Pencarian

Sang Penerus 7

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Bagian 7


Penyesalan telah memenuhi kepala Ki Bekel. Janji, upah
dan suap yang diterimanya dari orang-orang itu hampir saja
harus diimbali dengan nyawanya.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Bekel, beberapa orang
bebahu serta para pembuat gula itu telah membicarakan
langkah-langkah yang akan mereka ambil. Yang harus
mereka lakukan pertama-tama adalah menguburkan orang-
orang yang terbunuh, termasuk Darpati. Tiga orang yang
dikoyak-koyak harimau dan dua orang yang bertempur
dihalaman melawan para pembuat gula dan Ki Prawara.
"Aku mohon bantuan Ki Bekel untuk memerintahkan
orang-orang yang sudah berada di halaman rumah ini"
berkata Kiai Gumrah.
"Baik. Baik Kiai. Kami akan membantu apa saja yang
dapat kami lakukan" jawab Ki Bekel.
Seperti yang dikatakannya, maka Ki Bekelpun kemudian
minta kepada orang-orang yang datang bersamanya untuk
membantu menguburkan orang-orang yang terbunuh di
halaman dan dikebun Kiai Gumrah itu.
"Kita bawa sosok-sosok tubuh itu dan kita. tempatkan di
banjar lama. Besok, demikian matahari terbit, maka kita
akan menguburkan mereka" berkata Ki Bekel.
Demikianlah, maka setelah halaman rumah itu
dibersihkan, Ki Bekel, para bebahu dan orang-orang yang
mengikutinya, telah minta diri. Sebagian dari mereka akan
tetap berada di banjar menunggui sosok-sosok tubuh dari
korban yang jatuh di halaman rumah Kiai Gumrah itu.
Sebelum meninggalkan halaman rumah Kiai Gumrah,
Ki Bekel mewakili orang-orang yang datang bersamanya
telah minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Kiai
Gumrah. "Kami telah salah memilih langkah" berkata Ki Bekel.
"Tidak" jawab Kiai Gumrah "Ki Bekel tidak salah pilih."
"Maksud Kiai?" bertanya Ki Bekel.
"Ki Bekel sudah tahu bahwa jalan yang Ki Bekel pilih itu
tidak wajar. Ki Bekel tahu bahwa Ki Bekel telah dihasut,
diberi janji-janji, bahkan suap. Tetapi Ki Bekel tetap saja
melakukannya. Bukankah itu satu kesengajaan" Satu
penyalah-gunaan kedudukan yang Ki Bekel emban?"
Ki Bekel tidak dapat menjawab. Ia hanya dapat
menundukkan kepalanya. Namun kemudian terdengar ia
berdesis "Ya Ktai. Sekali lagi kami mohon maaf."
"Baiklah. Setiap orang dapat melakukan kesalahan
Tetapi hendaknya kita tidak selalu mengulangi kesalahan-
kesalahan yang sama, justru yang pernah kita akui sebagai
satu kesalahan." berkata Kiai Gumrah.
Ki Bekel hanya dapat berdesis "Ya Kiai."
"Sekarang, jika Ki Bekel ingin pulang, silahkan. Tetapi
besok aku serahkan segala sesuatunya tentang sosok-sosok
tubuh itu kepada Ki Bekel." berkata Kiai Gumrah
kemudian. "Baik, Kiai. Baik. Aku akan mengurusnya."
Kiai Gumrah tidak berbicara lagi. Sementara itu Ki
Bekel-pun telah minta diri dan meninggalkan halaman
rumah itu. Sementara itu, beberapa orang diantara mereka
telah mengurus dan memindahkan sosok-sosok tubuh itu ke
banjar. Sementara itu, Nyi Prawara telah menyiapkan obat-
obatan buat mereka yang terluka. Selain penghuni rumah
itu, Nyi Prawara juga menyiapkan obat bagi orang yang
telah dikalahkannya dan seorang lagi yang tertangkap di
halaman depan. Orang itu juga telah terluka, sehingga tidak
sempat melarikan diri sebagaimana beberapa orang kawan
mereka. Dari keduanya Kiai Gumrah dan orang-orang yang ada
dirumah itu mendengar, apa yang telah dilakukan oleh
Darpati sepengetahuan Kiai Windu Kencana. Darpati
memang mendapat kesempatan untuk mencoba mengambil
pusaka-pusaka itu dengan caranya.
Namun ternyata cara itu telah gagal.
Dalam pada itu, hampir semalam suntuk Nyi Prawara
telah mengobati orang-orang yang terluka. Manggada dan
Laksana yang tidak terlalu parah lukanya, telah duduk di
dapur sambil menunggui perapian. Mereka telah merebus
air untuk membuat minuman bagi mereka yang telah
bekerja keras, termasuk kawan-kawan Kiai Gumrah.
Meskipun demikian, Nyi Prawa ra juga berpesan kepada
keduanya agar mereka tidak bergerak terlalu banyak.
"Jika air telah mendidih, beritahu aku" berkata Nyi
Prawara sambil mengobati bekas lawannya yang dilukainya
dengan ujung rantainya serta seorang lagi diantara orang-
orang yang datang menyerang, yang bertempur dihalaman
depan. Peristiwa itu telah mendorong Kiai Gumrah dan kawan-
kawannya untuk mengambil tindakan yang lebih jelas.
Dengan nada tinggi juragan gula itu berkata "Kita tidak
dapat hanya sekedar menunggu sekarang ini. Permusuhan
diantara kita dengan mereka sudah semakin terbuka. Jika.
kita sekedar menunggu, maka pada suatu saat kita akan
dapat lengah sehingga kita benar-benar akan dapat mereka
hancurkan."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk Sementara seorang
diantara kawan-kawan Kiai Gumrah itu berkata "Kita,
sudah tahu sarang mereka. Apalagi kesulitan kita jika kita.
akan menyerang?"
Kiai Gumrah. menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Kita belum dapat menggambarkan
kekuatan, mereka. Menurut perhitunganku, saat ini orang -
yang disebut Panembahan itu. telah berada diantara
mereka." Juragan gula itupun kemudian berkata "Kita memang
harus membicarakannya dengan bersungguh-sungguh.
Tetapi segala-galanya bukan lagi rahasia sekarang. Kita
sudah cukup lama berpura-pura, sementara mereka masih
saja memburu kita sampai sekarang. Padahal kita merasa
yakin bahwa kita tidak bersalah. Apa yang kita lakukan
sesuai dengan garis yang telah ditentukan oleh perguruan
kita." "Kita memang sudah pasti sekarang. Nama-nama
Windu Kusuma dan orang-orang yang bekerja bersamanya,
orang yang disebut Panembahan dan orang-orang yang lain
lagi, adalah orang-orang yang telah bekerja bersama dengan
pengkhianat itu." berkata salah seorang kawan Kiai
Gumrah yang lain.
"Baiklah" berkata Kiai Gumrah "kita memang harus
membicarakannya dengan bersungguh-sungguh. Kawan
kita akan memastikan sasaran yang harus kita tuju. Kita
memang tidak akan menunggu Kiai Windu Kusuma dan
Sang Panembahan itu datang kemari. Menurut keterangan
seorang diantara mereka yang berbaik hati menghubungi
kita, maka sebelum purnama, pusaka-pusaka itu sudah
harus berada ditangannya. Bahkan harus sudah menyentuh
jantung segar seseorang agar tuahnya tidak akan
berkurang."
"Satu sanepa yang mengerikan. Itu adalah sekedar
perlambang bahwa Panembahan itu akan menghabisi kita
semuanya dengan tombak kita sendiri." berkata juragan
gula itu. "Tetapi Panembahan yang agaknya adalah Panembahan,
itu juga, benar-benar telah membasahi kerisnya dengan
darah gadis-gadis. Agaknya ia benar-benar percaya justru
karena ilmu hitamnya, bahwa hal yang demikian itu dapat
memberikan arti bagi pusaka-pusakanya."
Kawan-kawan Kiai Gumrah itu mengangguk-angguk.
Agaknya Panembahan itu memang percaya bahwa dengan
menusukkan ujung tombak itu pada jantung segar didalam
diri seseorang, maka pusaka-pusaka itu akan menjadi
semakin bertuah. Sementara itu, selama pusaka-pusaka itu
disimpan oleh Kiai Gumrah, maka hal seperti itu sama
sekali tidak pernah dilakukannya. Bahkan terpikirpun tidak.
Karena itu, maka Kiai Gumrah itupun berkata "Baiklah.
Kita memang harus membicarakannya dengan sungguh-
sungguh. Kita akan datang kepada mereka. Semakin cepat
semakin haik. Kita atau merekalah yang akan hancur."
Tetapi Kiai Gumrah minta agar kawan-kawan mereka
tidak meninggalkan rumahnya untuk sementara. Dengan
nada berat ia berkata "Sejak sekarang kita tidak akan ragu-
ragu mempergunakan isyarat. Kentongan misalnya."
"Jika demikian kenapa kita tidak dapat meninggalkan
rumahmu ini?" bertanya seseorang.
"Aku dan satu dua orang diantara kalian akan ikut pergi
ke kuburan jika orang-orang padukuhan nanti menguburkan
orang-orang yang terbunuh itu." berkata Kiai Gumrah.
"Untuk apa?" bertanya seorang yang lain.
"Kita harus mampu membuat permainan yang dapat
mengimbangi permainan mereka." jawab Kiai Gumrah.
"Maksudmu?" bertanya seorang kawannya.
"Berapa orang lawan yang terbunuh di rumah ini?" desis
Kiai Gumrah. "Ampat orang di belakang, termasuk Darpati dan dua
dihalaman depan" sahut juragan gula itu.
"Enam orang" desis Kiai Gumrah. Lalu katanya "Jika
demikian maka kuburan itu harus berjumlah delapan."
"Kenapa?" bertanya salah seorang kawannya yang lain
"apakah kita akan mengubur kedua orang lain hidup-
hidup?" Kiai Gumrah tersenyum. Beberapa orang-kawannya
termangu-mangu. Namun seorang demi seorang kemudian
mulai memahami. Ki Prawarapun kemudian mengangguk-
angguk pula. Demikianlah, seperti yang direncanakan, maka ketika
matahari mulai memanjat langit, maka orang-orang
padukuhan itu dipimpin langsung oleh Ki Bekel telah
mengusung beberapa sosok tubuh yang terbaring di banjar
lama. Mereka dibawa kekuburan tua untuk dikuburkan.
Enam gundukan tanah berjajar ditempat yang agak
terpisah. Kiai Gumrah, juragan gula dan seorang kawannya ada
diantara mereka yang membawa tubuh-tubuh yang sudah
membeku itu. Maka seperti yang direncanakan, setelah orang-orang
padukuhan itu meninggalkan kuburan, Kiai Gumrah dan
kedua kawannya telah membuat dua gundukan tanah
disebelah gundukan yang berjajar itu. Dengan demikian,
maka dua gundukan tanah itu memang menyerupai benar
kuburan-kuburan baru yang lain.
Baru setelah Kiai Gumrah dan kedua kawannya kembali,
maka. orang-orang yang berkumpul dirumah Kiai Gumrah
itu minta diri untuk kembali kerumah mereka masing-
masing. "Kita sekarang tidak usah merasa segan untuk
membunyikan isyarat dengan kentongan" berkata juragan
gula ilu. "Ya" jawab Kiai Gumrah "kita dapat membuat
persetujuan, bunyi isyarat yang harus kita bunyikan dalam
keadaan tertentu, tetapi tidak mengacaukan tanda-tanda
atau-isyarat yang sudah terbiasa dipergunakan didalam
tatahan kehidupan di padukuhan ini."
Demikianlah, Kiai Gumrah dan kawan-kawannya yang
dalam kehidupan mereka sehari-hari pada umumnya
menjadi penyadap legen kelapa serta membuatnya menjadi
gula, tidak lagi berusaha membuat tirai yang dapat
menyembunyikan kenyataan mereka. Justru keadaan telah
menyudutkan mereka untuk menyatakan diri, siapakah
sebenarnya mereka itu. Usaha mereka untuk dapat hidup
tenang sebagaimana para petani di padukuhan itu, ternyata
telah dikacaukan oleh perbuatan yang tidak bertanggung
jawab. Dalam pada itu, Kiai Gumrah dan kawan-kawannya
sepakat untuk membiarkan kedua orang yang terluka itu
bera dirumah Kiai Gumrah. Mereka harus mendapat
pengobatan yang baik, namun juga pengawasan yang
saksama, karena mereka tidak boleh terlepas dari tangan
mereka. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali Kiai Gumrah
harus mengikat tangan mereka selama mereka berbaring di
pembaringan, meskipun ikatannya cukup longgar.
"Maaf Ki Sanak" berkata Kiai Gumrah "kami tidak dapat
berbuat lain."
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka
mengerti, bahwa yang dilakukan terhadap keduanya itu
adalah wajar sebagaimana sikap mereka yang sedang
bermusuhan. Bahkan keduanya tidak mengalami perlakuan
yang buruk, itupun sudah merupakan satu kelebihan
tersendiri. Sementara itu, maka keluarga Kiai Gumrah. yang
menjadi semakin besar itupun telah membagi tugas
mengawasi orang-orang yang menjadi tawanan, mereka dan
yang tangannya terikat pada tiang dipembaringan mereka.
Demikianlah maka, kegagalan rencana Darpati untuk
mengambil pusaka-pusaka yang tersimpan dirumah Kiai
Gumrah, atau mengambil Winih yang akan dapat
dipertukarkan dengan pusaka-pusaka itu telah mendapat
perhatian tersendiri dari para pengikut Kiai Windu
Kusuma. Ketika beberapa orang datang memberitahukan
kegagalan itu, serta kegagalan mereka memanfaatkan
orang-orang sepadukuhan, maka Kiai Windu Kusuma
menyadari, bahwa mereka harus mengambil jalan lain.
Namun timbul kecemasan diantara para pengikut Kiai
Windu Kusuma, bahwa ada diantara orang-orang yang
tertangkap hidup-hidup sehingga mereka akan dapat
memberikan beberapa keterangan kepada Kiai Gumrah.
Karena sebenarnyalah mereka mengetahui, bahwa Kiai
Gumrah bukan sekedar penyadap legen kelapa dan
pembuat gula. Yang tersebar dipadukuhan

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, sebenarnyalah murid-murid dari satu perguruan yang besar.
"Kita harus yakin, bahwa tidak ada orang yang
tertangkap hidup-hidup" berkata Kiai Windu Kusuma.
Maka Kiai Windu Kusuma itupun telah memerintahkan
orang-orangnya untuk menyelidiki kemungkinan itu.
"Kita dapat mencari sumber keterangan dari orang-orang
padukuhan itu. Tentu ada diantara mereka yang membantu
melakukan penguburan" berkata Kiai Windu Kusuma.
Namun seorang yang lain berkata "Kenapa kita harus
mengambil langkah yang berbahaya"
Orang-orang padukuhan itu sekarang tentu menjadi sangat curiga
terhadap orang yang tidak mereka kenal."
"Tetapi kita harus tahu pasti nasib orang-orang kita yang
tidak, kembali." jawab Kia i Windu Kusuma "semua ada
delapan orang termasuk Darpati sendiri."
"Bukankah ada jalan yang lebih mudah. Kita pergi ke
kuburan itu. Kita hitung, ada berapa kuburan baru yang
ada. Orang-orang kita yang. terbunuh itu tentu dikubur
menjadi satu. Seandainya ada orang-orang padukuhan itu
yang terbunuh, maka tubuh mereka tentu akan dikubur di-
tempat. yang terpisah, karena mereka tentu akan
membedakan, kuburan pahlawan-pahlawan mereka dengan
tubuh-tubuh dari orang-orang yang mereka anggap orang-
orang jahat. Apalagi setelah Ki Bekel dan orang-orang
padukuhan itu berubah pikiran."
Kiai Windu Kusuma itupun mengangguk-angguk.
Katanya "Bagus. Perintahkan satu dua untuk melihat
kekuburan itu."
Demikianlah, maka dua orang diantara para pengikut
Kiai Windu Kusuma itu telah melihat kuburan yang
diketahuinya sebagai tempat untuk mengubur korban yang
jatuh dalam pertempuran semalam. Dua ekor burung elang
sempat melihat iring-iringan penguburan itu, sehingga dua
orang pengikut Kiai Windu Kusuma itu segera mengetahui
kuburan yang dicarinya karena kedua ekor elang itu terbang
berputaran diatasnya.
Ketika kuburan itu sudah menjadi sepi, maka dua orang
pengikut Kiai Windu Kusuma itupun telah masuk
kedalamnya untuk menghitung, berapa orang yang
dikuburkan oleh orang-orang padukuhan.
"Delapan" desis salah seorang daripadanya. Kawannya
menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kita sudah terlalu
banyak memberikan korban. Tetapi persoalannya masih
belum selesai. Pusaka-pusaka yang dikehendaki oleh
Panembahan itu belum dapat kita kuasai."
"Tetapi bahwa kedelapan orang termasuk Darpati itu
ternyata sudah mati semua adalah lebih baik daripada ada
diantara mereka yang tertangkap hidup. Yang tertangkap
hidup itu, akan dapat memberikan banyak, keterangan
kepada Kiai Gumrah dan kawan-kawannya." Berkata orang
yang pertama. Kawannya mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Memang
lebih baik jika semuanya mati. Kita tidak mencemaskan
lagi, apa saja yang akan diceriterakan kepada orang-orang
yang menangkapnya. Betapapun ketahanan jiwani seseorang, namun jika dipaksa dengan kekerasan, maka
biasanya mulutnya akan terbuka pula."
"Nampaknya Kiai Gumrah dan kawan-kawannya juga
sudah mulai kehilangan kesabaran. Delapan orang kawan
kita dibunuhnya."
"Kita tentu dapat mengerti, kenapa mereka berbuat
demikian. Apalagi menghadapi orang-orang dalam kelompok-kelompok baru dilingkungan kita. Mereka lebih
keras dari orang-orang lama seperti kita ini."
"Tetapi Darpati sudah mati. Ia terlalu yakin akan
kemampuannya. Aku dengar Kundala pernah memperingatkannya."
"Kundala sekarang sudah tidak banyak berarti lagi bagi
para pemimpin kita."
Keduanyapun kemudian telab meninggalkan kuburan
itu. Mereka yakin, bahwa semua orang yang tidak sempat
meloloskan diri dari halaman rumah Kiai Gumrah telah
terbunuh. Namun dengan demikian, maka para pengikut Kiai
Windu Kusuma tidak mempersoalkannya lagi.
Demikian keduanya meninggalkan kuburan, maka
seseorang telah muncul dari balik gerumbul. Orang itu
adalah salah seorang kawan Kiai Gumrah yang ingin
meyakinkan, apakah perhitungan Kiai Gumrah itu benar.
Ternyata bahwa Kiai Windu Kusuma benar-benar telah
memerintahkan orangnya untuk menghitung jumlah
kuburan baru ditempat yang agak terpisah dari yang.lain.
Dengan demikian, maka orang itupun yakin pula, bahwa
Kiai Windu Kusuma menganggap bahwa semua orangnya
yang hilang itu telah terbunuh.
0oo^dw^oo0 Karya SH Mintardja
Seri Arya Manggada 3
Sang Penerus Sumber djvu : Ismoyo
Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://dewi-kz.com/
Buku 6 ANGGAPAN itulah yang ternyata kemudian merupakan salah satu kelemahan bagi Kiai Windu
Kusuma, karena ia menganggap bahwa tidak ada orang
yang dapat memberikan keterangan lebih banyak tentang isi
dan kekuatan kelompok Kiai Windu Kusuma dan orang
yang disebutnya Panembahan itu. Mereka menganggap
bahwa Kiai Gumrah tidak akan berani berbuat lebih jauh
dari sekedar mempertahankan diri dirumah-nya karena ia
tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang lawannya
yang ingin mendapatkan pusaka-pusaka yang disimpannya
itu. Kiai Windu Kusuma memang tidak mengingkari
kemungkinan bahwa Kiai Gumrah akan dapat mengetahui
letak persembunyiannya dengan mengikuti arah terbang
burung-burung elang yang dipergunakannya
untuk mengetahui beberapa hal tentang keadaan Kiai Gumrah,
lingkungannya dan bahkan beberapa kegiatannya. Tetapi
persembunyian itu ternyata bukan merupakan satu hal yang
sangat penting bagi mereka.
Sebenarnyalah pengamatan salah seorang kawan Kiai
Gumrah atas sarang lawannya masih jauh dari yang
diharapkan. Untunglah bahwa Kiai Gumrah dan kawan-
kawannya berhasil menangkap dua orang pengikut Darpati
yang telah berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka yang
tersimpan dirumah Kiai Gumrah itu dengan caranya,
setelah mereka berhasil mengelabui dan menggerakkan
orang-orang padukuhan bahkan termasuk Ki Bekel pula.
Ternyata perlakuan yang baik, serta perawatan yang
bersungguh-sungguh telah membuat hati kedua orang
tawanan itu berguncang. Jika mereka semula berniat untuk
tidak mengatakan sesuatu tentang kelompoknya, maka
kemudian sedikit demi sedikit tekad yang semula mengeras
seperti batu hitam itu mulai mencair.
Kiai Gumrah sejak semula memang meyakini, bahwa
sikap dan perlakuan yang baik, akan dapat mengkikis
kekerasan hati kedua orang tawanannya. Karena itu maka
perlahan-lahan Kiai Gumrah dapat menggiring mereka
kedalam satu pembicaraan yang bersungguh-sungguh.
Ketika keadaan kedua orang itu menjadi sedikit baik,
maka mereka mulai dapat duduk diamben yang besar
diruang dalam rumah Kiai Gumrah. Tali yang mengikat
dengan pembaringan mereka telah dilepas disaat-saat
tertentu, sebagaimana saat mereka duduk diruang dalam
bersama dengan Kiai Gumrah dan Ki Prawara.
Meskipun tangan dan kakinya tidak terikat, tetapi kedua
orang itu menyadari, bahwa ia berada disatu lingkungan
yang dikelilingi oleh orang-orang berilmu tinggi. Ternyata
dua orang perempuan yang ada dirumah itu adalah
perempuan yang berilmu tinggi pula. Seorang diantaranya
berhasil membunuh Darpati, sedangkan yang seorang lagi
telah mengalahkan salah seorang dari kedua orang tawanan
itu. Setelah menghirup beberapa teguk minuman hangat,
maka mereka mulai berbincang tentang beberapa hal yang
menyangkut tentang kelompok yang dipimpin oleh Kiai
Windu Kusuma. Kedua orang itu memang tidak segera menjawab
pertanyaan-pertanyaan Kiai Gumrah. Namun sedikit demi
sedikit Kiai Gumrah meyakinkan kepada keduanya, bahwa
keduanya bagi Kiai Windu Kusuma sudah dianggap
sebagai orang-orang yang hilang.
"Ki Sanak" berkata Kiai Gumrah "dikuburan itu terdapat
delapan onggok tanah galian baru. Seorang diantara
kawanku menyaksikan dua orang pengikut Kiai Windu
Kusuma yang datang dan menghitungnya"
"Bagaimana kawan Kiai dapat mengerti, bahwa kedua
orang itu adalah pengikut Kiai Windu Kusuma?" bertanya
salah seorang dari kedua orang tawanan itu.
"Kawanku bersembunyi dibalik sebuah gerumbul yang
tidak terlalu jauh. Ia mendengar percakapan kedua orang
itu, sehingga kawanku yakin bahwa Kiai Windu Kusuma
telah menganggap kalian orang-orang yang telah dikubur
bersama enam orang kawan kalian"
Orang itu masih merasa ragu. Namun kemudian Kiai
Gumrah berkata "Ki Sanak. Justru kalian sudah dianggap
hilang, aku merasa kasihan kepada kalian. Kalian tidak
akan dapat berlindung kepada siapapun. Seandainya
mereka tahu bahwa kalian masih ada, mungkin mereka
akan berusaha untuk membebaskan kalian. Tetapi mungkin
juga sebaliknya. Mereka akan berusaha membunuh kalian
agar kalian tidak dapat berbicara lagi. Tetapi dengan dua
onggok tanah kuburan itu, kalian tidak akan lagi merasa
dibayangi oleh ancaman pembunuhan itu"
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak, sementara
Kiai Gumrahpun berkata "Pertimbangkan keadaanmu baik-
baik Ki Sanak. Karena kalian tentu tidak akan merasa
senang untuk benar-benar berada dikuburan itu, siapapun
yang mengantarkan kalian kesana"
Keduanya mengangguk-angguk.
Seorang diantara mereka berkata "Aku mengerti Kiai. Akupun merasa
perlakuan Kiai dan keluarga Kiai terlalu baik buat kami.
Karena itu, maka rasa-rasanya kami memang harus menilai
sikap kami"
"Kalian masih mempunyai waktu Ki Sanak" berkata Kiai
Gumrah "meskipun sangat sempit. Sekarang, beristirahatlah
agar keadaan kalian menjadi semakin baik"
"Tidak Kiai. Kami sudah cukup beristirahat" berkata
orang itu. "Jika demikian, apakah kita dapat berbicara lebih lanjut?"
berkata Kiai Gumrah.
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak
mereka saling berpandangan. Namun kemudian seorang
diantara mereka berkata "Kami sudah mengetahui apa yang
Kiai inginkan"
"Sokurlah" jawab Kiai Gumrah. Tetapi kemudian ia
justru bertanya "Apa menurut pendapatmu yang ingin aku
ketahui itu?"
"Tentu kekuatan dan sarang para pengikut Kiai Windu
Kusuma" jawab seorang diantara keduanya.
"Kami sudah mengetahui sarang mereka. Tetapi yang
memang belum kami ketahui sepenuhnya adalah kekuatan
mereka" Wajah kedua orang itu berkerut. Namun seorang
diantara mereka berkata "Darimana Kiai mengetahuinya?"
"Kawan-kawan kami berhasil mengikuti arah terbang
burung-burung elang yang sering dilepaskan oleh para
pengikut Kiai Windu Kusuma" jawab Kiai Gumrah.
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian
seorang diantara mereka berkata "Kiai. Aku sekarang sudah
disini. Aku kira aku memang tidak akan dapat kembali
kelingkunganku yang lama. Jika aku kembali, maka
nasibkupun akan menjadi buruk sekali. Karena itu, maka
aku justru akan menitipkan hidup matiku kepada Kiai"
"Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami bukan sekelompok pembunuh yang haus melihat darah tertumpah.
Jika kami melakukan kekerasan itu semata-mata, karena
kami sekedar mempertahankan diri dan mempertahankan
hak kami. Karena itu, maka jika kalian memang ingin
mendapat perlindungan kami, maka kami tentu tidak akan
berkeberatan. Tetapi apakah hal ini ada hubungannya
dengan pengenalan kami atas sarang Kiai Windu Kusuma
dan para pengikutnya atau bahkan sarang orang yang
disebut Panembahan itu?"
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang diantara
mereka berkata "Ya Kiai. Kami ingin memper ingatkan
bahwa pengenalan Kiai atas sarang Kiai Windu Kusuma
dan orang yang disebut Panembahan itu tidak lengkap"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah
ia bertanya "Apakah yang kau maksud tidak lengkap"
Bukankah sudah aku katakan, bahwa kami memang belum
mengetahui dengan pasti kekuatan mereka?"
"Bukan hanya kekuatan mereka, Kiai" jawab orang itu
"tetapi juga sarang mereka yang sebenarnya. Karena sarang
burung-burung elang itu bukan sarang Kiai Windu Kusuma
yang sebenarnya. Rumah itu memang dipergunakan oleh
Kiai Windu Kusuma. Tetapi hanya beberapa orang saja
yang tinggal disana. Terutama orang yang mampu
mengendalikan burung-burung elang itu. Sedangkan yang
lain berada ditempat yang terpisah."
Wajah Kiai Gumrah nampak berkerut. Keterangan itu
sangat menarik perhatiannya. Tetapi Kiai Gumrah tidak
segera mempercayainya begitu saja. Bahkan Ki Prawara
dengan serta-merta bertanya "Apakah kau berkata
sebenarnya?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat
mengerti bahwa Kiai Gumrah dan Ki Prawara itu tentu
tidak begitu saja mempercayainya.
Karena itu, maka katanya "Kiai. Bukankah Kiai
mempunyai kawan-kawan yang memiliki ilmu yang tinggi"
Jumlah kawan-kawan Kiai memang tidak begitu banyak.
Tetapi kawan-kawan Kiai benar-benar memiliki kelebihan
dari orang-orang kebanyakan. Hadirnya dua ekor harimau
itu juga merupakan rahasia tersendiri bagi Kiai Windu
Kusuma. Semuanya itu merupakan satu landasan yang
sangat berarti bagi Kiai. Sementara itu salah seorang
diantara kawan-kawan Kiai tentu akan dapat menyelidiki
tempat sebenarnya dari Kiai Windu Kusuma dan kawan-
kawannya. Bahkan sekarang, orang
yang disebut Panembahan itu telah ada disana pula"
Kiai Gumrah mengangguk-
angguk. Dengan kening yang
berkerut iapun kemudian bertanya "Siapakah nama Panembahan itu?"
"Kami hanya menyebutnya
dengan Panembahan begitu saja"
"Baiklah. Kita tidak mempersoalkan namanya. Tetapi
kami yakin bahwa Panembahan
itu adalah Panembahan yang
pernah kami kenal namanya,
karena Panembahan yang kami kenal namanya itu juga
mempunyai tingkah laku sebagaimana Panembahan yang
ada diantara kalian. Jika Panembahan yang kami kenal
namanya itu menurut pendengaran kami telah mengorbankan gadis-gadis untuk membuat pusakanya yang
berupa sebilah keris menjadi pusaka yang terbaik didunia,
maka sekarang Panembahan yang ada diantaramu itu akan
memelihara dan meningkatkan tuah dari pusaka-pusaka
yang akan diambilnya dari rumahku ini dengan menikam
jantung manusia yang masih segar. Bukankah pada kedua-
duanya berarti membasahi pusaka-pusaka itu dengan darah.
Satu lambang betapa hausnya Panembahan itu terhadap
darah yang tertumpah. Bahkan mungkin Panembahan
itupun mengerti bahwa darah itu tidak akan berarti apa-apa,
apalagi memberikan tuah. Tetapi kepuasan Panembahan itu
mula-mula justru saat ia melihat darah yang memancar.
Namun lambat laun, kebiasaan untuk mencari kepuasan itu
telah diberinya alasan yang lebih mapan agar ia dapat
melakukannya dengan lebih mantap"
Tetapi kedua orang itu hampir bersamaan menggeleng.
Seorang diantaranya berkata "Tidak Kiai. Meskipun
mungkin ada juga sedikit kebenarannya. Tetapi sebenarnya
Panembahan itu adalah salah seorang yang memuja kuasa
kegelapan"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Sementara Ki
Prawara bertanya "Apa tandanya bahwa Panembahan itu
menuju kuasa kegelapan?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Tingkah lakunya yang aneh. Benda-benda yang
melekat pada dirinya, serta korban yang selalu diberikannya
kepada kuasa yang dipujanya itu. Kami memang menjadi
curiga bahwa yang dikorbankan itu merupakan bagian yang
diambilnya dari tubuh manusia, terutama darah"
"Kapan Panembahan itu menyerahkan korbannya?"
bertanya Kiai Gumrah.
"Kiai" berkata orang itu "kami adalah orang-orang yang
sebenarnya adalah pengikut Kiai Windu Kusuma, sehingga
kami tidak terlalu banyak mengetahui apa yang dilakukan
oleh Panembahan. Tetapi menurut pendengaranku,
Panembahan setiap bulan purnama telah menyerahkan
korban" Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan demikian
maka ia menjadi semakin yakin bahwa Panembahan itu
adalah orang yang sangat berbahaya. Ia dapat berbuat apa
saja diluar dugaan setiap saat, sehingga yang tidak
terbayangkanpun akan dapat dilakukan pula.
Namun Kiai Gumrahpun kemudian bertanya "Tetapi
kenapa Kiai Windu Kusuma telah terlibat dalam kegiatan
panembahan itu?"
Kedua orang itu menggeleng. Seorang diantara mereka
berkata "Kami tidak tahu, hubungan apakah yang telah
mendorong Kiai Windu Kusuma untuk melibatkan diri
dalam perebutan pusaka-pusaka itu. Tetapi nampaknya
pengaruh Panembahan itu terhadap Kiai Windu Kusuma
cukup kuat, sehingga mau tidak mau Kiai Windu Kusuma
harus terlibat kedalamnya"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Namun ia percaya
akan keterangan itu. Karena itu, maka Kiai Gumrah dan Ki
Prawara mengangguk-angguk mengiakan.
"Kami harus segera membicarakannya" berkata Kiai
Gumrah "kami minta kalian bersedia berbicara bersama
kami terutama untuk menilai kekuatan Panembahan dan
Kiai Windu Kusuma"
Kedua orang itu mengangguk kecil. Namun kemudian
seorang diantara mereka berkata "Masih ada satu pihak lagi
yang terlibat dalam hubungan ini. Jika aku tidak
mengatakannya, maka aku cemas bahwa penilaian Kiai atas
kekuatan Panembahan tidak lengkap. Karena itu, sebaiknya
Kiai juga mengetahuinya"
"Siapa lagi yang terlibat dalam hubungannya dengan niat
Panembahan?" bertanya Kiai Gumrah.
"Tetapi nampaknya orang itu tergerak sekedar karena
nilai kebendaan yang diinginkannya" jawab orang itu.
"Siapa orang itu?" bertanya Kiai Gumrah selanjutnya.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian orang itu
berkata "Aku hanya mendengar namanya disebut Kiai
Kajar." Wajah Kiai Gumrah dan Ki Prawara menjadi tegang.
Diluar sadarnya Ki Prawa ra berdesis "Iblis itu benar-benar
berkhianat"
"Kiai kenal orang itu?" bertanya salah seorang dari kedua
tawanan itu. "Ya. Orang itu adalah saudara seperguruanku" berkata
Kiai Gumrah "karena itulah agaknya Kiai Windu Kusuma
dan bahkan Panembahan itu mengetahui bahwa disini
tersimpan pusaka-pusaka yang diinginkannya"
"Aku kira tidak Kiai" sahut orang itu "Kiai Windu
Kusuma memang mengetahui adanya pusaka-pusaka itu
dari Kiai Kajar. Tetapi Panembahan itu tidak. Seakan-akan
ia tahu segala-galanya, terutama tentang pusaka-pusaka
yang menurut pendapatnya sangat bertuah"
"Kau tentu tidak mengetahui segala-galanya. Meski ada
yang terlampaui" berkata Kiai Gumrah.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia-pun mengangguk-angguk sambil berkata "Ya. Aku
memang bukan termasuk salah seorang pemimpin yang ikut
menentukan. Tetapi aku mendapat sedikit kepercayaan.
Bukan dari Panembahan, tetapi dari Kiai Windu Kusuma"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Hampir saja ia
bertanya tentang Kundala. Tetapi niatnya diurungkannya.
Agaknya masih belum saatnya, Kiai Gumrah menyebut
kehadiran Kundala di
rumah itu. Masih banyak
kemungkinan dapat terjadi atas kedua orang itu, juga atas
Kundala, sehingga kemungkinan buruk dapat saja terjadi
atas mereka. Namun pembicaraan itu telah memberikan banyak
bahan bagi Kiai Gumrah. Ia sadar, bahwa satu pertemuan
yang lebih besar harus diselenggarakan. Kiai Gumrah sudah
dapat membayangkan, bahwa yang dihadapi adalah satu
kekuatan yang cukup besar.
Ternyata meskipun Kiai Gumrah telah memasuki usia
tuanya, namun ia masih melangkah dengan tegar. Dalam
waktu singkat ia sudah menghubungi kawan-kawannya.
Beranting mereka menyampaikan undangan Kiai Gumrah
bagi kawan-kawannya yang tidak kurang dari saudara-
saudara seperguruannya.
"Besok sore kita bertemu. Aku akan meminjam banjar
tua itu untuk mengadakan pertemuan. Aku akan minta agar
Ki Bekel tidak mengatakan kepada siapapun, bahwa kita
akan mengadakan pertemuan di banjar. Anak-anak muda
padukuhan ini juga tidak perlu mengetahui, sehingga
karena itu, maka biarlah Ki Bekel membuat satu kegiatan
apapun bagi anak-anak muda agar mereka tidak berkeliaran
ke banjar tua" berkata Kiai Gumrah kepada salah seorang
pedagang gula yang termasuk saudara seperguruannya. Kiai
Gumrahpun telah menemui juragan gula itu pula, agar ia
menyampaikan kepada saudara-saudara seperguruannya
yang esok pagi menyerahkan gula kelapa kepadanya.
"Apakah kawan-kawan yang lain sudah tahu?" bertanya
juragan gula itu.
"Beranting" jawab Kiai Gumrah "dipasar besok mudah-
mudahan banyak yang dapat ditemui. Jika tidak, maka
biarlah saudara-saudara kita saling mengunjungi dirumah
mereka masing-masing"
Malam itu juga Kiai Gumrah telah menemui Ki Bekel. Ia
minta ijin untuk menggunakan banjar tua yang untuk waktu
yang terhitung panjang telah ditungguinya, dibersihkan dan
dijaga dengan baik.
"Tentu" berkata Ki Bekel "Kiai Gumrah dapat saja
mempergunakan banjar itu untuk keperluan apapun."
"Tetapi aku mohon anak-anak muda tidak mengganggu
pertemuan kami. Biasanya ada beberapa anak muda yang
singgah di banjar itu dimalam hari. Sebenarnya aku merasa
senang akan kehadiran anak-anak muda itu. Tetapi kali ini
aku mohon Ki Bekel mengatur satu pertemuan di banjar
baru, agar anak-anak muda tidak pergi ke banjar lama"
Ki Bekel termangu-mangu. Katanya "Aku tidak
berkeberatan. Tetapi apa alasanku untuk mengikat mereka
di banjar baru"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Tanpa alasan
apapun, Ki Bekel memang tidak dapat menahan anak-anak
muda di banjar baru.
Namun tiba-tiba Kiai Gumrah berkata "Ki Bekel. Selama
ini Rambatan dan beberapa orang kawannya seakan-akan
telah terpisah dari anak-anak muda yang lain. Tetapi pada
saat terakhir, agaknya Rambatan telah berubah sikap.
Apakah Ki Bekel dapat mempergunakannya sebagai
alasan?" "Maksud Kiai Gumrah?" bertanya Ki Bekel.
"Undang anak-anak muda termasuk Rambatan dan
kawan-kawannya itu. Ki Bekel dapat mengatakan kepada
mereka, bahwa pertemuan itu adalah pertemuan untuk
menghilangkan jarak antara Rambatan dan kelompoknya
dengan anak-anak muda yang lain. Katakan bahwa anak-
anak muda padukuhan itu telah menyatu kembali.
Rambatan telah meninggalkan cara hidupnya yang lama"
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Bagus. Aku akan mengajak anak-anak itu makan
untuk merayakan perubahan sikap sebagian dari anak-anak
muda padukuhan ini. Dan lebih dari itu, juga sikapku
sendiri. Bukankah perubahan sikapku juga pantas disambut
baik dengan sebuah kegembiraan"
"Tentu" Kiai Gumrah tertawa "aku ikut bergembira.


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang aku tidak dapat hadir dalam pertemuan untuk
mensukuri beberapa perubahan yang terjadi di padukuhan
ini" Kiai Gumrah berhenti sejenak, lalu "Tetapi aku mohon
Ki Bekel tidak mengatakan sesuatu tentang pertemuan itu
tidak baik untuk diketahui oleh anak-anak muda itu. Kita
masih harus tetap curiga, bahwa setelah berbagai perubahan
sikap terjadi di padukuhan ini, ternyata masih ada satu dua
orang yang meragukan sikapnya"
"Aku mengerti, Kiai. Aku akan berbuat sebaik-baiknya"
jawab Ki Bekel.
Demikianlah, maka ketika pasar mulai ramai, beberapa
orang pedagang gulapun saling bertemu. Mereka telah
menyebarkan panggilan dari Kiai Gumrah untuk bertemu
di banjar tua yang untuk waktu yang terhitung lama
ditunggui olehnya.
"Apakah tempat itu sudah diamankan?" bertanya salah
seorang dari mereka.
"Itu tanggung jawab Kiai Gumrah" jawab saudagar gula
yang menerima gula dari para pembuat gula yang
jumlahnya sampai satu dua pedati. Sebagian besar dari
gula-gula itu telah dikirimkan kepada pedagang gula di
pasar-pasar yang lain, bahkan dipadukuhan-padukuhan
yang agak jauh.
Jaringan perdagangan gula itulah yang menjadi jalur
hubungan antara Kiai Gumrah dan saudara-saudara
seperguruannya, meskipun tidak semua pedagang gula
termasuk dalam lingkungan
seperguruan Kiai Gumrah.
Dengan demikian maka
panggilan Kiai Gumrah itu
telah merambat dari satu
orang kepada orang yang lain,
sehingga tersebar kepada saudara-saudara
seperguruannya,
bahwa setelah malam turun, maka
mereka akan bertemu untuk
berbicara di banjar tua didekat
rumah Kiai Gumrah.
Ketika kemudian senja mulai membayangi padukuhan itu, Kiai Gumrahpun mulai bersiap-siap. Ia
berpesan kepada Nyi Prawara dan Winih, agar mereka
berhati-hati dirumah. Demikian pula Manggada dan
Laksana. "Kalian tidak usah keluar dari rumah" pesan Kiai
Gumrah. Nyi Prawara mengangguk. Katanya "Kami akan
menempatkan kentongan kecil didalam rumah ini ayah.
Mungkin kami memerlukannya mengingat kekuatan lawan
yang ternyata cukup besar. Mereka dapat datang setiap saat.
Bahkan disaat yang tidak diduga-duga"
"Aku setuju. Biarlah Manggada memasukkan kentongan
kecil diserambi belakang itu" berkata Kiai Gumrah. Lalu
katanya "Aku dan Prawara akan berada di banjar tua itu"
Nyi Prawara mengangguk. Dengan nada dalam ia
berkata kepada Manggada "Ambillah kentongan di serambi
belakang itu. Kita harus berhati-hati menghadapi mereka"
Demikianlah, ketika Kiai Gumrah dan Ki Prawara pergi
ke banjar, maka yang tinggal dirumah adalah Nyi Prawara,
Winih, Manggada dan Laksana. Mereka duduk diruang
dalam, didepan sentong tempat Kiai Gumrah menyimpan
pusaka-pusakanya. Namun untuk dapat
mengamati langsung pusaka-pusaka itu, maka tirai dipintu bilik itupun
telah disingkapkannya. Sehingga dengan demikian maka
mereka dapat melihat langsung pusaka-pusaka yang sedang
mereka lindungi itu.
Sementara itu, di banjar itu telah berkumpul lebih dari
sepuluh orang. Semuanya sudah nampak separo baya.
Bahkan Ki Prawarapun nampaknya terhitung muda
diantara para pedagang dan pembuat gula itu.
Dengan singkat Kiai Gumrah menguraikan tentang niat
Kiai Windu Kusuma dan seorang yang disebut Panembahan untuk memiliki pusaka itu.
"Aku mengajak dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma
yang dapat kami tangkap" berkata Kiai Gumrah.
Semua orang yang hadir di banjar itu telah memandang
kedua orang tawanan yang menundukkan kepalanya.
Namun Kiai Gumrahpun kemudian berkata "Tetapi
keduanya dapat aku anggap sebagai orang yang baik"
"Kenapa?" bertanya seorang pembuat gula yang bertubuh
tinggi besar, sehingga kawan-kawannya menyebutnya Buta
Ijo. "Mereka telah memberikan banyak petunjuk" jawab Kiai
Gumrah. "Mereka berbicara karena terpaksa" desis seorang yang
lain, yang rambut dan kumisnya sudah mulai memutih.
"Tidak. Aku tidak memaksa. Mereka berbicara atas
kehendak mereka sendiri. Seandainya disebut terpaksa,
bukan karena tekanan kekerasan" jawab Kiai Gumrah yang
kemudian dengan singkat menguraikan tentang delapan
onggok kuburan.
"Bagaimanapun juga unsur keterpaksaan itu ada" berkata
raksasa itu pula.
"Jika kita membuat tataran, maka tataran kejahatan
mereka masih belum terlalu tinggi, meskipun mereka
termasuk orang-orang yang datang untuk membunuh cucu-
cucuku dan bahkan menantuku" berkata Kiai Gumrah.
"Baiklah jika kau menganggap bahwa kesalahannya tidak
sampai ke ubun-ubun. Nah, sekarang apa lagi?" bertanya
yang lain, yang kurang sabar terhadap perkembangan
pembicaraan itu.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia mulai berbicara tentang pendapatnya bahwa
sebaiknya mereka tidak sekedar menunggu Panembahan itu
datang kepadanya.
"Satu pilihan yang paling baik" berkata juragan gula yang
nampaknya agak terkantuk-kantuk.
"Apakah kita sudah mempunyai gambaran apa yang
akan kita lakukan?" bertanya orang yang bertubuh raksasa
yang jarang berhubungan dengan saudara-saudara
seperguruannya.
Juragan gula itu tersenyum. Dengan nada rendah ia
berkata "Kau selama ini selalu mengurung diri. He, kepada siapa
gulamu kau jual" Kenapa tidak kepadaku?"
"Kau kira aku tidak perlu makan buat aku dan
keluargaku" jawab Buta Ijo itu "kalau aku menjual gula itu
kepadamu, berapa aku mendapat uang" Hasil penjualan
gula itu masih harus dikurangi upah mengangkut gula dari
tempatku yang cukup jauh dari rumahmu"
Juragan gula itu tertawa. Katanya "Meskipun demikian,
sekali-sekali kau hubungi aku. Dengan demikian kau tidak
akan ketinggalan mengikuti perkembangan keadaan.
Khususnya yang menyangkut keluarga seperguruan kita"
"Yang penting sekarang, beri aku keterangan tentang
persoalan yang kita hadapi" berkata raksasa itu "disini
bukan tempat untuk mencari dagangan"
Yang lain tertawa. Kiai Gumrahpun tertawa pula.
Namun kemudian ia berkata "Baiklah. Agaknya aku dapat
sedikit memberikan keterangan"
Namun tiba-tiba kawan Kiai Gumrah yang pernah
menemukan sarang burung elang itu berkata "Aku sudah
menemukan sarang mereka yang ingin merampas pusaka-
pusaka itu"
"Ya" jawab Kiai Gumrah "tetapi masih perlu mendapat
penjelasan tentang sarang itu"
Kawan Kiai Gumrah itu mengerutkan dahinya. Dengan
nada berat ia bertanya "Penjelasan apa lagi" Aku sudah
menemukannya. Hanya orang berilmu tinggi mampu
melakukannya."
Beberapa orang tertawa serentak. Seorang yang
berjanggut beberapa lembar saja berkata "He, sejak kapan
kau menyadap ilmu itu" Tiba-tiba saja kau mengaku
berilmu tinggi"
"Sejak aku menemukan sarang itu, baru aku yakin bahwa
aku berilmu tinggi" jawab orang itu.
Kawan-kawannya tertawa. Juragan gula yang sempat
berbincang dengan Kiai Gumrah sebelum pertemuan itu
dimulai berkata "Kau dengar, bahwa penemuanmu masih
memerlukan penjelasan"
"Penjelasan apa?" bertanya orang itu.
Kiai Gumrahlah yang kemudian mengatakan pengakuan
kedua orang yang pengikut Kiai Windu Kusuma yang
dapat ditangkapnya itu.
Orang-orang yang ada di banjar tua itu mengangguk-
angguk. Kemudian katanya "Aku orang berilmu tinggi.
Biarlah aku menyelidiki sarang mereka sebagaimana
dikatakan oleh kedua orang itu. Tetapi jika mereka
berbohong, maka mereka akan aku gantung di depan sarang
burung-burung elang itu"
Kiai Gumrahpun berpaling kepada kedua orang itu.
Dengan dahi yang berkerut ia bertanya "Nah kau dengar"
Bukankah kau tidak berbohong" Kau juga mendengar
bahwa orang itu berilmu tinggi sehingga ia benar-benar
akan dapat menggantung kalian tinggi-tinggi pada batang
pohon randu alas"
Namun seorang yang lain menambahkannya "Tetapi
kedua orang itu harus diikat dahulu kaki dan tangannya.
Jika tidak, maka ia tidak akan berani melakukannya
meskipun ia berilmu tinggi"
Orang-orang yang hadir itu tertawa serentak. Orang yang
menyebut dirinya berilmu tinggi itu juga tertawa.
Kedua orang tawanan itu saling berpandangan. Mereka
tidak melihat suasana seperti itu di sarang Kiai Windu
Kusuma. Yang mereka lihat hampir setiap hari adalah
wajah-wajah yang berkerut, sikap yang keras dan kasar.
Susunan hubungan yang satu dengan yang lain seakan-akan
dibayangi oleh tataran kepemimpinan yang ketat, sehingga
para pemimpin dapat berlaku sekehendak hatinya terhadap
para pengikutnya. Bahkan diantara para pemimpin masih
saja selalu timbul persoalan-persoalan
yang harus dibicarakan dengan tegang. Apalagi ketika Panembahan
bersama beberapa orang pengikutnya telah datang.
Tetapi di banjar tua itu ia melihat orang-orang berilmu
tinggi itu dapat berbicara sambil bergurau dan tertawa.
Mereka dapat meningkatkan pembicaraan mereka setingkat
demi setingkat tanpa ketegangan sama sekali.
Dengan demikian maka kedua orang itu merasa berada
didunia yang sama sekali berbeda isi dan suasananya.
Demikianlah, maka Kia i Gumrah dan saudara-saudara
seperguruannya itu mulai berbicara tentang sarang Kiai
Windu Kusuma yang sebenarnya. Mereka memang
menunjuk dua orang diantara mereka untuk menyelidiki
sarang itu. Dari kedua orang tawanan itu, Kiai Gumrah dan
saudara-saudara
seperguruannya mengetahui bahwa disamping orang-orang berilmu tinggi terdapat para
pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak.
Tiba-tiba saja Ki Prawara itupun bertanya kepada para
tawanan itu "Kau dilingkungan para pengikut Kiai Windu
Kusuma termasuk tataran yang mana" Apakah kau
termasuk pengikut yang tidak diperhitungkan atau pada
tataran menengah atau kau terhitung berilmu tinggi?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kawan-
kawan setataranku telah berkurang banyak. Ternyata
Darpati yang ingin memenuhi keinginannya sendiri telah
banyak mengorbankan kawan-kawan kami. Terakhir
rencananya memang dapat diterima penalaran Kiai Windu
Kusuma meskipun sebelumnya Darpati telah dimarahinya
dan hampir kehilangan kepercayaan"
"Apa rencana terakhirnya?" bertanya Ki Prawara.
"Sebagaimana telah terjadi" jawab orang itu "Darpati
ingin mengambil pusaka itu dengan caranya sendiri. Ia
menghasut orang-orang padukuhan, termasuk Ki Bekel.
Darpati memperhitungkan bahwa Kiai Gumrah akan sibuk
melayani orang-orang padukuhan itu sementara ia akan
mengambil pusaka-pusaka itu dengan beberapa orang
terpilih. Sedangkan rencana kedua sebagai cadangan jika
rencana pertama gagal, ia akan menculik Winih. Tetapi
ternyata kedua-duanya gagal, bahkan Darpati sendiri
terbunuh. Salah satu kesalahannya adalah, ia tidak tahu
bahwa Winih ternyata berilmu tinggi dan bahkan dapat
mengalahkannya"
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Nah, kalian
dengar rencana itu" Jika demikian maka kedua orang ini
tentu termasuk orang yang dipilih oleh Darpati. Karena itu,
maka mereka adalah orang-orang yang berada pada tataran


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menengah" "Sayang, aku tidak melihat tingkat kemampuannya"
berkata orang bertubuh raksasa yang disebut Buta Ijo. Lalu
katanya "Bagaimana jika kedua orang itu kita adu sampai
salah seorang diantara mereka mati" Kita tentu akan
melihat catatan kemampuan mereka, orang-orang yang
berada ditingkat menengah"
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara
jantung kedua orang itu menjadi berdebar-debar.
Namun mereka menjadi tenang ketika juragan gula itu
berkata "Jangan cemas. Buta Ijo itu memang senang
menakut-nakuti orang. Tetapi sebenarnya hatinya lembut
seperti beludru."
"Persetan kau" geram Buta Ijo itu. Tetapi ia tidak
berbicara lebih lanjut.
Dalam pada itu, meskipun sambil bergurau, namun
orang-orang itu telah menemukan satu sikap yang sama.
Mereka tidak akan menunggu lagi. Bahkan merekalah yang
akan datang untuk menyerang sarang Kiai Windu Kusuma.
Menurut pendapat mereka, itu adalah cara yang paling baik
untuk mempertahankan pusaka-pusaka milik perguruan
mereka yang bagi Kiai Gumrah memang benar-benar
titipan sebagaimana dikatakannya kepada Manggada dan
Laksana. Tetapi bukan titipan dari orang lain, namun
titipan dari perguruannya sendiri.
Sebenarnyalah bahwa Manggada dan Laksana juga
sudah meragukan kebenaran ceritera Kiai Gumrah tentang
pusaka-pusaka itu. Namun demikian kedua orang anak
muda itu memang merasa tidak berhak untuk mendapatkan
keterangan yang lebih terperinci.
Namun Kiai Gumrah dan saudara-saudara
seperguruannya itu masih harus mendapatkan keterangan
yang lebih terperinci tentang sarang Kiai Windu Kusuma
dan orang yang disebut Panembahan itu.
"Kita serahkan saja kepada beberapa orang" berkata Buta
Ijo "kita menunggu perintah, kapan kita akan melakukannya"
"Masih banyak yang harus kita bicarakan" berkata Kiai
Gumrah. "Aku tahu. Tetapi tidak perlu semuanya ikut berbicara.
Kita tunjuk lima atau enam orang. Yang lain akan
melaksanakan segala keputusannya tanpa membantah sama
sekali" Sebelum Kiai Gumrah menjawab, maka beberapa orang-
pun berkata hampir berbareng "Aku sependapat"
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
bahwa semuanya tidak berkeberatan.
Namun Kiai Gumrahpun berkata "Baiklah. Aku akan
menunjuk lima orang, tentu saja dengan minta persetujuan
kalian semuanya. Ingat, persetujuan, bukan kesanggupan,
karena semua orang harus sanggup melakukan tugas
betapapun beratnya"
Buta Ijo itu dengan serta merta menyahut "Bagus, aku
sependapat. Tetapi dengan syarat, bukan aku yang ditunjuk
untuk bertugas apapun juga"
"Kenapa?" bertanya juragan gula itu.
"Aku sedang mempunyai pekerjaan yang sulit ditinggalkan" jawab Buto Ijo itu.
"Pekerjaan apa?" bertanya orang yang selalu mengaku
berilmu tinggi itu. Bahkan katanya kemudian "Kita berdua
akan menyelidiki sarang Kiai Windu Kusuma"
"Anakku yang bungsu sedang merajuk. Ia minta seekor
kuda berbulu putih. Nah, aku sedang sibuk mencari uang
untuk membeli kuda berbulu putih"
"He, isteriku juga sedang merajuk" berkata orang yang
mengaku berilmu tinggi itu.
"Ah, kau juga akan membuat dongeng?" bertanya Buta
Ijo. "Kau mengaku bahwa kau telah membuat dongeng?"
bertanya Kiai Gumrah kepada Buto Ijo itu.
Buta Ijo itu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun akhirnya orang-
orang yang berkumpul di
banjar tua itu berhasil
menunjuk lima orang yang
akan memegang pimpinan
untuk melakukan perlawanan dan bahkan
menyerang sarang Kiai Windu Kusuma dan orang
yang disebut Panembahan.
Diantara mereka adalah
Kiai Gumrah, juragan gula,
orang yang selalu menyebut dirinya berilmu
tinggi, orang yang melihat
dua orang pengikut Kiai
Windu Kusuma menghitung onggokan tanah kuburan
kawna-kawannya yang terbunuh di halaman rumah Kiai
Gumrah dan seorang lagi yang sudah terbiasa duduk-duduk
berbincang dirumah Kiai Gumrah.
Namun Kiai Gumrah itu berkata "Selain berlima, aku
selalu menunggu pendapat kalian. Kawan-kawan yang
sering datang kerumahku justru aku minta selalu datang.
Tidak terbatas hanya kelima orang ini saja"
"Tentu" jawab Buta Ijo.
"Kau juga akan selalu datang?" bertanya juragan gula itu.
Buta Ijo itu tertawa berkepanjangan. Namun dalam pada
itu, maka Kiai Gumrah itupun berkata "Masih ada satu hal
yang penting kalian ketahui"
"Apa lagi?" bertanya seorang yang bertubuh kurus.
Nampaknya matanya sudah lebih banyak terpejam. Hampir
mengigau ia berkata dalam kantuknya "Aku haus"
"Sayang " berkata Kiai Gumrah "aku tidak menyediakan
minuman malam ini. Aku hanya mempunyai beberapa
bumbung legen"
"Buat apa legen" berkata Buta Ijo "aku mempunyai legen
setempayan besar penuh dirumah"
"Aku benar-benar minta maaf, bahwa aku tidak
menyediakan minuman buat kalian" berkata Kiai Gumrah
"tetapi jangan takut. Biarlah dirumah Nyi Prawara merebus
air." "Justru saat pertemuan ini sudah selesai" desah orang
yang terkantuk-kantuk"
Kiai Gumrahpun segera berpaling kepada Ki Prawara
sambil berdesis "Lihat, apakah isterimu merebus air" Aku
masih ingin berbicara dengan mereka sebentar lagi"
Ki Prawa rapun kemudian telah bangkit berdiri sambil
berkata "Aku akan pulang dahulu"
Hampir berbareng beberapa orang berkata "Bagus. Ia
akan melihat, apakah wedang jaenya sudah siap"
Demikianlah Ki Prawara dengan tergesa-gesa pulang
melihat apakah isterinya merebus air. Meskipun ia dan
ayahnya tidak memesannya, namun biasanya Nyi Prawara
mengerti dengan sendirinya bahwa diperlukan minuman
dan makanan. Ketika Ki Prawara sampai ke rumah, maka sebenarnyalah Nyi Prawara memang sudah merebus air dan
bahkan merebus ketela pohon. Namun Nyi Prawara itupun
berkata "Kalian tidak memberitahukan kepada kami, berapa
orang yang datang, sehingga seberapa banyak kami harus
merebus air dan ketela pohon"
"Yang kau sediakan sudah terlalu banyak. Baiklah, biar
aku bawa hidangan ini kesana"
"Ayah membawanya sendiri?" bertanya Winih.
"Biarlah nanti satu dua orang membantu mengambilnya
kemari" jawab Ki Prawara.
"Apakah kami dapat
membantu membawanya?"
bertanya Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Tetapi Ki Prawara menggeleng. Katanya "Jangan.
Kalian sebaiknya tetap tinggal dirumah. Jarak antara rumah
ini ke banjar itu memang pendek saja. Meskipun demikian,
biarlah aku dan orang-orang dibanjar itu sajalah yang
membawa hidangan itu kesana"
Manggada dan Laksana tidak membantah. Mereka
sadar, bahwa orang-orang tua itu bersikap berhati-hati
menghadapi suasana yang kurang menentu. Segala
kemungkinan memang masih dapat terjadi. Apalagi
terhadap mereka yang tataran ilmunya masih belum cukup
tinggi. Namun ketika Ki Prawara itu membuka pintu sambil
membawa nampan berisi beberapa mangkuk minuman,
iapun terkejut. Ia melihat bayangan dalam kegelapan
malam. Karena itu, maka ia telah melangkah surut kembali.
Diletakkannya mangkuk berisi minuman hangat itu.
Bahkan kemudian disingsingkannya kain panjangnya.
Nyi Prawara dan Winih yang ada didalam tidak melihat
bayangan yang bergerak dengan cepat dalam kegelapan itu.
Namun ketika ia melihat kesiagaan Ki Prawara, maka Nyi
Prawarapun bertanya "Kau melihat sesuatu kakang?"
"Ya" jawab Ki Prawara "aku melihat bayangan di
kegelapan. Hanya sekilas. Tetapi kesannya, tentu orang
berilmu tinggi"
"Jadi?" bertanya Nyi Prawara.
"Aku hanya melihat seorang saja. Biarlah aku pergi ke
banjar tanpa membawa apa-apa. Nanti biar saja mereka
datang kemari jika mereka haus. Sediakan saja minuman
dan makanan itu" berkata Ki Prawara.
"Tempat terlalu sempit disini" berkata Nyi Prawara.
"Pembicaraan kami sudah selesai di banjar. Karena itu,
maka jika orang-orang yang ada di banjar itu tidak dapat
masuk seluruhnya keruang dalam, biarlah sebagian berada
diluar. Asal minuman itu masih hangat"
"Tetapi minuman itu sudah mulai dingin" jawab Nyi
Prawara. "Jika demikian biarlah sebagian masih tetap diatas
perapian saja" jawab Ki Prawara.
Nyi Prawara mengangguk kecil. Namun ia berkata "Jika
kakang pergi ke banjar, berhati-hatilah. Kakang sudah
melihat bayangan orang di halaman. Mungkin ia tidak
sendiri" "Banjar itu tidak terlalu jauh. Jika aku berteriak
memanggil dengan kata sandi, maka mereka tentu akan
segera datang" jawab Ki Prawara.
"Mereka yang di kegelapan itu dapat berbuat licik" desis
Nyi Prawara kemudian. Namun kemudian katanya "Kami
ada disini. Pintu tidak diselarak"
"Kalian juga harus berhati-hati dirumah" pesan Ki
Prawara. Ki Prawara memang menjadi sangat berhati-hati. Ia
sadar, bahwa bayangan itu tentu orang yang berilmu tinggi.
Ki Prawara tidak melihat, kemana orang itu menghilang.
Namun Ki Prawara juga berilmu tinggi. Karena itu maka
Ki Prawara sama sekali tidak menjadi gentar. Namun ia
memang harus dengan saksama memperhatikan keadaan
disekitarnya. Tetapi ketika Ki Prawara itu keluar dari regol halaman
rumah ayahnya, maka ia melihat lagi bayangan itu. Namun
justru menjauhinya dan hilang dalam kegelapan.
Demikian cepatnya bayangan itu hilang, sehingga Ki
Prawara tidak dapat melihat ujudnya dengan jelas.
Ketikia Ki Prawara sampai di banjar tua itu lagi, maka
beberapa orang bertanya hampir berbareng "He, kau tidak
membawa apa-apa?"
Yang lainpun telah menyahut "Kami sudah terlalu lama
menunggu. Jika kami tahu bahwa kau datang tanpa
membawa sesuatu, kami sudah pulang sejak tadi"
Ki Prawara tidak menghiraukan kata-kata itu. Namun
iapun kemudian berkata "Ada sesuatu yang penting kalian
ketahui." "Yang penting itu sudah dikatakan oleh Kiai Gumrah.
Kau tidak usah mengulangi" berkata Buta Ijo itu.
Ki Prawara berpaliang kepada ayahnya dan bertanya
"Apa yang sudah ayah katakan?"
"Aku telah mengatakan bahwa Kiai Kajar berada
diantara mereka yang ingin memiliki pusaka-pusaka itu"
jawab Kiai Gumrah dengan nada tinggi.
"Iblis itu benar-benar berkhianat" berkata juragan gula itu
"sebenarnya ia termasuk orang terbaik di perguruan kita"
"Ia tidak usah ikut berusaha merampas pusaka-pusaka itu
karena pusaka-pusaka itu termasuk miliknya juga" berkata
Buta Ijo. Lalu katanya pula "Dengan demikian ia berusaha


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk merampas miliknya sendiri"
Ki Prawara mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Bukan itu yang ingin aku katakan. Aku tahu
bahwa hal itu tentu sudah dikatakan oleh ayah"
"Jadi apa yang akan kau katakan?" bertanya juragan gula
itu, bahkan Kiai Gumrahpun telah bertanya pula "Apa ada
yang lain yang penting diketahui oleh saudara-saudara
kita?" "Ya" jawab Ki Prawara "ternyata ada orang di halaman
rumah kita"
"Kau lihat itu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya. Aku melihat orang itu sekilas dalam kegelapan.
Tetapi aku tidak dapat melihat ujudnya. Demikian cepatnya
orang itu menghilang" jawab Ki Prawara.
"Kesanmu orang berilmu tinggi?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya" jawab Ki Prawara "karena itu aku mengurungkan
untuk membawa mangkuk-mangkuk minuman kemari.
Sementara itu dirumah selain minuman ada pula ketela
rebus yang masih hangat"
"Kalau begitu, aku akan mengambilnya" berkata Buta
Ijo. "Kita tidak usah mengambilnya dan membawanya
kemari. Kita nanti jika pembicaraan memang sudah selesai,
bersama-sama pergi kerumah. Kita akan minum dan makan
ketela rebus di rumah. Biar berhimpitan, tetapi tentu lebih
mapan. Kita tidak perlu membawa mangkuk kesana-
kemari" berkata Ki Prawara.
"Baiklah" jawab orang yang bertubuh kekurusan "kita
kesana sekarang. Sebentar lagi aku tentu sudah tertidur
disini" Ki Prawa ra termangu-mangu sejenak. Namun iapun
bertanya "Apakah pembicaraan kita sudah benar-benar
selesai" "Masih ada satu dua pesan yang penting" berkata Kiai
Gumrah sambil beringsut setapak.
Sebenarnyalah Kiai Gumrah masih memberikan beberapa pesan kepada saudara-saudara seperguruannya.
Iapun masih perlu membicarakan langkah-langkah yang
harus segera diambil bersama saudara-saudara
seperguruannya meskipun mereka telah menunjuk lima
orang yang akan mengatur segala-galanya.
"Dua hari lagi kalian wajib datang kerumahku. Ada atau
tidak ada kepentingan. Waktunya sudah terlalu sempit"
berkata Kiai Gumrah "tetapi harus diatur sehingga kalian
tidak datang bersama-sama. Ada yang datang pagi, siang
atau sore atau malam. Mungkin rumahku selalu diawasi"
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk.
Tidak seorangpun yang menolak.
Namun dalam pada itu, selagi Kiai Gumrah masih
berbicara dengan saudara-saudara seperguruannya, maka
pintu rumah Kiai Gumrah diketuk orang perlahan-lahan.
Bukan pintu depan, tetapi pintu butulan.
Seisi rumah itupun menjadi berdebar-debar. Manggada
dan Laksana telah siap untuk pergi kepintu. Namun Nyi
Prawara telah menahannya. Ia memberi isyarat agar
keduanya tidak membuka pintu itu lebih dahulu.
Nyi Prawaralah yang kemudian melangkah mendekati
pintu sambil bertanya "Siapa?"
"Aku Nyai" jawab suara diluar.
"Aku siapa?" bertanya Nyi Prawara yang rasa-rasanya
belum pernah mengenal suara itu.
"Aku ingin berbicara dengan Manggada dan Laksana,
Nyai" jawab suara itu.
Nyi Prawara termangu-mangu. Sementara Manggada
dan Laksana melangkah mendekati pintu butulan. Tetapi
Nyi Prawara telah memberi isyarat, agar mereka berhenti
beberapa langkah dari pintu butulan itu.
"Tetapi siapa kau Ki Sanak?" bertanya Nyai Prawara,
sementara Winih telah mempersiapkan dirinya menghadapi
segala kemungkinan.
Namun suara itu terdengar lagi "Aku tidak mengharapkan mereka keluar. Aku hanya ingin memberikan pesan"
Nyi Prawara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah memberikan
isyarat kepada Manggada dan Laksana untuk mendekati pintu.
"Siapakah kau Ki Sanak?" bertanya Manggada.
"Kau masih ingat aku" Ki Pandi" terdengar suara diluar.
"Ki Pandi" hampir berbareng Manggada dan Laksana
mengulang nama itu.
"Ya. Dengarlah suara kedua sahabatku itu"
Manggada dan Laksana saling berpandangan. Yang
kemudian terdengar adalah suara dua ekor harimau
menggeram. "Aku kenal, Ki Pandi" sahut Manggada.
"Nah, aku hanya ingin memberikan isyarat. Di banjar
tua itu, saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah telah
bertemu dan berbicara tentang Kiai Windu Kusuma dan
orang yang mereka kenal dengan sebutan Panembahan.
Sebenarnyalah Panembahan itu adalah Panembahan yang
pernah kita kenal dahulu. Yang mencari gadis-gadis bersih
untuk mencuci kerisnya dengan darah gadis-gadis bersih itu.
Sekarang iapun mulai haus akan darah lagi. Nah, katakan
kepada Kiai Gumrah, bahwa meskipun aku tidak
berkepentingan langsung, tetapi aku akan menyertai mereka
jika mereka akan pergi menemui Ki Windu Kusuma dan
Panembahan itu. Salah seorang saudara seperguruannya
ada pula yang bergabung dengan Kiai Windu Kuruma.
Namanya Kiai Kajar"
"Ya" jawab Manggada dan Laksana yang juga sudah
mendengar tentang seseorang yang bernama Kiai Kajar
sebagaimana dikatakan oleh kedua orang tawanan itu.
"Karena itu, maka aku minta kau sampaikan keinginanku menyertai mereka. Kita akan bertemu lagi
pada kesempatan lain. Aku ingin mendapat keterangan,
apakah niatku ini diterima atau tidak. Aku tidak
mempunyai pamrih apapun juga dalam soal ini, kecuali
menghentikan perbuatan Panembahan yang sudah dikuasai
oleh kuasa kegelapan itu" berkata suara diluar dinding.
"Apakah Ki Pandi ingin bertemu dan berbicara dengan
kakek atau paman Prawara, atau bibi yang sekarang ada
dirumah?" bertanya Manggada.
"Bukankah Nyi Prawara sudah mendengar kata-kataku"
Bukankah aku tidak perlu mengulanginya." bertanya Ki
Pandi. "Tetapi Ki Pandi belum berbicara dengan bibi" desis
Manggada. "Baiklah" berkata Ki Pandi "aku mohon Nyi Prawara
sudi mendengarkan aku"
"Aku mendengar Ki Sanak" jawab Nyi Prawara. "Aku berkata sebenarnya Nyai. Aku tidak mempunyai pamrih
apapun, karena kehidupan
duniawi sudah lampau
bagiku" "Tetapi sebaiknya Ki
Sanak bertemu dengan ayah" jawab Nyi Prawara.
"Aku akan menemuinya
pada kesempatan lain" jawab Ki Pandi.
Nyi Prawara masih akan berbicara lagi. Tetapi Ki Pandi itu berdesis "Aku
mohon diri. Pertemuan di banjar itu sudah selesai. Mereka
sudah datang kemari"
"Satu kesempatan Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak dapat
bertemu dengan banyak orang sekaligus?" berkata Nyi
Prawara. Tetapi sudah tidak terdengar jawaban lagi. Yang berada
didalam dinding rumah itu tidak mendengar suara kaki Ki
Pandi yang beringsut menjauh. Demikian pula kedua ekor
harimau yang agaknya ikut bersama Ki Pandi.
"Orang itu sudah pergi" desis Laksana. Sebenarnyalah
sejenak kemudian, pintu rumah itu diketuk orang.
Terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap diluar.
Bahkan terdengar suara tertawa pula diantara mereka.
Yang kemudianterdengaradalah suara Ki Prawara "Buka
pintunya Nyi"
Laksanalah yang dengan tergesa-gesa membuka pintu,
sementara Winih dan ibunya justru pergi ke dapur untuk
menyiapkan minuman yang masih saja hangat.
Demikian pintu terbuka, maka beberapa orang telah
memasuki pintu dapur. Tetapi ruang dalam rumah Kiai
Gumrah yang memang tidak terlalu luas itu segera terasa
sesak, sementara masih ada beberapa orang yang berdiri
diluar. Namun Kiai Gumrahpun ternyata kemudian berkata
"Kita semuanya akan berada diluar saja. Kita dapat duduk
dimana saja, sementara minuman hangat akan disuguhkan"
Orang-orang yang sudah terlanjur berada diruang dalam
itupun keluar lagi sambil bergeremang. Namun kemudian
mereka duduk tersebar di amben bambu, di bebatur rumah
atau di tlundak pintu.
Tetapi ketika Manggada dan Laksana menghidangkan
minuman dan makanan, maka yang duduk ditelundak
itupun terpaksa berdiri.
Namun ternyata bahwa Kiai Gumrah dan kawan-
kawannya dapat menikmati wedang jae dan ketela pohon
rebus yang hangat bersama-sama. Sementara itu, dua orang
tawanan Kiai Gumrah ada diantara mereka pula.
Beberapa saat setelah mereka meneguk minuman dan
makan beberapa kerat ketela pohon, maka tiba-tiba orang-
orang yang ada dihalaman itu dikejutkan oleh suara
seruling yang terdengar mengalun diantara desah angin
malam. Sejenak halaman rumah Kiai Gumrah itu menjadi
hening. Orang-orang yang ada dihalaman sambil minum
dan makan ketela pohon itu seakan-akan telah terpukau
mendengar suara seruling itu.
Namun mereka bukan saja tertarik oleh suara seruling
yang ngelangut, menggetarkan jantung. Apalagi di malam
yang hening. Namun mereka juga tertarik karena mereka
merasakan tenaga yang terlontar bersama suara seruling itu.
Tenaga itu telah menggetarkan udara malam melibat dan
menyentuh perasaan orang-orang yang mendengarnya.
Kiai Gumrahlah yang kemudian bangkit berdiri dan
berkata kepada kawan-kawannya "Orang yang meniup
seruling itu agaknya ingin tahu, apakah jantung kita masih
tetap berdegup.
"Siapakah orang itu" bertanya Buta Ijo "apakah aku
harus berteriak untuk menghentikan suara seruling itu"
"Bukan suara seruling itu yang berhenti" jawab juragan
gula "tetapi tetangga-tetangga Kiai Gumrahlah yang akan
terbangun semuanya"
Buta Ijo itu tertawa. Justru berkepanjangan.
Kiai Gumrah tidak mencegahnya. Ia tahu, bahwa Buta
Ijo itu tidak senang mendengar suara seruling yang
ngelangut. Seakan-akan ratapan dari dalam dasar luweng
yang sangat dalam.
Tetapi suara seruling itu tidak berhenti. Nadanya justru
meninggi, seakan-akan menggapai lapisan awan ditataran
langit ketujuh. Namun kemudian menukik menyambar
seperti burung elang yang sering nampak berterbangan
diatas padukuhan itu.
"Setan itu" geram Buta Ijo.
"Tenanglah" berkata juragan gula itu "kau tidak usah
menjadi gelisah seperti itu. Bukankah suara seruling itu
tidak mengganggu kita?"
"Memang

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak. Tetapi aku merasakan betapa sombongnya orang yang meniup seruling ini" jawab Buta
Ijo itu. "Aku tidak yakin, bahwa ia seorang yang sombong.
Tetapi aku justru mengira bahwa orang itu ingin
memperkenalkan diri" jawab Kiai Gumrah.
"Kau rasakan suara itu mulai menggelitik?" bertanya
Buta Ijo. "Hanya menggelitik. Tidak menyakiti" jawab Kiai
Gumrah. "Aku lebih senang disakiti daripada digelitik" jawab Buta
Ijo itu. Namun tiba-tiba saja Manggada yang ada diruang dalam
melangkah keluar. Sejenak ia berdiri termangu-mangu.
Namun kemudian katanya kepada Kiai Gumrah "Kek,
barangkali aku tahu, siapakah yang meniup seruling itu"
"He, darimana kau tahu?" bertanya Buto Ijo itu dengan
serta-merta. Manggada memang ragu-ragu. Tetapi Kiai Gumrah
itupun berkata "Katakan apa yang kau ketahui"
Manggada menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan jantungnya yang berdetak semakin keras
karena semua mata memandang kearahnya. Namun
kemudian iapun berkata "Kek. Aku menduga bahwa yang
meniup seruling itu adalah Ki Pandi"
"Siapakah Ki Pandi itu?" bertanya orang yang selalu
menyebut dirinya berilmu tinggi.
"Orang yang memiliki kedua ekor harimau yang selalu
datang setiap saat diperlukan. Seakan-akan mereka tahu
kapan mereka harus datang membantu" jawab Manggada.
"Orang bongkok itu" berkata Kiai Gumrah kemudian.
"Orang bongkok dari hutan Jatimalang?" bertanya orang
yang kekurus-kurusan yang lebih banyak memejamkan
matanya dan terkantuk-kantuk. Namun dapat menangkap
semua pembicaraan disekitarnya dengan jelas.
"Ia tidak berasal dari hutan Jatimalang" jawab orang
yang bertubuh sedang, berkumis panjang "ia memang
pernah tinggal di hutan itu. Tetapi tidak terlalu lama"
"Kiai mengenalnya?" bertanya Manggada,
"Pada umumnya kami mengenalnya" jawab Kiai
Gumrah "tetapi tidak terlalu akrab"
"He, darimana kau tahu bahwa yang meniup seruling itu
orang bongkok dari Jatimalang?" bertanya Buta Ijo.
"Kami berdua pernah tinggal bersamanya. Bersama Ki
Ajar Pangukan dibelakang hutan Jatimalang" jawab
Manggada. Semua orang justru tertarik pada pengakuan Manggada
itu kecuali Kiai Gumrah, karena ia pernah mendengarnya.
"Jadi kau juga pernah tinggal di hutan Jatimalang?"
bertanya orang yang menyebut dirinya berilmu tinggi.
"Ya, Kiai" jawab Manggada "kami datang ke belakang
hutan Jatimalang bersama Ki Wiradadi, seorang yang
mencari anak gadisnya yang hilang. Kami bertemu dengan
Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi. Bahkan kemudian
sekelompok prajurit Pajang yang mencium keberadaan
Panembahan Lebdagati di belakang hutan Jatimalang,
dilereng gunung, telah datang pula. Tetapi Panembahan
Lebdagati itu berhasil melepaskan diri"
"Aku yakin bahwa Panembahan dibelakang hutan
Jatimalang itu tentu Panembahan yang bekerja bersama
Kiai Windu Kusuma dan Kiai Kajar" berkata Kiai Gumrah.
"Kita memang harus menghancurkan mereka. Kita tidak
usah menunggu prajurit Pajang. Kita akan menyelesaikan
persoalan dengan Kiai Windu Kusuma itu sendiri" berkata
juragan gula itu.
Semuanya mengangguk-angguk. Suara seruling itu masih
terdengar, mengalun menggetarkan udara malam yang
terasa semakin dingin.
Tetapi ketika mereka mengetahui bahwa yang membunyikan seruling itu adalah orang bongkok dari hutan
Jatimalang, maka mereka tidak lagi merasa sangat
terganggu. Getaran yang dilontarkan memang bukan
getaran yang dapat mengguncang jantung. Namun seperti
yang dikatakan oleh Kiai Gumrah, orang bongkok itu
seakan-akan ingin memperkenalkan dirinya.
Manggadapun kemudian berkata lagi "Ki Pandi pernah
langsung bertempur dengan Panembahan. Namun Panembahan itu berhasil melepaskan diri. Agaknya
usahanya untuk menghentikan langkah-langkah
Panembahan yang dipengaruhi oleh kuasa kegelapan itu
tidak akan berhenti"
"Apakah orang bongkok itu selalu membawa seruling?"
bertanya orang yang terkantuk-kantuk itu.
"Sepengetahuanku, ia memang mempunyai sebuah
seruling" jawab Manggada.
"Kenapa ia tidak menemui kami sekarang?" bertanya
Buta Ijo. "Ia memang telah datang. Ia berbicara dengan kami.
Juga dengan bibi Prawara. Tetapi Ki Pandi masih belum
bersedia menemui kakek sekarang. Pada satu saat ia
memang akan berusaha untuk dapat berbicara dengan
kakek, karena Ki Pandi telah menyatakan untuk menyertai
kakek dan saudara-saudaranya pergi ke sarang Kiai Windu
Kusuma. Bahkan Ki Pandi juga mengetahui bahwa disana
ada seorang yang bernama Kiai Kajar"
"Darimana ia tahu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ki Pandi tidak mengatakannya, kek" jawab Manggada.
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Biarlah aku menunggu kedatangannya. Tetapi jika kami
sudah siap melangkah dan orang itu belum juga datang,
maka aku tidak akan menunggunya lebih lama lagi"
Demikianlah, maka seorang diantara saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah itupun telah mengeluarkan
rinding dari kantong ikat pinggangnya yang besar.
Kemudian diletakannya rinding itu dimulutnya. Sejenak
kemudian, beralunlah lagu yang berdengung menggetarkan
udara malam, menyentuh getaran suara seruling yang
masih terdengar. Dengan irama yang berbeda kedua
lontaran lagu itu mengalun meninggi. Namun seakan-akan
semakin lama semakin tinggi, sehingga akhirnya keduanya
berhenti sama sekali. Rasa-rasanya kedua irama itu terputus
setelah keduanya yakin bahwa nada yang terlontar tidak
akan mampu mencapai bintang.
Orang yang membunyikan rinding itu menarik nafas
panjang. Kemudian tangannya menggapai mangkuk
minumannya. Beberapa teguk minuman ditelannya seakan-
akan orang itu baru saja berlari-lari mengelilingi
padukuhan. Manggada yang sudah duduk pula di bebatur rumah
nafasnya menjadi tersengal-sengal. Namun kemudian iapun
bangkit dan melangkah masuk keruang dalam. Didalam
dilihatnya Laksana juga terduduk diam.
Nyi Prawaralah yang kemudian menghampirinya.
Dipandangnya Manggada dan dimintanya duduk disebelah
Laksana. Sambil memberikan dua mangkuk minuman, Nyi
Prawara berkata "Minumlah"
Manggada dan Laksanapun kemudian minum beberapa
teguk. Dada mereka kemudian terasa lapang. Meskipun
suara seruling dan rinding yang berbaur dan melontarkan
getaran itu tidak berniat menyerang siapapun juga, tetapi
rasa-rasanya nafas kedua orang anak muda itu menjadi
sesak. "Kedua irama itu masih belum dapat luluh" desis Nyi
Prawara "Tetapi dalam keadaan yang lebih baik, kedua
irama itu akan dapat diatur lebih serasi, sehingga dapat
saling menyerap atau saling memperkuat sesuai dengan
kebutuhan"
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Ketika
mereka sempat melihat Winih yang keluar dari dapur, maka
nampaknya Winih sama sekali tidak terpengaruh oleh
kedua irama yang masih terasa saling berebut untuk saling
mengtasasi. Dengan demikian maka Manggada dan Laksana itu
justru merasa semakin kecil. Keduanya adalah orang yang
paling lemah diantara sekian banyak orang yang berkumpul
itu. Meskipun mereka sudah memiliki bekal ilmu
kanuragan, namun ilmu mereka ternyata masih belum
memadai dibandingkan dengan orang-orang yang berilmu
tinggi itu. Dalam pada itu, tiba-tiba Buta Ijo yang ada di halaman
itu berkata lantang "He, aku akan pulang. Jika kalian masih
akan duduk disini sepanjang
malam, terserah saja"
Namun orang yang terkantuk-kantuk
itupun menyahut "Aku juga akan
pulang. Aku sudah mengantuk"
Orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi itu menyahut "Aku
tidak pernah melihat kau tidak
mengantuk"
Yang lainpun tertawa hampir berbareng. Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia justru sudah mulai melangkah keregol
halaman. Namun juragan gula itu berkata "He, kau belum minta
diri kepada orang yang telah menyuguhkan minuman dan
makanan ini. Begitu kau merasa kenyang, begitu kau pergi"
"O, baiklah. Tetapi kepada siapa?" orang itu bertanya.
"Sudahlah" berkata Kiai Gumrah "biarlah aku yang
menyampaikannya"
Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itupun segera minta diri. Satu-satu mereka keluar
dari regol halaman. Melihat suasana diluar dan kemudian
melangkah sendiri-sendiri atau sebanyak-banyaknya berdua.
Mereka menuju kearah yang berbeda-beda.
Namun jalan-jalan sudah menjadi sangat sepi. Tidak ada
seorangpun yang lewat. Meskipun demikian, mereka
mendengar kotekan anak-anak muda yang meronda agak
dikejauhan. Beberapa saat kemudian, rumah Kiai Gumrahpun
menjadi sepi. Kedua orang tawanan itupun sudah berada
diruang dalam pula. Bagaimanapun juga, kepercayaan Kiai
Gumrah dan keluarganya kepada mereka masih belum
utuh, sehingga Kiai Gumrahpun berkata "Maaf Ki Sanak.
Kami masih akan mengikat kalian pada pembaringan
kalian. Kami tidak dapat berbuat lain. Jika malam ini kami
semuanya tertidur nyenyak, maka banyak hal akan dapat
terjadi. Sementara itu kalian sudah mendengar rahasia besar
sebagai keputusan pembicaraan diantara kami"
Kedua orang itu tidak dapat menolak. Mereka harus
memberikan tangan dan kaki mereka untuk diikat dengan
pembaringan. Meskipun demikian, diluar pengetahuan kedua orang
tawanan itu, Kiai Gumrah dan keluarganya telah mengatur
diri agar kedua orang itu tetap dapat diawasi setiap saat.
Manggada dan Laksanapun ikut pula mendapat tugas
bergantian. Namun sebelum seisi rumah itu sempat tidur, mereka
terkejut ketika mereka mendengar suara geramang beberapa
orang yang berada dihalaman. Bahkan kemudian terdengar
pintu diketuk orang.
Kiai Gumrah dan bahkan seisi rumah itu telah
berkumpul diruang dalam. Namun yang terdengar
kemudian adalah suara anak-anak muda yang memanggil
Manggada dan Laksana.
Ketika kemudian pintu dibuka, seorang

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menyerahkan sebakul kecil nasi dan lauk-pauknya sambil
bertanya "He, kenapa kau tidak datang ke banjar" Kami
makan-makan disana bersama Ki Bekel untuk menghormati
perubahan tatanan kehidupan yang terjadi di padukuhan
ini" "O" desis Manggada "sayang sekali. Kami sedang sibuk
dengan persoalan kami sendiri"
"Bukankah persoalan keluarga kalian dapat ditingalkan
sebentar?" bertanya salah seorang anak muda itu.
"Sebenarnya demikian. Tetapi beberapa orang saudara
kami baru saja pulang. Mereka datang berkunjung setelah
untuk waktu yang lama kami berpisah" jawab Manggada.
Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Namun yang
menyerahkan bakul itu berkata "Kami memaksa Ki Bekel
untuk menyisihkan hidangan sekedarnya. Kami ingin
kalian berdua juga ikut menikmatinya. Semula Ki Bekel
berkeberatan. Tetapi akhirnya ia tidak dapat mencegahnya"
"Terima kasih" berkata Manggada dan Laksana
bersamaan. Sepeninggal anak-anak muda itu, Kiai Gumrah menarik
nafas panjang. Ki Bekel agaknya memang sudah
mencegahnya. Tetapi anak-anak itu tidak lagi dapat
ditahan. Untunglah bahwa saudara-saudara seperguruan
Kiai Gumrah sudah berlalu.
Demikianlah, maka keluarga Kiai Gumrah itu telah
mempergunakan sisa malam untuk beristirahat, meskipun
ada diantara mereka yang harus berjaga-jaga.
Pagi-pagi benar, seperti biasanya, seisi rumah itu sudah
terbangun. Nyi Prawara dan Winih mulai sibuk didapur.
Sementara Manggada dan Laksana telah memerlukan pergi
ke banjar untuk membersihkan halaman. Sedangkan seperti
biasa pula. Kiai Gumrah mula i sibuk dengan bumbung-
bumbung legennya.
Namun dalam pada itu, maka rencana yang dibuat oleh
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya sudah
mulai pada langkah yang menentukan. Mereka mulai
mempersiapkan diri menyerang sarang Kiai Windu
Kusuma. Di tempat itu tinggal pula orang yang disebut
Panembahan yang berakibat pada kuasa kegelapan, serta
Kiai Kajar, justru saudara seperguruan yang dianggap salah
satu dari orang-orang terbaik.
Dirumah, Kiai Gumrah dan keluarganya mengawasi
kedua orang tawanannya semakin ketat. Kedua orang itu
sudah mendengar rencana terpenting dari Kiai Gumrah dan
saudara-saudara
seperguruannya.
Sebelum mereka menyelesaikan persoalan mereka dengan Kiai Windu
Kusuma, maka kedua orang itu sama sekali tidak akan
diijinkan berhubungan dengan orang lain.
Namun pagi itu, ketika Kiai Gumrah telah mengumpulkan bumbungnya yang baru saja dipungut dari
batang-batang kelapa dan dituang di tempayan, sementara
Manggada dan Laksana yang sudah terbiasa membantunya
sedang sibuk dengan perapian, maka merekapun telah
dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang pernah mereka
kenal. Kundala.
Kiai Gumrah memang terkejut. Dengan tergopoh-gopoh
dipersilahkan Kundala itu masuk kedapur.
Tetapi Kundala itu berkata "Waktuku hanya sedikit
sekali, Kiai"
"Apakah kau sedang bertugas?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya, Kiai. Aku harus menghubungi seseorang dipasar
dan membawanya ke sarang kami"
"Apakah kau sudah pergi ke pasar?" bertanya Kiai
Gumrah. "Aku baru berangkat ke pasar. Aku memerlukan singgah
sebentar" jawab Kundala.
"Apakah kau yakin bahwa kau tidak diawasi?" bertanya
Kiai Gumrah pula.
"Aku yakin, karena aku memilih jalan bulak" jawab
Kundala. "Sekarang, apa yang akan kau katakan?" bertanya Kiai
Gumrah selanjutnya.
"Panembahan tidak sabar lagi. Malam setelah tiga hari
mendatang, rumah ini akan didatanginya dengan kekuatan
penuh. Orang yang akan aku hubungi adalah salah satu
diantara orang terpenting dilingkungan kelompok Panembahan"
"Apakah Panembahan itu bernama Lebdagati?" bertanya
Kiai Gumrah. "Aku tidak tahu Kiai. Yang aku ketahui hanyalah
Panembahan begitu saja"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Jadi
mereka akan datang tiga hari lagi?"
"Ya. Ada beberapa orang berilmu tinggi. Juga para
pengikutnya akan dikerahkan. Mereka mempunyai tataran
ilmu yang bermacam-macam. Ada yang terhitung tinggi,
sedang dan ada yang sekedar mengandalkan kekuatan
wadagnya saja"
"Terima kasih, Kundala. Aku akan mempersiapkan diri
untuk melawan mereka" berkata Kiai Gumrah.
"Tetapi Kiai, kekuatan mereka cukup besar. Apakah
tidak sebaiknya Kiai menyingkir saja" Ketika Darpati
datang kemari bersama beberapa orang kawannya, itu tentu
hanya sekedar penjajagan, meskipun Darpati bersama tujuh
orang lainnya harus dikorbankan, dan bahkan ada diantara
mereka yang berilmu tinggi hampir setingkat Darpati
sendiri. Tetapi yang dipersiapkan nanti adalah jauh lebih
besar dari itu. Mungkin berlipat tiga atau ampat"
"Kau akan ikut serta?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya, Kiai. Aku akan ikut bersama mereka" jawab
Kundala. Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Ketika kemudian Ki
Prawara datang, maka dipersilahkannya Ki Prawara untuk
ikut berbincang.
Namun agaknya waktu Kundala amat sempit. Karena
itu, maka katanya "Aku harus segera pergi ke pasar.
Sebentar lagi siang itu tentu menyusul untuk mengawasi
perjalananku"
"Terima kasih Kundala. Berhati-hatilah" pesan Kiai
Gumrah. Demikianlah, maka Kundalapun segera meninggalkan
tempat itu. Manggada dan Laksana masih tetap duduk
diperapian. Sementara Nyi Prawara dan Winihpun telah
mendekat Kiai Gumrah untuk ikut mendengar keterangan
Kundala. Kiai Gumrahpun tidak merahasiakannya pula. Bahkan
kepada Manggada dan Laksana. Namun Kiai Gumrah
masih menjaga, agar para tawanannya yang masih saja
diikat diruang dalam tidak ikut mendengarnya.
"Jadi, langkah apa yang akan kita ambil?" bertanya Ki
Prawara. "Aku akan berbicara dengan beberapa orang yang dapat
aku hubungi. Menurut pendapatku, rencana kita tetap. Kita
akan menyerang sarang mereka. Tentu sebelum mereka
datang lebih dahulu"
"Waktunya sangat sempit, ayah" desis Nyi Prawara.
"Kita tidak mempunyai pilihan lain. Menurut pendapatku, kita akan lebih banyak mendapat kesempatan
jika kita menyerang. Tidak hanya sekedar bertahan"
"Lalu, bagaimana dengan pusaka-pusaka itu?" bertanya
Winih. "Kita akan membawanya. Kita akan mempergunakannya. Tentu orang yang paling bertanggung
jawablah yang akan maju ke medan dengan mempergunakan senjata pusaka perguruan itu. Kiai Kajar
tentu akan berkerut jantungnya melihat pusaka itu langsung
kita pergunakan di medan"
Ki Prawara menarik nafas panjang. Katanya "Tetapi
bagaimana dengan songsong itu?"
"Kita akan membawanya pula. Songsong itu juga dapat
dipergunakan sebagai senjata. Bukankah kau tahu" Jari-
jarinya yang terbuat dari baja menjadikan songsong itu
tidak mudah rusak. Jika kainnya koyak, bukankah dapat
diganti lagi dengan yang baru dan diwarnai sebagaimana
warna semula"
Ki Prawara mengangguk-angguk.
Katanya "Jika
demikian, kita harus bergerak lebih cepat dari yang
direncanakan"
"Aku akan menemui juragan gula itu dan selanjutnya
pergi ke pasar" berkata Kiai Gumrah "mudah-mudahan
akw dapat melihat Kundala selain menemui saudara-
saudaranya Hati-hatilah dirumah. Meskipun disiang hari
dapat saja terjadi sesuatu"
Dengan membawa sisa gula yang ada, maka Kiai
Gumrahpun telah pergi ke rumah juragan gula. Yang
penting baginya, bukannya menyerahkan gulanya dan
menerima uangnya, tetapi ia harus bergerak lebih cepat dari
yang direncanakan.
Hari itu juga jaringan hubungan saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah mulai bergerak. Sebelum senja,
maka semua orang harus berhasil ditemui. Mereka bukan
sekedar melakukan hubungan, tetapi mereka sudah
memutuskan, bahwa malam ketiga, semalam sebelum Kiai
Windu Kusuma merencanakan untuk mengambil pusaka-
pusaka itu, mereka akan menyerang sarangnya.
Rencana yang disusun dengan cepat dipasar, telah
tersebar kepada semua saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Dimana mereka harus berkumpul, saatnya dan kelengkapan
yang harus disediakan.
Sementara itu, ketika Kiai Gumrah masih berada dipasar
bersama dua tiga orang penjual gula, termasuk juragan gula
itu, ternyata mereka sempat melihat orang yang dijemput
oleh Kundala. Dengan sengaja Kundala mengajak orang itu
berjalan melewati sisi pasar yang khusus dipergunakan bagi
para pedagang dan penjual gula kelapa.
"Dua orang " desis Kiai Gumrah.
Juragan gula itu mengangguk-angguk.
Katanya "Menurut ingatanku, yang tua itu datang dari perguruan
Susuhing Angin.
"Ya. Aku masih ingat. Yang muda itu tentu salah
seorang dari perguruan itu juga. Mungkin murid utama dari
pemimpin perguruan Susuhing Angin itu" jawab Kiai
Gumrah. "Iblis itu telah melibatkan perguruan yang banyak
dikenal itu pula"
"Apakah orang itu tidak mengenal kita?" desis Kiai
Gumrah. "Mereka tidak sempat berpaling kearah kita. Apalagi kita
sempat menyembunyikan wajah kita. Tetapi agaknya
mereka memang tidak mengira bahwa kita ada disini"
jawab juragan gula itu.
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Iapun berpendapat,
bahwa kedua orang yang berjalan bersama Kundala itu
tidak melihat mereka diantara keranjang-keranjang gula
yang berserakan.
Ketika Kiai Gumrah tiba di rumahnya, maka iapun telah
mempersiapkan segala sesuatu. Bukan saja senjata-senjata
mereka serta pusaka-pusaka yang mereka rawat dan mereka
jaga dengan baik itu. Tetapi juga persiapan ketahanan
jiwani untuk menghadapi satu tugas yang sangat berat.
"Kita, seisi rumah ini akan berangkat semuanya" berkata
Kiai Gumrah "semua pusaka yang ada akan ikut dalam
pertempuran"
Nyi Prawara menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Baiklah. Kita semuanya harus mempersiapkan diri sebaik-
baiknya. Namun tiba-tiba saja hampir diluar sadarnya Manggada
bertanya "Bagaimana dengan Ki Pandi?"
"Jika aku bertemu sebelum saat pertempuran terjadi,
maka aku akan memberitahukan kepadanya. Jika ia datang
terlambat, apaboleh buat" jawab Kiai Gumrah.
Manggada tidak bertanya lagi. Ia sadar, bahwa Kiai
Gumrah tidak dapat bergantung kepada Ki Pandi. Apalagi
setelah ia mendengar bahwa Panembahan akan mengambil


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkah terakhir karena purnama sudah menjadi semakin
dekat. Dihari berikutnya, maka beberapa orang sengaja datang
kepasar untuk saling bertemu. Sedangkan disore hari,
bahkan sampai malam, beberapa orang yang lain telah
datang pula kerumah Kiai Gumrah untuk mendapatkan
penjelasan. Namun saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah
benar-benar sudah siap untuk menghadapi tugas yang berat
itu. Kepada saudara-saudara seperguruannya. Kiai Gumrah
juga sudah mengatakan niat Ki Pandi untuk bersama
mereka menghadapi Kiai Windu Kusuma dan orang yang
disebut Panembahan itu.
"Satu hal yang barangkali ada diantara kalian yang
belum mengetahui, bahwa Ki Pandi memelihara dua ekor
harimau yang akan dapat diajak bersamanya dalam tugas-
tugas beratnya" berkata Kiai Gumrah.
"Bagaimana kita dapat menghubunginya?" bertanya
orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi.
"Kita hanya dapat menunggu orang bongkok itu datang
kepada kita" jawab Kiai Gumrah.
Dalam pada itu, kedua orang tawanan yang ada dirumah
Kiai Gumrah itupun melihat kesibukan yang semakin
meningkat. Tetapi mereka merasa bahwa mereka sama
sekali tidak berhak untuk bertanya apapun kecuali jika Kiai
Gumrah mengajak mereka berbicara.
Ketika matahari terbit dihari berikutnya, maka keluarga
Kiai Gumrah mulai dibayangi ketegangan. Hari itu adalah
hari yang menentukan. Menjelang malam mereka akan
berkumpul ditempat yang ditentukan, kemudian mereka
akan menyerang sarang Kiai Windu Kusuma yang
didalamnya terdapat pula o-rang yang disebut Panembahan,
Kiai Kajar serta orang yang baru datang dari perguruan
Susuhingj Angin.
Namun Kiai Gumrah masih juga pergi ke pasar untuk
mengadakan hubungan terakhir sebelum segalanya dimulai.
Dipasar, Kiai Gumrah juga melihat Kundala berjalan
dengan seorang kawannya. Namun Kiai Gumrah merasa
bersukur bahwa Kundala masih mendengar suara
nuraninya yang paling dalam, sehingga ia tidak mengatakan
kepada kawannya tentang kegiatan Kiai Gumrah itu.
Sementara Kiai Windu Kusuma masih juga mempercayainya meskipun kemampuan Kundala dianggap
kurang memadai lagi diantara para pengikut Kiai Windu
Kusuma. Meskipun demikian, Kundala masih sering
mendapat tugas-tugas khusus sebagaimana dilakukannya
itu. Meskipun hanya sekedar sebagai penghubung.
Dalam pada itu Kiai Gumrah masih juga bertemu dan
berbicara dengan beberapa orang saudara seperguruannya.
Pertemuan itu memang penting, justru pada saat-saat
terakhir menjelang pertempuran yang menentukan.
Untuk meyakinkan keberhasilan rencananya, Kiai
Windu Kusuma memang mengirimkan orang untuk
melihat keadaan rumah Kiai Gumrah. Yang mendapatkan
tugas memang bukan Kundala, karena Kiai Windu Kusuma
mencemaskan, bahwa Kundala akan dapat dikenali oleh
Kiai Gumrah atau cucu-cucunya.
Orang itu memang melaporkan bahwa terdapat
kesibukan dirumah penjual gula itu. Namun kesibukan itu
masih terbatas sekali. Orang itu belum melihat usaha-usaha
Kiai Gumrah untuk menyusun pertahanan di rumahnya.
Orang-orang yang berdatanganpun telah meninggalkan
rumahnya. Bahkan tidak ada lagi nampak orang-orang yang
bermalam dirumahnya.
Namun Kundala tahu benar, kapan orang itu mengawasi
rumah Kiai Gumrah, dan kapan rumah itu terlepas dari
pengawasan. Di siang hari rumah itu justru jarang sekali
diawasi. Sekali-sekali memang ada orang yang ditugaskan.
Namun dikesempatan lain, Kiai Windu Kusuma sekedar
melepaskan burung-burung elang yang telah mendapat
latihan khusus itu.
Pada hari yang terakhir itu, Kiai Gumrah memang tidak
terlalu lama berada di pasar. Ketika matahari memanjat
langit semakin tinggi, justru saat pasar sedang mencapai
puncak keramaiannya, Kiai Gumrah telah meninggalkan
pasar, karena masih banyak yang harus dipersiapkan. Ia
tidak dapat ingkar akan tugas yang dibebankan kepadanya,
karena ia dianggap saudara seperguruan yang terbaik.
Karena itu, ia akan memikul tanggung-jawab terberat atas
rencana mereka. Penyerangan ke sarang Kiai Windu
Kusuma, karena Kiai Gumrah dan saudara-saudara
seperguruannya menganggap langkah itu merupakan cara
yang terbaik untuk mempertahankan diri serta mempertahankan hak mereka.
Namun ketika Kiai Gumrah mendekati sudut padukuhan-nya, iapun tertegun. Ia melihat seseorang yang
duduk diatas seonggok batu padas dibawah sebatang pohon
turi. "Orang bongkok itu" desis Kiai Gumrah.
Orang itu memang Ki Pandi. Demikian ia melihat Kiai
Gumrah melangkah mendekatinya, maka iapun mulai
beringsut. "Apakah kau menunggu aku?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya" jawab orang itu.
"Ada sesuatu yang ingin kau katakan?" bertanya Kiai
Gumrah pula. "Aku sudah berpesan kepada cucumu, bahwa aku akan
menemuimu sekitar dua tiga hari kemudian. Nah, hari ini
aku memerlukan menemuimu"
"Ya. Cucu-cucuku sudah mengatakannya. Juga sudah
mengatakan niatmu untuk bersama-sama menghancurkan
Panembahan yang mengabdi pada kuasa kegelapan itu"
"Aku menempatkan diri dalam pasukanmu. Aku
menunggu perintahmu. Aku hanya seorang diri bersama
dua ekor harimauku. Mereka akan ikut bersamaku" berkata
Ki Pandi. Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Meskipun tidak
terlalu akrab, namun Kiai Gumrah mempercayai Ki Pandi,
sehingga karena itu, maka Kiai Gumrahpun telah
memberitahukan rencananya untuk menyerang malam
nanti. "Apakah kalian sudah menguasai medan?" bertanya Ki
Pandi. "Saat kami berkumpul nanti, dua orang yang kami
tugaskan untuk melihat dan mengamati keadaan akan
memberikan laporan tentang medan. Selain itu, ada dua
orang tawanan kami yang bersedia menguraikan serba
sedikit sasaran yang akan kita datangi malam nanti. Juga
sedikit tentang kekuatan mereka"
"Aku juga mempunyai beberapa keterangan. Aku juga
akan membantu memberikan keterangan itu jika diperlukan
nanti" berkata Ki Pandi kemudian.
"Terima kasih. Mudah-mudahan keterangan yang kami
dapatkan itu akan mencukupi, sehingga kami tidak salah
menilai lawan serta menilai medan" berkata,Kiaj Gumrah.
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya "Aku nanti akan
datang bersama kedua ekor harimauku"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima
kasih atas kesediaanmu. Mudah-mudahan kita berhasil"
Ki Pandi mengangguk kecil. Katanya "Kegilaan
Panembahan itu harus dihentikan. Ia tidak berhak lagi
hidup dimuka bumi karena bayangan kegelapan yang
menguasai jantungnya."
"Kami akan menunggumu. Kami berharap bahwa kami
akan mendapat keterangan yang cukup sehingga kami tidak
justru akan terjebak disarang mereka" berkata Kiai Gumrah
kemudian sambil melangkah melanjutkan perjalanannya.
Sementara itu dikejauhan dua ekor burung elang terbang
dengan cepat melintas. Tetapi Kiai Gumrah sudah hilang
dibalik regol padukuhannya.
Ketika Kiai Gumrah itu berpaling, maka orang bongkok
itu sudah tidak dilihatnya lagi.
"Setan bongkok itu memang berilmu sangat tinggi" desis
Kiai Gumrah. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Kiai Gumrah
sudah berada dirumahnya. Iapun segera mengatur segala
sesuatunya yang berhubungan dengan rencana mereka.
Kepada seisi rumahnya yang berkumpul Kiai Gumrah
berkata "Sebelum rumah ini mendapat pengawasan yang
lebih ketat, karena besok mereka akan menyerang kita,
maka sebaiknya kalian berada di banjar tua itu. Kita akan
berangkat dari banjar itu. Yang mereka awasi tentu rumah
kita" Seisi rumah itu memang dapat mengerti. Karena itu,
mereka tidak bertanya terlalu banyak. Ki Prawara, Nyi
Prawara dan Winih segera berbenah diri. Nyi Prawara dan
Winiihpun segera mengenakan pakaian khusus mereka,
siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Manggada dan Laksanapun telah bersiap-siap pula.
Namun mereka berdua merasa diri mereka terlalu kecil
diantara keluarga rumah itu. Meskipun keduanya telah
memiliki bekal olah kanuragan, namun dibanding dengan
ilmu Winih, masih terpaut agak terlalu banyak. Apalagi
dengan kedua orang tua mereka dan Kiai Gumrah, serta
saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Namun Laksana yang melihat Winih dalam pakaian
khususnya berdesis "Gadis itu nampak semakin cantik.
Tubuhnya semakin kelihatan ramping, namun tangkas dan
lincah" "Kau akan berguru kepadanya?" bertanya Manggada
sambil tersenyum.
Laksanapun tersenyum pula. Katanya "Malam nanti kita
akan menjadi kelinci diantara sekawanan harimau"
Manggada mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Satu pengalaman yang menarik"
"Apakah kita masih sempat menganggap yang akan
terjadi malam nanti satu pengalaman?" bertanya Laksana.
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Dengan dahi
yang berkerut ia menjawab "Apapun yang akan terjadi atas
diri kita, maka kita harus siap mengalaminya. Sejak semula
kita sendirilah yang berniat untuk melibatkan diri. Pada
hari-hari pertama kita disini, Kiai Gumrah sudah berusaha
mengusir kita agar kita tidak terlibat. Tetapi kitalah yang
berkeras untuk tetap tinggal"
Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Semuanya sudah terjadi. Kita memang tidak dapat
melangkah surut"
Pembicaraan keduanyapun terputus. Kiai Gumrah minta
agar mereka semuanya pergi ke banjar.
"Jika mereka mengirimkan orang, maka mereka tidak
akan mengamati banjar tua itu" berkata Kiai Gumrah.
Tetapi rencana itu tertunda, ketika Manggada melihat
dua ekor elang yang berterbangan.
"Tidak akan lama" berkata Kiai Gumrah "justru
tampakkan dirimu di halaman"
Manggada dan Laksanapun kemudian justru telah
memungut kayu bakar yang sedang dijemur di halaman
samping, sekedar untuk menyatakan bahwa dirumah itu
tidak terdapat perubahan apa-apa. Penghuninya masih tetap
ada ditempat dengan kesibukan sehari-hari pula.
Seperti yang diduga, maka elang itu tidak terlalu lama
berputar-putar. Beberapa saat kemudian, maka kedua ekor
elang itupun segera pergi tanpa melakukan gerakan-gerakan
yang menarik perhatian.
"Hati-hatilah" pesan Kiai Gumrah "tidak terlalu jauh dari
tempat ini tentu ada pengikut Kiai Windu Kusuma yang
melihat gerakan-gerakan elang itu serta memberikan
tafsiran artinya. Biarlah Manggada dan Laksana melihat
keluar halaman."
Manggada dan Laksanapun kemudian telah pergi keregol
halaman. Satu dua orang lewat dijalan didepan rumah Kiai
Gumrah. Namun mereka sama sekali tidak memperhatikan
rumah itu. Sementara itu, Ki Prawara, Nyi Prawa ra dan Winih
telah pergi ke banjar lewat pintu butulan yang dibuat pada
dinding yang memisahkan halaman rumah Kiai Gumrah
dengan halaman banjar. Pintu itu sangat berarti bagi Kiai
Gumrah selama ia bertugas menjaga dan membersihkan
banjar tua itu.
Seperti keinginan Kiai Gumrah, maka Ki Prawara, Nyi
Prawara dan Winih telah diperintahkan pula untuk
membawa tombak-tombak pusaka yang disimpannya serta
sebuah songsong yang berwarna kuning keemasan dengan
lingkaran hijau itu.
Ketika Manggada dan Laksana kemudian masuk
kembali kedalam rumah, maka Kiai Gumrahpun telah
memerintahkan agar Manggada dan Laksana juga pergi ke
banjar. Sejenak keduanya termangu-mangu. Dengan ragu
Manggada bertanya "Bagaimana dengan kedua orang
tawanan itu?"
"Biarlah mereka tinggal dirumah" jawab Kiai Gumrah.


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi......................."Manggada
tidak meneruskan
kata-katanya, karena Kiai Gumrah telah menyahutnya
sambil tersenyum "aku akan membuat mereka tertidur
untuk semalam suntuk"
Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia percaya bahwa Kiai Gumrah dapat melakukannya. Ia akan dapat menyentuh simpul-simpul
syaraf sehingga membuat seseorang tertidur atau seolah-
olah membeku pada sebagian tubuhnya.
Karena itu, maka Manggada dan laksana tidak bertanya
lagi. Keduanyapun kemudian telah menyusul mereka yang
sudah berada di banjar.
Meskipun rumah itu seolah-olah telah menjadi kosong,
tetapi Kiai gumrah tidak menutup pintu depan. Kiai
Gumrah memang ingin memberikan kesan bahwa tidak ada
perubahan apa-apa terjadi di rumah itu, sehingga orang-
orang yang mengamatinya tidak akan menaruh banyak
perhatian. Bahkan mereka akan menganggap bahwa Kiai
Gumrah masih belum mengetahui rencana Kiai Windu
Kusuma dan Panembahan Lebdagati untuk datang
mengambil pusaka-pusaka yang mereka anggap keramat
itu. Sebenarnyalah bahwa pengikut Kiai Windu Kusuma
yang lewat didepan rumah Kiai Gumrah tidak melihat
kesan apapun. Bahkan ia masih melihat lewat pintu regol
halaman rumahnya yang terbuka, Kiai Gumrah yang
sedang menyapu halaman rumahnya.
Ketika kemudian senja turun, Kiai Gumrah masih juga
menyalakan lampu-lampu dirumahnya. Sedangkan Manggada dan Laksana yang sudah berada di banjar, juga
telah menyalakan lampu-lampu di banjar tua itu.
Namun demikian Kiai Gumrah menutup pintu
rumahnya ketika malam turun, maka rumah itu telah
menjadi kosong. Yang ada didalam hanyalah kedua orang
tawanan Kiai Gumrah yang tangan dan kakinya masih
terikat, sementara dengan ketukan pada simpul syarafnya
telah membuat kedua orang itu tertidur.
Sekeluarga, Kiai Gumrahpun kemudian telah meninggalkan banjar tua itu pula. Lewat lorong-lorong
sempit di paduku-hannya. Dengan hati-hati mereka
menghindari pertemuan dengan seseorang agar pusaka-
pusaka yang mereka bawa tidak menimbulkan persoalan.
Demikianlah, pada saat yang ditentukan, maka saudara-
saudara seperguruan Kiai Gumrahpun telah berkumpul
disebuah kebun yang kosong dekat sebuah kuburan.
Ki Prawara yang berdiri didekat Manggada dan Laksana
sempat berdesis "Di kuburan ini orang yang kami hormati
semasa hidupnya, telah dimakamkan"
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Dengan ragu-ragu Manggada bertanya "Siapakah orang
yang dihormati itu?"
"Ceriteranya panjang" jawab Ki Prawara "nanti, setelah
tugas kita selesai, semoga aku masih sempat, aku
ceriterakan selengkapnya"
"Semoga kami berdua juga masih sempat mendengarkannya" sahut Manggada.
"Kita sama-sama berdoa" gumam Ki Prawara kemudian.
Merekapun kemudian terdiam. Agaknya Kiai Gumrah
mulai berbica ra dengan bersungguh-sungguh. Namun
masih terbatas dengan juragan gula itu serta dua orang
saudara seperguruannya yang lain.
Selagi mereka masih menunggu, maka terdengar geram
dua ekor harimau yang berada dikuburan itu. Saudara-
saudara seperguruan Kiai Gumrah yang sudah tahu bahwa
Ki Pandi akan datang bersama kedua ekor harimau
peliharaannya itupun serentak berpaling kearah suara itu.
Sebenarnyalah yang muncul memang orang bongkok
yang berilmu tinggi itu.
Dengan kedatangan Ki Pandi, maka pembicaraanpun
segera dimulai. Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah
itupun duduk melingkar dibawah rimbunnya pepohonan.
Dua orang yang mendapat tugas mengamati keadaanpun
segera memberikan keterangan tentang sasaran yang akan
mereka datangi.
"Kami telah melihat sasaran dari segala sudut" berkata
salah seorang dari keduanya.
Dengan jelas orang itu menyebut ciri-ciri serta
kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lihat dari
luar. Kiai Gumrahlah yang kemudian melengkapi keterangan
itu. Agaknya Kiai Gumrah telah berhasil menyadap
keterangan terperinci dari kedua orang tawanan yang
ditinggalkannya dirumah.
"Kita tidak menyerang dengan memecahkan regol
halaman beramai-ramai sebagaimana pasukan segelar-
sepapan. Tetapi kita akan melakukannya sendiri-sendiri.
Kita masing-masing akan memasuki rumah itu dari arah
yang berbeda. Ingat, didalam rumah itu tinggal Kiai Windu
Kusuma dengan beberapa orang berilmu tinggi. Selain
mereka masih terdapat para pengikutnya yang jumlahnya
cukup banyak. Selain para pengikut Kiai Windu Kusuma,
maka di dalam rumah itu terdapat pula para pengikut orang
yang disebut panembahan itu. Diantara mereka terdapat
pula orang-orang dari perguruan Susuhing Angin dan tidak
mustahil, masih ada lagi orang-orang dari perguruan lain
yang terpengaruh oleh Panembahan itu"
Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itupun telah membicarakan segala sesuatunya
dengan cermat. Mereka menilai segala macam kemungkinan yang dapat terjadi. Isyarat-isyarat yang harus
mereka berikan dari yang satu kepada yang lain agar tidak
terjadi salah paham.
Terakhir Kiai Gumrah itupun berkata "Yang dikehendaki oleh Panembahan itu adalah pusaka-pusaka
ini. Karena itu, maka tidak mustahil bahwa Panembahan
itu akan langsung berusaha mengambilnya" Kiai Gumrah
itupun berhenti sejenak, lalu "karena itu, maka pusaka-
pusaka itu harus berada di tangan-tangan yang benar-benar
bertanggung jawab"
Namun Ki Pandipun memotong pembicaraan itu "Aku
tidak ingin membawa salah satu diantara pusaka-pusaka itu.
Tetapi aku akan menyertai mereka yang membawanya.
Aku akan minta kerelaan kalian untuk dapat bertemu
langsung dengan orang yang disebut Panembahan itu,
sementara kalian tentu menganggap penting untuk bertemu
Jodoh Rajawali 16 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Golok Yanci Pedang Pelangi 7
^