Pencarian

Sang Penerus 2

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Bagian 2


yang bagaikan mencekik. Namun kemudian timbul niatnya
untuk menyelesaikan tugasnya. Mengambil benda-benda
pusaka itu. Bahkan kalau perlu menyingkirkan siapa saja
yang mencoba menghalanginya. Termasuk kedua anak
muda itu. Tanpa disengaja, Kundala telah berpaling memandangi
Manggada dan Laksana yang ternyata juga sedang
merenungi pepohonan di halaman. Namun dimaui
Kundala Geni, Manggada dan Laksana telah berubah.
Tidak lagi sebagai anak-anak muda yang garang, yang
menghalangi niat mereka dan balikan menghantuinya
meskipun Kundala yakin akan dapat mengalahkan mereka.
Namun keduanya dimata Kundala kemudian tampak
seperti anak-anak yang tidak tahu menahu tentang kerasnya
benturan kepentingan uiatas bumi ini. Sorot matanya yang
bersih dan lugu.
Kundala Geni menjadi semakin bimbang. Sehingga a-,
khirnya ia hanya dapat berdesah untuk mengurangi sesak
nafas didadanya.
Ki Gumrah memang cukup lama pergi. Sementara
orang-orang yang berada diserambi rumahnya menjadi
gelisah. Namun akhirnya Ki Gumrah itu muncul diregol
halaman rumahnya sambil menjinjing keranjangnya yang
lelah kosong. Sebelum orang-orang yang berada diserambi itu
bertanya. Ki Gumrah sudah mendahului berkata.
"Ada beberapa orang yang menyerahkan gula kelapanya,
sehingga menunggu giliran untuk dihitung".
"Apakah banyak orang yang nderes kelapa disini?"
bertanya Kundala yang tidak sempat
memikirkan pertanyaan yang lain.
Ki Gumrah mengangguk sambil menjawab "Ya.
Padukuhan ini adalah padukuhannva orang nderes kelapa.
Hampir setiap kebun terdapat satu dua batang pohon kelapa
yang disadap legennya untuk membuat gula kelapa".
Kundala mengangguk kecil. Namun ia tidak bertanya
lebih banyak lagi.
Sementara itu Ki Gumrah pun telah langsung masuk
kedalam rumahnya sambil berkata "Aku akan menyimpan
keranjangku lebih dahulu".
Manggada yang merasa jantungnya selalu dihinggapi
berbagai pertanyaan itu telah bangkit dan menyusul
orangtua itu kedalam. la sempat berkata kepada adik
sepupunya "Aku akan ke pakiwan sebentar".
Laksana mengangguk, la tidak tahu untuk apa
Manggada masuk kcdalam rumah itu. Tetapi Laksana
sudah mengira bahwa Manggada tidak benar-benar pergi ke
pakiwan. Sebenarnya Manggada hanya sekadar menyusul Ki
Gumrah untuk bertanya "Apa yang akan Kiai lakukan
terhadap orang itu?"
Ki Gumrah mengerutkan keningnya. Kemudian ia
bertanya "Apa yang harus aku lakukan" Aku tidak akan
berbuat apa-apa atasnya. Jika ia ingin pergi, biarlah ia
pergi." "Tetapi itu akan sangat berbahaya bagi Kiai. karena ia
akan dapat datang lagi bersama banyak orang." berkata
Manggada pula. "Jadi apa yang harus aku lakukan?" justru orangtua
itulah yang bertanya.
"Aku tidak tahu Kiai" jawab Manggada "yang aku
cemaskan, jika ia benar-benar datang dengan kekuatan yang
lebih besar untuk merampas benda-benda berharga itu.
Kundala sendiri adalah orang yang berilmu tinggi
sebagaimana seorang kawannya yang melarikan diri".
Ki Gumrah termangu-mangu. Katanya "Anak muda.
biarlah ia berbuat sesuai dengan keinginannya. Tetapi aku
tidak dapat berbuat apa-apa atasnya".
"Apakah Kiai tidak ingin mengetahui, siapakah yang
telah memerintahkan orang itu datang kemari?" bertanya
Manggada. "Pertanyaan yang sia-sia ngger. Orang itu tentu tidak
akan mengatakannya." jawab Ki Gumrah.
"Tetapi Kiai perlu mengetahuinya." sahut Manggada. Ki
Gumrah tersenyum. Katanya "Aku tentu tidak akan dapat
memaksanya untuk mengatakannya dengan cara-cara yang
tidak wajar. Bahkan seandainya ia menyebut satu nama.
apakah dapat dijamin bahwa ia berkata jujur?"
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
mendesak terus.
Karena itu Manggada itupun telah keluar lagi dari ruang
dalam dan duduk diserambi bersama Laksana dan Kundala.
Beberapa saat kemudian, orangtua itu telah keluar pula
sambil berkata "Nah, duduklah kalian di serambi. Aku
harus menanak nasi. Kemudian mencari bahan untuk
masak di kebun belakang."
Ketiga orang yang ada di serambi itu termangu-mangu .
Namun Kundala ternyata tidak dapat menahan hatinya.
Katanya "Kiai. Apa yang sebenarnya Kiai inginkan atasku"
Kiai jangan membiarkan aku menjadi gelisah seperti ini".
"Kenapa kau menjadi gelisah?" bertanya Ki Gumrah
"Bukankah aku tidak berbuat sesuatu atasmu" Duduklah.
Nanti kita akan makan bersama-sama".
"Justru karena Kiai tidak berbuat apa-apa. Jika Kiai
memaksa aku untuk mengaku, mengikat aku atau
menyakiti aku agar aku mau berbicara. Itu masih dapat aku
mengerti. Tetapi tidak seperti ini" berkata Kundala.
"Aku tidak mengerti maksudmu ngger" desis orangtua
itu. Namun kemudian katanya "Mungkin kau membayangkan langkah-langkah kasar yang dapat aku
lakukan untuk mengetahui siapakah yang telah memerintahkan kau datang kemari. Tetapi bagiku, itu sama
sekali tidak ada gunanya. Karena kau dapat membohongi
aku. Dan itu tentu kau lakukan".
Kundala menjadi semakin bingung. Kemudian justru
katanya "Bagaimana jika aku melarikan diri" Atau kau
memang mengharap aku berusaha melarikan diri sehingga
kau mempunyai alasan untuk membunuhku?"
"Sekali lagi aku minta, kau jangan terlalu berprasangka
buruk. Aku sama sekali tidak ingin menahanmu disi-ni.
Aku tidak berhak melakukannya jika kau akan pergi, maka
kau dapat melakukannya kapan saja. Tetapi sudah tentu
tidak pantas bagiku untuk mengusirmu dari tempat ini.
Namun jika kau sendiri ingin meninggalkan kami, maka
tidak akan ada persoalan." berkata orangtua itu.
Kundala menjadi semakin bingung. Dalam kegelisahan
itu ia berkata "Tetapi Kiai tentu akan menyesal. Aku akan
datang lagi dengan kekuatan yang jauh lebih besar untuk
merampas pusaka-pusaka itu".
"Sudah aku katakan pula" jawab orangtua itu. "aku akan
mempertahankannya. Sokurlah jika pemiliknya sudah
mengambilnya sebelum kau datang lagi".
"Kiai benar-benar tidak dapat dimengerti" orang itu
benar-benar menjadi bingung.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh Ki Sanak" berkata
orangtua itu. Namun Kundala kemudian bangkit dan berkata lantang
"Aku akan pergi dari neraka ini. Aku merasa tersiksa
disini. Jika kau akan membunuhku, bunuhlah. Aku tidak
peduli." Orang itu segera melangkah ke halaman meninggalkan
serambi rumah Ki Gumrah. Sementara itu Manggada dan
Laksana telah meloncat turun ke halaman.
Namun Ki Gumrah hanya tersenyum saja mengawasi
orang yang melangkah menjauh itu.
Tetapi sebelum orang itu sampai ke regol halaman, ia
pun telah berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya
tampak sangat tegang. Bahkan katanya lantang "Kiai.
Kenapa kau tidak berbuat sesuatu" Kenapa kau tidak
melempar aku dengan gelang-gelangmu, sehingga tulang
leherku patah dan aku mati disini" Kenapa itu tidak kau
lakukan?" "Pergilah. Pergilah Ki Sanak. Seperti kawanmu yang
telah pergi lebih dahulu, aku sama sekali tidak berkeberatan
kau pergi, dan apapun yang akan kau lakukan kemudian."
berkata Ki Gumrah.
"Baik. Baik. Aku akan pergi. Kau kelak tentu akan
menyesal." geram orang itu.
Ki Gumrah tersenyum. Tetapi
ia tidak menjawab.
Dengan tergesa-gesa orang
itupun telah meninggalkan rumah Ki Gumrah. Sampai
hiiang dibalik regol, orang itu
tidak berpaling lagi.
Sepeninggal orang itu Manggada berkata "Bukan saja
orang itu yang tidak dapat
mengerti, tetapi kami juga."
"Ya. Justru
akulah yang mengerti. Aku tahu bahwa kebiasaan kita adalah memaksa orang untuk berbicara.
Kebiasaan kita, kita mempergunakan kekerasan dan
menyakiti orang lain untuk memaksanya berbicara,
sehingga cara yang lain tidak akan mudah untuk
dimengerti." berkata Ki Gumrah sambil tersenyum.
Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja.
Namun mereka pun ikut menengadahkan kepala mereka,
ketika mereka melihat Ki Gumrah seakan-akan mencari
sesuatu di langit.
Manggada dan Laksana terkejut. Mereka melihat seekor
burung elang yang terbang berputaran di udara.
"Elang itu" tiba-tiba Manggada berdesis "Elang dari
lingkaran ilmu hitam".
Ki Gumrah mengerutkan dahinya. Dengan ragu ia
bertanya "Kau pernah melihat elang itu?"
"Ya. Elang yang dilepaskan oleh seorang Panembahan
yang pernah menggemparkan karena usahanya untuk
membuat pusaka-pusakanya menjadi pusaka yang paling
baik diseluruh muka bumi. Namun dengan cara yang tidak
sewajarnya. Pusakanya harus meneguk darah seratus orang
gadis". "Jadi kau mengenai Panembahan dari dunia hitam itu?"
bertanya Ki Gumrah.
"Apakah Kiai juga mengenalnya?" bertanya Laksana
tiba-tiba. "Ya" Ki Gumrah mengangguk-angguk.
Namun kemudian kembali ia mengawasi burung elang yang terbang
semakin rendah. Katanya "Kalian benar. Elang itu tentu
bukan burung elang kebanyakan yang sedang mencari anak
ayam. Ujung jari-jari kakinya yang kadang-kadang berkedip
itu adalah logam untuk melengkapi agar elang itu mampu
bertempur sesuai dengan kehendak Panembahan itu".
"Ya" sahut Manggada "ujung kaki elang itu dilengkapi
dengan kuku-kuku buatan yang tajam".
"Elang itu sedang mencari Kundala." desis Ki Gumrah.
Lalu katanya "Nah, bukankah aku tidak perlu mengikat dan
mencambuk Kundala untuk menanyakan siapakah yang
telah memerintahkannya kemari?"
"Panembahan itu?" bertanya Manggada.
"Atau orang lain, namun sejalan dengan ilmu sesat yang
dimilikinya," jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana menjadi semakin tertarik.
Hampir diluar sadarnya Laksana bertanya "Kiai juga
mengenal Ki Ajar Pangukan atau Ki Pandi?"
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Ketika aku melihat kalian bertempur, aku sudah menduga,
meskipun landasan ilmumu bukan dari Ki Ajar Pangukan
atau Ki Pandi, tetapi pada ilmu kalian terdapat bekas
tangan mereka. Semula aku masih ragu-ragu. Tetapi
sekarang aku pasti, bahwa kalian pernah tinggal dirumah Ki
Ajar Pangukan".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk, Namun
Laksana itupun berkata "Jika Kundala ada hubungannya
dengan Panembahan itu, bukankah ia orang yang sangat
berbahaya?"
"Tetapi aku melihat sesuatu yang masih dapat
diharapkan pada Kundala dan mungkin juga kawannya.
Perasaannya masih hidup segar didalam jantungnya,
sehingga aku masih berharap bahwa Kundala tidak benar-
benar terbenam dalam putaran perbuatan Panembahan
hitam itu." berkata Ki Gumrah. Lalu katanya "Aku
berharap masih ada sedikit pikiran wajar pada Kundala,
sehingga mudah-mudahan dapat tumbuh dan berkembang


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihatinya. Tetapi jika ia tidak mampu melepaskan diri dari
pengaruh sesat itu, maka ia masih orang yang terbaik dari
segalanya yang hitam itu".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi
Laksana masih bertanya "Kiai, Panembahan yang
memelihara elang itu adalah seorang yang berilmu sangat
tinggi. Aku tahu, bahwa Kiai pun berilmu tinggi. Tetapi jika
ia membawa pengikut-pengikutnya setataran Kundala,
sementara Kiai hanya seorang diri, apakah Kia i tidak
merasa cemas" Mungkin
Kiai sama sekali tidak mencemaskan jiwa Kiai sendiri. Tetapi seandainya Kiai
gagal bertahan, pusaka-pusaka itu akan jatuh ketangan
mereka" Apalagi Panembahan yang gagal membuat
kerisnya menjadi pusaka terbaik dimuka bumi ini
memerlukan pusaka lain yang tentunya dapat dianggap
lebih baik dari kerisnya yang haus darah itu. Bahkan darah
seratus orang gadis".
Ki Gumrah tidak segera menjawab. Tetapi katanya
"Marilah, kita berbicara di dalam".
Ketiganya kemudian masuk keruang dalam. Manggada
dan Laksana membantu membawa mangkuk-mangkuk dan
sisa makanan mereka.
Setelah meletakkan mangkuk mangkuk itu di belakang,
maka mereka telah duduk diruang tengah.
"Biarlah nanti aku mencucinya" berkata Ki Gumrah.
Mangg'da dan Laksana tidak menyahut. Namun mereka
justru memandangi tirai sentong yang bergerak-gerak
disentuh angin.
Namun kemudian terdengar orangtua itu berkata" Aku
tidak memperhitungkan kemungkinan. Panembahan iblis
itu akan mengetahui bahwa aku berada disini".
"Apakah Kiai mempunyai hubungan dengan Panembahan itu?" bertanya Manggada kemudian.
Ki Gumrah tidak segera menjawab. Namun ia justru
bertanya "Dimana angger berdua bertemu dengar.
Panembahan itu" Apapula yang telah dilakukannya dengan
kerisnya itu?"
Manggada pun kemudian lelah menceritakan apa yang
pernah dilakukannya berdua dengan Laksana, la pun
berceritera tentang Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi yang
bongkok. Manggada tidak merasa perlu untuk merahasiakan lagi karena menurut pendapatnya. Ki
Gumrah adalah orang yang dapat dipercaya, la bukan
seorang yang berwatak seperti Panembahan Iblis itu.
Bahkan sikapnya agaknya lebih lunak dari Ki Ajar
Pangukan dan Ki Pandi.
Namun Manggada dan Laksana masih belum tahu pasti,
perbandingan ilmu antara orangtua itu dengan Panembahan
berilmu sesat itu, serta dengan Ki Ajar Pangukan dan Ki
Pantli. Sementara itu Ki Gumrah mendengarkan ceritera
Manggada dan Laksana dengan saksama. Sekali-sekali
tampak keningnya berkerut. Namun
kemudian ia mengangguk-angguk kecil.
Ketika Manggada selesai berceritera. Ki Gumrah berkata
"Menarik sekali. Ternyata dalam usia kalian yang muda.
kalian telah mengalami banyak hal yang dapat memperkaya
pengalaman kalian. Bukan saja pengalaman lahir tetapi juga
pengalaman batin. Bahkan kalian telah berada di Nguter
dan bersentuhan dengan kuasa Raden Panji Prangpranata.
Tetapi apakah kalian tidak berkeberatan jika aku ingin tahu,
siapakah sebenarnya kalian seutuh nya?"
Manggada menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak dipandanginya Laksana. Namun Laksana pun tampak
bimbang. Tetapi Manggada yang sudah mempercayai orangtua itu
akhirnya berceritera juga serba sedikit tentang dirinya dan
adik sepupunya itu.
Orangtua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
berkata "Aku belum mengenal pamanmu itu anak muda. la
tentu seorang yang berilmu tinggi".
"Tidak Kiai" jawab Laksana "ayah bukan seorang yang
berilmu tinggi seperti Kiai".
Ki Gumrah tertawa. Katanya "Seorang anak kadang-
kadang memang tidak sempat melihat kelebihan ayahnya
sendiri. Tetapi jika ayahmu bukan seorang yang berilmu
tinggi, maka ia tidak akan dapat meletakkan dasar ilmunya
sedalam yang telah kalian miliki. Meskipun Ki Ajar
Pangukan telah ikut mengasahnya, namun dasar ilmu
kalian telah kuat dan mapan. Hanya orang yang berilmu
tinggi sajalah yang mampu melakukannya atas anak-anak
semuda kalian".
"Kiai terlalu memuji" desis Laksana.
"Baiklah. Orangtua kalian tentu mengajari kalian untuk
menjadi seorang yang rendah hati. Seorang yang tidak
menyombongkan kemampuannya. Namun melihat apa
yang telah kalian lakukan terhadap orang-orang yang
datang itu, maka aku dapat membaca tingkat kemampuan
guru kalian itu." berkata Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Sebenarnyalah mereka tidak dapat mengukur kemampuan
guru mereka, ayah Laksana.
Ki Gumrah yang telah mendengar ceritera tentang diri
kedua anak muda itu kemudian berkata "Jika demikian
ngger. sebaiknya kalian meneruskan perjalanan kalian.
Ayah angger Manggada tentu sudah menunggu. Dalam
perjalanan pulang, angger berdua telah banyak kehilangan
waktu di perjalanan".
"Ya Kiai." jawab Manggada. "tetapi kedatangan Kundala
dan kawannya itu rasa-rasanya telah menahan kami berdua
disini. Meskipun barangkali kami tidak mampu brbuat
sesuatu, tetapi rasa-rasanya tidak adil untuk pergi begitu
saja setelah kami menyebut diri kami sebagai cucu-cucu
Kiai". "Aku tahu ngger. Kalian berdua selain memiliki
landasan ilmu yang mantap, juga bukan orang-orang yang
mementingkan diri sendiri. Kalian tidak ingin melihat orang
lain mengalami kesulitan tanpa berbuat sesuatu. Untuk itu
aku sangat berterima kasih. Tetapi akupun tidak dapat
membiarkan kalian ikut terjerat dalam kesulitan-kesulitan
yang akan dapat mengancam keselamatan kalian." jawab
orangtua itu. "Mungkin kami akan menjadi beban Kiai. Tetapi biarlah
kami mohon diijinkan tinggal disini barang dua tiga hari."
berkata Manggada kemudian.
Ki Gumrah menarik nafas panjang. Katanya "Persoalanku tidak akan selesai dalam dua tiga hari ini
justru tidak akan terjadi sesuatu. Bagaimana dengan kalian
jika persoalanku ini akan berkepanjangan sampai berbilang
tahun". Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Namun rasa-rasanya mereka tidak dapat begitu saja
meninggalkan rumah itu. Karena itu, maka Laksana pun
kemudian berkata "Kiai. Apapun yang akan terjadi, biarlah
kami tinggal dirumah ini sampai saatnya kami mohon diri.
Kami senang dengan kehidupan dirumah ini. Menyadap
legen setiap pagi dan sore. Membuat gula kelapa dan
merebus ketela."
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Baiklah anak-anak muda. Jika kalian memang ingin
tinggal disini. Tetapi sebenarnya aku ingin kalian tidak
terpercik getah dari nangka yang tidak kalian makan".
"Kamilah yang menginginkannya. Kiai" jawab Laksana.
"Aku tidak dapat menolaknya. Selain kalian memang
ingin menolong aku, maka kalianpun ingin mendapatkan
pengalaman yang seluas-luasnya. Tetapi sebenarnya tempat
ini tempat yang sangat berbahaya bagi kalian. Bahkan tidak
kalah berbahayanya dengan daerah yang luas dibawah
pengaruh Panembahan Hitam itu. Tidak pula kurang
bahayanya dan lingkungan kuasa Raden Panji Prangpranata yang kehilangan calon isterinya itu." berkata
Ki Gumrah. "Terima kasih Kiai" sahut Manggada dan Laksana
hampir berbareng.
Dengan demikian, maka dalam satu dua hari, Manggada
dan Laksana akan berada dirumah itu. Memang
mendebarkan, tetapi keduanya rasa-rasanya berkewajiban
untuk melakukannya.
Karena itulah, maka Manggada da Laksana telah sempat
membersihkan halaman depan, yang tampaknya tidak
begitu bersih. Memotong dahan yang mulai mengering dari
pepohonan yang tumbuh dihalaman, agar daunnya yang
dengan cepat menguning tidak runtuh dihalaman.
Ki Gumrah melihat kedua anak muda itu dengan
jantung yang berdebaran. Keduanya bukan saja berilmu,
tetapi keduanya ternyata anak-anak muda yang rajin
bekerja. Setelah sehari keduanya tinggal dirumah Ki Gumrah,
maka halaman rumah itu
kelihatan lebih bersih. Pepohonan-pun seakan-akan telah dipangkas rapi. Jambangan di pakiwan pun menjadi bersih pula. Lumut
yang kehijauan telah dibersihkan. Batang sirih yang tumbuh
didekat pakiwan dan merambat ke segala penjuru, telah
ditertibkan pula. Meskipun Ki Gumrah tidak makan sirih,
tetapi daun sirih adalah daun yang dapat dibuat berbagai
macam obat. Di halaman belakang empon-empon yang
merupakan bagian dari tanaman-tanaman yang mampu
dibuat obat pula, telah disiangi sehingga akan dapat
menjadi lebih subur.
Namun ketika malam turun, setelah kedua anak muda
itu berada di pembaringan, mereka masih juga berbisik yang
satu kepada yang lain "Jangan terlalu nyenyak tidur".
Tetapi lewat tengah malam, maka kedua anak muda itu
benar-benar telah tertidur nyenyak.
Diluar pengetahuan mereka, ketika Ki Gumrah
kemudian keluar dari biliknya. Dengan sangat hati-hati,
orang itu telah duduk diamben yang cukup besar, tempat
Manggada dan Laksana tidur. Ternyata orangtua itu dapat
duduk diamben bambu tanpa berderit dan tanpa
membangunkan kedua anak muda yang tertidur nyenyak
itu. Dipandanginya wajah kedua anak muda yang memang
agak mirip yang satu dengan saudara sepupu. Wajah yang
kosong itu tampak bersih, seakan-akan keduanya masih
belum menyentuh gejolak kehidupan yang keras dan
kadang-kadang terasa buas.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Pada wajah
kedua anak muda itu terbayang masa depan. Diluar
sadarnya Ki Gumrah itu berdesis "Keduanya akan menjadi
bagian dari dunia olah kanuragan dimasa depan. Jika saja
ada beberapa orang lagi dari antara mereka yang berilmu
memiliki jiwa seperti anak itu, maka lingkungannya tentu
akan menjadi tenang dan terlindung dari nafsu rendah."
Beberapa saat Ki Gumrah duduk menunggui kedua anak
muda yang tidur nyenyak itu. Bahkan kemudian seakan-
akan ia akan melakukannya sampai pagi. Sambil bersandar
dinding, orangtua itu menyilangkan tangannya didada.
Namun tiba-tiba saja dahi orangtua itu berkerut.
Telinganya yang tajam telah menangkap desir halus diluar
dinding rumahnya.
Untuk beberapa saat Ki Gumrah tidak berbuat sesuatu,
la mendengarkan saja desir itu menyusuri dinding
rumahnya yang tidak terlalu besar itu. Namun kemudian
seakan-akan telah menghilang disudut belakang.
Tetapi Ki Gumrah tahu bahwa desir itu tentu masih
belum akan meninggalkan halaman rumahnya. Bahkan
kemudian Ki Gumrah mendengar bukan saja desir lembut,
tetapi desis suara orang berbisik perlahan sekali.
Suara itu jelas dan pasti. Ki Gumrah tahu, bahwa ada
lebih dari seorang diluar rumahnya. Namun Ki Gumrah
tidak mendengar apa yang dibicarakan.
Ketika desir langkah orang itu menjauh lagi, memutari
rumahnya, Ki Gumrah bergeser turun dari amben itu


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan hati-hati. Ia tidak ingin mengejutkan anak-anak
muda itu. Tetapi iapun tidak ingin membiarkan anak-anak
muda itu dikejutkan oleh peristiwa yang tidak mereka
ketahui karena mereka masih tertidur nyenyak.
Karena itu, Ketika Ki Gumrah sudah berdiri dilantai
rumahnya, iapun menyentuh Manggada pada kakinya.
Manggada memang terkejut, Ia cepat tanggap akan
keadaan. Karena itu, iapun segera bangkit duduk.
Namun sementara itu, Ki Gumrah yang sudah berdiri itu
memberikan isyarat agar Manggada tidak berbicara apapun
juga dengan meletakkan jari-jari tangannya di mulutnya.
Manggada mengerutkan keningnya. Namun kesadarannya telah sepenuhnya dikuasainya. Karena itu,
iapun tidak betanya apapun kepada Ki Gumrah. Bahkan
dengan hati-hati iapun telah turun dari amben.
Ki Gumrah memberi isyarat lagi. bahwa ia masih
mendengar sesuatu. Suara itu memang sudah berpindah lagi
didinding bagian depan rumahnya. Bahkan mereka
mendengar suara derit amben di serambi. Agaknya orang-
orang yang ada diluar itu telah duduk di amben di serambi
rumahnya. Dengan hati-hati pula Manggada telah membangunkan
Laksana. Namun secepat Laksana bangun, secepat itu pula
Manggada memberikan isyarat agar ia juga tidak bertanya
sesuatu. Demikianlah, ketiga orang itupun segera mengatur diri.
Laksana tetap berada di tempatnya, sementara Manggada
akan pergi ke belakang. Sedangkan Ki Gumrah sendiri akan
pergi ke sentong tempat ia menyimpan pusaka-pusaka yang
dititipkannya kepadanya itu.
Perlahan-lahan sekali Ki Gumrah berdesis "Hati-hatilah.
Mungkin mereka akan mempergunakan cara lain untuk
mengambil barang-barang berharga itu".
Demikianlah mereka bertiga telah membagi diri.
Beberapa saat mereka menunggu. Seperti diperhitungkan
oleh Ki Gumrah maka sejenak kemudian, desir langkah itu
terdengar lagi dan berhenti diluar sentong tempat benda-
benda berharga itu disimpan.
Ki Gumrah yang berada di sentong itu duduk dengan
hati yang berdebar-debar. Bahkan Ki Gumrah telah
mengatur pernafasan sebaik-baiknya, agar tidak terdengar
oleh orang-orang yang berada diluar rumahnya.
"Dinding sentong ini rangkap" desis orang yang diluar.
"Ya" sahut yang lain sambil berbisik "kita tidak dapat melihat kedalam. Tetapi tampaknya dinding ini tidak terlalu
kuat". Untuk beberapa saat tidak terdengar mereka berbicara
lagi. Tetapi Ki Gumrah dengan pendengarannya yang
sangat tajam masih mendengar tarikan nafas mereka.
Karena itu, Ki Gumrah tahu bahwa orang-orang yang ada
diluar rumahnya itu sedang melihat kemungkinan untuk
merusak dinding sentong itu.
Tetapi sejenak kemudian terdengar seorang diantara
mereka berkata "Apakah kita akan membuat lubang
dibawah dinding untuk masuk?"
"Rumah ini diberi sasak bambu berkeliling. Jika
menggali tanah dibawah dinding, maka galian itu tentu
akan panjang sekali sampai keruang tengah rumah ini."
jawab yang lain.
"Jadi apa yang kita lakukan?" bertanya orang yang
pertama Mereka kembali diam. Namun tiba-tiba tiang di sudut
sentong itu berguncang. Agaknya salah seorang diantara
mereka mencoba untuk mengetahui kekuatan tiang bambu
disudut sentong itu.
Tetapi agaknya orang-orang itu tidak memperhatikan,
bahwa tiang itu dipergunakan oleh Ki Gumrah untuk
menyangkutkan palang bambu jemuran yang meskipun
tidak panjang, namun telah mengguncang cabang sebatang
pohon waru pula, karena ujung bambu itu terikat pada
pohon waru itu.
Guncangan itu sendiri tidak menimbulkan bunyi terlalu
keras dan tidak akan membangunkan orang yang sedang
tidur nyenyak. Tetapi karena bambu itu tidak terlalu kuat
terikat pada tiang sentong di bagian luar itu, maka bambu
jemuran itu telah terjatuh hampir saja menimpa orang yang
mengguncang tiang itu, sehingga orang itu telah meloncat
ke samping. Bunyi bambu yang terjatuh itu telah menghentak sepinya
malam, Terdengar orang yang ada diluar itu mengumpat.
Namun kemudian terdengar langkah cepat menjauh.
Agaknya bambu yang terjatuh itu telah mengejutkan
orang-orang yang ada diluar rumah Ki Gumrah, sehingga
mereka telah dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah itu,
yang berkemampuan tinggi, tentu akan terbangun juga
Manggada dan Laksana yang juga terkejut mendengar
suara itu, dengan serta merta telah berlari ke sentong tempat
Ki Gumrah menyimpan pusaka-pusaka yang dititipkan
kepadanya itu. Keduanya menarik nafas dalam-dalam ketika mereka
melihat Ki Gumrah masih duduk dengan tenang
menunggui pusaka-pusaka itu.
"Aku mendengar suara" desis Manggada.
"Sepotong bambu yang terjatuh diluar" jawab Ki
Gumrah. "Dan suara orang berjalan tergesa-gesa" sambung
Laksana. "Kita kehilangan mereka" berkata Ki Gumrah "aku
berharap mereka masuk ke sentong itu. Aku ingih berbicara
dengan mereka. Tetapi karena ketergesa-gesaan mereka,
atau kurang berhati-hati, maka bambu jemuran itu telah
terjatuh." jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun
mereka tidak bertanya lagi. Apalagi Ki Gumrah kemudian
telah mengajak anak-anak muda duduk diruang dalam.
"Ternyata mereka begitu cepat kembali. Meskipun
mungkin bukan Kundala dan kawannya yang datang
sebelumnya. Tetapi orang yang memerintahkan mereka
mengambil pusaka-pusaka itu tentu sudah mendapat
laporan tentang kegagalan yang dialami oleh Kundala dan
kawannya." berkata Ki Gumrah.
"Bukankah mereka sangat berbahaya bagi Kiai" desis
Manggada. "Sayang sekali bahwa aku tidak dapat berbicara dengan
orang-orang yang datang itu" desis Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil.
Nmaun Manggada kemudian berkata "Kiai. Besok atau
lusa, mereka tentu akan datang lagi. Mungkin dengan cara
sebagaimana dilakukan hari ini. Tetapi mungkin dengan
cara yang lebih kasar. Karena itu, apakah Kiai tidak
mempunyai cara lain untuk menyelamatkan pusaka-pusaka
Itu" Apakah Kiai pernah berhubungan dengan Ki Bekel
atau Ki Demang, sehingga Kiai akan mendapatkan
perlindungan. Maksudku, dengan jumlah yang banyak.
Anak-anak muda dipadukuhan ini akan dapat membantu
Kiai menjaga pusaka-pusaka itu".
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Angger berdua. Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan
banyak orang dalam hal ini. Coba bayangkan, seandainya
anak-anak muda padukuhan ini terlibat, maka persoalannya
akan berkembang semakin jauh. Jika orang yang
memelihara burung elang itu datang bersama sepuluh orang
saja, maka anak-anak muda di padukuhan itu tentu akan
dibantai habis. Nah, apakah aku masih akan dapat tidur
nyenyak dan makan minum dengan enak jika hal seperti itu
terjadi" Bukan hanya untuk satu dua hari. Tetapi tentu
sepanjang hidupku".
"Bagaimana jika Kiai meninggalkan tempat ini dan
tinggal ditempat lain" Minta perlindungan prajurit Pajang
misalnya?" bertanya Laksana.
"Apakah aku masih harus menjadi beban tugas para
prajurit yang sudah mempunyai beban tugas yang berat"
Memang tugas prajurit adalah melindungi rakyatnya.
Tetapi aku tidak tahu apakah pusaka-pusaka itu tidak malah
menimbulkan persoalan"
Jika para prajurit itu memerintahkan aku menyerahku, pusaka-pusaka itu, maka
aku akan menjadi semakin bingung. Apa yang dapat aku
katakan kepada pemiliknya kepadaku." desis Kiai Gumrah.
"Kiai dapat berterus-terang bahwa pusaka-pusaka itu
telah mengancam keselamatan Kiai. Apakah Kiai harus
mengorbankan jiwa Kiai untuk mempertahankan pusaka-
pusaka yang sekadar titipan, sementara yang menitipkan
pusaka-pusaka itu tidak mengetahui bahaya yang datang ke-
rumah ini" Orang yang menitipkan pusaka-pusaka itu dapat
saja marah, menuntut atau menganggap Kiai tidak
memegang janji. Tetapi apakah ia tahu apa yang telah
terjadi dengan Kiai?" bertanya Manggada.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Pendapat itu wajar sekali ngger. Tetapi aku tidak dapat
melakukannya".
"Kenapa" Sampai sejauh mana orang harus memegang
janji kepada seseorang yang tidak mau tahu tentang
kesulitan-kesulitan kita." desak Laksana.
"Sudahlah" jawab orangtua itu "penalaranku tidak
menolak pendapat itu. Tetapi perasaanku tidak dapat
melakukannya. Jika angger berdua bertanya keseimbangan
antara penalaran dan perasaan, maka aku akan menjadi
semakin bingung. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat
melakukannya."
Manggada dan Laksana tidak mendesak lagi. Tampaknya orang tua itu tidak ingin mengganggu orang
lain sebagaimana mereka berdua yang didesak untuk
meninggalkan rumah itu saat rumah itu akan didatangi
Kundala dan kawannya untuk mengambil benda-benda
yang berharga sangat tinggi itu.
"Sudahlah" berkata orang tua itu kemudian "sekarang
kembalilah ke pembaringan. Masih ada waktu untuk tidur".
"Apakah Kiai tidak akan tidur?" bertanya Laksana.
"Aku akan tidur disini saja" berkata Ki Gumrah sambil
mengambil segulungan tikar di sudut bilik itu dan
membentangkannya di sebelah ploncon tempat benda-
benda yang sangat mahal itu diletakkan.
Manggada dan Laksana pun segera kembali ke amben
mereka dan berbaring di tempat semula. Namun mereka
tidak segera dapat tertidur nyenyak. Meskipun keduanya
tidak berbicara diantara mereka, namun angan-angan
mereka masih saja diliputi oleh berbagai macam pertanyaan
tentang pusaka-pusaka yang dihiasi dengan permata dan
orang yang menitipkannya.
"Aku tidak yakin bahws emas dan permata itu hanya
tiruan" berkata Manggada tiba-tiba hampir berbisik.
Laksana yang berbaring menelentang menatap atap,
berpaling sambil berdesis perlahan "Ya. Agaknya orang tua
itu bermaksud berhati-hati. Orang itu belum mengenal kita
dengan baik, sehingga ia sengaja menyebut emas dan
permata itu hanya tiruan".
Keduanya terdiam. Sementara itu, diluar suara cengkerik
dan bilalang bersahutan: Sekali-sekali terdengar gonggong
anjing liar dikejauhan
Namun akhirnya Manggada dan Laksana sempat
tertidur lagi beberapa saat.
Pagi-pagi benar, kedua anak muda itu sudah terbangun.
Tetapi ternyata Ki Gumrah telah bangun lebih dahulu.
Karena itu, ketika keduanya kemudian duduk di amben
tempat mereka tidur, Ki Gumrah berkata "Nah, mandilah.
Aku sudah menjelang air. Hampir mendidih. Aku membuat
wedang sere".
Kedua anak muda itupun kemudian pergi ke pakiwan.
Bergantian mereka menimba air dan mandi.
Sejenak kemudian keduanya telah duduk di serambi
sambil menghirup wedang sere dengan gula kelapa yang
masih hangat. Disilirnya angin pagi yang sejuk, terasa
tubuh-tubuh mereka menjadi segar.
"Nah" berkata orangtua itu "sekarang aku akan
mengambil legen dan menurunkannya selagi masih pagi".
"Kiai akan membuat gula hari ini?" bertanya Manggada.
"Bukankah itu pekerjaanku sehari-hari?" Ki Gumrah
justru bertanya sambil tersenyum.
"Apakah aku boleh mencoba mengambil legen itu Kiai?"
bertanya Laksana.
"Jangan ngger. Jika kita salah memotong ujung manggar
itu, maka legen itu tidak akan menitik dan bahkan mungkin
akan kering untuk selanjutnya." jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Sementara
Kiai Gumrah pergi ke kebun dan memanjat beberapa
batang pohon kelapa, kedua anak muda itu seperti hari-hari
yang lewat, membantu membersihkan halaman dan kebun
yang nampak menjadi semakin bersih itu.
Untuk beberapa saat mereka dapat bekerja dengan
tenang. Ki Gumrah dengan tangkasnya memanjat batang-
batang pohon kelapa, sementara Manggada dan Laksana
telah memotong pohon-pohon perdu yang hanya membuat
kebun menjadi tampak kotor dan bersemak.
Namun ketika Ki Gumrah telah menyimpan legen
didapur untuk dipanasi, maka orangtua itu mulai menjadi
gelisah. Semula Manggada dan Laksana tidak tahu. kenapa
orangtua itu beberapa kali keluar masuk dapur. Namun
kemudian keduanya melihat Ki Gumrah itu setiap kali


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menengadahkan wajannya.
Manggada dan Laksana pun segera mengetahui.
Ternyata orangtua itu telah melihat lagi burung elang yang
terbang mengitari rumah itu. Bahkan sekali-sekali menukik
rendah, kemudian naik lagi berputaran.
Kedua anak muda itupun kemudian telah berdiri di
halaman belakang untuk melihat burung elang yang terbang
berputaran itu.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar
sadarnya ia berkata "Kenapa orang itu masih saja
dikendalikan oleh ketamakan hatinya?"
Manggada dan Laksana memang menduga, bahwa Ki
Gumrah dan orang yang memiliki burung elang itu telah
saling mengenal dan mempunyai hubungan khusus. Tetapi
kedua anak muda itu tidak akan dengan mudah mengetahui
lebih banyak tentang Ki Gumrah, karena orangtua itu tidak
begitu terbuka hatinya.
Namun ketika burung elang itu kemudian terbang
menjauh, Ki Gumrah itu berpaling, memandang kedua
anak muda itu dengan tatapan mata yang redup. Sambil
melangkah mendekati Ki Gumrah berkata "Anak-anak
muda. Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan kalian
meninggalkan tempat ini. Tetapi aku tahu pasti, bahwa
kalian agaknya memang tidak berniat untuk pergi".
"Kami memang ingin berada disini untuk beberapa lama
Kiai" jawab Manggada.
"Kalian lihat burung elang itu lagi?" bertanya Ki
Gumrah. "Ya" jawab Manggada.
"Burung itu berputar lebih dari empat kali. Menukik
seakan-akan ingin menyambar rumah ini, kemudian
terbang lagi dan berputar lima kali. Sekali lagi burung itu
menukik. Kemudian berputar-putar lagi" berkata orangtua
itu. "Kiai sempat menghitung" Apakah hitungan itu ada
artinya?" bertanya Manggada.
"Adalah kebetulan bahwa aku juga mengenali isyarat itu.
Dari kejauhan, pemilik burung itu atau orang yang
dipercayainya melihat pula isyarat itu?" jawab Ki Gumrah.
"Apakah arti isyarat itu?" bertanya Laksana.
"Aku tidak tahu dengan tepat, Namun elang itu
mengatakan bahwa yang dicari masih ada disini. Rumah ini
masih belum dikosongkan." jawab Ki Gumrah.
"Bagaimana jika kita berada didalam rumah?" bertanya
Laksana pula. "Elang itu tahu. Mungkin nalurinya lebih tajam dari kita,
sehingga elang itu dapat mengetahui apakah sebuah rumah
itu kosong atau ada penghuninya. Bahkan seandainya
penghuninya tidak sedang berada di rumah." berkata Ki
Gumrah. Manggada dan Laksana menjadi semakin yakin, bahwa
Ki Gumrah mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan
orang yang memiliki burung elang itu, meskipun mungkir,
hubungan itu adalah hubungan permusuhan.
Selagi Manggada dan Laksana termangu-mangu, maka
orang itupun berkata "Anak-anak muda. Menilik isyarat
yang diberikan oleh burung elang itu, maka kita memang
harus lebih berhati-hati. Sebenarnya aku ingin kalian tidak
usah terlibat semakin jauh. Bukankah orangtua kalian
masih selalu menunggu kalian pulang dengan membawa
ilmu dan pengetahuan tentang hidup dan kehidupan" Jika
kalian tertahan disini untuk satu keperluan yang tidak ada
sangkut pautnya dengan kalian, maka orangtua kalian tentu
akan sangat kecewa".
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Namun Manggada pun kemudian berkata "Tidak Kiai. Jika
ayah minta agar aku mempelajari ilmu dan pengetahuan,
sudah barang tentu tidak hanya sekedar memiliki ilmu dan
pengetahuan itu harus aku terapkan dalam kehidupan
sehari-hari".
Orangtua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Baiklah. Aku memang tidak berkeberatan kalian
tinggal disini. Mungkin
kalian akan mendapatkan pengalaman yang penting bagi kalian dihari depan. Tetapi
kalianpun harus tahu bahaya yang dapat mencengkam
kalian setiap saat."
"Itu adalah kemungkinan yang harus kami perhitungkan
Kiai" jawab Manggada.
Namun pembicaraan mereka terputus, ketika tiba-tiba
saja seseorang mengendap-endap melingkari rumah Ki
Gumrah dan langsung pergi ke belakang.
"Kau?" desis Ki Gumrah sedikit terkejut.
"Ya Kiai. Kiai tidak lupa kepadaku?" bertanya orang itu.
"Baru kemarin kau datang. Sudah tentu aku tidak lupa"
jawab Ki Gumrah.
"Kundala" desis Manggada.
"Ya. Aku hanya sempat singgah sesaat saja. Itupun aku
harus menyembunyikan diri dari penglihatan burung elang
keparat itu." jawab Kundala.
Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun sambil
tersenyum ia berkata "Jika demikian elang itu tentu
mengawasi perjalananmu".
"Ya. Aku mendapat perintah dari Ki Lurah untuk
melihat-lihat keadaan pasar. Ki Lurah telah berhubungan
dengan seseorang. Aku harus menemui orang itu dan
membawanya menemui Ki Lurah." jawab Kundala.
"Mana orang itu sekarang?" bertanya Ki Gumrah.
"Aku belum sampai ke pasar. Aku telah berusaha untuk
melepaskan diri dari pengamatan burung itu. Tampaknya
burung itupun curiga bahwa aku akan datang kemari."
berkata Kundala dengan gelisah.
"Jika demikian, dugaanku salah. Aku kira aku dapat
menebak tingkah laku elang itu. Aku kira elang itu memberi
isyarat bahwa rumah ini masih berpenghuni" berkata Ki
Gumrah sambil tertawa kecil.
"Ya. Kiai benar" jawab Kundala "aku melihat sikap
elang itu dari kejauhan. Selain mengabarkan bahwa aku
tidak berada disini, maka elang itu juga mengatakan bahwa
rumah ini masih berpenghuni".
"Darimana kau tahu" bertanya Manggada.
"Aku melihatnya dari kejauhan, dari bawah sebatang
pohon gayam." jawab Kundala.
Ki Gumrah mengangguk-angguk.
Namun iapun kemudian bertanya "Lalu. apa sebenarnya maksudmu
datang kemari".
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Ki Lurah akan mengambil pusaka itu sendiri.
Maksudku, ia sendiri akan datang kemari bersama orang
yang harus aku jemput di pasar."
"Siapa yang kau sebut Ki Lurah itu" Seorang yang
mengaku Panembahan?" bertanya Ki Gumrah.
"Tidak" jawab orang itu "tetapi ia menyebut dirinya Kiai
Windu Kusuma. Tetapi aku memang sering mendengar
Kiai Windu Kusuma menyebut-nyebut tentang seorang
Panembahan. Tetapi bukan dirinya sendiri."
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengar, nada
rendah ia berkata "Apa sebenarnya yang mereka
kehendaki?"
"Sudah jelas Kiai. Pusaka pusaka itu" jawab Kundala
"karena itu sebaiknya Kiai meninggalkan tempat ini
sebelum senja. Jika langit menjadi gelap, maka aku kira
burung itu tidak akan dapat mengawasi perjalanan Kiai
sebaik-baiknya. Kemanapun asai meninggalkan rumah ini."
"Tetapi aku tidak dapat pergi kemanapun. Seandainva
nanti menjelang senja aku pergi, akhirnya aku harus
kembali lagi." desis Kiai Gumrah.
"Tetapi menilik apa yang ada di rumah ini maka yang
paling berharga adalah pusaka-pusaka itu dan nyawa Kiai
sendiri. Nyawa Kiai tentu lebih berharga dari perabot-
perabot rumah yang sederhana ini. Kiai dan cucu-cucu Kiai
akan dapat membawa pusaka-pusaka itu kemanapun"
berkata Kundala. Lalu katanya pula. "Kiai dapat
mengalahkan kami berdua. Tetapi jika Ki Lurah sendiri dan
seorang kawannya yang aku jemput di pasar nanti yang
datang kemari, tentu Kiai dan kedua cucu Kiai akan
mengalami kesulitan. Apalagi jika mereka membawa kami
berdua dan seorang kawan kami yang lain. Maka kami
berlima, tentu tidak akan dapat Kiai lawan bersama kedua
cucu Kiai itu."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk kecil. Katanya
"terima kasih. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepadamu, bahwa kau telah memberitahukan
kepadaku, bahaya yang sedang mengintip rumah ini.
Baiklah. Aku akan memikirkannya sebaik-baiknya."
"Aku mohon Kiai mengerti" berkata Kundala yang
segera minta diri "sudahlah. Aku harus pergi ke pasar."
Kundala tidak menunggu jawaban. Iapun segera
meninggalkan Ki Gumrah dan kedua orang anak muda
yang ada dirumah itu pula. Sekali-sekali Kundala masih
menengadahkan kepalanya untuk melihat apakah burung
elang yang menghantuinya itu masih nampak dilangit.
Namun agaknya elang itu benar-benar telah pergi.
Sehingga dengan demikian maka Kundala dapat berjalan
cepat-cepat menuju ke pasar. Meskipun ia sadar, bahwa
tentu ada orang yang mengamati isyarat burung elang itu.
Tetapi tentu tidak dari jarak yang terlalu dekat.
Sepeninggal Kundala, Ki Gumrah menarik nafas dalam-
dalam. Namun katanya "Aku harus segera membuat gula.
Aku harus segera menyerahkan kepada pedagang gula itu.
Nampaknya kita memang harus segera mengambil
keputusan."
"Aku sependapat dengan orang itu Kiai" berkata
Manggada "Kiai harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu."
"Nanti sajalah kita bicarakan. Sekarang bantu aku
membuat gula. He, sebaiknya kalian ambil ketela pohon
dan mengupasnya. Nanti kita masukkan lagi kedalam legen
setelah aku hampir selesai" berkata Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Berita yang dibawa Kundala itu bagi mereka merupakan
berita yang penting. Yang harus mereka tanggapi dengan
sungguh-sungguh. Tetapi orang tua itu masih saja sibuk
dengan gulanya.
Namun Manggada dan Laksana pergi juga ke kebun
untuk mencabut sebatang pohon ketela yang dianggapnya
berakar besar dan lebat. Namun keduanya masih juga
berbincang tentang orangtua itu.
"Orang yang aneh" berkata Manggada "jika orang yang
akan datang itu memiliki ilmu lebih baik dari Kundala,
maka orang itu tentu sangat berbahaya. Apalagi jika ia tidak
datang seorang diri."
Laksana mengangguk-angguk. Katanya "Apakah Ki
Gumrah terlalu yakin akan kemampuannya sehingga ia
menganggap ilmu orang lain terlalu rendah?"
"Tetapi bukan sifatnya. Menilik apa yang dilakukan dan
apa yang dikatakan, ia bukan orang yang meremehkan
orang lain" jawab Manggada.
"Ya. Tetapi nampaknya kita tidak akan dengan mudah
mengetahui latar beiakang sikapnya" berkata Laksana
kemudian. "Aku menjadi semakin tertarik untuk mengetahuinya
meskipun sangat berbahaya" berkata Manggada.
"Ya. Aku juga tidak ingin menghindar. Tetapi dengan
kemungkinan yang sangat buruk. Kita akan dapat tidak
keluar dari rumah ini untuk selama-lamanya" desis
Laksana. Manggada mengangguk-angguk. Bahkan iapun berdesis
"Sementara itu kita tidak tahu, kenapa kita tertahan disini
selain sekedar ingin tahu."
Namun kedua anak muda itu kemudian sepakat untuk
tidak meninggalkan ramah itu, setidak-tidaknya sampai
senja. Mereka masih mendapat kesempatan untuk berpikir
beberapa lama. Karena itu, maka keduanyapun telah mengupas ketela
pohon yang kemudian mereka cuci di sumur.
Ketika mereka sampai di dapur, orang tua itu masih
sibuk memanasi bakal gula kelapanya. Keringatnya nampak
membasahi kening dan lehernya. Namun orang itu sambil
tersenyum berkata "Nah, kita akan memasukkannya nanti.
Letakkan saja dipagar itu. Kalian dapat menunggu di
serambi depan."
"Aku ingin membantu membuat gula itu Kiai" jawab
Manggada. Orang tua itu tertawa. Tetapi ia tidak mengusir kedua
orang anak itu.
-ooo0dw0ooo- Karya SH Mintardja
Seri Arya Manggada 3
Sang Penerus Sumber djvu : Ismoyo
Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://dewi-kz.com/
SH MINTARDJA SERI Arya Manggada-III
"Sang Penerus"
Dicetak dan diterbitkan oleh : Badan Penerbit
Kedaulatan Rakyat Yogyakarta.
Seri Arya Manggada III
Sang Penerus Karya : S.H. Mintardja
Gambar kulit : Andang S.


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Illustrasi : Andang S.
Jilid : 2 Cetakan : Pertama 1990
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Kenangan atas bapa tercinta bingkisan untuk ibu, isteri,
anak-anak serta keluarga tersayang
Buku 2 MANGGADA dan Laksana memang membantu orang
tua itu. Ketika legen itu menjadi kental, maka orang tua itu
mulai menuangnya kedalam tempurung yang memang
dibuat untuk mencetak gula kelapa itu.
Tetapi legen yang sudah mengental itu disisakan sedikit
didalam kuali, untuk merebus ketela pohon yang sudah
dikukus dan dibersihkan.
Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu telah duduk
diruang dalam sambil menikmati ketela yang terasa sangat
manis. Namun setiap kali Manggada dan Laksana
menyinggung-nyinggung tentang kemungkinan datangnya
orang-orang seperti yang dikatakan oleh Kundala, Ki
Gumrah selalu saja menghindar.
"Nanti saja kita bicarakan. Jika kita berbicara sambil
makan, maka ketela pohon ini rasanya jadi lain" desis orang
tua itu. Akhirnya Manggada dan Laksana tidak lagi berusaha
untuk berbicara tentang kedatangan orang-orang yang
dikatakan oleh Kundala itu.
Bahkan beberapa saat kemudian, maka Ki Gumrah itu
bangkit sambil berkata "Aku harus menyerahkan gula itu
kepada pedagang disebelah. Jika ia sudah terlanjur
membawa gulanya ke pasar, maka aku harus menunggu
lagi sampai besok."
"Tetapi bukankah hari telah siang" Pedagang gula itu
tentu sudah berangkat ke pasar" desis Manggada.
"Ia tidak menjual sendiri gulanya dipasar. Ia tidak
memasokkan gulanya kepada pedagang yang lebih besar,
sehingga ia tidak harus berangkat pagi-pagi ke pasar." jawab
Kiai Gumrah. Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Tetapi bagi
mereka, orang tua itu memang orang tua yang aneh.
Sikapnya sulit dimengerti.
Beberapa saat kemudian, orang tua itu telah sibuk
menghitung gulanya dibelakang sambil berlagu. Dengan
demikian, maka orang tua itu tidak kehilangan angka
selama ia menghitung.
Ketika Ki Gumrah kemudian membawa gulanya yang
ditempatkannya dalam keranjang, maka iapun berpesan
"Tolong, tunggu rumah ini. Tidak akan terjadi apa-apa di-
siang hari."
Manggada dan Laksanapun kemudian duduk diserambi
depan rumah itu sambil memandangi pepohonan di
halaman yang mulai nampak bersih. Dari sela-sela pintu
regol yang terbuka, mereka melihat beberapa orang berjalan
di jalan yang tidak terlalu lebar dimuka rumah itu.
Namun dinding halaman Ki Gumrah memang tidak
terlalu tinggi. Seperti dinding rumah disebelah menyebelahnya, yang pada umumnya bukan rumah-rumah
yang baik dan besar, memang tidak terlalu tinggi dan
sederhana. Tidak lebih dari pecahan batu kali yang dilekat
pakai tanah liat.
Dalam pada itu kedua orang anak muda itu ternyata
menunggu terlalu lama. Tidak seperti yang pernah
dilakukan oleh orang tua itu sebelumnya, yang hanya
memerlukan waktu beberapa saat. Tetapi ketika itu rasa-
rasanya Manggada dan Laksana sudah menunggu cukup
lama diserambi. Namun Ki Gumrah tidak segera juga
kembali. "Apakah Ki Gumrah menyusul pergi ke pasar setelah
pedagang gula itu tidak ditemuinya dirumah?" desis
Laksana. "Memang mungkin. Mungkin Ki Gumrah juga ingin
melihat, siapa yang telah ditemui oleh Kundala" sahut
Manggada. "Tetapi jaraknya sudah terlalu lama. Kundala datang
kemari sebelum Ki Gumrah mulai membuat gula" gumam
Laksana kemudian.
Manggada memang mengangguk-angguk. Namun ia
masih menjawab "Kundala masih harus mencari orang itu
diantara orang sepasar. Tetapi agaknya jaraknya memang
terlalu jauh."
Manggada dan Laksana yang masih saja duduk di
serambi itu menjadi gelisah. Tetapi keduanyapun kemudian
turun kehalaman. Beberapa saat mereka memperhatikan
sebatang pohon sawo yang buahnya cukup lebat dan
bahkan sudah cukup tua untuk dipetik.
"Aku akan memanjat pohon sawo ini saja." berkata
Laksana. Manggada termangu-mangu. Namun sebelum Laksana
mulai naik, Ki Gumrahpun telah datang. Sambil tertawa ia
berkata "Kalian menunggu terlalu lama" Ternyata pedagang
gula itu sudah pergi. Aku memang harus pergi ke pasar."
Tetapi Manggada segera menyambut "Apakah Kiai ingin
melihat orang yang ditemui Kundala?"
Ki Gumrah mengerutkan dahinya. Namun iapun
kemudian tersenyum sambil menjawab "Ternyata panggraita-mu tajam ngger. Aku memang ingin melihatnya."
"Dan Kiai berhasil melihat orang itu?" bertanya
Manggada. Kiai Gumrah menggeleng sambil menjawab "Tidak
ngger. Aku terlambat. Agaknya mereka telah pergi. Aku
hanya sempat melihat burung elang itu."
"Kiai melihat burung elang itu lagi?" bertanya Laksana.
"Ya. Aku melihat kemana arah burung itu terbang sambil
berputaran. Tentu perjalanan Kundala dan orang yang telah
ditemuinya di pasar itu." jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana berpandangan sejenak. Dengan
dahi yang berkerut Manggada berkata "Kiai, seharusnya
Kiai memperhatikan kemungkinan yang dapat terjadi
malam nanti. Nampaknya apa yang dikatakan Kundala
akan dapat menjadi ancaman yang sbenarnya bagi Kiai."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk kecil. Wajahnya
nampak bersungguh-sungguh. Dengan nada rendah ia
berkata "Sebenarnya aku justru memikirkan kalian berdua,
tetapi agaknya aku tidak akan berhasil mengusir kalian."
"Apakah Kiai masih akan tetap bertahan" Nama Windu
Kusuma dan orang yang sedang dijemput Kundala adalah
orang-orang yang benar-benar harus Kiai pertimbangkan."
berkata Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas panjang. Katanya "Kalian
sudah mengetahui sikapku. Seharusnya kalian tidak
mendesak lagi."
Manggada dan Laksana terdiam. Nampaknya hati orang
tua itu telah mengeras.
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Namun
tiba-tiba orang tua itu berkata dengan nada tinggi "Hari
sudah cukup siang. Aku harus mulai bekerja didapur.
Menanak nasi dan menyiapkan laukipauknya. Tolong kau
petik sayuran dikebun."
Orang tua itu tidak menunggu jawaban Manggada dan
Laksana. Iapun segera masuk ke rumahnya dan langsung
pergi ke dapur. Diambilnya beras dan dibawanya kesumur
untuk dicuci sebelum ditanak.
Sementara itu Manggada dan Laksana sudah berada di
kebun. Sambil memetik kacang panjang Manggada berkata
"Kita benar-benar telah melihatkan diri dalam satu
persoalan yang tidak kita mengerti dengan jelas. Kau benar.
Mungkin kita tidak akan dapat keluar lagi dari rumah ini."
"Apaboleh buat. Kita agaknya telah terjebak dalam
putaran keingintahuan kita terhadap persoalan yang terjadi
disini. Tetapi selain itu, rasa-rasanya tidak adil untuk
membiarkan Kiai Gumrah mengalami nasib buruk bukan
karena pokalnya sendiri. Ia menerima titipan itu agaknya
dengan maksud baik. Tetapi titipan itu telah membuatnya
mengalami kesulitan dihari tuanya. Sementara itu Kiai
Gumrah sendiri sama sekali tidak bersedia melepaskan
tanggung jawabnya atas barang-barang titipan yang menjadi
tidak jelas itu." sahut Laksana.
Manggada tidak menjawab lagi. Mereka melihat orang
tua, itu datang kepada mereka. Sambil tersenyum orang tua
itu berkata "Apakah kalian telah mendapatkannya?"
"Ya Kiai. Segenggam kacang panjang."
"Itu sudah cukup. Dengan kulit melinjo dan sedikit
daunnya yang masih muda, kita akan mendapatkan sekuali
sayur lodeh." berkata orang tua itu.
Merekapun kemudian telah meninggalkan kebun dan
pergi ke dapur. Manggada dan Laksana telah mencoba
membantu orang tua itu untuk masak didapur.
Hari itu, mereka bertiga tidak mengalami sesuatu di-
rumah itu. Tidak ada orang yang datang apalagi untuk,
mengambil pusaka-pusaka yang dititipkan dirumah itu.
Namun sebelum senja Kiai Gumrah itupun berkata
"Angger berdua. Sebentar lagi kami akan mendapat dua
orang tamu. Mereka adalah tetangga sebelah. Kawan-
kawanku berjualan gula. Selain keduanya, juragan gula
yang sering mengambil gulaku itu juga akan datang kemari.
Kami sepakat untuk berjaga-jaga semalam suntuk. Hari ini
adalah hari lahirku. Umurku telah genap delapan windu.
Jika aku seorang berada maka aku akan mengadakan
peringatan tumbuk ageng."
"Jadi Kiai sudah genap berumur delapan windu?"
bertanya Manggada.
"Ya. Umurku genap delapan windu." jawab orang tua
itu. "Dan Kiai masih juga setiap hari pagi dan sore memanjat
batang kelapa untuk menyadap legennya." sambung
Laksana. Orang tua itu tersenyum. Sementara Manggada berkata
pula "Bukan hanya menyadap legen. Tetapi Kiai masih
dapat menundukkan Kundala dan kawannya itu."
"Sudahlah. Tetapi nanti malam aku akan makan bersama
mereka meskipun seadanya. Sebenarnya aku tidak pernah
mengingat-ingat peringatan delapan windu itu. Tetapi
mereka justru ingat dan tanpa aku undang, mereka hertiga
berniat untuk datang." berkata Kiai Gumrah kemudian.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara
itu maka Ki Gumrahpun telah minta Manggada dan
Laksana menangkap seekor ayam yang cukup besar tetapi
belum terlalu tua untuk dipersiapkan menjadi hidangan
makan bagi ketiga orang tamunya.
Ketika senja turun, maka bertiga seisi rumah itu menjadi
sibuk. Mereka telah menyiapkan hidangan untuk tamu-
tamu yang bakal ikut berjaga-jaga memperingati delapan
windu umur Kiai Gumrah. Selain menyiapkan nasi dan
lauk pauknya. Kiai Gumrah juga telah merebus ketela
pohon dengan legen. Bahkan bukan hanya ketela pohon,
tetapi juga sukun yang dipetiknya dari pohonnya di kebun
belakang. Namun dalam pada itu, ketika Manggada dan Laksana
berdua saja didapur, maka Manggada itupun berkata "Kau
percaya bahwa mereka datang untuk memperingati delapan
windu umur Kiai Gumrah itu?"
"Aku sedang memikirkannya" jawab Laksana.
"Nampaknya ini adalah satu cara Kiai Gumrah untuk
membuat rumah ini tidak terlalu sepi. Jika keempat orang
itu berjaga-jaga semalam suntuk, maka orang-orang yang
akan datang memaksakan kehendaknya itu harus berpikir
ulang. Orang-orang yang datang itu harus memperhitungkan
kehadiran tetangga-tetangga
Kiai Gumrah yang akan dapat mengganggu tugas mereka."
berkata Manggada meskipun agak ragu.
"Tetapi jika orang-orang yang datang itu orang-orang
sebiadab Panembahan Lebdadadi, apakah tamu-tamu Kiai
Gumrah itu tidak akan mengalami nasib buruk" Orang itu
tidak akan menjadi segan karena kehadiran orang lain,
tetapi mereka justru marah dan orang-orang itu akan
diselesaikan menurut caranya."
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia
memandang pintu dapur. Ketika ia yakin bahwa Kiai
Gumrah masih belum nampak dipintu dapur, serta
langkahnya masih belum terdengar, maka Manggadapun
berbisik "Memang satu dari sepuluh kemungkinan. Tetapi
tetap dapat terjadi. Orang-orang yang akan datang ikut
memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah adalah
bukan orang kebanyakan."
Laksana hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi
kemungkian itu memang ada meskipun seperti dikatakan
oleh Manggada, satu dari sepuluh.
Ketika kemudian Kiai Gumrah masuk lagi kedapur,


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka mereka tidak berbincang lagi. Mereka bertiga nampak
sibuk menyiapkan hidangan, mangkuk-mangkuknya serta
makanan yang sedang dijerang diatas api. Meskipun
sekedar ketela pohon dan sukun yang direbus dengan legen.
Sementara Kiai Gumrah menyelesaikan pekerjaan
didapur, maka Manggada dan Laksana telah menyalakan
lampu diseluruh sudut rumah. Oncor diregolpun telah
dinyalakan pula, sementara langit menjadi semakin buram.
Malam perlahan-lahan mulai turun menyelimuti belahan
bumi. Ketika lampu-lampu
telah menyala, maka Kiai
Gumrahpun mulai mempersiapkan mangkuk dan perlengkapannya. Sementara nasi masih tetap berada diatas
api. "Biar nasi itu tetap hangat" berkata Kiai Gumrah sambil
sibuk hilir mudik didapur.
Beberapa saat kemudian, maka pintu rumah itupun telah
diketuk orang. Terdengar suara renyah memanggil "Kiai,
Kiai Gumrah. Aku sudah mencium bau masakanmu."
"Mereka telah datang" berkata Kiai Gumrah. Manggadapun kemudian telah bergegas pergi keruang
depan. Ketika ia membukakan pintu, maka dilihatnya tiga
orang berdiri diluar pintu.
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada
ragu seorang diantara mereka bertanya "Siapa kau anak
muda?" Manggada menjadi bingung. Namun kemudian iapun
menjawab "Aku cucu Kiai Gumrah."
"O, jadi cucu Kiai Gumrah sudah sebesar ini?"
"Ya" terdengar suara Kiai Gumrah "dua orang cucuku
ada disini sekarang. Marilah, silahkan masuk."
Ketiga orang itupun kemudian melangkah masuk.
Pintupun ditutup rapat kembali. Sementara Kiai Gumrah
mempersilahkan ketiga orang tamunya untuk naik dan
duduk diamben yang cukup besar diruang dalam rumah itu.
Dengan nada dalam seorang diantara mereka bertanya
"Sejak kapan mereka ada disini?"
"Beberapa hari yang lalu. Aku senang mereka berada
disini. Mereka dapat membantu membersihkan halaman
dan menimba air untuk mengisi jambangan di kamar mandi
dan gentong didapur."
"Apakah mereka sudah dapat menyadap legen?"
bertanya yang lain.
"Belum" jawab Kiai Gumrah "aku belum mengajarinya.
Tetapi dalam beberapa minggu, mereka akan dapat
melakukannya."
Kepada Manggada yang baru saja menutup pintu Kiai
Gumrah berkata "He, siapkan minuman dan makanan.
Nasinya nanti saja. Jika nasi itu tergesa-gesa dihidangkan,
mereka akan segera pulang sebelum wayah sepi bocah."
Ketiga orang tamu itu tertawa. Seorang diantara mereka
berkata "Kalau saja nasi itu boleh dibungkus, maka aku
akan minta diri sekarang juga."
Kiai Gumrahpun tertawa berkepanjangan. Sementara itu
Manggada telah pergi ke dapur untuk menyiapkan
minuman bagi ketiga orang tamunya dan bagi Kiai Gumrah
itu sendiri. Ketika kemudian Laksana menghidangkan minuman
dan makanan, maka seorang tamunya bertanya "inikah
cucumu yang seorang lagi?"
"Ya" jawab Kiai Gumrah "sudah lama mereka tidak
menengok aku. Aku sendiri hampir saja tidak mengenal
mereka lagi."
"Beruntunglah kau" berkata yang lain "bahwa masih ada
cucumu yang sempat menengokmu. He, dimana anakmu
sekarang tinggal" Sudah lama ia tidak pula datang
menengokmu."
"Ia berada ditempat yang jauh. Nah, sekarang, minuman
dan makanan sudah dihidangkan. Minumlah
dan makanlah." Kiai Gumrah mempersilahkan.
Laksana yang telah berada didapurpun berdesis "Orang-
orang tua. Mereka sempat juga berkelakar."
"Apakah kau kira orang-orang tua sudah kehilangan
selera leluconnya" Mereka masih berhak mentertawakan
kelucuan, juga kelucuan yang dilihatnya dalam kehidupan
ini." berkata Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia
berkata "Kegembiraan itu akan dapat membuat mereka
menghambat laju ketuaan mereka."
Manggadapun tersenyum juga. Katanya "Ya. Nampaknya mereka masih akan berkelakar sepanjang
malam. He, tidak seorangpun diantara mereka memberikan
pernyataan atau ucapan selamat kepada Kiai Gumrah."
Laksana mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Sementara itu diruang dalam, keempat orang tua itu
masih saja berbincang. Sekali-sekali terdengar mereka
tertawa. Kemudian tertawa lagi berkepanjangan.
"Apakah mereka betah berbicara sepanjang malam?"
desis Manggada.
Tetapi sebelum Laksana menjawab, Kiai Gumrah telah
memanggil Manggada.
"Bawa mangkuk satu ngger."
Manggadapun segera bangkit dan mengambil sebuah
mangkuk. Tetapi ia bergumam "Untuk apa?"
Laksana tidak menjawab. Ia tidak tahu untuk apa sebuah
mangkuk itu. Tentu tidak untuk minum atau makan
makanan. Tetapi terdengar Kiai Gumrah itu berkata pula "Bawa
pula sebuah nampan kecil."
Manggada dan Laksana semakin tidak mengerti. Namun
Manggada kemudian mengantarkan mangkuk dan nampan
kecil itu. Tetapi kedua anak muda itu semakin tidak mengerti
ketika Kiai Gumrah minta agar Manggada mengambil
beberapa lembar daun ketela pohon dibelakang rumah.
"Untuk apa, Kiai?" bertanya Manggada diluar sadarnya.
"Ah, anak-anak tidak usah tahu" jawab Kiai Gumrah.
Manggada termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun
kemudian telah pergi ke halaman belakang untuk memetik
beberapa helai daun ketela pohon.
Baru kemudian Manggada dan Laksana tahu, bahwa
orang-orang tua itu akan bermain dadu. Lembar-lembaran
daun ketela pohon itu dipergunakan untuk menghitung
kekalahan dan kemenangan diantara mereka. Yang mereka
dengar pembicaraan orang-orang tua itu adalah, bahwa
taruhan yang diperhitungkan dengan lembar-lembar daun
ketela itu kemudian akan dibayar dengan gula kelapa.
"Ada-ada saja" gumam Manggada.
"Untuk mencegah kantuk." sahut Laksana.
"Kita menunggu disini untuk menyiapkan makan malam
mereka. Sayur dan lauk pauknya tentu sudah menjadi
dingin." desis Manggada pula.
Tetapi Laksana berpaling keperapian. Apinya memang
kecil saja. Tetapi nasi yang masih saja belum disenduk
didalam kuali agaknya akan tetap hangat.
Beberapa saat kemudian, terdengar orang-orang tua itu
bermain dadu dengan riuhnya. Setiap kali terdengar suara
tertawa berkepanjangan. Namun kemudian hening. Yang
terdengan adalah suara dadu didalam mangkuk yang
sedang diguncang diatas nampan kecil sebelum kemudian
dibuka. Ternyata permainan itu nampaknya cukup mengasikkan
bagi orang-orang tua itu. Mereka tenggelam dalam
kegembiraan tersendiri. Mereka seakan-akan melupakan
persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksanalah yang mulai
terkantuk-kantuk didapur. Bahkan Laksana telah berbaring
diamben panjang.
"Sampai kapan kami menunggu" desis Laksana.
"Sudah lewat wayah sepi bocah. Sebentar lagi makan itu
harus dihidangkan." jawab Manggada.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka Kiai Gumrah
telah memanggil Laksana. Demikian Laksana sambil
membenahi pakaiannya melangkah mendekati. Kiai
Gumrah itupun berkata "Nah, kalian siapkan makan
malam. Bukankah nasi masih hangat?"
"Ya kek. Nasi masih
diatas perapian."
jawab Laksana. "Bagus. Asal tidak menjadi hangus." sahut Kiai
Gumrah. Demikianlah, maka Laksana dan Manggadapun
menjadi sibuk menyenduk
nasi dan menyiapkan lauk
pauknya. Kemudian menghidangkannya
dengan mangkuk-mangkuk
dan peralatannya yang lain. Dengan terampil Manggada sudah
dapat membuat sambal terasi untuk melengkapi lauk
pauknya. Sejenak kemudian, maka permainan dadu itupun
berhenti untuk sementara. Ketika orang-orang tua itu
makan, maka terdengar lagi kelakar mereka. Manggada dan
Laksana yang mendengarkan kelakar itu mengetahui,
bahwa Kiai Gumrah ternyata menderita kekalahan dalam
permainan dadu itu. Esok ia harus menyerahkan beberapa
tangkap gula kelapa kepada ketiga orang lawannya
meskipun jumlahnya tidak sama.
"Tetapi kita akan meneruskan permainan ini sesudah
makan"berkata Kiai Gumrah" mungkin akan terjadi
sebaliknya. Akulah yang menang, sehingga kalian semualah
yang harus menyerahkan beberapa tangkap gula kelapa
kepadaku."
Yang lain tertawa. Seorang diantara mereka berkata
"Tetapi yang terjadi justru lain. Hutangmu bertambah
banyak, sehingga hasil sedapanmu tiga hari akan habis kau
pakai untuk membayar hutang."
Keempat orang tua itu tertawa semakin ramai.
Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana yang
tidak terlibat dalam permainan dadu itu sekali-sekali
melepaskan perhatian mereka dari keempat orang yang
sedang makan sambil berkelakar itu. Untuk mencegah
kantuk, maka Manggada berniat untuk keluar dari dapur
lewat pintu butulan. Karena itu, maka iapun telah
mengangkat selarak pintu butulan.
Tetapi Manggada itupun mengurungkan niatnya.
Demikian ia mengangkat selarak, maka iapun mendengar
langkah kaki menjauh dari pintu itu. Meskipun dengan
sangat berhati-hati, namun karena tergesa-gesa karena pintu
itu tiba-tiba saja akan dibuka, maka langkah kaki itu dapat
didengar oleh Manggada.
Laksana yang melihat Manggada mengurungkan niatnya
dan memasang kembali selarak pintu itupun segera bangkit.
Tetapi Manggada cepat memberi isyarat agar ia tidak
berkata apa-apa.
Manggadalah yang kemudian bergeser menjauhi pintu
itu. Baru kemudian setelah ia berada agak jauh dari pintu
dan dinding dapur, ia berkata sambil berbisik "Aku
mendengar langkah orang diluar."
Laksana mengangguk-angguk. Hal seperti itu memang
sudah dikira sebelumnya. Jika tidak malam itu, tentu
malam berikutnya atau pada malam berikutnya lagi.
Sebagaimana dikatakan oleh Kundala, maka niat untuk
mengambil pusaka-pusaka itu akan diteruskan kapanpun itu
dilaksanakan. "Apakah kita akan memberitahukan kepada Kiai
Gumrah?" desis Laksana.
"Ya, mumpung mereka sedang berhenti bermain dadu."
jawab Manggada.
Laksanapun mengangguk-angguk. Katanya perlahan
"Katakan kepada Kiai Gumrah. Aku akan memperhatikan
pintu dan dinding dapur ini. Meskipun orang itu telah
bergeser, tetapi ada kemungkinan kembali dan mengamati
dapur ini lagi jika pintu tidak jadi kau buka."
Manggada mengangguk kecil. Iapun kemudian pergi
menemui Kiai Gumrah yang masih sedang makan bersama
ketiga orang tamunya.
Demikian Manggada mendekat dengan ragu-ragu,


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang diantara tamunya itu berkata "Mari ngger. Apa lagi
yang akan kau hidangkan?"
"Jangan ragu-ragu" berkata tamu Kiai Gumrah yang lain
"apapun yang kau bawa kemari, akan kami habiskan
sampai tuntas. Orang-orang yang kerjanya menyadap legen
biasanya makannya terlalu banyak. Bahkan apa saja
dimakannya."
Keempat orang itu tertawa berkepanjangan. Mangga-
dapun ikut tertawa pula. Namun kemudian iapun berkata
"Bukan hidangan yang akan aku sampaikan kepada kakek.
Tetapi aku memberitahukan bahwa diluar agaknya ada
tamu." Kiai Gumrah mengerutkan keningnya. Namun salah
seorang kawannya itupun berkata "Ah, masa malam-malam
begini ada tamu."
"Dari mana kau tahu" Apakah ia mengetuk pintu
dapur?" Manggada memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Kiai
Gumrah itu berkata "Katakan. Kakek-kakek yang lain ini
tidak akan tahu maksudnya."
Manggada masih saja ragu-ragu. Bahkan ia menjadi
gelisah. Jika ketiga orang kakek yang lain itu tidak tahu
menahu persoalannya, maka mereka akan dapat mengalami
kesulitan justru karena mereka ada di rumah Kiai Gumrah.
Namun Manggada itu akhirnya berkata "Kek. Aku
hanya mendengar langkah kaki di luar dapur. Tetapi aku
belum menengok, siapa yang ada diluar."
"Ah, biarkan saja tamu itu jika ia tidak mengetuk pintu"
berkata salah seorang tamunya "barangkali ia ingin ikut
menghormatimu yang sekarang ini memperingati umurmu
genap sepuluh windu."
"Tidak sepuluh windu. Tetapi delapan windu. Aku
memperingati tumbuk agengku." sahut Kiai Gumrah.
Tetapi tamunya itu tertawa. Bahkan kemudian ia
bertanya "Berapa sebenarnya umurmu" Delapan windu,
sepuluh windu atau berapapun orang mengatakannya?"
Keempat orang itu tertawa meledak. Sementara
Manggada masih berdiri termangu-mangu. Nampaknya
mereka tidak begitu menghiraukan pemberitahuan Manggada yang menganggap bahwa bahaya telah
mengintai diluar. Namun karena Manggada masih berdiri
saja ditempat-nya, Kiai Gumrahpun berkata "Baiklah ngger.
Aku memang menunggu tamu itu mengetuk pintu. Menurut
ingatanku, aku hanya mengundang ketiga orang tetanggaku
ini yang umurnya sudah sebaya dengan umurku. Meskipun
demikian jika ada orang lain yang mengetahuinya dan sudi
untuk ikut beramai-ramai bermain-main disini, aku akan
menerimanya dengan senang hati."
"Jadi kita menunggu tamu itu mengetuk pintu kek?"
bertanya Manggada.
"Ya. Hanya mereka yang mengetuk pintu sajalah yang
aku anggap sebagai tamu." jawab Kiai Gumrah.
Seorang tamunya yang sedang makan tiba-tiba menyahut
"Seandainya tamu itu mengetuk pintu juga, biarlah nanti
saja dipersilahkan setelah aku selesai makan. Kedatangan
orang baru hanya akan mengurangi bagianku saja."
Orang-orang tua itu tertawa lagi, sementara Manggada
masih berdiri ditempatnya.
Namun Kiai Gumrah yang melihat Manggada menjadi
gelisah berkata "Baiklah. Kembalilah kedapur. Jika tamu itu
nanti mengetuk pintu, biarlah aku membukakannya."
"Jika tamu itu mengetuk dapur?" bertanya Manggada.
"Panggil aku. Biar aku sajalah yang membuka pintu."
jawab Kiai Gumrah.
Manggadapun kemudian kembali kedapur. Dilihat nya
Laksana masih berada ditempatnya. Perhatiannya terutama
tertuju ke pintu butulan itu. Meskipun demikian ia
memperhatikan pula dinding dapur yang menghadap
langsung ke halaman samping.
Sebenarnyalah ada beberapa orang diluar rumah itu.
Orang-orang sebagaimana dikatakan oleh Kundala. Mereka
telah datang untuk mengambil pusaka-pusaka sebagaimana
pernah dilakukan oleh Kundala dan seorang kawannya.
Orang-orang yang ada diluar itu mendengar pembicaraan
antara Manggada dengan Kiai Gumrah dan tamu-tamunya.
Sikap Kia i Gumrah yang seakan-akan tidak menghiraukan
mereka membuat orang-orang itu merasa tersinggung.
Namun mereka masih saja menganggap bahwa Kiai
Gumrah tidak tahu siapakah yang telah datang itu.
"Orang dungu itu mengira bahwa kita adalah tetangga-
tetangganya yang datang untuk mendapatkan hidangan."
desis salah seorang dari mereka.
"Aku akan mengetuk pintu" berkata seorang yang lain.
Tetapi orang yang memimpin kelompok kecil itu
mencegahnya. Katanya "Tidak. Kau tidak akan mengetuk
pintu." "Apakah kita akan masuk lewat pintu dapur?" bertanya
orang itu. "Juga tidak" jawab pemimpin kelompok itu.
"Jadi bagaimana?"
"Aku akan membuka pintu itu." desis pemimpin
kelompok itu. Tetapi sebelum ia melangkah mendekat maka seorang
yang lain telah mendahuluinya sambil berkata "Biar aku
sajalah yang membuka pintu itu."
Namun orang-orang yang ada diluar itu terkejut. Mereka
tidak menduga bahwa percakapan itu didengar oleh orang-
orang yang sedang berkelakar didalam. Ternyata orang
yang ada didalam rumah itu menyahut dengan suara
lantang dan bahkan seakan-akan melingkar-lingkar di
halaman "Jika kau memang tidak tahu diri bagaimana
seorang tamu mengunjungi rumah orang lain, maka buka
sajalah pintunya. Kalian tidak usah berebut merusak pintu
itu meskipun dengan demikian kalian ingin menunjukkan
kelebihan kalian. Pintu itu terbuat dari bambu dan gedeg
yang akan koyak dilanggar seekor kucing. Tanpa Aji Rog-
rog asempun pintu akan patah. Karena itu buka sajalah.
Pintu itu tidak diselarak."
Suasanapun menjadi hening sejenak. Namun tiba-tiba
seorang tamu Kiai Gumrah yang sedang makan itu berkata
"Marilah, kita selesaikan hidangan ini. Aku hampir selesai.
Tinggal menghabiskan sepotong paha ini. Gigiku nampaknya sudah tidak setajam gigi kucing lagi."
"Jika mereka akan masuk, biarlah mereka masuk. Tetapi
kita tidak akan dapat membagi hidangan ini dengan
mereka." berkata tamu yang lain.
Manggada dan Laksana mendengar lontaran kata-kata
itu. Mereka berdua menarik nafas dalam-dalam. Sambil
melangkah mendekati Laksana, Manggada berkata lirih
"Ternyata mereka bukan orang kebanyakan. Tanggapan
mereka terhadap orang-orang yang berada diluar pintu
sangat meyakinkan."
"Ya. Sekarang kita tahu, bahwa Kiai Gumrah bukan
satu-satunya orang yang menunggui pusaka-pusaka itu.
Mungkin juga ceriteranya tentang pusaka-pusaka itu tidak
benar." desis Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Katanya "Kita memang
tidak dapat segera mengambil kesimpulan. Tetapi niat
orang-orang itu mengambil pusaka yang ada dirumah ini
benar. Apapun alasannya dan apa yang sebenarnya terjadi
dibalik ceritera Kiai Gumrah tentang pusaka-pusaka itu,
namun agaknya memang hak Kiai Gumrah untuk
mempertahankannya."
Laksana mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis
"Ya. Bagi kita, persoalannya menjadi semakin rumit."
"Justru semakin menarik" sahut Manggada "aku menjadi
semakin ingin mengetahui persoalan yang berkembang
selanjutnya. Apalagi setelah kita tahu bahwa persoalannya
berhubungan dengan Panembahan Lebdadadi dan elang-
elangnya."
Keduanya terdiam ketika mereka mendengar pintu
berderit keras seperti dihempaskan. Keduanya segera
mengetahui bahwa orang-orang yang ada diluar itu telah
membuka pintu rumah itu. Bahkan dengan kasar.
Hampir diluar sadarnya Manggada dan Laksanapun
telah bergeser ke ruang dalam untuk melihat, apa yang
bakal terjadi. Keduanya menjadi semakin yakin, bahwa orang-orang
tua yang sedang makan itu adalah bukan orang
kebanyakan. Mereka sama sekali tidak terkejut atau
menjadi ketakutan melihat beberapa orang berdiri dipintu
rumah itu. Mereka bahkan seakan-akan tidak menghiraukan mereka sama sekali. Seorang diantara tamu
Kiai Gumrah itu masih sempat meraih sepotong daging
ayam dan menyumbatkan kedalam mulutnya. Sementara
yang lain sambil memandang orang yang berdiri dipintu itu
berkata "Kalian terlambat datang. Tinggal nasi, sayur dan
sambal. Ayam yang dihidangkan terlalu kecil untuk kami
berempat. Apalagi untuk kalian. He, kalian datang bersama
berapa orang?"
"Kiai Gumrah" berkata orang yang berdiri didepan pintu
"ternyata kau sempat mengumpulkan kawan-kawanmu.
Tetapi mereka akan menyesal setelah mereka tahu dengan
siapa mereka berhadapan sekarang."
"O" sahut yang sedang mengunyah daging ayam "jika
demikian apakah kau bersedia memberitahukan, dengan
siapa kami berhadapan sekarang?"
"Aku adalah Kiai Windu Kusuma. Yang berdiri di
sampingku ini adalah Putut Sempada. Kami datang
bersama beberapa orang berilmu tinggi yang sudah lama
kami persiapkan."
"Kiai Windu Kusuma. Jadi kaukah yang bernama
Windu Kusuma?"
"Ya" jawab orang yang berdiri dipintu.
"Kau kenal orang itu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Tidak" jawab orang yang masih saja mengunyah daging
ayam itu. "Gila kau" sahut tamu Kiai Gumrah yang lain "aku kira
kau sudah mengenalnya."
"Aku hanya ingin membuat Kiai Windu Kusamu itu
berbangga, seolah-olah namanya membuat kami terkejut."
Namun yang terjadi kemudian sangat mengejutkan
Tanpa diduga maka mangkuk-mangkuk serta minuman
dan makanan yang ada diambin bambu itu seakan-akan
telah disentakkan. Beberapa diantara mangkuk-mangkuk itu
terlempar keudara, kemudian terbanting jatuh saling
berbenturan. Beberapa diantara mangkuk-mangkuk itu telah
pecah. Manggada dan Laksana menjadi sangat tegang. Jantung
mereka terasa berdegup semakin cepat.
Namun, seorang diantara tamu Kiai Gumrah itu justru
berkata sambil mengais pecahan mangkuk didepannya
"Kau gila. Sepotong sayap ayam masih utuh."
Tanpa menghiraukan orang yang menyebut dirinya Kiai
Windu Kusuma itu, tamu Kiai Gumrah itu memungut
sepotong sayap ayam yang memang masih utuh. Katanya
"Sebenarnya aku ingin mensisakan sayap-sayap ayam ini
bagi kedua orang cucu Kiai Gumrah agar mereka dapat
terbang seperti ayam."
"Kau kira ayam dapat terbang?" kawannya masih juga
sempat bertanya.
"Cukup"
bentak Kiai Windu Kusuma "kalian menyembunyikan perasaan takut kalian pada kegilaan
kalian. Jangan dikira bahwa kami tidak dapat membara isi
hati kalian. Orang-orang tua semacam kalian memang tidak
berharga. Dengan kepura-puraan itu, kalian mencoba untuk
nampak tenang dan meyakinkan."
Kiai Gumrahlah yang kemudian turun dari ambin
bambu itu. Dengan nada dalam ia bertanya "Ki Sanak.
Untuk apa sebenarnya Ki Sanak datang tanpa aku undang
malam ini" Sebenarnya aku sedang merayakan peringatun
tumbuk ageng. Aku hari ini berumur delapan windu."
Namun kawannya ternyata sulit menjaga mulutnya.
Katanya "Ia bohong. Umurnya lebih tua dari delapan
windu. Tetapi ia tetap dianggap paling muda diantara kami
berempat. Juga oleh kedua cucunya itu. He, jika umurmu
baru enampuluh empat dan kedua cucumu sudah perjaka,
berapa tahun kau mempunyai anak dan anakmu pada umur
berapa tahun mempunyai anak pula."
"Kau masih sempat menghitung pada saat kita
menghadapi ingkung ayam itu?" bertanya kawannya pula.
"Cukup" teriak Kiai Windu Kusuma "sekarang sadari
keadaan kalian. Kalian akan mati malam ini jika kalian
tidak merubah sikap kalian. Atau kalian sudah mulai
mabuk?" "Tidak Kiai Windu Kusuma. Kami tidak mabuk. Tidak
ada setitik tuakpun disini meskipun pekerjaan kami
menyadap legen dan dapat membuat tuak sendiri. Karena
itu, kami tidak sedang mabuk. Mungkin ada satu diantara
kami yang kekenyangan. Tetapi itu bukan berarti mabuk."
jawab Kiai Gumrah.


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hentikan sikap gila kalian. Sekarang, aku akan
berbicara tanpa melingkar-lingkar lagi. Serahkan pusaka-
pusaka itu. Kau tidak usah bertanya apakah aku pemiliknya
atau bukan, atau apakah aku sudah minta ijin atau bukan.
Yang penting pusaka-pusaka itu jatuh ditanganku dan aku
bawa pergi. Apa yang akan kau katakan terhadap
pemiliknya aku tidak peduli. Apakah kau sudah terlanjur
berjanji untuk menjaga pusaka-pusaka itu atau belum aku
juga tidak perduli." berkata Kiai Windu Kusuma.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai
nampak bersungguh-sungguh. Katanya "Kiai Windu
Kusuma. Aku yakin bahwa kau bukan kanak-kanak lagi.
Kau tentu tahu makna dari sikapku dan sikap kawan-
kawanku malam ini. Seharusnya kau tidak usah
mengatakan maksudmu itu seperti kanak-kanak yang
berebut manggis yang jatuh dari dahannya. Sekarang kau
mau apa?" "Bagus" berkata Kiai Windu Kusuma "tetapi aku masih
ingin memperingatkanmu, bahwa kegilaanmu dan kawan-
kawanmu tidak berarti apa-apa bagi kami. Aku datang
dengan beberapa orang kawan yang benar-benar akan dapat
mengantar kalian keneraka malam ini juga."
"Kami sudah siap Kiai. Elangmu siang tadi telah
memberitahukan kepada kami, bahwa kalian akan datang
bersama beberapa orang yang berilmu tinggi. Tetapi kaupun
harus sudah mengetahui sikap apa yang akan kami ambil
menghadapi kedatangan kalian." jawab Kiai Gumrah.
"Aku menunggumu dihalaman Kiai Gumrah" berkata
Kiai Windu Kusuma "kami tidak dapat bertempur dengan
baik diruang yang sempit ini."
"Baiklah. Tunggulah kami diluar.
Sebentar lagi kami berempat akan
keluar." jawab Kiai Gumrah.
Kiai Windu Kusuma kemudian
telah melangkah mundur. Bersama
dengan beberapa orang yang datang
bersamanya, maka mereka menunggu dihalaman rumah itu.
Nampaknya mereka telah benar-
benar bersiap menghadapi keempat
orang yang ada diruang dalam.
Meksipun demikian seorang diantara mereka berdesis "Aku tidak mengira bahwa disini
ada ampat orang yang harus kita hadapi malam ini."
"Apa artinya empat orang tua itu" Sedangkan Kiai
Gumrah sendiri hanya mampu menakut-nakuti Kundala
dan kawannya yang tidak lebih dari cucurut-cucurut yang
pengecut. Karena itu, aku tidak mau lagi membawanya
malam ini karena mereka tidak akan berarti apa-apa."
"Selain mereka masih ada anak-anak muda yang tadi ada
didapur" berkata yang lain.
"Mereka tidak usah dihitung" jawab Kiai Windu
Kusuma "dengan mengibaskan tangan saja mereka tentu
akan terbunuh."
Sementara itu, para tamu Kiai Gumrah sudah
melangkah keluar. Sementara itu Kiai Gumrah yang masih
ada didalam berbicara sejenak dengan Manggada dan
Laksana "Kalian mau menolong aku lagi bukan, ngger."
"Tentu Kiai" jawab Manggada.
"Kau tentu menganggap aku sebagai pembohong" desis
orang tua itu. "Kenapa Kiai?" bertanya Manggada.
"Nanti, jika aku masih sempat hidup aku beritahukan"
jawab Kiai Gumrah. Lalu katanya kemudian "tolong ngger.
Jaga pusaka-pusaka itu. Mungkin ada satu dua orang yang
melepaskan diri dari pertempuran dan berusaha untuk
mengambil pusaka-pusaka itu langsung dari plonconnya."
"Baik Kiai" jawab Manggada.
"Tetapi jika kalian jumpai orang yang berilmu sangat
tinggi dan diluar jangkauan kemampuanmu, maka
tinggalkan saja orang itu. Jangan kau korbankan nyawamu
untuk sesuatu yang bagimu tidak berarti apa-apa."
Manggada dan Laksana hampir bersamaan menjawab
"Baiklah Kiai. Kami akan menjaga pusaka-pusaka itu."
"Terima kasih ngger" Kiai Gumrahpun mengangguk-
angguk "aku akan menemui orang-orang itu. Orang-orang
itu memang orang-orang berilmu tinggi. Tetapi aku percaya
kepada kawan-kawanku bahwa mereka akan dapat
mengimbangi orang-orang yang datang itu. Semoga Yang
Maha Agung melindungi kami dan kalian berdua" berkata
Kiai Gumrah sambil melangkah keluar.
Di halaman beberapa orang telah mengepung tiga orang
kawan Kiai Gumrah. Ketika mereka melihat Kiai Gumrah,
maka sebagian dari merekapun telah menyibak. Sehingga
akhirnya Kiai Gumrah berdiri disebelah ketiga orang
kawannya. "Nah" berkata Kiai Windu Kusuma "jadi kami kau paksa
untuk membunuh kalian berempat?"
"Kami atau kalian yang akan mati" berkata Kiai Gumrah
"tetapi sebenarnya bukan kebiasaan kami membunuh
seseorang siapapun mereka."
"Kau tidak usah berpura-pura menjadi orang yang baik
hati. Bersiaplah. Kalian akan mati kecuali jika kalian
menyerahkan pusaka-pusaka itu."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Apaboleh buat. Pertempuran bukan cara yang terbaik
untuk memecahkan persoalan. Tetapi jika kalian memaksa
kami untuk melakukannya, maka kami tidak akan dapat
mengelak. Sudah tentu bahwa kami tidak akan membiarkan
kepala kami kalian pisahkan dari tubuh kami. Tetapi
sebaliknya kami juga tidak akan menyerahkan pusaka-
pusaka itu, karena aku tidak berhak melakukannya.
Berpuluh kali aku katakan, bahwa aku hanya akan
menyerahkan kepada orang-orang yang menitipkannya
kepadaku."
"Alasan yang basi. Aku muak mendengarnya. Sekarang,
bersiaplah untuk mati. Sementara pusaka-pusaka itu akan
jatuh juga ketangan kami."
Kiai Gumrah dan ketiga orang kawannyapun segera
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka berempat
menghadap keempat arah, karena Kiai Windu Kusuma dan
kawan-kawannya telah mengepung Kiai Gumrah dan
kawan-kawannya dari segala arah pula.
Sebelum Kiai Windu Kusuma mulai menyerang. Kiai
Gumrah sempat menghitung orang yang datang kerumah-
nya itu. Semuanya ada tujuh orang.
"Tujuh" Kiai Gumrah itu berdesis.
"Ya. Tujuh orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Seorang melawan seorangpun kalian tidak akan dapat
berbuat sesuatu. Apalagi jumlah kami lebih banyak dari
jumlah kalian." berkata Kiai Windu Kusuma.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Ada satu hal yang tidak kau perhitungkan."
"Apa" Aku tahu pasti tingkat kemampuanmu Kiai
Gumrah. Kundala memberikan laporan terperinci." jawab
Kiai Windu Kusuma dengan penuh keyakinan.
Tetapi Kiai Gumrah menjawab "Satu hal yang tidak kau
perhitungkan. Justru yang menentukan. Bahwa Yang Maha
Agung dapat berbuat apa saja yang tidak mungkin
sekalipun."
Tetapi orang itu tertawa. Katanya "Itu adalah tumpuan
orang yang sudah berputus-asa. Orang yang tidak mampu
keluar dari keruwetan dan kesulitan atas usaha dan
kepercayaannya kepada diri sendiri. Lalu mencari sandaran
apapun yang paling tidak masuk akal sekalipun."
"Terkutuklah kalian yang tidak meyakini kuasa Yang
Maha Agung. Baiklah. Marilah kita lihat. Betapa maha
dahsyatnya kuasa Yang Maha Agung itu."
Kiai Windu Kusuma masih tertawa. Namun kemudian
ia memberikan isyarat kepada kawan-kawannya sambil
berkata "He, kita buktikan kepada mereka, bahwa mereka
tidak akan dapat bersandar kepada tumpuannya yang
disebutnya Yang Maha Agung. Kuasa dari Telenging Bumi
serta Roh dan Arwah orang-orang sakti dari Padepokan
kami akan menunjukkan kepada kalian, bahwa sandaran
kalian telah lapuk."
Wajah Kiai Gumrah menjadi merah. Ia tidak pernah
menjadi demikian marahnya seperti saat ini. Tetapi
bagaimanapun juga ia masih tetap mengekang diri dan
berpijak pada penalarannya yang terang. Kepada ketiga
orang kawannya ia berkata "Marilah saudara-saudaraku.
Kita berhadapan dengan bayangan dari Kuasa Kegelapan
dan Iblis. Kita akan berusaha menerangi bayangan kelam
itu dengan cahaya daripada-Nya. Tetapi jika yang harus
terjadi justru permusuhan Kuasa Iblis itu, maka agaknya
demikianlah yang harus terjadi. Mereka agaknya mengira
bahwa kekuatan Terang dari yang Maha Agung itu tidak
masuk dalam akal mereka, tetapi mereka justru beralaskan
Kuasa Iblis yang menurut mereka masuk akal."
"Tentu, karena kami dapat berhubungan langsung dalam
sentuhan indera wadag kami. Tetapi apa yang kau sebut
Yang Maha Agung itu sama sekali tidak."
"Kami tidak memerlukan sentuhan indera wadag. Tetapi
rabaan jari-jari hati kami dapat menyentuhnya pula."
Tetapi Kiai Windu Kusuma itu tertawa. Katanya "Satu
ceritera yang baik untuk dilaporkan kepada Panembahan."
"Panembahan siapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Panembahan siapapun, kau tidak akan mengerti" jawab
Kiai Windu Kusuma.
Kiai Gumrah tidak menjawab lagi. Tetapi berempat
mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu Kiai Windu Kusumapun telah memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk
bergerak. Dalam pada itu, Kiai Gumrah telah bersiap langsung
menghadapi Kiai Windu Kusuma. Sementara ketiga orang
kawannya harus berhadapan dengan enam orang pengikut
Windu Kusuma itu.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun telah
terjadi. Kiai Windu Kusuma langsung menyerang Kiai
Gumrah dengan garangnya meskipun belum mempergunakan senjatanya.
Sementara itu, para pengikutnyapun telah mulai
bertempur pula. Mereka bertempur berpasangan melawan
tiga orang kawan Kiai Gumrah.
Namun dalam pada itu terdengar perintah Kiai Windu
Kusuma kepada para pengikutnya "Salah seorang dari
kalian, ambil pusaka-pusaka itu. Hati-hati. Ada dua orang
anak muda yang tadi didapur. Jika keduanya menghalangi,
bunuh mereka. Kita sudah tahu tataran kemampuan kedua
orang anak muda itu sebagaimana laporan yang pernah
disampaikan kepada kita."
Ketika salah seorang dari mereka mulai melangkah
keluar dari lingkaran pertempuran, Kiai Windu Kusuma itu
berkata "Biarlah Niskara saja melakukannya. Ia tidak akan
pernah gagal. Apalagi hanya kedua orang anak muda itu.
Berdua mereka tidak dapat mengalahkan Kundala. Bahkan
seandainya ada dua orang lagi. Niskara akan dapat
menyelesaikannya dengan cepat."
Tidak ada yang menjawab. Namun seorang diantara
mereka yang masih bertempur itu melenting dan dengan
kecepatan yang sangat tinggi, orang itu bagaikan terbang
menuju kepintu rumah dan kemudian hilang diruang
dalam. Kiai Gumrah memang menjadi berdebar-debar. Ia yakin
bahwa kedua orang anak muda itu tidak akan mampu
melawan orang yang disebut bernama Niskara itu.
Tetapi ia tidak segera dapat berbuat sesuatu. Ia harus
berhadapan dengan Kiai Windu Kusuma yang tentu
memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Karena itu, maka bagaimanapun juga Kiai Gumrah itu
menjadi gelisah. Kedua anak muda itu seharusnya tidak
terlibat dalam persoalan yang rumit itu. Tetapi keduanya
ternyata berkeras untuk tetap berada dirumahnya.
"Mudah-mudahan mereka mau mendengarkan pesanku
agar mereka tidak mempertahankan nyawa mereka" berkata
Kiai Gumrah didalam hatinya. Kia i Gumrah masih
berharap jika keduanya itu menyingkir dari pertempuran,
maka Niskara tentu akan lebih memperhatikan pusaka-
pusaka itu daripada Manggada dan Laksana.
Tetapi bagaimanapun juga Kiai Gumrah tidak dapat
membiarkan keduanya tanpa memperhatikannya. Namun
Kiai Gumrah tidak mempunyai banyak kesempatan, karena
Kiai Windu Kusuma itu mulai menekannya. Serangan-
serangannya menjadi semakin cepat dan keras.
Sementara itu, ketiga orang kawannyapun telah
bertempur pula. Dua orang diantara mereka harus
bertempur melawan masing-masing dua orang.
Didalam rumah, Manggada dan Laksana mendengar
langkah seseorang memasuki rumah itu. Dengan cepat
merekapun telah bersiap. Merekapun menyadari, bahwa
orang-orang yang ingin mengambil pusaka itu adalah
orang-orang yang berilmu tinggi.
Namun kedua orang anak muda itu sudah berjanji untuk
membantu Kiai Gumrah menjaga pusaka-pusaka itu.


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apapun yang terjadi, maka mereka tidak akan ingkar.
Karena itu ketika orang itu mendekati bilik tempat
pusaka-pusaka itu disimpan, maka Manggada dan Laksana
segera menghadang mereka dengan pedang terhunus.
Niskara itu menggeram. Dengan lantang ia berkata
"Minggir anak-anak muda. Aku akan mengambil pusaka-
pusaka itu. Jika kau mencoba menghalangi, maka kalian
akan mati malam ini juga. Aku tidak mempunyai waktu
banyak, sehingga karena itu, maka jangan mencoba berbuat
sesuatu yang dapat memperpendek umurmu."
"Aku telah berjanji untuk mempertahankan pusaka-
pusaka ini." jawab Manggada.
"Jika demikian, jangan menyesal jika kalian akan mati."
geram Niskara. Manggada dan Laksana tidak menghiraukannya.
Keduanya hampir berbareng meloncat menyerang.
Ternyata Niskara memang seorang yang berilmu tinggi.
Dengan cepat ia menggeliat menghindari serangan kedua
orang anak muda itu. Bahkan tanpa diketahui apa yang
telah dilakukannya, maka Laksana telah terdorong
beberapa langkah surut sehingga punggungnya membentur
dinding. Wajahnya terasa menjadi panas. Agaknya tangan
Niskara telah menampar mukanya.
Tetapi Laksana sama sekali tidak menjadi gentar.
Dengan cepat ia menguasai dirinya dan siap untuk
melanjutkan pertempuran. Pedangnyapun berputar cepat
saat ia meloncat maju sementara Manggada telah
menyerang pula dari arah yang berbeda.
Tetapi serangan-serangan
itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan kedua orang anak muda ilu
telah mengalami serangan yang tidak mereka ketahui
bagaimana hal itu dapat terjadi. Keduanyapun telah
terdorong beberapa langkah surut.
Sementara itu Niskarapun menggeram. Katanya "Anak-
anak muda, sebaiknya kau dengarkan peringatanku. Kali ini
untuk yang terakhir. Minggirlah. Jangan ganggu aku. Jika
kalian masih saja menghalangi aku. maka kalian benar-
benar akan mati."
Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu.
Mereka sadar bahwa mereka tidak akan pernah dapat
mengalahkan orang itu, apalagi jika ia sudah menarik
senjatanya. Merekapun teringat pesan Kiai Gumrah agar
jika terpaksa mereka supaya meninggalkan saja pusaka-
pusaka itu. Mereka tidak usah mengorbankan nyawa
mereka untuk mempertahankan pusaka-pusaka itu.
Namun ternyata bahwa hati kedua orang anak muda
tidak terlalu lentur. Bahkan Manggada telah melangkah
maju sambil berkata "Kami tidak mempunyai pilihan lain.
Kami harus mempertahankan pusaka-pusaka itu."
Niskara menggeram. Katanya "Jika demikian maka
kalian agaknya memang ingin membunuh diri. Baiklah.
Aku akan membantu kalian agar kalian lebih cepat mati
dan tidak mengganggu aku lagi."
Dalam pada itu, di halaman Kiai Gumrah tengah
bertempur melawan Kiai Windu Kusuma. Bagaimanapun
juga ia gelisah karena Manggada dan Laksana, juga karena
pusaka-pusaka itu akan dapat diambil oleh Niskara, namun
ia tidak dapat meninggalkan lawannya yang memang
berilmu tinggi. Bahkan untuk beberapa saat Kiai Windu
Kusuma dapat mendesak Kiai Gumrah yang gelisah.
Bagi Kiai Gumrah, seandainya Niskara dapat mengambil
pusaka-pusakanya, maka ia akan dapat berusaha menahan
Kiai Windu Kusuma dalam pertempuran
dengan mempertaruhkan nyawanya. Karena Kiai Windu Kusuma
adalah pemimpin dari sekelompok orang yang datang itu,
maka seandainya ia dapat mengatasinya, maka Niskara
tentu tidak akan tergesa-gesa meninggalkan halaman rumah
itu. Namun agaknya Manggada dan Laksana justru lebih
menggelisahkannya lagi. Kedua anak muda yang keras hati
itu tentu tidak akan begitu saja meninggalkan pusaka-
pusaka itu meskipun ia sudah berpesan kepada mereka.
Bagi Kiai Gumrah yang sudah berjanji untuk menyimpan dan menjaga pusaka-pusaka itu ternyata tidak
dapat begitu saja membiarkan Manggada dan Laksana
menjadi korban. Kecuali mereka masih terlalu muda untuk
mati, maka merekapun sebenarnya tidak mempunyai beban
tanggung jawab apapun terhadap pusaka itu, kecuali karena
mereka memang berniat membantunya.
Tetapi untuk sementara Kiai Gumrah harus menghadapi
kenyataan. Ia harus bertempur melawan Kiai Windu
Kusuma tanpa berbuat apapun yang lain. Ia sadar, jika ia
tidak mampu memusatkan nalar budinya untuk menghadapi Kiai Windu Kusuma, maka ia akan segera
mengalami kesulitan karena Kiai Windu Kusuma adalah
seorang yang berilmu sangat tinggi.
Sementara itu ketiga orang kawan Kiai Gumrahpun
harus bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka.
Dua diantara kawan-kawan Kiai Gumrah itu harus
menghadapi masing-masing dua orang. Namun agaknya
mereka bukan orang-orang berilmu sangat tinggi setataran
dengan Kiai Windu Kusuma sendiri. Meskipun mereka
agaknya memiliki kemampuan lebih baik dari Kundala dan
kawannya yang pernah datang pula kerumah itu, namun
mereka tidak dapat dengan cepat menguasai kawan-kawan
Kiai Gumrah. Meskipun sejak Kundala gagal mengambil pusaka-
pusaka itu. Kiai Windu Kusuma sudah memperhitungkan
bahwa Kiai Gumrah yang ternyata bukan orang
kebanyakan itu tentu tidak sendiri, bahkan selain anak-anak
muda itu tentu ada orang-orang lain yang berilmu, namun
ia tidak mengira bahwa pada saat yang bersamaan ada
empat orang tua yang berilmu tinggi. Ampat orang yang
ilmunya tidak saling bertaut banyak meskipun Kiai Gumrah
harus mendapat perhatian terbesar karena Kiai Gumrah
adalah orang yang harus mempertanggungjawabkan
pusaka-pusaka itu.
Sambil bertempur melawan Kiai Gumrah, Kiai Windu
Kusuma sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi
disekitarnya. Dibawah cahaya oncor diserambi rumah Kiai
Gumrah yang lemah, ia melihat kawan-kawannya berusaha
untuk dengan segera mengalahkan ketiga orang tua tamu
Kiai Gumrah itu. Tetapi ketiga orang tua itu ternyata juga
memiliki ilmu yang tinggi.
Seorang diantaranya, yang disebut juragan yang
menerima dan membeli gula kelapa Kiai Gumrah dan para
pembuat gula yang lain dan membawanya ke pasar itu,
bertempur hanya melawan seorang saja. Tetapi orang itu
adalah seorang yang masih terhitung muda, bertubuh tegap
dan kekar. Putut Sempada.
Dengan keras orang itu menyerang juragan Kiai Gumrah
sehingga orang tua itu beberapa kali terdesak mundur.
"Apakah kau tidak mempertimbangkan untuk menyerah
saja orang tua" Tulang-tulangmu sudah rapuh dan
barangkali penglihatanmu sudah tidak jelas lagi." berkata
orang bertubuh kekar itu.
Tetapi orang tua itu tersenyum. Sambil mengelakkan
serangan lawannya yang bertubuh tegap dan kekar itu ia
menjawab "Aku jauh lebih tua dari kau orang muda. Aku
tentu mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak.
Karena itu, berhati-hatilah. Apalagi bukankah seharusnya
kau menghormati setua aku ini."
"Setan kau kakek tua. Agaknya kau ingin mempercepat
kematianmu. Tetapi katakan, siapa namamu?"
"Aku adalah juragan gula kelapa yang dihormati
diseluruh lingkungan ini. Kalau kau tidak percaya
bertanyalah kepada Kiai Gumrah. Ia salah seorang pembuat
gula yang selalu menyerahkan gulanya kepadaku. Aku tidak
pernah menghutang dan kemudian baru membayar setelah
gula itu laku. Aku selalu membayar langsung demikian
mereka menyerahkan gula itu kepadaku."
"Cukup" orang yang bertubuh tegap kekar itu berteriak
"aku tidak ingin mendengar bualanmu itu. Siapa namamu,
he. Itu saja yang ingin aku dengar."
Juragan gula itu tertawa. Katanya sambil setiap kali
meloncat mengambil jarak "Namaku Ki Padma."
"Uah" desah orang bertubuh kekar itu diluar sadarnya.
Sejenak kemudian, maka serangannyapun datang beruntun.
Juragan gula yang menyebut dirinya Ki Padma itu masih
saja berloncatan menghindari serangan-serangan itu.
Katanya "Kenapa" Kau heran mendengar namaku" Padma
adalah bunga. Sama manisnya dengan gula. Kau setuju?"
"Setan tua. Kau tidak pantas dengan nama itu.
Pantasnya kau bernama Clurut." geram lawannya.
Ki Padma itu tertawa berkepanjangan sambil berloncatan. Tetapi justru karena itu, maka iapun telah
terdesak beberapa langkah surut. Namun kemudian sambil
berganti menyerang ia bertanya "Siapa namamu?"
"Kau tentu juga tidak percaya."jawab lawannya.
"Aku percaya. Katakanlah"sahut Ki Padma.
"Namaku Putut Sempada."jawab orang itu."Nah, kau
tentu akan menyangkal dan akan menyebut nama lain yang
paling buruk."
"Tidak. Aku percaya bahwa kau bernama Sempada,
meskipun itu bukan nama yang kau terima dari kedua orang
tuamu. Namun bagaimanapun juga, sekarang kau disebut
Putut Sempada."jawab Ki Padma.
"Atau kau memang pernah mendengar nama itu?"
bertanya Putut Sempada.
"Ya. Aku memang pernah mendengar nama itu. Aku
juga pernah mendengar nama Putut Bahudenda dan
Bahutama. Mereka memiliki ciri perguruan Panjer Bumi.
Nah, jangan menyangkal bahwa aku melihat ciri perguruan
itu pada unsur-unsur gerakmu."
"Aku tidak menyangkal bahwa aku murid perguruan
Panjer Bumi. Jilka kau tahu aku dari perguruan Panjer
Bumi, katakan, kau bersumber dari perguruan mana?"
bertanya Bahusasra.
"Ternyata pengetahuanmu sangat picik. Putut Sempada
adalah nama yang agung. Aku tidak ingin meniru kau yang
merendahkan pribadiku dibandingkan dengan namaku.
Tetapi sebenarnyalah bahwa nama itu terlalu besar buat
orang sepicik kau. Kita sudah bergulat dalam pertarungan
ilmu sekian jauh, tetapi kau sama sekali tidak mampu
menyebut sumber ilmuku."
"Kau tentu lahir dari perguruan kecil di tempat terpencil.
Kau dapat melihat kebesaran perguruanku tetapi aku tidak."
geram orang yang mengaku bernama Putut Sempada itu.
Ki Padma tertawa. Katanya "Apapun yang kau katakan,
tetapi kita akan menyelesaikan pertempuran ini sampai
tuntas. Betapa besarnya perguruanmu, tetapi kau nanti
harus mengakui, bahwa kuasa Yang Maha Agung akan
menentukan segala-galanya. Bukan kuasa dari Telenging
Bumi atau iblis yang manapun juga. Semakin kau
mengingkari, maka kau akan menjadi semakin dihimpit
oleh kuasa-Nya."
"Kau ingin melarikan diri kenyataan seperti Kiai
Gumrah." geram Bahusasra.
"Sama sekali tidak. Tetapi hatiku sejalan dengan orang
itu." jawab Ki Padma.
Lawannya tidak menjawab lagi. Tetapi dikerahkannya
kemampuan untuk menghancurkan orang yang menyebut
dirinya Ki Padma, juragan gula kelapa itu.
Namun ternyata bahwa Ki Padma benar-benar orang
yang berilmu tinggi. Meskipun Sempada tidak segera
melihat sumber ilmu juragan gula itu, tetapi ia merasakan
kekuatan yang sangat besar pada ilmu yang melandasi
kemampuannya itu.
Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin
lama menjadi semakin sengit sebagaimana Kiai Gumrah
melawan Kiai Windu Kusuma yang juga berilmu sangat
tinggi. Sementara itu kedua kawan Kiai Gumrah yang lain
masing-masing harus bertempur melawan dua orang.
Namun lawan-lawan mereka ilmunya tidak setinggi Kiai
Windu Kusuma atau Putut Sempada. Meskipun demikian
melawan dua orang, kawan-kawan Kiai Gumrah itupun
harus mengerahkan kemampuan mereka. Bahkan baik Kiai
Gumrah maupun ketiga orang kawannya, masih harus
selalu mengingat kedua orang anak muda yang berada
didalam rumah. Mereka sadar, bahwa orang yang bernama
Niskara itu tentu saja seorang yang dianggap akan mampu
menyelesaikan kedua orang anak muda itu juga mereka
bertahan untuk melindungi pusaka-pusaka itu. Kawan-
kawan Kiai Gumrah itu sebenarnya sudah mendengar
bagaimana kekerasan hati kedua anak muda yang
terdampar dirumahnya. Meskipun keduanya tidak

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai sangkut paut dengan Kiai Gumrah, apalagi
pusaka-pusaka itu, namun keduanya telah menyatakan
kesediaan mereka untuk membantunya.
Karena itu, baik Kiai Gumrah maupun ketiga orang
kawannya tentu tidak akan sampai hati membiarkan kedua
orang anak muda itu mengalami kesulitan.
Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk
menolong mereka karena mereka sedang terlibat dalam
pertempuran yang sengit.
Namun setelah menjajagi ilmunya beberapa saat, salah
seorang kawan Kiai Gumrah yang bertempur melawan dua
orang lawan itu berkata lantang "He, aku akan
meninggalkan orang-orang itu. Biarlah keduanya menempatkan diri untuk melawan salah seorang dari
kalian. Aku akan melihat apa yang terjadi didalam."
"Lakukanlah" sahut Kiai Gumrah sambil bertempur
melawan Kiai Windu Kusuma. Meskipun Kiai Windu
Kusuma berilmu sangat tinggi, jika kedua orang itu
bergabung bersamanya, maka Kiai Gumrah masih berharap
untuk dapat bertahan beberapa lama meskipun ia harus
berlari-lari berputaran di halaman. Sementara itu, ia
berharap bahwa kawannya itu akan dapat segera
menyelesaikan orang yang disebut Niskara itu.
Namun dalam pada itu, kawan Kiai Gumrah yang akan
meninggalkan kedua lawannya itu justru tertegun. Karena
kedua lawannya masih saja menyerangnya dan seakan-akan
tidak ingin melepaskannya, maka kawan Kiai Gumrah itu
masih harus berloncatan menghindar. Bahkan kedua orang
lawannya itu dengan sengaja menahan agar orang itu tidak
dapat meninggalkan mereka.
Sementara keempat orang tua-tua itu masih bertempur
dengan sengitnya, maka didalam rumah itu, Manggada dan
Laksana benar-benar tidak mampu berbuat banyak
menghadapi Niskara. Meskipun Niskara itu masih belum
mempergunakan senjatanya, namun Manggada dan
Laksana berkali-kali terdorong dan terbanting jatuh. Bahkan
kemudian keduanya menjadi semakin tidak berdaya. Ketika
kepala Laksana membentur tiang, maka seisi rumah itu
rasa-rasanya menjadi berputar. Hanya karena ketahanannya
saja, ia masih tetap sadar. Meskipun demikian ketika ia
Pedang Naga Kemala 5 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Misteri Bayangan Setan 7
^