Dewi Ular 7

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


an yang dengan gigih berjuang di waktu daerahnya sedang dilanda musim kering berkepanjangan. Dia mengatur penggalian sungai-sungai kecil sehingga saluran air di Hui-cu berjalan lancar, tidak lagi terdapat bajir di kala hujan lebat. Gudang berasnya selalu terbuka bagi mereka yang kekurangan makan. Di waktu hari-hari besar, terutama di hari tahun baru Imlek, dia membagi-bagikan hadiah kepada fakir miskin. Karena Ji-taijin seorang pejabat yang baik dan tidak korup, juga bersikap tegas kepada bawahannya, maka rata-rata para petugas pernerintah di Hui-cu juga bekerja dengan jujur dan baik. Tidak ada bawahan berani melakukan korupsi jika atasannya jujur dan anti korupsi. Sebaliknya, apabila pemimpin tertinggi melakukan korupsi, dengan sendirinya bawahannya tentu akan mencontoh atau setidaknya tidak takut untuk melakukan korupsi karena atasan mereka juga berbuat hal yang sama.
Ketika Ji-taijin mendengar bahwa ada seorang gadis cantik yang diduga seorang gadis kang-ouw ingin bertemu dan bicara dengannya mengenai urusan Si Kedok Hitam, dia terkejut dan terheran. Akan tetapi dia yakin bahwa gadis ini tidak mempunyai niat buruk. Orang yang berniat buruk tidak akan terang-terangan menghadapnya seperti itu, melainkan berusaha masuk seperti maling. Maka, dia pun siap menerima Lee Cin di dalam ruangan tamu yang besar dan tentu saja dia mempersiapkan pengawal-pengawalnya yang berjaga mengepung ruangan itu dan ada pula enam orang yang berjaga di dalam ruangan.
Lee Cin mengetahui bahwa ruangan itu terjaga keras, maka ia tersenyum ketika diantar penjaga memasuki ruangan tamu itu, di mana sudah duduk Ji-taijin yang menantinya. Begitu melihat seorang setengah tua duduk di ruangan itu dengan sikap santai dan dengan senyum di bibir, Lee On segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan dada.
"Harap Taijin suka maafkan kalau saya mengganggu waktu Taijin yang berharga," katanya.
Ji-taijin tersenyum lebar dan menggerakkan tangannya ke arah sebuah kursi di depannya, terhalang meja besar. "Silakan duduk, Nona Souw, dan jangan sungkan-sungkan."
"Terima kasih," kata Lee Cin lalu duduk di atas kursi itu. Ia melirik ke arah enam orang pengawal yang berdiri di belakang pembesar itu dan tersenyum.
"Jangan salah sangka, Nona. Semenjak rumah ini diganggu penjahat, terpaksa kami bersikap hati-hati dan pengawal selalu menemaniku. Akan tetapi mereka adalah pengawal-pengawal pribadi yang dapat dipercaya, maka kalau Nona hendak menceritakan sesuatu kepada kami, silakan dan jangan ragu-ragu. Nah, ceritakan siapa diri Nona dan apa yang mendorong Nona datang menemui kami."
"Taijin, saya bermana Souw Lee Cin dan saya datang jauh dari Pegunungan Hong-san. Saya melakukan perantauan dan kebetulan saja saya lewat di sini. Beberapa hari yang lalu, pada suatu malam saya melihat bayangan orang berkelebat di atas gedung ini. Karena saya mendengar bahwa Ji-taijin adalah seorang pembesar yang bijaksana, aku menyangka buruk dan segera mengejar bayangan itu. Ternyata dia seorang yang berkedok hitam dan saya menyerangnya. Terjadi perkelahian di antara kami dan dia melarikan diri. Nah, kedatangan saya ini untuk menyelidiki siapa adanya Si Kedok Hitam itu, Taijin, karena saya tertarik hendak menangkapnya. Taijin yang menjadi sasaran penyerangannya tentu mengerti mengapa hal itu terjadi dan mungkin Taijin dapat menduga siapa adanya Si Kedok Hitam itu."
Pembesar itu mengangguk-angguk setelah mendengarkan Lee Cin sambil menatap tajam wajah gadis itu penuh selidik. "Kami tertarik sekali mendengar laporan penjaga luar tadi, maka kami bergegas hendak menemuimu, Nona Souw. Kami sendiri sudah menyebar banyak penyelidik untuk mencari orang itu, akan tetapi semua usaha kami tidak berhasil. Setelah kami melakukan penjagaan ketat, penjahat berkedok hitam itu tidak pernah tampak lagi. Dan kemarin, pengawal mendapatkan sepucuk surat tertancap di dinding dengan pisau belati. Karena Nona bermaksud membantu kami menangkap Si Kedok Hitam, maka bolehlah Nona ikut membaca isi surat itu." Ji-taijin mengambil sehelai kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Lee Cin. Dengan sikap tenang dan hormat Lee Cin menerima surat itu dan membacanya,
Ji-taijin yang terhormat, Karena engkau dikenal sebagai seorang pejabat yang bijaksana, maka aku tidak akan membunuh atau menyakitimu. Akan tetapi ingatlah bahwa engkau adalah seorang Han, maka jangan membiarkan dirimu menjadi antek penjajah Mancu yang memeras rakyat jelata.
Si Kedok Hitam. Membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah dan rapi itu, Lee Cin termangu dan kagum. Dilihat dari tulisannya, jelas dapat diketahui bahwa Si Kedok Hitam adalah seorang terpelajar baik. Kata-katanya hormat dan halus, tulisannya gagah dan lembut. Ia mengembalikan surat itu kepada Ji-taijin yang menyimpannya kembali.
"Kalau menurut bunyi suratnya, dia tidak bermaksud buruk terhadap diri Taijin. Akan tetapi dapatkah Taijin menduga siapa kira-kira orang yang menggunakan nama Si Kedok Hitam itu?"'
"Sudah kami katakan bahwa kami belum mengetahuinya, Nona. Akan tetapi melihat isi suratnya, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang di antara golongan yang menamakan diri mereka patriot pejuang rakyat. Akhir-akhir ini memang kami telah mengetahui bahwa ada gerakan para patriot itu di daerah ini. Akan tetapi karena tidak tampak bukti mereka melakukan hal-hal yang mengacaukan atau merugikan, kami pun tidak melihat bukti dan tidak dapat berbuat sesuatu kecuali berjaga-jaga."
"Hemm, saya mendengar berita di dunia persilatan bahwa keluarga Cia yang tinggal di kota ini adalah keluarga patriot. Benarkah itu, Taijin?"
Pembesar itu memandang kagum dan mengangguk-angguk. "Agaknya pengetahuan Nona cukup luas. Kami juga mendengar demikian. Akan tetapi keluarga itu tidak pernah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan para pejabat, bahkan mereka terkenal sebagai keluarga pendekar yang menentang para penjahat, maka kami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Patriot atau bukan, selama mereka itu bersikap baik, menentang kejahatan dan menjaga ketenteraman kehidupan rakyat, pasti tidak akan kami tentang."
"Bagaimana dengan berita bahwa ada orang-orang asing dari Jepang yang berkeliaran di daerah ini, Taijin" Saya mendengar bahwa orang-orang Jepang itu bersikap mencurigakan, bukan sebangsa pedagang biasa. Siapa tahu mereka itu mata-mata yang dikirim orang-orang Jepang untuk menyelidiki keadaan di Hui-cu."
Pejabat itu menggeleng kepalanya. "Nona, kami adalah pegawai yang mengurus pemerintahan sipil. Mengenai hal itu, ada pejabat lain yang mengurusinya."
"Misalnya Panglima Un?" Lee Cin bertanya.
"Agaknya pengetahuan Nona memang luas. Dugaanmu benar. Mengenai keamanan pemerintahan, yang bertugas di daerah ini adalah Un-ciangkun. Mungkin dia lebih mengetahui tentang orang-orang Jepang yang kau tanyakan itu."
Lee Cin menganggguk-angguk. Mungkin Un-ciangkun juga lebih tahu tentang Si Kedok Hitam daripada kepala daerah ini. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata, "Banyak terima kasih atas kesediaan Taijin menerima saya dan atas semua keterangan yang saya dapatkan. Saya mohon diri, Taijin, dan mudah-mudahan Si Kedok Hitam tidak akan mengganggu Taijin lagi. Selamat tinggal."
Ji-taijin membalas penghormatan itu karena dia dapat menduga bahwa gadis itu bukan orang sembarangan dan berkata ramah, "Selamat jalan, Nona."
Biarpun ia tidak mendapat keterangan siapa adanya Si Kedok Hitam, setidaknya ia tahu banyak tentang orang aneh itu, bahkan melihat tulisannya yang indah. Sekarang ia dapat sedikit menyelami watak Si Kedok Hitam. Agaknya orang itu bukan termasuk segolongan orang seperti Cia Hok dan Cia Bhok yang menentang pemerintah dan suka bersekutu dengan orang Jepang dan panglima yang memberontak. Membaca tulisan suratnya, Lee Cin dapat mengambil kesimpulan bahwa Si Kedok Hitam berwatak patriot dan pendekar yang biarpun menentang pemerintah penjajah, namun tidak berniat jahat terhadap pejabat pemerintah yang bijaksana. Sikap ini mengingatkannya kepada Cia Tin Han. Pemuda lemah lembut itu juga bercita-cita mengumpulkan orang-orang yang berjiwa patriot murni, bukan sekedar pemberontak yang menganggap semua pejabat pemerintah adalah antek penjajah. Teringat ini Lee Cin terkejut sendiri dan alisnya berkerut. Si Kedok Hitam itu Cia Tin Han" Ah, sama sekali tidak mungkin. Tin Han adalah seorang terpelajar yang lemah dan tidak suka belajar ilmu silat. Pula, pendirian Si kedok Hitam seperti yang tersirat dalam suratnya kepada Ji-taijin sama sekali berbeda dengan pendirian keluarga Cia. Mana mungkin Tin Han menentang pendirian keluarganya sendiri"
Pagi itu Lee Cin langsung mengunjungi rumah besar Un-ciangkun di sudut kota karena ia mengharapkan akan mendapatkan keterangan yang lebih banyak dari panglima ini tentang Si Kedok Hitam dan tentang orang-orang Jepang. Ia tertarik untuk menyelidiki orang Jepang setelah melihat betapa Yasuki bergabung dengan pemuda-pemuda golongan sesat seperti Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok.
Oood_woooO Un-ciangkun yang bernama Un Kiong adalah seorang pembesar militer yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa. Pakaian panglimanya selalu rapi dan sikapnya terus terang dan terbuka mencerminkan watak yang jujur dan tidak suka berbelit-belit. Di Hui-cu dia amat terkenal sebagai seorang panglima yang bersikap menyayang dan lembut terhadap anak buahnya, akan tetapi kalau ada anak buah yang berbuat kesalahan, dia dapat bersikap keras dan penuh disiplin. Setelah dia memimpin pasukan di Hui-cu, daerah itu menjadi aman dari perampok dan penindas rakyat. Kalau ada orang mempergunakan kekuatan dan kekuasaan bersikap sewenang-wenang dan rakyat yang ditindas itu melapor kepadanya, langsung akan dia tangani dan dia hukum mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan dan kekuasaan itu. Karena ini, dia amat dibenci oleh bangsa perampok dan pencuri, akan tetapi disayang oleh rakyat. Rakyat di daerah Hui-cu merasa bahagia mempunyai seorang pembesar seperti Ji-taijin dan seorang panglima seperti Un-ciangkun. Mereka dapat tidur nyenyak dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada orang jahat berani mengganggu mereka. Mereka si rakyat kecil merasa terlindung, karenanya rakyat akrab dan menyayang perajurit. Di bawah bimbingan Un-ciangkun, para perajurit bersikap seperti sanak kadang rakyat jelata, dan ke manapun mereka pergi, selalu disambut dengan wajah cerah gembira oleh rakyat di dusun-dusun, seperti orang-orang dikunjungi para penolong dan penyelamat mereka. Un-ciangkun tahu bahwa negara baru kuat kalau pasukannya dan rakyatnya bersatu padu. Rakyat yang merasa dilindungi akan membalasnya dengan rasa setia-kawan dan tentu dengan senang hati akan membantu petugas pasukan untuk menentang kejahatan dan menjaga keamanan. Sebaliknya kalau tentaranya menimbulkan perasaan takut dan benci di hati rakyatnya, maka negara tidak akan menjadi kuat, tidak akan mendapat dukungan rakyat.
Pangllima Un Kiong tinggal bersama isterinya, berdua saja karena biarpun usianya sudah empat puluh lima tahun, dia belum mempunyai seorang pun anak. Rumahnya di Hui-cu adalah sebuah bangunan kuno, dan markas pasukannya berada di luar kota, tidak jauh dari pintu gerbang sebelah selatan kota Hui-cu. Dia memimpin sepuluh ribu orang pasukan di daerah ini, dan rumahnya yang kuno, dan besar selalu dijaga oleh seregu pasukan secara bergilir siang malam.
Pada pagi hari itu, dua losin perajurit yang berjaga di gardu depan rumah gedung itu dibikin terkejut dan heran dengan munculnya Lee Cin di depan mereka. Tidak seperti kebiasaan para perajurit yang suka menggoda apabila melihat seorang gadis cantik, para perajurit itu hanya menyimpan kekagumannya dalam hati dan hanya memperlihatkan kekaguman itu dalam pandang matanya saja. Satu di antara pantangan besar bagi panglima Un adalah kalau anak buahnya rnenggoda dan menghina wanita. Dilarang keras mengganggu wanita, akan tetapi para perajurit itu diijinkan kalau mau menikah secara baik-baik. Untuk keluarga perajurit disediakan tangsi sebagai tempat tinggal mereka.
Dua losin orang perajurit itu memandang kepada Lee Cin dan kepala regu segera maju menghadapi gadis yang berhenti di depan gardu mereka itu.
"Nona mencari siapakah" Dapatkah kami membantumu, Nona?"
Kepala regu itu tinggi besar bermuka hitam, akan tetapi sikapnya yang sopan dan ramah menyenangkan hati Lee Cin. Gadis itu tersenyum dan wajahnya lebih cerah lagi melihat betapa para perajurit lainnya hanya memandang kepadanya, tidak ada yang membuat gerakan atau mengeluarkan kata-kata tidak sopan. Dari sikap para perajurit ini saja Lee Cin dapat menduga bahwa panglimanya tentu seorang yang bijaksana dan berdisiplin.
"Terima kasih. Aku ingin bertemu dengan Un-ciangkun. Dapatkah Saudara melaporkan kedatanganku kepadanya?"
Kepala regu itu mengamati Lee Cin dengan penuh perhatian. Dia melihat suling yang terselip di pinggang itu dan matanya yang tajam juga melihat lingkaran berwarna keemasan di pinggang itu. Sebagai seorang yang berpengalaman tahulah dia bahwa benda yang melibat pinggang ramping gadis itu adalah sebatang pedang yang lentur dan baik. Dia mengerutkan alisnya.
"Nona, beritahukan dulu namamu dan apa keperluanmu."
"Namaku Souw Lee Cin dan aku ingin bicara dengan Un-ciangkun mengenai Si Kedok Hitam dan orang-orang Jepang."
Kepala regu itu membelalakkan matanya dan pandang matanya menjadi waspada. "Nona, menurut penuturan di sini, siapa yang hendak menghadap Un-ciangkun tidak diperbolehkan membawa senjata. Karena itu, lepaskan pedangmu itu dan tinggal di sini."
Lee Cin tersenyum dan meraba pinggangnya. "Aku tidak dapat dipisahkan dari pedangku ini. Akan tetapi aku hendak menghadap Un-ciangkun dengan niat baik, tidak mempunyai niat untuk menyerangnya. Katakanlah kepada Un-ciangkun bahwa aku membawa berita yang penting baginya."
Kepala regu itu merasa ragu, akhirnya dia berkata, "Nona tunggulah di sini sebentar, biar aku melaporkan ke dalam untuk bertanya apakah Un-ciangkun bersedia menerimamu ataukah tidak."
Lee Cin mengangguk lalu duduk di atas sebuah bangku di dalam gardu. Sikapnya tenang sekali membuat para perajurit memandang semakin kagum. Mereka dapat menduga bahwa gadis itu tentulah seorang gadis kang-ouw, karena kalau gadis biasa, tidak mungkin dapat bersikap setenang itu berada di gardu di tengah-tengah dua losin orang perajurit.
Kepala regu melapor ke dalam dan menceritakan keadaan Lee Cin dengan jelas kepada Un-ciangkun. Panglima yang tinggi besar ini adalah seorang yang berani dan banyak pengalaman. Mengapa mesti khawatir menerima kunjungan seorang gadis kang-ouw" Bagaimanapun juga, dia dapat menjaga diri dan pula di tempat itu terdapa banyak pengawalnya. Maka dia menyuruh kepala regu membawa gadis itu kepadanya.
Lee Cin melangkah dengan tegap ketika kepala regu itu membawanya menghadap Un-ciangkun. Setelah gadis itu memasuki sebuah pintu, kepala regu lalu meninggalkannya. Lee Cin melangkah masuk ke dalam ruangan itu dan melihat seorang panglima tinggi besar berdiri di dekat jendela. Biarpun dia hanya seorang diri saja, namun Lee Cin merasa bahwa tempat itu telah dikepung banyak orang dan panglima itu sedikit pun tidak merasa khawatir. Mendengar langkah kaki Lee Cin, Un-ciangkun membalikkan tubuhnya dan Lee Cin melihat wajah yang gagah dengan sepasang mata yang tajam bersinar. Lee Cin segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada panglima itu.
Un-ciangkun melangkah maju. "Nona yang bernama Souw Lee Cin?"
"Benar, Ciangkun. Terima kasih atas kesediaan Ciangkun menerima saya menghadap."
"Hemm, duduklah, Nona. Tentu ada keperluan penting maka Nona demikiar berani untuk menghadap kami seorang diri. Duduklah!"
Lee Cin duduk menghadapi meja besar dan panglima itu duduk di seberang meja. Seorang panglima yang gagah, pikir Lee Cin setelah mengamatinya. Pakaiannya rapi dan bersih, pedang panjang tergantung di pinggang kirinya dan panglima ini tampak kokoh kuat.
"Kedatangan saya ini memang membawa berita penting sekali kepada Ciangkun. Akan tetapi sebelum saya menceritakan berita itu, lebih dulu saya minta imbalan."
Sepasang mata itu terbelalak, lalu sepadang alis yang tebal itu berkerut. "Imbalan" Kami tidak mengutus Nona memberikan berita apa pun, mengapa Nona minta imbalan" Kalau tidak ingin menceritakan, sudahlah, Nona boleh pergi. Kami tidak bersedia memberi imbalan!"
Sikap yang tegas dan jujur, pikir Lee Cin. Sikap yang menunjukkan bahwa panglima tinggi besar ini seorang jujur dan jantan, tidak suka akan hal yang berliku-liku.
"Imbalannya juga sebuah keterangan atau penjelasan darimu, Ciangkun. Saya ingin bertanya kepada Ciangkun tentang seorang yang selalu memakai kedok hitam. Tahukah Ciangkun siapa sebenarnya Si Kedok Hitam itu?"
Mendengar disebutnya Si Kedok Hitam, panglima itu menatap wajah Lee Cin dengan tajam penuh selidik, kemudian berbalik bertanya, "Apa hubungan Nona dengan Si Kedok Hitam" Mengapa Nona menanyakannya?"
Lee Cin maklum dari ucapan panglima itu bahwa dia tentu sedikit banyak mengetahui tentang Si Kedok Hitam, maka ia pun berterus terang, "Ciangkun, pada beberapa malam yang lalu saya melihat bayangan bekelebat di atas gedung tempat tinggal Ji-taijin. Saya mengejar bayangan itu dan kami sempat bertanding akan tetapi bayangan itu melarikan diri. Bayangan itu memakai kedok hitam maka selanjutnya saya menamakan dia Si Kedok Hitam. Ilmu silatnya lihai sekali dan saya ingin sekali menyelidiki siapa sebenarnya dia. Saya telah mengunjungi Ji-taijin, akan tetapi dia pun tidak tahu siapa Si Kedok Hitam itu. Karena itu saya datang menghadap Ciangkun dengan harapan Ciangkun mengetahui tentang Si Kedok Hitam itu."
Ketika Lee Cin bicara, sepasang mata panglima itu mengamatinya dengan penuh perhatian. Setelah Lee Cin berhenti bicara, dia bertanya, "Nona hendak mengatakan bahwa Nona telah bertanding melawan Si Kedok Hitam dan berhasil mengusir dan mengalahkannya?"
"Bukan begitu, Ciangkun. Kami memang bertanding, akan tetapi sebelum ada yang kalah atau menang, dia sudah melarikan diri menghilang dalam kegelapan malam."
"Nona mencari dia, apakah maksudmu?"
"Kalau saya dapat mengetahui siapa dia, saya akan menemuinya dan menantangnya untuk bertanding kembali menentukan siapa yang lebih unggul, juga saya akan menegurnya karena dia berani mengancam dan membikin ribut dalam tempat tinggal Ji-taijin, seorang pembesar yang bijaksana dan baik."
"Hemm, agaknya Nona ini seorang pendekar?" kini panglima itu bertanya sambil tersenyum.
"Saya adalah seorang yang menentang kejahatan, Ciangkun. Dan saya akan membela kalau ada seorang baik-baik diganggu seperti halnya Ji-taijin. Nah, sekarang saya harap Ciangkun suka menceritakan tentang Si Kedok Hitam dan nanti saya akan menyampaikan berita yang amat penting kepada Ciangkun tentang orang Jepang."
Panglima itu mendadak bangkit berdiri dan tertarik sekali. "Orang Jepang?"
"Harap Ciangkun tenang dan bersabar dulu. Saya masih menanti keterangan Ciangkun tentang Si Kedok Hitam."
Panglima itu menghela napas panjang. "Nona tunggulah sebentar, aku akan mengambil sesuatu," setelah berkata demikian, dia meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam. Tak lama lagi dia muncul kembali dan duduk di kursinya yang tadi.
"Terus terang saja, kami juga tidak tahu siapa Si Kedok Hitam walaupun pada suatu malam bayangan orang berkedok hitam sempat membikin gempar markas ini. Beberapa orang penjaga melihat berkelebatnya bayangan orang dan melihat seorang berkedok hitam di atas rumah kami, akan tetapi ketika bayangan itu dikejar, dia lenyap dan hanya meninggalkan surat ini yang ditusuk pisau yang menancap di daun pintu. Inilah suratnya, Nona."
Lee Cin menerima surat itu dan ia tidak ragu lagi bahwa penulis surat itu juga penulis surat yang diterima Ji-ciangkun. Bahkan isinya pun hampir sama.
Un-clangkun, Engkau adalah seorang yang pandai dan gagah bijaksana, akan tetapi mengapa merendahkan diri menjadi perwira pasukan kerajaan penjajah" Sepatutnya orang seperti engkau ini menggunakan kepandaian untuk menentang penjajah Mancu. Akan tetapi karena engkau bertindak baik terhadap rakyat jelata, kami masih mengampunimu. Akan tetapi awas kalau engkau sampai menjadi antek penjajah yang menindas rakyat jelata, kami pasti akan membikin perhitungan denganmu.
Si Kedok Hitam. Setelah membaca dan mengembalikan surat itu kepada Un-ciangkun, Lee Cin berkata, "Tulisan dan nadanya sama dengan surat yang diterima Ji-taijin."
Un-ciangkun mengangguk. "Kami telah menerima pelaporan Ji-taijin dan kami sudah saling memperlihatkan surat itu."
"Menurut pendapat Ciangkun, siapakah kiranya Si Kedok Hitam ini?"
"Kami juga sudah menyebar penyelidik mencarinya, namun sejauh ini belum berhasil. Kami sungguh tidak dapat menduga siapa adanya Si Kedok Hitam itu."
"Menurut Ciangkun, dia itu orang macam apakah dan dari golongan mana?"
"Melihat isi suratnya, tak dapat disangsikan lagi dia tentu seorang yang berjiwa patriot, yang membenci pemerintah Kerajaan Mancu yang berkuasa di tanah air. Nah, sekarang kita telah bicara panjang lebar mengenai Si Kedok Hitam, bahkan kami telah memberi tahu kepada Nona segala yang kami ketahui mengenai dia. Lalu apakah berita penting yang hendak Nona sampaikan kepada kami?"
"Apa yang hendak saya sampaikan kepada Ciangkun adalah berita amat penting bagi Ciangkun. Belum lama ini saya melihat seorang Jepang bernama Yasuki, bahkan sudah bertanding melawannya. Dan orang Jepang bernama Yasuki itu telah bersekongkol dengan Phoa-ciangkun yang agaknya hendak melakukan pemberontakan. Saya mendengar sendiri percakapan mereka dan mereka bahkan merencanakan pembunuhan atas diri Ciangkun dan Ji-ciangkun. Hanya itulah berita yang dapat saya sampaikan kepada Ciangkun."
Un-ciangkun mengangguk-angguk. "Berita itu amat penting dan terima kasih atas pemberitahuan Nona. Memang kami telah menaruh curiga kepada Phoa-ciangkun karena selama ini agaknya dia bersikap longgar terhadap para bajak laut dan perampok Jepang, akan tetapi tidak pernah menduga bahwa dia bersekongkol dengan orang Jepang. Akan kami awasi dia dengan ketat."
"Apakah kalau menurut Ciangkun, Si Kedok Hitam tidak ada hubungannya dengan komplotan itu?"
Un-ciangkun menggeleng kepala. "Kami rasa tidak, Nona. Kalau Si Kedok Hitam mempunyai hubungan dengan mereka, tentu dia akan melakukan penyerangan terhadap kami atau Ji-taijin, bukan memberi surat peringatan seperti itu. Tidak, kami yakin bahwa Si Kedok Hitam itu seorang patriot yang gagah perkasa, tidak mungkin melakukan persekutuan dengan orang Jepang. Patriot sejati tidak akan sembarangan memberontak, melainkan lebih condong untuk membela rakyat dari gangguan penjahat dan dari penindasan para pembesar. Kalau ada pembesar yang menindas rakyat, atau penjahat yang mengganggu ketenteraman hidup rakyat, mungkin akan mereka tentang dan mereka bunuh."
"Aku teringat akan keluarga Cia. Apakah Ciangkun maksudkan para patriot itu seperti keluarga Cia?"
Un-ciangkun mengamati wajah Lee Cin dengan sinar mata tajam dan kagum. "Nona juga tahu tentang hal itu" Memang, Nona. Kami juga mengenal keluarga Cia yang patriotik, akan tetapi kami tidak melihat gejala bahwa mereka itu berkomplot dengan para pemberontak. Keluarga Cia ini sejak dulu terkenal sebagai keluarga pendekar yang setia kepada Pemerintah Beng, tidak heran kalau mereka membenci pemerintah yang sekarang. Mereka selalu menentang para penjahat dan mungkin sekali mereka akan bertindak keras terhadap pembesar yang menindas rakyat jelata."
Lee Cin menahan diri untuk membuka rahasia keluarga Cia. Kalau saja Un-ciangkun tahu bahwa Cia Hok dan Cia Bhok juga bersekutu dengan orang Jepang dan Phoa-ciangkun, tentu akibatnya hebat. Un-ciangkun tentu akan mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga itu. Lee Cin tidak tega membuka rahasia keluarga Cia karena ia teringat akan kebaikan Tin Siong dan Tin Han, terutama Tin Han.
Lee Cin lalu berpamit dan diantar oleh Un-ciangkun sampai di luar. Perwira tinggi itu berterima kasih sekali kepada Lee Cin yang membawa berita penting tentang persekutuan orang Jepang dan Phoa-ciangkun.
"Terima kasih atas semua keteranganmu, Nona Souw," katanya sebagai ucapan selamat jalan.
"Saya juga berterima kasih atas keterangan Ciangkun mengenai Si Kedok Hitam," kata Lee Cin dan setelah memberi hormat, ia pun segera meninggalkan markas itu.
ooo0dw0ooo Malam itu hujan turun dengan derasnya membasahi kota Hui-cu. Suasana di jalan-jalan sepi sekali. Orang lebih suka berlindung di dalam rumah daripada keluar di malam hujan yang amat dingin itu. Para penjaga di depan markas dan terutama di depan gedung tempat tinggal Un-ciangkun bermalas-malasan. Malam terlalu dingin untuk berjaga di luar. Pula, penjahat mana yang berani mengganggu tempat tinggal Un-ciangkun yang dijaga para pengawal" Juga dalam malam hujan seperti itu, orang-orang jahat tentu malas untuk keluar.
Karena penjagaan kurang kuat, maka beberapa bayangan hitam dengan cepat sekali dapat memasuki pekarangan gedung itu tanpa ketahuan oleh para penjaga. Mereka berjumlah belasan orang dan melihat gerakan mereka yang ringan dan gesit, mudah diduga bahwa mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah belasan orang itu bersembunyi di seputar gedung itu, tiba-tiba di luar terjadi keributan. Puluhan orang telah menyerang gardu penjagaan dan segera terdengar teriakan-teriakan orang bertempur. Mendengar keributan ini, para pengawal dan penjaga yang berada di dalam gedung lari berserabutan keluar untuk membantu para penjaga dan beberapa orang penjaga lari ke markas untuk minta bantuan setelah dilihat bahwa pihak penyerang ada puluhan orang banyaknya.
Hiruk-pikuk perkelahian di luar itu menarik pula perhatian Un-ciangkun. Dia segera terbangun dari tidurnya dan mendengar laporan seorang pengawal bahwa rumah itu diserbu puluhan orang, Un-ciangkun segera mengenakan pakaian komandan dan keluar sambil membawa pedangnya. Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan depan, belasan orang berpakaian hitam sudah menyerangnya. Un-ciangkun melawan dengan pedangnya dan enam orang pengawal yang selalu melindunginya juga melakukan perlawanan. Akan tetapi belasan orang penyerang itu ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh. Enam orang pengawal yang melawan mati-matian roboh satu demi satu sehingga tinggal Un-ciangkun seorang yang masih membela diri dengan marah. Perwira tinggi besar ini memang tangguh sekali dan dia sudah merobohkan dua orang pengeroyok.
Akan tetapi keroyokan belasan orang itu terlampau kuat baginya sehingga lewat puluhan jurus, dia mulai terkena senjata para pengeroyok. Un-ciangkun masih terus mengamuk, namun akhirnya dia roboh juga dan menjadi korban amukan belasan buah senjata tajam para pengeroyok. Setelah Un-ciangkun roboh dan tewas, beberapa orang di antara mereka lalu membunyikan sempritan yang nyaring. Ternyata ini merupakan tanda bagi puluhan orang yang berkelahi di luar untuk mengundurkan diri. Mereka melarikan diri cerai berai dan menghilang di dalam kegelapan malam, membawa teman-teman yang terluka.
Gegerlah pasukan pengawal. Bala bantuan dari markas datang dengan lima ratus orang, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat itu, para penyerbu telah melarikan diri. Pasukan lalu mengejar, namun puluhan orang pengacau itu telah lenyap dan tidak diketahui ke mana larinya. Pasukan melakukan penggeledahan dari rumah ke rumah, namun tidak menemukan apa-apa sehingga diperkirakan bahwa puluhan orang pengacau itu telah melarikan diri keluar kota Hui-cu.
Tewasnya Un-ciangkun menggemparkan pasukan. Yang repot adalah Lai-ciangkun (Perwira Lai) yang menjadi wakil dari Un-ciangkun. Lai-ciangkun ini bernama Lai Kin, merupakan wakil Un-ciangkun yang bertubuh jangkung kurus. Melihat tewasnya Un-ciangkun, Lai-ciangkun segera mengambil alih kedudukan komandan pasukan dan dia segera mengirim laporan kepada Kaisar di kota raja dan menjabat komandan pasukan untuk sementara sambil menanti keputusan Kaisar sehubungan dengan tewasnya Un-ciangkun di tangan para pengacau dan pemberontak. Segera panglima ini memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan dia pun menyebar banyak penyelidik untuk mencari dan menyelidiki para penyerbu itu. Dia sendiri lalu tinggal di rumah induk yang tadinya menjadi tempat tinggal Un-ciangkun. Sementara itu, keluarga Un-ciangkun segera pulang ke kota raja.
Kurang lebih seminggu sejak peristiwa pembunuhan Un-ciangkun itu, pada suatu pagi muncul seorang pemuda di depan markas pasukan di Hui-cu itu. Pemuda itu bertubuh sedang dan nampak kuat, wajahnya tampan dan gagah, pakaiannya sederhana. Mukanya bulat dengan kulit putih. Alisnya tebal dengan sepasang mata yang mencorong. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum ramah. Telinganya lebar dan bahunya bidang dan kokoh.
Kedua pemuda itu berdiri di depan gardu penjagaan sambil matanya memandang ke arah gedung dengan penuh selidik, para penjaga menjadi curiga melihatnya. Kepala jaga segera melangkah keluar diikuti beberapa orang anak buahnya, menghampiri pemuda itu dan bertanya dengan suara membentak,
"Hei, orang muda! Siapakah engkau dan apa maumu berdiri di sini sambil memperhatikan ke gedung itu?"
Pemuda itu memandang kepada kepala jaga dengan sikap acuh tak acuh. Lalu terdengar jawabannya yang menantang, "Aku berdiri di sini, apa salahnya, bukankah ini jalan umum" Dan aku memandang dengan mataku sendiri, kemana pun aku memandang, apa urusannya denganmu?"
Mendengar jawaban yang berani itu, Si Kepala Jaga menjadi merah mukanya. Dia dan kawan-kawannya selama ini memang diharuskan bersikap lembut dan sopan kepada rakyat jelata dan siapa yang melanggar akan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi pemuda itu demikian menantang, tentu saja membuat Si Kepala Jaga menjadi marah yang ditahantahannya. Dia pun memaksa diri bersikap ramah kepada pemuda itu.
"Sobat, engkau tahu bahwa gedung ini tempat tinggal komandan kami dan orang luar tidak boleh berada di sini terlalu lama. Kalau sudah cukup engkau memandang, tinggalkanlah tempat ini. Kami tidak ingin bersikap keras dan kasar kepadamu."
"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum aku dapat bertemu dengan Un-ciangkun, komandan pasukan di sini. Aku perlu bertemu dan bicara dengan Un-ciangkun. Karena itu, cepat laporkan kepada Un-ciangkun bahwa aku ingin bertemu dengannya."
Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Seminggu yang lalu Un-ciangkun tewas dikeroyok pengacau dan pemuda ini sekarang minta bertemu dengan perwira yang telah tewas itu. Tentu saja hal ini amat mencurigakan.
"Hemm, apakah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi di sini seminggu yang lalu?"
"Aku baru masuk kota ini pagi tadi, aku tidak mendengar apa-apa. Ada apakah?"
"Sudahlah, pendeknya pada saat ini Un-ciangkun tidak dapat bertemu denganmu. Pergilah atau kami akan menangkapmu dengan tuduhan engkau mempunyai niat buruk terhadap komandan kami."
"Eh, eh! Kalian hendak menangkap aku" Coba saja kalau bisa!" pemuda itu menantang.
Tentu saja kepala jaga menjadi semakin marah. Dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya dan berkata nyaring, "Tangkap pengacau ini!"
Empat orang perajurit menubruk ke depan untuk menangkap pemuda yang berani menentang itu, akan tetapi tubrukan mereka luput dan pemuda itu dengan sigapnya telah dapat mengelak. Para penjaga menjadi penasaran sekali dan belasan orang serentak maju mengepung pemuda itu dan mereka menyerang dari segala jurusan untuk menangkapnya. Namun, pemuda itu ternyata gesit sekali dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang penjaga terpelanting terkena tamparan dan ditendangnya. Para perajurit menjadi makin penasaran dan mereka mengeroyok, kini mereka menyerang bukan saja untuk menangkap, bahkan untuk memukulnya. Akan tetapi kembali empat orang terpelanting. Kepala jaga terkejut dan menduga bahwa pemuda itu memang datang untuk membikin kacau, maka dia pun mencabut goloknya dan memberi aba-aba kepada teman-temannya untuk menggunakan senjata. Tampak sinar mengkilap ketika semua penjaga mencabut golok masing-masing dan kini mereka menyerang lagi mempergunakan senjata tajam mereka.
Akan tetapi pemuda itu benar-benar tangguh sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok dan setiap tangannya atau kakinya menyambar pasti ada seorang pengeroyok yang roboh, golok mereka terlempar dan mereka terpelanting. Melihat keadaan ini, seorang di antara para perajurit itu segera berlari ke dalam untuk membuat laporan.
Para pengeroyok berpelantingan, namun anehnya, tidak seorang pun di antara mereka yang terluka parah, hanya benjol-benjol dan babak belur saja, tidak ada yang terluka berat.
"Hentikan semua serangan!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lai-ciangkun telah berada di situ dengan pedang di tangan. Perwira ini mengamati wajah pemuda itu dengan penuh perhatian, lalu dia melangkah maju menghadapi pemuda itu.
"Orang muda, engkau siapakah dan mengapa engkau membikin ribut di sini?" tanya Lai-ciangkun sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
Pemuda itu tertawa, "Ha-ha-ha, kalau penjagaan hanya dilakukan oleh orang-orang lemah, bagaimana dapat melindungi Sang Komandan" Para perajurit yang berjaga di sini lemah sekali, buktinya aku dapat membuat mereka jatuh bangun. Seharusnya penjagaan di sini diperkuat dengan orang-orang yang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, dan jangan lupa, harus disediakan sedikitnya selosin perajurit ahli panah sehingga akan dapat menguasai dan menundukkan orang yang hendak membikin kacau!"
Lai-ciangkun menjadi marah mendengar ini. "Orang muda, engkau sombong sekali! Katakan, siapa engkau dan apa kehendakmu datang ke sini membikin ribut?"
"Apakah engkau Un-ciangkun?" tanya pemuda itu sambil mengamati wajah orang. Lai-ciangkun mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
"Aku bukan Un-ciangkun," jawabnya singkat.
"Ah, kalau begitu, tolong panggilkan Un-ciangkun. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Un-ciangkun."
"Un-ciangkun tidak ada, yang ada aku, wakilnya, aku bernama Lai Kin. Siapakan engkau, orang muda?"
"Aku bernama Song Thian Lee dan aku tidak ingin bicara dengan orang lain kecuali Un-ciangkun karena yang akan kubicarakan adalah urusan yang harus ditangani oleh Un-ciangkun sendiri." Pemuda itu memang Song Thian Lee. Seperti kita ketahui, Panglima Song ini diutus oleh Kaisar sendiri untuk melakukan penyelidikan ke wilayah timur dan untuk itu, Thian Lee sengaja menanggalkan pakaian panglima dan mengenakan pakaian rakyat biasa.
Mendengar nama itu, Lai-ciangkun terkejut bukan main. Tentu saja dia mengenal nama panglima besar ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena dia sendiri belum pernah bertemu muka dengan Song-ciangkun.
"Bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau bernama Song Thian Lee?" tanyanya ragu.
Thian Lee lalu mengambil surat kuasa dari Kaisar dan memperlihatkannya kepada Lai-ciangkun. Melihat ini, Lai-ciangkun lalu berlutut dengan kaki kanan dan memberi hormat seperti penghormatan kepada Kaisar sendiri. Thian Lee menyimpan kembali surat kuasanya dan dia berkata dengan lembut, "Nah, sekarang harap panggilkan Un-ciangkun untuk menghadapku."
Lai-ciangkun segera bangkit dan berkata lirih, "Un-ciangkun telah terbunuh, mari silakan masuk ke dalam, Song-ciangkun dan kita bicara di dalam."
Thian Lee terkejut sekali mendengar ini dan dia pun segera mengikuti perwira itu masuk ke dalam. Lai-ciangkun mempersilakan Thian Lee duduk dan setelah memberi hormat dia pun duduk berhadapan dengan pemuda itu.
"Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi sehingga Un-ciangkun terbunuh, Lai-ciangkun," kata Thian Lee dengan suara memerintah dan berwibawa.
Lai-ciangkun lalu menceritakan tentang peristiwa malam itu. "Semua terjadi begitu tiba-tiba, Ciangkun," dia mengakhiri ceritanya. "Sebelum penyerbuan itu terjadi, tidak terlihat tanda-tanda bahwa akan terjadi penyerangan. Malam gelap dan hujan, maka para penjaga menjadi terkejut ketika tiba-tiba diserbu oleh puluhan orang banyaknya. Para penyerbu itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan Un-ciangkun dikeroyok belasan orang yang lihai. Biarpun dia dibantu oleh beberapa orang pengawalnya, namun akhirnya dia roboh juga dan terbunuh bersama semua pengawalnya."
Thian Lee mengerutkan alisnya yang tebal. "Akan tetapi, bagaimana sampai ada belasan orang penjahat yang dapat masuk, padahal penyerangan puluhan orang itu telah dilawan oleh pasukan yang bertugas jaga, bukan?"
"Memang demikianlah. Tidak ada yang melihat ada yang dapat menyerbu masuk. Tahu-tahu telah ada belasan orang itu yang menyerbu ke dalam, tentu mereka itu sudah dapat memasuki gedung sebelum penyerangan dilakukan. Mereka tentu telah menyelundup masuk tanpa diketahui penjaga."
"Hemm, memang aku melihat sendiri betapa penjagaan di sini kurang ketat dan sebaiknya para penjaga itu diganti oleh orang-orang yang lebih tangguh. Apakah sebelum peristiwa pembunuhan atas diri Un-ciangkun itu terjadi, tidak ada tanda-tanda bahwa di daerah ini terdapat gejala-gejala pemberontakan?"
-oo0dw0oo- Jilid: 13 LAI-CIANGKUN menggeleng kepalanya. "Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada Ciangkun. Suasana tenteram saja."
"Aku mendengar bahwa kadang terjadi perampokan di pesisir, dilakukan oleh bajak-bajak laut Jepang," kata Thian Lee sambil menatap tajam wajah kurus Lai-ciangkun yang memiliki mata yang tampak cerdik itu.
"Hal itu tidak dapat dibantah, Ciangkun. Memang ada terjadi perampokan kecil-kecilan oleh bajak laut, akan tetapi itu jarang atau kadang-kadang saja. Para perampok itu lalu melarikan diri dengan perahu mereka. Mereka berani mengganggu rakyat di tempat-tempat yang kebetulan tidak ada penjaganya."
"Apakah tidak ada orang-orang Jepang yang berkeliaran di kota ini dan sekitarnya?"
"Tidak ada, Ciangkun." "Baru seminggu Un-ciangkun tewas. Bagaimana kini engkau dapat menjadi komandan di sini, Ciangkun?" tanya Thian Lee sambil memandang wajah Lai Kin dengan tajam penuh selidik.
Wajah perwira itu menjadi merah. "Ah, saya sama sekali tidak nnenjadi komandan di sini, Ciangkun, hanya sementara saja menggantikan Un-ciangkun sambil menanti keputusan Sri Baginda Kaisar atas laporan saya bahwa Un-ciangkun telah tewas terbunuh."
Thian Lee mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain. Pasukan di situ harus memiliki eorang komandan dan selain Lai Kin tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk menjadi komandan sementara. Dia mengambil keputusan untuk nnelakukan penyelidikan sendiri di daerah yang menurut berita yang diperoleh Kaisar merupakan daerah rawan itu.
"Bagaimana keadaan Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai timur?" tiba-tiba dia bertanya.
"Ah, dia" Saya kira"... menurut pengetahuan saya, dia baik-baik saja, Ciang-kun," jawab Lai Kin agak tersendat. Akan tetapi Thian Lee berpura-pura tidak tahu akan sikap itu, hanya mencatat dalam hati bahwa perwira she Lai ini terkejut ketika ditanya tentang Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai.
Malam itu Thian Lee berrnalam di markas, memperoleh sebuah kamar yang besar sebagai seorang tamu kehormatan. Setelah dijamu makan malam, Thian Lee lalu beristirahat, memasuki kamarnya di mana dia duduk bersila di atas pembaringan untuk mengumpulkan hawa murni, mengusir kelelahan tubuhnya dan merenungkan hasil percakapan tadi.
Thian Lee termenung. Di timur ini yang menjadi komandan dua pasukan adalah Un-ciangkun dan Phoa-ciangkun. Kalau ada perwira yang hendak berkhianat, tentu seorang di antara keduanya itu. Akan tetapi, Un-ciangkun terbunuh oleh orang-orang yang tidak diketahui siapa. Apakah Phoa-ciangkun yang membunuhnya setelah Un-ciangkun mengetahui bahwa dia hendak berkhianat dan bersekutu dengan orang Jepang" Atau barangkali Un-ciangkun sendiri yang berkhianat" Juga Lai-ciangkun itu patut dicurigai. Siapa tahu dia dalang pembunuhan karena kalau Un-ciangkun tewas, besar kemungkinan dia yang akan diangkat men jadi komandan. Atau semua dugaannya itu keliru dan ada orang-orang tersembunyi yang mendalangi itu semua" Dia harus melakukan penyelidikan kepada Phoaciangkun dan meninjau daerah pantai. Dengan pikiran ini Thian Lee tertidur. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang sakti, dalam keadaan itu Thian Lee akan dapat terbangun oleh sedikit saja suara atau gerakan yang mencurigakan.
ooo0d-w0ooo Dua orang berpakaian serba hitam itu bergerak cepat sekali. Hanya bayangan mereka yang berkelebatan di atas atap genteng dan sebentar kemudian bayangan mereka sudah melayang turun. Mereka adalah dua orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan muka mereka pun tertutup kain hitam, hanya memperlihatkan kedua mata mereka saja yang tajam bersinar seperti mata kucing.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun mereka kini telah mendekam di luar jendela kamar di mana Thian Lee bermalam. Seorang di antara mereka mengeluarkan sebuah tabung kecil seperti suling, memasukkan bubuk putih ke dalam tabung dan setelah orang kedua membuat lubang di jendela dengan jarinya, pemegang tabung lalu meniup melalui tabung itu sambil memasukkan ujung tabung ke dalam kamar melalui lubang. Sampai lima kali dia melakukan ini dan dia meniup dengan tenaga khi-kang, mengerahkan bubuk yang ditiupkannya ke arah pembaringan. Terdengar suara orang terbatuk-batuk. Di dalam kamar itu, lalu suara batuk itu sendiri terhenti dan suasana rnenjadi sunyi kembali.
Dua orang bertopeng hitam itu saling pandang, lalu mengangguk dan seorang di antara rnereka menggunakan pedangnya untuk mencokel daun jendela. Setelah daun jendela terbuka, bagaikan dua ekor kucing mereka berlornpatan masuk ke kamar itu tanpa mengeluarkan suara. Kamar itu remang-remang, hanya mendapat penerangan dari luar kamar, akan tetapi dua orang itu dapat melihat bentuk tubuh manusia tertidur di atas pembaringan. Mereka mengelebatkan pedang dan dengan gerakan cepat pedang mereka dibacokkan ke arah tubuh manusia itu.
"Crok! Crokk!" Mereka terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka bacok itu hanya guling yang diselimuti kain. Maklum bahwa usaha mereka gagal, cepat berloncatan keluar lagi dari jendela yang terbuka itu.
Akan teiapi, di depan mereka berdiri seorang yang bertolak pinggang memandang mereka, tubuhnya tinggi tegap dan orang ini bukan lain adalah Song Thian Lee! Biarpun tadinya dia tidur pulas, namun sedikit gerakan kaki di atas atap cukup untuk membangunkannya. Dia segera maklum bahwa ada dua orang mempergunakan gin-kang yang cukup tinggi sedang menuju ke kamarnya, maka dia cepat membuka pintu, keluar lalu menutupkan lagi pintu kamarnya, mengintai dari balik pot bunga besar yang berada di luar kamar. Dia dapat melihat apa yang dilakukan dua orang itu dan tersenyum sendiri. Setelah dua orang meloncat ke dalam karnar, dia pun menghampiri daun jendela sehingga ketika dua orang itu keluar lagi, mereka sudah berhadapan dengan dia.
Dua orang itu terkejut dan juga penasaran. Dengan gerakan cepat dan kuat sekali, mereka menggerakkan pedang menyerang Thian Lee. Akan tetapi mereka merasa seperti menyerang bayangan saja karena Thian Lee bergerak jauh lebih cepat daripada mereka, mengelak ke sana-sini dan berloncatan di antara dua gulungan sinar pedang. Dia menggunakan Hui-tiauw-kun (Silat Rajawali Terbang), dengan mudah menghindarkan diri dari semua sambaran pedang, kemudian membalas dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan angin berciutan.
Kedua orang itu tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri, maka dengan nekat mereka menyerang terus. Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, mereka terdesak hebat oleh kedua tangan Thian Lee yang menyambar-nyam bar. Dua orang yang merasa bahwa mereka adalah jagoan-jagoan lihai sekali itu benar-benar terkejut, penasaran dan menjadi nekat. Mereka terus menyerang karena memang tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri lagi. Kalau mereka membalikkan tubuh, mereka khawatir akan terkena pukulan ampuh yang mengeluarkan angin amat dahsyat itu.
Biarpun kedua orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi dan memiliki ilmu pedang yang ampuh, namun menghadapi Panglima Besar Song, Thian Lee, semua serangan mereka sia-sia beiaka. Akhirnya, dengan sebuah tendangan kaki kiri dan tamparan tangan kanan, Thian Lee dapat merobohkan kedua orang pengeroyoknya. Mereka terlempar ke kanan kiri dan selagi Thian Lee yang sengaja merobohkan mereka tanpa membunuh hendak menghampiri, dia melihat dua sinar berkelebat ke arah kedua orang itu. Dengan terkejut Thian Lee menghampiri, akan tetapi mereka berdua sudah berkelojotan dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, masing-masing tertusuk sebatang pisau belati pada ulu hati mereka. Thian Lee menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak nampak bayangan manusia dan dia pun dapat menduga bahwa Si Pelempar Belati adalah seorang yang amat lihai.
Suara ribut-ribut itu menarik perhatian beberapa orang penjaga dan mereka berlarian ke situ. Tak lama kemudian, Lai-ciangkun juga tiba di situ.
"Ada apakah, Ciangkun?" tanya Lai-ciangkun dengan kaget.
"Dua orang ini berusaha untuk membunuhku," jawab Thian Lee singkat dan pandang matanya mencari-cari di antara para pengawal itu dengan sinar mata penuh selidik, membuat para pengawal menundukkan muka karena pandang mata itu tajam sekali menusuk sampai ke hati. Sementara itu, Lai-ciangkun berjongkok dan memeriksa kedua orang itu, merenggut lepas kain hitam yang menutupi muka mereka.
"Bagaimana, Lai-ciangkun" Apakah engkau mengenal mereka?" tanya Thian Lee akan tetapi dia sudah menduga bahwa perwira itu tentu tidak mengenal mereka. Lai-ciangkun menggeleng kepalanya dan memanggil belasan orang pengawal itu untuk melihat kalau-kalau di antara mereka yang mengenal kedua orang itu.
Seorang di antara pengawal berseru, "Hei, bukankah mereka ini adalah Siang-hui-houw (Sepasang Harimau Terbang), kakak beradik she Kam yang tinggal di Hui-lam" Ah, benar mereka, saya pernah bertemu dengan mereka, Ciangkun."
" Apa" Bukankah Siang-hui-houw itu sepasang pendekar dari Hui-lam?" tanya pula Lai ciangkun.
"Benar, Ciangkun. Mereka ini kakak beradik yang terkenal sebagai pendekar di Hui-lam."
"Akan tetapi, mengapa mereka berusaha membunuhmu, Song-ciangkun" Sepanjang yang kudengar, mereka adalah sepasang pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan mereka tewas oleh pisau di ulu hati mereka. Maaf, apakah engkau mempergunakan pisau terbang, Ciangkun?" Lai-ciangkun bangkit berdiri dan menghadapi Thian Lee.
Thian Lee menggeleng kepalanya. "Bukan aku yang membunuh mereka. Mereka membongkar jendela kamarku, hendak membunuhku, akan tetapi aku sudah keluar dan aku hanya merobohkan mereka. Sebelum aku dapat memeriksa mereka, ada yang menyambitkan pisau-pisau itu dan menewaskan mereka. Tentu hal itu dilakukan orang agar mereka tidak mernbocorkan rahasia komplotan ini."
Dua mayat itu lalu digotong pergi dan Thian Lee kembali ke kamarnya, setelah bantal guling yang berantakan dihajar pedang itu diganti dengan bantal guling baru oleh pelayan. Dia duduk bersila di atas pembaringannya dan memutar pikirannya untuk memecahkan teka-teki itu. Dua orang pendekar hendak membunuhnya dan mereka terbunuh oleh orang lain. Tentu orang lain itu komplotan mereka, merupakan orang yang lebih penting atau bahkan mungkin pemimpin mereka. Akan tetapi, dua orang itu dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah, lalu apa maksudnya hendak membunuhnya"
Thian Lee mengerutkan alisnya. Siapakah yang berkepentingan untuk membunuhnya" Tentu orang yang memusuhinya, dan karena dia seorang panglima besar, maka musuhnya itu tentulah golongan pemberontak! Jadi, dua orang pendekar itu telah menjadi komplotan pemberontak, dan hal ini mungkin terjadi. Banyak pendekar yang tertarik untuk membantu pemberontak yang mereka anggap sebagai perjuangan melawan penjajah.
Setelah membolak-balik pikirannya, Thian Lee lalu mendapat kesimpulan bahwa pertama: kedua orang pembunuh itu pasti dibantu orang dalam sehingga mereka mampu bergerak dengan. Leluasa mendekati kamarnya dan orang dalam itu tentu saja satu atau lebih di antara anak buah Lai-ciangkun. Ada pengkhianat dalam pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun. Dan ke dua: kalau dua pendekar itu berkomplot dengan pemberontak, tentu ada pendekar-pendekar lainnya di daerah ini yang juga sudah dapat ditarik menjadi komplotan para pemberontak. Atau setidaknya, para pendekar lain tentu mengetahui tentang gerak-gerik pemberontak di daerah itu. Maka yang harus dikerjakan adalah mencari pengkhianat dalam pasukan Lai-ciangkun, dan ke dua menyelidiki para pendekar yang berada di Hui-cu dan sekitarnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah menemui Lai-ciangkun dan menyatakan pendapatnya, "Lai-ciangkun, semalam aku sudah berpikir bahwa dua orang pembunuh itu tentu dibantu orang dalam sehingga mereka dapat masuk ke sini dengan mudah dan tidak diketahui oleh para penjaga. Karena itu, aku minta kepada Lai-ciangkun untuk bersikap waspada dan diam-diam melakukan penyelidikan dan pemeriksaan ke dalam untuk menangkap pengkhianat itu. Agaknya di antara orang-orang bawahanmu ada yang bersekongkol dengan orang luar, mungkin dengan para pemberontak."
Mendengar ucapan itu, Lai Kin tampak terkejut sekali. "Ada pengkhianat di dalam" Akan tetapi...."
"Tidak perlu ragu lagi, Ciangkun. Selain dua orang itu tidak mungkin masuk tanpa diketahui kalau tidak mendapat bantuan dari dalam, juga ingat akan orang yang membunuh kedua orang bertopeng hitam itu. Bagaimana dia dapat melakukan pembunuhan lalu menghilang begitu saja" Mungkin pembunuh itu adalah orangmu sendiri. Maka berhati-hatilah dan lakukan penyelidikan dengan teliti."
"Baik, baik, Thai-ciangkun," kata Lai-ciangkun dengan sikap taat dan hormat.
"Nah, kuserahkan penyelidikan itu kepadamu. Aku hendak melakukan penyelidikan keluar dan mungkin dalam beberapa hari ini aku tidak akan kembali ke sini."
"Apakah Ciangkun membutuhkan bantuan" Saya dapat menyediakan seregu perajurit pilihan untuk membantuku."
Thian Lee menggeleng kepalanya. "Tidak usah, Lai-ciangkun. Melakukan penyelidikan beramai-ramai sukar mendapatkan hasil yang kuinginkan."
Song Thian Lee lalu berkemas, mengenakan pakaian biasa dan membawa buntalan pakaian di mana terdapat pedangnya, digendongnya buntalan itu di punggung. Kemudian dia keluar dari markas itu melalui pintu belakang yang menembus kebun sehingga tidak akan tampak oleh orang lain.
Siang hari itu Thian Lee melakukan penyelidikan dengan mendengar keterangan dari penduduk di Hui-cu. Dia bertanya kepada beberapa orang tentang para pendekar yang terdapat di Hui-cu. Seorang laki-laki setengah tua yang berjualan tahu ketika ditanya memandang kepada Thian Lee dengan mata disipitkan.
"Untuk apa engkau menanyakan itu, orang muda?"
"Saya seorang perantau, Paman, dan saya senang sekali berkenalan dengan para pendekar. Tahukah Paman, siapakah pendekar-pendekar yang paling terkemuka di sini, paling dikenal rakyat sebagai pendekar yang budiman dan gagah perkasa?" Thian Lee bertanya seperti sambil lalu dan membeli beberapa potong tahu yang sudah matang dan memaksanya untuk sarapan pagi.
"Di Hui-cu dan sekitarnya terdapat banyak orang gagah. Agaknya setelah Un-ciangkun menjadi komandan di sini, tidak ada orang yang melakukan kejahatan. Mereka yang kuat tidak ada yang berani bertindak sewenang-wenang, bahkan condong untuk menentang kejahatan. Akan tetapi di antara mereka semua itu, yang paling dikenal dan dihormati rakyat adalah keluarga Cia yang tinggal di ujung kota, di kaki bukit itu. Keluarga itu terdiri dari orang-orang gagah yang sudah sering kali menghajar orang-orang jahat sehingga tidak ada lagl orang jahat berani mengacau di sini. Ya, keluarga Cia itulah keluarga pendekar besar yang paling dikenal di sini."
Diam-diam Thian Lee membenarkan ucapan itu. Nama keluarga Cia memang terkenal, bukan hanya di daerah itu, dlpergunakandunia kang-ouw juga membicarakan. Sebuah keluarga tua yang sudah lama terkenal, menniliki pendekar-pendekar turun-temurun dan kabarnya ilrnu silat mereka amat lihai. Dia sudah lama tahu bahwa di Hui-cu tinggal keluarga Cia. Kalau dia mela.kukan penyelidikan untuk mengetahui pendekar-pendekar lainnya, hal AO adalah untuk memperlengkap penyelidikannya. Dia tidak percaya kalau keluarga Cia yang demikian ternama mau bersekutu dengan pemberontak, apalagi dengan para peratnpok bangsa Jepang. Akan tetapi, dia harus menyelidiki. Siapa tahu mereka itu termasuk patriot yang membenci Kerajaan Mancu. Banyak patriot yang seperti itu rnudah dibujuk oleh kaum pemberontak untuk "berjuang" menentang pemerintah penjajah sehingga mereka tidak segan-segan bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan sesat yang memberontak seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan beberapa perkumpulan sesat lainnya. Saking besar semangatnya memusuhi pemerintah pemberontak mereka sampai lupa bahwa mereka itu dipergunakan oleh perkumpulan sesat yang "berjuang" demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.
Thian Lee melakukan penyelidikan sampai sehari penuh. Menjelang senja, selagi dia berjaian perlahan-lahan untuk menyusun tindakan apa yang akan dilakukan malam nanti, tiba-tiba dia melihat dua orang berjalan dari arah depan dan begitu melihat mereka, Thian Lee segera menundukkan mukanya dan melihat dari bawah ke arah muka mereka. Dia mengenal dua orang ini, walaupun baru satu kali dia ber temu dengan mereka, akan tetapi mereka tidak mengenalnya. Yang seorang bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. Bahkan mukanya amat menarik perhatian saking hitarnnya. Di pinggang kirinya tergantung sebatang ruyung besar yang berduri. Laki-laki ini berusia kurang lebih lima puluh tahun dan Thian Lee mengenalnya sebagai orang yang berjuluk Hek-bin Moko (Setan Berwajah Hitam). Orang ke dua berusia sebaya dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya kuning seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan dia memegang sebatang tongkat hitam. Dia pun terkenal dengan julukannya Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti). Kedua orang itu adalah dua orang tokoh sesat yang lihai.
Thian Lee membiarkan kedua orang itu lewat. Setelah mereka jauh, barulah dia menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya, lalu membayangi kedua orang itu dari jauh. Dia merasa heran mengapa dua orang tokoh kang-ouw itu berkeliaran di kota Hui-cu. Tidak mungkin kalau hal ini kebetulan saja. Dan dia tahu betul betapa lihai dua orang ini. Agaknya kalau seorang di antara mereka yang melakukan pembunuhan secara gelap kepada dua orang bertopeng malam tadi, hal itu tidaklah aneh. Andaikata bukan mereka yang melakukannya, namun mereka berdua datang ke tempat itu pasti mengandung makna yang amat penting. Mereka jelas bukan sebangsa pendekar, melainkan tokoh sesat yang tidak segan melakukan perbuatan jahat.
Dua orang itu berjalan dengan santai menuju ke sebelah utara, kemudian keluar dari pintu gerbang kota Hui-cu sebelah utara. Bagian utara kota itu merupakan daerah perbukitan yang sunyi, tidak ada dusun di situ karena daerah itu masih liar dan bukit-bukitnya penuh dengan hutan belukar.
Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai memang dua orang yang amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kehebatan ilmu kepandaian mereka. Di mana pun mereka berada mereka pasti akan menguasai dunia hitam daerah itu dan menjadi pemimpinnya. Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti) itu tentu segera merampas kedudukan sebagai ketua partai pengemis yang berkuasa di daerah itu dan selanjutnya menjadi raja kecil yang menerima penghormatan dan pelayanan para pengemis. Sedangkan Hek-bin Mo-ko tentu akan menguasai semua penjahat seperti para maling dan copet, juga merampas kedudukan para kepala gerombolan yang menguasai rumah-rumah judi dan rumah pelacuran.
Akan tetapi agaknya dua orang tokoh sesat itu baru saja tiba di kota Hui-cu dan mereka belum sampai rnerampas kedudukan-kedudukan itu, karena kalau mereka berdua sudah berkuasa di situ, tentu Thian Lee akan mendengar nama mereka ketika dia melakukan penyelidikan tadi.
Dengan hati tegang Thian Lee terus membayangi mereka keluar dari kota dan mendaki bukit pertama di luar kota itu. Malam sudah hampir tiba dan cuaca sudah remang-remang. Dia melihat mereka memasuki sebuah hutan di bukit itu. Tanpa ragu Thiw Lee juga membayangi mereka memasul hutan itu dari jarak lebih dekat karena dia tidak mau kehilangan mereka. Dia merasa yakin bahwa kedua prang itu tentu berkunjung ke tempat persembunyian mereka atau mungkin juga masuk ke hutan itu untuk menemui orang yang ada hubungannya dengan pernberontakan. Hati Thian Lee menjadi tegang penuh harapan.
Akan tetapi ketika dia membayangi sampai ke tengah hutan yang mulai gelap, tiba-tiba dia mendengar gerakan banyak orang dan tahu-tahu dari empat penjuru berloncatan banyak orang dan dirinya sudah dikepung oleh kurang lebih tiga puluh orang! Mereka semua memegang golok dan senjata tajam lainnya. Dia berhenti dan bersikap waspada. Kemudian muncullah dua orang yang dibayanginya tadi di antara orang banyak dan mereka berdua tertawa bergetak menghadapi Thian Lee,
"Ha-ha-ha, sekarang engkau akan dapat berbuat apa, Panglima Besar Song Thian Lee?" Hek-bin Mo-ko tertawa sambil mencabut ruyung berduri dari pinggangnya.
"Heh-heh-heh, seorang panglima besar antek Mancu berkeliaran di sini seperti seekor ular mencari penggebuk. Hari ini engkau akan mampus, Song Thian Lee!" kata Sin-ciang Mo-kai dan dia pun sudah mengangkat tongkat hitamnya. Tongkat hitam itu berbahaya sekali karena ujungnya direndam racun dan sekali saja tergores atau tertusuk tongkat itu cukup untuk membunuh orang.
Thian Lee maklum bahwa dirinya terancam bahaya, namun dia tetap tersenyum tenang. Dua orang itu telah mengenalnya! Hal ini sungguh tidak mungkin karena biarpun dia pernah melihat mereka, namun mereka itu tentu tidak mengenalnya. Kini tahu-tahu mereka. Telah mengenalnya, bukan hanya mengenal namanya, bahkan tahu bahwa dia adalah panglima besar! Ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau mereka berdua memang sudah ada yang memberi tahu! Dan siapakah yang mengetahui bahwa Panglima Besar Song berada di Hui-cu" Lai-ciang-kun" Ah, masa Lai-ciangkun mempunyai hubungan dengan dua orang tokoh sesat itu" Tentu seorang di antara anak buah Lai-ciangkun, rnungkin tokoh yang telah membunuh dua orang bertopeng itu.
Thian Lee merasa tidak perlu untuk berpura-pura lagi. "Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai! Apa maksud kalian mengepungku dan mengancamku" Sepanjang ingatanku, belum pernah aku bermusuhan dengan kalian berdua!"
"Kalau belum pernah bermusuhan, mengapa engkau membayangi kami berdua?" Tanya Hek-bin Mo-ko.
"Engkau membayangi kami berdua tentu bukan dengan maksud mengajak kami beramah-tamah, bukan?" ejek Sinciang Mo-kai.
"Karena aku merasa heran dan ingin tahu mengapa dua orang seperti kalian berkeliaran di kota Hui-cu!" jawab Thian Lee.
"Sudahlah, Mo-ko, mengapa mengajak calon mayat ini bercakap-cakap" Cepat habisi nyawanya!" kata pula Sin-ciang Mo-kai dengan marah dan ia pun sudah melompat ke depan dan tongkatnya menyambar ke arah leher Thian Lee. Pendekar ini cepat miringkan tubuhnya mengelak dan dari samping dia sudah menampar ke arah pundak Si Pengemis Iblis. Hawa pukulan yang amat dahsyat membuat Sin-ciang Mo-kai terdorong mundur biarpun dia sudah mengelak sehingga dia terkejut sekali. Akan tetapi pada saat itu, ruyung berduri di tangan Hek-bin Mo-ko sudah menyambar dengan hantaman yang amat kuat ke arah dada Thian Lee.
"Mampuslah!" bentak Mo-ko, akan tetapi dengan mudah saja Thian Lee menghindarkan diri dari sambaran ruyung itu. Ketika Sin-ciang Mo-kai dan anak buahnya menyerbu, dia sudah mengambil pedangnya dari dalam buntalan pakaiannya dan dari situ pedang Jit-goat-sin-kiam telah berada di tangannya. Ketika dia memutar, pedangnya menangkis hujan senjata tajam itu, terdengarlah suara nyaring berdenting-denting. Para pengeroyok hanya melihat sinar terang bergulung-gulung menyilaukan mata dan banyak di antara mereka yang menjadi kaget karena senjata mereka telah patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan sinar terang itu! Thian Lee menggerakkan kakinya dan nnenendangi mereka yang masih terkejut itu sehingga empat orang pengeroyok terpental sampai tiga meter dan jatuh berpelantingan seperti daun-daun kering tertiup angin! Tentu saja para pengeroyok menjadi terkejut bukan main, akan tetapi mereka mengandalkan banyak teman dan semakin ketat, bersikap hati-hati agar senjata mereka tidak bertemu dengan pedang yang mengeluarkan sinar gemilang itu.
Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai juga terkejut. Mereka hanya pernah mendengar bahwa Panglima Besar Song Thian Lee adalah seorang yang sakti, akan tetapi mereka belum pernah membuktikannya sendiri. Kini, mengandalkan pengeroyokan banyak kawan, mereka berdua maju dan menerjang dengan berani dan dahsyat, dibantu oleh seorang yang bertubuh katai dan yang memainkan sebatang pedang samurai yang panjang dan melengkung. Orang ini juga lihai sekali permainan pedangnya. Melihat gerakan pedang samurai itu, Song Thian Lee da-pat menduga .bahwa dia tentu seorang bangsa Jepang yang sering didengarnya. Jagoan-jagoan Jepang memang mahir menggunakan pedang panjang melengkung yang dimainkan dengan nnemegangi tangkai pedang dengan kedua tangannya.
Thian Lee menjadi sernakin besar kecurigaannya. Agaknya dapat dipastikan bahwa dua orang tokoh sesat ini telah bersekongkol dengan orang Jepang. Dan anak buah mereka itu tentulah anak buah pemberontak. Dia pun mengamuk dengan Jit-goat-sin-kiamnya sehingga robohlah beberapa orang lagi terkena sambaran sinar pedangnya.
Melihat betapa tangguhnya Thian Lee, kedua orang tokoh sesat itu menjadi terkejut dan juga penasaran sekali. Juga orang Jepang yang rnemainkan samurai itu. Ketika suatu saat samurai itu berkelebat ke arah pinggang. Thian Lee, pendekar ini menangkis dengan pedangnya dari atas ke bawah dan membarengi melepas dengan sebuah tendangan yang dengan tepat rnengenai dada Si Jepang itu sehingga terlempar dan jatuh terguling-guling. Akan tetapi agaknya dia cukup tangguh dan cepat dia sudah bangkit berdiri lagi dan agaknya dia mengerti bahwa kalau dilanjutkan, pihaknya tentu akan menderita kerugian besar. Apalagi cuaca sudah mulai gelap, maka dia pun berseru, "Lari......!"
Agaknya seruan Si Jepang ini berpengaruh karena para pengeroyok segera melarikan ke dalam gelap sambil menarik teman-teman mereka yang terluka. Thian Lee meloncat hendak mengejar karena dia ingin menangkap seorang di antara mereka untuk ditanyai, akan tetapi tiba-tiba terdengar ledakan nyaring dan tampak asap tebal sehingga terpaksa Thian Lee menghentikan pengejarannya karena dia khawatir kalau-kalau asap itu mengandung racun. Terpaksa dia kembali lagi keluar dari hutan yang mulai gelap itu.
Pengalaman di dalam hutan itu membuat Thian Lee semakin bersemangat untuk melakukan penyelidikan. Sudah jelas sekarang bahwa memang ada komplotan yang menentang pemerintah dan yang berusaha untuk membunuh orang orang berpangkat. Buktinya Un-ciangkun tewas terbunuh dan dia dua kali terancam bahaya maut. Bagaimana dengan pembesar yang lain" Dia sudah menyelidiki dan mendengar bahwa Ji-taijin yang menjadi kepala daerah itu adalah seorang yang bijaksana dan mencintai rakyatnya. Pembesar seperti itu tentu dimusuhi juga oleh komplotan pemberontak. Dia lalu langsung saja menunjukkan langkah kakinya ke rumah tempat tinggal Ji-taijin.
Ketika dia tiba di depan gardu di mana para perajurit berjaga didepan rumah gedung tempat tinggal Ji-taijin dia dihentikan oleh belasan orang penjaga.
"Orang muda, engkau siapakah dan apa maksudmu datang ke sini?" tanya kepala jaga sambil memandang penuh kecurigaan. Bahkan semua penjaga sudah mengepungnya dan bersiap-siaga dengan senjata mereka. Melihat ini, Thian Lee menduga bahwa pernah ada ancaman atas diri pembesa itu sehingga penjagaan diperketat.
"Aku bukan musuh dan datang dengan maksud baik. Harap kalian laporkan kepada Ji-taijin bahwa aku adalah Song Thian Lee, datang dari kota raja membawa berita penting bagi Ji-taijin."
Melihat sikap ramah dan lunak dari Thian Lee, kepala jaga juga bersikap lembut dan dia menyuruh Thian Lee menunggu setentar sedangkan dia pergi melapor ke dalam.
Tak lama kemudian dia keluar lagi berkata kepada Thian Lee. "Engkau dipersilakan masuk, Saudara Song. Akan tetapi karena kami belum mengenalmu dan tidak tahu apa keperluanmu dengan kunjungan ini, demi keselamatan Ji-taijin, terpaksa engkau harus meninggalkan buntalan itu di sini dan masuk ke dalam gedung dengan pengawalan."
Thian Lee mengangguk. Cukup teliti para penjaga ini, pikirnya. Dia lalu menyerahkan buntalan pakaiannya yang juga terisi pedangnya, kemudian dia melangkah memasuki gedung dikawal oleh enam orang penjaga yang bertubuh kokoh dan yang telah rnencabut pedang mereka. Dia membawa masuk ke ruangan tamu, disuruh duduk dengan enam orang itu berjaga di kanan kirinya.
Pintu dari dalam terbuka dan seorang laki-laki setengah tua muncul dalam ruangan itu. Dia adalah Ji Kian atau Ji-taijin yang bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata tajam namun sikapnya lembut dan sinar rnatanya ramah. Sejenak Ji-taijin mengamati wajah Thian Lee yang cepat bangkit berdiri dan memberi hormat, kemudian pembesar yang diikuti oleh enam orang pengawal yang berdiri di belakangnya itu memberi isyarat kepada enam orang pengawalnya dan enam orang penjaga yang mengawal Thian Lee agar mereka meninggalkan mereka berdua. Sekali pandang saja tahulah Ji-taijin bahwa Thian Lee seorang baik-baik yang tidak mengandung niat jahat terhadap dirinya dan dia pun tahu bahwa para pengawal itu tidak pergi begitu saja melainkan berjaga di luar kamar tamu, siap untuk setiap saat menyerbu ke dalam kamar.
Setelah semua pengawal pergi, Ji-taijin lalu mempersilakan Thian Lee duduk. "Engkau bernama Song Thian Lee dan datang dari kota raja" Harap perkenalkan siapa dirimu dan apa maksud kedatanganmu berkunjung kepadaku?"
Thian Lee mengeluarkan surat kuasa dari saku dalam bajunya, lalu memperlihatkan kepada Ji-taijin. Ketika membaca surat kuasa dan mengetahui bahwa Song Thian Lee yang kini menghadapnya bukan lain adalah Song-thai-ciangkun yang amat terkenal, Ji-taijin terkejut sekali. Dia mengembalikan surat kuasa dan segera memberi hormat dengan membungkuk dalam.
"Tidak tahu bahwa Song-ciangkun yang datang berkunjung, harap maafkan bahwa kami menyambut kurang hormat," katanya dengan hormat.
Thian Lee cepat membalas penghormatan itu., "Jangan terlalu sungkan, taijin, mari kita duduk dan bicara secara terbuka. Kedatanganku di Hui-cu ini untuk melaksanakan tugas yang diberikan Sri Baginda kepadaku, yaitu untuk menyelidiki gejala-gejala pemberontakan yang tampak di daerah ini. Apa yang dapat Taijin beri tahu kepadaku mengenai gejala ini?"
Setelah berpikir sejenak, Ji-taijin lalu menjawab, "Kami di sini tidak melihat adanya gejala pemberontakan. Yang kami ketahui adalah adanya gejala permusuhan terhadap para pejabat pemerintah. Kami sendiri sudah dua kali kedatangan seorang berkedok hitam. Entah apa yang dikehendakinya, akan tetapi yang terakhir kali muncul adalah untuk meninggalkan surat ini."
Ji-taijin menyerahkan surat peringatan yang diterimanya dari Si Kedok Hitam, seperti dia perlihatkan kepada Souw Lee Cin dahulu. Thian Lee menerima surat itu dan membacanya dengan teliti. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada Ji-taijin.
"Bagaimana pendapat Ji-taijin mengenai surat ini" Siapa kira-kira yang mengirim surat peringatan ini?"
"Kami tidak tahu, Ciangkun. Karena para petugas pun hanya melihat sekelebatan saja orang berkedok hitam itu. Yang jelas, ilmu kepandaiannya amat tinggi. Dan agaknya Un-ciangkun juga terbunuh oleh orang yang sama. Semenjak itu kami selalu mengadakan penjagaan ketat, kalau-kalau dia juga menghendaki nyawa kami, Ciangkun."
"Apakah Ji-taijin kira ini ada hubungannya dengan gerakan pemberontakan?"
"Kami kira tidak begitu, Ciangkun. Kami lebih condong mengira bahwa orang berkedok itu adalah sebangsa pendekar patriot yang membenci semua orang Han yang menjadi pejabat pemerintah."
"Ji-taijin, engkau sebagai kepala daerah Hui-cu tentu lebih mengetahui, siapa pendekar-pendekar patriot yang tinggal di daerah Hui-cu."
"Yang paling terkenal adalah keluarga Cia, namun kami menyangsikan apakah mereka yang mengirim Si Kedok Hitam itu. Selama ini mereka tidak pernah melakukan hal-hal yang jahat, bahkan sebaliknya, keluarga Cia selalu menentang kejahatan."
"Hemm, akan tetapi mereka membenci pejabat yang berbangsa Han, berarti mereka membenci engkau, Ji-taijin."
"Tidak tahulah, akan tetapi melihat kenyataan bahwa mereka tidak menyerangku, hanya memperingatkan, memang ada kecenderungan menuduh mereka. Akan tetapi, tanpa bukti, bagaimana kita dapat menuduh mereka, Ciangkun?"
"Apakah Taijin pernah mendengar dari para penyelidik Taijin bahwa akhir-akhir ini terdapat orang Jepang yang berkeliaran di Hui-cu?" tanya Thian Lee sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah pembesar itu. Akan tetapi dia melihat bahwa wajah pembesar itu tidak mernperlihatkan sesuatu yang mencurigakan dan wajar-wajar saja.
"Memang pernah kami mendengarnya, Ciangkun. Akan tetapi karena orang Jepang itu tidak melakukan gangguan, maka dia pun tidak terlalu diperhatikan."
"Menurut Taijin, bagaimana dengan sikap mendiang Un-ciangkun" Apakah dia itu dapat dipercaya dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia berhubungan dengan pemberontak?"
"Ah, kami berani menanggung bahwa mendiang Un-ciangkun bersih dari sangkaan seperti itu. Dia seorang panglima yang tegas dan adil, berwibawa dan bijaksana. Tidak mungkin dia hendak memberontak! Kami berhubungan dekat sekali sehingga kalau dia akan melakukan penyelewengan, kami tentu akan mengetahui, Ciangkun."
Thian Lee mengangguk-angguk. "Bagaimana pendapat Ciangkun mengenai diri Lai-ciangkun" Apakah dia pun sama seperti Un-ciangkun?"
"Wakil komandan itu" Kami tidak mengetahui dengan jelas, Ciangkun. Hubungan antara kami dan Un-ciangkun adalah lebih hubungan pribadi antara sahabat, maka kami tidak begitu dekat dengan Lai-ciangkun."
Thian Lee mengangguk-angguk. Kecurigaannya terhadap keluarga Cia mengendur dengan keterangan yang bersungguh-sungguh dari Ji-taijin ini dan agaknya Ji-taijin seorang yang dapat dipercaya dan meyakinkan.
"Baiklah, terima kasih atas semua keteranganmu, Ji-taijin. Aku mohon pamit untuk meneruskan penyelidikanku."
"Apakah Ciangkun tidak akan beristirahat" Harap bermalam di sini saja!"
"Terima kasih, Taijin. Aku belum mau beristirahat dan harus melanjutkan penyelidikanku," kata Thian Lee sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Apakah Ciangkun membutuhkan bantuan" Kami mempunyai beberapa orang yang lumayan ilmu silatnya. Kalau engkau membutuhkan"..."
"Tidak, terima kasih. Aku lebih leluasa bekerja sendiri." Thian Lee lalu berpamit dan keluar dari gedung itu. Tak lama kemudian dia pun menghilang ke dalam bayangan pohon-pohon yang gelap.
Ooo0-dw-0ooO Lee Cin masih beada di kota Hui-cu dan ia mendengar tentang pembunuhan atas dir Un-ciangkun. Hatinya merasa penasaran sekali. Besar dugaannya bahwa keluarga Cia tentu ada hubungannya dengan pembunuhan itu. Bukankah dua orang saudara itu, Cia Hok dan Cia Bhok, pernah mengadakan pertemuan dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun" Dan mereka merencanakan untuk membunuh Un-ciangkun dan Ji-taijin! Jelas ada hubungan antara keluarga Cia dan para pemberontak termasuk orang Jepang. Bukankah ia melihat sendiri betapa Yasuki dijamu oleh Nenek Cia"
Ia harus menyelidiki keluarga Cia! Timbul pula dugaan yang meyakinkan di hatinya bahwa Kedok Hitam tentu anggauta keluarga Cia, mungkin sekali Tin Siong karena kepandaian pemuda itu juga hebat. Atau setidaknya, andaikata Si Kedok Hitam bukan anggauta keluarga mereka, keluarga Cia tersangkut pula dalam pembunuhan terhadap diri Un-ciangkun. Akan tetapi ia teringat kepada Tin Han. Mungkinkah pemuda itu tersangkut dalam persekutuan itu" Rasanya tidak mungkin!
Tiba-tiba timbul kecurigaannya. Mungkin yang tersangkut itu hanya beberapa orang saja dari mereka. Jelas Cia Hok dan Cia Bhok tersangkut, akan tetapi belum tentu Nenek Cia, Tin Siong dan Tin Han ada hubungannya dengan mereka. Bahkan keadaan mereka ini berbahaya kalau hendak menghalangi sepak terjang para pennberontak itu. Jangan-jangan mereka malah dimusuhi sendiri oleh komplotan itu. Pikirannya menjadi bingung dan malam itu, setengah iseng setengah mengharapkan akan memperoleh petunjuk, ia pun meninggalkan rurnah penginapan dan pergi menuju ke gedung tempat tinggal keluarga Cia secara bersembunyi.
Malam itu gelap. Sesosok bayangan yang amat ringan dan gesit gerakannya rnelompati pagar tembok rumah kediaman keluarga Cia, menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman dan terus menghampiri gedung itu. Akan tetapi setelah dia tiba di pekarangan rumah yang berada di samping di mana tergantung sebuah lampu yang cukup besar dan terang, tiba-tiba dua orang laki-laki melompat menghadangnya. Dua orang ini adalah Cia Hok dan Cia Bhok yang tadi melihat gerak-gerik bayangan itu. Bayangan itu adalah Song Thian Lee. Pemuda itu terkejut juga melihat munculnya dua orang itu dan tahulah bahwa rumah keluarga itu terjaga dan dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang lumayan tingginya.
Tanpa banyak cakap lagi Cia Hok dan Cia Bhok sudah mencabut pedang mereka dan langsung menyerang Thian Lee dengan dahsyat. Namun Thian Lee dapat mengelak dengan mudah dan dia pun membalas serangan mereka dengan tamparan tangannya. Dia melawan dengan tangan kosong saja karena dia tidak berniat melukai dua orang itu. Maksudnya hanya untuk mengukur sampai di mana kelihaian keluarga Cia sebelum dia mengajak mereka bicara. Melihat lawan tidak mencabut pedang yang berada di punggungnya, Cia Hok dan Cia Bhok menjadi penasaran sekali. Mereka berdua yang berpedang hanya dilawan tangan kosong belaka oleh laki-laki yang tidak dikenal ini. Maka mereka lalu menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Namun semua serangan mereka sia-sia belaka. Dengan kelincahan tubuh yang luar biasa cepat gerakannya, orang itu selalu dapat mengelak. Bahkan adakalanya dia menangkis pedang itu dengan telapak tangannya dari samping! Tahulah mereka bahwa mereka bukan menghadapi seorang maling biasa, melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Setelah puas menyelidiki ilmu pedang mereka, ketika pedang Cia Hok membacok dari atas ke arah kepalanya, Thian Lee miringkan tubuhnya dan ketika pedang itu meluncur dari atas ke bawah di samping tubuhnya, cepat dia memukul dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan Cia Hok yang memegang pedang.
"Dukk!" Tanpa dapat dihindarkan lagi pedang itu terpental lepas dari tangan Cia Hok yang terasa lumpuh seketika dan sebelum Cia Hok dapat menghindar sebuah tendangan mengenai pahanya dan dia pun terpelanting jatuh. Walaupun tidak terluka parah, Cia Hok terkejut bukan main melihat kenyataan betapa dia begitu mudah dikalahkan. Cia Bhok marah dan cepat menusukkan pedangnya ke arah ulu hati Thian Lee. Pemuda itu menerima pedang itu dengan kedua tangannya. Kedua telapak tangan menjepit ujung pedang dan Cia Bhok tidak dapat menggerakkan pedangnya lagi! Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong pedangnya agar rnengenai ulu hati lawan, namun pedangnya seperti telah melekat dengan kedua telapak tangan lawan, sama sekali tidak dapat didorong atau dicabut. Dengan penasaran dia lalu mengerahkan Hek-tok-ciang di tangan kirinya, lalu memukul dengan tiba-tiba ke arah pundak Thian Lee. Thian Lee maklum akan datangnya pukulan ampuh, akan tetapi dia nnengerahkan sin-kangnya ke pundak dan menerima hantaman telapak tangan kiri itu.
"Plak.... trakkk!" Pundak terpukul, akan tetapi sedikit pun tidak tergoyangkan, sedangkan ketika dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, pedang itu patah menjadi dua potong! Cia Bhok yang tadi memukul dengan tangan kiri, merasa seolah menghantam papan baja yang amat kuat, tenaganya membalik dan karena pada saat itu pedangnya patah maka dia pun terhuyung ke belakang!
Selagi Thian Lee hendak membuka mulut dan minta maaf, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan terdengar suara melengking. Sebatang suling perak telah menotok ke arah lehernya dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali!
Thian Lee menarik tubuh atasnya ke belakang dan kakinya menyapu ke arah kedua kaki orang yang baru saja melayang turun sehingga orang itu melompat lagi ke atas untuk menghindarkan sapuan kaki Thian Lee. Kemudian dia menyerang lagi dengan suling peraknya. Suling itu berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyilaukan mata, mengepung dan mendesak Thian Lee dengan serangan bertubi-tubi.
Thian Lee merasa kagum. Tingkat kepandaian pemuda tampan yang memegang suling perak ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat kedua orang setengah tua itu. Bangkit kegembiraannya untuk menguji kepandaian pemuda tampan yang lihai ini dan dia pun mencabut Jit-goat-kiam yang tergantung di punggungnya. Thian Lee mengambil sikap bertahan. Dia membiarkan dirinya dihujani serangan dengan suling perak oleh lawannya tanpa membalas. Dia menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang luar biasa sehingga penyerangnya yang bukan lain adalah Cia Tin Siong itu menjadi pening. Dia merasa seolah menyerang sebuah bayangan saja. Ke mana pun sulingnya menyambar, selalu bertemu pedang atau hanya mengenai udara kosong belaka. Hal ini membuat Tin Siong menjadi penasaran sekali. Rasanya selama dia menguasai ilmu-ilmu silat dari ayah dan neneknya, belum pernah dia bertemu dengan seorang lawan yang begini pandai. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya melalui suling peraknya, namun suling itu selalu gagal mengenai tubuh lawan.
Setelah membiarkan lawannya menyerang terus selama tiga puluh jurus lebih, dan menghabiskan semua jurusnya, barulah puas rasa hati Thian Lee. Dia melihat bahwa suling perak itu dimainkan dengan ilmu pedang bercampur dengan ilmu menotok jalan darah, maka ilmu yang dimainkan dengan suling perak itu menjadi berbahaya bukan main. Dia merasa kagum dan maklum bahwa keluarga Cia memiliki anggauta keluarga yang pandai dan berjumlah banyak. Dia ingin tahu apakah masih ada anggauta keluarga yang lebih lihai daripada pemuda bersuling ini.
Setelah mulai membalas, Tin Siang menjadi terkejut melihat serangan balasan yang amat dahsyat dari lawannya. Dia sudah berusaha memutar sulingnya melindungi seluruh tubuhnya, akan tetapi ketika suling peraknya menangkis, tiba-tiba sulingnya itu tidak dapat ditarik lepas dari pedang lawan, seolah telah menempel dengan pedang. Dia mengerahkan tenaga membetot suling, lalu mendorong dan sekaligus tangan kirinya memukul dengan pengerahan ilmu pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Thian Lee melihat telapak tangan menghitam memukul ke arah dadanya. Dia pun mendorongkan tangan kirinya menyambut serangan itu.
"Plakk......!" Tubuh Tin Siong terpental sampai empat meter sedangkan Thian Lee yang merasakan pukulan panas hanya bergoyang sedikit, tanda bahwa tenaga sin-kangnya masih menang jauh.
Tiga orang anggauta keluarga Cia itu terkejut bukan main, juga merasa khawatir karena lawan ini ternyata bukan main lihainya. Pada saat itu, sesosok bayangan menyambar dan sebatang pedang bersinar merah menyambar dengan tusukan dahsyat ke arah dada Thian Lee. Thian Lee cepat menangkis dengan pedangnya.
"Tranggg......!!" Thian Lee terdorong ke belakang akan tetapi penyerang itu juga hampir terpelanting, akan tetapi dapat membuat gerakan jungkir balik sehingga tubuhnya turun ke atas tanah dengan pedang bersinar merah itu melintang di depan dada. Dua pasang mata yang mencorong saling pandang.
"Engkau....?"" Lee Cin yang tadi menyerang itu berseru kaget dan heran.
"Eh, engkau ini..... Cin-moi....?"" Thian Lee juga berseru heran melihat gadis perkasa yang sudah dikenalnya dengan amat akrabnya itu berada di situ. Mereka kembali saling pandang dan otomatis tangan mereka menyimpan lagi pedang yang tadi terpegang.
"Lee-ko, kenapa engkau berada di sini" Dan mengapa berkelahi dengan keluarga Cia?"
Thian Lee tersenyum. "Hanya untuk rnenguji kepandaian mereka karena aku telah lama mendengar akan kelihaian keluarga Cia."
Lee Cin lalu memutar tubuhnya menghadapi Tin Siong, Cia Hok dan Cia Bhok. Ia membungkuk dan berkata, "Harap maafkan dia. Dia adalah sahabat baikku bernama Song Thian Lee, bukan orang jahat."
Thian Lee tersenyum dan mengangkat kedua tangan depan dada, mernberi hormat kepada tiga orang itu lalu berkata, "Maafkan saya. Mari, Cin-moi, kita pergi dari sini. Banyak yang harus kita saling bicarakan."
"Baik, Lee-ko." Lee Cin kembali memberi hormat kepada tiga orang itu dan bersama Thian Lee ia berlebat lenyap dari depan tiga orang itu.


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan main! Hebat sekali kepandaiannyal" kata Cia Bhok sambil menghela napas panjang.
"Siapa orang itu?" tanya Cia Tin Siong dengan alis berkerut. Tidak senang hatinya melihat keakraban di antara Lee Cin dan pemuda itu.
"Namanya Song Thian Lee?" kata Cia Hok. "Ah, aku teringat sekarang! Song Thian Lee adalah pemuda perkasa yang dahulu ikut menghancurkan persekutuan pejuang yang dipimpin oleh Pangeran Tang Gi Lok! Dialah pendekar muda yang kemudian diangkat menjadi Panglima Besar oleh Kaisar Mancu!"
"Ah, sayang sekali dia menghambakan diri kepada Kaisar Mancu!" kata Cia Bhok sambil menarik napas panjang.
Cia Tin Siong mengepal tinjunya. "Kalau begitu dia harus disingkirkan. Orang itu berbahaya sekali!" Mereka bertiga lalu kembali memasuki rumah untuk melaporkan peristima itu kepada Nenek Cia.
ooo0d_w0ooo "Lee-ko, bagaimana keadaanmu, Le-ko" Bagaimana pula kabarnya dengan Enci Cin Lan" Sudahkah kalian mempunyai keturunan?" Lee Cin menghujani Thian Lee dengan pertanyaan yang bertubi. Ia merasa gembira bukan main dapat bertemu dengan Song Thian Lee, pria yang pernah merebut hatinya, yang pernah dicintanya sepenuh hatinya. Memang selama ini ia sudah dapat melupakan Thian Lee, dapat menerima kenyataan bahwa cinta sepihak tidak dapat dilanjutkan dalam pernikahan. Ia sudah rela bahwa Thian Lee menikah dengan Tang Cin Lan yang dicinta pemuda itu. Akan tetapi tetap saja pertemuan ini mendatangkan perasaan girang dalam hatinya, segar sejuk rasanya seperti setangkai bunga yang terkena siraman embun pagi. Udara mendadak cerah, awan tersapu angin sehingga tampaklah bulan sepotong yang tadi tertutup awan. Cuaca menjadi remang-remang dan mereka duduk di jalan yang sunyi, di atas batu-batu besar yang terdapat di tempat itu. Thian Lee tersenyum menerima pertanyaan bertubi itu. Dia sendiri pun merasa sangat gembira dengan pertemuan yang tidak terduga-duga ini.
"Keadaanku baik-baik saja, Cin-moi. Juga isteriku berada dalam keadaan sehat dan selamat. Kami telah mempunyai seorang anak laki-laki bernama Song Hong San yang kini telah berusia dua tahun. Dan bagaimana dengan keadaanmu selama ini, Lee-moi" Apakah engkau masih tinggal bersama ayahmu, Paman Souw Tek Bun di Hong-son?"
"Aku pun baik-baik saja, Lee-ko. Benar, aku tinggal di Hong-san bersama ayahku. Akan tetapi, apa yang membawamu datang ke tempat ini, dan mengapa pula engkau bertanding dengan keluarga Cia" Aku tidak percaya bahwa engkau hanya menguji kepandaian mereka. Dan lagi, engkau seorang panglima besar mengapa melakukan perjalanan dengan pakaian rakyat biasa" Apa yang telah terjadi?"
"Aku pun terkejut dan heran sekali melihat engkau membantu mereka. Akan tetapi biarlah aku bercerita lebih dulu. Aku diutus oleh Kaisar untuk melakukan penyelidikan di daerah timur ini, karena terdengar berita bahwa di daerah ini ada gejala-gejala pemberontakan. Engkau pun tentu sudah mendengar betapa Un-ciang-kun terbunuh orang-orang yang menyerang rumahnya. Nah, aku melakukan penyelidikan dan mengambil kesimpulan bahwa Un-ciangkun tentu terbunuh oleh orang-orang yang mempunyai niat untuk memberontak. Aku pun sudah mengunjungi Ji-taijin yang juga pernah didatangi orang dengan niat tidak baik pula. Menurut perhitunganku, di sini bergerak pendekar-pendekar patriot yang membenci orang-orang Han. yang menjadi pembesar. Karena aku mendengar bahwa keluarga Cia juga merupakan pendekar-pendekar patriot, maka aku datang untuk menyelidiki mereka. Aku ketahuan dan terjadilah perkelahian itu. Akan tetapi aku hanya ingin mengukur kepandaian mereka, tidak bermaksud mencelakai mereka. Nah, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita mengapa engkau berada di sini dan agaknya engkau mengenal pula keluarga Cia."
Mendengar pertanyaan ini Lee Cin tertawa. Thian Lee tersenyum melihat dan mendengar gadis ini tertawa. Tawa Lee Cin masih seperti dulu, riang jenaka dan bebas.
"Hemm, kenapa engkau tertawa, Cin-moi" Ada yang lucu dalam ceritaku tadi?"
"Lucu sekali! Ternyata keberadaanmu di sini sama benar dengan kedatanganku di Hui-cu. Pengalaman kita juga hampir sama! Aku pun telah menyelidiki keluarga Cia dan aku sudah mendengar semua akan kematian Un-ciangkun dan akan Ji-taijin yang memperoleh surat ancaman. Semua yang kau ketahui, sudah kuketahui dan mungkin aku banyak tahu tentang semua itu. Hanya bedanya, kalau engkau datang menjadi penyelidik utusan Kaisar, aku datang ke sini untuk mencari orang yang melukai ayahku."
"Ayahmu dilukai orang" Mengapa dan siapa yang melakukannya?"
"Orang itu berkedok dan ketika aku sedang tidak berada di rumah, dia mendatangi Ayah, menegur Ayah dan mengatakan Ayah sebagai antek Mancu, kemudian menyerang Ayah. Terjadi perkelahian dan Ayah terluka oleh pukulan yang mendatangkan bekas telapak tangan hitam. Ayah telah dapat disembuhkan dan karena panasaran aku lalu mencari Si Kedok Hitam itu. Ketika aku mendengar bahwa keluarga Cia memiliki ilmu pukulan Hek-tok-ciang, aku lalu menyelidiki ke sini. Dan kebetulan sekali aku bertemu sendiri dengan Si Kedok Hitam yang ketika itu mendatangi rumah Ji-taijin. Kami sempat bertanding. Dia memang lihai akan tetapi sebelum seorang di antara kami kalah atau menang, dia sudah melarikan diri, Aku sudah menyelidiki di keluarga Cia, akan tetapi tidak menemukan Si Kedok Hitam. Kurasa dia bukan anggauta keluarga Cia yang sudah kucoba pula ilmu kepandaian mereka. Dalam penyelidikanku terhadap Si Kedok Hitam itulah aku sempat menemui Ji-taijin dan juga mendiang Un-ciangkun. Mereka berdua hanya tahu bahwa mereka didatangi Si Kedok Hitam, akan tetapi tidak dapat menduga siapa orangnya. Malam ini, karena masih penasaran aku datang lagi kepada keluarga Cia untuk mengintai dan menyelidiki. Melihat ada orang bertanding dengan mereka dan mereka terdesak, aku segera membantu karena aku telah berkenalan cukup baik dengan mereka. Nah, demikian ceritaku, Lee-ko. Bukankah pengalaman kita mirip sekali?"
Thian Lee mengangguk-angguk. "Sungguh suatu kebetulan yang mengherankan, akan tetapi menguntungkan aku, Cin-moi. Dengan semua keteranganmu itu, aku dapat memperoleh tambahan pengetahuan dan tentu saja setelah kita bertemu di sini, aku boleh mengharapkan bantuanmu dalam penyelidikan ini."
"Masih ada lagi keteranganku yang tentu amat penting bagimu, Lee-ko. Ketahuilah bahwa dua orang di antara keluarga Cia, yaitu dua orang setengah tua yang tadi berada di sana, bernama Cia Hok dan Cia Bhok, mereka mengadakan persekutuan dengan orang Jepang bernama Yasuki dan juga dengan seorang perwira bernama Phoa-ciangkun."
Thian Lee terkejut sekali dan juga girang mendengar berita ini. "Benarkah itu, Cin-moi" Beritamu ini sungguh teramat penting bagiku. Bagaimana engkau dapat mengetahui akan hal itu?"
"Aku mengetahuinya secara kebetulan saja, Lee-ko. Ketika itu aku menjadi tamu keluarga Cia dan pada suatu malam, secara kebetulan sekali ketika aku berada di dalam taman, aku melihat rnereka berdua bercakap-cakap dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun. Dalam pembicaraan singkat yang kudengar ketika mereka berjalan di taman itu, mereka merencanakan pembunuhan terhadap Ji-taijin dan Un-ciangkun."
"Bagus! Kini jelaslah sudah bahwa keluarga Cia terlibat dalam usaha pemberontakan dan bergabung dengan orang jepang. Adapun panglima yang hendak berkhianat adalah Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai timur. Kesaksianmu ini sudah cukup untuk menangkap keluarga Cia dan Panglima Phoa, Cin-moi."
"Masih ada berita yang tentu akan mengejutkanmu, Lee-ko. Engkau tentu masih ingat akan orang yang bernanna Siangkoan Tek, bukan?"
"Siangkoan Tek, putera dari Siangkoan Bhok majikan Pulau Naga, datuk dari timur itu?"
"Benar, dia juga bersekutu dengan orang Jepang. Pernah mereka mengeroyok dan menawan aku, dan aku nyaris celaka kalau tidak ditolong oleh Si Kedok Hitam."
"Si Kedok Hitam yang mengirim surat peringatan kepada Ji-taijin?"
"Ya, dialah orangnya yang sudah dua kali menolongku. Dan selain Siangkoan Tek, masih ada seorang pemuda lain, bernama Ouw K wan Lok yang juga bersekongkol dengan orang Jepang. Pemuda ini adalah murid mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong."
"Thian-te Mo-ong" Ah, datuk sesat itu dapat meloloskan diri ketika dikirim ke tempat pembuangan. Kiranya dia mempunyai murid yang bersekongkol dengan pemberontak dan Jepang."
"Ouw Kwan Lok itu lihai juga, Lee-ko. Kita harus waspada menghadapi Ouw Kwan Lok dan Siangkoan Tek."
"Hemm, kalau putera dan murid para datuk sesat itu ditarik pula oleh pemberontak untuk bergabung, maka keadaannya menjadi semakin gawat. Apalagi aku juga menaruh curiga terhadap Lai-ciangkun, pengganti Un-ciangkun. Ketika bermalam di rumahnya, aku diserang orang bertopeng. Aku merobohkan mereka, akan tetapi sebelum aku dapat memeriksa mereka, ada orang menyambitkan pisau dan keduanya tewas. Ini tentu perbuatan orang dalam markas itu, maka aku menaruh curiga kepada Lai-ciangkun."
"Sekarang, apa yang akan kaulakukan, Lee-ko?"
"Aku akan menangkapi mereka semua yang mencurigakan. Keluarga Cia akan kutangkap dulu."
"Nanti dulu, Lee-ko. Aku percaya bahwa tidak semua anggauta keluarga Cia bersekongkol dengan pemberontak. Aku melihat dua orang putera mereka bukanlah orang jahat. Yang bernama Cia Tin Siong itu seorang berjiwa patriot yang gagah perkasa dan aku sudah mengenalnya dengan baik, dan terutama sekali adiknya yang bernama Cia Tin Han, biarpun dia seorang pemuda yang lemah dan tidak mengerti ilmu silat, namun jiwanya patriotis, bahkan dia bercita-cita menjadi seorang patriot sejati yang tidak sudi bersekutu dengan perkumpulan jahat apalagi orang Jepang. Aku khawatir kalau mereka akan tersangkut karena mereka adalah dua orang anggauta keluarga Cia."
"Engkau mengenal keluarga Cia lebih baik, Cin-moi. Kalau menurut pendapatmu, siapa saja yang bersekutu dengan orang Jepang dan pemberontak?"
"Yang sudah jelas kudengarkan sendiri ketika berembuk adalah Cia Hok dan Cia Bhok. Yang kucurigai adalah Nenek Cia yang menjamu orang Jepang itu. Entah kalau ayah ibu kedua orang pemuda itu, aku belum dapat menilainya."
"Kalau begitu, aku akan menangkap Cia Hok dan Cia Bhok lebih dulu. Kalau nanti dalam pemeriksaan ada lagi anggauta keluarga mereka yang terlibat, mudah dilakukan penangkapan kembali."
"Akan tetapi biarpun engkau seorang panglima besar, engkau tidak membawa pasukan, bagaimana hendak menangkap orang, Lee-ko?"
0oo0dw0oo0 Jilid: 14 THIAN LEE tersenyum. "Biarpun aku tidak membawa pasukan, akan tetapi aku membawa surat perintah dari Sri Baginda Kaisar. Dengan surat itu, mudah bagiku untuk memerintahkan Panglima Lai menyediakan pasukan untukku."
"Akan tetapi, bukankah engkau mencurigai Lai-ciangkun" Bagaimana kalau kecurigaanmu itu benar dan dia bersekongkol dengan orang Jepang dan Phoa-ciangkun" Tentu dia akan mengkhianatimu dan tidak akan memberi bantuan pasukan."
Thian Lee mengangguk-angguk. "Engkau hebat, Cin-moi. Kulihat selama beberapa tahun ini semakin cerdik dan kekhawatiranmu itu memang beralasan. Karena itu, aku akan lebih dulu menguasai pasukan, mengambil alih kekuasaan dari tangan Lai-ciangkun sebelum aku bergerak."
"Kalau begitu......" "Sssssttt?"!" Tiba-tiba Thian Lee memotong dan menempelkan telunjuknya pada bibirnya memberi isyarat agar Lee Cin tidak bersuara. Telinganya yang memiliki pendengaran tajam dan peka sekali itu mendengar sesuatu yang tidak wajar, seperti langkah-langkah kaki orang.
Lee Cin segera dapat menangkap isyarat itu dan ia pun mengerahkan pendengarannya untuk menangkap suara yang tidak wajar. Ia mengangguk-angguk, karena ia pun dapat menangkap suara langkah-langkah kaki yang mendatangi dari jauh!
Tiba-tiba nampak obor yang banyak jumlahnya bernyala dan mereka telah dikepung oleh orang-orang yang memegang obor. Keadaan menjadi terang benderang dan dua orang muda itu melihat puluhan orang telah mengepung mereka! Mereka tidak menjadi gugup, akan tetapi segera berlompatan dari batu yang mereka duduki dan berdiri tegak dan siap siaga.
Ketika Lee Cin memandang, ternyata orang-orang itu dipimpin oleh lima orang yang sudah dikenalnya. Mereka adalah dua orang bersaudara Cia, yaitu Cia Hok dan Cia Bhok, lalu orang Jepang Yasuki, dan yang dua orang lagi adalah Siang-koan Tek dan Ouw Kwan Lok. Masih ada lagi dua orang berusia lima puluh tahun yang berdiri di belakang lima orang ini, yang tidak ia kenal.
Akan tetapi Thian Lee mengenal mereka berdua yang bukan lain adalah Hek-bin Mo-kai dan Sin-ciang Mo-kai. Kiranya dua orang tokoh sesat itu telah bergabung dengan persekutuan pemberontak. Dan sekarang dia melihat bukti bahwa dua orang bersaudara Cia itu benar-benar bersekutu dengan pemberontak dan tokoh-tokoh jahat. Hanya keterlibatan Panglima Phoa yang belum tampak buktinya, akan tetapi dia mengira bahwa tentu puluhan orang anak buah itu merupakan anak buah Phoa-ciangkun, dan melihat golok besar di pinggang para anak buah itu, dugaannya semakin keras karena dia mengenal pasukan golok besar yang merupakan pasukan inti yang ditempatkan di perbatasan-perbatasan. Pasukan golok besar adalah pasukan yang terkenal kuat karena para anggautanya memiliki ilmu golok yang sudah lumayan tangguhnya.
Sebagai seorang yang berpengalaman, melihat sepintas lalu saja tahulah Thian Lee bahwa mereka berdua berada dalam bahaya besar. Dia tahu bahwa lima orang di depan itu, ditambah dua orang tokoh sesat merupakan lawan yang tangguh. Tentu saja dia mampu mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi kalau mereka maju bertujuh, ditambah lagi dengan barisan golok besar yang jumlahnya paling sedikit tiga puluh orang itu, mereka merupakan pengeroyok yang amat kuat. Dia mengkhawatirkan keselamatan Lee Cin maka sambil mengeluarkan pedang Jit-goat-kiam dia berseru, "Cin-moi, larilah cepat!"
Akan tetapi bagaimana gadis perkasa itu mau melarikan diri meninggalkan sahabatnya yang terancam bahaya maut" Ia pun mengeluarkan Ang-coa-kiam yang tadinya melibat pinggangnya dan berkata, "Lee-ko, kita hajar semua anjing srigala ini!"
"Tidak, larilah dari sini, Cin-moi. Biar aku yang menahan para pemberontak ini!" Thian Lee berseru lagi.
Akan tetapi Lee Cin tetap tidak mau beranjak dari situ. "Kita lawan bersama, Lee-ko. Aku tidak dapat meninggalkanmu!" katanya gagah.
Siangkoan Tek tertawa bergelak, merasa menang karena dua orang itu sudah terkepung erat. "Ha-ha-ha, Song Thian Lee. Dalam keadaan terjepit engkau masih berlagak! Nona Souw Lee Cin, lebih baik engkau menyerah. Aku yang menanggung bahwa engkau tidak akan diganggu karena aku masih mengharapkan engkau menjadi isteriku."
"Siangkoan Tek jahanam busuk! Daripada menjadi isterimu aku lebih baik mati!" jawab Lee Cin sambil menudingkan pedangnya ke arah muka pemuda itu, kemudian gadis ini pun menyerang dan menerjang ke depan, pedangnya berkelebat menusuk ke arah dada Siangkoan Tek. Pemuda tampan ini lalu menggerakkan pedangnya menangkis dan mereka segera bertanding dengan serunya. Pedang Lee Cin berkelebatan dan menyambar-nyambar bagaikan kilat, namun Siangkoan Tek yang merupakan lawan yang tangguh sudah menghadang ke arah mana pedang gadis bergerak sehingga semua serangan Lee Cin dapat ditangkisnya.
Sementara itu, Ouw K wan Lok yang mendengar bahwa pemuda itu adalah Thian Lee, musuh utama kedua gurunya, cepat menerjang maju dengan sepasang pedangnya. Gerakannya diikuti oleh kedua saudara Cia yang sudah tahu betapa lihainya Song Thian Lee yang juga mereka ketahui sebagai Panglima Besar Song itu. Melihat ini, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai juga terjun ke dalam pertempuran membantu mereka mengeroyok sehingga Thian Lee kini dikeroyok oleh lima orang yang lihai! Namun Thian Lee tidak menjadi gentar. Yang membuatnya khawatir hanyalah Lee Cin yang sudah terlibat perkelahian seru dengan Siangkoan Tek. Dia memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari penyerangan lima orang pengeroyoknya.
Sementara itu, Yasuki yang melihat Thian Lee sudah clikeroyok lima, segera menggerakkan samurainya untuk membantu Siangkoan Tek mengeroyok Lee Cin.
"Tranggg".. cringgg?"!!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang Ang-coa-kiam menangkis samurai dan pedang di tangan Siangkoan Tek. Lee Cin mengamuk. Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar merah yang menyambarnyambar ke arah kedua orang pengeroyoknya.
Puluhan orang anak buah yang mengepung tempat itu sejenak memandang jalannya pertempuran dengan mata kagum. Mereka kagum melihat sepak terjang Thian Lee yang biarpun dikeroyok lima masih dapat bergerak dengan gesit, berloncatan ke sana sini dan membalas serangan lima orang pengeroyoknya. Juga mereka kagum melihat gadis cantik itu yang biarpun dikeroyok dua masih juga memainkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung. Pemimpin mereka lalu bersuit panjang memberi aba-aba dan majulah puluhan orang itu terbagi menjadi dua. Sebagian mengepung Lee Cin dan sebagian lagi mengepung Thian Lee.
Lee Cin yang dikeroyok dua oleh Siangkoan Tek dan Yasuki, mengamuk dan pedangnya menyambar-nyambar ganas sehingga kedua orang pengeroyoknya itu tidak mampu mendesaknya, bahkan beberapa kali mereka harus cepat mengelak karena sambaran pedang gadis itu amat berbahaya. Dalam keadaan itu, tiba-tiba sedikitnya lima belas orang telah maju membantu. Mereka memegang golok besar dan ada yang tangan kirinya menggunakan obor untuk menyerang Lee Cin! Gadis ini dikepung ketat dan hujan bacokan dan tusukan menyambar ke arah dirinya. Terpaksa ia harus memutar pedangnya melindungi dirinya dan kalau melihat kesempatan, kakinya atau tangan kirinya bergerak cepat merobohkan seorang pengeroyok. Tiba-tiba terdengar suitan pendek dua kali dan para pengepung yang lima belas orang banyaknya itu berlari berputaran mengubah kedudukan dan ketika mereka menyerang lagi, ternyata empat orang tetap memegang obor yang diangkat tinggi-tinggi sedangkan belasan orang yang lain kini memegang sehelai jala! Siangkoan Tek dan Yasuki masih mencoba untuk mendesak Lee Cin. Ketika gadis ini menyingkir dengan lompatan ke pinggir, tiba-tiba dua helai jala melayang dan menerkamnya! Ia terkejut sekali, menggunakan pedangnya untuk dibacokkan ke arah kedua helai jala itu, akan tetapi pedangnya hanya dapat membuat jala itu gagal menerkamnya, tidak mampu merusak benang jala yang ternyata amat ulet dan kuat itu. Serangan Siangkoan Tek dan Yasuki sudah datang lagi dan Lee Cin terpaksa memutar pedangnya sambil melangkah mundur! Ia mulai terdesak. Tibatiba kembali ada jala menerkamnya dari belakang. Ia meloncat ke kanan, akan tetapi dari kanan juga menerkam sehalai jala. Ia melompat ke kiri, kini bahkan ada dua jala menyambutnya dengan terkaman. Ketika ia menangkis dengan pedangnya, dari segala penjuru ada jala menerkam sehingga ia tidak mampu menghindarkan diri lagi. Tubuhnya sudah diselimuti beberapa helai jala dan ia hanya dapat meronta seperti seekor ikan besar masuk ke dalam jala yang kuat. Pedangnya digerakkan ke kanan kiri, akan tetapi tidak dapat merobek jala itu. Siangkoan Tek melompat ke depan dan dari belakang dia menotok pundak Lee Cin, membuat gadis itu terkulai.
Siangkoan Tek lalu mengangkat gadis itu bangkit berdiri, merampas pedangnya, dan melihat betapa Thian Lee masih mengamuk merobohkan banyak anak buah, dia berteriak lantang,
"Song Thian Lee, lihat, aku telah menangkap Souw Lee Cin! Kalau engkau tidak menyerah, aku akan membunuh gadis ini lebih dulu!"
Mendengar seruan itu, Thian Lee terkejut, melompat ke belakang dan memandang. Dia melihat Lee Cin masih terselimuti jala, berdiri dan dipegangi oleh Siangkoan Tek yang menodongkan pedang milik gadis itu di leher Lee Cin! Terjadi pergumulan dalam hati Thian Lee. Kalau dia menyerah, berarti dia akan tewas! Akan tetapi bagaimana dia tega untuk membiarkan mereka membunuh Lee Cin"
"Lee-ko, jangan mau menyerah, mereka tentu akan membunuhmu. Biarkan aku mati, aku tidak takut!" Lee Cin masih sempat berseru sebelum Siangkoan Tek menotok lehernya dan membuat ia terdiam, tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
"Song Thian Lee, kalau engkau menyerah, kami berjanji tidak akan membunuhmu sekarang, tergantung pimpinan kami!" kata pula Siangkoan Tek.
Akhirnya Thian Lee mengambil keputusan. Lebih baik mati bersama Lee Cin daripada membiarkan Lee Cin mati di depan matanya. Dia lalu berkata, "Baik, aku menyerah, jangan bunuh ia!"
Mendengar ini, Ouw Kwan Lok lalu menghampiri Thian Lee dan mengambil pedang Jit-goat-kiam dari tangan panglima itu. "Belenggu kedua tangannya!" perintah Siangkoan Tek.
"Biar kubunuh dia!" teriak Hek-bin Mo-ko dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Lee.
"Takk..... desss......!!" Pukulan ruyung itu tertangkis sepasang pedang Siangkoan Tek dan sebuah tendangan membuat Hek-bin Mo-ko terlempar dan terbanting ke atas tanah.
"Hek-bin Mo-ko, apakah engkau ingin mampus" Aku sudah berjanji tidak akan membunuhnya, tak seorang pun boleh melanggar janjiku!" bentak Siangkoan Tek sambil melotot kepada Hek-bin Mo-ko yang bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan.
"Maafkan aku !" katanya menerima salah.
Malam itu juga kedua orang tawanan itu digiring naik ke sebuah bukit. Para pemegang obor menerangi jalan di depan dan belakang dan akhirnya, menjelang pagi, sampailah mereka di puncak bukit di mana mereka terdapat sebuah bangunan besar. Bangunan itu terjaga oleh puluhan orang anak buah dan Thian Lee bersama Lee Cin digiring masuk ke dalam bangunan besar itu.
Mereka didorong masuk ke dalam sebuah ruangan yang luas. Ruangan itu kosong. Lee Cin dan Thian Lee dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang, didorong duduk di atas bangku. Kedua orang muda ini saling pandang sejenak dan keduanya siap siaga menanti segala yang akan nnenimpa diri mereka. Mereka tidak putus asa. Selama mereka masih hidup, mereka tidak akan pernah putus asa dan selalu akan menggunakan segala kesempatan untuk menyelamatkan diri. Pandang mata Lee Cin terhadap Thian Lee mengandung keharuan dan juga teguran. Gadis ini menyesal mengapa Thian Lee mengorbankan diri untuknya, padahal dengan kepandaiannya, kalau dia mau, pemuda itu masih dapat meloloskan diri ketika dikepung. Akan tetapi ia pun merasa terharu sekali. Pemuda yang pernah dicintanya itu ternyata masih mau mengorbankan diri untuk keselamatannya! Thian Lee melihat apa yang terkandung dalam sinar mata Lee Cin, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu.
Mereka semua juga duduk di atas kursi-kursi yang semua menghadap ke arah dinding di mana terdapat pula beberapa buah kursi merapat dinding. Ruangan itu kosong pada dinding tidak ada hiasan apa pun. Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok duduk di depan, mengapit Thian Lee dan Lee Cin. Yasuki duduk di sebelah kiri Soangkoan Tek. Di belakang mereka duduk Cia Hok, Cia Bhok dan dua orang tokoh sesat itu, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai. Adapun sernua anak buah tidak ikut masuk, mungkin menjaga di luar ruangan, siap untuk menyerbu kalau ada perintah dari dalam.
Ruangan itu diterangi oleh empat buah lampu gantung sehingga keadaannya terang sekali dan semua orang kini memandang ke arah pintu besar di sebelah dalam yang daun pintunya masih tertutup. Agaknya dari situlah para pimpinan akan muncul.
Thian Lee dan Lee Cin juga memandang ke arah pintu dengan jantung berdebar tegang. Siapakah pemimpin komplotan ini" Thian Lee sama sekali tidak takut bahwa dirinya menjadi tawanan. Dia hanya menyesal mengapa Lee Cin tidak menuruti nasihatnya untuk melarikan diri. Dia adalah seorang panglima yang melaksanakan tugasnya. Kalau dia harus mati dalam melaksanakan tugas, dia tidak merasa penasaran. Akan tetapi Lee Cin hanya terbawa-bawa olehnya. Gadis itu tidak terlibat sama sekali. Akan tetapi Thian Lee tidak pernah putus asa. Kedatangannya di Hui-cu sudah diketahui oleh Ji-taijin juga oleh Lai-ciangkun. Kiranya mereka berdua tidak akan berani membiarkan dia, seorang panglima besar, mendapat celaka di daerah mereka. Bukan tidak mungkin sebentar lagi ada pasukan dari Lai-ciangkun yang menyerbu tempat itu dan membebaskannya. Andaikata tidak, dia pun akan dapat membela diri sampai titik darah terakhir.
Akhirnya daun pintu terbuka dan Lee Cin terbelalak memandang kepada Nenek Cia yang memasuki ruangan itu, diikuti oleh Cia Kun. Nyonya Cia Kun dan Cia Tin Siong! Semua orang yang berada di situ bangkit untuk menghormati nenek itu. Nenek Cia memasuki ruangan dengan langkah tegap dan sikapnya angkuh. Ia memegang tongkat naga dan matanya tajam bersinar-sinar ketika ia memandang kepada Thian Lee dan Lee Cin. Di antara mereka, Thian Lee hanya mengenal Cia Tin Siong yang pernah dijumpai dan pernah bertanding dengannya. Yang lain belum pernah dilihatnya.
Lee Cin benar-benar terkejut dan heran sekali. Tak disangkanya bahwa keluarga Cia benar-benar berkomplot dengan para pemberontak dan orang Jepang bahkan agaknya Nenek Cia menjadi pemimpin mereka.
Akan tetapi ketika Tin Siong melihat Lee Cin duduk terbelenggu, dia terkejut sekali dan cepat menghampiri Lee Cin untuk melepaskan belenggunya. Akan tetapi. Nenek Cia menghardiknya.
"Tin Siong, mundur kau!" "Akan tetapi, Nek. Nona Lee Cin tidak bersalah apa-apa. Bahkan ia pernah menjadi tamu kehormatan dan sahabat baik. Mengapa ia ditangkap" Aku tidak setuju, sama seka
Bentrok Rimba Persilatan 16 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bara Naga 10
^