Golok Yanci Pedang Pelangi 2

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Bagian 2


iap melaporkan Nyo-heng kepada mak germonya, untung dicegah Siau Tan,
berbareng ia mengirim kabar kepadaku, jika harus kuminta izin dulu pada Nyo-heng,
mungkin rahasia ini akan bocor, sebab itu segera kuperintahkan menyikat mereka.
Tapi Nyo-heng tak usah kuatir, kedua sosok mayat itu sudah kutelanjangi dan
diletakkan bersama di satu ranjang, orang tentu akan menduga mereka terbunuh
karena berzina." "Ai, Siau Thian, kau terlampau sembrono," kata Ho Leng-hong sambil menghela
napas panjang, "caramu membunuh orang untuk melenyapkan saksi bukan perbuatan
yang terpuji bagi kaum kita." Thian Pek-tat tertawa, "Dalam keadaan terdesak tak mungkin bagiku untuk berpikir
panjang apa yang Siaute lakukan adalah demi kepentingan Nyo-heng, sebab kutahu
nama baik Thian-po-hu ditegakkan dengan susah payah, mana boleh kebesaran nama
ini dihancurkan oleh mulut seorang kecil?"
"Sekalipun demikian, caramu ini terlalu berlebihan, hanya bikin orang merasa tak
tenang saja," kata Leng-hong sambil menggeleng kepala berulang kali.
"Bila Nyo-heng merasa tidak tenang, beri saja sedikit uang agar penguburan mereka
lebih meriah dan urusan kan beres."
Ho Leng-hong benar-benar tak bisa berbuat apa-apa melainkan gelang kepala dan
menghela napas belaka. Sebenarnya dia ingin mohon bantuan Thian Pek-tat untuk menyelidiki sebab
kematian Siau Cui, tapi dengan demikian terpaksa ia harus membatalkan maksudnya
semula. Padahal, sekalipun ia tidak membatalkan maksudnya juga tak bakalan berhasil
usahanya itu. Sebab setelah berturut-turut terjadi empat kali kematian dalam Hong-hong-wan,
semuanya mati dalam keadaan tidak jelas, semakin berkurang tamu yang berkunjung
ke situ, tak lama kemudian rumah "P" itupun terpaksa tutup pintu.
Burung terbang berpencar, manusia pergi gedungnya kosong, rumah pelacuran Honghong-
wan yang ramai itu berubah menjadi sebuah gedung kosong yang
menyeramkan, sekalipun di balik kesepian tersimpan pelbagai rahasia, dari mana pula
rahasia itu akan diselidiki" Dengan demikian, satu-satunya harapan Ho Leng-hong untuk mencari tahu duduk
perkara yang sebenarnya pun putus di tengah jalan, satu-satunya yang bisa ia lakukan
sekarang hanya berdiam terus di Thian-po-hu, dan melanjutkan statusnya sebagai Nyo
Cu-wi yang tersohor karena "takut bini".
Namun demikian tidak berarti ia sudah mengakui dirinya sebagai Nyo Cu-wi.
Ia mengerti, kemungkinan besar peristiwa ini hanya suatu rencana jahat, suatu intrik
yang mengerikan. Ada orang mempergunakan dirinya untuk menyaru sebagai Nyo
Cu-wi, dan orang itu pasti mempunyai maksud tujuan yang menakutkan.
Tapi, maksud tujuan apakah itu" Dia sendiri tak tahu.
Tapi dia percaya, pada suatu saat "tujuan"itu pasti akan terlihat, dan ia yakin hal ini
tak akan terlampau lama. Maka dari itu di harus menanti, menanti dan menanti terus dengan sabar . . . . .
----------------- Menanti adalah suatu pekerjaan yang menjemukan, apalagi Ho Leng-hong harus
mewakili seorang lain serta hidup di lingkungan yang sama sekali asing baginya.
Setiap saat ia harus waspada, harus selalu berhati-hati agar rahasianya tidak diketahui
orang, tapi iapun harus melakukan penyelidikan terus menerus, ia juga berusaha
mengetahui peraturan dalam Thian-po-hu, kebiasaan hidup Nyo Cu-wi, bahkan nama
serta panggilan para pelayannya. Untung segala sesuatunya dapat berjalan lancar. Dalam waktu singkat sebulan sudah
lewat, Ho Leng-hong sudah apal terhadap segala sesuatu yang ada dalam Thian-pohu,
yang lebih hebat lagi, kehidupan "suami-isteri" antara dia dengan Pang Wan-kun
dapat pula berlangsung dengan "klop" tanpa kurang sesuatu.
Pengawasan Pang Wan-kun terhadapnya tidak ketat, asal ia tidak meninggalkan
gedung itu, tidak bergurau dengan pelayan muda, boleh dibilang kehidupannya dapat
berlangsung dengan "bebas".
Lo Bun-pin serta Siau Thian sekalian sahabatnya boleh dibilang setiap hari selalu
berkumpul dan bersenang-senang, kalau bukan minum arak tentu berjudi.....
Hari demi hari dilewatkan dengan penuh kenikmatan, setiap hari kerjanya hanya
makan, minum serta berjudi, suatu pekerjaan seriuspun tak pernah dilakukan.
Selama satu bulan ini, Ho Leng-hong dapat meresapi benar kehidupan keluarga kaya
dan terhormat itu, kerja mereka hanya makan, minum, berjudi dan tentu saja bermain
perempuan, dalam anggapan mereka perbuatannya ini merupakan perbuatan romantis,
padahal sebenarnya perbuatan yang memalukan.
Yang disebut sebagai golongan "pendekar"tidak lebih hanya kulit manusia yang
menutupi wajah masing-masing, yang dilakukan belum tentu perbuatan "manusia".
Sekalipun kadangkala melakukan perbuatan kebajikan, itupun demi nama baik
sendiri, kuatir orang lain tak tahu bahwa mereka yang melakukannya, kuati orang lain
tidak tahu namanya. Berbuat kebajikan supaya diketahui orang lain bukanlah kebajikan yang murni.
Sekalipun Ho Leng-hong bukan seorang Kuncu, toh dia merasa muak menyaksikan
tingkah laku orang-orang kalangan atas ini. Coba kalau tidak ada urusan penting,
sungguh ia ingin mendepak pergi manusia-manusia munafik itu.
Tentu saja ia tak dapat berbuat demikian. Sebab ia sedang menantikan sesuatu yang
sukar diduga, lagi pula rumah ini juga bukan miliknya.
Hari berganti hari, lama kelamaan Ho Leng-hong mulai merasa tak tahan dan habis
sabarnya. Tengah hari itu tiba-tiba ia merasa kesal, pada kesempatan semua orang sedang
berjudi di ruang depan, seorang diri ia kembali ke ruangan belakang.
Hari itu udara panas dan hawa lembab, seperti akan hujan.
Dari Bwe-ji diketahui bahwa Pang Wan-kun baru saja masuk tidur siang, untuk
sementara jelas tak dapat membangunkannya, suasana di ruang belakang amat hening,
para pelayan pada bersembunyi mencari tempat yang sejuk.
Selesai membersihkan badan dan berganti pakaian, Leng-hong enggan kembali ke
ruang depan, maka seorang diri ia berjalan-jalan di taman.
Entah berapa lama ia berjalan, akhirnya tiba di depan Kiok-hiang-sia.
Duduk di dalam villa air yang nyaman, apalagi menghadapi air nan hijau di bawah
embusan angin yang sepoi-sepoi, lama kelamaan orang akan mengantuk.
Ho Leng-hong mengantuk sekali, ia bersandar di atas kursi berbantal tangan.
Di tengah tidur tak tidur, mendadak ia mendengar seperti ada orang sedang berkasakkusuk.
Yang sedang berbicara adalah seorang lelaki dan seorang perempuan, suara mereka
terbawa angin ke dalam rumah, sekalipun tidak terlalu jelas, namun lamat-lamat
terdengar apa yang sedang dibicarakan.
Mula-mula Ho Leng-hong mengira kaum hamba yang sedang melakukan pertemuan
gelap, dia enggan memperhatikannya, tapi lama kelamaan ia merasa apa yang mereka
bicarakan semakin tak beres . . . .
Terdengar yang pria berkata, " . . . menurut berita yang bisa dipercaya, kemarin Jibeng-
kaucu (si monyet dua kuda) sudah tiba di Hong-leng-toh, dalam satu-dua hari ini
pasti akan sampai di tempat tujuan, tiba waktunya nanti kau harus lebih berhati-hati,
jangan sampai jejak kita ketahuan."
"Sungguh aku rada kuatir, konon si monyet dua kuda itu sangat cerdik, kalau sampai
. . . ." "Jangan kau takut," tukas si lelaki, "semuanya sudah kuatur dengan sempurna,
hadapi saja dengan tabah, tapi harus ingat, bila tidak perlu, kurangi berbicara, dengan
begitu tipis kemungkinan jejak kita akan ketahuan."
"Begitu barangnya kita dapatkan, kenapa tidak cepat-cepat kabur" Apa yang harus
kita nantikan lagi?" "Tidak bisa, monyet itu sangat cerdik, siapa tahu secara diam-diam iapun
mengadakan persiapan, kalau sampai ketahuan, pengejaran tentu segera dilakukan,
bukankah hal ini akan merepotkan kita."
"Aku cuma kuatir malam yang terlampau panjang akan banyak menimbulkan impian
buruk, bisa-bisa orang she Ho itu ketahuan rahasianya."
"Jangan kuatir, orang she Ho itu lebih teliti daripadamu, selama sebulan lebih ini
tampaknya ia sudah cukup lumayan, tiba waktunya nanti dia pasti dapat menghadapi
dengan prihatin, tak perlu kuatirkan dia..."
Ho Leng-hong merasakan jantungnya berdebar keras... Orang she Ho" Kalau bukan
aku Ho Leng-hong yang dimaksudkan, siapa lagi" Keparat, ternyata benar, ada suatu
perangkap besar, mereka hendak memperalat aku orang she Ho untuk mendapatkan
suatu "barang". Tapi barang apakah itu" Siapa yang dimaksudkan sebagai Ji-be-kaucu (si monyet dua kuda)"
Ho Leng-hong merasa semangatnya berkobar, rasa lelah dan mengantuk seketika
lenyap, seketika itu juga dia ingin melompat bangun, memburu ke sana, serta mencari
tahu siapa gerangan kedua orang itu . . . . .
Tapi ia tidak berbuat demikian, ia tetap diam saja.
Karena jarak dari villa itu menuju seberang sana cukup jauh, lagi pula medan terlalu
terbuka, ditambah lagi laki-perempuan itu bersembunyi di balik pepohonan yang
rindang, sulit baginya untuk menentukan arah mereka yang sebenarnya.
Bila ia mengejar ke sana melalui jembatan penyeberangan, maka kemungkinan besar
lebih dulu jejaknya akan ketahuan lawan.
Jangan kira Ho Leng-hong sama sekali tak bergerak, kedua matanya seperti lampu
sorot celingukan ke sana kemari, selain memperhitungkan tempat persembunyian
kedua orang itu, diam-diam iapun mencari akal untuk menyeberangi kolam itu.
Dalam pada itu, suara kasak-kusuk masih berkumandang terbawa angin, kedengaran
si perempuan lagi berkata, ". . . . kulihat orang she Ho itu tidak goblok, sekalipun
selama sebulan lebih ia menetap di sini sebagai Nyo Cu-wi dan sedikitpun tidak
menyinggung soal-soal masa lampau, siapa tahu kalau secara diam-diam sedang
menyusun suatu rencana keji?" "Keadaannya sekarang sudah tidak bebas, rencana busuk apa yang bisa ia lakukan"
Sekalipun dia mengatakan yang sesungguhnya, tak nanti ada orang mau percaya lagi
kepadanya." "Apakah atasan telah memberi pesan cara bagaimana kita harus menghadapinya
setelah benda itu kita dapatkan?"
"Tidak ada. Sekalipun ada, itu kan tugas orang lain, tak ada sangkut pautnya dengan
kita. Tugas kita hanya mendapatkan benda itu lain tidak."
Sesaat lamanya perempuan itu termenung, kemudian berkata lagi, "Baiklah, cepatlah
kau keluar, jangan terlalu lama ngendon di sini, nanti mereka curiga."
"Baik! Aku pergi dulu, ingat tugas kita harus berhasil dan tak boleh gagal, harus
berjuang dengan sepenuh tenaga...."
Mendengar sampai di sini, Ho Leng-hong tahu bahwa ia tak dapat menunggu lebih
lama, cepat ia melompat keluar. Ia tidak mengejar lewat jembatan penyeberang, tapi ke atas atap villa itu.
Dari atas atap yang tinggi, pemandangan sekeliling taman dapat dilihatnya dengan
jelas. Benar juga, di balik semak-semak sebelah barat daya sana menyusup keluar dua
sosok bayangan orang, bayangan laki-laki dan yang lain perempuan.
Yang lelaki mengenakan jubah panjang berwarna biru, yang perempuan memakai
gaun berwarna hijau pupus, sayang jaraknya terlampau jauh sehingga raut wajah
maupun potongan badan tak sempat terlihat jelas.
Betapa gelisahnya Ho Leng-hong, tak terpikir lagi harus sembunyi atau tidak, sambil
menarik napas panjang ia melayang lewat kolam dan langsung menubruk ke sana.
Kedua orang itu kabur terpisah, yang lelaki menuju ke ruang depan, sedang yang
perempuan menuju ke belakang, betapa terkejutnya mereka menyaksikan kemunculan
Ho Leng-hong, serentak mereka menyusup lagi ke balik semak-semak.......
"Sobat, kalian tak dapat bersembunyi lagi," bentak Leng-hong. "Lebih baik
menyerahkan diri saja!" Tiada jawaban, suasana di balik semak tetap hening tak terdengar suara apapun.
Pelahan Ho Leng-hong mendekati semak-semak tersebut, lalu katanya lagi,
"Membungkam juga percuma, sejak tadi sudah kuketahui siapakah kalian, tidak
cepat-cepat menggelinding keluar, apakah perlu kupersilakan kalian keluar?"
Tiada jawaban pula di balik semak-semak itu.
Leng-hong mendengus, dengan suatu gerakan gesit ia menerjang ke balik semak . . . .
. . . . Aneh, ternyata di balik semak itu kosong melompong, sesosok bayangan pun tidak
kelihatan! Ho Leng-hong tertegun, andaikata tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
hampir ia tak percaya kedua orang laki-perempuan itu memiliki gerakan secepat itu,
di bawah sinar matahari yang terang benderang, bagaikan setan saja tahu-tahu lenyap
tak berbekas! Dengan penasaran ia melakukan pencarian, namun hasilnya nihil, cepat Ho Lenghong
lari menuju ke gedung belakang. Ia tidak menuju ke ruang depan melainkan ke belakang, pertama ruang depan terlalu
banyak orang, di antaranya ada beberapa orang mengenakan jubah panjang berwarna
biru hingga sukar dibedakan, kedua gedung belakang lebih dekat letaknya, di sana
Cuma ada beberapa orang dayang, untuk menemukan yang perempuan tadi rasanya
tidak sulit. Ketika menerjang masuk ke sana, kebetulan Pang Wan-kun didampingi Bwe-ji
sedang menuruni tangga loteng. Pang Wan-kun mengenakan baju warna kuning telur, rambutnya kusut dan
tampaknya baru saja bangun tidur. Bwe-ji mengenakan baju pendek warna merah dengan gaun berwarna putih, masih
dengan dandanan semula. "Jit-long, kenapa kau?" tegur Wan-kun keheranan melihat tingkah laku suaminya,
"air mukamu kelihatan aneh, kenapa kau awasi kami seperti baru kenal?"
"Kalian baru turun dari atas loteng?" tanya Leng-hong.
"Benar," sahut Bwe-ji, "nyonya baru saja bangun tidur siang. Ada sesuatu yang tidak
beres?" Leng-hong tidak menjawab, kembali tanyanya, "Sewaktu kalian turun, apakah
melihat seseorang lari ke atas loteng?"
"Tidak! Kami tidak melihat apa-apa!" jawab Bwe-ji keheranan.
"Jit-long, siapa yang kau cari?" tanya Wan-kun.
"Seorang perempuan yang mengenakan gaun warna hijau pupus, dengan mata
kepalaku sendiri kulihat ia kabur ke arah sini."
"Ada apa dengan perempuan itu" Kenapa kau kejar-kejar dia?" tanya Wan-kun pula.
"Ia mengadakan pertemuan dengan seorang pria di taman, pertemuan itu kupergoki
tanpa sengaja, dia lantas kabur kemari."
"Wah, celaka, Jit-long, kau berhasil melihat wajahnya?" tanya Wan-kun terkejut.
"Sayang hanya sepintas lalu, tak sempat kulihat jelas."
Wan-kun menarik muka, katanya kepada Bwe-ji, "Sampaikan perintahku, segenap
dayang yang ada di gedung belakang supaya berkumpul di sini, bagaimanapun juga
hari ini dia harus ditemukan. Hm, di tengah hari bolong berani mengadakan
pertemuan dengan kaum pria, betul-betul kurang ajar."
"Tapi Hujin . . . . dayang di gedung belakang puluhan orang banyaknya, apakah . . .
." "Semuanya dikumpulkan di sini, seorangpun tak boleh absen, perintahkan juga
kepada mereka tak boleh berganti pakaian, semuanya segera kemari."
"Jangan, Wan-kun! Tindakan semacam ini hanya akan menggelisahkan semua
orang," cegah Leng-hong, "cukup kita titahkan orang untuk menutup jalan tembus ke
ruang depan, jangan ribut untuk sementara, asal kita adakan pemeriksaan secara diamdiam,
tak sulit untuk menemukan orang itu."
"Perkataan Toaya memang benar" cepat Bwe-ji menanggapi, "dayang yang bekerja
di gedung belakang ada tiga-empat puluh orang, hampir semuanya mengenakan gaun
berwarna hijau pupus, bila kita menyimak rambut mengejutkan ular hingga ia berganti
pakaian lain, ke mana kita akan mencari biang keladinya?"
Kemarahan Pang Wan-kun belum mereda, ia menggentakkan kakinya ke tanah
seraya berkata, "Baiklah, perintahkan untuk menutup semua jalan tembus, siapapun
dilarang masuk keluar, akan kuadakan pemeriksaan sendiri."
Bwe-ji segera melaksanakan perintah itu dengan menutup semua jalan tembus,
pemeriksaan pun dilakukan. Pang Wan-kun memimpin sendiri pemeriksaan tersebut, setiap dayang yang
mengenakan gaun hijau pupus segera digiring ke dalam taman untuk diperiksa oleh
Ho Leng-hong. Tak lama kemudian sudah tujuh belas orang dayang yang digiring ke taman, mereka
mengenakan warna baju yang sama, suara juga sama, namun dari hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa tak seorangpun di antara mereka pernah masuk ke taman
belakang. Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Ho Leng-hong mengulapkan tangan untuk
membubarkan sekalian dayang-dayang tersebut.
Akhirnya setelah bekerja keras setengah hari, bukan saja orang yang dicurigai tak
ditemukan, sebaliknya ia malah menerima gerutuan Pang Wan-kun dan ejekan para
dayang secara diam-diam . . . . Walaupun Leng-hong merasa kecewa, namun tidak putus asa, paling sedikit ia sudah
tahu bahwa dirinya berada di tengah suatu intrik keji mengerikan, dan dalam satu-dua
hari mendatang tentu akan terjadi peristiwa penting.
Tapi peristiwa apa yang bakal terjadi"
Jawabannya akan segera ditemukan bila "si monyet dua kuda" telah tiba di situ.
Peristiwa ini bukan Cuma suatu perangkap, bahakan juga suatu rencana besar yang
mengerikan, suatu peristiwa aneh yang jarang dialami dalam kehidupan orang.
Kini Ho Leng-hong sudah ikut terlibat dalam perangkap itu, mau-tak-mau dia harus


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapinya dengan hati yang sabar, apabila dalam kejadian ini secara beruntun
sudah empat nyawa melayang, andaikan tidak terlibat langsung juga ia tak mau
berpeluk tangan belaka. Manusia hidup seratus tahun akhirnya mati juga.
Daripada hidup tanpa suatu kegiatan, lebih baik hidup sehari secara gegap gempita,
jika mati pun tidak gentar, apalagi yang ditakuti seorang"
Sesudah mengambil keputusan nekat, hati Ho Leng-hong jadi lebih tenang.
Ia tidak berminat untuk menyelidiki siapa lelaki berjubah biru dan perempuan
berbaju hijau lagi, setiap hari kerjanya hanya makan minum, kalau bukan berjudi
tentu minum sampai mabuk, seakan-akan hidupnya hanya untuk berfoya-foya saja.
Ia percaya, bagaimanapun juga orang lain tak akan mengubahnya menjadi Nyo Cuwi
secara Cuma-Cuma, bila "si monyet dua kuda" telah muncul duduknya persoalan
tentu akan ketahuan. Sehari, dua hari lewat dengan cepatnya, tak ada kejadian apapun, "si monyet dua
kuda" yang ditunggu-tunggu juga belum muncul.
Tengah hari ketiga, sewaktu Ho Leng-hong sedang berjudi dengan Lo Bun-pin
sekalian di ruang depan, tiba-tiba muncul seorang Busu memberi laporan, "Kuloya
(tuan ipar) datang!" "Kuloya?" Ho Leng-hong tertegun, "Kuloya siapa?"
"Nyo-heng," Thian kecil si telinga panjang berbisik, "jangan-jangan Pang-loko dari
Cian-sui-hu yang datang." "Kau maksudkan Pang Goan" Jangan bergurau ia jauh berada di Liat-liu-shia, mas
bisa datang ke Lok-yang?" "Tak salah, pasti dia yang datang, dia adalah kakak lenso, kalau bukan dia lantas
siapa lagi?" Air muka Lo Bun-pin tiba-tiba saja berubah hebat, cepat katanya, "Kalau begitu kita
harus cepat-cepat membereskan keadaan di sini, kutahu Pang-loko paling benci pada
segala bentuk perjudian, kalau sampai ketahuan kita bakal dimaki habis-habisan."
"Apa yang mesti ditakuti" Kalian bermain saja dengan permainan kalian, aku akan
keluar untuk menengoknya sebentar, kalau memang dia, langsung akan kubawa dia ke
belakang . . . ." "Tidak usah," tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara dingin, "aku sudah masuk
sendiri." Ho Leng-hong segera menengadah, tanpa rasa ia melengak.
Seorang kakek udik telah berdiri di ambang pintu, usianya lima puluhan, badannya
kurus dan pendek, bibirnya lancip dengan kening yang sempit, sepasang lengannya
luar biasa panjangnya, bajunya berwarna hijau dan hampir putih karena terlalu sering
dicuci, sepatu rumputnya penuh debu kotoran.
Yang paling aneh ia menggendong sebuah bungkusan panjang, bungkusan itu diikat
dengan rantai sebesar ibu jari, dan ujung rantai yang lain melilit pada lehernya.
Beginikah tampang It-kiam-keng-thian (pedang sakti penunjang langit) Pang Goan
yang tersohor dari Cian-sui-hu di Liat-liu-shia"
Hakikatnya tidak lebih gagah daripada seorang petani desa.
Meski begitu, tak seorangpun di antar hadirin dalam ruangan berani memandang hina
orang ini. Jangan dikira bajunya kasar dan mukanya lucu, ia mempunyai mata yang lebih tajam
daripada sembilu, sinar mata yang kemerah-merahan membuat jeri orang sehingga
semua orang sama diam, bahkan bernapas saja tak berani keras.
Dari sorot matanya semua orang tahu tenaga dalamnya sudah mencapai puncak
kesempurnaan, bahkan yang dilatihnya adalah Tay-yang-sin-kang dari Khong-tongpay
yang paling sukar dilatih. Ho Leng-hong pernah mendengar nama besar Pang Goan, tapi belum pernah
berjumpa dengan "kakak ipar" ini, terperanjat juga hatinya setelah berhadapan
sekarang. Ia bukan kaget lantaran mata Pang Goan yang membetot sukma, ia terkesiap karena
potongan badannya serta raut wajahnya yang luar biasa itu.
Tubuhnya kurus kecil, kedua tangannya justru luar biasa panjangnya, bibir yang
lancip dengan kening sempit, ditambah sepasang Kim-cing-hwe-gan (mata emas
merah berapi) yang tajam.... Bentuknya tiada ubahnya seperti seekor monyet"
Sekarang ia baru mengerti yang dimaksudkan "dua kuda" adalah tulisan "Pang", atau
dengan perkataan lain "monyet dua kuda" bukan lain adalah Pang Goan.
Begitu menyadari persoalan tersebut Ho Leng-hong merasa bergidik, cepat ia bangun
berdiri dan memberi hormat. "Sungguh tak kusangka kakak akan berkunjung kemari...." katanya.
Pang Goan mendengus, "Hm, akupun tak menyangka Thian-po-hu yang tersohor
telah menjadi rumah judi yang ramai."
"Lotoako jangan marah," buru-buru Leng-hong berkata sambil tertawa, "mereka ini
adalah sahabat-sahabat Siaute, lantaran iseng, tak ada pekerjaan, maka kami bermain
judi untuk membuang waktu....."
"Hm, jadi kedatanganku tentunya mengganggu....."
"Ah, kenapa Lotoako berkata demikian" Sekalipun diundang saja belum tentu engkau
mau datang....." "Kalau begitu, kenapa tidak lekas enyahkan mereka dari sini!"
"Baik, baik, mereka memang sudah mau bubaran, silakan duduk dulu Lotoako!"
"Tak usah sungkan-sungkan," dengan tajam Pan Goan menyapu pandang semua
orang itu, lalu berkata pula, "kalian tidak tahu diri, apakah perlu aku orang she Pang
melemparkan kalian satu persatu?"
Mendengar ancaman tersebut, semua orang berseru, "Baik, kami segera pergi! Harap
Pang-toako jangan marah!" Sungguh menggelikan, kawanan jago ternama dari Lok-yang ini ternyata diusir
mentah-mentah oleh Pang Goan, bukan saja tak berani membantah, berdiam sedetik
lebih lama pun tidak berani. Ho Leng-hong merasa geli, tapi wajahnya pura-pura mengunjuk sikap serba salah.
"Jit-long," kata Pang Goan sambil menggeleng kepala, "bukan maksudku ingin
menasihatimu, tapi perbuatanmu memang kelewat batas, seorang muda kenapa tidak
berusaha untuk maju, sebaliknya tiap hari kerjanya hanya minum dan berjudi
melulu?" "Harap Toako jangan marah, "kata Leng-hong dengan tersipu-sipu, "kebetulan saja
hari ini Siaute menyelenggarakan pertemuan semacam ini, padahal hari-hari biasa
juga tidak demikian." "Kebetulan saja" Tak kusangka kau masih berani berkata demikian, manusia hidup di
dunia ini paling-paling Cuma puluhan tahun, waktu yang lewat tak mungkin
ditemukan kembali, enak saja kau menerima warisan orang tua dan saudarasaudaramu,
sekalipun tak pernah mengalami susah payahnya mendirikan keluarga
jaya ini, sedikitnya kau memikirkan untuk mempertahankan nama baik keluarga, tapi
kerjamu selama ini bukan saja malu terhadap leluhur dan kakak-kakakmu, malu juga
terhadap anak isteri, bukan berjuang untuk kemajuan, kau masih iseng berbuat hal-hal
yang kurang baik ini." Ho Leng-hong tidak menyangka "kakak iparnya" adalah seorang yang alim dalam
tata kehidupan, terpaksa ia tundukkan kepala rendah-rendah.
"Terima kasih untuk nasihat Toako, selanjutnya Siaute tentu akan memperbaiki
kelakuanku," kata Leng-hong. "Memperbaiki diri" Hm, gampang saja kaubicara, tapi sudah sekian lama kau bergaul
dengan teman-teman semacam itu, matamu sudah ternoda dan telingamu sudah kotor,
kebiasaan jelek sudah meresap dalam tubuhmu, memangnya kau anggap mudah untuk
memperbaikinya?" "Lain kali Siaute tak akan berhubungan lagi dengan mereka!" Leng-hong
memberikan janjinya. "Soal ini memang bicara gampang tapi sukar untuk melaksanakannya, hubungan
antara sesama Siaujin manis bagaikan madu, siapa dekat dengan gincu akan menjadi
merah, siapa dekat tinta bak akan menjadi hitam, aku tidak percaya kaudapat putuskan
hubungan dengan mereka." Ho Leng-hong didamperat hingga tak bisa mendongakkan kepalanya, diapun tak bisa
marah, terpaksa menjawab sambil tertawa getir, "Menurut perkataan Toako, bukankah
Siaute tak bisa ditolong lagi?"
Pang Goan menggeleng kepala berulang kali, "Dari penghemat menjadi pemboros
lebih gampang, dari pemboros menjadi penghemat justru sukar, begitulah kebiasaan
manusia. Ai, jika kau tak mau berjuang untuk kemajuan, aku tak ingin menyalahkan
dirimu, aku hanya benci pada kebodohanku sendiri."
"Kau benci pada kebodohanmu sendiri?"
"Kenapa tidak" Bila sejak semula kutahu kau ini manusia tak becus seperti ini, masa
aku mau menjodohkan adikku kepadamu?"
"Sudahlah, Lotoako, nasihat sudah kau berikan, makian juga sudah cukup, sekarang
duduklah lebih dulu, akan kupanggilkan Wan-kun untuk menemani kau bercakapcakap."
Begitulah, setelah minta maaf, mengaku salah, setengah membujuk dan memberi
hormat, dengan susah payah akhirnya Pang Goan berhasil juga dibujuk untuk duduk,
cepat Leng-hong menyuruh orang mengundang Pang Wan-kun di belakang.
"Tak usah tergesa-gesa" cepat Pang Goan mencegah, "soal rumah tangga kapan saja
bisa dibicarakan, sekarang justru aku ada urusan penting yang hendak kubicarakan
empat mata denganmu." "Ah, soal apa yang hendak Lotoako bicarakan" Silakan memberi petunjuk."
Pang Goan melirik sekejap sekeliling tempat itu, lalu katanya, "Tempat ini terlampau
ramai, bukan tempat ideal untuk berbicara, adakah suatu tempat yang sepi?"
"Kiok-hiang-sia di taman belakang adalah tempat yang baik."
"Baik! Mari kita ke sana."
Sambil membawa Pang Goan ke belakang, sepanjang jalan Ho Leng-hong berpikir,
"Ya, akhirnya datang juga, yang mau dibicarakan pasti menyangkut buntalan di
punggungnya itu, kalau ditinjau dari sikapnya yang serius, benda itu tentu amat
berharga sekali . . . . . ." Dugaannya memang tidak keliru, baru saja duduk dalam villa itu, Pang Goan telah
mengeluarkan sebuah anak kunci dari sakunya, lalu membuka rantai di tubuhnya dan
melepaskan buntalan kain itu. Ho Leng-hong tak tahu benda apakah dalam bungkusan itu, tapi bila dilihat dari
bentuk serta bobotnya yang berat, kemungkinan besar adalah sebangsa kotak logam.
Pang Goan meletakkan bungkusan itu di meja, lalu katanya dengan wajah
bersungguh-sungguh, "Jit-long, kita masih saudara, aku yang menjadi kakakmu
inipun suka berterus terang, ada sepatah kata hendak kutanyakan kepadamu, dan
kuharap kau bersedia menjawab dengan sejujurnya pula."
"Silakan bertanya Lotoako, Siaute pasti akan menjawab dengan sejujurnya, aku tak
akan membohongimu." "Bagus! Terus terang akuilah berapa banyak yang berhasil kaukuasai dalam
permainan golok sakti keluarga Nyo kalian?"
"Tentang ini . . . ." "Tak usah mengibul, aku ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya."
Ho Leng-hong berpikir sebentar, lalu menjawab, "Bakat maupun kecerdasan Siaute
sangat terbatas, mungkin hanya empat bagian yang berhasil kukuasai."
Ia agak jeri terhadap sinar mata Pang Goan yang lebih tajam dari sembilu itu,
karenanya ia tak berani bicara terlalu banyak.
"Aku sendiri kebetulan juga berlatih ilmu golok," demikian ia berpikir, "sekalipun
bukan golok sakti keluarga Nyo yang kupelajari, pada hakikatnya ilmu silat di dunia
ini bersatu sumber, kalau kukatakan empat bagian mungkin bolehlah."
Siapa tahu Pang Goan segera menggeleng kepala berulang kali, "Bila menurut
pengamatanku, mungkin empat bagian pun belum berhasil kaucapai."
"Oya!" "Bakat maupun kecerdasanmu tidak jelek, mestinya tak mungkin hanya mencapai
empat bagian saja, tapi bila kulihat caramu bersenang-senang setiap hari dengan
begundalmu itu, sudah pasti ilmu silatmu terbengkalai sama sekali, oleh sebab itulah
aku hanya berani menilai bahwa kepandaianmu Cuma mencapai tiga bagian saja."
Ho Leng-hong tertunduk malu. "Jit-long, kita adalah famili dekat, bukannya aku yang menjadi kakak ingin
mengomeli kau, tapi kalau keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, cepat atau lambat
nama Thian-po-hu pasti akan rontok ditanganmu, sementara jangan kita singgung
dulu makna yang sebenarnya dari ikatan perkawinan antara Thian-po-hu dengan Ciansui-
hu, coba kautanya kepada hati nuranimu sendiri, apakah kau dapat
mempertanggung-jawabkan dirimu terhadap ayahmu yang membangun kejayaan
keluarga ini dengan susah payah"Masih punya mukakah kau untuk bertemu dengan
kakak-kakakmu yang telah mati secara perkasa dan ikhlas?"
"Membangun kejayaan keluarga dengan susah payah" tak sulit diserap maknanya,
tapi apa pula yang dimaksud "mati secara perkasa dan ikhlas?"
Nama kecil Nyo Cu-wi adalah "Jit-long" atau si ketujuh, jadi di atasnya masih ada
enam orang kakak, apakah keenam saudaranya telah mati semua secara perkasa dan
ikhlas. Mengapa mereka mati secara perkasa dan ikhlas.
Apa pula makna yang seberanya di balik ikatan perkawinan antara Thian-po-hu
dengan Cian-sui-hu" Dengan sorot mata tajam Pang Goan mengawasi Ho Leng-hong sekian lama, tibatiba
ia menghela napas dan membuka bungkusan kain di meja.
Betul juga, isinya adalah sebuah kotak besi yang berwarna hitam mengkilap.
Kotak besi itu digembok pula. Pang Goan tidak membuka kotak itu lagi, tapi berikut sebuah anak kunci bendabenda
itu di dorong ke hadapan Ho Leng-hong.
"Benda ini adalah milik keluarga Nyo kalian." Demikian katanya, "batas janji selama
dua tahun sudah penuh, dan sekarang aku membawanya sendiri kemari serta
diserahkan kembali kepadamu, Cuma ada satu persoalan harus kuberitahukan
kepadamu." Ho Leng-hong ingin sekali mengetahui benda apa yang ada di dalam kotak besi itu,
terpaksa ia bersabar untuk menunggu kelanjutan ucapannya..
Terdengar Pang Goan berkata pula, "Sepanjang perjalanan menuju ke timur sini,
sudah empat kali kurasakan jejakku dibuntui orang, rupanya mereka hendak mencuri
benda ini. Malah dua diantaranya sudah menyusup ke dalam kamarku, setelah
beruntun kulukai dua orang diantaranya, benda ini berhasil kuantar sampai di sini
dengan selamat." "Siapakah orang-orang itu?" tanya Leng-hong sambil mendongak.
"Masa perlu kautanyakan" Dua tahun belakangan ini, meski dunia persilatan
tampaknya tenang dan tak pernah terjadi sesuatu apapun, bukan berarti orang lain
telah mengendurkan pengawasannya terhadap kita."
"Hm . . ." Leng-hong mendengus.
Ia tak tahu siapakah "orang" yang dimaksudkan itu, iapun tak tahu kenapa ada orang
mengawasi Thian-po-hu dan Cian-sui-hu.
Tapi dengusan tersebut menunjukkan bahwa ia marah sekali atas kejadian tersebut.
Tapi ada juga satu hal yang diketahuinya, yakni ada orang mengincar barang dalam
kotak besi ini dan berusaha mencurinya, bahkan orang-orang itu sudah menyelundup
ke dalam Thian-po-hu. Cuma sayang ia tak dapat memberitahukan urusan ini kepada Pang Goan.
Pang Goan memandangnya sambil tertawa hambar, lalu berkata, "Marah tak akan
menolong dalam urusan ini, selama dua tahun benda ini berada di tanganku, sedikit
banyak pihak lawan masih agak jeri padaku, tapi sekarang sesudah kuserahkan
kembali kepadamu, yakinkah kau dapat melindunginya serta tidak akan jatuh ke
tangan orang lain?" "Siaute akan berusaha dengan sepenuh tenaga."
"Dalam hal ini bukan soal berusaha dengan sepenuh tenaga atau tidak," kata Pang
Goan sambil menggeleng, "tapi yakinkah kau dapat melindunginya?"
Ho Leng-hong termenung sejenak, lalu sahutnya, "Aku tak berani mengatakan punya
keyakinan, tapi aku mempunyai akal bagus untuk menjamin keselamatannya."
"Oya"!" Pang Goan berkerut kening, jelas ia tak percaya.
Ho Leng-hong menempelkan jari tangannya pada bibir, lalu menulis beberapa huruf
di atas meja, begitu selesai dibaca tulisan itu cepat-cepat dihapus.
"Bagaimana pendapat Lotoako akan siasat ini?" ia bertanya lirih.
Pang Goan mengernyit alis, sekali ini jelas sebagai tanda memperingatkan agar
waspada. Menyusul dengan suara rendah ia berbisik, "Menurut anggapanmu, mereka akan
turun tangan di gedung ini?" "Dalam hal ini bukan soal mungkin atau tidak melainkan mereka pasti akan turun
tangan dalam gedung ini," jawab Ho Leng-hong menirukan nada orang.
Pang Goan tertawa, ia tepuk bahu Ho Leng-hong seraya berkata, "Jit-long sungguh
tak kusangka kau dapat berpikir secerdik ini, baik kita lakukan begitu saja."
Anak kunci segera diambil dan kotak besi pun dibuka.
Dalam kotak besi terdapat pula sebuah kota yang terbuat dari kayu, di tengah kotak
kayu dengan alas kain merah tersimpanlah sebilah golok dan sejilid kitab pusaka ilmu
golok. Golok itu pakai sarung terbuat dari kulit ular, gagangnya disepuh emas dengan empat
huruf yang terbuat dari batu permata, "Yan-ci-po-to" atau golok pusaka gincu merah.
Kitab pelajaran ilmu golok hanya terdiri dari beberapa halaman, pada kulit buku itu
tertera huruf yang berbunyi: Tay-sin-pat-to (delapan jurus golok malaikat sakti),
itulah ilmu golok keluarga Nyo. Perlahan Ho Leng-hong mencabut golok itu, seluruh tubuh golok berkilat bagaikan
cermin, lamat-lamat tampak pancaran sinar merah jambon.
"Golok bagus!" pujinya dalam hati.
Sebenarnya di ingin memeriksa juga kitab pusaka itu, tapi niatnya dapat ditahan.


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebab baik golok maupun kitab pusaka itu kan miliknya sendiri, adalah lucu kalau
dia tertarik pada benda miliknya sendiri.
Dari atas dinding ia menanggalkan sebilah golok biasa, lalu dimasukkan ke dalam
kotak besi dan kemudian kotak itu dikunci kembali.
Setelah itu ia membungkus golok dan kitab pusaka itu dengan secarik kain kumal,
bungkusan itu dimasukkan ke dalam laci di bawah almari.
"Aman tidak kalau disimpan di sini?" tanya Pang Goan dengan suara agak parau.
"Semakin terbuka tempat seperti almari ini semakin aman, bila mereka hendak
mencari golok pusaka, tak mungkin akan mereka perhatikan laci tempat barang
rongsokkan semacam ini, sekalipun laci dibuka, merekapun tak akan menyangka
golok pusaka dibungkus dalam secarik kain kumal."
Pelahan Pang Goan mengangguk, "Aku hanya ada waktu tiga atau lima hari, aku
masih harus pergi ke Sengtoh, mudah-mudahan aku tidak tertahan terlalu lama di
sini." "Tiga sampai lima hari sudah lebih dari cukup, selama beberapa hari ini silakan
Lotoako berdiam di sini, aku percaya mereka pasti akan lebih gelisah daripada kita."
Tengah bicara tiba-tiba terdengar suara gemerencing perhiasan orang perempuan,
tampak Bwe-ji sedang menyeberangi jembatan.
Cepat Ho Leng-hong memberi tanda kepada Pang Goan dengan kerlingan mata, lalu
kotak besi itu buru-buru dibungkus dengan kain, dirantai dan dikunci kembali.
Bwe-ji telah masuk ke dalam ruangan, ia memberi hormat lebih dulu kepada Pang
Goan seraya berkata, "Ketika Hujin mendengar tentang kedatangan Kuloya, ia merasa
gembira sekali. Perjamuan telah disiapkan, hamba perintahkan datang untuk minta
petunjuk Loya, perjamuan akan diselenggarakan di ruang belakang ataukah diantar ke
Kiok-hiang-sia sini?" Pang Goan masih mengusirkan golok pusaka, jawabnya setelah berpikir sebentar,
"Tempat ini bagus sekali, mana nyaman dan tenang lagi."
"Begitupun boleh," sambung Ho Leng-hong segera, "sesudah melakukan perjalanan
jauh, Lotoako memang harus membersihkan badan dan beristirahat lebih dulu, biar
Siaute mengantar benda ini ke dalam kamar, kemudian baru datang kemari lagi
bersama Wan-kun." Pang Goan tidak menghalangi, sambil mengulapkan tangan ia berkata, "Kita adalah
orang sendiri, asal bisa bertemu dan bercakap-cakap, itu sudah cukup, kenapa musti
sungkan-sungkan?" Sambil mengempit kotak besi itu Ho Leng-hong pun mohon diri dan berlalu, sedang
Bwe-ji tetap tinggal di situ melayani Pang Goan membersihkan badan.
Sekembali Leng-hong di belakang, Pang Wan-kun telah selesai berdandan dan
sedang menantikannya, begitu berjumpa ia lantas bertanya, "Kudengar Koko begitu
masuk pintu lantas marah-marah, apa gerangan yang terjadi" Dari tadi sampai
sekarang kalian bercakap-cakap terus di Kiok-hiang-sia sampai pelayanpun tak boleh
masuk, sebetulnya apa yang sedang kalian bicarakan?"
Ho Leng-hong tertawa, katanya sambil menunjuk kotak besi itu, "Apa lagi kalau
bukan lantaran benda ini, kakakmu sengaja mengantarnya pulang, begitu masuk pintu
ia lihat mereka sedang bermain dadu, langsung saja aku di damperatnya habishabisan."
"Ya, memang begitulah watak Koko, dia berangasan dan pemarah, seolah-olah hanya
dia sendiri yang suci di dunia ini, Jit-long, kau tidak marah kepadanya bukan?"
"Tentu saja tidak," Ho Leng-hong tertawa, "kendatipun perkataannya kurang sedap
didengar, tapi semuanya demi kebaikanku, apalagi kau hanya punya seorang kakak,
kecuali menerima nasihatnya, apalagi yang dapat kita katakan?"
Wan-kun menghela napas panjang, "Ai, tak kusangka kaudapat menyelami
perasaannya, bicara sejujurnya, meski kami adalah saudara, tapi umur kami selisih
separo lebih, jangankan kau, aku pun agak takut untuk bertemu dengannya."
"Mau menghindari juga percuma sekarang, lebih baik simpan dulu benda itu,
perjamuan diselenggarakan di Kiok-hiang-sia, sebentar kita ke sana bersama."
Ketika menerima kotak besit itu, tiba-tiba air muka Wan-kun berubah serius,
bisiknya, "Apa isi kotak ini...."
"Kitab pusaka dan golok pusaka Yan-ci-po-to!"
"Ah, jadi kita menikah sudah dua tahun lamanya?" kejut dan girang Wan-kun.
"Siapa bilang tidak, kedatangan kakakmu ini justru khusus untuk mengantarkan
golok mestika dan kitab pusaka ini."
Kotak besi itu dipeluk Wan-kun erat-erat, lalu setelah tarik napas panjang ia
bergumam, "Waktu sungguh cepat berlalu, dua tahun telah lewat dalam sekejap mata,
bila terkenang kembali ketika kaudatang ke Cian-sui-hu untuk melamarku dua tahun
yang lalu, rasanya seperti kejadian kemarin saja."
"Padahal tidak terhitung lama, paling-paling cuma tujuh ratus hari saja," sambung Ho
Leng-hong sambil tertawa. "Jit-long, tak heran kalau Koko marah-marah, dua tahun belakangan ini kita benarbenar
telah menelantarkan pelajaran silat kita, bukan saja kerjamu setiap hari hanya
bersenang-senang main judi dan minum arak, akupun tak pernah memikul tanggung
jawab dengan sesungguhnya, mulai hari ini . . . . . "
"Mulai hari ini aku pasti akan mawas diri baik-baik, berlatih ilmu golok secara tekun
untuk mencapai kemajuan yang pesat, nah puas" O, isteriku yang bijaksana, jangan
lupa kakakmu masih menunggu di Kiok-hiang-sia untuk bersantap malam, kalau kita
sebagai tuan rumah tidak lekas ke sana, masa menyuruh sang tetamu menunggu
dengan perut lapar?" "Hm, orang lagi bicara serius denganmu, kau malah cengar-cengir belaka," omel
Pang Wan-kun melotot sekejap ke arahnya.
"Melayani kakak ipar juga terhitung urusan serius, Hujin, kita harus berangkat
sekarang." Pang Wan-kun segera berbangkit, mengambil kunci dan membuka almari
pakaiannya. "Jangan kau simpan dalam lemari," Leng-hong mencegah, "golok dan kitab itu
adalah pusaka keluarga Nyo kita, sekali-kali tidak boleh hilang."
"Tempat ini kamar tidur kita, siapa yang berani melakukan pencurian dalam Thianpo-
hu kita?" "Kukira lebih baik berhati-hati, sebab menurut penuturan kakakmu, sepanjang
perjalanan katanya banyak orang yang menguntitnya dan berusaha mencuri golok
pusaka ini." "Ah, masa betul begitu?" Wan-kun tercengang.
"Tentu saja betul, justru demi keamanannya, kakak telah menggunakan rantai dan
menggembok kotak ini di lehernya."
"Lantas benda ini harus di simpan di mana baru aman?" tanya Wan-kun sambil
celingukan ke sana kemari. "Lemari besi yang kau pakai untuk menyimpan perhiasan itu kuat sekali, akan lebih
aman kalau kita simpan di sana saja. Nah, masukkan ke lemari besi itu untuk
sementara waktu." Wan-kun manggut-manggut, dia lantas membuka lemari besi di sudut kamar sana.
Dinding lemari besi itu tebalnya empat-lima senti dengan berat ratusan kati, bukan
saja ditanam di dinding sehingga hanya pintu lemari saja yang menongol di luar, dari
dalam sampai luar pun ada tiga lapis kunci yang sangat kuat.
Tempat sekuat ini hanya ada satu kekurangan, yakni ruang lemari tersebut terlampau
sempit, apalagi di situ sudah tersimpan beberapa kotak perhiasan, boleh dibilang
sudah tiada tempat lagi untuk menyimpan golok tersebut.
Ho Leng-hong turun tangan sendiri untuk memindahkan kotak perhiasan ke lemari
pakaian, kemudian setelah memasukan golok tersebut ke dalam lemari besi, lalu
dikunci dan anak kunci itu dimasukkan ke dalam saku sendiri.
"Jit-long, masa akupun tidak kaupercayai?" keluh Wan-kun setelah menyaksikan
perbuatan suaminya. "Bukan begitu maksudku, bukankah perhiasanmu sudah dipindah semua ke almari
pakaian" Kau kan sudah tidak membutuhkan anak kunci lagi. Lagipula kuperlukan
melatih ilmu golok itu secara tekun, bila kuncinya kubawa, maka setiap saat bisa
kulakukan latihan dengan lebih leluasa."
"Begitupun bolehlah," Wan-kun tertawa, "golok pusaka itu telah kausimpan sendiri,
anak kuncinya berada pula di sakumu, jadi seandainya hilang kan tak ada sangkut
pautnya lagi denganku." Leng-hong hanya tertawa dan tidak menanggapi. Begitulah bersama Pang Wan-kun
berangkat mereka menuju ke Kiok-hiang-sia.
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***---
Perjamuan diatur dengan sangat mentereng, hidangan pun amat banyak dan aneka
ragam, sayang suasananya agak kaku.
Mungkin hal ini disebabkan selisih umur yang terlampau banyak antara kedua
bersaudara Pang, mungkin juga lantaran Wan-kun agak jeri terhadap kakaknya,
kecuali dalam sopan santun, hampir boleh dibilang perempuan itu tundukkan kepala
belaka. Pang Goan sendiri mungkin memang berwatak kurang suka bicara, mungkin juga
lantaran kuatir golok Yan-ci-po-to, sikapnya amat kaku dan jarang berbicara.
Lebih-lebih Ho Leng-hong, ia kuatir banyak berbicara hanya akan membongkar
rahasia sendiri, maka ia makin jarang bersuara.
Pokoknya perjamuan ini berlangsung dalam keadaan kaku dan tidak meriah, setelah
minum beberapa cawan arak dan paksakan diri bersantap sedikit, perjamuan pun
diakhiri. Selesai bersantap, minuman teh dihidangkan. Inilah saat yang biasa dipakai untuk
membicarakan soal-soal kecil tapi lantaran tiada soal "kecil" yang dibicarakan, maka
sesudah duduk kaku sejenak, Ho Leng-hong dan Pang Wan-kun lantas mohon diri.
Pang Goan tidak mengalangi mereka, katanya dengan hambar, "Aku akan berdiam
beberapa hari lagi di Lok-yang, pada kesempatan ini kita harus berlatih sebaikbaiknya
To-kiam-hap-ping-tin (perpaduan golok dan pedang), Siaumoay (adik) juga
harus bersiap-siap." "Toako suruh aku ikut pula dalam latihan To-kiam-hap-ping-tin?" tanya Wan-kun.
"Tentu saja, selama dua tahun ini hakikatnya kau tidak melaksanakan kewajiban
untuk melakukan pengawasan, sekarang waktunya tidak banyak lagi, kau harus ikut
serta dalam barisan ini untuk menutupi kekurangannya."
Wan-kun hanya mengangguk tanpa membantah.
Setiba kembali di kamarnya, dengan sedih ia mengomel kepada Ho Leng-hong, "Jitlong,
coba pikirlah, selama beberapa tahun ini demi mendorong kemajuanmu, aku tak
segan-segan menerima tuduhan orang sebagai perempuan judas dari Thian-po-hu, hari
ini aku ditegur oleh kakak, bayangkan sendiri apakah aku tak pernah menasihatimu"
Mulai hari ini kauharus menuruti perkataanku!"
"Wan-kun, tak usah bersedih hati," hibur Leng-hong sambil membelai sang isteri,
"Toako tidak dapat memahami bagaimana kesenangan seseorang yang baru kawin,
sebab itulah kau kena teguran."
"Kakak ibaratnya pengganti orang tua, aku tak akan murung lantaran didamprat
olehnya, aku hanya benci pada diriku sendiri, benci akan nasibku yang jelek hingga
suami sendiripun tidak percaya kepadaku . . . . ."
"Eh, kapan aku tidak percaya kepadamu?"
"Ai, tak usah disinggung lagi," Wan-kun menggelengkan kepala berulang kali.
"Tidak, kau harus mengatakan kepadaku, sebagai suami-isteri yang bahagia tak boleh
ada rahasia yang disembunyikan dalam hati masing-masing, sebab hal ini sangat
mempengaruhi saling percaya antara suami isteri."
"Ah, aku hanya berbicara seadanya saja, coba lihat, kau lantas menganggapnya
serius." Wan-kun tertawa. "Wan-kun, jangan bohongi aku, kupercaya ucapanmu muncul cari sanubarimu yang
sesungguhnya, tak mungkin hanya bicara main-main belaka."
"Sungguh, aku tidak apa-apa, kau tak boleh menebak secara ngawur!"
"Supaya aku tidak menebak secara ngawur, harus kaukatakan yang sesungguhnya
kepadaku." "Jit-long, kenapa kau hari ini" Hanya sepatah kataku yang tidak sengaja kenapa
kaudesak terus untuk mengetahui sejelas-jelasnya?"
"Sebab belum pernah kauucapkan kata-kata semacam ini, tentu ada suatu urusan
yang tidak berkenan di hatimu sehingga tanpa terasa kau mengucapkan kata-kata
seperti itu." "Ah, itu hanya sentuhan hati kecil belaka, bukan urusan yang membuat aku tak
senang, sudahlah, jangan kautanyakan lagi."
"Tidak, aku harus tahu, kalau tidak aku tak bisa tidur nyenyak malam nanti."
"Kau sungguh-sungguh ingin tahu?"
"Tentu saja!" "Harus mengetahuinya?" "Ya, harus mengetahuinya."
Tiba-tiba Pang Wan-kun tertawa cekikikan, sambil mencolek jidat Leng-hong dengan
jari ia berkata, "Tolol, coba lihat betapa kau cemas. Baiklah akan kuberitahukan
kepadamu, aku hanya tak enak hati lantaran persoalan sore tadi, maka sengaja kugoda
dirimu." "Urusan sore tadi" Urusan apa?"
Wan-kun mengerling sekejap dan berkata, "Apa lagi" Tentu saja soal menyimpan
golok pusaka tadi, bukan saja lemari perhiasanku kaukangkangi, bahkan anak
kuncinya ikut dibawa, bukankah ini sama artinya dengan tidak percaya lagi
kepadaku?" "O, jadi bicara pulang pergi, rupanya kau tak senang hati lantaran persoalan itu."
"Kenapa?" Wan-kun mencibir, "kau tidak tahu sikapmu pada waktu itu, seolah-olah
aku kauanggap sebagai pencuri yang setiap saat bisa melarikan golok rongsokanmu
itu, tentu saja aku merasa tak senang hati."
Sambil berkata dengan muka masam dia bangkit dan duduk di ujung pembaringan
sana. Cepat Leng-hong mendekatinya dan berkata, "Sudahlah, jangan marah, tak ada
harganya untuk marah lantaran urusan sekecil itu, jangan menaruh curiga apa-apa.
Aku mengambil anak kunci itu hanya supaya leluasa saja."
"Aku adalah isterimu, apakah kurang leluasa bila anak kunci itu aku yang
menyimpan" Toako suruh aku ikut serta dalam latihan To-kiam-hap-ping-tin, apakah
aku tidak boleh ikut membaca isi kitab pusaka Nyo-keh-sin-to tersebut."
"Boleh, tentu saja boleh," Leng-hong tertawa, "Nah, kuncinya ada di sini, sekarang
kuminta maaf dan mengembalikan kunci ini kepadamu, tentunya amarahmu bisa
mereda buka?" "Huh, sekarang baru dikembalikan kepadaku, siapa yang sudi?" omel Wan-kun
seraya melengos. Leng-hong sisipkan anak kunci ke balik baju bagian dadanya, lalu tertawa lirih, "Kau
tak sudi anak kunci ini, justru anak kunci ini sudi kepadamu, lantas bagaimana
baiknya?" "He, kau cari mampus," jerit Pang Wan-kun sambil melompat bangun.
Tentu saja Leng-hong tak membiarkan dia kabur sebab anak kunci masih berada
dalam baju dadanya, ia harus mengambilkan pula....
Gara-gara ingin mengambil anak kunci, kedua orang lantas bergumul di atas
pembaringan. Maka terdengarlah suara tertawa cekakak dan cekikik, lalu suara napas yang
tersengal-sengal, menyusul lampu lantas padam dan.....
Malam begitu indah, begitu hangat, sekalipun hujan badai mungkin akan turun
keesokan harinya, yang jelas malam ini hanya ada kemesraan dan kehangatan yang
memabukkan. Jilid 3 Malam akan terasa pendek dalam kegembiraan, tapi terasa lewat lebih cepat pada
saat-saat yang penuh kehangatan. Malam lewat dan fajarpun menyingsing pula.
Waktu Ho Leng-hong bangun dari tidurnya, Wan-kun masih tertidur nyenyak.
Tubuhnya yang putih halus bagaikan kemala hanya tertutup oleh selapis selimut tipis,
rambutnya terurai indah, tubuhnya meringkuk di ranjang dengan senyuman puas
masih menghiasi ujung bibirnya. Anak kunci itu tergeletak di sisi bantal yang berbau harum.
Dengan kasih sayang Leng-hong membelai rambutnya yang halus, lalu anak kunci itu
diambil dan perlahan turun dari pembaringan.
Agaknya Wan-kun merasakan gerak-geriknya itu, dengan mata yang masih sepat ia
memandangnya sekejap, lalu sambil menggeliat bisiknya, "Jit-long . . . jangan . . .
jangan pergi . . . . " Tak tahan Leng-hong, ia membungkukkan badan dan mencium pipinya, Wan-kun
tidak bergerak, kembali ia terlelap.
Udara pagi terasa agak dingin, Leng-hong bantu menyelimuti tubuh Wan-kun,
kemudian ia sendiri mengenakan pakaian dan berjalan menghampiri almari perhiasan,
berjongkok dan memeriksa tanda rahasia yang sengaja ia tinggalkan di pintu almari
besi. Tapi apa yang kemudian terlihat membuat hatinya terkesiap.
Ketika menutup almari besi semalam, secara diam-diam ia telah meninggalkan seutas
rambut di celah pintu, tapi sekarang rambut itu sudah rontok dan ada di atas lantai.
Hal ini menandakan semalam setelah ia tertidur ada orang telah membuka lemari besi
itu. Leng-hong segera bangun dan memeriksa semua jendela dan pintu yang ada di
ruangan itu, tapi nyatanya baik daun jendela maupun daun pintu semuanya terkunci
rapat, tidak berubah sedikitpun. Tapi kalau tak ada yang masuk ke kamar, siapa yang membuka almari besi"
Cepat Leng-hong membuka semua gembok pada pintu almari besi itu, apa yang
ditemukan" Kotak besi berisi golok pusaka yang berada dalam almari itu telah lenyap
tak berbekas. Macam-macam pikiran timbul dalam benaknya, tapi ia pura-pura tidak tahu apa-apa,


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua gembok kembali dikunci, almari besi itupun dikunci seperti semula, setelah
mengembalikan anak kuncinya ke sisi bantal, ia mengenakan pakaian, membuka
pintu, turun dari loteng dan buru-buru menuju ke Kiok-hiang-sia.
Baru sampai pintu taman ia berpapasan dengan Bwe-ji.
Waktu itu Bwe-ji sedang keluar dengan rambut kusut, wajah lesu seakan-akan kurang
tidur atau baru bangun tidur. Ia tampak gugup dan kelabakan ketika berjumpa dengan Ho Leng-hong, sambil
berdiri dengan kepala tertunduk, bisiknya, "Tuan, kau sudah bangun!"
"Hei, sepagi ini ada apa kau ke taman?" tegur Leng-hong sambil menatapnya tajamtajam.
Merah jengah wajah Bwe-ji, "Aku.... aku melayani Kuloya di.... di Kiok-hiang-sia...."
sahutnya tergegap. "Apakah semalam kau...." "Kuloya mabuk arak, ia minta hamba tetap tinggal di sana."
"Ngawur!" omel Leng-hong di dalam hati, dia memberi tanda dan berkata, "Cepat
kembali ke kamarmu, bagaimana jadinya kalau ketahuan orang?"
Bwe-ji mengiakan dengan takut-takut, baru saja akan pergi, Leng-hong kembali
berkata, "Tunggu sebentar, apakah Kuloya telah bangun?"
"Belum!" "Apakah terjadi sesuatu di Kiok-hiang-sia semalam?"
"Tidak!" "Bagus sekali!" kata Leng-hong, setelah termenung sejenak sambungnya,
"Beristirahatlah dulu, Hujin belum bangun. Urusanmu ini jangan kauberitahukan
kepadanya untuk sementara waktu."
Bwe-ji mengiakan dengan lirih, lalu berlalu.
Sepergi dayang itu, Leng-hong, mendongakkan kepalanya dan mengembus napas
panjang, ia pikir, "Di luar saja Pang Goan bicara seperti orang alim, tak tahunya iapun
seorang laki-laki bangor, bila aku masuk sekarang, mungkin dia akan kehilangan
muka, lebih baik kutunggu sejenak lagi baru ke sana."
Begitulah, setelah mengambil keputusan ia lantas berganti arah dan berjalan-jalan
lebih dulu ke dalam taman. Sambil berjalan otaknya merenungkan kembali peristiwa semalam, ia menaruh
kecurigaan besar atas tercurinya golok mestika, untuk sebelumnya ia sudah
melakukan persiapan, coba kalau tidak, tentu penjahat-penjahat itu sudah berhasil.
Ketika terbayang kembali keangkeran Pang Goan sewaktu memberi nasihat, lalu
membayangkan pula keadaan Bwe-ji yang mengenaskan, diam-diam ia merasa geli
sekali. Anak keturunan keluarga ternama umumnya memang lebih binal, yang benarbenar
suci bersih rasanya sangat sedikit.
Sambil berjalan sambil berpikir, tanpa terasa sampailah di sisi batu gunung yang
pernah digunakannya untuk duduk bersama Pang Wan-kun.
Ho Leng-hong berdiri termenung, ketika teringat kembali adegan waktu itu, diamdiam
ia merasa malu. Terbayang sudah sekian lama ia masuk ke Thian-po-hu secara ajaib, meskipun
peristiwa ini terjadi bukan atas kehendak sendiri, tapi kenyataan menunjukkan ia telah
menggunakan nama orang lain, mengangkangi isteri orang dan harta kekayaan orang.
Tapi hingga kini ia masih belum berhasil menyelidiki asal-usul para penjahat dibalik
persoalan ini, bahkan mati-hidup Nyo Cu-wi, pemilik Thian-po-hu yang
sesungguhnya pun tidak diketahui, betapa hatinya tidak merasa malu . . . .
Sementara ia termenung dengan perasaan malu dan menyesal, tiba-tiba dari balik
pepohonan sana terdengar suara deru angin yang santar.
Deru angin yang mirip dengan suara sambaran senjata tajam, seperti pula suara
tenaga dalam yang dipancarkan. Dengan langkah yang sangat hati-hati Leng-hong mengitari pepohonan dan
mengintip ke sana, maka terlihatlah seorang sedang berlatih jurus silat dengan telapak
tangan sebagai golok. Ilmu yang sedang dilatih orang itu jelas serangkaian ilmu golok yang bersifat keras,
di mana telapak tangannya menyambar, angin menderu-deru, daun dan ranting pohon
di sekitar sepuluh tombak sekeliling tempat itu sama rontok dan hampir menutupi raut
wajah orang itu. Makin diperhatikan Ho Leng-hong merasa semakin terperanjat, ia tak mengerti siapa
gerangan jago lihai yang sedang berlatih kungfu di dalam istana Thian-po-hu ini"
"Siapa yang sedang mencuri lihat di sana?" tiba-tiba orang itu menghentikan
latihannya sambil membentak. Karena ia berhenti berlatih, daun yang berguguran pun ikut berhenti, tapi hal ini
justru makin mengejutkan Ho Leng-hong, sebab sekarang ia dapat melihat jelas siapa
orangnya. Ternyata tokoh sakti ini tak lain adalah Pang Goan.
Dengan langkah cepat Leng-hong mendekat ke sana, lalu sapanya dengan nada kaget
bercampur heran, "Lotoako, sejak kapan kau bangun?"
"Sebelum fajar menyingsing aku telah bangun dan berlatih ilmu golok di sini, adakah
sesuatu yang tidak beres?" Pang Goan balas bertanya dengan heran.
"Kalau begitu semalam Lotoako tidak suruh dayang Bwe-ji menemani tidur di Kiokhiang-
sia?" "Menemani tidur"!" terbelalak mata Pang Goan, sinar matanya penuh rasa marah,
"kau menganggap diriku sebagai manusia macam apa" Sudah belasan tahun aku tak
pernah mendekati perempuan, mana mungkin kupaksa dayang adikku untuk
menemani aku tidur" Kau anggap aku secabul dirimu?"
"Wah, celaka kalau begitu," seru Leng-hong tiba-tiba, tanpa menunggu lama ia lantas
putar badan dan lari pergi. "Berhenti!" bentak Pang Goan sambil menghalangi jalan perginya, "sebelum
kauterangkan duduknya perkara, jangan tinggalkan tempat ini."
Terpaksa Leng-hong berkata sambil menghela napas, "Lotoako, kita harus cepatcepat
kembali ke Kiok-hiang-sia, kemungkinan besar golok mestika dan kitab pusaka
telah dicuri orang." "Mana mungkin?" Pang Goan ikut terperanjat, "sebelum meninggalkan tempat itu
sudah kuperiksa sendiri . . . . . ."
"Wah, kalau begitu lebih celaka lagi, kita harus cepat ke sana," belum selesai berkata,
secepat terbang ia terjang keluar hutan.
Pang Goan melengak, buru-buru ia menyusul ke sana . . . . .
------------------- Apa yang mereka duga ternyata benar, laci lemari buku itu sudah kosong, baik golok
mestika maupun kitab pusaka itu sudah lenyap tak berbekas.
Dengan gemas Leng-hong berkata, "Tak kusangka kalau Bwe-ji si dayang itu adalah
seorang pengkhianat, lebih-lebih tak kusangka ketika kepergok tadi, kulepaskan dia
begitu saja . . . . . . ." Sambil berkata sebenarnya dia hendak memerintahkan para Busu untuk melakukan
pengejaran. Pang Goan meski juga terperanjat, sikapnya tetap tenang, sambil menggoyangkan
tangannya ia berkata, "Tak perlu dikejar lagi, sekalipun dayang itu berhasil disusul
juga tak ada gunanya, sebab kalau pihak lawan sudah mengatur rencana untuk
mendapatkan golok mestika dan kitab pusaka itu, masakah mereka tidak menyiapkan
orang lain untuk menerima barangnya. Bila benda tersebut telah mereka dapatkan,
sudah pasti barang itu segera dikirim keluar."
"Tapi barang sudah dicuri, apakah kita hanya diam saja?"
"Tentu saja tidak, bila kita berkaok-kaok dan mengerahkan orang banyak untuk
mengusut, bukan saja tidak ada manfaatnya malah merepotkan saja. Kau duduklah
lebih dulu dan mari kita pelajari apa yang terjadi, asal apa yang diatur musuh sudah
kita pahami, tak sulit untuk berusaha merampasnya kembali barang yang telah hilang.
Harus diketahui, semakin kita tidak bereaksi, semakin sulit bagi lawan untuk
menduga apa yang akan kita lakukan, dan juga semakin mudah menemukan titik-titik
kelemahan mereka." Ho Leng-hong tak berdaya, ia menarik napas panjang dan duduk kembali.
Pang Goan duduk pula, katanya, "Sekarang ceritakan dulu kejadian ketika
kaupergoki Bwe-ji, ceritakan setelitinya."
Leng-hong manggut-manggut, ia mengisahkan apa yang dialami pagi tadi, iapun
menceritakan perundingan rahasia yang sempat disadap olehnya ketika seorang pria
dan seorang perempuan sedang berunding di dalam taman baru-baru ini, iapun
mengisahkan kejadian sekembalinya ke kamar semalam dan hasil pemeriksaan
terhadap lemari besi tadi . . . . .
Pang Goan hanya mendengarkan dengan saksama tanpa memberi komentar apa-apa,
setelah Leng-hong menyelesaikan ceritanya, ia baru berkata, "Bila kita tinjau dari
kisahmu barusan, bukan saja pihak lawan telah mengetahui gerak-gerik kita, di dalam
sini ada pengkhianat, di luar masih ada yang menunggu, itu berarti kecuali kau dan
aku, dalam gedung Thian-po-hu ini sudah tidak ada orang ketiga yang dapat dipercaya
lagi." "Siaute sendiripun mempunyai perasaan demikian, terutama sekembalinya ke kamar
semalam, kunci lemari besi itu belum pernah meninggalkan pembaringan, pintu dan
jendela pun tak berubah, tampaknya Wan-kun pun tak lepas dari kecurigaan."
"Wan-kun adalah isterimu dan merupakan adikku pula, mana mungkin dia akan
membantu orang luar" Kupikir, orang yang membuka lemari besi itu pastilah Bwe-ji,
dia adalah dayang kepercayaan kalian, untuk masuk-keluar kamar bukan pekerjaan
yang sukar, tentu dia yang telah membuka lemari besi itu. Setelah mengetahui isi
kotak golok adalah benda palsu, maka ia lantas mengintip di luar Kiok-hiang-sia. Ya,
tidak seharusnya kuperiksa lagi laci tersebut sebelum pergi sehingga rahasia ini
diketahui olehnya." "Tapi seandainya ia masuk ke kamarku di tengah malam, tak mungkin aku tidak
mengetahui sama sekali." Pelahan Pang Goan menggeleng kepala, "Bila sebelum itu ia mencampurkan sesuatu
dalam air tehmu, bahkan mencampuri obat dalam arak perjamuan semalam, darimana
kau bisa merasakannya?" Leng-hong tertegun, ia benar-benar tak sanggup menjawab.
Pang Goan kembali berkata, "Oleh sebab itulah barusan kukatakan setiap orang
dalam Thian-po-hu ini mungkin tak dapat dipercaya lagi, aku lebih-lebih berani
memastikan bahwa orang yang ditugaskan lawan untuk menerima benda itu besar
kemungkinan adalah salah seorang di antara kawan berfoya-foyamu, kau mengakui
tidak?" Leng-hong menundukkan kepalanya, bagaimanapun juga dia harus mengakui
kebenaran ucapan tersebut. Pang Goan berkata lebih jauh, "Kalau kitab pusaka itu hilang, untuk sementara waktu
kehilangan tersebut tak akan menimbulkan pengaruh apa-apa terhadap kita, karena
Po-in-pat-tay-sik (delapan jurus sakti ilmu pemecah awan) adalah ilmu golok keluarga
Nyo kalian dan sama sekali tidak mencakup ilmu pedang Keng-hong-kiam-hoat (ilmu
pedang kejutan pelangi) Cian-sui-hu kami, kalau melulu Nyo-keh-sin-to atau Kenghong-
kiam-hoat masih belum dapat menandingi kelihayan Hiang-in-hu, untunglah
rumus barisan To-kiam-hap-ping yang hendak kita latih bersama belum sampai tercuri
lawan." Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Ho Leng-hong, pikirnya, "Kalau
didengar dari nada perkataannya ini, jangan-jangan pihak yang memusuhi Thian-pohu
adalah istana Hiang-in-hu di Hu-yong-shia daerah Leng-lam . . . .?"
Baru saja ingatan tersebut terlintas, Pang Goan telah berkata lebih jauh, "Masalah
terpenting yang kita hadapi sekarang adalah berusaha mendapatkan kembali golok
Yan-ci-po-to yang tercuri, sebab golok ini sudah mempunyai sifat hidup, tajamnya
luar biasa, bila sampai diperoleh orang she Hui itu, keadaannya akan mirip harimau
tumbuh sayap, untuk mengalahkan dia mungkin kita akan mengalami kesulitan."
"Bila golok mestika itu sudah mereka dapatkan niscaya orang-orang itu sudah kabur
jauh, ke mana kita akan menyusulnya?"
Pang Goan berpikir sebentar, lalu berkata, "Untuk mengatasi persoalan ini, kita harus
bekerja secara terpencar, kau selidiki pengkhianat dalam Thian-po-hu, sedang aku
menyelidiki pihak luar yang menjadi penadahnya. Sebentar aku akan tinggalkan
tempat ini, andaikata Wan-kun menanyakan, katakan saja aku ada urusan penting dan
pulang ke Sengtoh." "Lotoako bermaksud akan pergi ke mana?"
"Aku pikir, kalau pihak musuh telah menggunakan pelbagai akal dan cara untuk
mendapatkan golok mestika dan kitab pusaka itu, maka di sekitar tempat ini tentu
telah disiapkan tempat lain untuk mengadakan kontak, begitu barang berhasil
didapatkan, dengan melalui saluran penghubung barang itu akan diantar keluar, lalu
oleh pihak utusan benda itu akan diteliti, jika terbukti asli mereka akan mencari orang
yang sesuai untuk membawa golok itu dan melanjutkan perjalanan, atau paling tidak
hingga dewasa ini benda tersebut belum lagi meninggalkan wilayah Kwan-lok."
Ho Leng-hong manggut-manggut sependapat.
Kembali Pang Goan berpesan, "Sepeninggalku nanti, jangan sekali-sekali kau
menunjukkan sesuatu reaksi, segala sesuatu lakukan saja sewajarnya, berpura-puralah
seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun, bahkan harus berpura-pura rileks dan
gembira, kumpulkan semua temanmu berfoya-foya, mau minum arak boleh, mau
berjudi juga boleh, pokoknya seorang pun jangan sampai bolos, semuanya harus
datang dan berusahalah sedapat mungkin untuk menahan mereka di sini, jangan
biarkan mereka tinggalkan tempat ini."
"O, aku mengertilah akan maksudmu, kausuruh aku menahan mereka agar dapat
diselidiki siapa di antara mereka yang paling mencurigakan?"
Pang Goan menggeleng, "Mencari tahu siapa yang paling mencurigakan adalah
tugasmu, sedang kepergianku dari Thian-po-hu secara tiba-tiba hanya ingin membuat
pihak lawan merasa curiga dan tak berani mengantar pergi golok mestika secara
gegabah." "Toako, menyuruh aku menyelidikinya dengan cara bagaimana?"
"Sederhana sekali, cukup kauperhatikan dua hal."
"Dua hal bagaimana?" "Pertama, perhatikan siapa yang datang paling dulu dan siapa yang paling menaruh
perhatian pada kepergianku" Kedua, perhatikan sewaktu berjudi, siapa yang
pikirannya tak terpusatkan dan siapa yang kalah paling banyak?"
Mula-mula Leng-hong agak melengak, tapi segera ia paham, katanya sambil tertawa,
"Toako tak pernah berjudi, tak kusangka pengetahuanmu tentang jiwa penjudi
sedemikian dalamnya." Pang Goan tertawa, "Orang yang tidak makan kan tidak berarti dia berpuasa bukan?"
"Seandainya orang yang berada di belakang layar adalah orang lain lagi dan susah
payah kita melakukan penyelidikan di sini, sedangkan dia telah kabur jauh-jauh
dengan membawa golok mestika itu....."
Pang Goan menggoyang tangan. "Peduli siapapun dia, sebelum arah tujuanku diketahui dengan jelas, tak nanti mereka
berani bergerak secara sembarangan," demikian katanya "ketika datang dari Cian-suihu,
kotak golok itu kurantai pada leherku, sekarang benda itu sudah di tangan mereka,
mana ia berani bertindak secara gegabah."
Bicara sampai di sini ia lantas berdiri.
"Bagaimana caraku untuk mengadakan kontak dengan Lotoako?" tanya Leng-hong.
Pang Goan termenung sejenak, kemudian jawabnya, "Setiap pagi dan malam
berusahalah mencari kesempatan untuk masuk ke taman sini, aku akan muncul
dengan sendirinya untuk bertemu denganmu."
Leng-hong masih ingin mengetahui hal-hal yang menyangkut musuh pihak Thian-pohu,
tapi Pang Goan telah melompat keluar dan berlalu dengan tergesa-gesa.
Taman di pagi itu masih sunyi, kabut tipis menyelimuti permukaan tanah.
Sepintas lalu Thian-po-hu masih tenang seperti hari-hari biasa, seakan-akan tidak
pernah terjadi sesuatu. Tapi lamat-lamat Leng-hong seperti telah mencium bau amisnya darah di tengah
udara pagi yang segar itu, suatu intrik jahat, suatu perangkap besar seakan-akan mulai
tersingkap seperti kabut tipis yang mulai buyar itu.
Secara aneh dan tanpa disadari ia ikut terlibat ke dalam intrik jahat ini, urusan ini
sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan dirinya, kini bagaikan pusaran air telah
menyeretnya ke dalam, membuat ia tak bisa menghindarkan diri dan terpaksa harus
mengikuti pusaran arus. Ia tak tahu haruskah dirinya melanjutkan peranan tersebut, tapi perkembangan
kejadian di luar serta perasaan ingin tahu di dalam hatinya memaksa pemuda ini mautak-
mau harus melanjutkan peranannya, sudah terlanjur begini, ia tak dapat
melepaskan diri lagi. -------------------- Sekembalinya dari Kiok-hiang-sia, baru masuk ke kamarnya, tiba-tiba Ho Leng-hong
melenggong. Pang Wan-kun telah bangun tidur, ia sedang menyisir rambutnya di depan toilet.
Orang yang membantunya menyisir rambut bukan lain adalah Bwe-ji.
Besar amat nyali dayang ini, bukan saja golok mestika dan kitab pusaka telah
dicurinya, dia juga berani bohong dan memfitnah nama baik Pang Goan, dan ternyata
tidak melarikan diri" Bukan saja tidak melarikan diri, sewaktu melihat Ho Leng-hong, sikapnya tetap
wajar seolah-olah tak pernah terjadi suatu peristiwa apapun.
"Selamat pagi Tuan!" demikian sapanya sambil tertawa.
Api amarah segera berkobar, Leng-hong mendengus. Sebenarnya dia hendak
mengumbar marahnya, tapi bila teringat pesan Pang Goan tadi, mau-tak-mau dia
menahan kata-kata dampratannya. Pang Wan-kun sedang mengawasi gerak-geriknya dari balik cermin, dengan melongo
ia berpaling dan menegur, "Hei, kenapa kau" Sepagi ini kau telah marah kepada
siapa?" Ho Leng-hong duduk di tepi pembaringan tanpa menjawab.
"Hei, apa yang terjadi" Kenapa diam saja?" Wan-kun kembali menegur dengan


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

heran. Leng-hong melirik Bwe-ji sekejap, tiba-tiba ia menghela napas panjang, dan berkata,
"Ai, Toakomu telah pergi!"
"Apa?" seperti tertusuk jarum, Wan-kun melompat bangun, jeritnya melengking,
"Toako pergi" Kapan?"
"Baru setengah jam yang lalu."
"Kenapa ia pergi secara tiba-tiba?"
Sekali lagi Leng-hong memandang Bwe-ji sekejap lalu menghela napas pula,
"Entahlah, aku juga tak tahu apa sebabnya."
"Kau tidak bertanya padanya?"
"Sudah kutanyakan, ia hanya bilang ada urusan penting harus diselesaikan di
Sengtoh, tapi tidak dijelaskan urusan penting apakah itu."
"Hei, apa-apaan ini" Susah payah dari Cian-sui-hu yang ribuan li jauhnya datang
kemari, ada persoalan penting apa yang lebih penting dari To-kiam-hap-ping-tin"
Lagi pula kami baru berjumpa sekali, kendatipun ada urusan penting seharusnya
dilaporkan dulu kepadaku...." Leng-hong tidak bersuara, ia hanya melirik sekejap ke arah Bwe-ji, dilihatnya air
muka Bwe-ji tetap tenang dan sama sekali tidak menunjukkan sesuatu tanda.
Agaknya Pang Wan-kun mengetahui Ho Leng-hong sedang memperhatikan Bwe-ji,
ia lantas bertanya, "Bwe-ji, waktu kaulayani Kuloya semalam, apa kaulakukan
sesuatu yang membuatnya kurang senang" Kalau tidak, kenapa pagi-pagi benar ia
sudah pergi tanpa pamit?" "Tidak, Hujin, kemarin Kuloya malah mengeluarkan pakaian dari bungkusannya dan
menyuruhku untuk mencucinya, ia bilang mungkin akan berdiam cukup lama di sini."
Sewaktu bicara, air mukanya tidak merah, suaranya tidak gemetar, sikapnya wajar
dan biasa, sulit bagi orang lain untuk mengetahui apakah dia sedang berbohong atau
tidak. Tanpa terasa Leng-hong berpikir, "Dugaan Pang Goan tampaknya tidak salah, jelas
Wan-kun tidak tahu kalau dayangnya sudah dibeli orang luar untuk mengkhianatinya,
sekarang ada baiknya jangan kubongkar dulu kebohongannya, tapi dia mengira aku
orang she Ho gampang ditipu, keliru besarlah dugaanmu."
Maka dia sengaja mengembus napas panjang seraya bangkit berdiri, katanya,
"Bagaimanapun jua orangnya sudah pergi, apa gunanya kita menebak alasan di balik
kepergiannya. Ai, baru saja kemarin kita berkumpul dan sekarang Toako telah pergi
dengan marah. Bwe-ji, perintahkan orang untuk mengundang semua sobat karibku,
suruh mereka datang secepatnya, pertemuan kemarin harus dilanjutkan hari ini,
jangan lupa, seorangpun tak boleh ketinggalan!"
"Siapa tahu kalau kepergian Toako lantaran marah pada perbuatanmu kemarin, tidak
dapatkah kau lewatkan sehari ini dengan tenang?" pinta Wan-kun.
"Ah, beberapa hari ini kehidupanku terasa hambar tak menyenangkan, isteriku
sayang, jangan kau siram kepalaku dengan air dingin, izinkan aku bermain sepuasnya
hari ini, boleh bukan?" kata Leng-hong sambil tertawa.
"Baik! Baik! Aku tak akan mengurus dirimu lagi, tapi kau harus tahu diri, main sih
boleh, tapi jangan lupa, berlatih adalah pekerjaan yang utama," kata Wan-kun sambil
menghela napas dan menggeleng kepala berulang.
"Aku tahu, setelah permainan hari ini, lain waktu aku pasti akan menjaga diri baikbaik
dan berlatih kungfu dengan tekun. Bwe-ji, kenapa tidak cepat laksanakan
perintahku?" Bwe-ji mengiakan dan cepat turun dari loteng.
Sepergi Bwe-ji, sambil tertawa cengar-cengir kembali Ho Leng-hong mencumbu
Pang Wan-kun, setelah puas baru ia pergi.
Tak lama kemudian, Bwe-ji telah muncul untuk memberi laporan.
Merasa di sekeliling situ tak ada orang, sambil menarik muka Leng-hong segera
menegur, "Bwe-ji, kini Hujin tak ada di sini, aku ingin bertanya kepadamu, dalam hal
apakah kau telah menyalahi Kuloya sehingga ia pergi dengan marah?"
Dengan mata terbelalak Bwe-ji menggeleng kepala dan menjawab, "Aku . . . . .aku
tidak . . . . . . . benar-benar tidak . . . . . ."
"Kenapa pagi-pagi baru kaukembali dari Kiok-hiang-sia" Kenapa secara tiba-tiba
Kuloya memutuskan untuk pergi?"
"Tuan, apa yang kau maksudkan?" keluh Bwe-ji dengan bingung, "siapa yang pagipagi
baru pulang dari Kiok-hiang-sia . . . . . aku tidak mengerti."
Leng-hong tertawa dingin, "Aku pergoki sendiri dirimu, kenapa"Mau coba
mungkir?" Mata Bwe-ji terbelalak, rasa kejut dan heran menghiasi wajahnya, ia berkata dengan
tergagap, "Kapan Tuan bertemu dengan hamba" Sungguh hamba tidak paham apa
yang Tuan katakan?" "Baik, jika kau menyangkal terus, akan kukatakan terus terang kepada Hujin, ingin
kulihat di manakah akan kautaruh mukamu?"
Air mata membasahi wajah Bwe-ji, tiba-tiba ia berlutut, ratapnya, "Perbuatan apakah
yang hamba lakukan" Mohon Tuan sudi menjelaskan, hamba sungguh tak tahu."
"Aku ingin bertanya kepadamu, semalam kau tidur di mana?"
"Tentu saja di kamar!" jawab Bwe-ji tanpa pikir.
"Ya, kutahu kau tidur di kamar, yang kutanyakan tidur di kamarmu sendiri ataukah di
kamar baca Kiok-hiang-sia?" Warna merah tiba-tiba menghiasi wajah Bwe-ji, katanya dengan terkejut, "Tuan,
kenapa kau berkata begitu" Hamba . . . . ."
"Kenapa berkata begitu?" tukas Leng-hong, "Hm, justru aku mengetahuinya dari
mulutmu sendiri, bukankah kausendiri yang mengatakan padaku ketika kupergoki
dirimu di depan pintu taman pagi tadi?"
"Tuan, pagi-pagi tadi kau pergoki diriku di pintu taman" Sungguhkah itu?"
"Hm, sungguh atau tidak hanya kau yang tahu, waktu itu rambutmu kusut,
pakaianmu tidak teratur, ketika kutanya padamu datang dari mana, kaubilang Kuloya
menyuruhmu menemaninya tidur di Kiok-hiang-sia, benar tidak kejadian ini?"
Bwe-ji tidak menjawab, tapi sambil menutup mukanya meledaklah isak tangisnya.
"Menangis sekarang apa gunanya" Mungkin saja lantaran terlalu banyak minum arak
Kuloya telah melakukan hal itu, dan sebagai orang bawahan kau tak berani
menolaknya, inipun bisa dimaafkan. Dengan maksud baik kurahasiakan kejadian ini
pada Hujin, tapi sekarang kau menyangkal terus, tindakanmu inilah yang tidak
pantas." Air mata membasahi wajah Bwe-ji, ia menggeleng kepala berulang kali, "Tuan, aku
tidak, Tuan pasti salah lihat, aku benar-benar tidak . . . . ."
"Sampai sekarang kau masih coba menyangkal?"
"Hamba adalah pelayan Hujin, sekalipun tolol juga tak nanti melakukan perbuatan
semacam itu," kata Bwe-ji sambil menangis, "bila Tuan tidak percaya, tanyalah Siau
Lan, semalam hamba berada terus bersamanya, mohon Tuan sudi memeriksa
sejelasnya . . . . ." Tampaknya Pang Wan-kun dibuat kaget oleh isak tangis tersebut, ia lari turun dari
loteng sambil membentak, "Ada apa" Siapa yang menangis macam setan menjerit?"
"O, Hujin, berilah keadilan bagi hamba," seru Bwe-ji sambil memeluk kaki Pang
Wan-kun. Secara ringkas ia lantas menceritakan apa yang dituduhkan kepadanya.
"Jit-long, apa maksudmu?" kata Pang Wan-kun sambil menarik muka, "Sebagai
seorang gadis, yang paling penting adalah kehormatan, kenapa tanpa sebab kau
mengarang kejadian yang membingungkan semacam ini?"
"Apa yang kuucapkan adalah sesungguhnya, semua ini kudengar dari mulutnya,
justru persoalan inilah Pang-toako pergi dengan marah. Aku hanya ingin mengetahui
duduk persoalan yang sebenarnya, aku tidak menyalahkannya, tapi ia menyangkal
terus." "Tapi setahuku Toako selalu mengutamakan ilmu silat, tak pernah ia bermain
perempuan, mana mungkin melakukan perbuatan hal demikian."
"Tapi hal ini Bwe-ji sendiri yang mengatakan padaku, aku dengan dia tak ada
dendam atau sakit hati, buat apa kufitnahnya dengan menciptakan cerita bohong?"
Wan-kun termenung sebentar, kemudian berkata, "Soal ini tidak sukar untuk
diselidiki, panggil Siau Lan sebagai saksi."
Tak lama kemudian Siau Lan muncul di situ.
Ketika didengarnya apa yang terjadi, dengan tegas katanya, "Semalam, enci Bwe-ji
memang selalu berada bersamaku, ketika tengah malam aku ke kakus masih kulihat ia
berada di kamar, pagi tadi akulah yang membangunkan dia untuk membantu Hujin
menyisir rambut." "Sudah kaudengar sekarang" kata Pang Wan-kun sambil melirik Leng-hong. "Apa
lagi yang hendak kau katakan?"
Ho Leng-hong tidak dapat bersuara lagi, dia hanya memandang Bwe-ji dengan rasa
bingung. Ia percaya tak mungkin salah melihat orang, tapi iapun tak bisa menyangkal
keterangan mereka, kecuali di Thian-po-hu terdapat dua orang Bwe-ji.
Kalau bukan begitu, tentunya ada orang yang menyaru sebagai Bwe-ji dan membuat
kekacauan. Tapi, bukankah dayang yang bekerja di gedung belakang ada puluhan orang
banyaknya, untuk menyaru yang lain jauh lebih mudah daripada menyaru sebagai
Bwe-ji, mengapa menyaru sebagai Bwe-ji"
Meskipun tujuannya menyaru sebagai Bwe-ji hanya untuk mempermudah gerakgeriknya,
kenapa ia menggunakan "menemani tidur" sebagai dalihnya" Ho Leng-hong
benar-benar dibuat bingung oleh teka-teki ini.
Cuma ada satu hal yang diketahuinya dengan jelas, yakni di antara Bwe-ji dan Siau
Lan paling sedikit ada seorang sedang berbohong, bahkan mungkin juga keduaduanya
memang berkomplot dan sengaja berbohong . . . . . .
Kebetulan datang laporan dari ruang depan waktu itu bahwa tamu sudah berdatangan.
Cepat Leng-hong menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri, persoalan
mengenai Bwe-ji pun tertunda untuk sementara waktu.
----------------- Thian si telinga panjang memang orang yang pandai menyelami perasaan orang.
Maka ia datang paling pagi, begitu mendapat berita, dengan gerakan tercepat ia
berangkat ke Thian-po-hu. Begitu berjumpa, Thian Pek-tat tertawa lebar sampai bibirpun tak bisa merapat,
dengan berseri ia berkata, "Kabar ini sungguh merupakan berita yang paling baik,
saudara Cu-wi, bicara terus terang, semalam Siaute benar-benar mengusirkan dirimu,
bagaimanakah watak kakak iparmu kita sama tahu, permainan kemarin yang
dibubarkan itu memang bukan soal bagi kami, tapi sedikit banyak Nyo-heng tentu
diomeli. Bagaimana, kalian tidak sampai ribut, bukan?"
"Ah, tidak apa-apa," Leng-hong tertawa, "paling-paling cuma dinasihati dan
didamprat, masa ia akan membunuhku?"
"Syukurlah kalau begitu, siapa suruh dia adalah kakaknya lenso, usianya lebih tua
lagi dari kita. Ya, mendengarkan beberapa patah kata nasihatnya juga pantas, nanti
kan bosan sendiri." "Untuk dia masih ada urusan penting, sejak pagi tadi sudah pamit pergi, mumpung
ada kesempatan baik, kita harus lanjutkan permainan kemarin, kita kumpul beramairamai
selama beberapa hari." "Mungkin Thian kasihan kepadaku, kemarin nasibku kurang baik dan kalah tak
sedikit, siapa tahu kalau kekalahanku bersama rentenya akan kutarik kembali
sekarang"!" Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan ke soal lain, lanjutnya, "Eh, jauh-jauh datang
dari Cian-sui-hu, tentunya kakak iparmu itu ada urusan penting bukan?"
"Urusan penting sih tidak ada, hanya lantaran sudah beberapa tahun tak bertemu
dengan isteriku, maka sengaja datang untuk menengoknya sekedar melepas rindu."
"Kalau begitu, seharusnya ia berdiam lagi beberapa hari, kenapa ia berangkat lagi
secara tergesa-gesa?" "Siapa tahu?" Leng-hong mengangkat bahu, "pokoknya ia mau datang lantas datang,
mau pergi lantas pergi, bergantung pada kemauan hatinya."
"Siaute ada sepatah kata, mungkin aku berkuatir tanpa alasan, tapi tidak mustahil
terjadi, bila kukatakan nanti harap saudara Cu-wi jangan marah."
"Silakan bicara!" "Menurut pendapat Siaute, bila kita mau berkumpul dan bersenang-senang,
sebaiknya kita ganti tempat lain."
"Kenapa?" "Terus terang Siaute agak curiga tentang maksud kakak iparmu pulang ke Sengtoh,
seandainya dia Cuma bermaksud mencoba dirimu, pura-pura pamit pulang, tapi tahutahu
muncul lagi, kami sih tidak apa-apa, tapi Nyo-heng yang akan kena dampratan
lagi." "Tidak mungkin," Leng-hong tertawa, "sekali dia berkata akan pergi, tak mungkin
kembali lagi, kau tak usah kuatir."
"Dengan dasar apa Nyo-heng merasa yakin dia tak bakal kembali lagi?"
Leng-hong sengaja berpikir sebentar, lalu bisiknya, "Sebetulnya masalah ini adalah
urusan pribadi rumah tanggaku, bila kuberitahukan padamu harap kau jangan
menyampaikannya lagi kepada orang lain."
"Ah, saudara Cu-wi, bagaimanakah hubungan kita selama ini" Masakah kau masih
tidak mempercayai aku orang she Thian?"
"Tentu saja aku percaya padamu," Ho Leng-hong manggut-manggut, "cuma
persoalan ini menyangkut kejelekan rumah tanggaku, mestinya tak pantas dikatakan
kepada orang luar, aku cuma dapat memberi sedikit berita saja padamu, terus terang
saja kakak iparku pergi lantaran malu dengan suatu perbuatan brutalnya."
"Oya"!" Thian Pek-tat berseru heran.
Leng-hong tertawa, katanya, "Terus terang kuberitahukan kepadamu, ia tertarik oleh
seorang pelayanku, tanpa sengaja perbuatannya kupergoki, lantaran malu maka iapun
mohon diri secara tergesa-gesa."
"Ah, sungguh tak kusangka," kata Thian Pek-tat dengan tercengang, "kelihatannya
saja dia begitu serius dan terpelajar, rupanya iapun seorang yang suka begituan."
"Oleh karena itulah tak usah kuatir, sekalipun dijemput dengan tandu besar yang
digotong delapan orang, tak nanti ia punya muka untuk kembali lagi ke sini."
Sampai di sini, kedua orang itu tak dapat menahan rasa gelinya lagi, mereka
mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
Dari depan pintu masuk seseorang, dan langsung menanggapi, "Siapa yang bilang
aku tak berani kemari, bukankah aku telah datang lagi?"
Yang muncul adalah Kwan-lok-kiam-kek Lo Bun-pin, ia mengenakan pakaian
ringkas, tangannya menenteng hasil buruan berupa ayam hutan, kelinci liar, dan lainlain.
Begitu melangkah masuk segera katanya sambil tertawa, "Pang-lotoa sudah pergi"
Inilah yang dinamakan Thian masih memenuhi harapan orang. Siaute lagi berburu,
begitu mendengar berita baik ini, tidak sempat bertukar pakaian lagi segera kulari
kemari, hasil buruanku ini anggap saja sebagai oleh-olehku, kita harus minum arak
dan pesta pora sepuas-puasnya."
"Saudara Lo, jangan keburu senang dulu," kata Thian Pek-tat sambil menyongsong
kedatangan rekannya, "siapa tahu kalau nasib orang akan berubah pada hari ini,
kemarin Lo-heng menang banyak lantaran lagi mujur, siapa tahu kemenanganmu
kemarin akan ludes hari ini." "Menang atau kalah apa artinya, "Lo Bun-pin tertawa, "asal dapat main, kalah sedikit
uang tidak mengapa, daripada kesal di rumah memeluk bini."
Sementara mereka bercakap-cakap, teman-teman lainnya telah berdatangan, bagaikan
setan kelaparan dan setan judi yang baru dibebaskan dari neraka, serentak mereka
menarik kursi dan mengatur meja untuk minum arak sambil berjudi.
Diam-diam Ho Leng-hong menghitung jumlah anggota yang datar, ternyata yang
hadir kemari sekarang juga lengkap, mala ditambah pula dengan beberapa orang yang
tak kelihatan kemarin, tentu saja suasana bertambah ramai.
Begitu semuanya sudah duduk, dengan suara lantang Leng-hong berkata, "Adapun
maksud Siaute mengundang kehadiran saudara sekalian karena ada dua alasan.
Pertama, tentu saja untuk mohon maaf kepada saudara sekalian atas sikap kasar kakak
iparku kemarin. . . . . ." "Kita adalah saudara sendiri, buat apa membicarakan urusan semacam itu?" seru
semua orang, "Hei, saudara Cu-wi, kenapa hari ini kau menjadi sungkan-sungkan
dengan kami?" "Meskipun kita adalah sahabat, adat kesopanan tak boleh ditinggalkan. Terutama
setelah kukemukakan alasan yang kedua, kumohon kawan-kawan sekalian bersedia
memenuhi harapanku ini." "Katakan saja terus terang, asal dapat kita laksanakan, siapa yang tidak mau
anggaplah dia anak kura-kura," sahut semua orang lagi.
Ho Leng-hong tertawa, katanya, "Maksud baik saudara sekalian Siaute ucapkan
banyak terima kasih lebih dulu, padahal persoalan ini hanya menyangkut persoalan
pribadiku, seperti diketahui, jauh-jauh dari Cian-sui-hu kakak iparku telah berkunjung
kemari, ia ada pesan dan minta kepadaku untuk mulai berlatih sejenis ilmu silat
keluarga, mungkin setelah hari ini kita akan semakin jarang bertemu lagi."
Karena keterangan ini, gemparlah para hadirin.
Ada di antaranya yang segera berkata, "Yang berlatih biarlah berlatih, yang
bersenang-senang boleh bersenang-senang, buat apa Nyo-heng mesti mengurung diri
dan menjauhi kawan lama?" "Antar teman bisa berkumpul dan bersenang-senang bersama, betapa gembiranya
suasana seperti ini, sekalipun mau berlatih silat juga tidak harus pantang minum arak
dan berjudi?" sambung yang lain.
Bahkan ada pula yang berkata begini, "Saudara Nyo, ilmu silat macam apakah yang
hendak kaulatih hingga hubungan dengan para sahabatmu pun harus diputus?"
Begitulah, seketika macam-macam bisikan dan pertanyaan berkumandang memenuhi
ruangan, mereka sama menujukan perasaan heran dan ragu.
Ho Leng-hong menjura, lalu katanya, "Maksud Siaute bukan hendak memutuskan
hubungan dengan para kawan, perpisahan ini hanya bersifat sementara, karena harus


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menutup diri untuk berlatih, kita akan lebih jarang bertemu. Cuma untuk perpisahan
tersebut, maka mulai sekarang kita boleh berkumpul dan bergembira sepuas-puasnya,
siapapun di antara kalian tak boleh mengundurkan diri di tengah perjamuan, kita
harus bermain sampai puas baru bubar, Siaute telah berpesan kepada para Busu,
sebelum perjamuan bubar, tak seorangpun di antara kalian boleh meninggalkan
gedung ini. Di samping itu pihak dapur telah menyiapkan hidangan yang takkan
berhenti, kita akan pesta pora sepanjang hari, paling sedikit tiga hari, tiga malam pesta
ini akan terus berlangsung." Mereka yang hadir ini sebagian besar adalah anak orang kaya, mereka lupa diri setlah
mendengar perkataan itu, serentak mereka berteriak menyatakan akur.
Maka pesta segera diselenggarakan, meja judi pun disiapkan, dengan riang gembira
para tamu mengambil tempat duduk dan mulai berpesta pora.
Selama pesta gila-gilaan berlangsung, Leng-hong sangat memperhatikan gerak-gerik
Thian Pek-tat, ia lihat meski orang ini ikut minum arak dan berjudi seperti lainlainnya,
namun sering kali keningnya berkerut, seakan-akan ada sesuatu hal yang
membuat perasaannya tidak tenang. Thian Pek-tat datang paling cepat, dia pula yang amat menaruh perhatian terhadap
kepergian Pang Goan, mungkinkah dia yang diam-diam bersekongkol dengan pihak
lawan" Tanpa terasa Leng-hong teringat kembali pada kematian Siau Cui, lalu kematian
pesuruh Hong-hong-wan dan Go So yang dibunuh untuk melenyapkan saksi hidup . . .
. . Semua itu hakikatnya berhubungan dengan Thian Pek-tat, hal ini membuat Lenghong
semakin curiga. Bila ditinjau dari pelbagai gejalanya, meski Thian Pek-tat bukan otak dari pencurian
golok mestika itu, paling sedikit ia sudah dibeli oleh pihak lawan, bahkan mungkin
dia pula orangnya yang mengadakan perundingan rahasia dengan gadis baju hijau di
luar Kiok-hiang-sia itu. ------------------ Tak lama setelah perjudian dimulai, benar juga, Thian Pek-tat mengalami kekalahan
total. Sambil berpura-pura menaruh perhatian Leng-hong menepuk bahunya, lalu berkata
seraya tertawa, "Siau Thian, tampaknya hari ini nasibmu kurang mujur, beristirahatlah
dahulu." Thian Pek-tat menggeleng kepala berulang kali, ia berikan tempatnya untuk Lo Bunpin,
lalu berdiri. Pada kesempatan itu sengaja Leng-hong mengajak Thian Pek-tat ke luar rumah, lalu
bisiknya, "Kalah berapa kau?"
"Tidak banyak, tiga laksa lebih, entah kenapa, hari ini aku memang lagi sial," Thian
Pek-tat tertawa getir. "Tidak menjadi soal," kata Leng-hong dengan tertawa, "tiga laksa tahil perak bisa
direbut kembali dengan sekali permainan, kalau modalnya kurang katakan saja
kepadaku." "O, uang sejumlah itu masih bisa kutanggung, Cuma kartu itu yang sialan, bikin
orang menjadi penasaran saja."
"Aku lihat sikapmu tidak tenang, seakan-akan ada rahasia dalam hatimu, apa
gerangan yang kau pikirkan?" Thian Pek-tat seperti agak terkejut, cepat katanya, "Ah, tidak! Atau mungkin Nyoheng
melihat sesuatu yang tidak beres atas diriku?"
"O, tidak, aku hanya merasa konsentrasimu buyar, hatimu tak tenang dan
perhatianmu tak dapat terpusat di meja judi."
Tiba-tiba Thian Pek-tat berseru dengan suara tertahan sambil tertawa, "Ah, benar,
setelah disinggung saudara Nyo, Siaute menjadi ingat kembali. Padahal juga tidak
terhitung rahasia besar, selama ini Siaute hanya teringat dengan ucapan yang Nyoheng
katakan tadi, dan hatiku terasa agak sedih."
"Oo" Perkataan apa yang kaumaksudkan?"
"Aku ini meski luas pergaulan, tapi paling tidak suka menyanjung dan menjilat,
bicara terus terang, di antara sekian banyak teman, Siaute merasa paling cocok dan
paling menaruh hormat terhadap Nyo-heng."
Leng-hong cuma tertawa saja dan tidak memberi tanggapan apa-apa.
"Oleh sebab itu," demikian Thian Pek-tat melanjutkan, "ketika kudengar
pengumuman Nyo-heng yang bermaksud menutup diri sementara waktu untuk
melatih sejenis ilmu silat, tiba-tiba saja Siaute merasa berat hati dan amat sedih."
"Ya, apa boleh buat" Hal ini terpaksa harus kulakukan, untung yang harus kulatih
adalah ilmu silat keluargaku sendiri, percayalah masa tirakat diriku tak akan
berlangsung terlalu lama." "Saudara Cu-wi," kata Thian Pek-tat pula dengan wajah serius, "maafkan bila ada
kata-kataku yang sembrono, terhadap musibah yang menimpa Thian-po-hu, meski
Siaute adalah orang luar, sedikit banyak cukup tahu keadaan yang sebenarnya.
Bersahabat memang penting, tapi berlatih untuk membangun kembali nama baik
keluarga jauh lebih penting daripada segalanya, terhadap hal ini memang Nyo-heng
tak boleh teledor." Ketika mendengar kata "membangun kembali nama baik keluarga", satu ingatan tibatiba
terlintas dalam benak Ho Leng-hong, segera ia bertanya, "Siau Thian, berapa
banyak yang kauketahui tentang persoalan keluarga kami?"
"Dulu ketika kakakmu yang menjadi ketua gedung ini, Siaute kurang begitu rapat
hubungannya dengan Thian-po-hu, apa yang kudengar pun hanya berita selentingan di
luar, jadi apa yang kuketahui hanya sedikit sekali."
"Oya"! Apa yang dibilang orang luar?"
"Ah, tidak lebih Cuma berkisar pada kekalahan kakakmu dalam pertemuan Lo-hu-tohwe
serta usaha Thian-po-hu untuk meminang puteri Cian-sui-hu dengan
menyerahkan golok mestika kalian kepada pihak perempuan."
"Oo!" Leng-hong bersuara tertahan, pikirnya, "Dugaanku ternyata benar, Lo-hu-tohwe
di selenggarakan di Leng-lam, tentu masalah ini ada hubungan dengan pihak Huyong-
shia." Dalam hati ia berpikir demikian, di luar sengaja menghela napas sambil tunduk
kepala dan membungkam. Padahal yang benar ia sedang menunggu komentar Thian Pek-tat lebih lanjut.
Benar juga, dengan penuh perhatian Thian Pek-tat berkata lagi, "Saudara Cu-wi, kita
boleh dibilang ada jodoh, syukur engkau menganggapku sebagai sobat karibmu, maka
aku ingin memberi nasihat padamu. Dengan ilmu golok warisan Thian-po-hu
ditambah dengan golok mestika Yan-ci-po-to sepantasnya kalian tak sampai kalah
dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe, tahukah kau apa sebabnya kakakmu sampai
menderita kekalahan total?" Darimana Ho Leng-hong bisa tahu, terpaksa ia menggeleng kepala belaka.
"Kekalahan yang diderita kakakmu bukan lantaran ilmu silatnya tak dapat
menandingi orang, sebetulnya ia dikalahkan oleh satu huruf."
"Huruf apa?" tanya Leng-hong sambil melengak.
"Perempuan!" air muka Thian Pek-tat berubah menjadi serius, "ketika itu kakakmu
masih muda dan berdarah panas, tapi ia telah terjebak oleh Bi-jin-keh (siasat
perempuan cantik), bukan saja rahasia ilmu golok Po-in-pat-tay-sik telah dibocorkan,
sebelum bertanding iapun kena dicelakai lebih dulu sebab itulah gelar Thian-he-te-itto
(golok nomor satu di dunia) terpaksa diserahkan kepada pihak Hiang-in-hu."
Hiang-in-hu"! ternyata benar Hiang-in-hu dari Hu-yong-shia di wilayah Leng-lam.
Tak dapat dilukiskan perasaan Leng-hong ketika itu, entak kejut atau bergirang
ataukah terbangkit semangatnya"
"Siau Thian, darimana kautahu tentang persoalan ini?" buru-buru ia tanya.
Thian Pek-tat tertawa, ia menjawab, "Meski hal ini merupakan suatu rahasia besar,
tapi mana bisa lolos dari pendengaranku si telinga panjang. Terus terang kukatakan
padamu, ada seorang Bu-lim-cianpwe yang telah membocorkan rahasia ini, waktu itu
Cianpwe tersebut ikut dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe, dengan mata kepala sendiri ia
saksikan kakakmu menderita kekalahan total, rupanya peristiwa itu menimbulkan
kecurigaannya, kemudian setelah dilakukan penyelidikan secara diam-diam,
terbuktilah bahwa apa yang dicurigainya memang betul."
"Tapi belum pernah kakakku menceritakan kejadian itu padaku."
"Setelah terkena siasat Bi-jin-keh lawan, tentu saja ia merasa malu untuk
menceritakan kejadian ini kepadamu. Cuma bila kita tinjau apa yang diatur dan
dipersiapkannya sebelum meninggalkan tempat ini, dapat kita simpulkan
bagaimanakah perasaan hatinya waktu itu."
"Oya?" Leng-hong berseru heran.
"Dengan Yan-ci-po-to sebagai alasan, kakakmu berangkat ke Cian-sui-hu, jelas dia
ingin menggunakan ilmu pedang Cian-sui-hu untuk menutupi kelemahan Po-in-tohoat
keluargamu, di samping itu, iapun berharap dengan kecantikan serta
kebijaksanaan nona Wan-kun kehidupanmu bisa dikendalikan sehingga tak sampai
terperosok lagi seperti apa yang dialaminya."
Diam-diam Leng-hong mengenang kembali perkataan Pang Goan, mau-tak-mau dia
harus mengakui ucapan Thian Pek-tat ini memang masuk di akal.
Hanya ada satu hal yang tidak dipahami, yaitu kenapa Thian Pek-tat memberitahukan
hal ini kepadanya" Jika Thian Pek-tat adalah orang pihak Hiang-in-hu, lebih-lebih tidak seharusnya
membongkar rahasia ini. Ketika melihat rekannya hanya diam saja, Thian Pek-tat berkata pula, "Saudara Cuwi,
selama ini kita hanya berpesta pora dan berfoya-foya, urusan yang penting
memang telah kita abaikan sekian lama, untuk menambal kekurangan kita di masa
lalu, rasanya belum terlalu terlambat, sebagai sahabat aku berkewajiban memberi
nasihat, selanjutnya hendaknya kaubangkit menjunjung kembali nama baik Thian-pohu,
sebab cita-cita luhur kakakmu terletak dia atas pundakmu."
Leng-hong mengangguk. Tiba-tiba Thian Pek-tat berbisik, "Seperti tindakanmu menyelidiki Hong-hong-wan
tempo hari, sejak kini mesti diperhatikan sebaik-baiknya, siapa tahu kalau tempat itu
adalah perangkap yang telah diatur oleh pihak Hiang-in-hu."
Mendengar perkataan ini, Leng-hong merasa terkejut, baru saja dia hendak bersuara,
saat itu kebetulan Lo Bun-pin muncul.
Begitu bertemu, orang she Lo itu lantas berseru dengan suara lantang, "Hai, apa yang
kalian rundingkan di sini" Cepat masuk ruangan, kini Lo Cin lagi mujur besar, semua
orang tak mampu menahan kehebatannya."
Dengan cepat Thian Pek-tat berganti sikap lain, katanya sambil tertawa, "O, ya"! Lo
Cin lagi jagoan sekarang" Itulah yang dinamakan: bila di gunung tak ada harimau,
monyet pun menjadi raja. Hayo berangkat, biar aku orang she Thian ringkus monyet
itu!" Begitulah mereka bertiga lantas masuk kembali ke arena judi.
Leng-hong sudah tidak berhasrat untuk berjudi lagi, setelah melayani sekian lama,
ketika senja hampir tiba, ia mengundurkan diri, dan kembali ke taman belakang.
Pang Goan hanya berjanji akan mengadakan dua kali pertemuan dalam sehari, pagi
sekali dan malam sekali, tapi ia tidak menetapkan waktu yang tepat.
Dengan tergesa-gesa Leng-hong melakukan pencarian di sekitar taman, tapi tak
sesosok bayangan manusia pun ditemukan, selagi gelisah, mendadak di antara
embusan angin ia merasa ada suara pembicaraan orang.
Di mana Ho Leng-hong berada sekarang adalah tepi hutan buatan yang tadi pagi
digunakan Pang Goan untuk berlatih silat, suara pembicaraan itu berasal dari balik
hutan sana, seperti ada dua orang sedang berbisik-bisik di sana, tapi apa yang sedang
mereka bicarakan tidak kedengaran jelas.
Setelah diperhatikan sekian lama, Leng-hong hanya dapat membedakan bahwa suara
itu berasal dari dua orang perempuan.
Sesungguhnya Leng-hong ingin menghardik kedua orang itu, tapi ingatan lain
mencegahnya untuk berbuat begitu, agar tidak "mengusik rumput mengejutkan ular",
ia tidak masuk ke hutan, tapi ia melayang ke atas pohon dan bersembunyi di antara
daun yang rimbun. Tak lama kemudian, suara pembicaraan itu berhenti, menyusul lantas kedengaran
suara langkah orang yang perlahan. Dua orang gadis berjalan keluar dari balik hutan sambil bergandengan tangan.
Leng-hong bersembunyi di atas pohon dengan menahan napas, dilihatnya kedua
gadis itu lewat di bawah pohon, dan terlihat jelas bahwa kedua orang itu tak lain
adalah Bwe-ji dan Siau Lan. Bwe-ji menenteng sebuah keranjang bunga, di dalamnya terdapat beberapa tangkai
bunga sedap malam. Siau Lan membawa cangkul kecil, di ujung cangkul masih tersisa sedikit tanah
lumpur. Sepintas lalu kedua orang itu seperti baru saja menanam bunga, tapi mengapa
menanam bunga di waktu malam" Lebih tak mungkin lagi kalau menanam bunga di dalam hutan yang penuh
pepohonan. Gerak-gerik kedua orang itu sangat rahasia dan mencurigakan, setelah keluar dari
hutan, mereka celingukan dulu ke sana kemari, sesudah yakin di sekitar situ tak ada
orang, segera mereka melompat keluar dengan cepat, sesudah jauh dari pepohonan,
langkah mereka baru diperlambat. Kedengaran Bwe-ji sedang berbisik lirih, "Lebih baik kita berpisah di sini saja, ingat,
suruh dia datang tengah malam nanti, dan jangan lupa harus berhati-hati."
"Aku tahu, kau sendiri juga mesti berhati-hati, jangan sampai dilihat orang lain,"
jawab Siau Lan. Kedua orang itu berpisah di tepi hutan, Bwe-ji menuju ke timur dan kembali ke
loteng, sedang Siau Lan ke barat dan menuju ke pintu taman belakang.
Leng-hong segera memutuskan untuk menguntit Siau Lan, dia ingin tahu manusia
macam apakah yang hendak ditemuinya, tapi baru saja dia hendak melompat turun,
tiba-tiba dari atas kepalanya menyambar turun sebuah tangan dan mencengkeram
kuduk bajunya. Saking terkejutnya hampir saja Leng-hong berseru, cepat ia mendongak ke atas,
ternyata Pang Goan yang nongkrong di antara rimbunnya dedaunan.
Ketika melompat ke atas pohon tadi, pemuda itu tidak mengetahui di atas pohon
sudah hadir seorang yang lain, diam-diam ia merasa malu, dengan suara serak
katanya, "Lotoako, sudah kau lihat kedua orang dayang itu?"
Pang Goan mengangguk, "Aku datang lebih dulu dari mereka berdua, tentu saja
dapat kulihat dengan jelas." "Apakah kautahu perbuatan apa yang mereka lakukan di dalam hutan ini?" tanya
Leng-hong. "Rupanya sedang menanam suatu benda."
"Menanam sesuatu benda" Benda apa yang mereka tanam?"
"Aku tidak jelas benda apa yang mereka tanam, Cuma . . . " tiba-tiba ia tertawa lebar,
"bila nasib kita tidak jelek, kemungkinan besar itulah benda yang sedang kita cari."
"Golok mestika Yan-ci-po-to?"Leng-hong berseru tertahan.
Sambil tertawa Pang Goan manggut-manggut, katanya, "Padahal mestinya kita dapat
berpikir ke situ. Ketika fajar tadi dayang tersebut kaupergoki tanpa sengaja, ia berada
dalam keadaan tangan hampa tanpa membawa sesuatu, bila kita pikirkan, bisa
disimpulkan tentunya karena hari sudah terang tanah, mereka tak sempat
menyelundupkan benda curian itu keluar."
"Benar," seru Leng-hong sambil bertepuk tangan, "Jika golok mestika itu berhasil
diselundupkan keluar gedung, sudah pasti mereka akan kabur meninggalkan tempat
ini, dan tak mungkin tetap tinggal di sini menempuh bahaya."
"Sesudah mengetahui isi kotak itu ternyata golok palsu, mestinya mereka menyadari
golok asli tak dapat dicuri semudah itu, kemudian karena aku kurang berhati-hati
sehingga tempat menyimpan golok pusaka itu diketahui mereka dan benda itu berhasil
mereka dapatkan, tapi karena tak sempat lagi menyelundupkannya keluar, terpaksa
mereka menanamnya lebih dulu di sini."
"Tapi seandainya pada saat terakhir mereka putuskan untuk menanam golok pusaka
itu, sepantasnya benda itu di tanam di sekitar Kiok-hiang-sia, kenapa tidak
disembunyikan di tempat yang dekat, sebaliknya malah menanamnya di hutan yang
jauh letaknya sini." "Apa yang perlu diherankan lagi?" Pang Goan tertawa, "mula-mula tentunya mereka
akan menyembunyikannya di sekitar Kiok-hiang-sia, tapi lantaran tempat tersebut
luas dan dekat air, mungkin sulit untuk digali, maka terpaksa malam-malam begini
mereka menanamnya di sini." Begitulah, hasil analisa kedua orang ini menunjukkan golok mestika Yan-ci-po-to
bukan saja belum meninggalkan gedung Thian-po-hu, benda tersebut pasti ditanam di
dalam hutan ini oleh Bwe-ji dan Siau Lan.
Ho Leng-hong merasa semangatnya berkorbar, katanya, "Sungguh atas berkah Thian,
Lotoako, mari kita gali golok pusaka itu, kemudian baru kita menunggu sang kelinci
keluar dari liangnya, bila tengah malam nanti mereka datang untuk mengambil golok,
kita ringkus mereka semua." Pang Goan menyatakan akur, bahkan pesannya, "Sebentar bila sudah mendapatkan
kembali golok mestika tersebut, lebih baik kau kembali ke ruang depan dan jangan
menunjukkan tanda apa-apa, kita bukan saja mendapatkan kembali golok mestika itu,
yang lebih penting adalah menyelidiki siapakah yang berdiri di belakang layar dalam
peristiwa ini." "Siaute sudah melakukan pengamatan secara diam-diam, aku rasa Thian Pek-tat
merupakan orang yang mencurigakan."
Secara ringkas iapun menceritakan apa yang dialaminya selama berada di ruangan
depan tadi. Selesai mendengarkan penjelasan tersebut, Pang Goan tidak memberi komentar apaapa,
dengan suatu gerakan lincah dia merosot turun ke bawah pohon dan masuk ke
hutan untuk mencari tempat penanaman golok.


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang lain memberi poyokan padanya sebagai "Monyet Pang", kenyataannya bukan
saja tampangnya mirip monyet, ternyata kepandaiannya memanjat pohon juga lebih
lincah daripada monyet, caranya menerobos hutan, bukan saja gesit, juga cepat luar
biasa. Tak berapa lama kemudian, dengan mudah mereka berhasil menemukan sebuah
gundukan daun busuk di engah hutan, tampak jelas daun-daun busuk itu pernah
disentuh orang. Dengan kedua tangannya, Pang Goan membongkar daun-daun busuk itu, benar juga
di bawah tumpukan daun tadi ditemukan tanah lumpur yang barusan digali, bahkan
diberi pula sebuah tanda sebagai tanda.
"Nah, pasti di sini tempatnya," kata Leng-hong "harap Lotoako tunggu sebentar,
akan kucarikan sebuah cangkul."
"Hanya tanah lumpur saja, buat apa pakai cangkul?"
"Sambil berkata, dengan kesepuluh jari tangannya yang dipentangkan bagaikan cakar
ia menggali tanah tersebut, sekali mencengkeram segumpal tanah lantas diangkatnya.
Orang ini memang tangguh, kedua tangannya ternyata lebih berguna daripada
cangkul, tak lama kemudian tergali sebuah liang besar.
Benar juga, di dalam liang tertanam satu pak panjang yang dibungkus dengan kain
minyak. Pang Goan menengadah dan menarik napas panjang, katanya dengan perasaan lega,
"Ai, akhirnya benda mestika ini berhasil ditemukan kembali, mungkin arwah
kakakmu melindungi kita, juga takdir telah menetapkan bahwa Thian-po-hu harus
mengembangkan kembali nama baiknya."
Dengan tatapan tajam Leng-hong memperhatikan bungkusan kain minyak itu sekian
lama, tiba-tiba katanya, "Lotoako jangan keburu gembira lebih dulu, kulihat isi
bungkusan ini rada mencurigakan."
"Oya?" desis Pang Goan kaget.
"Seandainya bila bungkusan ini sudah ditanam selama sehari di sini, bila digali
keluar lagi tentu akan memperlihatkan tanda kelembaban, tapi kain minyak ini tampak
kering dan masih baru, jelas belum lama ditanam di sini . . . ."
Belum habis kata-katanya, buru-buru Pang Goan membuka bungkusan kain minyak
itu, isi bungkusan itu memang sebilah golok besar.
Cuma golok tersebut bukan golok mestika Yan-ci-po-to yang sedang mereka cari,
golok ini hanya sebilah golok biasa yang umum.
Kontan saja Pang Goan mendengus marah, katanya, "Kurang ajar benar kedua
perempuan anjing itu, berani betul mereka melakukan siasat licik ini untuk menipu
kita." Leng-hong berpikir sebentar, lalu katanya, "Namun ada satu hal yang mencurigakan,
darimana mereka tahu kita bakal datang dan menyiapkan lebih dulu sebatang golok
palsu ini?" "Mungkin kedua orang perempuan hina itu sengaja bermaksud mengambil golok
mestika pada waktu malam, tapi tiba-tiba melihat kaupun berada di taman sini, maka
pada saat terakhir mereka ganti siasat dan sengaja menanam golok biasa di sini, la
Bukit Pemakan Manusia 6 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 9
^