Pendekar Latah 28

Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Bagian 28


Cara bagaimana Bu-lim-thian-kiau pukul Lui-tai
mengalahkan jago Mongol" Apakah Wanyan Tiang- ci kuat
menghadapi murid2 Cun-seng Hoat-ong"
Kalau sudah jodoh mau kemana" ikutilah liku2 perkenalan
Tiong siau-hu dan siangkoan Pocu, Aneh, lucu dan
menyenangkan. (Bersambung keBagian 59)
Bagian 59 "CRET" tahu2 tajam pedang si pemuda memutar miring,
lengan baju Bulim-thian-kiau sendiri malah yang tergoroS
robek. Agaknya Iwekang dan kepandaian pedang si pemuda
diluar perkiraannya. Karena pedangnya tersampuk pergi
sipemuda kaget dan gusar, kembali dia bersuit panjang, ilmu
pedang yang lihay dan ganas segera dia lancarkan laksaana
kilat tujuh serangan pedang dia cecar Bulim-thian-kiau.
Ternyata si pemuda kira Bu-lim-thian-kiau adalah cakar
alap2 kerajaan Kim, yang akan melakukan sesuatu yang tidak
menguntungkan Hu-hud-si, maka dia melabraknya dengan
sengit, Sultannya pertama minta pertolongan kepada Sukhong
Siangjin di Hu-hud-si.
Dengasi mengembangkan Lok-eng-ciang-hoat, Bu-limthian-
kiau pergunakan tenaganya secara pas2an mematahkan
semua serangan tipu pedang sipemuda, Ada kalanya diapun
balas menyerang ketempat berbahaya ditubuh si pemuda,
ingin dia melihat cara bagaimana si pemuda menghadapinya.
Puluhan jurus cepat sekali sudah berlalu, ilmu pedang
sipemuda ganas dan tabah serta mantap, terutama
perubahannya seringkali terjadi diluar dugaan2 serta amat
menakjubkan, Bu-lim-thian-kiau heran dan kagum, maklumlah
pengetahuan Bu-lim-thian-kiau cukup luas, ilmu pedang dari
berbagai golongan dan aliran tiada yang bisa mengelabui
dirinya. Tapi setelah jajal puluhan jurus kepandaian si pemuda,
sedemikian jauh dia belum berhasil mencari tahu asal usul
perguruan si pemuda.
Agaknya si pemuda juga tahu Bu-lim thian-klau tidak
melayaninya sepenuh tenaga, serunya gusar:
"Bagus, kau berani permainkan aku, nanti akan kubuat kau
menyesalpun sudah kasep."
"Aku kan bukan musuhmu, buat apa harus adu jiwa" Bicara
terus terang semuda usiamu ini memiliki kepandaian sebagus
ini sungguh harus dipuji. Tapi aku tidak mengerti kenapa aku
harus menyesal?"
Belum habis dia bicara, tiba2 didengarnya sipemuda
berteriak keras:
"Suhu, lekas kemari."
"Bagus sekali, aku memang ingin berhadapan dengan
gurumu." ujar Bu-lim-thian-kiau sambil berpaling, dilihatnya
su-khong siangjin muncul dari balik pohon dengan berseri
tawa. Baru sekarang Bu-lim-thian-kiau sadar, kiranya pemuda
ini adalah murid preman su-khong siangjin.
"Tam-tayhiap lumayan bukan kepandaian muridku ini" Huji,
tidak lekas kau mohon petunjuk kepada Tam-tayhiap."
"Muridmu memang tunas muda yang penuh harapan
dimasa datang, usia semuda ini sudah matang kepandaianmu.
Kuhaturkan selamat kepada Taysu yang sudah mendapat
murid pewaris."
" Kalau mewarisi kepandaian silatku sih dia masih setimpal,
namun untuk mendalami ajaran agama, sulit sekali, Maka
bolehlah dikata sebagai setengah pewaris ku saja."
sudah tentu sipemuda melongo, tak pernah terpikir olehnya
bahwa gurunya mempunyai teman dari bangsa musuh,
dengan malu dan risih segera dia maju memberi hormat dan
minta maaf, su-khong siangjin segera menerangkan.
"Tam-tayhiap ini adalah Tam-pwecu yang bergelar Bu-limthian-
kiau, bernama Tam Ih-tiong. Dia menentang kelaliman
rajanya membela bangsa Han kita, sampaipun kedudukan
Pengeranpun dia tinggalkan. Kenapa kau tidak tahu diri,
datang2 berbuat salah dan kurang ajar kepada Tam-tayhiap.
selanjutnya jangan gegabah lagi."
"Tidak tahu tidak berdosa." ujar Bu-lim-thian-kiau tertawa
"Aku suka pemuda berdarah panas seperti muridmu ini.
Tadi memang aku yang memancingnya mengembangkan ilmu
pedangnya,"
setelah tahu asal usul Bu-lim-thia-kiau, sipemuda kelihatan
menyesal, katanya tergagap:
"Memang aku yang salah, selanjutnya tidak setiap orang
Nuchen akan kupandang sebagai Tatcu."
"Muridku ini bernama- Tiong siau-hu, ayahnya Tiong Thayhu
adalah orang sekolahan, karena tidak mau diperalat oleh
kerajaan Kim dia mengasingkan diri diselokan gunung ini,
Dirumah dia belajar surat dan membaca kepada ayahnya,
setiap dua tiga hari datang ke Hu-hud-si, akulah yang
mengajar silat ke-padanya." lalu dia berpaling dan tanya:
"Hu-ji, untuk apa malam2 kau berada disini?"
"Kudengar banyak pengemis yang berdatangan ke Hu-hudsi
entah apa yang terjadi, maka ingin aku mencari tahu."
"Bu-pangcu dari Kaypang berada dikuil kita, dia kemari
bersama Tam-tayhiap. Kebetulan kau boleh berkenalan
dengan Bu-pangcu, kelak kalau kelana di Kangouw supaya ada
orang yang menilik dan melindungimu." maka mereka bertiga
kembali ke Hu-hud-si.
Di jalanan tiba2 Tiong siau-hu bertanya:
"suhu, kepandaianku sekarang apakah sudah cukup untuk
bekal kelana di Kaugouw?"
"soal kepandaian sulit dikatakan," ujar su-khong siangjin,
"diatas langit masih ada langit orang pandai ada yang lebih
pandai, tiada sesuatu yang mutlak dan tidak terbatas, banyak
jago2 silat pandai umpama naga sembunyi harimau
mendekam di Kangouw, sudah tentu tidak sedikit yang lebih
unggul dari kau. Tapi kalau hati2 dan selalu waspada,
memang tiada halangan kau mencari pengalaman di
Kangouw, Kenapa" apa kau ingin turun gunung?"
"Ayah hendak suruh aku ke Kang lam mencari Khing ciau
Toako, menyampaikan penyesalan dan minta maaf
kepadanya."
kiranya Tiong Thay-hu adalah sahabat kental Khing Tiong,
ayah Khing Ciau, setelah tahu Khing ciau kembali ke Kang lam
membawa pesan ayahnya batal dia menyesal, kenapa dulu dia
salah paham kepada Khing Tiong yang terima menjabat
pangkat dikerajaan Kim, Maka setelah putranya dewasa dia
suruh anaknya menemui Khing ciau untuk mengikat hubungan
baik kedua keluarga.
"Oh, kau mau cari Khing ciau, Dia berada di pangkalan
Hong-lay-mo-li, bulan depan mungkin akan berada di Ki-liansan.
Dengan Khing ciau akupun kenal baik sekali." demikian
tutur Bu- lim-thian- kiau.
"Sungguh kebetulan, Hu-ji, kuidzinkan kau turun gunung,
Beberapa hari lagi kau boleh ikut Tam-tayhiap cari
pengalaman, Ada Tam-tayhiap dan Bu-pangcu yang
mengawasimu, legalah hatiku." sudah tentu Tiong-siau-hu
amat girang mendapat persetujuan gurunya.
setiba di Hu-hud-si, Bu su-tun belum tidur, melihat sukhong
siangjin kembali, lekas dia bertanya:
"Siapa musuh yang datang?"
"Tiada musuh, inilah muridku Tiong siau-hu, dia belum
pernah lihat Tam-tayhiap. salah sangka menganggapnya
musuh, Hu-ji main suitan memberi tanda, membuatku kaget
saja." demikian su-khong siangjin menjelaskan.
Bu-lim-thian-kiaupun tuturkan kejadian barusan serta
menambahkan, bahwa kepandaian Tiong siau-hu memang
menonjol diantara generasi muda.
"Tam-heng, agaknya kau suka bertanding, didepan mata
ada tontonan adu kepandaian yang bisa kausaksikan, Apa kau
ingin melihatnya?" ujar Bu su-tun tertawa. Kata Bu-lim-thiankiau:
"o, kau mendapat kabar apa?"
"Duta2 Mongol menyerahkan surat kepercayaan Timujin,
didalam surat dinyatakan supaya negeri Kim menyerahkan
Liangpiu dan tiga propensi disebelah barat. Raja Kim Wanyan
Yong tengah berunding dengan para menterinya agaknya
permintaan ini belum diterima, agaknya mereka sengaja
hendak mengulur waktu. Duta2 Mongol itupun tidak mau
pulang sebelum mendapatjawaban, apalagi anggap
kepandaian tinggi, mereka ingin menundukkan jago2 Kim,
maka mengusulkan supaya membuka Lui-tai, mengadu
kepandaian dalam pertemuan besar dihadapan umum, Ketua
panitia adu kepandaian ini adalah Tam To-hiong, semua
rakyat Nuchen diperbolehkan masuk gelanggang.
Tapi Wanyan Tiang-ci ada mengeluarkan syarat ujian,
hanya yang lulus saja boleh naik ke panggung, Kabarnya
maksudnya ini mengandung dua tujuan dengan menguji
sendiri dia ingin memilih sebarisan Busu yang diandalkan
untuk memperkuat barisan Gi-lim-kun disamping kuatir ada
jago yang benar2 kosen kesalahan tangan melukai Duta
Mongol, mungkin bisa menimbulkan bencana."
Bu-lim-thian-kiau gusar, katanya: "Duta2 Mongol begitu
congkaki biar aku lumpuhkan wibawa mereka, Kita bisa
mencampurkan diri dalam kelompok penonton dulu, bergerak
melihat situasi betapapun aku akan lampiaskan penasaran
bangsa Kim kita."
"Memang aku ingin membuat keonaran dalam adu
kepandaian itu. Cuma sebelum kita menghadiri pertandingan
itu, ada urusan yang harus diselesaikan, biar besok aku yang
mengurusnya."
kiranya Bu su-tun punya rencana, bukan saja hendak
melumpuhkan wibawa Duta2 Mongol dalam arena
pertandingan sengaja dia hendak bikin huru-hara, tujuannya
mengobrak-abrik rencana gerakan militer Wanyan Tiang- ci
yang hendak menggempur Ki-liansan.
" Kapan gelanggang silat ini akan dimulai?"
"Besok lusa. Ada sehari penuh bisa kita gunakan untuk
mempersiapkan segalanya."
"Apa saja yang harus kita persiapkan?"
"Soal sepele. Hanya mencari tanda mabuk saja."
Tiong siau-hu tiba2 menyeletuk
" Kalau begitu aku ingin menonton juga, Bu-pangcu,
bolehkah kau tolong carikan tanda masuk untukku" Aku mau
ikut." "Mau ikut boleh asal gurumu mengidzinkan."
"Baiklah kau boleh ikut untuk cari pengalaman." su-khong
siangjin memberikan suara.
Hari kedua Bu su-tun dan Tiong siau-hu menyamar orang
Nuchen ikut masuk gelanggang bersama Bu-lim-thian-kiau, tak
lupa Bu su-tun kerahkan seluruh murid2 Kaypang di Taytoh
siap menimbulkan huru-hara yang terbesar.
Bu su-tun dan Bu-lim-thian-kiau memakai topeng, tanpa
susah payah mereka memasuki gelanggang tanpa dicurigai
siapapun Agaknya kedatangan mereka sedikit terlambat,
karena diatas panggung Busu brewok dari Mongol sudah
berhantam melawan seorang perwira dari Gi-lim-kun, dalam
waktu sepeminuman teh, perwira Kim itu dapat dipukul roboh
kebawah Lui-tai oleh Busu brewok.
Dari percakapan penonton di-sampingnya, Bu-lim-thiankiau
dengar katanya Busu brewok ini beruntun sudah
mengalahkan dua orang, yakin dirinya masih kuat, dia tidak
mau mundur supaya diganti orang lain.
Menyusul seorang perwira Gi-lim-kun lompat naik ke atas
Lui-tai, Bu-lim thian-kiau kenal perwira ini adalah wakil
komandan Gi-lim-kun, yaitu Pan Kian-ho adanya.
Busu brewok gelak2 katanya: "Nah kan begitu, sejak tadi
sudah kutunggu Pan-ciangkun turun gelanggang. sejak lama
kudengar komandan Gi-lim-kun kalian berkepandaian tinggi,
setelah berhadapan dengan pan-ciangkun, babak selanjutnya
mohon Wanyan-ciangkun turun gelanggang sekalian."
Pan Kian-ho cukup tabah dan tenang, dia tahan sabar,
katanya: "Silakan memberi petunjuk."
"Jangan sungkan." kata Busu brewok.
"wut" tiba2 dia mendahului menghantam, Melengkung
lengan Pan Kian-ho, dia gunakan jurus Wan-kiong-sia-tiau,
telapak tangan menyanggah ujung sikut, sementara dua jari
tangan kanan menutuk kedada lawan.
Busu brewok bergerak dengan say-cu-yau-thau (singa
geleng kepala), dimana tinjunya berkelebat ke- atas dia
menggenjot muka. Tipunya ini dinamakan Ciong-thian-bau
pukulan yang keras dan ganas.
Pan Kian-ho ayun tangan, dengan punggung telapak
tangan dia gunakan permainan Bing-ciang menggantol keluar,
Dari tinju Busu brewok rubah telapak tangan, gerak geriknya
laksana burung belibis terbang miring, "Blang" kedua pihak
adu pukulan, masing2 mundur selangkah, Dengan sendirinya
tutukan Pan Kian-ho mengenai tempat kosong.
Mencelos hati Pan Kian-ho, namun Busu brewok juga
kaget, dia tahu Iwekang Pan Kian-ho kira2 setanding dengan
dirinya, untuk mengalahkannya takkan mungkin hanya
menggunakan kekuatan saja.
Gebrak selanjutnya Pan Kian-ho berhantam dengan hati2.
Permainan silatnya amat ketat dan rapat, dia bertahan lebih
banyak dari penyerang, betapapun Busu brewok ini sudah
berhantam dua babak, tenaganya sudah lemah, lama
kelamaan dia kehabisan tenaga.
50 jurus kemudian, Pan Kian-ho mulai mantap
permainannya, dari bertahan kini mulai balas menyerang,
Ngo-heng-kun memang sudah dilatihnya dengan matang,
menggunakan tipu2 belah, susup, hantam, papas dan gempur,
kelimanya serentak saling isi mengikuti unsur2 Ngo-hing,
perubahannya sambung menyambung tak putus2.
Suatu ketika mendadak Pan Kian-ho menggenjot namun
telapak tangannya dirubah pakai gerakan membelah, Pukulan
ini dilandasi kekuatan dahsyat, Busu brewok dipaksa
menangkis dengan melintangkan telapak tangannya, sudah
tentu telapak tangannya terasa sakit pedas.
Pan Kian-ho susuli dengan gerakan sampuk menarik tangan
Busu brewok keluar, sekaligus didorong, untuk menarik balik
tangan dan menangkis sudah tidak sempat lagi, terpaksa dia
menyodok dengan sikut, untung Busu brewok masih keburu
mematahkan serangan ini
Namun "plak" telapak tangan Pan Kian-ho menipis
lengannya yang menekuk terus melompat mundur, katanya:


Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lebih baik kau istirahat saja."
sebetulnya gerakan menipis tadi bisa menebas kutung
lengan Busu brewok, namun dia kuatir kalau melukai Duta2
dari Mongol, hubungan kedua negara pasti akan retaki maka
sedikit menang, dia tahu diri segera menghentikan
pertempuran. Tak kira Busu brewok tidak hiraukan anjurannya, jengeknya
geram: "Menang kalah belum menentu, kenapa harus dihentikan?"
begitu menubruk maju serempak dia lontarkan serangan
gencar laksana hujan badai.
Agaknya dia tahu bahwa Pan Kian-ho tidak berani melukai
dirinya, maka serangannya kali ini lebih ganas dan keji tanpa
pikirkan keselamatan diri sendiri.
Pan Kian-ho menahan hati, terpaksa dia bergerak lebih
tangkas melawan sekadarnya cukup asal mematahkan
serangan lawan. Karena kuatir melukai lawannya, sebaliknya
Busu brewok tanpa peduli, serangannya malah semakin
telengas. sudah tentu Pan Kian-ho semakin terdesak dan
berada dipihak yang dirugikan.
Mendapat angin Busu brewok semakin mentang2,
mendadak dia menghardik:
"siapa suruh kau mengalah?"
kini dia sudah menempatkan diri dalam posisi yang lebih
unggul, sekali dia berputar dengan jurus Koay-bong-hoan-sin
(ular sanca membalik badan), badan tertekuk turun sementara
kepalan berputar terus menggembur dengan Tiong-thian-bau
kearah dagu Pan Kain-ho.
Pan Kian-ho menekuk sikut menariknya keluar, pikirnya
hendak mematahkan serangan dahsyat ini. Tak kira Busu
brewok mnghardik, "Kena." sekali terjang dan mengabit,
gerakannya secepat kilat dengan telak dia pegang lengan Panklan-
ho "krak" sendi tulang lengan Pan Kian-ho dipelintirnya
keseleo, seketika lengannya itu tergantung lemas kontalkantil,
saking kesakitan keringat dingin gemerobios.
Demi mempertahankan kebesaran Busu negeri Kim, dia
kertak gigi menahan sakit, mendengus meringispun tidak terus
melompat turun dari atas panggung. Sudah tentu para Bu-su
negeri Kim sama marah dan ribut, dalam hati mereka
mengumpat caci kelicikan dan kekejian Tatcu dari Mongol,
namun kekuatan Mongol amat besar, negeri Kim semakin
lemah, maka tak berani mereka keluar suara memaki.
Busu Brewok mondar mandir diatas panggung dengan
mem Busung dada bersikap angkuh. katanya menjuru
ketempat penjuru:
"Maaf, aku yang rendah kelepasan tangan mengalahkan
Pan-ciangkun, kini biariah aku mohon pengajaran dari
Wanyan-ciang-kun."
Wanyan Tiang-ci mandah tersenyum, sorot pandangannya
tertuju kearah IHuhansia, katanya:
"Tidak gampang Sutemu bisa menang babak berakhir ini?"
di-samping menyindir kata2nya inipun menyatakan dia tidak
sudi berhantam dengan seorang yang sudah letih bertanding.
Merah muka Huhansia, dalam hati dia mengumpat sutenya
yang tidak tahu diri, baru dia hendak suruh orang turun, tiba2
seorang laki2 kekar melompat naiki katanya.
"Wanyan-ciangkun mana sudi menghadapi kau, biariah aku
yang tidak ternama ini melawanmu beberapa jurus." orang ini
mengenakan pakaian bangsa Nuchen, tapi orang dapat
melihatnya kalau dia orang Han.
Bu-Iim thian-kiau kenal laki2 ini adalah Soa Yan-liu, murid
murtad dari siau-lim-pay. Kiranya takut dibekuk oleh orang2
siau- lim-si, soa-Yan-liu menerjunkan dii kedalam kalangan Gilim-
kun dinegeri Kim, untuk menyelamatkan diri sekaligus
untuk mengejar pangkat, namun karena dia orang Han,
Wanyan Tiang- ci hanya mengangkatnya sebagai kepala
barisan. Busu brewok tidak tahu asal usul soa Yan-liu, jengeknya
dingin: "Wakil komandan kalian sudah kalah, kau ini orang apa,
berani menantang aku?"
soa Yan-liu ngakaki katanya:
"Aku kaum kroco, aku tidak berani menantang, aku hanya
temani kau latihan saja, Tapi aku tak berani mengambil
keuntunganmu, dalam 10 jurus kalau aku tak mampu
memukulmu turun kebawah panggung, aku sendiri yang akan
melompat jatuh."
setelah mengalahkan Pan Kian-ho, Busu brewok tahu
tenaganya sudah banyak terkuras, seharusnya dia lekas
mengundurkan diri, tapi dia terlanjur menantang Wanyan
Tiang- ci, dia tahu Wanyan Tiang- ci pasti tak sudi melayani
dirinya, kala itu dirinya boleh mengundurkan diri dengan lagak
besar. Tak kira malah soa Yan-liu ini yang maju dengan kata2
sindiran lagi, keruan amarahnya berkobar, bentaknya:
"Baik, kalau ingin bertanding, takperlu dibatasi 10 jurus..."
"Blang" sepasang telapak tangan beradu, Busu brewok
tampak tergeliiat sedikit, sedang soa Yan-liu tergentak mundur
tiga langkah, Kelihatannya soa Yan-liu dipihak yang dirugikan,
tapi bercekat hati Busu brewok.
Kiranya disaat pukulan beradu dia rasakan pukulan lawan
bagai gelombang badai menindih dadanya sampai napas sesak
begitu cepat datangnya dampanan kekuatan ini, namun tahu2
lenyap pula dengan cepat, begitu dia kerahkan tenaga balas
menggempur lawan kena didesaknya mundur.
Lekas Busu brewok himpun tenaga tenangkan pikiran,
dalam hati dia sudah perhitungkan dalam 10 jurus sebaliknya
dia yang yakin dapat memukul roboh lawan kebawah
panggung. Diluar tahunya soa Yan-liu menggunakan cara tempur main
suguh untuk melemahkan hati lawan, Kiranya dia juga takut
melukai Duta2 Mongol sehingga menimbulkan keonaran besar,
Maka tenaga yang dia gunakan, sudah diperhitungkan dengan
matang, sehingga lawan tidak terluka namun dirinya yang
menang. Untung kepandaiannya sudah dilatih mencapai taraf dimana
kekuatan pukulan dapat dilancarkan sesuai jalan pikirannya
tahu lawan takkan kuat melawan segera dia tarik tenaga
gempurannya, maka berbalik dia yang tertolak mundur oleh
perlawanan musuh.
setelah jajal sejurus kaget juga hati soa Yan-liu, namun dari
gebrakan ini dia sudah meraba sampai dimana kekuatan
lawan, maka dia laksanakan rencananya semula menghadapi
tabrakan lawan dengan tenang dan mantap. Penonton
dibawah panggung beramai2 menghitung: "jurus pertama,
jurus kedua..."
soa Yan-liu sengaja hendak memancing lawan
menggunakan tenaga dalamnya, beberapa jurus pendahuluan
dia bersikap pasif membiarkan Busu brewok ini unjuk
kegagahannya, sebaliknya Busu brewok tidak sadar bila
dirinya ditipu, merasa kekuatan lawan semakin lemah hatinya
girang, segera dia kerahkan Gun-goan-it-sat-kang sepenuh
tenaganya, laksana hujan badai dia mencecar sengit
sementara penonton dibawah panggung masih terus
menghitung: "jurus ketujuh jurus kedelapan, jurus kesembilan, wah
celaka tinggal satu jurus lagi,"
Belum sirap suara dibawah panggung mendadak terdengar
suara "Plak" lalu disusul suara duki duki duki duk dari langkah
berat Busu Brewok yang terpental mundur, baru saja dia
hampir kendalikan badannya se-olah2 ada tangan raksasa yng
tidak kelihatan mendorongnya pula kembali duki duki duk
langkahnya berdentam dia-atas panggung, menyurut mundur
pula tiga langkah, beruntun dia terhuyung sembilan langkah
dan mundur sampai diping gir panggung, belum lagi dia
berdiri tegak kakinya tahu2 menginjak tempat kosong, kontan
dia terjungkal jatuh dengan terjengkang, kebetulan tepat pada
jurus kesepuluh dia terjungkal jatuh dari atas Lui-tai.
Agaknya pada jurus terakhir soa Yan-liu menggunakan Taylik-
kim-kong-ciang memang ajaran murni siau- lim-si adalah
pukulan Kim-kong-ciang yang membawa perbawa keras, soa
Yan-liu menyerang pada waktu yang tepat lagi, sekali pukul
mengandung tiga gelombang tenaga, maka tanpa kuasa
lawan, dipukul-nya terhuyung tiga kali baru terjengkang jatuh
ke-bawah. setelah kalah beruntun tiga babak, para Busu negeri Kim
sudah marah2 dan penasaran, kini soa Yan-liu berhasil
merebut kemenangan, walau dia orang Han namun karena
orang termasuk anggota Gi-lim-kun boleh dipandang orang
sendiri Maka gemparlah seluruh gelanggang oleh soraksorai yang
gegap gempita, Busu Brewok merangkak bangun, untung
tidak terluka, segera dia ngacir kebelakang panggung.
Ditengah tampik sorak itu tiba2 seorang berkata dingin:
" Hebat kepandaian soa-tayjin, nah biar aku minta
pengajaran." suaranya laksana sebatang panah yang runcing
menembus kepungan, suara gemuruh orang banyak ternyata
tidak bisa menekannya, malah soa Yan-liu merasa kupirignya
seperti ditusuk jarum.
Keruan hatinya kaget, waktu dia angkat kepala yang naik
punggung ternyata wakil Duta Mongol, yaitu Umong, Muka
Umong putih halus dengan dandannya lebih mirip pejabat
sipil. Tapi kepandaian menggunakan mengirim suara
gelombang panjang ini sudah memberi firasat kepada soa
Yan-liu bahwa kepandaian Umong jelas lebih tinggi dari Uji
Busu brewok tadi.
"Tuan datang sebagai tamu, boleh silakan mulai lebih
dulu," sambut soa Yan-liu.
Umong tertawa, katanya: "Baiklah, aku tidak sungkan lagi."
sikapnya lemah lembut, jauh berbeda dengan kekasaran
sutenya tadi. Dengan gerakan pelan seperti tak acuh tangannya bergerak
menepuk kedepan.
Melihat gerakan tangan yang enteng seperti tidak pakai
tenaga, soa Yan-liu tidak habis pikir, segera dia balas dengan
sejurus Pek-wan-tam Jo (lutung putih cari jalan), telapak
tangan terangkap tiba2 terpentang ditengah jalan terus
menggencet kedua pundak Umong.
serangan ini merupakan tipu terlihay yang mematikan dari
Lo-han-kun ajaran siau-lim-pay, Tahu lawan berkepandaian
tinggi maka sekali bergerak soa Yan-liu lantas gunakan
sepenuh tenaganya,
Betapa dahsyat kekuatan Tay-lik-kim-kong-ciang dari siaulim-
si, sayup2 seperti ada suara guntur yang gemuruh, Tak
nyana Umong tetap bersikap acuh dan seenaknya saja
menyampuki katanya dengan tersenyum "soa-tayjin, tidak
usah rikuh."
Begitu pukulan beradu soa Yan-liu rasakan telapak tangan
orang seperti besi sembrani yang menyedot pukulan
dahsyatnya malah dia sendiri tedarik maju, Lekas dia gunakan
Jian-kui-tui untuk mempertahankan diri, namun demikian tak
urung dia harus berputar satu lingkar.
Kiranya Umong meyakinkan lm-yang ciang (pukulan positif
dan negatif), tenaga pukulannya lemah dan kuat saling
berkaitan, aneh memang kepandaiannya ini, sebaliknya Kimkong-
ciang latihan soa Yan-liu belum mencapai taraf kelas
satu, sudah tentu perbandingannya cukup jauh dengan "lmyang-
ciang" Umong.
Umong tertawa dingin, jengeknya: "soa-tayjin, berdirilah
yang tegak." kaki melangkah mengikuti unsur2 Ngo-hing-patkwa,
dari pos isi Gin berpindah ke kedudukan Le, sementara
tangan bergerak dengan tipu Thi-bi-ba (harpa besi) punggung
tangan terayun keluar secepat kilat menampar kemuka soa
Yan-liu, jurus permainannya cukup keji, tamparan kemuka
merupakan suatu penghinaan pula .
Keruan soa Yan-liu kaget dan gusar, namun dia tidak berani
umbar kemarahannya, terpaksa dia melayani dengan sabar
dan menabahkan diri, beruntung dia gunakan sam-hoan-taugwat
dan Hong-hu-cui-liu, dengan susah payah baru dia
berhasil menyelamatkan diri mematahkan serangan Umong.
Para Busu Mongol dibawah panggung menghitung beramai:
" jurus kedua." jumlah mereka tidak banyak, namun
semuanya bersuara keras tinggi dan nyaring.
Cepat sekali dari kedudukan Le Umong bergerak meluncur
ke arah Kan "wut" kali ini dua telapak tangannya menabok
bersama kedua pipi soa Yan-liu. Tenaga pukulan keras dan
lunak, tanpa kuasa soa Yan-liu dibikin putar2. " jurus ketiga."
Busu2 Mongol berteriak dibawah panggung.
Karena pihak lawan menyerang lebih dulu soa Yan-liu
menjadi mati kutu, hanya mampu membela diri saja. serangan
Umong ternyata melandai hebat laksana gelombang sungai
yang ber-gulung2 tak putus2. Maka hitungan Busu Mongok
dibawah panggungpun semakin cepat: jurus keempat, kelima,
keenam, ketujuh..."
seperti kucing mempermainkan tikus saja, tiba2 U-mong
lancarkan jurus Liong-bun-koy-long (menabur tambur dipintu
naga) sejurus tiga gerakan merangsak gencar kepada soa
Yan-liu, melihat serangan hebat, soa Yan-liu lekas mundur
selangkah, kepalan kiri dari memukul dirubah tabasan
membundar kedalam, sementara lengan kanan menikung
terus digentaki dengan tipu Ho-poh-jiu (tangan menyisik)
untuk. memunahkan senangan lawan.
Tak tahunya pukulan Umong bisa keras tahu2 berubah
lunak, walau lengannya kena ditelikung, dia malah mumpung
menariknya, berbareng kepalan kiri menggenjot menderu
keras dengan Tam-kun (pukulan menjojoh), kepalannya
menerobos keluar dari lobang lengannya yang tertelikung
mengincar Thay-yang-hiat dipelipis so Yan-liu.
Tak sempat berkelit terpaksa Soa Yan liu memutar pundaki
"Blang" dengan telak dia terima pukulan keras Umong.
Umong tersenyum katanya: "Maaf, tulang pundakmu tidak
terpukul remuk bukan,?" mulutnya bicara ramahi namun
gerakan tangannya amat keji, telapak tangan terangkap
mendadak dia mendorong, setelah kena hantaman, saking
sakit pandangan soa Yan-liu sudah ber-kunang2, tenaganya
menjadi lumpuh, mana dia kuat menahan pukulan Umong,
maka dengan cepat badannya terdorong mundur kebelakang.
Mundurnya ini berbeda dengan Busu brewok tadi, tampak
badannya berputar2 seperti gangsingan sekaligus berputar 8
kali sampai dipinggir panggung masih tak kuasa kendalikan


Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badan terus terjungkal jatuh kebawah.
jurus sembilan," seru Busu Mongol dari bawah panggung
sambil gelak tawa. Kalau Busu brewok dalam 10 jurus dipukul
jatuh dari panggung oleh soa Yan-liu, kini Umong memukulnya
jatuh hanya dalam sembilan jurus, malah cara jatuh dan
keadaannya-pun lebih runyam.
Umong lekas rangkap tangan menjura keempat penjuru,
katanya: " Untung beruntung. Maaf, maaf. siapa pula yang sudi
memberi petunjuk?" Para Busu negeri Kim merasa malu dan
marah dengan mata melotot membara. Tapi Umong begitu
lihay, tiada seorangpun yang berani tampil keatas
melawannya. Dengan sikap ramah dan bergaya Umong berpaling
menghadapi Wanyan Tiang- ci, katanya bersoja:
"Sudah lama kudengar ilmu silat Wanyan-ciangkun setinggi
langit, entah sudikah memberi petunjuk" "
Dengan tertawa Wanyan Ti-ang-ci berdiri, katanya:
"Baiklah, aku iringi U-ciangkun, sepuluh atau delapan
jurus." Bercekat hati Umong, dia tahu Wanyan Tiang-ci adalah
jago kosen terlihay dari negeri Kim, namun dia Tidak, percaya
dalam sepuluh jurus orang mampu mengalahkan dirinya.
segera dia pusatkan pikiran gairahkan semangat katanya.
"Silakan Wayan-ciangkun memberi petunjuk." habis
kata2nya dia menyerang lebih dulu malah.
Wanyan Tiang- ci berdiri sekokoh gunung, setelah telapak
tangan Umong tiba didepan matanya baru perlahan dan
enteng dia menutuk dengan sebuah jarinya.
"Cret" terdengar suara lirih, tersipu2 Umong tarik
tangannya. Kiranya Wanyan Tiang- ci yang mengepalai
lembaga penyelidikan gambar lukisan rahasia Hiat-to-tong-jin
berhasil menyelami 7 lembar, maka ilmu tutuknya nomor 2
diseluruh jagat (yang pertama Liu Goan-coang), maka
tudingan jarinya ini tepat menutuk ke Ling-gam-hiat dipinggir
telapak tangan Umong.
Hiat-to ini merupakan pangkal dari siau-yang-sin-mehi
kalau kena tertutuk, lengan Umong terang akan menjadi
cacad. Untung gerakan perubahan Umong cukup cepat, kelima
jarinya dia tekuk menjadi kepelan sehingga tu-tukan orang
tidak mengenai Ling-gan-hiat, berbareng dia gunakan ilmu
gulat yang pasti dimiliki oleh setiap Busu Mongol, dari tepukan
telapak tangan dia rubah menjadi gantolan dan Cengkraman,
kalau sekali Cengkram dan pegang berhasil jari lawan akan
dipuntirnya patah.
Tapi gerakan wanyan Tiang- ci ternyata juga tidak lambat
disaat lawan merubah serangan, tiba2 Wanyan Tiang- ci
gunakan Ting-san-gua-hou (naik gunung numpak harimau),
langkahnya maju setindak lalu tiba2 diubah menjadi Tio-thianit-
cu-hiang (sebatang dupa menuding langit) gerakan jarinya
dirubah pula menjadi Tong-cu-pay-koan-im (anak kecil
menyembah kepada Koan-im) pukulan telapak tangan, kedua
tangannya terang kap secara kekerasan menghantam kepalan
Umong. Gerakan kedua pihak amat cepat, berhadapan lagi maka
siapapun takkan bisa main kelit lagi, begitu kepalannya
menghantam Umong menyusul sapuan tangan kirinya,
mengadu Am- yang-sian- ciang .
"Biang" beruntun dua kali suara bentrokan laksana tambur
berdentang. Umong tergentak tiga langkahi Wanyan Tiang- ci
hanya tergeliat sedikit.
"Betapapun jangan sampai sepuluh jurus aku dikalahkan."
demikian batin Umong, maka dia bertahan saja tanpa
menyerang, dengan berputar satu lingkaran dipunahkan
tenaga yang menerjang dirinya, setelah berdiri tegak kedua
telapak tangan berpelukan didepan dada, mengawasi gaya
serangan lawan lebih lanjut Wanyan Tiang- ci tertawa geli
melihat sikap orang, segera dia lancarkan serangan pukulan
telapak tangan dan tutukan jari, pukulan menggenjot dada,
jari mengincar urat nadinya.
Umong gerakan kedua tangannya melingkar melindungi
dada, sebagai seorang ahli silat sudah tentu Wanyan Tiang- ci
tidak bisa dia kelabui. Maka terdengar "sret, cret" beruntun
Wanyan Tiang- ci menutuk tiga kali, dengan jari sebagai
pedang, serangan jarinya ini teramat lihay dan ganas, maka
tenaganyapun terhimpun menjadi jaluran tajam.
Umong tidak kuasa punahkan kekuatan jari orang, tak
kuasa dia harus mundur pula beberapa langkah. Busu negeri
Kim menjadi girang dan ber Jingkrak tampik sorak pula.
sekejap saja 6 jurus, sedikit lega hati Umong, segera dia
tabahkan hati tetap bertahan tidak balas menyerang, dia yakin
4 jurus lagi pasti dirinya mampu bertahan.
Tak nyana tiba-tiba Wanyan Tiang-ci berkata: "U-ciangkun,
berdirilah tegaki" se-konyong2 tapak tangannya membelah,
kali ini dia gunakan tenaga pukulan yang dahsyat.
Diam2 bersorak girang hati Umong, segera dia gunakan
keahliannya, pinjam tenaga menggempur serangan, kedua
tangannya menuntun dan menarik, pikirnya hendak
membanting Wanyan Tiang-ci dengan kepandaian gulatnya.
Tak nyana begitu dia geraki kedua tangannya, kekuatan
pukulan lawan yang dahsyat tahu2 sirna tak berbekas.
Bagi seorang jago silat yang kosen dapat menggunakan
tenaga sesuka hatinya, sedapat mungkin Umong masih
mampu, tapi takkan semahir Wanyan Tiang-ci yang sudah
mencapai taraf tinggi. kejadian ini benar2 diluar rtugaannya,
sehingga dia kehilangan imbangan badan, karena tak sempat
mengerem diri, langkahnya terhuyung.
Cepat sekali Wanyan Tiang-ci sudah gerakijarinya, secepat
kilat berhasil menutuk IHiattonya. Kalau Umong mengalahkan
Soa Yan-liu dalam- 9 jurus, kini Wanyan Tiang-ci hanya 8
jurus menutuk Hiat-tonya.
Tampak seperti orang mabuk layaknya Umong mencak2
menarikan kaki tangannya seraya tertawa hahahihi seperti
orang gila. Melihat keadaannya yang lucu dan menggelikan ini,
semua orang menjadi heran dan bingung, maka terdengariah
gelak tawa yang ramai dibawah panggung diselingi tepuk
tangan. Setiba dipinggir panggung Umong masih me-nari2, maka
dia-pun terjungkal jatuh. Busu Mongol segera merubung maju
memapahnya bangun seraya bertanya:
"Kenapa kau?" sepasang mata Umong terbeliak memutih,
keringat gemerobyos dengan mulut menyeringai tawa tak
henti2nya. Kiranya Umong tertutuk Siau-yau-hiat oleh ilmu tutuk
tunggal Wanyan Tiang-ci. siau-yau-hiat bukan Hiat-to
mematikan, namun kalau totokan Hiat-to ini tidak lekas
dipunahkan, dia akhirnya akan mati lemas setelah tertawa
terus menerus. Dengan muka membesi kaku, Huhansia segera maju
menjinjing Umomg dan menepuknya sekali di Hu-tho-hiat
dibelakang pinggang Umong, maka berhentilah tawa Umong
dan terkulai lemas, Namun biji matanya mendelik gusar
kearah Wanyan Tiang-ci.
Huhansia segera mendorongnya kebelakang panggung
seraya mengomeli
"Jangan kau bikin aku malu dihadapan umum."
Tutukan Wanyan Tiang-ci menggunakan ilmu tunggal,
bahwa Huhansia bisa punahkan tutukannya, hal ini
membuatnya kaget Tapi demi gengsi dan wibawa diri sendiri
dan untuk seluruh lapisan Busu negeri Kim, se-kali2 dia
pantang menyerah, namun dia juga sulit bertindak terhadap
Duta2 Mongol. Dengan muka kaku dingin Huhansia segera naik panggung,
katanya sinis: "sejak lama kudengar Wan-yan-ciangkun adalah jago kosen
nomor satu, kiranya memang tidak bernama kosong, Kini
giliranku mohon pengajaran dari Ciang kun."
"Tidak berani Gurumu berilmu silat tinggi, akupun sudah
lama mengaguminya," ujar Wanyan Tiang-ci.
"Terima kasih, Mari kita berjabatan tangan." sembari bicara
Huhansia ulur tangan berjabatan dengan Wanyan Tiang-ci.
Wanyan Tiang-ci tahu orang hanya meminjam berjabatan
untuk mengukur Iwekangnya, maka diapun tidak mau kalah
perbawa, sewajarnya diapun ulur tangan genggam tangan
orang. Tak kira begitu tangan kedua pihak saling genggam
terus tak kuasa ditarik pula.
Kiranya kekuatan Iwekang mereka memang setanding
setelah adu tenaga, pihak mana yang tarik tangan, dia akan
terluka atau mampus oleh getaran tenaga dalam lawannya.
Gun-goan it-sat-kang Huhansia sudah diyakinkan sampai
puncak tertinggi, sekali dia lancarkan tenaganya dahsyat dan
ganas sekali, Wanyan Tiang-ci himpun hawa murni di Tanthian,
memusatkan pikiran dan kekuatan dengan bertahan
mantap. Kalau yang satu menyerang yang lain bertahan, saluran
tenaga dalam Huhansia merembes lewat telapak tangan,
damparan-nya laksana gelombang pasang lautan teduh yang
menggempur batu gunung, gelombang yang satu lebih
dahsyat dari gelombang yang lain, siau-yang-king-meh
Wanyan Tiang-ci menjadi sasaran utama.
Tapi pertahanan Wanyan Tiang-ci sekokoh gunung tenang
dan mantap. tidak tergoyahkan. Hebat memang Iwekangnya,
bukan saja bertahan, kekuatan pertahanannya ini malah
mengandung kekuatan terendam yang selalu bisa balas
menggemcur lawan sembarang waktu.
Dalam sekejap. keringat mulai gemerobyos membasahi
badan keduanya, hati masing2 juga mengeluh. Maklumlah adu
kekuatan dalam amat berbahaya, jikalau kekuatan kedua
lawan setanding siapapun tiada yang mau kalah, maka adu
kekuatan ini takkan ada akhirnya sebelum keduanya mati
kehabisan tenaga Iwekang Huhansia lebih keras, sebaliknya
Wanyan Tiang-ci punya lebih kuat dan murni sebelum
punahkan damparan tenaga lawan kalau Wanyan Tiang-ci
menarik tangan, seluruh urat nadinya pasti akan tergetar
putus, sebaliknya kalau adu kekuatan ini dilanjutkan berlarut2,
Huhansia sendiri juga akan terluka isi perutnya oleh serangan
balik tenaga murni Wanyan Tiang-ci.
Sebagai ahli2 silat mereka sama tahu, gugur bersama bakal
mengakhiri pertandingan ini. Tapi walau tahu maut tengah
mengintai jiwa mereka, namun tiada sepihak yang mau
mengalah, keadaan menjadi kaku, muka kedua orangpun
semakin buruk, lebih jelek dari orang menangis.
Penonton dibawah panggung menjadi ribut dan bisik2,
mereka tidak tahu kenapa setelah jabatan tangan kedua orang
ini malah mematung tak bergerak saling genggam.
se-konyong2 terdengar seorang tertawa lebar, se-runya:
"Tayjin, jangan terlalu banyak adat." tampak seorang laki
berbaju kasar tahu2 melompat naik ke panggung, Kecuali Bu
su-tun dan Tiong siau-hu yang kenal orang ini, seluruh hadirin
tiada yang mengenalnya, sudah tentu semua orang
keheranan. Dengan mengenakan topeng tipis Bu-lim-thian-kiau
melompat terbang ke atas panggung, Wanyan Tiang-ci sudah
tentu tidak mengenalnya, dia kira anak buah Huhansia yang
hendak membokong dirinya, sebaliknya Huhansia juga kuatir
anak buah Wanyan Tiang-ci membokongnya, maka keduanya
membentak bersama tanpa berjanji:
"siapa berani mengganggu disini?" mulut bicara namun
tenaga tak berani kendor, Namun adu kekuatan jago2 kosen
pantang terpecah perhatiannya, karena keduanya merasa jeri,
maka keringat dingin ber-ketes2.
Bu-lim-thian-kiau berdiri didepan mereka, katanya sambil
bersoja: "Maaf Tayjin berdua akan kelancangan ku, disini aku yang
rendah mohon maaf." dengan merangkap kedua tangan dia
membungkuki kelihatannya dia memberi hormat kepada
Wanyan Tiang-ci dan Hu-hansia, bahwa dirinya bukan ingin
mengganggu namun kenyataannya dengan menjura ini dia
telah tolong mengakhiri adu kekuatan yang akhirnya bakal
gugur bersama ini.
Kekuatan wanyan Tiang-ci dan Huhansia tengah berkutet
dan bertahan sama gagahnya, begitu keterjang oleh kekuatan
lunak yang dilancarkan dengan Bik-khong-ciang Bu-lim-thiankiau
ini, kebetulan menimbulkan reaksi lunak dan
menentramkan, sehingga kedua pihak sempat ganti napas,
dengan sendirinya secara wajar keduanya terpisah mundur
tanpa kurang suatu apa.
Iwekang Bu-lim-thian-kiau belum tentu lebih tinggi dari
kedua orang ini namun dia dapat bertindak secara tepat dan
pas, maka elmaut yang mengintai jiwa kedua orang ini dapat
dihindarkan. sudah tentu Wanyan Tiang-ci dan Huhansia
sama2 bersyukur, namun juga merasa kaget dan heran.
Bukan saja Bu-lim-thian-kiau mampu memisah mereka,
orangpun bertindak secara adil.
Bu-lim-thian-kiau menjura lagi, katanya:
"Aku hanya rakyat jelata negeri Kim, maaf bahwa aku yang
rendah mengganggu dia-tas panggung, soalnya menurut
pengumuman, setiap rakyat negeri Kim boleh naik
kepanggung bertanding maka aku memberanikan diri kemari
entah Wanyan-ciangkun mengidzinkan aku mohon pengajaran
kepada orang Mongol ini?"
Wanyan Tiang-ci memang ingin mencari orang, apa lagi
orang telah menolong jiwanya, disamping dia ingin melihat
sampai dimana tingkat kepandaian Bu-lim-thian-kiau, maka
dia berkata: "Bagaimana pendapat Tuan?"
Kini Huhansia merasa simpatik kepada Bu-lim-thian-kiau,
maka dengan gelak tawa dia berkata:
"Pertemuan hari ini adalah adu kepandaian untuk
persahabatan, peduli dia pejabat pemerintah atau rakyat
jelata" Aku ingin menghadapi jago2 kosen negeri kalian,
baiklah silakan congsu (orang gagah) ini memberi petunjuk."
"Baik," ujar Wanyan Tiang-ci, "Tamu agung dari Mongol
menerima, maka kau harus minta pengajaran dengan haiti2,
jangan kurang ajar."
Wanyan Tiang-ci kuatir Bu-lim-thian-kiau tidak tahu
tingginya langit tebalnya bumi berlaku kasar melukai Duta
Mongol, maka kata2nya memberi peringatan secara tidak
langsung. maksudnya cukup asal bisa menutul dan


Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalahkan musuh saja, setelah memberi pesan Wanyan
Tiang-ci segera mundur kesamping.
"Conghu ini boleh keluarkan seluruh kepandaian, tidak usah
kuatir," kata Huhansia mengerut kening, Maklumlah sebagai
orang yang tinggi hati setelah mendengar ucapan Wanyan
Tiang-ci dia merasa kurang senang.
Dia tahu Bu-lim-thian-kiau berkepandaian tinggi, namun dia
yakin dapat mengalahkannya, apalagi diapun yakin Bu-limthian-
kiau tidak bermaksud jahat, maka sikapnya pura2 ramah
menganjurkan orang bertanding secara terbuka.
Bu-lim-thian-kiau gelak2, katanya: "Baik, dengan
kepandaian cakar kucingku biar aku mendapat pengajaran dari
tamu agung,"
setelah basa basi ala kadamya maka pertempuran-pun
dimulai. Gebrak pertama Bu-lim-thian-kiau gunakan jurus2
yang tadi pernah dimainkan, Wanyan Tiang-ci, sama2 jurus
kepandaian dari Hiat-to-tong-jin, dua jari terangkap laksana
tanggem besi menjojoh dada Huhansia, dalam sejurus
mengincar tujuh Hiat-to lawan, jurus gayanya dengan Wanyan
Tiang-ci mirip satu sama lain namun apa yang dilancarkan Bulim-
thian-kiau jauh lebih matang, lebih mahir.
"Bagus." seru Huhansia, pergelangan tangan membundar
terus, terbuka dan terangkap lagi, dia lancarkan Toa-kim-na-
Jiu-hoat yang lihay sekali, dalam sejurus diapun mengincar
tujuh Hiat-to yang terpencar ditubuh Bu-lim-thian-kiau,
pakaian Bu-lim-thian-kiau melambai laksana burung camar
melintasi gelombang samudra, ber- kali2 berkelebat dan
berkelit tahu2 dia sudah berpindah kedudukan sekaligus
mematahkan rangsakan lawan, namun jari tengahnya tetap
mengincar Ih-gi-hiat Huhasia.
Keduanya sama2 jago kosen, gerakannya sudah
diperhitungkan sekali sentuh terus melompat mundur, maka
serangan mereka belum dilancarkan sepenuh tenaga, untuk
berjaga supaya tidak di selomoti lawan.
Begitulah gebrak saling tubruk dan lompat main gesit dan
ketangkasan ini cukup sengit juga dibanding adu kekuatan
secara kekerasan Bu-lim-thian-kiau mendapat peluang
melancarkan serangan, maka dia mencecar dengan hebat.
Namun setiap jurus setiap tipu serangan lawan satu
persatu dengan tabah dipunahkan oleh Huhansia, walau tidak
sampai terdesak dibawah angin, namun dia terdesak mundur
dan bertahan lebih hati2.
20 jurus dengan cepat telah berlalu, Huhansia tetap belum
berhasil menempatkan posisi dirinya dalam keadaan
seimbang, sebaliknya permainan Keng-sin-ci-hoat Bu-limthian-
kiau semakin lincah hebat dan menakjubkan, tapi ganas
juga, yang diincar kalau bukan Hiat-to mematikan tentu Hiatto
yan- g bisa membuat badan orang lumpuh.
Dengan tabah Huhansia melayani serangan semakin keji
tak ubahnya ingin adu jiwa, serta merta dia melirik dengan
pandangan mendelik kearah Wanyan Tiang-ci.
sudah tentu Huhansia tidak tahu, bukan lantaran sikap Bulim-
thian-kiau berubah, justru disinilah letak kejujuran terus
terangannya. Waktu Huhansia dan Wanyan Tiang-ci adu
kekuatan tadi, kalau mau dengan mudah dia bisa
membokongnya sampai mati.
Namun sebagai seorang ksatria sudah tentu dia takkan sudi
berbuat serendah dan sekotor itu, maka diwaktu dia memisah
tadi, dia mengambil jalan tengah dan adil tidak membantu
Wanyan Tiang-ci, kini setelah dia sendiri yang gebrak melawan
Huhansia, sudah tentu keadaan jauh berbeda.
Kini dia pandang Huhansia sebagai musuh bangsanya
sudah tentu turun tangannya tidak kenal kasihan,
serangannya ganas dan keji. Wanyan Tiang-ci masih berdiri
dipinggir panggung menonton pertempuran. Waktu Huhansia
melirik dengan sorot gusar kepadanya, sudah tentu Wanyan
Tiang-ci menjadi kaget dan keheranan.
Tapi lekas sekali setelah melihat beberapa gebrak serangan
silat Bu-lim-thian-kiau dia lantas tahu siapa gerangan laki2
yang memisah dan kini sedang melawan Huhansia.
Keng-sin-ci-hoat yang dipelajari Wanyan Tiang-ci dari
gambar rahasia Hiat-to-tong-jin tidak lengkap. karena 18
lembar yang lain tercuri oleh Liu Goan- cong.
Didalam lembaga penyelidikan rahasia gambar Hiat-totong-
jin dulu, sebagai pangeran sudah tentu Bu-lim-thian kiau
juga pernah mempelajarinya. Wanyan Tiang-ci juga tahu
bahwa apa yang dapat dipelajari Bu-lim-thian-kiau lebih
matang lebih banyak dari dirinya.
Apalagi belakangan setelah keluar dari ista na Bu- limthian-
kiau pernah mendapat petunjuk langsung dari Liu Goancong,
maka jelas sekali begitu dia lihat Bu-lim-thian-kiau main
dengan ilmu tutuk lihay, dengan sendirinya dia lantas tahu,
siapa gerangan laki2 desa yang melawan Huhansia ini.
Sudah tentu kaget Wanyan Tiang-ci bukan main setelah
tahu laki2 yang sedang gebrak melawan Duta Mongol ini
adalah Bu-lim-thian-kiau perasaan hatinya serba kontras,
disamping penasaran karena Duta2 Mongol ini terlalu congkak
dan ingin melampiaskan dongkol, namun dia juga kuatir bila
Bu-lim-thian-kiau menimbulkan onar besar, mencelakai Duta2
Mongol, terang dirinyalah yang akan menanggung akibatnya.
Apalagi setelah dipelototi sekali oleh Huhansia, hatinya
semakin bingung dan gundah.
Lekas sekali disaat hatinya kebingungan, situasi
pertempuran sudah berubah, Mendadak Huhansia balas
merangsak dengan sengit tiba2 kedua lengan terpentang
seraya melompat tinggi setombak laksana burung garuda
mematuk mangsanya dari tengah udara.
"Byyaaarr^" dua kekuatan pukulan beradu, Badan Bu-limthian-
kiau tergeliat sedikit limbung lekas dia berputar sekali
menghilangkan daya tekanan pukulan lawan. Tapi cepat sekali
Huhansia sudah menubruk maju seraya mencecar lebih gencar
lagi. Agaknya Huhansia menjadi sengit dan nekad, dia harap
dari kalah dia bisa merebut kemenangan tubrukan keras
dengan pentang kedua tangan Huhansia ini, memang ingin
paksa Bu-lim-thian-kiau adu kekuatan dengan dia.
Memang disadari adu kekuatan amat ber-bahaya, namun
dia yakin dirinya akan kuat bertahan cukup lama, kalau
Wanyan Tiang-ci takut menghadapi akibatnya, tentu orang
akan bertindak memisah dan sekaligus menolong jiwanya
pula. Adu kekuatan berarti dia mencegah Bu-lim-thian-kiau
menggunakan ilmu tutuknya yang lihay, karena disadarinya
bahwa ilmu ini merupakan ancaman bagi jiwanya.
sayang sekali Bu-lim-thian-kiau cukup cerdik pandai, bukan
dia takut adu kekuatan, soalnya sebelum dia tahu sampai
dimana kekuatan lawan, dia tidak akan bertindak secara
gegabah secara sia2.
Dengan ilmu meminjam tenaga punahkan kekuatan tingkat
tinggi, diluar tahu lawan dia menyembunyikan beberapa
bagian tenaganya, tidak mau adu kekerasan, setelah dicoba
dan dipancingnya beberapa kali, dirasakan walau kekuatan
pukulan Huhansia teramat keras dan ganas namun sudah
menunjukan gejala2 yang terasakan bahwa kekuatannya itu
tidak akan kuat bertahan lama, setelah tahu keadaan lawan
yang sesungguhnya, kalau adu kekuatan jelas dirinya bakal
menang, namun dia menggunakan cara lain.
Tiba2Bu lim-thian-kiau merubah permainannya, dengan
Lok-eng-ciang-hoat yang enteng lincah laksana mega
mengembang air mengalir, betapapun deras dan hebat
gempuran pukulan lawan, dia tetap melayani dengan enteng,
mantap dan tenang. Agaknya sengaja dia gunakan permainan
lunak melawan kekerasan.
semakin tempur keduanya semakin bernafsu dan sengit
panggung seluas itu yang kentara hanya bayangan Bulimthian-
kiau melulu. Huhansia menyerang sembari membentak2,
gerakan kaki tangannya membawa deru angin kencang,
pertempuran yang seru ini membuat penonton dibawah
panggung menjadi kabur pandangan dan menahan napas.
suasana menjadi sepi lengan sampaipun jarum jatuh
ketanahpun bisa didengar. Disaat kedua orang ganti serangan
dengan gerakan indahi baru penonton bersorak.
Bu su-tun dan Tiong sau-hu menonton mencampurkan diri
diantara orang banyak, lama kelamaan merekapUn kesima
sampai lupa diri, Penonton dibelakang saling berdesakan ingin
menonton lebih dekat, sehingga tanpa terasa Tiong siau-hu
ikut terdesak pergi datang mengikuti arus manusia yang berjejal2
itu sehingga dia berpisah dengan Bu su-tun. Iwekang Bu
su-tun kuat dan tinggi, dia berdiri sekokoh gunung, orang2
yang mendesaknya malah tersingkir kesamping, sebaliknya
Tiong siau-hu laksana batu kecil yang keterjang arus ikut
bergelundungan pergi datang.
setelah beberapa langkah dia keterjang kian kemari baru
tiba2 sadar, begitu dia berpaling bayangan Bu su-tun sudah
tidak kelihatan lagi, karena gugup lekas dia gunakan tenaga
Jian-kin-tui supaya dirinya tidak keterjang pula, Teriaknya:
"Bu-pangcu. Bu-pangcu," kebetulan penonton bersorak
sorai, sehingga suara panggilannya tertelan.
Tiba2 seseorang entah sengaja atau tidak dengan kuat
menumbuk Tiong siau-hu, walau sudah kerahkan Jian-kin-tui,
tak urung Tiong siau-bu masih keterjang sempoyongan, dari
samping seseorang memegang bahunya seraya berkata:
"Engkoh cilik, berdirilah yang tegak."
Waktu Tiong siau-hu berpaling, dilihatnya orang yang
menahan badannya berpakaian pelajar, bermuka cakap halus,
sikapnya lemah lembut.
"Terima kasih-" kata Tiong siau-hu ter-sipu2, namun dalam
hati dia merasa keheranan.
Pelajar itu tertawa, katanya: "Pertempuran diatas
panggung begitu sengit dan hebat, apa kau kenal siapa yang
melawan Duta Mongol itu?"
Mencelos hati Tiong siau-hu, sahutnya: "Mana aku bisa
tahu." "Kudengar kau memanggil Bu-pangcu, siapakah Bu-pangcu
itu" Pangcu dari pang mana?"
"Agaknya saudara salah dengar," sahut Tiong siau-hu rada
gugup, "aku mencari Pho-cengcu tuan tanah dikampung yang
datang bersamaku."
Pelajar ini tersenyum lebar, katanya: "saudara tak usah
kaget dan curiga, kita boleh terhitung teman sendiri. Bupangcu
yang kau panggil tadi tentunya Bu su-tun dari
Kaypang bukan."
Betapapun Tiong siau-hu memang orang gunung yang
belum pernah bergaul, maka dia bertanya:
"siapakah nama besar saudara, pernah apa dengan Bupangcu?"
belum habis dia bicara, mendadak terasa badannya
menjadi kejang.
Mulut terbuka namun suara tidak keluar kiranya sekaligus
dia sudah ditutuk Hiat-to lemas dan Hia-to bisunya, Dua orang
dikanan kiri memapahnya keluar dari gerombolan orang
banyak. Bu su-tun tumplek perhatian menonton, sehingga tak
disadari apa yang telah terjadi atas diri Tiau-hu.
Kini permainan Bu-lim-thian-kiau dengan Lokieng-cianghoat
semakin lincah dan gesit, keadaan sekarang sedikit
tenang, namun kenyataan serang menyerang kedua pihak
sudah memuncak tegang seumpama Busur panah yang sudah
terpentang sekali anakpanah dilepas musuh pasti terpanah
mampus. selama ini Wanyan Tiang-ci masih beJum dapat
memecahkan cara tempur Bu-lim-thian-kiau yang
menakjubkan ini, hanya Bu su-tun saja yang memuji dan
kagum bukan main karena dia pernah melihat keseluruhan
dari ilmu Lokieng-ciang-hoat itu.
Dengan jurus Eng-kik-tiang-khong, Huhansia desak Bu-limthian-
kiau mundur, kini ganti dia yang balas merangsak
dengan sengit dari bertahan balas menyerang, dikiranya lawan
tak berani melukai dirinya, maka serangannya semakin keji
dan dilandasi seluruh kekuatannya.
Namun dia juga tahu bahwa Bu-lim-thian-kiau belum
melawan sepenuh tenaganya, cuma tidak disadarinya bahwa
Bu-lim-thian-kiau memang mengatur tipu daya karena
wataknya yang angkuh dan pandang musuh lebih rendah,
sebaliknya Huhansia salah paham kira orang takut melukai
Duta Mongol. Mendapat angin Huhansia tidak sia2kan kesempatan.
serangannya semakin gencar, Tujuan Bu lim thian-kiau
memang menguras tenaga orang, Tapi rangsakan Huhansia
laksana gempuran gelombang ombak yang dahsyat tak
putus2. Tapi Bu-lim-thian-kiau kembang-kan kelincahan
berlompatan kian kemari, 30-an jurus Huhansia menyerang
dengan sengit, namun ujung baju orangpun tak bisa
disentuhnya. Lambat laun baru Huhansia menyadari
tenaganya semakin lemah, sedikit lengah karena menyadari
kesalahan ini. Mendadak Bu-lim-thian-kiau menubruk seraya melancarkan
pukulan, tunjuk timur hantam barat, incar selatan
menggempur utara. Huhansia menjadi kerepotan, menangkis
ke timur tahu2 serangan datang dari barat "plak" pundaknya
kena pukul dengan telak,
(Bersambung keBagian60)
Bagian 60 Untung Lok-eng-ciang-hoat mengutamakan kelunakan yang
lembut enteng, kekuatan pukulannya tidak keras dan ganas,
Huhansia memiliki ilmu pelindung badan, maka tidak sampai
teriuka dalam. Namun demikian, dia toh terhuyung
sempoyongan beberapa langkah.
"Berhenti" Wanyan Tiang-ci segera bersuara melihat
pertempuran hendak dilanjutkan.
Bu-lim-thian-kiau gelak2, serunya: "Betul, cukup saling
tutul dan jamah saja, beruntung aku menang sejurus dari
tamu agung kita, bolehlah dihentikan sampai disini saja."
Sebetulnya kalau dia tutup mulut urusan akan selesai
begitu saja, namun karena dia bicara, Huhansia merasa
mukanya disapu bersih, sudah tentu dia tidak kuat menahan
penasaran dan malu" Sambil menggerung, waktu lawan
menarik tangan hendak mengundurkan diri, tiba2 dia
memukul dengan gerakan membelah.
Diluar tahunya Bu-lim-thian-kiau memang sengaja


Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatur tipu daya hendak menjebaknya, siang2 dia sudah
menduga orang akan bertindak demikian, maka semenjak tadi
sudah dia persiapkan cara untuk memg alahkan dan
membekuk lawan.
Pada detik2 secepat letikan api itu, Bu-lim-thian-kiau
gunakan Hian-coan-kian-kun (memutar mayapada) tiba2
badannya putar baliki maka terdengariah suara" "krak", tulang
diujung lengan kanan Huhansia dipuntirnya keseleo.
kejadian selanjutnya terlalu cepat, begitu kembangkan,
Kim-na-jiu-hoat Bu-lim-thian-kiau terus pegang kedua lengan
Huhansia serta diangkatnya keatas diputar2 seperti atlit
lempar peluru seraya berseru lantang:
" Hadirin menyaksikan sendiri, dia sendiri yang tidak mau
mengakhiri pertempuran, bukan aku yang sengaja hendak
membuat keonaran."
Kaget Wanyan Tiang- ci bukan kepalang,
"Tam lh-tiong." bentaknya,
"gila kau." dua jari terangkap menutuk Toa-cui-hiat
dipunggung Bulim-thian-kiau seraya menubruk maju. Bu-limthian-
kiau sedang bicara kebawah panggung, se-akan2 dia
tidak perhatikan serangan Wanyan Tiang- ci.
Toa-cui-hiat adalah sentral dari urat nadi dan jalan darah,
kalau kena tutuk pasti jiwa orang akan celaka dua belas.
Bu su-tun menggeram gusar sembari lompat naik ke atas
panggung, kedatangannya tepat menangkis tusukan Wanyen
Tiang- ci. sudah tentu Wanyan Tiang- ci amat kaget melihat
pukulan orang yang dahsyat mengandung suara gemuruh
laksana guntur, kuatir tenaga tutukan jarinya tidak kuat
melawan pukulan orang, dari tutukan lekas dia rubah menjadi
pukulan telapak tangan, dilancarkan pukulan Bian-ciang yang
lunak untuk mengatasi kekerasan, menyambut dengan telak,
Diluar tahunya Kim-kong-ciang-lat Bu su-tun teramat hebat,
betapapun lihay Bian-ciang Wanyan Tiang- ci, paling hanya
kuat menahan lima bagian kekuatan lawan., "Blaang" begitu
telapak tangan keduanya beradu Wanyan Tiang-ci tergertak
mundur tiga langkah.
" Bu su-tun," hardik Wanyan Tiang-ci dengan suara keren,
"besar nyalimu berani membuat huru-hara dikota raja."
Bu su-tun mengenakan topeng tipis, namun begitu Wanyan
Tiang-ci menyambut pukulannya, segera dia tahu siapa yang
sedang dia hadapi.
Bu su-tun gelak2, sekalian dia renggut topengnya,
katanya: "Wanyan-ciangkun, sebagai komandan Gi-lim-kun, tidak
tahu malu kau gunakan cara yang keji dan kotor menyerang
orang yang pernah menyelamatkan jiwamu."
Merah muka Wanyan Tiang- ci, bentaknya:
" Busu-tun, kau buronan pemberontak ini memang
pemerintah hendak membekukmu, berani kau mencampuri
utusan membuat onar disini" Hm, h m. memangnya kau tidak
takut mati?"
" Kalian menindas murid2 Kaypang kita yang ada di Taytoh,
memang aku hendak membuat perhitungan dengan kau. Aku
tahu diatas gunung ada harimau, justru kesanalah aku pergi.
Kau mau apa, hayolah hadapi aku."
setelah gagal membokong, Wanyan Tiang-ci sudah patah
semangat sudah tentu dia tidak berani bentrok secara
langsung dengan Bu su-tun.
Disaat Bu su-un mencegat Wanyan Tiang-ci, U-mong dan
Uji kedua sute Huhansia sudah menerjang naik ke atas
panggung, Tam Se-ingpun siapkan anak buahnya mengepung
panggung, Busur panah sudah terpentang siap membidik
kerah Bu-lirn-thian-klau, Bu-lim-thian-klau angkat Huhansia
diatas kepalanya terus disatukan kedepan, bentaknya
"siapa berani hayo maju. Kalau orang she Tam gugur, biar
Tatcu Mongol ini mengiringi aku keliang kubur."
Tulang lengan Huhansia keseleo diplintir dengan Jong-jimhoat,
betapapun tinggi Iwekangnya tak urung dia berkaok
kesakitan. Melihat suhengnya terjatuh ketangan musuh,
Umong kuatir bila lawan terdesak bakal mencabut jiwanya,
karena kekuatiran ini dia merandek tak berani maju.
sebaliknya Busu negeri Kim dan para penonton lain sama
senang, kaget dan terpesona setelah tahu yang membekuk
Huhansia adakah Bu-lim-thian-klau pujaan hati mereka, hati
mereka ikut teria mpias juga dongkolnya selama ini, ada
diantaranya malah mendesak serdadu yang pentang panah
dan bersorak memberi semangat kepadanya.
Dalam keadaan kepepet ini, Wanyan Tiang-ci mati kutu
dibuatnya, terpaksa dia menelan rasa gusar dan malu,
katanya: "Tam lh-tiong, jangan kau main serampangan, ada
omongan apa marilah dibicarakan."
"Betul, kita perlu berunding baik2. Apa yang kau inginkan,
coba kudengar dulu usulmu. Turunkan Huhansia, aku
bebaskan kalian keluar, seujung rambutpun tidak ku usik
kalian" "Masakah urusan demikian begitu gampang."
"Kau harus tahu, kalian buronan pemerintah, kalau kau
ingin membuat onar, kau kira kau bisa lolos lari Taytoh."
"Memangnya kita sudah pertaruhkan jiwa, masa takut
menghadapi ancamanmu" Barisan panahmu memang bisa
membidik aku mampus, namun tamu agung- mu orang
Mongol ini akan mati bersamaku. Berani kau menanggung
akibat ini, nah suruhlah mereka bidikkan panahnya."
sudah tentu ciut nyali Wanyan Tiang-ci, lekas dia berkata:
"Baiklah, lalu apa keinginanmu?"
"soal ini aku sendiri tidak memberi keputusan seluruhnya,
Bu-pangcu kemari hendak membuat perhitungan dengan kau,
coba kau tanya Bu-pangcu, setelah persoalan kalian selesai,
aku akan lepaskan tawanan- ku."
Apa boleh buat terpaksa Wanyan Tiang-ci bicara kepada Bu
su-tun: "Kuharap Bu-pangcu suka bermurah hati."
Bu su-tun mendengus,
"Bermurahi hati" Hm, tapi kau berlaku amat kejam
terhadap murid Kaypang kita."
"sebelum ini aku memang bertindak keterlaluan terhadap
Pang kalian, soalnya aku men jalankan perintah raja, Bupangcu,
persoalan lama tak usah diperdebatkan, harap Bupangcu
memberi saran bagaimana kita harus menyelesaikan
urusan didepan mata?"
"Baik, asal kau terima dua usulku, Tatcu Mongol ini akan
kami lepaskan, persoalan kitapun boleh anggap selesai."
Wanyan Tiang-ci melengak, tanyanya: "Dua usul apa?"
"Pertama, seluruh murid2 Kaypang yang kalian tawan harus
segera dibebaskan Kau mau terima?"
Ada ribuan orang2 Kayp-ang yang dijebloskan dalam
penjara, namun demi keselamatan Duta Mongol terpaksa
Wanyan Tiang-ci menerima syarat pertama ini.
"Baik, kubatasi dalam satu jam, seluruh murid2 Kaypang
diantar ke pintu timur." kata Bu su-tun lebih lanjut.
"Lalu apa usul kedua?" tanya Wanyan Tiang-ci.
"Kau harus antar kami keluar kota, 5 li di luar kota baru kita
tukar menukar tawanan,"
Wanyan Tiang-ci kertak gigi, sahutnya:
"Baiklah kuterima usulmu." segera dia keluarkan perintah
supaya melepas murid2 Kaypang yang tertawan dan
dikumpulkan kepintu timur.
Dengan mengempit Huhansia, Bu-lim-thian-kiau lompat
kebawah panggang terus keluar dari gelanggang diiringi
Wanyan Tiang-ci. Atas perintah Wanyan Tiang-ci terpaksa
Tam se-ing menarik mundur barisan panahnya. Banyak
murid2 Kaypang yang menyamar dan mencampurkan diri
diantara penonton segera tunjukkan muka aslinya ikut
bergabung dengan rombongan Bu su-tun berdua Wanyan
Tiang-ci bersama Umong dan-lain2 mengikuti dibelakang.
Disepanjang jalan raya yang mereka lalui tidak sedikit
murid2 Kaypang yang menyamar bermunculan pula, mereka
dipersiapkan untuk membuat onar besar, namun setelah
urusan bisa dibereskan tanpa pertumpahan darah, maka
mereka siap mengundurkan diri bersama pangcu mereka.
Agaknya Bu su-tun memang sudah mempersiapkan
rencananya dengan matang, maka rombongan mereka
semakin besar. Baru sekarang Wanyan Tiang-ci sadar bawah
Bu su-tun memang sengaja hendak membuat onar, namun
Huhansia ditangan mereka, walau hati dongkol dan marah, dia
tidak bisa berbuat apa2.
Tiong siau-hu disangka berada dalam rombongan orang
banyak, mundur bersama murid2 Kaypang, maka Bu su-tun
tidak perhatikan dirinya lebih lanjut. Apalagi rombongan
mereka diikuti Wanyan Tiang-ci dan lain2, asal usul Tiong
siau-hu belum diketahui sudah tentu dia tidak ingin orang ber
jalan bersama dirinya.
setiba dipintu timur, ternyata murid2 Kaypang sudah
diantara naik kereta dan dilepaskan malah menunggu
kedatangan mereka. Banyak murid2 Kaypang itu yang terluka
dan tersiksa dipenjara, maka teman2-nya yang sehat dan kuat
bantu memapah dan menggotongnya.
seperti yang dijanjikan kedua pihak tukar tawanan 5 li
diluar kota, Bu-lim-hian-kiau hanya memperbolehkan Wanyan
Tiang-ci bawa puluhan pengiring dan beberapa Busu Mongol.
setiba ditempat tujuan Bu-lim-thian-kiau gelak2, katanya:
" Kalian sudah antar sedemikian jauhi selamat bertemu lain
kesempatan Kalian Busu Mongol kalau ingin bertanding lagi,
setiap saat kami bersiap melayani."
lalu dia turunkan Huhansia dan melepaskannya .
sudah tentu Umong tidak bisa membebaskan tutukan Kengsin-
ci-hoat, lekas dia berteriak:
"Nanti dulu, suheng kami belum pulih seperti sedia kala?"
"Tulang keseleo dapat disambung, tutukanku kau tak bisa
membebaskan, Wanyan-ciangkun" Bu su-tun segera
menimbrung: "Murid2 Kaypang kitapun banyak yang belum pulih
kesehatannya, hayolah kalian obati dulu murid2 kita."
"sudahlah sudah, aku bisa membebaskan tutukan Hiattonya."
timbrung Wanyan Tiang-ci tidak sabar, Kuatir terjadi
perubahan, Umang tidak berani bicara lagi.
setelah menyerahkan tawanannya, diiringi gelak tawa ramai
Bu-lim-thian-kiau dan Bu su-tun berlalu dengan iringan murid2
Kaypang, sementara Wanyan Tiang-ci sibuk berusaha
membebaskan tutukan Hiat-to Huhansia.
Tak nyana begitu Hiat-to yang tertutuk terlepas, tahu-tahu
Huhansia melakukan perbuatan nekad yang amat diluar
dugaan orang banyak, BerJingkrak berdiri Huhansia terus
gelak tawa tiga kali, tiba2 dia cabut golok melengkung terus
berhara kiri menusukan golok keperut sendiri Mimpipun
Wanyan Tiang-ci tidak menduga orang bakal secupat itu
nekad bunuh diri, mau tolong sudah kasep.
sudah tentu Umong, Ujidan Busu2 Mongol lainnya amat
kaget, beramai mereka merubung maju, "suko, kau, kenapa
kau?" . sambil menahan derita mendelik mata Huhansia, katanya
menyeringai seram:
"se-kali2 aku tidak sudi dihina oleh bangsa Nuchen yang
rendah, aku bersumpah pasti menghancurkan negara dan
mengobrak-abrik rakyat mereka."
Dengan cucuran air mata Umong dan Uji bertanya: "suheng
ada pesan apa?"
"Aku malu karena gagal menjalankan tugas, tiada muka
aku kembali ke negeri, Laporkan kepada Khan agung,
mintalah kepada beliau untuk segera mencaplok negeri Kim,"
habis berkata dia kerahkan tenaga mencabut golok terus
diberikan kepada Umong, Tusukan golok ini amat dalam,
setelah golok dicabut, darah mancur bagai air leding, dalam
sekejap jiwanyapun mangkat.
Wanyan Tiang-ci berdiri menjubleki katanya kemudian
sambil banting kaki:
" Celaka, celaka. Habis se-gala2nya."
"Habis apa?" damprat Umong,
"tidak lekas kau kejar mereka dan tangkap kembali Bu sutun
dan Tam Ih-tiong" ingin aku membelek perut dan
mengorek jantung mereka untuk sembahyang kepada arwah
su-heng." Jumlah murid Kaypang jauh lebih banyak dari pasukan Gilim-
kun yang ada, dan lagi anggota Gi-iim-kun takkan mau
mengejar dan menangkap Bu-lim-thian-kiau yang menjadi
pujaan hati mereka. Apalagi kepandaian Bulim-thian-kiau dan
Bu su-tun begitu tinggi, memangnya gampang mereka mampu
menangkap kedua orang ini"
Dari kejauhan Bu-lim-thian-kiau berseru lantang:
"suheng mu sendiri yang cari kematian, apa sangkut
pautnya dengan aku" Hehe, kalau kau ingin menuntut balas,
nah kemarilah kulayani keinginanmu."
Tahu dengan bekal kepandaian mereka takkan unggul
melawan Bu-lim-thian-kiau terpaksa Umong telan penasaran
dan putar balik membawa pulang jenazah Huhansia.
setelah bebas dan puluhan li tiba diluar kota baru Bu-lim
thian-kiau merasa lega, Baru sekarang pula Bu su-tun sempat
periksa jumlah orang2nya, tiba2 dia berkata heran:
"Lho, kemana siau-hu?"
"Tiong siau-hu masih muda, namun otaknya cerdik, ilmu
silatnya juga tidak rendahi kukira tidak akan terjadi apa2 atas
dirinya, mungkin terpisah ditengah jalan sehingga dia tidak
sempat nyusul rombongan besar kita tadi."
"Tapi kita tiada tempo buat mencarinya lagi." ujar Busutun,
Maklumlah janjinya dengan Hong- lay- mo-li tinggal
puluhan hari lagi, mereka harus cepat keThian long-nia
bertemu dengan Hong-lay-mo-li maka tak bisa tinggal lebih
lama lagi di Taytoh.
Terpaksa Bu su-tun berpesan kepada Ki san, kepala
pimpinan cabang Taytoh untuk menyampaikan kabar
hilangnya Tiong siau-hu kepada su-khong siangjin dan
berusaha menemukannya pula, Disamping itu dia tugaskan ciu
Kan pimpin murid2 Kaypang yang ada di Taytoh berangkat ke
Ki-lian-san, sedang dia bersama Bu-lim-thian-kiau langsung
menuju ke thian- Iong- nia .
Untuk sementara biarlah kita kesampingkan dulu perjalanan
Bu su-tun dan Bu-lim-thian-kiau ke Thian-long-nia, Marilah kita
ikuti pengalaman yang menimpa Tiong siau-hu.
seperti diketahui Tiong siau-hu ditutuk Hiat-tonya dan
dipapah keluar gelanggang oleh dua orang, setiba digang


Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempit dan sepi, laki2 pendek kekar disebelah kanan berkata
dengan tertawa:
" Untuk menggotongnya keluar kota terlalu banyak buang
tenaga, Adik Cu lekaslah kau gunakan keahlianmu saja,"
Pemuda cakap seperti pelajar disebelah kiri tertawa,
sahutnya: "Baik, coba saksikan." entah dengan cara apa, telapak
tangannya digosokkan didepan hidung Tiong siau-hu seketika
Tiong siau-hu dirangsang bau harum, lekas sekali dia terus
jatuh pingsan, sebelum dia pulas terasa dirinya dimasukan
kedalam karung, selanjutnya dia tidak ingat apa2 lagi.
Entah berapa lama kemudian, waktu Tiong siau-hu sayup2
siuman, terasakan dirinya berada ditempat gelap. sesaat
kemudian baru dia sadar dirinya masih berada didalam
karung, pikiran sudah sadar namun tenaga masih amat lemah,
tak bisa meronta tak mampu bicara.
Disaat Tiong siau-hu mengingat kejadian apa yang
dialaminya, tiba2 didengarnya suara seorang gadis berkata:
"Entah siapakah pemuda ini, tentu dia amat penasaran kita
ringkus tanpa juntrungan, "
"Peduli siapa dia," didengarnya laki2 pendek kekar itu
menyahut, "asal dia teman Bu su-tun, setelah kita ringkus terhitung
kita sudah menunaikan tugas."
"Aku jadi bingung," terdengar gadis yang menyaru jadi
pelajar berkata,
" kenapa tidak kita serahkan pemuda ini kepada Gi-lim-kun
saja?" "Kalau aku bertindak atas kehendakku sendiri sudah tentu
kuserahkan kepada Wanyan Tiang-ci, sayang suhuku sudah
pesan, peduli siapapun yang kubekuk harus diserahkan
kepadanya dan lagi dipesan supaya tidak diketahui orang
lain." " Kenapa begitu" Bukankah gurumu siap menjadi Koksu
negeri Kim" Kenapa gurumu ingin kau serahkan pemuda ini
kepada dia secara diam2?"
"Kau tidak tahu, Guruku sudah berubah haluan. Kini dia
tidak mau jadi Koksu negeri Kim, namun siap bekerja demi
kepentingan Khan agung dari Mongol."
"Apakah Timujin berjanji mengangkatnya menjadi Koksu
dari Mongol?"
" Koksu negeri Mongol sudah diduduk, orang, yaitu cunseng
Hoatong yang kenamaan itu. Kalau guruku mau bekerja
bagi mereka paling hanya diangkat sebagai tangan kanan cunseng
Hoat-ong,"
"Aku semakin bingung, jadi Koksu negeri Kim tidak mau,
kenapa malah jadi pembantu orang lain"
"Kau tidak tahu, Mongol sekarang kuat danjaya, sebaliknya
negeri Kim semakin mendekati runtuh, Kan jamak manusia
manjat keatas, air mengalir kebawah, demikian pula guruku."
Gadis itu tertawa, katanya: "Tak heran ibuku sering bilang
gurumu adalah manusia rendah yang tidak punya pendirian
tetap. kelihatannya dia berperawakan kekar garang, tak kira
berhati kecil, pulas dan banyak muslihatnya."
"ssst, jangan keras2." desis laki2 pendek,
"Takut apa, disini tiada orang lain." sahut di gadis, dia lupa
akan Tiong siau-hu yang berada didalam karung.
" Kenapa kau bilang demikian dihadapanku" Kalau
suhengku dengar, tentu kau dilabraknya."
"Memangnya kenapa kalau dia dengar, gurumu-pun tahu
bila ibuku sering memaki dia."
"Kau memang senang merengek dan mau menang-sendiri,
Biar kuberitahu kabar baik, guruku sekarang sudah berobah
pikiran." "Berubah pikiran soal hubungan kita maksudmu " Cis, aku
tidak mau dengar. Ma-toako, kau tahu watakku, ada
pertanyaan yang masih ingin kutanya,"
"Baiklah, tapi jangan kau mencela keburukan guruku lagi."
"Tak bisa, aku tetap tanya soal gurumu, Kalau gurumu
hendak setia kepada Mongol, kenapa pemuda yang kita
ringkus ini tidak diserahkan kepada orang2 Mongol itu?"
" Kenapa susah2, guruku hendak membawa tawanan orang
Kaypang ini sebagai hadiah pertemuan sekaligus unjuk jasa
baiknya." "Banyak benar muslihat gurumu. He, jangan kau salah
paham, bukan maksudku hendak memburukkan nama
gurumu." "Memang untung tidak kita serahkan kepada orang2
Mongol itu, Kini Huhansia sudah ditawan Bu-lim-thian-kiau,
kalau jejak kita diketahui mereka, orang2 Kaypang tentu tidak
lepaskan kita."
"Kau ingin melawan Bu su-tun namun takut pula
menghadapinya, sungguh tidak berguna." demikian cemooh si
gadis dengan cekikikan.
"soal kepandaian aku memang bukan tandingannya,
terpaksa harus kugunakan akal liciki dengan mendapat
dukungan suhu, cepat atau lambat pasti aku bisa menuntut
balas kepadanya."
Kedua laki perempuan ini bukan lain adalah Ma Toa-ha dan
siangkoan Pocu, Baru sekarang Tiong siau-hu yang berada
didalam karung mengetahui bahwa dirinyalah yang ketimpa
pulung. Dalam pada itu didengarnya siangkoan Pocu tengah bicara:
"Sebetulnya pemuda ini harus dikasihani, tapi untung kau
menangkapnya, bukan membekuk Bu su-tun."
Ma Toa-ha melengak, katanya mendelik,
" Kenapa" Bu su-tun adalah musuhku, kau tidak ingin aku
menuntut balas?"
"Tapi Bu su-tun pernah menolong jiwa mu, jangan kau lupa
akan sumpahmu waktu kau dia lepas, setelah membunuh dia
kau sendiri akan bunuh diri juga, aku tidak ingin kau mati,
maka aku lebih rela kau tak berhasil menuntut balas
kepadanya."
Ma Toa-ha gelak2, ujarnya:
"Pocu pikiranmu terlalu Jenaka, kau kira apa yang ku
ucapkan itu betul2 harus kupatuhi?"
"Apa"Jadi kau hanya menggertak dan menipu Bu su-tun?"
"Tentu, kalau aku tidak pura2 bersikap gagah, memangnya
aku masih ada muka" Dalam keadaan seperti itu, kalau aku
tidak berkata demikian, apakah aku tidak malu?"
sekian lama siangkoan Poru terlongong katanya kemudian:
"Ma Toa-ha, aku sungguh aku tak kira kau adalah orang
demikian."
"Apa, jadi kau menyesal berhubungan baik dengan aku"
Hm, kalau aku tidak pandang kau sebagai orang sendiri. aku
tidak akan kemukakan isi hatiku."
"Ma-toako," ujar siangkoan Pocu sesaat kemudian, "masih
ada sebuah hal ingin kutanya."
"Hari ini kenapa kau begini cerewet Baiklah, asal kau tidak
marah saja, soal apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kau ini orang Nuchen, pernah menjadi perwira Gi-lim-kun,
setelah gurumu membantu orang Mongol, setelah perang
terjadi kepihak mana kau harus membela?"
Ma Toa-ha melongo cukup lama, agaknya tak pernah dia
pikirkan hal ini, sahutnya kemudian: "Perang belum tentu
terjadi." "Kalau terjadi bagaimana" Kemana kau berpihak?"
"Biar kutentukan sesuai situasi saat itu, negeri Kim adalah
tanah airku, Tapi perintah guru tak boleh dilawan, maka aku
terpaksa terpaksa..."
"Terpaksa bagaimana?"
"Aku akan bertindak menurut situasi dan memilih arah
angin..." "Aku tidak tahu apa yang kau maksud menurut situasi dan
memilih arah angin ?"
"Maksudku pihak mana lebih menguntungkan kepihak
itulah aku berpihak."
"oh, kiranya kaupun sama seperti gurumu, adalah..."
"Adalah apa?"
"Ah, tak perlu kukatakan, kau marah nanti." sebetulnya dia
hendak bilang: "Kiranya kau seperti gurumu adalah manusia rendah yang
tidak punya pendirian tetap."
Agaknya Ma Toa-ha tahu apa yang dimaksud, katanya
tertawa: "Memang akupun tak ingin dengar, sudahlah,
sekarang aku hendak me-lihat2 keadaan di-luar, jagalah bocah
itu jangan pergi ke-mana2 nanti kubawakan makanan untuk
kau." Dalam pada itu, sembari mendengarkan percakapan
mereka, diam2 Tiong siau-hu kerahkan hawa murni dihimpun
dipusar, lambat2 namun pasti dengan pelan dia berhasil
mengumpulkan tenaga.
setelah Ma Toa-ha pergi, pikiran siangkoan Pocu menjadi
kalut. Baru sekarang dia mulai sadar bahwa Ma Toa-ha yang
dia cinta ternyata berjiwa kerdil dan rendah, mau tidak mau
rasa cintanya mulai goyah, diam2 dia membatin.
"jiwanya begitu kotor dan rendah, apakah setimpal aku
pasrahkan nasib masa depanku, kepadanya?" mengingat
kehidupan masa depan mau tidak mau terketuk sanubarinya,
rasa sedih dan duka merangsang hati, lama kelamaan karena
bingung dia malah menangis sesenggukan.
Tiong siau-hu yang ada didalam karung mendengar isak
tangisnya, tanpa merasa timbul rasa simpatiknya, tak tahan
dia bersuara: "Nona, sudahlah, jangan kau menangis."
sayang tenaganya masih lemah, suaranya amat lirih seperti
suara nyamuk siangkoan Pocu tidak jelas apa yang dia
katakan. Namun siangkoan Pocu lantas ingat dan melihat gerakan
dari dalam karung, bercekat hatinya, batinnya
"Apakah d:a sudah siuman?" lekas dia memburu kesana
membuka karung itu.
setelah karung terbuka Tiong siau-hu masih pura2
semaput, maklumlah dia belum tahu maksud siangkoan Pocu
maka dia tetap pura2 tak mampu bergerak. setelah meraba
pernapasannya siangkoan Pocu kaget dan menggumam
sendiri: " Celaka, karung ini begini rapat, terlalu lama disekap disini,
mungkin dia bisa mati tak bisa bernapas."
Tiba2 terasa oleh Tiong siau-hu serangkum bau harum
yang pedas merangsang hidungnya agaknya siangkoan Pocu
keluarkan obat pemunah. Tanpa kuasa Tiong siau-hu
berbangkis beberapa kali serta membuka kedua matanya.
Lega hati siangkoan Pocu, katanya tertawa: "syukurlah,
Kukira kau sudah putus napas."
Tiong siau-hu melengak, tanyanya: "Kau yang memberi
obat pemunah?"
siangkoan Pocu manggut2, katanya:
"Wah, suaramu lemah tak bertenaga, tentunya kau amat
kelaparan sampai badanmu lemas?"
"Kenapa kau menyadarkan aku dan melepas aku?" tanya
Tiong siau-hu. Tidak menjawab siangkoan Pocu mengamat2i sekian lama
kepadanya, tiba2 dia tertawa cekikikan dan berkjata:
"Ternyata sejak tadi kau sudah siuman, benar tidak?"
Melihat orang tidak bermaksud jahat Tiong Siau-hu
mengaku terus terang:
" Kudengar kau sedang menangis. Begitu kau menangis
aku lantas ciuman, Nona, kenapa kau menangis?"
Merah muka siangkoan Pocu, katanya: "Aku tak peduli
sejak kapan kau siuman, Yang terang perutmu tentu amat
lapar, nah makanlah dulu."
lalu dia keluarkan rangsum dan air minum.
setelah sedikit makan, semangat Tiong siau-hu bertambah
baik katanya: "Terima kasih nona, kau, kenapa kau begini baik?"
Tidak menjawab siangkoan Pocu malah bertanya:
"siapa namamu" Apa kau teman Bu su-tun?"
"Aku she Tiong bernama siau-hu. Belum setimpal aku jadi
teman Bu-pangcu, Bu-pangcu adalah kenalan preman
guruku." "ohi jadi gurumu seorang Hwesio?"
"Betul, guruku adailah su-khong siangjin, ketua Hu-hud-si
di saysan." siangkoan Pocu melenggong, katanya:
"Ahi kiranya sukhong siangjin,"
"Nona kenal guruku?"
"Aku belum pernah ke Hu-hud-si namun pernah kudengar
nama gurumu dari orang lain."
sementara dalam hati dia membatin: "ibu sering bilang
Beng-beng Taysu dansu-khong siangjin adalah dua padri
agung pada jaman ini, kalau dia murid su-khong siangjin,
tentunya orang baik2."
seperti memikirkan sesuatu, kemudian siangkoan Pocu
bertanya pula. "Tenagamu belum pulih bukan, nah, makanlah dua roti
kering ini."
Memang Tiong siau-hu sudah kelaparan tanpa sungkan
sambil ucapkan terima kasih segera dia gares roti kering itu
dengan lahapnya. Waktu dia angkat kepala, dilihatnya hari
sudah siang mendekati lohor, keruan hatinya heran dan
bingung, siangkoan pocu seperti membaca isi hatinya dari
mimik mukanya, katanya tertawa:
"Tempat ini 300 li berada diluar Taytoh, sudah sehari
semalam kau berada didalam karung."
setelah makan habis roti, Tiong siau-hu bertanya: "Kau
hendak masukan aku kedalam karung lagi?"
Tiba2 Siangkoan Pocu tertawa cekikikan, katanya:
" Kalau kau sudah bisa jalan, lekaslah kau pergi saja."
"Kau melepas aku?" tanya Tiong siau-hu melengak,
"Aku tak bermusuhan dengan kau, tidak lega aku
mencelakai kau,"
" Kalau aku pergi, bagaimana kalau temanmu kembali."
"Aku bisa menghadapinya, mumpung dia belum balik, lekas
kau pergi."
Tiong siau-hu menjura hormat, katanya:
"Terima kasih akan budi kebaikan nona, mohon tanya
siapakah nama nona yang harum."
"Ai. kenapa kau begini serewet, kalau terlambat bisa
kapiran, Baiklah kuberitahu, aku bernama siang-koan Pocu,
Lekaslah pergi."


Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiong siau-hu mengiakan sambil beranjak keluar namun
baru dua langkah dia berhenti lagi, berpaling kepada
siangkoan Pocu dengan pandangan kuatir dan prihatin,
siangkoan Pocu terharu melihat sikap simpatik orang, pada
saat itulah sayup2 terdengar langkah orang mendatangi,
siangkoan Pocu kaget, katanya membanting kaki:
" Celaka, terlambat sudah, Lekas kau masuk kembali
kedalam karung, kalau ada kesempatan nanti malam kulepas,
kau lagi."
Tiong siau-hu sudah bisa jalan, namun tenaganya masih
lemah, kalau berkelahi terang takkan kuat melawan orang. Dia
kira siangkoan Pocu diancam Ma Toa-ha dan terpaksa menjadi
pembantunya melakukan kejahatan diluar tahunya bahwa
muda mudi ini adalah sepasang kekasih.
Begitu Tiong siau-hu masuk karung lekas siangkoan Pocu
mengikatnya dari luar, Terdengar langkah orang sudah tiba
diluar pintu. siangkoan Pocu tenangkan diri, serunya:
"Ma-toa-ko, begini cepat kau kembali?"
"ohi jadi kau masih menunggu Ma Toa-ha?" terdengar
seseorang berkata dengan ge1ak2,
"sayang Ma Toa-ha hanya urus jiwa sendiri tanpa
perdulikan keselamatanmu, dia sudah melarikan diri"
ditengah gelak tawanya pendatang ini dorong pintu kuil
terus melangkah masuki dengan sepasang matanya yang liar
seperti brandal menatap siangkoan Pocu.
Waktu siangkoan Pocu menegas yang datang adalah laki2
kasar yang bermata tinggi, bermuka jelek dan buas, siangkoan
Pocu kenal laki2 ini yang kemaren mengalahkan Uji itu Busu
Mongol diatas Lui-tai, yaitu soa Yan-liu.
"siapa kau, untuk apa kemari?" bentak siangkoan Pocu.
soa Yan-liu menyeringai lebar, katanya:
"Aku ini se kolega dengan Ma-toakomu, kini menunaikan
tugas untuk menangkapnya, Dia sudah lari, kebetulan kuminta
kau saja yang ikut aku."
"Dia melanggar hukum apa, kenapa kau hendak
menangkapnya?"
"Banyak sekali dosa Ma Toa-ha, pertama, dia tidak becus
melindungi pimpinan, setelah kalah perang minggat
menyelamatkan jiwa sendiri Kedua, kini dia menyerah kepada
musuh, dengan tujuan jahat kepada negeri sendiri Ketiga,
setelah meringkus orang Kay-pang secara diam2 dibawanya
pergi, tidak mau serahkan kepada pihak pemerintah dan
masih banyak lagi kesalahan2 lain. oleh karena itu wakil
Komandan Tam-ciangkun memerintahkan supaya membekuk
dan menghajar dia."
sudah tentu siangkoan Pocu naik pitam, jengeknya dengan
alis tegak: " Kalau Ma Toa-ha yang melanggar hukum, apa
sangkut pautnya dengan aku?"
sepasang mata soa Yan-liu liar danjelilatan mengawasi
siangkoan Pocu dengan bernafsu, tiba2 dia ter-loroh2:
"sejak lama kudengar katanya Ma Toa-ha punya seorang
sumoay yang ayu rupawan. Hehe, kini setelah kusaksikan
sendiri memang betul adanya, Berani kau bilang tiada sangkut
paut dengan kau" He, h e, mungkin lantaran dirimu sehingga
dia rela minggat meninggalkan kedudukan dan pangkatnya."
Malu dan gusar siangkoan Pocu, damratnya: " Kentutmu
Busuk. apa maumu?"
"Kuharap kau tak usah pikirkan Ma-toakomu lagi,
Menghadapi bahaya dia tinggal lari menyelamatkan diri tanpa
pedulikan kau, memangnya dia laki2 bejat. Kau ikut aku saja,
aku tidak akan bikin kau susah, kelak kau malah bisa hidup
senang." " Hidup senang segala, memangnya kau kira aku pingin?"
seru siangkoan Pocu gusar, mendadak cahaya kuning
berkelebatan segenggamBwe-hoa-ciam tahu2 ditimpukan
kearah soa Yan-liu.
Memang tidak malu soa Yan-liu sebagai jago kosen dari
siau-lim-si, jarak begitu, dekat jumlah taburan Bwe-hoa-ciam
itupun begitu banyak, namun sekali lompat setinggi setombak
lebih dengan selamat dia hindarkan diri Bwe-hoa-ciam
menyamber dari bawah kakinya, Dengan gerakan burung dara
jumpalitan soa Yan-liu menukik turun menubruk seraya
membentak: "Budak keji, terpaksa kuringkus kau dengan
kekerasan."
siangkoan Pocu sendiri tidak lemah, sinar hijau berkelebat
tahu2 golok sudah dia keluarkan dengan jurus Ki-hwe-liauthian
dia babat sepasang pergelangan tangan soa Yan-liu.
Bersalto ditengah udara pula ujung kaki soa Yan-liu
menendang, hampir saja Liu-yap-to siangkoan Pocu
tertendang lepas, belum lagi kakinya hinggap ditanah dia
sudah merangkak pula .
Terasa pegal lengan siangkoan Pocu, hatinyapun kaget,
namun sebagai murid Ling-san-pay dia memiliki ginkang tinggi
dan senjata rahasia yang beracun kedua ilmu ini siangkoan
Pocu mendapat warisan langsung dari ibunya, didalam rumah
senjata rahasia tidak leluasa ditimpukkan, namun untuk
meloloskan diri dia masih cukup berkelebihan. Tapi dia ingat
akan keselamatan Tiong siau-hu yang begitu simpatik
kepadanya tadi, maka tak tega dia tinggal pergi begitu saja.
se-akan2soa Yan-liu meraba jalan pikirannya beruntun dia
lontarkan empat kali pukulan kencang, kekuatan pukulan
menggencet dari empat penjuru, sehingga siangkoan Pocu
pentang pantang berputar menyurut mundur.
Disaat orang keripuhan tak mampu balas menyerang
cepat2 soa Yan-liu menutup pintu kuil serunya tertawa lebar:
"Jangan kau mau lari, serahkan bocah itu kepadaku."
sekilas matanya melirik, dilihatnya Buntalan karung diujung
tembok sana, maka dia menambahkan:
"Didalam karung itu bukan" Hayo buka biar kuperiksa."
"setelah kalahkan aku, belum terlambat kau main perintah
disini." jengek siangkoan Pocu.
"Memang apa sulitnya?" ejek soa Yan-liu tertawa, dengan
Bik-khong-ciang dia bikin Liu-yap-to siangkoan Pocu terpental
pergi, sigap sekali dia lompat kesana hendak merebut karung.
sekali ungkit dan tendang siangkoan Pocu bikin karung itu
terlempar pergi sembari melolos ikat sutra yang melilit
pinggangnya, sekali gentak dia gunakan sebadai ruyung lemas
menyapu kearah soa Yan-liu.
"E, eh, main buka kolor copot pakaian segala" jangan kau
kira aku ini laki2 mata kranjang." sekali ulur dia pegang ujung
selendang sutra orang. Tak nyana permainan siangkoan Pocu
amat aneh dan lihay, selendang sutranya hidup laksana naga
soa Yan-liu mengendus bau harum, seketika kepalanya enteng
dada terasa mual.
Lekas dia mundur beberapa langkah mengerahkan hawa
murni, sehingga rasa pening segera lenyap. Kiranya diujung
selendang sutra siangkoan Pocu ada dibubuhi bubuk racun,
namun Iwekang soa Yan-liu tinggi, kadar obat bius belum
sampai membuatnya semaput.
Dengan menyeringai dingin kembali soa Yan-liu menubruk
maju kini dia lancarkan 72 jurus Toa kim na-jiu ajaran siaulim-
si, cepat sekali siangkoan Pocu sudah didesaknya
keripuhan, tak sempat lagi dia menaburkan senjata
rahasianya, semakin lama soa Yan-liu sudah menyelami
tingkat kepandaian siangkoan Pocu, maka dia kencangkan
tenaga pukulannya, sehingga selendang siangkoan Pocu tidak
terkendali lagi, walau belum bisa dia tangkap namun
permainan cambuk selendangnya sudah tak mampu
dikembangkan lagi.
siangkoan Pocu cerdik dan banyak akalnya setelah terdesak
keripuhan, mendadak dia putar ujung golok sendiri mengarah
dada, soa Yan-liu kira orang hendak hara kiri membunuh diri,
sudah tentu dia tidak rela saksikan gadis secantik bidadari ajal
didepan matanya.
Dengan kaget dia berteriak: "Jangan begitu." dengan
gugup. dia merebut golok orang, Tak kira belum lenyap
suaranya, baru tangan terulur, tiba2 telapak tangan terasa
sakit sekali, kiranya gagang golok siangkoan Pocu yang berada
disebelah luar ada dipasang alat rahasia didalam ada
tersimpan jarum2 beracun.
siangkoan Pocu tertawa riang, katanya:
"Kau kena jarumku, dalam 12 jam jiwamu takkan selamat,
tahu2 goloknya berputar balik terus membacok..
"Lepaskan." hardik soa Yan-liu tangan kanannya
menggantol dan menarik terus menyanggah siku siangkoan
Pocu, sementara kepalan kiri terbalik menggenjot ke muka
orang dengan jurus Ling-yang-koa-kak (kambing gembol
menanduk). Agaknya siangkoan Pocu tidak kira setelah orang terkena
jarum bisanya masih begini kuat dan mampu melancarkan
jurus yang ganas, ter-sipu2 dia berkelit. Tapi cepat sekali soa
Yan-liu sudah merubah permainannya, kini dia ganti pakai tipu
Jiu-hwi-bi-ba (tangan memetik harpa), kelima jarinya
terangkap menyampuk pergelangan tangan siang koan Pocu.
"klontang" Liu-yap-to siangkoan Pocu terlepas terbang dan
jatuh ditempat jauh.
"Jarum bisa sekecil itu memangnya bisa mengapakan aku?"
desis sao Yan-liu menyeringai sadis
"Kau kira jarummu bisa mencabut jiwaku, Budak Busuk kau
berlaku begini keji biar kuberi sedikit siksa supaya tahu
kelihayanku."
Belum lagi siangkoan Pocu berdiri tegaki tahu2 tangannya
terayun pula menaburkan segenggam jarum beracun. Kali ini
dia menyerang setelah siap. taburan jarumnya laksana jala,
kemanapun soa Yan-liu menyingkir takkan bisa lolos dari
timpukan jarumnya.
siangkoan Pocu menduga setelah terkena jarum berbisa,
gerak-geriknya pasti terganggu dan takkan gesit dan selincah
semula. Diluar tahunya soa Yan-liu meyakinkan Iwekang aliran
murni dari siau-lim-pay, setelah kena jarum segera dia
kerahkan tenaga menutup Hiat-to, Ginkang memang
terpengaruh namun tenaga dalamnya untuk sementara masih
kuat bertahan. Disaat siangkoan pocu taburkan segenggam jarumnya pula,
soa Yan-liu segera barengi dengan bentakan keras seraya
dorong kedua telapak tangannya.
sudah tentu Tay-lik-kim-kong-ciang siau-lim-pay bukan
olah2 dahsyatnya, semula soa Yan-liu hendak menawan
siangkoan Pocu hidup2, maka dia tidak turun tangan secara
keji. Kini setelah kena jarum orang, dia insaf harus selekasnya
mengakhiri pertempuran ini, sudah tentu dia tidak hiraukan
lagi mati hidup jiwa orang, Ditengah damparan angin pukulan,
tampak bintik sinar kuning berkilauan, jarum sebanyak itu
semua disapunya runtuh berjatuhan tiada satupun yang
mengenai dirinya.
siangkoan Pocu sempoyongan, namun tidak sampai roboh,
"Bagus, kulukai kau baru kuobati lagi." Demikian damrat
soa Yan-liu sengit, Tangan membundar terus didorong pula,
kali ini kekuatan pukulannya di-tambah.
sudah tentu siangkoan Pocu semakin payah, langkahnya
menyurut lagi dan muntahkan darah segar dari mulutnya.
Didalam karung sudah tentu Tion-g siau-hu tak bisa melihat
keadaan diluar, namun dia mendengar jeritan siangkoan Pocu,
Keruan gugup dan gelisah hatinya laksana dibakar segera dia
kerahkan tenaga me-ronta2 hendak menjebol karung, namun
karena ruangnya terlalu sempit sukar dia keluarkan
kekuatannya dalam waktu dekat terang tak mampu keluar.
Karena Tiong Siau-hu meronta2, karung itu
bergelundungan, keruan Soa Yan-liu girang, serunya tertawa
riang: " Kiranya betul bocah itu didalam karung," dengan langkah
lebar segera dia memburu. Dengan kertak gigi lekas siangkoan
Pocu sendai selendang su-tra ditangannya menjilat kaki soa
Yan-liu. sudah tentu orang naik pitam makinya: "Gadis yang tidak
tahu diuntung," sekali tendang selendang sutra itu sampai
putus berkeping2 namun demikian kakinya yang terangkat
hendak menginjak karung menjadi luput. Karena
bergelundungan kian kemari, kebetulan karung itu menyentuh
golok siangkoan Pocu yang terpental jatuh tadi, tajam
goloknya mengiris karung sehingga berlobang, segera jari
Tiong siau-hu terjulur keluar dari lobang terus menarik
sekuatnya, begitu karung robeki segera ia melompat keluar,
sigap sekali dia raih golok terus membacok soa Yan-liu.
" Lekas kau lari, kau bukan tandingannya." teriak siangkoan
Pocu. "Bukan tandingannya juga harus kulabrak dia." sahut Tiong
siau-hu, sembari menjawab beruntun dia merangsak tiga kali
bacokan. Dengan langkah naga melingkar soa Yan-liu melupakan diri
dari bacokan pertama terus membalik seraya, menjentik dan
membentak: "Lepas golok,"
"creng" bacokan kedua Tiong Siau-hu kena dia jentik pergi
namun Tiong siau-hu masih tetap kuat pedang goloknya
dengan kencang,
"Belum tentu." sambut Tiong siau-hu, bacokan ketigapun
dia lancarkan Jentikan jari soa Yan-liu menggunakan ilmu sakti dari aliran
Hud yang dinamakan Itci-tam-kang, kekuatannya dihimpun
jadi sejalur dapat menyerang musuh melalui golok yang
disentuhnya, getaran jentikan dapat melukai urat nadi, banyak
jago2 persilatan yang tak kuat menahan jentikan jari ini.
Karena usia Tiong siau-hu masih muda dia kira orang tidak
kuat menahan tenaga selentikannya, tak kira bukan saja
senjata orang tidak terlepas malah dirinya dihujani bacokan
lagi. Keruan soa Yan-liu kaget dan merasa diluar dugaan,
namun dengan muka merah dia tertawa dingin:
" Golok tidak kau lempar, biar kubikin kau roboh." tiba2 dia
menghardik, kedua tangan bergerak bersama melancarkan
serangan keji, ternyata dia kerahkan Tay-Iik-kim-kong-ciang
ajaran pusaka pelindung siau-lim-si yang hebat perbawanya.
siangkoan Pocu terluka oleh Kim-kong-ciang ini kini melihat
orang mengancam jiwa Tiong siau-hu keruan dia berteriak
kaget dan kuatir, Ditengah damparan angin dan
berkelebatannya senjata tampak Tiong siau-hu terhuyung tiga
langkahi mulutnya gelak2 malah, ejeknya:
"Jangan kau takabur, maaf ya, aku kan tidak kau


Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

robohkan." sudah tentu kejut dan girang hati siangRoan Pocu,
dengan bersenderkan dinding dia mengatur napas.
Bukan lantaran kekang Tiong siau-hu lebih tinggi dari
siangkoan Pocu, adalah karena tenaga soa Yan-liu yang mulai
susut setelah terkena jarum beracun maka kekuatan Kimkong-
ciang jauh berkurang.
Malah bukan hanya berkurang saja, karena dia harus
kerahkan hawa murni menutup Hiat-to, supaya hawa racun
tidak menyerang jantung, maka dia harus segera mengakhiri
pertempuran, makin lama dia berhantam semakin besar
bahaya keracunan.
Diluar tahunya pula bahwa Tiong Siau-hu sudah
digembleng Su-khong Siangjin, maka bukan soal gampang
untuknya merobohkan lawan yang masih muda ini apalagi dia
sudah keracunan. Tapi karena rangsakan gencar lawan, Tiong
siau-hu hanya mampu bertahan dengan tabah.
Maklum biasanya tidak mencocoki seleranya, yang
dicekalnya sekarang tidak mencocoki seleranya, sudah tentu
dia tidak leluasa menyerang.
setelah napas dan pikiran tenang, siangkoan pocu dapat
melihat kelemahan Tiong siau-hu, kebetulan dilihatnya pedang
Tiong siau-hu yang dirampas Ma Toa-ha berada tak jauh
disebelah sana.
Dengan menahan sakit segera dia menggelinding kesana
meraih gedang cusaka Tiong siau-hu terus berteriak:
"sambutlah pedangmu." dengan kertak gigi dia kerahkan
tenaga melempar pedang.
Dengan jurus Hing-kang-kiap-pi (sungai melintang
membelah dinding) kedua tangannya mengacip soa Yan-liu
desak Tiong siau-hu ke samping terus merebut pedang yang
dilempar datang, " Lepaskan." bentak Tiong siau-hu seraya
menyerobot maju, laksana kilat golok ditangannya memapas
pergelangan tangan soa Yan-liu. Terpaksa soa Yan-liu menarik
tangannya yang sudah menyentuh gagang gedang.
Maka cepat sekali pedang terjatuh ketangan Tiong siau-hu.
Dengan pedang dan golok ditangan, Tiong siau-hu laksana
harimau tumbuh sayap. dari bertahan kini dia balas
menggasak musuh habis2an.
Dalam gebrakan sengit ini tiba2 soa Yan-liu rasakan
dadanya mual, seketika dia mengeluh rasa mual merupakan
gejala yang menandakan bahwa hawa racun sudah mulai
meresap ke dadanya, Keadaannya mirip pelita yang hampir
kehabisan minyak, namun dalam puluhan jurus serangannya
masih cukup ganas, dia sudah perhitungkan kalau dalam 10
jurus dia tak kuasa merobohkan lawan haruis segera
melarikan diri.
Kini terbalik pula Tiong siau-hu yang dicecar mundur
teratur, malah langkahnya tiba2 sempoyongan beruntun dia
mundur 6 langkah, siangkoan Pocu kaget disana soa Yan-liu
sudah menubruk maju, se-konyong2 sinar golok berkelebat
terdengar soa Yan-liu menjerit keras, tampak pundaknya
terluka keluar darah.
Agaknya Tiong siau-hu sudah tahu bahwa lawan sengaja
menyerang hendak melarikan diri, maka dia bertahan sambil
mundur teratur memancing lawan sekali timpuk golok Tiong
siau-hu susuli pula dengan tusukan pedang terbalik karena
sibuk memukul jatuh timpukan golok, maka soa Yan-liu tidak
sempat menghindari tusukan pedang yang lihay.
sudah tentu soa Yan-liu tidak berani bertempur lagi, sambil
menggerung, dia kerahkan sisa tenaganya melontarkan
pukulan Kim-kong-ciang pula menyampuk pergi tusukan kedua
pedang Tiong siau-hu, sekali melompat dan bersaito
kebelakang, "Blang." dia terjang pintu kuil terus lari keluar
laksana terbang.
Dalampada itu siangkoan Pocu sudah merangkak bangun
sambil menahan kesakilan, segera dia ayun tangan
menimpukkan sebutir granat berasap melalui daon jendela,
Granat meledak dibela kang soa Yan-liu menimbulkan asap
tebal dan menyamber pula puluhan batang jarum2 lembut dari
dalamnya. Lari soa Yan-liu cukup cepat, namun dia terkejar oleh
gumpalan asap dan terkena pula beberapa batang jarum,
Tampak langkahnya sempoyongan menerjang keluar dari
gumpalan asap tebal, namun langkahnya masih secepat
terbang, sekejap saja bayangannya sudah menghilang.
Tiong siau-hu menghela napas lega, katanya tertawa:
"Biarkan dia pergi, Nona siaukoan, bagaimana
keadaanmu?"
"Aku tak apa2, lekas kau kejar dan bunuh dia, jangan
tinggalkan bibit bencana." teriak siangkoan Pocu menahan
isak tangis, tapi belum habis dia bicara, tiba2 dia tersungkur
jatuh dan semaput.
Waktu dia siuman dirasakan dirinya rebah dalam pelukan
Tiong siau-hu, sudah tentu malunya bukan main ingin
meronta bangun namun tak punya tenaga
"syukur kau siuman, Barusan kuurut dan kupijat, kau
muntahkan darah kental membuatku kaget dan kuatir saja,
Aku... karena tanah lembab tak berani aku baringkan kau."
setelah membuka lebar matanya siangkoan Pocu dapatkan
hari sudah mulai remang2, agaknya sudah mendekati magrib.
Merasa terima kasih dan malu pula hati siangkoan Pocu,
katanya lirih: "Kau, kenapa kau masih disini?"
" Lukamu berat, mana boleh aku pergi" jangan banyak
bicara kuberikan sebutir obat." lalu dia copot pakaian luar
digelar dilantai merebahkan siangkoan Pocu, lalu diambilnya
kantong air siangkoan Pocu, katanya:
" Inilah siau-hoan-tang buahan guruku, paling manjur
untuk obati luka dalam."
Cepat sekali semangat Siangkoan Pocu mulai pulih setelah
minum siau-hoan-tan, katanya:
"Ada orang lain kemari tidak?" dia yakin soa Yan-liu
mampus ditengah jalan, jelas takkan kembali dengan bala
bantuan. "orang lain?" tanya Tiong Siau-hu, "maksudmu teman
lakimu itu" Diapun tidak kemari lagi."
Hati siangkoan Pocu menjadi sedih dan pilu, Ma Toa-ha
adalah teman sejak kecil yang tumbuh dewasa bersama,
hanya Ma Toa-ha satu2nya pria yang bergaul rapat selama ini
dengan dia, kini orang yang dibekuknya malah yang
melindungi dan menyelamatkan jiwanya mati2an.
Tiba2 Tiong siau-hu berkala: "Nona siangkoan, maaf kalau
aku kurang ajar, aku..."
Memukul jantung siangkoan Pocu, katanya:
"Kau, kau hendak apa?"
"Luka2 luarmu memang tidak parah, namun harus lekas
diobati." Ternyata punggung siangkoan Pocu tercakar luka oleh soa
Yan-liu, untuk membubuhi obat harus membuka atau
menyingkap bajunya, siangkoan Pocu tahu maksud orang,
segera dia membalik badan, katanya.
"Kau ini memang terlalu, dalam keadaan seperti ini kenapa
malu2 segala" sobeklah pakaianku dan bubuhkan obat luarmu,
Usiamu lebih muda, tanpa sungkan biar aku menjadi tacimu
saja." "Baik," sahut Tiong siau-hu,
"kau begini baik kepadaku, memang besar hasratku
mempunyai taci seperti kau."
Terharu siangkoan Pocu, katan,ya:
"Adik Tiong, kau begini baik selama hidup takkan ku
lupakan, Luka2 ku entah kapan baru sembuh. tempat ini harus
segera ditinggalkan aku tak ingin bikin susah kau."
"Memang kau tak bisa merawat luka dikuil bobrok ini. biar
aku membawamu pergi."
"Kemana?"
"Bagaimana kalau kau rawat luka2mu dirumahku?"
"Kau tinggal dimana?"
"Di say-san."
"say-san diluar kota Taytoh itu?"
"Betul, Guruku adalah ketua dari Hu-hud-si di say-san itu
Disana beliau bisa ikut merawat engkau." Tiong siau-hu
menerangkan, lalu menambahkan
"Tunggulah disini, aku pergi cari kereta."
"Baiklah, lekas pergi cepat kembali."
"seorang diri kutinggal kau disini mungkin masih ada
bahaya." ujar Tiong siau-hu,
"siangkoan cici, kau sembunyi saja dibelakang patung
pemujaan, kalau ada orang datang, kau jangan bersuara,
mereka pasti tidak menemukan kau, Tapi kali ini aku mohon
maaf akan kelancanganku,"
tanpa menunggu reaksi siangkoan Pocu dia bopong orang
terus diangkat kebelakang patung.
sudah tentu merah malu muka siangkoan Pocu karena
persentuhan badan ini, namun dalam hati dia merasa haru,
terima kasih dan manis mesra.
setelah Tiong siau-hu pergi, otak siangkoan Pocu bekerja
keras, perasaannya timbul tenggelam. Duka karena Ma Toa-ha
yang semula dicintainya berjiwa kerdil dan jahat, maka air
matanya bercucuran.
Namun hatinya haru dan pilu juga karena kesediaan dan
kebaikan Tiong siau-hu yang membela dan menyelamatkan
jiwanya mati2an, dalam dukanya terasa hangat dan syuurpula
hatinya akan manisnya cinta asmara yang timbul terhadap
Tiong siau-hu. Entah berapa lama dia melamun, akhirnya dia tersentak
sadar waktu mendengar kerotekan suara roda kereta dan
tapak kuda berhenti didepan kuil. Dengan berseri riang Tiong
siau-hu lompat turun terus berlari masuk seraya berkata:
"siangkoan cici, kubelikan seperang kap pakaian untukmu,
boleh kau coba didalam kereta, Maaf, kampung2 sekitar
gunung ini serba miskin, dengan susah payah baru berhasil
kubeli kereta ini, pulang terlambat bikin kau tunggu terlalu
lama." "Adik Tiong, kau masih begini sungkan, kebaikanmu takkan
kulupakan." dengan lunglai dia rebah dalam pelukan Tiong
siau-hu yang membopongnya naik keatas kereta. Kejap lain
mereka sudah menempuh per jalanan.. Tiong siau- hu pegang
kendali menjadi kusir duduk didepan, seorang diri rebah
didalam kereta pikiran siangkoan Pocu tak bisa tentram
memikirkan nasib dirinya. Namun karena terlalu lelah
terombang ambing oleh jalan kereta di jalan gunung yang
tidak rata, akhirnya dia tertidur dengan pulas.
Waktu dia siumam bangun dan menyingkap kerai,
dilihatnya matahari bertengger dipucuk cakrawala, kiranya
sudah mendekati lohor hari kedua, Kereta berhenti dipinggir
hutan, Tiong siau-hu sedang panggang ayam alas, melihat
orang menongol keluar, segera dia tertawa, katanya.
"Barusan kutangkap seekor ayam, dirumah petani dalam
kampung sana aku beli sekaleng susu sapi, susu sapi sudah
kubikin panas, lekaslah kau minum."
"Tempat apakah ini?" tanya siangkoan Pocu,
"Perbatasan ceng-ciu, 500 li dari Taytoh."
"jadi semalam suntuk kau tidak tidur menempuh per
jalanan?" "Sebelum fajar aku sudah tidur sebentar. Kupi-kir semakin
jauh dari Taytoh lebih baik,"
Dengan ber-kaca2 siangkoan pocu habiskan sekaleng susu
kambing serta makan dua paha ayam, Dalam hati dia
membatin: " Kalau Ma Toa-ha tidak mau memaafkan aku,
biarlah aku putus hubungan dengan dia."
Bagaimana nasib siangkoan Pocu" Kuatkah Tiong siau-hu
melindunginya"
Berhasilkah misi Hong lay-moli di Thian-long-nia" Musuh
tangguh siapa pula yang kesampIok dengan Bu-lim-thian-kiau
dan Bu su-tun"
(Bersambung ke Bagian 61)
Diseritakan Oleh : GKH
Bagian 66 Heran Hong-lay-mo-li, tanyanya: "Lalu bagaimana kau bilsa
kenal Beng-beng Taysu?"
"Siapa bilang aku kenal dia" selamanya aku belum pernah
melihatnya" sahut pengemis cilik, jawaban ini membuat semua
orang melengak saling pandang. Pengemis cilik balas
bertanya: "Kalian kenal Beng-beng Taysu?" Hong lay-mo-li berkata:
"Beng-beng Taysu adalah sahabat ayahku.^
"Hampir satu tahun aku tinggal di Kong-bing-si," ujar Bulim-
thian-kiau, "baru2 ini aku meninggalkan Kong-bing-si."
Girang pengemis cilik, katanya "Kalau kalian adalah kenalan
baik Beng-beng Taysu, biarlah aku bicara terus terang kepada
kalian. Aku antar surat mereka ibu beranak adalah untuk
membalas budi kebalkan Beng Beng Taysu,"
"Kau tidak kenal Beng-beng Taysu, darimana pula kau
pernah hutang budi terhadap beliau?" tanya Siangkoan pocu
heran "Aku mewakili ayah membalas budi" sahut pengemis cilik,
"Siapakah ayahmu?" sela Bu-lim-thian-kiau.
"Ayahku adalah Hudabu dari pesisir sungai. Kalau aku
bernama Hudapi."
Hong- lay-mo-li dan Siangkoan pocu tidak tahu siapa itu
Hudabu tapi Bu su-tun dan Tam lh-tiong seketika terbelalak
mendengar nama ayah pemgemis cilik, Ternyata Hudabu
diwilayah Mongol amat kenamaan, dia salah seorang tokoh
Bulim di Mongol yang ketenaran dan kebesaran namanya
hanya dibawah Cun-seng Hoat-ong Koksu negeri Mongol.
Bulim-thian-kiau tahu kira2 10 tahun yang lalu Hudabu
pernah sekali mengembara ke Tiong-goan, namun hanya
sebentar saja lantas tidak mendengar kabar beritanya.
Berkata Hudapi lebih lanjut: "10 tahun yang lalu untuk
menghindari grebekan para musuhnya, pernah ayah
mengembara ke Tionggoan dan berkenalan dengan seorang
cianpwe kosen yang bergelar Ceng-Iing-cu."
"Haya," seru siangkoan Pocu. "Cianpwe kosen yang kau
sebut namanya adalah ayahku almarhum."
"jadi Ceng-ling-cu Lo- cianpwe sudah meninggal" sayang,
sayang, sebetulnya aku berharap dapat menemui beliau." lalu
dia melanjutkan:
"Ayah dengan Ceng-ling-cu Cian-pwe bicara soal tokoh2
silat kenamaan di-seluruh jagat ini, Ceng-ling-cu amat kagum
dan mengagulkan dua tokoh besar, yaitu Beng-beng Taysu


Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ayah Liu lihiap yaitu Liu Tay-hiap Liu Goan- cong."
Waktu itu Liu Tayhiap belum turun guung pula, tiada orang
tahu dimana jejaknya. Beng-beng Taysu tetirah di Kong-bingsi,
juga jarang orang tahu, tapi ceng-ling-cu tahu betul.
"Dari penuturan Ceng-ling-cu ayah tahu tempat tinggal
Beng-beng Taysu, beliau lantas ke Kong-bing-si
menyambanginya Tak kira belum lagi naik gunung, setiba
dilamping gunung, ayah kepergok para musuhnya, lawannya
tiga orang semuanya memiliki kepandaian khusus perguruan
masing2 yang amat lihay, suatu pertempuran sengit berhasil
menamatkan riwayat ketiga rnusuhi namun ayah sendiri juga
luka parah. Kebetulan hari itu Beng-beng Taysu keluar memetik daon
obat, ditemukan empat mayat orang terkapar, beruntung
dibawah pengamatanku yang teliti didapatinya salah satu
mayat masih hangat dan belum putus napas.
Sebagai tokoh silat yang berwelas asih sesuai ajaran
agamanya, Beng-beng Taysu lantas menolong jiwa orang
yang sudah sekarat itu didalam kuilnya. orang yang luka parah
ini adalah ayahku.
"Setelah puluhan hari dinilai dan diobati, baru ayah
terhindar dari mara bahaya, lolos dari renggulan elmaut,
namun dia belum bisa turun ranjang, bicarapun belum punya
tenaga, pikirnya setelah semangatnya rada pulih baru akan
bicara bahwa hubungannya amat baik dengan Ceng-ling-cu
tak nyana ternyata Ceng-ling-cu juga sudah datang.
"Hari itu rebah di atas ranjang ayah dengan Ceng ling-cu
bicara diluar dengan Beng-beng Taysu, sudah tentu hatinya
senang bukan main, hati amat gegetun tak bisa keluar
menemui dan bicara bertiga, terpaksa dia mendengarkan
pembicaraan Ceng- ling-cu. Ternyata Ceng- ling-cu
membicarakan soal urusan pribadi."
"Tanpa sengaja ayah mencuri dengar pembicaraan itu, baru
dia tahu bahwa Beng-beng Taysu mempunyai seorang kekasih
belia yang direbut oleh Sute Ceng-ling-cu yang bernama Thay
Bi, sepasang kekasih itu sudah beberapa tahun berpisah, baru
belakangan itu Ceng-Ling-cu berhasil mendapat tahu bahwa
mereka ibu beranak sekarang menetap di Ciok-keh-ceng. Dia
bukan lain adalah Ni Kim-ling dan putrinya. Kedatangan Cengling-
cu waktu itu adalah memberitahu kepada Beng-beng
Taysu tentang berita mereka, dia tanya apakah Beng beng
Taysu tidak ingin menengok mereka berdua.
"Sudah tentu Beng-beng Taysu tidak mau pergi, tapi
setelah beliau mendapati berita ini, beberapa hari dia murung
dan selalu masgul." demikian tutur Hutapi lebih lanjut, "walau
ayahku ditolong oleh Beng-beng Taysu, namun hawa
murninya sudah ludes, terluka dalam yang cukup parah
setelah pluang dirumah penyakitnya kambuh dan meninggal
dunia tidak lama kemudian.
sebelum ajal beliau berpesan: "Musuhku sudah kubunuh
semua, matipun aku bisa meram. Hanya ada sebuh hal yang
membuatku menyerah. Aku mendapat budi pertolongan Bengbeng
Taysu, selama hidup terang tak mampu membalasnya,
kali ini aku bisa pulang dan mati ditanah air sendiri berkumpul
dengan keluarga pula, semua adalah berkat kebaikan Bengbeng
Taysu. Kau harus selalu ingat akan budi kebaikan Beng-beng
Taysu terhadap keluarga kita. Kelak kalau berjodoh dan ada
kesempatan, kau harus membalas kebaikan Beng-beng Taysu
ini." "Cun-seng Hoatong dialah adalah teman ayah, setelah
beliau menjabat Koksu sebetulnya tidak mau terima murid
lagi, setelah ayah meninggal, ia melanggar aturan
menerimaku sebagai murid penutup.
Kali ini aku diutus ke Thian-long-nia memanggil pulang
suheng. Tak kira disini aku mendapat kesempatan bertemu
dengan Ni-lopopoh dan putrinya."
"Ayah pemuh ceritakan hubungan Ni-popoh dengan Bengbeng
Taysu kepadaku, kupikir Beng-beng Taysu adalah padri
agung yang mengasingkan diri dari urusan duniawi, jelas tiada
peluang bagiku untuk membalas apa2 kepada beliau,
kebetulan aku memperoleh kesempatan baik ini, Kalau aku
menolong Ni-popoh dan putrinya, secara tidak langsung sudah
sedikit membalas budinya. oleh karena itu aku menyerempet
bahaya diluar tahu suh engku membawakan suratnya untuk
kalian." "Adik cilik," ujar Bu-lim-thian-kiau,
" usia mu masih muda, namun kau tahu membalas budi.
Bagus, aku senang berkenalan dengan kau."
Hudapi tertawa, ujarnya: "Kau adalah angkatan muda yang
disayang dan mendapat berkah dari Beng-beng Taysu,
tentunya orang baik sudah tentu akupun senang berkenalan
dengan kau. Tapi pejabat kerajaan dan serdadu negeri Kim
kalian terlalu jahat dan rusak. supaya leluasa menempuh
perjalanan, sengaja aku menyamar jadi pengemis, kukira
pengemis tidak akan mendapat kesulitan di jalanan, tak kira
serdadu kalian tidak pandang bulu pengemis rudin seperti aku
juga dianiaya. Tak heran Khan agung kita mengerahkan
tentara untuk menggempur kalian"
Bertaut alis Bu-lim-thian-kiau, katanya: "Tentara kami
menyakiti kau, akupun amat menyesal, biarlah aku minta maaf
Pedang Berkarat Pena Beraksara 8 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Cinta Bernoda Darah 10
^