Istana Pulau Es 12

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


m hati orang muda yang tampan wajahnya dan tegap tubuhnya, seorang pria muda yang memiliki segalagalanya untuk dengan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita ini terdapat watak-watak yang saling bertentangan. Mungkin sekali seandainya tidak ada pukulan batin karena asmara yang telah menghancurkan hatinya, yaitu ketika dia mengalami kegagalan dalam asmaranya dengan Ciok Kim Hwa, bahkan melihat kekasihnya membunuh diri, perkembangan dalam watak Suma Hoat akan menjadi lain sekali. Mungkin dia hanya akan menjadi seorang yang memiliki nafsu berahi besar dan seorang pria yang tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk bercinta dengan setiap orang wanita cantik yang suka melayaninya. Dan memang watak seperti ini telah ia perlihatkan sebelum ia bertemu dengan mendiang Ciok Kim Hwa. Akan tetapi kegagalan cintanya dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya yang mengusirnya setelah ia melayani rayuan ibu tirinya membentuk watak yang mengerikan dalam hati pemuda tampan ini.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 283
Dalam urusan lain, Suma Hoat memiliki watak pendekar, menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas. Akan tetapi, sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah semua kependekarannya dan dia berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan senyum di bibir dia dapat melihat wanita cantik yang menolak cintanya mati di tangannya, seolah-olah darah yang mengalir dari tubuh wanita yang dibunuhnya mendatangkan rasa panas dan meredakan nafsunya, sama dengan kalau wanita itu suka melayani cintanya! Dan dia akan tertawa terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah menjadi korbannya itu benar-benar jatuh cinta kepadanya, menangis dan berlutut memohon agar jangan ditinggalkan. Dia merasa senang sekali meninggalkan wanita itu menangis, bahkan dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis yang patah hati dan tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung diri, minum racun, atau menusuk perut dengan gunting untuk membunuh diri.
Kekejaman yang melebihi iblis inilah yang membuat ia di juluki Jai-hwa-sian! Suma Hoat merantau sampai jauh ke barat, ke utara dan selatan. Dia sendiri tidak sadar bahwa hidupnya sudah tidak normal lagi, bahwa dia sebetulnya menderita penyakit! Penyakit jiwa yang timbul karena pengalaman-pengalamannya dengan wanita yang menekan batinnya! Kepatahan
hatinya karena cintanya putus, cinta murni yang pertama kali menyentuh hatinya bersama Ciok Kim Hwa, kemudian pengalamannya yang ke dua bersama Bu Ci Goat selir ayahnya, mendatangkan rasa kebencian hebat kepada kaum wanita! Dia sendiri tidak tahu bahwa perbuatan-perbuatannya yang keji, yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-sian, yang sepintas lalu akan dianggap orang sebagai perbuatan yang semata-mata terdorong oleh nafsu berahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah perbuatan yang terdorong oleh dendam dan benci! Dia memperkosa wanita, menyakitkan hati mereka, membiarkan mereka patah hati dan
membunuh diri, bahkan adakalanya dia membunuh mereka, adalah karena bencinya kepada kaum wanita yang dia anggap semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa yang telah membunuh diri itu pun telah mengecewakan hatinya, maka dia girang melihat wanita-wanita cantik membunuh diri karena telah diperkosanya dan ditinggalkannya!
Pada waktu Suma Hoat merantau ke barat ia mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dibandingkan dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya, tingkat kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara ilmu yang aneh-aneh itu dia mempelajari pula ilmunya orang India menaklukkan ular dengan suling mempelajari pula penggunaan obat-obat dan racun-racun dari sari-sari kembang dan daun untuk membius wanita dan untuk membuat korbannya mabok dan bangkit gairah berahinya.
Pendeknya, Suma Hoat yang telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak macam ilmu yang dianggap bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang ada hubungannya dengan kesukaannya mengganggu wanita. Bahkan dari seorang wanita India tukang sihir yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya, dia mempelajari cara-cara untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia kembali dari perantauannya ke barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang pria tampan yang sudah matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai Jai-hwa-sian, seorang "play boy" besar yang tiada tandingannya.
Pandang mata Suma Hoat amatlah tajamnya terhadap wanita. Biarpun dari jarak jauh, dia dapat menentukan berapa usia seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan cacad celanya hanya dengan melihat dari balakang saja! Demikianlah, ketika pada suatu pagi ia memasuki kota Jit-bun dan melewati sebuah restoran, ia segera melihat dua orang wanita yang amat menarik perhatiannya.
Perutnya mamang lapar dan dia sedang memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu ia akan memasuki restoran itu kalau saja matanya yang awas tidak melihat dua orang wanita yang sedang duduk menghadap meja di restoran yang masih sunyi itu. Sekerling pandang saja ia sudah tertarik sekali melihat dua orang wanita itu yang ia tahu adalah dua orang gadis cantik yang masih muda dan bertubuh kuat sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 284
Suma Hoat memasuki restoran itu dan sengaja duduk di meja yang menghadap ke arah dua orang gadis itu sehingga dia dapat memandang dan memperhatikan mereka dengan leluasa.
Hatinya makin tertarik. Hemm dua orang gadis kang-ouw, pikirnya. Pedang mereka
diletakkan di atas meja dan dari cara mereka duduk demikian tegak menunjukkan bahwa dua orang gadis itu sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Ia makin tertarik ketika mendapat kenyataan betapa kedua orang gadis itu memiliki daya tarik yang berbeda. Yang seorang, kira-kira berusia dua puluh tahun, berwajah bundar seperti bulan purnama, pandang matanya tenang dan dalam, sikapnya pendiam, membayangkan kecantikan lautan di kala senja diterangi matahari senja yang merah, begitu indah mempesona dan menerangkan hati. Gadis ini berpakaian biru, rambutnya yang gemuk dan hitam dibelah dua dan diikat di kanan kiri belakang kedua telinganya. Ibarat bunga, gadis ini adalah bunga teratai yang tenang dan tegak mengambang di atas air telaga menenangkan hati siapa yang memandang, indah tidak membosankan.
Adapun gadis ke dua paling tinggi berusia delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan gadis pertama. Gadis ini pakaiannya merah muda, wajahnya aga lonjong dengan dagu meruncing manis. Mulutnya yang kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya yang bersinar-sinar dengan pandang mata tajam menyambar-nyambar seperti kilat, membayangkan kecantikan yang menimbulkan gairah menggelora, seperti kecantikan lautan di waktu terbakar matahari pagi yang mulai memanas dan ombak-ombak mulai menggelora membuih di pantai.
Rambutnya digelung tinggi ke atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya, manis dan kedua telinganya memakai anting-anting yang menambah kemanisannya. Gadis itu lincah jenaka dan periang ibarat bunga dia adalah bunga mawar hitam yang liar berduri, namun harum semerbak dan kokoh kuat di atas tangkainya, tidak takut serangan angin dan hujan! Sukarlah bagi Suma Hoat yang memandang mereka bergantian untuk mengatakan siapa di antara kedua orang gadis yang lebih menarik hatinya. Keduanya sama cantik jelita, sama manis dan sama kuat daya tariknya sungguhpun sifat mereka berlawanan.
Melihat seorang pemuda tampan dan gagah, memandang mereka penuh perhatian, gadis baju biru membuang muka dengan alis berkerut, akan tetapi gadis baju merah membalas pandang mata Suma Hoat dengan berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma Hoat
memanggil pelayan karena dia tidak ingin gadis baju merah yang tentu berdarah panas itu memakinya. Pelayan datang dan ia segera memesan makanan dan minuman.
Kedua orang gadis itu saling berbisik, berbisik perlahan, akan tetapi diam-diam Suma Hoat tersenyum dalam hatinya karena biarpun bisikan itu tidak akan terdengar orang lain yang berdiri hanya satu meter jauhnya dari mereka, namun dapat terdengar olehnya yang duduk dalam jarak lima meter dari mereka. Tidak percuma dia memiliki sin-kang yang kuat dan bersusah payah melatih diri untuk mempertajam pendengarannya yang merupakan syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.
"Suci, kulihat orang ini bukan orang sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi tentu seorang penjahat yang berbahaya...." bisik gadis baju merah kepada gadis baju biru.
"Hemm, melihat pandangan matanya, dia bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus waspada, dan kalau betul dia seorang penjahat, kita harus membasminya!" bisik Si Kakak Seperguruan.
Suma Hoat tertawa dalam hatinya, akan tetapi ia mengambil sikap seolah-olah tidak mendengar dan berteriak kepada pelayan, "Hee, pelayan! Minta tambah araknya, aku suka sekali yang hangat dan manis!" Ia lalu menoleh ke arah gadis baju merah yang kebetulan memandang kepadany. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu menjadi merah kedua pipinya, sedangkan gadis baju biru yang juga memandangnya membuang muka lagi.
Hati Suma Hoat makin tertarik. Kiranya kakak beradik seperguruannya, pikirnya. Akan tetapi keduanya benar-benar menarik hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan kehangatan dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 285
kemanisan seperti arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju Biru itu memperlihatkan sikap dingin dan tenang sikap yang akan lebih menggairahkan kalau sampai berhasil dia tundukkah.
Dan dia pasti akan dapat menundukkan mereka. Pasti!
"Jangan pandang dia, Sumoi. Aku mengenal sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar maupun penjahat, yang jelas dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang melakukan tugas, dan Suhu berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan membawa-bawa Siauw-lim-pai ke dalam permusuhan. Mari kita selesaikan makan dan melanjutkan perjalanan agar jangan kemalaman melewati Pegunungan Kwi-hwa-san."
"Baiklah, Suci."
Kedua orang gadis itu melanjutkan makan hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan. Mendengar bisikan itu, Suma Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid Siauw-lim-pai!
Dia harus berhati-hati. Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat main-main! Namun, selama ini dia hanya mendapatkan gadis-gadis yang lemah, maka munculnya dua tangkai bunga harum di depan hidungnya yang ternyata adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, telah mengusik nafsu berahinya.
"Setelah makan, kita mengambil bekal pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti kering untuk bekal di perjalanan," kata pula gadis baju biru.
"Apakah tidak perlu membeli kuda, Suci?"
"Ahh, mana bisa kita begitu royal, Sumoi" Membeli kuda bukanlah hal yang murah. Pula, kalau kita menggunakan ilmu lari cepat tidak banyak bedanya dengan menunggang kuda."
"Akan tetapi tidak melelahkan, Su-ci...."
"Hemm, Sumoi. Dari mana engkau akan mendapatkan uang untuk membeli dua ekor kuda"
Kalau bekal uang kita ditambah perhiasan ditukarkan kuda, habis bagaimana kita akan membeli makanan" Sudahlah, jangan rewel...."
Suma Hoat bangkit dari bangkunya, menghampiri pengurus restoran, berbisik-bisik dan mengeluarkan beberapa potong perak dari sakunya, kemudian pergi meninggalkan restoran, diikuti pandang mata dua orang murid perempuan Siauw-lim-pai akan tetapi Suma Hoat sendiri tidak pernah menengok.
"Agaknya engkau salah duga, Suci. Dia bukan orang jahat. Kelihatannya lebih pantas menjadi seorang pendekar, begitu halus gerak-geriknya seperti seorang pelajar, dan wajahnya...."
"Sumoi!"
Sumoinya tersenyum, akan tetapi kedua pipinya merah. "Suci, kalau tidak salah tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun, bukan" Dan aku sudah delapan belas tahun. Kita sudah dewasa dan selama bertahun-tahun kita selalu tekun mempelajari ilmu silat. Salahkah kalau sebagai gadis-gadis dewasa, sekali-kali kita memandang dan memperhatikan seorang pemuda yang menarik hati" Betapapun juga, kelak kita tentu akan bertemu jodoh, Suci...."
"Hush! Sumoi, memalukan sekali bicaramu! Sungguh melanggar susila!"
Gadis baju merah menahan ketawa, menutup mulut dan memandang sucinya dengan mata berseri. "Suci, maafkan kalau aku membantah. Gadis-gadis dewasa merasa tertarik dan membicarakan seorang pemuda yang gagah dan tampan, mengapa kaukatakan melanggar
susila" Kalau begitu pendapatmu, tentu akan terjadi makin banyak lagi peristiwa yang menyedihkan seperti dalam dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Laki-laki boleh memilih jodoh, apakah kita kaum wanita hanya dijadikan budak belian, diberikan siapa saja di luar kehendak kita untuk menjadi isteri orang" Tidak, Suci. Kuanggap sudah wajar kalau kita pun tertarik kepada pria yang memenuhi selera hati kita dan...."
"Cukup, Sumoi! Agaknya kau tergila-gila kepada dia tadi, ya" Sungguh tak tahu malu!"
"Tergila-gila sih tidak, hanya aku mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan dan halus gerak-geriknya...."
"Sudahlah. Mari kita pergi! Kalau terdengar orang, sungguh memalukan!" Si Gadis Baju Biru Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 286
lalu bangkit berdiri, diikuti sumoinya yang tersenyum-senyum memanggii pelayan,
"Hitung semua berapa!" kata Sang Suci dengan suara agak keras karena hatinya mengkal terhadap sumoinya. Dia mengenal sumoinya yang berwatak jenaka, riang dan lincah, akan tetapi memuji-muji seorang pemuda tampan benar-benar hal ini dianggap keterlaluan dan tak tahu malu!
Betapa heran hati kedua orang gadis itu ketika dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata,
"Sudah dibayar, Ji-wi Siocia. Semua hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat Ji-wi tadi.
"Sudah dibayar" Oleh sahabat yang mana?" Gadis baju biru bertanya.
Pelayan itu membungkuk-bungkuk tersenyum. "Oleh Kongcu tadi yang mengaku sahabat Ji-wi. Dia baik sekali, pembayarannya kelebihan banyak akan tetapi dihadiahkan kepada kami...."
Gadis baju biru mengepal tinju, matanya memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah.
Akan tetapi sumoinya menyentuh lengannya dari belakang dan berkata,
"Ah, sungguh sahabat kita itu terlalu sungkan. Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah saja." Ia menarik tangan sucinya keluar dari restoran itu.
"Setan! Dia benar-benar kurang ajar dan berani mati!" Gadis baju biru mengomel setelah mereka keluar dari restoran.
"Aihhh, mengapa Suci marah-marah" Orang telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur dan berterima kasih malah dimaki-maki?" Sumoinya mencela.
"Sumoi!" Sucinya membentak marah dan melototkan matanya yang bening. "Apakah harga diri kehormatanmu hanya semurah harga makanan itu?"
"Eh-eh.... mengapa Suci berkata demikian" Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit pun tidak mengeluarkan ucapan dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana Suci menyebut-nyebut soal harga diri dan kehormatan?"
Sucinya menghela napas panjang. "Sumoi, biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun engkau selalu terkurung dan tidak ada pengalaman. Engkau tidak tahu betapa bahayanya kaum pria dengan sikap manis mereka. Hati-hatilah Sumoi, kalau engkau tidak membentuk benteng baja di luar hati dan perasaanmu, engkau akan mudah tergelincir oleh licinnya sikap manis pria."
"Suci...."
"Sudahlah! Mari kita ke hotel!"
Akan tetapi ketika mereka berdua tiba di hotel, mereka menghadapi keanehan ke dua yang membikin Sang Suci makin mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin girang. Di hotel ini, tidak hanya kamar hotel dibayar oleh "sahabat" itu, malah telah tersedia dua ekor kuda besar yang dihadiahkan oleh "sahabat" itu kepada mereka! Gadis baju biru hendak marah-marah, akan tetapi sumoinya membisikkan bahwa kalau Sang Suci marah-marah, maka tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal itu akan lebih memalukan lagi"
"Kita terima dengan wajar dan semua orang akan menganggap hal itu wajar pula, karena apakah anehnya kalau seorang sahabat baik menghadiahkan dua ekor kuda" Pula, bukankah perbuatan-perbuatannya itu kini meyakinkan kita bahwa dia tidak mengandung niat buruk?"
"Hemm... malah makin curiga aku kepadanya, Sumoi."
Seorang pelayan hotel menghampiri mereka dan memberi hormat. "Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat Ji-wi tadi meninggalkan sepucuk surat kepada Ji-wi." Ia menyerahkan sebuah sampul kepada mereka. Gadis baju biru menerima sampul dengan alis berkerut.
"Wah, sampulnya berbau harum!" bisik Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan hati sucinya yang merobek ujung sampul dengan gerakan
kasar lalu mencabut keluar sehelai kertas. Tulisan yang terdapat di kertas itu amat indah, dan hanya merupakan surat yang singkat :
Sebaiknya menunggang kuda agar tidak kemalaman lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Li-hiap Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 287
berhati-hati kalau sampai di sana, karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan perampok yang lihai.
Teriring hormatnya
Sahabat Ji-wi. Gadis baju biru itu merobek-robek surat dan sampul sampai berkeping-keping dan wajahnya menjadi merah. "Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Hemm, hendak kulihat saja sampai di mana puncak kekurangajarannya!"
Biarpun berkata demikian, dia tidak menolak ketika sumoinya mengajak dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda pemberian Si Pembuat Surat itu. Setelah membeli bekal roti kering, mereka lalu membalapkan kuda keluar kota menuju di mana Puncak Pegunungan Kwi-hwa-san tampak tertutup awan.
Kedua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis sembarangan. Yang berbaju biru, sang suci, bernama Liang Bi, sedangkan sumoinya bernama Kim Cui Leng, keduanya adalah murid-murid pilihan dari Ketua Siauw-lim-pai di waktu itu, yaitu Kian Ti Hosiang yang amat lihai!
Biarpun baru selama lima tahun mereka digembleng oleh Kian Ti Hosiang, namun ilmu kepandaian kedua orang gadis ini amat lihai maka mereka mendapat kepercayaan Kian Ti Hosiang untuk mewakilinya mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari perkumpulan Beng-kauw di selatan.
Tujuan mereka adalah Tai-liang-san di mana terdapat wakil partai Beng-kauw dan Ta-liang-san terletak di sebelah barat Kwi-hwa-san sehingga perjalanan mereka sudah dekat. Paling lama tiga hari lagi mereka akan tiba di tempat tujuan. Akan tetapi, peristiwa pertemuan dengan Pemuda tampan gagah itu membuat hati Liang Bi merasa tidak enak sungguhpun sumoinya kelihatan gembira dan selalu memuji-muji kebaikan hati pemuda tampan itu.
Menjelang senja mereka tiba di Pegunungan Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali.
"Untung kita berkuda sehingga sebelum gelap tiba di sini, Suci. Kita harus berhati-hati," kata Cui Leng yang teringat akan isi surat pemberi kuda.
"Huh, siapa percaya kepada obrolan si pembual itu" Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Biar dia muncul, akan kubayar lunas kelakuannya terhadap kita!" jawab Liang Bi marah.
"Eh, eh....! Kalau engkau hendak membayar lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan, hotel dan harga kedua ekor kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?" Muka Liang Bi menjadi merah. Bukan itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya dan
kekurangajarannya, kubayar dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!"
"Awas, Suci....!" Cui Leng tiba-tiba berseru dan tangannya menangkap sebatang anak panah yang meluncur ke arah dadanya. Akan tetapi, tanpa diperingatkan pun, Liang Bi sudah bergerak cepat dan tangan kirinya sudah pula berhasil menangkap sebatang anak panah yang menyambarnya.
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan nyaring dan belasan batang anak panah menyambar ke arah kuda tunggangan mereka! Dengan anak panah rampasan, kedua orang dara perkasa ini menangkis, akan tetapi tidak urung ada anak panah yang menancap di perut kuda mereka.
Keduanya berseru keras dan melompat ke atas, berjungkir-balik dan turun ke atas tanah sambil mencabut pedang. Dua ekor kuda itu roboh dan berkelojotan. Dari depan terdengar sorakan dan muncullah dua puluh orang lebih, berlari-lari ke arah mereka.
"Kau masih tidak percaya, Suci?" Cui Leng berkata, teringat akan bunyi surat.
Namun sucinya menjawab kaku, "Ini tentu perbuatan Si Laknat itu. Kalau muncul gerombolan perampok ini, tentu dialah kepalanya!"
Akan tetapi setelah gerombolan perampok yang terdiri dari dua puluh delapan orang, ternyata bukan dipimpin pemuda tampan yang dicurigai, melainkan dikepalai oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar, bersenjata golok besar di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Adapun semua anggauta perampok bersenjata Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 288
golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali hitam. Tidak tampak pemuda tampan di antara mereka.
"Ha-ha-ha-ha! Suheng! Sungguh untung anak panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya mereka adalah dua orang nona yang begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini kita mendapat untung besar, kita berdua akan memperoleh seorang satu, ha-ha-ha!" Perampok ke dua yang bertahi lalat di ujung hidungnya tertawa.
"Kau benar, Sute. Sudah lama kita menjadi duda, dan dua orang nona ini patut menjadi isteri kita. Eh, dua orang nona yang jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana" Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian, bahkan hendak mengangkat kalian menjadi isteri yang tercinta dan hidup mewah di Puncak Kwi-hwa-san," kata perampok ke satu yang matanya merah.
"Keparat yang bosan hidup!" Cui Leng membentak dan menudingkan pedangnya. "Jangan sembarangan membuka mulut besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua mata dan telingamu. Kami suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai! Kalian telah lancang tangan membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan kedua telinga kalian.
Buntungkan daun telinga kalian dan kami akan mengampuni jiwa anjing kalian!"
"Ha-ha-ha-ha! Yang galak ini tentu sumoinya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang liar dan panas. Biar sucinya itu untukmu, lebih cocok."
"Benar, Sute. Aku lebih suka yang tenang hemm...., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!"
"Monyet busuk! Kalian benar-benar sudah bosan hidup!" bentak Cui Leng.
"Sumoi, perlu apa banyak bicara dengan cacing rendah ini" Kita basmi mereka!" kata Liang Bi yang sudah menerjang maju diikuti sumoinya yang sudah marah sekali.
Akan tetapi sambil tertawa, dua orang kepala rampok itu meloncat ke belakang, jauh dari mereka dan memberi aba-aba dengan suara nyaring kepada anak buahnya yang cepat
mengurung dua orang gadis itu, Dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng memasang kuda-kuda dan memperhatikan gerak-gerik para pengepung mereka yang sudah membuat lingkaran mengelilingi mereka. Dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat tinggi ke atas kepala berdiri mengadu punggung, kedua orang gadis itu merupakan dua orang pendekar wanita yang amat berbahaya, dan hal ini agaknya dimengerti oleh dua orang kepala perampok maka mereka tidak berani melayani secara langsung melainkan menyuruh anak buah mereka mengeroyok.
Andaikata dua puluh delapan orang anak buah perampok itu mengeroyok secara liar dengan senjata mereka itu akan mudah dibasmi oleh Liang Bi dan Cui Leng. Akan tetapi kiranya dua orang kepala rampok itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kepandaian tinggi sehingga anak buah mereka pun terlatih, bahkan pandai membentuk barisan yang kini mulai
mengelilingi dua orang dara perkasa itu.
Atas perintah dua orang kepala rampok, anak buah mereka kini melolos gulungan tali hitam.
Kembali dua orang pemimpin itu meneriakkan perintah dan tiba-tiba tampak sinar hitam melayang dari sekeliling dua orang gadis itu. Kiranya para anak buah perampok itu telah melontarkan tali hitam ke arah mereka dan tali-tali itu akan melibat tubuh mereka berdua.
Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan cepat mereka memutar pedang menyambut.
Beberapa helai tali hitam terbabat putus, akan tetapi ada yang menyambar ke arah kaki dan tubuh mereka sehingga terpaksa keduanya meloncat ke sana ke mari sambil memutar pedang.
Biarpun tidak ada tali yang dapat membelit tubuh mereka, namun mereka menjadi terpisah dan segera dua puluh delapan orang itu terpecah menjadi dua rombongan, masing-masing empat belas orang mengurung Liang Bi dan Cui Leng! Sehelai tali melibat kaki Cui Leng.
Pemegang tali tertawa girang akan tetapi suara ketawanya berubah pekik ketakutan ketika tubuhnya melayang ke udara karena dara ini menggerakkan kakinya yang terbelit tali sedemikian kuatnya sehingga pemegangnya terbawa melayang ke atas dan terlempar ke arah dara ini yang menyambut dengan babatan pedangnya.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 289
"Crokkk!" Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya hampir putus!
Mulailah para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu menggerakkan pedang mengamuk. Biarpun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok, namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh. Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun
mereka masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok. Perampok mata merah melawan Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan perampok bertahi lalat, sutenya menghadapi Cui Leng juga dibantu belasan orang. Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan, terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu harus bersilat dengan hati-hati. Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan gin-kang untuk mengelak ke sana ke mari sambil
menggerakkan pedang merobohkah lagi beberapa orang anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum membasmi semua perampok itu.
Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat lihai, nafsu berahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh. Namun, Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang. Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari depan. Kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi nyaring bercuitan.
Tiba-tiba dua orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak kanan Cui Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak lagi. Liang Bi yang terluka pahanya, kini melawan sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak.
"Tangkap mereka hidup-hidup!" teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.
Liang Bi, dan Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri. Biarpun sudah terluka, namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi, namun keadaan mereka makin payah karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka, sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, dapat menduga bahwa tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa khawatir sekali.
Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggauta perampok.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 290
"Ular....! Ular....!"
Dua orang kepala rampok itu membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan ekor ular berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak buah mereka! Ketika mereka memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda tampan yang dengan tenangnya meniup sebatang suling yang bentuknya aneh. Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda itulah yang menggerakkan ular-ular itu dengan suara sulingnya. Sambil berseru marah keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan cambuk dan golok di tangan.
"Tar! Tar!" Dua batang cambuk menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang lakilaki itu mengulur tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali renpgut kedua batang cambuk, itu putus tengahnya! Dua orang kepala rampok makin marah, golok mereka membacok, namun pemuda itu hanya menggeser kaki dan dua batang golok itu luput, lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang kepala rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah, sedangkan pemuda yang melakukan semua itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegang suling yang ditiup, kini dengan tenangnya menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan membunuh dua orang kepala rampok itu.
Liang Bi dan Cui Leng melihat bahwa peniup suling itu bukan lain adalah Si Pemuda Tampan yang telah mengaku sahabat mereka! Cui Leng berseru girang, akan tetapi Liang Bi mengerutkan alisnya. Betapapun juga, kedua orang dara perkasa ini mengamuk lebih hebat sehingga dalam, waktu sebentar saja, robohlah semua gerombolan perampok, tidak ada seorang pun yang dapat lolos, sebagian roboh oleh pedang kedua pendekar wanita ini, sebagian lagi oleh sebagian ular-ular yang mengamuk.
Pemuda yang bukan lain adalah Suma Hoat itu, menghentikan "lagu" sulingnya dan meniup suling dengan suara meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi seolah-olah diusir oleh bunyi pendek-pendek ini dan sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ.
Adapun Liang Bi, dan Cui Leng, cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk bersila dan mengerahkan sin-kang untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh mereka melalui luka di tubuh yang terkena senjata rahasia.,
"Syukur bahwa Ji-wi selamat. Memang perampok-perampok di sini amat berbahaya,"
terdengar Suma Hoat berkata.
Liang Bi dan Cui Lang membuka mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua dengan mata berseri.
"Kalau tidak cepat engkau datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas, sobat baik!" kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit.
Liang Bi makin tak senang, akan tetapi ia pun cepat berkata, "Terima kasih atas pertolongan Kongcu."
Suma Hoat tentu saja melihat perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas dipelajarinya untuk menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum dan gembira di mata Cui Leng, akan tetapi Liang Bi tetap memandang dingin. .
"Perampok-perampok ini mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat di sana."
Cui Leng sudah hendak menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya, "Terima kasih, tidak usahlah. Kami akan beristirahat di sini dan menyembuhkan luka...."
"AihMhh....! Ji-wi terluka...." Aduh celaka....! Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya sekali!" tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Liang Bi menjawab dingin, "Tidak mengapa, Kongcu Kami sanggup mengobatinya dengan sin-kang...."
"Wah, mana bisa" Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat lihai. Biarpun dapat dilawan dengan sin-kang dan tidak sampai merampas nyawa, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 291
namun akibatnya akan membuat muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak dapat diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan, benar tidak. Bukankah di tempat yang terkena luka itu terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas menjalar naik perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik" Bagi orang yang tidak mempunyai sin-kang, tentu, akan tewas dalam waktu dua belas jam. Bagi Ji-wi yang memiliki sin-kang tinggi, akan dapat menyelamatkan nyawa, akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang perampok, dan aku akan mengobati Ji-wi."
"Suci...." Cui Leng memandang sucinya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar betapa racun jarum beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi bopeng dengan totol-totol merah!
Akan tetapi, dengan sikap dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat, "Terima kasih atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami, akan beristirahat di sini saja dan mengobati sendiri luka-luka kami."
Suma Hoat menarik napas panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata, "Agaknya Ji-wi Li-hiap merasa curiga kepadaku dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau aku telah berlaku lancang dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada artinya dan yang kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak dapat memaksa, akan tetapi.... aku akan menanti di dalam hutan, di bekas rumah perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar racun itu tidak mengakibatkan cacad pada muka Ji-wi. Selamat berpisah." Ia lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya menyelinap ke dalam hutan tak jauh di depan.
"Suci, engkau sungguh keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak.
Bagaimana kalau muka kita menjadi bopeng?" Cui Leng segera menegur kakak
seperguruannya setelah bayangan pemuda itu lenyap.
Liang Bi menoleh ke arah adiknya. "Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang gagah" Kalau hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacad hatinya.
Aku masih tidak percaya kepada orang itu, Sinar matanya mengandung kepalsuan."
"Suci, aku....!"
"Cukup, Sumoi! Mengapa sejak bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku" Kita harus cepat bersamadhi menghimpun hawa murni dan mempergunakan sin-kang untuk melawan racun!" Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan samadhinya dan memejamkan kedua mata, sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam samadhi, napasnya panjang-panjang teratur seperti napas orang tidur nyenyak.
Cui Leng berusaha untuk meniru sucinya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya untuk mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala perasaan untuk menghimpun hawa murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu tampak, terutama sekali ucapannya tentang cacad bopeng yang mengancam mukanya dan penawaran pemuda itu
untuk mengobatinya sehingga dia akan terbebas dari ancaman mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.
Sejam kemudian, setelah merasa yakin bahwa sucinya telah "pulas" dalam samadhi, Cui Leng tak dapat menahan diri dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia meninggalkan sucinya memasuki hutan dengan maksud menjelang pagi sebelum sucinya sadar kembali dari samadhi, dia akan kembali ke situ sehingga kepergiannya tidak diketahui sucinya.
Mudah saja bagi Cui Leng untuk mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu karena rumah itu cukup megah di tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan jantung berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah pemuda itu sambil tersenyum amat tampannya.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 292
"Ah, selamat malam, Nona. Syukur bahwa Li-hiap suka datang...."
Berhadapan dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu. "Aku.... aku hendak minta obat.... aku tidak mau menjadi bopeng...."
"Tentu saja! Sayang, sekali kalau Li-hiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana sucimu, mengapa tidak datang?"
"Dia.... dia tidak mau, dia.... sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka menolongku dan aku akan berterima kasih sekali, kemudian aku akan segera kembali agar dia tidak tahu bahwa aku melanggar perintahnya. Dia galak sekali."
"Masuklah Li-hiap. Aku akan mengobatimu, jangan kahwatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa perampok telah kuusir pergi."
Cui Leng memasuki rumah itu yang ternyata cukup bersih dengan perabot rumah lengkap.
Dia dipersilakan duduk di atas bangku dan Suma Hoat berkata,
"Li-hiap, orang yang terkena jarum Ang-tok-ciam harus cepat diberi obat dan jarum itu dicabut keluar, kemudian lukanya harus disedot agar racun yang mengeram di bawah kulit dapat dibersihkan. Engkau terluka di manakah?"
Wajah Cui Leng mendadak menjadi merah sekali. "Di.... sedot...." Akan tetapi aku.... aku terluka di sini...." dia menuding ke arah dada kanan, sedikit di bawah pundak, kemudian menyambung cepat, "Biarlah kucabut dan kusedot sendiri lukanya, baru kauobati."
Suma Hoat memandang ke arah dada itu dan tersenyum. "Li-hiap, mana mungkin engkau menyedot luka di tempat itu" Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan.... ah, sungguh aku orang yang tidak beruntung, selalu dicurigai. Agaknya Li-hiap juga masih tidak percaya kepadaku. Dalam keadaan seperti ini, perlukah menggunakan rasa sungkan-sungkan lagi"
Ingat bahwa aku hanya mengobati, tidak mempunyai niat buruk yang lain. Terserah kepada Li-hiap, kalau tidak mau, aku pun tentu saja tidak berani memaksa." Pemuda itu membalikkan tubuh dan membelakangi Cui Leng dan menambah kayu di tempat perapian sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya menjadi hangat. Memang dia sengaja memberi
kesempatan kepada Cui Leng untuk mengambil keputusan.
Ia mendengar gadis itu menghela napas panjang berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya lirih agak gemetar, "Baiklah.... Kongcu.... biar engkau yang menyedot dan mengobatinya.
Apa boleh buat, aku tidak sudi menjadi bopeng."
Suma Hoat tersenyum, senyum penuh kemenangan, akan tetapi ketika ia membalikkan muka menghadapi Cui Leng, wajahnya tampak tenang dan biasa saja, bahkan dia berkata,
"Engkau tidak usah khawatir, Li-hiap. Dengan kepandaianmu yang tinggi, aku bisa berbuat apakah terhadapmu" Aku hanya seorang pelajar yang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan yang mengandung maksud baik." Ia lalu menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil seguci arak dan cawannya. Sambil menuangkan arak dia berkata dengan sembarangan,
"Harap kau suka membuka bagian yang terluka. Setelah minum obat penawar racun ini, baru akan kucabut jarum dan kusedot darahnya yang terkena racun." Ia menanti sampal Cui Leng dengan jari-jari gemetar membuka bajunya, melepaskan kancing tiga buah dari bagian atas, kemudian menguak baju dalamnya yang juga berwarna merah sehingga tampaklah dada
bagian atasnya yang berkulit putih kemerahan dan di bawah pundak kanan itu tampak ujung gagang jarum yang beronce merah," terhujam dalam-dalam di kulit dan daging.
"Aku sudah siap, Kongcu," kata gadis itu perlahan.
"Baik, sekarang minumlah dulu obat ini." Suma Hoat menyerahkan cawan yang penuh arak obat kepada gadis itu yang segera menerima dan menenggaknya.
Gadis itu terbatuk. "Ughh-ughh....! Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis akan tetapi keras sekali seperti arak yang sudah amat tua!" serunya sambil memandang arak dalam cawan yang berwarna merah.
"Memang obat itu dicampur dengan arak. Akan tetapi bukanlah obat sembarangan, Li-hiap.
Sudah disimpan puluhan tahun lamanya, namun khasiatnya amat hebat. Jangan ragu-ragu Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 293
minumlah!"
Cul Leng duduk di atas bangku pendek dan Suma, Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan kuku jari tangan yang agak panjang terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit ujung gagang jarum di antara kedua kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut jarum itu.
"Aihhh!" Cui Leng merintih karena luka itu terasa perih dan nyeri.
"Sakit sedikit, Li-hiap. Sekarang aku akan menyedot lukanya. Engkau tidak keberatan bukan?" Sambil bertanya demikian, Suma Hoat mengangkat muka, memandang dan Cui Leng menunduk sehingga mereka berpandangan dengan muka terpisah tidak jauh. Wajah itu demikian tampan, sepasang mata itu demikian bagus dan bibir itu tersenyum amat ramah sehingga Cui Leng menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua kecurigaan dan keraguan, dan jantungnya berdebar. Dia merasa sesuatu yang amat aneh yang membuat jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini sekarang luar biasa tampannya" Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya"
Ia tersenyum malu-malu dan mengangguk, "Lakukanlah...."
Seluruh bulu dan rambut di tubuh Cui Leng seperti berdiri ketika ia merasa betapa bibir yang basah hangat itu menempel di kulit dada bagian atas. Jantungnya berdebar makin keras ketika bibir itu menyedot luka di dadanya. Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dialaminya, perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, campur baur penuh rasa senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia ingin menjatuhkan kepalanya di atas pundak pemuda itu. Tubuhnya seperti tak bertulang lagi, lemas dan lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa cinta kasih yang menggelora terhadap pemuda itu. Suma Hoat meludahkan darah yang disedotnya, kemudian menyedot lagi, meludah lagi. Setelah ia menyedot tiga kali, Cui Leng tak dapat menahan lagi amukan perasaan yang menggelora di hatinya, tubuhnya gemetar dan kedua matanya setengah terpejam, mulutnya agak terbuka, terengah memberl jalan keluar pada hawa yang mendesak dan menyesakkan dadanya yang bergelombang.
Melihat tanda ini, diam-diam Suma Hoat tersenyum. "Arak obat" yang diberikannya tadi sudah bekerja baik. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman matang, dia maklum bahwa arak yang sebetulnya adalah obat perangsang itu mempunyai daya melumpuhkan semua pertahanan susila dihati wanita dan tentu saja seperti obat-obat perangsang lain, hanya akan manjur terhadap wanita yang memang sudah mengandung hati tertarik kepadanya. Maka kini perlahan-lahan bibirnya bergeser, bukan lagi luka itu yang dikecupnya, melainkan naik ke leher.
Cui Leng merasakan hal ini, dan ia terkejut sekali, namun apa daya, semua kemauannya telah lenyap, bahkan dia merasa dirinya seperti terapung di angkasa, demikian menyenangkan. Dia hanya dapat mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan kini kedua matanya bahkan dipejamkan sama sekali. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu merangkul dan menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua lengannya merangkul leher pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah lupa dan mabok. Perasaannya terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu amat baik, amat tampan, amat gagah perkasa dan sepatutnya menjadi jodohnya!
Seperti dalam mimpi ia menyerah, menurut dan memenuhi apa saja yang dikehendaki pemuda itu dan satu-satunya. percakapan di antara mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.
"Kekasihku, siapakah namamu?"
Pertanyaan yang aneh. Belum juga mengenal nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun pada saat itu, Cui Leng yang sudah mabok dan lupa daratan itu tidak merasai keanehan ini dan menjawab lirih, " Namaku Kim Cui Leng.... dan kau, Koko....?"
"Panggil saja aku Hoat."
"Hoat-ko.... aku cinta padamu...."
Dengan ucapan ini, Cui Leng kehilangan segala-galanya. Ia telah serahkan jiwa raganya kepada seorang pria yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan keadaannya! Bahkan namanya pun hanya diketahui dengan sebuah huruf "Hoat" saja! Dia seorang gadis yang tidak Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 294
mempunyai pengalaman sama sekali, masih hijau, dan yang mempermainkannya adalah
seorang "Jai-hwa-sian" yang pahdai merayu, tentu saja Cui Leng benar-benar jatuh!
Barulah pada keesokan harinya, ketika sadar dari tidurnya yang nyenyak berbantal lengan dan dada Suma Hoat, Cui Leng menjerit, teringat akan segala yang terjadi dan ia menangis tersedu-sedu. Suma Hoat memeluknya.
"Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi pujaan hatiku. Kenapa menangis" Apakah engkau menyesal mempunyai kekasih seperti aku?"
"Tidak....! Tidak....! Aku cinta padamu, Koko, akan tetapi...."
Suma Hoat menciuminya. "Mengapa menangis?"
"Aku takut! Kalau Suci tahu, celakalah aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan pelanggaran kami!"
Suma Hoat tertawa, "Ha-ha-ha! Mengapa takut kepadanya" Jangankan baru dia, biar seluruh tokoh Siauw-lim-pai datang, jangan takut. Ada aku di sini, Leng-moi. Percayalah, aku tidaklah selemah yang kaukira. Lihat ini!" Suma Hoat menggerakkan tangan kiri dengan jari terbuka ke arah lantai. Terdengar suara "plak! Plak!" dan Cui Leng memandang lantai dengan mata terbelalak melihat betapa telapak tangan pemuda itu membuat bekas yang amat dalam dan begitu jelas sehingga tampak garis telapak tangannya.
"Eh.... itu.... Tiat-ciang-kang (Telapak Tangan Besi)!" serunya kagum.
"Dan lihat ini!" Kembali tangannya didorongkan ke depan, ke arah guci arak di atas meja dan.... "wuuuuttt!" guci arak itu terbang melayang ke arah tangannya, disambut dan pemuda itu menenggak araknya!
"Wah, Koko....! Sin-kangmu hebat bukan main!"
"Nah, masih takutkah engkau" Biar sucimu datang, dia tidak akan dapat mengganggumu, apalagi membunuhmu."
"Akan tetapi, namaku akan ternoda! Koko, bagaimana baiknya....?" Wajah gadis itu menjadi pucat.
"Karena ketahuan Sucimu" Ha-ha, Leng-moi, kekasihku. Jalan satu-satunya hanyalah mengusahakan agar sucimu mau bermain cinta denganku, mau melayaniku. Dengan
demikian, engkau mempunyai teman dan dapat saling menyimpan rahasia!"
"Kau....!" Tangan Cui Leng menyambar hendak menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda itu menangkap tangan itu sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta sambil mengerahkan tenaga, tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.
"Leng-moi, jangan begitu. Ingatkah kita melakukan permainan cinta atas dasar suka sama suka, bukan" Tidak ada yang memaksa! Aku adalah, seorang laki-laki yang takkan menolak cinta kasih wanita mana pun. Aku mengusulkan agar sucimu suka bermain cinta denganku semata-mata untuk menolongmu, yaitu agar rahasiamu tetap aman tersimpan. Bagaimana?"
Cui Leng terisak. "Kau.... kau.... mata keranjang!"
"Ha-ha-ha!" Suma Hoat tertawa. "Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata keranjang"
Asal diberi kesempatan tidak akan ada laki-laki yang menolak kasih sayang wanita cantik!
Dan sucimu juga cantik jelita, sungguhpun tidak sepanas engkau. Bagaimana"
Cui Leng memang merasa menyesal dan khawatir. Kalau sampai diketahui sucinya bahwa dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pria itu, tentu dia akan celaka dan selama hidupnya takkan merasa aman. Akan tetapi, kalau sucinya juga "terjun" dan ikut basah, sama-sama basah seperti dia, tentu saja mereka berdua akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing.
"Jadi kau.... kau tidak akan memperisteri aku?"
"Moi-moi" Jangan bodoh! Hubungan kita bukanlah hubungan suami isteri, kita melakukannya karena suka sama suka, bukan" Kita sama-santa menikmatinya, bukan" Tadinya pun aku tidak pernah berjanji untuk mengambilmu sebagai isteri."
"Mengapa?" Dalam suara Cui Leng terkandung putus harapan.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 295
"Mengapa" Karena aku sudah bersumpah selamanya tidak akan beristeri! Itulah! Sekarang bagaimana, maukah engkau membiarkan aku membujuk sucimu agar keadaannya sama
denganmu ataukah harus kutinggalkan engkau begini saja?"
"Tidakf jangan tinggalkan aku. Baiklah, lakukan apa yang kaukehendaki kepada suci kalau....
kalau.... itu merupakan satu-satunya jalan...."
Melihat betapa wajah yang cantik dan biasanya berseri itu kini berkerut tanda susah. Suma Hoat tertawa, merangkul dan memondong Cui Leng. "Leng-moi, hidup satu kali mengapa berduka dan berkhawatir" Tidak pantas wajahmu yang cantik berduka. Mari kita bergembira!"
Dia membawa Cui Leng lari keluar rumah itu menuju ke sebuah sungai. Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah tertawa-tawa, mandi bertelanjang bulat di dalam sungai itu, saling menyirami air, berkejaran penuh kegembiraan, saling mencurahkan cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa. Cui Leng kembali menjadi gembira, lupa sama sekali akan
kekhawatirannya tadi, terbuai mabok dalam rayuan Suma Hoat yang amat pandai menguasai hati dan tubuhnya.
"Sumoi....!"
Bentakan Liang Bi mengejutkan Cui Leng dan ia menengok dengan wajah pucat ke arah sumoinya yang sudah berdiri di tepi sungai, sedangkan Suma Hoat malah tersenyum-senyum.
Kekagetan Cui Leng tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan rasa kaget yang memukul hati Lian Bi ketika ia mencari sumoinya dan mendapatkan sumoinya sedang mandi bersama pemuda penolong mereka dalam keadaan telanjang bulat seperti itu.
"Ha-ha, kebetulan sekali engkau datang Li-hiap. Marilah ikut bersama kami, di sini segar dan nyaman. Tanggalkan pakaianmu!" kata Suma Hoat.
Saking bingung dan takutnya melihat sucinya penuh kemarahan, Cui Leng berkata di luar kesadarannya, "Benar suci! Mari kita mandi bersama Hoat-koko....!"
"Sumoi, engkau murid yang murtad! Tidak malu melakukan perbuatan terkutuk" dengan kemarahan meluap Liang Bi mencabut pedangnya. "Manusia-manusia macam kalian harus kubunuh!"
"Suci....!"
"Tenanglah, Leng-moi, biar aku yang menundukkannya!" Setelah berkata demikian sekali melompat tubuh Suma Hoat yang telanjang bulat melayang ke darat, ke depan Liang Bi.
Selama hidupnya yang dua puluh tahun lamanya, dalam mimpi pun belum pernah Liang Bi melihat seorang laki-laki dewasa telanjang. Kini ada seorang laki-laki, dewasa bertelanjang bulat berdiri di depannya, tentu saja hal ini merupakan pengalaman yang amat hebat, yang membuat seluruh tubuhnya menggigil dan ia hampir pingsan saking malunya. Akan tetapi kemarahannya mengatasi segala perasaan lain. Dengan teriakan ganas ia menerjang dengan pedangnya, membacok laki-laki itu penuh kebencian.
Akan tetapi, selain tingkat ilmu kepandaian Suma Hoat sudah amat tinggi, juga menghadapi seorang pria yang telanjang bulat itu membuat Liang Bi merasa ngeri sehingga gerakannya terganggu dan dengan mudah Suma Hoat menghindarkan diri dari serangan pedang yang bertubi-tubi.
"Ah, Nona yang manis, mengapa engkau hendak membunuhku yang tidak berdosa" Sumoimu dan aku sama-sama menikmati cinta kasih dan marilah, engkau ikut pula menikmatinya.
Tegakah engkau membunuh aku yang tidak berdosa?" Sambil mengelak dengan
mempergunakan gin-kangnya yang tinggi, Suma Hoat membujuk.
"Manusia hina! Terkutuk! Mampuslah!"
Liang Bi menerjang lagi dengan mata setengah terpejam karena dia tidak tahan menyaksikan tubuh yang telanjang bulat begitu dekat dengannya itu.
Kembali Suma Hoat mengelak. "Aihh, betapa tega hatimu, Nona. Akan tetapi aku tidak tega untuk mencelakaimu. Aku cinta padamu, manis!"
Ucapan merayu ini seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Lian Bi makin Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 296
berkobar. Kalau pria ini mencinta sumoinya, bagaimana sekarang di depan sumoinya berani mengeluarkan kata-kata mencintanya"
"Keparat biadab!" Liang Bi memaki makin marah, pedangnya diputar cepat sekali menjadi segulung sinar menyilaukan yang menyambar-nyambar.
"Aduh, cantik dan gagah sekali engkau!" Suma Hoat kembali memuji dan cepat ia mengelak.
Tiba-tiba Liang Bi menendang dan paha kiri Suma Hoat yang mengelak masih diserempet ujung sepatu. Suma Hoat terguling!
"Mampuslah engkau!" Liang Bi menubruk dan menusuk, Suma Hoat menggulingkan tubuhnya mengelak dari tusukan yang bertubi-tubi.
"Suci....!" Cui Leng yang sudah naik ke darat dan mengenakan pakaian menjerit namun Liang Bi tidak peduli terus mengejar dan menusuk ke arah tubuh yang bergulingan itu. Makin panas hatinya karena tusukannya tidak pernah mengenai orang yang dibencinya.
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa dan ketika kembali Liang Bi menusuk, ia berguling dan tiba-tiba, pada saat ujung pedang Liang Bi menyentuh tanah, tubuh
Suma Hoat mencelat ke atas dan tahu-tahu ia telah memeluk tubuh Liang Bi, meringkus tubuh itu dengan melingkarkan kedua lengan menelikung lengan gadis
itu. Liang Bi menjerit ngeri ketika merasa betapa tubuh yang telanjang bulat itu memeluknya begitu erat. Ia menggigil dan merasa seluruh tubuh lemas maka ia pun roboh terguling bersama Suma Hoat. Mereka roboh di atas tanah berumput, pedang terlepas dari tangan Liang Bi dan gadis ini hampir pingsan ketika merasa betapa lehernya, pipinya dan bibirnya dicium oleh pemuda yang telanjang bulat itu!
"Aku cinta padamu, Nona. Aihh, betapa cantik manis engkau....!" Suma Hoat berbisik-bisik.
"Bunuh aku....! Bunuh saja aku.... !" Liang Bi merintih dan akhirnya ia tak ingat diri, pingsan oleh rasa jijik dan ngeri ketika merasa betapa tangan pemuda itu menggerayangi tubuhnya.
Kalau saja Suma Hoat tidak ingat bahwa Bi adalah murid Siauw-lim-pai, dan terutama sekali tidak ingat atau menjaga nama Cui Leng, tentu dia akan memperkosa atau membunuh Liang Bi di saat dan di tempat itu juga. Akan tetapi dia tidak ingin menyusahkan Cui Leng yang sudah bersikap baik kepadanya! Kalau dia memperkosa Liang Bi, gadis yang keras hati ini akhirnya tentu akan membunuh diri dan nama baik Cui Leng akan ternoda. Dia harus mencari akal untuk menguasai hati dan tubuh Liang Bi tanpa paksaan sehingga gadis itu akan berada dalam keadaan yang sama dengan sumoinya sehingga mereka akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing. Kalau sudah demikian, dia akan dapat meninggalkan mereka berdua sebagai seorang sahabat dan bekas kekasih! Dan dia tidak perlu bermusuhan dengan pihak Siauw-lim-pai yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!
Melihat Liang Bi pingsan, Suma Hoat melepaskannya, mengenakan pakaiannya dan berkata kepada Cui Leng yang tadi menonton dengan penuh kekhawatiran. "Sucimu keras hati, akan tetapi aku harus menundukkannya, demi menjaga nama baikmu. Aku akan membuat dia suka melayaniku, akan tetapi engkau harus membantuku. Semua ini kita lakukan demi


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebaikanmu."
Cui Leng tak dapat berkata lain kecuali menarik napas panjang dan mengangguk. Diam-diam ia menyesali perbuatannya, akan tetapi betapapun juga harus dia akui bahwa belum pernah selama hidupnya ia merasakan kebahagiaan dan kesenangan seperti sekarang, dan pula dia pun mengerti bahwa kalau sucinya sudah terjun pula seperti yang telah dia lakukan, rahasianya tentu akan tertutup dan ia aman.
Ketika siuman dari pingsannya, Liang Bi mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah rumah yang cukup bersih dan, megah, terikat pada dipan kayu, terbelenggu kaki tangannya. Suma Hoat yang berpakaian rapi, bersisir dan kelihatan tampan sekali duduk di pinggir pembaringan, Cui Leng tidak tampak dan pemuda itu tersenyum memandangnya ketika ia membuka mata.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 297
"Jahanam....!" Kata-kata yang pertama keluar dari mulut Liang Bi adalah makian, namun hatinya agak lega bahwa ia masih tetap berpakaian dan dirinya belum ternoda.
Suma Hoat tersenyum. "Bi-moi, engkau sungguh cantik sesuai dengan namamu. Aku cinta padamu, Bi-moi," Suma Hoat merayu dan mengusap dagu yang halus itu. Liang Bi membuang muka dengan gerakan kasar.
"Jangan sentuh aku! Lebih baik kaubunuh saja!" teriaknya dan dua butir air mata meloncat keluar dari sepasang matanya.
"Aihh, sayang sekali kalau dibunuh. Aku tidak akan membunuhmu, tidak akan
mencelakakanmu. Aku cinta padamu. Mengapa engkau berkeras kepala" Aku hanya ingin engkau membalas cintaku! Bukankah sudah cocok sekali kalau seorang gadis jelita seperti engkau dan seorang pemuda tampan seperti aku saling mencinta?" .
"Phuih! Manusia terkutuk! Jangan mengira bahwa semua wanita akan semudah itu kaupermainkan! Aku lebih baik mati daripada melakukan perbuatan terkutuk!"
Akan tetapi Suma Hoat tertawa dan dengan gerakan mesra mulailah ia membelai dan
menciumi. Liang Bi meronta-ronta, memaki-maki dan menangis. Melihat betapa gadis itu sama sekali tidak bergerak hatinya oleh cumbu rayunya, Suma Hoat menghentikan
perbuatannya. "Hemm, engkau benar keras hati dan keras kepala. Hendak kulihat sampai di mana kekerasanmu!" Pemuda yang kalau berhadapan dengan wanita menjadi keji dan ganas seperti iblis itu lalu mengambil secawan arak, yaitu obat perangsang yang sudah dipersiapkan.
"Kauminumlah arak obat ini, manis!"
"Tidak sudi! Engkau telah menipu, menjatuhkan hati Sumoi yang lemah dengan tipuanmu.
Jarum itu sama sekali tidak mengandung racun berbahaya. Tanpa pengobatan pun akan lenyap sendiri rasa gatal dan panas, namun engkau membohongi Sumoi. Engkau katakan bahwa racun itu akan membuat muka menjadi bopeng, buktinya aku tidak apa-apa! Aku tidak sudi minum obatmu yang terkutuk!" Liang Bi membuang muka ke samping.
Akan tetapi sambil tertawa Suma Hoat menggunakan tangan kiri memegang dagu, dengan jari-jari tangannya yang kuat ia memaksa mulut Liang Bi terbuka dan ia menuangkan isi cawan ke dalam mulut dara itu. Liang Bi gelagapan terpaksa menelan arak obat itu sampai habis. Ia terbatuk-batuk dan memaki-maki.
"Binatang! Iblis! Aku bersumpah untuk membunuhmu! Engkau telah menghina murid-murid Siauw-lim-pai!" ia meronta-ronta dan memandang Suma Hoat yang tertawa-tawa penuh kebencian.
Suma Hoat hanya duduk dan memandang sambil tersenyum. Tak lama kemudian obat itu mulai bekerja. Liang Bi menjadi gelisah. Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup kencang, pandang matanya kabur, kepalanya pening. Makin lama makin panas rasanya sehingga ia mengira bahwa tubuhnya telah kemasukan racun dan ia akan mati. Akan tetapi ia tidak peduli. Yang amat mengganggu hatinya adalah perasaan aneh yang mendorong-dorongnya, menimbulkan rangsangan birahi, membuat ia seolah-olah dipaksa dari dalam untuk menyerah, untuk menerima pemuda itu yang kelihatan amat tampan dan
menggairahkan. Namun, karena pada dasarnya dia tidak sudi melakukan perbuatan yang dianggapnya terkutuk itu, dia dapat melawan perasaan aneh ini dan dia memejamkan mata agar tidak melihat wajah yang tampan dan senyum manis itu.
"Suci, mengapa Suci tidak mau menurut! Hoat-koko orangnya amat baik, Suci. Aku.... aku cinta padanya dan kalau Suci menurut, Suci pun akan jatuh cinta padanya.!"
Mendengar suara sumoinya ini, Liang Bi membuka mata dan menoleh. "Perempuan hina!
Perempuan rendah! Orang macam engkau ini seribu kali lebih baik membunuh diri saja, tidak ada harganya untuk hidup!" .
Muka Cui Leng menjadi merah, akan tetapi Suma Hoat sudah memeluknya sambil tertawa,
"Leng-moi, sucimu lebih suka mati, lebih suka menderita. Biarlah, kita berdua lebih senang Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 298
untuk memilih hidup dan bersenang, ha-ha-ha!" Suma Hoat lalu menarik tangan Cui Leng ke atas pembaringan dimana Liang Bi terbelenggu, kemudian ia mulai membelai Cui Leng.
Tanpa malu-malu, di depan mata Liang Bi dia mengajak Cui Leng bermain cinta! Biarpun Cui Leng merasa sungkan dan malu sekali, akan tetapi karena dia maklum bahwa perbuatan ini dilakukan oleh kekasihnya untuk menggerakkan hati sucinya dan dia amat memerlukan sucinya ikut terjun dalam permainan itu yang akan menyelamatkan rahasianya, maka ia pun menurut saja.
Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa hati Liang Bi yang dipaksa menyaksikan adegan yang dianggap terkutuk itu berlangsung di depan matanya! Dia memejamkan mata dan membuang muka, namun telinganya masih mendengar. Ia tersiksa sekali karena rangsangan didalam tubuhnya makin menghebat, nafsu berahinya menggelora dengan disuguhkannya adegan yang amat dekat itu, dan ia memaksa batinnya sekuat tenaga untuk melawan godaan yang
datangnya dari dalam. Di luar kehendaknya, karena rangsangan yang amat hebat, beberapa kali ia menoleh, membuang mata dan memandang mereka. Kalau sudah tidak kuat, ia
mengeluh dan memaksa kedua matanya untuk dipejamkan. Ia merintih-rintih dan berkali-kali bersambat, "Bunuhlah aku.... bunuhlah.... ahhh, terkutuk kalian.... bunuhlah aku....!"
Kemudian diakhiri dengan tangis terisak-isak dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya.
Suma Hoat yang melakukan perbuatan tak tahu malu itu dengan niat untuk menggerakkan, hati Liang Bi, turun dari pembaringan, menghampiri Liang Bi dan menciumnya, mengusap air matanya. "Bimoi.... aku pun mencintamu seperti aku mencinta Leng-moi...., kau menurutlah sayang dan kita bertiga hidup bahagia...." Jari tangannya membelai dan hampir saja Liang Bi tidak kuat menahan, hampir runtuh batinnya. Namun dia menggigit bibir dan menggeleng kepada dengan mata dipejamkan, tak kuasa menjawab.
Suma Hoat menjadi jengkel. Belum pernah ia menjumpai seorang gadis yang begini keras pertahanan hatinya. Arak obatnya tidak mempan, juga adegan yang ia pamerkan tidak!
"Hemmm, kau berkeras, ya" Kau lebih senang tersiksa" Baiklah!"
Ia lalu menotok tubuh Liang Bi, melepaskan belenggunya dan memondong tubuhnya keluar dari rumah itu.
"Hoat-ko....!" Cui Leng cepat mengejar, khawatir karena menyangka bahwa pemuda itu hendak membunuh sucinya. "Marilah, Leng-moi. Aku ingin melihat sampai dimana keteguhan dan kekerasan hatinya!"
Pemuda itu membawa tubuh Liang Bi ke belakang rumah dan meletakkannya di atas rumput.
Kemudian ia mengeluarkan sulingnya dan meniup suling aneh itu. Cui Leng memandang penuh perhatian dengan mata terbelalak. Terdengarlah bunyi lengking yang aneh, disusul bunyi berkerasakan di antara rumpun alang-alang dan rumput. Tak lama kemudian, muncullah tiga ekor ular hijau yang beracun, merayap mendekati Liang Bi!
"Hoat-ko....!" Cui Leng menjerit.
Akan tetapi Suma Hoat memandang kepadanya sambil menggeleng kepala dan melanjutkan tiupan sulingnya. Mengertilah Cui Leng bahwa kekasihnya hanya hendak. mertakut-nakuti Liang Bi.
Yang menyiksa dan mengkhawatirkan hati Cui Leng adalah bahwa sucinya itu paling jijik dan takut melihat ular. Kini ada tiga ekor ular merayap mendekatinya, tentu saja sucinya menjadi takut setengah mati. Mata Liang Bi terbelalak, melirik ke arah ular-ular itu dan wajahnya pucat sekali.
Suma Hoat menghentikan tiupan sulingnya dan dengan sulingnya ia mencegah ular-ular itu datang terlalu dekat. "Bagaimana, Bi-moi" Kalau kau tidak mau menyerah, ular-ular ini akan menggigitmu dan sekali gigit saja tubuhmu akan bengkak-bengkak!"
Liang -Bi sudah tertotok,, tubuhnya lemas dan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat berkata ketus, "Bunuhlah aku! Aku tidak sudi!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 299
Suma Hoat makin panasaran, ditiupnya lagi sulingnya dan kini tiga ekor ular itu mendekati tubuh Lian Bi yang menjadi makin ketakutan. Lidah-lidah ular yang merah dan bergerak-gerak keluar masuk itu, taring yang putih mengkilap dan melengkung ke dalam, mata yang merah dan liar, benar-benar membuat ia hampir pingsan saking takutnya. Betapa mudahnya untuk mengucapkan kata-kata menyerah dan ia akan terbebas dari ancaman ular-ular ini! Dia menikmati cinta kasih seperti yang diiihatnya tadi dinikmati sumoinya. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, bertekad lebih baik mati daripada menyerah dan terperosok ke dalam pecomberan yang berupa perbuatan melanggar, susila yang terkutuk dan menjijikkan. Tidak, dia tidak akan menyerah. Bagi seorang gagah, kehormatan seribu kali lebih berharga daripada nyawa! Seribu kali lebih baik mati sebagai seorang pendekar wanita yang bersih daripada hidup sebagai seorang perempuan ternoda!
"Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" Ia berteriak.
Sinar yang buas terpancar keluar dari pandang mata Suma Hoat. Dia mulai marah dan dia lupa akan janjinya kepada Cui Leng, maka kini dia meniup sulingnya dengan nada makin tinggi. Tiga ekor ular itu mendesis-desis, siap menerjang dan menggigit tubuh wanita yang terbujur di atas tanah.
"Crat-crat-crat!"
Sinar putih menyilaukan mata itu lenyap dan disitu telah berdiri dua orang wanita dengan pedang di tangan dan tiga ekor ular tadi telah putus kepalanya, tinggal tubuhnya yang menggeliat-geliat dalam sekarat.
Cui Leng dan Suma Hoat terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Suma Hoat mengangkat kepala memandang. Yang muncul dan membunuh tiga ekor ular dengan pedang itu adalah dua orang wanita yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, keduanya bersikap gagah perkasa dan masih nampak cantik. Melihat persamaan wajah mereka, mudah diduga bahwa mereka ini tentulah kakak beradik. Kini wanita yang lebih tua menudingkan pedangnya kepada Suma Hoat dan membentak,
"Penjahat keji, perbuatanmu melampaui batas perikemanusiaan. Sekarang, setelah kami datang bersiaplah untuk mati!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya mencelat ke depan menyerang Suma Hoat yang cepat menggunakan sulingnya menangkis.
"Dan engkau wanita kejam patut mampus, juga!" teriak wanita ke dua yang juga cepat sekali gerakannya menerjang Cui Leng. Terpaksa gadis, ini mencabut pedang menangkis.
"Cringgg...., tranggg....!"
Pertemuan pedang kedua orang wanita gagah itu dengan suling Suma Hoat dan pedang Cui Leng menimbulkan, bunga api yang muncrat menyilaukan mata. Wanita yang lebih tua terkejut bukan main karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa pemuda tampan yang memegang suling itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Adapun wanita ke dua juga merasa bahwa dara cantik yang menjadi teman pemuda itu pun memiliki gerakan yang tangkas dan kuat. Namun keduanya tidak gentar dan cepat menyerang dengan "dahsyat.
Namun, Suma Hoat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat mengimbangi permainan pedang lawan sehingga mereka telah bertanding dengan seru.
Diam-diam ia kagum karena ternyata wanita baju hijau yang usianya sekitar empat puluh tahun ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka dia pun cepat melolos pedangnya dan balas menyerang.
Di lain pihak, Cui Leng kewalahan menghadapi lawannya yang lihai. Terpaksa Cui Leng mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya memainkan ilmu pedang Siauw-lim-pai yang mempunyai daya tahan kokoh kuat.
"Tahan....!" Tiba-tiba wanita yang melawan Cui Leng berteriak dan melompat mundur diikuti encinya. Wanita ini memandang Cui Leng dan bertanya, "Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai" Ilmu pedangmu adalah ilmu pedang Siauw-lim-pai!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 300
Cui Leng menjadi bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kalau tidak dalam keadaan seperti sekarang, tentu tanpa ragu-ragu ia akan mengaku. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ingin ia menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi Suma Hoat sudah mendahuluinya, tertawa sambil memandang kedua wanita itu.
"Tidak salah dugaan Ji-wi Toanio yang cantik dan gagah! Dia dan sucinya itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai, dan aku adalah sahabatnya. Kami bertiga sedang main-main, mengapa Ji-wi membunuh ular-ularku dan menyerang kami?"
Kedua orang wanita itu saling pandang, kelihatan terkejut sekali dan terheran. Tanpa mempedulikan ucapan Suma Hoat yang main-main, Juga panggilan dengan embel-embel
"yang cantik dan gagah" yang pada saat lain tentu akan menimbulkan kemarahan mereka, kini wanita tertua menghadapi Cui Leng dan bertanya.
"Engkau.... dan sucimu.... apakah wakil-wakil dari Siauw-lim-pai untuk bertemu dengan Beng-kauw?"
Cui Leng menjadi makin bingung. Dia tidak tahu siapa kedua orang wanita itu, akan tetapi dia menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Beng-kauw, maka dia menjadi makin bingung.
"Aku.... aku...." Sukar sekali dia melanjutkan kata-katanya.
"Kembali Ji-wi Toanio benar. Adik Kim Cui Leng dan adik Liang Bi ini adalah wakil Siauw-lim-pai. Ji-wi siapakah" Biarlah aku mewakili kedua adikku tercinta ini untuk berunding.
Mari kita ke rumah kami." Suma Hoat berkata dan senyumnya amat menarik.
"Aihhh...., bagaimana ini" "Wanita yang lebih muda, berpakaian biru berkata dan kelihatan bingung
"Hui-moi, mari kita pergi" kata wanita baju hijau yang lebih tua. Adiknya mengangguk dan keduanya berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Cui Leng membanting-bantingkan kakinya. "Celaka, Koko. Kenapa Koko mengaku bahwa kami berdua adalah orang-orang Siauw-lim-pai" Kita tidak tahu mereka itu siapa!"
Suma Hoat tertawa, "Takut apa, Moi moi" Ada aku di sini, mengapa takut?"
Cui Leng memandang sucinya yang masih rebah telentang, dan ternyata sucinya telah pingsan saking ngerinya tadi ketika akan digigit ular-ular itu.
"Wah, bagaimana ini" Kau belum juga berhasil dengan suci, dan sekarang ada dua orang wanita itu. Rahasia tentu akan terbongkar....!"
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Sucimu takut ular, aku masih ada jalan lain." Setelah berkata demikian, Suma Hoat memondong tubuh Liang Bi dan kembali ke dalam rumah diikuti oleh Cui Leng yang amat gelisah hatinya dan menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita yang lihai itu. Mereka itu lihai dan kalau mereka bertempur terus, belum tentu dia dan Suma Hoat akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi mengapa mereka berdua tadi terus lari pergi setelah mendengar bahwa dia adalah murid dan wakil Siauw-lim-pai" Siapakah mereka"
Ya, siapakah mereka" Dua orang wanita itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang selama belasan tahun bersembunyi di Ta-liang-san. Mereka adalah cucu dari pendiri Beng-kauw yang selama hampir dua puluh tahun bersembunyi di Ta-liang-san, menggembleng diri dengan ilmu silat di bawah pimpinan paman kakek mereka, yaitu Kauw Bian Cinjin seorang tokoh besar Beng-kauw. Kakak beradik ini bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dan
mereka ini bukan lain adalah kedua orang kakak dari Kam Han Ki! Mereka adalah puteri dari Kam Bu Sin adik tiri Suling Emas, sedangkan ibu mereka adalah Liu Hwe, keturunan ketua Beng-kauw (baca cerita MUTIARA HITAM)!
Kedua orang kakak beradik ini tadinya sudah menikah dengan dua orang pendekar ternama di selatan, akan tetapi kedua suami mereka telah gugur ketika berjuang melawan musuh-musuh Beng-kauw. Mereka belum mempunyai keturunan dan selama ini hidup sebagai jandajanda yang tekun melatih diri di puncak Ta-liang-san dan menanti kesempatan untuk membangun kembali Beng-kauw yang sudah hancur. Mereka merasa prihatin sekali ketika anak buah Beng-kauw kini jatuh ke dalam cengkeraman seorang pendeta dari Tibet yang amat lihai dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 301
yang membangun sarang di Pegunungan Heng-toan di lembah Sungai Ci-sha. Pendeta Tibet ini berjuluk Hoat Bhok Lama, seorang pendeta berjubah merah yang amat lihai dan yang melanjutkan perkumpulan Agama Beng-kauw dan memaksa bekas anak buah Beng-kauw
menjadi anak buahnya. Akan tetapi, dengan pimpinan di tangannya, Beng-kauw
diselewengkan dan dia tidak segan melakukan perbuatan yang jahat. Namun karena lihainya, segala usaha keturunan pendiri Beng-kauw mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yaitu kedua orang wanita she Kam itu, selalu gagal. Bahkan suami mereka pun tewas di tangan Hoat Bhok Lama! Juga Kauw Bian Cinjin yang sudah amat tua, paman kakek dan juga mereka, tewas di tangan Hoat Bhok Lama!
Demikianlah, dalam usaha mereka untuk menentang, Hoat Bhok Lama, bukan semata-mata membalas dendam kematian suami dan keluarga mereka, melainkan dalam usaha mereka untuk merampas kembali Beng-kauw dan membersihkan perkumpulan itu dari
penyelewengan, Kam Sian Kui dan Kam Siang Hui menghubungi Siauw-lim-pai untuk
mohon pertolongan Ketua Siauw-lim-pai.
Tentu saja. mereka segera turun tangan ketika menyaksikan seorang gadis disiksa dan akan dibunuh dengan ular-ular beracun. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis-gadis itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang katanya akan dikirim oleh Ketua Siauw-lim-pai sebagai wakil, dan yang kini malah membantu pemuda tampan itu, kedua orang kakak beradik ini menjadi segan mencampuri. Mereka mengharapkan bantuan Siauw-lim-pai, kalau mereka kini bentrok dengan murid Siauw-lim-pai, apa jadinya" Maka mereka bergegas pergi mencari Ketua Siauw-lim-pai untuk melaporkan peristiwa yang mereka lihat di hutan itu.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengar akan nasib buruk yang menimpa keluarga keturunan Suling Emas, pek-hu (uwa) mereka. Akan tetapi mereka hanya dapat menangis mendengar akan kematian Raja Talibu, Mutiara Hitam dan Kam Liong yang menjadi saudara-saudara misan mereka. Mereka tidak berdaya berbuat sesuatu karena mereka sendiri pun mengalami nasib yang tidak baik. Suami mereka gugur, Beng-kauw dirampas orang dan diselewengkan. Mereka tidak dapat mengharapkan bantuan saudara-saudara lain karena mereka menganggap bahwa adik mereka, Kam Han Ki, telah tewas. Mereka tidak tahu bahwa adik mereka itu masih hidup. Maka satu-satunya harapan mereka adalah Siauw-lim-pai yang mereka tahu memiliki banyak orang pandai dan yang selalu siap membela kebenaran. Apalagi karena perampas Beng-kauw adalah seorang pendeta, sedikit banyak hal ini akan
mencemarkan pula nama Siauw-lim-pai yang menjunjung tinggi Agama Buddha.
Demikianlah, mereka bergegas mencari ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, untuk melaporkan dan sekalian untuk berunding dengan ketua itu sendiri mengenai urusan mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang amat lihai. Kebetulan sekali bahwa pada waktu itu, Kian Ti Hosiang berada di kota Cun-ek, di kaki Pegunungan Ciung-lai, tidak jauh dari situ di dalam sebuah kuil cabang Siauw-lim-pai.
Kian Ti Hosiang menerima kedatangan mereka dan dengan sabar dan tenang mendengarkan penuturan mereka. Biarpun di dalam hatinya hwesio yang berwajah tenang ini terkejut sekali mendengar akan keadaan kedua orang muridnya, namun dengan sikap tenang ia berkata,
"Omitohud...., Ji-wi Toanio telah bertindak tepat dengan memberitahukan kepada pinceng.
Mereka masih muda dan belum berpengalaman. Pinceng tak dapat menduga apakah yang terjadi dan siapa laki-laki muda itu. Biarlah pinceng sendiri yang akan menengok mereka."
"Sebaiknya begitu Locianpwe. Mari kami antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu," kata Kam Siang Kui yang merasa tidak enak sekali karena dia menduga bahwa tentu dua orang murid Siauw-lim-pai itu jatuh ke tangan seorang yang amat jahat dan keji, penjahat berwajah tampan dan bersikap ramah yang lihai itu.
Biarpun Kian Ti Hosiang sudah tua, namun betapapun dua orang tokoh Bengkauw itu
menggunakan seluruh kepandaian berlari cepat, hwesio yang kelihatan melangkah seenaknya itu selalu berada di samping mereka. Hal ini menlmbulkan rasa hormat dan kagum dalam hati Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 302
mereka dan diam-diam mereka harus mengakui bahwa dalam hal ilmu lari cepat, biar mendiang Kauw Bian Cinjin guru dan paman kakek mereka sendiri tidak akan dapat
menandingi Ketua Siauw-lim-pai ini.
Di dalam perjalanan ini, kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan Beng-kauw dan kembali mereka mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu suka membantu mereka untuk menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti Hosiang
mendengarkan dengan penuh kesabaran, kemudian menjawab bahwa urusan itu akan mereka bicarakan setelah perkara kedua muridnya selesai, dan akan dirundingkan dengan para pemimpin Siauw-lim-pai.
"Saya rasa bahwa Locianpwe seorang saja yang akan mampu menolong kami," Kam Siang Kui berkata penuh permohonan. "Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya Locianpwe seorang di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya."
Ketua Siauw-lim-pai itu menghela napas panjang. "Kita lihat sajalah nanti, Toanio. Pinceng sudah lama menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus diakhiri dengan kekerasan dan pernbunuhan. Pinceng tidak tahu siapakah yang lebih jahat antara penjahat yang dibunuh dengan orang yang membunuhnya!"
Mendengar ucapan ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui saling pandang penuh keheranan dan tidak berani lagi bicara tentang permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai menolong murid-muridnya. Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi, seolah-olah mereka bertiga tenggelam dalam lamunan masing-masing yang dibangkitkan oleh ucapan terakhir hwesio itu.
*** Liang Bi terikat kaki tangannya pada sebatang tiang di ruangan rumah bekas kepala rampok.
Ia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui Leng.
Dilihatnya Suma Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi meninggalkannya setelah selesai mengikat tubuhnya dan menotok jalan darah di pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu menggunakan sin-kang untuk melepaskan diri.
Cui Leng memandang kepada sucinya dengan sinar mata penuh penyesalan dan kekhawatiran.
Kemudian ia melangkah maju, membujuk, "Suci, mengapa engkau berkeras" Suci, Hoat-koko benar-benar mencinta kita, dia tidak bermaksud jahat. Dia mencinta kita dan dia baik sekali.
Suci, di dunia ini sukarlah berternu dengan seorang pria seperti dia. Tampan, berilmu tinggi, menarik hati dan.... dan.... engkau tentu akan merasa bahagia sekali kalau suka melayani dan membalas cinta kasihnya. Suci, ke mana-mana kita berdua, kita mengalami suka-duka berdua, mengalami bahaya maut berdua. Sekarang...., aku menikmati kebahagiaan, aku pun ingin agar kita menikmatinya berdua...."
"Cihh! Perempuan rendah! Cui Leng, tidak malukah engkau" Apakah sudah hilang harga dirimu" Engkau menyeret nama dan kehormatanmu ke pecomberan! Aihhh, bagaimana
engkau sampai dapat terperosok serendah ini?"
"Suci, apakah artinya malu" Kalau kita suka melakukan suatu perbuatan tanpa merugikan orang lain, mengapa mesti malu" Pula, malu kepada siapakah" Tidak ada orang lain yang akan mengetahuinya! Suci, kausambutlah Hoat-koko, dan kita bertiga akan hidup bahagia, dan dengan kita bertiga menjadi satu, kita takut kepada siapakah" Hoat-koko amat lihai, aku sudah membuktikan betapa ia memiliki sin-kang yang amat kuat, memiliki pukulan-pukulan lihai seperti Tiat-ciang-kang dan memiliki ilmu aneh-aneh. Kalau kita berbaik kepadanya kita dapat belajar ilmu dari dia, alangkah senangnya!"
"Sumoi! Aku masih dapat memaafkan engkau karena kau telah terbujuk. Kaulepaskan aku, mari kita pergi dari tempat terkutuk ini, Sumoi. Marilah, selagi dia tidak ada. Engkau belum tersesat terlalu jauh...."
Akan tetapi Cui Leng menggeleng kepala. "Tidak mungkin, Suci. Aku tidak dapat mundur lagi. Kalau engkau suka melayaninya seperti yang telah kulakukan dan kita menikmati Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 303
kebahagiaan bersama, setelah itu.... tentu Hoat-koko tidak akan mengganggumu lagi dan kita dapat hidup bersama dia atau meninggalkannya dengan hati aman...."
Liang Bi membelalakkan matanya. Gadis ini tidak mengerti mengapa sumoinya bersikeras minta agar dia melayani niat keji pemuda itu!
Senja telah mendatang ketika dari jauh terdengar suara suling yang membuat bulu tengkuk Liang Bi berdiri meremang. Dia merasa ngeri karena teringat bahwa suara itu adalah suara suling Si Pemuda yang pandai menguasai ular dengan sulingnya. Padahal, di antara segala mahluk di dunia ini, ular adalah binatang yang paling ia takuti. Sejak kecil ia merasa jijik dan takut kepada ular sehingga biarpun kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, tetap saja dia merasa jijik dan ngeri kalau melihat ular. Wajahnya menjadi pucat dan napasnya terengah. Cui Leng juga mendengar suara ini dan ia melangkah mundur, memandang dengan sinar mata aneh dan bibirnya tersenyum.
"Engkau mencari sengsara sendiri, Suci. Ingin aku melihat apakah engkau mampu melawan Hoat-koko!"
Makin pucat wajah Liang Bi ketika ia melihat Suma Hoat datang berjalan perlahan sambil meniup sulingnya dan.... di depan pemuda itu tampak seekor ular besar dan panjang merayap maju mengerikan! Ular ini lebih dari dua meter panjangnya, sebesar betis orang, kulitnya mengkilap berwarna hijau kekuningan, matanya merah. Setelah tiba di ruangan itu, Suma Hoat menghentikan tiupannya dan ular itu pun berhenti, mengangkat kepala menoleh ke kanan kiri seperti bingung mengapa suara suling itu lenyap.
"Bi-moi, bagaimana" Apakah engkau masih keras kepala" Sekali lagi kuminta engkau suka menerima cintaku seperti yang dilakukan sumoimu, dan kita bertiga hidup bahagia."
"Tidak sudi. Lebih baik mati!"
"Begitukah" Hemm.... biarlah ularku yang akan menjawab pertanyaanmu ini. Kalau engkau sudah merasa cukup dan tidak keras kepala lagi, katakan saja bahwa engkau menyerah. Akan tetapi kalau engkau lebih suka memilih mati, engkau akan mati dengan nyawa masih penuh rasa takut dan jijik sehingga rohmu akan berkeliaran dikejar ketakutan hebat!" Suma Hoat lalu meniup sulingnya. Terdengarlah suara melengking aneh dan ular itu mengangkat tubuh atas tinggi-tinggi, kemudian berlenggak-lenggok seperti menari dan perlahan-lahan merayap mendekati kaki Liang Bi dengan lidah bergerak-gerak keluar masuk mulutnya yang merah.
Liang Bi memandang ular itu dengan wajah pucat dan mata terbelalak, bibirnya menggigil dan dadanya bergelombang. Rasa jijik dan takut hampir membuat ia menjerit. Ia berusaha menguatkan hatinya, akan tetapi ketika ular itu mulai merayap dari kakinya terus ke atas melalui betisnya, pahanya, perutnya.... Liang Bi hampir pingsan. Dia hanya mengharapkan ular itu menggigitnya agar dia lekas mati. Bagi seorang gagah seperti dia kematian bukan apa-apa dan akan dihadapinya dengan mata terbuka. Akan tetapi, bukan kematian yang membuat ia takut kepada ular, melainkan rasa geli dan jijik.
Namun celaka baginya, Suma Hoat meniup sulingnya terus dan ular itu sama sekali tidak menggigitnya, melainkan melingkari tubuhnya dengan kuat. Liang Bi merasa betapa tubuh ular itu berdenyut-denyut dingin sekali, licin dan menggelikan, menjijikkan, kemudian kepala ular itu bergerak-gerak di depan mukanya, lidahnya keluar dan menjilat-jilat! Liang Bi memejamkan mata, membuang muka akan tetapi ia masih merasa betapa lidah ular itu menjilat-jilat mukanya, pipinya, bibirnya, lehernya. Ia bergidik. Ular itu seolah-olah sedang menciumnya penuh nafsu! Ia muak, jijik dan seluruh tubuhnya menggigil.
"Bunuh aku.... iihhhh.... bunuh aku.... uhu-hu-huu.... suruh dia pergi....!" Akhirnya ia merintih.
Akan tetapi Suma Hoat tidak menghentikan tiupan sulingnya dan si ular terus menggerayangi muka dan leher Lian Bi dengan moncongnya yang menjijikkan. Liang Bi menggeliat-geliat, hampir pingsan. Kalau dia pingsan atau mati seperti yang ia harapkan dia akan terbebas. Akan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 304
tetapi celaka, dia masih sadar dan harus merasakan penderitaan yang amat menyiksa hatinya.
Kalau dia disiksa dengan rasa nyeri, disayat sedikit demi sedikit kulit dagingnya, dia akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi perasaan jijik ini benar-benar hampir tidak kuat ia menahannya.
"Suci, menyerahlah....!" Terdengar suara Cui Leng membujuk. Gadis ini berdiri di dekat meja tinggi, menaruh lengan kiri di atas meja, lengan kanan bertolak pinggang, menonton pertunjukan itu dengan hati ngeri dan iba kepada sucinya. Akan tetapi, karena ia maklum bahwa sebelum sucinya menyerah dia takkan pernah merasa aman hatinya, maka ia
menguatkan hatanya. Dia pun tidak menjadi benci kepada Suma Hoat yang menyiksa sucinya seperti itu, karena dia menganggap bahwa Suma Hoat melakukan itu untuk membujuk
sucinya agar suka menerima cintanya, dan Si Pemuda ini terpaksa melakukan hal ini atas permintaannya, dengan maksud untuk menyelamatkannya!
Yah, apa saja yang takkan dilakukan oleh mahluk yang disebut manusia kalau dia sudah tercengkeram oleh nafsu! Sikap yang diperlihatkan Cui Leng hanyalah sebuah di antara sikap-sikap keji yang banyak dilakukan wanita yang sudah mabok oleh nafsu berahi dan didasari rasa iba diri, diselimuti oleh rasa ingin mendapatkan kawan kalau dirinya sendiri terperosok!
Sifat buruk ini, sebuah di antara banyak sekali sifat buruk lain yang timbul dari sayang diri dan iba diri, hampir mencengkeram watak semua manusia, merupakan semacam penyakit yang sukar diobati, yaitu sifat yang selalu ingin minta kawan dalam derita! Dari anak-anak pun sudah mulai tampak gejala sifat buruk ini. Seorang anak kecil yang jatuh dan menangis, akan berhenti tangisnya, bahkan bisa tertawa kalau kita pura-pura jatuh pula di dekatnya dan mengeluh kesakitan! Menyaksikan penderitaan orang lain yang lebih besar merupakan semacam "hiburan" bagi seorang yang sedang menderita. Memang amatlah buruk sekali sifat ini, namun tanpa disadarinya, "penyakit" ini telah diderita oleh banyak sekali manusia di dunia ini.
Perbuatan Suma Hoat amat keji. Tentu saja hal ini tidak terasa olehnya sendiri. Perbuatan-perbuatannya terhadap wanita timbul dari rasa bencinya terhadap wanita, dan dia hendak melampiaskan rasa bencinya itu dengan menggunakan nafsu berahinya untuk merusak wanita sebanyak mungkin! Karena bencinya timbul sifat kejam dan dia merasa gembira melihat korbannya tersiksa, terutama sekali tersiksa batinnya! Dia menganggap bahwa batinnya sendiri sudah hancur lebur karena wanita! Bahkan, melihat wanita tersiksa seperti yang dialami Liang Bi sekarang ini membuat nafsu berahinya berkobar! Makin hebat seorang wanita tersiksa, makin menggairahkan bagi Jai-hwa-sian, Si Dewa Pemetik Bunga ini!
Tubuh Liang Bi yang menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara suling melengking makin tinggi, tiba-tiba ular itu berubah gerakannya kini kepalanya mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di balik baju bagian dada Liang Bi!
"Iihhhh.... ouhhhh...." Liang Bi merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu menyusup makin dalam. "Aduuuuhhhh.... tolongggg.... ihhhh.... ambil dia.... ambil binatang ini.... uhu-hu-huuuu....!"
"Engkau menyerah?" Suma Hoat bertanya.
Dengan tubuh menggigil, air mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah. "....aku menyerah.... hu-hu-huuuuhh...."
Suma Hoat melompat ke dekat, sekali sambar ia mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke luar, ke kebun di mana ular yang ketakutan itu cepat menyusup di antara rumput.
Sambil tersenyum-senyum Suma Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi,
membebaskan totokannya. Akan tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya menggigil dan ia tentu roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang Bi menangis ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.
Cui Leng berdiri dengan wajah agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan Liang Bi tadi. Akan tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak, mendengarkan isak Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 305
tangis Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas itu saking lega hatinya ataukah karena menyesal
membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut lain wanita! Perlahan ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena sekarang dia mendapat kawan! Sekarang rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia" Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir ait matanya menjadi bukti akan kebimbangan hatinya.
Mereka bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga berseri wajahnya dan pipinya
kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.
Suma Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.
"Ahh, kalian benar-benar cantik jelita!" katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.
"Koko, sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?" Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra membelai dagu pemuda itu.
Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan. "Bahagia" Aku berbahagia....?" Ia menghela napas dan mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini, wajah Liang Bi menjadi makin pucat.
"Jangan....! Jangan panggil ular...." Ia merintih.
Suma Hoat merangkulnya, mencubit dagunya. "Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau menakutkan engkau lagi?" Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka. Lagu itu terdengar begitu sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka mendengar hati peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian, suara suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti tidak sadar akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang menerobos di antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut bernyanyi.
"Bahagia, siapakah gerangan Anda"
Seribu kali bayanganmu menggapai
kuraih kupeluk mesra
hanya mendapatkan kenyataan hampa
bahwa semua bayanganmu itu
bukanlah anda! serasa tampak anda mengintai
di balik kelopak bunga mengharum
menunggang cahaya matahari pagi
di balik senyum kekasih jelita
di antara tawa sahabat-sahabat
di dalam gelak anak-anak
di antara tumpukan harta benda
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 306
di atas kedudukan mulia
di balik kemasyhuran nama
namun.... setelah didekap dalam pelukan
semua itu pun hampa
bukan anda"
duhai kebahagiaan
siapa dan di mana gerangan anda?"
Belum habis gema suara nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua orang gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih namun jelas seolah-olah suara itu diucapkan oleh mulut yang dekat dengan telinga mereka, mulut yang tak tampak.
"Mempunyai mata seperti buta
sudah ada dicari-cari keluar menjauh
siapa bisa memisahkan bayangan
dari badan"
yang mencari takkan mendapatkan
yang mendapatkan takkan memiliki
yang memiliki akan kehilangan
yang mengharap akan kecewa
tanpa dicari, tanpa diharap
tanpa dimiliki, tanpa pamrih
hanya membuka mata ke dalam
sadar bahwa semua telah ada
setelah bersatu dengan keadaan
apa lagi yang dicari?"
Suma Hoat meloncat bangun, suling di tangannya, wajahnya berubah tegang karena kata-kata parau itu seolah-olah merupakan ujung pedang yang menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri karena sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang hebat sekali. Apalagi karena suara itu tidak asing bagi kedua orang dara Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak pucat.
Kian Ti Hosiang nampak keluar dengan langkah tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat guru mereka seperti yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara tadi, Liang Bi menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui Leng.
"Suhu....!" Liang Bi menangis terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan muka pucat.
"Omitohud....!" Kian Ti Hosiang menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang berulang-ulang. Sekali pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa kedua orang muridnya itu. Kemudian perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma Hoat yang berdiri tegak dengan sikap tenang. Sejenak mereka bertemu pandang dan Kian Ti Hosiang lalu berkata,
"Sayang....! Sungguh sayang sekali....! Orang muda, kalau pinceng tidak salah sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang Jai-hwa-sian?"
Suma Hoat terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan
julukannya dari kedua orang gadis itu, dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 307
rasai selama petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan mereka.
Agaknya, kalau keadaan mengijinkan, dia bersedia menghentikan petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya! Akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan menjura sambil berkata,
"Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!"
"Oohhhh....!" Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan Cui Leng. Mereka berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui Leng memeluk sucinya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang mendatangkan malapetaka besar itu!
"Kau.... kau.... Suma Hoat....?" Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling pandang dengan adiknya.
Kian Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam, namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata,
"Orang muda, pinceng mengenal baik keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng
mendengar betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang
budiman. Akan tetapi sayang.... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir batin!
Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang nenekmu keluarga Suma!"
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding, "Kian Ti Hosiang! Engkau tahu satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin" Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur lahir batin oleh wanita"
Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang sesat. Memang, siapakah tidak
mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup dan jahat" Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw" Siapa yang tidak mengenal ayahku, Jenderal Suma Kiat yang.... memberatkan selirnya daripada putera tunggalnya" Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat" Aku berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat.
Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu" Mengapa engkau menjadi seorang pendeta, Kian Ti
Hosiang?" Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata
terbelalak penuh kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dua orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka sendiri! Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!
Akan tetapi, karena menghormat Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi
menahan kemarahan, dan betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan tenang-tenang saja menjawab,
"Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta karena melihat kekotoran yang menguasai batin Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 308
manusia di dunia. Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua mahluk agar kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu."
"Ha-ha-ha! Amat berlawanan dengan aku, bukan" Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau adalah pembersih yang kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu siap untuk memberantas kejahatan, tentu engkau benci kejahatan, benci kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau membenci kejahatan, seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya karena adanya kejahatan, karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka membuka kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk memakai jubah pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kaubasmi semua, kalau kejahatan sudah tidak ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja apakah?"
Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga memandang pucat, tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan hati mereka itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau dan jahatnya!
Akan tetapi Kian Ti Hosiang tetap tenang. "Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang menguasai dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat, bahkan merasa kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau, Suma-sicu!"
Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah dan menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu pemuda itu suka menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi, mendengar pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya,
kemarahannya menjadi makin meluap. Dia merasa dipandang rendah sekali, seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil yang nakal!
"Kian Ti Hosiang! Dengar baik-baik. Aku telah menodai kedua orang murid perempuanmu!
Nah, bukankah perbuatanku amat terkutuk" Bukankah engkau sebagai gurunya wajib
menghukumku dengan hukuman paling berat" Apakah ini belum cukup hebat?"
Kian Ti Hosiang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. "Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma Hoat dan perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan murid-murid pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah keturunan keluarga pendekar sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu ini tentu ada sebab-sebab yang
menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi untuk mengingatkanmu, memberi penerangan kepadamu."
"Pendeta sombong! Katakan saja engkau takut melawan aku!"
"Suma Hoat manusia iblis!" Kam Siang Kui membentak marah sekali.
Suma Hoat tersenyum lebar. "Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan cantik, hemmm, kalau ada kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta...."
"Jahanam!" Kam Siang Hui yang mendengar encinya dihina seperti itu, sudah tidak dapat mehahan lagi hatinya dan dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan sin-kang. Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.
"Plak! Plak!" Dua kali Suma Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya. Adapun Suma Hoat diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu
mengalahkan mereka! Akan tetapi, hatinya sudah panas karena sikap Kian Ti Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.
"Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 309
kata halus?"
"Suma Hoat, bocah celaka!" Kam Siang Kui kembali membentak.
"Harap Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia," kata Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu kembali melepaskan
Seruling Samber Nyawa 2 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Seruling Samber Nyawa 8
^