Pendekar Pemetik Harpa 33

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 33


ka In 1954 San pasang kuping, pikirnya: "Untung kami sudah punya Hosiu-
oh, jadi tidak perlu cari tabib segala."
Tak lama kemudian mereka sudah tiba di bawah gunung.
Setelah menempuh perjalanan sejauh ini, dengan bekal lukalukanya
yang parah lagi, mau tidak mau keadaan Tan Cioksing
agak payah juga, Mereka langsung masuk hutan, setelah
istirahat lalu makan rangsum. Bekal itupun pemberian Buyung
Ka. Setelah makan, agak pulih semangat Tan Ciok-sing,
katanya: "Aku jadi sayang untuk makan Ho-siu-oh ini."
"Toako, meski Lwekangmu tangguh, tapi keadaanmu tak
bisa terus bertahan dengan Lwekang melulu, jangan lupa kita
masih harus pergi ke Thian-san."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Aku tidak mengatakan
tidak mau makan,. Buyung Ka bermaksud baik, kalau tidak
kumakan berani mengabaikan maksud baiknya Aku hanya
merasa sayang bila setangkai Ho-siu-oh ini harus kumakan."
Sambil berkata dengan pedang dia mengiris kecil-kecil
beberapa keping terus ditelannya
"Hanya sedikit saja, mana bisa membawa kasiat nyata?"
"Kau tidak tahu, Ho-siu-oh yang sudah terbentuk kasiatnya
dapal menghidupkan orang yang tampil mati, aku punya dasar
lwekang sedikit juga sudah berkelebihan. Sisanya yang lebih
besar ini disimpan untuk keperluan kelak saja."
"Coba kau makan lagi seiris saja." Pinta In San.
Segan menolak maksud baik In San, terpaksa Ciok-sing
makan satu iris lagi. Sisanya dia serahkan kepada In San
untuk disimpan.
In San menghela napas, katanya: "Sungguh tak nyana di
Watsu kita bisa berkenalan dengan banyak teman, Buyung Ka
betul-betul orang baik diluar dugaanku."
1955 Tiba-tiba dilihatnya alis Tan Ciok-sing berkerut, seperti
menahan sesuatu penderitaan, In San kaget, katanya: "Toako,
kenapa?" "Tidak apa-apa." Ujar Tan Ciok-sing, lekas dia kerahkan
hawa murni lalu menarik napas panjang, katanya: "Kurasa
agak aneh."
"Apanya yang aneh?" tanya In San gelisah.
"Ho-siu-oh biasanya pahit, tapi yang satu ini kenapa
rasanya manis?"
"Mungkin Ho-siu-oh yang sudah jadi rasanya beda dengan
yang setengah matang."
Obat mujarab pahit menguntungkan si penderita. Terasa
oleh Ciok-sing bahwa rasa obat agak ganjil, semula dia sudah
curiga, tapi dia tidak ingin memberitahu kepada In San,
supaya orang tidak kuatir. Tapi sekarang dia sudah tidak
tahan lagi, terpaksa bicara sejujurnya. "Rasanya seperti habis
minum arak saja, aku mabuk."
In San tidak tahu mungkinkah obatnya sudah mulai
bekerja, katanya: "Bagaimana bisa demikian" Coba kau
pusatkan hawa murni kedalam pusar."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba dilihatnya wajah Ciok-sing
berobah hebat, ternyata isi perutnya mendadak sakit bukan
kepalang seperti diiris, ditusuk dan entah diapakan lagi, yang
terang dia menjungkir sambil menahan sakit.
Sudah tentu kejut In San bukan main, lekas dia pegang
kedua lengannya terus bantu menyalurkan hawa murni ke
tubuhnya. Untung Tan Ciok-sing telah meyakinkan Lwekang
ajaran Thio Tan-hong, sesaat kemudian rasa sakitnya mulai
mereda. "Kurasa Ho-siu-oh itu bukan barang tulen, kau buang saja."
Desis Tan Ciok-sing dengan keringat dingin membasahi jidat.
1956 "Maksudmu Ho-siu-oh ini beracun?" Teriak ln San tersirap.
"Obat ini pemberian Jenderal Abu, semestinya tidak beracun.
Tapi setelah kumakan, keadaanku semakin parah malah, aku
tidak habis mengerti apa sebabnya. Lebih baik kita hati-hati,
buang saja dari pada mencelakai orang lain."
"Sementara akan kusimpan, bila betul ada racunnya, bisa
kujadikan barang bukti. Tapi aku yakin Ciangkun tidak akan
mencelakaimu, kukira urusan agak ganjil dan perlu
diperhatikan, kita pasti dapat membongkar kejadian ini.
Toako, bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Sementara mungkin aku tidak bisa berangkat, entah tiga
hari atau lima hari, kita tidak perlu pikirkan perjalanan yang
tertunda ini."
In San memapahnya masuk kedalam hutan, terasa langkah
Tan Ciok-sing amat berat dan kakinya susah bergerak, meski
dia berusaha berbuat sebaik mungkin, tapi In San tahu racun
yang bersemayam dalam tubuhnya teramat parah. Seorang
jago kosen yang memiliki Lwekang tinggi sudah sempurna
lagi, tidak mungkin tidak mampu berjalan meski dalam
keadaan luka parah atau terkena racun. Sambil memapahnya,
setiap langkah perasaan In San semakin berat.
Akhirnya Tan Ciok-sing duduk bersimpuh, tak lama
kemudian asap putih mengepul di atas kepalanya Melihat dia
masih mampu mengerahkan Lwekang, sedikit lega hati In San.
Selesai samadi, pakaian Ciok-sing dan In San sudah basah
kuyup. Teramat besar perhatian In San, sehingga dia selalu
mencucurkan keringat dingin.
"Aku agak dahaga, carikan minum," Kata Tan Ciok-sing.
"Baiklah, akan kucarikan air. Bila menghadapi bahaya, kau
lepas panah berasap." Panah itu bisa memancarkan sinar biru
berasap putih, setelah meledak memancarkan kembang api
yang indah warnanya.
1957 "Jangan kuatir, musim dingin, binatang liar jarang keluar,
ada Pek-hong-kiam untuk membela diri, binatang kecil masih
bisa aku melayani."
Setelah In San pergi, Ciok-sing mulai bersamadi pula.
Makin lama makin terasa adanya gejala-gejala yang tidak
beres. Bukan karena pengerahan Lwekang tiada manfaatnya,
tapi setahap dia lebih mendalami bahwa racun yang
mengeram dalam tubuhnya jauh lebih hebat dan keadaannya
lebih parah dari dugaannya semula.
Sesuai ajaran Lwekang Thio Tan-hong dia menghimpun
hawa murni kedalam pusar tiba-tiba jantungnya melonjak
keras sekali, seperti denyut kaget karena ditusuk benda tajam,
sehingga hawa murni yang dihimpunnya susah payah buyar
seperti tanggul yang jebol sehingga air bah melanda keluar.
Terpaksa diulang dari permulaan, syukur tenaga dapat
dihimpun dua bagian, tak lama kemudian denyut kaget pada
jantungnya terulang lagi. Demikian berulang kali, belum penuh
sudah bobol, hawa murni yang dikumpulkan selalu tidak
berhasil, sehingga dia tidak mampu bantu menyembuhkan
luka-luka sendiri melalui penyaluran Lwekang murninya.
Dengan tangan kiri dia periksa denyut nadi tangan kanan
sendiri, terasa denyut nadinya berbeda dengan biasanya,
kadang-kadang kasar cepat, tiba-tiba lembut perlahan, cepat
dan lambat terus bergantian, jadi boleh dikata kacau balau,
tidak karuan. Dari sini dapatlah dia menyimpulkan bahwa
kadar racun telah meresap ke jantung dan paru-paru, bukan
saja aliran darah, racun sudah masuk ke tulang pula.
Mengkirik sendiri Tan Ciok-sing membayangkan keadaan
dirinya, pikirnya: "Aku mati tidak jadi soal, pesan guru harus
kulaksanakan." Seperti diketahui sebelum ajal Thio Tan-hong
ada memberi pesan kepadanya, supaya ilmu ciptaannya di hari
tua diserahkan kepada muridnya yang terbesar yaitu Toh
Thian-tok Ciangbunjin Thian-san-pay yang sekarang. Keadaan
1958 Tan Ciok-sing separah ini, untuk berjalan saja tidak bisa,
bagaimana dia bisa pergi ke Thian-san"
Satu hal lagi yang menguatirkan, In San sudah berjanji
sehidup semati dengan dirinya bila dirinya akhirnya
meninggal, meski semasa masih hidup dia memberi pesan,
melarang In San memburu jejaknya ke alam baka, mungkin In
San tidak mau menurut.
Tiba-tiba dia teringat didalam ajaran Hian-kang-yau-kek
ciptaan gurunya itu ada sejenis ilmu yang dinamakan Tay-ciuthian-
to-nah, dengan ilmu ini orang dapat menghimpun dan
mengumpulkan kadar racun di tubuh manusia di satu tempat
yang terisolir, untuk sementara racun tidak akan bekerja,
kelak masih ada kesempatan untuk berusaha menawarkannya.
Tapi menempuh cara ini harus, menyerempet bahaya. Karena
kadar racun yang terkumpul di suatu tempat kadarnya akan
bertambah besar dan ganas, bukan saja waktu bekerjanya
bisa lebih cepat, kumatnya juga sukar diduga, malah begitu
kumat jiwa pasti melayang seketika.
Diam-diam Tan Ciok-sing menepekur, apakah perlu dia
menggunakan Tay-ciu-thian-to-nah, dengan bekal Lwekang
yang dimilikinya sekarang, kira-kira dia masih kuat bertahan
setahun lamanya, sebaliknya bila menggunakan ajaran
Lwekang itu, dia belum mampu menyalurkan kadar racun
pada suatu tempat yang terisolir, maka sembarang waktu
kadar racun bakal meledak, itu berarti jiwa akan segera
melayang. Tapi ada baiknya, karena untuk sementara
kekuatannya akan pulih sebagian, "asal aku bisa hidup
sebulan saja, aku sudah bisa mencapai Thian-san." Demikian
pikir Tan Ciok-sing.
"Terpaksa aku harus mengelabui adik San, supaya dia tidak
ikut kuatir akan keselamatanku. Cepat atau lambat juga pasti
mati. Budi guru setinggi gunung, bila aku berhasil menunaikan
tugas peninggalan guru, matipun aku bisa meram." Akhirnya
1959 Tan Ciok-sing ambil keputusan mencoba cara menghimpun
racun pada tempat yang terisolir dengan menentang bahaya.
Diluar tahu Tan Ciok-sing, saat mana In San pun punya
pendirian dan pikiran yang serupa. Nasib ln San yang mencari
air ternyata cukup mujur, tidak jauh menuju ke arah utara,
tiba-tiba didengarnya gemericik air. Lekas dia berlari ke arah
selokan gunung.
Tiba-tiba didengarnya teriakan bocah kecil: "Kakek, lekas
kemari, aku berhasil mengeduk mustika." Bahasa Mongol yang
dipelajari In San jauh lebih banyak dibanding Tan Ciok-sing,
maka dia bisa menangkap arti pembicaraan orang Mongol.
Tampak seorang berperawakan besar berlari-lari
mendatangi, tanyanya dengan tertawa: "Gembar gembor, kau
menemukan mustika apa?"
Anak itu berkata: "Kek, coba lihat. Akar ini mirip orok kecil.
Kek, aku masih ingat kau pernah bilang Jin-som dan Ho-siu-oh
bentuknya mirip orok kecil, coba kau periksa ini Jin-som atau
Ho-siu-oh?" Umpama bukan, pasti sejenis obat mujarab?"
Agaknya bocah itu sering ikut kakeknya naik gunung mencari
obat, sekarang mereka sedang cari obat dalam hutan ini.
Kaget dan senang hati In San, katanya: "Mungkin orang
inilah tabib yang dikata mengasingkan diri di gunung ini"
Bahan obat yang ditemukan bocah itu entah mirip tidak
dengan Ho-siu-oh dalam kantongku?"
Baru saja In San hendak mengunjuk diri, tiba-tiba
didengarnya orang tua itu berteriak gugup: "He, lekas buang,
ini bukan obat mujarab atau barang mustika, inilah racun
jahat yang bisa mencelakai jiwa orang."
Kaget In San bukan main, lekas dia memburu ke arah
mereka. 1960 Sementara itu si bocah sedang mencuci Ho-siu-oh itu
didalam selokan, walau kakeknya bilang benda itu beracun,
tapi dia masih merasa sayang untuk membuangnya.
Orang itu kaget, tanyanya: "Nona muda, dari mana kau
datang?" Maklum sudah lama dia semayam di atas
pegunungan, orang Mongol pun jarang dijumpai, apalagi In
San adalah gadis belia bangsa Han" Agaknya dia melihat In
San adalah orang Han, maka hatinya makin heran.
Tak nyana In San jauh lebih kaget dari dia, tanpa hiraukan
pertanyaan, langsung dia berkata kepada si bocah: "Engkoh
kecil, coba kau berikan Ho-siu-oh itu kepadaku."
Mendengar In San menyebut Ho-siu-oh, si bocah jadi
bingung, dia tidak tahu perkataannya yang benar atau
perintah ayahnya yang keliru, segera dia sembunyikan Ho-siuoh
itu di belakang tubuhnya, serunya: "Kau mau menipu,
memangnya aku mudah kau tipu. Aku yang menemukan
mustika ini, kenapa harus kuberikan padamu." Demikian kata
si bocah dengan mendelik.
"Aku tidak akan merebut mustikamu, coba lihat aku juga
punya setangkai, akan kucocokkan apakah mirip mustikamu
itu." Demikian kata In San. Segera dia merogoh saku
keluarkan Ho-siu-oh itu diacungkan ke depan si bocah, melihat
Ho-siu-oh di tangan In San lebih gede, baru si bocah mau
menyerahkan, katanya: "Aneh, ternyata mirip. Mungkin
milikmu ini lebih tua, punyaku masih muda." Ternyata Ho-siuoh
di tangan In San sepanjang satu kaki sementara yang
dipegang si bocah kira-kira delapan dim.
Baru saja si bocah ulur tangan mau terima Ho-siu-oh dari
tangan In San, tiba-tiba orang tua itu menyela: "Berikan
kepadaku," hanya sekilas dia periksa Ho-siu-oh yang diterima
dari In San, mendadak dia pegang pergelangan tangan In
San. 1961 In San kaget, teriaknya: "Kau mau apa?" Tapi dia lantas
tahu bahwa orang ini tidak bisa silat, dilihatnya pula maksud
orang tidak jahat, maka dia tidak kerahkan tenaga meronta.
Orang tua itu menghela napas lega, katanya melepas
tangan In San: "Tok-ing-ji milikmu ini pernah digigit siapa?" In
San baru tahu bahwa orang memeriksa nadinya karena
menyangka dirinya keracunan, padahal keadaan In San
normal saja, maka dia tanya demikian.
In San tersirap, teriaknya melengking: "Apa, apa katamu"
Ini bukan Ho-siu-oh" Jadi, jadi..."
"Inilah Tok-ing-ji (orok beracun)." Kata orang itu,
"bentuknya memang hampir mirip Ho-siu-oh, tapi kadar
obatnya justru berlawanan, kalau Ho-siu-oh dapat
menyembuhkan orang yang sudah hampir mati, sebaliknya
Tok-ing-ji adalah benda beracun yang paling jahat di dunia
ini." Ternyata Buyung Ka memang sudah berintrik dengan Yuhian-
ong untuk melukai jiwa Tan Ciok-sing. Ho-siu-oh yang
asli mereka tukar dengan Tok-ing-ji yang beracun, sehingga
Tan Ciok-sing benar-benar keracunan.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang yang memberi laporan gelap di tempat kediaman Yuhian-
ong yang dicuri dengar oleh puteranya memang bukan
lain adalah Buyung Ka.
Dalam rencana, Yu-hian-ong menganjurkan Buyung Ka
menjadi orang baik untuk menarik simpati dan kepercayaan
Tan Ciok-sing, di belakang rencana ini Yu-hian-ong sendiri
memang punya perhitungan jangka panjang. Waktu mengatur
tipu daya ini sebetulnya Yu-hian-ong dan Buyung Ka tidak
yakin muslihatnya bakal berhasil membunuh Tan Ciok-sing.
Tapi kalau menggunakan cara yang satu ini, jiwa Ciok-sing
jelas takkan bisa diselamatkan lagi. Dia mati di tengah jalan,
Jendral Abu dan anaknya tidak akan tahu, malah harus
1962 berterima kasih kepada Buyung Ka yang telah menolong
sahabat mereka.
Rencana mereka memang sempurna, jangan kata Tan Cioksing,
ln San yang semula mencurigai Buyung Ka pun akhirnya
kena dikelabui.
Sayang In San tahu setelah terlambat. Tak tertahan air
matanya bercucuran, tanyanya kepada orang itu: "Apakah
Tok-ing-ji ada penawarnya?"
Orang itu geleng-geleng kepala, sahutnya: "Tiada obat
penawarnya."
Gelap pandangan In San, tubuhnya sempoyongan. Lekas
orang itu memapahnya, tanyanya: "Siapa yang makan racun
ini" Lekas kau pulang..." Melihat keadaan In San, dia duga
yang minum racun tentu sanak familinya. Maksudnya suruh
dia lekas pulang mengurus penguburannya, cuma tidak tega
dia mengucapkannya!
Dengan air mata berlinang tiba-tiba In San menjatuhkan
diri berlutut dan menyembah.
Lekas orang itu memapahnya, katanya: "Nona, apa yang
kau lakukan, lekas bangun, lekas bangun."
Sudah tentu orang itu tidak mampu menarik bangun ln
San, beruntun In San menyembah tiga kali, katanya: "Mohon
kau orang tua suka menolong jiwa engkohku, dia terluka
parah, karena tidak tahu, Tok-ing-ji ini dia makan dua keping."
Karena tidak mampu menarik In San, orang itu kaget, tiba
tiba timbul rasa curiganya, katanya: "Darimana kau tahu kalau
aku bisa mengobati, siapa suruh kau kemari?"
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar ringkik kuda dan derap
kuda yang ramai mendatangi.
Orang itu beringas, bentaknya: "Siapa yang kau bawa
kemari, apakah mau menangkap aku?"
1963 "Tidak, tidak, bukan aku yang membawa mereka. Aku tidak
tahu..." Terdengar langkah orang berlari-lari menuju kesini, seorang
terdengar berkata: "Disana seperti ada orang bicara, kita
periksa kesana."
In San merendahkan suara: "Kedua orang ini mungkin yang
mencari jejak kami kakak beradik." Dari langkah mereka dia
tahu bahwa kedua orang ini pandai silat.
Orang itu mendengus, jengeknya: "Kau mau menipu aku."
Waktu mendesak In San tidak sempat menjelaskan,
terpaksa dia berbisik: "Kalau kau takut mereka akan berbuat
jahat kepadamu, lekas kau sembunyi, biar kuhadapi mereka."
"Aku tidak akan sembunyi." Ucap orang itu, "kalau kau
tidak sekomplotan dengan mereka, baiklah kau saja yang
sembunyi." Maklum dia tinggal di gunung ini, bila jejaknya
sudah diketahui orang, mau sembunyi juga tidak akan bisa
menyingkir, apalagi terhadap In San dia belum percaya
sepenuhnya, maka dia berani nekat.
Apa boleh buat, terpaksa In San menerima anjuran orang,
dia sembunyi ke belakang pohon. Lekas sekali kedua orang itu
sudah berlari datang, kiranya dua Busu yang membawa busur.
Seorang Busu bertanya: "Kalian melihat dua orang Han tidak,
seorang laki seorang perempuan, usianya kira-kira likuran
tahun." Orang tua itu geleng-geleng, katanya: "Tidak pernah lihat,
kalian ini..."
"Kami adalah Busu kelas satu Yu-hian-ong, atas perintah
Ongya hendak menangkap pembunuh gelap. Pembunuhnya
adalah sepasang muda mudi bangsa Han itu, karena gagal
mereka lari ke gunung ini. Maka kau harus bicara jujur di
hadapanku..."
1964 "Dua orang Han yang kalian katakan betul-betul tidak
pernah kulihat, mana berani aku bohong terhadap kalian."
"Kau penduduk setempat tentu hapal seluk beluk
pegunungan ini, hayo kau bantu kami mencarinya."
"Bukan aku tidak mau membantu, tapi, tapi..."
"Tapi apa?"
"Gunung sebesar dan seluas ini, usiaku sudah lanjut, kakiku
tidak leluasa berjalan. Kalau aku temani kalian mencari
mungkin bakal menghabiskan waktu. Kukira lebih baik kalian
cari sendiri, supaya mereka tidak melarikan diri.
Alasannya memang masuk akal, maka kedua Busu itu mau
pergi, tiba-tiba temannya itu mendorong si bocah, teriaknya:
"He coba lihat, apa, apa ini?"
Ternyata si orang tua membuang
Tok-ing ji ke semak-semak rumput, tadi kebetulan semaksemak
itu teraling oleh tubuh si bocah, sayang tubuhnya kecil
sehingga Tok-ing-ji masih kelihatan oleh salah satu Busu.
Bergegas si Busu memburu serta menjemput kedua Toking-
ji, sejenak dia memeriksa, lalu bersorak kegirangan. "Kita
mendapatkan mustika. Hahaha, coba lihat bukankah ini Hosiu-
oh yang telah mencapai usia ribuan tahun?" demikian
teriak Busu itu.
Orang tua itu gugup, serunya: "Jangan kalian ambil
barang-barang itu."
Busu itu mendelik, bentaknya: "Kau tidak mau bantu
mencari pembunuh, barang sepele begini juga larang kami
mengambilnya?"
"Ini, ini bukan Ho-siu-oh..." Seru si orang tua.
Busu itu mencabut golok dan membentak: "Berani kau
menipu aku, kau larang aku ambil, kubunuh kau."
1965 Setelah membawa Ho-siu-oh kedua Busu itu tidak banyak
bicara lagi terus tinggal pergi, tak lama kemudian, mendadak
terdengar dua jeritan menyayat hati, ternyata kedua Busu di
tengah perjalanan telah mengigit masing-masing secuil,
ternyata racun bekerja jiwapun melayang.
In San segera melompat keluar, katanya: "Lo-siansing,
siapa aku tak usah kujelaskan tentu kau sudah tahu?"
Akhirnya mereka saling berkenalan, orang tua ini memang
benar tabib liehay yang mengasingkan diri di atas gunung,
namanya Kokulon, cucunya bernama Komido.
Sambil jalan Kokulon tanya pengalamannya. In San
ceritakan maksud perjalanannya ke Holin, bagaimana mereka
kenal Jendral Abu dan puteranya, membuat geger Onghu dan
akhirnya Tan Ciok-sing keracunan karena salah makan Toking-
ji. "Terus terang, Yu-hian-ong manusia yang paling kubenci,"
demikian kata Kokulon. "Jendral Abu adalah orang yang paling
kuhormati dan kusegani. Ternyata kalian adalah teman baik
Jendral Abu, jikalau sejak mula kau menjelaskan, aku tidak
akan curiga kepadamu."
"Jadi kau mau menolong jiwa engkohku?"
"Bukan aku tidak mau, sayang tenagaku tidak mampu
menolongnya."
Tiba-tiba Komido berjingkrak, serunya: "Kakek, kau dengar
tidak?" "Mendengar apa?"
"Aku seperti mendengar seseorang menghela napas
perlahan."
Kokulon celingukan, katanya:
"Disini mana ada orang lain, pasti kau salah dengar."
1966 Komido bergidik ngeri, katanya memeluk sang kakek:
"Mungkin setan kedua orang itu gentayangan."
Pikiran butek, perasaan gundah sehingga In San tidak
mendengar helaan napas itu, mungkin desau angin lalu,
demikian pikirnya.
Diluar tahunya Tan Ciok-sing telah berhasil menghimpun
tiga bagian tenaganya, mendengar bagian sini ada suara
orang, diam-diam dia datang memeriksa. Maka percakapan
Kokulon dengan In San diapun mendengar jelas.
Waktu In San bawa Kokulon tiba di tempat semula, tampak
Tan Ciok-sing masih bersamadi, uap putih masih mengepul
dari kepalanya.
Kokulon heran, katanya: "Jangan ganggu dia, nanti
sebentar baru akan kuperiksa." Lalu dia berkata kepada In
San: "Sementara kalian boleh tinggal di rumahku, aku akan
berusaha sekuat tenaga."
Timbul setitik harapan dalam benak In San, katanya:
"Terima kasih paman."
Tiba-tiba Komido berkata: "Ayam salju di rumah sudah
kami makan, dengan apa kau hendak menjamu para tamu?"
In San tertawa, katanya: "Menangkap ayam salju adalah
keahlianku, biar nanti kutemani kau menangkap ayam salju."
Setelah In San pergi, tiba-tiba Tan Ciok-sing membuka
mata, katanya: "Paman Kokulon, aku mohon sesuatu
kepadamu."
"Nanti dulu, biar kuperiksa nadimu dulu." Dia kira Tan Cioksing
akan minta dia menolong jiwanya, maka setelah
memeriksa dia berkata: "Jangan kau banyak tanya, aku akan
berusaha sekuat tenagaku menyembuhkan penyakitmu. Kau
adalah pasienku satu-satunya yang mempunyai daya tahan
luar biasa di antara pasien-pasienku selama aku jadi tabib."
1967 Tan Ciok-sing berkata: "Aku tidak minta kau berusaha
menolong jiwaku, aku sudah tahu penyakit ini tidak mungkin
disembuhkan lagi. Manusia mana tidak akan mati, soalnya
hanya waktu saja, aku sih tidak perduli."
Kokulon kaget, tanyanya: "Darimana kau tahu?"
"Paman Kokulon, pembicaraanmu dengan adikku, aku
mendengarnya semua."
Kokulon terbeliak, dia insyaf bahwa persoalan tidak bisa
mengelabui Ciok-sing lagi, sesaat lamanya dia melenggong tak
mampu bicara. Diam sebentar, akhirnya Tan Ciok-sing berkata: "Aku hanya
mohon kau suka menolong jiwa adikku. Kau tidak tahu bahwa
kami sudah sumpah setia, sehidup semati..."
"Aku tahu." Tiba-tiba Kokulon menukas. "Tunggu sebentar,
biar aku berpikir sejenak."
Setelah berpikir beberapa kejap lamanya, Kokulon berkata:
"Bahwa kau sudah tahu penyakitmu takkan bisa sembuh,
maka aku harus bicara blak-blakan dengan kau. Tapi aku
harus tanya kau dulu, dengan cara apa kau menghimpun
kadar racun didalam pusarmu?"
"Inilah sejenis Lwekang ciptaan guruku, namanya Tay-ciuthian-
to-nah. Sayang latihnya belum sempurna."
"Bisakah kau mengerahkan Lwekang sehingga kadar racun
sedikit demi sedikit dibikin buyar?"
"Aku tidak mampu. Berlatih sepuluh tahun lagi juga belum
bisa mencapai taraf setinggi itu."
"Baiklah aku bicara jujur, dengan bekal Lwekangmu
sekarang, bila kau tidak menghimpun kadar racun itu, paling
lama kau bisa hidup setahun. Tapi selama setahun ini kau
tidak akan mampu bergerak. Kini kau gunakan caramu itu,
1968 meski Kungfu sementara masih utuh, tapi bila racunnya
kumat, racunnya lebih hebat dan jiwa melayang seketika."
"Ya, aku tahu. Bila racun kumat, jiwaku pasti melayang.
Tapi aku harus pergi ke Thian-san menunaikan pesan guruku,
terpaksa aku menempuh jalan pendek. Entah berapa lama aku
bisa bertahan hidup" Paman, harap kau bicara sejujurnya."
"Kurang lebih tiga bulan, tapi juga bisa lebih cepat atau
mundur beberapa hari, itu tergantung kau sendiri..."
"Mohon paman memberi petunjuk."
"Menuju jalan kehidupan, terutama mementingkan
ketenangan jiwa, girang senang atau duka lara dapat
mengurangi umur orang. Di samping itu sedapat mungkin kau
harus berusaha tidak berkelahi dengan orang, tidak boleh
terlalu menguras tenaga."
Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Tubuh sekokoh
pohon Bodhi, batin harus sejernih permukaan kaca. Untuk
mencapai taraf ketenangan hidup seperti ini, jarang bisa
dilakoni oleh manusia biasa. Tapi kalau hanya menghindari
rasa senang, duka dan segala keinginan sih kurasa mampu
kulakukan. Tapi ke Thian-san merupakan perjalanan jauh,
kejadian diluar dugaan apa yang bakal menimpa kami, susah
diramalkan sebelumnya, maka untuk menghindari
pertempuran jelas tidak mungkin."
Kokulon seperti dapat meraba jalan pikirannya, katanya:
"Kalau lawan kelas rendah cukup tiga empat jurus telah beres,
akibatnya tidak fatal. Yang dikuatirkan ialah bila berhadapan
dengan musuh setangguh dirimu, begitu tenaga murni
terkuras, luka dalam pasti kambuh. Oleh karena itu kecuali
terpaksa, kuanjurkan kau harus berani dihina dan dicemooh
orang." "Terima kasih akan petunjuk paman, Wanpwe akan patuh
pada petunjukmu."
1969 "Kalau kau bisa mematuhi kedua petunjuk tadi, mungkin
jiwamu bisa diperpanjang setengah bulan. Kalau tidak mampu
kau lakukan, kemungkinan elmaut kematian sembarang waktu
bisa merenggut jiwamu. Apakah sudah besar tekadmu untuk
pergi ke Thian-san?"
"Aku sudah menerima pesan guru, semoga sebelum aku
ajal, aku sudah menunaikan tugas terakhir."
Kokulon berkata: "Tekadmu besar, aku tidak akan
mencegahmu. Boleh kau teruskan cara Tay-ciu-thian-to-nah,
sementara kadar racun masih dapat kau kendalikan. Cara
yang kau tempuh ini jauh lebih berguna dari ramuan obatku,
maaf bila aku tak bisa membantumu lebih jauh."
"Tapi aku kuatir akan keselamatan adikku, dia ingin sehidup
semati denganku..."
"Maksudmu bagaimana aku harus membantumu?"


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dapatkah kau berusaha menahannya disini?"
"Aku pernah bicarakan soal itu kepadanya, tapi dia
bertekad dan bersumpah takkan mau berpisah dengan kau
sampai mati."
"Gunakan sejenis obat, umpamanya obat bius sehingga dia
kehilangan tenaga, tapi tidak membawa efek buruk bagi
kesehatannya, maka dia tidak akan bisa ikut menempuh
perjalanan yang kutempuh. Setahun sebagai angka waktunya,
tahun depan boleh kau berikan obat penawarnya. Dalam
jangka setahun ini, pasti aku sudah ajal entah dimana. Bila dia
tidak memperoleh berita kematianku, maka dia akan
mencariku dan tak sempat mencari jalan pendek lagi."
Kokulon geleng-geleng, katanya: "Itu hanya dapat
mengelabuinya sementara, akhirnya pasti konangan juga. Dan
lagi aku tidak punya dan tak pernah membuat obat macam
itu." 1970 "Paman bagaimana juga harap kau suka berusaha, aku
harus mepertahankan jiwanya, jangan lantaran aku dia ikut
menjadi korban."
Kokulon berpikir sejenak, tiba-tiba bertanya: "Kau she Tan
dia she In, wajah kalian juga tidak sama. Walau aku tidak
paham adat istiadat bangsa Han kalian, kalau tidak salah
sesama saudara sepupu biasanya punya marga sama bukan"
Lalu kalian ini saudara angkat?"
"Ya, kami saudara angkat lain marga. Tapi hubungan kami
amat mendalam melebihi saudara sepupu sendiri."
"Bagus, kau harus bicara jujur kepadaku, bukankah kalian
sudah jatuh cinta dan bersumpah setia sehidup semati?"
"Betul, kami sudah janji setia akan hidup sampai tua, meski
dilahirkan tidak pada tahun bulan dan hari yang sama,
diharapkan akan mati di hari bulan dan tahun yang sama.
Hidup rukun sampai tua agaknya tidak mungkin lagi, maka
kudoakan supaya dia tidak ikut mati di saat ajalku sudah tiba."
Sebelum Kokulon bicara Ciok-sing memohon pula: "Paman,
pengalaman hidupmu jauh lebih matang dari aku, bagaimana
juga kumohon kau sudi berusaha untuk menolong jiwanya."
Tiba-tiba Kokulon berkata: "Ada satu cara boleh dicoba,
tapi hidupmu mungkin harus diperpendek lagi satu bulan. Itu
berarti dihitung hari ini, paling lama kau hanya bisa hidup dua
bulan lagi, kau mau tidak?"
"Sudah tentu mau, asal dapat menyelamatkan jiwanya,
sekarang juga aku mati juga tidak jadi soal, aku suka rela."
"Tapi waktu dua bulan mungkin tidak cukup untuk
perjalananmu ke Thian-san."
"Menunaikan pesan guru sudah tentu merupakan tugas
utama yang tidak boleh diabaikan. Tapi kalau dibanding,
usaha menyelamatkan jiwa adik San adalah lebih penting lagi.
Tolong tanya paman, cara apa yang kau gunakan?"
1971 "Sekarang belum boleh menjelaskan, bila cara ini
kuberitahu kepada kau, mungkin tidak akan manjur, cukup
asal kau percaya kepadaku saja."
Walau agak bimbang, tapi Ciok-sing sudah percaya kepada
tabib pengasingan ini. Katanya: "Kalau demikian, baiklah aku
tidak akan banyak tanya lagi."
"Bagus, sekarang kau membantu aku melakukan sesuatu."
"Silahkan memberi petunjuk."
"Ikutlah aku membersihkan kamar obatku. Tak takut kau
tertawakan, terus terang rumahku reyot, kotor dan jorok lagi,
kamar tidak ada. Hanya ada sebuah bilik obat yang bisa
dibersihkan untuk tempat tidurmu."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Paman kenapa sungkan,
asal ada tempat berteduh sudah lebih dari cukup untukku."
Bilik itu memang banyak menyimpan berbagai jenis obatobat
mujarab yang sukar dicari, tapi lekas sekali bilik itu sudah
dibersihkan dan ditata rapi. Tak lama kemudian In San dan
anak itu sudah masuk kembali.
Begitu masuk rumah Komido berjingkrak dan mengoceh
dengan riang: "Kepandaian cici In memang hebat, coba lihat
tiga ekor ayam salju, semuanya gemuk-gemuk."
In San tertawa, katanya: "Kepandaianmu juga patut dipuji,
tidak sedikit telur akar yang berhasil kau keduk."'
Kokulon tertawa tergelak-gelak, katanya: "Bagus, nanti kita
bisa bersantap malam dengan hidangan sedap, ubi bakar
dengan ayam bakar memang mencocoki seleraku."
Dua ekor ayam panggang, seekor dimasak kuah, sementara
ubi dibakar, selesai mereka menyiapkan hidangan malam,
sinar rembulanpun sudah menyorot masuk lewat jendela.
Angin menghembus kencang diluar, kabut tebal menyelimuti
alam semesta, hawa mulai dingin. Tapi suasana hangat
1972 meliputi gubuk kecil mungil itu, perasaan mereka sehangat
nyala api yang masih membara, dimana ayam yang sudah
diberi bumbu sedang dipanggang, baunya aduhai, lezat sekali.
Dari kamarnya Kokulon mengeluarkan sebuah buli-buli
besar warna merah, katanya: "Inilah arak obat buatanku
sendiri, khasiatnya dapat menambah semangat melancarkan
aliran darah, kalian bersaudara patut minum beberapa
cangkir." In San berkata: "Aku tidak biasa minum arak, biarlah Koko
wakili aku minum bagianku."
"Arak obat ini jelas berguna bagi kesehatan engkohmu,
bagi kau sendiri juga tidak sedikit manfaatnya. Bila kalian
sama-sama minum, manfaatnya pasti lebih kentara."
"Ah, aku tidak percaya, kenapa kalau sama-sama minum,
khasiatnya bisa lebih kentara?"
"Kau tidak tahu, arak obatku ini memang punya kadar yang
luar biasa."
"Apanya yang istimewa?"
"Bila tutup dibuka dan arak tercium angin, bila didalam
jangka satu jam tidak segera diminum, khasiat obatnya akan
pudar tidak berguna lagi. Tapi terlalu banyak juga tidak boleh,
maka engkohmu hanya boleh minum dua pertiga, dan kau
harus bantu dia minum satu pertiga."
"Kalau demikian, kau saja yang bantu dia minum bagian
satu pertiga ini."
Kokulon tertawa, katanya: "Arak obat ini dapat menambah
semangat dan tenaga, besar manfaatnya untuk kalian bila naik
gunung. Aku tidak pernah meyakinkan Lwekang arak obat ini
tiada berguna bagi diriku. Aku tidak sakit apa-apa, buat apa
harus minum obat. Apalagi aku tidak akan menempuh
perjalanan jauh, bukankah terlalu sayang menghabiskan arak
sebagus ini" Maklum aku tinggal di pengasingan yang jauh
1973 dari keramaian kota, maka tiada hidangan apa-apa yang patut
kusuguhkan untuk para tamuku, jikalau kau masih sungkan,
berarti anggap aku ini orang luar. Maka akupun tidak akan
berusaha menyembuhkan penyakit engkohmu."
Melihat sikap bicara Kokulon amat serius, In San berkata:
"Paman, kau harus mengobati penyakit engkohku, jangan kau
menakuti aku, baiklah aku minum, akan kuhabiskan jatahku."
Tan Ciok-sing juga tertawa, katanya: "Maksud baik tuan
rumah, lebih baik kita terima saja kehendaknya. Adik San,
terpaksa kau harus berani tahan uji, mari temani aku minum
sampai habis."
Karena didesak dan dibujuk terpaksa In San menemani Tan
Ciok-sing minum arak, baru seteguk diminumnya, terasa bau
harum menyegarkan dada seketika In San tertawa, katanya:
"Ternyata arak ini enak rasanya."
Belum ada satu jam, seekor ayam telah habis diganyang
masuk perut, arak sebuli itu pun telah habis disikat mereka
berdua. "Nona In, tubuh engkohmu kelihatan memang masih segar,
betapapun dia adalah orang sakit, maka dia perlu selalu dijaga
dan dirawat. Kau tahu maksudku?" tanya Kokulon.
In San tertawa, ujarnya: "Kenapa aku tidak maklum, setiap
saat aku akan mendampinginya."
"Gubukku reyot dan jorok, hanya ada bilik obat itu yang
bisa kusediakan tempat bermalam kalian. Untung kaliankan
saudara, tentu tidak perlu berpisah tidur. Waktu sudah larut,
kalian habis menempuh perjalanan jauh, silahkan istirahat
lebih dini."
In San rasa hal itu sudah logis. Sebelum ini sepanjang
perjalanan dengan Ciok-sing bila tidak menemukan kota atau
rumah penduduk, sering mereka tidur didalam hutan tapi tidur
1974 sekamar selama ini baru pertama kali, mau tidak mau In San
agak malu-malu kucing.
Setelah ln San papah Tan Ciok-sing masuk kamar, Kokulon
segera menutup pintu kamar, katanya: "Bila kalian merasa
panas, tidak usah gelisah, itulah reaksi setelah kalian minum
arak obatku itu. Meski gerahnya luar biasa, sekali-kali kularang
kalian keluar, nanti masuk angin."
"Aku sudah tahu," ucap In San, "paman tidak usah kuatir."
In San tidak berani membuka jendela, tapi angin
menghembus dari celah-celah papan ynag bolong, hawa
menjadi agak sejuk dan segar.
In San berkata: "Setelah minum arak tadi, rasanya segar
dan nyaman sekali. Aku hanya merasa sejuk, bukan
kedinginan. Apalagi perasaan gerah, sedikitpun tidak. Toako,
apa kaupun merasa sejuk ?"
"Memangnya, segar dan sejuk sekali, sejuk sekali. Eh,
kenapa aku jadi seperti mengambang di tengah mega."
"Ah, apa benar" Hahaha, aku juga merasa mengambang,
terombang ambing. Sungguh aneh perasaanku ini."
Tak lama kemudian mereka sama-sama seperti mabuk
tidak mabuk, didalam kamar hanya dipasang sebuah dian,
angin dingin yang menghembus dari celah-celah pintu
membikin nyala api bergoyang-goyang, demikian pula
perasaan-mereka seperti dibuai asmara nan nikmat.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing seperti berada di Kanglam di musim
semi, berkuntum-kuntum kembang berbagai jenis seperti
menghambur di sekelilingnya, Tan Ciok-sing berkata: "Adik
San, kau masih ingat waktu aku ajak kau tamasya di Jit-singgiam
dulu?" "Kenapa tidak ingat, panorama dalam goa itu sungguh
indah mempesona. Eh..."
1975 "Kau kenapa?"
"Membicarakan Jit-sing-giam, sekarang aku seperti kembali
disana. Ah, tidak panorama di depan mataku jauh lebih indah
dari pemandangan dalam goa itu, aneka ragam dan warna
warni, berobah dan berganti..."
"Akupun punya perasaan yang sama."
"He, kurang ajar, kenapa segulung hawa panas timbul dari
pusarku." In San tertawa, katanya: "Kau melupakan penjelasan
paman tadi, perasaan hangat itu lantaran kita minum arak
obatnya tadi."
"Bukan hangat yang menjadikan badan gerah, tapi
kehangatan jenis lain..." Rasa hangat yang menghinggapi
perasaannya ini memang sukar dilukiskan dengan kata-kata
tapi tak usah dijelaskan, In San sendiri mulai merasakan
kehangatan yang sama. Badannya menjadi lemas lunglai,
setelah menggeliat, dia berkata: "Toako, peluklah aku."
Tan Ciok-sing masih sedikit sadar, katanya tertawa: "Ah,
anak segede ini masih minta dipeluk segala?""
"Aku tidak ingin dipeluk orang lain, tapi kaulah yang harus
memelukku. Nah kau berpikir yang tidak-tidak, aku hanya
ingin tidur pulas dalam pelukanmu."
Mulutnya bilang jangan berpikiran yang tidak-tidak, padahal
dia sendiri sudah tidak kuasa kendalikan diri sendiri. Tiba-tiba
dia cekikikan, katanya: "Malam pertama di kamar pengantin!
Ah, Toako keadaan kita sekarang bukankah mirip malam
pertama di kamar pengantin?"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Dalam kamar hanya
diterangi sebuah dian, mana mirip kamar pengantin yang
dipasangi sepasang lilin merah" Kini sedang musim dingin,
dari mana datangnya kembang segar?"
1976 "Siapa bilang tidak ada" Di depanku sekarang tersebar
bermacam jenis kembang yang sedang mekar, eh
kembangnya berputar-putar, ada seruni, mawar, sedap
malam, eh sekali, aku jadi bingung untuk menyebut satu
persatu, apa kau tidak melihatnya" Dian itu berubah menjadi
lilin, berubah sepasang lilin?"
"Jangan mengigau aku, aku..."
In San sudah jatuh dalam pelukannya. Perasaan Ciok-sing
seperti hambar, kosong, katanya sambil mendorong perlahan:
"Jangan begitu adik San. Biar aku buka jendela, supaya kau
lebih merasa segar." Mulut bicara, pada hal niat bangkit sudah
tiada karena badan sudah ogah bergerak.
"Eeh, kenapa lupa, paman tadi berpesan tidak boleh
membuka jendela."
Kedua tangan Ciok-sing kebetulan memegang tubuh In San
yang bulat kenyal, lembut tapi juga mengencang. Bukan lagi
mendorong, sekarang Ciok-sing malah memeluk kencang dan
jari jemarinya mulai meremas dan merambat naik turun.
Di kala Ciok-sing membalik tubuh balas menindih In San,
tiba-tiba sebuah kotak emas kecil jatuh dari kantong baju
Ciok-sing, kotak yang terbuka ternyata berisi kacang merah,
In San menjemput kotak emas itu lalu menuang satu butir
kacang merah di telapak tangannya. Kacang merah ini mereka
petik bersama di pinggir sungai dalam kota Kwi-lin, salah satu
hasil bumi yang terkenal di Kwi-lin adalah kacang merah ini,
dinamakan juga kacang rindu.
In San juga keluarkan kacang merah punyanya sendiri,
sepasang kacang rindu berada di telapak tangannya, dengan
berbisik dia berkata di pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Toako
kau masih ingat sumpah setia kita dulu" Kacang rindu ini
sebagai bukti, bumi dan langit sebagai saksi, selama hidup
cinta kita takkan luntur."
1977 Keluhan halus disusul deru napas yang memburu sebagai
jawaban, sepasang kacang merah itu jatuh di lantai. Sinar
dian yang sudah guram kehabisan minyak kebetulan
terhembus padam oleh angin yang meniup masuk lewat celahcelah
pintu. Didalam kegelapan, di alam sorga mereka nan
indah, jiwa dan batin mereka berpadu, berpadu memperoleh


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sumber jiwa nan abadi, dua jiwa yang manunggal.
Rasa resah telah lenyap, pikiran pun telah jernih kembali.
Sinar pagi pun telah menerobos jendela. Begitu siuman Tan
Ciok-sing teramat menyesal dan mendelu, tak berani dia
melirik In San. Katanya perlahan: "Adik San, aku telah
membuatmu celaka."
In San mengenakan pakaian, lalu duduk menggelendot
dalam pelukannya, katanya dengan mendongak menatap
wajah sang kekasih: "Toako, jangan kau bilang demikian,
sedikitpun aku tidak menyesal, kita sudah sumpah setia, apa
pula salahnya kita lebih mempererat ikatan. Kenapa kau
sesalkan dirimu malah?"
Seperti diiris perasaan Ciok-sing, pikirnya: "Kau tidak tahu,
sayang aku tidak akan hidup berdampingan dengan kau
sampai hari tua." Karena tidak ingin membuat In San sedih,
maka dia tidak berani utarakan isi hatinya.
Tanpa terasa, setelah asyik masyuk di atas ranjang, tahutahu
hari sudah terang tanah, waktu mereka buka pintu keluar
kamar, Kokulon sudah menunggu di ruang tengah, seperti
tertawa tidak tertawa dia mengawasi mereka, katanya:
"Semalam kalian bisa tidur nyenyak"!"
Merah jengah muka In San, plegak-pleguk tak bisa bicara.
Tan Ciok-sing berkata: "Aku sudah lebih sehat, hari ini kami
harus melanjutkan perjalanan."
In San masih membujuk supaya dia istirahat beberapa hari,
tanpa bersuara Tan Ciok-sing angkat telapak tangannya terus
menggablok, sebatang balok yang sedianya untuk dibakar
1978 digabloknya pecah berantakan katanya tertawa: "Coba
periksa, tenagaku sudah pulih setengah lebih bukan?"
In San kira ini berkat arak obat semalam katanya: "Baiklah,
terserah kehendakmu."
Setiba di bawah gunung, terbayang akan kejadian
semalam, In San dipeluknya kencang, mukanya merah sampai
ke telinga, katanya: "Adik San, memang akulah yang salah.
Jangan kau menyalahkan paman Kokulon."
In San tertawa cekikikan, katanya: "Sedikitpun aku tidak
menyesal, jangan kau salahkan dirimu sendiri, akupun tidak
menyalahkan paman Kokulon. Aku tidak tahu cara
pengobatan, mungkin harus demikian, sehingga begitu
sikapku terhadapmu dan membawa manfaat pula bagi kau.
Paman sengaja merangkap perjodohan kita lebih nyata,
maksudnya juga baik."
Lekas Tan Ciok-sing bicarakan persoalan lain: "Marilah
lekas jalan, untuk mencapai Thian-san bukan perjalanan yang
gampang." "Sepanjang jalan ini ada banyak peternakan, nanti kita bisa
beli kuda yang baik."
Tak nyana setiba di bawah gunung setelah beberapa hari
perjalanan, tak pernah mereka bertemu dengan manusia.
Meski akhirnya bertemu dengan orang, mereka juga
menempuh perjalanan dengan jalan kaki, jarang yang naik
kuda. Yang naik kuda juga untuk kebutuhan sendiri, mana
mau mereka menjualnya.
Negeri Watsu banyak terdapat padang rumput, rakyatnya
banyak yang hidup dari hasil peternakan. Jadi peternakan
tersebar dimana-mana. Tapi karena mereka harus
menghindari pengejaran, maka jalan yang ditempuh harus
jalan-jalan pegunungan yang sepi, apalagi tujuan mereka ke
arah barat yang semakin sepi dan belukar, semakin jauh
meninggalkan Holin kehidupan manusia semakin jarang.
1979 Selama tiga hari itu mereka sibuk menempuh perjalanan
sehingga tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tanpa terasa mereka sudah sepuluh hari menempuh
perjalanan, sepanjang jalan mereka makan buah-buahan,
adakalanya berburu binatang atau burung, hari ke sebelas
mereka sudah keluar dari wilayah Watsu dan memasuki
propinsi Sinkiang.
Hari itu mereka sedang melanglang di padang rumput, tibatiba
tampak seekor kuda dilarikan kencang bagai terbang,
penunggangnya adalah seorang bocah berusia tiga belasan
tahun. Di belakangnya ada orang mengejar seraya berteriak:
"Siauwya tarik kendalinya, jangan lari sekencang ini."
Penduduk Sinkiang yang dekat perbatasan masih
menggunakan bahasa Mongol, maka Tan dan In tahu maksud
perkataannya. Dari cara lari kuda itu Tan Ciok-sing tahu kuda yang
ditunggangi bocah itu masih liar, meski padang rumput adalah
tanah datar, tapi ada juga batu-batu atau tanah lekukkan
yang bisa membuat kuda tersandung, bila kuda liar
mengumbar adatnya, seorang pawang liehay pun jangan
harap bisa menundukkan dia, apalagi seorang bocah sekecil
itu. Ternyata bocah ini adalah putra seorang pemilik
peternakan di daerah ini, sejak kecil dibesarkan di punggung
kuda, sifatnya suka menang dan sombong, meski tahu kuda
ini masih liar, tapi dasar bersifat angkuh, dia merengek ingin
mencobanya. Orang yang mengejar di belakang itu adalah
salah satu pawang kuda yang bekerja di peternakan ayahnya.
Di punggung kuda si bocah seperti terapung di atas mega
saja, lama kelamaan hatinya menjadi takut, karena takut dia
jadi gugup, teriaknya: "Aku tak berhasil menguasainya, lekas
kau bantu aku." Dasar bocah kalau pawang kuda itu bisa
mengejarnya, buat apa suruh dia menarik kendali dan berhatihati.
1980 Begitu kencang dan liar cara lari kuda itu sehingga kakinya
menendang sebuah batu cukup besar, kuda itu melonjak ke
atas, empat kaki meninggalkan bumi. Jelas si bocah pasti
terlempar jatuh dari punggung kuda.
Untung Tan Ciok-cing datang tepat pada waktunya, begitu
kuda anjlok menyentuh bumi, tali kekang sudah terpegang
oleh tangan kiri, sementara tangan kanan dia tekan
kepalanya. Secara kekerasan kuda itu telah ditahannya hingga
tidak bisa berkutik, kepala tak kuat diangkat semula kakinya
masih mencak-mencak, tapi akhirnya dia hanya meringkikringkik
saja. Dalam pada itu In San telah membopong bocah
itu turun. Saking takut dan kaget pawang kuda itu sudah pucat dan
sengal-sengal melihat majikan mudanya selamat tidak kurang
suatu baru lega hatinya, lekas dia memburu tiba serta
menghaturkan terima kasih.
Tiba-tiba tampak seorang laki-laki suku Uighor
menunggang kuda mendatangi, langsung dia disongsong oleh
bocah laki-laki itu, dengan kaget dan senang dia berteriak:
"Liang-ji, besar betul nyalimu, berani kau menunggang kuda
galak dan masih liar itu, kau tidak jatuh?"
Orang ini adalah pemilik peternakan di daerah ini, bernama
Tuli-bun, bocah yang menunggang kuda liar itu adalah putra
tunggalnya bernama Tuli-liang.
Menghampiri ayahnya Tuli-liang berseru: "Ayah, kuda liar
ini sudah tunduk, tapi bukan jasaku." Lalu mulutnya nyerocos
kilikuluk entah apa yang dikatakan, begitu cepat ungkapan
perkataannya, sehingga Tan Ciok-sing dan In San tidak bisa
menangkap artinya, tapi mereka menduga si bocah sedang
menceritakan kejadian yang dialaminya kepada sang ayah.
Maka Tuli-bun mengeluarkan selembar sapu tangan besar,
dengan kedua tangannya dia persembahkan kepada Tan Cioksing.
1981 Tan Ciok-sing tahu inilah salah satu adat orang-orang
Mongol untuk menyatakan terima kasih dan kehormatan
kepada tamunya, yaitu memberikan 'hata' sebagai tanda tali
persahabatan pula.
Tuli-bun bukan bangsa Mongol, tapi karena dia hidup di
perbatasan yang dekat dengan perbatasan Watsu, maka adat
istiadat itupun sering dipakainya, lekas Tan Ciok-sing
menerima hata itu dengan kedua tangan lalu membalas
hormat dengan membungkuk tubuh, katanya: "Jongcu
(pemilik peternakan), harap jangan terlalu banyak peradatan."
"Kapan aku bisa kedatangan tamu dari jauh, berkat
pertolonganmu pula hingga jiwa putraku selamat, tiada yang
kubawa bisa kuhaturkan sebagai pernyataan terima kasih,
bagaimana kalau kalian mampir ke rumahku menginap
beberapa hari."
"Terima kasih Jongcu, kami tidak tahu sungkan, tawaranmu
kami terima dengan senang hati, biarlah malam ini bikin repot
kalian saja. Tapi kami masih ada urusan, hanya menginap
semalam saja, besok juga harus terus berangkat."
"Lho, kenapa hanya semalam, menurut kebiasaan kami
disini, menyambut kehadiran tamu dari jauh, apapun tidak
bisa hanya menginap sehari semalam. Apalagi kau adalah
penolong jiwa putraku?"
"Sebetulnya ada urusan penting yang harus kami
selesaikan, perjalanan kami masih jauh, maaf waktu tidak
boleh ditunda-tunda."
Ternyata Tuli-bun seorang yang lapang dada, dengan
tertawa dia berkata: "Baiklah, urusan besok biar dibicarakan
besok, mari silakan masuk, malam ini aku akan menjamu
kalian sebagai tuan rumah menyambut tamu-tamunya."
Setiba di peternakan, perjamuan ternyata sudah mulai
dipersiapkan. Setelah membersihkan badan Tan Ciok-sing
berdua dipersilahkan duduk dalam sebuah kemah yang
1982 mewah dengan alas kulit bulu. Hidangannya adalah kambing
utuh yang sedang dipanggang di atas api unggun, ada arak
susu kuda. Beberapa hari ini Tan Ciok-sing dan In San hanya
makan buah-buahan dan daging burung atau kelinci, tuan
rumah begitu ramah lagi, maka merekapun tidak sungkan lagi,
hidangan yang tersedia dimakannya dengan lahap.
Setelah menghabiskan tiga cangkir arak, Tuli-bun berkata:
"Kalian bangsa Han bukan, datang dari mana mau kemana?"
"Ya, kami orang Han datang dari kota raja Pakkhia," sahut
Tan Ciok-sing. Tuli-bun tertawa, katanya: "Apa benar" Wah betul-betul
tamu agung. Terus terang, sudah belasan tahun di tempat kita
ini jarang didatangi tamu bangsa Han, sungguh tak nyana
dalam beberapa hari ini, beruntun kami kedatangan empat
tamu bangsa Han."
In San melengak, katanya: "Beberapa hari yang lalu,
tempat kalian juga kedatangan tamu orang Han?"
"Iya. Kedua tamuku itu seperti juga kalian, muda-mudi,
usianya kira-kira sebaya dengan kalian. Aku ingin tanya
kalian..."
Untuk mendengar dan bicara bahasa Morgol, Tan Ciok-sing
tidak sefasih In San dia sedang mendengarkan dengan
seksama, kuatir mendengar tidak lengkap. Tapi sebelum Tulibun
habis bertanya, putranya Tuli-liang telah merebut tanya:
"Toako orang Han, apa kau pandai meniup seruling?"
Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Aku hanya mahir memetik
harpa, sayang tidak bisa meniup seruling, Kenapa kau tanya
aku pandai tidak meniup seruling?"
Tuli-liang berkata: "Orang Han yang datang dua hari yang
lalu pernah membawakan sebuah lagu dengan alat musik
sebatang bambu, begitu merdu tiupan lagunya, waktu
kutanya, dia menjelaskan bahwa yang dibuat tiupan itu
1983 bernama 'seruling'. Aku senang memainkan alat musik seperti
itu, kukira setiap orang Han pasti pandai meniup seruling.
Harpa itu juga sebuah alat musik bukan, mirip tidak alat gesek
kepala kuda milik kita, kapan kau memetik harpamu itu?"
Mendengar orang Han yang bertamu dua hari yang lalu
pandai meniup seruling, saking senang Tan Ciok-sing sampai
menjublek. Sehingga perkataan akhir dari si bocah tidak
diperhatikan. Tuli-bun mengomel: "Orang tua sedang bicara, anak-anak
tidak boleh menimbrung. Sampai dimana aku tadi bicara?"
In San berkata: "Kau ada sesuatu yang ingin tanya kepada
kami?" "Betul. Memang aku ingin tanya, bukankah kalian ingin
pergi ke Thian-san?"
"Jongcu," ucap In San heran, "darimana kau tahu?"
"Kedua tamu Han yang datang duluan itupun hendak pergi
ke Thian-san."
"Pernahkah mereka bercerita apa-apa?" tanya Ciok-sing.
"Agaknya kalian kenal baik dengan mereka" Jadi orang
yang mereka cari pasti kalian. Mereka tanya apakah aku
pernah melihat sepasang muda mudi bangsa Han yang sebaya
mereka." "Betul. Mereka memang sahabatku. Tapi aku tidak nyana
mereka bisa berada disini."
Maklum orang Han yang pandai meniup seruling dan
mencari mereka jelas adalah kenalan baik, lalu siapa lagi kalau
bukan Kek Lam-wi.
In San berkata: "Gadis yang mendampingi Kek-toako jelas
adalah Toh So-so cici, Jongcu, mereka menyebutkan namanya
tidak?" 1984 "Nama bangsa Han kalian aku susah mengingatnya, bahasa
Mongol mereka tidak sefasih kalian, hingga aku tidak jelas
tentang nama mereka. Tapi dalam rumahku ada orang yang
pandai bicara bahasa Han, hari itu diapun hadir, sebagian
besar pembicaraan mereka orangku itu yang menterjemahkan.
Bila kalian ingin tahu lebih banyak, boleh kusuruh memanggil
orangku itu."
Tan Ciok-sing sudah yakin bahwa mereka adalah Kek Lamwi
dan Toh So-so, karena diluar dugaan mendengar kabar
tentang sahabat karibnya, sudah jamak kalau mereka ingin
tahu lebih banyak tentang mereka. Katanya: "Kalau tidak
menyulitkan Jongcu, tolong panggilkan orangmu itu supaya
aku bicara langsung dengan dia."
Tuli-bun segera suruh orang memanggil orangnya yang
pandai bahasa Han, katanya: "Jarang ada orang Han yang
datang ke tempat kami ini. Sepanjang jalan ini kalian bisa
mencari tahu jejak mereka, pasti dapat menyusulnya. Akan
kupilihkan dua ekor kuda paling bagus untuk kendaraan
perjalanan kalian, meski sudah terlambat dua hari, yakin
kalian akan dapat menyusul mereka. Sekarang kuhaturkan
selamat kepada kalian, mari silahkan habiskan secangkir ini."
In San menenggak habis secangkir penuh, katanya: "Kami
ingin secepatnya dapat menyusul mereka, banyak terima kasih
akan penyambutan Jongcu, terima kasih pula akan pemberian


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua ekor kuda. Besok pagi-pagi, kami akan berangkat sesuai
rencana." "Baiklah," ujar Tuli-bun, "aku tidak akan menggondeli
kalian. Nona In, agaknya kau senang minum arak susu kuda
buatan kami, silahkan habiskan secangkir lagi."
Tan Ciok-sing heran, pikirnya: "Biasanya adik San tidak
suka makan atau minum makanan kecut, jarang minum arak.
Arak susu kuda ini agak kecut meski tidak begitu keras, tapi
aku tak kuat minum lebih banyak lagi, kalau tidak sungkan
1985 karena desakan tuan rumah, rasanya aku sudah ingin muntah
saja Kenapa adik In justru senang minum arak susu kuda ini?"
Tuli-bun amat senang, katanya tertawa: "Kapan kau bisa
minum arak susu kuda kami, kalau kau suka, mari minum lagi
secangkir, kutanggung tidak akan mabuk."
Tak lama belum dia bicara habis, mendadak In San berdiri
meninggalkan tempat duduknya terus berlari keluar kemah.
Tan Ciok-sing keheranan, lekas dia memburu keluar. Tuli-bun
jadi gugup, lekas diapun membuntuti Tan Ciok-sing.
Begitu keluar kemah, In San sudah tidak tahan lagi, dengan
membungkuk tubuh dia muntah sebanyak-banyaknya,
makanan dan minuman yang masuk perutnya dituang
kembali, cukup lama In San muntah-muntah sampai air
matanya bercucuran.
Setelah reda dengan muka merah In San berkata: "Bikin
kotor tempat kalian, sungguh tidak enak."
Tuli-bun juga kikuk, katanya: "Memang aku yang salah,
kenapa aku lupa kalian bangsa Han biasanya tidak suka
makan barang berasam dan berminyak, seharusnya aku
menyuguh secangkir teh lebih dulu."
Tan Ciok-sing sedikit tahu tentang ilmu pengobatan, segera
dia pegang urat nadi In San, terasa denyut nadinya agak
berlainan, tapi bukan gejala badan tidak enak atau ada
penyakit. Tanyanya: "Adik San, kau merasa badan kurang
enak?" "Sukar kukatakan, mungkin minum arak terlalu banyak,
kepalaku berdenyut-denyut, dada agak mual, selalu ingin
muntah." Tuli-bun risih, katanya kikuk: "Karena badan adikmu kurang
enak, lebih baik lekas istirahat saja" Lalu dia tepuk-tepuk
tangan mengundang dua pelayan suruh membimbing In San
masuk ke kemah yang telah disediakan.
1986 Sudah tentu tuan rumah dan pihak tamu tiada selera lagi
minum arak, sementara Tuli-bun berpesan kepada pawang
kudanya: "Cepat sediakan kudaku, aku akan keluar sebentar."
Tuli-liang heran, tanyanya: "Ayah, hari sudah malam, kau
mau kemana?"
"Kau temani tamu kita, aku akan mengundang Jalakun."
Lalu dia memberi penjelasan kepada Tan Ciok-sing: "Jalakun
adalah orangku yang pandai berbahasa Han tadi, dia pernah
ke tempat orang Han, bukan saja pandai bahasa Han, diapun
pandai mengobati."
Tan Ciok-sing menjadi rikuh, katanya: "Biasanya badan
adikku amat sehat, mungkin di jalan kena angin, kukira
kesehatannya tidak akan terganggu, jangan Jongcu repotrepot."
"Tidak apa-apa, kaukan ingin bertemu dengan dia, akan
kupanggil dia lekas datang, tiada urusan juga tidak jadi soal,
apa salahnya berjaga-jaga. Tapi tabiatnya agak aneh, aku
kuatir bila suruh orang, dia tidak mau datang."
Tan Ciok-sing menunggu dengan perasaan tidak tenteram,
karena terlalu iseng akhirnya dia terima permintaan Siaujongcu
memetik harpa. Tiba-tiba didengarnya seseorang
memuji: "Bagus sekali petikannya. Belum pernah aku
mendengar petikan lagu harpa semerdu ini." Logat orang ini
agak mendekati penduduk perbatasan diluar Gan-bun-koan,
meski logatnya agak pelo tapi bahasa Hannya masih dapat
didengar oleh Tan Ciok-sing,
Waktu Tan Ciok-sing menoleh. Tampak yang masuk kemah
adalah seorang laki-laki kurus bersih, tiga jalur jenggot
kambing menghiasi dagunya, pakaiannya juga jubah panjang
seperti pakaian orang-orang Han umumnya, tapi dari
tampangnya jelas bahwa dia orang Uighor.
Tan Ciok-sing berkata: "Terima kasih akan pujian tuan.
Mohon petunjuk..."
1987 "Jalakun, kau sudah datang," teriak Tuli-liang, "mana ayah"
Engkoh orang Han, inilah orangnya yang bisa berbahasa Han."
Jalakun berkata: "Ayahmu serahkan kuda api sembraninya
kepadaku, dia menunggang kudaku, maka dia kutinggal di
belakang." Maklum kuda tunggangan pemilik peternakan, ini
adalah kuda pilihan yang tiada bandingannya di daerah itu.
Jalakun memberinya nama Hwe-liong-ki atau Kuda Naga Api.
Lekas Tuli-liang lari keluar menyambut kedatangan sang
ayah. Jalakun berkata: "Kabarnya adikmu setelah minum arak
susu kuda badannya kurang enak bagaimana keadaannya
sekarang" Ilmu pengobatanku meski belum mahir, kalau
bukan penyakit aneh, yakin aku bisa mengobatinya, perlukah
aku memeriksa adikmu?"
"Dia sudah pergi tidur, sampai sekarang belum ada orang
keluar melaporkan keadaannya, kukira keadaannya baik-baik
saja." Sahut Tan Ciok-sing.
Setelah mendengar sekedar penjelasan Tan Ciok-sing,
Jalakun berpikir sejenak, katanya kemudian: "Kukira adikmu
tidak sakit, tapi aku perlu memeriksanya langsung."
Mendengar perkataan orang gerambyang, sukar dipastikan,
Ciok-sing agak bimbang, katanya: "Lalu dia terserang
penyakit, penyakit..."
"Sekarang belum positip. Biarlah tunggu dia siuman, akan
kuperiksa urat nadinya."
Rikuh Tan Ciok-sing bertanya pula. Terpaksa dia alihkan
persoalan: "Kabarnya dua hari yang lalu ada dua orang Han
lewat sini, entah apakah mereka menyebut nama mereka?"
"Ya, mereka memperkenalkan diri. Yang laki bernama Kek
Lam-wi, yang perempuan bernama Toh So-so. Sekarang aku
tahu orang yang mereka cari adalah engkau."
1988 Sesuai dugaan Tan Ciok-sing, tapi dia pun merasa diluar
dugaan: "Kenapa Kek-toako mau menyebut nama sendiri dan
arah tujuannya kepada seorang yang tak dikenal?"
Jalakun seperti dapat meraba isi hatinya, katanya: "Walau
aku belum pernah bertemu dengan mereka, kalau dikatakan
sebetulnya juga tidak asing lagi. Aku sudah tahu bahwa
mereka adalah Jit-te dan Pat-moay dari Bulim-pat-sian."
Tan Ciok-sing heran, katanya: "Darimana kau tahu?"
"Aku pernah melihat Wi-cui-hi-kiau dari Pat-sian," demikian
tutur Jalakun, "syukur mereka sudi memandangku sebagai
teman, hingga aku bersahabat dengan mereka, tapi itu terjadi
beberapa tahun yang lalu, Kek Lam-wi dan Toh So-so belum
keluar kandang, nama Bulim-pat-sian juga belum muncul di
Bulim. Lim Ih-su Lim Tayhiap pernah bilang bahwa dia punya
dua adik laki perempuan yang masih kecil, karena gemar
musik, diapun menjelaskan bahwa adik ke tujuh lelaki itu
hobbynya meniup seruling.
Tan Ciok-sing baru jelas persoalannya, katanya: "Agaknya
kau telah mendengar tiupan seruling Kek Lam-wi, irama
serulingnya memang berbeda dari seruling umumnya, maka
sekali dengar kau lantas menebaknya dengan jitu?"
"Betul." Ucap Jalakun, "maka aku bicarakan Wi-cui-hi-kiau
sama dia, sekali bicara lantas seperti teman lama. Ternyata
dia juga tahu tentang persahabatan Toako dan Jikonya
dengan aku belasan tahun yang lalu."
"Kenapa mereka mau pergi ke Thian-san, apa kau tahu?"
"Katanya menghindar diri dari musuh besar yang menguber
jejak mereka. Aku tanya musuh besar macam apa, apakah
liehay sampai Kanglam-pat-sian tidak mampu
menghadapinya" Kek Lam-wi bilang, bukan mereka takut
menghadapinya, soalnya dia tidak mau memperpanjang
urusan, katanya musuhnya itu bukan manusia jahat, jikalau
Wi-cui-hi-kiau diundang untuk menghadapi mereka, rasanya
1989 terlalu membesar-besarkan urusan. Sudah lama mereka
dengar nama besar dan keliehayan Thian-san-kiam-pay, kau
adalah sahabat mereka, sekarang menuju ke Thian-san lagi,
maka mereka lantas menyusulnya kemari. Sekedar
bertamasya."
Sampai disini Tan Ciok-sing lantas maklum, pikirnya:
"Musuh besar mereka jelas adalah ayah . bunda Liu Yau-hong
yang cabul itu. Wajah Liu Yau-hong dirusak oleh Toh So-so, di
hadapan ibunya pasti dia mengadu biru dan merengek-rengek
kepada ibunya supaya menuntutkan balas sakit hatinya
bersama sang ayah."
Jalakun berkata: "Menurut cerita Kek Lam-wi, kedua
musuhnya itu juga telah mengejar keluar perbatasan, maka
disini mereka hanya menginap semalam, hari kedua buru-buru
berangkat."
Sampai disini pembicaraan mereka, tampak seorang
pelayan berjalan masuk. Salah seorang pelayan yang tadi
memapah In San masuk ke perkemahan yang disediakan
untuknya. Langsung pelayan itu berkata kepada Jalakun:
"Tay-hu (tabib), tolong kau periksa nona Han itu." Jalakun
adalah tamu majikan mereka yang sering datang, orang-orang
Tuli-bun semua mengenalnya baik.
"Kenapa si nona Han itu?" tanya Jalakun.
"Baru saja dia siuman, mendadak mengeluh perut sakit dan
napas sesak, kami memberinya minum kuah Jin-som, tapi
semangkok kuah dia muntahkan seluruhnya."
"Baiklah, sekarang juga akan kuperiksa." Ucap Jalakun
sambil mengajak Tan Ciok-sing masuk.
Melihat Tan Ciok-sing masuk, In San lantas berkata:
"Toako, sungguh tak nyana badanku jadi tak berguna begini,
kali ini pemberangkatanmu mungkin terpaksa ditunda
sementara."
1990 "Jangan kuatir, Jongcu telah mengundang tabib pandai
untuk memeriksa keadaanmu, penyakitmu pasti lekas sembuh
dan besok juga kita sudah bisa melanjutkan perjalanan."
Setelah memeriksa urat nadi In San, wajah Jalakun -
menunjukkan mimik lucu, seperti tertawa tidak tertawa.
In San bertanya: "Tay-hu, aku kena penyakit apa?"
Jalakun berpikir sebentar, katanya tertawa: "Tidak apa-apa,
mungkin kau tidak cocok dengan iklim disini. Cukup makan
dua resep obatku, besok juga kau sudah sembuh."
In San girang, katanya: "Jadi lusa kami sudah bisa
melanjutkan perjalanan?"
"Betul, kalian cukup menunda perjalanan sehari saja." Ujar
Jalakun. Lalu dia membuat resep dan langsung pergi ke
gudang obat Tuli-bun meracik obat dan suruh pelayan
memasaknya langsung diminumkan kepada In San dua kali.
Jalakun tertawa, katanya: "Untung kalian berada di rumah
Tuli-bun, dengan biaya besar tak segan-segan dia membeli
bahan obat-obatan yang mahal dan mujarab ini dari orangorang
Tionghoa di Holin apa lagi hanya obat-obatan biasa
begini; setahunpun cukup kau pakai."
Setelah berada diluar perkemahan, secara berbisik Tan
Ciok-sing tanya kepada Jalakun: "Apa betul adikku itu karena
tidak cocok dengan iklim disini?"
"Aku ingin tanya kepadamu. Kalian bukan kakak beradik
sepupu bukan?"
Tan Ciok-sing menduga Kek Lam-wi sudah menjelaskan
asal-usul dirinya dan hubungannya dengan In San, maka
diapun tidak mau mengelabui, dengan muka merah dia
berkata perlahan: "Betul, kami sebagai kakak adik yang sudah
mengikat jodoh."
1991 Jalakun tertawa lebar, katanya: "Kalau begitu patut kuberi
selamat kepadamu, nona In tidak sakit, tapi dia sudah
mengandung."
Tan Ciok-sing terbeliak, matanya memancarkan sinar
kegirangan, mukanya merah tapi juga malu, kepalanya
tertunduk tak berani bersuara.
Setelah In San minum obat pertama, baru Tuli-bun pemilik
peternakan tiba di rumah.
"Bagaimana keadaan adikmu?" Begitu masuk langsung dia
tanya. "Tidak apa-apa." Sahut Tan Ciok-sing, "tabib bilang
lantaran tidak cocok dengan iklim di daerah sini, setelah
minum obat, besok juga pasti baik."
Hari kedua In San makan dua obat lagi, semangatnya
ternyata pulih dengan cepat, makan minum seperti sedia kala,
juga tidak muntah-muntah lagi. Tapi dia lebih senang makan
barang-barang asam.
Hari ketiga, Tan Ciok-sing dan In San berpamitan kepada
Tuli-bun. Tuli-bun berkata: "Harap tunggu sebentar." Tak lama
kemudian tampak Tuli-liang bersama pawang kuda masingmasing
menunggang seekor kuda mendatangi.
Tuli-liang berkata: "Kuda ini milik ayah, namanya Hweliong-
ki, kuda yang satu lagi adalah kuda liar yang hari itu
berhasil aku tundukkan. Inilah sumbangan ayah dan aku
untuk kalian."
Tan Ciok-sing berkata: "Kuda milik Jongcu mana berani
kami terima" Kuda yang satu ini juga kesukaan Siau-jongcu,
aku, kami..."
Tuli-liang berjingkrak, serunya: "Tidak, kalian harus terima
pemberianku ini. Tan-toako, kau sudah bilang mau menerima,
kenapa sekarang mungkir" Barang yang diberikan kepada
tamu memang adalah barang kesayangan sendiri baru besar
1992 artinya, mana ada orang memberikan barang yang dibencinya
kepada orang lain?"
Tuli-bun tertawa, katanya: "Orang Han kalian biasanya ada
pepatah yang bilang, perkataan seorang Kuncu laksana kuda
dipecut sekali, betul tidak" Kedua ekor kuda ini sudah menjadi
milik kalian, jikalau kalian sudi memandangku sebagai
sahabat, maka jangan kau tolak pemberian kami ini."
Melihat orang tulus dan iklas, Tan Ciok-sing jadi sungkan,
terpaksa dia terima dua ekor kuda itu serta mengucapkan
terima kasih. Tuli-bun berkata lebih lanjut: "Sekantong arak susu kuda ini


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sekantong ransum kering ini untuk bekal kalian di tengah
jalan, terimalah sebagai pernyataan sanubariku."
Baru saja mereka hendak naik ke punggung kuda, tiba-tiba
Jalakun tarik tangan Tan Ciok-sing ke pinggir, diam-diam dia
memberi sebotol pil obat, berbisik memberi pesan entah apaapa.
Sudah tentu tingkah lakunya ini menarik perhatian In
San, diam-diam dia merasa heran.
Setelah jauh meninggalkan peternakan, In San bertanya:
"Sebetulnya aku terkena penyakit apa" Tabib itu sudah
menjelaskan kepadamu?"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Adik San, biar kujelaskan
sejujurnya kepadamu. Tabib bilang kau sudah mengandung.
Sebotol obat ini adalah An-tay-yok, obat penguat kandungan."
In San melenggong, katanya: "Apa betul aku, aku sudah
hamil" Kau tidak ngapusi aku?"
"Kau belum pernah hamil, tapi perempuan hamil tentunya
kau pernah melihatnya, bukankah mereka senang makan yang
kecut-kecut?"
Merah selebar muka In San dengan malu-malu dia
menunduk, tapi hatinya senang bukan main. "Adik San," kata
1993 Tan Ciok-sing, "aku yang bikin kau sengsara, kau, kau tidak
marah kepadaku bukan?"
In San angkat kepala, katanya tertawa: "Siapa bilang aku
tidak senang, aku justru kuatir kau yang tidak senang."
Tan Ciok-sing melongo, tanyanya: "Kenapa aku tidak
senang?" In San tertawa: "Kelak aku jauh menyayangi anak kita dari
pada menyayangi kau, apa kau tidak iri?"
"Memang begitulah yang kuharapkan."
"Aku, aku sedang pikir..."
"Apa yang kau pikir?"
Semekar kembang senyuman ln Sanj katanya perlahan:
"Dari cerita orang aku sering dengar, perempuan yang baru
hamil empat lima bulan masih boleh bergerak bebas. Dengan
menunggang kuda-kuda jempolan pemberian Tuli-bun, dalam
jangka dua bulan pasti kita bisa mencapai Thian-san, kurasa
aku tidak akan mengalami sesuatu. Toh Thian-tok Ciangbunjin
Thian san-pay adalah suhengmu, setiba di Thian-san, boleh
kau mohon kepadanya untuk menjadi wali pernikahan kita.
Sayang mungkin aku tidak bisa menemani pulang ke markas
Kim-to Cecu."
"Kau menunggu kelahiran di Thian-san, disana ada orang
yang akan merawat dan menjagamu, akupun bisa lega
meninggalkan kau disana."
"Aku pun berpikir demikian, Setelah anak kita lahir, biar dia
angkat guru kepada Suhengmu. Setelah dia berusia dua
belasan tahun, baru akan kuajak pulang ke Tionggoan. Tapi
jangan kau biarkan aku menunggu selama itu, kuharap tahun
depan atau paling lama dua tahun sudah harus menengokku
ke Thian-san. 1994 "Kitakan belum sampai di Thian-san, kenapa kau bicarakan
soal kedatangan kedua kalinya?"
"Tidak, toako, aku minta sekarang juga kau berjanji akan
menepati permintaanku."
"Kau kira aku tega meninggalkan kalian ibu dan anak,
sudah tentu selekasnya aku akan menengok kalian."
Manis mesra hati In San, katanya: "Baiklah, ucapan
seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk, kuharap kau tidak
lupa akan janji kita ini. Sing-ko, jangan ngapusi aku."
'Ucapan seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk' adalah
kata yang sering digunakan Tan Ciok-sing, kini In San meniru
logat Ciok-sing mengikat janjinya, karuan bergolak rongga
dada Tan Ciok-sing, sesaat lamanya dia hanya menyengir tak
mampu bersuara.
In San teringat sesuatu, tanyanya: "Oh, ya, hampir lupa
aku tanya kau, bukankah Jalakun membicarakan perihal Kektoako
dan Toh-cici?"
"Jalakun ternyata adalah sahabat baik Wi-cui-hi-kiau, maka
sekali ketemu Kek-toako seperti kenalan lama dengan dia.
Kek-toako bilang kedatangannya kemari untuk menghindari
tuntutan balas orang terhadap mereka."
"Kuda kita lari cepat, yakin suatu ketika pasti dapat
menyusul mereka."
"Benar, bila ada Toh So-so di dampingmu, banyak
pekerjaan yang kurang leluasa kulakukan, dapat dia
membantu kau."
Sudah tentu In San tahu apa yang dimaksud Tan Ciok-sing,
seketika merah mukanya, katanya: "Aku sudah cukup
istirahat, mari kita lanjutkan perjalanan. Bukan mustahil Kektoako
dan Toh-cici sedang menunggu kita di sebelah depan."
1995 Tapi sehari sudah lewat, dua hari sudah berselang,
...sampai hari kelima, mereka tetap tidak berhasil menyusul
Kek dan Toh atau menemukan jejak mereka.
Hari itu mereka tengah mencongklang kuda, tiba-tiba
didengarnya seekor kuda dibedal kencang memburu dari
belakang begitu kencang laksana angin lesus yang
mengamuk. Suara seorang yang sudah dikenal berkata: "Tan-siauhiap,
kau takkan menduga aku bakal menyusulmu bukan" Teman
lama sudah menyusul, kenapa tidak berhenti dan turun dari
kuda, memangnya kau tidak hiraukan persahahatan lagi?"
Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya yang menyusul adalah
Buyung Ka. "Buyung Ka," damprat Tan Ciok-sing gusar, "tidak malu kau
berani menemui aku?"
Buyung Ka tertawa, katanya: "Tan-siauhiap, kenapa kau
bilang demikian, tahukah kau, Ho-siu-oh ribuan tahun yang
diberikan Timanor kepadamu itu sebetulnya milikku."
Menggelora amarah Tan Ciok-sing, bentaknya: "Ho-siu-oh
apa, beruntung aku tidak mati, karena Tok-ing-ji milikmu itu."
"Betul, memang Tok-ing-ji," ujar Buyung Ka tertawa, "aku
kuatir, kau takkan menempuh perjalanan sampai di Thian-san,
bila mampus di tengah jalan, siapa yang akan mengubur
mayatmu, maka kususul kau supaya nona In ada yang
merawatnya..."
Saking murka Tan Ciok-sing meraung sambil menubruk.
Kuatir kekasihnya teledor lekas In San menariknya, katanya:
"Membunuh manusia durjana macam begini buat apa
mematuhi aturan Kangouw."
Buyung Ka tertawa tergelak-gelak katanya: "Kalian tidak
akan mematuhi aturan Kangouw jadi mau mengeroyok aku.
1996 Boleh saja, silahkan maju. Kitapun tidak perlu mematuhi
aturan Kangouw."
Tampak dari dalam hutan menerjang keluar tiga orang
penunggang kuda, lekas sekali mereka sudah jajar di kanan
kiri Buyung Ka. Tiga orang membentak bersama: "Tan Cioksing.
Kau melukai guru kami, kami menuntut balas sakit hati
guru, maaf sesuai perkataanmu kami tidak akan mematuhi
aturan Kangouw."
Tiga orang ini adalah murid Milo Hoatsu, dua padri Lama,
seorang bersenjata gada adalah murid tertua adalah Toa-kiat,
murid kedua bersenjata toya bernama Toa-siu. Seorang lagi
bersenjata kipas lempit, yaitu murid penutup yang paling
dibanggakan, yaitu Tiangsun Pwelek, Tiangsun Co. Kuatir Tan
Ciok-sing tidak mati keracunan, sengaja mereka menyusul
datang dan mencegat serta akan membunuhnya.
Ketiga orang ini turun bersatu! dari punggung kuda.
Sementara itu Tan Ciok-sing sudah melabrak Buyung Ka.
Bahwasanya Buyung Ka memang tangan Yu-hian-ong yang
sengaja ditanam di dekat Jenderal Abu sebagai agen rahasia
untuk membunuhnya kuatir rahasianya terbongkar, sehari Tan
Ciok-sing tidak mati, sehari dia tidak akan hidup tentram.
Maka dia bertekad membunuh Tan Ciok-sing untuk menutup
mulutnya. Keduanya sama-sama sengit dan bertekad merobohkan
lawannya, maka serangan mereka merupakan jurus tipu ganas
dan mematikan. Buyung Ka menyerang dengan Tay-cui-pi-jiu,
Tan Ciok-sing malah mendesak maju balas menyerang dengan
jurus Li Khong memanah batu, pedangnya menusuk leher.
Di tengah berkelebatnya sinar pedang, terdengar "Cret"
tahu-tahu separo gelungan rambut Buyung Ka terbang
berhamburan tertiup angin, tapi Tan Ciok-sing tampak
sempoyongan seperti api lilin yang bergoyang-goyang hampir
padam tertiup angin, setelah mundur beberapa langkah, baru
berdiri tegak pula.
1997 Untung Buyumg Ka berkelit cepat, dia gunakan Hong-tiamthau
menghindar, walau lehernya tidak tertusuk pedang,
namun rambutnya terpapas dan kepalanya botak. Ujung
pedang Tan Ciok-sing menyerempet kulit kepalanya, rasanya
silir dingin. Hanya segebrak, Buyung Ka hampir saja terenggut
nyawanya, karuan rasa kejutnya bukan kepalang, namun
setelah lenyap rasa kagetnya, lekas sekali dia berseru girang:
"Memang tidak lepas dugaanku, Lwekang bocah ini tidak
setangguh dulu, lekas kalian kemari."
Tiangsun Co mendahului melompat maju, dendamnya
terhadap Tan Ciok-sing lebih besar, dengan sengit dia
melabrak maju. Sebelum Tan Ciok-sing berdiri tegak. Tiangsun Co telah
menubruk ke depannya, jengeknya menyeringai: "Anak
keparat rasakan pembalasanku." Sembari bicara tangannya
bergerak, kipas lempit yang di pinggirnya tajam tiba-tiba
terkembang, dengan gerakan Ngo-hing-kiam dia menyerang
gencar, suatu ketika memapas ke tulang pundak Ciok-sing.
Kedatangan In San tepat pada waktunya, hampir bersamaan
Tiangsun Co, dia menerobos ke samping Tan Ciok-sing.
"Tiangsun Co, luka-luka di bokongmu, karena pukulan
empat puluh kali itu sudah sembuh belum" Jangan karena
sudah sembuh lupa akan rasa sakitnya, tempo hari kami
mengampuni jiwamu, pernah kuperingatkan kepadamu, masa
begini cepat sudah lupa," demikian ejek In San dengan tawa
dingin, di tengah ejekannya itu, "Sret", beruntun tiga kali
pedangnya menusuk, menyungkil dan menabas.
Bahwa In San mengorek boroknya, karuan Tiangsun Co
mengumpat caci tidak karuan. Maklum sebagai murid
tersayang dari jago nomor satu di negeri Watsu, Milo Hoatsu,
kalau dinilai kepandaiannya Tiangsun Co tidak kalah dibanding
In San, tapi karena diburu hawa amarah, permainannya
menjadi kacau dan didesak mencak-mencak di bawah angin
1998 oleh In San. Kembali In San mencecar dengan tiga kali
serangan pedang kilat, kipas lempit di tangan Tiangsun Co
berputar dengan jurus Hu-ih-hoan-ih dia berusaha memutar
balik tenaga serangan lawan, gerakan ini memang keahliannya
yang selama ini paling dia banggakan, tapi usahanya hanya
dapat memunahkan dua jurus terdahulu serangan ln San,
jurus terakhir "Ting" kembang api berpijar, ternyata kipas
lempitnya tertusuk bolong. Ceng-bing-kiam yang dipegang In
San adalah pedang mustika milik isteri Thio Tan-hong di masa
hidupnya. Dalam pada itu Toa-kiat dan Toa-siu juga telah menubruk
tiba, setelah lenyap rasa kagetnya Buyung Ka kembali
menerjang maju.
Toa-siu menggerung keras toya besinya diayun dengan
jurus Thay-san-ap-ting terus mengepruk. Bertepatan saat itu
In San berputar tubuh, maka sepasang pedang bergerak
serasi, "Tang" toya kena ditangkis pergi. Kungfu Tan Ciok-sing
memang belum pulih, tapi Siang-kiam-hap-pik memang luar
biasa kekuatannya.
Tan Ciok-sing gentayangan dua kali baru berdiri tegak pula,
sementara Buyung Ka dan Tiangsun Co juga telah mendesak
maju pula, empat musuh merabu dari empat penjuru.
Tan Ciok-sing berkata: "Adik San, selama gunung tetap
menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu bakar. Ada seorang
yang masih perlu kau jaga dan rawat, jangan kau hanya
memikirkan aku, lekas kau berangkat lebih dulu."
Teringat orok yang masih dalam kandungannya, serasa
diiris-iris perasaan In San, "tapi tegakah dia tinggal pergi,
membiarkan Tan Ciok-sing dalam kondisi selemah itu
menghadapi ke empat musuhnya"
Tiangsun Co tidak tahu bahwa ibu In San telah mati, maka
dia kira "orang yang perlu dijaga dan dirawat" oleh In San
seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, dengan gelak tawa dia
1999 berkata: "Tan Ciok-sing, jangan kuatir. Bila kau mati, nona In
aku yang akan menjaganya, bila dia sudah menjadi biniku,
sudah tentu ibunya adalah ibu mertuaku pula. Hehe, setiap
keluarganya adalah jamak kalau aku ikut merawatnya." Di
tengah gelak tawanya, sengaja dia mengebas kipas di depan
muka In San, sementara sebelah tangan diulur hendak
mencengkram. "Kunyuk kurang ajar." Mendadak Tan Ciok-sing
menghardik, selicin belut tiba-tiba dia mengegos maju,
menerobos lewat di antara toya dan gada Toa-siu dan Toakiat
yang merangsak tiba, "Sret" tahu-tahu pedangnya telah
mengancam muka Tiangsun Co.
Lekas Tiangsun Co menekan dan mengebas kipasnya,
"Cret" kembali kipasnya bolong tertusuk pedang, kalau
Tiangsun Co tidak cepat menarik tangan, jari-jarinya tentu
sudah terpapas kutung. Untung dari samping lekas Buyung Ka
memukul sehingga Tiangsun Co didorong mencelat ke
samping. Serangan Tan Ciok-sing masih belum habis tenaganya,
maka tanpa merobah gerakan ujung pedangnya terus
menyelonong ke lingkaran pertahanan Buyung Ka. Padahal
Buyung Ka sudah kerahkan sembilan bagian tenaganya, tapi
tusukan pedang lawan tetap tak kuasa dibendungnya, mau
tidak mau kaget juga hatinya: "Kenapa bocah ini kelihatan
menjadi makin kuat malah, apakah tadi dia sengaja pura-pura
untuk menipu aku?"
Melihat In San terancam bahaya, saking gugupnya, tenaga
simpanannya tanpa sadar timbul secara reflek. Demikian pula
orang biasa, di kala menghadapi bahaya sering bisa
melakukan sesuatu keajaiban yang dalam keadaan biasa
mustahil bisa dilakukan, apalagi sekarang Ciok-sing sudah


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulih tujuh bagian Lwekangnya.
2000 Bahwa Lwekang Ciok-sing lebih kuat inipun dirasakan oleh
In San, segera dia berteriak: "Betul. Di mata ada musuh,
dalam hati tiada musuh."
Tan Ciok-sing seketika sadar, segala keruwetan dan
kekhawatiran hatinya segera dia buang jauh-jauh, lekas sekali
ketenangan dan kejernihan pikiran telah menjamin
kemantapan batinnya. Apakah jiwanya bakal segera tamat"
Dapatkah sebelum dirinya ajal mampu membantu kesulitan
teman baik (Kek dan Toh)" Demikian pula apakah In San dan
bayi dalam kandungannya bisakah selamat" Semua persoalan
yang tadi berkecamuk dalam benaknya, sekarang telah
disapunya bersih sementara.
Bila hati tenang, pikiran jernih dan batinpun bening, tanpa
terasa Lwekangnya bertambah lipat, lekas sekali pulih delapan
bagian. Karena itu gerakan Siang-kiam-hap-pik semakin
manunggal, cukup kuat untuk menandingi ke empat
pengeroyoknya dalam beberapa lama. Tapi keadaan juga
hanya seri alias setanding, dalam waktu dekat tidak mungkin
bisa mencapai kemenangan.
Sebaliknya melihat kekuatan kedua muda mudi ini makin
kuat, pihak Buyung Ka kebat-kebit, meski gencar serangan
mereka, tapi hati sudah mulai was-was.
Pertempuran telah berjalan setengah jam tenaga kedua
pihak sudah terkuras, kekuatan mereka sudah lemah.
Terutama Toa-kiat dan Toa-siu yang bersenjata berat,
keringat gemerobyos, napas tersengal-sengal.
Suatu ketika Tan Ciok-sing melihat titik kelemahan lawan,
sekonyong-konyong dengan jurus Pek-ho-liang-ci, gaya
pedangnya menyelonong miring, dengan enteng dia
menutulkan pedang di ujung gada Toa-kiat. Dalam gebrak
permulaan tadi. Ciok-sing pernah gunakan jurus ini untuk
menuntun gada Toa-kiat, tapi tidak berhasil, tapi kali ini
terlaksana keinginannya.
2001 "Trang" keras sekali, gada emas Toa-kiat membentur toya
besi Toa-siu. Tenaga kedua orang kira-kira sebanding, bobot
senjata mereka juga kira-kira sama, sehingga benturan keras
yang menimbulkan daya pantul itu tak kuasa dikendalikan lagi,
gada Toa-kiat mengepruk remuk kepala Toa-siu, sementara
toya Toa-siu mengemplang pecah batok kepala Toa-kiat.
Sepasang saudara seperguruan ini menjerit keras terus roboh
binasa. Sudah tentu kejut Buyung Ka bukan kepalang, serasa
arwahnya lolos dari raganya, tanpa banyak bicara segera dia
putar tubuh terus ngacir. Tan Ciok-sing gerakan pedang dan
pukulan telapak tangan, pedangnya menabas kulit daging di
pundak orang, sementara telapak tangannya telak
menggaplok punggungnya. Luka pedang agak ringan, celaka
adalah pukulan telapak tangan yang telak mengenai
punggung, "Huuuaah". Darah segar tumpah dari mulutnya.
Tapi Kungfu Buyung Ka memang hebat, meski sudah
terluka parah, dalam detik-detik menghadapi mati hidup ini,
ternyata dia masih mampu lari secepat terbang, sayang
tenaga Tan Ciok-sing sudah bertolak kembali, tusukan
pedangnya yang kedua tidak mengenai sasaran, sebelum
sempat menyerang lagi, lawan sudah cemplak ke punggung
kuda. Kuda itu pemberian Yu-hian-ong, kuda pilihan dari
negeri Turfan yang mahal harganya, kecepatan larinya tidak
kalah dibanding Hwe-liong-ki milik Tan Ciok-sing, padahal
kuda mereka jauh di belakang sana, untuk mengejar jelas
tidak sempat lagi, terpaksa musuh dibiarkan lari.
Taraf kepandaian Tiangsun Co tidak setinggi Buyung Ka,
larinya agak terlambat. Tapi kudanya itupun pilihan dari
Turfan yang sudah terlatih baik, sekali bersiul kuda itu sudah
lari mendatangi, lekas Tiangsun Co memburu maju, saat mana
kakinya sudah masuk pedal dan hendak naik ke punggung
kudanya. 2002 In San amat benci akan ocehannya yang tidak genah tadi,
alisnya tegak, bentaknya: "Bangsat, terlalu menghina kau,
masih mau lari?" Menggunakan sisa tenaganya dia ayun
lengannya terus menimpuk, Ceng-bing-kiam laksana sejalur
samberan kilat meluncur ke depan. Baru saja Tiangsun Co
duduk di punggung kuda, seketika dia melolong panjang
mengerikan. Pedang mustika tembus dari punggung ke depan
dadanya, kontan dia terjungkal roboh dan terpantek di atas
tanah. Kuda itu tergores luka oleh ujung pedang waktu
Tiangsun Co terjungkal, karena kesakitan lari sipat kuping dan
tak kelihatan lagi.
"Sayang Buyung Ka keparat itu bisa lolos," demikian ujar In
San, "Sing-ko, tolong kau cabut pedangku itu." Waktu bicara
tiba-tiba dia sempoyongan hampir jatuh, ternyata waktu
menimpuk pedangnya tadi, dia kerahkan seluruh kekuatannya,
untuk jalan sudah tidak mampu lagi.
Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Adik San, kenapa kau?"
Lekas dia berlari datang memapahnya. Dia pikir pedang
tertunda tercabut sebentar juga tidak jadi soal, sebaliknya
kalau In San terluka perlu segera ditolong dan diobati.
"Tidak apa-apa," kata In San, "hanya kehabisan tenaga
saja, istirahat sebentar juga sudah baik."
Lega hati Tan Ciok-sing, dia genggam tangannya, katanya:
"Coba kuperiksa urat nadimu."
In San kaget, serunya: "He, kenapa telapak tanganmu
sedingin ini" Aku tidak apa-apa, sebaliknya kau..."
Belum habis dia bicara Tan Ciok-sing sudah lepas
pegangan, tampak dia sempoyongan terus jatuh duduk di
tanah. Ternyata setelah memeriksa urat nadi In San, dan
terbukti kesehatannya tidak kurang suatu apa, legalah
hatinya, maka ketahanannyapun luluh dan tak kuat berdiri
lagi. In San buru-buru menariknya, tapi tenaganya sendiri juga
2003 lemah, sehingga mereka sama-sama jatuh terguling
berpelukan. Lekas Tan Ciok-sing duduk dan berkata: "Jangan kuatir,
duduk istirahat sebentar nanti juga baik."
Perasaan In San tidak karuan, pikirnya: "Mungkin sisa
racun dalam tubuhnya belum tuntas, tapi diam-diam
mengelabui aku."
Tak lama kemudian tampak uap putih mulai mengepul di
atas kepalanya, rona mukanya juga makin merah, pelan-pelan
terbuka matanya dan berkata perlahan: "Tenagamu sudah
agak pulih bukan. Tolong kau tuntun kuda kita kemari, kita
harus lekas menempuh perjalanan."
In San juga cukup ahli dalam ilmu silat, dia tahu Ciok-sing
sedang kerahkan Lwekang menyembuhkan sendiri luka-luka
dalamnya, taraf pertama sudah selesai, maka dia berkata:
"Menolong teman memang cukup penting, tapi bila Kungfumu
sendiri menjadi tekor, ada niat tenagapun takkan sampai."
Alasan yang dikemukakan ln San memang beralasan,
terpaksa Ciok-sing membuang segala pikiran, kembali dia
meneruskan samadinya. Setengah jam kemudian, tiba-tiba dia
melompat bangun, katanya: "Sudah selesai."
In San ragu-ragu, katanya: "Apa betul kau sudah baik?"
Tan Ciok-sing membalikkan tangan, sebatang pohon
sebesar paha bayi kena ditabasnya putus, katanya: "Kapan
aku pernah bohong kepada kau?"
Ternyata Kek Lam-wi dan Toh So-so juga sedang ngacir,
keadaan mereka lebih runyam lagi. Baru mereka memasuki
wilayah Sinkiang mereka lantas menemukan jejak musuh yang
mengejar. Hari itu mereka sudah memasuki daerah bersalju, hari ke
sembilan sejak mereka mulai pelarian.
2004 Mendongak mengawasi puncak gunung besar di depan,
lega hati Kek Lam-wi, katanya senang: "Tak terasa kita sudah
sampai di Thian-san."
Toh So-so juga kegirangan, seruaya: "Apa betul" Waktu
kita menginap di perkemahan suku Wana, bila membicarakan
Thian-san, seolah-olah gunung itu jauh di ujung langit, tak
nyana tahu-tahu sudah di depan mata?"
"Ini hanya cabang gunung Thian-san, namanya Liam-cengtang-
ku-la-san." Ujar Lam-wi.
"O, jadi kau menggodaku supaya senang." Omel Toh So-so.
"Meski bukan puncak Thian-san, tapi terhitung kita sudah
berada di kaki Thian-san. Entah berapa hari lagi kita harus
menempuh perjalanan, tapi apapun setelah kita tiba disini,
Thian-san tidak jauh di ujung langit pula, kini kita sudah
didalam haribaannya."
"Betul, makin dekat Thian-san, semakin jauh kita
meninggalkan bahaya. Meski kedua tua bangka itu punya nyali
setinggi langit, juga tidak akan berani berbuat apa-apa
terhadap kita di Thian-san."
"Bisa bebas dari kejaran mereka memang syukur, tapi yang
lebih menyenangkan hatiku ialah,'sehari kita makin mendekati
Thiansan.. "
"Sehari kau bisa lebih cepat bertemu dengan Tan Ciok-sing
dan ln San. Em, setiap saat kau merindukan mereka, untung
Ciok-sing seorang laki-laki, kalau perempuan tentu aku sudah
jelus." Entah dari mana rasa riang Toh So-so meski lelah
setelah menempuh perjalanan jauh dan susah, "Lam-ko, aku
kepingin mendengar tiupan lagu serulingmu. Sudah sekian
hari kita hidup dalam pelarian yang menegangkan, sekarang
tiba saatnya menghibur diri."
2005 Tak nyana belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar
sebuah lengking suara yang menusuk telinga: "Budak busuk,
coba buktikan, dapatkah kau lari dari cengkramanku."
Orangnya belum kelihatan, tapi suaranya sudah bikin pekak
telinga Toh So-so.
Toh So-so tahu siapa yang memekik keras itu, saking kaget
dia menjerit ketakutan.
Kek Lam-wi kembangkan Ginkang berlari ke atas seperti
terbang. Tampak dari depan "mendatangi dua orang, seorang
kakek dan seorang nenek, mereka bukan lain adalah ayah
bunda Kangouw Longcu Liu Yau-hong yaitu Thian-liong-kiamkhek
Liu Jiu-ceng dan isterinya Yam-lo-sat Bing Lan-kun.
"Liu-locianpwe," teriak Kek Lam-wi, "kau adalah seorang
Cianpwe yang punya nama dan kedudukan tinggi di kalangan
Bulim, kau harus berpegang keadilan dan kebenaran, putramu
itu..." yang benar Liu Jiu-ceng memang ternama, tapi
'kedudukan' tinggi hakikatnya tiada.
Sebelum Kek Lam-wi bicara habis, Bing Lan-kun sudah
membentak: "Orang she Kek urusan tidak menyangkut dirimu.
Aku hanya ingin mendapat jawaban budak busuk itu... Ada
dua jalan boleh kau pilih salah satu, kalau mau boleh menjadi
menantuku, kalau tidak biar kugores mukamu beberapa jalur,
seperti kau melukai putraku itu."
Meski jeri tak urung membara amarah Toh So-so, serunya:
"Nenek peyot galak, tahukah kau putra kesayanganmu itu..."
"Budak busuk," sentak Bing Lan-kun, "kau sudah melukai
putraku, berani memakiku." Tar, pecutnya kontan terayun.
Lekas Kek Lam-wi mencegat ke depan, teriaknya: "Liulocianpwe,
kau orang ternama, urusan harus dibicarakan dulu
supaya gamblang bukan?"
2006 Membesi muka Liu Jiu-ceng, katanya: "Aku tidak memukul
kau. Keluarga Liu kita mau memungutnya menjadi menantu,
memangnya merendahkan derajatnya?"
Toh So-so jelas bukan tandingan Bing Lan-kun, beberapa
kali dia diancam bahaya, terpaksa Kek Lam-wi
mendampinginya melawan musuh.
Bing Lan-kun mengembangkan Wi-hong-sau-yap, ilmu
cambuknya yang paling dibanggakan, "Sret, sret" angin
menderu menimbulkan gulungan angin yang kencang, seolaholah
mendadak timbul pusaran angin lesus menggulung ke
arah Kek dan Toh berdua.
Cambuk lemas panjang itu berputar menjadi beberapa
lingkaran, tegak miring datar, besar sedang dan kecil, didalam
lingkaran ada lingkaran. Begitu hebat dan menakjubkan juga
permainan cambuk Bing Lan-kun. Kek Lam-wi dipaksa untuk
mendemontrasikan King-sin-siau-hoat yang baru dipelajarinya
atas petunjuk Ti Nio, namun demikian, tak berhasil dia
memunahkan lingkaran-lingkaran besar kecil itu. Tak lama
kemudian gerak-gerik mereka sudah terbelenggu didalam
lingkaran cambuk lawan.
Di tengah kesibukannya itu mendadak Kek Lam-wi bersiul
sekali lalu bersenandung membawakan dua bait syair.
Bing Lan-kun menjengek dingin: "Kematian di depan mata
masih bersenandung segala." Padahal dalam hati merasa
heran, dalam detik-detik yang gawat begini, ternyata lawan
masih sesantai itu berdeklamasi segala.
Tampak permainan seruling Kek Lam-wi, tiba-tiba berobah.
Serulingnya tegak dahulu, mendadak terayun berputar laksana
angin lesus, empat penjuru suhu hawa menjadi dingin.
Perbawanya sungguh mirip gunung bersusun dan berlapis
sesuai arti syair yang dia senandungkan tadi. Herannya
rangsakan cambuk Bing Lan-kun terbendung diluar garis.
2007 Ternyata King-sin-siau-hoat merupakan cangkokan dari
King-sin-pit-hoat yang mengutamakan sumber syair kaya
pujangga di dynasti Tang dahulu, dua jurus yang dilancarkan
deklamasinya membawakan dua bait syair pula, serulingnya
bergerak dari atas ke bawah terus membabat dan menyapu.
Bing Lan-kun sudah kembangkan Wi-hong-sau-yap dari ilmu
cambuknya yang paling liehay, tapi cambuk lemasnya tetap
tak mampu menjebol garis pertahanan lawan. Habis
senandung, mumpung lawan terdesak dan merobah gerakan,
tiba-tiba Kek Lam-wi angkat serulingnya ke dekat mulut lalu
ditiupnya sekali, "Suuiiiit" Bing Lan-kun memaki: "Setan, apa
yang kau lakukan?" Mendadak serumpun angin panas
menerjang muka, karuan kagetnya bukan main, dia kira lawan
menggunakan senjata rahasia khusus yang ditiup keluar dari
serulingnya, lekas dia tarik dan putar cambuknya untuk
melindungi badan. Yang benar yang menerpa mukanya bukan
senjata rahasia tapi serumpun hawa hangat dari tiupan
serulingnya yang panas. Seperti diketahui, seruling Kek Lamwi
itu adalah mustika dunia persilatan, bukan saja kerasnya
melebihi besi atau emas, malah hawa hangat yang keluar dari


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seruling pualam itu dapat menyerang musuh dan
menundukkan serangan Khikang lawan yang negatif. Sudah
tentu untuk melancarkan tiupan seruling ini harus dilandasi
kekuatan Lwekang yang cukup tangguh juga. Lwekang Bing
Lan-kun lebih tinggi dari Kek Lam-wi, maka dia tidak terluka
oleh tiupan hawa murni. Tapi muka kesampuk hawa hangat
itu menjadi pedas dan perih.
"Tua bangka," teriak Bing Lan-kun, "anak itu bukan milikku
sendiri, kau biarkan orang menghinaku."
Liu Jiu-ceng takut bini seperti berhadapan dengan harimau,
terpaksa dia menampilkan diri. Begitu dia terjun ke arena,
situasi segera berobah. Hanya beberapa jurus Kek Lam-wi
telah terdesak di bawah angin, tenaga sebesar gunung
menindihnya, bukan saja gerakan seruling terasa berat dan
2008 susah dimainkan secara wajar, gerak geriknyapun menjadi
kurang leluasa.
Tengah mereka menghadapi bahaya, tiba-tiba terdengar
irama petikan harpa sayup-sayup sampai terbawa angin lalu.
Mendengar petikan senar-senar harpa yang merdu itu,
diam-diam Liu Jiu-ceng melengak kaget. "Siapa memiliki
Lwekang setangguh ini, apakah Toh Thian-tok Ciangbunjin
Thian-san-pay telah datang?"
Maklum pertama irama kecapi itu terdengar, suaranya
mengalun lembut sayup-sayup sampai seperti berada di
tempat yang amat jauh, tapi dalam sekejap tahu-tahu sudah
berkumandang jelas dan lebih dekat, Ginkang pendatang jelas
sudah teramat tinggi. Orang yang bisa memanjat pegunungan
setinggi ini, jelas bukan orang sembarangan, apalagi Ginkang
pendatang itu begitu tinggi, petikan senar kecapinya begitu
indah dan merdu lagi, sehingga siapa yang mendengar merasa
susah diraba dan dirasakan, logis kalau Liu Jiu-ceng curiga
yang datang adalah Ciangbunjin Thian-san-pay.
Pertarungan jago kelas wahid mana boleh terpecah
perhatiannya, hanya sekejab itu, Liu Jiu-ceng melancarkan
serangan pedang yang dikombinasikan pukulan telapak
tangan. "Biang" Kek Lam-wi kena dipukulnya mencelat dengan
Bik-khong-ciang. Liu Jiu-ceng juga tertiup angin hangat dari
seruling Kek Lam-wi, tepat mengenai Hian-khi-hiat di dadanya.
Lwekang Liu Jiu-ceng lebih tangguh dari Kek Lam-wi, cukup
tiga kali dia mengatur pernapasan, cepat sekali dia sudah
segar bugar. Tapi dalam sekejap itu diapun tidak bisa
memburu Kek Lam-wi untuk membekuknya.
Di sebelah sana Yam-lo-sat Bing Lan-kun telah menyandak
Toh So-so. Toh So-so menjejak kaki sekuatnya, meloncat
berusaha menghindar, sayang gerakannya kurang cepat
serambut, "Brett" pakaiannya tercomot robek oleh cakar setan
lawan. 2009 Tapi pada detik-detik berbahaya itu pula, Kek dan Toh
memperoleh pertolongan yang tak pernah mereka duga, Toh
So-so sudah terpeleset jatuh. Bing Lan-kun menyeringai:
"Budak busuk, kau mau menjadi menantu atau suka menjadi
setan burik" Lekas katakan, kuhitung tiga kali, kalau kau tidak
menjawab, terpaksa akan kucacah wajahmu dengan pedangku
ini. "Satu, dua..."
Toh So-so merangkak mundur, belum mampu dia berdiri,
sementara sambil menghitung Bing Lan-kun mendesak maju
sambil ulur cakar jarinya, tapi sebelum dia sempat menghitung
'tiga'. Sekonyong-konyong selarik sinar kemilau laksana kilat
menyambar, bersama kilat pedangnya menyambar penyerang
inipun menubruk maju laksana seekor burung besar menubruk
ke arah Bing Lan-kun.
Bing Lan-kun amat kaget, lekas dia mencelat minggir ke
samping sambil mengibas lengan baju. Maka terdengar suara
robek yang panjang, ternyata kebasannya itu bukan saja tidak
mampu menangkis pedang lawan, malah lengan bajunya
terpapas sebagian. Untung Bing Lan-kun mengeluarkan
cambuknya pula, dengan jurus Wi-hong-hud-liu, baru dia
berhasil mematahkan dua jurus serangan ilmu pedang lawan.
"Perempuan siluman, berani kau menyakiti Toh-cici, biar
aku adu jiwa dengan kau."
Baru sekarang Bing Lan-kun melihat jelas penyerang
dirinya adalah seorang gadis belia, dia bukan lain adalah In
San. Bahwa In San sudah tiba, sudah tentu Tan Ciok-sing juga
sudah datang. Kedatangannya juga tepat pada waktunya,
kebetulan dia tangkap tubuh Kek Lam-wi yang terpukul
mencelat dan hampir terjerumus ke dasar jurang.
Untung waktu melancarkan Bik-khong-ciang, Liu Jiu-ceng
kurang konsentrasi, maka tenaga pukulannya tidak
sepenuhnya. Beruntung pula Kek Lam-wi tidak terpukul telak,
2010 meski pukulan Bik?khong-ciang cukup keras namun Kek Lamwi
tidak terluka sama sekali. Tapi bila Kek Lam-wi menginjak
bumi, seketika dia merasa napasnya sesak, sekujur badan
lemah lunglai. Melihat orang tidak terluka, legalah hati Tan Ciok-sing,
segera dia tampil ke depan, katanya lantang sambil menjura:
"Liu-locianpwe, kejadian luka-luka atas putramu itu, kesalahan
tidak boleh ditumplekkan kepada Toh Lihiap saja. Waktu
kejadian Wanpwe kebetulan juga hadir. Sudilah kau
mendengar dulu penjelasanku, supaya pertikaian kalian bisa
kudamaikan."
Sebetulnya tak usah dijelaskan oleh Tan Ciok-sing, Liu Jiuceng
sudah tahu bahwa kesalahan memang di pihak putranya.
Tapi karena dia terlalu sayang dan memanjakan putranya, di
samping didesak dan diomeli istrinya yang bawel dan galak
itu, meski tahu di pihak sendiri yang salah, terpaksa dia
berusaha menuntut balas bagi sakit hati anaknya.
Yang dia takuti adalah Ciangbunjin Thian-san-pay Toh
Thian-tok, melihat yang datang adalah pemuda tanggung usia
belum genap dua puluh tahun, legalah hatinya.
Dengan menyeringai dingin Liu Jiu-ceng membentak:
"Bocah dari mana kau, setimpal kau jadi juru damai" Lekas
menyembah tiga kali dan menggelinding turun gunung kalau
tidak, hm, hm, segera kupunahkan ilmu silatmu."
Melihat kawan baiknya dihina, sudah tentu Tan Ciok-sing
amat marah, bentaknya: "Kalau mampu boleh silahkan kau
punahkan ilmu silatku." Pedang tercabut terus diputar balik,
"Tang" kembang api berpijar, dua pedang mustika bentrok
keras, tiada yang cidera. Lwekang Liu Jiu-ceng jelas lebih
tinggi, maka pedang mustika Tan Ciok-sing tertolak pergi,
tubuhnyapun gentayangan dua langkah. "Kena." Tiba-tiba Liu
Jiu-ceng menghardik, dengan jurus Li Khong memanah batu,
ujung pedangnya menusuk ulu hati dari arah punggung Tan
Ciok-sing. 2011 Di luar tahunya Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing sekarang
sudah diyakinkan sempurna, permainan sudah selaras dengan
pikirannya, reaksinya juga cekatan, tiba-tiba dia gunakan Ihsing-
hoan-wi, menghindar sambil balas menyerang,
langkahnya gentayangan seperti orang mabuk, tapi pada hal
merupakan gerak perpaduan dengan ilmu pedangnya yang
mengandung isi kosong susah diraba. Seperti orang mabuk
menggerakkan pedang saja, gerakan pedang seenaknya itu
tahu-tahu sudah menusuk dari arah dan posisi yang tak
terduga oleh Liu Jiu-ceng.
Kalau yang diserang seorang yang berkepandaian agak
rendah, tubuhnya pasti dihiasi tusukan pedang Tan Ciok-sing,
tapi Liu Jiu-ceng mengerahkan Thian-liong-kang sekali
tusukannya, arena seluas beberapa tombak seperti
terbelenggu didalam kekuatan dalamnya sekokoh tanggul dan
sekeras damparan ombak mengamuk, terpaut setengah inci
tusukan pedang Tan Ciok-sing, ujung pedangnya tergetar
pergi oleh kekuatan Lwekang lawan. Tapi, Tan Ciok-sing
berhasil memanfaatkan kesempatan baik ini, mencelat kesana
bergabung dengan In San. Ternyata In San sedang didesak
mundur oleh rangsakan Bing Lan-kun yang gencar dan ganas.
Siang-kiam-hap-pik kekuatannya berlipat ganda, Liu Jiuceng
yang memburu datang dengan serangan pedangnya
kena ditangkis cerai berai. Demikian pula cambuk panjang
Bing Lan-kun seperti terkunci didalam lingkaran sinar pedang,
buru-buru dibetotnya keluar. Padahal cukup tangkas
reaksinya, tapi terdengar "Cras" sekali, ujung cambuknya
terpapas putus. Saking kaget Bing Lan-kun melompat ke dekat
suaminya. Maka kedua pihak sudah sama-sama gabung
dengan kawannya sendiri.
Tan Ciok-sing menghentikan aksinya, katanya: "Liulocianpwc,
berlakulah murah hati, dimana boleh diampuni,
berilah pengampunan..." dia masih berusaha melerai.
2012 "Bocah keparat." Hardik Liu Jiu-ceng dengan gusar, "kau
kira aku takut menghadapi Siang-kiam-hap-pik kalian?"
Dimana pedangnya membelah, angin kencang menderu
sekeras badai, sinar pedang yang tercerai berai tiba-tiba
melingkup pula, laksana mata rantai saja tahu-tahu menyapu
miring terus melintir-lintir. Jurus ini merupakan serangan
hebat dari setaker tenaganya, Thian-liong-kang dia salurkan
ke ujung pedang, Siang-kiam-hap-pik yang dilancarkan Tan
Ciok-sing dan In San juga hanya mampu bertahan dan
menahan saja. Pertempuran seru berulang, ujung pedang Liu Jiu-ceng
seperti diganduli barang berat, menuding ke timur menusuk
ke barat, gerakannya seperti amat parah, tapi dimana ujung
pedangnya menuding, kekuatannya ternyata besar luar biasa,
sayup-sayup seperti terdengar gemuruh gcluduk. Kalau dalam
keadaan biasa, dengan gabungan Tan Ciok-sing dan I n San,
Liu Jiu-ceng tentu sudah dikalahkan sejak tadi. Tapi keadaan
Tan Ciok-sing sekarang agak payah. Lwekangnya belum pulih.
luka dalam, keracunan lagi, demikian pula In San sedang
hamil, hingga gerak geriknya harus dibatasi, maka sekuatnya
mereka masih kuat bertahan.
Kek Lam-wi dan Toh So-so menyaksikan pertempuran
diluar gelanggang, tampak sinar pedang dan bayangan
cambuk samber menyamber, daun pohon pun berhamburan,
kembang sama rontok bertaburan, dalam sekejap saja, daundaun
dan kembang-kembang di atas pohon sekitar
gelanggang telah rontok menjadi gundul kelimis, tinggal
dahan-dahannya saja. Kek Lam-wi geleng-geleng sambil
menghela napas panjang, bukan saja takjub diapun kagum
dan kaget pula, rasa gegetun merasuk sanubarinya karena
dirinya tidak mampu membantu.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar sebuah siulan panjang,
bagai pekik naga mengalun tinggi menembus angkasa
menggetar bumi. Tan Ciok-sing anggap tidak mendengar
2013 siulan itu, perhatiannya tertuju kepada musuh di depan mata.
Sebaliknya Liu Jiu-ceng amat kaget, pikirnya: "Entah orang itu
kawan atau lawan, Lwekangnya jauh lebih tangguh dari Tan
Ciok-sing keparat ini."
Tan Ciok-sing sedang mengembangkan kekuatan Bu-bingkiam-
hoat pada puncaknya, sayang tenaganya tidak memadai,
sebetulnya mereka sudah tidak kuat bertahan lagi, apa lagi
kedatangan lawan yang Kungfunya lebih tangguh dari Tan
Ciok-sing" Karena kaget dan perasaan tergetar, betapapun
hebat ketenangannya, tak urung permainan pedangnya
menjadi kacau. Kalau permainannya menurun, sebaliknya cahaya pedang
Tan Ciok-sing mendadak tambah cemerlang, maka
terdengarlah rangkaian benturan keras dan bunyi nyaring
sederas bunyi ledakan mercon, cambuk panjang Bing Lan-kun
terputus-putus menjadi delapan potong. Pedang Liu Jiu-ceng
memang tidak kurang suatu apa, tapi bahaya yang
mengancam dirinya jauh lebih besar, topinya tertusuk bolong
oleh pedang Tan Ciok-sing kulit kepalanya menjadi silir.
Memutar tubuh Liu Jiu-ceng terus melarikan diri. Baru
sekarang Tan Ciok-sing sempat dengar seorang yang suaranya
asing memuji: "Ilmu pedang bagus."
Sekenanya orang itu meraih sekeping es terus tangan
terayun, bentaknya: "Kalian berani bertingkah di Thian-san,
lantas mau lari begini saja" Tinggalkan sedikit tanda mata."
Begitu ditimpukkan, kepingan es itu lantas pecah menjadi dua
dan meluncur ke arah dua sasaran. Bing Lan-kun lari di depan
sementara Liu Jiu-ceng di belakangnya, tapi kedua orang
terkena timpukan es itu berbareng.
Kontan Bing Lan-kun menjerit terus menggelinding ke
bawah lereng, Liu Jiu-ceng juga merasakan hawa dingin
meresap kedalam tubuh, kaki tangan dan pori-pori seluruh
tubuh seperti melepuh dan hampir meledak. Ternyata ilmu
silat Bing Lan-kun telah punah, demikian juga Liu Jiu-ceng
2014 kehilangan Lwekang sepuluh tahun latihan. Untung Liu Jiuceng
masih mampu mengembangkan Gin-kang, Bing Lan-kun
yang menggelundung di tanah bersalju juga tidak terluka
parah, tanpa berhenti Liu Jiu-ceng gendong isterinya terus lari
turun gunung tanpa pamitan lagi.
Melihat orang itu mendemonstrasikan ilmu silat yang hebat
luar biasa, Tan Ciok-sing sudah tahu siapa yang datang,
serunya: "Apakah Toh-suheng yang datang" Siaute adalah..."
saking kegirangan, tiba-tiba terasa hawa murninya buyar,
pandangan seketika berkunang-kunang, seperti lidah api ditiup
angin kencang, tubuhnya terombang-ambing.
"Ciok-sing Sute," seru Toh Thian-tok. "Aku sudah tahu kau
adalah murid penutup Suhu. Eh, Sute kau kenapa?"
Tan Ciok-sing sudah tidak tahan, akhirnya meloso duduk di
tanah, tapi dia tidak melupakan satu hal yang amat penting.
"Suheng, ada sebuah hal penting perlu aku memberi tahu
kepadamu, di hari tuanya Suhu telah mencipta Bu-bing-kiamhoat,
sayang aku tidak sempat menjelaskan kepadamu
panjang lebar."
"Sute," ujar Toh Thian-tok, "jangan kau kuatirkan soal ini
setelah menyaksikan ilmu pedangmu, aku sudah tahu
pedangnya..." sebagai maha guru silat nomor satu di jaman
ini, begitu dia tekan punggung Tan Ciok-sing lantas dia tahu,
ajal Tan Ciok-sing sudah tak bisa ditunda lagi, ternyata Toking-
ji di tubuh Tan Ciok-sing telah kumat sehingga hawa
murninya buyar seketika.
Tan Ciok-sing turunkan harpa, katanya: "Kek-toako, sudah
lama kau ingin mendengar lagu Khong-ling-san, belum pernah


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada kesempatan aku memetik lagu itu untuk kau dengar,
sekarang biarlah aku penuhi keinginanmu." Sebelum Kek Lamwi
sempat mencegah jari-jarinya sudah mulai memetik senarsenar
harpa. 2015 Seperti sepasang kekasih yang sedang asyik memadu cinta,
seperti sesama kawan intim yang melepas rindu. Seperti pula
berada di Kanglam di saat musim kembang mekar, laksana
berdiri di puncak gunung nan tinggi dimana hembusan angin
laksana siulan merdu... tanpa terasa In San tenggelam dalam
alunan musik sehingga pikirannya melayang jauh ke belakang,
akan kejadian-kejadian masa lalu di saat-saat dirinya memadu
cinta bersama Tan Ciok-sing.
Mendadak bunyi harpa berobah, seperti pekik lutung di
selat sungai, laksana isak tangis seorang gadis yang ditinggal
kekasih, Ciok-sing telah curahkan seluruh batinnya untuk
mencurahkan isi hati dan makna suci dari Khong-ling-san di
saat-saat jiwanya tinggal menuju ajal. Berpisah dengan
teman, berpisah dengan isteri... mendadak "Creng" senar
harpa putus. Senar putus jiwapun melayang. Lama In San mematung
seperti linglung, akhirnya dia tersedu sedan sambil memeluk
jenazah Tan Ciok-sing.
TAMAT Ikuti kisah-kisah serial Thiansan sebelum ini:
1. Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika)
Kisah masa muda Hian Kie Itsoe (Tan Hian Kie), Siangkoan
Thian Ya dan Siauw Oen Lan. Lika-liku kisah kasih di antara
mereka, dan pertentangan di antara mereka.
Dalam cerita ini dapat diikuti kisah hilangnya ilmu pedang
Tat Mo Kiamhoat Boetong pay.
2) Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan)
Kisah masa muda Thio Tan Hong dan In Loei. Kisah cinta
kasih di antara mereka, yang dilatar belakangi dendam
turunan keluarga. Selain permusuhan dengan keluarga In
Loei, keluarga Thio Tan Hong juga merupakan musuh turunan
2016 dari kaisar yang berkuasa saat itu. Apa yang terjadi, bila
permusuhan dua keluarga bercampur dengan urusan negara"
3) San Hoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga)
Kisah Ie Sin Tjoe, murid Thio Tan Hong. Dua enghiong
yang berbeda sifat mencintai satu liehiap, mana yang dipilih si
Pendekar Wanita Penyebar Bunga"
Perseteruan keluarga kerajaan dengan keluarga Thio Tan
Hong sudah selesai, ganti keluarga Pit yang juga merasa
berhak atas tahta kerajaan yang melakukan pemberontakan.
4) Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu)
Setelah menjadi pendekar besar, Thio Tan Hong akhirnya
bertemu dengan musuh terberatnya. Cerita ilmu Sioelo Imsat
Kang dari Kiauw Pak Beng akan muncul kembali dalam cerita
Perjodohan Busur Kumala, bersama dengan turunan Le Kong
Thian. Seruling Samber Nyawa 2 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Kisah Sepasang Rajawali 11
^