Pencarian

Perjodohan Busur Kumala 22

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 22


sendiri kepadanya?" Dia hening sejenak, lalu mendadak dia
tertawa dan menambahkan: "Kau jangan kuatir! Terhadapnya
aku bermaksud baik! Apa yang aku beritahukan dia adalah apa
yang dia ingin ketahui!"
"Sebenarnya urusan apakah itu?" Sie Ie mendesak.
"Aku minta arak kegirangan dari dianya! Arak pemberian
selamat!" kata Seng Lam, tertawa. "Aku membilangi dia
bahwa pada tiga tahun yang lampau di pulau kosong, aku dan
kau sudah menikah, bahwa karena berada di pulau itu aku
tidak mempunyai kesempatan mengundang dia minum arak
pengantin, dari itu aku minta dia tidak menjadi kecil hati.
Karena aku tidak dapat mengundang dia, aku minta dia
janganlah sampai nanti tak mengundang aku meminum arak
pengantin kamu. Aku juga menasihati dia, di hari nikahnya
nanti supaya dia mengundang lebih baayak jago-jago Rimba
Persilatan buat menjadi saksi, supaya pernikahannya menjadi
terlebih kuat!..."
"Kau!... kau!... kau!... teriak Sie Ie, yang tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena mendongkolnya yang
sangat. Seng Lam pun memotongnya: "Kau apa?"
Sebenarnya Sie Ie hendak mengatakan "Kau tidak tahu
malu!" tetapi disela si nona dapat juga ia sedikit menguasai
dirinya. Maka ia kata: "Kau keterlaluan! Taruh kata kau
bergurau denganku, tak dapat kau bergurau begini macam!
Ketika tiga tahun dulu itu aku menikah denganmu, kita
menikah karena paksaan pamanmu! Bukankah terlebih dahulu
daripada itu aku telah bicara jelas denganmu bahwa kita
hanya suami isteri palsu, bahwa sekembalinya kita ke
Tionggoan ini, kita menjadi kakak beradik?"
Seng Lam mengawasi, romannya sungguh-sungguh.
"Kim Sie Ie!" katanya, nyaring, "kau memakai aturan atau
tidak?" Mukanya Sie Ie pun padam. Tapi ia masih menahan sabar.
"Bagus ya!" serunya. "Kau punya aturan apa" Ingin aku
dengar!" "Biarnya di pulau kosong itu kita suami isteri palsu," kata
Seng Lam, "kenyataannya ialah kita benar sudah menjalankan
upacara! Benar, bukan" Aku cuma bicara dari hal yang benar
dengan Cie Hoa, aku tidak membilang dia bahwa kita
memanglah suami isteri tulen. Dialah yang salah! Siapa suruh
dia lantas pergi menyingkir begitu mendengar perkataanku
itu" Apakah dengan begitu dapat kau persalahkan aku?"
Sie Ie mendongkol bukan main, ia gusar tak terkira, sampai
ia berdiam saja. Selang sejenak, baru ia dapat membuka
mulutnya. "Baik!" katanya. "Sekarang aku hendak tanya lagi: Kemarin
ini kita pergi ke warung teh di tengah jalan itu. Aku pergi ke
pasar untuk membeli pakaian. Aku minta kau menantikan aku.
Kenapa kau tidak menunggui aku" Bukankah kau sengaja
menghilang?"
"Benar!" sahut Seng Lam ringkas.
"Kalau begitu, apakah salahku?" tanya Sie le, gusar.
"Kenapa kau... kau... kau..."
Tak dapat ia berkata terus. Sebenarnya ia mau menanya
kenapa Seng Lam omong demikian macam terhadap Cie Hoa,
itu toh sama seperti hendak merenggangkan ia dari Nona Kok,
entah kenapa, ia dapat mencegahnya.
Seng Lam tidak dapat mengambil mumat orang lagi sangat
gusar itu. Dia tertawa dingin.
"Habis bagaimana kau dengan aku?" dia tanya. "Hari itu
kau mempedayakan aku! Kau bilang kau hendak mencari
pakaian untukku, sebenarnya kau pergi menguntit itu dua
bocah cilik dari Binsan Pay, untuk mencari tahu halnya
nonamu she Kok itu! Apakah kau sangka aku tidak tahu itu?"
Seng Lam cerdas luar biasa, dia mudah timbul
kecurigaannya. Ketika mereka bertemu kedua anak muda she
Pek dan she Louw itu, dia lantas melihat air muka Sie le
berubah. Kemudian lagi, dugaannya menjadi terlebih keras
setelah dia mendengar suaranya Tokciu Hongkay. Maka itu
karena kecurigaannya, begitu Sie le pergi, dia pun menyusul
dengan diam-diam, guna menguntit, guna mencari rahasia.
Bahkan dia mendahului Sie Ie pergi ke Siangyang dan sampai
setengah hari terlebih dahulu. Maka ketika Sie Ie tiba di rumah
Hansie, dia sudah bersembunyi di dalam rumah keluarga she
Kok itu. Sie Ie berdiam sebentar, lalu timbul pula kegusarannya. Dia
melotot mengawasi si nona.
"Memang dalam hal itu aku mendustai kau," kata dia,
mengakui, "tetapi itu bukannya alasan untuk kau bertindak
begini macam! Baik, mari aku menanya pula! Bukankah kau
yang membinasakan suami isteri tua pemilik warung teh itu?"
"Tidak salah!" Seng Lam mengakui. "Aku melakukan guna
menutup mulut mereka! Mereka sudah berumur tujuh puluh
lebih kurang, taruh kata aku tidak membunuhnya, mereka tak
akan hidup banyak tahun pula..."
Sie Ie gusar hingga dia berjingkrak, tanpa merasa, sebelah
tangannya melayang.
Akibatnya itu ialah satu suara nyaring di pipinya Seng Lam
yang tidak menyangka Sie Ie bakal berbuat demikian, ia tak
dapat berkelit. Ia lantas lompat dan berseru tajam: "Kim Sie
Ie! Baik, baik, kau kejam ya! Aku sumpah, biarnya aku mesti
mati, tak nanti aku bikin kau dapat hidup selamat dan
berbahagia!"
Lalu dengan menutupi mukanya, ia lari kabur!
Habis menggampar itu, Sie Ie menjadi menyesal. Ia merasa
nyeri sendirinya. Ia berdiri menjublak, tenaganya seperti
habis. Setelah lewat sekian lama, baru ia sadar.
"Aku telah lakukan apa" Aku telah lakukan apa, ya?" ia
ngoceh sendiri. "Kenapa aku memukul dia" Mengapa aku
memukul dia?" Mendadak ia meninju dadanya, terus ia
berkaok-kaok: "Seng Lam! Seng Lam!"
Tapi Nona Le sudah lenyap, suaranya itu merupakan
kumandang belaka.
Tubuh Sie Ie menggigil, matanya seperti berkunangkunang,
di depan matanya lantas terlihat pemandangan ini:
Itulah medan pertempuran di gunung Binsan. Malam. Ia
menolongi Kok Cie Hoa dari kuil Hianbiauw Koan. Di saat ia
hendak mengutarakan rasa hatinya kepada Cie Hoa, tiba-tiba
Seng Lam muncul. Dengan akal muslihatnya, Seng Lam
menghambat, mencegahnya menyusul Cie Hoa. Sekarang,
tanpa menutup matanya, ia seperti melihat muka Seng Lam
berlumuran darah, tubuh Seng Lam bagaikan bergoyang
limbung di hadapannya. Tanpa merasa, ia berseru keras. Lalu,
kata ia seorang diri: "Seng Lam! Dia... dia... Mungkinkah dia
menghabiskan jiwanya sendiri"-Ah, aku bikin dia bersusah
hati, aku bikin dia berduka..."
Begitu memikir demikian, seperti kalap, Sie Ie kabur ke
arah menghilangnya Seng Lam, untuk mencari. Berulangulang
ia memanggil-manggil dengan suara Thiantun Toan-im.
Entah berapa ratus kali ia menyebut nama nona itu. Ia lari
terus menerus, berputaran. Ia tidak memperdulikan sang duri
melukai ia di sana-sini. Akhirnya ia menjadi lelah sendirinya. Ia
menjatuhkan diri mendeprok di tanah. Di sisinya itu ada
solokan yang airnya mengalir, ia mencuci mukanya, ia
membersihkan darah di tubuhnya. Ia berdiam sekian lama
hingga kesegarannya pulih. Pikirannya tetap ruwet. Ia melihat
sinar mata bengis dari Seng Lam tadi. la ingat akan
ancamannya Seng Lam itu, yang tak mau membikin ia
berbahagia seumur hidupnya!
"Tidak, tidak nanti Seng Lam membunuh dirinya,"
kemudian ia pikir. "Terang dia membenci aku dan Cie Hoa,
mesti dia akan berdaya mewujudkan sumpahnya itu."
Baru pemuda ini merasa tenang, atau lain ingatan
menyandingi padanya. Dalam bimbangnya ia tanya dirinya
sendiri: "Sie Ie, kau sebenarnya menyintai Cie Hoa atau Seng
Lam?" Ia ingat ia menyintai Cie Hoa, tapi setelah ia menampar
Seng Lam, hatinya goncang. Ia menyesal dan berduka sudah
turun tangan atas diri Nona Le. Ia menginsyafi cinta sangat
dari Seng Lam terhadapnya. Itulah rupanya, yang membikin
Seng Lam bertabiat aneh itu. Ia pula, tak dapat melupakan
Seng Lam. Di antara mereka berdua ada sesuatu yang
mempengaruh-kannya...
Memikir lebih jauh, Sie Ie merasa pikirannya makin kacau.
Tanpa merasa, Sie Ie berdiam di gunung itu sampai sang
fajar tiba, hingga sang matahari muncul. Seluruh bukit
menjadi terang dan sang angin membawa datang harumnya
bunga. Dengan begitu, dengan sendirinya ia merasa nyaman
dan hatinya menjadi terbuka. Tapi ia tak terhibur. Lekas juga
ia ingat lagi pelbagai macam sepak terjang luar biasa dari
Seng Lam, sampai yang terakhir nona .itu membinasakan
sepasang suami isteri tua pemilik warung teh yang tak
bersalah dosa itu. Tak dapat ia setujui itu perbuatan kejam
yang tak ada perlunya.
"Orang yang aku kehendaki ialah Kok Cie Hoa!" akhirnya ia
kata dalam hatinya. Ia mengertak giginya. Ia memusatkan
pikirannya guna mengusir Seng Lam dari lubuk hatinya, dari
depan kelopak matanya. Lantas ia bertindak turun gunung,
guna menuju ke Siongsan. Ia tahu Cie Hoa tak sudi menemui
ia pula tetapi ia hendak menguntitnya. Ia mau menanti sampai
si nona sudah sadar dan tenang hatinya, untuk mereka berdua
berbicara, untuk mendapatkan saling mengerti.
Sebenarnya juga, pukulan malam itu membikin hati Cie Hoa
terluka. Ia berkeputusan buat memutuskan segala
perhubungan dengan Sie Ie. Kelihatannya ia dapat menguasai
diri, maka pikirannya menjadi terlebih tenang. Ia tidak kabur.
Besoknya bersama Phang Lim, Ek Tiong Bouw, Thia Ho dan
Lim Seng, ia berangkat menuju ke Siauwlim Sie untuk
menemui Co Kim Jie, kakak seperguruan yang berbareng
menjadi ketua itu.
Selama di perjalanan, Ek Tiong Bouw menguatirkan
kesehatan si nona. Phang Lim pun turut berkuatir, maka ia
memberikan si nona dua butir Pekleng Tan, obatnya yang
mujarab itu. Ek Tiong Bouw menggunai beberapa ekor burung dara,
untuk memberi kabar pada pihaknya " " pihak Kaypang di
sebelah depan--supaya di setiap tempat dimana ada orangorang
pihaknya itu, mereka sudah bersiap sedia memapak dan
menyambut serta menyediakan kuda tukaran, dengan begitu,
perjalanan mereka itu tidak menampak kesulitan, bahkan tidak
ada penghalang.
Pada suatu hari tibalah mereka di kota kecamatan Yansu.
Dari situ, mereka terpisah dari gunung Siongsan tinggal tiga
puluh lie. Cie Hoa ingin melanjuti perjalanan, untuk
beristirahat di Siauwlim Sie. Sang waktu tapinya sudah
magrib. Maka Ek Tiong Bouw menyarankan untuk singgah
saja. Perjalanan sukar, ada baiknya si nona beristirahat.
Tempo pertemuan dengan Beng Sin Thong masih dua hari
lagi, mereka tak usah menguatirkan nanti terlambat atau
gagal. Buat membikin Co Kim Jie tidak mengharap-harap atau
berkuatir, pihak Kaypang lantas diminta melepas burung dara
untuk mengirim kabar ke Siauwlim Sie halnya mereka sudah
berada di Yansu. Melihat demikian, Cie Hoa menurut saja.
Malam itu Cie Hoa tidur dalam sebuah kamar bersama
Phang Lim. Pada jam tiga, tengah Nona Kok tidur layap-layap, ia
dikejutkan teriakan Phang Lim yang diiring dengan suara
seperti bentrokan senjata. Semua suara itu membuatnya
tersadar. Justeru itu, ia melihat ada orang menyingkap
kelambunya, ia meletaki pedangnya, pedang Songhoa Kiam, di
pinggir bantal kepala, ia segera menghunusnya sambil ia
mencelat dari pembaringannya dalam gerakan "Ikan leehie
meletik". Menyusul ia menabas tangan orang itu.
Orang itu liehay. Sempat dia menyambar bantal untuk
dipakai menangkis tikaman. Tapi bantal kena tertobloskan,
maka bantal itu dilepaskan, dia sendiri mundur tiga tindak.
Sekarang Cie Hoa melihat tegas Phang Lim tengah
bertempur dengan seorang laki-laki lain, karena mana,
barang-barang perabotan di dalam kamar itu menjadi kacau
bekas tersentuh atau tertendang, sedangkan cangkir dan
piring jatuh hancur belarakan.
"Jikalau kau melawan aku, kau bakal rugi sendiri!" kata
orang itu dengan berani. Dia bicara sambil tertawa. Dia pun
mengulur tangan kirinya, untuk menyengkeram pergelangan
tangan Cie Hoa yang hendak dicekuk.
Cie Hoa sudah lantas membabat dengan gerakan "Heng-in
Toan-hong". Atau "Mega melintang, memutuskan puncak".
Orang itu terkejut. Terang dia tidak menyangka si nona
demikian sebat. Dia berseru sambil menarik pulang tangannya
itu. Tapi dia tetap berani, dia tertawa dan kata: "Syukur tidak
kena!" Untuk Cie Hoa, suara orang itu suara orang yang asing.
Itulah suara yang tak dikenal. Maka ia lantas menyerang pula.
Dari luar kamar juga terdengar suara bentrokan senjata di
antara seruan-seruannya Ek Tiong Bouw. Nyata bahwa di luar
juga telah terjadi pertempuran. Rupanya sudah datang
penyerbu-penyerbu yang berani dan tangguh.
"Mari kita pergi keluar!" kata lawannya Phang Lim. Dia
bernyali besar, dia menantang sambil tertawa. "Di luar leluasa
untuk kita bergerak!"
Phang Lim menjadi sangat mendongkol.
"Apakah kau sangka aku jeri kepadamu?" bentaknya.
Cie Hoa terkejut juga. Lagu suaranya nyonya she Phang itu
menandakan bahwa dia tidak menang unggul. Ia heran atas
lawan-lawan yang tangguh itu.
Segera terdengar suara daun pintu menjeblak terbuka,
sebab ditendang oleh lawannya. Maka mereka menerobos
keluar. Cie Hoa ikut bersama. Ia melihat di pekarangan
terbuka bagian dalam itu, Tiong Bouw dan yang lainnya asyik
bertempur juga.
Orang yang menjadi lawannya Ek Tiong Bouw seorang
yang berusia lanjut, kumis dan janggutnya panjang,
senjatanya ialah sepasang Houwjiauw, senjata yang mirip
kuku harimau, dengan senjatanya itu, dia mencoba mendesak
lawannya. Thia Ho bersama Lim Seng tengah mengepung seorang
opsir usia pertengahan, yang gegaman-nya yaitu sebatang
ruyung kong-pian. Dia dikepung tetapi dia lebih banyak
menyerang daripada membela diri.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya lawannya Phang Lim ialah Ko Hong Kauw,
congkoan dari Taylwee, istana kaisar. Orang yang mau
menawan Kok Cie Hoa yaitu Sukhong Hoa, tongnia dari
Gieliemkun. Orang tua yang melayani Ek Tiong Bouw bukan
lain daripada Lamkiong It, kauwtauw atau guru silat dari
pasukan Gieliemkun. Orang yang dikepung Thia Ho dan Lim
Seng berdua yaitu Houyan Hiok, seorang jago lain dari
Gieliemkun. Penyerbuannya Ko Hong Kauw dan rombongannya terjadi
akibat dari pengalaman mereka yang memalukan dan pahit
getir. Tempo Ko Hong Kauw tengah mengepalai pesta
kemenangan, dalam hal mana ia mewakilkan raja, pestanya
itu telah dikacau Beng Sin Thong habis mana, ia pun diubrakabrik
Kim Sie Ie, sampai Seebun Bok Ya terbinasakan dan para
orang tawanan dapat buron dari penjara. Menyusul itu adalah
kejadian yang lebih hebat lagi, yaitu Tong Siauw Lan ayah dan
anak menyateroni istana di mana mereka menawan putera
raja yang ke lima belas, yang dipaksa mesti menjadi penunjuk
jalan, hingga Ko Hong Kauw lainnya kena diabui. Akibat itulah
yang menyakiti Ko Hong Kauw, sebab raja menjadi gusar
sekali, dia bersama Sukhong Hoa diturunkan derajatnya tiga
tingkat dan dimestikan membuat jasa guna menebus
kesalahannya itu. Yaitu pertama-tama mereka mesti dapat
menangkap kembali semua orang tawanan pemimpin Binsan
Pay itu. Karena ini, dengan terpaksa, Hong Kauw dan Sukhong
Hoa sudi bekerja sama dengan Beng Sin Thong. Mereka
mendapat tahu bahwa Beng Sin Thong telah menantang Tong
Siauw Lan untuk bertempur di gereja Siauwlim Sie, lantas
diam-diam mereka mengepalai rombongannya untuk datang
terlebih dahulu, guna mengatur persiapan melakukan
penyerbuan atau penangkapan. Mereka juga memasang matamata
di pelbagai tempat, guna mengawasi gerak-gerik pihak
Binsan Pay itu. Pengharapan mereka ialah, andaikata mereka
tidak berhasil menawan yang disebut pemimpin, cukup asal
tertangkap beberapa sebawahan atau murid, supaya
sedikitnya mereka memperoleh oleh-oleh untuk melepaskan
tanggung jawab.
Begitulah rombongan Phang Lim itu, siang-siang mereka
sudah diintai atau diawasi, hingga mereka diketahui singgah
dimana. Telah diketahui, di antaranya ada orang-orang
penting Binsan Pay, terutama Kok Cie Hoa, murid yang
menjadi ahli warisnya Lu Su Nio. Rombongan Ko Hong Kauw
itu girang luar biasa. Lu Su Nio menjadi pembunuh Kaisar
Yong Ceng, alangkah besarnya jasa mereka andaikata mereka
dapat membekuk nona she Kok itu, untuk diserahkan kepada
raja. Kok Cie Hoa jauh lebih berharga daripada Co Kim Jie.
Paling dulu warta diperoleh Sukhong Hoa, dia mengabarkan
pada Ko Hong Kauw, lantas mereka mengambil keputusan
buat menyerbu di waktu malam. Mereka mengajak Lamkiong
It dan Houyan Hiok dua jago dari Gieliemkun itu.
Di antara mereka berempat, Ko Hong Kauw yang paling
tangguh, akan tetapi sebab warta didapatkan Sukhong Hoa,
Hong Kauw suka mengalah untuk mendapatkan jasa pertama
ia membiarkan Sukhong Hoa yang menawan Kok Cie Hoa, ia
sendiri menghadapi Phang Lim. Pentingnya Phang Lim tak di
bawahan pentingnya Kok Cie Hoa, sebab dia telah turut Lu Su
Nio menyerbu istana, guna membunuh Yong Ceng.
Dalam hal penyerbuan ini, mereka melakukan kekeliruan
diluar perhitungan mereka. Mereka menyangka Phang Lim
yang paling liehay. Mereka memandang ringan kepada Kok Cie
Hoa sebab si nona masih berusia sangat muda, mereka
menyangka si nona gagah tetapi tidak seberapa. Siapa tahu,
meski ia muda sekali, Cie Hoa ialah ahli waris Lu Su Nio serta
ilmu pedangnya, yaitu Hian Lie Kiamhoat, sudah sempurna
sekali. Begitulah selang tiga puluh jurus, Sukhong Hoa belum
berhasil menawan si nona. Syukur untuknya, kesehatan Cie
Hoa belum pulih, kalau tidak, siang-siang dia tentu telah kena
dirobohkan. Cie Hoa belum sembuh seluruhnya, hal ini mendukakan ia.
Selewatnya tiga puluh jurus itu, ia mulai merasa kehabisan
tenaga. Sukhong Hoa dapat melihat orang menjadi lambat
gerakannya, dia girang sekali. Dia tahu, itu artinya si nona
kalah ulet. Tidak ayal lagi, dia mendesak dengan seranganserangan
ilmu Kimna Ciu, ilmu menangkap, yang terdiri dari
tujuh puluh dua jurus. Demikian berulang kali dia meluncurkan
tangannya dengan cepat, untuk menyambar, menekan dan
menotok. Saking letihnya, si nona menjadi terdesak.
Phang Lim kaget ketika ia tahu Cie Hoa terancam bahaya
itu. Lantas ia memikir buat membantui si nona. Tapi baru ia
menggeser kaki, Ko Hong Kauw sudah menerka niatnya itu.
Sambil mengejek, kata si tongnia: "Kaulah pousat yang
terbuat dari lumpur! Kau hendak menyeberangi sungai, mana
dapat kau menyelamatkan dirimu sendiri" Bagaimana kau
hendak menolongi lain orang" Kau harus tahu diri!"
Phang Lim mendongkol bukan main. Mendadak ia memutar
tubuh, bergerak dengan sangat gesit, untuk mendekati lawan
yang jumawa ini. Itulah serangan yang dinamakan "Tiatsiu
Sinkang", atau "Tangan baju besi". Maka ia berhasil menepuk
perut si congkoan.
Ko Hong Kauw benar-benar gagah. Kalau dialah orang lain,
pasti perutnya sudah pecah atau terluka parah. Atas serangan
itu, ia mengerahkan tenaga dalamnya, ia membikin perutnya
lunak bagaikan kapas. Maka tangannya lawan mengenai
sasaran yang sangat empuk. Selagi tangan orang meluncur, ia
melakukan penyerangan membalas, la menolak dengan kedua
tangannya sambil ia berseru: "Anak yang manis, kau
rebahlah!"
Phang Lim terperanjat. Syukur ialah seorang yang
berpengalaman dan hatinya tabah, la tidak menangkis atau
mundur, hanya dengan menjejak tanah ia mencelat tinggi.
Didalam sekelebatan, lenyaplah ia dari depan matanya si
congkoan. la juga membalas menyerukan: "Anak manis, kau
rebahlah!"
Hong Kauw berbalik menjadi kaget. Tubuh Phang Lim turun
dengan tangannya diluncurkan, lima bocah jerijinya dirangkap
bersikap hendak mematuk ke embun-embunannya. Celakalah
kalau ia kena tersentuh. Maka sambil mendak dengan gerakan
"Hong Tiamtauw", atau "Burung hong menggoyang kepala", ia
mencelat mundur kira-kira setombak.
Maka kedua-duanya bebas, tak usah mereka rebah sebagai
si anak manis...
Mereka berpisah tidak lama segera mereka bertempur pula.
Sekarang mereka sama-sama menggunai senjata tajam.
Dengan tangan kosong, mereka telah tidak memperoleh hasil.
Hong Kauw bersenjatakan sepasang bandring Liu-seng twie,
yang panjang setombak tiga kaki. Dengan itu dia melawan
pedangnya jago betina dari Thiansan.
Dalam ilmu pedang, Phang Lim memang mahir, Hong Kauw
sebaliknya menang tenaga besar. Sudah hampir sepuluh
tahun, Phang Lim tidak pernah menggunai pedang, akan
tetapi ia percaya, dengan menggunai pedang, ia bakal lantas
menang di atas angin. Kenyataannya tidak sebagaimana
sangkanya itu. la kena dirintangi bandring lawan. Bandring
Hong Kauw panjang setombak lebih, kalau dia menggerakgeraki
itu, dia dapat memperpanjang sampai jadi dua tombak.
Karena ruang sempit, Cie Hoa turut menjadi kurang merdeka.
Sukhong Hoa tertawa. Kata ia: "Apakah kau masih tidak
mau meletaki pedangmu" Kau mau tunggu kapan lagi?"
Sembari berkata begitu, mendadak ia maju menyerang:
pedang di tangan kanan menikam, tangan kirinya menyambar
ke pundak! Hebat Cie Hoa terancam. Pedangnya kena dikekang lawan,
tak dapat ia menggunai itu. Jeriji tangan lawan juga sudah
lantas tiba pada ujung bajunya. Hanya sekali orang
menggunai tenaganya, iganya bakal tersambar.
Tepat di saat sangat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar satu
bentakan yang sangat berpengaruh: "Tahan!"
Ketika dia mendengar itu, Sukhong Hoa melengak. Karena
itu, jari tangannya cuma dapat merobek baju si nona.
Selagi Sukhong Hoa melengak, satu bayangan orang
berkelebat ke arahnya, dan sebelum dia tahu apa-apa,
telapakan tangannya sudah kena tersentuh hingga terdengar
suara sentuhannya. Ia lantas menjerit. Sentuhan itu
membuatnya merasa nyeri dan gemetar pada telapakan
tangannya, dia pun mundur terhuyung enam atau tujuh
tindak. "Beng Sianseng! Beng Sianseng!" ia memanggil berulangulang.
"Beng Sianseng! Apakah artinya ini?"
Memang, orang yang datang itu Beng Sin Thong adanya.
"Hai, bocah, mengapa kau menghina seorang anak
perempuan?" tegurnya Sin Thong keras. "Beng Sianseng, kau
belum tahu!" kata Sukhong Hoa. "Anak perempuan ini ialah
muridnya Lu Su Nio dari Binsan Pay! Dia pula orang penting
dari partai itu karena Co Kim Jie telah bersiap sedia
menjunjungnya sebagai ketua! Lagi pula, dia... dialah si
pemburon yang Sri Baginda hendak bekuk!..."
Beng Sin Thong mendongkol sekali. Tak dapat ia
membiarkan anaknya diperhina, apapula ditawan. Maka
bagaikan kilat cepatnya, tangannya meluncur menggaplok
telinga dan pipi orang, hingga suaranya menggelepok nyaring
sekali. Ia pun membentak: "Aku tak perduli dia pemburon
atau bukan! Asal kau berani mengganggu selembar saja
rambutnya, akan aku menghendaki jiwamu!"
Tak cukup hanya dengan gaplokannya itu, Beng Sin Thong
menyambar pula, untuk mengangkat tubuh orang untuk
dilemparkan keluar tembok pekarangan!
Tiba dan sepak terjangnya Beng Sin Thong membikin
semua orang lainnya menjadi melengak, Kok Cie Hoa sendiri
tidak menjadi kecuali. Nona Kok berdiri menjublak.
"Kau semua, lekas kamu pergi!" Beng Sin Thong
membentak, suaranya bengis.
Lamkiong It melihat gelagat buruk, dia yang paling dulu
berlompat pergi.
Ko Hong Kauw heran sekali.
"Apakah Beng Sin Thong sudah jadi gila?" tanyanya di
dalam hati. Tengah ia berpikir itu, Beng Sin Thong sudah
berlompat ke arahnya sambil tangannya digerakkan,
menyampok kepadanya.
Sebenarnya congkoan ini liehay sekali, akan tetapi ia
merasakan sambaran angin yang membuat tubuhnya
menggigil saking dinginnya, maka tidak ayal lagi, ia lompat
untuk mengangkat kaki.
Houyan Hiok bangsa sembrono. Ia heran. Karena herannya,
hendak ia menanya orang she Beng itu.
Akan tetapi Sin Thong tidak mempunyai kesabaran buat
menjawab pertanyaan orang. Buat mene-gurpun ia tak sudi.
Maka itu, selagi orang hendak mengajukan pertanyaan, ia
sudah mendahului mengangkat kaki orang.
Tubuh Houyan Hiok lantas terangkat terlempar melewati
tembok pekarangan. Untung baginya, sebelum ia jatuh
terbanting di luar tembok, Hong Kauw yang baru lompat
keburu menyanggapinya, untuk segera mengajaknya kabur
bersama. Celaka untuknya yaitu ilmu kedotnya, Kimciong
Tiauw, telah rusak karena dupakan dahsyat itu.
Kedatangan Beng Sin Thong tepat sekali. Ia baru saja
memperoleh kabar dari Kie Siauw Hong, murid yang cerdas
dan gesit itu, yang memberitahukan ia bahwa Kok Cie Hoa
bakal pergi ke Siauwlim Sie. Ia sangat menyayangi puterinya,
tanpa bersangsi pula, ia pergi menyusul. Begitulah ia menjadi
penolong puterinya itu.
Sesudah mengusir rombongan Ko Hong Kauw, Beng Sin
Thong mengawasi Phang Lim dan lainnya, la sampaikan
melotot. "Apakah kamu semua tuli?" ia menegur. "Apakah kamu
masih tidak mau lekas mabur?"
Phang Lim menjadi gusar sekali. Tanpa berkata apa-apa, ia
maju untuk menyerang.
Ek Tiong Bouw menebalkan kulitnya, ia maju sambil
memutar tongkatnya.
Matanya Bang Sin Thong bercahaya. Dia tertawa tawar.
Segera dia mengibaskan kedua belah tangannya, yang kiri
dipakai menyampok senjatanya Ek Tiong Bouw, yang kanan
untuk menghajar pedangnya Phang Lim.
Menyaksikan demikian, Kok Cie Hoa menjadi bergelisah. Ia
berseru: "Jikalau kau binasakan mereka ini, aku juga tidak
mau hidup lebih lama pula!"
Mendengar itu Beng Sin Thong terperanjat, lekas-lekas ia
menarik pulang kedua tangannya.
"Baik!" sahutnya. "Suka aku mengampuni jiwa mereka!
Akan tetapi, aku juga tidak dapat membiarkan mereka
melintang di depan mataku!"
Ketika itu tongkatnya Ek Tiong Bouw sudah kena
tersampok. Tak sanggup dia bertahan dari pukulan anginnya
jago she Beng itu. Tidak demikian dengan pedangnya Phang
Lim. Ilmu pedang Phang Lim ada warisan dari Pekhoat Molie,
sama liehaynya dengan ilmu pedang Thiansan Pay dari Tong
Siauw Lan, yang beda cuma caranya yang bertentangan satu
dengan lain, maka itu diberi juga nama "Hoan Thiansan
Kiamhoat", artinya, "kebalikan dari ilmu pedang Thiansan".
Sudah begitu, Beng Sin Thong menangkis tidak dengan
sepenuhnya tenaga. Cocok dengan namanya, pedang tidak
kena disampok, sebaliknya, menikam terus dari lain arah.
"Hm!" Beng Sin Thong mengasih dengar suara menghina.
Ia terperanjat melihat serangan berlangsung terus, meluncur
kepada pundaknya dan mengenai tepat. Akan tetapi ia tidak
takut. Pedang itu tidak dapat melukakannya. Ia masih keburu
mengerahkan tenaga dalamnya. Bahkan sebaliknya tubuh
Phang Lim tertolak mundur tiga tindak, hampir dia terkena
tongkatnya Tiong Bouw.
Cie Hoa terkejut melihat berlangsungnya bentrokan itu,
sambil berseru, ia lompat maju, untuk menubruk, akan tetapi
Beng Sin Thong justeru menyambut padanya untuk dirangkul.
"Aku telah memberi janji kepadamu, tidak nanti aku tarik
pulang janjiku!" katanya tertawa pada puterinya itu. "Kau
jangan kuatir! Kau lihat bagaimana aku mengusir mereka
pergi!" Tidak dapat Cie Hoa meronta. Rangkulan ayah itu keras
sekali. Akan tetapi ia lega hati. Ia percaya janji ayah itu.
"Muka tebal!" Phang Lim mendamprat, gusar. "Kau berani


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkap orang?"
"Gila!" bentak Sin Thong. "Anak ini anakku! Siapakah berani
campur urusan kami" Jikalau tetap kau banyak bacot, nanti
aku pun menggaplokmu!"
Phang Lim jeri juga. Celaka kalau Sin Thong membuktikan
perkataannya itu.
Beng Sin Thong merangkul puterinya dengan sebelah
tangan. Dengan begitu dapat ia mencegah andaikata si puteri
menjadi .nekad dan mencoba membunuh diri. Di lain pihak,
dengan tangannya yang lain, dapat ia melayani siapa juga
andaikata orang menyerangnya.
Phang Lim mendongkol, meski ia tidak mendamprat pula, ia
toh menyerang terus. Maka ia dilayani jago she Beng itu. Ia
mendesak hebat, ia menggunai kepandaiannya dengan
sungguh-sungguh. Kira-kira tujuh kali Sin Thong kena tertikam
atau terbacok, dia tidak terluka. Dia telah mengerahkan
tenaga dalamnya, dia sudah menutup diri dengan ilmunya
yang dinamakan "Hu-tee Sinkang", atau "Pelindung tubuh".
Hanya karena kena tertikam, pakaiannya robek di sana-sini.
Thia Ho dan Lim Seng tidak berani maju membantu.
Mereka tahu ilmu silat mereka jauh tidak berarti dibanding
dengan Beng Sin Thong. Mereka melainkan berdiri menonton.
Beng Sin Thong mendongkol sekali karena berulangkah
tertikam itu. Karena janjinya kepada anaknya, tidak dapat ia
membinasakan Phang Lim. Justeru itu ia melihat Thia Ho dan
Lim Seng menonton, mendadak ia mendapat satu pikiran,
mendadak juga ia lompat kepada mereka itu.
Ek Tiong Bouw yang juga berdiri menonton saja, menjadi
kaget. Thia Ho dan Lim Seng terancam bahaya. Dengan lantas
ia lompat maju, untuk melindungi dua kawan itu. Akan tetapi
dia bergerak terlambat. Hanya sekejab itu, Thia Ho dan Lim
Seng roboh bersama. Ia menjadi kaget dan gusar. Tak tahu ia
bahwa sengaja Sin Thong berbuat demikian, guna
memancingnya. Menyangka kedua adik seperguruan itu telah terkena
tangan jahat, Tiong Bouw menyerang hebat sambil ia berseru:
"Bangsat tua she Beng, akan aku mengadu jiwa denganmu!"
Ia menggunai pukulan "Guntur dan halilintar saling berbunyi",
tongkatnya turun ke batok kepala. Dalam murkanya itu, ia
menggunai semua tenaganya.
Berbareng dengan itu, Phang Lim juga menyerang sama
hebatnya. Seperti Ek Tiong Bouw, pedangnya turun dari atas
ke bawah. Dua-dua penyerangan sama hebatnya, tetapi dua-dua
penyerangnya pun mempunyai kelemahannya sendiri. Saking
gusarnya, mereka cuma menuruti hawa amarah, mereka
melupakan penjagaan diri. Beng Sin Thong yang liehay
melihat itu, dia menggunai ketikanya yang baik.
Tongkat Tiong Bouw tiba lebih dahulu. Sebelum tongkat itu
turun, Sin Thong sudah memapaknya, untuk ditempel terus
disampok, hingga senjata itu mental, tepat menyambut
datangnya pedang Phang Lim. Kesudahannya itu hebat sekali.
Pedang membacok hebat, mengenai tongkat yang berat,
pedang itu kalah kuat. Membarengi nyaringnya bentrokan,
pedang patah menjadi dua potong, ujungnya yang patah itu
menyambar ke arah Tiong Bouw. Di dalam keadaan seperti
itu, Tiong Bouw tidak dapat mempertahankan diri. Selagi
tongkatnya mental tubuhnya terhuyung, bacokan pedang
membikin ia terhuyung terus, tak dapat ia mempertahankan
diri. Begitulah ia terku-sruk ke arah Phang Lim, siapa
sebaliknya, telah terjerunuk ke depan. Tanpa ada yang cegah,
dua kawan itu tentulah akan saling tubruk...
Beng Sin Thong tertawa menyaksikan kesudahannya
tangkis-annya itu. Lantas tubuhnya mencelat maju,
menghampirkan kedua lawan. Dengan kesehatan yang luar
biasa, ia menotok mereka itu bergantian tanpa mereka itu
berdaya. Lantas juga Tiong Bouw roboh tengkurap dan Phang
Lim jatuh terlentang!
"Sungguh berbahaya!" kata Sin Thong seorang diri
walaupun kemenangannya itu. Ia menjanjikan anaknya tak
akan membinasakan Tiong Bouw beramai, sudah begitu, ia
diserang hebat. Kalau ia tidak liehay, tongkat dan pedang itu
dapat merampas jiwanya. Bagusnya kedua penyerang
dipengaruhi angkara murka, lupa mereka akan penjagaan diri.
Maka mereka itu kena tertotok dan roboh
Kok Cie Hoa kaget sekali, ia menjerit satu kali, lantas ia
pingsan. Beng Sin Thong mengerti sema-putnya anak itu, lekas-lekas
ia menguruti punggung si anak. Ia menepuk-nepuk dengan
perlahan, guna membantu dengan tenaga dalamnya
menyalurkan darah si nona. Ia berhasil. Selang sesaat, anak
itu sadarkan diri.
"Ah, anak tolol!" kata Sin Thong tertawa. "Ayahmu telah
memberikan janjinya padamu, mustahil dia akan menelan
janjinya itu" Kau lihatlah, bukankah mereka itu tidak mati?"
Cie Hoa mengawasi. Sekarang dapat ia melihat tegas.
Phang Lim berempat rebah tak berkutik tetapi tubuh mereka
utuh, tak ada darah setetes jua. Cuma napas mereka yang
menghembus keluar masuk keras, hingga debu di depannya
mengepul. Itulah bukti bahwa mereka itu terkena totokan
yang berat. Baru sekarang Beng Sin Thong mengasih turun tubuh
anaknya itu. "Nah sekarang," kata ia tertawa, "sekarang kita ayah dan
anak dapat bicara dengan merdeka! Bukankah kau telah
mendengar tentang halku dan Tong Siauw Lan sudah berjanji
untuk mengadu kepandaian?"
"Ya," sahut si anak tawar.
"Kalau begitu," kata sang ayah, "kau datang kemari,
mungkinkah kau hendak membantui mereka memusuhkan
ayahmu?" "Jikalau kau tidak menyesal dan mengubah sepak
terjangmu, semua orang di kolong langit ialah musuhmusuhmu!"
sahut si anak "Jangan kau menyingkir dari pertanyaanku. Aku lagi
menanya kau! Bagaimana dengan kau?"
Didesak ayahnya itu, air matanya Cie Hoa berlinang-linang.
"Sebenarnya aku... aku... tidak ingin menemui kau..."
sahutnya, terpaksa. "Perjalananku ini ada untuk menjenguk
suci Co Kim Jie yang lagi menderita sakit berat. Sayang...
sayang..."
"Sayang kau telah menemui urusanku ini, bukankah?"
Tiba-tiba mata Cie Hoa memperlihatkan sinar harapan.
"Manusia itu, dia berbahagia atau bercelaka, semua itu
karena pikiran di satu waktu," kata ia, suaranya lembut, "maka
itu, kalau... kalau kau dapat mengeraskan hati dan sudi
mendengar kata-kataku, bukankah itu suatu hal baik sekali?"
Sin Thong menghela napas. Wajahnya yang muram,
nampak sedikit terang.
"Bagus!" katanya selang sesaat. "Biarlah semua orang di
kolong langit memusuhkan aku, asal jangan kau satu orang.
Sekarang ada satu perkataan, yang hendak aku utarakan
kepadamu. Kata-kata itu pernah aku ucapkan selama
pertemuan kita di Binsan. Sekarang aku hendak
mengulanginya menanya satu kali lagi dan ini yang
penghabisan. Kau... kau... sebenarnya mau atau tidak
mengakui aku sebagai ayahmu?"
Cie Hoa mengangkat kepalanya, untuk menatap ayah itu.
"Jawabanku sama seperti jawabanku dahulu hari,"
sahutnya perlahan, tetapi nadanya keras: "Asal kau dapat
menerima baik tiga syaratku, maka suka aku merawati kau,
supaya kau tidak hidup terlantar sebagai sekarang!"
Sin Thong berdiam, wajahnya memain.
Cie Hoa mengawasi, hatinya tidak tenang.
Lewat sesaat, mendadak Sin Thong kata: "Coba kau ulangi
apakah ketiga syaratmu itu?"
Cie Hoa nampak mendapat harapan. Segera dia kata,
terang dan jelas: "Pertama-tama kau menyerahkan kitab silat
rahasia dari Kiauw Pak Beng. Yang kedua, mulai sekarang kau
keluar dari dunia Rimba Persilatan untuk selama-lamanya. Dan
yang ketiga yaitu, kau harus memperbaiki kesalahanmu
terhadap semua orang partai lurus, untuk memohon maaf.
Jikalau kau suka menerima baik tiga syarat ini, akan aku
menjadi orang perantara, untuk bicara dengan mereka itu,
untuk mengadakan perdamaian, habis itu, kita akan mencari
sebuah tempat yang tenang dan indah dimana kita berdua
dapat tinggal hidup buat mengicipi penghidupan kekeluargaan
yang damai."
Beng Sin Thong menghela napas.
"Sekarang sudah kasip," bilangnya. "Aku sudah
menjanjikan Tong Siauw Lan buat nusa mengadu kepandaian.
Jikalau aku menerima baik permintaanmu ini dunia akan
menganggap aku takut padanya!"
"Tidak!" kata Cie Hoa. "Jikalau kau sadar maka mereka itu
akan memuji keluhuran budi pekertimu! Pasti mereka akan
memuji kau cerdas dan gagah perkasa!"
"Hm!" Sin Thong memperdengarkan suaranya. "Tak dapat!
Kau nyata belum mengenal sifatku! Selama aku masih
bernapas, tak sudi aku tunduk terhadap siapa juga! Kau harus
ingat, berapa susahnya aku melatih diri hingga aku memiliki
kepandaianku sekarang ini! Maksudku tak lain tak bukan,
untuk menguji semua orang gagah untuk aku menempati
kedudukan yang pertama! Akupun tidak perlu dengan segala
pujian! Telah aku menantang Tong Siauw Lan, tak dapat
tidak, mesti aku menempur dia!"
Cie Hoa menjadi putus asa hingga ia menangis sesegukan.
"Jikalau begitu, di antara kita berdua tidak ada bicara
lagi..." katanya.
Sin Thong menghela napas, kembali wajahnya muram.
Hanya sekejab, sinar matanya lantas berubah menjadi lembut.
"Akan tetapi," katanya, "dapat aku menjanjikan kau satu
hal. Inilah hanya untukmu seorang..."
Hati si nona berdenyut.
"Apakah itu?" tanyanya cepat.
"Hendak aku menyerahkan kepadamu semua kepandaianku
berikut kitab silatnya," kata Sin Thong. "Tentang dua syaratmu
yang lainnya, semua itu tak dapat aku lakukan. Ah, dapatkah
kau mengerti maksudku?"
Cie Hoa melengak. Tak dapat ia segera menerka hati
ayahnya itu. Sin Thong mengawasi tajam puterinya itu. Lantas ia kata
perlahan: "Tahukah kau bahwa pemerintah hendak menawan
kamu semua orang Binsan Pay, terutama kau sendiri?"
"Aku tahu," sahut si anak, cepat.
"Kau tahu, orang yang tadi menempurmu," kata Sin Thong.
"Dialah Sukhong Hoa, tongnia dari Gieliemkun. Orang yang
melawan Phang Lim ialah Ko Hong Kauw, congkoan dari
istana. Dengan kepandaianmu, dapat kau melayani Sukhong
Hoa, akan tetapi untuk menghadapi Ko Hong Kauw, meski kau
belajar lagi lima tahun, belum tentu kaulah lawannya. Kau
tahu pahlawan-pahlawan di istana bukan cuma mereka
berdua. Karena itu, mana hatiku tenang memikirkan kau?"
Akan tetapi si puteri kata keras: "Semasa hidupnya guruku,
setiap waktu ia telah mengajari aku bahwa untuk melakukan
sesuatu, aku harus menanya diri sendiri perbuatan itu layak
atau tidak, jikalau itu layak, tak usah aku menghiraukan siapa
lemah siapa kuat, siapa sedikit atau siapa banyak jumlahnya,
dan meski menyerbu api, jangan kita mundur! Lihatlah guruku
dahulu hari dengan cuma mengandalkan sebatang pedang
Cenghong Kiam, dia telah menyateroni istana, dia membunuh
si raja lalim! Ketika itu guruku tidak ingat lagi akan dirinya
sendiri!" Jawaban ini menunjuki si nona, hingga dia tak terbujuk
dengan janji atau tawaran ayahnya itu.
Beng Sin Thong mengangguk.
"Tak perduli paham kita berlainan, tetapi kau bersemangat
begini, tidaklah kecewa kau menjadi anakku!" katanya,
kagum. Ia hening sejenak. Ketika ia bicara pula, suaranya
sabar: "Aku telah menjanjikan Tong Siauw Lan mengadu
kepandaian, tentang hasilnya atau kesudahannya, tak aku
berani pastikan dari sekarang. Umpama kata aku berhasil
maka akulah orang Bulim paling liehay, dengan begitu dapat
aku melindungimu. Menurut anggapanku, pertandingan yang
bakal dilakukan ini lebih banyak bahayanya daripada
keselamatannya, maka itu, andaikata aku kalah, itulah saat
dari habisnya jiwaku! Dahulu hari itu, aku menyesal bahwa
aku telah berpisah dari kamu ibu dan anak berdua, tak dapat
aku melindungi kamu, sampai kau mesti mendapat
perlindungan lain orang, hingga kau mesti merebah she dan
nama. Maka itu sekarang, hendak aku menyerahkan semua
kepandaianku kepadamu, maksudku tidak lain yaitu untuk
memperbaiki kelalaianku dahulu hari. Biarlah, setelah semasa
hidupku aku tidak bisa merawat kau, sesudah mati, dapat aku
melindungi padamu. Kau telah mendapatkan ilmu Lu Su Nio,
tak sulit buat kau menjadi jago kelas satu! Nah, cukup sudah!
Tak perduli kau suka memanggil ayah atau tidak padaku,
sekarang kau berilah ketika buat aku dapat melakukan
tugasku ini supaya hatiku menjadi lega..."
Suaranya jago ini menjadi lemah sekali. Itulah suaranya
orang yang lagi memberi pesan terakhir, di saat dia hendak
melepaskan napasnya yang penghabisan.
Baru sekarang Cie Hoa menginsyafi sebab dari penderitaan
sang ayah mencari kitab silatnya Kiauw Pak Beng. Semua itu
terutama untuk kepentingan ia sendiri- ia yang memusuhkan
ayahnya... Tak perduli ia membenci ayah itu atau tidak,
hatinya toh tergerak, ia terharu. Hampir saja ia berseru
memanggil "Ayah!" Pada akhirnya, dapat juga ia menguasai
diri sendiri. Sin Thong puas melihat anaknya bersedia menerima kitab
silatnya saking lega hatinya, tanpa merasa air matanya keluar
bercucuran. Meski ia tahu, tidak dapat anaknya mengikuti ia,
toh ia masih tak tega segera meninggalkannya, ia terus
mengawasi, menatap dengan tajam.
Akhir-akhirnya ayah ini mengulur tangannya.
Cie Hoa berdiam, ia tak berkutik.
Kata ayah itu, berduka: "Kali ini ialah pertemuan kita yang
penghabisan, maka itu marilah kau ijinkan aku mencium kau
satu kali..."
Tepat di itu waktu Beng Sin Thong mendengar satu suara
memasuki telinganya: "Bangsat tua she Beng! Nyata kau cuma


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandai menghina yang kecil dan lemah! Apakah kau berani
menempur aku untuk menentukan siapa jantan siapa betina?"
Hati jago ini bercekat.
Kok Cie Hoa tidak mendapat dengar suara itu, ia tetap
berdiri menjublak.
Sin Thong menoleh, lalu ia mengawasi pula puterinya. Cie
Hoa terus berdiam, wajahnya juga tidak berubah.
Kembali terdengar suara tadi: "Bangsat tua she Beng,
apakah kau tidak berani menempur aku?"
Itulah suara yang dikenal baik sekali.
Dengan air mukanya berubah, Sin Thong lantas kata pada
anaknya: "Kau simpan baik-baik kitab silat ini, jaga supaya
tidak sampai terjatuh di tangan lain orang!"
Kata-kata itu ditutup dengan gerakan tubuh berlompat
keluar jendela.
Cie Hoa menjublak pula. Ia berduka dan bingung, ia putus
asa, tak tahu ia mesti berbuat apa. Ia tidak tahu bahwa suara
dua kali tadi, yang terdengar Beng Sin Thong adalah suaranya
Kim Sie Ie, yang menggunai saluran "Thiantun Toan-im", atau
"Saluran alam". Sebab Tokciu Hongkay terus melindungi Cie
Hoa secara diam-diam. Dia pun mengambil tempat di
pondokan yang menjadi tetangganya pondokan Cie Hoa
beramai. Ia mendengar suara berisik dari pertempuran, lantas
ia keluar, hanya ia terlambat setindak dari Sin Thong, maka
itu, tak tahu ia duduknya kejadian, sampai ia menyangka Sin
Thong mau mengajak pergi pada puterinya, maka sengaja ia
kasih dengar suara menantang yang memanaskan hati itu.
Beng Sin Thong lagi berduka dan bingung, ia menjadi
mendongkol. Tak ada jalan untuknya melampiaskan hati yang
pepat itu. Maka lantas ia pergi dengan mengikuti saling kejar
mengejar sebelum mereka berhadapan satu dengan lain.
Lekas sekali mereka telah meninggalkan kota. Sie Ie
sengaja memancing, ia lari ke arah gunung Siongsan.
'Kim Sie Ie!" bentak Beng Sin Thong. "Kau berani
menantang aku, mengapa sekarang kau cuma tahu lari saja?"
Jago ini mahir ilmu ringan tubuhnya tetapi Sie Ie tak
mudah dicandak. Sembari lari terus, ia kata sambil tertawa:
"Aku tengah memikir mencari satu tempat supaya merdeka
kita bertempur!"
Hati Sin Thong makin panas. Dia tertawa dingin.
"Untuk kita bertempur perlukah untuk memilih tempat
lagi?" katanya. "Aku kira kau sebenarnya lagi mencari suatu
hongsui yang baik untuk menjadi tempat kuburmu! Baiklah!
Tempat ini tempat bagus, kau pilih ini saja!"
Dalam ilmu lari Sie Ie tak ada di bawahan Beng Sin Thong,
hanya mengenai tenaga dalam, dia kalah lama latihannya,
maka itu biar bagaimana, dia menjadi kurang ulet. Selama
mereka berlari-larian, Sin Thong mendatangi semakin dekat.
Begitulah, sesudah lari lagi sekian lama, Sin Thong dapat
menyusul, dengan lantas dia lompat, untuk menyerang.
Itulah pukulan Siulo Imsat Kang tingkat sembilan, bisa
dimengerti hebatnya.
Sie Ie tapinya sudah siap sedia. Dengan gesit ia berkelit,
untuk berbareng balas menyerang. Sambil mengegos tubuh ke
samping, tangannya meluncur, sebuah jerijinya menotok!
Inilah ilmu totok yang Tokciu Hongkay dapat dari gurunya
Tokliong Cuncia. Untuk kaum Shia-pay, atau Kaum Sesat,
itulah ilmu totok terliehay, beda dari ilmu totok Angkauw
Biteong akan tetapi sama pokok atau faedahnya. Hanya
Tokliong Cuncia hidup berselang seratus tahun dari Kiauw Pak
Beng. Beng Sin Thong tahu liehaynya ilmu totok Kim Sie Ie, ia
tidak mau berlaku alpa. Ia membatalkan serangannya, ia
menyingkir ke samping dengan tindakan Thianlo Pou.
Kim Sie Ie berkelahi dengan maksud cuma untuk melibat
orang. Ia lebih banyak berkelit atau berlompat. Hal itu benarbenar
membikin panas hati si jago tua.
"Lihat!" seru Beng Sin Thong. Kembali dia menyerang
dengan satu pukulan Siulo Imsat Kang tingkat sembilannya.
Sie Ie terperanjat, Sin Thong benar-benar liehay luar biasa.
Ia tahu digunainya Siulo Imsat Kang membutuhkan sangat
banyak tenaga dalam, siapa terlalu sering menggunakan itu,
dia pasti akan letih sendirinya. Tidak demikian dengan ini jago
tua, dia tetap ulet dan gagah.
Pula selama satu bulan ini, berhubung dengan niatnya
menempur Tong Siauw Lan, Beng Sin Thong juga telah
berlatih keras sekali, hingga ia berhasil memahamkan
pelajaran terakhir dari kitab silatnya yang sisa itu. Ia telah
memahirkan Siulo Imsat Kang hingga ia dapat menggunainya
merdeka dengan kedua tangannya, dapat ia menyerang atau
membatalkannya sekehendak hatinya.
Ketika dulu hari Kim Sie Ie menempur Beng Sin Thong di
Gie-hoo Kauw, di solokan istana, ia kalah unggul, maka itu,
dapat dimengerti, sekarangpun ia tak akan dapat bertahan,
tetapi ia cerdas, dapat ia mengandal ilmu totoknya serta
kegesitannya itu. Tak dapat ia merebut kemenangan tetapi
bisa ia menggodai.
Dalam penasarannya, Beng Sin Thong menyerang berulang
kali, terus hingga belasan kali. Sie Ie terdesak, sampai ia
merasai darahnya bergolak dan isi perutnya goncang. Di saat
terdesak itu, ia mendapat akal. Mendadak ia berludah ke arah
lawannya itu. Beng Sin Thong terkejut. Dia tahu, Tokciu Hongkay
mempunyai Tokliong Ciam, jarum beracun, yang disimpan di
dalam mulutnya. Memang, tak mungkin dia tercelakakan
jarum itu, akan tetapi, buat dia, kena tertusuk saja sudah
suatu hal yang memalukan, yang akan menodai pamornya.
Maka itu, terpaksa dia meniup, untuk menolak balik jarum itu.
Menggunai saat jarumnya ditolak itu, Kim Sie Ie berlompat
jumpalitan mundur beberapa tombak jauhnya. Itulah
semacam lompatan aneh warisan istimewa dari gurunya, guna
dipakai di saat-saat terancam atau untuk menghindari diri dari
desakan. Dengan begitu di dalam tempo sedetik, ia lolos dari
pengaruh Siulo Imsat Kang.
"Bocah yang baik, kau mau main gila, ya?" tegur Beng Sin
Thong. "Kau jadi mau berlalu sebelum ada keputusan" Hendak
aku lihat, kau mau kabur kemana!" Ia menjejak tanah, untuk
berlompat mengejar. Bagaikan bayangan, ia mengintil di
belakang si Pengemis Edan.
Di saat Kim Sie Ie hampir kena disusul, di depan mereka
tampak mendatangi tiga orang, di antara mereka itu, lantas
terdengar yang satunya seorang wanita muda, berseru: "Toaie,
tua bangka itu ialah Beng Sin Thong!"
Itulah Lie Kim Bwee, yang datang bersama-sama Phang
Eng serta Ciong Tian.
Suratnya Ek Tiong Bouw, yang dibawa burung, sudah
sampai di Siauwlim Sie, maka di dalam wihara itu orang
ketahui halnya rombongan Phang Lim sudah berada di Yansu.
Lie Kim Bwee ingin lekaslekas menemukan Kok Cie Hoa, iapun
kuatir nanti terbit onar, maka ia mendesak Phang Eng, sang
toa-ie atau bibi, lekas berangkat menyusul. Phang Eng juga
ingin lekas bertemu dengan adiknya, Phang Lim, suka ia
meluluskan permintaan sang keponakan. Demikian dengan
mengajak Ciong Tian, mereka berangkat dengan cepat.
Kebetulan sekali, disini mereka bertemu dengan Kim Sie Ie
dan Beng Sin Thong. Mulanya Phang Eng tidak tahu siapa
orang yang dikejar Sin Thong itu, dia cuma menyangka
seorang dari kalangan lurus, maka juga, sekalian mendengar
suaranya Kim Bwee, dia lantas menghunus pedangnya dan
maju menghadang, untuk segera menyerang.
Phang Eng menjadi murid kesayangan dari Liehiap Ie Lan
Cu, tertua Thiansan, ilmu silatnya jauh terlebih tinggi daripada
ilmu silatnya Phang Lim, adiknya, bahkan ia tak berbedaan
dengan Tong Siauw Lan, suaminya.
Beng Sin Thong terkejut. Ia mau menangkis tetapi sudah
terlambat. Ia cuma dapat mendak, untuk me-ngelit kepalanya.
Akan tetapi rambutnya kena juga terpapas kutung!
Phang Eng pun heran. Serangannya itu serangan "Thaysiebie
Kiam" atau pedang "Sumeru Besar", suatu jurus terliehay
dari ilmu silat pedang Thiansan Pay. Ia percaya, sedikitnya ia
akan melukai lawan, ia tidak menyangka, ia melainkan
memapas rambut orang. Pula ini disebabkan, tengah mengejar
Sie Ie, tubuh Sin Thong seperti tak dapat ditahan lajunya.
Tentu sekali Sin Thong menjadi gusar. Sambil berseru ia
balas menyerang dengan menolakkan berbareng kedua belah
tangannya. Phang Eng sudah lantas mengurung diri dengan sinar
pedangnya, ia berhasil merintangi serangan hebat lawan itu.
Ketika itu, Lie Kim Bwee menjerit sambil ia segera menarik
tangannya Ciong Tian. Itulah sebab ia mendadak melihat
seorang, yang romannya menakuti. Ia tidak tahu bahwa itulah
Kim Sie Ie yang dengan sangat sebat sudah mengenakan
topeng kulitnya, hingga orang tak mengenalinya.
Ciong Tian juga terkejut akan tetapi dapat ia menenangkan
diri. "Jangan takut, jangan takut!" ia menghibur. "Dialah orang
kita!" Ciong Tian beranggapan sama dengan Phang Eng. Siapa
dikejar Beng Sin Thong, dia mesti orang dari pihak lurus.
Meski ia menghibur, tanpa merasa, ia merangkul tubuh orang.
Maka merahlah mukanya waktu ia melihat orang itu bertindak
menghampirkan mereka berdua. Lekas-lekas ia melepaskan
tubuh Kim Bwee. Sekarang ia berniat menyapa orang itu.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie berlompat, lewat pesat di
sisinya muda-mudi itu.
Lie Kim Bwee terkejut. Berbareng dengan tiupan angin, ia
merasa ada tangan yang meraba kepalanya, pada rambutnya.
Saking kaget, kembali ia berteriak. Hanya sejenak, Kim Sie Ie
sudah lewat dan hilang!
Sementara itu Kok Cie Hoa, yang berdiri menjublak saja
ditinggal pergi ayahnya, sadar dengan perlahan. Ia lantas
merasai sepinya keadaan di sekitarnya. Semua orang hotel
sudah ditotok Beng Sin Thong, dan Phang Lim bertiga tak
mudah mendusin sendirinya. Mereka ini bertiga mesti menanti
dua belas jam, baru mereka akan sadar.
Setelah sadar itu, Cie Hoa lantas mencoba menolongi
Phang Lim. Sia-sia saja, totokannya tidak memberi hasil.
Tentu saja, ia menjadi bingung. Tepat itu waktu, telinganya
mendengar: "Jangan bersusah hati atau berkuatir! Aku
mengerti bagaimana harus menyadarkan orang yang menjadi
korban-korban totokan Beng Sin Thong!"
Heran si nona, atau mendadak satu bayangan berkelebat di
depan matanya. Lantas ia melihat Kim Sie Ie tahu-tahu
muncul di depannya! Mau ia menyingkir, akan tetapi kakinya
tidak mau menuruti hatinya.
Kim Sie Ie menghela napas.
"Dapatkah kau mendengari dua patah kataku?" katanya dia
perlahan. "Ah, kalau kau sudah ketahui apa yang bakal terjadi
hari ini, kenapakah kita mulai dahulu harinya?"
Nona itu terkejut.
"Hari ini bagaimana" Dahulu hari itu bagaimana?"
tanyanya, heran.
"Ketika dahulu hari buat pertama kali kau melihat aku,"
kata Sie Ie, "selagi semua orang lain mengatakan aku hantu
kepala, kaulah yang justeru menaruh kepercayaan kepadaku!
Setelah itu kita bergantian mengalami kejadian-kejadian yang
sulit yang mendukakan, tetapi kita selalu dapat saling
menghibur. Sekarang di luar dugaanku, kau sebaliknya
percaya perkataan orang luar!"
Cie Hoa heran, ia melengak.
"Siapakah orang luar itu?" ia tanya. Atau segera ia sadar.
Kim Sie Ie maksudkan Le Seng Lam. Tiba-tiba ia merasakan
sesuatu yang manis. Tapi ia masih nampak heran, fa menanya
pula: "Siapakah orang luar itu" Apakah kau pandang isterimu
juga sebagai orang luar" Sungguh aku tidak pernah
menyangka kaulah seorang tidak berbudi!"
Tak tahan hati si nona, matanya menjadi merah. Dengan
tegurannya ini, ia seperti membantu Seng Lam, akan tetapi ia
tidak menginsyafinya.
Sie Ie bingung.
"Siapa bilang dialah isteriku?" jawabnya cepat.
"Dia yang mengatakan sendiri!" sahut si nona. "Apakah dia
mendusta" Aku tidak percaya di kolong langit ini ada seorang
wanita demikian tidak tahu malu mengakui seorang pria
menjadi suaminya' Dia kata menikah denganmu di atas pulau
kosong. Orang yang menjadi saksi ialah pamannya. Benar
bukan?" Sie le jengah tetapi dia mengangguk.
"Benar, ada terjadi hal demikian," sahutnya, jujur.
Parasnya Cie Hoa menjadi pucat Ia lantas mengulapkan
tangannya, untuk berlalu. Toh ia tidak bergerak. Tubuhnya
berdiam bagaikan menjadi kaku. Kemudian ia merasa
kepalanya pusing, tubuhnya bagaikan berputar.
Sie Ie sudah lantas memegang tubuh orang.
"Kau belum tahu bahwa di dalam situ ada urusan lainnya,"
kata ia, perlahan, la menarik napas panjang. "Itulah kejadian
di suatu waktu, untuk mengikuti suasana... Itu... itulah palsu,
palsu! Kami menjadi suami isteri palsu! Kau mengerti atau
tidak" Oh, kau masih belum mengerti" Baiklah, baik aku
omong terus terang padamu! Kau tahu, siapakah Le Seng
Lam" Dialah turunan Le Kong Thian yang dahulu hari menjadi
murid kepala dari Kiauw Pak Beng!"
Cie Hoa terkejut. Dia melengak.
"Ada sangkut pautnya itu dengan soal kamu berdua
menjadi suami isteri?" ia tanya. Ia menjadi sedikit sabar
melihat bingungnya Sie Ie itu, hingga ia menjadi tidak tega.
Sebenarnya ia sangat berduka.
Sie Ie membuka rahasia tanpa tanggung-tanggung. Ia
menuturkan lakonnya mulai ia kenal Seng Lam sampai mereka
bersama pergi ke pulau kosong. Setengah jam ia bercerita,
jelaslah semua. Paling belakang ia menambahkan: "Aku
berjanji mau membantu dia membalas sakit hati karena kesatu
aku merasa kasihan untuk peruntungannya dan kedua karena
ia telah pernah melepas budi terhadapku, karena itu,
dengannya aku cuma hidup sebagai kakak beradik. Apakah
kau sekarang sudah mengerti hatiku?"
Sie Ie menutup kata-katanya dengan terus mengawasi
nona itu, lantas ia tunduk. Ia berduka sekali. Ia jengah, iapun
bingung. Benar-benar sulit. Musuhnya Le Seng Lam ialah Beng
Sin Thong, sedangkan Beng Sin Thong itu ayahnya Kok Cie


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa. Jadi ia hendak membinasakan ayahnya si nona.
Meskipun ayah Cie Hoa jahat dan Cie Hoa membenci ayahnya
itu, masih sulit untuknya membunuh ayah orang...
Cie Hoa berdiri diam bagaikan patung. Sampai lama, ia
masih tidak dapat membuka suara. Selama berdiam itu,
hatinya bergolak. Ia pun menjadi bingung sekali. Sekarang
tahulah ia dari lakonnya Le Seng Lam bahwa ayahnya benar
seorang busuk dan licik. Untuk memiliki kitab silat Kiauw Pak
Beng, tega ayahnya membinasakan Keluarga Le. Maka
sekarang dapat ia mengerti Kim Sie Ie. Melainkan satu hal,
yang ia belum menginsyafinya. Inilah dia sifatnya wamita.
Wanita yang hatinya mudah tersentuh. Sie le menikah dengan
Seng Lam karena terpaksa, untuk bersandiwara. Sie le berbuat
begitu karena ia berkasihan terhadap Seng Lam, sebab Seng
Lam pernah melepas budi terhadapnya. Jadi Sie Ie tidak
menyintai nona itu. Toh mereka itu menikah satu dengan lain,
mereka bergaul erat seperti hidup bersama. Bukankah itu
disebabkan Sie Ie menyinta Seng Lam tanpa merasa"
Dapatkah ia menerima keadaan yang sedemikian ganjil itu"
Setelah mengetahui riwayatnya Seng Lam itu, Cie Hoa jadi
memikirkan riwayatnya sendiri. Ia benar-benar sulit. Tak sudi
ia mengakui Sin Thong sebagai ayahnya, toh kenyataannya,
ayah itu tetap ayahnya sendiri. Nyatanya ayahnya demikian
jahat, sebab ayah itu sudah membinasakan Keluarga Le. Kalau
begitu, ia jadi berdosa terhadap Seng Lam. Ia berhutang!
Kalau sekarang ia rampas Sie Ie dari tangan Seng Lam,
hutangnya jadi berlipat ganda!
Banyak yang Cie Hoa pikirkan, akhirnya ia menghela napas.
"Sie Ie, sekarang aku mengerti kau," katanya, perlahan.
Bagaikan orang yang memperoleh pengampunan, Tokciu
Hongkay cepat berkata. "Jadinya sekarang kau dapat
memaafkan aku?"
"Dalam hal ini tidak ada soal memaafkan," kata si nona,
perlahan sekali. "Kau ingin bersahabat dengan seorang
sahabat, mana dapat aku mencegah" Terhadapku kau telah
membantu banyak, dengan anjuran dan tenagamu, karena itu,
terhadapmu, aku bersyukur sekali. Hanya..."
"Hanya apa. Cie Hoa?" tanya Sie le.
Paras si nona menjadi merah.
"Inilah soal kami kaum wanita," akhirnya, "tak dapat aku
menjelaskan itu."
"Ah, Cie Hoa! Apakah tetap kau masih tidak percaya aku?"
"Bukan, bukannya soal itu! Aku percaya kau! Aku tidak
percaya bahwa kau nanti tersesat! Besar pengharapan guruku
terhadapmu. Aku juga mengharap dalam ilmu silat kau nanti
memperoleh, kemajuan pesat, supaya di dalam dunia Bulim
kau meninggalkan nama harum!"
"Bukan, aku bukan maksudkan hal itu!" kata Sie Ie.
Cie Hoa tidak menjawab, hanya ia melanjuti kata-katanya.
"Kau bermaksud baik terhadap aku, inilah aku tahu. Tapi
tentang itu aku sudah mengambil keputusan dan putusan itu
buat selama-lamanya tidak dapat dirobah lagi. Aku tidak
mempunyai apa-apa guna dipakai membalas budimu, maka
kau ambillah ini, kitab silat rahasia! Ambillah!"
Sie Ie heran, dia berdiri menjublak.
Cie Hoa menyesapkan kitab silat Kiauw Pak Beng di tangan
orang, ia seperti juga memerintah supaya orang jangan
menampik pemberiannya itu.
Sie Ie hendak mengucapkan sesuatu, tetapi ia tidak dapat
mengeluarkannya.
Tiba-tiba dari luar penginapan terdengar suara nyaring dari
Lie Kim Bwee: "Enci Kok! Enci Kok! Dimana" Aku kangen
kepadamu!"
Itulah bukti bahwa pertempuran di antara Phang Eng dan
Beng Sin Thong sudah berakhir.
Karena melihat Se Ie lolos, Beng Sin Thong tidak punya
kegembiraan akan melayani terlebih lama pula pada Nyonya
Tong Siauw Lan, ia menolak pedang orang, lantas ia lompat
keluar kalangan, untuk mengangkat kaki. Phang Eng juga
tidak mengejar, ia terus mengajak Kim Bwee dan Ciong Tian
melanjuti perjalanan menuju ke rumah penginapan. Kim Bwee
begitu sangat keinginannya menemui Cie Hoa, tanpa
memperdulikan lain-lain tetamu bisa terganggu atau tidak, ia
lantas mengasih dengar panggilannya itu. Ia menggunai
saluran suara "Toan-im Jinbit". Tentu sekali ia tidak tahu Cie
Hoa dan Sie Ie lagi berbicara hingga ia mengganggu
pertemuan orang.
Sie Ie menjadi berduka, ia bingung. Kim Bwee datang
bersama Ciong Tian, tak ingin ia menemui mereka itu, apapula
si nona. Lebih-lebih tak suka ia membikin nona itu ketahui
bahwa ia masih hidup. Ia mengawasi kitab pedang di
tangannya. Ia telah memikir buat membayarnya pulang, atau
di lain saat, ia berpikir lain. Segera ia masuki kitab ke dalam
sakunya. Kepada si nona, ia kata: "Cie Hoa, jangan
beritahukan Kim Bwee tentang aku. Bukankah lain kali aku
masih dapat menemukan kau?"
Si nona tidak menjawab, ia melainkan menggeleng kepala.
Tapi ia melihat Sie Ie tidak lantas mengangkat kaki, orang
masih berdiri diam saja, akhirnya ia mengangguk.
Justeru itu Phang Eng bertiga tiba, mereka sudah lantas
bertindak masuk.
Tanpa ayal lagi, Sie Ie lompat naik ke tembok. Dari situ,
dengan menggunai batu-batu kecil, yang ia telah sediakan
terlebih dahulu, ia menimpuk ke arah Phang Lim, Ek Tiong
Bouw, Thia Ho dan Lim Seng berempat, untuk membebaskan
mereka dari totokan.
Lie Kim Bwee sempat melihat tubuh orang, dia berseru:
"Hai, lagi-lagi si orang aneh! -Bagaimana... bagaimana ini"
Eh...'ma, mama, kau kenapakah?" kemudian ia menanya
ibunya. Phang Eng berdiri menjublak. Begitu dia masuk, begitu dia
melihat Phang Lim semua tengah rebah tak berkutik, hingga
dia jadi kaget dan heran. Dia juga melihat Sie Ie, hendak dia
mengejar, buat menahan orang, tetapi dia lantas merebah
niatnya itu. Phang Lim yang paling tangguh. Dengan cepat dia
mendusin. Ketika dia membuka matanya, heran dia melihat
Phang Eng, sang kakak, bertiga.
"Eh, mana dia si bangsat tua she Beng?" tanyanya. Paling
dahulu ia ingat Beng Sin Thong.
"Bangsat tua she Beng itu telah diusir oleh toa-ie?" sahut
Kim Bwee. "Eh, mama, bagaimana sebenarnya kejadian ini?"
"Karena aku alpa, aku kena dipermainkan bangsat tua she
Beng itu," sahutnya, jengah. "Syukurlah enci bersama kau
keburu datang..."
Nyonya ini menyangka Phang Eng beramai datang
menolongi mereka untuk mengusir Beng Sin
Thong. Lantas ia mau mengucap terima kasih kepada
kakaknya itu. Phang Eng tertawa. Ia kata: "Omongnya Kim Bwee tidak
jelas, hingga dia menimpahkan jasa atas diriku. Ketika tadi
aku bertempur dengan Beng Sin Thong, tempatnya disana,
terpisah sepuluh lie lebih dari sini! Orang yang membebaskan
kau dari totokan ialah orang lain..."
Ek Tiong Bouw bertigapun mendusin saling susul. Mereka
mendengar perkataan si nyonya.
"Siapakah penolong itu?" tanya mereka.
"Dialah seorang yang mukanya mengenakan topeng," sahut
Phang Eng. "Ketika kami bertemu dengan Beng Sin Thong,
itulah di saat orang itu dikejar jago she Beng itu. Aku tidak
sangka bahwa dia dapat lari sangat cepat, dia telah
mendahului kami datang kemari..."
Ek Tiong Bouw heran hingga dia berseru.
"Mana si orang aneh itu?" tanyanya.
"Dia pergi lari begitu lekas dia melihat aku beramai tiba,"
Phang Eng menerangkan. "Dapatkah kamu menduga siapa dia
itu?" Phang Lim sudah lantas menerka kepada Kim Sie Ie. Untuk
menjawab, lebih dahulu ia batuk-batuk.
"Dia... dia..." katanya, "dialah murid yang nomor tiga dari
Kim Kong Taysu dari Ngobie Pay. Dia mempunyai sifat serupa
dengan aku, suka bergurau! Enci, kau juga pernah bertemu
dengannya, cuma sekarang ini dia pakai kedok, kau tidak
lantas mengenalinya..."
Phang Eng melengak. Ia tahu, Kim Kong Taysu mempunyai
cuma dua orang murid dan murid-muridnya itu alim
semuanya. Lantas ia menduga adik ini tentu lagi
menyembunyikan sesuatu, yang tak hendak dibeber di antara
mereka. Karena itu, ia tidak mau menanya melit-melit lagi.
"Eh, enci Kok," Kim Bwee tanya Cie Hoa, "Kenapa kau
kelihatannya tidak gembira" Apakah enci tidak ingin menemui
aku?" Diam-diam Phang Lim menarik ujung bajunya Cie Hoa.
Nona Kok bersenyum.
"Kenapa aku tidak ingin menemui kau?" kata ia. "Aku hanya
berduka karena aku memikirkan sakitnya ketua kami."
Kim Bwee percaya itu, hatinya menjadi lega. Ia
mengangguk dan kata: "Suci-mu itu bermula berbuat tidak
selayaknya terhadap kau, sekarang lain, sekarang dia justeru
memikirkan kau, sampai dalam satu hari, beberapa kali dia
menanya aku tentang kau, kau sudah tiba atau belum. Karena
itu, sebentar selekasnya terang tanah, kita berangkat!"
Phang Eng lantas memeriksa pondokan. Ia menolongi
semua orang yang ditotok Beng Sin Thong. Ia menolongi
tanpa diketahui mereka itu, hingga menyangka bahwa mereka
baru sadar dari mimpi mereka...
Phang Lim meninggalkan uang sewa kamar. Sebelum
terang tanah, mereka lantas meninggalkan pondokan itu.
Tempo mereka sampai di Siauwlim Sie, hari belum lewat
tengah hari. Hari pertandingan Tong Siauw Lan dengan Beng Sin Thong
besok tengah hari, maka itu di dalam kuil Siauwlim Sie, orang
berkumpul dengan hati merasa tegang sendirinya. Ketika itu
telah berkumpul hampir semua jago pelbagai partai.
Cie Hoa telah memikir, setelah menjenguk Kim Jie, hendak
ia pulang ke Binsan, guna menjagai kuburan gurunya, siapa
tahu ketuanya itu, berat sakitnya. Waktu dia baru bertemu si
nona, dia tampak segar, setelah itu, kembali dia menjadi lesu,
bahkan habis bicara, dia pingsan. Hal itu merepotkan, maka
Cie Hoa batal pergi, terpaksa ia mesti merawati dulu.
Satu hal membikin hati Cie Hoa tidak tenang, sekali pun
Kim Jie sudah mengatur rencana. Selama sakitnya, Kim Jie
mengangkat Ek Tiong Bouw sebagai wakil untuk mengepalai
partai. Dia berpesan, kalau dia mati, Cie Hoa mesti lantas
menggantikannya. Rencana ini membikin Cie Hoa tak usah
menemui ayahnya sebagai musuh di hari 'mengadu
kepandaian. Toh ia bingung, ia bersangsi, berulangkah ia
tanya dirinya perlu atau tidak ia menemui ayahnya itu...
Besoknya pagi, selagi hati orang terus tegang, sebab hari
itu mereka harus menantikan tibanya Beng Sin Thong, tibatiba
mereka dikejutkan suara berisik yang datangnya dari luar.
Hari itu tugas menjaga di ruang Gwasam Tong ialah tugas
Tay Tie dan Tay Pie kedua siansu, dua anggauta dari
"Cappwee Lohan". Mereka yang pertama mendengar suara
berisik di pintu pekarangan. Kata Tay Pie heran: "Mungkinkah
iBeng Sin Thong datang begini pagi?"
Selagi Tay Tie memikir buat "mengasih isyarat, lantas
tampak masuknya tiga orang ke dalam ruang Gwasam Tong
itu. Beberapa murid yang menjaga di luar ruang tidak sanggup
mencegah mereka. Ja mengenali salah satu orang yaitu 'Kie
Siauw Hong. Dua yang lainnya dua orang pendeta dari
Seehek, wilayah Barat, yang tak dikenal. Selama di Binsan
mereka itu tak tampak. Mereka berhidung mancung dan
bermata celong. "Tahan!" Tay Tie dan Tay Pie berseru.
Kie Siauw Hong tertawa haha-hihi, lagaknya jenaka.
"Aku tidak sabaran menantikan sampai kamu memberi
kabar!" katanya. Dan ia melejit, nyeplos di sisi kedua pendeta
itu! Kedua pendeta itu menjadi gusar. Justeru kedua pendeta
dari Seehek pun mau lewat dengan paksa, mereka
membentak: "Apakah kamu kira kamu dapat main gila di
dalam Siauwlim Sie?" Lantas mereka menyerang, hingga
empat tangan mereka bagaikan turunnya empat bocah golok.
"Hm! Darimana sih datangnya segala aturan busuk ini?"
kata kedua pendeta See Hek itu sambil mereka menangkis
dengan pundak mereka!
Dua suara keras adalah kesudahannya serangan itu. Lalu
terjadi hal yang mengejutkan Tay Tie dan Tay Pie. Tanpa
merasa, tubuh mereka tertolak mundur sendirinya. Syukur
mereka memiliki tenaga dalam yang sempurna, dapat mereka
terus lompat berjumpalitan, hingga mereka dapat menaruh
kaki dengan tegak.
Disitu ada banyak murid Siauwlim Sie lainnya dan sejumlah
tetamu, mereka semua menjadi heran. Di antara murid-murid
itu sudah lantas ada yang memberikan isyarat ke dalam kuil.
Tanpa menanti orang maju pula, untuk mencegah, tiga
orang itu sudah lantas memasuki ruang Gwasam Tong, untuk
melewatinya.' Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk, lalu disitu muncul
dua orang pendeta yang telah berusia lanjut, yang romannya
alim sekali. Sebab merekalah dua anggauta dari ruang Tatmo
Ih dan dengan Tong Sian Siangjin terhitung satu tingkat
kedudukannya. Mereka termasuk tiangloo atau tertua.
Merekalah Wie Cit dan Wie Cin kedua taysu.
Tatmo Ih termasuk sebuah ruang dari Lweesam Tong, baru
Kie Siauw Hong bertindak memasukinya, atau kedua taysu
sambil merangkap tangan mereka masing-masing menyapa
dia: "Mohon tanya, siecu, ada urusan apa siecu datang
kemari?" Kie Siauw Hong terperanjat. Mendadak ia merasakan
tolakan angin yang keras, yang membuat tubuhnya bagaikan
tergoncang. Syukur ia cerdik dan gesit, segera ia lompat
minggir tiga tombak lebih, hingga ia bebas seketika.
Kedua pendeta Seehek maju terus. Mereka merangkap
kedua tangan mereka, memberi hormat seraya terus
menanya: "Di antara kedua taysu, siapakah Tong Sian Siangjin
ketua dari Siauwlim Sie?"
Sementara itu, tenaga dalam mereka sudah bentrok satu
dengan lain. Terlihat tegas jubahnya kedua taysu dari
Siauwlim Sie melendung, sedang jubahnya kedua tetamu tidak


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diundang itu bergerak sedikit.
"Kiranya tuan bertiga mencari ketua kami," kata Wie Cin.
"Silahkan tunggu, nanti kami menitahkan murid kami pergi
memberi warta."
"Aku membuat berabe saja," kata Kie Siauw Hong.
"Sekalian tolong minta Toaciangbun dari Thiansan keluar
bersama untuk menemui kami!"
Sekarang orang she Kie ini tidak berani membawa terus
sikap berandalannya.
Wie Cit lantas memimpin ketiga tetamunya masuk ke ruang
Kiatyan Cengshia. Itulah ruang tetamu. Wie Cin sendiri masuk
ke dalam. Tak lama maka tampaklah munculnya Tong Sian
Siangjin bersama Tong Siauw Lan.
Tong Sian menjadi tuan rumah, melihat di antara
tetamunya ada pendeta sekaum dengannya, lantas ia
merangkap kedua tangannya sambil memuji Sang Budha.
Terus ia berkata: "Maaf, loolap berayal menyambut! Tak tahu
loolap, apakah maksudnya kunjungan tuan-tuan bertiga?"
"Atas perintah guruku, aku yang muda hendak menanyakan
kesehatan Toahongthio dan Tong Ciangbun," sahut Kie Siauw
Hong, sambil memberi hormat.
Kedua pendeta Seehek itu telah mendapat kenyataan
bahwa tenaga dalam mereka tidak berjauhan dengan tenaga
dalamnya Wie Cit berdua, mereka penasaran, sekarang
mereka hendak mencoba ketua dari Siauwlim Sie. Sembari
memberi hormat sambil terus mengibas tangan, keduanya
bertata: "Telah lama kami mendengar nama besar kuil
toahongthio ini, maka itu sekalian kami mendapat undangan
Beng Sianseng, kami datang untuk berjalan-jalan, guna
"menyaksikannya." Mereka juga menyebut nama mereka yaitu
Tek Hoat Lan dan Tek Hoat Siu.
"Oh begitu!" kata Tong Sian bersenyum. "Itulah pujian
yang tak sanggup kami terima!"
Tubuh ketua Siauwlim Sie ini terserang tenaga dalam kedua
pendeta dari Barat itu, akan tetapi ia tidak bergeming. Inilah
sebab ia pandai ilmu melindungi diri Hutee Sinkang, hingga ia
bagaikan tidak merasakan sesuatu. Ia berlaku begini sebab ia
memegang derajat sebagai tuan rumah, tak ingin ia
mengganggu tetamunya. Tong Siauw Lan tidak demikian
sungkan sebagai si pendeta. Dia menyambut dengan
mengerahkan lima bagian dari tenaga Hutee Sinkang maka
itu, kedua pendeta dari Seehek itu menjadi terkejut. Mereka
bagaikan melempar batu ke dalam laut, serangan tenaga
dalam mereka tidak menemukan sasarannya. Tentu sekali,
mereka menjadi 'sangat kaget. Lebih-lebih setelah itu, lantas
mereka merasakan tolakan yang keras, yang membuat
'mereka terhuyung mundur beberapa tindak hampir mereka
roboh terguling.
Siauw Lan tertawa dan kata: "Oh, jiewie, jangan sungkan!
Berdirilah biar tetap dan duduklah! Silahkan!"
Di dalam hati, Tek Hoat Lan dan Tek Hoat Siu menjadi
sangat heran. Karena ini lenyap sudah kejumawaannya.
Mereka memberi hormat pula sambil berkata: "Maaf, Tong
Ciangbun!"
Siauw Lan membalas hormat wajar, ia tak menolak pula.
Maka duduklah mereka bersama.
Diam-diam Siauw Lan tidak enak hati. Kepandaiannya dua
orang pendeta ini cuma di bawahan Tong Sian Siangjin. Inilah
berbahaya. Ia sendiri tidak takut, akan tetapi ia menguatirkan
keselamatannya sebawahannya andaikata mesti terjadi
pertempuran kacau. Terang sudah bahwa Beng Sin Thong
telah minta bantuannya banyak orang liehay.
Kie Siauw Hong lantas menyerahkan surat gurunya.
Tong Sian Sianjin menyambuti dan membaca, habis itu, ia
menyerahkan terlebih jauh kepada Tong Siauw Lan sambil ia
kata: "Beng Sianseng tidak bakal datang ke sini. Jam
pertandingan tetap tetapi tempat pertandingan dirobah
menjadi di Cianciang Peng. Tong Ciangbun, bagaimana
pendapatmu?"
Siauw Lan membaca. Beng Sin Thong mengasih alasan,
karena kuatir merusak Siauwlim Sie, dia menyebut
penggantinya tempat pertandingan itu. Ia lantas kata pada Kie
Siauw Hong: "Pikiran gurumu cocok dengan pikiranku. Tolong
beritahukan bahwa pada waktunya, akan aku datang ke
Cianciang Peng."
Habis itu, kedua pendeta dari Seehek menanya Tong Sian
Siangjin apa dapat mereka mohon melihat-lihat Siauwlim Sie,
kuil kenamaan yang namanya sudah lama mereka dengar.
Tong Sian Siangjin memuji Sang Budha, ia lantas
memberikan persetujuannya. Ia pun mengucap terima kasih.
Lantas ia minta Pun Khong adik seperguruannya, menjadi
penunjuk jalan untuk membantui Wie Cit dan Wie Cin.
Pun Khong menjadi kamsie, yaitu penilik kuil. Dalam
kepandaian, dia hanya di bawahan ketuanya. Dia ditugaskan
sebab Tong Sian ingin supaya Kie Siauw Hong diawasi. Si raja
pencopet sangat liehay, dia harus dicurigai.
Kedua pendeta Seehek itu mengucap terima kasih,
bersama Kie Siauw Hong, mereka mengundurkan diri, terus
mereka mengikuti Wie Cit dan Wie Cin serta Pun Khong.
Semundurnya sang tetamu, Tong Sian Siangjin
mengerutkan alis. Kata ia pada Siauw Lan: "Tong Ciangbun,
bagaimana kau lihat lagaknya Beng Sin Thong" Benarkah dia
begitu baik hati menguatirkan kuil kami menjadi rusak?"
"Menurut aku, mungkin sekali dia menguatirkan kita
memperoleh kedudukan lebih menguntungkan karena kita
berada di tempat kita sendiri," Siauw Lan mengutarakan
dugaannya. "Dimanakah letaknya Cianciang Peng?"
"Di utara gunung Siongsan ini, terpisahnya hanya beberapa
lie," sahut Tong Sian.
"Kalau dekat letaknya, kita tidak usah berabe," kata Siauw
Lan. "Cuma tempat itu sebuah tempat buntu," Tong Sian
memberitahukan.
"Bagaimana itu, siangjin?"
"Cianciang Peng menjadi sebuah tanah datar, di dalam
lembah, dikitarkan puncak atau gunung. Demikian maka dia
mendapat namanya, datar itu luas."
"Jikalau begitu, taruh kata Beng Sin Thong mengatur
barisan sembunyi, tak usah kita takut," kata Siauw Lan
tertawa. "Menurut penglihatanku, meskipun dia busuk dan
licik, karena dia sangat jumawa, tidak nanti dia menggunai
keeurangan untuk merebut kemenangan."
Tong Sian membenarkan, ia kata, memang tempat itu lebih
baik daripada Siauwlim Sie, yang jadi bebas dari ancaman
kerusakan. Sejak itu hari, setelah datang kepastian, pihak Siauwlim Sie
sudah melakukan perondaan di sekitar wilayahnya. Pemimpin
penilik itu ialah Tay Hiong Siansu dari Cappee Loohan. Dia
menilik sampai di Cianciang Peng. Tempo Tong Sian tanya,
apa yang dia lihat di tempat pertandingan itu, jawabnya "tidak
apa-apa". Lewat satu jam, Pun Khong 'kembali kepada ketuanya
mengabarkan bahwa ketiga tetamunya sudah diantar pergi.
"Adakah sesuatu yang hilang?" tanya Siauw Lan tertawa.
"Aku tahu Kie Siauw Hong sebagai Biauwciu Sintouw, maka
itu, siang-siang aku sudah waspada," sahut Pun Khong.
"Begitulah aku cuma mengajak mereka ke beberapa ruang
atau pendapa yang tidak berarti. Ke Chongkeng Kok, tidak
'sama sekali, Kie Siauw Hong sangat liehay, dia sangat
memperhatikan sesuatu yang dilihatnya. Ayo!..."
"Eh, kau kenapakah?" tanya Tong Sian heran.
Pun Khong jengah, terus ia menghela napas.
"Aku sudah berjaga-jaga tetapi aku masih menjadi korban,"
sahutnya menyesal.
"Apakah itu yang lenyap" Adakah itu barang berarti?" tanya
Tong Sian. "Sebuah cincin kemala," sahut Pun Khong. "Cincin itu tidak
berarti, hanya aku menyayanginya. Aku pakai itu pada jeriji
tengah tangan kananku. Tempo jahanam itu berpamitan, dia
menjura terhadapku. Aku membalas hormat, aku mencegah
dia menjura. Karena itu, tangan kita beradu. Tidak kusangka,
saat itu ia telah jadikan saat baiknya. Baru sekarang aku
mendusin lenyap cincinku itu..."'
Pendeta ini menjadi malu dan masgul sekali. Dia pernah
beristeri, dia jadi bukan menyucikan diri sejak kecil. Cincin itu
cincin peninggalan isterinya.
Wie Cit tertawa dan kata: "Untuk kami kaum penganut
agama, segala apa di sekitar kami kosong belaka. Kalau kita
kehilangan sesuatu, ya sudah saja. Menurut aku, yang penting
ialah soal pertandingan. Aneh Beng Sin Thong merubah
tempat! Aku pikir, kitapun harus mengatur sesuatu."
Wie Cit mengajukan sarannya itu karena meskipun Beng
Sin Tong menantang Tong Siauw Lan seorang akan tetapi dia
datang dengan banyak kawan, dari pelbagai kalangan, lurus
dan sesat, maka itu dikuatirkan, di dalam keadaan kacau,
nanti ada orang atau orang-orang tidak keruan yang
memancing di dalam air keruh. Inilah harus dijaga.
Tong Sian Siangjin lantas berpikir, kemudian ia kata: "Pun
Khong Sutee, kau bersama empat tiangloo dari Tatmo Ih serta
rombongannya Tay Hiong, Tay Tie dan Tay Pie baiklah
berdiam di dalam kuil. Juga separuh dari rombongan Lweesam
Tong baik membantumu, guna melakukan pengawasan di
bagian dalam dan terutama luar. Yang lainnya, semua harus
turut aku ke Cianciang Peng. Tentang anggauta-anggauta lain
partai, biarlah diatur oleh masing-masing ketuanya sendiri."
Rencana Tong Sian ini disetujui, maka itu, perintah lantas
diberikan guna melaksanakan itu. Di dalam tempo setengah
jam, segala apa sudah selesai diatur.
Di dalam Siauwlim Sie anggautanya berjumlah hampir
seribu orang, maka itu, meski separahnya lebih pergi ke
Cianciang Peng, sisanya masih cukup banyak untuk menjaga
kuil. Dari pihak pelbagai partai, semua orang mau pergi ke
tempat pertandingan, kecuali beberapa orang, ialah: Beberapa
wanita dari Cengshia Pay, Thia Ho, Lim Seng, Lou Eng Ho dan
Pek Eng Kiat dari Binsan Pay, juga Lie Kim Bwee dari Thiansan
Pay. Mereka itu bersedia menemani Co Kim Jie dan Kok Cie
Hoa. Phang Lim tadinya mau berdiam di dalam kuil tapi
akhirnya, ia turut pergi juga. la sangat ketarik dengan
pertandingan. Ciong Tian menjadi muridnya Tong Siauw Lan, tidak dapat
ia tidak turut, terpaksa ia berpisahan dari Lie Kim Bwee.
Pihak Binsan Pay pergi semua, Ek Tiong Bouw yang
menjadi pemimpinnya. Inilah sebab Beng Sin Thong menjadi
musuh mereka-musuh hidup atau mati. Co Kim Jie terpaksa
ditinggal pergi, meskipun dia sakit berat, setiap waktu dia bisa
putus jiwa. Dia jadi ditemani Thia Ho berempat di samping Cie
Hoa. Demikian, berangkatlah rombongannya Tong Siauw Lan ini
ke Cianciang Peng. Ada yang menjadi penunjuk jalan. Ketika
itu tengah hari tepat. Di dalam lembah, Beng Sin Thong dan
rombongannya sudah menantikan. Dia diapit di kiri kanannya
oleh Yang Cek Hu, Kie Siauw Hong, Hu Lie Ciat, dan Leng
Siauw Cu serta Tek Hoat Lan dan Tek Hoat Siu. Yang lainnya
lagi beberapa orang yang tidak dikenal.
Tong Sian Siangjin menanya beberapa muridnya yang di
tempatkan di Cianciang Peng. Mereka ini menerangkan bahwa
rombongannya Beng Sin Thong itupun baru saja tiba. Katanya
pula mereka tidak melihat sesuatu persiapan lainnya dari pihak
Beng Sin Thong.
Segera setelah mengambil tempat kedudukan berhadapan
dengan pihak lawan, Tong Sian Sianjin dan
Tong Siauw Lan muncul menghampirkan mereka itu. Dari
pihak sana, Beng Sin Thong maju sendiri.
Tong Sian menjadi tuan rumah, ialah yang paling dulu
bicara. Habis memberi hormat, ia kata: "Tuan-tuan berdua
menjadi guru-guru besar kaum persilatan, kedatangan kamu
ke sini membuat kami .mendapat kehormatan besar.
Berhubung dengan urusan tuan-"tuan, loolap memikir
sesuatu, dari itu ingin loolap bicara sedikit."
Beng Sin Thong mengangguk. Ia kata pendeta itu dapat
bicara, tidak ada halangannya.
"Melihat kepandaian tuan-tuan berdua," kata si pendeta,
"pertemuan kali ini ialah satu pertemuan yang cemerlang
sekali, meski demikian, loolap ingin minta sukalah Ifuan-tuan
melakukan pertandingan secara persahabatan satu dengan
lain, supaya tak usahlah gunung kami yang kenamaan ini
mendapat bencana karenanya." -Kata-kata pendeta ini berarti
bahwa urusan kedua belah pihak itu, supaya mereka jangan
bertempur secara kacau supaya pihaknya tidak sampai
tersangkut paut dan ijuga jangan sampai terbit perkara jiwa.
Atas itu Tong Siauw Lan berkata: "Tuan Beng menjadi
tetamu, aku bersedia untuk menurut pikiran pihak tetamu
saja." "Hongthio berpokok kepada welas asih, aku si orang she
Beng kagum sekali," kata Beng Sin Thong. "Cuma di dalam hal
kita ini, aku kuatir bahwa aku nanti tak sanggup memenuhkan
keinginan atau pengharapan hongthio ini. Di antara orangorang
di pihakku, yang datang untuk meramaikan pertemuan
ini, yang jumlahnya besar sekali, banyak yang bukan orangorang
sebawahanku, karenanya tidak dapat aku
mengendalikan mereka itu. Di samping itu, karena aku mau
mohon pengajaran dari Tong Ciangbun, aku juga hendak
memohon supaya ciangbun, jangan pelit, agar ia suka
mengeluarkan semua kepandaiannya--ilmu Thiansan Pay ituguna
membuka mata kami. Aku sendiri juga, meski
kepandaianku beda jauh sekali, akan aku keluarkan
seluruhnya. Oleh karena demikian, aku kuatir pertandingan
kita ini tidak dapat hanya sampai pada tarap saling towel saja.
Dari itu, aku lihat, baiklah kita pasrah kepada Thian saja.
Jikalau terjadi aku sampai hilang jiwa di tangan Tong
Ciangbun, akan aku mati rela. Sebaliknya, apabila aku
beruntung memperoleh kemenangan satu atau setengah
jurus, hingga aku melukakan Tong Ciangbun, hendak aku
mohon hongthio memaafkan aku. Tapi, maksudku yang
sebenarnya sama dengan pendapat hongthio sendiri, yaitu di
dalam pertemuan itu maksudku cuma memohon pengajaran,
tak lebih, maka itu, kita tidak mempunyai urusan dengan
orang lain. Hendak aku jelaskan, jikalau aku kalah tetapi
jiwaku masih hidup, selanjutnya aku akan mengundurkan diri


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari kalangan Bulim, dan aku tidak akan mau menuntut balas
salah seorang dari Siauwlim Sie. Umpama kata ada lain orang
yang mau menyeterukan aku, aku cuma mau melayani dia itu
sendiri, tak nanti aku usilan!"
Tong Sian Siangjin percaya Tong Siauw Lan bakal menang,
maka itu, mendengar suaranya Beng Sin Thong itu, ia berkata:
"Jikalau kau kata demikian, Tuan Beng, baiklah, loolap tidak
mau mengatakan sesuatu lagi. Tentang pertandingan,
bagaimana caranya itu, silahkan tuan-tuan berdua saja yang
mengatur sendiri."
Habis berkata, pendeta ini memberi hormat, terus ia
mengundurkan diri.
Tong Siauw Lan lantas berkata pada Beng Sing Thong:
"Tuan Beng, kau menjadi tetamu, suka aku mengalah untuk
kau yang menunjuk caranya kita bertanding. Aku selalu siap
sedia." Sin Thong pun sudah siap dengan rencananya akan tetapi
ia berpura diam untuk berpikir. Selang sedetik, baru ia
membuka mulutnya.
"Menurut aku, ilmu silat itu mengutamakan kemahiran,"
demikian katanya. "Ilmu silat juga luas kalangannya, tidak
berhenti hanya kepada arti kata ilmu silat saja. Pula orangorang
sebagai kita berdua, mana dapat begitu kita maju dalam
kalangan begitu kita menggeraki tinju atau tendangan, atau
memutar golok dan membalingkan pedang" Bukankah itu
caranya si orang kasar?"
"Kau benar, Tuan Beng," bilang Siauw Lan. "Apakah kau
berniat kita melakukan piebun dan bukan piebu?"
Jago Thiansan ini heran, ia mengajukan pertanyaannya itu.
Piebu berarti "mengadu silat", dan piebun yaitu "mengadu
surat" atau lain cara lunak tanpa menggunai kekerasan. Beng
Sin Thong bersedia mengadu jiwa, kenapa ia bicara begini
rupa" Sin Thong menjawab tanpa berpikir lagi.
"Bukannya piebun atau piebu. Hari ini telah datang
ketikanya yang sangat baik, jikalau kita mau mengadu, kita
mesti mengadu semua kepandaian kita, untuk mendapat
kepastian, siapa yang lebih pandai atau lebih rendah..."
Siauw Lan tetap tidak mengerti.
"Habis, kita mengadu apa saja" Silahkan kau tunjuki."
"Meski ilmu silat itu luas ka-langannya,"menjawab Sin
Thong, "akan tetapi menurut pandanganku, semua itu tidak
melebihkan tiga sudut. Yang pertama yaitu penger-.tian
tentang ilmu silat. Yang nomor .dua ialah keberanian atau
nyalinya orang yang mempelajari ilmu silat. Dan yang ketiga,
itu barulah ilmu silatnya sendiri. Karena itu, aku memikir buat
kita mengadu salah satu dari ketiga sudut itu."
Siauw Lan menyetujui pandangan itu akan tetapi ia tidak
akur dengan caranya, akan tetapi sebab ,ia telah
menyerahkan segala apa pada Sin Thong, tak mau ia
menentang. "Baik, Tuan Beng," katanya. "Sekarang kau sebutkanlah
caranya!" "Tong Toaciangbun, kaulah -seorang pandai, tidak
selayaknya aku mendahului kau," kata Sin Thong, "akan tetapi
karena kau sudi mengalah, baiklah, biar aku lancang, akan
aku turut kau. Kita mengadu tiga macam kepandaian, ksiapa
yang menang dua saja, dialah yang terhitung menang. Aku
percaya habis pada toaciangbun, kaukah seorang terhormat,
walaupun demikian, aku pikir ada baiknya -untuk aku
menjelaskan dahulu, supaya orang luar tidak sampai
membuatnya bocah tutur nanti."
Siauw Lan mengurut kumisnya, ia bersenyum.
"Benar, Tuan Beng," katanya. "Sebenarnya tak usah kita
perdulikan siapa menang dan siapa kalah. Kalau aku kalah
dalam dua pertandingan yang pertama, sudah tentu yang
ketiga tak usah diadu lagi."
Mendengar begitu, semua orang pihaknya Siauw Lan
menjadi berkuatir. Inilah sebab mereka tahu Sin Thong sangat
pintar dan licik. Entah akal apa yang manusia licin ini bakal
ajukan. "Baiklah, toaciangbun," kata Sin Thong. "Sekarang yang
pertama. Silahkan kau menyuruh salah seorang muridmu yang
paling kau sayangi supaya dia mengadu silat dengan seorang
muridku." Siauw Lan heran.
"Apakah yang pertama itu bukannya soal mengadu
pengertian tentang ilmu silat?" tanyanya.
"Benar, toaciangbun," sahut Sin Thong. "Tetapi benar
seperti katamu, ilmu silat itu luas. Kalau kita berdua yang
bicara, mungkin kita memerlukan waktu tiga hari dan tiga
malam. Apakah artinya itu" Aku percaya, buat orang lain, pasti
mereka tidak akan mengerti. Maka aku ingin murid kita yang
bertanding, lalu kita membicarakan ilmu silat mereka, siapa
pandai dan siapa ada cacadnya. Dengan cara ini, sama saja
andaikata kita yang bertanding sendiri. Siapa dapat menyebut
lebih banyak, dialah yang menang. Ini berarti, kita bicara dari
pokok yang kita lihat!"
Siauw Lan mengangguk.'
"Dengan caramu ini, kau meniru cara berundingnya
orang jaman dahulu," katanya. "Untuk sekarang, inilah suatu
cara baru."
"Kalau toaciangbun setuju, silahkan kau menyuruh
muridmu keluar," kata Sin Thong. "Aku akan menunjuk
muridku ini, Kie Siauw Hong. Toaciangbun dan Tong Sian
Hongthio tentu telah mengenalnya."
Siauw Lan mengerutkan alis mengetahui ornng mengajukan
Kie Siauw Hong.
"Dia sangat mahir ilmu ringan tubuhnya, mungkin Ciong
Tian tidak dapat melawannya," katanya di dalam hati. Ia
bingung. Keputusan berada di antara mereka berdua meski
demikian kalau Ciong Tian kalah, ia toh tak bermuka terang.
Ciong Tian menjadi murid kepala, dia telah mewariskan ilmu
silat sejati, tetapi latihannya masih belum mencapai
puncaknya. Selagi ayah itu ragu-ragu, Keng Thian maju seraya berkata:
"Ayah, kasihlah aku main-main dengan murid pandai dari
Tuan Beng!"
Beng Sin Thong lantas saja tertawa.
"Jikalau siauwciangbun yang maju, sungguh itulah
penghargaan yang berlebihan untuk muridmu!" kata ia.
"Siauw Hong, pergi kau minta pengajaran dari siauwciangbun,
tetapi kau harus berhati-hati!"
Siauw Lan menyesal atas sikap puteranya itu tetapi dia
tidak bisa menolak lagi. Dibanding dengan Siauw Hong,
derajat Keng Thian jauh sekali terlebih tinggi, sudah ia bakal
menjadi ahli waris Thiansan Pay, namanya juga sudah lama
terkenal, Buat ia, menang ia tidak bakal jadi kesohor, kalah ia
bisa ditertawakan orang. Mungkin Siauw Hong liehay tetapi
dia tetap si pencopet!
Siauw Hong sambil tertawa haha-hihi, kata pada Tong Keng
Thian: "Siauwciangbun, silahkan menghunus pedang!"
"Kau bertangan kosong, aku juga bertangan kosong!" kata
Keng Thian wajah dan romannya sungguh-sungguh.
Beng Sin Thong tertawa. Dia kata: "Siauwciangbun, kau
salah paham! Pertandingan ini ialah pertandingan untuk
ayahmu dan aku mengadu pandangan atau pengetahuan ilmu
silat. Cara ini ialah cara untuk kita membuat perbandingan.
Thiansan Pay kesohor buat ilmu pedang, mana bisa aku
menyatakan pikiranku?"
"Anak Keng, kau pakailah pedangmu!" kata Siauw Lan,
yang tahu ia tidak dapat menentang Sin Thong.
Keng Thian menjadi apa boleh buat. Segera ia menghunus
pedangnya. Kie Siauw Hong tertawa. "Sungguh pedang yang bagus!"
dia memuji. "Inilah pasti suatu permainan yang menarik hati!"
Berbareng dengan itu, mendadak dia meluncurkan tangannya
hendak merampas pedang orang! Untuk itu, dia mau
menyengkeram nadi jago muda dari Thiansan itu.
Tong Keng Thian menjadi gusar. Segera ia meneruskan
membabat tangan orang itu. Ia menggunai jurus "Mega
melintang, memapas puncak gunung". Ia dapat bergerak
dengan kecepatan luar biasa, sebab ia sudah dapat menguasai
pedangnya. "Aduh, celaka!" berteriak Siauw Hong, yang menarik
tangannya sambil tubuhnya turut berkelit berputar. Setelah
berbalik, menghadapi pula Keng Thian, ia tertawa dan kata:
"Syukur! Syukur aku tidak kena tertabas!" Ia tidak berhenti
bergerak dengan kata-katanya itu, ia terus bertindak dengan
tindakan Thianlo Pou, maka dengan lincah sekali, tubuhnya
mencelat ke samping terus ke belakang lawannya. Disini ia
mengulur pula tangannya, untuk merampas pedang orang.
Inilah siasat Siauw Hong yang cerdik. Dia tahu dia kalah
dari Keng Thian dalam ilmu silat, maka dia membawa sikapnya
ini, guna membikin mendongkol lawan, agar lawan jadi alpa
atau ayal. Siasat ini memberi hasil. Keng Thian panas hati
karenanya. Setelah beberapa jurus, kembali Siauw Hong meluncurkan
tangannya. Keng Thian kaget sekali. Hampir pergelangan
tangannya kena kecekal atau pedangnya dirampas. Baiknya ia
lantas mengerahkan tenaga dalamnya. Ketika tangan Siauw
Hong menyentuh tangannya, tangan si malaikat pencopet
mental sendirinya! Bahkan tubuhnya turut mundur sampai tiga
tindak! Segera setelah itu, Keng Thian insyaf bahwa ia telah kena
dipengaruhi sikap lawan yang licin itu. Lekas-lekas ia
menenangkan diri. Terus ia mengasih dengar seruan yang
panjang, buat mulai dengan penyerangannya berulang-ulang
dengan tipu silat pedang "Twie-hong Sippat Sie" atau
"Mengejar angin", yang terdiri dari delapan belas jurus.
Dengan demikian, lantas saja penyerangannya itu menjadi
bergelombang, yang satu disusul yang lain.
Kie Siauw Hong juga bergerak terus dengan cepat dan
lincah sekali. Sangat mahir dia dengan tindakannya "Thianlo
Pou". Terlihat tegas kemahiran ilmu ringan tubuhnya. Ia
bagaikan molos tak hentinya dari ujung pedangnya Keng
Thian, tak pernah tubuhnya kena tersentuh.
Para penonton menjadi kagum sekali. Mata mereka seperti
kabur dan kepala mereka terasa pusing, melihat pelbagai
kelitannya si malaikat pencopet.
Selagi bertanding itu, kembali terdengar seruan Keng
Thian, lantas ia memperhebat serangannya. Siauw Hong
seperti juga terkurung sinar pedang. Dia sungguh cerdik. Dia
lantas mengerti bahwa di dalam hal tenaga dalam, dia kalah
dari lawannya. Inilah berbahaya. Dengan kalah ulet, dia bisa
celaka. Lantas dia ingat akan akal. Tiba-tiba dia menyerbu
ancaman bahaya. Ialah dengan mendadak dia meluncurkan
jeriji tangannya, guna mengorek mata lawan. Dia memang
pandai ilmu totok "Hian-im Cie", yang dahulu diciptakan Kiauw
Pak Beng berpokok kepada Siulo Imsat Kang. Dia dapat
kepandaian dari Sin Thong, yang mengajarinya dengan
melompati ilmu Siulo Imsat Kang itu. Kepandaian Siauw Hong
ini dapat dibanding dengan Siulo Imsat Kang tingkat tiga.
Dengan itu tak nanti dia bisa mengalahkan Keng Thian tetapi
dia menggunakannya juga, guna menyingkirkan ancaman
bahaya saja. Tong Keng Thian terperanjat. Totokan itu sangat
berbahaya. Kalau ia terkena, kedua matanya bisa menjadi
buta. Terpaksa ia lantas berkelit. Walaupun demikian, ia masih
berayal sedikit. Maka dahinya kena tersentuh perlahan. Ia
kaget akan mendapatkan bekas sentuhan itu menjadi merah
dan bengkak sedikit, hingga air matanya mengembeng.
Kie Siauw Hong tertawa dan kata: "Siauwciangbun aku
cuma menyentuh kau perlahan sekali, tentunya tidak sangat
nyeri, karena itu, tak usahlah kau menangis!"
Keng Thian tidak menjawab, tetapi ia gusar sekali. Maka ia
menyerang dengan "Taybok Hong-see", atau "Badai pasir di
gurun besar". Saking cepatnya ia menggunai pedangnya,
pedang itu berkelebatan seperti ratusan pedang, suara
anginnya menghembus sar-ser keras tak hentinya.
Kembali Kie Siauw Hong seperti terkurung pedang. Ia tidak
terlukakan akan tetapi sekarang bajunya pecah lima atau
enam lubang. Ia berani sekali. Kembali ia mencoba mendesak
untuk menggunai lagi totokan Hian-im Cie.
Kali ini Keng Thian sudah siap sedia. Ia bukan menangkis
atau berkelit, ia meniup dengan tenaga dalamnya, membuat
serangan itu habis tenaganya. Hanya, karena ia menggunai
terlalu banyak tenaga dalamnya itu, kesehatannya jadi
berkurang. Ini ada baiknya untuk Siauw Hong, yang jadi
sedikit bebas dari desakan.
Mengenai pertempurannya ini, Keng Thian jengah
sendirinya, ia merasa tak enak di hati, sebab meskipun benar
bajunya Siauw Hong robek di sana-sini akan tetapi ia sendiri,
dahinya kena tersentuh hingga meninggalkan bekas. Sentuhan
itu di bagian otot yang berhubungan dengan mata, hingga
matanya mengeluarkan air. Ia jadi berpikir keras, lantas ia
mengambil suatu keputusan. Segera ia menggunai siasat.
Bertempur selanjutnya, jago muda dari Thiansan ini,
nampak berkurang kegesitannya, seperti juga pedangnya
menjadi berat seribu kati, hingga terlihat tegas setiap
serangannya ke kiri atau ke kanan.
Berbareng dengan itu, Kie Siauw Hong pun menjadi heran.
Selagi lawan bergerak lambat, ia sendiri turut menjadi lamban,
hilang kegesitannya, hingga sukar ia merapatkan lawan meski
ia inginkan itu. Ia merasa ia seperti dirintangi tembok besi,
yang mengurung padanya.
Sebenarnya Tong Keng Thian menggunai ilmu pedang
istimewa yang dinamakan "Taysiebie Kiam-sie", atau ilmu
"Pedang Sumeru Besar". Dalam hal ini, ia mengutamakan
tenaga dalamnya. Siauw Hong kalah tenaga dalam, dia segera
kena terpengaruhkan. Tentu sekali, dari heran, dia menjadi
berkuatir. Asal dia alpa, dia bisa celaka.
Segera juga Siauw Hong ber-cekat hati. Dia merasakan
suatu perbedaan hingga dia menjadi kaget. Lantas dia
berpikir: "Tidak apa jikalau aku kalah, hanya kalau aku mati
konyol di hadapan guruku, pasti guruku tak dapat tempat
untuk menaruh mukanya... Kalau aku mesti kalah, aku mesti
kalah dengan muka terang gemilang!"
Tengah Keng Thian mendesak dengan tetap dan tenang
itu, mendadak Siauw Hong mengajukan dirinya. Dia


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merangsak ke ujung pedang seperti juga dia mau mengadu
jiwa. Jago Thiansan itu terkejut. Ia ingat pertandingan untuk
melatih kepandaian mereka. Benar senjata tak ada matanya
tetapi kalau tidak terpaksa, jiwa tak dapat dibuat permainan.
Maka tak dapat ia membinasakan Siauw Hong secara
demikian. Siauw Hong bukan kalah hanya dia mengadu
jiwanya... Dalam ilmu pedang, puteranya Tong Siauw Lan sudah
dapat menguasai senjatanya. Demikian kali ini, meski ia sudah
terlanjur dan lawanpun mengajukan diri sendiri, ia masih
sempat mengegoskan pedangnya, untuk diteruskan menikam
ke samping sasarannya.
Inilah justeru yang dikehendaki Siauw Hong. Dia
meneruskan gerakannya, dia menjejak tanah, untuk mencelat
tinggi dengan tipu silat "Burung jenjang, terbang menembusi
langit". Sembari lompat itu, tangannya menyambar dengan
sambaran "Imyang Jiauw", atau "Kuku Imyang".
Kie Siauw Hong telah mendapatkan tenaga besar separuh
dari tenaga gurunya, dari itu dapat dimengerti hebatnya
sambarannya ini.
Keng Thian terperanjat. Baru sekarang ia mengerti yang ia
telah kena tertipu si raja pencopet, yang mengadu jiwa
sebagai gertakan belaka. Lekas-lekas ia menekan dengan
tangan kirinya, dengan tenaga tujuh bagian, guna mencegah
sambaran itu. Siauw Hong cerdik sekali. Dia tak berhenti sampai disitu.
Dia terus menggunai ketikanya yang baik itu. Beruntun-runtun
dia meneruskan penyerangannya sampai tiga kali, semua
dengan ilmu silat warisan Kiauw Pak Beng yang Beng Sin
Thong turunkan padanya. Di samping kuku Imyang Jiauw itu
serta Hian-im Cie, dia juga menggunai "Cwiesim Ciang",
pukulan "Tangan Meremukkan Hati".
Syukur Keng Thian waspada, ia tak mengijinkan dirinya
menjadi korban serangan tiga kali saling susul itu. Tapi
lantaran ia repot membela diri, Siauw Hong menjadi bebas
lompat meloloskan dirinya.
Puas si raja pencopet. Ia sudah bebas. Maka mau ia
memutar tubuh, guna mengejek lawannya itu. Baru ia mau
menaruh kakinya dan berniat memutar kepala, guna menoleh
ke belakang, mendadak ia mendengar mendengungnya suara
nyaring, suara dari senjata rahasia. Ia kaget sekali, ia lantas
jumpalitan, niat menyingkirkan diri terlebih jauh, tetapi ia tak
mendapat ketika pula.
Sebatang Thiansan Sinbong dari Keng Thian sudah bekerja,
menyambar tepat si raja pencopet, maka robohlah dia ke
tanah sebelum sempat dia turun menaruh kakinya...
Syukur buat Kie Siauw Hong, Tong Keng Thian tidak
menyerang dia sekeras-kerasnya, dengan begitu lukanya tidak
sampai kepada tulangnya
Dengan begitu dalam babak ini, Keng Thian yang menang,
akan tetapi jago muda dari Thiansan ini tak enak hati, ia
merasa malu sendirinya. Kemenangannya itu bukan
kemenangan sepenuhnya.
"Keng Thian, berikan dia sebutir Pekleng Tan!" Siauw Lan
kata pada puteranya
Tiba-tiba Siauw Hong mencelat bangun.
"Tak usah!" katanya, lekas. "Aku sudah mengambil sendiri!"
Sembari berkata, raja pencopet ini mengeluarkan sebotol
kecil dalam mana ada belasan butir pil, ia mengambil dua biji,
selebihnya bersama botolnya ia kembalikan pada Keng Thian
sambil dilemparkan seraya ia kata tertawa: "Terima kasih
untuk kebaikanmu menaruh belas kasihan kepadaku, obat ini
tak berani aku mengambil banyak-banyak! Inilah selebihnya!"
Pencopet yang liehay ini sudah bekerja ketika tadi dia
bentrok tangan dengan jago Thiansan itu, dia memindahkan
obat orang di luar sangkaannya Keng Thian. Maka jago
Thiansan itu menyambuti botolnya tanpa membilang apa-apa.
Beng Sin Thong tertawa. Dia kata: "Kamu berdua sudah
mengeluarkan semua kepandaianmu masing-masing, maka
sekarang tibalah giliranku bersama Tong Toa-ciangbunjin
merundingkan sarinya ilmu silat!"
"Beng Sianseng, jangan sungkan," kata Siauw Lan.
"Silahkan kau mulai memberi petunjuk mengenai ilmu silatnya
anakku barusan."
"Baiklah," sahut Sin Thong bersenyum. "Mari aku omong
dulu perihal tenaga dalamnya. Menurut penglihatanku, dia
telah mencapai .batas semangat dan hawanya tergabung
menjadi satu, cuma belum memasuki apa yang disebut tiga
wujud pulang kepada pokoknya!..."
Di dalam hati, Siauw Lan terperanjat. Tepat pendapat
orang she Beng itu. Apa yang mengherankan, sebagai orang
luar, lawan ini mengenal baik ilmu tenaga dalam Thiansan Pay
dan bicaranya demikian lancar.
Dahulu hari Kiauw Pak Beng pernah berunding hal ilmu
tenaga dalam dengan Hok Thian Touw, pembangun dari
Thiansan Pay, hasil perundingan itu dimuat dalam kitab
warisannya. Ada dibilang, untuk menyempurnakan ilmu
Thiansan Pay itu dibutuhkan latihan tiga puluh tahun, jadi ilmu
itu lebih sulit, atau lebih lama rampungnya dibanding dengan
ilmunya pihak sesat. Beng Sin Thong baru melakukan tiga
tahun, malah dia tak bersungguh-sungguh, maka dalam ilmu
itu, pelajarannya masih rendah, tetapi di lain pihak,
pengetahuannya sudah banyak, maka pengetahuannya itu
dapat dipakai dalam perundingan bersama, hingga bisa ia
mengeritik...131)
"Beng Sianseng, apa yang kau tunjuki ini justerulah
kekurangannya anakku itu," kata Siauw Lan, mengakui terus
terang. "Aku kagum padamu!"
"Aku minta Toaciangbun juga jangan sungkan," kata Sin
Thong merendah.
Keduanya bicara begitu rupa hingga mereka mirip bukan
musuh-musuh lagi.
"Menurut apa yang aku lihat," kata Siauw Lan, yang mulai
membicarakan ilmu silatnya Kie Siauw Hong, "mengenai
muridmu, dia rupanya terlalu mengutamakan bagian apa yang
dinamakan 'mencuci bulu dan membersihkan sumsum'. Buat
dia, untuk kekerasan berlebihan, untuk kebejikan
kekurangan."
Beng Sin Thong mengangguk.
Ia kagum buat petunjuk tepat itu.
Pembicaraan lantas dilanjuti.
Dahulu hari itu, Kiauw Pak Beng kena dikalahkan Thio Tan
Hong. Dia pergi hidup menyendiri di pulau kosong, buat
belajar silat lebih jauh, maksudnya untuk nanti kembali
melawan pula Tan Hong dan merobohkannya, tapi maksud itu
tak tercapai. Dia cuma menulis tentang ilmu pedang Tan Hong
itu. Tapi itu tak bedanya dengan dmu pedang Thiansan, atau
Thiansan Kiamhoat, karena dulu hari itu Hok Thian Touw telah
memperoleh petunjuk dari Tan Hong. Hanya, sesudah
berselang dua ratus tahun lebih, kenyataan tak sesuai seanteronya.
Sebab Hok Thian Touw dan muridnya, terus sampai di
tangan Tong Siauw Lan, telah memperoleh banyak kemajuan.
Yang sama ialah pokok dasarnya. Beng Sin Thong dapat
bicara. Begitulah ia menyebut tiga belas macam cacadnya
Tong Keng Thian, sedang bagian-bagiannya yang sempurna,
ia menunjuki semuanya sebelas pasal.
Mendengar perundingan orang, Siauw Lan melongo, diamdiam
ia memuji. Beng Sin Thong tertawa, dia kata pula: "Cacad puteramu
berjumlah tiga belas, dari antaranya yang sembilan
disebabkan belum dilatih sempurna. Maka itu cacad Thiansan
Kiamhoat cuma empat rupa. Dengan begitu, dibandingkan
dengan pelbagai partai lainnya, partaimu tetap yang nomor
satu!" Siauw Lan masgul. Dengan lancar dan beralasan orang
mengeritik ilmu silatnya, sebaliknya ia sendiri, tak banyak
yang ia dapat utarakan mengenai ilmu silatnya Kie Siauw
Hong. Ilmu silat itu asing baginya. Kalau toh ia paksa mencari
cacadnya, ia cuma mendapati sepuluh macam. Sin Thong
sebaliknya dapat menunjuk sampai dua puluh empat rupa!
"Muridku baru belajar lamanya tiga tahun," Beng Sin Thong
menjelaskan. Ia bicara sambil tertawa. "Karena itu, dia belum
dapat memahami banyak, hingga pasti dia banyak cacadnya.
Silahkan Toaciangbun berikan petunjukmu, aku akan
bersyukur sekali. Ah mengapa Toaciangbun ragu-ragu" Oh,
apakah Toaciangbun merasa masih kurang saksi atau wasit"
Kalau begitu, mari kita minta bantuannya beberapa guru
besar." "Sudah, Beng Sianseng, tak usahlah," sahut Siauw Lan
cepat. "Pengetahuan sianseng dalam sekali, tak dapat aku si
orang she Tong melawannya, maka itu, kali ini aku mengaku
kalah saja."
Mendengar pengakuan jago Thiansan Pay itu, para hadirin
di pihaknya menjadi kaget sekali. Banyak di antaranya yang
merasa tidak puas. Siauw Hong yang kalah, boleh berbalik
dialah yang menang, dan Keng Thian yang menang, ber-balik
menjadi yang kalah. Kenapa pertandingan silat dicampur
baurkan dengan perundingan mulut" Bukankah itu terlalu
bagus untuk Beng Sin Thong"
Tapi perjanjian telah dibikin, dan Tong Siauw Lan mentaati
perjanjian itu, mereka tidak bisa berbuat lain daripada
menutup mulut. "Toaciangbun mengalah saja!" kata Sin Thong. "Aku
menghaturkan terima kasihku. Sekarang mari kita mulai
dengan yang kedua! Apakah Toaciangbun akur?"
"Silahkan, Beng Sianseng," jawab Siauw Lan, yang hatinya
berpikir keras. Ia tak dapat menerka, keanehan macam apa
lagi ditimbulkan jago sesat yang liehay itu.
Beng Sin Thong lantas menoleh kepada pihaknya.
"Yang Sutee, apakah kau sudah siap?" ia tanya Yang Cek
Hu, adik seperguruannya.
"Sudah siap!" Cek Hu jawab cepat. Dia lantas
menghampirkan dengan tangannya membawa sebuah
nenampan. Di atas itu ada sebuah cawan besar serta dua
bocah yang kecil. Cawan besar itu ada isinya, sedang yang
kecil, dua-duanya kosong. Orang tak tahu apa perlunya semua
cawan itu, semuanya merasa heran.
Beng Sin Thong mengeluarkan satu bungkusan kecil, ia
buka itu dengan merobek, lantas isinya ia tuang ke dalam
cawan besar itu. Isi itu ialah bubuk putih. Ia goyang cawan
pergi datang, untuk membikin bubuknya hancur rata, setelah
itu, ia menuangnya ke dalam kedua cawan kecil. Isinya kedua
cawan kecil tepat sama banyaknya dengan satu cawan besar
itu. "Bubuk putih itu bubuk racun ramuan yang paling
berbahaya," kata dia kemudian, sabar. "Siapa minum racun
ini, dia bakal lantas terbinasa dengan mengeluarkan darah
dari mata, hidung, mulut, telinga serta liang-liang peluhnya!
Kali ini kita menguji keberanian serta nyali kita. Toaciangbun,
apakah kau mempunyai cukup nyali untuk menemani aku
meminum racun ini?"
Sungguh pertandingan yang di luar dugaan semua orang.
Maka bergolaklah suara mereka itu, seperti suaranya air
mendidih. "Muka tebal!" terdengar satu suara. "Pertandingan apa ini"
Terang-terang inilah siasat mencelakai Tong Tayhiap!"
"Jangan kasih diri kita kena diakali!" teriak yang lain. "Dia
pasti mempunyai obat pemunahnya!"
"Dia tahu saat kematiannya sudah tiba, dia tahu dia tak
bakal luput dan keadilan umum, maka dia mau menyeret Tong
Tayhiap mati bersama!" teriak lain orang lagi. "Sungguh
pikiran yang luar biasa!"
"Dimana ada pertandingan cara begini!" lagi terdengar
suara mengejek. "Buat dapat hidup atau mati kenapa orang
tidak mau terang-terang saja menguji ilmu silatnya?"
Di sebelah itu, selain yang mendamprat Beng Sin Thong,
ada orang-orang yang menasihati atau menganjurkan Tong
Siauw Lan jangan minum racun itu. Hanyalah cacian yang
terlebih hebat.
Beng Sin Thong dengar semua suara itu, ia bersikap tawar.
"Tuan-tuan jangan berisik!" kata ia tawar. "Silahkan kamu
dengar dulu perkataanku!"
Tak tinggi nada suara itu tetapi siapa mendengarnya, dia
merasa seperti mendengar barang logam beradu keras,
hingga semua menjadi heran dan kaget, semua lantas sirap!
Beng Sin Thong mengasih dengar ejekan "Hm!" bebarapa
kali, baru ia tertawa dan berkata pula: "Bicara dari hal obat
pemunah racun, di kolong langit ini tidak ada yang melebihkan
Pekleng Tan campur teratai salju buatan Thiansan Pay! Jikalau
ada bicara dari hal diam-diam memakan obat pemunah racun,
mana dapat aku melawan Tong Toaciangbun" Baiklah tuantuan
ketahui, kali ini kita mengadu keberanian dan nyali besar,
kita bukan mengadu memunahkan racun! Tong Toaciangbun
seorang besar dalam Rimba Persilatan, aku si orang she Beng
juga bukan orang tak ternama sama sekali! Coba pikir, di
hadapan banyak orang ini, setelah orang minum racun, selagi
kita mengawasi lain orang mau mampus, kita sendiri lekasTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lekas makan obat pemunah-nya! Apakah dengan begitu dia
Kitab Pusaka 7 Pendekar Riang Karya Khu Lung Panji Sakti 8
^