Pencarian

Sang Penerus 4

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Bagian 4


Namun Manggadapun kemudian berkata "Baiklah. Kami
akan pergi. Tetapi kami harus minta ijin lebih dahulu
kepada kakek."
Wajah Winih nampak menjadi gembira. Katanya "Jika
demikian aku akan segera mandi. Kita pergi kepasar selagi
masih pagi. Kita akan mendapatkan sayur-sayuran yang
masih segar."
Hampir diluar sadarnya Laksana berkata "Selama ini
kami mengambil sayuran dikebun."
"Tetapi dipasar kita mendapatkan sayuran yang jenisnya
jauh lebih banyak dari yang ada dikebun kakek." jawab
Winih. "Tentu saja" sahut
Laksana "tetapi kita harus
membelinya. Dikebun kita tinggal memetik."
"Aku akan minta uang kepada ibu" desis Winih.
Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja.
Sementara itu Winihpuh telah berlari masuk rumah
mencari ibunya, sementara, sapunya ditinggalkannya begitu
saja. Laksana menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian
telah memungut sapu lidi yang ditinggalkan Winih dan
menyelesaikan pekerjaan Winih yang tinggal sedikit.
Sebagian kecil sampah itu ternyata masih tersisa. Belum
seluruhnya masuk kedaiam lubang sampah disudut
halaman itu: Dalam pada itu, maka Manggada dan Laksanapun telah
mencari Kiai Gumrah di kebun. Agaknya Kiai Gumrah
juga sudah selesai dengan pekerjaannya. Sambil membawa
beberapa buah bumbung legen ia berjalan menuju ke dapur.
Manggada dan Laksanapun telah membantunya membawa bumbung legen itu. Sementara itu Manggadapun
berkata "Kek, apakah kami berdua boleh pergi ke pasar?"
"Untuk apa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Winih ingin
pergi ke pasar. Ia minta
kami mengantarkannya."
"Ah, anak itu" desis Kiai Gumrah "ia tidak tahu bahaya
yang tersembunyi di sekitar keluarga kita."
"Winih nampaknya ingin sekali pergi ke pasar." desis
Laksana. Lalu katanya "Agaknya iapun akan minta ijin
kepada kakek. Tentu saja juga kepada ayah dan ibunya,
karena Winih masih akan minta uang lebih dahulu."
"Apa yang akan dicarinya di pasar?" bertanya Kiai
Gumrah. "Anak itu ingin berbelanja. Katanya jenis sayuran
dipasar jauh lebih banyak dari jenis sayuran yang ada
dikebun." jawab Laksana.
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Biar anak
itu minta ijin ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya tentu
sudah tahu bahwa kita seluruh keluarga harus berhati-hati."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi
mereka tidak menjawab lagi.
Tetapi ketika mereka sampai didapur, Winih itu sudah
menunggu. Demikian ia melihat Manggada dan Laksana,
maka iapun berkata lantang "He,lcalian belum mandi?"
"Apakah kau sudah selesai berbenah diri?" bertanya
Manggada. "Tentu. Aku sudah menunggumu." jawab Winih.
"Apakah kau sudah minta ijin ayah dan ibumu?"
bertanya Kiai Gumrah.
"Sudah kek. Ayah dan ibu tidak berkeberatan. Ibu
malahan sudah memberi uang belanja kepadaku."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun,
kemudian katanya "Baiklah. Jika kau sudah mendapat ijin
ayah dan ibumu." Lalu Kiai Gumrah itupun berkata kepada
Manggada dan Laksana "Kalian harus tetap berhati-hati."
"Ya kek" jawab Manggada.
Tetapi Winih segera memotong "Tetapi mereka belum
mandi." Kiai Gumrah itupun tersenyum. Katanya "Mandilah."
"Cepat sedikit. Biasanya laki-laki berbenah diri lebih
cepat dari perempuan." berkata Winih.
Kiai Gumrah bahkan tertawa. Katanya "Hari masih pagi.
Pasar itu tidak akan segera bubar."
"Tetapi sayuran yang segar itu sudah habis." jawab
Winih. "Tentu belum. Tetapi seandainya sudah habis, maka
biarlah Manggada dan Laksana memetik sayuran segar dari
kebun dan biar mereka membawanya kepasar. Nah, kau
akan dapat membeli sayuran yang masih sangat segar."
berkata Kiai Gumrah.
"Ah, kakek mesti bercanda" desis gadis itu.
Sementara itu Manggada dan Laksana tergesa-gesa
menyiapkan dirinya. Sementara Winih menunggu didepan.
Bahkan hampir saja ia kehilangan kesabaran.
Tetapi ketika Manggada dan Laksana selesai berpakaian,
maka mereka justru dipanggil oleh Nyi Prawara didapur.
Katanya "Kalian belum minum. Nanti minuman ini
menjadi dingin."
"Terima kasih Nyi" jawab Manggada dan Laksana
hampir berbareng. Tetapi demikian keduanya meneguk
minumannya, Winih telah berdiri dipjnfcu sambil berkata
"Kalian masih sempat minum. Matahari sernakin tinggi."
"Kenapa kau Winih" ibunya yang menyahut "biarlah
mereka minum lebih dahulu. Bukankah hari masih pagi.
Justru para penjual sayuran masih belum ada di pasar."
"Kakek kalau pergi ke pasar agak siang" berkata
Manggada. "Tetapi kakek menjual gula. Itupun sudah ada orang-
orang tertentu yang menerimanya sehingga kakek tidak
usah menjajakan dagangannya dan menungginya berlama-
lama." jawab Winih.
"Baiklah" berkata Laksana kemudian "kami sudah
selesai. Demikianlah mereka bertigapun segera meninggalkan
regol halaman rumahnya. Disimpang tiga tidak jauh dari
banjar mereka bertemu dengan beberapa orang anak muda
yang akan pergi kesawah. Ternyata anak-anak muda itu
terkejut melihat Manggada dan Laksana berjalan bersama
seorang gadis yang tumbuh dewasa. Gadis yang sangat
cantik menurut penglihatan mereka.
"He" seorang dari anak-anak muda itu menegur.
Dengan cepat Manggada tanggap dan menjawab "Kami.
mengantar adik"
Anak-anak muda itu tersenyum Seorang diantara mereka
bertanya "Kapan adikmu datang?"
"Kemarin" jawab.Manggada.
Beberapa anak muda itu tanpa berjanji mengangguk
hormat, sementara Winihpun mengangguk hormat pula
meskipun ia melihat kerlingan mata yang nakal. Tetapi
Winih tidak menghiraukannya. Sebagai seorang gadis yang
tumbuh dewasa dengan gaya hidupnya yang agak lebih
bebas dari gadis-gadis sebayanya maka Winih telah sering
melihat sorot mata yang seolah-olah ingin menusuk sampai
kedasar jantungnya.
Tetapi anak-anak muda itu masih tetap dalam batas-
batas kewajaran, sehingga Winihpun tidak terlalu merasa
terganggu. Sesaat kemudian, maka masing-masingpun
telah meneruskan perjalanan mereka. Winih diantar oleh
Manggada dan Laksana ke pasar, sementara beberapa orang
anak muda itu pergi ke sawah.
Namun belum lagi mereka melangkah terlalu jauh,
merekapun telah berpaling ketika mereka mendengar
langkah sorang berlari-lari. Seorang anak muda yang
bertubuh kekar dan berwajah keras. Anak muda itu berlari-
lari menyusul kawan-kawannya yang pergi kesawah.
Namun Manggada dan Laksana yang telah mengenal
anak muda itu pula menjadi berdebar-debar. Dari kawan-
kawannya Manggada dan Laksana mengetahui, bahwa
anak muda itu adalah anak muda yang keras hati, yang
hanya menuruti kemauannya sendiri tanpa menghiraukan
perasaan orang lain. Beberapa orang kawannya berusaha
untuk menjauhinya. Tetapi anak-anak muda itu tidak dapat
menghindarinya jika anak yang bertubuh kekar dan
berwajah keras itu hadir diantara mereka. Hampir seluruh
anak-anak muda sepadukuhan berada dibawah pengaruhnya. Bukan karena ia mempunyai wibawa yang
tinggi, tetapi karena kekasaran dan kekerasannya.
Ketika Manggada dan Laksana sekali-sekali berpaling,
mereka melihat bahwa anak muda yang bertubuh kekar itu
memperhatikan Winih dengan penuh perhatian.
"Mudah-mudahan tidak ada niat buruknya" berkata
Manggada didalam hatinya. Sementara itu Laksanapun
menjadi cemas karena sikap anak muda itu.
Winih sendiri tidak menghiraukannya lagi. Ia belum
mengetahui sifat anak muda yang berlari-lari itu. Ia mengira
bahwa anak muda itu ingin menyusul kawan-kawannya
yang sudah berangkat lebih dahulu.
Demikianlah, maka ketiga orang itu berjalan agak
bergegas menuju kepasar yang tidak begitu jauh. Tetapi
Winih yang ingin cepat-cepat sampai kepasar diluar
sadarnya telah berjalan semakin cepat, sehingga Manggada
merasa perlu untuk memperingatkannya "Jangan terlalu
cepat Winih. Orang-orang yang berpapasan dengan kita
akan memperhatikan kita, seolah-olah kita sedang dikejar
oleh satu kepentingan yang sangat mendesak."
"O" Winih mengangguk-angguk kecil. Ia memang
memperlambat langkahnya. Tetapi langkahnya yang kecil
itu semakin lama menjadi semakin cepat pula. Bahkan
kemudian Winih tidak menghiraukan lagi orang-orang yang
Setelah melewati bulak-bulak kecil, maka merekapun
sampai kepasar. Pasar yang terhitung ramai dihari pasaran
sebagaimana hari itu. Beberapa orang pedagang dari
padukuhan lain telah berdatangan ke pasar itu.
Ternyata Winih memang menjadi gembira melihat
keramaian di1 pasar itu. Tidak seperti yang direncanakan,
bahwa ia akan segera membeli sayur-sayuran segar. Tetapi
yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah justru
para pedagang kain lurik yang beraneka-warna. Kain
dengan garis-garis yang besar, tetapi ada yang bergaris-garis
lembut. Ada yang berwarna pekat, tetapi ada juga yang
berwarna cerah.
Laksana yang berjalan dipaling belakang sempat
bertanya "He, aku kira kita salah memilih sasaran."
"Kenapa?" bertanya Winih.
"Bukankah kau tergesa-gesa karena kau tidak mau
kehabisan sayuran segar?" bertanya Laksana pula.
"Nanti dulu" jawab Winih "aku senang melihat kain
yang beraneka warna ini. Sebenarnya aku ingin membeli
barang selembar atau dua lembar. Tetapi uang yang
diberikan ibu hanya cukup untuk berbelanja sayur-sayuran
dan bahan masakan yang lain."
"Karena itu, marilah, kita pergi kesisi lain, ketempat para
pedagang, sayuran menjajakan dagangannya." berkata
Laksana "Nanti dulu. Aku masih ingin melihat-lihat" jawab
Winih. Laksana tidak berkata apapun lagi. Ia hanya berjalan saja
mengikuti Winih sebagaimana Manggada. Keduanya tidak
dapat berbuat apa-apa, bahkan seperti kerbau dicocok
hidung. Namun dalam pada itu, ketiga anak muda itu sama
sekali tidak menyadari, bahwa dua pasang mata tengah
mengawasi mereka. Kedua orang yang melihat mereka
bertiga telah dengan sengaja menjauhkan diri meskipun
keduanya tetap mengawasinya.
"Kedua orang anak muda itu adalah cucu Kiai Gumrah"
berkata seorang diantara mereka.
Yang seorang lagi adalah Kundala. Keringatnya
mengaur membasahi seluruh tubuhnya seperti saat ia
berada dirumah Kiai Gumrah. Ia tahu bahwa gadis itu tentu
juga cucu Kiai Gumrah. Bahkan saat ia memasuki dapur
Kiai Gumrah ia telah melihat pula gadis itu didapur
bersama seorang perempuan yang disebut oleh Kiai
Gumrah sebagai menantunya.
"Kenapa kau menjadi gelisah?" bertanya kawannya.
Kundala bagaikan tersadar dari mimpi buruknya.
Dengan gagap ia menjawab "tidak. Sama sekali tidak."
"Wajahmu menampakkan kecemasanmu. He, jangan
takut terhadap anak-anak."
"Aku tidak takut. Aku pernah mengalahkan mereka
berdua" jawab Kundala.
"Jadi kenapa kau menjadi begitu gelisah. Bahkan
wajahmu bukan saja menunjukkan kecemasan hatimu,
tetapi bahkan wajahmu menjadi pucat." berkata kawannya
pula. "Aku sama sekali tidak cemas karena anak-anak itu.
Tetapi Kiai Gumrah adalah pedagang-gula dipasar ini. Ia
mempunyai beberapa kawan disini. Juga para pedagang
gulai" jawab Kundala.
"Darimana kau tahu?" bertanya kawannya.
"Bukankah aku sering mendapat tugas kepasar. Menjemput seseorang, mengawasi seseorang atau bertemu
dengan siapapun menurut perintah Kiai Windu Kusuma."
jawab Kundala.

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kawannya mengangguk-angguk. Ia memang percaya
bahwa Kundala sudah sering berada di pasar bahkan tugas-
tugas lain diluar lingkungan mereka.
"Siapakah gadis itu" tiba-tiba kawannya bertanya.
"Aku tidak tahu" jawab Kundala. Namun terasa kata-
katanya itu begitu pahitnya dilidahnya. Setiap kali ia selalu
dibayangi oleh tuduhan dihidungnya bahwa ia telah
berkhianat. "Aku tidak peduli" Kundala berteriak didalam hatinya
"aku memang berkhianat."
Namun mulutnya justru terkatup rapat. Sementara
kawannya berkata "Kundala. Kau tidak perlu menjadi
sangat cemas seperti itu. Seandainya pedagang gula itu
berniat berbuat sesuatu, maka kita masih dapat melawan.
Jika tidak, maka kesempatan untuk menghindarpun banyak
sekali, karena kita ada dipasar yang ramai."
Kundala tidak menjawab. Namun jantungnya berdenyut
semakin keras ketika ia mendengar kawannya itu berdesis
"Gadis itu sangat cantik."
"Jangan ganggu gadis itu."
Kawannya justru tertawa. Tetapi ia bertanya "Siapa kah
gadis itu sebenarnya" Bukankah ia bukan anakmu?"
"Memang bukan" jawab Kundala "tetapi jika gadis itu
bersama-sama dengan cucu Kiai Gumrah, maka gadis itu
tentu ada hubungannya pula dengan Kiai Gumrah."
"Aku tidak peduh" jawab kawannya "aku masih muda.
Gadis itu tumbuh dewasa. Apa salahnya jika aku
memperkenalkan diriku" Jika kau takut dikenali kedua cucu
Kiai Gumrah itu sebaiknya kau tidak usah ikut aku."
berkata kawannya.
"Kedua cucu Kiai Gumrah itu akan mengenalmu
"jawab Kundala yang menjadi semakin gelisah.
"Mereka belum mengenal aku" jawab kawannya.
"Tetapi darimana kau tahu bahwa mereka adalah cucu
Kiai Gumrah" Bukankah kau mengenalnya saat kau
menyerang rumah Kiai Gumrah itu?" bertanya Kundala.
"Sama sekali tidak. Bukankah aku belum pernah datang
kerumah itu" Aku mengenalinya dari pengamatan saja. He,
bukankah anak itu yang sering berada diregol rumah Kiai
Gumrah" Yang sering pergi ke banjar lama itu?" sahut
kawannya. Kundala tidak menjawab. Tetapi dengan demikian
keringatnya menjadi semakin deras mengalir dipunggungnya. Karena dengan demikian ia tahu bahwa
yang bertugas keluar lingkungan Kiai Windu Kusuma itu
tentu beberapa orang pula. Bahkan tugas pengamatan. Jika
saja ada tugas pengamatan yang dikirim oleh Kiai Windu
Kusuma melihat ia singgah dirumah Kiai Gumrah, maka
umurnya tentu akan segera berakhir.
"Ternyata para pengikut Kiai Windu Kusuma tidak
saling mengetahui tugas mereka yang satu dengan yang
lain" berkata Kundala didalam hatinya.
Namun Kundalapun meyadari bahwa dengan demikian
maka Kiai Windu Kusuma akan dapat mengawasi orang-
orangnya sebaik-baiknya, meskipun Kundala sampai saat
itu masih belum diketahui bahwa ia telah berkhianat.
Meskipun Kundala masih dicengkam oleh kegelisahan,
namun ia masih juga sempat memperingatkan kawannya
itu "Jika kau mau mendengarkan aku, jangan ganggu gadis
itu atau kau akan terjerumus kedalam kesulitan. Bahkan
akan dapat mempengaruhi usaha Kiai Windu Kusuma yang
menginginkan pusaka-pusaka dirumah Kiai Gumrah itu.
Jika Kia i Windu Kusuma menganggap bahwa kau yang
menyebabkannya, maka kau tahu, akibat apa yang akan
kau alami."
"Kau tahu hubunganku dengan Kiai Windu Kusuma?"
bertanya kawannya.
"Kau memang dianggap
orang penting. Tetapi kedudukanmu bukan berarti
memberimu kesempatan berbuat apa saja" berkata
Kundala bersungguh-sungguh.
Kawannya tertawa lagi. Katanya "Aku memang pengikut Kiai Windu Kusuma.
Tetapi aku masih tetap mempunyai hak dan wewenang dalam persoalan
pribadiku."
"Tetapi kau tidak akan
dapat menempatkan hak dan wewenangmu dalam
persoalan pribadimu sekalipun melampaui kepentingan
Kiai Windu Kusuma." berkata Kundala.
"Kau tidak usah mengajari aku Kundala. Aku lebih tahu
dari kau. Sebaliknya justru aku memperingatkairnu agar
kau tidak mencampuri persoalanku."
Kundala memang tidak menjawab. Tetapi ia menjadi
gelisah. Gadis itu pernah melihat ia datang kerumah Kiai
Gumrah. Seandainya gadis itu kemudian benar-benar dapat
berkenalan dengan kawannya itu, maka Kundala sendiri
akan menjadi semakin sulit berhubungan dengan Kiai
Gumrah. Bahkan mungkin gadis itu akan berceritera
tentang hubungannya dengan penjual gula itu.
Tetapi Kundala memang tidak berhasil mencegah
kawannya itu. Dalam segala hal ia memang berada dibawa!
tatarannya. Termasuk kemampuan olah kanuragan.
Dalam pada itu, Winih memang sudah berada di sudut
tempat para penjual sayuran menjajakan dagangannya.
Dengan senang hati Winih memilih sayuran yang
dikehendaki. Sambil menimang sebuah waluh kenti gadis
itu berkata "Nah, bukankah di kebun kakek tidak ada buah
waluh kenti seperti ini" Juga kangkung yang segar seperti
ini." "Kau senang sayur waluh kenti?" bertanya Laksana.
"Tidak." jawab Winih.
"Kenapa kau akan membelinya?" bertanya Laksana
"pula. "Siapa yang akan membelinya?" justru Winih bertanya.
"Jadi?" Laksana termangu-mangu.
"Aku hanya mengatakan bahwa di kebun kakek tidak
terdapat buah waluh kenti. Tetapi aku tidak ingin
membelinya."
Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Sementara
Manggada tersenyum sambil menggamitnya.
Namun dalam pada itu Winihpun berkata "Aku akan
membeli kangkung. Aku ingin ibu membuat sayur pada-
mara. Kangkung dengan kedelai hitam."
Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak
ingin bertanya atau menebak kemauan Winih.
Beberapa saat Winih memilih beberapa ikat daun
kangkung yang nampak muda, hijau dan segar Kemudian
setelah ia membayarnya, maka iapun segera beralih untuk
membeli beberapa kebutuhan dapur yang lain.
Namun ketika ia akan membeli seekor ayam, Manggada
bertanya "Untuk apa kau membeli ayam?"
"Aku ingin ayah menyembelihnya. Hari ini aku ingin
makan dengan daging ayam selain sayur padamara." jawab
Winih. "Bukankah kakek mempunyai banyak sekali ayam.
Setiap kali kakek ingin daging ayam, maka kakek akan
menyembelihnya seekor." berkata Manggada.
"Aku tidak pernah dapat makan daging ayam yang
pernah dipelihara sendiri." jawab Winih.
"Bukankah ayam kakek itu bukan ayam yang pernah kau
pelihara karena ketika kau datang ayam itu sudah ada
disana." "Tetapi bukankah ayam itu dipelihara oleh kakek" Nah,
itu sama saja artinya dengan ayam itu dipelihara sendiri."
Manggada tidak bertanya lagi. Ia hanya mengikut saja
dibelakang ketika Winih kemudian membeli bukan hanya
seekor, tetapi bahkan dua ekor ayam.
Beberapa saat kemudian, maka Winihpun telah selesai
berbelanja. Ketika mereka pulang, maka Manggada dan
Laksana harus ikut membantu membawa hasil pembelian
Winih dipasar. Ketika mereka berjalan meninggalkan pasar itu, maka
Darpati, kawan Kundala itu, memandang Winih dari
kejauhan. Kundala yang telah mengenal dan dikenal oleh
Winih, Manggada dan Laksana tidak ingin terlihat oieh
ketiganya, sehingga Kundala lebih senang berada didalam
pasar yang ramai ketika Darpati berada diluar pasar untuk
memperhatikan Winih yang berjalan meninggalkan pasar
bersama Manggada dan Laksana.
Beberapa saat kemudian, maka perjalanan Winih
bersama Manggada dan Laksana telah sampai ke bulak
yang tidak begitu luas. Sementara itu, jalanpun nampak
sepi. Orang-orang yang pergi ke pasar masih belum banyak
yang pulang. Sementara itu, tanaman di.sawah yang
tumbuh subur tidak lagi memerlukan penanganan setiap
hari, sehingga dengan demikian maka bulak pendek itu
kesannya memang sepi.
Manggada dan Laksana memang terkejut ketika ia
melihat anak muda yang tadi berlari-lari menyusul
kawannya itu duduk diatas tanggul parit dipinggir jalan.
Manggada dan Laksana yang berjalan dibelakang
Winihpun merapat. Hampir berbisik Manggadapun berkata
"Apa maksud anak muda itu" Kawan-kawan tidak begitu
senang dengan anak muda itu."
"Nampaknya ia sangat memperhatikan Winih." jawab
Laksana "Jika ia berniat buruk, maka kita akan menghadapi
persoalan yang rumit. Ia mempunyai pengaruh yang sangat
besar atas anak-anak-muda sepadukuhan." desis Manggada.
Laksana mengangguk kecil. Iapun sudah membayangkan
kesulitan yang bakal terjadi jika anak itu mulai mengganggu
Winih. Manggada dan Laksana sama sekali tidak takut
menghadapi anak muda itu sendiri. Tetapi itu akan berarti
hubungannya dengan anak-anak muda padukuhan itu
mengalami hambatan. Anak muda yang mempunyai
pengaruh yang sangat besar itu akan dapat mengendalikan
sikap anak-anak muda padukuhan itu.
Namun demikian mereka berjalan terus. Manggada dan
Laksana masih belum melihat apakah anak muda itu
memang bermaksud buruk atau kebetulan saja ia memang
duduk disitu. Semakin dekat dengan anak muda yang duduk di tanggul
parit itu, maka Manggada dan Laksana menjadi semakin
berdebar-debar. Apalagi ketika kemudian anak muda itu
justru berdiri saat Winih tinggal beberapa langkah saja dari
padanya. Tetapi Winih sendiri sama sekali tidak memperhatikan
anak muda itu. Ia berjalan saja tanpa berprasangka apapun
terhadap anak muda yang kemudian berdiri diatas tanggul
itu. Namun Winih itu terpaksa menghentikan langkahnya
ketika anak muda itu mengangguk hormat. Dengan nada
rendah ia berkata "Selamat datang di padukuhan kami.
anak manis."
Winih mengerutkan dahinya. Ketika ia berpaling kepada
Manggada dan Laksana, maka kedua anak muda itu sudah
berdiri dekat dibelakangnya.
"Anak itu adikku" berkata Manggada.
"O" anak muda itu mengangguk-angguk "satu kebetulan.
Bukankah kita sudah bersahabat" Apa salahnya jika aku
juga berkenalan dengan adikmu?"
Manggada dan Laksana terkejut ketika Winih sendiri
menjawab "Jika kau sahabat kakak-kakakku, maka sudah
tentu aku tidak berkeberatan berkenalan dengan kau."
Bahkan anak muda itu sendiri terheran-heran mendengar
jawaban gadis itu. Apalagi kemudian Winih itu berkata
"Namaku Winih. Siapa namamu?"
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Baru
kemudian ia menjawab "Namaku Rambatan."
"Nama yang bagus" sahut Winih. Rambatan itu semakin
heran ketika Winih berkata "Marilah. Aku akan pulang. Ibu
tentu menunggu. Jika aku kesiangan sampai dirumah, maka
ibupun akan kesiangan pula menyiapkan makan kami
sekeluarga."
Rambatan semakin termangu-mangu. Niat yang sudah
memenuhi kepalanya untuk mengganggu gadis itu justru
bagaikan terdesak tenggelam dalam keheranannya melihat
sikap Winih yang sama sekali tidak diduganya. Sama sekali
tidak terlintas dikepalanya jika kemudian gadis itu berkata
"Rambatan. Marilah, kita berjalan bersama. Bukankah kita
tinggal di padukuhan yang sama."
Rambatan itu dengan gagap menjawab "Tetapi, tetapi
aku masih harus pergi ke sawah. Terima kasih. Lain kali
saja." Manggada dan Laksana justru termangu-mangu ketika


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rambatan itu berkata kepada mereka "Aku akan pergi ke
sawah. Sawahku ada disebelah itu."
"Baiklah" jawab Manggada dan Laksana hampir
berbareng. Rambatan memang segera pergi. Sementara itu
seolaholah tidak terjadi sesuatu. Winih melanjutkan
perjalanannya Dengan nada tinggi ia berkata "Ibu tentu
sudah menunggu"
Manggada dan Laksana mengikuti saja langkah Winih
yang menjadi semakin cepat. Sementara itu Manggada dan
Laksana justru mulai menilai sikap gadis itu. Apakah gadis
itu memiliki kemampuan menilai seseorang, kemudian
dengan kematangan sikapnya menanggapinya atau justru
karena Winih seorang gadis yang lugu sehingga ia sama
sekali tidak berprasangka buruk terhadap siapapun juga.
Juga kepada Rambatan.
Namun Manggada dan Laksana yang kemudian saling
berbincang diperjalanan meskipun perlahan-lahan telah
memutuskan untuk menyampaikan hal itu kepada Kiai
Gumrah dalam kesempatan yang khusus. Agar ayah dan
ibu Winih tidak mendengarnya. Kecuali jika kemudian Kiai
Gumrah memang ingin berbicara dengan ayah dan ibunya.
Ketika mereka bertiga sampai dirumah, maka ibu Winih
memang sudah sibuk didapur. Nasi telah dijerang. Bumbu
yang sudah adapun telah tersedia. Namun, demikian Kiai
Gumrah melihat Laksana membawa dua ekor ayam, maka
iapun bertanya "He, untuk apa kalian membeli ayam?"
"Hari ini kita akan makan agak lain dari biasanya" jawab
Winih "aku akan minta ayah memotong kedua ekor ayam
itu." "Winih, bukankah kakek mempunyai beberapa ekor
ayam?" berkata Kiai Gumrah.
"Aku tidak mau menyembelih ayam sendiri." jawab
Winih. Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara
Nyi Prawara berkata "Anak itu memang tidak mau
menyembelih ayam yang dipelihara sendiri. Karena itu, jika
ia ingin ayahnya menyembehh ayam, maka lebih baik ia
membeli. Bahkan jika tidak mempunyai uang ayamnya
sendiri dijualnya."
Kiai Gumrah tersenyum. Namun terbersit dihatinya
tanggapannya atas jiwa cucunya itu. Gadis itu tentu
mempunyai perasaan yang mudah tersentuh serta kesetia-
kawanan yang tinggi.
Karena itu, maka Kiai Gumrahpun tidak bertanya lagi
tentang kedua ekor ayam itu.
Sementara itu Rambatan memang telah pergi ke.
sawahnya. Tetapi demikian ia sampai di sawah, maka
iapun menjadi seperti tersadar dari mimpi yang asing.
"Kenapa aku justru seperti orang yang terbius?"
pertanyaan itu telah bergejolak dihatinya.
Rambatan menyesal, kenapa ia tidak berjalan mengikuti
gadis itu sampai kepadukuhan. Berbicara dan barangkali
bercanda dengan gadis cantik itu. Manggada dan Laksana
tentu tidak akan berani melarangnya berbuat apa saja
terhadap adiknya itu.
"Aku telah melewatkan kesempatan ini" berkata
Rambatan yang kesal kepada diri sendiri.
Tetapi sebenarnyalah kesempatan itu masih terbuka
baginya. Winih tidak hanya sekali pergi ke pasar.
Dikeesokan harinya, ternyata Winih minta Manggada dan
Laksana mengantarnya lagi ke pasar.
"Apakah kau akan membeli ayam lagi?" bertanya
Manggada. "Ah kau" desis Winih "aku ingin membeli kain lurik
yang berwarna merah bata itu. Aku senang sekali. Mungkin
ibu juga senang setelah melihatnya dan ingin pula
membelinya."
Namun Manggada dan Laksana masih saja selalu ingat
pesan Kiai Gumrah. Jika mereka terlalu sering keluar
rumah maka persoalannya akan dapat berkembang. Orang-
orang Kiai Windu Kencana mungkin akan mempunyai
rencana tertentu terhadap mereka. Apalagi jika mereka
mengetahui bahwa Winih memang cucu Kiai Gumrah.
Namun agaknya Winih sama sekali tidak menghiraukan
bahaya itu. Bahkan ketika ayahnya memperingatkan agar ia
tidak usah pergi kepasar hari itu, Winih mulai merengek.
"Biarlah ia pergi" desis ibunya "angger Manggada dan
Laksana akan menemaninya."
Ki Prawara sempat berbisik "Ayah mencemaskannya.
Orang-orang Kiai Windu Kusuma mungkin sekali
mengamatinya."
"Apa yang akan mereka lakukan disiang hari" Bukankah
jalan tidak terlalu sepi" Sementara itu angger Manggada
dan Laksana bersamanya."
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Tetapi besok Winih tidak boleh pergi iagi ke pasar."
Nyi Prawara mengangguk. Katanya "Baiklah. Setelah
hari ini, maka ia tidak boleh terlalu sering pergi ke pasar.
Kecuali untuk menjaga keselamatannya, maka uang kita-
pun akan segera habis."
Ki Prawarapun tersenyum. Sambil mengangguk kecil ia
berkata "Kau benar. Bekal kita memang tidak terlalu
banyak." Seperti direncanakan, maka Winih memang telah pergi
ke pasar bersama Manggada dan Laksana. Mereka bertemu
lagi beberapa orang anak muda yang pergi ke sawah.
Merekapun melihat anak muda yang berwajah keras dan
bernama Rambatan itu berjalan dengan beberapa orang
anak muda pula sambil membawa cangkul.
Winih menanggapi sikap mereka dengan baik. Ketika
anak-anak muda itu mengangguk hormat, maka Winihpun
mengangguk homat pula. Demikian pula ketika ia bertemu
dengan Rambatan. Ia menjawab sapa Rambatan dengan
wajar. Namun nampaknya Winih tidak memperhatikan sorot
mata Rambatan yang memancar bagaikan sorot mata
serigala yang melihat seekor anak domba.
Manggada dan Laksana yang melihat kilatan sorot mata
itu-menjadi berdebar-debar pula. Tetapi Laksanapun
berkata perlahan-lahan tanpa didengar oleh Winih "Tetapi
kemarin ia bersikap baik. Rambatan tidak mengganggu
Winih." "Mudah-mudahan untuk seterusnya ia bersikap baik."
jawab Manggada.
Di pasar, Winih memang langsung menuju ketempat
para penjual kain lurik. Beberapa kali ia memilih.
Digelarnya beberapa lembar kain. Tetapi kain itupun harus
dilipat lagi oleh penjualnya karena Winih ternyata tidak
menyenanginya. Manggada dan Laksana menjadi tidak telaten menunggu
Winih memilih kain lurik yang di mgminya. Tetapi ketika
hal itu dikatakan oleh Laksana, maka sambil memberengut
Winih berkata "Jika kalian akan pulang dahulu, pulang
sajalah." "Bukan itu maksudku, Winih" jawab Laksana "tetapi
penjual kain itu akan dapat marah kepada kita. Berapa saja
yang sudah digelarnya. Tetapi kau selalu menolaknya."
Winih memandang Laksana sejenak. Namun kemudian
katanya "Bukankah wajar untuk memilih barang yang
hendak kita beli?"
"Tetapi tidak terlalu lama seperti itu."
Namun ternyata Winihpun mengangguk. Seperti yang
direncanakan dari rumah, maka akhirnya Winih memang
memilih selembar kain yang berwarna merah bata.
Tetapi sementara itu, sepasang mata masih saja selalu
mengikutinya. Ternyata Darpati, kawan Kundala, yang
melihat Winih berada dipasar lagi, telah mengikutinya
meskipun dari jarak tertentu, sehingga Winih, Manggada
dan Laksana tidak mengetahuinya, bahkan ketika Darpati
itu lewat dan sempat menyinggung Winih yang sedang
memilih kain lurik itu. Namun yang kemudian telah
mengambil jarak lagi.
Dalam pada itu, setelah mendapat kain yang diingininya,
maka Winihpun mengajak Manggada dan Laksana pulang.
Namun Winih masih singgah untuk membeli beberapa
kebutuhan dapur sesuai dengan pesan ibunya.
Dengan wajah yang cerah Winih melangkah menyusuri
jalan pulang. Manggada dan Laksana yang berjalan
dibelakangnya mengikuti langkah-langkah kecil yang cepat
itu, Sambil berpaling Winih berkata "Marilah. Kenapa begitu
lambat" Aku ingin segera menunjukkan kain itu kepada ibu.
Biarlah ibu menilainya, apakah pilihanku tepat atau tidak.
Sesuai atau tidak dengan kulitku."
Diluar sadarnya Manegrada dan Laksana justru
memperhatikan kulit Winih. Gadis itu kulitnya memang
nampak bersih. Sebagai seorang gadis desa, maka Winih
termasuk berkulit kuning meskipun nampak terpaan sinar
matahari yang membakar. Seperti dikatakan ibunya, Winih
hampir setiap hari dipanggang oleh panasnya matahari di
sawah dan pategalan bersama dengan ayah dan ibunya.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sampai dibulak
kecil, Manggada dan Laksana melihat lagi Rambatan
duduk di tanggul parit, la tidak sendiri. Tetapi Rambatan
duduk diparit bersama dengan ampat orang kawannya.
Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Bahwa
Rambatan berada di bulak pendek itu bersama dengan
ampat orang kawannya, maka persoalan yang tidak
diinginkan akan dapat timbul.
Winihpun kemudian melihat pula Rambatan dan kawan-
kawannya. Karena itu, maka berbeda dengan hari
sebelumnya, Winih telah memperlambat langkahnya.
Bahkan kemudian ia bertanya "Kenapa Rambatan itu ada
disana lagi?"
"Entahlah" berkata Manggada "mudah-mudahan ia tidak
mengganggumu lagi."
"Rambatan belum pernah menggangguku" jawab Winih.
"Bukankah kemarin ia juga menunggumu disana?"
bertanya Laksana.
"Tetapi aku tidak merasa terganggu dengan kehadirannya kemarin. Tetapi sekarang ia datang lagi
bersama beberapa orang kawannya. Jika semuanya nanti
bertanya seorang demi seorang, maka aku memang akan
merasa terganggu." desis Winih.
"Mudah-mudahan mereka hanya bertanya saja" desis
Laksana. "Apakah mungkiri lebih dari itu?" bertanya Winih
"Winih" berkata Manggada kemudian "hati-hatilah.
Menurut beberapa orang kawannya yang aku kenal.
Rambatan bukan seorang yang baik. Ia mempunyai sifat
yang tidak disukai oleh kawan-kawannya karena ia sangat
mementingkan dirinya sendiri."
"Teiapi kenapa kawan-kawannya mau datang bersamanya?" bertanya Winih.
"Memang ada beberapa orang anak muda yang secara
khusus sangat dekat dengan Rambatan. Anak-anak muda
itu tentu mempunyai pamrih. Karena Rambatan ditakuti
oleh anak-anak muda sepadukuhan dan bahkan padukuhan-padukuhan disekitarnya, maka ada beberapa
orang yang ingin menompang untuk ikut ditakuti karena
mereka adalah kawan-kawan dekat Rambatan." jawab
Manggada. "Tetapi disiang hari mereka tidak akan berbuat apa-apa"
berkata Winih. "Belum tentu Winih" jawab Laksana "bulak kecil ini
terhitung sepi pada saat seperti ini. Memang sebentar lagi
jalan ini akan banyak dilalui orang dari pasar. Tetapi
sekarang kita tidak melihat orang lewat dan orang yang
berada di sawah."
Winih tidak menjawab. Tetapi ia tidak lagi berjalan
terlalu cepat. Sementara itu Rambatan dan kawan-kawannya telah
bangkit berdiri. Dengan nada berat Rambatan berkata
kepada kawan-kawannya "Gadis itu tidak akan dapat
menyihirku lagi."
"Apakah kau pernah disihirnya?" bertanya seorang
kawannya. "Kemarin aku seakan-akan disihirnya. Tiba-tiba saja aku
menjadi dungu, dan kehilangan akal menghadapi gadis itu."
jawab Rambatan.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan?" bertanya
kawannya yang lain.
"Aku akan mengajaknya singgah dirumah. Aku
mempunyai dua ekor ayam yang dapat aku berikan
kepadanya. Kemarin gadis itu membawa dua ekor ayam
dari pasar."jawab Rambatan.
"Hanya itu?" bertanya kawannya yang lain lagi.
"Ya. Lalu apa?" Rambatan justru bertanya "aku tidak gila
untuk berbuat lebih dari itu kali ini. Entah besok atau lusa.
Mudah-mudahan ia berada disini untuk waktu yang lama.
Kakeknya, penjual gula itu tidak akan banyak bertingkah."
"Bagaimana dengan ayahnya dan kedua orang anak
muda itu?" bertanya kawannya pula.
"Mereka bukan penghuni padukuhan ini. Mereka tidak
akan berani berbuat apa-apa." jawab Rambatan.


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Winih dan
Manggada serta Laksana yang berjalan disebelah menye-
belah menjadi semakin dekat. Bertiga mereka memang
nampak berhati-hati.
Demikian Winih menjadi semakin
dekat maka Rambatan itupun melangkah menyongsongnya sambil
ter:senyum. Winih yang mulai memperhatikan anak muda
itu melihat betapa Wajahnya nampak keras sehingga
senyumnya sama sekali tidak berkesan ramah.
Tetapi Winih justru bertanya lebih dahulu "Bukankah
kau Rambatan yang kemarin?"
"Ya" jawab Rambatan "aku memang ingin berbicara
dengan kau Winih."
"Berbicara apa" Bukankah sejak kemarin kita sudah
berbicara?" justru Winih yang bertanya.
Rambatan mengerutkan dahinya. Namun sambil
mengangguk ia menjawab "Ya. Kemarin kita memang
sudah berbicara."
"Jika demikian, apa lagi
yang akan kita bicarakah?"
Rambatan tiba-tiba menjadi bingung. Diluar sadarnya ia berpaling kepada
kawan-kawannya.
Seorang kawannyalah yang kemudian berkata "Bukankah kau mempunyai
dua ekor ayam?"
"O, ya" berkata Rambatan
dengan serta merta "aku
mempunyai dua ekor ayam.
Aku minta kau singgah sebentar dirumahku. Kau dapat membawa dua ekor ayam
itu. Bukankah kemarin kau membeli dua ekor ayam
rlinasar?"
Winih tersenyum. Katanya "Terima kasih Rambatan.
Ayam itu masih ada sampai sekarang. Ayah belum sempat
menyembelihnya.
Karena itu, aku masih belum memerlukan ayam lagi. Mungkin lain kali saja."
Satu kesalahan telah dilakukan oleh Winih tanpa
disadarinya. Justru karena itu tersenyum. Rambatan yang
melihat Winih tersenyum, jantungnya serasa berdebar
semakin cepat. Meskipun kemarin Winih juga tersenyum,
tetapi saat itu Rambatan melihat wajah Winih menjadi
secantik wajah bidadari.
Karena itu, maka per.alaian Rambutan menjadi semakin
goncang. Dengan suara bergetar ia kemudian berkata
bahkan dengan nada memaksa "Winih. Aku minta kau
singgah sebentar dirumahku. Aku sudah menyediakan dua
ekor ayam buatmu. Kau tidak boleh menolak. Ayah dan
ibuku sudah tahu bahwa kedua ekor ayam itu akan aku
peruntukkan bagimu."
"Bagaimana ayah dan ibumu mengetahui tentang aku?"
bertanya Winih.
"Aku yang mengatakannya kepada mereka. Aku ber-
ceritera tentang kau. Bahwa kau cucu pembuat dan penjual
gula itu. Bahwa kau cantik dan ramah." berkata Rambatan.
Winih menarik nafas dalam-dalam. Pernyataan itu mulai
tidak menyenangkan hati gadis itu. Tetapi gadis itu masih
saja mengulangi kesalahan yang tidak disadarinya.
Tersenyum. Winih sama sekali tidak mengetahui bahwa
senyumnya telah membuat Rambatan menjadi bagaikan
orang mabuk. Namun Winih itu menjawab "Rambatan. Aku tidak
dapat membuat ibu gelisah. Aku harus segera pulang. Atau
kau saja yang pergi kerumah kakek" Aku akan
menghidangkan minuman hangat dengan gula kelapa.
Kakek mempunyai banyak gula kelapa"
Rambatan menjadi bingung. Bahkan ia menjadi gelisah.
Keringat dingin membasahi punggung dan keningnya.
Hampir saja ia mengangguk mengiakan. Tetapi seorang
kawannya berkata "Bukankah kau telah berniat untuk
mengajak Winih pulang dan memberinya dua ekor ayam?"
Sebelum Rambatan menjawab, Winih sudah lebih,
dahulu menjawab "Ia sudah mengatakannya tadi. Akupun
telah menjawab."
"Tetapi jawabmu tidak sebagaimana dimaksudkan oleh
Rambatan" berkata anak muda kawan Rambatan itu
"Rambatan ingin mengajak kau kerumahnya sekarang."
Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu..
Jika ia langsung demikian
mencampurinya, maka
kemungkinan buruk dapat terjadi. Dengan demikian
mereka tidak akan dapat menyembunyikan diri lagi
terhadap anak-anak muda pedukuhan itu sehingga
hubungannya dengan anak-anak muda sepadukuhah akan
berubah. Dalam pada itu Winihpun menjawab "Maaf, Ki Sanak.
Aku akan segera pulang. Aku justru mengajak Rambatan
singgah dirumahku."
Tetapi kawannya masih saja berkata "Tentu kurang
pantas jika Rambatan yang harus singgah dirumah
kakekmu. Kau sajalah yang singgah dirumahnya."
Manggada ternyata tidak tahan lagi. Karena itu, maka
iapun menjawab "Itu terbalik Ki Sanak. Bukankah lebih
baik seorang laki-laki datang berkunjung kerumah seorang
gadis daripada sebaliknya?"
"Itu pikiran orang-orang tua yang tidak tahu diri." jawab
kawan Rambatan itu "tetapi apapun alasannya, sebaiknya
Winih singgah sebentar dirumah Rambatan."
Rambatan sendiri memang menjadi agak bingung. Ia
bahkan menjadi sangat gelisah. Apalagi ketika Winih
menjawab langsung ditujukan kepadanya "Rambatan.
Bukankah kau tidak berkeberatan berjalan bersama aku dan
singgah dirumah kakek?"
Rambatan memang tidak segera menjawab. Tetapi
kawannya yang lain tiba-tiba dengan kasar berkata "Kau
tidak mempunyai pilihan, Winih. Kau harus singgah.
Manggada dan Laksana juga harus ikut meskipun kalian
tidak perlu ikut singgah dirumah Rambatan."
Manggada dan Laksana melihat gelagat yang tidak baik.
karena itu maka ia tidak mempunyai pilihan laim Karena
itu, maka Laksanapun telah menjawab meskipun masih
berusaha mengekang diri "Jangan begitu Ki Sanak Winih
tentu akan bersedia singgah. Tetapi lain kali. Tidak
sekarang. Jika ia terlambat pulang, tentu ibu dan ayahnya
menjadi gelisah sekali."
"Mungkin. Tetapi jika saatnya Winih pulang dengan
membawa dua ekor ayam, ayah dan ibunya tentu tidak
akan marah." jawab kawan Rambatan yang bermata merah.
Karena Rambatan sendiri masih saja berdiam diri, maka
seorang kawannya menggamitnya sambil berkata "Kau
harus berkata dengan tegas. Kau adalah seorang laki-laki.
Bahkan laki-laki yang paling ditakuti di padukuhan ini.
Bukan saja oleh anak-anak muda, tetapi orang-orang
tuapun takut kepadamu."
Rambatan mengerutkan dahinya. Sementara kawannya
berkata "Dua orang kakak Winih itupun tentu tidak akan
berani menghalangimu. Karena itu, kau mempunyai
wewenang untuk memaksa Winih mengikutimu."
Rambatan memandang Manggada dan Laksana berganti-ganti. Meskipun ia menjadi bingung menghadapi
seorang gadis, tetapi ketika ia melihat Manggada dan
Laksana, maka kekerasan hatinya dan kekasarannyapun
justru timbul. Hampir diluar sadarnya ia berkata "Jangan
ikut campur. Nanti aku memilin lehermu sampai patah."
Manggada dan Laksana sebenarnya sama sekali tidak
takut terhadap anak muda yang bernama Rambatan itu.
Bahkan dengan kawan-kawannya sama sekali. Tetapi yang
diragukan justru anak-anak padukuhan akan mengenali
kemampuannya. Namun dalam pada itu, mereka melihat seorang yang
masih nampak muda, sedikit lebih tua dari Manggada dan
Laksana, berjalan menuju kearah mereka. Langkahnya
lebar dan cepat, sehingga beberapa saat kemudian orang
itupun menjadi semakin dekat.
"Sokurlah" berkata Winih "ada orang lewat. Aku akan,
berjalan bersamanya jika Rambatan tidak mau berjalan
bersama aku."
Tetapi seorang kawannya memperingatkan "Jangan
menyeret orang itu kedalam kesulitan. Biarlah orang itu
tidak usah turut campur, sehingga ia tidak akan terjerumus
kedalam lumpur sawah yang basah itu."
Tetapi orang itu sudah menjadi semakin dekat. Bahkan
kemudian orang itu justru melangkah langsung mendekati
Winih. Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Hampir
saja mereka menahan orang itu agar tidak berdiri terlalu
dekat dengan Winih.
Tetapi demikian orang itu berhenti, maka iapun segera,
menghadap kearah Rambatan sambil berkata "Apakah
kalian bermaksud mengganggu gadis ini?"
"Siapakah kau?" bertanya kawan Rambatan.
"Namaku Darpati. Aku kebetulan saja lewat. Dari
kejauhan aku melihat sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi
disini, sehingga aku tergesa-gesa mendekat."
Rambatan yang melihat sikap anak muda itu hatinya
bagaikan disulut api. Kekerasan dan kekasarannya yang
mulai terungkit oleh sikap Manggada dan Laksana, semakin
membara dihatinya. Karena itu maka iapun berkata lantang
"He, anak dungu. Jika kau ingin lewat, lewat sajalah.
Jangan ikut mencampuri persoalan kami dengan gadis itu.
Tidak ada persoalan apa-apa diantara kami. Kami yang
sudah akrab memang sedang berbincang-bincang saja.
Karena itu, pergilah dan jangan membuat aku marah."
Namun tiba-tiba saja Winih berkata kepada anak muda
yang lewat itu "Ki Sanak. Apakah kau akan pergi
kepadukuhan sebelah" Jika demikian, marilah, kita akan
berjalan bersama-sama."
Darpati mengerutkah dahinya. Namun kemudian ia
menjawab "marilah, aku memang akan berjalan ke
padukuhan sebelah."
Tetapi seorang kawan Rambatan justru berteriak "Tidak.
Kau tidak akan pergi kemanapun. Kau harus mengambil
dua ekor ayam itu. Ayam itu sudah terlanjur ditangkap dan
diikat sejak fajar."
"Kalian memang aneh Ki Sanak" berkata Darpati "sikap
kalian tidak dapat aku mengerti. Gadis ini akan berjalan
terus. Agaknya kalian memaksa gadis ini untuk melakukan
sesuatu." "Ia sendiri yang memesan dua ekor ayam" jawab kawan
Rambatan "ayam itu sudah disediakan."
"Sudahlah" berkata Winih'yang nampaknya masih saja
tenang "aku akan pulang bersama anak muda ini. Selain
kedua orang kakakku itu."
"Tidak. Kau tidak dapat berbuat begitu" kawan
Rambatan mulai membentak.
Namun Darpatipun berkata" Marilah. Aku antar kau
sampai kerumahmu. Jangan takut." Lalu iapun berpaling
kepada Manggada dan Laksana "aku akan pulang
bersamamu."
Tetapi Rambatan menggeram "Anak muda. Tinggalkan
tempat ini atau kau akan menyesali tingkah lakumu itu."
"Kau mau apa?" bertanya Darpati.
"Aku akan memilin lehermu" jawab Rambatan.
Darpati tertawa. Iapun kemudian berpaling kepada
Manggada dan Laksana. Darpati tahu bahwa Manggada
dan Laksan memiliki kemampuan yang tentu cukup untuk
mengalahkan Rambatan dan kawan-kawannya, karena
Darpati sudah mendengar tentang keduanya. Tetapi adalah
kebetulan bahwa Manggada dan Laksana belum berbuat
sesuatu Darpati memang merasa beruntung mendapatkan
kesempatan itu, karena dengan demikian ia akan dapat
berkenalan dengan Winih dan bahkan telah memberikan
jasa baiknya pula.
Dengan nada rendah ia berkata kepada Manggada dan
Laksana "Bawa adikmu menepi. Aku akan menyelesaikan
anak yang tidak tahu diri ini."
"Setan kau" geram Rambatan. Ia sudah terbiasa berbuat
kasar. Diantara kawan-kawannya maka ia adalah anak
muda yang paling ditakuti. Bahkan
sepadukuhan menganggapnya orang yang terkuat dari antara semua laki-
laki.

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, melihat sikap Darpati, jantungnya benar-
benar telah terbakar. Dengan garangnya ia menggeram pula
"Aku tidak terbiasa memberi kesempatan,orang yang berani
menentangku lolos dari tanganku. Tetapi kali ini aku masih
berusaha untuk mengekang diri. Pergilah dan jangan
ganggu gadis itu."
Darpati justru tertawa. Katanya "Siapakah yang
mengganggu gadis itu. Ia minta agar aku berjalan
bersamanya ke padukuhan sebelah."
"Jika kau tidak mau mendengar kata-kataku, maka aku
akan melakukan sebagaimana selalu aku lakukan terhadap
siapa saja yang menentangku."
Tetapi Darpati masih saja tertawa. Katanya "Lakukan
apa yang ingin kau lakukan. Hanya para pengecut sajalah
yang takut kepadamu."
Rambatan tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera
bergeser dan bersiap untuk berkelahi.
Manggada dan Laksana telah membawa Winih menepi.
Keduanya memang merasa beruntung pula bahwa mereka
tidak perlu berkelahi. Melihat sikap dan gerak Darpati,
maka Manggada dan Laksana mengetahui bahwa ia tentu
seorang yang memiliki bekal ilmu kanuragan. Memang
agak berbeda dengan Rambatan yang melandasi keberaniannya pada tenaganya yang besar dan mungkin
sedikit saja pengetahuannya tentang olah kanuragan.
Demikianlah, sejenak kemudian maka Rambatanpun
mulai menyerang dengan- garangnya. Tenaganya memang
kuat sekali. Ayunan serangannya telah menggetarkan udara
disekitarnya. Tetapi Darpati tersenyum saja melihat serangan itu.
Dengan gerak yang sederhana ia berhasil menghindarinya.
Bahkan demikian tangan Rambatan terayun sejengkal
dihadapan wajahnya, maka dengan keempat ujung jarinya
yang terbuka dan merapat Darpati menyentuh lambung
Rambatan. Sambil menyeringai menahan sakit yang menyengat
Rambatan meloncat surut..
Darpati tidak memburunya. Sambil tersenyum ia berkata
"Ki Sanak. Untuk memenangkan sebuah perkelahian,
seseorang tidak cukup mengandalkan kekuatan kewadagan
saja. Tetapi kita harus mengenal cara dan akal untuk
mengatasi sekedar kekuatan wadag. Bahkan seseorang yang
lebih lemah akan dapat mengalahkan lawannya yang jauh
lebih kuat, justru dengan meminjam kekuatan lawannya
yang berlebihan itu."
"Cukup" bentak Rambatan "aku tidak perlu sesorahmu.
Aku justru ingin mengoyak mulutmu itu."
Darpati justru tertawa. Kalanya "Kau harus berlatih
bertahun-tahun untuk dapat menguasai dasar ilmu untuk
menyelesikan tataran pertama. Dan bertahun-tahun tataran
kedua dan berikutnya."
Tetapi Rambatan tidak menjawab. Sekali lagi ia
meloncat menyerang. Tangannya yang kuat dengan jari-jari
terbuka menerkam wajahnya.
Darpati sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk
menghindar. Tetapi Darpati tidak menghindar seluruhnya.
Seperti yang dikatakan, maka Darpati justru menangkap
pergelangan tangan Rambatan dan mempergunakan tenaga
dorongnya, maka Darpati membalikkan tubuhnya sambil
menarik tangan lawannya.
Tarikan yang tidak begitu kuat, didorong oleh tenaganya
sendiri, maka Rambatan justru terlempar lewat diatas
pundak Darpati yang merendah, sambil membalikkan
tubuhnya. Rambatan benar-benar telah terlempar. Bahkan berputar
sekali diudara dan jatuh terbanting ditanah.
Darpati yang kemudian berdiri bertolak pinggang
memandangi Rambatan yang kesakitan. Anak muda itu
memang berusaha untuk bangkit dan berdiri. Tetapi
punggungnya terasa nyeri
Dalam pada itu adalah
diluar dugaan, bahwa seorang diantara kawan Rambatan telah meloncat menyerang dari belakang.
Darpatipun sama sekali
tidak menduga. Sementara
itu Manggada dan Laksana
berdiri pada jarak yang cukup
jauh karena mereka telah
mengajak Winih menepi. Dengan demikian maka serangan kaki itu langsung
mengenai punggung Darpati.
Darpati terdorong dengan derasnya beberapa langkah
dan bahkan jatuh terjerembab. Tetapi Darpati memang
tangkas. Ia tidak tersuruk dengan wajahnya membentur
tanah. Tetapi Darpati justru melingkar dan jatuh pada
pundaknya dan bergulung beberapa kali.
Dalam sekejap Darpati sudah berdiri tegak. Keningnya
nampak berkerut, sementara sorot, matanya memancarkan
kemarahan yang menyala di dadanya. Dengan nada tinggi
ia berkata "Pengecut kau. Kau serang aku dari belakang
justru saat aku memberi kesempatan kawanmu bangkit.
Karena itu, maka kau akan menerima akibat dari
perbuatanmu itu."
Anak muda yang telah menyerang Darpati dari belakang
itu mundur selangkah. Sorot mata Darpati memang
membuat jantungnya bergetar. Tetapi karena Ia tidak
sendiri maka iapun berpaling kepada kawan-kawannya agar
merekapun ikut bertanggung jawab.
Sebenarnyalah bahwa kawan-kawannya memang tidak
membiarkannya melawan seorang diri. Bahkan Rambatan
yang punggungnya terasa nyeri itupun sudah siap untuk
berkelahi. Darpati menyadari bahwa ia harus melawan lima orang
sekaligus. Tetapi ia sama sekali tidak tergetar hatinya.
Manggada dan Laksana yang melihat Darpati harus
berhadapan dengan lima orang itu tidak dapat tinggal diam.
Betapapun mereka ingin berbuat sebagaimana Kiai Gumrah
tanpa menunjukkan kemampuannya kepada orang-orang
padukuhan itu, namun mereka tidak akan dapat berdiam
diri melihat Darpati yang berusaha melindungi Winih harus
bertempur seorang diri.
Tetapi ketika Manggada dan Laksana melangkah maju
meninggalkan Winih sendiri, Darpati itupun berkata
"Jangan tinggalkan gadis itu sendiri. Biarlah aku selesaikan
anak-anak yang tidak tahu diri ini."
Rambatan dan keempat kawannya itu mulai menge
pungnya. Rambatan yang punggungnya masih terasa nyeri
itupun berkata "Kau akan menyesal anak yang sombong."
Tetapi Darpati tertawa. Katanya "aku tidak akan pernah
menyesal menginjak kepala cucurut yang licik."
Rambatan memang merasa terhina sekali. Iapun
kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawan untuk
segera menyerang.
Kelima orang itu memang serentak menyerang. Tetapi
Darpati benar-benar seorang yang tangkas. Ketika kelima
orang itu menyerang, maka Darpati nampaknya memang
tidak menghindar. Tetapi orang-orang yang sedang
berkelahi itu nampak berputaran, berbenturan dan
kemudian seakan-akan tidak dapat diikuti lagi apa yang
terjadi karena, mereka saling berbaur seakan-akan hanya
sekedar dorong-mendorong.
Tetapi yang mengejutkan kemudian adalah, kelima
orang itu seakan-akan telah terlempar dan berjatuhan
terbanting ditanah.
"Apa yang terjadi?" bertanya Manggada didalam
hatinya. Demikian pula Laksana memang menjadi heran
melihat peristiwa itu.
Kelima orang anak muda yang dipimpin oleh Rambatan
itu ternyata telah mengalami kesulitan. Mereka mengalami
kesulitan untuk bangkit berdiri, badan mereka terasa sakit.
Tulang-tulang mereka bagaikan menjadi retak. Apalagi
Rambatan sendiri yang nyeri di punggungnya masih terasa.
Ditambah lagi dengan perasaan sakit yang menyengat
pundak dan lambungnya. Bahkan nafasnyapun seakan-akan
menjadi sesak. Darpati berdiri tegak diantara tubuh yang terbaring dan
menggeliat Kesakitan. Namun ternyata ia masih marah
kepada anak muda yang menyerangnya dari belakang.
Digapanrya baju anak itu dan ditariknya berdiri. Dengan
geram Darpati berkata "Nah, sekarang aku ingin membalas.
Aku ingin menyerang punggungmu dengan tendangan
sekuat tenagaku."
"Jangan" anak itu merengek "aku minta ampun."
"Aku mengampuni kawan-kawanmu. Tetapi karena kau
licik, maka aku tidak mengampunimu."
"Ampun. Aku mohon ampun" anak itu menangis.
Tiba-tiba saja Darpati mendorong anak itu sehingga
jatuh. Namun iapun kemudian tertawa sambil berkata "Kau
benar-benar licik. Kau serang aku dari belakang, sekarang
kau menangis Sehingga aku menjadi iba."
Darpatipun kemudian meninggalkan anak-anak muda
yang sudah tidak mampu berbuat, apa-apa itu. Bahkan
Rambatan masih saja mengerang kesakitan.
Sambil mendekati Winih. ia berkata "Marilah. Aku antar
kau pulang, Winih."
Winih tersenyum sambil menjawab "Terima kasih. Aku
hanya merepotkan saja."
"Tidak" jawab Darpati "Itu sudah menjadi kewajibanku."
Winih tidak menjawab lagi Tetapi iapun kemudian
melangkah bersama Darpati menuju kepadukuhan sebelah.
Sekali Winih masih berpaling kepada Rambatan dan
kawan-kawannya. Namun kemudian ia melangkah semakin
jauh. Manggada dan Laksana berjalan dibelakang mereka.
Disebelah Rambatan yang berusaha bangkit, keduanya
berhenti. Tetapi keduanya juga tidak berbuat sesuatu,
karena keduanyapun segera melanjutkan perjalanan mereka
mengikuti Winih yang berjalan bersama Darpati.
Dibelakang mereka pada jarak beberapa langkah
Manggada berkata "Orang itu ternyata seorang yang
memiliki kelebihan."
"Ya. Hanya orang berilmu tinggi dapat berbuat seperti
itu" jawab Laksana.
"Siapakah orang itu sebenarnya" Orang itu sengaja
mencegah kita melibatkan diri dalam perkelahian itu.
Apakah ia mengetahui bahwa kita sengaja menyembunyikan sedikit kemampuan yang kita miliki
terhadap anak-anak muda padukuhan ini" Atau ia ingin
menunjukkan kepada Winih bahwa ia memiliki ilmu yang
tinggi atau maksud-maksud yang lain lagi?" desis
Manggada. Laksana mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
menjawab "Perhatiannya tertumpah kepada Winih. Ia tentu
ingin menunjukkan kepada gadis itu bahwa ia memiliki
kemampuan yang sangat tinggi. Dengan mudah ia dapat
mengalahkan lima orang anak muda termasuk Rambatan,
anak muda yang ditakuti diseluruh padukuhan."
Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia sempat
bergurau, katanya "Sudahlah, biarlah orang itu menjadi
seorang pahlawan bagi Winih. Kau tidak usah menyesal."
"He?" Laksana justru berhenti melangkah. Manggadapun
berhenti pula. Namun Laksanapun kemudian berkata
"Bukankah Winih itu adik kita?"
Manggada tertawa. Laksanapun kemudian tertawa
Demikianlah, mereka berempat menyusuri jalan padukuhan disebelah bulak yang tidak begitu luas itu.
Ternyata Darpati yang mengantar Winih tidak menjadi
canggung ketika Winih mempersilahkamrya untuk singgah
pula. Kiai Gumrah, Ki Prawara dan bahkan Nyi Prawara telah
ikut menemui Darpati yang menyerahkan Winih kepada
kedua orang tuanya itu. Darpatipun telah menceritera-kan
apa yang telah terjadi atas Winih dijalan.bulak yang
meskipun tidak begitu luas, tetapi jalan memang agak sepi.
Demikian pula tidak nampak para petai berada disawah
mereka. "Terima kasih ngger" berkata Kiai Gumrah "angger telah
menyelamatkan cucuku. Jika saja angger tidak membantunya, maka tidak ada seorangpun diantara kami


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dapat melepaskannya dari tangan Rambatan itu."
Darpati tertawa. Ia bukan saja tertawa atas pujian itu.
Tetapi sebenarnyalah ia mentertawakan Kiai Gumrah,
karena Darpati sebagai bagian dari kekuatan Kiai Windu
Kusuma sudah mengerti bahwa Kiai Gumrah adalah
seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan ketika ia
bertemu dan berbicara dengan Ki Prawara, Dar pati itupun
menduga bahwa anak Kiai Gumrah itu tentu juga seorang
yang berilmu meskipun seandainya, tidak, atau belum
setinggi ilmu Kiai Gumrah.
Untuk beberapa lama Darpati berada dirumah Kiai
Gumrah. Winih sendiri yang ikut menemui Darpati
bersikap sangat ramah. Setiap kali nampak senyumnya
menghiasi bibirnya. Ia berbicara panjang, namun terasa
nada bicaranya, bahwa Winih adalah seorang gadis yang
lugu. Tetapi apakah tersirat perasaan lain pada nada
bicaranya selain ungkapan terima kasihnya dan pendapatnya yang serta-merta saja keluar dari mulutnya
Namun akhirnya setelah meneguk minuman yang
dihidangkan baginya serta sepotong ketela pohon rebus,
maka Darpatipun minta diri.
Kiai Gumrah serta kedua orang tua winih masih saja
mengucapkan terima kasih ketika Darpati itu keluar dari
regol halaman rumah Kiai Gumrah.
Sepeninggal Darpati, maka Kia i Gumrah, kedua orang
tua Winih telah memanggil Manggada dan Laksana serta
Winih sendiri. Mereka minta mereka menceriterakan apa
yang telah terjadi.
Manggada dan Laksana hampir tidak pernah mendapat
kesempatan untuk berbicara. Winih sendirilah yang ber-
ceritera banyak tentang Darpati yang telah menolongnya.
"Seandainya Darpati itu tidak datang menolongmu,
bukankah ada kakakmu Manggada dan Laksana?" bertanya
Kiai Gumrah. "Kakang Manggada dan Laksana tidak berbuat apa-apa"
jawab Winih. "Apakah begitu?" bertanya Kiai Gumrah.
Sebelum Manggada dan Laksana menjawab, Winih
sudah mendahuluinya "Aku tidak tahu pasti apakah mereka
akan melindungi aku atau tidak, tetapi setidak-tidaknya
mereka sangat lamban."
"Seandainya Manggada dan Laksana lamban, serta
orang itu tidak datang?" desak ibunya.
Manggada dan Laksana mengerutkan dahinya. Baginya
pertayaan itu memang aneh. Tetapi Winih tidak menjawab.
Ia hanya menunduk saja.
"Winih" berkata Ki Prawara "aku ingin mendengar
pendapat Manggada dan Laksana tentang orang itu. Aku
minta kau diam saja lebih dahulu."
Winih memandang ayahnya sejenak. Namun kemudian
kembali ia menunduk.
Ki Prawarapun kemudian bertanya kepada Manggada
dan Laksana "Menurut pendapatmu, apakah ia memang
berilmu tinggi?"
"Ya paman" jawab Manggada "kami kadang-kadang
tidak sempat mengikuti apa yang dilakukannya."
Ki Prawa ra mengangguk-angguk, sementara Laksana
sempat menceriterakan apa yang telah terjadi dengan lebih
jelas, apakah yang telah dilakukan oleh Darpati terhadap
kelima orang anak muda yang dipimpin oleh Rambatan itu.
Ki Prawara mengangguk-angguk. Sementara itu kepada
Kiai G umrah ia berkata "Apakah sebelumnya ayah pernah
mendengar disekitar daerah atau lingkungan ini terdapat
satu perguruan atau sekelompok orang yang berilmu
tinggi?" Kiai Gumrah menggelengkan kepalanya. Katanya "Baru
setelah orang-orang Windu Kencana ada disini."
Ki Prawara masih mengangguk-angguk. Katanya
"Apakah ada hubungannya antara orang?orang Kiai Windu
Kusuma dengan orang ini" Seandainya demikian, maka kita
harus menjadi sangat berhati-hati."
"Ayah terlalu curiga" berkata Winih hampir bergumam.
"Bukan terlalu curiga Winih" jawab ayahnya "mungkin
orang itu sengaja memanfaatkan kehadiranmu disini agar ia
sempat memasuki dan melihat-lihat rumah ini."
"Orang itu telah menolongku. Sekarang ayah menjadi
curiga kepadanya. Bukankah seharusnya ayah berterima-
kasih sebagaimana ayah katakan" Apakah apa yang ayah
katakan memang tidak sesuai dengan apa yang ayah
pikirkan" ."bertanyaWinih
"Bukan begitu Winih" jawab ayahnya "tetapi dalam
keadaan seperti sekarang ini, maka wajarlah jika kita
mencurigai setiap orang. Tentu saja termasuk Darpati."
"Tetapi ia orang baik, ayah" gumam Winih.
Ayahnya hanya mengangguk-angguk. Kemudian Ki
Prawara itupun telah memberikan isyarat kepada Nyi
Prawara untuk membawa anaknya keluar atau kedapur
saja. Nyi Prawara yang tanggap itu kemudian berkata "Winih.
Sudahlah, bantu saja aku masak didapur."
"Aku ingin menunjukkan kain lurikku." gumam Winih
sambil memberengut.
"O" sahut ibunya "bawa saja kedapur. Aku akan
melihatnya. Mungkin aku juga ingin memiliki kain seperti
itu." Winihpun kemudian pergi ke dapur bersama ibunya
sambil membawa kainnya yang dibelinya di pasar.
Sementara itu, Kiai Gumrah dan Ki Prawara masih
menahan Manggada dan Laksana. Mereka ingin mendapat
keterangan keduanya lebih banyak lagi.
Kesan yang diberikan oleh Manggada dan Laksana
memang mengatakan mempunyai dasar ilmu kanuragan,
masih merasa sulit untuk memahami apa yang telah
dilakukan oleh Darpati atas Rambatan dan kawan-
kawannya. "Aku menjadi gelisah" berkata Ki Prawara "nampaknya
Winih menganggap orang itu terlalu baik."
Kiai Gumrah mengangguk kecil. Katanya "Agaknya
lebih dari itu. Bukankah kau merasakan pertumbuhan
anakmu-itu, baik secara kewadagan maupun kajiwan. Ujud
anakmu sekarang adalah benar-benar seorang gadis dewasa,
sedangkan. jiwanyapun tentu sedang bergejolak menembus
dinding masa remajanya memasuki usia dewasanya. Justru
pada umur. yang paling rawan bagi seorang gadis yang
sedang tumbuh."
Ki Prawara mengangguk-angguk. Ia memang merasakan
beberapa perubahan pada anak gadisnya. Sikapnya
terhadap anak-anak mudapun berubah. Agaknya sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gumrah, bahwa umur
Winih adalah umur yang paling rawan dalam pertumbuhan
dan perkembangan jiwa seorang gadis.
"Sudahlah" berkata Kiai Gumrah "kitalah yang harus
berhati-hati. Kita awasi Winih sebagaimana menguasai
kanak-kanak yang bermain dipinggir jurang. Kita memang
tidak boleh lengah sekejappun."
"Ya ayah" sahut Ki Prawara sambil mengangguk kecil.
Namun iapun berdesis "Darpati, menilik ujudnya, memang
seorang yang menarik. Adalah mungkin sekali Winih sudah
tertarik sejak penglihatannya yang pertama atas orang lain.
Apalagi Darpati telah menunjukkan jasanya kepada Winih.
Meskipun Winih sudah ditemani oleh Manggada dan
Laksana." "Maaf kek" berkata Manggada kemudian "kami memang
terlambat berbuat sesuatu. Kami merasa ragu, karena
selama ini kami menyatakan diri sebagai anak-anak muda
kebanyakan tanpa ilmu kanuragan jika kami berada
diantara anak-anak muda padukuhan."
Kiai Gumrah mengangguk sambil menjawab "Sudahlah.
Kalian tidak dapat disalahkan. Keragu-raguan itu wajar
sekali. Kalian tentu tahu bahwa orang-orang padukuhan ini
mengenal aku sebagai seorang pembuat dan penjual gula,
tidak lebih. Karena itu, maka sudah sepantasnya jika kalian
juga menyesuaikan diri."
Manggada dan Laksana, hanya dapat menundukkan
kepalanya Tetapi mereka masih juga merenungi sikap
Winih. Bahkan mereka juga merasa menyesal, kenapa
mereka tidak segera berbuat sesuatu, saat Rambatan, sudah
menjadi semakin kasar.
Namun perkenalan antara Rambatan dan Darpati itu
sudah terjadi. Yang harus dilakukan memang sebagaimana
dikatakan, oleh Kiai Gumrah, bagaimana melepas kanak-
kanak dipinggir jurang.
Ketika kemudian Manggada dan Laksana meninggalkan
ruang dalam dan keluar ke halaman, maka mereka terkejut.
Mereka melihat seekor burung elang yang melayang-layang
tinggi. Burung yang sudah sangat mereka kenal
"Beritahukan kakek" desis Manggada "aku akan
melihatnya kemana burung itu terbang."
Laksana mengangguk. Sambil melangkah masuk ia
berkata "Baiklah. Aku akan memberitahukan kepada
kakek." Ketika hal itu disampaikan kepada Kiai Gumrah, maka
Kiai Gumrahpun berkata kepada Ki Prawara "Burung itu
adalah perpanjangan mata Kiai Windu Kusuma. Sebenarnya burung itu milik seseorang yang disebut
Panembahan, yang mengingini pusaka-pusaka itu. Burung
itu mampu menterjemahkan penglihatannya sehingga dapat
memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan oleh
Kiai Windu Kusuma. Isyarat yang diberikan burung itu
dapat dibaca dengan tepat oleh seseorang yang bertugas
sebagai pawangnya."
"Luar biasa" desis Ki Prawara "apakah burung itu hanya
seekor?" "Tidak" jawab Kiai Gumrah "lebih dari seekor. Cobalah
kau melihat burung itu dari halaman belakang saja.
Mungkin kau perlu berlindung dibawah dedaunan."
Ki Prawara mengangguk-angguk. Namun, kemudian
katanya "Betapapun pandainya seekor burung, tetapi akal
manusia akan tetap lebih mampu mengatasinya."
Demikianlah, maka Ki Prawara dan Kiai Gumrahpun
segera keluar dari ruang dalam. Namun mereka telah pergi
ke belakang, melalui pintu butulan untuk melihat seekor
burung elang yang berterbangan dilangit.
Ki Prawara mengangguk-angguk kecil melihat burung
itu. Memang ada kesan bahwa burung itu seakan-akan
mempunyai nalar. Seakan-akan burung itu tahu benar apa
yang harus dilihat dan diperhatikannya dirumah yang
ditunjuk oleh pawangnya.
"Asal kau mengetahui saja" berkata Kiai. Gumrah yang
ada dibawah sebatang pohon yang berdaun rimbun.
"Aku tidak perlu bersembunyi dari tatapan mata burung
itu" berkata Ki Prawara "orang-orang Kiai Windu Kusuma
tentu sudah tahu bahwa aku ada disini."
"Burung itu mengawasi tempat ini untuk melihat apa
yang sedang dikerjakan di tempat ini, jika saja ada
kesibukan apapun atau mungkin sekali kesibukan yang
tinggi disini."
Ki Prawa ra mengangguk-angguk. Tetepi burung itu
memang memberikan kesan tersendiri- Dengan nada daiam
Ki Prawara berkata "Burung itu tentu tidak sekedar
mengawasi. Tetapi burung
itu dipersiapkan
untuk menyerang dan setidak-tidaknya mengganggu. Kukunya
memberikan kesan khusus."
"Ya" jawab Kiai Gumrah "kuku-kukunya berselut baja."
Ki Prawara tidak menjawab lagi. Dipandanginya burung
yang berputaran beberapa kali. Bahkan menukik beberapa
kali. Kemudian terbang tinggi menyusup awan yang
mengalir rendah.
Ketika bunmg elang itu kemudian hilang dari pandangan
mata mereka, maka Ki Prawa rapun telah masuk kembali
keruang dalam. Manggada dan Laksana telah berada
diruang dalam pula. Demikian juga Kiai Gumrah.
"Kita memang harus berhati-hati terhadap burung-
burung itu" berkata Ki Prawara
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka
mengenal burung-burung itu sejak mereka mengenal
seseorang yang bernama Panembahan yang bergelimang
kegelapan itu. Demikianlah, maka orang-orang yang tinggal dirumah
Kiai Gumrah itu menjadi semakin bersiaga menghadapi
segala kemungkinan. Memang tidak ada niat mereka untuk
minta perlindungan kepada pihak lain atau menitipkan
pusaka-pusaka itu kepada siapapun juga. Mereka berniat
untuk menyelamatkan pusaka-pusaka itu sendiri bersama
dengan kawan-kawan mereka.
Yang membuat Kiai Gumrah dan Ki Prawara prihatin
adalah anak gadis Ki Prawara. Nampaknya Winih benar-
benar telah tertarik pada pertemuannya yang pertama
dengan Darpati. Ketika dihari berikutnya Darpati datang
berkunjung kerurnah Kiai Gumrah, maka Winih telah
menerimanya dengan akrab.
Ki Prawa ra dan Nyi Prawara tidak dapat dengan serta
merta melarang hubungan anaknya dengan orang yang baru
saja dikenalnya itu. Meskipun demikian, ketika kemudian


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Darpati itu minta diri, maka Ki Prawa ra mencoba untuk
menasehati anaknya.
"Winih" berkata Ki Prawara "kau harus membatasi
hubunganmu dengan orang asing itu."
"Orang asing?" bertanya Winih "bukankah ia orang baik
ayah. Jika ia bukan orang baik, ia tidak akan menolong aku.
Ia dapat saja membiarkan aku diperlakukan buruk oleh
siapapun, karena itu memang bukan tanggung-jawabnya."
"Kita memang harus berterirna-kasih kepadanya, Tetapi
untuk berhubung jauh lagi. Maka kita perlu mengetahui,
siapakah orang itu. Bagaimana dengan keluarganya dan
bagaimana sikapnya memandang kehidupan" berkata
ayahnya "Apakah kita masih membedakan latar belakang
kehidupan seseorang dalam hubungan pergaulan ini?"
bertanya. Winih.
"Tentu, Winih. Apalagi pergaulan antara laki-laki dan
perempuan yang masing-masing sudah menginjak dewasa"
berkata ayahnya.
"Jadi apakah ayah bermaksud menjadikan aku gadis
pingitan seperti kebanyakan, kawan-kawanku" bukankah
ayah dan ibu sudah berjanji untuk tidak menjadikan aku
gadis pingitan yang hanya boleh mengintip sisi pergaulan
anak-anak muda dari lubang-lubang dinding?" bertanya
Winih. "Bukan maksud ayah dan ibu Winih. Tetapi kau tidak
boleh bergaul terlalu akrab dengan orang yang baru kau
kenal kemarin. Kau tentu mengetahui perlunya kita
mengenal latar belakang kehidupan orang baru itu.
Misalnya saja, jika orang itu mempunyai isteri dan apalagi
anak, bukankah hubunganmu dengan orang itu akan
menimbulkan persoalan bagi isteri dan.anak-anaknya"
Katakan bahwa hubunganmu dengan orang itu sama sekali
tidak mengarah pada perhubungan yang lebih khusus,
namun bahwa ia datang kepadamu dengan sikapnya seperti
itu, akan dapat menimbulkan persoalan pada keluarganya."
Winih mengerutkan keningnya. Wajahnya memang
menjadi buram. Dengan nada berat ia berkata "Ayah dan
ibu selalu berpikir hal yang bukan-bukan."
"Mungkin ayah dan ibu terlalu berhati-hati Winih. Tetapi
bukankah sudah banyak terjadi bahwa pergaulan dari
perkenalan yang terlalu singkat tanpa mengetahui latar
belakang kehidupan masing-masing akan dapat menimbulkan persoalan."
"Bukankah aku sudah dewasa, sehingga aku akan dapat
menjaga diri?" berkata Winih.
"Menjaga diri dalam kesadaran sepenuhnya memang
dapat menghindarkan diri setidak-tidaknya mengurangi
kemungkinan yang tidak diinginkan. Tetapi jika perasaan
mulai diguncang oleh perasaan lain, maka penalaran akan
terdorong kesamping."
Namun Winih itu berkata dengan suara bergetar "Ayah
dan ibu masih selalu menganggap aku kanak-kanak."
"Tidak. Bukan begitu. Tetapi jika kau katakan bahwa
ayah dan ibu menganggapku kurang berpengalaman dalam
pergaulan, memang benar." jawab ayahnya.
Winih memang tidak menjawab. Tetapi di wajahnya
nampak betapa ia menjadi kecewa terhadap sikap ayah dan
ibunya. Tetapi ternyata dihari berikutnya, Darpati itu datang
kembali. Winihpun masih tetap bersikap akrab sekali.
Bahkan setelah mereka berbicara serba sedikit, maka Winih
itu menemui ayah dan ibunya untuk minta ijin melihat-lihat
keadaan disekitar padukuhan itu.
Ayah dan ibunya memang menjadi cemas. Mereka
memang berusaha untuk mencegah. Tetapi Winih selalu
berkata "Aku hanya ingin berjalan jalan. Bukankah Winih
bukan kanak-kanak lagi" Winih akan dapat menjaga diri
dan mengetahui batas-batas yang tidak harus dilewati."
"Winih" berkata ibunya kemudian "jika kau ingin pergi
juga, ajak kakak-kakakmu. Manggada dan Laksana.
"Ibu, bukankah itu aneh?" bertanya Winih.
"Tidak Winih Tidak aneh bagi mereka yang baru
berkenalan dua hari yang lalu. Aku tidak ingin kau
dianggap seorang gadis yang dengan mudah dapat dibujuk
oleh kata-kata, sikap dan meskipun oleh kebaikan hati
sekalipun. Atau kau tidak akan pergi sama sekali.." ibunya
mulai bersikap keras.
Winih menundukkan kepalanya. Ia tahu sifat ibunya.
Karena itu, betapapun ia sebagai gadis tunggal yang manja,
namun Winih tidak berani lagi menolak perintah ibunya.
Karena itu, maka Winihpun mengangguk kecil.
Ketika hal itu didengar oleh Kiai Gumrah, serta
Winihpun sedang memanggil Manggada dan Laksana,
maka Kiai Gumrah itupun berkata "Manggada dan Laksana
tidak akan mampu menjaga Winih jika terjadi kekerasan.
Ilmu anak muda itu menurut Manggada dan Laksana
sendiri, jauh lebih tinggi dari anak-anak itu."
"Tetapi setidak-tidaknya kehadiran mereka akan dapat
mempengaruhi sikap Darpati jika ia berniat buruk." jawab
ibunya. Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Aku
mengerti."
Demikianlah, maka Winihpun telah mengatakan pula
kepada Darpati bahwa kedua orang kakaknya akan ikut
pula bersama mereka melihat-lihat keadaan disekitar
padukuhan itu. Adalah diluar dugaan Winih, bahwa Darpati dengan
serta merta menyahut "Bagus sekali. Aku senang Manggada
dan Laksana bersama kita. Rasa-rasanya kita tidak kesepian
dijalan." Darpati. termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia berkata selanjutnya "Sebenarnya aku juga
merasa ragu untuk berjalan-jalan berdua. Mungkin orang-
orang padukuhan ini tidak terbiasa melihat hal yang
demikian. Karena itu, menyenangkan sekali jika Manggada
dan Laksana ikut pula."
Wajah Winih memang menjadi merah. Tetapi ia merasa,
beruntung bahwa ibunya berkeras untuk mengajak
Manggada dan Laksana. Jika tidak, agaknya pandangan
dan anggapan Darpati terhadap dirinyapun akan terpengaruh juga. Bahkan Winih itu bertanya kepada diri
sendiri "Apakah Darpati itu sedang menilai sikapku?"
Diam-diam Winih merasa berterima kasih kepada
ibunya. Demikianlah maka sejenak kemudian mereka berempatpun telah meninggalkan rumah Kiai Gumrah.
mereka memang hanya ingin berjalan-jalan saja. Tetapi
Darpati tidak menawarkan kepada Winih untuk pergi ke
pasar. Bahkan Darpati mengajak Winih serta Manggada
dan Laksana untuk melihat pancuran dipiriggir hutan.
"Bukankah kalian belum pernah melihatnya" Pancuran
itu terhitung pancuran yang jarang ada duanya. Airnya
memang tidak begitu deras dan tidak pula begitu tinggi.
Tetapi didekat pancuran itu terdapat semacam hutan
pepohonan berbunga yang sangat indah. Seakan-akan ada
tangan yang telah mengaturnya."
"Menarik sekali" sahut Winih dengan serta merta.
Manggada dan Laksana yang memang sudah merasa
cemas terhadap Darpati bahwa ia mempunyai hubungan
dengan Kiai Windu Kusuma tidak berkata sesuatu.
Kelebihan Darpati dari orang kebanyakan, bahkan ilmunya
yang sangat tinggi memang sangat menarik perhatian.
Apalagi sebelumnya Darpati tidak dikenal didaerah itu dan
disekitarnya Sinar matahari pagi yang cerah; angin yang semilir
menggoyang batang padi yang sedang tumbuh segar,
membuat Winih manjadi semakin gembira.
Tetapi semakin Winih gembira dan seakan-akan
melupakan kehati-hatian, maka Manggada dan Laksana
justru menjadi semakin berhati-hati.
Ketika mereka kemudian mendekati hutan yang
terhitung agak lebat, Winih mulai menyadari kembali
perjalanannya. Bahkan kemudian ia mulai memperlambat
langkahnya. "Dimanakah letak pancuran itu?" bertanya Winih.
"Kau lihat bukit kecil itu?" bertanya Darpati. Winih
mengangguk. "Kita akan pergi ke bukit kecil itu. Disisi sebelah Timur,
kita akan melihat taman yang telah diciptakan oleh alam
itu. Taman yang melampaui keindahan taman yang dibuat
oleh tangan manusia." jawab Darpati.
Winih mengangguk-angguk. Bukit itu memang tidak
terlalu jauh lagi. Justru karena Winih melihat pohon-pohon
raksasa diatas bukit kecil itu, maka winih percaya bahwa
dilereng bukit itu memungkinkan sekali terdapat sebuah
pancuran. Beberapa saat lagi mereka berjalan. Sekali-sekali Winih
memang harus berhenti dan bahkan harus ditolong
meloncati parit-parit kecil yang dibuat oleh arus air yang
mengalir dari bukit. Bahkan parit-parit itu ada yang agak
dalam dan licin.
Tetapi ternyata apa yang dikatakan oleh Darpati itu
benar. Beberapa saat kemudian mereka sampai disebuah
lembah yang tidak begitu luas. Tetapi di lembah itu
memang terdapat air terjun meskipun tidak terlalu besar
sehingga Darpati menyebutnya sebagai pancuran saja.
Tidak seorangpun yang telah mengaturnya, bahwa
lembah itu menjadi sebuah lembah yang sangat menarik.
Dise-kitar air terjun yang memang tidak begitu deras itu
terdapat sekelompok pepohonan berbunga yang sangat
menarik. "Bagus sekali" desis Winih dengan sertamerta.
Manggada dan Laksanapun ikut mengagumi pepohonan
dilembah itu pula Mereka terpesona
memandangi pepohonan yang sedang berbunga. Berbagai warna tersebar
memanjang lembah yang basah itu.
Namun Manggada yang dengan tidak sengaja memandang langit, nampak dua ekor burung elang yang
terbang berputaran. Karena itu, maka iapun telah
menggamit Laksana sambil berdesis "kau lihat burung-elang
itu?" Wajah Laksana menjadi tegang. Katanya "Ya. Burung
elang itu mulai melingkar-lingkar."
Keduanyapun segera mempersiapkan diri. Mereka sejak
semula sudah merasa curiga kepada Darpati. Apalagi ketika
mereka melihat sepasang elang yang berterbangan justru
selagi mereka berada ditempat yang jarang dikunjungi
orang itu. Darpati sendiri sama sekali tidak menghiraukan sepasang
elang yang berterbangan itu. Kepada Winih ia berceritera
tentang jenis-jenis pepohonan yang terdapat dilem-bah kecil
disekitar air terjun yang tidak begitu besar itu.
Namun Manggada dan Laksana menjadi semakin tegang
ketika mereka melihat kedua ekor burung itu mulai
menukik dan menyambar-nyambar.
Manggada dan Laksanapun segera bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Mereka memperhitungkan bahwa
bukan hanya sepasang elang itu saja yang hadir ditempat
itu, yang seakan-akan memang telah diatur oleh Darpati.
"Winih, berhati-hatilah" berkata Manggada tiba-tiba.
Winih berpaling kepadanya sambil bertanya "Kenapa?"
"Kau lihat bunmg elang itu" jawab Manggada.
Winih mengangkat wajahnya. Demikian pula. Darpati.
Dengan nada tinggi Darpati bertanya "Kenapa dengan
burung elang itu?"
Namun Winih memang sudah mendengar serba sedikit
tentang burung elang itu. Karena itu, maka iapun bergeset
mendekati Manggada dan Laksana sambil berkata "Apa
yang akan dilakukan oleh burung elang itu"."
"Kedua ekor burung itu sangat berbahaya" berkata Winih
kemudian. "Aku tidak takut kepada siapapun juga. Apalagi hanya
kepada dua ekor burung elang." jawab Darpati.
Winih mengangguk kecil. Ia percaya kepada kata-kata
Darpati itu, karena Darpati memang seorang yang berilmu
tinggi. Namun dalam pada itu, kedua ekor burung itu tidak juga
segera pergi. Justru keduanya berputar semakin cepat dan
menukik semakin dalam.
Darpati juga memperhatikan kedua ekor elang itu.
Nampaknya iapun telah bersiap untuk melawan, jika elang
itu akan menyerangnya. Bahkan tangan Darpati itu sudah
melekat pada hulu pedangnya.
Namun tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh teriakan
nyaring yang datang dari dalam gerumbul-gerumbul lebat
disekitar pepohonan yang berbunga itu. Beberapa orang
telah berloncatan muncul dengan senjata di t angan mereka.
"Jangan lari" teriak orang-orang itu "kalian telah
terkepung rapat."
Manggada dan Laksana segera merapat. Demikian pula


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Darpati. Iapun segera menarik pedangnya sambil berdiri
didepan Winih. "Siapakah kalian dan apakah yang kalian inginkan?"
bertanya Darpati,
"Jangan melawan. Berikan gadis itu kepada kami."
bentak seorang diantara orang-orang yang muncul dari
hutan itu. "Kau gila" geram Darpati "gadis ini bukan sanak
kadangku. Tetapi akulah yang mengajaknya datang
ketempat ini. Karena itu, maka aku bertanggung jawab, atas
keselamatannya."
"Jangan membunuh diri. Aku hanya membutuhkan gadis
itu. Bukan siapa-siapa. Jika kalian akan pergi, pergilah.
Tetapi jika kalian mencoba untuk mencegahnya, maka
kalian akan mati. Pada akhirnya gadis itu akan jatuh
ketanganku juga."
"Tidak" teriak Darpati sambil membelalakkan matanya
"pergi kalian. Atau kalian yang akan mati disini."
Ternyata orang-orang itu tidak mau pergi. Mereka justru
mulai bergeser mendekat diseputar mereka berempat.
Manggada dan Laksanapun sudah menggenggam
pedangnya pula. Ketika mereka sempat menghitung, maka
orang-orang yang mengepung mereka itu berjumlah tidak
lebih dari ampat orang saja.
Darpati tidak berbicara lebih panjang lagi. Kepada
Manggada dan Laksana ia berkata "Kali ini aku terpaksa
minta bantuan kalian. Nampaknya orang-orang ini bukan
tataran Rambatan dan kawan-kawannya. Orang-orang ini
memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan."
Manggada dan Laksana memang sudah bersiap. Karena
itu. ketika orang-orang itu mulai bergerak, maka bertempur
anpun segera terjadi.
Sementara itu sepasang burung elang itu masih saja
berputaran dan menukik-nukik tajam. Bahkan kemudian
sepasang burung itu telah ikut pula menyerang Manggada
dan Laksana. Sehingga dengan demikian maka kedua anak
muda itu harus bertempur melawan kedua orang lawannya
serta kedua ekor burung elang yang berkuku baja itu.
0ooo0dw0ooo0 Karya SH Mintardja
Seri Arya Manggada 3
Sang Penerus Sumber djvu : Ismoyo
Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://dewi-kz.com/
Buku 4 SEMENTARA itu kedua orang yang lain telah
bertempur melawan Darpati yang telah mencabut
pedangnya. Dengan tangkasnya Darpati berloncatan sambil
memutar senjatanya.
Manggada dan Laksana yang bertempur melawan
masing-masing seorang lawan dan harus pula memperhatikan sambaran-samabaran kuku baja burung
elang yang garang itu, harus mengerahkan kemampuan
mereka. Namun ternyata orang-orang yang bertempur melawan
mereka itu adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu
yang mapan. Manggada dan Laksanapun dengan cepat
mulai terdesak. Ketika Manggada mengayunkan pedangnya
menebas seekor burung elang yang menyambar dengan
cepat, maka lawan-nyapun telah meloncat pula sambil
menulurkan pedangnya. Manggada terpaksa mengurungkan
niatnya menyerang burung elang itu. Dengan cepat ia harus
mengelak dari ujung senjata lawannya.
Tetapi demikian Manggada meloncat, maka burung
elang itu benar-benar menyambarnya. Kuku-kuku bajanya
yang tajam telah menggores pundak anak muda itu.
Manggada mengaduh tertahan. Tetapi ia harus
menyeringai menahan pedih yang
menggigit luka dipundaknya itu.
Laksana terkejut melihat Manggada mulai terluka.
Namun ia tidak sempat berbuat banyak. Serangan lawannya
datang demikian cepatnya.
Dengan tangkas Laksana menangkis serangan itu. Tetapi
burung elang itu menyambarnya dengan cepat pula.
Hampir saja kuku-kuku tajam itu mengcengkam wajahnya.
Tetapi Laksana sempat meloncat mengelak sambil
mengayunkan pedangnya. Tetapi burung itu dengan cepat
menggeliat dan kemudian terbang membubung.
Tetapi pada saat itu, ujung senjata lawannya ternyata
telah menyambarnya diarah dada.
Laksana tidak banyak mendapat kesempatan. Ia memang
dapat menarik dadanya surut. Tetapi ia tidak dapat
melepaskan diri seluruhnya dari jangkauan pedang
lawannya. Karena itu, maka ujung pedang itu telah tergores
didada Laksana.
Laksanapun berdesah kesakitan. Luka didadanya itu
kemudian telah mengalirkan darah, sebagaimana luka
dipundak Manggada.
Sementara itu Darpati bertempur dengan garangnya.
Kakinya berloncatan dengan tangkasnya. Kedua lawannya
yang tidak kalah garangnya telah menyerangnya dari arah
yang berbeda. Tetapi keduanya ternyata sangat sulit untuk
dapat mengenainya.
Tetapi Darpati juga tidak segera dapat mendesak kedua
lawannya yang seakan-akan bergantian datang menyerang.
Winih berdiri termangu-mangu menyaksikan pertempuran itu. Wajahnya menjadi sangat tegang.
Dipandanginya Manggada dan Laksana berganti-ganti.
Keduanya memang mengalami kesulitan. Luka Manggada
telah bertambah lagi. Lengannya juga telah tergores pedang
sehingga kulitnya telah terkoyak.
Winih memang menjadi sangat tegang melihat keadaan
Manggada dan Laksana. Sementara itu lawan mereka sama
sekali tidak mengekang diri. Keduanya benar-benar berniat
untuk membunuh Manggada dan laksana. Senjata mereka
terayun-ayun mendebarkan jantung. Sementara itu,
sepasang burung elang itupun benar-benar telah ikut pula
dalam pertempuran itu. Keduanya seakan-akan telah
digerakkan oleh kekuatan yang memiliki kemampuan tinggi
dalam olah kanuragan. Burung-burung itu seakan-akan
tahu, kapan mereka harus menyerang. Kapan mereka harus
menarik perhatian sehingga serangan lawan-lawan Manggada dan Laksana mendapat kesempatan menusukkan pedangnya.
Rasa-rasanya Manggada dan Laksana memang tidak
mempunyai kesempatan lagi. Sementara itu Darpati tidak
segera dapat mengalahkan lawannya dan membantu
mereka. Ketika Darpati masih berusaha untuk mempertahankan
dirinya dari serangan kedua lawannya yang datang
berganti-ganti susul-menyusul, maka Manggada dan
Laksana menjadi semakin terdesak. Luka-luka ditubuh
mereka menjadi semakin banyak. Darahpun mengalir
semakin deras pula.
Dalam keadaan yang demikian, adalah diluar dugaan
bahwa tiba-tiba saja terdengar aum yang keras dari dalam
rimbunnya pepohonan dan batang-batang perdu. Aum
seekor harimau yang garang telah disaut oleh aum harimau
yang lain. Selagi orang-orang yang sedang bertempur itu masih
belum siap menghadapi kemungkinan baru itu dua ekor
harimau telah bermunculan dari dalam belukar.
Kedua ekor harimau itu dengan serta merta telah
menyerang kedua orang lawan Manggada dan laksana serta
kedua orang lawan Darpati. Keduanya seakan-akan
menyatakan diri untuk ikut bertempur dipihak mereka yang
mendapat serangan tiba-tiba itu.
Orang-orang yang mendapat serangan dari sepasang
harimau itu terkejut. Sementara Manggada dan Laksana
masih berdiri termangu-mangu, maka kedua orang lawan
Manggada dan Laksana itupun segera bergabung untuk
melawan seekor diantaranya, sedang lawan Darpati
bersama-sama menyerang seekor yang lain.
Orang-orang itu pada dasarnya sama sekali tidak takut
menghadapi harimau yang paling garang sekalipun. Namun
ternyata bahwa Manggada dan Laksana melihat kedua ekor
harimau itu bukan harimau kebanyakan.
Sebagaimana dua ekor elang yang berterbangan
melingkar-lingkar dan kemudian menyambar-nyambar itu,
maka kedua ekor harimau itu seakan-akan juga memiliki
kemampuan untuk bertempur. Keduanya seakan-akan
mengenal bahwa pedang itu termasuk senjata yang
berbahaya yang dapat melukai kulit mereka.
Namun lebih dari itu, kedua ekor harimau itu
mengingatkan Manggada dan Laksana pada dua ekor
harimau yang datang kerumah Kiai Gumrah. Bahkan
Manggada dan Laksanapun segera teringat pula dua ekor
harimau milik Ki Pandi yang bongkok yang ternyata adalah
saudara seperguruan Sang Panembahan.
Karena itu, maka rasa-rasanya Manggada dan Laksana
tidak dapat membiarkan kedua ekor harimau itu bertempur
tanpa bantuan mereka.
Setelah mengamati keadaan sejenak, maka Manggada
dan Laksana segera turun lagi ke arena. Mula-mula
keduanya harus bertempur melawan kedua ekor elang yang
masih saja menyambar-nyambar. Namun ketika pedang
Manggada melukai seekor diantarahya, maka kedua ekor
elang itupun terbang menjauh. Yang terluka itu agaknya
harus berjuang untuk dapat pulang sampai kesangkarnya,
sedang yang lain mengikutinya dibelakangnya, seakan-akan
menjaganya agar kawannya itu tidak kehilangan keseimbangannya.
Ketika kedua ekor elang itu terbang semakin tinggi,
maka nampak bahwa yang terluka itu menjadi semakin
miring. Namun akhirnya keduanya hilang dibalik pepohonan. Perhatian Manggada dan Laksana kemudian terpusat
kepada ampat orang yang bertempur melawan kedua ekor
harimau yang sangat garang itu. harimau yang seakan-akan
memiliki ilmu kanuragan sehingga keempat orang yang
bertempur melawan mereka itu mengalami kesulitan.
Apalagi ketika kemudian Manggada dan Laksana ikut
pula dalam pertempuran itu. Luka-luka ditubuh Manggada
dan Laksana membuat kedua orang anak muda itu marah
dan ingin membalas dendam.
Dalam pada itu Darpati menjadi termangu-mangu.
Bahkan beberapa kali Darpati memanggil Manggada dan
Laksana. "Kemarilah. Nanti harimau itu keliru menyerangmu."
teriak Darpati "harimau itu tidak lebih dari seekor binatang
yang tidak tahu apa yang sedang dilakukan."
Tetapi Manggada menjawab "Kedua ekor elang itu
ternyata juga tahu, siapa saja yang harus diserangnya.
Agaknya demikian pula kedua harimau itu."
Darpati memang menjadi sangat gelisah. Sementara itu
keempat orang yang harus bertempur melawan Manggada,
Laksana dan dua ekor harimau yang sangat garang itu
menjadi semakin terdesak. Bahkan kemudian mereka mulai
dilukai oleh kuku-kuku harimau itu. Kulit-kulit mereka
menjadi terkoyak dan bahkan darahpun bagaikan terperas
dari tubuh mereka.
Manggada dan Laksana yang melihat keadaan keempat
orang itupun telah mengekang diri. Meskipun mereka tahu
bahwa orang-orang itu telah benar-benar ingin membunuh
mereka, setidak-tidaknya kedua orang lawan Manggada dan
Laksana itu. Tetapi nampaknya kedua ekor harimau itu tidak berbuat
sebagaimana Manggada dan Laksana. Keempat orang yang
sudah tidak berdaya itu, sama sekali tidak dilepaskan.
Bukan saja kuku-kuku kedua ekor harimau itu. Tetapi
taring-taring mereka-pun telah mengoyak tubuh keempat
orang itu, sehingga beberapa saat kemudian, keempat orang
itu tidak lagi berdaya untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Manggada, Laksana, Darpati apalagi Winih telah
memalingkan wajah mereka. Winih yang gemetar telah
berpegangan tangan Manggada sambil berkata "Tolong
mereka." Manggada dan Laksana memang tidak dapat berbuat


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu. Darpatipun hanya dapat berdiri dengan wajah yang
tegang. Ketika kemudian terdengar aum kedua ekor
harimau itu, maka Darpatipun telah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Bahkan iapun sempat berdesis
"Manggada dan Laksana. Bersiaplah, harimau-harimau itu
tidak akan tahu bahwa kalian telah membantu mereka.
Setelah keempat orang itu terbunuh, mungkin keduanya
akan menyerang kita."
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Mereka
memandangi kedua ekor harimau yang masih berbau darah
itu. Kedua ekor harimau yang telah membunuh keempat
orang itu dengan taringnya yang masih menyeringai
memandang keempat orang yang tegang itu. Namun
ternyata kedua ekor harimau itu tidak menyerang mereka.
Bahkan kemudian keduanya telah meloncat meninggalkan
arena pertempuran itu. Yang terdengar adalah aumnya
yang panjang seakan-akan menggetarkan pepohonan dan
bahkan bukit kecil itu.
Ketika kedua ekor harimau
itu hilang, maka Manggada dan
Laksana semakin merasa betapa
sakit dan nyeri menggigit tubuhnya pada luka-lukanya yang menganga. "Beristirahatlah"
berkata Winih kepada keduanya "tetapi
jangan disini. Kita bergeser
menjauh." Manggada dan Laksana mengerti, bahwa Winih ingin
menjauhi keempat sosok tubuh
yang telah dikoyak-koyak oleh kedua ekor harimau itu.
Dibawah sebatang pohon yang rindang, Manggada dan
Laksana duduk dengan lemah. Namun keduanya memang
membawa obat yang dapat menolong mereka untuk
sementara. Winih dibantu oleh Darpati telah mencoba untuk
mengobati luka-luka keduanya. Luka-luka yang terdapat
dibeberapa bagian ditubuh mereka. Sebagian luka-luka
karena ujung senjata, sedangkan yang lain, luka-luka karena
kuku-kuku sepasang elang itu.
Namun angin yang segar yang bertiup disela-sela
pepohonan membuat tubuh kedua orang anak muda itu
terasa segar pula.
Bahkan kemudian Manggada sempat bertanya "Bagaimana dengan tubuh keempat orang yang telah
dibunuh oleh kedua ekor harimau itu?"
"Kita tidak dapat berbuat sesuatu " jawab Darpati.
"Tetapi kita tidak dapat meninggalkan tubuh-tubuh itu
begitu saja." sahut Manggada.
"Lalu apa yang dapat kita lakukan?" bertanya Darpati.
"Kita harus menguburkan tubuh-tubuh itu" jawab
Manggada. Darpati mengerutkan dahinya. Katanya "Apakah kita
harus menggali ampat buah lubang kubur untuk mereka?"
"Tetapi tubuh-tubuh itu harus dilindungi dari ganasnya
binatang-binatang buas. Mungkin harimau yang bukan
kedua ekor harimau itu, mungkin serigala atau anjing
hutan." sahut Laksana yang sambil menunjuk ke udara
berkata pula "Lihat, burung-burung gagak pemakan bangkai
itu." Winihpun menengadahkan wajahnya pula. Yang
nampak dilangit bukan lagi sepasang burung elang. Tetapi
beberapa ekor burung gagak yang berwarna hitam lekam.
Suaranya bagaikan menguak keheningan lembah kecil itu
dan memecahkan suara air terjun yang memang tidak
begitu besar. Darpati yang nampaknya agak segan untuk menggali
lubang kubur keempat orang itu kemudian berkata "Kita
dapat melindungi tubuh-tubuh itu tanpa membuat lubang
kubur. Kita justru menimbuninya dengan bebatuan yang
banyak berserakan ditempat ini."
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Dengan nada rendah Manggada berkata "Baiklah. Agaknya
hanya itulah yang dapat kita lakukan."
"Tetapi kau masih terlalu lemah. Biarlah aku dan
Darpati sajalah yang melakukannya " berkata Winih.
"Kau akan menjadi terlalu letih" desis Laksana.
"Aku terbiasa bekerja keras dirumah." jawab Winih.
Namun Manggada dan Laksana tidak membiarkan
Darpati dan Winih berdua saja yang melakukannya.
Sementara itu Winih berusaha untuk tidak melihat tubuh-
tubuh yang terkoyak oleh kuku dan taring harimau itu.
Karena itu, maka Winih hanya membantu dari kejauhan.
Ia telah melemparkan bebatuan kearah tubuh-tubuh itu
terbaring tanpa melihatnya. Sementara itu Darpatilah yang
menempatkan bebatuan itu untuk menutup tubuh-tubuh
yang terkoyak itu. Manggada dan Laksana yang lemah itu
membantu sejauh dapat mereka lakukan.
Demikianlah, setelah mereka beristirahat barang sejanak,
serta setelah mereka mencuci kaki dan tangan mereka, serta
minum beberapa teguk air pancuran yang jernih, maka
mereka-pun segera meninggalkan tempat itu.
Keempat orang itu tidak dapat berjalan terlalu cepat.
Manggada dan Laksana yang telah mengobati luka-lukanya
meskipun hanya untuk sementara, masih merasa tubuh
mereka sangat lemah. Bahkan sekali-sekali Darpati dan
Winih harus membantu mereka melintasi batu-batu padas
serta mendaki lereng yang meskipun tidak terlalu tinggi.
Ketika kemudian mereka sampai di padukuhan,
beruntunglah mereka bahwa jalan-jalan terasa sepi,
sehingga tidak banyak orang yang melihat keadaan
Manggada dan Laksana.
Satu dua orang yang melihat mereka dari kotak-kotak
sawah, tidak begitu menghiraukan keadaan mereka. Orang-
orang itu hanya menduga bahwa keempat orang itu sedang
berjalan-jalan saja tanpa tujuan, sehingga mereka berjalan
perlahan-lahan.
Namun ketika mereka sampai dirumah, maka keadaan
Manggada dan Laksana telah mengejutkan seisi rumah itu.
Kiai Gumrah, Ki Prawara dan Nyi Prawara dengan serta
merta telah mengerumuni kedua anak muda itu tetapi
sebelum mereka bertanya, maka Winih sudah berceritera
seperti gerontol jagung yang tumpah.
"Benar begitu ngger?" bertanya Ki Prawara.
"Ya paman" jawab Manggada dan Laksana hampir
berbareng. Sementara itu Darpatipun berkata "Nampaknya memang
terjadi keajaiban. Ditempat itu terdapat dua jenis binatang
yang seakan-akan memiliki ketajaman indera sehingga
dapat memilih lawan. Bahkan kedua jenis binatang itu
seakan-akan telah terlatih dan memiliki kemampuan olah
kanuragan."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Baginya
kehadiran dua ekor harimau itu bukannya didengarnya
untuk yang pertama. Dihalaman rumah itupun pernah
hadir dua ekor harimau
yang seakan-akan
telah membantunya menyelamatkan pusaka-pusaka yang tersimpan dirumahnya itu.
"Dengan demikian jelas, bahwa tidak ada hubungan
apapun antara harimau-harimau itu dengan pusaka-pusaka
yang tersimpan itu" berkata Kiai Gumrah didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Nyi Prawarapun berkata
"Marilah anak-anak. Aku coba untuk membersihkan luka-
luka kalian. Mudah-mudahan luka-luka itu tidak beracun."
Manggada dan Laksanapun kemudian telah pergi
kedapur mengikuti Nyi Prawara. Tubuh mereka memang
terasa sangat lemah. Meskipun mereka telah mengobati
luka-lukanya dengan obat yang mereka bawa untuk
memampatkan darahnya, namun tenaga mereka ternyata
sudah banyak tersusut.
Sesaat kemudian Ki Prawarapun telah menyusul mereka
ke dapur pula. Bahkan dengan sungguh-sungguh ia
bertanya "Bagaimana menurut tanggapanmu atas apa yang
telah terjadi?"
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Mereka telah membuka baju mereka yang bukan saja kusut,
kotor dan koyak. Tetapi juga bernoda darah.
Ketika Nyi Prawara mengusap lukanya dengan kain
yang bersih yang dibasahi dengan air panas, maka mereka
harus menahan perasaan pedih yang menggigit.
Baru kemudian Manggada justru bertanya "Maksud
paman?" "Maksudku, tanggapanmu atas Darpati."
"Ia telah bertempur pula melawan keempat orang
penyerang itu. Justru Darpati telah bertempur melawan dua
orang diantara mereka."
"Tetapi ia sama sekali tidak terluka " desis Ki Prawara.
"Darpati memang berilmu tinggi " sahut Nyi Prawara.
"Tetapi kedua ekor burung itu justru menyerang
Manggada dan Laksana. Keduanya tidak membantu dan
tidak menyerang Darpati yang mampu mengimbangi kedua
orang lawannya." berkata Ki Prawara dengan dahi yang
berkerut. Manggada dan Laksanapun mulai berpikir. Semula
mereka tidak mengurai persoalan itu sedemikian jauh.
Tetapi ternyata keduanya merasakan bahwa kedua orang
yang bertempur melawan Darpati tidak segarang kedua
orang yang bertempur melawan mereka berdua. Apalagi
kedua ekor burung elang berkuku baja itu justru menyerang
mereka berdua pula.
Hampir diluar sadarnya Manggada bertanya "Seandainya hal itu sudah diketahui oleh Darpati
sebelumnya, lalu apakah maksudnya hal itu dilakukannya?"
"Anak-anak muda. Menurut ceritera Winih dan apa yang
kalian katakan melengkapi ceriteranya, maka kedua orang
lawan kalian serta kedua ekor burung itu agaknya benar-
benar berniat membunuh kalian. Bukankah begitu?"
bertanya Ki Prawara.
"Ya paman" jawab Manggada dan Laksana hampir
berbareng. "Tetapi tidak demikian yang dialami Darpati" berkata Ki
Prawara selanjutnya.
"Kami tidak begitu yakin, paman" jawab Manggada.
"Tetapi aku mengambil kesimpulan seperti itu " berkata Ki
Prawara. Manggada dan Laksana tidak menjawab. Sementara itu,
Nyi Prawara telah mengusapkan obat pada luka-luka
mereka, sehingga keduanya harus menyeringai lagi
menahan pedih. Obat itu rasa-rasanya telah menyengat
luka-lukanya sampai keurat-urat dagingnya. Bahkan
kemudian terasa luka-luka itu menjadi panas.
"Obat kalian cukup baik meskipun hanya sekedar
memampatkan luka-luka saja" berkata Nyi Prawara.
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Mereka masih
harus menahan pedih untuk beberapa saat.
"Aku akan keruang dalam" berkata Ki Prawara.
Ki Prawara tidak menunggu jawaban Manggada dan
laksana atau isterinya. Iapun segera kembali ke ruang
dalam. Diruang dalam masih duduk Darpati, Winih dan
Kiai Gumrah. Ketika Ki Prawa ra sudah pergi keruang dalam, maka
Nyi Prawarapun telah selesai mengobati luka-luka
Manggada dan Laksana. Hampir diluar sadarnya ia berkata
"lawan-lawanmu
memang benar-benar ingin membunuhmu."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil.
Hampir tidak terdengar Laksana bertanya seakan-akan
kepada diri sendiri "Apa maksud mereka sebenarnya?"
Nyi Prawara dengan bersungguh-sungguh berkata
perlahan "Ngger. Mereka memang ingin membunuh kalian.
Darpati tentu mengetahui bahwa hal itu akan terjadi,
katakan, bahwa ia memang merencanakannya. Kita
memang tidak tahu, apa maksud mereka melakukan hal itu.
Mungkin karena Darpati tahu bahwa kalian bukan sanak-
kadang Winih. Atau tegasnya kalian orang lain bagi Winih,
sehingga timbul niatnya untuk menyingkirkan kalian dari
sisi Winih. Atau justru karena Darpati menganggap bahwa
kalian benar-benar cucu Kiai Gumrah yang telah ikut
mempertahankan pusaka-pusaka itu. Namun apapun
alasannya, kalian memang harus berhati-hati terhadap anak
itu." Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Agaknya
memang masuk akal. Terutama dalam hubungannya


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kedua ekor elang itu.
Namun kemudian justru Nyi Prawaralah yang bertanya
"Tetapi bagaimana dengan sepasang harimau itu?"
"Aku mempunyai jawabnya" sahut Manggada. Katanya
kemudian "kedua ekor harimau itu tentu harimau milik Ki
Pandi. Saudara seperguruan, tetapi juga lawan bebuyutan
Panembahan yang menginginkan pusaka-pusaka itu."
"Bagaimana kedua ekor harimau itu berdiri dipihakmu?"
bertanya Nyi Prawara.
"Kami pernah bersama-sama Ki Pandi bertempur
melawan Panembahan itu." jawab
Manggada. "Jadi kedua ekor harimau itu
pernah mengenalmu?" bertanya
Nyi Prawara. "Ya" jawab Manggada dan
Laksana berbareng.
"Bagaimana sikap harimau itu
terhadap Darpati?" bertanya Nyi
Prawara. Manggada dan Laksana justru
mulai mengingat-ingat. Tetapi
yang jelas kedua ekor harimau itu tidak menyerang Darpati.
Meskipun demikian Manggada dan Laksana memang
melihat, kedua ekor harimau itu untuk beberapa saat
memandangi Darpati dengan menyeringai menampakkan
taring-taring mereka. Tetapi keduanya justru meninggalkan
arena perkelahian itu dan hilang kedalam hutan.
Nyi Prawara mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Nah, aku sudah selesai mengobati luka-luka kalian.
Sekarang sebaiknya kalian memakai baju kalian. Tentu saja
bukan yang sudah koyak dan dikotori oleh noda-noda darah
itu. Nampaknya baju-baju itu sudah tidak akan dapat
dipakai lagi."
Manggada dan Laksanapun kemudian telah mengambil
baju yang lain. Setelah mereka mengenakannya, maka
merekapun segera bersiap untuk pergi keruang dalam, ikut
menemui Darpati yang masih duduk bersama Kiai
Gumrah, Ki Prawara dan Winih.
Namun dalam pada itu, Manggada sempat berbincang
dengan Laksana tentang Darpati. Karena sejak semula
mereka sudah menaruh kecuriagaan terhadapnya, maka
Mangga-dapun kemudian berkata "Agaknya ada benarnya
juga dugaan Ki Prawara dan Nyi Prawara. Meskipun
semula Nyi Prawara bersikap lain, tetapi kemudian
pikirannya sejalan dengan suaminya."
"Ya. Ternyata Nyi Prawara juga menaruh perhatian
terhadap sikap Darpati." desis Laksana.
"Karena hal itu menyangkut anak gadisnya" jawab
Manggada. Namun kemudian katanya "Tetapi agaknya ada
hal lain yang perlu diperhatikan.. Nyi Prawara memiliki
pengetahuan tentang pengobatan. Lebih dari itu, iapun
dapat mengurai peristiwa didekat pancuran itu dengan
cermat." "Aku juga menganggap bahwa hal itu bukan hal yang
kebetulan" berkata Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Katanya "Tentu ada
kelebihan pada Nyi Prawara. Setidak-tidaknya ia memiliki
ilmu pengobatan yang tinggi."
Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Namun
kemudian katanya "marilah. Kita ikut menemui Darpati."
Keduanyapun kemudian telah masuk keruang dalam.
Keduanya ikut duduk pula bersama Kiai Gumrah dan Ki
Prawara. Bahkan kemudian Nyi Prawarapun telah hadir pula di
ruang dalam sambil membawa hidangan. Ketika Winih
melihat ibunya membawa nampan berisi mangkuk
minuman, maka iapun segera bangkit. Tetapi ibunya
berkata "Duduklah Winih. Tidak ada lagi yang harus
dihidangkan."
Winih memang duduk lagi. Sementara itu Kiai
Gumrahpun berkata "Marilah, silahkan ngger. Hanya
minuman yang dapat kami hidangkan."
"Terima kasih Kiai" jawab Darpati "sebenarnyalah aku
memang haus."
Darpatipun kemudian menghirup minuman hangat yang
dihidangkan oleh Nyi Prawara dengan gula kelapa.
Nampaknya betapa segarnya wedang sere itu. Agaknya
Darpati memang benar-benar haus.
Untuk beberapa saat Darpati masih berbincang dengan
Romantika Sebilah Pedang 3 Anak Berandalan Karya Khu Lung Pendekar Sadis 7
^