Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 16

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 16


kan saja mereka pergi." Baru saja gadis berpakaian putih itu selesai berkata, si gadis berpakaian mini yang
berdiri di sayap sebelah kiri burung elang itu segera berteriak, "Mei Hun Cici, cepat naik ke
mari, Cujin ingin mengejar waktu melihat matahari terbit di gunung Thai San."
Mei Hun menolehkan kepalanya melihat ke arah Yang Jen Ping. Bibirnya
mengembangkan seulas senyuman yang manis.
"Kalian boleh pergi sekarang."
Kemudian tampak dia melangkahkan kakinya dengan ringan, tidak terlihat bagaimana
dia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu dia sudah mencelat ke atas dengan gaya yang
indah. Di tengah udara dia bersalto satu kali kemudian hinggap di atas sayap elang
raksasa sebelah kanan. Sekali lagi terdengar suara pekikan yang panjang, sayapnya
dikepakkan perlahan-lahan kemudian bagai sebatang anak panah yang melesat, tubuhnya
terbang ke udara. Dalam sekejap mata bayangannya sudah berubah menjadi titik hitam
yang lambat laun menghilang dari pandangan. Arah yang diambil ketiga gadis itu sebelah
barat. Kejadian yang mereka alami seperti mimpi juga bagai khayalan. Untuk sesaat
rombongan si pengemis cilik sampai terkesima sehingga tidak ada yang sanggup
mencetuskan sepatah katapun. Entah berapa lama sudah berlalu, akhirnya Hek Lohan Sam Po Hwesio menarik nafas
panjang. Dia menepuk-nepuk kepalanya yang gundul sembari menghitung-hitung biji
tasbihnya. Mulutnya bergerak seperti bergumam seorang diri.
"Kejadian yang benar-benar aneh. Aneh sekali. Si Hwesio cilik kali ini benar-benar
bertemu dengan dewa." Si pengemis cilik Cu Cia tertawa lebar.
"Pertemuan ajaib seakan hanya terjadi dalam mimpi saja. Si pengemis cilik matanya
benar-benar terbuka sekarang. Seandainya di Pek Hun Ceng nanti sampai kehilangan
selembar jiwa, rasanya juga tidak penasaran lagi!"
Sam Po Hwesio sampai tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya.
"Ceng Pek-bo, undangan makan si Hwesio cilik dan si tukang minta-minta ini kali hebat
sekali, bukan" Sudah mendapat suguhan hidangan yang istimewa, dapat melihat
rombongan bidadari yang menunggang elang lagi.
Gunung Thai San jaraknya demikian jauh, letapi mereka mengatakan akan mengejar
waktu untuk melihat matahari terbit, bayangkan saja. Jodoh pertemuan ini hanya terjadi
secara kebetulan dan tidak bisa dipinta. Lebih baik kita bergegas meneruskan perjalanan,
buat apa berdiri di sini termangu-mangu menghabiskan waktu?"
Selesai berkata, sekali lagi dia tertawa terbahak-bahak. Tanpa menunggu jawaban dari
yang lainnya, tubuhnya bergerak mendahului rekan-rekannya berlari ke atas lembah
tersebut. Beberapa orang lainnya segera mengikuti dari belakang. Dengan bantuan cahaya
rembulan mereka menempuh perjalanan. Tengah hari esoknya mereka sudah keluar pari
daerah pegunungan. Sepanjang perjalanan mereka terus membicarakan kejadian aneh
sang mereka alami hari sebelumnya. Memang hal itu seperti impian semata, seperti
khayalan tetapi kenyataan. Mengingat kembali kemunculan gadis yang menunggang elang
raksasa itu dan ilmu silat budaknya Mei Hun yang begitu menakjubkan, kalau mereka tidak
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu mereka tidak perca,ya kalau di dunia
ini ida orang yang baik hidup maupun ilmu silatnya bagai para dewata di khayangan.
Setelah melakukan perjalanan selama dua hari berturut-turut, mereka sampai di istana
Ki Ling. Gedung ini merupakan istana kuno wilayah San Tung. Keadaannya sudah hancur
dan hanya temboknya saja yang dijadikan batas masuk ke dalam kota, namun sampai saat
ini masih merupakan penghubung antar kota yang sangat ramai. Baik pengusaha maupun
pelancong banyak yang berlalu lalang di kota ini. Keenam orang itu masuk ke dalam kota,
tepat waktu menjelang tengah malam.
Yang Jen Ping berjalan di depan, setelah melewati sebuah jalan yang besar, sampailah
di pusat kota yang ramai. Meskipun malam sudah cukup larut, masih banyak orang yang
hilir mudik maupun berbelanja di toko-toko. Tampaknya kehidupan di kota ini hampir tidak
pernah berhenti. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tampak di sebelah kiri ada
sebuah gedung tinggi dengan lentera yang tergantung di sekelilingnya, dengan demikian
keadaan jadi terang benderang. Di bagian atapnya tergantung tiga huruf berwarna emas
yang menyolok sekali, Suang Eng Lau (Gedung sepasang pahlawan)
Yang Jen Ping merasa nama yang dipilih si pemilik rumah makan ini agak aneh. Belum
sempat dia mengatakan apa-apa, si pengemis cilik dan Sam Po Hwesio sudah melesat
masuk bagai hembusan angin. Terpaksa dia juga ikut melangkahkan kakinya ke dalam.
Pelayan rumah makan sekaligus penginapan ini melihat kemunculan si pengemis cilik
dan Sam Po Hwesio yang pakaiannya compang-camping dan tidak karuan, tanpa dapat
ditahan lagi sepasang alisnya berkerut. Tetapi ketika dia melihat Ceng Lam Hong, Ban Jin
Bu dan Goan Yu Liong yang tampangnya gagah serta bersikap anggun ikut masuk ke
dalam rumah makan tersebut, rasa ragu-ragu-nya lenyap seketika. Tampaknya tamu-tamu
ini termasuk orang kaya yang seleranya aneh-aneh. Mereka langsung diajak ke ruangan
dalam yang tenang dan sunyi. Ruangan dalam ini dekat dengan taman bunga, tempatnya luas dan aneh. Ada tiga
buah kamar yang dibangun dalam satu deretan. Pelayan itu mengantarkan mereka sampai
ruangan tamu yang luas dan segera memamerkan senyumannya yang paling ramah.
"Tuan-tuan sekalian, apakah kalian ingin memesan hidangan atau arak" Meskipun
penginapan kami ini tidak dapat dibandingkan dengan istana kaisar, tetapi keadaannya
tenang sehingga Tuan-tuan tamu dapat beristirahat tanpa merasa terganggu."
Ceng Lam Hong tersenyum simpul mendengar ucapannya.
"Sekarang kau pesankan dulu berbagai hidangan yang istimewa dari rumah makan
kalian ini dan jangan lupa araknya yang paling bagus. Seluruh ruangan ini akan kami
borong, jangan sampai dioperkan kepada orang lain."
Pelayan itu kembali tertawa lebar. "Apa yang Hujin pesan tentu tidak berani kami langgar, tetapi ada sedikit perkataan
yang harus hamba sampaikan terlebih dahulu."
Cu Cia melihat gaya bicaranya yang plintat-plintut, hampir saja dia kehabisan rasa
sabarnya. Sepasang matanya mendelik lebar-lebar dan bertanya dengan garang,
"Mengapa kau tidak berkata terus terang saja" Biar Hwesio makan delapan macam
daging-dagingan atau si tukang minta-minta ini minum habis arak persediaan yang ada,
kami juga bukan jenis manusia yang suka makan secara cuma-cuma. Meskipun aku
demikian miskin sampai baju utuh saja tidak terbeli, tetapi rekan-rekanku ini semua
biangnya harta, tahu" Apakah kau takut kami tidak kuat membayar lalu kabur sehingga
belum apa-apa kau sudah minta uang jaminan dulu?"
Si pelayan itu tidak marah mendengar kata-katanya yang ketus. Dia malah
menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Hamba mana berani mempunyai pikiran
seperti itu" Sekali lihat saja, hamba sudah tahu bahwa Tuan-tuan ini pasti hartawanhartawan
yang kaya raya. Kalau tidak, aku juga tidak akan mengajak kalian ke ruangan
yang istimewa ini." Mendengar ucapannya yang pandai berkilah ini, Yang Jen Ping juga ikut-ikutan
tersenyum. "Ada apa kau katakan saja terus terang, kalau rasanya tinggal di sini ada masalah, kami
tidak keberatan pindah ke penginapan yang lain." katanya.
Si pelayan cepat-cepat membungkukkan tumbuhnya menghormat dengan gaya gugup.
"Tuan tamu, kau jangan salah paham. Maksud hamba, di dalam taman bunga tinggal
beberapa orang tamu, mereka pernah berpesan: Tidak perduli siapapun, tidak ada yang
boleh menindakkan kakinya selangkah ke dalam taman bunga. Ruangan tempat tinggal
kalian ini dekat dengan taman bunga. Siapa tahu setelah minum arak timbul pikiran untuk
berjalan-jalan mencari angin di taman bunga, bukankah akhirnya malah timbul
perselisihan" Usaha kami ini menjaga supaya langganan jangan bosan berkunjung, tentu
saja tidak ingin ada kesulitan apapun. Oleh karena itu, hamba terpaksa memberitahukan
lebih dahulu kepada Tuan-tuan tamu, sebaiknya jangan masuk ke dalam taman bunga."
Sepasang alis si pengemis cilik langsung terjungkit ke atas mendengar keterangannya.
"Si pengemis cilik ini sudah berkelana dari daerah utara sampai ke selatan. Hampir
semua penginapan sudah pernah aku singgahi. Tetapi selamanya belum pernah
mendengar adanya peraturan seperti ini" Apakah tamu yang menginap di taman bunga itu
adalah Kaisar zaman ini?" "Siapa yang tinggal di sana, hamba benar-benar tidak jelas. Setelah tamu muda yang
tinggal di taman bunga itu keluar, hari kedua datang lagi seorang laki-laki tinggi besar
bercambang lebat. Orangnya hanya berdua, tetapi setiap pesan makanan selalu lima porsi
lengkap dengan hidangannya, selain itu setiap hari harus juga disediakan sepuluh kati
daging mentah. Kadang-kadang semuanya disapu bersih, kadang-kadang tidak disentuh
sama sekali." Perasan Ceng Lam Hong peka sekali, tiba-tiba saja dia teringat sesuatu.
"Setiap kali kau mengantar makanan ke sana, apakah kau tidak bisa mengintip siapa
sebenarnya yang tinggal di sana?"
"Pengadilan ada hukumnya, jalananpun ada peraturannya. Kami yang membuka usaha
seperti ini hanya mengandalkan apa yang dipesankan oleh tamu-tamu. Kedua tamu itu
memberi perintah kepada hamba agar setiap kali mengantar makanan, taruh saja di
tengah-tengah taman di mana tersedia bangku panjang untuk duduk menikmati hawa
segar. Tentu saja kami tidak berani berkeras hendak mengantarnya ke dalam kamar. Dia
berpesan agar para tamu yang lain tidak boleh menginjak taman bunga, otomatis hamba
juga menyampaikannya kepada para tamu sekalian, jangan sampai menginjakkan kaki
selangkah-pun ke dalam taman bunga. Kalau melihat dari dandanan kalian, tentunya
termasuk tokoh-tokoh dunia Kangouw juga. Seandainya kalian tetap ingin masuk ke dalam
taman bunga, sudah pasti hamba tidak berani melarang. Persoalan aneh di dunia
Kangouw terlalu banyak, hamba hanya bisa berkata sampai sekian saja." selesai berkata,
dia membungkukkan tubuhnya menghormat dalam-dalam sekali lagi kemudian baru
mengundurkan diri. Si pengemis cilik memperdengarkan suara dengusan dingin dari hidungnya. Perlahanlahan
dia berjalan menuju jendela kemudian membuka lebar-lebar bagian yang
menghadap taman bunga, dia melongokkan kepalanya. Di bawah cahaya rembulan yang
terang, pemandangan di sekitar dapat terlihat dengan jelas. Di sekelilingnya terdapat
tembok pembatas, hanya bagian tengahnya yang merupakan pintu masuk. Di pusat taman
itu terdapat sebuah gunung buatan, di kiri kanannya terdapat dua buah tempat
peristirahatan berbentuk ramah tetapi tanpa tembok atau pagar yang mengelilinginya.
Samar-samar terlihat beberapa buah ruangan kamar di dua sudut yang berhadapan.
Serahgkum angin malam menghembus bau bunga yang harum dan segar. Di dalam taman
suasana hening sekali, tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan.
Setelah memperhatikan beberapa saat, si pengemis cilik menggaruk-garukkan
kepalanya lalu membalikkan tubuh dan berjalan kembali ke tempat duduknya semula. Dia
mendongakkan kepalanya dan merenung sekian lama. Tiba-tiba tampak dia menggebrak
meja dan bicara seorang diri. j, "Pasti mereka! Tidak salah lagi, pasti mereka"!"
Mendengar gumaman si pengemis cilik, tampaknya Ceng Lam Hong, Yang Jen Ping
juga ikut tersadar, mulut mereka mengeluarkan suara desahan serentak. Hal ini membuat
Ban Jin Bu, Goan Yu Liong dan Sam Po Hwesio segera menatap diri Cu Cia lekat-lekat,
kemudian serentak mereka menoleh kembali kepada Ceng Lam Hong dan Yang Jen Ping
dengan pandangan bertanya. Sam Po Hwesio menuding ke arah si pengemis cilik sambil menggerutu.
"Buat apa si tukang minta-minta ini berlagak yang bukan-bukan" Aku justru tidak
percaya kalau kau lebih cerdas dari pada aku si Hwesio ini. Kalau kau masih sok bangga,
jangan salahkan kalau aku akan membuka mulut mengomel!"
Si pengemis cilik tertawa lebar. "Hwesio sembahyang Buddha membaca kitab suci setiap hari, mana boleh buka mulut
selalu memaki orang" Orang sepertimu ini, sejak dulu-dulu sudah tidak pantas
menggunduli rambut dan menjadi murid Buddha."
"Dalam kitab suci ada disebutkan: "Ada tiada sama saja." aku justru tidak percaya, kalau
tidak makan daging anjing atau minum arak, pasti bisa naik ke surga menjadi dewa. Kau
tidak usah berlagak bodoh memutar omongans ke sana ke mari. Siapa sebetulnya yang
kau maksudkan" Kalau ka\i masih membiarkan aku dalam kendi arak, mungkin aku benarbenar
bisa terbang ke langit menjadi dewa!"
Si pengemis cilik tampaknya memang sengaja ingin menggodanya. Kembali dia tertawa
lebar menanggapi ucapan rekannya. "Lebih baik kau makan dan minum dulu. Nanti aku pasti akan memberitahukan
kepadamu. Kalau kau sampai mati, si pengemis cilik juga tidak bergairah hidup seorang
diri di dunia ini. Kita berdua sahabat sejati ini hidup mati bersama. Kalau kau memang
tidak takut, malam ini kita sama-sama pergi menyelidiki rahasianya. Apabila tebakan si
pengemis cilik ini tidak salah, mungkin kita malah bisa bergandengan tangan naik ke atas
surga." Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong tahu benar kalau si pengemis cilik ini orangnya
pemberani dan berjiwa besar, hatinya juga mulai sekali.
Walaupun tampangnya tersenyum simpul, tetapi kata-katanya serius. Mereka segera
tahu bahwa hatinya sedang memikirkan sesuatu. Dia mengatakan ada kemungkinan naik
ke surga bersama-sama, berarti urusan ini cukup berbahaya. Apa lagi setelah melihat
wajah Ceng Lam Hong dan Yang Jen Ping yang juga berubah kelam serta menatap cawan
arak dengan mata menerawang. Sikap yang diam mencekam ini menimbulkan suasana
yang bukan main tegangnya. Goan Yu Liong yang usianya paling muda menjadi panik, matanya menatap kepada si
pengemis cilik dengan sinar mengandung permohonan.
"Koko pengemis, siapa yang kau katakan tinggal dalam taman itu, bolehkah kau
memberitahukannya kepada aku" Kalau memang mereka tidak ada hubungannya dengan
kita, buat apa kau menempuh bahaya sedemikian besar?"
"Di depan mata sekarang ini golongan sesat bermunculan di mana-mana. Mungkinkah
tamu yang tinggal di dalam taman merupakan tokoh-tokoh dari Si Yu atau Lam Hay?" Ban
Jin Bu ikut bertanya. Kedua orang itu secara berturut-turut m engajukan pertanyaan. Si pengemis cilik terus
meneguk araknya sambil tersenyum namun tidak memberikan jawaban. Kadang-kadang
dia didesak sedemikian rupa sehingga akhirnya dia menjawab dengan nada enggan.
"Kalian sabarlah sebentar, sebelum kentungan kedua nanti aku akan mengajak kalian
ke sana." Saat ini sudah menjelang tengah malam, tetapi di dalam ruangan terdapat dua batang
lilin besar seperti lengan manusia dan menerbitkan sinar terang. Keadaan memang tidak
gelap, tetapi udaranya justru terasa pengap sampai bernafaspun terasa sesak.
Tiba-tiba terdengar si pengemis cilik tertawa dingin satu kali.
"Sahabat di luar berdiri terus tentu bisa kedinginan, kalau memang berminat, mengapa
tidak masuk saja ke dalam dan ikut ngobrol bersama" Mengendap-endap di luar jendela
orang dan mencuri dengar pembicaraan orang lain, benar-benar perbuatan yang tidak
sopan serta melanggar peraturan Bulim!"
Baru saja ucapannya selesai, rekannya yang lain segera menolehkan wajahnya
menghadap jendela. Ternyata memang seperti ada bayangan yang berkelebat di sana.
Ban Jin Bu terkejut setengah mati, dia mendorong meja dan bangkit berdiri. Baru saja dia
ingin menerjang keluar untuk menangkap orang itu, tiba-tiba terdengar suara tertawa
yang dingin menyusup ke dalam telinga. Dalam waktu yang bersamaan, si pengemis cilik
mengulurkan tangan menahan dirinya. Bibirnya tersenyum lebar.
"Percuma kau keluar, orangnya sudah lari!"
Mendengar kata-katanya, Goan Yu Liong kesal sekali. Dengan menahan rasa
mendongkol dalam hatinya, dia terpaksa duduk kembali.
Sam Po Hwesio mengangkat cawannya terus menerus dan secara berturut-turut dia
telah menghabiskan arak sebanyak dua belas kati. Tiba-tiba wajahnya menjadi serius, dia
meletakkan cawannya di atas meja dan bertanya kepada Cu Cia.
"Hei, tukang minta-minta"! Apakah orang-orang yang kau katakan tinggal di dalam
taman itu justru tiga bidadari yang menunggang elang raksasa dua malam yang lalu?"
Si pengemis cilik menganggukkan kepalanya.
"Tidak salah, masih ada lagi si laki-laki kasar dan pelajar berwajah putih. Apabila
semuanya digabungkan, jumlahnya tepat lima orang. Satupun tidak kurang dari jumlah
hidangan yang mereka pesan. Sedangkan empat puluh kati daging mentah, tentu saja
makanan si elang raksasa itu. Si pengemis cilik sendiri tahu bahwa penyelidikan kita nanti
memang sangat berbahaya. Si laki-laki kasar dan rekannya yang pelajar itu sudah cukup
repot dihadapi. Sedangkan kedua gadis cilik yang berkepang itu, apabila mereka ingin
meringkus kami, tentu mudah sekali seperti membalikkan telapak tangan sendiri. Dan
gadis berpakaian putih yang duduk di punggung elang raksasa itu adalah majikan mereka,
tentu saja ilmu silatnya lebih mengerikan lagi. Kalau bukan dewa pasti siluman pedang.
Kepergian kita kali ini mungkin benar-benar tidak sulit apabila ingin langsung naik ke atas
surga." Mendengar keterangannya, beberapa orang yang lain juga ikut tersadar. Di dalam hati
mereka masing-masing seakan terselip sesuatu perasaan yang tidak mereka mengerti.
Entah rasa takut, tegang atau penasaran. Rasanya ingin sekali melihat apakah mereka
benar-benar tamu yang dimaksudkan, namun rasanya tidak berani. Tetapi seluruh anggota
badan seperti dihinggapi penyakit gatal-gatal. Duduk salah berdiripun salah.
Rasanya lama sekali waktu berlalu, akhirnya di luar jendela terdengar suara kentungan
sebanyak tiga kali. Si pengemis cilik menekuk pinggangnya yang terasa pegal, setelah itu
dia mendorong meja dan bangkit berdiri.
"Baiklah, kita sudah boleh pergi sekarang."
Biar bagaimana usia Ceng Lam Hong lebih tua dari yang lainnya. Dalam segala hal
pertimbangannya lebih matang. Mendengar ucapannya, sepasang alisnya yang indah
langsung mengerut. "Tengah malam begini mengendap-endap ke ruangan orang lain menyelidiki kehidupan
pribadi orang, bukan hal yang dilakukan oleh kita dari golongan lurus. Menurut pendapatku,
sebaiknya kalian kembali saja ke kamar untuk beristirahat. Jangan suka ikut campur
urusan orang lain atau mencari kesulitan bagi diri sendiri."
Sam Po Hwesio merekahkan secercah tawa yang lebar. Baru saja dia ingin mengatakan
sesuatu, tiba-tiba sepasang alisnya terjungkit ke atas dan indera pendengarannya
dipertajam. Rupanya dari tengah ruangan terdengar suara langkah kaki yang lirih
mendatangi. Tanpa terasa dia mengeluarkan suara batuk kecil kemudian membungkam kembali.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rekannya yang lain tahu bahwa suara batuknya tadi merupakan isyarat agar mereka
jangan bersuara. Kemudian dari luar halaman terdengar suara yang nyaring dan lantang,
"Pendekar pedang tingkat Lima dari Tiong-goan, Tan Ki sengaja datang untuk mengakui
kesalahan!" Tengah malam suasana sunyi sekali, suara itu menjadi semakin jelas terdengar.
Keenam orang yang ada di dalam ruangan besar sama-sama terperanjat mendengar suara
itu. Mereka benar-benar merasa sangat terkejut.
Hitung-hitung si pengemis cilik yang lebih cekatan dan cepat tanggap. Dia segera
bergerak membuka jendela lalu mengintip keluar. Begitu pandangannya dipusatkan, dia
melihat seseorang berdiri di bawah cahaya mentari yang dingin, siapa lagi kalau bukan
Tan Ki" Ceng Lam Hong sampai merasa terkejut sekaligus gembira melihatnya. Yang
membuatnya terkejut adalah kesalahan yang tadi diakui oleh Tan Ki. Dia tidak mengerti
putra kesayangannya berbuat kesalahan apa, sehingga tengah malam datang ke tempat
orang mengaku dosa. Yang membuatnya gembira justru dapat bertemu dengan putranya
meskipun telah menempuh perjalanan sejauh ini. Baru saja dia melangkah maju dengan
maksud memanggilnya, tiba-tiba terdengar suara Cu Cia yang berat, "Pek-bo jangan
bersuara dulu. Biar kita dengar dulu apa maksud ucapan Ki-heng tadi. Kalau sampai
tampak keadaan membahayakan, kita baru memanggil juga belum terlambat!"
Ceng Lam Hong merenung sejenak, dia merasa apa yang dikatakan si pengemis cilik
masuk akal juga. Oleh karena itu, dia segera membatalkan niatnya dan memperhatikan
gerak-gerik Tan Ki secara diam-diam. Sementara itu dia juga sudah mengerahkan tenaga
dalamnya, asalkan ada sesuatu yang kira-kira membahayakan diri putra kesayangannya,
dia akan segera menerjang keluar untuk memberikan bantuan.
Tampak pintu ruangan seberang di dalam taman terbuka, keluar dua orang laki-laki dan
berdiri di depan Tan Ki. BAGIAN XL Si pengemis cilik segera memusatkan perhatiannya. Ternyata tebakannya memang
tidak salah. Kedua orang itu tidak lain dari laki-laki kasar yang menimpuk Goan Yu Liong
dengan senjata rahasia serta si pelajar berwajah putih.
Meskipun dalam hati anak muda ini memang bimbang terhadap ketiga gadis yang
seperti bidadari dari khayangan, kadang-kadang terasa seperti kawan tetapi kadangkadang
juga seperti lawan. Tetapi melihat Tan Ki yang muncul secara tidak terduga-duga,
bahkan mengucapkan kata-kata bahwa kedatangannya untuk mengakui kesalahan, tanpa
dapat ditahan lagi dia merasa terkesiap dan heran. Untuk sesaat dia malah jadi termangumangu.
Tampak kedua laki-laki itu berjalan keluar lalu berhenti di depan Tan Ki. Perasaan si
pengemis cilik semakin cemas dan panik. Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung
mengeluarkan suara bentakan, tubuhnya menerjang ke depan melesat keluar lewat
jendela. Melihat tindakannya, yang lainnya segera mengikuti. Di bawah cahaya rembulan terlihat
bayangan tubuh berkelebat, suara angin berdesir, boleh dibilang dalam waktu yang
bersamaan, di samping Tan Ki telah berdiri lima enam orang. Sikap masing-masing serius
sekali, mereka seakan ingin melindungi Tan Ki dari kiri kanan.
Tampaknya Tan Ki sendiri merasa heran dan terkejut atas kemunculan ibu serta si
pengemis cilik. Tetapi sesaat kemudian tampangnya sudah pulih kembali. Hanya tampak
sepasang alisnya yang bertaut dengan erat dan wajahnya kusut seperti orang yang habis
bekerja keras. Mungkin juga dalam beberapa hari ini dia tidak dapat tidur dengan
nyenyak. Sepasang matanya merah membengkak. Melihat kemunculan beberapa orang
itu, seolah-olah banyak sekali kata-kata yang ingin diutarakannya, tetapi setelah bibirnya
bergerak-gerak dua kali, tiba-tiba dia tertawa sumbang. Mulutnya malah membungkam
namun sikapnya tampak kurang wajar.
Ceng Lam Hong tertawa sendu. "Aku kira kau bertekad untuk membalas dendam sehingga mengikuti permintaan Oey
Kang bertemu di Pek Hun Ceng, siapa nyana kita justru bisa bertemu di tempat ini?"
berkata sampai bagian yang sedih, tanpa dapat ditahan lagi dua bulir air mata jatuh
membasahi pipinya. Tan Ki memaksakan dirinya tersenyum. Matanya mengalih kepada Cu Cia.
"Yang ini mungkin murid utama Cian Locianpwe yang mendapat julukan si penge mis
cilik Cu-heng?" Cu Cia menggaruk-garuk kepalanya sambil tertawa lebar.
"Bagus sekali, bagus sekali. Karena pertandingan di atas panggung, hati si pengemis
cilik jadi kagum bukan main terhadap dirimu, bahkan beberapa sahabat ini ikut-ikutan rela
menjadi pendukung yang paling setia." saat itu juga dia memperkenalkan Yang Jen Ping,
Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong bertiga kepada Tan Ki.
Tan Ki langsung menjura ke kiri kanan kemudian dia baru berkata, "Kesalahan tangan
ketika pertandingan, benar-benar bukan suatu kesengajaan. Di sini Siaute menyatakan
menyesal dan mohon maaf." selesai berkata, dia segera membungkukkan tubuhnya
rendah-rendah. Sam Po Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul. Baru saja dia ingin menanyakan
maksud kedatangan Tan Ki, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin dari si pelajar
berwajah putih. "Apakah kau anak muda yang memukul Liok Giok sehingga terbuka?"
"Tidak salah. Memang Cayhelah orangnya. Harap Saudara berdua masuk ke dalam dan
laporkan kepada majikan kalian bahwa Pendekar tingkat lima dari Tionggoan, Tan Ki
mohon dapat bertemu." Pelajar yang tampan itu mendonggakkan wajahnya menatap warna langit.
"Saat ini baru memasuki kentungan pertama, majikan kami sedang berlatih ilmu.
Mungkin memerlukan waktu kurang lebih satu kentungan lagi, baru selesai. Kau boleh
pergi dulu ke tempat lain dan kembali lagi pada kentungan ketiga nanti."
Mendengar kata-katanya, sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas,
tampaknya dia mulai merasa kesal. Oleh karena itu dia segera menyahut dengan suara
lantang. "Yang suruh aku datang kalian, sekarang yang mencari alasan menunda-nunda waktu
kalian juga. Apakah kalian kira aku ini manusia yang mudah dipermainkan" Disuruh pergi
langsung pergi, disuruh datang cepat-cepat datang" Melihat tingkah laku kalian lyang
menyebalkan ini, entah apa sebenarnya yang terkandung dalam hati kalian?"
Wajah si laki-laki bercambang perlahan-lahan mulai berubah.
"Buat apa kau berteriak keras-keras, apakah kau sengaja ingin mengganggu majikan
kami yang sedang melatih ilmu" Kalau kau tidak senang, boleh keluarkan senjatamu dan
kita berdua berkelahi sebanyak tiga ratus jurus dan lihat siapa di antara kita yang lebih
unggul!" Ceng Lam Hong melihat hawa kemarahan mulai berkobar di antara keduanya. Mungkin
setiap saat bisa meledak menjadi pertikaian besar, cepat-cepat dia menarik tangan Tan Ki
dan tersenyum lembut. "Anak Ki, jangan berkeras sehingga timbul masalah dengan orang. Lebih baik kita ikuti
saja kata-katanya. Sekarang kita kembali dulu ke ruangan yang kita sewa, nanti
kentungan ketiga baru kita kembali lagi."
Tan Ki memandang si laki-laki kasar dengan tatapan marah. Dia seakan tidak dapat
menahan kegeraman di dalam hatinya, tetapi dalam hatinya ada sesuatu yang
dipertimbangkan sehingga akhirnya dia cuma menarik nafas panjang. Setelah
menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras, dia mengikuti Ceng Lam Hong dari
belakang menuju ke ruangan yang disewa oleh rombongan rekan-rekannya. Telinganya
menangkap suara tertawa dingin yang terpancar dari belakang punggungnya. Saking
kesalnya dia sampai menggertakkan gigi erat-erat dan hampir saja air matanya mengalir
keluar. Beberapa saat kemudian, mereka sudah duduk di dalam ruangan tamu. Usia Goan Yu
Liong paling muda dan dalam segala hal selalu tergesa-gesa. Cepat-cepat dia menyatakan
kehendak hati mereka yang ingin mengangkat persaudaraan dengan Tan Ki. Siapa nyana
anak muda itu menggelengkan kepalanya sambil tertawa getir.
"Setelah kentungan ketiga nanti, selembar nyawaku ini entah masih dapat
dipertahankan atau tidak, masih belum jelas. Perasaan adik Liong yang tulus, Siaute hanya
dapat memendamnya dalam-dalam di hati."
Si pengemis cilik melihat tampang Tan Ki muram sekali, tetapi bukan seperti sengaja
dibuat-buat, diam-diam hatinya jadi terkesiap. Tetapi di luar dia masih berlagak santai
seakan tidak ada apa-apa. "Kata-kata Ki-heng ini benar-benar membuat si pengemis cilik jadi tidak mengerti.
Keadaan Ki-heng sekarang kan baik-baik saja, mengapa mengucapkan kata-kata yang
bukan-bukan seperti tadi?" Mata Tan Ki perlahan-lahan mengedar ke beberapa orang di dalam ruangan tersebut.
Dia melihat wajah mereka menunjukkan rasa ingin tahu serta penasaran apa sebetulnya
yang terkandung dalam ucapannya barusan. Tanpa dapat ditahan lagi dia menarik nafas
panjang dan menuturkan apa yang dialaminya.
*** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
Rupanya si pengemis sakti Cian Cong sebagai panitia penyelenggara Bulim Tayhwe
memang paling sulit disuruh duduk berdiam diri. Sejak pagi dia sudah duduk di belakang
meja dan tidak pernah bergerak sedikitpun. Hal ini membuat seluruh tubuhnya menjadi
tidak enak seperti orang yang dipenjara saja. Melihat Tan Ki secara berturut-turut berhasil
menjalankan enam kali pertandingan dengan angka lima menang satu kali seri sehingga
akhirnya mendapat gelar Pendekar pedang tingkat lima, hatinya merasa terhibur juga.
Siapa tahu ketika menjelang malam, pertandingan akan dimulai lagi, bayangan anak
muda itu malah tidak kelihatan. Tanpa dapat ditahan lagi, baik Cian Cong maupun Yibun Siu San jadi kelabakan
setengah mati. Begitu paniknya kedua orangtua itu sampai keringat dingin bercucuran.
Akhirnya Cian Cong terpaksa meninggalkan panggung pertandingan untuk mencari Tan Ki.
Setelah ubek-ubekan kurang lebih dua kentungan lamanya, akhirnya Cian Cong
menemukan tulisan atau pesan yang ditinggalkan oleh Cu Cia.
Kali ini, Cian Cong benar-benar memaki-maki muridnya sendiri sebagai manusia paling
goblok di dunia ini. Biarpun tokoh tua ini terkenal panjang akalnya, namun saat itu dia
juga kebingungan. Sepasang alisnya sampai mengerut terus menerus. Hatinya menyimpan
kasih sayang yang besar terhadap Tan Ki. Dia berharap anak muda itu akan menjadi
seekor naga sakti di dunia Kangouw dan merebut kedudukan Bulim Bengcu. Oleh karena
itu, diam-diam dia berpesan kepada Cu Cia dan Sam Po Hwesio agar mengintil di belakang
Tan Ki dan memperhatikan gerak-geriknya. Di satu pihak untuk mengawasi, di lain pihak
juga untuk melindungi. Tetapi justru pada hari pertama diadakan pertandingan silat,
kedua orang itu malah kehilangan sasarannya.
Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke Pek Hun
Ceng seorang diri. Tokoh tua ini memiliki ilmu silat yang tinggi serta bernyali besar.
Selama malang melintang di dunia Kangouw selama tujuh puluhan tahun, belum pernah
dia mendapat tandingannya. Meskipun dia sadar bahwa Oey Kang disebut sebagai Raja
iblis nomor satu di dunia serta memiliki berbagai macam kepandaian, termasuk ilnri racun.
Juga ilmu Mo Hun Cap Pek-cao atau Delapan Jurus Meraba Awan, yang membuat
namanya terkenal di dunia persilatan. Dengan mengandalkan sepasang telapak tangannya
serta tenaga dalamnya yang sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan, dia juga tidak
memandang sebelah mata terhadap lawannya itu. Cepat-cepat dia meninggalkan sebaris
tulisan untuk Yibun Siu San kemudian berangkat menuju Pek Hun Ceng.
Ilmu ginkang si pengemis sakti ini tak perlu ditanyakan lagi sampai di mana
ketinggiannya. Mendaki gunung, melintasi bukit bagai tanah datar saja. Gerak tubuhnya
laksana seekor burung besar yang terbang pesat. Pada hari kedua dia sudah sampai di Pek
To San. Dia sudah pernah datang ke Pek Hun Ceng satu kali. Jalanan di sekitar tempat ini
telah dikenalnya dengan baik. Dengan mengambil arah memutar lewat hutan kecil, dia
menerobos masuk ke dalam perkampungan tersebut.
Begitu pandangan matanya beredar, dia melihat cahaya pedang berkilauan dari arah
padang rumput kecil di sebelah kiri. Ada dua orang yang sedang bertarung sengit di sana.
Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata kedua orang itu bukan Oey Kang dan Tan
Ki. Malah si perempuan yang rela mengorbankan diri bagi Tan Ki, yakni Liang Fu Yong dan
seorang laki-laki berpakaian putih yang tampangnya seperti mayat hidup dan kurusnya
seperti tengkorak kering. Liu Mei Ling justru berdiri di tepian dan memandang jalannya
pertarungan sambil berdiri dengan pedang siap di tangan.
Si pengemis sakti Cian Gong pernah dengar bahwa pada malam pengantinnya, Tan Ki
pernah bertarung melawan empat orang Hu-hoat dari perkumpulan Pek Kut Kau asal Si
Yu. Melihat jalannya pertarungan ini, dia menjadi terperanjat. Diam-diam dia berpikir di
dalam hati: "Tokoh-tokoh sesat dari Si Yu mengapa bisa tiba-tiba muncul di tempat ini?"
Selagi pikirannya masih tergerak, tiba-tiba dia mengeluarkan suara bentakan,
tangannya terangkat ke atas dan timbullah serangkum angin kencang dan dengan keras
dia memisahkan kedua orang yang sedang bertarung dengan sengit itu.
Tampak keringat sudah membasahi seluruh tubuh Liang Fu Yong. Rupanya pertarungan
ini sudah menguras tenaganya habis-habisan. Sedangkan si mayat hidup berpakaian putih
segera mencelat ke belakang. Sepasang matanya yang menyeramkan menatap Cian Cong
lekat-lekat, mulutnya tidak mengucapkan sepatah katapun. Entah apa yang terkandung
dalam hatinya. Cian Cong tersenyum lembut. "Kalian dua bocah perempuan ini, baik-baik di Tok Liong Hong kok tiba-tiba bisa muncul
di perkampungan setan ini?" Liu Mei Ling mengedip-ngedipkan matanya yang besar. Bibirnya tersenyum simpul.
"Abang Ki juga datang ke mari, tentu saja kami segera menyusul."
. Mendengar ucapannya yang tidak berujung pangkal, si pengemis sakti Cian Cong jadi
kebingungan. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya jadi berkerut-kerut. Melihat
keadaan ini, Liang Fu Yong segera tampil ke depan menjelaskan"
"Tadinya kami ingin mencari Tan Ki merundingkan suatu hal, tanpa sengaja
menemukan pesan yang ditinggalkan murid Locianpwe?"
Sepasang mata Cian Cong langsung mendelik, dia berkata dengan nada dingin, "Lalu
kalian takut Tan Ki akan menemui kesulitan sehingga cepat-cepat menyusul ke mari
bukan?" orangtua ini selamanya paling suka bergaul dengan orang muda, candanya selalu
terdengar dan hampir tidak pernah benar-benar marah. Tetapi nada ucapannya kali ini
begitu datar dan dingin sehingga terasa seperti menyalahkan kedua gadis itu. Hati Liang
Fu Yong dan Mei Ling jadi ciut mendengarnya.
Tiba-tiba terdengar Cian Cong menarik nafas panjang dan wajahnya pulih kembali
seperti biasa. "Aih, sebetulnya dalam hal ini kalian juga tidak dapat disalahkan. Yang satu
mencemaskan suaminya, yang satu lagi mengkhawatirkan kekasih hatinya. Sekarang
kalian sudah datang ke perkampungan setan ini, si pengemis tua terpaksa berusaha
sekuat kemampuan untuk mengajak kalian keluar dari tempat ini!"
Kata-katanya mengandung makna yang dalam. Hati Mei Ling yang polos masih tidak
merasakan apa-apa. Liang Fu Yong yang mendengarnya justru menjadi merah padam
wajahnya dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Melihat sikapnya yang tersipu-sipu seperti gadis belasan tahun, si pengemis sakti Cian
Cong seperti teringat akan sesuatu hal. Dia mendongakkan wajahnya dan tertawa
terbahak-bahak. "Si hidung kerbau Tian Bu Cu tempo hari menyuruh kau menyampaikan sepucuk surat,
si pengemis sakti sudah membacanya. Melihat sikapmu akhir-akhir ini yang terus berusaha
mengubah diri, biar masa lampau kau terkenal jahat dan dikatakan segala macam yang
buruk, si pengemis sakti tetap akan membantumu sekuat tenaga. Tetapi jangan sampai
telinga tua ini mendengar lagi kisah yang tidak menyenangkan tentang dirimu. Perlu kau
ketahui bahwa si pengemis tua paling menentang segala macam kejahatan. Sepasang
telapak besi ini tidak pernah membiarkan seorang penjahatpun yang berhasil meloloskan
diri?" Belum lagi ucapannya selesai, terdengar suara Krok! Yang panjang dan mengerikan
seperti raungan setan. Manusia berpakaian putih itu tiba-tiba menghentakkan sepasang
kakinya dan mencelat ke udara sejauh dua depa, sepasang tangannya tegak lurus ke
depan dan dengan membawa serangkum angin" yang dingin dia menerjang ke arah
pengemis sakti Cian Cong. Sepasang alis Cian Cong langsung terjungkit ke atas. Mulutnya memperdengarkan
suara tertawa yang dingin. "Lagakmu bisa benar, sepasang tangan pakai direntangkan ke depan dan jalanpun
meloncat-loncat seperti mayat beneran. Tapi sayang si pengemis tua selamanya tidak
percaya setan atau hantu gentayangan!" sembari berbicara, lengannya bergerak dan
sebuah pukulan yang mengandung kekuatan dahsyat langsung dihantamkan ke depan.
Manusia berpakaian putih itu melihat serangan Cian Cong demikian hebat dan
mengandung tenaga dalam yang tidak terkirakan, dirinya sadar bahwa tenaganya sendiri
tidak akan sanggup menyambut serangan tersebut, tiba-tiba dia mengeluarkan suara
pekikan yang aneh, di atas udara tubuhnya berjungkir balik kemudian menghindar ke
samping. Dengan gerakan yang ringan, dia sudah berdiri kembali di tempatnya semula.
Namun tindakannya itu hanya sekejap mata, mendadak tubuhnya mencelat lagi ke udara
dan kembali menerjang ke arah Cian Cong.
Si pengemis sakti Cian Cong tertawa terbahak-bahak. Tangannya terulur dan segulung
angin kencang langsung menerpa ke depan. Si manusia berpakaian putih langsung
terdesak mundur ke belakang. Manusia aneh berpakaian putih itu merupakan orang yang wataknya keras kepala.
Melihat terjangannya dua kali tidak membawa hasil, dia menjadi marah sekali. Mulutnya
terus-terusan mengeluarkan suara pekikan yang mendirikan bulu roma dan terjangannya
juga semakin kalap. Dengan demikian, serangan yang dilancarkan oleh si pengemis sakti
Cian Cong semakin lama juga semakin gencar.
Kedua belah pihak terus menerjang dan menyerang. Sampai kurang lebih sepeminum
teh, mendadak terdengar suara siulan yang panjang, nadanya lebih mirip lolongan srigala
di malam hari. Begitu menusuk telinga dan tidak enak didengar. Diam-diam hati si
pengemis sakti Cian Cong jadi tergetar. Mendadak dia mengeluarkan suara bentakan
nyaring dan melancarkan dua buah serangan yang hebat ke arah tubuh manusia
berpakaian putih yang sedang menerjang datang ke arahnya.
Serangannya kali ini, secara berturut-turut dilancarkan sebanyak dua kali. Jarak
waktunya hanya terpaut sekian detik. Sebelumnya si pengemis sakti sudah menghimpun


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hawa murninya kemudian menyalurkan tenaga dalam ke bagian sepasang lengan. Begitu
dilancarkan, serangannya bagai ombak yang bergulung-gulung kemudian berkumpul
menjadi satu lalu melanda dahsyat ke depan.
Dalam keadaan panik, tampaknya si manusia berpakaian putih tidak menyangka pihak
lawan sudah mengerahkan tenaga dalam dan secara mendadak melancarkan dua buah
serangan berturut-turut. Ilmu lwekang yang mengandung daya kekerasan ini, apabila
diserang oleh pihak lawan, bagaimanapun harus bisa dihindarkan. Kalau tidak, bisa
muntah darah dan mati seketika. Si manusia berpakaian putih juga bukan tokoh yang
tidak tahu bahaya. Dengan rasa terkejut, dia menggerakkan sepasang lengannya untuk
menjaga keseimbangan tubuh sambil menarik nafas dalam-dalam. Dengan berusaha
segenap kemampuan dia menarik kembali tubuhnya yang sedang meluncur ke depan dan
bergerak mundur sejauh dua depaan. Cian Cong tertawa dingin, Hawa murninya dikerahkan dan tenaga dalamnya ditambah,
serangannya yang sudah hebat bukan main sekarang malah jadi berlipat ganda. Tubuh si
manusia berpakaian putih sedang melayang di udara, meskipun cara menghindarkan
dirinya sudah termasuk cepat tetapi serangan Cian Cong lebih cepat lagi mengejar
gerakan tubuhnya. Tahu-tahu dia merasa bagian punggungnya terhantam oleh tenaga
yang kuat, tubuhnya langsung bergetar. Setelah berjungkir balik di udara sebanyak dua
kali berturut-turut, hawa murninya tidak dapat dihimpun lagi. Otomatis tubuhnya melorot
turun kemudian menghempas keras di atas tanah dengan menimbulkan suara berdebum
yang memekakkan telinga. Boleh dibilang tepat pada saat si manusia berpakaian putih terhempas di atas tanah
dalam keadaan terluka parah, terdengar suara angin berdesir serta kibaran pakaian. Di
atas padang rumput itu telah bertambah empat orang lainnya. Yang pertama-tama adalah
seorang laki-laki berjubah hitam longgar, matanya sipit mulutnya tebal serta lebar. Tinggi
badannya kurang lebih lima kaki. Sehingga kelihatan gemuk dan pendek dan tidak enak
dilihat. Di belakangnya mengikuti dua manusia berpakaian hitam dan seorang manusia
berpakaian putih yang kemungkinan rekan dari manusia berpakaian putih yang tergeletak
dalam keadaan terluka parah. Tetapi kalau dilihat dari sikap mereka, tampaknya si
manusia berjubah longgar itulah yang menjadi pimpinan rombongan itu.
Si pengemis sakti Cian Cong melihat gerakan tubuh si manusia berjubah hitam seperti
terbang. Sikapnya pun angkuh serta congkak. Diam-diam hatinya menjadi tercekat. Cepatcepat
dia menarik nafas panjang dan segera mengerahkan tenaga dalamnya. Dari luar
penampilannya tetap biasa-biasa saja malah menunjukkan tertawa yang santai.
"Apakah yang datang ini Kaucu dari Pek Kut Kau yang menguasai wilayah Si Yu?"
Manusia berjubah hitam langsung mende-ngus dingin satu kali.
"Kalau ditilik dari tampangmu, tampaknya kau ini si kepala pengemis Cian Cortg?"
Begitu bertemu, keduanya sudah tidak ada, yang mau mengalah. Ucapan mereka seperti
saling berdebat. Melihat keadaan ini, hati Liang Fu Yong dan Mei Ling langsung merasa
tidak tenang. Dua pasang mata yang indah sebentar-sebentar melihat ke arah Kaucu Pek
Kut Kau dan sejenak kemudian beralih lagi kepada si pengemis sakti Cian Cong. Suasana
sedemikian mencekam sehingga menimbulkan rasa tegang yang membuat sulit bernafas.
Terdengar si pengemis sakti Cian Cong tertawa terbahak-bahak.
"Semangka buntet tidak pergi ke tempat lain malah mengunjungi perkampungan setan
ini, apakah ingin menggaet si iblis tua agar mau bekerja sama dengan pihak kalian?"
Kaucu Pek Kut Kau menyahut dengan nada dingin, "Perkiraanmu hebat sekali,
sedikitpun tidak salah!" Cian Cong tertawa dingin. Mimik wajahnya langsung berubah menjadi serius.
"Kalian golongan sesat dari Si Yu ini menganggap diri sendiri memiliki beberapa jurus
ilmu yang lumayan langsung ingin naik ke atas langit. Segala kejahatan bersedia
dilakukan, tidak perduli akibat tindakan kalian ini berapa banyak orang yang akan menjadi
korban. Tidak perduli terjadi pertumpahan darah di mana-mana. Malah menggabungkan
diri dengan pihak Lam Hay yang kebusukannya tidak kalah dengan kalian. Segala bencana
yang akan terjadi semuanya berkat keserakahan hati kalian sendiri?"
Kaucu Pek Kut Kau tidak memberi kesempatan kepadanya untuk melanjutkan lebih
jauh, dia segera menukas ucapan orangtua itu.
"Bukan roda nasib di bumi saja yang berputar, tetapi roda takdir dari atas langit juga
sama saja. Wilayah Tionggoan demikian luas, memang merupakan daerah yang paling
cocok bagi kami pihak Kaucu Pek Kut Kau maupun Lam Hay untuk mengembangkan
sayapnya. Setiap manusia mencari kemajuan, bagaimanapun caranya. Di dalam
menunjukkan kekuasaan, tidak heran kalau ada yang harus berkorban. Kau kira dengan
mengandalkan beberapa orang jago dari Tionggoan yang kau kumpulkan akan berhasil
menghalangi niat kami dan pihak Lam Hay. Jangan bermimpi! Siapa yang tidak tahu
bahwa di dalam daerah Tionggoan sendiri setiap saat timbul pertikaian untuk mencari
nama dan saling berusaha untuk menguasai. Kau juga sudah tua, tidak perlu melelahkan
diri sendiri dengan urusan tetek bengek seperti ini. Bisa-bisa akibatnya malah kehilangan
selembar n.yawa!" Mendengar kata-katanya, Cian Cong kesal sekali sehingga rambutnya yang putih
berjingkrakan ke atas. Matanya mendelik lebar-lebar.
"Semangka buntet tidak perlu menjual omongan di sini. Hari ini di dalam
perkampungan setan kita boleh bertarung sepuas hati. Lihat siapa diantara kita yang lebih
unggul. Kalau bukan si pengemis sakti yang terkubur di dalam perkampungan ini maka
kaulah yang akan mati terkapar dengan seluruh tubuh bermandikan darah!"
Selesai berkata, dia mengeluarkan pedang bambu dari selipan ikat pinggangnya. Tetapi
dia tidak langsung melancarkan serangan. Malah menyurut mundur setengah langkah.
Sikapnya keren sekali, karena dia sendiri sudah melihat bahwa gerakan kaki Kaucu Pek Kut
Kau itu demikian ringan. Di kedua keningnya terlihat sedikit urat bertonjolan. Hal ini
membuktikan bahwa tenaga dalam orang itu sudah nencapai taraf yang tinggi sekali. Oleh
karena itu, dia tidak berani memandang ringan lawannya sama sekali. Dengan sikap
serius, dia berdiri menggenggam pedang bambunya dan mengeluarkan gaya tokoh kelas
tinggi yang siap menghadapi tantangan lawan.
Hati Kaucu Pek Kut Kau juga tergetar melihat sikap Cian Cong, wajahnya langsung
berubah kelam, sikap angkuhnya agak berkurang namun dia tetap berdiri dengan
sepasang tangan kosong. Untuk sekian lamanya kedua orang itu berdiri berhadap-hadapan. Pek Kut Kaucu mulai
kehabisan rasa sabarnya, kakinya maju satu langkah ke bagian pusat. Dengan jurus
Menerobos Awan Memetik Rembulan, dia melancarkan sebuah serangan yang diiringi
gelombang angin yang kencang. Sepasang kaki Cian Cong langsung menutul di atas
tanah, tubuhnya mencelat ke udara. Kaucu Pek Kut Kau tidak memberi kesempatan
baginya untuk membalas serangan. Jurus kesatu belum selesai dijalankan, dia sudah
melancarkan jurus kedua. Angin yang timbul dari totokan jari tangannya meluncur ke arah
pundak si pengemis sakti Cian Cong. Terdengar Cian Cong mengeluarkan suara tawa
terbahak-bahak. Telapak tangan kirinya melancarkan sebuah pukulan dan pedang bambu
di tangan kanannya digetarkan. Tam-pak bunga-bunga berjatuhan dalam bentuk
bayangan dari gerakan pedang bambunya. Dengan gencar meluncur ke arah dada Kaucu
Pek Kut Kau tersebut. Melihat serangan pukulannya yang dahsyat, Kaucu Pek Kut Kau itu tidak berani
memandang ringan. Bayangan yang timbul dari gerakan pedang bambunya demikian
hebat. Meskipun kedua serangan itu dilancarkan, pada saat yang berlainan, tetapi begitu
cepatnya sehingga seperti terjadi dalam waktu yang bersamaan. Hatinya langsung
tergetar melihat kenyataan itu. Diam-diam dia berpikir: "Tidak heran si pengemis tua ini
sombongnya setengah mati, ternyata dia benar-benar memiliki ilmu yang hebat. Baik
tenaga dalam maupun kecepatan gerakannya, kalau bukan orang sudah berlatih keras
selama puluhan tahun. Tentu tidak mungkin melancarkan dua buah serangan dalam waktu
yang hampir bersamaan." Tadinya Kaucu Pek Kut Kau lah yang melakukan serangan. Menghadapi serangan serta
kibasan pedangnya yang begitu dahsyat, mau tidak mau dia menyelamatkan dirinya
terlebih dahulu. Lengan kanannya ditarik secara mendadak dan dengan kekerasan dia
menyimpan kembali serangan yang telah dilancarkannya. Pergelangan tangannya
memutar. Dengan jurus Burung Kecil Mengais Pasir, kembali dia menangkis serangan
pedang Cian Cong. Sementara itu, tenaga dalam yang terhimpun dalam telapak kirinya
meluncur keluar menyerang si pengemis sakti dengan gencar.
Sulit sekali melukiskan bagaimana yang terjadi sebenarnya dalam pertarungan kedua
orang itu. Selain gerakannya yang terlalu cepat, setiap jurusnya mengandung perubahan
yang tidak terkirakan hebatnya. Tiba-tiba terdengar suara benturan tenaga dalam yang keras. Blam! Dua rangkum
kekuatan yang dahsyat mengakibatkan pasir dan batu-batu kerikil beterbangan di udara.
Cian Cong mendapat kesempatan lebih dulu memukul lawan, dengan demikian dia masih
dapat mempertahankan diri dan menang segaris. Tubuhnya hanya terhuyung-huyung
beberapa saat, sedangkan Kaucu Pek Kut Kau itu tidak berhasil meraih peluang sehingga
tubuhnya terdesak dan tergetar mundur sejauh tiga langkah.
Mendapat kesempatan menjaga keseimbangan tubuhnya terlebih dahulu, dia langsung
melancarkan serangan kembali. Pedang bambunya berkelebat dengan gencar sehingga
menimbulkan angin yang menderu-deru. Dalam waktu yang singkat dia telah menyerang
sebanyak empat belas jurus secara berturut-turut.
Apabila dua tokoh kelas tinggi bertarung, tidak boleh terjadi kesalahan sedikit juga.
Secara gencar Cian Cong melakukan penyerangan, semuanya mengandung jurus-jurus
yang keji. Dia seakan tidak memberi kesempatan bagi Kaucu Pek Kut Kau untuk membalas
menyerang. Saat ini manusia berjubah longgar itu hanya mendapat kesempatan
menangkis dan lambat laun keadaannya bisa tidak menguntungkan dirinya sendiri.
Tampak bayangan pedang bambu bergulung-gulung bagai badai juga cepat bagai kilat.
Sasarannya selalu bagian yang mematikan. Begitu terdesaknya Kaucu Pek Kut Kau sampai
terpaksa berputaran ke sana ke mari. Semakin lama semakin sulit dia menghadapi si
pengemis sakti yang benar-benar sakti ini. Tetapi biar bagaimana, manusia berjubah
longgar ini adalah ketua sebuah perkumpulan yang mempunyai wilayah kekuasaannya
sendiri. Walaupun mula-mula dia agak terdesak, tetapi berkat ilmunya yang tinggi dan
pengalaman bertempurnya yang sudah banyak, lambat laun dia dapat menguasai diri dan
mengikuti keadaan. Setelah dua puluh jurus lebih berlalu, kondisinya sudah kembali
seperti semula dan mulai dapat mengimbangi serangan yang dilakukan si pengemis sakti.
Gerakan Cian Cong semakin lama semakin cepat, serangannya semaian lama juga
semakin keji. Kelebatan tubuhnya bagai seekor naga perkasa yang mengibaskan ekor di
langit. Tetapi gaya si Kaucu Pek Kut Kau juga tidak kalah indahnya. Perubahan jurusjurusnya
selalu mengejutkan dan tidak terduga-duga.
Cian Cong melihat dia dapat menahan bahkan membalas serangannya dengan
kecepatan yang hebat. Ternyata orang ini benar-benar salah satu tokoh tertangguh yang
pernah dihadapinya seumur hidup. Oleh karena itu, dia segera mengeluarkan suara siulan
panjang. Tubuhnya berkelebat dan gerakannya pun berubah. Dia telah mengerahkan ilmu
Delapan jurus Pedang Pengejar Sukma yang membuat namanya menjulang tinggi di dunia
persilatan. Jangan dilihat kalau ilmu ini hanya terdiri dari delapan jurus, tetapi justru Cian
Cong menciptakannya dengan memeras otak selama sembilan tahun. Setiap
kekurangannya diperbaiki perlahan-lahan sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang
sempurna. Di dalamnya terkandung perubahan-perubahan yang dahsyat. Anehnya justru
delapan jurus ilmu pedang itu seperti berantai sehingga dapat dimainkan terus tanpa
berhenti. Dari jurus pertama sampai jurus kedelapan, lalu kembali lagi ke jurus pertama
tanpa disadari oleh lawannya. Cian Cong telah berkecimpung di dunia persilatan selama berpuluh-puluh tahun. Dia
jarang mengerahkan Delapan Jurus Pedang Pengejar Sukma, tetapi keadaan sekarang
tidak dapat disamakan. Musuh tangguh sudah di depan mata. Sedangkan sampai saat ini
Oey Kang masih belum kelihatan, mati hidup Tan Ki masih menjadi tanda tanya baginya.
Oleh karena itu, sejak semula dia sudah bertekad untuk melakukan pertarungan dengan
cara kilat. Setelah suara siulannya sirap, Delapan Jurus Pedang Pengejar Sukma pun segera
dikerahkan. Pedang bambunya menimbulkan angin dahsyat bagai topan yang melanda.
Tampak persis seperti badai di tengah lautan yang menghempas-hempas tinggi.
Pedangnya seperti berubah menjadi ribuan batang yang menusuk ke depan.
Kaucu Pek Kut Kau melihat gerakan tubuh si pengemis sakti ini tiba-tiba berubah.
Pedang bambunya menimbulkan bayangan berkotak-kotak yang tidak terhitung
jumlahnya. Diam-diam hatinya menjadi tergetar. Dia sendiri termasuk tokoh paling hebat
di wilayah Si Yu, ilmu yang dipelajarinya khusus menggunakah kecepatan mengincar yang
lambat. Begitu gerakan tubuh Cian Cong berubah, tiba-tiba saja di hadapan matanya bagai
muncul berpuluh-puluh Cian Cong yang lain dan juga pedangnya seperti berubah jadi tidak
terhitung banyaknya. Baru saja dia merasa keadaan kurang menguntungkan dirinya, tahutahu
orangnya sudah terkurung oleh bayangan pedang tersebut.
Dua manusia berpakaian hitam dan seorang lagi manusia berpakaian putih melihat
keadaan Kaucu mereka terjerumus dalam bahaya, kalau dibiarkan pasti akan celaka.
Mereka tidak memperdulikan lagi peraturan dunia Bulim. Setelah mengeluarkan suara
pekikan yang aneh, ketiga orang itu langsung menerjang ke depan. Masing-masing
meluncurkan sebuah serangan yang sama dahsyatnya, sehingga timbul angin yang
bergulung-gulung. Manusia berpakaian putih itu pernah kehilangan sebelah lengannya di tangan Tan Ki.
Tetapi gabungan ketiga orang itu benar-benar tidak dapat dianggap enteng. Cian Cong
merasa ada serangkum angin kencang yang menerpa dari samping tubuhnya. Dia segera
tahu bahwa dirinya dibokong oleh anak buah Kaucu Pek Kut Kau tersebut.
Cepat-cepat dia menarik kembali serangannya lalu mencelat mundur sekitar satu depa.
Lengan kanannya bergerak dan dikirimkannya sebuah pukulan ke samping. Blam!
Terdengar suara benturan yang keras. Hawa panas beterbangan menyelimuti bumi dan
pasir pun berhamburan ke mana-mana.
Reaksi si pengemis sakti Cian Cong cepat sekali, tetapi dia merasa tubuhnya bagai
diterpa oleh serangkum angin yang dingin. Diam-diam hatinya menjadi tercekat. Untung
saja tenaga dalamnya tinggi sekali, dan hanya sapuan angin yang melanda bagian depan
tubuhnya. Cepat-cepat dia mengatur pernafasannya dan segera dia merasa pulih kembali.
Tetapi untuk sesaat sempat juga dia tertegun. Meskipun wilayah Si Yu terkenal dengan
golongan sesatnya, tetapi ilmu silat yang mereka kuasai benar-benar tidak dapat
dipandang ringan. Begitu pikirannya tergerak, mulutnya langsung mengeluarkan suara tertawa terbahakbahak.
"Bagus sekali! Dasar sesat selamanya memang sesat. Kalian ingin main keroyok"
Silahkan turun tangan semuanya, si pengemis tua paling benci orang yang suka main
bokong dari belakang!" Pedang bambunya digetarkan, tampak beribu-ribu bayangan memenuhi seluruh
tubuhnya. Dengan kesal dia meluncurkan sebuah serangan yang dahsyat ke depan!
Kaucu Pek Kut Kau menggeser langkahnya ke kiri, tubuhnya memutar setengah
lingkaran, sambil menghindarkan diri dari serangan Cian Cong, mulutnya membentak.
"Menggelinding mundur semuanya! Siapa yang suruh kalian ikut campur. Cian
Locianpwe merupakan tokoh sakti di daerah Tiong-goan, hampir belum pernah dia
menemukan tandingan. Dengan mengandalkan beberapa jurus kasar yang aku ajarkan
kepada kalian, lalu kalian kira bisa memberikan bantuan yang berarti" Apakah kalian
benar-benar ingin menjatuhkan pamorku sebagai ketua sebuah partai?"
Suara Kaucu Pek Kut Kau itu tajam menusuk. Ketiga orang yang mendengarnya sampai
merasa ngilu ulu hati mereka, tetapi tidak ada seorangpun yang berani membantah.
Serentak mereka mengundurkan diri ke tempat semula.
Cian Cong tertawa terbahak-bahak. "Saudara memang tidak malu sebagai seorang ketua sebuah partai besar. Berani
bersikap terus terang dan sportif. Hari ini si pengemis sakti melupakan nyawa sendiri
menemani seorang kuncu bertarung mati-matian." tangannya kembali bergerak dan
menimbulkan serangkum angin yang dahsyat.
Kaucu Pek Kut Kau juga menghimpun hawa murni dalam tubuhnya. Secara berturutturut
dia melancarkan dua buah pukulan yang mengandung hawa dingin. Dalam sesaat
keduanya sudah mengerahkan hawa murni masing-masing. Terdengar suara angin yang
menderu-deru. Begitu hebatnya pertempuran itu sehingga dedaunan di atas pohon
bergetaran dan sebagian besar rontok jatuh di atas tanah.
Kaucu Pek Kut Kau langsung merasa aliran darahnya mengedar dengan cepat, matanya
seperti berkunang-kunang. Sedangkan si pengemis sakti Cian Cong juga sampai tergetar
mundur sejauh empat lima langkah. Watak si pengemis sakti Cian Cong selamanya terkenal tidak mau mengalah. Mana sudi
dia mengunjukkan kelemahan dirinya. Setelah keseimbangannya pulih kembali, tubuhnya
langsung mencelat ke udara. Tangan kiri mengirimkan serangan dengan gencar, tangan
kanannya yang menggenggam pedang bambu mengibas ke sana ke mari bagai orang
kalap. Angin yang timbul dari kelebatan pedangnya panas dan tajam menusuk.
Kaucu Pek Kut Kau mendengus satu kali, sepasang tangannya direntangkan ke depan
dan dengan keras dia menyambut serangan lawan.
Kali ini masih juga keras lawan keras. Tubuh Kaucu Pek Kut Kau tergetar oleh dorongan
tenaga Cian Cong yang hebat sehingga melayang sejauh satu depa lebih. Di udara
tubuhnya berjungkir balik dua kali dan kemudian terhempas jatuh di atas tanah.
Sedangkan Cian Cong juga termakan pukulan Kaucu Pek Kut Kau tersebut sehingga
tergetar mundur sejauh tujuh delapan langkah, akhirnya dia jatuh terduduk di"atas tanah.
Kedua orang itu bertarung dengan cara keras lawan keras. Setelah dua jurus berlalu,
wajah mereka sama-sama berubah hebat. Keringat bercucuran membuat tubuh mereka
basah kuyup. Padahal mereka sama-sama menyadari kalau bertarung dengan cara ini
terus menerus, pasti ada satu yang mati dan lainnya terluka parah. Siapapun tidak ada
yang keluar sebagai pemenang. Baik Liu Mei Ling maupun Liang Fu Yong dan anak buah Kaucu Pek Kut Kau itu sampai
termangu-mangu sekian lama menyaksikan pertarungan hebat yang sedang berlangsung.
Untuk beberapa saat tidak ada seorangpun yang sanggup membuka suara.
Saat ini tampak Cian Cong menumpu sepasang tangannya di atas tanah dan tubuhnya
kembali mencelat ke udara. Mulutnya malah mengeluarkan suara tertawa yang terbahakbahak.
"Kaucu Pek Kut Kau" hari ini kalau bukan kau yang mati, maka aku yang mampus.
Kalau kau memang hebat, terima lagi satu pukulan si pengemis tua ini!"
Justru suara tertawanya masih berkumandang, tangannya sudah meluncur keluar
mengirim sebuah pukulan lagi. Setelah bertarung sekian lama dengan si pengemis sakti Cian Cong, diam-diam nyali


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaucu Pek Kut Kau itu menjadi agak ciut. Pukulannya yang selama ini membuat dirinya
menjadi tokoh paling terkemuka di wilayah Si Yu ternyata tidak sanggup melukai si
pengemis tua itu. Hatinya sudah enggan mengadu kekerasan lagi, seandainya Cian Cong
tidak terlalu mendesak, dia juga enggan mengerahkan tenaga dalamnya menyambut
pukulan itu. Serangan yang dilancarkan si pengemis sakti Cian Cong kali ini mengandung seluruh
tenaga dalam yang ada pada dirinya. Akibatnya hawa amarah dalam dada Kaucu Pek Kut
Kau itu jadi meluap juga. Setelah mengeluarkan suara pekikan seperti setan di neraka, dia
juga mengulurkan tangannya dan menyambut pukulan itu dengan segenap kekuatan.
Liang Fu Yong, Liu Seng serta ketiga anak buah Kaucu Pek Kut Kau itu sama-sama
dapat melihat keadaan yang genting itu. Serentak mereka mengeluarkan teriakan, "Tidak
boleh"!" Ucapan tercetus, orangnyapun bergerak. Lima sosok bayangan secepat kilat menerjang
ke depan, tetapi tetap saja gerakan mereka agak lambat sedikit. Sekali lagi terdengar
suara ledakan yang memekakan telinga, kedua tenaga dalam kembali sudah berbenturan
di udara. Dalam gebrakan kali ini, keduanya mengerahkan hawa murni serta segenap tenaga
dalam yang ada. Kaucu Pek Kut Kau mendengus berat satu kali. Matanya berkunangkunang
dan telinganya berdengung. Isi perutnya seakan hampir termuntah keluar saking
hebatnya kena getaran pukulan si pengemis sakti Cian Cong. Tubuhnya terhuyung-huyung
dan memaksakan dirinya jangan sampai terjatuh di atas tanah. Matanya segera dialihkan.
Dia melihat Cian Cong memejamkan sepasang matanya, wajahnya pucat seperti selembar
kertas dan keringat sebesar-besar kacang kedelai terus menetes di keningnya.
Pada saat itu, para anak buah Kaucu Pek Kut Kau itu sudah terlebih dahulu sampai di
hadapan majikannya. Salah seorang di antaranya memperdengarkan suara tertawa dingin,
tahu-tahu tangannya terulur dan tubuhnya menerjang ke arah si pengemis sakti Cian
Cong. Untuk sesaat orangtua itu sampai lupa bahwa keadaannya sudah hampir seperti lampu
yang kehabisan minyak. Tenaga dalamnya hampir terkuras habis dan hawa murninya
buyar terlalu banyak. Tubuhnya terluka di bagian dalam. Melihat orang itu melancarkan
sebuah serangan, dia merasa dirinya masih sanggup menyambut pukulan itu. Tetapi
sayangnya sudah agak terlambat. Untung saja kesadarannya masih ada, pikirannya masih
belum kacau. Setelah melancarkan sebuah pukulan, tubuhnya terdorong oleh tenaga
pukulan lawan. Dia masih sempat menyurutkan sedikit tenaga yang dilancarkan dalam
telapak tangannya. Tetapi meskipun demikian, terhantam pukulan yang datangnya secara tidak terdugaduga
ini, tubuh si pengemis sakti sampai terpental sejauh dua depaan. Tiba-tiba dia
merasa kepalanya pening. Mulutnya membuka dan memuntahkan segumpal darah segar
kemudian baru terhempas jatuh di atas tanah.
Si manusia berpakaian putih melihat ada kesempatan emas di depan mata, mana
mungkin dia melepaskan begitu saja. Tubuhnya meluncur dari atas. Dengan jurus Mencari
Jarum di Dalam Lautan, lima jarinya membentuk cengkeraman dan meluncur ke arah dada
si pengemis sakti Cian Cong! Dia memang sudah berniat melenyapkan tokoh sakti ini. Gerakan serangannya bagai
kilat. Cian Cong yang melihat serangan dahsyat sudah di depan mata sempat panik sesaat,
kemudian dia memejamkan matanya serta kembali memuntahkan segumpal darah segar.
Namun muntahan darahnya kali ini lain dengan yang sebelumnya. Kali ini merupakan
muncratan yang bagai senjata rahasia besar kecil meluncur ke arah wajah si manusia
berpakaian putih tersebut. Si manusia berpakaian putih tampaknya tidak menyadari bahwa Cian Cong yang dalam
keadaan terluka parah dapat memuntahkan darah yang digunakan sebagai senjata untuk
menghadapi dirinya. Hal ini benar-benar di luar dugaannya, apalagi jarak di antara mereka
begitu dekat. Mana mungkin dia masih sempat menghindar" Cepat-cepat dia memejamkan
sepasang matanya dan menjaga agar bagian yang paling penting itu jangan sampai
terluka akibat semburan darah tersebut.
Jangan dikira segumpal darah itu gumpalan darah yang biasa-biasa saja. Memang tidak
dapat disamakan dengan senjata rahasia lainnya yang tajam bukan main, tetapi semburan
itu dilakukan oleh Cian Cong dengan sisa tenaga dalamnya yang masih ada, kecepatannya
bagai kilat. Selembar wajah si manusia berpakaian putih itu sampai terpecah-pecah
kulitnya akibat semburan darah tersebut. Hampir dalam waktu yang bersamaan,
terdengarlah suara jeritan yang histeris serta menyeramkan dari mulut si manusia
berpakaian putih. Darahnya sendiri berbaur dengan darah yang disemburkan oleh Cian
Cong sehingga terus menetes dan membasahi seluruh pakaiannya.
Dengan sisa tenaga yang tinggal sedikit, Cian Cong mengeluarkan suara bentakan dan
kembali menghantamkan sebuah pukulan ke depan.
Wajah si manusia berpakaian putih terluka cukup parah, belum lagi rasa terkejutnya
hilang. Kembali Cian Cong menggunakan salah satu jurus terkeji dari ilmu Delapan Jurus
Pedang Pengejar Sukma untuk melakukan serangan. Tiba-tiba dia merasa matanya
berkunang-kunang, dadanya sekali lagi terhantam pukulan orangtua itu. Di daerah
perkampungan yang sunyi itu kembali berkumandang suara jeritan yang menyayat hati.
Suara itu mirip lolongan serigala, kumandangnya bergema terus di sepanjang lembah dan
menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya.
Seiring dengan suara jeritan yang menyeramkan itu, tangan si manusia berpakaian
putih mengibas. Sepuluh batang jarum beracun segera melesat keluar bagai kilat.
Cian Cong sudah mulai merasa payah, urat nadinya bagai tergetar sehingga seluruh
tubuhnya terasa lemah. Mana bisa lagi dia menghindarkan diri dari serangan yang tidak
terduga-duga itu, tetapi dia masih sempat mengangkat sepasang lengan bajunya
menutupi bagian mata dan wajah. Dari sepuluh batang jarum beracun itu, lima batang
langsung mengenai tubuhnya dengan telak. Tiga di pundak kanan, dua lagi di pundak kiri.
Di daerah yang terluka itu langsung terasa kebal. Sebagai orangtua yang sudah banyak
pengalaman dan makan asam garam, dia segera tahu bahwa jarum itu mengandung racun
yang cukup keji. Diam-diam hatinya jadi tercekat. Wajahnya berubah hebat. Tetapi dalam waktu yang
singkat, rasa terkejutnya sudah hilang dan tampangnya pun pulih kembali. Dia malah
mendongakkan wajahnya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Satu nyawa diganti dengan satu nyawa. Si pengemis tua sama sekali tidak rugi.
Matipun tidak perlu di khawatirkan!"
Belum lagi ucapannya selesai, manusia berjubah hitam yang pendek gemuk itu sudah
memperdengarkan suara tawanya yang dingin.
"Kau ingin mati begitu saja" Tidak begitu mudah. Aku akan membuat kau merasakan
hukuman terberat yang ada dalam perguruan kami sehingga tulang belulang dalam
tubuhmu hancur lebur tetapi nafasmu masih belum berhenti!"
Tadinya dia bersama-sama rekannya yang lain sedang memapah tubuh Kaucu Pek Kut
Kau. Tetapi ketika berbicara, dia segera menyerahkan majikannya kepada rekannya,
sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke udara lalu langsung menerjang ke arah si
pengemis sakti Cian Cong. Apa yang dituturkan di atas merupakan kejadian yang berlangsung dalam sekejap mata
saja. Pada saat ini, tubuh Liang Fu Yong dan Liu Mei Ling ikut melesat keluar. Liang Fu
Yong tidak banyak bicara lagi, pedangnya langsung bergerak dengan jurus Sambil
Tersenyum Menunjuk ke arah Selatan. Tampak cahaya pelangi berpijar dari pedangnya,
gerakan secepat kilat meluncur ke arah tubuh manusia berpakaian hitam yang sedang
menerjang datang. Manusia berpakaian hitam itu mengeluarkan suara dengusan dingin satu kali. Tubuhnya
bergerak memutar kurang lebih lima cun. Pedang yang membawa hawa dingin melintas di
depan dadanya. Jaraknya dekat sekali, tetapi orang itu sama sekali tidak menghentikan
gerakannya. Dia tetap menerjang ke arah Cian Cong.
Liu Mei Ling melihat gerakan tubuh lawan gesit dan aneh, namun dengan mudah ia
berhasil menghindarkan diri dari serangan Liang Cici. Diam-diam hatinya tergetar. Setelah
membentak nyaring, pergelangan tangannya menggetarkan tenaga. Dengan jurus
Menghindari Gunung Jatuh ke Laut, dia melancarkan sebuah serangan ke depan.
Sejak kecil dia memang sudah belajar ilmu silat. Meskipun tampaknya serangan itu
hanya sebuah jurus yang sederhana, tetapi dalam keadaan panik karena ingin menolong
orang maka kehebatannya tidak dapat dianggap enteng. Angin yang timbul dari kelebatan
pedangnya menimbulkan suara suitan panjang.
Manusia berpakaian hitam itu mendengus satu kali. Dia menghimpun hawa murninya
dan sepasang lengannya langsung menyapu ke depan. Serangkum tenaga yang dahsyat
berbenturan dengan badan pedang, begitu keras getarannya sehingga lengan Mei Ling
terasa kesemutan. Hampir saja pedang pusakanya terlepas dari genggaman dan melayang
di udara, otomatis serangan yang dilancarkannya melemah. Di saat yang sama lawan
mengangkat tangannya dan meneruskan serangan ke dada Cian Cong. Cepatnya bagai
sambaran kilat di musim hujan. Setelah tiga kali berturut-turut mengadu tenaga dalam dengan Kaucu Pek Kut Kau, Cian
Cong sekali lagi dihantam oleh seorang manusia berpakaian hitam lainnya. Isi perutnya
sudah tergetar dan memuntahkan darah segar. Hanya mengandalkan kekuatan tenaga
dalam yang telah dilatihnya lebih dari tujuh puluh tahun, dia masih sanggup
mempertahankan diri. Dengan sisa tenaga terakhir dia berhasil membunuh manusia
berpakaian putih. Hawa murni dalam tubuh Cian Cong benar-benar terkuras habis.
Meskipun orang lain tidak turun tangan, tokoh sakti yang namanya sudah menggetarkan
seluruh rimba hijau dan sungai telaga ini juga tidak mungkin bisa hidup lebih dari dua
puluh empat kentungan lagi. Apalagi ketika dia melancarkan serangan kepada manusia
berpakaian putih, sepasang pundaknya juga terkena sambilan jarum beracun sebanyak
lima batang. Bila saat ini ia dihantam lagi oleh manusia berpakaian hitam, sudah pasti Cian
Cong tidak dapat lagi menghindarkan diri apalagi menangkis. Oleh karena itu, dia segera
menarik nafas panjang dan menutup matanya rapat-rapat menunggu datangnya malaikat
elmaut. Tiba-tiba sesosok bayangan membawa desiran angin yang kencang melayang turun
dari udara. Belum lagi serangan si manusia berpakaian hitam mengenai tubuh Cian Cong,
orang itu sudah sampai lebih dahulu. Dia menghadang di depan Cian Cong, lengan
pakaian sebelah kanannya yang longgar langsung mengibas ke depan, serangkum angin
yang kencang segera menghempas keluar.
Manusia aneh berpakaian hitam itu mengulurkan tangannya menyambut. Siapa yang
lebih kuat langsung terlihat saat itu juga. Orang yang baru melayang turun itu sama sekali
tidak bergeming dari tempatnya sedikit-pun. Sementara itu si manusia berpakaian hitam
segera merasa kedua telinganya berde-y ngung, seluruh tubuhnya terpental bahkan
melayang di udara. Setelah berputar dua kali, baru ia terhempas jatuh di atas tanah.
Orang yang baru muncul itu rupanya seorang tojin. Dalam satu gebrakan saja dia
sudah berhasil mementalkan seorang tokoh tingkat tinggi dari wilayah Si Yu. Bahkan
sekaligus menyelamatkan selembar nyawa si pengemis sakti Cian Cong. Liang Fu Yong
dan Liu Mei Ling tidak banyak bicara, mereka segera maju ke depan untuk memapah
tubuh si pengemis sakti itu. Manusia berpakaian hitam itu menenangkan perasaannya sesaat. Setelah itu baru dia
mendongakkan kepalanya melihat. Tampak orang itu sudah tua sekali, rambutnya sudah
berwarna putih, jenggotnya yang panjang berwarna keperakan. Wajahnya bersih dan enak
dilihat. Penampilannya anggun serta berwibawa, sorot matanya tajam namun lembut. Hal
ini membuat orang yang melihatnya menaruh rasa hormat yang tinggi. Tanpa dapat
ditahan lagi si manusia berpakaian hitam jadi terma-ngu-mangu sekian lama. Beberapa
waktu kemudian baru dia membentak dengan nada marah"
"Tenaga dalam totiang ini hebat sekali! Hal ini membuktikan bahwa totiang pasti bukan
tokoh sembarangan. Mohon tanya di mana kuil totiang dan apa nama gelarannya,
mungkin suatu saat aku yang rendah bisa menyempatkan diri berkunjung untuk meminta
pelajaran barang beberapa jurus lagi!"
Tosu itu tersenyum lembut. "Seumur hidup pinto hanya tahu menenangkan diri memperdalam ilmu agama,
memahami sabda Buddha yang mengandung arti dalam. Selamanya tidak pernah bertikai
dengan siapapun. Tetapi kalau kau tetap ingin mengunjungi Pinto, tentu saja kesempatan
seperti itu pasti ada. Meskipun dunia ini luas tetapi semuanya tetap merupakan tetangga,
mana mungkin tidak bisa bertemu. Di puncak Yang Sim An, pinto setiap saat setiap waktu
dengan senang hati menerima kedatangan Si-cu."
Ketika orangtua ini sedang berbicara, Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong sudah
menjatuhkan diri mereka berlutut di hadapannya.
"Tecu, Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong menanyakan kesehatan Locianpwe!"
Tosu itu mengibaskan lengan bajunya, serangkum tenaga yang dahsyat langsung
menahan diri kedua gadis itu sehingga mereka tidak dapat menekuk lututnya lebih dalam.
Orangtua itu mengembangkan seulas senyuman yang lembut dan bibirnya berkata, "Di sini
bukan tempat yang sesuai untuk bercakap-cakap, kalian juga tidak usah banyak
peradatan." Mei Ling dan Liang Fu Yong tahu kalau Locianpwe yang hatinya bijaksana dan mulia ini
tidak suka segala macam peradatan, terpaksa mereka menurut dan berdiri. Mereka tetap
memapah tubuh si pengemis sakti Cian Cong dari kiri dan kanan.
Tosu tua memperhatikan wajah si pengemis sakti Cian Cong dengan sinar matanya
yang tajam bagai kilat. Matanya lalu beralih kepada Kaucu Pek Kut Kau yang sedang
memejamkan matanya mengatur pernafasan. Perlahan-lahan dia menganggukkan
kepalanya. "Orang ini sudah terluka parah, Pinto sebagai orang yang beragama selalu
mementingkan kedamaian hati dan jiwa yang bersih. Harap saudara melihat muka Pinto
dan melepaskan selembar nyawanya, tentunya saudara tidak keberatan, bukan?"
Manusia aneh berpakaian hitam itu mengerlingkan matanya satu kali kemudian
menundukkan kepala merenung beberapa saat.
"Apa yang totiang katakan seharusnya aku turuti, tetapi si pengemis tua she Cian ini
sudah melukai majikanku. Sebelumnya dia juga sudah membunuh dua orang rekanku.
Totiang lihat sendiri, yang mati ada yang terlukapun ada. Meskipun Boanpwe bersedia
melepaskan selembar nyawanya, tetapi bagaimana Boanpwe harus bertanggung jawab
kepada majikan serta kedua kawanku itu" Untuk hal ini Boanpwe terpaksa minta maaf
kepada totiang. Cayhe sendiri menyadari bahwa ilmu silat yang Cayhe miliki masih terlalu
rendah, otomatis bukan tandingan Locianpwe yang sakti, tetapi di dalam wilayah Si Yu
kami terdapat banyak pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan pemberani?"
BAGIAN XLI Tosu tua ini mempunyai watak yang lembut. Hatinya juga sangat pengertian terhadap
siapa saja. Dia maklum manusia berpakaian hitam ini hanya pura-pura gagah padahal
dalam hatinya sudah timbul rasa ngeri. Tetapi dia juga tidak ingin menjatuhkan harga
dirinya di depan orang banyak. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang
bijaksana. "Kalau dihitung dari jumlah korban yang jatuh di kedua belah pihak, memang tidak
seharusnya pinto mengajukan permintaan ini. Tetapi di balik urusan ini terselip persoalan
budi dan dendam yang masih ada kaitannya dengan diri pinto sendiri, oleh karena itu pinto
terpaksa ikut campur. Kalau kau memang merasa kurang puas, silahkan datang ke Yang
Sim An di Bu Tong San dan mencari pinto, Tian Bu Cu untuk membuat perhitungan."
Seraya bicara, tosu tua itu memalingkan wajahnya dan berpesan kepada Liang Fu Yong
dan Mei Ling, "Kalian bawa dulu Cian Locianpwe, sebentar lagi aku akan menyusul!"
Kedua gadis itu segera mengiakan. Mereka langsung mengangkat tokoh tua tersebut,
setelah itu mereka membalikkan tubuh dan berlari pergi. Terdengar suara angin berdesir,
bayangan tubuh mereka berkelebat bagai kilat. Dalam sekejap mata saja sudah
menghilang dari pandangan. Tian Bu Cu menunggu sampai kedua gadis itu sudah pergi agak jauh baru dia menjura
pada Kaucu Pek Kut Kau sambil mengembangkan seulas senyuman.
"Pohon berbuah ada masanya, sama sekali tidak dapat dipaksakan. Sicu merupakan
seorang kepala pemimpin yang mempunyai wilayah sendiri, selamanya tidak pernah
mencari ikatan benci atau dendam di daerah Tiong-goan. Lalu, mengapa harus
melumurkan darah mengotori tangan, yang akhirnya hanya menimbulkan kesulitan bagi
diri sendiri" Kata-kata pinto hanya sekian saja, makna yang terkandung di dalamnya,
hanya Sicu sendiri yang harus mencari pengertiannya."
Mendengar ucapannya, Kaucu Pek Kut Kau itu mengerlingkan matanya beberapa kali
kemudian tiba-tiba membelalak, seakan ingin membalas sindiran Tian Bu Cu. Akhirnya dia
hanya mendengus keras-keras dan kembali memejamkan matanya.
Meskipun Tian Bu Cu berniat mengembalikan Kaucu Pek Kut Kau itu dari jalan yang
sesat, namun melihat orang tidak memberikan reaksi apa-apa atas ucapannya, akhirnya
dia hanya bisa menarik nafas panjang kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.
*** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
Sementara itu, Liang Fu Yong dan Mei Ling memapah tubuh si pengemis sakti Cian
Cong yang nafasnya tinggal satu-satu. Mereka berlari dengan kencang, mendaki bukit
bagai berjalan di tanah datar saja. Dalam waktu singkat mereka sudah memasuki lembah
pegunungan. Di kedua sisi tampak puncak gunung menjulang tinggi, mungkin mencapai
ribuan depa. Mereka menembus celah-celah yang sempit lalu mengitari beberapa belokan
terjal. Tiba-tiba pemandangan jadi berubah.
Di depan mata sekarang terlihat sebidang tanah luas dengan rerumputan yang subur
tumbuh di atasnya. Kecuali jalan setapak yang mereka lalui pertama-tama, seluruh area di
sana merupakan daerah perbukitan yang indah.
Liang Fu Yong dan Mei Ling saling lirik sekilas, mereka lalu merebahkan si pengemis
sakti Cian Cong di tanah rerumputan. Saat ini hari sudah mulai gelap, sedangkan tempat
seperti itu hawanya lebih dingin dari dataran rendah. Liang Fu Yong khawatir orangtua itu
akan kedinginan sehingga menambah parah luka yang dideritanya. Lantas saja dia cepatcepat
mencari ranting pohon dan batang bambu yang sudah agak kering lalu menyalahkan
api unggun untuk memperoleh sedikit kehangatan. Liu Mei Ling malah duduk di atas
sebuah batu hijau yang besar dan menatap si pengemis sakti Cian Cong dengan tampang
kebingungan. Tiba-tiba orangtua itu membuka matanya perlahan-lahan. Tampak sinar matanya sudah
mulai redup tanpa cahaya yang berkilauan seperti biasanya. Melihat kedua gadis cantik
duduk di sampingnya, dia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tempat apa ini, mengapa kalian membawa si pengemis tua ke mari" Isi perutku sudah
tergetar hebat sehingga terluka parah, belum lagi ditambah lima batang jarum yang


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beracun. Biar bagaimana aku pasti sulit melewati malam ini. Meskipun ada obat mujarab
yang dapat mengembalikan selembar nyawa si pengemis tua ini, kalian juga tidak perlu
bercapai diri lagi." Melihat orangtua itu masih dapat berbicara, hati Liang Fu Yong jadi agak gembira.
Wajahnya, yang tadinya bermuram durja sekarang jadi mulai berseri. Dia segera
menuangkan semangkok air dan menyodorkannya ke hadapan orangtua itu.
"Meskipun luka yang Locianpwe derita cukup parah, tetapi dengan kedatangan Tian Bu
Cu Locianpwe, maka pasti dapat disembuhkan. Minumlah dulu air ini, dia orangtua
sebentar lagi akan menyusul ke mari."
Cian Cong mengerlingkan matanya ke sana ke mari, tampangnya seperti orang yang
bimbang. "Si hidung kerbau itu paling susah disuruh meninggalkan Bu Tong San, mengapa tibatiba
bisa datang ke mari?" Rupanya luka Cian Cong tadi terlalu parah. Ketika dia memejamkan matanya menanti
ke-matian di tangan manusia berpakaian hitam, tahu-tahu dia tidak dapat
mempertahankan diri lagi sehingga jatuh tidak sadarkan diri. Oleh karena itu, dia sama
sekali tidak tahu bahwa Tian Bu Cu yang telah menolong dirinya dari maut.
Sepasang mata Liang Fu Yong mulai mengembangkan air. Dia langsung menceritakan
kembali bagaimana Tian Bu Cu mementalkan si manusia berpakaian hitam sampai
akhirnya mereka disuruh membawa Cian Cong pergi meninggalkan tempat si iblis Oey
Kang. Dari seorang perempuan yang binal, Liang Fu Yong berubah menjadi perempuan yang
baik budi dan suka menolong orang lain. Biarpun dirinya memang sudah bertekad untuk
merubah jalan hidupnya, tetapi dia juga banyak menerima wejangan dari mulut si
pengemis sakti Cian Cong. Sambil berbicara, air matanya terus mengalir, bahkan semakin
lama semakin deras. Cian Cong tertawa sumbang melihatnya.
"Kau bocah perempuan ini memang keterlaluan, buat apa menangis" Hidup ada
tempatnya, menangispun harus ada alasannya. Semua yang ada di dunia ini telah
ditakdirkan garisnya oleh Thian yang kuasa. Seumur hidup si pengemis tua ini berkeliaran
di dunia Kangouw, orang yang terbunuh oleh sepasang tangan ini juga sudah tidak terkira
banyaknya. Kalau usia sudah di atas tujuh puluh tahun, buat apa lagi menyesalkan
datangnya kematian?" berkata sampai di sini, tiba-tiba ucapannya terhenti.
Liang Fu Yong dan Mei Ling segera mendongakkan wajahnya. Mereka melihat mata si
pengemis sakti Cian Cong sudah terpejam rapat, kali ini rasa terkejut dalam hati mereka
tak perlu ditanyakan lagi. Serentak mereka memanggil dengan suara lirih"
"Locianpwe!" Kedua orang itu memanggil beberapa kali berturut-turut, Sin-kai (si pengemis sakti)
Cian Cong sudah tidak mempunyai tenaga untuk menjawab. Dia hanya menggerakan
matanya sedikit kemudian terpejam lagi rapat-rapat. Begitu paniknya kedua gadis itu
sehingga air mata mereka bercucuran dengan deras.
Justru ketika sedang kelabakan setengah mati dan tidak tahu apa yang harus
diperbuat, tiba-tiba telinga mereka menangkap suara langkah kaki mendatangi. Dari jalan
setapak yang mereka lalui tadi, tampak si tokoh sakti dari Bu Tong Pai, Tian Bu Cu dan
seorang pemuda yang tampan namun berwajah murung serta kusut, yakni Tan Ki, sedang
menuju ke tempat mereka berada. Sudah pasti Tan Ki telah mendapat kabar tentang Cian
Cong yang terluka parah dari mulut Tian Bu Cu.
Di hadapan si pengemis sakti Cian Cong yang sedang terluka parah, Liang Fu Yong dan
Mei Ling tidak berani menunjukkan perasaan rindunya kepada Tan Ki. Hal ini pasti bisa
menimbulkan kesalahpahaman bagi Tian Bu Cu yang melihatnya. Mereka hanya
mengerling sekilas ke arah pemuda itu lalu menundukkan kepalanya kembali.
Tian Bu Cu segera maju ke depan melihat keadaan Cian Cong. Dia mengulurkan
tangannya meraba dada kemudian nadi orangtua itu. Sepasang alisnya langsung berkerut.
Dari dalam lengan jubahnya yang longgar, dia segera mengeluarkan sebutir pil berwarna
merah lalu memerintahkan Tan Ki menyuapkannya ke mulut Cian Cong. Setelah itu baru
dia memeriksa luka luarnya dengan hati-hati.
Pada saat itu, racun yang terdapat pada lima lubang luka di kedua pundak si pengemis
sakti sudah mulai bereaksi. Setiap lukanya sudah berubah menjadi bundaran seperti logam
berwarna ungu. Tian Bu Cu langsung menghimpun hawa murninya lalu menempelkan
telapak tangannya di luka tersebut untuk menyedot keluar kelima batang jarum beracun
tersebut. Dia lalu menaburkan obat seperti bubuk di atas luka-luka itu. Akhirnya dia
menyuruh Tan Ki mengambil air dan menjerangkan air panas.
Tan Ki segera melaksanakan apa yang diperintahkan. Sesaat kemudian tampak anak
muda itu sudah menghadapi api unggun sambil memasak air panas.
"Kalau menurut penglihatan Locianpwe, apakah luka yang Cian Locianpwe derita ada
harapan besar untuk sembuh kembali seperti sediakala?"
Tian Bu Cu menggelengkan kepalanya.
"Isi perutnya sudah tergetar hebat, ilmu silatnya hampir musnah. Lagipula dia
menggunakan sisa hawa murninya yang terakhir untuk melakukan penyerangan. Hal ini
membuat hawa murninya yang memang hanya tinggal sedikit itu jadi membuyar. Apakah
nyawanya masih bisa diselamatkan, masih merupakan suatu pertanyaan. Meskipun dia
bisa hidup kembali, tetapi tenaga dalamnya sudah pasti lenyap. Untuk seumur hidup,
jangan harap dapat berlatih ilmu silat lagi."
Tampang Tan Ki semakin sedih dan kuyu.
"Benarkah tidak ada harapan sama sekali" Cian Locianpwe justru datang ke Pek To San
karena ingin mencari Ki-ji. Kalau dikatakan, justru Ki-ji yang mencelakainya sehingga
terluka sedemikan parah. Kalau dia tidak bisa disembuhkan lagi, Ki-ji pasti akan menyesal
seumur hidup. Locianpwe, carilah akal untuk menolongnya agar pulih kembali." ketika
mengucapkan kata-kata yang terakhir, tanpa dapat ditahan lagi, air mata Tan Ki berderai
dengan deras, wajahnya menunjukkan rasa-panik yang tidak terkirakan.
Tian Bu Cu menarik nafas panjang. "Kau ini memang paling-paling. Kalau masih bisa ditolong, masa aku hanya duduk saja
diam-diam?" dia berhenti sejenak, kemudian sepasang tangannya dikibaskan. "Kalian
bertiga jalan-jalan dulu ke belakang bukit sana. Biar aku menenangkan pikiran mencari
jalan keluar?" tanpa menunggu jawaban dari Tan Ki, orangtua itu langsung menjatuhkan
dirinya di samping Cian Cong dan duduk bersila dengan mata terpejam.
Mendengar ucapannya, mula-mula Tan Ki agak tertegun. Kemudian dia mengiakan dan
mengajak gadis itu berjalan menuju belakang bukit. Pemandangan malam di daerah
perbukitan mempunyai keindahan tersendiri. Apalagi saat ini, hari belum seluruhnya gelap.
Di ujung langit masih tersisa segaris cahaya keemasan. Begitu mempesonakan laksana
selembar lukisan karya seniman-seniman terkenal. Angin sejuk bertiup dari arah depan,
pikiranpun menjadi nyaman seketika.
Tan Ki merasa kelelahannya selama beberapa hari berturut-turut karena mengalami
berbagai kejadian hebat menjadi lenyap seketika. Dia memalingkan wajahnya menatap
Mei Ling kemudian beralih lagi memandang Liang Fu Yong. Yang satu berwajah cantik dan
halus seperti anak-anak, bertubuh padat tapi tidak gemuk. Sedangkan yang satunya lagi
agak kurus namun menampilkan kesan kecantikan seorang wanita yang sudah matang.
Kedua-duanya semakin dilihat semakin menawan. Tanpa terasa dia mengulurkan sepasang
tangannya dan menggandeng kedua gadis itu di kiri kanan. Bibirnya mengembangkan
seulas senyum kebahagiaan. "Dapat memperoleh cinta kasih serta perhatian cici berdua, siaute rasanya ketiban
rembulan dan bagai hidup dalam surga tingkat sembilan?"
Liang Fu Yong mencibirkan bibirnya.
"Lihat tebalnya mukamu itu, kata-kata seperti itu sanggup dicetuskan. Dendam
kematian ayah belum terbalas, beban berat masih belum terlepas dari pundak. Semua
orang sudah dibikin sibuk sedemikian rupa, ceroboh sedikit saja malah ada bahaya yang
menyangkut selembar nyawa. Dalam keadaan sekarang, Cian Locianpwe justru
memikirkan keselamatan dirimu sehingga tidak memperdulikan dirinya yang menjabat
sebagai panitia penyelenggara Bulim Tayhwe, menyusulmu ke Pek To San. Saat ini ia
malah terluka begini parah, tetapi kau masih mempunyai kegembiraan hati memikirkan?"
Mata Tan Ki membelalak lebar-lebar. Melihat mata Liang Fu Yong yang sudah
mengembangkan air mata, dia langsung terlonjak kaget.
"Cici, kenapa kau menangis" Aku hanya teringat cinta kasih dan perhatian yang kau
berikan padaku beberapa waktu yang lalu dan tanpa sengaja mencetuskan perasaan hati.
Aku sama sekali tidak berniat membuat Cici menjadi sedih sedemikian rupa."
Air mata Liang Fu Yong malah mengalir semakin deras mendengar perkataannya.
"Kalau kau masih bisa mengingat kenangan yang lalu, seharusnya kau tahu siapa diriku
ini?" Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Saat dulu sudah lewat, sekarang lain lagi. Masing-masing mempunyai situasi yang
berbeda. Kau tidak boleh membanding-bandingkannya lagi. Apakah kau tahu apa isi surat
yang diberikan oleh Tian Bu Cu Locianpwe agar kau sampaikan kepada Cian Locianpwe?"
Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya.
"Aku masih ingat dengan jelas. Tian Bu Cu Locianpwe menyuruh aku
menyampaikannya pada Cian Locianpwe. Benda milik orang lain, mana boleh sembarang
kita membuka dan membaca isinya. Tentang apa yang tertulis di dalamnya, sudah barang
tentu aku tidak dapat menduga."
Tawa Tan Ki semakin lebar. "Biar aku memberitahukannya kepadamu. Di dalam surat itu tertulis jelas bahwa Cian
Locianpwe harus memperhatikan gerak-gerikmu. Apabila kau benar-benar dapat berubah
menjadi orang baik-baik dan tidak mengulangi lagi perbuatanmu yang dulu, maka
orangtua itu berniat menerima engkau sebagai muridnya."
Mendengar kata-kata Tan Ki, tubuh Liang Fu Yong langsung bergetar sedikit. Hatinya
merasa terkejut sekaligus gembira. "Apakah semua yang kau katakan ini benar?"
Beberapa kata yang singkat tercetus dari mulutnya, namun memerlukan waktu yang
cukup lama karena dia menanyakan dengan sepatah-sepatah. Hal ini membuktikan bahwa
perasaan gadis ini demikian terharunya sehingga hampir tidak sanggup mengucapkan
kata-kata dengan sempurna. Sekali lagi Tan Ki tersenyum lembut.
"Selamanya Siaute paling tidak suka berdusta. Penjelasan terperincinya bagaimana,
kelak kau akan tahu sendiri dan bagaimana kau bisa bertemu dengan Locianpwe ini?"
Mula-mulanya aku bersama Liang Cici melihat pesan yang ditinggalkan oleh si pengemis
cilik Cu Cia. Saking paniknya kami sampai menangis kebingungan. Kau ini memang paling
egois, melakukan hal apapun selalu tidak pernah berpikir panjang dulu, juga tidak perduli
bagaimana perasaan orang mengetahui kau tiba-tiba mengikuti Oey Kang ke Pek To San."
kata Mei Ling sambil pura-pura mendelik kepadanya. Tan Ki tertawa getir.
"Sejak aku tahu siapa musuh besarku yang sebenarnya, hawa amarah di dalam dada ini
hampir meledak. Rasanya aku tidak dapat mengendalikan perasaanku lagi. Ingin sekali
aku menghantam mati Oey Kang dalam satu gebrakan, sehingga aku dapat membalaskan
dendam bagi kematian ayahku yang tragis. Tetapi aku benar-benar tidak tahu kalau iblis
itu sudah mempunyai rencana yang jahat. Dia sengaja memanas-manasi hatiku, agar aku
terperangkap dalam siasat yang dijalankannya. Dia tahu ibuku pasti mencemaskan
keadaanku dan tanpa berpikir panjang lagi akan menyusul aku ke Pek To San." perlahanlahan
dia menarik nafas panjang baru kemudian melanjutkan kembali. "Saat itu, aku
hanya mengikuti hawa emosi yang ada di hati. Tanpa memperdulikan hal lainnya, kuikuti
Oey Kang yang mengajakku bertarung di Pek To San. Sebelum aku sempat masuk ke
pintu gerbang perkampungan tersebut, Tian Bu Cu Locianpwe tiba-tiba muncul di sana
dan memerintahkan agar aku berhenti sebentar. Kemudian orangtua itu memberitahukan
kepadaku tentang rencana jahat Oey Kang. Dengan demikian aku baru tersadar. Aih,
seseorang apabila sudah mengalami sesuatu, pengetahuannya serta pengalamannya baru
bisa bertambah. Siaute tidak menyangka karena urusan ini malah membuat Cici berdua
jadi berduka, lain kali aku tidak akan sembrono lagi."
Liu Mei Ling mendengar nada bicaranya begitu polos dan kekanak-kanakan, tanpa
dapat ditahan lagi dia jadi tertawa geli.
"Sekarang kau baru mengucapakan kata-kata seperti itu, bukankah sudah agak
terlambat. Karena urusanmu, Ibu cepat-cepat menyusul. Kemungkinan besar mereka
sudah sampai di Pek To San sekarang."
Mendengar kata-katanya, Tan Ki tiba-tiba teringat akan sesuatu hal.
"Tadi kalian bilang bahwa kalian bisa menyusul ke tempat ini karena menemukan pesan
yang ditulis oleh Cu Hengte. Kalau begitu seharusnya Ibu dan Cu Hengte sekalian lebih
dahulu sampai di Pek To San daripada kalian. Mengapa sekarang berbalik mereka yang
tertinggal di belakang, sedangkan kalian sudah sepanjang hari sampai di sini, memangnya
kalian bisa terbang?" tanyanya penasaran.
"Apa yang kau duga sedikitpun tidak salah. Ketika aku dan Liang Cici baru
meninggalkan Tok Liong-hong, kami berdua menemui suatu kejadian yang ajaib. Ada
seorang gadis cilik berusia kurang lebih enam belasan tahun. Dia menunggang seekor
elang raksasa yang warna bulunya indah sekali. Dialah yang mengantar kami ke Pek To
San?" Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba dari atas kepala terdengar suara panggilan yang
merdu, "Nona"! Nona"!"
Tan Ki dan Mei Ling mendongakkan kepalanya dalam waktu yang bersamaan. Tampak
seekor burung kakaktua yang bulunya berwarna hijau berkilauan sedang bertengger di
atas sebatang pohon yang jaraknya tidak jauh dari tempat mereka berada. Tan Ki melihat
burung itu sangat lucu dan pandai pula berbicara bahasa manusia. Saat itu juga jiwa
kekanak-kanakannya timbul kembali. Dia mengeluarkan sebuah bola besi berbentuk kecil
dari dalam sakunya. "Mei Ling, burung itu sungguh indah, biar aku timpuk dia supaya jatuh ke bawah dan
akan kuhadiahkan sebagai mainan untukmu."
Wajah Mei Ling langsung berubah mendengar ucapannya.
"Tan Koko, jangan"!"
Baru mengucapkan sepatah kata, namun sudah terlambat. Senjata rahasia di tangan
Tan Ki sudah disambitkan keluar, melesat bagai bintang yang meluncur dan bercahaya
terang serta dengan cepat terbang ke atas.
Burung kakaktua itu masih belum tahu kalau ada seseorang yang membokong dirinya.
Apalagi Tan Ki menimpuknya dengan tenaga dalam yang sudah dikerahkan ke
pergelangan tangan. Ketika burung kakaktua itu menyadari adanya bahaya, ia segera
mengepakkan sayapnya terbang ke atas, tetapi senjata rahasia yang meluncur cepat itu
sudah mencapai sasarannya. Dengan tepat menghantam sayap kirinya. Tampak kilauan
berwarna hijau bergerak, beberapa helai bulunya langsung rontok dan berjatuhan ke
bawah. Hembusan angin membuat bulu-bulu itu melayang-layang, indah sekali.
Begitu sayapnya terkena senjata rahasia Tan Ki, tubuh burung kakaktua itu agak
limbung kemudian jatuh ke bawah kurang lebih lima depa, tetapi dalam sekejap mata dia
mengepakkan sayapnya kembali dan langsung terbang pergi.
Tan Ki berlari ke depan kemudian memunguti beberapa helai bulu yang terjatuh di atas
tanah, dia melihat ada bekas darah pada bulu-bulu itu. Dia jadi menarik nafas panjang
berkali-kali. "Sayang sekali, tidak disangka burung sekecil itu memiliki tenaga demikian kuat. Dalam
keadaan terluka dia masih sanggup mengepakkan sayapnya untuk melarikan diri. Aku
justru tidak berani menimpuk bagian tubuh yang membahayakan?" di saat berkata tanpa
sengaja dia mendongakkan wajahnya, tiba-tiba dia melihat Mei Ling berdiri
memandanginya dengan termangu-mangu. Wajahnya murung sekali dan matanya tidak
berkedip menatap ke arah bulu-bulu di tangannya.
Melihat sikap istri yang baru dinikahinya itu, Tan Ki merasa heran sekali.
"Mei Ling, kenapa kau?" Perlahan-lahan Mei Ling menarik nafas satu, kali. Sepasang alisnya mengerut.
"Kau sudah mendatangkan bencana besar!"
Tan Ki jadi tertegun. "Apa" Masa menimpuk seekor burung dengan senjata rahasia saja bisa mendatangkan
bencana besar?" Liang Fu Yong mengulurkan tangannya menyambut beberapa helai bulu dari tangan
Tan Ki. Lambat laun mimik wajahnya menjadi kelam luar biasa. Tan Ki semakin heran
melihat sikap kedua gadis itu. Baru saja dia ingin bertanya, tiba-tiba Liang Fu Yong sudah
mendongakkan wajahnya dan mengajukan pertanyaan kepada Mei Ling, "Apakah adik Ling
sudah melihat dengan jelas bahwa burung tadi sama dengan burung yang kita lihat itu?"
Mei Ling menganggukkan kepalanya dengan tegas.
"Malam itu ketika bertemu dengan si gadis berpakaian putih yang misterius, Siaumoay
sudah menanam kesan yang dalam. Burung kakaktua bernama Liok Giok yang bertengger
di atas bahunya lebih-lebih tidak pernah Siaumoay lupakan. Sayangnya Tan Koko bergerak
terlalu cepat sehingga Siaumoay tidak keburu lagi mencegahnya."
Sekali lagi dia menarik nafas panjang-panjang. Melihat mimik wajah Liang Fu Yong
yang menyiratkan kepanikan dan saat ini sedang memejamkan matanya merenung, Mei
Ling melanjutkan lagi kata-katanya, "Siaumoay dengar dari budaknya yang bernama Mei
Hun bahwa majikannya ingin pergi ke Thai San melihat matahari terbit. Mengapa
orangnya sudah pergi, burungnya malah tetap tertinggal di sini?"
Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya.
"Manusia-manusia yang aneh seperti kaum dewata ini, selalu melakukan tindakan yang
tidak terduga oleh pikiran kita. Apalagi gadis berpakaian putih yang wajahnya tertutup
cadar itu. Dirinya benar-benar mirip dengan dewi-dewi yang sering kita lihat dalam
lukisan-lukisan. Penampilannya begitu anggun dan suci. Mungkin Tian Bu Cu Locianpwe
yang disebut manusia setengah dewa juga tidak dapat menandinginya. Sekarang urusan
sudah terlanjur. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, yang dapat kita lakukan hanya melihat
perkembangannya saja. Tetapi sebelumnya lebih baik kita ceritakan urusan ini kepada Tian
Bu Cu Locianpwe, mungkin kita bisa merundingkan sesuatu sebagai jalan keluar yang baik.
Orangtua itu berpengetahuan luas, hampir seluruh wilayah di Tionggoan ini sudah
dijelajahinya. Siapa tahu majikan pemilik burung kakaktua itu pernah berjodoh dengannya
sehingga saling mengenal atau setidaknya Tian Bu Cu Locianpwe pernah mendengar tokoh
yang satu ini." Tan Ki mendengar kedua gadis itu berbicara, setiap ucapan mereka seakan
mengandung makna yang dalam. Lagipula wajah mereka begitu murung sehingga sekali


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lihat saja dapat diketahui bahwa mereka benar-benar mencemaskan suatu masalah yang
serius. Tanpa dapat ditahan lagi matanya membelalak lebar-lebar. Dia menatap Mei Ling
beberapa saat kemudian tatapan matanya beralih kepada Liang Fu Yong. Wajahnya
menampilkan kesan seperti orang yang kebingungan.
Liang Fu Yong memandang Tan Ki sambil tersenyum simpul.
"Adik Ki, burung yang tadi kau timpuk dengan senjata rahasia bernama Liok Giok.
Burung itu merupakan peliharaan seorang manusia yang sangat misterius. Malam itu
ketika kami mencari jejakmu, kami berlari sejauh empat puluh li dan sampai di sebuah
lembah yang terpencil. Kebetulan kami bertemu dengan seorang gadis berpakaian putih
dan pelayannya yang sedang duduk beristirahat. Karena kebaikkannya, kami diantarkan ke
Pek Hun-ceng dengan menunggang seekor elang raksasa. Perjalanan sejauh ribuan li
dapat ditempuh oleh binatang itu dalam waktu yang singkat. Bahkan Cian Locianpwe yang
sudah berangkat lebih dulu setengah hari sebelum kami, masih belum sampai juga."
Mendengar nada ucapan Liang Fu Yong, tampaknya dia sangat menghormati si gadis
berpakaian putih. Hatinya mulai merasa urusan ini memang luar biasa sekali. Sejak
berkecimpung di dunia persilatan sampai sekarang, waktunya sudah lebih dari setengah
ta-hun. Secara berturut-turut dia menemui tokoh-tokoh yang aneh dan memiliki ilmu
tinggi. Wataknya tidak sekeras dan seangkuh dulu lagi. Setelah mendengar keterangan
Liang Fu Yong, sepasang alisnya langsung terjungkit ke atas.
"Meskipun Siaute menimpuk burung peliharaannya sehingga terluka, tetapi aku bukan
melakukannya dengan sengaja. Seandainya dia memang seorang locianpwe yang
termasuk tokoh sakti dan misterius. Rasanya masih bisa dijelaskan secara baik-baik."
Seraya berbicara, ketiga orang itu berjalan menuju tempat semula. Tampak si pengemis
sakti sedang bersandar pada sebuah batu besar dan beristirahat dengan mata terpejam.
Wajahnya yang pucat pasi menandakan bahwa luka yang dideritanya masih belum
menunjukkan perubahan apa-apa. Sedangkan Tian Bu Cu duduk di sampingnya
termenung-menung tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sejak mengetahui bahwa tokoh
aneh yang memiliki ilmu tinggi ini sedang menguji ketabahannya dengan maksud ingin
menerimanya sebagai murid, Liang Fu Yong terlebih-lebih tidak berani banyak bertingkah.
Dengan sopan dan tenang dia berdiri di samping dan membiarkan Mei Ling yang
menceritakan tentang diri Tan Ki secara tidak sengaja menimpuk Liok Giok sehingga
terluka. Mei Ling mengisahkan semuanya secara terperinci dan juga memberitahukan raut
wajah dan tampang si gadis berpakaian putih beserta pelayannya. Tentu saja Mei Ling
tidak dapat melihat jelas wajah si gadis berpakaian putih karena tertutup sehelai cadar
yang tipis. Tian Bu Cu memejamkan matanya menguras otak beberapa saat, tetapi dia tetap tidak
dapat menduga asal-usul gadis tersebut, kemudian dia membuka matanya kembali sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalau benar apa yang kalian katakan, maka gadis berpakaian putih itu pasti
mempunyai riwayat hidup yang hebat. Asal-usulnya pasti luar biasa sekali. Tetapi saat ini,
di seluruh sungai telaga, baik utara maupun Selatan, rasanya tidak ada tokoh seperti yang
kalian?" berkata sampai di sini, tiba-tiba sepasang alisnya berkerut dan ucapannya
langsung terhenti. Tiba-tiba dari angkasa terdengar suara pekikan yang aneh, kumandangnya terdengar
sampai jauh dan suaranya bening nyaring. Wajah Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong berubah
seketika mendengarnya. Cian Cong dan Tan Ki tampaknya sudah merasa kehadiran
sesuatu yang mengejutkan. Menyusul kemudian suara siulan yang panjang dan tidak
terhenti-henti. Di balik suara tersebut juga terdengar suara keliningan yang terus
berdenting. Tian Bu Cu mengibaskan lengan pakaiannya lalu melonjak bangun.
Dalam sekejap mata, di antara pepohonan yang lebat di sebelah selatan terdengar
suara seorang gadis yang bening dan kekanak-ka-nakkan.
"Siapa orangnya yang melukai Liok Giok peliharaan majikanku" Cepat keluar dan jawab
pertanyaanku!" Sepasang alis mata Tan Ki langsung terjangkit ke atas. Baru saja dia ingin membuka
mulut, Liang Fu Yong sudah menarik lengannya dengan gugup. Gadis itu membisikkan
beberapa patah kata, akhirnya Tan Ki dapat juga menahan hawa emosi dalam hatinya.
Kemudian terdengar suara angin kencang menderu-deru. Di hadapan mereka telah
berdiri seorang gadis remaja dengan rambut dikepang dua dan mengenakan pakaian
berwarna hijau. Wajahnya cantik sekali, usianya paling banter enam belasan tahun,
bibirnya merah dan mungil. Tetapi ketika dia melihat Mei Ling dan Liang Fu Yong yang
berdiri di samping Tian Bu Cu, perasaan marah langsung tersirat di wajahnya. Matanya
mendelik lebar-lebar. "Aku kira siapa orangnya, ternyata rombongan kalian. Malam itu di lembah yang
terpencil, dengan baik hati kami mengantarmu ke mari. Sekarang air susu malah dibalas
dengan air tuba. Dasar manusia tidak mengenal budi. Memangnya apa kesalahan Liok
Giok kepada kalian sehingga kalian sampai hati melukainya sedemikian rupa. Kalian benarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/ benar tidak boleh diberi ampun! Siapa yang melukainya cepat menggelinding keluar, aku
akan mematahkan sebuah lengannya untuk membalaskan dendam bagi Liok Giok!"
Tian Bu Cu mendengar ucapan gadis remaja itu sangat ketus dan tajam menusuk.
Sikapnya malah semakin tenang dan lembut.
"Mohon tanya kepada Nona kecil ini, entah siapa nama majikanmu yang mulia" Entah
berasal dari perguruan mana" Siapa tahu Pinto dengan dia pernah berjodoh sehingga
pernah saling mengenal di suatu tempat. Kalau Nona kecil ini bisa memberitahukan, biar
Pinto yang tampil dan menjelaskan urusan ini kepadanya. Jangan sampai gara-gara seekor
burung saja, hubungan persahabatan jadi retak."
Sepasang mata gadis itu mengerling ke sana ke mari sekilas. Kemudian berhenti pada
wajah Tian Bu Cu. "Majikanku tidak mungkin saling mengenal dengan kalian. Kau juga tidak usah ikut
campur dalam urusan ini. Aku juga tidak ada waktu bersilat lidah denganmu. Pokoknya
siapa yang melukai Liok Giok, cepat keluar! Jangan sampai aku melukai orang yang tidak
ada sangkut pautnya dengan masalah ini!"
Ucapannya ini benar-benar menusuk, boleh dibilang sangat menghina. Tan Ki yang
mendengarnya tidak dapat menahan kesal lagi. Dia segera melangkah lebar ke depan dan
berdiri dengan dada membusung. "Berapa sih harganya seekor burung" Mengapa kau demikian kasar dan sombong.
Kalau burung itu memang peliharaan kalian, seharusnya kalian kurung dia dalam sangkar
dan jangan biarkan dia bebas berkeliaran ke mana-mana. Cayhe memang yang
menimpuknya dengan senjata rahasia, tetapi aku tidak sengaja. Apakah majikanmu orang
yang sama sekali tidak ada pengertiannya?" sahutnya dengan nada sinis.
Gadis berpakaian hijau itu mendengus dingin satu kali. Tampak tubuhnya berkelebat
dan tahu-tahu orangnya sudah menerjang datang. Dengan jurus Angin Menghembus
Dedaunan Rontok, serangannya dengan hebat meluncur ke arah Tan Ki. Gerakannya gesit
dan ringan, kecepatannya bagai kilat.
Tan Ki hanya merasa ada segulung angin berbau harum yang menerpa ke arahnya.
Gadis itu sudah menerjang ke arahnya. Dalam sesaat itu apabila dia ingin mengerahkan
jurus menangkis, tentu tidak sempat lagi. Cepat-cepat dia memiringkan tubuhnya
kemudian menerobos keluar ke sebelah kiri.
Tian Bu Cu mengibas lengan jubahnya, serangkum angin yang kencang langsung
terpancar keluar. Meskipun gadis berpakaian hijau itu memiliki berbagai ilmu serta
kepandaian yang aneh-aneh, tetapi dia belum mengerahkannya. Satu hal yang pasti,
kekuatan tenaga dalamnya masih terpaut jauh apabila dibandingkan dengan Tian Bu Cu.
Begitu angin pukulan memancar, kain pengikat pinggangnya sampai melambai-lambai,
orangnya sendiri sampai tergetar mundur satu langkah. Seandainya Tian Bu Cu tidak
melihat keadaan yang mendesak sehingga terpaksa turun tangan, kemungkinan besar Tan
Ki sulit meloloskan diri dari pukulan gadis tersebut.
Gadis berpakaian hijau itu tampaknya tidak menyangka kalau tosu tua yang ada di
hadapannya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat. Untuk sesaat dia
jadi termangu-mangu. Tian Bu Cu mengembangkan seulas senyuman yang lembut.
"Usiamu masih begitu muda, mana boleh sembarangan bergerak melukai orang"
Melukai seekor burung kakaktua, meskipun merupakan binatang peliharaan yang paling
disayangi oleh majikanmu, tetap harus dilihat dari alasannya. Masa benar-benar ingin
orang menggantinya dengan selembar nyawa?"
Sejak mengetahui urusan, si gadis berpa-kain hijau belum pernah menemukan
lawannya. Kecuali sering dikalahkan oleh majikannya sendiri, mana pernah dia kena
batunya seperti sekarang ini" Begitu kesalnya gadis itu sehingga kelopak matanya menjadi
merah dan hampir mengeluarkan suara tangisan yang meraung-raung. Setelah
membentak keras, tubuhnya kembali menerjang ke depan. Sasarannya kali ini bukan lagi
Tan Ki, melainkan tokoh sakti dari Bu Tong San, Tian Bu Cu.
Tangan kiri mengerahkan jurus Naga Mengibaskan Ekor, sedangkan tangan kanan
mengerahkan jurus Petir Menyambar Atap Ramah. Kedua serangan itu dilancarkan dalam
waktu yang bersamaan. Baru saja terlihat pakaiannya yang berwarna hijau berkelebat,
tahu-tahu kedua serangannya sudah meluncur tiba.
Tian Bu Cu melihat gerakan tangannya begitu gesit dan cepat bagai kilat. Tanpa terasa
hatinya juga bergetar. Cepat-cepat dia mengangkat jubahnya dan mencelat mundur
sejauh tiga langkah. Tiba-tiba terlihat gadis berpakaian hijau itu melesat ke udara. Di tengah-tengah
tubuhnya berjungkir balik dengan kepala di bawah dari kaki di atas. Dia meluncur turun
dengan gerakan berputar dan melintir-lintir seperti gasing dan tahu-tahu bayangan
tubuhnya seperti menjadi banyak bahkan tak terhitung jumlahnya.
Meskipun Tian Bu Cu merupakan seorang tokoh Bulim yang dapat dianggap sebagai
salah satu yang tersakti saat ini dan mempunyai pengetahuan yang maha luas, namun dia
tidak dapat menduga j Bentrok Rimba Persilatan 16 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 16
^