Pencarian

Sang Penerus 1

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Bagian 1


Karya SH Mintardja
Seri Arya Manggada 3
Sang Penerus Sumber djvu : Ismoyo
Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
Buku 1 KEDUA orang anak muda itu telah menyusuri jalan
padu kuhan Nguter yang menjadi sibuk karena persoalan
Mas Rara. Beberapa orang prajurit masih nampak sibuk
mempersiapkan segala sesuatunya. Namun Manggada dan
Laksana berjalan semakin lama semakin jauh, sehingga
keduanya telah meninggalkan pintu gerbang padukuhan.
Sebuah padukuhan yang ternyata menyimpan persoalan
yang justru menjadi rumit.
Sementara itu. panas matahari terasa menyengat kulit.
Namun hijaunya batang padi di sawah, membuat udara
terasa segar. Pohon turi yang tumbuh di sebelah-
menyebelah jalan bulak telah memberikan perlindungan
kepada para pejalan. Sementara bunganya setiap kali
dipetik untuk dimasak bersama beberapa jenis dedaunan.
Parit di pinggir jaian mengalir deras. Airnya jemih
menyusup di antara rerumputan yang tumbuh di tanggul.
Di teriknya sinar matahari masih nampak beberapa erang
bekerja disawah. Menyiangi rumput liar yang tumbuh di
sela-sela batang padi.
"Kita sekarang akan pulang" berkata Manggada. Laksana
menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jalan ini adalah
jalan yang langsung menuju Pajang, meskipun kita tidak
akan sampai ke Pajang pada hari ini".
Manggada mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berdesis "Bukankah kita masih mempunyai uang serba
sedikit" "
"Kita masih mempunyai cukup uang. Kita belum banyak
mempergunakannya dalam perjalanan" jawab Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Hampir
di luar sadarnya ia berkata "Ternyata Mas Rara bukan gadis desa".
Laksana tertawa. Katanya "Gadis itu juga menuju ke
Pajang hari ini".
"Naik kereta" desis Manggada.
"Pengiringnya naik kuda" sahut Laksana.
"Jika demikian, kita akan mengambil jalan lain. Jika
mereka juga mengambil jalan ini, mereka tentu akan
melampaui kita" berkata Manggada.
"Ya. Mas Rara yang naik kereta itu bersama Nyi Partija
Wirasentana akan melambaikan tangannya kepada kita"
desis Laksana sambil tertawa.
"Kita harus mengambil jalan lain" berkata Manggada.
Sebenarnyalah, ketika mereka sampai ke simpang empat,
Manggada telah mengajak Laksana berbelok meninggalkan jalan utama menuju ke Pajang.
Dengan demikian, mereka telah menempuh jalan yang
lebih kecil. Namun mereka yakin, bahwa mereka tidak akan
dapat menunjukkan jalan yang menuju ke Pajang.
Ternyata jalan yang lebih kecil itu justru telah melewati
sebuah padukuhan yang besar. Di sudut padukuhan itu
terdapat sebuah pasar yang agaknya cukup ramai di pagi
hari. Menilik iuasnya dan beberapa gubug di tepi pasar yang
dipergunakan oleh para pande besi, maka pasar itu
merupakan pasar yang cukup penting. Setidak-tidaknya di
hari pasaran sepekan sekali.
Tetapi ketika keduanya melewati jalan di sebelah pasar
itu, maka pasar itu sudah menjadi sepi.
Meskipun demikian, masih juga ada sebuah kedai yang
masih dibuka. Bahkan masih ada satu dua orang
didalamnya. "Kita berhenti sebentar. Aku haus" desis Laksana.
Manggada mengangguk. Iapun merasa sangat haus setelah
berjalan di bawah teriknya matahari di bulak panjang.
Di kedai itu Manggada dan Laksana itu mendengar
beberapa orang yang telah ada di dalamnya berbicara
tentang padukuhan mereka. Ternyata mereka adalah orang-
orang yang tinggal di sekitar pasar itu.
Seorang di antara mereka berkata "Ternyata keadaan
mulai menjadi buruk lagi. Perselisihan di antara kedua
orang yang berpengaruh itu akibatnya tidak hanya
menimpa mereka dan keluarga mereka. Tetapi orang-orang
yang terkait dalam kerja dengan merekapun terpengaruh
pula". Manggada dan Laksana yang sedang minum minuman
hangat itupun tergoda untuk mendengarkannya. Namun
kemudian keduanya menarik nafas dalam-dalam hampir
bersamaan. Ternyata yang mereka bicarakan benar-benar
persoalan keluarga.
Seorang yang lain berkata "Lamaran yang semula
nampaknya akan diterima itu, kenapa tiba-tiba saja telah
ditolak" "
"Kau benar-benar tidak tahu sebabnya?" orang pertama
bertanya. "Tidak".
"Itulah. Semula keadaan membaik. Keduanya nampaknya akan mengijinkan anak-anak mereka menikah.
Tetapi tiba-tiba keadaan menjadi buruk lagi ketika mereka
mulai berbicara tentang air yang mengalir di antara sawah-
sawah mereka yang sudah lama menjadi sengketa" jawab
orang pertama. Yang lain mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa
persoalan air telah menjadi persoalan yang berkepanjangan
di antara kedua keluarga dari orang-orang
yang berpengaruh di padukuhan itu. Nampaknya perselisihan itu
akan diakhiri dengan perkawinan antara anak-anak mereka.
Tetapi perkawinan itupun telah urung pula.
Manggada dan Laksana tidak menaruh banyak perhatian
tentang persoalan keluarga itu. Namun yang kemudian
menarik adalah justru ketika mereka berbicara tentang pasar
yang cukup luas itu.
Dari pembica raan mereka, Manggada dan Laksana
dapat mengetahui bahwa pasar itu adaiah pasar yang
terbesar di antara tiga buah pasar yang ada di Kademangan
mereka. Justru lebih besar dari pasar yang ada di
Kademangan induk.
Namun pembicaraan mereka terputus ketika dua orang
di antara mereka harus meninggalkan kedai itu.
"Kami masih harus melihat air. Jika kotak sawah kami
sudah penuh, kami harus menutupnya. Kotak-kotak sawah
yang lain tentu membutuhkannya" berkata salah seorang
dari mereka yang meninggalkan kedai itu.
Manggada dan Laksanapun kemudian telah membayar
harga minuman dan beberapa potong makanan. Ketika
mereka keluar dari kedai itu, matahari sudah condong di
sisi Barat. Keduanyapun kemudian telah melanjutkan perjalanan
melewati lorong di dalam padukuhan yang cukup besar itu.
Beberapa rumah di pinggir jalan itu memang cukup besar
dan rapi. Agaknya padukuhan itu termasuk padukuhan
yang berkecukupan.
Namun ketika Manggada dan Laksana melewati tiga
padukuhan yang disekat oleh bulak-bulak panjang,
matahari sudah menjadi sangat rendah. Sebentar lagi senja
tentu akan segera turun.
"Apakah kita akan bermalam di sini?" bertanya
Manggada. Laksana termangu-mangu. Padukuhan itu memang tidak
sebesar padukuhan yang memiliki pasar terbesar di
Kademang- itu. Tetapi nampaknya padukuhan itu cukup
ramai. "Kita bermalam di padukuhan yang kecil dan sepi saja"
berkata Laksana.
"Kenapa?" bertanya Manggada.
"Nampaknya di sini terlalu sibuk. Jika bermalam di
banjar, agaknya di banjar padukuhan itupun banyak
terdapat anak-anak muda atau orang-orang jlain dengan
kesibukannya " jawab Laksana.
Manggada mengangguk. Katanya "baiklah. Kita melintas
satu bulak lagi".
Keduanyapun telah meneruskan perjalanan. Langitpun
menjadi semakin suram. Matahari telah semakin rendah
dan kemudian bertengger di punggung bukit. Namun
sejenak kemudian, senja benar-benar turun.
Kedua anak muda itu telah memasuki sebuah
padukuhan yang lebih kecil dan lebih sepi, sehingga
Laksana menganggap bahwa tempat itu adalah tempat yang
paling baik untuk beristirahat. Apalagi di pinggir
padukuhan itu terdapat sebuah sungai kecil yang airnya
cukup jernih. Karena itulah, kedua orang anak muda itu telah menuju
ke banjar padukuhan ketika malam mulai turun.
Ternyata banjar padukuhan yang tidak begitu besar itu
na-npak sepi. Lampu memang sudah dinyalakan, tetapi
tidak ada seorangpun yang nampak di banjar maupun di
halamannya. Agaknya orang yang menyalakan lampu
minyak itu telah pergi pula meninggalkan banjar yang
kosong itu. Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun Manggadapun kemudian berdesis "Suasana yang
sesuai dengan keinginanmu. Sepi".
"Ah" Laksana berdesah "kita bertanya di rumah sebelah".
Keduanya telah pergi ke rumah di sebelah banjar itu
Rumah yang juga tidak begitu besar meskipun halamannya
cukup luas. Namun nampaknya tidak cukup terpelihara.
Ternyata pintu rumah itu sudah tertutup. Perlahan-lahan
agar tidak mengejutkan pemilik rumah itu. Manggada
mengetuk pintunya.
Sejenak kemudian, pintu rumah itu memang terbuka.
Seorang laki-laki yang sudah lewat setengah abad berdiri
lermangu-mangu di belakang pintu.
"Siapa yang kalian cari anak-anak muda?" bertanya laki-
laki itu. Manggadapun kemudian menjelaskan, bahwa ia sekadar
ingin bermalam di banjar. Tetapi banjar itu ternyata kosong
meskipun lampu telah menyala.
"Oo. Mari. mari silahkan. Akulah
yang telah menyalakan lampu di banjar itu" orang tua itu ternyata
cukup ramah. "Tetapi kami hanya ingin mohon ijin untuk bermalam di
banjar" berkata Manggada.
"Banjar kami seluruhnya terbuka anak-anak muda"
jawab orang tua itu "angin malam akan berhembus
mendinginkan darah kalian. Karena itu, jika kalian ingin
bermalam, marilah, bermalam saja di rumahku. Aku
jugalah yang melayani banjar itu. sehingga bagiku, kalian
lebih baik bermalam di sini daripada di banjar. Jika ada air
panas, aku tidak usah membawa ke banjar".
"Tetapi, kami tidak ingin membuat Kiai menjadi sibuk "
jawab Manggada "kami hanya ingin tidur. Itu saja".
"Sudahlah, marilah. Jangan segan-segan. Di rumah ini
aku juga hanya sendiri orang tua itu masih saja
mempersilahkan.
Manggada dan Laksana tidak dapat menolak.
Manggada dan Laksana tidak dapat menolak. Merekapun kemudian telah melangkah masuk ke rumah
orangtua itu. Se; jrti halamannya yang kurang terpelihara, isi rumah
itu-pun agaknya kurang terawat. Apalagi perabot rumah itu
memang cukup sederhana. Tidak ada barang-barang yang
berharga yang tampak. Tentu saja keduanya tidak tahu,
apakah orangtua itu mempunyai simpanan atau tidak.
"Duduklah" orangtua itu mempersiiahkan. Manggada
dan Laksanapun duduk di sebuah amben yang besar.
Ketika orangtua itu masuk ke sentong kiri sejenak,
Manggada dan Laksana sempat memperhatikan isi rumah
itu. Selain amben besar tempat mereka duduk, mereka
hanya melihat sebuah geledeg bambu yang agak besar.
Ajug-ajug, tempat orangtua itu meletakkan dlupak minyak
klentik yang sudah menyala. Apinya tampak bening dan
tidak terlalu banyak mengeluarkan asap kehitam-hitaman.
Sejenak kemudian, orangtua itu telah keluar dari sentong
kiri. Ternyata ia telah membenahi pakaiannya. Dikenakannya baju yang lebih pantas, serta merapikan
rambutnya yang panjang di bawah ikat kepalanya.


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di sini angger berdua tentu merasa lebih hangat
daripada di banjar" berkata orangtua itu.
"Tetapi kami benar-benar tidak ingin merepotkan Kiai.
Kami hanya ingin tidur. Besok pagi-pagi kami ingin
melanjutkan perjalanan" jawab Manggada dan Laksana.
"Angger berdua itu akan pergi kemana?" bertanya
orangtua itu. Manggada dan Laksana sempat menceriterakan serba
sedikit tentang perjalanannya. Mereka mengatakan bahwa
mereka ingin pulang.
"Apakah angger berdua sudah tahu, jalan manakah yang
harus angger lalui?" bertanya orangtua itu.
"Tidak terlalu sulit. Kiai. Bukankah setiap orang akan
dapat menunjukkan jalan ke Pajang" Seteiah sampai di
Pajang, kami dapat dengan mudah mencari jalan pulang"
jawab Manggada.
Orangtua itu mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah jika
demikian. Tampaknya, angger berdua telah berpengalaman
menempuh perjalanan".
"Kami memang sedang menempuh perjaianan panjang.
Mungkin jauh lebih panjang dari jalan yang seharusnya
menuju ke Pajang, karena kami memang sedang
mengembara. Kami ingin melihat seberapa jauhnya
cakrawala".
Orangtua itu tertawa. Katanya "Kalian tampaknya
memang anak-anak muda yang haus akan pengalaman. Jika
kau dekati cakrawala, maka cakrawala itu akan selalu saja
tetap jauh. Jika cakrawala itu kemudian membentur
gunung, maka cakrawala itu justru akan menghilang".
"Itulah yang menarik, Kiai" jawab Manggada.
Orangtua itu mengangguk-angguk pula. Katanya "bagus
anak muda. Pengalaman dapat memberikan banyak
pengetahuan kepada kalian, asal kalian dapat menangkapnya dan mencerna dengan baik didalam
dirimu". "Kami memang ingin melakukannya Kiai. Tetapi betapa
bodohnya kami, sehingga apa yang kami alami, apa yang
kami lihat, dan apa yang kami dengar, tidak menambah
pengetahuan kami, sehingga kami masih saja tetap dungu"
jawab Manggada.
Orangtua itu tertawa. Katanya "kalian ternyata adalah
anak-anak muda yang cerdas. Bukankah kalian ingin
mengatakan, semakin banyak yang kalian ketahui, maka
kalian merasa semakin banyak pula yang tidak kalian
ketahui?" Kedua anak muda itu berpandangan sejenak. Namun
Laksana kemudian berkata "Ya Kiai. Kami memang
merasa demikian".
"Bagus" orangtua itu mengangguk-angguk "itu adalah
pertanda bahwa pintu berbendaharaan ilmumu terbuka.
Kau akan dapat menimba pengetahuan sebanyak-
banyaknya. Orang yang merasa dirinya penuh dengan
pengetahuan, maka itu adalah batas akhir dari kemampuannya, la telah menutup pintu perbendaharaan
pengetahuannya sendiri, sehingga orang yang demikian itu
tidak akan dapat menambah ilmu dan pengetahuan lagi".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Menurut
pendapat kedua anak muda itu, orangtua itu ternyata
memiliki jangkauan penalaran yang jauh. Jauh lebih luas
dari ujud kewadagannya yang sangat sederhana itu.
Tetapi kedua anak muda itu tidak mengatakan sesuatu
tentang orangtua itu.
Namun orangtua itu tiba-tiba saja berkata "Silakan
duduk anak muda. Aku akan merebus air".
"Sudahlah Kiai. Terima kasih. Kiaipun sudah waktunya
untuk beristirahat Bukankah Kiai tadi sudah berbaring?"
bertanya Mangagada.
Orangtua itu tersenyum. Katanya "Aku mempunyai
pohon jeruk pecel. Tentu sedap sekali untuk membuat
minun.an di malam yang dingin begini. Hanya daunnya.
Bukan jeruknya. Aku juga mempunyai beberapa tangkap
gula kelapa. Jangan kira aku membeli. Aku justru menjual
gula kelapa, karena aku mempunyai beberapa batang pohon
kelapa yang aku sadap air manggarnya".
"Tetapi sudahlah Kiai. Kia i tidak usah menjadi sibuk
karena kehadiran kami" berkata Laksana.
Orangtua itu justru tertawa. Katanya "Aku ingin
memanaskan tubuhku. Malam terasa sangat dingin."
Manggada dan Laksana tidak dapat mencegahnya lagi.
O-rangtua itu kemudian meninggalkan keduanya di ruang
tengah. Lewat pintu samping orangtua itu telah pergi ke
dapur. Ketika pintu samping terbuka, dan tengah bertiup
menyibakkan kain yang menutup pintu sentong tengah
yang tidak berdaun, kedua anak muda itu sempat melihat
sebuah ploncon dengan tiga batang tombak di dalamnya,
serta sebuah songsong yang berwarna kuning bergaris hijau.
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Demikian orangtua itu pergi ke dapur, maka Manggadapun
berkata "Kau lihat songsong itu" "
"Ya. Tetapi apakah songsong itu milik Kiai pemilik
rumah ini" Jika ia petugas banjar padukuhan ia tentu orang
yang sudah terhitung lama tinggal di sini" jawab Laksana.
Manggadapun mengangguk-angguk. Namun songsong
dan tiga batang tombak di sentong tengah itu, telah
menimbulkan pertanyaan di hati kedua anak muda itu.
Ternyata orangtua itu cukup lama berada di dapur. Ia
harus, membuat api, mengisi periuk dan menunggu air itu
mendidih. Di ruang dalam, Manggada dan Laksana menjadi
gelisah. Bahkan
Laksanapun berdesis "Aku
sudah mengantuk".
"Orangtua itu sedang merebus air bagi kita. Jangan
kecewakan dia" berkata Manggada.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, pintu samping
telah terbuka lagi. Orangtua itu dengan nampan yang bulat
terbuat dari kayu, telah membawa beberapa mangkuk
minuman dan bahkan ketela rebus. Asapnya masin tampak
mengepul di atasnya.
"Maaf, mungkin aku terlalu lama. Aku telah pergi
kekebun untuk memetik daun jeruk pecel dan mencabut dua
batang ketela pohon" berkata orangtua itu.
"Ah, kami membuat Kiai menjadi sibuk sekali" desis
Manggada. "Tidak. Tidak. Aku senang masih ada orang yang mau
datang kerumahku" jawab orangtua itu seakan-akan di luar
sadarnya. Manggada dan Laksana saling berpandangan pula.
Tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa.
Demikianlah. Sejenak kemudian, mereka telah menikmati rebus ketela dan minuman yang masih hangat.
Seperti dikatakan oleh orangtua itu. Mereka menghirup
wedang jeruk. Namun bukan jeruknya, tetapi daunnya
sajalah yang dipakai untuk menyedapkan air yang telah
mendidih, kemudian diberi beberapa potong gula kelapa.
Ketika kemudian angin malam menyusup di antara
dinding-dinding
yang berlubang, dan sekali lagi menyingkapkan kain penutup pintu yang tidak berdaun di
sentong tengah, maka di luar sadar, Manggada dan Laksana
telah memperhatikan lagi songsong dan tombak yang ada di
sebuah ploncon yang besar di sentong tengah itu.
Ternyata orangtua .tu tanggap. Karena itu, tanpa diminta
orangtua itupun berkata "Songsong itu adalah songsong
titipan. Selain songsong itu ada tiga batang tombak yang
menurut pemiliknya mempunyai tuah".
Kedua anak muda yang mulai berkeringat oleh panasnya
wedang jeruk dan ketela pohon yang masih hangat itu,
mengangguk-angguk. Tetapi mereka mengharap orangtua
itu berceritera lebih banyak lagi tentang songsong dan
tombak itu. Namun ternyata orangtua itupun telah
menghirup minuman panas dan makan ketela rebus itu
pula. Bahkan telah mempersilahkan kedua anak itu untuk
makan pula lebih banyak lagi.
Berapa saat Manggada dan Laksana menunggu. Tetapi
orangtua itu tidak berceritera lagi tentang songsong dan
tombak itu. Karena itu, Laksana yang ingin mengetahui
lebih banyak telah bertanya "Siapakah yang telah
menitipkan songsong dan tombak-tombak itu" "
Orangtua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
kalanya "Sudah lama terjadi. Aku sendiri tidak tahu.
apakah, orang yang menitipkan benda-benda itu masih
ingat atau tidak" orangtua itu berhenti sejenak. Lalu
katanya "Saat itu, banjar di sebelah masih dianggap banjar
padukuhan ini".
"Apakah sekarang sudah tidak?" bertanya Laksana.
"Orang-orang padukuhan ini telah membuat banjar yang
lebih baik. Karena itu, banjar ini tidak lagi banyak
dipergunakan. Hanya kadang-kadang saja jika kegiatan di
banjar yang baru itu sudah tidak menampung lagi. Karena
itu, banjar ini tampak sepi. Hanya kadang-kadang saja para
pemuda singgah beberapa lama duduk-duduk di banjar
lama itu. Lalu meneruskan tugas mereka lagi mengelilingi
padukuhan. Terakhir mereka kembali ke banjar baru"
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk.
Merekapun menganggap bahwa banjar itu memang terlalu
sepi. Namun merekapun kemudian mengetahui bahwa
disamping banjar lama itu, sudah ada lagi banjar yang baru,
sehingga hampir semua kegiatan padukuhan itu telah
beralih ke banjar yang baru itu.
Tetapi kedua anak muda itu segera teringat kembali
kepada pertanyaan mereka yang belum terjawab. Karena
itu, Laksanapun kembali bertanya "Tetapi, siapakah yang
telah menitipkan pusaka-pusaka itu?"
"Itu sudah lama terjadi" jawab orangtua itu "seandainya
aku sekarang bertemu dengan orang yang menitipkan
pusaka-pusaka itu, aku sudah tidak akan dapat mengenalinya lagi".
"Jadi, bagaimana seandainya ada orang lain yang
berpura-pura memiliki pusaka-pusaka itu?" bertanya
Manggada. Lalu "Orang yang pernah mengetahuinya,
datang dan mengaku bahwa orang itulah yang telah
menitipkannya dan kemudian akan mengambilnya kembali". Orangtua itu tertawa. Katanya "Itu tidak mungkin ngger.
Pada tangkai songsong itu terdapat karah besi baja. Di
bawah karah besi baja itu, terdapat patung kecil yang
kakinya tepat masuk pada karah besi itu. Patung seekor
harimau yang terbuat dari perunggu. Nah, siapa yang
membawa patung itu dan kakinya dapat masuk tepat pada
lubang karah besi itu, barulah ia dapat mengambilnya".
Manggada mengerutkan dahinya dan Laksana mengangguk-angguk. Katanya "Jika orang yang memiliki
patung itu telah melupakannya dan
tidak akan mengambilnya lagi?"
"Benda-benda itu akan menjadi benda-benda yang tidak
bertuan. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya" jawab
orangtua itu. "Bukankah dengan demikian benda-benda itu
akan menjadi milik Kiai?"
bertanya Manggada.
"Ah" orangtua

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tertawa. Katanya "Tidak
pantas aku memiliki benda-benda seperti itu.
Yang pantas bagiku adalah
cangkul dan barangkali bajak dan garu".
Manggada dan Laksana
saling berpandangan sejenak. Namun kemudian
Manggadapun bertanya "Kenapa patung kecil itu
dilepas, Kiai. Apakah sengaja untuk menjadi pertanda bagi
pemiliknya, atau karena perhitungan lain".
"Yang penting adalah bagi pertanda itu. Tanpa pertanda
itu, tidak seorangpun dapat mengambilnya. Tetapi
sebenarnya patung kecil itu sejak sebelumnya memang
sudah dilepas. Pemilik songsong itu tidak sampai hati
melihat patung harimau yang kakinya melekat pada karah
tangkai songsong itu. Jika songsong itu diletakkan pada
tangkainya, maka kepala harimau itulah yang akan menjadi
tumpuannya." jawab orangtua itu.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sambil
tersenyum, Manggada bertanya "Apakah orang yang
memiliki songsong itu seorang yang hatinya sangat lembut,
sehingga merasa belas kasihan terhadap sebuah patung" "
"Ya" orangtua itu mengangguk-angguk "seorang yang
hatinya memang sangat lembut. Seorang yang ramah dan
berpandangan luas".
"Apakah ia datang seorang diri dengan membawa
songsong dan pusaka-pusaka itu?" bertanya Laksana.
"Tidak. Ia datang dengan beberapa orang pengiringnya"
jawab orangtua itu. Lalu katanya "Tanpa mau mengatakan
tentang dirinya, asalnya dan tujuannya. Ia hanya
mengatakan bahwa ia menitipkan songsong dan pusaka-
pusaka itu. Pada suaiu saat, akan diambilnya dengan
pertanda yang dibawanya. Tetapi ternyata, sampai sekarang
benda-benda itu masih belum diambilnya".
"Sudah berapa tahun benda itu ada di sini?" bertanya
Manggada. "Sudah lama. Jauh sebelum Raden Panji Prangpranata
berkuasa di daerah ini" jawab orangtua itu.
"Jadi kekuasaan Raden Panji Prangpranata juga terasa
sampai di sini?" bertanya Manggada.
"Ya. Raden Panji yang semula menjadi gantungan
harapan rakyat dengan menghalau kerusuhan di daerah ini,
ternyata kemudian justru mencemarkan sekali" jawab
orangtua itu. "Apakah Raden Panji sering datang kemari?" bertanya
Laksana. "Perempuan di sebelah, kira-kira berantara empat rumah
dari rumah ini, telah diambil menjadi isterinya. Tetapi
entah apa yang terjadi, perempuan itu telah meninggal"
jawab orangtua itu.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Jarak
padukuhan itu dari pusat pengendalian pasukan Raden
Panji tidak jauh berbeda dengan jarak antara Nguter dan
tempat tinggal orangtua itu.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Jarak
padukuhan itu dari pusat pengendalian pasukan Raden
Panji tidak jauh berbeda dengan jarak antara Nguter dan
tempat tinggal Raden Panji.
"Untunglah bahwa Raden Panji tidak mengetahui
Songsong dan pusaka-pusaka yang ada di rumah ini. Jika ia
mengetahui, mungkin benda-benda itu sudah diambilnya."
berkata orangtua itu pula.
Namun kemudian Manggada berkata "Raden Panji telah
diganti Kiai".
"He?" orangtua itu terkejut "darimana kau tahu?"
"Aku baru saja dari Nguter. Peristiwa pergantian
kedudukan itu terjadi di Nguter" jawab Manggada.
"Siapakah yang menggantikan kedudukan Raden Panji
sekarang?" bertanya orangtua itu.
"Ki Panji Wiratama" "jawab Manggada.
Orangtua itu mengangguk-angguk. Katanya "Aku belum
mengenalnya. Tetapi mudah-mudahan caranya memerintah
lebih baik dari Raden Pada Prangpranata."
"Tampaknya begitu Kiai" jawab Manggada.
"Petugas yang baru itu tentu saja tidak tahu bahwa di
rumah ini ada benda-benda pusaka yang dititipkan. Jika
mereka mengetahui, dan berusaha untuk mengambilnya
tanpa menunjukkan penanda sebagaimana yang diperankan
oleh pemiliknya, aku tentu menjadi sangat bingung. Aku
tidak berani menolak, tetapi aku juga tidak berani
memberikan" berkata orangtua itu.
"Ki Panji Wiratama tidak akan berbuat seperti Raden
Panji" berkata Manggada "menilik sikapnya dan langkah-
langkah yang diambilnya"
"Sebelum memegang kekuasaan" desis orangtua itu.
"Ya. Sebelum menggantikan kedudukan Raden Panji"
jawab Manggada.
"Itulah nggger. Kadang-kadang seseorang dapat berubah
karena kedudukannya. Kelengkapan duniawi yang mewarnai kehidupan seseorang, akan dapat menusuk
sampai kewatak dan pribadinya, sehinggga seseorang akan
dapat menjadi orang lain. Tetapi mudah-mudahan tidak
demikian dengan orang yang baru itu. Karena aku yakin
bahwa masih ada orang yang tetap teguh berpijak pada
pribadinya, meskipun ia mengalami banyak perubahan
dalam hubungannya dengan tata kehidupan keduniawiannya" berkata orang itu.
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar
sadarnya ia berkata "Ya. Mungkin sekali hal seperti itu
terjadi". "Ya anak-anak. muda" berkata orangtua itu bersungguh-
sungguh "kalian berdua masih muda. Banyak kemungkinan
dapat terjadi. Jika pada suatu ketika kalian mendapat satu
kedudukan yang tinggi, maka kalian jangan cepat berubah.
Jika perubahan itu membuat kalian menjadi lebih baik, itu
tidak mengapa. Tetapi jika sebaliknya".
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara
orangtua itu berkata "Marilah. Silahkan minuman hangat
kalian". "Ya, ya Kiai" jawab Manggada dan Laksana hampir
berbareng. Namun rasa-rasanya kedua anak muda itu masih ingin
mengetahui lebih banyak tentang pusaka-pusaka itu. Tetapi
mereka tidak merasa pantas untuk mendesak orangtua itu
untuk berbicara lebih banyak lagi.
Yang kemudian diceriterakan oleh orangtua itu adalah
perkembangan padukuhannya. Meskipun perlahan-lahan,
namun semakin lama menjadi semakin baik. "Kita sudah
berhasil membuat sebuah banjar yang lebih baik, dan
perbaikan-perbaikan yang lain yang mulai merata".
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sebenarnya
mereka tidak begitu tc:tarik mendengar ceritera tentang
padukuhan itu. Namun mereka tidak ingin menyinggung
perasaan orangtua itu.
Tetapi tiba-tiba saja Laksana bertanya "Apakah nama
padukuhan ini Kiai?"
Orangtua itu mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya "Nama padukuhan ini singkat saja. seperti
padukuhan yang kau sebut-sebut, Nguter. Nama padukuhan ini Ngandong. Termasuk Kademangan Ringin
Sewu". Kedua anak muda itu mengangguk-angguk.
Sementara itu, orangtua itu masih juga berceritera
tentang padukuhan dan Kademangan, tanpa menyinggung
lagi tentang songsong dan pusaka-pusaka itu.
Baru setelah orangtua itu merasa puas dengan
ceriteranya, iapun berkata "Nah anak muda. Maaf, aku
terlalu banyak berbicara. Kalian berdua tentu letih dan
mengantuk. Silahkan angger berdua beristirahat".
"Terima kasih Kiai" jawab keduanya hampir berbareng.
"Tetapi aku tidak mempunyai tempat yang lebih baik
dari amben ini ngger. Aku persilahkan kalian tidur di
amben ini" berkata orangtua itu.
"Terima kasih Kiai. Kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya" sahut Manggada. Namun ia masih
juga bertanya "Tetapi kenapa Kiai tinggal seorang diri di
sini" Apakah Kiai tidak mempunyai sanak kadang?"
"Ada ngger. Aku sebenarnya mempunyai seorang anak
laki-laki" jawab orang itu "tetapi ia sudah dewasa dan
berumahtangga. Sebenarnya, anakku minta aku tinggal
bersamanya, namun padukuhan ini masih memerlukan aku,
sehingga aku harus tetap tinggal di sini merawat banjar tua
itu. Entahlah besok kalau aku menjadi semakin tua.
Sementara anakku sama sekali tidak berminat untuk
menggantikan tugasku merawat banjar tua ini".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula.
Sementara orangtua itu berkata "Silahkan beristirahat anak
muda. Akupun sudah mengantuk".
Orangtua itupun kemudian telah menyingkirkan mangkuk-mangkuk minuman dan dibawanya ke dapur.
Manggada dan Laksana memandangi ruangan itu
sekilas. Kemudian mereka membaringkan diri. Mereka
meletakkan pedang-pedang mereka di sisi tubuh mereka
yang terbaring.
Bagaimanapun juga. kedua anak muda itu harus berhati-
hati. Mereka berada di tempat yang tidak begitu dikenalnya.
Karena itu, mereka telah sepakat untuk bergantian tidur.
Namun mereka berdua tidak ingin menunjukkan sikap
hati-hati kepada orangtua pemilik rumah itu. Orangtua itu
akan dapat menjadi salah mengerti dan tersinggung karena
merasa dicurigai.
Beberapa saat kemudian suasana di rumah itu telah
menjadi hening. Orangtua pemilik rumah itu, yang
membawa mangkuk-mangkuk ke dapur, telah kembali pula
dan masuk ke dalam sebuah bilik kecil di sebelah kiri
sentong tengah, tempat ia menyimpan songsong dan tiga
batang tombak yang dikatakannya barang-barang titipan
itu. Sesekali angin memang menyingkap tirai sentong tengah
itu, dan kedua anak muda itu dapat melihat songsong dan
tiga batang tombak yang panjangnya tidak sama itu.
Ketika malam menjadi semakin hening, Manggada yang
mendapat giliran untuk berjaga-jaga, meskipun sambil
berbaring, melihat orangtua itu keluar dari bilik kecilnya..
Di bawah cahaya lampu yang redup, Manggada melihat
orangtua itu termangu-mangu sejenak. Diperhatikannya
kedua anak muda yang disangkanya telah tertidur itu.
Perlahan-lahan orangtua itu melangkah ke sentong
tengah. Kemudian hilang di balik tirai yang tergantung di
lubang pintu yang tidak berdaun itu.
Manggada telah menggamit Laksana yang sudah mulai
tertidur. Namun Manggadapun telah berdesis untuk
memberi isyarat agar Laksana tidak bertanya kepadanya.
Dengan isyarat pula, Manggada menunjuk pintu sentong
tengah yang tertutup oleh tirai itu.
Tetapi ketika tirai itu tersingkap oleh angin yang
menyusup lewat lubang-lubang dinding, kedua anak tidak
itu melihat, orangtua pemilik rumah itu berjongkok di
depan ploncon tempat ia meletakkan songsong dan ketiga
batang tombak itu. Tangannya diletakkannya pada ploncon
itu. sedangkan kepalanya menunduk dalam-dalam.
Hal itu dilakukannya beberapa saat. Namun kedua anak
muda itu tidak melihat orangtua itu keluar dari sentong
tengah. Tangannya sibuk mengusap matanya, tanpa
diketahui sebabnya. Apakah ada seekor binatang kecil
masuk ke dalam mata tua itu, atau orangtua itu baru saja
menangis. Namun sejenak kemudian, orangtua
itu justru melangkah mendekati Manggada dan Laksana yang baru
tidur, meskipun hanya berpura-pura.
Kepada diri sendiri, orangtua itu bergumam "Sebaiknya
mereka meninggalkan rumah ini pagi-pagi benar, sebelum
orang-orang itu datang. Sayang, mereka datang pada saat
yang tidak baik. Jika saja tidak ada persoalan apapun, aku
ingin penahannya barang satu dua hari untuk menemani
aku". Orangtua itupun kemudian melangkah meninggalkan
Manggada dan Laksana kembali masuk ke dalam biliknya.
Manggada dan Laksana tidak mengatakan apa-apa.
Mereka berdua justru terdiam dan mencoba mengurai kata-


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata orangtua itu.
Namun akhirnya justru kedua-duanya tertidur bersama-
sama. Menjelang fajar, keduanya terkejut. Mereka mendengar
pintu samping berderit keras. Ketika keduanya terbangun,
mereka melihat orangtua itu masuk membawa mangkuk
minuman hangat. Agaknya orangtua itu sudah lebih dahulu
bangun dan menjerang air didapur,
"Hampir fajar" berkata orang itu sambil tersenyum
"silahkan minum minuman hangat. Kalian tentu akan
berangkat sebelum matahari terbit. Saat yang paling baik
untuk memulai sebuah perjalanan. Mungkin kalian masih
akan mandi lebih dahulu. Di belakang rumah ini ada
pakiwan." Manggada dan Laksana kemudian bergantian pergi ke
pakiwan. Bergantian pula mereka menimba air dengan
timba upih yang tergantung pada senggol bambu yang
panjang. Namun kedua anak muda itu sempat berbicara tentang
kata-kata orangtua yang sama-sama dapat mereka dengar.
"Tampaknya akan terjadi sesuatu di rumah ini" berkata
Manggada. "Ya. Itulah agaknya, dengan sengaja ia membuka
pintunya agak keras, agar kita berdua terbangun karena
ternyata kita berdua telah tertidur bersama-sama" sahut
Laksana. "Ia menghendaki agar kiia meninggalkan tempat ini pagi-
pagi sekali" desis Manggacb
"Kita akan mengulur waktu" desis Laksana,
"Ya. Akupun ingin tahu apa yang akan cerjadi. Apakah
ada hubungannya dengan songsong dan tombak-tombak
itu." sahut Manggada
Laksana mengangguk-angguk.
Mereka harus mendapatkan cara untuk dapat bertahan berada di tempat
itu sampai orang-orang yang dimaksud oleh orangtua itu
datang. Sejenak kemudian, mereka telah duduk di ruang dalam
rumah orang-tua yang tidak begitu besar itu. Minuman
yang disediakan masih tetap hangat. Wedang jahe dengan
gula kelapa yang kehitam-hitaman.
"Marilah ngger" orangtua itu mempersilahkan "mumpung masih pagi. Udaranya masih segar dan
matahari-pun belum mulai naik".
"Terima kasih Kiai" jawab Manggada sambil mengangkat mangkuknya. Demikian pula Laksana.
"Aku tidak dapat menyuguhkan apapun kecuali sekadar
minum" berkata orangtua itu pula,
Kaduanya tidak menjawab. Tetapi keduanya sibuk
meneguk minuman hangat dengan gula kelapa yang
menurut orangtua itu dibuatnya sendiri.
"Maaf anak-anak muda" berkata orangtua itu kemudian
"sebentar lagi, aku harus berada di kebun kelapaku. Aku
harus menyadap legen untuk membuat gula. Pekerjaan
yang aku lakukan dua kali sehari".
"Kiai masih memanjat dan menyadap sendiri ?" bertanya
Manggada. "Ya. Aku lakukan itu setiap hari, pagi dan sore" berkata
orangtua itu, "Kiai" tiba-tiba saja Laksana berkata "apakah kami dapat
membantu?"
Wajah orangtua itu berkerut. Katanya "Tidak. Itu tidak
perlu. Aku justru ingin mempersilahkan angger berdua
mulai dengan perjalanan pagi-pagi, mumpung matahari
belum terbit. Sementara aku pergi ke kebun kelapa. Aku
harus mulai pagi-pagi sekali agar tidak kesiangan".
"Kiai" berkata Manggada "kami berdua tidak tergesa-
gesa. Kami ingin mengucapkan terima kasih dengan
melakukan apa saja pagi ini. Nanti setelah matahari
sepenggalan. kami akan melanjutkan perjalanan".
Orangtua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemu-
dudian katanya "Aku tahu. Kalian berdua tentu masih ingin
mendengar ceritera tentang songsong dan pusaka-pusaka
itu. Marilah, aku akan menunjukkan kepada angger berdua
agar angger tidak dibebani oleh perasaan ingin tahu. Benda-
benda yang terlarang untuk disaksikan. Tetapi aku memang
membatasi diri agar tidak terlalu banyak orang yang
mengetahuinya. Jika demikian, maka kemungkinan buruk
akan dapat terjadi".
Sebelum kedua anak muda itu menjawab, orangtua itu
telah melangkah ke sentong tengah. Disingkapkannya lirai
pintu sentong tengah itu dan disangkutkannya pada uger-
uger di sebelah.
"Marilah ngger. Silahkan melihat-lihat benda-benda
titipan ini." berkata orangtua itu.
Manggada dan Laksana tidak dapat menolak. Merekapun telah masuk pula ke sentong tengah, sementara
orangtua itu berlutut di depan ploncon tempat songsong
dan tombak-tombak itu diletakkan.
"Inilah benda-benda itu ngger. Bukankah seperti
songsong kebanyakan" Tampaknya memang songsong
bertanda kebangsawanan, karena warnanya yang kuning
emas itu dan lingkaran hijau di tengah-tengahnya."
Manggada dan Laksana masih tetap berdiri tegak. Tetapi
dalam cahaya pagi serta sinar lampu di ruang tengah,
keduanya melihat karah tangkai tombak di bawah mata
tombak itu terbuat dari logam yang berwarna kekuning-
kuningan, "Emas" desis keduanya di dalam hati. Bahkan
ketika mereka sempat melihat tombak yang bertangkai lebih
pendek, karah itu bukan saja terbuat dari emas. tetapi
terdapat pula permata yang gemerlapan.
Agaknya orangtua itu mengerti, apa yang diperhatikan
oleh kedua anak muda itu. Karena itu, maka katanya
"Sama sekali bukan emas dan permata. Tetapi logam-logam
tiruan sehingga mirip seperti emas. Demikian pula permata
itu " "Meskipun tiruan. tetapi bentuknya bagus sekali Kiai"
sahut Manggada.
"Nah, sekarang angger berdua telah melihatnya" desis
orangtua itu sambil bangkit dan melangkah surut. "Marilah
kita kembali ke ruang tengah".
Ketiganya telah duduk kembali diamben yang besar.
Sementara orang tua itu berkata "Maaf angger. Sebentar
lagi aku akan pergi ke kebun. Mungkin agak lama. Karena
itu. maka biasanya aku menutup pinta depan rapat-rapat
dan keluar lewat pintu butulan. Sementara itu, angger
berdua dapat melanjutkan perjalanan angger
"Kami berdua ingin ikut ke kebun Kiai. Kami benar-
benar ingin membantu Kiai" jawab Manggada.
"Tetapi angger tentu tidak tahu caranya menyadap legen.
Sekali salah potong, maka manggar itu tidak akan
mengeluarkan legen lagi ngger. Setidak-tidaknya untuk satu
janjang." berkata orangtua itu,
"Kami tidak akan melakukannya Kiai. Tetapi kerja
apapun yang dapat kami lakukan, Atau sekadar menunggui
Kiai bekerja di kebun" desis Laksana.
Tetapi orangtua itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Katanya dengan nada rendah "Jangan ngger. Aku
perintahkan angger meninggalkan rumah ini. Aku sama
sekali tidak mengusir angger, tetapi aku memang tidak
dapat berbuat lain".
"Maaf Kiai. Kenapa Kiai berkeberatan jika aku masih
ingin tinggal bersama Kiai barang sepagi ini?" bertanya
Manggada. "Aku tidak ingin terganggu ngger" jawab orangtua itu.
"Kiai, kami justru ingin berbuat sesuatu bagi Kiai. yang
telah dengan senang hati menerima kami bermalam.
Memberikan minuman dan makanan dengan ikhlas"
berkata Laksana kemudian.
Tetapi orangtua itupun berkeras. Katanya "Sudah ngger.
Aku sudah merasa berbuat sebaik-baiknya terhadap angger
berdua. Kini angger berdua jangan mengecewakan aku".
"Sama sekali tidak Kiai. Justru sebaliknya" jawab
Laksana. Wajah orangtua itu menegang. Dengan dahi yang
berkerut orangtua itu berkata dengan nada yang semakin
keras "Tidak. Aku minta kalian pergi. Aku tidak dapat
menerima kalian lebih lama lagi".
"Kenapa Kiai berkeberatan membiarkan kami lebih lama
berada disini" Apakah kami telah mengganggu Kiai?"
bertanya Laksana pula.
"Ya" jawab orangtua itu tegas "aku akan pergi ke kebun
untuk menyadap legen. Selama itu kau akan dapat
mengambil benda-benda yang agaknya kau kagumi dan
membawanya lari".
"Kiai" desis Laksana. Namun Manggada menggamitnya
dan berkata "Apakah pernyataan itu benar-benar keluar dari
hati Kiai" Jika demikian, alangkah nistanya kami berdua.
Tetapi jika karena kecemasan itu, baiklah. Aku akan
meninggalkan tempat ini".
Orangtua itu memandang kedua anak muda itu berganti-
ganti. Wajahnya tiba-tiba menjadi buram. Katanya dengan
nada sendat "Tidak ngger. Tidak. Aku sama sekali tidak
mencurigai angger berdua. Tetapi aku tidak dapat
membiarkan ansger berdua tetap berada di rumah ini.
meskipun hanya setengah hari. Kau datang pada waktu
yang kurang baik."
"Apakah sebenarnya yang akan terjadi Kiai" Jika Kiai
berkata sebenarnya, sementara kami berdua dapat mengerti,
maka kami tentu akan melakukannya" berkata Manggada.
Orangtua itu menunduk dalam-dalam. Katanya "Aku
tidak mengira bahwa benda-benda itu pada suatu saat akan
mendatangkan kesulitan padaku".
"Kesulitan apa Kiai?" bertanya Laksana tidak sabar.
Orangtua itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
memang terasa berat baginya untuk mengatakan kepada
kedua anak muda itu. Namun Manggada pun mendesaknya
"Katakan Kiai. Kiai telah berbuat baik kepada kami. Apa
yang telah Kiai lakukan, telah menumbuhkan kesan
tersendiri di dalam hati kami. Dengan sikap Kiai terhadap
kami. yang sebelumnya belum pernah Kiai kenal itu.
menunjukkan bahwa Kiai memang seorang yang baik tanpa
pamrih. Kiai pun tidak cemas bahwa semalam kami
mencuri benda-benda berharga itu dan membawanya lari.
Karena itu. ketika Kiai mengatakan
bahwa Kiai mencemaskan benda-benda aku yakin bahwa itu bukan
maksud Kiai yang sebenarnya untuk mencurigai kami".
"Anak-anak muda" berkata orangtua itu "baiklah aku
katakan kesulitanku kepada kalian. Tetapi aku minta kalian
jangan melibatkan diri. Biarlah aku sendiri yang
mengalaminya" berkata orangtua itu.
"Aku akan mempertimbangkan Kiai" Jawab Manggada.
Orangtua itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia
pun berkata "Ternyata seperti yang pernah angger
tanyakan, bagaimana jika ada orang yang berpura-pura
berhak atas benda-benda berharga itu?"
"Jadi ada seseorang yang mengaku berhak atas benda-
benda itu. Kiai?" potong Laksana.
Orangtua itu mengangguk kecil. Katanya "Seseorang
telah datang, la mengaku mendapat perintah dari pemilik
songsong dan tombak-tombak itu. Tetapi ia tidak membawa
pertanda sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Tidak
ada patung perunggu berbentuk seekor harimau yang
kakinya dapat tepat masuk ke dalam lubang di karah besi
pada pangkal tangkai songsong itu. Tentu saja aku tidak
dapat memberikannya sebelum orang itu dapat menunjukkan patung kecil itu".
"Lalu. apakah orang itu memaksa Kiai?" bertanya
Laksana. "Waktu itu, orang itu menyatakan kesediaannya untuk
mengambilnya. Hari ini ia akan datang kembali" berkata
orangtua itu. Namun katanya kemudian "Tetapi orang itu
tampaknya kurang meyakinkan. Aku juga kurang yakin
bahwa ia akan datang dengan membawa pertanda yang
sudah disepakati itu".
"Jika ia tidak membawa?" bertanya Manggada.
"Aku tidak akan memberikannya" jawab orangtua itu.
"Bagaimana jika ia memaksa?" desak Laksana.
"Persoalannya jadi lain ngger. Sudah tentu aku akan
tetap mempertahankannya. Tetapi aku harus menyadari
bahwa aku adalah seorangtua yang lemah. Yang tentu tidak
akan dapat berbuat banyak" Orangtua itu berhenti sejenak,
lalu "tetapi aku tidak dapat memberikan benda-benda itu
selagi aku masih ada".
"Jadi, Kia i akan mempertahankannya sampai tuntas?"
bertanya Manggada dengan cemas.
"Aku sudah tua ngger. Umurku tentu sudah tidak jauh
lagi. Jika aku harus mati, maka tidak akan banyak bedanya.


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apalagi aku mempunyai satu keyakinan, bahwa kematian
itu tidak akan dapat dipercepat akan ditunda. Jika aku
harus mati, maka aku akan mati dengan sebab apapun juga"
berkata orangtua itu "Namun sudah tentu bahwa aku tidak
akan dapat mempertahankannya lagi".
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Manggada pun berkata "Biarlah aku
berada di sini".
"Jangan ngger. Sebaiknya kau tidak mengalami
perlakuan buruk dari orang-orang yang tidak kau kenal dan
tidak mempunyai sangkut paut apapun juga" berkata o-
rangtua itu dengan nada rendah.
"Tetapi Kiai sudah berbuat baik terhadap kami" sahut
Manggada "apa gunanya kami membawa senjata di
lambung jika kami akan menyingkir dari tindak kebajikan
Kiai, aku akan tetap berada di sini dengan adikku".
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
sudah.mencoba memperingatkan kalian".
"Ya, kami mengerti. Segala
sesuatunya adalah tanggungjawab kami sendiri Kiai" desis Manggada.
Ternyata orangtua itu tidak dapat memaksa kedua anak
muda itu untuk pergi. Ia memang menjadi cemas. Namun
sesuatu terasa bergetar di dalam hatinya. Anak-anak muda
itu ternyata memiliki jiwa yang besar serta kesediaan untuk
melindungi sesama yang mengalami kesulitan.
Karena itu, orangtua itu tidak memaksa mereka lagi.
Bahkan katanya kemudian "Baiklah anak muda. Jika kalian
berkeras untuk tinggal. Sekarang, marilah kita pergi
kekebun belakang. Aku akan menyadap legen dibelakang.
Aku akan menyelarak pintu depan dan membuka pintu
butulan yang langsung dapat diawasi dari kebun".
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Keduanyapun
kemudian mengikuti orangtua itu keluar dari pintu
belakang. Seperti kebiasaannya, orangtua itu membawa
beberapa buah bumbung untuk mengganti bumbung yang
telah dipasang kemarin sore.
"Mereka akan datang hari ini" desis orangtua itu sambil
mendekati sebatang pohon kelapa.
Manggada dan Laksana mengangguk kecil. Namun
mereka tidak menjawab.
Sementara itu, orangtua itupun telah mulai memanjat
sebatang pohon kelapa dengan membawa satu di antara
bumbung-bumbungnya yang diikatnya dengan tali sabut
pada lambungnya.
Meskipun orang itu sudah tua, namun dengan
tangkasnya ia memanjat. Dalam waktu yang terhitung
singkat, orangtua itu sudah bertengger pada pelepah pohon
kelapa itu untuk melepas bumbung yang sudah terpasang.
Kemudian memotong manggar itu dengan irisan-irisan tipis
dan memasang bumbung yang baru untuk menerima titik-
titik legen dari manggar yang telah diirisnya itu.
Sejenak kemudian, bumbung legen yang baru saja
dilepas itupun telah dibawanya turun.
"Biarlah kami membantu membawa bumbung itu Kiai"
berkata Laksana.
Orangtua itu tersenyum. Katanya "Biasanya aku
melakukannya sendiri".
"Tetapi hari ini kami ada disini" jawab Laksana.
Orangtua itu tertawa kecil. Tetapi ia tidak berkeberatan
memberikan bumbung-bumbung itu kepada Manggada dan
Laksana. Dari satu pohon, orangtua itu pergi ke pohon yang lain.
Memang tidak cukup banyak. Tetapi beberapa batang
pohon kelapa ia telah memberikan beberapa bumbung legen
yang dapat dibuatnya menjadi gula kelapa.
Ternyata kerja itu telah membuat orangtua itu
melupakan kegelisahannya. Yang masih saja gelisah, justru
Manggada dan Laksana. Setiap kali mereka berpaling ke
arah pintu butulan yang meskipun tertutup, tetapi tidak
diselarak itu. Sementara merekapun sadar, bahwa jika
orang yang akan mengambil pusaka-pusaka itu datang,
mereka tentu tidak akan masuk dengan diam-diam dan
membawa lari benda-benda berharga itu.
Ternyata sampai batang kelapa yang terkahir, belum ada
seorangpun yang datang memasuki halaman rumah orang
itu. Sehingga orangtua itu sempat mengerjakan pekerjaannya yang lain. Menuang legen ketempayan dan
mempersiapkan pembuatan gula kelapa di serambi belakang
rumahnya. Manggada dan Laksana yang dipersilahkan duduk di
dalam, ternyata lebih senang menunggui orangtua itu
bekerja. Keduanya masih mengagumi tenaga orangtua itu
yang bekerja dengan tangkasnya.
Sejenak kemudian, maka perapianpun telah menyala.
Legen kelapa di tempayan itupun kemudian diletakkan di
atas perapian. Dengan kayu bakar yang dikumpulkan di kebun serta
dicampur dengan daun-daun kering yang dikumpulkan
pagi-pagi ketika menyapu halaman, maka legen kelapa itu
direbus sehingga menyusut. Pada akhirnya, legen itu
menjadi semakin lama semakin kenthal dan siap dituang
ditempurung kelapa sebagai alat untuk mencetak gula
kelapa. Namun orang tua itu sempat berkata kepada Manggada
dan Laksana "Tolong, cabut satu atau dua batang ketela
pohon". "Untuk apa?" bertanya Manggada.
"Kita masukkan kedalam legen yang hampir siap dituang
ini" berkata orang tua itu.
Manggada dan Laksana tahu benar maksud orang tua
itu. Karena itu maka keduanyapun telah berlari-lari
kekebun, mencabut masing-masing sebatang ketela pohon.
Dengan cepat mereka mengupasnya dan mencucinya.
Kemudian membawa kepada orang tua di dapur rumahnya.
Tetapi ternyata orangtua itu sudah tidak berada disana.
Sebagian gulanya sudah dituang di tempurung kelapa,
namun yang lain masih ditempayan, bahkan diatas
perapian. Untunglah bahwa api dari kayu-kayu seadanya
dan daun-daun kering itu sudah padam dengan sendirinya,
sehingga sisa legen di tempayan tidak kering.
Manggada cepat-cepat mengambil air dari persediaan di
dapur, menuangkannya di tempayan secukupnya. Kemudian memasukkan ketela pohon yang telah dikupasnya keda-latnnya.
Namun keduanya tidak lagi memperhatikan ketela
pohonnya. Keduanya mulai memikirkan orang tua yang
agaknya terpaksa meninggalkan gula kelapanya.
Dengan hati-hati Manggada dan Laksana melangkah
memasuki rumah orang tua itu dari belakang. Namun
mereka tertegun ketika mereka mendengar orang bercakap-
cakap di-ruang dalam.
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun tanpa
berjanji, keduanya telah mendengarkan percakapan diruang
dalam itu. Sekali-sekali mereka mendengar suara orang tua itu
gemetar. Namun kemudian terdengar suara orang lain yang
nampaknya memang sudah ditunggu oleh orang tua itu.
Tidak hanya seorang. Tetapi dua orang.
Manggada dan Laksana memang menjadi tegang.
Orang-.orang itu adalah orang-orang yang datang untuk
mengambil benda-benda berharga yang dititipkan kepadanya. Namun antara terdengar dan tidak seseorang berkata "Ki
Gumrah. Patung kecil itu sudah hilang. Yakinlah. Aku
bukan orang lain dari orang yang menitipkan benda-benda
pertanda kebangsawanan itu. Aku adalah pamannya".
"Tetapi bagaimana aku tahu bahwa Ki Sanak adalah
pamannya. Bagiku, siapapun orangnya, tetapi pertanda itu
ada padanya, maka aku akan menyerahkannya. Bukankah
hal itu sudah aku katakan ketika Ki Sanak datang kemari
beberapa waktu yang lalu?" berkata orang tua yang disebut
Ki Gumrah itu. "Aku juga sudah menemuinya. Tetapi ia mengatakan
bahwa patung kecil itu telah hilang sehingga ia tidak dapat
memberikannya kepadaku" jawab orang itu.
"Maaf Ki Sanak" berkata orang tua itu "aku masih tetap
pada pendirianku, karena pemilik benda-benda yang
dianggapnya berharga itu sendirilah yang berpesan".
"Ki Gumrah" terdengar suara
yang lain "kau sudah tua.
Sebaiknya kau tidak usah berkeras untuk mempertahankan
benda-benda yang memang bukan milikmu itu. Apakah
keuntunganmu mempertahankan
benda-benda itu?"
"Aku memang tidak mendapat
keuntungan apa-apa Ki Sanak"
jawab Ki Gumrah "tetapi aku
sudah berjanji untuk melakukannya. Bagiku janji mempunyai nilai yang tinggi".
"Kau mempersulit dirimu sendiri" berkata orang yang
datang itu "jika kau berkeras untuk mempertahankan
benda-benda yang bukan milikmu itu, maka kami terpaksa
berkeras untuk membawanya. Pemilik benda-benda
berharga itu berpesan kepada kami, agar benda-benda itu
dapat kami bawa. Kemudian sudah berjanji bahwa kami
akan kembali dengan membawa benda-benda itu. Sedang
menurutmu, janji itu mempunyai nilai yang tinggi".
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian berkata "Maaf Ki Sanak. Bagaimanapun juga,
aku tidak akan dapat memberikan, benda-benda itu. Aku
terikat pada janjiku. Sebagai orang tua aku justru harus
berpegang kepada janji itu".
"Jika demikian, kita masing-masing akan berpegang
kepada janji yang telah kita ucapkan." berkata orang yang
pertama. "Karena itu Ki Sanak" berkata orang tua itu "usahakan
agar pertanda itu kalian dapatkan, sehingga tidak akan
terjadi kesulitan apapun juga".
"Benda kecil itu sudah hilang. Bukankah aku sudah
mengatakannya?" jawab orang itu.
"Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat memberikannya"
berkata orang tua itu.
"Kami akan mengambil sendiri" terdengar suara orang
yang datang itu menjadi semakin keras.
Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Ki
Gumrah sudah terlalu tua untuk mempertahankan benda-
benda berharga itu. Karena itu, sejenak keduanya saling
berpandangan. Sementara itu, suasana uiruang dalam menjadi semakin
panas ketika terdengar seseorang berkata "Sudahlah Ki
Gumrah, kau jangan berbuat bodoh. Kau tidak akan
dirugikan seandainya benda-benda itu kami bawa. Kaupun
tidak akan mendapat keuntungan apa-apa dengan
mempertahankan benda-benda itu".
"Ada Ki Sanak. Jika aku mempertahankan benda-benda
itu, aku mendapatkan keuntungan meskipun keuntungan
itu tidak berujud. Aku adalah orang tua yang berpegang
pada janji" jawab orang tua itu.
"Sebenarnya aku tidak ingin berbuat kasar. Apalagi
terhadap orang tua. Karena itu, ketika aku datang yang
pertama, aku dengan senang hati menuruti permintaanmu,
mengambil patung kecil itu. Tetapi sudah aku katakan,
patung itu sudah hilang. Kau tidak dapat memaksaku
menemukan patung itu kembali. Demikian pula pemilik
benda-benda berharga itu tidak akan mendapatkan
patungnya lagi." berkata orang yang datang itu.
"Jika demikian, biarlah pemiliknya datang sendiri untuk
mengambilnya. Meskipun aku sudah pikun, tetapi aku tentu
masih dapat mengenalnya dengan baik." berkata Ki
Gumrah selanjutnya.
Tetapi orang-orang yang datang uu nampaknya sudah
tidak sabar lagi. Yang terdengar adalah suara salah seorang
dari mereka menjadi semakin keras "Cukup. Aku sudah


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup menahan diri. Sekarang aku akan mengambil benda-
benda itu. Aku akan membawanya. Boleh atau tidak
boleh." "Jangan, Ki Sanak. Jangan. Lalu dimana harga diriku,
jika kata-kataku tidak dapat dipegang lagi. Jika aku sudah
tidak memegang janji, aku akan menjadi semakin tidak
berharga lagi." minta orang tua itu.
"Aku tidak peduli lagi" geram orang itu.
Yang kemudian terjadi, dapat dibayangkan. Orang tua
yang memegangi lengan tamunya itu telah dikibaskan.
Yang terdengar suara orang yang terjatuh diamben bambu
serta orang tua itu mencoba mencegahnya "Jangan, jangan
lakukan itu".
Tetapi suaranya sama sekali tidak dihiraukan.
Manggada dan Laksana tidak menunggu lebih !ama lagi.
Keduanya kemudian telah mendorong pintu butulan. Sesaat
kemudian, keduanya telah berada di ruang dalam itu pula.
"Jangan lakukan itu Ki Sanak" desis Manggada.
"Siapa kau?" bertanya seorang yang ternyata bertubuh
kecil namun agak tinggi.
"Aku cucu Ki Gumrah" jawab Manggada.
"O" yang satu lagi mengangguk-angguk. Orangnya
bertubuh sedang. Namun wajahnya nampak keras dan
kasar "Jadi Ki Gumrah sudah mempunyai cucu sebesar ini.
Yang seorang lagi apakah juga cucunya?"
"Ya" jawab Laksana singkat.
"Bagus. Nampaknya kalian dipanggil oleh kakekmu
khusus hari ini untuk melindungi benda-benda berharga
itu?" desis orang yang berwajah keras itu.
"Aku tidak sengaja datang mengunjungi kakekku hari ini.
Ternyata kakek sedang menghadapi satu masalah yang
tidak dapat dipecahkannya sendiri" berkata Laksana.
"Baiklah" berkata orang yang bertubuh tinggi "sekarang
kami akan mengambil benda-benda berharga itu. Terserah
kepada kalian berdua, cucu-cucu Ki Gumrah. Apakah
kalian akan mencegah kami atau tidak."
"Sudah tentu" berkata Manggada "kakek yang sudah
terlanjur berjanji harus ditepati. Aku tidak peduli apakah
kau akan mengaku sudah berjanji pula membawa benda-
benda itu atau kau akan merampoknya. Jika kau
mempergunakan kekerasan untuk mengambil benda-benda
itu. maka itu akan sama saja artinya dengan kalian telah
merampok kakekku".
"Sudahlah anak-anak muda" berkata orang yang
bertubuh tinggi "jangan terlalu banyak bicara sehingga
membuat telingaku
merah. Jika'kau
berniat untuk mempertahankan benda-benda itu. maka aku memang
terpaksa mempergunakan kekerasan".
"Cobalah"
berkata Manggada "kami akan mempertahankan dengan kekerasan pula".
Wajah orang bertubuh tinggi itu berkerut. Namun
kemudian katanya "Aku akan memaksa kalian untuk
minggir" Tetapi Manggada dan Laksana masih tetap berdiri
ditempatnya. Sementara itu, orang bertubuh kasar itupun berkata
dengan nada geram "Aku tidak telaten. Kita harus segera
menyingkirkannya. ?"
Manggada dan Laksanapun segera bersiap menghadapinya kedua orang itu. Ruangan memang agak
terlalu sempit. Tetapi kedua orang itu tidak boleh
mengambil benda-benda yang memang bukan haknya.
Kedua orang itu benar-benar tidak menunggu lagi. Tetapi
ketika keduanya melangkah maju, maka Manggada dan
Laksanapun telah menyerangnya.
Ditempat yang tidak begitu luas itupun kemudian telah
terjadi perkelahian. Manggada menghadapi orang yang
bertubuh tinggi tetapi kecil itu, sedangkan Laksana
melawan orang-orang yang lain.
Namun agaknya kedua orang itu tidak ingin bertempur
dalam ruang yang sempit itu. Karena itu, maka
keduanyapun telah memancing lawan-lawan mereka untuk
keluar dan turun ke halaman.
Manggada dan Laksanapun tidak berkeberatan pula.
Merekapun lebih senang bertempur ditempat yang lebih
luas. Dengan demikian memreka akan lebih leluasa untuk
bergerak dan mengambil ancang-ancang.
Demikianlah keduanya telah terlibat dalam pertempuran
yang semakin lama menjadi semakin sengit. Manggada dan
Laksana yang muda itu cepat menyesuaikan diri dengan
lawannya yang garang dan berkelahi deraan keras.
Manggada yang bertempur melawan orang bertubuh
tinggi itu telah bertempur dengan cepat. Orang bertubuh
tinggi itu ternyata sangat giat. ia dapat berloncatan, berputar
diudara dan bahkan seakan-akan terbang mengitari
lawannya. Sementara Manggada yang telah menekuni olah
kanuragan serta berlatih dengan keras berusaha untuk
mengimbanginya.
Peningkatan ilmunya disepanjang perjalanannya, telah
membuatnya menjadi semakin
tangkas. Karena itu. maka Manggadapun dengan cepat pula telah
bertempur meiawan orang yang bertubuh tinggi itu.
Beberapa saat mereka masih saling menjajagi kemampuan masing-masing. Namun kemudian orang
bertubuh tinggi itu dengan cepat meningkatkan kemampuannya. Manggadapun telah melakukan hal yang sama. Ketika
lawannya mendesaknya, maka Manggadapun
telah berusaha untuk bertahan. Bahkan dengan garangnya
Manggada ielah menyerang lawannya semakin cepat.
Tetapi lawan Manggada agaknya seorang yang memiliki
pengalaman yang sangat luas. Bahkan kekuatan dan
kemam-puannyapun
telah menggetarkan pertahanan Manggada yang muda itu.
"Ternyata kau memiliki bekal yang cukup anak muda"
berkata orang yang bertubuh tinggi itu "sayang, kau belum
mampu mengembangkan dasar ilmumu, sehingga gerakmu
masih sangat terbatas pada umur-umur gerak murni.
Namun ternyata kaupun telah pernah mendapatkan
peningkatan landasan ilmu dan kemampuanmu oleh
seorang yang berilmu tinggi, sehingga kau memiliki tataran
ilmu yang pantas kau banggakan, apalagi pada umurmu
yang masih sangat muda itu".
Manggada tidak menjawab. Namun iapun telah
mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi lawannya
benar-benar seorang yang memiliki pengalaman yang dapat
menompang kemampuannya. Bukan saja kecepatannya
bergerak serta unsur-unsur geraknya yang rumit. Namun
orang bertubuh tinggi itu seakan-akan dapat membaca, apa
yang akan dilakukan oleh Manggada. sehingga karena itu,
maka Manggada seakan-akan merasa telah dipotong
serangan-serangannya oleh lawannya.
Dengan demikian, maka Manggada mulai merasakan
kesulitan untuk mengimbangi kemampuan lawannya yang
ternyata cukup tinggi.
Dalam pada itu, Laksanapun telah mengalami kesulitan
pula. Bahkan rasa-rasanya orang yang bertubuh sedang
namun berwajah keras itu telah mendesaknya tanpa
memberinya banyak kesempatan. Meskipun Laksanapun
kemudian telah mengerahkan kemampuannya, tetapi
lawannya itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi.
Serangan-serangannya datang beruntun dengan landasan
kekuatan yang sangat besar, kecepatan bergerak yang tinggi
dan bahkan juga unsur-unsur yang sulit diperhitungkan.
Sementara itu orang tua yang disebut Ki Gumrah itu
berdiri termangu-mangu didepan pintu rumahnya, ia
menyaksikan pertempuran itu dengan dahi yang berkerut
semakin dalam. Manggada dan Laksana ternyata dalam waktu singkat
telah terdesak oleh kemampuan lawannya yang tinggi.
Kedua orang yang datang untuk mengambil pusaka itu
adalah orang-orang yang memang berbekal ilmu sehingga
mereka benar-benar akan dapat melakukan tugas mereka
dengan baik. Kedua anak muda yang merasa memiliki bekal dan juga
pengalaman yang cukup itu, menjadi tidak banyak berarti
dihadapan kedua orang yang mendapat tugas untuk
mengambil benda-benda berharga itu.
Namun Manggada dan Laksana adalah anak-anak muda
yang keras hati. Mereka tidak mudah
menyerah menghadapi kesulitannn itu. Karena itu, maka mereka
masih tetap bertempur dengan mengerahkan segenap
kemampuannya. Tetapi beberapa saat kemudian, maka serangan lawan
Laksana yang berwajah keras itu datang beruntun seperti
banjir bandang yang sulit untuk dibendung. Sebuah
serangan yang keras telah menghantam langsung mengenai
lambung Laksana sehingga anak muda itu terdorong beberapa
langkah surut. Sebelum Laksana mampu memperbaiki
keadaannya, maka serangan berikutnyapun telah datang.
Orang itu meloncat sambil menjulurkan tangannya tepat
mengenai dadanya.
Laksana bukan saja sekedar terdorong surut, tetapi iapun
telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh.
Namun dengan cepat pula Laksana berusaha untuk bangkit.
Ketika ia sempat melihat lawannya meloncat menjulurkan
kakinya lurus mengarah ke keningnya, maka Laksana telah
menjatuhkan dirinya sekali lagi. Tetapi ia sempat menyapu
kaki lawannya, sehingga lawannya itupun telah kehilangan
keseimbangannya pula.
Namun ketika Laksana bangkit berdiri, ternyata
lawannya itupun telah berdiri tegak pula. Sedangkan yang
terjadi kemudian adalah serangan-serangan yang datang
beruntun. Susul-menyusul tidak henti-hentinya sehingga
Laksana harus berloncatan surut beberapa langkah.
Dilingkaran pertempuran yang lain, Manggadapun telah
terdesak pula. Ketika tangan lawannya terayun mendatar,
maka serangan itu masih membentur pertahanan Manggada
sehingga tidak menyentuh tubuhnya. Tetapi sesaat
kemudian, justru kaki lawannya yang bertubuh tinggi itulah
yang menyerang kearah dadanya, justru lawannya sedang
membelakanginya Manggada masih sempat mengelakkan
serangan itu. Namun sekejap kemudian lawannya itu bagaikan
melenting sambil berputar. Satu kakinya terayun deras tepat
mengenai kening anak muda itu.
Manggada bagaikan terlempar jatuh. Dengan cepat ia
berguling menjauhi lawannya. Ketika lawannya memburunya, Manggada sudah sempat melenting berdiri.
Meskipun demikian, maka tangan lawannya yang terjulur
lurus telah menggapai dadanya.
Manggada harus meloncat beberapa langkah surut
sambil berusaha mengatasi rasa sakit. Sementara dadanya
bagaikan menjadi sesak. Namun ia sempat mempersiapkan
diri ketika lawannya yang bertubuh tinggi itu siap untuk
menyerangnya lagi.
Tetapi bagaimanapun juga, maka kemudian yang terjadi
sudah dapat diduga. Manggada dan Laksana tidak
mendapat banyak kesempatan lagi.
Karena itu. maka kedua anak muda itu tidak mempunyai
pilihan lain. Dengan keadaan yang terdesak, maka
keduanya sampai kepuncak perlawanannya. Karena itu,
maka beberapa saat kemudian, baik Manggada maupun
Laksana telah menarik pedangnya.
Kedua orang lawan Manggada dan Laksana itupun
termangu-mangu sejenak. Namun orang bertubuh tinggi
itupun kemudian berkata "Anak-anak muda. Senjata-senjata
kalian itu akan sangat berbahaya bagi kalian sendiri. Jika
kamipun kemudian menarik senjata kami, maka kalian
berdua akan dapat terbunuh disini".
"Aku tidak peduli" geram
Manggada "tetapi kalian tidak
boleh mengambil apapun yang
bukan hak kalian".


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak-anak
muda. sebaiknya kalian tidak mncampuri persoalan orang
lain" berkata orang bertubuh
tinggi itu. "Persoalan
ini adalah persoalan kakekku." jawab Manggada. "Baiklah" berkata orang itu
"jika demikian apabo-leh buat.
Kalian berdua memang harus disingkirkan lebih dahulu".
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun kedua
orang itupun kemudian telah menarik senjata mereka
masing-masing. Orang yang bertubuh tinggi itu bersenjata
sepasang tongkat baja yang tidak begitu panjang sedangkan
orang yang berwajah kasar itu telah mengurai sehelai rantai
yang tidak terlalu panjang.
Manggada dan Laksana memang menjadi berdebar-
debar. Mereka melihat bagaimana kedua orang itu begitu
yakin akan jenis senjata mereka.
Sejenak kemudian, maka pertempuran telah terjadi iagi
di halaman rumah orang tua itu. Manggada dan Laksana
telah mempermainkan pedangnya. Keduanya memiliki
ilmu pedang yang tinggi.
Namun melawan senjata-senjata yang aneh itu,
keduanya masih harus menyesuaikan diri. Meskipun
mereka pernah berlatih melawan beberapa jenis senjata,
tetapi ketika mereka benar-benar berhadapan dengan
senjata yang tidak terlalu sering dipergunakan itu, masih
juga harus sangat berhati-hati .
Tetapi Manggada dan Laksanapun telah terdesak pula.
Ketika tongkat baja orang bertubuh tinggi itu membentur
pedang Manggada maka rasa-rasanya pedangnya itu
hampir meluncur dari tangannya. Namun Manggada cukup
trampil sehingga ia masih mampu mempertahankan
pedangnya itu. Sementara itu Laksana telah berloncatan surut. Ujung
rantai lawannya itu seperti seekor lalat yanag memburunya
dan setiap kali hinggap dikulitnya. Meskipun sentuhan-
sentuhan itu masih belum melukainya, tetapi perasaan
pedih telah menyengatnya beberapa kali.
Bagaimanapun juga Manggada dan Laksana tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi
kedua orang itu. Ternyata keduanya bukan sekedar orang-
orang yang berniat buruk, tetapi keduanya benar-benar
berbekal ilmu melampaui orang-oranag yang pernah
dijumpai sebelumnya.
Karena itu, yang dapat dilakukan oleh kedua orang anak
muda itu hanya bertahan. Namun beberapa kali mereka
harus berlebatan mengambil jarak.
Tetapi kedua orang itu terus mendesaknya. Manggada
yang mengerahkan segenap kemampuannya, ternyata tidak
dapat mengimbangi lawannya. Tongkat baja itu mulai
mengenai tubuhnya. Ketika ia mengayunkan pedangnya
mendatar, tetapi tidak menggapai sasaran, maka lawannya
telah mempergunakan saat itu untuk menyerng kembali.
Manggada memang meloncat surut, tetapi tongkat itu
masih juga mengeni lengannya.
Manggada mengeluh tertahan. Tulangnya seakan-akan.
menjadi retak. Sehingga karena itu. maka ia pun telah
berloncat beberapa kali menjauhi lawannya. Namun
lawannya ternyata memburunya sambil menggeram.
"Salahmu sendiri" berkata orang itu "senjatamu telah
membuatmu semakin sulit. Jangan menyalahkan aku jika
kunjunganmu ke kakekmu kali ini adalah kunjunganmu
yang terakhir. Tetapi Manggada tidak mudah menyerah. Apapun yang
terjadi, harus dihadapinya. Ia sudah terlanjur mulai dengan
satu pertempuran, karena ia tidak dapat melihat laku
sewenang-wenang.
Tetapi ternyata lawan anak-anak muda itu adalah orang
yang berilmu tinggi, karena itu, Manggada dan juga
Laksana telah mengalami kesulitan.
Akhirnya kedua anak muda itu telah terdesak sampai ke
dinding halaman. Keduanya tidak mungkin lagi untuk
bergesci mundur. Yang dapat mereka lakukan adalah
bertahan sampai kemungkinan terakhir.
Ternyata kedua anak muda itu telah beberapa kali
dikenai senjata-senjata lawannya. Selain tulang-tulang
mereka serasa retak, kulit mereka pun mulai terluka. Darah
pun mula? menitik dari luka-luka itu.
Dalam keadaan yang paling gawat itu. tiba-tiba saja
mereka mendengar tepuk tangan. Bahkan terasa sangat
mengejutkan, bahwa dalam keadaan yang demikian ada
seseorang yang bertepuk tangan sambil berkata "Bagus.
Bagus sekali. Kalian utusan orang linuwih telah mampu
mengalahkan anak-anak yang masih pantas bermain
bengkat". Orang-orang yang mendesak Manggada dan laksana itu
terkejut pula. Mereka pun berloncatan mundur. Ketika
mereka berpaling, mereka melihat Ki Gumrah masih
bertepuk tangan.
"Apakah kau sudah menjadi gila?" bertanya orang yang
bersenjata sepasang tongkat baja pendek itu.
Ki Gumrah tertawa. Katanya "Tentu tidak. Aku masih
cukup sadar melihat apa yang telah terjadi. Kenapa kau
menyangka aku sudah gila".
"Apa yang membuatmu bertepuk tangan" Keputusasaan
melihat cucu-cucumu, atau justru karena kau sudah
kehilangan akal?" bertanya lawan Laksana.
"Tidak Ki Sanak" jawab orangtua itu "aku kagum akan
anak-anak itu. Dalam usianya yang masih sangat muda.
mereka telah mampu menunjukkan ilmu yang mapan
meskipun masih harus dikembangkan. Tetapi mereka sudah
menguasai unsur-unsur gerak yang rumit, serta memiiiki
kemungkinan yarg jauh lebih baik dari ilmu kalian".
Wajah orang itu berkerut. Bahkan Manggada dan
Laksana pun menjadi heran. Ternyata orang itu mampu
menilai kemampuan mereka dan kemampuan lawan-lawan
mereka. Tetapi dengan geram lawan Manggada itu berkata
"Tetapi kebanggaanmu atas cucu-cucumu tidak akan lama
Ki Gumrah. Kami akan menyelesaikannya. Dengan bekal
yang tipis itu, mereka menjadi terlalu sombong. Kelak
mereka akan menjadi orang yang sangat berbahaya apabila
mereka tumbuh semakin matang dalam olah kanuragan".
"Jangan Ki Sanak. Biarlah mereka mendapat kesempatan
untuk mekar. Meningkatkan ilmu dan mengamalkan ilmu
mereka bagi kebaikan" jawab Ki Gumrah.
"Itu tidak akan terjadi. Mereka terlalu sombong dan
tentu akan menjadi sewenang-wenang" geram lawan
Manggada. "Sudahlah" berkata Ki Gumrah "aku minta maaf atas
tingkah laku cucu-cucuku itu".
"Jadi kau berikan songsong dan tombak-tombak itu?"
bertanya lawan Manggada.
Orangtua itu mengerutkan dahinya. Katanya "Sayang Ki
Sanak, aku tidak dapat memberikan sebelum Ki Sanak
membawa pertanda pemilikan seperti yang aku katakan".
"Jadi, kami bunuh cucu-cucumu?" desak lawan Laksana.
"Juga tidak." jawab Ki Gumrah.
"Aku tidak peduli" geram lawan Manggada "aku justru
akan melakukan kedua-duanya. Membunuh cucu-cucumu,
kemudian membawa songsong dan tombak-tombak itu".
"Sebenarnya sudah tidak pantas bagiku untuk bermain-
main dengan kalian. Tetapi apaboleh buat. Aku tidak mau
kedua-duanya. Aku tidak mau cucu-cucuku mati dan juga
tidak mau songsong dan tombak-tombak itu kau bawa"
jawab Ki Gumrah.
"Jadi kau akan berbuat apa?" bertanya lawan Manggada
itu "kau akan melawan kami berdua?"
"Sudah aku katakan, sebenarnya aku sudah tidak pantas
untuk melayani kalian, tetapi aku tidak dapat berdiam diri
menghadapi sikap kalian" jawab orangtua itu.
Kedua orang yang akan mengambil songsong dan
tombak-tombak itu termangu-mangu. Namun kemudian
seorang di antara mereka berkata-kata "Baiklah. Ternyata
kami harus mempergunakan kekerasan. Tetapi dengan
demikian kami dapat menduga, bahwa sebenarnya kau
memiliki bekal kemampuan untuk mencoba bertahan. Siapa
kau sebenarnya?"
"Jangan bertanya tentang hal yang aneh-aneh. Kau tahu,
namaku Ki Gumrah. Itu saja. Tetapi karena aku sudah
berjanji, maka aku tidak dapat menyerahkan benda-benda
itu kepada seseorang yang tidak berhak. Juga tidak kepada
kalian." berkata orangtua itu.
"Jika demikian, maka aku tidak merubah rencanaku.
Mengambil benda-benda itu dan membunuh orang-orang
yang merintangi niat itu" geram lawan Manggada yang
kemudian berkata kepada kawannya "Selesaikan kedua
anak itu. Aku akan menyelesaikan orangtua itu. Namun
agaknya ia merasa mampu melawanku. Selama itu,
ternyata ia hanya berpura-pura saja ketakutan dan seakan-
akan tidak berdaya. Justru orang-orang seperti itu adalah
orang yang sangat berbahaya."
Kawannya mengangguk. Namun ia tidak menunggu
terlalu lama. Ia pun segera bersiap dan mulai menyerang
Manggada dan Laksana yang sudah terluka dan kehilangan
sebagian dari kekuatannya, setelah memeras tenaganya
habis-habisan. Sementara darah semakin banyak mengalir
dari luka-luka mereka. Sedangkan tulang-tulang mereka
masih saja terasa bagaikan retak.
Sejenak kemudian, seorang diantara mereka telah
berhadapan dengan orangtua itu. Ternyata orangtua itu
telah menyingsingkan kain panjangnya dan berkata
"Meskipun aku sudah tua, tetapi aku masih tetap merasa
bertanggungjawab atas janji yang sudah aku ucapkan".
Lawannya tidak menjawab.Tetapi ia pun segera
meloncat menyerang. Sepasang tongkatnya terayun-ayun
mengerikan. Hampir saja tongkat itu menyambar kepala Ki
Gumrah yang untung saja sempat mengelak.
Sementara itu, Manggada dan Laksana benar-benai
sudah terkurung. Meskipun lawan mereka tinggal seorang,
tetapi mereka seakan-akan sudah tidak berdaya lagi.
Namun kedua anak muda itu masih berusaha untuk
melindungi dirinya.
Yang sama sekali tidak terduga adalah lawan Ki
Gumrah. Mula-mula ia tampak demikian garangnya.
Namun dalam waktu singkat, orang itu sudah terdesak dan
seakan-akan tidak mempunyai kesempatan untuk melawan.
Bahkan kemudian ia pun telah memberikan isyarat kepada
kawannya untuk membantunya.
Orang yang bersenjata rantai itupun telah melepaskan
Manggada dan Laksana yang benar-benar dalam kesulitan.
Namun orang itu masih menggeram "Nyawamu masih
akan tinggal beberapa saat di dalam tubuhmu. Tetapi
setelah orangtua itu kami selesaikan, kalian pun akan mati.
Kalian tidak akan dapat melarikan diri dalam keadaan
kalian seperti itu".
Manggada dan Laksana memang tidak dapat menjawab.
Mereka benar-benar dalam keadaan yang sulit. Mereka
menyadari, jika mereka harus bertempur beberapa saat lagi,
maka tubuh mereka akan menjadi semakin sakit. Darah
akan semakin banyak mengalir dan tenaga mereka pun
akan terkuras habis sama sekali.
Namun justru saat-saat kematian sudah membayang,
lawannya telah meninggalkannya. Tetapi seperti yang
dikatakan oleh lawannya itu, bahwa dalam keadaan seperti
itu, mereka tidak akan mampu melarikan diri.
Satu-satunya kemungkinan yang dapat mereka lakukan
adalah mengganggu pemusatan perhatian kedua orang yang
bertempur bersama-sama melawan orangtua yang semula
disangkanya tidak berdaya sama sekali.
Namun, dengan tekad apapun yang terjadi atas mereka,
karena hanya dengan cara itulah mereka dapat membantu
oiangtua itu. Tetapi sebelum keduanya berbuat sesuatu, Manggada
dan Laksana yang terluka itu melihat bagaimana orangtua
itu mendesak kedua lawannya. Bahkan sambil tertawa
orangtua itu berkata "Nah, bukankah kalian pun harus
mengalami sebagaimana dialami oleh kedua cucuku".
Dengan geram seorang di antara lawannya bertanya
"Setan kau. Siapakah kau sebenarnya?"
Orangtua itu masih saja tertawa. Katanya "Kalian sudah
mengenal namaku Itu sudah cukup".
Beberapa saat kemudian, kedua orang itu benar-benar
tidak mampu mengatasi ketangkasan dan kecepatan gerak
lawannya. Meski pun kedua orang itu bersenjata, namun
orangtua itu sekali-sekali mampu
juga menembus pertahanan mereka.
Namun tiba-tiba seorang di antara kedua orang itu
berteriak "Bunuh saja cucu-cucunya".
Orangtua itu terkejut. Katanya "Jangan licik." Orang
bersenjata rantai itulah yang kemudian meloncat untuk
menyelesaikan Manggada dan Laksana yang memang
sudah tidak mampu berbuat banyak. Meski pun demikian,
aba-aba itu telah

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membangunkan mereka untuk mengangkat senjata mereka dengan sisa tenaga yang ada
padanya. Tetapi Manggada dan Laksana memang sudah menjadi
semakin lemah. Perasaan sakit, pedih dan nyeri, serta darah
yang masih saja mengalir, membuat kedua anak muda itu
tidak akan mampu lagi bertahan. Sementara itu, rantai baja
telah berdesing semakin keras.
Manggada dan Laksana dengan sisa tenaga terakhirnya
justru mengambil jarak, sehingga yang seorang akan dapat
berbuat sesuatu betapapun lemahnya untuk membantu yang
lain. Namun dalam keadaan yang paling gawat bagi
Manggada dan laksana, tiba-tiba saja mereka terkejut.
Mereka melihat orang yang bersenjata rantai itu terhenyak
sejenak. Kemudian terhuyung-huyung, sebelum orang itu
sempat menyerang Manggada dan Laksana. Akhirnya
orang itu terjatuh menelungkup. Sementara itu, sebuah
gelang-gelang besi baja jatuh di sisinya.
"Aku tidak mempunyai cara lain" terdengar suara Ki
Gumrah yang meloncat mengambil jarak dari lawannya.
Lawannya terkejut melihat keadaan itu. Sejenak ia
termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram "Kau
licik". "Tidak. Bukan aku yang licik. Tetapi kawanmu dan.
justru kau" sahut Ki Gumrah.
"Kenapa kau sebut kawanku dan bahkan aku licik"
Bukankah kita sudah terlihat dalam pertempuran" Apakah
membunuh kedua anak tikus itu dapat disebut licik?" geram
orang itu. "Jika demikian, apakah membunuh kawanmu juga dapat
disebut licik?" jawab K: Gumrah.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
berkata "Kau akan menyesal bahwa kau telah membunuh
kawanku. Dengar, aku akan menyampaikan persoalan ini
kepada orang yang memerintahkan aku mengambil benda-
benda pusaka itu".
"Bagaimana jika aku juga membunuhmu?" bertanya Ki
Gumrah. "Persetan" jawab orang itu. Namun ia memang menjadi
cemas, bahwa hal itu benar-benar akan dilakukan oleh Ki
Gumrah. Sehingga karena itu, ia pun telah melangkah surut
menuju ke halaman rumah orangtua itu. Orang itu tidak
mau memutar tubuhnya membelekangi Ki Gumrah yang
ternyata memiliki senjata khusus, yang dapat dilontarkan
pada jarak tertentu.
Ki Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun ia
memang tidak ingin membunuh orang itu. Bahkan ia
sempat berkata "Apakah kau tidak ingin melihat kawanmu"
Apakah kau yakin ia sudah mati?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Mati atau tidak mati, aku tidak dapat
membawanya. Kaupun dapat berbuat licik saat aku melihat
kawanku. Yang penting, salah seorang diantara kami dapat
kembali dan memberitkan laporan tentang benda-benda
berharga itu".
Ki Gumrah tersenyum. Katanya "Kau kira aku tidak
dapat membunuhmu?"
"Lakukan jika kau mulai menjadi ketakutan kepada
orang yang memerintahkan aku kemari. Tetapi bahwa kami
berdua tidak kembali, berarti bencana yang semakin besar
bagimu" jawab orang itu.
Ki Gumrah tertawa. Katanya "Satu cara yang baik untuk
menyelamatkan diri. Kau singgung harga diriku agar aku
tidak membunuhmu. Tetapi jika aku tidak membunuhmu,
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kata-kata itu.
Aku memang tidak berniat membunuhmu. Aku kasihan
kepadamu. Kau sudah menjadi pucat pasi. Meskipun kau
memaksa diri untuk tampak tetap tegar dan tanpa mengenal
ancaman maut. Namun sebenarnya jantungmu tentu sudah
tidak berdarah lagi".
"Setan tua" geram orang itu. Namun ia masih juga
melangkah surut ke pintu gerbang.
Demikian orang itu sampai kepintu gerbang, Ki Gumrah
telah menimbang sebuah lingkaran besi baja. Karena itu,
orang itu dengan cepat meloncat ke belakang pintu gerbang
halaman rumah Ki Gumrah.
Ki Gumrah tersenyum. Namun kemudian dengan
tergesa-gesa ia menyimpan kembali gelang-gelang baja itu
dibawah ikat pinggangnya. Kemudian Ki Gumrah pun
telah mendekati Manggada dan Laksana.
"Marilah. Aku obati luka-lukamu, berkata Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana telah menyarungkan senjata
mereka. Dengan dibantu oleh orangtua itu, keduanya
berjalan perlahan-lahan ke serambi rumah tua itu, dan
kemudian duduk disebuah amben panjang.
"Duduklah sebentar. Jangan banyak bergerak" berkata
orangtua itu. Dengan tergesa-gesa pula Ki Gumrah mendekati tubuh
yang terbaring itu. Nampaknya gelang-gelang besi baja Ki
Gumrah telah mengenai tengkuknya.
Tetapi orang itu tidak mati. Orang itu hanya pingsan
saja. "Biarlah ia tidur sebentar" berkata Ki Gumrah yang telah
menelentangkan orang itu. Tetapi kemudian ia telah
menyentuh beberapa bagian simpul syarafnya dan berkata
"Ia tidak akan dapat lari".
Ki Gumrah kembali kepada Manggada dan Laksana.
Diperintahkannya kedua anak muda itu berbaring. Katanya
"Lepas baju kalian. Aku akan melihat luka-luka ditubuh
kalian." Manggada dan Laksana pun telah membuka baju mereka
sambil menyeringai menahan pedih. Kemudian keduanya
berbaring berjajar diamben bambu di serambi.
"Disini udara lebih baik daripada didalam rumah yang
pengab itu" berkata Ki Gumrah.
Sejenak kemudian orangtua itu telah melihat luka-luka
ditubuh Manggada dan Laksana. Kebanyakan hanya luka-
luka memar. Tetapi ada pula kulitnya yang terkoyak,
sehingga darah mengalir dari luka-luka itu.
Namun kemudian, dengan hati-hati Ki Gumrah telah
menaburkan semacam serbuk di luka-luka kedua anak
muda itu. Meskipun mula-mula luka itu bagaikan disentuh
api, namun kemudian perlahan-lahan penjadi semakin
sejuk. Darah yang mengalir dari luka-luka itupun telah
menjadi pampat pula.
"Luka-luka kalian, baik yang terbuka maupun yang
tampak memar pada kulit daging kalian, tidak berbahaya"
berkata orangtua itu "tetapi tentu terasa pedih. Apalagi jika
keringat kalian mengenainya".
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun obat Ki Gumrah telah dapat jauh mengurangi rasa
sakit, meskipun mula-mula terasa panas. Bahkan sejenak
kemudian Manggada telah mulai bangkit dan duduk dibibir
pembaringan. Laksana pun telah bangkit pula dan duduk
disebelah Manggada.
"Daya tahan kalian luar biasa" berkata Ki Gumrah
"latihan-latihan yang berat telah membuat kalian mengatasi
perasaan sakit yang mencekam tubuh kalian, serta
kemampuan kalian mempertahankan kekuatan dan tenaga
didalam diri kalian, sehingga kalian masih mampu bangkit
dan duduk sekarang ini, bahkan seolah-olah tidak terjadi
sesuatu atas diri kalian. Sudah tentu bahwa sebenarnyalah
kekuatan kalian belum pulih kembali, karena untuk itu
diperlukan waktu. Namun sekiias, wajah kalian, tatapan
mata kafian dan sikap duduk kalian, benar-benar
menunjukkan ketahanan tubuh yang luar biasa".
"Obat Ki Gumrah tadi agaknya yang telah menumbuhkan kekuatan di dalam tubuh kami, meskipun
belum pulih kembali." jawab Manggada.
"Tidak. Obatku hanya sekadar mengobati luka-luka
ditubuh kalian dan memampatkan darah" jawab Ki
Gumrah. Namun kemudian katanya "Tetapi aku juga ingin
memberikan obat yang nanti dapat kalian minum, sehingga
kekuatan kalian akan cepat pulih kembali".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah Manggada menjawab "Terima kasih Kiai".
"Akulah yang harus mengucapkan terima kasih." jawab
Ki Gumrah. "Tidak." jawab Manggada "kami ternyata benar-benar
terlalu sombong dan dungu. Kami tidak tahu siapa
sebenarnya Kiai. sehingga kami merasa mempunyai
kemampuan untuk menolong Kiai yang kemudian justru
merepotkan Kiai".
Ki Gumrah tertawa. Katanya "Anak-anak muda.
Meskipun kalian tidak berhasil menolong aku, seandainya
aku tidak mampu mengatasi mereka berdua, tetapi niat
kalian urtuk menolong itu sudah menunjukkan sesuatu
yang menarik pada kalian. Kalian tidak mengenal aku
sebelumnya. Namun dalam keadaan yang gawat, kalian
tiba-tiba saja telah
mengaku sebagai cucu-cucuku.
Bukankah sikap itu harus dihargai" Selebihnya, aku
memang ingin melihat tingkat kemampuan kalian. Ternyata
bahwa kalian selain telah berguru dan menyadap ilmu juga
pernah mendapatkan petunjuk-petunjuk khusus untuk
menjalani laku, sehingga kalian memiliki kelebihan dan
orang lain. Dalam umur kalian yang masih muda itu, kalian
telah memiliki sesuatu yang berharga. Namun masih juga
tergantung penggunaannya, apakah yang kalian miliki itu
berarti bagi orang banyak atau justru mengganggu orang
banyak". Manggada dan Laksana tidak menjawab. Ketika mereka
menarik nafas dalam-dalam, maka tulang-tulang mereka
memang tidak lagi terasa terlalu sakit. Menurut Ki Gumrah,
itu bukan karena obat yang ditaburkan pada luka-lukanya,
tetapi justru karena daya tahan tubuh mereka sendiri.
Sementara itu. Ki Gumrah itu kemudian berkata
"Duduklah. Beristirahatlah agar darahmu tidak keluar lagi
dari luka-lukamu yang mulai pampat. Aku akan melihat
orang itu".
Ketika Ki Gumrah mendekati orang yang terbaring di
halaman itu, maka ia melihat bahwa orang itu telah sadar
dari pingsannya. Namun orang itu masih saja berbaring
diam karena sentuhan jari-jari Ki Gumrah pada bagian
tertentu pada jaringan dan simpul-simpul syarafnya,
Demikian Ki Gumrah membuka bagian-bagian yang
ditutupnya itu, maka orang itupun telah menarik nafas
dalam-dalam. "Bangkitlah dan duduklah" desis Ki Gumrah. Orang itu
menggeliat. Namun ia merasa bahwa ia masih mampu
untuk bangkit dan duduk ditanah meskipun tengkuknya
terasa sakit sekali. Agaknya tengkuknya itulah yang telah
dikenai senjata lawannya dan membuatnya menjadi
pingsan. "Kawanmu telah melarikan diri" desis Ki Gumrah.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
orang yang menyebut dirinya Ki Gumrah. Kemudian orang
itu sempat memandang Manggada dan Laksana yang
duduk dise-rambi.
"Kenapa kau tidak membunuh aku saja?" bertanya orang
itu. Ki Gumrah tersenyum. Katanya "Tidak. Aku juga tidak
membunuh kawanmu. Aku biarkan kawanmu melarikan diri". Orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun iapun kemudian
bertanya "Kenapa kau tidak
membunuh kami" Bukankah kau
tahu bahwa kami adalah orang
yang sangat berbahaya bagimu.
Bahkan seandainya kami mampu, kami tentu sudah membunuhmu dan membawa benda-benda berharga itu
keluar dari rumahmu ini".
Orangtua itu tersenyum. Katanya "Sebenarnya untuk apa
kami membunuh" Aku dan cucu-cucuku bukan pembunuh.
Kami hanya sekadar mencegah usaa kalian membawa
benda-benda yang tidak berhak kalian bawa itu. Hanya itu."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia benar-
benar tidak mengerti, kenapa orangtua
itu tidak membunuhnya. Bahkan orangtua itu kemudian membantunya untuk ber
diri sambil berkata "Marilah. Duduklah bersama cucu-
cucuku itu".
Orang itu berusaha untuk bangkit berdiri dan berjalan
tertatih-tatih dibantu oleh Ki Gumrah ke serambi.
Kemudian Ki Gumrah telah mempersilahkan orang itu


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk duduk diamben bambu, disebelah Manggada dan
Laksana. Namun orang itu ternyata masih merasa bahwa masih
ada anggauta badannya yang tidak dapat bergerak
sewajarnya. "Agaknya masih ada simpul syarafnya yang tertutup"
berkata orang itu didalam hatinya. Namun orang itu tidak
bertanya kepada Ki Gumrah. Karena ia tidak yakin, apakah
keadaanya itu terjadi karena ia memang mengalami luka-
luka didalam tubuhnya.
"Biarlah kau duduk bersama cucu-cucuku. Aku akan
menengok gula kelapaku lebih dahulu, berkata orangtua
itu." Manggada dan Laksana termangu-mangu melihat Ki
Gumrah begitu saja meninggalkan mereka bersama orang
yang semula berniat buruk itu. Namun Manggada dan
Laksana tidak bertanya pula kepadanya. Ia yakin, bahwa
orangtua itu tidak berbuat begitu saja tanpa memikirkan
akibatnya. Untuk beberapa saat mereka yang duduk diserambi itu
saling berdiam diri. Memang ada niat orang yang telah
sadar dari pingsannya itu untuk melarikan diri. Tetapi
setiap kali niatnya diurungkan karena ada sesuatu yang
belum wajar pada dirinya, yang mungkin akan dapat
mengganggunya se panjang umurnya.
Tetapi karena orangtua itu cukup lama tidak muncul dari
dalam rumahnya, maka orang itupun kemudian bertanya
"Anak-anak muda. Apakah kalian juga berguru kepada
kakekmu, sehingga dalam umurmu yang masih muda itu
kalian memiliki bekal ilmu yang cukup baik" "
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Manggada menjawab singkat "Ya".
Tetapi orang itu masih bertanya "Menilik penglihatanku,
unsur-unsur gerak yang terdapat dalam ilmumu berbeda
dengan unsur-unsur yang tampak pada kakekmu. Kenapa?"
Sekali lagi Manggada dan Laksana termangu-mangu.
Tetapi Manggada pun kemudian menjawab "Kami terlalu
dungu untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntunan
ilmu kakek".
"Apakah kalian telah mengembangkannya sendiri?"
bertanya orang itu.
"Tentu tidak. Tetapi kakek yang memiliki ilmu yang
tinggi itulah yang mampu berbuat apa saja dengan ilmunya.
Ia mampu merubah sifat dan watak ilmunya dalam sekejap,
sehingga seolah-olah ada dua atau tiga jalur kemampuan
ilmu pada kakek" jawab Manggada.
Orang itu mengangguk-angguk kecil. Namun katanya
"Ternyata orangtua itu berilmu sangat tinggi. Aku tidak
mengira. Bahkan aku tetap tidak mengerti kenapa kakekmu
tidak membunuh aku".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil.
Namun tiba-tiba Laksana bertanya "Siapa namamu?""
Orang itulah yang kemudian termangu-mangu. Tetapi
iapun kemudian menjawab "Namaku Kundala. Lengkapnya Kundala Geni".
Laksana mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya
lagi. "Apakah namamu memang Kundala Geni atau kau
tambahi sendiri agar namamu menjadi lebih berwibawa".
Manggada menggamit Laksana. Tetapi pertanyaan itu
sudah terloncat.
Sambil menarik nafas panjang orang itu menjawab
"Memang aku bernama Kundala Geni mulai lahir. Waktu
itu rumahku terbakar, sehingga ibuku yang baru saja
melahirkan aku, telah terkepung api. Untunglah, ayahku
semprt menyelamatkan aku".
"O" Laksana mengangguk-angguk. Sementara orang itu
berkata selanjutnya "Namun ternyata peristiwa itu telah
ikut menentukan garis hidupku".
Laksana justru menjadi tertarik lagi untuk bertanya.
Namun sekali lagi Manggada menggamitnya, sehingga
Laksana pun terdiam karenanya.
Untuk beberapa saat orang-orang yang duduk diserambi
itu saling berdiam diri. Namun kemudian Ki Gumrah telah
muncul dari balik pintu sambil membawa mangkuk berisi
ketela rebus legen yang masih panas.
Sebelum Manggada dan Laksana bertanya, Ki Gumrah
berkata "Ketela ini sudah ada di kuali dengan sisa adonan
gula yang belum sempat aku tuang kedalam tempurung.
Namun apinya tinggal kecil sekali, sehingga tidak dapat
membuat air yang kau tuangkan itu mendidih. Baru
kemudian, aku nyalakan iagi sehingga ketela pohon ini
teiah masak. Karena itu, aku agak terlalu lama
meninggalkan kalian".
Ki Gumrah pun kemudian ikut duduk pula di serambi,
sehingga mereka berempat sempat makan ketela pohon
yang direbus dengan legen sehingga menjadi manis sekali.
Orang yang menyebut namanya Kundala Geni itu
menjadi semakn heran. Ki Gumah sama sekali tidak
menyinggung-nyinggung
lagi tentang kedatangannya berdua dengan kawannya yang melarikan diri. Ki Gumrah
tampaknya menganggap Kundala itu sebagai tamunya saja.
Bahkan kemudian orangtua itu berkata "Duduklah.
Wedang sereku tentu sudah jadi pula".
Sejenak kemudian Ki Gumrah itupun telah masuk lagi
untuk mengambil wedang serenya.
Ternyata Kundala Geni tidak dapat menahan keheranannya itu didalam dadanya. Hampir diluar
sadarnya orang itu berkata.. "Orangtua yang aneh. Kenapa
ia memperlakukan aku seperti ini" Aku justru menjadi
bingung atas sikapnya. Seharusnya ia membunuhku.
Apalagi kawanku telah melarikan diri".
"Kakek sengaja tidak membunuhmu dan tidak pula
membunuh kawanmu. Jika kakek mau, kawanmu tentu
sudah menjadi mayat disini".berkata Laksana.
"Itulah yang tidak aku mengerti," desis Kundaia.
Namun Manggada pun menyahut "Kakek bukan seorang
pembunuh. Bahwa ia harus berkelahi, ia tentu akan menjadi
amat sedih. Semalam-malaman nanti kakek tentu akan
merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Kenapa ia
masih harus berkelahi dalam usianya setua itu".
Kundala mengangguk-angguk. Sementara Manggada
berkata selanjutnya "Apalagi jika karena kecelakaan
misalnya, kakek membunuh salah seorang dari kalian.
Maka kakek tentu akan sangat menyesali dirinya. Sepekan
kakek akan tidak mau makan".
Kundala menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Bukan
maksudku untuk memusuhi kakekmu. Tetapi aku memang
berada dibawah perintah seseorang, sehingga aku harus
melaksanakannya".
Kundala menggeleng. Katanya "Aku tidak akan
mengatakannya. Bagaimanapun juga aku mempunyai
kewajiban untuk menyembunyikan nama itu".
"Tetapi kau dapat dipaksa oleh kakek untuk menyebutnya" berkata Laksana.
Orang itu terdiam. Ia memang tidak menjawab apa-apa.
Tetapi terasa betapa ia wajib bertahan untuk tidak
berkhianat kepada orang yang telah memerintahkannya
mengambil pusaka-pusaka itu.
Pembicaraan mereka terputus ketika Ki Gumrah telah
keluar lagi membawa wedang sere dan beberapa mangkuk
kecil. Manggada yang bangkit untuk membantu Ki Gumrah
membawa minuman dan mangkuk-mangkuk kecil itu,
masih menyeringai menahan sakit dipunggungnya. Namun
ketika ia mulai melangkah, maka perasaan sakit itu justru
berkurang. Manggadalah yang kemudian meletakkan minuman itu
diamben, sementara Ki Gumrah masih masuk lagi untuk
mengambil gula kelapa.
"Ini bukan gula yang aku buat hari ini" berkata Ki
Gumrah "tetapi gula yang aku buat kemarin. Aku belum
sempat membawanya ke pasar".
Demikianlah, keempat orang itu justru duduk-duduk di
serambi sambil minum-minuman hangat dan makan ketela
pohon yang direbus dengan legen kelapa.
Namun beberapa saat kemudian Kundala itu tidak dapat
duduk dalam perlakuan yang tidak d'mengerti itu Karena
itu maka iapun bertanya "Ki Gumrah. Lalu apa maksud Ki
Gumrah dengan aku. Apakah Ki Gumrah memperlakukan
aku seperti ini sekadar mempermainkan aku untuk
kemudian dibunuh dengan cara Ki Gumrah sendiri, atau
apa?" "Jangan berprasangka buruk terhadap orang lain Ki
Sanak. Sudah aku katakan, aku bukan pembunuh" jawab Ki
Gumrah "tugasku hanya menjaga benda benda berharga itu.
Jika benda-benda itu sudah aman dan dapat aku
selamatkan, maka apakah perlu aku membunuh orang?"
"Tetapi orang-orang itu tentu orang-orang yang sangat
berbahaya bagi Ki Gumrah. Aku dan kawanku dapat
kembali lagi, bahkan bersama dengan sepuluh atau
duapuluh orang" berkata Kundala.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
telah menyatakan kesedianku untuk menjaga benda-benda
yang berharga itu. Apapun yang terjadi, aku harus
mempertahankannya. Tetapi untuk itu aku tidak harus
menjadi seorang pembunuh".
"Apakah Kiai pada suatu saat akan membiarkan diri Kiai
dibunuh?" bertanya Kundala.
"Setiap orang tentu akan berusaha mempertahankan
hidupnya dalam keadaan yang wajar. Kecuali mereka yang
telah kehilangan nalar dan sengaja membunuh dirinya
sendiri." desis Ki (Jumrah.
Kundala termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
pun berkata "Ki Gumrah. Tampaknya Ki Gumrah belum
tahu watak orang yang telah memerintahkan kami datang
untuk mengambil benda-benda berharga itu. Orang itu
sama sekali tidak berperasaan. Ia tidak akan mengerti
meskipun Ki Gumrah tidak membunuh kami berdua. Yang
ia tahu, niatnya harus dapat dilaksanakan dengan cara
apapun juga. Bahkan dengan membunuh sekalipun".
Ki Gumrah tersenyum. Katanya "Mudah-mudahan pada
suatu saat ia akan berubah".
"Itu tidak mungkin" sahut Kundala "ia tidak akan
berubah sampai tanah akan menelannya".
"Tentu kita tidak tahu apa yang akan terjadi" jawab Ki
Gumrah. Kundala tidak berbicara lagi. Namun kepalanya masih
saja menunduk dalam-dalam.
Sementara itu Ki Gumrah telah mempersilahkan mereka
mengulangi lagi makan ketela rebus legen yang masih
tersisa sambil minum minuman yang sudah menjadi
semakin dingin.
"Siiahkan. Aku akan melihat dapur sebentar." berkata
orangtua itu sambil melangkah masuk kedalam rumahnya.
Kundaia menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar
sadarnya ketika ia kemudian berdesis "Aku benar-benar
tersiksa. Mungkin orangtua itu sengaja menyiksa aku
dengan cara ini. Jika ia membunuhku, ia akan menganggap
bahwa hukuman bagiku itu masih terlalu ringan".
"Tidak" sahut Manggada "kakek benar-benar bukan
seorang pembunuh. Jika ia ingin menyiksa, maka ia tidak
akan membiarkan kawanmu terlepas dari tangannya.
Sebenarnya ia dapat menangkap kawanmu sebagaimana
dilakukan atasmu. Jika kakek melempar kawanmu dengan
gelanggelang bajanya, maka ia tentu tidak akan sempat
melarikan diri".
"Aku benar-benar tidak mengerti" desis orang itu "namun
aku akan menjadi semakin tersiksa jika pada suatu saat
orangtua itu terbunuh oleh kawan-kawanku".
"Kau dan kawan-kawanmu tidak akan datang lagi" desis
Laksana. "Jika hal itu-dapat aku lakukan, aku akan merasa
berbahagia sekali. Tetapi jika perintah itu datang, maka
siapa yang menentang akan dibinasakan. Dan tentu saja
aku tidak ingin mengalaminya, karena seperti yang
dikatakan oleh Ki Gumrah tentu setiap orang berusaha
mempertahankan hidupnya, kecuali jika terjadi sesuatu
yang mengacaukan penalarannya." jawab Kundala.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Keduanya
mengerti perasaan orang yang menamakan dirinya Kundala
itu. Namun keduanyapun agak sulit untuk mengerti sikap
Ki Gumrah. Ia sama sekali tidak berusaha untuk mengenali
siapa yang telah memerintahkan Kundala datang
kepadanya untuk mengambil benda-benda berharga itu.
"Hanya belum" gumam mereka didalam hatinya. Namun
Manggada dan Laksana memperhitungkan, bahwa Ki
Gumrah pada suatu saat tentu bertanya tentang orang yang
memerintahkan Kundala Geni datang kerumahnya.
Untuk beberapa lama Kundala masih berbicara dengan
Manggada dan Laksana. Namun Kundala tidak juga
menyebut-nyebut nama orang yang telah memberikan


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perintah kepadanya untuk datang kerumah itu.
Ternyata Ki Gumrah tidak segera keluar dari rumahnya.
Ketiga orang yang berada di serambi itu menunggunya.
Namun ternyata kemudian mereka mendengar suara
orangtua sedang sibuk menghitung, Agaknya orangtua itu
sedang menghitung gula kelapa yang ada di dapur. Agar
tidak mudah lupa atau keliru, maka hitungan yang
diucapkan beralun dalam nada-nada tembang yang
menyentuh. Ternyata suara orangtua itu cukup bagus.
Meskipun hanya lamat-lamat, namun terdengar suara itu
kadang-kadang melengking tinggi. Tetapi kemudian
menukik sampai ke
dasar jantung mereka yang
mendengarkan, meskipun yang disebut tidak lebih dari
angka-angka hitungan gula kelapanya.
Beberapa saat kemudian, suara tembang itupun berhenti.
Manggada, Laksana dan Kundala Geni pun tidak
berbincang lagi. Mereka bertigamerenungiperistiwayang
baru saja terjadi. Sementara Kundala masih saja tersiksa
oleh sikap orangtua itu. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa
masih ada simpul syarafnya yang belum terbuka
sepenuhnya. Ketiganya berpaling ketika Ki Gumrah muncul dari
pintu rumahnya sambil membawa sekeranjang gula kelapa
yang diletakkannya ditlundak pintu rumahnya. Kemudian
iapun telah mendekati ketiga orang yang duduk di serambi
sambil berkata "Nah, tolong, jaga rumahku sebentar. Aku
akan menyerahkan gula kepala yang sudah aku simpan
sejak kemarin, ditambah dengan gula yang akan aku buat
hari ini".
"Tetapi............." Manggada memang menjadi bimbang.
Namun orangtua itu berkata "Aku hanya sebentar. Gula ini
akan aku bawa kerumah sebelah, yang memang berdagang
gula kelapa. Jika sudah terkumpul sepedati, maka gula itu
akan dibawa kepasar".
Bahkan sebelum pergi orangtua itu mendekati Kundala
sambil berkata "Ada yang masih tertinggal. Berdirilah".
Kundala mengerti yang dimaksud oleh orangtua itu.
Simpul syarafnya yang masih tertutup agaknya akan
dibuka. Karena itu maka iapun telah bangkit berdiri dan
melangkah mendekati.
Ki Gumrah telah memutar tubuh Kundala sehingga
membelakanginya. Kemudian beberapa ketukan jari telah
membuka simpul-simpul syaraafnya yang masih tertutup.
Kundala menarik nafas panjang. Terasa bahwa anggauta
badannya benar-benar telah terbebas dari ketukan orangtua
itu. Ia sudah dapat berbuat apa saja. Bahkan rasa-rasanya
kekuatannya telah hampir pulih kembali.
"Nah" berkata Ki Gumrah "aku akan pergi sebentar.
Silahkan menghabiskan ketela itu. Nanti kita akan
membuat lagi. Masih banyak batang pohon ketela yang ada
dikebun belakang. Nanti sore aku akan memanjat untuk
mengambil legen lagi".
Ketiganya tidak sempat menjawab. Ki Gumrah itupun
kemudian mengambil keranjang yang penuh gula yang
terletak ditlundak pintu. Kemudian diangkatnya keranjang
itu dan dibawanya diatas kepalanya.
Orangtua itu tidak berpaling lagi. Apalagi setelah
kepalanya diletakkan keranjang gula itu.
Kundala masih tetap berdiri. Segala-galanya telah pulih
kembali. Ketika ia mengangkat tangannya dan menggerakkannya,
tidak lagi terasa sesuatu yang menghambat. Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun keduanya sadar, bahwa tampaknya Kundala benar-
benar telah memiliki kembali bukan saja tenaganya, tetapi
juga kemampuannya. Sementara itu merekapun sadar
bahwa Kundala Geni adalah seorang yang berilmu tinggi.
Jika saja kepalanya mulai diganggu lagi oleh kepentingannya datang di rumah itu. maka keduanya tidak
boleh tinggal diam apapun yang akan terjadi.
Tetapi Kundala itu ternyata tidak menjadi garang.
Bahkan dengan kepala tunduk ia mendekati menjadi
diserambi itu dan duduk lagi. Terdengar ia menarik nafas
panjang sambil memandang kekejauhan. Bahkan kemudian
terdengar ia mengeluh "Apa yang sebenarnya dikehendaki
oleh orangtua itu".
Manggada dan Laksana tidak menyahut. Sementara itu
Kundala masih berbicara seakan-akan kepada dirinya
sendiri "Apakah ia dengan sengaja mencobai aku.
Dibiarkannya aku tinggal dirumah ini. Dibebaskannya aku
dari ketukan jari-jarinya pada simpul-simpul syarafku,
sehingga tenaga dan kemampuanku seakan-akan telah pulih
kembali. Kemudian ditinggalkannya
aku dengan kesempatan yang luas untuk mengambil barang-barang
berharga itu".
Manggada dan Laksana masih saja berdiam diri. Namun
dnuar sadarnya, keduanya memang sudah mempersiapkan
diri. Mereka tahu bahwa kedoanya tentu akan sulit bertahan
melawan Kundala Geni jika orang itu benar-benar ingin
mengambil pusaka-pusaka itu sebagaimana dilakukannya
sebelumnya. Tetapi ternyata Kundala tidak berbuat apa-apa. Bahkan
orang itu tampak sangat gelisah. Keringatnya mengembun
di keningnya. Yang dilakukan Kundala kemudian adalah justru meraih
mangkuk minumannya. Diteguknya wedang serenya.
Kemudian sekali lagi menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian Kundala duduk termenung memandangi bayang-bayang yang bermain di halaman
rumah orangtua itu.
Ternyata Ki Gumrah tidak juga segera kembali. Ketiga
orang yang duduk diamben itu saling berdiam diri. Pikiran
yang bermacam-macam telah bermain di kepala Kundala.
Sekati ia ingin lari saja. Lari dari himpitan perasaannya
Misteri Bayangan Setan 9 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Rahasia Peti Wasiat 5
^