Pendekar Jembel 9

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 9


marilah kita bicara terus terang. Kim Tiok-liu itu
ada sedikit perselisihan dengan aku, jika dia berada di sini
silakan kau menyerahkannya padaku."
"Aku yang salah alamat, buat apa kau memaksa tuan ru-
Inah di sini" Jika kau mencari orang, tanyakan saja padaku!"
teriak Lam-sing.
Djiau Sik adalah orang kasar, pernah dua kali ia dihajar Kim
Tiok-liu, ia ingin sang Pangtju membalaskan sakit hatinya,
maka tanpa pikir segera ia menggertak Li Lam-sing agar
menunjukkan dimana Kim Tiok-liu.
"Aku memang tahu dimana beradanya Kim Tiok-liu," kata
Lam-sing. "Tapi untuk memberitahukan padamu, lebih dulu
kau harus minta izin kepada seorang kawanku."
"Mana kawanmu itu" Suruh dia maju!" bentak Djiau Sik
dengan mendelik.
Lam-sing menepuk-nepuk pedangnya yang tergantung di
pinggang itu, jawabnya, "Inilah kawanku, silakan kau tanya
dia mengizinkan atau tidak."
Djiau-sik menjadi gusar, baru dia akan menerjang
mendadak Su Pek-to membentaknya, "Aku berada di sini,
tidak perlu kau ikut bicara. Mundur sana!" Habis itu tiba-tiba ia
tertawa dan berkata kepada Lam-sing dengan nada yang
dibuat-buat, "Saudara Li, kau telah berbuat salah!"
"Salah" Apanya yang salah?" jawab Lam-sing dengan
gusar. "Kau sangat setia kawan padanya, cuma sayang....."
"Sayang apa?" sela Lam-sing
Tapi Su Pek-to sengaja bicara setengah-setengah dan
sengaja menimbulkan rasa curiga lawan, dengan menyengir ia
berkata pula, "Ah, tidak apa-apa, hanya saja Kim Tiok-liu itu
tampaknya mengandung maksud jahat terhadap adik
perempuanku, dia pernah menipu benda-benda mestika Liokhap-
pang kami dari tangan adikku, hal ini mungkin kau belum
mengetahuinya?"
"Hal-hal demikian apa sangkut-pautnya dengan aku?" ujar
Lam-sing bingung. "Harta karun Liok-hap-pang kalian yang
tidak halal itu setiap orang boleh mengambilnya. Apakah Kim
Tiok-liu mencurinya atau menipunya dari kalian, menurut
pandanganku adalah layak dan adil."
"Aku tidak peduli jika kau membela bocah she Kim itu, tapi
urusan ini betapapun harus kutuntut," kata Pek-to. "Hian-tiat
itu harus kudapatkan kembali untuk ditempa menjadi Pokiam
dan akan kupakai sebagai emas kawin adik perempuanku,
maka sekali-kali benda mestika itu tidak boleh jatuh di tangan
bocah she Kim. Te-siaupiauthau, bukannya aku tidak percaya
padamu, jika kau tetap tidak mengaku, terpaksa kami harus
mengadakan penggeledahan."
"Hm, memangnya rumahku boleh sembarangan digeledah
rang?" jengek Te Bok dengan gusar.
Lam-sing juga naik pitam, serunya, "Kutegaskan lagi, jika
^u ingin mencari Kim Tiok-liu, maka hadapi dulu aku ini!"
Ketika ribut-ribut dan kedua pihak sama ngotot, tiba-tiba
terdengar suara tertawa Kim Tiok-liu dan berkata, "Sutoapang-
ju, tidak perlu kau ribut, inilah aku yang kau cari!"
Di tengah suara gelak-tawa, tertampak Kim Tiok-liu mun-'1
dari ruang dalam sembari menjinjing sebatang pedang yang
rcahaya kemilauan.
Djing-hu Todjin dan Djiau Sik merasa dijagoi sang Pang-"u,
maka tanpa pikir mereka menerjang ke arah Kim Tiok-liu ngan
pedang dan golok masing-masing.
Tertampak sinar pedang berkelebat disusul dengan suara
trang-trang" dua kali. Tahu-tahu pedang Djing-hu Todjin dan
olok Djiau Sik hanya tertinggal separuh saja. Pedang Djing-hu
odjin sih biasa, tapi golok Djiau Sik itu sangat tebal, beratnya
da beberapa puluh kati, tapi sekarang telah ditabas mirip mebas
kayu saja. Keruan kejadian ini tidak saja membikin Djing-u
dan Djiau Sik termangu, bahkan Su Pek-to juga melenggong
aget. Segera Su Pek-to mengetahui bahwa pedang wasiat Kim
Tiok-liu itu adalah gemblengan dari Hian-tiat miliknya, tentu
saja hatinya menjadi kagum, iri, dongkol dan benci pula.
Pikirnya, "Bocah ini benar-benar hebat, entah darimana dia
memperoleh phli gembleng pedang sehingga dalam waktu
singkat saja Hian-tiat itu berhasil dijadikan sebatang pedang
wasiat selihai ini. Sekarang dia memegang senjata bagus,
mungkin sukar bagiku untuk mengalahkan dia."
Menurut perhitungan Su Pek-to, sebelumnya tidaklah sulit
baginya untuk mengalahkan Kim Tiok-liu, sedangkan Li Lamging
yang belum sehat benar itu dapat dijalani oleh Djing-hu
dan pjiau Sik. Tapi sekarang Kim Tiok-liu memegang Pokiam,
mau tak-mau Su Pek-to menjadi jeri.
Dalam pada itu Kim Tiok-liu sedang bergelak tertawa dan
berseru, "Su-toapangtju, katanya kau ingin bergebrak dengan
aku, silakan tunggu sebentar."
Lalu ia memasukkan Pokiam ke dalam sarungnya dan
didukungnya ke hadapan Li Larn-sing, katanya, "Toako, harap
terima Hian-tiat-pokiam ini!"
"Apa maksudmu" Kau..... kau memberikannya padaku"
Ini....." sekarang Li Lam-sing mengetahui pedang itu adalah
Hian-tiat-pokiam sehingga dirasakannya pemberian Kim
Tiok-liu ini terlalu berharga baginya. Pulr tadi didengarnya dari
Su Pek-to bahwa Pangtju Liok-hap-pang itu bermaksud
menggunakan Hian-tiat-pokiam sebagai emas kawin adik
perempuannya, sekarang dia menerimanya dari tangan Kim
Tiok-liu, hal ini membuatnya rikuh untuk menerimanya.
Kim Tiok-liu tertawa dan berkata pula, "Toako, apakah kau
juga berpandangan cupet" Tempo hari kau menghadiahkan
kecapi antik padaku dan telah kuterima dengan baik, sekarang
aku membalas pemberianmu itu, mana boleh kau menolak"
Memang betul pedang ini adalah mestika yang jarang
terdapat, tapi persaudaraan kita lebih berharga daripada
sepuluh pedang mestika demikian. Toako, jika kau menilai
tinggi benda dan menilai rendah manusianya, maka kau terlalu
memandang enteng padaku."
Tempo hari, waktu Kim Tiok-liu enggan menerima
pemberian kecapinya, Li Lam-sing juga pernah berkata yang
maksudnya serupa dengan perkataan Kim Tiok-liu sekarang.
Li Lam-sing menjadi terharu dan tidak dapat menolak lagi,
ia menerima Pokiam itu, dengan tertawa ia berkata, "Adik
yang baik, pemberianmu ini kuterima dengan baik. Cuma
setelah menerima Pokiam ini mau-tak-mau aku harus
menggantikan kau melakukan perkelahian ini."
Pada saat Li Lam-sing menerima Pokiam itulah, tiba-tiba
terdengar suara seorang tua yang menyatakan rasa heran dan
gegetun. Waktu Tiok-liu menoleh, kiranya Tong Kiat-hu juga
telah keluar. Segera Tiok-liu berkata kepada Lam-sing, "Toako, ini kuperkenalkan
padamu, Lotjianpwe ini adalah tokoh Bu-lim
kenamaan di Sutjwan, Tong Kiat-hu, Tong-tayhiap adanya.
Hian-tiat-pokiam ini adalah gemblengan beliau dengan susah
payah, maka kita harus menyatakan terima kasih banyak
kepadanya."
"Pokiam dihadiahkan kepada teman sejati, pupur
dihadiahkan kepada perempuan cantik, semoga Li-siauhiap
dapat menjaga baik-baik Pokiam itu," ujar Tong Kiat-hu
sembari mengelus jenggotnya.
Kiranya Tong Kiat-hu rada menyesal dan gegetun ketika
melihat Kim Tiok-liu begitu saja menghadiahkan pedang yang
digemblengnya dengan susah-payah itu kepada kawannya.
Tapi setelah dipikir lagi ia menjadi terharu pula akan
keakraban persahabatan kedua pemuda itu.
Su Pek-to tahu Tong Kiat-hu adalah ahli Am-gi atau senjata
rahasia terkemuka dari dunia persilatan, bicara tentang
kepandaian Am-gi sejati mungkin 'si Dewi tangan seribu' Ki
Seng-in juga kalah. Maka munculnya Tong Kiat-hu membikin
Su Pek-I to rada-rada kikuk dan serba salah, katanya dengan
tertawa ewa, "Kukira siapa, kiranya engkau si tua inilah yang
menggembleng Pokiam ini, pantas saja!"
Tong Kiat-hu berkata, "Biasanya aku memang suka ikut
campur urusan tetek-bengek, apalagi menempa pedang
andalan adalah kegemaranku. Kalau ada Hian-tiat, jika tak
ditempa menjadi Pokiam kan teramat menyia-nyiakan benda
mestika itu" Su-toapangtju, tentunya kau takkan mengatakan
aku si tua ini suka psil terhadap hal tetek-bengek bukan?"
Berulang-ulang ia mengatakan suka usil terhadap hal tetekbengek,
sepintas lalu kedengarannya seperti dimaksudkan hal
menggembleng pedang, tapi di balik ucapan itu mengandung
beringatan kepada Su Pek-to agar jangan bertindak sembrono
jika tidak ingin aku ikut campur urusanmu yang tetek bengek
ini. Menghadapi Kim Tiok-liu dan Li Lam-sing yang memiliki
pedang wasiat. Su Pek-to sudah merasa sukar untuk
memperoleh kemenangan, apalagi sekarang muncul lagi
seorang Tong Kiat-hu, tentu saja Su Pek-to harus berpikir dua
kali sebelum bertindak.
Pintu gerbang keluarga Te yang didobrak terpentang oleh
Li Lam-sing sejak tadi masih terbuka. Sekarang mendadak
terdengar suara derapan kaki kuda yang riuh, seekor kuda
putih tiba-tiba menyelonong ke dalam rumah dan mendekati
Su Pek-to. "He, Pangtju, bukankah itu kudamu?" seru Djing-hu.
Kiranya kuda itu ditaruh di kandung tetangga, ketika
mendengar suara majikannya segera kuda itu mendobrak
pintu kandang dan berlari keluar mencari majikannya.
"Aha, ternyata dia masih kenal majikan lama," seru Su Pekto
tertawa sembari menyemplak ke atas kudanya, lalu katanya
pula, "Kim Tiok-liu, Hian-tiat-pokiam itu kau berikan kepada
adik Lam-sing, hal ini sangat cocok dengan maksudku, maka
aku tidak akan mengusut lebih jauh padamu tentang
perampasan Hian-tiat itu. Sekarang kuda inipun anggap kau
sudah mengembalikan padaku."
Ucapan Su Pek-to ini sebenarnya bertujuan memecah belah
Li Lam-sing dan Kim Tiok-liu. Tadi sengaja dikatakannya
bahwa Hian-tiat itu dimaksud akan digunakan sebagai emas
kawin adik perempuannya, sekarang Kim Tiok-liu
menyerahkan Hian-tiat-pokiam kepada Li Lam-sing dikatakan
cocok dengan maksudnya, jadi nadanya menunjukkan
maksudnya hendak menjodohkan adik perempuannya kepada
Li Lam-sing. Sudah tentu Kim Tiok-liu yang masih hijau itu merasa
bingung dan limbung, entah senang atau cemas akan ucapan
Su Pek-to itu. Dalam pada itu Su Pek-to sudah pergi bersama
rombongannya. Dengan tertawa Lam-sing lantas berkata, "Hiante, kau
benar-benar luar biasa, sudah merampas Hian-tiat yang
merupakan mestika Liok-hap-pang, mencuri pula kuda Pangtju
mereka. Su Pek-to betul-betul telah terjungkal habis-habisan
di tanganmu. Cuma kuda itu tampaknya sangat bagus, rada
sayang rasanya jika dikembalikan padanya."
"Kuda itu lain urusannya dengan Hiant-tiat, sebelumnya
sudah kukatakan cuma pinjam pakai saja, maka sudah
sepantasnya kukembalikan padanya."
"Tapi kurang menguntungkan kita jika dikembalikan pada
[saat ini," ujar Lam-sing.
Baru sekarang Tiok-liu paham maksud Li Lam-sing, kira-ya
dia berpikir untuk urusan menolong Su Ang-ing.
Melihat Kim Tiok-liu termenung diam, dengan tertawa Li
Lam-sing berkata pula, "Namun aku pun sudah berjanji
memenuhi undangan Su Pek-to, biarkan saja dia pulang lebih
dulu. Kita harus datang ke sana secara terang-terangan, takut
apa?" Sementara itu Te Kin sudah keluar juga dan berseru kepala
mereka, "Lekas kalian ke sini, coba lihat betapa kejinya Su
Pek-to." Waktu mereka masuk ke ruangan layon, terlihat Te Kin
pembuka peti matinya, katanya dengan tertawa, "Coba kalau
Iku yang berbaring di dalam peti, tentu sejak tadi badanku
sudah hancur!"
Ternyata belasan potong batu yang terisi di dalam peti mati
Jru sudah hancur semua menjadi bubuk pasir. Itulah tenaga
Lwe-fcang 'Keh-san-ta-gu' yang lihai, meski peti matinya tidak
pecah, Kapi isi di dalamnya hancur, memang tenaga pukulan
inilah yang penjadi kebanggaan Su Pek-to selama ini.
Sekalipun Tong Kiatku adalah tokoh Bu-lim yang kenamaan
juga terkejut melihat Betapa dahsyatnya tenaga pukulan
demikian. Lalu Kim Tiok-liu memperkenalkan Li Lam-sing kepada tuan
rumah, lebih dulu Lam-sing meminta maaf, "Te-loyatju,
kedatanganku ini benar-benar terlalu ceroboh."
Te Kin bergelak tertawa, katanya, "Aku sudah terhindar
Bari bencana, sekarang berkenalan pula dengan seorang
ksatria muda, ini namanya mujur rangkap. Li-laute adalah
saudara angkat Kim-laute, kita adalah orang sendiri semua."
"Te-lotjianpwe, sungguh aku merasa tidak tenteram kareni
telah membikin susah padamu, setelah mengetahui aku
berada di sini, bukan mustahil kelak Su Pek-to akan cari
perkara lagi padamu," ujar Tiok-liu. "Bagaimana selanjutnya
menurut pikiran Lotjianpwe, bilamana tenagaku diperlukan
pasti....."
"Kim-laute," sela Te Kin dengan tertawa, "Mungkin kai
mengira aku sudah tua dan takut urusan, makanya pura-pura
ma* ti segala" Ya, memang aku sudah tua dan loyo, tapi aku
hanyl tidak ingin cari gara-gara saja, kalau sampai kepepet,
betapapun aku juga akan melawan dengan bebeiapa kerat
tulangku yang tuf ini. Sebabnya aku berpura-pura mati hanya
bertujuan mengakhiri permusuhan saja. Tadi kau terpaksa
tampil ke muka, mana bisi dikatakan membikin susah padaku"
Kim-laute, ucapanmu ini m perti orang yang baru kenal saja."
"Ya, maafkan ucapanku yang lancang itu," sahut Tiok-liu,
"Cuma maksudku adalah untuk kebaikan dan tiada buruknya,
sebab kalau Sat Hok-ting mengetahui aku bersembunyi di sini
tentu dia akan mencari perkara ke sini."
"Hal itu sudah kupikirkan," kata Te Kin. "Saat ini Su Pek-to
terang buru-buru ingin pulang dulu, pula ia menganggap
dirinya sebagai tokoh Kangouw terkemuka, dia meninggalkan
tempatku ini tanpa hasil apa-apa, tentu dia tidak enak untuk
melapor kepada Sat Hong-ting. Selain itu, dari ucapannya tadi
agaknya dia rada sungkan kepada Li-laute, aku tidak tahu apa
maksud tujuannya, yang jelas untuk sementara ini rasanya dia


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takkan mencari perkara ke sini, jika mereka datang juga aku
sudah siap siaga. Aku ada jalan rahasia di bawah tanah, dalam
keadaan darurat aku dapat lolos dengan selamat."
Keterangan Te Kin itu membikin hati Kim Tiok-liu merasa
lega. katanya kemudian, "Andaikan di sini kurang aman untuk
menetap terus, bilamana Te-lotjianpwe sudi pergi ke Siau-kim
djwan, dimana Sutitku berada dengan pasukan pergerakannya
tentu mereka akan menyambut engkau dengan gembira."
"Terima kasih atas perhatianmu," sahut Te Kin.
"Toako, engkau bermalam saja di sini," kata Tiok-liu kepada
Lam-sing. "Kukira.....hari ini juga aku harus kembali ke sana," sahut
Lam-sing sesudah berpikir sejenak. "Aku baru saja mendapat
bantuan seorang kawan baru, beradanya diriku di dalam kota
sebelumnya tidak kukatakan kepada kawan baru itu, kalau aku
tidak pulang tentu dia akan kuatir."
Sebagai seorang tua yang berpengalaman, Te Kin lantas
berkata, "Mungkin sekali kalian ingin bicara sendiri, aku pun
nda urusan lain, maafkan aku tidak mengawasi lagi. Silakan
Kim-laute melayani saudara-angkatmu ini."
Begitulah Tiok-liu lantas membawa Lam-sing ke kamarnya.
Lam-sing lantas berkata, "Nona Su sangat menguatirkan
dirimu, mestinya aku diminta mencari kau, tapi sayang aku
sendiri terluka sehingga tertunda sampai hari ini. Nona Su
sudah dilawan pulang ke rumah oleh kakaknya."
"Apa yang dikatakan Su Pek-to tadi sudah kudengar
semua," ujar Tiok-liu. "Entah nona Su terluka tidak" Tempo
hari nku yakin kalian pasti dapat lolos dengan selamat.
Sungguh aku menyesal tidak menyusul bersama kalian
sehingga nona Su kena ilitawan."
"Tapi syukurlah nona Su tidak terluka. Meski aku terluka,
namun demikian aku mendapatkan seorang teman lagi, dari
malang menjadi dapat untung."
"Siapakah teman baru Toako itu?"
"Namanya Tan Kong-tjiau. Apakah Hiante pernah mendegar
namanya?" "Tan Kong-tjiau?" Tiok-liu menggumam. "He, seperti sudah
kukenal nama ini! O ya, aku ingat, dia putera Tan Thian-ih."
"Benar, dia pernah menyebut nama ayahnya padaku, tapi
'lupakah Tan Thian-ih itu?" tanya Lam-sing.
"Paman Tan itu adalah sahabat karib ayahku," tutur Tiol^
liu. "Keberangkatanku ke Pakkhia kali ini pernah mampir di ru)
mahnya. Paman Tan bilang puteranya telah mengikat
permusul? an dengan Liok-hap-pang dan minta aku
mengawasi dan menj8> ganya bila perlu, tak terduga
sekarang ia pun berada di kota ini."
"Dia tinggal di Ho-hud-si di Se-san bersama aku," kata Ll
Lam-sing. "Baiklah, malam nanti akan kuberitahukan kabar
bait ini padanya."
"Cara bagaimana kau bertemu dengan dia?" tanya Tioki liu.
Lalu Li Lam-sing menceritakan pengalamannya tempo hari.
Mendengar Swe Beng-hiong juga berada di Pakkhia, Tiok*
liu membatin, "Ilmu silat orang she Swe itu tentu lihai mengi
ngat dia mampu melukai Toako. Dia rela melepaskan Toako,
u> rang karena dia ingin mengambil hati Ang-ing. Tapi di sini
lalscj timbul suatu tanda tanya, bahwasanya Su Pek-to jelas
bermaksud mengawinkan adik perempuannya dengan Swe
Beng-hiong, mengapa sekarang dia ganti pikiran. Dari nada
ucapannya taut agaknya dia penujui Li-toako untuk menjadi
iparnya?" Begitulah Kim Tiok-liu tidak habis mengerti, akhirnya di -
menarik kesimpulan tentu di balik urusan ini Su Pek-to mem?
punyai tipu muslihat tertentu, hal ini harus diselidiki sejelasnya
Toako tidak unggulan melawan Swe Beng-hiong, sakit hati ini
harus kubalaskan, tapi sementara ini tidak perlu kukatakan
kepa da Toako. Sebenarnya Li Lam-sing ingin Kim Tiok-liu mengajukan
pertanyaan tentang diri Su Ang-ing, tapi ke sana kemari
bicara, Kim Tiok-liu selalu tidak menyinggung Ang-ing. Saking
tak ta nan Lam-sing lantas berkata, "Hiante, ada urusan ingin
kuberi* tahukan padamu."
"Ini dia, mulai!" demikian Tiok-liu juga mempunyai pikir an
yang sama mengenai urusan Su Ang-ing, hatinya menjadi
berdebar-debar, tapi sedapat mungkin dia bersikap tenang
agar rahasia batinnya tidak diketahui Lam-sing, tanyanya tak
acuh, "Silakan bicara Toako."
"Sudah berapa lama kau kenal nona Su?" demikian Lamsing
memulai. "Menurut pendapatmu bagaimana pribadi nona
Su itu?" "Perkenalanku dengan dia baru sebulan lebih," sahut Tiokliu.
"Ketika aku hendak mencuri Hian-tiat milik Liok-hap-pang
mereka, di sanalah kebetulan kami kepergok. Selanjurnya
kami juga cuma berjumpa dua-tiga kali lagi sehingga belum
dapat dikatakan punya hubungan rapat. Namun demikian, jika
dia sudah berani membangkang kepada kakaknya di tengah
pesta Sat Hong-ting, tampaknya pribadinya berbeda sama
sekali dengan Su Pek-to, seperti bunga teratai yang bersih
walaupun tumbuh-iya di tengah air lumpur."
"Haha, pandangan pahlawan memang selalu sama,
pandanganku justru serupa dengan Hiante," ujar Lam-sing
sambil tertawa. "Hiante, coba kau terka cara bagaimana aku
berkenalan dengan dia?"
"Kau tidak omong, darimana aku bisa menerkanya," sahut
Tiok-liu ikut tertawa.
"Tidak banyak berbeda perkenalanmu dengan dia," tutur
l.am-sing penuh gembira. "Kira-kira setengah bulan yang lalu
di lengah perjalanan ke Poting, aku memergoki dia sedang
berusaha merampas barang antaran untuk Sat Hok-ting,
lawannya ternyata sangat lihai, aku membantu dia
mengenyahkan musuh dan begitulah kami berkenalan. Coba,
serupa bukan dengan perkenalanmu dengan dia?"
"Ya, ada yang serupa tapi juga ada yang tidak sama," sahut
liok-liu dengan tersenyum ewa.
"Memang benar," kata Lam-sing tertawa. "Hiante biar
kukatakan terus terang dan kau jangan mengatakan kulit
mukaku tebal. Meski aku baru bertemu dua kali dengan dia,
tapi hubungan kami agaknya lebih akrab daripada kau,
malahan seperti rada-mda ada jodoh."
Kim Tiok-liu memperlihatkan rasa kegirangannya, katanya,
"Selamat Toako, biasanya soal jodoh sangat sukar dicari, ti-1
dak nyana Toako telah mendapatkan tanpa sengaja."
"Memang," ujar Lam-sing dengan tertawa. "Padahal
biasanya aku tidak suka wanita, tak terduga sekali bertemu
dengan nona Su, seketika sukmaku seperti terbang ke awangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
awang, siang dan malam selalu kurindukan dia, bukankah ini
memang sudah jodoh?"
"Entah nona Su apa juga pernah mengutarakan isi hatinya
padamu?" tanya Tiok-liu.
"Menurut penglihatanku, hatinya telah terisi dia dan hatinya
juga terisi diriku, kalau tidak, rasanya tempo hari dia takkan
mati-matian membela aku."
Namun Kim Tiok-liu kenal watak Su Ang-ing yang dapat
membedakan antara budi dan benci dengan tegas serta
sangat mengutamakan persahabatan. Dahulu Ang-ing juga
pernah menolong Li Tun dengan segenap tenaga, lantaran
itulah Tiok-liu sendiri pernah salah sangka padanya.
Tapi persoalannya tidak berada pada diri Su Ang-ing,! Tiokliu
lantas berpikir lagi, "Tak peduli Toako bertepuk sebelah
tangan atau bukan, yang jelas sekarang dia telah merindukan
si nona dan jatuh cinta padanya. Seorang laki-laki sejati
takkan merebut milik orang lain, apalagi aku adalah adik
angkatnya Memang, tampaknya Ang-ing ada maksud padaku,
tapi bukan mustahil pula akulah yang berpikir berlebihan. Ai,
sudahlah, peduli dia menaruh hati atau tidak padaku, yang
pasti selanjutnya aku harus bisa menahan diri dan menjauhi
dia agar segenap perhatiannya dapat dicurahkan kepada
Toako saja."
Tiba-tiba Lam-sing bertanya, "Apa yang sedang kau pikir
kan, Hiante?"
"O, aku.....aku lagi berpikir bilakah dapat minum arak ka
win Toako," sahut Tiok-liu.
"Ah, terlalu cepat untuk dikatakan," ujar Lam-sing. "Saat ini
nona Su terkurung di markas Liok-hap-pang, sebelum dapat
membebaskan dia dari sana, segala urusan belum dapat pula
dibicarakan. Hiante, tadi kau sudah mendengar ajakan Su Pekto
padaku, bagaimana kalau engkau ikut hadir ke sana?"
"Nada ucapan Su Pek-to itu jelas ada maksud menerima lamaranmu,
apalagi yang Toako kuatirkan?"
"Biarpun begitu kita harus berjaga-jaga kalau dia ingin main
tipu muslihat belaka."
"Kukira Su Pek-to takkan membikin susah padamu. Jika
Riau tentu sudah dia lakukan tadi ketika kau datang dalam
keadaan belum sehat."
Lam-sing merasa kurang senang, pikirnya, "Apakah Tiok-liu
sudah ketakutan setelah keonaran di ruang pesta tempo hari"
[lapi apa yang dia katakan juga masuk diakal. Kepandaian Su
Pek-to jauh di atasku, tapi dia terus berbaik hati padaku,
agaknya dia memang punya kehendak apa-apa atas diriku?"
Dalam pada itu Kim Tiok-liu menambahkan, "Untuk sementara
Siaute juga masih ada sedikit urusan di sini sehingga
belum dapat meninggalkan kota ini."
Sebenarnya Tiok-liu kuatur mengganggu perjodohan Li
Lam-sing apabila dia ikut hadir ke Liok-hap-pang, sebab itulah
terpaksa ia menolak sekalipun sadar kemungkinan adanya
salah paham kakak angkatnya itu.
Lam-sing juga seorang yang mengutamakan perasaan,
biarpun hatinya kurang senang, namun mulutnya tidak
mengeluarkan suara yang menyinggung orang lain. Hanya
saja sama sekali kik terduga olehnya bahwa Kim Tiok-liu bisa
menolak ajakannya, maka suasana menjadi rada kagok dan
membuatnya serba kikuk untuk bicara lagi.
Sekilas Lam-sing melihat kecapi kuno yang diberikannya
kepada Kim Tiok-liu tempo hari itu tertarah di atas meja, ia
bertanya. "Apakah akhir-akhir ini Hiante suka memetik
kecapi?" "Ah, hanya di kala iseng saja," sahut Tiok-liu. "Tidak lama
Toako akan pergi jauh, entah kapan baru dapat
mendengarkan luara kecapimu yang merdu. Bagaimana kalau
sekarang Toako sudi memetikkan satu lagu bagiku?"
Memang batin Li Lam-sing sedang diliputi rasa rindu
dendam, ia lantas mengambil kecapi itu dan mulai
memetiknya sembari menyanyikan satu lagu asmara
menyanjung si cantik yang diibaratkan bunga teratai yang
tetap putih bersih biarpun tumbuh di lumpur yang kotor.
Sudah tentu 'si cantik' yang dimaksudkan adalah Su Ang-ing
yang hidup di tengah Liok-hap-pang yang terkenal sebagai
gerombolan yang jahat itu.
Pikiran Kim Tiok-liu terasa kacau, gundah-gulana, ia
terdiam tidak bicara.
Kemudian Lam-sing menyodorkan kecapi ke hadapan Kim
Tiok-liu dan berkata, "Coba Hiante juga silakan memetik satu
lagu!" Tanpa bicara apa-apa Kim Tiok-liu lantas memetik kecapi.
Sebagai seorang ahli kecapi, meski Kim Tiok-liu tidak
menyanyikan lagu yang dibawakannya itu, tapi Lam-sing
mengetahui lagu apa yang dipetiknya.
Lagu yang dinyanyikan Tiok-liu mengandung arti yang
dalam, la menyesalkan diri sendiri yang sukar menghindarkan
persoalan asmara, ia merasa inilah kesalahannya, rasa
masgulnya seperti baju kotor yang bertumpuk-tumpuk dan
harus dicuci bersih seluruhnya, karena banyak urusan besar
yang maha penting masih menantikan dia untuk
mengerjakannya.
Li Lam-sing tidak seluruhnya paham maksud lagu Tiok-liu,
tapi samar-samar dapat merasakan pancaran perasaan Kim
Tiok-liu yang masgul serta menyesal dan menganjurkan pada
diri sendiri itu. Hati Lam-sing tergerak dan heran apa isi hati
adik angkatnya yang tidak mau dibicarakan padanya itu"
Tiba-tiba di luar pintu ada orang memuji, "Permainan
kecapi yang bagus!"
Kiranya waktu itu sudah tiba saatnya makan malam, Te Bok
datang mengundang mereka untuk pergi bersantap.
Tapi Lam-sing menyatakan ingin buru-buru pulang saja,
maka cepat menuju ke ruang tamu untuk memohon diri
kepada Te Kin. "Daharan sudah siap, silakan Li-laute makan dahulu," kata
Te Kin. "Banyak terima kasih atas maksud baik Te-lotjianpwe,"
sahut Lam-sing. "Wanpwe tinggal di Se-san dan lebih baik
pulang agak siangan."
"Sayang, hari ini banyak sahabat lama dan baru berkumpul
di sini, namun tidak sempat minum sepuas-puasnya," ujar Te
Kin. "Baiklah jika begitu, aku menyuguh dulu tiga cawan kepada
Lotjianpwe," kata Lam-sing sambil minum tiga cawan
sekaligus bersama Te Kin, katanya kemudian, "Persahabatan
terjadi dari ikatan kecapi dan pedang adik Tiok-liu, marilah kau
pun habiskan tiga cawan."
Habis itu Lam-sing lantas memohon diri dan melangkah
pergi untuk kemudian menghilang ditelan kegelapan malam
dengan bersenandung.
"Pemuda ini sangat gagah dan bebas mirip dengan
sifatmu," ujar Te Kin dengan tertawa. "Pantas kalian begitu
cocok dan mengangkat saudara."
Tong Kiat-hu juga berkata, "Ilmu silat serta keberanian
pemuda ini memang lain daripada yang lain, bahkan mahir
bersyair seperti senandung yang dibawakannya waktu
melangkah pergi tadi, benar-benar seorang yang serba pintar.
Kim-laute, sesungguhnya aku merasa sayang bagimu ketika
kau memberikan pedang padanya, tapi sekarang aku merasa
bersyukur bagi pedang wasiat yang mendapatkan pemakainya
yang tepat."
"Ya, asalkan mendapat sahabat sejati, biarpun mati aku
pun tidak menyesal, apalagi cuma sebatang pedang saja apa
artinya?" ujar Tiok-liu.
"Ucapanmu memang tepat, marilah Kim-laute, aku pun
menyuguh kau tiga cawan," ajak Tong Kiat-hu.
Setelah menghabiskan belasan cawan arak, pikiran Tiok-liu
lantas melayang-layang dan tiba-tiba teringat kepada bait


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terakhir dari syair yang diucapkan Li Lam-sing ketika
melangkah pergi tadi tentang "pulang dari luar lautan ketemu
bahagia", ia menjadi sangsi apakah Lam-sing juga seperti
dirinya yang baru pulang ke daratan dari tempat tinggalnya di
lautan sana. Melihat Tiok-liu termenung-menung, Tong Kiat-hu lantas
bertanya, "Apa yang kau pikirkan Kim-laute?"
"Tanggal berapakah hari ini?" tiba-tiba Tiok-liu balas
bertanya. "Ai, agaknya Kim-laute sudah mulai mabuk, hari ini kan
tanggal 13 Tjia-gwe (bulan satu), lewat dua hari lagi akan tiba
hari Tjap-go-meh, masakah kau lupa?"
Tiok-liu manggut-manggut, katanya. "Ya, benar-benar aku
sudah rada mabuk!"
Padahal sesudah mengobrak-abrik pesta ulang tahun Sal
Hok-ting, yang ditunggu-tunggu oleh Kim Tiok-liu justru
adalah datangnya malam Tjap-go-meh. Dan lantaran dia terus
teringat kepada hari itu, maka tanpa terasa tadi ia telah
bertanya. Ketika mendengar hari Tjap-go-meh disebut
seketika pengaruh arak lantas lenyap juga.
Kim Tiok-liu teringat kepada pesan surat ayahnya yang
disampaikannya kepada Kang Hay-thian itu. Yang paling
penting isi surat itu adalah menyuruh Kang Hay-thian pada
tengah malam Tjap-go-meh tahun ini supaya memakai cincin
buatan dari batu kemala dingin untuk menemui seorang yang
memakai cincin serupa di Pit-mo-khe di puncak bukit Se-san di
barat kota-raja. Tiok-liu sendiri tidak mengetahui hal ini
karena ayahnya tidak mengatakan padanya, dia baru tahu
ketika Kang Hay-thian memperlihatkan isi surat ayahnya itu.
Sebab itu pula ia tidak tahu siapakah gerangan orang yang
harus ditemui oleh sang Su-heng menurut pesan ayahnya itu.
Tiok-liu pikir besok lusa adalah Tjap-go-meh, entah Suheng
sudah datang atau belum" Kalau sudah datang tentunya
Su-heng sudah mengadakan kontak dengan Te Kin. Dalam
beberapa hari ini Tan Kong-tjiau mungkin akan datang
mencari aku, biar lah aku tinggal di rumah saja dalam dua hari
untuk menunggu, habis itu barulah berangkat ke Liok-happang.
Ia merasa Ginkangnya jauh lebih cepat daripada Li Lamsing
sehingga cukup mampu untuk menyusulnya meski selisih
dua hari lamanya.
Kiranya Kim Tiok-liu memutuskan akan menguntit Lam-sing
secara diam-diam dan takkan mengunjukkan diri, setiba di
Liok-hap-pang juga akan bertindak menurut gelagat, kalau
jelas Li Lam-sing tidak sanggup menolong lari Su Ang-ing
barulah dia akan turun tangan.
Besok paginya tidak nampak datangnya Tan Kong-tjiau,
begitu pula tiada kabar berita Kang Hay-thian. Tiok-liu rada
heran, pikirnya, "Suheng memutar ke kota Sedjiang, mungkin
betok bani beliau akan tiba di sini. Tapi Tan Kong-tjiau
mengapa tidak datang mencari aku" Apakah Toako tidak
memberitahukan tentang diriku atau dia sudah berangkat
pergi karena ada lain urusan?"
Lantaran keluarga Tan dan Kim adalah sahabat turuntemurun,
Tan Thian-ih juga pernah berpesan pada Kim Tiokliu
untuk mengamat-amati puteranya itu, maka Kim Tiok-liu
sangat ingin bertemu muka dengan Tan Kong-tjiau.
Hari kedua juga sudah berlalu, sampai malam Tjap-go-meh,
hari sudah gelap juga tetap tiada kabar berita Kang Hay-thian,
Tan Kong-tjiau juga tetap tidak datang mencarinya. Maka
dengan alasan ingin melihat keramaian Tjap-go-meh, diamdiam
Kim Tiok-liu meninggalkan rumah Te Kin dan keluar
kota. Malam Tjap-go-meh ternyata dirayakan dengan sangat
meriah oleh segenap penduduk kotaraja. Begitu hari mulai
gelap, lantas muncul macam-macam perlombaan Tenglong
(pelita berkerudung) yang dihias aneka warna dan sangat
indah. Keramaian demikian akan berlangsung terus sampai
fajar, sebab itulah Kim Tiok-liu ada alasan untuk pulang besok
paginya. Mengapa Tan Kong-tjiau tidak datang mencari Kim Tiok-liu,
ini memang ada sebabnya.
Malam itu setiba kembali Li Lam-sing di Ho-hud-si di Sesari,
hari sudah lewat tengah malam. Hwesio penjaga pintu
memberitahukan padanya bahwa Tan Kong-tjiau telah
mencarinya kemana-mana. Waktu Lam-sing kembali ke
kamarnya, memang betul Tan Kong-tjiau belum pulang.
Lam-sing merasa berterima kasih dan menyesal pula,
setelah menunggu lagi sejenak, baru saja ia bermaksud keluar
mencari Kong-tjiau, kebetulan saat itu Kong-tjiau sudah
pulang. Tertampak rasa kuati/ dan girang pula pada wajah Tan
Kong-tjiau ketika melihat Lam-sing sudah berada di dalam
kamar, belum lagi Lam-sing minta maaf padanya, lebih dulu
Kong-tjiau sudah memegang tangan Lam-sing dan berkata,
"Syukur kau sudah pulang, tadinya kukira terjadi apa-apa atas
dirimu." Lam-sing menyatakan penyesalannya, katanya, "Di rumah
Te-lopiauthau di dalam kota, tadi aku telah bertemu dengan
Kini Tiok-liu, coba kau terka siapakah dia?"
"Bukankah sudah kau katakan padaku, dia adalah kau
punya adik angkat," sahut Tan Kong-tjiau.
"Benar, tapi dia juga kau punya saudara angkat, masakah
kau tidak tahu?"
Kong-tjiau melengak, tapi lantas berkata dengan tertawa,
"Ya, memang betul, saudara-angkatmu memang sama juga
sau dara-angkatku."
"Memang boleh dikata demikian, tapi bukan itu maksudku,"
ujar Lam-sing. "Pada masa 20 tahun yang lalu ada seorang
pendekar besar termashur bernama Kim Si-ih, dia adalah
sahabat sangat karib dengan ayahmu, betul tidak?"
Baru sekarang Kong-tjiau sadar duduknya perkara,
tukasnya, "O, kiranya Kim Tiok-liu yang kau katakan itu adalah
pu-tera Kim-tayhiap, bukan?"
"Betul, dia minta kau pergi menemuinya," kata Lam-sing.
"Ya, memang ayah sering menyebut hubungan baiknya
dengan Kim-tayhiap, aku harus menemui Kim-heng itu," ujar
Kong-tjiau dengan girang. "Cuma sayang....."
"Sayang apa?" tanya Lam-sing dengan heran. "Dalam dua
hari ini kukira aku tak bisa meninggalkan tempat ini."
"Apakah terjadi apa-apa di sini?" tanya Lam-sing.
"Tidak apa-apa, hanya siang tadi aku melihat ada beberapa
brang yang mencurigakan berkeliaran di Se-san sini. Hwesiofcwesio
pencari daun obat di atas gunung juga berturut-turut
memergoki kelompok orang yang mencurigakan itu, ada yang
dari kalangan Hek-to (penjahat), ada pimpinan dari Pang-hwe
(perkumpulan dan gerombolan gelap), ada dua orang lagi
yang dikenal sebagai jagoan di dalam kerajaan. Padahal saat
ini bukanlah musim orang pesiar di pegunungan dan tokohtokoh
sebanyak itu berkeliaran di Se-san sini, mau-tak-mau
Hongtiang (ketua kuil) harus lebih waspada menghadapi
segala kemungkinan."
Mendadak Lam-sing menyadari sesuatu, katanya, "Ah,
pahamlah aku. Kalian kuatir orang-orang itu datang mencari
diriku bukan?"
"Yang jelas mereka pasti mempunyai tujuan tertentu, cuma
(yang dicari apakah Li-heng atau bukan, itulah sukar
dikatakan?"
"Jika demikian, biarlah aku pergi secara diam-diam saja
supaya tidak membikin susah para paderi di sini," ujar Lamsing
"Tidak, tidak perlu," kata Kong-tjiau pula. "Li-heng bukan
prang luar, biarlah aku memberitahukan padamu. Su-khong
Tay-su, ketua kuil Ho-hud-si, ada hubungan rahasia dengan
para pahlawan, sebab itulah beliau memberi pesan agar lebih
waspada, lapi maksudnya bukan ditujukan kepada dirimu."
"Apakah orang-orang yang mencurigakan itu masih
terdapat di atas gunung?" tanya Lam-sing.
"Kurang jelas, cuma waktu pulang tadi tiada seorang pun
yang kulihat," sahut Kong-tjiau.
"Tan-heng, untuk keselamatanku kau telah mencari aku
dengan menempuh bahaya, sungguh aku sangat berterima
kasih." "Sebagai tamu, untuk sementara aku tidak dapat
meninggalkan kuil ini yang mungkin sedang menghadapi
bahaya. Selang beberapa hari lagi bilamana keadaan sudah
aman, barulah aku akan pergi mencari Kim Tiok-liu di dalam
kota." "Mungkin orang-orang itu datang ke sini untuk mencari
pelarian-pelarian atau urusan lain. Ho-hud-si adalah tempat
suci terkenal, rasanya mereka takkan mencurigai Hongtiang di
sini berani menampung buronan seperti diriku. Orang-orang
yang kalian pergoki hari ini adalah tokoh-tokoh Kangouw,
umumnya mereka takkan tinggal di tempat asing melebihi tiga
hari. Sebab itu dalam tiga hari tak peduli urusan mereka
berhasil atau tidak, tentu juga mereka akan pergi."
"Ucapanmu juga masuk akal, cuma tiada jeleknya jika kita
berjaga-jaga sebelumnya, paling tidak hari ini kita harus
tinggal di sini untuk menghadapi segala kemungkinan bersama
para pa-deri."
"Sudah tentu," kata Lam-sing. "Baiklah, demi mencariku,
kau telah capek seharian penuh, sekarang kau pun
istirahatlah."
Tapi Li Lam-sing sendiri ternyata tidak dapat tidur, kiranya
dia menduga orang-orang yang dikatakan mencurigakan itu
pasti bukan mengamati padri-padri Ho-hud-si, tapi soalnya dia
tahu dengan pasti bahwa setengah tahun sebelumnya sudah
ada pihak musuh telah berjanji dengan dia untuk bertemu di
Pit-mo-khe pada tengah malam Tjap-go-meh nanti.
Surat undangan pihak lawan itu disampaikan padanya
melalui perantara, tokoh lawan itu menduga watak Li Lamsing
yang angkuh dan tidak mau kalah itu pasti akan
menerima dengan baik tantangannya. Kedatangan Li Lam-sing
ke kota raja kali ini memang bermaksud memenuhi tantangan
itu. Kejadian merampas barang antaran ulang tahun Sat Hokting
itu hanya secara kebetulan terjadi ketika dia memergoki
Su Ang-ing. Sesudah kejadian itu pernah ia bermaksud
mengubah pikirannya dan takkan menerima perjanjian
pertemuan di malam Tjap-go-meh, tapi ingin pergi menolong
Su Ang-ing dulu.
Tapi sekarang mau-tak-mau ia harus memenuhi tantangan
itu, sebab pihak lawan ternyata sudah datang lebih dulu.
Kedua, dia telah menerima budi kebaikan Tan Kong-tjiau dan
Hong-tiang, ia tidak boleh membikin susah orang lain, maka
urusan harus diselesaikan olehnya sendiri. Setelah mengambil
keputus-an demikian Lam-sing merasa tidak perlu
menjelaskan urusannya kepada Kong-tjiau.
Besoknya Hwesio-hwesio pencari daun obat di gunung
tidak menemukan jejak orang-orang yang mencurigakan itu,
entah mereka sudah pergi atau masih bersembunyi di situ.
Cuma tiada orang mencari perkara ke kuil mereka, para padri
itu rada lega juga.
Pada hari Tjap-go-meh, siangnya juga aman tentram.
Malamnya, di dalam kuil juga diadakan sembahyang
sekadarnya. Lam-sing dan Kong-tjiau adalah tamu, mereka
tidak ikut sembahyang, maka siang-siang mereka sudah
masuk kamar untuk tidur.
Dengan bermacam-macam pikiran yang berkecamuk dalam
benaknya, Kong-tjiau tidak bisa pulas mesti mata terpejam.
Kira-kira menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar suara
kre sek-kresek, tempat tidur sebelah dimana Lam-sing tidur
seperti bergerak, Lam-sing seperti bergerak bangun.
Diam-diam Kong-tjiau heran, "Tengah malam buta untuk
apa dia bangun?"
Baru saja ia hendak menegur, mendadak terendus bau
harum yang amat sedap terisap ke hidungnya, seketika Kongtjiau
merasa mengantuk dan hampir pulas, lekas ia menggigit
lidah sendiri dan cepat merogoh keluar sebiji obat dan
dijejalkan ke dalam mulut. Pil itu adalah Pik-leng-tan, obat
terbuat dari teratai salju yang amat mujarab untuk anti racun.
Mata Kong-tjiau terasa sepat dan mengantuk, tapi
pikirannya tetap jernih. Reaksi pertama baginya adalah rasa
cemas dan kuatir yang di luar dugaan, sebab disangkanya Li
Lam-sing adalah mata-mata musuh yang sengaja
diselundupkan ke dalam kuil.
Padahal ilmu silat Lam-sing lebih tinggi dari dia, bila
diketahui gerak-geriknya telah ketahuan, mungkin sekali
jiwaku bisa melayang demikian pikir Kong-tjiau.
Sebagai putera tokoh silat ternama, sudah tentu Kong-tjiau
cukup luas pengetahuannya, terhadap obat-obat bius yang
sering digunakan orang Kangouw ia pun tahu. Maka sesudah
makan Pik-leng-tan, segera ia mengetahui bau harum tadi
adalah semacam obat tidur yang lihai. Agaknya Lam-sing
mengira dia sudah terbius dan tidur nyenyak, maka tidak
bermaksud jahat padanya.
Maka Kong-tjiau pura-pura tidur pulas, dilihatnya Li Lamsing
merangkak bangun, lalu menyulut pelita, dengan tergesagesa
menulis beberapa huruf pada secarik kertas di atas meja,
lalu melompat keluar jendela sesudah memadamkan pelita.
Cepat Kong-tjiau melompat bangun, waktu pelita
dinyalakan, terbacalah apa yang ditulis oleh Li Lam-sing
berbunyi, "Pagi segera pulang, jangan omong-omong."
Tanpa pikir lagi Kong-tjiau lantas menyusul keluar. Malam
Tjap-go-meh, sinar bulan purnama laksana siang hari. Dengan
berdiri di atas wuwungan, lapat-lapat Kong-tjiau melihat
bayangan Li Lam-sing menghilang ke dalam hutan di luar Hohud-
si sana. Ibu Kong-tjiau adalah bekas dayang Peng-tjoan Thian-li
yang paling mahir ilmu Ginkang, maka ilmu silat Kong-tjiau
meski lebih rendah daripada Lam-sing tapi dalam hal Ginkang
boleh dikata selisih tidak jauh. Dari jauh ia lantas menguntit di
belakang Lam-sing. Rupanya Lam-sing tidak mengira ada
orang menguntitnya sehingga dia sama sekali tidak menoleh.
Pit-mo-khe dan Ho-hud-si sama-sama terletak di Se-san,
cuma yang satu di utara bukit dan yang lain di selatan,
jaraknya kira-kira belasan li. Pit-mo-khe adalah bukit karang
yang tandus dan sunyi, biasanya pemburu juga enggan
datang ke sana. Maka diam-diam Kong-tjiau merasa heran
ketika mengetahui Li Lam-sing terus berlari ke arah Pit-mokhe,
pikirnya, "Untuk apakah dia pergi ke sana" Mungkinkah
orang-orang yang akan ditemuinya bersembunyi di Pit-mo-khe
dan darimana pula dia mengetahuinya?"


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu mendadak Li Lam-sing mempercepat
langkahnya, hanya sekejap saja orangnya sudah menghilang
di balik gundukan batu karang. Belum lagi Kong-tjiau sempat
berpikir, tiba-tiba terdengar suara seorang tua serak sedang
bicara, "Le-kongtju ternyata seorang yang pegang janji dan
datang tepat pada waktunya. Kagum, kagum!"
Kong-tjiau melengak, katanya dalam hati, "Eh, mengapa Li
Lam-sing dipanggil dengan Le-kongtju?"
Li dan Le memang hampir sama, kalau tidak didengarkan
dengan cermat sukar membedakannya.
Terdengar Li Lam-sing sedang menjawab dengan lantang,
"Kalian mengundang aku ke sini sebenarnya bermaksud apa?"
Suara orang tua serak itu berkata, "Le-kongtju, lebih baik
kita bicara terang-terangan dan tidak perlu kau
menyembunyikan asal-usulmu di hadapan kami. Cikal-bakal
Thian-mo-kau, Le Seng-lam adalah kau punya Koh-po
(saudara kakek) bukan?"
Le Seng-lam sudah wafat lebih 20 tahun yang lalu, tapi
dengan ilmu silatnya yang tinggi dahulu ia pernah menjagoi
Bu-tim, sampai Tong Hiau-lan dari Thian-san-pay juga pernah
kalah di bawah tangannya. Sebab itulah Kong-tjiau terkejut
juga ketika mendengar asal-usul Li Lam-sing disebut oleh
orang tua itu, Dikirnya, "Pantas usianya begitu muda, tapi ilmu
silatnya begitu tinggi pula, kiranya dia adalah keturunan
keluarga Le. Ai, Thian-mo-kau adalah agama sesat yang telah
ditumpas, jika asal-usul U Lam-sing memang betul demikian,
kan dia adalah orang dari golongan Sia-pay?"
Maka terdengar Lam-sing sedang menjawab, "Kalau ya
bagaimana, kalau bukan mau apa kau?"
Orang tua itu bergelak tertawa, katanya, "Le-kongtju tidak
perlu curiga. Kami tidak bermaksud jahat, kami hanya ingin
mengundang kau pulang ke Tji-lay-san untuk menegakkan
kembali keangkeran Thian-mo-kau. Kami rela mendukung kau
sebagai Kautju baru."
"Aku tidak pingin menjadi Kautju, aku pun tiada tempa buat
pergi ke Tji-lay-san," sahut Lam-sing ketus.
"Salahlah ucapan Le-kongtju ini," ujar si orang tua itu,
"Ayahmu adalah satu-satunya keponakan sedarah dari Letjosu,
ibumu juga pernah menjabat sebagai ketua Thian-mokau.
Apa] sekarang kau tidak ingin mengembalikan nama baik
keluargamu itu?"
"Sudah lama ayah-ibu cuci tangan dan mengundurkan diri
dari dunia persilatan," sahut Lam-sing. "Maka nama Thian-mokau
hendaklah jangan kau sebut-sebut lagi."
"Ayah-ibumu sudah cuci tangan dan mengundurkan dirij
apakah kau tidak dapat menggantikan mereka" Le-kongtju,
k?> sempatan baik jangan disia-siakan, dengan dukungan
kami ma. sakah kuatir usaha besar kita takkan berhasil?"
"Hm, kalian ini barang apa" Aku justru tidak sudi menja<|
kepala kalian!" jengek Lam-sing.
"Haha, janganlah kau terlalu memandang rendah orang.
Le-kongtju," kata orang tua itu. "Hendaklah kau mengetahui
bahwa dahulu ayah-ibumu sendiri juga tidak berani bersikap
angkuh terhadap kami."
"Tak peduli siapa kau, pendek kata aku tidak mau, habM
perkara," jawab Lam-sing tegas.
"Sungguh bocah yang sombong," jengek orang tua itu. "Ji
ka demikian, jadi secara halus kau tidak mau dan minta
dipaksa?" "Sudahlah, silakan saja, apakah kalian akan maju sekaligul
atau secara bergiliran?" sahut Lam-sing.
"Kau bocah ini benar-benar tidak tahu tingginya langit dan
tebalnya bumi, berani kau memandang enteng kepadaku," kau
orang tua itu dengan tertawa. "Hehe, asalkan kau mampu
bertahan seratus gebrakan di bawah tanganku, maka aku
orang she Yang akan melepaskan kau pergi dari sini,
selanjurnya juga tak akan mencari gara-gara padamu. Tapi
kalau di dalam seratus gebrakan kau kalah, maka, hehe, aku
pun takkan membikin susah padamu asalkan kau menurut dan
ikut pergi denganku."
Nyata sekali suasana sudah mulai tegang, pertarungan
dapat terjadi setiap saat. Pikir Kong-tjiau, "Tak peduli asal-usul
Li Lam-sing darimana, sekali aku sudah menjadi sahabatnya
tentu rjku tidak bisa membiarkan dia mengalami kesukaran.
Bila lawan bertempur satu lawan satu akan kudiamkan saja,
tapi kalau main kerubut, maka biarpun jiwaku harus melayang
juga aku akan membantu dia."
Kong-tjiau sudah kenal kepandaian Lam-sing, biarpun
orang tua itu belum diketahui tokoh macam apa, tapi ia
menduga Lam-sing takkan kalah melawan seorang tua dalam
waktu singkat, maka ia bermaksud menunggu dan melihat
dulu mengikuti keadaan.
Tak terduga, mendadak terdengar angin berkesiur, dua sojok
bayangan berturut-turut menyergap ke tempat
persembunyian Tan Kong-tjiau, berbareng mereka membentak
pula, "Sobat darimanakah ini?"
Dengan demikian mau-tak-mau Kong-tjiau harus
memperlihatkan diri.
Ketika melihat Kong-tjiau adalah orang yang belum dike-al,
pula sukar diduga darimana asal-usulnya, lalu segera kedua
orang itu menubruk maju dan menyerang.
"Tan-heng, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan kau,
lilakan kau pulang saja," seru Lam-sing. Menyusul ia berkata
kepada orang tua tadi, "Dia adalah kawanku, tapi dia sama
sekali tak tahu menahu akan pertemuan kita ini. Hendaklah
kau menghentikan perbuatan orang-orangmu."
"Aku tak bisa mempercayai omonganmu," sahut orang tua
Hu dengan ketus. "Bocah itupun tak boleh kulepaskan begitu
sa-h. Aku harus membekuknya dahulu untuk ditanyai lebih
lanjut, Imbis itu baru mengambil keputusan."
Berkat Ginkangnya yang tinggi Kong-tjiau dapat
mengelakkan sergapan kedua orang tadi, namun kedua orang
itupun bukan jago lemah, yang seorang memakai sepasang
Boan-koat-pit, senjata berbentuk pensil, yang lain
menggunakan tombak' pendek, semuanya menyerang secara
gencar ke tempat yang mematikan.
Kong-tjiau menjadi gusar, bentaknya. "Aku telah mengalah
beberapa jurus kepada kaitan, memangnya kalian sangka aku
gampang dianiaya?" Sret, ia lantas melolos pedang dan balas
menyerang. Kepandaian Kong-tjiau belum tentu sanggup mengalahkan
kedua orang lawannya, tapi pedang yang dia pakai adalah
benda mestika, yaitu berasal dari ibunya atas pemberian
Peng-tjoan Thian-li, pedang itu terbuat dari pualam inti es,
walau tak bisa memadai 'Peng-pok-hau-kong-kiam' milik Pengtjoan
Thian-li sendiri, tapi pedang itupun memancarkan sinar
dingin yang menusuk tulang.
Karena itu, begitu Kong-tjiau melolos pedang, tanpa terasa
kedua orang tadi lantas menggigil, mereka terkejut dan cepat
melompat mundur. Malahan seorang di antaranya saking tidak
tahan akan rasa dingin, kakinya menjadi lemas dan jatuh
tersungkur ketika kakinya baru menyentuh tanah.
Kawan-kawannya yang menjaga di belakang menjadi kaget
dan mengira temannya terkena senjata rahasia, beramairamai
mereka membentak, "Kurangajar, berani memakai
senjata rahasia segala!" Berbareng itu mereka pun
menghamburkan bermacam-macam senjata rahasia ke arah
Tan Kong-tjiau.
"Hm, dasar kawanan bangsat yang buta, siapa yang
memakai senjata rahasia?" jengek Kong-tjiau. "Tapi boleh juga
jika kalian ingin main senjata rahasia, silakan kalian
berkenalan dengan senjata rahasiaku!"
Segera ia merogoh segenggam Peng-pok-sin-tan (peluru
es), terus ditebarkan ke arah musuh. Peng-pok-sin-tan itu
adalah senjata rahasia yang paling aneh, segala macam Am-gi
(senjata rahasia) tentu mengutamakan kekuatan timpukan
serta jitunya menimpuk, hanya Peng-pok-sin-tan inilah
menggunakan hawa dingin yang terkandung di dalamnya
untuk mengalahkan musuh.
Lantaran tidak kenal kelihaian Peng-pok-sin-tan, orangorang
itu ada yang berkelit dan ada yang menyampuk dengan
senjata. Untung bagi yang dapat menghindarkan diri dari
tebaran Peng-pok-sin-tan itu, yang celaka adalah orang yang
menyampuk dengan senjata, sebab begitu terbentur, peluru
es itu lantas hancur dan meleleh menjadi hawa dingin
sehingga darah pun terasa seakan membeku. Ada dua orang
di antaranya yang tidak mampu berkelit dan menyampuk,
dengan tepat Hiat-to mereka tertimpuk Peng-pok-sin-tan,
seketika mereka roboh dengan badan gemetar mirip orang
sakit malaria. Keruan keadaan menjadi gempar, orang-orang menggigil
kedinginan itu sama berlari mundur sambil berkaok-kaok
kesakitan, "Aduh!"
Sesudah menggebah orang-orang itu, karena urusan sudah
kepalang dengan senjata terhunus Kong-tjiau lantas
menerjang sekalian ke tengah kalangan dan siap membantu Li
Lam-sing. Mestinya tadi Li Lam-sing bermaksud menggabungkan diri
dengan Kong-tjiau, tapi setelah menyaksikan Tan Kong-tjiau
memperlihatkan kesaktian Peng-pok-sin-tan dan membikin
tunggang-langgang kawanan musuh yang hendak
mengeroyoknya itu, bahkan terus menerjang maju dan
mendahului bergabung dengan dia, diam-diam Lam-sing
terkejut dan girang pula.
Mendadak orang tua tadi menarik muka, katanya dengan
tertawa dingin, "Hm, mutiara sebiji beras juga memancarkan
sinar" Wakilkan gurumu menangkap bocah itu, muridku!"
Segera seorang laki-laki tinggi kurus dan bermuka pucat
seperti orang sakit tampil ke muka sambil mengiakan perintah
lang guru. Dengan cepat sekali, tahu-tahu orangnya sudah
me-ngadang di depan Kong-tjiau.
Melihat lawan baru ini sedemikian tangkas, Kong-tjiau
bermaksud mendahului musuh, segera ia menimpukkan tiga
biji Peng-pok-sin-tan lebih dulu.
Wajah orang yang pucat penyakitan itu memang tampak
kaku tak berperasaan, ketika ketiga biji Peng-pok-sin-tan
meng-i hantam di depannya, tiba-tiba ia menggapai
tangannya dan ber-i kata, "Kukira benda apa, kiranya cuma
beberapa biji es yang j biasa digunakan budak pelayan Pengtjoan
Thian-li. Hm, Peng-I pok-sin-tan bisa mengapakan
diriku?" Ketika ia membuka tangan lagi, ternyata ketiga biji Pengpok-
sin-tan yang kena ditangkapnya tadi telah mencair
menjadi air. Sebenarnya tidak mengherankan jika Peng-pok-sin-tan tak
bisa melukai lawan yang punya Lwekang tinggi, yang luar
biasa adalah laki-laki ini diketahui sebagai murid orang tua itu,
namun sudah berani menangkap peluru es itu dengan tangan
kosong, hal ini benar-benar di luar dugaan Kong-tjiau.
Baru saja Kong-tjiau terperanjat, dalam pada itu dengan
cepat luar biasa laki-laki itu sudah melancarkan pukulan ke
arahnya. Kong-tjiau menggeser langkah ke samping, berbareng
pedangnya lantas balik menahas. Kebetulan musuh sedang
menubruk maju, dengan demikian Kong-tjiau menduga musuh
pasti akan dipaksa mundur bila tidak mau terkena pedangnya.
Siapa tahu lawan sama sekali tidak mundur atau
menghindar, terdengar "creng" satu kali, dengan jari tengah
laki-laki penyakitan itu menyelentik sehingga pedang Kongtjiau
kena di-selentik pergi.
Kelihaian pedang pualam dingin Tan Kong-tjiau itu tidak
terletak pada tajamnya, tapi pada hawa dingin yang
dipancarkannya, pikir Tan Kong-tjiau, "Keparat ini baru saja
menangkap Peng-pok-sin-tan, sekarang kebentur pula oleh
pedangku, tentu dia akan tahu rasa, kecuali badannya bukan
terdiri dari darah dan daging."
Tak tersangka, sekonyong-konyong ia sendiri merasakan
suatu arus hawa dingin menyusup ke telapak tangan melalui
gagang pedang. Sebaliknya lawan yang berwajah pucat kaku
itu sedikitpun tidak gemetar dan tetap tidak memperlihatkan
sesuatu perasaan. Malahan Kong-tjiau lantas kedinginan
sendiri sehingga menggigil.
Sebenarnya Tan Kong-tjiau memiliki Lwekang yang tinggi
ajaran ibunya yang berasal dari Peng-tjoan Thian-li, sehingga
tidak takut kepada serangan hawa dingin yang menusuk
tulang itu. Sekarang pedangnya kena diselentik lawan, bahkan
ia sendiri menggigil, ini benar-benar luar biasa.
Dengan tertawa orang itu berseru, "Haha, kiranya
pedangmu juga cuma begini saja, sekarang kau masih punya
kepandaian apa lagi. Hm, kau tidak cocok memakai pedangmu
itu, lebih baik diserahkan padaku saja!"
Sembari bicara serangannya tidak pernah kendur, berturutturut
ia menyerang beberapa kali lagi dengan maksud
merebut pedang di tangan Tan Kong-tjiau.
Kejut Kong-tjiau tak terkatakan karena pedangnya tidak
dapat melukai lawan, apalagi sekarang orang berani merebut
pedangnya dengan bertangan kosong. Terpaksa ia
menggunakan Ginkang yang tinggi untuk berkelit kian kemari,
pedang di tangannya seakan-akan benda yang tak berguna
lagi. Dalam keadaan kepepet, terpaksa Kong-tjiau mengadu
pukulan dengan lawan. "Biang", orang itu tergetar mundur
dua-tiga tindak, sebaliknya Kong-tjiau juga sempoyongan.
Bicara tentang tenaga pukulan ternyata kedua pihak selisih
lidak banyak, namun hal ini sudah di luar dugaan Kong-tjiau,
ia tercengang girang. Tadinya ia menyangka Lwekang lawan
pasti ?angat tinggi mengingat orang tidak gentar terhadap
pedangnya vang berhawa dingin itu. Sekarang setelah beradu
tangan baru diketahui kekuatan lawan yang sebenarnya cuma
sekian saja dan tidak lebih hebat dari dia.
Namun demikian, setelah mengadu tangan itu kembali rasa
dingin di badan Kong-tjiau bertambah beberapa bagian lagi.
Menungnya ia sudah kedinginan, sekarang badannya makin
meng-igil seperti terjeblos ke dalam jurang es.
"Sekarang kau baru tahu rasa bukan" Hehe, ini namanya
senjata makan tuan, tunggu saja, sebentar masih ada yang
lebih lihai bagimu," seru orang itu dengan tertawa.
Habis itu ia terus menggosok-gosok kedua tangannya, air
mukanya bersemu hitam, dimana pukulannya dilancarkan,
seketika angin dingin bersiur sehingga Kong-tjiau makin
merasakan hawa dingin yang tak tertahankan.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiranya yang diyakinkan laki-laki itu adalah 'Siu-lo-im-satkang',
semacam ilmu hawa dingin dari golongan Sia-pay yang
lihai. Maka pedang pualam dingin yang digunakan Kong-tjiau
itu berbalik menambah keganasan serangan lawan.
Melihat Kong-tjiau terdesak, Lam-sing menjadi gusar,
teriaknya. "Aku telah memenuhi janji pertemuan dengan
kalian, mengapa kalian malah membikin susah temanku"
Urusanku tiada sangkut-pautnya dengan dia, jika mau
bertempur silakan terjang padaku semuanya!"
Dan baru saja ia hendak melompat ke sana, mendadak
orang tua she Yang tadi bergelak tertawa dan mendahului
me* ngadang di depan Lam-sing, katanya, "Jangan buru-buru
dulu, Le-kongtju, boleh kau bergebrak dulu seratus jurus
dengan aku, Asal kau mampu menandingi aku, tentu aku akan
melepaskan kau termasuk pula temanmu itu."
Kakek itu menantang Li Lam-sing dengan bertangan
kosong, sudah tentu Lam-sing tidak leluasa menggunakan
pedang sendiri, segera kedua tangannya bergerak, telapak
tangan kiri memotong ke depan, telapak tangan kanan miring
siap menceng* keram. Gaya serangan ini mengandung cara
menutuk dan menangkap sekaligus, kalau si kakek hendak
menghindarkan diri dari tutukan, tentu akan tertolak mundur
oleh tenaga pukulannya tadi.
"Bagus, seranganmu ini sudah memadai almarhum
ayahmu^ dahulu!" puji kakek itu sembari memutar sebelah
telapak ta" ngannya menjadi suatu lingkaran, lalu pelahanlahan
didorong, ke depan.
Diam-diam Lam-sing mengejek lawan, "Hm, kau tua bangka
ini sok berlagak, sayang kau hanya kenal seranganku tapi
tidak tahu cara mematahkannya."
Di luar dugaan, sekonyong-konyong ia merasa angin dingin
berkesiur dari depan seperti pisau tajam yang mengiris ku-Ltit,
saking dinginnya darah serasa akan membeku.
Serangan Lam-sing tadi mestinya ada jurus susulan lagi,
Ljika lawan tidak tahu cara mematahkan serangannya segera
ia lakan menggunakan Kim-na-djiu-hoat (ilmu menangkap dan
menawan) untuk mencengkeram Hiat-to lawan. Tapi lantaran
mendadak hawa dingin menyambar tiba dan menggigil,
cengkeramannya menjadi meleset, sebaliknya ia sendiri
hampir kena di-cengkeram si kakek.
Syukur Lam-sing masih sempat mengeluarkan Thian-lo-
Ipoh-hoat, dengan langkah ajaib itu ia sempat menggeser ke
samping. Terdengar "bret" sekali, walaupun dapat
menyelamatkan diri, namun lengan bajunya terobek oleh
tangan si kakek.
"Sekarang kau sudah kenal kelihaianku bukan, anak
hapus?" seru kakek itu dengan gelak tertawa. "Nah, ingin
kulihat cara bagaimana kau akan menerima 100 gebrakan
dariku?" Sembari bicara ia terus melancarkan tiga kali serangan pula
sehingga angin dingin berjangkit dengan dahsyat, Lam-sing
Sampai terdesak mundur terus.
Kiranya 4Siu-lo-im-sat-kang' yang diyakinkan si kakek su-
Idah mencapai tingkatan kedelapan, jadi jauh lebih lihai
daripada muridnya yang menghadapi Kong-tjiau itu.
Sedapat mungkin Lam-sing bersabar, ia mengerahkan
tenaga murni untuk bertahan, dimainkannya 'Lok-eng-tjianghoat',
Ilmu pukulan yang banyak perubahan dan sukar diduga
musuh. Walaupun giginya sampai berkrutukan menahan
dingin, pukulannya juga tidak mampu mengenai lawan, namun
si kakek juga lifjak mampu menangkapnya lagi dalam waktu
singkat. Ketika serangan pertama si kakek dilancarkan dan terlihat
Tjun-sing tidak tahan akan hawa dingin, si kakek mengira
beberapa gebrakan lagi pemuda itu pasti akan dibekuknya,
sekarang ternyata Lam-sing masih sanggup bertahan, hal ini
benar-benar membuatnya terkejut, pikirnya, "Aneh, mengapa
Lwe-kangnya seperti lebih kuat daripada ayah-ibunya" Untung
aku membatasi diri dalam 100 gebrakan, di dalam 100 jurus
tentu ada kesempatan bagiku untuk mengalahkan dia."
Si kakek tidak tahu bahwa Lwekang yang dimiliki Li Lamsing
itu pernah mendapat petunjuk dari orang kosen dan
bukan ajaran dari ayah-ibunya sendiri. Namun begitu kekuatan
Lam-sing juga cuma dapat dibuat bertahan sekadarnya saja,
lama-lama kalau hawa dingin bertambah, tentu gerak-geriknya
akar. kaku dan tidak leluasa.
Dalam keadaan itu ia masih sempat melirik ke arah sana.
dilihatnya keadaan Kong-tjiau lebih konyol lagi daripada dia.
Kong-tjiau tampak terdesak dan tidak sanggup balas
menyerang sedikitpun menghadapi laki-laki bermuka pucat itu.
Diam-diam Lam-sing merasa kuatir, kalau dirinya kalah
tidaklah menjadi soal, tapi Tan-toako akan ikut menjadi
korban. Di sebelah lain, diam-diam si kakek juga merasa gelisah
karena saat itu sudah mendekati seratus jurus seperti apa
yang dijanjikan dan Lam-sing masih belum bisa dibekuk. Cuma
saja Lam-sing tidak memperhatikan jumlah gebrakan itu. Si
kakek lantas menambah tenaga pukulannya, ia pikir biarpun
sudah lewat seratus jurus, asalkan bocah ini tidak bersuara,
maka aku pun akan pura-pura tidak tahu.
Sembari melayani lawan tangguh, Li Lam-sing masih harus
berkuatir bagi Tan Kong-tjiau pula. Karena itu pertahanannya
menjadi rada ayal, suatu ketika ia kena pukulan si kakek dan
terhuyung mundur beberapa langkah, tampaknya segera akan
dirobohkan. "Anak bagus, kau tak bisa lari lagi, lebih baik menurut dan
ikut pergi denganku saja!" kata si kakek dengan menyeringai.
Dan baru saja si kakek hendak menambahi suatu
cengkeraman untuk membekuk Li Lam-sing, sekonyongkonyong
suara seorang mendengung di samping telinganya,
"Tua bangka. kau bisa pegang janji atau tidak?"
Keruan kakek itu terperanjat, kuatir diserang orang dari
belakang, ia membatalkan cengkeramannya dan cepat
menoleh. Tertampak dari gundukan batu karang sana
mendadak muncul sesosok bayangan. Di bawah sinar bulan
purnama dapat terlihat dengan jelas pendatang itu hanyalah
seorang pemuda berumur 20-an.
Si kakek merasa lega, pikirnya, "Kukira yang datang adalah
orang kosen apa, tak tahunya cuma seorang bocah ingusan
saja. Tapi aneh juga bocah busuk ini dia berada sejauh itu,
namun suaranya di tepi telingaku. Ilmu apakah ini?"
Dalam pada itu Li Lam-sing juga sudah melihat jelas siapa
pendatang itu, sungguh girangnya tak kepalang, serunya,
"Hian-te, kau pun datang" Darimana kau mengetahui aku
berada di sini?"
Siapa lagi dia kalau bukan Kim Tiok-liu adanya!
Pada saat yang hampir sama, dengan cepat luar biasa dan
dengan gaya 'Burung seriti menyusup ke bawah emper', tahutahu
Kim Tiok-liu sudah hinggap tanpa suara di tengah-tengah
antara si kakek dan Li Lam-sing. Begitu indah gerakan Kim
l'iok-liu, mau-tak-mau si kakek pun merasa kagum, berbareng
itu ia pun bertambah terkejut dan heran.
"Li-toako," segera Kim Tiok-liu berkata, "Biarlah aku
mewakilkan kau melayani tua bangka yang bicara seperti
kentut ini!"
Si kakek menjadi gusar, sahutnya, "Mengapa kau
mengatakan aku tidak pegang janji?"
"Bukankah tadi kau menyatakan akan mengalahkan Liloako
dalam 100 gebrakan?" tanya Kim Tiok-liu. "Tapi
sekarung, haha, diam-diam aku menyaksikan dengan jelas dan
telah kuhitung, sampai saat terakhir kau sudah menyerang
102 kali."
"Kau ngaco!" damprat kakek itu dengan muka merah
jengah. "Aku baru menyerang 98 kali."
"Huh, orang rendah macam kau juga berani mengaku
sebagai ahli waris pencipta Siu-lo-im-sat-kang," jengek Tiokliu.
"Caramu seperti bajingan tengik hanya membikin malu
Beng Sin-thong, cikal-bakalmu yang sudah menjadi setan di
akhirat itu. Biarpun Beng Sin-thong adalah gembong iblis, tapi
setiap bicara selalu dipegang teguh, mana mirip kau yang
tidak tahu malu ini?"
Kakek she Yang itu terkejut sekali, pikirnya, "Usia bocah ini
sedemikian muda, tapi dia kenal asal-usulku?"
Dari malu ia menjadi murka, jawabnya segera, "Hm, kau ini
siapa" Kau berani main gila di sih'?"
"Suhu, bocah itulah Kim TioL-tiu lamanya!" mendadak
orang yang bertempur dengan Tan Kong-tjiau itu berteriak.
"Suhu, dialah musuhku, jangan kau lepaskan dia!"
Kiranya laki-laki bermuka pucat yang bertempur melawan
Kong-tjiau itu adalah orang yang pernah menyergap Kim Tiokliu
di kamar Hong Biau-siang tempo hari. Dia bernama Kiong
Peng-ya. Hari itu ia kena dihantam satu kali oleh Kim Tiok-liu
sehingga perlu dirawat selama tiga bulan baru sehat kembali.
Kakek itu bernama Yang Go, ayahnya bernama Yang Djikhu,
yaitu Sute Beng Sin-thong dan Yang Go mendapat
pelajaran asli Siau-lo-im-sat-kang yang lihai itu.
Yang Go hanya mempunyai seorang murid, yakni Kiong
Peng-ya. Sejak Beng Sin-thong dan Yang Djik-hu berturutturut
meninggal dunia, di seluruh dunia persilatan Tionggoan,
yang mahir Siu-lo-im-sat-kang hanya tinggal Yang Go dan
Kiong Peng-ya berdua saja.
Begitulah Kim Tiok-liu lantas menanggapi dengan tertawa,
"Aha, sangat kebetulan! Kalian guru dan murid tidak mau
melepaskan aku bukan" Bagus! Aku memangnya juga tidak
mau membebaskan kalian!"
Belum lenyap suaranya, dengan cepat sekali ia sudah
menubruk ke sini. Keruan Kiong Peng-ya yang sudah pernah
menelan pil pahit dari Kim Tiok-liu menjadi ketakutan, cepat ia
meninggalkan Tan Kong-tjiau dan berlari ke belakang
gurunya. Tujuan Kim Tiok-liu memang sengaja hendak menggertak
saja untuk menggebah lari Kiong Peng-ya, dengan demikian
Tan Kong-tjiau dapat terlepas dari kesukaran.
Yang Go menjadi gusar, bentaknya, "Bocah kurang ajar!
Kau berani menakuti muridku, ini kau pun boleh terima
seratus gebrakanku!"
"Kenapa aku tidak berani, aku justru kuatir kau tidak
mampu menerima seratus kali seranganku!" jawab Tiok-liu
dengan tertawa.
Dengan murka Yang Go lantas menghantam, angin dingin
berkesiur, tapi Kim Tiok-liu malah membuka kancing baju
sambil berkipas-kipas, serunya dengan gelak tertawa,
"Hahaha! Memangnya aku lagi kegerahan, terima kasih atas
angin segar yang kau tiupkan ini!"
Keruan Yang Go tambah terkejut, sungguh tak tersangka
olehnya bahwa Kim Tiok-liu ternyata tidak gentar sedikitpun
terhadap Siu-lo-im-sat-kang.
Ketika ia mendesak maju dan memukul pula, Kim Tiok-liu
lantas memapak. Kedua tangan beradu, kedua pihak samasama
lergentak mundur. Cuma Kim Tiok-liu tergentar mundur
satu langkah lebih.
Kiranya Kim Tiok-liu telah mendapat ajaran Lwekang
gabungan dari Tjing-pay dan Sia-pay yang dilebur menjadi
satu oleh Kim Si-ih. Di masa jaya, Kim Si-ih pernah bertarung
beberapa kali dengan Beng Sin-thong, ia pun cukup kenal
kelihaian Siu-lo-im-sat-kang, maka dengan tekun ia
meyakinkan semacam Lwekang yang khusus digunakan
melawan Siu-lo-im-?t-kang yang jahat itu. Lwekang khas
itupun telah diajarkan kepada putranya, dengan sendirinya
sekarang Kim Tiok-liu tidak gentar menghadapi Yang Go.
Cuma kekuatannya betapapun main kalah setingkat dibanding
Yang Go. Walaupun tidak terluka nlch Siu-lo-im-sat-kang,
namun juga tergetar mundur satu lang-kuh lebih.
Yang Go adalah pemimpin di antara rombongannya, dif
bertempur satu-lawan-satu dengan Kim Tiok-liu, sudah tenu
orang lain tidak ikut maju. Tapi mereka pun kuatir Li Lam-sinl
melarikan diri, maka beramai-ramai mereka lantas merubungi
maju dan mengembut Lam-sing.
Untuk menangkap Lam-sing hidup-hidup, orang-orang igj
tak menghiraukan lagi ucapan pemimpin mereka bahwa
merek? takkan main kerubut. Dan Yang Go sendiri pun
berlagak pilofjj pura-pura lupa dan membiarkan perbuatan
begundalnya itu.
"Pakailah pedangmu, Toako!" seru Kim Tiok-liu.
Segera Li Lam-sing melolos pedang dan diputar satu kait
sambil membentak, "Silakan maju ,:,mampus!'* Dimana sinar pedang menyambar, terdengarlah
suara menderin nyaring, di atas tanah lantas penuh kurungan
senjata. Hanya s?* kali gebrakan saja, macam-macam senjata
orang-orang itu kenir ditebas putus semua, keruan mereka
terkejut dan lekas mundaa kembali.
Kepandaian Kiong Peng-ya lebih tinggi dari begundal-bc
gundalnya, ia berhasil mengelakkan sambaran Hian-tiatpokiam
yang diputar Lam-sing, lalu dengan menggeser
langkah ke bela^ kang Lam-sing, segera ia melancarkan
serangan dari belakang.
Siu-lo-im-sat-kang yang dilatih Kiong Peng-ya baru men?
capai tingkatan kelima, dia mampu mengalahkan Kong-tjiau,
ta? pi sukar melawan Li Lam-sing. Meski Li Lam-sing
mengayun? kan pedangnya ke depan, tanpa menoleh sebelah
tangannya lan? tas memukul balik ke belakang, maka
terdengarlah beradunya kedua tangan, Kiong Peng-ya kena
digempur mundur.
Baru saja Li Lam-sing bermaksud menggabungkan diri d?,
ngan Kim Tiok-liu, tiba-tiba sesosok bayangan melayang ku
arahnya secepat terbang.
"Hm, barangkali Hian-tiat-pokiam itulah yang kau pakai
bukan" Baiklah, Su Pek-to tidak mampu memilikinya,
kebetulan dapat kau berikan padaku!" demikian orang itu
menjengek. Pendatang baru ini bertangan kosong, seketika Li Lam ling
menjadi ragu-ragu apakah mesti membinasakan lawan yang
lak bersenjata itu dengan pedang wasiatnya atau tidak" Tak
ter-nuga orang itu lantas melancarkan pukulan dengan
membawa Ingin yang maha panas dan sangat dahsyat.
Menyusul tangan lang lain segera menyelonong ke depan
hendak merampas pedang Li Lam-sing.
Secepat kilat Li Lam-sing memutar pedangnya sehingga
membentuk suatu lingkaran sinar perak. Orang itu sudah
kenal Hian-tiat-pokiam yang hebat itu, tapi tidak menyangka


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedemi-kian lihainya pedang itu, ketika sinar pedang
menyambar tiba, lekas ia menarik kembali tangannya. "Bret,"
lengan baju orang itu terkupas secabik, sebaliknya pedang Li
Lam-sing yang berat tupun tcrgoncang melenceng oleh
kebasan lengan baju lawan.
Dengan demikian kedua pihak menjadi lebih prihatin dan
idak berani memandang enteng lawannya. Pikir orang itu,
"Bori ini ternyata mampu menahan aku punya Liu-sin-tjiang
(pukulan malaikat geledek), pedang yang dia pakai adalah
pedang usaka pula, mau-tak-mau aku harus hati-hati."
Sebaliknya Li Lam-sing juga membatin, "Kekuatan orang ini
agaknya lebih tinggi daripada si kakek Yang tadi. Wah,
berbahaya bila aku tak bisa mengalahkan dia dengan Hiantiat-
pokiam ini, mungkin malam ini sukar lolos bagiku."
Di sebelah sana, Kiong Peng-ya dan begundalnya sudah
papok menghadapi Li Lam-sing, sekarang mereka ganti
sasaran, yang diterjang dan dikerubut adalah Tan Kong-tjiau.
Lebih dulu Kong-tjiau menyambut musuhnya dengan
taburan Peng-pok-sin-tan, terpaksa kawan-kawan Kiong PengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ya tema menyingkir jauh dengan kedinginan. Hanya Kiong
Peng-ya sendiri dan dua kawannya yang berkepandaian lebih
tinggi mampu mendekati Kong-tjiau.
Memangnya Kong-tjiau tidak sanggup menandingi Kiong
Beng-ya, apalagi sekarang dikeroyok tiga, keruan ia lebih
runyam dan terpaksa bertahan mati-matian.
Li Lam-sing juga menempur laki-laki itu sekuat tenaga,
kedua pihak sama waswas dan hati-hati, tapi Li Lam-sing tadi
sudah bertempur lebih dulu sehingga tenaganya rada
kewalahan. Kiranya laki-laki ini adalah Auwyang Kian, orang yang
pernah dijumpainya di Tji-lay-san beberapa bulan yang lalu,
tatkala itu Auwyang Kian dilabrak lari oleh ketua Kaypang,
Tiong Tiang-thong. Tiok-liu sendiri belum pernah bergebrak
dengan Auwyang Kian.
Pada pertarungan itu, meski Auwyang Kian dikalahkan oleh
Tiong Tiang-thong, tapi juga berlangsung sampai ratusan
jurus baru Tiong Tiang-thong memperoleh kemenangan.
Sebab itulah Tiok-liu dapat membayangkan Auwyang Kian
pasti luar biasa, dengan kemampuan Li Lam-sing ya pasti
bukan tandingannya.
Dalam pada itu Yang Go menyerang dengan gencar, Siu-loim-
sat-kang dikeluarkan seluruhnya, terpaksa Kim Tiok-liu
melayaninya dengan berbagai macam gerakan dan ilmu silai
yang paling hebat dan aneh, namun begitu tetap belum bebas
dari ancaman pukulan Yang Go yang semakin dahsyat itu.
Sebaliknya Yang Go juga terkesiap setelah sekian lamanya
masih belum mampu merobohkan Kim Tiok-liu, pikirnya,
"Entah darimana asal-usul bocah ini, mengapa sedemikian
hebatnya" Jika di dalam seratus jurus aku tak bisa
mengalahkan dia, lama-lama tentu aku yang akan kecundang
" Hendaklah diketahui bahwa Siu-lo-im-sat-kang adalah
semacam ilmu yang paling memakan tenaga, sebab itu Yang
Go harus lekas menyelesaikan pertarungan sengit itu. Kalau
tidak, maka tenaganya jadi lemah, padahal serangan Kim
Tiok-liu aneka ragam perubahannya, akhirnya dia sendiri yang
akan celaka. Begitulah berulang-ulang Yang Go lantas melancarkan
serangan maut sehingga Kim Tiok-liu terdesak mundur
beberapa tindak, bentaknya pula, "Anak keparat, apa kamu
tidak mau menyerah saja" Sebentar baru kau tahu rasa dan
minta mati pun sukar lagi!"
Meski mulurnya masih omong besar, tapi dalam batin
sebenarnya Yang Go sudah ngeri, serangan maut dengan
gertakan mulut sebenarnya cuma untuk menakut-nakuti saja
supaya pihak lawan mundur teratur.
Namun Kim Tiok-liu tahu tujuan musuh, dengan gagah
berani ia memindangi lawannya tanpa gentar sedikitpun.
Hanya saja ia mesti berkuatir bagi Li Lam-sing dan lari Kongtjiau
berdua. Di tengah pertarungan sengit, Tiok-liu masih
cukup tajam panca inderanya untuk melihat dan mendengar
setiap kejadian di seputarnya. Sekilas dilihatnya jari tengah Li
Lam-sing memakai sebentuk cincin yang bercahaya mengkilap
dan memancarkan sinar dingin, waktu ia melirik lebih jelas,
ternyata cincin itu mirip benar dengan cincin kemala yang
dipakainya sendiri.
Maka terbukalah seketika teka-teki yang selama ini
mencekam hatinya, kiranya Li Lam-sing inilah yang harus
ditemui oleh Kang-suheng atas titah ayahnya.
Maka lantas timbul juga bermacam-macam pertanyaan
dalam benak Kim Tiok-liu. Apakah sudah lama Li-toako kenai
dengan ayah" Kalau tidak mengapa ayah memberikan
sebentuk cincin kemala- kepadanya" Tapi mengapa Li-toako
tidak pernah bercerita padaku" Ayah menyuruh Kang-suheng
menemui Li-toako di sini tengah malam ini, jangan-jangan
sebelumnya ayah sudah mengetahui akan kejadian malam ini"
Tapi tidak sempat banyak berpikir lagi bagi Kim Tiok-liu
dalam pertarungan sengit itu. Waktu ia menengadah,
tertampak sang dewi tepat menghias di tengah cakrawala.
Dengan tertawa girang Kim Tiok-liu berseru, "Yang Go, kau
jangan girang dulu, boleh lihat saja nanti siapa yang harus
menyerah" Li-toako, jangan gentar terhadap gertakannya,
lewat sebentar lagi aku tanggung akan membikin kocar-kacir
mereka." Sementara itu Li Lam-sing juga sedang diliputi perasaan
sangsi, sebab ia pun sudah melihat jelas cincin kemala yang
dipakai Kim Tiok-liu itu, pikirnya, "Tadinya kukira Tiok-liu tidak
tahu siapa diriku, tampaknya teranglah sudah sekarang,
sebelumnya dia sudah pemah kenal ayah-ibuku. Tapi
mengapa dia mesti menutupi hal ini di hadapanku?"
Kiranya pada waktu Li Lam-sing akan meninggalkan rumah,
ayahnya telah memberikan cincin kemala itu kepadanya
dengan pesan, "Setibanya di Tionggoan, jika bertemu dengan
orang yang memakai cincin yang sama, maka bolehlah kau
mempercayakan dirimu kepadanya dan minta bantuannya
untuk menyelesaikan segala kesukaranmu. Jika ada bahaya,
dengan memakai cincin ini mungkin akan menyelematkan kau
dari segala bahaya itu."
Lantaran ingat betul kepada pesan ayahnya itu, maka
malam ini ia memakai cincin kemala itu untuk datang
memenuhi janji pertemuannya dengan Yang Go. Dan ternyata
betul, pada saat berbahaya mendadak Kim Tiok-liu muncul
menolongnya. Ia tidak tahu bahwa Kim Tiok-liu sendiripun
dirundung bermacam* macam pertanyaan karena melihat
cincin mereka yang sama itu.
Begitulah semangat Li Lam-sing lantas terbangkit atas dorongan
ucapan Kim Tiok-liu tadi. Ia memutar Hian-tiat-pokiani
i dengan kencang dan kembali bergebrak tiga puluhan jurus
dengan Auwyang Kian.
Akan tetapi Liu-sin-tjiang yang dilancarkan Auwyanp Kian
benar-benar sangat lihai, setiap pukulan seakan membawa
gelombang panas yang makin memuncak, lambat-laun Li Lamsing
merasa seperti dipanggang di tengah tungku, seluruh
badan basah kuyup dengan air keringat. Diam-diam ia menjadi
mera gukan ucapan Kim Tiok-liu tadi, jangan-jangan saudara
angkat? nya itu hanya sekedar menghiburnya saja, padahal ia
sendiripun tidak berdaya.
Dalam pada itu sekali pukul Yang Go mendesak mundur
Kim Tiok-liu, ejeknya sembari tertawa, "Anak keparat, coba s?
karang kau masih bisa membual tidak?"
Saat itu rembulan tepat di tengah cakrawala, tepat tengah
malam. Diam-diam Kim Tiok-liu menjadi gelisah, pikirnya,
"Jangan-jangan Kang-suheng terhalang apa-apa di tengah
jalan, jika beliau tidak lekas datang tentu kami bisa celaka..."
Belum lagi lenyap suara tertawa Yang Go tadi, tiba-tiba dari
balik batu karang di depan Pit-mo-khe situ muncul seorang
dan berseru dengan suara lantang, "Silakan kalian semua
berhenti bertempur. Yang-siansing, Auwyang-siansing, kalian
berdua adalah angkatan tua dari Bu-lim, mengapa membikin
susah kedua anak muda ini" Jika ada urusan apa-apa silakan
bicara saja dengan aku orang she Kang ini. Aku menjamin
pasti akan memberi keadilan bagi kalian."
Munculnya Kang Hay-thian secara mendadak tidak saja
membikin tertegun Yang Go dan Auwyang Kian, sebaliknya di
antara begundalnya cuma terbatas dua-tiga orang saja yang
kenal Kang Hay-thian, yang lain-lain tanpa menunggu perintah
segera menghamburkan senjata rahasia ketika melihat dari
balik karang sana mendadak muncul seorang musuh baru.
Kang Hay-thian seperti tidak menghiraukan serangan itu,
dia masih terus bicara sembari tangannya meraup sekenanya
pada batu karang, waktu ia meremas, seketika tangannya
bertambah segenggam batu kerikil yang terus ditebarkan
secara tak acuh.
Maka terdengarlah suara "crang-cring" yang riuh, macammacam
senjata rahasia itu dibentur jatuh semua oleh batubatu
kerikil itu. Yang hebat adalah senjata-senjata rahasia itu
tepat jatuh kembali di depan para pemiliknya. Dengan
kepandaian Kang Hay-thian yang tiada bandingannya ini,
biarpun orang yang paling tolol juga tahu Kang Hay-thian
sengaja bermurah hati dan tidak mau membikin celaka lawanlawannya.
Dan baru sekarang para bandit itu mengetahui bahwa
pendatang itu adalah Kang Hay-thian. Sebagai jago nomor
satu yang diakui sah oleh dunia persilatan, siapa lagi yang
tidak tahu akan namanya" Maka hati semua orang lantas
kuncup seketika. Hanya Auwyang Kian yang saat itu sedang
melancarkan serangan maut ke arah Li Lam-sing, seketika
sukar ditarik kembali lagi.
Angin pukulan Auwyang Kian yang terpancar dengan
dahsyat dan maha panas itu mendadak terasa terbentur oleh
angin kencang. Ternyata Kang Hay-thian sudah mengadang di
tengah mereka dengan mengebaskan lengan bajunya,
seketika tenaga pukulan Auwyang Kian yang dahsyat dan
panas itu hilang sirna tanpa bekas, keruan ia terkejut dan
lekas menarik kembali tangannya.
Li Lam-sing mestinya lagi sesak napas dan merasa panas
seperti dipanggang, sekarang merasa angin segar berkesiur,
badan lantas nyaman dan semangat terbangkit kembali.
"Syukurlah kalian berdua tidak ada yang cidera, harap
memandang diriku, marilah kita bicara secara baik-baik jika
ada persoalan," kata Kang Hay-thian dengan tersenyum.
Mendengar ucapan Kang Hay-thian yang ramah itu,
Auwyang Kian merasa kebetulan untuk mengundurkan diri
dengan teratur, maka dengan memberi salam ia menjawab,
"Jika Kang-tayhiap yang bicara tentu aku menurut saja."
Diam-diam Lam-sing menjadi heran ketika melihat Kang
Hay-thian juga memakai sebentuk cincin kemala yang sama
dengan miliknya, ia pun heran darimana Kang Hay-thian
mengetahui akan janji pertemuannya malam ini dengan
orang-orang bekas Thian-mo-kau"
Di sebelah lain Yang Go merasa serba salah, dengan kikuk
la berkata, "Sungguh menyesal, sedikit ada urusan ini sampai
membikin susah kepada Kang-tayhiap."
"Sebenarnya ada urusan apa?" tanya Hay-thian.
"Tidak penting, kami cuma ingin mendukung Le-kongtju
menjadi pemimpin kami," dengan wajah merah Yang Go
menutur seperti anak kecil saja. "Namun Le-kongtju tidak mau
sehingga..... sehingga....."
"Sehingga kalian main kekerasan bukan?" sambung Kim
l'iok-Iiu dengan tertawa.
"O, kiranya demikian, sesungguhnya Yang-siansing juga
Ibertujuan baik," ujar Kang Hay-thian. "Tapi setiap manusia
mempunyai cita-cita sendiri, segala sesuatu tidaklah pantas
dipaksakan kepada orang lain. Betul tidak ucapanku ini,
Yangsiansing?"
Mana Yang Go berani membantahnya, terpaksa ia mengiakan
dan mengundurkan diri sesudah memberi hormat lebih
dulu? Dalam sekejap saja kawanan bandit itu sudah lenyap
semua. Segera Kim Tiok-liu maju memberi hormat kepada Kang
Hay-thian, katanya, "Untung Suheng datang tepat pada
waktu? nya."
"Apakah sudah lama kau kenal Le-kongtju ini?" tanyi Haythian.
"Harap Suheng maklum, kami sudah mengangkat saudari
sebelumnya," tutur Tiok-liu. "Cuma baru tadi aku mengetahui
bahwa Li-toako adalah orang yang harus ditemui oleh Suheng
seperti pesan ayah itu."
Dari kata-kata Yang Go tadi, Kang Hay-thian juga mengaJ
tahui asal-usul Li Lam-sing, maka dengan bergelak tertawa in
berkata, "Kalian berdua memang harus karib seperti saudara
se-kandung, sungguh kejadian ini sangatlah kebetulan malah."
Diam-diam Kang Hay-thian juga heran akan kelakuan Sn?
hunya, kalau Li Lam-sing ini adalah putera Le Hok-sing,
mengapa sebelumnya tidak diberitahukan kepada Sute,
bahkan merabfc kin aku merasa heran dan ragu-ragu kepada
siapa yang akan kutemui malam ini.
Tiba-tiba terdengar Li Lam-sing menghela napas dan ber*
kata, "Aku pun sudah paham sekarang, kiranya Kim Si-ih yang
menyuruh kalian datang ke sini."
Kang Hay-thian mengerut kening, pikirnya, "Bicara tentang
angkatan, paling sedikit guruku lebih tinggi dua tingkat da
ripadamu, kau tidak berterima kasih sebaliknya malah
menyebut nama guruku tanpa hormat sedikitpun?"
Kiranya Li Lam-sing sebenarnya she Le, ayahnya adalah Le
Hok-sing, keponakan Le Seng-lam yang pernah dianggap se?
bagai cikal-bakal Thian-mo-kau dulu. Sedangkan Le Seng-laffl
adalah bekas kekasih Kim Si-ih.
Lantaran tak tahu lika-liku hubungan ayahnya dengan
keluarga Le dahulu, maka diam-diam Kim Tiok-liu juga merasa
tidak enak ketika Le Lam-sing menyebut begitu saja nama
ayahnya. Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Ayah telah memberikan
cincin kemala padanya, dari jauh Suheng disuruh datang ke
sini untuk menemuinya pula, ini menandakan ayah juga
sangat mencintai Toako, maka aku pun harus mengikuti
maksud ayah. Mungkin sekali Toako ada salah paham apa-apa
kepada ayah, kelak tentu akan jelas duduknya perkara, buat
apa aku ambil pusing sekarang?"
Begitulah, Kim Tiok-liu memangnya seorang yang
berpikiran luas, sedikit persoalan kecil dengan cepat lantas


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sirna dalam benaknya.
Tan Kong-tjiau memang sudah kenal Kang Hay-thian, maka
menyusul di belakang Li Lam-sing ia pun maju memberi salam
hormat kepada Kang Hay-thian. Dalam pada itu pemimpin Hohud-
si, Su-khong Taysu, juga sudah datang. Rupanya
perginya Kong-tjiau dan Lam-sing telah diketahuinya sehingga
ia pun keluar mencari tahu apa yang terjadi.
Kang Hay-thian dan Su-khong Taysu adalah kenalan lama,
mereka lantas bicara dengan asyiknya. Kong-tjiau dan Tiok-liu
bani pertama kali bertemu, mereka juga banyak
mengutarakan kekaguman masing-masing. Seketika Li Lamsing
menjadi terpencil sendiri tak ada yang mengajak omong.
Tiba-tiba Lam-sing memberi hormat dan berkata, "Kangtayhiap,
banyak terima kasih atas bantuanmu, maafkan
sekarang aku ingin mohon diri dulu."
Dan sebelum Kang Hay-thian menjawab segera ia memutar
tubuh dan berlari pergi.
Kang Hay-thian tercengang, segera ia berkata kepada Kim
Tiok-liu, "Sute, silakan kau mengantar tamu. Kau adalah
sauda-ra-angkatnya, pantas bila kau mengantar
keberangkatannya. Besok pagi kau boleh langsung pulang ke
Ho-hud-si saja."
Di balik ucapannya ini terang ia menghendaki Kim Tiok liu
pergi menanyai Le Lam-sing.
Kim Tiok-Hu juga merasa sangsi, segera ia menyusul pergi.
Ginkangnya jauh di atas Le Lam-sing, agaknya Lam-sing juga
sengaja menunggu dia, maka tidak lama kemudian Tiok-liu
sudah dapat menyusulnya.
"Hiante, aku tahu kau tentu akan menyusul kemari," kata
Lam-sing tertawa sambil menoleh.
"Toako, sungguh aku tidak mengerti....."
"Apakah selamanya ayahmu tak pernah bicara padamu
tentang diriku?"
"Tidak, ayah hanya menyuruh aku membawa sepucuk surat
untuk Suheng dan menyuruh Kang-suheng datang ke sini
untuk menemui kau pada malam Tjap-go-meh ini. Surat
itupun baru kubaca ketika Kang-suheng membukanya. Aku
pun heran seakan-akan ayah sudah lama mengetahui akan
kejadian malam ini."
"Sejak kapan kau meninggalkan rumah?" tanya Lam-sing.
"Sudah lebih lima bulan lamanya." "O, kiranya demikian,
pantas saja!" "Bagaimana dikatakan pantas?"
"Sebab perjanjianku dengan Yang Gc untuk bertemu di
malam Tjap-go-meh ini dilakukan kira-kira setengah tahun
yang lalu. Mesti ayahmu jauh di luar lautan, namun beliau
mempunyai banyak sahabat baik di dunia persilatan
Tionggoan, mungkin sekali sudah lama ia memperoleh berita
tentang perjanjian kami ini."
"Toako, apakah sudah lama kau kenal ayahku"
Mengapa..... mengapa tidak kau katakan padaku
sebelumnya?"
"Setiap satu atau dua tahun, ayahmu tentu berkunjung
satu kali ke rumahku," tutur Lam-sing. "Banyak sekali aku
mendapat petunjuknya, lebih-lebih mengenai Lwekang dan
ilmu pedang sejak kecil juga aku sudah belajar dari ayahmu."
Baru sekarang Tiok-liu paham duduknya perkara, pikirnya,
"Pantas di atas Ban-li-tiang-sia tempo hari waktu aku
memainkan ilmu pedang dan Toako memetik kecapi, dia
punya irama kecapi dapat diselaraskan benar dengan gerak
ilmu pedangku. Jika demikian, biarpun tidak resmi dengan
upacara segala ia pun terhitung anak didik ayahku. Tapi
mengapa dalam ucapannya igaknya rada-rada tidak puas
terhadap ayah?"
Walaupun hatinya sangsi, tapi tidak enak baginya untuk
bertanya terang-terangan kepada Le Lam-sing. Di luar dugaan
bendadak Lam-sing mendahului bicara.
> "Ayahmu memandang aku sebagai anaknya sendiri, sejak
kecil aku pun mendapat kasih sayang ayahmu, sungguh aku
merasa berhutang budi. Hanya saja ada sesuatu urusan yang
masih mengganjal di dalam hati sehingga ucapanku tadi rada
kasar terhadap ayahmu. Untuk ini harap Hiante sudi memberi
maaf." Setelah mengakui kesalahannya dan minta maaf, mau-takmau
rasa kurang senang Kim Tiok-liu tadi juga lantas buyar.
Hanya saja rasa sangsinya masih tetap belum hilang, tanyanya
kemudian, "Urusan apakah yang tetap mengganjal dalam hati
I'oako, ada sangkut-paut apalagi dengan ayahku?"
Le Lam-sing menghela napas, sahurnya, "Urusan sudah
terjadi 30 tahun yang lampau, kaum muda kita buat apa
membicarakannya lagi. Sudahlah, kelak kau pun tidak perlu
bertanya pada ayahmu."
Kiranya selama ini ayah-ibu Le Lam-sing tidak pernah
menceritakan seluk-beluk tentang jalinan asmara Kim Si-ih
dan Le Seng-lam di masa dahulu. Sesudah berada di
Tionggoan, dari beberapa bekas tokoh Thian-mo-kau yang
masih sirik terhadap Kim Si-ih telati didengar cerita-cerita
asmara tentang Kim Si-ih dan Le Seng-lam itu, sudah tentu
banyak dibumbu-bumbui dan menyalahkan pihak Kim Si-ih.
Bahkan kematian Le Seng-lam yang akhirnya membunuh diri.
Jika sebelumnya Le Lam-sing mendengar cerita itu dari
ayah-ibunya tentu tidak mudah baginya untuk percaya kepada
obrolan orang luar. Sekarang dia mengetahui kejadian itu dari
orang lain, tentu saja ia percaya dan hatinya sangat
tersinggung dan menganggap Kim Si-ih yang selama ini
dipujanya itu ternyata seorang yang berdosa terhadap
neneknya. Maka kebaikan Kim Si-ih kepadanya dipandang
sebagai balas jasa dari seorang yang merasa berdosa
terhadap keluarga Le.
Sebagai pemuda yang mudah tergoncang perasaannya,
dengan jalan pikirannya itu, kesan terhadap Kim Si-ih menjadi
berkurang. Cuma keakraban Kim Tiok-liu juga telah
mengharukan perasaannya, kasih sayang Kim Si-ih yang
sudah-sudah juga terbayang olehnya sehingga menimbulkan
rasa menyesal atas ucapannya yang kasar itu.
Begitulah Kim Tiok-liu juga tidak menyinggung lagi urusan
itu, katanya, "Toako, apakah engkau akan pergi begini saja"
Kang-suheng masih ingin bicara dengan kau."
Lam-sing menghela napas, jawabnya, "Nona Su sedang
menderita di Liok-hap-pang, kalau bisa aku ingin punya sayap
agar bisa terbang ke sana untuk menemuinya. Lain hari saja
aku akan berkunjung khusus pada Suhengmu. Sekarang harap
Hiante sudi memintakan maaf kepada Suhengmu dan Tantoako.
Mereka tentu sedang menunggu kau, silakan kembali
saja." Di mulut ia mendesak Kim Tiok-liu kembali, tapi sebenarnya
ia berharap Tiok-liu suka mengiringinya pergi ke Liok-happang.
Cuma ketika di rumah Te Kin tempo hari, Tiok-liu sudah
pernah menolak ajakannya, sebagai seorang yang punya
harga diri Lam-sing tidak mau memohon lagi kepada Kim Tiokliu.
Perasaan Kim Tiok-liu menjadi pilu juga, katanya dengan
hampa, "Baiklah, semoga Toako berhasil dalam segala usaha
dan hidup bahagia dengan Nona Su. Aku akan kembali ke
sana." Belum lagi Kim Tiok-liu melangkah pergi, terdengarlah
suara nyanyian Le Lam-sing dengan lagu asmara yang
mengenangkan kekasih. Waktu Kim Tiok-liu menoleh, hanya
sekejap saja bayangan Le Lam-sing sudah menghilang di balik
pepohonan sana.
Pikir Kim Tiok-liu, "Sedemikian mendalam cinta Toako
terhadap Ang-ing, mana boleh aku merebut kekasih orang" Ai,
selanjurnya aku tak boleh memikirkan Su Ang-ing lagi."
Dalam batin ia melarang pikirannya melayang kepada Su
Ang-ing, tapi bayangan si nona justru lantas timbul dalam
benaknya. Begitulah dengan rasa limbung dirundung asmara Kim Tiokliu
kembali ke Pit-mo-khe, ternyata Kang Hay-thian. Su-fkhong
Taysu dan Tan Kong-tjiau masih berada di situ.
"Kenapa begitu cepat kau sudah kembali?" tanya Kang
kHay-thian. Kong-tjiau juga bertanya, "Mana Le-toako" Dia tidak mau
kembali dengan kau?"
"Sifat orang ini rada-rada aneh," ujar Hay-thian. "Apa mang
telah dibicarakannya kepadamu, Sute?"
Kim Tiok-liu menduga sang Suheng tentu sudah tahu
urusan ini, maka jawabnya, "Dia bilang ada sesuatu urusan
yang mengganjal hatinya, tapi entah urusan ini ada sangkutpaut
apa dengan diri ayah?"
"Tahulah aku," ujar Hay-thian sambil menghela napas.
"Mungkin dia mendengar omongan iseng orang luar sehingga
perasaannya tertekan."
"Omongan iseng apa yang menekan perasaan Toako?"
tanya Tiok-liu heran. "Tentu urusan ini ada hubungannya
dengan keluarga Le, bukan"
"Le-toakomu mungkin ada salah paham terhadap Suhu,
tapi inipun salah ayahmu, kelak tentu dia akan tahu duduknya
perkara," ujar Hay-thian. Sesudah merenung sejenak, akhirnya
ia menyambung, "Baiklah, biar kuceritakan padamu. Apakah
kau tahu apa sebabnya ayahmu menikah pada hari yang sama
dengan mari perkawinanku?"
"Mungkin karena ayah terlambat mengenal ibuku?" tanya
Tiok-liu. "Bukan," sahut Hay-thian. "Justru lantaran seorang wanita
lain, maka Suhu terlambat kawin dengan ibumu selama 20
tahun." Rim Tiok-liu sangat tertarik akan cerita itu, katanya, "Kutaksir
wanita itu tentu anggota keluarga Le. Suko, harap
menceritakan sejelasnya."
"Benar, memangnya wanita itu she Le bernama Seng-lam,"
tutur Hay-thian. "Ayah-ibumu saling kenal lebih dulu daripada
ayahmu mengenal Le Seng-lam. Tapi Le Seng-lam begitu
mencintai ayahmu tanpa mengetahui bahwa sebelumnya
ayah-bun-ianiu sudah saling jatuh hati. Namun begitu ayahibumu
masih belum terikat oleh janji perkawinan. Kemudian
Le Seng-lam dan ayahmu bergabung mengalahkan gembong
iblis Beng Sin-thong, selanjurnya dalam pertandingan di
puncak Thian-san, Le Seng-lam juga mengalahkan ketua
Thian-san-pay, yaitu Tong Hiau-lan sehingga mendapatkan
sebutan tokoh nomor satu di dunia persilatan. Tapi Le Senglam
sendiri juga terluka parah, lantaran terharu akan cinta Le
Seng-lam, ayahmu telah menjadi suami istri semalam dengan
dia." "Mengapa hanya suami-istri semalam?" tanya Tiok-liu
heran. "Ya, sebab pada malam pengantin itulah Le Seng-lam
lantas meninggal dunia, maka resminya saja dia adalah istri
ayahmu, tapi sesungguhnya tidak pernah hidup sebagai
suami-istri. Lantaran itulah ayahmu terlambat 20 tahun baru
kawin dengan ibumu."
Secara ringkas Kang Hay-thian lantas bercerita peristiwaperistiwa
di masa lalu dalam hubungan asmara antara Kim Siih
dan Le Seng-lam, sudah tentu nadanya lebih condong ke
pihak guru dan ibu gurunya, tapi inipun tak bisa menyalahkan
Kang Hay-thian, sebab ia pun tidak tahu bahwa di masa
mudanya, sesungguhnya Kim Si-ih memang benar mencintai
Le Seng-lam. Kim Tiok-liu sampai terkesima mendengarkan cerita itu.
Cerita itu sangat mengharukan dia. Ia mencintai ayahbundanya,
tapi juga simpatik terhadap nasib Le Seng-lam
yang malang itu. Pikirnya, "Cinta bibi Le itu benar-benar maha
suci dan tiada bandingannya. Demi untuk mendapatkan ayah,
dia berusaha dengan segala jalan dan cara. Tapi sesudah
terkabul secara resmi menjadi suami-istri, ia pun tidak sayang
mengorbankan jiwanya sendiri untuk menyempurnakan
perjodohan ayah-ibuku. Sebab bibi Le sudah mengetahui
ayah-ibu sudah saling jatuh hati, demi untuk kebahagiaan
orang yang dicintai dia rela berkorban."
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba hati Tiok-liu tergetar
sendiri, pikirnya pula, "Sekarang aku dan Li-toako serta nona
Su bukankah mempunyai hubungan yang mirip dengan
mereka dahulu" Jika dahulu bibi Le rela mengorbankan diri
untuk kebahagiaan ayah dan ibu, apakah aku juga mesti
berkorban untuk I kebaikan Toako dan nona Su" Namun bibi
Le dahulu sudah mengetahui akan percintaan antara ayah dan
ibu, sebaliknya aku Isekarang belum tahu dengan pasti
apakah Ang-ing juga men-cintai Toako" Jangan-jangan yang
dia penujui adalah diriku, kan urusan bisa runyam malah.
Tidak menjadi soal pengorbananku, kukuatir Toako nanti yang
akan merana bilamana kelak dia mengetahui perkara yang
sebenarnya. Begitu pula sebaliknya jika Toako yang
memerankan kedudukan bibi Le itu, maka selama [hidupku ini
takkan senang. Ai, apa barangkali tragedi angkatan tua akan
terulang lagi sekarang?"
Sampai di sini Tiok-liu tiba-tiba merasa cinta buta seperti Le
Seng-lam itu tidaklah tepat, tapi dimana letak tidak tepat itu ia
sendiripun tak bisa menjelaskan.
Selesai Kang Hay-thian bercerita, tampaknya Tan Kong-1
tjiau juga terkesima mengikuti kisah cinta itu, wajahnya
tampak hampa dan sayu.
Hati Tiok-liu tergerak, "He, Tan-toako seperti juga
mempunyai persoalan batin yang tak terkatakan?"
Dalam pada itu fajar sudah menyingsing, ufuk timur sudah
mulai terang. Kang Hay-thian berkata pula, "Perjalananku ke
sini ini melalui Sedjiang, di sana aku telah menemui Tiok
Siangku. Lukanya sudah hampir sembuh seluruhnya, dia
sedang merencanakan pergerakan serentak bersama pasukan
di Siau-kim-djwan untuk merebut kembali kota Sedjiang. Tapi
pihak Siau kim-djwan sudah dibantu Boh-hoa. Pihak Sedjiang
yang masih kurang tenaga, maka dalam waktu singkat ini aku
akan kembali ke Sedjiang untuk membantu Tiok Siang-hu.
Apakah kau masih ada urusan yang belum diselesaikan di sini,
Sute?" "Di sini boleh dikata sudah beres urusanku." sahut Tiok-liu.
"Hanya di Yangtjiu mungkin aku masih harus menyelesaikan
sesuatu." "Yangtjiu?" Kang Hay-thian menegas. "Bukankah Yangtjiu
adalah tempat markas besar Liok-hap-pang?"
"Benar, yang hendak kutuju justru adalah markas besar
Liok-hap-pang," kata Tiok-liu.
"Kau telah bercekcok dengan Su Pek-to?" tanya Hay-thian.
"Memang aku sudah cekcok dengan Su Pek-to, cuma kepergianku


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke Yangtjiu ini bukanlah untuk bertanding dengan
dia," sahut Tiok-liu dengan tertawa.
Hay-thian merasa lega, katanya kemudian, "Mesti
kepandaian Su Pek-to belum terhitung maha hebat, tapi selain
beberapa tokoh Bu-lim angkatan tua, boleh dikata jarang ada
tandingannya. Apalagi keempat Hiangtju bawahannya juga
memiliki kepandaian tinggi. Kalau kau menyatroni Su Pek-to
seorang diri betapapun aku harus merasa kuatir. Cara
bagaimanakah kau sampai cekcok dengan dia?"
"Aku telah mencuri kado yang akan dia persembahkan
kepada Sat Hok-ting, dalam perjalanan dan di tengah pesta
ulang tahun Sat Hok-ting berturut-turut aku pun pernah
bertarung dua kali dengan dia, untung aku tidak sampai
kecundang."
Padahal sebab utama permusuhan Kim Tiok-liu dan Su Pekto
adalah disebabkan Su Ang-ing. Namun Tiok-liu tidak ingin
namanya disangkutkan dengan Ang-ing maka ia tidak
menceritakan kepada Kang Hay-thian secara jelas.
"Sute cara kau menggoda Su Pek-to juga terlalu nakal,"
ujar Hay-thian dengan tertawa. "Kukira dia pasti takkan terima
begitu saja, mungkin dia yang akan mencari kau untuk bikin
perhitungan, maka kau harus waspada, Yangtjiu adalah
pangkalan- "Aku tidak takut, jika tidak sanggup melawan mereka, kan
aku bisa lari?" sahut Tiok-liu.
"Jika Su Pek-to bukan tujuanmu, lalu untuk urusan apa kau
pergi ke Yangtjiu?"
"Su Pek-to telah mengundang Le-toako untuk menemuinya
( di markasnya, apa maksud tujuannya belum jelas. Karena
aku merasa kuatir, maka ingin ikut pergi ke sana."
"O, jadi diam-diam kau hendak menjadi pengawal Lamsing,
tadi kau mengatakan takkan mencari perkara kepada Su
Pek-to?" "Aku takkan unjuk muka dahulu, tapi bertindak menurut
keadaan. Jika Su Pek-to hendak berbuat sesuatu yang tidak
menguntungkan Le-toako, mungkin terpaksa barulah aku ikut
turun tangan."
"Biasanya janji tentu bukan janji baik, orang Kangouw
macam Su Pek-to bisa punya maksud baik apa?" ujar Kang
Hay-thian. "Cuma, berkorban bagi kepentingan kawan adalah
kewajiban kaum kita. Apalagi kau adalah saudara angkatnya,
maka aku takkan merintangi kepergianmu. Hanya perlu kau
ingat, jangan gegabah, jangan congkak, hati-hati dalam setiap
tindakan. Bisa melawan lantas melawan, tidak unggulan lantas
lari." "Banyak terima kasih atas petunjuk Suheng," sahut Tiok-liu.
"Sekarang juga aku ingin mohon diri."
"Marilah kita pergi bersama, Kim-heng," tiba-tiba Kong-tjiau
buka suara. Tiok-liu melengak dan menegas, "Kau juga akan pergi?"
Meski dia adalah sahabat turun temurun dengan keluarga
Tan, tapi dia baru kenal Kong-tjiau, sedangkan kepergiannya
ini adalah menyangkut urusan Su Ang-ing dengan Le Lamsing.
Sebab itulah ia tidak begitu suka kalau Kong-Tjiau ikut
campur dalam persoalan ini.
Tapi Kong-tjiau lantas menjawab, "Aku juga ada sedikit
persengketaan dengan Liok-hap-pang, yaitu Hwesio jahat di
antara keempat Hiangtju mereka itu pernah terluka oleh
pedangku, sebaliknya aku juga terluka kena senjata
rahasianya."
"Ya, kejadian itu pernah kudengar dari paman Tan," ujar
Tiok-liu. "Apakah kau ingin mencari Wan-hay Hwesio untuk
menuntut balas" Wan-hay sih tidak sukar dilayani, cuma dia
berada di tengah markas Liok-hap-pang, kita tidak enak
membikin kaget mereka. Kecuali terpaksa, sedapat mungkin
kita harus menghindarkan pertarungan di dalam markas besar
mereka. Tan-heng, apakah tidak lebih baik kau menunggu
kesempatan lain untuk menuntut balas?"
"Bukan maksudku harus menuntut balas sekarang," sahut
Kong-tjiau. "Soalnya Le-toako adalah saudara-angkatmu, tapi
dia juga sobatku yang baik. Seperti ucapan Kang-tayhiap tadi,
berkorban bagi teman adalah kewajiban kaum kita. Andaikan
terjadi apa-apa atas diri Le-toako di Yangtjiu, biarpun
kepandai-anku rendah, sedikitnya aku dapat membantunya
menurut kekuatanku."
Kang Hay-thian merenung sejenak, lalu menyela, "Baiklah,
tiada jeleknya kau ikut ke sana. Yangtjiu berdekatan dengan
kediamanmu, kau sekalian dapat pulang menengok orang tua,
ayahmu adalah pemimpin Bu-lim di daerah Kanglam, jika
beliau sudi memberikan perlindungan dalam perjalanan kalian
ke Yangtjiu ini, tentu segala urusan menjadi mudah
diselesaikan."
"Tapi aku bermaksud pergi ke Yangtjiu lebih dulu baru
kemudian pulang ke rumah," kata Kong-tjiau. "Jika ada urusan
apa-apa di Yangtjiu, tidaklah sukar bagiku untuk minta
bantuan orang Kay-pang menyampaikan berita kepada
ayahku." "Kalian ternyata sangat simpatik terhadap urusan teman,"
puji Hay-thian tertawa. "Baiklah, jika demikian urusan menjadi
beres. Bolehlah kalian berangkat."
Walaupun semula Kim Tiok-liu enggan pergi bersama Tan
Kong-tjiau, tapi melihat sikap simpatiknya, pula Kang Haythian
sudah setuju, maka ia pun tidak enak untuk menolak.
Usia mereka pun sebaya, orang muda memang paling
gampang bersahabat, apalagi mereka adalah teman keluarga
turun temurun, ma-ika sesudah berkenalan, dengan cepat
mereka menjadi akrab seperti teman lama.
Begitulah sepanjang jalan mereka bicara dengan sangat co-
Icok satu sama lain. Menyinggung tentang urusan undangan
Su Pek-to kepada Le Lam-sing, tiba-tiba Kong-tjiau tertawa
dan berkata, "Su Pek-to dalam kedudukannya sebagai musuh
kalian, tapi Le-toako sudi menerima undangannya, menurut
taksiranku mungkin bukan disebabkan undangan Su Pek-to
itu, tapi karena adik perempuannya."
Kim Tiok-liu melenggak, tanyanya kemudian, "Apakah Letoako
telah menceritakan hal itu padamu?"
"Dia, tidak bicara apa-apa kepadaku," sahut Kong-tjiau.
"Tapi dari igauannya aku sudah dapat menerka beberapa
bagian. Kau tidak tahu bahwa waktu dia tak sadarkan diri
lantaran lupanya tempo hari, semalaman dia terus
mengigaukan namamu dan nona Su, tadinya aku tidak paham
sehingga salah sangka malah."
Setelah Kong-tjiau menuturkan kejadian tempo hari, Kim
Tiok-liu bergelak tertawa, pikirnya, "Kiranya di dalam hati Le-
Joako kedudukanku diletakkan sejajar dengan Ang-ing.
Walaupun dalam keadaan tak sadar toh dia tidak pernah
melupakan diriku."
Begitulah Tiok-liu merasa sangat berterima kasih terhadap
jiwa Le Lam-sing yang sangat mengutamakan cinta sahabat
itu. Kemudian Tan Kong-tjiau berkata pula, "Le-toako sangat
itnemuji nona Su dengan penuh kekaguman. Sebab itulah
biarpun dia tidak bicara terang-terangan juga aku dapat
menerka mereka (pasti ada hubungan yang mesra.
Keberangkatan Le-toako ke Yangtjiu ini tentu adalah
disebabkan nona Su. Apakah nona Su benar-benar begitu baik
sebagaimana dikatakan oleh Le-toako?"
"Nona Su memang benar-benar seorang pahlawan wanita
Sejati, terkaanmu juga betul, kepergian Le-toako ke sana
mungkin juga untuk urusan perjodohannya," ujar Tiok-liu.
"Ah, kiranya begitu," kata Kong-tjiau. "Aku menjadi rada
kuatir, sebab sekarang Su Pek-to lagi ingin melambaikan
dirinya kepada kerajaan, mana dia mau menjodohkan adik
perempuannya kepada kaum kita. Ah, jangan-jangan Le-toako
akan masuk perangkapnya."
"Le-toako juga sudah memikirkan akan kemungkinan
demikian," kata Tiok-liu.
"Lha kenapa dia pergi juga ke sana?"
"Cinta. Demi cintanya biarpun lautan api juga ia akan
terjun." "Ai, memang cinta adalah se> uatu yang ajaib. Le-toako
memang tak bisa dipersalahkan," kata Kong-tjiau sambil
menghela napas.
Tiok-liu menjadi heran, jangan-jangan Kong-tjiau juga
sedang risau oleh karena soal cinta" Segera ia bertanya, "Tantoako,
apakah kau sudah mempunyai kekasih?"
"Bicara terus terang, memang aku pernah kenal seorang
nona dan ada hubungan yang cukup mesra, cuma hal ini
sudah lampau, ai, lebih baik tidak dibicarakan lagi," tutur
Kong-tjiau dengan lesu.
Kim Tiok-liu menjadi terharu, katanya kemudian, "Yang
sudah lalu anggaplah tak pernah terjadi. Urusan yang
membuat masgul tak perlu kita bicarakan lagi, marilah kita
omong-omong hal yang menarik saja."
Begitulah kedua orang yang sama-sama mempunyai
perasaan berat itu lantas mengganti pokok percakapan,
sementara ini mereka mengesampingkan hal-hal yang tidak
menyenangkan itu dan melanjutkan perjalanan ke selatan.
Suatu hari mereka sampai di kota Tjelam, mestinya mereka
dapat meneruskan perjalanan karena sang surya masih cukup
tinggi tergantung di ufuk barat, tapi Kim Tiok-liu mengajak
bermalam saja di dalam kota.
"Apakah kau kenal pemimpin cabang Kay-pang di kota ini
yang bernama Ong Thay?" tanya Kong-tjiau.
Ong Thay juga hadir pada hari Kang-suheng mengawinkan
putrinya tempo hari, walau kami tidak pasang omong, tapi
kenal mukanya," sahut Tiok-liu. "Apakah maksudmu hendak
bermalam di tempat Kay-pang?"
"Aku justru kuatir kurang bebas jika kita bermalam di
sana," ujar Kong-tjiau. "Maksudmu hendak mengadakan
kontak dengan Kay-pang, sebab Kay-pang juga punya cabang
di Yang-tjiu, kita dapat minta bantuan mereka agar
mengirimkan berita merpati ke sana untuk ikut mencari kabar
Le-toako. Dengan demikian setiba kita di Yangtjiu, akan
segera diketahui pula apakah Le-toako sudah sampai atau
belum" Selain itu sekalian kita dapat mencari berita keadaan
Liok-hap-pang."
"Baiklah, urusan ini serahkan saja padaku," kata Tiok-liu.
"Marilah kita mencari penginapan dulu, lalu aku akan pergi ke
Kay-pang. Nanti malam kita dapat pesiar ke danau." "Kau
begitu riang tampaknya," ujar Kong-tjiau. "Dahulu aku sudah
pesiar ke danau itu dan mengalami kejadian yang
menggagalkan tujuanku, maka malam nanti aku harus
menikmati keindahan danau itu sepuas-puasnya," ujar Tiok-liu
tertawa. "O, kejadian apakah" Belum pernah kau ceritakan padaku."
"Di kota Tjelam sini ada keluarga Perdana Menteri she Tjo,
kau kenal tidak?"
"Ya, maksudmu keluarga Tjo Tjin-yong tentunya, Perdana
Menteri dorna dan penjilat, tapi apa sangkut-pautnya
pembesar itu dengan kau?"
"Dia punya seorang putera yang tinggal di kampung
halamannya sini dan melakukan macam-macam kejahatan.
Ketika aku pesiar di danau waktu itu, aku telah memergoki
puteranya."
"Memergoki dia dalam urusan apa?"
"Hari itu ada dua orang ayah-anak pengamen di tepi
danau, |anak perempuan pengamen itu lumayan parasnya.
Tjo-kongtju itu mengincarnya dan menyuruh orang-orangnya
hendak menculik nona pengamen itu. Kebetulan kupergoki
bersama kawan Kangouw yang juga berada di situ, kawan itu
adalah Hiangtju Ang-eng-hwe, namanya Kiong Peng-hoan.
Bersama dia kami menyelamatkan ayah-anak pengamen itu
dan memberi hajaran setimpal kepada putera kesayangan Tjo
Tjin-yong itu."
"Ah, kan berlebih-lebihan kekuatan kalian berdua?" ujar
Kong-tjiau dengan tertawa, sebab ia pun cukup kenal nama
Kiong Peng-hoan.
"Kalau tidak dibantu Kiong Per?-hoan waktu itu, mungkin
aku sendiri tidak sanggup melayani mereka."
"Memangnya Tjo-toasiauya ini mempunyai anak buah yang
lihai?" tanya Kong-tjiau heran.
"Kedua orang pengawalnya ternyata bukan sembarang orang,"
tutur Tiok-liu. "Yang seorang adalah murid murtad
Siau-lim-si, namanya Peng Ki-yong dan seorang lagi bernama
Lian Sing-hou, jago Tiam-hiat yang termashur."
"Sayang, sungguh sayang. Sampai-sampai dua tokoh begitupun
terima merendahkan diri dan mau menghamba kepada
keluarga penguasa jahat."
"Dan kedua ayah-anak pengamen itu sesungguhnya juga
bukan orang Kangouw biasa."
"Siapakah mereka?" Kong-tjiau menegas.
"Ho Kian-hiong dan puterinya yang bernama Ho Djay-hong.
Pernah kau dengar nama mereka?"
"Ho Djay-hong" Ah, dia adalah tunangan seorang
temanku." "O, kiranya kau juga berkawan dengan Li Tun. Apakah kau
mengetahui keadaannya sekarang?"
"Tiga bulan yang lalu, pernah aku bertemu dengannya
ketika dia hendak pergi menggabungkan diri dengan pasukan
pergerakan di Sedjiang."
Setelah masuk kota Tjelam, Kim Tiok-liu lantas mendekati
hotel yang dahulu pernah ditinggalinya itu. Baru tiba di depan
pintu tahu-tahu pemilik hotel sudah memapaknya.
Dengan tertawa Tiok-liu berkata, "Tampaknya ingatanmu l
sangat baik dan masih kenal aku seakan-akan mengetahui
sebe-llumnya akan kedatanganku."
"Kami menyambut dengan senang akan kedatangan tuan,"
sahut pemilik hotel. "Tuan yang ini tentunya Tan-siangkong
bu-Ucan?" "Darimana kau mendapat tahu?" tanya Tiok-liu heran.
"Sudah ada orang memesan kamar bagi tuan-tuan," sahut
pemilik hotel. Keruan Kim Tiok-liu tambah heran, "Siapakah yang memesankan
kamar bagi kami?"
Namun pemilik hotel menerangkan tidak tahu, sebab yang -
datang hanya seorang pesuruh dengan meninggalkan sebuah
ko-tak ucapan selamat.
Tiok-liu menjadi sangsi jangan-jangan orang keluarga Tjo
[yang telah mengetahui akan kedatangannya. Mereka lantas


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

me-Biuju ke kamar yang telah disediakan, benar juga di atas
meja tampak sebuah kotak penghormatan. Kim Tiok-liu tidak
lantas membuka kotak itu, tapi ia minta agar pemilik hotel
menyediakan daharan.
"Semua biaya sudah dibayar dulu oleh pemesan kamar ini
Wan kami sudah menyediakan satu meja perjamuan bagi
tuan-tuan, sesudah tuan-tuan cuci muka segera kami siapkan
daharan tersebut," tutur pemilik hotel. Rupanya orang yang
memesan jkamar itu bahkan sudah meninggalkan uang hotel
dan makan untuk beberapa hari lamanya bagi Tiok-liu berdua.
Sesudah pemilik hotel meninggalkan kamar, Kong-tjiau
lantas menutup pintu kamar dan berkata, "Kim-heng, apakah
kau mengetahui siapa gerangan yang memesan kamar bagi
kita itu?"
"Aku pun tidak tahu, hanya untuk tidak membikin curiga
juragan hotel, maka aku pura-pura sudah tahu," sahut Tiok-liu
prtawa. "Baiklah, sekarang kita bongkar teka-teki ini."
"Nanti dulu, berjagalah kalau-kalau kotak ini ada apaapanya,
kita harus berhati-hati," kata Kong-tjiau.
"Benar, biarlah kita membukanya tanpa menyentuh
kotaknya," sahut Tiok-liu sembari melolos pedang. Dari jarak
beberapa langkah ia menabas kotaknya dan tepat mengenai
garis tu- I tup kotak itu sehingga terbuka.
Ternyata tiada sesuatu perangkap apa-apa di dalam kotak
itu, dengan rasa lega Kong-tjiau berkata, "Kim-heng, hebat
be- ] nar gerak pedangmu membuka tutup kotak tadi."
Waktu Tiok-liu mengambil sehelai kartu merah di dalam
kotak itu, di atas kartu tertulis kalimat, "Petang nanti
menantikan kunjunganmu di danau." Gaya tulisannya cukup
indah. "Menarik juga kawan ini, seperti sudah mengetahui akan
minatku akan pesiar ke danau," ujar Tiok-liu dengan tertawa.
Sebaliknya Tan Kong-tjiau menampilkan rasa sangsi dan
mengamat-amati kartu undangan itu dengan cermat, katanya
kemudian, "Entah sebab apa dia main teka-teki begini" Kimheng
I apakah malam ini kita akan ke sana?"
"Tentu saja," sahut Tiok-liu. "Orang telah memesankan
kamar hotel dan makanan bagi kita, sepantasnya kita mesti
menemui tuan rumahnya."
"Kau tidak kuatir akan kemungkinan diganggu oleh putera
Tjo Tjin-yong itu?" tanya Kong-tjiau.
"Tempo hari dia menggagalkan hasratku pesiar, jika
Rahasia Ciok Kwan Im 4 Pendekar Riang Karya Khu Lung Pendekar Pemetik Harpa 33
^