Pencarian

Perjodohan Busur Kumala 25

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 25


Phang Lim di Coato, Pulau Ular, dia membawanya pulang dan
seterusnya disimpan di dalam kamarnya Kim Bwee.
Sie Ie tidak menghiraukan suara ramai, begitu dia jatuh
begitu dia berlompat bangun dengan satu gerakan "Ikan
gabus meletik", terus dia lari ke arah Seng Lam!
Nona Le tidak menghiraukan orang, dia hanya memandang
Tong Siauw Lan untuk mengasih dengar suaranya yang
dingin: "Tong Tayhiap, tempat ini tempatmu, sekarang ada
orang mengacau disini, apakah katamu" Bagaimana
pikiranmu, apakah kita masih harus mengulangi pertandingan
kita ini atau tidak?"
Tong Siauw Lan menghela napas ia lantas berbangkit.
"Nona Le," katanya perlahan, "aku mengakui ilmu silat kau
melebihkan ilmu silatku, buat apa kita bertanding pula?"
Suara itu keras tetapi bernada sedih, orang banyak
mendengar itu, semua berduka sekali. Itulah suara menyesal
dari seorang jago.
Mendadak Le Seng Lam tertawa nyaring.
"Tong Tayhiap!" ia berkata keras, "kau bukannya kalah dari
aku, hanya kau kalah dari kakek guruku, Kiauw Couwsu kami!
Kau tahu tidak" Akulah murid yang menjadi ahli waris dari
Kiauw Pak Beng yang telah meninggal pada tiga ratus tahun
yang lampau! " " Kiauw Couwsu, aku telah memenuhi
pesanmu, aku telah memukul roboh muridnya Thio Tan Hong
dan Hok Thian Touw! Maksudmu telah kesampaian, Couwsu,
aku minta meram dan tenang!"
Mendengar itu barulah orang tahu Seng Lam datang
membalas untuk Kiauw Pak Beng-membalas sakit hatinya dari
tiga ratus tahun dulu kepada Thio Tan Hong.
Kim Sie Ie menghampirkan Nona Le, dia kata perlahan:
"Seng Lam, kau telah dapat mencapai cita-citamu, sekarang
kau telah menjadi orang gagah nomor satu seperti yang kau
sangat harap-harap, maka itu selanjutnya apa lagi yang kau
inginkan" Aku minta kau, dimana yang bisa, kau memberilah
keampunan!..."
Seng Lam tertawa. Ia mengawasi orang di depannya itu.
"Kim Sie Ie!" katanya, tawar, "aku juga hendak menanya
kau: Kau mau apa?"
Sie Ie balik mengawasi.
"Aku hendak tanya kau," ia menjawab, berbalik menanya:
"Kok Cie Hoa tidak berbuat salah terhadapmu, mengapa kau
membuatnya dia mati tidak dan hidup tidak?"
Seng Lam mengasih lihat roman bengis.
"Kalau begitu, kau datang kemari buat minta obat padaku,
bukan?" dia tanya.
Itulah pertanyaan berlebihan. Seng Lam sudah ketahui
maksud orang masih sengaja dia menanyakan.
Sie Ie berlaku sabar sekali. Ia mengangguk perlahan.
"Buat mendapatkan obat pemunah racun itu, dua tahun
lamanya aku telah mencari kau..." sahutnya.
"Jadinya kau menghendaki obat pemunah racun?" kata
Seng Lam pula. "Boleh! Hanya ada aturannya, yang mesti
ditaati! Kau juga harus menempur aku dalam tiga babak!"
"Apakah artinya perkataan kau ini?" tanya Sie Ie tidak
puas. "Jikalau kau tidak suka memandang lagi muka Kim Sie
Ie yang sekarang, kau seharusnya memandang mukanya
dahulu hari! Mustahilkah karena kau mengandalkan ilmu
silatmu sekarang ini yang menjagoi dunia, kau jadi melupai
persahabatan kita dulu hari itu?"
Tokciu Hongkay berlaku sabar walaupun ia merasa tidak
puas. Di luar dugaan, perkataannya ini justeru membuat Seng
Lam menjadi gusar, perkataannya itu seperti minyak
dituangkan kepada api berkobar. Kedua matanya si nona
menjadi terbalik, sinarnya seperti api marong Sudah mendelik,
atau tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak!
"Kim Sie Ie, oh, Kim Sie Ie, kiranya kaupun menemui satu
hari seperti ini ialah kau datang padaku untuk memohon suatu
apa!" katanya, keras dan dingin. "Kim Sie Ie, kau masih
mempunyai muka untuk bicara dari hal persahabatan kita
dulu-dulu" Hm! Hm! Bagusnya sekarang ini ilmu silatku telah
melebihkan ilmu silat kau, jikalau tidak, mungkin sekali begitu
kau melihat aku lantas kau bakal mencaci dan menghajar aku,
kau bakal merampas juga barangku! Bukankah tak nanti kau
bicara secara begini merendah untuk mengajukan
permintaanmu"..."
Kedua mata Sie Ie terbalik hingga terlihat putihnya saja.
"Kau... kau... kau... kau..." katanya susah, hingga tak dapat
ia melanjutinya.
"Aku kenapa?" tanya Seng Lam tertawa. "Bukankah kau
sendiri yang membilang di antara kita segala apa sudah
putus" Habis perlu apa kau menghendaki lagi aku ingat akan
persahabatan kita dulu hari?"
Hebat nona ini. Dia sendiri yang membilang, bahwa
hubungan mereka sudah putus, sekarang dia membaliknya.
Tapi Kim Sie Ie lagi berduka berbareng mendongkol, tak
ada niatnya melayani orang adu lidah.
"Kau menyebut hal dulu hari, tidak salah!" kata Seng Lam
pula. "Memang dulu hari itu kau berlaku baik terhadap aku,
aku juga ingat saat-saat yang baik itu, hanya sayang sang
waktu tak dapat kembali dan Kim Sie Ie sekarang ini bukan
lagi Kim Sie Ie yang dulu!"
Seng Lam bicara dengan saluran ilmu Thiantun Toan-im,
suaranya itu cuma dapat didengar Sie Ie, tidak oleh orang
lain. Orang lain cuma dapat melihat mulut si nona berkelemik,
lain tidak. Sie Ie mendengar suara orang yang bernada sedih, mau
atau tidak, ia menjadi terharu, maka itu, ia membalas juga
dengan saluran ilmu yang serupa. Kata ia perlahan: "Yang
sudah biarlah dia lewat, kau anggaplah aku telah berbuat tak
selayaknya terhadap kau. Kita telah berjalan bukan di satu
jalanan, hal itu tidak dapat dirubah pula. Sekarang ini aku
hendak minta obat padamu, budimu akan aku tak lupai
seumur hidupku..."
Seng Lam telah bertanding hebat, mukanya telah menjadi
sangat pucat, sekarang ia seperti telah kehabisan darahnya,
tetapi hatinya masih tetap kuat dan keras, tiba-tiba ia
membuka matanya, mengawasi tajam, ia kata sengit: "Kiranya
kau sangat membutuhkan sekali beberapa butir obatku!"
Sie Ie melengak. Ia insyaf bahwa ia telah keliru bicara.
Kata-katanya itu membangkitkan kejelusan si nona. Tapi ia
tidak bisa mendusta terhadap Seng Lam. Taruh kata ia tidak
menyebutnya, Seng Lam mestinya mendapat tahu
maksudnya. Karena itu, ia berdiam.
Seng Lam menggigit giginya.
"Bagus, Kim Sie Ie, kau baik sekali!" kata dia, tetap sengit.
"Aku menyesal aku tidak dapat membunuh kau! Hm! Coba aku
tidak ingat persahabatan kita dulu-dulu, apakah kau kira
barusan dapat menahan panahku itu" Apakah kau kira dapat
kau bertahan dari panahku?"
Sie Ie kenal baik tabiat si nona.
Kata-kata orang membuatnya mendapat harapan.
"Kalau begitu ternyata kau baik sekali," kata ia. "Buat
kebaikanmu itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang
begini saja: Jikalau kau benar-benar sangat membenci aku,
kau tunggulah sampai aku sudah mendapatkan obat pemunah
racun, lantas kau boleh berbuat apa kau suka atas diriku,
sekalipun kau hendak merampas jiwaku, aku rela!"
Seng Lam tertawa.
"Pulang pergi kau tak berpisah dari obat!" katanya, tawar.
"Tapi taklah heran jikalau kau begini bergelisah! Tentang obat
beracun Ngotok San itu, dapat aku jelaskan, makin banyak
hari yang dilewatkan, sifatnya makin keras! Sekarang dia baru
setengah hidup setengah mati, tetapi nanti, lewat lagi sekian
waktu, jikalau racun sudah masuk ke dalam pemt dan
sumsumnya, meski kau kasih dia makan semua soatlian,
semua itu tidak ada faedahnya lagi! Sampai itu waktu maka
kekasihmu itu yang cantik manis seperti kemala dan bagaikan
bunga, dia bakal mati dengan tubuh nowa! Buat apa aku
mengambil jiwamu" Bukankah terlebih baik untuk membiarkan
kau menyaksikan kematiannya itu?"
Sie Ie tahu orang lagi mengumr bar kemarahannya, tapi
suara orang itu membuat hatinya gentar juga. Kalau Seng
Lam membuktikan kata-katanya itu" Tidakkah itu sangat
hebat" Memang biasanya nona itu suka perbuat apa yang dia
pikir atau katakan...
"Jikalau sampai terjadi seperti kata-katamu ini, di dalam
dunia ini tidak bakal ada lagi orang sebagai aku," kata ia,
tertawa getir. "Sampai itu waktu maka kau bakal hidup sendiri
dengan segala kepuasanmu! Seng Lam, kau harus ingat satu
hal! Walaupun aku tidak berlaku benar terhadapmu seperti
katamu itu, itulah urusanku, aku sendiri yang bertanggung
jawab, karena itu, mengapa kau sebaliknya mencoba
mencelakai orang yang tidak bersalah dosa?"
"Bagus benar! Kau jadi memisahkan diri kamu! Jadi karena
ini, kau jadi meminta obat padaku, bukan?"
Sie Ie melengak. Ia heran.
"Kau mengaku salah atau tidak?" tanya Seng Lam.
"Jikalau kau bicara dari peristiwa di gunung Siongsan, aku
mengaku salah," sahut Sie Ie. "Ketika itu aku terlalu
sembrono, hingga aku jadi sudah berbuat tak selayaknya
terhadapmu."
Di mulut Tokciu Hongkay membilang demikian, di dalam
hati, ia kata: "Di dalam segala hal, aku cuma menyintai Kok
Cie Hoa, maka buat segala itu tidak ada soal salah atau
tidak..." Nampak wajah si nona menjadi sedikit sabar.
"Hm! Jadinya sekarang kau tidak mengotot lagi?" kata dia.
"Baiklah, kalau kau sudah mengaku salah, maka tahulah kau
apa yang kau mesti lakukan di hadapan banyak orang ini..."
"Kau artikan apa?" Sie Ie tanya. Ia nampak bingung.
"Apakah benar kau sudah lupa?" tanya si nona. Dia tertawa
dingin. Tiba-tiba Sie Ie ingat. Itulah kejadian ketika dalam
sengitnya ia menghajar si nona, karena mana, di dalam
gusarnya si nona memutuskan perhubungan dengannya.
Ketika itu si nona kata bahwa bakal datang satu hari yang ia
bakal berlutut di hadapan nona itu. Ingat itu ia menjadi kaget
hingga ia tercengang. Ia mengawasi nona itu yang justeru lagi
mengawasi ia, hingga sinarnya empat mata mereka bentrok
satu dengan lain. Sinar mata si nona tajam dan dingin sekali,
sama dinginnya seperti wajahnya.
Sie Ie bertabiat keras, belum pernah ia minta sesuatu
kepada lain orang. Sekalipun dulu jiwanya terancam bahaya,
tak sudi ia minta soatlian dari Tong Siauw Lan, akan tetapi
sekarang, buat guna Cie Hoa, ia sudah merubah sikapnya itu.
Sementara itu orang banyak heran melihat mereka berdua
bicara demikian lama, mulut mereka bergerak-gerak tetapi
suara mereka tak terdengar. Orangpun heran menyaksikan
mereka seperti sabar dan baik satu dengan lain, sebentar
agaknya bergusar atau bertengkar. Karena itu, selain
mengawasi dengan heran, ada juga yang kasak-kusuk.
"Benar-benar Sie Ie bukannya manusia baik-baik," kata
Phang Lim perlahan kepada encinya. "Syukur si Kim tidak
menikah dengan dia!"
Kang Lam juga berkata berbisik pada isterinya:
"Nampaknya mereka seperti dua bocah yang lagi
bercekcokan... Aku kuatir sekali Kim Tayhiap nanti kena
disesatkan siluman perempuan itu..."
Selagi semua orang itu heran, Sie Ie sendiri berpikir terus.
Kata ia di dalam hatinya: "Baru ini aku menghajar dia, itulah
salahku, karena itu, buat dua tahun lamanya aku terus merasa
menyesal. Sekarang aku menghadapi keselamatan jiwanya Cie
Hoa... bagaimana?" Tiba-tiba ia berkata nyaring: "Baiklah!
Sekarang akan aku berlutut di depan kau! Aku minta kau
tolong aku dengan memberikan obat padaku!"
Kata-kata itu tak lagi dikeluarkan dengan saluran Thiantun
Toan-im, supaya orang banyak mendengarnya.
Kang Lam kaget, dia berseru dan menutup mukanya.
Lie Kim Bwee tunduk, tak berani ia mengawasi, di dalam
hatinya, ia mengeluh: "Kasihan engko Sie Ie..."
Semua orang lainnya tak puas, tetapi mereka tidak dapat
berbuat apa-apa. Semua lantas tunduk, tak ada yang mau
melihat Sie Ie menerima penghinaan itu.
Dengan air mata mengembeng, Sie Ie menekuk
punggungnya untuk berlutut, guna mewujudkan kata-katanya.
Seng Lam tidak menanti sampai kedua kaki orang tertekuk,
dengan sebat ia menggeraki kedua tangannya, guna
mencegah, buat mengangkat bangun tubuh Tokciu Hongkay,
sembari tertawa ia kata: "Sudah, aku terima kehormatan
besar kau ini! Ingat, dengkulnya seorang laki-laki ada
emasnya! Tak mau aku melihat kau dipandang hina dina oleh
orang-orang gagah di kolong langit ini!"
Tubuh Sie Ie berdiri ketika tangan si nona dilepaskan,
menyusul itu ia melihat Seng Lam membalas hormat dengan
kedua tangannya dirangkap satu pada lain. Menyaksikan
demikian, lupa ia akan segala apa dengan lantas ia kata:
"Seng Lam, bukankah sekarang kau dapat menyerahkan
obatmu kepadaku?"
Seng Lam berkata dingin: "Kau telah mengaku salah dan
sudah menjalankan kehormatan padaku, perselisihan di antara
kita sudah dibikin habis, sekarang aku tidak akan membalas
lagi buat hajaranmu tahun dulu itu. Di antara kita sudah tidak
ada soal lagi, tak ada hubungan lainnya pula, karena itu,
mengapa kau menyebut-nyebut soal obat?"
Sie Ie melengak mendengar perkataan orang itu, ia
mengawasi bengong.
Seng Lam pun mengawasi, hanya lantas dia tertawa geli.
Ketika dia bicara pula, lagu suaranya tak keras lagi bahkan
lunak. Dia kata: "Melihat tingkah kau ini nyatalah kau
memandang obatku itu melebihkan harga jiwamu! Sebenarnya
dapat aku memberikan itu kepada kau hanya ada satu soalnya
yang sulit..."
Sie Ie heran. "Apakah soal sulit itu?" ia tanya.
"Apakah kau lupa aturan kami Keluarga Le?" Seng Lam
tanya. Ia berhenti sebentar. Ketika ia melanjuti, kembali ia
menggunai Thian-tun Toan-im: "Ketika tahun dulu itu kita
sampai di gunung berapi, kenapa pamanku hendak
membunuh kau" Kau masih ingat, bukan" Keluarga Le kami


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mengijinkan orang luar mengetahui rahasia kami,
terutama tak diijinkan orang luar dapat mengicipi barangbarang
kami! Karena itu hampir dia membunuh kau! Tentu
sekali kau ketahui sendiri sebabnya kenapa kau telah diberi
ampun!" Pasti sekali Sie Ie mengerti perkataan Nona Le ini.
Di antara kedua keluarga Kiauw dan Le ada hubungannya
yang sangat erat. Maka juga kitab ilmu silat Keluarga Kiauw
itu oleh Keluarga Le dipandang sebagai miliknya sendiri.
Umpama kitab Pektok Cinkeng. Kitab itu asalnya milik Cit lm
Kauwcu, setelah dirampas Kiauw Pak Beng itu berbalik
menjadi kepunyaan Keluarga Kiauw. Dengan begitu, dengan
sendirinya Keluarga Le mengakui sebagai miliknya juga.
Sekarang Sie le minta obat yang berasal dari kitab racun itu.
Mana dapat! Obat itu tidak diberikan kepada orang luar, cuma
kepada orang dalam!
Maka melengaklah Sie Ie. Tidak ia sangka Seng Lam bakal
mengajukan soal itu. Dulu itu ia tidak dibinasakan pamannya
Seng Lam sebab ia mengaku menjadi suaminya si nona.
Dengan mengajukan soal ini teranglah kehendak Seng Lam.
Sie Ie mesti mengakui si nona sebagai isterinya baru si nona
dapat memberikan obatnya itu!
Buat sekian lama Tokciu Hongkay berdiri menjublak,
pikirannya sangat kusut.
Seng Lam pun berdiam, cuma dia mengawasi langit. Dia
berkata-kata seorang diri dengan suaranya yang tawar.
"Semenjak masih kecil aku tidak percaya takdir, aku cuma
percaya, apa yang aku kehendaki, mesti aku dapatkan!
Walaupun sesuatu yang telah bertuliskan, aku ingin
merampasnya juga!"
Semua orangpun berdiam, lebih-lebih Lie Kim Bwee. Di itu
waktu tidak ada lain orang yang lebih dipikirkan mempelai
perempuan ini kecuali Tokciu Hongkay, maka ia berdiam
dengan terus memasang mata. Ia heran tanpa ia bisa berbuat
apa-apa. Ia melihat mulut orang bergerak, tak ia mendengar
sesuatu apa, kecuali kata-kata yang dikeluarkan keras-keras
oleh Sie Ie dan Seng Lam tadi. Justeru ia masih mengawasi
itu, tiba-tiba ia melihat Sie Ie bertindak ke arahnya.
Phang Lim menyaksikan itu, ia kaget bukan kepalang.
Dengan lantas ia meraba pedangnya.
"Sabar, adikku!" berkata Phang Eng. "Kau jangan kuatir!
Tidak nanti dia melakukan sesuatu yang tidak pantas!
Biarkanlah mereka bicara, supaya hati Kim Bwee pun dapat
dibikin puas dan lega."
Kim Bwee mengawasi dengan air matanya berlinang-linang.
Ia girang berbareng berduka. Ia berdiri menantikan.
"Adik, aku menghaturkan selamat padamu!" kata Sie Ie
setelah dia datang dekat si nona. "Maafkan yang aku telah
datang terlambat!"
Kim Bwee berdiam sekian lama, baru ia dapat bicara.
"Bagus kau telah kembali!" berkata ia. "Sekarang ini
apapun tak usah kau sebut-sebut lagi, aku sudah mengerti
dan aku tidak bakal menyesalkan kau!"
"Hari ini hari baikmu," kata Sie Ie, "sayang aku tidak dapat
menghaturkan bingkisan yang berarti padamu. Selama
beberapa tahun hidup merantau, aku cuma dapat
mengumpulkan barang yang tidak berharga, tapi ini mungkin
cukup untuk menyatakan penghargaanku kepadamu!"
Sembari berkata, Sie le mengeluarkan sebuah kotak dan
menghaturkannya.
Kim Bwee menyambuti, terus ia buka kotak itu, yang isinya
ternyata ialah barang-barang mainan berupa kulit kerang, bulu
burung dan batu kecil.
"Inilah bulu burung pacok udang," kata Sie Ie menjelaskan.
"Sayang aku tak dapat menangkap burungnya. Dan ini bulu
burung laut yang lebih indah daripada bulu burung jenjang
dari gunung Tay-soat San. Dan ini kulit kerang yang aku
punguti di Pulau Ular. Sebagaimana kau lihat, banyak sekali
macamnya. Batu ini bukan sembarang batu, aku
mengumpuiinya dari gunung berapi. Coba kau raba, bukankah
seperti masih ada hawa panasnya" Dan itu bibit bunga dari
pulau, yang aku tak tahu namanya, coba kau tanam di dekat
sumber air, cuma tak tahulah aku dapat tumbuh dan
berkembang atau tidak..."
Ketika Kim Bwee dan Sie Ie bertemu mula pertama, ia
masih sangat muda mirip dengan bocah cilik, ia masih sangat
gemar main-main, sedang selama mereka berada di Taysoat
San, ia suka minta Sie Ie menolongi menangkap burung,
memetik bunga dan memunguti batu halus. Sie Ie ingat maka
ia membekal hadiahnya ini.
Air mata si nona pengantin mengembeng.
"Kiranya selama merantau, tak ada satu hari yang dia
melupakan aku..." pikirnya. "Ya, di mata dia aku benar-benar
menjadi adiknya!..." Maka gemetarlah tangannya memegangi
kotak tanda mata itu, hatinya berduka bukan main.
Ciong Tian mengawasi tingkah laku pengantinnya itu, awan
kedukaan yang meliputi hatinya buyar lenyap. Kata ia dalam
hatinya: "Memang aku telah melihatnya hubungan mereka
melainkan hubungan kakak beradik. Dahulu hari itu si Kim
masih terlalu muda, hatinya mudah tergerak, sampai dia
sendiri tak mengetahui tergeraknya sebab apa..."
Dengan air matanya berjatuhan, Kim Bwee berkata:
"Hadiahmu ini lebih berharga daripada barang lainnya apa
juga! Engko Sie Ie terima kasih! Aku harap tak usah menanti
terlalu lama untuk kami nanti minum arak kegiranganmu!"
Sie Ie tertawa meringis.
"Hari ini juga dapat kau minum arak kegiranganku," kata ia.
"Aku justeru hendak berdamai dengan kau..."
Kim Bwee heran sekali.
"Apa?" katanya tak dapat menguasai hatinya. "Kau... kau...
mau menikah sekarang"..."
Segera juga Kim Bwee mengerti, nona yang Sie Ie bakal
nikah bukannya Cie Hoa hanya Seng Lam!
Sie Ie menguasai dirinya.
"Benar!" kata dia perlahan. "Sekarang aku hendak
mengundang kau minum arak kegiranganku! Baru saja aku
mengambil putusanku! Karena aku tidak dapat membuat
persediaan aku hendak bicara dengan kau. Maksudku ialah
aku hendak pinjam tempatmu ini, hendak pinjam segala
perlengkapanmu, bahkan hendak pinjam juga arak dan
barang-barang hidangannya! Aku minta kau mengatur upacara
sekalian mengundang tetamu untuk pesta perjamuannya!"
Kim Bwee tercengang.
"Inilah urusan yang mengenai kebahagiaanmu seumur
hidup, apakah kau pernah pikir masak-masak atau tidak?"
kemudian ia tanya.
"Aku sudah pikir masak-masak!" kata Sie Ie dengan suara
pasti. "Apakah kau masih tidak jelas" Kecuali jalan ini sudah
tidak ada jalan lain untukku!"
Kim Bwee cerdas, tahulah ia sebabnya putusan Sie Ie ini.
Itulah untuk kebaikannya Kok Cie Hoa. Ia menjadi masgul
sekali. Tak suka ia melihat Sie Ie menikah dengan Seng Lam,
sebaliknya tak dapat ia membiarkan Cie Hoa mati tanpa
pertolongan. Sekalipun air matanya mengem-beng, nona pengantin ini
memaksakan diri tertawa.
"Jikalau begitu, engko Sie Ie, hendak aku memberi selamat
kepada kau!" ia kata. "Aku tidak sangka sama sekali bahwa
kau menikah berbareng satu hari dengan aku! Baiklah, kau
boleh lakukan upacara nikahmu disini, telah tersedia segala
apa kecuali kamar mempelai, yang masih harus disiapkan
dulu, tetapi kamarnyapun sudah sedia!"
Pembicaraan Kim Bwee dan Sie Ie itu telah didengar semua
orang, di antara mereka itu lantas terdengar suara menangis
perlahan. Itulah tangisannya Kang Lam.
Ciang Hee segera berbisik di telinga suaminya: "Orang
sama-sama suka, apakah yang kau tangisi?"
"Aku berduka untuk Kok Liehiap. .." kata Kang Lam
sesegukan. Tak dapat ia mencegah air matanya, yang
mengucur deras.
Ciang Hee menjadi repot lekas-lekas ia membekap mulut
orang. Ketika itu Seng Lam berdiam saja. Ia seperti tidak
mendengar dan tidak melihat segala apa di sekitarnya. Ia
seperti tak sadarkan diri.
Kim Sie Ie sendiri sudah lantas menghampirkan Tong Siauw
Lan, sambil menjura dalam ia memberi hormat.
"Tong Tayhiap," ia berkata, "aku tidak mempunyai ayah
dan ibu, tidak juga punya sanak dekat, atau orang yang
tertua, maka itu aku mohon bertanya apalah tayhiap sudi
menolongku dengan menjadi cuhun dari pernikahan kami?"
Siauw Lan melengak. Inilah di luar dugaannya. Tapi ia
berpikir cepat.
"Di antara sahabat-sahabat gurumu yang masih hidup
sekarang ini mungkin tinggal kami berdua suami isteri," kata ia
selang sejenak, "dan akupun telah memandang kau sebagai
keponakanku sendiri, maka itu baiklah, tak dapat aku
menampik permintaan kau ini. Akupun girang sekali
mendapatkan kau menikah dengan seorang nona yang paling
kosen di kolong langit ini!"
Sikapnya Siauw Lan yang menerima baik permohonan Sie
Ie, disambut dengan heran oleh banyak orang. Itu juga di luar
dugaan mereka. Tapi penerimaan ini jqgo Thiansan ada
sebabnya. Di dalam tempo yang pendek itu, Siauw Lan
berduka berbareng mengharap,
Seng Lam tangguh hingga tiada orang yang dapat
menundukkannya. Di samping dia Sie Ie lurus. Pernikahan
mereka berdua ganjil, pernikahan itu disayangi. Tapi
pernikahan itu juga tak dapat dibatalkan. Maka itu timbullah
harapannya Siauw Lan setelah mereka itu menikah nanti Sie
Ie dapat kesempatan membujuki hingga Seng Lam tidak
menjadi seorang yang tersesat, supaya dia tak menjadi
ancaman bencana untuk Rimba Persilatan.
Baru sekarang Seng Lam bergerak. Ia menghampirkan
Siauw Lan, untuk memberikan hormatnya.
"Terima kasih, Tong Toaciangbun," katanya. "Aku
bersyukur kau tidak mengingat kejahatanku dan telah sudi
menyempurnakan pernikahan kami." Ia terus menoleh pada
Sie le seraya berkata: "Kau menjadi alpa sekali! Kenapa kau
tidak lekas mengundang para hadirin disini buat menjadi
tetamu-tetamu kita yang terhormat?"
Sie Ie seperti juga boneka yang dapat diperlakukan
sesukanya dalang, tanpa pengutaraan sikap gembira atau
berduka, ia berpaling kepada semua orang untuk menjura
seraya berkata wajar: "Hari ini aku akan menikah dengan
Nona Le, aku minta semua tuan-tuan sudi memberi muka
kepadaku dengan minum secangkir arak kegirangan kami."
Habis berkata, berdiam pula.
Suasana menjadi sangat sunyi. Tidak ada seorang juga
yang memberi jawaban, baik buat menerima maupun buat
menampik undangan itu. Semua orang tercengang.
Tong Siauw Lan mengerti baik suasana itu. Karena ia sadar,
ia lantas berkata: "Hari ini aku gembira sekali! Dua pasang
mempelai telah berkumpul di dalam rumahku ini! Yang
sepasang ialah muridku dengan keponakanku, dan yang
lainnya Kim Sie Ie yang menjadi keponakan muridku dengan
seorang nona yang paling kosen di kolong langit ini! Haha!
Inilah kejadian menggirangkan yang paling langka di dalam
dunia Rimba Persilatan! Tuan-tuan, silahkan, silahkan kita
memberi selamat kepada para mempelai!"
Suaranya Tong Siauw Lan mendapat sambutan meriah.
Sekarang ini mereka semua telah dapat berpikir. Pertamatama
tak dapat mereka tidak memberi muka kepada tuan
rumah, yang menjadi jago Thiansan atau yang dipandang
sebagai ketua ikatan Rimba Persilatan. Kedua dengan
menghadiri pesta, mereka terutama mengadiri pestanya Lie
Kim Bwee. Tak dapat mereka meninggalkan pesta dari Nona
Lie itu. Dan ketiga, mereka tertarik oleh rasa ingin tahu.
Mereka ingin menyaksikan pernikahan luar biasa dari
pasangan yang aneh itu: Tokciu Hongkay dan Le Seng Lam
yang ditakuti itu, si hantu wanita...
Demikian semua orang berkumpul pula di ruang pesta,
hanya kali ini, suasana berlainan dari suasana tadi sebelum
munculnya Le Seng Lam. Tadi semua orang memberi selamat
dengan sangat gembira pada Lie Kim Bwee berdua, semua
wajah berseri-seri. Sekarang orang kehilangan
kegembiraannya itu. Malah orang-orang Binsan Pay
mendongkol berbareng berduka sekali.
Luar biasa adalah Kang Lam. Ketika ia tiba di ambang
pintu, mendadak ia menangis pula dan kata dengan nyaring:
"Biarnya aku dibunuh, tidak mau aku menyaksikan Kim
Tayhiap menjalankan upacara nikahnya dengan dia!"
Dengan "dia", ia maksudkan Seng Lam.
Parasnya Ciang Hee menjadi pucat, lekas-lekas ia menarik
mundur suaminya, sambil menyesali, ia kata: "Kau tidak mau
hadir ya sudah, buat apa kau bicara keras-keras?"
Syukur suaranya Kang Lam ini tak terdengar Seng Lam.
Di meja upacara, lilin pengantin masih belum terbakar
habis, akan tetapi Tong Siauw Lan menitahkan orang menukar
dengan sepasang yang baru.
'Silahkan salin pakaian, nona!" kata sekalian pelayannya
Seng Lam. Dengan cepat orang mengatur kamar pengantin yang baru,
dan Kim Bwee, senang atau tidak, mengajak Seng Lam masuk
ke kamarnya itu. Segala apa diatur dengan kesusu.
Ciong Tian berkata pada Sie Ie: "Saudara Kim, apakah kau
hendak salin pakaian yang baru?"
Kim Sie Ie menggeleng kepala.
"Tak usah," sahutnya perlahan.
Tak lama lalu tertampak beberapa pelayannya Le Seng Lam
muncul berbaris dengan membawa tengloleng, untuk menjadi
pengiring yang jalan di depan dari nona pengantin Le Seng
Lam, nona mana sudah dandan dengan rapi, bajunya putih,
kun-nya panjang terseret di lantai, hingga ia mesti bertindak
dengan perlahan sekali.
Lie Kim Bwee melihat orang cantik bagaikan bidadari, ia
berkata: "Baru sekarang aku ketahui enci Le bukan saja gagah
tetapi juga pandai ilmu kerajinan tangan! Lihat, bajunya
demikian indah!"


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seng Lam tahu pasti dia bakal menikah maka dia
menggunai kesempatan membikin sendiri baju kemantin. Tapi
Kim Bwee itu, di mulut dia memuji, di hati sebenarnya dia
menyindir, sebab biar bagaimana, dia tidak puas dengan
sepak terjangnya nona yang kosen itu.
Kalau pakaian Seng Lam terbuat dari bahan yang mahal
dan buatannya indah, maka pakaiannya Sie Ie si mempelai
laki-laki kotor tidak keruan, karena pakaian itu bekas dipakai
bergulingan, ada debunya. Sekarang kedua mempelai berdiri
berendeng, pakaian mereka beda secara menyolok mata,
hingga nampak lucu. Walaupun demikian, semua hadirin
berdiam. Semua mereka berduka hati untuk Sie Ie.
Lie Kim Bwee memperhatikan Seng Lam. Ia melihat wajah
orang bersinar luar biasa. Kelihatan Seng Lam puas akan
tetapi sinar matanya layu. Entahlah sinar mata itu sinar
kegirangan atau kedukaan.
Wajah Sie Ie juga luar biasa. Dia tak mirip orang lagi
melakukan upacara nikah, dia lebih mirip dengan seorang
tawanan yang dipakaikan belengguan. Semua orang melihat
tegas dia selalu menyingkir dari tatapan mata pengantinnya...
Semua orang tahu hati Sie Ie sangat tersiksa, tetapi tidak
ada satu juga yang pernah menduga bahwa dia telah
mengambil keputusannya untuk mati. Le Seng Lam telah
menjanjikan dia. Selesai upacara nikah itu, Seng Lam bakal
memberikan obat kepadanya. Maka ia telah pikir, begitu
menerima obat, begitu ia mau berangkat ke Binsan membawa
obat itu untuk Cie Hoa. Pada Seng Lam ia membilangi, setelah
menolongi Cie Hoa, ia akan kembali, untuk hidup bersama
Seng Lam seperti suami isteri. Itulah kata-kata di mulut
belaka, di hati ia sudah memutuskan untuk membunuh diri.
Jadi sebenarnya ia menaruhkan jiwanya mempermainkan dan
mengabui Seng Lam.
Demikian upacara nikah berlangsung dalam suasana tak
gembira itu. Kalau tadinya Sie Ie selalu menyingkir dari tatapan Seng
Lam, di saat mereka berhadapan menjalankan upacara, ia tak
dapat menyingkir lebih jauh, maka ia melihat tegas wajah si
nona. Ia nampak satu muka yang putih halus sebagai batu
pualam, yang cantik sekali, hanya itu bukan lagi kecantikan
dari seorang mempelai yang menggiurkan hanya wajah yang
menggiriskan...
Selesai upacara, pesta segera dimulai.
Seorang pelayan, yang mengepalai kawan-kawannya,
berkata: "Nona dan baba silahkan masuk ke dalam kamar
untuk beristirahat sebentar, kemudian baru keluar pula untuk
memberi selamat!"
Seng Lam menurut, ia bertindak masuk.
Sie Ie pun menurut, ia mengikuti.
Ketika itu nampak Seng Lam seperti menyerahkan
segumpal kertas kepada pelayannya yang satu itu.
Kim Sie Ie melihat itu, ia kata di dalam hatinya: "Aku tidak
perduli kau bersandiwara apa lagi, pikiranku sudah pasti!"
Setelah berada di dalam kamar, Seng Lam menyuruh
semua pelayannya mengundurkan diri. la lantas menutup
pintu kamar, setelah mana dengan sabar dan halus ia kata
pada Sie le: "Sie le, apakah kau masih tetap membenci aku?"
Sie Ie tidak menjawab.
Nona mempelai menarik napas.
"Tak perduli bagaimana kau membenci aku, hari ini aku
telah berhasil menjadi isterimu yang sah," katanya, berduka.
"Dengan begini maka puaslah hatiku..."
"Tidak salah, kau telah berhasil, kau telah mencapai citacitamu,"
kata Sie Ie. Tak dapat ia berdiam terus. "Maka itu
sekarang, haruslah kau menyerahkan obatmu bukan!"
Seng Lam tidak menjawab hanya dengan sangat berduka ia
kata: "Tahu begini, aku menyesal yang kita sudah pulang dari
pulau kosong..."
Dengan rasa tak puas, Sie le kata: "Bukankah, sekarang ini
semua maksud hatimu sudah terkabulkan?"
"Tidak salah, cuma belum seluruhnya..." sahut Seng Lam.
"Sie Ie coba kita berada di pulau kosong di mana siang dan
malam kita berkumpul saja, nah, itu barulah kepuasan benarbenar!"
Sie Ie pun menghela napas. Di dalam hati itu, ia kata:
"Siapa suruh kau telah berubah menjadi begini rupa"
Persahabatan kita dahulu hari itu ada seumpama air Sungai
Besar yang mengalir pergi tak untuk kembali!..." Meski
demikian, ia menjawab isterinya itu: "Sekarang kita telah
menjadi suami isteri, maka saat untuk kita terus berada
berduaan masih banyak sekali. Kau serahkan obatmu supaya
aku dapat segera berangkat pergi, supaya aku dapat lekas
kembali." Seng Lam menghela napas pula.
"Sie Ie, kau toh tidak akan mendustakan aku?" katanya,
sedang matanya menjadi merah, air matanya mau mengalir
turun. Sie Ie mengawasi nona itu, sinar mata mereka bentrok.
Mendadak ia terkejut. Sinar mata itu layu dan mengandung
penyesalan atau penasaran. Hatinya menjadi bercekat. Ia
ingat belum pernah ia mendustakan nona itu. Tapi sekarang,
tak dapat ia tak membesarkan hati, ia mesti menebalkan kulit.
"Buat apa aku mendustakan kau?" katanya. "Bahkan
sekarang kita telah menjadi suami isteri?"
Seng Lam berdiam. Ia seperti memikirkan sesuatu. Selang
sekian lama, baru ia mengeluarkan sebuah kotak kemala.
"Obat pemunah racun itu ada di dalam kotak ini," ia kata
perlahan. "Aku masih hendak memberikan kau beberapa rupa
barang..."
Sie Ie tak sempat menanyakan lainnya hal, ia lantas
mengulur tangan untuk menyambuti kotak itu.
Tiba-tiba Seng Lam berkata: "Sie Ie, aku masih mengharapi
kau dapat menerima baik beberapa permintaanku..."
Sie Ie terkejut.
"Kau telah merubah hatimu?" katanya. Sedang di dalam
hatinya ia kata: "Entah dia akan mengajukan soal apa lagi
yang sulit..."
Seng Lam bersenyum.
"Kau jangan bergelisah tidak keruan!" katanya. "Tidak
perduli aku akan mengatakan apa, aku larang kau memutus
setengah jalan. Sie Ie, bukankah di antara kita ada semacam
hubungan yang erat" Mungkinkah kau sudah tidak mempunyai
kesabaran lagi untuk mendengari aku bicara sebentaran?"
Sie Ie heran. Sikap si nona, juga wajahnya berubah luar
biasa. "Kau bicaralah!" katanya. Ia menjadi bersangsi, hatinya
bimbang. "Aku tahu kau menyintai enci Kok," kata Seng Lam.
"Sebenarnya akupun ingin kamu berdua dapat berkesudahan
dengan menyenangkan... Aku mengharap, di saat hari nikah
kamu, atau di bawah rembulan yang indah permai, satu kali
kamu dapat memikir bahwa pernah ada satu orang yang
sangat menyintai kau... Kalau sampai terjadi begitu, maka...
maka aku pasti bersyukur tak habisnya terhadapmu..."
"Setelah sekarang datang hari seperti ini, buat apa kau
mengatakan begini?" kata Sie le, suara-nyapun perlahan.
Seng Lam tertawa meringis.
"Apakah kau menyangka aku jelus terhadap dia?" ia tanya.
"Tidak! Apa yang aku bilang, setiap kata-katanya keluar dari
hatiku yang tulus! Sudah, mari kau membiarkan aku bicara
terus, untuk menghabiskan kata-kataku. Jangan kau
memotong pula, kau dengari saja."
Sie Ie menatap. Ia merasa suara itu tak wajar. Ia menjadi
curiga. "Sie Ie," berkata si nona, sabar, "kau terima baik
permintaanku, setelah itu aku menghendaki kau merawat
dirimu baik-baik. Aku minta, apa juga yang terjadi, kau
tetapkan hatimu, kau berdiri tegak. Dapatkah kau?"
Hati Sie Ie berdebar keras, dalam curiganya, ia pikir:
"Mustahil dia sudah dapat menebak hatiku yang hendak
membunuh diri" Atau apakah racunnya Cie Hoa telah
mendalam hingga dia tidak dapat ditolong lagi?"
Seng Lam berkata pula: "Kau luluskanlah! Setelah kau
meluluskan, hatiku lega, akan tetap hatiku menyerahkan obat
kepadamu!"
Sie Ie masih bersangsi akan tetapi tak lama.
"Baiklah, aku menerima baik!" ia berikan jawabannya.
Pada wajah Seng Lam lantas tertampak senyuman. Terus
dia berkata: "Sie Ie, aku mengharap kau nanti meyakinkan
lebih jauh ilmu silatmu secara sungguh-sungguh, supaya kau
menjadi seorang ahli silat yang melebihkan guru besar yang
telah lalu! Aku telah menjadi isterimu, di saat kau berhasil
dengan peryakinan kau itu-tidak perduli aku berada dimana,
" pasti aku akan sama girangnya seperti kau!"
Permintaan itu, kata-kata itu, dikeluarkan dengan sungguhsungguh.
Sie Ie merasakan itu. Maka ia menduga-duga:
"Mungkinkah dia hendak menyerahkan padaku kitab silatnya
Kiauw Pak Beng?" Ia tidak mengharapkan kitab silat itu akan
tetapi hatinya tergerak.
"Terima kasih untuk kebaikan kau," katanya. "Aku
bersyukur untuk pengharapanmu itu atas diriku ini! Nanti aku
lakukan semua dengan sungguh-sungguh."
Di mulut Sie Ie mengucapkan demikian, ia masih tak
merubah pikirannya yang nekad.
Seng Lam menghela napas lega.
"Kaulah orang yang paling mengutamakan kepercayaan,"
kata ia pula. "Kau telah menerima baik permintaanku, hatiku
lega..." Sie Ie menguatkan hati. Ia malu sendirinya. Ia sudah
mendustai si nona. Ia menguasai diri supaya ia tak
mengentarakan apa-apa, agar rahasia hatinya tak bocor
sendirinya. "Baiklah!" kata si nona. "Nah ini kotak kemala, kau boleh
ambil!..."
Sie Ie menyambuti.
"Kau hendak membilang apa lagi?" ia tanya. "Aku hendak
pergi sekarang?"
"Mari biar dekat!" kata Seng Lam. "Kau biarkan aku
memandang kau lagi sekali... Mari, mari ijinkan aku mencium
kau!..." Sie Ie sangat membenci nona ini, tetapi entah kenapa,
sekarang hatinya sangat tergoncangkan, maka tanpa merasa,
ia membiarkan dicium dan ia membalasnya!
Mendadak alis Seng Lam terbangun, dia bersenyum, dia
tertawa puas, hingga dia nampak cantik luar biasa, bagaikan
bunga mawar mekar sedang indahnya. Dia kata perlahan: "Sie
Ie, sebenarnya kau juga menyinta aku..." Mendadak pula
lenyaplah tertawanya, dia menjadi bunga mawar yang layu...
Sie Ie heran dan kaget sekali. Lebih-lebih ketika ia
merasakan tubuh si nona, yang berada dalam rangkulannya,
mendadak menjadi kaku dan dingin!
Tatkala Seng Lam menempur Tong Siauw Lan, dia telah
menggunai semua tenaga dalamnya, dia sudah menggunai
ilmunya yang dinamakan "Thianmo Kaytee Tayhoat", atau
ilmu "Hantu Langit Mengurai Tubuh". Dia dapat bertahan
tetapi rusaklah tenaga dalamnya itu, dia terluka parah di
dalam tubuh, tetapi dia memiliki tenaga dalam yang sesat,
untuk lama dia dapat menutup diri, untuk bertahan terus.
Hanya sekarang setelah maksud hatinya kesampaian, tak
sanggup dia bertahan terlebih lama pula, tenaganya habis,
maka menyusul melayang rohnya, tubuhnya cepat sekali
menjadi beku. "Seng Lam! Seng Lam!" Sie Ie memanggil-manggil,
kagetnya bukan main. "Kau mau apa" Kau mau apa" Akan aku
meluluskan semuanya!..."
Akan tetapi Le Seng Lam telah tidak dapat memberikan
penyahutannya. Sie Ie berdiri menjublak. Dia bagaikan dihajar guntur
secara tiba-tiba. Matanya kabur secara mendadak. Lenyap
perasaannya, hingga tak dapat ia menangis meski hatinya
menangis, tak dapat ia mengeluarkan suaranya!
Sekonyong-konyong pintu kamar ditolak terbuka disitu
muncul pelayan-pelayannya Seng Lam.
"Benar-benar siocia kami mati!" seru yang menjadi kepala.
Itulah kata-kata yang diakibatkan diserahkannya surat Seng
Lam kepada hambanya itu. Itulah surat peninggalannya yang
terakhir, surat wasiat. Dengan itu sekalian pelayan itu dipesan
untuk mengurus mayatnya. Si nona memesan: baru setelah
terdengar suara keras apa-apa di dalam kamar mereka
diijinkan masuk ke dalam. Tadinya mereka semua cuma
menantikan di luar kamar.
Mendadak Sie Ie berseru: "Seng Lam, aku menyesal!" Ia
memeluk keras tubuh si nona, tanpa merasa ia menciumnya
berulang-ulang.
Beberapa pelayan itu pada menangis, dengan pedangnya
masing-masing, mereka menuding Tokciu Hongkay, si
pengemis edan. "Semua-semua dasar kau!" mereka berseru. "Kaulah yang
mencelakai nona kami!"
Sie Ie berdiam saja, ia masih memeluki tubuh Seng Lam,
matanya menatap isteri yang sah itu. Karena itu ia tidak
menghiraukan ancaman banyak pedang.
"Nona memesan kita tidak boleh membunuh dia!" berseru
si pelayan kepala. Ia lantas maju, untuk menyambuti tubuh
Seng Lam. Ia kata pada Sie Ie: "Siocia memesan kau tak usah
perdulikan lagi urusan siocia, siocia cuma ingin supaya kau
lekas lakukan pesannya! Lekas kau berangkat!"
Sie Ie menepuk-nepuk dadanya.
"Seng Lam, kau pergilah dengan tenang!" katanya
kemudian. "Sekarang ini aku mengakui kaulah isteriku!"
Kemudian ia kata pada sekalian pelayan itu: "Kamu rawat
baik-baik nonamu, kamu kubur dia, tetapi kamu tinggalkan
batu nisan yang kosong, sampai nanti aku datang untuk
mengisinya!"
Tangisan Sie Ie dan seruan para pelayannya Seng Lam
menyebabkan banyak orang datang berkumpul, maka mereka
jadi mendapat tahu Nona Le telah menutup mata secara tibatiba.
Mereka kaget dan heran, dengan sendirinya terjadilah
kegemparan di antara mereka, yang saling menanya atau
menduga-duga. Sie Ie tidak memperdulikan orang banyak itu, ia nerobos di
antara mereka, untuk lari keluar. Bahkan teriakannya Lie Kim


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwee, yang memanggilnya, tak dapat membikin ia
menghentikan tindakannya!
*** Kok Cie Hoa terus menderita selama dua tahun, tubuhnya
menjadi semakin rongsok dan lemah, hingga sekarang ia
merasa pasti tak lama lagi harinya yang ia bakal hidup di
dalam dunia ini. Memang ia pernah memesan Kim Sie Ie tak
usah datang menjenguk pula padanya. Akan tetapi sekarang,
di hari-hari yang ia merasa ajalnya bakal tiba, mendadak ia
ingat pula Tokciu Hongkay, hingga timbul keinginannya buat
melihat barang satu kali lagi...
Delapan belas hari sudah berlalu semenjak peristiwa
menyedihkan di gunung Thiansan. Terpisahnya Binsan dari
Thiansan ribuan lie jauhnya, sudah wajar Cie Hoa tak tahu
apa-apa mengenai peristiwa di gunung itu. Tapi ia menantikan
kembalinya utusan Binsan Pay, yang pergi untuk memberi
selamat kepada Lie Kim Bwee yang menikah itu. Ia ingin
mendengar kabar menggirangkan dari nona Lie.
Hari itu Tiong Bouw mendampingi Cie Hoa di tepi
pembaringan. Ia menemani si nona, adik seperguruannya
yang berbareng menjadi ketuanya, untuk memasang omong.
Dengan begitu ia mau menghibur ketuanya itu. Ia tahu apa
yang si nona buat harapan.
"Sumoay, jangan tak sabaran," katanya perlahan. "Kau
tahu sendiri, jalanan sangat jauh. Mana dapat Pek Sutee pergi
dan pulang cepat-cepat" Kau tahu, Tong Tayhiap serta
keponakannya, Kim Bwee, sangat mengharap-harap kau,
maka juga baru ini sengaja minta Siauw Ceng Hong
membawakan obat Pekleng Tan. Sebenarnya semua orang
sangat' memikiri kau..."
Cie Hoa tertawa menyeringai.
"Aku kuatir tak dapat aku menunggu pulangnya Pek
Suheng..." sahutnya lemah.
Dalam hidupnya itu, kecuali Kim Sie Ie, Cie Hoa sangat
memikirkan Lie Kim Bwee. Di samping ia bergirang untuk Kim
Bwee, yang telah menikah itu, diam-diam ia bersusah hati.
Kim Bwee sudah menikah, itu artinya hidupnya dia sudah ada
kepastiannya, tetapi ia sendiri, ia mesti rebah sakit dan
sakitnya parah. Sekarang, selagi ajalnya lagi mendatangi, ia
menyesal tak dapat melihat wajahnya orang yang ia cintai...
Sorenya setelah merasa letih, Cie Hoa rebah kepulasan.
Segera ia mendapat impian yang buruk, la melihat Sie Ie
datang padanya dengan pakaian berkabung, sambil
mengucurkan air mata darah. Baru ia hendak menarik tangan
si pemuda, tiba-tiba Seng Lam datang menyelak di antara
mereka, nona itu sudah lantas menyerang dengan pedangnya!
Dalam kagetnya Nona Kok berseru: "Sie Ie! Sie Ie!"
Justeru itu ia merasa ada tangan yang lunak yang
mengusap-usap rambutnya, disusul dengan pendengaran atas
satu suara yang ia kenal baik: "Cie Hoa! Cie Hoa! Benar, Cie
Hoa, aku yang datang!..."
Cie Hoa lantas membuka matanya. Maka ia melihat Sie Ie
duduk di sisinya. Ia heran hingga ia merasa masih sedang
bermimpi. "Bagus!" terdengar suaranya Ek Tiong Bouw. "Sie Ie telah
datang dengan membawa obat! Dia berdiam disini menantikan
bangunmu, sudah setengah harian dia menantikannya!" Ia
memutar tubuh memandang Sie Ie, untuk menambahkan:
"Aku mau keluar untuk menyampaikan berita girang ini
kepada semua orang, supaya mereka mendapat tahu dan
menjadi girang karenanya!"
Sebenarnya Tiong Bouw bisa berpikir. Ia mencari alasan
untuk mengundurkan diri supaya dua orang itu dapat bicara
dengan merdeka.
Dengan tangannya yang telah tak bertenaga, Cie Hoa
mencoba menyekal erat-erat tangan Sie Ie. Ia merasa bahwa
ia memegang sebuah tangan dari orang yang berdarah
daging. Jadi itulah bukti nyata ia bukan lagi bermimpi. Maka ia
lantas menarik napas lega.
"Oh, kiranya benarlah kau!" katanya. "Jadinya kita bukan
bertemu di dalam impian..."
"Aku telah memberi janji padamu, mesti saja aku dapat
membawakan obat untukmu," kata Sie Ie. "Sekarang kau
jangan kesusu bicara saja, paling dulu marilah makan obatmu!
Ini obatnya!"
Sie Ie memegang tubuh orang, buat dihantui bangun dan
duduk. Ia lantas menuang secangkir air teh, yang ia bawa ke
bibir si nona. "Oh, Sie Ie," kata nona itu, "tak tahu bagaimana aku harus
bersyukur terhadapmu..."
Mendengar itu, Sie Ie tertawa meringis. Getir ia merasa di
dalam hati. Cie Hoa melihat air muka orang, hatinya menggetar. Tibatiba
ia ingat impiannya barusan.
Sie le tidak mau memberikan ketika orang bicara, ia lantas
masuki obat ke dalam mulut orang, lalu terus ia menyusul
dengan airnya, buat si nona minum, guna mengasih turun
obat itu ke dalam perut.
Lekas juga perut si nona berbunyi bergerijukan.
"Kau rebahlah," kata Sie Ie, yang merebahkannya. "Kau
menyalurkan napasmu perlahan-lahan, nanti aku membantu
meng-emposnya. Dengan begini obat menjadi lebih mudah
hancur dan bekerja."
Cie Hoa menurut. Ia menyalurkan napasnya, ia tak mau
ingat apa-apa lagi.
Sie Ie pun bekerja.
Dengan lekas Nona Kok merasakan hawa hangat masuk ke
dalam seluruh tubuhnya, dengan lekas juga ia merasa
nyaman, hatinya lega sekali.
Sie Ie masih menguruti, sampai ia kata: "Disini ada sehelai
surat obat. Kau mesti makan obat ini sampai sepuluh kali,
dengan begitu racun dari dalam tubuhmu bakal terusir
semuanya, hingga selanjutnya kau akan jadi sembuh dan
sehat seperti sediakala."
Cie Hoa berduduk dengan hati terbuka. Untuknya tinggal
tenaganya saja yang belum dapat segera pulih. Ia lantas
menatap si anak muda. Ia gembira sekali. Akan tetapi, ia
merasa sinar mata Sie Ie sayu. Tentu sekali ia mengawasi
dengan heran. "Sie Ie," ia tanya, perlahan, "kau lagi memikirkan apa" Ah,
sungguh aku tidak sangka bahwa aku akan dapat melihat pula
padamu. Sampai tadi malam aku masih tidak sangka bahwa
aku akan dapat melihat pula padamu. Sampai tadi malam aku
masih tidak menghiraukan soal hidup atau mati, aku cuma
pikir, asal aku melihat kau lagi sekali, rela aku meninggalkan
dunia ini... Sekarang ini ternyata, bukan saja aku masih
berhasil melihatmu, bahkan aku dapat hidup terus! Sie Ie,
mengapa kau nampaknya tidak gembira?"
"Sebenarnya aku gembira sekali!" kata Sie Ie. "Dengan
lenyapnya bahaya yang mengancam jiwamu, dosaku jadi
diperenteng..."
Selagi mengucap demikian mata Tokciu Hongkay merah. Ia
berduka dan menyesal, hatinya perih.
Cie Hoa heran, ia memandang melengak.
"Sie Ie, apakah kau masih berduka karena memikirkan
kenapa aku mendapat sakitku ini?" ia tanya. "Kau tak usah
berkecil hati dan berduka. Segalanya kesalahan si nona...
Nona Le..."
Sie Ie menyela: "Bukan, kau tak tahu!..."
"Aku tak tahu apa?" si nona pun menyela.
"Kesalahan dia itu ialah kesalahanku," sahut Sie Ie. "Aku
yang harus bertanggung jawab..."
Hati si nona berdebaran. Sie Ie bicara sungguh-sungguh. Ia
terus menatap. "Sie Ie," katanya kemudian, suaranya bergemetar,
"bagaimana caranya kau mendapatkan obat ini" Apakah dia
rela memberikannya kepadamu?"
"Ya," sahutnya Sie Ie, mengangguk, suaranya perlahan.
"Begitu" "kata si pemudi. "Mana dianya sekarang?"
"Dia... dia..." sahut Sie Ie, sukar, "dia... dia... dia sudah
menutup mata!..."
Tak dapat dicegah lagi, air mata Sie Ie turun bercucuran.
Cie Hoa mendelong mengawasi pemuda itu. Segera ia
dapat menerka segala apa. Cuma ia belum tahu cara matinya
Seng Lam. Yang terang ialah Sie Ie itu menyintai juga Seng
Lam! "Cie Hoa," kata Sie Ie kemudian, "aku selalu menghargai
dan menyayangi kau, untuk selamanya, perasaanku itu tidak
bakal berubah, akan tetapi di samping itu aku sudah berjanji
pada satu orang, aku telah memberikan perkataanku. Aku
bukan memberikan janjiku selagi dia masih hidup hanya
setelah dia menutup mata, aku memberikannya di dalam
hatiku. Maka itu sekarang, selama aku hidup, kecuali dia, di
dalam hatiku tidak ada orang lain lagi... Cie Hoa, Cie Hoa,
dapatkah kau mengerti ini" Dapatkah kau memaafkan aku?"
Sie Ie bicara terputus-putus, air matanya mengucur terus.
"Sebenarnya di saat kematiannya bakal datang, aku telah
menikah padanya. Tapi waktu itu aku tidak tahu... aku tidak
tahu bahwa dia bakal mati... Aku cuma tahu ingin
mendapatkan obatnya... Akan tetapi, meski juga benar bukan
aku yang membunuhnya, toh akulah yang menyebabkannya.
Aku tidak menyebut dia sebagai isteriku, adalah setelah dia
menutup mata itu, aku mengakuinya..."
Tubuh Cie Hoa bergemetar, tetapi dia menahan air
matanya. "Seorang laki-laki mesti menghargai kata-katanya!" berkata
ia, suaranya halus. "Setelah sah kau dan dia menjadi suami
isteri dan kau mengakuinya di dalam hatimu, maka dia
haruslah kau pandang sebagai isterimu sendiri. Sie Ie, aku
bersyukur yang kau datang menjenguk aku, aku pun
bersyukur yang Nona Le suka memberikan obatnya itu! Sie Ie,
untuk selama-lamanya akan ku'pandang kau sebagai
sahabatku yang paling baik. Sie Ie, jangan kau berduka atau
berkuatir untukku, aku dapat menerima apa yang aku mesti
dapatkan!"
'Cie Hoa, kau jauh terlebih kuat daripada aku," kata Sie Ie.
"Jikalau kau tidak mengatakan begini, tidak nanti aku dapat
bertahan... Cie Hoa, untuk selamanya, akan aku hargai dan
menyayangi kau!"
Keras sekali Sie Ie menggenggam tangan si nona, air
matanya meleleh turun ke tangan nona itu, setelah ia
melepaskan cekalannya lantas ia ngeloyor keluar dari dalam
kamar. Lama setelah orang sudah pergi, baru Cie Hoa mendusin
dan menangis. Memang, ia lebih kuat daripada Sie Ie, akan
tetapi kedukaannya mungkin melebihkan kedukaan Kim Sie
Ie... *** Berselang satu bulan, maka pada sisi sebuah kuburan
terlihat seorang muda memasang batu nisan, bunyinya katakata
yang terukir di atasnya ialah:
"Kuburan Le Seng Lam, isteriku yang tercinta."
Pemuda itu ialah Kim Sie Ie. Ia memasang nisan untuk
nona yang ia benci tapi mencintainya. Mulanya ia mencintai
Cie Hoa tetapi Seng Lam mendesaknya. Seng Lam mendesak
tanpa menghiraukan segala apa. Cinta Seng Lam buta hingga
dia melakukan sesuatu tanpa memikir banyak-banyak, asal dia
berhasil. Itulah tanda dari kekuatan hatinya, yang tak kunjung
padam. Habis memasang batu nisan Sie Ie mengeluarkan dua jilid
buku, segera ia bakar itu di depan kuburan isterinya. Ia kata
perlahan: "Seng Lam, inilah milikmu, kau ambillah pulang!..."
Itulah kitab silat warisan Kiauw Pak Beng yang orang lain
sangat ingin mendapatkannya tetapi Sie Ie tidak hargai sama
sekali, maka ia membakarnya. Ia tak suka melihat lagi warisan
isterinya itu. Ia telah membaca kitab itu, ia tidak mau
menyimpannya. Inilah buat menyingkirkan bencana di
belakang-hari. Siapa tahu apabila ada orang yang ingin
memilikinya"
Sie Ie telah menggabung ilmu silatnya sendiri dengan isi
kitab wasiat itu. Habis membakar kitab, ia berdiri mematung di
depan kuburan. Ia membiarkan matahari menyinarinya,
membuat tubuhnya mengeluarkan bayangan. Maka juga
dengan menjublak ia mengawasi bayangannya sendiri itu,
sampai merasa bayangan itu berubah menjadi bayangannya
Seng Lam... - TAMAT - CATATAN 12) halaman 890. Dalam kisah Kangouw Sam Liehiap (Tiga
Dara Pendekar), diceritakan kisah masa muda Tong Siauw Lan
(Teng Hiau Lan). Tong Siauw Lan adalah putera dari Kaisar
Khong Hie dari selir. Jadi sebenarnya kaisar Kian Liong adalah
keponakannya, karena ayah Kian Liong, Yong Ceng adalah
saudara tiri Tong Siauw Lan.
13) halaman 997. Sebenarnya waktu itu Kiauw Pak Beng
menipu Hok Thian Touw. Kiauw Pak Beng membutuhkan
pelajaran ilmu tenaga dalam aliran lurus untuk mencapai Siulo
Imsat Kang tingkat terakhir (tingkat sembilan). Maka ia purapura
mengajak Hok Thian Touw mengadu kepandaian secara
teori (piebun), maka tanpa terasa Hok Thian Touw
membocorkan rahasia tenaga dalam aliran Thiansan, sehingga
akhirnya Kiauw Pak Beng berhasil menggabungkan sesat dan
lurus, dan berhasil mencapai Siulo Imsat Kang tingkat terakhir.
Siulo Imsat Kang tingkat terakhir ini demikian hebatnya,
hingga jago nomor satu saat itu, Thio Tan Hong, hampir saja
kalah. Thio Tan Hong akhirnya menang tipis, hal ini juga
karena sebelumnya Kiauw Pak Beng "dikuras" lebih dulu
tenaganya. Kisah menarik ini dapat diikuti dalam Kisah Pedang
Bersatu Padu (Lian Kiam Hong In).
IKUTI KISAH SELANJUTNYA:
PENG HO SWEE KIAM KISAH PEDANG DI SUNGAI ES
karya Gan KL - Bagaimana kelanjutan kisah Kim Sie Ie dan Kok Cie Hoa"
- Dalam kisah ini muncul jago muda yang merupakan murid
dari Kim Sie Ie, Kang Hay Thian. Kang Hay Thian adalah
putera dari Kang Lam.
Pendekar Cacad 10 Legenda Kematian Karya Gu Long Pendekar Sadis 17
^