Pencarian

Perjodohan Busur Kumala 15

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 15


aku datang bersama bibiku."
Mendengar halnya Tong Siauw Ban tidak turut datang, Yo
Liu Ceng tak gembira di dalam hatinya.
"Sayang dia, tidak datang," katanya. "Jikalau dia datang,
sudah pasti kita bakal memperoleh kemenangan."
Dahulu hari, semasa mudanya, Yo Liu Ceng pernah direkoki
jodohnya dengan jodoh Tong Siauw Ban, kemudian
perangkapan jodoh itu gagal, meski demikian, mereka tetap
bersahabat satu dengan lain, lebih-lebih Liu Ceng yang
menyukai pemuda itu, yang terus tak dapat dia
melupakannya. Liu Ceng mengharap dapat bertemu orang
bekas pujaannya itu, siapa lahu, pengharapannya tak
terpenuhkan. Tepat mereka bicara sampai disitu, mereka mendengar
suara genta dari dalam kuil, ketika mereka mengawasi kesana,
mereka melihat Co Kim Jie memimpin murid-murid Binsan Pay
muncul dari dalam.
"Entah tetamu agung siapa yang datang!" kata Yo Liu
Ceng. "Mari kita lihat!"
Ketika Yo Liu Ceng baru sampai, Co Kim Jie cuma
mengutus Ek Tiong Bouw menyambutnya, maka itu sekarang
ia merasa kurang puas orang membuat perbedaan. Baru
setelah ia melihat, tak puasnya itu lenyap.
Yang datang itu Tong Sian Siangjin bersama Pun Khong
Siangjin serta delapan belas murid Siauwlim Sie, semuanya
murid-murid kepala. Tong Sian itu pendeta agung yang
dihormati, sekalipun Tong Siauw Lan tak dapat menyamai dia.
la lebih muda sedikit daripada Kim Kong Taysu dan dalam
Bulim Ngoloo, dialah yang nomor dua, tetapi di dalam halnya
ilmu silat, mereka berimbang. Sedang delapan belas murid itu
sudah tergolong kelas satu, hingga di dalam Siauwlim Sie,
mereka dijuluki delapan belas Loohan atau Arhat.
Jadi pantaslah Co Kim Jie menyambut tetamu-tetamu dari
Siauwlim Sie itu dengan itu macam kehormatan.
Sementara itu ada suatu hal yang membikin orang tak
mengerti. Selagi semua orang bergembira atas datangnya
wakil Siauwlim Sie ini, Tong Sian sendiri menunjuk sikap
pendiam, bahkan dia agak berduka. Dan ke delapan belas
Loohan pun turut tak bergembira.
Tong Sian Siangjin melihat Tong Keng Thian di dalam
rombongan orang banyak, ia memanggil sambil
menggapaikan. Pertanyaan yang pertama ialah: "Apakah
ayahmu tidak datang?"
"Tidak," Keng Thian menjawab.
"Dengan tidak datangnya Tong Tayhiap, kita menjadi
kurang seorang yang membantu memegang tampuk
pimpinan," berkata Co Kim Jie, "akan tetapi beruntung
Siangjin telah tiba, dengan begitu kita semua dapatlah
menenangkan hati kita!"
Delapan dalam sepuluh bagian para hadirin beranggapan
sama dengan Co Kim Jie, yaitu dalam pertempuran besok,
pihaknya mesti bakal menang, hingga ada yang memikir tak
usah sampai Tong Sian Siangjin datang sendiri. Akan tetapi
sekarang pendeta itu bersikap pendiam, orang heran. Apakah
yang menyebabkan itu"
"Tong Tayhiap tidak datang, maka besok kita harus
mengandal pada diri kita sendiri!" berkata pendeta agung itu.
"Semoga Sang Budha bermurah hati hingga kita berhasil
melewatkan malapetaka Rimba Persilatan ini!"
Kata-kata itu membikin heran para hadirin. Rata-rata orang
menganggap mesti ada sebabnya sampai si pendeta
mengatakan demikian.
Lui Cin Cu tapinya berkata: "Kalau kita mengenal diri sendiri
dan mengenal juga musuh, dalam seratus kali perang kita
akan menang selamanya! Bukankah pihak kita telah datang
semuanya" Sekarang tinggal kita harus mencari tahu, di pihak
sana siapa-siapakah yang telah datang!"
Kata-kata itu tertujukan ke kedua pihak: Co Kim Jie dan
Tong Sian Siangjin. Ketua Butong Pay itu percaya, kalau
musuh cuma Beng Sin Thong seorang, tidak nanti ketua
Siauwlim Sie itu demikian mengharapi Tong Siauw Lan. Maka
mungkin, pendeta ini sudah ketahui siapa yang berada di
pihak lawan itu.
Co Kim Jie lantas berkata: "Katanya ketika beberapa
ciangbunjin mendaki gunung ini, ada di antaranya yang
bertemu dengan pesuruh dari Beng Sin Thong, tetapi tentang
siapa-siapa yang telah datang dan berapa besar jumlahnya,
itulah tak jelas. Menurut keterangan, pesuruhnya Beng Sin
Thong itu, walaupun dia liehay, dia tak melebihkan pihak
kita..." "Dimanakah mereka itu mengambil tempat berkumpul?" Lui
Cin Cu tanya pula.
Pertanyaan ini wajar. Orang mau bertempur dengan
tantangan dimajukan banyak waktu yang lampau, dan selama
setengah tahun, orang telah siap sedia. Maka pantas kalau
kita mengetahui keadaan diri sendiri tetapi pun mencari tahu
perihal musuh. Co Kim Jie pun telah mengajak rombongannya
datang siang-siang, guna menantikan lawan. Lui Cin Cu pikir,
kalau ia ketahui tempat musuh, ia ingin mencari jasa secara
diam-diam. Tapi...
Mendengar pertanyaan orang mukanya Co Kim Jie menjadi
merah. Dia berkata: "Sama sekali Beng Sin Thong belum
pernah muncul. Kita pun belum mendapat tahu dimana dia
dan pihaknya mengambil tempat."
Ouw Thian Long tertawa.
"Jikalau begitu maka pesuruhnya pihak sana itu ialah
orang-orang luar biasa!" katanya.
Co Kim Jie jengah, tapi dia kata: "Tak perduli jumlah
mereka berapa banyak, mustahil mereka dapat melebihkan
kami pihak Binsan Pay dan pelbagai partai besar?"
"Hanya baiklah kita ingat, di luar langit ada langit lainnya,
di samping orang ada lain orang lainnya," berkata Tong Sian
Siangjin. "Bicara tentang Beng Sin Thong saja, kami kuatir
kami tak dapat melayaninya..."
Lui Cin Cu kaget.
"Apakah Siangjin sudah pernah bertemu dengan siluman
she Beng itu?" ia tanya.
"Boleh dibilang sudah, boleh juga dibilang belum,"
menyahut pendeta itu. "Semua siecu adalah guru-guru besar,
mestinya semua siecu ketahui, ilmu silat itu tak ada batas
cetek dalamnya. Kita seharusnya sudah dapat menduga-duga
sendiri." Orang heran. Sikap pendeta ini aneh. Tapi karena dia orang
suci dan tua dan dihormati, tidak ada yang berani membilang
apa-apa. Tong Keng Thian kenal delapan belas Loohan, maka begitu
orang bubaran, ia pergi pada mereka, untuk minta keterangan
mengenai sikapnya Tong Sian Siangjin itu. Ia bicara dengan
Tay Pie Siansu, dengan begitu ia menjadi memperoleh
penjelasan. Berhubung dengan pertandingan yang bakal dibikin, Beng
Sin Thong yang cerdik telah mengambil tindakan luas. Ia tidak
melainkan menghadapi pihak Co Kim Jie seorang. Siang-siang
ia sudah melepas undangan juga. Kie Siauw Hong ialah
utusannya itu. Ada tiga orang berkenamaan yang telah
menerima surat undangannya, ialah Kim Kong Taysu dari
Ngobie Pay, Tong Sian Siangjin dari Siauwlim Pay, dan Tong
Keng Thian. Keng Thian diundang sebagai wakil Thiansan Pay.
Beng Sin Thong sendiri tidak berani lancang mengacau di
Thiansan, maka itu ia telah mengutus Kie Siauw Hong ke
Istana Es, menyampaikan surat undangan berbareng mencuri
pedang. Yang lainnya, seperti Phang Lim, Ouw Thian Long
dan Lui Cin Cu, semua mereka tidak menerima surat
undangan. Tong Sian Siangjin murah hati dan ramah tamah, ketika Kie
Siauw Hong datang, ia menyambut dengan hormat. Ia sama
sekali tidak menaruh curiga apa-apa. Tapi Kie Siauw Hong si
raja pencopet tak tahu takut, selagi keduanya saling memberi
hormat, mendadak dia mengeluarkan kepandaiannya, dia
mencoba menyambar tiga bocah mutiara yang menjadi
kalungnya si pendeta. Ini dilakukan selagi dia meluncurkan
tangan menghaturkan surat undangannya. Dia demikian liehay
sampai delapan belas Loohan, yang menghadapinya, tak
mendapat lihat. Tapi Tong Sian orang liehay juga, ia
mendapat tahu perbuatan tetamunya itu, siang-siang ia sudah
menutup dirinya. Tepat di saat tangan kedua pihak mau
bentrok, mendadak ia mendengar orang tertawa dan berkata!
"Apakah ketua Siauwlim Sie mau melayani segala anak
muda?" Ia terkejut, ia tercengang. Justeru itu maka
berhasillah Siauw Hong memiliki mutiara orang!
Baru kemudian Tong Sian memberitahukan kejadian itu
pada delapan belas Loohan. la menjelaskan bahwa suara
tertawa dan kata-kata itu, yang cuma terdengar olehnya
sendiri, adalah ilmu paling liehay dari pihak sesat, ilmu itu
mirip dengan ilmu pihak lurus. Pihak sesat menamakannya
"Thiantun coan-im", dan pihak lurus "Coan-im jipbit".
Liehaynya sama saja.
Tong Sian tahu adanya ilmu sesat itu tetapi mengalaminya
baru itu pertama kali, dengan begitu ia menjadi membuktikan
sendiri liehaynya. Inilah yang membikin hatinya tawar. Ini pula
yang membikin ia membilang ia "sudah dan belum bertemu"
dengan Beng Sin Thong. Tong Sian percaya, kalau orang itu
bukan Beng Sin Thong sendiri, mesti pesuruhnya. Tidakkah
hebat pesuruh seliehay itu"
Habis menutur, Tay Pie berkata: "Tadinya kami cuma
mendengar tersiarnya berita liehaynya Beng Sin Thong, kami
sangsi, tetapi sekarang kami percaya dia benar-benar liehay.
Maka itu taklah heran guru kami menjadi berduka."
Mendengar itu, Keng Thian cuma mengangguk-angguk. Ia
memang ketahui liehaynya pesuruh Sin Thong itu yang telah
berani mengacau di Istana Es.
Lewat lagi satu hari maka tibalah hari pertempuran yang
ditunggu-tunggu. Pagi-pagi sekali para pemimpin sudah
berkumpul dengan ditemani murid-murid mereka. Orang
hendak mengangkat ketua. Kesudahannya yang dipilih ialah
Tong Sian Siangjin dengan Kim Kong Taysu sebagai ketua
mudanya. Co Kim Jie menjadi nyonya rumah tetapi meski
demikian, ia dipilih juga menjadi ketua muda. Itulah melulu
untuk kehormatan.
Ouw Thian Long menjadi hadirin yang usianya paling tua,
dalam pemilihan itu orang tidak menyebut-nyebut namanya, ia
merasa kurang puas, akan tetapi ia dapat menguasai diri
untuk berdiam saja dan tanpa mengutarakan sesuatu pada
wajahnya. Selesai pemilihan, maka dengan dipimpin Tong Sian
Siangjin, orang lantas berangkat menuju ke tempat pekuburan
Tokpie Sinnie dimana, di bagian depannya, ada lapangan yang
terbuka cocok guna dijadikan gelanggang pertempuran.
Turut perjanjian, pertempuran bakal dilakukan tengah hari
tepat, maka itu, masih ada waktu setengah jam. Dengan
begitu orang dapat ketika untuk memernahkan diri masingmasing.
K-uburannya Tokpie Sinnie dan Lu Su Nio dapat
dikitarkan mereka lantaran mereka mengambil kedudukan
garis Kiu-kiong Patkwa Tin. Secara demikian mereka
menantikan tibanya Beng Sin Thong.
Pengalamannya Tong Sian Siangjin--hal mutiaranya dicopet
Kie Siauw Hong-telah tersiar di antara para hadirin, oleh
karena itu dengan sendirinya semua orang berpikir keras,
mereka rata-rata heran, hingga sekarang tak ada lagi yang
memandang enteng kepada Beng Sin Thong.
Sang waktu lewat detik hitung detik, lantas semua mata
diarahkan ke mulut jalanan dimana diduga Beng Sin Thong
dan rombongannya bakal muncul, akan tetapi sampai sebegitu
jauh, pihak sana belum juga tampak-Sin Thong sendiri tidak,
orang-orangnya atau wakilnya tidak juga!
Mau tak mau, orang mulai membicarakannya. Orang semua
heran. "Mungkin Beng Sin Thong berlagak saja!" kata seorang.
"Dia tahu kita telah berkumpul, dia takut datang!"
"Bukan begitu, barangkali," kata yang lain. "Jangan-jangan
dia menggunai akal muslihat..."
"Di tempat begini, tipu muslihat apa dia dapat gunakan?"
kata yang lain lagi. "Mungkin dia tahu diri dan dia mundur
sendirinya..."
Tengah orang berisik berbicara menduga-duga itu, maka
terdengarlah satu suara nyaring hingga semua orang berdiam
dan menoleh ke arah dari mana suara itu datang.
Itulah ledakan "bom" Cu-ngo pauw yang menjadi isyarat
atau tanda waktu, yang diurus oleh seorang anggauta dari
Binsan Pay. Itulah isyarat yang pertama dari bakal tibanya
waktu yang ditetapkan.
Sampai itu waktu Beng Sin Thong masih belum muncul
juga. Tidak selayaknya orang salah janji. Itu bukannya
sembarang pertempuran. Kalau Beng Sin Thong benar tidak
memenuhkan kata-katanya, maka tanpa bertempur lagi, dapat
dinyatakan dia sudah kalah dia menyerah kalah.
Lui Cin Cu tertawa dan berkata: "Apakah yang dikatakan
kepandaian luar biasa" Bukankah itu mulut besar belaka"
Sejak jaman dahulu, inilah lelucon paling besar dalam Rimba
Persilatan!"
Belum berhenti suaranya ketua dari Butong Pay ini, ledakan
yang kedua terdengar pula. Di mulut jalanan tetap
keadaannya, tak nampak orang muncul disitu.
Sampai itu waktu, Co Kim Jie sekalipun tak dapat
menguasai hatinya lagi hingga dia tertawa dan kata:
"Teranglah bangsat tua she Beng itu jeri terhadap kegagahan
saudara-saudara semua maka dia telah mundur sendirinya!"
Dia nampak puas sekali. Habis itu, dia memandang Tong Sian
Siangjin, niat bertanya apa tak baik mereka pulang saja. Akan
tetapi belum sempat ia membuka mulutnya, maka terjadilah
hal yang tak diduga-duga!
Mendadak orang mendengar suara tertawa yang nyaring,
yang disusul dengan ini kata-kata tegas terang: "Tuan-tuan
kamu benar-benar orang-orang yang dapat dipercaya!
Maafkanlah karena aku membikin kamu menantikan lama!"
Itulah suaranya Beng Sin Thong! Suaranya saja, sebab
orangnya, ataupun bayangannya, tak juga nampak! Hingga
orang pada menoleh ke arah dari mana suara itu datang.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang pun berdiam saking heran. Suara itu terdengar
berbareng dengan ledakan atau isyarat Cu-ngo pauw yang
ketiga! Tapi itu belum semua! Ada lagi peristiwa susulannya!
Di lereng puncak di depan mereka, mereka mendapatkan
terbukanya sebuah pintu batu. Mendadak sekali terbukanya
pintu itu. Dari pintu itu, menyusuli suaranya Beng Sin Thong
itu, tertampak si orang she Beng meluncur turun. Ketika itu
tengah hari tepat! Menyusul meluncurnya Beng Sin Thong itu
lantas terlihat meluncurnya yang lain-lainnya lagi, yang turun
saling susul. Dapat dikatakan mereka seperti pada terbang
melayang, hingga banyak orang rombongan Binsan Pay yang
menjadi melongo karenanya.
Co Kim Jie tidak ketahui yang Beng Sin Thong sengaja
hendak mengadakan pertunjukannya. Untuk itu, dia telah
bersiap sedia sejak setengah tahun yang lalu. Ialah di lereng
puncak itu, secara diam-diam dia telah menggali dan
membuat guanya itu, yang mulutnya ditutup dengan pintu
batu, yang disamarkan hingga orang tak mengetahuinya.
Karena itu, dengan merdeka mereka dapat menyembunyikan
diri di dalam gua bikinan itu. Baru hari ini, dan di jam yang
tepat, mereka muncul secara tiba-tiba!
Tong Keng Thian sekalian mengawasi ke arah
rombongannya Beng Sin Thong itu hingga mereka mengenali
belasan orang antaranya ialah Can Bit Hoatsu, A Lo Cuncia,
Kim Jit Sian, Thian Liong Tuu, Pek Liong Kie yang menjadi
huciehui Gielimkun, Cin Tay yang menjadi tongnia atau
komandan Gielimkun, dan Kheng Sun sekalian. Yang lainnya
tak sempat diperhatikan terlebih jauh.
Begitu melihat rombongannya musuh, begitu Co Kim Jie
menjerit keras, terus dia lari ke depan, untuk menghampirkan
musuhnya. "Bagaimana, eh?" tanya Beng Sin Thong tertawa. "Kita
belum berdamai dulu, apa kita hendak lantas bertempur?"
Co Kim Jie gusar sekali, katanya nyaring: "Hari ini kita
bertanding secara terbuka, tetapi kenapa kau membawa-bawa
dua orang cucuku" Apakah kau hendak menggunai mereka
untuk memaksa aku" Hm! Aku kuatir, di hadapan para guru
besar, tidak nanti kau dapat mencapai maksudmu yang
rendah ini!"
Di dalam rombongan musuh itu, Co Kim Jie melihat dua
cucunya, ialah Tio Eng Hoa dan Tio Eng Bin. Mereka itu lenyap
pada setengah tabun yang lalu, lenyap diculik Beng Sin Thong.
Karena itu, ia lantas lari untuk menghampirkan kedua cucunya
itu. Justeru itu, mendadak ia dihadang oleh seorang imam tua
yang jenggotnya panjang, yang dengan kebutannya membuat
tongkatnya terlibat! "Co Kim Jie!" berkata Beng Sin Thong
dingin, "kenapa kau tidak mau tanya jelas dulu" Kenapa kau
berlaku begini sembrono" Baiklah kau dengar dulu apa
katanya kedua cucumu ini!"
Kim Kong Taysu heran melihat imam itu.
"Bukankah dia Leng Siauw Cu dari gunung Taysoat San?" ia
tanya Tong Sian Siangjin. "Kenapa dia pun tunduk kepada itu
hantu?" Imam yang dikatakan Leng Siauw Cu itu imam dari Coancin
Kauw, dialah murid generasi ke tujuh dari Khu Cie Kie. Dalam
Rimba Persilatan dia berkenamaan, martabatnya tinggi,
tadinya dia kenal banyak ketua pelbagai partai, baru
belakangan dia mendadak menghilang. Orang bilang dia
menyembunyikan diri di gunung Taysoat San meyakinkan
semacam ilmu, buat beberapa puluh tahun dia tak pernah
muncul sampai sekarang--di luar dugaan"dia muncul
bersama-sama Beng Sin Thong.
Lui Cin Cu gusar melihat Co Kim Jie dirintangi itu.
"Beng Sin Thong, apakah kau tidak mau bertanding dengan
memakai aturan Rimba Persilatan?" dia menegur. Dia lantas
menghunus pedangnya dan bertindak maju.
Belum lagi Beng Sin Thong memberi jawaban, maka Tio
Eng Hoa cucunya Co Kim Jie itu terdengar berkata nyaring:
"Nenek, cucumu telah menjadi muridnya Beng Couwsu! Ilmu
silat Beng Couwsu liehay sekali, janganlah nenek bermusuh
dengannya!"
Menyambungi suara Eng Hoa itu, Beng Sin Thong tertawa
lebar dan berkata nyaring: "Co Kim Jie, kau dengar tidak"
Apakah benar aku telah memaksa dia?"
Beng Sin Thong liehay dan licin, habis menculik Eng Hoa
dan Eng Bin, dia mempertontonkan kepandaiannya kepada
dua anak itu, maksudnya guna membujuk anak-anak itu, yang
baru berusia lima atau enam belas tahun. Dia berlaku manis
terhadap mereka. Sebaliknya Co Kim Jie, sebagai nenek,
bersikap keras terhadap cucunya. Maka itu, mendapat
perlakuan yang berbeda itu, anak-anak ini lantas ketarik
hatinya dan suka berguru kepada Sin Thong, yang
menjanjikan akan mengajari mereka ilmu kepandaian yang
sempurna. Sekarang Beng Sin Thong sengaja mengajak
mereka itu, maksudnya untuk membikin malu pada Co Kim
Jie, supaya Kim Jie menyerah tanpa bertempur lagi...
Sia-sia belaka Kim Jie mendongkol dan gusar. Cucu itu
mengatakan demikian, apa ia bisa bikin"
Lui Cin Cu juga menjadi jengah, diam-diam ia masuki pula
pedangnya ke dalam sarungnya dan mengundurkan diri.
Tong Sian Siangjin, sebagai ketua rombongan, lantas
bicara. "Keruwetan ini baik sebentar saja kita bereskan," ia
berkata. "Tuan Beng, bagaimana pikiranmu sekarang?"
Beng Sin Thong tertawa ber-gelak.
"Biar bagaimana, ketua Siauwlim Sie juga yang mengerti
urusan!" katanya. Ia terus menoleh kepada Leng Siauw Cu
dan berkata: "Saudara Leng Siauw, silahkan dia pergi!"
Leng Siauw Cu menarik kebutannya, karena mana-sebab
libatan telah terlepas-Co Kim Jie menjadi terhuyung mundur
beberapa tindak.
Kim Jie mundur ke sisi Phang Lim. Dia mendongkol bukan
kepalang, tak dapat dia lantas melampiaskannya itu.
"Enci Co, kau sabarkan diri," kata Phang Lim tertawa. "Kita
pasti akan berdaya mendapatkan pulang kedua cucumu itu.
Sekarang aku ingin menanyakan sesuatu kepada kau:
Andaikata mereka berdua dapat ditolongi lolos dari tangannya
hantu Beng Sin Thong itu dan mereka dapat dibawa pulang,
bagaimana kau hendak bertindak terhadap mereka?"
Co Kim Jie melengak. Untuk sejenak itu, tak dapat ia
memikirkan soal itu.
"Bagaimana aku harus menguras dia?" katanya, ragu-ragu.
"Aku belum memikirnya... Bagaimana aku harus bertindak
terhadapnya?"
Phang Lim tahu apa ia harus lakukan. Ia kata: "Beng Sin
Thong musuh besar Rimba Persilatan! Kedua cucumu itu
sudah memberontak, mereka sudi menyerah kepada musuh,
mereka bersalah, dosa mereka bukannya kecil!"
Perkataannya nyonya tua ini bernada mengejek Kim Jie.
Kim Jie seperti dikatakan sudah tidak berlaku adil. Jadi dia
ingin mewakilkan Kim Jie "membersihkan" Binsan Pay...
Kim Jie kaget sekali.
"Mereka berdua cuma bocah-bocah, mereka mengerti
apa?" katanya cepat. Ia hendak membelai atau melindungi
kedua cucunya itu. "Pertimbangan kau, Phang Loo-cianpwee,
terlalu keras..."
Melihat orang kelabakan itu, Phang Lim tertawa. Ia
memang gemar bergurau, ia tidak biasa berpura-pura. Ia
kata: "Merekalah cucumu maka kau mengatakan
pertimbanganku keras. Bagaimana sikapmu terhadap Kok Cie
Hoa" Bukankah kau telah menghukumnya semenjak dia masih
dalam kandungan?"
Mukanya Kim Jie menjadi merah, ia malu sekali, hingga ia
tidak dapat berkata-kata. Baru sekarang ia sadar yang
sikapnya terhadap Kok Cie Hoa terlalu keras.
Tong Sian Siangjin tidak memperhatikan pembicaraan di
antara Phang Lim dan Co Kim Jie itu, ia maju untuk bicara
dengan Beng Sin Thong. Ia menghunjuk hormat.
"Tuan, ingin aku menjelaskan bahwa pelbagai partai besar
tak mengerti di dalam hal apa mereka dapat dosa dari tuan,"
ia berkata sabar. "Kenapa tuan telah membinasakan empat
tiangloo dari Kaypang dan melukakan parah ketua dari
Cengshia Pay" Pula, kenapa tuan telah menculik murid Binsan
Pay" Kenapa tuan juga mengirim murid menantang kepada
Thiansan Pay, Ngobie Pay dan Butong Pay" Aku si pendeta tua
ingin menanya permusuhan besar apakah itu yang
menyebabkan hingga tuan menjadi berlaku demikian
telengas?"
Beng Sin Thong tertawa lebar.
"Loosiansu keliru!" Katanya.
Tong Sian tidak senang.
"Apakah yang keliru?" dia tanya. "Tolong tuan
menjelaskannya!"
Beng Sin Tong mengangkat kepalanya memandang langit,
dia tertawa pula- tertawa dingin.
"Aku berbuat demikian justeru karena aku menghargai
mereka!" ia berkata. "Jikalau mereka orang-orang biasa saja,
aku si orang she Beng yang tua tidak nanti kesudian menuruni
tanganku!"
Tong Sian gusar hingga tak dapat dia menyabarkan diri
lagi. "Jikalau demikian, tuan, kau jadinya sengaja memancing
kemurkaannya Rimba Persilatan!" katanya. "Jadi teranglah kau
memusuhkan semua partai besar!"
Beng Sin Tong tidak gusar, dia tetap tertawa.
"Loosiansu, terkaan kau ini cuma benar separahnya!" ia
menjawab. "Jikalau aku tidak mengambil sikapku itu, mana
dapat kamu semua sekarang datang kemari" Sebenarnya,
bukan maksudku untuk bermusuh dengan kamu, hanya aku
menggunai ini untuk menghimpun rapat ini, supaya kita dapat
ketika untuk saling berlatih. Bukankah kamu pihak Siauwlim
Pay, Ngobie Pay, Butong Pay, Cengshia Pay dan Thiansan Pay,
biasa mengagulkan diri kamu masing-masing sebagai kaum
lurus, hingga kamulah yang menggenggam semua ilmu silat di
kolong langit ini"'
"Mengenai Siauwlim Pay, aku dapat menjelaskan bahwa
kami tidak demikian jumawa!" berkata Tong Sian.
Lagi-lagi Sin Thong tertawa.
"Tetapi, loosiansu, kau tidak dapat mewakilkan seluruh
Rimba Persilatan bukan?" katanya. "Atau bicara terus terang,
andaikata benar ada orang yang dapat mewakilkan seluruh
Rimba Persilatan, maka aku Beng Sin Thong, suka aku
mengangkat dia menjadi guruku!"
"Orang yang demikian itu, tuan, tidak ada di ini jaman!"
kata Tong Sian. Mau atau tidak, pendeta ini mesti
menyabarkan diri. "Kecuali orang itu tuan sendiri adanya..."
Mendengar itu, Beng Sin Thong tertawa berkakak.
Semua ketua partai, melihat kejumawaan Sin Thong itu,
menjadi mendongkol sekali. Maka Lui Cin Cu bersama Pun
Khong Taysu, Sien In To dan Ouw Thian Long, lantas maju
setindak. Mereka siap sedia turun tangan begitu lekas Tong
Sian Siangjin memberi isyarat.
Tong Sian sangat mendongkol, tetapi ia tetap dapat
menguasai diri. Ia tidak mengentarakan kegusarannya itu.
"Tuan Beng, urusan ini tak dapat dibereskan dengan main
tertawa saja," katanya. "Untuk membereskannya, kami mohon
petunjukmu."
"Semua orang yang hari ini mengikut aku, mereka semua
adalah orang-orang dengan ilmu kepandaian luar biasa,"
berkata Beng Sin Thong, suaranya lantang. "Mereka semua
telah semenjak lama ingin menyaksikan ilmu kepandaian
semua partai besar, maka itu justeru ada ini ketika yang baik,
baiklah kita sama-sama berlatih! Andaikata tuan-tuan dapat
mengalahkan mereka, maka habis itu, dengan bergantian,
suka aku sendiri melayani kamu. Di dalam halnya
pertandingan tuan-tuan dengan aku sendiri, asal ada satu saja
di antara tuan-tuan yang dapat mengalahkan aku, tanpa tuantuan
turun tangan, aku akan membunuh diriku sendiri!
Sebaliknya, apabila aku si orang she Beng yang beruntung
memperoleh kemenangan, aku tidak menghendaki jiwa kamu,
cukup asal tuan-tuan mengirim murid-muridmu supaya semua
murid itu berguru padaku. Cukuplah sebegitu! Dalam hal ini,
Aku bukannya sangat gemar menjadi guru orang, aku cuma
bermaksud supaya aku mempersatukan ilmu silat pelbagai
partai, supaya ilmu silatku dapat dibikin tersiar, sebab itu ada
untungnya tidak ada ruginya. Inilah kehendakku, tidak lainnya
lagi!" Hebat kata-kata itu. Baru sekarang para hadirin pihak Co
Kim Jie mengetahui ambekannya Beng Sin Thong. Teranglah
sekali, hantu itu hendak menakluki semua partai. Mereka jadi
berpikir, tanpa rasa kepastian, mana dapat Beng Sin Thong
mementang mulut demikian besar, menantang pelbagai
partai" Akibatnya itu pun bakal jadi hebat sekali! Asal dia
menang, sekalipun guru-guru besar, ketua-ketua partai, bakal
jadi murid Beng Sin Thong! Dapatkah itu" Betapa terhinanya
mereka" Tong Sian Siangjin, dengan mutiaranya di tangan,
mementang matanya.
"Tuan Beng, aku si pendeta tua mengagumi sekali
semangatmu ini," ia berkata, tenang. "Jikalau tuan benarbenar
mempunyai kepandaian liehay, baiklah, aku suka
mewakilkan semua partai untuk menurut perintahmu! Apalagi
yang tuan hendak bilang?"
"Ya, masih ada lagi satu urusan kecil," berkata Beng Sin
Thong. "Aku maksudkan Binsan Pay. Partai itu seharusnya
diketuai oleh Biat Hoa Hwesio, yang tak beruntung telah
menutup mata. Biat Hoa itu sahabat kekalku. Mengenai Binsan
Pay aku menghendaki sesuatu yang istimewa. Umpama kata
sebentar aku yang menang, Binsan Pay tak usah mengirim
murid-muridnya untuk menjadi murid-muridku, Binsan Pay
tetap sebagaimana adanya, hanya aku yang bakal
mengangkat Kheng Sun, muridnya Biat Hoa, menjadi ketua
yang baru."
Bukan main mendongkolnya Co Kim Jie hingga tubuhnya
menjadi menggigil. Menurut Beng Sin Thong itu, kalau
sebentar ia kalah, ia mesti menyerahkan kedudukannya, dan
Binsan Pay berarti dikuasai oleh pasukan kaisar, yaitu pasukan
Gielimkun! Hampir ia lompat maju, untuk menerjang orang
jumawa itu, baiknya Ek Tiong Bouw, yang mendampinginya,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lekas-lekas memegang tongkatnya--tongkat Liongtauw
Koaythung yang berkepala naga-nagaan.
Ek Tiong Bouw pun kata perlahan: "Pertemuan hari ini
bukan lagi pertemuan Binsan Pay sendiri, disini telah
berkumpul partai-partai lainnya. Baiklah biarkan dia berlagaklagak,
kita bersabar dulu."
Co Kim Jie dapat dibujuk. Ia pun insyaf bahwa ia sendiri
bukannya lawan dari Beng Sin Thong.
Jago Siulo Imsat Kang itu tertawa, la lantas berkata pula:
"Aku telah bicara! Nyata tuan-tuan tak menentangnya! Baik,
sekarang kita boleh mulai!" Ia lantas mengangkat tangan
kanannya, perlahan-lahan, kedua matanya dibuka, mengawasi
tajam pada Tong Sian Siangjin.
Menurut aturan Rimba Persilatan, kalau kedua pihak telah
menyetujui cara pertempuran, lantas masing-masing ketuanya
mengangkat tangan untuk bersumpah, maka itu, Beng Sin
Thong lantas bersiap sedia. Dengan ini pun ia ingin mendesak
Tong Sian Siangjin. Karenanya, matanya orang-orang kedua
pihak lantas diarahkan kepada kedua ketua itu.
Mendadak terdengarlah suara bentrokan kedua tangan.
Itulah bukti bahwa sumpah telah dilakukan. Kedua ketua itu
telah mengadu tangan mereka. Sebagai kesudahan dari itu,
tubuh Beng Sin Thong bergerak limbung, dia terhuyung satu
kali. Tong Sian Siangjin sebaliknya tubuhnya tak bergeming.
Tapi Beng Sin Thong tertawa.
"Loosiansu," katanya, "sebentar sesudahnya mereka itu,
barulah kita yang bertemu pula!"
Sembari masih tertawa, ia lantas mengundurkan diri.
Melihat kesudahannya adu tangan itu, pihak Co Kim Jie
menjadi tenteram hatinya. Teranglah Tong Sian Siangjin
menang tenaga dalamnya. Karena itu Lui Cin Cu berkata
sambil tertawa dingin: "Kelihatannya cuma sebegitu saja
kepandaiannya si siluman bangkotan!..."
Akan tetapi, ketika ia-dan yang lainnya juga- melihat Tong
Sian Siangjin mengundurkan diri, ia terperanjat Perlahan
tindakannya pendeta itu, biarnya dia tenang, dia nampak
muram wajahnya. Kamsie Pun Khong Siangjin menjadi lebihlebih
kaget lagi, dia segera berbangkit.
"Sabar, siangjin, jangan kuatir," berkata Khu Bo Seng,
ketua Kunlun Pay, yang duduk di sisi kamsie dari Siauwlim Sie
itu. Dia mengerti ilmu tabib. "Loosiansu cuma terserang sedikit
hawa sesat, tidak ada bahaya untuknya."
Pun Khong mengawasi ketuanya, lantas hatinya menjadi
tenang pula. Maka ia berduduk kembali.
Kata-katanya Khu Bo Seng sebaliknya membikin tegang
hatinya semua ketua partai. Dari kata-kata itu teranglah Tong
Sian Siangjin sudah merasai gempurannya Beng Sin Thong.
Meski demikian, tidak ada satu yang berani menanyakan
sesuatu kepada pendeta itu.
Memang tadi, di waktu mengadu tangan, kedua pihak telah
menguji kepandaian mereka. Tanpa tanggung-tanggung, Beng
Sin Thong mengerahkan tenaganya dari Siulo Imsat Kang
tingkat sembilan. Tong Sian Siangjin sebaliknya menggunai
tenaga dari "Kimkong Puthoay Sinhoat"-"tubuh Kimkong yang tak
pernah rusak". Itulah bocah latihan beberapa puluh tahun,
maka juga Beng Sin Thong menjadi terhuyung. Walaupun
demikian, Tong Sian Siangjin tak luput dari serangan hawa
dingin luar biasa, yang dari tangannya tersalurkan ke
tubuhnya, ke ulu hatinya, hingga untuk sejenak ia merasa
beku seluruhnya. Syukur ia lantas dapat mengerahkan tenaga
pula untuk menolaknya. Di mata umum, Tong Sian menang
seurat, tetapi di dalam hatinya, ia mesti mengakui liehaynya
hantu ini. Ia pikir, dilihat dari bentrokan pertama itu, mungkin
ia dapat bertahan tiga kali, kalau empat kali, entahlah.
Setelah Beng Sin Thong dan Tong Sian Siangjin sudah
duduk pula di kursinya masing-masing, dari rombongannya
tuan rumah muncul seorang pendeta India, yang terus berkata
dengan nyaring: "Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat
Siauwlim Pay berdasarkan kepandaiannya guru besar negara
kami yaitu Bodhidharma, karena ilmu itu telah tersiar seratus
tahun lebih, mungkin telah terjadi banyak perubahannya,
maka itu aku yang rendah, dengan tak menghiraukan jalanan
ribuan lie, telah datang kemari untuk meminta pengajaran dari
para guru Siauwlim Sie."
Tong Keng Thian lantas mengenali pendeta itu ialah A Lo
Cuncia, pendeta yang telah bentrok dengannya di Istana Es.
Maka ia pikir, "Kelihatannya cuma Pun Khong Taysu yang
dapat melayani dia..." Tengah ia berpikir itu, Tong Sian
Siangjin sudah menunjuk Tay Pie Siansu, salah satu dari
delapan belas Lohan, untuk melawannya. Inilah ia bisa
mengerti, Pun Khong kedudukannya seimbang dengan Tong
Sian, jadi kamsie itu tidak dapat melayani orang sebawahannya
Beng Sin Thong.
Di antara delapan belas Lohan, Tay Pie menjadi anggauta
yang tenaga dalamnya paling mahir, maka itu melihat dia
yang ditunjuk, orang merasa penunjukan itu tepat, tidak
demikian dengan Tong Keng Thian, yang menyangsikannya.
Segera kedua pihak sudah mulai bertempur. Setelah
beberapa jurus, A Lo Cuncia tertawa dan berkata: "Benarbenar
ilmu silat kita ada dari satu pokok!" Ia lantas menggunai
ilmu silat "Tiangkun" atau Kepalan Panjang, untuk melayani
terlebih jauh. Tay Pie bersilat dengan "Lo-han Kun" atau
Kepalan Lohan. Penonton melihat kedua pihak sebanding, maka
pertandingan itu menarik hati untuk ditonton. Pihak delapan
belas Lohan sendiri tak kurang perhatiannya, mereka jadi
sekalian dapat memperhatikan kepandaian musuh.
Tengah bertanding seru itu, mendadak Tay Pie menggunai
tipu silat "Burung bincarung menclok di para-para". Tangan
kirinya menutup musuh, tangan kanannya menyerang ke
dada. Itulah salah satu jurus dari Lohan Ngoheng Kun yang
oleh Bu Cu Siansu, ketua generasi ke tiga belas dari Siauwlim
Pay, telah diubah hingga menjadi tiga puluh tiga jurus, yang
diberi nama "Cong Siauwlim Shacapsha Louw Sinkun".
Serangan ini segera mengubah keadaan. Dari berimbang, A Lo
Cuncia lantas menjadi terdesak. Pihak delapan belas Lohan
lantas menjadi girang. Mereka pikir, biar pokoknya sama, toh
akhirnya ilmu silat Siauwlim Pay terlebih mahir.
Selagi orang berpikir demikian, pertempuran telah
berlangsung terus. Tangan A Lo cuncia kelihatan seperti telah
teringkus atau mendadak tangan itu lolos, bukannya dia yang
terhajar, tetapi Tay Pie yang kena terserang hingga terdengar
suara buk-buk tiga kali! Orang terkejut karenanya. Sebaliknya,
Tong Sian Siangjin sendiri girang hingga sambil tertawa ia
kata bahwa Tay Pie telah memperoleh kemajuan pesat. Dan
tengah ia bergirang, orang melihat perubahan terlebih jauh.
Habis menyerang dengan berhasil itu, tubuhnya si pendeta
bangsa India mendadak mental mundur, dia seperti
dikagetkan karena tangannya terbakar besi panas.
A Lo Cuncia terdesak, maka itu ia menggunai ilmu yoga
untuk meloloskan dirinya dari bahaya, setelah mana, ia
membalas dengan serangannya tiga kali beruntun. Itulah tidak
disangka Tay Pie Siansu, yang menyangka akan segera
merebut kemenangan. Walaupun dia kena diserang, dengan
mengandal pada kekuatan tubuhnya, dia dapat pertahankan
dirinya, dia tak kurang suatu apa.
Sekarang A Lo Cuncia menginsyafi kekuatan tubuh
lawannya itu. Ketika ia maju pula, ia memer-nahkan diri dalam
garis-garis Kiu-kiong Patkwa, walaupun demikian, ia terus
berada di pihak yang terdesak. Ia nampak seperti cuma bisa
membela diri saja.
Para penonton rombongan Co Kim Jie-jadi bukan hanya
delapan belas Lohan-lantas menduga Tay Pie bakal menang.
Di lain pihak, beda daripada tadi, Tong Sian dan Pun Khong
memperlihatkan roman sungguh-sungguh. Ketika para Lohan
melihat roman guru mereka, mereka lantas memasang mata.
Baru sekarang mereka lihat, kendati musuh terdesak, dia tak
nampak gelagatnya bakal kalah. Mereka menjadi heran.
Tay Pie melanjuti desakannya, ia seperti sudah berhasil
mengurung lawannya. Ia mengerahkan tenaga Taylek
Kimkong Ciuhoat. Desakannya itu, membikin beberapa
saudara seperguruannya berseru kegirangan.
Tiba-tiba terdengar seruannya A Lo Cuncia, keras bagaikan
guntur, menyusul itu tubuh Tay Pie terpental mundur hingga
tiga tombak, benar ia tidak roboh tetapi dapat segera
menetapkan kakinya, terang sudah bahwa ia telah kena
dikalahkan! Orang semua kaget dan heran.
Tay Pie lantas memberi hormat pada A Lo Cuncia seraya
berkata: "Terima kasih, cuncia, untuk kebaikan hati kau!"
A Lo Cuncia membalas hormat sambil membilang: "Benarbenar
liehay ilmu silat Siauwlim Pay! Pengajarannya
Bodhidharma telah memperoleh kemajuan yang melebihkan
asalnya!" Kata-kata mereka itu pun membikin bingung murid-murid
pelbagai partai.
Hal yang sebenarnya ialah: Di dalam ilmu silat, A Lo Cuncia
kalah dari Tay Pie, sebaliknya, Tay Pie kalah karena ilmu yoga
pendeta India itu: A Lo Cuncia dapat berseru mengguntur
karena latihan ilmu yoganya itu membuat suaranya menjadi
keras luar biasa. Itu yang dinamakan ilmu "Deruman Singa"
atau Saycu Houw. Untuk yang hatinya tidak kuat, seruan itu
dapat mengguncangkannya.
Roman muka pihak Siauwlim Pay menjadi guram,
rombongan Lohan ingin lantas minta Pun Khong Siangjin,
kamsie mereka, maju menggantikan Tay Pie Sian-su, tapi
sementara itu A Lo Cuncia sudah lantas menghampirkan Tong
Sian Siangjin untuk memberi hormat secara keagamaan sambil
memperkenalkan nama gurunya, akan kemudian
menambahkan: "Teecu telah dipesan guruku untuk
mengunjungi Siangjin di gunung Siongsan, maka itu kebetulan
sekali kita dapat bertemu disini."
Tong Sian Siangjin membalas hormat.
"Tentang gurumu itu telah lama aku mendengar dan
mengaguminya," ia kata.
A Lo Cuncia menyebutkan nama gurunya, ialah Liong Yap,
dari pendeta mana ketika Kui Hoa Seng, ayahnya Pengcoan
Thianlie, berada di Nepal, telah memperoleh bantuan.
Sekarang ini, usianya pendeta itu sudah mendekati seratus
tahun. Dialah pendeta nomor satu untuk India, dan Tong Sian
untuk Tiongkok, maka itu mereka telah saling mendengar
nama masing-masing.
Kemudian A Lo Cuncia berkata pula: "Guruku telah
membilangi aku bahwa pada seribu tahun dulu kakek guru
Bodhidharma mempunyai ilmu Ie-kin atau Menukar Otot
dengan apa ia menyempurnakan ilmu silatnya, hingga ia dapat
membangun ilmu silat Siauwlim Pay. Kitab ilmu itu, dua jilid
banyaknya, sudah lenyap dari negara kami, sebaliknya pihak
Siangjin masih menyimpannya, karena itu dapatkah sekarang
Siangjin memberi petunjuk padaku agar dapat aku membuka
mataku?" Kata-kata itu bernada pernyataan kurang puas untuk
kepandaiannya Tay Pie Siansu.
Adalah aturan pertandingan, siapa menang dia berhak
menantang lebih jauh. A Lo Cuncia menggunai haknya itu,
tetapi karena ia kuatir pihak Siauwlim Pay nanti menolak,
sekalian saja ia menggunai alasannya itu untuk menantang.
Pihak Siauwlim justeru berkuatir ia nanti mundur sesudahnya
menang itu, sekarang ia menantang, itulah kebetulan.
Pihak Siauwlim Pay tidak jeri karena kegagalannya Tay Pie,
yang latihannya ilmu Kimkong Puthoay Sinhoat belum mahir,
yaitu baru tiga bagian, hingga dia kena dikejutkan Deruman
Singa A Lo Cuncia, hingga dia kena terhajar mental. Kalau Pun
Khong Siangjin, dipercaya, tak nanti ia dapat dikalahkan
secara demikian.
Tong Sian Siangjin tidak gusar karena kata-kata orang itu.
Sebaliknya, ia bersenyum.
"Tentang kitab Ie-kin Keng itu, sebenarnya aku sendiri
belum dapat memahamkannya dengan sempurna," ia
menyahut. A Lo Cuncia menyangka orang merendah, ia memberi
hormat pula dan mendesak, akan tetapi belum sempat ia
membuka mulutnya, pendeta Siauwlim Sie itu sudah
menyambungi kata-katanya: "Ilmu silat kita berdua memang
satu pokok dasarnya, dapat kita merundingkannya, hanya
untuk itu tak usahlah kesusu sekarang, nanti saja, setelah
selesai urusan disini, aku undang taysu berkunjung ke gereja
kami, nanti aku menutur segala apa yang aku tahu untuk
meluluskan apa yang taysu minta. Aku minta sukalah taysu
jangan menggunai terlalu banyak adat peradatan lagi..."
Habis berkata, Tong Sian Siangjin menggeraki tangannnya,
untuk mencegah.
A Lo Cuncia mencoba mempertahankan diri dengan
memperkokoh kuda-kudanya, yang dibantu dengan ilmu berat
tubuh. Tetapi Tong Sian Siangjin menggunai siasat, dengan
cepat ia mengerahkan tenaganya, maka tanpa keburu lagi,
pendeta India itu itu merasai tubuhnya terangkat, tertolak
mundur. Maka kesudahannya ia mundur dengan kekaguman.
Para hadirin tak jelas melihatnya, mereka heran.
Tong Sian Siangjin menoleh pada Pun Khong dan kata
sambil tertawa: "Ini orang cuma ingin mengetahui ilmu silat
Tiongkok, dia tidak bermaksud buruk, oleh karena itu tak usah
kita bersikap keras terhadapnya, untuk merebut kemenangan.
Kalau ada murid kita yang berpikir demikian, itulah menyalahi
ajaran agama kita. Dengan gagalnya Tay Pie, mungkinkah ada
orang yang nanti memandang tak mata pada kita?"
A Lo Cuncia agaknya tidak puas dengan penampikannya
Tong Sian Siangjin itu, maka itu ia lantas mengulangi
tantangannya secara umum, dengan menyebut-nyebut ilmu
silat Tiongkok seumumnya.
Sikap pendeta India ini membikin orang bersangsi. Orang
tahu dia bermaksud cuma untuk mencoba kepandaian, tetapi
di samping itu, dialah orangnya Beng Sin Thong dan dia telah
mengalahkan Tay Pie Siansu. Dapatkah itu dibiarkan saja"
Sebaliknya, untuk melawan dia, siapakah yang dapat maju"
Sudah terang dia liehay sekali.
"Peng Go, kau dapat melawan dia," Tong Keng Thian kata
perlahan. "Tapi aku pun bukan berasal Tiongkok asli!" kata Pengcoan


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thianlie bersenyum.
Tong Keng Thian tidak mau maju sendiri, sebab ia pernah
bertempur dengan pendeta itu, kalau ia yang maju, biarnya ia
menang, orang bisa mendapat alasan di Tiongkok tidak ada
orang lainnya lagi.
Selagi suasana demikian rupa, tiba-tiba terdengarlah satu
suara tertawa. Ketika orang menoleh, orang melihat Ek Tiong
Bouw bertindak dengan bantuan tongkatnya. Dia tertawa pula
dan berkata: "Aku si pengemis tua beruntung sekali belum
mati, maka itu ingin aku belajar kenal dengan ilmu kepandaian
yang mahir dari tuan pendeta dari India!" Dia berkata
demikian tetapi dia tertawa untuk Beng Sin Thong.
Sin Thong menjadi berpikir. Dia tidak berniat
membinasakan Tiong Bouw, maka itu dia telah menyerang
dengan pukulan Siulo Imsat Kang tingkat tujuh. Tapi sekarang
dia melihat--di luar sangkaannya--orang dapat sembuh dalam
tempo setengah tahun dan sekarang menantang piebu pula.
"Kalau begitu, benar hebat ilmu Siauwyang Hiankang itu,"
pikirnya. "Coba umpamakan Lu Su Nio menjelma pula, pasti
hari ini aku gagal..."
A Lo Cuncia tidak ketahui bentrokan di antara Beng Sin
Thong dan Ek Tiong Bouw, ia pun menyangka Tiong Bouw
ialah si pengemis tua yang ia pernah tempur di Istana Es, dan
ketika itu hari ia kena dikalahkan Tong Keng Thian, ia
mendengar suara tertawanya si pengemis, maka sekarang,
mendengar kata-kata Tiong Bouw, yang bernada mengejek, ia
mengira ia yang dipandang tak mata, tak dapat ia tahan sabar
lagi. Maka berkatalah ia dengan dingin: "Apakah Ek Pangcu
ingin main-main dengan menggunai senjata tajam?"
"Benar! Taysu telah mencoba tangan kosongmu,
bagaimana kalau kita menukarnya dengan senjata?"
Pendeta dari India itu lantas menghunus goloknya, golok
mustika besi hitam.
"Taysu datang dari tempat ribuan lie, sebagai tuan rumah
tak dapat aku mendahului," berkata Tiong Bouw pula, "maka
itu silahkan taysu yang mulai!" "Golok atau pedang tak
mengenal kasihan, harap pangcu berhati-hati!" kata A Lo
Cuncia, yang lantas mulai dengan penyerangannya. Di dalam
hati ia berkata: "Taruh kata aku tidak dapat melukakan dia,
sedikitnya dapat aku membikin buntung tongkatnya! Aku mau
lihat apa dia masih dapat tertawa..."
Pendeta ini mengandalkan goloknya, yang beratnya empat
puluh delapan kati, yang tajam luar biasa, sedang ilmu
silatnya, yaitu "Hang-liong Hokhouw" atau "Menaklukkan
Naga, menundukkan Harimau", berdasarkan tenaga dalam
yang mahir. Maka bacokannya yang pertama ini seumpama
kata hebat seperti gempuran kepada gunung!
Ek Tiong Bouw sudah lantas menangkis. Ia tidak berani
berlaku alpa. Dengan begitu, tak ampun lagi, kedua senjata
beradu dengan keras, hingga suaranya menulikan telinga.
Tongkat Tiong Bouw juga bukan tongkat sembarangan.
Itulah tongkatnya Liauw In. Tempo dulu hari Liauw In Hwesio
dikalahkan Lu Su Nio di gunung Binsan ini, ketika ia hendak
melepaskan napasnya yang terakhir, tongkatnya itu
dilemparkannya nancap ke tembok gunung, kemudian tongkat
jatuh di tangan Kam Hong Tie, lalu di tangannya Lu Ceng,
lantas akhirnya Tiong Bouw yang memiliki. Maka sekarang,
itulah tongkat pusaka Kaypang, Partai Pengemis. Tongkat itu
tidak takut golok mustika, sedang kepandaian silat Tiong
Bouw merupakan warisan Kam Hong Tie hingga dia
sebenarnya lebih gagah daripada Co Kim Jie, ketua Binsan
Pay. Begitulah kedua senjata sama kuatnya.
A Lo Cuncia heran.
"Aku tidak sangka pengemis ini lebih tangguh daripada
pendeta Siauwlim Pay itu," pikirnya. Karenanya dia jadi tidak
berani'meman-dang rendah, maka dia lantas mengeluarkan
ilmu goloknya, Hang-liong Toohoat, ilmu golok "Menaklukkan
Naga", yang menjadi bagian dari "Hangliong Chio Toohoat",
bahkan ia segera mendesak, hingga tampak musuhnya
terkurung sinar goloknya itu.
Orang-orang Binsan Pay dan Kaypang terkejut melihat
kegarangan pendeta dari India ini, terutama mereka berkuatir
lantaran Ek Tiong Bouw baru saja sembuh dari luka akibat
serangan Siulo Imsat Kang dari Beng Sin Thong, tetapi cepat
sekali, mereka dapat menenangkan diri, yaitu begitu lekas
ketua Kaypang itu mengasih dengar siulan yang nyaring dan
lama. "Ha, Pangcu telah menggunai Hokmo Thunghoat!"
antaranya ada yang berseru.
Ilmu silat Hokmo Thunghoat itu, atau ilmu tongkat
Menaklukkan Hantu, ialah ilmu silat yang diciptakan Tokpie
Sinnie. Kam Hong Tie mendapatkan ilmu itu dengan
perantaraannya Liauw In. Jumlahnya semua jurus ialah
seratus delapan. Kam Hong Tie mengubahnya itu hingga
menjadi terlebih liehay. Ialah yang mewariskan pada Lu Su
Nio dan Ek Tiong Bouw. Tongkat itu dapat dipakai menotok
jalan darah, dapat juga digeraki menurut jalannya ilmu
pedang atau golok. Hanyalah cacad ilmu tongkat ini yaitu
dibutuhkannya terlalu banyak tenaga, hingga siapa yang
melatih habis seratus delapan jurus, dia perlu beristirahat
lama untuk mempulihkan tenaganya. Oleh karena ini pihak
Kaypang, melihat ketuanya maju, bergelisah sendirinya, hati
mereka cemas dan berkuatir.
A Lo Cuncia menerima baik sambutannya Ek Tiong Bouw,
maka itu keduanya sudah lantas bertempur tanpa banyak
bicara lagi. Ia menggunai golok karena lawannya bergegaman
tongkat. Maka itu berkilau-kilaulah sinar goloknya. Beberapa
kali senjata mereka beradu menerbitkan suara nyaring dan
berisik yang membikin telinga ketuban.
Seratus delapan jurus Hokmo Thunghoat terpecah dalam
tiga babakan, setiap babakannya tiga puluh enam jurus.
Babakan yang pertama bersifat kekerasan dan babakan yang
kedua pengulangan. Selama babakan yang pertama itu, kedua
lawan ini seimbang kosen-nya. Kelihatan nyata A Lo Cuncia
mesti bekerja keras, sebab otot-otot di dahinya terlihat pada
bangun. Para murid Kaypang menantikan dengan bungkam saja. Di
babak yang kedua ini, mereka mendapatkan ketua mereka
lebih unggul sedikit. Ek Tiong Bouw cuma belum sanggup
memukul pecah benteng perlindungan diri dari si pendeta
India. Karena babak ketiga sudah lantas dimulai, mereka itu
mulai cemas hatinya.
Segera juga terlihat gerakan kedua pihak mulai menjadi
kendor. Tong Keng Thian mengawasi terus, lalu ia berbisik pada
Tong Sian Siangjin: "Mereka mulai mencapai babak yang
berbahaya. Kedua pihak cuma menguji kepandaian masingmasing,
dari itu tak ada perlunya mereka mengadu jiwa.
Bagaimana Siangjin pikir untuk membikin itu seri?"
Justeru itu, mendadak mereka mendengar Deruman Singa
dari A Lo Cuncia, deruman mana menyusuli bentroknya kedua
senjata, hingga kedua senjata itu terlepas dan jatuh ke tanah.
Lebih dulu golok yang jatuh. Tongkatnya Tiong Bouw jatuh
disebabkan deruman hebat itu.
A Lo Cuncia merasa berat merebut kemenangan seperti
melawan Tay Pie Siansu tadi, ia lantas mengasih dengar
seruannya yang maha dahsyat itu, buat membikin kaget dan
lemah pihak lawan. Ia ingin hati Tiong Bouw gentar.
Tatkala itu Tiong Bouw baru bersilat dengan jurusnya yang
ke delapan puluh satu.
Kedua pihak tidak ada yang terluka.
Oleh karena golok yang terlepas lebih dulu, menurut pantas
Ek Tiong Bouw yang menang, tapi ada pertimbangan untuk A
Lo Cuncia. Ialah dia baru habis menempur Tay Pie Siansu.
Beng Sin Thong menganggap Tiong Bouw menang disebabkan
dialah tenaga baru. Maka Tong Sian Siangjin menyetujui
pertandingan itu dianggap seri.
Demikianlah keputusan diambil.
Pihak Kaypang kurang puas, tetapi mengingat pangcu
mereka tidak kurang suatu apa, mereka berdiam saja. Di
samping itu mereka pun berpikir, kalau pangcu itu
mengeluarkan terlalu banyak tenaga, akibatnya nanti
berbahaya. Segera setelah itu Can Bit Hoatsu maju ke depan.
Melihat majunya orang suci itu, Phang Lim tertawa dan
berkata: "Sekarang datang giliranku!" Tanpa menanti sampai
ditantang, ia mengajukan dirinya. Ia seperti berkelebat
dengan ilmunya ringan tubuh, hingga para hadirin kagum
Can Bit Hoatsu merangkap kedua tangannya.
"Aku bersyukur yang liehiap sudi memberi pelajaran
kepadaku!" katanya merendah. "Bagaimana caranya kita
main-main" Silahkan liehiap memberi petunjukmu!"
Phang Lim berpikir sebentar, terus ia tertawa.
"Terima kasih yang kau sudi meminta petunjukku,"
katanya. "Tetapi, aku tidak memikir untuk menang sendiri,
dari itu baiklah kau keluarkan saja kepandaianmu yang paling
istimewa! Hoatsu seorang murid Sang Budha, kau biasa duduk
diam menjalankan agamamu, baiklah kau pun berduduk saja."
Umumnya para hadirin heran. Dengan saling berduduk
diam, kepandaian apa yang hendak diadu"
Tengah mereka itu keheranan, mereka melihat Phang Lim
menunjuk ke arah kedua bocah pohon di depan mereka.
Nyonya itu berkata: "Dengan duduk diam di atas bantal
rumput tak akan terlihat suatu apa, maka itu marilah kita
bercokol di atas pohon itu! Siapa yang jatuh terlebih dulu
dialah yang kalah. Tentang tipu apa yang digu-nai untuk
membikin jatuh itu, terserah kepada masing-masing!..."
Usul itu membuat orang tambah heran, terutama sebab
jaraknya kedua pohon satu dengan lain lebih dari sepuluh
tombak. Tenaga "Pekkhong ciang" atau pukulan tangan
kosong, tak nanti mencapai begitu jauh. Yang dapat
digunakan cuma senjata rahasia. Sebaliknya orang tahu, duadua
Can Bit Hoatsu dan Phang Lim, sebagai jago-jago tua dan
kelas satu, biasanya tidak pernah menggunai senjata rahasia.
"Liehiap sudi memberi pelajaran padaku, bagus, tak berani
aku menampik!" berkata orang pertapaan itu. "Nah,
silahkanlah!"
Phang Lim tidak berlaku sungkan. Ia lantas menjejak
tanah, untuk mengenjot tubuhnya, hingga dengan satu kali
melesat saja tibalah ia di atas pohon, menaruh kaki di atas
sebatang cabang yang kecil. Disitu ia lantas menekuk kedua
kakinya, untuk duduk bersila. Ia duduk tak berkutik lagi.
"Bagus!" banyak orang berseru saking kagum, tak kecuali
mereka yang di pihaknya Beng Sin Thong.
Selagi orang berseru itu, Can Bit Hoatsu juga sudah lantas
berlompat naik. Ia hanya tidak langsung seperti si nyonya, di
tengah jalan ia berjumpalitan satu kali, tetapi ia pun
memperlihatkan kegesitan dan entengnya tubuhnya. Ketika ia
mulai duduk bersila, cabang pohon yang menjadi alasannya
itu bergerak turun ke bawah, lalu naik pula dan berdiam tetap.
Phang Lim duduk atas sebuah pohon teh, begitu ia melihat
Can Bit sudah duduk tetap, ia tertawa dan berkata: "Hoatsu,
aku hendak menggunai bunga untuk menghormati Sang
Budha, maka itu apakah kau sudi menerimanya!" Lalu dengan
tangkai bunga merah ia menimpuk ke arah lawannya.
Can Bit duduk untuk terus tunduk seraya kedua tangan
bersi-dakap, kapan ia mendengar suara si nyonya, ia
mengangkat kepalanya.
"Terima kasih!" sahutnya.
Aneh adalah bunga teh yang merah itu, yang melayangnya
cepat, akan tetapi tiba di atasan kepala si pendeta, lantas
berdiam, baru kemudian dengan perlahan-lahan semuanya
turun ke bawah. Kejadian itu terulang hingga tangkai bunga
yang ketiga, yang semua seperti menclok di atas jubah.
Para hadirin kaum muda tidak tahu artinya timpukan bunga
itu, tetapi kaum tua yang ilmu silatnya mahir, mengetahuinya
dengan baik. Itulah ilmu kepandaian "Hui-hoa tekyap" atau
"Menerbangkan bunga, memetik daun". Itulah ilmu yang
membutuhkan tenaga dalam yang mahir sekali. Sebenarnya,
siapa terkena timpukan bunga atau daun, dia dapat tertotok
binasa atau terluka enteng atau berat terserah kepada si
penyerang. Tapi Can Bit liehay, ketika ia mengangkat
kepalanya, ia menangkis serangan dengan tiupan hawa panas,
hingga ia dapat melenyapkan tenaga menyerang bunga itu,
yang jadi turun perlahan seperti daun rontok.
Menyaksikan itu, diam-diam Keng Thian berduka. Dengan
perlahan ia kata pada isterinya: "Benar liehay ilmu silat
Biteong dari partai Agama Merah! Dilihat begini, walaupun iema
tidak bakal kalah, untuk merebut kemenangan pastilah tak
gampang..."
Di sebelah sana, Phang Lim terdengar tertawa, disusuli
kata-katanya yang penuh kegembiraan: "Bunga merah harus
dipasangi dengan daun hijau!" Ia lantas memetik daun dan
melemparnya, dan bagaikan terbawa angin, daun-daun itu
terbang melayang-layang ke arah si pendeta. Karena
terpencarnya daun maka lantas dapat dikenali, ilmu melempar
yang digunakan yaitu "Thianlie sanhoa", ilmu silat "Bidadari
menyebar bunga".
Inilah serangan hebat. Kalau bunga tadi digunai setangkai
demi setangkai, daun ini dengan banyak jumlahnya dan
datangnya pun dari pelbagai penjuru angin. Sulitnya lagi selagi
bercokol di atas pohon, tak dapat orang menangkis dengan
menggeraki tubuh atau berkelit dengan berkisar, atau orang
bakal jatuh dari atas tempat bercokolnya itu. Pula walaupun
orang bernapas kuat, tak dapat dia meniup terus menerus ke
segala penjuru!
Can Bit tapinya tidak menjadi gugup. Cuma tubuhnya
menggigil sedikit, tubuh itu lantas mendak turun mengikut
cabang pohon. Ia bersidakap terus dan alisnya dikasih turun.
Sama sekali ia tidak menggunai tangannya untuk menangkis.
Seperti bunga tadi, semua daun itu turun ke tubuhnya,
berdiam di atas jubahnya, hingga sebentar saja ia seperti
keuruk daun-daun teh, seluruhnya nampak hijau.
Menyaksikan itu, Tong Sian Siangjin berkata: "Mendiang
guruku pernah membilangi, ilmu Biteong dari Agama Merah
berasal dari India juga, jikalau itu telah dipelajari sempurna,
hasilnya mirip dengan ilmu partai kita, maka sekarang
terbuktilah benarnya kata-kata itu!"
Ilmunya Can Bit Hoatsu itu ialah yang dinamai "Sie Bie Kaycu"


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ilmu itu mirip dengan ilmu "Kimkong Puthoay Sinhoat"
dari Siauwlim Pay. Sie Bie Kaycu berarti "biji mosterd sebesar
gunung Sumeru," atau lebih jelas lagi, kalau ilmu itu dapat
dipahamkan sampai di puncak kemahiran, kecil tapi besar
artinya, besar seperti gunung suci pusat kaum Budhist itu.
"Sayang dia belum mencapai kemahirannya," berkata Pun
Khong Siangjin, "tetapi dia sanggup melayani Phang Liehiap,
itu pun sudah bagus sekali "
Pun Khong ini telah mencapai ilmu "Kimkong Puthoay"
sampai di tingkat ke tujuh, dia berimbang dengan Can Bit,
tetapi kalau Tong Sian Siangjin yang menyambut bunga atau
daunnya Phang Lim, tentunya bunga dan daun itu dapat
dibikin hancur. Maka itu, Phang Lim dan Can Bit itu dapat
dianggap berimbang.
Nyonya Phang mengerutkan alis melihat daun dan
bunganya tak dapat membikin lawan tergelincir dari atas
pohon, tetapi ia cerdik, ia lantas tertawa gembira, ia kata:
"Hoatsu, benar kau liehay sekali, tak kecewa kau menjadi
pendeta berilmu tinggi, hanya sayang kau masih belum
mencapai batas melihat tak kelihatan, mendengar tak
kedengaran, dan membaui tak merasa!"
Kata-kata itu ocehan belaka, Phang Lim mengatakannya
secara sembarangan, sebagaimana ia berbicara sambil
tertawa. Tapi sementara itu diam-diam tangan kanannya
memotes seraup daun dan tangan kirinya memetik dua
tangkai bunga, bunganya diremas hancur bagaikan bubuk.
Setelah itu ia mulai menyerang lagi, mulanya ia menyebar
daunnya, terus itu disusul dengan ditiupnya hancuran bunga
itu. Can Bit Hoatsu melihat datangnya serangan itu, ia melayani
seperti semula. Ia membuatnya daun-daun jatuh seperti tadi.
Hanya ketika ia menghalau bubuk bunga, bubuk tak dapat
diruntuhkan semua seperti daun, bubuk berhamburan, hingga
ada yang masuk ke hidungnya! Bubuk itu tidak dapat
membahayakan padanya, tetapi bubuk mendatangkan rasa
gatal, dari itu tak perduli ia bertahan, ia toh berbangkis juga
dua kali beruntun!
Mendengar dan melihat orang berbangkis, Kang Lam
menganggapnya jenaka, tak dapat ia menguasai hatinya yang
kebocah-bocah-an, lantas ia tertawa. Perbuatan ini diturut
oleh anak-anak muda sebayanya hingga ramailah suara
tertawa mereka itu. Karena ini, orang-orang tua pun turut
bersenyum di luar keinginan mereka.
"Phang Liehiap terlalu jail!" kata Kim Kong Taysu yang
menggeleng-geleng kepala.
Paras mukanya Can Bit Hoatsu menjadi guram, ia
mendongkol sendirinya, maka ia mengasih dengar suaranya:
"Ada kehormatan harus dibalas dengan kehormatan! Nah
inilah hormatku!" Ia lantas memetik seraup daun dengan
tangan kiri dan memotes segenggam cabang kecil sebesar
sumpit, mulanya ia menyebar dulu daunnya itu, lalu menyusul
sumpit cabang kayunya. Ia menelad perbuatan si nyonya.
Phang Lim melihat datangnya serangan, ia bukan
menyambuti dengan berdiam seperti lawan pendeta itu, ia
menyambuti dengan sebaran daun juga, untuk menangkis. Ia
membuatnya semua daunnya Can Bit runtuh.
Itulah mirip orang mengadu senjata rahasia. Hanya, selagi,
daun-daun itu beradu, berbareng terdengar juga suara berisik.
Inilah suara cabang-cabang pohonnya si pendeta. Dia
bukannya menghajar daunnya Phang Lim, untuk
memunahkannya, dia justeru menyerang cabang pohon di
atas mana si nyonya bercokol. Cabang-cabang pohonnya
sebesar sumpit itu datang beruntun bagaikan jemparing. Dia
pula bukan menyerang cabang yang diduduki, hanya
ujungnya, untuk menghalau yang mana, nyonya Phang tidak
mempunyai tangan cukup panjang untuk diulur. Cabang itu
sendiri panjang dua tombak lebih.
Akalnya Can Bit ini ialah yang dinamakan "Siajin siansia
ma", atau, "Memanah orang, lebih dulu memanah kudanya".
Itulah akal umum, hanya pelaksanaannya yang sukar, bukan
saja jarak di antara mereka belasan tombak, pula Can Bit
menyerang cabang besar dengan cabang kecil sebesar sumpit.
Tapi pendeta itu mempunyai tenaga dalam yang mahir dan
incarannya pun jitu, maka berulang kali serangannya itu
mengenai tepat, bahkan nancap dan nembus, hingga sabansaban
terdengar suaranya yang berisik itu. Di atas kuda,
biarnya kuda lagi kabur, orang bisa berkelit, tidak demikian di
cabang pohon. "Bangsat gundul ini hebat," pikir Phang Lim. Ia
mengerutkan alis. "Kalau terus-terusan begini, cabang pohon
yang aku duduki ini bisa patah juga. Tidak bisa lain, aku mesti
menurut buat."
Di dalam halnya kedua orang ini, Phang Lim kalah
imbangan. Kebetulan saja, cabang tempat duduknya itu kalah
besar dengan cabangnya Can Bit, kalau mereka main
menyerang cabang, cabang si nyonya bakal runtuh terlebih
dulu. Tenaga dalam mereka berdua berimbang.
Kang Lam dan Tan Thian Oe semua berdiri di belakang
Tong Keng Thian, bocah Jenaka dan binal itu tak dapat
mengendalikan rasa hatinya,
"Celaka! Celaka!" demikian dia berteriak-teriak melihat
Phang Lim terancam bahaya itu. Sedang tadi dialah yang
tertawa-mentertawakan Can Bit Hoatsu. Baru ia berseru-seru
itu, atau ia segera tertawa besar: "Hahaha! Hahaha! Hahaha!
Menang! Menang!"
Tengah Kang Lam berseru-seru dan tertawa itu,
pertempuran yang berlangsung telah mengakibatkan kagetnya
Phang Lim. Cabang pohonnya tak dapat bertahan terlalu lama,
cabang itu rusak dipanah sekian lama itu. Tak dapat ia duduk
lebih lama pula di atas cabangnya itu, mesti ia jatuh. Kalau ia
jatuh, ialah yang kalah. Maka ia tidak mau menyerah, ia
mencoba bertahan. Secara demikian pertandingan masih
berjalan terus.
Di dalam saat bahaya terjatuh itu, Phang Lim mengangkat
membal tubuhnya sambil tangannya menyerang dengan
bunga, menyerang daunnya Can Bit. Kali ini ia menyerang
benar-benar. Dua helai bunga merah mengenai kempolannya
Can Bit Hoatsu di betulan jalan darah bweelu. Can Bit terkejut,
tubuhnya tergelincir. Benar Phang Lim jatuh tapi masih
sempat ia menjejak cabangnya, membikin tubuhnya mumbul
naik tiga kaki.
Itulah saat Kang Lam tertawa girang karena menyangka si
nyonya menang. Can Bit juga liehay, tengah Kang Lam tertawa terbahakbahak,
ia mengerahkan tenaganya, ia menjumpalitkan
tubuhnya, dari itu, bukannya ia jatuh, tubuhnya juga mental
naik, naik tinggi sebatas cabang pohon tadi. Ketika ia turun
pula, ia berdirinya lempang dan tegak, turunnya perlahan.
Tidak demikian dengan Phang Lim, tubuh dia ini turun
terlebih cepat. Dengan demikian, dengan sendirinya dia
berada di sebelah bawah Can Bit, sedang tadinya Can Bit di
bawahannya. Kang Lam melongo, ia heran dan bingung. Hebat
pertandingan itu.
Para guru besar mengerti kenapa Can Bit Hoatsu dapat
turun terlebih perlahan. Itulah sebab si pendeta menggunai
ilmu memberatkan tubuh.
Tubuh Phang Lim turun terus, terpisahnya dari tanah
tinggal lagi tiga kaki. Kang Lam putus asa hingga dia berseru:
"Ah, kalah juga!..."
Justeru si binal ini mengasih dengar suara dari putus
harapannya itu, mendadak Phang Lim menginjakkan kaki
kanannya di belakang kaki kirinya, terus tubuhnya membal
naik, hingga ia menjadi berada di atas pula, sebaliknya Can Bit
Hoatsu terus turun hingga akhirnya dia menginjak tanah,
karena dia telah tidak berdaya pula.
Dengan cepat maka menyusullah Phang Lim turun.
Tampik sorak gemuruh menyambut kesudahannya
pertandingan itu. Tak perduli bagaimana duduknya hal, si
nyonyalah yang menang, sebab perjanjian mereka ialah siapa
turun lebih dulu dialah yang kalah. Hanyalah aneh sikapnya
Phang Lim, ia menang tetapi ia tidak bergirang, tidak ada
tertawa atau senyumannya walaupun ialah seorang yang
paling bergembira dan gemar guyon. Ia ragu-ragu atas
kemenangannya itu. Ia ragu-ragu lantaran ada hal yang ia
kurang mengerti.
Can Bit Hoatsu sebaliknya tidak menyangsikan sesuatu, ia
rela kalah, maka itu sembari merangkap kedua tangannya, ia
kata kepada lawannya: "Phang Liehiap benar liehay, aku si
pendeta kagum sekali."
"Hoatsu terlalu memuji," Phang Lim berkata. "Aku menang
karena kebetulan saja. Baru-baru ini di Istana Es aku telah
keterlepasan kata-kata, aku harap hoatsu tak taruh di hati!"
Orang semua girang atas kemenangan Phang Lim ini,
malah Co Kim Jie yang paling dulu menyambut, untuk
memberi selamat dan menghaturkan terima kasih. Yang
lainnya turut memberi selamat juga.
Justeru itu Phang Lim mendengar suara tertawa perlahan
tapi nyata sekali di telinganya. Ia heran hingga ia terperanjat.
Ia melihat tegas, di pihaknya tidak ada orang yang tertawa,
apa yang tampak melainkan senyuman. Pula suara tertawa itu
seperti tak ada lain orang yang mendengarnya. Ia ingat ketika
Beng Sin Thong mempermainkan Tong Sian Siangjin, Sin
Thong pernah menggunai ilmu penyaluran suara yang
dinamakan "Thiantun Toan-im", hingga dia dapat bicara
seperti berbisik pada orang yang diajak bicara tanpa lain
orang dapat turut mendengarnya.
"Mungkinkah Beng Sin Thong tertawa mengejek aku?"
terkanya. "Ah! Ataukah mungkin ada orang membantu aku"
Memang tak masuk diakal itulah suara Beng Sin Thong!
Bahkan kalau dia mendapat tahu, mestinya dia gusar!..."
Tertawa itu juga tak bernada mengejek.
Tiga hal membingungkan wanita gagah ini. Benarkah ada
orang membantu secara diam-diam kepadanya" Kecuali Beng
Sin Thong, siapa lagi disitu yang mengerti "Thiantun Toanim?"
Kalau benar ada orang membantui ia, mesti orang itu
ialah ini orang yang tertawa. Kenapa dia terus merahasiakan
dirinya" Tengah Phang Lim bingung itu, di pihak Beng Sin Thong
sudah muncul seorang, yang menantang langsung pihak
Butong Pay. Katanya nyaring: "Aku Touw Ciauw Beng telah
mendengar hebatnya ilmu pedang Citeapjie Ciu Lian-hoan
Toatbeng Kiam dari Butong Pay, aku tidak mengenal diri
sendiri, ingin aku belajar kenal dengan ilmu itu, maka itu
harap pihak Butong Pay suka memberikan pelajaran
kepadaku!"
Lui Cin Cu menjadi ciangbunjin yang termuda, bisa
dimengerti bahwa ia masih kurang pengalamannya, ia tidak
tahu siapa Touw Ciauw Beng itu, maka ia memikir mau memilih salah
satu adik seperguruannya yang liehay untuk melayaninya.
Selagi ia memikir itu, ia mendengar Touw Ciauw Beng tertawa
pula dan menambahkan kata-katanya: "Beberapa kali sudah,
orang bertempur satu lawan satu, jikalau itu dilanjuti, rasanya
kurang menarik hati. Lantaran mendengar liehaynya ilmu
barisan pedang Kiukiong Patkwa Kiamtin. Aku minta sukalah
kau pimpin orang-orangmu yang liehay membangun tin itu,
untuk aku belajar kenal dengannya!"
Tin, atau barisan, ilmu pedang itu, mesti digeraki oleh
sembilan orang yang telah terlatih sempurna, sebab orang
mesti mengikuti Patkwa garis sembilan (kiukiong). Semenjak
diciptakannya oleh Uy Yap Toojin di akhir Ahala Beng, selama
seratus tahun lebih, baru tiga kali tin itu digunakan, yang
pertama terhadap Liekiamkek Giok Lo Sat, kedua di waktu
melayani hantu besar Han Tiong San dan Yap Heng Po suami
isteri, dan yang ketiga, belasan tahun yang sudah, terhadap
sembilan murid Lengsan Pay selama pertempuran di atas
gunung Ngobie San. Maka hebat tantangannya Touw Ciauw
Beng itu. Semua orang lantas mengawasi dia.
Salah satu dari Butong Samloo, Tiga Tertua dari Butong
Pay, yaitu Han In Toojin, serta Kim Kong Taysu, tiangloo dari
Ngobie Pay, ketahui baik siapa Ciauw Beng, mereka
terperanjat. Sebenarnya Touw Ciauw Beng bergelar Khamliekiam, murid
nomor dua dari Han Tiong San, ketua dari Lengsan Pay. Ketika
terjadi pertempuran di Ngobie San itu, Han Tiong San hadir
bersama lain muridnya tapi Ciauw Beng tidak turut serta. Dia
pernah sutee, adik seperguruan, dari Yap Thian Jim. Setelah
kekalahannya Lengsan Pay itu, dia lenyap dari dunia Kangouw.
Baru kemudian orang mendengar dia telah berguru pula pada
seorang ahli pedang yang bersembunyi di pulau Tiangbeng To
di laut Tanghay. Kim Kong Taysu sudah berumur mendekati
delapan puluh tahun, ia sepantar dengan Han Tiong San, ia
tahu Ciauw Beng murid terpandai pemimpin Lengsan Pay, itu,
bahkan dia telah melampaui ketuanya, sekarang dia muncul
pula, mungkin dia telah mempunyai kepandaian yang
istimewa, tidak demikian, tidak dapat dimengerti dia berani
menantang berbareng sembilan musuh, bahkan sebuah tin.
Dia mestinya sudah berumur hampir enam puluh tahun tetapi
sekarang dia nampak gagah seperti orang berusia lebih
kurang empat puluh. Itulah bukti bahwa dia telah menguasai
tenaga dalam yang mahir.
Han In Toojin ialah paman gurunya Lui Cin Cu, ia telah
menghadiri pertempuran Han Tiong San suami isteri melawan
Butong Pay, maka itu melihat Ciauw Beng, ia menduga orang
hendak membalas kekalahan gurunya dulu hari itu. Ia
terperanjat tapi ia tidak berkuatir. Ia menyangsikan orang
dapat melebihkan liehaynya gurunya.
Lui Cin Cu mirip dengan namanya itu. "Lui cin" berarti
"gempuran guntur". Ia bertabiat keras. Hanya semenjak
menjadi ciangbunjin, ia dapat mengubah banyak, akan tetapi,
mendengar suara Ciauw Beng, ia mendongkol sekali. Ia
ditantang memimpin tin-nya itu! Coba ia tidak ingat ialah
ketua Butong Pay, pasti ia sudah umbar kemendongkolannya
itu. Toh ia kata, sengit: "Hm! Tin kami itu cuma disediakan
untuk orang yang benar-benar berilmu tinggi. Tuan bicara
begini besar, mungkin tuan benar mempunyai kepandaian
istimewa, atau tuan pantas disebut orang berilmu tinggi, akan
tetapi nama tuan, baru kali ini aku mendengarnya! Bagaimana
sebenarnya kepandaian tuan, itu harus dibuktikan dulu, baru


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita mengetahui! Aku tidak merubah aturan kami, kau baiklah
mencoba-coba dulu dengan murid-muridku!"
Mendengar suara itu, Ciauw Beng pun tidak senang.
"Hm!"dia memperdengarkan ejekannya, sikapnya jumawa.
"Memang aku bukan orang berilmu akan tetapi tin kamu
belum tentu cuma dapat dipecahkan orang berilmu saja!
Keliehayan tin itu masih mesti dibuktikan dulu! Kata-kataku
tidak dapat ditarik pulang, setelah aku mengatakannya, aku
pun tak dapat merubah aturan!"
Suasana lantas menjadi tegang sekali. Kedua pihak
berkeras kepala.
"Ciangbun," berkata Han In Toojin kepada ketuanya,
"saudara Touw Ciauw Beng ini ialah muridnya Buhak Taysu
Han Tiong San ketua dari Lengsan Pay, dan gurunya itu dulu
pernah bermain-main bersama suheng sekalian di dalam tin
kita. Oleh karena itu, rasanya tak apa jikalau ciangbun suka
mengalah membiarkan dia ini mencoba tin kita."
Touw Ciauw Beng membuka matanya, dia memandang ke
langit. "Sekarang tahulah kamu siapa aku?" katanya, tetap
terkebur. Lui Cin Cu mengendalikan dirinya.
"Jikalau susiok kata begitu, baiklah..." ia bilang, terpaksa.
Ia lantas menyebutkan nama sembilan orang partainya, ialah
tiga sutee, adik seperguruan, tiga sutit, keponakan murid, dan
tiga teecu, muridnya. Ia menyuruh mereka itu mengaturnya
tin-nya, sembari tertawa dingin, dia kata: "Tuan sendiri yang
menantang hendak mencoba tin kami, baik!-Siong Sek Sutee,
kamu baik-baiklah menyambut orang berilmu ini!"
"Hm!" Ciauw Beng bersuara dingin. "Jadinya Lui Toaciangbun
tidak turun tangan sendiri! Rupanya Toaciangbun
menganggap aku si orang she Touw tak sesuai menerima
pengajaran dari kau! Baik! Bagaimana andaikata aku si orang
she Touw berhasil menoblos tin kamu?"
"Biarlah kita bicara nanti, setelah sampai waktunya!" kata
Lui Cin Cu keras. "Tuan masih belum memasuki tin, apakah
bukan masih terlalu siang untuk mengatakan kesudahannya?"
Ciauw Beng kembali mengasih dengar "Hm!" dan tertawa
yang nyaring. "Kalau kau bilang begitu, baiklah!" katanya. "Baik sebentar
kita bicara pula!" Ia berkata terkebur, didalam hatinya sendiri,
ia kata: "Sekarang kau boleh berjumawa! Kau tidak turun
tangan sendiri, itulah terlebih baik lagi! Biar aku robohkan tinmu
ini, untuk merobohkan dahulu pamormu! Habis itu nanti
aku paksa kau turun tangan juga!" Maka tanpa mengotot lebih
jauh, ia menghunus pedangnya, terus ia bertindak masuk
dalam barisan Butong Pay, yang dengan cepat sudah diatur
Siong Sek Toojin bersembilan.
Pedang Ciauw Beng yang dinamakan Khamlie kiam, atau
pedang Khamiie"Khamlie ialah namanya suatu garis dari
Patkwa-istimewa sekali. Pedang pendek biasa dua kaki
delapan dim, dan pedang panjang tiga kaki enam dim, tapi
pedangnya ini empat kaki lebih, lebarnya sekira tiga jeriji
tangan. Seluruh pedang bersinar merah tua keungu-unguan.
Melihat itu Han ln Toojin pun heran hingga ia menduga
kepada pedang ilmu sesat.
Ciauw Beng bertindak memasuki pintu "soanmui", yang
dijaga Leng It Piauw, adik seperguruan Lui Cin Cu. Dia ini,
dengan pedang di dada, mundur setindak membiarkan orang
dapat masuk tanpa rintangan. Lantas penyerang itu
menggeraki pedangnya yang mirip pisau belati. Anginnya itu
keras dan berhawa panas, sampai It Piauw terperanjat.
Kedua penjaga pintu-pintu kian-mui dan cinmui lantas
bergerak, untuk mengurung. Ketika mereka menyerang, Ciauw
Beng menangkis, meski demikian, dia dipaksa mundur ke
tengah kalangan. Dengan bergeraknya seluruh tin, dia benarbenar
lantas kena terkepung.
Ke sembilan jago Butong Pay itu sudah terlatih, benar
mereka merasakan hawa panas tetapi mereka mengurung
terus. Kemana Ciauw Beng bergerak, dia terin-tang. Tak ada
lowongan untuk diserbu dan dilewati. Kesembilan pedang
Butong Pay seperti merupakan jala, makin lama bergeraknya
makin rapat. Sia-sia belaka si penyerang mencoba menoblos
kurungan itu. Walaupun demikian, dia sebaliknya tak dapat
dirobohkan. Dia selalu dapat membela diri.
Lui Cin Cu melihat selatan pihaknya bakal menang, dia kata
dingin: "Orang ini omong besar, aku menyangka dia
mempunyai kepandaian luar biasa, siapa nyana dialah tombak
dengan ujung lilin!"
"Jangan kita lekas memandang enteng kepada lawan,"
berkata Han ln Toojin, sang paman. "Kau lihat tindakan
kakinya, dia dapat menginjak garis-garis kiukiong patkwa
dengan tak kacau. Aku kuatir dia lagi melepas umpan..."
"Tin pedang kita rapat sekali, jikalau dia memancing,
kurungan bakal jadi semakin rapat," kata Lui Cin Cu,
berkukuh. "Dengan begitu dia bakal melekaskan
kekalahannya!"
Paman itu berdiam. Ia merasa ketua partainya terlalu
memandang enteng kepada lawan, tapi melihat tin-nya
demikian rapat dan kokoh, hatinya tenang juga.
Tak lama, Siong Sek Toojin mengangkat pedangnya cepat
sekali. Itulah suatu isyarat. Delapan kawannya lantas
mendesak. Kontan Ciauw Beng terdesak ke arah sie-mui, pintu
mati. Dia nampak repot.
"Bagaimana, susiok?" tanya Lui Cin Cu pada pamannya.
Han In Toojin mengawasi, ia mengangguk perlahan.
"Dalam rintasan ini mungkin kita tak kalah..." Walaupun
demikian, ia heran. Semenjak dimulai pertempuran, selalu
pihak Butong Pay yang menang unggul, untuk itu, tak usah
orang berkutat memeras peluh. Akan tetapi kenyataannya,
kesembilan imam keringat...
Tengah imam ini berpikir keras, ia mendengar Ciauw Beng
bersiul nyaring, menyusul mana, ketika dia meluncurkan
pedangnya, ujung pedang itu menyemburkan api!
Leng It Piauw adalah orang yang pertama menjadi sasaran,
ia kaget hingga tak sempat ia berdaya. Sebelah mukanya kena
tersemprot api itu. Dengan begitu dengan sendirinya
terbukalah satu keretakan atau lowongan. Tanpa menyianyiakan
ketikanya, Ciauw Beng menerjang guna meloloskan
diri dari kurungan. Dia menyerang hebat ke empat penjuru.
Tin kiukiong patkwa itu lantas menjadi kacau.
Kemana pedang Ciauw Beng menyambar, disana mesti ada
orang yang terluka.
Siong Sek Toojin mendadak berlompat, diturut oleh tiga
kawannya. Mereka bergerak dari arah yang berlainan.
Tindakan mereka rapi di garis-garis kian, kun, cin dan twee.
Tapi Ciauw Beng menyambutnya sambil berseru, pedang
diputar. Kembali terlihat sinar apinya pedang itu.
Kali ini runtuhlah tin yang sangat diandalkan Lui Cin Cu.
Sembilan imam roboh semua, semuanya terluka. Yang
terparah ialah Siong Sek Toojin dan Leng It Piauw, muka
mereka terbakar hangus, lengan mereka sebelah terpapas.
Lengan bawahan pundak Ciauw Beng juga terluka duaduanya,
terkena pedangnya Siong Sek Toojin dan Leng It
Piauw, cuma itulah luka di kulit, luka tak ada artinya.
Touw Ciauw Beng ingin membalas sakit hati, sepuluh tahun
lebih ia menyembunyikan diri di dalam pulau menuntut
pelajaran ilmu pedang dari Kham Lie Tuu, mema-hamkan ilmu
pedang Khamlie kiam. Oleh gurunya, ia dihadiahkan
pedangnya itu, pedang Khamlie kiam yang liehay, yang dapat
menyemburkan api. Kalau pesawat di gagang pedang ditekan,
maka meletuslah bahan apinya, yang disembunyikan di dalam
pedang. Ia juga diajarkan ilmu tin rahasia, maka itu, dengan
sendirinya, ia dapat memasuki garis patkwa dari tin Butong
Pay itu, hingga dengan pedangnya yang liehay ia
meruntuhkannya, ia hanya tidak menyangka, ia masih kena
terlukakan, walaupun cuma luka di kulit.
Lui Cin Cu kaget berbareng malu dan gusar.
Dengan tindakan perlahan, Ciauw Beng menghampirkan.
"Beruntung aku si orang she Touw dapat lolos dari dalam
tin," ia kata sambil tertawa. "Sekarang Lui Ciangbun hendak
membilang apa, aku suka mendengarnya!"
Tanpa menghiraukan lukanya, lawan ini mendesak
musuhnya. Ia bersikap sabar tetapi keren. Dengan itu ia mau
memaksa Lui Cin Cu turun tangan sendiri.
Parasnya ketua Butong Pay itu menjadi pucat, lalu guram.
Bukan main menyesalnya ia, yang ia telah tidak turun tangan
memimpin sendiri tinnya itu. Ia pun bingung. Kalau ia turun
tangan, sudah kasip. Kalau ia diam saja, mana dapat" Kalau ia
turun tangan dan menang, itu tak ada artinya. Lawan habis
bertanding hebat dan sudah terluka juga. Ia pun
menyangsikan ia bakal dapat mengalahkan jago Lengsan Pay
itu... Kalau ia kalah, kemana ia mesti menaruh mukanya"
Dalam kesangsiannya itu, Lui Cin Cu mencekal gagang
pedangnya. Saking terpaksa, ia berniat juga turun tangan.
Hanya, belum sampai ia mengangkat kaki disana muncul
seorang muda yang kurus, yang sembari maju berkata dengan
nyaring: "Ketua Butong Pay itu orang dengan martabat apa"
Kau sudah terluka, cara bagaimana kau masih berani
menantang" Hm! Sekalipun aku, tidak dapat aku turun tangan
melayani kau!"
Pemuda itu ialah Kang Lam si Jenaka dan berandalan.
Sudah pasti Touw Ciauw Beng tidak memandang mata
seorang bocah. Bukankah ia telah berhasil merobohkan
sembilan imam gagah" Maka ia mengawasi, dingin.
"Kau makhluk apa?" katanya, menghina. "Kenapa kau
ngaco belo" Kenapa kau berani mengacau di dalam medan
adu jiwa ini" Lekas kau menggelinding pergi! Atau aku
terpaksa memberikan kau rasa satu tusukan pedang!"
Kang Lam tertawa geli, matanya melirik-lirik.
"Bagus, bagus!" katanya. "Aku justeru ingin kau mengucap
begini rupa! Aku menanti untuk kau tikam! Hayo maju! Kau
tikamlah! Jikalau kau berani mengatakan kau tidak berani,
maka kaulah si anak kura-kura!"
Ciauw Beng menjadi sangat gusar. Mana dapat ia melayani
seorang bocah" Tapi orang demikian bermulut "jahat"! Dalam
mendongkolnya, ia mau juga maju. Ia tidak memikir
menggunai pedang. Ingin ia membanting saja!
Kang Lam sangat menantang. Dia maju terlebih dulu,
sambil berlompat.
"Ha, telur tua busuk yang telah terluka!" katanya
mengejek. "Aku si Kang Lam, aku sebenarnya tidak mau
menang di atas angin, akan tetapi kau terlalu bermulut besar,
kau menghina aku! Sebenarnya aku malu melayani kau, sebab
kalau toh aku menang, aku tidak dapat disebut gagah,
sebaliknya mungkin aku ditertawai orang-orang gagah di
kolong langit ini! Toh tak dapat tidak, aku mesti memberi
sedikit ajaran kepada kau!"
Suara itu suara seperti orang yang tidak mau segera turun
tangan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Begitu dia
datang dekat, bocah itu sudah lantas menyerang, dengan
"Senghoo too-kian," suatu jurus dari "Pengcoan Kiamhoat",
ilmu "Pedang Es" ajarannya Pengcoan Thianlie.
Inilah Touw Ciauw tidak sangka. Dia kaget hingga dia mesti
berkelit mundur dengan gugup.
"Hahaha!" Kang Lam tertawa melihat orang berkelit itu. Dia
lantas menyerang pula, sehatnya tak kalah dengan
serangannya yang pertama.
Kali ini Ciauw Beng sudah siap-sedia. Dengan mudah dia
menangkis. "Kau tertawalah lagi!" dia membentak.
Pedang Kang Lam kena dibikin terpental, tubuhnya pun
terhuyung mundur. Tapi pedangnya tak terlepas dari
tangannya, dan ia dapat lantas membikin tubuhnya berdiri
tegar pula. Ia tidak takut atau jeri, ia bahkan tertawa geli
seperti tadi. "Telur tua busuk, aku si Kang Lam, aku masih tertawa!"
katanya, menantang, jenaka. "Apa kau bisa bisa bikin
terhadap diriku?"
Ciauw Beng menangkis keras, tangannya dibikin berat, ia
menduga orang bakal terluka, atau sedikitnya pedangnya
terlepas, maka ia heran mendapatkan bocah itu cuma mundur
tiga tindak dan dapat tertawa riang seperti sedia kala. Hatinya
bercekat. "Bocah ini benar liehay," pikirnya. "Kalau begini, tidak dapat
aku pandang enteng padanya..."
Bicara dari hal tenaga dalam, Kang Lam terpaut jauh
dibanding dengan Khamlie kiam, kesudahan demikian rupa itu
disebabkan, biar bagaimana, Ciauw Beng masih letih dan
lukanya menjadi semacam penghalang juga. Di lain pihak,
Kang Lam, pernah mendapat ajarannya Kim Sie Ie, maka ia
ketahui tipu silat yang disebut huruf "Lolos". Dengan itu, ia
meloloskan, membikin meleset kekuatan serangan musuh.
Memangnya, tambah usianya, ia tambah tenaga, ia pula
tambah gesit. Begitulah atas gempuran hebat, ia melainkan
mundur tiga tindak.
Ciauw Beng heran, itulah wajar. Tapi Tan Thian Oe dan
yang lainnya, turut heran juga. Mimpi pun mereka tidak bakal
menyangka, bocah ini demikian tangguh, dia dapat melayani
musuh yang tak sanggup dilawan sembilan imam berbareng.
"Anak ini benar-benar tidak tahu langit tinggi dan bumi
tebal," Thian Oe kata pada Tong Keng Thian. "Dia membuat
permainan pada jiwanya sendiri! Bagaimana" Apa baik kita
panggil dia balik, buat menyatakan dia menyerah kalah saja"
Kita dapat tukar dia dengan lain orang..."
Dengan berkata begitu, juga terhadap Keng Thian, Thian
Oe mengharap ini orang she Tong yang menggantikan Kang
Lam. la percaya Keng Thian tidak bakal kalah andaikata dia
sukar memperoleh kemenangan. Keng Thian mempunyai
pedang Yuliong Kiam, pedang mustika, serta peluru Thiansan
Sinbong yang kesohor.
Tong Keng Thian memandang ke gelanggang, la
bersenyum. "Saudara Tan jangan kuatir," ia berkata, tenang. "Kang
Lam seorang panglima perang yang besar rejekinya, pasti dia
tidak bakal kalah! Untuk menghadapi lawan bangsa sesat
semacam dia ini, ia terlebih tepat daripada kita!"
Thian Oe bersangsi. Oleh karena orang mengatakan
demikian, ia tidak berani mendesak. Ia lantas mengawasi
dengan perhatian penuh.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciauw Beng mendongkol, dia melayani Kang Lam dengan
sungguh-sungguh. Bahkan dia mendesak. Keras keinginannya
untuk mengajar adat, guna melampiaskan
kemendongkolannya itu.
Kang Lam cerdik, pengajaran tadi membuatnya tambah
cerdik. Ia main berkelit. Tidak mau ia menangkis, sebab itu
berarti melawan keras. Ia kalah tenaga dan terutama tenaga
dalam. Ia mempertontonkan kelincahannya, ia bersilat dengan
kejenakaannya. Begitulah, untuk dapat membalas menyerang,
ia menjatuhkan diri dulu di tanah, atau ia lompat jungkir balik.
Celakanya untuk Ciauw Beng ialah kalau dia diludahi! Dalam
hal ini, Kang Lam perlihatkan kepandaiannya Kim Sie le.
Dalam ilmu pedang, ia menggunai pelbagai jurus campur
aduk, di antara ilmu pedang Pengcoan Kiamhoat dari
Pengcoan Thianlie, dan ilmu pedang Cengshia Pay dari Tan
Thian Oe. Keduanya itu ialah ilmu pedang yang mahir. Cuma
dalam hal meludah, ia tidak dapat meludahkan racun seperti
Sie Ie. Toh ludahnya keras dan ia membikin Ciauw Beng sakit
kepala juga. Bagaimana kalau jago ini kena diludahi" Dia tentu
bakal mendapat malu besar!
Saking murka, Ciauw Beng mengeluarkan kepandaiannya
ilmu pedang. Di empat penjuru terlihat melulu bayangannya.
Ia kurung si bocah hingga, menyaksikan itu, hati Lui Cin Cu
bercekat. Ilmu pedang si orang she Touw berdasarkan
tindakan garis kiukiong patkwa, jadi itulah ilmu kedudukan
sama dengan milik Butong Pay, bedanya yaitu, kalau tin
Butong Pay mesti menggunai sembilan orang, orang she Touw
ini bersendirian saja!
Ciauw Beng gesit luar biasa, pedangnya liehay, cuma
dibanding dengan sembilan pedang tin-nya Butong Pay, dia
kalah tangguh. Apa yang luar biasa ialah dia dapat bersilat
seorang diri. Itulah ilmu silat pedang yang langka.
"Mungkin aku dapat lawan ilmu pedangnya ini, tetapi untuk
mengalahkannya, sulit," ketua Butong Pay ini berkata di dalam
hatinya. Kang Lam belum mengerti ilmu "Kiebun Patkwa" yang
dibutuhkan untuk bersilat sebagai Ciauw Beng, tidak heran
kalau ia lantas kena dikurung. Makin lama ia terkurung makin
rapat. Tentu sekali, sulit untuknya mempergunakan lagi
kelincahannya. Ia bahkan terancam bahaya. Maka itu ia tidak
dapat berguyon lagi, malah untuk berludah pun tak sempat!
Tan Thian Oe mengeluarkan keringat dingin. Ia berkuatir
untuk kacungnya. Juga Keng Thian mulai berkuatir. Kata ia
dalam hatinya: "Inilah hebat! Mengapa belum ada orang
liehay yang membantunya" Jikalau aku menduga keliru,
bukankah hebat aku mesti mengantarkan jiwanya Kang Lam?"
Dengan bungkamnya Kang Lam maka datanglah giliran
Ciauw Beng untuk merasa puas, hingga dia tertawa terbahakbahak.
Terus dia mendesak.
"Tahulah sekarang kau akan liehayku!" kata dia sambil satu
kali mengirim tusukannya. Dia mengejek. Terus dia
mengulangi serangannya. Kang Lam berkelit, dia lompat
menyusul. Dari garis "kian" ia menggeser ke garis "soan".
Dengan pedangnya di tangan kanan dia menyontek pedang
lawannya, lalu dengan tangan kiri, dengan jeriji yang kuat
bagaikan tombak, dia menotok ke bawahan iga!
Sebenarnya dengan satu tikaman, ada kemungkinan Ciauw
Beng menembuskan tubuhnya si bocah Jenaka, yang tapinya
sangat memanaskan hatinya. Akan tetapi, dia tidak memikir
demikian. Untuk melampiaskan kemendongkolan-nya ia ingin
membekuk hidup musuh ini, guna menggunai lain cara, yang
ia anggap tepat. Akan tetapi Kang Lam pernah memperoleh
pengajaran dari Hong Sek Toojin si orang Khongtong Pay yang
berkenamaan, dia mengerti ilmu silat "jungkir balik" dari imam
itu, untuk membikin jalan darahnya kacau, bertentangan satu
pada lain. "Aduh, mati aku!" Kang Lam menjerit. "Gatal amat!" Sambil
menjerit begitu, ia putar sebelah tangannya, untuk berbalik
menyerang dengan lima jerijinya. Ia menotok dengan ilmu
totok yang didapat dari Kim Sie Ie.
Ciauw Beng heran orang tertawa karena totokannya itu.
Sudah begitu, ia dibikin kaget pula oleh totokan luar biasa dari
si lawan. Ia dapat mengenali totokan yang liehay. Untuk
menolong diri, terpaksa ia lompat keluar dari garis "cin"
dimana ia tengah berada. Tidak perduli ia bergerak gesit, jari
tangannya Kang Lam toh mampir juga di sasarannya. Ia telah
menutup jalan darahnya, tidak urung ia kaget. Mendadak
terasa seluruh tubuhnya kesemutan dan kaku. Syukur ia
sempat dapat meluruskannya pula. Inilah disebabkan,
kepandaiannya Kang Lam masih kurang mahir dan tenaganya
pun kurang. Habis itu si bocah dapat melegakan napasnya. Ia
mengayun pedangnya, ia tertawa pula.
"Eh, telur busuk tua, tahukah kau keliehayanku?" ia tanya.
Bukan main mendongkolnya Ciauw Beng. Walaupun
demikian, dia tidak berani mendesak seperti tadi. Biar
bagaimana, jalan darahnya belum pulih seperti asalnya, dan di
lain pihak, dia mulai jeri untuk ilmu totoknya lawan ini...
Kang Lam tertawa pula sambil ia menyerang. Luar biasa
cara menyerangnya itu, yaitu ia maju sambil lompat
jumpalitan! Ciauw Beng menggertak gigi.
"Kau cari mampusmu sendiri!" dia membentak. "Jangan
kau sesalkan aku kejam!"
Kata-kata itu disusul dengan serangan pedang dengan jeriji
tangannya memencet pesawat rahasia pada gagang
senjatanya itu, maka juga menghembuslah apinya yang
bercahaya, api yang jahat itu, yang tadi telah meminta korban
sembilan imam. Baru sekarang dia terpaksa menggunai
Khamlie kiam. Tadinya dia masih menahan sebab ia malu hati,
mustahil melayani seorang bocah mesti seperti berkelahi
menghadapi sembilan imam. Sudah memakai pedang malu,
ditambah pula pedang api.
Dengan menggunai apinya, Ciauw Beng sudah pikir
lawannya bakal terbinasa atau sedikitnya melainkan terluka. Ia
memikir di pihaknya sendiri, ia tidak memikir pihak lawan.
Kang Lam cerdik, ia senantiasa menduga pada
kemungkinan lawan menggunai api yang liehay itu. Ia tidak
takut meski ia sudah dapat bukti robohnya ke sembilan imam
dari Butong Pay, tetapi ia waspada. Begitu ia dituding dengan
pedang rahasia itu, begitu ia mendahului lompat berjumpalitan
sambil mulutnya ngoceh tidak keruan: "Hayo, si telur busuk
tua mau menggunai api membakar orang! Aduh! Aduh! Hebat!
Ha, syukur aku mempnyai wasiat!"
Kang Lam jumpalitan, Ciauw Beng menikam. Si bocah gesit,
si jago lebih gesit pula. Pedang si jago menunjuk, apinya
berkelebat, menyambar ke punggung orang yang lagi
berjumpalitan itu. Tapi Kang Lam keburu berbalik, sambil
berbalik itu tangannya diayun! Api berkobar, warnanya merah,
mendadak api itu padam, lenyap hawanya yang panas,
terhajar sesuatu yang berhawa dingin!
Ciauw Beng terperanjat. Inilah ia tidak sangka.
Kang Lam sudah menyerang dengan wasiatnya yang bukan
lain daripada Pengpok Sintan, peluru es dari Istana Es. Ia
mendapatkannya itu dari Yu Peng, iparnya, ialah Nyonya Tan
Thian Oe. Tadinya ia dianggap belum cukup kuat, ia tidak
diberikan peluru itu, sesudah ia mengalahkan Kim Jit Sian, Yu
Peng memberikan lima butir, katanya untuk membela diri. Yu
Peng mendapat kenyataan kacung itu, yang dipandang Thian
Oe sebagai adik angkat, sudah melebihkan ia. Sekarang si
kacung menggunai itu untuk menakluki pedang api. Bahkan
sekali hajar ia menggunai tiga butir, tidak heran api itu sirna
seketika. Kang Lam pun segera berkata: "Kunjungan tak dibalas
itulah tidak hormat! Telur tua yang busuk, kau juga sambutlah
senjata rahasiaku!" Dan ia lantas mengayun tangannya,
melepaskan dua butir pelurunya saling susul!
Touw Ciauw Beng berani, di mengulur tangannya
menanggapi senjata rahasianya lawan. Ketika dia dapat
menggenggam Pengpok Sintan, dia kaget. Hawanya peluru itu
begitu dingin hingga dia menggigil, hingga mulutnya terbuka.
Justru dia menganga itu, justeru tiba peluru yang kedua, tepat
masuk ke dalam mulutnya. Dia gelagapan, lantas dia berdiri
diam bagaikan patung!
Khamlie kiam telah mempunyai latihan tenaga dalam
beberapa puluh tahun akan tetapi ia belum berhasil mencapai
puncak kemahiran, dibanding Kim Kong Taysu atau Tong Sian
Siangjin, dia masih beda jauh, akan tetapi dia dapat direndeng
dengan Tong Keng Thian suami isteri, seharusnya dia dapat
bertahan untuk satu atau dua potong Pengpok Sintan. Kang
Lam juga cuma ingin merusak tenaga dalam orang, untuk ia
dapat melayani terus, maka adalah di luar dugaan, sebutir
peluru es saja membuat jago itu jengkar!
Begitulah si jenaka menjadi melengak atas kesudahan
serangannya itu. Tengah ia berdiam itu, telinganya
mendengar suara yang perlahan dan halus, yang toh
terdengarnya nyata sekali: "Anak tolol! Kenapa kau tidak
sekalian hajar padanya?"
Dasar cerdik, bocah ini lantas mendusin. Tidak ayal lagi ia
lompat mendekati ia menggeraki kedua tangannya kiri dan
kanan, maka terdengarlah suara plak-plok berkali-kali-suara
dari muka yang digaplok pergi datang, setelah mana Kang
Lam merebut pedang orang, untuk dilemparkan ke dasar
jurang. "Eh, telur busuk tua yang tak mau mampus!" berkata ia,
"sebenarnya hendak aku tabas kau satu kali, akan tetapi
karena melihat romanmu yang harus dikasihani ini, sedang
aku juga belum pernah membunuh orang, suka aku memberi
ampun padamu! Kau tahu, hatiku menjadi lemah, suka aku
berlaku murah padamu!"
Kata-kata itu diakhiri dengan satu dupakan kepada
kempolan orang, maka tubuh Touw Ciauw Beng lantas roboh
terbanting. Akan tetapi justeru itu, dia sadar dari bekunya, dia
mengasih dengar jeritan kesakitan. Tubuhnya itu terlempar
jauhnya tiga tombak!
Yang Cek Hu lantas maju untuk menolongi, buat mengasih
bangun. Ia heran mendapatkan tangan orang kaku dan
bengkok, begitu juga kaku kedua kakinya, maka untuk
berjalan, Khamlie kiam mesti berlompatan ancluk-ancluk-an.
Semua orang heran menyaksikan kejadian itu. Mengertilah
orang bahwa Touw Ciauw Beng telah tamat lelakonnya
sebagai jago, lantaran kakunya kaki tangannya itu berarti
ludesnya ilmu silatnya...
Pihaknya Kang Lam girang sekali, kesudahan itu membikin
mereka dapat tertawa. Tadinya semua sudah berkuatir untuk
keselamatannya si kacung. Di lain pihak, orang pun heran dan
kagum karena kemenangannya jago cilik ini terhadap si jago
besar. Cee Ciang Hee yang paling girang, ia tertawa hampir tak
hentinya, sesudah itu dengan melit ia tanya ini dan itu kepada
Kang Lam. "Kau benar tidak mendustai aku!" kata Nona Cee kemudian.
"Benar-benar kau telah berhasil mempelajari ilmu silat yang
liehay sekali! Bagus pertempuran kau ini, sedang tadinya aku
berkuatir sangat sebab kau terkurung hebat oleh pedang yang
luar biasa itu. Coba dia tidak menotok kau, hanya dia
menikam, bukankah itu celaka?"
Kang Lam tertawa.
"Aku dapat memandang jauh!" dia kata, terkebur, tetapi
lucu. "Aku memang tahu dia pandai menotok. Taruh kata dia
benar-benar menikam aku, kau jangan kuatir, aku mempunyai
dayaku untuk menghindarinya hingga aku tidak bakal
terluka!..."
Kang Lam ngoceh saja, tetapi toh benar, ia telah merasa
ungkulan melawan Touw Ciauw Beng, maka ia telah
mengajukan dirinya, menantang jago itu. Andalannya itu ialah
kepercayaannya bahwa Kim Sie Ie pasti bakal membantui
padanya. Cuma ia telah dipesan Tokciu Hongkay untuk ia
jangan menyebut-nyebut nama si pengemis itu.
Thian Oe dan isterinya terus bingung. Di mata mereka
terang sudah Kang Lam bukan lawannya Ciauw Beng.
Walaupun Kang Lam membekal pengpok sintan, dia masih
sukar dapat mengalahkan jago itu. Toh akhirnya Kang Lam
menang! Sungguh di luar terkaan!
Ada lagi satu orang, yang sangat mencurigai Kang Lam.
Dialah Beng Sin Thong, jago pihak sana. Maka juga jago tua
ini lantas menyapu ke pihak lawannya, mengawasi tajam
kepada setiap wajah. Dia seperti lagi mencari orang. Dia pun
nampak bingung di samping herannya itu.
Pada tiap tahun yang baru lewat, Beng Sin Thong sudah
pernah mengalahkan Tan Thian Oe suami isteri. Benar ketika
itu ilmu silatnya tidak semahir sekarang, toh Yu Peng dengan
peluru esnya tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya.
Sebaliknya Ciauw Beng, dia jauh lebih gagah kalau dipadu
dengannya semasa tiga tahun yang lalu itu, turut pantas,
peluru es tak dapat merobohkannya. Tapi dia runtuh!
Bukankah itu aneh"
Walaupun demikian, Beng Sin Thong tidak bisa bikin suatu
apa. Kecurigaannya tidak ada buktinya. Ia melihat semua
wajah, mereka itu tenang atau pun diliputi roman heran
seperti ia sendiri. Tak dapat ia menentukan orang sudah
membantui Kang Lam secara gelap, hingga tak dapat juga ia
menuduh! Kekalahannya Touw Ciauw Beng membikin pihaknya heran
dan penasaran. Lantas mereka itu ramai bicara di dalam
kalangan sendiri. Ada yang menyangka Kang Lam bukan
orang lurus hanya dia menggunai ilmu sesat. Ada yang kata
sangat kecewa Ciauw Beng roboh di tangan satu bocah tidak
dikenal sedang ialah seorang ternama dan baru saja
merobohkan sembilan imam Butong Pay.
"Tapi itulah bukan ilmu siluman, itu hanya pengpok sintan,"
berkata seorang lain lagi. "Kamu belum tahu itu" Aku ketahui
itu baik sekali."
Dia ini seorang pendeta Lhama Putih. Dia pernah turut
dalam pergulatan merampas guci emas, dia ketahui halnya
Pengcoan Thianlie.
"Apakah kau ketahui hal ikhwal bocah itu?" Yang Cek Hu
tanya. "Ya," sahut si Lhama. "Bukankah di pihak sana ada itu
orang muda dengan pakaian serba putih" Dialah Tan Thian


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oe. Dan bocah ini menjadi kacungnya dia itu!"
Yang Cek Hu ketahui baik kegagahannya Tan Thian Oe
sampai dimana, ia berpaling pada Beng Sin Thong dan kata:
"Suheng, babak ini sangat mengherankan!" Ia kata begitu
karena ia pikir: "Kepandaiannya Tan Thian Oe berbatas sekali,
kenapa kacungnya dapat mengalahkan orang kita kelas satu"
Itulah tidak pantas!"
Orang-orang pihak Beng Sin Thong heran mengetahui Kang
Lam hanya satu kacung. Mereka saling mengawasi sambil
melongo. Karena ini beberapa jago, yang penasaran, yang
berniat menempur Kang Lam, mundur sendirinya. Sebab,
kalah kecewa, menang tak memperoleh nama bahkan
merendahkan derajat sendiri. Pula ketika itu Kang Lam sudah
mengundurkan diri, menurut aturan pertandingan dia berhak
menampik tantangan.
"Kalah atau menang biasa saja, tak usah itu dipikirkan,"
kata Sin Thong kemudian. "Juga bila dibandingkan sampai
saat ini, kita masih belum kalah. Sutee, tak usah kau curiga
tidak keruan, yang perlu selanjutnya ialah waspada."
Leng Siauw Cu mengurut kumisnya.
"Beng Loosianseng benar!" ia bilang. "Touw Hiantee telah
meruntuhkan barisan pedang Butong Pay, dia membikin ketua
Butong Pay tidak berani menyambut tantangan, itu saja cukup
buat mengangkat namanya saudara Touw!"
Leng Siauw Cu tidak akur dengan Butong Pay, ia bicara
demikian-dengan suara keras- untuk membikin Lui Cin Cu
dapat mendengar.
Benar-benar tidak senang ketua Butong Pay itu. Dia
memang lagi malu dan mendongkol karena runtuhnya tin-nya.
Benar Kang Lam telah memperoleh kemenangan tapi itu
bukan kemenangan oleh pihaknya langsung, ia tetap tidak
puas. Maka itu, mendengar suara orang, ia lantas maju ke
depan. "Kita sudah bertempur beberapa kali, dan sang waktu juga
sudah bukan pagi lagi," ia kata, "maka itu sekarang baiklah
kita yang dinamakan pemimpin yang pada maju! Beng Sin
Thong, kabarnya kau sudah meyakinkan sempurna ilmu Siulo
Imsat Kang, aku Lui Cin Cu, yang tidak tahu diri, ingin aku
mohon pengajaran dari kau!"
Sebenarnya ketua Butong Pay ini ingin menantang Leng
Siauw Cu, di dalam tempo yang pendek itu, mendadak ia
mengubah pikiran. Ia ingat pepatah yang membilang:
"Memanah orang baik memanah dulu kudanya--menangkap
penjahat baik membekuk dulu rajanya". Benar Leng Siauw Cu
juga terkenal, dia pasti kalah dengan Beng Sin Thong. Ia pikir
pula, Butong Pay partai paling besar, dengan menempur Beng
Sin Thong, tidaklah ia turun derajat...
Beng Sin Thong tidak lantas menerima tantangan itu, dia
hanya kata dengan tawar: "Lui Ciang-bun, ingatanmu buruk
sekali! Apakah aku bilang tadi" Apakah kau sudah lupa" Yang
Sutee, kau beritahukanlah dia!"
Yang Cek Hu menghampirkan sampai tinggal tiga tombak,
ia memberi hormat.
"Apakah Lui Ciangbun hendak mencoba Siulo Imsat Kang
kami?" dia tanya, tertawa. "Mudah sekali! Aku si orang she
Yang juga pernah mempelajarinya beberapa tahun, tak ada
halangannya untuk aku menunjuki kejelekanku sekalian aku
belajar kenal dengan ilmu pedangmu yaitu Lianhoan Toatbeng
Kiam! Jikalau Lui Ciangbun berhasil dapat mengambil
jiwaku, itu waktu barulah kau boleh menantang kakak
seperguruanku!"
Memangnya siang-siang Beng Sin Thong sudah
menjelaskan kepada Tong Sian Siangjin bahwa setelah orangorangnya
dapat dikalahkan, barulah tiba giliran dia sendiri
turun tangan dengan ketua pelbagai partai, maka itu, Yang
Cek Hu ini cuma mengulangi penjelasan kakak
seperguruannya itu. Apa yang beda melainkan suaranya yang
halus tapi nadanya keras. Lalu dengan kehormatan yang
selayaknya, dia memberi hormat pula seraya mengundang:
"Silahkan!" Habis itu, segera kedua tangannya dikibaskan
kepada lawan. Lui Cin Cu menjadi kaget. Tiba-tiba ia merasai hawa dingin
hingga ia menggigil. Memangnya ia telah menjadi sangat
mendongkol melihat sikap jumawa orang ini. Syukur ia dapat
menguasai hawa marahnya dan menenangkan hatinya, hingga
lantas juga hawa dingin itu lenyap.
Justeru itu Yang Cek Hu sudah menghampirkan pula. Dia
bergerak hanya dengan satu kali berkelebat. Dia tertawa dan
berkata: "Lui Tayciangbun, mengapa kau masih belum
menghunus pedangmu" Mungkinkah kau menganggap tak
tepat aku melayani kau?"
Sampai disitu, tidak dapat Lui Cin Cu tidak menempur
musuh ini yang sikapnya keterlaluan, maka ia cekal gagang
pedangnya dan menghunusnya. Ia maju satu tindak seraya
meneruskan menikam jalan darah soankhie dari lawannya itu.
Hebat serangan itu, sampai Yang Cek Hu terkesiap hatinya.
Tapi karena dia sudah siap sedia, adik seperguruannya Beng
Sin Thong ini juga sudah siap untuk perlawanannya. Dia
mundur sambil mengibaskan kedua belah tangannya, hingga
Lui Cin Cu merasakan tenaga menarik yang keras, sampai
pedangnya seperti mau terlepas dari cekalannya. Dengan
begitu, serangannya menjadi tidak memberikan hasil.
Setelah itu, Yang Cek Hu mulai dengan serangannya
dengan tenaga dinginnya. Dia menolak dangan kedua
tangannya berbareng. Maka bekerjalah Siulo Imsat Kang,
hawa dinginnya.
Selama tiga tahun yang paling belakang, Yang Cek Hu
sudah dididik lebih jauh oleh kakak seperguruannya, Beng Sin
Thong, maka ia telah memperoleh kemajuan baik sekali, ia
sudah tingkat ke tujuh. Dengan begitu, begitu ia menolak, ia
seperti menukar hawa musim semi dengan hawa musim
dingin di saat paling dingin!
Lui Cin Cu telah mendengar Phang Lim tentang liehaynya
Siulo Imsat Kang dari Yang Cek Hu, maka itu, ia tidak mau
berlaku sembrono. Tadi saja, ia sudah merasai hawa dingin.
Lantas ia lompat berkelit, dengan lompat tinggi, maka itu, di
waktu tubuhnya turun, ia membalas dengan tikamannya yang
liehay. Bahkan ia menggunai tenaga sembilan bagian!
Yang Cek Hu belum menyampaikan kepandaian kakaknya,
yang tubuhnya kedot, dari itu tidak berani ia menyambut
pedang lawan. Ia lantas berkelit dengan tindakannya "Ieheng
Hoanpouw", yaitu "memindahkan wujud, menukar tindakan
kaki". Ia lolos dari bahaya. Tetapi Lui Cin Cu sudah menggunai
kesehatannya, gagal tikamannya yang pertama itu, segera
menyusul yang kedua, bahkan yang ketiga selekasnya yang
kedua itu pun tidak memperoleh hasil. Demikian seterusnya,
bagaikan gelombang pedangnya menyerang saling susul.
Yang Cek Hu kewalahan juga. Dia mesti memisahkan diri
jauh-jauh jikalau dia tidak ingin belajar kenal dengan ujung
pedang. Lantaran didesak secara demikian, tak sempat dia
menyerang dengan Siulo Imsat Kang. Selalu dia mesti
memasang mata dan gesit menghalau diri.
Lui Cin Cu telah mesti menggunai tenaga luar biasa banyak
untuk cecerannya itu, begitu juga Yang Cek Hu untuk
kegesitannya luar biasa menyelamatkan diri. Dengan cepat
mereka pada mengucurkan keringat.
Semua orang menonton dengan perhatian luar biasa besar.
Hati mereka tegang seperti tegangnya hati dua orang yang
lagi mengadu kepandaian itu. Kesudahannya itu akan hebat
sekali untuk salah satu pihak. Lui Cin Cu ketua partai, kalau ia
gagal, kehormatan partainya bakal menjadi korban. Yang Cek
Hu adik seperguruan dari Beng Sin Thong, kekalahannya akan
menampar juga mukanya kakak seperguruan itu.
Beng Sin Thong sering-sering mengerutkan alis. la melihat
bahaya yang mengancam pihaknya.
Kim Kong Taysu diam-diam memperhatikan Beng Sin
Thong, ia terperanjat begitu lekas ia melihat bibirnya jago
Siulo Imsat Kang itu bergerak-gerak berkelemik tak hentinya.
Ia tahu bahwa orang lagi bicara dengan ilmunya yang luar
biasa yaitu "Thiantun Toan-im", untuk memberi kisikan atau
petunjuk kepada sutee-nya bagaimana harus membela diri
berbareng merobohkan musuh.
"Celaka!" pendeta ini mengeluh dalam hatinya. Ia
mengeluh sebab ia tidak dapat membantu. Bukankah Beng Sin
Thong tidak turun tangan" Bukankah Beng Sin Thong cuma
berkelemik-kelemik seorang diri" Bukti apa bisa didapatkan
bahwa dia lagi membantui adik seperguruannya itu"
Tepat Kim Kong Taysu lagi berkuatir itu, terlihat Yang Cek
Hu berlompat maju, untuk menghampirkan Lui Cin Cu, tangan
kirinya diluncurkan, jeriji tangannya dibuka semua, guna
menyambar lengan lawannya. Ia menggunai tipu silat "Yuliong
Tamjiauw", atau "Naga mengulur cakarnya". Ketika itu Lui Cin
Cu baru saja menikam dan tikamannya lewat sebab lawannya
berkelit ke samping. Tangan lawan itu seperti juga hendak
merampas pedang.
Lui Cin Cu liehay, ia awas. Ia dapat menebak maksud
lawan. Dengan sebat ia putar lengannya, berkelit dari
sambaran itu, sambil memutar, ia meneruskan menikam pula.
Bagaikan kilat ujung pedangnya menikam ke lengan kiri lawan
itu. Disinilah sudah terjadi peristiwa yang luar biasa, yang
hebat. Yang Cek Hu seperti tidak dapat menyingkirkan tangan
kirinya itu, maka dengan satu suara cukup nyaring terlihat
ujung bajunya terbabat kutung pedangnya Lui Cin Cu. Justeru
itu di lain pihak, tangan kanannya sutee dari Beng Sin Thong
ini, bergerak maju, jeriji tengahnya berhasil menyentil
pedangnya ketua Butong Pay itu, hingga terdengar suara
nyaring mengaung dari bentrokan kuku tangan dengan tubuh
pedang! Berbareng dengan itu, tubuh dua orang yang telah datang
rapat satu dengan lain lantas terpencar pula, karena mereka
masing-masing lompat mundur.
Di muka umum terlihat Lui Cin Cu menang unggul. Benar
pedangnya kena disentil akan tetapi ia berhasil menabas
kutung ujung baju Yang Cek Hu. Begitulah pihak Butong Pay
bersorak dengan kegirangan mereka. Akan tetapi, pada
kenyataannya, Lui Cin Cu mengeluh di dalam hati.
Sentilannya Yang Cek Hu itu hebat. Dia telah memperoleh
petunjuk dari Beng Sin Thong, kakaknya, dia menggunai
siasat dan bekerja. Sambarannya kepada lengan atau pedang
lawan melainkan siasatnya itu. Tangan bajunya terbabat tetapi
tangannya sendiri selamat. Benar tangan bajunya terbabat
tetapi sebelumnya itu, tangan baju itu sudah melibat pedang.
Itulah jurus "Liului hui-siu" atau "Menyalurkan guntur,
menerbangkan ujung baju". Di saat pedang tergulung dan
terbabat kutung itu, dia menyentil dengan kesehatannya yang
luar biasa. Sentilan pada pedang nampaknya tak berarti apaapa,
pedang cuma berbunyi nyaring karenanya. Pedang pun
tak terpental. Tapi...
Yang Cek Hu menyampaikan Siulo Imsat Kang tingkat ke
tujuh. Itulah tingkat tinggi. Dengan begitu ia jadi telah pandai
"Kekbut toan-kang", yaitu ilmu menyalurkan serangannya
dengan perantara sesuatu benda. Tegasnya, dengan
perantaraan pedang, ia menyerang Lui Cin Cu dengan Siulo
Imsat Kang, dengan hawa dinginnya yang luar biasa itu.
Secara demikian ketua Butong Pay kena diserang, hawa dingin
tersalur dari antara pedang, masuk kedalam tubuhnya, tiba di
uluhatinya. Hingga ia merasa dingin hampir menggigil. Tadi
saja ia sudah menghamburkan tenaga dalamnya, melawan
hawa dingin musuh, maka sekarang ia mesti mengempos lebih
keras lagi guna melindungi dirinya.
Pertempuran tak berhenti sampai disitu, pertempuran
diulangi. Yang Cek Hu menggunai ketikanya, untuk menyerang
pula. Mau atau tidak, Lui Cin Cu mesti melayani. Karena ini,
lantas terlihat gerak-gerakannya menjadi rada lambat.
Yang Cek Hu telah mendapat kisikan "Thiantun toan-im"
dari Beng Sin Thong, ia menggunai ketikanya baik sekali,
dengan begitu sekarang ialah yang menang di atas angin, Lagi
dua kali ia dapat menyentil pedangnya Lui Cin Cu, hingga
Hati Budha Tangan Berbisa 10 Legenda Kematian Karya Gu Long Romantika Sebilah Pedang 4
^