Pendekar Sakti Suling Pualam 10

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 10


lenyap. "Aku telah berhasil!" sorak Tio Bun Yang dengan wajah
berseri. "Aku akan meninggalkan goa es ini?"
Tio Bun Yang melesat ke luar, kemudian mengerahkan
ginkangnya meluncur ke atas. Dalam waktu sekejap, ia sudah
mencapai pinggir jurang, lalu melesat ke arah goa hangat
tempat tinggal monyet bulu putih.
"Kauw heng...." Tio Bun Yang berlutut di hadapan makam
monyet bulu putih. "Hari ini aku akan meninggalkan Gunung
Thian San. Kalau ada sempat kelak, aku pasti ke mari lagi."
Tio Bun Yang terisak-isak dengan air mata berderai-derai.
Sejak ia lahir, monyet bulu putih itu sudah menemaninya.
Namun kini monyet bulu pulih itu telah tiada, betapa sedihnya
hati Tio Bun Yang.
"Kauw heng, aku bersumpah lagi, semua keturunanku
dilarang membunuh monyet jenis apa pun! Kauw heng, aku
pergi__" Tio Bun Yang bangkit berdiri, lalu melesat pergi
meninggalkan goa tersebut, tujuannya ke markas pusat Kay
Pang. Beberapa hari kemudian, ia melewati sebuah lembah di
Gunung Hong San. Mendadak ia mendengar suara pekikan
yang amat seram, menyerupai suara pekikan setan iblis.
Tio Bun Yang bukan penakut, namun suara pekikan itu
membuatnya merinding juga. Karena merasa heran, maka ia
melesat ke arah suara itu
Tak seberapa lama, ia sudah sampai di hadapan sebuah
goa. Ternyata suara pekikan itu berasal dari dalam goa
tersebut. Suara pekikan itu makin terdengar jelas, kemudian
berubah memilukan.
Tio Bun Yang mengerutkan kening, la yakin itu adalah
suara pekikan manusia. Oleh karena itu, ia memberanikan diri
melesat memasuki goa
"Ha ha ha! Ha ha ha !" Suara pekikan itu mendadak
berubah menjadi suara tawa, kemudian terdengar suara
seruan parau. "Hei! Anak muda cepatlah engkau ke mari"
Tio Bun Yang mempercepat langkahnya. Ketika sampai di
hadapan orang itu, wajahnya langsung berubah dan
terbelalak. Ternyata orang itu sudah tua sekari dan telanjang
bulat. Sungguh mengenaskan keadaan orang tua itu,
sepasang kaki dan tulang punggungnya terbelenggu rantai
baja. "Paman tua...." Tio Bun Yang memandangi dengan iba.
"Anak mudai" Orang tua itu tertawa lagi. 'iha hal Jangan
takut, aku bukan setan iblis!"
"Aku tahu, tapi keadaan Paman tua...."
"Aaaakh!" keluh erang tua itu. "Memang sudah nasib dan
takdirku harus dikurung di dalam gua ini. Namun di saat ajalku
tiba. justru muncul seorang anak muda ke mari. Ha ha ha!
Sungguh menggembira kan!"
"Paman tua, aku mengerti sedikit ilmu pengobatan.
Bolehkah aku memeriksamu?"
"Oh?" Orang tua itu menatapnya dengan mata redup
"Percuma, sebab ajalku telah tiba."
"Paman tua!" Tio Bun Yang segera memeriksanya
kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Ha ha! Ajalku sudah tiba kan?" Orang tua itu tertawa.
Tio Bun Yang tidak menyahut, melainkan mengambil
sebutir pil dari dalam bajunya lalu dimasukkannya ke mulut
orang tua itu. Setelah menelan pil itu, tak lama wajah orang tua itu
tampak agak segar.
"Bukan main obat itu!" ujar si kakek sambil tertawa. "Bisa
memperpanjang nyawaku untuk beberapa saat!"
"Paman tua," tanya Tio Bun Yang. "Kenapa Paman tua
dikurung di sini" Siapa yang berbuat begitu kejam terhadap
Paman tua?"
"Aaaakh___!:" Orang tua itu menghela nafas panjang.
"Anak muda, siapa engkau?"
"Namaku Tio Bun Yang."
"Ngmm!" Orang tua iiu manggut-manggut. "Baiklah. Aku
akan menceritakan tentang kejadianku. Aku bernama Tan
Liang Tie, julukanku Thian Gwa Sin Hiap. Delapan puluh tahun
yang lalu, pada wakiu itu aku baru berusia empat puluhan.
Akan tetapi, aku justru melakukan suatu kesalahan."
"Kesalahan apa?"
"Membunuh sepasang suami isteri." Tan Liari Tie menghela
nafas panjang lalu melanjutkan "Sepasang suami isteri itu
adalah perampok, kebetulan aku memergoki mereka
merampok rumah seorang hartawan. Karena itu, aku turun
tangan membunuh mereka. Sebelum perampok wanita itu
menghembuskan nafas penghabisan dia berpesan kepadaku
agar aku ke rumahnya"
"Paman tua ke rumah wanita itu?"
"Tentunya aku tidak mau. Namun setelah mereka mati.-"
Tan Liang Tie menggeleng-gelengkan kepala. "Muncullah para
penduduk kampung itu. Begitu mereka melihatku, para
penduduk kampung itu mencaci maki aku."
"Lho?" Tio Bun Yang beran. "Kenapa mesti mencaci maki
Paman tua?"
"Ternyata mereka berdua adalah peramok budiman." Tan
Liang Tie memberitahukan, "mereka merampok di rumah para
hartawan yang berlaku sewenang-wenang, lalu hasil rampok
itu dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Aku sama sekali tidak
tahu tentang itu, maka...."
"Paman tua terlalu cepat membunuh suamii itu." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku sungguh menyesal Karena itu aku sejera ke rumah
mereka," lanjut Tan Liang Tie. Ternyata ada seorang anak
gadis berusia sekitar lima tahun di dalam rumah itu. Dia
adalah anak suami isteri yang kubunuh itu, namanya Tu Siao
Cui. Aku sungguh kasihan kepadanya, maka aku bersumpah
dalam hati akan mengurusi anak gadis itu."
"Kemudian bagaimana?"
"Aku memberitahukan kepadanya bahwa kedua orang
tuanya sudah mati. Anak gadis itu menangis sedih, lalu masuk
ke kamar. Namun lak lama kemudian, dia keluar lagi dengan
membawa buah kitab."
"Kitab apa itu?"
"Hian Goan Cin Keng." Tan Liang Tie memberitahukan.
"Kitab itu adalah kitab pusaka yang berisi pelajaran ilmu silat
tinggi sekali. Sungguh di luar dugaan, kitab pusaka tersebut
tersimpan di rumah anak gadis itu."
"Anak gadis itu tidak memberitahukan dari mana kitab
pusaka itu?"
"Dia tidak memberitahukan, tapi kedua orang tuanya
pernah berpesan, apabila mereka mati, kitab pusaka itu harus
diserahkan kepada orang yang mendalangi rumahnya."
"Pantas anak gadis itu mengeluarkan kitab pusaka itu!"
"Bahkan dia pun menyerahkan kitab pusaka itu kepadaku,"
ujar Tan Liang Tie sambi! mengeleng-gelengkan kepala. "Aku
melihat anak gadis itu begitu polos dan belum tahu apa-apa,
maka aku pun tidak memberitahukannya tentang kematian
kedua orang tuanya."
"Paman tua tinggal di rumah itu?"
"Tidak. Aku membawanya ke goa ini. Maksud aku ingin
membesarkannya di dalam goa ini," sahut Tan Liang Tie
sambil melanjutkan. "Tapi di tengah jalan aku justru
memberitahukannya bahwa kedua orang tuanya mati dibunuh
orang " "Kenapa Paman tua memberitahukannya?"
"Yaaah!" Tan Liang Tie menghela nafas panjang. "Dia terus
bertanya, maka aku terpaksa memberitahukannya. Dia... dia
bersumpah akan membalas dendam."
"Paman tua memberitahukan siapa pembun kedua orang
tuanya?" tanya Tio Bun Yang sambil mengerutkan kening.
"Tentu tidak," sahut Tan Liang Tie. "Di saat itu, aku pun
bertemu saudara seperguruanku"
"Siapa saudara seperguruan Paman tua?"
"Saudara seperguruanku bernama Kong Su Hok, julukannya
Tayli Sin Ceng. Dia mahir meramal. Ketika melihat anak gadis
itu, dia berpesan kepadaku harus berhati-hati padanya. Aku
diam saja."
"Oh?"
"Setelah sampai di goa ini, mulailah aku mengajarnya
menulis, membaca dan ilmu silat. Sedang kan aku mulai
mempelajari Hian Goan Cin Keng yang berisi Hian Goan Sin
Kang (Tenaga Sakli Melumpuhkan Lawan), Hian Goan Ci (Jari
Sakti Melumpuhkan), ilmu pukulan dan ilmu pedang."
"Bagaimana ilmu-ilmu itu?" tanya Tio Bun Yang tertarik.
"Bukan main hebatnya," jawab Tan Liang Tie sunggubsungguh
dan melanjutkan sambil menggeleng gelengkan
kepala. "Ketika Tu Siao Cui berusia sepuluh tahun, mulailah
aku mengajarnya ilmu-ilmu itu."
"Setelah itu bagaimana?"
"Aaaahl" Tan Liang Tie menghela nafas panjang dan
suaranya mulai lemah. "Dia terus bertanya kepadaku, siapa
pembunuh kedua orang tuanya. Aku selalu menjawab tidak
tahu. Namun tak terduga sama sekali...."
"Apa yang telah terjadi?"
"Setelah dia berusia dua puluh, secara diam-diam pergi
menyelidiki kematian kedua orang tuanya."
"Berhasilkah dia menyelidikinya?"
"Kalau tidak berhasil, tentunya aku tidak akan dirantai di
sini." Tan Liang Tie menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak
tahu tentang itu, bahkan juga tidak bercuriga, sebab dia
bersikap seperti biasa. Tapi... secara diam-diam dia
meracuniku dengan arak."
"Oh?" Tio Bun Yang terbelalak.
"Setelah minum arak yang disuguhkannya itu aku pun tahu
kalau arak itu mengandung racun Aku berusaha mendesak
keluar racun itu dengan Iweekangku, tapi cuma berhasil
mendesak racun itu tidak menyerang jantungku. Oleh karena
itu aku menghimpun lweekangku pada sepasang telapak
tanganku."
"Paman tua ingin memukulnya?"
"Ya." Tan Liang Tie mengangguk. "Karena Iweekangku
disalurkan pada sepasang telapak tanganku, maka sekujur
badanku jadi lemas. Di situlah Tu Siao Cui muncul sambil
tertawa terkekeh-kekeh. Ketika dia mendekat, aku langsung
melancarkan sebuah pukulan ke arahnya. Dia memang hebat
karena berhasil meloncat ke atas maka pukulanku cuma
menghantam sepasang kkaki nya. Dia terpental hingga
membentur dinding goa ini, sedangkan aku terkulai dan
pingsan." "Lalu bagaimana?"
"Ketika aku siuman, dia sudah tidak kelihatan Kitab Hian
Goan Cin Keng pun lenyap." Tan Liang Tie menghela nafas
panjang. "Aku yang bersalah, tidak seharusnya aku
menyerangnya sebab belum tentu dia akan membunuhku.
Disebabkan aku menyerangnya, dia merantai diriku"
"Kejadian yang sungguh tragis!" Tio Bun Yang Menggelenggelengkan
kepala. "Aku yang bersalah," ujar Tan Liang Tie dengan suara
lemah. "Oh ya, pernahkah engkau mendengar seorang nenek
bernama Tu Siao Cui muncul di rimba persilatan?"
"Tidak pernah, tapi aku kenal Kou Hun Bijin-" Tio Bun Yang
memberitahukan. "Mungkinkah Kou Hun Bijin adalah Tu Siao
Cui?" "Apa?" Tan Liang Tie terbelalak. "Engkau kenal Kou Hun
Bijin" Dia... dia masih hidup?"
"Kou Hun Bijin masih hidup, ayahku dan dia adalah kawan
baik," sahut Tio Bun Yang dan menambahkan. "Kou Hun Bijin
sudah menikah dengan Kim Siauw Suseng. Mereka punya
seorang putri yang seusia denganku."
"Oh?" Tan Liang Tie tampak tertegun, kemudian tertawa
gelak. "Ha ha ha! Kou Hun Bijin telah menikah" Ha ha ha!
Kalau Thian Gwa Sin Mo (Iblis Sakti Luar Langit) tahu, dia
pasti mati penasaran."
Tio Bun Yang diam. Ia sama sekali tidak kenal Thian Gwa
Sin Mo. Siapa Thian Gwa Sin Mo" tidak lain adalah paman
guru Tang Hai Lomo, adalah seorang Bu Lim Sam Mo.
"Anak muda," ujar Tan Liang Tie dengan nafas mulai
memburu. "Mungkin Tu Siao Cui telah mati terkena pukulanku,
namun aku tetap ingin mohon bantuanmu. Aku harap engkau
sudi membantuku!"
"Paman tua, apa yang dapat kubantu?" tanyi Tio Bun Yang
sungguh-sungguh.
"Setelah aku mati, tolong cari Tayli Sin Ceng' jawab Tan
Liang Tie dengan suara semakin lemah dan menambahkan.
"Engkau tidak usah mengubur mayatku, sebab rantai baja ini
tidak bisa diputuskan dengan Iweekang, kecuali dengan
pedang pusaka."
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. Ia tahu bahwa ajal orang
tua itu telah tiba. Kalau tadi tidak memberikannya pil Sok
Beng Tan (Pil penyambung Nyawa), orang tua itu pasti sudah
mati. "Ha ha ha!" Tan Liang Tie tertawa gembira "Terirnakasih,
anak muda..."
Suara tawanya makin lama makin lemah akhirnya tak
terdengar dan kepala orang tua itu terkulai.
"Paman tual" panggil Tio Bun Yang.
Tan Liang Tie tidak menyahut, ternyata nyawa orang tua
itu telah putus. Tio Bun Yang memandangnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Setelah memberi hormat,
barulah ia meninggalkan goa itu.
--000odw0ooo-- Dua hari kemudian, Tio Bun Yang telah sampai di sebuah
kota. ketika ia baru mau mampir di kedai teh, mendadak ia
mendengar suara gembrengan. Segeralah ia berpaling,
tampak seorang pria berusia lima puluhan dan seorang gadis
berusia sekitar tujuh belas berada di pinggir jalan.
Dari pakaian mereka, Tio Bun Yang sudah dapat menerka,
bahwa mereka adalah pemain silat keliling. Walau gadis itu
cukup cantik, namun Tio Bun Yang sama sekali tidak tertarik,
sebaliknya malah tertarik pada seekor monyet yang bersama
mereka. Oleh karena itu, ia mendekati tempat tersebut Banyak pula
orang berkerumun di situ.


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara-saudara sekalian!" ujar orang tua itu sambil
memberi hormat ke empat penjuru. "Aku bernama Liok Ah
Peng, dan ini adalah putriku, yang bernama Liok Eng Eng.
Kami ayah dan anak berasal dari Shantung, mencari nafkah
berkeliling mempertunjukkan ilmu silatl Bahkan kami pun
menjual obat koyo yang dapat menyembuhkan penyakit
encok, salah urat dan luka dalam terkena pukulan."
"Tidak salah" sambung gadis bernama Liok Eng Eng itu
sambil tersenyum manis. "Obat koyo itu memang serba guna,
harganya tidak begitu mahal."
"Nahl" ujar Liok Ah Peng- "Sebelum kami mulai menjual
obat koyo itu, terlebih dahulu kami akan mempertunjukkan
ilmu silat aliran Shantung."
"Paman-paman dan bibi-bibi sekalianl" sen Liok Eng Eng.
"Ayahku akan mempertunjukkan ilmu pukulan yang sangat
dahsyat Silakan menyaksikannyal"
Liok Ah Peng segera memberi hormat ke empat penjuru,
setelah itu barulah ia mulai mempertunjukkan ilmu pukulan
tangan kosong. Sepasang tangannya bergerak cepat sekali,
kemudian berubah menjadi puluhan pasang dan menimbulkan
suara yang menderu-deru.
Menyaksikan ilmu pukulan itu, Tio Bun Yan manggutmanggut
dan membatin sambil tersenyum Cukup tinggi ilmu
silat orang tua itu, begitu pula Iweekangnya!
Mendadak terdengar suara tepuk sorak yang riuh gemuruh,
ternyata orang tua itu telah usai mempertunjukkan ilmu
silatnya. "Terirnakasih! Terirnakasih..." ucap Liok Ah Peng sambil
memberi hormat. "Nahl Sekarang putriku akan
mempertunjukkan ilmu pedang. Silahkan menyaksikannya tapi
jangan terlampau dekat hati-hati dengan sambaran
pedangnya! Ha ha...l"
Liok Eng Eng menghunus pedangnya. Segera memberi
hormat ke empat penjuru, barulah! mulai menggerakkan
pedangnya. Seketika terdengarlah suara sorak-sorai yang riuh gemuruh.
Ternyata badan gadis itu bergerak lemah gemulai, namun
pedangnya bergerak cepat sekali.
Kagum juga Tio Bun Yang menyaksikan ilmu pedang Liok
Eng Eng. Karena itu ia mengeluarkan suling kumalanya,
sekaligus meniupnya mengiringi gerakan gadis itu.
Tentunya sangat mengejutkan para penonton, begitu pula
Liok Ah Peng dan putrinya. Mereka berdua langsung
memandang ke arah Tio Bun Yang Pemuda itu tersenyumsenyum,
sehingga membuat hati gadis itu berdebar-debar
aneh. Justru membuat Liok Ah Peng terkejut bukan main, karena
mendadak putrinya mengikuti irama suling itu. Namun
sungguh indah sekali gerakan pedang anak gadisnya itu,
sehingga membuat Liok Ah Peng terbelalak menyaksikannya.
Berselang beberapa saat kemudian, suara suling itu
berhenti. Pedang di tangan gadis itu pun ikut berhenti. Sambil
tersenyum Liok Eng Eng memberi hormat ke empat penjuru,
lalu memandang Tio Bun Yang dengan mata berbinar-binar,
terdengar pula suara tepuk sorak dari para penonton.
"Terirnakasih! Terirnakasih..." ucap Liok Ah Teng sambil
memberi hormat. "Putriku telah mempertunjukkan
kejelekannya. Kini aku akan suruh monyet itu main akrobat,
tentunya akan menggembirakan saudara sandara sekalian."
Liok Ah Peng mengambil sebuah cambuk. Monyet itu
tampak ketakutan. Ketika Liok Ah Peng menggerakkan
cambuk itu ke bawah, geraian monyet itu bersalto beberapa
kali. "Ha ha ha... " Para penunlon tertawa lor babak-babak.
"Lucu sekali monyet itul"
Akan tetapi, setelah bersalto beberapa kali mendadak
monyet itu jatuh gedebuk, kemudian bercuit-cuit seakan
kesakitan. Liok Ah Peng tampak gusar sekali dan langsung
mengayunkan cambuknya ke arah monyet Itu.
Taar...! Monyet itu tersambar cambuk, sehingga jatuh tergulingguling
sekaligus bercuit-cuit kesakitan! Di saat bersamaan,
terdengarlah suara bentakan yang mengguntur.
"Jangan siksa monyet itu!" ternyata Tio Bun Yang yang
membentak gusar.
Betapa terkejutnya para penonton, begitu pula Liok Ah
Peng dan putrinya, mereka berdua langsung memandang ke
arah Tio Bun Yang.
Pemuda itu menatap gusar ke arah Liok A Peng, kemudian
memandang monyet itu sambil mengeluarkan suara cuit-cuit.
Terjadilah hal yang di luar dugaan, karena mendadak monyet
itu meloncat ke bahu Tio Bun Yang.
"Sungguh kasihan engkau, monyet kecil!" kata Tio Bun
Yang sambil membelai belai monyet dengan penuh kasih
sayang- Terbelalaklah para penonton dan Liok Ah Peng serta
putrinya. Mereka mengira pemuda itu tidak waras. Akan
tetapi, sungguh mengherankan karena monyet itu kelihatan
menurut sekali pada pemuda tersebut.
"Monyet kecil!" Tio Bun Yang menggeleng-lengkan kepala.
"Engkau masih belum bisa bersalto Lebih baik aku
mengajarmu."
Monyet itu bercuit-cuit, tentunya membuat semua orang
terheran-heran, begitu pula Liok Ah Peng dan putrinya.
"Monyet kecil, turunlah!" ujar Tio Bun Yang. Monyet itu
segera meloncat turun. Hal itu membuat Liok Eng Eng
terbelalak, karena monyet itu mengerti apa yang dikatakan
pemuda tersebut.
"Monyet kecil, kalau berrsalto harus begini...." Tio Bun
Yang memberi petunjuk kepada monyet itu dengan cara
menggerak-gerakkan tangannya.
Monyet itu manggut-manggut, lalu bersalto mengikuti
petunjuk Tio Bun Yang sambil bercuit-cuit. tampaknya
gembira sekali.
"Ha ha" Tio Bun Yang tertawa. "Monyet kecil, engkau telah
berhasil bersalto! Ha ha ha....!"
Para penonton dan Liok Ah Peng serta putrinya
menyaksikan itu dengan mata terbeliak lebar dan mulutnya
pun ternganga. "Paman!" panggil Tio Bun Yang sambil menghampirinya.
"Aku harap mulai sekarang Paman tidak menyiksa monyet
kecil itu!"
"Anak muda," sahut Liok Ah Peng. "Aku tidak menyiksanya,
melainkan cuma menakuti nya."
"Tapi...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Tadi Paman telah memukulnya dengan cambuk."
"Itu karena dia tidak mau bersalto.."
"Monyet kecil itu belum bisa bersalto, namun Paman
memaksanya," potong Tio Bun Yang. "Kalau Paman masih
ingin memukulnya, lebih baik aku bawa monyet kecil itu."
"Anak muda?" Liok Ah Peng mengerutkan kening.
"Kami... kami berjanji tidak akan memukul monyet itu lagi!"
sela Liok Eng Eng dengan wajah agak kemerah-merahan.
"Eng Eng...." Liok Ah Peng menatapnya heran. "Engkau...."
"Ayah, mulai sekarang Ayah jangan memukul monyet itu
lagi!" sahut Liok Eng Eng. "Kasihan...."
"Baiklah." Liok Ah Peng tertawa gelak. "Ayah berjanji, mulai
sekarang tidak akan memukul monyet itu lagi!"
"Terimakasih, Paman!" ucap Tio Bun Yan lalu bercuit
memanggil monyet tersebut.
Monyet itu segera mendekatinya. Tio Bun Yang
membelainya seraya berkata lembut.
"Monyet kecil, mulai sekarang Paman itu tidak akan
memukulmu dengan cambuk lagi, engkau tidak perlu takut."
Monyet itu bercuit-tuit sambil Memandang Tio Bun Yang,
kemudian manggut-manggut,
"Monyet kecil" Liok Eng Eng membelainya. "Engkau tidak
usah takut, mulai sekarang ayahku tidak akan memukulmu
lagi dengan cambuk. Percayalah"
Monyet itu diam saja. Tentunya mengherankan gadis itu.
Ditatapnya Tio Bun Yang seraya bertanya.
"Eh Kenapa monyet kecil itu diam saja?"
"Karena.." Tio Bun Yang tersenyum. "Engkau bejum
memiliki perasaan kasih sayang kepadanya, maka dia diam
saja." "Oh?" Liok Eng Eng tertawa geli. "Jadi... aku harus
menyayanginya?"
"Tentu." Tio Bun Yang mengangguk. "Walau dia adalah
hewan, namun punya perasaan juga."
"Kalau begitu..." ujar Liok Eng Eng sungguh mngguh.
"Mulai sekarang aku pasti menyayanginya"
"Bagus." Tio Bun Yang manggut-manggut dan berkata
kepada monyet tiu. "Monyet kecil, mulai sekarang nona itu
pasti menyayangimu, jadi engkau tidak perlu takut lagi."
Monyet itu bercuit, lalu memandang Liok Eng Eng dengan
mata berkedip-kedip, kelihatannya masih kurang percaya
kepada gadis itu.
"Monyet kecil, aku berjanji akan menyayangimu,
percayalah!" ujar Liok Eng Eng sambil tertawa.
"Monyet kecil," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Nona
itu tidak akan membohongi nah Percayalah!"
Monyet itu manggut-manggut, kemudian mendekati Liok
Eng Eng, yang kemudian langsung membelainya.
"Ha ha hal" Liok Ah Peng tertawa gelak "Baru kali ini aku
melihat manusia bisa berbicara dengan monyet! Oh ya, anak
muda! Sebetulnya siapa engkau" Kok engkau mengerti bahasa
monyet?" "Namaku Tio Bun Yang, Paman," sahut muda itu sambil
tersenyum ramah. "Sejak kecil aku sudah bergaul dengan
monyet, maka aku mengerti bahasanya."
"Oh?" Liok Ah Peng terbelalak. "Kalau begitu, engkau lahir
di dalam hutan?"
"Aku lahir di sebuah pulau."
"Ooohl" Liok Ah Peng manggut-manggut "Engkau mahir
sekali meniup suling, sejak kapan engkau meniup suling?"
"Sejak kecil."
"Kakak Bun Yang..." Ketika Liok Eng Eng baru mau
mengatakan sesuatu, mendadak terdengar suara tawa yang
menyeramkan, kemudian melayang turun seseorang
bertampang seram pula "He he he! Liok Ah Peng, ternyata
engkau berada di sini bersama putrimu! Hari ini kalian berdua
tidak bisa kabur lagil He he he. I'
"Shantung Khie Hiap (Pendekar Aneh Shantung)!" seru Liok
Ah Peng dengan wajah pucat
"He he he!" Shantung Khie Hiap tertawa terkekeh-kekeh.
"Liok Ah Peng, engkau membunuh adik seperguruanku, maka
hari ini aku harus membunuhmu!"
---ooo0dw0ooo---
Jilid 8 "Shantung Khie Hiap," sahut Liok Ah Pcng ambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Adik seperguruanmu itu
sangat jahat, sering merampok dan memperkosa....'
"Diam!". bentak Shantung Khie Hiap. "Pokoknya engkau
dan putrimu harus mampus hari ini!"
"Shantung Khie Hiap!" Liok Ah Peng mengerutkan kening.
"Aku tak sengaja membunuhnya, dia... dia terus
menyerangku. Lagi pula... dia ingin memperkosa putriku,
maka....!"
"Diam!" bentak Shantung Khie Hiap gusar. "Ayoh, cepat
keluarkan senjatamu untuk bertarung denganku!"
"Shantung Khie Hiap...." Liok Ah Pcng menghela nafas
panjang. "Baiklah! Aku akan melawanmu dengan tangan
kosong!" "He he he!" Shantung Khie Hiap tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalau begitu, mari kitu bertarung dengan tangan kosong!"
Sementara Tio Bun Yang diam saja karena tidak mau
mencampuri urusan pribadi orang. Yang paling gembira
adalah para penonton, sebab mereka akan menyaksikan suatu
pertarungan yang sangat seru.
Pertarungan sudah mulai, yang menyerang duluan adalah
Liok Ah Peng. Shantung Khie Hiap berkelit sekaligus balas
menyerang. Mereka sama sama menggunakan jurus-jurus
andalan. Akan tetapi, puluhan jurus kemudian, Liok Ah Peng mulai di
bawah angin. Menyaksikan itu, pucatlah wajah Liok Eng Eng.
Gadis itu menggenggam pedangnya erat-erat, kelihatannya
siap membantu ayahnya.
"Aaaakh!" jerit Liok Ah Peng.
Ternyata dadanya terkena pukulan Shantung Khie Hiap. Ia
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan
mulut menyemburkan darah segar.
"Ayah!" teriak Liok Eng Eng sambil mc nyerang Shantung
Khie Hiap dengan pedangnya
"Ha ha ha!" Shantung Khie Hiap tertawa gelak. "Engkau
pun harus mampus!"
Liok Eng Eng tidak menyahut. Gadis itu terus
menyerangnya dengan sengit, namun dengan mudah sekali
Shantung Khie Hiap berkelit, bahkan mulai balas menyerang
dengan tangan kosong.
Tio Bun Yang mendekati Liok Ah Peng, kemudian
memasukkan sebutir pil ke dalam mulutnya.
"Terimakasih!" ucap Liok Ah Peng. "Anak muda, tolong
selamatkan putriku!"
Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengeluarkan serulingnya
sekaligus meniup dengan nada tinggi.
Sungguh mengherankan, begitu mendengar suara suling
itu, gerakan pedang Liok Eng eng berubah cepat laksana kilat.
Breeet! Pakaian Shantung Khie Hiap sobek tersabet pedang
itu. Betapa terkejutnya Shantung Khie Hiap. Cepat-cepatlah ia
meloncat ke belakang sambil memandang Tio Bun Yang. Liok
Eng Eng pun menghentikan serangannya lalu melirik Tio Bun
Yang dengan mata berbinar-binar.
"Anak muda!" seru Shantung Khie Hiap. "Kenapa engkau
mencampuri urusan kami?"
"Maaf, Shantung Khie Hiap!" sahut Tio Bun Yang sambil
menatapnya tajam. "Aku cuma membela kebenaran!"
"Hmm!" dengus Shantung Khie Hiap dingin "Baik, mari kita
bertanding! Kalau engkau mampu mengalahkan aku, aku


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjanji tidak akan membunuh Liok Ah Peng dan putrinya!"
"Shantung Khie Hiap," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Kita tidak perlu bertanding...."
"Engkau takut" Kalau begitu, cepatlah enyah dari sini!"
"Aku tidak takut, melainkan punya Suatu cara untuk
menghindari pertandingan," sahut Tio Bun Yang
memberitahukan. "Paman boleh memukulku tiga kali, kalau
Paman berhasil melukaiku, aku akan meninggalkan tempat
ini!" "Anak muda!" Shantung Khie Hiap terbelalak. "Apakah
engkau sudah bosan hidup?"
"Bukan bosan hidup, namun aku yakin Paman tidak akan
mampu melukaiku dengan pukulan." ujar Tio Bun Yang
sungguh-sungguh.
Tapi Shantung Khie Hiap malah merasa dihina, maka
timbullah kegusarannya.
"Baik! Aku akan memukulmu tiga kali!" Shantung Khie Hiap
menudingnya. "Biar engkau mampus!"
"Silakan!" Tio Bun Yang tersenyum sambil mengerahkan
Pan Yok Hian Thian Sin Kang.
"Kakak Bun Yang...." Liok Eng Eng tampak cemas sekali,
begitu pula Liok Ah Peng.
"Anak muda! Jangan mempersalahkan aku, karena
engkaulah yang sudah bosan hidup!" ujar Shantung Khie Hiap,
kemudian mendadak melan carkan sebuah pukulan ke arah
dada Tio Bun Yang.
Duuuuk! Dada Tio Bun Yang terpukul.
"Aaaakh...!" Yang menjerit malah Liok Eng Eng. Gadis itu
terkejut sekali dan yakin Tio Bun Yang pasti terluka.
Namun justru sungguh di luar dugaan, ternyata Tio Bun
Yang masih berdiri di tempat sambil tersenyum-senyum.
"Haaah?" Shantung Khie Hiap terbelalak, karena ketika
tinjunya mendarat di dada Tio Bun Yang, ia merasa memukul
sesuatu yang sangat lunak.
"Silakan pukul lagi!" ujar Tio Bun Yang.
Shantung Khie Hiap penasaran sekali. Ia menghimpun
Iweekangnya lalu melancarkan pukulan ke arah dada Tio Bun
Yang. Sementara Tio Bun Yang telah mengerahkan tiga bagian
Kan Ku n Taylo lm Kang.
Duuuuk! Dada Tio Bun Yang terpukul, namun yang menjerit
malah Shantung Khie Hiap.
"Aaaakh...!" Shantung Khie Hiap terpental tiga depa dan
sekujur badannya menggigil kedinginan.
Liok Ah Peng dan putrinya terperangah menyaksikan
kejadian itu, begitu pula para penonton.
"Aaaakh, dingin! Dingin sekali...!" Shantung Khie Hiap
merintih-rintih dengan wajah agak kehijau-hijauan karena
kedinginan. "Aduuuh, dingin sekali...!"
Tio Bun Yang menghampirinya, lalu memegang bahunya
sekaligus menyalurkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang ke dalam
tubuhnya. Tak seberapa lama kemudian, Shantung Khie Hiap
tidak menggigil lagi dan wajahnya pun tampak agak kemerahmerahan.
"Anak muda!" Shantung Khie Hiap meml dangnya
terbelalak. "Terimakasih! Oh ya, sebetulnya engkau siapa?"
"Namaku Tio Bun Yang!"
"Apa?" Shantung Khie Hiap tampak terkejut dan gembira.
"Engkau... engkau Giok Siauw Sin Hiap?"
"Ya."
"Kalau begitu...." Wajah Shantung Khie Hij berseri-seri.
"Engkau pasti putra Pek Ih Sin Hia Tio Cie Hiong!"
"Dari mana Paman tahu?" Tio Bun Ya tercengang.
"Bun Yang!" Shantung Khie Hiap memegang bahunya dan
menatapnya kagum. "Engkau sungguh gagah dan bijaksana
seperti ayahmu!"
"Paman kenal ayahku?"
"Pernah kenal." Shantung Khie Hiap memberitahukan.
"Ayahmu pernah menyelamatkan nyawaku, maka aku
berhutang budi kepada ayahmu"
"Paman...." Tio Bun Yang tersenyum. "Jangan berkata
begitu!" "Bun Yang!" Shantung Khie Hiap tertawa gelak. "Mulai
sekarang aku sudah tidak menark dendam kepada Liok Ah
Peng." "Terimakasih, Shantung Khie Hiap!" ucap Liok Ah Peng.
"Terimakasih...."
"Paman!" Wajah Liok Eng Eng berseri. "Terimakasih!"
"Ha ha ha!" Shantung Khie Hiap tertawa terbahak-bahak.
"Seharusnya kalian berterima-kasih kepada Giok Siauw Sin
Hiap ini!"
'Terimakasih, Giok Siauw Sin Hiap!" ucap Liok Ah Peng
sambil memberi hormat.
"Paman...." Tio Bun Yang segera balas mem-lieri hormat.
"Tidak usah berterimakasih!"
"Kakak Bun Yang!" Liok Eng Eng memberi hormat.
"Terimakasih!"
"Nona...."
"Kok panggil aku Nona?" Liok Eng Eng cemberut.
"Aku...."
"Bun Yang," ujar Shantung Khie Hiap. "Engkau harus
memanggilnya Adik Eng Eng."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Adik Eng Eng!"
"Kakak Bun Yang...." Wajah Liok Eng Eng kemerahmerahan.
"Ha ha ha!" Shantung Khie Hiap dan Liok Ah Peng tertawa
gelak, kemudian Shantung Khie hiap berkata. "Liok Ah Peng,
aku minta maaf!"
"Terimakasih! Aku...." Liok Ah Peng menghela nafas
panjang. "Aaaah!" Shantung Khie Hiap juga menghela nafas
panjang. "Adik seperguruanku itu memang jahat. Yah,
sudahlah!"
"Shantung Khie Hiap, sekali lagi kuucapkan terimakasih
karena engkau mau menyudahi urusan itu."
"Adik seperguruanku yang bersalah, hanya saja... aku
adalah kakak seperguruannya, maka mau tidak mau harus
menuntut balas kepadamu Namun... aku telah bertindak
salah, untung ada Giok Siauw Sin Hiap. Kalau tidak...."
"Ha ha ha!" Liok Ah Peng tertawa. "Aku pasti mati di
tanganmu, begitu pula putriku."
"Aku...." Wajah Shantung Khie Hiap memerah karena
merasa malu. "Paman," ujar Tio Bun Yang mendadak. "Urusan ini sudah
selesai, aku mau pergi."
"Kakak Bun Yang...." Wajah Liok Eng Eng langsung
berubah murung. "Engkau begitu cepat mau pergi?"
"Adik Eng Eng!" Tio Bun Yang tersenyum. "Kita akan
berjumpa lagi kelak."
"Kakak Bun Yang...." Mata Liok Eng Eng mulai basah.
"Aku...."
"Adik Eng Eng!" Tio Bun Yang memegang bahunya.
"Percayalah! Kita pasti berjumpa lagi kelak."
"Ba... bagaimana mungkin?" Liok Eng Eng mulai terisakisak.
"Adik Eng Eng, engkau jangan menangis, kita pasti
berjumpa kelak!" Tio Bun Yang menepuk bahunya, kemudian
mendekati monyet itu. "Monyet kecil, kita akan berpisah
sekarang, namun pasti berjumpa lagi kelak."
Monyet itu bercuit-cuit sedih.
"Monyet kecil...." Tio Bun Yang membelainya. "Jangan
sedih, kita akan berjumpa lagi kelak! Paman, Paman dan Adik
Eng Eng, sampai jumpa!" Mendadak Tio Bun Yang melesat
pergi menggunakan ginkang, dan dalam waktu sekejap ia
sudah menghilang dari pandangan semua orang.
"Dia... dia bisa terbang!" teriak salah seorang penonton.
"Jangan-jangan dia adalah Sin Tong (Bocah Dewa)!" sahut
yang lain. Sementara Shantung Khie Hiap dan Liok Ah Peng cuma
saling memandang, sedangkan Liok Eng Eng terus menangis
terisak-isak. "Eng Eng, mari kita pulang ke Shantung!" ujar Liok Ah
Peng. "Aku tidak mau pulang, Ayah," sahut Liok Hng Eng. "Aku...
aku mau pergi cari Kakak Bun Yang."
"Eng Eng!" Liok Ah Peng menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu tidak mungkin, lebih baik kita pulang."
"Ayah...."
"Kalian pulang saja!" ujar Shantung Khie Hiap. "Kalau aku
bertemu Giok Siauw Sin Hiap, aku pasti bermohon kepadanya
untuk mengunjungi kalian."
"Terimakasih, Shantung Khie Hiap!" ucap Liok Ah Peng.
"Terimakasih, Paman!" ucap Liok Eng Eng. "Tapi...
bagaimana mungkin dia akan mengunjungi kami di
Shantung?"
"Jangan khawatir!" Shantung Khie Hiap tersenyum. "Aku
punya cara, yang penting aku bisa bertemu dia."
"Terimakasih, Paman!" ucap Liok Eng Eng. "Terimakasih...."
"Ha ha ha!" Shantung Khie Hiap tertawa gelak, lalu melesat
pergi. "Eng Eng!" Liok Ah Peng memegang bahu putrinya. "Mari
kita pulang ke Shantung!"
"Ya." Liok Eng Eng mengangguk dengan air mata
berlinang-Iinang. "Kakak Bun Yang...."
---oo0dw0ooo---
Bagian ke Tiga puluh enam Gadis Manchuria
Tio Bun Yang terus melakukan perjalanan me nuju markas
pusat Kay Pang. Hari ini, ketika sampai di tempat sepi,
mendadak ia mendengar suara bentakan anak gadis.
Segeralah ia menoleh kan kepalanya, ternyata tak jauh dari
situ terdapat seorang gadis berpakaian aneh yang sedang
dikerumuni beberapa orang berpakaian hijau, mereka adalah
anggota Seng Hwee Kauw.
"Kalian jangan kurang ajar!" bentak gadis itu gusar.
"Nona manis, tempat ini sangat sepi, alangkah baiknya kita
bersenang-senang," ujar salah seorang dari mereka dengan
tertawa. "Hm!" dengus gadis itu. "Jangan memaksaku membunuh
kalian!" "Apa?" Kepala anggota Seng Hwee Kauw tertawa terkekehkekeh.
"He he he! Engkau berniat membunuh kami?"
"Ya!" Gadis itu mengangguk. "Itu kalau kalian berlaku tidak
senonoh terhadap diriku!"
"Kami cuma ingin mengajakmu bersenang-senang, bukan
berlaku tidak senonoh terhadapmu. Nona! Ayohlah! Mari kita
bersenang-senang!"
Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu menowel pipinya.
Betapa gusarnya gadis itu, sehingga langsung mengayunkan
tangannya. Plok! "Aduh!" jerit Kepala anggota Seng Hwee Kauw sambil
mengusap pipinya yang kena tampar. "Kuning ajar!"
"Hm!" dengus gadis itu. "Yang kurang ajar malah engkau,
maka pantas kutampar!"
"Nona!" ujar Kepala anggota Seng Hwee Kauw. Engkau
memang ingin dihajar! Kawan-kawan! Cepat hajar gadis binal
itu!" Para anggota Seng Hwee Kauw itu langsung menghampiri
gadis tersebut, namun mendadak gadis itu membentak sambil
menghunus pedang nya.
"Kalau kalian berani menyerangku aku tidak akan
mengampuni kalian!"
"Serang dia dengan senjata!" seru Kepali anggota Seng
Hwee Kauw. Seketika para anggota mengeluarkan senjata masingmasing,
kemudian menyerang gadis itu dengan serentak.
Tiang! Trang! Trang-..! Terdengar suara bentturan senjata.
Terjadilah pertarungan sengit. Gadis itu bergerak cepat dan
gesit berkelit ke sana ke mari, pedangnya pun berkelebatan
menyerang mereka
Akan tetapi, puluhan jurus kemudian, gadis itu mulai
kewalahan melawan mereka.
"Ha ha ha!" Anggota Seng Hwee Kauw tertawa tergelak
menyaksikan itu. "Nona manis, lebih baik engkau menyerah.
Mari kita bersenann senang!"
"Berhenti!" Terdengar suara bentakan yangi mengguntur,
kemudian tampak melayang seseorang, yang ternyata Tio Bun
Yang. Para anggota yang menyerang gadis itu langsung berhenti,
karena dikejutkan oleh suara bentakan Tio Bun Yang.
"Siapa engkau?" lanya Kepala anggota Seng Hwee Kauw
sambil menatapnya dengan kening berkerut.
"Engkau tidak perlu tahu siapa aku!" sahut Tio Bun Yang
dingin. "Cepatlah kalian enyah!"
"He he he!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa
terkekeh-kekeh. "Engkaulah yang harus enyah!"
"Jangan cari penyakit!" Tio Bun Yang menggelenggelengkan
kepala. "Cepat serang dia!" seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw.
Para anggota Seng Hwee Kauw segera menyerang Tio Bun
Yang dengan senjata, namun Tio Bun Yang tetap berdiri di
tempat. Hal itu sungguh mengejutkan gadis berpakaian aneh
tersebut. "Hei!" serunya. "Hati-hati!"
Tio Bun Yang tersenyum, sekaligus mengibaskan lengan
bajunya ke arah para penyerang itu.
"Aaaakh...!" jerit mereka dan terpental beberapa depa, lalu
terkulai dengan wajah pucat pias. Ternyata kepandaian
mereka telah musnah digempur oleh Iweekang Tio Bun Yang.
"Haah?" Bukan main terkejutnya Kepala anggota Seng
Hwee Kauw itu. "Engkau...?"
"Kini giliranmu!" Tio Bun Yang menghampirinya selangkah
demi selangkah.
Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu menyurut mundur,
kemudian mengambil langkah seribu.
Akan tetapi, Tio Bun Yang bergerak cepat sambil
mengibaskan lengan bajunya ke arah Kepala anggota Seng
Hwee Kauw itu. "Aaaakh!" jerit Kepala anggota Seng Hwefl Kauw. Ia
terpental lalu terkulai dengan wajah pucat pias dan
kepandaiannya pun telah musnah "Si... siapa engkau?"
"Giok Siauw Sin Hiap!"
"Haaah?" Saking terkejut kepala anggota Seng Hwee Kauw


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu pingsan. "Hi hi hi!" Gadis berpakaian aneh itu tertawa geli, kemudian
memandang Tio Bun Yang dengan kagum. "Engkau hebat
sekali!" "Tidak begitu hebat," sahut Tio Bun Yang sambil
tersenyum. "Sekarang sudah aman, engkau boleh melanjutkan
perjalanan."
"Aku ikut engkau," ujar gadis berpakaian aneh itu
mendadak. "Apa"!" terbelalak Tio Bun Yang. "Ikut aku" Mana boleh?"
"Lho" Kenapa tidak boleh?" Gadis berpakaian aneh itu
menatapnya dalam-dalam. "Aku tidak punya teman di
Tionggoan. Apakah engkau tega melihat aku berkeliaran
seorang diri" Bagaimana kalau aku bertemu penjahat lagi?"
"Eh" Nona...."
"Jangan memanggilku nona! Namaku Bokyong Sian Hoa,
panggil saja aku Sian Hoa!"
"Nona Sian Hoa...."
"Kok masih memanggilku nona?" Bokyong Sian Hoa
cemberut. "Engkau harus memanggilku Sian Hoa!"
"Sian Hoa...."
"Nah, begitu!" Gadis itu tertawa gembira. "Ei! Tidak baik
kita bercakap-cakap dengan cara berdiri, lebih baik kita duduk
di bawah pohon."
"Tapi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Engkau menolak?" Bokyong Sian Hoa cemberut lagi.
"Aku...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku...."
"Hmm!" dengus Bokyong Sian Hoa. "Orang Tionggoan
memang jahat semua, tiada satupun yang baik!"
"Sian Hoa! Baiklah!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Mari
kita duduk di bawah pohon!"
Mereka berdua lalu duduk di bawah sebuah pohon.
Sementara para anggota Seng Hwee Kauw telah
meninggalkan tempat itu. Begitu pula Kepala anggota Seng
Hwee Kauw, setelah siuman ia pun langsung kabur.
"Ei! Engkau hebat sekali!" Bokyong Sian Hoa menatapnya
dengan mata berbinar-binar. "Oh ya, bolehkah aku tahu
namamu?" "Namaku Tio Bun Yang."
"Berapa usiamu?"
"Hampir dua puluh."
"Usiaku baru tujuh belas, aku lebih kecil" Bokyong Sian Hoa
tersenyum seraya berkata "Jadi aku harus memanggilmu
Kakak Bun Yang"
"Aku pun harus memanggilmu Adik Sian Hoa" ujar Tio Bun
Yang dan bertanya. "Engkau berasal dari mana" Kenapa
pakaianmu begitu aneh?"
"Aku dari Manchuria," jawab Bokyong Sian Hoa dengan
wajah murung. "Ayah dan ibuku telah mati."
"Oh?" Tio Bun Yang tertegun.
"Paman yang membunuh ayah dan ibuku Bokyong Sian
Hoa memberitahukan dengan mata bercucuran. "Sebelum
ayahku menghembuskan nafas penghabisan, aku disuruh
kabur ke Tionggoan."
"Kenapa harus kabur ke Tionggoan?"
"Kalau tidak, paman pasti membunuhku juga Maka aku
segera kabur ke Tionggoan mencari seseorang."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggu' "Kenapa
pamanmu membunuh kedua orang tua mu?"
"Kakak Bun Yang, engkau orang baik atau orang jahat?"
tanya Bokyong Sian Hoa mendadak
"Aku bukan orang jahat," jawab Tio Bun Yau sambil
tersenyum geli. "Kenapa engkau bertanya begitu?"
"Karena aku harus memberitahukan identitas diriku. Kalau
engkau orang jahat, pasti akan nangkapku."
"Oh?"
"Ayahku bernama Patoho." Bokyong Sian Hoa
irmberitahukan. "Raja Manchuria."
"Apa?" Tio Bun Yang tertegun. "Kalau begitu, aku
berhadapan dengan Tuan Putri Manchuria!"
"Sekarang aku bukan Tuan Putri lagi." Bok-yong Sian Hoa
menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sudah menjadi buronan,
kini pamanku yang menjadi raja Manchuria. Mungkin tak lama
lagi dia akan mengutus orang ke mari untuk membunuhku."
"Di sini daerah Tionggoan, orang Manchuria tdak bisa
sembarangan memasuki daerah ini."
"Siapa bilang" Setahuku pamanku itu akan bekerja sama
dengan Lu Thay Kam. Kemungkinan besar pasukan Manchuria
akan menyerbu Tionggoan."
"Oh?" Tio Bun Yang terkejut. "Apakah Lu thay Kam telah
mengutus orang ke Manchuria?"
"Ya." Bokyong Sian Hoa mengangguk. "Pada waktu itu
ayahku masih menjadi raja Manchuria, mereka menolak untuk
bekerja sama. Karena itu, pamanku amat gusar sehingga
bertempur dengan ayahku."
"Kenapa ayahmu tidak mau bekerja sama dengan Lu Thay
Kam?" "Karena ayahku telah berjanji kepada teman baiknya yang
di Tionggoan, bahwa ayahku tidak akan menyerbu
Tionggoan."
"Oooh?" Tio Bun Yang manggut-manggut "Siapa teman
baik ayahmu itu?"
"Aku harus memanggilnya paman," jawab Bok yong Sian
Hoa memberitahukan. "Paman Tio."
"Paman Tio?" Tio Bun Yang tersentak. "Namai nya?"
"Cie Hiong."
"Apa?" Tio Bun Yang terbelalak. "Teman baik ayahmu
bernama Tio Cie Hiong?"
"Ya." Bokyong Sian Hoa mengangguk. "Engkau kenal dia?"
"Kenal." Tio Bun Yang mengangguk. "Bahkan aku pun
sangat dekat padanya, karena aku adalah anaknya."
"Oh?" Bokyong Sian Hoa kurang percaya. "Bagaimana
mungkin begitu kebetulan sih" Aku ingin mencari Paman Tio,
justru bertemu anaknya."
"Adik Sian Hoa, aku memang anaknya," ujar Tio Bun Yang
dan teringat sesuatu. "Oh ya, aku punya bukti."
"Bukti apa?"
"Nih!" Tio Bun Yang memperlihatkan kalung pemberian
ayahnya. "Kalung ini membuktikan bahwa aku anak Tio Cie
Hiong." "Tidak salah." Wajah Bokyong Sian Hoa berseri. "Ayahku
pernah memberitahukan, kalungnya telah dihadiahkan kepada
Paman Tio teman baiknya di Tionggoan. Inilah kalung
ayahku." "Nah!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku tidak bohong kan?"
"Sekarang aku baru yakin bahwa engkau anak Taman Tio,"
ujar Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum. "Kakak Bun Yang,
kita memang berjodoh."
"Eh" Adik Sian Hoa...."
"Kalau kita tidak berjodoh, bagaimana mungkin bisa
bertemu di sini" Kita bertemu di sini pertanda berjodoh."
"Adik Sian Hoa...."
"Kakak Bun Yang!" Bokyong Sian Hoa menatapnya dalamdalam.
"Kenapa engkau tampak cemas?"
"Aku...."
"Oooh!" Bokyong Sian Hoa tersenyum. "Aku tahu, bahwa
engkau pasti sudah punya kekasih."
"Ng!" Tio Bun Yang mengangguk.
"Jangan cemas!" Bokyong Sian Hoa tertawa kecil. "Aku
tidak akan mengganggu kalian. Oh ya, engkau harus
membawaku menemui ayahmu."
"Oh" Apakah itu merupakan pesan almarhum?"
"Betul. Ayahku berpesan kepadaku harus belajar ilmu silat
kepada paman Tio, maka aku harus menemuinya."
"Tapi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Kenapa?" Bokyong Sian Hoa menatapnya heran.
"Tempat tinggal kami jauh sekali." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Di Pulau Hong Hoang To."
"Biar bagaimana pun aku harus menemui ayahmu," tegas
Bokyong Sian Hoa. "Jauh ke ujung langit pun aku harus ke
sana." "Baik." Tio Bun Yang tersenyum. Ia memang sudah rindu
kepada Siang Koan Goat Nio, karena itu ia membatalkan
niatnya pergi ke markas pusat Kay Pang, dan akan langsung
menuju Pulau Honj Hoang To.
"Kakak Bun Yang, kapan kita berangkat?"
"Sekarang."
"Baik." Bokyong Sian Hoa manggut-manggut sambil
tersenyum. "Mari kita berangkat sekarang!"
"Tapi ingat! Dalam perjalanan ke Pulau Hong Hoang To,
engkau tidak boleh nakal!" pesan Tio. Bun Yang dan
menambahkan. "Juga tidak boleh menimbulkan masalah apa
pun!" "Ya." Bokyong Sian Hoa mengangguk. "Pokoknya aku
menurut kepadamu."
Di Pulau Hong Hoang To, tampak Siang Koan Goat Nio
duduk termenung di bawah pohon, bahkan menghela nafas
panjang. "Goat Nio!" panggil Lie Ai Ling sambil mendekatinya. "Aku
mencarimu ke mana-mana, ternyata engkau duduk melamun
di sini! Sedang memikirkan Kakak Bun Yang ya?"
"Ai Ling...." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku...."
"Aku tahu." Lie Ai Ling tersenyum. "Engkau sudah rindu
kepada Kakak Bun Yang, yang sedang pergi ke Gunung Thian
San. Sudah setengah tahun, tapi dia masih belum pulang...."
"Aku khawatir...."
"Khawatir terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Ya."
"Itu tidak mungkin," ujar Lie Ai Ling. "Menurut aku,
kemungkinan besar dia sedang berlatih di sana."
"Namun...." Siang Koan Goat Nio menghela nafas lagi,
"tidak mungkin begitu lama."
"Goat Nio," bisik Lie Ai Ling. "Bagaimana kalau kita
menyusul ke Gunung Thian San?"
"Belum tentu orang tua kita mengijinkan." Siang Koan Goat
Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Begini..." bisik Lie Ai Ling lagi sambil ter-enyum. "Kalau
orang tua kita tidak mengijinkan kita pergi menyusul Kakak
Bun Yang, maka kita...mogok makan saja."
"Mogok makan?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Anggap saji kita diet."
"Ngmm!" Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. "Akal
yang bagus! Kalau kita mogok makan, orang tua kita pasti
mengijinkan kita pergi menyusul Kakak Bun Yang."
"Tidak salah." Lie Ai Ling tertawa gembira "Ayoh, mari pergi
menemui orang tuamu!"
Kedua gadis itu melesat pergi. Begitu sampai di rumah,
mereka berdua terbelalak karena melihat semua orang sudah
berkumpul di ruang depan.
"Eeeeh?" Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berjalan ke
dalam. "Ada apa nih" Kok kumpul semua di sini?"
"Kami semua sedang mogok makan," sahut Sam Gan Sin
Kay. "Oleh karena itu, kalian berdua tidak boleh ke manamana."
"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Kalian semua mogok
makan?" "Ya." Lie Man Chiu dan Tio Hong Mol mengangguk. "Kami
harus mendahului mogok makan, sebab kalau tidak, kalian
berdua yang akan mogok makan, bukan?"
"Kami...." Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio
menundukkan kepala.
"Ai Ling, kenapa engkau mengajak Goat Nio yang bukanbukan?"
tanya Lie Man Chiu sambil menatapnya.
"Dari mana Ayah tahu?" Lie Ai Ling heran.
"Kakek pengemis pergi mencari kalian." Lie Man Chiu
memberitahukan. "Melihat kalian berdua berbisik-bisik di
bawah pohon...."
"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Jadi kakek
pengemis yang mencuri dengar pembicaraan kami! Pantas...!"
"Pantas apa?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil icrtawa.
"Pantas seluruh penghuni pulau ini berkumpul di sini!"
sahut Lie Ai Ling sambil tertawa geli. "Apakah ingin menyidang
kami?" "Tentu tidak," ujar Kim Siauw Suseng. "Hanya kami pun
ingin mogok makan agar kalian tidak meninggalkan pulau
ini." "Ayah...." Siang Koan Goat Nio membanting-banting kaki.
"Ayah jahat ah!"
"Maka kalian jangan coba-coba mogok makan!" ujar Kim
Siauw Suseng sambil tertawa. "Kalau ingin pergi menyusul
Bun Yang, berundinglah dengan kami! Jangan menggunakan
akal!" "Kalau tidak menggunakan akal, bagaimana mungkin kami
diperbolehkan pergi menyusul Kakak Bun Yang?" sahut Lie Ai
Ling. "Oh?" Kim Siauw Suseng tertawa lagi.
"Ai Ling!" Tio Hong Hoa menatapnya sambil tersenyum.
"Goat Nio ingin pergi menyusul Bun Yang, itu dikarenakan dia
sangat rindu kepadanya maka dapat dimaklumi. Namun
kenapa engkau juga ingin pergi menyusul Bun Yang?"
"Aku menemani Goat Nio," jawab Lie Ai Ling, "Lagi pula aku
juga rindu kepada Kakak Bun Yang, karena dia boleh
dikatakan adalah kakak ku."
"Oooh!" Tio Hong Hoa manggut-manggut "Dia memang
kakakmu, sebab ayahnya adalah adikku."
"Goat Nio, betulkah engkau ingin pergi menyusul Bun
Yang?" tanya Kou Hun Bijin sambil menatapnya.
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Kenapa engkau ingin pergi menyusulnya?" tanya Kou Hun
Bijin lagi. "Ibu, aku...." Wajah Siang Koan Goat Nid kemerahmerahan.
"Berterus teranglah, jangan malu-malu! Engkau mencintai
Bun Yang?" tanya Kou Hun Bijin mendadak.
"Ibu kok jahat sih!" tegur Siang Koan Goat Nio sambil
menundukkan kepala. "Aku...."
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring, "Baik. Ibu
memperbolehkanmu pergi menyusul Bun Yang."
"Terimakasih, Ibu!" ucap Siang Koan Goat Nio dengan
wajah berseri-seri. "Terimakasih....'!


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayah! Ibu! Aku ikut Goat Nio," ujar Lie Ai Ling mendadak.
"Ai Ling!" Tio Hong Hoa menggelengkan kepala. "Kalau
engkau ikut, bukankah akan mengganggu Goat Nio?"
"Ibu, aku tidak pernah mengganggu mereka." Lie Ai Ling
memberitahukan. "Kalau mereka berdua memadu cinta, aku
pasti menyingkir jauh-jauh. Tapi... kadang-kadang aku
mengintip juga."
"Apa?" Air muka Siang Koan Goat Nio berubah kemerahmerahan.
"Engkau pernah mengintip kami berduaan?"
"Memangnya tidak boleh?" sahut Lie Ai Ling umbil tertawa
geli. "Engkau...." Siang Koan Goat Nio menudingnya, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau sungguh keterlaluan!"
"Jangan gusar!" ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Lain
kali aku tidak akan mengintip lagi."
"Ai Ling!" tegur Tio Hong Hoa dengan kening berkerut.
"Engkau tidak boleh berbuat begitu, tidak baik lho!"
"Ya, Ibu." Lie Ai Ling mengangguk, lalu minta msaf kepada
Siang Koan Goat Nio. "Aku minta maaf."
"Sudahlah!" Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang.
"Aku yakin engkau tidak sengaja berbuat begitu."
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk.
"Goat Nio, jadi engkau sudah mengambil keputusan untuk
pergi menyusul Bun Yang?" tanya Kou Hun Bijin.
"Ya, Ibu." Siang Koan Goat Nio mengangguk pasti.
"Kalau begitu...." Kou Hun Bijin tersenyum "Ibu
mengijinkanmu pergi menyusulnya."
"Terimakasih, Ibu!" ucap Siang Koan Goal Nio dengan
wajah berseri. "Terimakasih!"
"Ibu...." Lie Ai Ling memandang Tio Hong Hoa. "Aku... aku
ikut Goat Nio pergi menyusul kakak Bun Yang."
"Itu...." Tio Hong Hoa melirik Lie Man Chu
"Baiklah." Lie Man Chiu manggut-manggut "Tapi engkau
tidak boleh nakal, harus menurut perkataan Goat Nio."
"Ya, Ayah." Wajah Lie Ai Ling berseri. "Terimakasih!"
"Goat Nio," pesan Lim Ceng Im. "Kalau bertemu Bun Yang,
ajak dia pulang!"
"Ya, Bibi." Siang Koan Goat Nio mengangguk,
"Kapan kalian akan berangkat ke Tionggoan" tanya Tio Cie
Hiong sambil memandang mereka
"Se... sekarang," jawab Siang Koan Goat Nio lalu
menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Apa?" Kim Siauw Suseng tertegun. "Engkau mau
berangkat sekarang" Tidak bisa menunggu besok?"
"Ayah, aku...."
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak
"Sastrawan sialan, putrimu sudah rindu sekali kepada Bun
Yang, biarlah dia berangkat sekalung!"
"Itu...." Kim Siauw Suseng melirik Kou Hun Hijin seraya
bertanya, "Bagaimana" Engkau setuju?"
"Kalau tidak setuju. Goat Nio pasti ngambek." tahut Kou
Hun Bijin sambil tertawa. "Dari pada dia ngambek tidak
karuan, lebih baik kita perbolehkan berangkat sekarang."
"Terimakasih, Ibu!" ucap Siang Koan Goat Nio girang. "Ibu
baik sekali!"
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. 'Nah, engkau
boleh berangkat sekarang."
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Goat Nio, Ai Ling. setelah kalian bertemu Bun Yang,
ajaklah dia pulang!" pesan Tio Cie Hiong.
"Ya, Paman," sahut Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
serentak, lalu kedalam untuk berkemas. Setelah itu, barulah
mereka berangkat ke Tonggoan.
Seandainya mereka bisa bersabar beberapa hari, tentu
akan bertemu Bun Yang, yang pulang bersama Bokyong Sian
Hoa. ---oo0dw0oo-- Kini Kam Hay Thian telah sembuh, maka Tio Cie Hiong
mulai memberi petunjuk kepadanya mengenai Pak Kek Sin
Kang dan ilmu silat lainnya. Sudah barang tentu kepandaian
Kam Hay Thian bertambah tinggi.
Akan tetapi, pemuda itu merasa kecewa sekali karena Siang
Koan Goat Nio mencintai Tio Bun Yang. Bahkan gadis itu pergi
menyusul Tio Bun Yang. Oleh karena itu, Kam Hay Thian jadi
melamun. "Hay Thian..." panggil Lu Hui San sambil mendekatinya.
"Oh, Hui San!" sahut Kam Hay Thian. "Silakan duduk!"
Lu Hui San duduk di sebelahnya, kemudian memandangnya
seraya bertanya dengan keninf berkerut.
"Kenapa engkau duduk melamun di sini?"
"Aku...." Kam Hay Thian menundukkan kepala. "Goat Nio
dan Ai Ling sudah berangkat ki Tionggoan, kenapa engkau
tidak ikut mereka?"!
"Aku...." Wajah Lu Hui San agak kemerah merahan. "Aku
merasa betah tinggal di pulau ini'
"Hui San, betulkah ayahmu bernama Lu Kam Thay?" tanya
Kam Hay Thian sambil menatapnya tajam.
"Be... betul." Lu Hui San mengangguk. Ternyata Siang
Koan Goat Nio dan Lie Al Ling tidak memberitahukan kepada
Kam Hay Thian mengenai identitas Lu Hui San, maka pemuda
itu tidak tahu ayah Lu Hui San adalah Lu Ihay Kam.
"Hui San...."Kam Hay Thian menghela nafas panjang.
"Sebetulnya aku sangat berterimakasih kepadamu, karena
engkau yang menggendongku sampai di Pulau Hong Hoang
To ini, aku... aku berhutang budi kepadamu."
"Jangan berkata begitu...." Lu Hui San ter-lenyum. "Karena
kita...." "Kita adalah teman baik, aku tahu itu," ujar kam Hay Thian.
"Namun aku tetap berhutang budi kepadamu."
"Hay Thian," ujar Lu Hui San sungguh-sungguh. "Engkau
tidak berhutang budi kepadaku, melainkkan kepada Bun Yang.
"Aku tahu." Kam Hay Thian manggut-mang-jut. "Kalian
telah menceritakan kepadaku, kalau dia tidak muncul tepat
pada waktunya, aku pasti sudah mati di tangan Seng Hwee
Sin Kun. Aku... aku berhutang budi kepadanya."
"Kini Paman Cie Hiong pun memberi petunjuk kepadamu
mengenai ilmu silat. Betapa baiknya mereka terhadapmu. Oleh
karena itu...."
"Aku harus membalas budi kebaikan mereka?"
"Itu sih tidak perlu. Hanya saja...." Lu Hui memandangnya.
"Engkau jangan tersinggung"
"Lanjutkanlah! Aku tidak akan tersinggung."
"Engkau tidak usah memikirkan Goat Nio lagi, sebab dia
mencintai Bun Yang," ujar Lu Hui San dengan suara rendah.
"Mereka berdua saling mencinta, percuma engkau memikirkan
Goat Nio" "Hui San!" Wajah Kam Hay Thian berubah tak sedap
dipandang. "Engkau...."
"Maaf!" Lu Hui San menundukkan kepala "Aku berkata
sesungguhnya, tidak bermaksud menyinggung perasaanmu."
"Hui San, aku mau memikirkan siapa, itu adalah urusanku!
Engkau tidak berhak mencampurinya," ujar Kam Hay Thian
setengah membentak lalu meninggalkan tempat itu.
"Hai Thian!" panggil Lu Hui San.
Kam Hay Thian terus melangkah pergi tanpa menghiraukan
Lu Hui San. Gadis itu tetap duduk di tempat, kemudian
menangis terisak-isak. Mendadak muncul seseorang
menghampirinya, yal ternyata Lie Man Chiu.
"San San!" panggilnya lembut.
"Paman Chiu!" Air mata Lu Hui San melelel
"Aaaah...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang.
"Sudahlah, jangan menangis! Pemuda itu memang agak keras
hati." "Paman Chiu...." Lu Hui San terisak-isak
"San San!" Lie Man Chiu menatapnya. "Goat Nio dan Ai Ling
tahu mengenai identitas dirimu?"
"Tahu." Lu Hui San mengangguk.
"Mereka berdua sama sekali tidak membocorkannya, aku
salut pada mereka," ujar Lie Man Chiu dan bertanya, "Hay
Thian tahu identitasmu?"
"Tidak tahu." Lu Hui San menggelengkan kepala. "Kalau dia
tahu, mungkin akan membenciku."
"Kenapa?" Lie Man Chiu heran.
"Sebab...." Lu Hui San menutur tentang kematian guru silat
Lie dan putrinya berdasarkan penuturan Kam Hay Thian.
"Oooh!" Lie Man Chiu manggut-manggut. "Tapi Lu Thay
Kam cuma merupakan ayah angkatmu, lagi pula kematian
guru silat Lie dan putrinya tiada kaitannya dengan dirimu."
"Memang, tapi...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan
kepala. "Hay Thian sangat mendendam kepada ayah
angkatku. Dia bersumpah akan membunuh ayah angkatku
itu." "Aaaah...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang. "Oh ya,
engkau pernah kembali ke istana?"
"Pernah. Bahkan... aku nyaris membunuh ayah angkatku."
Lu Hui San memberitahukan.
"Lho?" Lie Man Chiu terkejut. "Kenapa begitu"
"Aku telah bertemu pamanku...." Lu Hui San menutur
tentang Tio Bun Yang mengajaknya ke tempat tinggal Sie
Kuang Han dan lain sebagainya, kemudian menambahkan,
"Kalau Bun Yang tidak muncul, ayah angkatku pasti sudah
mati di bawah pedangku."
"Ternyata begitu...." Lie Man Chiu mengha nafas panjang.
"Aku sama sekali tidak menyangka kalau ayahmu masih punya
perasaan dan sangiat menyayangimu. Itu sungguh di luar
dugaan!" "Memang di luar dugaan." Lu Hui San manggut-manggut.
"Oh ya, Paman Chiu jangan membocorkan identitas diriku
kepada Hay Thian!"
"Jangan khawatir!" Lie Man Chiu tersenyul "Aku berjanji!"
"Terimakasih, Paman Chiu!" ucap Lu Hui Si sambil
menundukkan kepala. "Aku... aku sangat kacau...."
"Tidak usah kacau!" Lie Man Chiu menatap nya seraya
berkata sungguh-sungguh. "Cepatlah engkau susul Hay Thian,
hiburlah dia!"
"Tapi...."
"Kalau engkau sungguh-sungguh mencinta nya, haruslah
sabar dan mencairkan hatinya yang beku itu."
"Ya, Paman Chiu." Lu Hui San menganggul lalu melangkah
pergi. Lie Man Chiu menggeleng-gelengkan kepala Di saat ia
menghela nafas panjang, muncullah Tio-Hoang Hoa, isterinya.
"Kakak Chiu...."
"Adik Hoa!" Lie Man Chiu agak terperanjat ketika melihat
kemunculan isterinya. "Engkau.
"Aku telah melihat...."
"Jangan salah paham!"
"Tapi engkau harus menjelaskan! Kalau tidak, aku pasti
menaruh curiga dan salah paham!"
"Adik Hoa!" Lie Man Chiu terpaksa men-klaskan. "Terus
terang, dia adalah putri angkat Lu Thay Kam...."
"Oooh!" Tio Hong Hoa manggut-manggut setelah
mendengar penjelasan itu. "Aku tidak menyangka, ternyata
gadis itu mencintai Kam Hay Thian! Namun Kam Hay Thian
malah jatuh cinta 'kepada Siang Koan Goat Nio."
"Yaaah!" Lie Man Chiu menghela nafas. "Mudah-mudahan
tidak akan terjadi karena itu!"
"Tentunya Kam Hay Thian tahu Goat Nio mencintai Bun
Yang, lagi pula Bun Yang yang telah menyelamatkan
nyawanya. Oleh karena itu, aku yakin Kam Hay Thian tidak
akan berbuat sesuatu yang bukan-bukan," ujar Tio Hong Hoa.
"Mudah-mudahan begitu!" ucap Lie Man Chiu. "Adik Hoa,
sesungguhnya aku sangat berharap...."
"Berharap apa?"
"Sudah percuma."
Katakanlah!"
"Semula aku sangat berharap putri kita ber-Jodoh dengan
Bun Yang, tapi Bun Yang malah mencintai Goat Nio."
"Aku pun berharap begitu." Tio Hong Hoa menghela nafas
panjang. "Namun tidak bisa, sebab hubungan Ai Ling dengan
Bun Yang bagaikan kakak beradik kandung."
"Memang." Lie Man Chiu manggut-manggut dan
bergumam. "Entah siapa jodoh putri kita?"
"Ai Ling masih begitu muda," sahut Tio Hong Hoa sambil
tersenyum. "Jadi engkau tidak usah kalut."
Lie Man Chiu mengangguk dan tersenyum kemudian
menggandeng isterinya meninggalkan tempat itu.
"Seharusnya Hay Thian mencintai Hui San," ujar Tio Hong
Hoa mendadak. "Karena gadis itu yang menggendongnya
sampai di pulau ini. Lapi pula gadis itu sangat cantik, baik hati
dan lemah lembut."
"Tidak salah." Lie Man Chiu manggut-manggut. "Mudahmudahan
mereka berdua akan saling mencinta!"
---ooo0dw0oo---
Tio Bun Yang telah tiba di Pulau Hong Hoang To bersama
Bokyong Sian Hoa. Betapa gembira nya Tio Cie Hiong, Lim
Ceng Im, Tio Tay Seng Sam Gan Sin Kay, Lie Man Chiu dan
Tio Hong Hoa. Sedangkan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun
Bijin saling memandang dengan kening berkerut kerut.
"Ayah! Ibu!" panggil Tio Bun Yang.
"Nak!" Lim Ceng Im langsung memeluknya erat-erat sambil
tertawa gembira. "Engkau bertambah tinggi lho!"
"Bun Yang, siapa gadis ini?" tanya Tio Cie Hiong sambil
menatapnya tajam.
"Ayah, dia adalah...."
"Paman Tio, namaku Bokyong Sian Hoa." sela gadis itu
sambil tersenyum. "Ayahku bernama Patoho, teman baik
Paman." "Patoho?" Tertegun Tio Cie Hiong. "Engkau...engkau adalah
putrinya?"
"Ya!" Bokyong Sian Hoa mengangguk.
"Sian Hoa!" Tio Cie Hiong tampak gembira. "Bagaimana
kabarnya ayahmu" Dia baik-baik saja?" tanyanya.
"Ayah dan ibuku...." Mendadak Bokyong Sian hoa menangis
terisak-isak, padahal barusan gadis itu tersenyum-senyum.
"Eeeh?" Tio Cie Hiong terperangah.
"Sian Hoa!" Lim Ceng Im menggandengnya ke tempat
duduk. "Duduklah!"
"Bun Yang, engkau juga boleh duduk," ujar Tio Cie Hiong
sambil menatapnya.


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, Ayah." Tio Bun Yang mengangguk. Ia memmberi
hormat kepada Tio Tay Seng, Sam Gan im Kay, Kim Siauw
Suseng dan Kou Hun Bijin. Setelah itu, barulah ia duduk.
"Tuuuh!" bisik Kou Hun Bijin kepada Kira Siauw Suseng-
"Sungguh tampan Bun Yang itu, kelihatannya juga lemah
lembut dan sopan."
"Betul." Kim Siauw Suseng manggut-manggul. "Tapi kok dia
bersama gadis berpakaian aneh itu?"
"Akan kutegur dia," sahut Kou Hun Bijin, kemudian
memandang Tio Bun Yang seraya berseru, "Anak muda,
engkau adalah Tio Bun Yang?"
"Benar." Tio Bun Yang heran. Ia memang belum kenal Kou
Hun Bijin. "Maaf, Bibi adalah...."
"Bun Yang, dia adalah Kou Hun Bijin." Lim Ccng Im
memberitahukan.
"Haaah?" Tio Bun Yang terbelalak. "Bibi ada lah Kou Hun
Bijin?" "Tidak salah," sahut Kou Hun Bijin sambil tersenyum dingin.
"Goat Nio adalah putri kesayanganku. Dia begitu mencintaimu,
tapi... engkau malah pulang bersama gadis lain. Hmm!
Sungguh keterlaluan!"
"Bibi, aku...." Tio Bun Yang tergagap. "Aku...."
"Bibi Kou Hun Bijin, memangnya aku tidak boleh kemari
bersama Kakak Bun Yang?" tanya Bokyong Sian Hoa
mendadak dengan suara nyaring.
"Diam!" bentak Kou Hun Bijin.
"Galak amat sih!" Bokyong Sian Hoa menatapnya dan
menambahkan, "Kalau aku tidak kemari bersama Kakak Bun
Yang, bagaimana mungkin aku bisa bertemu Paman Tio?"
"Sian Hoa," tanya Tio Cie Hiong cepat, agar gadis itu tidak
terus berdebat dengan Kou Hun Bijin. "Bagaimana kabarnya
ayahmu" Dia baik-baik saja?"
"Ayah dan ibuku mati dibunuh oleh pamanku," jawab
Bokyong Sian Hoa dan mulai menangis terisak-isak lagi.
"Apa?" Tio Cie Hiong tertegun. "Kenapa pamanmu
membunuh kedua orang tuamu" Bolehkah engkau
menjelaskan?"
"Ayahku tidak setuju bekerja sama dengan Lu thay Kam,
sebaliknya pamanku justru setuju." Bokyong Sian Hoa
menjelaskan dengan air mata berlinang linang. "Karena itu,
terjadilah pertarungan. Pamanku berhasil melukai ayahku,
kemudian melukai ibuku. Di saat pamanku ingin melukaiku,
muncul Pancha menolongku."
"Oh?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Aku masih ingat,
ayahmu pernah berjanji kepadaku, bahwa dia tidak akan
mengirim pasukannya untuk menyerang Tionggoan." katanya.
"Karena itu...." Bokyong Sian Hoa menangis sedih. "Ayah
dan ibuku mati di tangan pamanku. Sebelum menghembuskan
nafas penghabisan, ayah menyuruhku ke Tionggoan menemui
Paman Tio! padahal di waktu itu pamanku juga ingin
menghabiskan nyawaku, namun putranya yang bernama
Pancha itu membelaku mati-matian, maka aku berhasil
meloloskan diri. Aku langsung ke Tionggoan mencari Paman
Tio." "Kalau begitu, engkau bertemu Bun Yang secara
kebetulan?" tanya Lim Ceng Im sam tersenyum.
"Ya." Bokyong Sian Hoa manggut-manggut "Ketika itu
muncul beberapa orang berpakaian hijau menghadangku.
Mereka berlaku kurang ajar pula. Di saat itulah muncul Kakak
Bun Yang, saat kami berkenalan dan aku pun memberitahukan
nya bahwa aku ingin menemui Paman Tio. Ternyata Paman
Tio adalah ayahnya, maka aku mendesaknya untuk
membawaku ke mari."
"Oooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut sambil menghela
nafas panjang. "Sungguh di luar dugaan, ayahmu yang baik
hati itu dibunuh oleh pamanmu!"
"Setelah ayahku mati, pamanku mengangkat dirinya
sebagai raja Manchuria. Mungkin tidak lama lagi, dia akan
mengutus Pancha dan Koksu (Guru Silat Istana) ke Tionggoan
menemui Lie Thay Kam." Bokyong Sian Hoa memberitahukan
"Sian Hoa!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Itu adalah urusan
kerajaan, aku tidak mau turut campur."
"Paman Tio...." Bokyong Sian Hoa terbelalak "Kalau begitu,
Paman juga tidak mau mengajarku ilmu silat?"
"Engkau ingin belajar ilmu silat?" Tio Cie Hiong balik
bertanya sambil menatapnya.
"Itu pesan almarhum, maka aku harus menurut," sahut
Bokyong Sian Hoa dan menambahkan, "Paman Tio, aku ingin
menjadi muridmu."
"Sian Hoa!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Paman Tio tidak sudi menerimaku menjadi murid?" tanya
Bokyong Sian Hoa kecewa, kemudian menangis tersedu-sedu.
"Dasar gadis cengeng!" ujar Kou Hun Bijin dan mendengus.
"Hmm...!"
"Kenapa engkau usil!" Bokyong Sian Hoa melotot, lalu
memandang Tio Bun Yang seraya berkata, "Kakak Bun Yang,
jangan mencintai putrinya! Dia begitu macam, putrinya pasti
sama seperti dia."
"Hei! Gadis liar!" bentak Kou Hun Bijin. "engkau berani
kurang ajar" Mau kutampar ya?"
"Isteriku," bisik Kim Siauw Suseng. "Sudahlah, jangan
meladeni gadis kecil itu!"
"Dia begitu kurang ajar!" sahut Kou Hun Bijin sambil
mengerutkan kening. "Aku harus menghajarnya!"
"Bijin," ujar Tio Tay Seng. "Sudahlah! Gadis itu masih kecil,
tidak usah diladeni!"
"Adik Sian Hoa," ujar Tio Bun Yang. "Engkau tidak boleh
kurang ajar terhadap Kou Hun Bijin. Tahukah engkau berapa
usianya sekarang?"
"Belum enam puluh, kan?" sahut Bokyong Sian Hoa dan
melanjutkan. "Sebetulnya aku juga tahu kesopanan, tapi dia
terus memojokkanku."
"Sian Hoa!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau harus tahu, usia Kou Hun Bijin sudah di atas seratus
dua puluh, maka engkau tidak boleh berlaku kurang ajar
terhadap nya."
"Apa?" Bokyong Sian Hoa terbelalak, kemudian tertawa
geli. "Aku tak menyangka Paman Tio suka bergurau juga."
"Sian Hoa," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Aku
sama sekali tidak bergurau."
"Benar," sambung Tio Bun Yang. "Adik Sian Hoa, ayahku
memang tidak bergurau. Kou Hun Bijin sudah berusia di atas
seratus dua puluh, sedangkan Kim Siauw Suseng berusia
hampir seratus."
"Tapi...." Bokyong Sian Hoa terus memandang Kou Hun
Bijin dan Kim Siauw Suseng. "Mereka kelihatan baru berusia
enam puluhan."
"Mereka awet muda...." Tio Cie Hiong memberitahukan
tentang mereka. "Karena itu, kami semua sama sekali tidak
berani berlaku kurang ajar terhadap mereka berdua."
"Oooh!" Bokyong Sian Hoa manggut-manggut. "Kou Hun
Bijin, aku mohon maaf karena berani bersikap kurang ajar!"
katanya. "Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring. "Tidak apa-apa!
Tidak apa-apa! Terus terang, aku suka kepadamu!"
"Terimakasih!" ucap Bokyong Sian Hoa. "Oh ya, aku harus
memanggil apa?"
"Maksudmu memanggil aku apa?"
"Ya."
"Panggil saja bibi!"
"Bibi yang baik!" panggil Bokyong Sian Hoa. "Aku ingin
belajar ilmu silat tingkat tinggi, sudikah Bibi mengajarku?"
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring lagi. "Jangan
khawatir! Pokoknya kami semua pasti mengajarmu ilmu silat
tingkat tinggi."
"Terimakasih, Bibi! Terimakasih..." ucap Bokyong Sian Hoa
dengan wajah berseri-seri. "Oh ya! Bibi, di mana Kakak Goat
Nio?" "Dia dan Ai Ling sudah berangkat ke Tionggoan beberapa
hari yang lalu." Kou Hun Bijin memberitahukan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Goat Nio ingin menyusul Bun
Yang, sedangkan Ai Ling menemaninya."
"Apa?" Wajah Tio Bun Yang langsung berubah kecewa.
"Goat Nio sudah berangkat ke Tionggoan?"
"Ya." Lim Ceng Im mengangguk. "Mereka ke Tionggoan
menuju ke markas pusat Kay Pang, setelah itu barulah
berangkat ke Gunung Thian San."
"Aaaah...!" keluh Tio Bun Yang. "Kami selisih jalan...."
"Itu tidak apa-apa." Lim Ceng Im tersenyum.
"Engkau boleh segera berangkat ke Tionggoan
menyusulnya."
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Bun Yang, bagaimana kauw heng?" tanya Tio Cie Hiong
sambil menatapnya.
"Kauw heng...." Wajah Tio Bun Yang berubah murung
sekali. "Sudah mati, jantungnya hangus terkena pukulan Seng
Hwee Sin Kun."
"Aaaah!" keluh Tio Cie Hiong dan Lim CcnJ Im. "Kauw
heng...." "Sungguh kasihan monyet bulu putih itu!"Sam Gan Sin Kay
menghela nafas panjang.
"Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, kauw heng
berpesan kepadaku agar ke gua es, yang terletak di sebelah
timur puncak Gunung Thian San." Tio Bun Yang
memberitahukan.
"Oh?" Tio Cie Hiong tertegun. "Untuk apa kauw heng
berpesan begitu kepadamu" Engkau ke sana setelah kauw
heng mati?"
"Aku ke sana...." Tio Bun Yang menuturkan tentang itu.
"Oooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut seraya berkata.
"Ternyata Kan Kun Taylo Sin Kang terdiri dari hawa "Im' dan
'Yang", jadi boleh disebut Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang."
"Kalau begitu..." sela Kou Hun Bijin. "Kan Kun Taylo Im
Kang pasti mampu menandingi Seng Hwee Sin Kang."
"Mungkin," sahut Tio Cie Hiong sambil mengangguk.
"Oh ya!" Tio Bun Yang teringat sesuatu. "Ketika aku
melewati Gunung Hong San, aku mendengar suara pekikan
yang sangat menyeramkan."
Tio Bun Yang menutur tentang Thian Gwa Sin Hiap-Tan
Liang Tie, semua orang mendengar dengan mulut ternganga
lebar. "Engkau bertemu dia?" Kou Hun Bijin kelihatan kurang
percaya. "Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Yang membelenggunya
adalah Tu Siao Cui, muridnya. Bahkan muridnya itu juga
membawa kabur kitab pusaka Hian Goan Sin Kang."
"Benar apa yang diceritakan Tayli Lo Ceng," ujar Sam Gan
Sin Kay. "Oh ya!" ujar Tio Bun Yang memberitahukan. 'Orang tua itu
pun berpesan kepadaku agar mencari seseorang."
"Mencari siapa?" tanya Tio Cie Hiong.
"Tayli Sin Ceng-Kong Sun Hok," jawab Tio Hun Yang dan
bertanya. "Ayah kenal siapa Tayli In Ceng-Kong Sun Hok!"
"Ayah tidak kenal." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Aku kenal," sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa. "Tayli Sin
Ceng-Kong Sun Hok adalah Tayli Lo Ceng."
"Haaah?" Tio Bun Yang tertegun. "Ternyata Tayli Sin Ceng
adalah Tayli Lo Ceng!"
"Ketika masih muda, julukan Tayli Lo Cefl adalah Tayli Sin
Ceng!" Kou Hun Bijin memberitahukan.
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Aku yakin..." ujar Sam Gan Sin Kay mendadak. "Tu Siao
Cui pasti sudah mati, sebab dia tidak pernah muncul di rimba
persilatan."
"Mudah-mudahan!" sahut Kim Siauw Suseng kemudian
bertanya kepada Kou Hun Bijin. "isteriku, bagaimana kalau
kita juga mengajar Sian Hoa ilmu silat?"
"Aku setuju." Kou Hun Bijin menganggul sambil tersenyum,
lalu memandang Bokyong Sian Hoa seraya berkata. "Mulai
besok kami semua akan mengajarmu ilmu silat tingkat tinggi."
"Terimakasih, Bibi!" ucap Bokyong Sian Hoa dengan wajah
berseri. "Terimakasih...."
"Oh ya, Ayah," tanya Tio Bun Yang mendadak. "Bagaimana
keadaan Kam Hay Thian Apakah dia sudah sembuh?"
"Dia sudah sembuh," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Tapi kalau dia tidak memiliki Pak Kck Sin Kang dan engkau
tidak memberinya makan pil Sok Beng Tan (Pil Penyambung
Nyawa), nyawanya pasti sudah melayang sebelum sampai di
sini. "Ayah, Hui San masih berada di sini?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Gadis selalu
menemaninya, mereka berdua merupakan pasangan yang
serasi." "Ayah, Hui San...." Ucapan Tio Bun Yang terputus karena
mendadak muncul Kam Hay Thian dan Lu Hui San.
"Bun Yang!" seru gadis itu girang.
"Hui San!" Tio Bun Yang tersenyum, kemudian memandang
Kam Hay Thian seraya bertanya. "Saudara Kam, engkau sudah
pulih?" "Aku sudah pulih," sahut Kam Hay Thian sambil
menatapnya tajam. "Terimakasih atas pertolonganmu!"
"Tidak usah mengucapkan terimakasih kepadaku." Tio Bun
Yang tersenyum lagi dan melimbahkan, "Seharusnya engkau
berterimakasih kepada Hui San."
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.
"Adik Sian Hoa!" Tio Bun Yang memperkenaikan. "Dia
adalah Lu Hui San dan Kam Hay Thian."
"Selamat bertemu!" ucap Bokyong Sian Hoa samhil
memberi hormat kepada mereka berdua. Kalian berdua
memang merupakan pasangan yang serasi lho!"
"Eh" Adik Sian Hoa...." Wajah Lu Hui San memerah.
"Memang benar kok." Bokyong Sian Hoa tertawa kecil.
"Jadi kakak Hui San tidak usah merasa malu."
"Benar." Tio Bun Yang manggut-manggut "Mereka berdua
sungguh merupakan pasangan yang sepadan."
"Engkau pun sepadan dan serasi dengan Goat Nio," ujar Lu
Hui San. "Kakak Hui San," tanya Bokyong Sian FlA mendadak.
"Betulkah kakak Goat Nio begitu cantik?"
"Betul!" Lu Hui San mengangguk.


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakak Hui San, siapa yang lebih cantik aku atau Kakak
Goat Nio?" tanya Bokyong Siai Hoa.
"Kalian berdua sama cantiknya," sahut Lu Hu San sambil
tersenyum. "Namun sifat kalian berbeda. Dia bersifat lemah
lembut, kalem dan anggun, sedangkan engkau bersifat
periang, lincah dan masih kekanak-kanakkan."
"Usiaku sudah tujuh belas, bukan kanak-kanak lagi lho!"
sahut Bok Yong Sian Hou dia menambahkan. "Kami suku
Manchuria, berusia tiga belas sudah boleh menikah."
"Oh?" Lu Hui San terbelalak. "Engkau gadis Manchuria?"
"Betul." Bokyong Sian Hoa memberitahukan
"Sesungguhnya aku adalah putri raja Manchuria tapi kedua
orang tuaku sudah mati dibunuh oleh pamanku."
"Engkau...." Lu Hui San tersentak. "Engkau putri raja
Manchuria?"
"Sekarang sudah tidak," sahut Bokyong Sian Hoa. "Karena
kedua orang tuaku sudah mati, maka aku menjadi gadis
biasa." "Oooh!" Lu Hui San manggut-manggut.
"Hui San, ajaklah Sian Hoa ke kamarmu, kalian tidur
sekamar saja!" ujar Lim Ceng Im.
"Ya." Lu Hui San segera mengajak Bokyong Sian Hoa ke
kamar. "Aaaah...!" Tio Cie Hiong menghela nafas panjang. "Patoho
sudah mati, aku yakin tidak lama lagi pasukan Manchuria akan
menyerbu Tionggoan!"
"Itu adalah urusan kerajaan, kita tidak usah
memusingkannya," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum.
"Seandainya pasukan Manchuria menyerbu ke mari, barulah
kita menghabiskan mereka."
"Aaaah...!" Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang. "Kita
adalah bangsa Han, apakah kita harus diam saja melihat
daratan Tionggoan di serbu bangsa liar itu?"
"Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa. "Kita sudah tua,
percuma memikirkan itu!"
"Benar." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Kita bukan
pembesar, jadi tidak perlu memusingkan tentang itu."
"Yaaah!" Tio Cie Hiong mcnggeleng-gelengkan kepala.
"Mungkin sudah waktunya dinasti Beng runtuh."
"Ayah," ujar Tio Bun Yang mendadak. "Aku akan berangkat
ke Tionggoan esok menyusul Goai Nio."
"Apa?" Tio Cie Hiong terbelalak. "Engkau baru pulang kok
sudah mau pergi?"
"Nak," ujar Lim Ceng Im. "Tinggal di sini beberapa hari,
setelah itu barulah engkau berangkat."
"Ibu...."
"Jangan bantah, Nak!"
"Ya, Ibu." Tio Bun Yang mengangguk.
Beberapa hari kemudian, barulah Tio Bun Yang berangkat
ke Tionggoan. Karena tertunda beberapa hari, maka ia tidak
bertemu Siang Koan Goat Nio.
-ooo0dw0ooo- Bagian ke tiga puluh tujuh Gadis Jepang
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling telai memasuki daerah
Tionggoan. Kedua gadis itu terus melakukan perjalanan
menuju markas pusat Kay Pang.
Ketika hari mulai gelap, mereka tiba disebuah lembah.
Mendadak terdengar semacam suara siulan yang amat
menyeramkan. Mereka saling memandang dengan sekujur
badan merinding.
"Goat Nio," bisik Lie Ai Ling dengan wajah agak pucat.
"Apakah itu suara siulan setan iblis?"
"Kita harus cepat bersembunyi," sahut Siang Koan Goat Nio
sambil menarik Lie Ai Ling ke balik sebuah pohon.
Tak seberapa lama kemudian, terdengar pula suara derap
kaki kuda, dan suara siulan aneh yang menyeramkan itu pun
makin terdengar jelas.
"Iiiih!" bisik Lie Ai Ling bergemetar. "Jangan-jangan
memang suara setan iblis!"
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Bagaimana mungkin setan iblis menunggang kuda?"
"Tapi...."
Suara derap kaki kuda itu makin mendekat, kemudian
tampak belasan kuda berpacu kencang. Dalam waktu sekejap,
kuda-kuda itu telah melewati mereka yang bersembunyi di
balik pohon. Para penunggang kuda itu berpakaian putih semua, muka
memakai kedok setan yang menyeramkan.
"ih! Seram sekali kedok yang dipakai mereka itu!" ujar Lie
Ai Ling sambil menarik nafas.
"Yang jelas mereka bukan setan iblis," sahut Siang Koan
Goat Nio dan menambahkan. "Aku yakin mereka adalah para
anggota suatu perkumpulan."
"Benar" Lie Ai Ling manggut-manggut "Mereka menuju
utara, bagaimana kalau kita kuntit?"
"Jangan cari masalah!" sahut Siang Koan Goat Nio. "Lagi
pula kita sedang memburu waktu menuju markas pusat Kay
Pang." "Goat Nio!" Lie Ai Ling tertawa. "Engkau kok begitu ngebet
sih terhadap Kakak Bun Yang?"
"Eh?" Siang Koan Goat Nio melotot. "Mula! menggodaku
ya?" "Aku tidak menggodamu, melainkan berkata
sesungguhnya." Lie Ai Ling tertawa lagi.
"Sudahlah!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Kita harus segera berang kat ke kota yang terdekat,
sebab hari sudah mulat malam."
"Tidak mungkin kita akan sampai di kota terdekat," sahut
Lie Ai Ling sambil tersenyum "Kelihatannya malam ini kita
harus bermalam di sini, besok pagi kita baru berangkat."
"Baiklah." Siang Koan Goat Nio mengang guk.
Kedua gadis itu terpaksa bermalam di lembah tersebut.
Keesokan harinya barulah mereka berangkat ke markas pusat
Kay Pang. Ketika meteka sampai di suatu tempat, tiba-tiba terdengar
suara benturan senjata tajam.
"Eh?" Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Itu suara
pertempuran, mari kita ke sana!"
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggeleng kepala.
"Jangan mencampuri urusan itu!"
"Kalau begitu..." ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh.
"Engkau menunggu di sini, aku akan ketempat pertempuran
itu!" "Ai Ling...." Siang Koan Goat Nio menghela nafas. "Baiklah!
Mari kita ke sana!"
Kedua gadis itu segera melesat ke arah suara pertempuran.
Sampai di tempat itu, mereka melihat seorang gadis
berpakaian aneh sedang bertarung dengan beberapa orang
berpakaian hijau.
"Mereka para anggota Seng Hwee Kauw," bisik Lie Ai Ling
memberitahukan.
"Aku tahu," sahut Siang Koan Goat Nio sambil
memperhatikan gadis yang sedang bertarung itu. 'Dia
menggunakan suling."
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Sulingnya berwarna putih,
jangan-jangan suling perak!"
"Eeeeh?" Mendadak Siang Koan Goat Nio terbelalak. "Ai
Ling, perhatikanlah gerakannya! bukankah gerakannya mirip
dengan ilmu Giok Siauw Bi Ciat Kang Khi ciptaan Paman Cie
Hiong?" "Betul." Lie Ai Ling mengangguk. "Dia memang
menggunakan ilmu itu. Heran" Kok dia mahir menggunakan
ilmu itu?"
"Mungkin gadis itu punya hubungan dengan Paman Cie
Hiong," ujar Siang Koan Goat Nio.
"Tidak mungkin." Lie Ai Ling menggeleng kepala. "Gadis itu
masih begitu muda, bagaimana mungkin dia punya hubungan
dengan Paman Cl Hiong?"
"Kalau begitu..." pikir Siang Koan Goat Nio "Mungkin orang
tuanya punya hubungan dengan Paman Cie Hiong."
"Itu, memang mungkin. Tapi dia bukan gadis Tionggoan,"
sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil. "Pakaiannya begitu
aneh, entah dia berasal dari mana?"
"Dia mulai terdesak." Siang Koan Goat Nio mengerutkan
kening. "Para anggota Seng Hwei Kauw itu berkepandaian
tinggi sekali."
"Tapi...." Lie Ai Ling terbelalak. "Dia masih mampu
berkelit."
"Benar." Siang Koan Goat Nio manggut-mangut. "Dia
menggunakan Kiu Kiong San Tian Poh (Ilmu Langkah Kilat).
Aku semakin yakin orang tuanya punya hubungan dengan
Pamam Cie Hiong."
"Betul." Lie Ai Ling mengangguk. "Cuma sayang, dia belum
begitu mahir menggunakan Kiu Kiong San Tian Poh."
"Ai Ling, dia semakin terdesak," ujar Siang Koan Goat Nio.
"Kita harus segera turun tangan membantunya."
"Baik." Lie Ai Ling mengangguk.
Kedua gadis itu membentak keras sambil melesat ke
tempat itu. Kemunculan mereka berdua sangat mengejutkan
para anggota Seng Hwee Kauw.
"Haah...?" seru mereka serentak. "Kim Siauw Siancu dan
Hong Hoang Li Hiap! Kita harus hati-hati menghadapi
mereka!" "Hmm!" dengus Lie Ai Ling dingin, gadis itu bertolak
pinggang. "Seng Hwee Sin Kun masih belum sembuh, kalian
sudah berani berlaku sewenang-wenang! "
"He he he!" Salah seorang dari mereka tertawa gelak.
"Bagus sekali kalian muncul!"
"Kami akan bersenang-senang dengan kalian bertiga! He he
he...!" "Oh?" Lie Ai Ling tertawa dingin sambil menghunus Hong
Hoang Po Kiam (Pedang Pusaka Gunung Phoenbc).
Siang Koan Goat Nio juga mengeluarkan suling emasnya.
Kedua gadis itu sudah siap bertaung.
"Serang mereka!" seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw
itu. Para anggota Seng Hwee Kauw langsung menyerang kedua
gadis itu dengan berbagai macam senjata tajam.
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling segera berkelit,
kemudian balas menyerang. Siang Koan Goat Nio
menggunakan Cap Pwee Kim Siam Ciat Hoat (Delapan Jurus
Maut Suling Emas) sedangkan Lie Ai Ling menggunakan Hong
Hoan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Burung Phoenix), maka
terjadilah pertarungan sengit.
Sementara gadis berpakaian aneh itu cuma berdiri diam
sambil menyaksikan pertarungan itu Ia kagum sekali akan
kepandaian Siang Koa Goat Nio dan Lie Ai Ling.
Mendadak gadis itu terbelalak, ternyata Siang Koan Goat
Nio mulai menyerang mereka dengan ilmu Giok Siauw Bit Ciat
Kang Khi, menggunakan jurus San Pang Te Liak (Gunung
Runtuh Bumi Retak).
"Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan. Salah seorang
anggota Seng Hwee Kauw terhuyung huyung dengan mulut
mengeluarkan darah. Punggungnya terhajar suling emas,
bahkan salah satu uratnya putus, sehingga musnahlah
kepandaianya. "Aaakh...!" Terdengar suara jeritan lagi.
Ternyata Lie Ai Ling juga berhasil melukai salah seorang
anggota Seng Hwee Kauw yang menyerangnya. Gadis itu
menggunakan jurus Hong Hoang Coan Sin (Burung Phoenix
Memutari Badan).
Menyaksikan itu, Kepala anggota Seng Hwe Kauw itu pucat
wajahnya, lalu berseru. "Mari kita kabur!"
Mereka segera lari pontang-panting meninggalkan tempat
itu. Lie Ai Ling tertawa geli, Siang koan Goat Nio dan gadis itu
cuma tersenyum.
"Terimakasih atas pertolongan kalian!" ucap gadis
berpakaian aneh itu.
"Sama-sama," sahut Siang Koan Goat Nio sambil
memandangnya dengan penuh perhatian. 'Maaf, engkau
berpakaian begitu aneh. Bolehkah kami tahu engkau berasal
dari mana?"
"Aku berasal dari Jepang." Gadis itu memberitahukan.
"Namaku Yatsumi. Kepandaian kalian berdua tinggi sekali,
bolehkah aku tahu siapa kalian?"
"Namaku Siang Koan Goat Nio, dan dia bernama Lie Ai
Ling," sahut Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum lembut.
"Tadi engkau mempergunakan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang
Khi. Dari mana engkau mendapat ilmu itu?"
"Ibuku," jawab Yatsumi heran. "Engkau pun l?isa
menggunakan ilmu itu, apakah engkau punya hubungan
dengan Paman Cie Hiong?"
"Eeeeh?" Lie Ai Ling terbelalak. "Engkau kenal Paman Cie
Hiong?" "Aku tidak kenal, tapi ibuku kenal dia," sahut Yatsumi
dengan mata bersimbah air. "Ibuku bernama Michiko."
"Michiko?" Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio saling
memandang. Kedua gadis itu sama sekali tidak tahu tentang
Michiko, karena Tio Cie Hiong tidak pernah menceritakannya
kepada mereka. "Paman Cie Hiong pernah mengajar ibu ilmu Giok Siauw Bit
Ciat Kang Khi, maka ibuku berhasil membunuh ketua Ninja."
Yatsumi mem beritahukan. "Setelah itu, ibuku pulang ke
Jepang lalu menikah."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling manggutmanggut.
"Ternyata begitu! Kemudian bagaimana?"
"Beberapa bulan lalu, mendadak muncul se orang ninja
berkepandaian tinggi," tutur Yatsuni dengan air mata
berlinang linang. "Ninja itu adalah adik seperguruan ketua
ninja yang dulu. Dia berhasil membunuh ayahku dan melukai
ibuku Akan tetapi, ibuku berhasil meloloskan diri bersamaku.
Di tengah jalan ibuku berpesan."
"Apa pesan ibumu?" tanya Siang Koan Goi Nio dan merasa
kasihan pada gadis Jepang itu.
"Ibuku berpesan...." Yatsumi memberitahu kan. "Aku harus
berangkat ke Tionggoan menemui Paman Cie Hiong, dan aku
pun harus belajar ilmu silat kepadanya, agar bisa membalas
dendam kelak."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio manggut manggut. "Engkau
tahu Paman Cie Hiong tinggal dimana?"


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak tahu." Yatsumi menggelengkan kepala. "Tapi
ibuku menyuruhku harus ke markas puisat Kay Pang, karena
Paman Cie Hiong punya hubungan dengan Kay Pang."
"Betul," sahut Lie Ai Ling. "Kami pun tahu tempat tinggal
Paman Cie Hiong, tapi alangkah baiknya kita ke markas pusat
Kay Pang dulu, kita runding di sana saja."
"Terimakasih!" ucap Yatsumi.
"Oh ya!" Lie Ai Ling menatapnya kagum. "Kok engkau
begitu lancar berbahasa Han?"
"Sejak kecil aku sudah belajar bahasa Han, bahkan aku pun
bisa menulis huruf-huruf Han." Yatsumi memberitahukan. "Oh
ya, kita harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang."
"Memangnya kenapa?" Lie Ai Ling heran.
"Aku khawatir Takara Nichiba akan menyusul kemari," ujar
Yatsumi dengan wajah agak memucat.
"Siapa Takara Nichiba?" tanya Siang Koan ilnat Nio.
"Dia adik seperguruan ketua ninja lama, juga membunuh
kedua orang tuaku. Dia tahu aku kabur ke Tionggoan, maka
kemungkinan besar dia akan menyusulku ke mari," sahut
Yatsumi bernada ketakutan. "Kepandaiannya tinggi sekali,
bahkan kini dia sebagai ketua ninja di Jepang."
"Oh?" Lie Ai Ling terbelalak tapi kemudian malah tertawa.
"Kalau dia menyusul ke mari, kami akan menghajarnya hingga
dia pulang ke Jepang."
"Kepandaian kalian berdua memang tinggi, namun...."
Yatsumi mengerutkan kening. "Menurut aku, kalian berdua
masih bukan tandingannya."
"Oh, ya?" Siang Koan Goat Nio menatapnya. "Apakah dia
memiliki kepandaian luar biasa?"
"Ya." Yatsumi mengangguk. "Dia bisa menyusup ke dalam
tanah dan menghilang mendadak. Itulah ilmu istimewa kaum
ninja Jepang."
"Hebat!" ujar Lie Ai Ling. "Tapi biar bagaimana pun, aku
harus melawannya!"
"Ai Ling, kita harus segera berangkat ke markas pusat Kay
Pang." Siang Koan Goat Nio mengingatkannya. "Jangan terus
mengobrol di sini!"
"Betul." Lie Ai Ling tersenyum. "Engkau ingin buru-buru
bertemu Kakak Bun Yang. Baiklah. Mari kita berangkat
sekarang!"
--ooo0dw0ooo-- Betapa gembiranya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
ketika mengetahui kedatangan Siang Koang Goat Nio serta Lie
Ai Ling. Namun mereka juga merasa heran karena kedua gadis
itu datang bersama seorang gadis asing.
"Kakek Lim, Kakek Gouw!" Panggil Siang koan Goat Nio dan
Lie Ai Ling sekaligus memperkenalkan gadis Jepang itu. "Dia
berasal dari Jepang, namanya Yatsumi, putri Michiko."
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. 'Kami kenal
baik ibunya."
"Yatsumi, bagaimana kabar ibu dan ayahmu?" tanya Gouw
Han Tiong sambil memandangnya. "Ibu dan ayahku sudah
meninggal," jawabnya sambil menangis terisak-isak dengan air
mata berderai-derai.
"Oh?" Gouw Han Tiong dan Lim Peng hang tersentak kaget.
"Kedua orang tuanya dibunuh oleh Takara Nichiba, adik
seperguruan ketua ninja lama." Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Sungguh tak
disangka, ketua ninja itu punya adik seperguruan!"
"Kepandaiannya tinggi sekali, hanya beberapa jurus dia
berhasil membunuh ayah dan melukai lbuku," ujar Yatsumi
dan menambahkan. "Sabetan pedangnya secepat kilat."
"Ngmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Lalu apa
rencanamu sekarang?"
"Aku harus menemui Paman Cie Hiong," sahut Yatsumi.
"Itu adalah pesan dari ibuku, bahkan aku pun harus belajar
ilmu silat kepada Paman Cie Hiong, agar kelak bisa
membalaskan dendam kedua orang tuaku."
"Tapi...." Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Cie Hiong
tidak berada di sini, dia tinggal di Pulau Hong Hoang To."
"Tidak apa-apa," ujar Yatsumi. "Aku akan ke Pulau Hong
Hoang To menemuinya. Itulah tekadku."
"Kalau begitu...." Lim Peng Hang memandang Siang Koan
Goat Nio dan Lie Ai Ling. "Salah satu di antara kalian harus
mengantarnya ke Pulau Hong Hoang To."
"Kakek Lim," ujar Lie Ai Ling. "Kami kemari ingin menemui
Kakak Bun Yang, apakah dii sudah ke mari?"
"Dia belum ke mari." Lim Peng Hang memberitahukan.
"Tapi Ngo Tok Kauwcu yang kemari mengabarkan tentang
pertarungan di Lembah Ka but Hitam. Kalian berdua dan Lu
Hui San membawa Kam Hay Thian ke Pulau Hong Hoang To
sedangkan Bun Yang membawa kauw heng ke Gunung Thian
San." "Hingga kini dia belum ke mari?" tanya Siang Koan Goat
Nio cemas. "Ya." Lim Peng Hang mengangguk. "Mungkin dia menemani
kauw heng di Gunung Thian San.'
"Mungkin." Siang Koang Goat Nio manggut manggut.
"Oh ya! Bagaimana keadaan Kam Hay Thian" tanya Gouw
Han Tiong. "Apakah dia sudah pulih?"
"Dia sudah pulih," sahut Lic Ai Ling. "Paman Cie Hiong
sudah mulai memberi petunjuk kepadanya mengenai ilmu
silat." "Oooh!" Gouw Han Tiong manggut-manggut.
"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio teringat sesuatu. "Beng Kiat
dan Soat Lan sudah pulang ke Tayli."
"Kami sudah tahu." Gouw Han Tiong tersenyum. "Mereka
juga mampir di sini, setelah itu barulah mereka berangkat ke
Tayli." "Kakek Lim!" Mendadak wajah Siang Koan Hoat Nio
berubah serius. "Ketika kami melewati sebuah lembah
sebelum bertemu Yatsumi, kami melihat segerombolan orang
berpakaian putih menunggang kuda. Mereka mengeluarkan
suara siulan yang menyeramkan, bahkan mereka memakai
kedok setan. Kakek Lim tahu mereka dari perkumpulan apa?"
"Berpakaian putih, mengeluarkan siulan seram dan
memakai kedok setan..." gumam Lim Peng Hang sambil
berpikir. Kemudian ia memandang Gouw Han Tiong seraya
bertanya, "Engkau pernah dengar tentang perkumpulan itu?"
"Tidak pernah." Gouw Han Tiong menggelengkan kepala.
"Mungkin perkumpulan baru."
"Mereka menuju utara." Lie Ai Ling memberitahukan. "Aku
ingin menguntit mereka, tapi Goat Nio tidak setuju."
"Memang tidak baik kalian menguntit mereka, sebab akan
menimbulkan masalah," ujar Lim Peng Hang.
"Aaaah...!" Gouw Han Tiong menghela nafas panjang,
"rimba persilatan akan bertambah kacau!"
"Oh ya!" Lim Peng Hang memandang Siang Koan Goat Nio
dan Lie Ai Ling. "Bagaimana rencana kalian?"
"Rencana apa?" tanya Lie Ai Ling.
"Siapa di antara kalian yang akan mengantar Yatsumi ke
Pulau Hong Hoang To menemui Cie Hiong?" sahut Lim Peng
Hang. "Goat Nio! Bagaimana kalau kita berdua mengantarnya ke
Pulau Hong Hoang To?" tanya Ai Ling seakan mengusulkan.
"Aku di sini saja menunggu Bun Yang. Engkau yang
mengantar Yatsumi ke sana."
"Itu...." Lie Ai Ling mengerutkan kening sambil berpikir,
lama sekali barulah ia berkata. "Baik lah. Tapi engkau harus
menungguku di sini!"
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Ai Ling," tanya Lim Peng Hang. "Kapan engkau akan
mengantar Yatsumi ke Pulau Ho Hoang To?"
"Besok pagi," sahut Lie Ai Ling dan menai bahkan. "Biar
Goat Nio berada di sini menunggu Kakak Bun Yang, sebab dia
rindu sekali kepadanya."
"Oh?" Lim Peng Hang tertawa gelak, "jadi Goat Nio dan
Bun Yang sudah saling mencinta"'
"Tidak salah," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa.
"Kelihatannya Goat Nio sudah menderita sakit rindu."
"Ai Ling!" Wajah Siang Koan Goat Nio langsung memerah.
"Engkau...."
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa geli. "Mengaku sajalah, tidak
usah berpura-pura!"
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tertawa
terbahak-bahak. "Bagus! Bagus sekali!"
Keesokan harinya, Lie Ai Ling dan Yatsumi meninggalkan
markas pusat Kay Pang, menuju pulau Hong Hoang To.
---ooo0dw0ooo---
Beberapa hari kemudian, kedua gadis itu suka tiba di
sebuah kota. Mereka bermalam di kota itu, dan keesokan
harinya melanjutkan perjalanan lagi. Sepanjang jalan, Lie Ai
Ling terusku menerus bertanya ini dan itu kepada Yatsumi.
"Bagaimana keadaan di Jepang" Apakah aman di sana?"
"Kalau aman..." sahut Yatsumi sambil menggelenggelengkan
kepala. "Tidak mungkin aku kabur ke sini."
"Di sana juga banyak penjahat?"
"Banyak sekali." Yatsumi memberitahukan "Seperti di
Tionggoan ini, bukankah juga banyak penjahat?"
"Ya." Lie Ai Ling manggut-manggut. "Yatsumi, engkau
sudah punya kekasih belum?"
"Cuma punya teman biasa," sahut Yatsumi jujur. "Dia
pemuda yang baik, namun kepandaian nya tidak begitu
tinggi." "Itu tidak jadi masalah," ujar Lie Ai Lim sambil tersenyum.
"Yang penting dia mencintai mu. Engkau tidak boleh
mempermasalahkan kepandaiannya."
"Tapi...." Yatsumi menggeleng-gelengkan kepala. "Dia
berasal dari keluarga pembesar, mungkin ayahnya tidak akan
setuju." "Itu urusan kalian berdua. Kalau kalian berdua saling
mencinta, berarti tiada urusan dengan orang tuanya."
"Itu tidak bisa." Yatsumi menghela nafas. "Apa bila dia
berani menentang kemauan ayahnya, pasti dihukum mati."
"Haaah?" Lie Ai Ling tersentak. "Begitu kolot adat Jepang?"
"Bukan kolot...." Yatsumi memberitahuku "Itu memang
sudah merupakan adat di Jepan Orang biasa tidak boleh
menikah dengan keluarga-pembesar."
"Sebetulnya di sini pun sama," ujar Lie Ai ling. "Tapi kalau
sudah saling mencinta, tentu ada jalannya."
"Jalan apa?"
"Kelak setelah berhasil membunuh ketua ninja itu, engkau
harus mencari pemuda itu, lalu kalian berdua kabur ke
Tionggoan. Pokoknya kami pasti akan melindungi kalian."
"Terimakasih!" ucap Yatsumi. "Aku...."
"Ha ha ha!" Terdengar suara tawa, setelah itu muncul
beberapa orang berpakaian hijau.
"Hmm!" dengus Lie Ai Ling. "Ternyata mereka para anggota
Seng Hwee Kauw!"
"Tidak salah, Nona manis," sahut Kepala anggota Seng
Hwee Kauw sambil mendekatinya. "Kelihatannya kalian berdua
sedang melakukan perjalanan. Tentu kalian merasa lelah dan
kesepian. Nah, bagaimana kalau kalian beristirahat sambil
bersenang-senang dengan kami berenam?"
"Cepat kalian enyah dari sini!" bentak Lie Ai tjng sambil
menghunus Hong Hoang Po Kiam. "Kalau kalian tidak enyah,
aku akan bunuh kalian!"
"He he he!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw tertawa
terkekeh-kekeh. "Aku tahu, engkau adalah Hong Hoang Li
Hiap! Namun engkau tidak mampu melawan kami berenam!
Maka dari pada engkau harus celaka, bukankah lebih baik melayani
kami bersenang-senang?"
"Diam!" bentak Lie Ai Ling gusar, kemudian mendadak
menyerangnya dengan Hong Hoan, Kiam Hoat.
"Wuah!" Kepala anggota Seng Hwee Kau-itu tertawa. "Ha
ha ha! Sungguh sadis! Ingin membunuhku ya?"
Lie Ai Ling tidak menyahut, melainkan terus menyerangnya.
Sementara yang lain dan Yatsumi cuma berdiri diam sambil
menyaksikan pertarungan itu. Kepala anggota Seng Hwee
Kauw-memang berkepandaian tinggi, karena dengan gampang
sekali ia berkelit menghindari serangan serangan Lie Ai Ling.
Mendadak Lie Ai Ling menghentikan serangannya, dan
Kepala anggota Seng Hwee Kau itu tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kenapa berhenti" Engkau bersedia bersenangsenang
denganku?"
"Aku tidak mau menyerang orang yang bersenjata!" sahut
Lie Ai Ling dingin. "Cepat keluarkan senjatamu!"
"Baik!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw segera
mengeluarkan senjatanya. Ternyata sebuah pedang tipis yang
memancarkan cahaya putih "Engkau memiliki pedang pusaka,
aku pun miliki pedang pusaka ini. Ayoh, mari kita ber tarung!
Kalau engkau kalah, harus melayani bersenang-senang!"
"Hmm!" dengus Lie Ai Ling dingin, kemudian membentak.
"Lihat serangan!"
Lie Ai Ling langsung menyerangnya. Kali ini ia
menggunakan Thian Liong Kiam Hoat. Lie Man Chiu yang
mengajarnya ilmu pedang tersebut.
"Hebat!" seru kepala anggota Seng Hwee Kauw sambil
berkelit, lalu balas menyerang.
Terjadilah pertarungan sengit. Lie Ai Ling menyerangnya
mati-matian, tapi Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu selalu
dapat berkelit. Betapa penasarannya gadis itu, mendadak ia
bersiul panjang sambil menggerakkan pedangnya.
Ketika melihat gerakan pedang Lie Ai Ling, Kepala anggota
Seng Hwee Kauw itu terbelalak, karena gerakan pedang gadis
itu kacau balau. Ternyata Lie Ai Ling menggunakan Cit Loan
Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling), ciptaan Tio
Cie Hiong. Menghadapi ilmu pedang yang amat aneh itu, Kepala
anggota Seng Hwee Kauw langsung meloncat ke belakang
sambil berseru.
"Cepat serang dia!"
Para anggota Seng Hwee Kauw segera menyerang Lie Ai
Ling. Gadis itu membentak keras, sambil menangkis seranganserangan
lawan dengan jurus Ban Kiam Hui Thian (Selaksa
Pedang Terbang Di Langit). Tampak pedangnya berkelebat
secara kacau balau ke sana ke mari, membuat para anggota
Seng Hwee Kauw itu menjadi berkunang-kunang.
Trang! Trang...! Terdengar suara benturan senjata.
Para anggota Seng Hwee Kauw terhuyung huyung


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa langkah. Namun sungguh sayang sekali, lweekang
Lie Ai Ling masih belum begitu tinggi. Kalau lweekangnya
tinggi, para anggota Seng Hwee Kauw itu pasti sudah terluka.
"Serang dia lagi!" seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw.
Ketika para anggota Seng Hwee Kauw baru mau
menyerang lagi, mendadak terdengar suara bentakan keras,
kemudian melayang turun seorang pemuda berwajah tampan
di sisi Lie Ai Ling.
"Jangan takut, Nona! Aku akan membantumu!" ujar
pemuda itu sambil tersenyum. "Engkau beristirahatlah! Biar
aku yang melawan mereka'
"Terimakasih!" ucap Lie Ai Ling dengan hati berdebar-debar
aneh ketika melihat pemuda itu. lalu melangkah ke sisi
Yatsumi. "Kalian sungguh tak tahu malu!" bentak pemuda itu sambil
menuding para anggota Seng Hwee Kauw. "Mengeroyok
seorang gadis! Kini aku akan merobohkan kalian semua!"
"Oh?" Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa gelak.
"Anak muda, jangan omong besar"
"Aku tidak omong besar!" sahut pemuda itu sambil
menghunus pedangnya. Sungguh aneh bentuk pedangnya,
karena bergerigi-gerigi.
"Serang dia!" seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw.
Para anggota Seng Hwee Kauw segera menyerang.
Pemuda itu masih tetap berdiri diam di tempat. Namun ketika
senjata-senjata itu hampir menyentuhnya, sekonyongkonyong
badan pemuda itu berputar-putar melambung ke
atas, dan pedangnya bergerak secepat kilat menyambar
kesana ke mari.
Trang! Trang! Trang...! Terdengar suara benturan senjata,
kemudian tampak beberapa buah senjata terlempar ke atas.
"Bagus!" seru Lie Ai Ling sambil bertepuk tangan. "Jurus
yang hebat sekali!"
"Terimakasih atas pujian Nona!" sahut pemuda itu sambil
melayang turun.
"Cukup tinggi kepandaianmu!" ujar Kepala mggota Seng
Hwee Kauw. "Sekarang aku akan menghadapimu!"
"Baik!" Pemuda itu manggut-manggut.
"Lihat serangan!" bentak Kepala anggota Seng Hwee Kauw
itu sambil menyerangnya.
Pemuda itu tertawa dan sekaligus berkelit, kemudian balas
menyerang. Mulailah mereka bertarung dengan seru, dan
masing-masing mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Tak terasa pertarungan sudah melewati puluhan jurus. Di
saat itulah pemuda tersebut bersiul panjang. Mendadak
badannya berputar-putar ka arah Kepala anggota Seng Hwee
Kauw, dan pedangnya, yang aneh itu berkelebat dan
menyambal ke sana ke mari. Itu membuat Kepala anggota
Seng Hwee Kauw tidak bisa berkelit, maka terpaksa
menangkis. Trang...! Terdengar suara benturan keras, dan bunga api
berpijar ke mana-mana.
Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu memang berhasil
menangkis serangan itu, tapi sungguh diluar dugaan, sebab
mendadak pemuda itu meng gerakkan pedangnya membentuk
sebuah lingkal an, sehingga membuat pedang lawannya harui
berputar juga. Di saat itulah ujung pedang pe muda itu
menerobos mengarah ke dada lawannya.
"Aaaakh...!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu menjerit
sambil menyurut mundur beberapa langkah, dadanya sudah
berlumuran darah.
"Aku tidak akan membunuhmu," ujar pemuda itu sambil
tersenyum. "Cepatlah ajak mereka pergi, jangan coba-coba
mengganggu nona ini lagi"
"Sebutkan namamu!" bentak Kepala anggota Seng Hwee
Kauw itu, namun kemudian malah merintih-rintih. "Aduuuh...!"
"Namaku Sie Keng Hauw!" sahut pemuda itu "Kalau engkau
ingin balas dendam kelak, silakan Tapi... saat itulah engkau
akan mati di ujung pedangku!"
Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu menatapnya dengan
mata berapi-api, lalu melangkah pergi sambil mendekap
dadanya. Para anak buahnyaa segera mengikutinya dari
belakang dengan kepala tertunduk.
"Terimakasih, Saudara Sie!" ucap Lie Ai Ling, yang ternyata
sangat tertarik padanya.
"Kok Nona tahu margaku?" Pemuda itu heran.
"Bukankah barusan engkau memberitahukan kepada
Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu?" sahut Lie Ai Ling
sambil tersenyum manis.
"Oooh." Pemuda itu manggut-manggut. "Nona, naaku Sie
Keng Hauw. Bolehkah aku tahu namamu?"
"Aku bernama Lie Ai Ling," Gadis itu memperkenalkan. "Dia
bernama Yatsumi, berasal dari Jepang."
"Selamat bertemu! Selamat bertemu!" ucap Sie Keng
Hauw. "Aku sungguh gembira sekali berkenalan dengan
Nona!" "Engkau merasa gembira berkenalan dengan-ku atau gadis
Jepang itu?" tanya Lie Ai Ling sambil menatapnya.
"Aku merasa gembira berkenalan denganmu," sahut Sie
Keng Hauw blak-blakan. "Sebab Nona cantik sekali."
"Oh, ya?" Hati Lie Ai Ling berbunga-bunga mendengar
pujian pemuda itu. "Aku pun gembira sekali berkenalan
denganmu."
"Sungguh?" Wajah Sie Keng Hauw cerah ceria. "Nona tidak
bohong?" "Aku tidak bohong. Saudara Sie, jangan memanggilku
nona, panggil saja namaku!"
"Baik, Ai Ling." Sie Keng Hauw menatapnya dengan mata
berbinar-binar. "Oh ya! Bolehkah aku tahu kalian mau ke
mana?" "Kami mau ke Pulau Hong Hoang To," jawab, Lie Ai Ling
jujur. "Engkau mau ke mana?"
"Aku mau pergi menemui ayahku." Sie Keng Hauw
memberitahukan. "Sudah belasan tahun aku tidak bertemu
ayahku." "Engkau berada di mana selama belasan tahun ini?" tanya
Lie Ai Ling heran.
"Berada di tempat guruku belajar ilmu silat" sahut Sie Keng
Hauw. "Aku telah berhasil menguasai seluruh ilmu guruku,
maka aku diperbolehkan pulang."
"Siapa gurumu?"
"Maaf! Guru melarangku menyebut nama nya."
"Tidak apa-apa."
"Ai Ling...." Sie Keng Hauw menatapnya dalam-dalam.
"Sayang sekali, aku harus segera pulang. Kita berpisah di sini."
"Yaaah!" Lie Ai Ling menghela nafas panjang "Baru
bertemu sudah mau berpisah! Kapan kita akan berjumpa
kembali?" "Itu...." Sie Keng Hauw mengerutkan kening "Oh ya! Aku
harus ke mana mencarimu?"
"Kalau engkau ingin menemuiku, carilah aku di markas
pusat Kay Pang!" sahut Lie Ai Ling. "Aku menantimu di sana."
"Baik." Mendadak Sie Keng Hauw memegang bahu gadis
itu. "Kita akan berjumpa lagi, aku pasti ke markas pusat Kay
Pang menemuimu."
"Aku...." Lie Ai Ling menundukkan kepala, namun bergirang
dalam hati karena pemuda itu memegang bahunya. "Aku pasti
menantimu."
"Baiklah," ucap Sie Keng Hauw. "Sampai jumpa?"
"Sampai jumpa, Keng Hauw!" sahut Lie Ai ling sambil
mendongakkan kepala memandangnya. "Aku pasti menantimu
di markas pusat Kay Pang."
"Ai Ling! Sampai jumpa...." Sie Keng Hauw meleset pergi.
Walau pemuda itu sudah tidak kelihatan, namun Lie Ai Ling
masih berdiri termangu-mangu disitu.
"Ai Ling!" Yatsumi menepuk bahunya sambil 'tersenyum.
"Pemuda itu sudah pergi jauh, engkau k masih melamun di
sini?" "Haah...?" Lie Ai Ling tersentak kaget, wajah-nya tampak
kemerah-merahan. "Aku____"
"Aku tahu...." Yatsumi tertawa kecil. "Engkau sudah jatuh
cinta kepada pemuda itu. Kelihatannya dia memang pemuda
baik, sabar, jujur dan tampan."
"Benar!" Lie Ai Ling mengangguk lalu bergumam. "Sie Keng
Hauw! Sei Keng Hauw...."
"Eh?" Yatsumi menatapnya heran. "Ai Ling kenapa
engkau?" "Rasanya aku pernah mendengar nama tersebut," sahut Lie
Ai Ling sambil berpikir. "Hanya saja aku lupa dengar di mana?"
Siapa sebenarnya Sie Keng Hauw itu" Di tidak lain adalah
putra Sie Kuang Han, saudara Lu Hui San. Ketika Tio Bun
Yang, Lu Hui Sai-Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling berada
di rumah Sie Kuang Han, orang tua itu pernah menyebut
nama putranya yaitu Sie Keng Hauw Namun, Lie Ai Ling sudah
tidak ingat itu lagi.
"Ai Ling...." Yatsumi menatapnya dalam-dalam.
"Kelihatannya pemuda itu juga sangat tertarik kepadamu."
"Oh?" Lie Ai Ling tertawa gembira. "Bagimana menurutmu,
apakah aku cocok dengan dia
"Kalian berdua memang cocok," sahut Yatsumi sambil
tertawa. "Ai Ling, aku mengucapkan selamat kepadamu!
Engkau telah bertemu p muda idaman hatimu, aku turut
gembira." "Terimakasih!" ucap Lie Ai Ling. "Yatsumi mari kita
melanjutkan perjalanan agar bisa cepat tiba di Pulau Hong
Hoang To!"
"Baik." Yatsumi mengangguk. Mereka berdua lalu
melanjutkan perjalanan Kali ini dalam perjalanan wajah Sie
Keng Hauw terus bermunculan di pelupuk mata Lie Ai Ling,
sehingga membuat gadis itu tersenyum sendiri.
Diam-diam Yatsumi tertawa geli, namun sikap Lie Ai Ling
justru membuatnya teringat kepada pemuda idaman hatinya
yang di Jepang.
---ooo0dw0ooo---
Bagian ke tiga puluh delapan
Berangkat ke Gunung Thian San
Tiga hari setelah Lie Ai Ling mengantar Yatsumi ke Pulau
Hong Hoang To, Siang Koan Goat Nio yang berada di markas
pusat Kay Pang mulai tak sabar menunggu, sebab Tio Bun
Yang, yang dirindukannya masih belum muncul.
Hal itu membuat gadis tersebut sering duduk melamun.
Sikapnya itu tidak terlepas dari mata Lim Peng Hang dan
Gouw Han Tiong.
"Goat Nio...." Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
mendekati gadis yang sedang duduk melamun di ruang
tengah itu. "Kakek Lim, Kakek Gouw!" panggil Siang Koan Goat Nio,
kemudian menundukkan kepala.
"Goat Nio!" Lim Peng Hang menatapnya seraya bertanya,
"Kenapa engkau duduk melamun di sini" Apa yang engkau
pikirkan?"
"Aku...." Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang.
"Memikirkan Bun Yang?" tanya Lim Peng Hang lembut.
"Ya!" Siang Koan Goat Nio mengangguk "Aku
mencemaskannya, kenapa hingga saat ini dia belum ke mari"
Mungkinkah telah terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Engkau tidak usah cemas," ujar Lim Peng Han
menghiburnya. "Dia tidak akan terjadi suatu apa pun,
percayalah!"
"Tapi...."
"Goat Nio...." Gouw Hang Tiong tersenyum "Aku yakin dia
sedang merawat monyet bulu putih itu di Thian San, maka dia
belum ke mari."
"Tapi sudah sekian lama."
"Engkau tahu, kan?" Gouw Han Tiong ter senyum lembut.
"Monyet bulu putih itu terluka parah, tentunya membutuhkan
waktu untuk merawatnya."
"Terus terang, aku...."
"Katakanlah!" ujar Lim Peng Hang dan menambahkan, "Bun
Yang adalah cucuku, maka engkau jangan ragu mengutarakan
sesuatu ke padaku!"
"Kakek Lim, aku ingin menyusulnya."
"Apa?" Lim Peng Hang terbelalak. "Maksud mu ingin ke
Gunung Thian San?"
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Goat Nio____" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Engkau harus tahu! Gunung thian San begitu luas dan
dingin sekali, bagaimana mungkin engkau mencarinya di
sana?" "Tentunya lebih baik aku mencarinya di sana dari pada
terus melamun di sini."
"Goat Nio!" Lim Peng Hang menatapnya tajam. "Pikirkan
baik-baik jangan terlampau cepat mengambil keputusan! Lagi
pula bukankah engkau harus menunggu Ai Ling?"
"Kakek Lim, aku sudah mengambil keputusan iu," ujar
Siang Koan Goat Nio sungguh-sungguh. Besok pagi aku akan
berangkat ke Gunung Thian san."
Bentrok Para Pendekar 1 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pedang Berkarat Pena Beraksara 9
^