Pendekar Sakti Suling Pualam 11

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 11


"Goat Nio...." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku tidak bisa melarangmu, kalau memang engkau
sudah mengambil keputusan itu, besok pagi engkau boleh
berangkat kegunung Thian San!"
"Terimakasih, Kakek Lim!"
"Kalau engkau bertemu dengan Bun Yang, ajak dia ke
mari!" pesan Lim Peng Hang. "Sebaliknya apabila engkau tidak
berhasil mencarinya ke Gunung Thian San, engkau harus
segera Kembali."
"Ya," Siang Koan Goat Nio mengangguk. Keesokan harinya,
berangkatlah Siang Koan Goat Nio ke Gunung Thian San.
Seandainya ia bisa bersabar dua tiga hari. gadis itu pasti
bertemu Tio Bun Yang. Akan tetapi, saking rindunya kepada
Tio Bun Yang membuatnya tidak bisa sabar menunggu, maka
ia mengambil keputusan berangkat ke Gunung Thian San.
Tiga hari kemudian, sampailah Tio Bun Yang di markas
pusat Kay Pang. Begitu melihat pemuda itu, Lim Peng Hang
langsung menghela nafai panjang.
"Kakek...." Tio Bun Yang tercengang. "Kenapa Kakek
menghela nafas?"
"Kakek tahu, engkau ke mari ingin menemui Goat Nio.
Tapi...." Lim Peng Hang menggeleng gelengkan kepala.
"Kenapa dia?" tanya Tio Bun Yang tegan, "Telah terjadi
sesuatu atas dirinya?"
"Dia sudah berangkat ke Gunung Thian Sal tiga hari yang
lalu." Lim Peng Hang memberitahu kan. "Maksudnya
menyusulmu. Kakek menyuruhnya bersabar menunggu di sini,
namun dia ber keras berangkat kc Gunung Thian San."
"Lalu adik Ai Ling, apakah dia juga ikut keunung Thian
San?" tanya Tio Bun Yang.
"Ai Ling mengantar Yatsumi ke Pulau Hong Hoang To,"
sahut Lim Peng Hang melanjutkan. "Sedangkan Goat Nio
menunggumu di sini. Namun dia tidak sabar menunggu
akhirnya mengambil keputusan berangkat ke Gunung Thian
San. Kakek tahu, dia rindu sekali kepadamu.
"Kakek, siapa Yatsumi itu?"
"Gadis Jepang." Lim Peng Hang menjelaskan. 'Ketika Goat
Nio dan Ai Ling menuju ke mari, ketika tengah jalan bertemu
gadis Jepang itu, yang ternyata putri Michiko, kenalan
ayahmu." "Kenapa Adik Ai Ling mengantarnya ke Pulau Hong Hoang
To?" "Yatsumi ingin belajar ilmu silat kepada ayah-mu, karena
kedua orang tuanya mati dibunuh ketua ninja..." tutur Lim
Peng Hang tentang Michiko, ibu Yatsumi.
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut setelah
mendengar penuturan itu.
"Bun Yang!" Lim Peng Hang menatapnya seraya bertanya.
"Bagaimana keadaan kauw heng" Kenapa engkau tidak
membawanya ke mari?"
"Kakek...." Mata Tio Bun Yang mulai basah. 'Kauw heng
sudah mati."
"Haaah?" Lim Peng Hang terperanjat, kemudian wajahnya
berubah murung. "Itu sungguh di luar dugaan!"
"Kauw heng terkena pukulan yang kan Seng Hwee Sin Kun,
padahal pukulan itu diarahkan padaku. Kauw heng telah
berkorban demi menyelamatkan nyawaku."
"Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafai panjang. "Oh
ya! Selama ini engkau berada di mana?"
"Aku berada di dalam goa es, di Gunung Thian San..."
jawab Tio Bun Yang dan menutur.
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggul "Jadi kini
engkau telah berhasil menguasai ilmu Kan Kun Taylo Im
Kang?" "Ya, Kakek." Tio Bun Yang mengangguk dan menutur lagi
tentang Bokyong Sian Hoa, putri Manchuria itu.
"Pantas engkau tidak ke mari, ternyata engkau membawa
putri Manchuria itu ke Pulau Hong Hoang To menemui
ayahmu!" ujar Lim Peng Hang. "Tapi Goat Nio dan Ai Ling
malah berangkat ke mari, jadi kalian selisih jalan."
"Kakek, aku mohon pamit untuk berangkat ke Gunung
Thian San. Aku harus segera menyusul Goat Nio."
"Itu____" Lim Peng Hang berpikir sejenak, lama sekali
barulah mengangguk seraya berkata, "Baik lah. Engkau boleh
berangkat sekarang, mudah mudahan engkau berhasil
menyusulnya!"
"Terimakasih, Kakek!" ucap Tio Bun Yang Pemuda itu
segera meninggalkan markas pusat Kay Pang, dan langsung
berangkat ke Gunung thian San. Setelah berada di tempat
sepi. barulah ia menggunakan ginkangnya.
---oo0dw0ooo---
Sementara itu. Lie Ai Ling dan Yatsumi sudah tiba di Pulau
Hong Hoang To. Tentunya mengherankan para penghuni
pulau itu, dan Kou Hun bijin langsung menghujaninya dengan
pertanyaan-pertanyaan.
"Kenapa engkau pulang seorang diri" Di mana goat Nio"
Siapa gadis berpakaian aneh ini" Kenapa engkau
membawanya ke mari?"
"Aduuuh!" keluh Lie Ai Ling sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku harus bagaimana menjawabnya?"
"Ai Ling," sahut Tio Hong Hoa sambil memandangnya.
"Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu satu persatu!"
"Ibu, aku sudah lupa apa yang ditanyakan Bibi Mijin," ujar
Lie Ai Ling. "Langsung mengajukan begitu banyak pertanyaan
sih!" "Baik." Kou Hun Bijin manggut-manggut. "Aku akan
mengajukan satu persatu pertanyaanku. Kenapa engkau
pulang seorang diri?"
"Aku mengantar Yatsumi ke mari."
"Di mana Goat Nio?"
"Siapa gadis berpakaian aneh ini?"
"Dia berada di markas pusat Kay Pang."
"Dia bernama Yatsumi, gadis berasal dai Jepang."
"Kenapa engkau membawanya ke mari?"
"Dia ingin bertemu Paman Cie Hiong, maka aku
membawanya ke mari."
"____" Ketika Kou Hun Bijin ingin bertanyi lagi, mendadak
Sam Gan Sin Kay tertawa gelak
"Bijin! Jangan terus bertanya, kapan gilian Cie Hiong
bertanya kepadanya?" ujar pengemi tua itu. "Gadis Jepang itu
ke mari menemuinya biar Cie Hiong yang bertanya."
"Pengemis bau!" Kou Hun Bijin melotot. "Memangnya aku
tidak boleh aku mewakili Cie Hong untuk bertanya ?"
"Tentu boleh. Tapi...." Sam Gan Sin Kj tertawa lagi. "Ha ha
ha! Apakah engkau tidak merasa capek terus-menerus
bertanya?"
"Justru tidak." Kou Hun Bijin tertawa nyaring kemudian
memandang Tio Cie Hiong seraya berkata, "Adik, sekarang
engkau boleh bertanya padanya."
"Biar Kakak saja yang bertanya," sahut Cie Hiong sambil
tersenyum. "Kalau aku terus-menerus bertanya, pengemis bau yang
mau mampus itu pasti bertambah tidak senang," ujar Kou Hun
Bijin. "Maka lebih baik engkau saja yang bertanya."
Tio Cie Hiong mengangguk, lalu memandang Yatsumi
seraya bertanya,
"Engkau berasal dari Jepang?"
"Maaf!" ucap Yatsumi sambil menatap Tio Cie Hiong.
"Apakah aku sedang berhadapan dengan Paman Cie Hiong?"
"Betul."
"Paman, terimalah hormatku!" Yatsumi segera
membungkukkan badannya, kemudian memberitahukan. "Aku
memang berasal dari Jepang, namaku Yatsumi."
"Siapa yang menyuruhmu ke mari menemuiku?" tanya Tio
Cie Hiong heran.
"Ibuku," jawab Yatsumi dengan air mata berlinang-linang.
"Ibuku bernama Michiko."
"Oh?" Tio Cie Hiong. Lim Ceng Im dan lainnya terbelalak.
Mereka memang kenal Michiko.
"Duduklah, Yatsumi!" ujar Lim Ceng Im.
"Terimakasih, Bibi!" Yatsumi duduk dan memberitahukan.
"Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, ibuku
berpesan kepadaku harus ke Tionggoan mencari Paman."
"Jadi...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening. 'Ibumu sudah
meninggal?"
"Ya." Yatsumi terisak-isak. "Ibu dan ayahku meninggal
karena dibunuh oleh ketua ninja baru."
"Ketua ninja baru?" Tio Cie Hiong terkejut.
"Siapa ketua ninja baru itu?"
"Dia adik seperguruan ketua ninja lama, nama nya Takara
Nichiba. Kepandaiannya tinggi sekali maka ibuku menyuruhku
kabur ke Tionggoan untuk mencari Paman. Aku pun disuruh
belajar ilmu silat kepada Paman agar bisa membalas dendam,"
ujar Yatsumi dengan air mata berderai derai.
"Aaaah...!" Tio Cie Hiong menghela nafas panjang. "Itu
merupakan kejadian yang sungguh di luar dugaan!"
"Oh ya!" Kou Hun Bijin menatapnya seraya bertanya,
"Bagaimana engkau bisa bertemu Ai Ling dan putriku?"
"Secara kebetulan." tutur Yatsumi dan menambahkan.
"Setelah itu, Ai Ling dan Goat Nio mengajakku ke markas
pusat Kay Pang. Sesudah berunding, akhirnya Ai Ling
mengantarku kemari menemui Paman Cie Hiong."
"Ooooh!" Kou Hun Bijin manggut-manggut kemudian
bertanya kepada Ai Ling. "Kalian belum bertemu Bun Yang?"
"Belum," jawab Lie Ai Ling. "Dia tidak berada di markas
pusat Kay Pang, mungkin masih berada di Gunung Thian San!"
"Itu gara-gara kalian tidak bisa bersabar," tegur Kou Hun
Bijin. "Maka kalian tidak bertemu Bun Yang."
"Memangnya kenapa?" Lie Ai Ling bingung
"Setelah kalian berangkat ke Tionggoan, beberapa hari
kemudian Bun Yang justru pulang." Tio Hoang Hoa
memberitahukan. "Dia pulang bersama Bokyong Sian Hoa."
"Oh?" Lie Ai Ling terbelalak. "Ibu, siapa Bokyong Sian Hoa
itu?" "Mantan putri Manchuria." Tio Hoang Hoa menjelaskan.
"Ayahnya adalah raja Manchuria, teman baik pamanmu, tapi
kedua orang tuanya sudah meninggal."
"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Jadi kakak Bun
Yang sudah berangkat ke Tionggoan?"
"Ya." Tio Hoang Hoa mengangguk.
"Kalau begitu...." Lie Ai Ling tersenyum. "Dia pasti bertemu
Goat Nio di markas pusat Kay Pang, sebab Goat Nio
menunggu di sana."
"Syukurlah!" ucap Kou Hun Bijin sambil tertawa gembira.
"Legalah hatiku!"
Sementara Tio Cie Hiong terus memandang Yatsumi. Ia
merasa iba pada gadis Jepang itu.
"Yatsumi," tanya Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Jadi
engkau ingin belajar ilmu silat?"
"Ya, Paman," sahut Yatsumi sambil menganggukkan
kepala. "Baiklah." Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Aku akan
mengajarmu ilmu silat tingkat tinggi.'
"Terimakasih, Paman!" ucap Yatsumi gembira. 'Setelah aku
berhasil menguasai ilmu silat tingkat tinggi, aku akan segera
pulang ke Jepang untuk membalas dendam kedua orang
tuaku." "Oh ya!" Tio Cie Hiong menatapnya seraya bertanya.
"Engkau pernah belajar ilmu silat kepada ibumu?"
"Ibuku mengajarku ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi.
Katanya Paman yang mengajarkan padanya," ujar Yatsumi.
"Betul." Tio Cie Hiong manggut-manggut dan
menambahkan. "Besok aku akan mulai menggemblengmu."
"Terimakasih, Paman!" ucap Yatsumi, kemu dian melirik Lie
Ai Ling seraya berkata. "Paman, di tengah jalan kami dihadang
beberapa panjahat Untung muncul seorang pendekar muda
membantu kami. Pendekar muda itu tampan sekali."
"Oh?" Tio Cie Hiong tersenyum. "Siapa pendekar muda
itu?" "Dia bernama Sie Keng Hauw," jawab Yatsumi
memberitahukan. "Kelihatannya dia dan Ai Ling sudah saling
jatuh hati."
"Yatsumi!" Wajah Lie Ai Ling kemerah-merahan. "Jangan
omong yang bukan-bukan! Aku akan marah lho!"
"Aku berkata sesungguhnya, kenapa engkau akan marah?"
Yatsumi heran. "Seharusnya engkau berterus terang kepada
orang tuamu."
"Eh" Engkau...." Lie Ai Ling melotot. "Kok engkau banyak
mulut sih?"
"Ai Ling!" Lie Man Chiu menatapnya tajam
"Bagaimana pemuda itu, apakah dia tergolong emuda baik,
jujur, ramah tamah dan sopan?"
"Ayah...." Wajah Lie Ai Ling bertambah merah.
"Hi hi hi!" Mendadak Kou Hun Bijin tertawa berkikikan.
"Man Chiu, kenapa engkau begitu kalut?"
"Ai Ling adalah putriku satu-satunya, tentu-iya aku kalut
karena dia sudah jatuh hati pada seorang pemuda," sahut Lie
Man Chiu sungguh-sungguh.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan lagi. "Engkau
memang keterlaluan dan tidak bisa bersabar. Bukankah
engkau boleh bertanya kepadanya di dalam kamar" Bertanya
secara terang-terangan di sini sama juga
mempermalukannya."
"Benar." Lie Man Chiu manggut-manggut.
"Sungguh mengagumkan!" ujar Sam Gan Sin Hay sambil
tertawa gelak. "Ha ha ha! Bahkan juga sungguh diluar
dugaan. Kali ini Bijin bisa berpikir sampai sejauh itu."
"Memangnya aku tidak punya pikiran?" sahut ou Hun Bijin
sambil melotot. "Hm! Dasar pengemis bau!"
"Ha ha ha...!" Sam Gan Sin Kay terus tertawa gelak,
sedangkan Kou Hun Bijin pun terus melototinya.
"Oh ya!" Mendadak Lie Ai Ling teringat suatu. "Ayah, Ibu,
ketika aku dan Goat Nio nuju markas pusat Kay Pang, di
tengah jalan aku mendengar suara siulan aneh yang sangat
menyeramkan. Setelah itu terdengar pula suara derap kaki
kuda." "Oh?" Lie Man Chiu mengerutkan kening "Kemudian apa
yang kalian lihat?"
"Kami melihat segerombolan orang menung gang kuda,


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka terus mengeluarkan siulan aneh yang menyeramkan,
bahkan juga memakai kedok setan."
"Apa?" Tio Tay Seng, majikan pulau Hong Hoang To itu
tampak terkejut sekali. "Mereka juga berpakaian serba putih?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk.
"Kui Bin Pang (Perkumpulan Muka Setan)!" seru Tio Tay
Seng tak tertahan dan wajahnya tampak berubah.
"Mungkinkah mereka itu para anggota Kui Bin Pang?"
"Tio Tocu!" Kou Hun Bijin menatapnya. "Engkau tahu jelas
tentang perkumpulan itu?"
"Aku cuma dengar dari almarhum ayahku!" sahut Tio Tay
Seng dan menutur. "Ketika ayahku baru muncul di Tionggoan
menggunakan Hong Hoang Leng, di luar perbatasan dekat
gurun pasir Sih Ih juga muncul sebuah perkumpulan misteri
yang para anggota maupun ketuanya memakai kedok setan,
dan berpakaian serba putih. Kemunculan mereka pasti disertai
dengan suara siulan aneh yang menyeramkan. Mereka
membantai ma nusia seperti membunuh semut. Para anggota
perkumpulan itu rata-rata berkepandaian tinggi sekali, apalagi
ketuanya."
"Aku pernah dengar mengenai Kui Bin Pang itu, kira-kira
sudah hampir seratus tahun yang lalu," ujar Kou Hun Bijin.
"Tapi Kui Bin Pang itu cuma bergerak di luar perbatasan, tidak
pernah memasuki daerah Tionggoan."
"Benar." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Pada waktu itu,
ayahku memperoleh informasi tentang Kui Bin Pang, maka
segera berangkat ke kota Giok Bun Kwan (Kota Perbatasan).
Namun ketika sampai di sebuah desa, ayahku justru malah
bertemu dengan ketua Kui Ban Pang."
"Oh?" Sam Gan Sin Kay tertarik. "Lalu apa yang terjadi?"
"Ternyata ketua Kui Bin Pang memasuki daerah Tionggoan
dengan maksud menyelidiki keadaan rimba persilatan
Tionggoan. Setelah itu, barulah ia akan membawa para
anggotanya untuk menyerbu ke rimba persilatan Tionggoan,"
ujar Tio Tay Seng memberitahukan. "Oleh karena itu, ayahku
menantangnya bertarung."
"Mereka berdua jadi bertarung?" tanya Kou iiun Bijin.
"Tentu jadi," jawab Tio Tay Seng dan melanjutkan. "Sebab
ketua Kui Bin Pang bersifat angkuh, maka terjadilah
pertarungan yang amat seru dan sengit. Beberapa ratus jurus
kemudian, ayahku berhasil memukulnya hingga jatuh ke
jurang. Namun dada ayahku juga tertendang oleh
tendangannya, sehingga membuat ayahku mengalami luka
dalam yang cukup parah. Beberapa bulan kemudian, barulah
ayahku bisa pulih.'
"Pantas sejak itu tiada kabar beritanya mengenai Kui Bin
Pang yang misteri itu!" ujar Kou Hun Bijin. 'Ternyata ayahmu
berhasil memukul ketua itu jatuh ke jurang!"
"Tio Tocu," tanya Kim Siauw Suseng. "Tentang kejadian itu
tiada seorang pun yang mengetahuinya?"
"Memang tidak," jawab Tio Tay Seng. "Bahkan para
anggota Kui Bin Pang pun tidak tahu tentang itu"
"Kalau begitu...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Kenapa kini malah muncul para anggota Kui Bin Pang itu?"
"Aku pun tidak habis pikir," sahut Tio 'Im Seng sambil
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menambahkan.
"Para anggota Kui Bin Pang itu telah muncul, pertanda
perkumpulan itu sudah punya ketua. Karena itu...."
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring "Tio Tocu, engkau
khawatir perkumpulan itu akab ke mari menuntut balas?"
"Kalau terjadi itu, bukankah ketenangan Pulau Hong Hoang
To ini akan terusik?" sahut Tay Seng sambil menghela nafas
panjang. "Kita semua ingin hidup tenang dan damai di sini.'
"Paman," ujar Tio Cie Hiong. "Kui Bin Pang itu sama sekali
tidak tahu apa yang telah terjadi atas diri ketua yang dulu.
tentunya mereka tidak akan ke mari menuntut balas."
"Tapi biar bagaimanapun, kita harus berjaga-jaga," sahut
Tio Tay Seng sungguh-sungguh.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Tio Tocu,
kalau Kui Bin Pang ke mari, kita habiskan saja mereka."
"Pengemis bau...." Tio Tay Seng menggeleng-geengkan
kepala. "Engkau harus tahu, para anggota Kui Bin Pang dan
ketuanya berkepandaian tinggi sekali. Terus terang,
kemungkinan besar aku bukan tandingan ketuanya."
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Tio Tocu,
kenapa engkau berubah menjadi pengecut?"
"Bijin!" Tio Tay Seng tersenyum getir. "Aku tidak berubah
menjadi pengecut, melainkan memikirkan ketenangan pulau
ini." "Sudahlah!" tandas Kim Siauw Suseng. "Belum tentu
mereka itu para anggota Kui Bin Pang. kalaupun benar, kita
tidak usah takut."
"Tapi...." Tio Tay Seng menghela nafas panjang. "Apabila
Kui Bin Fang muncul di rimba persilatan, pasti akan terjadi
pula bencana di rimba persilatan."
"Paman," ujar Tio Cie Hiong. "Itu urusan rimba persilatan,
kita tidak usah mencampurinya."
"Ngmmm!" Tio Tay Seng manggut-manggut.
Sementara Lie Ai Ling diam saja dengan pikiran
menerawang. Apa yang mereka bicarakan bagaikan angin lalu,
sebab pikirannya terus mengarah pada Sie Keng Hauw yang
telah mencuri hatinya.
"Ai Ling!" Tio Hong Hoa menatapnya seraya bertanya,
"Kenapa engkau melamun. Apa yang engkau pikirkan?"
"Ibu...." Wajah Lie Ai Ling agak kemerah merahan.
"Yatsumi tidur di kamar mana?"
"Itu..." pikir Tio Hong Hoa sejenak. "Sekamar saja dengan
Hui San dan Bokyong Sian Hoa."
"Kalau begitu, aku akan mengantarnya ke kamar untuk
beristirahat," ujar Lie Ai Ling sambil menarik Yatsumi ke
dalam. Perlahan-lahan Lie Ai Ling membuka pintu kamar itu,
dilihatnya Lu Hui San dan seorani gadis duduk di situ.
"Ai Ling" panggil Lu Hui San gembira.
"Hui San!" Lie Ai Ling menggenggam tangannya erat-erat.
"Engkau kok agak kurusan?"
"Aku...." Lu Hui San menghela nafas panjang "Oh ya, mari
kuperkenalkan! Ini adalah Bokyon Sian Hoa, berasal dari
Manchuria."
"Selamat bertemu, Sian Hoa!" ucap Lie ai Ling sambil
memberi hormat, lalu memperkenalkan Yatsumi. "Dia berasal
dari Jepang, namanya Yatsumi"
"Selamat bertemu Nona Hui San dan Non Sian Hoa!" ucap
Yatsumi sambil membungkuk badannya.
"Hi hi hi!" Bokyong Sian Hoa tertawa geli, sekaligus balas
memberi hormat dengan cara menjura. "Kenapa engkau
membungkukkan badanmu dalam-dalam begitu?"
"Ini cara Bangsa Jepang memberi hormat," sahut Yatsumi
memberitahukan sambil tersenyum.
"Ooh!" Bokyong Sian Hoa manggut-manggut, kemudian
bertanya kepada Lie Ai Ling. "Engkau bertemu Kakak Bun
Yang?" "Tidak." Lie Ai Ling menggelengkan kepala.
"Tapi dia bertemu seorang pemuda tampan. Mereka berdua
sudah saling jatuh hati," sela Tatsumi memberitahukan.
"Eh" Engkau kok begitu banyak mulut sih?" tegur Lie Ai
Ling sambil melotot.
"Ai Ling!" Lu Hui San tampak gembira. "Siapa pemuda itu"
Betulkah kalian berdua sudah saling jatuh hati?"
"Dia bernama Sie Keng Hauw, kami berdua...." Lie Ai Ling
tidak melanjutkan ucapannya, Mainkan tampak tersipu.
"Apa?" Lu Hui San tersentak. "Pemuda itu bernama Sie
Keng Hauw?"
"Engkau kenal dia?" Lie Ai Ling heran.
"Mungkinkah dia putra pamanku?" sahut Lu Hui San.
"Tentunya engkau masih ingat, pamanku adalah Sie Kuang
Han." "Ooooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Aku ingat
sekarang, pantas aku merasa pernah mendengar nama itu!
Ternyata dia putra pamanmu Sungguh di luar dugaan!"
"Ai Ling..." bisik Lu Hui San. "Ingat, engkau tidak boleh
membuka tentang hubunganku dengan Lu Thay Kam!"
"Jadi...." Lie Ai Ling terbelalak. "Hingga kini dia belum tahu
ayah angkatmu adalah Lu Tha Kam?"
"Dia sama sekali tidak tahu," sahut Lui Hu San dengan
suara rendah. "Kalau dia tahu, entah apa yang akan terjadi"
Sebab dia sangat men dendam kepada ayah angkatku itu."
"Jangan khawatir!" Lie Ai Ling tersenyum "Aku tidak akan
memberitahukan tentang itu. oh ya, ayahku sudah tahu?"
"Tentu, tahu," sahut Lu Hui San. "Karena ayahmu mantan
wakil ayah angkatku."
"Oh?" Lie Ai Ling terbelalak.
"Ayahmu..." tutur Lu Hui San dan menambahkan. "Namun
ayahmu sama sekali tidak membuka rahasiaku itu."
"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Baik lah. Aku akan
ke kamar untuk beristirahat sebentar. Kalau engkau berjumpa
Keng Hauw lalu ajaklah dia ke mari!"
"Baik." Lie Ai Ling mengangguk, lalu melangkah ke
kamarnya. Begitu memasuki kamarnya ia terbelalak karena
melihat kedua orang tua sudah menunggu di situ. "Ayah, Ibu!"
"Ai Ling," sahut Tio Hong Hoa sambil tersenyum lembut.
"Duduklah!"
Lie Ai Ling duduk di sebelah ibunya dengan kepala
tertunduk. Gadis itu yakin ibunya akan tanya ini dan itu
kepadanya. "Ai Ling!" Tio Hong Hoa menatapnya seraya bertanya.
"Betulkah engkau bertemu seorang pemuda, bahkan kalian
berdua sudah saling jatuh hati?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk malu-malu.
"Siapa pemuda itu?" tanya Lie Man Chiu. "Apakah dia
pemuda yang baik?"
"Dia bernama Sie Keng Hauw. Menurut aku dia memang
pemuda yang baik," jawab Lie Ai ling dan menambahkan.
"Justru sungguh di luar dugaan, ternyata pemuda itu saudara
Hui San." "Oh?" Lie Man Chiu tertegun. "Dari mana engkau tahu?"
"Tadi Hui San memberitahukan, maka aku pun ingat...." Lie
Ai Ling memberitahukan sekaligus menutur tentang itu.
"Ooooh!" Lie Man Chiu manggut-manggut sambil
tersenyum, kemudian berpesan. "Ai Ling, engkau tidak boleh
memberitahukan kepada Hay Thian bahwa Lu Thay Kam
adalah ayah angkat Hui San."
"Tadi Hui San juga berpesan begitu," ujar Lie Ai Ling
melanjutkan. "Aku pun tak menyangka jikalau Ayah pernah
jadi wakil ayah angkatnya."
"Ai Ling...." Lie Man Chiu menghela nafas panjang. "Itu
telah berlalu, jangan diungkit lagu"
"Ya, Ayah." Lie Ai Ling mengangguk.
"Ai Ling!" Tio Hong Hoa menatapnya lembut "Apabila
engkau bertemu lagi dengan pemuda itu, ajaklah dia ke mari
menemui ibu dan ayah!"
"Ibu...." Wajah Lie Ai Ling berseri. "Besok aku akan
berangkat ke markas pusat Kay Pang sebab Goat Nio masih
menunggu di sana. Lagi pula Keng Hauw akan ke markas
pusat Kay Pang menemuiku. Aku... aku harus segera
berangkat ke sana."
"Baik," pesan Lie Man Chiu sungguh-sungguh "Setelah
kalian berjumpa, ajaklah dia ke mari!"
"Ya, Ayah." Lie Ai Ling mengangguk. Keesokan harinya, Lie
Ai Ling berpamit ke pada semua orang.
"Ai Ling, kalau engkau bertemu Bun Yang dan Goat Nio,
ajaklah mereka pulang!" pesan Lim Ceng Im.
"Seandainya cuma bertemu Goat Nio...." Kou Hun Bijin juga
ikut berpesan pada gadis itu "Biarlah dia tetap di markas pusat
Kay Pang menunggu Bun Yang."
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk.
"Ai Ling!" Sam Gan Sin Kay menatapnyi seraya berkata.
"Sampaikan pesanku kepada Peng Hang, bahwa menyuruh dia
menyelidiki Kui Biu Pang!"
Lie Ai Ling mengangguk lagi, dan setelah itu barulah
berangkat. Lie Man Chiu, Tio Hong Hoa, Tio Cie Hiong dan Lim
Ceng Im mengantarnya sampai di luar rumah.
"Syukurlah dia sudah punya kekasih!" ucap m Cie Hiong
setelah Lie Ai Ling tidak kelihatan.
"Memang sungguh di luar dugaan!" sahut Lie lan Chiu
sambil tersenyum. "Pemuda itu saudara Li Hui San!"
'Oh, ya?" Tio Cie Hiong tertegun. "Kok engkau tahu?"
"Ai Ling yang beritahukan," sahut Lie Man hiu menjelaskan.
"Pemuda itu bernama Sie Keng Kauw, putra Sie Kuang Han,
paman Lu Hui San."
"Aku jadi bingung nih," ujar Lim Ceng Im dengan kening
berkerut. "Hui San bermarga Lu, sedangkan Keng Hauw
bermarga Sie. Kok ayah Seng Hauw adalah paman Hui San?"
"Perlu kuberitahukan..." ujar Lie Man Chiu n menutur,
kemudian menambahkan. "Kini kalian sudah tahu ayah angkat
Hui San adalah Lu lay Kam, namun jangan menceritakan
kepada Hay Thian!"
"Ooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Tenyata begitu!
Baiklah. Kami tidak akan menceritakan tentang itu kepada Hay
Thian." "Tapi...." Lim Ceng Im mengerutkan kening, "Kelak Hay
Thian pasti mengetahuinya."
"Itu urusan kelak, lagi pula Hay Thian mungkin sudah
mencintai Hui San," sahut Tio Hong Hoa
"Mudah-mudahan!" ucap Tio Cie Hiong sambil menghela
nafas panjang. "Kini yang kupikirkan adalah Kui Bin Pang itu."
---ooo0dw0oo---
Bagian ke tiga puluh sembilan
Menanti dengan penuh kesabaran
Di ruang depan markas pusat Kay Pang, tampah Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong sedang duduk sambil bercakapcakap.
"Entah Bun Yang berhasil menyusul Goat Nio apa tidak?"
ujar Lim Peng Hang sambil menghela nafas panjang.
"Aku justru khawatir mereka tidak bertemu" sahut Gouw
Han Tiong. "Sebab Gunung Thian San begitu luas, tinggi dan
udaranya dingin. Cara bagaimana Bun Yang bisa mencarinya?"
"Itu...." Lim Peng Hang menggeleng-geleng kan kepala.
Di saat bersamaan, muncul seorang pengemis tua
menghadap mereka. Setelah memberi hormat pengemis itu
melapor.

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pangcu, ada seorang pemuda berkunjung kemari."
"Oh?" Lim Peng Hang tercengang. "Siapa pemuda itu" Mau
apa dia berkunjung ke mari?"
"Dia bernama Sie Keng Hauw, ingin menemui Lie Ai Ling."
"Kalau begitu..." pikir Lim Peng Hang sejenak. "Suruh dia
masuk!" "Ya, Pangcu." Pengemis tua itu memberi hormat lalu
melangkah pergi. Tak lama muncullah Sie Keng Hauw.
"Pangcu!" Sie Keng Hauw menjura. "Terimalah hormatku!"
"Silakan duduk!" sahut Lim Peng Hang sambil menatapnya
tajam. "Terimakasih!" ucap Sie Keng Hauw lalu duduk.
"Anak muda, sebetulnya siapa engkau?" tanya iuw Han
Tiong. "Bolehkah engkau menjelas-n/
"Namaku Sie Keng Hauw. Aku pernah bertemu Lie Ai Ling
dan gadis Jepang itu." Sie Keng Hauw memberitahukan. "Dia
yang berpesan kepadaku ke mari menunggunya, karena dia
sedang mengantar gadis Jepang itu ke Pulau Hong Hoang to "
"Ooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Tapi dia belum
ke mari, mungkin masih dalam perjalanan menuju ke sini."
"Kalau begitu...." Sie Keng Hauw bangkit dari tempat
duduknya. "Aku mohon diri saja. Beberapa hari kemudian, aku
akan ke mari lagi."
"Begini saja," ujar Gouw Han Tiong mengusulkan. "Lebih
baik engkau tinggal di sini menunggunya, jadi engkau tidak
usah repot ke sana ke mari!"
"Tapi akan merepotkan Paman-paman."
"Tidak apa-apa." Lim Peng Hang tertawa gelak. "Engkau
boleh tinggal di sini menunggu Ai Ling. Oh ya, bolehkah kami
tahu siapa orang tuamu?"
"Ayahku bernama Sie Kuang Han." Sie Keng Hauw
memberitahukan.
"Ooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Oh ya!" Sie Keng Hauw teringat sesuatu, dia langsung
memberitahukan. "Aku juga kenal Tio Bun Yang dan Siang
Koan Goat Nio. Mereka yang membawa Hui San pergi
menemui ayahku.'
"Oh?" Wajah Lim Peng Hang berseri. "Sungguh diluar
dugaan, engkau juga kenal cucuku!"
"Apa?" Sie Keng Hauw tertegun. "Bun Yang adalah cucu
Paman?" "Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut "Ibunya adalah
putriku. Oh ya, engkau juga kena! Lu Hui San?"
"Terus terang, Hui San dan aku bersaudara." Sie Keng
Hauw menjelaskan. "Ayahku dan ayah nya adalah saudara
kandung." "Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut lagi. "Ternyata
begitu! Tak disangka Lu Thay Kam adalah ayah angkatnya!"
"Paman, apakah Bun Yang, Goat Nio dan Hui .San tidak
berada di sini?" tanya Sie Keng Hauw.
"Mereka tidak berada di sini. Hui San berada di Pulau Hong
Hoang To, sedangkan Bun Yang dan Goat Nio...." Lim Peng
Hang memberitahukan.
"Oooh!" Sie Keng Hauw manggut-manggut.
"Keng Hauw," ujar Gouw Han Tiong mendadak sambil
tersenyum. "Engkau jangan memanggil kami paman, harus
memanggil kami kakek!"
"Maaf!" Sie Keng Hauw cepat-cepat minta maaf. "Aku sama
sekali tidak berpikir sampai kesitu, harap Kakek Lim dan Kakek
Gouw sudi memaafkan ku!"
"Ha ha ha!" Gouw Han Tiong tertawa gelak. "Tidak apaapa."
"Keng Hauw!" Lim Peng Hang menatapnya lain. "Setelah
engkau bertemu Ai Ling, bagaimana perasaanmu
terhadapnya?" tanyanya.
"Aku..." Wajah Sie Keng Hauw agak kemerah-merahan.
"Terkesan baik terhadapnya."
"Juga jatuh hati padanya?" tanya Lim Peng Hang lagi
sambil tersenyum.
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk. "Tapi____"
"Kenapa?" tanya Lim Peng Hang cepat.
"Aku tidak tahu apakah dia juga jatuh hati padaku apa
tidak," jawab Sie Keng Hauw sambil menghela nafas panjang.
"Keng Hauw," ujar Gouw Han Tiong sungguh sungguh.
"Engkau harus bertanya kepadanya, jangan ragu dan merasa
malu untuk bertanya!"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak "Dia yang
menyuruhmu menunggu di sini, tentunya dia juga telah jatuh
hati padamu. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia akan
menyuruh ke mari menunggunya?"
"Benar." Wajah Sie Keng Hauw berseri.
Lim Peng Hang dan Gouw Hang Tiong salii memandang,
kemudian keduanya tertawa terbahak bahak.
"Ha ha ha! Ha ha ha...!"
Walau Sie Keng Hauw sudah menunggu beberapa hari, Lie
Ai Ling yang ditunggunya belum juga kunjung datang. Namun
pemuda tersebut tidak putus harapan atau patah semangat,
dia tetap menanti dengan penuh kesabaran.
Menyaksikan itu, diam-diam Lim Peng Han dan Gouw Han
Tiong memujinya dalam hati Mereka berdua juga bersyukur
dalam hati, karena Lie Ai Ling bertemu pemuda yang baik,
sopan, tampan dan penuh kesabaran.
Hari ini Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong in Sie Keng Houw
duduk di ruang depan sambil bercakap-cakap.
"Heran?" gumam Lim Peng Hang. "Kenapa sudah lewat
lima enam hari Ai Ling masih belum kemari?"
"Mungkin dia ada halangan," sahut Sie Keng Hauw. "Itu
tidak apa-apa, aku akan tetap menunggunya di sini. Tapi
apakah aku tidak akan Mengganggu Kakek Lim dan Kakek
Gouw?" "Tentu tidak." Lim Peng Hang tersenyum. "engkau boleh
terus menunggunya di sini."
"Terimakasih, Kakek Lim." ucap Sie Keng lauw.
"Aku yakin..." ujar Gouw Han Tiong. "Dia pasti ke mari."
Di saat bersamaan, tampak sosok bayangan berkelebat ke
dalam, terdengar pula suara seruan nyaring.
"Kakek Lim! Kakek Gouw!"
"Ai Ling!" sahut Lim Peng Hang dan Gouw lan Tiong sambil
tertawa. "Ha ha ha! Akhirnya engkau muncul juga!"
"Ai Ling!" Sie Keng Hauw buru-buru mendekatinya. "Ai
Ling!" "Keng Hauw!" panggil Lie Ai Ling sambil memandangnya
dengan mata berbinar-binar. "Sudah lama engkau
menungguku di sini?"
"Tidak begitu lama," sahut Sie Keng Hau "Aku...."
"Tidak begitu lama, namun sudah enam hari dia menanti di
sini," ujar Lim Peng Hang memberitahukan. "Akan tetapi, dia
tetap menanti def ngan sabar sekali."
"Oh?" Wajah Lie Ai Ling berseri. "Terima kasih, Kakek Lim
dan Kakek Gouw!"
"Lho?" Lim Peng Hang heran. "Kenapa engkau
berterimakasih kepada kami?"
"Karena..." ujar Lie Ai Ling dengan suara rendah, "karena
Keng Hauw diperbolehkan tinggal di sini menungguku."
"Ooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut sambil
tersenyum. "Ai Ling, dia pernah bertanya sesuatu kepada
kami!" "Apakah yang dia tanyakan?"
"Dia bertanya, apakah engkau juga jatuh hati padanya?"
"Dia____" Wajah Lie Ai Ling agak kemerah-merahan,
namun hatinya berbunga-bunga. "Kakek Lim, betulkah dia
bertanya begitu?"
"Betul." Lim Peng Hang mengangguk. "Nah engkau harus
memberitahukan kepadanya!"
"Kakek Lim____" Lie Ai Ling cemberut.
"Baiklah." Ling Peng Hang dan Gouw Hai Tiong bangkit dari
tempat duduknya. "Kami ke dalam, silakan kalian berdua
saling mencurahkan isi hati masing-masing di sini!"
Usai berkata begitu, Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
berjalan ke dalam sambil tertawa gelak.
"Konyol sekali Kakek Lim dan Kakek Gouw!" ujar Lie Ai Ling
dengan suara rendah.
"Mereka tidak konyol, melainkan demi kebaikan kita," sahut
Sie Keng Hauw. "Ai Ling, mari kita duduk!"
Lie Ai Ling mengangguk. Mereka lalu duduk sambil saling
memandang dengan mata berbinar-binar.
"Eeeh?" Lie Ai Ling menengok ke sana ke mari. "Kok Goat
Nio tidak kelihatan?"
"Dia sudah berangkat ke Gunung Thian San." Sie Keng
Hauw memberitahukan.
"Apa?" Lie Ai Ling tertegun. "Kapan dia berangkat?"
"Entahlah." Sie Keng Hauw menggelengkan kepala. "Kakek
Lim yang memberitahukan kepadaku."
"Aaah...!" keluh Lie Ai Ling sambil menghela nafas panjang.
"Kenapa dia tidak sabar menungguku?"
"Karena dia tak tahan menahan rindunya kepada Bun
Yang," ujar Sie Keng Hauw. "Maka dia berangkat ke sana."
"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Seandainya aku
tidak muncul hari ini, bagaimana engkau?"
"Aku akan tetap menanti dengan penuh ke sabaran."
"Bagaimana kalau aku tidak muncul sama sekali?"
"Aku pasti menyusulmu ke Pulau Hong Hoan To," ujar Sie
Keng Hauw sungguh-sungguh. "Namun dengan membawa
kekecewaan."
"Lho?" Lie Ai Ling terbelalak. "Kenapa harus membawa
kekecewaan?"
"Karena engkau tidak muncul di sini, berarti engkau sudah
melupakan aku. Nah, bukankah aku akan kecewa sekali?"
"Keng Hauw...." Lie Ai Ling tersenyum. "Kini aku sudah
berada di sisimu, bagaimana perasaan mu?"
"Aku gembira sekali," sahut Sie Keng Hauw kemudian
mendadak menggenggam tangan gadis itu erat-erat. "Ai Ling,
engkau jatuh hati padaku?"
"Ng!" Lie Ai Ling mengangguk perlahan. "Engkau?"
"Sama." Sie Keng Hauw tersenyum lembut "Oh ya!
Ternyata engkau teman baik Hui San itu sungguh di luar
dugaan!" "Benar." Lie Ai Ling tertawa gembira. "Setelah aku tiba di
Pulau Hong Hoang To, barulah aku tahu tentang itu. Hui San
yang memberitahukan kepadaku. Pantas aku merasa pernah
mendengar namamu!"
"Ai Ling, bagaimana keadaan adikku" Dia baik-baik saja?"
tanya Sie Keng Hauw penuh perhatian.
"Dia baik-baik saja," jawab Lie Ai Ling. "Engkau tahu
tentang itu dari ayahmu?"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk. "Bahkan ayahku
berpesan, aku dan Hui San tidak perlu menuntut balas
terhadap Lu Thay Kam."
"Syukurlah!" ucap Lie Ai Ling. "Tapi ketika itu, Lu Thay Kam
justru nyaris mati di tangan Hui San."
"Oh?" Sie Keng Hauw mengerutkan kening. 'Kenapa bisa
begitu?" "Ternyata Lu Thay Kam sangat menyayangi Kui San, maka
dia rela mati di tangan Hui San." Lie Ai Ling memberitahukan,
kemudian menutur tentang kemunculan Tio Bun Yang, yang
menyelamatkan nyawa Lu Thay Kam.
"Aaaah!" Sie Keng Hauw menghela nafas panjang. "Pada
dasarnya Lu Thay Kam tidak jahat, tapi dikarenakan politik di
istana, maka dia tertaksa bertindak kejam."
"Tapi ada satu hal yang sangat memusingkan," ujar Lie Ai
Ling sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hal apa?"
"Mengenai Kam Hay Thian."
"Memangnya kenapa?"
"Hui San mencintainya, namun Kam Hay Thian bersikap
acuh tak acuh kepadanya. Lagi pula dia sangat mendendam
pada Lu Thay Kam karena...." Lie Ai Ling menceritakan
tentang kematian guru silat Lie dan putrinya yang dibunuh
para anggota Hiat Ih Hwe. "oleh karena itu, Kam Hay Thian
bersumpah akan membunuh Lu Thay Kam, sedangkan Lu
Thay Kam adalah ayah angkat Hui San."
"Itu memang sangat memusingkan." Sie Ken, Hauw
menghela nafas. "Oh ya! Apakah Kam Hay Thian belum tahu
bahwa Lu Thay Kam adalah ayah angkat Hui San?"
"Belum tahu. Karena itu, engkau juga tidak boleh
memberitahukannya apabila kalian bertemu!" pesan Lie Ai
Ling. "Ya." Sie Keng Hauw mengangguk. "Ai Ling aku ingin
menemui Hui San. Maukah engkau mengantarku ke Pulau
Hong Hoang To?"
"Tentu mau," sahut Lie Ai Ling sambil tersenyum manis.
"Karena kedua orang tuaku pingin bertatap muka denganmu."
"Oh" Aku...."
"Engkau tidak mau bertatap muka dengan kedua orang
tuaku?" "Tentu mau dan memang harus. Tapi...." Sie Keng Hauw
tersenyum, "aku agak gugup."
"Kenapa harus gugup?" ujar Lie Ai Ling sambil menatapnya.
"Kalau engkau gugup, pertanda... engkau tidak bersungguhsungguh
terhadapku lho!"
"Ai Ling!" Sie Keng Hauw menatapnya lembut seraya
berkata, "Aku bersungguh-sungguh terhadapmu, percayalah!"
"Aku percaya." Lie Ai Ling menundukkan ppala.
"Ha ha ha!" Terdengar suara tawa gelak, muncul Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong. "Bagaimana" Kalian berdua sudah
beres menarahkan isi hati masing-masing?"
"Kakek Lim...." Lie Ai Ling cemberut.
"Sudah, Kakek Lim," sahut Sie Keng Hauw sambil
tersenyum. "Terimakasih atas perhatian kakek Lim dan Kakek
Gouw! Terimakasih!"
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang dan Gouw Han tertawa lagi,
lalu duduk sambil memandang mereka. "Kalian berdua
merupakan pasangan yang cocok dan serasi. Kami turut
gembira." "Kakek Lim...." Lie Ai Ling melotot, lalu mendadak teringat
sesuatu. "Oh ya! Ada titipan pesan dari Sam Gan Sin Kay.
Beliau berpesan...."
"Ayahku berpesan apa?" Lim Peng hang heran.
"Menyelidiki gerak gerik Kui Bin Pang (Perkumpulan Muka
Setan)!" Lie Ai Ling memberitahukan. "Ternyata orang-orang


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian putih dan memakai kedok setan yang pernah kami
lihat tempo hari itu, adalah para anggota Kui Bin Pang" "Kui
Bin Pang?" Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong saling memandang, keduanya kelihatan bingung.
"Apakah Kui Bin Pang itu merupakai perkumpulan yang baru
muncul di rimba per silatan?"
"Entahlah." Lie Ai Ling menggelengkan kepala. "Aku tidak
begitu jelas. Tapi kakek Tio tahu tentang Kui Bin Pang itu."
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening "Apa yang
dikatakan Tio Tocu mengenai Kui Bin Pang itu?" ,
"Kakek Tio memberitahukan..." Lie Ai Lini menutur sesuai
dengan apa yang dikatakan Tio Tay Seng.
Setelah mendengar penuturan Lie Ai Ling muka Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tion tampak berubah hebat.
"Kui Bin Pang..." gumam Gouw Han Tiong "Tidak salah.
Almarhum pernah menceritaka tentang itu."
"Ayahmu tahu jelas mengenai Kui Bin Pang" Lim Peng Hang
tertegun. "Ketika berusia belasan, ayahku pernah ke kota Giok Bun
Kwan. Di kota perbatasan itu ayahku mendengar tentang Kui
Bin Pang," ujar Gouw Han Tiong dan melanjutkan.
"Perkumpulan itu merupakan perkumpulan misteri, ketua dan
para anggotanya berkepandaian sangat tinggi sekali. Namun
perkumpulan itu tidak pernah memasuki daerah Tionggoan."
"Kalau begitu...." Kening Lim Peng Hang berkerut-kerut.
"Kenapa kini para anggota Kui Bin Pang itu berada di
Tionggoan?"
"Karena itu, Sam Gan Sin Kay menyuruh kita
menyelidikinya," sahut Gouw Han Tiong.
"Ngmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut. kita harus
perintahkan beberapa anggota handal untuk menyelidiki itu."
"Betul." Gouw Han Tiong mengangguk. "Tapi jangan
bentrok dengan mereka sehingga menimbulkan hal-hal yang
tak diinginkan!" Lim Peng Hang manggut-manggut lagi,
kemudian memandang Lie Ai Ling seraya bertanya, iTempo
hari engkau dan Siang Koan Goat melihat mereka, apakah
engkau masih ingat mereka menuju mana?"
"Mereka menuju utara!" Lie Ai Ling mem-itahukan.
"Baiklah," ujar Lim Peng Hang. "Kami akan menyelidiki
tentang itu. Oh ya, Goat Nio tidak lagi menunggu di sini, dia
sudah berangkat ke gunung Thian San."
"Keng Hauw sudah memberitahukan kepadaku"ujar Lie Ai
Ling. "Kakek Lim, aku dan Keng Hauw harus segera berangkat
ke Pulau Hong Hoang To."
"Tidak mau menunggu Goat Nio atau Bun Yang?" tanya Lim
Peng Hang. "Ayah dan ibu berpesan kepadaku, aku harus
segera membawa Keng Hauw ke Pulau Hong Hoang To,"
jawab Lie Ai Ling dan menambahkan. "Lagi pula Keng Hauw
ingin bertemu Hui San."
"Kapan kalian akan berangkat?"
"Besok pagi. Oh ya! Paman Cie Hiong berpesan, kalau
Kakak Bun Yang dan Goat Nio ke mari, tolong suruh mereka
segera pulang ke Pulau Hong Hoang To!"
"Baik." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Kalau mereka
ke mari, pasti kusuruh segera pulang ke Pulau Hong Hoang
To." "Terimakasih, Kakek Lim!" ucap Lie Ai Ling.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Ai Ling, engkau
sungguh beruntung sekali, karena Keng Hauw merupakan
pemuda yang baik, tampan dan penuh kesabaran."
Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw telah meninggalkan markas
pusat Kay Pang, langsung menuju Pulau Hong Hoang To.
Perjalanan ini sung guh menggembirakan mereka. Mereka
bersenda gurau, bercanda ria dan memadukan cinta.
Oleh karena itu, tak terasa sama sekali mereka sudah tiba
di Pulau Hong Hoang To. Dapat dibayangkan, betapa
gembiranya Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa, begitu pula yang
lain. Kou Hun Bijin terus memandang Sie Keng Hauw dengan
penuh perhatian, kelihatannya seakan sedang mengamati
suatu benda antik.
"Bijin!" tegur Sam Gan Sin Kay sambil tertawa pelak. "Ha
ha ha! Kenapa engkau begitu?"
"Ngmmm!" Kou Hun Bijin manggut-manggut. "Pemuda itu
memang pantas menjadi suami Ai Ling."
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak lagi. "Kenapa
engkau berubah menjadi begitu usil?"
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring. 'Aku paling tua di
sini, tentunya berhak menentukan sesuatu."
"Oh, ya?" Sam Gan Sin Kay terbelalak.
"Tio Tocu!" Kou Hun Bijin menatapnya seraya bertanya,
"Apakah aku tidak boleh menentukan sesuatu di sini?"
"Tentu boleh. Tentu boleh..." sahut Tio Tay Seng sambil
tertawa terbahak-bahak.
Sementara Sie Keng Hauw berdiri terbengong-bengong di
tempat, sebab barusan Kou Hun Bijin mengatakan bahwa
dirinya paling tua, itu sungguh mengherankannya.
"Keng Hauw," bisik Lie Ai Ling memberitahu "Kou Hun Bijin
sudah berusia seratus tahun lebih. Suaminya adalah Kim
Siauw Suseng yang juga awet muda."
"Ooooh!" Sie Keng Hauw manggut-manggu dengan mata
terbelalak. "Goat Nio putri mereka." Lie Ai Ling mem beritahukan lagi.
"Pantas Goat Nio begitu cantik, ternyata kedua orang
tuanya awet muda!" bisik Sie Keng Hauw.
"Anak muda," ujar Tio Tay Seng sambil tersenyum.
"Duduklah! Jangan terus berdiri!"
"Terimakasih, Kakek!" ucap Sie Keng Hauv sambil duduk.
Kemudian Lie Ai Ling pun duduk di sebelahnya dengan wajah
berseri-seri. "Bocah," ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa "Hi hi hi! Mari
kuperkenalkan mereka semua Yang duduk di sisiku ini
suamiku tercinta, yang dekil itu adalah pengemis bau dan
yang duduk ditengah-tengah itu adalah Tio Tay Seng, majikan
pulau ini."
Sie Keng Hauw terus-menerus memberi hormat kepada
mereka satu persatu. Hal itu membuat Lie Ai Ling tertawa geli
dalam hati. Sementar Lie Man Chiu dan Tio Hoang Hoa
tersenyum senyum, keduanya tampak merasa suka kepada
pemuda itu. Seusai Kou Hun Bijin memperkenalkan mereka, muncullah
Kam Hay Thian, bersama Lu Hui San, Bokyong Sian Hoa dan
Yatsumi. "Ai Ling!" seru gadis Jepang itu gembira
'Syukurlah engkau pulang bersama Sie Keng Hauw!"
"Yatsumi!" Wajah Lie Ai Ling agak kemerah-merahan.
Kemudian ia berkata kepada Lu Hui San. "Hui San, tahukah
engkau siapa dia?"
"Aku tahu...." Lu Hui San manggut-manggut. "Dia Kakak
Keng Hauw, putra pamanku."
"Adik Hui San!" panggil Sie Keng Hauw sama
memandangnya. "Belasan tahun kita tidak bertemu, engkau...
engkau sudah dewasa!"
"Engkau juga sudah dewasa," sahut Lu Hui San dan
menambahkan. "Aku dengar... engkau dan Ai Ling sudah
saling jatuh hati. Ya, kan?"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk. "Engkau dan Kam Hay
Thian pun sudah saling mencinta, bukan?"
"Itu...." Lu Hui San melirik Kam Hay Thian.
"Kami memang merupakan kawan akrab," sahut Kam Hay
Thian. Betapa kecewanya Lu Hui San mendengar ucapan itu,
sehingga nyaris menangis.
"Benar." Sie Keng Hauw tertawa. "Kalian berdua memang
sudah akrab sekali. Bagus, bagus!"
"Hi hi hi!" Mendadak Kou Hun Bijin tertawa nyaring. "Kalian
tingkatan muda, kalau mau muntahkan isi hati atau memadu
cinta, janganlah diruang ini! Di tempat yang sepi saja, jadi
tidak ada yang mengganggu."
"Biarkan saja!" sahut Sam Gan Sian Kay.
"Kenapa engkau usil?"
"Hai! Pengemis bau!" Kou Hun Bijin melotot "Kenapa
engkau selalu menentangku" Mau dihajar ya?"
"Jangan, jangan!" Sam Gan Sin Kay mengoyang-goyangkan
sepasang tangannya. "Takut aku"
"Hmm!" dengus Kou Hun Bijin dingin sekaligus
mengancam. "Kalau engkau berani lagi pasti kutampar
mulutmu!" "Ampun! Ampun!" sahut Sam Gan Sin Kay
"Sam Gan Sin Kay," ujar Lie Ai Ling memberitahukan. "Aku
sudah menyampaikan pesan itu kepada Kakek Lim."
"Terimakasih!" ucap Sam Gan Sin Kay, yang kemudian
melirik Sie Keng Hauw. "Kalian berdua memang merupakan
pasangan yang serasi."
"Terimakasih, Sam Gan Sin Kay!" ucap Sie Keng Hauw
sambil memberi hormat. "Kami ber dua...."
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak "Ha ha ha! Aku
tahu, kalian berdua sudah saling mencinta, bukan?"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk.
"Keng Hauw____" Wajah Lie Ai Ling tampak kemerahmerahan.
"Engkau...."
"Ai Ling," ujar Sie Keng Hauw sambil tersenyum. "Di
hadapan tingkatan tua, kita harus berterus terang. Tidak boleh
merasa malu."
"Betul! Betul! Ha ha ha...!" Sam Gan Sin Kay terus tertawa
gembira, kemudian bertanya mendadak. "Kapan kalian berdua
akan melangsungkan pernikahan?"
"Eeeeh?" Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling ling memandang,
keduanya tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
"Itu akan dirundingkan nanti," sahut Lie Man Chu.
"Sekarang mereka baru tiba, tidak baik mengutarakan itu."
"Oh ya! Ai Ling!" Kou Hun Bijin menatapnya seraya
bertanya. "Kenapa Goat Nio dan Bun Yang tak pulang?"
"Aku tidak bertemu Goat Nio," sahut Lie Ai Ling
memberitahukan. "Ternyata dia tidak sabar menunggu.
Karena saking rindunya pada Kakak Bun Yang, maka dia
berangkat ke Gunung Thian san."
"Dia berangkat ke Gunung Thian San menyusul Bun Yang?"
Kou Hun Bijin terbelalak.
"Kenapa jadi kacau begitu?"
"Sebab Goat Nio tidak tahu, kalau Kakak Bun Yang sudah
ke mari, bahkan juga sudah berangkat kemarkas pusat Kay
Pang. Lantaran tidak sabar nunggu, akhirnya dia berangkat ke
Gunung Thian San. Beberapa hari kemudian, Kakak Bun Yang
justru tiba di markas pusat Kay Pang, namun takk bertemu
Goat Nio. Karena itu, Kakak Bun Yang segera berangkat ke
Gunung Thian San."
"Mereka berdua...." Kou Hun Bijin menggeleng-gelengkan
kepala. "Main kejar kejaran, kasihan sekali! Mudah-mudahan
mereka akan bertemu di Gunung Thian San!"
"Itu tidak apa-apa," sela Sam Gan Sin Kay "Kejar-kejaran
itu akan memperdalam cinta kasih mereka, sekaligus
membuat mereka semakin rindu satu sama lain."
"Engkau senang ya mengetahui mereka belum bertemu?"
tanya Kou Hun Bijin ketus sambil melotot.
"Aku tidak mengatakan senang, namun...! Sam Gan Sin Kay
tersenyum. "Itu merupakan suatu cobaan bagi mereka."
"Hmm!" dengus Kou Hun Bijin. "Diam! Jangan banyak
omong!" "Baik! Baik! Aku akan diam." Sam Gan Sin Kay segera
menutup mulutnya rapat-rapat.
"Ai Ling," ujar Tio Hong Hoa. "Engkau boleh ke dalam
untuk beristirahat. Ajak juga Sie ken Hauw!"
"Ya." Lie Ai Ling segera menarik Sie Ken Hauw ke dalam.
Kam Hay Thian, Lu Hui San, Bokyong Sian Hoa dan Yatsumi
pun ikut ke dalam. Mereka semua menuju ke halaman
belakang. "Saudara Kam...." Sie Keng Hauw menepuk bahunya. "Aku
gembira sekali bertemu denganmu."
"Sama-sama," sahut Kam Hay Thian sambil tersenyum.
"Aku pun senang sekali bertemu denganmu."
"Hui San adalah adikku, aku harap engkau baik-baik
menjaganya!" ujar Sie Keng Hauw mengandung suatu maksud
tertentu. "Itu...." Kam Hay Thian mengerutkan kening.
"Kak," ujar Lu Hui San cepat. "Aku sudah dewasa, tentunya
bisa menjaga diri sendiri."
"Adik...." Sie Keng Hauw menghela nafas panjang,
kemudian mengalihkan pembicaraan. "Sayang sekali, aku
belum bertemu Bun Yang."
"Dia tampan sekali," ujar Bokyong Sian Hoa mendadak
sambil tersenyum. "Bahkan kepandaian nya juga tinggi sekali."
"Sian Hoa...." Lie Ai Ling tertegun. "Eng-kau....
"Aku tahu, Kakak Bun Yang sangat mencintai Goat Nio,"
ujar Bokyong Sian Hoa. "Goat Nio pun sangat mencintainya.
Kalau mereka berdua tak saling mencinta, aku pasti berupaya
mendampingi Kakak Bun Yang."
"Ngmm!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Engkau adalah
gadis yang blak-blakan, bahkan juga tau diri. Bagus! Engkau
memang pantas menjadi adik Bun Yang."
"Ai Ling!" Bokyong Sian Hoa tertawa kecil, "aku sudah
memanggilnya Kakak Bun Yang."
"Sama." Lie Ai Ling tersenyum. "Sejak kecil aku
memanggilnya Kakak Bun Yang."
"Lagi pula aku pun harus tahu diri," tambah Bokyong Sian
Hoa. "Kakak Bun Yang mencintai Goat Nio, namun dia
menyayangiku. Aku sudah merasa puas. Kita harus ingat akan
satu hal, cinta tidak bisa dipaksa. Kalau dipaksa justru akan
menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan."
"Eeeh?" Lie Ai Ling terbelalak. "Engkau paling kecil di
antara kita, tapi pikiranmu sudah begitu jauh dan matang. Aku
salut kepadamu."
"Yaah!" Bokyong Sian Hoa menghela nafai panjang. "Terus
terang, aku merasa kasihan sekali kepada Hui San."
"Lho?" Lu Hui San tersentak. "Kenapa?"
"Engkau begitu mencintai Kam Hay Thian" sahut Bokyong
Sian Hoa secara blak-blakan. "Namun sebaliknya dia selalu
bersikap acuh tak acuh, kelihatannya dia merindukan gadis
lain." "Sian Hoa____" Air muka Kam Hay Thian tampak berubah.


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau harus tahu, gadis yang engkau rindukan itu
mencintai pemuda lain. Maka percuma engkau
merindukannya. Lebih baik arahkan perhatianmu pada Lu Hui
San! Kalau engkau menolak cintanya, pasti menyesal kelak,"
ujar Bok yong Sian Hoa.
"Engkau____" Wajah Kam Hay Thian tampak tidak senang.
"Hmm!" dengus Bokyong Sian Hoa. "Hui San begitu baik
terhadapmu, namun engkau malah bersikap dingin dan acuh
tak acuh terhadapnya. Aku juga anak gadis, tentunya merasa
simpati padanya, tapi merasa sebal padamu."
"Sian Hoa____" Yatsumi segera menarik tangan gadis itu.
"Jangan terus menegurnya!"
"Dia adalah pemuda yang tak tahu diri," ujar Bokyong Sian
Hoa. "Setahuku, Hui San yang membopongnya ke mari ketika
dia terluka parah. tapi dia...."
"Sian Hoa!" Lie Ai Ling merasa tidak enak. "Sudahlah!
Jangan...."
"Aku merasa kasihan pada Hui San, sebab batinnya tersiksa
sekali," sahut Bokyong Sian Hoa dan menambahkan. "Kalau
aku adalah Hui san, sudah kutendang pemuda yang begitu
macam!" "Sian Hoa____" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.
Kam Hay Thian memandang mereka semua, kemudian
meninggalkan tempat itu dengan kepala tertunduk.
"Hay Thian!" panggil Lu Hui San dengan suara rendah.
"Percuma engkau memanggilnya," sahut Bok-Yong Sian
Hoa. "Dia adalah pemuda yang tak punya perasaan dan tidak
mengenal cinta yang suci murni. Kelak dia pasti hidup
menderita karena itu."
Sementara Sie Keng Hauw diam saja. Namun ia terus
menatap iba pada Lu Hui San. Dalam hal ini, ia tidak bisa
membantu apa-apa.
---ooo0dw0ooo---
Pintu kamar Lie Ai Ling terbuka, Lie Mu Chiu dan Tio Hong
Hoa melangkah ke dalam dengan wajah berseri-seri.
"Ayah, Ibu..." gadis itu tercengang, karena sudah larut
malam kedua orang tuanya justru datang di kamarnya.
"Engkau belum tidur, Nak?" tanya Tio Hong Hoa lembut.
"Aku baru mau tidur," sahut Lie Ai Ling. "Ada urusan apa,
sehingga Ibu dan Ayah ke mari lagi malam?"
"Kami ingin membicarakan sesuatu dengan mu," sahut Tio
Hong Hoa sambil duduk di pinggir tempat tidur, sedangkan Lie
Man Chiu cuma berdiri memandangnya sambil tersenyum.
"Ibu ingin membicarakan apa?" tanya Lie / Ling heran.
"Nak!" Tio Hong Hoa menatapnya dalam-dalam seraya
bertanya, "Engkau sungguh-sungguh mencintai Sie Keng
Hauw?" "Ya." Lie Ai Ling mengangguk.
"Dia juga mencintaimu?" tanya Tio Hong Hoa lagi.
"Ya," jawab Lie Ai Ling dengan wajah agak kemerahmerahan.
"Dia memang mencintaiku."
"Syukurlah!" ucap Tio Hong Hoa. "Lalu bagaimana rencana
kalian?" "Rencana apa?" Lie Ai Ling heran.
"Tentunya mengenai pernikahan kalian," sahut Lie Man
Chiu. "Kira-kira kapan kalian akan melangsungkan
pernikahan?"
"Ayah...." Lie Ai Ling tersipu. "Kami baru saling mencinta,
kenapa Ayah sudah membicarakan itu" Bukankah terlampau
cepat?" "Kalau kalian berdua sudah saling mencinta, apa salahnya
segera melangsungkan pernikahan?" ujar Lie Man Chiu sambil
tertawa. "Ayah!" Lie Ai Ling tersenyum. "Aku tidak mau begitu cepat
menikah, sebab aku belum ingin punya anak."
"Kami justru ingin cepat-cepat menggendong cucu," ujar
Tio Hong Hoa sambil tersenyum. "Karena itu, engkau harus
segera menikah."
"Ibu, aku belum mau menikah." Lie Ai Ling cemberut. "Aku
masih muda, belum bisa mengurusi bayi."
"Jangan khawatir! Ibu akan mengurusinya," ujar Tio Hong
Hoa sungguh-sungguh. "Jadi engkau tidak usah
mengkhawatirkan itu."
"Ibu, pokoknya aku belum mau menikah!" Lie Ai Ling
membanting-banting kaki.
"Baiklah." Tio Hong Hoa tersenyum. "Terus terang, kami
sangat menyukai Sie Keng Hauw Dia memang merupakan
pemuda baik, sopan dan penuh kesabaran."
"Dia memang sabar," ujar Lie Ai Ling mem beritahukan.
"Dia terus menungguku di markas pusat Kay Pang."
"Ngmm!" Tio Hong Hoa manggut-manggut, "Nak, kini
legalah hati kami karena engkau sudah punya kekasih."
"Ibu...." Mendadak wajah Lie Ai Ling tampak agak berubah.
"Aku...."
"Ada apa, Nak?" tanya Tio Hong Hoa sambil menatapnya.
"Hatimu masih terganjel sesuatu" Katakanlah pada ibu!"
"Aku mengkhawatirkan Hui San." Lie Ai Ling menggelenggelengkan
kepala. "Dia begitu mencintai Kam Hay Thian, tapi
Kam Hay Thian malah acuh tak acuh terhadapnya."
"Nak!" Tio Hong Hoa tersenyum. "Cinta tidak bisa dipaksa,
kalau Kam Hay Thian tidak mencintai Lu Hui San, maka Lu Hui
San harus menjauhinya."
"Memang." Lie Ai Ling manggut-manggut "Tapi Hui San
sudah begitu dalam mencintainya aku khawatir mereka akan
terjadi sesuatu kelak"
"Ai Ling," ujar Lie Man Chiu sungguh-sungguh. "Engkau
harus berusaha menasihatinya."
"Ya, Ayah." Lie Ai Ling mengangguk dan memberitahukan.
"Tadi Sian Hoa telah mencetuskan yang pedas dan tajam
terhadap Kam Hay Ihian, mungkin pemuda itu akan
tersinggung."
"Oh?" Tio Hong Hoa mengerutkan kening. 'Itu akan
menimbulkan suatu masalah di pulau"
"Belum tentu," ujar Lie Man Chiu. "Sebab kam Hay Thian
merupakan pemuda yang baik, hanya saja cintanya belum
tumbuh terhadap Hui san. Aku yakin suatu saat nanti, dia
akan mencintainya."
"Mudah-mudahan!" ucap Tio Hong Hoa, kemudian berkata
kepada Lie Ai Ling. "Nak, kami harap engkau dan Keng Hauw
jangan begitu cepat meninggalkan pulau ini, tinggallah di sini
beberapa bulan!"
"Baik." Lie Ai Ling mengangguk. "Akan kuberitahukan
kepadanya, mungkin dia akan menuruti perkataanku."
"Ngmm!" Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa manggutmanggut,
kemudian keduanya pun tersenyum. "Syukurlah!"
---ooo0dw0ooo---
Jilid 9 Bagian ke empat puluh
Bu Ceng Sianli (Bidadari Tanpa Perasaan)
Sementara itu, Siang Koan Goat Nio terus melakukan
perjalanan menuju Gunung Thian San. Enam tujuh hari
kemudian, gadis itu merasa menyesal atas tindakannya.
Gunung Thian San begitu luas, tinggi dan hawanya dingin
sekali. Bagaimana mungkin ia bisa mencari Tio Bun Yang di
sana" Kini barulah terpikirkan olehnya, karena itu ia merasa
menyesal. Seharusnya ia tetap menunggu di markas pusat
Kaypang. Namun sudah terlanjur, maka gadis itu terpaksa
melanjutkan perjalanan.
Hari ini Siang Koan Goat Nio tiba di sebuah kota kecil. Ia
mampir di kedai teh, karena sudah merasa haus sekali
Setelah Siang Koan Goat Nio duduk, pelayan kedai itu
langsung menyuguhkan secangkir teh hangat seraya bertanya,
"Nona mau pesan makanan lain?"
"Tidak usah!" sahut Siang Koan Goat Nio.
Di saat ia baru mau mengangkat cangkirnya, mendadak
melangkah ke dalam seorang gadis berusia dua puluhan.
Bukan main cantiknya gadis itu, sudah barang tentu membuat
para tamu terpukau menyaksikannya.
Siang Koan Goat Nio adalah gadis yang sangal cantik,
namun ia merasa mengakui akan kecantikan gadis yang baru
datang itu. Karena tiada meja yang kosong, maka gadis itu mendekati
meja Siang Koan Goat Nio.
"Adik manis!" tanya gadis itu. "Bolehkah aku duduk di sini?"
"Silakan!" sahut Siang Koan Goat Nio dengan ramah sambil
tersenyum lembut. "Aku gembira sekali Kakak mau duduk
bersamaku."
"Terima kasih!" ucap gadis itu sambil duduk di hadapannya.
Pelayan segera menyuguhkan secangkir teh, kemudian
bertanya dengan sopan dan tersenyum
"Nona mau pesan makanan lain?"
"Sajikan makanan ringan untuk kami berdua!" sahut gadis
itu. "Ya, ya." Pelayan itu mengangguk dan cepat- cepat
menyajikan beberapa macam makanan ringan "Adik manis,
mari kita nikmati makanan ringan ini!" ujar gadis itu sambil
tersenyum ramah.
"Terimakasih, Kak!" ucap Siang Koan Goat Nio, yang
terkesan baik pada gadis itu. Mereka berdua mulai menikmati
makanan ringan sambil mengobrol, dan gadis itu memandang
Siang Koan Goat Nio.
"Adik manis, engkau sungguh cantik!"
"Kakak lebih cantik dariku," sahut Siang Koan Goat Nio. "Oh
ya, bolehkah aku tahu siapa Kakak?"
"Panggillah aku Kakak Cui!"
"Baik." Siang Koan Goat Nio mengangguk lalu
memperkenalkan diri. "Namaku Siang Koan Goat Nio. Kakak
Cui boleh panggil namaku saja."
"Goat Nio, engkau sedemikian cantik, tentunya sudah
punya kekasih, bukan?" tanya gadis itu mendadak.
Siapa sebetulnya gadis itu" Ternyata Tu Siao Cui yang
berusia delapan puluhan itu, murid Thian Gwa Sin Hiap-Tan
Liang Tie. Setelah merendam di sumur alam di dalam goa,
maka Tu Siao Cui berubah menjadi muda seperti gadis berusia
dua puluhan yang cantik jelita.
"Aku...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.
"Kenapa harus malu" Berterus teranglah!" ujar Tu Siao Cui
sambil tertawa. "Aku berterus terang kepadamu, aku belum
punya kekasih."
"Oh?" Siang Koan Goat Nio tampak kurang percaya. "Kakak
Cui secantik bidadari, bagaimana mungkin belum punya
kekasih?" "Yaah!" Tu Siao Cui menghela nafas panjang. "Memang
banyak sekali pemuda mendekatiku, tapi mereka kubunuh
semua." "Haaah...?" Siang Koan Goat Nio terperanjat. "Kenapa
engkau membunuh mereka?"
"Sebab mereka berlaku kurang ajar terhadapku." Tu Siao
Cui memberitahukan. "Belum apa- apa mereka sudah berani
meraba-raba diriku."
"Sungguh sadis dan tak punya perasaan!" Siang Koan Goat
Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Bukankah mereka bisa
kau usir, jadi tidak usah kau bunuh?"
"Hmm!" dengus Tu Siao Cui dingin. "Pemuda- pemuda
macam itu cuma mengotori dunia, lebih baik dibasmi!"
"Kakak Cui...." Siang Koan Goat Nio terbelalak.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa geli. "Kenapa engkau
terbelalak" Takut padaku ya?"
"Aku tidak takut, hanya tidak menyangka...." Siang Koan
Goat Nio menghela nafas panjang.
"Aku memang Bu Ceng Sianli (Bidadari Tanpa Perasaan)."
Tu Siao Cui memberitahukan sambil tertawa. "Maka engkau
tidak usah merasa heran aku begitu sadis. Tapi aku tidak
sembarangan membunuh."
"Kakak Cui...." Di saat Siang Koan Goat Nio ingin
mengatakan sesuatu, mendadak muncul belasan orang
berpakaian hijau, yang tidak lain adalah anggota Seng Hwee
Kauw. Ketika melihat Siang Koan Goat Nio dan Tu Siao Cui, para
anggota Seng Hwee Kauw itu langsung tertawa gembira.
"Ha ha ha! Ada dua gadis cantik di kedai teh ini, sungguh
beruntung kita hari ini!"
Sementara para tamu lain sudah kabur terbirit-birit,
sehingga di dalam kedai itu cuma tertinggal Siang Koan Goat
Nio dan Tu Siao Cui. Pemilik kedai itu dan beberapa
pelayannya sudah menggigil ketakutan, mereka mencemaskan
kedua gadis itu.
"Ha ha ha! Nona-nona manis!" Kepala anggota Seng Hwee
Kauw mendekati Siang Koan Goat Nio dan Tu Siao Cui.
"Bolehkah aku duduk di sini?"
"Tentu boleh," sahut Tu Siao Cui sambil tersenyum manis.
"Silakan duduk!"
"Terima kasih! Terimakasih!" Kepala anggota Seng Hwee
Kauw itu gembira sekali lalu duduk seraya bertanya, "Kalian
berdua berasal dari mana?"
"Dari Kang Lam," sahut Tu Siao Cui.
"Pantas kalian berdua begitu cantik!" ujar Kepala anggota
Seng Hwee Kauw itu sambil tertawa. "Ternyata kalian berasal
dari Kang Lam!"
"Oh ya!" Tu Siao Cui. Tertawa kecil. "Engkau tampak begitu
gagah dan membawa begitu banyak anak buah. Bolehkah aku
tahu engkau dari partai mana?"
"Seng Hwee Kauw," sahut Kepala anggota Seng Hwee
Kauw itu sambil membusungkan dada, karena barusan Tu Siao
Cui mengatakannya begitu gagah.
"Jadi kalian bukan berasal dari tujuh partai besar!" ujar Tu
Siao Cui dan menambahkan. "Seng Hwee Kauw tidak begitu
terkenal."
"Seng Hwee Kauw sangat terkenal, bahkan tak lama lagi
akan menguasai rimba persilatan."
"Oh, ya?" Tu Siao Cui tertawa. "Siapa Ketua Seng Hwee
Kauw?" "Seng Hwee Sin Kun. Ketua kami berkepandaian tinggi
sekali. Kami semua pun berkepandaian cukup tinggi. Engkau
membawa pedang, apakah kalian juga gadis rimba
persilatan?"
"Bukan." Tu Siao Cui tersenyum. "Tapi kami pernah belajar
ilmu silat, maka kami membawa pedang untuk menakuti para
penjahat."
"Oooh!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw tertawa. "Kalian


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua sudah berkenalan dengan kami, maka kami berani
jamin tiada seorang penjahat pun berani mengganggu kalian."
"Kalau begitu, kami harus berterima kasih kepadamu!" ucap
Tu Siao Cui. "Sungguh beruntung kami berkenalan dengan
kalian!" "Tidak salah! Ha ha ha! Bahkan kalian pun tidak akan
kesepian, sebab kami semua siap melayari kalian berdua!"
"Oh?" Tu Siao Cui tersenyum. "Maaf, aku tidak mengerti
maksudmu! Bolehkah engkau menjelaskan?"
"Engkau harus tahu, kami semua lelaki gagah. Pokoknya
pasti dapat memuaskan kaum anak gadis yang mana pun.
Nah, engkau mengerti?"
"Aku...." Tu Siao Cui menggelengkan kepala. "Aku masih
kurang mengerti, tolong jelaskan sekali lagi agar aku
mengerti!"
"Begini...." Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu berbisik.
"Kami semua siap menemani kalian berdua tidur."
"Oh, itu!" Tu Siao Cui tertawa merdu. "Tapi kalau kami
tidak mau, bagaimana kalian?"
"Ha ha ha! Jangan sampai kami bertindak secara paksa!"
"Kalau begitu...." Tu Siao Cui menatapnya. "Kalian sudah
sering memperkosa anak gadis?"
"He he he!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu cuma
tertawa terkekeh. "He he he...!"
"Jadi...." Tu Siao Cui tersenyum. "Kami berdua harus
menemani kalian tidur?"
"Betul."
"Goat Nio," ujar Tu Siao Cui. "Bagaimana engkau, apakah
engkau bersedia menemani mereka tidur?"
"Kakak Cui! Engkau...." Siang Koan Goat melotot.
"Kita tidak bisa melawan mereka, maka terpaksa harus
menemani mereka tidur," ujar Tu Siao Cui sambil memberi
isyarat. "Engkau tidak berkeberatan, bukan?"
"Aku...." Siang Koan Goat Nio tidak mengerti akan isyarat
itu. "Terserah Kakak Cui."
"Baiklah." Tu Siao Cui manggut-manggut, kemudian
memandang Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu seraya
berkata, "Kalau begitu, kita harus pergi ke tempat yang sepi."
"Benar! Benar!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu
tertawa gembira, lalu meninggalkan kedai teh itu. Para anak
buahnya langsung mengikutinya sambil tertawa terbahakbahak.
"Mari kita ikut mereka!" Tu Siao Cui menarik Siang Koan
Goat Nio. "Kakak Cui...." Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening.
"Tenang saja!" Tu Siao Cui tersenyum. "Aku tahu engkau
pun berkepandaian tinggi, tentunya engkau tidak takut
terhadap mereka."
Siang Koan Goat Nio tidak menyahut.
Tak seberapa lama kemudian, mereka sudah sampai di
suatu tempat yang sangat sepi. Tempat itu merupakan sebuah
rimba. "He he he!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa
terkekeh. "Bagaimana dengan tempat ini" Kalian berdua
merasa cocok?"
"Cocok sekali," sahut Tu Siao Cui.
"Kalau begitu, cepatlah kalian buka!"
"Buka apa?"
"Buka pakaian kalian," sahut Kepala anggota Seng Hwee
Kauw itu sambil tertawa. "Ha ha ha...!"
"Seharusnya kalian yang buka duluan, tidak mungkin kaum
wanita yang buka pakaian duluan, bukan?"
"Itu...." Kepala anggota Seng Hwee Kauw memandang
yang lain seraya bertanya. "Bagaimana menurut kalian?"
"Apa yang dikatakan nona itu memang benar, kita kaum
lelaki yang harus buka pakaian duluan," sahut mereka sambil
tertawa. "Ha ha ha! Pokoknya kita harus bergilir secara adil!"
"Beres." Kepala anggota Seng Hwee Kauw tertawa
terkekeh. "Seperti biasa... harus aku yang menikmatinya
duluan." "Ayoh!" desak Tu Siao Cui sambil tertawa genit. "Cepatlah
kalian buka, pokoknya kalian semua pasti memperoleh giliran
secara memuaskan."
"Eeeh!" Siang Koan Goat Nio terbelalak. "Kakak Cui...."
"Tenang saja!" sahut Tu Siao Cui.
Sementara Kepala anggota Seng Hwee Kauw dan lainnya
sudah mulai melepaskan pakaian masing-masing. Setelah
tinggal tersisa celana dalam, mereka mendekati Tu Siao Cui
dan Siang Koan Goat Nio dengan penuh nafsu birahi.
"Kalian sudah siap?" tanya Tu Siao Cui merdu.
"Nona, kami... kami sudah tidak tahan nih! Ayohlah!
Cepatan dikit!"
"Baik," sahut Tu Siao Cui dan mendadak tertawa nyaring
sambil menggerakkan jari tangannya ke arah para anggota
Seng Hwee Kauw itu.
Sungguh menakjubkan, karena jari tangannya
memancarkan cahaya, yang kemudian meluncur laksana kilat
ke arah dada para anggota Seng Hwee Kauw.
"Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan yang
menyayatkan hati. Belasan anggota Seng Hwee Kauw itu telah
terkapar berlumuran darah, dada mereka berlubang tertembus
Hian Goan Ci (Ilmu Jari Sakti) yang dilancarkan Tu Siao Cui.
"Engkau... engkau...." Kepala anggota Seng Hwee Kauw
masih sempat menudingnya. "Engkau... engkau siapa?"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Aku Bu Ceng Sianli
(Bidadari Tanpa Perasaan)! Hi hi hi...!"
"Haaah...!" Mata Kepala anggota Seng Hwee Kauw
mendelik-delik, kemudian nyawanya melayang.
"Kakak Cui...." Siang Koan Goat Nio tidak tega menyaksikan
kematian mereka. "Engkau... engkau sungguh sadis!
"Goat Nio!" Tu Siao Cui tersenyum. "Yang sadis aku atau
mereka" Seandainya kita tidak memiliki ilmu silat, apa yang
akan terjadi atas diri kita" Bukankah mereka akan
memperkosa kita secara bergilir" Nah, mereka begitu jahat
maka aku harus membunuh mereka demi membela sesama
kaum wanita."
"Kakak Cui...." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Goat Nio!" Tu Siao Cui tersenyum lagi. "Mereka adalah
para penjahat, jadi pantas diberantas. Engkau berhati lemah,
itu akan membahayakan dirimu sendiri lho!"
"Tapi...." Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang.
"Cukup melukai mereka saja, tidak perlu membunuh."
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Engkau berhati
bijak dan penuh rasa kasihan, maka engkau tidak boleh
berkecimpung di rimba persilatan. Lebih baik hidup tenang di
suatu tempat yang sepi."
"Aku memang tidak ingin berkecimpung di rimba persilatan,
hanya saja...." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku sedang mencari seseorang...."
"Mencari seseorang?" Tu Siao Cui menatapnya seraya
bertanya. "Mencari kekasihmu?"
"Ng!" Siang Koan Goat Nio mengangguk dengan wajah
agak kemerah-merahan.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Engkau tidak perlu
mencarinya, seharusnya dia yang mencarimu."
"Tapi...." Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening,
kemudian menatapnya seraya berkata. "Engkau seperti
ibuku...."
"Oh, ya?"
"Engkau dan ibuku sama-sama suka tertawa cekikikan.
Heran! Kenapa bisa begitu?"
"Siapa ibumu?"
"Kou Hun Bijin."
"Apa?" Tu Siao Cui terbelalak. "Ibumu adalah Kou Hun Bijin
yang awet muda itu?"
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Engkau kenal
ibuku?" "Puluhan tahun lalu, kami pernah bertemu." Tu Siao Cui
memberitahukan, kemudian menatapnya dengan penuh
keheranan. "Engkau adalah anak angkatnya?"
"Aku anak kandungnya, ayahku adalah Kim Siauw Suseng."
"Apa?" Tu Siao Cui tertegun. "Kim Siauw Suseng yang juga
awet muda itu ayahmu?"
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk, gadis itu
memandangnya dengan mata terbelalak. "Tadi engkau bilang,
puluhan tahun lalu pernah bertemu ibuku?"
"Benar."
"Bagaimana mungkin?" Siang Koan Goat Nio tidak percaya.
"Usiamu baru dua puluhan."
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Kalau kubilang
usiaku sudah hampir sembilan puluh, engkau percaya?"
"Tentu tidak."
"Ayah dan ibumu awet muda, apakah aku tidak bisa dari
tua kembali menjadi muda seperti anak gadis berusia dua
puluhan?" "Itu...." Siang Koan Goat Nio tetap tidak percaya. "Aku
tidak percaya sama sekali."
"Kelak engkau pasti percaya." Tu Siao Cui tersenyum. "Oh
ya, Goat Nio, kita terpaksa harus berpisah di sini, karena
masih ada urusan yang harus kuselesaikan."
"Kakak Cui...." Siang Koan Goat Nio memandangnya seraya
bertanya. "Tadi engkau menggunakan ilmu apa membunuh
para anggota Seng Hwee Kauw itu?"
"Hian Goan Ci!" Tu Siao Cui memberitahukan.
"Hian Goan Ci?" Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening.
"Ilmu apa itu?"
"Ilmu jari sakti," ujar Tu Siao Cui menjelaskan. "Tadi aku
menggunakan empat bagian lwee- kangku, maka dada
mereka tertembus oleh ilmu tersebut. Seandainya aku cuma
menggunakan dua atau tiga bagian lweekangku, mereka
hanya akan mengalami kelumpuhan."
"Kalau begitu, kenapa engkau tidak melumpuhkan mereka,
melainkan membunuh mereka?"
"Engkau harus tahu, mereka adalah penjahat yang suka
memperkosa wanita," sahut Tu Siao Cui. "Oleh karena itu,
mereka harus diberantas tanpa ampun."
Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Goat Nio!" Tu Siao Cui tersenyum. "Kalau kita berjodoh,
kelak pasti akan berjumpa lagi."
"Ya." Siang Koan Goat Nio manggut-manggut.
"Goat Nio, sampai jumpa!" ucap Tu Siao Cui lalu melesat
pergi. Siang Koan Goat Nio berdiri termangu-mangu di tempat,
kemudian memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mendadak muncul beberapa orang berpakaian hijau, yang
ternyata para anggota Seng Hwee Kauw. Begitu melihat
mayat-mayat itu, wajah mereka langsung berubah.
"Nona yang membunuh mereka?" tanya salah seorang dari
mereka. "Bukan," sahut Siang Koan Goat Nio. "Yang membunuh
mereka telah pergi, kalian terlambat ke mari."
"Siapa orang itu?"
"Bu Ceng Sianli."
"Haaah?" Para anggota Seng Hwee Kauw itu tampak
terkejut. Mereka saling memandang. "Mari kita bawa mayatmayat
itu ke markas!"
Siang Koan Goat Nio menatap mereka sejenak, kemudian
barulah melesat pergi. Para anggota Seng Hwee Kauw itu
tidak memperdulikannya, karena sibuk mengumpulkan mayatmayat
itu. -ooo0dw0ooo- Siang Koan Goat Nio melanjutkan perjalanan menuju
Gunung Thian San. Ketika berada di tempat sepi, mendadak ia
mendengar suara siulan aneh yang menyeramkan, kemudian
terdengar pula suara derap kaki kuda.
Segeralah ia melompat ke balik sebuah pohon, lalu
mengintip ke arah suara siulan aneh yang menyeramkan itu.
Berselang sesaat, tampak belasan ekor kuda berpacu cepat.
Para penunggangnya berpakaian serba putih dan memakai
kedok setan. Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening. Kelihatannya ia
sedang berpikir. Akhirnya ia manggut-manggut seakan telah
mengambil suatu keputusan.
Setelah kuda-kuda itu lewat, gadis itu langsung melesat
menggunakan ginkang mengikuti mereka. Ketika hari mulai
gelap, sampailah ia di suatu tempat yang merupakan sebidang
padang rumput. Siang Koan Goat Nio melesat ke atas pohon, untuk
bersembunyi di situ sambil mengintip. Tampak di padang
rumput itu telah berkumpul lima puluhan orang berpakaian
putih. Di tengah-tengah padang rumput itu terdapat sebuah batu
besar. Seorang berpakaian putih perak bergemerlapan dan
berkedok setan berdiri di atas batu itu. Di belakangnya berdiri
lima orang. Berapa usia mereka, sama sekali tidak bisa diketahui,
karena semuanya memakai kedok setan.
"Saudara-saudara sekalian! Dalam waktu beberapa bulan
ini, aku terus-menerus meluncurkan kembang api
perkumpulan kita, itu agar kalian berkumpul di sini!" ujar
orang berpakaian putih perak dengan suara lantang. "Hampir
seratus tahun perkumpulan kita bubar secara tidak langsung,
itu dikarenakan ketua yang lama menghilang tiada jejaknya di
daerah Tionggoan ini. Beberapa tahun lalu, aku terjatuh ke
dalam jurang, kemudian tanpa sengaja aku memasuki sebuah
goa. Di dalam goa itu aku menemukan sosok tubuh, yang
ternyata mayat Pek Kut Lojin (Orang Tua Tulang Putih). Di
hadapan mayat itu terdapat sebuah kitab catatan ilmu silat
dan catatan mengenai riwayat Pek Kut Lojin, bahkan terdapat
pula sepucuk surat dari kulit binatang. Selanjutnya aku harap
Ngo Sat Kui (Lima Setan Algojo) menjelaskan kepada saudarasaudara
sekalian."
Kelima orang yang berdiri di belakang orang itu melangkah
maju, kemudian salah seorang dari mereka berkata dengan
lantang. "Kami berlima adalah Ngo Sat Kui, ayah kami adalah
pengawal Pek Kut Lojin, ketua Kui Bin Pang. Beberapa bulan
lalu, kami melihat kembang api perkumpulan kita meluncur ke
atas, maka kami berlima segera berangkat ke mari. Kami
bertemu ketua yang baru, itu telah disahkan oleh ketua yang


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama dengan surat keputusan. Kami berlima telah membaca
surat keputusan itu, bahkan kami pun telah menguji
kepandaiannya. Tidak salah, kepandaian yang dimilikinya
adalah kepandaian Pek Kut Lojin, begitu pula pakaian dan
kedok yang dipakainya sekarang."
"Bagaimana ketua yang lama berada di dalam goa itu?"
tanya salah seorang anggota.
"Ketua yang lama terkena pukulan sehingga jatuh ke dalam
jurang," sahut salah seorang Ngo Sat Sin yaitu Toa Sat Sin.
"Oleh karena itu, hampir seratus tahun tiada kabar beritanya.
Kini perkumpulan kita sudah ada ketuanya, ini merupakan
keberuntungan bagi Kui Bin Pang kita."
"Siapa yang memukul jatuh ketua yang lama?" tanya salah
seorang anggota lagi.
"Ketua yang lama telah memberitahukan di dalam kitab
catatannya, ternyata adalah Tio Po Thian, majikan Pulau Hong
Hoang To," jawab Toa Sat Kui dan menambahkan. "Maka
pihak Pulau Hong Hoang To adalah musuh besar kita. Kalau
sudah tiba waktunya, kita akan membasmi pihak Pulau Hong
Hoang To, bahkan juga akan membasmi Kay Pang dan partaipartai
lainnya." Betapa terkejutnya Siang Koan Goat Nio mendengar itu,
sementara Toa Sat Kui mulai melanjutkan.
"Kini kita masih belum berhasil menemukan Tianglo
(Tetua), dan dua orang Hu Hoat (Pelindung), maka kita belum
bisa bergerak. Kami berlima akan berusaha mencari Tetua dan
dua Pelindung itu. Kalau mereka sudah wafat, tentunya
mereka punya turunan. Apabila turunan mereka tidak mau
bergabung, kami berlima harus bertindak tegas terhadap
turunan mereka."
"Kami semua pasti setia kepada ketua yang baru!" seru
para anggota. "Hidup Kui Bin Pang! Hidup ketua yang baru!"
"Bagus! Bagus!" Toa Sat Kui tertawa gelak. "Ha ha ha! Dua
bulan kemudian kita akan bertemu kembali di markas!
Sekarang kalian boleh bubar!"
Para anggota Kui Bin Pang itu mulai melesat pergi sambil
mengeluarkan siulan aneh yang menyeramkan, dan tak lama
terdengarlah suara derap kaki kuda.
Sementara Siang Koan Goat Nio yang mengintip di atas
pohon itu belum berani bergerak. Setelah ketua Kui Bin Pang
dan Ngo Sat Sin itu melesat pergi, barulah gadis itu menghela
nafas lega sambil berpikir.
Berselang beberapa saat kemudian, ia melesat pergi
menuju arah timur. Ternyata ia telah mengambil keputusan
untuk kembali ke markas pusat Kay Pang, karena harus
memberitahukan kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
tentang apa yang didengarnya tadi. Itu memang penting
sekali, sebab menyangkut Pulau Hong Hoang To.
-oo0dw0oo- Bagian ke empat puluh satu
Perkenalan yang merepotkan
Ho Bun Yang terus melakukan perjalanan ke Gunung Thian
San. Hari ini ia tiba di sebuah desa. Kebetulan ada sebuah
kedai teh di pinggir jalan, maka ia mampir untuk melepaskan
dahaga. Cukup ramai kedai teh itu. Para tamu terdiri dari kaum
pedagang dan kaum rimba persilatan, bahkan terdapat
beberapa pelancong pula.
Begitu Tio Bun Yang duduk, pelayan kedai itu segera
menyuguhkan secangkir teh seraya bertanya.
"Tuan mau pesan makanan lain?"
"Tidak usah," sahut Tio Bun Yang sambil menggelenggelengkan
kepala. Sementara beberapa pedagang bercakap-cakap dengan
serius sekali. Wajah mereka tampak memucat.
"Belum lama ini di Gurun Sih Ih telah muncul setan iblis
yang menunggang kuda."
"Omong kosong! Mana ada setan iblis me. nunggang kuda"
Engkau sudah mabuk ya?"
"Aku tidak mabuk, memang telah muncul setan iblis di
Gurun Sih Ih. Aku... aku menyaksikannya dengan mata kepala
sendiri. Iiiih, sungguh menyeramkan!"
"Oh" Engkau menyaksikan setan iblis itu dengan mata
kepala sendiri?"
"Ya. Setan iblis itu berpakaian putih, menunggang kuda
sambil mengeluarkan suara siulan aneh yang menyeramkan.
Wajah mereka seram sekali!"
"Engkau melihat jelas wajah mereka?"
"Hanya sekelebatan saja."
"Kalau begitu... mungkin mereka memakai kedok setan."
"Entahlah. Yang jelas sangat menyeramkan Aku... aku
nyaris pingsan seketika itu."
"Mereka menuju ke mana?"
"Ke arah Tionggoan. Aku yakin setan iblis itu sudah berada
di daerah Tionggoan."
"Setan iblis itu tidak mengganggumu?"
"Kalau setan iblis itu menggangguku, bagaimana mungkin
aku masih bernafas sampai di sini?"
"Menurut aku..." ujar pedagang yang tampak agak
berpengalaman. "Itu bukan setan iblis, melainkan manusia
biasa seperti kita. Hanya saja mereka berkepandaian tinggi,
dan berasal dari suatu golongan. Kita bukan kaum rimba
persilatan, jadi tidak usah takut, karena mereka tidak ikan
mengganggu kita."
"Mudah-mudahan begitu! Tapi kota Giok Bun Kwan sudah
mulai sepi, sebab para pedagang tidak berani ke daerah lain
melalui Gurun Sih Ih. Aku pun sudah tidak mau berdagang ke
daerah-daerah yang berdekatan Gurun Sih Ih. Aku... aku
masih merasa seram dan takut."
Pada waktu bersamaan, di meja lain tampak beberapa
lelaki berpakaian ringkas. Mereka adalah kaum rimba
persilatan, juga sedang membicarakan sesuatu dengan serius
sekali. "Beberapa bulan ini, di rimba persilatan telah muncul
seorang gadis yang amat cantik mempesonakan. Siapa yang
melihatnya pasti akan jatuh hati padanya. Gadis itu memang
cantik sekali."
"Aku pun pernah mendengar tentang gadis itu. Apakah
engkau pernah melihatnya?"
"Tidak pernah. Akan tetapi gadis itu sangat uidis sekali.
Siapa yang berani berlaku kurang ajar padanya, pasti
dibunuhnya tanpa ampun!"
"Itu sesuai dengan julukannya."
"Engkau tahu julukannya?"
"Tahu. Julukannya adalah Bu Ceng Sianli (Bidadari Tanpa
Perasaan). Gadis itu memang tak punya perasaan. Membunuh
orang sambil tersenyum, seakan membunuh seekor semut."
Mendengar penuturan itu, Tio Bun Yang menggelenggelengkan
kepala. Pada waktu bersamaan muncul pula
seorang gadis ke dalam kedai teh itu. Kecantikan gadis itu sulit
diuraikan dengan kata-kata. Begitu melihat gadis itu, para
tamu terbelalak dengan mulut ternganga lebar.
Tio Bun Yang juga memandang gadis itu sejenak, namun
sikapnya tidak seperti para tamu lain. Sementara gadis itu
menengok ke sana kt mari, kemudian mendekati meja Tio Bun
Yang. "Adik kecil, bolehkah aku duduk di sini?"
"Tentu boleh, Kakak besar," sahut Tio Bun Yang. Karena
gadis itu memanggilnya 'Adik kecil', maka ia memanggilnya
'Kakak besar', itu membuat gadis tersebut tertawa geli.
"Hi hi hi!" Suara tawanya merdu bagaikan kicauan burung,
menggetarkan kalbu para lelaki di kedai itu. Gadis tersebut
duduk sambil menatap Tio Bun Yang. "Adik kecil, engkau
sungguh tampan dan lucu!"
"Kakak besar," sahut Tio Bun Yang dan nn mandangnya.
"Engkau amat cantik dan menggeli kan."
"Oh, ya?" Gadis itu tertawa lagi.
Siapa gadis itu" Tidak lain adalah Bu Ceng Sianli-Tu Siao
Cui. Kaum rimba persilatan di kedai teh itu sama sekali tidak
mengenalnya. Mereka cuma mendengar tentang dirinya tapi
tidak pernah melihatnya.
"Sungguh beruntung pemuda itu!" bisik seseorang kepada
temannya. "Gadis yang cantik jelita itu duduk bersamanya."
"Tentu. Karena pemuda itu sangat tampan, tidak seperti
kita yang berwajah tidak karuan."
"Kalau aku bisa memperisterinya, jadi budaknya pun aku
rela." "Gadis itu memang cantik sekali. Kelihatannya dia tertarik
pada pemuda itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia mau
duduk bersamanya?"
"Sayang sekali dia tidak mau duduk bersama kita di sini!"
"Bagaimana mungkin gadis itu mau duduk bersama kita"
Dia masih muda dan cantik sekali, sedangkan kita berwajah
tidak karuan dan sudah berusia tiga puluhan."
Sementara gadis itu terus-menerus memandang Tio Bun
Yang, sepertinya sedang mengamati sesuatu benda antik yang
sangat menarik hatinya.
"Adik kecil, bolehkah aku tahu namamu?"
"Namaku Tio Bun Yang."
"Oooh!" Gadis itu manggut-manggut sambil tersenyum
manis. "Kenapa engkau tidak bertanya namaku?"
"Tidak baik sembarangan bertanya nama seorang gadis,
aku tidak mau dikatai kurang ajar."
"Kalau engkau menanyakan namaku, tentu aku tidak akan
mengataimu kurang ajar," ujar Tu Siao Cui sambil menatapnya
dalam-dalam, lalu memperkenalkan diri. "Namaku Tu Siao
Cui." "Tu Siao Cui" Tu Siao Cui..." gumam Tio Bun Yang dengan
kening berkerut-kerut. "Tu Siao Cui...."
"Eh" Anak kecil!" Tu Siao Cui tertegun. "Kenapa engkau
terus-menerus bergumam menyebut namaku?"
"Aku pernah mendengar namamu, tapi tidak mungkin dia
adalah engkau," sahut Tio Bun Yang.
"Oh?" Tu Siao Cui terbelalak. "Di mana engkau pernah
mendengar namaku?"
"Aku pernah bertemu seorang tua di dalam sebuah goa di
Gunung Hong San. Orang tua itu dibelenggu dengan rantai
baja." "Apa?" Tu Siao Cui tampak terkejut. "Orang tua itu masih
hidup?" "Sudah mati." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Orang tua itu punya seorang murid perempuan yang sangat
jahat. Murid perempuan itulah yang merantainya. Tapi
sebelumnya dia pun berhasil memukul murid perempuannya."
"Siapa orang tua itu?"
"Thian Gwa Sin Hiap-Tan Liang Tie."
"Dia yang menceritakan itu kepadamu?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Ternyata dia salah
tangan membunuh kedua orang tua Tu Siao Cui. Demi
menebus dosanya, maka dia mengurusi Tu Siao Cui."
"Hmm!" dengus Tu Siao Cui. "Syukurlah dia sudah
mampus!" "Eh" Engkau...." Tio Bun Yang menatapnya heran. "Kok
engkau tidak bersimpati kepadanya?"
"Dia telah membunuh kedua orang tua Tu Siao Cui, kenapa
aku harus bersimpati kepadanya?"
"Orang tua itu sangat menyesal, namun Tu Siao Cui itu
sangat kejam," ujar Tio Bun Yang. "Tidak ingat budi, malah
menyiksanya di dalam goa itu"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Engkau merasa
kasihan pada orang tua itu?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Tapi juga merasa
kasihan pada Tu Siao Cui itu, entah bagaimana dia?"
"Engkau juga kasihan pada Tu Siao Cui itu?" tanya Tu Siao
Cui bernada girang.
"Yaaah!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Dia pun
terluka, tapi masih sempat membawa pergi kitab Hian Goan
Cin Keng. Itu adalah kejadian enam puluh tahun lampau,
maka bagaimana mungkin Tu Siao Cui itu masih hidup?"
Halaman 28-29 tidak ada
"Aku Hek Sim Popo! Engkau pernah mendengar namaku?"
"Hek Sim Popo..." gumam Tu Siao Cui. "Aku tidak pernah
mendengar namamu tu, sungguh!"
"Engkau murid siapa" Kenapa berani menentang Seng
Hwee Kauw?" tanya Hek Sim Popo sengit
"Engkau tidak usah tahu aku murid siapa !" sabut Tu Siao
Cui sambil tertawa nyar.ng. "Para anggota Seng Hwee Kauw
itu kurang ajar terhadapku, maka aku membunuh mereka!"
"Hmm!" dengus Hek Sim Popo dingin. "Hari ini engkau
harus mampus!"
"Oh, ya?" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Jangan-jangan
engkau dan para anak buahmu itu yang akan mampus!"
"Hek Sim Popo," ujar Tio Bun Yang mendadak. "Seng Hwee
Sin Kun, ketua kalian itu sudah pulih?"
"Engkau...." Hek Sim Popo tersentak, kemudian
menatapnya tajam. "Engkau adalah Giok Siauw Sin Hiap?"
"Betul." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Hek Sim Popo.
lebih baik kalian segera enyah dari sini! Jangan cari penyakit!
Setelah Seng Hwee Sin Kun pulih, aku akan membuat
perhitungan dengannya."
"Giok Siauw Sin Hiap! Itu adalah urusanmu dengan Seng
Hwee Sin Kun, namun sekarang aku punya urusan dengan
dia!" sahut Hek Sim Popo sambil menuding Tu Siao Cui.
"Bagus! Bagus!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "H hi hi!
Berarti kalian sudah bosan hidup!"
"Bu Ceng Sianli!" bentak Hek Sim Pono. "Hari ini engkau
harus mampus!"
"Hek Sim Popo, jadi engkau mau bertarung denganku?"
tanya Tu Siao Cui dengan kening berkerut.
"Engkau takut?" sahut Hek Sim Popo sambil tertawa dingin.
"Takut" He he he!" Tu Siao Cui tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku sama sekali tidak kenal apa itu takut! Mari kita bertarung
di luar, agar tidak menghancurkan kedai teh ini!"
"Baik!" Hek Sim Popo mengangguk.
Mereka melesat ke luar, begitu pula para anggota Seng
Hwee Kauw dan Tio Bun Yang. Tu Siao Cui dan Hek Sim Popo
berdiri berhadapan, dan mula mengeluarkan Iweekang
masing-masing. Tio Bun Yang berdiri agak jauh, namun perhatiannya
dicurahkan pada Tu Siao Cui, karena ingin menyaksikan


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaiannya. "Lihat serangan!" bentak Hek Sim Popo mendadak,
sekaligus menyerang Tu Siao Cui dengan ilmu pukulan
andalannya. Tu Siao Cui tertawa nyaring, kemudian secepat kilat berkelit
dan balas menyerang. Ter-jadilah pertarungan yang amat seru
dan sengit. Belasan jurus kemudian mendadak Tu Siao Cui
berseru. "Hek Sim Popo! Berhati-hatilah, aku akan mencabut
nyawamu!" "Engkau yang akan mampus!" sahut Hek Sim Popo, dan
tiba-tiba menyerang Tu Siao Cu dengan senjata ranasia.
Serrt! Serrrrt! Serrrr...! Senjata-senjata rahasia itu
meluncur cepat ke arah Tu Siao Cui.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring sambil mengibaskan
lengan bajunya.
Sungguh luar biasa! Senjata-senjata rahasia itu terpukul
jatuh semua. Di saat itulah Tu Siao Cui mengeluarkan Hian
Goan Ci. Tampak sinar putih berkelebat ke arah Hek Sim
Popo. Begitu cepat, sehingga Hek Sim Popo tidak sempat berkelit,
tapi berusaha menangkis.
Cessss! "Aaaaakh..!" jerit Hek Sim Popo. Ia terhuyung-huyung ke
belakang lalu terkapar berlumuran darah. Ternyata dadanya
telah berlubang dan nyawanya melayang seketika.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa. "Dia yang cari mampus,
bukan aku yang ingin membunuhnya!"
"Sebetulnya engkau tidak perlu membunuhnya, cukup
melukainya saja," ujar Tio Bun Yang sambil menggelenggelengkan
kepala. "Oh?" sahut Tu Siao Cui sambil tersenyum "Bahkan aku pun
akan membunuh mereka semua!"
Tu Siao Cui ti bergerak, bersamaan itu Tio Bun Yang pun
bergerak menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah
Kilat). "Haaah..?" Bukan main terkejutnya Tu Siao Tui, karena Tio
Bun Yang sudah berada dihadapannya.
"Sudahlah!" ujar Tio Bun Yang, "Engkau sudah membunuh
Hek Sim Popo, jangan membunuh mereka lagi!"
"Adik kecil! Engkau...." Tu Siao Cui mengerutkan kening.
"Engkau berani menghalangiku?"
"Dimana masih bisa mengampuni orang, ampunilah!" sahut
Tio Bun Yang dan menambahkan. "Membunuh merupakan
perbuatan yang sangat berdosa, janganlah engkau membuat
takdir buruk pada dirimu sendiri!"
"Engkau...." Tu Siao Cui terbelalak, kemudian tertawa
geli."Hi hi hi! Kelihatannya engkau pantang membunuh, maka
seharusnya engkau pergi bertapa atau jadi bikhu."
Sementara para anggota Seng Hwee Kauw saling
memandang. Mereka tahu nyawa mereka dalam bahaya.
Namun mereka sama sekali tidak berani kabur, hanya
berharap Bu Ceng Sianli akan mendengar perkataan Tio Bun
Yang. "Kakak!" Tio Bun Yang menatapnya. "Engkau secantik
bidadari, haruslah berhati welas asih. Jangan suka membunuh
menodai dirimu sendiri, lepaskanlah mereka!"
"Bagaimana kalau aku tidak bersedia melepaskan mereka?"
"Aku terpaksa menghadapimu," tegas Tio Bun Yang.
"Karena aku tidak mau melihat engkau membunuh lagi."
"Engkau membela mereka?" Tu Siao Cui mengerutkan
kening. "Mereka adalah para penjahat lho!"
"Terus terang, yang kubela adalah dirimu. Sama sekali
bukan mereka," sahut Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"Engkau pun harus tahu, sebetulnya mereka dan ketuanya
adalah musuhku. Tapi aku akan membuat perhitungan dengan
Seng Hwee Sin Kun, ketua mereka itu, bukan terhadap
mereka." "Oh?" Tu Siao Cui tersenyum. "Bagaimana engkau
membela diriku?"
"Agar engkau tidak berbuat dosa lagi," sahut Tio Bun Yang.
"Nah, bukankah aku membelamu?"
"Ngmm!" Tu Siao Cui manggut-manggut. "Masuk akal juga
apa yang engkau katakan! Baiklah Aku melepaskan mereka."
"Terimakasih, Kakak!" ucap Tio Bun Yang. lalu memandang
para anggota Seng Hwee Kauw seraya berkata. "Cepatlah
kalian pergi, kalau pikiran Bu Ceng Sianli berubah celakalah
kalian!" "Terimakasih, Giok Siauw Sin Hiap!" ucap mereka sambil
memberi hormat. "Kami telah berhutang budi kepadamu.
Sampai jumpa!"
Para anggota Seng Hwee Kauw berjalan pergi, sekaligus
menggotong mayat Hek Sim Popo meninggalkan tempat itu.
"Adik kecil!" Tu Siao Cui tersenyum. "Engkau memang
berhati bajik, maka tidak seharusnya engkau berkecimpung di
rimba persilatan."
"Aaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Aku
memang sudah jenuh akan rimba persilatan."
"Adik kecil...." Tu Siao Cui menatapnya dalam-dalam,
kemudian ujarnya sungguh-sungguh. "Kelihatannya hatimu
terganjel sesuatu. Katakanlah kepadaku, siapa tahu aku bisa
membantumu!"
"Terimakasih atas maksud baikmu!" ucap Tio Bun Yang.
"Tapi, tiada suatu apa pun terganjel dalam hatiku."
"Adik kecil..." Tu Siao Cui menatapnya dengan mata
berbinar-binar. "Entah apa sebabnya, aku merasa suka sekali
padamu." "Kakak...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala,
lalu melangkah pergi.
Akan tetapi, Tu Siao Cui segera mengikutinya. Puluhan
langkah kemudian, Tio Bun Yang terpaksa berhenti karena Tu
Siao Cui masih terus mengikutinya.
"Eeeh?" Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Kenapa
engkau terus mengikutiku" Aku masih harus menempuh
perjalanan, jangan menggangguku!"
"Adik kecil!" Tu Siao Cui tertawa. "Aku tidak
mengganggumu, melainkan ingin melakukan perjalanan
bersamamu. Boleh kan?"
"Untuk apa?" Tio Bun Yang menggeleng- gelengkan kepala.
"Lagi pula kita baru berkenalan, jadi tidak baik melakukan
perjalanan bersama."
"Pokoknya aku harus ikut engkau," tegas Tu Siao Cui dan
menambahkan. "Engkau ke mana, aku pasti ikut."
"Engkau sudah gila ya?"
"Aku memang tergila-gila padamu," sahut Tu Siao Cui
sambil tertawa cekikikan. "Oleh karena itu, aku harus ikut
engkau." "Kakak! Jangan bergurau, itu... bagaimana mungkin"
Sudahlah! Jangan menggangguku! Aku harus segera
melakukan perjalanan!"
"Pokoknya aku harus ikut!"
"Engkau tidak boleh ikut!"
"Aku harus ikut! Pokoknya ikut!"
"Kakak...." Tio Bun Yang betul-betul kewalahan
menghadapi Bu Ceng Sianli, akhirnya ia duduk di bawah
sebuah pohon. "Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan sambil duduk di
sebelahnya. "Adik kecil, kenapa engkau kelihatan takut
padaku!" "Aku tidak takut padamu, melainkan tidak baik kita
melakukan perjalanan bersama. Aku sudah punya kekasih, lagi
pula kita baru berkenalan."
"Itu tidak jadi masalah." Mendadak Tu Siao Cui memegang
tangannya. "Adik kecil, aku suka sekali padamu."
"Kakak...." Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Terus
terang, aku pun suka padamu. Tapi engkau kuanggap sebagai
kakak." "Terima kasih! Terimakasih!" ucap Tu Siao Cui. Tiba-tiba ia
membaringkan dirinya, lalu memandang Tio Bun Yang dengan
penuh gairah nafsu.
Tio Bun Yang menghela nafas panjang, sedangkan Tu Siao
Cui terus memikat sekaligus menggodanya dengan berbagai
gaya merangsang.
Akan tetapi, Tio Bun Yang tetap duduk tenang di tempat,
kelihatannya sama sekali tidak terangsang. Betapa
penasarannya Tu Siao Cui, ia tidak percaya iman Tio Bun Yang
begitu teguh. Perlahan-lahan ia melebarkan sepasang kakinya,
menghadap ke arah Tio Bun Yang. Setelah itu, ia menyingkap
pakaiannya sehingga pahanya yang putih mulut itu tertampak
sedikit. Perlu diketahui, Tu Siao Cui juga memiliki semacam ilmu
sesat yang merangsang kaum lelaki. Kalau lelaki itu telah
terangsang, tapi tidak disalurkan padanya, maka lelaki itu
akan mati secara mengenaskan.
Namun Tu Siao Cui justru tidak tahu, kalau Tio Bun Yang
memiliki ilmu Penakluk Iblis. Karena itu, ia sama sekali tidak
akan tergoda maupun terangsang. Itu sungguh
membahayakan diri Tu Siao Cui sendiri, sebab akan terjadi
senjata makan tuan.
Tio Bun Yang tahu tentang itu, sehingga timbul rasa
cemasnya. Sedangkan Tu Siao Cui sudah tidak bisa menarik
kembali ilmu sesatnya itu, membuat wajahnya mulai
memucat. Tiba-tiba Tio Bun Yang teringat sesuatu. Maka ia segera
mengeluarkan sulingnya dengan wajah berseri-seri.
Tak lama terdengarlah suara alunan suling yang sangat
menyentuh hati. Begitu mendengar suara suling itu, sekujur
badan Tu Siao Cui tampak tergetar keras.
Berselang beberapa saat kemudian, wajahnya yang
memucat itu mulai berubah seperti semula. Perlahan-lahan ia
bangkit duduk di hadapan Tio Bun Yang, lalu menatapnya
dengan penuh kekaguman.
"Adik kecil..." ujar Tu Siao Cui seusai Tio Bun Yang meniup
sulingnya. "Aku sama sekali tidak menyangka, engkau begitu
mahir meniup suling, bahkan suara sulingmu juga
mengandung kekuatan yang dapat membersihkan hati
maupun batin orang yang tersesat. Aku sungguh kagum
padamu!" "Kakak tidak usah heran," ujar Tio Bun Yang sambil
tersenyum. "Kalau aku tidak memiliki ilmu Penakluk Iblis, pasti
sudah tergoda!"
"Apa!" Tu Siao Cui terbelalak. "Engkau masih sedemikian
muda, tapi sudah memiliki ilmu itu?"
"Sejak kecil aku sudah belajar ilmu Penakluk Iblis." Tio Bun
Yang memberitahukan. "Aku juga tahu, kalau engkau memiliki
kepandaian yang sangat tinggi sekali. Aku harap, mulai
sekarang engkau jangan terlampau gampang membunuh
orang, sebab akan menciptakan suatu karma buruk untukmu."
"Adik kecil, terimakasih atas nasihatmu!" ujar Tu Siao Cui
sungguh-sungguh. "Baru kali ini aku bertemu dengan pemuda
yang begitu luar biasa. Padahal usiaku sudah delapan puluh
lebih." "Kakak!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku tak menyangka,
kakak pun suka bergurau."
"Adik kecil, kelak engkau akan percaya mengenai usiaku.
Sampai jumpa!" Tu Siao Cui melesat pergi. Sayup-sayup
terdengar suara seruannya. "Aku suka padamu...."
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala, berselang
sesaat barulah ia melesat pergi melanjutkan perjalanannya.
-ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang sudah tiba di Kota
Kang Shi. Mendadak ia teringat pada Ngo Tok Kauwcu-Phang
Ling Cu Maka, segeralah ia menjadi markas Ngo Tok Kauw.
"Adik Bun Yang...." Betapa gembiranya Ngo Tok Kauwcu.
"Aku tak menyangka engkau akan ke mari."
"Maaf, Kakak!" ucap Tio Bun Yang jujur. "Aku bukan
sengaja kemari, kebetulan berada di kota ini, maka aku
mampir menengok Kakak."
"Terima kasih!" Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Silakan
duduk!" Tio Bun Yang duduk, kemudian memandang Ngo Tok
Kauwcu seraya bertanya dengan penuh perhatian.
"Bagaimana keadaan Kakak selama ni?"
"Aku baik baik saja," sahut Ngo Tok Kauwcu. "Oh ya,
engkau baik-baik saja" Bagimana keadaan kauw heng?"
"Aku baik-baik saia. Tapi...." Tio Bun Yang menghela nafas
panjang. Kauw heng sudah ma .."
"Oh!" Ngo Tok Kauwcu menggeleng-geleng- kan kepala.
"Sungguh kasihan kauw heng itu! Dia berkorban dem
menyelamatkan nyawamu."
"Aaaah!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang lagi. "Aku
berhutang budi kepada monyet bulu putih itu. Maka aku
bersumpah, turunanku tidak boleh membunuh monyet jenis
apa pun." "Ngmm!" Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut.
"Oh ya, kenapa engkau datang di kota ini!"
"Aku sedang menuju ke Gunung Thian San."
"Lho?" Ngo Tok Kauwcu tertegun. "Kenapa engkau ke sana
lagi?" "Itu dikarenakan Goat Nio...." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Maka aku berangkat ke sana lagi."
"Ternyata begitu! Tapi...." Ngo Tok Kauwcu mengerutkan
kening. "Siapa pun yang pergi ke Gunung Thian San, harus
melalui kota ini. Namun para anggotaku tidak melihat adanya
seorang gadis menuju Gunung Thian San."
"Oh?" Tio Bun Yang tertegun. "Mungkinkah dia mengambil
jalan lain?"
"Tidak mungkin," ujar Ngo Tok Kauwcu. "Perjalanan ke
Gunung Thian San harus melalui kota ini, jadi aku yakin Goat
Nio belum sampai kota ini."
"Bagaimana mungkin dia belum sampai di kota ini?" Tio
Bun Yang mengerutkan kening. "Dia berangkat duluan karena
mengira aku masih di Gunung Thian San"
"Kalau begitu...." Wajah Ngo Tok Kauwcu agak berubah.
"Apakan telah terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Itu...." Tio Bun Yang mulai cemas. "Kepandaiannya cukup
tinggi, tidak mungkin akan terjadi sesuatu atas dirinya. Oh ya,
engkau tahu bagamana keadaan Seng Hwee Sin Kun" Apakah
dia sudah pulih?"
"Aku telah memperoleh informasi mengenai Seng Hwee Sin


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun," jawab Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Dalam bulan
ini dia akan pulih, maka engkau harus berhati-hati."
"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Adik Bun Yang!" Ngo Tok Kauwcu menatapnya seraya
bertanya. "Bagaimana kepandaianmu sekarang" Apakah sudah
bertambah maju?"
"Kepandaianku memang sudan bertambah maju..." jawab
Tio Bun Yang dan menutur tentang keberhasilannya
mempelajari ilmu Kan Kun Taylo Im Kang.
"Syukurlah!" ucap Ngo Tok Kauwcu dengan wajah berseri
"jadi engkau pasti sudah dapat menandingi Seng Hwee Sin
Kun." "Mudah-mudahan!" sahut Tio Bun Yang sambil menghela
nafas panjang. "Kini yang kupikirkan adalah Goat Nio. Kalau
aku belum bertemu dia, sama sekali tidak bisa tenang."
"Adik Bun Yang...." Ngo Tok Kauwcu menggelenggelengkan
kepala. "Oh ya, aku akan menyuruh beberapa
anggotaku untuk mencari Goat Nio. Apabila ada kabar
beritanya, aku pasti ke markas pusat Kay Pang
memberitahukan kepada mu."
'Terimakasih, Kak!" ujar Tio Bun Yang dan melanjutkan.
"Tapi biar bagiamanapun, aku harus ke Gunung Thian San. "
"Baik." Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut. "Bertemu atau
tidak dengan Goat Nio, aku harap engkau ke mari lagi!"
"Itu sudah pasti." Tio Bun Yang mengangguk. "Karena aku
pulang dari Thian San harus melalui kota ini."
"Kapan engkau akan berangkat ke Gunung Thian San?"
"Sekarang."
"Apa?" Ngo Tok Kauwcu terbelalak. "Engkau mau
berangkat sekarang" Tidak bermalam di sini?"
"Aku harus cepat-cepat sampai di sana," sahut Tio Bun
Yang sekaligus berpamit. "Kakak, aku mohon diri!"
"Adik Bun Yang," pesan Ngo Tok Kauwcu. "Pulang dari
Gunung Thian San, jangan lupa mampir! Sebab aku pun akan
menyuruh beberapa orang pergi menyelidiki tentang Goat
Nio." "Terimakasih, Kak! Sampai jumpa!" ucap Tio Bun Yang lalu
berangkat ke Gunung Thian San dengan perasaan cemas.
-ooo0dw0oo- Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang sudah sampai di
Gunung Thian San. Akan tetap walau ia sudah mencari ke
sana ke mari di gunung itu, namun tetap tidak berhasil
menemukan Siang Koan Goat Nio.
Akhirnya ia menuju goa tempat tinggal monyet bulu putih.
Begitu memasuki goa tersebut, ia langsung menjatuhkan d
duduk di hadapan makam monyet bulu putih.
"Kauw heng...." Sepasang mata Tio Bun Yang bersimbah
air. "Aku datang di Gunung Thian San ini untuk mencari Goat
Nio, namun dia tidak berada di gunung in Maka aku ke mari
menengokmu, kauw heng...."
Tio Bun Yang terisak-isak. Berselang sesaat barulah ia
baugkit berdiri dan berkata.
"Kauw heng, aku tidak bisa lama-lama di sini karena masih
harus pergi mencari Goat Nio maafkan aku!"
Tio Bun Yang terus menatap makam monyet bulu putih itu,
lama sekali barulah meninggalkan goa tersebut.
la melakukan perjalanan dengan menggunakan ginkang.
Beberapa hari kemudian ia sudah sampai di kota Kang Shi,
dan langsung menuju markas Ngo Tok Kauw.
"Adik Bun Yang...." Ngo Tok Kauwcu menatapnya.
"Duduklah!"
Tio Bun Yang duduk sambil menghela nafas panjang,
kemudian menggeleng- gelengkan kepala seraya berkata.
"Kakak, aku tidak bertemu Goat Nio." "Berarti dia tidak ke
Gunung Thian San. Aku pun belum memperoleh kabar
beritanya."
"Aaah...!" keluh Tio Bun Yang dengan wajah cemas.
"Mungkinkah telah terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Menurut aku tidak," ujar Ngo Tok Kauwcu. "Kemungkinan
besar dia kembali ke markas pusat Kay Pang. Maka alangkah
baiknya engkau ke markas pusat Kay Pang saja. Kalau aku
memperoleh kabar beritanya, pasti ke sana memberitahukan
kepadamu."
"Baiklah." Tio Bun Yang mengangguk. "Kalau begitu, aku
harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang. Sampai
jumpa Kak!"
-ooo0dw0oooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Bagian ke empat puluh dua
Siang Koan Goat Nio ditangkap
Sementara itu di markas Seng Hwee Kauw, tampak Leng
Bin Hoatsu, Pek Bin Kui, Pat Pie Lo Koay dan Tok Clu Ong
duduK dengan wajah serius. Berselang beberapa saat
kemudian, terdengarlah suara tawa terbahak-bahak,
muncullah Seng Hwee Sin Kun dengan wajah berseri-seri.
"Ha ha ha! Ha ha ha...!"
"Selamat, Ketua!" ucap mereka berempat sambil bangkit
berdiri, sekaligus memberi hormat kepada Seng Hwee Sin
Kun. "Terimakasih! Terimakasih! Ha ha ha...!" sahut Seng Hwee
Sin Kun tertawa sambil duduk.
Leng Bin Hoatsu dan lainnya juga ikut duduk. Seng Hwee
Sin Kun menatap mereka dengan penuh perhatian.
"Tidak sampai setahun aku sudah pulih, bahkan
Iweekangku juga bertambah tinggi setelah makan sisa pil
Seng Hwee Tan itu. Kini sudah saatnya Seng Hwee Kauw
menguasai rimba persilatan."
"Benar, Kauwcu," sahut Leng Bin Hoatsu. "Kini Kauwcu
telah pulih, berarti sudah saatnya Seng Hwee Kauw
menguasai rimba persilatan."
"Ngmm!" Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Oh ya,
bagaimana keadaan rimba persilatan selama aku berada di
dalam ruang rahasia?"
"Tidak terjadi apa-apa," sahut Pek Bin Kui. "Tapi belum
lama ini di rimba persilatan telah muncul Bu Ceng Sianli."
"Bu Ceng Sianli?" Seng Hwee Sin Kun mengerutkan kening.
"Siapa dia dan bagaimana kepandaiannya?"
"Dia seorang gadis berusia dua puluhan, parasnya cantik
sekali dan berkepandaian sangat tinggi." Pek Bin Kui
memberitahukan. "Siapa gurunya dan berasal dari mana serta
perguruan mana, kami sama sekali tidak mengetahuinya."
"Oh?" Seng Hwee Sin Kun mengerutkan kening lagi seraya
bertanya. "Apakah dia menentang perkumpulan kita?"
"Dia memang sering membunuh para anggota kita, tapi
juga pernah membunuh kaum persilatan dari golongan putih,"
jawab Pek Bin Kui.
"Kalian diam saja" Sama sekali tidak mengambil suatu
tindakan terhadap Bu Ceng Sianli itu?" tanya Seng Hwee Sin
Kun bernada gusar.
"Kauwcu!" Leng Bin Hoatsu memberitahukan. "Aku telah
mengutus Hek Sim Popo pergi memberesinya, tapi...."
"Kenapa?" tanya Seng Hwee Sin Kun dengan kening
berkerut-kerut. "Telah terjadi sesuatu?"
"Ya." Leng Bin Hoatsu mengangguk. "Hek Sim Popo telah
mati, belasan anggota kita pulang...."
"Apa?" Air muka Seng Hwee Sin Kun berubah hebat. "Hek
Sim Popo dibunuh oleh Bu Ceng Sianli itu?"
"Ya," sahut Pat Pie Lo Koay. "Kalau waktu itu Giok Siauw
Sin Hiap tidak berada di tempat, belasan anggota kita pun
pasti dibunuh."
"Giok Siauw Sin Hiap bersama Bu Ceng Sianli itu?" tanya
Seng Hwee Sin Kun sambil mengepal tinju.
"Mereka berdua memang bersama, tapi mereka tiada
hubungan satu sama lain." Pat Pie Lo Koay memberitahukan.
"Kauwcu, secara tidak langsung kita berhutang budi kepada
Giok Siauw Sin Hiap."
"Kita berhutang budi pada Giok Siauw Sin Hiap" Ha ha
ha...!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Omong kosong!"
"Itu memang benar..." ujar Pat Pie Lo Koay.
"Seng Hwee Kauw tidak berhutang budi kepada siapa pun,"
sahut Seng Hwee Sin Kun ketus. "Oh ya, bagaimana Lu Thay
Kam" Apakah dia pernah mengutus orangnya ke mari?"
"Gak Cong Heng, wakil Lu Thay Kam memang pernah ke
mari, namun tidak membicarakan apa pun pada kami, hanya
sekedar mengobrol lalu pergi," jawab Leng Bin Hoatsu.
"Karena Kauwcu menutup diri di ruang rahasia, sejak itu pihak
Lu Thay Kam tidak pernah ke mari lagi."
"Ngmm!" Seng Hwee Sin Kun manggut-mang- gut. "Kini
Seng Hwee Kauw harus mulai bertindak, maksudku harus
membasmi Kay Pang dan partai-partai lainnya, agar Seng
Hwee Kauw dapat menguasai rimba persilatan."
"Maaf Kauwcu!" ujar Pat Pie Lo Koay. "Menurut aku, lebih
baik kita membereskan Bu Ceng Sianli dulu. Setelah itu,
barulah kita membasmi Kay Pang dan partai-partai besar
lainnya". "Kalian tahu Bu Ceng Sianli itu berada di mana?" tanya
Seng Hwee Sin Kun.
"Kami tidak tahu," sahut Leng Bin Hoatsu sambil
menggelengkan kepala.
"Kalau begitu...." Seng Hwee Sin Kun mengerutkan kening.
"Cara bagaimana kita memberesinya?"
"Kauwcu!" Leng Bin Hoatsu memberitahukan. "Sebetulnya
Bu Ceng Sianli bersifat agak sesat. Kalau kita bisa menariknya
untuk bergabung, itu sungguh baik sekali."
"Tapi bukankah dia sering membunuh para anggota kita?"
"Benar." Leng Bin Hoatsu mengangguk. "Namun itu
dikarenakan para anggota kita yang mengganggunya duluan,
maka dia membunuh mereka. Bu Ceng Sianli pun pernah
membunuh para pesilat dari golongan putih. Apabila dia mau
bergabung dengan kita, bukankah kita dapat memanfaatkannya
untuk membunuh para pesilat golongan putih?"
"Ide yang cemerlang!" ujar Seng Hwee Sin Kun sambil
tertawa gelak. "Kalau begitu, kalian harus berusaha
mengundangnya ke mari. Itu adalah tugas kalian, laksanakan
dengan baik!"
"Ya," sahut mereka serentak, kemudian Pek Bin Kui
memberitahukan. "Kauwcu, kami telah menerima informasi,
bahwa Siang Koan Goat Nio sedang menuju markas pusat Kay
Pang." "Oh?" Wajah Seng Hwee Sin Kun tampak berseri. "Kalau
begitu, cepatlah kalian pergi tangkap dia!"
"Kauwcu," tanya Pat Pie Lo Koay. "Kenapa gadis itu harus
ditangkap?"
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa. "Kalau dia
Laron Pengisap Darah 8 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Panji Wulung 11
^