Pencarian

Peristiwa Merah Salju 6

Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 6


"Toh-popo tentunya tidak mungkin adalah seorang laki-laki"
"Sudah tentu bukan."
"Kalau begitu jadi aku ini terang bukan Toh-popo seperti yang kau sangka."
"Ya, kau memang bukan."
"Jadi kematian Loh Loh-san pun bukan karena aku yang membunuhnya."
Terpaksa Yap Kay harus mengakui ucapan orang, karena siapa pun tahu bahwa Toan yang
ciam adalah senjata rahasia tunggal milik Toh-popo.
Berkata pula laki-laki itu, "Aku pun tidak benar-benar ingin membunuh Pho Ang-soat."
Kembali Yap Kay harus mengakui pula, karena sampai sekarang kenyataan Pho Ang-soat masih
segar-bugar. Orang itu menarik napas panjang, diangkatnya cangkir yang penuh arak, ditenggaknya habis,
katanya tertawa, "Memang arak bagus."
Setelah menghabiskan secangkir arak, dia berdiri terus beranjak pergi.
Kembali terpancar rasa mencemooh dan hina pada sorot mata Siau Piat-li, katanya tersenyum,
"Lain kali harap sukalah datang pula."
Orang itu tertawa, ujarnya, "Sudah tentu aku pasti datang, kabarnya di sini orang boleh teken
bon, apalagi beberapa petak rumah bobrokku itu tak ada yang menyewanya."
Yap Kay tiba-tiba berseru memanggil, "Sebun-jun."
Laki-laki itu segera berpaling. Semula mukanya masih dihiasi senyuman, tapi begitu dia
berpaling, air mukanya seketika berubah.
Kini ganti Yap Kay yang tersenyum senang, memang di kala hatinya riang, orang lain justru
kebalikannya. Agaknya laki-laki itu ingin tertawa pula, sayang sekali kulit daging mukanya seperti
sudah kaku. Kata Yap Kay tersenyum, "Kalau arak ini memang bagus, kenapa Sebun-siangsing tidak
mencicipinya lagi beberapa cangkir pula."
Laki-laki itu berdiri menjublek di tempatnya mengawasi dirinya sekian lama, katanya kemudian
setelah menghela napas, "Sekarang tentunya aku tidak perlu lagi bertanya kepadamu siapa kau
sebenarnya."
"Ya, memang tidak perlu."
"Tapi aku ingin tanya kau, kau ini sebenarnya apakah manusia?"
Yap Kay tertawa lebar. Kembali dia yakin akan pandangan matanya yang tajam, ternyata
memang tidak sejelek seperti yang sudah dia bayangkan. Katanya sambil tertawa, "Murid-murid
kesayangan Jian bin jin mo ternyata memang berkepandaian silat yang aneh dan ganas, begitu
pula ilmu tata riasnya, sebetulnya aku takkan bisa melihat penyamaranmu."
Sebun Jun menghela napas, katanya, "Sekarang kau sudah melihat kenyataan, toh belum
terlambat juga."
"Sudah tentu Toh-popo pasti bukan seorang perempuan, tak mungkin pula menjelma jadi
seorang nenek tulen, kalau tidak, orang lain masakah tidak bisa menebaknya dengan jitu?"
"Ya, masuk akal."
"Lalu siapakah dia sebenarnya?"
Siau Piat-li tiba-tiba tertawa, katanya tawar, "Kemungkinan kau, kemungkinan pula aku."
"Mungkin juga memang ...." Yap Kay termenung pula, tiba-tiba dia berjingkrak, serunya keras,
"Aku tahu sekarang, pasti dia itulah Toh-popo adanya."
Sebun Jun menghela napas pula, gumamnya, "Sayang sekali baru sekarang kau paham,
mungkin sudah terlambat."
Pelan-pelan Pho Ang-soat menghampiri terus masuk ke dalam toko kelontong. Selamanya
belum pernah dia masuk ke dalam toko kelontong ini, memang selama hidupnya belum pernah dia
masuk ke toko kelontong di mana saja.
Memangnya dia sebenarnya bukan hidup di dunia yang fana ini, dia memiliki kehidupan
dunianya sendiri. Dalam dunianya itu hanya ada dendam, dendam sekali lagi dendam, tiada
lainnya. Li Ma-hou sedang mendekam di atas meja kasirnya, kembali dia sedang mendekam di atas
meja kasirnya, kembali dia sedang mengantuk, seolah-olah sudah lama dia tidak pernah tidur
nyenyak. Pho Ang-soat langsung menghampiri, dengan gagang goloknya dia mengetok meja. Li Ma-hou
berjingkrak kaget dan sadar dari kantuknya, seketika dia melihat golok hitam di tangan Pho Angsoat.
Gagang dan sarung golok sama-sama hitam legam, tapi apakah tajam goloknya masih
berlepotan darah! Keruan pucat-pias selebar muka Li Ma-hou, teriaknya ketakutan, "Kau ... apa
yang kau inginkan?"
"Aku ingin minta kembali buntalanku."
"Buntalanmu ... oh, ya, di sini memang dititipi sebuah buntalan," baru sekarang dia merasa
lega, tersipu-sipu dia membuka laci serta mengangsurkan sebuah buntalan kain. Sudah tentu Pho
Ang-soat hanya menerimanya dengan sebelah tangan. Sementara tangan yang lain masih kencang
memegangi goloknya.
Kongsun Toan sudah ajal oleh golok ini, siapa lagi yang bakal menjadi korban kedua" Mungkin
dia sendiri pun tidak tahu. Pelan-pelan dia membalik badan, tiba-tiba dilihatnya setumpukan telur
di atas keranjang yang dijajakan, tanyanya tiba-tiba, "Apa telur itu dijual?"
"Kau ingin beli?"
Pho Ang-soat manggut-manggut. Mendadak dia sadar, lapar ternyata rasanya begitu menyiksa,
suatu siksaan yang merupakan tekanan berat, lebih berat dari kobaran rasa dendamnya.
Sesaat Li Ma-hou mengawasinya, lalu geleng-geleng kepala, sahutnya, "Tidak, telur itu tak
kujual kepadamu."
Pho Ang-soat sudah tahu, semua pintu di dalam kota ini seolah-olah sudah tertutup rapat di
hadapannya, demikian pula pintu toko kelontong ini. Jika dia berkukuh dan berkeras hendak
membelinya, sudah tentu tiada seorang pun yang bisa merintanginya. Tapi dia bukan laki-laki
macam begitu. Sasaran utama untuk melampiaskan rasa marah hatinya jelas bukan kepada
seorang nenek, juga bukan kepada Tauke toko kelontong ini.
Sinar bulan sudah guram, hembusan angin malam sudah terasa dingin. Memangnya tiada
sesuatu tempat lagi bagi dirinya di sini" Dengan kencang dia cekal goloknya, mencekal
buntalannya, memangnya dia sudah biasa hidup di dalam alam dunia yang lain. Bagaimana pun
sikap dan kelakuan orang-orang di dunia ini terhadapnya, dia tetap acuh tak acuh, dia tidak peduli
kepada mereka. Tak nyana Li Ma-hou justru menambahkan pula, "Telur ini tidak kujual kepadamu, karena telur
ini mentah, tentunya kau tidak makan telur mentah."
Pho Ang-soat menghentikan langkah, berdiri di tempatnya.
"Di belakang ada tungku, dalam tungku ada api, bukan saja bisa menggoreng telur, juga bisa
menghangatkan arak," demikian Li Ma-hou menambahkan.
"Berapa yang kau inginkan?" tanya Pho Ang-soat berpaling.
Li Ma-hou tertawa, "Ternyata Kongcu memang gampang mengerti, bolehlah dihitung dua belas
tahil saja." Dua belas tahil untuk sekali makan, sungguh tarip mahal yang menggorok leher
pembelinya. Tapi betapapun banyak kau memiliki uang perak juga tidak akan bisa mengisi perut,
lapar justru merupakan siksaan yang tak tertahankan.
Li Ma-hou sedang menggoreng telur. Nasi goreng telur. Araknya sudah dihangatkan, masih
terdapat semangkuk kecil acar dan kacang.
"Kacang dan acar ini gratis, arak pun boleh kau minum sepuasmu, silakan berapa banyak kau
habiskan."
Tapi setetes arak pun Pho Ang-soat tidak meminumnya. Karena begitu dia minum pasti mabuk,
sekarang bukan saatnya minum arak.
Li Ma-hou mengantar sepiring nasi goreng telur ke atas meja, melihat arak dalam cangkirnya
pula. katanya dengan mengunjuk tawa, "Toaya, anggap arak ini kurang enak?"
"Arak ini baik."
"Umpama tidak baik, bolehlah minum barang seteguk dua teguk untuk melepaskan lelah
meringankan tekanan hati."
Pho Ang-soat sudah mulai makan. Sedikit pun dia tidak takut bila nasi goreng itu beracun. Cara
untuk membedakan apakah di dalam sesuatu makanan ada dicampur racun ada tiga puluh enam
macam banyaknya, paling tidak dia paham dua puluh macam di antaranya. Soalnya bila dia sendiri
tidak ingin melakukan sesuatu, tiada seorang pun yang kuasa memaksanya. Sudah tentu Li Mahou
bukan laki-laki yang suka memaksa orang melakukan keinginan dirinya.
Kalau Pho Ang-soat tidak mau minum, maka dia sendiri yang akan menenggaknya sampai
habis. Seteko arak yang dihangatkan tadi sekaligus dia tenggak habis, katanya tertawa getir,
"Bicara menurut isi hati, aku sering menjadi heran, kenapa sebanyak ini orang di dunia yang suka
minum arak, arak sebetulnya jauh lebih sukar diminum dari obat racun "
"Kau tidak suka minum arak?" tanya Pho Ang-soat.
"Sebetulnya aku tidak pandai minum, sekarang juga aku sudah hampir mabuk." Memang dia
hampir mabuk, bukan saja kulit mukanya sudah merah legam, biji matanya pun sudah membara.
Pho Ang-soat mengerut kening, tanyanya, "Tidak bisa minum kenapa harus minum?"
"Arak ini sudah kupanasi, kalau tidak kuminum, besok akan rusak."
"Maka kau rela diri sendiri jatuh mabuk."
"Siapa pun bila dia ingin membuka toko kelontong, maka dia harus mempelajari satu hal."
"Hal apa?"
"Lebih baik diri sendiri yang rugi, jangan sekali-kali kau menyia-nyiakan barang yang dijajakan."
Sampai di sini Li Ma-hou menghela napas, katanya labih lanjut, "Maka laki-laki yang tidak becus
macamku ini saja yang rela membuka toko kelontong. Bukan saja tidak bisa mempersunting
seorang istri, seorang teman pun dia tidak punya."
Pelan-pelan Pho Ang-soat sedang melalap nasi gorengnya, tiba-tiba dia menghela napas ringan,
katanya, "Kau salah."
"Bluk", Li Ma-hou jatuh terduduk di sampingnya, katanya, "Dalam hal apa aku salah?"
"Hanya ada semacam orang di dunia ini yang tidak punya kawan."
"Orang macam apa dia?"
"Macam diriku ini." Kepala Pho Ang-soat terangkat, seolah sedang menatap ke tempat jauh,
seolah-olah kelihatan hambar kesepian.
Selamanya dia tidak punya teman, kelak mungkin takkan punya untuk selamanya. Jiwa raganya
seolah-olah sudah dia persembahkan demi dendam kesumat, dendam sakit hati yang takkan
terlampias dan terbuka untuk selamanya. Tapi dalam relung hatinya yang paling dalam, kenapa
justru mengharap persahabatan yang simpatik"
Dengan biji matanya yang membara Li Ma-hou mengawasinya, tanyanya tiba-tiba, "Yap-kongcu
itu masakah bukan temanmu?"
"Bukan," sahut Pho Ang-soat dingin.
"Tapi agaknya dia memandang kau sebagai teman karibnya"
"Itulah karena dia mempunyai ciri."
"Punya ciri?"
"Orang yang memandang diriku sebagai teman, otaknya pasti ada cirinya."
"Kalau begitu aku ini juga ada cirinya," ujar Li Ma-hou.
"Kau?"
"Karena sekarang ini aku juga hendak bersahabat dengan kau." Begitu mengoceh, lidahnya
seolah-olah menjadi besar, memang cepat benar dia jatuh mabuk.
Pho Ang-soat tiba-tiba meletakkan sumpit, katanya dingin, "Nasi gorengmu ini memang tidak
jelek rasanya." Tanpa berpaling kepada Li Ma-hou, pelan-pelan dia berdiri memutar badan, karena
dia tidak ingin orang melihat mimik mukanya. Tapi Li Ma-hou justru masih mengawasinya,
mengawasi punggungnya. Tampak pundak orang sudah mulai mengkeret, agaknya perasaan
hatinya tidak tenang.
Tiba-tiba terpancar cahaya aneh dari kedua biji mata Li Ma-hou, pelan-pelan dia mengulurkan
tangan, seperti hendak menepuk pundaknya. Tepat pada saat itulah, sekonyong-konyong selarik
sinar dingin berkelebat. Sebatang pisau tahu-tahu sudah menancap di atas punggung tangannya.
BAB 18. PISAU TERBANG PENYELAMAT NYAWA
Pisau sepanjang tiga dim tujuh mili. Pisau terbang.
Begitu melihat pisau ini, selebar muka Li Ma-hou seketika berkerut-kerut mengejang. Lalu
orangnya pun roboh, seolah disambar petir yang tak bersuara. Waktu dia roboh itulah sesuatu
benda kebetulan terjatuh ke atas meja terlepas dari genggaman tangannya.
Sigap sekali Pho Ang-soat tiba-tiba membalik badan, maka dia pun melihat Yap Kay.
Dengan tersenyum Yap Kay tengah melangkah masuk. Dia tidak membawa pisau.
Pho Ang-soat menatapnya, lalu mengawasi Li Ma-hou yang menggeletak di atas lantai,
bentaknya bengis, "Apa yang kau lakukan?"
Yap Kay mandah tertawa saja diperlakukan secara kasar. Selalu dia suka tertawa untuk
menjawab pertanyaan yang tidak perlu dia jawab.
Pho Ang-soat memang tidak perlu bertanya lagi, kini dia pun sudah melihat tiga batang jarum
di atas meja. Jarum yang mengkilap hijau keputihan. Jarum inilah yang terjatuh dari jari-jari
tangan Li Ma-hou.
Jika pisau itu tidak bertindak tepat pada waktunya, mungkin sekarang Pho Ang-soat sudah
mirip Loh Loh-san rebah di tanah tanpa bernyawa lagi. Apakah juragan toko kelontong yang
biasanya bekerja secara sembrono ini adalah Toh-popo yang berhati kejam bertangan gapah itu.
Lama sekali Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, waktu dia mengangkat kepala,
dilihatnya Yap Kay tengah tersenyum kepadanya Mendadak Pho Ang-soat berkata dingin,
"Bagaimana kau tahu bila aku tidak akan bisa meluputkan diri dari bokongannya?"
"Aku tidak tahu," sahut Yap Kay.
"Kenapa selalu kau berusaha menolong aku?"
"Siapa bilang aku menolong kau?"
"Lalu untuk apa kau kemari?"
"Tidak lebih aku hanya menyambitkan pisau mengarah punggung tangan orang ini, tangan
miliknya, pisau milikku, dengan kau tiada sangkut-pautnya."
Terbungkam mulut Pho Ang-soat.
Pelan-pelan Yap Kay maju menghampiri, menghirup napas dalam-dalam, lalu katanya dengan
tersenyum, "Agaknya nasi goreng ini memang lezat sekali, wangi memenuhi selera."
"Hm," Pho Ang-soat menggeram.
"Arak ini agaknya juga baik mutunya, sayang sekali sudah habis."
Baru saja Pho Ang-soat hendak buka suara, tiba-tiba Yap Kay sudah tertawa pula, katanya,
"Pisauku itu cukup tidak untuk menukar arak seharga seketip?"
Orang yang rebah di lantai diam saja tak bergerak, tiada ada yang menjawab.
"Kalau tidak cukup," sela Pho Ang-soat, "kau harus mengganti golokku ini."
Tetap tiada orang yang bersuara atau menjawab.
Sambil menghela napas Yap Kay berjongkok menepuk pundak orang, katanya, "Toh-popo aku
sudah mengenalimu, buat apa kau ...." Suaranya mendadak terputus, roman mukanya seketika
menunjukkan keheranan dan terkejut, orang yang dia robohkan ini ternyata untuk selamanya
takkan bangun lagi.
Kulit daging muka orang ini sudah mengkeret seperti karet yang kedinginan, kaki tangan pun
sudah dingin kaku. Pisau masih menancap di punggung tangannya.
Mengawasi muka itu, lalu mengawasi pisau itu pula, berkata Pho Ang-soat, "Pisaumu beracun?"
"Tidak," sahut Yap Kay.
"Kalau tidak beracun bagaimana orang ini bisa mampus?"
"Usianya agak terlalu tua, orang tua biasanya memang tak tahan kaget."
"Maksudmu dia mampus lantaran kaget dan ketakutan?"
"Punggung tangan bukan tempat vital, pisauku terang tidak beracun."
"Katamu dia ini adalah Toan-yang-ciam Toh-popo?"
"Kalau Bu kut coa (ulat tak bertulang) bisa menjadi nenek, kenapa loh-popo tidak boleh
menjadi laki-laki?"
"Ya, aku pun tahu, orang macam apa sebenarnya Toh-popo itu."
"Memangnya kau harus tahu."
Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Orang seperti dia, masakah bakal mati
ketakutan hanya oleh sebilah pisau sekecil itu?"
"Tapi kenyataan dia sudah mati"
"Sebetulnya pisau macam apakah itu?"
Yap Kay mandah tertawa. Seperti biasa dia senang tertawa untuk menjawab pertanyaan yang
tak perlu dia jawab.
Batang pisau ini tipis dan tajam luar biasa, memancarkan sinar kehijauan yang berkilauan.
Waktu dia mengawasi pisau ini, sorot matanya pun memancarkan cahaya. Lama sudah baru dia
bersuara kalem, "Bagaimana pun juga, tidak bisa tidak kau harus mengakui bahwa kenyataan
inilah sebatang pisau."
Lama juga Pho Ang-soat menepekur, katanya pelan-pelan kemudian, "Sungguh tak nyana kau
pun ahli menggunakan pisau."
Yap Kay tertawa pula.
"Selama ini belum pernah aku melihat kau membawa pisau."
"Memangnya pisauku tidak untuk dipertontonkan kepada orang."
Terpaksa Pho Ang-soat mengakui.
"Mungkin hanya pisau yang tidak kelihatan saja baru merupakan pisau yang paling
menakutkan."
"Tiada pisau yang tidak kelihatan di dunia ini," jengek Pho Ang-soat.
Dengan memicing Yap Kay mengawasi pisau di tangannya, katanya kalem, "Mungkin kau bisa
melihatnya, tapi bila kau benar-benar sudah melihatnya, mungkin saat itu sudah terlambat."
Pisau yang dapat membuat orang mati ketakutan, biasanya memang sebilah pisau yang tak
kelihatan. Karena begitu kau dapat melihatnya, segalanya sudah terlambat.
Tahu-tahu pisau itu sudah tak terlihat lagi. Mendadak pisau di tangan Yap Kay itu sudah lenyap,
seperti dia pandai main sulap saja.
Pho Ang-soat tertunduk, mengawasi golok di tangannya, sorot matanya menampilkan perasaan
yang aneh sekali. Akhirnya dia paham apa yang dimaksud oleh Yap Kay.
Kongsun Toan pun belum pernah melihat goloknya itu. Yang terlihat oleh Kongsun Toan
hanyalah gagang golok dan sarung goloknya.
Yap Kay berkata tawar, "Orang yang gampang terlihat oleh orang, sulit untuk dia membunuh
orang." Pho Ang-soat sedang mendengarkan.
Pelan-pelan Yap Kay melanjutkan, "Maka orang yang tahu cara menggunakan pisau, maka dia
pun tahu cara bagaimana dia harus menyimpan pisaunya."
Pelan-pelan Pho Ang-soat menghela napas, seperti menggumam dia berkata, "Sayang sekali hal
ini sulit dilaksanakan."
"Ya, memang sulit."
"Jauh lebih sulit daripada kau menggunakannya."
"Agaknya kau sudah paham."
"Aku sudah paham," sahut Pho Ang-soat sambil angkat kepala mengawasi Yap Kay.
Tawa Yap Kay hangat dan simpatik.
Tiba-tiba Pho Ang-soat menarik muka pula, katanya dingin, "Oleh karena itu aku pun berharap


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau memahami satu hal"
"Hal apa?"
"Selanjutnya jangan kau datang berusaha menolongku, jalanlah menuju ke tujuanmu, aku akan
pergi ke arahku sendiri, bahwasanya kita tidak punya hubungan apa-apa, umpama kau mampus di
hadapanku aku pun takkan menolongmu."
"Kita bukan teman?"
"Bukan."
"Ya, aku pun mengertilah."
"Kalau begitu sekarang juga silakan kau tempuh ke arahmu sendiri"
"Dan kau, kau tidak mau keluar?"
"Kenapa aku harus keluar?"
"Ada orang sedang menunggumu di luar."
"Siapa?"
"Seorang nenek yang bukan nenek."
"Untuk apa dia menunggu aku?"
"Supaya kau ke sana bertanya, kenapa dia hendak membokong kau."
Seketika bersinar biji mata Pho Ang-soat, segera dia beranjak keluar dengan langkah lebar.
Bahwasanya dia tidak perlu tergesa-gesa keluar, karena betapapun lamanya orang di luar itu
harus menunggu, dia toh tidak pernah gugup dan gelisah. Orang yang sudah mati selamanya
takkan gelisah.
Perawakan Sebun Jun memang sedang-sedang saja, kini sudah meringkuk seperti trenggiling.
Mereka berada di pojokan belakang punggung lemari, biji matanya melotot keluar, seolah-olah
membawa perasaan gusar dan ketakutan sebelum ajalnya. Siapakah yang membunuhnya"
Agaknya dia sendiri tidak menduga bila orang itu akan datang membunuhnya. Sebuah bor baja
telak sekali tembus di hulu hatinya, darah yang mengalir dari lukanya masih belum lagi membeku
kering. Sekelilingnya tidak kelihatan bayangan seorang pun. Kini tibalah saatnya orang-orang makan
malam, memang biasanya jarang orang berlalu-lalang di jalan raya pada saat-saat seperti ini.
Pho Ang-soat berdiri di sana, badannya pun sudah kaku, setelah dia mendengar langkah Yap
Kay yang mendatangi, baru dia bertanya dengan suara berat, "Katamu orang-orang inikah Bu kut
coa Sebun Jun?"
Berselang lama Yap Kay baru menghela napas, dengan ogah-ogahan dia mengiakan.
"Aku pun tahu orang macam apa dia sebenarnya."
"Memang pantas kau mengetahuinya."
"Tanpa memberi perlawanan dia pun tidak berteriak, tahu-tahu sudah mampus terbunuh."
"Memangnya ini serangan telak yang mematikan."
"Tak banyak orang yang mampu membunuhnya dengan cara ini."
"Banyak sekali."
"Banyak sekali?"
"Siapa pun boleh saja membunuhnya, karena dia hakikatnya sudah tidak punya daya untuk
melawan." "Kenapa?"
"Aku kuatir dia tidak sudi menunggumu, maka sebelumnya sudah kutotok Hiat-tonya!" Yap Kay
tertawa getir, sambungnya, "Meski banyak orang yang bisa membunuh dia, namun yang benarbenar
ingin membunuhnya hanya seorang saja."
"Siapa?"
"Seorang yang kuatir kau dapat mengompas keterangannya."
"Kenapa dia hendak membunuhku" Siapa pula yang menyuruh dia membunuhku" ... inikah
rahasianya?"
"Tidak salah."
Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa dingin, lalu putar badan tinggal pergi.
"Kemana kau?"
"Akan kutempuh jalanku sendiri, kenapa tidak kau tuju arah jalanmu sendiri?" Tanpa berpaling
pelan-pelan dia menyusuri jalan raya yang panjang ini.
Jalan raya ini sunyi lengang, lampion merah di atas pintu sempit itu sudah menyala. Kebetulan
segulung angin deras menghembus datang, kertas yang ditempelkan pada dinding di luar gang
sempit itu seketika tertiup lepas dan terbang entah kemana.
Angin terasa dingin, malam sudah tiba, apakah musim rontok pun bakal tiba"
Angin dingin, hawa sedikit panas. Tapi dalam rumah hangat segar seperti hawa di musim semi.
Memang bagi pandangan kaum pria, tempat ini seolah-olah sepanjang tahun adalah musim semi.
Meja-meja di pojokan sana sudah diduduki beberapa orang yang sibuk menghabiskan arak
masing-masing, malam belum larut, namun mereka sudah terpengaruh oleh air kata-kata.
Baru saja Yap Kay duduk, Siau Piat-li sudah mendorong cangkir arak kepadanya, katanya
dengan tersenyum, "Jangan lupa kau pernah berjanji hendak mentraktir aku minum." Cangkir itu
sudah diisi penuh arak.
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Jangan lupa kau berjanji aku boleh teken bon di sini."
"Siapa pun yang pernah berjanji sesuatu kepadamu, agaknya sulit juga untuk melupakannya."
"Memangnya sukar."
"Maka boleh sesuka dan sepuasmu kau minum di sini."
Yap Kay tertawa lebar, cangkir diangkat terus ditenggaknya habis, kepalanya berpaling
matanya menjelajah, katanya, "Hari ini tamu yang datang tidak sedikit jumlahnya."
Siau Piat-li manggut-manggut, ujarnya, "Asal lampion merah menyala, segera orang bakal
masuk kemari."
"Maka aku curiga apakah seharian mereka sudah menunggunya lebih dulu di luar pintu."
"Tempat seperti ini memang rada aneh, setiap orang yang pernah berkunjung dua tiga kali,
lekas sekali dia sudah akan tuman, jika tidak kemari meski hanya untuk duduk dan berputar-putar
saja, agaknya mereka tidak bisa tidur."
"Sekarang juga aku sudah tuman, hari ini aku datang tiga kali."
"Maka aku menyukai kau."
"Oleh karena itu kau memperbolehkan aku teken bon di sini."
Siau Piat-li tergelak-gelak. Orang yang duduk di pojokan sana berpaling kemari dengan
pandangan keheranan. Paling tidak mereka sudah ratusan kali datang ke tempat ini, namun belum
pernah mereka melihat juragan dari sarang hiburan sebatangkara dan cacad ini tertawa
sedemikian riangnya. Tapi lekas sekali Siau Piat-li sudah menghentikan tawanya, katanya, "Apa
benar Li Ma-hou adalah Toh-popo?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Aku masih belum mengerti, cara bagaimana kau bisa mengetahuinya."
"Aku tidak tahu, hakikatnya apa pun aku tidak tahu."
"Jadi hanya tebakanmu saja."
"Aku hanya merasa sedikit heran, kenapa Sebun Jun menyuruh Pho Ang-soat mengambil
buntalannya di toko kelontong itu?"
"Hanya satu saja alasannya."
"Waktu aku sampai di sana, ternyata dia mengundang Pho Ang-soat untuk makan di luar."
"Itu tidak mengherankan."
"Justru mengherankan," ujar Yap Kay. "Sekarang setiap penduduk kota ini sudah tahu bahwa
Pho Ang-soat adalah musuh besar Ban be tong, orang dengan watak dan perangai seperti Li Mahou,
masakah dia berani berdosa terhadap Ban be tong?"
"Benar, seharusnya dia bisa menolak atau tidak berani menyimpan buntalan itu."
"Tapi dia justru menyimpannya."
"Maka dia pasti mempunyai suatu maksud tertentu"
"Maka aku baru merasa pasti dia itulah Toh-popo."
"Tebakanmu tidak meleset."
"Untung aku tidak salah tebak."
"Kenapa?"
"Karena dia sudah mati lebih dulu karena ketakutan."
Siau Piat-li melenggong.
"Tidak kau kira bukan?" tanya Yap Kay.
Siau Piat-li menghela napas, tanyanya, "Lalu Sebun Jun?"
"Dia pun sudah ajal."
Diangkatnya cangkir arak di depannya pelan-pelan. Siau Piat-li menenggaknya pelan-pelan,
katanya dingin, "Agaknya hatimu memang tidak lemah."
Yap Kay menatapnya bulat-bulat, katanya tawar, "Sekarang agaknya kau sudah menyesal
karena memberi peluang kepadaku untuk tekan bon."
"Aku hanya heran, orang-orang seperti mereka bagaimana bisa datang dan berada di tempat
seperti ini, malah begitu datang lantas menetap di sini lidak mau pergi."
"Mungkin mereka sedang menghindari kejaran musuh atau mungkin pula musuh besar mereka
adalah Pho Ang-soat."
"Tapi waktu mereka datang kemari, Pho Ang-soat masih seorang bocah kecil."
"Lalu kenapa mereka hendak membunuh Pho Ang-soat?" ujar Yap kay.
"Tidak seharusnya kau bunuh mereka, karena hanya mereka saja yang patut mengajukan
pertanyaan itu kepadamu."
"Memang mereka mati terlalu cepat dan belum saat ajalnya, namun.....
"Namun bagaimana?" Siau Piat-li menegas
Tiba-tiba Yap Kay tertawa pula, ujarnya, "Jangan kau lupa bahwa manusia mati ada kalanya
pun bisa bicara."
"Apa yang mereka katakan?"
"Sekarang belum bicara, karena aku belum sempat bertanya pada mereka."
"Kenapa tidak segera kau tanya?"
"Kalau aku tidak tergesa-gesa, tentu mereka pun tetap sabar."
Siau Piat-li tertawa pula, katanya tersenyum sambil menatap Yap Kay,
"Kau ini memang seorang yang aneh sekali."
"Sama anehnya dengan Sam-lopan ...."
"Lebih aneh lagi...." sampai di sini kata-katanya, mendadak terdengar suara ribut-ribut, di
antara suara ribut-ribut terdengar orang berteriak, "Api, kebakaran, lekas tolong kebakaran...."
Kobaran jago merah amat besar. Yang terbakar ternyata adalah toko kelontong Li Ma-hou. Asal
kebakaran ternyata dari gubuk papan di bagian belakang itu, sekejap saja seluruh toko kelontong
itu sudah terjilat begitu cepat api menjalar sampai tak bisa dikuasai lagi.
Umpama orang ingin menonton kebakaran dari seberang juga tidak mungkin lagi. Karena
bangunan rumah-rumah sepanjang jalan raya yang berhimpitan ini semuanya terbuat dari papan
kayu. Dalam sekejap seluruh penduduk jalan raya ini menjadi ribut dan sibuk, berbagai barang
yang dapat dibuat wadah air sudah diboyong keluar.
Cahaya api menerangi muka Siau Piat-li, raut mukanya yang pucat kelihatan merah dan
menguning ditimpa sinar api, katanya setelah menepekur, "Agaknya api mulai menjilat dari gubuk
di belakang yang menjadi dapur itu."
Yap Kay manggut-manggut.
"Waktu kau keluar, apa kau lupa memadamkan api?"
"Bahwasanya waktu itu belum saatnya menyalakan lampu."
"Apakah tungkunya tidak ada sisa api?"
"Tungku milik setiap keluarga selalu ada apinya."
"Jadi kau berpendapat ada orang yang sengaja melepas api membakar rumah itu?"
"Seharusnya aku ingat ada orang akan membakar rumah itu," ujar Yap Kay tertawa.
"Kenapa?"
Yap Kay tertawa aneh, ujarnya, "Karena mayat yang sudah terbakar hangus, selamanya dia
akan betul tidak bisa bicara lagi" Tiba-tiba dia merebut sebuah ember di tangan orang yang baru
saja lewat di depannya, dengan gigih dia ikut bekerja menolong memadamkan api. Lekas sekali
Siau Piat-li sudah tidak melihat lagi bayangannya, namun sorot matanya masih kelihatan banyak
dirundung persoalan dan hati pun masgul.
Tiba-tiba datang seseorang secara diam-diam ke dekatnya, lalu bertanya dengan lirih, "Apa
yang sedang kau pikirkan?"
Siau Piat-li tidak berpaling, sahutnya kalem, "Baru saja aku memperoleh suatu pelajaran."
"Pelajaran apa?" tanya orang itu.
"Kalau kau ingin seseorang bungkam dan tak bicara lagi, sesudah kau bunuh harus kau bakar
sekalian."
Banyak sekali orang yang sibuk berusaha memadamkan kebakaran ini, sayang sekali sumber
airnya yang tiada.
Untung belum lama berselang baru saja hujan, rumah-rumah penduduk tidak seluruhnya kering
seratus persen, walau kobaran api tidak segera bisa dipadamkan, tapi merambatnya yang sedikit
terhalang. Yap Kay berjubel di antara orang banyak yang banting tulang menolong kebakaran, namun
sepasang matanya setajam mata elang jelalatan ke setiap penjuru, menjelajahi raut muka setiap
orang yang dilihatnya. Soalnya orang yang melepas api biasanya pura-pura ikut berusaha
menolong kebakaran, mungkin lantaran supaya tiada orang yang mencurigai dirinya, atau
mungkin dia ingin menikmati jerih payah orang-orang yang bekerja mati-matian memadamkan
api, sekaligus menikmati hasil karyanya dengan melepas api tadi. Sudah tentu ini merupakan sifat
atau sikap kejam dan tidak berperi-kemanusiaan, tapi orang yang melepas api itu memangnya
bukan mustahil memiliki jiwa yang eksentrik dan kejam" Cuma sayang sulit sekali dapat melihat
jiwa orang-orang seperti ini dari lahiriah dan tingkah-laku orang ini.
Baru saja Yap Kay merasa rada kecewa, tiba-tiba terasa ada seseorang tengah menarik lengan
bajunya dengan keras dari belakang. Begitu dia berpaling, dilihatnya orang itu sudah berpaling ke
arah lain dan sebat sekali sudah mendesak keluar dari gerombolan orang banyak. Itulah seorang
yang mengenakan topi beludru dan berpakaian jubah hijau. Sudah tentu Yap Kay tidak kalah
gesitnya ikut mendesak keluar dari kerumunan orang banyak. Setelah berada di luar, yang terlihat
juga cuma bayangan punggung orang baju hijau ini.
BAB 19. CABUT RUMPUT SEAKAR-AKARNYA
Biasanya Yap Kay amat senang menyelami bayangan punggung orang, terasa olehnya
bayangan punggung orang ini sedikit banyak mempunyai keistimewaan sendiri, maka bukanlah
soal sulit untuk mengetahui siapa sebenarnya orang itu dari bayangan punggungnya. Akan tetapi
bayangan orang baju hijau ini terasa asing baginya.
Perawakannya sih tidak terlalu tinggi, namun gerak-geriknya cukup cekatan dan gesit, lekas
sekali dia sudah tiba di ujung jalan raya sana. Sekonyong-konyong bayangan orang itu tahu-tahu
sudah lenyap tak berbekas lagi. Bintang-bintang berkelap-kelip di langit, padang rumput hening
lelap tak terdengar suara apa pun.
Dengan langkah lebar Yap Kay segera mengejar ke depan, mulutnya berseru perlahan, "Teman
di depan itu apakah ada petunjuk" Silakan berhenti untuk bicara."
Langkah orang jubah hijau bukannya berhenti malah dipercepat, beberapa kejap kemudian
setelah menempuh jarak tertentu, tiba-tiba badannya melejit terbang mengembangkan Ginkang
Pat poh kan sian (delapan langkah mengejar tonggeret) dari tingkat tinggi. Bukan saja Ginkang
orang ini amat tinggi, gaya gerakannya amat indah.
Tampak oleh Yap Kay jubah besarnya yang kedodoran itu melambai-lambai tertiup angin, tibatiba
terasa pula olehnya gerak-gerik orang ini seperti sudah amat hapal dan pernah dilihatnya
entah dimana. Semakin jauh mereka berlari, cuaca semakin gelap. Yap Kay sendiri juga tidak perlu
tergesa-gesa untuk menyandak orang itu.
Kalau orang jubah hijau ini tidak mau menemui dirinya, kenapa tadi menarik lengan bajunya"
Jika orang ini memang ingin bertemu dirinya, kenapa dirinya harus terburu-buru mengejarnya"
Angin menghembus rumput berombak, di antara sela-sela rumput yang tumbuh tinggi ternyata
terdapat sebuah jalanan kecil.
Agaknya orang itu amat hapal dengan situasi dan keadaan padang rumput dan sekitarnya, di
antara semak-semak rumput tinggi dia menuju ke timur lalu berbelok ke utara, kembali ke arah
barat, tiba-tiba bayangannya lantas lenyap.
Ternyata Yap Kay tetap kalem dan tidak menjadi gugup karenanya, dia pun berhenti dan
menunggu dengan sabar. Betul juga tak lama kemudian terdengar sebuah suara lirih di antara
semak-semak rumput panjang, "Kau tahu siapa?"
Yap Kay tertawa, mulutnya segera bersenandung dengan suara rendah, "Langit bergoncang,
bumi bergetar, orangnya bagai jade, batu jade berbau harum. Itulah Sim Sam-nio dari Ban be
tong." Terdengar orang tertawa dari semak-semak rumput, tawa yang lincah dan merdu serta lembut.
Terdengar seorang berkata dengan tertawa, "Pandangan yang tajam, patut diberi hadiah."
"Hadiah apa?" tanya Yap Kay tertawa.
"Kau masuk kemari dan menikmati arak bersama," sahut Sim Sam-nio.
Di tengah semak belukar padang rumput ini, cara bagaimana ada tempat menyimpan arak"
Setelah Yap Kay masuk ke dalam, baru dia mengerti, ternyata di tempat belukar ini Sim Sam-nio
membangun sebuah bilik kecil di bawah tanah.
Jika bukan dia sendiri yang membawamu kemari, umpama ada selaksa orang yang menjelajah
seluruh padang rumput ini juga jangan harap bisa menemukan bilik kecil ini. Sungguh suatu
tempat yang aneh dan menakjubkan, bukan saja di dalam ada arak, malah di sini juga tersedia
sebuah balai-balai yang bersih, lemari rias yang antik, di atas meja riasnya malah dipajang
seonggok bunga segar.
Meja antik dimana sudah tersedia arak, terdapat pula beberapa macam sayur-mayur.
Yap Kay terlongong.
Sim Sam-nio mengawasinya dengan tersenyum simpul, itulah senyuman yang menyedot sukma
setiap laki-laki. Menghadapi senyuman yang menggiurkan ini, hati setiap laki-laki akan tergugah
dari ketinggian terhadap perangsang yang membangkitkan daya kelakian.
Katanya tersenyum manis, "Apakah kau merasa heran?"
Tiba-tiba Yap Kay pun tertawa, ujarnya, "Tidak heran."
"Tidak heran?" Sim Sam-nio melengak.
"Perempuan sepertimu, peduli apa pun pekerjaan yang kau lakukan, aku tidak perlu merasa
heran." Jelalatan kerlingan biji mata Sim Sam-nio, katanya, "Agaknya kau ini memang laki-laki yang
serba tahu urusan."
"Demikian pula kau ini perempuan yang serba tahu."
"Oleh karena itu kita harus benar-benar menjadi orang yang betul-betul tahu urusan, duduk
dulu sambil minum arak.
"Dan selanjutnya," berkedip-kedip mata Yap Kay.
"Kalau kau toh laki-laki yang serba tahu, tidak pantas bertanya demikian di hadapan seorang
perempuan."
"Sebetulnya aku hanya ingin mendengar kau bercerita saja."
"Bercerita tentang apa?"
"Cerita tentang Sin to ban be."
"Darimana kau tahu bila aku bisa bercerita tentang kejadian itu?"
"Bukan hanya itu saja yang kuketahui lho."


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Sim Sam-nio tidak bersuara lagi. Cahaya lampu yang redup menyinari mukanya
sehingga dia kelihatan lebih cantik, namun suatu kecantikan yang merawankan, cantik dingin yang
harus dikasihani. Pelan-pelan dia menuang secangkir penuh terus disodorkan kepada Yap Kay. Yap
Kay pun duduk. Angin menghembus masuk dari lubang di sebelah atas, sinar lampu berkelap-kelip, seolah-olah
hari sudah larut malam. Alam semesta hening lelap, memangnya siapa akan menduga di dalam
bilik di bawah tanah ini dua orang sedang duduk berhadapan berdiam diri menikmati arak.
Memangnya siapa pula yang dapat meraba jalan pikiran mereka"
Kembali Sim Sam-nio memenuhi cangkirnya, pelan-pelan di tenggaknya pula, lalu katanya
pelan-pelan, "Kau tahu siapa juragan Sin to tong?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Kau tahu bahwa Pek Thian-ih dan Be Khong-cun sebenarnya adalah saudara angkat
seperjuangan dalam menempuh kehidupan pelik di antara mati dan hidup?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Mereka berjuang mengadu pundak, dari luar perbatasan malang melintang sampai ke
Tionggoan, akhirnya Sin to tong dan Ban be tong amat tenar dan disegani di Bu-lim "
"Sudah lama aku tahu Pek-locianpwe adalah tokoh yang luar biasa."
Sim-sam-nio menghela napas, katanya rawan, "Justru karena dia seorang yang luar biasa,
maka akhirnya dia mengalami kematian yang begitu mengenaskan."
"Kenapa?"
"Karena dia sehingga Sin to tong sehari demi sehari semakin besar dan jaya, bukan saja lebih
unggul dari Ban be tong, di kalangan Kangouw boleh dikata tiada tokoh mana pun yang kuat
mengungguli dia "
"Kukira dia pasti banyak membuat kesalahan terhadap orang banyak."
"Kebesaran tokoh Bu-lim dengan ketenarannya, memang harus diraih dengan cucuran darah."
Kata Sim Sam-nio setelah mengertak gigi, "Dia sendiri pun tahu bahwa banyak orang Kangouw
yang membenci dirinya, tapi mimpi pun tak pernah terpikir olehnya bahwa orang yang paling
membenci dirinya adalah saudara angkat yang amat dekat dengan dirinya."
"Be Khong-cun maksudmu?" tanya Yap Kay.
Sim Sam-nio manggut-manggut, sahutnya, "Be Khong-cun membencinya, karena dia tahu
dirinya tidak unggul dibanding saudara angkatnya."
"Apa benar akhirnya dia meninggal di tangan Be Khong-cun sendiri?"
"Sudah tentu ada orang lain lagi."
"Kongsun Toan?"
"Kongsun Toan hanya budak yang diperalat, hanya dengan kekuatan mereka berdua,
memangnya berani mengusik Sin to tong, apalagi Pek-hujin dan Pek-jihiap merupakan tokoh-tokoh
silat yang berkepandaian top pula di dunia persilatan." Terpancar kebencian yang meluap-luap dari
sorot matanya, katanya pula, "Oleh karena itu, sedikitnya ada tiga puluh orang."
"Tiga puluh orang?" Yap Kay sampai mengkirik seram.
"Ketiga puluh orang itu tentunya merupakan tokoh-tokoh top dunia persilatan juga."
"Kau tahu siapa mereka itu?"
"Tiada orang yang tahu ... kecuali mereka sendiri, pasti tiada orang lain yang tahu." Tidak
memberi kesempatan Yap Kay bertanya, Sim Sam-nio lekas meneruskan, "Malam itu hujan salju
baru saja berhenti, Be Khong-cun mengundang Pek-toako bersaudara untuk menikmati panorama
salju, kitanya di Bwe hoa am di luar kota dia sudah menyiapkan sebuah perjamuan yang cukup
mewah." Yap Kay mendengarkan penuh perhatian, seolah-olah setiap bait demi bait dan setiap patah
kata pun tidak ketinggalan, maka dia segera bertanya, "Bwe hoa am yang terang adalah tempat
ziarah orang beragama, mana bisa di sana disediakan perjamuan dan arak?"
"Orang yang benar-benar bisa membatasi diri untuk menyempitkan kehidupannya sendiri di
dunia ini ada berapa banyak?"
Yap Kay manggut-manggut ia sependapat, segera dia tuang secangkir arak pula.
Dia cukup menyelami perasaan hati orang. Perempan seperti dia ini tentu mempunyai
pandangan yang eksentrik terhadap segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.
Setelah menghabiskan secangkir arak, Sim Sam-nio bicara lebih lanjut, "Agaknya selera
tamasya Pek-toako memang amat besar, maka dia bawa seluruh keluarganya ikut serta, siapa
tahu ... siapa tahu Be Khong-cun bukan ingin mereka melihat pemandangan salju yang putih, tapi
adalah salju nan merah!" Tangan yang menggenggam cangkir mulai gemetar, sorot matanya yang
bersinar menjadi merah dan berkaca-kaca.
Air muka Yap Kay pun prihatin, katanya, "Apakah tiga puluh orang itu sudah dipendam dulu
oleh Be Khong-cun untuk menjebaknya di Bwe hoa am?"
Sim Sam-nio manggut-manggut, katanya rawan, "Pada malam itulah keluarga Pek-toako
bersaudara, seluruhnya sebelas orang, semuanya gugur di luar Bwe hoa am, tiada satu pun yang
ketinggalan hidup."
"Ya, membabat rumput sampai akar-akarnya, perbuatan mereka terlalu kejam!"
Dengan ujung bajunya Sim Sam-nio menyeka air mata, katanya pula, "Yang paling
mengenaskan adalah Pek-toako suami istri, beliau malang melintang selama hidup, waktu ajalnya
ternyata badannya tidak utuh dan batok kepalanya entah terpenggal oleh siapa, sampai pun
puteranya yang berusia empat tahun pun mati di bawah tusukan pedang." Kembali dia mengisi
cangkirnya, cepat sekali dia habiskan araknya ini, lalu menyambung, "Tapi tiga puluh orang yang
ikut mengeroyok secara menggelap itu, ada dua puluhan lebih yang terbunuh juga olehnya."
"Empat jari di tangan kiri Be Khong-cun yang putus itu, tentunya juga terpapas kutung
olehnya." "Di waktu Pek-toako tidak menduga dan tidak siaga, dengan seluruh kekuatan Kim kong ciang
lat dia memukul Pek-toako serta melukainya dengan berat, mungkin malam itu tiada satu pun di
antara mereka yang bisa selamat."
"Kim kong ciang?"
"Be Khong-cun adalah seorang tokoh yang amat berbakat, tangan kanannya meyakinkan Boh
san kun (pukulan memecah gunung), tangan kiri melatih Kim kong ciang, pukulan ini sudah dia
yakinkan sampai ke tingkat sembilan."
"Bagaimana dengan Pek-tayhiap?"
Bersinar biji mata Sim Sam-nio. "Kepandaian silat Pek-toako tiada taranya, menjagoi dan tiada
bandingannya di seluruh jagat, dinilai dari ilmu silat, kecerdikan pikiran, keberanian, pasti tiada
seorang pun di dunia ini yang setanding dengannya." Asal kita melihat sorot matanya, maka kita
akan mengerti betapa hormat dan kagum dirinya terhadap Pek-toako itu.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Kenapa tokoh-tokoh perkasa sejak zaman dahulu kala,
selalu berakhir dengan nasib jiwanya yang amat mengenaskan?" Dia pun menenggak habis
secangkir arak baru meneruskan, "Setelah seluruh keluarga Pek-toako meninggal dengan
mengerikan, sudah tentu Be Khong-cun menjatuhkan semua tanggung jawab ini kepada orangorang
yang ikut menjadi pembunuh gelap itu."
Sim Sam-nio menyeringai dingin, ujarnya, "Lebih mengenaskan lagi, malah di hadapan orang
banyak dia bersumpah hendak menuntut balas bagi kematian Pek-toako."
"Di antara tiga puluh orang yang ikut bekerja itu, ada berapa orang yang masih ketinggalan
hidup?" "Tujuh orang."
"Tiada orang tahu siapa mereka?"
"Tiada!"
"Sudah tentu mereka sendiri merahasiakan diri sendiri dan tidak mau memberitahukan kepada
siapa pun, mungkin Be Khong-cun tidak akan menduga bahwa rahasia ini akhirnya bocor juga"
"Mimpi pun dia tidak pernah menduga."
"Sebetulnya aku sendiri pun tidak mengerti, cara bagaimana rahasia ini akhirnya bisa bocor?"
Sim Sam-nio menepekur sebentar, katanya kemudian, "Satu di antara tujuh orang yang masih
hidup itu, tiba-tiba tersadar lahir batinnya, maka dia memberitahukan rahasia ini kepada Pekhujin."
"Masakah manusia macam ini punya nurani?"
"Sebetulnya dia pun sudah mampus di bawah golok Pek-toako tapi Pek-toako dapat
mengenalinya dari permainan silatnya, mengingat dia masih membawa manfaat, maka goloknya
tidak menghabisi jiwanya."
"Siapakah orang ini?"
"Pek-hujin pernah berjanji kepadanya, sekali-kali tidak akan membocorkan namanya."
"Apa manfaatnya dia menjadi manusia?"
"Jika manfaatnya itu diterangkan, mungkin kaum persilatan akan banyak yang tahu siapa dia
sebenarnya."
"Pek-tayhiap begitu hapal terhadap ilmu silatnya, apakah dia adalah teman baik Pek-tayhiap?"
"Memangnya Be Khong-cun bukan teman baik Pek-tayhiap" Tiga puluh orang pembunuh itu
bukan mustahil semua adalah teman baik Pek-toako."
"Agaknya teman baik memang jauh lebih menakutkan dari musuh besar."
"Tapi setelah Pek-toako mengampuni jiwanya, sepulang di rumah terketuk juga nuraninya,
kalau tidak, mungkin kematian dan penasaran Pek-toako bakal tenggelam ditelan masa."
"Dia tidak menerangkan siapa keenam orang yang lain?"
"Tidak."
"Kenapa tidak dikatakan?"
"Karena dia sendiri pun tidak tahu," sahut Sim Sam-nio, "biasanya Be Khong-cun bekerja
teramat teliti dan hati-hati, dia pilih ketiga puluh orang itu menjadi pembunuh Pek-toako secara
menggelap, sudah tentu sebelumnya sudah memakan waktu cukup lama untuk merencanakan dan
menyelidiki pribadi-pribadi mereka, maka dia tahu bahwa orang-orang ini terang juga mendendam
dan penasaran terhadap Pek-toako secara diam-diam?"
"Tentunya memang begitu."
"Tapi ketiga puluh orang itu secara langsung dihubungi oleh Ban be Khong-cun sendiri,
siapapun tiada yang tahu kedua puluh sembilan yang lain."
"Tokoh-tokoh silat kelas tinggi dikalangan Kangouw kebanyakan memiliki ilmu tunggal, masingmasing
dengan senjata atau gaman yang khas pula, paling tidak orang ini bisa mencari sumber
penyelidikan."
"Pada malam peristiwa itu, ketiga puluh orang ini bukan saja berseragam hitam dan
mengenakan kedok muka, malah senjata khas milik mereka sendiri pun sudah diganti yang lain,
apalagi tentunya orang itu juga mengerti betapa menakutkan ilmu silat Pek-toako, di waktu
melancarkan serangan hatinya tentu teramat tegang, sudah tentu tiada pikiran dan tidak sempat
lagi dia memperhatikan orang lain."
Yap Kay tertunduk diam menepekur sekian lamanya, tiba-tiba dia bertanya, "Lalu siapa pula
Pek-hujin itu?"
Sim Sam-nio menghela napas, katanya masgul, "Dia ... dia adalah perempuan yang patut
dipuji, seorang perempuan yang harus dikasihani, walaupun dia seorang gadis yang cantik
rupawan, tapi nasibnya sungguh jauh lebih mengenaskan dari siapa pun."
"Kenapa?"
"Karena laki-laki yang dia cintai bukan saja sudah punya istri dan anak, malah dia pun musuh
besar perguruannya."
"Musuh besar?"
"Mulanya dia adalah putri terbesar Mo kau Kaucu"
"Mo kau?"
"Sejak tiga ratus tahun yang lalu, semua golongan dan aliran persilatan di Bu-lim bila
menyinggung nama Mo kau, tiada orang yang tidak geleng-geleng kepala, sebetulnya anggota Mo
kau adalah manusia juga, mereka punya daging punya darah, apalagi asal kau tidak menyalahi
mereka, mereka pun tidak akan menyalahi kau."
Yap Kay tertawa getir, ujarnya, "Aku sendiri justru beranggapan bahwa Mo kau sebetulnya
hanya ada di dalam dongeng yang serba misteri belaka, siapa tahu di jagat ini memang kenyataan
ada." "Selama dua puluhan tahun belakangan ini, orang-orang Mo kau memangnya tiada satu pun
yang pernah unjuk diri."
"Kenapa?"
"Karena Mo kau Kaucu pernah bertanding dengan Pek-toako di puncak Thian san dengan
syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh pihak yang kalah, bila mereka kalah, bersumpah sejak saat
itu tidak akan memasuki daerah Tionggoan"
"Pek-tayhiap memang tokoh tertinggi di antara para tokoh, sungguh hebat dan patut dipuji."
"Sayang sekali kau lahir terlambat dua puluh tahun, tidak pernah bisa melihatnya."
"Betapa gagah perwira dan kebesaran jiwanya pada masa itu, sekarang pun aku masih bisa
membayangkannya."
"Karena pertempuran di puncak Thian-san itulah, maka seluruh anggota Mo kau dari atas
sampai ke bawah, semua memandang Pek toako sebagai musuh besarnya."
"Agaknya jiwa orang-orang Mo kau memang terlalu sempit dan eksentrik."
"Pek-hujin adalah putri tunggal Mo kau Kaucu"
"Tapi dia justru jatuh hati terhadap Pek-tayhiap."
"Justru karena Pek-toako, sampai dia tidak segan-segannya menjadi murid dan anak yang
durhaka meninggalkan Mo kau dan ayah-bundanya."
"Dia sudah tahu bila Pek-tayhiap sudah punya istri?"
"Dia tahu, Pek-toako tidak pernah membohongi dia, maka dia benar-benar jatuh hati."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Kalau kau ingin orang mencintaimu sesungguh hati, maka
kau pun harus menghadapinya dengan cintamu yang murni."
Sorot mata Sim Sam-nio menjadi hangat dan lembut, katanya lirih, "Jelas dia mengetahui Pektoako
takkan bisa sering-sering datang menjenguk dirinya, tapi dia rela menunggu, ada kalanya
dalam satu tahun dia hanya sekali melihat Pek-toako, tapi hatinya toh sudah puas."
Pandangan Yap Kay seolah-olah memandang ke tempat nan jauh. lama juga baru dia bertanya,
"Tentunya istri Pek-tayhiap tidak pernah tahu akan permainan asmara kedua orang ini."
"Sampai ajalnya dia tetap tidak tahu karena meski Pek-toako seorang Enghiong, tapi terhadap
istrinya yang satu ini dia rada takut juga, oleh karena itulah Pek-hujin itu yang menderita dan
menjadi kambing hitamnya."
"Ya, aku mengerti," ujar Yap Kay. Memang dia mengerti. Tragedi yang paling mengenaskan
bagi perempuan adalah dia mencintai laki-laki yang tidak patut dia cintai.
"Dan yang lebih mengenaskan, waktu itu perutnya sudah mengandung keturunan Pek-toako."
Yap Kay ragu-ragu, akhirnya bertanya, "Anak yang kau maksudkan bukankah...."
"Anak itu adalah Pho Ang-soat."
"Jadi dia kemari hendak menuntut balas kepada Ban be tong!"
Sim Sam-nio manggut-manggut, matanya berkaca-kaca, katanya,
"Untuk hari ini, entah betapa derita yang dialami mereka ibu beranak."
"Apakah selamanya Pek-hujin tidak memohon bantuan kepada Ayahnya?"
"Dia pun seorang perempuan yang berwatak keras, selamanya tidak suka dikasihani oleh siapa
pun meski ayahnya sendiri, apalagi orang-orang Mo kau sudah membenci begitu rupa terhadap
Pek-toako, memangnya mereka mau membantunya?"
"Kalau dia memang betul adalah putri Mo kau Kaucu, sudah tentu takkan punya teman lagi."
"Oleh karena itu dengan sepenuh hati dan dengan segala jerih payah dia tekun mengasuh dan
mendidik putranya semoga kelak bisa menuntut balas bagi kematian Pek-toako."
"Agaknya putranya itu tidak akan membikin kecewa harapannya."
"Sekarang dia memang boleh terhitung tokoh yang tangguh sekali, malah aku berani bilang
hanya beberapa orang saja yang mungkin kuasa menandingi dia di jagat ini, tapi memangnya
siapa yang tahu, untuk meyakinkan ilmu silatnya itu berapa parah dan beratnya dia menderita?"
"Peduli melakukan apa saja, jika ingin menonjol dan lebih unggul dari orang lain, memang
harus menderita."
Sim Sam-nio menatapnya lekat-lekat, tanyanya tiba-tiba, "Dan kau?"
"Aku" ...." Yap Kay tertawa, kelihatannya tawanya mengandung rasa pedih, lama juga dia diam
saja, lalu katanya dengan kalem, "Paling tidak aku lebih mending daripada dia, karena selamanya
tiada orang yang mengurusi diriku "
"Tiada diurusi orang apakah merupakan nasib yang baik?" tanya Sim Sam-nio.
Yap Kay tertawa pula, hanya tertawa saja tanpa berbincang apa-apa.
"Aku percaya ada kalanya aku pun akan mengurusimu," demikian ujar Sim Sam-nio, "derita
bagi seseorang yang tidak pernah diurus orang serba sepi dan sunyi, aku cukup memahaminya."
Tiba-tiba Yap Kay memutar haluan, katanya, "Kira-kira aku sudah cukup mengerti semua
peristiwa ini."
"Apa yang kuuraikan barusan sudah amat jelas dan terperinci."
"Tapi kau masih melupakan membicarakan satu hal."
"Hal apa?"
"Mengenai dirimu sendiri."
Sim Sam-nio ditatapnya lekat-lekat, katanya kalem, "Siapakah kau
sebenarnya, apa pula sangkut-pautmu dengan persoalan ini?"
Lama Sim Sam-nio berdiam diri, akhirnya baru menjawab, "Ban be tong mengira aku adalah
adik Pek-hujin, sebetulnya dia salah."
"Oh! Lalu?"
Sim Sam-nio tertawa kecut, katanya, "Sebetulnya aku pun orang Mo kau, tapi tak lebih hanya
seorang pembantu yang selalu melayani keperluan Pek-hujin saja."
"Pho Ang-soat mengenalmu?"
"Dia tidak mengenalku," ujar Sim Sam-nio geleng-geleng, "sejak masih kecil, aku sudah
meninggalkan Pek-hujin."
"Kenapa?"
"Karena aku ingin mencari kesempatan, masuk ke dalam Ban be tong untuk mencari berita."
"Ingin menyelidiki siapa sebenarnya keenam orang yang lain itu?"
"Yang terpenting memang itu yang kutuju"
"Kau tidak berhasil menyelidikinya?"
"Tidak!" sorot mata Sim Sam-nio mengunjuk rasa gegetun dan penasaran, katanya masgul,
"Oleh karena itu selama sepuluh tahun ini hidupku teramat sia-sia."
"Kau hanya seorang pembantu dekat Pek-hujin, tapi bekerja juga karena dendam ini sehingga
menyia-nyiakan masa remajamu serta jiwamu selama sepuluh tahun ini."
"Karena dia teramat baik terhadapku, selamanya dia menganggap aku sebagai adik
kandungnya sendiri."
"Tiada sebab lain?"
"Sudah tentu lantaran juga Pek-toako adalah laki-laki yang menjadi pujaan hatiku." Tiba-tiba
dia mengangkat kepala menatap Yap Kay, katanya pula, "Agaknya kau seperti ingin sekali
menanyakan sampai jelas setiap persoalan ini baru hati merasa lega."
"Memang aku paling suka mengorek keterangan pribadi orang lain."
Mimik muka Sim Sam-nio tiba-tiba berubah sangat aneh, katanya tetap menatap orang, "Oleh
karena itu maka kau pun suka mendekam di atas rumah mencuri dengar pembicaraan orang lain?"
Yap Kay tertawa, katanya, "Agaknya kau sendiri juga ingin menanyakan semua persoalan baru
lega hatimu."
Sim Sam-nio menggigit bibir, katanya, "Tetapi malam itu, perempuan yang berada di dalam


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah bukan aku"
"Bukan kau?" tanya Yap Kay sambil mengedip-ngedipkan mata.
"Bukan!"
Mengawasi orang, mimik muka Yap Kay juga berubah aneh, lama berselang baru pelan-pelan
dia bertanya, "Siapa kalau bukan kau?"
"Cui-long!"
Mata Yap Kay tiba-tiba menyala terang, sampai sekarang baru dia paham, kenapa waktu Pho
Ang-soat melihat dirinya hendak menarik Cui-long, air mukanya mengunjuk rasa marah dan naik
pitam. Pelan-pelan Sim Sam-nio mengisi cangkir sendiri dan cangkir Yap Kay, katanya, "Oleh karena
itu perempuan yang bergaul dengan kau malam itu bukan Cui-long."
"Siapa kalau bukan Cui-long?"
Sim Sam-nio menenggak habis secangkir arak, kerlingan matanya seremang kabut tebal,
katanya pelan-pelan, "Terserah kau anggap siapa dia, asal bukan Cui-long...."
Yap Kay menghela napas panjang, katanya, "Ya, aku sudah mengerti."
"Terima kasih," suara Sim Sam-nio lembut.
"Tapi aku sedikit tidak mengerti." tiba-tiba Yap Kay bertanya, "kenapa kau berbuat demikian?"
Tertunduk dalam kepala Sim Sam-nio, seolah-olah dia malu Yap Kay melihat mimik mukanya.
Lama berselang baru dia menghela napas, katanya rawan, "Untuk membalas dendam, sering aku
melakukan apa saja yang tidak senang kulakukan."
"Mungkin setiap orang pernah melakukan apa-apa yang tidak suka dia lakukan."
"Tapi kali ini aku sungguh-sungguh tidak mau melakukannya lagi."
Terpancar rasa iba dan simpatik pada sorot mata Yap Kay, katanya, "Sudah tentu bukan demi
dirimu sendiri."
"Memang aku amat takut bakal mencelakai dia, seharusnya tidak pantas dia punya hubungan
dengan perempuan seperti diriku, cuma ... aku pun demi diriku sendiri."
"O!" Dengan kencang Sim Sam-nio menggigit bibirnya, katanya, "Aku sudah bekerja sesuai dengan
kemampuanku, sekarang aku tidak akan sudi menyentuh laki-laki yang tidak kusenangi."
BAB 20. MABUK UNTUK HILANGKAN MASGUL
Yap Kay mengangkat cangkir, menenggaknya sampai habis, kini terasa arak ini sudah mulai
getir. Sudah tentu dia pun bisa mengerti, perempuan kalau terpaksa harus bergaul dengan lakilaki
yang dibencinya, merupakan suatu hal yang amat memukul batin.
Tiba-tiba Sim Sam-nio mengangkat kepala sambil menyingkap rambutnya yang terurai,
katanya, "Selama hidupku ini, belum pernah aku menaruh hati kepada laki-laki siapa pun, kau
percaya tidak?" Sorot matanya mulai kabur, agaknya dia sudah dipengaruhi air kata-kata.
Yap Kay menghela napas pelan-pelan, hanya menghela napas saja.
"Sebetulnya Ban-be-tong-cu teramat baik terhadapku, seharusnya dia sudah membunuhku."
"Kenapa?"
"Karena dia sudah tahu siapa aku sebenarnya."
"Tapi dia tidak membunuhmu."
"Maka aku harus berterima kasih kepadanya, tapi aku justru lebih membencinya." Dengan
kencang ia genggam cangkir araknya, seolah-olah cangkir itu ibarat tenggorokan Ban-be-tong-cu
dan ingin dicekiknya.
Poci arak sudah kosong.
Yap Kay menuang separo araknya ke cangkir orang.
Selanjutnya dia minum pula setengah cangkir arak ini, minum pelan-pelan, seolah-olah dia
merasa amat sayang dengan sisa arak yang tidak banyak lagi ini.
Kata Yap Kay dengan menatapnya, "Kukira sekarang kau tentu tidak sudi untuk berhadapan
pula dengan Ban-be-tong-cu untuk selamanya."
"Aku tidak bisa membunuhnya, terpaksa tidak melihatnya saja."
"Tapi kau memang sudah bekerja sekuat tenagamu."
Tertunduk kepala Sim Sam-nio, matanya mengawasi cangkir di tangannya, katanya tiba-tiba,
"Tahukah kau kenapa aku mau memberitahu semua ini kepadamu?"
"Karena aku adalah laki-laki yang tahu urusan."
Suara Sim Sam-nio lembut "Kau pun laki-laki yang mungil, jika aku masih muda, pasti
kuusahakan untuk memeletmu."
"Sekarang kau toh belum tua," sahut Yap Kay mengawasi muka orang.
Pelan-pelan Sim Sam-nio mengangkat kepala balas mengawasinya, terkulum pula senyuman di
ujung bibirnya yang manis itu, katanya, "Umpama aku belum tua, tapi sudah terlambat." Meski
cantik senyumannya, tapi seperti membawa perasaan pahit getir yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata. Senyuman yang pilu dan menyedihkan.
Tiba-tiba dia bergegeas berdiri, putar badan, kembali dia keluarkan sebuah poci arak, katanya
tertawa, "Oleh karena itu sekarang aku hanya ingin menemani kau minum sepuasnya sampai
mabuk bila perlu."
"Memang sudah lama aku tidak pernah mabuk lagi."
"Tapi sebelum kau benar-benar jatuh mabuk, ingin aku minta sesuatu supaya kau berjanji
kepadaku."
"Silakan berkata "
"Tentunya kau sudah tahu orang macam apa sebenarnya Pho Ang-soat itu."
Yap Kay manggut-manggut, kemudian ujarnya, "Aku pun amat menyenanginya."
"Kecerdikan otaknya boleh dipuji, apa pun yang dia pelajari, pasti dapat dipelajarinya dengan
baik, tapi dia pun seorang yang lemah, meski kelihatan biasanya dia amat kokoh kuat, sebetulnya
hanya sedapat mungkin mempertahankan diri belaka, kalau ada sesuatu pukulan yang benarbenar
merusak batinnya, pasti dia tidak akan kuat bertahan."
Yap Kay diam saja, dia tengah mendengarkan.
"Waktu dia membunuh Kongsun Toan, aku pun berada di sana, selamanya kau tidak akan
pernah membayangkan betapa derita batinnya setelah dia membunuh orang, setua ini hidupku
belum pernah aku melihat ada orang muntah-muntah sehebat itu."
"Maka kau kuatir dia ...."
"Aku hanya menguatirkan dia tidak akan tahan mengalami penderitaan itu ... mungkin dia bisa
gila jadinya."
"Tapi dia memangnya terpaksa harus membunuh orang."
"Tapi yang paling kukuatirkan hanya penyakitnya itu."
"Penyakit apa?"
"Semacam penyakit yang aneh. di dalam ilmu pertabiban dinamakan penyakit ayan, bila
panyakitnya itu kumat, seketika dia tidak akan bisa mengendalikan diri."
Terpancar semacam rona yang sedih pada raut muka Yap Kay, katanya menghela napas, "Aku
sudah pernah menyaksikan sendiri betapa derita keadaannya bila penyakitnya itu kumat."
"Dan yang lebih menakutkan adalah takkan ada orang yang tahu kapan penyakitnya itu bakal
kumat, sampai dia sendiri pun tidak tahu, maka dalam sanubarinya selalu dibayangi suatu
ketakutan, oleh karena itu selalu dia berada dalam keadaan siap siaga, dalam keadaan tegang,
selamanya dia tidak bisa mengendorkan dirinya,"
"Yang Kuasa kenapa justru memberi kesengsaraan dengan penyakit separah itu kepada orang
macam dia."
"Untung belum ada orang lain yang tahu akan penyakit anehnya itu, sudah tentu Ban-be-tongcu
sendiri pun tak tahu akan hal ini."
"Kau yakin benar bahwa tiada orang lain yang tahu?"
"Pasti tiada," sahut Sim Sam-nio tegas. Memang dia punya keyakinan, karena dia belum tahu
belakangan ini penyakit aneh Pho Ang-soat itu pernah kumat sekali, celakanya penyakitnya itu
kumat justru di hadapan Be Hong-ling.
Yap Kay berpikir sebentar, katanya, "Jika dia merasa tegang, apakah kemungkinan kumatnya
penyakit itu lebih besar?"
"Kukira demikian?"
"Jadi bila dia berduel dengan Ban-be-tong-cu. Tentu hatinya teramat tegang."
"Hal inilah yang paling kukuatirkan, kalau saat itu penyakitnya itu kumat ....." bibirnya tiba-tiba
jadi gemetar, sehingga kata-katanya tidak bisa dilanjutkan, bukan saja tidak berani bicara, sampai
memikirkan pun tidak berani.
Lekas Yap Kay mengisi pula cangkirnya, katanya, "Maka kau mengharap aku bisa
melindunginya dari samping."
"Aku bukan hanya mengharap, aku sedang memohon kepadamu."
"Aku tahu."
"Kau menerima permintaanku?"
Sorot mata Yap Kay seolah-olah tertuju ke tempat nan jauh pula, lama juga baru dia buka
suara, "Aku boleh melulusi, namun yang kukuatirkan sekarang bukan hal ini."
"Apa yang kau kuatirkan?"
"Tahukah kau, belum satu jam dia kembali, beruntun ada dua orang yang ingin
membunuhnya."
Terkesiap darah Sim Sam-nio, tanyanya terbelalak, "Siapa mereka?"
"Tentunya kau pernah mendengar Toan-yang-ciam Toh-popo dan Bu-kut-coa Sebun Jun."
Sudah tentu Sim Sam-nio pernah mendengar nama mereka. Seketika berubah rona mukanya,
gumamnya, "Aneh, kenapa kedua orang ini ingin membunuhnya?"
"Bukan hal ini yang kuherankan."
"Apa pula yang kau herankan?"
"Baru saja aku menyinggung kemungkinan kehadiran mereka di tempat ini, mereka lantas
muncul secara mendadak."
"Apakah kau merasa mereka muncul terlalu cepat" Secara kebetulan?"
"Bukan saja terlalu cepat mereka muncul, kematian mereka pun terlalu cepat, seolah-olah takut
ada orang bakal menyelidiki sesuatu rahasia mereka, maka buru-buru diri sendiri ingin mati."
"Bukan kau yang membunuh mereka?"
"Paling tidak aku tidak perlu buru-buru ingin mereka mampus."
"Jadi kau kira ada seseorang yang membunuh mereka untuk menutup mulutnya."
"Mungkin persoalan tidak begitu sederhana."
"Apa maksudmu, aku tidak mengerti "
"Kemungkinan dua orang yang mampus itu bukan Sebun Jun dan Toh-popo yang asli."
"Bisakah kau bicara lebih jelas dan terperinci?"
"Sudah tentu mereka mempunyai suatu alasan yang mendesak, maka terpaksa
menyembunyikan diri di sini."
"Benar, aku sependapat dengan kau."
"Sudah sekian tahun lamanya mereka menyembunyikan diri, sudah beranggapan tiada orang
tahu jejak mereka."
"Memangnya kenyataan tiada orang yang tahu jejak mereka."
"Tapi hari ini mendadak aku bilang pada orang kemungkinan mereka bersembunyi di tempat
ini." "Cara bagaimana kau tahu?"
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Banyak sekali urusan yang kuketahui." "Mungkin yang kau ketahui
memang terlalu banyak," kata Sim Sam-nio
"Kalau aku sudah telanjur bilang kemungkinan mereka berada di sini, sudah tentu ada orang
yang lantas mencari mereka."
"Yang mereka takuti bukan orang lain, tapi kau, karena mereka tidak habis mengerti cara
bagaimana kau bisa tahu bila mereka berada di sini, mereka pun takkan bisa mereka-reka apa
pula yang kau ketahui."
"Mereka kuatir jejaknya bocor, maka sengaja mengatur dua orang lain muncul, malah mereka
berdaya-upaya supaya aku betul-betul percaya bahwa kedua orang itu adalah Sebun Jun dan Tohpopo."
"Cara apa yang mereka gunakan?"
"Banyak sekali caranya, salah satu yang paling gampang dilaksanakan, dia menyuruh seseorang
membunuh orang menggunakan Toan-yang-ciam."
"Toan-yang-ciam adalah senjata rahasia tunggal milik Toh-popo, maka kau akan menduga bila
orang ini adalah Toh-popo."
"Ya begitulah," Yap Kay membenarkan.
"Jika ingin membunuh orang, sasaran yang paling baik sudah tentu adalah Pho Ang-soat."
"Memang di situlah titik paling ganjil dari seluruh rencana kerja mereka."
"Kalau kedua orang ini berhasil membunuh Pho Ang-soat, sudah tentu baik sekali, umpama
tidak mampu membunuh Pho Ang-soat, yang terang kegagalan itu tidak akan membawa akibat
apa-apa kepada rencana mereka."
"Benar sekali," Yap Kay setuju akan analisa ini.
"Setelah mereka turun tangan, maka Toh-popo dan Sebun Jun yang asli turun tangan
membunuh mereka untuk menyumbat mulutnya, supaya kau beranggapan Toh-popo dan Sebun
Jun benar-benar sudah mampus."
"Siapa pun tak bakal tertarik terhadap sesosok mayat yang sudah kaku dingin, selanjutnya
sudah tentu tiada orang yang akan mencari mereka."
Berkedip-kedip mata Sim Sam-nio, katanya, "Sayang sekali ada semacam orang yang selalu
punya perhatian dan tertarik terhadap mayat-mayat orang."
Yap Kay tersenyum, katanya, "Memang ada manusia macam itu di dunia ini."
"Oleh karena itu mereka menganggap hanya membunuhnya saja belum cukup, maka mereka
harus melenyapkan mayat-mayat itu pula."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Sering aku dengar orang bilang perempuan cantik
kebanyakan tidak punya pikiran, agaknya omongan orang tidak bisa dipercaya."
Sim Sam-nio tersenyum lebar, katanya, "Ada orang bilang, laki-laki yang pintar putar otak,
biasanya tidak bisa memutar bacot, agaknya omongan ini tidak berlaku lagi atas dirimu."
Yap Kay tertawa. Seharusnya tidak perlu mereka tertawa saat itu Kata Sim Sam-nio,
"Sebetulnya masih ada beberapa persoalan yang belum kumengerti"
"Silakan utarakan."
"Yang jadi korban kalau bukan Toh-popo dan Sebun Jun, lalu siapa mereka?"
"Aku hanya tahu satu di antaranya memiliki kepandaian silat yang amat tinggi, terang bukan
golongan keroco yang tidak punya nama."
"Tapi kau kan tidak tahu siapa dia sebenarnya?"
"Mungkin kelak aku akan tahu."
"Sesuatu yang ingin kau ketahui, akhirnya pasti bisa kau ketahui."
"Mungkin aku ini orang yang selalu dibekali akal dan selalu punya jalan untuk mencapai yang
kuinginkan."
"Kalau begitu tentunya kau pun harus tahu, kenapa Toh-popo dan Sebun Jun menyembunyikan
diri ke sini."
"Menurut pendapatmu?"
Sikap Sim Sam-nio tiba-tiba jadi serius, katanya, "Tujuh orang masih hidup di antara ketiga
puluh orang pembunuh itu, kemungkinan sekarang kita sudah menemukan dua di antara tujuh
orang itu."
Mimik muka Yap Kay pun serius, "Inilah urusan yang cukup penting dan genting, maka lebih
baik kalau kau tidak terlalu cepat berkeputusan akan keyakinanmu."
Sim Sam-nio manggut-manggut, katanya pelan-pelan, "Boleh tidak kalau aku umpamakan
mereka saja."
Yap Kay hanya menghela napas, menghela napas juga merupakan suatu jawaban.
Maka Sim Sam-nio meneruskan, "Jika mereka belum mati, pasti masih berada di sini."
"Tidak akan salah."
"Orang-orang di sini tidak banyak."
"Tapi juga tidak sedikit."
"Menurut pendapatmu, siapa kiranya kemungkinan adalah Sebun Jun" Siapa pula kemungkinan
besar adalah Toh-popo?"
"Tadi sudah kukatakan, persoalan ini siapa pun sulit untuk memutuskan terlalu cepat sebelum
memperoleh data-data yang nyata."
"Tapi asal mereka belum mati, pasti masih berada di tempat ini."
"Sudah kukatakan tidak akan salah."
"Kalau mereka sembarang waktu bisa mencari dua orang untuk menjual jiwa bagi mereka,
maka boleh diduga bahwa di tempat ini pasti banyak kaki tangannya."
"Benar."
"Orang-orang itu sembarang waktu kemungkinan muncul untuk membokong Pho Ang-soat."
Yap Kay manggut-manggut dengan menghela napas.
"Dan hanya hal ini satu-satunya yang amat kau kuatirkan?"
"Dengan bekal kepandaiannya, sudah tentu orang-orang itu bukan tandingannya."
Sim Sam-nio juga manggut-manggut.
"Kalau dia adalah putra tunggal tuan putri Mo-kau, berbagai kepandaian silat dari aliran
samping pintu itu yang amat dibanggakan orang Mo-kau tidak sedikit yang dia pelajari."
"Ya, memang tidak sedikit."
"Tapi dia masih kurang memiliki satu hal."
"Hal apa?"
"Pengalaman," katanya pelan-pelan, "Dalam suasana seperti ini, hal ini merupakan titik tolak
yang amat penting, celakanya siapa pun takkan bisa mengajarkannya."
"Oleh karena itu ...."
"Maka kau perlu memberitahu kepadanya, tempat yang benar-benar berbahaya bukan di Banbe-
tong, kota kecil inilah yang benar-benar tempat paling bahaya bagi dia, dan lagi dia tidak akan
bisa melihatnya, takkan pernah terbayang dan terpikir juga olehnya."
"Kau kira Ban-be-tong-cu sudah mengatur perangkap yang terpendam di dalam kota?"
"Kau pernah bilang, dia adalah seorang yang amat teliti."
"Memang begitulah kenyataannya."
"Tapi sekarang tiada seorang pun yang berada di dekatnya sudi menjual jiwa bagi
kepentingannya lagi."
"Memang kematian Kongsun Toan merupakan suatu pukulan berat bagi dia."
"Seorang yang amat teliti dan hati-hati seperti dia, pasti dia pun amat besar perhatiannya bagi
perlindungan diri sendiri, umpama benar Kongsun Toan adalah temannya yang paling setia, dia
pasti tidak akan mempercayakan keselamatan dirinya untuk dilindungi olehnya."
"Memangnya Kongsun Toan bukan seorang yang benar-benar dapat dipercayai untuk
melindungi jiwanya."
"Tentunya dia jauh lebih mengerti akan diri Kongsun Toan daripada kau."
"Oleh karena itu maka kau mengira dia pasti sudah mengadakan persiapan?"
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Kalau dia tidak punya keyakinan untuk menghadapi Pho Ang-soat,
masakah sekarang dia masih tetap tinggal di sini."
"Apa kau berpendapat bahwa Pho Ang-soat sudah kehilangan kesempatan untuk menuntut
balas?" "Kalau dia hanya ingin membunuh Ban-be-tong-cu seorang saja, mungkin masih punya
kesempatan."


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika dia pun ingin mencari keenam orang yang lain?"
"Sulit sekali."
Sim Sam-nio menatapnya lekat-lekat, katanya tiba-tiba dengan menghela napas, "Sebenarnya
kau sedang menguatirkan kami" Ataukah demi Ban-be-tong untuk memberi peringatan kepada
kami" Sekarang aku jadi bingung dan tidak bisa membedakan lagi."
"Apa benar kau tidak bisa membedakan?"
"Walaupun kau sudah membeberkan banyak rahasia, tapi bila dipikirkan dengan seksama,
hakikatnya semua rahasia itu bagi kita tiada manfaatnya sama sekali."
"O" Lalu?"
"Jika kusampaikan semua rahasia ini kepada Pho Ang-soat, dia malah akan lebih tegang, lebih
kuatir, lebih gampang terbokong oleh orang."
"Kau boleh tidak usah memberitahu kepadanya."
Sim Sam-nio menatap mata orang, seolah-olah ingin meraba rahasia hati orang. Tapi dia tidak
berhasil, apa pun tidak terlihat olehnya. Akhirnya dia menghela napas, katanya, "Sekarang aku
hanya ingin tahu, kau ini sebetulnya siapa?"
Yap Kay tertawa pula, ujarnya tawar, "Bukan hanya kau saja yang pertama kali mengajukan
pertanyaan ini kepadaku."
"Selamanya tiada orang yang tahu akan asal-usulmu?"
"Itulah karena aku sendiri pun sudah lupa akan diriku sendiri." Diangkatnya cangkir, katanya
tersenyum, "Sekarang aku hanya ingat aku pernah berjanji kepadamu untuk mengiringi kau
minum sampai mabuk."
Mengerling biji mata Sim Sam-nio, katanya, "Kau benar-benar ingin mabuk?"
Tawa Yap Kay seperti mendelu, katanya kalem, "Tidak mabuk memangnya apa yang dapat
kulakukan?"
Bila Yap Kay siuman, Sim Sam-nio pun sudah mabuk.
Di kala dia mabuk, kini hanya tinggal seorang saja. Di bawah poci yang kosong tertindih
selembar kertas jambon yang ditinggalkan olehnya.
Di atas kertas jambon hanya terdapat sebaris huruf yang ditulis dengan gincu, gincu merah
laksana darah, "Perempuan yang semalam menemani kau minum di sini juga bukan aku".
Gincu yang sudah dipakai masih ditinggal di samping poci kosong, maka Yap Kay lantas
menambahkan beberapa huruf pula di baris sebelahnya, "Hakikatnya semalam aku tidak berada di
sini". Memangnya apa yang bisa dia lakukan bila tidak mabuk" Memang lebih baik mabuk.
0oo0 Subuh. Kabut pagi baru saja menguap naik ke udara laksana asap dari daun-daun rerumputan, langit di
ufuk timur sudah mulai bersemu kuning kemerah-merahan, bagian luarnya yang agak aneh jauh
berwarna putih perak kemilau.
Rumput-rumput tumbuh tinggi dan subur menghijau.
Yap Kay melangkah keluar, dia menghirup hawa pagi, hawa terasa segar dan basah.
Alam semesta seperti masih tertidur, tidak kelihatan bayangan orang, tak terdengar suara apa
pun, suatu ketenangan yang damai terasa aneh dan menyelimuti semesta alam nan besar ini.
Tentunya Be Hong-ling sekarang masih mendengkur, jarang anak muda yang berturut-turut
sampai dua malam tak bisa tidur. Betapapun rasa kantuk takkan bisa mengobati kegelisahan dan
kekuatiran hati.
Kalau orang tua sih jauh berlainan. Yap Kay percaya Ban-be-tong-cu pasti takkan bisa tidur
meski hanya sejenak. Laki-laki seusia dia, setelah mengalami berbagai kejadian yang rumit dan
menegangkan ini, kalau benar-benar dia bisa tidur sungguh kejadian luar biasa yang boleh dikata
ajaib. Lalu sedang apa dia sekarang" Sedang mengenang dan menyedihi kawannya yang pergi
mendahuluinya" Ataukah sedang menguatirkan keselamatan sendiri"
Siau Piat-li mungkin juga sudah kembali ke atas lotengnya, mungkin sedang menenggak habis
secangkir araknya yang penghabisan sebelum tidur.
Entah apakah Ting Kiu sedang di sana tengah menemani dia minum arak"
Lalu dimana Pho Ang-soat" Apakah dia bisa menemukan suatu tempat berteduh untuk
menenteramkan diri"
Yang amat dikuatirkan dan dikenang Yap Kay mungkin adalah Sim Sam-nio. Sungguh dia tidak
habis mengerti kemana dia masih bisa pergi" Tapi dia percaya perempuan seperti dia, peduli
dalam keadaan dan situasi yang bagaimana pun pasti punya tempat tujuan yang sesuai. Kecuali
dia sudah kehilangan harga diri dan pikiran sehatnya.
Entah darimana tiba-tiba muncul seekor burung elang yang gundul kepalanya, terbang
melayang-layang di angkasa. Kelihatan amat letih dan kelaparan.
Dengan mendongak Yap Kay mengawasinya, sorot matanya menunjukkan rona yang penuh
diliputi pikiran yang mendalam, mulut menggumam, "Jika kau ingin mencari orang mati, kau salah
mencari sasaran, bukan di sini tiada orang mati, aku pun belum mati." Dia kedip-kedipkan
matanya, tiba-tiba tertawa, sambungnya, "Untuk mencari orang mati, harus mencari tempat yang
ada peti matinya, benar tidak?"
Burung elang itu berpekik rendah, seolah-olah sedang bertanya, "Mana peti matinya" Dimana
peti mati itu ...?"
0oo0 BAB 21. PEDANG TANPA SARUNG
Api sudah padam.
Toko kelontong Li Ma-hou sudah tinggal tumpukan puing, toko daging yang biasanya jagal
kambing, babi dan sapi itu serta warung bakmi itupun mengalami kebakaran total. Demikian pula
gubuk-gubuk kayu di dalam gang kecil itu sebagian besar telah musnah.
Barang-barang perabot yang berhasil tertolong dari amukan api masih berserakan dan
bertumpuk-tumpuk di pinggir jalan, beberapa ember kayu yang sudah jebol tengah
menggelundung dihembus angin kencang, entah siapa sebenarnya pemiliknya"
Kayu-kayu bakar yang sudah hangus masih kelihatan basah kuyup, terang amukan api baru
saja berhasil diatasi, sampai pun hembusan angin masih membawa bau hangus yang
menyesakkan napas.
Penduduk kota di perbatasan biasanya bangun pagi-pagi, namun di jalan raya tak kelihatan
bayangan seorang pun, mungkin karena semalam bekerja teramat berat dan keletihan menolong
kebakaran, kini masih memeluk bantal mendengkur dengan nyenyak.
Kota di pinggiran yang memang sudah jauh dari keramaian ini kini kelihatan semakin sepi serta
menyedihkan. Dengan langkah pelan-pelan Yap Kay beranjak di jalan raya, dalam hati tiba-tiba merasa
dibebani adanya dosa. Betapapun kalau bukan lantaran gara-garanya, api tidak akan mengamuk,
seharusnya dia ikut menjinjing ember menolong kebakaran ini. Tapi semalam dia justru menjinjing
poci arak. Setelah kebakaran besar ini, entah berapa banyak penduduk di kota kecil ini yang bakal
kehilangan tempat berteduh.
Yap Kay menghirup napas panjang, tiba-tiba teringat olehnya juragan Thio-losu pemilik warung
bakmi itu. Thio-losu sesuai dengan namanya, memang seorang jujur dan polos, bukan saja dia pemilik
atau juragan warung bakmi ini, sekaligus dia merangkap sebagai koki dan pelayan, maka sekujur
badannya selalu dibalut selembar kain putih seperti celemek besar yang sudah berlepotan minyak,
sejak pagi-pagi sibuk sampai petang hari, hasil jerih payahnya sehari-hari dari keuntungan jual
bakmi ini untuk mencari cewek, mengawini istri pun tidak mampu.
Tapi setiap hari dia tetap berseri tawa dan riang gembira, umpama kau hanya makan
semangkuk bakmi dengan harga yang paling rendah cuma tiga ketip, dia tetap melayanimu
dengan seri tawa dan memandang kau sebagai malaikat rezeki.
Oleh karena itu meski bakmi yang dia masak dan dia suguhkan kepadamu mirip lem, selamanya
tiada orang yang mengomel atau menggerutu, tetap digaresnya dengan lahap.
Kini warung bakmi ini sudah tinggal tumpukan puing, orang jujur yang harus dikasihani ini
bagaimana selanjutnya akan menyambung hidup"
Ting-losu di sebelahnya tukang jagal babi itu, meskipun sama-sama hidup sebatangkara dan
tetap membujang, tapi keadaannya lebih mending daripada dia. Ting-losu masih mampu mogor di
kedai arak Siau Piat-li, menikmati beberapa cangkir arak, ada kalanya malah bisa tidur semalam
suntuk di tempat hiburan itu.
Di sebelahnya lagi yaitu toko kapuk, ternyata selamat tidak sampai terbakar, sampai pun papan
namanya pun tidak kurang suatu apa, demikian juga dua toko kain dan toko kerajinan tangan
yang berada di seberang jalan tetap bertengger dengan megahnya, kecuali kedai arak Siau Piat-li,
dalam kota ini terhitung ketiga toko ini yang paling mampu dan berkecukupan, umpama ketiganya
terbakar habis juga tidak menjadi soal bagi pemiliknya. Tapi ketiga toko yang serba kecukupan ini
justru tidak kurang suatu apa.
Yap Kay tertawa getir, baru saja dia hendak mencari orang untuk tanya kabar dan dimana
kiranya Thio-losu sekarang, tak nyana seseorang malah sudah mencarinya lebih dulu.
Lampion yang tergantung di atas pintu sempit itu ternyata masih menyala.
Seseorang tiba-tiba menjulurkan setengah badannya keluar, sambil melambaikan tangan tak
henti-hentinya kepada Yap Kay.
Muka orang itu putih, namun bukan pucat, mukanya selalu dihiasi senyuman gembira, dia
bukan lain adalah juragan atau pemilik toko kain sutra dari Hok-ciu itu, yaitu Tan-toakoan.
Di kota kecil ini tiada laki-laki lain yang bisa dibanding dia dalam kepandaian berdagang, juga
tiada orang yang begitu besar rezekinya, karena dia memang seorang supel, gampang bergaul
dan ramah-tamah.
Yap Kay kenal dia. Setiap orang yang membuka pintu perdagangan di sini, boleh dikata Yap
Kay sudah mengenalnya semua. Bila merasa dirinya senggang tak punya kerja, maka dia sering
mencari orang-orang ini untuk diajak mengobrol, selalu dia bisa memperoleh hasil yang di luar
dugaan. Tapi sekarang sungguh dia tidak habis mengerti untuk keperluan apa Tan-toakoan
memanggil dirinya" Tapi dia segera menghampiri, sengaja dia hiasi mukanya dengan senyuman,
belum lagi dia sempat bertanya, kepala Tan-toakoan sudah menyelinap kembali ke balik pintu.
Pintu tetap terbuka. Terpaksa Yap Kay melangkah masuk, tiba-tiba dilihatnya orang-orang yang
hampir seluruhnya dia kenal kini berada di sini, hanya Siau Piat-li seorang yang justru tidak hadir.
Kecuali roman muka Tan-toakoan yang selalu mengulum senyum, boleh dikata roman muka
yang lain-lain merengut dan bersungut-sungut, amat prihatin, meja di hadapan mereka tiada
hidangan, juga tiada arak, kosong melompong.
Jelas Yap Kay diundang bukan untuk makan minum.
Cuaca belum terang, pelita dalam rumah pun sudah dipadamkan, semua orang yang hadir
menarik muka, matanya melotot dan mengawasi dengan tajam, sikap mereka sedikit pun tidak
bersahabat. "Memangnya mereka sudah tahu bahwa kebakaran ini lantaran gara-garaku?" Yap Kay
tersenyum sambil membatin, hampir tak tahan ingin dia bertanya kepada mereka, apakah
mengundang dirinya untuk membuat perhitungan dengan orang, namun bukan dirinya yang
mereka cari, tapi adalah Pho Ang-soat.
"Sejak kedatangan bocah she Pho itu, malapetaka seolah-olah ikut melanda tempat ini."
"Bukan saja dia main bunuh orang, malah main lepas api membakar rumah segala."
"Sebelum kebakaran ini terjadi, ada orang melihat dengan mata kepala sendiri dia pergi ke sana
menemui Li Ma-hou."
"Dia datang kemari, seakan-akan memang hendak membawa malapetaka bagi penduduk kota
ini." "Kalau dia tidak meninggalkan tempat ini, boleh dikata kita bisa tidak bisa hidup tenteram lagi."
Kecuali Tan-toakoan yang tarik urat mengutarakan pendapatnya, juragan Song dari toko kapuk,
demikian pula Ting-losu dan Thio-losu, orang-orang yang biasanya tidak pandai bicara ini. hari ini
ternyata sempat juga memberi komentar. Setiap kali menyinggung nama Pho Ang-soat, kelihatan
sikap mereka amat gegetun dan benci sampai mengertak gigi, seolah-olah ingin rasanya menggigit
sekeping daging di badannya saking gemasnya.
Yap Kay diam saja mendengarkan, setelah mereka habis bicara, baru dia bertanya dengan nada
tawar, "Cara bagaimana kalian siap menghadapinya?"
Tan-toakoan menghela napas, ujarnya, "Sebetulnya kami ingin menyuruhnya pergi saja, tapi
kalau toh dia sudah kemari, sudah tentu tidak mau pergi begitu saja sebelum keinginannya
terlaksana, oleh karena itu
"Oleh karena itu bagaimana?"
Thio-losu segera menimbrung, "Kalau dia membuat kami tidak bisa hidup tenteram., maka kami
pun akan membuatnya hidup tidak tenteram atau membuatnya mampus kalau bisa."
Dengan kepalannya Ting-losu menggebrak meja, katanya keras, "Walau kita ini rakyat jelata
yang suka hidup damai, tapi kalau kita dibuat kepepet dan harus mencari jalan keluar, kukira kita
bukan orang yang boleh dibuat main-main."
Juragan Song mengangkat pipa airnya, katanya geleng-geleng, "Anjing saja kalau kepepet bisa
melompati tembok, apalagi manusia?"
Yap Kay pelan-pelan memanggutkan kepala, seolah-olah dia anggap apa yang mereka utarakan
memang masuk akal.
Setelah menghela napas, kembali Tan-toakoan buka suara, "Walau kita ada maksud
menghadapinya, tapi hati ada maksud sayang tenaga tidak memadai."
Juragan Song menambahkan pula, "Orang-orang jujur seperti kami ini sudah tentu takkan
unggul melawan laki-laki pembunuh."
Kata Tan-toakoan, "Untung kami kenal beberapa teman yang betul-betul mempunyai
kepandaian sejati."
"Sam-lopan (juragan ketiga) maksudmu?" tanya Yap Kay.
"Sam-lopan laki-laki yang punya gengsi dan kedudukan, memangnya kami berani mengganggu
dia?" sahut Tan-toakoan.
Yap Kay mengerut kening, katanya, "Kecuali Sam-lopan, aku sih tidak habis pikir siapa pula
tokoh yang punya kepandaian sejati di sini?"
"Yang kumaksud adalah pemuda belia yang bernama Siau Lok."
"Siau Lok" (Lok si kecil)," Yap Kay menegas dengan heran.
"Meski dia masih muda. kabarnya sudah menjadi tokoh pedang tingkatan kelas satu di kalangan
Kangouw." Juragan Song menambahkan, "Kabarnya dalam setahun pada tahun lalu, dia membunuh tigaempat
puluh orang, malah yang dibunuhnya adalah tokoh-tokoh silat dari Bu-lim."
Thio-losu mengertak gigi, katanya, "Pembunuh yang ahli membunuh orang seperti dia, maka
pantas kalau kita mencari seorang yang ahli juga untuk menghadapinya."
Tan-toakoan tarik suara lagi, "Itulah yang dinamakan berani bertingkah kita gebuk, sewenangwenang
kita hajar."
Yap Kay menepekur, tiba-tiba dia bertanya, "Siau Lok yang kalian katakan, apakah Lok yang
berarti jalan raya itu?"
"Tidak salah," sahut Tan-toakoan.
"Apakah Lok Siau-ka adanya?"
"Itulah dia."
Pelan-pelan juragan Song menghela napas, ujarnya, "Yap-kongcu, apa kau pun kenal?"
Yap Kay tertawa, sahutnya, "Pernah kudengar saja, kabarnya orang ini menggunakan sebatang
pedang yang teramat cepat dan keji."
Juragan Song segera tertawa lebar, katanya, "Dua tahun mendatang ini, orang-orang Bu-lim
yang tidak atau belum pernah mendengar nama besarnya kukira jumlahnya bisa dihitung dengan
jari." "Ya, memang tidak banyak," Yap Kay manggut-manggut.
"Kabarnya Sin-liong-su-kiam (empat pedang naga sakti) dari Kun-lun-san dan Ciangbunjin
Tiam-jong-pay juga kalah oleh pedangnya itu," juragan Song mengoceh lagi.
Yap Kay manggut-manggut, ujarnya, "Agaknya juragan Song amat hapal sekali mengenai
seluk-beluk sepak terjangnya belakangan ini."
Juragan Song menyengir tawa, katanya, "Biarlah Yap-kongcu tahu, pemuda yang hebat luar
biasa ini adalah putra seorang saudaraku yang lain."
"Dia sudah datang?" tanya Yap Kay.
"Agaknya dia belum lupa akan famili tua yang rudin seperti aku ini," juragan Song mengoceh
lebih lanjut. "Dua hari yang lalu dia menyuruh orang memberi kabar kepadaku, maka aku tahu
bahwa dia kini berada di sekitar sini."
Ting-losu cepat menambahkan, "Oleh karena itu kemarin malam kita sudah mengutus orang
untuk pergi mengundangnya kemari."
"Kalau tidak terjadi sesuatu di luar dugaan"juragan Song berkata lebih lanjut "sebelum matahari
terbenam nanti, dia pasti sudah tiba."
Thio-losu mengepal tinjunya, katanya gemas, "Kalau dia sudah datang, kita akan membikin Pho
Ang-soat tahu rasa."
Yap Kay mendengarkan saja, kini tiba-tiba tertawa, katanya, "Hal ini kalian sudah putuskan
bersama, kenapa diberitahukan kepadaku?"
Tan-toakoan tertawa, katanya mendahului yang lain, "Yap-kongcu kau seorang yang tahu diri,
selama ini kami memandang Yap-kongcu sebagai teman sendiri." Seperti kuatir Yap Kay
mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar, segera ia menambahkan, "Tapi kami juga tahu
bahwa Yap-kongcu biasanya juga baik terhadap bocah she Pho itu."
"Apa kalian takut bila aku turut campur dalam persoalan ini?" tanya Yap Kay.
"Kami hanya mengharap sekali ini Yap-kongcu jangan lagi melindunginya," pinta Tan-toakoan.
"Aku ini orang jujur," sela Thio-losu, "maka aku pun bicara sejujurnya."
"Silakan berkata," ujar Yap Kay.
Kata Thio-losu, "Lebih baik kau membantu kami membunuhnya, kilau kau tidak membantu
kami. paling tidak jangan membantunya, kalau tidak...."
"Kalau tidak bagaimana ...." Yap Kay menegas.
Thio-losu bangkit berdiri, katanya dengan suara keras, "Kalau tidak, meski aku tidak dapat
merobohkan kau, aku akan mengadu jiwa juga dengan kau."
Yap Kay tertawa lebar, serunya, "Bagus, memang omongan yang jujur, aku senang mendengar
orang bicara dengan jujur."
Thio-losu senang, tanyanya, "Kau suka membantu kami?"
"Paling tidak aku tidak akan membantu dia."
Tan-toakoan menghela napas lega, katanya mengunjuk tawa, "Kalau demikian, sungguh kami
amat berterima kasih kepadamu."
"Aku hanya mengharap bila Lok Siau-ka tiba di sini, kalian suka memberi tahu kepadaku."
"Sudah tentu, akan kuberi kabar," Tan-toakoan menjanjikan.
Yap Kay menghela napas, mulutnya menggumam, "Sungguh sejak I ima aku ingin bertemu
dengan orang ini, demikian pula pedangnya itu ...."
Tiba-tiba seseorang menyeletuk, "Kabarnya pedangnya itupun jarang diperlihatkan kepada
orang." Itulah suara Siau Piat-li. Orangnya masih di atas loteng, namun suaranya sudah
berkumandang di bawah.
Yap Kay mengangkat kepala, katanya sambil tertawa, "Apakah pedangnya sama dengan golok


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pho Ang-soat?"
Siau Piat-li tersenyum, sahutnya, "Ada satu hal tidak sama."
"Hal yang mana?"
"Golok Pho Ang-soat peranti membunuh tiga macam manusia, tapi pedangnya hanya
membunuh semacam saja."
"Hanya membunuh orang macam apa?"
"Orang hidup," sahut Siau Piat-li, pelan-pelan dia turun dari loteng, kulit mukanya yang selalu
pucat itu mengulum senyuman sinis, katanya lebih lanjut, "Dia tidak sama dengan Pho Ang-soat,
dalam pandangannya di dunia ini hanya ada dua macam orang, yaitu manusia hidup dan mati."
"Asal manusia hidup dia ingin membunuhnya?" tanya Yap Kay.
Siau Piat-li menghela napas. "Paling tidak belum pernah kudengar ada orang hidup setelah
menjadi korban kelihaian pedangnya itu."
Yap Kay juga menghela napas, ujarnya, "Sekarang aku hanya ingin tahu satu hal."
"Hal apa?"
"Entah pedangnya yang cepat" Atau golok Pho Ang-soat yang lebih cepat."
0oo0 Memang siapa pun ingin tahu akan hal ini.
0oo0 Surya sudah terbit.
Tio Toa, pemimpin penjaga keamanan kota kecil ini sedang sibuk memimpin anak buahnya
membersihkan puing-puing bekas kebakaran.
Orang-orang yang hadir di dalam rumah beramai-ramai keluar melihat dari kejauhan, mulut
mereka sedang ribut pula saling berdebat dan berkomentar.
Siau Piat-li dan Yap Kay tetap tinggal di dalam rumah. Dari jendela Yap Kay melongok keluar
mengawasi kesibukan orang-orang di luar, katanya tersenyum, "Tak nyana Tio Toa mau bekerja
begitu giat."
"Sudah tentu dia harus bekerja giat."
"O, kenapa?"
"Siapa yang tidak tahu bahwa Li Ma-hou sebetulnya tidak ceroboh, berdagang selama puluhan
tahun, kabarnya dia sudah menabung sampai ribuan tahil perak."
"Uang perak takkan terbakar habis."
"Dia pun tidak punya keturunan."
"Oleh karena itu bila bisa menemukan uang-uang perak itu, bakal menjadi milik dan bagian
penjaga keamanan."
"Tak heran mereka tadi bilang kau ini orang yang serba tahu."
"Kau dengar pembicaraan mereka tadi?" tanya Yap Kay.
"Bila orang-orang itu mau berbincang, seperti kuatir bila percakapan mereka tidak didengar
orang." "Tak heran kau tidak bisa jatuh pulas, semula kukira ada seseorang menemani kau minum arak
di atas." Berkilat biji mata Siau Piat-li, katanya, "Kau kira Ting Kiu."
Yap Kay mandah tertawa, ditariknya sebuah kursi, lalu duduk.
"Kau ingin mencari dia?" tanya Siau Piat-li.
"Bicara terus terang, yang benar-benar ingin kucari adalah Pho Ang-soat."
"Kau tidak tahu dimana dia berada?"
"Kau tahu?"
Berpikir sebentar, Siau Piat-li menjawab, "Yang terang dia tidak akan pergi dari sini."
"Mungkin digiring dengan cambuk pun dia tidak mau diusir pergi."
"Tapi sulit dia mencari seorang penduduk yang mau menerima dirinya lagi."
"Agaknya memang amat sulit."
Kata Siau Piat-li lebih lanjut seperti menepekur, "Namun ada sementara tempat yang tidak
dimiliki orang, pintunya pun selalu terbuka lebar."
"Umpamanya tempat-tempat mana saja?"
"Umpamanya, Koan-te-bio ...."
Bersinar biji mata Yap Kay, tiba-tiba dia berdiri, katanya, "Koan-hucu adalah orang yang paling
kukagumi, memang sejak dulu aku sudah ingin pergi ke kuilnya memasang dupa memberi selamat
kepadanya."
"Lebih baik kalau kau kurangi jumlah dupa yang kau bakar, supaya tidak membakar rumah "
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Untungnya Koan-hucu selamanya takkan buka mulut, kalau tidak,
mungkin bisa terjadi."
0oo0 Jenazah yang sudah hangus sudah diketemukan dan dikebumikan dengan baik, tapi uang perak
yang dicari ubek-ubekan tak ketemu juga.
Tio Toa sementara itu sudah keletihan dan sedang beristirahat di bawah emperan, dengan
sebuah cawan besar dia tengah minum air, dengan suara keras dia memerintahkan anak buahnya
supaya bekerja lebih giat lagi. Kalau uang perak itu diketemukan, semua orang akan mendapat
bagian yang setimpal.
Yap Kay maju menghampiri, berdiri di sampingnya, tiba-tiba dia berkata hampir berbisik,
"Kabarnya ada orang yang suka menyimpan uangnya dipendam di bawah kolong tempat tidur."
Seketika tergerak hati Thio Toa, berkobar semangatnya, serunya sambil berjingkrak bangun,
"Betul, sejak tadi seharusnya sudah kuduga tempat ini." Seperti baru sekarang dia sadar yang
memberi bisikan adalah Yap Kay, tiba-tiba dia berpaling pula sambil berkata dengan tertawa, "Jika
ketemu, rekening arak Yap-kongcu di sini boleh diteken atas namaku Tio Toa."
"Kukira tidak usah, aku hanya mengharap kau suka membereskan si korban selayaknya, carikan
dua peti mati yang baik "
"Peti mati sudah ada, malah tidak usah beli mengeluarkan uang segala."
"O, di sini ada peti mati yang diperoleh tanpa membeli, aku belum pernah dengar."
Tio Toa tertawa, katanya, "Yap-kongcu masa sudah lupa, beberapa hari yang lalu bukankah
ada orang mengangkut peti-peti mati kemari?"
Kembali bersinar biji mata Yap Kay, tanyanya, "Bukankah peti-peti mati itu hendak diangkut ke
Ban-be-tong?"
"Dua-tiga hari belakangan ini agaknya Sam-lopan selalu ketiban sial, siapa yang berani
mengangkut peti mati itu ke sana?"
"Lalu dimana peti-peti mati itu sekarang?"
"Sebetulnya ditumpuk di tanah kosong di belakang sana. kemarin waktu api berkobar, lalu
kusuruh orang memindahkan ke Koan-te-bio, sungguh menguntungkan orang-orang yang mati
beberapa hari ini, setiap orang masih kebagian sebuah peti mati."
"Agaknya orang-orang yang mati di daerah ini memang tepat."
Tio Toa sebaliknya menghela napas, katanya, "Tapi yang tidak mati hidup di tempat miskin
seperti ini, benar-benar tersiksa dalam hidupnya."
"Siapa bilang tempat ini miskin, bukan mustahil di dalam sana ada ribuan tahil uang perak
sedang menunggu kau untuk mengambilnya."
"Terima kasih atas pujian Kongcu, segera juga akan kuambil." Dengan menyingsing lengan baju
segera dia memburu ke sana, tiba-tiba dia berpaling pula, katanya, "Kongcu, bila di sini kau
menemui kesulitan apa-apa, aku Tio Toa pasti akan memilihkan sebuah peti mati yang paling baik
untuk dirimu."
Mengawasi punggung orang yang beranjak ke sana. sungguh Yap Kay menjadi bingung sendiri,
entah dongkol atau geli, lama juga baru dia mengunjuk tertawa getir, gumamnya, "Agaknya bocah
ini memang teman sontoloyo."
0oo0 Jalan raya ini sudah termasuk daerah mewah di kota kecil ini, sudah tentu tidak hanya melulu
terhadap sebuah jalan raya seperti ini saja.
Bila kau tiba di ujung sana, lalu belok ke kiri bangunan rumah, di sini kelihatan jauh lebih
sederhana kalau tidak mau dikata sudah bobrok, orang-orang yang menetap di sini kalau bukan
penggembala kambing, tentunya para kusir kereta atau tukang cuci binatang, demikian juga
pegawai-pegawai dari beberapa buah toko besar di jalan raya ini kebanyakan menetap di sana.
Seorang nyonya yang sudah bunting tua tengah berjongkok membuat api. Di punggungnya
menggendong seorang anak kecil, di pinggirnya masih berdiri tiga orang yang lain, roman muka
mereka mirip sayur-sayur hijau yang keputihan, demikian juga dia* sendiri kelihatannya sudah
kuyu, sudah tua mirip seorang nenek.
Diam-diam Yap Kay menghela napas, kenapa keluarga yang miskin, anaknya justru semakin
banyak" Apakah karena mereka tidak punya uang pembeli minyak untuk menyulut dian, karena
menganggur dan iseng, maka hanya begitulah kerja mereka di malam hari.
Bagaimana pun juga keluarga yang semakin miskin, anaknya semakin banyak, bila anak terlalu
banyak, maka keluarga itu lebih miskin lagi, seolah-olah keadaan seperti ini sudah menjadi
peraturan yang takkan berubah untuk selamanya.
Tiba-tiba Yap Kay menyadari hal ini merupakan persoalan yang amat penting, tapi tak terpikir
olehnya cara bagaimana untuk membatasi kelahiran bayi-bayi dari keluarga miskin itu. Tapi dia
yakin dan percaya, hal ini kelak entah kapan pasti akan bisa ditanggulangi.
0oo0 Maju lagi tidak berapa jauh dari jarak yang tidak boleh dikata dekat kau sudah akan bisa
melihat Koan-te-bio yang bobrok tak terurus itu. Kuil kecil ini sudah jarang dikunjungi orang,
tulisan huruf-huruf emas di atas papan pengenalnya pun sudah luntur. Pintu besarnya sudah reyot
hampir roboh, peti-peti mati itu ditumpuk di pekarangan, pekarangan yang tidak begitu besar,
maka peti-peti mati sekian banyaknya terpaksa harus ditumpuk.
Patung pemujaan yang terdapat di atas altar masih terpelihara baik, kalau ada orang tidur di
bawah kaki patung di atas meja sembahyang jelas masih kuat. Dan yang terang saat itu memang
ada seseorang sedang rebah di sana.
Seorang yang bermuka pucat, tangannya mencekal sebatang golok yang serba hitam, sepasang
matanya yang jeli bersinar tengah menatap Yap Kay dengan tajam.
Yap Kay tertawa lebar.
Pho Ang-soat tidak tertawa, mengawasinya dingin, katanya, "Pernah kukatakan, kau jalan
menuju ke arahmu sendiri, aku pergi ke tujuanku sendiri pula."
"Aku pernah mendengar kau berkata demikian."
"Lantas kenapa sekarang kau mencariku kemari?" tanya Pho Ang-soat.
"Siapa bilang aku kemari mencari kau?"
"Aku."
Yap Kay tertawa pula.
"Tempat ini hanya ada dua orang, seorang hidup dan seorang tonggak kayu, tentunya kau
bukan sedang mencari manusia kayu itu."
"Manusia kayu, maksudmu Koan-hucu?"
"Aku hanya tahu dia adalah manusia kayu."
"Aku tahu selamanya kau tidak pernah menaruh hormat kepada siapa
pun, tapi paling tidak kau harus menghormat kepadanya "
"Kenapa aku harus hormat kepadanya?"
"Karena ... karena beliau sudah menjadi malaikat."
"Dia adalah malaikatmu, bukan malaikatku."
"Jadi kau tidak percaya akan adanya malaikat?"
"Yang kupercayai bukan orang macam dia, aku pun tidak habis mengerti perbuatan apa yang
patut kau hormati."
"Paling tidak dia tidak sampai dibeli oleh Co Coh, sedikitnya tidak sudi menjual sahabatnya
sendiri." "Banyak sekali orang yang tidak sudi menjual teman sendiri."
"Tapi tentunya kau pun tahu ...."
Pho Ang-soat segera menukas dengan suara dingin, "Aku hanya tahu bila dia tidak terlalu
takabur, negeri Han tidak akan gampang dicaplok dan dimusnahkan oleh musuh."
"Aku juga tahu kenapa kau tidak menaruh hormat kepadanya."
"O, apa yang kau tahu?"
"Karena orang lain banyak yang menaruh hormat kepada beliau, sebaliknya apa pun yang suka
kau lakukan pasti dan harus berlainan dengan orang lain "
Pho Ang-soat tiba-tiba melejit bangun sambil memutar badan, pelan-pelan dia tinggal pergi.
"Kau akan pergi begini saja?"
"Hawa di sini terlalu pengap, aku sungguh tak tahan lagi" sahut Pho Ang-soat.
"Seseorang bila ingin hidup di dunia ini, maka dia perlu juga merasakan kepengapan itu."
"Itu kan cara berpikirmu, terserah bagaimana kau berpikir, kan tiada sangkut-pautnya dengan
diriku." "Lalu bagaimana menurut pikiranmu?"
"Bagaimana pun pikiranku juga tiada sangkut-pautnya dengan kau." "Memangnya kau tidak
ingin hidup langgeng di dunia ini?"
"Hakikatnya aku memang tidak pernah hidup di dunia ini." Tanpa berpaling dia tinggal pergi.
Yap Kay tidak melihat rona wajahnya, namun dilihatnya jari-jari tangan yang menggenggam
gagang golok tiba-tiba mengencang keras. Sayang sekali, betapapun besar tenaga remasannya,
derita sanubarinya takkan mungkin bisa digenggam remuk.
Mengawasi punggung orang, Yap Kay berkata, "Adapun yang kau pikirkan, akan datang suatu
hari kau pasti akan putar kembali ke dunia ini, karena kau tetap harus bertahan hidup, malah tidak
bisa tidak harus hidup."
Seolah-olah Pho Ang-soat sudah tidak mendengar ucapannya, kaki kirinya melangkah setapak,
kaki kanannya yang kaku lalu diseretnya maju ke depan. Mengawasi kaki dan langkah orang, Yap
Kay lama kelamaan melenggong, sorot matanya diliputi kekuatiran. Umpama kata goloknya
memang lebih cepat dari Lok Siau-ka, tapi kakinya itu ....
0oo0 Pho Ang-soat sudah keluar dari pekarangan. Yap Kay tidak menahannya, dia pun tidak
menyinggung tentang kedatangan Lok Siau-ka.
Paling cepat Lok Siau-ka akan datang tiga jam lagi, dia tidak mengharap Pho Ang-soat diliputi
rasa tegang dari sekarang sampai matahari terbenam nanti. Memangnya kedatangannya ke sini
bukannya ingin memberi peringatan kepada Pho Ang-soat.
Maksud kedatangannya adalah untuk melihat peti-peti mati yang bertumpuk di pekarangannya
ini. 0oo0 Seluruh peti-peti mati itu serba baru, pliturnya masih mengkilap terang, tapi sekarang sudah
banyak tempat yang lecet dan rusak, cuma tidak terlalu parah, ada sebagian malah sudah rada
hangus. Jika Tio Toa tiba-tiba tidak ketiban rasa bajiknya, mungkin sekian banyak peti-peti mati ini
sudah hangus seluruhnya. Mungkin orang yang melepas api itu memang bermaksud membakar
habis peti-peti mati ini juga.
Yap Kay meraup segenggam batu kerikil, duduk di undakan batu di depan pintu, satu per satu
dia lempar batu-batu itu ke arah peti-peti mati itu.
Begitu batu mengenai peti-peti mati itu, mengeluarkan suara nyaring, maklumlah biasanya tong
kosong berbunyi nyaring. Demikianlah peti itu pertanda kosong tak berisi. Seperti anak-anak
bermain lempar batu Yap Kay terus melemparkan batu-batunya ke arah peti-peti mati dari satu
peti ke peti yang lain, pada lemparannya yang kedelapan, waktu batu membentur peti mati lagi,
suaranya justru berubah.
Peti mati yang satu ini seolah-olah ada isi di dalamnya. Memangnya ada tersimpan apa dalam
peti mati ini" Bahwa peti mati kosong itu ada beberapa jumlahnya, tapi peti-peti yang berisi
ternyata ada beberapa buah.
Muka Yap Kay menampilkan mimik yang aneh, segera dia beranjak maju mendekati, beberapa
peti yang berbunyi lain itu dia pindah dan dipisahkan.
Kenapa tiba-tiba dia jadi tertarik terhadap peti-peti mati ini" Waktu tutup peti dia buka,
ternyata di dalamnya memang ada isinya. Seperti lazimnya, peti mati sudah berisi jenazah.
0oo0 Kecuali orang mati apa pula yang patut disimpan di dalam peti mati" Bahwa di dalam peti mati
terdapat mayat orang, sebetulnya bukan suatu hal yang harus dibuat heran. Tapi mayat yang
terdapat di dalam peti mati ini ternyata adalah Thio-losu yang belum lama ini masih bicara dengan
dirinya di kedai arak Siau Piat-li.
Dia rebah tenang di dalam peti, cuma kain celemek yang berlepotan minyak biasa membungkus
dada dan perutnya itu kini sudah tiada lagi. Laki-laki jujur yang berjerih payah hidup mencari uang
secara sederhana, kini sudah tenang dan tenteram menuju ke alam baka.
Tapi barusan saja dia masih berada di dalam kota, kain celemek yang dekil berminyak itu masih
menempel di badannya, kenapa sekarang tahu-tahu rebah di dalam peti mati ini tak bernyawa
lagi. Lebih aneh lagi Tan-toakoan, Ting-losu, juragan Song dan juragan Oh yang mengusahakan
hasil bumi di ujung jalan sana pun sama-sama rebah di dalam peti mati yang lain. Beberapa orang
jelas belum lama ini masih berada di dalam kota dan segar-bugar, cara bagaimana mendadak bisa
mati semua di sini"
Kapan mereka meninggal" Waktu dada mereka diraba, jazad mereka sudah dingin dan kaku,
paling sedikit sudah sepuluh jam mereka meninggal. Jika mereka sudah mati sepuluh jam yang
lalu, memangnya siapa saja yang mengajak bicara dengan Yap Kay di dalam kota tadi"
Mengawasi mayat-mayat ini sedikit pun Yap Kay tidak menampilkan rasa kaget atau keheranan,
dia malah tertawa penuh arti, seolah-olah dia malah menikmati sesuatu dan merasa amat puas.
Memangnya kejadian ini sebetulnya sudah berada dalam dugaannya"
0oo0 Bahwa orang-orang ini mampus, sudah tentu ada sebab-musababnya yang membuat mereka
mati. Maka dengan cermat dan seksama Yap Kay memeriksa luka-luka penyebab kematian
mereka, tiba-tiba dia menyeret mayat-mayat itu dari dalam peti, terus disembunyikan ke dalam
semak-semak rumput di belakang kuil bobrok ini.
Setelah itu kembali dia tumpuk peti-peti mati itu ke tempat asalnya. Tapi dia masih belum ingin
berlalu, sekali enjot kaki, badannya malah melejit ke atas wuwungan, menyelinap bersembunyi di
balik wuwungan dan menunggu dengan sabar.
Siapakah yang sedang ditunggu" Tidak terlalu lama dia menunggu, maka dilihatnya seekor
kuda sedang mencongklang dengan pesatnya dari arah padang rumput nan luas sana, orang yang
bercokol di punggung kuda mengenakan pakaian mewah menyala, punggungnya membungkuk
besar tumbuh punuk, ternyata orang ini bukan lain Kim-pwe-tho-liong Ting Kiu adanya.
Sudah tentu naga bungkuk berpunggung emas Ting Kiu tidak melihat kehadiran Yap Kay,
begitu kudanya dibedal ke arah kuil ini dan berhenti di depan pintu, dari pelananya langsung dia
tekan tangannya melejit naik ke pagar tembok.
Peti mati itu tetap bertumpuk di dalam pekarangan, dalam posisi semula seperti tidak pernah
disentuh orang. Dengan seksama Ting Kiu menjelajahkan mata ke sekelilingnya, tidak terlihat
bayangan seorang pun di sekitar kuil bobrok ini. Inilah kesempatan paling baik untuk melepas api.
Maka dia lantas bekerja mulai menyulut api.
Menyulut api untuk membakar sesuatu juga memerlukan kepandaian khusus, agaknya Ting Kiu
memang sudah cukup ahli dalam bidang ini, begitu api tersulut dan berkobar, cepat sekali


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menelan segala benda yang terdapat di sekelilingnya.
Dia sendiri yang membawa peti-peti mati sebanyak ini kemari, sekarang yang membakar dan
memusnahkan peti-peti mati inipun dia sendiri pula.
Kenapa dia bersusah-payah mengangkut peti-peti mati ini kemari" Kenapa pula sekarang ingin
membakarnya habis"
0oo0 Matahari sudah bertengger tinggi di angkasa raya, tapi masih cukup
lama untuk menunggu matahari ini terbenam ke arah barat. Yap Kay sudah kembali ke dalam
kota. Tidak bisa tidak dia harus kembali, tiba-tiba terasa perutnya sudah keroncongan dan hampir
berontak, laparnya bukan main, seolah-olah ingin rasanya menelan bulat-bulat seekor kuda.
Api masih berkobar-kobar di Koan-te-bio, cuma sekarang sudah rada mengecil, asap masih
membumbung tinggi ke angkasa.
"Bagaimana Koan-te-bio bisa terbakar secara mendadak?"
"Tentu si pincang itu lagi yang membakarnya."
Sekelompok orang tengah ribut memperbincangkan kebakaran ini, di antara sekian banyak
orang yang menonton kebakaran ini ternyata ada Tan-toakoan, Ting-losu dan Thio-losu.
Sedikit pun Yap Kay tidak merasa heran, seolah-olah dia sudah menduga bakal melihat mereka
di tempat ini. Tapi tidak pernah terbayang olehnya bahwa di sini pula dia bisa melihat Be Hongling.
Be Hong-ling sudah melihat dirinya, seketika terunjuk mimik yang aneh pada roman mukanya,
seakan-akan sedang mempertimbangkan, entah apa perlu dia maju menyapa kepadanya.
Tanpa ragu-ragu Yap Kay sebaliknya menghampirinya, sapanya dengan tersenyum, "Apa
kabar" Baik-baik saja selama ini?"
Pedang Dan Kitab Suci 23 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Durjana Dan Ksatria 4
^