Panji Wulung 14

Panji Wulung Karya Opa Bagian 14


engkomu sangat setuju. Baiklah! Kita tetapkan begitu
saja." Tiga orang itu lalu mencari perahu untuk menyeberangi
sungai Lo-sui. Di hari kedua, melanjutkan perjalanannya
menuju ke timur.
?"?"?""
Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di atas gunung
Bu-tong. Ketika tiba di tempat yang ada sebuah batu di
mana terdapat sebuah tulisan harus menanggalkan pedang,
Touw Liong sudah mendapatkan firasat jelek. Sebab di
tempat itu terdapat tanda sebagai orang sedang berkabung.
Gunung Bu-tong seolah-olah diliputi suasana berkabung,
agaknya sedang mengurus kematian.
Touw Liong terkejut, maka lalu bertanya-tanya kepada
dirinya sendiri, "Mereka melakukan upacara penguburan
buat siapa?"
Sehabis berkata demikian, ia berjalan mendekati kuil. Di
bagian bawah kuil itu tampak berjalan beberapa imam, dari
jubah para imam itu sudah memanggil dan berkata dengan
suara girang, "Bagus! Touw tayhiap sudah datang! Tampaknya
kelenteng kita yang selama beberapa ratus tahun hidup jaya
kini dapat dilanjutkan."
Seorang imam setengah umur maju mendekati Touw
Liong, kemudian berlutut di hadapannya. Touw Liong
agak terperanjat mendapat perlakuan demikian, buru-buru
bertanya kepada imam itu,
"Di mana Cianbunjin partaimu Ceng-tim Totiang
berada?" "Ciangbunjin kami sedang merundingkan sesuatu urusan
di kelenteng Sam-goan-koan," jawab imam itu dengan sikap
sangat hormat. "Oh, kalau begitu, Bu-tong pay sekarang ini barangkali
sedang berkabung untuk sucouwmu Giok-ceng-cu
Locianpwe?" bertanya Touw Liong dengan suara perlahan.
Imam itu mengucurkan air mata, dan berkata dengan
sedih, "Couwsu pada kemarin malam ...."
Imam itu tidak dapat melanjutkan ucapannya. Tetapi
Touw Liong sudah mengerti. Ia tahu bahwa imam tua itu
kemungkinan besar mati ditangan Panji Wulung Wanita.
Ia tambah mengerti bahwa Panji Wulung Wanita pada tadi
malam pernah mendaki gunung Bu-tong.
"Aku ada urusan hendak menjumpai Ciangbunjinmu,"
berkata Touw Liong singkat.
Imam itu menerima baik dan memerintahkan imam yang
lain untuk memberi kabar, hingga saat itu terdengar suara
genta yang amat nyaring.
Touw Liong mengajak Kang Kie dan Lo Yu In bertiga
naik ke atas gunung.
Bab 54 SESAAT kemudian, Touw Liong bertiga sudah tiba di
pendopo Tin-bu-tian. Dari dalam nampak muncul
beberapa imam yang jumlahnya kira-kira ada 10 orang
lebih. Rombongan itu ternyata adalah Ciangbunjin atau
ketua Bu-tong-pay sendiri yang datang menyambut
kedatangan Touw Liong bersama murid-muridnya.
Touw Liong buru-buru maju menyongsong, saling
memberi hormat kepada ketua Bu-tong pay Ceng-tim
Totiang. Touw Liong lalu berpaling dan memperkenalkan Kang
Kie serta Lo Yu In kepada Ceng-tim Totiang.
Ia sengaja memperkenalkan saudaranya dengan singkat,
sebab dahulu 7 pahlawan Bu-tong pay pernah bermusuhan
dengan tiga garuda dari golongan Pak-bong, hingga ia
khwatir akan menimbulkan perasaan tidak senang kepada
Ceng-tim Totiang, maka ia hanya memperkenalkan mereka
dengan singkat, tidak mengatakan asal-usul dan golongan
Kang-kie. Di luar dugaannya, Ceng-tim Totiang begitu mendengar
disebutnya nama Kang Kie, sikapnya berubah dengan
segera. Ia memandang Kang Kie dengan sinar mata gemas,
kemudian bertanya dengan nada agak kurang senang,
"Apakah sicu anak murid golongan Pak-bong?"
Kang Kie juga tidak mau bersikap merendah, ia
menjawab, "Betul, aku adalah anak murid dari golongan Pak-bong."
Kawanan imam yang berada di belakang Ceng-tim
Totiang, semuanya menunjukkan sikap marah, agaknya
sudah siap hendak menghunus pedang masing-masing.
Touw Liong dengan sendirinya merasa cemas, lalu
mundur dua langkah, berdiri di samping Kang Kie, setelah
itu ia menjura kepada ketua Bu-tong pay seraya berkata,
"Permusuhan antara golongan tua, sebaiknya bereskan
juga oleh orang golongan tua sendiri. Totiang adalah orang
beribadat tinggi, seharusnya bisa berpikir panjang. Apalagi,
7 pahlawan dan 3 garuda semua sudah tiada."
"Musuh suhu adalah musuh yang paling besar. Kau
Touw tayhiap bisa berpikir panjang, mengapa kau perlu
jauh-jauh mengejar musuh-musuhmu yang dahulu
melakukan pembunuhan terhadap ayahmu" Apalagi kami
orang-orang Bu-tong bukan hanya 7 pahlawan itu yang
binasa!" berkata Ceng-tim Totiang sambil tertawa kecil.
Touw Liong tidak mau membantah ucapan ketua partai
Bu-tong itu. Tiba-tiba ia ingat sesuatu, maka ia bertanya
kepada soal yang lain,
"Mohon tanya, Totiang. Sekarang partai Bu-tong pay
sedang berkabung atas kematian siapa?"
"Atas kematian suhu Giok-ceng Tianglo."
"Susiok Totiang Hian-kie-cu kapan pulang ke gunung?"
Wajah Ceng-tim menunjukkan perubahan beberapa kali.
Akhirnya menganggukkan kepala dan berkata,
"Kemarin malam pulang ke gunung, tetapi tidak lama
kemudian sudah pergi lagi!"
"Kapan akan kembali lagi?"
"Malam itu jam 3, susiok bersama Panji Wulung sudah
mengadakan perjanjian hendak mengadakan pertemuan di
depan kuil Sam-goan-koan. Susiok tadi malam ada kata,
apabila tidak bisa mengusirnya turun gunung, maka Butong-
san akan musnah di tangannya."
Berkata sampai di situ, Ceng-tim berdiam sejenak,
kemudian berkata pula,
"Pinto sebetulnya ingin ...."
Berkata sampai di situ, untuk kedua kalinya ia berdiam.
Maksudnya ialah mungkin ingin minta bantuan Touw
Liong, tetapi karena munculnya Kang Kie hingga ia merasa
agak sulit untuk menyatakan pikirannya itu.
Touw Liong cukup mengerti apa yang hendak diucapkan
oleh imam itu. Etapi kalau ingat kepada pedang
pusakanya, dan soal Kang Kie yang tidak disenangi oleh
orang-orang Butong, maka dalam hati juga merasa serba
salah. Oleh karenanya, maka ia lantas memberi hormat kepada
Ciangbunjin Ceng-tim Totiang, kemudian memberi isyarat
kepada saudaranya seraya berkata,
"Engko, mari kita pergi!"
Ketika ketiga orang itu berlalu, Ceng-tim Totiang hanya
dapat mengawasi dengan perasaan mendelu.
Kunjungan Touw Liong ke gunung Bu-tong kali ini,
ternyata berkesudahan sangat tidak meyenangkan.
Turun dari gunung Bu-tong, Touw Liong tidak habis
memikirkan apa sebabnya Ceng-tim totiang bertindak
demikian tegas, tidak mengingat persahbatan lama antara
mereka, hingga membuat tidak enak baginya.
Kang Kie berkata dengan perasaan agak mendongkol,
"Imam itu sungguh menyebalkan! Kalau begitu,
memang benar bahwa imam-imam di gunung Bu-tong tidak
ada satu yang baik."
Touw Liong menghiburnya, berkata sambil mengerutkan
alisnya, "Aku merasa agak curiga. Hian-kie-cu sudah mati
beberapa puluh tahun yang lalu, dengan cara bagaimana
bisa hidup kembali" Malam ini aku mesti menyelidiki
sekitar peristiwa ini!"
"Aku juga akan ikut serta denganmu," berkata Kang Kie.
-----------------------------------------------------
Mereka mencari tempat untuk bermalam di sebuah
kampung kecil di bawah kaki gunung. Ketika malam tiba,
tiga orang itu dengan berpakaian ringkas balik lagi ke atas
gunung Bu-tong.
Jam 3 malam belum tiba, tiga orang itu sudah berada di
dalam rimba dekat kuil Sam-goan-koan untuk melihat
gerakan apa yang akan terjadi malam itu.
Pada waktu di atas gunung Bu-tong, tampak penjagaan
sangat keras. Di mana-mana terdapat kawanan imam
dengan senjata terhunus meronda mondar-mandir kian
kemari. Touw Liong dengan ilmunya menyampaikan suara ke
dalam telinga memberitahukan kepada Kang Kie, bahwa ia
akan pergi meyelidik ke dalam kuil Sam-goan-koan.
Begitulah, sesaat setelah itu ia lalu bergerak menuju ke kuil
Sam-goan-koan. Ia naik ke atas penglari untuk melihat ada
gerakan apa di dalam kuil itu, dengan pengharapan akan
mendengar suara Hian-kie-cu.
Semula ia merasa kecewa. Sebab, di dalam kuil Samgoan-
koan itu meskipun terdengar sedikit suara orang
bicara, tetapi tiada satu pun yang dikenalinya sebagai suara
Hian-kie-cu. Tiba-tiba suara yang agak nyaring terdengar di dalam
pendopo itu, kemudian disusul oleh suara langkah kaki
orang. Ceng-tim Totiang di bawah iringan 8 anak
muridnya perlahan-lahan berjalan turun dari atas undakan
tangga batu, berdiri di tengah-tengah pekarangan,
mendongakkan kepala mengawasi bintang-bintang di langit,
kemudian menghela nafas perlahan dan berkata,
"Sudah hampir jam 3 ! Susiok yang sudah mengadakan
perjanjian dengan Panji Wulung Wanita waktunya sudah
akan tiba, mengapa masih belum balik ke gunung?"
Sikap Ceng-tim Totiang itu jelas telah diliputi perasaan
kuatir. Touw Liong diam-diam menganggukkan kepala dan
dalam hati berkata sendiri,
"Kiranya Hian-kie-cu masih belum pulang."
Selagi masih berpikir, di atas pohon tua seberang sana
tiba-tiba terdengar suara bentakan orang, yang kemudian
disusul oleh melesatnya sesosok bayangan orang yang
langsung menyerbu ke arah Ceng-tim Totiang!
Bayangan orang itu begitu berada di depan Ceng-tim
Totiang lantas membentak dengan suaranya yang keras,
"Imam dari gunung Bu-tong! Serahkanlah nyawamu!"
Suara itu jelas adalah suaranya seorang wanita. Touw
Liong lalu pasang mata, untuk mengawasi wanita itu.
Tampaklah olehnya, di tangan wanita itu ada tergenggam
sebilah pedang kuno yang bercahaya berkilauan, dengan
ilmu pedangnya yang luar biasa cepat gerakannya terus
mencecar Ceng-tim Totiang.
Serangan itu bukan saja luar biasa cepatnya, tetapi juga
sangat ganas. Yang membuat heran kepada Touw Liong, ialah pedang
itu bukan lain daripada pedang Hok-mo-kiam!
Touw Liong tidak keburu lompat turun, sudah berseru
lebih dahulu, "Tahan dulu!"
JILID 21 Ceng-tim Totiang sebetulnya sudah menghunus
pedangnya hendak menyambut serangan lawannya,
sedangkan 8 imam yang berada di belakang dirinya juga
sudah maju semua. Ketika mendengar suara Touw Liong,
mereka begitu terkejut, hingga mundur lagi lima langkah.
Wanita tadi lalu membalikkan badannya, dengan air
mata berlinang-linang dan suara sedih memanggil Touw
Liong, "Engko Liong?"
Baru saja dia memanggil nama itu, orangnya sudah
melesat bagaikan terbang dan terus menubruk Touw Liong.
Touw Liong agak gugup. Ia masih tetap berdiri di atas
genteng dengan mata mengawasi wanita yang menubruk ke
arahnya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Wanita itu mengenakan pakaian warna hijau, di atas
dadanya tersulam setangkai bunga putih. Ketika menubruk
Touw Liong, lalu memeluk dan berkata sambil menangis,
"Engko Liong! Ayah! Ayah ....!"
Touw Liong menyaksikan perempuan itu seperti kalap,
tetapi juga seolah-olah sedang gelisah maka buru-buru
bertanya kepadanya,
"Ayahmu kenapa?"
Wanita itu bukan lain daripada Sancu muda dari gunung
Cit-poa-san Pek Giok Hoa!
Pek Giok Hoa yang dihinggapi hawa amarah, penasaran
dan cemas, lama tidak bisa menjawab. Ia hanya jatuhkan
kepalanya di atas dada Touw Liong sambil menangis sedih.
Sementara itu Ceng-tim yang berada di pekarangan
depan kelenteng, dengan tiba-tiba berkata dengan nada
suara dingin, "Touw tayhiap, kiranya kau malam ini sudah mengajak
banyak kawan baik, dengan maksud tertentu hendak
mengganggu kelenteng kami?"
Dengan ucapan itu, nyatalah bahwa kesalahpahaman
telah semakin besar, hingga Touw Liong sampai tidak dapat
berbuat apa-apa. Ia juga tidak tahu bagaimana harus
menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Ceng-tim Totiang berkata pula dengan nada suara yang
tetap dingin, "Terutama Lie-sicu ini! Jelas pedang di tangannya itu
adalah pedang milik susiok, jelas bahwa pedang ini ia dapat
dengan merampas dari tangan susiok! Apabila ada terjadi
apa-apa atas diri susiok .... Hmm! Hmm! Touw tayhiap,
meskipun dahulu partai Bu-tong pernah menerima budi
besarmu, tetapi ingat bahwa susiok itu adalah seorang


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesepuh dari partai Bu-tong kami!"
Maksud dari ucapannya itu ialah : Apabila ada terjadi
apa-apa atas diri Hian-kie-cu, maka segala tanggung jawab
harus dipikul oleh Touw Liong seorang.
Touw Liong belum mengetahui apa-apa, Ceng-tim
Totiang sudah menyambung lagi,
"Pantas! Sudah hampir jam 3 susiok belum tampak
muncul "."
Belum habis ucapan Ceng-tim, dari belakang gunung,
dari arah yang agak jauh terdengar suara siulan panjang
yang sangat tajam, hingga gunung Bu-tong itu seolah-olah
tergetar. Wajah Ceng-tim berubah seketika, sedang Pek Giok Hoa
juga mendongakkan kepala menghentikan tangisnya. Ia
bertanya kepada Touw Liong dengan suara cemas,
"Engko Liong, itu siapa?"
"Panji Wulung Wanita," jawab Touw Liong dengan
sikap serius. Suara siulan tadi diulangi beruntun-runtun. Semakin
lama terdengar semakin tinggi, hingga Pek Giok Hoa terus
berada dalam pelukan Touw Liong, tidak berani bergerak
sama sekali. Wajah Touw Liong menunjukkan sikap yang tidak
menentu. Ia sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.
Menurut aturan, Panji Wulung Wanita itu masih terhitung
susiok. Sebentar bila berhadapan muka dengannya,
bagaimana supaya suasana tidak sampai meruncing" Dia
bagaimana supaya ia dapat mencegah jangan sampai Panji
Wulung Wanita bertindak terhadap orang-orang Bu-tongpay"
Agar partai itu biar terhindar dari bencana
kehancuran"
Menurut tata-tertib rimba persilatan, tiada seorang pun
tingkatan muda diperbolehkan melawan tingkatan tua.
Sebab itu adalah perbuatan yang melanggar hukum!
Touw Liong sesungguhnya merasa sulit sekali. Tetapi ia
pun cukup mengerti, orang-orang yang berada di situ,
kecuali ia sendiri, sekalipun engkonya sendiri Kang Kie,
barangkali tiada satu yang sanggup melawan Panji Wulung
Wanita. Setelah berpikir lama, akhirnya ia mengambil keputusan
: Aku boleh menyambut serangannya, juga ada alasan
untuk bertempur dengannya bila keadaan memaksa, asal
tetap dipegang teguh peraturan terhadap tingkatan tua.
Touw Liong sudah menarik Pek Giok Hoa ke
belakangnya dan minta pedang Hok-mo-kiam darinya.
Katanya dengan suara lemah lembut,
"Urusan yang menyangkut diri Pek Cianpwe sebentar
kita bicarakan lagi! Nanti bila iblis wanita itu datang,
janganlah kau bersuara. Aku ada akal untuk
mengundurkan dia."
Ia lalu memberi isyarat ke dalam rimba di seberang sana.
Kang Kie bersama Lo Yu In dengan beberapa lompatan
saja sudah melesat ke hadapannya.
Setelah memperkenalkan Kang Kie dan Lo Yu In pada
Pek Giok Hoa, Touw Liong lalu menitipkan Pek Giok Hoa
pada Kang Kie. Katanya,
"Nanti kalau Panji Wulung Wanita itu datang, biarlah
siaote yang hadapi dia. Tolonglah engko jaga baik-baik
kedua nona itu!"
"Kau tak usah khawatir!" berkata Kang Kie sambil
tertawa dan menganggukkan kepala kemudian dari tangan
Lo Yu In ia menyambuti pedang Khun-ngo-kiam.
Suara siulan tadi dari jauh terdengar semakin mendekat,
kemudian sesosok bayangan hitam sudah melayang turun
ke depan kuil. Ternyata memang betul, dia adalah Panji Wulung
Wanita sendiri.
Panji Wulung Wanita berdiri di hadapan kuil Sam-goankoan.
Matanya ditujukan kepada Touw Liong yang berada
di atas genteng, kemudian beralih ke pedang Hok-mo-kiam
di tangan pemuda itu lalu ke pedang Khun-ngo-kiam di
tangan Kang Kie, barulah berjalan lambat-lambat
menghampiri Ceng-tim, lalu bertanya dengan suara keras
sambil mengacungkan tongkatnya,
"Imam tua, di mana susiokmu?"
Waktu itu wajah Ceng-tim sudah pucat pasi, menjawab
dengan suara gelagapan,
"Susiok ".."
"Mengapa?" bentak Panji Wulung Wanita.
"Susiok masih belum pulang," jawab Ceng-tim dengan
suara gemetaran.
Sepasang mata Panji Wulung Wanita itu bagaikan pisau
tajam, menyapu kepada Ceng-tim sejenak, kemudian
berkata, "Dia telah berjanji denganku bahwa malam ini hendak
naik ke gunung Bu-tong. Ia pernah kata begitu bertemu
muka pedang itu akan diberikan kepadaku "."
Pandangan mata Panji Wulung Wanita itu kini untuk
kedua kalinya ditujukan kepada pedang Khun-ngo-kiam di
tangan Touw Liong.
Mata Touw Liong waktu itu juga ditujukan kepada
pedang itu. Setelah berdiam sejenak, Panji Wulung Wanita
kemudian berkata dengan gemas,
"Aku mengerti. Imam bangkotan itu pasti sudah
memberikan pedangnya kepada setan kecil ini. Ia suruh
malam ini untuk menghadapi aku dan melindungi Bu-tong.
Hehem! Perhitunga kalian sesungguhnya keliru besar. Hari
ini jikalau aku tidak dapat mengobrak-abrik gunung Butong,
aku bukan Panji Wulung lagi!"
Ceng-tim sangat gelisah. Ia menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata sambil menunjuk Touw Liong,
"Kami dengan dia tak ada sangkut paut apa-apa. Pinto
pikir ...."
"Apa yang kau pikir?" bertanya Panji Wulung Wanita
dengan sikap keren.
?"Pinto dengan Touw tayhiap barusan masih ada sedikit
perselisihan paham. Dalam pikiran pinto, pedang di tangan
susiok kemungkinan besar sudah dirampas oleh siaohiap
ini, bahkan ada kemungkinan besar susiok juga sudah
celaka di tangannya," berkata Ceng-tim.
Kerudung muka kain hitam Panji Wulung Wanita
tampak bergerak-gerak, sekujur badannya juga sudah
tampak gemetaran, sikapnya waktu itu menunjukkan seperti
orang sedang berpikir keras.
Tak lama kemudian Panji Wulung mengangkat muka,
dan menggapai ke arah Touw Liong yang berada di atas
penglari. Katanya,
"Bocah she Touw, kau turun! Aku hendak bertanya
kepadamu."
Touw Liong menurut. Ia melayang turun ke tengahtengah
rumah. Lebih dulu ia memberi hormat kepada Panji
Wulung Wanita dengan tangan memondong pedang,
kemudian bertanya dengan sikap sangat menghormat,
"Cianpwe memanggil boanpwe sebenarnya ada urusan
apa?" Panji Wulung Wanita menunjukkan sikap heran,
katanya, "Bocah, kenapa mendadak sontak kau berlaku begitu
hormat terhadapku?"
"Boanpwe selamanya menghargai dan menghormat
orang tingkatan tua."
"Ng!" Panji Wulung Wanita mengeluarkan suara dari
hidung, kemudian berkata sambil menunjuk pedang Hokmo-
kiam yang berada di tangan Touw Liong.
"Pedangmu ini apakah ....?"
"Pedang ini adalah milik Pek siauw san-cu dari Cit-phoasan
...." menjawab Touw Liong.
"Apa bukan pedangmu yang kau dapatkan dahulu itu?"
"Pedang ini adalah pedang betina, sedangkan yang
dahulu itu adalah pedang jenis jantan."
"Apakah kau tidak melihat si imam tua Hian-kie-cu?"
bertanya Panji Wulung Wanita dengan suara bengis.
"Hian-kie-cu adalah musuhku karena ia telah membunuh
suhu. Aku juga sedang mencari dia ...."
Ia menahan ucapan selanjutnya, tidak mau meneruskan.
Dengan hati mendongkol Panji Wulung Wanita itu
mengawasi pedang Hok-mo-kiam di tangannya, lalu
katanya, "Aku tidak peduli pedang betina atau jantan.
Bagaimanapun juga itu adalah pedang pusaka. Lekas bawa
kemari pedang itu, berikan padaku!"
"Pedang ini bukan milik boanpwe. Boanpwe tidak
berani menghadiahkan barang orang lain kepada cianpwe,"
jawab Touw Liong sambil menggelengkan kepala.
"Berani atau tidak aku akan tetap mau mengambil dari
tanganmu."
"Soal pedang yang merupakan urusan kecil, bisa-bisa
kehilangan yang besar ...."
"Apa maksud ucapanmu ini?"
"Hian-kie-cu memancing cianpwe ke tempat ini, sedang
ia sendiri tidak mau unjuk muka. Coba kau pikir dengan
tenang, adakah seseorang yang tidak sayang kepada anak
murid dan murid cucunya sendiri" Kenapa dia membiarkan
murid dan cucu muridnya dalam bahaya, jikalau dia tidak
mengandung maksud tertentu yang sangat menguntungkan
dirinya?" Sejenak Panji Wulung Wanita itu tampak tercengang,
kemudian berkata,
"Ini apa salahnya" Asal kita sudah menarik keuntungan
besar, sedikit kerugian apa salahnya?"
"Justru disitulah soalnya. Dia sudah menarik
keuntungan besar yang lain, bahkan keuntungan yang
sangat besar sekali!"
"Bocah, kau jangan selalu main teka-teki saja di
depanku. Bicaralah terus terang!"
"Kau telah tertipu oleh akal muslihat Hian-kie-cu yang
hendak melepaskan diri dari kejaranmu! Dia sekarang ini
mungkin sudah dalam perjalanan yang menuju ke gunung
Hek-hong-san."
"Untuk apa ia pergi ke gunung Hek-hong-san?"
"Bukankah di gua Hek-hong-tong masih ada simpanan
barang pusaka?"
Touw Liong dalam keadaan cemas dan gelisah ia
bermaksud membuat marah Panji Wulung Wanita itu.
Belum habis ucapan Touw Liong, Panji Wulung Wanita
itu sudah memperdengarkan siulan aneh, mulutnya
memaki-maki tidak berhentinya.
"Bagus benar perbuatan imam tua ...."
Setelah itu, badannya tiba-tiba melesat menghilang ke
dalam kabut gelap.
Sinar rembulan remang-remang. Malam itu suasana
kembali tenang tenteram. Kedatangan Panji Wulung
Wanita demikian cepat, tetapi berlalunya lebih cepat lagi.
Dalam waktu sekejab mata, sudah tidak tampak lagi
bayangannya. Ceng-tim berdiri tegak, tidak tahu apa yang harus
dikatakan atau diperbuat pada saat-saat seperti itu.
Sementara itu, terhadap orang-orang dari gunung Butong,
hingga saat itu Touw Liong masih belum dapat
menentukan sikapnya. Entah kawan ataukah lawan
kedudukan mereka itu di matanya" Melihat sikap Ceng-tim
yang bengong, ia lalu berkata,
"Aku ingin berziarah ke makam susiokmu sebentar.
Apakah totiang tidak berkeberatan?"
Ceng-tim masih ragu-ragu, sementara itu Pek Giok Hoa
sudah berkata, "Apa yang perlu diziarahi. Kau sudah mengeluarkan
tenaga merintangi kedatangan musuh, mereka
mengucapkan terima kasih pun tidak. Perlu apa berlaku
demikian baik hati terhadap kawanan imam demikian ini?"
Setelah itu, ia menarik Touw Liong dan berjalan keluar.
Kang Kie dan Lo Yu In yang berada di atas genteng,
juga sudah melayang turun ke bawah. Lo Yu In merasa
sebal atas sikap dan kelakuan imam tadi, juga berkata
dengan nada dongkol,
"Adik Liong, apakah kau masih tidak mau pergi"
Apakah masih menunggu orang lain yang akan
mengeluarkan perintah mengusir kau keluar dari sini?"
Dua wanita itu seolah-olah sudah sepakat satu sama lain,
hingga kata-kata mereka yang demikian tajam dan pedas itu
telah membuat selembar muka Ceng-tim sebentar merah
sebentar putih, sebentar hijau, hingga saat itu, ia benarbenar
merasa sulit sekali bagaimana sebetulnya
kedudukannya saat itu, tidak tahu bagaimana harus
berbuat. Selagi Ceng-tim hendak membuka mulut, tak disangkasangka
Touw Liong benar-benar lantar belalu bersamasama
Pek Giok Hoa dan Lo Yu In tanpa mengucapkan
sepatah katapun juga kepadanya.
-------------------
Satu jam kemudian, di kuil Sam-goan-koan, telah
muncul sesosok bayangan yang lari bagaikan kilat cepatnya.
Bayangan orang itu dapat mengelabui mata imam yang jaga
malam, secepat kilat sudah berada di bawah wuwungan kuil
Sam-goan-koan dan menyelinap di tempat yang gelap,
sedang sinar matanya yang tajam menyapu keadaan di
sekitarnya, lalu terdengar suaranya yang seolah-olah
bertanya kepada dirinya, "Entah di mana letaknya jenazah
Giok-ceng-cu locianpwe?"
Bab 55 IA angkat muka memandang keadaan di dalam pendopo
Giok ceng-thian, agaknya merasa heran apa sebab jenasah
itu diletakkan dipendopo Sam-ceng-tian.
Bayangan orang itu bukan lain daripada Touw Liong.
Sebabnya ia yang sudah pergi dan balik kembali, ialah
karena ia merasa bahwa kematian Giok ceng-cu sangat
mencurigakan, mengingat kebaikan imam itu yang pernah
menghadiahkan kepadanya sejilid kitab pelajaran ilmu batin
Liang-gie-sin-hoat, justru pada saat Panji Wulung Wanita


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang muncul di gunung Bu-tong-san, dan orang yang
mencurigakan yang merupakan Hian-kie-cu yang sudah
mati tapi bisa hidup kembali, dapat diduga bahwa kematian
imam tua itu sesungguhnya sangat mencurigakan.
Kalau ia mengingat kebaikan imam tua itu terhadap
dirinya, telah mendorong padanya dengan diam-diam balik
kembali, untuk menyelidiki keadaan yang sebenarnya.
Dengan sangat hati-hati ia mendorong pintu pendopo
yang tidak ditutup rapat, yang terpentang di hadapan
matanya kecuali meja sembahyang sebagaimana yang
terdapat di dalam kuil, di belakang meja sembahyang itu,
terletak sebuah jenasah yang rebah dengan tenang.
Kini mengertilah sudah ia bahwa kematian imam tua itu
disebabkan karena serangan ilmu jari tangan Thay-it Sinjiauw,
dan tidak perlu diragukan lagi bahwa orang luar
yang tadi malam berkunjung ke gunung Bu-tong, hanya
Panji Wulung Wanita seorang, sedangkan orang yang
mencurigakan Hian-kie-cu itu, meskipun mencurigakan,
tetapi ia tidak mungkin memiliki kepandaian ilmu yang
sangat ampuh itu, dengan lain perkataan, dalam dunia pada
dewasa ini orang yang mengerti ilmu terampuh ini
jumlahnya tidak banyak sedangkan Panji Wulung Wanita
adalah satu-satunya orang yang mahir dalam ilmu ini.
Namun ia bisa berkata apa" Meskipun ia mengerti siapa
pembunuhnya, tetapi pembunuh itu justru merupakan
orang yang erat sekali hubungannya dengannya. Apakah ia
dapat mengeluarkan perkataan atau berjanji kepada imam
tua itu hendak menuntut balas"
Akan tetapi, dalam dunia ini ada beberapa hal kadangkadang
agak aneh. Touw Liong yang dihadapkan dengan
keadaan demikian, sudah mengeluarkan perkataan tanpa
dipikir, dengan air mata bercucuran berkata,
"Locianpwe, aku pasti hendak menuntut balas
untukmu!" Kata-kata itu demikian tegas diucapkannya, sedikitpun
tidak seperti berlaku pura-pura.
Tepat pada saat itu, dari belakang dirinya tiba-tiba
merasakan berkesiur angin dingin dari hawa pedang.
Dalam terkejutnya, tanpa menoleh Touw Liong sudah
miringkan tubuhnya, setelah itu ia menggeser kakinya dan
sekujur tubuhnya sudah berada di bawah meja yang
digunakan untuk meletakkan jenasah imam tua tadi. Sesaat
kemudian terdengar suara ser-seran dari serangan pedang.
Ujung pedang melalui atas jenasah, hampir saja menancap
di meja sembahyang.
Touw Liong geser lagi kakinya ke bawah, setelah itu ia
bergulingan ke bawah meja, kemudian lompat bangun
dengan satu gerakan naga melesat dari balik meja ia
mengawasi orang yang menyerang dirinya secara
menggelap orang itu ternyata menggunakan pedang Hokmo-
kiam yang jantan, bukan lain daripada ketua Bu-tongpay
Ceng-tim Totiang.
"Dari mana kau dapatkan pedang yang sekarang berada
di tanganmu itu?" bertanya Touw Liong dingin dan marah.
"Pedang ini adalah hadiah susiok," jawab imam tua itu
dingin. "Mengapa kau menyerang aku secara menggelap?"
"Kau adalah pembunuh dari sesepuh partai kami,
bahkan di waktu malam buta kau berani memasuki tempat
terpenting di kuil kami, sudah tentu aku mempunyai hak
untuk membunuhmu."
Alasan yang dipergunakan Ceng-tim itu agaknya terlalu
dipaksakan, ia menunjukkan bekas kuku tangan dan berkata
dengan suara dingin,
"Dalam dunia pada dewasa ini, bagi orang yang
mengerti sedikit ilmu silat saja, sudah tentu tahu bahwa
kematian dengan tanda ini berarti terkena serangan ilmu
Thian-seng-jiauw dari golonganmu Kiu-hoa-pay!"
"Tidak benar! Kecuali Thian-seng-jiauw dari
golonganku, masih ada ilmu Thay-it Sin-jiauw yang kalau
melukai orang juga meninggalkan tanda bekas yang serupa
ini." "Kenyataan yang tidak dapat disangkal, orang yang
kutangkap itu adalah orang yang menggunakan ilmu Thianseng-
jiauw, bukanlah orang yang menggunakan ilmu Thayit-
seng-jiauw."
Touw Liong tidak menjawab, namun diam-diam berkata
kepada dirinya sendiri, "Terhadap Bu-tong-pay, terhadap
Ceng-tim, boleh dikata aku pernah melepas budi sangat
besar. Tetapi dilihat dari sikap Ceng-tim hari ini mengapa
jauh berlainan" Mengapa terhadap diriku sedikitpun dia
seperti tidak pernah menerima budi" Inilah suatu kejadian
yang sangat aneh.
Hok-mo-kiam yang jantan adalah sebilah pedang pusaka.
Mengapa Hian-kie-cu menghadiahkan pedang pusaka itu
kepadanya" Inilah suatu pertanyaan yang kedua.
Ceng-tim dahulu memiliki kepandaian yang biasa saja,
mengapa hari ini menyerang diriku secara menggelap,
menunjukkan ketangkasannya yang jauh berbeda dari dulu"
Dan, setelah mengeluarkan serangannya, hembusan angin
itu mengandung kekuatan tenaga demikian hebat. Dari
manakah kekuatan tenaganya itu" Ini bukanlah orang yang
mempunyai kepandaian biasa seperti Ceng-tim yang dapat
melakukan, kecuali dia adalah seorang tokoh kenamaan....
Ceng-tim tidak memberikan kesempatan kepadanya
untuk berpikir, pedangnya digerakkan dan bentaknya,
"Kau yang serahkan batok kepalamu sendiri atau perlu
aku yang harus turun tangan?"
Touw Liong anggap bahwa dirinya Ceng-tim itu diliputi
oleh berbagai teka-teki, daripadanya barangkali dapat
mencari beberapa pertanyaa, oleh karenanya maka ia balas
bertanya, "Di mana susiokmu Hian-kie-cu cianpwee sekarang"
Susiokmu mempunyai permusuhan besar denganku,
bahkan.... pada beberapa hari berselang, di atas gunung
Kiong-lay-san, ia telah membinasakan Pek Thian Hiong.
Hutang darah ini, ia harus bayar semuanya. Malam ini
nona Pek mencari padanya kemari, aku dengan Pek sancu
meskipun bukan sahabat akrab, tetapi masih mempunyai
hubungan, maka dari itu mau tak mau harus turut
menyelidiki juga urusan ini."
"Kau bayar dulu hutang jiwa sesepuh kami, baru bicara
soal lainnya."
Dalam hati Touw Liong sangat mendongkol karena
Ceng-tim Totiang selalu menuduh ia sebagai pembunuhnya
imam tingkatan tua golongan Bu-tong, karena menyaksikan
sikap garang dan galak imam itu, lagi pula dengan pedang
Hok-mo-kiam yang jantan di tangannya, seolah-olah dia
tidak mau memandang mata orang lain, sikapnya itu jauh
sekali berbeda dibandingkan dengan sikap yang dahulu
diperhatikannya sehabis menerima budi dari Touw Liong.
"Kau jangan menuduh orang secara serampangan,
jangan sesalkan aku seorang she Touw, kalau aku berlaku
keterlaluan terhadapmu!"
Ceng-tim tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan itu,
ia lompat ke atas meja sembahyang dan menggerakkan
pedangnya ke arah Touw Liong.
Kembali Touw Liong dikejutkan oleh gerakan Ceng-tim
Totiang, sebab kepandaian dan kekuatan tenaga imam ini,
sudah diketahui benar oleh Touw Liong, tetapi gerakan
pedangnya kali ini nampaknya meskipun biasa, tetapi
mengandung banyak sekali gerak tipu yang aneh-aneh,
hingga mengejutkan Touw Liong.
Diserang secara demikian, Touw Liong terpaksa harus
melompat tinggi untuk dapat mengelakkan serangan
tersebut, ia lompat keluar dari pendopo Sam-ceng-tian dan
turun di pekarangan.
Saat itu ia baru dapat melihat bahwa di sekitarnya
terdapat banyak bayangan orang, semua imam dari
golongan Bu-tong, telah berdiri mengurung padanya di
pekarangan dengan pedang terhunus.
Sementara itu Ceng-tim Totiang juga sudah mengejar
Touw Liong dengan langkah lebar.
Touw Liong segera menyambut kepadanya dan
membentak dengan suara keras.
"Jangan bergerak! Kau siapa?"
"Siapa aku" Haa, hai! Touw tayhiap kau benar-benar
suka membanyol. Siapa adanya aku, jikalau kau Touw
tayhiap benar-benar tidak mengerti, tanya saja kepada
mereka!" menjawab Ceng-tim dengan sikap tenang.
Meskipun Ceng-tim mengatakan demikian namun para
imam yang berada di situ semuanya menunjukkan sikap
bingung dan tidak mengerti.
"Sungguh tidak kusangka hanya dalam waktu yang tidak
lama kau sudah mendapat kemajuan demikian pesat, sudah
tentu, semua ini adalah berkat partai Bu-tong yang pernah
menjagoi beberapa ratus tahun di dalam rimba persilatan.
Kalau totiang bisa mengangkat diri ke tingkatan orang kelas
satu, mungkin rasanya juga tidak mengherankan, tetapi
Touw Liong masih merasa curiga, dalam waktu yang
sangat singkat, watak dan perangai totiang juga jadi turut
berubah, inilah yang mengejutkan dan mengherankanku!"
kata Touw Liong juga dengan sikap tenang.
"Mengenai pertanyaanmu ini, pinto tak perlu
membantah. Tentang kemajuan ilmu silat yang pinto
dapatkan, sesungguhnya tidak perlu dipikirkan. Partai
Butong merupakan salah satu partai besar dalam rimba
persilatan, dalam kuil kami ada tersimpan banyak kitab
ilmu silat, dan pinto sebagai ketuanya, apa tidak dapat
mempelajari ilmu silat simpanan itu?" berkata Ceng-tim
sambil tertawa terbahak-bahak kemudian berkata pula,
"Mengenai perubahan watak dengan tiba-tiba juga
mudah sekali dipecahkannya. Sesepuh kami telah mati di
bawah serangan ilmu Thian-seng-jiauw, kematiannya itu
tidak jelas, sedang kau Touw tayhiap telah muncul di
gunung ini dengan tiba-tiba. Bagaimana jikalau kami tidak
mencurigai kau sebagai pembunuhnya" Bagaimana pula
kalau tidak lantas berubah sikapku terhadapmu?"
Touw Liong sebetulnya masih ingin menanyakan lagi
asal-usul pedang Hok-mo-kiam di tangannya itu, tapi begitu
mendengar ucapannya yang seolah-olah tidak mengenal
aturan lagi itu, ia lantas batalkan maksudnya, hanya
menghela napas dan mengawasi para imam yang berdiri di
sekitarnya. Meskipun waktu itu cuaca gelap, jadi tidak
dapat terlihat sikap dan wajah masing-masing, tetapi dari
sinar mata mereka, ternyata ada mengandung maksud
permusuhan. Sementara itu ia telah mengambil keputusan
bahwa malam itu ia tidak akan menghadapi mereka dengan
kekerasan, sebab jikalau tidak, pasti akan menimbulkan
pertumpahan darah lebih hebat.
"Sebab-sebab kematian sesepuh Bu-tong-pay, aku sedang
mengadakan penyelidikan, barangkali dalam waktu singkat
akan diketahui siapa pembunuhnya hari ini...." demikian ia
berkata sambil menggertak gigi.
Tetapi Ceng-tim tidak mau mengerti, ia malah
menyerang Touw Liong dengan galaknya.
Sambil mengelakkan serangan Ceng-tim, Touw Liong
memperhatikan gerak tipu ilmu pedang yang digunakan
oleh imam itu. Touw Liong dapat mengenal baik berbagai
ilmu pedang, tetapi ia masih belum dapat memahami ilmu
pedang apa yang digunakan oleh Ceng-tim itu. Oleh karena
ia bertempur sambil memperhatikan gerak tipu ilmu pedang
imam itu, maka untuk sementara pertempuran itu berjalan
berimbang. Dalam pertempuran sengit, Touw Liong telah
mengerahkan ilmunya Liang-gie sin-kag ke kedua jari
tangan kanannya, setelah itu ia melancarkan serangannya
dengan ilmu jari Tay-lo-kim-kong-cie, dan serangannya itu
ternyata berhasil baik, sebab pedang Hok-mo-kiam di
tangan Ceng-tim lantas jatuh di tanah.
Dalam keadaan terkejut, Ceng-tim masih keburu lompat
melesat ke atas, sambil mengait pedang tadi dengan ujung
kakinya, hingga pedang itu melesat ke tengah udara!
Touw Liong yang melihat pedang sudah melesat ke atas,
lantas mengejar.
Akan tetapi gerakannya ternyata masih agak terlambat,
sebab baru saja bergerak, dari atas ia merasakan seperti
tertindih oleh kekuatan tenaga hebat, ia terkejut, tapi cepat
mengerti apa yang telah terjadi. Buru-buru ia batalkan
maksudnya mengejar, dengan kedua tangannya ia
menangkis serangan yang dilancarkan dari atas.
Ketika ia lompat naik ke atas genteng, barulah ia
mengerti. Kiranya, serangan tadi dilancarkan oleh Cengtim
selagi ia melesat ke atas.
Bersamaan dengan itu ia juga mengerti bagaimana jahat
dan ganasnya imam itu. Memang benar, keganasan Cengtim
yang diperlihatkan malam itu, benar-benar bukan
seperti manusia Ceng-tim yang dahulu lagi.
Touw Liong tergerak hatinya, sambil berdiri di atas
genteng, kembali ia melancarkan serangan dengan jari
tangannya, untuk menyapu kepada pedang yang hendak
meluncur turun lagi.
Ceng-tim merasa girang juga karena Touw Liong sudah
berada di atas genteng. Selagi ia hendak menyambar
gagang pedang, pedang itu mendadak disapu oleh serangan
jari tangan Touw Liong dan lantas melayang lagi, hingga
usaha Ceng-tim tadi tidak berhasil.
Ia mengerti bahwa itu adalah perbuatan Touw Liong,
hingga dadanya dirasakan hampir mau meledak, sambil
menggeram hebat, kembali ia melancarkan serangan kepada
Touw Liong yang masih berdiri di atas genteng, dan setelah
itu ia melayang turun hendak menyambar pedangnya yang
juga meluncur ke bawah.
Touw Liong agaknya dapat menduga bahwa imam itu
akan bertindak demikian, maka begitu Ceng-tim lompat
turun, ia lantas membarengi lompat ke atas sebuah pohon
di tengah-tengah pekarangan.
Selagi melesat tadi, tangannya menyambar pedang yang
sedang meluncur turun, dengan demikian pedang itu telah
berhasil disambar olehnya yang terus melesat ke atas


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pohon. Ceng-tim yang melayang turun, ketika menampak
pedang itu sudah dirampas lebih dulu oleh Touw Liong
hawa amarahnya semakin memuncak. Maka ketika tiba di
tanah, dengan cepat segera melesat lagi untuk menyergap
Touw Liong yang berada di atas pohon.
Serbuan Ceng-tim dibarengi dengan serangan kedua
tangannya yang ditujukan kepada pohon besar itu, hingga
pohon itu lantas roboh dan daun-daunnya pada rontok di
tengah pekarangan.
Meskipun pohon besar itu sudah rubuh, tetapi Touw
Liong sudah tidak tampak lagi bayangnnya. Untuk kedua
kalinya Ceng-tim marah-marah sendiri, matanya ditujukan
ke arah jauh. Di sana, tampak olehnya sesosol bayangan
hitam yang sedang lari bagaikan kijang cepatnya, bayangan
itu bukan lain daripada Touw Liong.
Ia masih penasaran, saat itu lantas bergerak untuk
mengejarnya. Dalam keadaan gelap gulita ia mengejar sekian lama,
ternyata sudah ketinggalan jauh.
Terpaksa ia memperlambat langkahnya, dengan napas
memburu ia berhenti, untuk mencari pikiran lain. Tiba-tiba
dari belakangnya terdengar desiran angin, cepat sekali ia
berpaling, tampak olehnya seorang wanita cantik berbaju
kuning berdiri di belakangnya.
"Kau siapa?" demikian ia menegur wanita itu.
"Kim Yan," jawab wanita cantik itu singkat.
"Kau bukankah sumoy Touw Liong?" bertanya Cengtim
heran. Kim Yan lebih dulu menganggukkan kepala kemudian
menggelengkan kepalanya dan berkata,
"Dahulu ya, tetapi sekarang bukan. Aku dengan Touw
Liong sudah putus perhubungan sekarang.... Aku juga....
atas kebaikan Hek-hong Kauwcu..."
"O, ya! Kuingat," kata Ceng-tim sambil tertawa
terbahak-bahak, "Kau adalah Hek-hong Liong-lie di bawah
perintah Hek-hong Kauwcu."
"Dan kau?"
"Sekarang aku adalah ketua partai Bu-tong."
"Dari suaramu kau tidak mirip dengan Ceng-tim."
"Nona benar-benar sangat pintar. Sudah tentu aku tidak
dapat mengelabui dirimu, tetapi pada saat ini aku masih
tetap sebagai ketua dari partai Bu-tong."
"Aku tidak mempunyai kesempatan untuk mencampuri
urusanmu, aku hanya ingin tanya padamu, imam tua Hiankie-
cu dari partai Bu-tong itu di mana sekarang?"
"Untuk apa kau cari kepadanya?"
"Kuminta ia kembalikan pedang Hok-mo-kiam yang
jantan milik Hek-hong-kauwcu."
"Tetapi kedatangan nona ini agak terlambat!"
"Kenapa?"
"Hian-kie-cu sudah mati, pedang Hok-mo-kiam itu
sudah kembali pada pemiliknya yang lama. Kau benarbenar
sudah terlambat!"
"Kau ngoceh! Kauwcu kami kemarin masih
menyaksikan imam tua itu, mengapa kau katakan ia sudah
mati?" "Nona ini seorang pintar, namun mengapa bisa
berpikiran demikian bodoh" Dalam dunia ini mana ada
seorang yang sudah mati beberapa puluh tahun lamanya
bisa hidup kembali?"
"Jadi kau maksudkan Hian-kie-cu yang sudah mati
beberapa puluh tahun tidak mungkin hidup kembali" Kalau
begitu siapakah Hian-kie-cu yang pada beberapa berselang
menampakkan dirinya itu?"
"Itu ..... adalah aku sendiri yang menyamar!"
"Jadi kau dapat menyamar demikian mirip?"
"Aku pernah belajar ilmu menyamar muka dan gerakgerik
orang," menjawab Ceng-tim sambil menganggukkan
kepala. "Kalau begitu, kau sendiri juga bukanlah Ceng-tim."
Bab 56 KEMBALI Ceng-tim menganggukkan kepala dan
menjawab, "Ceng-tim juga sudah mati, untuk selanjutnya, ia tidak
akan muncul lagi di dalam rimba persilatan."
Sayang! Kim Yan tidak menanya lagi ia itu siapa
sebetulnya" Hanya berkata dengan nada suara hambar,
"Aku tidak peduli kau siapa, aku hanya ingin minta
keterangan tentang pedang Hok-mo-kiam itu. Lekas
beritahukan kepadaku, di mana pedang itu sekarang?"
"Pedang" Sebetulnya sudah berada di tanganku. Tetapi
kemudian, sudah dirampas oleh suhengmu!"
"Kemana dia pergi?"
"Ia sudah kabur, tadi aku mengejar tetapi tidak berhasil
menyusulnya."
Tanpa dipikir panjang lebar, Kim Yan sudah mengajak
Ceng-tim pergi mengejar suhengnya.
-----00000-----
Di atas puncak gunung yang lain, Touw Liong bersama
Kang Kie, Pek Giok Hoa dan Lo Yu Im berempat sedang
duduk berunding.
Touw Liong sehabis menyeka keringatnya menarik
napas panjang, berkata sambil menunjuk pedang Hok-mokiam
di tangannya, "Beberapa hari capai lelah kita adalah lantaran pedang
ini, dan sekarang, pedang ini sudah didapatkan, tetapi Hiankie-
cu, manusia misterius dari Bu-tong-pay, hingga kini
masih belum pernah unjuk muka, dan lagi pula ..... Cengtim
Totiang juga sudah menjadi manusia misterius nomor
dua. Atas usul Kang Kie, empat orang sudah bersepakat besok
pagi hendak mengadakan penyelidikan lagi di gunung Butong.
Esok pagi, masih pagi-pagi sekali, Touw Liong berempat
sudah turun dari puncak gunung, melakukan perjalanan ke
gunung Bu-tong.
Ketika mereka tiba di depan sebuah batu besar yang
terdapat tanda tulisan tempat menanggalkan pedang, juga
merupakan pintu gerbang partai Bu-tong, mereka
dikejutkan oleh sebuah tulisan yang merupakan makam
Ceng-tim Totiang, ketua generasi ke tigabelas partai Butong.
"Apa"!"
Kang Kie yang pertama-tama berseru kaget dan
kemudian berkata kepada dirinya sendiri,
"Jadi Ceng-tim Totiang juga sudah mati?"
Touw Liong sementara itu terus diam saja mengawasi
tulisan itu, ia sedang tenggelam dalam alam pikirannya dan
mengenangkan kembali apa yang telah terjadi tadi
malam.... Pada saat itu, dari atas kuil keluar beberapa imam,
mereka itu adalah yang tadi malam menyambut kedatangan
Touw Liong berempat.
Imam yang berjalan lebih dahulu, dengan wajah sedih
bertanya pada Touw Liong,
"Touw tayhiap, tadi malam Ciangbun Couwsu kami
telah mengejar kau turun gunung, apa mau tadi pagi-pagi
jam lima, murid partai kami yang ditugaskan untuk
meronda telah mendapatkan diri Cawsu kami sudah binasa
di depan kuil Sam-goan-koan. Dalam urusan ini, kau Touw
tayhiap harus memberi keadilan kepada kami!"
Touw Liong terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Dengan cara bagaimana kematian ketuamu itu?"
"Mati di bawah serangan ilmu Thian-seng-jiauw."
Kembali Touw Liong terkejut, kemudian teringat Cengtim,
manusia misteri nomor dua itu, katanya,
"Apakah kalian sudah periksa, ketua kalian itu adalah
orang lain yang menyaru ataukah ketuamu sendiri?"
"Tentang diri Ciangbunjin kami bagaimana bisa salah"
Murid-murid yang ditugaskan untuk menguburnya
bagaimana tidak dapat mengenali?"
Touw Liong menganggukkan kepala dan menyoja,
kemudian berkata,
"Kedatanganku hari ini justru lantaran peristiwa yang
terjadi dalam kuil kalian ini, jadi tidak perduli bagaimana
dengan totiang sekalian bagaimanapun juga Ciangbunjin
kalian tidak mungkin mati di tanganku orang she Touw."
Para imam itu tidak mengatakan apa-apa, hanya
mengeluarkan suara dari hidung.
Touw Liong berkata pula,
"Tolong totiang tunjukkan jalan, aku si orang she Touw
hendak memeriksa jenasah Ciangbunjin kalian."
Touw Liong mengikuti imam tadi berjalan masuk ke
pendopo Sam-ceng-tian, di tengah-tengah pendopo rebah
membujur dua sosok jenasah, yang satu adalah jenasah
sesepuh Bu-tong-pay yang sudah mati pada dua hari
berselang, dan yang lain adalah Ciangbunjin atau ketua Butong
Ceng-tim Totiang yang tadi malam masih berlaku
gagah di hadapannya.
Di hadapan jenasah itu, ada berdiri enam imam yan
sudah berusia lanjut, begitu Touw Liong masuk ke
pendopo, enam pasang mata imam itu telah mengawasi
kepadanya dengan sikap dingin, kemudian pada
menundukkan kepala.
Touw Liong tahu bahwa mereka para sesepuh partai Butong
pada dewasa itu, kalau ditilik dari kedudukannya
mereka masih sederajat dengan It-tim.
Touw Liong perlahan-lahan menghampiri ke depan
jenasah, ia membuka tutupnya, memeriksa bagian dada
Ceng-tim, di situ kembali terdapat tanda jari tangan yang
sudah berwarna hitam.
Siapapun tahu, luka seperti itu adalah disebabkan karena
terkena serangan Thian-seng-jiauw atau Thay-it-sin-jiauw.
Touw Liong tidak bersuara, sepasang matanya ditujukan
kepada kedua jenasah itu, Kang Kie maju menghampiri,
mengawasinya sejenak, kemudian berbisik-bisik di telinga
Touw Liong. Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala kemudian
menarik napas panjang, setelah itu ia memberi hormat dan
menjura kepada enam sesepuh, dan berkata sambil
menunjuk jenasah Ceng-tim.
"Totiang sekalian adalah para sesepuh partai Bu-tong
yang sekarang, tentunya sudah mempunyai banyak
pengetahuan dan pengalaman. Coba Totiang sekalian
lihatlah dan periksalah baik-baik jenasah Ciangbunjin
totiang kalian ada perbedaan apa dengan kematian sesepuh
tianglo pada kemarin malam?"
Enam sesepuh itu mendengar ucapan tersebut pada
terkejut, mata mereka lalu dialihkan kepada kedua jenasah
itu. Sementara itu Touw Liong telah mengeluarkan suara
perlahan, "Sungguh berbahaya!"
Salah seorang sesepuh itu, agaknya tidak mengerti
maksud ucapan Touw Liong tadi, maka lalu bertanya,
"Berbahaya apa?"
"Aku si orang she Touw hampir saja menjadi sasaran
orang banyak, kiranya Totiang sekalian sudah menganggap
aku sebagai musuh."
Imam tua tadi masih tidak mengerti maksud Touw
Liong, matanya menatap pemuda itu, sementara itu Touw
Liong sudah berkata lagi sambil menunjuk jenasah yang
membujur di atas meja,
"Totiang sekalian boleh periksa dengan teliti, kematian
dua orang ini sama keadaannya, bahkan .... dari warna kulit
mereka dapat diketahui waktu matinya juga bersamaan."
"Aaa!" demikian sesepuh tadi berseru kaget dengan
serentak, sekarang semua mata dialihkan kepada Touw
Liong, untuk mendengarkan keterangannya lebih lanjut.
"Aku kini sudah ingat, Ciangbunjin kalian tadi malam
bertempur denganku itu justru pembunuhnya Ciangbunjin
kalian yang asli, kemarin malam ia telah membunuh mati
sesepuh kalian bersama Ceng-tim Totiang, Ciangbunjin
kalian ini, setelah itu ia lalu menyamar menjadi ciangbunjin
kalian, dan mengelabui kalian semua....."
Para imam itu saling berpandangan satu sama lain.
Sementara itu Touw Liong sudah berkata pula dengan
tegas, "Jelasnya, orang itu semula muncul di sini dengan
menyamar sebagai Hian-kie-cu locianpwee yang menutup
mata pada lima puluh tahun berselang. Lebih dahulu ia
naik ke gunung Cit-phoa-san merampas pedang Hok-mokiam,
kemudian balik ke gunung Bu-tong untuk mencari
tempat berlindung, tapi ia juga takut akan diketahui
rahasianya oleh sesepuh partai Bu-tong dan Ciangbunjin,
itulah yang membuat dia dengan diam-diam menurunkan
tangan kejam. Setelah ia berhasil membunuh Ceng-tim
Totiang, lalu menyamar lagi dan mengangkat diri jadi
Ciangbunjin. Hanya dengan cara bagaimana dan kenapa
maka tadi malam ia berlalu...."
Dugaannya itu sangat tepat, dan enam imam itu
semuanya adalah orang-orang kang-ouw kawakan. Setelah
memeriksa keadaan dua jenasah itu, tentu saja lantas tahu
memang benar matinya dua orang itu adalah dalam waktu
bersamaan. Dengan demikian perasaan curiga terhadap Touw Liong
mulai berkurang, akan tetapi oleh karena dua jenasah itu
menunjukkan kematiannya dengan cara yang sama ialah
sama-sama mati di bawah serangan Thian-seng-jiauw, maka
hal ini belum menghilangkan rasa curiga semuanya
terhadap Touw Liong.
Oleh karenanya, maka mereka tiada satu yang membuka
mulut, dengan demikian, hingga suasana menjadi hening.
Kang Kie yang sudah tidak sabar lagi, lalu bertanya
kepada enam sesepuh sambil menjura,
"Sekarang Tianglo sekalian masih ada pertanyaan apa"
Rasanya keterangan saudaraku tadi sudah lebih dari
cukup." Pek Giok Hoa juga lantas mengajak mereka berlalu.
Touw Liong dalam keadaan terpaksa, lalu bersama-sama
Kang Kie bertiga keluar dari pendopo Sam-ceng-tian.


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam perjalanannya pulang, di waktu sore Kang Kie
yang menampak Touw Liong masih diam saja, agaknya
sedang diliputi oleh banyak pikiran, maka sesudah makan
malam, empat orang itu keluar kota, menyusuri jalan di tepi
sungai Han-kang, maksud Kang Kie ialah supaya Touw
Liong bisa terhibur, sebab sejak turun dari gunung Bu-tongsan,
Touw Liong selalu menunjukkan sikap sedih.
Tetapi Touw Liong bukannya menjadi gembira, malah
jadi lebih banyak melamun.
Kang Kie akhirnya tidak berani mengganggu lagi,
demikian pula Pek Giok Hoa juga mengawani dia dengan
mulut bungkam. Cuaca sudah gelap, Touw Liong yang sejak tadi diam
saja, tiba-tiba angkat muka dan berkata kepada Kang Kie,
"Koko, siaote harus berangkat ke Hui-liong-chung
sekarang juga, hendak mengurus sesuatu urusan penting."
"Kau hendak mengurus apa?" bertanya Kang Kie yang
tidak mengerti.
"Jikalau dugaanku tidak keliru, Hui-liong-chung
sekarang ini mungkin sedang mendapat ancaman besar!"
"Kalau begitu mari kita pergi bersama-sama."
"Tidak! Kalian turut bersama juga tidak ada gunanya,
sebaiknya siaote pergi seorang diri saja," berkata Touw
Liong sambil menggelengkan kepala.
"Aku ikut kau pergi!" berkata Pek Giok Hoa sambil
menyandarkan kepalanya di pundak anak muda itu.
Touw Liong menggandeng tangannya yang putih halus,
katanya dengan suara lemah lembut,
"Kau juga tidak boleh turut pergi ada satu perkara lain
yang lebih penting daripada pergi ke Hui-liong-chung yang
harus kau lakukan."
"Ada urusan lebih penting apa yang harus kau lakukan?"
tanya Pek Giok Hoa.
"Ayahmu bukankah sudah berhasil mempelajari ilmu
gaib dari daerah luar" Jikalau kau hendak menuntut balas
dendam ayahmu, maka kau masih perlu untuk melatih
baik-baik ilmu peninggalan ayahmu itu, apalagi ..... dalam
tanganmu sudah ada pedang pusaka Hok-mo-kiam, jikalau
kau tidak berikuti dengan ilmu pedang tingkat tinggi,
pedang itu tidak akan ada gunanya, maka soal yang
terpenting pada saat ini, aku kira ialah melatih ilmu pedang
golongan kelas tinggi itu."
Kang Kie dengan perasaan tidak mengerti mengawasi
adiknya itu, Touw Liong perlahan-lahan dari dalam
sakunya mengeluarkan kitab ilmu pedang Hok-mo-kiamhoat,
serta diberikannya kepada Pek Giok Hoa seraya
berkata, "Kitab ilmu pedang ini adalah Hok-mo Lojin yang
meninggalkan untuk murid dari golongannya."
Tiga orang itu agak terkejut, Touw Liong memberikan
kitab ilmu pedang itu kepada Pek Giok Hoa, dan
menceritakan bagaimana ia mendapatkan kitab ilmu
pedang itu di dalam gua Hek-hong-tong.
Pek Giok Hoa menyambuti kitab pemberian Touw
Liong, lalu berlutut menghadap ke barat dan menjuta
hingga empat kali, dengan sangat hati-hati sekalu kemudian
ia menyimpan kitab ilmu pedang itu ke dalam sakunya
sendiri. Touw Liong segera minta diri kepada tiga orang itu,
dengan ringkas ia memberitahukan kepada Kang Kie,
"Harap koko melindungi ia, tempat yang paling baik
untuk melatih ilmu pedang ialah di puncak gunung Thiantu-
hong di gunung Oey-san, selambat-lambatnya dua bulan,
siaote pasti akan ke Thian-tu-hong untuk mencari kalian."
Setelah meninggalkan pesan kepada saudaranya ia mulai
melakukan perjalanan.
Dengan melakukan perjalanan siang dan malam,
beberapa hari kemudian Touw Liong sudah tiba di Huilion-
chun, begitu menginjak jembatan yang menghubung
antara Hui-liong-chung dengan daerah luar, ia telah
mendapatkan suatu perubahan yang menyedihkan.
Tiba di tempat itu Hui-liong-chung sedang mengalami
kebakaran hebat.
Api itu timbulnya sangat aneh, mengapa justru pada saat
Touw Liong tiba di tempat itu di perkampungan itu lantas
mendadak terjadi kebakaran!
Touw Liong benar-benar sangat terkejut, secepat kilat ia
lari ke tempat kebakaran itu.
Oleh karena waktu itu angin meniup kencang maka
kebakaran itu semakin besar.
Di dalam perkampungan itu suara orang yang menolong
kebakaran sangat riuh.
Touw Liong begitu masuk ke dalam perkampungan
dengan menempuh bahaya api, sekaligus ia sudah berhasil
menolong jiwa empat anak dan dua kaum wanita, tetapi
selama itu masih belum dapat bertemu dengan Lie Hui
Hong. Ketika ketiga kalinya ia masuk ke dalam, seorang padri
tua telah melintangkan tongkat bajanya di depan Touw
Liong. Touw Liong yang tadi tidak memperhatikan begitu
melihat ada orang yang merintangi segera angkat muka,
saat itu ia terkejut, sebab padri itu adalah susioknya Lie Hui
Hong sendiri, padri tua yang pertama kali menemukan
batok kepala Lie Hui Tek.
"Bocah she Touw, kau penjahat ini sungguh kejam,
sudah membakar perkampungan Hek-liong-chung!"
demikian padri tua itu berkata dengan marahnya.
Touw Liong tercengang, tetapi ia segera menjadi sadar,
sudah pasti ada orang yang menimbulkan onar di
perkampungan itu, bahkan sudah menggunakan namanya,
atau menyamar menjadi dirinya, yang bermaksud hendak
memfitnah kepadanya.
Siapakah orang itu" Mungkin juga si penjahat yang
menyamar menjadi ketua Bu-tong pay, juga yang pernah
menyamar menjadi Hian-kie-cu, dan yang membunuh Pek
Thian Hiong. Apabila benar perkampungan itu adalah dia yang
membakar, siapakah orang itu" Rasanya perlu mencari
tahu. Oleh karena tindak-tanduknya selama itu, yang selalu
hendak memfitnah dirinya dan mencelakakan dirinya,
maka dalam dunia ini, orang yang mengandung maksud
jahat seperti itu, hanya seorang saja, dia itu adalah .... Koo
Hong! Akan tetapi Koo Hong sudah mati, apakah benar-benar
seperti apa yang dikatakan Kakek Seribu Muka, bahwa
orang she Koo itu belum mati terbakar" Kali ini ia telah
muncul lagi, segala perbuatannya itu ditujukan untuk
mencelakakan dirinya supaya ia tidak dapat tancap kaki di
rimba persilatan.
Apabila benar itu perbuatan Koo Hong maka....
Selagi memikirkan soal itu, dengan tidak diduga-duganya
padri tua itu sudah menyerang dirinya dengan tongkat,
sehingga mau tak mau Touw Liong harus melesat tinggi
untuk membuyarkan serangan tadi.
Touw Liong setelah berhasil mengelakkan serangan
padri tua itu, ia meletakkan dua anak yang dibawanya di
tanah, setelah itu ia berpaling. Selagi hendak bertanya,
serangan kedua dari padri tua itu sudah mengancam dirinya
lagi, Touw Liong lalu berseru,
"Di mana saudara Hui Hong?"
"Dia pergi mengejar sumoymu Kim Yan! Kamu suheng
dan sumoy sungguh bagus perbuatanmu, telah membakar
perkampungan, lalu mencoba-coba hendak kabur, dan kau
sekarang pura-pura berlaku baik hati!"
"Kim Yan?" demikian Touw Liong mendumel sendiri, ia
menjadi bingung dan tidak habis mengerti apa sebabnya
Kim Yan juga datang ke perkampungan Hui-liong-chung.
Ia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia
memberi penjelasan apa-apa kepada padri tua itu, oleh
karena Koo Hong sudah muncuk di perkampungan Huiliong-
chung, maka ia telah mengambil keputusan hendak
mencari kepadanya.
Oleh karenanya, maka ia tidak menghiraukan padri tua
itu, bagaikan garuda terbang, ia melesat mengitari kampung
tersebut untuk mencari jejak Koo Hong.
Pada saat itu, di atas jembatan telah terjadi pertempuran
seru antara Lie Hui Hong dengan anak buahnya di satu
pihak, dan Kim Yan di lain pihak.
Tampaknya Lie Hui Hong hendak menerobos jembatan
sayang jembatan itu sudah dihalangi oleh Kim Yan,
sehingga ia tidak berhasil menerobos pula.
Sebelum Touw Liong tiba di tempat tersebut, sudah
terdengar suara Kim Yan yang berseru, "Orang yang kalian
cari itu sudah datang!"
Seruannya itu ternyata berhasil. Lie Hui Hong segera
berpaling dan lebih dulu menyambut kedatangan Touw
Liong. Bab 57 ANAK Lie Hui Hong juga turut menyerbu dan
menyerang Touw Liong.
Dalam keadaan demikian, Touw Liong terpaksa
menggunakan ilmunya serangan jari tangan untuk
menghalaukan serbuan orang-orang itu, sementara
mulutnya berkaok-kaok memanggil Kim Yan,
"Sumoy, kapan kau datang kemari?"
"Bukankah aku sudah datang bersama-sama denganmu"
Bagaimana kau begitu lekas lupa" Bukankah kau sendiri
yang membakar perkampungan ini?" demikian Kim Yan
menjawab sambil tertawa terbahak-bahak.
Lie Hui Hong marah sekali, bentaknya,
"Bocah she Touw, bagus sekali perbuatanmu! Hari ini
aku akan adu jiwa denganmu!"
Touw Liong tidak tahu bagaimana harus membuka
mulut, karena sudah terancam oleh serangan Lie Hui Hong,
terpaksa ia menggunakan pula serangannya jari tangan,
untuk menyentil jatuh golok Lie Hui Hong, karena ia tahu
bahwa kekuatan tenaga dan kepandaian Lie Hui Hong
belum pulih, maka ia tidak mau turun tangan terlalu kejam.
Tak lama kemudian, padri tua susioknya Lie Hui Hong
juga sudah sampai di tempat itu, dan menyerang Touw
Liong dengan tongkatnya, Touw Liong mengelak sambil
berseru, "Tahan!"
"Tahan boleh, tapi serahkan dulu nyawamu!" jawab
padri tua itu dalam keadaan marah.
Touw Liong yang diserang bertubi-tubi, terpaksa loncat
sana loncat sini untuk mengelakkan serangan mereka, ia
telah berhasil sampai ke jembatan, dan berkata dengan
cemas kepada sumoynya,
"Sumoy..."
Tetapi kedatangan Touw Liong disambut oleh Kim Yan
dengan satu serangan hebat.
Touw Liong merasa sedih mendapat perlakuan
demikian, tetapi ia masih bertanya juga kepadanya,
"Siapa yang telah melepas api?"
"Bukankah kau sendiri"!"
Touw Liong merasa sedih, ia terpaksa merubah
siasatnya, tanyanya pula dengan nada suara sedih,
"Kau datang bersama siapa?"
"Bersama-sama dia," menjawab Kim Yan sambil
menunjuk ke ujung jembatan.
Di sana, tampak berdiri seorang tua berwajah putih
dengan sikap tenang. Touw Liong dalam hatinya terkejut,
karena orang itu bukan lain daripada Pek Thian Hiong.
Bukankah Pek Thian Hiong sudah binasa di gunung
Kiong-lay-san" Mengapa kini mendadak muncul lagi"
Apakah orang yang sudah mati bisa hidup kembali"
Pada saat itu, api berkobar semakin keras, padri tua
dengan sikapnya yang masih marah menghampiri Touw
Liong, dan ketika di situ bertambah satu orang, juga
terkejut, tanya dengan suara nyaring,
"Sicu siapa?"
"Aku si orang tua Pek Thian Hiong," jawab orang yang
ditanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Padri tua itu terkejut, buru-buru memberi hormat
kepadanya. "Entah ada keperluan apa sicu berkunjung ke kediaman
kami?" bertanya padri tua itu.
"Kedatanganku kemari hanya membawa tugas dari Hekhong
Kauwcu, minta supaya taysu bersama kemenakanmu
pergi ke gunung Hek-hong-san untuk bekerja sama dengan
Kauwcu." Padri tua itu mengawasi Kim Yan dan Touw Liong
dengan sikap marah, Pek Thian Hiong segera mengerti
maksudnya, maka lalu berkata sambil menunjuk Touw
Liong. "Bocah she Touw ini sudah membakar perkampungan
Hui-liong-chung, tentang ini, siansu harap jangan khwatir,
Kauwcu tidak akan tinggal diam pasti akan
mempertanggungjawabkan perbuatan bocah ini."
"Bagaimana dengan sumoynya?" bertanya Lie Hui
Hong. Pek Thian Hiong kembali menjawab,
"Tentang nona Kim, karena dilakukan dalam keadaan
terpaksa, nona Kim sekarang sudah bergabung dalam Hekhong-
kauw, kedatangannya kali ini semata-mata karena
dipaksa oleh bocah she Touw itu. Kalau Chungcu tidak
percaya, silahkan tanya kepada nona Kim sendiri!"
Oleh karena Pek Thian Hong dalam rimba persilatan
mempunyai kedudukan tinggi, dan kini sudah
menggabungkan diri dengan Hek-hpng-kauw hal ini saja
sudah cukup untuk menggerakkan hati Lie Hui Hong, ia
memandang kepada susioknya, tampak padri tua itu sedang
berpikir keras, agaknya juga sudah tergerak hatinya.
Lie Hui Hong maju dua langkah dan bertanya kepada
Kim Yan. "Nona, betulkah ucapan Pek Sancu ini?"
Kim Yan mengangguk.


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padri tua itu lalu berkata,
"Apabila sancu menerima baik permintaan pinceng,
pinceng bersedia ikut samcu untuk menjumpai Kauwcu
dengan segera."
"Silahkan!"
"Apabila sancu sekarang ini mau membela keadilan bagi
kami, pinceng dengan senang hati bersedia
menyumbangkan tenaga untuk Hek-hong-kauw."
"Urusan ini sangat mudah, aku pikir, tidak perlu aku
harus turun tangan sendiri, aaai...."
Baru berkata sampai di situ ia terdiam, matanya
memandang Kim Yan.
Tanpa ragu-ragu Kim Yan menganggukkan kepala
kemudian mengulur pedang panjangnya dan berkata,
"Siaolie bersama suheng masing-masing ada
perjalanannya sendiri-sendiri, tentang perhubungan
persaudaraan dalam satu perguruan antara kami sudah
lama putus. Untuk menyumbangkan sedikit tenaga bagi
chungcu, sudah tentu tidak keberatan."
Kata-katanya itu diucapkan dengan sikap tenang dan
wajar, hingga Touw Liong yang mendengarkan itu merasa
seolah-olah ditikam hatinya oleh ujung belati.
Tetapi ia mengerti keadaan sumoynya pada waktu itu,
tidak perlu banyak alasan, maka ia hanya dapat menarik
napas panjang saja, dan matanya mengerling kepada Pek
Thian Hiong, sementara dalam hatinya, ia sudah menduga
pasti, bahwa Pek Thian Hiong itu, mungkin adalah jelmaan
Koo Hong, atau Koo Hong yang menyamar sebagai Pek
Thian Hiong. Sebabnya mudah sekali, karena Pek Thian
Hiong yang sudah mati tidak mungkin bisa hidup kembali.
Touw Liong berpaling, dan memberi penjelasan kepada
padri tua itu, "Losiansu tunggu dulu, aku si orang she Touw masih
ada sedikit perkataan yang rasanya tidak enak didengar....."
Padri tua yang sudah marah sekali itu, agak tidak dapat
diberi mengerti begitu saja, katanya sambil menggertak gigi,
"Masih perlu bicara apa lagi" Karena Hui Pek,
membakar perkampungan Hui-liong-chung, merampas batu
Khun-ngo-giok, semua adalah perbuatanmu seorang.
Pinceng sebetulnya merasa sangat menyesal tidak dapat
bertindak sendiri terhadapmu, tapi biarlah. Sekalipun
meminjam tangan orang lain, asal aku dapat melihat kau
mati di jembatan ini, hari ini aku sudah merasa puas."
"Losiansu keliru!" kata Touw Liong sambil menarik
napas panjang. "Apa yang keliru" Apakah masih ada hal-hal yang
terjadi di luar persoalan?"
Touw Liong menganggukkan kepala, sambil menunjuk
Pek Thian Hiong, ia balas bertanya kepada Lie Hui Hong,
"Tahukah chungcu siapa dia ini?"
"Bocah, siapa yang tidak kenal Pek siancu" Apa kau
masih pikir hendak membantah?"
"Jikalau dugaanku tidak keliru, dia adalah Thian-bok Itsiouw
Koo Hong."
"Koo Hong?"
Touw Liong mengangguk, lalu katanya dengan sikap
sungguh-sungguh,
"Apa yang disebutkan oleh pamanmu tadi, semua telah
dilakukan oleh dia seorang. Bahkan.... kematian Pek
Siancu di gunung Kiong-lay-san, kematian suhu di gunung
Kiu-hoa-san, juga dia yang membunuh secara menggelap.
Dua urusan ini, juga mungkin perbuatannya!"
Pek Thian Hiong tertawa besar, ia berkata sambil
membusungkan dada,
"Bocah, dugaanmu semua jitu, perbuatan itu semua
adalah aku yang melakukan...."
Belum lenyap suara tertawanya, wajah padri tua dan Lie
Hui Hong berubah seketika, mereka alihkan pandangan
matanya kepada Pek Thian Hiong.
"Bocah kau mengoceh seenaknya, apa kau kira mereka
mau percaya obrolanmu?"
Dengan penjelasan itu, perasaan tegang Lie Hui Hong
dan padri tua tadi sesaat menjadi kendor.
Pek Thian Hiong sementara itu lantas berkata kepada
Kim Yan sambil menjura,
"Jikalau nona tidak mau turun tangan, biarlah aku si
orang tua yang bertindak sendiri."
Kim Yan menjawab, ia hanya menggerakkan pedangnya
dan mendesak Touw Liong,
"Apabila suheng tidak mau menghunus juga pedangmu,
jangan salahkan kalau sumoaymu yang bertindak dengan
tidak pakai aturan!"
Dalam keadaan sangat terpaksa Touw Liong menghunus
pedang Hok-mo-kiamnya, ia menganggukkan kepala seraya
berkata, "Sungguh tak diduga bahwa kejadian hari ini benarbenar
seperti apa yang diucapkan oleh Panji Wulung
Wanita dahulu...."
Dalam amarahnya, Touw Liong lantas menantang
semuanya supaya maju berbareng.
Pek Thian Hiong diam saja, tetapi padri tua itu sudah
tidak dapat mengendalikan hawa amarahnya, setelah
menggeram, lalu maju sambil menenteng senjatanya.
Tetapi perbuatan itu segera dicegah oleh Pek Thian
Hiong, katanya,
"Losiansu jangan keburu nafsu, Kim lihiap seorang yang
turun tangan, kurasa sudah cukup untuk mengambil jiwa
bocah ini."
Oleh karenanya padri tua itu lalu membatalkan
maksudnya, hanya memandang Touw Liong dengan sinar
mata berapi-api.
Demikianlah dua saudara seperguruan, yang dahulu
berhubungan demikian akrab, bahkan sudah saling
mencinta, kini harus berhadapan sebagai musuh, ini
sesungguhnya memang terlalu kejam, tetapi kenyataannya
telah terjadi begitu, maka Touw Liong mau tak mau harus
menghadapi kenyataan itu dengan hati patah.
Pertempuran berlangsung seru. Touw Liong terus saja
mengalah, ia tidak mau turun tangan kejam terhadap
saudara seperguruannya. Sebaliknya dengan Kim Yan,
nona ini agaknya tidak mau memberi hati kepada Touw
Liong, setiap serangannya dilakukan dengan sangat ganas.
Kira-kira setengah jam telah berlangsung, dalam
pertempuran seru dan sengit itu, dengan tiba-tiba Kim Yan
undurkan diri, pedang di tangan Kim Yan tertuju ke bawah,
wajahnya tampak marah, dengan sinar mata berapi-api
memandang Touw Liong. Demikian pula keadaan Touw
Liong. Pemuda ini juga menurunkan pedangnya ke tanah
dengan hati pilu mengawasi Kim Yan, kemudian berkata
dengan suara sedih,
"Sumoay, suhengmu terpaksa harus bertindak
demikian!"
Pek Thian Hiong sebetulnya diam-diam sudah
bersepakat dengan padri tua, tidak perduli siapa yang
menang dan kalah dalam pertmpuran ini, keduanya akan
menyergap Touw Liong.
Dalam perkiraan mereka, Kim Yan tidak mungkin kalah,
sebab mereka sudah lama dengar bahwa ilmu Hek-hong-imkang
dari Hek-hong Kauwcu, sudah diwariskan kepada
Kim Yan, maka kalau dibanding dengan Touw Liong, Kim
Yan tidak mungkin bisa kalah. Akan tetapi kenyataannya,
kini Kim Yan bukan saja sudah kalah, bahkan
kekalahannya itu sangat hebat.
Justru karena itu, maka dua orang tadi baru sadar dan
terkejut, mereka sudah melupakan persepakatan mereka
semula yang hendak menyergap Touw Liong, mereka
hanya repot untuk mencari sebab-sebabnya kekalahan dari
Kim Yan. Akan tetapi dua orang itu melihat-lihat demikian lama,
meskipun mereka semuanya merupakan orang-orang Kangouw
kawakan, namun masih tidak dapat melihat Kim Yan
terluka di bagian mana.
Sementara itu Touw Liong sudah berkata sambil
menunjuk dengan pedangnya kepada Pek Thian Hiong,
"Orang she Koo, hari ini adalah hari kematianmu.
Sebelum aku turun tangan, kau bicaralah dengan terus
terang. Benarkah kematian suhu itu adalah
perbuatanmu...?"
Pek Thian Hong dalam keadaan marah, selagi hendak
melancarkan serangan, Kim Yan tiba-tiba membentak,
"Tunggu dulu!"
Pek Thian Hiong terpaksa membatalkan maksudnya, ia
berdiri tegak tanpa bersuara, Kim Yan maju selangkah
dengan sinar mata dingin ia menatap wajah Touw Liong
sejenak kemudian berkata kepadanya,
"Suheng, hari ini kau benar-benar gagah!"
Touw Liong hanya sambut ucapan itu dengan helaan
napas perlahan, dengan hati pilu mengawasi Kim Yan.
"Aku adalah wakil ketua Hek-hong-kauw," demikian
Kim Yan berkata pula, "Mereka berdua adalah anggota
terpenting bagian hukum di bawah perintah Hek-hong
Kauwcu. Suheng apabila kau masih ada apa-apa yang kau
pula belum diselesaikan dengan mereka, hari ini kau boleh
perhitungkan dengan aku. Selewatnya hari ini, kalau aku
tidak bersama mereka, segala permusuhan pribadi, boleh
bereskan sendiri langsung dengan mereka."
"Sumoay, bagaimanapun gila pikiranmu, juga
seharusnya kau sadarilah bahwa musuh perguruan itu besar
sekali artinya!"
"Apakah kau sudah tahu pasti bahwa dia itu adalah Koo
Hong" Apakah kau sudah tahu pasti bahwa musuh yang
membunuh suhu itu adalah Koo Hong?"
Dua buah pertanyaan itu telah membuat Touw Liong
bungkam. Kim Yan menunggu sebentar, lalu mengajak dua orang
itu berlalu. Pek Thian Hiong dan padri tua itu hanya mengikuti saja
jejak Kim Yan meninggalkan Touw Liong di tempatnya.
Touw Liong mengawasi berlalunya Kim Yan, dalam
hatinya merasa sangat pilu, hingga air matanya sampai
mengalir keluar.
Ia telah menduga dengan pasti, bahwa orang yang
menyamar menjadi Pek Thian Hiong itu adalah Koo Hong,
juga mungkin dialah musuhnya yang membunuh mati
gurunya sendiri. Tetapi oleh karena dihalang-halangi oleh
Kim Yanm hingga ia tidak bisa turun tangan terhadapnya,
kalau ia memikirkan pertempuran yang terjadi antara ia
dengan sumoaynya tadi, Touw Liong merasa begitu
menyesal, tidak seharusnya ia turun tangan berat, dengan
menggunakan ilmunya Tay-lo-kim-kong-ci, telah membuat
cacad lengan kiri Kim Yan.
Ia merasa sedih memikirkan nasib sumoaynya. Luka di
lengan kiri Kim Yan, seumur hidupnya ini, tidak mungkin
dapat disembuhkan lagi.
Sebetulnya tiada maksud sedikitpun darinya untuk
membuat cacad sumoaynya, hal itu telah terjadi di luar
dugaannya sendiri, juga boleh dikata karena kesalahan
tangan. Kiranya selagi pertempuran berlangsung, Touw Liong
telah menampak lengan kiri Kim Yan ada tanda-tanda
hendak mengerahkan serangannya Hek-hong-im-kang, ia
masih sangsi, apakah Kim Yan sudah dapat menggunakan
ilmu itu dengan baik atau tidak. Tetapi Touw Liong juga
tahu gelagat tidak beres. Ia tahu benar, bila serangan yang
sangat ganas itu apa tidak berjaga-jaga pasti akan membawa
akibat yang sangat menggiriskan! Oleh karenanya, maka ia
telah bertindak lebih dulu, menotok jalan darah di lengan
kiri Kim Yan dengan ilmunya Kim-kong-ci sebelum sang
sumoay bertindak.
Tak ia duga bahwa Kim Yan benar-benar hendak
mencoba ilmunya yang sangat ganas itu. Tetapi untunglah
kekuatan tenaga dalam gadis itu belum cukup, jadi belum
dapat menggunakannya dengan baik. Siapa tahu selisih
yang sangat sedikit saja itu telah membawa akibat fatal bagi
dirinya ketika jalan darahnya tertotok oleh ilmu Kim-kongci
Touw Liong, telah menimbulkan akibat cacadnya lengan
kiri itu, dengan demikian tangan kiri Kim Yan mau tak mau
telah menjadi cacad.
Satu-satunya jalan untuk menyembuhkan lengan itu,
ialah dalam waktu dua belas jam harus disembuhkan oleh
Panji Wulung Wanita sendiri. Tetapi biar bagaimanapun
harapan itu sangatlah tipis, sebab pada saat seperti itu entah
dimana adanya Panji Wulung" Dan dengan cara
bagaimana dalam waktu dua belas jam bisa berjumpa
dengan Kim Yan"
Kini Kim Yan sudah berlalu, perkampungan Hui-liongchung
juga tinggal reruntuhan, pemandangan itu semakin
memilukan hati Touw Liong saja.
Dengan hati ruwet dan pilu sekali, Touw Liong sambil
menghela napas melanjutkan perjalanannya menyusuri
sungai Jie-sui menuju ke timur.
Tiga hari kemudian, tibalah Touw Liong di kota Tongsian
di depan sebuah kelenteng Koan-tee-bio. Touw Liong
mencari seorang pengemis tua berusia lima puluh tahunan
ke atas, ia tidak perduli pengemis tua itu mau
menghiraukan kepadanya atau tidak, sudah mengajukan
pertanyaan padanya,
"Tolong kau sampaikan kepada Lie Pangcu, katakanlah
bahwa aku orang she Touw nanti jam tiga malam
menunggu dia di tempat ini, ada sesuatu urusan penting
hendak dibicarakan dengannya."
Pengemis tua itu membalikkan matanya memandang
Touw Liong tanpa berkata, namun sikapnya menunjukkan
perasaan terkejutnya.
Pengemis tua itu hanya memandang sejenak orang yang
menegurnya, kemudian tidur lagi, sedang Touw Liong juga
lantas meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar.
Tepat jam tiga malam, di depan kelenteng Koan-tee-bio
tampak bayangan beberapa puluh pengemis mengiringi Lie
Pancu, Lie Hu San, berjalan menuju ke depan kelenteng.


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Touw Liong sudah lama menantikan kedatangan mereka
di tangga batu rumah suci itu.
Kedua musuh lama telah berdiri berhadap-hadapan,
kembali Lie Hu San dengan sikap garang bertanya kepada
Touw Liong, "Bocah she Touw, untuk apa kau datang ke kota Tongsian
ini?" JILID 22 (TAMAT)
Karena kota Tong-sian adalah markas besar kaum
perkumpulan pengemis, Touw Liong yang hendak mencari
Lie Hui San, maka ia pergi berkunjung ke kota tersebut.
"Cui-sian Locianpwe, salah satu dari tiga dewa
golonganmu, telah minta padaku untuk melakukan suatu
tugas, maka itu dengan perjalananku ke Ji-sui kali ini
sekalian aku datang mencari pangcu untuk beromongomong,"
menjawab Touw Liong dengan suara perlahan.
"Bocah she Touw, kau tampaknya bangga sekali! Kau
sudah membakar perkampungan Hui-liong-chung, apakah
kau sekarang juga sudah menaksir sarangku pengemis ini
untuk kau jadikan umpan api yang kedua?"
Dalam hati Touw Liong agak terkejut, diam-diam ia
merasa kagum atas info golongan pengemis yang demikian
hebat, kabar itu dengan cepat sudah sampai di telinga sang
pemimpin ini! "Pangcu harap hargakan dirimu sendiri, janganlah kau
berkata asal sekeluar suara. Aku si orang she Touw seorang
laki-laki sejati, mana bisa melakukan perbuatan serendah
itu?" Bab 58 LIE HUI SAN takut kalau-kalau Touw Liong jadi marah
betul-betul, maka lalu mengalihkan pembicaraan ke soal
lain, "Touw Tayhiap dengan membawa perintah sesepuh
golongan kami datang kemari, entah hendak melakukan
tugas apa?"
"Tidak apa-apa, sesepuh golonganmu itu karena
memikirkan soal tanda kepercayaan golonganmu yang
berukiran Naga Emas, maka memerintahkan aku untuk
menanya kepada pangcu apakah selama tiga puluh tahun
ini pangcu sudah mendapatkan tanda kepercayaan Naga
Emas itu?"
Dengan kedudukan sebagai apa Touw tayhiap hendak
mencampuri urusan kami dalam golongan pengemis?"
"Aku hanya merupakan salah seorang murid yang
diterima oleh sesepuhmu itu dan diperintah datang ke kota
Tong-sian untuk membantu pangcu membereskan urusanurusan
dalam golongan pengemis."
"Apa Touw tayhiap ada membawa bukti?"
"Tentang ini "." Sejenak Touw Liong ragu-ragu.
Lie Hui San mengeluarkan sebuah tanda kepercayaan
dari batu giok, dengan sikap garang berkata,
"Touw tayhiap benar-benar pandai membanyol. Samtianglo
telah memberikan tanda kepercayaan yang berupa
binatang Kielin batu giok ini kepadaku si orang she Lie, dan
memerintahkan juga supaya aku yang membereskan segala
urusan dalam golongan pengemis daerah selatan dan utara.
Belakangan ini mendengar kabar, bahwa tanda kepercayaan
emas yang berukiran Naga itu yang dimiliki oleh suhu telah
terjatuh di tangan Sauw Su In, aku si orang she Lie sedang
bersiap-siap hendak mengajak delapan sesepuh dalam
golongan kmi untuk pergi ke gunung Tiam-jong, mencari
tanda kepercayaan itu."
Touw Liong begitu melihat tanda kepercayaan batu giok
berukiran binatang Kie-lin dalam hatinya terkejut. Si taysu
pemabukan dalam suratnya yang diberikan kepadanya, jelas
pernah menyebut tanda kepercayaan batu giok itu, tapi
dengan cara bagaimana bisa terjatuh di tangan Lie Hui San"
Diberikan oleh paderi pemabukan itu ataukah
didapatkan dari mana" Sewaktu berada di kota Lam-yang
ia sendiri pernah melihat bahwa taysu pemabukan itu
pernah menunjukkan benda kepercayaan yang berupa batu
giok itu, bahkan paksakan diri hendak dihadiahkan
kepadanya, tetapi waktu itu ia menolak pemberian itu dan
kemudian entah kemana batu giok itu. Tetapi mengapa
sekarang bisa berada di tangan orang she Lie itu"
Sementara itu Lie Hui San berkata kepadanya,
"Mengenai urusan dalam golongan kami untuk
sementara tidak berani meminta bantuan Touw tayhiap.
Nanti bila kami sudah menemukan kembali tanda
kepercayaan ketua yang telah hilang, dan aku si orang she
Lie harus lagi membereskan dalam golongan kami, waktu
itulah mungkin diperlukan bantuan Touw tayhiap."
Ucapan Lie Hui San itu ada mengandung pengusiran
halus terhadap Touw Liong.
Tetapi Touw Liong tidak menghiraukan semuanya, ia
memikirkan urusan yang sudah lalu.
Tiba-tiba Touw Liong berseru kaget, dengan sikap keren
berkata sambil menunjuk tanda kepercayaan batu giok di
tangan Lie Hui San:
"Tanda kepercayaan Batu Giok ini untuk sementara
biarlah Lie pangcu pegang, tunggu setelah aku
mendapatkan kembali tanda kepercayaan ketua, barulah
aku juga minta kembali kepada Pangcu!"
Setelah berkata demikian, ia berlalu dengan langkah
lebar. Lie Hu San berdiri terpaku sambil mengawasi berlalunya
Touw Liong. Kiranya Touw Liong telah teringat kejadian di kota
Lam-yang pada waktu dahulu....
Semula Taysu Gila itu dengan paksa memberikan tanda
kepercayaan itu kepada Touw Liong. Setelah ditolaknya,
telah menimbulkan amarah padri gila dan pemabokan itu.
Ia menggampar Touw Liong sehingga jatuh pingsan, jadi ia
tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Tatkala ia siuman kembali, waktu membuka mata, di
sampingnya telah berdiri dua orang. Satu ialah Lie Hui San
dan yang lain ialah Lie Hui Hong.
Waktu itu dua orang tersebut bertengkar dengan cara
bagaimana hendak membereskan diri Touw Liong.
Tiga hari kemudian, tatkala Touw Liong membuka surat
yang ditinggalkan Taysu pemabukan, dalam surat itu jelas
ada menyebut tentang tanda kepercayaan batu giok yang
dihadiahkan kepadanya, tetapi barang itu ternyata tidak
terdapat dalam sakunya.
Kini setelah nampak benda itu berada di tangan Lie Hui
San, ia segera teringat kejadian hari itu. Sudah jelas bahwa
benda itu dengan beradanya di tangan Lie Hui San, tentu
waktu itu sudah dicuri olehnya.
Dugaan itu ternyata benar seluruhnya. Segalanya
memang sudah terjadi seperti apa yang diduga olehnya.
Setelah Touw Liong berlalu, Lie Hu San lalu
memerintahkan anak buahnya, dan segera berangkat ke
gunung Tiam-cong untuk lebih dulu mendapatkan tanda
kepercayaan ketua partai.
Malam itu juga, Lie Hu San bersama beberapa sesepuh
golongan pengemis meninggalkan kota Tong-sian.
Kita sekarang balik kepada Touw Liong yang berlalu
dengan perasaan masgul. Pada hari ke dua ia sudah tiba di
kota Pak-khia. Meskipun Touw Liong namanya sudah sangat terkenal
dalam rimba persilatan, tetapi ia biasanya berkelana di
daerah selatan, jarang sekali melakukan perjalanan ke utara,
maka untuk pertama kali ia datang di kota Pak-khia. Orang
yang mengetahui dirinya jumlahnya tidaklah seberapa
banyak. Maksud kedatangannya ke ibukota itu bukanlah hendak
pesiar, juga bukan buat menikmati pemandangan alam
indah kota itu, sebab ia sedikitpun tidak mempunyai waktu
untuk bersenang-senang seperti itu.
Kedatangannya semata-mata ialah ingin pergi
menyelidiki ke toko-toko barang kuno di kota Pak-khia.
Sebab tanda kepercayaan ketua golongan pengemis yang
berupa emas berukiran naga, karena barang itu merupakan
barang pusaka yang sudah berpuluh-puluh tahun
menghilang, mungkin sudah terjatuh di toko barang antik.
Oleh karenanya, maka ia telah mengambil keputusan
untuk mengadakan penyelidikan di toko-toko barang antik
di kota Pak-khia.
Meskipun ia belum pernah melihat bagaimana bentuk
dan rupa tanda kepercayaan itu tetapi karena ia sudah
melihat bentuknya dan rupa benda kepercayaan batu giok
yang berukiran binatang Kie-lin, tanda kepercayaan emas
itu mungkin bentuknya tidak berbeda jauh dengan tanda
kepercayaan batu giok atau berbentuk dua atau tiga ekor
naga emas. Beberapa toko barang antik telah dikunjungi olehnya,
tetapi pemilik toko semuanya menggelengkan kepala,
mengatakan belum pernah melihat barang seperti apa yang
ditanyakan oleh Touw Liong.
Namun demikian Touw Liong belum berputus asa. Di
hari ketiga, ia mulai melakukan penyelidikannya lagi di lain
bagian. Hari itu ia tetap tidak mendapatkan hasil apa-apa bahkan
karena tindakannya yang mencurigakan, telah
menimbulkan perhatian banyak orang, yang diam-diam
memperhatikan dirinya. Dalam hati Touw Liong mengerti,
orang-orang yang memperhatikan dirinya itu tentu adalah
mata-mata golongan pengemis, namun ia tidak peduli.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Touw Liong sudah
mulai melakukan tugasnya lagi. Kali ini ia mendapat
sedikit petunjuk.
Dari seorang pemilik toko-toko barang antik, Touw
Liong telah mendapat keterangan, bahwa pada setengah
bulan berselang memang benar ada barang kuno yang dicari
oleh Touw Liong. Benda itu merupakan sebuah batu giok
merah yang diukir dengan dua ekor naga, oleh karena
warna naga itu merah, sehingga seperti emas.
Touw Liong buru-buru menanyakan di mana adanya
barang itu, tetapi pemilik toko itu lalu menyatakan bahwa
barang tersebut sudah dijual.
Touw Liong merasa kecewa mendengar jawaban itu,
namun ia masih coba minta keterangan siapa dan
bagaimana rupa orangnya yang membeli barang itu.
Menurut keterangan pemilik toko, pembeli itu
menggunakan bahasa daerah dekat Sam-see, kalau tidak
salah ia itu seorang pedagang kulit.
Touw Liong masih belum puas, ia menanyakan wajah
dan usia orang itu.
Lama juga pemilik toko itu berpikir, akhirnya ia masih
rada-rada ingat bahwa orang itu, kira-kira berusia di sekitar
empat puluh tahunan, di mukanya bagian kiri terdapat
tanda warna hijau.
Itu saja sudah cukup bagi Touw Liong untuk dipakai
sebagai bahan penyelidikan. Ia minta diri dan mulai
melakukan perjalanan untuk mencari jejak orang tersebut.
Menurut perhitungannya, pedagang kulit itu mungkin
sudah tiba di kota Peking, dan jikalau ia melakuka
perjalanan satu hari satu malam terus-menerus, pada waktu
tiba di kota Ceng-hong-tiam pasti dapat menyandak
pedagang kulit itu.
Setelah mengambil keputusan, Touw Liong hari itu juga
lantas berangkat melakukan perjalanan.
Benar saja, pada hari yang diperhitungkan sudah tiba di
kota Ceng-hoa-tiam. Kota itu merupakan sebuah kota
besar, di situ terdapat sepuluh lebih rumah penginapan.
Jumlah rumah penginapan di situ ada demikian banyak,
kemana ia harus mencari orang itu"
Inilah merupakan suatu kesulitan baginya. Terpaksa ia
mendatangi satu persatu rumah penginapan yang ada di
kota itu. Akhirnya, dari salah satu rumah penginapan dia
mendapat keterangan bahwa betul pada kemarin malam,
dalam rumah penginapannya ada kedatangan tetamu
seperti apa yang dicari oleh Touw Liong, tapi tadi pagi-pagi
sudah diajak keluar minum arak oleh dua sahabatnya yang
menyusulnya dari kota Pak-khia, hingga sekarang masih
belum kembali. Mendengar keterangan itu Touw Liong agak terkejut.
Ada dua orang yang menyusul dari Pak-khia" Siapa adanya
dua sahabat orang itu"
Satu pertanyaan timbul dalam otaknya, kemana
pedagang kulit itu pergi" Kembali ke kota Pak-khia ataukah
masih ada urusan lain"
Untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut Touw Liong
terpaksa mengambil salah satu kamar dalam rumah
penginapan yang ditinggali oleh pedagang kulit tadi purapura
menginap. Tetapi dari malam menantikan sehingga
subuh, masih belum tampak juga batang hidung pedagang
kulit itu pulang ke rumah penginapannya. Kemana dia"
Touw Liong diam-diam mengeluh, ia seperti mendapat
firasat tidak baik, segera keluar dari rumah penginapannya.
Di kota Ceng-hong-tiam itu ia berputaran beberapa kali,
namun tidak menemukan jejak orang yang dicari. Ia lalu
menduga bahwa orang yang menyusul pedagang kulit
tersebut mungkin orang dari golongan pengemis yang
dalam waktu bersamaan hendak mencari tanda
kepercayaan Naga Emas.
Ia menduga pasti bahwa pedagang kulit itu masih berada
di kota itu, hanya orang itu kini mungkin sudah dalam
cengkeraman orang-orang golongan pengemis. Apabila ia
tidak dapat mencari atau menemukan pedagang kulit itu
dengan segera, dan apabila tanda kepercayaan ketua
golongan pengemis itu terjatuh ke tangan Lie Hu San, maka
Lie Hu San segera dapat mempersatukan golongan
pengemis daerah utara dan selatan dengan menggunakan
tanda kepercayaan itu sebagai bukti.
Dengan demikian, golongan pengemis meskipun sudah
dapat dipersatukan, akan tetapi akan berubah menjadi
golongan yang dikuasai oleh orang-orang jahat dan sesat.
Kalau sudah terjadi hal itu, entah bagaimana nanti sepak


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjangnya dalam dunia Kang-ouw" Entah berapa banyak
orang-orang yang akan celaka di tangannya tak dapatlah
kita bayangkan dari sekarang.
Memikirkan hal itu, Touw Liong bergidik sendiri. Ia
lompat melesat ke suatu tempat di atas genteng yang lebih
tinggi. Matanya ditujukan ke sekitar kota Ceng-hong-tiam.
Malam itu, kota Ceng-hong-tiam seperti diliputi suasana
tidur nyenyak, keadaan gelap gulita, sinar lampu hanya
terlihat dari beberapa rumah saja, maka ia lalu menggelenggelengkan
kepala sendiri. Dalam keadaan putus asa ia
menghela napas. Selagi hendak pulang ke rumah
penginapan untuk beristirahat, tiba-tiba dari arah jauh
terdengar suara anjing menggonggong.
Karena malam itu sunyi, maka suara anjing itu
kedengaran sangat nyata. Touw Liong terkejut mendengar
suara gonggongan anjing itu, ia lalu pasang mata. Tampak
dari arah jauh di luar kota, terhadap sebuah rimba lebat,
samar-samar ada sinar lampu.
Tergerak hatinya, ia lalu melesat menuju ke rimba yang
ada sinar lampunya itu.
Tempat yang ada sinar lampunya tadi, ternyata adalah
sebuah kuil kuno. Di sekitar kuil tersebut terdapat banyak
pohon rindang. Perjalanan ke situ dengan kota Ceng-hongtiam
kira-kira hanya terpisah empat pal saja.
Touw Liong mengerti, jikalau di dalam rimba itu tidak
ada apa-apanya, tidak nanti ada penjagaan kuat. Tapi bila
di dalam kuil itu ada terjadi ssesuatu, dalam rimba itu pasti
ada jebakannya. Maka dengan kecepatan bagaikan kilat ia
menerobos masuk ke dalam rimba, langsung menuju ke kuil
dan bersembunyi di atas genteng bagian belakang.
Selagi hendak sembunyikan dirinya ke tempat yang lebih
gelap, dari kamar sebelah kiri terdengar suara jeritan yang
mengerikan. Suara itu seperti suara yang timbul dari orang
yang sedang disiksa hebat.
Touw Liong bergidik sendiri. Matanya kini ditujukan ke
arah tersebut, dan apa yang disaksikannya, benar-benar
membuat bulu kuduknya berdiri semua.
Di dalam ruangan kamar itu, sinar lampu terang
benderang. Di atas sebuah kursi tampak duduk seorang
pengemis setengah umur. Di kedua sisinya berdiri berbaris
empat orang pengemis yang masing-masing membawa
senjata pentungan. Di bawah di atas lantai, tampak rebah
menggeletak sesosok tubuh laki-laki setengah umur dalam
keadaan telanjang bulat. Di samping laki-laki tadi, terdapat
dua orang pengemis lagi.
Laki-laki dalam keadaan telanjang tadi ditelikung kedua
tangannya ke belakang, diikat keras bagaikan lepat,
sedangkan orangnya rebah terlentang. Terpisah setombak
lebih dengan laki-laki yang sedang rebah terlentang itu,
tampak sebuah penggorengan yang masih penuh dengan
minyak yang mendidih.
Seorang pengemis mengulurkan sebuah kakinya dan
menginjak ke atas dada laki-laki yang rebah terlentang
dalam keadaan terikat itu. Seorang pengemis yang lainnya
dengan tangan membawa secanting minyak panas,
diteteskan di atas perut laki-laki tadi. Tentu saja hal mana
lantas membuat rasa sakit pada laki-laki tadi, dan oleh
karenanya maka mengeluarkan suara jeritan yang
mengerikan, dan setelah itu orangnya juga bergulingan
berusaha untuk menahan sakitnya.
Terdengar suara pengemis yang duduk di atas kursi yang
membentak kepadanya:
"Anjing, kalau kau belum dihadapkan dengan peti mati,
barangkali kau belum merasa takut. Aku kira kau benarbenar
seorang laki-laki yang keras kepala, kiranya hanya
begitu saja, setetes minyak kau sudah tidak sanggup, perlu
apa masih pura-pura berlaku gagah?"
Kemudian ia meludahi laki-laki itu dan berkata pula
dengan nada suara dingin:
"Kau harus mengerti, apabila kau tidak mau
memberitahukan di mana adanya liongtin batu giok itu, kau
jangan sesalkan kalau aku berlaku kejam terhadapmu!
Hem! Kuali penggorengan itu mungkin nanti akan menjadi
tempat kau merasakan neraka dunia!"
Touw Liong yang mendengar ucapan pengemis tadi,
sudah tidak dapat mengendalikan hawa amarahnya lagi.
Dengan mengeluarkan suara bentakan nyaring, badannya
secepat kilat sudah melesat ke dalam kamar tadi.
Sebelum orangnya sampai, serangannya sudah tiba lebih
dahulu. Sepuluh jari tangannya bergerak dengan serentak,
tujuh orang golongan pengemis masih belum tahu benar
apa yang terjadi sudah tersapu jatuh oleh serangan jari
tangan Touw Liong.
Selanjutnya, disusul oleh beberapa kali suara jeritan
mengerikan, kiranya canting di tangan pengemis-pengemis
yang menuangkan minyak panas di atas perut lelaki tadi,
telah tersapu oleh serangan Touw Liong dan dengan secara
kebetulan telah menyiram pengemis yang duduk di atas
kursi tadi. Siraman itu mengenai bagian mukanya dan empat
pengemis yang berdiri di kedua sisinya juga turut terkena,
masing-masing pada menjerit kesakitan.
Touw Liong tidak menghiraukan itu semua, ia
membiarkan mereka berteriak-teriak dan menjerit-jerit,
dengan cepat ia menghampiri laki-laki yang bernasib
malang tadi, membuka ikatannya dan membimbing bangun
padanya. Laki-laki tadi dengan menahan rasa sakit memakai
kembali pakaiannya, setelah itu ia menjura dan
mengucapkan terima kasih kepada Touw Liong.
Touw Liong saat itu baru ada kesempatan untuk
memperhatikan wajah laki-laki tadi. Di bawah sinar lampu,
benar saja di bagian muka kiri laki-laki tadi terdapat sebuah
tanda biru. Touw Liong membimbing bangun padanya, lalu
mengajak ia lari keluar dari kuil kuno itu. Keluar dari
dalam rimba, langsung ia menuju ke kota. Ia tidak sempat
bicara menanyakan kepadanya, maka buru-buru berkata:
"Sebaiknya saudara lekas berlalu dari kota ini. Aku
bersedia mengantar saudara. Jikalau sampai terlambat kau
nanti akan dikejar lagi oleh mereka, jiwamu dalam
bahaya." Ketika keduanya tiba di rumah penginapan, orang itu
segera mengambil barang-barangnya dan pada malam itu
juga meninggalkan kota Ceng-hong-tiam.
Mereka melakukan perjalanan dengan menggunakan
kereta. Di atas kereta, lelaki itu terheran-heran mendengar
ucapan Touw Liong tadi. Katanya sambil menghela napas:
"Aku benar-benar tidak mengerti, tanpa sebab telah
mengalami nasib seperti ini."
"Mengapa saudara mengatakan tanpa sebab" Semua
bencana ini terjadi, karena saudara telah membeli sepotong
liongtin batu giok berukiran naga itu."
"Penjahat itu sebetulnya keterlaluan sekali kejamnya.
Betul batu giok itu berharga limapuluh tail lebih, tapi toh
tidak perlu harus menggunakan siksaan begitu untuk minta
kembali dari tanganku!"
"Saudara mana tahu" Batu giok itu merupakan jiwa
kedua bagi mereka. Satu hari saja kau tidak mau
menyerahkan batu giok itu kepada mereka, mereka
selamanya tidak akan melepaskan kau. Baiklah sekarang
kuberitahukan padamu. Batu giok itu, bagi orang lain tidak
ada gunanya, tetapi bagi mereka tidaklah demikian. Selama
tidak ada batu giok itu, ketua mereka tidak akan dapat
mengeluarkan perintah kepada anak buahnya." Demikian
Touw Liong memberikan keterangan selengkapnya.
Sampai di sini barulah lelaki itu mengerti. Sesaat
wajahnya berubah, lama berpikir, kemudian berkata sambil
menghela napas:
"Begitu. Kalau toh memang akan mendapatkan bencana
karena batu giok itu, masih tidak apalah. Namun, masih
akan membikin celaka orang lain, sungguh hanya membuat
aku tidak enak."
Touw Liong tahu bahwa soal ini mulai menunjukkan
titik terang baginya, maka buru-buru bertanya:
"Apakah batu giok itu sudah saudara berikan kepada
orang lain?"
"Di dalam rumah pelesiran Mo-tan-ie, di dalam ruang
Pat-tay-oh-tong, ada seorang wanita manis cantik sekali dia.
Siaote kenal padanya baru setengah tahun lebih, tapi
sungguh aneh, perempuan itu apapun tidak suka, ia hanya
suka mengumpulkan barang-barang berupa batu giok, maka
setiap kali aku pergi menengoknya, selalu membawa batu
giok untuk kuhadiahkan kepadanya."
Mengenai soal pelesiran di rumah pelesiran itu Touw
Liong masih asing sekali, tetapi ia cukup mengerti, bahwa
perempuan yang disebutkannya itu, pasti bukan perempuan
sembarangan, maka dalam hati lalu berkata sendiri:
"Orang ini suka pelesiran di rumah begituan, maka
bencana kali ini boleh dikata dicarinya sendiri."
Touw Liong tidak begitu simpatik terhadap laki-laki itu.
Tetapi buat keselamatannya, ia merasa berkewajiban untuk
melindungi. Dari sebab itu ia terus mengantar orang itu
sampai ke perkampungan Ciok-kee-chung. Malam itu juga
ia seorang diri kembali ke kota Pak-khia.
Tiba di kota Pak-khia, ia beristirahat sebentar, lalu
langsung menuju ke rumah pelesiran, untuk mencari
perempuan yang ditunjuk oleh pedagang kulit itu.
Apa lacur, menurut keterangan germo rumah pelesiran
itu, perempuan yang dimaksud pada lima hari berselang
ternyata sudah pulang ke kampung halamannya, di kota
Yang-ciu. Mendapat jawaban seperti itu sudah tentu lantas hilang
kegembiraan Touw Liong untuk berdiam terus di situ.
Dengan cepat ia meninggalkan rumah tersebut, dan saat itu
juga berangkatlah ia menuju ke arah selatan.
Namun ia lupa menanya di Yang-ciu bagian mana
perempuan itu tinggal. Kota Yang-ciu demikian besar,
kemana harus dicari perempuan itu"
Dengan pikiran risau, Touw Liong melakukan
perjalanan terus-menerus selama tiga hari. Hari itu ia sudah
berada di kota Cee-lam. Selagi hendak mengasoh untuk
dahar dahulu, tak diduga-duganya di rumah makan tersebut
telah terjadi sesuatu kejadian gaib.
Di sebuah meja di dekat jendela, tampak duduk seorang
tua dan seorang anak muda. Orang tua itu wajahnya aneh.
Ia adalah seorang imam berjubah kuning. Imam itu usinya
mungkin sudah tujuh puluh tahunan ke atas, sedangkan
yang muda adalah seorang wanita yang berparas cantik.
Perempuan cantik itu mengenakan pakaian berwarna ungu.
Sepasang mata yang besar bulat dan jeli dari perempuan
cantik itu, banyak sekali menarik perhatian orang.
Beberapa ratus mata tamu rumah makan tersebut, sebagian
besar tertuju kepada perempuan itu. Agaknya mereka
terpesona oleh kecantikannya.
Touw Liong yang juga tertarik oleh pandangan orang
banyak itu, memandang sekilas ke arah yang sama. Sekujur
badannya lantas dirasakan menggigil, sedangkan
perempuan cantik itu juga seperti sengaja tapi seperti juga
tidak melirik kepada Touw Liong sejenak.
Dari logat pembicaraannya jelas menunjukkan bahwa
perempuan cantik itu adalah orang asal kota Yang-ciu, hal
mana membuat hati Touw Liong sedikit tergerak. Buruburu
ia mencari tempat duduk yang dekat dengan
perempuan cantik dan imam tua itu.
Duduk sekian lama, ia lantas mendengar suara dari si
imam tua yang berkata kepada wanita cantik tadi.
"Sayang! Sutitku sudah mati. Jikalau tidak, tentu dia
dapat membantu kita."
Wanita cantik itu memperdengarkan suara helaan
napasnya, kemudian berkata:
"Kian-goan mati dalam keadaan tidak jelas, apakah
susiok juga tidak mau melakukan penyelidikan?"
Imam tua itu menghela napas panjang, tanpa berkata
apa-apa matanya memandang jauh ke arah telaga, akhirnya
hanya menjawab dengan suara hambar:
"Kematian Kian-goan sesungguhnya perlu
disayangkan!"
Bab 59 KIAN GOAN" Siapa Kian Goan itu" Demikian Touw
Liong bertanya-tanya sendiri dalam hatinya setelah
mendengar pertanyaan mereka.
Sesaat kemudian ia segera teringat kepada diri Kian-goan
Totiang dari gereja Kian-goan-koan di gunung Tay-san.
Sementara itu perempuan muda tadi sudah berkata lagi
sambil menghela napas perlahan:
"Kabarnya suheng terbinasa di bawah serangan ilmu
Thian-seng-jiauw dari Touw Liong."
Imam tua itu lalu tampak menggelengkan kepala dan
berkata: "Bukan! Ia mati di bawah serangan ilmu Thay-it-sinjiauw
dari Panji Wulung."
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala tanpa
disadari, seolah-olah ia ingin turut membenarkan ucapan
imam tersebut. Imam tua itu berkata lagi dengan suara sangat perlahan
sekali: "Apakah Kang susiokmu sudah datang?"
"Kang susiok belum datang, sebaliknya adalah si anjing
Lie Hui San itu yang telah mengintai terus jejakku, sampai
di kota Cee-lam ini!" menjawab wanita muda itu sambil
menggelengkan kepala.
"Sekarang?"
"Berdiam di kelenteng Kiu-ong-bio."
"Berapa banyak orang mereka?"
"Termasuk Lie Hui San sendiri, semuanya berjumlah
sembilan orang. Tetapi hendaknya susiok jangan lupa,
bahwa kota Cee-lam ini adalah daerah mereka. Asal Lie
Hui San menjejakkan kakinya saja, seluruh kota Cee-lam
akan menjadi gempar."


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ng, pengaruh golongan pengemis di kota Cee-lam ini
memang besar sekali...."
Sehabis berkata demikian imam tua itu mengangkat
cawannya dan minum kering isinya, kemudian berkata lagi
dengan suara yang lebih perlahan:
"Anak, jasamu kali ini sungguh besar sekali! Di
kemudian hari, Kang susiokmu pasti akan memberi hadiah
banyak kepadamu!"
"Titlie sama sekali tidak mengharapkan pembalasan jasa
apa-apa. Titlie dengan pengorbanan diri sendiri seperti ini,
hanya mempunyai satu tujuan saja, supaya lekas dapat
membalas dendam sakit hati See-hiong."
Waktu berkata demikian, sepasang mata wanita cantik
itu sudah basah dengan air mata.
Imam tua itu kembali menghela napas, dan berkata:
"See-hong patut dikasihani. Dalam usia yang demikian
muda, sudah meninggalkan kau sehingga kau harus
menjadi janda yang masih muda belia. Anjing Lie Hu San
ini sesungguhnya juga terlalu kejam."
Kini mengertilah sudah Touw Liong bahwa suami yang
disebut oleh wanita muda itu adalah itu pemuda yang
disebut-sebut sebagai See-hiong tadi, sedangkan See-hiong
sudah binasa di tangan Lie Hu San.
Sampai di sini, dalam hati Touw Liong sudah
mempunyai satu gambaran. Perempuan cantik yang berada
dalam rumah pelesiran di Tay-oh-tong, di kota Pak-khia
adalah perempuan cantik yang sekarang berada di hadapan
matanya itu. Kalau demikian halnya, sepotong batu giok
tanda kepercayaan berukiran Naga Emas itu tentu sudah
berada di tangannya.
Touw Liong pun mengerti, bahwa Kang susiok yang
disebutkan oleh imam tua tadi, juga adalah pangcu
golongan pengemis daerah selatan yang bernama Kang
Hao. Selagi Touw Liong berpikir dengan cara bagaimana
hendak mendapatkan tanda kepercayaan itu dari tangan
perempuan cantik ini, tiba-tiba terdengar suara imam tua
tadi yang bertanya kepada perempuan cantik tadi:
"Tie-jie! Di mana benda itu sekarang?"
Perempuan cantik dengan menggunakan nada suara
yang sangt perlahan sekali, berbisik-bisik di telinga imam
tua tadi. "Sudah berada di Kang-lam!"
"Kang-lam?" sejenak imam tua itu tampak terkejut,
agaknya tidak percaya pada keterangan perempuan cantik
itu. "Sumoy telah menggunakan kuda jempolan untuk
membawa tanda kepercayaan itu berjalan melalui jalan
darat, sedangkan Tie-jie sendiri dengan terang-terangan
berjalan melalui jalan timur dengan demikian sehingga
berhasil memancing perhatian Lie Hu San kemari.
Sekarang kalau dihitung, batu giok itu mungkin sudah
berada di tangan Kang susiok."
Touw Liong benar-benar terkejut mendengar ucapan itu.
Tidak diduga-duga barang yang sudah terbayang di depan
mata sudah berada di tempat sejauh ribuan pal.
Imam tua tadi seolah-olah sengaja atau tidak, waktu ia
mengangkat kepala, tiba-tiba tampak diri Touw Liong,
sehingga saat itu wajahnya lantas berubah.
Wanita muda itu seolah-olah juga sudah menyadari
kehadiran Touw Liong di situ. Ia mengerling kepadanya,
ketika menatap wajah Touw Liong yang tampan itu,
kembali menunjukkan senyumannya yang manis.
Oleh karena senyumannya itu, sehingga Touw Liong
merasa tidak enak dan di saat itu lantas menundukkan
kepalanya. Imam tua itu sejenak tampak ragu-ragu, akhirnya ia
bangkit dan memberi hormat seraya bertanya:
"Jikalau mata pinto belum lamur, siecu ini tentunya
seorang she Touw, bukan?"
Touw Liong menganggukkan kepala dan membalas
hormatnya seraya berkata:
"Benar! Aku yang rendah memang seorang she Touw,
bagaimana sebutan Totiang yang mulia?"
"Pinto Thian-ceng, ada sedikit pertanyaan yang mungkin
mengganggu Touw Tayhiap."
Touw Liong menjawab dengan kata-kata yang
merendahkan diri, sedang Thian-ceng Totiang sudah
bertanya lagi: "Touw tayhiap selamanya suka berkelana dan
melakukan perbuatan baik di daerah Kang-lam, entah angin
apa telah membawa Touw Tayhiap ke kota Cee-lam ini?"
Amanat Marga 9 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pendekar Kembar 13
^