Panji Wulung 11

Panji Wulung Karya Opa Bagian 11


Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala, ia
menunjukkan sikap merasa simpati terhadap nasib tidak
beruntung dari Pek Thian Hiong, katanya sambil menghela
nafas, "Manusia memang tak terlepas dari segala godaan, halhal
yang tidak memuaskan jauh lebih banyak daripada yang
menyenangkan, lihatlah keadaan siaote ini sendiri, musuh
ayah-ibu baru saja kelihatan sedikit titik terang, sekarang
suhu telah mati secara penasaran. Entah terbinasa di
tangan siapa ...."
Pek Giok Hwa yang mendengar penuturan itu, diamdiam
juga turut merasa sedih.
Touw Liong angkat muka dan berkata pula,
"Kau masih belum memberitahukan padaku, untuk apa
sebetulnya ayahmu menghendaki kecapi kuno itu."
Pek Giok Hwa kembali menarik nafas panjang,
kemudian berkata,
"Ibarat harimau yang terjebak dalam kurungan, galaknya
masih belum hilang, begitulah keadaan ayah, pengalaman
pahit yang membuatnya penasaran, kini ia telah berusaha
untuk melampiaskan perasaan itu," menjawab Pek Giok
Hwa. "Apakah masih hendak mempelajari ilmu silat lain
macam?" Pek Giok Hwa mengangguk-anggukkan kepala, katanya,
"Masih ada semacam ilmu yang ayah belum selesai
mempelajarinya, menurut ayah kata, ilmu itu yang
terpenting ialah dengan bantuan sebuah irama, ilmu itu
adalah dahulu sewaktu ayah melakukan perjalanan ke
daerah Barat, oleh seorang gaib dari daerah situ yang
memberikan kepada ayah. Irama itu kedengarannya sangat
aneh dan tajam sekali bagi telinga, untuk alat-alat musik
yang bersenar lima tidak sesuai untuk irama itu, agaknya
masih mengandung rahasia di dalam irama itu, aku telah
menanya kepada ayah, dengan cara bagaimana untuk
menyesuaikan irama itu, menurut ayah, dalam dunia ini
alat musik yang dapat menyesuaikan dengan irama itu
hanya ada satu ...."
"Alat musik itu apakah kecapi kuno ini?"
Pek Giok Hwa menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu kuhaturkan selamat kepadamu, cita-cita
ayahmu rasanya tidak lama lagi akan tercapai."
Pek Giok Hwa menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata, "Dalam perjalanan ke gunung Cit-phoa-san kali ini,
masih memerlukan perjalanan ribuan pal jauhnya, apakah
kau kira imam jahat Thian-siem itu mau merelakan begitu
saja" Ia pasti akan berusaha untuk menghalangi perjalanan
kita. Dengan cara bagaimana aku bisa pulang dengan
keadaan selamat?"
Kata-kata itu, jelas mengandung maksud supaya Touw
Liong suka mengulurkan tangan untuk membantu padanya
supaya bisa pulang ke Cit-phoa-san dengan selamat! Touw
Liong bukanlah seorang bodoh, bagaimana ia tidak
mengerti" Tetapi ia merasa serba salah, kesatu karena
musuh besarnya tak seharusnya dilepaskan begitu saja.
Kedua, barang pusaka yang dibawa oleh Pek Giok Hwa itu
justru milik partai Bu-tong. Di kemudian hari apabila Hianhian
Totiang salah paham terhadap dirinya, bukankah ia
akan mendapat nama jelek" Karena dianggapnya ia telah
membantu Cit-phoa-san merampas barang pusakanya.
Touw Liong berpikir keras, pikirannya ragu-ragu maka
tidak dapat menjawab segera pada Pek Giok Hwa.
Pek Giok Hwa melihat keadaan demikian kembali
menarik nafas dan berkata,
"Aku tahu, kalau aku meminta pertolonganmu ini
agaknya keterlaluan! Tetapi aku tidak rela melepaskan
harapan ayah satu-satunya, walaupun aku harus
mengorbankan diri, aku hendak mengantarkan kecapi kuno
ini ke gunung Cit-phoa-san."
Touw Liong yang mendengar ucapan itu, hatinya merasa
pilu, ia angkat muka dan menatap wajah Pek Giok Hwa.
Pek Giok Hwa kembali berkata dengan suara sedih,
"Sampai berjumpa pula, Touw tayhiap!" sehabis berkata
demikian ia lompat ke atas kudanya, kemudian
melambaikan tangan kepada Touw Liong dan melarikan
kudanya dengan pesat.
Touw Liong mengawasi berlalunya Pek Giok Hwa,
pikirannya bimbang. Setelah kembali ke tempat
penginapannya, ia minta kembali kudanya, lantas
menyamar lagi dan diam-diam menyusul Pek Giok Hwa.
Pek Giok Hwa masih tetap melalui jalan yang telah
dilalui ketika datang kemari. Hari kedua sudah tiba di kota
Seng-tho, dari situ ia menuju ke selatan, dengan melewati
gunung Kiong-lay-san, sepanjang perjalanannya itu tidak
menemukan kejadian apa-apa.
Hari keempat, ketika tiba di daerah Kiong-lay, Touw
Liong dalam hati bertanya-tanya sendiri : Kiong-lay ini
adalah termasuk daerah pegunungan Cit-phoa-san, rasanya
tak akan terjadi bahaya lagi.
Selanjutnya, ia telah melihat ada muncul beberapa orang
dari golongan Cit-phoa-san. Orang pertama yang dilihat
oleh Touw Liong adalah, Siaow-thian Kok-cu, Soa Lip,
kedua ialah orang tua berkaki satu; orang ini di danau Siaothian-
tie dahulu pernah memimpin pertemuan yang
berakhir dengan tidak enak bagi golongan Cit-phoa-san.
Orang ketiga yang dilihat ternyata adalah Pek Thian
Hiong sendiri. Oleh karena dalam perjalanan melindungi Pek Giok
Hwa itu Touw Liong mengenakan muka dan pakaian
menyamar, ditambah lagi ia mengikuti dari jarak jauh,
maka tidak diketahui oleh orang-orang yang pada
bermunculan itu.
Ia menghela nafas perlahan dan berkata kepada diri
sendiri, "Sudah cukup aku berusaha, dan tugasku untuk
mengantar ia sudah selesai. Nona Pek, bagaimanapun juga
aku sudah berbuat secukupnya untukmu!"
Dari jauh ia mengawasi berlalunya Pek Giok Hwa
bersama ayahnya, lalu menunjukkan senyum puas,
kemudian ia balik pulang.
Tujuan selanjutnya ialah ke selatan untuk mendaki
gunung Ngo-bie-san.
Kuda tunggangannya sudah dikembalikan lagi ketika
melintasi kota perbatasan, tetapi karena Touw Liong
memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh yang luar
biasa, maka jalan kaki sebetulnya lebih pesat daripada naik
kuda. Pada saat itu, waktu tengah hari, teriknya matahari
seolah-olah membakar dirinya, di jalan raya sedikit sekali
orang-orang yang berjalan, tanah datar di kedua sisi
keadaannya sepi, tetapi Touw Liong coba menghitunghitung,
terpisah dengan Pek Giok Hwa barangkali sudah 20
pal, dalam hati diam-diam sedang berpikir : saat ini Pek
Giok Hwa seharusnya sudah tiba di daerah Kiong-lay!
Dengan tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari
jauh tampak semakin dekat, hingga membuyarkan lamunan
Touw Liong. Touw Liong terkejut, dalam hati berpikir,
"Siapakah orang itu" Di waktu siang hari yang matahari
bersinar terik demikian, mengapa melakukan perjalanan
tergesa-gesa demikian rupa?"
Belum lenyap pikirannya, dari jauh sudah tampak seekor
kuda yang dilarikan ke arahnya. Touw Liong buru-buru
menyingkir untuk memberi jalan, sedang matanya
ditujukan kepada penunggangnya.
Penunggangnya ternyata seorang paderi yang
mempunyai perawakan gemuk luar biasa. Paderi gemuk itu
usianya kira-kira sudah 50 tahun ke atas, senjatanya
digantung di pundaknya tampak sinarnya yang tertimpa
sinar matahari, hampir menyilaukan mata. Paderi itu
menunggang kuda tinggi besar berwarna merah, selain
tubuhnya yang gemuk luar biasa, sepasang matanyapun
luar biasa gedenya, ia larikan kudanya demikian cepat
hingga dalam sekejap matanya saja paderi itu sudah
melewati Touw Liong.
Paderi itu tampaknya mahir sekali menunggang
kudanya, jelas ia merupakan salah seorang kuat dalam
rimba persilatan.
Touw Liong mengawasi paderi yang melarikan kudanya
demikian cepat, sedang dalam hatinya bertanya-tanya
kepada diri sendiri : Siapakah paderi itu"
Sesuatu kejadian yang di luar dugaannya kembali telah
memutuskan pertanyaan di hatinya tadi. Paderi gemuk tadi
dengan tiba-tiba memutar kudanya dan dilarikan balik
kembali ke arahnya.
Dalam hati Touw Liong terkejut dan terheran-heran
tetapi ia masih berdiri tegak di tepi jalan dengan
memandang paderi yang melarikan kudanya ke arahnya.
Begitu tiba di hadapan Touw Liong, paderi itu
mendadak menghentikan kudanya, kuda itu yang
dihentikan secara mendadak, dua kaki di depan diangkat
tinggi hingga semacam orang yang berdiri tegak, tetapi
paderi gemuk itu masih tetap duduk di atasnya tanpa
bergerak sedikitpun.
Ketika kaki kuda itu menginjak tanah, terpisah hanya
kurang 5 kaki di hadapan Touw Liong. Paderi gemuk itu
lalu perdengarkan suara tertawanya yang nyaring, suaranya
menggema di tempat yang kosong itu. Touw Liong masih
tetap tak mengeluarkan suara apa-apa dan dengan tiba-tiba
paderi gemuk itu menghentikan tawanya, sedang mulutnya
mengeluarkan suara bentakan keras,
"Bocah, kau sungguh berani!"
"Taysu terlalu memuji!" menjawab Touw Liong sambil
mendongakkan kepala.
Paderi gemuk itu kembali tertawa terbahak-bahak,
kemudian berkata,
"Tadi jikalau aku tidak keburu menarik tali kuda, apakah
kau tidak akan terinjak-injak oleh kaki kuda sehingga
hancur lebur?"
"Itu anggap saja bahwa nasibku buruk, harus mati secara
demikian," menjawab Touw Liong dengan masih tetap
angkat muka. Paderi gemuk itu bungkam, kemudian ia
menganggukkan kepala dan berkata,
"Dengan sebetulnya aku hendak bertanya kepadamu,
hingga aku perlu menghentikan kudaku, jika tidak, kau
sekarang ini sudah menjadi bubur."
Dalam hati Touw Liong merasa marah, namun di
wajahnya masih menunjukkan sikap seperti biasa,
kemudian dengan tenang berkata,
"Ada urusan apa Taisu hendak bertanya kepadaku?"
Paderi gemuk itu berpaling dan mengawasi jalan raya,
kemudian berkata,
"Kau tadi datang dari mana?"
"Kiong-lay," jawabnya singkat.
"Di tengah perjalanan apakah kau tadi tidak bertemu
dengan seorang perempuan muda yang membawa
bungkusan bentuk panjang di atas punggungnya?"
Touw Liong angkat pundak, suatu tanda bahwa tidak
tahu. Namun dalam hatinya berpikir : Kalau begitu orang
perempuan yang dimaksud oleh paderi gemuk ini tentunya
adalah Pek Giok Hwa sendiri.
Ia sengaja menggoda paderi gemuk itu, ia tidak
menjawab jelas kepadanya, sebaliknya malah bertanya,
"Apakah Taisu datang dari gunung Ngo-bi?"
Paderi gemuk itu menunjukkan sikap tidak sabar, ia
menggelengkan kepala dan menjawab singkat.
"Siaow-lim."
Hati Touw Liong tergerak, ia mengajukan pertanyaan
pula. "Apakah Taisu kenal dengan It-tiem Totiang dari Butong?"
Paderi gemuk itu dengan tiba-tiba pelototkan matanya
lebar-lebar, katanya dengan suara marah,
"Bocah, apakah kau orang dari golongan Cit-phoa-san?"
Touw Liong diam-diam berkata kepada diri sendiri :
mungkin itulah tujuannya.
Dengan tidak menjawab pertanyaan dari paderi itu, tibatiba
orangnya bergerak dan lari menuju ke arah Kiong-lay
dengan melalui samping diri paderi gemuk itu.
Sembari berjalan ia berkata sambil tertawa panjang,
"Kepala gundul, tuan mudamu akan menunggu kau di
depan sana."
Bab 43 PADERI DARI GEREJA SIAUW-LIM ITU berteriakteriak,
kemudian memutar balik kudanya dan dilarikan
pesat untuk mengejar Touw Liong.
Tetapi waktu itu Touw Liong sudah berada sejauh 17-18
tombak. Touw Liong membelok ke sebuah tikungan di jalan
pegunungan, dua sisi jalan itu semuanya merupakan pohonpohon
cemara, tergeraklah hatinya, ia mendapatkan suatu
akal, ia lompat ke samping dan melesat ke atas pohon
tinggi. Tak lama kemudian, paderi gemuk itu sudah mengejar,
mulutnya berteriak-teriak tak henti-hentinya.
Dalam waktu sekejap mata ia sudah melalui 3 buah
bukit, daerah Kiong-lay sudah tampak di hadapan matanya,
tetapi paderi gemuk itu tidak berhasil mencandak Touw
Liong, ia mengawasi jalan raya yang lurus menuju ke
Kiong-lay, sementara dalam hatinya berkata pada diri
sendir, "Bocah itu mendadak bisa berubah menjadi dewa,
dalam jarak lima pal toh tak ada orang lain yang menuju
kemari. Kemana ia telah menghilang?"
Paderi gemuk dari Siao-lim itu mengira ilmu lari cepat
Touw Liong luar biasa sekali, tetapi dia tidak tahu kalau
Touw Liong saat itu malah ketinggalan di belakangnya dan
duduk tenang-tenang di atas pohon.
Paderi gemuk itu terus larikan kudanya masuk ke
pedesaan Kiong-lay, sedangkan Touw Liong selangkah


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demi selangkah mengikuti jejak di belakangnya.
Tak lama kemudian, paderi gemuk itu sudah tiba di
tembok kota, langsung masuk melalui pintu timur.
Kota Kiong-lay itu tidak besar, karena letaknya dekat
daerah Tibet maka keadaannya agak terpencil. Di dalam
kota juga hanya terdapat sebuah rumah penginapan yang
merangkap sebagai rumah makan dan rumah minum, pada
saat itu, sedang waktunya orang makan siang. Para tamu
yang datang menginap jumlahnya tidak banyak, di depan
pintu rumah penginapan terdapat beberapa ekor kuda.
Touw Liong yang mengikuti paderi itu masuk ke dalam
kota, coba memeriksa kuda-kuda yang berada di depan
rumah penginapan, tetapi di antara beberapa ekor kuda itu,
tidak terdapat kuda Pek Thian Hiong dan puterinya, maka
diam-diam merasa heran.
Paderi tua itu lompat turun dari kudanya, berjalan masuk
ke rumah penginapan, tetapi sebentar kemudian ia sudah
balik keluar dan naik ke atas kudanya lagi, kuda itu
dilarikan ke pintu sebelah barat.
Sementara itu Touw Liong terus membuntuti perjalanan
paderi itu, juga mengikuti jejaknya.
Paderi gemuk itu melarikan kudanya di atas jalan
pegunungan yang terjal, tak perlu dikata lagi, maksudnya
ialah hendak mengejar Pek Thian Hiong dan puterinya. Ia
larikan kudanya demikian pesat, tetapi matanya terus
memperhatikan keadaan di sekitarnya agaknya sedang
menantikan sesuatu. Kira-kira setengah jam kemudian ia
masih belum berhasil mencandak jejak Pek Thian Hiong
dan puterinya. Paderi gemuk itu terus memacu kudanya demikian pesat,
hingga kuda itu lari bagaikan terbang, berjalan di daerah
pegunungan yang agak sulit itu.
Lari kira-kira dua-tiga puluh pal, dalam pegunungan itu
tiba-tiba terdengar dua kali suara aneh, mata paderi itu
terbuka lebar ketika mendengar suara itu kemudian tertawa
terbahak-bahak dan berkata,
"Benar! Tidak salah lagi! Sahabat lama tetap
merupakan sahabat lama, sedikitpun tidak mengingkari
janji." Dua kali suara siulan aneh tadi datangnya secara tibatiba,
karena suara itu mengandung kekuatan tenaga dalam
yang cukup sempurna, jikalau bukan seorang tokoh kuat
pada dewasa itu tak akan bisa mengeluarkan suara
demikian. Touw Liong diam-diam merasa girang, ia coba
menduga-duga, "Tidak salah lagi, itu pastilah dua kawanan
jahat tadi." Dua orang yang dimaksudkan ialah It-tiem dan
Thian-siem dua imam jahat itu.
Paderi gemuk itu pacu kudanya, tampaknya sudah ingin
sekali bisa menggabungkan diri dengan orang yang
dinantikan itu.
Selagi Touw Liong mempercepat langkahnya untuk
mengejar, paderi gemuk itu dengan tiba-tiba mengeluarkan
siulan panjang, ditujukan ke bagian dalam daerah
pegunungan tersebut.
Begitu suara siulan itu melengking di udara, dari dalam
daerah pegunungan timbul suara yang menyahutinya.
Suara itu sangat aneh, tidak mirip dengan suara Pek Thian
Hiong atau Pek Giok Hwa. Touw Liong yang tertarik oleh
suara itu, ia mengenali baik-baik arah dari mana datangnya
suara tersebut, dengan tiba-tiba menggerakkan tangannya
dan kakinya lompat melesat ke sebuah puncak gunung,
kedua matanya ditujukan ke tempat suara tadi.
Di belakang puncak gunung itu tampak dua orang
menyongsong kedatangan paderi gemuk dari gereja Siaolim-
sie, dua orang itu satu lelaki dan satu perempuan, yang
laki alisnya putih tajam sedang yang perempuan
mengenakan kerudung kain hitam, rambutnya putih.
Perempuan itu bukan lain daripada perempuan yang
mengaku dirinya sebagai Panji Wulung, yang selama ini
dicari oleh Touw Liong, namun tidak tampak jejaknya.
Orang tua beralis putih itu juga merupakan seorang
paderi berkepala gundul, tangannya membawa sebatang
tongkat rotan, sedang Panji Wulung wanita masih tetap
dengan tongkatnya yang dahulu.
Touw Liong yang mengingat bahwa dengan munculnya
Panji Wulung Wanita itu sudah tentu juga akan diketahui
di mana jejak sumoynya, maka dalam hatinya diam-diam
merasa girang. Tanpa disadarinya ia sudah mendongakkan
kepala dan mengeluarkan siulan panjang. Suara itu
bagaikan menggeramnya seekor naga, suaranya menggema
di seluruh daerah pegunungan yang luas itu.
Panji Wulung wanita semula menyongsong kedatangan
paderi Siauw-lim-sie dengan langkahnya yang pesat, begitu
mendengar suara siulan Touw Liong, lantas berhenti,
kepalanya mendongak mengawasi ke atas puncak. Puncak
gunung itu meruncing tetapi tidak tinggi, waktu itu tempat
yang digunakan oleh Touw Liong untuk tancap kaki justru
di sebuah batu yang terdapat di puncak gunung itu. Oleh
karenanya maka tubuhnya tampak tegas. Panji Wulung
Wanita yang memiliki pandangan mata luar biasa, begitu
melihat sudah tahu kalau orang itu adalah Touw Liong.
Sesaat ia terkejut, tetapi kemudian ia tertawa terbahakbahak.
Ia terkejut oleh karena dari suara siulan Touw
Liong tadi telah membuktikan bahwa kekuatan tenaga
dalamnya pemuda itu sudah pulih kembali, bahkan lebih
hebat daripada sebelum dimusnahkan kepandaiannya. Ia
tertawa girang oleh karena menemukan kembali diri Touw
Liong. Nyata, kalau begitu bahwa diri sendiri juga mencari
Touw Liong. Touw Liong sendiri setelah mengeluarkan siulan itu
lantas melayang turun ke bawah dan berdiri di hadapan
Panji Wulung Wanita. Panji Wulung memperdengarkan
suaranya yang aneh, ia miringkan kepala dan berkata
kepada paderi beralis putih yang berada di belakangnya.
"Ini adalah si setan kecil itu yang pernah kukatakan
kepadamu."
Paderi beralis putih itu merangkapkan tangannya
memberi hormat, sambil berkata,
"Tecu Keng Tie."
Panji Wulung kembali berpaling dan berkata kepada
Touw Liong, "Bocah! Manusia memang benar-benar di mana saja
bisa bertemu. Kita akhirnya toh berjumpa lagi!"
Touw Liong entah apa sebabnya terhadap Panji Wulung
Wanita itu bersikap sangat hormat. Ia masih tetap
menjawab dengan sikap yang ramah.
"Ya, kita berjumpa lagi!"
"Di atas gunung Bu-san aku menotok tidak sampai mati
kepadamu, tak kuduga setengah tahun kita tak bertemu,
kini ternyata kau telah mendapat kemajuan pesat sekali."
"Hadiah locianpwee di atas puncak gunung Sin-li-hong,
hingga kepandaian ilmu silat boanpwee pada waktu itu
telah locianpwee musnahkan seluruhnya. Tetapi tidak
beberapa lamanya kemudian telah mendapat belas kasih
oleh seorang cianpwee lain sehingga ditolong dan
dipulihkan kembali," menjawab Touw Liong yang
perasaannya agak marah.
Panji Wulung Wanita itu mengangguk-anggukkan kepala
dan berkata, "Bagus ...." kemudian ia perdengarkan suara tertawanya,
dan setelah itu ia berkata pula,
"Antara kita sebetulnya merupakan orang-orang
serumpun, kepandaian silatmu sudah pulih kembali, aku
juga merasa girang!"
Ia berhenti sejenak, lalu mengulurkan tangannya kepada
Touw Liong seraya berkata, "Bawa kemari!"
Touw Liong terkejut dan balas bertanya,
"Apa yang harus dibawa kemari?"
Panji Wulung menunjuk kantong rumput Touw Liong
seraya berkata,
"Bawa kemari apa" Perlukan aku harus menjelaskan
lagi?" Touw Liong memberi hormat dan berkata,
"Boanpwee tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh
cianpwee."
"Apa yang kukehendaki" Hmmm! Kau berlagak pilon.
Kesatu, aku menghendaki dua belas buah Panji Wulung
yang ada lukisannya awan dan angin menderu, di tengah
awan itu terdapat matahari yang setengah tertutup oleh
gumpalan awan. Kedua, aku menghendaki kitab yang
ditulis oleh Liu tayhiap sendiri. Kitab itu adalah kitab Taylo
Kim-kong. Ketiga, aku menghendaki ilmu kekuatan
tenaga dalam Sim-khang dan ilmu menyamar yang tertulis
dalam kitab ilmu Thay-it Cin-keng. Keempat, aku
menghendaki pedang Khun-ngo-kiam. Kelima, aku
menghendaki tiga butir pil Kiu-wan-tan yang berada di
dalam dirimu."
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala, tidak berkata
apa-apa. Panji Wulung sangat marah, ia membentak dengan suara
keras. "Kau tak mau memberikan"!"
Touw Liong menganggukkan kepala.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda, mata
Panji Wulung ditujukan ke arah belakang Touw Liong, ia
segera menampak seekor kuda berbulu merah yang di
atasnya duduk seorang paderi bertubuh gemuk, sedang lari
menuju ke arahnya.
Panji Wulung lalu bertanya kepada Touw Liong sambil
menunjuk padri gemuk,
"Anak busuk! Kau ternyata masih membawa
pembantu!"
Touw Liong menggelengkan kepala dan menjawab,
"Aku tidak kenal."
Panji Wulung tampak sedikit terkejut, sedang paderi
beralis putih itu yang selama itu tidak mengeluarkan suara
ketika mendengar ucapan Panji Wulung segera maju
selangkah dan berkata kepadanya dengan sikap sangat
menghormat sekali.
"Kokcu, itu adalah Bu Siem Taisu dari Siauw-lim-pay."
Panji Wulung lalu mengebutkan tangannya, dan
memanggil dengan suara perlahan,
"Bu Siem ...."
Paderi beralis putih menjawab dengan suara perlahan
pula. "Dua belas pahlawan kauwcu, di dalamnya terdapat
nama Bu Siem Taysu."
Panji Wulung menganggukkan kepala dan berkata,
"O, iya! Orang-orang di bawah perintah kita seharusnya
ada orang seperti dia itu."
Touw Liong terkejut ketika mendengar sebutan "kauwcu"
untuk Panji Wulung wanita itu, sementara itu Bu Siem
Taysu yang datang dengan menunggang kuda, ketika
berada di situ, lantas mendelikkan matanya dan
mengeluarkan seruan kaget, kemudian bertanya kepada
paderi beralis putih,
"Hei, kau"!"
Paderi beralis putih menyapa sambil merangkapkan
kedua tangannya kemudian berkata dengan sikap sungguhsungguh,
"Bu Siem suheng, jangan berlaku gegabah, kauwcu ada
di sini, harap lekas memberi hormat."
"Kauwcu?"" bertanya Bu Siem taysu sambil
mendelikkan matanya, "Perkumpulan apa?"
"Hmmm!" demikian Panji Wulung Wanita
mengeluarkan suara dari hidung, kemudian dari dalam
sakunya perlahan-lahan mengeluarkan sepasang panji kecil
warna hitam dan dikebutkan di hadapan Bu Siem taisu.
Bu Siem taisu melihat panji kecil itu wajahnya berubah
pucat seketika, badannya gemetaran, buru-buru ia lompat
turun dari atas kudanya, dan maju menghampiri Panji
Wulung wanita untuk memberi hormat kepada kauwcu
yang ia sendiri belum tahu, dari perkumpulan mana.
Touw Liong juga memasukkan tangannya ke dalam
sakunya, mengeluarkan sebuah Panji Wulung kecil
bergagang batu giok, dikibarkan kepada Bu Siem taisu,
hembusan angin dingin menyambar, kali ini Bu Siem taisu
benar-benar telah menggigil, lututnya yang sudah ditekuk
telah tersapu oleh angin dingin tadi, sehingga ia buru-buru
melompat mundur sehingga tiga langkah baru berhasil
menahan dirinya.
"Sungguh hebat ilmumu Tay-lo Kim-kong Sian-khang!"
dengan suara pujian keluar dari mulut Panji Wulung.
Sepasang mata Bu Siem taisu terbuka lebar, mukanya
yang gemuk tampak berkerenyit dua kali, mata yang
terbuka lebar itu penuh hawa amarah, dengan memandang
kepada Touw Liong, ia bertanya dengan suara bengis,
"Bocah! Ilmumu Tay-lo Kim-kong Sian-Khang kau
dapat mencuri dari mana" Tahukah kau itu adalah ilmu
ampuh yang tidak diturunkan kepada siapapun juga dari
golongan Siauw-lim-pay jikalau tidak mendapat perkenan
dari ciangbunjin, siapapun tidak dapat mempelajari ilmu
yang sangat ampuh itu."
Touw Liong sedikitpun tidak marah, ia hanya tertawa
kecil pura-pura bersikap acuh tak acuh, dan berkata,
"Sudah tentu aku belajar ilmu ini sudah tentu ada
sebabnya, jikalau tidak, bukankah aku akan dicemoohkan
oleh kawan-kawan rimba persilatan sebagai seorang yang
mencuri kepandaian ilmu partai lain?"
Sementara Panji Wulung wanita yang merasa kehilangan
muka lantas berkata dengan suara keras,
"Bu Siem, dengar, kami sudah mengangkat kau sebagai
salah satu dari 12 pahlawan yang ditugaskan untuk
memegang jabatan di barisan Thian-ceng, lekas kembali
kepada kami untuk mendengar perintah lebih jauh."
Bu Siem taisu menyahut, selagi hendak maju
menghampiri Panji Wulung dengan melalui samping Touw
Liong, Touw Liong sudah berkata padanya,
"Kalau kau berani ke sana, aku nanti akan suruh kau


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati di bawah panji ini."
Bu Siem taisu diam-diam merasa bingung, sebab dua
orang itu, dalam tangan sama-sama memegang Panji
Wulung, di dalam rimba persilatan telah tersiar suatu
peraturan yang entah dibuat oleh siapa, bagi siapa yang
melihat Panji Wulung, pasti mati, dan hari itu dua buah
Panji Wulung semua telah ditujukan kepadanya, maka ia
tidak tahu seharusnya mendengar perintah yang mana"
Panji Wulung tampak marah, bentaknya,
"Anak busuk, jikalau kau berani menghalangi dia, aku
nanti akan hajar mampus di bawah tongkatku!"
Touw Liong tertawa terbahak-bahak dan berkata,
"Ada aku di sini, dia tidak bisa ke sana, kecuali
locianpwee menerima baik satu permintaanku ...."
"Urusan apa?" bertanya Panji Wulung marah.
"Harap serahkan kembali adik seperguruanku," berkata
Touw Liong. "Ha ha ...." demikian Panji Wulung perdengarkan
tawanya yang nyaring dan menusuk telinga, kemudian
berbalik menanya kepada paderi beralis putih,
"Pek Bi, coba kau lihat, urusan ini lucu atau tidak, ia
masih mencari Kim Yan?"
Wajah Touw Liong berubah seketika, ia bertanya-tanya
kepada diri sendiri, "Apakah Kim Yan ...."
Pek Bi, si paderi beralis putih berkata sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
"Sudahlah, kau jangan pikirkan lagi tentang adik
seperguruanmu! Dia sekarang sudah merupakan seorang
terpenting dalam perkumpulan kami, kini sudah menduduki
tempat penting dengan gelarnya Puteri Naga dari Kao-cu,
hubungan dengan partai Kiu-hwa sudah lama putus. Kau
jangan harap dia masih menganggap kau sebagai suhengnya
lagi!" Panji Wulung wanita memberi tambahan,
"Barang-barang pusaka yang ada padamu, sebagai tanda
bakti kepadaku, ia juga sudah beritahukan kepadaku
semuanya."
Touw Liong sangat marah, sehingga rambutnya pada
berdiri, katanya dengan suara gemas,
"Kalau demikian halnya, adik seperguruanku juga sudah
terjatuh di tangan kejam Tiam-cong!"
"Aku memilih dia sebagai bawahanku, ini boleh dikata
ada rejekinya yang besar! Dengan menggunakan waktu 6
jam, aku telah menyalurkan ilmuku Hek-hong Im-hong
Sim-khang ke dalam tubuhnya. Kekuatan tenaga dalamnya
sekarang ini sudah jauh berbeda dengan keadaannya
dahulu. Juga sudah tidak seperti dia lagi selama masih
bersama-sama denganmu," berkata Panji Wulung dengan
sangat bangganya.
Touw Liong kalau memikirkan keadaan golongan Kiuhwa,
hanya ia dan adik seperguruannya itu seorang saja,
kematian suhunya hingga saat itu masih menjadi teka-teki,
dan sekarang adik seperguruannya telah terjatuh di tangan
Panji Wulung wanita. Untuk selanjutnya apabila bertemu
muka dengannya, bahkan mungkin akan berbalik
dipandang musuh. Bagaimana kalau Touw Liong tidak
marah" "Cianpwee sebetulnya bertindak keterlaluan! Kalau
begitu terpaksa aku hendak berlaku dosa terhadap
cianpwee. O, iya. Barang-barang yang cianpwee kehendaki
itu semuanya berada dalam badanku. Tetapi selama aku
Touw Liong masih bernafas, jangan harap locianpwee bisa
mendapatkannya," berkata Touw Liong dengan suara
keras. "Minggir! Kau lihat, aku bisa mendapatkan barang itu
dari tanganmu atau tidak?" berkata Panji Wulung dengan
sombongnya. Touw Liong masih berdiri tegak.
Panji Wulung tak memperlihatkan tindakan apa-apa,
perlahan-lahan ia menyedot nafas. Pek Bie, si padri alis
putih yang menyaksikan keadaan demikian, buru-buru
lompat mundur sejauh tiga kaki.
Touw Liong juga bukan seorang bodoh, begitu melihat
Panji Wulung menyedot nafas sudah tentu ia tak berani
gegabah, buru-buru menggunakan ilmu Liang-gi Sim-hwat
dan mengerahkan ilmunya Thay-it Sim-khang serta Tay-lo
Siam-khang sepenuhnya, siap sedia hendak menyambut
serangan Hek-hong Im-khang dari Panji Wulung wanita itu.
Ia tahu Panji Wulung itu pasti akan menyerang dirinya
dengan ilmunya yang baru ialah ilmu Hek-hong Im-khang
yang mengandung sambaran angin sangat dingin sekali.
Tangan Panji Wulung wanita yang memegang panji kecil
warna hitam, perlahan-lahan diangkat tinggi di atas
kepalanya, ia membuat gerakan lingkaran, sesaat kemudian
sekitar tubuhnya mengeluarkan angin dingin, dan dengan
tiba-tiba seperti timbul angin puyuh, hingga batu-batu dan
tanah-tanah pada berterbangan, angin itu mengandung
kekuatan hebat, dayanya yang luar biasa menggulung tubuh
Touw Liong yang berdiri tegak.
Angin itu menghembus ke tubuh Touw Liong. Touw
Liong merasakan seperti direndam dalam air es, hingga
diam-diam juga merasa terkejut.
Untung, ia sudah menyiapkan dua macam ilmunya,
ilmunya Thay-it Sin-kang digunakan untuk menutup
sekujur jalan darah dalam tubuhnya, sedang ilmunya Taylo
Sim-kong Sian-khang menghembus keluar menyambut ilmu
Hek-hong Im-khang yang dilancarkan oleh Panji Wulung
wanita, ilmu Tay-lo siam-khang perlahan-lahan mendesak
mundur hawa angin dingin itu sehingga setombak jauhnya.
Panji Wulung wanita perdengarkan suara tertawa dingin
berulang kali, tongkat di tangan kanan diangkat tinggi,
ujung tongkat menyemburkan kekuatan yang meluncur ke
jalan darah di bahu Touw Liong.
Sikap Touw Liong waktu itu masih tetap seperti biasa,
sedikitpun tidak menunjukkan perubahan apa-apa.
Panji Wulung menarik kembali serangan tongkatnya,
kemudian berkata sambil tertawa,
"Bagus, bocah! Jalan darah Kiam-keng-hiap di lengan
kananmu sudah kutotok, di dalam dunia ini hanya aku
seorang yang bisa membuka totokan itu, dalam waktu tiga
hari kuperingatkan kau lekas datang di gunung Hek-hongsan
menjadi muridku, dan berikan beberapa barang pusaka
yang ada di badanmu. Aku nanti akan buka totokanmu,
tetapi apabila lewat batas waktu itu kau tak datang, berarti
kau tiada bermaksud dengan sejujurnya, maka lengan
kananmu nanti tidak bisa kau gunakan lagi, dan menjadi
cacad untuk seumur hidup!"
Touw Liong yang mendengar ucapan itu, wajahnya
berubah seketika. Ucapan Panji Wulung wanita itu
bukannya gertak sambal saja, ilmu Hek-hong Im-khang
memang benar lihay, hal itu diketahui olehnya, maka ketika
mendengar ucapan itu, ia lantas berdiri tertegun. Tetapi
ketika ia mengatur pernafasannya untuk mencoba
memeriksa keadaan dalam tubuhnya di lengan kanannya itu
ternyata tidak ada perasaan apa-apa.
Namun ia mengerti bahwa ilmu Hek-hong Im-khang itu
bekerjanya pasti sangat perlahan, orang yang terkena
serangannya pada waktu itu masih belum merasakan apaapa
maka tanpa disadari ia sudah menarik nafas, sedng
dalam hatinya diam-diam berkata sendiri,
"Sudahlah! Semua adalah nasib."
Sementara itu Bu Siem taisu yang sejak tadi
memperhatikan keadaan Touw Liong telah
mempergunakan kesempatan itu buru-buru lari melalui
sampingnya. Touw Liong berdiri tertegun memikirkan
persoalannya sendiri, hal itu sedikitpun tak dihiraukan oleh
Panji Wulung wanita, dengan sangat bangga ia menerima
hormat kebesaran dari Bu Siem taisu.
Pek Bie si paderi beralis putih, bertanya kepada Bu Siem,
"Dengan cara bagaimana suheng bisa tiba ke Kiong-lay
ini?" "It-tiem dan Thian Siem dua sahabatku itu telah
menjanjikan aku hendak mencegat Pek Thian Hiong di
jalan daerah Kiong-lay, untuk minta kembali kecapi
kunonya." Begitu mendengar disebutkan nama It-tiem, mata Touw
Liong menjadi merah, dalam hatinya berkata sendiri, "Jadi
It-tiem sudah berada di Kiong-lay?" Dengan tiba-tiba ia
ingat bahwa batas waktunya hanya 3 hari, maka ia lalu
menggeleng-gelengkan kepala dan bertanya kepada diri
sendiri, "Tiga hari kemudian apakah aku benar-benar naik
ke gunung Hek-hong-san untuk berlutut minta ampun
kepadanya?" Tetapi kemudian dijawabnya sendiri, "Kalau
begitu lebih baik aku mati juga tak mau berbuat demikian.
Tiga hari selama tangan kananku belum menjadi cacad, aku
harus berusaha untuk membunuh mati musuh yang
membinasakan ayahku. Aku akan bawa kepalanya untuk
dibuat sembahyang di hadapan makam ayah ibuku."
Dengan mata merah menyala, ia mengawasi Panji
Wulung wanita, kemudian berkata dengan suara perlahan,
"Di lain waktu kita berjumpa lagi!"
Setelah itu ia memutar diri, dan berjalan menuju ke arah
semula. Di sepanjang jalan dalam hatinya berpikir, "Bukan
saja kau harus membunuh It-tiem untuk menyelesaikan
permusuhan ini, akupun juga akan membunuh Thian Siem
untuk menuntut balas paman Khang. Di samping itu masih
... Haaa, waktu 3 hari terlalu singkat sekali. Bagaimana aku
harus melakukan pekerjaan begitu banyak" Dengan cara
bagaimana kematian suhu, setidak-tidaknya toh aku harus
mengadakan penyelidikan dahulu!"
Ia berjalan pesat sekali, tanpa dirasa sudah melalui dua
puncak gunung, terpisah dengan Panji Wulung wanita tadi
kira-kira sudah sejauh 10 pal lebih.
Dengan tiba-tiba dari arah depan terdengar suara derap
kaki kuda pula, ia lalu angkat muka menujukan pandangan
matanya ke depan. Dari depan, tampak kedatangan dua
penunggang kuda, mereka itu ternyata adalah Pek Thian
Yong dan putrinya.
Touw Liong lalu menyongsong Pek Thian Yong dan
puterinya, buru-buru menggoyang-goyangkan tangannya
untuk memberi isyarat kepada Pek Thian Yong. Pek Thian
Yong tahu, pasti ada urusan maka segera menghentikan
jalannya. Bab 44 Pek Giok Hwa ketika bertemu muka dengan Touw
Liong semula ia terkejut, kemudian ia mengerahkan
tenaganya untuk lari menghampirinya dan bertanya dengan
perasaan girang,
"Touw tayhiap, bukankah kau pernah kata bahwa kau
ada urusan lain, bagaimana kau sudah berada di Kionglay?"
Touw Liong tak menghentikan langkahnya, memberi
isayat dengan tangannya kepada Pek Giok Hwa. Pek Giok
Hwa mengerti, maka lalu memutar tubuhnya dan lari
berendeng bersama-sama Touw Liong.
Dengan tergesa-gesa Touw Liong menjawab
pertanyaannya, "Panji Wulung wanita yang mengenakan kerudung
muka itu berada di belakang kita .... di samping itu, aa ...!
Sejak dari gunung Ceng-sia-san setiap hari diam-diam aku
mengikuti jejakmu, sehingga .... dua jam berselang, di
daerah Kiong-lay aku melihat ayahmu sudah menyambut
kedatanganmu, barulah aku balik kembali."
Wajah Pek Giok Hwa terlintas perasaan girangnya,
dengan tergesa-gesa ia bertanya,
"Kalau begitu dengan cara bagaimana kau kembali lagi
ke Kiong-lay-san?"
"Di tengah perjalanan aku berpapasan dengan Bu Siem
taisu dari Siauw-lim-sie, ia menanyakan padaku tentang
jejakmu, maka itu aku masuk ke daerah pegunungan Kionglay,
ia menanyakan lagi dan lantas mengejar ke gunung
Kiong-lay-san secara tergesa-gesa."
Sementara itu Pek Thian Yong yang dengan paras
terkejut disongsong oleh Touw Liong, semua ucapan Touw
Liong kepada puterinya telah didengar tegas olehnya, maka
lalu memberi hormat kepadanya seraya berkata,
"Atas perhatian dan perlindungan Touw tayhiap, anakku
juga pernah menceritakan kepadaku, di sini kuucapkan
terima kasih kepadamu. Sebab jika tanpa bantuan Touw
tayhiap, maka kecapi kuno ini barangkali tak mudah
kudapatkan."
Ia membalikkan tangannya dan menunjuk kecapi kuno
yang berada di atas punggungnya.
Jelas bahwa bungkusan di punggungnya itu adalah
kecapi kuno yang merupakan salah satu barang pusaka dari
partai Bu-tong. Touw Liong meskipun di wajahnya sudah
bersikap setenang mungkin, tetapi diam-diam
mengkhawatirkan Pek Thian Yong dan puterinya, ia
berkata pula dengan suara perlahan,
"Panji Wulung wanita berada di belakang wanpwee,
mungkin sebentar lagi ia akan menyusul kemari."
Pek Thian Yong mendongakkan kepala dan menghela
nafas panjang, badannya berdiri tidak bergerak, lalu berkata
sambil menganggukkan kepala.
"Touw tayhiap, mungkin itu adalah takdir. Di depan
ada Panji Wulung wanita yang mencegat, di belakang ada
It-tiem dan Thian Siem, dua imam jahat yang mengejar,
kalau begitu, Tuhan telah memutuskan perjalananku si
orang she Pek ini."
Mendengar ucapan bahwa Thian Siem dan It-tiem
mengejar di belakang Thian Yong, semula Touw Liong
terkejut, kemudian menjadi girang, katanya,
"Tuhan ternyata tidak mengecewakan harapan umat-
Nya. Pembalasan sakit hatiku mungkin akan terlaksana."
Tiba-tiba ia angkat muka dan bertanya kepada Pek Thian
Yong, "Pek cianpwee, di mana dua anjing itu?"
"Mereka telah dipancing oleh Shoa Lip dan dua saudara
angkatku ke lain jurusan! Hanya, dua orang itu sangat
licin, dalam pengejarannya kepada Shoa Lip, apabila tidak
melihat kita berdua, ada kemungkinan mereka kembali


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari kita."
"Aku justru menghendaki supaya mereka balik mengejar
lagi," berkata Touw Liong sambil menggertak gigi.
Rasa khwatir Pek Thian Hiong semakin tebal, sedangkan
sepasang mata Touw Liong tampak merah membara, jelas
ia sudah marah sekali, maka itu ditujukan ke arah jauh di
depan. Ia mengharap, bayangan It-tiem dan Thian-sim muncul
di depan matanya supaya sebelum dirinya menjadi bercacad
ia dapat menuntut sakit hati ayahnya.
Dalam hati sendiri ia mengerti, tidak mungkin baginya
pergi ke gunung Cek-hong-san minta pertolongan kepada
Panji Wulung wanita membuka totokannya. Perbuatan
seperti itu, lebih baik ia mati, juga tidak mau minta
pertolongan orang; oleh karenanya maka ia telah bertekad
dalam waktu tiga hari itu pasti sudah menyelesaikan
beberapa persoalan besar.
Pek Giok Hwa yang tidak mengerti keadaan Touw
Liong, ia berjalan seorang diri dan bertanya dengan suara
lemah lembut. "Touw tayhiap, musuh besar ayahmu itu meskipun
merupakan suatu permusuhan yang besar sekali, tetapi hari
ini ..... Ai! Seorang laki-laki harus berani, akan tetapi
kadang-kadang juga harus bisa berlaku sabar. Kau toh tidak
musti hari ini harus melakukan pembalasan sakit hati
ayahmu?" Maksud kata itu ialah dalam keadaan seperti itu di
belakang dan di depan semua terdapat musuh-musuhnya
sangat kuat sekali, maka Touw Liong seharusnya dapat
mempertimbangkan mana berat dan mana yang ringan, ia
seharusnya dapat memahami bahwa keadaan hari itu tidak
tepat waktunya untuk menuntut balas.
Sementara itu Pek Thian Hiong sudah maju menasihati,
katanya, "Touw tayhiap, waktu masih banyak, asal mereka tidak
mati, apakah kau masih takut mereka akan terbang ke atas
langit" Di kemudian hari, asal aku si orang tua masih bisa
bernafas, di dalam air ataupun di dalam api, aku akan turut
serta denganmu."
Sehabis mengucapkan perkataan itu ia menepuk-nepuk
dadanya sendiri.
Dengan sinar mata berterima kasih Touw Liong
mengawasi dia sejenak kemudian berkata,
"Kebaikan locianpwee, boanpwee mengucapkan banyakbanyak
terima kasih, sayang ...."
Ia telah menahan ucapan selanjutnya tidak diteruskan.
"Sayang ... sinar matahari sore sangat indahm hanya
sudah dekat petang."
Demikian suara dengan nada yang sangat dingin telah
menyambung ucapan Touw Liong tadi.
Touw Liong terkejut, ia berpaling untuk mencari siapa
orang yang mengeluarkan ucapan tadi.
Pek Giok Hwa dengan suara perlahan bertnya:
"Siapa?"
"Bu Siem hweesio dari gereja Siauw-lim, yang datang
untuk mengejar kau," jawabnya Touw Liong perlahan.
Sesaat kemudian, paderi Bu-siem juga sudah berada di
antara mereka, sambil tertawa dingin sambil menepuk
kepala sendiri yang gundul, setelah itu ia menunjuk Pek
Thian Hiong dan berkata,
"Selamat ketemu! Selamat ketemu! Dengan adanya kau
Pek-sancu ada di sini, keadaanya akan menjadi ramai."
Pek Thian Hiong sangat marah sekali, sementara itu Pek
Giok Hwa sudah menghunus pedangnya dan menunjuk
kepada paderi Bu Siem.
Tetapi baru saja Pek Thian Hiong hendak bergerak,
dengan tiba-tiba tampak berkelebatan bayangan orang
kemudian disusul dengan suara bentakan,
"Rebah."
Entah dengan cara bagaimana, tiba-tiba terdengar suara
gedebuk, dan Bu Siem benar-benar sudah rubuh di tanah.
Touw Liong yang memiliki kepandaian ilmu silat sangat
hebat, sudah mendahului gerakan Pek Giok bergerak lebih
dahulu dengan satu jari tangannya menotok rubuh Bu-sim,
ketika paderi itu rubuh senjatanya sekop terbuat dari mas
terpental sejauh tiga tombak.
"Aaa!" demikian Pek Thian Hiong berseru kaget, ia
hanya mengurut-urut jenggotnya yang panjang, sepatah
katapun tidak bisa keluar dari mulutnya.
Touw Liong memandang sinar matahari di sebelah barat,
lalu menghela nafas dan mengulangi kata-kata yang
diucapkan oleh Bu-sim tadi.
Pek Giok Hwa agaknya dapat memahami bahwa ucapan
Touw Liong itu ada sebabnya maka bertanya padanya
dengan suara perlahan.
"Kenapa sikapmu demikian murung?"
Touw Liong kembali menarik nafas panjang kemudian
matanya memandang ke barat dan katanya dengan suara
sedih dan gusar,
"Diriku ini seolah-olah diuruk oleh dendam sakit hati,
akan tetapi .... waktuku sudah tidak banyak lagi!"
Pek Giok Hwa terkejut dan terheran-heran, tanyanya
pula, "Kenapa?"
"Belum lama berselang, Panji Wulung wanita telah
berlaku curang, selagi aku dalam keadaan tidak berjaga-jaga
telah menotok jalan darahku bagian pundak, sehingga aku
terkena totokannya ilmu hitam Hek-hong Im-kang, tiga hari
baru selesai! Hanya tinggal tiga hari ...."
Wajah Pek Giok Hwa berubah pucat, sekian lama
memandang Touw Liong, tidak sepatah kata keluar dari
mulutnya. Pek Thian Hong juga tampak marah, ia bertanya sambil
menunjuk Touw Liong.
"Benarkah?"
Touw Liong menganggukkan kepala.
Pek Thian Hong juga menghela nafas dan berkata,
"Sayang."
Touw Liong mengawasi padanya dengan perasaan
bengong, mulutnya tidak berkata apa-apa, hanya di dalam
hatinya bertanya kepada dirinya sendiri : "Kau sayang
apa?" Pek Thian Hiong juga tertawa memandang kepada
matahari yang sudah hampir terbenam ke barat, katanya,
"Sayang, matahari sore itu memang benar indah!
Apabila pada tiga bulan berselang aku mendapatkan kecapi
kuno ini, alangkah baiknya!"
Touw Liong membuka sepasang matanya dengan
perasaan terkejut dan terheran-heran, sementara dalam hati
bertanya-tanya kepada diri sendiri,
"Kenapa?"
"Ilmu gaib ini jikalau tidak mendapat bantuan dari
kecapi kuno tujuh sinar ini, tidak dapat dikembangkan;
dengan adanya bantuan kecapi kuno ini, asal dipelajari
dengan tekun selama tiga bulan, sudah akan berhasil...."
Touw Liong sementara itu masih tetap diliputi dengan
teka-teki, lalu bertanya,
"Apakah ilmu gaib Pek cianpwee ini justru merupakan
ilmu yang dapat digunakan untuk memunahkan ilmu Hekhong
Im-khang?"
"Kalau ya, apa gunanya, sayang sudah terlambat tiga
bulan," berkata Pek Thian Hiong sambil menggelenggelengkan
kepalanya. Di wajah Touw Liong terlintas perasaan sedikit girang,
katanya dengan nada menghibur,
"Tuhan ternyata masih adil. Pek cianpwee yang
memiliki ilmu gaib untuk memusnahkan ilmu Hek-hong
Im-khang, dalam rimba persilatan ini entah berapa banyak
jiwa nanti tertolong dari bencana."
Pek Thian Hiong tersenyum getir, menggeleng-gelengkan
kepala. Touw Liong mengawasi keadaan di sekitarnya dan
memandang puncak gunung di sebelah kirinya yang
terdapat banyak pohon buah, lalu berkata,
"Pek locianpwee harap menyingkir dulu sebentar ke
puncak gunung sana itu, musuh dari depan dan belakang
sudah akan datang!"
Pek Thian Hong tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata, "Touw tayhiap, aku si orang tua ini meskipun tidak
berguna, tetapi dengan cara bagaimana bisa meninggalkan
kau seorang diri" Aku sudah merupakan seorang yang
sudah mendekati liang kubur, di masa mendekati ajalku aku
tidak boleh meninggalkan nama buruk. Kita harus
bertindak berdampingan, sama-sama hidup, sama-sama
mati. Jikalau perlu mundur, harus mundur bersama-sama."
"Pek cianpwee tidak boleh karena urusan kecil akan
kehilangan besar, harap Pek cianpwee mengingat seluruh
sahabat rimba persilatan. Simpanlah baik-baik kecapi kuno
itu supaya cianpwee dapat mempelajari ilmu gaib yang
cianpwee butuhkan. Jangan dipikirkan mati hidup
boanpwee, memikirlah dahulu sebentar!" berkata Touw
Liong lagi. Pek Thian Hiong tergerak hatinya, ia anggukkan kepala
dan memandang Touw Liong dengan sinar mata kagum,
katanya dengan suara perlahan sekali,
"Touw tayhiap, harap kau berlaku hati-hati sedikit!"
Setelah mana, ia berpaling dan berkata kepada anaknya,
"Anak, mari jalan!"
Pek Giok Hwa masih tak bergerak, matanya memandang
Touw Liong. Pek Thian Hiong dapat mengerti perasaan puterinya
pada saat itu, ia tahu Pek Giok Hwa tidak tega
meninggalkan Touw Liong seorang diri menghadapi
banyak musuh kuat maka ia dalam hati juga merasa pilu,
katanya dengan suara perlahan sambil menghela nafas.
"Anak, kau tidak dapat membantu padanya, apabila kau
berada di sini, mungkin akan menghalangi tindakannya. Ia
selalu memikirkan dirimu, sehingga tidak bisa bertempur
dengan baik."
It u memang sebenarnya, Pek Giok Hwa seorang pintar
dan cerdas, segera dapat mengerti perasaan ayahnya,
dengan air mata berlinang ia memandang sekali lagi kepada
Touw Liong, kemudian berkata padanya,
"Touw tayhiapm berhati-hatilah sedikit!"
Ucapan itu bagaikan ratapan suara hati Pek Giok Hwa,
ucapan yang sangat singkat itu mengandung banyak
perasaan hatinya.
Touw Liong sengaja tidak berani memandang padanya,
supaya jangan sampai terpengaruh pikirannya, kemudian ia
menjawab dengan suara tegas,
"Sebagai manusia, sejak dahulu kala siapakah yang tidak
akan mati" Hari ini, berkat doa restu nona dan Pek
cianpwee, apabila dapat membasmi beberapa kawanan
penjahat ini, aku si orang she Touw meskipun aku binasa
juga tidak akan menyesal."
Pek Giok Hwa memandang lagi pada Touw Liong
dengan mata berkaca-kaca, hatinya merasa pilu, sambil
menundukkan kepala ia mengikuti Pek Thian Hiong
menuju ke suatu puncak gunung.
Dalam waktu yang amat singkat itu ia sendiri juga tidak
tahu apa sebabnya demikian besar perhatiannya atas nasib
Touw Liong. Touw Liong tujukan pandangan matanya ke arah
tempat di mana Pek Thian Hiong dan puterinya
bersembunyi, kemudian ditujukan lagi ke depan dan
belakang. Sambil kertak gigi ia berkata pada dirinya
sendiri, "Mereka sudah datang. Biarlah kusambut semuanya!"
JILID 17 Dari arah depan tiba-tiba terdengar suara derap kaki
kuda. Selanjutnya, tampak dua ekor kuda hitam yang dilarikan
ke arahnya. Di atas kuda itu tampak dua orang imam yang
masing-masing menyoren sebilah pedang di atas
punggungnya. Touw Liong yang melihat kedatangan kedua
penunggang kuda itu, dengan pandangan mata sangat
marah mengawasi kedatangan mereka, sepasang tinjunya
dikepal, kemudian diletakkan di pinggangnya dan berdiri
untuk menghadang perjalanan mereka.
Bersamaan dengan itu, di belakang diri Touw Liong tibatiba
melayang dua orang lagi, seorang berambut putih dan
mengenakan kerudung kain hitam seorang lagi bertubuh
tegap berkumis putih, di tangannya membawa senjata
tongkat rotan. Dua orang dari depan dan dua orang dari belakang
hampir dalam waktu bersamaan telah berada di hadapan
dan belakang Touw Liong.
Sinar mata gusar Touw Liong menyapu empat orang
yang datang dari depan dan belakang. Kemudian
mengeluarkan siulan panjang sambil mendongakkan
kepala, dan setelah itu maka ia berkata:
"Apabila Tuhan berlaku adil, tolonglah lindungi aku,
Touw Liong supaya dapat menuntut balas dendam sakit
hati ayah. Apabila Tuhan tidak adil, biarlah aku mati di
sini, asal aku dapat menunaikan tugasku sebagai anak!"
Sehabis berkata demikian, Touw Liong membalikkan
badan dan memberi hormat kepada Panji Wulung wanita
yang mengenakan kerudung muka:
"Cianpwee ternyata tidak menepati janji sendiri! Kau
sudah turun tangan terlalu kejam. Di antara kita sudah ada
batas waktu tiga hari, mengapa sekarang masih terus
mengejar jejakku?"
Panji Wulung perdengarkan suara tertawa yang
menyeramkan, ia menunjuk dua imam yang baru lompat
turun dari atas kudanya seraya katanya:
"Aku sudah angkat mereka berdua sebagai anggota
dalam barisan Thian-ceng ko. Hari ini aku tidak
mengizinkan kau mengganggu seujung rambutnya saja!


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedang kau sendiri juga begitu. Jabatan Hek-hong Kimliong
juga kusediakan, kecuali kau, tidak ada orang lain
yang tepat untuk mendudukinya. Oleh karena itu, mereka
berdua juga tidak akan mengganggu walau hanya seujung
rambutmu saja!"
Pek-bie Hweesio dengan sikap angkuh membentak
kepada dua imam yang baru turun dari atas kudanya:
"Jiwi toyu lekas menghadap kepada kauwcu!"
Dua orang itu menyahut "baik", dengan serentak maju
menghampiri melalui kanan kiri Touw Liong, menghadap
Panji Wulung. Touw Liong dengan tiba-tiba mengeluarkan suara
bentakan keras:
"Serahkan jiwamu!"
Suara bentakannya dibarengi dengan gerakan tangan
kanannya dengan ilmu Thay-it Sin-jiauw menyerang imam
muka merah berbaju ungu, sedang tangan kirinya dengan
ilmu Thay-lo-kim-kong Sian-kang mengibaskan kelima jari
tangannya dengan ilmu Tay-lo kim-kong-chie terus
menyapu kepada imam kiri berjubah merah.
Sementara itu dari mulutnya kembali tercetus ucapan
dengan nada sangat marah:
"It-tiem! Thian-sim! Kalian kedua anjing, lekas
serahkan jiwa kalian!"
Dua serangan yang amat dahsyat itu sudah meluncur
kepada dua imam tersebut.
Dalam waktu yang bersamaan, Pek-bie Hweesio telah
menggunakan kesempatan selagi Touw Liong menyerang
kedua musuhnya, mengulurkan tangannya menyambar ke
tanah untuk mengangkat Bu-sim Hwesio yang tadi rubuh di
tanah, setelah mana ia pun lantas membuka totokannya,
hingga Bu-sim sadar kembali. Begitu melihat It-tiem dan
Thian-sim diserang oleh Touw Liong sehingga terpental
jatuh, juga merasa terkejut.
Touw Liong yang sudah berhasil serangannya, badannya
bergerak untuk mengejar kedua imam tadi. Ilmu Kim-kong
Sian-chie yang segera keluar segera ditariknya kembali,
tangan kiri dua kali melakukan gerakan, dari jauh
melancarkan serangan Tay-it Sin-jiauw ke bagian belakang
ulu hati imam berbaju ungu.
Apabila sampai serangannya itu mengenakan dengan
tepat, kalau tidak mati setidak-tidaknya It-tiem akan terluka
parah. Maka semua orang yang menyaksikan di situ pada
berubah wajahnya.
Tidak kecewa It-tiem menjadi ketua dari satu partay
besar. Begitu melihat berkelebatan sinar hijau, pedang
panjang di atas punggungnya sudah terhunus keluar untuk
menyerang balik hingga Touw liong terpaksa harus menarik
kembali serangannya.
Panji Wulung mengetahui semua kejadian setelah
mengeluarkan suara seruan tertahan, suatu perasaan girang
yang belum pernah tertampak kini terlintas di wajahnya,
sementara dalam hatinya berpikir: "Tidak kecewa It-tiem
menjadi seorang tokoh kuat, sedangkan Touw Liong lebihlebih
merupakn jago muda yang banyak harapan. Dua
orang ini, apabila bisa kujadikan anggota dalam
golonganku, dalam rimba persilatan aku sudah bisa
menjagoi. Sementara Touw Liong yang telah menarik kembali
serangannya, mengingat dendam sakit hati ayahnya,
kembali dengan tangan kanannya, dengan ilmu Kim-kong
Sian-kang menyapu kepada It-tiem.
Perubahan secara tiba-tiba itu juga mengejutkan Panji
Wulung. Tetapi ia tak mengadakan reaksi apa-apa, ia
hanya mengawasi It-tiem, agaknya ingin tahu bagaimana
sikap imam itu dalam menghadapi serangan Touw Liong.
Sementara itu, It-tiem sudah memutar tubuh dan
pedangnya, dengan menghadap Touw Liong ia
melancarkan serangan, sedang kakinya sudah menjejakkan
tanah, badannya lompat balik sejauh empat tombak lebih.
Dengan demikian, maka serangan Touw Liong kali
inipun mengenai tempat kosong pula.
Selagi Touw Liong hendak mengejar, tiba-tiba di
belakang dirinya terasa ada suatu sambaran angin, ia tahu
telah dibokong musuh, maka ia buru-buru membatalkan
maksudnya, tanpa banyak piker sudah membentak dengan
gusar: "Setan berkeliaran di bawah pedang! Di gunung Cengshia-
san kau dapat melarikan diri, apa sekarang kau masih
berani berlaku ganas?"
Suara bentakan itu ditutup dengan serangan pembalasan,
kali ini menggunakan ilmu Thay-it Sin-jiauw.
Orang berjubah ungu itu bukan lain daripada murid
murtad dari golongan Ceng-shia-pay, Thian-sim Tojin.
Pedang yang digenggamnya dalam tangannya kala itu
adalah pedang kuno Hok-mo Sin-kiam yang hilang di atas
penglari di dalam pendopo goa Thian-su-tong.
Kiranya pedang itu sewaktu Touw Liong mengejar
Thian-sim, diam-diam telah dicuri oleh It-tiem yang saat itu
bersembunyi di tempat gelap.
Kemudian It-tim menyusul Thian-sim, dan kedua orang
itu pada malam itu juga melarikan diri dari gunung Cengshia-
san. Serangan Touw Liong dengan ilmunya Thay-it Sin-jiauw
tadi meskipun merupakan serangan maut tetapi Thian Sim
juga bukan saja sudah berhasil melepaskan diri dari
serangan maut tadi, bahkan masih bisa balas menyerang
dengan ilmu pedangnya Hok-mo Kiam-hoat, hingga untuk
sementara berhasil mendesak mundur Touw Liong.
Apalagi tujuan Touw Liong adalah It-tim. Ia juga tidak ada
maksud mengadu kekuatan dengan Thian-sim. Ia
mengelakkan serangan ganas Thian-sim tojin yang
dilancarkan sampai tiga kali, dan melakukan serangan
pembalasan dengan jari tangan dan telapakan tangannya,
hingga mau tidak mau Thian-sim tidak berani melanjutkan
serangannya. Pada saat itu It-tim sudah lompat berhadapan dengan
Panji Wulung. Buru-buru ia memberi hormat kepada
wanita itu, dengan nafas tersengal-sengal ia berpaling ke
medan pertempuran. Tampak Thian-sim berkali-kali
terancam bahaya sehingga It-tiem menunjukkan sikap
cemas, dan berkata kepada Panji Wulung sambil
membungkukkan badan:
"Hunjuk beritahu kepada kauwcu, keadaan Thian-sim
toyu sangat gawat. Apalagi bocah she Touw itu bilamana
hari ini tidak disingkirkan, di kemudian hari akan
merupakan suara bahaya bagi pihak kita."
Panji Wulung menggoyang-goyangkan tangannya dan
berkata: "Kau tidak usah kuatir, Thian-sim masih sanggup
bertahan sepuluh jurus lebih. Maksud dan tujuan Touw
Ling kali ini bukanlah Thian-sim. Dia tidak akan turun
tangan kejam terhadapnya."
Mendengar ucapan itu, hampir saja It-tim bergidik.
Dalam hati diam-diam berpikir: Kalau begitu bocah itu
hendak membuat perhitungan denganku.
Karena perasaannya itu, wajah It-tiem nampak pucat,
semua itu telah diketahui oleh Panji Wulung, maka ia
segera menghiburnya seraya berkata:
"Kau juga tidak usah kuatir. Bocah itu sudah kutotok
jalan darahnya dengan ilmu Hek-hong Im-kang. Dalam
waktu tiga hari kalau dia tidak menyerah jadi anggotaku,
dalam tiga hari ?"
Ia sedang memperhatikan jalannya pertempuran antara
Touw Liong dengan Thian-sim, maka bicara sampai di situ
ia lantas berhenti.
Di wajahnya terlintas perasaan bangga. Maka It-tim
yang menyaksikan itu hatinya tidak tenang, buru-buru
memberi isyarat dengan mata kepada Pek-bie Hwesio.
Pek-bie hwesio berkata padanya dengan suara perlahan:
"Dalam waktu tiga hari, apabila kauwcu tidak turun
tangan sendiri untuk memunahkan ilmu Im-kang yang
mengeram dalam tubuhnya, maka selewatnya hari itu
semangatnya akan menurun, seluruh kepandaian ilmu
silatnya juga akan musnah."
It-tim menunjukkan senyum puas, ia menarik nafas lega.
Buru-buru alihkan pandangan matanya ke medan
pertempuran lagi, tetapi apa yang disaksikannya
membuatnya terkejut bukan main.
Dalam medan pertempuran saat itu Touw Liong berhasil
menahan serangan ganas Thian-sim dengan tangan kiri,
sedang lima jari tangan kanan melakukan gerakan mengipas
dan menggunting hingga saat itu Thian-sim tidak bisa
berdiri tegak dan mundur terhuyung-huyung hingga lima
langkah. Kemudian telah ditahan oleh kebutan lengan baju
Panji Wulung sehingga tidak sampai rubuh.
Meskipun ia berhasil mempertahankan kedudukannya,
tetapi pedang Hok-mo-kiam di tangannya sudah jatuh oleh
sentilan tangan Touw Liong.
Dengan gerakan secepat kilat, bagaikan anak panah lepas
dari busurnya Touw Liong hendak menyambar pedang
yang terlepas dari tangan Thian-sim tojin.
Tepat pada saat itu It-tim juga datang memburu hendak
merampas pedang, maka Touw Liong segera menggunakan
pedang yang baru dipungut dari tanah menyambut pedang
It-tim hingga dua pedang pusaka saling beradu dan
menimbulkan percikan api hebat.
Tindakan It-tim yang tergesa-gesa tadi sudah tentu
dilakukan dengan sangat cepat, sedangkan Touw Liong
yang hendak memungut pedang Thian-sim, masih belum
melihat tegas kalau It-tim yang menyerbu. Ia hanya
melihat sesosok bayangan orang maka ia menyambut
dengan pedangnya secara sembarangan.
Setelah ia dengan tegas melihat It-tim, maka hawa
amarahnya meluap dengan tiba-tiba. Sambil kertak gigi ia
menyerbu It-tim.
It-tim yang sudah merasa gentar apalagi ketika melihat
pedang Hok-mo-kiam sudah berada di tangan Touw Liong,
sudah tentu tidak berani melakukan perlawanan lagi, buruburu
mundur ke samping Panji Wulung.
Sudah barang tentu Touw Liong tidak mau
melepaskannya begitu saja. Apalagi It-tim adalah musuh
besar yang sedang dicari olehnya, maka ketika melihatnya
dia menyingkir, buru-buru mengejar sambil menenteng
pedangnya. Tiba-tiba terdengar suara "trang!", Panji Wulung sudah
bergerak, tongkat di tangannya terbang melesat, dengan
tepat mengenakan pedang di tangan Touw Liong, hingga
tangan Touw Liong merasa kesemutan, pedang itu terlepas
dan terbang ke tempat jauh.
Touw Liong terkejut dan terpental mundur setengah
langkah. Pedang tadi secara kebetulan terbang ke arah puncak di
mana Pek Thian Hiong dan Pek Giok Hoa sembunyikan
diri. Pek Giok Hoa tidak mau membuang kesempatan itu,
dengan segera mengulurkan tangannya menyambuti pedang
tadi. Dan Touw Liong setelah mundur setengah langkah
diam-diam mengeluh, setelah itu ia lantas bergerak melesat
ke tempat Pek Thian Hiong dan puterinya sembunyikan
diri. Letak puncak gunung itu justru di belakang dirinya.
Maka ia bisa bergerak lebih dahulu.
Baru saja ia bergerak, tiba-tiba tampak berkelebat
beberapa bayangan orang yang turut mengejar ke puncak
gunung itu. Touw Liong sambil lalu mengawasi orang-orang yang
mengejarnya, diantaranya tampak It-tim dan Thian-sim
berdua, sedang di sebelah kiri tampak paderi beralis putih.
Hati Touw Liong bercekat. Ia tidak pikirkan pedang
Hok-mo Kiam akan dirampas oleh mereka. Ia hanya
pikirkan keselamatan Pek Thian Hiong dan Pek Giok Hoa.
Apabila tempat persembunyian mereka sampai ketahuan
oleh mereka, entah apa yang akan terjadi nanti.
Berpikir sampai disitu, Touw Liong lantas pasang kudakuda,
kedua tangannya digerakkan, dengan menggunakan
ilmu Liang-gie Sim-hoat melancarkan serangan kepada dua
imam dan dua padri yang memburu ke arahnya.
Ilmu Thay-it Sin-kiam dan Thay-lo-kim-kong Sin-kang
memang merupakan ilmu yang bukan main hebatnya.
Apalagi Touw Liong menggunakan ilmu itu yang
digabungkan dengan ilmu Liang-gie Sim-hoat, maka sesaat
itu hembusan angin yang meluncur keluar lebih hebat
beberapa kali. Hembusan itu juga tercampur hawa dingin
menyusup tulang, hingga kawanan padri dan imam yang
pada bergerak meluncur tadi semua telah kena tersapu dan
jatuh bergelindingan di tanah.
Oleh karenanya, maka mereka terpaksa menghentikan
gerakannya dan tidak berani naik ke puncak gunung lagi.
Dengan demikian It-tim dan Thian-sim terpaksa hanya
dapat mengawasi Touw Liong yang melesat ke atas tebing.
Thian-sim yang terluka bagian dalam, meskipun ada
maksud ingin mengejar, tetapi tenaganya tidak
mengizinkan, sudah tentu tidak ada pikiran untuk
melanjutkan gerakannya. Sedangkan It-tiem dahulu ketika
di gunung Bu-tong san telah terpapas tiga jari tangannya, ia
juga tidak berani mengejar seorang diri. Dengan pura-pura
membimbing Pek-bie hwesio yang jatuh ke tanah,
melepaskan niatnya yang hendak merampas kembali
pedang Hok-mo-kiam.
Panji Wulung yang menyaksikan semua kejadian itu
menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Bocah ini dikemudian hari apabila mendapat turunan
ilmu Hek-hong Im-kang, bukan suatu hal yang sangat
mustahil akan menjadi seorang tokoh tanpa tandingan?"
Setelah itu ia mengebutkan lengan bajunya dan berkata
kepada empat orang tadi,
"Jalan!"
Bersamaan dengan itu ia mendongakkan kepala dan
berkata ke arah puncak gunung:


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bocah! Jangan lupa harinya, tiga hari! Masih ada
waktu tiga hari! Apabila dalam waktu tiga hari ini kau
tidak datang ke gunung Hok-hong-san untuk mencari aku,
itu berarti kau akan habis semuanya yang kau miliki hari
ini." Sesaat kemudian, Panji Wulung bersama dua padri dan
dua imam tadi sudah menghilang, tidak ada bayangannya
lagi. Jalanan daerah pegunungan itu kembali sunyi, di atas
tebing Touw Liong dengan nafas memburu, wajahnya
pucat pasi. Pek Thian Hiong lalu membimbing Touw Liong duduk
di atas sebuah batu besar, membantu padanya untuk
memulihkan tenaganya.
Pek Giok Hwa yang tangannya menggenggam pedang
Hok-mo kiam, dengan sinar mata penuh arti mengawasi
Touw Liong sejenak, kemudian bertanya pada Pek Thian
Hiong, "Ayah! Dia toh tidak ada halangan apa-apa?"
Pek Thian Hiong memandang putrinya, ayah dan anak
itu berjalan ke bawah pohon cemara, terpisah dengan Touw
Liong kira-kira lima tombak. Pek Thian Hiong menghibur
anaknya, katanya:
"Anak, kau jangan cemas! Dia cuma kehilangan sedikit
tenaga. Biarkan dia istirahat sebentar pasti akan pulih
sendiri." Dari nada suaranya itu jelas perhatiannya terhadap sang
puteri. Ia dapat memahami perasaan puterinya terhadap
Touw Liong. Jelaslah sudah, bahwa dalam hati Pek Giok
Hoa telah timbul benih-benih cinta.
Sementara itu Pek Giok Hoa masih tetap menunjukkan
sikap murung, bertanya lagi:
"Benarkah ia terkena ilmu Hek-hong Im-kang?"
"Masih susah dikata. Ganas dan kejamnya ilmu Hekhong
Im-kang, ayahmu hanya mendengar cerita di
kalangan kangouw, tetapi siapapun belum pernah
melihatnya, kita harus menunggu dan melihat perubahan
apa yang akan terjadi pada tiga hari kemudian, baru tahu
bagaimana adanya."
Berkata sampai disitu, tanpa disadarinya ia menghela
nafas dan berkata:
"Touw tayhiap memiliki kekuatan tenaga dalam sangat
hebat, kalau kita tinjau keadaan rimba persilatan pada
dewasa ini, orang yang dapat menandingi dia barangkali
tidak lebih dari tiga empat orang saja."
Bab 45 PEK GIOK HOA tidak paham, ia bertanya pula kepada
ayahnya: "Tetapi mengapa ia bisa terpukul oleh tongkat Panji
Wulung sehingga pedang di tangannya terbang melayang?"
"Itu juga tidak bisa disalahkan bahwa kekuatan tenaga
dalamnya sudah setinggi Panji Wulung, hanya patut
disesalkan waktu itu hatinya terlalu gugup, dalam
pertempuran sengit menghadapi tokoh-tokoh kuat seperti Ittim
dan Thian-sim ia selalu mengobral dengan ilmunya
Thay-it Sin-jiauw dan Thay-lo-kim-kong-chie. Tahukah kau
bahwa dua jenis ilmu itu paling menghamburkan kekuatan
tenaga dalam" Sebab, barang siapa menggunakan ilmu itu,
berarti mengeluarkan kekuatan tenaga dalamnya untuk
menyerang lawannya yang berada sejauh tiga tombak
dengannya, bukankah itu suatu perbuatan yang terlalu
menghamburkan tenaganya" Sekali-sekali boleh saja
digunakan, tetapi apabila berulang-ulang menggunakan
ilmu itu, pasti ada waktunya dia kehabisan tenaga!"
Pek Giok hoa angguk-anggukkan kepala, ia baru
mengerti apa sebabnya Touw Liong tidak sanggup
menyambuti serangan Panji Wulung yang hanya
menggunakan tongkat saja.
Pek Thian Hiong mengulurkan tangannya untuk
mengambil pedang dari tangan puterinya. Diperiksanya
sejenak, alisnya dikerutkan, matanya memandang terus
seolah-olah terbenam dalam pikirannya sendiri.
Pek Giok Hoa ketika menyaksikan sikap aneh dari
ayahnya, ia merasa heran, maka lalu bertanya:
"Ayah, ayah sedang pikirkan apa?"
Pek Thian Hiong kedip-kedipkan matanya, tangannya
mengelus-ngelus pedang Hok-mo kiam, jawabnya:
"Pedang ini seperti sebilah pedang kuno yang pernah
dikabarkan oleh cerita orang di rimba persilatan, apabila
betul pedang kuno itu, di dalamnya ada mengandung suatu
rahasia besar. Kecuali aku, tidak ada orang lain lagi yang
tahu?" "Rahasia apa?"
Pek Thian Hiong menggeleng-gelengkan kepala, dan
menjawab dengan suara hambar:
"Tapi rasanya tidak mungkin pedang itu " Sebab,
pedang kuno itu sudah menghilang sejak beberapa puluh
tahun berselang!"
"Apakah bukan pedang Hok-mo Hui-kiam?"
Pek Thian Hiong terperanjat, sambil menunjuk puterinya
ia bertanya: "Apa katamu?"
Dengan sikap serius Pek Giok Hoa mengulangi katakatanya
tadi: "Hok-mo Hui-kiam!"
Pek Thian Hiong mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata: "Pedang itu memang mirip pedang Hok-mo-kiam.
Sayang barangkali bukan pedang Hok-mo-kiam yang
sebenarnya!"
"Pedang ini benar adalah pedang pusaka Hok-mo-kiam!"
"Hok-mo-kiam"!" kata Pek Thian Hiong, tubuhnya
tergetar, agaknya masih tidak percaya.
"Betul, Hok-mo-kiam?" demikian kata Pek Giok Hoa
tandas. Selanjutnya ia bertanya:
"Ayah! Coba lekas ayah terangkan, pedang ini
mengandung rahasia apa?"
Saat itu semangatnya Pek Thian Hiong seperti menyalanyala,
dengan sinar mata tajam memandang pedang di
tangannya, lama sekali baru menggeleng-gelengkan
kepalanya, dengan suara berat berkata kepada anaknya:
"Anak, di sini bukan tempatnya untuk bicara, di
kemudian hari akan kuberitahukan padamu!"
Dengan perasaan kecewa Pek Giok Hoa alihkan
pandangannya kepada Touw Liong, dengan mendadak
tampak olehnya seorang tua berambut panjang, mukanya
seperti burung betet, sepasang matanya sangat buas, saat itu
sedang mengangkat tangannya, ditujukan ke batok kepala
Touw Liong, hendak melakukan gerakan memukul, sedang
mulutnya menunjukkan senyumnya yang licik.
Pek Giok Hoa terkejut dan menjerit, buru-buru menutup
lagi mulutnya, tidak bisa mengatakan apa-apa.
Pek Thian Hiong juga segera sadar, matanya ditujukan
ke arah Touw Liong, dan sinar matanya segera beradu
dengan sepasang mata orang tua itu. Dari mulut Pek Thian
Hiong mengeluarkan kata-kata sepatah demi sepatah:
"Ngo-gak Lo-koay!"
Ngo-gak Lo-koay menganggukkan kepala, dan berkata:
"Benar! Manusia dimana saja bisa bertemu. Di gunung
Pak-bong-san kita mendapat kesempatan bertemu muka,
tetapi di gunung Kiong-lay ini, akhirnya ketemu juga!
Segala urusan sebenarnya tidak lepas dari soal jodoh!"
Pek Giok Hoa maju dua langkah, ia bertanya kepada
Ngo-gak Lo-koay sambil kertak gigi:
"Kau mau apa?"
Ngo-gak Lo-koay menjawab sambil menggelenggelengkan
kepala: "Tidak apa-apa, urusan kecil saja. Asalkan ayahmu mau
menyerahkan pedang itu padaku, aku akan melepaskan
dia." Memang benar, apabila saat itu Ngo-gak Lo-koay turun
tangan, habislah riwayat Touw Liong! Pasti batok kepala
Touw Liong akan hancur berantakan. Sudah tentu hal itu
dapat dipahami oleh Pek Thian Hiong.
Pek Giok Hoa kertak gigi, berkata sambil menunjuk
Touw Liong: "Dia akan pulih tenaganya! Nanti kalau ia sadar
kembali, sekalipun kau tumbuh sayap, juga tidak bisa kabur
lagi!" "Kau tidak usah kuatir!" Setelah ia terkena serangan
Hek-hong Im-kang, kekuatan tenaga dalamnya sudah
banyak berkurang. Sekalipun ia sadar, toh masih berada
dalam cengkeraman tanganku. Hari ini, hmm! Hmm!
Asal aku turun tangan, Nona Pek, kau seorang yang
mengerti, dalam hati masing-masing tahu sendiri apa yang
akan terjadi dengan bocah ini!" kata Ngo-gal Lo-kay sambil
tertawa bangga.
Pada saat dan tempat seperti itu, jiwa Touw Liong sudah
menjadi jiwa Pek Giok Hoa juga. Sebagai ayah, Pek Thian
Hiong mengetahui benar perasaan puterinya. Dan oleh
karena cinta kasih ayah terhadap puterinya, maka ia tidak
suka melukai hati puterinya, maka ia tidak suka melukai
hati puterinya. Dalam keadaan seperti itu ia tidak bisa
berbuat lain kecuali menghela nafas, dengan tangan
mengelus-elus pedang pusaka itu, lalu berkata:
"Pedang ini aku sudah memberikan padamu, tapi aku
masih belum mau mempercayaimu. Setelah kau mendapat
pedang ini apakah kau berani jamin tidak akan turun tangan
kepadanya?"
Lo-gak Sin-kun tertawa menyeringai, kemudian berkata
sambil tertawa:
"Tua bangka she Pek! Kau terlalu memandang rendah
diriku! Aku Ngo-gak Lo-koay meskipun sepak terjangku
selama ini agak aneh, tetapi merekku cukup kuat.
Kepercayaanku boleh diandalkan. Apa yang telah
kukatakan selamanya belum pernah kuingkari!"
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula:
"Lagi pula bocah ini sudah ditotok jalan darahnya oleh
nenek itu dengan tongkatnya, kematiannya sudah tidak
lama lagi, maka tidaklah perlu sampai aku turun tangan,
yang tentu akan membuat nama busuk untukku sendiri.
Asalkan kau mau memberikan pedang itu secara baik-baik,
maka jiwa boch ini pada waktu sekarang ini tidak akan
terancam lagi."
Buat Pek Thian Hiong, disatu pihak ia merasa berat
menyerahkan pedang pusaka itu kepada Ngo-gak Sin-kun.
Di lain pihak ia juga tidak mau percaya sepenuhnya akan
kata-kata orang itu, maka saat itu ia masih merasa raguragu,
tidak bisa mengambil keputusan.
Sementara itu, Pek Giok Hoa yang kuatir ayahnya
merasa berat melepaskan pedangnya, di wajahnya
menunjukkan sikap cemas. Ia angkat muka memandang
ayahnya. Ketika mukanya tertumbuk pada bungkusan panjang
yang ada di atas punggung Pek Thian Hiong, terbukalah
pikirannya, kemudian ia mendapat suatu pikiran, dan maju
menghampiri ayahnya. Tangannya diulurkan kepada Pek
Thian Hiong, dan mulutnya berkata dengan suara perlahan:
"Harap ayah berikan pedang itu padaku, supaya anak
yang menyerahkan kepadanya!"
Sementara mulutnya mengucap demikian, ia memberi
isyarat dengan matanya sambil memandang kepada
ayahnya. Pek Thian Hiong segera mengerti pada maksud anaknya
dan apa yang dikuatirkan oleh anaknya itu. Saat itu Pek
Thian Hiong lantas sadar, maka tanpa berkata apa-apa ia
menyerahkan pedang Hok-mo-kiamnya kepada Pek Giok
Hoa. Setelah menerima pedang pusaka segera Pek Giok Hoa
membalikkan badan, berjalan menghampiri Ngo-gak Sinkun.
Terpisah masih lima enam tombak di hadapan Ngogak
Sin-kun, mendadak ia berhenti, pedang di tangannya
diacung-acungkan seraya katanya:
"Locianpwee, pedang sudah di tanganku. Asal
locianpwee suka menggeser beberapa langkah."
Ngo-gak Sin-kun mengangguk-anggukkan kepala, ia
mengulurkan tangannya mengambil sebuah batu dari tanah.
Setelah memperlihatkan kepada Pek Thian Hiong, lalu
berkata: "Tua bangka she Pek! Aku peringatkan padamu, jangan
coba kau main gila! Apabila kau melakukan tindakan apaapa,
asal aku menyambitkan batu ini, bocah itu sekalipun
tidak mati, juga akan menjadi cacat seumur hidup!"
Pek Thian Hiong tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata: "Sudah tentu! Aku si orang she pek setapakpun tak
akan menggeser kakiku! Kau jangan kuatir!"
Ngo-gak Sin-kun perdengarkan tertawa yang
menyeramkan, tangannya yang mencekal batu itu diacungacungkan
sebagai tanda bahwa setiap saat ia bisa
melakukan serangan. Setelah itu ia menggebrakkan
kakinya berjalan menghampiri Pek Giok Hoa.
Berjalan baru tiga langkah ia berpaling, ia mengawasi
Pek Thian Hiong sejenak, benar saja Pek Thian Hiong
masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak.
Ia berpaling lagi kearah Pek Giok Hoa.
Saat itu Pek Giok Hoa sedang berdiri terkatung-katung,
tangannya diangkat tinggi dengan pedangnya, keadaannya
juga serupa dengan ayahnya.
Sampai disitu, wajah Ngo-gak Sin-kun yang keriputan
tanpak gembira, bibirnya tersungging suatu senyuman,
dengan langkah lebar melanjutkan langkahnya
menghampiri Pek Giok Hoa.
Belum tiba di hadapan Pek Giok Hoa, dengan tiba-tiba
telinganya digetarkan oleh suara senar kecapi yang amat
nyaring. Mendengar dua kali sentilan senar kecapi itu
wajah Ngo-gak Sin-kun mendadak berubah; ulu hatinya
merasa seperti diputar.
Dalam keadaan cemas ia berpaling ke arah Pek Thian


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiong. Ketika melihat keadaan Pek Thian Hiong, bukan
kepalang terkejutnya. Entah sejak kapan Pek Thian Hiong
diam-diam sudah meletakkan kecapi kunonya di atas batu,
dan disentilnya dengan lima jarinya hingga mengeluarkan
suara berirama sangat tajam.
"Hian-im Ceng-hiap!" demikian Ngo-gak Sin-kun
berseru, karena sebagai seorang yang sudah tahu kecapi
kuno itu, itulah sebabnya sampai ia berseru kaget.
Sesaat itu ia segera mengerti bahwa dirinya telah tertipu
oleh Pek Thian Hiong dan puterinya.
Tetapi pada saat itu ulu hatinya terasa sakit sekali,
tangan yang menggenggam batu mendadak gemetaran,
hingga batunya terjatuh ke tanah.
Ketika bunyi kecapi yang ketiga kalinya itu cring lagi
lagi, Ngo-gak Sin-kun lantas angkat kaki lompat turun dari
atas gunung dan kabur terbirit-birit.
Di lain pihak, tiga kali suara kecapi tadi telah membuka
totokan jalan darah Touw Liong, hingga mempercepat
usahanya untuk memulihkan kekuatan tenaganya.
Ketika suara kecapi itu berhenti, Touw Liong sudah
sadar kembali, lompat bangun. Ketika ia membuka mata,
tampak berkelebat bayangan orang yang seperti pernah
dikenalnya, lompat turun ke bawah gunung. Dari belakang
punggung orang itu seperti tidak asing lagi, maka sesaat itu
ia terkejut dan berpaling serta bertanya kepada Pek Thian
Hiong. "Pek cianpwe, siapakah orang itu?"
Pek Thian Hiong menarik nafas lega. Ia mnyeka air
keringat di atas jidatnya, dan berkata sambil gelenggelengkan
kepala dan tertawa getir:
"Touw tayhiap, kembali kau lolos dari lobang jarum ..."
Pek Giok Hoa berkata dengan suara pilu ...
"Itu adalah Ngo-gak Lo-koay ..."
"Ngo-gak Lo-koay ?"" tanya Touw Liong dengan sikap
gusar, kemudian berkata pula,
"Aku justru sedang mencari dia untuk membuat
perhitungan hutang darah!"
Sehabis mengucap demikian ia lalu memberi hormat
kepada Pek Giok Hoa dan Pek Thian Hiong sambil
mengucapkan "sampai ketemu lagi", setelah itu badannya
bergerak, mengejar Ngo-gak Lo-koay, sementara di
belakangnya terdengar suara panggilan dari Pek Giok Hoa.
Ngo-gak Lo-koay yang mendengar suara seruan Pek
Giok Hoa, lantas berpaling. Ketika ia menampak Touw
Liong mengejar, wajahnya berubah pucat seketika, diamdiam
mengeluh "celaka!", dan lari semakin cepat.
Gerakan kaki Ngo-gak Lokoay ternyata pesat sekali.
Dalam waktu sekejab mata telah mencapai jarak tiga puluh
tombak lebih. Touw Liong yang memiliki kepandaian luar
biasa, dengan sendirinya ilmu meringankan tubuhnya juga
hebat. Maka ia masih membuntuti di belakangnya.
Sekaligus ia sudah mengejar tiga pal lebih. Saat itu Ngogak
Lokoay tujukan kakinya kearah di mana tadi Panji
Wulung dan rombongannya lari. Touw Liong semakin
mengejar semakin kuatir. Diam-diam hatinya berpikir:
Apakah Ngo-gak Lokoay sudah menggabungkan diri juga
dengan romobogan Panji Wulung"
Dia tahu kalau usahanya mengejar itu diteruskan, akan
banyak bahayanya, tetapi setelah berpikir, ia mempunyai
tujuan lain. Dalam hatinya mengatakan: Apabila dapat
menyandak It-tim, bukankah merupakan suatu tindakan
yang menguntungkan padaku"
Kejar-kejaran serupa itu terus berlangsung sekian lama,
dua orang itu masih terpisah dengan jarak tertentu, dalam
hati Touw Liong merasa heran, ketika dia pasang mata
memperhatikan gerak lari Ngo-gal Lokoay, timbullah
perasaan curiganya.
Apa sebabnya"
Kiranya, gerak kaki yang digunakan oleh Ngo-gak
Lokoay itu justru adalah merupakan sebagian dari ilmu
Hui-eng Pat-sek dari golongan Pak-bong. Dengan ilmu itu,
pantas saja ia bisa lari dengan pesat.
Touw Liong semakin memperhatikan gerakan Ngo-gak
Lokoay. Gerakan Hui-eng Pat-sek yang digunakan olehnya
ternyata demikian mahir dan lincah sekali, jikalau belum
mengadakan latihan beberapa puluh tahun lamanya, tidak
mungkin bisa mencapai hasil demikian. Maka dalam hati
anak muda itu lantas timbul suatu pikiran: Ngo-gak Lokoay
sudah mendapatkan ilmu Hui-eng Pat-sek dari Pak-bong.
Tetapi di masa itu, tiga garuda dari Pak-bong tidak
mungkin menurunkan ilmu simpanan itu kepada Ngo-gak
sin-kun. Kalau begitu ..." Siapakah orangnya yang dapat
menggunakan ilmu Hui-eng Pat-sek demikian mahir"
Kecuali Hui eng sendiri, dalam rimba persilatan dewasa
ini barangkali cuma ada seorang lagi, yaitu, Kakek Seribu
Muka! Ketika Touw Liong memikir sampai di situ, ia mulai
perhatikan bentuk dan dedak perawakan Ngo-gak Lokoay.
Sesaat itu ia segera menarik suatu kesimpulan dan dapat
memastikan pula bahwa Ngo-gak Lokoay yang dikejarnya
itu adalah samaran dari Kakek Seribu Muka.
Setelah menarik kesimpulan demikian, dengan tiba-tiba
Touw Liong berseru dengan suara nyaring:
"Chungcu! Harap tunggu sebentar! Saudaraku Kang
Kie ada urusan yang minta aku sampaikan kepada
chungcu!" Usahanya itu ternyata berhasil. Ngo-gak Lokoay yang
lari terbirit-birit tiba-tiba menghentikan gerakannya.
Ia berpaling dan pendelikkan matanya, dengan tak
berkata apapun mengawasi Touw Liong dari atas sampai ke
bawah. Touw Liong pada saat itu sudah dapat memastikan
bahwa siapa adanya Ngo-gak Lokoay itu. Ia memberi
hormat kepadanya.
Ngo-gak Lokoay menganggukkan kepala, tetapi masih
tetap tidak berkata apa-apa.
Touw Liong lantas bertanya secara blak-blakan:
"Tahukan chungcu bahwa suhumu telah menutup
mata?" Ngo-gak Sin-kun mengangguk-anggukkan kepala.
Touw Liong berkata pula:
"Saudaraku Kang Kie mengharapkan bisa bertemu muka
dengan toa-chungcu untuk merundingkan cara-cara dan
rencana guna menuntut balas sakit hati suhumu!"
Di luar dugaan Touw Liong, Ngo-gak Sin-kun
mengeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Aku bukan Toa-chungcu!"
Touw Liong merasa heran dan lalu bertanya,
"Kalau begitu tuan ini siapa?"
Ngo-gak Sin-kun mengulurkan dua jari tangannya.
Touw Liong lalu bertanya lagi,
"Apakah tuan Ji-chungcu?"
Ngo-gak Lokoay menganggukkan kepala.
Touw Liong kembali memberi hormat kepadanya dan
bertanya, "Mengapa chungcu perlu menyamar sebagai Ngo-gak
Lokoay?" Jie-chungcu menghela nafas dan berkata;
"Dalam hal ini, panjang sekali ceritanya, sejak Touw
tayhiap berlalu dari Pak-bong-san, kami berempat suheng
dan sumoay kembali ke tempat rahasia di gunung Pakbong.
Di situlah kami baru mengetahui bahwa suhu telah
menutup mata. Batu nisan yang Touw tayhiap dirikan,
juga telah kami lihat, di samping itu, kami juga melihat
tulisan darah yang ditulis suhu, maka kami tahu bahwa
suhu terbinasa di tangan Ngo-gak Lokoay. Oleh karena itu,
kami sudah bersumpah hendak menuntut balas sakit hati
guru." Touw Liong mengerutkan alisnya, agaknya setengah
menyadari. Sementara itu Jie-chungcu telah melanjutkan
ucapannya, "Tetapi kepandaian dan kekuatan tenaga dalam Ngo-gak
Lokoay hebat sekali, kami beberapa saudara seperguruan
masih susah menghadapi, di samping itu, sejak Ngo-gak
Lokoay kabur dari gunung Pak-bong, lantas menghilang,
tidak tahu sembunyi di mana, maka suheng telah dapat
memikirkan suatu akal yang baik, begitulah kami suheng,
sute dan sumoay berempat dengan berpencaran telah
menyaru sebagai Ngo-gak Lokoay, sengaja menimbulkan
kekacauan dalam rimba persilatan. Kalau urusan telah
meluas menjadi hebat, kita tidak kuatir Ngo-gak Lokoay
tidak akan muncul."
Touw Liong mendengarkan penuturan itu, lantas
berpikir dalam hatinya: Perbuatan murid-murid golongan
Pak-bong yang hendak mencelakakan diri orang lain ini
sudah tentu kurang baik, tetapi tujuan mereka ialah hendak
menuntut balas sakit hati suhu mereka, maka masih
bolehlah dimaafkan.
Berpikir sampai di situ, dengan nada menghibur dan
menasehati, berkatalah Touw Liong,
"Sakit hati suhumu, karena aku sudah pernah menerima
budinya demikian besar, dengan sendirinya juga akan bantu
mengeluarkan tenaga, ah! Sayang ..."
Jie-chungcu kedip-kedipkan matanya, dengan sikap
menanya mengawasi padanya, sementara itu Touw Liong
sudah berkata lagi,
"Sayang aku sudah terkena totokan Panji Wulung, tidak
beberapa lama ..."
Jie-chungcu mengetahui perasaan Touw Liong pada saat
itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus memberi hiburan,
maka alisnya dikerutkan, dan otaknya bekerja. Sesaat ia
seperti ingat sesuatu, maka bertanya padanya:
"Touw tayhiap, kau adalah satu-satunya orang yang
mengetahui kematian suhuku, juga satu-satunya orang yang
sudah masuk ke tempat pertapaan suhu. Maka kitab
rahasia perguruan kami, yaitu kitab Hui-eng Pat-sek dan
pedang Khun-ngo-kiam, Touw-tayhiap seharusnya tahu
bagaimana suhu hendak menyelesaikan tentang dua benda
pusaka itu."
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
berkata, "Sekalipun Jie-chungcu tidak bertanya, aku juga
seharusnya memberitahukan padamu. Dua benda pusaka
itu sudah kuserahkan kepada saudaraku Kiang Kie. Nanti,
apabila chungcu bertemu dengan saudaraku itu, tentu akan
tahu semua."
Jie-chungcu mengucapkan terima kasih, lantas memutar
tubuh hendak pergi. Touw Liong ingat masih ada urusan
yang belum sempat diutarakan, maka buru-buru
menahannya dan berkata:
"Harap chungcu jangan pergi dulu. Aku masih ada
sesuatu yang akan diberitahukan pada chungcu."
Jie-chungcu batalkan maksudnya, ia berdiri menantikan
keterangan Touw Liong.
Touw Liong kembali memberi hormat, dan berkata pula,
"Rimba persilatan keadaannya kacau balau. Dalam
keadaan seperti ini sudah tentu banyak timbul hal-hal yang
tidak karuan macam. Mengenai cara Jie-chungcu bersama
suheng dan sute serta sumoay hendak mencari jejak Ngogak
Lokoay, agar supaya jangan sampai menimbulkan halhal
yang tak diingini, rasanya perlu ditinjau kembali."
Maksud Touw Liong sebetulnya hendak minta mereka
jangan sampai menimbulkan urusan terlalu banyak, tetapi
Jie-chungcu tidak dapat memahami seluruh maksud Touw
Liong, maka timbul perasaan curiganya, dan lalu bertanya,
"Aku tidak mengerti maksud dari ucapan Touw tayhiap
tadi." "Maksudku, Ngo-gak Lokoay dahulu mempunyai
banyak musuh dengan berbagai partai. Kalau sekarang ini
chungcu dengan suheng, sute dan sumoay muncul dalam
dunia kang-ouw dengan Ngo-gak Lokoay, hal ini
mengandung bahaya terlalu besar. Dan, disamping itu,
apabila urusan telah berlarut-larut dan menjadi besar dan
Ngo-gak Lokoay yang asli muncul, maka sepuluh partai
besar pasti akan keluar semua untuk menghadapi Ngo-gak
Lokoay. Kalau sudah terjadi hal seperti itu, bukankah
tujuan dan maksud chungcu akan menjadi tersia-sia belaka"
Oleh karena tidak bisa turun tangan sendiri terhadapnya
guna menuntut balas sakit hati suhumu."
Jie-chungcu dua kali menganggukkan kepala tanda
mengucapkan terima kasih, tetapi kemudian ketika dia
angkat muka, wajahnya berubah seketika, dan cepat-cepat
memutar tubuh untuk lari tanpa pamit lagi.
Touw Liong merasa heran terhadap Jie-chungcu itu,
tatkala ia berpaling, tampaklah di belakangnya dua orang.
Mereka itu adalah Pek Thian Hiong dan puterinya.
Touw Liong dalam hati mengerti, sebabnya ialah muridmurid
golongan Pak-bong ketika dalam pertemuan di danau
Thian-tie di gunung Lu-san, telah pernah mengacau, hingga
dalam hati sedikit banyak merasa tidak enak sudah tentu ia
harus pergi untuk menyingkir dari Pek Thian Hiong.
Sesaat kemudian Pek Thian Hiong dan puterinya sudah
berada di hadapan Touw Liong. Pek Thian Hiong segera
bertanya, "Mengapa Touw tayhiap lepaskan lokoay itu?"
Touw Liong lalu menceritakan semua apa yang telah
terjadi. Pek Thian Hiong setelah mendengarkannya lalu
berkata sambil kertak gigi,
"Kalau kuingat murid-murid golongan Pak-bong, benarbenar
merasa gemas. Lain kali kalau sampai bertemu lagi,
aku pasti tidak dapat mengampuni mereka!"
Touw Liong pikir hendak meredakan permusuhan itu,
tetapi mengingat Pek Thian Hiong masih dalam keadaan
marah, ia tahu usahanya tentu takkan berguna, maka lantas
batalkan maksudnya.
Sementara itu, Pek Giok Hoa sambil membawa pedang
Hok-mo-kiam, berjalan menghampiri Touw Liong dan
bertanya kepadanya.
"Kata ayah, kalau pedang ini betul pedang Hok-mokiam,
di dalamnya ada mengandung suatu rahasia besar.


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Samar-samar aku pernah dengar katamu, waktu kau
berbicara dengan Thian-sim di gunung Ceng-shia-san,
benarkah bahwa pedang ini pedang Hok-mo-kiam?"
"Memang benar pedang Hok-mo-kiam!" jawab Touw
Liong. Namun dalam hatinya ia bertanya-tanya sendiri, rahasia
apa sebetulnya"
Touw Liong menyambuti pedang Hok-mo-kiam dari
tangan Pek Giok Hoa, diperiksanya dua kali, tetapi tidak
melihat tanda-tanda yang aneh. Kalau mau dikata
perbedaan pedang ini dengan pedang-pedang lain, satusatunya
yang agak menonjol ialah, bentuk dan rupa pedang
ini mirip dengan pedang Ang-hui-how-kiam milik golongan
Bu-tong. Selain itu, bentuknya yang memang berupa
pedang kuno, tentu agak indah dan tajam sekali.
Ia memegangi pedang itu dan menghampiri Pek Thian
Hiong seraya bertanya,
"Pek cianpwe, aku tidak dapat melihat di mana letak
rahasia yang ada pada pedang ini, maka kuminta sedikit
penjelasan dari cianpwe."
Pek Thian Hiong geleng-gelengkan kepala dan
mengawasi keadaan sekitarnya, ketika menampak di sekitar
tempat itu sunyi-senyap, boleh dikata hanya mereka bertiga,
sudah tidak tampak bayangan orang lain lagi.
Touw Liong yang menyaksikan sikap hati-hati dari orang
tua itu, mengetahui bahwa rahasia yang terkandung dalam
pedang Hok-mo-kiam ini, pasti bukan rahasia biasa, maka
dengan sikap serius ia menyerahkan pedang itu pada Pek
Thian Hiong. Pek Thian Hiong menyambutinya, lebih dahulu diusapusap
sekali lagi, barulah berkata,
"Pedang ini dibuatnya sangat bagus sekali, tetapi bukan
buatan Thian lam tayhiap Cu-kat Ciam yang dahulu
namanya mengetarkan rimba persilatan, pedang ini
seharusnya dibuat oleh sucouw-ku, seorang padri beribadat
tinggi. Untuk membuat pedang ini, sucouw menggunakan
waktu dan hampir semua usahanya dalam waktu 30 tahun
baru selesai. Apa yang patut disesalkan ialah, ketika
pembuatan pedang ini selesai, sucouw oleh karena terlalu
letih, pada saat itu juga telah menutup mata ..."
Ia berdiam sejenak dan menghela nafas panjang,
kemudian berkata lagi,
"Letak berharganya pedang ini bukan pada
ketajamannya yang dapat memapas batu bagaikan tahu,
melainkan terletak pada sebelumnya dibuat pedang ini,
sucouw telah menggunakan ilmu yang tertinggi. Ilmu
pedang yang dipelajarinya selama beberapa puluh tahun
telah disalurkan ke dalam awak pedang ini. Kemudian,
menggunakan pula ilmunya dari golongan Budha, bertapa
selama 49 hari, telah berhasil menyembunyikan ukiran
huruf yang diukir di atas pedang, sehingga tidak dapat
dilihat oleh pandangan mata biasa."
Dengan perasaan terkejut dan terheran-heran Touw
Liong mengawasi pedang pusaka itu, memang benar ia
tidak berhasil menemukan ukiran-ukiran huruf di atasnya.
Jadi apa yang diucapkan oleh orang tua ini, barang kali
memang betul. Sementara itu Pek Thian Hiong sudah berkata lagi,
"Pedang berhasil, tetapi orang yang membuat menutup
mata, ini adalah suatu tragedi yang sangat menggenaskan.
Lebih menggenaskan lagi, pada waktu sucouw menutup
mata, dan semua anak muridnya sedang repot mengurus
jenasahnya, pedang itu telah dicuri oleh seorang tokoh kuat
rimba persilatan yang sudah lama mengintai pedang pusaka
itu, hingga dibawa kabur olehnya."
"Apakah orang itu adalah Cu-kat Ciam sendiri?" tanya
Touw Liong. Pek Thian Hiong menganggukkan kepala.
Touw Liong bertanya pula,
"Mengapa murid-murid couwsu cianpwe dahulu tidak
berusaha mencari jejak pedang itu?"
Pek Thian Hiong menghela nafas panjang, lama baru
bisa menjawab, "Mungkin itu sudah takdir Tuhan Yang Maha Esa,
ketika orang-orang yang mencari jejak Cu-kat Ciam sudah
tidak tampak lagi bayangannya, bahkan sejak saat itu
bayangannya sudah tidak muncul lagi di dunia kang-ouw."
"Ayah telah beberapa puluh tahun lamanya
menyembunyikan nama, apakah juga lantaran mencari
jejak pedang ini?" tanya Pek Giok Hwa dengan nada sedih.
"Kali ini aku keluar muka lagi, mengundang semua
tokoh rimba persilatan, dengan alasan membasmi
keganasan Panji Wulung, tetapi maksud yang sebenarnya
ialah hendak menyerepi pedang pusaka ini," berkata Pek
Thian Hiong. "Kalau begitu aku ucapkan selamat kepada locianpwee,
karena locianpwee sudah mewarisi pedang pusaka milik
sucouw locianpwee, dengan reputasi locianpwee di
kalangan kang-ouw, rasanya tidak susah bagi locianpwee
untuk membersihkan rimba persilatan dari kawanan
penjahat," berkata Touw Liong sambil memberi hormat.
Pek Thian Hiong menggoyang-goyangkan tangannya
dan berkata, "Touw tayhiap, kau jangan terburu-buru memberi
selamat, meskipun aku sudah menemukan kembali pedang
pusaka milik perguruan kita. Sayang ukiran-ukiran huruf
kuno yang diukir di atas pedang itu aku masih belum
berhasil membuatnya tampak dengan mata."
"Kapan kira-kira ukiran-ukiran huruf itu bisa tampak?"
tanya Touw Liong.
"Harus menunggu sampai aku berhasil memahami
irama-irama dari kecapi kuno itu, barangkali masih
memerlukan waktu tiga bulan untuk aku melatih ilmu gaib
dari daerah luar, yang harus digabungkan dengan irama
kecapi ini, barulah bisa menimbulkan huruf-huruf yang
tersembunyi dalam awak pedang ini," menjawab Pek Thian
Hiong sambil menunjuk kecapi kunonya.
Bab 46 WAKTU TIGA BULAN terhitung pendek, tetapi siapa
tahu apa yang terjadi di dalam rimba persilatan di dalam
tiga bulan kemudian" Apakah Panji Wulung wanita
membiarkan ia mempelajari ilmunya itu dengan tenang
selama tiga bulan ini" Pek Thian Hiong mengerti
kedudukannya sendiri, demikianpun dengan Touw Liong.
Maka Pek Thian Hiong sehabis mengucapkan perkataannya
itu, di antara mereka berdua, segera terbenam dalam
lamunannya sendiri-sendiri.
Pek Giok Hoa yang menyaksikan itu, menghela nafas
perlahan, kemudian berkata,
"Ayah hendak mempelajari ilmu gaib jati kuno ini,
apabila mendapat bantuan dia menjaga keselamatannya,
hal itu alangkah baiknya!"
Meskipun mulutnya berkata demikian, tetapi ia tahu
benar bahwa Touw Liong sudah terkena serangan ganas
Panji Wulung wanita yang mempunyai waktu tiga hari saja.
Sepasang mata Touw Liong tiba-tiba terbuka lebar,
katanya, "Ilmu gaib Thay-it Sin-kang boanpwe, juga sudah
boanpwe pelajari seluruhnya, sekarang ini apakah kiranya
boleh membantu cianpwe dalam melaksanakan maksud
cianpwe?" Maksudnya ialah hendak menggunakan kekuatan tenaga
dalam yang ada pada dirinya, supaya dapat menimbulkan
ukiran bulat yang terdapat di awak pedang kuno itu.
Tetapi Pek Thian Hiong menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian berkata,
"Tidak bisa! Kekuatan dari ilmu Thay-it Sin-kang masih
belum cukup."
Tetapi kemudian ia berpikir lagi sambil mengerutkan
alis, kemudian mengangguk-anggukkan kepala dan berkata
pula, "Meskipun ilmu Thay-it Sin-kang masih belum bisa
dipakai, tetapi apabila, ada cara lain, dan ditambah dengan
kekuatan tenaga dari lain ilmu rasanya bisa juga. Tetapi ini
adalah suatu hal yang tidak mungkin, dalam kalangan
tinggi, tidaklah mungkin ada orang yang dalam waktu
bersamaan bisa mengerahkan dua macam kekuatan dari
dua macam ilmu!"
Touw Liong yang mendengar ucapan itu merasa tertarik,
katanya sambil tertawa,
"Boanpwe bersedia menggunakan dua macam ilmu
dalam waktu yang bersamaan."
Mata Pek Thian Hiong terbuka lebar, kemudian tertawa
terbahak-bahak dan berkata,
"Oh! Orang yang sudah tua, pikirannya juga linglung,
mengapa aku tidak ingat kau tadi sewaktu dalam
kekuatanmu melawan Thian-sin dan It-tim, dengan tangan
kirimu kau boleh menggunakan ilmu Thay-it Sim-liong, dan
dengan tangan kananmu, gunakanlah ilmu Tay-lo sian-ci.
Apabila dalam waktu bersamaan tidak bisa mengerahkan
dua macam ilmu itu, tidak mungkin dalam waktu yang
bersamaan kau dapat menggunakan dua macam ilmu yang
sangat ampuh itu!"
Sehabis berkata demikian, ia berkata pula sambil
mengulapkan tangannya,
"Jalan! Mari ikut aku pergi!"
Setelah itu lebih dahulu ia berjalan menuju ke belakang
gunung Kionglay.
.....................
Rembulan purnama memancarkan sinarnya yang terang
benderang, malam itu udara cerah.
Di daerah gunung Tiong lay-san, terdapat sebuah
bangunan gedung besar tetapi sederhana. Ruangan tengah
kamar itu masih tampak sinar pelita yang memancar keluar,
di dekat jendela ada duduk seorang tua dan dua orang
muda. Tiga orang itu adalah Pek Thian Hiong dan anaknya
bersama Touw Liong.
Di luar pekarangan yang bertugas sebagai peronda
adalah Soa Lie, yang bertubuh tinggi besar, sedang yang
bertugas di bagian atas rumah adalah orang tua berkaki satu
yang mukanya hitam yang dahulu pernah unjuk diri di
danau Siao-thian-tie, sepasang sinar mata yang tajam orang
tua itu ditujukan ke arah jauh sekeliling gedung rumah itu.
Tiga orang yang duduk di dekat jendela itu, semua
mencurahkan perhatiannya kepada pedang Hok-mo-kiam
yang tergenggam dalam tangan Touw Liong.
Di atas awak pedang itu, dengan tegas dan nyata sekali
tertampak beberapa huruf yang kecil halus sekali, seolaholah
dibikin dengan jarum tajam, huruf-huruf itu berbunyi,
"Ilmu pedang disimpan di dalam gua Hok hong-tong."
Pek Thian Hiong menghela nafas, agaknya merasa
kecewa, sedang Touw Liong menyeka keringat yang
mengalir di jidatnya. Jari tangannya mengusap untuk
menghilangkan jejak ukiran-ukiran huruf di awak pedang
tadi. Sementara itu Pek Giok Hoa mula membuka mulut, ia
berkata dengan sikap kecewa,
"Mengapa harus disimpan di dalam gua Hok hongtong?"
"Aku juga tidak habis mengerti mengapa Couwsu-ku
bisa menyimpan kitab ilmu pedang dalam goa Hok hongtong
pada dua ratus tahun kemudian, apakah masih tetap
seperti dahulu" Apakah kitab ilmu pedang itu masih berada
di tempat asalnya?" berkata Pek Thian Hiong.
Touw Liong bangkit dari tempat duduknya, sambil
merapikan pakaiannya ia berkata,
"Boanpwe tidak bisa berdiam lama-lama, kini hendak
berangkat ke gunung Hok-bong-san!"
"Apakah Touw tayhiap hendak mencari kitab ilmu
pedang itu?" bertanya Pek Thian Hiong yang merasa
tertarik. "Bukan! Boanpwe hendak mencari It-tim," menjawab
Touw Liong sambil mengeleng-gelengkan kepala.
"Apakah It-tim juga berada di gunung Hok-hong-san?"
bertanya Pek Thian Hiong heran.
"Dia sudah diangkat menjadi salah satu anggota
pelindung hukum oleh Panji Wulung wanita, sudah tentu ia
berada di gunung Hok-hong-san untuk sementara ia
berlindung kepada pengaruhnya Panji Wulung Wanita,
sebagai tempat pelariannya," menjawab Touw Liong sambil
menganggukkan kepala.
Pek Giok Hoa yang mendengar Touw Liong hendak
pergi, mengerutkan alisnya sambil memandang ayahnya,
sedang mulutnya tidak mengucapkan apa-apa, tetapi dari
sikapnya itu, telah menunjukkan suatu perasaan yang
mengandung permohonan.
Pek Thian Hiong menghela nafas, ia mencegah maksud
Touw Liong hendak pergi, katanya,
"Pergi dengan seorang diri, kurasa kurang baik, apabila
Touw tayhiap mau bersabar sedikit waktu, kita ayah dan
anak bisa mengawani kau pergi bersama-sama."
"Budi baik locianpwe ini terpaksa kuterima dalam hati
saja, sayang waktu boanpwe sudah tidak banyak lagi,"
berkata Touw Liong sambil tertawa kecil.
Pek Giok Hoa merasa sangat berduka, hingga saat itu
hampir saja mengucurkan air mata, untuk kedua kalinya ia
mengawasi ayahnya dengan sinar mata penuh
pengharapan. Pek Thian Hiong menundukkan kepala untuk berpikir,
kemudian ia menarik tangan Touw Liong seraya berkata,
"Touw tayhiap harap sabar dulu, aku masih ada sedikit
urusan, sebelum Touw tayhiap berlalu dari sini, hendak
minta pertolongan Touw tayhiap untuk melindungi aku
satu malam saja, besok pagi-pagi sekali, aku bisa mengikuti
Touw tayhiap bersama-sama pergi ke gunung Hok-hongsan,
sekalipun aku harus korbankan tulang-tulangku yang
sudah bangkotan ini di gunung Hok-hong-san, juga akan
membantu kau untuk menyelesaikan urusanmu, untuk
membunuh mati It-tim."
"Apakah cianpwe ada memerlukan tenaga boanpwe?"


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata Touw Liong.
"Aku hanya tinggal menunggu waktu setengah malam
saja, dalam usahaku mempelajari ilmu gaib dari jati kuno
ini, setelah aku dapat memahami, aku hendak menurunkan
ilmu itu kepada Hoa-ji, hitung-hitung sebagai warisan
baginya setelah aku nanti menutup mata," berkata Pek
Thian Hiong. Touw Liong merasa tertarik mendengar ucapan itu,
sedangkan Pek Giok Hoa saat itu sudah menutupi
wajahnya sendiri dengan kedua tangannya, perasaan sedih
timbul seketika, sehingga menangis terisak-isak.
Pek Thian Hiong merasa sangat berduka, dengan air
mata bercucuran berkata,
"Anak, jangan nangis! Kau adalah Sancu muda dari
golongan Cit-phoa-san, dalam hidup ayahmu, sepanjang
masa pernah melakukan pekerjaan besar; belum penah
merasa takut menghadapi segala perkara, sekarang setelah
aku mengetahui bahwa kitab ilmu pedang yang sangat
ampuh itu berada di gunung Hok-hong-san, bagaimana aku
bisa tinggal diam" Bagaimana seorang ksatria mati atau
hidup sudah pasrah kepada tuhan yang Maha Esa, benda
peninggalan perguruanmu sudah diketahui tempatnya,
bagaimanapun juga aku tidak dapat berpeluk tangan!"
Pek Giok Hoa berhenti menangis, Pek Thian Hiong
menghiburi lagi seraya berkata,
"Nanti kalau aku sudah berhasil menyelesaikan pelajaran
ilmu gaib dari kecapi kuno ini, kau pulang ke gunung Citphoa-
san, kau harus mempelajari ilmunya dengan tekun,
selama setahun atau dua tahun, di kemudian hari, kau akan
mencapai sukses yang gilang-gemilang."
Pek Giok Hoa berulang-ulang menggeleng kepala, tidak
berkata apa-apa, Touw Liong yang berada di sampingnya
menyaksikan itu hatinya juga merasa pilu, sehingga
berpaling mengawasi ke lain jurusan, dengan suara serak ia
berkata sambil menggelengkan kepala,
"Dari sini pergi ke gunung Hok-hong-san hanya tiga atau
lima ratus pal perjalanannya saja, malam ini aku bersedia
membantu cianpwe untuk menjaga rumah ini, besok pagi,
biarlah boanpwe pergi seorang diri saja! Apabila nasib baik
masih bisa hidup tiga hari, mungkin boanpwe dapat
membawa kembali kitab ilmu pedang peninggalan Couwsu
cianpwe sekalian."
Pek Thian Hiong tidak berkata apa-apa, ia ulurkan
tangannya mengambil kecapi kuno yang diletakkan di atas
meja, dan berkata sambil menunjuk ke puncak gunung yang
menjulang tinggi ke langit.
"Aku tahu puncak gunung itu keadaannya tenang dan
sunyi, di atas itu terdapat banyak pohon cemara tua, hanya
kita di sana mempelajari irama kecapi kuno ini, dan tentu
bisa menemukan irama-iramanya yang sejati."
Tak lama kemudian, di atas sebuah batu persegi di
bawah tiga buah pohon cemara besar yang terletak di
puncak gunung tinggi itu, terdapat sebuah pendupaan yang
mengepulkan asap putih.
Di belakang pendupaan, terletak sebuah kecapi kuno
bersenar tujuh yang pernah menggetarkan rimba persilatan
itu. Sinar rembulan yang melalui sela-sela daun pohon
cemara, menyinari wajah Pek Thian Hiong, memejamkan
sepasang matanya, sedang jari tangannya menari-nari di
atas senar kecapi kuno, hingga kecapi itu mengeluarkan
suara iramanya yang merdu sekali.
Di belakang Pek Thian Hiong, berdiri putrinya Pek Giok
Hoa yang sedang membawa pedang kuno, matanya
mengawasi kecapi dan bergeraknya kedua tangan ayahnya
tanpa berkedip.
Sedang ke jarak jauh ia celingukan mengawasi tempat
sekitarnya, sejauh sepuluh tombak, di sana, di tempat yang
terdapat banyak jalanan, ada berdiri Touw Liong yang
bertugas melindungi ayah dan anak itu.
Kiranya kecapi itu demikian merdunya, sehingga dapat
mengetuk setiap hati manusia, irama kecapi itu dari lembut,
halus perlahan-lahan memuncak cepat, seolah-olah sedang
mengikuti bergeraknya orang menari.
Tetapi kemudian, dengan tiba-tiba irama itu berubah
demikian hebatnya, seolah-olah suara gemuruh, juga seperti
mengandung suara di dalam medan perang.
Pendek kata, irama kecapi itu telah mencekat setiap hati
orang yang berada di situ, sehingga seorang seperti Touw
Liong yang memiliki ketenangan pikiran cukup kuat, juga
masih merasa tergoncang, hati dan pikirannya, seolah-olah
cukup diombang-ambingkan oleh irama kecapi itu.
Golok Halilintar 3 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kisah Pendekar Bongkok 14
^