dan bumi terasa berputar,
kerongkongan terasa amis, sekuatnya ia menelan kembali
mentah-mentah darah yang hampir menyembur keluar itu.
Sesudah berdiri tegak, dengan lagak tidak terjadi apa-apa ia
bergelak tertawa katanya, "Haha, marilah coba lagi!"
Begitu Li Lam-sing digempur mencelat, seketika juga Swe
Beng-hiong merasa telapak tangannya kesemutan, waktu
diperiksa, ternyata di tengah tapak tangan itu ada satu lubang
tusukan jarum dan mengeluarkan darah hitam. Ternyata pada
waktu beradu tangan tadi Li Lam-sing menggenggam sebuah
Bwe-hoa-Ijiam yang berbisa.
Sama sekali Swe Beng-hiong tidak menyangka Li Lam-sing
berani menggunakan cara 'hancur bersama' itu untuk
mengadu tangan dengan dia, keruan ia terkejut dan murka
pula. Lekas ia menghimpun tenaga untuk menahan
menjalarnya racun, berbareng itu ia terus memburu maju pula
sambil membentak, "Keparat, aku harus mampuskan kau! SuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pangtju, anak keparat Ini terlalu kurangajar, terpaksa harus
kubinasakan dia!"
Sebagai seorang tokoh ilmu silat, sudah tentu cara Li Lamsing
menjebak Swe Beng-hiong dengan senjata rahasia
berbisa hu tak bisa mengelabui mata Su Pek-to, pikirnya.
"Begini pintar cara bocah itu menggunakan senjata rahasia
berbisa, tentu dia ada hubungan erat dengan Thian-mo-kau.
Bila Swe Beng-hiong roboh keracunan, seorang diri aku tidak
sanggup mencegah larinya mereka Apa boleh buat, terpaksa
membiarkan Swe Beng-liiong membinasakan bocah itu."
Su Ang-ing tidak tahu kalau Swe Beng-hiong sudah terkena
jarum berbisa, ia menjadi kuatir malah ketika melihat Li Lamsing
terdesak mundur dan sukar bertahan lagi. Diam-diam ia
merasa cemas, pikirnya, "Dia adalah saudara angkat dari Kim
Tiok-liu, aku pun pernah berhutang budi padanya, sekarang
aku tidak mampu menolongnya, bagaimana baiknya ini?"
Lebih celaka lagi, tiba-tiba terdengar suara kelenengan
kuda yang ramai, tahu-tahu Bun To-tjeng, Soa Djian-hong dan
keempat Hiangtju dari Liok-hap-pang tampak datang semua.
Bun To-tjeng mengenal Swe Beng-hiong, ia lantas menyapa
dengan tertawa, "Aha, Swe-tjiangkun, kiranya engkau pun
datang ke sini" Sembelih ayam tidak perlu pakai golok, biar
ku-gantikan kau membereskan bocah itu."
Melihat keadaan sudah kepepet, mendadak Ang-ing
mendapat akal, cepat ia melompat keluar kalangan, ia
mengacungkan belatinya ke tenggorokan sendiri pula sambil
berteriak, "Koko, jika kalian membunuh dia, biar aku mati dulu
di hadapanmu!"
Pek-to menjadi kuatir dan bingung, serunya, "Swetjiangkun,
bagaimana penyelesaian urusan ini terserahlah
padamu!" Sesungguhnya Swe Beng-hiong sangat mendongkol dan
cemburu, karena Su Ang-ing mati-matian membela Li LamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sing. Tapi ia pun tidak ingin Ang-ing membunuh diri, terpaksa
ia berkata, "Nona Su, urusan dapat dirundingkan secara baikbaik,
marilah kita bicarakan dulu!"
"Aku tidak bicara dengan kau, jangan kau mengharapkan
kesanggupan apa-apa dariku," sahut Ang-ing dengan ketus.
Swe Beng-hiong mengerut dahi. sorot matanya beringas,
kembali timbul keinginan membunuhnya. Namun tidak rela
juga akhirnya, pikirnya, "Kau tidak mau kulamar, aku justru
akan memperistrikan kau. Asal kau hidup tenis tentu aku akan
punya akal untuk mempersuntingkan dirimu. Mengenai bocah
yang sudah terluka parah ini biarlah kulepaskan dia untuk
sementara ini."
Setelah mengambil ketetapan, Swe Beng-hiong lantas
berlagak murah hati, katanya dengan tertawa, "Nona Su,
tentu aku tidak mau membikin susah padamu, apa
kehendakmu biarlah kuturuti. Cuma apapun juga terserah
kepada kakakmu untuk memutuskannya."
Nyata, kembali Swe Beng-hiong memindahkan persoalan
kepada Su Pek-to, habis bicara ia lantas mundur ke samping,
la sempat memberi isyarat kedipan mata pada Bun To-tjeng,
maksudnya Bun To-tjeng disuruh mengawasi Li Lam-sing.
Agaknya Swe Beng-hiong sendiri perlu merawat lukanya yang
keracunan, sebabnya dia mau melepaskan Lam-sing, pertama
mengambil liati Su Ang-ing, selain itu juga dia perlu lekas
mengobati lukanya supaya racun tidak lantas menjalar.
Su Pek-to dapat memahami maksud Swe Beng-hiong itu,
segera ia mendengus kepada Ang-ing dan berkata, "Hm, kau
budak ini memang lebih senang membela orang luar, tapi aku
tidak nanti mau menuruti keinginanmu."
Ang-ing tersenyum pedih, katanya, "Baiklah, karena kau
sama sekali tidak punya perasaan sebagai kakak beradik, buat
apa aku membikin susah padamu."
Habis berkata ujung belatinya pelahan-lahan ditempelkan
ke lehernya sehingga kulitnya lecet dan mengeluarkan darah.
Cepat Swe Beng-hiong berteriak, "Su-toako, adikmu masih
terlalu muda, hendaklah kau banyak memberi pelajaran lagi
padanya, tapi tidak perlu memaksa dia membunuh diri."
Anjuran ini kebetulan bagi Su Pek-to untuk mengalah
kepada Ang-ing, serunya, "Benar-benar budak yang tidak tahu
diri, sungguh aku bisa mati kaku merasakan dirimu ini.
Baiklah, asalkan kau ikut pulang bersama aku lantas kupenuhi
permintaan- Ang-ing tahu watak kakaknya, jika syarat kakaknya itu tidak


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diturut, pasti Lam-sing takkan dibebaskan oleh mereka. Ia
pikir sesudah pulang nanti toh masih bisa mencari kesempatan
untuk melarikan diri. Sebaliknya Li-toako sudah terluka parah,
dia perlu lolos dari cengkeraman musuh selekasnya. Maka
jawabnya kemudian, "Baiklah, tapi kalian harus memberikan
seekor kuda kepada temanku ini, sesudah dia pergi jauh
barulah aku akan menyimpan kembali belatiku dan ikut kau
pulang." Dalam hati Swe Beng-hiong merasa asam, tapi lahirnya dia
sengaja memperlihatkan sikap seperti tidak punya pikiran apaapa,
katanya dengan tertawa, "Jadi, jadi! Kata peribahasa,
tidak berkelahi tidak saling kenal. Sobat ini sangat tinggi ilmu
silatnya, aku pun memang bertambah seorang kawan. Eh,
Bun-totju, harap berikan kudamu itu kepadanya."
Bun To-tjeng lantas melompat turun dari kudanya dan
menuntun kudanya ke hadapan Li Lam-sing, katanya dengan
penasaran, "Baiklah, atas kemurahan hati Swe-tjiangkun
menjadi keenakan bagimu."
Tapi Li Lam-sing tidak lantas menerima kuda itu, katanya
kepada Ang-ing, "Nona Su, cara demikian jadi membikin susah
padamu." "Jangan kau urus diriku, lekas kau berangkat!" sahut Anging.
"Selama gunung masih menghijau masakah takut tiada
kayu bakar?"
Sebagai pemuda yang mudah tergoncang perasaan,
mendengar ucapan Ang-ing itu hatinya menjadi sangat
terharu, seketika air matanya berlinang, pikirnya, "Untuk
menyelamatkan diriku dia rela takluk kepada kakaknya. Budi
kebaikan ini entah kapan baru aku dapat membalasnya"
Ucapannya tidak salah, selama gunung tetap menghijau
masakah takut tiada kayu bakar, aku harus lekas
menyembuhkan lukaku agar bisa menolongnya terlepas dari
cengkeraman kakaknya."
Semula Li Lam-sing tidak mau meninggalkan Su Ang-ing
untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi sesudah mendengar
ucapan Ang-ing tadi, terpikir kalau sampai mati bersama toh
tiada faedahnya, maka akhirnya ia ganti pikiran. Ia lantas
menyem-plak ke atas kuda dan berseru, "Nona Su, harap
menjaga diri baik-baik, aku akan pergi. Orang she Swe, aku
tidak menerima budimu, jangan kau kira akan meredakan
permusuhan kita dengan melepaskan aku sekarang."
"Hahaha, benar-benar anak kepala batu," Swe Beng-hiong
tertawa. "Baiklah, akan kutunggu kau untuk coba-coba
mengukur tenaga lagi dengan aku. Memangnya kau tidak
perlu menerima budiku, budi kebaikanku ini hanya kuberikan
kepada nona I Su saja."
Saat itu Li Lam-sing merasa badannya sangat lemah dan
hampir tak tahan lagi, ia mengayun cambuk dan melarikan
kudanya secepat terbang ke depan.
Mendadak Ang-ing teringat sesuatu, teriaknya dari jauh,
"Sesudah sembuh, harap kau menyampaikan beritaku kepada
Kim Tiok-liu!"
Melihat Lam-sing sudah jauh melarikan kudanya, Ang-ing
menjadi kurang waspada. Di luar dugaan mendadak Su Pek-to
merampas belatinya terus disambitkan ke arah Li Lam-sing.
Keruan Ang-ing terkejut dan menjerit, tapi baru saja ia
bersuara, tahu-tahu Su Pek-to sudah menutuk Hiat-tonya.
Luka Li Lam-sing cukup parah, sekali kudanya dilarikan,
seketika kepalanya tambah pusing dan mata berkunangkunang,
telinga mendengung dan jantung berdebar-debar,
teriakan Su Ang-ing tadi hanya sayup-sayup masuk di
telinganya, tapi tidak jelas apa yang dikatakan si nona.
Sementara itu Li Lam-sing melarikan kudanya sejauh
ratusan langkah, kalau senjata rahasia biasa saja pasti sukar
mencapainya lagi, tapi tenaga Su Pek-to lain daripada yang
lain, ia menyambitkan belati itu dengan sepenuh tenaga,
selarik sinar perak lantas menyusul ke arah Li Lam-sing.
Untung sayup-sayup Li Lam-sing mendengar suara teriakan
Su Ang-ing tadi, ketika ia menoleh, kebetulan belati itu
menyambar tiba. Lekas Lam-sing menyampuk dengan
pedangnya, belati itu terbentur melenceng, tapi masih
menyelonong ke depan dan menancap di pantat kudanya.
Kuda itu adalah kuda perang yang sudah terlatih, karena
kesakitan oleh lukanya, segera larinya tambah kencang, hanya
sekejap saja sudah lenyap dari pandangan Su Pek-to.
Hiat-to Su Ang-ing yang tertutuk itu adalah Moa-hiat yang
membikin kaku tak bisa bergerak, tapi mulutnya dapat bicara,
saking marahnya suaranya sampai gemetar, dampratnya pada
Su Pek-to, "Koko. apa kau tidak malu menyerang orang dari
belakang?"
Muka Su Pek-to menjadi merah, sahutnya, "Bocah itu
adalah buronan pemerintah, masakah aku perlu bicara
peraturan Kangouw dengan dia" Tadi kau membelanya matimatian,
kelak kalau kepergok lagi tentu tak bisa kuampuni
lagi." "Benar," sela Swe Beng-hiong. "Betapapun tadi kita sudah
berjanji untuk melepaskan dia, maka tidak perlu lagi kita
mengejar dia. Su-pangtju, apakah kau akan kembali ke sana
untuk menemui Sat-taydjin?"
Kiranya saat mana Swe Beng-hiong merasakan racun mulai
menjalar dari lukanya, meski sementara ini dapat ditahannya
dengan mengerahkan Lwekangnya yang tinggi, tapi ia harus
cepat masuk kota untuk minta pengobatan pada tabib yang
pandai. Sudah tentu Bun To-tjeng, Soa Djian-hong dan lain-lain
juga tidak berani sembarangan mengejar Li Lam-sing, mereka
kuatir kalau kepergok Utti Keng, Kim Tiok-liu dan lain-lain.
Su Pek-to merasa kehilangan muka karena berulang-ulang
kecundang, jawabnya kemudian, "Aku akan pulang saja,
terpaksa aku tidak sempat mohon diri kepada Sat-taydjin,
harap Swe-tjiangkun sudi memintakan maaf."
"Sebenarnya aku ada sedikit urusan yang harus dirunding
kan dengan kau. Apakah Su-toako dapat tinggal beberapa hari
lagi di kotaraja?" tanya Beng-hiong.
Lantaran merasa kehilangan muka, pula Su Ang-ing telah
membikin onar di tengah pesta ulang tahun Sat Hok-ting, hal
ini-pun membikin Su Pek-to serba sulit mempertanggung
jawabkan kepada Sat Hok-ting. Sebab itulah Su Pek-to merasa
lebih baik pulang saja ke rumah untuk menghindari teguran
Sat Hok-ting. Tapi sekarang demi mendengar ucapan Swe Beng-hiong,
hatinya menjadi tergerak lagi, pikirnya, "Urusan apakah yang
akan dia rundingkan dengan aku" Tidak salah lagi tentu
urusan Ang-ing. Jika perjodohan ini terjadi, tentu Swe Benghiong
akan menjadi sandaran bagiku. Cuma watak Ang-ing
teramat kepala batu, belum lagi jelas bagiku apakah budak ini
menyukai Kim Tiok-liu atau penunjui bocah yang lari tadi.
Yang pasti dia tidak mau menjadi isteri Swe Beng-hiong. Kalau
dipaksa mungkin akan terjadi hal-hal lain lagi. Apalagi sebelum
pasti perjodohan ini ditetapkan, bukan mustahil ada orang
mengadu-biru kepada Sat Hok-ting dan kejadian hari ini akan
diusut, maka tidaklah leluasa jika Ang-ing berada di kotaraja."
Setelah berpikir sejenak, kemudian Pek-to berkata, "Cukup
lama aku meninggalkan rumah, mungkin banyak urusan yang
perlu dibereskan. Tapi ajakan Swe-tjiangkun betapapun tak
bisa kutolak. Baiklah kusuruh bawahanku membawa adik
perempuanku pulang dulu, aku akan menunggu perintah Swetjiangkun
di kota, setiap saat kalau urusan dinasmu sudah
selesai. Di hadapan Sat-taydjin sudah tentu mohon Tjiangkun
memberi penjelasan yang perlu agar kelak aku dapat
menghadap beliau lagi."
Swe Beng-hiong rada kecewa karena Su Pek-to hendak
mengirim pulang adik perempuannya, tapi dirinya juga perlu
merawat lukanya lebih dulu, pula harus menjelaskan urusan
dinas, betapapun soal perjodohan mesti ditunda dulu. Kalau
nona itu dibiarkan tinggal di kotaraja mungkin sekali akan
menimbulkan huru-hara lagi.
Oleh karena itu ia lantas menyetujui usul Su Pek-to,
katanya dengan tertawa, "Su-pangtju jangan kuatir, segala
sesuatu tentu akan kubicarakan dengan Sat-tjongkoan dan
tanggung be-res.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Swe Beng-hiong,
lalu Pek-to memerintahkan Tang Tjap-sah-nio dan Wan-hay
mengawal Su Ang-ing pulang dulu ke markas Liok-hap-pang,
tinggal Djing-hu dan Djiau Sik saja yang ikut dia tetap berdiam
di markas cabang di kotaraja.
Swe Beng-hiong perlu lekas mengobati lukanya, maka ia
lantas mendahului berangkat. Sebelum berpisah Su Pek-to
memberi pesan kepada Tang Tjap-sah-nio agar mengawasi Su
Ang-ing dengan ketat serta petunjuk-petunjuk lainnya.
Ang-ing tidak peduli apa yang mereka rundingkan, yang dia
pikir hanya Kim Tiok-liu saja, ia berharap Tiok-liu akan lekas
mendapat berita tentang dirinya, lalu menolongnya lebih dulu
sebelum kakaknya pulang ke rumah. Ia yakin tiada seorang
pun dari jago-jago Liok-hap-pang yang mampu melawan Kim
Tiok-liu kecuali kakaknya, maka ia menaruh kepercayaan
penuh akan kemampuan Kim Tiok-liu untuk menolongnya.
Sebab itu pula ia merasa bersyukur malah ketika mengetahui
Su Pek-to sengaja menyuruh Tang Tjap-sah-nio dan Wan-hay
mengiringnya pulang lebih dulu.
Dalam keadaan Hiat-to masih tertutuk, Su Ang-ing tidak
bisa berontak sehingga Tang Tjap-sah-nio dapat
mengangkatnya ke atas kuda, terus berangkat.
Sekarang marilah kita mengikuti keadaan Li Lam-sing.
Dalam keadaan terluka ia terus melarikan kudanya yang juga
terluka sekencang-kencangnya, ia memegang erat-erat tali
kendali kudanya dan tidak menyadari sudah berapa jauh
kudanya lari. Makin lama makin payah Li Lam-sing, ia bermaksud
mencari suatu tempat untuk merawat lukanya, tapi sukar
mengekang kuda yang kesakitan dan berlari kesetanan itu.
Sampai akhirnya kelopak matanya saja rasanya sukar
terbentang lagi, lekas Lam-sing menggigit bibir, katanya pada
dirinya sendiri, "Tidak, tidak, aku tidak boleh terpulas. Aku
masih harus berusaha menolong nona Su, aku harus bertahan,
bertahan!"
Ia tahu dalam keadaan terluka dalam, jika semangatnya
sedemikian lemahnya sehingga tanpa terasa sampai pulas,
maka mungkin untuk selanjurnya takkan mendusin lagi.
Li Lam-sing terus teringat kepada Su Ang-ing, ia
menyangka Ang-ing tentu juga sedang memikirkan dirinya dan
menaruh harapan padanya, berkat daya ingatannya itulah ia
dapat bertahan pula sebentar. Ia tidak tahu bahwa yang
dipikirkan Su Ang-ing pada saat itu bukanlah dia melainkan
Kim Tiok-liu. Ia merasa lari kudanya mulai lambat, ia pun merasa benarbenar
tidak tahan lagi. Dalam keadaan sadar-tak-sadar itu,
tiba-tiba terdengar suara derapan kaki kuda dari depan,
penunggangnya adalah seorang pemuda yang sebaya dengan
Li Lam-sing. Pemuda itu menjadi heran ketika melihat Lam-sing
tengkurap di atas kuda dalam keadaan seperti terluka. Ketika
kedua ekor kuda bersimpangan, kembali pemuda itu melihat
belati yang menancap di pantat kuda Li Lam-sing itu, ia
tambah heran. Mendadak tergerak pikirannya, ia lantas
memutar kudanya dan menyusul ke arah Li Lam-sing
Memangnya kuda tunggangan Li Lam-sing itu sudah
terluka, setelah berlari kencang sekian jauhnya, darah terlalu
banyak mengucur, saat itu kudanya juga kehabisan tenaga. Di
kala pemuda itu putar haluan menyusulnya, mendadak kuda Li
Lam-sing juga terpeleset dan roboh sehingga Lam-sing ikut
terlempar jatuh.
Dalam keadaan samar-samar, Lam-sing merasa badannya
dipondong orang, lalu tidak ingat apa-apa lagi.
Entah sudah berapa lama, barulah Lam-sing siuman. Begitu
membuka mata, seketika pandangannya silau oleh gemerdepnya
senjata, seorang berdiri di depannya dengan memegang
belati. Karena pikirannya belum jernih seluruhnya, Lam-sing
mengira musuh bermaksud jahat padanya Tanpa pikir ia
lantas melompat bangun sambil menutuk dengan jarinya serta
membentak, "Bangsat, biarlah aku mengadu jiwa padamu!"
Tutukan Lam-sing ini cepat lagi jitu, pula di luar dugaan,
kontan pemuda yang berdiri di hadapannya itu merasa
tangannya kesemutan., belati yang dipegangnya itu jatuh ke
lantai dan menerbitkan suara nyaring.
Badan Li Lam-sing masih sangat lemah, sedikit
menggunakan tenaga kembali ia roboh pula. Setelah itu dia
baru mengetahui dirinya terbaring di atas tempat tidur yang
lunak. Di dalarrfj kamar hanya terdapat dirinya dan pemuda
itu. Sejenak Lam-sini tercengang, pelahan-lahan ia dapat
mengingat kembali pemudi itu adalah penunggang kuda yang
bertemu di tengah jalan itu. Begitu pula dirinya yang terluka
kena serangan Swe Beng-hion jj serta belati yang menancap
di pantat kudanya yang disambitkar* Su Pek-to, semua
kejadian itu seketika teringat olehnya.
Lam-sing sangat heran, pikirnya, "Ya, bukankah aku jatuh
terguling di tengah jalan waktu itu, mengapa sekarang berada
dt tempat tidur ini" Apakah pemuda inilah yang telah
menolong diriku?"
Pada saat yang sama pemuda itupun sangat heran,
pikirnya, "Orang ini terluka parah dan dalam keadaan lemah,
tapi il mu Tiam-hiatnya masih begini lihai."
Segera ia menjemput kembali belati yang jatuh itu, lalu
berkata dengan tertawa, "Kau jangan kuatir, aku bukan
musuhmu.....Musuhmu adalah Liok-hap-pang, bukan?"
"Maaf," kata Li Lam-sing. "Banyak terima kasih atas
pertolongan saudara. Darimana kau mengetahui musuhku
adalah Liok-hap-pang?"
"Hah, agaknya kita mempunyai musuh yang sama," sahui
pemuda itu dengan tertawa. "Terus terang, aku pun ada
persengketaan dengan pihak Liok-hap-pang. Aku kenal belati
yang biasa dipakai orang-orang Liok-hap-pang."
Lam-sing menjadi girang, lebih dulu ia memberitahukan
namanya sendiri, lalu bertanya nama pemuda itu dan
mengapa bermusuhan dengan Liok-hap-pang"
Pemuda itu menjawab, "Siaute bersama Tan Kong-tjiau.
Beberapa bulan yang lalu aku memergoki Hwesio jahat Liokhap-
pang yang bernama Wan-hay sedang merampok di suatu
hotel, aku bertempur melawannya dan berhasil menusuknya


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali dengan pedangku, tapi aku pun terluka kena belati yang
dia sambitkan. Belatinya itu mirip benar dengan belati ini dan
ada pengenal Liok-hap-pang. Coba lihat!"
Waktu Lam-sing memeriksa, benar juga di gagang belati itu
ada ukiran sebuah tengkorak, itulah tanda pengenal Liok-happang
yang ditakuti orang.
Kiranya Tan Kong-tjiau ini adalah putera Tan Thian-ih.
Tempo hari waktu Kim Tiok-liu datang ke rumahnya, Kongtjiau
sudah sembuh dan telah meninggalkan rumah pula,
maka kedua lorang ini tidak sempat bertemu. Thian-ih pernah
menceritakan permusuhannya dengan Liok-hap-pang itu
kepada Tiok-liu. Cuma Lam-sing tidak tahu tentang hubungan
kekeluargaan yang rapat antara adik angkatnya dengan Tan
Thian-ih. Begitulah kemudian Lam-sing mengucapkan terima kasih
atas pertolongan Kong-tjiau dan bertanya pula, "Tempat
apakah ini, sudah berapa lama aku berada di sini?"
"Di sini adalah Ho-hud-si di Se-san, barat kotaraja," tutur
Kong-tjiau. "Ketua kuil ini adalah sobat baik ayahku. Ayahku
adalah Tan Thian-ih di Sohtjiu."
Bukan maksud Kong-tjiau hendak menyombongkan
ayahnya, maksudnya supaya Lam-sing tidak curiga lagi. Siapa
duga Lam-sing sama sekali tidak ambil pusing, ia hanya
berkata, "Kitanya di sini adalah Ho-hud-si. Memangnya aku
bermaksud mencari suatu tempat untuk merawat luka,
sungguh banyak terima kasih atas pertolongan Tan-heng."
Kong-tjiau menjadi heran juga, ilmu silat Lam-sing setinggi
ini, mengapa tidak kenal nama ayahnya yang cukup tersohor
itu" Tapi banyak pantangan di dunia Kangouw, Kong-tjiau
tidak #nak untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Lamsing.
Dengan tertawa kemudian ia pun berkata, "Jika demikian
dapatlah Li-heng merawat luka di sini dengan tenang. Paderi
ketua kuil ini mahir ilmu pengobatan, semalam beliau sudah
memeriksa keadaanmu dan mengatakan lukamu tidak ringan,
untung Lwekangmu cukup kuat, asal minum beberapa kali
obat lagi tentu akan sembuh dalam sepuluh hari."
Lam-sing terkejut, katanya, "Kiranya aku telah pingsan
sehari semalam di sini" O, kira-kira sepuluh hari baru bisa
sembuh, wah, benar-benar membikin cemas."
"Li-heng harus bersabar, kesehatan paling penting," katai
Kong-tjiau. "Menurut kesimpulan paderi ketua sesudah
memeriksa nadimu, katanya kau mempunyai tekanan batin,
hendaklah kau mengesampingkan urusan-urusan yang
membikin kau mas-gul, sembuhkan dulu luka-lukamu ini.
Harap Li-heng jangan marah jika aku bertanya terus, apakah
musuhmu adalah orang yang bernama Ang-ing segala?"
Muka Lam-sing menjadi merah, sahutnya, "Mengapa Tanheng
menyangka musuhku adalah Su Ang-ing?"
"Su Ang-ing katamu" Eh, apakah Su Ang-ing adik
perempuan Su Pek-to, Pangtju Liok-hap-pang?" tanya Kongtjiau.
"Benar, tapi nona Su ini bukankah musuhku," sahut Lamsing.
"Jika begitu akulah yang salah paham," kata Kong-tjiau.
"Semalam kau mengigau dan menyebut nama Ang-ing
serta Siok-liu segala. Kukira kau memaki musuh-musuhmu."
Lam-sing tertawa, katanya, "Memang Tan-heng telah salah
paham. Aku juga punya seorang kawan baik bernama Kim
Tiok-liu. Mungkin nama Tiok-liu yang kusebut itu Tan-heng
telah salah mendengar menjadi Siok-liu."
Lalu ia pun menceritakan pengalamannya kemarin secara
ringkas dan menegaskan Su Ang-ing tidak dapat
dipersamakan dengan Su Pek-to yang sesat itu. Baru sekarang
Tan Kong-tjiau tahu duduknya perkara dan sebabnya Lamsing
terluka. "Kami bertiga dapat meloloskan diri, nona Su ditawan
pulang oleh kakaknya, Kim Tiok-liu entah kemana larinya,
mungkin aku menguatirkan diri mereka, maka tanpa terasa
aku mengigaukan nama mereka," kata Lam-sing lebih lanjut.
"Jika demikian ternyata nona Su adalah kaum kita," ujar
Kong-tjiau. "Temanmu she Kim itu masih ada di Pakkhia,
apakah perlu aku mencarikan kabarnya?"
"Kepandaian Kim Tiok-liu lebih tinggi dariku, tentu dia
dapat menyelamatkan diri, biarlah kalau aku sudah sembuh
aku akan mencarinya saja," kata Lam-sing.
Maklumlah tentang Kim Tiok-liu memondok di rumah Te Kin
sengaja dirahasiakan, Li Lam-sing tahu pantangan ini dan
tidak berani sembarangan memberitahukan kepada Tang
Kong-tjiau, walaupun ia ingin lekas menyampaikan pesan Anging
kepada Kim Tiok-liu. Menurut perhitungan Lam-sing,
dalam waktu singkat Su Pek-to belum dapat pulang ke markas
Liok-hap-pang beberapa hari lagi, kalau kesehatannya sudah
agak pulih tentu dia akan dapat mengajak Kim Tiok-liu pergi
bersama ke Liok-hap-pang untuk menolong Ang-ing.
Waktu itu Kim Tiok-liu memang lagi menantikan
kedatangan Li Lam-sing dan Su Ang-ing, tapi sampai hari
ketujuh masih tetap belum nampak munculnya kedua mudamudi
itu. Kim Tiok-liu hanya mengetahui Lam-sing dan Anging
tentu sudah kabur pergi, tapi tidak tahu bahwa
kesudahannya Ang-ing ditawan kembali oleh kakaknya dan
Lam-sing terluka. Sebab itulah hati Tiok-liu rada kecewa,
namun juga ikut bersyukur bagi kedua muda-mudi itu.
Hari ini seperti biasa Kim Tiok-liu pergi ke ruang bawah
tanah untuk melihat Tong Kiat-hu menempa pedang. Tong
Kiat-hu mengeluarkan pedang wasiat yang baru saja selesai
digembleng dan direndam di dalam sebuah gentong air.
Katanya dengan tertawa, "Syukur tidak mengecewakan
harapanmu, Hian-liat-pokiarn (pedang wasiat besi murni) ini
sudah jadi. Gemblengan selama tujuh hari memang kurang
masak sedikit, namun Hian-tiat adalah benda mestika yang
jarang terdapat, asalkan pemblengannya tepat rasanya sudah
cukuplah. Kim-Iaute, silakan mencoba Pokiam ini."
Kim Tiok-liu menerima pedang itu dan ditimang-timang,
bobotnya terasa ada ratusan kati, tapi mata pedangnya
mengkilat bercahaya, tipisnya seakan-akan bening tembus.
Ketika pedang itu ditabaskan sekenanya, kontan sebuah martil
besar terpotong dengan mudah seperti memotong roti.
Alangkah girangnya Tiok-liu, serunya, "Sungguh pedang
wasiat yang hebat! Akan kuperlihatkan kepada Te-lotjianpwe
agar beliau juga ikut senang."
Dengan riang gembira Kim Tiok-liu lantas membawa
pedangnya keluar dari ruangan bawah tanah, ketika dia
hendak berseru memanggil, tiba-tiba terlihat Te Hian, putera
kedua Te Kin, memapaknya sambil memberi tanda jangan
bersuara. "Ada apa?" tanya Tiok-liu heran.
Te Hian menarik Tiok-liu ke samping, lalu membisikinya.
"Su Pek-to dan Ting Peng sudah datang semua. Sekarang lagi
bicara dengan kakakku di depan."
"Bagus, pedangku yang baru selesai ditempa ini kebetulan
dapat kucoba atas diri mereka," kata Tiok-liu.
"Kim-heng jangan sembrono, justru tidak ingin membikin
perkara barulah ayah pura-pura mati," kata Te Hian. "Asalkan
kakakku dapat melayani mereka dengan baik, sedapat
mungkin jangan pakai kekerasan. Selain Su Pek-to dan Ting
Peng, ada pula dua orang Hiangtju Liok-hap-pang. Kalau
bertempur benar-benar tentu kita kewalahan melawan
mereka." Walaupun kurang senang terhadap kelemahan Te Kin, tapi
setelah dipikir lagi, Tiok-liu dapat memahami perasaan Te Kin
yang sudah tua serta ada usaha tetap di kotaraja itu, tentu
sedapat mungkin mereka ingin menyelesaikan perkara dengan
damai. Terpaksa Kim Tiok-liu menahan diri, katanya kemudian,
"Baiklah, tapi mungkin merekalah yang sengaja mencari
perkara pada kalian. Tidak ada jeleknya jika kita coba berjagajaga
di kamar samping sana untuk mengawasi gerak-gerik
mereka, jika terjadi apa-apa dapatlah kita membantu
kakakmu." "Memang begitu maksud ayah mengundang Kim-heng"
kata Te Hian. Begitulah mereka lantas menyusur ke kamar samping,
ternyata Te Kin sudah lebih dulu bersembunyi di situ.
"Agaknya bencana ini dapat dihindarkan," demikian Te Kin
membisiki Kim Tiok-liu, "Mereka tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan dan tampaknya segera akan pergi."
Su Pek-to berkata, "Ayahmu adalah kaum angkatan tua Bulim,
maka adat penghormatan ini tidak boleh diaba-kan."
Habis berkata lantas ia membungkukkan tubuh L dalam-dalam
tiga kali. Ketika Tiok-liu mengintip keluar, dilihatnya Te Bok dej ngan
pakaian berkabung menjaga di depan iayon', Su Pek-t| dan
Ting Peng berdiri menghadap peti mati, di belakang mereka
berdiri Djing-hu Djiau Sik.
Saat itu terdengar Su Pek-to sedang bicara, "Nama kebm
saran Te-loyatju sudah lama kukagumi, cuma sayang tidak
semJ pat berjumpa, beliau sudah keburu wafat, sungguh aku
sangal menyesal. Ting Peng, coba sulutkan dupa agar aku
dapat memberikan penghormatan."
"Ah, Su-pangtju tidak perlu banyak adat," ujar Te Bok.
Tapi Su Pek-to lantas berkata, "Ayahmu adalah kaum
angkatan tua Bu-lim, maka kunjunganku ini dapatlah dianggap
se-J bagai melayat, adat penghormatan ini tidak boleh
diabaikan."
Habis berkata dengan sangat hormat ia lantas
membungkuk dalam-dalam tiga kali.
Terpaksa Te Bok membalas hormat dengan berdiri di sam-j
ping peti mati. Dirasakannya sambaran angin tajam mengiris
kulit muka, dengan menahan rasa gusar ia berpikir, "Untung
isi peti mati adalah batu belaka, kalau tidak tentu jenazah
akan me ngalami nasib kehancuran oleh tangan keji keparat
ini." Setelah memberi hormat, lalu Su Pek-to berkata pula
dengan nada dingin, "Ting Peng, orang mati urusan pun
beres, kau jangan mencari perkara lagi. Selanjutnya
permusuhanmu dengan keluarga Te sampai berakhir di sini,
mari kita pergi."
Mendengar ucapan Su Pek-to ini, baik Te Bok maupun Te
Kin yang mengintip di dalam sama menghela napas lega. Tak
terduga pada saat Te Bok hendak mengantar keberangkatan
tamu-tamunya itu, sekonyong-konyong terdengarlah pintu luar
digedor orang. Diam-diam Te Bok melengak, pikirnya, "Karena
kegentingan beberapa hari ini aku sudah pesan kawan-kawan
agar sementara jangan berkunjung ke sini. Siapa pula orang
yang menggedor pintu ini?"
Su Pek-to juga lantas berbangkit, katanya, "Kau ada tamu,
aku tidak mengganggu kau lagi. Silakan kau melayani tamumu
sendiri." Baru saja Te Bok sampai di pekarangan depan diikuti
rombongan Su Pek-to, mendadak pintu sudah ditolak
terpentang oleh tamu itu.
"Apakah Kim Tiok-liu berada di sini?" seru orang itu.
Ternyata yang datang ini adalah Li Lam-sing, dasar pemuda
yang belum berpengalaman dan kurang bergaul, lantaran
buru-buru ingin tahu berita Kim Tiok-liu, ketika menggedor
pintu dan cukup lama tiada jawaban dari dalam, saking tak
sabar ia terus menolak pintu dan menerobos masuk.
Dengan disebutnya nama Kim Tiok-liu oleh Li Lam-sing,
seketika semua orang menjadi terkejut. Habis itu barulah Lam-
|sing mengetahui bahwa di antara orang-orang itu terdapat Su
Pek-to yang sudah tentu sama sekali tak terduga sebelumnya,
sesaat itu ia pun tertegun.
"Kau salah alamat, di sini adalah keluarga Te dan bukan
ahe Kim," demikian Te Bok coba berusaha menghindarkan
curiga Su Pek-to.
Namun dengan gelak tertawa Su Pek-to lantas berkata,
"Haha, dunia ini ternyata begini sempit, ke sana kemari selalu
bertemu lagi. Li-heng, apakah lukamu sudah sembuh?"
"Haha," Li Lam-sing juga menyambut dengan tertawa.
"Meski aku salah mencari, tapi bertemu kau di sini juga tidak
percumalah perjalananku ini. Kau tidak perlu pusing apakah
lukaku sudah sembuh atau belum, silakan bicara saja, tak
peduli terang-terangan atau main gelap-gelapan pasti akan
kulayani kau."
Ucapan Li Lam-sing ini rada-rada cerdik, di samping
menutupi kecurigaan Su Pek-to atas keluarga Te, sekaligus ia
menyindir serangan Su Pek-to tempo hari yang menimpukkan
belati dari belakang.
Kim Tiok-liu ikut terkejut dan girang pula ketika mendengar
suara Li Lam-sing di tempat persembunyiannya, dengan
menjinjing pedang segera ia akan menerjang keluar. Tapi Te
Kin keburu mencegahnya dan berkata, "Belum tiba waktunya,
tunggu lagi sebentar. Agaknya Su Pek-to tidak ingin bergebrak
dengan kawanmu ini."
Te Kin sudah berpengalaman, dugaannya ternyata tepat.
Betul juga Su Pek-to tidak ingin bergebrak dengan Li Lam-sing
sebab dia mempunyai muslihat lain. Kembali Su Pek-to
bergelak tertawa pula, lalu berkata, "Li-heng, dari berkelahi
barulah kita saling kenal. Aku menjadi kagum benar terhadap
sifatmu yang tulus lurus ini, tapi keadaanmu belum sehat dan
belum cocok untuk bertempur. Aku Su Pek-to bukan manusia
yang suka menggunakan kesempatan baik di kala lawan
sedang menderita. Seumpama sekarang kau menantang aku,
juga takkan kulayani."
"Hm, ksatria benar ucapanmu, sungguh tidak nyata baru
beberapa hari saja kau sudah berubah menjadi seorang jantan
sejati," jengek Li Lam-sing.
Su Pek-to tidak ambil pusing terhadap sindiran Lam-sing
itu, katanya pula, "Tempo hari Swe Beng-hiong ikut berada di
sana sehingga mau-tak-mau aku harus mengambil tindakan.
Sekarang aku sebaliknya ingin berunding dengan kau, entah
kau mau terima atau tidak?"
"Kau seorang Pangtju yang punya pengaruh dan berkuasa,
kalangan putih maupun hitam semua jalan terbuka bagimu,
urusan apa yang perlu kau rundingkan dengan aku?" jengek
Lam-sing pula. "Terus terang, aku bicara demi untuk adik perempuanku,"
kata Pek-to tertawa. "Sebenarnya aku tidak suka dia bergaul
dengan kau, tapi apa mau dikata, dia adalah adikku dan dia
sedemikian merindukan kau, terpaksa aku memenuhi
keinginannya. Aku bermaksud pulang besok untuk bicara


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan adikku secara blak-blakkan, untuk mana kuharap kau
dapat ikut hadir."
Mesti tidak terang-terangan Su Pek-to mengatakan, tapi
maksud ucapannya itu jelas ingin bicara dengan Lam-sing
tentang perjodohan adik perempuannya.
Sama sekali Lam-sing tidak menyangka Su Pek-to akan bicara
demikian padanya, ia menjadi tertegun, katanya
kemudian, "O, kiranya kau hendak memancing aku ke markas
Liok-hap-pang kalian. Hehe, memangnya aku bermaksud ke
sana. biarpun kau memasang perangkap di sana juga aku
tidak gentar. Aku tidak perlu pergi bersama kau, aku dapat
pergi sendiri."
"Hahaha, pemberani betul saudara ini," seru Pek-to
tertawa. "Tapi kau telah salah paham akan maksud baikku,
untuk [adik perempuankulah aku mengundang kau, masakah
aku akan membikin susah padamu" Baiklah, jika sekarang kau
tak bisa berangkat, biarlah aku pulang dulu untuk menantikan
kunjung-anmu. Sudah tentu, bila kau tidak percaya padaku
dan kuatir ku-jebak, maka terserah padamu apa jadi datang
atau tidak."
"Kau tunggu saja, aku pasti memenuhi undanganmu," seru
iLam-sing dengan aseran. "Jangankan kau Su Pek-to,
sekalipun [undangan dari raja akherat juga kuterjang pintu
gerbang nerakanya."
"Bagus, memang gagah perwira, pantas adik perempuanku
sedemikian kesemsem padamu, mau-tak-mau aku juga kagum
padamu," sahut Pek-to tertawa. "Baiklah, sampai ketemu lagi."
Tiba-tiba Djing-hu Todjin berseru, "Pangtju, apakah kita
akan pergi begini saja" Bocah she Kim itu....."
"Aha, memang betul, hampir aku lupa," sahut Pek-to. "Tesiaupiauthau,
Pendekar Sadis 4 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Pendekar Kembar 3
^