Pencarian

Peristiwa Merah Salju 11

Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 11


"Tentu saja dia mempunyai akal untuk menyuruh orang-orang itu percaya bahwa selama ini dia
tak pernah meninggalkan rumah."
"Aku tidak tahu cara bagaimana bisa begini sempurna, kecuali jika dia punya kepandaian
membelah diri."
"Ilmu membelah diri bukan suatu kepandaian sukar, bisa saja dia mencari seseorang yang
menyaru sebagai dirinya untuk tinggal di rumah dan berpura-pura sakit."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Biasanya kamarnya pasti dibikin remang-remang, paras
orang sakit pun tentu kurang baik, suaranya tidak seperti biasanya, oleh karena itu temantemannya
tentu tak menaruh curiga bahwa si sakit sebetulnya bukan Gi Toa-keng, melainkan
samaran orang lain."
"Benar!" Ting Hun-pin manggut-manggut, "apalagi Gi Toa-keng sudah dikenal sebagai seorang
lelaki sejati yang jujur, tentu saja orang lain tak menyangka dia melakukan perbuatan semacam
ini.." "Tepat sekali."
Ting Hun-pin menghela napas panjang, katanya, "Tampaknya kau cukup mengerti permainan
licik semacam ini."
"Itulah sebabnya aku dapat hidup hingga kini."
"Jika begitu, mumpung kau masih hidup, lebih baik aku cepat-cepat angkat kaki daripada
menunggu kau mati mabuk di tempat ini."
"Kau boleh pergi."
"Dan kau?"
"Aku sudah bertekad akan tinggal di sini."
"Kau anggap tempat ini sangat baik?"
"Tidak baik."
Ting Hun-pin memandang sekejap ke arah pelayan rumah makan yang berkerut kening
semenjak tadi, katanya, "Kau anggap orang lain suka kau tunggu di sini?"
Yap Kay tertawa lebar.
"Aku rasa dia lebih suka kalau aku cepat-cepat membayar rekening dan meninggalkan tempat
ini." "Lantas apa sebabnya kau masih tinggal di sini?"
"Aku menantikan seseorang."
"Seorang perempuan?" sepasang mata Ting Hun-pin berkedip.
"Aku tak pernah menunggu perempuan, selamanya perempuan yang menunggu
kedatanganku."
"Lantas siapa sebenarnya yang kau tunggu," seru Ting Hun-pin sambil menggigit bibir.
"Pho Ang-soat."
"Masakah dia akan kembali?" seru gadis itu dengan wajah tertegun.
"Dia pasti datang mencariku, karena dia anggap aku telah membohonginya," jawab Yap Kay
yakin. "Apakah dia tak bisa membedakan Gi Toa-keng sebenarnya adalah Tio Tay-hong?"
"Gi Toa-keng tak memberitahu ada orang sengaja menyaru sebagai dirinya, darimana dia
tahu?" Ting Hun-pin membungkam dan tak sanggup berkata.
Selama ini si pelayan hanya mendengarkan dari samping, ketika mendengar sampai di situ, tak
tahan dia menghela napas. Saat itulah dari luar pintu terdengar seorang sedang tertawa tergelakgelak.
"Tak kusangka di sini masih ada arak, tampak Thian memang baik terhadapku. Dia masih
belum mengharapkan kematianku."
Seorang yang sedang mabuk menerjang masuk ke dalam ruangan dengan langkah
sempoyongan, dia memakai baju biru, mukanya bulat, hidung berwarna merah, tampaknya
seorang setan mabuk.
Begitu masuk, dia segera melempar sekeping uang perak ke atas meja, kemudian serunya
dengan lantang, "Keluarkan semua arak paling bagus dan sayur paling enak yang dijual di tempat
ini, Toaya tak punya barang lain kecuali uang perak."
Kalau ada uang tentu saja ada arak. Orang itu meneguk beberapa cawan arak lebih dulu,
kemudian tiba-tiba berpaling dan menggapai ke arah Yap Kay.
Yap Kay balas menggapai.
Orang itu tertawa lagi. "Kau memang menarik," serunya, "kau pasti seorang yang baik, mari,
mari aku traktir kau minum arak."
"Bagus sekali," jawab Yap Kay sambil tertawa.
"Apa pun tidak kumiliki, yang kumiliki hanya uang perak."
Ternyata dia benar-benar berpindah ke sana.
Di sinilah letak kebaikan Yap Kay, terhadap persoalan apa pun dia selalu ingin tahu, asal ada
sedikit persoalan yang dirasa aneh, rasa ingin tahunya pasti tak tertahan.
Ia sudah melihat tangan dan kaki orang amat kasar, hidung berwarna merah karena mabuk,
selain memakai baju dan topi baru, sakunya penuh uang. Tentu saja hal ini cukup mengherankan.
Sedikit hal aneh kadang bisa menimbulkan banyak peristiwa aneh lainnya. Ada banyak kejadian
aneh yang justru ditemukan Yap Kay dengan cara begini, apalagi belakangan ini dia memang
sedang mencari orang.
Melihat pemuda itu berpindah ke meja orang, tak tahan Ting Hun-pin menghela napas panjang,
gumamnya, "Tampaknya tiada kejadian yang bisa menghalangi perkenalan antara dua setan
arak." Orang yang berada di hadapannya sekarang selain berhidung merah, lidahnya juga lebih
panjang dari lidah orang normal. Ia menepuk-nepuk bahu Yap Kay sambil berseru lantang,
"Silakan kau minum sepuas-puasnya, uang perakku cukup untuk mentraktir dirimu."
Sengaja Yap Kay merendahkan suara, dengan berbisik berkata, "Tampaknya kau sedang kaya
mendadak. Bila di sekitar sini bisa dengan gampang memperoleh kekayaan, dapatkah kau
memberitahukan kepadaku, supaya aku pun bisa balas mentraktirmu?"
Orang tua itu kembali tertawa terbahak-bahak, "Kau anggap aku ini seorang perampok" Atau
seorang pencuri?"
Mendadak ia merogoh sakunya dan mengeluarkan semua uang peraknya ke atas meja,
kemudian sambil melotot serunya, "Terus terang kukatakan kepadamu, uangku ini bukan uang
kotor, uang ini kudapat setelah bekerja selama puluhan tahun."
"O." "Terus terang aku ini bukan orang jahat, aku hanyalah seorang pencuci kuda."
"Masakah seorang pencuci kuda pun bisa mempunyai uang sebanyak itu?" kata Yap Kay sambil
tersenyum. "Tampaknya aku pun harus belajar menjadi seorang tukang cuci kuda."
Orang itu menggelengkan kepala. "Aku bisa saja membawa kau ke sana, tapi sekarang sudah
terlambat."
"Mengapa?"
"Sebab tempat itu sekarang sudah tak ada kuda lagi, bahkan sesosok manusia pun tak
tampak." "Sebenarnya tempat manakah itu?"
"Perkampungan Ho-han-ceng!"
Mencorong terang mata Yap Kay.
Sesungguhnya dia memang sedang mencari seseorang yang berasal dari Ho-han-ceng,
anehnya tak seorang pun berhasil ditemukan.
Empat-Iima puluh orang yang berkerja di perkampungan itu, habis terima gaji biasanya mereka
minum arak kalau tidak ya main perempuan, sesungguhnya hal semacam ini bukan sesuatu
kejadian aneh. Di warung arak dan sarang pelacuran yang berada di sekitar tempat itu justru tiada berita
tentang mereka.
Akhirnya Yap Kay berhasil menemukan seorang, seorang yang mungkin bisa menjadi sumber
berita, sudah barang tentu tak akan dia lepaskan begitu saja, dengan nada menyelidik tanyanya,
"Aku pernah berkunjung ke Ho-han-ceng, pengurus gudang arak di sana adalah temanku."
Sambil menuding hidung sendiri, orang itu tertawa terbahak-bahak. "Kau sedang omong
kosong apa, pengurus gudang arak di situ tidak she Khu, dia she Thio bernama Koay-hu!"
"Mengapa bernama Thio si makhluk aneh?"
"Sebab meski dia pengurus gudang arak, namun dia sendiri justru setetes arak pun tak pernah
minum." "Mungkin lantaran dia tidak minum arak, maka ia dijadikan pengurus gudang arak," kata Yap
Kay tertawa pula.
Orang itu bertepuk tangan sambil tertawa tergelak, "Tepat jawabanmu, tampaknya kau tidak
bodoh." "Sekarang dia berada dimana?"
"Sudah pulang ke rumah, semua orang yang bekerja di Ho-han-ceng telah pulang ke kampung
masing-masing, bahkan banyak di antaranya sudah ditampung keluarga lain.
Rupanya setelah meninggalkan Ho-han-ceng, mereka mendapat pekerjaan baru dan bekerja
lagi. Tak heran Yap Kay tidak berhasil menemukan orang-orang itu.
"Mereka sudah bekerja dimana?"
"Kebanyakan ditampung oleh keluarga Ting!"
"Keluarga Ting" Keluarga Ting yang mana?"
"Tentu saja keluarga Ting yang paling kaya dan ternama, kalau tidak, mana mungkin sekaligus
bisa menampung begitu banyak pegawai baru ...."
Hanya ada satu keluarga Ting yang kaya dan ternama, yaitu keluarga Ting Hun-pin.
Yap Kay memandang sekejap ke arahnya, Ting Hun-pin juga sedang memandangnya, sedang
orang itu mengigau tak jelas.
"Walaupun makhluk aneh she Thio itu tak suka arak, tetapi pekerjaan lain selalu bisa dia
bereskan, maka aku mengagumi kehebatannya itu "
"Kalau mereka sudah bekerja di keluarga Ting, mengapa kau tidak ikut ke sana?" sahut orang
itu sambil tertawa.
"Lima ratus tahil perak yang kumiliki belum habis dipakai, sekalipun keluarga Ting hendak
menerimaku sebagai menantu, belum tentu aku ...."
Belum selesai ucapannya, bahkan mulut masih terpentang, mendadak "Tring!", sebuah benda
membentur giginya.
Seketika Yap Kay mendengar suara gigi yang remuk.
Orang itu membungkuk badan kesakitan, mula-mula meludahkan sebiji kacang, kemudian
rontokan gigi dan akhirnya darah. Mengendus bau anyirnya darah, tiba-tiba lambungnya berontak,
dia pun muntah-muntah.
Ternyata benda yang menghancurkan giginya adalah sebiji kacang.
Ting Hun-pin tidak makan kacang, tentu saja dia tak memegang kacang.
Daun jendela terpentang lebar, suasana di luar jendela gelap gulita.
Tiba-tiba Yap Kay berpaling ke arah jendela dan berkata sambil tertawa lebar, "Sebenarnya aku
sedang menantikan kedatangan seorang lain, tak tahunya kau yang datang lebih dulu "
Dari luar jendela segera terdengar seorang tertawa tergelak.
Di balik gelak tawanya itu membawa nada ejekan, menyusul sesosok bayangan berkelebat,
tahu-tahu seorang sudah duduk di jendela.
Yang datang adalah Lok Siau-ka.
Sambil tersenyum Ting Hun-pin lantas berkata, "Sebenarnya aku hendak memberi sedikit
pelajaran kepadanya, ternyata kau telah turun tangan lebih dulu."
Lok Siau-ka tertawa hambar.
"Bisa melakukan sedikit pekerjaan untuk Toasiocia keluarga Ting, merupakan suatu
kebanggaan bagiku," katanya.
"Sejak kapan kau mulai belajar menjilat pantat?"
"Sejak jalan pikiranku dapat menerima kenyataan itu."
"Kenyataan apa?"
"Kenyataan bahwa hingga kini aku masih seorang bujangan, oleh karena itu.."
"Oleh karena itu kenapa?" Lok Siau-ka tersenyum.
"Karena siapa tahu aku punya kesempatan untuk menjadi menantu keluarga Ting."
Ting Hun-pin kembali tertawa lebar.
"Orang yang ingin menjadi menantu keluarga Ting, bila tidak bisa menjilat pantat Tingtoasiocia,
lantas mesti menjilat pantat siapa?"
Ting Hun-pin mengerling sekejap ke arah Yap Kay, setelah itu katanya, "Seharusnya ucapan
mereka ini diperdengarkan kepadanya."
"Aku memang bermaksud untuk mengatakan kepadanya," kata Lok Siau-ka.
Kemudian sambil tertawa tergelak melompat turun dari jendela, lalu memandang ke arah Yap
Kay, katanya, "Kau telah makan berapa biji kacangku, apakah hari ini kau mau mentraktir aku
minum?" Yap Kay segera tersenyum.
"Tentu saja akan kutraktir kau, cuma aku pun tahu kau juga bukan datang untuk minum arak."
"Tampaknya tiada persoalan yang bisa mengelabui dirimu," kata Lok Siau-ka sambil menghela
napas. "Lantas karena urusan apa kau datang kemari?" tak tahan Ting Hun-pin segera bertanya.
"Datang untuk menemani seseorang."
"Menemani siapa?"
"Orang yang sedang kalian tunggu!"
Ting Hun-pin berkerut kening, ketika berpaling tertampak Pho Ang-soat dengan pelan-pelan
berjalan mendekat.
Paras muka Pho Ang-soat yang pucat sekarang tampak berwarna hijau membesi.
Belum lagi berjalan masuk, sepasang matanya sudah mengawasi wajah Yap Kay lekat-lekat,
seolah-olah kuatir kalau secara tiba-tiba Yap Kay akan kabur.
Yap Kay sedang memandang pula ke arahnya sambil tersenyum, katanya, "Aku tahu kau pasti
akan kembali kemari, ternyata dugaanku memang tidak salah."
"Hanya ada satu hal kau keliru," kata Pho Ang-soat.
"Oya?"
"Kenapa kau suruh aku membunuh Gi Toa-keng?"
"Aku yang menyuruh kau pergi membunuhnya?"
"Eh, kau kan mengharap dia mati?" kata Pho Ang-soat dingin. "Ataukah berharap aku salah
membunuh orang lagi?"
Yap Kay segera menghela napas panjang setelah mendengar kata?katanya itu, ujarnya, "Aku
hanya berharap bisa mengetahui persoalan ini dengan lebih jelas."
"Kau masih belum jelas?" seru Pho Ang-soat tertawa dingin
Yap Kay geleng-geleng kepala.
"Tio Tay-hong bukanlah Gi Toa-keng!" seru Pho Ang-soat.
"O..."
"Selama setengah bulan ini, dia belum pernah meninggalkan perkampungan Cong-keng-ceng."
Yap Kay segera tertawa setelah mendengar perkataan itu, namun masih tetap bungkam.
"Kau jangan tertawa dulu, hal ini merupakan suatu kenyataan "
"Apakah ada orang yang menjadi saksi baginya bahwa ia tak pernah meninggalkan
perkampungannya?"
Pho Ang-soat manggut-manggut membenarkan.
"Dan semuanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya."
"Tentu saja, selama ini dia sakit, bahkan sakitnya cukup parah."
"Kau tahu?"
Lagi-lagi Yap Kay tertawa lebar.
Semua itu memang sudah berada dalam dugaannya, ternyata apa yang diduga sama sekali
tidak meleset. Sebaliknya Ting Hun-pin yang berada di sampingnya menggelengkan kepala berulang kali pula,
katanya setelah menghela napas, "Tadi siapa yang mengatakan kalau bukan seorang tolol?"
Lok Siau-ka memandang pula ke arahnya, kemudian memandang lagi ke arah Yap Kay, tibatiba
dia pun berkata sambil tertawa, "Ah, mengertilah aku sekarang."
"Apa yang kau pahami?"
"Kalian pasti mengira Gi Toa-keng telah menyuruh orang untuk berlagak sakit di rumahnya,
sedang dia sendiri diam-diam mengeluyur pergi dari rumah."
"Apakah hal ini tidak mungkin?"
"Tentu saja mungkin, cuma sayang sakit yang diderita olehnya itu justru tak mungkin bisa
wakilkan kepada orang lain."
"Mengapa?"
Lok Siau-ka menghela napas panjang.
"Jarang orang persilatan yang tahu kalau kaki kirinya pada setengah bulan berselang telah
dipenggal kutung oleh orang!"
Ting Hun-pin tertegun mendengarnya. Pho Ang-soat juga tertegun.
"Song Tiang-sia, Ong It-beng, Ting Ling-tiong, Cia Kiam, semuanya khusus datang ke Congkeng-
ceng setelah mendengar kabar kejadian ini," lanjut Lok Siau-ka.
Nama-nama yang disebut olehnya benar-benar merupakan nama termasyhur di dunia
persilatan, bahkan mempunyai kedudukan cukup terhormat.
Yang paling menyolok di antaranya, tentu saja kehadiran Ting Ling-tiong, kakak Ting Hun-pin.
Hampir saja Ting Hun-pin menjerit tertahan, serunya, "Samko juga berada di sana?"
Lok Siau-ka tertawa, sahutnya, "Konon semua anggota keluarga Ting adalah seorang Kuncu,
bukankah seorang Kuncu lebih suka bergaul dengan sesama Kuncu?"
Terpaksa Ting Hun-pin mendengarkan saja tanpa balas menjawab. Kembali Lok Siau-ka berkata
sambil tersenyum, "Entah Ting Sam-sau adalah seorang yang suka berbohong atau tidak?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu kau boleh bertanya kepadanya, apakah kaki Gi Toa-keng benar-benar sudah
kutung" Apakah yang kakinya terkutung itu Gi Toa-keng atau bukan" Sekarang dia berada dalam
Cong-keng-ceng."
Dalam keadaan demikian, apa lagi yang bisa diucapkan oleh Ting Hun-pin.
Yap Kay sendiri pun terpaksa hanya bisa tertawa getir.
Lok Siau-ka memandang ke arahnya kemudian tersenyum, lalu berkata, "Padahal kau pun tak
usah bersedih, setiap orang pasti ada saatnya melakukan kesalahan, hanya lebih baik lagi kalau
mau mengaku salah."
Yap Kay berdehem, tetapi tetap membungkam.
Sambil tertawa kembali Lok Siau-ka berkata, "Tentu saja kau enggan mengakui kesalahan ini,
tapi dalam hati kau bersedia mengaku salah, hal inipun sudah lebih dari cukup."
Ia tidak memberi kesempatan kepada Yap Kay untuk bicara, kembali ujarnya, "Persoalannya
sekarang adalah kalau Gi Toa-keng bukan Tio Tay-hong. lantas siapakah Tio Tay-hong?"
Yap Kay tak mampu menjawab.
"Akan kucari orang ini sampai ketemu," seru Pho Ang-soat tiba-tiba.
"Tentu saja harus kau cari orang ini, siapa tahu dia adalah salah seorang di antara musuh


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besarmu," kata Lok Siau-ka.
Tiba-tiba Yap Kay buka suara, katanya, "Siapa tahu dia pun salah seorang musuh besar Gi Toakeng."
"Mengapa?"
"Bila dia bukan musuh Gi Toa-keng, mengapa orang menggunakan cara seperti ini untuk
mencelakainya?"
Terpaksa Lok Siau-ka harus mengakui kebenaran perkataan itu.
Yap Kay termenung sebentar, kemudian katanya, "Tentu saja dia belum tahu bahwa kaki Gi
Toa-keng sudah dikutungi orang, oleh sebab itu dia menggunakan cara seperti ini."
"Kaki dikutungi orang bukanlah suatu kejadian yang pantas dibanggakan, siapa pun tak akan
bersedia menyebar luaskan berita ini."
"Entah kakinya telah dikutungi oleh siapa?"
"Entahlah?"
"Dia tidak mengatakan kepadamu?"
"Pada hakikatnya dia enggan mengungkapkan kejadian itu."
"Mengapa?"
"Karena dia tak ingin orang lain membalaskan dendam baginya, ia beranggapan bahwa dendam
sakit hati tak boleh dibalas begitu saja, sebab kalau balas membalas berlangsung terus, entah
sampai kapan hal ini baru bisa diakhiri."
Yap Kay menghela napas panjang.
"Tampaknya dia memang benar-benar seorang Kuncu sejati, sungguh beruntung Cicimu bisa
kawin dengannya."
Lok Siau-ka memandang ke arahnya, dia tak tahu ucapan itu benar-benar memuji ataukah
hanya sindiran belaka
Sebaliknya Yap Kay berkata lagi sambil tertawa, "Bagaimana pun juga, sudah sepantasnya
kalau kuhormatimu secawan arak lebih dulu."
"Tinggalkan secawan pula bagiku!" tiba-tiba seseorang menyambung.
Ucapan berasal dari suatu tempat agak jauh, tetapi setiap orang yang hadir dapat mendengar
dengan jelas. Orang yang bicara masih berada di kejauhan, tetapi semua permbicaraan yang berlangsung di
sini dapat didengar olehnya dengan sangat jelas. Sebenarnya siapakah orang ini" Pertanyaan ini
dengan cepat telah terjawab, karena baru saja perkataan itu selesai diucapkan, orangnya udah
muncul di depan pintu.
Sungguh cepat gerak tubuh orang itu. Dia mengenakan pakaian sederhana, di ikat pinggangnya
terselip sebatang tongka pendek, sementara tangannya membawa sebuah buntalan besar
Hampir saja Ting Hun-pin melompat bangun menyaksikan orang itu. Ternyata orang asing yang
biasa tapi aneh itu sudah balik kembali ke sini.
^oo^ Suasana di luar pintu sunyi senyap dan amat gelap, cahaya lampu dalam ruangan pun terasa
redup. Orang asing itu sudah masuk ke dalam, buntalan besar telah diletakkan di lantai.
Buntalannya itu benar-benar besar!
Orang asing itu segera menarik sebuah kursi dan duduk, setelah itu baru ujarnya dengan
hambar, "Biasanya aku jarang minum, tetapi hari ini boleh dikecualikan!"
Tiada orang bertanya mengapa, tiada orang berani bertanya.
Tiba-tiba orang asing itu berpaling ke arah Lok Siau-ka, tanyanya, "Tahukah kau karena apa?"
Lok Siau-ka menggeleng berulang kali.
"Tahukah kau siapa aku?" kembali orang asing ini bertanya.
Lok Siau-ka tetap menggeleng, lalu mengangguk, dari balik sorot matanya yang tenang
bagaikan batu karang seolah-olah terpancar rasa ngeri dan takut.
"Tapi aku kenal dirimu, juga kenal pedangmu itu," jawab orang asing itu cepat.
Lok Siau-ka menunduk, memandang pedang di pinggangnya, seakan-akan dia berharap pedang
itu tidak terselip di pinggangnya.
Orang asing itu juga sedang memandang pedang di pinggangnya, kemudian berkata dengan
hambar, "Kau tak usah menyesal bagi pedang itu, meskipun orang yang mengajarkan pedang itu
kepadamu adalah musuhku, tetapi dia pun merupakan sahabatku."
"Aku mengerti," kata Lok Siau-ka dengan kepala tertunduk.
"Aku selalu menghormatinya, seperti juga dia menghormati diriku."
"Benar."
Pemuda yang latah ini belum pernah bersikap begitu hormat dan takut terhadap siapa pun.
"Sekarang apakah dia masih baik-baik?" tanya orang itu.
"Aku sendiri pun sudah lama tidak berjumpa dengan dia orang tua."
Orang asing itu tertawa, "Dia juga seperti aku, manusia yang tak berakar, memang tidak
gampang menemukan dirinya."
"Benar."
"Konon kau pun telah menggunakan pedang ini untuk membunuh banyak orang?"
Lok Siau-ka tak berani menjawab, dia hanya membungkam.
Pelan-pelan orang asing itu berkata lagi, "Aku hanya berharap semua orang yang kau bunuh
adalah orang-orang yang pantas mati."
Lok Siau-ka semakin tak berani menjawab.
"Gunakan pedangmu untuk menusuk aku sekali!" tiba-tiba orang asing itu berseru.
Wajah Lok Siau-ka seketika berubah hebat.
"Tahukah kau, setiap perkataan yang telah kukatakan selamanya harus dipenuhi?"
Kembali wajah Lok Siau-ka berubah. "Tapi aku ... aku ...."
"Kau tak usah ragu, akulah yang menyuruh kau melakukan, tentu saja aku tak akan
menyalahkan dirimu."
Tapi Lok Siau-ka masih tetap sangsi.
"Tentu saja aku tak akan membalas," orang asing itu menambahkan
Akhirnya Lok Siau-ka menghembuskan napas lega, sahutnya, "Turut perintah!"
Tangannya pelan-pelan meraba gagang pedangnya. "Lebih baik kau gunakan segenap tenaga
yang kau miliki, anggap aku seakan-akan musuh besarmu yang paling kau benci."
"Baik."
Mendadak suasana menjadi hening, sepi, tak terdengar suara apa pun. Semua orang
membelalakkan mata lebih lebar, semua orang menahan napas.
Setiap orang tahu peristiwa semacam ini tak mungkin bisa dilihat lagi, lebih-lebih tidak bisa
dilihat oleh setiap orang.
Ilmu pedang Lok Siau-ka cepat dan tajam, jarang ada orang persilatan yang mampu
menandinginya. Tapi bagaimana pula dengan orang asing itu"
Benarkah dia amat sakti seperti apa yang selama ini tersiar dalam dunia persilatan"
Mendadak cahaya pedang berkelebat.
Lok Siau-ka telah melancarkan tusukan, yang dituju adalah tenggorokan orang itu.
Tangan Pho Ang-soat menggenggam kencang golok.
Serangan itu seolah-olah ditujukan ke arahnya, bahkan dia sendiri pun mau tak mau harus
mengakui bahwa serangan pedang itu benar-benar cepat sekali.
Bahkan sama cepatnya dengan gerak goloknya.
Pada saat itulah, tiba-tiba "Tring!", tahu-tahu pedang telah patah menjadi dua bagian.
Hanya orang bermata tajam yang dapat melihat, setelah serangan itu dilancarkan, tiba-tiba
terlihat ada bayangan tongkat pendek berkelebat pula.
Kemudian pedang itupun patah menjadi dua bagian.
Tapi tongkat pendek itu jelas masih terselip di pinggang orang, kembali semua orang menjadi
sangsi. Hanya Lok Siau-ka yang tidak sangsi, tentu saja dia tahu apa sebabnya pedang itu patah
menjadi dua. Sambil memegang kutungan pedangnya, peluh dingin pelan-pelan bercucuran membasahi
jidatnya. Orang itu memungut kutungan pedang dari tanah, setelah diamati sebentar, tiba-tiba ujarnya,
"Pedang ini masih terlalu berat."
"Aku hanya bisa menggunakan pedang yang berat ini," kata Lok Siau-ka sedih.
Orang itu manggut-manggut.
"Benar, makin enteng suatu pedang makin sukar dipergunakan, sayang teori ini jarang
dipahami orang."
"Benar."
Dengan suara dalam orang itu berkata lagi, "Tahukah kau apa sebabnya kupatahkan pedangmu
itu?" Tentu saja Lok Siau-ka tidak tahu, dia pun tak berani bertanya.
"Karena pedang ini sudah membunuh orang terlalu banyak," lanjut orang asing itu.
Lok Siau-ka menundukkan kepalanya, kemudian berbisik, "Petunjuk Cianpwe pasti akan
kuingat." Orang itu memandang sekejap ke arahnya, kemudian memandang pula ke arah Pho Ang-soat
dan Yap Kay, sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibirnya.
"Aku tahu kalian orang-orang muda bukan cuma pintar, juga rajin, ilmu silat kalian sudah di
atas kemampuanku di masa lalu."
Tiada orang berani menjawab. Terutama Pho Ang-soat, sekarang dia baru mengerti,
seandainya bacokan goloknya diayunkan ke tubuh orang asing itu, entah betapa besar
pengorbanan yang mesti dibayar"
"Tapi aku masih tetap berharap kalian bisa memahami suatu hal," ujar orang asing itu pula.
Semua orang mendengarkan dengan seksama.
"Ilmu silat yang benar-benar agung bukan dilatih hanya mengandalkan kecerdasan serta
ketekunan belaka."
"Mengapa?" pikir semua orang.
Bukankah kecerdasan dan ketekunan merupakan syarat utama yang penting bagi orang yang
berlatih ilmu silat"
Terdengar orang itu berkata lagi setelah termenung beberapa saat, "Kalian harus mempunyai
jiwa yang agung, jiwa yang mulia, sebelum melatih suatu ilmu silat!"
Pelan-pelan sinar matanya memancarkan kehangatan dan kelembutan, sambungnya, "Hal ini
tidak mudah untuk dilaksanakan, setahuku di antara jago-jago lihai dunia persilatan hanya ada
satu orang saja yang benar-benar dapat mencapai taraf semacam itu."
Tentu saja semua orang tahu siapa yang dimaksud.
Tiba-tiba saja jantung mereka berdebar keras, terutama Yap Kay.
Setelah hening beberapa saat, orang itu berkata dengan suara lembut, "Selain teori ini, aku pun
membawa sesuatu yang luar biasa untuk kalian."
Apa yang dia maksud" Mungkin adalah buntalan yang dibawa dan diletakkan di lantai itu"
Kalau benar, apa isinya"
Tiba-tiba Lok Siau-ka melihat buntalan itu bergerak-gerak, hal ini segera membuat wajahnya
berubah hebat, selain terkejut juga heran.
Orang itu memandang ke arahnya, kemudian pelan-pelan berkata, "Jika kau merasa heran,
mengapa tidak kau buka buntalan itu"
Semua orang merasa heran, siapa pun tidak berhasil menebak apakah yang dibawa olehnya.
^"o"^
Bila aku ingin melatih suatu ilmu silat yang benar-benar agung dan mulia, harus kau memiliki
hati yang agung dan mulia terlebih dahulu
Tentu saja bukan suatu yang gampang. Untuk mencapai tingkatan semacam itu kadang orang
harus melalui suatu perjalanan hidup yang penuh dengan penderitaan.
Akhirnya buntalan itu terbuka. Ternyata isinya adalah sesosok tubuh manusia, seorang yang
kaki kirinya kutung. "Gi Toa-keng!"
Hampir semua orang menjeritkan.
Yang paling kaget tentu saja Gi Toa-keng sendiri.
Dia seolah-olah baru bangun dari mimpi buruk dan tiba-tiba menemukan dirinya telah berada di
suatu tempat yang menakutkan.
Dia memandang sekejap ke arah Yap Kay, kemudian memandang pula ke arah Pho Ang-soat
dan Lok Siau-ka.
Setelah itu secara tiba-tiba wajahnya mengejang, akhirnya dia melihat si orang asing itu.
Orang itupun sedang memandang ke arahnya seraya menegur, "Kau masih ingat aku?"
Gi Toa-keng memanggut-manggut. sikapnya mengunjuk rasa hormat dan takut.
"Sudah sepuluh tahun kita tidak berjumpa, waktu itu kakimu belum kutung."
Gi Toa-keng tertawa paksa, kemudian sahutnya. "Tapi kegagahan Cianpwe justru masih seperti
sedia kala."
"Sejak kapan kakimu kutung?"
"Setengah bulan berselang."
"Dikutungi siapa?"
Paras muka Gi Toa-keng segera memperlihatkan rasa pedih dan menderita, sahutnya, "Kejadian
itu sudah lewat buat apa disinggung kembali, hanya akan mendatangkan kemurungan dan
kepedihan belaka "
"Tampaknya kau sangat berjiwa besar dan suka mengampuni kesalahan orang lain?"
"Aku berusaha belajar."
"Paling baik kau belajar suatu hal yang lebih penting."
"Apa itu?"
"Belajar bicara jujur!"
Tiba-tiba sorot matanya berapi-api, menggidikkan, ditatapnya wajah Gi Toa-keng lekat-lekat,
kemudian katanya, "Tentu kau tahu aku selama hidup paling benci terhadap orang yang suka
berbohong " Gi Toa-keng menunduk.
"Tak berani aku berbohong terhadap Cianpwe," katanya, "rasanya tak ada yang berani
melakukannya."
"Menyuruhmu bicara jujur bukannya hal yang mudah," kata orang itu dingin.
"Aku tahu, bila kau bicara jujur, mungkin kau entah sudah mati berapa kali, nyatanya kau
masih hidup dan tak ingin mati."
Gi Toa-keng tak berani menjawab.
"Tapi kau pun harus tahu," ujar orang asing itu lebih jauh.
"Di dunia ini masih banyak kejadian yang lebih menakutkan dan lebih menderita daripada
kematian."
Peluh dingin sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi jidat Gi Toa-keng.
"Aku datang kemari karena aku telah bersumpah, tak akan kubiarkan diriku dibohongi lagi oleh
siapa pun."
Di wajahnya yang kaku terlintas suatu penderitaan yang berat, seolah dia teringat kejadian
masa lalu yang membuatnya menderita.
Gi Toa-keng tak berani mendongakkan kepala memandangnya.
Sejenak kemudian orang itu pelan-pelan berkata lagi, "Kau meniru gaya tulisan Siau-li si pisau
terbang untuk mengundangku bertemu di sini, padahal aku tahu gaya tulisan itu bukan yang asli,
tapi aku toh datang juga karena aku ingin tahu perangkap macam apa yang kau rancang untuk
menjebak diriku."
"Sewaktu masih muda dulu, nama besar Siau-li-si pisau terbang telah termasyhur di seluruh
dunia," ujar Gi Toa-keng. "Gaya tulisannya juga amat populer, banyak orang bisa meniru gaya
tulisannya, mengapa Cianpwe menuduh aku melakukan pemalsuan?"
"Sebab dalam kamarmu aku menemukan banyak kertas corat-coret menirukan gaya tulisan
orang...."
Peluh dingin telah bercucuran semakin deras membasahi seluruh badan Gi Toa-keng.
Orang itu menarik muka, kemudian berkata, "Tentunya kau pernah mendengar tentang
bagaimanakah tindak-tandukku semasa masih muda dulu, oleh karena itu kau harus percaya,
sampai sekarang aku masih mempunyai sebuah cara untuk memaksamu bicara terus-terang."
Tiba-tiba Gi Toa-keng menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan bicara!" katanya kemudian.
"Darimana kau mengetahui jejakku?" tanya orang asing itu.
"Ting-samkongcu yang memberitahukan kepadaku."
"Ting Ling-tiong?"
"Aku tahu dia seorang pemuda cerdik, tetapi dia tak akan tahu jejakku."
"Tetapi Cing-tojin tahu Cianpwe ada rencana melakukan perjalanan ke wilayah Kanglam."
"Dia kenal Cing-tojin?"
Kembali Gi Toa-keng manggut-manggut, sahutnya, "Jika Cianpwe ada rencana melakukan
perjalanan ke Kanglam, berarti kau pasti akan melalui jalan ini."
"O." "Sebab ketika pertama kali Cianpwe berjumpa Siau-li si pisau terbang, di jalanan inilah peristiwa
itu terjadi."
Tiba-tiba orang asing itu mengalihkan sorot matanya ke tempat jauh, seakan-akan sedang
mengenang kejadian masa lampau, kenangan yang penuh kehangatan dan kegembiraan, tiada
penderitaan. Dia percaya bahwa perkenalannya dengan Li Sun-huan (Siau-li si pisau terbang) merupakan
peristiwa paling membahagiakan yang pernah dialaminya selama hidup.
"Oleh karena itu aku pun menyuruh orang menantikan kedatanganmu di gardu Tiang-teng di
depan sana, menunggu Cianpwe lewat dan menyerahkan surat itu kepadamu," kata Gi Toa-keng
lebih jauh. "Kau anggap aku percaya orang itu benar-benar adalah suruhan Siau-li si pisau terbang?"
"Aku hanya tahu, entah Cianpwe percaya atau tidak, kau pasti akan datang kemari."
Orang itu menghela napas panjang. "Bila aku melihat dirimu, maka aku jadi teringat
seseorang," katanya.
"Siapa?" tak tahan Gi Toa-keng bertanya.
"Liong Siau-hun!"
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Liong Siau-hun persis seperti kau, seorang yang berotak
cerdas dan amat teliti dalam menyusun rencana, sayang sekali...."
Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Sejenak kemudian barulah dia bertanya, "Sejak kapan
kakimu itu kutung?"
Jawaban Gi Toa-keng sungguh mengejutkan orang, "Hari ini!"
"Siapa yang mengutungimu?"
"Aku sendiri!"
Jawaban ini terlebih mengejutkan, satu-satunya orang yang tidak berubah wajahnya
mendengar pengakuan itu adalah Yap Kay dan orang asing itu.
Agaknya mereka sudah menduga apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Kembali Gi Toa-keng berkata, "Mula-mula aku mencari seseorang yang mempunyai perawakan
dan wajah mirip diriku, kupenggal kakinya dan kupaksa dia berbaring di kamar menyaru sebagai
aku." Orang asing itu hanya mendengarkan, tidak bertanya lagi.
Dia tahu setelah Gi Toa-keng mulai berbicara, maka ia pasti akan berkata secara terus terang.


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamar kubuat remang-remang, jendela kuberi tirai cukup tebal "
Kamar orang sakit biasanya demikian.
"Oleh karena itu sekalipun ada teman datang menengok, mereka tak akan curiga orang yang
berbaring di ranjang bukan diriku, mereka enggan mengganggu, tentu saja tak menaruh curiga
pada hal-hal lain."
Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Yap Kay, diam-diam merasa heran. "Aneh, mengapa dia
selalu tahu semua kejadian yang akan berlangsung."
Terdengar Gi Toa-keng berkata lebih jauh, "Pada saat itulah aku diam-diam kelayapan keluar
rumah, mula-mula kuundang Siau-tat-cu, kemudian memancing Pho Ang-soat masuk perangkap,
aku tahu bila dia membunuh orang, serangannya cepat luar biasa."
Wajah Pho Ang-soat yang pucat menampilkan perasaan amat menderita, dia harap orang lain
tidak menganggap dirinya orang yang gampang ditipu.
"Aku tahu, Cianpwe paling benci manusia yang membunuh orang tanpa alasan, aku percaya
Cianpwe pasti tak akan membiarkan ia hidup lebih lama!" kata Gi Toa-keng, setelah menghela
napas, terusnya, "Rencana boleh dibilang cukup sempurna dan rapi, namun aku sama sekali tak
menyangka di dunia ini ada orang suka ikut campur urusan orang lain seperti Yap Kay."
Tak tahan Ting Hun-pin menimbrung, "Bila kau anggap rencanamu betul-betul sempurna,
sepantasnya kau berlagak sakit parah lainnya, meskipun rencanamu berhasil, bukankah kau harus
mengutungi kakimu sendiri?"
Gi Toa-keng memandang sebentar kakinya yang kutung, kemudian katanya, "Aku sudah lama
berniat memotong kakiku sendiri, jadi entah rencana ini berhasil atau tidak hasilnya sama saja."
"Mengapa?"
"Karena sekalipun rencana ini berhasil, aku pun tak ingin ada orang menaruh curiga terhadap
diriku," kata Gi Toa-keng pelan-pelan.
Ting Hun-pin seakan ikut menyesal, "Kau memang tega, terhadap diri sendiri pun tega!"
"Sebenarnya aku bukanlah manusia macam itu."
"O." "Mungkin watakku licik, aku bertekad menjadi Kuncu sejati, ada kalanya aku harus berpurapura."
Setelah menghela napas Ting Hun-pin berkata, "Seandainya perbuatanmu selalu begitu, tentu
semua orang mengatakan kau seorang Kuncu sejati, sayang kau telah berubah."
Sekilas perasaan sedih dan menderita menghiasi wajah Gi Toa-keng, sahutnya, "Benar, aku
memang telah berubah."
"Apakah ada orang yang memaksamu?"
Gi Toa-keng tidak menjawab, namun wajahnya kembali mengunjuk penderitaan yang hebat.
"Sekarang kau telah bicara jujur, tak ada salahnya kau kemukakan juga rahasiamu," ucap
orang asing itu.
"Aku telah bicara sejujurnya, bukan karena takut kepada Cianpwe."
"O." "Karena aku tahu Cianpwe bukanlah manusia buas yang kejam". Agaknya dia kuatir orang
menganggapnya sedang mengumpak, menjilat pantat, maka segera katanya lagi, "Aku merasa
sudah sepantasnya kulakukan hal ini."
Tiada orang bicara, semua mendengarkan.
"Sembilan belas tahun lalu, ketika kulakukan pengeroyokan terhadap Pek Thian-ih, aku tahu
perbuatanku itu kurang gagah, kurang berjiwa ksatria, tapi jika hal itu terjadi sekarang aku pun
tetap akan melakukan perbuatan itu."
Apa yang diucapkan persis seperti apa yang dikatakan Si Bu.
"Sebab Pek Thian-ih terlalu mendesak diriku, bukan saja dia memaksaku bergabung dengan
Sin-to-tong, bahkan memerintahkan diriku mempersembahkan semua harta kekayaan yang
kumiliki untuk perkumpulan Sin-to-tong, dia jamin aku pasti akan termasyhur "
Wajahnya mengejang keras karena penderitaan, sambungnya "Sejak awal aku sudah menjadi
salah seorang bonekanya, kendati termasyhur, lalu apa gunanya?"
Mendadak terdengar dengusan napas memburu memecah keheningan malam, rupanya Pho
Ang-soat sudah berdiri dengan napas berat
"Pek Thian-ih bukan seorang Siau-jin yang tak tahu malu," sambung Gi Toa-keng, "dia seorang
Enghiong, ilmu silatnya hebat, kegagahannya dikenal orang, tidak di bawah Siangkoan Kim-hong."
Dengus napas Pho Ang-soat semakin memburu.
"Cara kerjanya tidak sekejam dan sebuas Siangkoan Kim-hong, andaikata ada orang dalam
kesulitan, dia pasti akan membantu, bahkan demi menolong orang, dia bersedia mengorbankan
segalanya."
Orang asing itu menghela napas panjang, gumamnya, "Andaikata dia benar-benar berbuat
demikian, mungkin kalian pun tak usah pergi membunuhnya."
Gi Toa-keng juga menghela napas, "Dia sukar diajak bergaul, apa yang telah menjadi
keputusannya. asalkan dia menganggap benar, berarti apa yang akan dilakukan adalah benar."
Orang semacam ini tidak banyak jumlahnya.
"Dia selalu bertindak, mengambil keputusan dan melaksanakan sendiri. Jika sudah bekerja, ia
tak peduli berhasil atau tidaknya, apa akibatnya, juga tak pernah memikirkan orang lain, hal ini
merupakan kelebihannya."
Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Yap Kay, dilihatnya wajah pemuda itu mengunjuk rasa
menderita. "Orang yang berjasa besar, sudah tentu harus memiliki keberanian dan keputusan, meski aku
membencinya, namun aku pun hormat kepadanya," lanjut Gi Toa-keng setelah termenung
sejenak. Perasaan ini memang tidak sukar untuk dipahami.
"Tidak pernah kukatakan dia orang jahat, perbuatannya jahat, banyak orang pernah menerima
jasa baiknya, tapi orang yang benar-benar dapat mendekatinya, justru orang yang paling
menderita." Setelah menghela napas, lanjutnya, "Seseorang bila berhasil mendekatinya, orang itu
bakal diperintah dan dikendalikan olehnya, harus tunduk seratus persen kepadanya, jika orang itu
ingin bebas darinya, satu-satunya jalan adalah membunuhnya!"
"Apakah pembunuhnya adalah teman-temannya pula?"
"Betul."
"Dia telah melakukan banyak kesalahan," kata orang asing itu dengan dingin, "kesalahan
terbesar yang dia lakukan adalah keliru memilih teman."
Pho Ang-soat memandang sekejap ke arahnya, matanya memancarkan rasa terima kasih.
Orang asing itu kembali berkata, "Sekalipun dia bertindak dan mengambil keputusan sendiri,
namun bagaimana pun juga dia tetap menganggap kalian sebagai teman, dia tak pernah
menyalahi teman sendiri."
Entah temanmu itu baik atau jelek, asal dia adalah temanmu, maka kau tak boleh
menyalahinya. Gi Toa-keng menundukkan kepala, katanya pelan, "Memang apa yang kami lakukan itu belum
tentu benar, tapi kami terpaksa."
"Jadi harus kalian bunuh?"
"Benar."
Orang itu memandang jauh ke depan sana, kemudian pelan-pelan katanya, "Sewaktu muda
dulu, aku pun beranggapan ada banyak persoalan yang harus dilakukan, tapi kemudian pelanpelan
aku menyadari, sesungguhnya di dunia ini tiada perbuatan yang harus dilakukan,,
persoalannya adalah bagaimana jalan cara kita memandangnya."
Pelan-pelan Pho Ang-soat menunduk.
"Asal kau dapat bersabar, maka ada banyak persoalan yang dapat kau kerjakan," ucap orang
asing itu. Wajahnya berubah serius, "Setiap persoalan harus dilihat dari banyak sudut pandang."
"Tapi...."
Belum habis Gi Toa-keng berkata, orang asing itu kembali menukas, "Kalian ingin membunuh
Pek Thian-ih, karena dia tak mau memikirkan orang lain, tapi apa yang kalian lakukan, bukankah
sama?" "Mungkin kesalahan itu memang berada di pihak kami," ucap Gi Toa-keng dengan nada sedih.
"Aku kan tidak menyalahkan kalian, siapa benar siapa salah dalam peristiwa ini tak akan bisa
ditentukan oleh siapa pun."
"Oleh karena itu aku lebih suka mengorbankan sebuah kakiku, daripada dendam kesumat ini
berlangsung terus?"
Ia nampak sangat menderita, sambungnya, "Dari sekian banyak orang yang ikut mengeroyok di
Bwe-hoa-am tempo hari, yang bisa kembali dengan selamat hanya tujuh-delapan orang. Rasanya
mereka pun senasib dengan diriku, melewatkan sisa hidupnya dalam penderitaan!"
Bila seseorang harus hidup dalam suasana takut dan curiga, penderitaan ini benar-benar sukar
dilukiskan dengan kata-kata.
Kata Gi Toa-keng, "Waktu itu salju turun amat deras, permukaan tanah penuh dilapisi salju,
setelah pertarungan selesai, segenap permukaan tanah yang putih telah berubah menjadi merah
karena darah." Wajahnya mengejang keras, "Orang yang tidak menyaksikan tak mungkin bisa
membayangkan suasana tragis dan mengenaskan itu, aku tak ingin peristiwa semacam itu
berlangsung lagi."
"Mengapa kau tidak berpikir, siapakah yang menyebabkan terjadinya pertempuran berdarah
itu?" tiba-tiba Yap Kay menyela.
Wajah Gi Toa-keng pucat mengenaskan.
"Aku hanya tahu darah telah berceceran di permukaan salju, bukan hanya darah keluarga Pek
saja, juga darah orang lain."
"Oleh karena itu kau beranggapan bahwa dendam kesumat ini sudah seharusnya diakhiri pula
dengan pertempuran berdarah."
"Sekalipun kami merasa malu terhadap Pek Thian-ih, namun pengorbanan yang kami bayar
kurasa sudah lebih dari cukup."
Orang yang sudah mati memang telah membayar pengorbanan mereka, tapi bagaimana
dengan mereka yang masih hidup"
Gi Toa-keng tidak menjawab, tak mampu untuk menjawab. "Maksudku dendam kesumat ini
harus diselesaikan secara adil, bila mereka yang masih hidup menganggap yang mati telah
membayar pengorbanan untuk mereka, maka pendapat semacam ini jelas salah besar." Setelah
berhenti sebentar, "Bila kau yang berhutang, maka kau sendirilah yang harus membayar."
Gi Toa-keng memandang wajah Yap Kay, seakan-akan baru pertama kali ini ia melihat orang ...
seakan belum pernah melihat orang.
Sikap Yap Kay memang selalu mengunjuk ketenangan, walau sedang menghadapi mara
bahaya, tak pernah dia mengunjuk rasa gugup, kaget, panik maupun ketakutan.
Sejak dia terjun ke dunia Kangouw, sudah beginilah sifatnya. Keadaan semacam ini boleh
dibilang persis keadaan Pho Ang-soat ...Pho Ang-soat pun begitu.
Jelas dia telah mengalami tempaan dan latihan yang berat. Masa lalu juga sama, merupakan
kabut kekosongan. Tak pernah ada orang tahu asalnya" Apa yang telah dia lakukan" Karena asalusulnya
begitu rahasia, dia muncul untuk suatu tujuan yang sangat menakutkan.
Bagaimana dengan Yap Kay"
Apakah Yap Kay pun mempunyai suatu tujuan pula"
Benarkan di antara mereka berdua mempunyai hubungan yang amat rahasia dan misterius"
Gi Toa-keng mengamati wajah Yap Kay lama sekali, kemudian baru berkata, "Sebenarnya
siapakah kau?"
"Kau seharusnya tahu siapa aku," jawab Yap Kay.
"Kau she Yap bernama Kay?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Yap berarti daun, Kay berarti buka!"
"Kau benar-benar adalah Yap Kay?"
"Kau anggap siapa aku?" ujar Yap Kay tersenyum.
Tiba-tiba Gi Toa-keng menghela napas panjang, "Aku tidak peduli siapa kau, aku hanya
berharap kau sudi memahami satu hal."
"Aku sedang mendengarkan."
Gi Toa-keng memandang sekejap kakinya yang kutung, "Hutangku tak ingin orang lain
membayarkan, perbuatan salah yang kulakukan juga sudah kubayar dengan harga mahal, bila kau
anggap semua ini masih kurang, aku akan menunggu di sini dan setiap saat kau boleh membunuh
aku." "Harusnya kau katakan kepada Pho Ang-soat, bukan kepadaku."
"Kukira sama saja, sebab apa yang kukatakan adalah sejujurnya."
Kemudian ia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.
Orang asing itu memandang sekejap ke arah Yap Kay, kemudian memandang pula ke arah Pho
Ang-soat, katanya, "Apa yang dia ucapkan memang sejujurnya."
Tiada orang buka suara, juga tiada orang bermaksud menyangkal.
Akhirnya sorot matanya berhenti pada wajah Pho Ang-soat, katanya pula, "Aku mengajaknya
datang tujuan agar dia mau bicara sejujurnya, bukan bermaksud agar kau bunuh dirinya."
Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, dia hanya mendengarkan, tampaknya dia jauh lebih
menderita daripada Gi Toa-keng.
"Sekarang dia telah mengungkap semua persoalan dengan sejujurnya, si.ij a yang benar dan
yang salah tak seorang pun berhak memutuskan."
Apakah Pho Ang-soat sendiri tidak berhak mengambil keputusan"
Kembali orang asing itu berkata, "Dia memang berhutang kepadamu, maka bila kau anggap
apa yang dibayar masih kurang, setiap saat kau boleh pergi membunuhnya, kini tak mungkin ia
melawan." 0oo0 BAB 37. KEMBALI KE JALAN YANG BENAR
Angin berhembus kencang, menderu-deru memekakkan telinga.
Angin malam di musim gugur memang mengerikan, bagaikan hembusan angin di padang
rumput. Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, keringat dingin telah membasahi telapak
tangannya. Keringat dingin bukan mengucur bukan karena rasa takut, melainkan karena
penderitaan. Penderitaan yang selama ini belum pernah dialaminya.
Orang asing itu tidak bicara lagi. Tak ada orang buka suara.
Musuh besarnya sedang duduk menunggu di halaman, menunggu kematian....
Ia bersedia merasakan berbagai siksaan dan penderitaan, tujuannya adalah untuk menemukan
musuh besar pembunuh ayahnya. Membunuh mereka dengan ujung goloknya. Tapi setelah dia
memandang orang itu, memandang wajah orang yang penuh keriput karena penderitaan dan rasa
takut yang mencekam, loyo dan tua, dan sekarang kaki kirinya telah kutung. Tak tahu apakah dia
masih harus membunuhnya atau tidak.
"Perbuatan salah yang telah kulakukan, telah kubayar seharga kesalahan yang telah
kuperbuat."
Ucapan ini memang tidak salah.
"Bila bukan disebabkan rasa takut dan menderita, siapa yang bersedia mengutungi kaki
sendiri?" Jika seseorang harus hidup dalam penderitaan selama sembilan belas tahun, siksaan batin yang
diterimanya benar-benar tak terlukiskan dengan kata-kata, pengorbanan yang dibayar untuk
kesalahannya memang jauh lebih menakutkan daripada kematian.
"Selama ini, aku selalu berusaha menjadi Kuncu sejati."
Apa yang dia ucapkan memang benar.
Selama ini dia selalu berusaha menahan diri, mengalah, tak pernah melakukan kesalahan apa
pun. Apakah hal ini disebabkan dia merasa bersalah, dia berusaha sepenuh tenaga menebus
dosanya" "Setiap saat kau masih bisa membunuhnya, dia sudah tidak memiliki kekuatan melakukan
perlawanan!"
Tapi persoalannya adalah apakah orang ini pantas dibunuh"
"Orang ini masih berharga untuk dibunuh?"
Tiada orang bisa menjawabkan pertanyaan Pho Ang-soat ini. Dia harus melakukan pilihan
sendiri. Membunuh" Atau tidak membunuh"
Ujung jari Pho Ang-soat tak bergerak, keringat dingin mengucur di kepala dan punggungnya,
mengalir ke bawah.
Sekarang tiada orang menghalangi niatnya membalas dendam, namun ia justru merasa
semakin menderita.
Berusaha keras mengendalikan kesulitan yang diciptakan orang bukanlah suatu perbuatan yang
menderita. Sekarang dia menderita karena kesulitan itu justru tercipta dalam hati sendiri.
Ia tak sanggup melakukan pilihan, ia tak mampu mengambil keputusan.
Semua orang sedang memandang wajah Pho Ang-soat, dalam hati dipenuhi persoalan yang
sama. Dia akan membunuh Gi Toa-keng atau tidak"
Angin masih menderu-deru, makin lama semakin kencang.
Mendengar deru angin kencang seperti ini, terbayang akan padang rumput yang luas,
membayangkan debu di gurun pasir yang beterbangan, bau anyir darah di tengah hembusan
angin.... Rembulan di tengah cakrawala begitu indah.
Di bawah pancaran sinar rembulan, banyak kenangan manis melintas dalam benak orang. Di
antara begitu banyak kenangan, terdapat pula orang-orang yang patut kau kenang. Sejumlah
orang yang meski menjengkelkan tapi juga menyenangkan. Setiap orang punya kejelekan, tapi
juga ada hal-hal yang menyenangkan.
Sekarang Yap Kay sedang membayangkan Siau Piat-li.
Dia sendiri tak tahu mengapa secara tiba-tiba teringat orang ini, mungkinkah disebabkan orang
ini tidak seharusnya mati" Dia menyesal, mengapa orang ini dibiarkan mati" Justru mereka yang
seharusnya mati, kini malah hidup bebas merdeka.
"Aku tidak membunuhmu, karena kau tak berharga untuk kubunuh!"
"Tapi aku tak akan melepaskan Be Khong-cun! Dia bukan cuma sahabat ayahku, bahkan
mereka bersaudara, bagaimana pun juga dia tak seharusnya melakukan perbuatan ini."
"Aku bersumpah akan membunuhnya dengan golokku!" Itulah kata-kata terakhir yang
diucapkan Pho Ang-soat. Inilah pilihannya yang terakhir. Ia tidak membunuh Gi Toa-keng.
Dia pun tidak memandang orang lain, pelan-pelan berjalan keluar pintu, kaki kiri maju
selangkah lebih dulu, kemudian kaki kanan diseret. Gaya berjalannya memang aneh, seperti juga
orangnya. Tapi goloknya masih tetap berwarna hitam, dingin mencekam.
Sesungguhnya dia yang menggenggam golok itu ataukah golok itu yang menggenggam
nasibnya" "Yang dapat diberikan golok buat manusia hanya kematian serta ketidak beruntungan!"
Yap Kay seolah-olah mendengar suara Siau Piat-li yang bersumpah bagaikan jeritan dari
neraka. Ia memandang Pho Ang-soat berjalan keluar, menuju ke balik kegelapan yang tidak bertepian.
Angin berhembus makin dingin dan kencang.


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari balik kegelapan, bayangannya nampak menyendiri, begitu mengenaskan....
Mata Yap Kay mengembeng air mata.
Ting Hun-pin hanya memperhatikan satu orang. Tiba-tiba ia berbisik, "Mengapa kau bersedih?"
"Aku tidak bersedih, aku sedang gembira."
"Apa sebabnya gembira?"
"Karena dia tidak membunuh Gi Toa-keng."
Baru saja ucapan ini selesai diutarakan, mendadak terdengar suara isak tangis Gi Toa-keng.
Sudah lama dia tidak menangis dia bukan lelaki yang gampang mengungkapkan emosi di
hadapan orang lain.
"Benarkah ada kalanya hidup jauh lebih menderita daripada mati."
Pertanyaan itu hanya Gi Toa-keng seorang yang dapat menjawab, kemudian dia memandang
ke arah Lok Siau-ka.
Lok Siau-ka berdiri mematung di tempatnya, tidak bergerak, juga tidak makan kacang.
Wajahnya kaku, tiada emosi sedikit pun. Tanpa emosi bukankah ada kalanya merupakan puncak
penderitaan"
Tiba-tiba orang asing itu menghela napas panjang, katanya, "Sekarang kau boleh
mengantarnya pulang.
"Biasanya aku jarang sekali minum arak, tapi hari ini aku boleh melanggar kebiasaan ini."
Arak berada dalam cawan di tangannya.
Cahaya lentera amat redup, warna arak kuning tua.
Arak ini bukan arak terbaik.
"Baik buruknya arak bukan terletak pada araknya sendiri, melainkan dalam keadaan dan
perasaan macam apa kau minum arak."
Jika seseorang sedang menderita dan murung, kendati tersedia arak paling wangi yang tiada
duanya di dunia pun, akan terasa getir dalam mulut.
Tiba-tiba orang asing itu berkata, "Hari ini aku pun merasa amat gembira."
"Apakah disebabkan dia tidak membunuh Gi Toa-keng?" tanya Yap Kay cepat.
Orang itu manggut-manggut, lalu mengucapkan sepatah kalimat yang tak pernah dilupakan
Yap Kay untuk selamanya.
"Bisa membunuh orang bukanlah suatu pekerjaan sukar, bisa mengampuni seorang musuh
besar yang setiap saat ingin kau bunuh jushu merupakan suatu pekerjaan yang teramat sukar."
Dengan seksama Yap Kay menganalisa kata-kata ini, ia merasa ucapan itu penuh mengandung
kepedihan dan rasa manis, tak tahan ia meneguk habis isi cawannya.
Orang itupun meneguk habis isi cawannya, kemudian ujarnya sambil tersenyum, "Sudah lama
aku tak minum arak dengan cara begini, padahal dulu takaran minum arakku bagus sekali, tapi
kemudian.... Dia tidak melanjutkan kata-katanya.
Yap Kay juga tidak bertanya, sebab dia telah menyaksikan dari balik matanya yang tak
berperasaan, mendadak terpancar perasaan hangat. Cepat dia penuhi kembali cawan araknya
yang telah kosong itu. Ting Hun-pin mengawasi dari samping.
Selama berada di samping Yap Kay, baru pertama kali ini dia mengawasi orang lain dengan
cara begitu. Mendadak ia bertanya, "Kau benar-benar adalah A...."
"Ya, akulah A Fei," jawab orang itu sambil tertawa, "setiap orang memanggil A Fei kepadaku."
Dengan wajah memerah Ting Hun-pin tertawa, katanya sambil menunduk, "Bolehkah aku pun
menghormati secawan arak untukmu?"
"Tentu boleh saja."
Ting Hun-pin segera meneguk habis isi cawannya, sementara sorot matanya bercahaya terang.
Bagaimanapun juga dapat minum arak A Fei memang merupakan peristiwa yang pantas
dibanggakan. Memandang sorot mata anak muda yang berkilauan itu, tiba-tiba orang asing itu merasakan
hatinya pedih. Hanya dia sendiri yang tahu bahwa sekarang ia tak mungkin lagi menjadi A Fei yang dulu.
A Fei yang dulu malang melintang di dunia persilatan, sekarang tak lebih hanya seorang asing
dunia persilatan.
Dia pun enggan mendengar orang lain membicarakan semua kejadian yang pernah
dilakukannya dulu.
Hal ini tak mungkin bisa dipahami Ting Hun-pin, maka katanya sambil tertawa, "Aku sudah
lama mendengar orang berkata bahwa kau adalah orang tercepat di kolong langit, tapi hingga hari
ini aku baru mempercayainya."
Orang asing itu tertawa hambar.
"Kau keliru," ujarnya, "masih ada seseorang yang selamanya jauh lebih cepat dari aku."
Ting Hun-pin membelalakkan mata, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Terdengar orang asing itu bertanya, "Tahukah kau siapa yang mengajar ilmu pedang kepada
Lok Siau-ka...."
Ting Hun-pin menggeleng kepala berulang-kali.
"Dia adalah Sim Bu-beng."
"Sim Bu-beng?" seru Ting Hun-pin sambil tertawa, "apakah dia tidak mempunyai nyawa?"
"Setiap orang pasti punya nyawa, begitu pula dengannya, tapi dia beranggapan bahwa
nyawanya bukanlah miliknya.
"Nama ini memang aneh, cara berpikir semacam itu lebih aneh lagi"
"Dia memang seorang yang aneh sekali," ucap orang asing ini sambil menghela napas panjang.
"Apakah permainan pedangnya amat cepat?"
"Menurut apa yang kuketahui, tiada seorang pun di dunia persilatan ini yang memiliki
permainan pedang jauh lebih cepat daripadanya, dan lagi tangan kiri serta kanan sama-sama
cepat dan ganas, kecepatannya sungguh tak terbayangkan."
Tanpa terasa Ting Hun-pin membayangkan manusia yang angkuh dan dingin, katanya, "Aku
pikir dia pasti angkuh sekali."
"Bukan cuma angkuh, bahkan dingin dan ketus, dia bisa membunuh orang hanya disebabkan
sepatah kata saja, dia pun bisa membunuh diri sendiri hanya disebabkan sepatah kata."
"Orang lain pasti amat takut kepadanya."
Orang asing itu manggut-manggut, sorot matanya memancarkan kembali sinar kepedihan,
pelan-pelan ujarnya, "Tapi sekarang di mata orang persilatan dia tak lebih hanya seorang asing."
"Bagaimana pula dengan Siau-li si pisau terbang" Apakah gerakannya lebih cepat dari Sim Bubeng?"
Tiba-tiba mencorong terang sorot mata orang asing itu, sahutnya, "Ilmu silatnya sudah tak
dapat dibayangkan."
Ting Hun-pin mengedipkan mata berulang kali, "Aku mengerti, bukan masalah cepat atau
lambat, karena ilmu silatnya sudah mencapai tingkatan agung dan mulia, tiada orang sanggup
mengalahkan dirinya...."
"Ya, tiada."
"Oleh karena itu meskipun ilmu silat Siangkoan Kim-hong tiada tandingannya di kolong langit,
dia toh masih kalah juga di tangannya."
"Kau memang cerdik," seru orang asing itu sambil tersenyum.
"Sekarang apakah dia masih hidup?"
Orang itu tersenyum. "Sekarang apakah aku masih hidup?" dia balik bertanya.
"Tentu saja kau masih hidup."
"Kalau begitu dia tentu juga masih hidup."
"Seandainya dia telah mati, apakah kau pun akan menemaninya mati?" tanya Ting Hun-pin lagi.
"Mungkin aku tak akan menemaninya mati, tapi setelah dia mati, di dunia ini tak akan ada
orang yang bisa bertemu dengan diriku lagi."
Suaranya masih tetap tenang, seakan-akan dia sedang membeberkan suatu persoalan yang
sederhana sekali.
Tapi siapa pun dapat merasakan bahwa kata-katanya itu memperlihatkan betapa mendalamnya
hubungan persahabatan mereka.
Mencorong terang mata Ting Hun-pin, katanya, "Aku pernah mendengar orang berkata bahwa
di dunia ini tiada orang ketiga yang bisa menandingi persahabatan kalian, sekarang baru aku
percaya." "Persahabatan sungguh sangat berharga, entah Pek Thian-ih itu orang macam apa, aku anggap
cara Be Khong-cun memberi pelajaran kepadanya merupakan peristiwa yang amat memalukan."
"Oleh karena itu kau tidak keberatan bila Pho Ang-soat pergi membunuhnya?"
Orang itu menghela napas, "Tapi Li Sun-huan pasti tak akan berpendapat demikian, dia hanya
tahu bagaimana cara mengampuni orang dan merasa kasihan terhadap orang
Seketika itu juga hati Ting Hun-pin dipenuhi oleh perasaan agung dan mulia, sejenak kemudian
baru ia bertanya dengan suara pelan, "Belakangan ini pernahkah kau bertemu dengannya?"
"Setiap tahun paling tidak kami bertemu satu kali."
"Tahukah kau dia berada dimana?"
Sesungguhnya tak perlu dia bertanya hal ini, sebab persahabatan mereka sudah tiada
batasnya, berjumpa dimanapun sama saja. Sampai dimana perasaan itu, bahkah Ting Hun-pin
sendiri pun dapat merasakannya.
Sorot mata si gadis dialihkan ke tempat jauh, "Aku berharap pada suatu hari bisa berjumpa
dengannya."
Kokok ayam jago sudah terdengar.
Sinar mentari fajar telah menyorot dari balik langit timur yang berawan.
Pelan-pelan orang asing itu bangkit berdiri, sambil memegang bahu Yap Kay, katanya sambil
tersenyum, "Aku selalu menghormatinya, selalu ingin menjadikan dia sebagai contohmu, oleh
karena itu aku merasa gembira."
Mata Yap Kay terasa basah, hatinya penuh dengan luapan perasaan gembira dan terima kasih.
"Semoga saja aku dapat melakukannya!"
"Asal kau mempunyai tekad untuk berbuat demikian, sudah pasti kau dapat melakukannya."
"Kau ...."
Orang asing itu memandang cahaya keemasan di ufuk timur, "Aku hendak pergi ke Kanglam,
mungkin di sana aku dapat berjumpa dengannya."
Katanya pula kepada Ting Hun-pin sambil tertawa, "Aku pasti akan memberitahu kepadanya,
ada seorang gadis cantik dan pintar berharap dapat berjumpa dengannya."
Ting Hun-pin tertawa, matanya berkilat penuh rasa terima kasih serta pengharapan. "Aku pun
berharap bisa mengetahui satu hal."
"Katakanlah."
"Apakah di Kanglam akan terjadi suatu peristiwa besar yang menggetarkan dunia, hingga kalian
berdatangan ke wilayah Kanglam?"
"Cuma pekerjaan yang hendak kami lakukan yang tak ingin diketahui orang lain, maka tak
mungkin ada orang bakal mengetahuinya."
Pelan-pelan dia berjalan keluar, tiba di luar pintu, berdiri di bawah pancaran sinar matahari
pagi, dia menarik napas panjang, kemudian berpaling dan tertawa, katanya, "Perkataan yang
kuucapkan hari ini jauh lebih banyak daripada biasanya, tahukah kalian apa sebabnya?"
Tentu saja mereka tidak tahu.
"Karena aku sudah tua, biasanya orang tua lebih suka banyak bicara daripada orang muda."
Selesai berkata dia lantas berjalan menyongsong datangnya fajar. Langkahnya enteng dan
mantap. Cahaya matahari menyorot dari balik kabut menyoroti tubuhnya. Badannya seakan-akan
memancarkan cahaya berkilauan yang menusuk pandangan.
Ting Hun-pin menghela napas panjang, "Siapa bilang dia sudah tua" Dia nampak begitu segar,
cekatan dan gagah, pada hakikatnya jauh lebih muda daripada kita."
Yap Kay tersenyum. "Tentu saja dia takkan menjadi tua, sebab ada sementara orang
selamanya memang tak pernah menjadi tua."
Ting Hun-pin tidak bicara lagi, sorot matanya memandang ke tempat jauh. Memandang ke arah
orang asing itu lenyap. Dia terkesan oleh sikapnya, dalam hati muncul perasaan kagum, simpatik
dan hormat terhadap orang.
"Ada sementara orang memang seperti tak pernah tua, karena dalam hati mereka selalu
dipenuhi oleh pancaran kehangatan dan harapan bagi umat manusia."
Asal dalam hati mempunyai rasa kasih sayang dan pengharapan, dia akan awet muda.
Dengan bergandeng tangan Ting Hun-pin dan Yap Kay melangkah menyongsong terbitnya sang
surya. Tiba-tiba Yap Kay bertanya, "Engkohmu ketiga sebenarnya orang macam apa?"
"Kau belum pernah melihatnya?"
"Aku pernah bertemu dengan Toakomu."
"Samko seperti kau, cerdik, nakal, kecuali melahirkan anak, agaknya apa pun bisa dia buat dan
lakukan, kepandaian khasnya yang paling ahli adalah memelet perempuan." Sampai di sini tibatiba
dia menarik muka dan suaranya meninggi keras, "Untuk hal ini jangan sekali-kali kau meniru
dia." "Untuk hal ini aku tidak perlu belajar lagi," ujar Yap Kay tertawa. "Ting-samkongcu paling
romantis, sejak lama hal ini sudah kudengar, aku ingin bertemu dia."
"Memang kau perlu bertemu dia, bila perlu kau harus menjilat pantat dan mengambil hatinya,
supaya di hadapan keluargaku, dia membicarakan kebaikanmu."
"Kecuali dia, apakah keluargamu semua orang kolot?"
"Terutama ayahku, dalam setahun jarang dia tertawa walaupun hanya sekali, karena takut
melihat mukanya yang dingin itu, maka aku minggat dari rumah."
"Tapi aku pun tahu beliau adalah seorang Kuncu."
"Memangnya, sejak ibu meninggal, terhadap perempuan lain melirik pun dia tidak pernah,
tanggung orang lain takkan ada yang bisa memadainya."
"Ya, paling tidak aku sendiri memang tidak bisa melakukannya," Yap Kay tertawa.
Ting Hun-pin melotot, semprotnya, "Oleh karena itu aku pasti takkan mati mendahului kau."
Yap Kay malah tersenyum saja.
"Sekarang kau hendak kemana" Menguntit Pho Ang-soat" Kau pikir dia bisa menemukan Be
Khong-cun?"
Ya Kay menepekur, sahutnya kalem, "Asal dia punya keyakinan dan teguh hati, tiada sesuatu
yang tidak bisa dilaksanakan di dunia ini."
Pada saat itulah dari arah terbitnya surya, mendadak mencongklang mendatangi seekor kuda
yang dibedal kencang. Cepat sekali kuda jempolan ini berlari, lekas sekali sudah kelihatan jelas
penunggangnya, seorang pemuda bermuka cakap ganteng, memegang pecut dengan pakaian
sutra mulus bertopi tinggi dihiasi mutiara, pinggangnya mengenakan sabuk batu giok, pedang
panjang tersoreng di pinggangnya. Begitu tiba di hadapan Yap Kay berdua, kuda yang
mencongklang pesat itu mendadak berhenti.
"Samko," terdengar Ting Hun-pin berjingkrak senang sambil bertepuk tangan, "kita sedang
mencarimu kiranya, kau sudah datang sendiri."
"Memangnya aku sengaja kemari hendak melihatkan teman lakimu ini, kabarnya dia seperti
aku, laki-laki romantis," kata pemuda di atas kuda sambil mengawasi Yap Kay dengan tersenyum.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya Ting Hun-pin berkedip-kedip.
"Agaknya tidak mengecewakan aku," sahut kakak ketiga Ting Hun-pin yang bernama Ting Lingtiong.
Yap Kay ikut tertawa. Ting Ling-tiong memang pemuda romantis yang gagah dan ganteng.
"Aku ingin menemuimu, kabarnya kau baru saja menang tiga puluh guci arak."
Ting Ling-tiong tertawa, ujarnya, "Sayang kau datang terlambat arak itu sudah habis masuk ke
perut semua."
"Lalu rombongan penyanyi yang cantik-cantik itu?" tanya Yap Kay pula.
"Nona-nona cilik itu mirip golekan yang molek, kau pasti menyenangi nya, sayangnya aku
takkan memberi kesempatan kepadamu."
"Kenapa?"
"Umpama kau tidak takut adikku ini, jelas aku sendiri rada takut kepadanya."
Sengaja Ting Hun-pin menarik muka, katanya, "Terhitung otakmu cerdik, kalau tidak, bukan
mustahil kubanting hancur semua golekanmu itu."
"Nah, kau dengar tidak?" ujar Ting Ling-tiong berkelakar, "kalau cemburu budak cilik ini amat
galak lho."
Tak tertahan Ting Hun-pin cekikikan melihat banyolan engkohnya yang lucu.
"Kalian hendak kemana?"
"Kau sendiri hendak kemana?" balas tanya Ting Hun-pin.
Ting Ling-tiong menghela napas, ujarnya tertawa getir, "Aku tidak sebebas kalian, kalau tidak
segera pulang, mungkin batok kepalaku ini bisa dihajar sampai keluar kecap."
"Apakah ayah baik-baik saja?"
"Baik-baik saja, akhir tahun yang lalu beruntung aku melihat dia tertawa sekali."
Ting Hun-pin ikut tertawa riang.
"Kukira kau pun perlu hati-hati, meski bibi selalu membela kau, tapi bila ayah marah benarbenar,
kau pun akan dihajarnya."
"Aku tidak perlu takut, paling seumur hidup aku tidak pulang," sahut Ting Hun-pin dengan
merengut. "Akal yang bagus, aku tidak menentang, cuma aku merasa tidak enak kepadamu," kata Ting
Ling tiong, ucapannya ditujukan kepada Yap Kay.
"Kepadaku?" Yap Kay keheranan.
"Jika budak jelek yang suka cemburu dan galak ini sudah berketetapan hati, dia hendak
menguntitmu seumur hidup, apa pula manfaatnya laki-laki muda menjadi manusia?" tanpa
menunggu komentar Ting Hun-pin, dia sudah mengkeprak kudanya pergi. Dari kejauhan ia
berseru, "Bila kapan waktu kau bisa keluyuran seorang diri, boleh kau mencariku, kecuali maninan
golekan itu, aku masih punya golekan kembang dan banyak lagi lainnya.
Ting Hun-pin membanting kaki, omelnya, "Engkoh ketiga memang bukan orang baik-baik,
pemuda bergajul."
"Tapi apa yang dia katakan memang benar?"
"Apanya yang benar?"
"Masakah kau tidak dengar, katanya ada orang yang galak, jelek dan suka cemburuan "
Ting Hun-pin pura-pura menarik muka, namun tak tertahan dia tertawa geli. Pelan-pelan
mereka beranjak di jalan raya, kedua orang sama-sama melayangkan pikirannya sendiri-sendiri.
Cukup lama kemudian, tiba Yap Kay bertanya, "Adakah ayahmu punya seorang teman yang
amat baik terhadapnya" Orang yang mau dan bisa membicarakan kebaikanku di hadapannya."
Ting Hun-pin geleng-geleng, katanya, "Biasanya jarang dia bergaul dengan orang, umpama ada
teman-temannya, semuanya sama-sama kolot dan berpandangan kuno, kutu buku."
"Memangnya ayahmu biasanya tidak berhubungan dengan kaum persilatan?"
"Sering beliau bilang di Kangouw hanya ada dua orang yang setimpal menjadi sahabatnya."
"Siapa kedua orang itu?"
"Salah satu sudah tentu adalah Siau-li Tham-hoa, ayah berpendapat selama tiga ratus tahun
mendatang, beliau adalah tokoh kosen yang digdaya dan tiada bandingannya, malah beliau pun
berpendapat, apa pun yang dia lakukan pasti tidak akan mampu dilakukan orang lain. Dan seorang
lagi boleh kau terka."
"A Fei?"


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ting Hun-pin geleng-geleng, ujarnya, "Katanya A Fei seorang yang selama hidup takkan bisa
melaksanakan urusan besar, karena wataknya terlalu angkuh, juga karena suka menyendiri."
Untuk pandangan ini Yap Kay tidak membantah. Karena dia sendiri mau tidak mau harus
mengakui, pendapat ayah Ting Hun-pin terhadap A Fei memang masuk akal. "Tapi siapa lagi
orang yang terpandang olehnya di dunia ini kecuali A Fei?"
"Pek Thian-ih!"
Yap Kay melengak, terunjuk keheranan pada mukanya, tanyanya, "Pek Thian-ih" Ayahmu kenal
padanya?" "Tidak kenal, namun dia berpendapat, Pek Thian-ih adalah seorang tokoh yang luar biasa,
selama ini dia ingin melihatnya, sayang sekali...." Sampai di sini dia menghela napas, "Kecuali
kedua orang ini, dalam pandangannya orang-orang lain kalau bukan goblok tentu keparat!"
"Sayangnya kedua orang ini terang takkan bisa membela aku, membicarakan kebaikanku di
hadapan ayahmu."
Berkedip-kedip mata Ting Hun-pin, katanya, "Yang bisa bicara tentang dirimu di hadapan
ayahku mungkin hanya seorang saja, karena apa pun yang dikatakan orang ini mungkin dia masih
sudi mendengarkan"
"Siapa?"
"Bibiku."
"Adik ayahmu" Sampai sekarang bibimu belum menikah?"
"Pandangan dan penilaiannya akan orang lebih tinggi dari ayahku, laki-laki di dunia ini boleh
dikata tiada satu pun yang terpandang olehnya."
"Mungkin karena orang lain pun merasa tidak senang menghadapi sikapnya, tingkah-laku dan
kejelekannya."
"Tidak, sampai sekarang dia masih terhitung cantik, di waktu mudanya, ada laki-laki yang
meluruk datang dari tempat ribuan li hanya untuk melihatnya saja."
"Tapi dia tidak beri kesempatan kepada orang untuk melihat dirinya."
"Ya, begitulah, sering dia bilang laki-laki adalah babi, kotor dan busuk, seolah-olah laki-laki bisa
membuat dirinya kotor, maka...." Matanya mengerling kepada Yap Kay, lalu meneruskan, "Dia
sering menasehati aku supaya selama hidup tak usah menikah, laki-laki macam apa pun lebih baik
ditendang pergi saja."
"Dia tidak kuatir kakimu kotor?"
"Sayang sekali aku tidak tega menendangmu, malah kau sendiri pun takkan bisa menendangku
pergi." Yap Kay tertawa, katanya, "Tiga keluarga besar Bu-lim, yang paling aneh adalah keluargamu.
Apakah ilmu silat ayahmu amat tinggi?"
"Aku sendiri pun tidak tahu, yang terang kita putra-putrinya semua belajar silat dan digembleng
oleh beliau, namun tiada satu pun yang mampu mempelajari semua ilmu silatnya."
"Agaknya belum pernah ayahmu bertanding silat dengan orang lain?"
"Soalnya tiada orang berani mencarinya dan mengajak bertanding."
"Apakah dia tidak pernah membuat kesulitan untuk orang lain?"
"Urusan tetek-bengek di Kangouw, hakikatnya malas ia ikut campur."
Jauh pandangan Yap Kay ke depan sana, lama dia termangu-mangu, akhirnya berkata penuh
ketetapan, "Apa pun yang akan terjadi, aku akan menemani kau pulang ke rumahmu."
"Kau berani?" terbelalak mata Ting Hun-pin.
"Mari sekarang juga berangkat."
"Sekarang belum saatnya."
"Kau masih ingin mencari Pho Ang-soat?"
"Musuhnya bertambah, kawannya berkurang malah."
"Kau tahu kemana dia pergi?"
Mimik Yap Kay menjadi aneh, katanya kalem, "Dari sini sudah tidak jauh dari Bwe hoa am.
Kukira pasti ke sana."
BAB 38. THO HOA NIOCU
Waktu itu musim rontok, pohon-pohon kembang Bwe sudah tiada lagi, sudah tentu tiada salju
pula di sana. Pho Ang-soat tidak tahu betapa perasaan hatinya menghadapi tempat yang
meninggalkan sejarah tragedi bagi keluarganya puluhan tahun yang lalu. Dengan menggenggam
kencang goloknya pelan-pelan dia beranjak di undakan batu yang sudah lumutan. Sekali dorong,
pintu biara yang sudah keropos seketika terbuka mengeluarkan suara keras, suaranya mirip
dengan helaan napas manusia.
Dedaunan yang rontok bertumpukan di pekarangan, suasana lengang, tiada bayangan orang,
tak kelihatan asap dupa mengepul, seolah-olah biara ini sudah tidak dihuni manusia. Pho Ang-soat
membungkuk menjemput selembar daun kering, entah apa yang dipikirkan mengawasi daun
kering itu. Entah berapa lama kemudian, seperti didengarnya suara orang bersabda, lalu seseorang
berkata kepadanya, "Apakah Sicu mau menyulut dupa bersembahyang?"
Seorang nikoh pertengahan umur dengan jubah hijau merangkap tangan berdiri di undakan
batu Tay hiong po tian. Seperti daun kuning di tangannya, Nikoh tua inipun kelihatan layu dan
loyo, kulit mukanya yang kering dan berkeriput seperti dihiasi kehidupan masa lalu yang penuh
diliputi pahit getir dan sengsara.
Serasa sulit Pho Ang-soat menolak, memang dia tidak ingin menolak, pelan-pelan dia beranjak
maju. "Pinni Liau In, siapakah nama besar Sicu?"
"Aku she Pho," lalu diambilnya segenggam dupa, setelah disulut ditancapkan di tempat
perabuan yang terbuat dari tembaga Habis itu dia beranjak hendak pergi.
"Apakah Sicu tidak ingin minum teh dulu?" terunjuk rasa kasih sayang pada mata si Nikoh.
Pho Ang-soat manggut-manggut, tidak enak dia menampik kebaikan orang.
Tak lama kemudian seorang Nikoh muda belia membawa nampan berisi secangkir air teh,
dengan menunduk kepala dia suguhkan teh itu pada Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat hanya meninggalkan sekeping pecahan uang perak di atas nampan.
Nikoh tua merangkap tangan dan membungkuk badan, mengucapkan terima kasih, ujarnya,
"Sudah lama tiada orang datang sembahyang di sini."
Pho Ang-soat menepekur, akhirnya dia bertanya, "Berapa lama kau tinggal di sini?"
"Loni sudah lupa berapa tahun tepatnya, cuma masih kuingat waktu itu patung-patung Buddha
yang ada di sini baru saja didirikan."
"Kalau begitu sedikitnya ada dua puluh tahun?"
"Mungkin sudah dua-tiga puluh tahun."
"Masihkah kau ingat peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu di tempat ini?"
"Bukan dua puluh tahun, tepatnya sembilan belas tahun."
"Kau tahu jelas?"
"Peristiwa yang menakutkan itu takkan bisa terlupakan."
"Kau... kau kenal dengan Pek-sicu itu?"
"Seorang yang sulit dilupakan orang, Loni selalu berdoa kepada Thian, supaya beliau mendapat
tempat yang tenteram di sisinya."
"Kau sendiri menyaksikan peristiwa itu?" tanya Pho Ang-soat menegas.
"Loni tidak berani melihat dan tidak tega melihatnya, di luar keinginanku bahwa tragedi terjadi
di tempat ini." Sampai di sini kulit mukanya yang kuyu dan keriput itu membayangkan sesuatu
yang amat mengerikan, lama baru dia menyambung, "Sampai sekarang Loni sudah tak ikut
campur urusan duniawi, namun setiap kali teringat akan suara malam itu, tetap aku tidak bisa
makan tak nyenyak tidur. Sicu bisa saksikan akibat peristiwa dulu itu, semuanya serba kritis dan
kekurangan, syukurlah sang Buddha bijaksana dan belas kasihan memberkahi umatnya, tanpa
memiliki beberapa hektar sawah, Loni bertiga dengan murid-murid mungkin sudah mati
kelaparan."
Pho Ang-soat jadi tidak tega bertanya lagi, pelan-pelan dia meletakkan cangkir teh di atas
meja, lalu bergerak hendak tinggal pergi.
Mengawasi cangkir teh yang diletakkan di atas meja, Liau In bertanya, "Sicu ingin minum air
teh ini?" Pho Ang-soat geleng-geleng kepala.
"Kenapa?"
"Selamanya tidak pernah minum teh orang yang tidak kukenal."
"Loni sebagai orang beribadat, masakah Sicu...."
"Orang beribadah juga manusia...."
"Agaknya Sicu teramat hati-hati."
"Karena aku masih ingin hidup."
Tiba-tiba tersimpul senyuman dingin yang sadis pada muka Liau In, katanya dingin, "Sayang
sekali betapapun orang hati-hati, cepat atau lambat akan tiba juga ajalnya." Habis kata-katanya,
badannya yang kurus loyo itu laksana macan tiba-tiba menjelat ke atas segesit garuda,
berjumpalitan ke belakang. Terdengar "Blup" dari lengan jubahnya, tiba-tiba melesat setabir
bintik-bintik sinar terang laksana bintang perak menyerang bersama.
Perubahan ini terlalu di luar dugaan, cara menyerangnya juga cepat sekali. Terutama senjata
rahasia yang disambitkannya, bukan saja kencang, rapat dan lebat, selama sembilan belas tahun,
seolah-olah senantiasa dia selalu melatih dan mempersiapkan diri untuk melakukan serangan
mematikan ini. Bersamaan waktunya, dari kedua samping Tay hiong po tian, mendadak serempak muncul dua
Nikoh muda berjubah hijau, satu di antaranya adalah Nikoh jelita yang menyuguhkan teh tadi.
Tapi pakaian mereka sekarang sudah ganti, demikian pula sikap dan tindak-tanduknya amat
garang, raut mukanya yang kekuning-kuningan diliputi angkara murka.
Kedua Nikoh muda ini menenteng pedang panjang yang berkilauan, mereka sudah siap bergaya
tempur, seluruh kekuatan sudah dikerahkan. Kemana pun Pho Ang-soat berkelit, kedua pedang
mereka pasti akan memapaknya dengan tusukan yang mematikan pula. Apalagi serangan senjata
rahasia seperti ini bahwasanya memang sulit untuk dihindari.
Aneh memang tingkah-laku Pho Ang-soat, tidak berkelit dia malah sengaja menerjang ke
depan, pada detik-detik yang menentukan itu, tahu-tahu goloknya sudah terlolos. Takkan ada
orang percaya akan kecepatan dia mencabut goloknya. Dimana sinar golok berkelebat, seluruh
bintik-bintik perak itu seketika tergulung dalam sinar golok, kejap lain Pho Ang-soat sudah berada
di samping si Nikoh tua.
Saat itu Liau In baru saja berjumpalitan, pakaiannya yang lebar dan lengan bajunya masih
melambai-lambai, sebelum dia berdiri tegak dan menyadari apa yang telah terjadi, tahu-tahu
terasa lututnya kesakitan, golok hitam legam orang tahu-tahu sudah mengetuk keras-keras di atas
lututnya. Tanpa kuasa badannya kontan tersungkur jatuh.
Serentak kedua Nikoh muda itu menghardik, dua pedang mereka bergerak silang laksana
bianglala menggunting ke badan Pho Ang-soat. Ilmu Liang-gi-kiam-hoat Bu-tong-pay permainan
pedangnya mengutamakan kelincahan dan kecepatan, keduanya bisa bekerja sama dengan baik
dan ketat. Sasaran dari tusukan kedua batang pedang amat telak pada Hiat-to mematikan di
badan Pho-Ang-soat.
Kali ini Pho Ang-soat tidak menggunakan goloknya, dia gunakan sarung dan gagang goloknya,
berbareng sarung dan gagang goloknya memapak kedua jurusan, tepat sekali menahan ujung
pedang musuh. "Krak", kedua batang pedang yang terbuat dari baja itu ternyata putus di tengahtengah.
Kutungan gagang pedangnya pun tak kuasa dipegangnya lagi. "Trap", mencelat ke atas
dan menancap di belandar.
Telapak tangan mereka pun tergetar pecah berlumuran darah, sigap sekali keduanya tiba-tiba
mencelat dan mundur, tapi sarung dan gagang pedang serba hitam itu bekerja lebih dulu, tanpa
ampun mereka pun terjungkal roboh. Kejap lain golok kembali ke dalam sarungnya.
Pho Ang-soat berdiri diam di tempatnya, Liau In Loni berduduk memeluk lutut di hadapannya,
matanya tertuju ke arah golok di tangannya. "Kau kenal golok ini?" tanyanya.
Liau In mengertak gigi, suaranya serak, "Ini bukan golok manusia, tapi golok iblis, hanya setan
gentayangan di neraka yang bisa menggunakannya." Suaranya rendah dan serak, "Aku sudah
menunggu sembilan belas tahun, aku tahu akan datang suatu hari pasti akan melihat golok iblis
ini, kenyataan hari ini melihatnya."
"Memangnya kenapa kalau kau sudah melihatnya?"
"Aku sudah bersumpah, bila aku melihat golok ini, peduli di tangan siapa, aku harus
membunuhnya."
"Kenapa?"
"Karena golok ini pula yang membikin hidupku sengsara dan merana."
"Jadi asal mulamu bukan penghuni Bwe hoa am ini?"
"Sudah tentu bukan," tiba-tiba terpancar sinar terang pada biji matanya. "Bocah ingusan seperti
kau tentu takkan tahu, tapi dua puluh tahun yang lalu, siapa pun yang menyinggung nama Tho
hoa nio cu, kaum persilatan tiada yang tidak mengenalnya."
Sikapnya semakin beringas, suaranya menjadi kasar. Pho Ang-soat tinggal diam.
Liau In melanjutkan, "Tapi aku disia-siakan, semua hatiku hanya tertuju kepadanya, siapa tahu
hanya tiga hari dia menggauli aku, tahu-tahu aku dibuang dan ditinggalkan begitu saja, sehingga
aku dihina dan ditertawakan orang banyak."
"Kalau kau bisa menyia-nyiakan orang lain, kenapa dia tidak boleh menyia-nyiakan kau?" Pho
Ang-soat tidak utarakan isi hatinya ini. Segala tetek-bengek mengenai pribadi Tho hoa nio cu di
masa lalu tidak menjadi perhatiannya. Dia hanya ingin tahu, "Pada malam hujan salju sembilan
belas tahun yang lalu, kau berada di luar atau di dalam Bwe hoa am?"
Liau In tertawa dingin, sahutnya, "Sudah tentu aku berada di luar, sejak lama aku sudah
bersumpah hendak membunuhnya."
"Waktu kau menunggu di luar malam itu, adakah kau mendengar orang bilang 'Orangnya sudah
lengkap?""
Sekilas Liau In berpikir, sahut, "Benar agaknya pernah kudengar ada orang bilang demikian."
"Tahukah kau siapa dia" Kenalkah kau akan nada suaranya?"
"Peduli siapa dia" Yang kutunggu malam itu hanya laki-laki ingkar janji yang hendak kubunuh
itu, akan kubakar jenazahnya lalu kuaduk dengan arak dan kuminum habis sebagai ramuan jamu."
Sampai di sini mukanya menjadi beringas, mendadak dia sobek baju di depan dadanya,
menunjukkan dadanya yang kempes dan kering, sejalur luka-luka bacokan golok menggaris dari
pundak sampai ke perutnya.
Lekas Pho Ang-soat melengos, dia tidak merasa simpati, hatinya malah jijik dan muak. Tak
tahan Pho Ang-soat tertawa dingin.
Liau In berkata pula, "Tahukah kau kehidupan apa yang kualami selama sembilan belas tahun
ini" Usiaku baru tiga puluh sembilan, tapi kau lihat, perubahan macam apa yang menimpa diriku?"
Tiba-tiba dia mendekam di tanah dan menangis tergerung-gerung.
Terketuk juga rasa iba Pho Ang-soat orang memang sudah mendapat ganjaran setimpal. Pelanpelan
dia memutar badan.
"Kau," teriak Liau In keras, "kembalilah kau!" Pho Ang-soat tidak berpaling.
"Kau sudah kemari, kenapa tidak kau bunuh aku dengan golokmu, jika kau tidak berani
membunuhku, kau ini binatang jalang."
Tanpa berpaling Pho Ang-soat beranjak keluar, tangis dan caci-maki di belakangnya tak
dihiraukannya pula.
Waktu Yap Kay berdua tiba, malam sudah larut, sudah lama Pho Ang-soat berlalu dari tempat
itu. Demikian pula Liau In sudah tidak terlihat bayangannya.
Peti jenazah Liau In sudah tertutup, layon ini sebelumnya sudah disiapkan, kalau bukan untuk
mengubur Pho Ang-soat, tentu untuk mengubur jenazahnya sendiri.
Dua Nikoh muda itu sedang berisak tangis memeluk layon, mereka menangis karena ingat akan
nasib hidupnya, ingin rasanya menghabisi hidup yang serba menderita ini, sayang mereka tidak
punya keberanian. Mati memangnya bukan suatu hal yang gampang dilaksanakan.
Waktu Yap Kay meninggalkan tempat itu, malam semakin dingin. Ting Hun-pin menggelendot
di badannya, katanya menghela napas, "Aku tidak habis mengerti, kenapa Nikoh setua itu tidak
diberi ampun oleh Pho Ang-soat."
"Kau kira Pho Ang-soat yang membunuhnya?" tanya Yap Kay.
"Yang terang sekarang dia sudah mati."
"Memangnya setiap hari banyak orang mati di dunia ini."
"Tapi dia mati setelah Pho Ang-soat mampir kemari. Kau tidak merasa heran?"
Lama Yap Kay menepekur, sahutnya setelah menghela napas, "Seharusnya aku sudah tahu
siapa sebenarnya Liau In ini"
"Liau In?"
"Nikoh tua yang mati itu."
"Kau pernah melihatnya" Kau pernah mengunjungi Bwe hoa am?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Siapakah dia?"
"Sejak peristiwa berdarah sembilan belas tahun yang lalu, banyak tokoh-tokoh Kangouw
mendadak hilang, yang menghilang lebih banyak dari korban yang jatuh di luar Bwe hoa am.
Waktu itu di Bu-lim terdapat seorang gadis kenamaan yang berjuluk Tho hoa nio cu. sayang
hatinya sejahat ular sebuas binatang. Entah berapa laki-laki yang kepincut padanya menjadi
korban keganasannya."
"Jadi kau kira Nikoh tua di Bwe hoa am itu adalah Tho hoa nio cu" Apakah tidak mungkin dia
pun sudah ajal pada malam itu?"
"Tidak mungkin. Kecuali Pek Thian-ih, hanya beberapa gelintir manusia saja yang mampu
membunuhnya."
"Mungkin Pek Thian-ih sendiri yang membunuhnya?"
"Pek Thian-ih tidak pernah membunuh wanita yang pernah digaulinya."
"Tapi bagaimana cara kau membuktikan analisamu?"
"Buktinya sudah kuperoleh," lalu dia membuka telapak tangannya, sebuah senjata rahasia yang
mengkilap terletak di atas telapak tangannya itulah kelopak kembang Tho.
"Apakah ini?" tanya Ting Hun-pin.
"Inilah senjata rahasia tunggalnya, tiada orang kedua di Kangouw yang bisa menggunakan
senjata semacam ini."
"Darimana kau memperolehnya?"
"Di ruang sembahyang Bwe hoa am tadi."
"Tadi kau temukan?"
"Agaknya dia menggunakan senjata rahasia tunggalnya ini untuk menyerang Pho Ang-soat, tapi
berhasil diruntuhkan oleh Pho Ang-soat, maka di atas senjata gelap ini ada bekas gumpil."
"Lalu apa bedanya bila kau tahu akan dirinya sekarang?"
"Bedanya aku tidak bisa minta keterangan padanya."
"Jadi kau masih ingin bertanya sesuatu kepadanya" Pentingkah pertanyaanmu?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Pertempuran berdarah itu dimulai di sini dan berakhir tiga li di luar sana, akhirnya Pek Thian-ih
roboh kehabisan tenaga, sepanjang tiga li terdapat ceceran darah, anggota badan manusia yang
tidak lengkap dan mayat-mayat yang bergelimpangan."
Berdiri bulu kuduk Ting Hun-pin, dengan kencang dia peluk lengan Yap Kay.
"Dalam pertempuran itu, tiada korban yang ajal dengan jazad yang utuh, terutama keluarga


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pek. Setelah pertempuran berakhir, semua anggota badan dan mayat-mayat kawanan pembunuh
yang berkomplot itu segera dibersihkan dan digotong pergi, soalnya Be Khong-cun tidak ingin
orang tahu siapa para pembunuh ini."
"Untuk menghindari kecurigaan orang lain, sudah tentu Be Khongcun tetap bermain sandiwara,
malah di hadapan orang banyak dia bersumpah untuk menuntut balas bagi kematian Pek Thian-ih
dan keluarganya."
"Tua bangka itu memang cerdik dan licin seperti rase," kata Ting Hun-pin.
Suara Yap Kay serak, "Yang harus dikasihani adalah Pek Thian-ih, dia bukan saja kaki
tangannya buntung, malah batok kepalanya pun terpenggal entah kemana."
Mengawasi mimik muka Yap Kay, tiba-tiba terasa oleh Ting Hun-pin sekujur badannya menjadi
dingin, telapak tangannya pun berkeringat dingin.
"Kau kira Tho hoa nio cu yang mencurinya?"
"Pasti tidak salah lagi."
"Kenapa?"
"Umpama ada perempuan lain dalam kawanan pembunuh itu, yang masih hidup hanya dia
seorang saja. Kalau orang lain hanya ingin kematian Pek Thian-ih, tapi dia di samping
menginginkan kematian Pek Thian-ih, juga ingin didampingi Pek Thian-ih sehidup semati. Maka dia
gunakan cara edan itu."
Bergidik seram Ting Hun-pin dibuatnya, tiba-tiba ter ketuk sanubarinya, apakah dia pun akan
melakukan perbuatan yang sama" Dia sendiri pun tak dapat memastikan. Mendadak sekujur
badannya gemetar tiada hentinya.
Udara dingin berhembus kencang, namun keringat dingin membasahi sekujur badannya.
Malam semakin larut, bintang pun semakin jarang.
Yap Kay dapat merasakan keringat dingin di telapak tangan Ting Hun-pin, belum pernah gadis
itu mengalami hal ini.
"Kau harus mencari tempat untuk tidur!"
"Aku tak dapat tidur, sekalipun sekarang tersedia ranjang paling empuk dan nikmat, aku tak
dapat tidur."
"Kenapa?"
"Karena banyak persoalan yang harus kupikirkan"
"Apa yang kau pikirkan?"
"Memikirkan kau, cukup persoalanmu sudah cukup membuatku berpikir tiga hari tiga malam."
"Aku toh berada di sisimu, apa lagi yang mesti kau pikir?"
"Hal ini menyangkut dirimu, makin berpikir aku makin heran."
"Heran?"
"Ya, jelas kau lebih mengerti daripada Pho Ang-soat, tapi aku tak habis mengerti mengapa bisa
begini?" Yap Kay tertawa. "Memang banyak bukti yang telah kukumpulkan."
"Sebenarnya kan tak ada hubungannya dengan kau, kenapa kau begitu menaruh perhatian
terhadap masalah ini?"
"Sebab aku adalah orang yang selalu ingin tahu, aku justru senang ikut campur urusan orang."
"Kenapa?"
"Karena persoalan ini cukup rumit, makin rumit makin menarik"
Ting Hun-pin menghela napas, "Apa pun yang kau katakan, aku tetap merasa heran."
Yap Kay tertawa getir. "Kalau kau merasa heran, aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi!"
"Hanya ada satu cara yang bisa kau lakukan."
"Katakanlah."
"Aku minta kau bicara terus terang kepadaku."
"Baik, aku akan bicara terus terang, bila aku mengatakan adalah adik Pho Ang-soat, maka aku
baru akan memperhatikan hal ini, apakah kau percaya?"
"Tidak percaya, sebab Pho Ang-soat tidak mempunyai adik."
"Sebenarnya kau ingin aku mengatakan apa?"
Ting Hun-pin kembali menghela napas, "Aku sendiri pun tidak tahu."
Yap Kay tertawa, "Kuanjurkan kau lebih baik jangan berpikir yang bukan-bukan sebab hal ini
tiada sangkut-pautnya dengan dirimu, bila kau bersikeras ingin tahu berarti kau mencari kesulitan
untuk dirimu sendiri."
Ting Hun-pin tersenyum. "Aku seperti juga kau selalu cari penyakit katanya.
Setelah sekian lama, tiba-tiba ia berkata, "Aku sedang memikirkan suatu hal lain."
"Hal apa?"
"Seandainya batok kepala Pek-tayhiap benar dicuri Tho hoa-niocu, mungkin karena is tak
berhasil mendapatkan orangnya di kala masih hidup, terpaksa dia menyuruh orang mati
menemaninya?"
"Caramu bicara kurang baik, tapi memang begitulah ...."
"Setelah dia mati, pasti kepalanya tak mungkin meninggalkan nya."
"Maksudmu ...."
"Maksudku seandainya batok kepala Pek-tayhiap dicuri Tho-hoa niocu, sekarang sudah pasti
kepala itu berada di dalam peti matinya."
Yap Kay tertegun.
Dia memang tak pernah menduga sampai ke situ, tapi mau tak mau harus mengakui jalan
pikiran Ting Hun-pin sangat masuk akal.
"Apakah kau ingin kembali ke sana melakukan pemeriksaan?"
Yap Kay termenung, akhirnya menghela napas panjang. "Tidak perlu!"
"Tadi kau berusaha menemukan batok kepala Pek-tayhiap, sekarang bilang tidak perlu?"
Paras Yap Kay berubah sedih, pelan-pelan sahutnya,
"Aku ingin menemukan batok kepala itu untuk dikuburkan."
"Tapi ...."
Cepat Yap Kay menukas, "Jika batok kepalanya benar berada dalam peti mati, sudah pasti ada
orang akan menguburnya secara baik-baik, mengapa aku harus mengganggu arwahnya lagi dan
buat apa aku mesti membuat Tho hoa niocu harus mati dengan mata tidak meram?" Setelah
menghela napas, sahutnya pula, "Dia memang perempuan yang patut dikasihani, buat apa aku
merampas barang miliknya?"
"Kenapa sekarang kau membelanya?"
"Karena ada orang pernah berkata padaku, sebelum kau berbuat sesuatu, pikirkan dulu orang
lain." Sorot matanya memancarkan sikap hormat, "Ucapan ini tak akan pernah kulupakan."
Ting Hun-pin memandang ke arahnya, ujarnya, "Kau memang aneh, pada hakikatnya jauh lebih
aneh dari Pho Ang-soat."
"Ehm."
"Pho Ang-soat tidak begitu aneh, apa pun yang dilakukan nya, sebaliknya kau apa yang kau
lakukan kau sendiri tak tahu apakah harus dilakukan atau tidak."
BAB 39. CINTA SEDALAM LAUTAN
Waktu menyingsing fajar, kota itu seperti baru bangun dari lelap impiannya. Pho Ang-soat
sudah berada di dalam kota.
Pelan-pelan Pho Ang-soat beranjak ke jalan raya dalam kota yang mulai ramai dengan lalulalangnya
penduduk kota dan orang-orang desa yang sibuk ke pasar menjajakan dagangannya.
Hari masih sepagi ini, namun perut dan tenggorokan Pho Ang-soat sudah ketagihan dan kering,
ingin rasanya segera masuk ke warung makan, mengisi perut dan menghilangkan dahaga, tapi
sebelum dia mendapatkan warung makan malah dilihatnya selarik kain belacu sepanjang dua
tombak lebar tiga kaki.
Kain belacu putih ini terikat di ujung dua buah galah yang dibentangkan di tengah jalan raya. Di
atas kain belacu ini terdapat sebarisan huruf tintanya belum kering dimana tulisan itu menyolok
mata dan berbunyi: "Pho Ang-soat, jika kau berani, datanglah ke Kiat hu pong."
Dua puluh sembilan orang sedang menunggu kedatangan Pho Angsoat di Kiat hu pong, besar
kecil tua muda dari kedua puluh sembilan orang ini mengenakan kain belacu, kepalanya
berkerudung atau berikat kepala kain putih belacu pula, tanda duka cita. Peduli laki perempuan
anak-anak atau orang tua, mereka menenteng golok berkepala setan yang mengkilap.
Raut muka mereka diliputi kepedihan yang tak terperikan, seolah-olah mirip serombongan
serdadu yang dipaksa mengadu jiwa di medan laga. Orang yang berdiri paling depan adalah lakilaki
tua berjenggot panjang, di belakangnya terang adalah keluarga nya. Meski usianya lanjut, tapi
berdirinya masih tegap dan gagah, jenggotnya yang ubanan melambai-lambai tertiup angin, mata
semua orang tertuju ke ujung jalan sana. Sudah dua hari mereka menunggu kedatangan
seseorang. Orang yang ditunggu adalah Pho Ang-soat.
Kehadiran kedua puluh sembilan orang berkabung di Kiat hu pong sudah tentu menimbulkan
perhatian dan keheranan khalayak ramai, maka setiap had pagi-pagi benar orang sudah berduyunduyun
datang ke tempat itu untuk menyaksikan apa sebenarnya yang hendak terjadi, tak sedikit
penonton yang saling terka dan bisik-bisik.
Sekonyong-konyong semua suara sirap dan keadaan menjadi hening sepi. Tampak seorang
muncul dan menghampiri dari ujung jalanan sans. Gaya jalannya amat aneh, karena dia seorang
timpang, seorang pemuda timpang dengan raut muka yang pucat, membawa golok serba hitam.
Melihat orang dan golok hitamnya itu, air muka laki-laki berjenggot panjang itu seketika
berubah pucat dan diliputi nafsu membunuh. Baru sekarang penonton tahu siapa sebenarnya
orang yang mereka tunggu.
Dengan menggenggam kencang goloknya, Pho Ang-soat berhenti setombak di depan mereka.
Tapi dia tidak kenal dan tidak tahu mereka serta apa maksudnya menunggu dirinya.
Mendadak laki-laki jenggot panjang berkata dengan lantang, "Aku she Kwe, bernama Wi."
Pho Ang-soat pernah mendengar nama ini, Sin to Kwe Wi memang tokoh kenamaan di Bu-lim,
namun sejak Sin to tong Pek-Tian-ih malang melintang di Kangouw, Sin to atau golok sakti Kwe Wi
terpaksa harus diubah artinya. Sebetulnya dia tidak ingin merubahnya, tapi mau tidak mau harus
diubah juga. Hanya ada satu golok sakti di dunia ini, yaitu golok sakti milik Pek Thian-ih.
"Kaukah keturunan Pek Thian-ih" ada persoalan yang ingin kuberitahu kepadamu. Malam itu
aku ikut juga berkomplot untuk membunuh ayahmu di luar Bwe hoa am."
Tiba-tiba berkerut-kerut seperti bergidik kulit daging muka Pho Ang-soat.
"Selama ini aku tunggu keturunannya untuk menuntut balas."
"Sekarang aku sudah berada di sini."
"Keluarga Pek pernah kubabat habis, kalau engkau hendak menuntut balas, nah keluarga orang
she Kwe sudah berkumpul di sini, boleh kau membabatnya habis semua."
Serasa ditusuk sembilu sanubari Pho Ang-soat, kakinya seperti terpaku di tempat, sekujur
badan bergidik gemetar kecuali tangannya yang memegang golok. Bukan dia tidak berani turun
tangan soalnya muka orang ini terlalu asing dan belum pernah dilihatnya, memangnya mereka
harus membayar hutang dengan jiwa dan darah untuk menebus dendam sakit hati masa lalu"
Sekonyong-konyong jeritan pilu dan perih berkumandang memecah kesunyian. Seorang anak
laki-laki menerjang keluar dari rombongan orang banyak sambil menenteng golok besar. "Kau
hendak membunuh kakekku, biar kubunuh kau lebih dulu."
Kwe Wi tergelak-gelak sambil menengadah, serunya, "Bagus, anak baik, tidak malu kau
menjadi keturunanku!" Di tengah gelak tawanya yang memilukan, anak kecil yang menenteng
golok lebih tinggi dari badannya itu sudah menerjang ke depan Pho Ang-soat sambil mengayun
golok yang berat itu.
Apakah Pho Ang-soat tega menggerakkan goloknya membela diri serta membunuh anak sekecil
ini" Di saat genting itu, anak kecil itu mendadak menjerit dengan suara menyayat hati, golok di
tangannya terpental, berbareng badannya terjengkang roboh. Entah darimana tahu-tahu
tenggorokan nya tertancap sebilah pisau yang merenggut nyawanya.
Tiada orang melihat tegas darimana datangnya pisau ini, yang terang mereka menduga Pho
Ang-soatlah yang menimpukkannya.
Di iringi gerungan murka orang banyak, seorang nyonya muda berbadan langsing, agaknya ibu
si anak berlari keluar sambil menjerit kalap. Seorang laki-laki menggerung keras seperti binatang
buas yang menguber mangsanya. Serempak seluruh orang yang berkabung itu merubung maju
dengan gerungan gusar.
Pho Ang-soat sebaliknya terkesima dan menjublek mengawasi pisau di tenggorokan si anak
kecil. Dia sendiri tidak tahu darimana datangnya pisau ini.
Yap Kay! Tentulah buah karya Yap Kay, demikian batinnya.
Kwe Wi mengangkat goloknya, dampratnya beringas, "Bocah kecil pun kau bunuh, kenapa tidak
lekas kau cabut golokmu?"
Tak tahan Pho Ang-soat membantah, "Bukan aku yang membunuh bocah ini."
Kwe Wi tergelak-gelak seperti orang kalap kesetanan, "Membunuh tidak berani mengakui" Tak
kukira putra Pek Thian-ih adalah laki-laki lemah pembohong."
Serasa panas dan merah muka Pho Ang-soat karena marsh. Selama hidupnya paling penasaran
kalau dituduh semena-mena, mati pun dia tidak terima.
Diselingi gelak tawa yang berkumandang, golok di tangan Kwe Wi terayun miring membabat
batok kepalanya. Sekonyong-konyong Pho Ang-soat pun menggerung bagai banteng ketaton.
goloknya bersinar terang, laksana kilat berkelebat, darah seketika muncrat kemana-mana.
Matanya sudah merah membara, yang terlihat hanya ceceran darah, seakan-akan dirinya sudah
kesetanan. Dimana goloknya bergerak dan jerita kesakitan menjelang ajal saling bersahutan, yang
terdengar hanya golok mengenai tulang dan daging, tak terdengar senjata beradu, namun kuping
Pho Angsoat seolah-olah sudah tuli, hanya ada satu suara yang terkiang di kupingnya, "Biarlah
musuhmu terbabat habis, kalau tidak, jangan kau kembali menemui aku" itulah pesan ibundanya.
Seolah-olah dia sudah kembali ke dalam rumah yang gelap serba hitam itu. Sejak kecil dia
dibesarkan dalam kegelapan, sejak kecil tumbuh dendam membara dalam relung hatinya. Darah
berwarna merah, salju pun menjadi merah darah.
Pho Ang-soat terus mengamuk di antara kerubutan orang-orang berkabung yang sudah nekad
mengadu jiwa. Tapi usaha mereka bagai telur menumbuk batu, satu per satu berguguran tanpa
kuasa balas menyerang.
Entah siapa di antara mereka tiba-tiba membentak, "Mundur! Semua mundur! Pertahankan
nyawamu, untuk menuntut balas kelak!"
Cepat sekali kejadian berlangsung, tiba-tiba suasana menjadi lelap, tak terdengar suara apa
pun. Tinggal Pho Ang-soat seorang yang berdiri di antara mayat-mayat yang bergelimpangan,
darah membanjir menjadi aliran kecil. Jenazah Kwe Wi dan anak itu berada di bawah kakinya.
Serasa kaku dan pati rasa sekujur badannya.
Sekonyong-konyong kilat berkelebat, disusul guntur menggelegar dengan dahsyatnya. Pho Angsoat
tersentak sadar dari lamunannya oleh sambaran petir, sekilas dia menjelajahkan pandangan
ke sekelilingnya, lalu dipandangnya golok di tangannya, pelan-pelan hatinya mengkeret, perutnya
pun hampir kejang. Tiba-tiba dia membungkuk mencabut pisau di tenggorokan anak kecil itu,
putar badan terus lari bagai terbang.
Didahului petir menyambar pula. Hujan lebat seketika mencurah tumpah dari langit.
Pho Ang-soat berlari kencang seperti mengejar waktu dalam hujan lebat. Sebesar ini belum
pernah dia berlari secepat ini, gaya larinya jauh lebih aneh dan menarik dari gaya jalannya, hujan
ini membersih noda-noda darah yang berlepotan di bajunya. Kenangan tragis dalam pertempuran
berdarah yang dialaminya ini bakal meninggalkan ukiran mendalam di sanubarinya.
Orang-orang yang dibunuhnya tadi, banyak yang tidak patut mati, apalagi mati di tangannya.
Gara-gara pisau kecil di tenggorokan bocah itulah hingga tragedi ini terjadi.
Diam-diam sanubarinya bertanya, "Kenapa Yap Kay memancing petaka ini?"
Kebetulan di depan ada sebuah penginapan, Pho Ang-soat langsung berlari masuk dan minta
sebuah kamar, pintu terus ditutupnya rapat, lalu dia memeluk perut dan muntah-muntah. Di saat
dia muntah-muntah itulah badannya bergetar dengan hebat, waktu dia terjungkal roboh,
badannya sudah meringkuk seperti trenggiling.
Dia rebah dan berkelejetan di atas tumpahannya sendiri, badannya terus bergerak-gerak, dia
sudah kehilangan kesadaran. Memang dalam keadaan seperti ini mungkin keadaannya jauh lebih
baik, tanpa perasaan bukankah tanpa derita"
Hujan semakin lebat, kamar kecil itu semakin gelap. Dalam kegelapan, jendela kamar kecil itu
tiba-tiba terbuka, sesosok bayangan orang muncul di jendela.
Petir menyambar didahului sambaran kilat, sinar kilat menyinari raut muka orang ini, nampak
aneh menghiasi muka orang ini, pandangannya tertuju ke arah Pho Ang-soat yang rebah di lantai.
Sulit dibedakan, mimiknya itu marah, duka, dendam, riang atau menderita.
Waktu Pho Ang-soat rebah di atas ranjang, selimut kering menutupi badannya. Pelita pun
sudah tersulut.
Bayangan seseorang terpeta di dinding, sinar pelita guram, namun jelas menandakan adanya
seorang di dalam kamar ini! Siapa"
Orang itu duduk membelakangi pelita, seolah sedang termenung. Pho Ang-soat sedikit
mengangkat kepala, seketika dia melihat raut muka orang, seraut wajah yang keletihan, kurus dan
pucat, diliputi kerisauan, merana dan derita, namun wajah nan cantik dan elok. Seketika serasa
mengejang jantung Pho Ang-soat. Kembali dia berhadapan dengan Cui long.
Cui long sudah mengawasinya, mukanya yang kurus pucat mengulum senyuman getir, katanya
lembut "Kau sudah bangun?"
Tidak bergerak tidak bicara, Pho Ang-soat seolah-olah sudah kaku.
"Kau harus tidur lagi, sudah kusuruh orang membuat bubur untukmu," suara Cui long halus
lembut penuh perhatian, seperti waktu mereka masih bersama.
Mendadat Pho Ang-soat menjadi beringas, teriaknya sambil menuding pintu, "Pergi,
menggelindinglah pergi!"
Sikap Cui long amat tenang, sahutnya kalem, "Aku tidak akan menggelinding, juga tidak akan
pergi!" "Siapa suruh kau kemari?" suara Pho Ang-soat serak.
"Aku sendiri, karena aku tahu kau sakit. Kau harus istirahat, setelah buburnya matang, sebentar
kubangunkan kau lagi."
Terkepal kencang jari-jari Pho Ang-soat, sedapat mungkin dia kendalikan emosinya, katanya
sinis, "Terima kasih membikin repot kau untuk melayani aku."
"Tidak jadi soal, kenapa sungkan, kita kan teman lama."
"Ya, tapi kau adalah tamuku, akulah yang harus melayanimu."
"Sudah kukatakan tidak jadi soal, pendek kata suamiku sudah tahu bahwa aku berada di sini."
"Apa" Suamimu?" tenggorokan Pho Ang-soat serasa hampir pecah, lama kemudian baru
tercetus kata-katanya.
"Benar, aku sampai lupa memberitahukan kepadamu, aku sudah menikah."
Hancur hati Pho Ang-soat, hancur-lebur.
"Selamat atas pernikahanmu!" Pho Ang-soat sendiri seolah-olah tidak mendengar apa yang dia
ucapkan, entah berapa lama berselang, baru dia mendengar suara Cui long.
"Setiap perempuan, peduli perempuan mana pun, cepat atau lambat dia pasti akan berumah
tangga, akhirnya pasti akan menikah."
"Aku maklum."
"Bahwa kau tidak mau mengawini aku, terpaksa aku menikah dengan orang lain."
Pho Ang-soat mendelong mengawasi langit-langit rumah, agaknya sedapat mungkin dia
kendalikan perasaannya, bukan saja tidak ingin Cui long melihat dan tahu akan keputus-asaan


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya serta derita batinnya. pun tidak ingin memikirkannya. Lama sekali baru dia bertanya.
"Apakah suamimu kemari?"
Cui long mengiakan. Pengantin baru sudah tentu kemana-mana pun berduaan.
"Kenapa tidak kau temani suamimu, malah berada di sini?"
"Kau tidak usah kuatir, segala persoalan sudah diketahui suamiku."
"Suamimu tahu apa?"
"Dia tahu akan dirimu, tahu pula akan hubungan intim kita masa lalu. Aku sudah menceritakan
hubungan kita dulu kepadanya. Kedatanganku kemari dia pun sudah tahu."
Bibir Pho Ang-soat sampai berdarah saking keras dia mengertak gigi, tak tahan dia tertawa
dingin, "Agaknya suamimu seorang yang berpikiran terbuka. Tapi aku laki-laki yang cupat pikiran
malah." Cui Long mengunjuk tawa dipaksakan, ujarnya, "Kalau kau kuatir dia salah paham, boleh
kupanggil dia kemari."
Tanpa menunggu persetujuan Pho Ang-soat, segera dia berpaling keluar dan berseru, "Hai,
masuklah kau, mari kukenalkan seorang teman."
Daun pintu memang tidak terkunci, segera seorang mendorong pintu melangkah masuk,
agaknya sejak tadi dia memang sudah menunggu di luar pintu.
Tak tahan Pho Ang-soat berpaling dan melirik ke arah orang yang baru masuk ini. Usia laki-laki
ini belum tua, tapi tidak muda. Usianya sekitar tiga puluhan hampir genap empat puluh, bermuka
persegi penuh keriput dari hasil kerja berat selama hidupnya. Seperti pengantin baru umumnya,
laki-laki ini mengenakan pakaian serba baru, sehingga sepintas pandang pakaian nya itu amat
menyolok dan tidak cocok dengan pribadinya yang serba sederhana. Karena siapa pun yang
berhadapan dengan dia pasti tahu bahwa orang adalah seorang jujur polos.
Begitu melihat orang ini, perasaan dan emosi Pho Ang-soat malah terkendali dan sabar, rasa
irinya seketika lenyap.
Menarik tangan orang, Cui long berkata dengan tersenyum, "Inilah suamiku, dia she Ong
bersama Toa-hong."
Ong Toa-hong seperti bocah desa yang menurut saja digandeng ibunya, suruh dia ke timur dia
tidak akan berpaling ke berat.
Cui long berkata, "Inilah Pho Ang-soat Pho-kongcu yang pernah kukatakan itu."
Terunjuk secercah senyuman di muka Ong Toa-hong, sapanya bersoja, "Nama besar Phokongcu
sudah lama Cayhe mendengarnya."
Adem saja Pho Ang-soat menanggapi sapaan orang, katanya seperti menggumam, "Selamat,
kuhaturkan selamat atas pernikahan kalian. Silakan duduk!"
Ong Toa-hong mengiakan. Dengan kaku dan kikuk dia tetap berdiri di tempatnya.
"Suruh duduk, kenapa kau masih berdiri?" omel Cui long seraya melotot.
Tanpa bercuit Ong Toa-hong segera duduk. Laki-laki jujur mempersunting bini ayu, sungguh
bukan merupakan nasib yang mujur, karena dia terang-terangan takut bini, tanpa disuruh Cui-long
sampai pun duduk dia tidak berani. Malah kedua tangannya tergantung lurus di atas pahanya.
Maka terlihatlah jari-jarinya yang besar dan kasar, malah sela-sela kukunya kelihatan berminyak.
Sekilas Pho Ang-soat mengawasi sepasang tangannya itu, lalu bertanya, "Berapa lama sudah
kalian menikah?"
"Sudah ada ...ada....." jawaban Ong Toa-hong gelagapan sambil melirik kepada istrinya.
"Hampir sepuluh hari," cepat Cui long menambahkan.
Segera Ong Toa-hong menjawab, "Benar, sudah hampir sepuluh hari, sampai hari ini pas
sembilan hari."
"Apa kalian memang sudah kenal sebelumnya?"
"Bukan...." merah tegang raut muka Ong Toa-hong jawaban yang sepele pun tak mampu dia
berikan. Cuaca buruk hari dingin, tapi kepala Ong Toa-hong dibasahi keringat dingin yang
bercucuran, seolah-olah dia tidak tahan duduk lagi.
Mendadak Pho Ang-soat berkata pula, "Kau bukan pedagang kain seperti yang dikatakan
isterimu."
Seketika berubah rona muka Ong Toa-hong, sahutnya tergagap, "Ya ya...ya...."
Pelan-pelan Pho Ang-soat berpaling, matanya melotot kepada Cui long, katanya tandas, "Dia
Jodoh Rajawali 6 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 24
^