Bukit Pemakan Manusia 13

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 13


tu masalah besar, persoalannya adalah kita seharusnya melakukan suatu
pekerjaan yang lebih banyak daripada apa yang telah kau lakukan, tapi
sayang kita telah bertindak agak teledor."
Pada saat itulah Cu San poo menyela: "Betul, mengapa kita tiga orang
pengganti berbaju emas harus turun tangan sendiri hanya dikarenakan
urusan uang emas sebesar berapa ribu tahil emas, padahal biasanya
untuk tugas-tugas semacam itu kita hanya mengutus orang untuk
melaksanakannya. Tak heran kalau bangsat muda berbaju putih itu
menjadi curiga, ya, kalau begitu sudah pasti dia telah menguntil kita !"
"Kalau memang begitu, kita harus segera meninggalkan tempat ini
selekasnya!" seru Gui Sam tong sambil melompat bangun secara
tiba-tiba. Kembali Wong Peng ci tertawa sambil rentangkan tangannya untuk
menghalangi kepergian orang itu, serunya:
"Mau pergi " Pergi ke mana ?" "Perduli kemana saja, pokoknya pergi
makin jauh meninggalkan tanah pegunungan ini semakin baik !" Kembali Wong Peng-ci
menggelengkan kepalanya berulang kali. "Percuma, kita tak mungkin
bisa menangkan kecepatan terbang dari burung-burung merpati tersebut !" "Sekalipun begitu, tapi kita toh
tak bisa berpeluk tangan belaka untuk menanti kematian" "Sekarang pergi berarti kemungkinan mati buat kita akan semakin
besar." "Mengapa begitu ?" tanya Gui Sam-tong. "Sebab orang yang
menguntit kita sekarang bukan cuma kepandaian silatnya lihay, dia pasti seorang yang amat cerdas, kita
berhenti dia pasti berhenti, kita jalan dia pun ikut jalan. Oleh karena itu
bagaimanapun jauhnya kita pergi, hal itu sama sekali tak berguna,
begitu beritanya telah datang dan loji menitahkan untuk melakukan
pembunuhan, tak sampai sepertanak nasi kemudian, kita semua pasti
akaa menemui celaka di tangannya..."
"Itulah sebabnya kita harus cepat-cepat menyingkir dari sini, makin jauh
semakin baik!" tukas Cu San poo dengan cepat.
Kembali Wong Pengci menggelengkan kepalanya berulang kali. "Soal
pergi tentu saja kita akan pergi, tapi sebelum berangkat
kita harus berunding dulu dengan sebaik-baiknya!" "Soal apa lagi yang
perlu dirundingkan ?" Sambil tertawa Wong Pengci berkata kepada Gui
Sam tong: "Duduklah lebih dulu saudara Gui, mari kita duduk sambil
berbincang-bincang." Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Gui
Sam tong harus duduk kembali ke atas tanah. Dengan merendahkan nada suaranya,
Wong Pengci segera berkata: "Menurut dugaanku, orang yang menguntit kita sekarang
kemungkinan benar adalah si bocah keparat berbaju putih itu..."
"Perduli siapakah dia, yang pasti dia bakal merenggut nyawa kita
bertiga..." tukas Cti San poo dengan kening berkerut. Wong Pengci
memandang sekejap ke arah Cu San poo, kemudian
berkata lagi: "Saudara Cu tak usah gelisah, maksud siaute orang yang menguntit
perjalanan kita sekarang cuma satu orang!"
Gui Sam tong masih saja belum memahami apa arti dari pembicaraan
itu, katanya pula: "Berbicara menurut keadaan yang sedang kita hadapi sekarang hanya
seorang saja sudah cukup untuk merenggut nyawa kita semua!"
"Saudara Gui" kata Wong Peng-ci sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali, "Siau-te bukannya tidak mengerti akan teori tersebut,
maksud siaute adalah ingin memberitahukan kepada kalian berdua
bahwa orang yang menguntit kita sekarang cuma sorang, padahal kita
sekarang bertiga..." Setelah mendengarkan pembicaraan tersebut sampai disitu, dengan
cepat Cu San poo dapat memahami maksudnya, dengan cepat dia
menukas: "Jadi maksudmu, kita akan memisahkan diri untuk melarikan diri ketiga
penjuru yang berbeda ?" Dengan cepat Wong Peng ci mengangguk. "Benar, benar, sebentar
bila rasa lelah kita sudah hilang kita
masing-masing naik kuda dan menempuh perjalanan yang berbeda, Aku
percaya bocah keparat berbaju putih itu pasti akan dibikin tertegun
ditempat persembunyiannya dan tak tahu apa yang mesti dilakukan!"
Gui Sam-tong berpikir sebentar, kemudian mengangguk, "Yaa, cara ini
memang sebuah cara yang bagus sekali." katanya.
Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi: "Tapi, kita harus
berjumpa lagi dimana ?" Sebelum Cu San poo sempat menjawab,
Wong Peng-ci telah berkata lebih dahulu: "Bagaimana kalau kita bersua lagi
kota Kim leng?" "Kurang cocok." tukas Cu San poo cepat, "menurut apa yang kuketahui
loji mempunyai tempat persembunyian didalam kota Kim leng, Iebih
baik jangan kesitu!" Gui Sam tong berpikir pula sejenak, kemudian katanya: "Kalau bisa
tempat itu bukan suatu tempat yang terlalu
diperhatikan orang, tapi tempat itupun jangan kelewat terpencil dari
keramaian." "Ehmm,,." Wong Peng ci mengangguk, "sekarang Sun Tiong lo sekalian
sedang pergi ke selat Wu shia, itu berarti loji sekalian pasti melewati
pula jalanan tersebut, kita harus mengambil arah yang berlawanan
bagaimana kalau kota Si ciu saja?"
Dengan cepat Cu San poo dan Gui Sam tong menyatakan
persetujuannya dengan cepat. "Apakah kalian berdua mengenal daerah kota si ciu?" tanya Wong Peng
ci lagi. Gui Sam tong segera menggeleng, sedangkan Cu San poo juga tidak
mengucapkan apa-apa. Sambil berkata Wong Peng ci kembali ber-kata: "Dijalan raya sebelah
selatan kota Si ciu terdapat sebuah rumah
penginapan yang memakai merek Ki bok, kita bersua lagi ditempat itu
saja, siapa yang sampai duluan harus menunggu sampai yang lain
datang, setuju..." Dengan cepat Cu San poo menggeleng. "Bagaimanapun kita harus
meninggalkan suatu batas waktu tertentu, jadi kitapun tak usah saling menunggu terus menerus."
"Betul" sambung Gui Sam poo pula, "bagaimanapun juga kita toh
tak bisa menunggu sepanjang masa disitu?" Wong Peng ci termenung
dan berpikir sejenak, kemudian katanya: "Kalau begitu begini saja, terhitung mulai besok, seratus hari kemudian
merupakan hari yang terakhir kalinya, setelah lewat seratus hari maka
orang yang sampai duluan tak usah menunggu lebih jauh!"
Cu San poo serta Gui Sam tong segera menyetujui dan memutuskannya
seperti apa yang dikatakan. Menyusul kemudian Wong Peng ci berkata lagi dengan suara setengah
berbisik: "Kita harus naik kuda dan keluar dari hutan bersama-sama, kemudian
berpisah secara tiba-tiba tanpa menghentikan kuda barang sedetik pun
nah saudara Gui, jangan lupa kau berikan perintah untuk menyebutkan
batas waktu dan tempat pertemuan buat kami berdua, agar bocah
keparat itu bisa dikelabuhi!" "Tapi apakah bocah keparat berbaju putih itu bisa terkecoh?" tanya Gui
Sam tong sambil tertawa. "Tentu saja, agar keparat itu salah wesel dan harus melakukan
perjalanan dengan sia sia..." "Baiklah, aku sudah mempunyai perhitungan kalian tak usah kuatir."
kata Gui Sam tong tertawa. Begitu persoalan telah diputuskan dan waktu istirahat sudah dirasakan
cukup, mereka bertiga segera naik kuda dan melanjutkan perjalanan
lebih jauh. Setelah keluar dari hutan, Gui Sam tong segera menurunkan
perintahnya dengan lantang: "Saudara berdua bila urusan selesai, jangan lupa untuk segera
berkumpul ke kota Seng tok karena masih ada urusan penting lainnya
yang harus segera diselesaikan jangan melanggar batas waktu yang
telah ditetapkan. Nah aku akan berangkat lebih dulu, kita bersua
kembali di kota Seng tok !" Wong Peng ci dan Cu San poo mengiakan dengan hormat, kemudian
mereka bertiga segera berpisah untuk melakukan perjalanan dengan
melalui arah yang berbeda. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 26 TAK LAMA setelah mereka berpisah, seekor kuda putih dengan seorang
manusia berkerudung putih munculkan diri dari tempat persembunyian
memandang bayangan tubuh Wong Peng ci, Cu San poo dan Gui Sam
tong yang berpisah menuju ketiga sasaran yang berbeda, dia
menggelengkan kepalanya berulang kali.
Tak selang berapa saat kemudian, orang berbaju putih itu segera
bergumam: "Perduli amat, asal aku menguntil orang yang memegang lencana naga
tersebut, rasanya tak mungkin bisa salah lagi!"
Bergumam sampai disitu, orang berbaju putih tersebut segera
mencemplak kudanya dan mengejar di belakang Gui Sam tong.
Belum lama setelah bayangan tubuh manusia berbaju putih itu lenyap
dari pandangan raata, dari tempat kejauhan nampak Wong Pengci telah
memutar kuda dan berjalan balik. Memandang ke arah jalanan yang ditempuh oleh Gui Sam-tong, dia
menghela napas panjang. Menyusul kemudian, dengan nada menyesal bercampur minta maaf dia
bergumam lagi: "Saudara Gui, jangan salahkan aku, siapa suruh kau adaiah orang yang
membawa lencana perintah ?" Bergumam sampai disitu, Wong Peng ci segera melarikan kudanya
berganti haluan, kali ini dia mengambil jalan kecil menuju ke arah lima
propinsi di utara sungai besar. Cu San poo sendiripun dapat memahami persoalan tersebut setelah
menempuh perjalanan sekian waktu, selain merasa terperanjat akan
siasat busuk dari Wong Peng ci, diam-diam dia bersyukur atas nasibnya
yang terhitung masih mujur. Oleh karena itu dia lantas menduga kalau janji Wong peng ci untuk
bersua lagi di kota Si ciu tak lebih hanya janji kosong belaka, oleh
karena itu Cu San poo pun segera berganti haluan pula, bukannya
berangkat ke kota Si ciu, kali ini dia membalikkan kudanya menuju ke
arah So khong. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** DALAM rumah penginapan kecil, mereka yang keluar
rumah untuk mencari jejak Beng Liau huan dan pelayannya telah balik semua
dan berkumpul kembali. Mereka semua hanya menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas,
karena usaha pencarian mereka hanya sia-sia belaka.
Dalam keadaan apa boleh buat, kecuali diam-diam berdoa untuk
keselamatan Beng Liau huan dan pelayannya, mereka tak berdaya
apa-apa lagi. Maka tanpa sangsi mereka segera melanjutkan perjalanan semula.
Tujuan mereka adalah selat Wu shia, karena Sun Tiong lo bertekad
hendak menemukan Su Nio. Berbicara tentang Su Nio, siapapun tidak mengetahui dia telah
bersembunyi di mana, jangan dibilang Sun Tiong lo sekalian, sekali pun
Mou Tin hong sendiripun tak berhasil menemukan kabar berita tentang
dirinya. Dia dan Kong It hong yang telah kehilangan ilmu silatnya telah lenyap
tidak berbekas semenjak meninggalkan bukit pemakan
manusia, dia pernah mengatakan tempat persembunyiannya tak
mungkin bisa ditemukan orang. Nyatanya siapapun tak berhasil menemukan kemanakah dia telah
pergi. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** RUMAH penginapan Kui peng dijalan raya sebelah
barat kota Seng tok merupakan tempat berkumpulnya Sun Tiong lo sekalian
Mereka memborong lima buah kamar kelas satu dihalaman sebelah
timur. Sun Tiong lo menghela napas panjang, dia merasa kecewa sekali.
Nona Kim yang berada di sampingnya cepat menghibur. "Engkoh Lo,
kita tidak usah cemas, marilah kita memikirkan cara
yang lain." "Aku tidak gelisah atau cemas" sahut Sun-Tiong lo sambil
tertawa getir, "cuma kecewa saja." "Kalau dilihat keadaan perkampungan yang
porak poranda dan tinggal puing-puing yang berserakan, tampaknya paling tidak sudah
ada berapa tahun tak berpenghuni lagi."
Sun Tiong lo manggut-manggut. "Bukan cuma beberapa tahun saja,
mungkin sudah mencapai belasan tahun lamanya." Nona Kim segera tersenyum. "Walaupun
perkampungan itu sudah hancur lama sekali, akan
tetapi tidak sia-sia juga perjalanan kita kali ini." katanya. Hou ji dan
Bau ji tidak habis mengerti dengan maksud ucapannya
itu, dengan hampir berbareng mereka berseru: "Sepotong berita saja
tak ada, mengapa kau mengatakan kalau
perjalan kali ini tidak sia-sia belaka?"
"Kalau berbicara soal Su Nio, tentu saja perjalanan kita kali ini adalah
suatu perjalanan sia-sia belaka, tapi kalau berbicara soal berpesiar ke
selat Wu shia serta menikmati keindahan alam yang ada disekelilingnya,
maka kita perjalanan kita kali ini tak bisa dibilang suatu perjalanan yang
sia-sia belaka." Sun Tiong lo yang berada disisinya segera memandang sekejap wajah
nona Kim, lalu berkata: "Adik Kim, siapa sih yang berniat lagi untuk menikmati keindahan alam
disana?" nona Kim sama sekali tidak menanggapi ucapan mana, kembali
dia berkata: "Harus diperhatikan kemurungan dan kekesalan apalagi keresahan tak
ada manfaatnya terhadap persoalan yang dihadapi!"
Sun Tiong lo tidak menanggapi ucapan itu, sebaliknya Bau ji segera
menimbrung. "Nona, kami tak punya kegembiraan sebesar itu untuk turut
mendengarkan obrolanmu itu!" "Baik!" seru nona Kim kemudian dengan dingin, "kalau begitu silahkan
kalian menikmati keresahan tersebut siapa tahu dari resah akan
menjumpai suatu cara yang bagus untuk mengatasi persoalan yang
sedang dihadapi..." Ucapan mana kontan saja memancing gelak tertawa dari semua orang
yang hadir. Selesai tertawa, Hou ji lantas berseru lebih duluan: "Siau liong, aku
rasa apa yang di ucapkan nona ini memang
masuk akal juga, sekarang kita sedang berada di propinsi Szchuan,
dengan Cing shia dan Go bi sudah tak jauh lagi, bila dapat menikmati
pemandangan alam, sesungguhnya hal itupun merupakan suatu
kegembiraan manusia yang tak bisa dibayar dengan uang berapa
banyakpun !" Bau ji hanya tertawa belaka, dia tidak turut memberikan komentar
apa-apa. Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Sun Tiong lo, segera
sahutnya:

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, ada kalanya Thian bisa memberi bantuan yang besar bagi orang
yang tidak berniat, hayo berangkat, mumpung hari masih pagi mari kita
berangkat sekarang juga, mula-mula menengok ke Wu lalu mencari
Siu." "Ya, Cingshia merupakan bukit yang memedihkan hati di dunia ini.
Indah bukit Gobi merupakan bukit yang paiing indah di kolong langit.
Jangan dilihat berbicara soal usia maka kecuali Nona Kim maka usia Sun
Tiong lo paling muda, tapi bila sudah menghadapi persoalan entah
persoalan apa saja, asalkan Sun Tiong lo telah berbicara maka delapan
sampai sembilan puluh persen keputusan segera diambil.
Begitulah, keputusan setelah diambil berangkatlah mereka menuju ke
bukit Cing shia lebih dulu. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** GUI SAM TONG mencemplak kudanya dengan
kencang menuju ke kota Seng tok di propinsi Szuchuan. Dia sudah tahu kalau manusia
berkerudung putih itu masih saja menguntil dibelakangnya bagaikan sukma gentayangan saja. Setelah itu
diapun menjadi paham apa sebab nya Wong Peng ci
mengusulkan agar perjalanan dilanjutkan dengan berpisah saja. Tentu
saja Gui Sam tong juga mengerti apa sebab Cu San poo
menyetujui usul tersebut. Kali ini dialah yang menyaru sebagai
pemegang lencana naga, sedangkan Wong Peng ci dan Cu San poo tak lebih hanya mengiringi
belaka, bila perjalanan dilanjutkan dengan memisahkan
diri, otomatis manusia berkerudung putih itu akan menguntil dia
seorang. Walaupun Cu San poo telah memahami maksud tujuan dari Wong Peng
ci ketika mengajukan usul tersebut akan tetapi berhubung dia bisa
menggunakan kesempatan tersebut untuk menghindarkan diri pula dari
pengejaran dan lolos dengan selamat, sudah barang tentu usul yang
sangat baik itu tidak ditolaknya mentah-mentah.
Mereka itu, sekarang tinggal dia seorang yang terjebak dalam keadaan
yang sangat berbahaya, cepat atau lambat kemungkinan besar dia
bakal di tangkap lawan. Berpikir dari sini, teringat mula akan janji Wong peng ci untuk bersua
lagi dikota Si ciu, dia yakin seyakin yakinnya kalau apa yang diucapkan
orang she Wong itu cuma tipu muslihat belaka.
Tiba-tiba saja Gui Sam tong merasakan dirinya sangat menggelikan tapi
diapun segera merasakan dirinya merupakan seorang manusia yang
patut dikasihani. Lencana naga tersebut sebetulnya sengaja dia persiapkan dimasa lalu
dengan maksud akan dipergunakan bila ia menghadapi ancaman bahaya
maut, sekarang lencana itu telah di pergunakan, tapi hal itu justru
membahayakan keselamatan jiwa sendiri, apakah hal ini tak
mengenaskan bila dipikirkan kembali "
Dalam perjalanan yang ditempuh amat cepat, tanpa terasa Gui Sam
tong telah berhasil memahami banyak persoalan.
Setelah memahami persoalan persoalan tersebut, walaupun dia merasa
agak gemas dan benci terhadap Wong Peng-ci dan Cu San poo, tapi
nasi telah menjadi bubur, apa gunanya merasa gemas dan menyesal"
Oleh karena itu, jalan pemikirannya segera dialihkan kembali ke
masalah lain. Kuda dilarikan kencang-kencang, sementara itu pikiran Gui Sam tong
pun berputar tak hentinya. Pelbagai kemungkinan melintas satu persatu didalam benaknya,
diam-diam ia tertawa. Sejak berjalan seorang diri keributan, ia menyadari kalau dirinya tertipu
sampai dia berhasil menemukan cara yang baik untuk mengatasi
masalah itu, kudanya dibiarkan berlarian terus tiada hentinya.
Menjelang malam tiba, sampailah dia disebuah kota kecil yang tak
seberapa besar. Diapun mencari tempat penginapan turun dari kuda, membersihkan
badan, beristirahat dan bersantap. Orang berkerudung putih itupun berbuat seperti dia, mencari
penginapan turun dari kuda, membersihkan badan, beristirahat dan
bersantap. Rumah penginapannya sama, cuma saja Gui Sam tong tinggal di
halaman ruangan sebelah barat, sedangkan manusia berkerudung putih
itu tinggal di sebuah kamar yang kecil dibagian depan.
Setelah masuk ke halaman barat, minta air teh, arak dan nasi, Gui Sam
tong tak terasa muncul kembali. Sedangkan manusia berkerudung putih memeriksa dahulu jalan mundur
di sekitar rumah penginapan itu, kemudian baru mencari kamar.
Rumah penginapan itu tidak mempunyai pintu belakang, manusia
berkerudung putih tidak kuatir Gui Sam-tong melarikan diri dengan
meninggalkan kudanya, atau paling tidak hal ini akan dilakukan bila
sudah lewat tengah malam nanti. Sekarang, hari baru saja menjadi gelap, merasa tak perlu menguatirkan
hal itu, sebaliknya Gui Sam tong ketika itu juga dia menyusun
rencananya untuk berusaha meloloskan diri dari pengejaran lawan.
Dengan cepat dia selesai bersantap, kemudian memanggil si pelayan
untuk merundingkan persoalan ini. Satu dua tahil emas murni sudah cukup membuat seorang pelayan
berganti nama marga, apalagi uang emas murni yang berada didalam
peti besi Gui Sam-tong rata-rata sebesar sepuluh tahil tiap kepingnya,
dengan sepuluh tahil uang emas sudah cukup membuat pelayan itu
untuk menganggap Gui Sam-tong sebagai bapaknya, tentu saja apa
yang diminta Gui Sam tong segera dipenuhi tanpa berpikir panjang.
Tak lama kemudian pelayan itu telah kembali, sementara manusia
berkerudung putih itu hendak menuju kebilik barat untuk melakukan
pemeriksaan tiba tiba dia mendengar Gui Sam tong sedang berteriak
keras: "Pelayan, cepat siapkan kudaku !" Begitu mendengar kata
"menyiapkan kuda", manusia
berkerudung putih itupun meminta kepada pelayan untuk menyiapkan
kudanya pula. Tapi kuda milik Gui Sam tong telah dipersiapkan lebih dulu, tahu- tahu
dia sudah melompat naik ke atas kuda dan melarikannya
kencang-kencang... Walaupun kuda tersebut telah melakukan perjalanan seharian penuh,
kalau diperhitungkan waktu beristirahat dan makan rumput hanya
sebentar saja, namun lari kudanya sekarang ternyata masih tetap
tangguh dan perkasa. Sementara itu kuda putih milik manusia berkerudung putih itupun telah
dipersiapkan pula. Selesai membayar rekening, dia melompat naik ke atas kuda dan
melarikannya kencang-kencang. Kuda putih itu boleh dibilang terhitung kuda pilihan yang jempolan, bila
dibandingkan dengan kuda milik Gui sam tong maka kehebatannya satu
kali lipat, sebab itu dia sama sekali tidak mempersoalkan apakah
kudanya lelah atau tidak. Setelah melarikannya beberapa saat, dia telah berhasil menyaksikan kuda
dan manusia yang sedang bergerak cepat di depan sana.
Dalam waktu singkat belasan li sudah dilewatkan tanpa terasa.
Mendadak peristiwa yang sama sekali tak terduga telah
berlangsung, kuda putih yang ditungganginya itu mendadak meringkis
tiada hentinya. Kemudian kuda itu berhenti berlari sekali pun dipecuti keras keras,
ternyata kuda itu tak mau melangkah maju barang selangkahpun.
Dalam pada itu orang yang berada di depannya lenyap tak berbekas
dibalik kegelapan sana. Dalam keadaan seperti ini, manusia berkerudung putih itu segera
menduga, apa gerangan yang telah terjadi.
Cepat dia melompat turun dari kudanya dan memeriksa keempat kaki
kuda tersebut. Begitu diperiksa, manusia berkerudung putih itu hampir saja semaput
saking gusarnya. Ternyata terdapat dua batang bambu tajam yang telah
menancap kedalam telapak kaki kuda tersebut.
Tak heran kalau kuda tersebut bisa lari cepat pada mulanya, tapi lama
kelamaan larinya makin pelan sebelum akhirnya sama sekali terhenti,
rupanya ada bambu yang telah menancap sampai begitu dalam,
Dengan perasaan mendongkol manusia berkerudung putih itu segera
mencabut keluar bambu tersebut, tapi kuda putihnya telah berubah
menjadi kuda pincang, jangankan suruh dia berlari kencang, sekalipun
dituntun balikpun jalannya pincang dan sempoyongan.
Dengan begitu manusia berkerudung putih tersebut tak bisa melanjutkan
perjalanan lagi, untuk kembali ke kota semula percuma, setelah berpikir
sebentar akhirnya dia meneruskan perjalanannya kedepan dengan selangkah demi selangkah, puluhan li
kemudian ia baru sampai di kota kecil terdepan.
Kalau dia berjalan kedepan, maka mimpipun dia tak menyangka kalau
Gui Sam tong justru berjalan kearah yang berlawanan.
Bukan cuma melakukan perjalanan yang berlawanan saja, bahkan waktu
itu dia sudah berada dua puluh li lebih dari tempat semuIa.
Ternyata "Gui Sam tong" yang memancing kepergian si manusia
berkerudung putih untuk mengejarnya itu tak lain adalah hasil
penyaruan dari si pelayan. Setelah pelayan itu mengenakan pakaian, sepatu dan menunggang kuda
milik Gui Sam tong, dia segera kabur meninggalkan rumah penginapan
itu dan melarikan kudanya cepat cepat menjauhi kota tersebut.
Sebelum bertindak, tak lupa secara diam diam ia membuat suatu
"kejutan" dengan mengerjai kuda milik manusia berkerudung putih itu.
Kemudian dikala manusia berkerudung putih itu melompat naik ke atas
kudanya untuk melakukan pengejaran, Gui Sam-tong dengan
mengenakan pakaian milik si pelayan dan menunggang kuda lain yang
telah dipersiapkan dengan tenangnya meninggalkan rumah penginapan
itu untuk menyelamatkan diri. Perjalanan yang ditempuh Gui Sam tong adalah jalan kecil yang menuju
kearah berlawanan, tak heran kalau kabar beritanya segera terputus
dan lenyap tak berbekas. Menanti si orang berkerudung putih itu berganti kuda di dusun terdepan
dan melanjutkan pengejarannya, dia menjadi bodoh.
Bagaikan uap yang naik ke angkasa saja, kabar berita Gui Sam- tong
lenyap tak berbekas. Bagaimanapun si manusia berkerudung putih itu mencari berita, ternyata
tak seorang manusiapun yang melihat ada seorang manusia berbaju
emas melalui jalanan itu. Berada dalam keadaan begini, dia lantas menyadari apa gerangan yang
telah terjadi, buru-buru dia mencemplak kudanya dan kembali ke rumah
penginapan semula. Waktu itu, si pelayan telah pulang kembali, dia hafal dengan jalanan
disekitar situ, setelah berputar satu lingkaran dia telah balik kembali ke
rumah penginapan. Kuda dan segala pakaian milik Gui Sam tong telah dilenyapkan jejaknya
oleh si pelayan atas petunjuk dari Gui Sam tong, dalam keadaan begitu
mana mungkin ia bisa menemukan jejaknya "
Apalagi kuda telah disimpan ke tempat lain, pakaian telah dibakar dan
peti besi kosong ditanam kedalam tanah, bayangkan saja mana
mungkin benda-benda itu dapat ditemukan lagi"
Tak heran kalau manusia berkerudung putih itu sama sekali tidak
berhasil menemukan berita apa-apa, meski dia telah berusaha untuk
mengorek berita dari pelayan rumah penginapan itu.
Atas petunjuk dari Gui Sam tong, pelayan itu menjawab begini.
"Ooh, kedua orang teman tamu itu sudah sampai duluan disini,
merekapun berdiam dibilik sebelah barat." Setelah mendengar ucapan
tersebut, mau tak mau manusia berbaju putih itu harus mempercayai juga. Ia tak menyangka bakal
mengalami nasib sial, ibaratnya "perahu
yang karam di pecomberan" rasa gemasnya benar-benar telah merasuk
sampai ketulang sumsum. Kalau hanya soal itu saja masih mendingan
yang lebih runyam lagi adalah ia begitu yakin dengan kemampuannya,
sehingga belum apa-apa dia telah mengirim kabar itu ketangan Lok hun
pay melalui burung merpati, sekarang bagaimanakah pertanggungan
jawabnya" Sejelek-jeleknya menantu, akhirnya akan bersua juga dengan sang
mertua, bagaimana pun runyamnya keadaan akhirnya harus diatasi juga,
masih untung dia mempunyai tulang punggung, sehingga tidak akan
sampai terjadi peristiwa yang akan menimbulkan kerugian besar baginya.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** SAMBIL menuding ke arah puncak tebing dikejauhan
sana, Sun Tiong lo berkata: "Mirip tidak adik Kim?" "Yaa... mirip sekali, sungguh
aneh sekali!" kata nona Kim sambil
menghela napas. Sun Tiong lo tertawa. "Apakah ingin naik keatas"
Konon di atas tebing Kim pian gay terdapat dewanya." "Seandainya benar benar ada dewanya, dan lagi
bersedia membantumu apakah kau ingin naik kesitu?" tiba-tiba nona Kim
bertanya: Tanpa berpikir panjang lagi Sun Tiong lo menggelengkan kepala.
"Tidak, aku tak ingin pergi!" "Kenapa tak ingin pergi?" nona Kim
tertawa manis, "apakah tak pernah kau dengar, bila seorang bisa belajar ilmu gaib hingga tingkat ke
sembilan, maka dia bisa naik ke langit?"
Sun Tiong lo segera tertawa tergelak. "Haahh, .haaahh....haaahh..."
ucapan itu hanya merupakan suatu sindiran terhadap orang yang kelewat kemaruk harta sehingga
mementingkan diri sendiri, masa kau bisa menganggapnya serius?"
Nona Kim segera mengerling sekejap kearahnya, kemudian ujarnya lebih
jauh: "Aku tidak ambil peduli terhadap persoalan-persoalan semacam itu, aku
cuma ingin bertanya kepadamu, mau ikut ke situ atau tidak?"
"Selama dendam sakit hati belum terbalas, apa gunanya bertapa
menjadi dewa ?" kata Sun Tiong lo kemudian dengan wajah serius.
Nona Kim segera menundukkan kepalanya rendah-rendah, dia
terbungkam dalam seribu bahasa. Mereka yang terlibat akan keblinger, mereka yang menonton akan lebih
jelas, tiba tiba Hou ji berkata: "Nona aku berani menjamin bila Siau Liong berhasil menuntut balas,
dan bila nona mengajukan lagi pertanyaan yang sama, maka jawaban
yang diberikan olehnya pasti akan sangat mencocoki hati nona !"
Ucapan mana kontan saja membuat Sun Tiong lo menjadi memahami
sesuatu, dengan cepat dia menundukkan kepalanya.
Semuanya berjumlah empat orang yang berada di situ, diantara mereka
Houji paling jarang berbicara, tapi sekarang ada dua orang yang
sedang termenung. Houji merasa tanggung jawab mereka sangat berat, maka sesudah
berhenti sejenak kembali sambungnya lebih jauh:
"Kalau ingin naik ke atas tebing Kimnian gay lebih baik baik besok pagi
saja, sekarang hari sudah malam, udara diatas pegunungan amat dingin,
berbicara sebenarnya, kita harus mencari tempat pemondokan lebih dulu,
seusai bersantap barulah melanjutkan perjalanan lagi"
Walaupun nona Kim berjiwa sempit, tapi dia tahu tadi Sun Tiong lo
masih belum memahami pertanyaannya dan tak bisa disalahkan.
Oleh karena itu, untuk memecahkan keheningan yang mencekam
tempat itu, katanya kepada Houji sambil tertawa:
"Kalau engkou Hou mah yang diurusi melulu makanan, memangnya kau
kuatir tak mendapat makanan ?"
"Omong cosong, kalau harimau berada di bukit terpencil mana dia
pernah kuatir kekurangan makanan ?" seru Hou ji sambil menirukan
gaya seekor harimau.

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masa kau ingin makan orang ?" Nona Kim tertawa. Houji segera
tertawa terbahak-bahak. "Haaahh... haaahh... haaahh... haaah...
sekarang andaikata hadir Lok hun pay di depan mata, masa kau hendak mencegah aku untuk
melahapnya?" Nona Kim segera tertawa cekikikan, Sun-Tiong lo ikut tersenyum, cuma
Bau ji seorang yang tidak tertawa maupun bicara.
Hou ji memandang sekejap wajah Bau ji lalu katanya: "Toate,
menurut pendapatku kita akan mencari tempat
pemondokan dimana?" Setelah ditanya, mau tak mau Bau ji harus
menjawab: "Lebih baik mencari toan atau kuil..." "Jangan... jangan,
lebih baik kita mencari rumah penduduk biasa
saja,"seru Hou jie sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. Bau ji
berpaling dan memandang sekejap kearah Hou ji,
tanyanya: "Ada alasannya?" Hou ji mengangguk. "Tentu saja, kuil
pendeta atau tokoan cuma dihuni kaum
beragama saja, hidangan yang tersedia pun cuma sawi putih dan tahu,
padahal kalau harimau naik gunung, dia enggan makan sayur- sayuran,
masa sepanjang hidup aku mesti berpantang makanan berjiwa terus"
Hayo berangkat." Begitu mengatakan berangkat, dia segera berjalan lebih dahulu di
paling depan. Bukit Cing shia, bagi Hou ji boleh dibilang merupakan jalanan yang
sering kali dilewatinya dan hapal sekali."
Dulu, dia pernah mengikuti Ku Gwat cong berkunjung ke situ, bahkan
kunjungan itu berlangsung berulang-ulang.
Di bawah tebing Kim pian gay terdapat beberapa rumah pemburu,
diantara mereka hampir sebagian besar merupakan teman karib Ku
Gwat cong, tentu saja dengan Hou ji pun boleh dibilang kenalan lama.
Setelah membeloki tikungan bukit, lembah Cui kok telah berada didepan
mata, pemandangan alam disitu amat indah dan mempesonakan hati
setiap orang yang memandangnya. Di situ berdiri tiga-lima buah rumah gubuk. diantaranya tumbuh
pepohonan cui pak yang tinggi dan lebat, betul-betul suatu tempat
tinggal yang menawan hati. Ketika tiba didepan sebuah rumah yang berpagar bambu, Hou ji
berhenti secara mendadak. Kemudian kepada rekan-rekannya dia berkata: "Majikan dari rumah
ini she Si, sudah berapa generasi berdiam
disini, menurut keterangan dari guruku si pengemis tua, banyak- banyak
tahun berselang keluarga Si adalah suatu keluarga persilatan yang amat
termasyur." "Mungkin disuatu saat telah terjadi peristiwa hingga akhirnya
mengundurkan diri dari keramaian dunia dan hidup mengasingkan diri
diatas bukit ini, Tak usah kuatir, kujamin kalian bakal mendapat
hidangan dan arak yang lezat, cuma kalau berbicara haraplah sedikit
berhati-hati." "Apa yang harus diperhatikan ?" tanya nona Kim cepat. "Jangan
membicarakan soal budi dan dendam didalam dunia
persilatan." kata Hou-ji serius Nona Kim segera mengiakan. sedangkan
Sun Tiong lo serta Bau ji tidak mengatakan sepatah katapun.
Selamanya, Bau ji jarang berbicara, sedang Sun Tiong lo cukup
mengetahui keadaan, karena itu Hou ji merasa amat berlega hati.
Maka diapun mendekati pagar bambu dan mengetuk pelan, dia seperti
kuatir menganggu tuan rumah disitu.
Tak lama kemudian, muncul seorang kakek berambut putih yang
muncul dan balik rumah pelan-pelan dia berjalan ke depan dan
membukakan pintu pagar. Houji segera menjura kearah kakek berambut putih itu sembari berkata:
"Aku datang dari rimba bambu merah, dulu pernah mengikuti guruku
Ku..." Belum habis dia berkata, kakek berambut putih itu sudah menuding ke
ruangan dalam, kemudian membalikkan badan dan masuk kembali
kedalam ruangan. HOU-JI memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian:
"Begitu tuan rumahnya, begitu pula pelayannya, masa untuk
mendehem saja seperti enggan." Sun Tiong lo hanya tersenyum belaka,
sedang kan Bau-ji sama sekali tidak memperlihatkan perubahan apa apa. Hanya nona Kim yang
berkerut kening, dalam perjalanan perdananya dalam dunia persilatan, dia menjumpai banyak peristiwa
yang dirasakan amat menarik hati, tapi banyak pula yang dianggapnya
sebagai suatu peristiwa yang membingungkan hati.
Dalam pada itu Hou-ji telah berjalan masuk ke dalam ruangan rumah
gubuk itu. Sun Tiong lo segera membalikkan badan dan merapatkan kembali pintu
pagar bambu. Kali ini Hou ji tidak mengetuk pintu, dia mendorong pintu depan dan
pintu itu segera terbuka. Walaupun pintunya sudah terbuka, namun didalam ruangan tidak
nampak sesosok bayangan manusia pun.
Hou ji berhenti diatas undak-undakan batu, kemudian serunya kearah
dalam ruangan: "Apakah Si loya-cu berada di dalam ?" Tiada orang yang menyahut.
Hou-ji segera memperkeras suaranya dan berteriak sekali lagi.
Namun, belum juga kedengaran suara jawaban. Hou-ji berpikir
sebentar, kemudian dia pun berjalan masuk ke
dalam ruangan. Baru masuk kedalam ruangan, mendadak ia seperti
mengendus suatu bau khas yang sangat aneh, bau tersebut seperti amat tak sedap.
Biasanya kaum wanita memang berdaya pencium lebih tajam, begitu
melangkah ke dalam ruangan, nona Kim segera menutupi hidung dan
mulutnya dengan sapu tangan, keningnya segera berkerut dan
wajahnya menunjukkan perasaan muak.
Bau-ji masih saja berdiri dengan wajah sedingin es, dia membungkam
dan tak mengucap kan sepatah katapun.
Sun Tiong lo segera berkerut kening, dia maju ke ruangan sebelah kiri
dan menyingkap horden yang menutupi pintu itu.
Begitu horden disingkap, bau busuk yang berhembus keluar kembali
serasa menusuk hidung. Tapi ruangan itu kosong melompong tak nampak sesosok bayangan
manusia pun. Hou ji segera berlarian menuju ke ruangan sebelah kanan, ternyata di
dalam ruangan sebelah kanan pun tak nampak sesosok bayangan
manusia pun, Hou ji segera mencoba untuk menghirup udara, ternyata
bau busuk itu paling ringan dari sebelah kanan.
Dengan cepat Sun Tiong lo berbisik kepada Hou ji: "Cepat pergi ke
belakang untuk melakukan pemeriksaan berhatihatilah..."
Hou ji mengangguk, dia segera berjalan ke luar dari ruangan
menuju ke belakang, sambil berjalan diam-diam hawa murninya
dihimpun untuk bersiap siaga menjaga segala kemungkinan yang tak di
inginkan. Aneh, ternyata dihalaman belakang pun tak nampak sesosok bayangan
manusiapun. "Aaah, ada yang kurang bores!" demikian ia berpikir setelah
memandang sekejap suasana dihalaman belakang.
Orang yang lain tak usah dibicarakan, yang pasti kakek berambut putih
itu baru saja menuju kehalaman belakang padahal dihalaman belakang
sana selain dapur tidak nampak bangunan rumah yang lain, kemana
perginya si kakek berambut putih itu"
Sementara itu Sun Tiong lo dan nona Kim serta Bau ji telah menuju
kehalaman belakang sana menyaksikan kejadian itu, dia merasa tak
habis mengerti sehingga untuk sesaat agak tertegun.
Nona Kim memeriksa sebentar sekitar tempat itu, kemudian sambil
menuding bangunan dapur dihalaman belakang katanya:
"Coba kita periksa keadaan didalam sana!" Hou ji mengangguk dengan
langkah lebar ia berjalan menuju kearah dapur.
Sun Tiong lo sekalian segera mengikuti dari belakangnya. Di dalam
dapur pun tidak nampak sesosok bayangan manusia
pun, tetapi kukusan di atas tungku mungepulkan hawa panas, sekilas
pandangan di ketahui kalau dalam kukusan itu sedang menanak atau
memasak suatu makanan. Sambil menggelengkan kepalanya Hou ji segera berkata kepada Sun
Tiong lo: "Mungkin Si Lo ya cu tidak berada dirumah sedangkan si kakek
berambut putih itu hanya kebetulan saja memasuki ruangan, lalu ada
urusan dan keluar lewat pintu depan, cuma kita tak sempat melihatnya
saja. "Mustahil" kata Sun Tiong lo dengan wajah serius, "depan pintu sudah
aku tutup, tak akan mungkin ada orang yang keluar!"
"Oooh... lantas kakek tua itu..." "Sewaktu enghou Hou dan suhu
datang kemarin pernahkah kau melihat kakek itu?" kembali Sun Tiong lo menukas. Hou ji segera
menggelengkan kepalanya berulang kali. "Belum pernah ku jumpai."
"Kalau begitu, pasti ada persoalan yang tak beres dibalik
peristiwa ini" dengan cepat Sun Tiong lo berseru. Sementara
pembicaraan berlangsung, Sun Tiong lo telah berjalan
kesisi kukusan tersebut dan membuka penutupnya. Bau ji hanya berdiri
diluar dapur tak masuk, Nona Kim berdiri
disamping Sun Tiong lo, tapi begitu penutup kukusan itu terbuka,
kebetulan penutup itu menutupi pandangan mata Nona Kim.
Sebab itu si nona segera bertanya: "Apakah ada makanan yang
enak?" Sambil berkata gadis itu siap mengintip kedalam kukusan.
Siapa tahu dengan cepat Sun Tiong lo telah menutup kembali
penutup kukusan itu sambil berseru: "Aaaah....isinya bukan makanan
yang enak!" Hou ji kebetulan berdiri disamping tunggul sewaktu Sun
Tiong lo membuka penutup kukusan tersebut, ia dapat melihat dengan jelas isi
kukusan itu, paras mukanya kontan berubah hebat, seperti tersambar
geledek disiang hari bolong, paras mukanya kontan saia berubah hebat.
Nona Kim menjadi curiga setelah melihat hal itu, mendadak dia
menyambar penutup ku kusan tersebut dan menyingkapnya.
Sun Tiong lo menjadi kaget, sewaktu hendak menghalangi perbuatan
itu, sayang keadaan ter lambat, dia segera tahu keadaan bakal runyam.
Betul juga... nona Kim segera menjerit lengking, penutup kukusan
tersebut segera di buang ke atas tanah.
Sementara paras mukanya berubah menjadi pucat pias seperti mayat,
kemudian roboh tak sadarkan diri ke atas tanah.
Untung saja Sun Tiong lo berdiri disampingnya, buru-baru dia
menyambar tubuh gadis itu dan membopongnya keluar dari dalam
dapur. Teriakan aneh itu kontan saja membuat Bau ji yang selama ini jarang
berbicara turut masuk ke dalam dapur dan melongok ke dalam kukusan
itu, apa yang kemudian terlihat kontan membuat paras mukanya
berubah hebat. Sementara itu, Sun Tiong lo telah membangunkan nona Kim
memayangnya untuk duduk diatas sebuah kursi, wajahnya amat serius
dan keren, kepada Hou ji dia bertanya:
"Apakah tuan rumah?" Setelah menutup kembali kukusan tersebut,
Hou ji ikut Sun Tiong lo melangkah keluar dari ruangan dapur, ketika mendengar perkataan itu
segera sahutnya: "Dia adalah tuan rumah dari rumah ini!" Sambil menggeretakan gigi
Sun Tiong lo segera berkata: "Engkoh Hou dan toako melindungi adik
Kim aku akan pergi untuk melihat keadaan!" "Aku juga ikut!" kata Bau ji dengan kening
berkerut: "Jangan" cegah Sun Tiong lo sambil menghaIangi jalan
perginya, "biasanya menyerang persilatan yang membunuh orang
dengan cara yang keji semacam ini adalah manusia-manusia dari golongan
sesat yang tak bisa diampuni lagi dosanya, siaute harap toako dan
engkoh Hou bisa bersatu, jangan berpisah-pisah untuk menghindari
segala perubahan yang tidak diinginkan"
Bau ji tak membantah, pun tidak mengucap kan sepatah
katapun,sementara itu Hou ji telah berkata lagi:
"Kau tidak kenal dengan tuan rumah tempat ini, seandainya.." Belum
habis dia berkata, Sun Tionglo telah menukas dengan
cepat: "Berbicara menurut kenyataan, tuan rumah tempat ini hanya
bakal berakibat dua macam, satu sudah melarikan diri dan musuh
sedang mengejar dengan ketat, kedua adalah sudah di sekap dan
dipaksa untuk berbicara." "Dari mana kau bisa tahu?" tukas Hou ji. "Bila antara pihak lawan
dengan tuan rumah tempat ini tidak menurut dendam yang kelewat dalam atau ingin mencari semacam
barang" atau mengetahui suatu persoalan, tak mungkin dia bisa
mempergunakan cara yang begini keji untuk menyiksa putra dari tuan
rumah!" Hou ji berpikir sebentar, lalu berkara: "Perkataanmu memang benar
juga, tapi urusan dalam dunia persilatan..." Untuk kedua kalinya Sun Tiong lo menukas: "Yang
dimaksudkan sebagai dua kemungkinan kalau dibicarakan
sesungguhnya hanya satu, yaitu tuan rumah tempat ini mungkin sudah
mendapatkan peringatan atau kabar berita, sehingga saat ini dia sudah
berada disuatu tempat yang aman!"
Bau ji memandang saudaranya sekejap, ke mudian ikut berkata:
"Benar!" Setelah berhenti sejak, sambungnya lebih jauh.
"Tapi kau tidak kenal paras muka tuan rumah yang sebenarnya, hal
ini...." Sun Tiong lo segera lersenyum. rToako, putra tuan rumah telah
terbunuh, diapun mati dalam keadaan yang begini menge naskan, bila dia tak tahu, saat inipun tak
akan muncul, bila tahu, tapi belum juga munculkan diri untuk membalas
dendam, mungkin sekali pun kau pergunakan cara apapun jangan harap
bisa memancingnya keluar..." "Benar" seru Hou ji sambil bertepuk tangan "kalau begitu pergilah tapi
harus segera kembali kemari." Sun Tiong lo mengiakan, dia membalikkan badan dan berlalu dari situ...
"Tunggu sebentar, kita pergi bersama-sama saja!" tiba tiba Nona Kim
menukas. Sun Tiong lo segera berkerut kening, "Adik Kim, kau baru saja dibikin
terkejut" "Yaa... kejadian itu memang kelewat mendadak dan sama sekali diluar
dugaan" kata Nona Kim setelah mengerling sekejap ke arah si anak
muda itu. "Tapi sekarang, adik Kim sudah tidak ketakuan lagi bukan?" kata sang
pemuda tertawa. Nona Kim menundukkan kepalanya, "Kalau dibiarkan
tinggal disini, aku malah merasa semakin tidak tenang.."
"Betul, tempat ini memang suatu tempat yang baik" timbrung Hou ji
pula, "sudah sepantasnya kita mencari tempat yang lain"
Sun Tiong lo segera tersenyum, "Engkoh Hou, apakah kau masih ingin
makan daging?" Cepat Hou ji menggelengkan kepalanya berulang kali. "Setelah
melihat makhluk dalam sangkar, selanjutnya aku malah
tidak tertarik untuk makan daging!"
"Baiklah" ucap Sun Tiong lo setelah memandang sekejap sekeliling
tempat itu, "mari kita mencari tempat yang lain saja, aku enggan
mencampuri begitu banyak pcrsoalan!"
Nona Kim dan Houji menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu,"
mereka memandang ke arah Sun Tiong lo sambil bersiap-siap membuka


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara. Buru buru Sun Tiong lo memberi tanda kepada mereka, dua orang itu
mengerti maksudnya dan tidak berbicara lagi.
Bau ji seperti lagi memikirkan sesuatu, dia tidak bertanya, juga tidak
memperdulikan perkataan dari Sun Tiong lo.
Begitulah, ke empat orang itu segera berangkat meninggalkan tempat
itu untuk mencari tempat pemondokan lain.
Sekeliling keluarga Si tidak nampak rumah penduduk lain, mereka harus
berjalan setengah tombak jauhnya sebelum menjumpai tetangga
terdekat, mereka berempat pun segera berjalan mendekati.
Hou ji maju kedepan dan mengetuk piutu, dari dalam kedengaran orang
menyahut. Rumah orang itu tidak terbuat dari gubuk dengan pagar bambu,
melainkan dinding batu dan rumah kayu.
Begitu pintu dibuka, seorang lelaki kekar segera menampakkan diri dari
balik ruangan. Lelaki itu hidup sebagai seorang pemburu, dan nampaknya memang
cocok sekali dengan perawakan tubuhnya.
Hou ji segera menjura kepada lelaki kekar itu, kemudian ujarnya.
"Kami berempat begitu kesemsem dengan pemandangan alam
dibukit Cing shia sehingga lupa membawa rangsum dan air, kini kami
sudah tersesat di tengah bukit Cing shia, mau maju tak bisa, mau
mundurpun tak dapat..." "Kalian hendak mencari tempat pondokan?" lelaki itu menukas
langsung. Hou ji segera tertawa. "Benar, benar, bilamana mungkin kami
memang berharap untuk mencari tempat pondokan" Tiba-tiba lelaki kekar itu menarik muka
sambil berseru: "Maaf..." Begitu selesai berkata... "Blammm!" dia
menutup kembali pintu rumahnya rapat-rapat. Hou ji menjadi amat tertegun, diapun merasa
amat mendongkol sebetulnya dia bermaksud untuk mengetuk pintu lagi. Sun Tiong lo yang
berada disampingnya segera menghibur: "Sudah, sudahlah, kebanyakan
rakyat disekitar tempat ini memang kekurangan makanan, untuk mengisi perut sendiri saja sudah
sukar, apalagi menjamu orang lain, engkoh Hou coba kau lihat,
dikejauhan sana nampak ada dinding merah, bukankah tempat itu lebih
cocok untuk pemondokan?" Sembari berkata, dia lantas memberi tanda kepada Hou ji. Hou ji
mengerti maksudnya, tapi dia berlagak sangat mendongkol
kembali omelnya: "Huuh... kita toh minta secara baik-baik, bersedia
atau tidak terserah dia, tapi caranya tidak begitu kasar seperti memandang hina
orang saja.... moga moga suatu hari diapun mengalami nasib yang
sama seperti apa yang kualami sekarang ini!"
Selesai berkata mereka lantas meninggalkan rumah itu dan berangkat
menuju kedinding merah yang nampak dikejauhan tersebut.
Setelah mereka pergi jauh, pintu gerbang rumah itu dibuka untuk
kedua kalinya. Ada sepasang mata yang mengintip keluar dan mengawasi bayang
punggung orang-orang itu sampai lama kemudian ia baru menutup
kembali pintu rumahnya. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** "BAGAlMANA, semuanya telah beres?" "Tak usah
kuatir loya cu, tak bakal salah!" Orang yang bertanya adalah sikakek
tua berambut putih yang pernah munculkan diri di gedung rumah milik keluarga si tadi.
Sedangkan yang menjawab adalah lelaki kekar yang menutup
piatu sambil mengucapkan kata Maaf tadi, tempatnya tak lain adalah
rumah kayu berdinding batu itu. Kakek berambut putih itu sudah tidak menunjukkan gerak gerik
ketuaannya lagi, diantara kerdipan matanya tampak cahaya tajam
memancarkan keluar, sedangkan lelaki kekar itu pun bukan seorang
pemburu, gerak-geriknya enteng dan cekatan, jelas memiliki kepandaian
silat yang luar biasa. Kakek itu berdiri luar pintu rumah sambil memandang sekejap sekeliling
tempat itu, kemudian ujarnya: "Aku selalu beranggapan kalau keempat orang ini sangat mencurigakan
sekali" Waktu itu, lelaki kekar tadi sedang mendorong pintu berjalan keluar,
segera sahutnya: "Loya cu, mengapa kau mesti banyak curiga, bocah keparat yang
bernama engkoh Hou bukankah pernah bilang datang dari Ci tiok lim"
Padahal hutan bambu merah adalah..."
"Hutan bambu merah adalah markas besarnya kaum pengemis, masa
aku tidak tahu?" tukas sikakek.
Lelaki kekar itu kembali tertawa. "Betul, orang itu seharusnya memiliki sedikit kepandaian silat!" katanya
kemudian. "Hmm, kentut busuk, pernahkah kau menyaksikan ada anggota Kay
pang yang berbadan seperti itu?"
Agak tertegun lelaki kekar itu, lalu sahutnya: "Hmm, betul .. memang
tidak mirip!" "Apalagi kecuali Ban tieng gan, dari perkumpulau lain tak pernah ada
pengemis perempuan, apalagi keempat muda mudi itu gagah dan
perkasa, mereka amat mencurigakan sekali, benar-benar amat
mencurigakan sekali!" kata kakek berambut putih itu lagi.
Lelaki kekar tadi berpikir sebentar, kemudian lebih lanjut. "Tapi
perempuan itu jatuh semaput setelah menyaksikan batok
kepala yang dikukus tadi." "Hm, itu kan karena kejadiannya diluar
dugaan" dengus si kakek, "bagaimana coba bila kau yang menghadapi kejadian itu?" Si lelaki
kekar itu tidak berbicara lagi, ia hanya melirik sekejap
kearah kakek tersebut. Sungguh lihay tenaga dalam yang dimiliki kakek
berambut putih itu, kembali dia mendengus dingin. "Hmm, tak usah melirik kepadaku
lagi, cepat pergi menyambut orang...!" Lelaki kekar iiu mengiakan, "Tapi Loya cu... sekarang masih
pagi...." "Aaah... kau tahu apa?" tukas si kakek sambit membentak,
"kalau aku menyuruh kau pergi, lebih baik pergi saja dengan cepat, kalau
sampai terlambat dan orang sudah datang lebih duluan, bisa berabe
jadinya, cepat pergi dan pulang sebelum kentongan ketiga, aku harus
berganti dandanan lagi !" "Baik" lelaki kekar itn tertawa cekikikan, "sebelum tengah malam,
tanggung aku dan ji-siok sudah pulang kemari !"
"Ehmm, bawa serta garpu pemburu itu, buli-buli arak dan sepanjang
jalan jangan menunjukkan sikap yang berlebihan, bila berjumpa dengan
orang yang mencurigakan, jangan lupa kalau kau adalah seorang
pemburu, tanggung kau bisa mengelabuhi dia untuk sementara."
Kembali lelaki kekar itu mengiakan, dia segera kembali ke dalam kamar
dan sewaktu ke luar benar benar membawa garpu pemburu dan
buli-buli arak, kemudian sambil membuka pintu dan melangkah pergi,
dia membawakan lagu gunung dengan lantang.
Dengan cepat kakek berambut putih itu menutup pintu kamarnya lagi
dan masuk kedalam sementara itu kentongan pertama sudah tiba,
langit sangat gelap, sampai lama kemudian kakek berambut putih itu
baru memasang lampu penerangan. Waktu itu, Sun Tiong lo sekalian tidak mencari tempat pemondokan di
dalam kuil tersebut. Mereka hanya berpesiar dalam kuil itu kemudian berangkat
meninggalkan tempat itu. Ketika kentongan pertama tiba, mereka sudah sampai kembali
dirumahnya keluarga Si dengan berjalan memutar.
Tindakan tersebut pada hakekatnya sama sekali diluar dugaan siapa
saja... Nona Kim telah berganti dengan pakaian ringkas dan menggembol
pedang, ia tak dapat melupakan kejadian yang dialaminya dalam dapur
siang harinya tadi, oleh karena itu dia selalu menghindari dapur dengan
memilih berjaga di halaman depan. Bau ji dan Hou ji berada dihalaman belakang, satu disudut sebelah kiri,
yang lain dibalik dinding sebelah kanan.
Sun Tiong lo duduk seorang diri di ruangan tengah, menutup pintu dan
menunggu orang datang. Kentongan kedua sudah lewat, suasana di empat penjuru sekeliling
tempat itu masih sepi. Menjelang kentongan ketiga, suasaaa masih tetap sunyi senyap tak
kedengaran sedikit suarapun. Sewaktu berunding tentang tugas mereka pada malam ini, kecuali Sun
Tiong lo yang bersikeras mengatakan kalau malam nanti pasti ada orang
datang, tiga orang lainnya tidak setuju dengan cara penantian semacam
ini." Tapi Sun Tiong lo memiliki alasan yang cukup kuat, diapun mempunyai
alasan untuk menyelidiki persoalan itu sampai jelas sehingga tidak
menyia-nyiakan perjalanan mereka kali ini, karenanya mereka pun
akhirnya datang juga kesitu. Nona Kim yang bersembunyi disudut dinding halaman muka sudah tidak
sabar lagi menanti, baru dia akan bergerak, mendadak dari sisi
telinganya berkumandang suara bisikan dari Sun Tiong lo yang
disampaikan dengan ilmu menyampaikan suara:
"Ada orang datang, adik Kim, cepat ke belakang dan beri kabar kepada
toako!" Nona Kim tidak berpikir panjang lagi, diam-diam ia menyelinap ke
belakang halaman. Padahal, Sun Tiong lo bisa memberi kabar kepada nona Kim, sudah
barang tentu diapun dapat memberi kabar kepada Hau-ji dan Bau ji,
mengapa pula dia mesti menyuruh nona Kim pergi kebelakang"
Alasannya dia tak ingin nona Kim menghadapi musuh paling dulu.
Baru saja nona Kim menyampaikan kabar ke belakang, tiga sosok
bayangan manusia telah melompat masuk ke halaman tengah.
Salah seorang diantaranya melompat naik ke atas atap rumah dan
memeriksa sekeliling tempat itu. Sayang sekali tindakannya kelewat lambat, waktu itu nona Kim, Hou-jt
dan Bau ji telah menyembunyikan diri disuatu sudut tempat
kegelapan, gerombolan hitam tidak mirip manusia, bukan bunga pun
tidak mirip semak belukar. Oleh sebab itu setelah memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, orang
tadi melayang turun kembali ke halaman tengah dan bergabung dengan
dua orang lainnya. Tiga orang itu tidak menuju ke halaman belakang, juge tidak masuk
kedalam ruangan, mereka hanya duduk-duduk di undak- undakan batu
di halaman depan, suatu kejadian yang aneh sekali.
Setelah duduk, salah seorang diantaranya baru berkata: "Yu toako,
menurut dugaanmu apakah Si lo ji bakal pulang pada
malam ini ?" Yu toako termenung sebentar, kemudian mengangguk.
"Ehm, tak salah lagi Chin jite, konon hidup di rumahnya Him loji
cukup bahagia." "Oh, nampaknya Him loji pun turut datang" Yu toako
segera tertawa terkekeh-kekeh. "Tentu saja, tanpa Him loji, apakah Si
loji dapat menemukan pembunuh sebenarnya dimasa lalu !" "Ooh, kalau begitu, anjing cilik
dari keluarga Si sudah kau bereskan hidupnya ?" seru Chin jite terkekeh-kekeh. Yu toako pun
tertawa terkekeh kekeh juga. "Siapa suruh mereka mencari kematian
buat diri sendiri, kalau bukan lantaran dia, mana mungkin Si loji bisa tahu kalau Him loji
tinggaI di bukit Go bi " iapun mustahil akan pergi mencari Him loji
untuk melihat surat lama tersebut !"
"Apakah toako tidak berhasil merampas surat itu ?" "Hm, hampir
semua bilik dan ruangan ini telah kubongkar,
namun tidak kutemukan bayangannya!" seru Yu toako gemas.
"Sepantasnya kau siksa anjing cilik dari keluarga Si itu agar mengaku !"
bisik Chin jite. "Hah. binatang cilik ini jauh lebih atos tulangnya daripada si tua bangka
itu sendiri." Chin jite tidak berbicara lagi, sebab waktu itu orang yang lain telah
berkata: "Ji siok, kau tidak tahu, benda kecil itu luar biasa sekali, Toa nian dan Ji
nian telah mampus semua ditangannya, Siau Chin cu pun membawa
luka, itulah sebabnya loya cu menjadi naik pitam sehingga..."
Belum habis dia berkata, mendadak Yu toako berbisik lirih: "Ssar,
jangan keras-keras ada orang datang, mari kita segera
mengundurkan diri ke dalam ruangan." Sambil berkata ketiga sosok
bayangan hitam itu sudah mengundurkan diri ke dalam ruangan, Sewaktu masuk mereka hanya
berpikir untuk cepat-cepat menutup pintu, lalu mengintip lewat celah
celah pintu dan jendela, mereka sama sekali tidak melihat akan Sun
Tiong lo yang duduk di kursi besar ditengah ruangan tersebut.
Saat itulah terdengar angin berhembus lewat dihadapan depan telah
bertambah dengan dua sosok bayangan manusia.
Mereka adalah dua orang kakek yang semuanya mengenakan jubah
panjang. Salah seorang diantaranya terdengar berkata. "Hiante, pandai amat
kau mencari tempat yang begini baik, bukit
Cing shia memang jauh lebih indah daripada bukit Gobi!" Tak usah
dibilang lagi, kakek yang disebut sebagai hiante itu
adalah tuan rumah tempat itu Si Bong-im.
Sambil tertawa Si Bong-im menjawab: "Aah, rumah gubuk pagar
bambu, mana bisa dibandingkan dengan rumah gedung yang di tempati
toako ?" Sang toako, Him Bun jui adalah seorang jagoan lihay yang amat
termasyur namanya dalam dunia persilaian dimasa lalu.
Sambil tertawa kepada Si Bong-im, katanya waktu itu: "lh-heng
sudah terbiasa dimanjakan oleh anak cucuku, tidak
seperti hiante yang hidup senang ditempat yang terpencil seperti ini."
Si Bong im tertawa. "Toako harap tunggu sebentar, biar siaute
memasang lampu lebih dulu sebelum masuk." "Hiante, bukankah kau pernah bilang jika
Phu ji ada di rumah ?" kata Hioa Bun hui sambil mengulapkan tangannya. "Ah, bocah cilik tidak
biasa hidup di bukit, mungkin saja dia
sedang turun gunung." "Ooh... kalau tak ada orang yang menjaga
rumah, masa dia akan tega meninggalkan rumah dengan begitu saja ?" Si Bong im segera
tertawa. "Kebaikan dari orang yang berdiam di bukit adalah disini tiada
pencoleng dan perampok, sekalipun rumah ditinggalkan kosong juga
tak menjadi soal." "Oooh, kalau begitu mari bersama-sama masuk kedalam ruangan." kata
Him Buo hui. Dalam pada itu, tiga orang yang bersembunyi didalam ruangan telah
mengeluarkan sesuatu benda secara diam-diam.
Seorang berjalan kearah pintu, sedangkan dua orang lainnya berdiri
disisi kanan dan kiri pintu. Benda yang berada ditangan mereka ditujukan kearah pintu ruangan,
tampaknya asal pintu tersebut dibuka orang, maka mereka
akan turun tangan bersama-sama untuk membunuh Si Bong im dan
Him Bun hui. Dalam pada itu, dua orang kakek yang berada diluar ruangan telah
menaiki anak tangga sambil berbincang-bincang...
Mendadak dari dalam ruangan bergema suara bentakan nyaring.


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara berdua, harap cepat mundur!" Begiru bentakan
tersebut diutarakan, dua orang kakek yang ada diluar, saking kagetnya
mereka sampai bergetar keras. Tiba-tiba Chin Jite membalikan badannya
sambil mengayunkan benda yang berada dalam genggamannya itu ke
arah orang yang memberi peringatan.
Tentu saja orang yang memberi peringatan itu adalah Sun Tiong Io...
Benda yang berada ditangan Chin Ji itu teramat bahaya, "Klik!" diiringi
suara nyaring menyemburlah segulung air kearah depan. Waktu itu,
bukan saja Sun Tiong lo sudah memperhitungkan jalan mundurnya
secara tepat, bahkan diapun ada maksud uituk mempergunakan senjata
lawan untuk melukai musuhnya itu. Maka sewaktu air tadi menyembur keluar, Sun Tiong lo segera
mendengus dingin, kemudian mengayunkan telapak tangannya
melancarkan sebuah pukulan dahsyat.
Berbicara soal tenaga dalam, kemampuan yang dimiliki orang ini
memang luar biasa sekali. Mendadak pancuran air itu membalik ke belakang dan senjata makan
tuan, mengenaskan sekali keadaan dan Chin ji-te.
Bukan cuma Chin ji, termasuk juga pemuda yang berada ditengah
ruanganpun turut tersemprot air tersebut.
Terdengar kedua orang itu menjerit lengking seperti babi yang
disembelih, sepasang tangan mereka memegangi wajah dan tubuh
masing-masing sambil berlarian keluar ruangan, kemudian roboh
tergeletak di atas tanah. Yu lotoa cukup licik, menggunakan kesempatan itu dia menyelinap
kesamping dan menyembunyikan diri ke tempat kegelapan disebelah kiri
ruangan... Baru saja dia hendak menyingkap tirai untuk kabur ke dalam, Sun
Tionglo telah meng ayunkan jari tangannya menotok jalan darahnya,
lalu setelah menyandarkan tubuh Yu lotoa disisi pintu, pelan pelan dia
melangkah keluar dari ruangan. Sementara itu Hou ji, Bau ji dan nona Kim juga sudah memburu
kedalam ruangan setelah mendengar suara kegaduhan disana.
Hou ji kenal dengan Si Bong im juga kenal dengan Hou ji, dalam
beberapa patah kata saja semua persoalan telah dibuat jelas.
Setelah menyulut lampu dan memeriksa akan orang yang terluka di
halaman tengah, nona Kim baru menjerit kaget.
Di halaman tengah sudah tak ada orangnya lagi, yang masih tersisa
cuma separuh badan bagian bawah dari kedua orang itu.
Semua orang melangkah masuk kedalam ruangan dan menyulut lampu,
pertam-atama Sun Tiong lo merampas tabung hitam sepanjang berapa
depa itu dari tangan Yu lotoa lalu secara berhati- hati sekali
meletakkannya di tempat kejauhan. Setelah itu dia baru mambalikkan badan Yu Iotoa sehingga semua orang
dapat melihat jelas paras mukanya. Sun Tiong lo manggut-manggut, ternyata dugaannya tak salah, Yu lotoa
memang si kakek berambut putih yang pernah dijumpai di rumah
keluarga Si kemarin, kemudian setelah membukakan pintu lenyap tak
berbekas. Rupanya orang ini selain kenal dengan Him Sun bui dan Si Bong im,
bahkan merekapun bersahabat karib. Si Bong im memandang sekejap ke arah Him Sun hui, kemudian
katanya: "Aaaah, dia... dia adalah..."
"Hiante, tak usah dilihat lagi" kata Him Bun hui seperti memahami akan
sesuatu, "kalau begitu surat palsu yang kita terima tahun dulu adalah
hasil perbuatannya, tak heran kalau ia pergi tanpa pamit sewaktu tinggal
dibukit Go bi tempo hari!" Si Bong-im menghela napas panjang, "Aaaai... toako, sewaktu kita
bertiga masih berkelana didalam dunia persilatan, setiap orang
menghormati kita sebagai Sam gi (tiga setia kawan), mimpipun tak
disangka, losam... dia... dia..."
Him Bun-hui memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, lalu kepada Si
Bong im katanya: "Hiante, persoalan lain dibicarakan nanti saja, malam
ini, seandainya tak ada dua orang sahabat muda ini, mungkin kita
berdua sudah tewas pada saat ini."
Merah padam selembar wajah Si Bong im setelah mendengar perkataan
itu, buru-buru dia menjura kepada Sun Tiong lo sambil berkata:
"Lohu sudah berusia lanjut, kali ini harus menerima budi pertolongan
pula darimu, aku kuatir budi kebaikan ini..."
Dengan amat hormat Sun Tiong lo menjura. kemudian tukasnya:
"Boanpwe bertindak demikian bukan dikarenakan cianpwe, aku
hanya berbuat apa yang harus kuperbuat saja!" Dengan hormat Si Bong
im mempersilahkan ke empat orang tamunya untuk masuk, setelah duduk dia berkata lagi: "Sauhiap
berilmu silat sangat lihay, dapat kah kau bebaskan jalan
darah Yu Wi sau agar kami bisa mengajukan beberapa pertanyaan
kepadanya?" Sun Tionglo tertawa, dia segera menyentilkan jari tangannya
membebaskan jalan darah Yu Wi-san yang tertotok, katanya kemudian:
"Orang ini licik dan berhati buas, kini boanpwe telah membebaskan jalan
darah bisunya, bila ada persoalan boleh kau
ajukan, tapi untuk menjaga agar ia tidak berbuat licik, lebih baik kita
jangan membiarkan dia sembarangan bergerak dulu"
Si Bong-im dan Him Bun hui saling berpandangan sekejap, wajahnya
menunjukkan rasa kaget bercampur tercengang.
Menyusul kemudian. Si Bong im berkata kepada Yu Wi san: "Lo sam,
apa yang hendak kau ucapkan sekarang?" Ketika Yu Wi san
mendengar Si Bong im masih memanggilnya
sebagai Losam, ia nampak agak tertegun, tapi setelah mendengar jelas
kalau apa yang di dengar tak keliru, dia menghela napas panjang dan
memejamkan matanya rapat-rapat. Him Bun hui yang berada disampingnya segera membentak dengan
penuh kegusaran: "Yu Wi-san, kesetiaan kawan kita bertiga dimasa lampau sempat
membuat orang cemburu, siapa yang tidak kagum dan siapa yang tidak
iri dengan kita " Tapi kau... aai. sebetulnya aku dan jite telah melakukan
perbuatan apa yang menyalahi dirimu sehingga kau turun tangan sekeji
itu kepada kami ?" Yu Wi-san tak dapat bergerak, namun mulut hidung dan matanya masih
bisa digunakan dengan leluasa, tapi nampaknya dia merasa amat
menyesal, sehingga apa yang dilakukan hanya memejamkan matanya
belaka tanpa membantah atau bersuara.
Si Bong im turut menghela napas panjang. "Losam," katanya pula.
"walaupun kau bersikap demikian terhadap diriku dan Him toako,
namun aku masih tetap mengingat hubungan persahabatan kita dimasa
Ialu, aku bersedia melepaskan kau pergi dari sini, cuma..."
Belum habis dia berkata, nona Kim telah menukas, "Tidak bisa, orang
ini harus mati !" Begitu ucapan tersebut diutarakan, Him Bun hui dan Si
Bong ini menjadi tertegun. Si Bong im memandangi sekejap ke arah nona Kim, lalu tanyanya
sambil tersenyum. "Nona, apakah sam hiante ku ini telah berbuat kesalahan kepada
nona?" Cepat nona Kim menggeleng. "Tidak, pada hakekatnya aku tidak
kenal dengan orang ini." "Kalau begitu lohu ingin memohonkan
ampun baginya." Siapa tahu belum habis ia berkata, sekali lagi nona
Kim menggelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya:
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 27 "TIDAK BISA, DIA HARUS MATI !" Makin lama Si Bong-im dan Him
Bun bui dibikin kebingungan sampai berdiri bodoh, belum sempat berbicara, nona Kim sudah
menyambung lebih jauh: "Si tayhiap, coba kau periksalah sendiri ke dapur.,. " "Adik Kim, tutup
mulut!" buru buru Sun Tiohg lo berseru. Nona Kim segera
menghentikan pembicaraannya yang belum
selesai, tapi perasaan uring-uringan masih membekas diatas wajahnya.
Si Bong im dan Him Bun hui adalah dua orang manusia berpengalaman,
mereka segera berpandangan sekejap, lalu beranjak menuju ke ruangan
belakang... Terpaksa Sun Tiong lo harus merentangkan tangannya untuk
menghalang kepergian mereka, serunya:
"Cianpwe berdua, harap berhenti dulu!" Mendengar ucapan itu, Him
Bun bui dan Si Bong im sama-sama menghentikan langkahnya sambil
menengok ke arah Sun Tiong lo. Sun Tiong lo segera menghembuskan napas panjang, kepada Si Bong
im katanya: "Boanpwe belum pernah bertemu dengan putramu, tapi Hou suheng
kenal dengan putramu itu." "Betul" tukas Si Bong im sambil manggut-manggut, "hou hiap memang
pernah mengikuti Ku ciangbunjin datang kemari, dia memang kenal
dengan putraku..." Berbicara sampai disitu mendadak ia berhenti seperti menyadari akan
sesuatu dia melirik sekejap kearah Hou ji, kemudian ujarnya lagi:
"Jangan-jangan putraku sudah tertimpa musibah?" Saat itu Him Bun
hui juga menyadari akan kemungkinan
tersebut, tanpa terasa dia melotot ke wajah Yu Wi san dengan penuh
kegusaran. Sun Tiong lo tak dapat tidak menjawab, terpaksa katanya: "Berkat
petunjuk dari Hou hong boanpwe..."
Ketika Him Bun bui melihat Sun Tiong lo sukar berbicara, kemudian
dilihatnya Hou ji yang hendak berbicara selalu mengurungkan niatnya, ia
sadar apa yang telah terjadi. Dengan cepat dihampirinya Yu Wi san, kemudian bentaknya
keras-keras: "Yu losam, katakan saja dengan sepatah kata, bagaimana dengan putra
lo ji?" Yu Wi san memandang sekejap kearah Him Bnn hui dan Si Bong im, lalu
sahutnya setelah menghela nafas rendah: "Siaute tahu salah!"
Dari ucapan mana dapat disimpulkan Si Phu benar benar telah tewas
ditangannya. Paras muka Si Bong im berubah sangat hebat, tubuhnya mundur
dengan sempoyongan hampir saja dia roboh keatas tanah.
Buru-buru Hou ji membimbing bangun Si Bong im dan mendudukkannya
diatas kursi, sedangkan Him Bun hui merasa agak
marah sekali, dia tak tahan dan segera mengayunkan tangannya
memerseni Yu Wi san dengan sebuah tempelengan...
Melihat itu Si Bong im menggelengkan kepalanya berulang kali dan
memberi tanda kepada Him Bun bui agar jangan turun tangan lagi.
Kemudian sambil tertawa getir dia menengok ke arah Yu Wi san, lama
kemudian, dengan air mata bercucuran ia berkata:
"Losam, mengapa kau berbuat demikian " Mengapa" " "Selain itu,
mengapa pula kau menulis surat palsu dimasa silam
sehingga merusak kebahagiaan hidup Si jite, dimana selain tidak
dimaklumi oleh rekan-rekannya, dia pun terdesak untuk menyepi di
bukit Cing shia, katakanlah mengapa?" sambung Him Bun hui.
Yu Wi sen menangis tersedu-sedu, katanya, "Siaute tahu salah, siaute
tahu salah, sekali melangkah akibatnya menyesal sepanjang masa,
waktu itu aku tak boleh menganggap Tin kun mencintaiku sehingga aku
menulis surat palsu itu, sekarang gara-gara ingin merampas kembali
surat palsu itu, akupun telah salah membunuh keponakan Phu, aku...
aku tahu salah" "Losam, tahukah kau bahwa Phu ji bukan anak kandungku?" kata Si
Bong im dengan sedih, "dia adalah darah daging Tin kun, kau... kau
kau memang pantas mati!" Betapa terkejutnya Yu Wi san sesudah mendengar perkataan itu,
segera teriaknya: "Apa" Kau bilang apa?" "Si Phu bukan putra kandungku, dia adalah
darah daging Tin kun, ketika Tin kun sedang sakit dan tak sadarkan diri, ia telah diperkosa
orang, akibatnya lahirlah bocah itu. Seandainya bukan lantaran peristiwa
yang memedihkan hati itu, dengan sepucuk surat palsumu, jangan
harap Tin kun dapat pergi tanpa pamit justru karena aku seorang yang
mengetahui persoalannya, maka dia meninggalkan surat memohon
kepadaku untuk baik baik merawat Phu ji, kini..."
Belum habis dia berkata, tiba-tiba Yu Wi san menjerit sedih, kemudian
serunya sambil meraung keras: "Ooob Thian! Ooh Thian! Kau terlalu berat menjatuhkan hukumun
kepadaku, terlampau berat! Aku... aku.... aku telah membunuh putraku
dengan tanganku sendiri, aku..."
Dl tengah isak tangisnya yang meraung meraung itu, mendadak ia
berseru kepada Sun-Tiong lo: "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Dari pembicaraan yang berlangsung
barusan Sun Tiong lo sudah dapat menduga garis besar duduknya persoalan, dia lantas turun
tangan membebaskan Yu Wi san dari pengaruh totok.
Yu Wi sau tidak berkata apa-apa lagi, dia pun tidak berjalan lewat pintu,
melainkan menumbukkan seluruh badannya kedinding belakang.
"Blaaamm!" diiringi suara keras, dinding belakang kena ditumbuk oleh
Yu Wi san sehingga muncul sebuah lubang besar.
Yu Wi san langsung menerjang kedalam dapur, Si Bong im dan Him Ban
hui yang sebenarnya ingin turut menengok kebelakang kena dihadang
oleh Sun Tiong lo, kata pemuda itu dengan wajah serius:
"Saudara berdua, biarkanlah dia pergi!" Dengan air mata bercucuran
Si Bong im berkata: "Walaupun Phu
ji bukan dilahirkan olehku tapi..." "Cianpwe. dapatkah kau menahan rasa
sedihmu sambil menantikan perkembangan selanjutnya?" tukas Sun Tiong lo. Si Bong im
tidak berbicara, dia hanya menghentikan langkahnya. Dalam pada itu,
Yu Wi san telah mengambil batok kepala
manusia tadi dari dalam kukusan dan sambil sebentar tertawa, sebentar
menangis, tanpa menggubris orang lain lagi, dia lari keluar dan melesat
kedepan dengan kecepatan luar biasa.
Him Bun hui dan Si Bong im berniat untuk mengejar, tapi segera
dihadang kembali oleh Sun Tiong lo dan Hou ji.
Setelah semua orang masuk kembali kedalam ruangan dan saling
memberi hormat lagi, baru duduk persoalan itu dibicarakan.
Seperti apa yang diduga Sun Tiong lo. ketiga orang sahabat karib itu
mempunyai seorang teman perempuan yang bernama Tin kun, kala itu
sigadis pun merupakan seorang perempuan yang amat tenar.
Sebetulnya Tin kun mencintai Si Bong im, namun tanpa sepengetahuan
gadis itu, secara diam-diam Yu Wi san pun jatuh hati padanya.
Suatu hari, Tin kun jatuh sakit, waktu itu Him Bun hui dan si Bong im
tidak mendampinginya, Yu Wi san yang mendapat tahu kejadian tersebut
segera memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mencampuri obat
yang hendak diberikan kepada gadis itu dengan obat perangsang.
Dalam keadaan tak sadar, Tin kun telah digagahi secara brutal oleh Yu
wi san. Setelah sembuh dari sakit, Tin kun masih tetap melakukan perjalanan
dalam dunia persilatan ia sama sekali tidak menyadari jika kesuciannya
telah digagahi orang, pertama karena setelah kejadian ia tidak
merasakan perubahan apa-apa, kedua dalam sakitnya dia pun tak
sampai menduga ke situ... Ditambah pula meski waktu itu kaum wanita yang berkelana dalam
dunia persilatan terhitung amat bebas, namun masalah kehormatan
seorang gadis tetap merupakan rahasia pribadi, karena itu walaupun
pada bulan selanjutnya ia merasakan perubahan pada dirinya, si nona
manis belum menyadari duduknya persoalan.


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yu wi san sendiri meski berbuat agak keji didalam tindakannya, padahal
diapun berbuat demikian karena perasaan cintanya yang kelewat
mendalam, dia berharap nasi bisa dibikin jadi bubur lebih dulu,
kemudian karena terlanjur si nona bersedia kawin dengannya.
Siapa tahu Tin kun tidak menyadari akan musibah yang menimpa dirinya,
sedangkan Yu wi san pun tak berani mengakui perbuatannya sesudah
kejadian, maka hal itu pun menjadi sebuah teka-teki besar.
Tiga bulan setelah musibah yang menimpa Tin kun, Si Bong im berhasil
menemukan perubahan dalam tubuh gadis itu.
Si Bong im yang amat menaruh hati terhadap gadis pujaannya ini, tentu
saja merasa bersedih hati setelah kejadian tersebut, namun ia sama
sekali tidak mempunyai niat memandang rendah gadis tersebut, malah
dengan suatu kata rahasia dia memberi kisikan kepada Tin
bahwasannya dia telah kejangkitan penyakit aneh.
Si Bong im memang tak tahu kejadian yang sebenarnya, dia mengira
Tin kun mempunyai kesulitan sendiri yang malu dikatakan, menanti
penyakitnya di periksa tabib dan mendapat tahu jika dia sedang
berbadan dua, gadis itu baru malu bercampur sedih.
Tin kun segera bertekad hendak menghabisi nyawa sendiri untuk
membuktikau kebersihan sendiri, sampai detik itulah Si Bong im baru
tahu kalau Tin kun benar-benar tidak mengetahui akan kejadian
tersebut, meninjau dari hal ini dia lantas berkesimpulan kalau gadis itu
telah dinodai orang sewaktu jatuh sakit dulu.
Tapi nasi telah menjadi bubur, apalagi Si Bong im sudah amat
mencintai gadis itu, karena kuatir ia bunuh diri, maka dengan tulus hati
dia meminang kepadanya untuk menjadi isterinya.
Tin kun amat terharu oleh kebenaran cinta orang, akhirnya pinangan
tersebut diterima. Setelah berunding, akhirnya mereka minta ke pada Him Bun-hui untuk
menikahkan mereka berdua. Dalam keadaan demikian, sebetulnya Yu Wi
san ingin menjelaskan yang sebenarnya, sayang ia tidak menemukan
kesempatan baik, hingga rasa sedih itu cuma disimpan dalam hati.
Waktu itu, Yu Wi-san pun belum tahu kalau Tin kun telah berbadan dua,
dia telah menyesal Si Bong im telah merampas cintanya.
Sesudah perkawinan sepasang suami isteri ini tidur berpisah karena
waktu itu kandungan Tin kun telah mencapai usia lima bulan, mereka
berencana setelah melahirkan nanti, mereka baru hidup sebagai suami
isteri yang sebenarnya. Empat bulan kemudian, Tin kun melahirkan seorang putera yang
dinamakan Phu, dan sejak itu pula suami isteri berdua biiru tidur
seranjang. Yu Wi san amat mendendam atas kejadian tersebut, untuk merusak
kehidupan berkeluarga rekannya, dia lantas mencatut nama Si Bong im
dan meniru tulisan rekannya itu untuk membuat surat palsu, kemudian
menggunakan kesempatan dikala Si Bong im sedang bepergian, dia
masukkan surat itu kedalam kantong senjata rahasia Tin kun dengan
harapan bila surat mana ditemukan, maka Tin kun akan pergi dengan
marah. Siapa tahu setelah kawin, Tin kun be nar benar hidup sebagai seorang
isteri yang baik, ia sudah membuang jauh-jauh ingatan untuk berkelana
sehingga kantong senjata rahasianya tak pernah dijamah.
Peristiwa ini membuat Yu Wi-san amat gelisah. Malam itu Si Bong-im
pulang dengan aman keluarganya tetap
hidup dengan damai. Sampai keesokan harinya, ketika Tin-kun
menjemur pakaiannya, dia baru menemukan surat tersebut, selesai membaca surat mana, pada
sorenya Tin kun pun meninggalkan surat dan minggat meninggalkan
suami dan putranya. Sejak itu Tin kun lenyap dari dunia persilatan, meskipun Si Bong im
telah berkelana kemana-mana untuk mencarinya namun tidak berhasil
menemukan jejaknya, dalam keadaan putus asa, akhirnya dia pun
menetap di bukit Cing shia. Untung saja ada Phu ji yang menemaninya sehingga meski hidup di
bukit namun mereka bisa hidup dengan penuh kedamaian.
Ketika Phu ji dewasa, ia mulai belajar silat kebetulan Him Bunhui pun
berhasil mendapatkan alamat mereka dan berkunjung kesitu, dalam
pengembaraan mana dapat diketahui kalau Yu Wi san sedang bertemu
di Go Bi-san ketika tahun itu Si Bong-im mengundurkan diri dari
keramaian dunia. Dari pembicaraan itu juga Him Bun bui mendapat tahu semua peristiwa
yang telah menimpa rekannya. Ketika surat palsu itu diperlihatkan Si Bong im kepada rekannya, Him
Bunhui segera mengenali tulisan itu sebagai tulisan Yu Wisan, sebab
dahulu mereka berdua sering berhubungan surat.
Tatkala Yu Wi san mendengar kalau rahasia kebrutalannya konangan, ia
menjadi panik secara diam-diam ia lantas menghubungi kawanan jagoan
lihay dari golongan hitam untuk melakukan pembantaian terhadap si Phu.
Siapa tahu orang yang dibunuhnya ternyata adalah putra kandungnya
sendiri. Sekarang, walaupun persoalan telah jelas, namun Si Bong im merasa
amat sedih. Sejak isterinya Tin kun hilang, dia tak pernah kawin lagi, kini dalam usia
tuanya harus kehilangan putranya pula, bisa dibayangkan betapa sepi
dan sedihnya dia. Betul bukit Cing-shia sangat indah, namun tempat itu penuh kenangan
duka, Him Ban-bui harus membujuk setengah memaksa untuk mengajak
rekannya ini menetap di bukit Go- bi untuk sementara.
Begitulah, keesokan harinya merekapun berangkat meninggalkan bukit
Cing shia. Sun Tiong lo serta Bau ji, Hou ji dan nona Kim pada dasarnya memang
bukan berniat pesiar, apalagi setelah peristiwa tersebut,
mereka semakin tak bernapsu lagi untuk berpesiar, maka mereka pun
merundingkan rencana selanjutnya. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** KETIKA nona Kim sudah kembali kekamar untuk
beristirahat, Sun Tiong lo, Hou ji dan Bau ji kembali memanggil pelayan agar
menyediakan sayur dan arak baru, kemudian diruang depan mereka
rundingkan persoalan tersebut. Mereka sudah balik kembali ke kota Seng-tok, tinggal dirumah
penginapan paling besar dikota itu dan memborong seluruh halaman
belakang yang terdiri dari dua ruangan dengan lima kamar.
Ketika sayur dan arak dihidangkan hampir semuanya merupakan
hidangan lezat yang ternama. Setelah pelayan mengundurkan diri, Sun Tiong lo yang banyak urusan
duduk termenung seorang diri, Bau ji pun sedang mumikirkan persoalan
sendiri. Hou ji yang memandang sikap mereka segera berseru! "Cukup,
cukup, jangan berpikir yang bukan bukan lagi, mari kita
rundingkan bersama hen dak kemanakah kita pergi" "Ada satu hal,
sudah lama sekali kusimpan didalam hati," kata
Sun Tiong lo dengan kening berkerut. "Persoalan apa?" Hou ji menukas.
Dengan kening tetap berkerut Sun Tiong lo berkata: "Masih ingat kitab
kecil yang dihadiahkan suhu kepada kita
sebelum kita berpisah dulu?" "Tentu saja masih ingat" Sun Tiong lo
memandang sekejap kearah kakaknya, kemudian
katanya lebih lanjut: "Suhu pernah berkata" engkoh Hou, kau berasal
dari keluarga Sun!" Hou ji menggut-manggut. "Betul, tapi sebelum aku berhasil
menemukan suatu bukti yang nyata, aku lebih suka dipanggil Hou ji" Sun Tiong lo menghela napas
panjang. "Aaaaai... dalam kitab kecil itu pertama-tama dicantumkan
kata yang berbunyi: Bila ingin mengetahui asal usul, harus melewati Bukit
pemakan manusia lebih dulu, akhirnya kita menuruti kitab tersebut dan
sudah memasuki Bukit pemakan manusia!"
"Namun kita gagal untuk mengetahui semua duduk persoalan yang
sebenarnya..." sambung Hou ji sambil menunduk.
Cepat Sun Tiong lo menggeleng. "Tak bisa dikatakan begitu, paling
tidak kita sudah mempunyai sebuah gambaran kini..." "Gambaran" Gambaran apa?" "Asal-usul Mou
Tin hong yang sesungguhnya !" "Hmm, sembilan puluh persen keparat
tua itu adalah pemilik lencana Lok hun pay!" sela Bau ji sambil mendengus. Suu Tiong lo
memandang sekejap ke arah Bau ji lalu katanya: "Mana buktinya" Di
dalam persoalan semacam ini, kita di tuntut
untuk menemukan bukti nya." Sekali lagi Bau ji mendengus, tapi ia
tidak berbicara apa-apa. Sun Tiong lo memandang sekejap lagi ke-arah
Bau ji, lalu baru ujarnya kepada Hou ji: "Menurut catatan di dalam kitab tersebut,
setelah meninggalkan Buktt pemakan manusia seharusnya kita menyebrangi sungai air merah
tetapi sekarang..." "Aku belum lupa." tukas Hou ji, "Cuma dimanakah letaknya sungai Ang
sui hoo tersebut?" "Ucapanmu memang betuI" Sun Tiong lo manggut-manggut,
"sepanjang perjalanan, aku telah memperhatikan tempat sekeliling sini
dengan seksama, tapi belum pernah ada orang yang mendengar nama
Ang sui hoo tersebut, setiap sungai atau telaga yang kita seberangi,
tiada yg cocok namanya dengan nama tersebut"
Seperti lagi menggumam Hou ji berkata lirih: "perkampungan keluarga
Mo sih sudah ditemukan letaknya di bawah kaki bukit Wu- san. tapi
perkampungan itu sudah berubah menjadi puing-puing yang berserakan,
jangankan manusia, setanpun tak kelihatan satupun, apalagi manusia
yang bernama Mo-kiau jiu!" Sun Tiong lo menghembuskan nafas panjang, "Aaaai, tampaknya Sun
nio....." Belum habis dia berkata, Bau ji yang berada di sisinya telah
menimbrung secara tiba-tiba: "Apakah tempat yang dinamakan Ang sui hoo mesti sebuah sungai?"
Sun Tiong lo menjadi tertegun sesudah mendengar perkataan itu, Hou
ji turut termangu. Menyusul kemudian Sun Tiong lo seperti menyadari akan sesuatu, dia
lantas berkata lagi: "Betul, ucapan toako memang tepat sekali, selama
ini kita selalu menganggap Ang Sui hoo sebagai sebuah sungai, tidak
heran kalau kita gagal menemukan tempat tersebut meski telah dicari
kesana kemari." Walaupun Hou ji menganggap perkataan itu benar juga, tapi sepanjang
perjalanan, bukan cuma tiada sungai yang bernama demikian, sekalipun
tempat seperti itu pun belum pernah didengar.
Maka dia menggelengkan kepalanya, dan berkata: "Mungkin saja
nama tersebut adalah nama sebuah tempat,
tetapi..." "Aku mengerti dengan maksud hati engkoh Hou." tukas Sun
Tiong lo, "cuma sepanjang perjalanan kemari, kita pun tak pernah
mendengar nama tempat yang mempergunakan nama Ang Sui hoo,
padahal kita telah salah jalan..."
"Salah jalan" Aku rasa tidak!" Hou ji seperti tidak mengerti. Sun
Tiong lo tertawa. "Sejak meninggalkan bukit Pemakan manusia kita
sudah salah jalan, kalau ditinjau dari tulisan "kemudian menyeberangi Ang-sui hoo"
yang dicantumkan dalam halaman ke dua kitab tersebut, dapat ditarik
kesimpulan kalau jarak Ang sui hoo dengan Bukit pemakan manusia
sebetulnya tidak terlampau jauh.."
Tiba-tiba Hou ji seperti berhasil menemukan penyakit dibalik ucapan
tersebut, sambil mengulapkan tangannya dia berseru:
"Tunggu sebentar, menurut catatan dalam kitab tersebut, Ang sui hoo
yang dicantumkan sudah pasti adalah sebuah sungai!"
"Darimana kau bisa tahu?" Hou ji tidak merasa puas. "Bukankah
dalam kitab tersebut tercantum jelas kata yang
berbunyi demikian: "Kemudian menyeberangi Ang sui hoo?" kalau toh
dipergunakan kata "menyeberangi" dus berarti tempat itu adalah sebuah
sungai, ini menurut pandanganku"
Bau ji tidak melanjutkan kata katanya, sedangkan Sun Tiong lo juga tak
dapat membantah perkataan dari Hou ji tersebut.
Maka Hou ji pun berkata lebih lanjut: "Apa yang dikatakan Siau liong
juga masuk diakal, setelah kami meninggalkan Bukit pemakan manusia,
yang kita perhatikan waktu itu hanya berusaha melindungi keselamatan
Beng lo cengcu sambil secara diam-diam memancing kemunculan
Lencana Lok hun pay, tak heran kalau kita salah jalan.Justru karena
salah jalan, maka kita tak melewati sungai Ang sui ho tersebut pasti tak
jauh letaknya dari Bukit pemakan manusia!"
"Kalau begitu kita harus balik lagi?" tanya Bau ji dengan suara dingin
dan hambar. Sun Tiong lo termenung dan berpikir sebentar kemudian sahutnya:
"Tidak perlu, bagaimanapun juga kita toh sudah mengadakan janji satu
tahun dengan Moo Tin hong untuk kembali sekali tiap tahun, sekarang
kita laksanakan tempat lain dahulu, yakni berkunjung ke bukit Go bi
san!" Setelah keputusan diambil, merekapun kembali ke kamar sendiri untuk
beristirahat - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** DALAM sebuah rumah penduduk, selisih satu jalan
dari rumah penginapan yang didiami Sun Tiong lo sekalian, ditengah malam buta
tersebut telah kedatangan seorang tamu tak di kenal.
Orang itu berbaju putih berkerudung putih, dia tak lain adalah manusia
berbaju putih yang kena ditipu oleh Gui Sam tong.
Dia tidak mengetuk pintu, melainkan langsung melayang masuk ke
dalam... Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, empat bilah pedang segera
mengancam berapa inci diatas tubuhnya dan muka belakang kiri dan
kanan, ancaman tersebut berasal dari empat manusia berbaju putih,
dandanan maupun pakaian yang dipakai persis seperti apa yang
dikenakan. Ia tidak buka suara, tapi pelan-pelan melepaskan pedang yang
digembolnya dan diletakkan ke atas lantai.
Pada saat itulah dari dalam ruangan terdengar seseorang menegur
dengan suara lantang. "Siapa di situ ?"
"Hamba, Gin ih lak yu ( enam sobat berbaju perak)!" jawab orang itu
dengan hormat. Suara orang dalam ruangan itu agak emosi:
"Masuk, sisanya segera mengundurkan diri."
Empat manusia berbaju putih berkerudung putih yang berada disitu
segera menarik kembali pedang mereka, lalu setelah saling berjabatan
tangan mereka baru membubarkan diri.
Dia pun membungkukkan badannya sambil memungut pedang, lalu
dengan langkah lebar menaiki anak tangga.
Diatas tangga, diluar ruang tengah, dia menggantungkan pedangnya,
kemudian pelan pelan melangkah masuk ke dalam.
Tempat itu merupakan sebuah ruangan yang amat istimewa, dilihat dari
luar, tempat itu sepantasnya merupakan sebuah rumah yang terdiri dari
dua ruangan, tapi setelah masuk baru ditemukan sebuah ruangan yang
sangat besar. Ruang besar sebetulnya merupakan suatu yang biasa, mengapa bisa
dibilang istimewa " Setelah mendorong pintu ruangan dan meski dia sudah masuk ke
dalam ruangan, tapi boleh dibilang ia masih berada diluar ruangan
tersebut. Kiranya dibalik pintu ruangan itu masih terdapat lagi pintu ruangan ke
dua... Oleh karena itu ruangan yang dari luar nampaknya kecil, sesungguhnya
merupakan sebuah ruangan gedung yang besar, jadllah suatu "gedung
didalam gedung" yang sangat istimewa.


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesudah melewati pintu pertama, belum lagi dua langkah, dia harus
memasuki lagi pintu kedua. Diantara dua buah pintu tersebut, terbentang sebuah serambi panjang
didalam ruangan. Berhubung serambi tersebut mempunyai dua jendela dan satu pintu
sebagai sumber datang nya sinar, maka suasana disitu terang
benderang, akan tetapi ruangan tengah yang sesungguhnya justeru
tertutup rapat sekali, tanpa daun jendela tanpa pintu.
Disamping itu, pintu pada lapisan keduapun tampaknya bukan terbuat
dari bahan kayu. Waktu itu si manusia berkerudung putih tadi sedang berdiri ditengah
serambi didalam ruangan tersebut. Baru saja dia berdiri tegak, pintu pertama di belakang tubuhnya telah
menutup sendiri secara otomatis berbareng itu juga pintu lapis an
kedua membuka dengan sendirinya kesam ping hingga muncul sebuah
liang pintu. Dengan kepala tertunduk Manusia berkerudung putih itu berjalan
masuk ke dalam. "Kraaakk . .. !" begitu dia melangkah masuk, pintu yang berada di
belakangnya kembali merapat dengan sendirinya.
Sampai sekarang, Manusia berkerudung putih itu belum mendongakkan
kepalanya atau menggerakkan tubuhnya, dari sini bisa disimpulkan selain
setia dan tunduk seratus persen terhadap majikannya, dia pun menaruh
perasaan takut. Ia tak berani mendongakkan kepalanya, tentu saja tak tahu pula segala
sesuatu didalam ruangan tersebut, termasuk dekorasi, bentuk serta
manusia-manusia siapa saja yang hadir di situ.
Dalam keheningan itulah, terdengar seseorang berseru dengan suara
rendah dan berat: "Tentunya kau belum menerima surat pemberitahuan lohu lewat
burung merpati bukan?" "Hamba tak becus, kena ditipu mentah-mentah oleh penghianat karena
itu hamba tak menerima surat lewat burung merpati." sahut Manusia
berkerundung putih itu dengan hormat.
"Angkat kepalamu!" suara rendah dan berat itu memerintahkan.
Manusia berkerudung putih itu menerima perintah dan
mengangkat kepalanya, sekarang dia sudah dapat melihat sekeliling
tempat itu dengan amat jelas. Ternyata ruangan tengah yang begitu lebar berada dalam keadaan
kosong melompong, boleh dibilang tiada perabot apapun yang berada
disitu. Hanya pada bagian dekat dinding sana, terdapat sebuah meja baca
yang sangat antik. Di atas meja, disudut kanan terletak sejilid kitab kuno, sedangkan di
sebelah kiri terletak alat menulis.
Di tengah ruangan duduk seseorang, orang itu duduk diatas sebuah
kasur lunak dan memakai baju berwarna keemasan.
Tentu saja orang itu adalah Manusia berkerudung berbaju emas, hanya
tidak nampak paras mukanya. Selain itu, disana tiada tempat duduk yang lain, juga tidak nampak
orang lain. Dalam ruangan tersebut, kecuali pintu otomatis yang dilewati manusia
berkerudung putih sewaktu masuk tadi, pada hakekatnya tidak terdapat
pintu lain, juga tidak kelihatan jendela.
Manusia berkerudung putih itu menengadah atau tidak menengadah
sesungguhnya tak jauh berbeda. Sebab dia mengenakan kain kerudung muka, bahkan kain kerudung itu
terbuat dari bahan kaos yang dirajut dari atas kepala sampai leher dan
atas dada, pada hakekatnya mulut dan hidung orang itu sama sekali
tidak terlihat. Manusia berbaju emas itu menyuruhnya mendongakkan kepala, mungkin
hal ini merupakan suatu kebiasaan belaka tanpa diembeli
maksud-maksud lainnya, sedang ia menuruti perintah dengan
mendongakkan kepalapun, hal ini merupakan suatu kebiasaan juga
Ketika manusia berkerudung berbaju emas itu menyuruhnya
mendongakkan kepalanya tadi, seperti ada suatu persoalan dia
mengiakan tapi justeru karena mendengar suara mana, ia malahan
merasakan hatinya jadi tenang sekali
Menyusul kemudian, manusia berbaju emas itu berkata dengan suara
dingin: "Padahal setelah lohu menerima surat pemberitahuanmu tempo hari,
akupun tidak mengirim surat apa-apa lagi kepadamu, tentu saja kaupun
tak akan menerima surat pemberitahuan apa-apa lagi."
"Di kolong langit jarang sekali kujumpai manusia bodoh seperti kau,
orang lain tidak mengerti hal mana masuk diakal, tapi kau sebagai salah
seorang dari Gin ih lak yu (enam sahabat berbaju perak), masa
kebiasaan lohu seperti inipun tidak kau pahami ?"
Manusia berkerudung putih itu menundukkan kepalanya rendahrendah.
"Hamba mempunyai suatu keluhan" katanya. "Oh, kau pun
mempunyai keluhan ?" kata manusia berkerudung
berbaju emas itu sambil tertawa dingin. "bagus sekali, cepat katakan !"
"Lencana emas kepala naga Liong-tau kim-pay leng merupakan Kim leng
yang paling berkuasa milik majikan, walaupun hamba merasa agak
keheranan mengapa lencana yang paling tinggi itu bisa diserahkan
kepada utusan berbaju emas untuk melakukan perintah, namun hamba
tak berani membangkang peraturan apalagi mengajukan pertanyaan.
"Cuma, hambapun telah melakukan persiapan yang aman, bahkan
menulis surat lewat burung merpati untuk menceritakan hal ikhwal yang
sebenarnya, selain itu akupun melakukan penguntilan sepanjang jalan
terhadap jejak lawan, hamba hanya memohon majikan menyampaikan
petunjuk." "Apakah kau menyalahkan lohu tidak menurunkan perintah, sehingga
kau mengalami kegagalan tersebut ?"
"Hamba tidak berani" manusia berkerudung putih itu menjawab dengan
sikap menghormat "tapi yang pasti pihak lawan telah memiliki lencana
Liong tau kim leng, hamba bisa berbuat apa lagi ?"
Manusia berkerudung emas itu termenung dan berpikir sebentar
kemudian bentaknya : "Sudah kau periksa lencana Liong tau kim leng
tersebut ?" Berbicara dari kedudukan manusia berkerudung putih itu, tentu saja dia
tak berani memeriksa lencana naga Liong tau kim leng tersebut dari
tangan Gui Sam-tong, namun untuk mempertahankan kehidupannya,
terpaksa dia harus berbohong, "Hamba tak berani memeriksa lencana naga tersebut, tapi
menggunakan kesempatan dikala lawan mengangkat tinggi tinggi
lencana naga itu, hamba dapat memperhatikannya dengan jelas sekali,
dan hampa jumpai lencana naga Liong tau kim pay tersebut adalah
lencana yang asli, lencana sesungguhnya !"
Manusia berkerudung emas itu mendengus gusar. "Hm, lencana
Liong leng semuanya hanya berjumlah tiga buah,
ambil dan perhatikan baik-baik !" Seraya berkata, manusia berkerudung
emas itu menggetarkan lengan kanannya. "Traaang, traaacg, traaang !" diiringi suara nyaring,
tiga buah lencana emas tahu-tahu sudah tergeletak tak jauh dimana manusia
berkerudung putih itu berdiri. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** Mula pertama manusia berkerudung putih itu
mundur setengah langkah lebih dulu dengan sikap hormat dari hadapan lencana emas
tersebut, kemudian baru maju dan membungkukkan badan untuk
mencabut keluar lencana emas itu lalu per satu, semuanya diperiksa
dengan seksama. Setelah diamati sekian lama, ia baru maju kedepan dengan hormat, lalu
meletakkan ketiga buah lencana emas tadi keatas meja, kemudian
sesudah mundur beberapa langkah katanya:
"Hamba telah memeriksanya." "Sekarang, tentunya
kau sudah mengerti bukan?" "Hamba tidak berani berbohong, lencana emas yang dibawa manusia
utusan berbaju emas persis seperti ketiga buah lencana emas kepala
naga milik majikan, termasuk pula gambaran dan ukir- ukirannya, tak
sedikitpun yang berbeda." "Apa kau bilang" Coba ulangi sekali lagi!" teriak manusia berkerudung
emas itu sambil melompat bangun. "Lencana emas yang diperlihatkan lawan kepada hamba, persis seperti
lencana milik majikan." "Kau bilang termasuk ukiran dan besar kecilnya?" bentak Manusia
berkerudung emas itu keras-keras. "Benar, hamba memang berkata demikian." "Tak bakal salah ?"
bentak Manusia berkerudung emas itu sambil
menatapnya lekat-lekat. "Yaa, tak bakal salah!" kembali manusia
berkerudung putih itu menegaskan dengan suara datar. Manusia berkerudung emas itu segera
mendengus. "Hmmm, dari sembilan orang penggantiku, hanya tiga
orang yang telah berhianat kepada lohu, mereka adalah Wongpengci, Gui
Sam tong dan Cu San poo ! "Sekarang lohu telah memperoleh kabar yang mengatakan bahwa ilmu
silat yang mereka miliki telah punah, mereka tak ubahnya seperti
manusia biasa, apalagi dicocokan dengan waktu yang kau cantumkan
dalam surat kilatmu, sesungguhnya ketika itu kepandaian silat mereka
telah punah tak berbekas." "Dengan kepandaian serta ketajaman mata mu sekarang, nyatanya kau
sama sekali tidak mengetahui kalau tiga orang yang berdiri di
hadapanmu wakiu itu hanya tiga orang manusia biasa saja... Hmmm,
bagaimana penjelasannya tentang hal ini ?"
Manusia berkerudung putih itu menundukkan kepalanya rendahrendah,
tapi dengan amat cepat dia menjawab lagi:
"Harap majikan maklum, berada dalam keadaan seperti ini jangankan
hamba, sekalipun orang yang berkepandaian lebih tinggi dengan
ketajaman mata yang lebih hebat pun, jangan harap bisa
mengetahuinya !" "Oooh... benarkah ada kejadian seperti ini?" seru manusia berkerudung
emas itu sambil menggebrak meja. "Tentu saja, punah atau tidaknya tenaga dalam yang dimiliki seseorang
hanya bisa diketahui dari sorot mata sepasang keningnya, tapi mereka
semua mengenakan kain kerudung emas yang menutupi hampir seluruh
kepandaiannya..." Tidak sampai orang itu menyelesaikan kata-katanya, manusia
berkerudung emas itu sudah membentak lebih dulu dengan suara
dalam: "Tutup mulut, tak usah berbicara lagi !" Manusia berkerudung putih
itu benar-benar tidak berani banyak
berbicara lagi. Tiba-tiba manusia berkerudung emas itu menekan suatu
pojokan dekat meja bajanya, sebuah pintu rahasia segera muncul disisi belakang
ruangan besar tersebut Menyusul kemudian muncul seorang manusia berkerudung putih dari
balik pintu, setelah memberi hormat katanya:
"Hamba menanti perintah?" "Bagaimana dengan pekerjaan dari Mo
loji sekarang?" tanya manusia berkerudung emas itu dengan suara dingin. "Belum selesai
seluruhnya!" Manusia berkerudung emas itu segera tertawa dingin.
"Kalau begitu gusur dia masuk kemari lebih dulu!" perintahnya. Manusia
berbaju putih itu mengiakan, dia lantas membalikkan
badan dan berjalan keluar dari situ.
Tak lama kemudian dia telah muncul kembali sambil membawa seorang
kakek yang nampaknya kurus dan amat lemah, kakek itu langsung
digusur ketengah ruangan. Manusia berkerudung emas itu mengulapkan tangannya, manusia
berbaju putih yang menggusur kakek ceking tersebut segera
mengundurkan diri lagi dari situ. Untuk kesekian kalinya, manusia berkerudung emas itu menekan meja
bacanya, pintu yang semula terbuka itu segera menutup kembali secara
otomatis. Dalam pada itu, kakek kurus mendongakkan kepalanya dan memandang
sekejap ke arah manusia berbaju emas dan manusia berkerudung putih
itu dengan sorot matanya yang sayu tak bersinar, lalu mendengus dan
duduk di atas lantai. Manusia berkerudung emas itu meninggalkan meja bukunya dan
berjalan kehadapan sikakek kemudian perintahnya.
"Berdiri!" Kakek kurus itu sama sekali tak menggubris, dia pun tidak
mengucapkan sepatah kata. Dengan geramnya manusia berkerudung itu
mengayunkan tangannya ke atas siap melancarkan serangan. Tetapi kakek kurus itu
sama sekali tidak takut, dia malah memandang tangan yang terangkat itu dengan sinis, setelah itu tertawa
terkekeh-kekeh dengan suara yang aneh dan sangat menggidik hati.
Aneh sekali, menghadapi sikap kakek kurus tersebut, manusia
berkerudung emas itu tiba-tiba menurunkan kembali tangannya.
"Lohu tak akan memberikan keuntungan seenak ini kepadamu, apalagi
membunuhmu dalam sekali pukulan!" katanya.
Dengan susah payah kakek kurus itu berhasil menghentikan gelak
tawanya, dia pun berkata lagi: "Lohu mengerti, oleh karenanya lebih baik kau jangan menggunakan
permainan semacam itu kepadaku."
Manusia berkerudung emas itu menggertak giginya sampai berbunyi
keras, agaknya dia gemas sekali terhadap kakek tersebut.
Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali, kemudian
ujarnya sambil tertawa: "Tidak ada gunanya berbuat garang seperti itu, gemas pun percuma,
kecuali jika kau mempunyai keberanian untuk membunuhku!"
Dengan gemasnya manusia berkerudung emas itu menghadiahkan sebuah
tempelengan keatas wajah kakek itu, bentaknya keras.
"Kau takut aku tak akan membunuhmu ?" Setelah berhenti sejenak,
kembali ujarnya: "Lohu mempunyai
persoalan ingin bertanya kepadamu, tapi sebelumnya kuperingatkan
kepadamu, lebih baik jawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya,
kalau tidak, jangan salahkan bila aku membuatmu mati tak bisa hidup
pun tak dapat." Kakek kurus itu sama sekali tidak gentar atau takut dibuatnya, dia cuma
tertawa seram tiada hentinya. Sepatah demi sepatah manusia berkerudung emas itu berkata lagi
penuh kewibawaan: "Dalam perkumpulan lohu, semuanya terdapat empat macam lencana
emas, dan lencana tersebut hanya kau seorang yang bisa menempanya,
sekarang berbicaralah terus terang, kecuali bagi lohu. kau masih pernah
menempakan lencana emas semacam itu untuk siapa ?"
Kakek itu mengerdipkan matanya berulang kali, tapi tidak menjawab.
"Hayo bicara" bentak manusia berkerudung emas itu lagi penuh
kegusaran, "lebih baik jangan mencari kesulitan buat diri sendiri !"
"Jangan terburu napsu lebih dulu" kata kakek itu dengan amat
tenangnya, sedikitpun tidak panik, "terburu napsu pun tak ada gunanya,
sebab menghadapi persoalan seperti ini paling tidak kau mesti memberi
waktu kepada lohu untuk memikirkannya lebih dulu."
Manusia berkerudung emas itu mendengus dingin. "Hmmm, pernah
menempa atau tidak hanya kau seorang yang
mengerti, buat apa mesti banyak dipikirkan lagi ?" Tiba-tiba kakek tua
itu bertanya: "Ketika berada di jalan raya
Sam-siang, pernahkah kau membunuh seorang pemuda berbaju hijau ?"
Manusia berkerudung emas itu nampak tertegun, dia nampak


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

termenung sampai lama sekali tanpa menjawab pertanyaan itu.
Kakek itupun tidak bertanya lebih jauh, dia turut membungkam diri
dalam seribu bahasa. Selang berapa saat kemudian, manusia berkerudung emas itu baru
berkata lagi. "Peristiwa ini terjadi di tahun kapan?" Kakek tersebut segera tertawa
terkekeh "Masa perbuatan yang kau lakukan sendiripun masih harus
dipikirkan lagi, apakah kau juga lupa di tahun kapankah peristiwa
tersebut telah terjadi...?" Seperti memahami akan sesuatu, dengan gemas manusia berkerudung
emas itu berseru: "Mo loji, kau janganlah berbuat keterlaluan!"
Mo loji segera tertawa terkekeh kekeh, "Kau sendiri yang terburu
napsu, masa memberi waktu buat lohu berpikir sejenak pun tidak nanti
menanti." Manusia berkerudung emas itu berusaha keras untuk mengendalikan
kobaran hawa amarah dalam dadanya, ia berseru:
"Sekarang, apakah kau sudah teringat kembali?"
"Ehmm, sudah kuingat kembali!"
"Kau pernah menempa lencana semacam itu buat siapa?" buru- buru
manusia berkerudung emas itu bertanya.
Mo loji sama sekali tidak gugup, katanya: "Aku hanya pernah menempa
lencana emas itu saja." Belum habis dia berkata, mendadak Manu sia berkerudung emas itu
mencengkeram tubuh Mo loji dan mengangkatnya ketengah udara-Mo
loji sama sekali tidak meronta, dia se olah-olah merasa bahwa hal
tersebut sama sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya.
Sambil menggoncang-goncangkan tubuh Mo loji, Manusia berkerudung
emas itu mambentak lagi: "Kau berani membohongi aku" Aku..." "Jangan panik." tukas Mo loji,
"Coba beri tahu kepadaku apa yang telah terjadi ?" "Ada orang menggunakan lencana emas kepala
naga Liong tau kim pay yang sama menggunakan perintah terhadap anak buah kita !"
Kakek itu berlagak seperti terkejut, kemudian serunya, "Aah, masa
sudah terjadi peristiwa semacam ini " Cepat, cepat, cepat lepaskan aku
bawa kemari lencana emas kepala naga yang palsu dan yang asli
kepadaku, akan kucoba untuk mengetahui perbuatan siapakah itu?"
"Huh, seandainya lencana yang palsu itu sudah berada ditanganku, buat
apa aku mesti bertanya kepada kau si tua bangka ?"
"Wah, wah, ucapan macam apaan itu ?" seru si kakek sambil
menggeleng berulang kali. "sudah tahu kalau lencana emas itu palsu,
bukan saja kalian masih bersedia menuruti perintah orang, bahkan
setelah itu sama sekali tidak mendapatkan buktinya, kalian memang
goblok semua ! Tak ada gunanya sama sekali."
Manusia adalah makluk aneh, mendengar ucapan tersebut, manusia
berbaju emas itu segera menurunkan kakek Mo dari cengkeramannya,
lalu berpaling kearah manusia berkerudung putih itu dan mendengus
dingin. Manusia berkerudung putih itu menjadi ketakutan setengah mati,
buru-buru katanya kepada Mo loji: "Bajingan tua, bila kau tak mengerti wibawa dari lencana emas itu, lebih
baik jangan sembarangan berbicara !"
Kakek Mo segera tertawa terkekeh-kekeh. "Heh, heh, heh, lencana
emas kepala naga itu hasil penempaan
lohu . masa lohu tak memahami kewibawaan lencana mana ?" Hmm!
itulah dia." sambung manusia berkerudung putih itu cepat,
"setelah kau ketahui kewibaan dari lencana emas itu, tentunya bisa kau
pahami pula betapa besarnya lencana mana, pihak yang menerima
perintah dari lencana itu apa berani membangkang perintah" Apakah
bisa minta lencana itu untuk dibuktikan keasliannya " Mengapa kau
m Bara Naga 3 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bara Naga 10
^