Pendekar Remaja 4

Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


"Pergilah...! Pergilah...!" pemuda itu dengan acuh tak acuh berkata sambil menggerakkan tangan kanan seperti mengusir lalat yang mengganggunya!
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam gua. "Siong-ji..., lempar saja tikus-tikus itu ke dalam jurang! Untuk apa melayani mereka!"
Pemuda baju putih itu menengok ke arah gua dan menjawab,
"Mereka hanyalah tiga penebang pohon yang tak berarti, Ibu!"
"Mereka telah lancang, berani mendekati tempat kita!" suara dari dalam gua itu makin nyaring dan tiba-tiba tiga orang penebang pohon itu melihat berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali cepatnya. Belum sempat mata mereka melihat dengan jelas, tiba-tiba mereka telah roboh pingsan!
Ketika tiga orang penebang pohon itu siuman kembali, mereka mendapatkan diri telah berada di luar hutan yang menyeramkan itu! Sambil mengeluh mereka meraba pundak mereka yang masih terasa sakit dan linu, bekas tertotok secara luar biasa sekali oleh bayangan merah tadi.
"Ah, Sute. Kalau kau tadi mendengar omonganku, tidak akan kita mengalami kesengsaraan ini!" kata yang tertua sambil bangun dengan tubuh masih lemas.
Penebang termuda tak dapat menjawab karena pengalaman tadi masih membuatnya berdebar-debar.
"Mereka itukah siluman-siluman yang ditakuti orang?" tanyanya perlahan.
"Mungkin! Mana ada orang semuda itu sudah sedemikian lihainya" Hanya siluman saja yang dapat merampas senjata kita secara demikian aneh," kata orang ke dua.
"Dan bayangan merah tadi... apakah dia itu" Ia pandai bicara, akan tetapi gerakannya demikian hebat! Hebat dan mengerikan!" kata yang tertua sambil bergidik teringat akan serangan bayangan merah tadi. "Sungguh berbahaya sekali!"
"Betapapun juga, aku masih penasaran, Suheng!" kata yang termuda. "Tak mungkin pemuda tadi seorang siluman. Memang kepandaiannya hebat luar biasa, akan tetapi ia seorang manusia biasa saja, bukan setan. Apakah pekerjaan mereka berdua di tempat itu" Jangan-jangan mereka adalah orang-orang jahat yang menyembunyikan diri."
"Habis kau mau apa, Sute" Terhadap orang-orang lihai seperti mereka, lebih baik kita menjauhkan diri," kata yang tertua.
"Celaka, kapak dan golok kita tertinggal di depan gua!" mengeluh orang ke dua.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
99 "Kita harus melaporkan hal ini kepada Suhu!" Demikianlah, sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa aneh itu, ketiga penebang pohon ini lalu kembali ke dusun tempat tinggal mereka. Karena mereka menceritakan pengalaman mereka kepada kawan-kawan di dusun, maka sebentar saja gegerlah dusun itu dan semua orang membicarakan sepasang
"siluman" di hutan itu yang disebutnya "Pek-ang-siang-mo" (Sepasang Iblis Putih Merah).
Pek I Hosiang mendengarkan penuturan tiga orang muridnya dengan penuh perhatian dan hatinya amat tertarik. Akan tetapi ia tidak menyatakan perhatiannya, bahkan ia lalu menegur ketiga orang muridnya itu.
"Kalian bertiga memang telah berlaku lancang. Mana ada siluman di dunia ini" Seperti yang kuduga, mereka adalah orang-orang pandai yang bertapa. Mungkin pemuda itu murid si pertapa yang kalian lihat sebagai bayang-bayang merah. Lain kali janganlah kalian berlaku lancang. Hutan di sekitar pegunungan ini amat banyak, mengapa justru mencari di tempat yang terlarang itu?"
Sungguhpun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya Pek I Hosiang merasa tertarik dan ingin sekali menyaksikan sepasang siluman itu dengan mata kepala sendiri.
Sebagai seorang hwesio, ia tidak menghendaki permusuhan, akan tetapi sebagai seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi, tentu saja ia amat tertarik mendengar tentang kelihaian ilmu silat orang lain. Ia ingin sekali melihat siapakah gerangan orang pandai yang menyembunyikan diri di tempat itu. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk pergi sendiri menemui dua orang aneh itu.
Di dalam hutan yang dianggap oleh penduduk sebagai tempat tinggal Pek-ang-siang-mo itu, terdapat sebuah lapangan terbuka dekat sebatang anak sungai yang bening airnya.
Pemandangan di situ sungguh indah. Pada suatu pagi, di kala burung-burung hutan berkicau dan bersuka-ria menyambut datangnya sang Matahari, di atas lapangan nampak sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti bayangan putih yang cepat sekali gerakannya. Kadang-kadang gerakan sinar pedang itu mengendur dan tampaklah bavangan putih itu sebagai tubuh seorang pemuda baju putih yang sedang mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat indahnya. Di waktu permainan ilmu pedangnya mengendur, ia seakan-akan sedang menari saja.
Tidak saja ilmu pedangnya yang aneh, bahkan pedang di tangan pemuda baju putih itu lebih aneh lagi. Disebut pedang bukan pedang, akan tetapi cara memegang dan memainkannya sama dengan pedang! Senjata ini selain aneh juga indah akan tetapi juga mengerikan. Ukuran besar dan panjangnya tak berbeda dengan pedang biasa, akan tetapi senjata ini tidak tajam juga tidak runcing sehingga lebih tepat kalau disebut bentuknya seperti tongkat pendek. Akan tetapi, senjata ini berbentuk ukiran sin-liong (naga sakti) membelit tiang. Ukirannya indah sekali dan agaknya terbuat daripada logam yang amat keras berkilauan, dan berwarna putih sedangkan tubuh naga yang melibatnya berwarna kuning. Pemuda itu memegang naga itu pada ekornya sehingga kepala naga merupakan ujung senjata itu. Dari mulut naga kecil itu keluar lidah merah yang panjang dan mengerikan.
Setelah bermain silat dengan gerakan lambat dan indah, tiba-tiba ia memutar senjatanya makin lama semakin cepat dan kembali lenyaplah tubuhnya terbungkus oleh gulungan sinar senjatanya yang dahsyat.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
100 "Cukup, Siong-ji (Anak Siong), kau mengasolah!" terdengar suara nyaring dari seorang wanita yang berdiri tak jauh dari situ sambil memandang permainan pemuda itu dengan penuh perhatian.
Wanita itu mengenakan pakaian serba merah sungguhpun pakaiannya itu amat sederhana potongannya, namun terbuat dari kain sutera dan amat bersih. Kalau orang melihatnya dari belakang atau dari samping, orang akan mengira bahwa ia adalah seorang wanita muda, karena bentuk tubuhnya yang langsing itu masih nampak kuat dan penuh, kulit tangannya halus dan putih. Akan tetapi kalau orang berhadapan muka dengannya, ia akan terkejut melihat bahwa wanita ini nampak sudah tua sekali. Rambutnya hampir putih semua, kulit mukanya berkeriput, sungguhpun matanya masih bening dan bersinar tajam, bahkan giginya masih bagus dan rata seperti gigi wanita muda yang cantik! Masih jelas nampak bahwa dia dulu adalah seorang wanita yang amat cantiknya dengan bentuk muka yang bagus. Kerut-merut pada jidatnya membayangkan penderitaan batin yang hebat dan mulutnya yang masih berbentuk manis sekali itu ditarik mengeras dan tak pernah nampak tersenyum.
Pembaca tentu telah dapat menduga siapa adanya wanita ini. Dia bukan lain adalah Ang I Niocu Kiang Im Giok, pendekar wanita yang di waktu mudanya telah menggemparkan dunia persilatan karena kegagahannya. Tak seorang pun ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mengenal atau tak mendengar namanya yang besar. Ia amat terkenal, baik karena
kepandaiannya maupun karena kecantikannya yang luar biasa.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu adalah seorang wanita yang amat memperhatikan dan menyayangi kecantikannya sehingga untuk menjaga kecantikannya dari usia tua, ia tidak segan-segan untuk mencari obat kecantikan berupa telur Pek-tiauw (burung rajawali putih) dan telah banyak makan telur ini yang dapat memelihara kecantikannya. Di waktu ia berusia tiga puluh tahun lebih ia masih nampak cantik jelita bagaikan seorang gadis berusia tujuh belas tahun.
Akan tetapi segata sesuatu di dunia ini tidak kekal adanya. Bahkan keadaan yang ditimbulkan karena kekuasaan alam yang sewajarnya pun masih tidak kekal adanya, apalagi keadaan yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang tidak wajar. Khasiat telur Pek-tiauw itu biarpun luar biasa sekali, namun ada pantangannya, yaitu wanita yang telah makan obat ini, apabila mempunyai putera, akan musnalah khasiat obat itu, bahkan akibatnya mengejutkan sekali. Ang I Niocu setelah melahirkan seorang putera, tidak saja kecantikan dan kemudaannya lenyap, ia nampak amat tua dua kali lipat seperti seorang wanita berusia delapan puluh tahun!
Di bagian depan telah diceritakan bahwa karena batinnya menderita disebabkan oleh keriput di wajahnya dan uban di kepalanya yang membuatnya nampak tua sekali, diam-diam Ang I Niocu meninggalkan suamina, Lie Kong Sian, dan pergi merantau membawa putera
tunggalnya. Pendekar wanita ini merantau sampai jauh, dan semenjak meninggalkan pulau tempat tinggalnya, ia selalu memilih jalan yang sunyi agar tidak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya. Akhirnya ia memilih Pegunungan Ho-lan-san sebagai tempat tinggalnya di mana ia mendidik puteranya, Lie Siong, dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan.
Tempat tinggalnya hanya di dalam sebuah gua yang besar dan amat dalam. Akan tetapi di dalam hidup penuh kesederhanaan ini, ia selalu memperhatikan keperluan putranya yang amat dicintainya. Segala keperluan Lie Siong, makanan lezat dan pakaian indah sampai barang-barang permainan apa saja, ia adakan dan tak segan-segan pada malam hari Ang I Niocu mendatangi kota-kota besar untuk mencari barang-barang itu.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
101 Dengan amat rajin, Ang I Niocu menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lie Siong. Ia mengajarkan ilmu silat pedang yang luar biasa, Sianli-utauw (Tari Bidadari), Ngo-lian-hoan-kiam-hwat (Ilmu Pedang Lima Teratai), ilmu pukulan yang disebut Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), dan juga Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak)! Lie Siong ternyata memiliki otak yang cerdik dan bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mempelajari semua ilmu itu dengan cepat dan baik sekali.
Akan tetapi, oleh karena ia hanya hidup bersama dengan ibunya yang menderita dan tak pernah bergembira, maka ia pun menjadi seorang pemuda yang amat pendiam, keras hati, dan angkuh. Ang I Niocu merasa demikian bangga kepada puteranya ini sehingga ketika puteranya baru berusia empat belas tahun, ia sengaja mencarikan sebuah senjata istimewa untuk Lie Song. Ang I Niocu mendengar tentang seorang kepala rampok di Kun-lun-san yang mempunyai sebatang senjata yang disebut Sin-liong-kiam (Pedang Naga Sakti). Tanpa menghiraukan jauhnya tempat itiu dan kesukaran yang dihadapinya, Ang I Niocu mendatangi tiga kepala rampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya ia berhasil mengalahkan si kepala rampok dan merampas senjatanya!
Demikianlah, dengan Sin-liong-kiam di tangannya Lie Siong makin gagah seakan-akan seekor harimau muda tumbuh sayap. Beberapa kali anak muda ini bertanya kepada ibunya tentang ayahnya, dan Ang I Niocu juga tidak menyembunyikan sesuatu. Ia menceritakan kepada Lie Siong tentang ayahnya yaitu Lie Kong Sian dan mengapa mereka meninggalkan Pulau Pek-le-to. Juga Ang I Niocu menceritakan tentang pendekar-pendekar silat yang menjadi kawan-kawannya seperti Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya Kwee Lin, sepasang suami isteri murid Bu Pun Su yang amat pandai. Ia menceritakan pula tentang Kwee An dan Ma Hoa, sepasang suami isteri pendekar yang juga memiliki ilmu silat tinggi yang menjadi sahabat baiknya.
"Kelak kalau kau bertemu dengan mereka, kau akan dapat menarik banyak pelajaran dari empat orang pendekar ini, Siong-ji," Ang I Niocu seringkali berkata. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa hati puteranya itu lebih tinggi dan lebih angkuh daripada hatinya sendiri ketika masih muda. Mendengar ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh dan yang lain-lain, hati Lie Siong tidak menjadi tunduk, bahkan ia merasa penasaran dan ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian mereka itu!
Beberapa kali Lie Siong minta kepada ibunya untuk turun gunung, akan tetapi ibunya selatu mencegahnya. "Kepandaianmu masih belum cukup sempurna, Siongji. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang jahat, dan kalau kau tidak memiliki kepandaian yang tinggi, kau akan mudah terganggu oleh orang-orang yang jahat dan pandai."
Demikianlah, pada pagi hari itu, seperti biasa Lie Siong berlatih ilmu silat pedang di bawah pengawasan ibunya. Kali ini Ang I Niocu merasa puas betul karena ternyata bahwa gerakan ilmu pedang puteranya sudah sempurna, tidak ada kesalahan sedikit pun. Diam-diam ia maklum bahwa sekarang kepandaian puteranya telah mencapai tingkat yang tak lebih rendah daripada kepandaiannya sendiri! Ia telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada putera tercinta ini.
"Siong-ji," kata Ang I Niocu sambil duduk di dekat puteranya dan memandang dengan mata penuh kasih sayang, "sekarang aku berani menyatakan bahwa kepandaianmu sudah sampai di tingkat yang cukup tinggi. Aku dapat meninggalkan dunia ini dengan hati lega karena kepandaianmu ini sudah cukup untuk digunakan sebagai penjaga diri."
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
102 Berseri wajah Lie Siong mendengar ini. Biasanya, sehabis berlatih, ibunya selalu masih mencelanya.
"Kalau begitu, sudah tiba waktunya bagiku untuk turun gunung, Ibu?"
Ang I Niocu menggeleng kepala. "Berat bagiku untuk berpisah darimu, Anakku. Kalau kau pergi, bagaimanakah dengan aku?"
"Mengapa, Ibu" Mengapa Ibu tidak ikut turun gunung" Marilah kita turun dari tempat yang sunyi ini. Apakah selama hidup Ibu tidak mau bertemu dengan manusia?"
Tiba-tiba kerut di jidat Ang I Niocu makin mendalam. "Tengoklah aku, Siong-ji. Lihatlah mukaku baik-baik! Alangkah akan malu hatiku dan hatimu apabila orang lain melihat mukaku yang buruk ini!" Ia lalu menarik napas panjang berulang-ulang.
Lie Siong juga mengerutkan keningnya dan memandang wajah ibunya. "Aneh sekali, Ibu.
Aku telah merasa heran karena kau selalu menyebut hal ini. Menurut pandanganku wajahmu amat cantik dan aku bangga melihat wajahmu, Ibu. Mengapa kau selalu menganggap
wajahmu buruk" Aku sudah seringkali melihat wanita-wanita di dusun bawah gunung dan tak seorang di antara mereka memiliki mata sebening mata Ibu, bentuk muka secantik muka Ibu!
Ibu sama sekali tidak buruk, hanya nampak tua, itu betul. Akan tetapi, apakah hal ini perlu dibuat malu" Apakah yang tidak akan menjadi tua di dunia ini" Benda-benda yang paling keras dan kuat, akhirnya akan menjadi tua pula!"
Ang I Niocu memegang tangan puteranya. "Ah, Siong-ji, kalau saja kau dapat melihat wajah ibumu di waktu masih muda dulu! Ah, dibandingkan dengan sekarang, bedanya seperti bumi dengan langit!"
"Aku tidak peduli, Ibu. Bagiku, bagaimanapun juga perubahan yang terjadi kepada wajahmu, kau tetap ibuku. Tua atau muda, cantik atau buruk, seorang Ibu tetap menjadi wanita termulia di dunia ini! Marilah kita turun gunung, Ibu, dan aku bersumpah, siapa saja yang berani mencela wajah Ibu, yang berani menghina atau membikin malu kepadamu, akan kupecahkan kepalanya!"
Dengan terharu Ang I Niocu memeluk puteranya. "Aku girang mendengar ucapanmu ini, Siong-ji. Kau tak perlu khawatir, kurasa tidak ada seorang pun di dunia ini yang begitu berani menghina Ang I Niocu! Seandainya ada, tak perlu kau mengeluarkan peluh, aku sendiri masih cukup kuat untuk meremukkan kepalanya!"
"Kalau begitu, kauturun gunung, Ibu?"
Kembali kening Ang I Niocu berkerut. "Nanti dulu, Siong-ji... aku masih ragu-ragu...
wajahku ini..."
Lie Siong bangun berdiri dan membanting-banting kaki. "Lagi-lagi Ibu bicara tentang wajah...!"
"Ah, kau tidak tahu, Anakku. Dulu, Ang I Niocu adalah secantik-cantiknya orang, akan tetapi sekarang, seburuk-buruknya wanita! Bagaimana aku dapat menghadapi mereka?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
103 "Mereka siapa, Ibu?"
"Ayahmu, Pendekar Bodoh, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa..."
"Sudahlah, sudahlah! Aku bosan mendengar nama mereka kausebut-sebut saja!" kata Lie Siong sambil mempergunakan kedua tangan untuk menutup telinganya!
Pada saat itu, Ang I Niocu yang tadinya masih duduk di atas tanah, melompat bangun dan memegang lengan anaknya. Ia mendengar sesuatu dan sebelum ia dan puteranya dapat bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dengan gesitnya dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang hwesio gundul yang berpakaian putih dan berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Hwesio ini bermuka lebar, bermata tenang berpengaruh dan mulutnya selalu tersenyum sabar. Dia adalah Pek I Hosiang yang sengaja datang mencari ke dalam hutan ini karena hendak menyaksikan sendiri bagaimana macamnya "Sepasang Iblis" yang ditakuti orang-orang itu. Ia telah dapat menemukan gua tempat tinggal sepasang iblis itu dan melihat golok dan kapak milik tiga orang rnuridnya berserakan di depan gua. Melihat gua itu kosong dan sunyi, Pek I Hosiang lalu mencari ke tempat lain dan akhirnya ia mendengar suara dua orang bercakap-cakap maka cepat menghampiri mereka.
Pek I Hosiang cepat membungkuk dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.
"Omitohud! Harap dimaafkan apabila pinceng mengganggu Ji-wi, dan datang tanpa
diundang. Kalau pinceng tidak salah duga, Ji-wi tentulah sepasang pendekar yang mengasingkan diri di dalam hutan ini, dan yang telah disohorkan oleh semua orang di sekitar pegunungan ini."
Tiba-tiba Ang I Niocu melangkah maju menghadapi hwesio itu dan membentak, "Pergilah...!
Kau hwesio tak tahu adat, pergilah dari sini!"
Pek I Hosiang terkejut melihat wanita tua yang amat galak ini, akan tetapi dengan sabar ia tersenyum dan kembali memberi hormat.
"Maaf, maaf! Sudah pinceng akui tadi bahwa pinceng berlaku lancang, akan tetapi pinceng memang sengaja datang hendak berkenalan dengan Ji-wi yang lihai. Pinceng mendengar tentang keadaan Ji-wi dari tiga orang murid pinceng yang beberapa hari yang lalu telah berlaku kurang ajar dan menerima hukuman. Pinceng bernama Pek I Hoasiang dan menjadi ketua dari kelenteng di bawah gunung. Pinceng sengaja datang untuk memintakan maaf bagi ketiga murid pinceng. Bolehkah kiranya pinceng mengetahui, Ji-wi siapakah?"
"Sudahlah, sudahlah!" Ang I Niocu membanting-banting kakinya dengan gemas dan hilang sabar. "Kami tidak ingin mengetahui namamu dan tidak ingin pula memperkenalkan nama.
Kaupergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku dan menjatuhkan tangan
kepadamu!"
Akan tetapi Pek I Hosiang masih tetap tenang dan sabar.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
104 "Toanio (Nyonya Besar), harap suka berlaku sabar, karena sesungguhnya pinceng tak bermaksud buruk. Sudah bertahun-tahun pinceng mendengar tentang adanya sepasang siluman di hutan ini, tetapi pinceng tidak percaya dan menduga bahwa yang dianggap siluman tentulah dua orang sakti yang bertapa di sini."
"Cukup...! Pergi...!" Ang I Niocu membentak lagi.
"Omitohud! Banyak sudah pinceng ketemu orang-orang pandai, akan tetapi tidak ada yang seaneh Ji-wi ini..."
"Kau mencari penyakit!" Sambil membentak marah, Ang I Niocu lalu maju menyerang dengan sebuah pukulan dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut. Pukulan ini hebat luar biasa sekali, karena dari kedua lengan tangannya mengebul uap putih!
"Omitohud!" Kembali Pek I Hosiang menyebut nama Buddha dan cepat seperti kilat ia mengelak sambil menangkis dengan tangan kanannya. Ketika dua lengan tangan beradu, Pek I Hosiang berseru kaget dan terhuyung-huyung mundur tiga tindak, sedangkan Ang I Niocu juga merasa betapa tenaga pukulannva terbentur pada tenaga yang amat kuat. Ia merasa heran sekali karena jarang ada orang yang dapat menahan pukulan Pek-in-hoat-sut! Ia maklum bahwa hwesio ini bukanlah orang sembarangan.
Sebaliknya, melihat pukulan ini, Pek I Hosiang memandang dengan mata terbelalak.
"Bukankah... pukulan tadi sebuah gerakan dari Pek-in-hoatsut?" katanya sambil memandang dengan mata terbelalak.
Kembali Ang I Niocu tertegun. "Kau sudah mengetahui kelihaian pukulanku, tidak lekas minggat dari sini?"" Ia maju lagi, siap menyerang kembali.
"Ah... kalau begitu..., Toanio ini, tentulah Ang I Niocu!"
Bukan main terkejut dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar bahwa hwesio tua ini telah mengenalnya. Selama ini ia berusaha untuk menjauhi manusia agar tidak ada orang melihat bahwa Ang I Niocu yang cantik jelita kini telah berubah menjadi seorang nenek tua buruk.
"Bangsat gundul! Dengan menyebut nama itu, berarti kau harus mampus!" teriaknya dan kembali ia memukul. Akan tetapi Pek I Hosiang dapat mengelak dengan cepat sambil berkata,
"Tentu Ang I Niocu! Siapa lagi wanita berbaju merah yang cantik jelita dan dapat mainkan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut selain Ang I Niocu?"
Ucapan ini makin membakar hati Ang I Niocu. Sesungguhnya, dalam pandangan mata Pek I Hosiang, ia masih nampak cantik jelita, sungguhpun sudah amat tua, akan tetapi ia mengira bahwa hwesio itu sengaja menghina dan mengejeknya dengan menyebutkan cantik jelita tadi.
Ketika ia hendak menyerang kembali, tiba-tiba Lie Siong berkata,
"Ibu, berikanlah hwesio ini kepadaku!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
105 Ang I Niocu tiba-tiba teringat akan puteranya dan ia lalu timbul pikiran untuk mencoba kepandaian puteranya itu. Hwesio ini cukup tangguh, dan tepatlah kalau digunakan sebagai ujian bagi puteranya.
"Baik, kaumajulah dan hancurkan kepala orang yang sudah berani menghina ibumu ini,"
katanya sambil melompat mundur.
Di dalam hatinya, Lie Siong tidak setuju dengan pendapat ibunya. Ia sama sekali tidak menganggap hwesio tua ini menghina ibunya, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu. Memang ia sengaja hendak mencoba kepandaian hwesio ini, sekalian untuk mencegah ibunya turun tangan, karena pemuda ini dapat menduga bahwa kalau ibunya yang maju, hwesio ini pasti akan tewas!
Demikianlah, tanpa menanti hwesio itu mengeluarkan kata-kata, Lie Siong lalu melompat maju dan menyerangnya dengan pukulan dari Ilmu Silat Sianli-utauw. Hwesio itu kagum sekali melihat gerakan yang indah ini dan timbul kegembiraan hatinya untuk mencoba kepandaian "siluman" ini.
Pek I Hosiang adalah seorang hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia adalah murid tunggal dari Biauw Leng Hosiang, tokoh kang-ouw yang amat terkenal. Bagi pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Biauw Leng Hosiang adalah sute (adik seperguruan) dari Biauw Suthai, tokouw (pendeta wanita) yang lihai dan yang menjadi guru pertama dari Lin Lin atau Nyonya Cin Hai si Pendekar Bodoh! Oleh karena itu tentu saja ilmu silatnya amat tinggi. Tidak seperti gurunya yang tersesat (baca Pendekar Bodoh), Pek I Hosiang ternyata menjadi seorang hwesio yang suci dan beribadat.
Pek I Hosiang telah sering mendengar nama Ang I Niocu dan mendengar pula bahwa ilmu silat Pendekar Wanita Baju Merah itu amat tinggi. Ia tahu pula bahwa Ang I Niocu mendapat latihan dari Bu Pun Su dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi seperti Pek-in-hoatsut, Kong-ciak-sinna dan lain-lain. Maka ketika ia melihat pemuda itu bersilat demikian indahnya, ia dapat menduga bahwa tentu inilah ilmu silat yang disebut Sianli-utauw!
Biarpun gerakan pemuda itu lemah lembut dan ilmu silatnya lebih patut disebut tarian yang indah, namun ia maklum akan kelihaian tarian ini dan tidak berani memandang ringan.
Beberapa kali ia sengaja menangkis untuk mencoba tenaga pemuda ini, akan tetapi ia terkejut sekali ketika merasa betapa lengannya tergetar tiap kali bertemu dengan lengan pemuda itu! Ia menjadi kagum sekali. "Pantas...!" serunya sambil mengelak dari sebuah pukulan. "Pantas sekali kau menjadi putera Ang I Niocu yang lihai!"
Selama hidup Pek I Hosiang belum pernah menghadapi tandingan semuda dan selihai ini, maka saking gembiranya, ia lalu mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang toya pendek yang tadi diselipkan pada ikat pinggangnya.
"Anak muda, mari kita coba-coba mengadu senjata!" katanya.
Lie Siong mewarisi watak ibunya yang keras dan tinggi hati, maka mendapat tantangan ini, ia tidak mempedulikan lawannya dan terus saja menyerang dengan tangan kosong! Ia lalu mengeluarkan limu Silat Kong-ciak-sinna, semacam ilmu silat yang banyak mempergunakan cengkeraman dan memang tepat sekali dipergunakan untuk menghadapi lawan bersenjata dengan tangan kosong!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
106 Pek I Hosiang terkejut sekali dan biarpun mulutnya tetap tersenyum dan sepasang matanya memandang kagum, namun di dalam hatinya ia merasa penasaran dan tidak senang. Alangkah sombongnya anak muda ini, pikirnya. Karena itu, ia lalu memutar kedua toyanya dengan cepat sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya bermain toya.
Perlu diketahui oleh para pembaca yang belum membaca Pendekar Bodoh bahwa tingkat ilmu silat Biauw Leng Hosiang tidak di bawah tingkat Ang I Niocu, maka karena Pek I Hosiang juga sudah mewarisi sebagian besar dari ilmu silat gurunya itu, maka tentu saja Lie Siong tak dapat tahan menghadapinya dengan tangan kosong.
Kedua toya pendek di tangan Pek I Hosiang bergerak bagaikan sepasang ular besar menyerang dengan berlenggak-lenggok, sehingga usaha Lie Siong dengan Ilmu Silat Kong-ciak-sinna untuk merampas senjata ini tak pernah berhasil. Bahkan lambat akan tetapi pasti, Pek I Hosiang mulai mendesak pemuda itu!
Melihat betapa pemuda itu masih saja tidak mau mengeluarkan senjatanya, Pek I Hosiang lalu mainkan gerak tipu Hing-san-chian-kun (Menyerampang Bersih Ribuan Tentara). Kedua toyanya menyambar-nyambar dari kanan kiri mengeluarkan gulungan sinar putih yang mendatangkan angin menderu.
Lie Siong diam-diam terkejut juga melihat kehebatan lawan ini dan ia terpaksa lalu menggerakkan kedua kakinya dan menghindarkan desakan lawan dengan Tui-po-lian-hoan (Gerakan Kaki Mundur Berantai) sambil memukul-mukulkan kedua tangan menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut untuk menolak datangnya kedua toya yang berbahaya itu.
Namun, gerakan kedua toya di tangan Pek I Hosiang amat cepatnya dan juga tidak lurus seperti senjata lain, melainkan berlenggak-lenggok tak tentu dari mana arah menyerangnya sehingga sukarlah untuk ditangkis, sungguhpun dengan tenaga Pek-in-hoatsut yang lihai.
Karena itu, terpaksa Lie Siong mengenjot kedua kakinya, dan sambil berseru keras ia melompat dengan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Melompat ke Atas) kemudian disusul dengan gerakan Koai-liong-hoan-sin (Naga Iblis Berjungkir Balik) tubuhnya talu berjumpalitan di udara dan dengan jalan ini ia terhindar dari serangan lawan. Ketika ia melompat turun kembali, di tangannya telah nampak pedang Sin-liong-kiam yang berbentuk naga itu!
Bukan main kagumnya Pek I Hosiang melihat Sin-liong-kiam yang hebat itu! "Bagus, jangan berlaku seeji (sungkan) anak muda yang gagah, kau majulah dengan pedangmu itu!"
Mereka bertempur lagi dan kali ini benar-benar pertempuran itu hebat dan ramai sekali. Lie Siong memutar pedangnya yang aneh itu dengan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiam-hwat, sedangkan Pek I Hosiang mainkan Ilmu Toya Hek-cia-kun-hwat yang juga luar biasa cepat dan kuatnya.
Akan tetapi, akhirnya hwesio tua itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu pedang lawan yang muda tapi lihai itu. Dengan gerak tipu Lian-hwa-gai-ho (Bunga Teratai Membuka Daun), Lie Siong menyerang dengan hebat sekali menusuk pusar lawannya. Pek I Hosiang amat terkejut menyaksikan hebatnya serangan ini. Sungguhpun pedang lawannya itu tidak runcing, namun bahayanya tidak kalah oleh pedang biasa yang runcing, karena kepala naga itu mempunyai tanduk yang runcing dan dapat digunakan untuk menotok jalan darah atau Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
107 melukai tubuh. Ia cepat menangkis dengan toya di tangan kanannya sambil mengayun toya di tangan kiri mengemplang lawan. Inilah gerakan ilmu toya yang disebut Menerima Kembang Memberi Buah dari Ilmu Toya Heng-cia-kun-hwat yang lihai. Memang Ilmu Toya Heng-cia-kun-hwat ini selalu mengutamakan gerakan pembalasan yang amat cepat. Tiap kali toya kanan atau kiri menangkis, maka toya kedua pasti membarengi serangan lawan itu untuk mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya!
Akan tetapi, Lie Siong sudah tahu akan sifat ilmu toya ini, maka ia tadi menyerang dengan gerakan Lian-hwa-gai-ho, ia telah siap sedia dengan tangan kirinya. Melihat toya di tangan kiri lawan menyambar ke arah kepalanya, ia cepat mengulur tangan dan menggunakan cengkeraman Kong-ciak-sinna mencoba merampas toya itu!
Tentu saja Pek I Hosiang tidak mau membiarkan toyanya dirampas, dan ia cepat mengubah gerakan toya kiri ini ke samping agar tidak sampai dirampas. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan merampas dari pemuda itu hanya gerakan pancingan belaka untuk mengalihkan perhatian Pek I Hosiang, karena sesungguhnya yang hendak merampas senjata lawan adalah tangan kanannya yang memegang pedang. Ketika lawannya memperhatikan gerakan tangan kiri maka ketika pedang itu ditangkis oleh toya kanan, Lie Siong menggetarkan tangan kanannya dan lidah merah dari pedang naga itu dengan cepat lalu membelit toya lawan dan sekali ia berseru keras dan menarik, toya kanan dari Pek I Hosiang telah terbetot dan terlepas!
Pek I Hosiang terkejut sekali, cepat ia menggunakan gerakan Naga Hitam Keluar dari Awan, melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan lawannya. Akan tetapi sebetulnya, tak perlu ia menggunakan gerakan ini, karena Lie Siong tidak menyerangnya, juga tidak mengejarnya.
Melihat sebatang toyanya tergantung pada lidah pedang naga itu, Pek I Hosiang menghela napas dan tersenyum pahit.
"Omitohud! Kau anak muda benar-benar mengagumkan! Pinceng Pek I Hosiang mengaku kalah!" Ia menjura kepada Lie Siong.
Pemuda itu tidak menjawab, hanya menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba toya yang tadi terbelit oleh lidah pedang naganya, kini terlepas dan meluncur ke arah pemiliknya dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya! Pek I Hosiang cepat mengulur tangan dan menangkap toyanya yang hendak menembus dadanya itu.
Akan tetapi, Ang I Niocu tidak puas dengan kemenangan puteranya yang tidak melukai lawannya itu.
"Hwesio busuk, lekas kaupergi dari sini dan tinggalkan toyamu!" katanya dan secepat kilat ia telah mencabut pedang Liong-cu-kiam yang bercahaya menyilaukan itu. "Tak seorang pun yang datang bersenjata boleh pulang membawa senjatanya!" Ia lalu menerjang dengan cepat, menyerang dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga hingga pedangnya berkelebat berubah menjadi segulung sinar indah. Pek I Hosiang terkejut dan cepat mengangkat kedua toyanya untuk menangkis.
"Traang...! Traaaang...!" Ketika dua kali pedang Liong-cu-kiam bertemu dengan sepasang toya itu, ternyata dengan amat mudahnya toya-toya itu terbabat putus!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
108 Ang I Niocu melompat mundur kembali, masukkan pedang ke dalam sarung pedangnya dan berkata singkat, "Pergilah!"
Pek I Hosiang menjadi pucat dan ia masih menahan perihnya hati karena hinaan ini. Ia tersenyum sabar dan menjura.
"Terima kasih atas petunjuk dari Ang I Niocu dan puteramu!" hwesio ini lalu melompat dan turun gunung dengan tindakan kaki cepat sekali.
Setelah hwesio itu tidak nampak bayangannya lagi, Lie Siong lalu berkata kepada ibunya,
"Ibu, Liong-cu-kiam itu hebat sekali. Kalau pedangku Sin-liong-kiam bertemu dengan pedang Liong-cu-kiam, bukankah senjataku akan terbabat putus pula?"
"Siong-ji, apa kaukira ibumu akan mencarikan pedang sembarangan saja untukmu tanpa diuji terlebih dulu" Cabutlah pedangmu itu!"
Lie Siong meloloskan Sin-liong-kiam sedangkan Ang I Niocu juga mencabut Liong-cu-kiam.
"Nah, mari kita berlatih, sekalian untuk membuktikan apakah pedangmu akan rusak kalau akan bertemu dengan pedangku!"
Anak dan ibu itu lalu bermain pedang, serang menyerang dengan hebatnya, bahkan lebih hebat daripada pertempuran melawan hwesio tadi! Beginilah Ang I Niocu melatih anaknya!
Dulu, sebelum Lie Siong memiliki kepandaian tinggi, tiap kali berlatih dengan ibunya, pemuda ini tentu mengalami kesakitan dan selalu dirobohkan oleh ibunya! Pernah ia mengalami ditotok sampai pingsan, dipukul sampai matang biru, bahkan ketika berlatih senjata tajam, pernah pundaknya tergores pedang sampai mengeluarkan darah! Hal ini disengaja oleh Ang I Niocu untuk memberi ketabahan kepada puteranya. Kini mereka berlatih dengan pedang-pedang mustika, hal yang baru kali ini mereka lakukan. Liong-cu-kiam dan Sin-liong-kiam berkali-kali bertemu dan terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berpijar, akan tetapi kedua pedang itu ternyata tidak rusak!
Seratus jurus lebih mereka bermain pedang dan yang nampak hanya bayang-bayang putih dan merah yang diselimuti oleh gulungan sinar pedang Liong-cu-kiam yang putih seperti perak dan sinar pedang Sin-liong-kiam yang kekuning-kuningan seperti emas!
"Sudah cukup...!" Keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing, hati Lie Siong merasa puas sekali dan diam-diam Ang I Niocu yang nampak berpeluh pada jidatnya itu makin sayang dan bangga terhadap puteranya. Kini kepandaian puteranya itu tidak kalah olehnya!
"Siong-ji, sekarang orang-orang sudah tahu akan tempat tinggal kita, bahkan hwesio gundul tadi sudah mengetahui siapa adanya kita! Kurasa tak perlu lagi kita lebih lama tinggal di tempat ini!" Lie Siong menatap wajah ibunya. Ia girang sekali, akan tetapi kegirangan ini sama sekali tidak membayang pada wajahnya yang elok.
"Jadi, kita turun gunung?" tanyanya penuh harapan. Betapapun keras hatinya sehingga ia seringkali berbantah dengan ibunya, namun Lie Siong adalah seorang anak yang berbakti dan sama sekali ia tidak mau memaksa pergi kalau ibunya belum memberi persetujuannya.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
109 Akan tetapi ibunya menggeleng kepala. "Bukan kita, akan tetapi engkau sendiri! Sudah lama kau ingin merantau, bukan" Nah, sekarang kepandaianmu sudah cukup. Kau pergi dan carilah pengalaman di dunia kang-ouw!"
"Akan tetapi, bagaimana dengan kau, Ibu..." Kau akan kesunyian, hidup seorang diri di tempat ini..."
Ibunya mencabut pedang Liong-cu-kiam yang ampuh tadi. "Aku sudah mempunyai kawan.
Liong-cu-kiam ini adalah kawanku yang amat setia, pedang inilah yang memberi kenang-kenangan kepadaku." Sambil berkata demikian, ia mengusap-usap pedang itu dengan tangannya, penuh kasih sayang.
"Ibu, dari manakah kau memperoleh Liong-cu-kiam itu?"
Ibunya menghela napas panjang dan teringatlah ia akan segala pengalaman dengan Pendekar Bodoh ketika mendapatkan pedang itu (baca Pendekar Bodoh).
"Sesungguhnya, Susiok-couw Bu Pun Su yang memberi pedang ini kepadaku. Masih ada sebatang lagi, yang lebih panjang, dan yang sekarang terjatuh ke dalam tangan Pendekar Bodoh."
"Ah, aku ingin sekali menyaksikan kelihaian orang tua yang menjadi susiok-couwmu itu, Ibu."
"Anak bodoh, jangan sembarangan bicara! Susiok-couw Bu Pun Su adalah seorang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Tidak ada tokoh di dunia ini yang dapat mengimbanginya, dan sekarang yang mewarisi kepandaiannya hanyalah Pendekar Bodoh seorang sungguhpun ibumu pernah mendapat latihan darinya."
"Hemm, aku pun sejak dulu ingin sekali bertemu dengan Pendekar Bodoh yang seringkali Ibu puji-puji."
"Pergilah dan kau tentu akan bertemu dengan mereka yang pandai itu. Pergi dan berlakulah hati-hati, jangan membikin malu nama ibumu."
Setelah berkata demikian, Ang I Niocu mengajak puteranya kembali ke dalam gua lalu mengumpulkan pakaian puteranya. Ia mengeluarkan pula beberapa stel pakaian warna kuning dengan leher baju merah. Memang, semenjak masih kecil, Lie Siong selalu diberi oleh ibunya pakaian warna putih atau kuning sehingga lama kelamaan pemuda itu hanya suka
mengenakan pakaian putih atau kuning saja.
"Nah, kaupergilah, Anakku. Kau telah tahu di mana tempat tinggal sahabat-sahabatku, carilah mereka dan jangan kau membikin malu ibumu. Juga kau sudah tahu siapa adanya tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat dan yang pernah bermusuhan dengan ibumu. Hati-hatilah terhadap mereka. Kurasa ayahmu tidak berada di Pulau Pek-le-to lagi, karena ayahmu tentu mencari kita. Kasihan ayahmu itu, kaucarilah kepadanya dan mintakan ampun ibumu yang telah meninggalkan dia. Berangkatlah, doaku besertamu selamanya."
"Selamat tinggal, Ibu. Dan... Ibu hendak ke manakah" Bilakah aku dapat bertemu dengan Ibu lagi?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
110 "Tak perlu kaubingungkan soal ibumu, Nak. Aku boleh jadi berada di sini atau di tempat lain, akan tetapi jangan khawatir, kita pasti akan bertemu kembali kelak."
Berat hati Lie Siong ketika hendak meninggalkan tempat itu. Ia telah melangkah keluar dari gua, akan tetapi tiba-tiba ia kembali lagi dan memeluk ibunya.
"Ibu, berjanjilah bahwa kita pasti akan bertemu lagi."
Ang I Niocu merasa terharu dan ia tersenyum, senyum yang sudah bertahun-tahun
meninggalkan bibirnya. Ia mendekap kepala puteranya dan mencium jidat puteranya yang tercinta itu.
"Jangan gelisah, Siong-ji. Apa kaukira aku senang hati berpisah dengan kau untuk selamanya" Percayalah, pasti aku akan bertemu kembali dengan engkau, Anakku."
Maka berangkatlah Lie Siong, membawa sebungkus pakaian yang diikatkan di punggungnya, dan pedangnya, Sin-liong-kiam atas kehendak ibunya, disembunyikan di balik mantelnya yang panjang.
Ketika ia telah keluar dari hutan tempat tinggalnya dan memasuki hutan berikutnya, ia mendengar suara riuh rendah dan ternyata bahwa dari bawah gunung nampak dua puluh orang lebih sedang naik menuju ke hutan itu. Mereka ini adalah penebang-penebang pohon yang bersenjata lengkap, mengiringkan enam orang yang bukan lain adalah para pengusaha kayu.
Mereka ini merasa penasaran ketika mendengar cerita tiga orang penebang pohon yang bertemu dengan sepasang "siluman" itu dan kini setelah mengumpulkan dua puluh lebih orang-orang yang dianggap paling kuat dan gagah di antaranya sebagian besar murid-murid dari Pek I Hosiang, lalu beramai-ramai naik ke atas gunung hendak menyerbu dan menangkap siluman-siluman itu!
Lie Siong tertarik hatinya melihat orang banyak ini, terutama ketika dia melihat mereka itu berhenti dan bersorak seakan-akan menonton sesuatu yang menarik hati. Ketika Lie Siong tiba di dekat tempat itu, ternyata ia melihat empat orang yang bertubuh kuat sedang mendemonstrasikan tenaga mereka. Keempat orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang paling pandai. Tadi ketika mereka berjalan naik, mereka tiada hentinya membicarakan sepasang siluman itu dan timbul hati ngeri dan takut diantara sebagian besar para penebang pohon. Oleh karena itu, untuk membakar semangat para kawan, empat orang yang terkuat itu lalu memperlihatkan tenaga mereka dan memang mereka ini kuat sekali! Sebatang pohon yang besarnya tak kurang dari tubuh enam orang menjadi satu, telah diikat batangnya dengan seutas tambang yang besar dan amat kuat, kemudian empat orang itu lalu mengerahkan tenaga, menarik tambang itu. Urat-uratnya menonjol pada dada dan tangan mereka yang telanjang karena untuk demonstrasi ini, mereka sengaja menanggalkan baju agar tidak robek.
Memang sukar dipercaya kehebatan tenaga mereka. Empat ekor kerbau belum tentu akan dapat menarik pohon itu sehingga tumbang, akan tetapi ketika empat orang ini mengerahkan tenaga, terdengar suara keras sekali dan pohon itu roboh berikut akar-akarnya!
Karena semua orang sedang menonton pertunjukan ini dengan penuh perhatian maka tak seorang pun di antara mereka melihat Lie Siong yang diam-diam berdiri di antara mereka, yang menonton demonstrasi itu.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
111 Berbareng dengan robohnya pohon itu, terdengar sorak-sorai memuji, karena siapakah yang tidak kagum menyaksikan tenaga luar biasa dari empat orang jagoan itu" Empat orang itu memandang ke sekeliling dengan bangga dan mengangkat dada, akan tetapi tiba-tiba seorang di antara mereka yang berjenggot pendek, melihat Lie Siong. Ia merasa heran karena tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika ia melihat betapa pemuda yang lemah-lembut ini tidak ikut bersorak memuji. Memang tak seorang pun di antara mereka mengenal Lie Siong, karena tiga orang penebang pohon yang pernah ia robohkan itu tidak berani ikut bersama rombongan ini. Si Jenggot Pendek melangkah maju dan menegur,
"Eh, Sobat! Kau ini siapakah dan mengapa kau diam saja" Apakah kau tidak menghargai kepandaian kami" Ketahuilah, hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian kami berempatlah maka sepasang siluman Pek-ang-siang-mo itu akan ditumpas!"
Semua orang kini memandang kepada Lie Siong dengan heran karena mereka pun tidak mengenal pemuda ini dan tidak tahu pula kapan pemuda ini datang di situ.
Lie Siong merasa mendongkol sekali melihat kesombongan mereka, terutama sekali
mendengar betapa mereka hendak membasmi sepasang iblis yang ia dapat menduga tentu dimaksudkan ibunya dan dia sendiri. Dengan wajah tenang dan tidak berubah sedikitpun juga, ia berkata acuh tak acuh,
"Apa sih anehnya tenaga kalian berempat" Lebih baik kalian pergi dan jangan masuk ke dalam hutan di atas ini."
"Eh, eh, mengapa kau berkata demikian?" tanya Si Jenggot Pendek.
"Karena tenagamu yang hanya dapat merobohkan pohon lapuk itu takkan ada gunanya.
Kalau kalian pergunakan untuk menarik lawan biarpun hanya satu kakinya saja kalian tidak akan mampu merobohkannya!"
Bukan main marahnya empat orang jagoan itu dan semua orang juga memandang dengan heran dan marah.
"Orang muda, kautahanlah lidahmu! Kalau kau bicara sembarangan saja, dengan sekali pukul aku akan menghancurkan kepalamu!" kata seorang di antara empat jagoan itu yang bertubuh besar pendek.
"Siapa bicara sembarangan" Kalianlah yang bermata buta dan sombong."
"Kaubicara sungguh-sungguh?" kata Si Jenggot Pendek sambil tersenyum menghina. "Kalau begitu, kau berani membiarkan sebelah kakimu kami tarik dengan tambang dan kau merasa pasti bahwa kami takkan dapat merobohkanmu?"
Semua orang tertawa mengejek mendengar ini, dan enam orang pengusaha itu berdiri sekelompok dan berbisik-bisik karena mereka juga merasa sangat heran melihat keberanian pemuda tampan ini.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
112 Akan tetapi Lie Siong masih bersikap tenang dan dingin. "Mengapa tidak berani" Kalau kau bisa menarik sebelah kakiku dengan tambang dan dapat merobohkan aku, barulah kalian patut naik ke hutan itu."
"Bagus!" seru Si Jenggot Pendek. "Akan tetapi kalau kakimu sampai terbetot putus dari tubuhmu, jangan kaupersalahkan kami, anak muda yang manis!" Terdengar suara orang tertawa disusul dengan ejekan, "Kalau kakinya sudah copot, bagaimana ia bisa mengeluarkan kata-kata lagi?"
Kembali terdengar semua orang tertawa geli sungguhpun mereka memandang makin tertarik dan dengan penuh perhatian. Semua orang menduga-duga siapa gerangan pemuda yang mencari penyakit ini. Apakah dia berotak miring"
"Boleh, aku berjanji," jawab Lie Siong yang hendak mempermainkan orang-orang sombong itu, "sebaliknya kalian semua harus berjanji bahwa apabila kalian tak dapat merobohkan sebelah kakiku selama hidup kalian tidak akan mengganggu dan menebang pohon di hutan itu!"
"Jadi!!" seru Si Jenggot Pendek, tidak memikirkan lagi keheranan hati yang timbul karena ucapan pemuda ini seakan-akan membela sepasang siluman di hutan itu!
Semua orang lalu mundur dan membuat lingkaran, berdiri mengelilingi pemuda itu. Para pengusaha berdiri sekelompok sedangkan para penebang kayu berdiri di kelompok tersendiri, tidak berani mendekati para "thauwke" (majikan) itu. Empat orang kuat itu lalu
mempersiapkan tambang besar tadi. Si Jenggot Pendek memegang ujung tambang dan
menghampiri Lie Siong sambil bertanya menyeringai,
"Kau sudah siap?"
Lie Siong menurunkan buntalan pakaiannya dan menaruh di atas tanah bawah pohon, kemudian ia kembali ke tengah lapangan itu, dan berdiri dengan satu kaki, mengangkat kaki kirinya ke depan, dan kedua tangannya ditaruh di belakang. Sikapnya demikian enak dan seakan-akan tak bertenaga sama sekali sehingga semua orang tertawa mengejek. Kalau orang yang memiliki kepandaian silat, tentu akan memasang bhesi (kuda-kuda) yang teguh, mengerahkan tenaga pada kaki yang hendak ditarik. Akan tetapi mengapa pemuda ini berdiri seakan-akan sedang makan angin menikmati sinar bulan purnama" Sungguh lucu dan
menggelikan. Jangan kata hendak ditarik dengan tambang oleh empat orang yang bertenaga gajah, sedangkan kalau ada angin besar bertiup saja, agaknya pemuda itu akan rubuh.
Tentu saja mereka itu tidak tahu bahwa Lie Siong diam-diam telah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Ban-kin-cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati) dan cara berdiri itu adalah bhesi (kuda-kuda) dari Ilmu Silat Sianli-utauw (Ilmu Silat Bidadari), yaitu disebut Berdiri Dengan Kaki Berakar!
"Aku sudah siap!" kata Lie Siong dengan suara dingin saja seakan-akan tidak menghadapi urusan penting.
Sambil tertawa haha-hihi, Si Jenggot Pendek lalu membelitkan ujung tambang kepada kaki kanan Lie Siong tepat pada tulang keringnya, di atas pergelangan kaki, agak di bawah betisnya. Kemudian setelah memeriksa bahwa ikatan tali pada kaki itu cukup kuat takkan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
113 terlepas bila ditarik, ia lalu mendekati kawan-kawannya dan sambil tersenyum-senyum ia berkata perlahan,
"Kita menggunakan tenaga tiba-tiba menariknya agar ia jatuh terjengkang!" Tiga orang tersenyum gembira dan menganggukkan kepalanya. Mereka lalu berdiri berbaris dan memegang tambang itu. Semua orang memandang dengan napas tertahan, karena betapapun mereka merasa lucu dan penasaran kepada pemuda yang mereka anggap berotak miring ini, melihat wajah yang elok dan kulit yang halus itu mereka merasa kasihan juga. Sedikitnya kaki yang tak seberapa besarnya itu pasti akan patah oleh tarikan empat orang kuat ini, pikir mereka. Bahkan seorang pengusaha yang berpakaian kuning dan yang masih muda berwajah tampan, lalu menghampiri Lie Siong dan berkata,
"Hian-te, mengapakah kau melakukan hal yang bodoh ini" Kaumintalah maaf kepada mereka dan aku yang tanggung bahwa perkara ini akan dibikin habis sampai di sini saja."
Lie Siong paling tidak suka kalau ada orang menaruh hati kasihan kepadanya, maka sambil mengerling tajam ke arah orang itu, ia berkata, "Jangan ikut campur, dan mundurlah!" Tentu saja semua orang makin merasa tak senang melihat sikap ini, dan orang baju kuning itu pun mundur dengan muka kemerahan.
"Aku sudah siap, hayo tariklah sekuatmu!" kata Lie Siong sekali lagi.
Orang berjenggot pendek itu memberi aba-aba, "Tarik...!!" dan keempat orang itu mengerahkan seluruh tenaga membetot tambang itu sehingga urat-urat pada lengan dan dada mereka mengembung. Semua orang memandang dan terbayanglah sudah di mata mereka
betapa pemuda elok ini akan jatuh tunggang-langgang dengan kaki patah. Akan tetapi...
sungguh aneh, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Pemuda elok itu masih berdiri seperti tadi, kaki kiri diangkat ke depan, kedua tangan ditaruh di belakang dan sedikit pun ia tidak berkedip seakan-akan sama sekali tidak merasa akan tarikan dan sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri!
"Aduh...! Sungguh aneh!" terdengar suara penonton.
"Tak masuk di akal!"
"Tak mungkin...!"
"Ajaib sekali...!!"
Kalau semua orang yang menonton menjadi terheran-heran, empat orang jagoan itu lebih terkejut lagi. Tambang itu telah tertarik sehingga menegang, bahkan terdengar bergerit saking kuatnya mereka menarik, akan tetapi mereka merasa seakan-akan sedang menarik sebuah gunung saja! Untuk sesaat mereka saling pandang, kemudian dengan amat penasaran mereka lalu menarik lagi. Kini tarikan mereka tidak teratur lagi, suara mereka "ah-ah, uh-uh" sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, sehingga mereka terhuyung ke sana terdorong ke mari, akan tetapi tetap saja kaki yang dilibat tambang dan ditarik itu sama sekali tidak bergeming sedikit pun!
Kini tak seorang pun penonton dapat mengeluarkan suara, bahkan bernapas pun mereka hampir lupa! Keempat orang jagoan itu sambil membetot, memandang kepada pemuda itu Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
114 dengan mulut ternganga saking herannya, akan tetapi mereka tidak berhenti menarik.
Mustahil tidak dapat merobohkannya, pikir mereka dan kembali mereka mengerahkan tenaga seadanya untuk membetot kaki yang hanya kecil saja itu!"
Peluh sebesar kacang telah menitik turun dari jidat mereka, dan napas mereka mulai terengah-engah setelah beberapa lama mereka menarik dengan tenaga sepenuhnya.
Lie Siong merasa bahwa sudah cukup ia memperlihatkan tenaganya, maka ia lalu membentak keras.
"Tidak lekas lepaskan tambang?" Sambil berkata demikian, tanpa menurunkan kaki kirinya, kaki kanannya melakukan gerakan mengisar dan... tak dapat ditahan pula, empat orang jagoan itu terdorong ke depan dan karena mereka masih belum melepaskan tambang itu, mereka jatuh saling timpa! Yang paling sial adalah Si Jenggot Pendek karena ia tertindih oleh dua orang kawannya dan karena jatuhnya dengan hidung di depan, maka ketika ia merangkak bangun kembali, hidungnya yang tadinya mancung telah menjadi pesek dan berdarah!
Kini ramailah orang-orang itu memuji dan menyatakan keheranan mereka. Bagaimana mungkin terjadi hal yang aneh ini" Biarpun sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mereka masih belum dapat percaya bahwa seorang pemuda yang lemah-lembut dan berkulit halus itu dapat memiliki tenaga yang demikian besarnya. Siapakah pemuda lihai ini" Mereka saling bertanya tanpa berani menanyakan sendiri kepada pemuda itu.
Pada saat itu, nampak dua orang berlari dari bawah lereng dan mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar bersama seorang hwesio. Ketika laki-laki tinggi besar itu tiba di situ dan melihat Lie Siong, ia lalu cepat berseru kepada semua orang,
"Dia adalah iblis putih!"
Orang ini adalah seorang di antara penebang pohon yang dulu pernah dirobohkan oleh Lie Siong, dan mendengar seruan ini, semua orang menjadi pucat mukanya, ada yang menggigil dan bahkan ada yang cepat mengangkat kaki lari dari situ! Akan tetapi, ketika mereka melihat hwesio yang datang bersama penebang tadi, semua orang menjadi tabah kembali dan mengikuti hwesio itu menghampiri Lie Siong. Hwesio itu bukan lain adalah Pek I Hosiang sendiri.
Melihat bahwa yang menimbulkan keributan itu adalah Lie Siong, Pek I Hosiang lalu merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil memberi hormat.
"Omitohud, tidak tahunya Siauw-enghiong (Orang Muda Gagah) yang datang di sini!
Maafkan murid-murid pinceng yang bodoh dan tidak tahu aturan, Siauw-eng-hiong.
Sesungguhnya ketika pinceng mendengar bahwa mereka ini hendak menyerbu ke dalam hutan segera pinceng menyusul ke sini untuk mencegah mereka."
Melihat Lie Siong hanya berdiri tanpa menjawab, hwesio itu lalu memandang kepada semua orang dan berkata,
"Cuwi sekalian, harap mendengarkan kata-kata pinceng. Mulai sekarang janganlah ada seorang pun berani mengganggu hutan di atas itu! Ketahuilah bahwa di situ tinggal dua orang pendekar sakti yang mengasingkan diri! Pegunungan ini mempunyai banyak sekali hutan-Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
115 hutan besar, mengapa harus mengganggu hutan kecil" Kalau kalian sayang diri jangan sekali-kali berani memasuki hutan itu. Ang I Niocu dan puteranya bukanlah siluman, akan tetapi pendekar-pendekar besar yang berkepandaian tinggi dan tidak mau diganggu!"


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang terkejut mendengar ini, karena tak pernah mereka sangka bahwa hwesio ini pun telah kenal kepada kedua orang yang tadinya dianggap siluman itu terutama sekali para murid yang pernah mendengar nama Ang I Niocu yang tersohor! Mereka cepat memandang kepada pemuda yang diperkenalkan sebagai putera Ang I Nicou itu, akan tetapi alangkah heran dan kagetnya semua orang ketika melihat bahwa di situ tidak nampak lagi bayangan pemuda tadi!
Pemuda tadi telah lenyap bersama buntalan pakaiannya tanpa diketahui oleh seorang pun kecuali Pek I Hosiang. Hwesio ini berkata,
"Dia sudah pergi!" Ia menghela napas. "Masih baik bahwa pemuda itu sendiri yang datang di sini, tidak bersama ibunya. Kalau kalian berani mengganggu ibunya tak dapat kubayangkan kengerian yang menjadi akibatnya!"
Semenjak saat itu, semua orang memandang hutan itu sebagai tempat keramat dan tak seorang pun berani naik ke situ. Nama Ang I Niocu makin terkenal, dan juga puteranya menjadi buah bibir semua orang yang tinggal di sekitar Pegunungan Ho-lan-san.
*** Pada suatu hari, ketika Lie Siong tiba di sebuah jalan yang sunyi, ia melihat dua orang laki-laki sedang bertengkar. Tadinya ia tidak hendak mempedulikan dua orang yang bercekcok itu, akan tetapi karena ia mendengar suara yang seorang amat aneh dan kaku seperti orang asing, ia tertarik juga dan segera menghampiri mereka sambil bersembunyi di balik pohon besar.
Laki-laki yang bicaranya kaku itu adalah seorang setengah tua yang berkumis dan berjenggot panjang, nampaknya gagah sekali, dan matanya bersinar tajam. Orang yang bercekcok dengan dia adalah seorang muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka kasar dengan mulut selalu menyeringai sombong.
"Gui-kongcu (Tuan Muda Gui), sudah berkali-kali aku menegur dan menasihatimu agar kau jangan menggoda anakku, akan tetapi agaknya kau sengaja bahkan menghina puteriku. Aku biasanya amat sabar, akan tetapi jangan kira bahwa kesabaranku ini tanda bahwa aku takut kepadamu!"
Laki-laki muda itu tertawa bergelak dengan sikap menghina sekali.
"Paman Manako, kau orang tua mengapa tidak memaklumi hati orang-orang muda" Aku mencinta Lilani, mengapa aku menghina" Aku pernah melamar anakmu itu, mengapa pula kau berani menampik pinanganku" Ingatlah, Paman Manako, kau datang sebagai seorang perantau, dan kalau tidak ada aku dan ayahku, tak mungkin kau dapat tinggal di daerah ini!"
"Kurang ajar!" bentak laki-laki yang bernama Manako itu. "Gui-kongcu, kau telah mengucapkan kata-kata menghina terhadap seorang laki-laki Haimi. Kalau aku tidak ingat bahwa kau masih kanak-kanak dan tidak ingat bahwa ayahmu telah menolongku, untuk ucapanmu itu saja aku sanggup membunuhmu! Memilih mantu tak dapat dipaksa. Anakku Lilani tidak suka kepadamu, bagaimana aku harus menerima pinanganmu" Sungguh amat Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
116 tidak tahu malu bagi seorang pemuda yang sudah ditolak pinangannya, masih saja mendesak dengan cara yang kurang ajar sekali!"
"Manako!" pemuda itu membentak marah, kini tidak mcnggunakan lagi sebutan paman.
"Lupakah kau sedang bicara dengan siapa?" Pemuda ini lalu mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.
Orang tua berjenggot itu tersenyum dan dengan tenang ia pun mencabut pedangnya pula.
"Tentu saja aku tidak lupa. Aku berhadapan dan bicara dengan Gui-kongcu, putera dari Kepala Daerah Ki-ciang. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa aku Manako bukan seorang penjilat. Tidak peduli siapa saja kalau berani menghinaku, akan kulawan!"
"Orang Haimi yang sombong, rasakan tajamnya pedangku!" teriak pemuda tinggi besar itu dan segera ia menyerang dengan sebuah tusukan hebat. Gerak tipunya ini adalah yang disebut Han-ya-pok-cui (Burung Gagak Menyambar Kelinci), sebuah tipu gerakan dari Ilmu Pedang Tat-mo-kiam-hwat yaitu ilmu pedang ciptaan pendekar besar Tat Mo Couwsu. Akan tetapi, dengan tenang orang Haimi itu menangkis dengan pedangnya sehingga Pemuda she Gui itu terkejut sekali karena ternyata bahwa tenaga lawannya amat besar, membuat pedangnya terpental ke belakang! Ia berseru keras dan segera menyerang lagi dengah gerak tipu Hui-eng-bok-thou (Elang Terbang Menyambar Kelinci), kedua kakinya melompat ke atas dan
pedangnya menyambar. Akan tetapi, Manako, orang Haimi itu dengan gesitnya lalu
mengubah kedudukan kakinya, melangkah dengan kaki kanan ke belakang, lalu memutar tubuhnya dengan gerak tipu Monyet Sakti Memasuki Gua. Dengan gerakan ini ia dapat menghindarkan diri dari serangan lawan kemudian ia balas menyerang dengan tak kurang hebatnya.
Sebentar saja ternyata bahwa ilmu pedang orang Haimi ini jauh lebih unggul daripada ilmu pedang lawannya dan cepat ia mendesak dan mengurung pemuda itu dengan pedangnya yang menyambar-nyambar! Lie Siong yang mengintai dari balik pohon maklum bahwa orang tua itu tidak berniat buruk, karena kalau ia mau, dengan mudah saja ia pasti akan dapat merobohkan pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu ternyata tak tahu diri dan ia tidak tahu bahwa orang tua itu telah berlaku murah hati dan mengalah. Kalau ia tahu diri, tentu ia takkan melawan terus. Sebaliknya, ia malah memaki-maki dan menyerang dengan membuta tuli.
"Kau benar-benar tak tahu diri!" teriak Manako dan sebuah serangan dengan pedang diputar dibarengi gerakan menggetarkan pedang, membuat pedang pemuda itu terkurung dan
tertempel, kemudian sekali orang tua itu membentak, "Lepas senjata!" sambil membetot, pedang pemuda itu terlempar dan terlepas dari pegangan!
Pada saat itu, tujuh orang yang berpakaian seperti perwira kerajaan lari mendatangi dan mereka segera mencabut senjata golok dan pedang.
"Orang Haimi yang sudah bosan hidup!" teriak seorang di antara para perwira itu. "Kau berlaku kurang ajar terhadap Gui-kongcu?"
"Bukan aku yang mulai lebih dulu!" jawab Manako dengan berani, akan tetapi tujuh orang perwira itu segera mengurung dan menyerangnya. Manako melawan sekuatnya, akan tetapi tujuh orang perwira itu kepandaiannya rata-rata lebih tinggi daripada kepandaian pemuda she Gui tadi sehingga sebentar saja Manako terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
117 Pada saat orang tua itu berada dalam keadaan yang amat berbahaya, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dari balik pohon. Lie Siong yang menyaksikan keroyokan yang berat sebelah itu tidak mau tinggal diam dan dia telah melompat keluar, langsung mengamuk dan mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sinna. Tubuhnya bergerak cepat bagaikan halilintar menyambar dan di mana saja tubuhnya berkelebat, seorang perwira lalu menjerit, pedang atau goloknya terampas dan tubuhnya menerima pukulan atau tendangan yang cukup membuatnya mencium tanah tanpa dapat bangun kembali!
Pemuda she Gui yang melihat kehebatan lawan baru ini, dengan cerdik lalu diam-diam melarikan diri dari situ. Tujuh orang perwira itu dalam waktu pendek saja telah dirobohkan oleh Lie Siong yang tidak menggunakan senjata sehingga orang tua Haimi itu telah memandang dengan bengong.
Manako cepat menghampiri Lie Siong, memberi hormat dan berkata kagum, "Kau hebat sekali, anak muda. Kehebatanmu mengingatkan aku akan Sie Tai-hiap!"
"Siapakah Sie Tai-hiap itu?" tanya Lie Siong.
"Sie Tai-hiap adalah Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh! Seperti kau inilah sepak terjangnya menghadapi orang-orang jahat."
Lie Siong tadi membantu Manako tanpa mengandung maksud sesuatu, hanya terdorong oleh hatinya yang tak senang melihat keroyokan yang tidak adil. Kini mendengar betapa orang tua itu memuji-muji nama Pendekar Bodoh, ia menjadi sebal sekali. Telah seringkali ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh sehingga nama Pendekar Bodoh ini seakan-akan merupakan lidi yang ditusuk-tusukkan ke dalam telinganya, sekarang mendengar lagi orang memujinya, membuat ia tidak puas.
"Sudahlah, aku tidak kenal segala Pendekar Bodoh. Kaupergilah sebelum orang-orang ini sempat mengeroyokmu lagi!"
Manako memandang heran kepada pemuda yang bersikap dingin ini, akan tetapi ia lalu teringat bahwa ia telah melawan perwira-perwira bahkan bertempur dengan putera Kepala Daerah, maka dengan cepat ia lalu memberi hormat lagi dan berlari pergi dari situ. Akan tetapi, baru saja ia membelok di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba ia telah dicegat oleh belasan orang perwira yang mengantar pemuda she Gui tadi! Ternyata bahwa Gui-kongcu setelah lari cepat lalu memanggil lebih banyak perwira untuk mengeroyok pemuda yang lihai dan Manako.
"Penggal leher orang Haimi jahat ini!" Gui-kongcu berseru marah dan sebentar saja Manako telah dikeroyok oleh belasan orang perwira itu. Perwira-perwira yang datang ini tingkatnya lebih tinggi dari pada tujuh orang perwira yang tadi, bahkan di antara mereka terdapat seorang panglima tamu dari kota raja yang amat terkenal kegagahannya. Panglima muda ini bernama Kam Liong dan orang ini bukan lain adalah keturunan dari Panglima Besar Kam Hong Sin yang amat tersohor karena kegagahannya (baca Pendekar Bodoh).
Sudah tentu saja Manako bukan tandingan para perwira ini. Panglima muda yang
berkepandaian tinggi itu sama sekali tidak mau turun tangan karena ia merasa rendah untuk mengeroyok seorang Haimi! Akan tetapi, perwira-perwira yang lain sudah cukup kuat untuk Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
118 merobohkan Manako sehingga sebentar saja orang Haimi ini roboh dengan beberapa luka parah pada tubuhnya.
Lie Siong yang hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba mendengar bentakan-bentakan para perwira yang mengeroyok Manako, karena pertempuran itu terjadi di belakang tikungan dan tidak kelihatan dari tempatnya, maka ia cepat berlari menghampiri tempat itu. Alangkah marah dan terkejutnya ketika ia melihat betepa Manako telah roboh mandi darah, dikeroyok oleh belasan orang perwira.
"Pengecut hina dina!" seru Lie Siong sambil mencabut keluar Sin-liong-kiam dari balik jubahnya. Sekali tubuhnya berkelebat, ia merupakan bayangan putih yang cepat gerakannya bagaikan seekor burung garuda. Seperti juga tadi ketika menghadapi tujuh orang perwira, kini begitu ia menggerakkan pedangnya, golok dan pedang perwira beterbangan dan teriakan-teriakan terdengar susul-menyusul dibarengi jatuhnya tubuh mereka bertumpang tindih.
Bukan main kagetnya Panglima Muda Kam Liong ketika menyaksikan kelihaian pemuda baju putih ini. Terpaksa ia harus bertindak, kalau tidak, mungkin belasan orang perwira itu akan roboh semua! Ia mencabut keluar pedangnya yang mengeluarkan cahaya berkilauan, dan sekali mengenjot tubuhnya, ia telah melayang dan menyambut pedang Lie Siong yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.
"Trang...!" Sepasang pedang itu bertemu, menimbulkan bunga api berpancaran.
"Tahan dulu!" seru Kam Liong dan Lie Siong yang merasa tercengang menyaksikan ada pedang yang dapat menyambut Sin-liong-kiamnya, segera menahan senjata dan memandang dengan sinar mata tajam.
Dua orang muda yang sama tampan sama gagah ini saling pandang dengan penuh perhatian.
Lie Siong melihat seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang panglima, pakaiannya gagah dan mentereng sekali, wajahnya membayangkan kegagahan. Sedangkan Kam Liong tercengang ketika melihat bahwa orang yang lihai sekali kepandaiannya itu ternyata hanya seorang pemuda berkulit muka halus dan bersikap lemah lembut!
"Saudara yang gagah, kau siapakah dan mengapa kau membela seorang pemberontak bangsa Haimi?"
"Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan dengan pemberontak, dan juga aku tidak peduli apa yang menjadi persoalannya, akan tetapi yang sudah jelas bahwa orang tua ini kalian keroyok secara tidak tahu malu sekali. Pengecut-pengecut macam kalian ini tak dapat kuberi ampun!"
Marahlah Kam Liong mendengar ucapan ini yang dianggapnya amat sombong dan
kurangajar. "Orang sombong!" teriaknya sambil menggerakkan pedang di tangan. "Kau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Tidak tahukah bahwa kau berhadapan dengan Panglima Muda she Kam dari kota raja?"
Mendengar disebutnya she Kam ini, Lie Siong memandang dengan penuh perhatian. Ibunya pernah menuturkan kepadanya tentang panglima kosen bernama Kam Hong Sin.
"Ada hubungan apakah kau dengan Panglima Kam Hong Sin?" tanyanya tiba-tiba.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
119 "Dia adalah ayahku, bagaimana kau dapat mengetahui namanya" Siapakah kau sebetulnya dan siapa pula guru atau orang tuamu!"
Akan tetapi Lie Siong tidak menjawab pertanyaan ini, bahkan melangkah maju dan berkata,
"Bagus! Kalau begitu biarlah kita menguji kepandalan masing-masing dan tak perlu banyak mengobrol lagi!" Ia lalu memutar pedangnya yang aneh bentuknya itu. Kam Liong yang maklum akan kelihalan lawan, tidak berlaku lambat dan cepat sekali ia menangkis dan membalas dengan serangannya yang tak kalah hebatnya.
Kam Liong adalah putera tunggal dari Panglima Kam Hong Sin yang tinggi ilmu silatnya.
Pemuda ini mengikuti jejak ayahnya dan kini telah menduduki pangkat yang tinggi dalam ketentaraan di kota raja, telah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya. Ia amat lihai, terutama dalam ilmu pedang yang berasal dari ilmu pedang Partai Kun-lun-pai. Gerakan pedangnya cukup cepat dan kuat, ditambah pula dengan pedangnya yang bukan sembarangan, melainkan sebuah pedang mustika hadiah dari kaisar, tentu saja ia jarang menemukan tandingan dalam ilmu pedang. Akan tetapi, setelah ia bertempur menghadapi Lie Siong, ia menjadi terkejut sekali oleh karena ilmu silat pemuda elok ini benar-benar hebat dan lihai sekali. Pedang yang berbentuk naga itu selain amat keras sehingga tidak menjadi rusak oleh pedang mustikanya, juga amat berbahaya. Pedang itu kalau menyabet tidak akan melukai kulit, akan tetapi akan meremukkan tulan dan otot, sedangkan tanduk pedang naga itu dapat digunakan untuk menusuk bagian tubuh yang berbahaya. Yang lebih istimewa lagi adalah lidah pedang naga yang panjang itu, karena lidah ini dapat berputar-putar melakukan sambaran-sambaran tersendiri dan menotok jalan darah. Bahkan beberapa kali lidah merah ini mencoba untuk melibat pedang di tangannya untuk dirampasnya!
Kam Liong teringat akan nama-nama pendekar besar yang pernah ia dengan dari ayahnya.
Menurut ayahnya, ilmu pedangnya atau ilmu silatnya harus dipergunakan dengan amat hati-hati apabila menghadapi mereka atau murid dan keturunan mereka.
"Apakah kau putera Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh?" Ia bertanya sambil menangkis sebuah tusukan ke arah lehernya.
"Aku tidak kenal Pendekar Bodohl" jawab Lie Siong dengan hati mangkel karena lagi-lagi ia mendengar nama pendekar ini disebut-sebut orang! Ia lalu menyerang lebih hebat lagi dan mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiamsut, pedangnya berputar demikian hebatnya seakan-akan berubah menjadi lima putaran sehingga nampak bagaikan lima bunga teratai, sesuai dengan namanya, yaitu Ngo-lian-hoan-kiamsut (Ilmu Pedang Lima Bunga Teratai).
Kam Liong terkejut melihat ilmu pedang ini dan terpaksa ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri, dan untuk sementara ia mencurahkan perhatiannya terhadap pertahanannya sehingga tak sempat bertanya lagi. Akan tetapi, setelah ia terdesak, ia lalu menggunakan gerak tipu Pek-hong-koan-jit (Bianglala Putih Menutup Matahari). Pedang mustikanya berputar cepat sekali sehingga merupakan payung penutup tubuhhya yang amat rapat dan kuat.
"Kalau begitu, tentulah putera Kwee An Locianpwe!" kata Kam Liong lagi, menduga-duga.
Karena kalau bukan putera Pendekar Bodoh, hanya putera atau murid Kwee An Locianpwe saja yang memiliki kepandalan sedemikian hebatnya, demikian ia berpikir.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
120 "Jangan mengobrol! Aku tidak kenal orang she Kwee itu!" jawab Lie Siong dengan marah dan ia pun merasa penasaran sekali karena telah bertempur lima puluh jurus lebih, belum juga dapat mengalahkan panglima muda yang lihai ini. Ia lalu berseru keras dan dengan pedang di tangan kanan mainkan Ilmu Pedang Sin-liong-kiamsut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakan oleh ibunya sendiri untuk menyesuaikan pedang yang
dipergunakannya, ia lalu menggunakan tangan kirinya untuk menyerang dengan Ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut yang membuat tangan kirinya mengeluarkan uap putih!
Pek-in-hoatsut sudah terkenal sekali kelihaiannya, dan kepandaian ini adalah warisan dari Guru Besar Bu Pun Su, tidak saja pukulannya yang amat lihai, bahkan uap putih itu saja kalau menyambar lawan dapat mematahkan tenaga lwee-kang dan dapat mendatangkan luka di dalam tubuh. Akan tetapi ilmu pedang itu pun luar biasa hebatnya. Ketika Ang I Niocu menciptakan ilmu pedang ini untuk puteranya, ilmu pedang ini disesuaikan dengan bentuk Pedang Naga Sakti itu, sehingga di dalam gerakannya ini terdapat totokan-totokan jalan darah, dan juga lidah pedang naga yang panjang itu dipergunakan dengan ilmu melempar tali kepandalan tunggal dari Lie Kong Sian!
Bukan main terkejutnya hati Kam Liong ketika menyaksikan serangan lawannya yang hebat ini, ia terkejut dan cepat mengelak dari serangan pukulan Pek-in-hoatsut, akan tetapi lidah pedang naga itu telah berhasil membelit pedangnya dan sekali Lie Siong mengerahkan tenaga, pedang itu telah terbetot terlepas dari pegangan Kam Liong!
Kam Liong kaget sekali dan berteriak keras sambil melempar tubuhnya ke belakang lalu membuat gerakan melompat berjungkir balik beberapa kali ke belakang. Inilah gerakan Naga Sakti Menembus Awan yang amat indah sehingga diam-diam Lie Siong kagum juga melihat gerakan lawannya.
"Pergi...! Pergi kalian dari sini!" bentaknya sambil menggerakkan tangan kanan sehingga pedang Kam Liong yang terampas tadi tahu-tahu terlepas dan meluncur ke arah dada pemiliknya! Kam Liong tidak keburu menyambut dan terpaksa cepat menjatuhkan tubuhnya sehingga pedangnya itu meluncur terus dan menancap pada dada seorang perwira yang berdiri di belakangnya! Perwira itu menjerit dan tewas dengan dada tertembus pedang!
"Kau... kau tentu putera Ang I Niocu!" seru Kam Liong dalam dugaannya sambil mencabut pedangnya dan memandang kagum. Mendengar ini, Lie Siong terkejut sekali dan juga marah.
"Apakah kau ingin mampus?" bentaknya sambil menggerakkan tubuh menerjang, akan tetapi Kam Liong yang sudah tahu akan kelihaian pemuda elok ini tidak berani melawan dan melarikan diri! Lie Siong hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar keluhan orang Haimi yang menggeletak mandi darah itu, maka ia menunda niatnya hendak mengejar dan menghampiri orang tua yang terluka tadi.
Ketika ia berlutut, ternyata orang tua itu keadaannya payah sekali. Tubuhnya penuh luka dan darah telah keluar banyak sehingga napasnya tinggal satu-satu.
"Orang muda..." katanya terengah-engah, "kau gagah sekali... tak ubahnya Pendekar Bodoh sendiri... kau tentu berbudi... seperti Pendekar Bodoh pula... kautolonglah puteriku... Lilani...
ia tentu mendapat susah dari putera kepala daerah she Gui itu! Lekas, tolonglah... ia yatim piatu... tolong anakku...!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
121 Melihat keadaan orang tua itu sudah tak ada harapan lagi, Lie Siong lalu bertanya,
"Di mana dia..." Di mana anakmu itu?"
"Di... di rumahku, di ujung barat kota Tatung, tak jauh dari sini... kau cepat tolonglah dia...
hanya kaulah orang satu-satunya yang menjadi harapanku..." tiba-tiba orang tua itu menarik napas panjang dan ternyata napas itu adalah tarikan yang terakhir!
Lie Siong cepat bangun berdiri dan membentak kepada perwira yang terluka dan yang ditinggalkan oleh kawan-kawannya. "Kau harus rawat jenazahnya baik-baik, kalau tidak, awas! Lain kali aku datang mengambil kepalamu!"
Perwira itu mengangguk-angguk dengan muka pucat. "Baik, baik... Hohan!"
Lie Siong lalu melompat pergi dan berlari cepat sekali menuju ke kota Tatung yang berada di sebelah selatan hutan itu.
Setibanya di kota itu, Lie Siong lalu menuju ke ujung barat dan dengan mudah saja ia mencari keterangan tentang rumah tempat tinggal seorang bangsa Haimi bernama Manako.
Ketika ia menanyakan kepada seorang tetangga orang Haimi itu karena rumah yang dicarinya ternyata tertutup, tetangga itu memandangnya dengan ragu-ragu dan muka takut.
"Kongcu, kau mencari Manako, apakah kau masih keluarganya?"
"Bukan, aku hanya sahabatnya. Aku mau bertemu dengan Nona Lilani, puterinya."
Muka orang yang nampak ketakutan itu menjadi makin pucat. Ia memberi isarat dengan jari tangannya ditaruh ke depan mulut lalu berkata perlahan,
"Sst, Kongcu, jangan kau bicara terlalu keras tentang gadis itu. Lebih baik lekas kau pergilah dari sini dan jangan katakan kepada siapapun juga bahwa kau telah kenal dengan Nona itu...!
Aku kasihan kepadamu karena kau adalah orang Han bukan bangsa Haimi."
Lie Siong memandang tajam dan sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah memegang tengkuk orang itu dengan keras sehingga orang yang dipegangnya menjadi terkejut dan ketakutan. Tangan yang mencekik tengkuknya seakan-akan sepasang jepitan baja yang kuat sekali.
"Hayo, lekas katakan, apa yang telah terjadi dengan Lilani, dan di mana ia berada!"
"Am... ampun, Hohan...! Gadis itu baru tadi telah dibawa pergi oleh sepasukan perajurit, ditangkap oleh Gui-siauw-ya!"
"Kaumaksudkan Gui-siauwya putera Kepala Daerah?"
"Benar, Hohan."
"Di mana rumah Kepala Daerah itu?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
122 Orang itu cepat-cepat menunjuk ke arah timur dan berkata, "Di tengah kota ini, bangunan yang tertinggi dan terbesar."
Lie Siong melepaskan pegangannya dan sekali ia berkelebat, lenyaplah tubuhnya dari depan orang yang menjadi bengong dan bergemetaran seluruh tubuhnya itu.
Mudah saja untuk mencari gedung besar Kepala Daerah she Gui di kota itu, karena gedungnya besar dan tinggi, berada di tengah-tengah kota. Tanpa banyak peraturan lagi, Lie Siong lalu memasuki pintu gerbang dan ketika empat orang penjaga pintu menegur dan menghampirinya, dengan beberapa kali menggerakkan kaki tangannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri. Ia terus masuk ke dalam didahului oleh seorang penjaga yang bergegas lari memberi laporan tentang datangnya seorang pengamuk muda yang lihai.
Dengan diiringkan oleh serombongan penjaga, Gui-taijin sendiri keluar dari ruang dalam, bersama Kam Liong, panglima muda yang menjadi tamunya.
Begitu melihat pembesar ini, Lie Siong melompat dan menangkap lengannya.
"Hayo lepaskan Lilani, kalau tidak kepalamu akan kuhancurkan!" katanya dengan bengis.
Pembesar Gui yang sudah setengah tua itu memandang heran dan gelisah, lalu bentaknya marah,
"Siapakah kau dan apa maksudmu?"
Juga Kam Siong lalu maju dan menjura ke arah Lie Siong.
"Taihiap, harap kau bersabar dulu, ada urusan dapat diurus dan ada persoalan dapat dirundingkan. Sesungguhnya kami tidak mengerti akan maksud kedatanganmu ini, dan siapakah adanya Lilani?"
Lie Siong mengerling tajam dan dengan heran ia melihat bahwa wajah panglima muda itu tidak membayangkan kebohongan. Akan tetapi ia lalu berkata dengan penuh sindiran.
"Bagus! Kalian telah membunuh orang Haimi itu dan merampas puterinya, sekarang masih berpura-pura tidak tahu?"
"Siapa yang membunuh orang dan siapa yang merampas puterinya?" Gui Taijin berseru marah. "Jangan menuduh sembarangan saja!"
Kam Liong yang berdiri di samping dengan muka merah lalu berkata kepadanya,
"Sesungguhnya memang ada pembunuhan atas diri orang Haimi itu. Akan tetapi menurut keterangan puteramu orang Halmi itu adalah seorang pemberontak, oleh karena itulah maka ketika aku dimintai bantuan, aku lalu membantu puteramu. Akan tetapi tentang perampasan gadis itu, aku sama sekali tidak tahu!"
Sesungguhnya, Gui Taijin ini tidak tahu sama sekali tentang urusan puteranya, dan segala peristiwa yang terjadi tadi adalah di luar kehendak dan pengetahuannya. Puteranya bertindak seorang diri untuk melampiaskan nafsu jahatnya dan mempergunakan kedudukannya sebagai putera Kepala Daerah.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
123 "Apakah artinya semua ini?" Gui Taijin membentak marah kepada para penjaga yang berdiri dengan ketakutan. "Di mana adanya Gui Kongcu" Benarkah ia telah merampas anak gadis orang?"
Seorang penjaga dengan ketakutan lalu memberi hormat dan melapor, "Kongcu telah membawa gadis itu ke rumah peristirahatan Taijin di dekat sungai."
"Keparat...!" seru Gui Taijin, akan tetapi pada saat itu, Lie Siong sudah melompat maju dan dengan mudah ia telah menangkap penjaga yang bicara tadi, mengempitnya dan
membawanya lompat keluar dari situ.
"Kau harus tunjukkan kepadaku di mana adanya tempat itu!" katanya.
Biarpun ia sedang marah kepada puteranya, kini melihat betapa pemuda yang lihai itu hendak mengejar ke sana, Gui Taijin merasa berkhawatir juga. Ia lalu mengerahkan perajurit-perajuritnya dan dengan cepat melakukan pengejaran pula, didampingi oleh Kam Liong yang diam-diam merasa benci kepada putera Kepala Daerah itu.
Perajurit yang dikempit dan dibawi lari oleh Lie Siong itu merasa seakan- akan dibawa terbang oleh seekor burung besar dan dengan muka pucat ia lalu menunjukkan jalan yang menuju ke sebuah dusun di pinggir Sungai Yung-ting. Di tempat ini, Kepala Daerah Gui memang mempunyai sebuah gedung indah di mana ia dan keluarganya menghibur diri di musim panas.
Setelah tiba di tempat yang dicari Lie Siong lalu melempar tubuh penjaga itu kesamping jalan di mana penjaga itu rebah dengan tubuh menggigil tak berani bangun, kemudian pemuda perkasa itu lalu cepat melompat ke atas tembok tinggi yang mengelilingi gedung itu.
Beberapa orang penjaga melihatnya dan berteriak-teriak sambil mengejar, akan tetapi Lie Siong tidak mempedulikannya dan terus saja melompat masuk dan menyerbu ke dalam. Ia bertemu dengan beberapa orang penjaga yang berlari keluar mendengar teriakan kawan-kawannya, akan tetapi bagaikan orang membabat rumput saja, Lie Siong merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan kakinya.
Ketika ia telah merobohkan para penjaga, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan wanita, maka cepat ia mengejar ke dalam dari mana jeritan itu terdengar, ternyata bahwa jeritan itu terdengar dari ruangan belakang, di mana bangunan didirikan di atas air. Memang gedung yang indah ini bagian belakangnya berada di atas air Sungai Yung-ting, sehingga kalau orang duduk di belakang, ia akan menikmati pemandangan yang indah sekali.
Lie Siong terus berlari ke belakang, dua orang penjaga yang menghadang di jalan kembali dirobohkannya dengan sekali pukul. Sekali lagi ia mendengar jeritan wanita dan kali ini terdengar keras sekali dari balik sebuah pintu. Dengan marah Lie Siong menendang daun pintu itu dan alangkah marahnya ketika ia melihat seorang pemuda yaitu pemuda yang dengan orang Haimi itu, sedang menarik-narik tangan seorang gadis muda yang meronta-ronta, menjerit-jerit, dan memaki-maki!
Muka laki-laki jahanam yang tadinya menyeringai seakan-akan merasa gembira melihat perlawanan gadis itu, tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat ketika ia mendengar pintu kamar itu mengeluarkan bunyi keras dan melihat daun pintu itu roboh. Lebih kagetlah dia Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
124 ketika melihat munculnya Lie Siong, pemuda gagah perkasa yang telah menghajar para perwira pembantunya siang tadi dengan hebatnya.
Betapapun juga, melihat Lie Siong bertindak menghampirinya dengan mata bersinar marah, Gui Kongcu masih ingat akan pedangnya yang diletakkan di atas pembaringan. Ia menyambar pedangnya dan menyambut kedatangan Lie Siong dengan sebuah bacokan hebat. Akan tetapi tanpa berkejap sedikit pun, Lie Siong lalu mengangkat tangannya dan dengan gerak tipu Tangan Kapak Membacok Cabang ia lalu menangkis sambaran pedang itu dengan babatan tangannya dari samping ke arah pinggir pedang.
"Krak!" Pedang itu menjadi patah ketika terkena sambaran tangan Lie Siong yang
dimiringkan. Pukulan ini hebat sekali dan tak sembarangan ahli silat berani mempergunakan untuk menangkis pedang. Biar bagaimanapun juga tangan tebuat daripada kulit dan daging pembungkus tulang, tentu saja tak mungkin dipergunakan untuk diadu dengan tajamnya pedang. Akan tetapi gerakan Tangan Kapak Membacok Cabang ini mengandalkan kecepatan dan ketangkasan, disertai tenaga lwee-kang yang amat kuat. Digunakannya bukan untuk menyambut datangnya pedang yang tajam, melainkan digerakkan dari pinggir dengan memukul pedang itu dari samping pada mukanya dengan mempergunakan tangan yang
dimiringkan. Tentu saja kalau gerakan ini kurang cepat atau kurang tepat, banyak bahayanya tangan akan bertemu dengan mata pedang dan akan terluka!
"Bangsat hina-dina!" Lie Siong membentak marah dan sekali ia majukan tangan kiri, ia telah mencekik batang leher pemuda cabul itu. "Pergilah!" serunya dan tubuh Gui Kongcu yang dilempar itu melayang laju keluar dari jendela kamar dan langsung meluncur ke dalam sungai yang amat dalam itu, kemudiar terdengar suara "byur!" tanda bahwa air telah menyambutnya dan setelah itu sunyi.
Gadis itu memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar.
Gadis itu memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar.
"Siapakah kau...?" Dengan jujur gadis ini tidak menyembunyikan kekaguman yang keluar dari suara dan pandangan matanya.
Lie Song balas memandang. Ia melihat seorang gadis yang berusia paling banyak enam belas tahun, berwajah cantik jelita, kecantikan yang aneh dan berbeda dengan kecantikan wanita biasa. Mungkin karena matanya yang lebar sekali itu atau rambut dan manik matanya yang hitam, atau mungkin suaranya yang bernada lain daripada suara gadis biasa.
"Apakah kau yang bernama Lilani?" tanya Lie Siong yang lebih heran daripada tertarik melihat kecantikan ini.
Gadis ini mengangguk. "Dan kau siapakah?"
"Aku datang menolongmu untuk memenuhi pesanan ayahmu."
Tiba-tiba gadis itu memegang lengan Siong dan bertanya dengan muka pucat, "Bagaimana dengan Ayah" Di mana dia...?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
125 Benar-benar gadis aneh, pikir Lie Siong dengan hati tidak enak karena merasa betapa telapak tangan gadis itu dengan halus memegang lengannya. Di mana ada seorang gadis yang belum dikenalnya memegang lengan seorang pemuda begitu saja"
Ia menarik lengannya dan menggeleng kepala, lalu berkata singkat.
"Kita pergi dulu dari tempat ini!"
Karena maklum bahwa gadis ini tidak memiliki kepandaian tinggi, ia lalu memegang tangan Lilani dan menariknya keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja ia keluar dari kamar ternyata bahwa gedung itu telah penuh dengan perwira yang menghadang jalan keluarnya.
Para perwira dan penjaga dengan senjata tajam di tangan menyerbu masuk untuk menolong putera Kepala Daerah. Ketika melihat pemuda baju putih itu bejalan sambil menggandeng tangan Lilani, mereka berseru keras dan menyerang.
Bagi Lie Siong, tidak sukarlah menghadapi mereka itu dan mencari jalan keluar melalui jalan darah, akan tetapi ia teringat akan gadis itu. Kedatangannya bukanlah dengan maksud untuk mengamuk dan mencari permusuhan dengan para perwira itu, akan tetapi khusus untuk menolong Lilani. Melihat para perwira itu menyerbu, Lie Siong lalu membalikkan tubuh dan menarik tangan Lilani memasuki kamar itu kembali.
"Celaka, mereka mengejar kita!" kata Lilani akan tetapi gadis ini tidak nampak takut. "Kau pergilah, jangan sampai kau menjadi korban karena menolongku. Aku sanggup melawan mereka dan sebelum aku mati, pasti aku akan dapat membunuh seorang dua orang!"
"Bodoh!" kata Lie Siong dan ia lalu bertindak ke arah jendela, lalu menjenguk keluar. Kamar ini berada di bagian terbelakang, maka di luar jendela itu kosong dan di bawah jendela adalah air Sungai Yung-ting yang nampak kebiruan. Tak mungkin membawa gadis itu lompat keluar, karena tubuh mereka tentu akan terjatuh ke dalam air dan ia tidak pandai berenang. Sementara itu, suara kaki para pengejar telah makin dekat sehingga Lie Siong merasa bingung juga.
Kemudian ia mendapat akal. Pedang Sin-liong-kiam dicabut dan tubuhnya tiba-tiba melayang naik sambil memutar pedang itu pada di atas kamar. Terdengar suara keras dan langit-langit itu berlubang besar sedangkan potongan kayu jatuh berhamburan di dalam kamar itu. Lie Siong melompat turun kembali dan cepat ia menyambar tubuh gadis itu tanpa banyak cakap lagi.
Ketika itu, para pengejar sudah tiba di depan kamar. Lie Siong menggunakan tangan kiri mengempit pinggang Lilani yang ramping, lalu menyambar daun pintu yang sudah roboh ketika ditendangnya tadi. Daun pintu yang berat itu ia lemparkan ke arah para penyerbu sehingga tiga orang terdepan menjadi terjengkang tertimpa oleh daun pintu itu. Kawan-kawannya di belakang tertimpa pula sehingga mereka menjadi tumpang tindih dan untuk sesaat lamanya tak dapat melanjutkan pengejaran. Lie Siong cepat melompat naik sambil mengempit Lilani.
Ketika para pengejar tiba di dalam kamar, ternyata bahwa dua orang muda itu lenyap! Tak lama kemudian Kam Liong dan Gui Taijin datang pula, akan tetapi mereka tak dapat mencari Lie Siong maupun Lilani. Sedangkan Gui Kongcu pun tak nampak bayangannya!
Sesungguhnya, dengan kepandaiannya yang tinggi, Kam Liong tentu saja dapat mengejar Lie Siong yang melarikan diri dari atas genteng. Akan tetapi panglima muda ini tidak mau Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
126 melakukannya. Pertama ia memang segan bermusuhan dengan Lie Siong yang gagah perkasa dan lihai itu, kedua kalinya ia tidak suka akan kebiasaan Gui Kongcu dan tidak mau membantu perbuatan jahat. Ia tahu bahwa pendekar muda baju putih itu tentu mengambil jalan genteng, maka ia hanya memberitahukan ini kepada para perwira yang segera melompat dan mengejar ke atas genteng. Namun gerakan mereka tidak secepat Lie Siong. Ketika melihat para pengejarnya kacau-balau karena serangannya dengan daun pintu tadi, Lie Siong lalu melompat ke atas langit-langit yang telah berlubang. Dengan mudah ia menghancurkan genteng dari bawah, lalu keluar dari lubang di genteng itu. Setelah berada di atas genteng, cepat ia melarikan diri, berlompatan bagaikan seekor garuda putih terbang sehingga Lilani terpaksa meramkan mata saking ngerinya melihat tubuhnya melayang-layang di atas genteng yang begitu tinggi.
Lie Siong membawa Lilani ke pinggir sungai dan melihat perahu-perahu kecil para nelayan ditambatkan di pinggir sungai, ia lalu melompat ke sebuah perahu kecil yang terbaik, memutuskan talinya dan segera mendayung perahu itu ke tengah sungai.
"Hai...!" Pemilik perahu itu berteriak. "Hendak kaubawa kemana perahuku itu?"
Sementara itu, Lilani yang sudah di dalam perahu berkata, "Tidak baik mencuri perahu orang, siapa tahu kalau-kalau nelayan miskin itu akan kehilangan sumber nafkahnya kalau perahu ini kita bawa pergi."
Lie Siong memandang kepada gadis itu dengan heran dan juga kagum. Ia tak menjawab, akan tetapi merogoh buntalannya dan mengeluarkan sepotong emas murni. Ketika berangkat ia mendapat bekal tiga puluh potong lebih emas murni seperti ini dari ibunya.
"Ini cukup?" tanyanya sambil memperlihatkan emas itu kepada Lilani.
Gadis ini memandang dengan mata terbelalak. Ia tahu akan nilai emas dan sepotong emas di tangan Lie Siong ini kalau dijual dapat digunakan untuk membeli sedikitnya tiga atau empat buah perahu kecil seperti ini.
"Terlalu banyak," jawabnya, "sepertiga juga sudah cukup." Akan tetapi setelah mendengar jawaban ini, tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengayun tangannya dan melemparkan potongan emas itu ke arah orang yang berteriak-teriak tadi.
"Perahumu kubeli, inilah uangnya!" seru Lie Siong. Ketika orang itu memungut potongan emas yang jatuh tepat di depannya, tentu saja ia menjadi girang sekali dan berlari-larilah ia pulang sambil berjingkrak-jingkrak dan menari-nari karena merasa mendapat keuntungan yang besar sekali.
Lie Siong membiarkan perahunya hanyut oleh aliran air yang deras dan ia hanya
menggunakan dayung untuk mengemudi jalannya perahu. Semenjak mereka duduk di dalam perahu, yaitu pada siang hari tadi, sampai sekarang sudah hampir senja, mereka tak pernah bicara sepatah kata pun! Lilani hanya duduk sambil menundukkan kepala, kadang-kadang memandang ke pinggir sungai dan hanya sewaktu-waktu saja mengerling kepadanya. Gadis itu nampak susah, bingung dan juga malu-malu.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
127 Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi. Berada dekat seseorang yang sama sekali tidak pernah bicara, tidak menengok kepadanya, dan tidak mempedulikannya, jauh lebih sunyi rasanya daripada kalau ia berada seorang diri tanpa kawan!
"Kita mau ke manakah?" tanyanya sambil mengerling tajam ke arah pemuda yang angkuh dan tinggi hati itu.
"Ke mana saja air ini membawa perahu yang kita tumpangi," jawab Lie Siong tanpa memandang.
"Ke mana akan dibawanya?"
"Entahlah!"
Lilani menarik napas panjang. Aneh dan sukar benar pemuda ini. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi seorang pemuda seperti ini. Hampir setiap laki-laki yang pernah ditemuinya, baik pemuda maupun sudah tua, selalu akan memandangnya dengan mata gairah, tersenyum-senyum dan segera mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda atau memuji. Akan tetapi pemuda ini... menengok pun tidak, bahkan diam saja seperti patung! Sungguh hampir tak dapat dipercaya wajah pemuda yang seelok dan setampan itu ternyata didampingi oleh watak yang demikian angkuh dan aneh.
"Kau telah menolongku dari bahaya maut..."
"Tak perlu dibicarakan hal sekecil itu." Lie Siong memotong.
Lilani berpaling dan menggigit bibir. Alangkah sukarnya menghadapi orang ini, pikirnya.
"Bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Aku she Lie dan namaku Siong."
Lilani menarik napas lega. Sedikitnya pemuda ini tidak merahasiakan namanya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran karena dalam menjawab pertanyaannya, pemuda itu sama sekali belum mau menengoknya, bahkan duduknya pun membelakanginya!
"Di manakah ayahku" Di mana dia?" tanya Lilani.
Tiba-tiba pemuda itu menarik napas panjang, lalu mendayung perahunya ke tepi. Ia menghentikan perahunya di tempat yang dangkal, lalu memutar tubuhnya, menghadapi gadis itu. Ternyata bahwa Lie Siong bukan karena keangkuhannya semata maka ia tidak mau menengok gadis itu, akan tetapi sebagian besar karena rasa terharu mengingat akan nasib gadis ini. Sebelum tewas orang tua berbangsa Haimi itu mengatakan bahwa Lilani telah menjadi yatim piatu, maka itu berarti bahwa ibu gadis ini telah meninggal dunia pula.
Melihat sikap pemuda itu, Lilani menjadi pucat dan mengulang pertanyaan lagi. "Katakanlah, di mana dia?"
"Ayahmu telah tewas."
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
128 Gadis itu tidak kelihatan terkejut, juga tidak menangis menjerit-jerit. Ia hanya meramkan kedua matanya dengan kening berkerut. Akan tetapi, keadaannya ini lebih mengharukan hati Lie Siong yang mungkin takkan demikian terharu kalau melihat gadis itu menangis tersedu-sedu. Lama mereka duduk berhadapan dalam keadaan demikian. Lilani duduk bagaikan patung, sedangkan Lie Siong duduk memandangnya dengan penuh keharuan hati yang tak diperlihatkan.
"Sudah kuduga..." Akhirnya Lilani dapat juga mengeluarkan kata-kata seperti berbisik.
Ketika ia membuka kembali matanya, selaput matanya menjadi merah, tanda bahwa ia telah mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan membanjirnya air mata. Betapapun juga masih nampak beberapa titik air mata mengalir perlahan menuruni pipinya yang pucat.
"Tentu oleh anak buah keparat she Gui itu, bukan?"
Kata-kata ini merupakan pertanyaan dan tuntutan kepada Lie Siong untuk menceritakan semua peristiwa yang terjadi, maka ia pun lalu menceritakannya tentang pertempurannya membantu Manako dan betapa orang tua itu terbunuh oleh keroyokan para perwira.
Mendengar penuturan ini, gadis itu memandang ke arah awan yang bergerak perlahan di angkasa, mengepal kedua tangannya yang kecil, menggigit bibirnya dan membiarkan air matanya mengalir turun bagaikan sumber air kecil, lalu, berkata,
"Bangsaku dimusnahkan! Ibuku terbunuh, kini ayahku terbunuh pula! Terkutuklah manusia-manusia berjiwa iblis itu...!"
Mendengar ucapan ini, Lie Siong merasa tertarik dan lalu ia minta gadis itu menuturkan riwayatnya. Ia mulai merasa kagum melihat ketabahan hati gadis cantik ini, yang dapat menahan perasaannya sehingga tidak menangis menjerit-jerit seperti gadis lain yang tertimpa bencana sehebat itu.
"Benar-benarkah kau ingin mengetahui riwayat seorang yang rendah dan bodoh seperti aku, Tai-hiap?" tanya Lilani sambil memandang melalui air matanya ketika ia mendengar permintaan Lie Siong.
"Tentu saja. Setelah ayahmu minta kepadaku untuk menolongmu, sudah sepatutnya aku mengetahui keadaanmu untuk menetapkan kemudian apa yang selanjutnya harus kulakukan dengan kau."
Lilani menghela napas, menghapus air matanya dengan ujung baju kemudian menuturkan riwayatnya dengan singkat.
Lilani adalah puteri tunggal dari Manako, kepala suku bangsa Haimi yang terdiri tiga ratus orang suku bangsa Haimi yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah. Manako adalah suami dari Meilani dan suami-isteri ini hidup dengan rukun dan saling mencintai, memimpin bangsanya dengan penuh keadilan dan ketenteraman. Manako dan Meilani pernah tertolong oleh Pendekar Bodoh, bahkan sebelum menikah dengan Manako diantara Meilani dan Kwee An pernah terjadi hal yang amat lucu sehingga Kwee An hampir dipaksa menikah dengan Meilani yang cantik jelita akan tetapi bergigi hitam itu! (Baca cerita Pendekar Bodoh).
Setelah berkenalan dengan pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa ini, maka banyak kemajuan yang diperoleh Meilani dan Manako, sehingga ketika mereka memperoleh seorang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
129 puteri, yaitu Lilani, anak ini tidak dihitamkan giginya seperti yang telah menjadi kebiasaan suku bangsa Haimi. Manako dan Meilani melatih ilmu silat kepada puteri mereka itu dan mereka semua hidup penuh kebahagiaan.
Akan tetapi, pada waktu Lilani berusia empat belas tahun, malapetaka besar menimpa keluarga suku bangsa Haimi itu. Kelompok mereka terdesak oleh bangsa Mongol yang hendak menawan mereka untuk dijadikan pekerja paksa sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke selatan, keluar dari tapal batas Mongolia, setelah mengadakan perlawanan sengit dan kehilangan beberapa puluh jiwa.
Pada waktu itu, golongan yang lemah dan kecil selalu tentu tertindas dan terinjak oleh yang besar. Setelah mereka melalui tapal batas, mereka tidak menemui kebahagiaan bahkan sepasukan tentara kerajaan yang menjaga tapal batas itu, lalu menyerbu mereka, membunuh yang laki-laki sambil menculik yang wanita! Pertempuran hebat terjadi. Manako dan Meilani melakukan perlawanan sekuat tenaga, bahkan Meilani yang pernah menerima petunjuk-petunjuk ilmu silat dari Ma Hoa isteri Kwee An dan dari Lin Lin isteri Pendekar Bodoh, lalu mengamuk bagaikan seekor naga betina. Juga Lilani yang baru berusia empat belas tahun itu ikut pula mainkan pedang, membantu ibu dan ayahnya. Akan tetapi kekuatan musuh
terlampau besar dan akhirnya terpaksa Manako membawa Lilani melarikan diri dengan hati hancur setelah melihat Meilani roboh tak bernyawa lagi di bawah tusukan banyak pedang musuh! Kelompok suku bangsa Haimi hancur dan cerai-berai. Banyak yang tewas atau tertawan dan ada pula yang dapat melarikan diri berpencaran.
Manako berhasil melarikan diri bersama puterinya dan selama dua tahun lebih ia merantau bersama Lilani, pindah dari satu kota ke lain kota. Akhirnya sampailah ia di kota Tatung dan tinggal di situ bersama puterinya. Ia tidak khawatir akan biaya hidupnya sehari-hari, karena ketika melarikan diri, ia masih menyimpan berbagai barang dari emas, bahkan ia mempunyai sebatang golok yang seluruhnya terbuat daripada emas. Juga keamanannya terjamin, karena pada masa itu, hanya suku-suku bangsa kecil yang berkelompok saja yang mendapat gangguan dan dicurigai. Akan tetapi kalau hanya satu dua orang saja takkan mendapat gangguan dari siapapun juga, asalkan taat akan peraturan-peraturan kota setempat.
Manako dan Lilani hidup berdua dengan hati menderita kesedihan, dan selalu mereka teringat akan keadaan suku bangsanya yang sudah musna, dan terutama sekali teringat akan Meilani yang gugur dalam pertempuran itu. Akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan"
Lilani menjadi dewasa dan makin cantik jelita seperti mendiang ibunya. Telah biasa dikatakan orang bahwa kecantikan dan kepandaian merupakan karunia dan berkah Thian Yang Maha Kuasa. Akan tetapi bagi Manako dan Lilani, ternyata bahwa kecantikan Lilani tidak merupakan berkah bahkan merupakan sebab bencana besar! Putera kepala daerah she Gui ketika menyaksikan keindahan bentuk tubuh dan kemanisan wajah Lilani gadis Haimi itu, tergerak hatinya dan ia mengajukan pinangan kepada Manako untuk minta gadis itu sebagai selirnya.
Manako adalah bekas kepala suku bangsa, dan betapapun juga, ia boleh disebut raja kecil.
Tentu saja ia mempunyai keangkuhan dan mendengar pinangan ini, ia merasa terhina sekali.
Mana ia sudi memberikan puterinya yang tunggal untuk dijadikan selir oleh putera seorang Kepala Daerah" Demikianlah, ia menolak pinangan itu yang berakhir malapetaka besar baginya. Gui Kongcu merasa sakit hati dan sebagaimana telah dituturkan di atas, akhirnya Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
130 pemuda bangsawan jahanam ini lalu melakukan kekerasan, membunuh Manako dan menculik Lilani!
Setelah menuturkan riwayatnya sambil menghela napas Lilani berkata, "Dulu ibuku pernah menceritakan kepadaku bahwa di antara orang-orang bangsa Han terdapat pendekar-pendekar seperti Kwee An Eng-hiong dan Pendekar Bodoh, akan tetapi setelah menderita akibat kejahatan bangsamu yang menjadi perwira-perwira kaisar kukira bahwa sekarang tidak ada lagi pendekar-pendekar seperti itu! Ternyata sekarang, aku bertemu dengan engkau yang berbudi dan gagah perkasa. Ah, Lie Tai-hiap, dengan jalan bagaimanakah aku dapat membalas budimu yang besar ini?"
Lie Siong merasa kasihan sekali mendengar riwayat gadis ini.
"Apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?"
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan sedih.
"Tidak mempunyai sahabat-sahabat yang boleh kautumpangi?"
Kembali Lilani menggelengkan kepalanya yang cantik sambil termenung. Lie Siong tak dapat berkata-kata lagi, hanya duduk diam dengan bingung. Apakah yang harus ia lakukan"
Bagaimana ia dapat menolong gadis ini selanjutnya" Ia sendiri adalah seorang perantau, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. "Dan... bagaimanakah tujuanmu" Kau hendak pergi ke manakah?" Lie Siong lalu bertanya perlahan.
Lilani yang semenjak tadi dapat menahan kesedihan hatinya, ketika mendengar pertanyaan ini, hanya dapat memandang dengan sinar mata amat mengharukan, lalu ia menangis tersedu-sedu! Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan air mata mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya sedangkan tubuhnya terisak-isak.
Lie Siong menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Selama hidupnya, baru kali ini ia merasa bingung dan menghadapi perkara yang luar biasa sukarnya. "Lilani, ayahmu berpesan kepadaku untuk menolongmu dari tangan jahanam she Gui itu. Aku telah
melakukannya dan setelah kau kini bebas dan selamat, aku tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Ketahuilah, bahwa aku sendiri tidak mempunyai tempat tinggal, merantau seorang diri, juga tidak mempunyai tujuan tertentu..." Tiba-tiba Lilani menghentikan tangisnya dan ia mengangkat mukanya memandang pemuda itu. Sebelum bicara, beberapa kali ia menelan ludah karena merasa tenggorokannya seakan-akan terganjal sesuatu. "Lie Taihiap, aku maklum akan maksudmu. Tak perlu kau menyusahkan keadaanku dan janganlah aku menjadi penghalang dari kebebasanmu. Aku tahu bahwa dengan adanya aku, kau tidak merasa senang, tidak dapat bergerak bebas, pertama karena aku seorang gadis, kedua karena aku lemah. Kau janganlah menjadi bingung, Tai-hiap, jangan kau memikirkan aku lagi.
Pergilah kau melanjutkan perjalananmu, biar aku seorang diri di perahu ini sampai... sampai...
entah ke mana saja perahu dan air sungai ini membawaku!" Lie Siong lalu berdiri, merogoh buntalannya dan mengeluarkan sepuluh potong emas murni. Ia memberikan benda berharga ini kepada Lilani dan berkata, "Kau cukup maklum akan keadaanku dan ini sedikit bekal untuk biaya perjalananmu." Dengan air mata masih menitik turun, Lilani memandang tangan yang mengangsurkan potongan-potongan emas itu. Ia menggeleng kepala dan berkata tegas.
"Tai-hiap, kau telah menolongku dan untuk itu saja aku telah merasa amat berat serta tidak tahu harus membalas budimu dengan cara bagaimana. Karena itulah maka aku tidak berani Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
131 memberatkan kau lagi, apalagi menerima pemberianmu. Ah, tidak, aku tak dapat menerima emas ini. Hidupku takkan lama lagi... untuk apakah benda itu...?" Tertegun hati Lie Siong mendengar ucapan ini, akan tetapi ia pun tidak mau banyak cakap, memasukkan emas itu ke dalam buntalan kembali lalu ia melompat ke darat. "Kalau begitu, selamat berpisah!" katanya lalu melompat pergi. Lilani duduk di perahu dan memandang bayangan pemuda itu dengan lemas. Ia merasa seakan-akan semangatnya telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya.
Merasa betapa seluruh perasaannya telah terbawa pergi oleh pemuda yang gagah perkasa, tampan dan juga aneh serta amat pendiam itu. Ia maklum bahwa hatinya telah terampas oleh kegagahan Lie Siong dan jantungnya telah tertembus oleh sinar mata pemuda itu. Ia maklum bahwa tanpa adanya pemuda itu didekatnya, hidupnya tidak ada artinya lagi. Bangsanya telah musna, ayah bundanya telah tewas. Tadinya ia bercita-cita untuk membangun suku
bangsanya, untuk menggantikan kedudukan ayahnya kemudian bersama bangsanya, berjuang memperbaiki nasib. Akan tetapi kini semua itu lenyap, lenyap bersama bayangan Lie Siong.
Dengan Lie Siong di sampingnya, ia merasa pasti dan yakin bahwa cita-citanya itu akan terlaksana. Tak tertahan lagi ia lalu menjatuhkan mukanya di atas kedua telapak tangannya dan menangis dengan hati terasa disayat-sayat. Dalam kesedihannya yang hebat ini, terbayanglah wajah ibunya yang cantik jelita dan teringatlah ia betapa ibunya pernah menuturkan kepadanya tentang perhubungan ibunya dengan seorang pendekar besar bernama Kwee An yang bertempat tinggal di Tiang-an. Ibunya, Meilani, pernah menuturkan
kepadanya betapa ibunya itu pun pernah jatuh hati kepada pendekar itu. Ah, mengapa ia harus putus asa" Sahabat-sahabat baik ibunya masih banyak. Kalau saja ia dapat mencari Kwee An dan Ma Hoa, atau Pendekar Bodoh dan Lin Lin, tentu mereka akan mau menolong, menolong puteri tunggal Meilani! Akan tetapi teringat akan kejahatan putera kepala daerah she Gui itu, hatinya menjadi gentar lagi. Banyak sekali manusia-manusia jahat semacam pemuda she Gui itu di dunia ini! Ah, alangkah bedanya dengan Lie Siong pemuda yang sopan santun dan gagah perkasa itu. Pemuda yang sedikit pun tidak mau mengganggunya, jangankan
mengganggunya, bahkan menengok pun tidak, agaknya ia bukan seorang gadis cantik!
Mungkin dalam pandangan Lie Siong, ia hanya seorang perempuan yang buruk rupa dan menjemukan! Mengingat akan hal ini, kembali hatinya terasa bagaikan disayat dan air matanya mengucur makin deras. Tiba-tiba ia mendengar suara yang halus di sebelah belakangnya. "Lilani, sudahlah, jangan kau terlalu berduka." Seketika itu juga air matanya yang mengucur berhenti mengalir seakan-akan sumbernya tertutup rapat, kedua matanya dibuka lebar-lebar dan ia cepat memutar lehernya menengok. Ternyata bahwa Lie Siong telah berdiri di darat sambil bertolak pinggang! "Lie Tai-hiap"!" Dalam seruan ini terkandung kegirangan yang luar biasa sekali.
Pedang Berkarat Pena Beraksara 2 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Naga Naga Kecil 11
^