Pencarian

Peristiwa Merah Salju 9

Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 9


Cui-long menghela napas pula, katanya, "Tanggal 15 bulan 9 di Pek-hun-ceng. Kenapa dia
minta kita pergi ke Pek-hun-ceng pada tanggal 15 bulan 9 itu" Sungguh aku tidak habis
mengerti...."
"Banyak urusan yang tidak kau mengerti...."
"Tapi tidak bisa tidak aku harus memikirkannya."
"Memikirkan apa?"
"Dia ingin kita datang, tentu mempunyai maksud tertentu, maka aku lebih tidak mengerti
kenapa kau justru mau ke sana."
"Tiada orang yang ingin kau ke sana," ujar Pho Ang-soat.
Cui-long menundukkan kepala, menggigit bibir tidak bicara lagi. Dia tidak bisa bicara dan tidak
bebas bicara. 0oo0 Di pinggir jalan raya di luar warung teh ini, berhenti beberapa buah kereta dan gerobak yang
ditarik oleh beberapa ekor keledai. Orang-orang yang mampir melepaskan lelah, menghilangkan
dahaga dan lapar, kebanyakan adalah pekerja-pekerja yang banyak mengeluarkan tenaga kasar,
kecuali gegares nyamikan dan arak di dalam warung ini, selama hidup mereka boleh dikata jarang
pernah menikmati kesenangan hidup, berfoya-foya.
Setelah beberapa cangkir arak keras itu masuk ke dalam perut, dunia ini seolah-olah sudah
berubah menjadi lebih elok dan permai.
Seorang pemuda yang bertubuh kekar sehat, berkulit hitam, baru saja keluar dari dalam
warung, dengan senyum lebar dia memberi salam kepada beberapa teman sejawatnya, setelah
duduk dia berseru memanggil pemilik warung dan berpesan, "Ong-liong-cu (Ong si tuli), sediakan
lima kati arak, sepuluh butir telur asin, hari ini aku yang mentraktir kawan-kawan."
Ong-liong-cu sebetulnya tidak tuli, cuma kalau ada orang menagih hutang kepadanya, dia
lantas pura-pura tuli. Dengan melirik acuh tak acuh, dia mengawasi pemuda hitam itu, katanya
dingin, "Kau bocah ini sudah gila."
Anak muda itu melotot, serunya, "Siapa bilang aku gila?"
"Kalau tidak gila untuk apa kau main traktir segala?"
Anak muda itu segera tertawa lebar, katanya, "Hari ini aku mendapat rezeki bertemu dengan
seorang tamu yang ringan tangan." Sengaja dia tertawa penuh arti, sambungnya, "Kalau
kusinggung nama orang ini, memang dia sudah amat tenar dan dikenal banyak orang."
Semua yang hadir dalam warung menjadi tertarik dan bertanya bersama, "Siapa orang itu?"
Anak muda itu tertawa pula, katanya geleng-geleng, "Kalau kusebut namanya, belum tentu
kalian pernah mendengarnya."
"Apa-apaan ucapanmu ini?"
"Kalau namanya tenar dikenal banyak orang, kenapa kita tidak pernah mendengar?"
"Karena kalian belum setimpal."
"Kita tidak setimpal, memangnya kau setimpal?"
"Jika aku tidak punya saudara misan bekerja di dalam Piaukiok, aku pun tidak pernah
mendengar nama besarnya."
"Sudahlah jangan kau jual mahal, sebetulnya she apa dan siapa nama orang itu?"
Anak muda itu mengangkat kakinya dulu, baru menjawab, "Dia she Lok, bernama Siau-ka."
Sebetulnya Pho Ang-soat sudah berdiri hendak membayar terus tinggal pergi, tiba-tiba dia
duduk kembali ke tempatnya. Untung orang banyak tiada yang memperhatikan dirinya, tiba-tiba
dia berebut bertanya, "Kerja apa Lok Siau-ka itu?"
"Seorang pembunuh." Sengaja dia rendahkan suaranya menjadi lirih, tapi suaranya cukup jelas
didengar orang banyak.
"Pembunuh?"
"Arti dari pembunuh adalah asal kau mau membayar kepadanya, dia mau membunuh siapa saja
yang ingin kau bunuh, kabarnya setiap kali dia membunuh orang, paling sedikit menerima selaksa
tahil perak."
Terbelalak mata semua hadirin, hampir saja napas pun terasa sesak.
"Cong-piauthau dari Piaukiok dimana saudara misanku bekerja, sudah ajal oleh pedangnya."
"Maksudmu adalah Ting-toaya yang setengah tahun lalu dikebumikan itu?"
"Waktu dia dikebumikan bukankah kalian juga ikut bekerja, setiap orang malah mendapat
persen lima tahil perak bukan."
"Ya, pendapatan kita hari itu memang paling besar."
"Oleh karena itu tentunya kalian bisa merasakan juga, di kala hidupnya tentu dia seorang yang
bukan sembarangan, tapi begitu dia kebentur Lok-toaya ini, belum lagi goloknya sempat dicabut,
tahu-tahu tenggorokannya sudah berlubang terhujam pedang orang."
"Darimana kau tahu begini jelas?"
"Saudara misanku sendiri yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, begitu pulang dia
lantas menceritakan peristiwa itu serta menggambarkan orang macam apa Lok-toaya itu
kepadaku, maka hari ini aku lantas mengenalnya. Bukan aku mengenali orangnya, tapi aku
mengenali pedangnya."
"Apa keistimewaan pedangnya itu?"
"Pedangnya tidak pakai sarung, kelihatannya mirip besi rongsok yang tidak terpakai lagi, tapi
saudara misanku itu memberitahu, selama hidupnya belum pernah dia melihat pedang yang begitu
menakutkan seperti itu."
Semua orang menghela napas dan saling pandang dengan rasa kejut, tapi banyak di antara
mereka yang masih sangsi. "Sekali membunuh orang mendapat bayaran selaksa tahil, memangnya
dia sudi menunggang keretamu yang bobrok?"
"Soalnya tapal kudanya kebetulan rusak, aku kebetulan lewat di jalan itu, dari Ceng-ho-tin di
depan sana sampai di Pek-hun-ceng dalam jarak yang begini dekat, dia membayarkan dua puluh
tahil perak."
"Agaknya rezekimu memang hari ini," semua heran dan mengiri, "kalau tidak mau ditraktir, siasia
kita berada di sini, kalau kita tidak menghabiskan lima-enam tahil perak, masakah bocah ini
bisa tidur setelah pulang ke rumah."
Sekonyong-konyong seseorang ikut menyeletuk, "Mau mentraktir juga arus mengundang aku."
0oo0 Sejak tadi orang ini rebah di bawah pohon rindang di belakang sana, rebah di atas tanah
menggunakan topi rumput besar yang sudah rusak menutupi mukanya. Bukan saja topinya sudah
rusak, sampai pun pakaiannya sudah butut banyak tambalan dan kotor, agaknya arak pun tidak
mampu dibelinya, maka dia terima rebah di sana.
Ada orang yang mengerut kening, katanya, "Mengundangmu, kenapa harus mengundangmu?"
Anak muda yang punya uang itu malah tertawa, katanya, "Di empat penjuru lautan adalah
saudara, ketambahan seorang tidak menjadi soal, saudara ini agaknya memang ingin minum arak,
hayolah silakan duduk!"
Orang itu berkata dingin, "Walau aku minum arakmu, tapi aku bukan temanmu, kau harus ingat
akan hal ini."
Topi rumput dia dorong ke belakang kepalanya, lalu berdiri dengan kekemalas-malasanan,
ternyata perawakannya besar, badannya kekar dan kuat setinggi delapan kaki, pundaknya dua kali
lebar orang biasa, kedua tangannya yang gede selebar kipas lurus semampai di pundaknya,
hampir menyentuh lututnya, tulang pipinya menonjol keluar, alisnya yang tebal dan panjang mirip
sapu lidi, bibir besar mulut lebar.
Walau pakaiannya kotor dan rombeng, tapi begitu dia berdiri, sikapnya amat gagah, dandanan
garang, siapa pun takut melihatnya. Sebetulnya ada orang yang hendak menghajarnya, kenapa
ikut-ikutan ditraktir sebagai temannya. Kini tiada orang yang berani banyak mulut lagi.
Kebetulan Ong-liong-cu keluar membawa lima kati arak dan sepuluh butir telur asin, orang
gede itu langsung memapak maju. "Ini bagianku," katanya seolah-olah perintah, cekak-aos dan
tegas. Tampak orang mencomot dua butir telur terus dijejalkan ke dalam mulut, hanya beberapa kali
kunyah lantas tertelan ke dalam mulut. Makan dua butir telur minum seteguk arak, dalam sekejap
saja sepuluh butir telur dan lima kati arak digaresnya habis.
Semua orang mendelong mengawasi tingkah-laku orang, biji matanya seperti hampir melompat
keluar. Setelah menghabiskan tegukan araknya yang terakhir, baru orang ini merasa puas dan menarik
napas, dengan kemalas-malasan dia mengelus perutnya, katanya, "Siapkan sekali lagi seperti yang
barusan ini."
"Satu kali lagi?" teriak Ong-liong-cu kaget.
Orang gede itu menarik muka, bentaknya berngis, "Kau tidak mendengar ucapanku?"
Bentakannya ini laksana geledek mengguntur di tengah angkasa, sampai kuping si tuli pun
hampir pecah tergetar oleh suaranya. Kebetulan anak muda itu duduk di sebelahnya, saking
terkejut dia sampai berjingkrak jatuh dari atas bangku.
Sekali raih laki-laki gede itu mengulurkan telapak tangan segede kipas itu menjinjing punggung
bajunya, seperti menjinjing seekor ayam, katanya menyeringai, "Kau takut apa" takut mentraktir?"
Mending kalau dia tidak tertawa, begitu menyeringai tawa, mulutnya seperti orang mewek hampir
sobek sampai ke pinggir telinganya, kelihatannya mirip setan penjaga kelenteng yang bengis dan
jahat. Saking ketakutan anak muda itu sampai pucat mukanya, sahutnya tergagap, "Aku
"Kalau kau tidak mau mentraktir, biar aku saja yang mentraktir!" Sekali rogoh dia lantas
mengeluarkan sekeping uang perak, itulah Toa-goan-po yang bernilai lima puluh tahil. Keruan
mata anak muda melotot.
Berkata pula laki-laki gede itu, "Uang perak ini bakal jadi milikmu, tapi besok pagi-pagi, kau
harus menungguku di sini, bawa aku ke Pek-hun-ceng, jika kau sampai membuat urusanku gagal,
batok kepalamu akan menjadi persis uang perak ini." Begitu dia kerahkan tenaga meremas
dengan jari-jarinya, uang perak di tangannya itu diremasnya gepeng.
Baru saja anak muda itu berdiri tegak, saking terkesima kaget dia terpeleset jatuh lagi.
Laki-laki gede itu tergelak-gelak dengan menengadah, dia lempar uang itu ke depan anak muda
itu, tanpa berpaling terus tinggal pergi. Dia pergi pelan-pelan, tapi setiap langkah kakinya sejauh
empat-lima tombak, sekejap saja bayangannya sudah menghilang ditelan tabir malam. Terdengar
suara serak dari nyanyiannya yang lantang memilukan, tapi orang yang mendengar akan
mengkirik juga.
"Tanggal 15 bulan 9 bulan purnama,
Darah bakal mengalir di saat bulan purnama,
Darah orang-orang gagah yang takkan habis-habisnya mengalir.
Batok kepala musuh tak habis dibunuh....
Suara nyanyian tetap berkumandang semakin jauh dan lama kelamaan hilang ditelan angin lalu.
Lama Pho Ang-soat berdiri menjublek, tiba-tiba dia menghela napas dengan menengadah,
katanya, "Bagus sekali, batok kepala musuh yang tak habis dibunuh."
0oo0 Subuh. Langit di ufuk timur sudah mulai memancarkan cahaya remang-remang, alam semesta masih
tenggelam dalam kesunyian dan makhluk-makhluk berjiwa masih nyenyak tertidur.
Warung teh itu sudah kosong tidak kelihatan seorang pun, Ong-liong-cu tidak menetap di
dalam warungnya, di depan warung berhenti kereta si pemuda di bawah pohon, si bocah
meringkuk di dalam keretanya Kuatir dirinya datang terlambat, mungkin laki-laki gede yang galak
dan beringas itu benar-benar bisa menggencet gepeng kepalanya.
Angin pagi terasa dingin menyusup tulang, sayup-sayup dari kejauhan terdengar kokok ayam
jantan yang bersahutan.
Tampak seseorang tengah memecah kesunyian, menerjang hawa dingin pada hari yang masih
remang-remang ini, kaki kiri melangkah setapak, kaki kanan lalu diseretnya ke depan. Seorang
perempuan yang berperawakan semampai dan montok dengan menjinjing buntalan mengikut di
belakangnya dengan menundukkan kepala.
Daun pohon bergoyang-gontai terhembus angin seperti menyambut kedatangan mereka, kabut
pagi baru mulai berkembang dan lambat-laun sirna tertimpa cahaya terang. Kabut terasa dingin
pula. 0oo0 Pho Ang-soat berhenti di depan warung teh, dia berpaling mengawasi Cui-long.
Raut muka Cui-long pucat, meski dia mengencangkan pakaiannya, tapi dia masih gemetar
saking dinginnya. Di tengah kabut yang remang-remang, dia kelihatan amat letih dan kurus.
Pho Ang-soat mengawasinya diam-diam, sorot matanya yang dingin lambat-laun berubah
hangat lembut, tak tahan akhirnya dia menghela napas, tanyanya, "Kau sudah letih?"
"Seharusnya kau yang letih, seharusnya kau tidur barang sejenak."
"Aku tidak bisa tidur, tapi kau ...."
"Kau tidak bisa tidur, aku mana bisa tidur?"
Pho Ang-soat maju mendekat, menarik tangannya, tangan yang digenggamnya terasa dingin
halus. "Sebelum aku menemukan Be Khong-cun, aku tidak akan pulang, tiada muka aku pulang ke
rumah." "Aku tahu," sahut Cui-long pendek.
"Karena itu aku hanya membuatmu ikut menderita bersama aku."
Cui-long mengangkat kepala menatapnya lekat-lekat, katanya halus, "Kau harus tahu, aku tidak
gentar menderita, derita apa pun dapat kurasakan." Ditariknya tangan Pho Ang-soat, telapak
tangannya dia tempelkan di mukanya, katanya lirih, "Asal kau bersikap sedikit baik kepadaku,
jangan menghinaku, umpama aku harus mati, aku pun rela."
Pho Ang-soat menarik napas segar, katanya, "Memang aku yang salah terhadap kau, aku sudah
tahu, oleh karena itu meski hari itu kau benar-benar tinggal pergi, aku tidak akan menyalahkan
kau." "Tapi cara bagaimana aku bisa pergi" Umpama kau mengusirku dengan menghajar pakai
cemeti, aku pun tidak akan pergi."
Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa lebar. Senyumannya laksana bongkahan salju yang tersorot
sinar matahari, kelihatannya mengkilat kemilauan dan cemerlang.
Mengawasi senyuman orang, Cui-long seperti termangu dan menjublek, lama sekali baru dia
menghela napas, katanya, "Tahukah kau apa yang paling kusenangi?"
Pho Ang-soat geleng-geleng kepala.
"Aku paling suka melihat kau tertawa tapi kau justru jarang mau tertawa."
Pho Ang-soat berkata halus, "Aku akan sering tertawa kepadamu, cuma sekarang ...."
"Sekarang belum saatnya kau tertawa?"
Pho Ang-soat manggut-manggut, tiba-tiba dia merubah pokok pembicaraan, "Kenapa orang itu
tidak datang?" Seolah-olah dia ingin selalu menyembunyikan perasaan hatinya supaya orang selalu
menganggap dirinya seorang yang kaku dan dingin.
Cui-long menghela napas dengan kecewa, katanya, "Jangan kuatir, kukira dia pasti datang."
"Menurut pendapatmu, orang macam apa dia sebenarnya?"
"Kukira dia pasti musuh besar Lok Siau-ka, setelah tahu Lok Siau-ka berada di Pek-hun-ceng,
masakah dia tidak akan menyusulnya ke sana?"
Pho Ang-soat mengangkat kepala, matanya memandang jauh ke alam yang masih tertutup
kabut tebal, mulutnya menggumam, "Hari ini sudah tanggal 15 bulan 9, sebetulnya peristiwa apa
yang bakal terjadi" ...."
Angin pagi sepoi-sepoi, sayup-sayup tiba-tiba terdengar kumandang nyanyian yang mendatangi
semakin dekat dan keras.
"Darah orang-orang gagah takkan berhenti mengalir,
Kepala musuh tak habis dibunuh,
Kepala boleh terpenggal, darah boleh mengalir,
Dendam kesumat tiada akhir.....
0oo0 Di tengah kesunyian pagi nan dingin ini. kedengarannya nyanyian ini amat merawankan hati.
"Dia datang!" kata Cui-long. "Ya, tepat pada waktunya."
"Perlukah kita menyembunyikan diri dulu?" tanya Cui-long.
"Selamanya aku tidak lari, tidak pernah menyembunyikan diri pula."
Terdengar seeorang bergelak tawa di kejauhan, serunya, "Bagus, sungguh laki-laki sejati yang
tidak pernah lari dan tidak sudi bersembunyi."
Cui-long tertawa getir, katanya lirih, "Tajam benar kuping orang ini."
Belum habis kata-katanya, tampak laki-laki gede ini sudah melangkah mendatangi, cepat sekali
orang sudah tiba di depan mereka, topi rumput yang bolong itu masih dipakai di atas kepalanya,
kini tangannya ketambahan sebuah holo (buli-buli) berisi arak, katanya sambil mengawasi Pho
Ang-soat, "Ternyata memang kau, memang sudah kuduga kau pasti akan menungguku di sini."
"Kau tahu?"
"Kalau aku tidak tahu, siapa yang tahu?"
0oo0 Sambil menengadah dia dekatkan mulut buli-buli ke mulutnya terus menenggaknya beberapa
teguk, tiba-tiba dia menarik muka dan membentak bengis, "Aku sudah berada di sini, kenapa kau
tidak lekas turun tangan?"
"Turun tangan?"
"Sudah tentu menyerang dengan golokmu?"
"Kenapa harus menyerang dengan golok?"
"Untuk memenggal batok kepalaku."
"Kenapa aku harus memenggal kepalamu?"
"Orang she Si malang melintang di dunia, betapa banyak manusia yang kubunuh, memangnya
siapa yang tidak menginginkan batok kepalaku ini?"
"Aku tiada niat!" ujar Pho Ang-soat.
Laki-laki gede itu tertegun. "Bahwasanya aku tidak kenal kau."
"Musuh orang she Si tersebar di segala pelosok dunia, mereka yang kenal diriku sudah kubunuh
bersih, yang bisa meluruk kemari hendak membunuh aku memangnya mereka yang belum
kukenal." "Jadi kau selalu menunggu orang datang untuk membunuh kau?"
"Tidak salah!"
"Sayang sekali, kali ini kau pasti kecewa."
"Bukankah kau menungguku di sini untuk membunuhku?"
"Aku sudah bersumpah untuk membunuh orang, aku tidak perlu menunggu."
"Tidak perlu menunggu?"
"Aku sudah pernah menunggu sekali."
"Waktu itu kau tertipu?"
"Waktu itu aku memang tidak perlu menunggu."
Laki-laki gede itu tiba-tiba menghela napas, ujarnya, "Memang tidak salah ucapanmu,
kesempatan untuk membunuh orang memang hanya sekejap mata saja dan terus berlalu, kalau
menyia-nyiakan kesempatan baik itu memang harus disayangkan, oleh karena itu sekali-kali
jangan kau menunggu kesempatan untuk menunggu musuh."
"Oleh karena itu bila kau musuhku, kemarin malam aku sudah membunuh kau."
"Oleh karena itu aku bukan musuhmu?"


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan."
Laki-laki gede itu tergelak-gelak, ujarnya, "Agaknya nasibku masih baik, agaknya menjadi
musuhmu bukan suatu hal yang harus dibuat gembira."
"Ya, memang bukan."
"Kalau menjadi temanmu?"
"Aku tidak punya teman."
"Hah, sampai pun Si Toa-han juga tidak setimpal menjadi temanmu?"
"Si Toa-han?"
"Aku inilah Si Toa-han (Si si gede)."
"Aku tetap tidak mengenalmu."
"Kau tidak ingin kenal dengan aku?"
"Aku tidak ingin."
"Wah susah, bukan saja tidak ingin batok kepalaku, juga tidak mau jadi temanku, jarang kulihat
laki-laki macammu ini."
"Memangnya jarang ditemukan."
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"Hanya ingin mengikuti keretamu, pergi ke Pek-hun-ceng."
"Begitu saja?"
"Ya, begitu saja."
"Baik, silakan naik kereta."
"Aku tidak naik kereta."
Si Toa-han melengak, tanyanya, "Kenapa tidak mau naik kereta?"
"Karena aku tidak punya lima puluh tahil untuk membayar ongkosnya."
"Jadi kau hendak mengintil di belakang kereta saja?"
"Kau boleh naik keretamu, aku akan jalan kaki saja, memangnya kita tiada sangkut-paut."
Si Toa-han mengawasi mukanya yang pucat, goloknya yang hitam gelap, tak tahan dia
menghela napas, ujarnya, "Kau memang orang aneh, malah lebih aneh dari aku."
Memang Si Toa-han sendiri pun seorang aneh.
0oo0 BAB 29. WANITA CANTIK BERHATI BERBISA
Cuaca sudah terang benderang. Sang surya yang baru terbit laksana golok membelah kabut
tebal yang halus laksana kain paris yang halus lembut, kehidupan jiwa di jagat raya mulai siuman
dan bekerja kembali.
Si anak muda kusir kereta itu masih belum bangun dari dengkurnya.
Si Toa-han maju mendekat dengan langkah lebar, sekali raih dia jinjing badan orang serta
berseru keras, "Lekas bangun, hayo berangkat ke Pek-hun-ceng."
Anak muda itu kucek-kucek matanya yang masih sepat, katanya mengunjuk tawa, "Toaya
silakan naik ke atas kereta."
"Toaya tidak naik kereta."
Anak muda itu tercengang, tanyanya, "Kenapa tidak naik kereta?"
"Karena Toaya senang!" sahut Si Toa-han.
0oo0 Masih amat muda usia anak muda ini, tapi dia sudah tujuh tahun melakukan pekerjaan ini
sehari-hari, selama ini belum pernah dia kebentur dengan laki-laki seaneh ini. Uang sudah dibayar
untuk ongkos perjalanan naik kereta, tapi dia malah rela berjalan di belakang kereta.
Tapi asal orang yang mengeluarkan uang suka begitu, umpama dia merangkak di belakang
kereta, tiada orang yang mempedulikan dirinya. Meski dalam hati si anak muda merasa heran dan
tidak mengerti, tapi dia pun tidak ambil peduli lagi.
Begitulah segera dia jalankan keretanya di depan, di belakang kereta ikut berjalan tiga orang,
laki-laki gede laksana malaikat galak, seorang timpang yang bermuka pucat, orang ketiga adalah
perempuan muda yang cantik manis.
Rombongan aneh yang berjalan berjajar seperti mereka, tidak heran bila menimbulkan
perhatian dan menjadi pandangan aneh orang-orang di pinggir jalan. Tapi Si Toa-han beranjak
sambil membusungkan dada, bagaimana orang memandang dirinya, sedikit pun dia tidak ambil di
hati. Sebaliknya pikiran Pho Ang-soat amat kalut, aku berjalan menurut arahku sendiri, hakikatnya
dia tidak pernah melirik kepada orang lain
Demikian pula Cui-long seolah-olah tidak melihat orang lain, di depan Pho Ang-soat
bahwasanya tidak pernah dia melirik orang lain.
Anak muda yang pegang kendali di atas kereta diam-diam menggerutu, sungguh dia tidak habis
mengerti kenapa ketiga orang ini hendak menuju ke Pek-hun-ceng. Pek-hun-ceng bukan tempat
yang harus didatangi oleh orang-orang aneh seperti mereka.
Sebetulnya tempat apakah Pek-hun-ceng itu"
Setelah menenggak araknya, tiba-tiba Si Toa-han memburu beberapa langkah ke depan
mendekati kereta seraya berteriak, "Kita bukan hendak buru-buru melawat orang mati, apa tidak
bisa kau perlambat jalan keretamu?"
"Bisa, sudah tentu bisa," sahut si anak muda menyengir tawa. Kalau yang menyewa kereta
tidak terburu-buru, sudah tentu dia lebih tidak tergesa-gesa.
Akhirnya Si Toa-han kendorkan langkah kakinya, katanya, "Pek-hun-ceng tidak jauh dari sini,
yang terang dalam satu hari kita bisa tiba di sana " Ucapannya ini agaknya dia tujukan kepada Pho
Ang-soat, tapi Pho Ang-soat anggap seperti tidak mendengar.
Akhirnya Si Toa-han sejajar dengannya, tanyanya, "Entah untuk apa kau hendak pergi ke Pekhun-
ceng?" Pho Ang-soat tetap bungkam seperti tidak mendengar.
"Kau kenal Wan Chiu-hun?" tanya Si Toa-han.
"Siapa itu Wan Chiu-hun?" akhirnya Pho Ang-soat balas bertanya.
"Wan Chiu-hun adalah Cengcu Pek-hun-ceng."
"Aku tidak kenal."
Si Toa-han tertawa, ujarnya, "Dengan Si Toa-han saja kau tidak kenal, sudah tentu tidak kenal
siapa sebenarnya Wan Chiu-hun itu."
"Kau kenal dia?"
"Bagaimana aku bisa kenal dengan si kolot tua itu?" Lama Pho Ang-soat berdiam diri, tiba-tiba
bertanya, "Kau hanya kenal Lok Siau-ka?"
"Darimana kau tahu aku hanya kenal dia?" tiba-tiba Si Toa-han geleng-geleng kepala,
sambungnya, "Sudah tentu kau tahu, siapa pun akan menduga bahwa aku ke sana memang
hendak mencarinya."
"Untuk apa kau cari dia?"
"Tidak untuk apa-apa, cuma ingin mengiris batok kepalanya, sekali tendang memasukkan
mayatnya ke dalam selokan."
"Jadi dia musuhmu?"
"Sebetulnya bukan," ujar Si Toa-han, setelah menenggak araknya, dia menambahkan,
"Sebetulnya dia adalah teman baikku."
"Teman baik?"
Si Toa-han mengertak gigi, katanya, "Ada kalanya seorang teman lebih menakutkan dari
seorang musuh, terutama teman seperti dia itu."
"Kau pernah ditipu olehnya?"
"Seluruh harta milik keluargaku telah kuserahkan kepadanya, tapi dia malah tinggal minggat,
membawa semua harta dan perempuanku."
Pho Ang-soat mengerut kening, katanya, "Kelihatannya dia bukan orang seperti apa yang kau
tuduhkan."
"Justru karena tampangnya tidak mirip orang jahat, maka aku mau percaya kepadanya."
"Ada kalanya teman memang jauh lebih menakutkan dari seorang musuh," Pho Ang-soat
menegas. "Selamanya kau tidak punya teman?"
"Tidak."
Si Toa-han menghela napas, kembali dia menenggak arak sepuasnya.
Lama sekali tiba-tiba Pho Ang-soat buka suara, "Sebetulnya kau tidak usah mengiringi aku
berjalan."
"Memang tidak perlu, sebetulnya kita bisa naik kereta bersama."
Pho Ang-soat tidak banyak komentar. Setelah menempuh perjalanan beberapa jauh, tiba-tiba Si
Toa-han angsurkan buli-buli araknya sambil berkata, "Kau minum arak?"
"Aku tidak pernah minum arak "
"Selamanya tidak pernah minum arak?"
"Sejak lahir tidak pernah."
"Berjudi?"
"Selamanya tidak pernah berjudi dengan uang."
"Apa yang suka kau lakukan?"
"Apa pun tidak suka."
"Bila seseorang tidak mempunyai sesuatu kesenangan, apa faedahnya hidup?"
"Memangnya aku hidup bukan untuk kesenangan."
"Lalu untuk apa kau hidup?"
"Untuk membalas dendam "
Mengawasi muka orang yang pucat, timbul rasa ngeri pada lubuk hatinya, katanya tertawa
getir, "Agaknya menjadi musuhmu memang bukan suatu hal yang menyenangkan."
Pho Ang-soat menunduk mengawasi goloknya, mulutnya terkancing Bercahaya sorot mata Si
Toa-han, katanya mencari tahu, "Apa kau juga kenal Lok Siau-ka?"
"Aku hanya pernah melihatnya."
"Bagaimana kau bisa melihatnya?"
"Dia hendak membunuhku."
"Akhirnya bagaimana?"
"Akhirnya dia tinggal pergi malah "
"Kau biarkan dia pergi?"
"Aku memang tidak bermaksud membunuhnya ... yang ingin kubunuh hanya seorang."
"Musuhmu?"
Pho Ang-soat manggut-manggut. "Musuhmu hanya satu orang?"
"Sekarang aku hanya tahu satu saja."
"Agaknya nasibku lebih baik dari kau." Setelah menenggak araknya, mulutnya bernyanyi-nyanyi
kecil melagukan nyanyian yang merawankan hati itu.
Tiba-tiba Pho Ang-soat menghela napas, katanya, "Sebetulnya nasibmu lebih baik dari aku."
"Kenapa?"
"Kalau ada musuh banyak yang bisa kau bunuh, sungguh merupakan uatu hal yang
menggembirakan, sayang aku ...." sorot matanya memancarkan derita yang tidak terperikan,
katanya rawan, "Sayang sekali musuh satu-satunya yang kucari itupun tidak bisa kutemukan "
"Siapakah musuhmu yang satu itu?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Bukan mustahil aku bisa bantu kau menemukan dia." Pho Ang-soat ragu-ragu, dia
mempertimbangkan sekian lamanya. Akhirnya berkata, "Dia she Be."
"Be apa?"
"Be Khong-cun."
"Majikan Ban-be-tong?" tanya Si Toa-han terbelalak.
"Kau kenal dia?"
Si Toa-han geleng-geleng kepala, tidak menjawab dia malah menggumam, "Tak heran kau
hendak meluruk ke Pek-hun-ceng."
"Ada hubungan apa Pek-hun-ceng dengan Ban-be-tong?"
"Sebetulnya tidak ada hubungan apa-apa."
"Sekarang ada?"
"Memangnya kau tidak tahu hari apa sekarang?"
"Darimana aku bisa tahu?"
"Jadi kau tidak menerima undangan?"
"Undangan apa?"
"Undangan pernikahan!"
"Siapa yang menyebar undangan ini?"
"Sudah tentu Pek-hun-ceng, hari ini adalah hari pernikahan Siau-cengcu mereka," tutur Si Toahan.
"Aku sendiri tidak kenal dia, tapi mempelai perempuannya, kau tentu mengenalnya."
"Siapa mempelai perempuannya?"
"Ialah putri Be Khong-cun, kabarnya bernama Be Hong-ling."
Seketika berubah roman muka Pho Ang-soat.
"Kuduga Be Khong-cun pasti juga hadir di dalam pernikahan putrinya di Pek-hun-ceng." Belum
habis dia berkata, tahu-tahu Pho Ang-soat sudah melesat ke depan, melompat naik ke atas kereta.
Begitu ilmu Ginkangnya dikembangkan, gerak-geriknya secepat anak panah, lincah dan
cekatan, sekali-kali orang tidak akan menyangka bila dia adalah seorang timpang. Mengawasi
gerak-geriknya, sorot mata Si Toa-han mengandung perhatian yang serius, sesaat kemudian dia
baru menghela napas, seraya berseru memuji, "Memang hebat Ginkangnya."
Saat itu Pho Ang-soat sudah menerjang ke depan kereta, sekali raih dia sambar cemeti di
tangan anak muda itu, "Tar!", dengan keras dia melecut pantat kuda. Setiap kali mendengar kabar
atau jejak Be Khong-cun, seketika dia lupa segalanya.
Kereta itu dibedal kencang sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan kepulan debu panjang
di belakangnya, Si Toa-han dan Cui-long berdua ditinggal pergi begitu saja.
Cui-long menundukkan kepala, tak tertahan air mata sudah hampir bercucuran.
Mendadak Si Toa-han tertawa mengawasinya, katanya, "Jangan kuatir, dia tidak akan
meninggalkan kau seorang diri." Sembari bicara tiba-tiba dia gerakkan kakinya melangkah lebar
enam-tujuh langkah mengejar di belakang kereta, dimana tangannya diulur, dia menarik bagasi
kereta. Kuda yang menarik kereta seketika meringkik panjang dan berdiri dengan kedua kaki
belakangnya, secara kekerasan kereta yang berlari kencang ini berhasil dia tahan dan tarik secara
mentah-mentah, setengah langkah pun tidak bisa maju lagi.
Si Toa-han berpaling kepada Cui-long, katanya tertawa, "Silakan naik "
Cui-long akhirnya mengangkat kepala tersenyum kepadanya, waktu lewat di samping orang,
tiba-tiba dia berkata lirih, "Tidak pantas perempuan itu meninggalkan kau lari ikut Lok Siau-ka, kau
adalah seorang Kuncu."
Si Toa-han menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali pada zaman seperti ini, Kuncu di hadapan
perempuan sudah tidak lagi terpandang."
0oo0 Cuaca sudah terang berderang. Sang Surya sudah menyinari segala penjuru dunia.
Hari ini adalah tanggal 15 bulan 9.
0oo0 Jalan raya yang menuju ke Pek-hun-ceng penuh sesak dengan hilir mudiknya kendaraan kereta
dan kuda-kuda yang ditunggangi anak-anak muda yang berpakaian perlente.
Biasanya kuda untuk menarik kereta memang bukan kuda yang dapat berlari cepat, tapi karena
dihajar dan dipecut, sekarang dia sudah kerahkan setaker tenaganya.
Pho Ang-soat sudah mengembalikan cemeti kepada si anak muda dan duduk kembali di
belakang, tangannya menggenggam kencang gagang goloknya. Memang kedua tangannya itu
tidak cocok untuk memegang kendali.
"Kenapa tidak kau menyimpan tenaga untuk menghadapi Ban-be-long-cu!"
Pho Ang-soat diam-diam saja, mukanya yang pucat bersemu hijau mengkilap.
Cui-long duduk di sampingnya, mengawasinya dengan sorot kuatir dan masgul
Sementara Si Toa-han masih sibuk menenggak araknya, gumamnya, 'Aku mengharap Lok Siauka
dan Be Khong-cun sama-sama berada di sini
"Kalau begitu kurangilah minummu," kata Pho Ang-soat.
"Kenapa?"
"Ikan yang mabuk takkan bisa membunuh orang, terutama melawan orang seperti Lok Siauka."
"Apakah sebelum membunuh orang hanya boleh makan kacang?"
Sedikitnya kacang lebih baik daripada arak."
"Dalam hal apa kacang lebih baik dari arak."
"Dalam hal apa saja lebih baik."
Bila mulut seseorang sedang mengunyah, memang membikin semangat orang kendor,
sebaliknya kacang memang makanan yang menambah vitamin dan menyehatkan badan,
menambah tenaga dan gairah orang.
Mata Si Toa-han melotot, seperti marah, namun dia menghela napas, katanya, "Agaknya kita
memang harus makan kacang, naga-naganya kita terlalu tegang sendiri."
Anak muda yang pegang kendali tiba-tiba berpaling ke belakang, katanya tertawa, "Sekarang
kita sudah menuju ke arah Pek-hun-ceng dari sini sudah terlihat perkampungan Pek-hun-ceng di
depan sana."
Si Toa-han mengulurkan leher memandang ke tempat jauh. Katanya kemudian dengan
mengerut kening, "Agaknya Pek-hun-ceng merupakan perkampungan yang tidak kecil!"
"Keluarga Wan adalah keluarga terkaya dan berkuasa di daerah ini, setiap kali menyinggung
tuan muda keluarga Wan, delapan ratus li sekitar daerah ini tiada yang tidak mengenalnya."
Si Toa-han segera mendelik, bentaknya bengis, "Toayamu justru tidak tahu barang macam apa
tuan muda dari keluarga Wan itu."
Melihat dirinya dipelototi, seketika kuncup nyali si anak muda, selanjutnya dia tidak berani
banyak mulut lagi.
Tatkala itu kereta sudah memasuki jalan pegunungan, kedua sisi jalan dipagari pepohonan
yang rindang, jarang kelihatan bayangan orang di sepanjang jalan ini. Tamu yang diundang
agaknya sudah berkumpul semua di Pek-hun-ceng.
"Apakah Be Khong-cun betul-betul berada di sini?" Pho Ang-soat bertanya-tanya dalam hati,
otot hijau di punggung tangannya sampai merongkol keluar, maklumlah kalau dia tidak pegang
kencang gagang goloknya, jari-jarinya mungkin bisa gemetar.
Diam-diam Cui-long memegang tangannya, katanya halus, "Kalau dia berada di sini, takkan bisa
lolos, kenapa kau tegang dan gugup?"
Kelihatannya Pho Ang-soat seperti tidak mendengar ucapannya, matanya melotot memandang
lurus ke depan, mengawasi golok di tangannya.
Si Toa-han pun sedang mengawasi goloknya itu, golok yang bergagang hitam dan bersarung
hitam pula. Itulah golok biasa yang tiada bedanya dengan golok umumnya, tapi bila golok ini
tergenggam di jari-jari Pho Ang-soat, maka golok itu rasanya seperti membawa kegaiban.
Dengan menghela napas, Si Toa-han bertanya, "Bolehkah aku melihat golokmu?"
"Tidak boleh."
"Kenapa?"
"Tiada orang yang pernah melihat golokku."
"Kalau aku ingin melihatnya?"
"Kalau begitu harus ada orang yang mampus, kau atau aku!" Sedikit berubah rona muka Si


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Toa-han, katanya dengan tertawa, "Pedang Lok Siau-ka sebaliknya tidak takut dilihat orang,
pedangnya itu memang tidak punya sarung."
"Sembarang waktu boleh kau melihat golokku." Sorot matanya seperti memandang ke tempat
jauh, katanya lebih lanjut dengan tandas, "Sebetulnya golok ini memang selalu membawa sebal
dan sial, siapa saja yang pernah melihatnya pasti tertimpa malang."
Berubah pula air muka Si Toa-han, ingin bertanya lagi, tapi pada saat itu pula kereta tiba-tiba
berhenti. Begitu dia berpaling, maka dilihatnya sesuatu benda kecil berkilauan disorot sinar
matahari, itulah sebutir kacang. Kacang yang sudah dikuliti melayang di tengah udara. Kacang itu
melayang jatuh, masuk ke dalam mulut Lok Siau-ka. Dengan kemalas-malasan Lok Siau-ka berdiri
di tengah jalan, pedangnya pun berkilauan ditimpa sinar matahari.
Kontan Si Toa-han berjingkrak bangun, atap kereta sampai disundulnya pecah berhamburan.
Lok Siau-ka menghela napas, katanya, "Untung kereta ini tidak kuat, kalau tidak, bukankah
kepalamu yang bocor dan berlubang?"
Bengis suara Si Toa-han, "Bukankah kau memang ingin kepalamu bocor?"
"Coba kau pikir-pikir dulu, keadaan itu memang tidak jelek, kau tuang arak ke dalam lubang
kepalamu, memang lebih enak dan gampang daripada kau tuang arakmu ke dalam mulut."
Si Toa-han berjingkrak gusar, serunya, "Masih berani kau membanyol di hadapanku" Masih
berani kau menemui aku?"
"Kenapa aku tidak berani" Memangnya aku sedang menunggumu disini."
"Kau tahu kalau aku hendak kemari?"
"Banyak orang sedang heran, kenapa kau tidak duduk di atas kereta, aku sebaliknya tidak
heran, umpama kau gendong kereta ini di punggungmu, aku tidak akan heran," ujar Lok Siau-ka
tertawa, "Memangnya orang seperti tampangmu apa saja yang bisa melakukan?"
"Dan kau" Kerja apa pula di dunia ini yang pantang kau lakukan?"
"Pekerjaan orang goblok aku tidak sudi melakukan."
"Sudah tentu kau tidak goblok, aku inilah yang goblok, ternyata aku memandang laki-laki
seperti tampangmu sebagai teman baik."
"Memangnya aku adalah teman baikmu."
"Kau ini temanku" Mana delapan puluh ribu uang perak yang kuserahkan kepadamu?"
"Sudah kugunakan."
"Apa?" Si Toa-han berjingkrak. "Kau gunakan sampai habis?"
"Kita toh teman baik, sebagai teman memang tidak perlu memandang harta milik siapa punya,
kenapa uangmu tidak boleh kugunakan?"
"Kau ... cara bagaimana kau gunakan uang sebanyak itu?"
"Kuberikan kepada orang."
"Kau berikan kepada siapa?"
"Sebagian besar kuberikan kepada rakyat jelata yang mengungsi dari banjir sungai Huang-ho,
sebagian lagi kuberikan kepada para yatim piatu dan janda-janda yang suaminya kau bunuh."
Tanpa memberi kesempatan Si loa-han bicara, lekas dia menyambung, "Uang itu asal-usulnya
tidak genah, tapi aku menggunakannya secara gamblang demi kepentingan masyarakat lagi, untuk
ini pantas kalau kau berterima kasih kepadaku."
Si Toa-han menjublek sampai lama, tiba-tiba dia bertanya dengan keras, "Lalu perempuanku,
memangnya juga kau berikan kepada orang lain?"
"Perempuanmu sih tidak kuberikan kepada orang."
"Lalu dimana dia sekarang?"
"Aku sudah membunuhnya."
Si Toa-han berjingkrak gusar, teriaknya, "Apa" Kau membunuhnya?"
"Aku membunuh orang memangnya bukan kejadian yang harus dibuat heran, kenapa kau ribut
tak keruan?"
"Kau ... kenapa kau membunuhnya?"
"Karena dia ingin mencuri orang."
"Hah, mencuri orang, mencuri laki-laki" Siapa dia?"
"Aku!"
Si Toa-han melongo dan melenggong
Kata Lok Siau-ka, "Walau dia hendak mencuri hatiku, tapi dia tidak berhasil, tapi aku tidak
berani tanggung laki-laki lain semua seperti diriku, aku pun tidak berani tanggung kalau
perempuanmu itu tidak akan mencuri laki-laki lain, oleh karena itu terpaksa kubunuh dia, hanya
dengan cara ini aku bisa menolong kesulitanmu."
"Memangnya kau tidak bisa menggunakan cara lain?"
"Cara lain aku tidak bisa, aku hanya bisa membunuh orang."
Si Toa-han menjublek lagi sekian lamanya, mendadak dia terbahak-bahak dengan
menengadah, serunya, "Bagus, bagus sekali kau membunuhnya?"
"Memangnya tepat aku membunuhnya."
"Setiap kali membunuh kau memang menyenangkan hati orang juga."
"Menghamburkan uang aku pun bisa menyenangkan hati orang."
"Benar, memang menyenangkan, mau tidak mau aku harus mengagumi dan memuji kau."
"Memang aku tahu kau pasti akan kagum dan memuji aku."
"Arakku ini lumayan, nah minumlah."
"Kacangku inipun enak, kebetulan untuk teman minum."
Keduanya tertawa terbahak-bahak berhadapan, yang satu menarik pundak, yang lain
menggengam kencang tangannya.
Anak muda kusir kereta itu sampai melongo dan terkesima mengawasi tingkah-laku mereka,
belum pernah selama hidup dia melihat dua orang teman seaneh dan selucu ini.
Tiba-tiba Si Toa-han bertanya pula, "Tapi kenapa tidak kau tunggu aku pulang terus tinggal
pergi?" "Aku buru-buru hendak membunuh orang."
"Membunuh siapa?"
"Orang yang barusan berada dalam keretamu."
"Barusan" ...." waktu Si Toa-han berpaling, baru sekarang dia melihat Pho Ang soat yang tadi di
atas kereta kini sudah tidak kelihatan bayangannya, tinggal Cui-long seorang yang masih duduk,
tapi sekarang tidak tertunduk lagi, malah dengan tajam dia mengawasi Lok Siau-ka. "Mana lakilakimu?"
tanya Si Toa-han.
"Dia bukan laki-lakiku, karena dia tidak pernah memandang aku ini perempuannya, boleh dikata
selama ini dia tidak memandang aku sebagai manusia."
"Mungkin kau salah menilainya," kata Si Toa-han
"Aku tidak salah ... selamanya aku tidak akan keliru menilai seorang laki-laki." Waktu bicara
matanya tetap mengawasi Lok Siau-ka, tiba-tiba dia menyeringai dingin, katanya pula, "Sekarang
akhirnya aku bisa melihat juga laki-laki macam apa kau sebenarnya."
"Aku laki-laki macam apa?"
"Laki-laki yang tidak punya nyali, laki-laki penakut."
Lok Siau-ka mandah tertawa.
"Jika kau punya keberanian, kenapa kau tidak berani mengawini Be Hong-ling?"
"Kenapa aku harus mengawini dia?"
"Karena aku tahu dia pergi ikut kau."
"Kau tahu?"
"Aku melihat dia pergi mengejar kau, aku tahu dia pasti berhasil menyandakmu."
"Agaknya tidak sedikit urusan yang kau ketahui."
"Sayang sekali sedikit sekali urusan yang diketahuinya, maka dia jatuh hati kepadamu."
"Kau kira dia memang mencintai aku?"
"Kalau tidak mencintai kau. buat apa dia mengejarmu."
"Mungkin hanya karena dia ingin aku membunuh orang bagi kesenangan hatinya."
"Laki-laki membunuh orang demi seorang perempuan bukan suatu kejadian yang harus dibuat
heran, memangnya kau tidak pernah membunuh orang?"
"Apakah kau pun ingin aku membunuh Pho Ang-soat?"
"Kau berani melaksanakan?"
Lok Siau-ka tertawa dingin.
"Justru karena kau tidak berani, maka kau mencari jalan memberikan dia kepada orang lain."
"Kau kira aku yang tidak sudi mengawini dia?"
"Jika dia mengejarmu tanpa menghiraukan segalanya, bagaimana mungkin tidak mau kawin
dengan kau?"
"Dalam hal ini sudah tentu ada kisahnya."
"Kisah apa?"
"Aku membawanya ke Pek-hun-ceng, dia bertemu dengan Siau Wan,tiba-tiba dia merasa Siau
Wan lebih baik dari aku, maka dia lantas jatuh hati kepada Siau Wan, aku ditendangnya pergi."
Sampai di sini Lok Siau-ka menghela napas, katanya dengan menyengir kecut, "Cerita ini tidak
berbelit-belit dan tidak perlu dibuat heran, tidak jarang terjadi peristiwa seperti ini "
"Kenapa kau membawanya ke Pek-hun-ceng?"
"Karena aku sering pergi datang ke tempat itu."
"Mungkin kau hanya ingin berusaha membebaskan diri dari kuntitannya, maka sengaja kau
membawanya ke sini, sengaja kau memberi peluang kepadanya untuk bertemu dengan Siau
Wan." "O, menurut rekaanmu begitu."
"Karena sebenarnya kau takut berhadapan dengan Pho Ang-soat, takut pedangmu tidak lebih
cepat dari goloknya."
"O, kau kira aku takut mati "
"Tapi sekarang tentunya kau tidak perlu takut kepadanya lagi, karena dia pasti tidak akan
mencarimu, sekarang sedikit pun kau tiada sangkut-paulnya dengan orang-orang Ban-be-tong."
"Memangnya sejak mula aku tiada hubungan apa-apa dengan mereka."
"Tapi sekarang Pek-hun-ceng sudah terikat besanan dengan Ban-be-long"
"Bukankah perjodohan ini memang setimpal?"
"Dan lagi dia tentu tidak tahu bahwa kaulah yang membawa Be Hong ling kemari."
"Memang tidak banyak persoalan yang dia ketahui."
"Oleh karena itu dia pun merasa Wan Chiu-hun adalah salah satu dari musuh-musuhnya."
"Ya, kemungkinan."
"Maka kemungkinan sekarang dia sudah membunuh Wan Chiu-hun."
"Memang mungkin."
"Sedikit pun kau tidak ambil perhatian?"
"Kenapa aku harus memperhatikannya" Peduli dia yang membunuh Wan Chiu hun atau Wan
Chiu hun yang membunuhnya, memang apa sangkut-pautnya dengan diriku?"
"Lalu apa yang menjadi perhatianmu?"
"Aku hanya memperhatikan diriku sendiri." sahut Lok Siau-ka tertawa. "Seperti juga kau, kapan
kau pernah memperhatikan orang lain?"
Cui-long menggigit bibir, katanya pelan-pelan, "Tapi aku sungguh amat memperhatikannya."
"Memperhatikan Pho Ang-soat?"
"Kau tidak percaya?" tiba-tiba biji matanya yang elok itu berlinang air mata, katanya pilu,
"Sudah tentu kau tidak percaya, ada kalanya aku sendiri pun tidak percaya, kenapa aku bisa
berubah amat memperhatikan dirinya."
"Di kala air mata berlinang, keadaanmu sungguh amat mempesonakan, sayang sekali aku
hanya suka perempuan yang bisa tertawa, bukan yang suka menangis."
Cui-long mengkertak gigi, tiba-tiba dia menubruk turun dari atas kereta entah kapan dia sudah
mengeluarkan sebilah pisau, langsung dia menusuk ke dada orang. Tapi cepat sekali tangannya
sudah kena ditangkap.
Lok Siau-ka tersenyum, dengan kencang dia pegang tangan orang, katanya, "Membunuh orang
sebetulnya tidak usah kau menggunakan pisau, perempuan seperti kau, kenapa harus
menggunakan pisau untuk membunuh orang?"
"Ting", pisau itu jatuh ke atas tanah. Cui-long tiba-tiba menjatuhkan diri ke dalam pelukannya,
pecah tangisnya tergerung-gerung. Barusan dia hendak membunuhnya, tapi kini dia rebah di dada
orang, seolah-olah sudah menyerahkan seluruh raganya kepadanya. Karena Lok Siau-ka
kenyataan lebih kuat lebih perkasa dari dirinya. Perempuan memang hanya menghormati dan
mengagumi laki-laki yang lebih kuat, lebih perkasa dari dirinya.
Dari samping Si Toa-han mengawasi mereka dingin-dingin saja, tiba-tiba tertawa, ujarnya,
"Barusan agaknya dia ingin benar membunuhmu."
"Memang kenyataan."
"Tapi sekarang ...."
"Sekarang dia sudah tahu takkan bisa membunuhku."
"Oleh karena itu dia sekarang sudah siap untuk kau garap!"
"Apa" Garap?"
"Masakah kau tidak tahu apa yang kumaksud dengan 'Garap' ?"
Sudah tentu Lok Siau-ka tahu. Setiap laki-laki pasti tahu.
"Begitulah perempuan, kalau dia tidak berhasil menggarapmu, kau boleh segera
menggarapnya."
Lok Siau-ka menunduk mengawasi Cui-long dalam pelukannya.
Jelas Cui-long sudah mendengar seluruh percakapan mereka, tapi sedikit pun dia tidak
memperlihatkan reaksi apa-apa. Badannya terasa lembut, gemulai dan hangat.
Berkata pula Si Toa-han dengan tertawa, "Pho Ang-soat adalah bocah yang belum tahu main
asmara, perempuan ini agaknya hanya bisa dilayani oleh laki-laki setaraf kita ini."
Lok Siau-ka tiba-tiba berkata dingin, "Memang dia sebetulnya adalah pelacur." Mendadak kedua
tangannya merenggut payudaranya, meremasnya dengan keras. Tapi Cui-long tetap diam saja
tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Mengawasi muka orang, sorot mata Lok Siau-ka tiba-tiba menampilkan rasa muak dan benci,
sekali renggut dia jambak rambutnya, sebelah tangan yang lain pulang pergi menempeleng
pipinya. Kulit mukanya yang pucat itu seketika merah bertapak jari-jari tangan, darah meleleh dari
ujung bibirnya.
Akan tetapi sorot matanya malah bersinar terang, mengawasi Lok Siau-ka, mendadak dia
tertawa lebar, serunya, "Ternyata kau adalah ...."
Lok Siau-ka tidak memberi kesempatan mulutnya mengoceh, kembali telapak tangannya
melayang menampar mulutnya. Cui-long kontan terlempar jatuh dan terguling ke bawah kereta,
meringkuk lemas tak bergerak lagi.
Si Toa-han menarik napas, katanya, "Tidak pantas kau memukulnya, kau harus ...."
"Seharusnya aku telah merenggut jiwanya."
"Kenapa" Karena dia mencuri laki-laki lain" Tapi Pho Ang-soat kan bukan temanmu, apalagi dia
sendiri memangnya seorang pelacur "
"Pelacur tidak pantas dibunuh, di dunia ini masih ada perempuan yang lebih rendah
martabatnya dari pelacur."
"Perempuan macam apa?"
"Pelacur pembawaan sejak lahir."
"Memangnya kau mengharap perempuan di seluruh dunia ini semuanya harus perawan tingting?"
"Buat apa kita berdiri di sini hanya mengobrol soal perempuan?"
"Kita harus kemana?"
"Melihat orang membunuh orang," sikapnya menjadi bergairah, dia merasa melihat membunuh
orang lebih baik daripada melihat perempuan.
"Membunuh orang" Siapa membunuh orang?"
"Kecuali Pho Ang-soat, siapa pula yang membunuh orang patut kita tonton?" sahut Lok Siau-ka
tertawa. "Tentunya kau pun ingin melihat betapa cepat gerakan golok Pho Ang-soat itu."
Kini muka Si Toa-han yang menampilkan mimik aneh, katanya tersenyum, "Aku cuma
mengharap dia jangan salah membunuh orang."
0oo0 BAB 30. JAGO PEDANG PELINDUNG BUNGA
Lok Siau-ka dan Si Toa-han sudah pergi, Cui-long masih meringkuk di bawah kereta, lemas tak
bergerak. Kusir kereta sejak tadi menyembunyikan diri di belakang kereta, mukanya pucat-pias karena
ketakutan melihat adegan tadi, setelah melongo sekian lamanya baru bergegas dia maju
menghampiri serta berjongkok menarik Cui-long keluar dari kolong kereta. Dia mengira Cui-long
pasti amat marah, penasaran dan tersiksa.
Siapa tahu dia justru sedang tertawa. Selebar mukanya sudah merah menghijau karena
tamparan keras tadi, darah masih meleleh dari ujung bibirnya, tapi sorot matanya penuh
mengandung cemooh dan ejekan
Anak muda itu melenggong.
Tiba-tiba Cui-long berkata, "Tahukah kau kenapa dia memukulku?"
Anak muda itu geleng-geleng kepala.
"Karena dia sedang marah terhadap dirinya sendiri."
Si anak muda lebih tidak mengerti, tanyanya, "Kenapa marah kepada dirinya sendiri?"
"Dia amat gegetun karena dirinya bukan laki-laki jantan, meski aku ini seorang perempuan, tapi
dia hanya bisa melihat aku saja."
Si anak muda tetap tidak mengerti.
"Sekarang baru aku tahu, dia tidak lebih hanya seekor cacing."
"Cacing?"
"Kau belum pernah melihat cacing?"
"Sudah tentu aku pernah lihat."
"Bagaimana rupa cacing itu?"
"Lemas, dingin dan licin serta menjijik"
"Bukankah cacing tidak bisa keras?"
"Selamanya takkan bisa jadi keras."
"Nah, oleh karena itu dia adalah Cacing, di hadapan perempuan selama hidupnya anunya itu
tidak akan bisa menegang keras."
Baru sekarang anak muda itu paham duduk persoalannya. "Dia memang pelacur pembawaan
sejak lahirnya", teringat akan makian ini, serta melihat tubuh orang yang montok dan
menggiurkan, mukanya nan molek ... jantung si anak muda menjadi berdegup keras, tiba-tiba dia
memberanikan diri katanya megap-megap, "Aku ... aku bukan cacing."
Cui-long tertawa manis. Waktu dia tertawa, sorot matanya malah menampilkan rasa duka dan
derita, katanya halus, "Menurut pandanganmu aku ini perempuan macam apa?"
Dengan muka merah si anak muda mengawasinya, katanya tergagap, "Kau ... kau ... kau
adalah perempuan yang amat cantik."
"Dan apa lagi?"
"Dan lagi ... dan lagi kau amat baik, baik ...." sungguh tak habis terpikir dalam benaknya
dengan kata-kata muluk apa dia harus memuji.
"Apakah kau hendak meninggalkan aku seorang diri di sini?"
"Sudah tentu tidak," sahut si anak muda dengan suara keras. "Aku bukan laki-laki keparat
seperti dia itu."
"Jadi laki-laki yang meninggalkan aku begitu saja adalah keparat?"


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan saja keparat, dia memang bedebah, laki-laki pikun."
Mengawasi orang, lama kelamaan berlinang air mata Cui-long, lama sekali baru dia ulur
tangannya pelan-pelan. Jarinya nan lembut dan runcing halus. Mengawasi jari-jari tangan yang
putih halus laksana salju ini, si anak muda sampai terpesona.
"Lekas papah aku naik ke atas kereta," kata Cui-long
"Mau ... mau pergi kemana?" tanya si anak muda kebingungan
"Terserah mau kemana, asal kau yang membawaku pergi," kata Cui-long lembut, habis katakatanya
tak tertahan air mata pun bercucuran.
^"^ "Apa benar hari ini keluarga mereka yang ada kerja?"
"Sudah tentu benar, kalau tidak, masakah mereka mengundang tamu begini banyak."
"Tapi kenapa muka semua hadirin tiada yang kelihatan riang gembira" Kelihatannya seperti
melayat orang meninggal."
"Dalam hal ini tentu ada sebabnya."
"Sebab apa?"
"Sebetulnya hal itu merupakan rahasia, tapi sekarang sudah tidak bisa mengelabui kau lagi."
"Sebetulnya kenapa?"
"Orang-orang yang diundang semuanya sudah hadir hanya masih kurang seorang lagi."
"Siapa?"
"Seorang yang amat penting."
"Siapakah sebenarnya?"
"Mempelai laki-laki. Dua hari yang lalu dia pergi ke kota, hadir dalam undangan pernikahan
orang, sebetulnya hari itu juga dia sudah pulang, tapi sampai sekarang dia justru masih belum
kelihatan bayangannya "
"Kenapa?"
"Tiada yang tahu."
"Lalu dimana dia sekarang" Pergi kemana?"
"Tiada orang pernah melihatnya, mendadak dia menghilang."
"Aneh...."
"Memang aneh."
0oo0 Melihat para undangan dalam perjamuan pernikahan ini merengut dan menarik kening,
semuanya seperti tegang dan tidak sabar, sungguh merupakan suatu kejadian yang tidak boleh
dianggap aneh dan menarik.
Tapi Yap Kay justru tertarik oleh kejadian aneh ini. Seolah-olah dia seperti memperoleh suatu
pengalaman yang jarang terjadi dan sulit didapat, memang perjamuan pernikahan dalam suasana
seperti sekarang jarang terlihat.
Dengan seksama dia memperhatikan setiap orang yang lewat dari depannya, dia tengah
mereka-reka, entah berapa banyak di antaranya tengah kebat-kebit dan menguatirkan bagi
keluarga Wan" Ada raut muka orang yang amat serius, ada yang masgul, tapi mungkin karena
perut mereka lapar dan ingin lekas-lekas makan minum dari hidangan yang disediakan. Mungkin
pula ada yang sedang menyesal, terasa kado yang mereka sumbangkan nilainya terlalu besar,
terlalu banyak, tak setimpal dengan imbalan.
Akhirnya Yap Kay tertawa.
Ting Hun-pin duduk di sebelahnya, katanya berbisik, "Kau tidak pantas tertawa."
"Kenapa?"
"Setiap hadirin sekarang sudah tahu bahwa mempelai laki-laki hilang, kalau kau tertawa,
bukankah kau seolah-olah sedang merestui kejadian ini."
"Bagaimana pun tertawa kan lebih baik dari menangis, betapa pun mereka hari ini mengadakan
pesta pernikahan, bukan melayat orang mati."
"Jangan kau mengeluarkan kata-kata yang tidak genah lagi."
"Tidak bisa."
"Apanya tidak bisa?"
"Karena kalau aku tidak bicara, kau sendiri juga akan bicara."
Ting Hun-pin sudah menarik muka, kelihatan sedang marah, sebetulnya hatinya malah amat
senang. Karena dia sudah meresapi benar-benar bahwa Yap Kay jauh berbeda dengan laki-laki
umumnya, dan yang terang laki-laki pujaannya ini tidak hilang.
0oo0 Hari sudah lohor.
Walau mempelai pria belum ada kabar, tapi tamu-tamu yang hadir kan tidak boleh menunggu
terlalu lama dengan perut kosong. Maka perjamuan cepat sekali sudah dihidangkan, oleh karena
itu semangat hadirin kelihatannya rada pulih dalam kegembiraan.
Ting Hun-pin malah mengerut kening, katanya, "Para kakakku yang jempolan itu kenapa tiada
yang kelihatan?"
"Apa mereka mau datang?"
"Mereka berjanji hendak datang."
"Kau juga mengharap mereka datang?"
Ting Hun-pin manggut-manggut, katanya menahan geli, "Ingin aku melihat bagaimana sikap
cecongor Lok Siau-ka bila berhadapan dengan mereka "
"Kalau benar Lok Siau-ka berhasil membunuh mereka semua?"
"Kenapa kau memandang rendah anggota keluarga Ting kami?"
"Karena anggota keluarga Ting juga memandang rendah diriku."
"Ya hanya keluarga Be saja yang memandang tinggi pribadimu sampai putra dan putrinya
dipasrahkan kepadamu."
Yap Kay mendadak menghela napas, ujarnya, "Kalau tahu Be Hong-ling bakal menikah, tentu
Siau-hou-cu akan kubawa kemari."
Sekarang Siau-hou-cu sudah dia tinggalkan di rumah seorang sahabatnya. Seorang sahabat
yang mempunyai peternakan besar, mereka suami isteri sejak lama sudah menginginkan punya
anak, begitu melihat Siau-hou-cu, senang mereka bukan main seperti ketiban rezeki.
Memang Yap Kay punya banyak teman, teman yang beraneka ragam, dari tingkat tinggi sampai
tingkat terendah, teman-teman yang mempunyai obyek kerja yang berlainan pula. Memang
wataknya yang supel dan suka berteman, sehingga teman-temannya pun senang bergaul
dengannya. Ting Hun-pin melotot katanya tiba-tiba dengan dingin.. "Kenapa menghela napas" Apakah
karena nona Be menikah dengan orang lain, maka hatimu sedih dan mendelu."
"Yang terang nona Ting yang ayu ini toh belum menikah dengan laki-laki lain, buat apa aku
bersedih?"
Tak tahan Ting Hun-pin tertawa, katanya lirih, "Kalau kau tidak segera ke rumah meminang
aku, akan datang suatu hari aku pasti menikah dengan orang lain."
"Kalau begitu aku akan...." sampai di sini dia merandek dan tidak meneruskan kata-katanya,
karena saat itu juga dia melihat Pho Ang-soat.
0oo0 Pho Ang-soat tetap menggenggam goloknya, pelan-pelan dia melangkah ke dalam ruang
perjamuan yang besar dan luas ini. Di dalam ruang perjamuan penuh sesak berjubel para tamu,
tapi sikap dan tindak-tanduknya seolah-olah sedang berjalan di padang ilalang yang semak dan
belukar. Dalam pandangan matanya seolah-olah tiada orang lain.
Tapi perhatian hadirin seketika tertuju kepadanya, setiap orang tiba-tiba merasa ruang
perjamuan yang panas dan gerah ini seketika menjadi dingin. Pemuda timpang yang bermuka
pucat ini seolah-olah membawa hawa membunuh yang tajam laksana pisau.
Yap Kay pun merasakan hal ini, katanya pelan-pelan sambil mengerut alis, "Kenapa dia pun ke
sini?" "Bukan mustahil Lok Siau-ka yang mencarinya kemari?"
"Kenapa dia sengaja mencari kita dan membawa kemari" Aku sendiri sebenarnya juga merasa
heran," sampai di sini tiba-tiba dia berhenti bicara, karena Pho Ang-soat saat itu juga sudah
melihat mereka, sorot matanya seolah-olah dilapisi es.
Dengan tersenyum Yap Kay segera berdiri, selamanya dia menganggap Pho Ang-soat sebagai
teman sendiri. Tapi lekas sekali Pho Ang-soat sudah melengos ke arah lain tanpa melirik pun
kepadanya, pelan-pelan dia maju terus melewati orang-orang yang memagari jalanan, kulit
mukanya seolah-olah sudah dilapisi es.
Tapi jari-jari tangannya yang memegang golok malah gemetar, meski kencang pegangan
tangannya, tak urung gemetar juga tangan dan badannya kalau langkahnya pelan sebaliknya
napasnya menderu kencang.
Ting Hun-pin geleng-geleng kepala, katanya, "Lagaknya dia bukan hendak mencicipi
perjamuan."
"Memangnya dia tidak ingin melalap hidangan."
"Memangnya apa maksud kedatangannya?"
"Sudah tentu hendak membunuh orang "
"Membunuh siapa?"
"Dia sudah berada di sini, sudah tentu orang yang punya tempat ini yang hendak dibunuhnya."
Suaranya kalem, tapi bernada berat dan prihatin.
Selama berkumpul, belum pernah Ting Hun-pin melihat sikap dan mimiknya ini, tanyanya,
"Apakah dia hendak membunuh Wan ...."
Semakin serius sikap Yap Kay, pelan-pelan dia manggut-manggut. "Membunuhnya di sini"
Sekarang juga membunuhnya?"
"Selamanya dia tidak pernah menunggu untuk membunuh orang."
"Kau tidak berusaha mencegahnya?"
"Tiada orang yang kuasa merintangi dia membunuh orang." Sorot matanya tiba-tiba berubah
setajam golok, hanya orang-orang yang dibekali dendam kesumat saja yang punya sorot mata
begitu menakutkan.
Ting Hun-pin kalau melihat sorot matanya ini, mungkin bisa tidak mengenalnya lagi, karena
saat itu seolah-olah dia mendadak berubah menjadi bentuk manusia yang lain.
Tapi Ting Hun-pin hanya mengawasi golok di tangan Pho Ang-soat, katanya menghela napas,
"Agaknya pesta perjamuan hari ini bakal berubah menjadi bencana ...."
0oo0 Muka yang pucat, goloknya yang hitam.
Hati orang ini seperti juga adanya warna hitam dan putih ini, penuh dirundung pertentangan
dan kontradiksi.
Apakah itu kehidupan" Apa pula kematian itu" Mungkin dia tidak tahu. Dia hanya tahu
membalas sakit hati. hanya tahu adanya dendam.
0oo0 Pelan-pelan Pho Ang-soat menyusuri pagar manusia yang mengawasinya dengan pandangan
ngeri, maju terus. Di ujung tengah ruang perjamuan sana tergantung secarik kertas warna emas
yang bertuliskan "Hi" dilingkari hiasan kain sutra merah.
Warna merah tanda bahagia, melambangkan kesenangan dan suasana gembira.
Tapi darah juga merah.
Seorang nyonya pertengahan umur yang sanggul kepalanya penuh ditaburi perhiasan tengah
membawa sebuah cangkir berisi teh, entah apa yang sedang dipercakapkan dengan temannya
secara bisik-bisik. Mendadak waktu dia berpaling, dilihatnya Pho Ang-soat yang mendatangi,
Cangkir teh di tangannya tiba-tiba terlepas jatuh.
Pho Ang-soat melirik pun tidak kepadanya, tapi golok di tangannya tahu-tahu sudah terulur ke
depan, kelihatannya gerak-geriknya biasa saja, tidak cepat, tapi cangkir yang melayang jatuh
ternyata tepat jatuh di atas pedangnya. Air teh dalam cangkir sedikit pun tidak tercecer tumpah.
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Golok yang cepat sekali "
"Memang amat cepat," Ting Hun-pin ikut kagum.
Pelan-pelan Pho Ang-soat mengangkat tangannya, dia angsurkan kembali cangkir di ujung
pedangnya ke hadapan nyonya itu. Ingin tertawa, tapi kulit mukanya serasa kaku, terpaksa
nyonya itu menyengir dan berkata dengan suara dipaksakan, "Terima kasih!" Tangannya sudah
diulurkan hendak mengambil cangkir itu, tapi tangannya gemetar hebat
Sekonyong-konyong dari samping terulur sebuah tangan menyambut cangkir itu. Sebuah
tangan yang tenang dan tabah. Mengawasi tangan ini akhirnya Pho Ang-soat mengangkat kepala,
maka dilihatnya orang yang mengambil cangkir itu.
Seorang laki-laki pertengahan umur yang berpakaian serba mewah, bermuka bersih dan
bercahaya, meski rambut di pinggir kedua keningnya sudah memutih. Kelihatannya masih gagah
dan dan kekar, tindak-tanduknya masih menarik perhatian kaum perempuan.
Sebetulnya sukar menilai berapa sebenarnya usianya. Jari-jari tangannya pun terpelihara
dengan baik amat bertenaga. Bukan saja amat kokoh memegang golok atau pedang, agaknya jarijarinya
itupun ahli dalam menggunakan senjata rahasia.
Pho Ang-soat menatapnya, tiba-tiba bertanya, "Kau Wan Chiu-hun?"
Orang itu tersenyum sambil geleng-geleng kepala, sahutnya, "Cayhe Liu Tang-lay."
"Mana Wan Chiu-hun?"
"Sebentar dia akan keluar."
"Baik. aku menunggunya."
"Untuk apa tuan mencarinya?"
Pho Ang-soat tidak mau menjawab. Sorot matanya tertuju ke tempat jauh, dalam
pandangannya sudah tidak terlihat lagi adanya Liu Tang-lay yang berdiri di depan matanya.
Ternyata Liu Tang-lay juga bersikap acuh tak acuh, dengan tersenyum dia kembalikan cangkir
teh itu kepada nyonya perlente itu, katanya, "Tehnya sudah dingin, biarlah kucarikan secangkir
yang lain untuk gantinya."
Nyonya itu tertawa berseri sambil menunduk, sahutnya, "Banyak terima kasih." Berhadapan
dengan Liu Tang-lay, perasaan tertekan tadi terasa mengendor sama sekali.
Ting Hun-pin juga sedang mengawasi Liu Tang-lay, katanya, "Apakah dia itu Hou-hoa-kiamkhek
Liu Tang-lay?" Hou-hoa-kiam-khek artinya ahli pedang pelindung kembang, yang diartikan
kembang tentunya perempuan-perempuan cantik
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Ada juga orang yang menamakan Toh-bing-kiam-khek." Toh-bingkiam-
khek berarti tokoh pedang pencabut nyawa.
"Bukankah dia termasuk saudara ipar Wan Chiu-hun?"
"Bukan saja mereka famili, mereka pun mengangkat saudara "
"Kabarnya orang ini amat menarik perhatian kaum perempuan."
"O, begitukah yang kau dengar "
"Kulihat sikapnya memang lembut dan sopan terhadap perempuan, kau harus belajar banyak
kepadanya."
"Memang aku harus banyak belajar kepadanya, kabarnya di rumah dia punya sembilan gundik,
entah berapa lagi gendak-gendaknya di luaran, mungkin tak terhitung banyaknya."
Ting Hun-pin melotot, katanya dengan menggigit bibir, "Kenapa kau tidak belajar yang baikbaik."
Tiba-tiba mukanya jadi merah karena disadari dalam ruang besar yang sepi ini hanya
mereka berdua saja yang masih bersenda-gurau dan bicara, maka tidak sedikit hadirin yang
berpaling ke arah mereka.
Memang hadirin belum ada yang tahu apa maksud kedatangan pemuda bermuka pucat ini tapi
samar-samar mereka sudah mendapat firasat jelek, seolah-olah suatu bencana bakal terjadi.
Pada saat itulah semua hadirin melihat seseorang menerjang keluar dari pintu belakang,
seorang perempuan yang berpakaian mewah serba merah dengan mahkota berada di atas
kepalanya. Perempuan ini adalah mempelai perempuan Be Hong-ling.
Mempelai pria hilang dan tidak diketahui arah parannya, tiba-tiba mempelai perempuan berlari
keluar seorang diri, seketika mata hadirin terbelalak, mulut pun melongo, serasa bernapas pun
sesak. 0oo0 Pakaian pengantin yang dipakai Be Hong-ling amat menyolok, entah potongan atau warnanya,
tapi raut mukanya ternyata amat pucat. Dia langsung menerjang ke depan Pho Ang-soat,
teriaknya dengan suara bergetar, "Kau! Ternyata kau!"
Pho Ang-soat hanya meliriknya sekilas, seolah-olah sebelum ini belum pernah dia melihat
perempuan di depannya ini.
Be Hong-ling melotot, biji matanya merah membara desisnya, "Mana Wan Ceng-hong?"
"Wan Ceng-hong siapa?" bertaut alis Pho Ang-soat.
"Bukankah kau sudah membunuhnya" Ada orang melihat kalian ...."
Akhirnya Pho Ang-soat mengerti, jadi tuan muda pemilik perkampungan ini adalah mempelai
pria, dan mempelai pria ini adalah pemuda berpedang yang berhadapan dengan dirinya di kota
Tiang-an itu. Sekarang dia pun sudah melihat Peng Liat. Sudah tentu Peng Liat juga menjadi tamu dalam
pesta perjamuan ini, bukan mustahil Peng Liatlah yang memberi tahu hal itu kepada mereka.
"Sebetulnya aku memang bisa membunuhnya," ujar Pho Ang-soat tawar.
Bergetar badan Be Hong-ling, mendadak dia berteriak kalap, "Pasti kaulah yang membunuhnya,
kalau tidak, kenapa dia tidak datang, kau ... kau ... kenapa kau selalu menyakiti aku, kau ...."
Suaranya serak dan tersendat, air mata pun bercucuran. Di dalam lengan bajunya sudah
menyembunyikan sebatang pedang pendek, mendadak dia menubruk maju, laksana kilat
menyambar pedang pendek di tangannya menusuk ke dada Pho Ang-soat. Serangannya ini amat
keji dan penuh dendam, rasanya ingin sekali dia tusuk tamatkan riwayat Pho Ang-soat.
Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasinya, tiba-tiba sarung pedangnya terangkat melintang
terus mengetuk. Kontan Be Hong-ling tergentak mundur, seketika pinggangnya meliuk dan
muntah-muntah dengan kerasnya. Tapi tangannya masih mencekal pedang pendek itu kencangkencang.
"Sebetulnya bisa aku membunuh kau," jengek Pho Ang-soat dingin.
Be Hong-ling berusaha menegakkan badan dengan napas tersengal-sengal, tiba-tiba dia
memekik keras, kembali dia menubruk maju sambil mengayun pedang. Agaknya kali ini dia sudah
mengerahkan setaker tenaganya. Tapi dari samping seseorang dengan ringan menarik lengan
bajunya, seluruh kekuatannya yang menerjang ke depan seketika sirna tanpa bekas. Itulah ilmu
Su-nio-boat-jian-kin dari aliran Lwekeh, suatu kepandaian peranti digunakan untuk meminjam
tenaga lawan. Tidak banyak orang yang pernah meyakinkan kepandaian dari aliran Lwekeh ini, maka lebih
jarang tokoh-tokoh yang benar-benar mahir dan lihai menggunakan ilmu kepandaian ini. Meski
ada, paling sedikit harus mempunyai landasan Lwekang dua-tiga puluh tahun. Oleh karena itu
orang ini tentu seorang kakek, seorang tua yang punya wibawa.
Pakaian orang ini tidak kalah perlente dan mewah, sikapnya lebih gagah berwibawa dan serius
dari Liu Tang-lay, sepasang matanya menyorotkan cahaya terang, dengan bengis dia menatap Pho
Ang-soat, bentaknya, "Apa kau tidak tahu bila dia seorang perempuan?"
Pho Ang-soat tutup mulut.
Semakin gusar dan beringas si orang tua, serunya, "Walau dia bukan apa-apaku, aku tidak
akan membiarkan kau bertindak kasar terhadap perempuan."
"Jadi dia adalah menantumu?" tiba-tiba Pho Ang-soat buka suara.
"Benar," sahut si orang tua.
"Jadi kau inilah Wan Chiu-hun?"
"Tidak salah."


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak membunuh putramu."
Dengan tajam Wan Chiu-hun mengawasinya, akhirnya dia manggut-manggut, katanya,
"Agaknya kau bukan laki-laki yang pandai membual."
"Tapi kemungkinan aku akan membunuhmu," ujar Pho Ang-soat kalem.
Sekilas Wan Chiu-hun melenggong, tiba-tiba dia terbahak-bahak Biasanya dia jarang tertawa
lebar, bahwa sekarang dia terbahak-bahak, karena di dalam benaknya mendadak dibayangi
ketakutan yang benar-benar mengetuk sanubarinya. Katanya dengan tertawa lebar. "Katamu kau
hendak membunuhku" Berani kau di sini mengucapkan kata-kata seperti ini?"
"Barusan sudah kukatakan, kini aku ada sebuah pertanyaan ingin bertanya kepadamu."
"Kau boleh bertanya."
"Sembilan belas tahun yang lalu, apakah kau pun berada di luar Bwe-hoa-am di Loh-sia-san?"
Tawa Wan Chiu-hun tiba-tiba berhenti seperti mulutnya mendadak tersumbat sesuatu, sorot
matanya seketika memancarkan ketakutan dan ngeri, raut mukanya yang kereng berwibawa
seketika berkerut-kerut berubah bentuk. Teriaknya tertahan, "Kau adalah Pek ... pernah apa kau
dengan Pek-tayhiap?"
Mendapat pertanyaan balasan ini, muka Pho Ang-soat yang pucat seketika merah padam,
badannya mulai gemetar. Anehnya tangan yang semula gemetar kini malah tenang dan mantap.
"Aku adalah putranya!" mulutnya mendesis.
Habis mendengar jawaban ini, jiwa Wan Chiu-hun pun melayanglah.
Golok Pho Ang-soat tiba-tiba menyambar keluar. Membunuh orang dia tidak pernah
membuang-buang waktu.
0oo0 Sinar golok berkelebat, semua hadirin hanya melihat berkelebatnya selarik sinar perak, tiada
seorang pun yang melihat jelas bentuk goloknya. Demikian pula Wan Chiu-hun sendiri tidak
melihatnya. Tahu-tahu sinar perak atau ujung golok itu sudah amblas tembus ke dalam dadanya.
Semua kegaduhan seketika sirap dan suasana menjadi hening lelap, segala gerakan pun
berhenti seluruhnya. Sesaat kemudian baru terdengar tenggorokan Wan Chiu-hun berbunyi "krokkrok"
seperti suara katak. Matanya terbelalak mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya
mengandung heran, tidak mengerti, ketakutan, duka lara dan curiga. Dia tidak percaya bahwa
sambaran golok Pho Ang-soat ternyata begitu cepat. Lebih tidak dipercaya lagi bahwa Pho Angsoat
benar-benar tega membunuh dirinya.
Dengan melotot Wan Chiu-hun mengawasi muka orang yang pucat, tiba-tiba dia meronta
mundur melepaskan badannya dari tusukan golok orang. Maka terjungkallah badannya. Darah
menyembur keluar membasahi badan, berceceran di atas lantai. Biji matanya sudah melotot,
dengan sisa tenaga dan napasnya yang terakhir dia paksakan diri berkata, "Malam itu aku tidak
berada di luar Bwe-hoa-am!" Habis kata-katanya, melayang juga jiwanya.
Golok itu sudah kembali di dalam sarungnya, golok yang masih berlepotan darah.
Sekonyong-konyong didengarnya di belakang sebuah suara dingin yang tajam berkata, "Kau
salah orang!"
Kuping Pho Ang-soat seolah-olah pekak dan mendengung mendengar kata-kata ini, meski tidak
keras orang bicara, tapi bagi pendengaran Pho Ang-soat laksana bunyi guntur menggelegar di
pinggir kupingnya. Lama sekali baru dia pelan-pelan membalik badan.
Liu Tang-lay berdiri di depannya, mukanya pucat beringas, matanya setajam golok, katanya
pelan, "Malam itu, dia memang tidak berada di Bwe-hoa-am."
"Kau tahu?" tanya Pho Ang-soat mengertak gigi.
"Hanya aku yang tahu."
Berkerut-kerut muka Liu Tang-lay karena emosi dan tertekan batinnya, katanya lebih lanjut,
"Malam itu, kebetulan istrinya pun meninggal karena susah melahirkan, dari malam sampai pagi
dia terus berjaga di pinggir pembaringan, setengah langkah pun tidak pernah berpisah sampai
istrinya ajal."
Terasa oleh Pho Ang-soat, seolah-olah dada sendiri pun terhujam oleh golok tajam, seluruh
badan menjadi dingin dan basah kuyup
"Tapi dia tahu jelas peristiwa berdarah di luar Bwe-hoa-am itu."
"Dia ... bagaimana dia bisa tahu?"
"Karena aku memberitahu rahasia itu kepadanya."
Setiap patah kata jawaban ini laksana martil yang mengetuk batok kepalanya.
"Akulah salah seorang dari sekian banyak orang yang berusaha membunuh ayahmu pada
malam itu di luar Bwe-hoa-am," kata Liu Tang-lay dengan menekan perasaan sedihnya, lalu dia
berpaling mengawasi jenazah Wan Chiu-hun, katanya rawan, "Bukan saja dia familiku, dia pun
teman yang paling baik, sejak kecil kita hidup bersama, di antara kita selamanya tiada perbedaan
tiada rahasia apa pun."
"Oleh karena itu kau tuturkan peristiwa itu kepadanya?"
"Tapi tidak pernah terpikir olehku bahwa aku malah mencelakai jiwanya."
Kata-kata ini laksana sebatang jarum menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.
Berkata Liu Tang-lay lebih lanjut, "Setelah mendengar penuturanku, dia pernah memarahi aku,
dikatakan tidak pantas aku demi seorang perempuan sampai melakukan perbuatan yang
memalukan itu, tapi aku maklum akan maksud baiknya, karena dia tidak tahu betapa besar cinta
kasihku terhadap perempuan itu."
"Kau jadi pembunuh gelap, hanya ... hanya karena seorang perempuan?" tanya Pho Ang-soat.
"Benar, untuk seorang perempuan, dia bernama Kiat-ji, semula menjadi milikku, tapi
mengandal kekuasaan dan harta bendanya, Pek Thian-ih merebutnya dari tanganku."
"Kau bohong!" hardik Pho Ang-soat kalap.
"Aku bohong?" Liu Tang-lay terloroh-loroh menengadah, "Buat apa aku harus bohong"
Memangnya kau belum tahu orang macam apa sebenarnya ayahmu itu" Boleh kuberitahu
kepadamu, dia adalah se ...."
Pho Ang-soat mendadak menggerung keras, sinar goloknya yang kemilau kembali berkelebat
keluar dari sarungnya. Dada Liu Tang-kay sudah mengucurkan darah, namun roman mukanya
masih menampilkan senyuman hina dan penuh kebencian.
"Sepatah kata lagi kau berani membusukkan nama beliau, kau akan mampus pelan-pelan!"
"Wan-loji sudah mati lantaran aku, memang aku sudah tidak ingin hidup lagi, bagaimana pun
kematianku tidak menjadi soal."
"Oleh karena itu kau memfitnah dengan mulutmu yang kotor."
"Kapan saja kau boleh membunuh aku, terserah cara apa yang ingin kau gunakan, tapi kau
harus percaya bahwa apa yang kuucapkan adalah benar dan nyata."
Bergetar badan Pho Ang-soat, tiba-tiba dia putar badan, tahu-tahu dia lolos sebatang pedang
dari pinggang seorang yang berdiri di belakangnya terus dilempar kepadanya.
Liu Tang-lay menangkap pedang itu.
"Sekarang kau sudah bersenjata."
"Ya, aku sudah bersenjata."
"Kenapa tidak segera turun tangan, memangnya kau hanya berani membunuh orang bila kau
menutupi mukamu dengan kedok?"
Dengan nanar Liu Tang-lay mengawasi pedang di tangannya, mulutnya menggumam,
"Memang aku pantas membunuhmu, supaya kau tidak kesalahan membunuh orang lain, tapi
darah sudah banjir menjadi aliran, aliran darah sudah panjang dan jauh ...." Tiba-tiba dia
mengayun tangan, pedang di tangannya berkelebat menjadi tabir cahaya kemilau. Gerakan
pedangnya lincah, enteng dan dahsyat. Gerak sasarannya tepat, perubahan jurus tipunya aneh
dan cepat luar biasa.
Hou-hoa-kiam-khek memang salah satu tokoh pedang yang paling kenamaan pada zaman itu,
ketenarannya memang tidak bernama kosong. Karena dia harus menebus ketenaran ini dengan
darah orang banyak. Akan tetapi hari ini dia harus menebus kebesaran namanya dengan darahnya
sendiri Lekas sekali gugusan tabir cahaya terang dari kemilaunya batang pedang telah kuncup. Tahutahu
golok sudah menghujam ke dadanya.
Dengan senyum sinis dia tetap mengawasi Pho Ang-soat, katanya dengan napas tersengalsengal,
"Memang golok cepat yang tiada bandingannya di dunia, sayang sekali betapa pun cepat
golok itu, kenyataan tidak akan mungkin dipungkiri." Habis kata-katanya badannya segera
tersungkur roboh.
0oo0 BAB 31. TERUKIR HINGGA LUBUK HATI
Golok sudah kembali ke dalam sarungnya. Pelan-pelan Pho Ang-soat membalik badan, kaki kiri
melangkah, kaki kanan dengan kaku diseret maju ke depan. Pelan-pelan dia keluar dari pagar
manusia, matanya mendelong lurus ke depan, serasa ciut nyalinya melihat dua mayat yang
terkapar di lantai, tiada nyali melirik pun kepada orang-orang yang memagari jalannya.
Sekonyong-konyong terdengar jerit tangis sesambatan. Itulah tangisan Be Hong-ling, sambil
tergerung-gerung dia sesambatan dan mengutuk tujuh turunan, semua kata-kata paling kotor
terucapkan dari mulutnya.
Tapi Pho Ang-soat tidak mendengar, seluruh badan atau raganya seolah-olah sudah pati rasa.
Ting Hun-ho merengut, belum bicara. Ting Hun-pin sudah menarik lengan bajunya, katanya
berbisik, "Kau lihat orang di depan itu" Orang yang pinggangnya menyoreng pedang itu."
Orang yang baru masuk dari luar adalah Lok Siau-ka.
Ting Hun-ho mengerut kening, katanya, "Apa kau juga berhubungan dengan orang seperti itu?"
"Kau tahu siapa dia?"
Ting Hun-ho manggut-manggut. Tiada kaum persilatan yang tidak kenal melihat pedangnya.
"Katanya dia hendak membunuhmu," kata Ting Hun-pin.
"O. Membunuhku?"
"Begini saja sikapmu?"
"Yang terang sekarang aku masih hidup."
"Apa kau tak ingin bertanding dengannya, pedang siapa lebih cepat?"
"Pedangku selamanya tidak bisa cepat" Ilmu pedang dari aliran Lwekeh memang
mengutamakan lambat mengatasi cepat ketenangan melumpuhkan gerakan, kalau latihan ini
sudah diyakinkan sampai ke puncaknya baru betul-betul boleh dianggap sudah mencapai tingkat
murni dari ilmu pedang Lwekeh.
Apa boleh buat, Ting Hun-pin melotot kepada Lok Siau-ka dengan gegetun dan membanting
kaki. Lok Siau-ka sebaliknya tidak menghiraukan sikapnya.
Ting Hun-pin tiba-tiba maju memapak, serunya, "Hai!"
Lok Siau-ka menguliti kacang terus dilempar ke atas.
"Yang berdiri di sana adalah Toakoku, kau sudah melihatnya belum?"
Lok Siau-ka sedang mengawasi kacang yang melayang jatuh.
"Bukankah tempo hari kau bilang hendak membunuhnya?"
Kacang sudah masuk ke mulut Lok Siau-ka, baru sekarang dia menjawab tawar, "Aku pernah
mengatakan?"
"Kenapa sekrang tidak kau luruk ke sana menantangnya?"
"Kebetulan, hari ini aku tiada minat membunuh orang," ujar Lok Siau-kn sambil mengunyah
kacang. "Kenapa?"
"Sudah banyak yang mati hari ini."
Berputar biji mata Ting Hun-pin, katanya dengan tertawa, "Aku mengerti, ternyata kau hanya
garang di mulut, yang benar hatimu penakut "
Lok Siau-ka tertawa. Dia tidak menyangkal, karena dia memang rada jeri terhadap seseorang.
Tapi orang yang dia takuti terang bukan she Ting.
0oo0 Pho Ang-soat berdiri mematung, berdiri di tengah jalan, dimana tadi kereta berhenti. Berdiri
dimana tadi dia berpisah dengan Cui-long.
Tamu-tamu keluar dari Pek-hun-ceng berbondong-bondong, mereka heran dan bertanya-tanya,
"Kenapa orang ini masih berada di sini?"
Pho Ang-soat sebaliknya tidak melihat mereka, meski mereka berlalu-lalang di depan matanya.
Setelah Cui-long tinggal pergi, jagat raya ini seolah sudah kosong melompong. Sekosong
sanubarinya yang ditinggal pergi.
0oo0 Malam. Bintang berkelap-kelip di angkasa raya, pohon bergontai dihembus angin musim rontok.
Bulan purnama terasa benderang di musim rontok ini Bintang-bintang itu mirip dengan bintangbintang
kemarin malam, demikian pula bulannya lebih bundar.
Tapi dimanakah si dia" Bintang dan rembulan masih bercokol di angkasa raya.
Dimanakah si dia"
0oo0 Tiga bulan. Mereka sudah menetap bersama tiga bulan lamanya, sembilan puluh hari, sembilan
puluh hari sembilan puluh malam. Waktu tiga bulan berjalan cepat laksana sekejap mata, tapi
setiap malam, setiap saat, entah berapa kenangan yang selalu mengetuk kalbu, pernah mengecap
derita, tapi juga pernah senang bahagia, ada kerisauan ada pula kemesraan. Dan semua itu
sekarang sudah berselang dan takkan kembali lagi.
Pho Ang-soat mengertak gigi, langkahnya lebar, angin kering mulai menghembus air matanya.
Hari sudah petang, lampu remang-remang di dalam sebuah warung membuat suasana semakin
sepi dan dingin. Arak pun terasa getir. Belum pernah dia minum arak, tapi sekarang dia ingin
mabuk. Secawan arak keruh yang cukup keras, dia sudah bertekad untuk menghabiskan secawan
penuh. Tapi sebelum dia mengulurkan tangan mengangkat cawan araknya, sekonyong-konyong dari
samping terulur sebuah tangan mengambil cawan araknya. "Kau tidak boleh minum arak seperti
ini." Tangan yang lebar segede kipas dengan jari-jarinya sebesar lobak, kulitnya kotor kasar dan
kering, suaranya kuat dan sumbang.
Pho Ang-soat tidak perlu mengangkat kepala, dia kenal baik tangan ini, dia pun kenal suara itu.
Bukankah Si Toa-han memang seorang laki-laki kasar yang kuat dan kotor kering.
"Kenapa aku tidak boleh minum?"
"Karena tidak setimpal arak ini kau minum."
Sebelah tangan Si Toa-han yang lain tengah menjinjing sebuah guci arak yang cukup besar,
dengan keras dia gebrakan guci arak ke atas meja, sekali tepuk dia bikin hancur sumbatnya, terus
menuang dua cawan penuh. Tanpa bicara dan menunjukkan sikap apa-apa, dia angkat sebuah
cawan terus ditenggak habis, sementara secawan yang lain dia angsurkan ke depan Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat tidak menolak suguhan orang, hanya mabuk yang terpikir dalam benaknya. Arak
yang terasa pahit, getir, keras dan pedas membakar kerongkongan laksana bara api menerjang
masuk ke dalam tenggorokan terus turun ke perut Pho Ang-soat. Dengan mengertak gigi dia teguk
arak yang terakhir, sedapat mungkin dia kendalikan diri dan bertahan, tidak sampai batuk. Tapi air
mata tak tertahan sudah berlinang-linang.
"Dulu kau belum pernah minum arak?" tanya Si Toa-han sambil mengawasinya.
Tiada jawaban. Si Toa-han tidak bertanya lagi, kembali dia isi secawan penuh arak. Arak cawan kedua ini
rasanya sudah lain. Waktu dia tenggak habis cawan ketiga, tiba-tiba terasa oleh Pho Ang-soat
timbul suatu perubahan di dalam badannya. Selamanya belum pernah dia alami perasaan seperti
ini. Pelita yang remang di atas meja terasa memancar lebih terang, badannya semula tegang kaku,
kosong melompong, tapi sekarang mendadak timbul suatu daya kekuatan hidup yang aneh dan
sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Mengawasi goloknya, Si Toa-han berkata tandas, "Salah membunuh orang bukan suatu hal
yang harus dibuat perhatian. Betapa banyak para Enghiong di kalangan Kangouw, siapa yang
tidak pernah salah membunuh orang?"
Tiada reaksi. "Jangan kata lain orang, bicarakan saja Wan Chiu-hun, selama hidupnya entah berapa banyak
manusia tidak berdosa yang terbunuh olehnya."
Pho Ang-soat mengangkat cawan araknya, sekali tenggak dia bikin kering. Dia tahu Si Toa-han
salah paham akan derita batinnya, maka dia lebih memelas hati. Bahwa peristiwa pembunuhan itu
hakikatnya sudah tidak menjadi perhatiannya, kini hanya soal perempuan saja yang masih
mengetuk sanubarinya. Seorang perempuan yang minggat meninggalkan dirinya, meninggalkan
cinta murninya.
Si Toa-han mengisi cawannya lagi, katanya, "Oleh karena itu kau tidak perlu berkecil hati, aku
tahu kau seorang laki-laki sejati, kau ...."
"Aku bukan seorang laki," tukas Pho Ang-soat.
"Siapa yang bilang?"
"Aku yang bilang." Setelah menghabiskan araknya dia banting cawannya ke atas meja, katanya
dengan mengertak gigi, "Hakikatnya aku ini bukan manusia."
"Kecuali kau sendiri, aku berani tanggung, orang lain pasti tak punya pikiran seperti itu."
"Soalnya orang lain tiada yang mengerti dan menyelami diriku."
"Dan kau?" Si Toa-han menegas. "Apa kau benar-benar mengerti dan menyelami dirimu?"
Pho Ang-soat menundukkan kepala. Pertanyaan yang tak mungkin dia jawab.
"Kita bertemu di tengah jalan, sudah tentu aku tidak berani menyelami jiwamu, tapi aku
berani bilang, bukan saja kau ini manusia, malah kau adalah seorang laki-laki yang lain dari yang
lain, oleh karena itu kau tidak perlu mereras diri dan mengambek lantaran sesuatu persoalan."
Sikapnya sungguh-sungguh, suaranya kalem dan tegas, "Terutama jangan lantaran seorang
perempuan."
Mendadak Pho Ang-soat mengangkat kepalanya. Mendadak dia menyadari bahwa penilaian dan
pandangan Si Toa-han terhadap dirinya memang tidak salah.
"Boleh kuberi tahu kepadamu, bukan saja dia tidak setimpal kau pikir, kau kenang sehingga
batinmu menderita, hakikatnya tidak setimpal kau meliriknya."
"Kau ... kau ... kau tahu dia ... dia pergi kemana?" suara Pho Ang-soat gemetar saking tegang.
"Aku tahu."
"Ka ... katakanlah!"
"Aku tidak bisa mengatakan."
"Kenapa?"
Mengawasi muka orang, terunjuk rasa derita pula pada sorot mata Si Toa-han, setelah dia
tuang habis arak dalam cawannya, baru memaksakan diri dia manggut-manggut, ujarnya, "Baik,
kukatakan, dia ... dia pergi ikut seorang."
"Ikut siapa?"
"Ikut bocah yang jadi kusir kereta itu."
Kata-kata ini laksana golok tajam menghujam ke hulu hati Pho Ang-soat. Saking terpukul
batinnya, hampir saja dia menjadi gila. "Kau bohong!"
"Selama hidupku tidak pernah bohong."
"Sekali lagi kau katakan, kubunuh kau."
"Kau boleh bunuh aku, yang terang aku tidak berbohong." Sikap Si Toa-han tenang, "Kau harus
percaya kepadaku, harus percaya!"
Pho Ang-soat sudah menggenggam kencang gagang goloknya, tapi goloknya tak kuasa terlolos,
malah matanya tak tertahan berkaca-kaca. Dia yakin Si Toa-han pasti tidak berbohong kepadanya.


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebetulnya kau tidak boleh menyalahkan dia, sebetulnya dia memang bukan pasanganmu, jika
perjodohan ini dipaksakan, hanya derita dan sengsara ... hanya mereka berdualah yang benarbenar
setimpal, karena mereka manusia sejenis."
"Mereka berdua", kedua kata ini laksana golok menusuk hati Pho Ang-soat. Masakah
perempuan pujaan hatinya ternyata adalah perempuan jalang yang kotor dan hina-dina"
Tiba-tiba dia roboh terguling. Tak tertahan air mata bercucuran, tak bersuara, tapi tangis yang
tak bersuara sungguh jauh lebih sedih dan memilukan dari tangis tergerung-gerung.
Si Toa-han diam, dia tidak membujuknya. Dari samping dia hanya mengawasi, setelah arak dan
kepedihan Pho Ang-soat habis bercucuran melalui air mata dan keringatnya, segera dia bangkit
menariknya, katanya, "Hayo, kita cari tempat lain untuk minum sepuasnya lagi."
Pho Ang-soat tidak menolak. Seolah-olah dia sudah kehilangan kontrol dan tenaga serta
gengsinya sendiri.
0oo0 Di tempat itu bukan saja ada arak, berbagai jenis perempuan pun dapat kau cari. Orang sering
bilang arak dan perempuan biasanya merupakan pelipur lara, hanya arak dan perempuanlah yang
dapat melupakan segala kesengsaraan.
Sudah tujuh hari dia mabuk di sini. Di sini ada beberapa macam arak, beberapa jenis
perempuan, dari tiga belas sampai umur tiga puluh. Mereka cantik-cantik, mereka cukup tahu cara
bagaimana menghibur laki-laki.
Sore hari itu. Untuk pertama kali Pho Ang-soat sadar dari kehidupan yang kelelap dalam buaian
cinta dan mabuk. Hawa segar membuat pikirannya jernih, dengan langkah sempoyongan dia
berjalan-jalan menyusuri taman kembang, dari sebuah pintu samping dia berada di sebuah gang
lurus kecil panjang yang menuju keluar. Suasana sepi, hidungnya dirangsang bau kembang wangi.
Setiba di ujung gang Pho Ang-soat mendorong daun pintu serta menghirup hawa segar. Baru saja
dia hendak menyongsong hembusan angin segar dan beranjak keluar dari kurungan maksiat ini.
Pada saat itu pula matanya melihat bayangan seseorang.
Cui-long. Setelah mengalami derita dan siksa, tiba-tiba hari ini dia melihat Cui-long.
Cui-long berjalan dengan seorang pemuda, pemuda yang jadi kusir kereta itu.
Kini dandanannya sudah perlente, orang tidak akan tahu bahwa dia semula hanya bocah kusir
kereta Kini dia mengenakan pakaian serba baru yang mahal harganya, dandanannya mirip benar
dengan putra hartawan di kota yang suka pemogoran
0oo0 Pho Ang-soat merasakan seluruh badannya kaku mengejang. Seluruh badannya seolah-olah
berkobar, goloknya pun seperti memburu. Golok masih dicekalnya, dia boleh menerjang maju,
dalam sekejap mata dia bisa membunuh kedua manusia kerdil dan rendah ini.
Tapi dia tetap berdiri menjublek tak bergerak. Karena tiba-tiba dirinya dirangsang rasa malu
yang sukar dilukiskan, malu untuk berhadapan dengan kedua orang ini. Memangnya setimpal dia
bersedih demi perempuan jalang ini" Dengan mendelong dia mengawasi kedua orang ini masuk ke
dalam sebuah penginapan yang paling mewah dan besar di kota ini. Cui-long berjalan di depan,
kusir kereta itu mengintil di belakangnya.
Entah berapa lama tiba-tiba dia merasakan sebuah tangan mungil yang halus sedang mengelus
jari-jarinya, katanya, "Kenapa kau berdiri melongo di sini" Si-toaya sedang mencarimu ubekubekan
ingin mengajakmu minum."
Seketika terasa mulutnya kering dan ketagihan arak. Kenapa dirinya harus tetap menderita
pukulan batin seberat ini.
Maka dia mulai minum, mabuk lagi. Setelah sadar minum lagi sampai mabuk. Gengsi,
keberanian dan kekuatan sudah kelelap di dalam arak yang ditenggaknya. Sekarang hanya golok
itulah yang masih tersisa padanya.
Si Toa-han duduk di hadapannya, secangkir arak yang belum lagi ditenggaknya untuk pertama
kali dalam hari ini berada di depan hidungnya. Seperti orang yang sudah kehausan dan ketagihan
arak cepat dia mengulur tangan mengambil cangkir arak itu. Tapi tangan Si Toa-han tiba-tiba
terulur maju, sekali tampar dia bikin cangkirnya tumpah.
Pho Ang-soat melenggong.
Sikap ramah dan seri tawa Si Toa-han dulu kini sudah lenyap, katanya dengan suara berat,
"Hari ini kau masih ingin minum arak?"
Dengan ragu-ragu Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tahukah kau berapa banyak arak yang sudah kau minum" Berapa pula yang sudah kubayar?"
Pho Ang-soat tidak tahu, dia sudah tidak ingat lagi
Gadis kecil yang melayani mereka segera menjawab dengan tertawa manis, "Sampai hari ini,
rekening arak Pho-toaya seluruhnya ada tiga ribu empat ratus tahil."
"Berapa dia sudah bayar?"
"Sepeser pun tidak membayar."
Si Toa-han menyeringai dingin, katanya, "Sepeser pun tidak bayar, mengandal apa dia masih
duduk di sini minum arak?"
"Karena dia adalah teman baik Si-toaya."
"Memang dia tamuku, sekali dua kali aku boleh traktir dia, tapi masakah aku harus traktir dia
seumur hidup?"
Gadis itu cekikikan, katanya, "Sudah tentu tidak, dia kan bukan anak Si-toaya, kenapa Si-toaya
harus mengongkosi hidupnya?"
Berkata Si-toaya lebih lanjut, "Semula kutraktir dia karena kuanggap dia seorang Enghiong, tak
nyana dia tak ubahnya seperti anjing buduk yang pandai gegares belaka secara gratis, sedikit pun
tidak punya pambek."
Bergetar sekujur badan Pho Ang-soat, keringatpun bercucuran karena amat malu dan terpukul
gengsinya. Tapi dia mandah diam saja, dia terima segala penghinaan ini. Karena dia tahu apa
yang dikatakan memang beralasan dan kenyataan, dengan mengertak gigi pelan-pelan dia bangkit
berdiri. "Kau ingin pergi?" Si Toa-han berteriak.
"Aku ... sudah saatnya aku pergi."
"Bagaimana dengan rekening arakmu?"
Pho Ang-soat tutup mulut. Dia tidak bisa menjawab. "Rekening tiga hari di muka aku boleh
mentraktirmu, tapi sebelas hari kemudian ...."
Gadis cilik itu segera menyambung, "Rekening sebelas hari belakangan seluruhnya berjumlah
dua ribu delapan ratus lima puluh tahil."
"Kau dengar tidak, dua ribu delapan ratus lima puluh tahil, tanpa kau lunasi lantas hendak
pergi!" Pho Ang-soat tetap bungkam, dia tetap tidak bisa memberi jawaban.
"Apakah kau tidak punya uang untuk bayar" Baik, tinggalkan golokmu, kau boleh pergi!"
"Tinggalkan golokmu!", kata-kata ini seolah-olah geledek yang menggelegar di pinggir telinga
Pho Ang-soat, sehingga Pho Ang-soat seakan-akan merasa dirinya hancur-lebur.
Si Toa-han sebaliknya menyeringai bengis, sekarang dia memperlihatkan kedoknya yang asli.
Entah berapa lama, akhirnya dia mendesis dengan mengertak gigi, "Siapa pun jangan harap
bisa menahan golokku."
Si Toa-han tertawa lebar. "Kalau dulu kau yang berkata demikian mungkin aku masih percaya,
tapi sekarang ...."
"Sekarang bagaimana?"
"Sekarang kau sudah tidak boleh mengatakan demikian, kau tidak setimpal lagi."
Tiba-tiba Pho Ang-soat berpaling, biji matanya sudah merah membara, sekarang baru dia
benar-benar melihat jiwa Si Toa-han yang asli.
Si Toa-han tertawa dingin, "Kalau hari ini tidak kau tinggalkan golokmu, mungkin kau harus
tinggalkan kepalamu "
"Tinggalkan kepalamu!", jadi apa yang diperbuat Si Toa-han selama ini adalah hendak
menunggu kesempatan untuk mengucapkan ancamannya. Ternyata semua ini merupakan suatu
jebakan, suatu perangkap keji.
Golok masih berada di tangannya, sembarang waktu Pho Ang-soat masih kuasa membela diri
dengan senjatanya ini. Tapi sekarang dia sudah kehilangan keyakinan diri, sekali serang
menamatkan jiwa musuh, keyakinan yang aneh dan berlebihan itu, karena harga diri, keyakinan
dan keberaniannya kini sudah kelelap ke dalam arak.
"Cabut golokmu!" Si Toa-han sudah berdiri, badannya yang gede laksana malaikat yang garang.
'Apa sekarang kau sudah tidak berani mencabut golokmu?" Suaranya mengandung ejekan, malah
mengandung keyakinan pula bagi dirinya. Karena dia cukup mengerti sampai dimana tingkat
kepandaian silat Pho Ang-soat, lebih mengerti pula selama setengah bulan ini Pho Ang-soat sudah
banyak kehilangan.
Dan kehilangan ini merupakan perubahan yang menakutkan bagi Pho Ang-soat. Memang siapa
penyebab perubahan ini" Bagaimana perubahan ini bisa terjadi"
Pho Ang-soat tidak mencabut goloknya. Dia tidak bisa mencabutnya. Karena goloknya sudah
tidak berada dalam tangannya, tapi berada dalam sanubarinya. Hatinya sedang meneteskan darah
Derita, siksa, menyesal, malu dan marah.
Semua ini sudah dia resapi lantaran seorang perempuan, karena perempuan itu lari
meninggalkan dirinya, ikut seorang kusir kereta. Habis.
Kalau seorang laki-laki masih ingin hidup dalam keadaan tersiksa dan malu, peduli apa alasan
dan sebabnya, maka hidupnya itu tidak akan berharga.
0oo0 Pho Ang-soat sudah bertekad untuk mencabut goloknya.
0oo0 Hari mulai petang.
Pho Ang-soat sudah siaga untuk mencabut goloknya.
Tapi saat itu juga tiba-tiba didengarnya seorang tertawa. Lok Siau-ka sedang tertawa. Entah
sejak kapan tahu-tahu dia sudah muncul di depan jendela, mendekam di jendela sambil tertawa
mengawasi dirinya.
Serasa menciut hati Pho Ang-soat, setitik harapan yang terpercik dalam benaknya, sekarang
terputus dan luluh
"Eh, jangan lupa, arak wangi, perempuan cantik, masakah kalian hendak mengadu jiwa begitu
saja di tempat seperti ini?"
Si Toa-han berkata, "Masakah membunuh orang harus memilih tempat?"
"Sudah tentu harus memilih tempat yang baik," ujar Lok Siau-ka tertawa. "Aku lebih ahli dalam
membunuh orang, aku berani tanggung, disini bukan tempat yang cocok untuk membunuh
orang." "Kau hendak memilihkan tempat bagi kita?"
"Taman kembang di luar itu cukup baik, peduli dimana kalian terpukul roboh, aku berani
tanggung kalian pasti akan roboh di bawah kembang."
0oo0 Pho Ang-soat berdiri di ujung jalanan di dalam kebun.
Kini Lok Siau-ka duduk di atas jendela membelakangi kamar, katanya kepada Pho Ang-soat,
"Sebetulnya orang yang menjadi korban hari ini bukan kau."
Pho Ang-soat diam dan mendengarkan.
"Ilmu silat Lo Si keras dan ganas, meski sudah termasuk tokoh kosen tingkat tertinggi, tapi
golokmu seolah-olah mengandung kekuatan iblis yang misterius, seharusnya kau bisa
membunuhnya."
"Tapi sekarang lain, karena kau sudah tidak yakin lagi terhadap dirimu sendiri, sudah tentu
golokmu tidak yakin lagi akan dirimu" Maka kaulah nanti yang bakal ajal."
Berkeringat telapak tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok. "Kematianmu harus dibuat
menyesal, tapi hal ini harus menyalahkan kau sendiri. Seorang laki-laki bila ingin menuntut balas,
maka jangan jatuh hati kepada perempuan lacur yang boleh ditiduri oleh laki-laki siapa saja."
Serasa mengkeret jantung Pho Ang-soat, tiba-tiba dia bersuara, "Seseorang bila ingin hidup
lama, maka dia harus sedikit bicara."
"Memang aku sudah kebanyakan bicara," ujar Lok Siau-ka membuka kacang dan dilempar ke
atas, sambungnya dengan tertawa, "Tapi kau sendiri terlalu sedikit bicara."
"O, aku tidak perlu banyak bicara," sahut Pho Ang-soat. Lok Siau-ka sudah menangkap kacang
itu dengan mulut, katanya sambil mengunyah, "Seharusnya kau tanya kepadanya kenapa dia
hendak membunuhmu "''
"Aku tidak perlu bertanya."
"Kenapa?"
"Karena aku sudah tahu."
"Kau tahu apa?"
"Aku tahu, dia pasti salah seorang pembunuh di luar Bwe-hoa-am dulu itu."
Lok Siau-ka tiba-tiba tergelak-gelak, ujarnya, "Tahun ini dia baru berusia tiga puluh, waktu itu
dia masih bocah ingusan, kenapa tidak kau hitung usianya."
Pho Ang-soat melongo.
"Cuma kalau kau boleh menuntut balas bagi ayahmu, sudah tentu dia pun boleh membunuhmu
demi ayahnya."
Baru sekarang Pho Ang-soat tahu, Si Toa-han sendiri memang bukan musuh keluarga Pek, tapi
ayahnya tidak perlu disangsikan lagi. Jadi perangkap ini sudah lebih gamblang lagi, tujuannya
adalah untuk mencegah Pho Ang-soat pergi membunuh ayahnya. Siapa berani bilang bahwa usaha
Si Toa-han ini keliru"
Selama ini Si Toa-han tidak banyak mulut, dia sudah mengerahkan seluruh kekuatan dan hawa
murninya ke seluruh badan, senjatanya adalah sebuah kampak besar berat lima puluh kati,
agaknya sekali kampaknya terayun, gunung pun bisa dibelahnya hancur.
Pho Ang-soat menghirup napas panjang, katanya, "Baik, sekarang boleh kau turun tangan."
"Biar aku mengalah, kau boleh lolos golokmu dulu, aku tetap bisa mencabut nyawamu."
Sekonyong-konyong sebelum duel ini terjadi, terdengar seorang berteriak, "Jika kau ingin
membunuhnya,, kau harus bunuh diriku lebih dulu." Suaranya serak dan tertelan di dalam
tenggorokan, namun masih bisa didengar.
Tampak seseorang dari ujung kebun sebelah sana memburu datang, jarang ada orang di waktu
berlari masih tetap menunjukkan gaya yang gemulai begitu indah seperti orang menari. Tapi
rambut sanggulnya sudah berantakan, kegugupan dan gelisah serta ketakutan yang menghiasi
mukanya bukan pura-pura belaka.
Seseorang pemuda mengejar di belakangnya, ingin menariknya, "Buat apa kau urus persoalan
orang lain?" Tapi belum habis dia bicara, tahu-tahu pipinya sudah ditampar dan roboh oleh orang
di depannya yang membalik tiba-tiba.
Si Toa-han dan Lok Siau-ka sama-sama kaget dan heran, mereka berseru berbareng, "Kau!"
Dalam waktu sekejap ini, yang paling kaget heran, paling terpukul batinnya, namun paling
gembira dan terhibur juga adalah Pho Ang-soat. Tiada orang yang bisa menyelami perasaan
hatinya sekarang.
Cui-long langsung memburu datang menghadang di depannya.
"Untuk apa kau kemari?" bentak Si Toa-han.
"Aku tidak bisa melihat dia mati," sahut Cui-long.
"Kau bisa melindungi dia?"
"Tidak bisa, tapi aku bisa mati lebih dulu."
"Kau benar-benar rela mati bagi dia?"
"Kalau tidak buat apa aku memburu datang?"
"Lalu kenapa waktu itu kau minggat?"
"Karena...karena waktu itu aku mengira dia membenciku, merendahkan diriku, kukira
hakikatnya dia tidak pernah ingin mempersunting diriku." Tiba-tiba berlinang air matanya, katanya
lebih lanjut "Tapi sekarang baru aku tahu, dia benar-benar mencintaiku sepunuh hati. sikap
kasarnya dulu hanya karena wataknya saja yang aneh."
Si Toa-han tertawa dingin.
Cui-long mengertak gigi, katanya pula, "Kalau bukan lantaran aku jangan harap kalian berani
bertingkah dan menghadapinya seperti hari ini "
"Apa kau benar-benar ingin mampus di tanganku?"
"Sudah tentu benar, jika dia berkorban lantaran aku, apakah aku bisa hidup."
"Bagus, kalau begitu biar aku sempurnakan kalian bersama."
"Tunggu!" sentak Pho Ang-soat tiba-tiba.
"Apa kau juga tergesa-gesa hendak berlomba mendahului."
Pho Ang-soat tidak menjawab, tidak banyak bicara. Karena sikapnya sudah menandakan
segalanya. Dalam waktu sesingkat itu, karena kehadiran dan pernyataan Cui-long, dia sudah
berubah pula. Sekarang hatinya yang pepat sudah terbuka. Sikapnya kembali berubah penuh
keyakinan, karena dia sadar bahwa sang jelita yang dipujanya sedikit pun tidak berubah, cintanya
murni dan abadi. Tangan yang memegang golok secara aneh tiba-tiba berubah tenang dan
mantap. Mengawasi perubahan sikap orang, hati Si Toa-han tiba-tiba menjadi ciut, suatu perasaan takut
tiba-tiba menjalar dalam sanubarinya, dia insyaf bila sekarang dia tidak bisa membunuh orang di
hadapannya ini, mungkin kelak dia takkan punya kesempatan. Maka dengan menggerung gusar
seperti harimau kelaparan dia menerjang maju. Kampak besarnya yang berat itu sudah terayun
menerbitkan deru angin kencang.
Kuntum-kuntum kembang di dalam taman seolah-olah seperti diterpa angin lesus, mendadak
rontok beterbangan. Tapi cepat sekali deru angin dan kembang-kembang yang beterbangan
itupun berhenti, kelopak kembang berjatuhan.
Kampak besar itu masih teracung tinggi di atas kepala, tak bergeming, dengan melotot Si Toahan
berdiri di tempatnya tanpa bergerak. Tapi Pho Ang-soat ternyata berada di depannya, berdiri
di bawah kampaknya. Namun goloknya ternyata sudah amblas ke hulu hati Si Toa-han, tinggal
gagangnya saja yang masih kelihatan.
0oo0 Kampak Si Toa-han akhirnya meluncur jatuh, tapi sudah tidak bisa mencelakai jiwa siapa pun.
Biji matanya melotot keluar mengawasi Pho Ang-soat. Dalam matanya penuh dilembari rasa curiga
dan tidak percaya. Tapi sekarang dia harus percaya.
Pho Ang-soat sebaliknya tidak mengawasinya, matanya tertuju pada gagang goloknya, "Trap",
goloknya masuk kembali ke dalam sarungnya.
Tapi Si Toa-han masih berdiri tegak, tiba-tiba dia menghela napas panjang, seolah-olah sedih,
rawan dan berkeluh-kesah. "Sebetulnya aku ingin menganggap kau sebagai temanku." Itulah
kata-katanya yang terakhir. Lalu dia pun terjungkal roboh. Roboh di bawah kembang.
0oo0 Pho Ang-soat tetap kaku di tempatnya, sorot matanya yang dingin ternyata menampilkan rona
kepedihan. "Aku sebetulnya tidak ingin membunuhmu." Namun kata-kata ini tidak dia utarakan,
memang ada kalanya kata-kata tidak perlu diutarakan.
0oo0 BAB 32. SIAU-LI SI PISAU TERBANG
Kelopak kembang terakhir berguguran, semuanya berhamburan di atas jenazah Si Toa-han.
Lok Siau-ka tetap berduduk di tempatnya tidak memburu maju memeriksa jenazah temannya
dia menatap golok di tangan Pho Ang-soat, sorot matanya yang biasanya dingin kini memancarkan


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bara yang cemerlang.
"Golokmu cepat sekali!" pujinya. Tiba-tiba Lok Siau-ka tertawa, katanya tawar, "Sayang belum
terhitung paling cepat "
Pho Ang-soat tidak memberi reaksi, karena dia sendiri menyadari walau dia berhasil membunuh
Si Toa-han, ini belum menandakan bahwa kecepatan goloknya sudah pulih seperti sedia kala
Maklumlah meski manusia besi juga akan menjadi loyo tersiksa dan menderita selama tiga belas
hari. Sebaliknya keadaan Lok Siau-ka sekarang sedang berada di puncaknya. Oleh karena itu
tawanya amat riang, tawa yang kejam. Katanya kalem, "Sekarang dalam hati kita masing-masing
tentu memahami sesuatu."
Pho Ang-soat tetap diam. Karena dia maklum apa juntrungan ucapan Lok Siau-ka.
"Jika aku ingin membunuhmu, sekaranglah kesempatan yang paling baik, hanya orang pikun
yang menyia-nyiakan kesempatan baik ini."
"Kau ...." teriak Cui-long tertahan.
"Kau pun ingin membunuhnya?"
"Masa kau kira aku ini laki-laki pikun?" ujar Lok Siau-ka tertawa. Kacang dibuka lalu dilempar.
Tangannya kering bersih dan tenang mantap. Tapi waktu dia mendongak hendak menangkap
kacangnya, tahu-tahu sudah hilang.
Seperti tersedot oleh suatu tenaga gaib, kacang itu tiba-tiba meluncur ke belakang, jatuh ke
dalam mulut seseorang. Orang itu duduk di atas kursi dimana tadi Pho Ang-soat duduk,
mengunyah kacang pelan-pelan, lalu diambilnya cangkir menenggak secangkir penuh.
Begitu membalik badan Pho Ang-soat lantas melihat dia.
Yap Kay. Si setan gentayangan Yap Kay.
Dengan tersenyum Yap Kay meletakkan cangkirnya.
Lok Siau-ka tiba-tiba tertawa, katanya, "Di atas meja masih ada hidangan, kenapa kau rebut
kacangku?"
"Karena jarang mendapat kesempatan untuk makan kacangmu, hanya si pikun saja yang
menyia-nyiakan kesempatan baik ini."
"Agaknya kau memang bukan orang pikun."
"Oleh karena itu aku masih hidup."
Lok Siau-ka tertawa lebar, sekonyong-konyong seiring dengan gelak tawanya badan pun
berjumpalitan terbalik, tahu-tahu bayangannya sudah menghilang ditelan tabir malam yang mulai
mendatang. Yap Kay menuang secangkir lagi, gumamnya, "Agaknya orang-orang pikun di dunia ini semakin
sedikit." 0oo0 Lampu sudah menyala, Yap Kay sendiri yang menyulut apinya. Begitu api menyala, Pho Angsoat
lantas muncul di depan pintu. Yap Kay menenggak habis araknya, katanya tersenyum, "Aku
tidak menyuguhmu, karena aku tahu kau sekarang takkan sudi minum arak lagi."
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat
"Tapi kau boleh masuk duduk di sini, silakan."
Tiba-tiba Pho Ang-soat menukas, "Siapa suruh kau kemari" Katakan!"
"Aku sendiri punya kaki."
"Kenapa kau selalu mencampuri urusanku?"
"Siapa yang mencampuri urusanmu?"
"Tadi kau ...."
"Tadi aku hanya mencaplok kacang Lok Siau-ka, apakah itupun urusanmu?"
Terkancing mulut Pho Ang-soat.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Sekarang si pikun semakin jarang, tapi satu dua orang
tetap masih ada."
0oo0 Dengan menunduk kepala Cui-long menyusuri jalan kebun ke arah luar. Pintu sudah di depan
mata, beberapa langkah lagi dia sudah keluar dari bilangan kebun yang terkurung tembok tinggi,
tapi saat itu juga dia dengar di belakangnya ada orang bersuara, "Kau ...."
Biji mata Pho Ang-soat laksana permukaan air danau yang putih kemilau ditimpa sinar bintang.
Cui-long menghentikan langkah, pelan-pelan dia membalik badan.
"Kau hendak pergi lagi?" Pho Ang-soat bertanya sambil menatapnya.
Cui-long manggut-manggut, lalu geleng-geleng pula.
"Kenapa kau selalu tidak menunggu aku?"
Cui-long menunduk, sahutnya, "Kau ... kapan kau pernah menyuruh aku menunggumu?"
Jawaban ini laksana jarum menusuk ke hulu hati. Mendadak Pho Ang-soat memburu maju,
dengan kencang dia memeluknya.
Di kala air matanya berlinang, pecah pula tangis Cui-long.
0oo0 Manusia tetap manusia. Umpama benar sanubarinya dilapisi salju, ada kalanya salju itu akan
lumer. Kekuatan cinta kasih biasanya memang lebih besar, lebih dahsyat dari dendam kesumat. Ada
kalanya meski dendam itu kelihatannya sudah meruncing, lebih mendalam, tapi hanya kekuatan
cinta saja yang selalu abadi takkan pernah berubah.
0oo0 Yang duduk di jendela adalah Yap Kay. Waktu angin menghembus, di belakangnya terdengar
dering suara kelintingan yang lirih. Dengan pandangan mendelong mereka mengawasi Pho Angsoat
dan Cui-long beranjak keluar, lenyap ditelan kegelapan.
Tiba-tiba Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya, "Agaknya dia sekarang sudah berubah lebih
mirip manusia " Sudah tentu yang dimaksud adalah Pho Ang-soat.
Kisah Sepasang Rajawali 6 Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 3
^