Pencarian

Peristiwa Merah Salju 4

Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 4


"Benar, yang dia cari sudah tentu bukan kau, lalu siapakah yang dia cari" Siau Piat-li" Cui-long"
Jika dia mencari kedua orang itu. kenapa dia harus membual?"
Bayu menghembus semakin kencang. Pasir kuning memenuhi angkasa, rumput-rumput
mengering. Kalau langit cemerlang laksana jade hitam yang dihiasi berlian, indah semarak, bumi
justru diliputi kegelapan dan kepedihan. Sayup-sayup hembusan angin membawa ringkikan kuda,
sehingga menambah suasana padang rumput yang lenggang ini terasa semakin seram.
Pelan-pelan Pho Ang-soat berjalan di depan, pelan-pelan pula Yap Kay mengikut di
belakangnya. Sebetulnya dia bisa memburu ke depan dan berjalan di muka, tapi tidak dia lakukan.
Di antara kedua orang ini seolah-?olah terpaut sesuatu jarak yang aneh dan tak mungkin diraba,
namun seolah-olah ada suatu ikatan pula secara aneh satu sama lain.
Jauh di padang ilalang sana muncul titik-titik sinar api. Mendadak Pho Ang-soat berkata pelanpelan,
"Ada kalanya jika bukan kau membunuhku, mungkin aku yang membunuhmu."
"Ya, akan datang suatu ketika?"
Pho Ang-soat tetap tidak berpaling. Katanya sepatah demi sepatah, "Mungkin hari yang
menentukan itu akan segera tiba."
"Mungkin hari yang menentukan itu selamanya takkan ada."
"Kenapa?"
Yap Kay menghela napas, matanya menatap jauh ke arah titik api di ujung bumi sana, ujarnya,
"Karena bukan mustahil kita bakal sama-sama mati di tangan orang lain."
Rebah di atas pembaringan, bantal sudah basah kuyup oleh air mata Be Hong-ling. Sampai
sekarang sanubarinya masih belum bisa tenang, antara cinta dan benci, seolah-olah dua tangan
yang kokoh kuat hampir mengoyak-ngoyak jantungnya. Yap Kay dan Pho Ang-soat. Dua orang
yang berlainan dan serba aneh.
Padang rumput selama ini dalam keadaan tenang dan damai, sejak kedatangan kedua orang
ini, segala urusan segera berubah menjadi suatu peristiwa besar yang amat menakutkan. Siapa
pun tiada yang tahu sampai kapan perubahan ini bakal berkembang, kapan akan berakhir.
Siapakah sebetulnya kedua orang ini" Untuk apa mereka datang kemari" Teringat adegan
malam itu, di bawah pancaran sinar bintang-bintang, dia rebah meringkuk dalam pelukan Yap Kay.
Tangan Yap Kay begitu lembut dan manis, dia sudah siap mempersembahkan segala miliknya.
Tapi orang justru tidak mau menerimanya. Dikatakan bila dia akan pulang, mengharap dia suka
tinggal, sampai pun menahannya dengan kekerasan, dia pun tidak peduli lagi. Namun dia
membiarkan dirinya pergi begitu saja, kelihatannya dia licik, licin dan nakal, bejat lagi, tapi dia
membiarkannya pulang tanpa mengusik seujung rambutnya.
Di suatu malam yang lain, di bawah pancaran sinar bintang-bintang yang sama, di atas tanah
berpasir juga, dia justru bertemu dengan seorang laki-laki lain yang jauh berlainan. Sungguh mati
belum pernah terpercik dalam ingatannya bahwa Pho Ang-soat bisa melakukan perbuatan sekasar
itu. Bocah yang terlihat terasing dan sebatangkara ini, sekonyong-konyong berubah seliar dan
sebuas binatang jalang.
Sebab apakah yang membuatnya berubah begitu rupa" Bila teringat akan hal ini, hulu hati Be
Hong-ling seketika sakit seperti ditusuk jarum. Selama dibesarkan seusia sekarang, belum pernah
dia berhadapan dengan dua laki-laki yang jauh berbeda seperti ini, namun aneh juga kedua orang
ini, sama-sama sukar dapat dia lupakan, dua orang yang selama hayat di kandung badan bakal
melekat dalam sanubarinya. Dia tahu kehidupan jiwanya selanjutnya bakal ikut berubah lantaran
adanya kedua orang ini.
Tak terasa air matanya bercucuran pula.
Di atas rumah terdengar derap langkah kaki yang berat mondar-mandir kian kemari, dia tahu
itulah langkah kaki ayahnya.
Kebetulan Ban-be-tong-cu tinggal di atas kamar puterinya ini Seperti lazimnya setiap malam dia
pasti akan turun dari loteng menengok putra-putrinya, namun dua malam berturut-turut seolaholah
beliau sudah lupa sama sekali akan kebiasaan ini.
Dua hari sudah dia tidak pernah tidur, derap-derap langkah yang berat ini akan terus
berdentam sampai terang tanah baru berhenti.
Lapat-lapat Be Hong-ling mulai merasakan akan keganjilan sikap dan kerisauan hati serta
ketakutan ayahnya, kejanggalan-kejanggalan sebelum ini belum pernah dia lihat menghinggapi
ayahnya. Namun kerisauan dan ketakutan kini mulai pula merangsang sanubarinya. Ingin dia menghibur
ayahnya, demikian pula dia mengharap sang ayah bisa menghibur dirinya. Tapi Ban-be-tong-cu
seorang ayah yang disiplin dan keras, meskipun amat mencintai putrinya yang satu ini, namun
hubungan antara ayah dan putri seolah-olah selalu dibatasi oleh sesuatu jarak yang tak bisa
didekatkan. Bagaimana Sam-ik" Kenapa dua hari ini tidak menemui beliau"
Secara diam-diam Be Hong-ling turun dari pembaringan, dengan telanjang kaki, lalu dipakainya
mantel, bercermin di depan kaca membetulkan rambutnya. "Mencari Sam-ik untuk mengobrol"
Atau masuk ke kota pula untuk mencari si dia?" Sulit dia berkeputusan, dia tahu seorang diri tak
boleh berdiam lama-lama di dalam rumah. Hatinya amat gundah dan tidak tenteram.
Pada saat itulah, di keheningan suasana malam tiba-tiba didengarnya derap kaki kuda sedang
mendatangi dari peternakan di luar sana. Hanya mendengar derap langkahnya saja lantas bisa
membayangkan, kuda yang mendatangi pasti seekor kuda jempolan yang terpilih satu di antara
ribuan ekor di antaranya, maka penunggangnya tak usah disangsikan pasti seorang jagoan, dari
anak buah Ban-be-tong.
Pada tengah malam buta, jika tiada urusan genting pasti takkan ada orang yang berani
mengganggu ketenteraman ayahnya Baru saja dia mengerut kening, lantas didengarnya suara
ayahnya yang berwibawa, "Apakah sudah diketemukan?"
"Buyung Bing-cu sudah ditemukan," itulah suara Hun Cay-thian.
"Kenapa tidak digusur kemari?"
"Dia pun sudah mampus, Ce-suhu menemukan mayatnya empat li dari sini, tubuhnya tercacah
hancur oleh orang."
Sekejap hening, lalu terdengar suara lambaian baju meluncur dari jendela atas ke bawah. Tapal
kuda berderap lagi menuju keluar dan hilang ditelan malam.
Sekonyong-konyong timbul perasaan ngeri dan ketakutan luar biasa pada benak Be Hong-ling,
Buyung Bing-cu juga mati, dia pernah melihat pemuda perlente yang angkuh ini, kemarin dia
masih kelihatan begitu pongah dan sehat, malam ini ternyata sudah jadi mayat. Demikian pula
ahli-ahli kuda ayahnya, dulu waktu kecil suka mengejar dirinya menunggang kuda. Selanjutnya
giliran siapa pula yang terbunuh" Yap Kay" Hun Cay-thian" Kongsun Toan atau ayahnya" Seluruh
penghuni dalam tanah perdikan ini seolah-olah sudah dibayangi kematian. Dia merasa dirinya
sedang gemetar, cepat-cepat dia menarik pintu, dengan telanjang kaki dia berlari keluar, papan di
sepanjang serambi yang dilalui terasa dingin laksana es.
Kamar Sam-ik terletak di ujung serambi panjang ini. Pelan-pelan dia mengetuk pintu, tiada
reaksi, ketukannya lebih keras, tetap tidak mendapat jawaban. Sudah selarut ini, masakah Sam-ik
tidak berada dalam kamarnya" Terpaksa dia memutar ke belakang pintu, pekarangan sepi sunyi,
pelita dalam kamar Sam-ik sudah padam. Sinar bintang menyinari jendela kertas yang memutih
ini, dengan keras dia mendorong, daun jendela segera menjeplak terbuka. "Sam-ik!" pelan-pelan
dia memanggil ke dalam. Tetap tidak terdengar penyahutan. Ternyata kamar ini kosong
melompong tiada seorang pun, di dalam selimut yang terbentang itu berisi dua guling besar.
Angin malam terasa dingin menghembus dari pekarangan. Tak tahan lagi Be Hong-ling bergidik
merinding. Sekonyong-konyong pula disadarinya bahwa orang-orang di sekitarnya, kecuali dirinya,
semuanya mempunyai rahasia pribadi masing-masing.
Demikian pula ayahnya. Selama hidupnya ini belum pernah dia mengetahui akan pnbadi masa
silam ayahnya, selamanya dia pun tidak berani bertanya.
Waktu dia angkat kepala dengan terkejut, di ambang jendela tampak sesosok bayangan,
seorang raksasa, disusul ia dengar suara Kongsun Toan yang bengis, "Kembali ke kamarmu!"
Tak berani memandang orang, seluruh penghuni Ban-be-tong, siapa pun merasa takut dan jeri
terhadap Kongsun Toan. Dengan menarik kencang mantelnya, segera dia menerobos keluar
sambil menunduk, langsung kembali ke kamarnya, lapat-lapat didengarnya Kongsun Toan sedang
tertawa dingin di luar jendela Sam-ik.
0oo0 "Blang", daun pintu dia tarik tertutup dengan keras, jantung Be Hong-ling berdebur dengan
keras. Terdengar lari kuda di luar dibedal keluar dan menjauh, terus tak terdengar lagi. Dia
melompat ke atas pembaringan, menarik selimut terus menyembunyikan diri di dalam selimut,
badannya gemetar seperti kedinginan.
Terasa olehnya takkan lama lagi bakal terjadi suatu peristiwa besar di tempat ini, sungguh dia
tidak mau melihat peristiwa itu berkembang, dia tak mau mendengarnya juga.
"... sebetulnya aku tidak patut dilahirkan di dunia ini, aku tidak patut tumbuh di dunia fana ini
teringat akan kata-kata Pho Ang-soat, tak terasa air mata bercucuran membasahi mukanya. Tak
tahan dia bertanya pada diri sendiri, "Kenapa aku harus dilahirkan" Kenapa aku dilahirkan dalam
keluarga ini?"
Bantal Pho Ang-soat pun basah, namun dia sudah pulas dalam tidurnya. Di saat sadar dia tidak
pernah menangis, dia bersumpah sejak kini takkan gampang mengalirkan air mata. Tapi air
matanya bercucuran di tengah alam mimpinya. Karena kesadaran jiwanya yang suci baru bisa
memerangi rasa dendam hatinya, sehingga dia sadar dan bertobat bahwa tadi dirinya sudah
melakukan perbuatan terkutuk yang memalukan.
Menuntut balas, memangnya merupakan suatu tingkah-laku dari kehidupan manusia sejak
dahulu kala yang turun termurun sudah menjadi tradisi tak tertulis. Seolah-olah sama tuanya
dengan pertumbuhan manusia sejak zaman kuno. Meski perbuatan rendah seperti itu tidak patut
dipuji, namun merupakan suatu yang serius dan gagah. Akan tetapi hari ini justru dirinya sudah
menyalahi kegagahan ini.
Air matanya bercucuran di alam mimpi yang buruk, suatu mimpi yang menakutkan, terlihat
dalam impiannya itu ayah bundanya bergelimang di dalam lumpur darah, meronta-ronta di alam
bersalju, sedang berteriak-teriak kepadanya supaya dirinya menuntut balas sakit hatinya.
Sekonyong-konyong sebuah tangan yang halus dingin terjulur masuk ke dalam selimutnya,
pelan-pelan mengelus punggungnya yang telanjang. Ingin dia berjingkrak bangun, namun dua
tangan dengan hangat dan lembut menekan badannya, disusul sebuah suara merdu dan halus
berbisik di pinggir telinganya, "Kau sedang berkeringat."
Seluruh otot-otot dagingnya yang mengejang seketika mengendor seperti tanggul yang bobol
diterjang air bah, betapapun dia akhirnya datang juga.
Gelap sekali. Jendela sudah tertutup, kerai sudah tertarik, rumah gelap ini bagai sebuah
kuburan gelapnya.
Kenapa dia selalu muncul di tengah kegelapan, secara diam-diam, lalu lenyap pula di tengah
kegelapan" Dia membalik hendak duduk, tapi dia menekannya pula.
"Kau hendak apa?"
"Menyulut api."
"Tidak boleh pasang lentera."
"Kenapa" Aku tidak boleh melihatmu?"
"Tidak boleh," sahutnya sambil menurunkan badan menekan dada orang, lalu katanya pula
seperti berbisik dengan tertawa, "Tapi aku boleh berjanji kepadamu, aku bukan perempuan yang
jelek, memangnya kau sendiri tidak merasakan?"
"Kenapa aku tidak boleh melihatmu?"
"Karena kalau kau tahu siapa aku, bila di tempat lain kau melihat aku, sikapmu pasti akan
berubah, sekali-kali jangan sampai diketahui atau dilihat lain orang bila di antara kita ada
mempunyai hubungan gelap ini."
"Akan tetapi.."
"Tapi kelak pasti akan kuberi kesempatan untuk kau melihat aku, namun setelah peristiwa itu
berlalu, terserah berapa lama kelak kau ingin mengawasi aku."
Dia tidak banyak bicara lagi, sementara jari-jarinya sedang sibuk membuka kancing bajunya.
Namun perempuan itu lekas menangkap tangannya. "Jangan sembarangan bergerak."
"Kenapa?"
"Aku harus lekas-lekas pulang," sahutnya menghela napas, "Barusan sudah kukatakan, aku
tidak akan membiarkan orang lain tahu akan hubungan rahasia kita ini."
Pho Ang-soat menyeringai dingin dalam kegelapan.
Agaknya perempuan itu cukup tahu, dalam keadaan seperti ini bila keinginan laki-laki dicegah
atau ditolak, betapapun orang akan marah atau naik pitam.
"Di sini aku sudah tahan menderita hidup selama delapan belas tahu, bertahan terus kau pun
takkan bisa membayangkan derita yang kualami, kenapa aku harus bertahan, apa tujuanku?"
Suara perempuan itu menjadi serius dan kereng, "Tujuanku hanya untuk menunggu kau,
menunggu kau menuntut balas. Selama hidupku ini memangnya hanya kuperuntukan pembalasan
ini, belum pernah kulupakan, maka kau pun tak boleh lupa."
Tiba-tiba sekujur badan Pho Ang-soat serasa dingin kaku, keringat dingin membasahi kasur dan
selimut. Memangnya dia kemari bukan untuk bersenang-senang. Bahwa perempuan ini sudi
menyerahkan miliknya kepadanya, tujuannya hanya untuk menuntut balas.
"Tentunya kau tahu betapa menakutkan orang seperti Be Khong-cun itu, ditambah anak buah
yang membantunya," sampai di sini dia menghela napas, lalu menyambung, "Jika sekali gempur
kita tidak berhasil melumpuhkan dia, kelak mungkin selamanya takkan ada kesempatan lagi."
"Kongsun Toan, Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian, gabungan kekuatan mereka bertiga tidak
perlu dibuat takut."
"Bukan mereka yang kumaksud, Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian hakikatnya tidak ikut
campur atau tahu seluk-beluk peristiwa itu."
"Memangnya siapa yang kau maksudkan?"
"Sementara orang yang tidak berani unjuk diri, sampai detik ini aku belum berhasil menyelidiki
siapa mereka sebenarnya."
"Mungkin hakikatnya tiada orang-orang lain itu."
"Betapapun gagah perkasa ayah dan pamanmu kedua, hanya mengandal Be Khong-cun dan
Kongsun Toan berdua, masakah berani, mengganggu usik seujung rambut mereka" Apalagi istri
mereka adalah ksatria jantan pula di antara kaum hawa sampai di sini suaranya kedengaran
tersendat. Pho Ang-soat sendiri tak mampu bersuara juga, lama juga baru dia melanjutkan, "Sejak
ayahmu meninggal secara mengenaskan, orang-orang Kangouw memangnya amat curiga, tokoh
silat mana yang mampu membunuh kedua pasang suami isteri perkasa tiada bandingannya di
kolong langit ini?"
"Sudah tentu tiada orang bakal mengira bila Be Khong-cun manusia berhati serigala itu yang
melakukannya," suaranya mengandung kemarahan dan dendam. "Akan tetapi kecuali Be Khongcun
dan Kongsun Toan, pasti masih ada orang lain pula, kedatanganku kemari tujuan utama
adalah menyelidiki rahasia ini, sayang sekali selama ini belum pernah aku memergoki dia ada
hubungan dengan tokoh silat kosen dari dunia Kangouw, sudah tentu dia sendiri pun tutup mulut
serapat sumbat botol, selamanya tidak pernah menyinggung peristiwa itu."
"Tujuh delapan tahun penyelidikanmu sia-sia, memangnya sekarang kita lantas bisa berhasil
menyelidiki latar belakang peristiwa itu."
"Sekarang paling tidak kita sudah mendapatkan kesempatan."
"Kesempatan apa?"
"Sekarang ada orang yang sedang mengancam dia, bila dia sudah terancam dan terdesak
sehingga menemui jalan buntu, sudah tentu dia akan menuntun orang-orang di belakang layar
itu." "Siapa saja yang sedang mengancam dirinya?"
Tidak menjawab dia malah berbalik bertanya, "Kemarin malam, tiga belas orang itu apakah
bunuh diri?"
"Bukan?"
"Lalu kematian kuda itu?"
"Bukan aku yang membunuhnya!"
"Kalau bukan kau, lalu siapa?" "Memangnya aku pun sedang heran."
"Kau tak bisa menebaknya?"
"Yap Kay maksudmu?"
"Orang ini memang serba misterius, kedatangannya di sini tentu mempunyai sesuatu tujuan,
tetapi jelas bukan dia yang membunuh orang-orang dan kuda-kuda itu."
"O" Bukan dia?"
"Aku tahu kemarin malam dia berada bersama siapa."
Untung rumah itu amat gelap, tiada yang tahu akan mimik muka Pho Ang-soat, mimik mukanya
amat aneh. Pada saat itulah terdengar genting di atas kamar mereka berbunyi "Tak". Seketika berubah air
muka si perempuan, katanya dengan nada berat, "Kau tetap di sini, jangan kau mengeluyur
keluar." Habis kata-katanya dia dorong daun jendela terus menerobos keluar.
Pho Ang-soat melihat sesosok bayangan langsing secara remang-remang, lekas sekali orang
sudah menghilang.
Empat orang sudah mabuk dan tak sadarkan diri, keempat orang ini adalah ahli-ahli mengurus
kuda dari Ban-be-tong yang sudah berusia lanjut. Biasanya mereka memang sering mabuk, namun
entah kenapa hari ini mereka justru jatuh pulas lebih cepat dari biasanva
Menghadapi tiga belas kawan mereka yang setia mendadak mati dengan begitu mengenaskan,
menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengerikan ini terjadi dan berlangsung secara bertubi-tubi,
betapa mereka takkan lekas mabuk"
Waktu orang keempat terjungkal roboh, kebetulan Yap Kay tengah menenteng pakaiannya,
menyelinap masuk dari daun pintu sebelah belakang. Sejak tadi dia sudah berada di sini, barusan
dia pergi ke kakus untuk buang air, bila arak terlalu banyak masuk perut, dengan sendirinya orang
akan lebih sering kencing, cuma kali ini waktu dia keluar untuk kencing, keluarnya terasa sedikit
lama. Baru saja dia masuk, Siau Piat-li segera memberi kedipan isyarat kepadanya, dia langsung
menghampiri. Senyuman Siau Piat-li seolah-olah mengandung arti yang mendalam, katanya
tersenyum, "Ada orang minta kepadaku untuk menyampaikan sesuatu barang kepadamu."
"Cui-long maksudmu?" berkedip-kedip mata Yap Kay
Siau Piat-li pun mengedip mata, katanya, "Apakah selamanya kau ini pintar?"
"Sayang sekali setiap berhadapan dengan perempuan yang kusukai, aku ini menjadi pikun" Lalu
dari tangan Siau Piat-li dia menerima sebuah lempitan kertas yang dibikin model jantung, kertas
warna biru muda itu ada sebaris tulisan yang berbunyi: "Adakah kau berikan kembang mutiara
kepada orang lain?".
Yap Kay memegangi kembang mutiara di depan dadanya, seolah-olah dia sudah jadi linglung.
Mengawasi pemuda di depannya ini, tiba-tiba Siau Piat-li menghela napas, ujarnya, "Jika aku
dua puluh tahun lebih muda dari usiaku sekarang, pasti aku ajak kau berkelahi."
Yap Kay tertawa pula, katanya, "Peduli berapa usiamu, yakin kau bukan laki-laki yang mau
berkelahi lantaran seorang perempuan "
"Agaknya kau keliru menilai diriku."
"O" Masa?"
"Tahukah kau bagaimana kedua kakiku ini sampai putus?"
"Karena perempuan?"


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Piat-li tertawa getir, ujarnya, "Setelah aku tahu bahwa perempuan itu tidak lebih hanya
seekor anjing betina, namun sudah terlambat." Kembali dia tertawa lebar, katanya, "Tapi si 'dia'
itu pasti bukan perempuan seperti yang kulukiskan barusan, dia jauh lebih bersih, lebih suci dari
perempuan mana pun yang pernah kulihat, meskipun dia berada di tempatku, namun selamanya
belum pernah dia menjual diri sendiri."
"Memangnya apakah yang dia jajakan?"
"Yang dia jajakan adalah ciri laki-laki yang tak bisa membelinya namun semakin besar
hasratnya untuk membelinya."
^?""^
Kalau kau dorong daun pintu kedua, kau akan memasuki sebuah lorong jalanan, jalanan yang
lebar, kedua sisinya berderet meja dan kursi. Pada ujung lorong terdapat sebuah pintu pula. Kalau
kau ketuk dan pintu tidak terbuka, maka kau harus menunggu di lorong jalanan lebar ini.
Yap Kay sedang mengetuk pintu. Lama juga baru dari balik pintu ada penyahutan, "Siapa yang
mengetuk pintu?"
"Seorang tamu," sahut Yap Kay.
"Hari ini Siocia tidak menerima tamu."
"Bagaimana kalau tamu yang bisa menendang pintu sampai roboh" Mau diterima tidak?" ujar
Yap Kay melucu.
Terdengar tawa cekikikan semerdu kelintingan di balik pintu, katanya, "Pasti Yap-kongcu yang
datang." Seorang gadis bermata besar jeli dengan tersenyum lebar membuka pintu, serunya
"Ternyata benar Yap-kongcu adanya."
"Tamu yang bisa menendang pintu sampai pecah di sini apa hanya aku seorang?" tanya Yap
Kay tertawa. Nona cilik ini mengerling mata, sahutnya dengan nakal, "Masih ada satu lagi."
"Siapa?"
"Keledai yang mendorong gilingan!"
BAB 11. BISIKAN DI TENGAH MALAM
Dalam pekarangan kecil ini tertanam beberapa kelompok bambu kuning yang tersebar di sanasini,
kembang kuning kecil tumbuh subur di pojokan sana.
Kerai bambu sudah tergulung ke atas, seorang bidadari beralis lentik tak berpupur tak memakai
gincu, dengan bertopang dagu sedang duduk di depan jendela mengawasi kedatangannya dengan
mendelong. Raut mukanya mungkin tidak terhitung amat cantik, namun dia memiliki sepasang
mata yang seolah-olah bisa bicara, serta mulut berbibir tipis yang pandai berkicau.
Meski dia duduk tenang-tenang di tempatnya, secara wajar sudah menampilkan gaya dan
wibawa agung yang memabukkan laki-laki, jauh berlainan dengan kebanyakan perempuan yang
sering kalian lihat. Seorang perempuan demikian, terhadap laki-laki siapa pun pasti sudah cukup
berlebihan. Untuk memperoleh kerlingan manisnya saja banyak laki-laki yang datang kemari, mereka akan
pura-pura menjadi seorang laki-laki sejati, seorang sosiawan, seorang laki-laki sejati yang
mempunyai uang banyak dan berpendidikan.
Tapi begitu mendorong pintu Yap Kay langsung masuk ke dalam, langsung merebahkan diri di
atas ranjangnya, sepatu tingginya pun tidak dicopot lagi, maka tampak dua lubang besar di dasar
sepatunya. Bertaut alis lentik Cui-long, katanya, "Apa kau tidak bisa membeli sepatu baru?"
"Tak bisa!"
"Tidak bisa?"
"Karena sepatu ini bisa melindungi aku."
"Melindungi kau?"
Yap Kay mengangkat sepatunya, menuding lubang di sepatunya, katanya, "Kau sudah melihat
kedua lubang ini" Dia bisa menggigit orang, siapa-siapa bila tak sungkan padaku, dia akan bisa
menggigitnya."
Cui-long tertawa, berdiri dan segera datang menghampiri, katanya tertawa, "Aku jadi ingin tahu
apakah dia bisa menggigit aku."
Kontan Yap Kay menariknya sambil berkata, "Dia tidak berani menggigit kau, tapi aku berani."
Cui-long menjerit lirih, dengan aleman dia sudah rebah dalam pelukan Yap Kay.
Pintu tidak tertutup, andaikata tertutup, adegan romantis pun takkan bisa terbendung di dalam
rumah. Dengan muka merah nona kecil itu berlari menyingkir, namun dalam hati, besar hasratnya
untuk mengintip secara diam-diam.
Burung kenari di emperan agaknya terkejut, segera dia berkicau merdu tak henti-hentinya.
Di atas wuwungan rumah yang gelap itu, mendekam sesosok bayangan orang, sinar bintangbintang
yang remang-remang menerangi potongan badannya yang ramping, kepalanya
mengenakan cadar menutupi mukanya. Dia sedang menguntit seseorang hingga tiba di tempat ini,
jelas sekali dia melihat bayangan orang itu berkelebat di atap rumah yang mi
Namun begitu dia mengejar sampai di sini, bayangan orang itu sudah menghilang.
Dia tahu tempat apa di sebelah sana, namun dia tidak berani turun, tempat ini tidak akan
menyambut kedatangan perempuan.
"Siapakah dia" Kenapa dia mencuri dengar pembicaraan kami di atas rumah" Lalu apakah yang
sudah didengarnya?"
Kalau ada orang bisa melihat mukanya, pasti dengan jelas melihat mukanya yang diliputi gugup
dan ketakutan. Sekali-kali rahasia dirinya tidak boleh diketahui orang lain, ini merupakan
pantangan. Sejenak ia ragu-ragu, akhirnya dia mengertak gigi melompat turun. Dia berkeputusan
untuk menyerempet bahaya.
Selama hidupnya ini, dia sudah sering melihat berbagai mimik muka laki-laki yang beraneka
ragamnya, namun hanya Thian yang tahu, bila seorang laki-laki melihat perempuan memasuki
sebuah sarang pelacuran, bagaimana mimik mukanya saat itu.
Mata semua orang terkesima, seolah-olah mendadak melihat seekor kambing masuk ke dalam
sarang serigala. Bagi seekor serigala, bukan saja kedatangan kambing ini merupakan tantangan,
malah boleh dikata suatu penghinaan.
Hanya Tuhan yang tahu perempuan yang kesetanan ini untuk apa masuk ke tempat ini, akan
tetapi perempuan ini sungguh cantik luar biasa.
Seorang laki-laki jagal yang setengah mabuk matanya melotot bundar. Orang ini datang dari
luar daerah kemari untuk membeli kambing, dia tidak kenal siapa perempuan ini, dia pun tidak
tahu perempuan macam apakah perempuan ayu ini. Yang terang perempuan di dalam rumah ini
pasti adalah pelacur, umpama bukan pelacur pastilah kira-kira setingkat dengan itu.
Dengan sempoyongan segera dia berdiri dan maju menghampiri.
Tapi orang yang duduk di sebelahnya segera menariknya. "Jangan perempuan ini." "Kenapa?"
"Dia sudah punya keluarga."
"Keluarga siapa dia?"
"Ban-be-tong!"
Tiga huruf nama ini seolah-olah mempunyai tenaga gaib, bola yang baru saja melembung
seketika menjadi kempes lagi.
Sam-ik melangkah masuk, mukanya mengulum senyum manis, pura-pura tidak mendengar dan
tidak menghiraukan bisik-bisik orang lain. Sebetulnya tidak bisa tidak dia harus mendengarkan.
Ada sementara laki-laki yang menatap dirinya, warna matanya seolah-olah sedang melihat dirinya
mondar-mandir di hadapannya dengan telanjang bulat.
Untunglah Siau Piat-li segera menyapa dia, "Sim Sam-nio untuk apa kau kemari" Sungguh
merupakan tamu agung!"
Langsung dia menghampiri ke sana, katanya tersenyum, "Siau-sianseng tidak menyambut
kedatanganku?"
Dengan tersenyum Siau Piat-li menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali aku tidak bisa berdiri
menyambut kedatanganmu."
"Aku kemari mencari orang."
"Mencari aku?"
"Kalau aku hendak mencari kau, tentu datang di saat tiada orang di
sini." "Aku pasti menunggumu, yang terang aku tidak perlu takut orang mengurungi kedua kakiku
lagi." Keduanya sama-sama tertawa. Keduanya sama-sama maklum masing-masing adalah rase tua
yang licin dan licik
"Cui-long ada tidak?"
"Ada, kau hendak mencari dia?"
"Ehm!"
Siau Piat-li menghela napas pula, ujarnya, "Kenapa laki atau perempuan ingin menemui dia?"
"Aku tidak bisa tidur, ingin mengajak ngobrol dia."
"Sayang sekali kau terlambat setindak."
Bertaut alis Sim Sam-nio, katanya, "Memangnya di dalam kamarnya malam-malam begini juga
ditempati tamu?"
"Kali ini seorang tamu yang istimewa."
"Apanya yang istimewa?"
"Istimewa karena dia rudin."
"Tamu yang terlalu rudin, masakah kau pun membiarkan dia masuk?"
"Sebenarnya ingin aku memperingati dia, sayang sekali berkelahi aku bukan tandingannya, lari
pun kalah cepat."
"Kau tidak membohongi aku?"
"Berapa orang yang bisa membohongi kau di dunia ini?"
"Siapakah orang yang kau maksud itu?"
"Yap Kay."
"Yap Kay?"
"Sudah tentu kau tidak akan mengenalnya, walaupun dia baru dua hari datang kemari, orang
yang mengenalnya sudah tidak sedikit jumlahnya."
Senyum Sim Sam-nio masih begitu manis menggiurkan, namun sorot matanya sudah
menampilkan hawa nafsu yang runcing tajam. Namun cepat sekali kelopak matanya yang
memicing melebar pula. Dilihatnya seseorang, "Blang", mendorong pintu dengan kasar, dengan
langkah lebar masuk ke rumah itu. Seorang raksasa bagai gembong iblis yang garang.
Dengan memegangi gagang goloknya Kongsun Toan berdiri di ambang pintu, mimik marah dan
seringai mukanya yang bengis sungguh cukup membuat orang yang bernyali kecil berhenti
napasnya. Demikianlah napas Sim Sam-nio serasa sudah berhenti.
Siau Piat-li menghela napas, ujarnya, "Orang yang harus datang tiada satu pun yang muncul,
orang yang tidak harus kemari justru datang semua."
Dipunggutnya selembar kartu gadingnya, lalu pelan-pelan diraba-raba serta diletakkan kembali
di atas meja, katanya pula sambil geleng-geleng kepala, "Agaknya besok pasti ada hujan badai,
kalau tiada urusan lebih baik jangan keluar pintu."
Kongsun Toan tiba-tiba menghardik keras, "Kemari kau!"
Laki-laki jagal itu tiba-tiba berjingkrak bangun, teman di sebelahnya tak sempat menariknya,
tahu-tahu orang sudah menerjang ke depan Kongsun Toan, katanya keras sambil menuding
hidung Kongsun Toan, "Bicara terhadap perempuan mana boleh sekasar tampangmu ini, awas kau
Belum habis bicara, tiba-tiba tangan Kongsun Toan melayang menggampar mukanya.
Perawakan si jagal ini cukup tinggi besar dan kekar lagi, namun badannya yang beratnya
ratusan kati itu ternyata terlempar terbang oleh tempelengan sekali saja, melampaui dua meja,
"Blum!", dengan keras menumbuk dinding.
Waktu badannya melorot jatuh, mulutnya berdarah, kepala pun bocor, darah bercucuran
Melirik pun Kongsun Toan tidak memandang kepadanya, matanya tetap melotot kepada Sim
Sam-nio, bentaknya bengis, "Kemari!"
Kali ini Sim Sam-nio tidak bersuara lagi, sambil menunduk dia melangkah maju.
Kongsun Toan tidak banyak bicara lagi, "Blak", dia mendorong pintu hingga terbuka, katanya,
"Ikut aku keluar!"
Kongsun Toan berjalan di depan, Sim Sam-nio mengikut di belakang. Langkahnya sungguh
amat lebar, sedapat mungkin Sim Sam-nio mempercepat langkahnya baru bisa mengintil di
belakangnya, gerakan Ginkang sekali lompat tiga tombak jauhnya tadi, kini sudah dilupakannya
sama sekali. Malam sudah semakin larut Lumpur becek di jalan raya belum kering, setiap tapak berjalan
pasti meninggalkan jejak lubang yang cukup dalam. Angin menghembus dari arah padang rumput,
dingin sekali. Dengan langkah lebar Kongsun Toan menuju ke ujung jalan tanpa menoleh, mendadak dia
buka suara, "Untuk apa kau keluar?"
Pucat muka Sim Sam-nio, katanya, "Aku toh bukan tawanan, sembarang waktu aku ingin keluar
pun boleh."
"Kutanya kau," seru Kongsun Toan kata demi kata, "untuk apa kau keluar?" Suaranya kalem,
namun setiap patah katanya membawa tekanan berat, buas dan diliputi nafsu membunuh.
Sim Sam-nio menggigit bibir, akhirnya dia menunduk dan menjawab, "Aku keluar ingin mencari
orang." "Mencari siapa?"
"Memangnya peduli apa dengan kau?"
"Urusan Be Khong-cun adalah urusan Kongsun Toan pula, tiada orang yang boleh mengingkari
dia." "Kapan aku pernah mengingkari dia?"
"Barusan!" hardik Kongsun Toan bengis.
"Kalau hanya ingin mengobrol dengan perempuan terhitung mengingkari dia, jangan kau lupa
aku inipun seorang perempuan, sudah biasa perempuan suka mengobrol dengan perempuan."
"Siapa yang kau cari?"
"Nona Cui-long!"
"Itu bukan perempuan, dia itu pelacur!"
"Pelacur" Kau pernah melacuri dia" Kau ingin melacuri dia?"
Mendadak Kongsun Toan membalik badan, sekali melayangkan kepalannya yang gede dia
hantam perut orang.
Sim Sam-nio tidak berkelit, juga tidak melawan. Mulutnya mengeluarkan suara seperti babi
disembelih, seketika badannya meliuk sambil sempoyongan mundur tujuh delapan langkah,
akhirnya jatuh terduduk di tanah, mulut seketika muntah-muntah, air kecut dalam perutnya pun
tumpah keluar Kongsun Toan memburu maju, sekali raih dia jambak rambut orang terus dijinjingnya serta
membentak beringas, "Aku pun tahu kau inipun pelacur, tapi kau pelacur ini sekarang sudah tidak
bisa menjajakan diri lagi."
Sim Sam-nio mengertak gigi, sedapat mungkin dia menahan diri, namun air matanya tak
tertahan telah bercucuran, katanya gemetar, "Kau ...apa yang kau inginkan?"
"Pertanyaan yang kuajukan, harus kau jawab dengan baik, tahu tidak?"
Sim Sam-nio mengertak gigi tanpa menjawab. Telapak tangan Kongsun Toan segede kapak
segera menabas ke pinggangnya. Seketika badan Sim Sam-nio seperti hampir mengkeret
meringkuk kesakitan, air mata bercucuran lebih deras.
"Kau tahu tidak?" hardik Kongsun Toan.
Terpaksa dengan badan bergetar Sim Sam-nio manggut-manggut
"Jam berapa kau keluar?"
"Baru saja."
"Langsung kemari?"
"Kau sudah bertemu dengan pelacur itu?"
"Belum."
"Kenapa belum?"
"Dia sedang terima tamu."
"Kau tidak mencari orang lain" Tidak pergi ke lain tempat?"
"Tidak."
"Tidak?" kembali kepalannya menghajar dengan keras, mengenai daging mengeluarkan suara
yang aneh, agaknya dia senang mendengar suara seperti ini.
Tak tahan Sim Sam-nio berteriak, "Betul-betul tidak, betul-betul tidak" Kongsun Toan
menatapnya dengan beringas, kepalannya terkepal. Mendadak Sim Sam-nio menubruk maju,
dengan kencang dia memeluknya, serunya dengan sesenggukan keras, "Jika kau suka
memukulku, pukullah aku sampai mati... bunuhlah aku saja." Dengan kedua tangannya dia
memeluk leher orang, sementara kedua kakinya memiting pinggangnya.
Seketika timbul suatu perubahan pada badan Kongsun Toan, dia sendiri sudah merasakan akan
perubahan ini. Dengan merebahkan kepala di atas pundaknya, Sim Sam-nio sesenggukan lebih memilukan,
ratapnya, "Aku tahu kau suka memukulku, pukullah, pukullah!"
Badannya bergerak-gerak dengan aneh dan merangsang, demikian pula kedua kaki dan
pantatnya ikut bergoyang-goyang.
Kemarahan yang memancar dari sorot mata Kongsun Toan kini sudah berubah menjadi nafsu
birahi, jari-jari yang terkepal kencang pun mulai mengendor. Deru napas orang tepat berada di
pinggir kupingnya, di atas
Napasnya mendadak menderu-deru kasar seperti banteng kehabisan tenaga
Ini Sam-nio merintih dan mengigau, "Kau bunuh aku pun tak menjadi soal, yang terang aku
tidak akan memberitahu kepada orang lain "
Kongsun Toan sudah mulai gemetar. Siapa pun takkan percaya laki-laki inipun bisa gemetar.
Siapa pun takkan bisa membayangkan manusia segede dan sekekar ini macam apa tampangnya
bila dia gemetar menahan emosi.
Jika kau kebetulan bisa menyaksikan, pasti kau tidak akan merasa tak mungkin malah akan
merasa takut, takut sekali. Kini mimik mukanya pun tengah menampilkan derita, karena dia tahu
dirinya harus menahan keinginan dan nafsu yang menyala-nyala ini. Lalu dia melayangkan lagi
kepalannya memukul perut orang, seketika badan Sim Sam-nio mengejang dan kelojotan, tangan
terlepas, kaki pun lemas jatuh ke tanah berlumpur, badannya meringkuk seperti cacing.
Kini tangan Kongsun Toan terkepal lagi, dengan melotot menyeramkan, tiba-tiba dia meludah
ke muka orang, lalu melangkah lewat badan orang, mencari kudanya. Bukan perempuan ini yang
dia benci, dia ingat dirinya sendiri, gegetun kenapa dia harus menolak tawaran menantang ini,
kenapa pula dirinya tidak berani menerimanya"
Kini Sam-nio sudah menyeka air mata. Pukulan tangan Kongsun Toan laksana tanduk sapi,
tempat dimana terkena pukulan, dagingnya sakit mencapai tulang sumsum, sebelum besok pagi,
tempat-tempat bekas pukulan itu pasti akan menghijau besar.
Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak merasa marah, penasaran dan mengeluh karena sekarang
dia sudah tahu Kongsun Toan sekali-kali tidak akan membocorkan kejadian ini kepada siapa pun,
dia tidak ingin Ban-be-tong cu mengetahui bila di waktu malam dirinya pernah keluyuran di luar.
Kini yang tahu rahasia dirinya tinggal seorang lagi, orang yang mencuri dengar di atas rumah itu.
Apakah Yap Kay" Dia mengharap semoga orang itu bukan Yap Kay. Karena seseorang yang
dirinya sendiri mempunyai rahasia, biasanya takkan membocorkan rahasia orang lain. Sekarang
dia yakin dirinya punya pegangan buat menghadapi Yap Kay.


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa benar kau ini Yap Kay?"
"Apa tidak boleh bila aku ini Yap Kay?"
"Tapi orang macam apakah sebenarnya Yap Kay itu?"
"Seorang laki-laki amat miskin namun juga pandai terutama menghadapi perempuan
mempunyai caranya sendiri."
"Berapa banyak perempuan yang pernah kau miliki?"
"Coba kau terka?"
"Perempuan-perempuan macam apa saja mereka itu?"
"Semua bukan perempuan baik-baik, tapi terhadapku cukup baik."
"Dimana saja mereka berada?"
"Dimana saja ada, selama hidup aku paling takut naik ke ranjang tidur seorang diri, mirip sekali
bila mau main catur seorang diri."
"Tiada orang yang mengurus kau?"
"Aku sendiri tidak bisa mengurus diriku."
"Di rumah kau tidak punya sanak-kadang lainnya?"
"Rumah pun aku tidak punya."
"Lalu darimana kau kemari?"
"Dari tempat aku kemari."
"Mau ke tempat yang hendak kau tuju?"
"Baru sekarang ucapanmu benar."
"Selamanya kau tidak pernah membicarakan kisah hidupmu masa lalu dengan orang?"
"Selamanya tidak."
"Apakah kau mempunyai banyak rahasia yang tak ingin orang tahu?"
Yap Kay duduk di sampingnya, mengawasinya, di bawah pancaran sinar pelita yang remangremang
kelihatan rada pucat dan letih. Tapi matanya masih terpentang lebar. Tiba-tiba dia
berkata, "Aku hanya punya satu rahasia."
Semakin membelalak biji mata Cui-long, tanyanya, "Rahasia apa?"
"Aku ini siluman rase tua yang sudah bertapa menjadi manusia hidup selama sembilan ribu
tujuh ratus tahun." Lalu dia melompat turun dari pembaringan, memakai sepatunya dan
mengenakan pakaian terus melangkah keluar.
Cui-long menggigit bibir, diam saja mengawasi orang keluar, mendadak sekeras-kerasnya dia
pukuli bantal di sampingnya, seolah-olah dia mengharap bantal ini adalah Yap Kay.
*** BAB 12. AHLI SENJATA RAHASIA
Pekarangan kecil ini sepi lengang tak terdengar suara apa pun, loteng kecil di bagian belakang
itu ada cahaya api yang menyala keluar.
Siau Piat-li sudah naik ke loteng" Apa saja yang dia dapat kerjakan bila berada di atas loteng
sekecil itu" Apakah di atas loteng juga ada kartu untuk meramal" Ataukah ada perempuan yang
dia rahasiakan"
Sejak mula Yap Kay sudah merasakan seorang misterius yang menarik perhatiannya, pada saat
itulah tiba-tiba muncul tiga bayangan orang di atas kertas jendela.
Tiga orang. Baru saja mereka berdiri, bayangan mereka segera lenyap tersorot oleh cahaya api. Bagaimana
mungkin ada tiga orang di atas loteng kecil itu" Siapakah dua orang yang lain"
Berkilat sorot mata Yap Kay, sungguh tak kuasa dia kendalikan rasa ingin tahunya. Jarak
pekarangan dan loteng itu tidak jauh, setelah mengencangkan pakaiannya, segera dia melejit
terbang ke arah sana.
Bangunan loteng ini model persegi, dikelilingi pagar kayu, bentuk bangunannya mirip dengan
gardu pemandangan, dengan ringan ujung kakinya menutup pagar, badannya terus bergelantung
di emperan loteng. Kebetulan daun jendela yang teratas sedikit terpentang, dari sini bisa
mengintip ke dalam, kebetulan dapat dilihatnya di dalam rumah tepat di tengah-tengah terdapat
sebuah meja bundar. Di atas meja tersedia hidangan dan arak.
Dua orang sedang minum arak duduk berhadapan, yang menghadap kemari adalah Siau Piat-li.
Di hadapannya duduk seorang yang mengenakan pakaian perlente, jari-jari tangannya yang
sedang mengangkat sumpit mengenakan tiga buah cincin yang bentuk masing-masing amat aneh.
Kelihatannya mirip tiga buah bintang. Orang ini ternyata adalah seorang bungkuk.
Sinar api dalam rumah tidak begitu terang, namun hidangan dan araknya justru masakan yang
paling mahal dan lezat.
Si bungkuk dengan pakaian perlente tengah mengangkat cangkir araknya dengan jari-jari
tangan yang bercincin aneh itu. Cangkirnya bening hijau dan kemilau, ternyata buatan batu
pualam yang terukir indah.
Siau Piat-li sedang tertawa, katanya, "Bagaimana arak ini?"
"Araknya biasa, cangkir ini masih mending," agaknya si bungkuk ini jauh lebih pintar berfoyafoya
dibanding Siau Piat-li.
"Aku memang tahu kau sukar dilayani, maka sengaja kutitip orang untuk membeli anggur
Persia asli ini dari selatan, tak nyana hanya mendapat pujian 'biasa' dari kau."
"Anggur Persia ada beberapa macam kwalitas, yang ini memang yang paling biasa."
"Kenapa kau sendiri tidak mau membawa yang paling baik."
"Sebetulnya sudah kusiapkan, sayang sebelum aku berangkat terjadi sesuatu sehingga
keberangkatanku terburu-buru dan lupa membawanya."
Naga-naganya mereka memang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan di sini.
Yap Kay semakin tertarik, karena sekarang dia tahu si bungkuk ini adalah Kim-pwe-tho-liong
(naga bungkuk berpunggung emas) Ting Kiu adanya.
Siapa pun takkan menyangka Kim-pwe-tho-liong ternyata menyembunyikan dirinya di sini"
Apalagi sudah berjanji lebih dulu dengan Siau Piat-li. Kenapa dia membawa peti-peti mati itu"
Apakah dia ada intrik dengan Siau Piat-li untuk menghadapi Ban-be-tong-cu"
Diam-diam Yap Kay mengharap Siau Piat-li bertanya kepada Ting Kiu, apakah sebenarnya yang
terjadi sebelum dia pergi" Tapi Siau Piat-li justru mengalihkan pokok pembicaraannya, katanya,
"Waktu datangmu kali ini adakah di tengah jalan kau bertemu dengan perempuan yang amat
yahud?" "Tidak, belakangan ini perempuan yang betul-betul yahud, seolah-olah sudah semakin jarang."
"Kemungkinan lantaran sekarang kau sudah mulai bosan bermain dengan perempuan."
"Kabarnya di tempatmu ini ada perempuan yang hebat."
"Bukan saja hebat, boleh dikata malah dahsyat."
"Kenapa tidak kau undang dia kemari untuk menemani kita makan minum?"
"Dalam dua hari ini tidak boleh."
"Kenapa?"
"Dalam dua hari ini dalam benaknya sudah ada orang lain."
"Siapa?"
"Laki-laki yang mendapat perempuan seperti dia pasti akan tergerak dan tertarik, tentulah
mempunyai kepandaian yang lain dari yang lain."
Ting Kiu manggut-manggut. Biasanya dia jarang mau menyetujui komentar seseorang, namun
kali ini berlainan.
Tiba-tiba Siau Piat-li seperti tertawa geli, ujarnya "Tapi ada kalanya orang ini justru seperti
orang goblok."
"Goblok?"
"Habis bisa tidur bergumul dalam selimut yang wangi dan hangat dia tidak mau, malah senang
bersembunyi di luar terima dihembus angin malam."
Semula hati Yap Kay amat senang karena dirinya dipuji-puji. Memangnya laki-laki siapa pun bila
mendengar orang lain sedang memperbincangkan kehebatan dirinya dalam bermain perempuan,
hatinya tentu amat bangga dan syur. Akan tetapi kata-kata Siau Piat-li selanjutnya sungguh
membuat perasaannya sangat tidak enak. Mendadak dia merasa dirinya memangnya seperti
maling kecil yang baru saja ditendang keluar dari atas ranjang oleh orang.
Sementara Siau Piat-li sudah berpaling keluar ke tempat persembunyiannya, mukanya tengah
berseri tawa mengawasi daun jendela dimana dia bersembunyi.
Tangan Ting Kiu yang mengenakan cincin aneh itu sudah meletakkan cangkir di atas meja,
gaya dan gerakan tangannya itu amat aneh. Dia pun berpaling seraya berkata dengan tergelakgelak,
"Tuan rumah enak-enak minum arak di dalam, masakah membiarkan tamunya minum angin
di luar, tuan rumahnya memang kurang genah."
Terpaksa Yap Kay membuka jendela dan melayang masuk.
Waktu di luar pekarangan tadi, Yap Kay melihat tiga bayangan orang, lalu dimana bayangan
orang ketiga itu" Segala perabot dalam loteng kecil ini amat sederhana, terang tak mungkin ada
tempat buat bersembunyi. Maklumlah di tempat sempit ini, segala keperluan diletakkan di tempattempat
yang strategis sehingga sembarang waktu asal kau menggerakkan tangan bisa
menjamahnya dengan mudah.
Dari atas rak kayu di sebelahnya Siau Piat-li mengambil sebuah cangkir yang terbuat dari batu
jade buatan zaman dinasti Han, katanya sambil tersenyum, "Aku ini orang malas, orang cacad lagi,
kalau tiada keinginan tidak ingin bergerak."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Kalau orang malas seperti kau terlalu banyak di dunia ini,
kehidupan dunia pasti jauh lebih nyaman."
"Karena komentarmu ini, kau cukup setimpal untuk mencicipi arak anggur buatan Persia ini."
"Sayang sekali arak ini adalah kwalitas yang paling biasa," lalu Yap ay angkat cangkir itu ke
arah Ting Kiu, katanya lebih lanjut, "Tempo hari aku sudah bertemu dengan Ting-siansing, maaf
kalau aku kurang adat."
Ting Kiu membesi muka, katanya dingin, "Kau tidak kurang adat, juga tidak usah minta maaf
segala." Berkata pula Yap Kay, "Namun terhadap laki-laki vang amat paham mengenai seluk-beluk arak
dan perempuan, selalu menaruh hormat dan salut."
Muka Ting Kiu yang pucat buruk itu mendadak berubah senang, katanya, "Siau-lopan barusan
hanya salah mengucapkan kata-katanya."
"O, kata-kata apa?" tanya Yap Kay.
"Bukan saja kau pintar main perempuan, terhadap laki-laki kau pun pintar bermanis-manis
mulut." "Itupun tergantung apakah dia itu benar-benar seorang lelaki, belakangan ini laki-laki yang
benar-benar sejati sudah banyak berkurang."
Tak terasa Ting Kiu tertawa geli. Laki-laki yang buruk rupa akan selalu merasa dirinya jauh
lebih punya pambek sebagai laki-laki sejati dari anak muda yang ganteng, demikian pula bagi
perempuan buruk yang selalu merasa dirinya lebih pintar dari perempuan cantik lainnya.
Baru sekarang Yap Kay berkesempatan menenggak habis arak dalam cangkirnya!
Suasana pertemuan tiga pihak kini mulai mengendor dan riang, dia tahu ucapan muluk-muluk
yang perlu dia utarakan sudah lebih dari cukup. Lalu apa pula yang harus dia ucapkan"
Pelan-pelan Yap Kay menduduki kursi yang tinggal satu, memangnya di sini tadi tempat duduk
orang ketiga itu. Cara bagaimana baru dia bisa mencari tahu orang ini" Dengan cara apa pula baru
dia bisa mengorek keterangan rahasia mereka" Bukan saja dia memerlukan suatu pertanyaan
yang lihai dengan cara diplomasi, malah pertanyaan inipun tidak boleh meninggalkan bekas-bekas
yang mencurigakan.
Di saat Yap Kay menepekur dan menimbang-nimbang, tiba-tiba Ting Kiu berkata, "Aku tahu kau
pasti punya banyak omongan yang hendak ditanyakan kepadaku." Mimik mukanya masih
mengulum senyum, namun sorot matanya sedikit pun tidak merasa senang, katanya pelan-pelan,
"Tentunya kau ingin tanya kepadaku, kenapa datang ke tempat ini" Kenapa mengantar peti mati
sebanyak itu" Bagaimana pula bisa kenal dengan Siau-lopan" Persoalan apa pula yang sedang
dirundingkan di sini?"
Yap Kay juga berseri tawa, namun sorot matanya dingin tajam, diam-diam dia menginsyafi
bahwa Ting Kiu ternyata jauh lebih sukar dihadapi dari apa yang dia bayangkan sebelumnya.
"Kenapa kau tidak bertanya?" Ting Kiu bertanya.
"Jika aku bertanya, apakah ada gunanya?"
"Tidak."
"Oleh karena itu aku tidak bertanya."
"Tapi ada sebuah hal aku boleh memberitahu kepadamu."
"O, hal apa?"
"Ada orang bilang di atas badanku dari atas sampai ke bawah setiap tempatnya ada membawa
senjata rahasia, apa kau pernah mendengarnya?"
"Ya, pernah kudengar."
"Kabar yang tersiar di kalangan Kangouw biasanya kurang dapat dipercaya."
"Di atas badanmu seluruhnya ada membawa senjata rahasia?"
"Tidak salah."
"Seluruhnya ada berapa macam?"
"Dua puluh tiga macam."
"Setiap macamnya dibubuhi racun?"
"Hanya tiga belas saja yang beracun, soalnya ada kalanya aku perlu mendapat keterangan dari
korbanku."
"Malah orang bilang, katanya sekaligus kau dapat menyambitkan tujuh macam senjata rahasia
yang berlainan."
"Ya, tujuh macam!"
"Cepat benar kerja tanganmu."
"Tapi masih ada seorang yang lebih cepat dari aku."
"Siapa?"
"Yaitu Siau-lopan yang duduk di sebelahmu ini."
Siau Piat-li selalu menghias mukanya dengan senyuman, katanya menghela napas, "Seorang
cacad yang malas, kalau tidak berusaha belajar beberapa macam senjata rahasia, masakah dia
bisa bertahan hidup."
"Benar, masuk akal."
"Dapatkah kau melihat dimana kiranya senjata rahasianya disembunyikan?"
"Di dalam tongkat besinya?"
Ting Kiu menepuk meja, serunya, "Bagus, pandangan yang tajam, kecuali dalam tongkat
besinya?" "Tempat lainnya juga ada?"
"Hanya ada delapan macam, namun dalam sekejap mata dia sekaligus bisa menyambitkan
sembilan macam senjata rahasia."
"Di kalangan Kangouw, tokoh yang ahli senjata rahasia kiranya tiada yang bisa lebih unggul
dari kalian "
"Mungkin seorang pun tiada lagi."
"Sungguh tak nyana aku justru bisa duduk di antara dua tokoh kosen yang ahli dalam alat
senjata rahasia, sungguh merupakan kebanggaan"
"Kesempatan ini memang tidak banyak, maka kuanjurkan supaya kau duduk baik-baik dan
tenang-tenang saja, karena sekali kau bergerak, paling sedikit ada enam belas macam senjata
rahasia yang bakal menyerangmu." Dengan menarik muka Ting Kiu menambahkan, "Aku berani
bertaruh, di dunia ini pasti takkan ada orang yang bisa menghindar diri dari berondongan enam
belas macam senjata rahasia ini."
"Aku percaya."
"Oleh karena itu apa pun yang kutanyakan, lebih baik kau segera menjawab dengan baik."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Untungnya aku ini memangnya tidak mempunyai sesuatu
rahasia yang harus disembunyikan terhadap orang lain!"
"Memang lebih baik bila kau tidak punya," jengek Ting Kiu, mendadak dari lengan bajunya
dikeluarkan segulung kertas terus dibeberkan di atas meja, katanya, "Kau she Yap, bernama Yap
Kay." "Ya."
"Kau termasuk shio Hou (macan)?"
Yap Kay segera mengiakan.
"Tapi sejak masih orok kau sudah meninggalkan tempat ini?"
"Benar."
"Sebelum empat belas tahun, kau selalu menetap di sebuah biara di puncak Ui-san?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Yang kau latih mestinya Ui-san-kiam-hoat, namun belakangan waktu kau bergelandangan di
Kangouw, secara main curi kau mempelajari beberapa macam kepandian silat, waktu usia enam
belas, pernah juga jadi Hwesio untuk beberapa bulan, tujuanmu hanya untuk mencuri belajar Hokhou-
kun pihak Siau-lim-pay?"
"Ya."
"Belakangan kau pun pernah mencuri sesuap nasi dalam kalangan Piau-kiok di kotaraja, setelah
hutang bertumpuk-tumpuk karena kalah judi, terpaksa kau harus meninggalkan pekerjaanmu?"
"Tidak salah!"
'Di Kanglam lantaran seorang perempuan yang bernama Siau-pak-khia, kau bunuh Kay-si-samhiong,
maka terpaksa lari kembali ke Tionggoan?"
"Tepat sekali."
"Dua tahun belakangan ini, kau hampir menjelajahi seluruh daratan selatan dan utara sungai
besar, dimana-mana kau menimbulkan urusan, namun karena itu kau pun sedikit angkat nama
sehingga namamu cukup terkenal."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Pengalaman hidupku agaknya kalian jauh lebih jelas dari
aku sendiri, buat apa pula kau tanya kepadaku?"
Setajam aliran listrik pandangan Ting Kiu, tanyanya pula, "Sekarang n ku hanya tanya kau,
kenapa kau harus ke tempat ini?"
"Kalau aku bilang daun jatuh kembali ke dekat akarnya, kalau di sinilah kampung kelahiranku,
sudah tentu aku harus pula menengoknya, kalau aku berkata demikian, kalian mau percaya
tidak?" "Tidak percaya."
"Kenapa?"
"Karena kau sudah ditakdirkan lahir menjadi gelandangan."
"Kalau aku bilang kecuali tempat setan ini, sudah tiada tempat lain untuk aku berpijak, apa
kalian mau percaya?"
"Omonganmu ini masih boleh kuterima," kembali Ting Kiu membeber
kertas itu lebih panjang, katanya lebih lanjut, "Uang terakhir yang kau dapatkan, bukankah
hasil kemenangan kacang emas yang kau peroleh dari Lo-koan-tang itu?"
"Benar," sahut Yap Kay.
"Sekarang sekantong kacang emas itu mungkin sudah menjadi milik orang lain, apa benar?"
"Aku sebal dengan kacang, meskipun kacang kapri, kacang lanjar, kacang buncis, kacang kulit
ataupun kacang emas sama saja."
Ting Kiu mengangkat kepala menatapnya, katanya, "Tiada orang lain yang mengundangmu
kemari?" "Tidak."
"Tahukah kau, kesempatan untuk mengeruk uang di tempat ini bukan gampang?"


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bisa melihatnya."
"Lalu cara bagaimana kau ingin hidup lebih lanjut?"
"Yang terang aku belum pernah melihat di sini ada orang mati kelaparan."
"Kalau kau tahu di tempat lain ada kesempatan untuk mendapatkan laksana tahil perak, mau ke
sana?" "Tidak mau."
"Kenapa?"
"Karena bukan mustahil di tempat ini aku justru jauh bisa memperoleh lebih banyak uang."
"O?" "Aku dapat merasakan tempat seperti ini di sini lambat-laun akan memerlukan tenaga orang
seperti diriku."
"Orang macam apa kau ini?"
"Seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, dan yang penting aku bisa menutup rahasia orang
serapat tutup botol, jika ada orang mau membayar aku untuk melakukan sesuatu tugas, tentu aku
tidak akan mengecewakan si pembayar."
Sejenak Ting Kiu menepekur, sorot matanya memancarkan sinar terang, katanya tiba-tiba,
"Berapa taripmu untuk membunuh orang?"
"Itu tergantung siapa yang harus kubunuh."
"Yang kumaksud tarip yang tertinggi?"
"Tiga laksa."
"Baik, sekarang kuberi selaksa sebagai uang muka, setelah tugasmu selesai, sisanya kulunasi."
Seketika terpancar sinar terang dari mata Yap Kay, katanya, "Siapa yang ingin kau bunuh" Pho
Ang-soat?"
"Pho Ang-soat tidak setimpal berharga tiga laksa "
"Memangnya siapa yang setimpal?"
"Ban-be-tong-cu!"
Siau Piat-li duduk diam saja, seolah-olah sedang mendengar percakapan kontrak dagang dua
orang yang sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan dirinya.
Bola mata Ting Kiu menyala, dengan tajam tengah menatap muka Yap Kay, tangan yang
mengenakan tiga buah cincin berbintang itu kembali memperlihatkan gerakan dan gaya yang
aneh. Akhirnya Yap Kay menghela napas, "Kiranya kalian yang hendak membunuh Ban-be-tong-cu,
ternyata kalian."
"Kau tidak mengira?" tanya Ting Kiu dengan mata jelalatan.
"Ada dendam apa kau dengannya" Kenapa mau membunuhnya?"
"Lebih baik kalau kau mengerti, sekarang kamilah yang bertanya kepadamu, bukan kau yang
mengajukan pertanyaan."
"Ya, aku mengerti."
"Ingin tidak kau mengeruk uang tiga laksa tahil?" Yap Kay tidak menjawab, juga tidak perlu
menjawab, tangannya sudah terulur ke depan.
Dua puluh lembar kertas uang yang masih baru, setiap lembar berharga seribu tahil.
"Lho kok dua laksa?" tanya Yap Kay.
"Ya."
"Agaknya kau memang royal."
"Bukan royal, namun hati-hati."
"Hati-hati?"
"Seorang diri kau takkan mampu membunuh Ban-be-tong-cu "
"O, lalu?"
"Maka perlu kau mencari pembantu."
"Jadi selaksa untukku, sisanya untuk pembantuku itu?"
"Tidak salah "
"Siapa yang setimpal kau bayar setinggi ini?"
"Siapa tentunya kau lebih tahu."
"Kau ingin aku mencari Pho Ang-soat?"
Ting Kiu diam saja sebagai jawaban.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku bisa membeli dia "
"Kau bukan temannya?"
"Dia tidak punya teman."
"Tiga laksa tahil cukup untuk mencari orang teman."
"Kalau ada orang tidak mau menjual diri?"
"Sedikitnya kau harus mencoba dulu."
"Kenapa tidak kau sendiri mencobanya?"
"Kalau kau tidak ingin memperoleh tiga laksa tahil ini, sekarang masih boleh kau kembalikan."
Yap Kay tertawa senang, berdiri terus mengundurkan diri
Mendadak Siau Piat-li menyeletuk dengan tertawa, "Kenapa tidak minum dulu dua cangkir baru
berangkat" Kenapa tergesa-gesa?"
Yap Kay mengacungkan uang di tangannya, katanya tertawa, "Ingin segera bisa menghabiskan
selaksa tahil ini."
"Uang sudah berada di tanganmu, kenapa terburu-buru."
"Kalau sekarang tidak kuhambur-hamburkan, kelak mungkin tiada kesempatan lagi."
Mengawasi bayangan orang yang menerobos keluar jendela, tiba-tiba Siau Piat-li menghela
napas, "Inilah seorang pintar."
"Memangnya."
"Kau mempercayainya?"
"Tidak seluruhnya?"
Siau Piat-li memicingkan mata, tanyanya, "Oleh karena itu baru kau mau teken kontrak dagang
dengan dia?"
Ting Kiu tersenyum, ujarnya, "Ini suatu kontrak yang istimewa "
Seseorang bila kantong kosong, tiba-tiba memperoleh rezeki nomplok dengan mengantongi
selaksa tahil uang, maka berjalan pun terasa ringan bagai terbang.
Tapi langkah Yap Kay justru kebalikannya, terasa berat. Kemungkinan lantaran dia terlalu penat
dan kehabisan tenaga. Cui-long memangnya perempuan pandai yang bisa membikin laki-laki
perkasa lelah kehabisan tenaga.
Kini sinar api dalam biliknya sudah padam, mungkin sudah tidur. Terbayang olehnya sebentar
dia bakal tidur nyenyak di sampingnya dengan nyaman, menghirup bau wangi, mengelus-elus
punggungnya yang halus telanjang itu, rangsangan ini sungguh tak kuasa Yap Kay untuk
menolaknya. Langkahnya pelan-pelan, mendorong pintu lalu melangkah masuk. Daun pintu ternyata hanya
ditutupkan saja tanpa dikunci dari dalam, agaknya orang memang sedang menunggu dirinya.
Sinar bintang menyorot masuk ke dalam rumah, dia tertidur dengan seluruh badan tertutup
selimut, agaknya tidurnya teramat nyenyak. Yap Kay tersenyum, segera dia maju sambil
menyingkap selimut itu.
Sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, sebatang pedang laksana seekor ular beracun
tiba-tiba mematuk keluar dari balik selimut, menusuk ke arah dada Yap Kay.
Dalam keadaan demikian, jarak begitu dekat lagi, boleh dikata tiada tokoh silat mana pun yang
lihai bisa meluputkan diri dari tusukan pedang ini. Tapi Yap Kay justru laksana seekor rase yang
sudah lama dikejar-kejar dan hendak ditangkap oleh pemburu, setiap detik setiap waktu tak
pernah lupa bersiaga dan waspada. Dalam waktu yang gawat ini pinggangnya tiba-tiba seperti
putus, mendadak melengkung atau tertekuk ke belakang, maka sinar pedang menyerempet
dadanya. Sebat sekali badannya melenting seperti pegas melompat mundur, berbareng kakinya melayang
menendang pergelangan tangan yang memegang pedang. Tapi tangkas sekali orang yang
bersembunyi di dalam selimut itupun sudah melompat keluar, tidak merangsek lebih lanjut,
dimana sinar pedangnya membundar, sekaligus dia melindungi mukanya, lalu menubruk ke arah
jendela di sebelah belakang.
Yap Kay tidak mengejar, namun dia berseru dengan tertawa "Hun Cay-thian aku sudah
mengenalimu, kau pergi pun tak berguna."
Orang itu sudah menerjang daun jendela sampai hancur, namun badannya seperti mobil yang
mendadak direm seketika berhenti, berdiri kaku, lama juga baru dia pelan-pelan berpaling muka.
Memang bukan lain Hun Cay-thian. Punggung tangannya yang memegangi gagang pedangnya
dihiasi otot-otot kencang yang merongkol keluar. Sorot matanya buas dan diliputi nafsu
membunuh. "Ternyata yang sedang kau cari bukan Pho Ang-soat, juga bukan Siau Piat-li, yang kau cari
ternyata Cui-long."
"Dapatkah aku kemari mencarinya?" tanya Hun Cay-thian dingin.
"Sudah tentu boleh," sahut Yap kay tertawa. "Laki-laki seperti kau ini, mencari perempuan
seperti dia itu, memangnya suatu hal yang jamak, entah lantaran apa kau harus mengelabui aku?"
Berkilat biji mata Hun Cay-thian, tiba-tiba dia tertawa, ujarnya, "Aku kuatir kau jelus."
Yap Kay tertawa, serunya, "Yang jelas seharusnya kau, bukan aku."
^?""^
Hun Cay-thian merenung sebentar, lalu katanya, "Dimana dia?"
"Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan ini kepadamu."
"Kau tidak melihatnya?"
"Waktu aku berlalu, dia masih berada di sini."
"Tapi waktu aku tiba di sini, dia justru sudah tiada."
Yap Kay mengerut kening, "Mungkin pergi mencari laki-laki lain"
"Selamanya dia tak pernah mencari laki-laki, sudah berlebihan laki-laki yang mencarinya."
"Nah, dalam hal ini kau tidak tahu, laki-laki yang mencari dia, sudah tentu berbeda dengan lakilaki
yang dia cari."
"Kau kira dia mencari siapa?"
"Berapa laki-laki yang patut dia cari di tempat ini?"
Berubah air muka Hun Cay-thian, mendadak dia putar badan terus menerobos keluar. Kali ini
Yap Kay tidak merintangi, karena mendadak menyadari beberapa persoalan yang ingin benar dia
ketahui. Tiba-tiba terasa olehnya bahwa Cui-long ternyata perempuan yang misterius, tentu
perempuan ini juga menyembunyikan banyak rahasia.
Perempuan seperti dia, jika hendak mengusahakan dagang seperti ini.
banyak tempat akan lebih subur pendapatannya, tidak perlu dia memendam diri di tempat ini.
Bahwa dia terima tinggal di sini, tentu dia mempunyai suatu tujuan yang luar biasa.
Akan tetapi tujuan Hun Cay-thian mencari dia, terang jauh berbeda dengan maksud laki-laki
lain yang ingin mencarinya, antara kedua orang ini, pasti terjalin suatu ikatan rahasia yang
pantang diketahui orang lain.
Tiba-tiba Yap Kay menyadari lebih lanjut, setiap orang di sekitarnya seolah-olah memendam
rahasia masing-masing, sudah tentu dirinya sendiri termasuk di antaranya. Kini segala rahasia dari
berbagai orang-orang itu seolah-olah lambat-laun akan bakal tiba saatnya terbongkar seluruhnya.
Yap Kay menghela napas, besok masih banyak tugas yang harus dia selesaikan, akhirnya dia
berkeputusan untuk tidur lebih dulu. Dia mencopot sepatu, terus menyusup ke dalam selimut dan
tidur. Lalu ditemukannya sebuah pakaian dalam yang berada di dalam selimut. Pakaian dalam
perempuan yang dia copoti sendiri. Kalau dianya sudah tiada, kenapa pakaian dalamnya tertinggal
di sini" Mungkinkah karena dia teramat gugup dan buru-buru, sampai pakaian dalam pun tak
sempat dipakai lagi, ataukah dia diseret orang dan didesak untuk berlalu" Kenapa dia tidak
meronta atau berteriak minta tolong" Yap Kay berkeputusan untuk menunggu di sini, menunggu
dia pulang. Akan tetapi dia takkan pernah kembali lagi.
Hari sudah subuh, sebentar lagi fajar bakal menyingsing. Pho Ang-soat masih belum bisa tidur.
Be Hong-ling juga tidak tidur.
Siau Piat-li dan Ting Kiu masih berada di loteng menikmati araknya. Kongsun Toan juga sedang
minum. Di bawah loteng. Seolah-olah semua orang sedang menunggu, menunggu suatu kabar
yang misterius.
Ban-be-tong-cu, Hoa Boan-thian, Loh Loh-san dan Sim Sam-nio, dimana mereka" Apakah
mereka pun sedang menunggu" Malam ini terasa panjang.
Malam ini delapan belas jiwa orang kembali berkorban
Pasir beterbangan, sesaat sebelum hari terang tanah, alam semesta masih selalu diliputi tabir
kegelapan berselimut kabut tebal, hawa terasa amat dingin.
Di tengah deru angin ribut ini, sayup-sayup seperti terdengar derap lari kuda.
Tujuh delapan orang duduk lemas, dengan badan terbungkuk-bungkuk di punggung kuda,
semuanya mabuk, untung belum sampai terjungkal roboh. Kuda mereka memang sudah kenal
jalan, maka mereka bisa pulang dengan selamat sampai di rumah.
Tukang-tukang kuda yang biasa hidup kesepian ini, sepanjang tahun harus bekerja giat banting
tulang berteman binatang, kaku dan paha mereka sudah kebal karena sering tergesek kulit
binatang. Sekali tempo menghibur diri ke kota, mabuk-mabukan, boleh dikata mereka sudah tidak
punya tempat hiburan yang layak.
Entah siapa di antara rombongan berdelapan orang ini yang menggumam, "Besok bukan
giliranku piket, malam ini seharusnya aku mencari cewek-cewek ayu untuk menghibur diri dan
tidur semalam suntuk memeluk si dia."
"Siapa suruh kau selalu kantong kosong, punya sedikit uang lantas beli air kuning (maksudnya
arak) untuk menuang perut."
"Kalau bayaran besok, aku pasti ingat mengirit beberapa duit."
"Kukira lebih baik kau cari kerbau betina saja untuk melampiaskan kebutuhanmu, yang terang
perempuan mana yang mau kau gauli?"
Maka mereka terloroh-loroh geli dan bersorak-sorai. Siapa dapat merasakan kegetiran hidup
mereka di dalam nada gelak tawa mereka. Tidak punya uang, tidak punya bini, tak punya rumah.
Umpama kata mereka roboh binasa di tengah padang rumput yang liar ini juga takkan ada orang
b rsedih dan mengucurkan air mata baginya. Terhitung kehidupan macam apakah ini"
Seseorang di antaranya mendadak mengempit perut kuda kencang-kencang, dengan sekeras
tenaganya mengeprak kuda terus membedal ke depan dengan mulut berteriak-teriak kesetanan.
Orang lain justru bergelak tertawa geli melihat kelakuannya itu.
"Siau-hek-cu agaknya sudah jadi gila."
"Sedikitnya sudah tujuh delapan bulan tidak pernah menyentuh perempuan, tempo hari yang
dia gauli malah nenek-nenek yang sudah kerempeng badannya."
"Kalau perempuan seperti Cui-long dapat menemani aku tidur semalaman, mati pun aku rela."
"Aku malah suka Sam-ik, badannya yang montok menggiurkan rasanya bisa kau remas keluar
air teteknya."
Sekonyong-konyong sebuah lolong jeritan berkumandang di tempat gelap sana. Siau-hek-cu
yang menerjang kegelapan ke depan itu mendadak menjerit ngeri, lalu terjungkal roboh dari
punggung kudanya. Kebetulan tersungkur di bawah kaki seseorang.
Seseorang bagaikan setan gentayangan tiba-tiba muncul dari tempat gelap, tangannya
menenteng sebuah golok panjang melengkung peranti menjagal kuda.
Arak yang panas seketika menjadi keringat dingin "Siapa kau" Setan atau manusia?"
Orang itu tertawa, ujarnya, "Masakah siapa aku kalian tidak kenal?"
Dua orang yang terdepan akhirnya melihat jelas siapa dia, seketika mereka menghela napas
lega, katanya mengunjuk tawa berseri, 'O, kiranya Baru saja suaranya keluar, golok jagal itu sudah
memapas kutung kepalanya. Darah segar muncrat kemana-mana, sementara itu teman-temannya
sudah menyusul tiba, semua orang melotot mengawasi orang ini, sorot matanya mengunjuk
ketakutan dan tidak percaya. Sungguh mereka tidak habis mengerti dan hampir tidak percaya
akan penglihatannya sendiri, kenapa orang ini mendadak menurunkan tangan jahatnya.
Kuda meringkik dan berjingkrak-jingkrak, orang-orang yang masih ketinggalan hidup serempak
menjerit ketakutan. Beramai-ramai mereka putar haluan dan mengeprak kudanya untuk lari. Tapi
laksana bayangan setan tiba-tiba orang itu sudah menubruk maju dan bergerak lincah kian kemari
sambil mengerjakan goloknya. Dimana goloknya berkelebat jiwa seorang pasti melayang.
Terdengar seseorang menjerit ketakutan. "Kenapa" Sebenarnya apa tujuanmu?"
"Jangan kau salahkan aku, salah kalian sendiri yang terima diperbudak oleh Ban-be-tong-cu."
Dua orang tampak meringkuk di pinggir api unggun, sorot matanya yang redup kelelahan
tengah mengawasi wajan di atas api unggun. Air di dalam wajan sudah mendidih, uap putih yang
mengepul terhembus buyar ditelan kabut tebal.
Salah seorang pelan-pelan memasukkan dua kerat daging kuda yang sudah kering dan keras itu
ke dalam wajan, mendadak dia tertawa, tawa rawan yang menusuk pendengaran.
"Aku dibesarkan di Kanglam, waktu kecil aku selalu bermimpi ingin mencicipi daging kuda, kini
terhitung sudah bosan dengan daging yang satu ini." Dengan mengertak gigi dia melanjutkan
dengan lebih sedih, "Setelah lanjut usia bila aku harus tetap makan daging kuda, lebih baik aku
tinggal di neraka saja."
Temannya yang lain tidak menghiraukan ocehannya, sebelah tangannya pelan-pelan tengah
merogoh ke dalam celananya. Waktu tangannya dikeluarkan telapak tangannya sudah berlepotan
darah. "Kenapa" Tergesek pecah lagi" Memangnya nasibmu yang punya kulit daging begitu tipis" Baru
hari pertama kau sudah tidak kuat bertahan, besok masa kau masih kuat bertahan?"
Bahwasanya memangnya siapa yang kuat bertahan bercokol di punggung kuda berlari-lari terus
selama enam jam tak henti-hentinya. Waktu mulai masih mending, tahap lima jam kemudian,
pelana kudanya serasa tumbuh jarum-jarum runcing yang menusuk pantatnya.
Mengawasi telapak tangannya yang berlepotan darah, tak tahan anak muda ini menggerutu,
"Loh Loh-san, kurcaci yang dilahirkan anjing, kemana sih kau menyembunyikan diri, sehingga kami
harus menderita mencarimu."
"Kabarnya orang ini setan arak, bukan mustahil dia sudah terbanting mampus dari punggung
kudanya." Dalam kemah di sebelah mereka terdengar suara dengkur yang berlainan nada dan suara, air
dalam wajan sudah mendidih pula.
Laki-laki yang lebih tua tengah mengumpulkan ranting-ranting kering dimasukkan ke dalam api
unggun, lalu dijemputnya setangkai rantai yang lebih besar untuk mengaduk daging dalam wajan.
Mendadak dari kejauhan terdengar lari kuda mendatangi. Cepat sekali seseorang menunggang
kuda membedal datang dari tempat gelap.
Serempak kedua orang ini meraba gagang pedang seraya berjingkrak berdiri, bentaknya bengis
bersama, "Siapa yang datang?"
"Inilah aku!" sahut seseorang di tempat gelap. Suara yang agaknya sudah amat dikenal.
Laki-laki yang lebih muda segera menjeput ranting kayu yang menyala dari api unggun terus
diangkat tinggi-tinggi di atas kepala untuk menerangi. Cahaya api menyinari muka laki-laki di atas
kuda. Serempak mereka tertawa berseri, sapanya, "Malam sudah larut, kau orang tua kenapa
belum lagi istirahat?"
"Ada urusan aku dengan kalian."
"Urusan apa?"
Tidak ada jawaban, sekonyong-konyong selarik sinar golok menyambar dari atas kuda, kepala
laki-laki yang lebih tua seketika terpenggal jatuh, badannya roboh ke atas api unggun


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menumpahkan isi wajan. Keruan laki-laki yang lebih muda berdiri melongo, saking kaget mulutnya
terpentang lebar tak kuasa bersuara.
Kenapa orang ini berbuat sekeji ini terhadap mereka" Sampai mati dia masih belum mengerti.
Dengkur di dalam kemah masih terus berlangsung. Mereka memang sudah bekerja keras
sehari, maka tidurnya nyenyak, umpama geledek menggelegar di pinggir kuping mereka, mereka
pun takkan tersentak bangun. Kasihan adalah seseorang pertama yang dibikin terkejut dan
terbangun, karena dia mendengar suara seperti tapal kuda yang menginjak lumpur, serempak
melihat darah segar muncrat beterbangan dari tengah
Baru saja dia ingin minta tolong, tahu-tahu golok orang sudah membacok putus lehernya.
Setengah jam lagi fajar akan menyingsing.
Yap Kay memejamkan mata rebah di dalam selimut, seolah-olah sudah pulas.
Pho Ang-soat menggayung seember air dingin, dia sedang mandi Kongsun Toan sudah
kebanyakan air kata-kata, dengan langkah sempoyongan dia terseok-seok melangkah keluar,
melompat naik ke punggung kudanya.
Pelita di atas loteng sudah padam.
Tinggal Be Hong-ling seorang diri masih membelalakkan mata, dia sedang menunggu dengan
sabar. Ban-be-tong-cu, Hun Cay-thian, Hoa Boan-thian, Loh Loh-san dan Sim Sam-nio"
Di saat banjir darah terjadi di padang rumput, dimanakah mereka" Dimana pula Cui-long
sekarang berada"
Dengan kencang tangan Be Hong-ling memegangi selimutnya, badannya basah oleh keringat
dingin. Sayup-sayup dia seperti mendengar jerit ngeri jauh di padang rumput sana, kalau dalam
keadaan biasa, mungkin dia sudah lari keluar untuk menengoknya. Tapi sekarang dia sudah
melihat banyak kejadian yang amat menakutkan, dia tidak berani melihatnya lagi, tidak tega untuk
melihatnya. Hawa dalam rumah amat gerah dan pengap, namun jendela pun dia tidak berani membukanya.
Rumah ini memang dibangun menyendiri dari bangunan-bangunan yang lain, namun
bangunannya kokoh kuat dan besar serta luas. Kecuali dua bujang yang sudah lanjut usia, hanya
terdapat mereka ayah beranak. Kongsun Toan dan Sim Sam-nio yang menempati rumah besar ini.
Mungkin karena Ban-be-tong-cu hanya mau mempercayai beberapa orang ini saja, tentunya
Siau-hu-cu sekarang sudah pulas dalam impian, dua bu inang yang sudah setengah pikun,
umpama sudah bangun juga seperti tertidur layaknya.
Kini dalam rumah besar ini tinggal dia seorang diri, sebatangkara di dalam kegelapan membuat
dia diliputi ketakutan. Dengan mengertak gigi Be Hong-ling bangun berduduk.
Angin keras menghembus kertas jendela yang baru saja diganti, tiba-tiba sesosok bayangan
orang muncul di atas kertas jendela itu. Sesosok bayangan orang yang bertubuh tinggi kurus,
terang bukan ayahnya, juga pasti bukan Kongsun Toan. Terasa oleh Be Hong-ling perutnya serasa
meringkuk kejang kaku.
Pedangnya tergantung di ujung ranjang.
Bayangan di atas jendela tidak bergerak, seolah-olah sedang memperhatikan suara di dalam
rumah, sedang menunggu kesempatan untuk menerjang masuk.
Sekeras-kerasnya Be Hong-ling mengertak gigi, pelan-pelan menggeremet mengulur tangan
meraih pedang, pelan-pelan pula tanpa bersuara melolos pedang, lalu digenggamnya erat-erat.
Bayangan di jendela mulai bergerak agaknya hendak membuka jendela, keringat dingin yang
keluar dari telapak tangan Be Hong-ling yang menggenggam gagang pedang sudah membuat
ronce pedangnya basah kuyup. Sedapat mungkin dia mengendalikan diri, supaya tangannya tidak
gemetar, lalu pelan-pelan dia himpun semangat dan mengerahkan tenaga, dipusatkan ke telapak
tangan yang mencekal pedang. Dia sudah siap melompat dari tempatnya ke arah jendela terus
menusukkan pedangnya.
Dalam rumah amat gelap, gerakan yang sudah dia siapkan, maka dia harap orang di luar tidak
tahu akan gerak-geriknya ini. Tapi sebelum tusukannya dilancarkan, sekonyong-konyong
bayangan di luar jendela itu tahu-tahu sudah lenyap.
Maka dia pun mendengar derap lari kuda yang sayup-sayup dibawa angin. Tentunya orang di
luar itupun sudah tahu akan kedatangan orang, maka segera dia menyingkir.
"Akhirnya toh ada orang datang!" Be Hong-ling rebah di atas ranjang, seluruh badannya serasa
runtuh seluruhnya. Baru pertama kali dia benar-benar meresapi rasa ketakutan yang tulen seperti
ini. Kemanakah orang di luar jendela tadi" Waktu dia membesarkan nyali, hendak mendorong daun
jendela, derap kaki kuda sudah tiba di luar jendela. Ia dengar suara bengis ayahnya yang tertekan
sedang memberi perintah, 'Jangan bersuara, ikut aku ke atas!"
Ban-be-tong-cu bukan pulang sendirian! Siapakah yang ikut dia pulang" Yang datang hanya
seekor kuda, masakah Ban-be-tong-cu menunggang satu kuda dengan seorang yang lain"
Tengah dia heran dan bertanya-tanya dalam hati, sekonyong-konyong didengarnya suara
rintihan perempuan yang lemah, lalu langkah kaki mereka naik ke atas loteng.
Bagaimana mungkin Ban-be-tong-cu pulang membawa seorang perempuan" Dia tahu
perempuan ini terang bukan Sam-ik, suara rintihan itu kedengarannya masih genit dari suara
perempuan muda.
Baru saja dia berdiri, lalu diam-diam merebahkan diri pula. Dia cukup memahami ayahnya.
Semakin tegang urat syarafnya, laki-laki semakin perlu perempuan, laki-laki yang menanjak
usianya, semakin perlu dihibur perempuan yang masih muda. Betapapun Sam-ik sudah rada tua.
Tiba-tiba Be Hong-ling merasa dia amat kasihan. Laki-laki bisa sembarang waktu keluar dan
pulang membawa perempuan, tapi bila perempuan di tengah malam buta tiada di dalam rumah,
sungguh merupakan suatu kejadian yang tak boleh dimaafkan.
Kertas jendela sudah kembali ke warna asalnya, putih menguning. Dimana orang tadi" Sudah
tentu orang tidak akan menghilang begitu saja seperti setan yang ketakutan sinar matahari, dia
pasti masih bersembunyi di suatu tempat yang tersembunyi, mencari kesempatan dengan kedua
jari-jari tangannya yang dingin untuk mencekik leher orang.
"Sasaran pertama kemungkinan adalah aku," tiba-tiba Be Hong-ling dijalari ketakutan,
untunglah ayahnya sudah pulang, fajar pun telah menyingsing.
Sebentar dia ragu-ragu, akhirnya dengan menggenggam pedang, telanjang kaki merundukrunduk
keluar, kalau tidak bisa menemukan bayangan hitam tadi, duduk atau berdiri hatinya
takkan bisa tenang.
Lampu yang terpasang di serambi panjang sudah padam, masih gelap, amat sunyi.
Kakinya yang telanjang berindap-indap di papan serambi yang dingin, tujuannya hanya ingin
menemukan orang itu, namun dia pun takut bila orang itu mendadak muncul di hadapannya.
Saat itu pula, didengarnya suara air dituang. Suaranya berkumandang dari kamar Sam-ik.
Apakah Sam-ik sudah pulang" Atau orang itu yang bersembunyi di sini"
Detak jantung Be Hong-ling rasanya bisa mencotot keluar dari rongga dadanya. Dengan
kencang dia mengertak gigi, pelan-pelan dan merunduk-runduk maju menghampiri, sekonyongkonyong
papan di bawah kakinya berbunyi, "Ngek", hampir saja dia berjingkat saking kagetnya,
maka dilihatnya daun pintu Sam-ik terbuka segaris. Sepasang mata yang tajam terang sedang
mengawasi dirinya dari belakang pintu. Itulah mata Sam-ik.
Baru sekarang Be Hong-ling menghela napas lega, katanya lirih, "Syukurlah, terima kasih
kepada langit dan bumi, akhirnya kau pulang!"
*** BAB 13. RAHASIA SIM SAM-NIO
Dalam kamar tidak menyulut pelita. Sim Sam-nio tengah mengenakan jubah panjang yang
lebar, agaknya sedang mandi, mukanya kelihatan berlepotan darah.
"Kau ... kau terluka?" seru Be Hong-ling kejut.
Tidak menjawab pertanyaan ini, Sim Sam-nio malah balas bertanya, "Kau tahu aku barusan
keluar?" "Tak usah kuatir," ujar Be Hong-ling tertawa, "aku pun seorang perempuan, aku boleh purapura
tidak tahu." Dia tertawa bukan lantaran dia sudah tahu rahasia orang, dia tertawa adalah
karena dia beranggapan sekarang dirinya sudah besar, sudah dewasa. Menutupi rahasia orang lain
memangnya suatu hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah matang.
Sim Sam-nio tidak banyak bicara lagi, pelan-pelan dia rendam kain sari yang berlepotan darah
itu ke dalam air, diawasinya kainnya yang berlepotan darah itu pelan-pelan tergenang basah ke
dalam air. Mulutnya pun masih mengeluarkan bau darah, memangnya darah yang sudah
terdorong sampai di tenggorokannya terus dia pertahankan sampai dia kembali ke rumah baru dia
muntahkan. Hantaman kepalan Kongsun Toan memangnya bukan ringan.
Be Hong-ling sudah melompat naik ke atas pembaringan, kedua kakinya ditarik bersila.
Sebelum ini selalu dia merasa kikuk dan risih serta hati-hati pula, sekarang justru berubah
sembarangan, katanya tiba-tiba, "Apakah di tempatmu ini ada arak, aku ingin minum secangkir
saja." Sim Sam-nio mengerut kening, katanya, "Sejak kapan kau mulai belajar minum arak?"
"Di waktu usiamu sebesar aku dulu, masakah kau belum belajar minum?" balas tanya Be Hongling.
"Araknya disimpan di laci terbawah di dalam lemari itu " kata Sim Sam-nio sambil menuding
sebuah lemari di pojokan sana.
"Memangnya aku sudah menduga kau pasti menyimpan arak di sini, jika aku jadi kau, bila
malam tidak bisa tidur, pasti aku bangun minum arak seorang diri."
"Dua hari ini, naga-naganya kau memang sudah tambah dewasa." Be Hong-ling sudah
menemukan arak, dibukanya sumbat botol terus dituangnya dengan mulut beradu mulut seteguk
saja, katanya tertawa, "perempuan di tengah malam buta tiada di dalam rumah, sungguh
merupakan suatu kejadian yang tak boleh dimaafkan."
Kertas jendela sudah kembali ke warna asalnya, putih menguning. Dimana orang tadi" Sudah
tentu orang tidak akan menghilang begitu saja seperti setan yang ketakutan sinar matahari, dia
pasti masih bersembunyi di suatu tempat yang tersembunyi, mencari kesempatan dengan kedua
jari-jari tangannya yang dingin untuk mencekik leher orang.
"Sasaran pertama kemungkinan adalah aku," tiba-tiba Be Hong-ling dijalari ketakutan,
untunglah ayahnya sudah pulang, fajar pun telah menyingsing.
Sebentar dia ragu-ragu, akhirnya dengan menggenggam pedang, telanjang kaki merundukrunduk
keluar, kalau tidak bisa menemukan bayangan hitam tadi, duduk atau berdiri hatinya
takkan bisa tenang.
Lampu yang terpasang di serambi panjang sudah padam, masih gelap, amat sunyi.
Kakinya yang telanjang berindap-indap di papan serambi yang dingin, tujuannya hanya ingin
menemukan orang itu, namun dia pun takut bila orang itu mendadak muncul di hadapannya.
Saat itu pula, didengarnya suara air dituang. Suaranya berkumandang dari kamar Sam-ik.
Apakah Sam-ik sudah pulang" Atau orang itu yang bersembunyi di sini"
Detak jantung Be Hong-ling rasanya bisa mencotot keluar dari rongga dadanya. Dengan
kencang dia mengertak gigi, pelan-pelan dan merunduk-runduk maju menghampiri, sekonyongkonyong
papan di bawah kakinya berbunyi, "Ngek", hampir saja dia berjingkat saking kagetnya,
maka dilihatnya daun pintu Sam-ik terbuka segaris. Sepasang mata yang tajam terang sedang
mengawasi dirinya dari belakang pintu. Itulah mata Sam-ik.
Baru sekarang Be Hong-ling menghela napas lega, katanya lirih, "Syukurlah, terima kasih
kepada langit dan bumi, akhirnya kau pulang!"
BAB 13. RAHASIA SIM SAM-NIO
Dalam kamar tidak menyulut pelita. Sim Sam-nio tengah mengenakan jubah panjang yang
lebar, agaknya sedang mandi, mukanya kelihatan berlepotan darah.
"Kau ... kau terluka?" seru Be Hong-ling kejut.
Tidak menjawab pertanyaan ini, Sim Sam-nio malah balas bertanya, "Kau tahu aku barusan
keluar?" "Tak usah kuatir," ujar Be Hong-ling tertawa, "aku pun seorang perempuan, aku boleh purapura
tidak tahu." Dia tertawa bukan lantaran dia sudah tahu rahasia orang, dia tertawa adalah
karena dia beranggapan sekarang dirinya sudah besar, sudah dewasa. Menutupi rahasia orang lain
memangnya suatu hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah matang.
Sim Sam-nio tidak banyak bicara lagi, pelan-pelan dia rendam kain sari yang berlepotan darah
itu ke dalam air, diawasinya kainnya yang berlepotan darah itu pelan-pelan tergenang basah ke
dalam air. Mulutnya pun masih mengeluarkan bau darah, memangnya darah yang sudah
terdorong sampai di tenggorokannya terus dia pertahankan sampai dia kembali ke rumah baru dia
muntahkan. Hantaman kepalan Kongsun Toan memangnya bukan ringan.
Be Hong-ling sudah melompat naik ke atas pembaringan, kedua kakinya ditarik bersila.
Sebelum ini selalu dia merasa kikuk dan risih serta hati-hati pula, sekarang justru berubah
sembarangan, katanya tiba-tiba, "Apakah di tempatmu ini ada arak, aku ingin minum secangkir
saja." Sim Sam-nio mengerut kening, katanya, "Sejak kapan kau mulai belajar minum arak?"
"Di waktu usiamu sebesar aku dulu, masakah kau belum belajar minum?" balas tanya Be Hongling.
"Araknya disimpan di laci terbawah di dalam lemari itu " kata Sim Sam-nio sambil menuding
sebuah lemari di pojokan sana.
"Memangnya aku sudah menduga kau pasti menyimpan arak di sini, jika aku jadi kau, bila
malam tidak bisa tidur, pasti aku bangun minum arak seorang diri."
"Dua hari ini, naga-naganya kau memang sudah tambah dewasa." Be Hong-ling sudah
menemukan arak, dibukanya sumbat botol terus dituangnya dengan mulut beradu mulut seteguk
saja, katanya tertawa,
"Memangnya aku ini sekarang sudah besar, maka kau harus memberitahu kepadaku, siapa
yang kau cari waktu kau keluar tadi?"
"Kau tak usah kuatir, yang pasti bukan Yap Kay."
"Memangnya siapa" Pho Ang-soat"'
Jari-jari Sim Sam-nio yang sedang mengucek kain basah dalam baskom seketika berhenti kaku,
lama juga baru pelan-pelan dia berpaling menatapnya.
"Buat apa kau menatapku" Apakah karena tebakanku betul?"
Mendadak Sim Sam-nio merebut botol arak di tangannya, katanya, "Kau sudah mabuk, kenapa
tidak kembali ke kamarmu tidur saja, setelah sadar kembalilah menemui aku."
Seketika Be Hong-ling menarik muka, katanya dingin, "Tidak lebih aku hanya ingin tahu dengan
cara apa kau berhasil memeletnya, tentunya caramu itu cukup baik untuk menipu, kalau tidak,
masakah dia bisa kepincut terhadap kau perempuan yang sudah tua ini."
Dingin sorot mata Sim Sam-nio, katanya kata demi kata, "Apakah si dia yang kau taksir" Bukan
Yap Kay?" Seolah-olah mukanya digampar dengan keras, muka Be Hong-ling yang pucat seketika berubah
merah padam. Agaknya besar hasratnya menerjang maju menampar pipi Sim Sam-nio, namun
saat itu juga dia mendengar langkah kaki yang mendatangi di atas papan di luar serambi sana.
Langkah kaki yang lambat dan berat, akhirnya berhenti di luar pintu, disusul seseorang berseru
lirih tertahan, "Sam-nio, kau sudah bangun?" Itulah suaranya Ban-be-tong-cu.
Seketika berubah air muka Sim Sam-nio dan Be Hong-ling, lekas Sim Sam-nio memberi tanda
dengan gerakan mulutnya ke arah ranjang, Be Hong-ling menggigit bibir, namun tanpa ayal
tersipu-sipu dia menyusup ke dalam selimut. Seperti keadaan Sim Sam-nio yang serba hati-hati
dan seolah-olah dirinya berdosa, karena dia sendiri pun mempunyai rahasia yang pantang
diketahui orang.
Untung Ban-be-tong-cu tidak masuk, tanyanya pula sambil berdiri di luar pintu, "Baru bangun?"
Sim Sam-nio mengiakan
"Enak tidurmu?"
"Tidak enak."
"Hayolah ikut aku ke atas mau tidak?"
"Boleh saja."
Hubungan mereka sudah kental selama puluhan tahun, maka percakapan mereka pun cekak
dan zakelijk. Diam-diam Be Hong-ling merasa heran. Terang tadi dia mendengar ayahnya sudah membawa
seorang perempuan, sekarang minta Sam-ik naik ke atas" Lalu siapakah perempuan yang dia
bawa pulang"
Seorang diri Ban-be-tong-cu menempati tiga bilik besar di atas loteng, pertama kamar buku,
sebuah lagi kamar tidur, yang lain adalah ruang rahasia, sampai sedemikian jauh Sim Sam-nio
sendiri belum pernah masuk ke dalam kamar rahasianya ini.
Waktu beranjak naik ke loteng, pinggangnya masih tegak lurus, dilihatnya dari punggungnya,
siapa pun takkan menyangka dia sudah seorang tua.
Tanpa bersuara Sim Sam-nio mengikuti di belakangnya. Setiap kali diminta untuk naik, tidak
pernah dia menolak, sikap orang tidak begitu hangat namun juga tidak begitu dingin Adakalanya
sebagai perempuan normal dia pun bisa mempersembahkan pelayanan yang hangat dan
memuaskan seratus persen. Memang itulah perempuan yang masih diinginkan oleh Ban-be-tongcu.
Perempuan yang terlalu merangsang dan terlalu besar nafsunya sudah tidak lagi memenuhi
seleranya. Sudah tidak memadai lagi dengan kondisi badan serta usianya sekarang.
Pintu kamar di loteng tertutup rapat, Ban-be-tong-cu sengaja berhenti di luar pintu, tiba-tiba
dia putar badan menatapnya, tanyanya, 'Tahukah kau untuk apa kuajak kau naik kemari?"
Sim Sam-nio tertunduk, sahutnya lembut, "Terserah apa pun yang kau inginkan tidak menjadi
soal bagi aku "
"Kalau aku ingin membunuhmu?" serius nada ucapan Ban-be-tong-cu mukanya bersungguhsungguh
Tiba-tiba timbul rasa ngeri dan hawa dingin menjalari kuduknya, baru sekarang dia sadar bila
dirinya telanjang kaki.
Tiba-tiba Ban-be-tong-cu tertawa pula, "Sudah tentu aku tidak akan membunuhmu, di dalam
ada orang sedang menunggumu."
"Ada orang menunggu aku" Siapa?"
Mimik tawa Ban-be-tong-cu aneh, sahutnya pelan, "Selamanya kau tidak akan menduga siapa
dia." Dia membalik mendorong pintu, serasa hampir tiada keberanian Sim Sam-nio melangkah ke
dalam. 0oo0 Akhirnya hari sudah terang tanah. Pelan-pelan Pho Ang-soat sedang melalap bubur hangat
yang baru saja dimasaknya.
Lapat-lapat Yap Kay sudah merasakan bahwa Cui-long tidak akan pulang, dia sedang
mengenakan sepatunya
Loteng kecil itu sunyi senyap tiada suara apa-apa, Kongsun Toan sedang memasukkan
kepalanya ke dalam kubangan air kuda, seperti kuda kehausan dia minum air dingin sepuaspuasnya,
tapi umpama seluruh air sebuah sungai pun takkan bisa membuat pikirannya sadar.
Hembusan angin pagi dari padang rumput terasa membawa bau amis yang tawar.
Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian pun sudah kembali ke rumahnya masing-masing, mereka
sudah siap menuju ke pendopo besar untuk sarapan pagi. Setiap pagi seperti lazimnya mereka
mesti sarapan pagi di pendopo besar, ini sudah merupakan tata tertib Ban-be-tong.
Akhirnya Sim Sam-nio membesarkan hati, melangkah masuk ke kamar Ban-be-tong-cu.
Siapakah yang sedang menunggu dirinya di dalam"
Dengan memeluk kedua lututnya, Cui-long sedang duduk meringkuk di atas kursi besar yang
nyaman terbuat dari kayu cendana. Kelihatannya dia amat letih dan ketakutan.
Waktu Sim Sam-nio melihat dia, kedua orang itu kelihatannya sama-sama kaget.
Dengan dingin Ban-be-tong-cu mengamati reaksi mimik mereka, katanya tiba-tiba, "Sudah


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu kalian kenal satu sama lain." Sim Sam-nio manggut-manggut.
"Sekarang dia sudah kubawa pulang, supaya selanjutnya kau tidak usah mencarinya di tengah
malam buta rata."
Reaksi Sim Sam-nio amat aneh, seperti sedang menerawang, hakikatnya tidak mendengarkan
ucapan Ban-be-tong-cu ini. Lama berselang baru pelan-pelan dia bergerak ke hadapan dengan
Ban-be-tong-cu, katanya kalem, "Kemarin malam aku memang pernah keluar."
"Aku tahu."
"Orang yang hendak kucari bukan Cui-long."
"Aku tahu," sahut Ban-be-tong-cu, dia sudah duduk, sikapnya masih tenang dan wajar, siapa
pun takkan bisa membedakan perasaan hatinya dari mimik mukanya.
Sim Sam-nio menatapnya bulat-bulat, katanya kata demi kata, "Orang yang kucari adalah Pho
Ang-soat!"
Ban-be-tong-cu sedang mendengarkan, sampai pun kelopak mata dan kulit daging ujung
matanya sedikit pun tidak bergerak. Bukan saja sorot matanya tidak menampilkan rasa kaget dan
marah, malah menampilkan perasaan simpatik dan memakluminya.
Suara Sim Sam-nio pun tenang, pelan-pelan dia melanjutkan, "Aku mencarinya, karena aku
beranggapan dialah si pembunuh yang menewaskan orang-orang itu."
"Bukan dia" ujar Ban-be-tong-cu.
Sim Sam-nio manggut-manggut pelan-pelan, "Memang bukan dia, tapi sebelum aku berhasil
menyelidikinya dengan gamblang, betapapun hatiku takkan bisa tenang."
"Aku mengerti."
"Dari sikapnya terhadap diriku, aku dapat menyimpulkan perempuan sejak dilahirkan memang
mempunyai suatu perasaan aneh, kalau dia membenciku, maka sikap dan tindak-tanduknya
terhadapku pasti berlainan."
"Aku paham!"
"Tapi terhadapku dia justru amat sungkan waktu aku ke sana, meski dia kelihatannya rada
kaget waktu aku hendak berlalu, dia toh tidak coba menahanku."
"Memang dia seorang Kuncu sejati!"
"Sayang sekali, kau punya teman yang bukan Kuncu betul-betul."
"O?" Sim Sam-nio mengertak gigi, dengan mata merah tiba-tiba dia singkap pakaian bagian
bawahnya. Bagian bawah yang telanjang hanya ditutupi selembar kain ini. Meski usianya sudah
menanjak tiga puluh tahun, namun potongan badannya masih begitu molek, terpelihara dengan
baik sekali. Dadanya montok, dua bukit berdiri kenyal, perutnya datar mengercil, sementara kedua
pahanya jenjang halus dan padat, sayang sekali pada titik perempuan yang dihiasi alas subur
menghitam itu, kelihatan daging-daging yang membiru hijau.
Tak tertahan Cui-long menjerit tertahan sambil menutup mulut dengan tangan dan mata
terbelalak ngeri, berderai air mata Sim Sam-nio, katanya dengan suara gemetar, "Kau tahu siapa
yang menghiasi badanku ini?"
Mengawasi bekas luka-luka di perut Sim Sam-nio, terpancar rasa gusar pada sorot mata Banbe-
tong-cu, lama juga dia menepekur baru bersuara, "Aku tidak ingin tahu."
Sudah tentu Sim Sam-nio cukup tahu, kalau orang tidak ingin tahu, itu berarti dia sudah tahu.
Tanpa melanjutkan persoalan ini, pelan-pelan Sim Sam-nio membetulkan pakaiannya pula,
katanya rawan, "Baik juga kalau kau tidak tahu, aku hanya ingin supaya kau tahu, demi kau, apa
pun aku rela melakukannya."
Perasaan gusar yang berkobar di sorot mata Ban-be-tong-cu sudah berubah menjadi derita,
lama juga baru menarik napas, katanya, "Beberapa tahun ini, kau memang banyak melakukan
pekerjaan untukku, juga banyak menderita."
Sim Sam-nio sesenggukan pilu, tiba-tiba dia berlutut mendekam di bawah lututnya, tangisnya
pecah tak terkendali lagi. Pelan Ban-be-tong-cu mengelus rambutnya yang halus, sorot matanya
tertuju keluar jendela.
Angin pagi nan sepoi-sepoi menghembus datang dari padang rumput, rumput menari-nari
laksana gelombang ombak samudra timbul tenggelam, sang surya baru saja terbit, cahayanya
yang merah menguning menyinari gelombang rumput yang menari-nari tertiup angin, rombongan
kuda tengah berderap menyongsong sinar surya.
Berkata Ban-be-tong-cu setelah menghela napas. "Semula tempat ini merupakan padang
belukar, tanpa kau, mungkin aku sendiri tidak akan mampu membangun tempat ini sedemikian
indah, tidak ada orang tahu betapa besar bantuanmu terhadapku."
Berkata Sim Sam-nio sesenggukan, "Asal kau tahu saja, aku pun cukup puas."
"Sudah tentu aku tahu, kau membantuku merubah tempat ini jadi sedemikian indah permai,
cuma di kala aku harus kehilangan semua milikku ini, betapa rawan dan derita sanubariku."
Mendadak Sim Sam-nio mengangkat kepala, teriaknya kaget, "Kau ... kau ... apa katamu?"
Ban-be-tong-cu tidak mengawasinya lagi, katanya pelan-pelan, "Aku sedang membentangkan
sebuah rahasia."
"Rahasia apa?"
"Rahasia dirimu!"
"Aku ... aku punya rahasia apa?"
Semakin tebal rasa derita dalam sorot mata Ban-be-tong-cu, katanya tegas, "Sejak pertama kali
kau datang kemari, aku sudah tahu siapa dirimu sebenarnya."
Bergetar sekujur badan Sim Sam-nio, seolah-olah ada dua tangan yang tidak kelihatan tiba-tiba
mencekik lehernya. Napas pun serasa berhenti seketika, pelan-pelan dia bangkit berdiri,
melangkah mundur setindak demi setindak, sorot matanya memancar ketakutan.
"Kau bukan she Sim," ujar Ban-be-tong-cu, "kau she Hoa!"
Seperti dipukul godam kepala Sim Sam-nio mendengar kata-kata ini. Baru saja dia berdiri,
hampir saja dia terpeleset jatuh lagi.
"Gundik Pek Thian-ih yang bernama Hoa Pek-hong adalah kakak kandungmu."
"Kau ... darimana kau tahu?"
"Mungkin kau tidak percaya, tapi sebelum kau datang kemari, aku sudah pernah melihatmu,
aku pernah melihat kalian kakak beradik bergaul rapat dengan Pek Thian-ih. Waktu itu kau masih
kecil, kakakmu sudah mengandung keturunan Pek Thian-ih."
Badan Sim Sam-nio yang gemetar tiba-tiba berhenti, seluruh badannya serasa kejang dan kaku.
"Setelah Pek Thian-ih meninggal, aku pernah mencari kakak beradik itu, namun selama ini
kakakmu dapat menyembunyikan diri baik-baik, memangnya siapa bakal menduga kau justru
tahu-tahu sudah berada di sini."
Sim Sam-nio mundur pelan-pelan, akhirnya dia menemukan kursi dan duduk di situ.
Laki-laki di hadapannya inilah, selama tujuh tahun, setiap bulannya paling sedikit ada tujuh kali
dia harus menemani kebutuhan orang bermain di atas ranjang, menahan elusan jari-jari tangan
tak berkuku yang kasar seperti berduri, menahan bau keringatnya yang prengus. Ada kalanya
seolah-olah dia merasa yang tidur di sebelahnya adalah seekor kuda yang tua. Tujuh tahun
lamanya dia menahan diri, karena dia selalu berpandangan akhirnya usahanya pasi akan
mendapat hasil yang memuaskan sesuai rencana, dan untuk mencapai tujuan dia sudah siaga
cepat atau lambat harus mempertaruhkan imbalannya. Baru sekarang pula dia menyadari akan
langkah-langkah dirinya yang salah, salah secara mengerikan, salah secara menakutkan. Tiba-tiba
ia menyadari dirinya mirip seekor cacing di tangan anak kecil, dirinya sedang dan selalu
dipermainkan orang.
"Aku sudah sejak lama tahu kau siapa, tapi selama ini aku tidak membongkar kedokmu, kau
tahu kenapa aku harus merahasiakan hal ini?" tanya Ban-be-tong-cu.
Sim Sam-nio geleng-geleng kepala.
"Karena aku menyukaimu, dan lagi aku memang memerlukan perempuan seperti kau."
Tiba-tiba Sim Sam-nio tertawa, katanya, "Malah orang secara sukarela masuk rumah
menyerahkan dirinya sendiri secara gratis." Memang dia sedang tertawa, namun tawa yang sayu
dan pedih lebih menderita dari menangis. Mendadak terasa mual dan hampir muntah-muntah.
"Aku sudah lama tahu hubunganmu dengan Cui-long."
"O?" "Sesuatu yang terjadi di sini Cui-long yang menyiarkan keluar, sesuatu yang terjadi di luar, Cuilong
pula yang menyampaikan kepada kau." Ban-be-tong-cu tiba-tiba tertawa, katanya lebih
lanjut, "Kau gunakan orang seperti dia untuk menyampaikan berita, memangnya suatu rencana
kerja yang baik sekali."
"Sayang sekali, serapi-rapi aku bekerja toh tetap sudah kau ketahui"
"Selama ini aku tidak pernah mencegah dan mengganggu kalian, soalnya aku tiada sesuatu
berita rahasia yang harus disampaikan kepadamu."
"Kemungkinan kau pun ingin tahu berita di luaran dari pihakku."
"Sayang sekali Cicimu justru jauh lebih cerdik dari kau, beberapa tahun sudah berselang, aku
tetap tak berhasil mencari tahu tempat tinggalnya."
"Oleh karena itu sampai detik ini dia tetap segar-bugar."
"Bagaimana dengan anaknya?"
"Masih tetap hidup."
"Sekarang sudah datang kemari?"
"Menurut dugaanmu bagaimana?"
"Yap Kay atau Pho Ang-soat?"
"Kau tidak akan bisa merabanya?"
"Meski kau tidak mau terus terang, aku pun bisa mencari akal untuk mengetahuinya."
"Memangnya kenapa kau harus bertanya kepadaku."
Ban-be-tong-cu menghela napas, ujarnya, "Sebetulnya sampai detik ini aku belum ingin
membongkar rahasiamu, terus terang aku tidak tega memutus hubungan kita yang sekarang."
"Sayang sekali kau dipaksa dan harus segera membongkar kedok asliku."
"Ya, begitulah kenyataannya."
"Kenapa?"
"Karena hal ini tidak boleh berlarut-larut lagi."
"Kalau toh sudah berlarut sampai puluhan tahun, apa halangannya berlarut beberapa hari lagi?"
Sikap Ban-be-tong-cu amat prihatin, katanya, "Aku punya anak, beberapa ratus saudara, aku
tidak tega melihat mereka mati satu per satu di hadapanku menjadi korban keganasan orang."
"Semalam berapa pula yang menjadi korban?"
"Sudah cukup banyak yang menjadi korban?"
"Menurut anggapanmu, siapakah pembunuhnya" Yap Kay" Pho Ang-soat?"
"Peduli siapa pembunuhnya, aku berani bersumpah kepadamu, dia pasti takkan lolos!"
"Hutang uang bayar uang, hutang jiwa bayar jiwa ... begitu maksudmu?"
"Tidak salah."
Sim Sam-nio tiba-tiba tertawa dingin, tanyanya, 'Lalu bagaimana dengan dirimu?"
Sorot mata gusar Ban-be-tong-cu seketika berubah ketakutan, ketakutan yang luar biasa.
Mendadak dia berjingkrak berdiri berpaling ke arah jendela, seolah tidak ingin mimik mukanya
dilihat oleh Sim Sam-nio.
Pada saat itulah dari luar kedengaran suara kelintingan berdering nyaring.
Ban-be-tong-cu menghela napas, ujarnya, "Cepat benar, sehari sudah
berlalu, sarapan pagi sudah tiba saatnya."
"Masih bisa kau makan hari ini?"
"Itulah tata tertib yang sudah kutegakkan, paling tidak aku tidak boleh melanggarnya sendiri."
Tanpa melirik lagi kepada Sim Sam-nio dengan langkah lebar dia beranjak keluar.
"Tunggu sebnetar," seru Sim Sam-nio.
Ban-be-tong-cu sedang menunggu.
"Masakah begini saja kau hendak berlalu?"
"Kenapa tidak boleh?"
"Kau ... bagaimana keputusanmu akan diriku?"
"Tidak apa-apa."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Aku tiada maksud apa-apa."
"Kau sudah membongkar rahasiaku, kenapa tidak kau bunuh aku?"
"Membongkar rahasiamu adalah satu persoalan, membunuh adalah persoalan lain."
"Akan tetapi ...."
"Aku tahu sudah tentu kau tidak akan bisa menetap lagi di sini."
"Kau biarkan aku pergi?"
Ban-be-tong-cu tertawa, tawa yang pedih, ujarnya pelan-pelan. "Kenapa pula aku harus
melarangmu" Memangnya aku harus membunuhmu?"
Terpancar rasa kaget dan heran serta tak mengerti pada sorot mata Sim Sam-nio. Sampai detik
ini. baru dia menyadari dirinya belum memahami jiwa orang, mungkin sejak permulaan dirinya
memang belum bisa memahami karakternya. Tak tertahan dia bertanya pula, "Kalau kau biarkan
aku pergi, kenapa pula kau bongkar rahasiaku?"
Ban-be-tong-cu tertawa pula, ujarnya tawar, "Mungkin aku hanya ingin supaya kau tahu, aku
ini bukan orang pikun."
Sim Sam-nio menggigit bibir, katanya, "Atau mungkin juga lantaran kau tidak ingin aku
menetap di sini pula."
"Ya, mungkin," sahut Ban-be-tong-cu. Tanpa bicara lagi tanpa menoleh dia terus turun dari
loteng. Langkah kakinya lambat dan berat kejap lain sudah terdengar tiba di bawah. Mungkin perasaan
hatinya jauh lebih berat lagi.
"Kenapa dia tidak membunuhku" Memangnya dia amat baik terhadapku?" terkepal kencang
kedua jari-jari tangan Sim Sam-nio, akhirnya dia berkeputusan untuk tidak memikirkan persoalan
ini lebih lanjut, kalau dipikir hanya menambah kedukaan saja.
Orang inilah yang sudah menipu dirinya, mempermainkan dirinya, tapi di saat orang lain
hendak membunuhnya, dia justru membiarkan dirinya pergi. Mungkin bukan sengaja orang
hendak menipunya, justru sebaliknya dirinya yang hendak menipunya. Peduli apa pun yang pernah
dia lakukan dulu, tapi terhadap dirinya, boleh dikata orang tidak terlalu jelek, tidak menyia-nyiakan
dirinya. Tiba-tiba serasa ditusuk sembilu hulu hati Sim Sam-nio. Sebetulnya tidak pantas dia dijalari
perasaan seperti ini, belum pernah terbayang olehnya dirinya bakal dijalari perasaan seperti ini.
Tapi manusia tetap manusia. Manusia pasti mempunyai perasaan, kontras dan derita.
Sementara itu Cui-long sudah berdiri menghampirinya dan berjalan ke hadapannya, katanya
lembut, "Kalau dia sudah memberi jalan kepada kita, kenapa tidak segera kita berlalu?"
Sim Sam-nio menghirup napas panjang ujarnya, "Sudah tentu harus pergi, cuma ... mungkin
aku memang tidak patut kemari."
0oo0 BAB 14. RINGKIK KUDA JEMPOLAN
Ban-be-tong-cu pelan-pelan duduk. Meja panjang terbentang lurus di hadapannya, mirip
sebuah jalan raya yang amat panjang. Dari rawa dan genangan darah berjalan sampai di sini,
bahwasanya memang dia sudah menempuh perjalanan yang amat jauh. Jauh dan menakutkan.
Mulai dari sini, kemana pula dia harus pergi" Apakah harus kembali ke rawa-rawa dan ke
genangan darah itu"
Pelan-pelan Ban-be-tong-cu menjulurkan tangan ke atas meja, kerut keriput kulit mukanya
kelihatan lebih jelas di bawah pancaran sinar matahari pagi, lebih mendalam, lebih banyak, setiap
jalur kerut keriput mukanya entah mengalami betapa besar derita dan jerih payah. Di dalamnya
termasuk darah keringatnya sendiri, termasuk pula darah keringat orang lain.
Hoa-boan-thian dan Hun Cay-thian sudah menunggu di sana, duduk tenang dan diam, agaknya
banyak persoalan bergejolak dalam sanubarinya.
Maka tampak dengan langkah sempoyongan Kongsun Toan beranjak dari luar, begitu masuk
ruang pendopo besar ini seketika dirangsang bau arak yang memualkan. Ban-be-tong-cu tidak
mengangkat kepala melihatnya, juga diam-diam saja tak menghiraukan kedatangan orang.
Terpaksa Kongsun Toan mencari tempat duduknya sendiri, duduk tertunduk, agaknya dia tahu
maksud Ban-be-tong-cu.
Saat seperti ini tidak pantas dirinya mabuk-mabukan. Sungguh malu dan angkara murka pula
hatinya, marah dan benci terhadap dirinya sendiri. Ingin rasanya dia mencabut golok, membelah
dadanya sendiri, sehingga arak yang terbaur dalam darahnya mengalir keluar.
Suasana dalam ruang pendopo terasa tegang dan lengang. Sarapan pagi sudah tersedia,
terdapat sayur-mayur yang segar, serta panggang daging sapi yang masih mengepul.
Ban-be-tong-cu tiba-tiba tersenyum, katanya, "Lumayan juga hidangan pagi ini."
Hoa Boan-thian manggut-manggut. Hun Cay-thian juga manggut-manggut.
Hidangan memang lumayan, namun siapa yang ada selera untuk makan" Cuaca memang baik
juga, namun hembusan angin pagi nan sepoi-sepoi agaknya membawa bau anyir darah yang
menandakan firasat jelek.
Kata Hun Cay-thian dengan menunduk kepala, "Rombongan pertama dari orang-orang yang
disuruh meronda kemarin malam sudah ...."
"Laporan boleh kau sampaikan setelah makan," tukas Ban-be-tong-cu
"Ya," Hun Cay-thian mengiakan.
Maka semua orang menunduk, menggares hidangan masing-masing tanpa bersuara. Daging
sapi muda yang terpanggang lezat terasa getir dan kecut setelah dikunyah. Hanya Ban-be-tong-cu
seorang yang melalap hidangannya dengan selera penuh. Yang dia kunyah mungkin bukan
hidangannya, namun pikirannya sendiri
Segala persoalan ini tiba saatnya harus dibereskan satu per satu. Ada kalanya persoalan itu
sendiri tidak akan bisa beres mengandal kekuatan dan kepandaian silat yang tinggi, maka kau
harus menyelesaikannya menggunakan daya pikiran dan kecerdikanmu. Maka banyak sekali yang
harus dia pikirkan, harus dia pecahkan satu per satu, segalanya serba kalut, maka perlu dikunyah
pelan-pelan supaya satu per satu dapat dia cerna ke dalam perutnya.
Sebelum Ban-be-tong-cu menurunkan sumpitnya, orang lain tiada yang berani menghentikan
makannya. Akhirnya dia meletakkan sumpitnya juga.
Letak jendela itu tinggi. Cahaya matahari menyorot masuk miring, menyinari debu-debu yang
menumpuk tebal di dalam ruang pendopo besar ini. Mengawasi debu yang bergulung-gulung di
antara sorot sinar matahari, mendadak Ban-be-tong-cu berkata, "Kenapa hanya di tempat yang
terkena sorot sinar matahari baru ada debu?"
Tiada yang menjawab, tiada orang yang bisa menjawab. Bahwasanya pertanyaan ini bukan
persoalan yang harus mereka pecahkan. Pertanyaan yang lucu dan bodoh.
Pelan-pelan sorot mata Ban-be-tong-cu menyapu pandang mereka satu per satu, kembali dia
Harpa Iblis Jari Sakti 15 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pendekar Bayangan Setan 13
^