Istana Pulau Es 5

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


ang lalu bangkit dan menghampiri pang-lima kurus yang masih berdiri tegak itu, tangannya meraih dan mulutnya menegur, "Maya, jangan kurang ajar, hayo cepat minta ampun kepada Hong-siang!"
Panglima kurus itu mencoba menghin-dar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengar robeknya jubah,
tampaklah penglihatan yang aneh dan membuat semua orang menjadi geli. Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak perempuan, yang seorang berdiri di atas pun-dak temannya. Pantas saja tadi dari "perut" panglima itu keluar kaki tangan yang menyerang dari dalam jubah! Maya, segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi, sewaktu semua panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan tatasusila istana, dermikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terke-nal. Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.
Kam Han Ki tak dapat menahan ke-tawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Me-mang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak pe-rempuan!
"Siauw Bwee.... !" Khu Tek San menegur dan biarpun Panglima ini hanya me-manggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia me-noleh ke arah
ayahnya dengan muka pucat. Akan tetapi Maya cepat berkata lantang, "Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena se-mua ini sayalah yang bertanggung ja-wab!"
Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya dan kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya.
"Siapakah mereka ini?"
"Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak kepo-nakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San."
Kaisar mengangguk-angguk. Pantas,pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menteri-nya, Kam Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang ter-kenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong! Sambil tertawa Kai-sar berkata.
"Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!" Kaisar menyambar dua butir buah appel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali, Siauw Bwee dan Maya berhasil menang-kap buah appel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
"Bagus! Mereka ini kelak akan menja-di pendekar-pendekar wanita yang hebat!" Kaisar berkata. "Akan tetapi kalian se-karang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertermuan yang penting ini."
Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat meng-ampunkan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 104
sedemikian mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram dan kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi, sungguhpun para pang-lima di ruangan luar masih terheran--heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.
Biarpun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapa-pun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lan-tang.
"Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah!
Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membe-reskan
persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasar-an kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan me-ngirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!"
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab. "Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesung-guhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bermama Khu Tek San
untuk me-nyelundup ke Yucen dan menjadl pang-lima di sana sambil mengawasi gerak--gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun" Setiap negara tentu akan mengirim penyelidik-penyelidik un-tuk mengetahui keadaan negara tetangga, dan biarpun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-pe-nyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan ke-rugian, hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan
melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal sedalam--dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami" Sekianlah jawaban saya."
Panglima Besar Yucen tertawa. "Ki-ranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu, semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macam-nya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima! Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaan-nya sudah ada dan pemerintahannya ber-jalan terus, seperti ini. Perlu apa diseli-diki lagi?" Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung. "Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kam-taijin juga akan menyelidiki bola besiku ini!" Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemu-dian menyambar ke arah Menteri Kam Liong! Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga sin-kang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah t1dak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sin-kang seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak bagi gurunya.
Memang dermiklanlah Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak mermegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu--
kupu mendekati bunga, seolah-olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan ki-pas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 105
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata, "Tai-ciangkun.
Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu" Apakah dalam-nya kosong" Ataukah berisi"
Serupa atau-kah lain dengan keadaan luarnya" Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan" Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola -besi ini sesungguhnya!"
Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah ter-babat malang-melintang tiga kali sehing-ga. terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja de-pan panglima besar dari Yucen!
"Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan" Akan tetapi baru diketahui sete-lah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen."
Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sin-kang yang hebat dan keam-puhan kipas pusaka yang keramat! Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini maka dia lalu berkata.
"Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar ma-sih belurm dibicarakan selesai." Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan pe-rundingan untuk menentukan hari perte-muan pengantin dilanjutkan sambil dise-ling makan minum dan hiburan tari nya-nyi oleh seniwati-seniwati istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijak-sana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri, kelihatan lega akan tetapi di dalarm hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah men-dengar dari Han Ki akan hubungan pe-muda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya Itu. Kalau ia, pikir--pikir dan kenangkan segala peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekall. Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul
keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja
mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina. Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu se-benarmya masih merupakan keluarga de-kat dengannya. Tidak hanya keluarga. karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguhpun tidak berani berterang.
*** "Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menim-bulkan
bencana....?" Dalam perjalanan pulang bersama Maya diantar oleh Han Ki, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.
"Aihhh! Kau benar-benar terlalu se-kali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 106
menjadi kakak kita, kausebut Susiok-couw" Benar-benar ter-lalu menyakitkan hati sebutan itu!" Maya mencela.
"Habis bagaimana?" Siauw Bwee membantah, "Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?"
"Wah, tidak patut! Tidak patut! Ja-ngan mau disebut kakek, Han Ki!" Maya berkata lagi.
Mau tidak mau Han Ki tersenyum. "Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponak-anku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja."
"Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko." Maya berseru girang.
"Koko, engkau kelihatan begini ber-duka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat per-buatan kami?" Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki menggeleng kepalanya. "Kura-sa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukan-lah seorang yang dapat dicelakakan be-gitu saja oleh lawan. Aku tidak khawa-tir...."
"Akan tetapi, mengapa wajahmu be-gini muram" Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?"
Maya mengangguk. "Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu!"
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, "Engkau tahu apa?"
Maya tersenyum. "Tahu apa" Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai
kembang itu akan dipetik orang lain!"
Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. "Maya! Da-ri mana kautahu?"" Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
"Dari mana aku tahu tidak menjadi soal penting" Jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar jendela kamar! "Yang penting adalah sikapmu menghadapi urus-an ini.
Kenapa kau begini bodoh, meng-hadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan keluar yang Meng-untungkan" Mengapa kau begini lemah, Koko?"
Han Ki terbelalak. "Bodoh" Lemah" Apa... apa maksudmu, Maya" Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!"
"Siapa mempermainkan siapa" Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguhpun aku belum ya-kin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagi-mu untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu" Dan kalau benar dia itu mencintai-mu seperti yang ku.... eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat bersa-mamu daripada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!"
Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran-heran akan tetapi harus ia akui bahwa "nasihat" Maya itu cocok benar dengan isi hatinya! "Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain."
Maya bertolak pinggang. "Koko engkau memang orang yang kurang peneri-ma! Kalau
engkau setuju dengan omonganku, mengapa pakai pura-pura segala" Kau langsung pergilah menemui kekasih-mu sebelum terlambat. Adapun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kautemani" Pergilah, kami dapat pulang sendiri, bukan, Adik Siauw Bwee?"
Siauw Bwee mengangguk. Han Ki me-narik napas panjang. "Baiklah, kalian pulang berdua, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 107
akan tetapi harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu me-nuruti permintaan Maya. Bocah ini me-mang liar!" Setelah berkata demikian, Han Ki cepat-cepat meloncat pergi, ti-dak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya.
"Awas dia! Kalau bertemu lagi de-nganku!" Maya membanting-banting kaki dengan gemas.
"Dia... dia hebat sekali, ya Enci Ma-ya?" Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Ki.
"Hebat apanya, manusia sombong itu!" Maya mendengus marah. "Mari kita per-gi, Siauw Bwee."
Malam telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah me-nutup daun pintu dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak.
Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang panjang menyeberangi air sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah seorang anak yang tabah sekali, akan tetapi ketika mereka meli-hat dan mengenal kakek yang mengha-dang itu, mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara, Kerajaan Yucen!
Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa meman-dang seolah-olah dia tidak mengenal kakek ltu. Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata,
"Anak-anak setan kalian hendak ke mana" Hayo ikut bersama kami!"
Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Mayaq mengirim pukulan ke arah perut kakek itu.
"Buk! Bukk!" Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak
perempuan itu memukulnya. Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena larmbung dan perut yang mereka pukul, itu seperti bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melem-parkan tubuh Maya dan Siauw Bwee melalui langkan jerbatan melemparkannya ke sungai! Maya dan Siauw Bwee terkejut se-tengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang menuju ke sungai yang armat dalam. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jermbatan telah menanti dua orang laki-laki diatas perahu. Mereka inilah yang me-nyambar tubuh mereka.
"Bawa mereka pergi sekarang juga!" terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. "Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun. Ha-ha-ha!"
Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu--pembantu koksu itu! Malam gelap, perahu gelap dan mereka, tidak dapat melihat muka. dua orang laki-laki itu. Perahu digerakkan, meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangan-nya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh kemarah-an.
Setelah malam berganti pagi, barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut penglihatannya, dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya.
"Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 108
perempuan yang tidak berdosa?"
Dua orang laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata,
"Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan menga-pa kalian ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan."
Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak se-nang dan sungkan di balik ucapan laki--laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin berani dan berkata. "Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen?" la berhenti sebentar, lalu me-ngirim serangan halus dengan kata-kata, "Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han" Mengapa kini merm-bantu kerajaan asing?"
"Kau anak kecil tahu apa!!" Tiba-tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak.
Ucapan ini sama benar dengan ucapan Han Ki yang pernah men-jengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata-kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.
"Biarpun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan menentang yang lalim." Maya melanjutkan.
Si Tahi Lalat kini berkata "Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga ke-luarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi permerintah Sung" Pula, kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah meMalukan di dunia kang-ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya."
Biarpun tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk--angguk dan berkata mengejek "Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya" Buktinya, koksu itu pengecut hanya berani melawan dua orang anak perem-puan. Dan sukar bagiku untuk
mengata-kan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?"
Maya memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing daripada pedang dan lebih tajam daripada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki-laki itu.
"Bocah, engkau benar-benar bermulut lancang!" bentak yang bermuka kuning.
"Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau be-rani membebaskan belenggu kami, baru-lah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami."
Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus. "Nah, apakah kalian sekarang hendak menye-rang kami?" tanyanya menyeringai.
Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. "Terima kasih," kata Maya. "Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin karmi dapat menang."
"Kami pun tidak suka, membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil rmengantar kalian sampai di tempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa karmi. Itulah se-babnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!"
Maya mengangguk-angguk. "Ahh, se-karang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kaubawa ke manakah?"
"Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan," kata Si Tahi Lalat. "Entah apa sebabnya sampai kaliah di-musuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 109
hal yang amat tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi, kalian sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan surmbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po-hai."
"Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan" Apa maksudnya"
Dan apa maksudmu mengata-kan bahwa nasib kami tidak buruk" Apa-kah kalau kami
diberikan sebagai sum-bangan begitu saja merupakan nasib baik?" Maya mendesak terus.
"Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana" kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. "Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian ti-dak akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan keke-rasan, hal itu sesungguhnya bukan kehen-dak kami."
"Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?"
Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata, "Agaknya ke-dua Paman tidak tahu siapa kami, ya" Kalau tahu, kukira kallan berdua tidak akan lancang menawan kami, biarpun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen."
Dua orang laki-laki itu kini meman-dang penuh perhatian. "Siapakah kalian ini?"
"Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada, artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri Raja Khitan!" Siauw Bwee berka-ta tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak mencegahnya. Dua orang itu kelihatan kaget, sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat.
"Kami hanya melakukan perintah!" Dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri, dan semenjak saat itu, kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai yang mengalir ke arah Lautan Po-hai.
Tidak jauh dari pantai Lautan Po--hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan besar. Setelah melalui- daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang me-nampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu-tamu penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok- lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun itu. Tokoh besar ini lebih ter-kenal dengan sebutannya, yaitu Coa- bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pe-mimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memper-hatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya. Coa-bengcu ini amat terkenal dan biarpun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian ilmu silatnya. maupun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi
sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh di seluruh dunia kang-ouw dan liok-lim menghor-matinya.
Demikianlah, ketika Bengcu ini mera-yakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh-tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sam-pai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada orang-orang muda, baik laki-laki mau-pun perempuan, terutama yang tampan--tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik menjadi murid-murid Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 110
atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak angkatnya!
Siapakah sebenarnya Coa-bengcu ini" Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah.
Biarpun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im-yang--kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan Im-yang-kauw, yang hanya namanya saja perkumpulan yang
menen-tang permerintah pada waktu itu.
Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berha-sil menyelamatkan diri dan lari ke timur, untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai de-ngan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat. Pengaruhnya makin
besar, pengikutnya makin banyak sehingga akhinya terkenallah sebutannya Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa-bengcu ini seba-gai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im-vang-kauw.
Di tengah dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali.
Mempunyai halaman yang armat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa-bengcu.
Tuan rumah Coa-bengcu sendiri, telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil ber-bagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan-sum-bangan. Isteri Bengoi, seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun, can-tik dan sikapnya gagah pula karena nyo-nya Bengcu ini pun bukan orang sem-barangan melainkan seorang murid Hoa-san-pai, duduk di samping suaminya sam-bil tersenyum-senyum bangga
menyaksi-kan pengaruh suaminya yang menarik da-tangnya semua orang gagah dari dua golongan itu. Adapun putera tunggal Coa-bengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu, yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk me-nerima barang-barang sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja be-sar di sudut ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas kursi-kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang tampan-tampan dan cantik--cantik serta memiliki gerakan vang ce-katan sekali.
Biarpun di antara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang yang biasa melakukan kejahatan, namun mere-ka tidak berani bersikap kurang ajar ter-hadap pelayan-pelayan wanita yang can-tik-cantik itu karena sermua orang mak-lum belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah atau murid-murid Coa-bengcu.
Banyak sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong terbuat dari batu-batu kermala, sutera--sutera yang indah sekali warnanya, bah-kan ada pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu ma-sih belum mengherankan karena ada pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda luar biasa anehnya. Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring,
"Saya Kiang Bu adalah seorang mis-kin, karena itu selain ucapan selamat kepada Coa-bengeu, tidak dapat menyum-bangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini.
Sudilah Bengcu menerimanya!"
Coa-bengcu memandang orang itu lalu tertawa. "Ha-ha-ha, Tho-te-kong (Malai-kat Bumi) sungguh berlaku sungkan seka-li. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 111
Kiang Bu yang berjuluk Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
"Karena sumbanganku ini tidak berharga dan lain daripada yang lain, harap Siauw-enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya," kata pula Kiang Bu.
Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya
memandang Si Ma-laikat Bumi dengan marah, juga banyak tamu yang melihat isi bungkusan, mengeluarkan seruan tertahan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa
bung-kusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah"
"Apa.... apa maksudmu ini?" Coa Kiong membentak dan tangan kanan pe-muda ini sudah meraba gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja.
Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa girang,"Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar digerogoti habis!"
Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga karena Si Malalkat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu!
Perwira She Bhe yang berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam
kekuasaannya seolah-olah melampaui kekua-saan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po-hai!
Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan lang-sung mereka menghadap Coa-bengcu, memberi hormat dan berkata,
"Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucap-an selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan sumbangannya."
Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah--olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa kekagumannya. Isterinya yang me-lihat keadaan suami itu lalu berbisik, "Mereka menanti jawaban!"
Barulah Coa-bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan didepan dada. "Ha-ha-ha,sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehor-matan besar sekali kepada kami! Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan Permerintah Sung!
Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga bahagia bukan main?"
"Sumbangan atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah!" Kata Si Tahi Lalat. Semua tamu kembali men-jadi terheran dan keadaan menjadi te-gang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan teman-nya.
"Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua. orang anak perempuan ini bukanlah anak
sembarangan. Yang lebih besar ini bermama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khtan, sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!"
Terdengar seruan-seruan kaget di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. "Sungguh merupakan hadiah yang tak termilai harganya!" katanya kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata,
"Puteri Raja Khitan...." Puteri Panglima Khu....?"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 112
Tiba-tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras. "Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya!" Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.
"Puteri Khitan itu patut dibunuh!" Tiba-tiba seorang lain meloncat dan ber-seru nyaring memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.
"Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka di ka-langan kamil" Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tu-buhnya. Akan tetapi dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya. saja, yaitu Pat-jiu Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena Pat--jiu Sin-kauw ini adalah murid dari se-orang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.
"Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Men-teri Kam Liong dan siapakah menteri itu" Bukan lain putera Suling Emas pu-la!" teriak yang lain.
"Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya!" teriak yang lain.
Ributlah keadaan di ruangan itu kare-na banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang anak pe-rempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.
Coa-bengcu bangkit berdiri dan meng-angkat kedua lengannya, ke atas untuk minta para tamunya agar jangan mem-buat gaduh. Setelah suasana meredap ter-dengarlah suaranya lantang, "Aku me-ngerti apa yang terkandung di hati Sau-dara-saudara yang menaruh dendam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat membe-rikan begitu saja kepada orang lain" Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku menye-rahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan" Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!" Memang Coa-bengcu ini orangnya cerdik sekali. Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia harus menganadal-kan bantuan orang-orang pandai ini, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepa-da dua orang gadis cilik yang jelas me-miliki kelebihan mencolok kalau diban-dingkan dengan murid-muridnya perem-puan yang manapun juga. Kalau dia ber-kukuh menahan, tentu dia akan menim-bulkan rasa tidak senang kepada para tamunya. Kalau dia, berikan begitu saja, selain dia, merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian, masih ada harapan baginya untuk
menda-patkan dua orang gadis itu tanpa menim-bulkan rasa tidak suka di hati orang lain.
"Apakah yang Bengcu maksudkan dengan sayembara?" Beberapa suara ter-dengar dan semua orang menanti jawaban dengan dugaan yang sama.
Coa-bengcu tertawa. "Perlukah kujelaskan lagi" Apakah yang paling diandalkan orang-orang golongan kita kecuali sedikit ilmu sliat" Maka hanya orang terpandai di antara kita sajalah yang berhak memiliki dua orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji kepandaian" Pula dua orang anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang-orang pandai seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi mereka" Setujukah Cu-wi sekalian?"
"Setuju! Akur! Tepat sekali!" Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 113
mendapatkan Maya dan Siauw Bwee. Adapun tokoh-tokoh wakil partai--partai yang termasuk golongan bersih atau putih, diam saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga tidak ingin men-campuri urusan mereka yang menaruh dendam kepada nenek moyang anak-anak itu.
Kembali Coa-bengcu mengangkat ke-dua tangan minta agar semua orang ti-dak berteriak-teriak membuat berisik. Setelah semua orang diam, tiba-tiba ter-dengar Maya berkata.
"Kalian ini orang-orang gagah macam apa" Berunding seenak perut sendiri un-tuk
memperebutkan aku dan adikku, tanpa bertanya persetujuan kami yang tersang-kut! Sudah jelas bahwa kami adalah dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati" Begini-kah sikap orang-orang gagah" Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat yang t1dak mengenal prikemanusiaan?"
Semua orang menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.
Setelah mereka mereda, Coa-bengcu berkatat "Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai tawanan, tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita sermua menerima sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen! Cu-wi sekalian. Karena jumlah kita terlalu ba-nyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya pibu kami akan mengadakan syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua macam dan akan kulakukan untuk memberi con-toh."Setelah semua orang menyatakan setuju, Coa-bengcu membisikkan
perintah kepada murid-muridnya. Tak lama kemu-dian, dari pintu belakang tampak dua belas orang murid laki-laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah arca besi berupa seekor singa. Pemuda--pemuda itu adalah orang-orang yang kuat, namun mereka
membutuhkan te-naga dua belas orang untuk menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa be-ratnya singa besi itu. Ketika singa besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di dalam hatinya mundur ter-atur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara memperebutkan dua orang gadis cilik.
Memang benar dugaan para tamu itu. Coa-bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata sambil terse-nyum. "Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh dunia juga puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang-ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan menguii mereka, sungguhpun aku benar-benar meragukan kebiasaan sendiri untuk menan-dingi mereka. Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan. Maka, hanya mereka yang benar-tenar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat mampu menan-dingi Suling Emas dan
keturunannya apabila kelak keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai ke atas pundak seperti yang akan kulakukan sekarang!" Setelah berkata de-mikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa-bengcu yang pada hari itu tepat berusia enam puluh tahun itu, menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki depan dan belakang kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan.... ia telah berhasil mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai ke pundak, bahkan sampai ke atas kepala! Kedua tangannya terge-tar, kedua kakinya menggigil sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke bawah sedalarm beberapa senti meter!
Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.
"Cu-wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini, adapun Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 114
syarat ke dua adalah mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga langit--langit itui" Setelah berkata dermikian, tangan kakek itu merogoh saku dan ber-gerak.
"Cuat-cuat-cuat....!" Sinar hitam tampak berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi! Kemudian kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ri-ngan sekali melayang ke atas dan tangannya mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali, kakinya, menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu gin-kang yang amat tinggi. Balok melin-tang di atas itu amat tinggi sehingga seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, Tentu tidak akan dapat mencabut paku itu.
"Sekarang kami mempersilakan Cu-wi mencoba," kata Coa-bengcu sambil melangkah
kermbali ke tempat duduknya.
Maya membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri, setelab dilepas ia lalu menarik ta-ngan Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi malah kini mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa-bengcui Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang enak dan mengaso di atas kursi demikian Maya menghibur diri sendiri. Bahkan ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu-malu dan tanpa permisi Maya menyarmbar dua potong roti juga memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu makan roti, juga me-nuangkan minuman pada dua buah cawan.
Orang-orang yang menyaksikan sikap Maya ini, diam-diam menjadi kagum dan di dalam hati memuji ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak-anak biasa.
Akan tetapi para tamu itu lebih tertarik untuk me-lihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu.
Suara ketawa mereka riuh-rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba untuk mengang-kat singa besi. Akan tetapi jangankan sampai terangkat melewati pundak. Yang dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas kem-bali, sedangkan yang dua setelah me-ngelurkan suara ah-ah-uh-uh dan mena-rik-narik singa besi itu sedikit pun tak dapat menggerakkannya!
Menyaksikan kegagalan ermpat orang berturut-turut empat orang yang kelihat-an kuat sekali hati, para tamu menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba khawatir gagal dan hal itu se-dikit banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang
dikehendaki oleh Coa-bengcu, Yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah di antara sedikit orang-orang yang memang memiliki kepandaian tinggi!
"Hemm" biarkan aku mencobanya", Terdengar suara keras dan ketika ba-yangan orang itu berhenti bergerak di dekat singa besi, kiranya dia adalah be-kas kepala perampok di lembah Huang-ho yang dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San. Kepala rampok ini
bertubuh tinggi kurus, kini dia sudah membungkuk memegang singa besi de-ngan kedua tangan, mengerahkan tenaga-nya dan terangkatlah singa besi Itu sam-pai ke atas pundaknya, kermudian cepatia melepaskannya kembali singa besi jatuh berdebuk di atas lantai depan kakinya.
Biarpun demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama ka-rena, dia telah berhasil mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang pertama yang me-masuki sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh
kekhawatiran. Tadi dia sudah mendengar bah-wa orang ini adalah musuh ayahnya, ma-ka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya, tentu akan celaka nasibnya.
Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, "Dia memang kuat, akan tetapi tidak sekuat Coa-bengcu, harap kau jangan khawatir."
Kini kepala rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 115
hmpir saja ia gagal kalau tidak cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorak-an memuji.
Setelah kepala perampok ini, maju seorang laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya, tersenyum-senyum penuh aksi, apalagi kalau dia memandang ke arah gadis-gadis cantik murid Bengcu yang melayani para tarmu dan kini me-nonton sambil berdiri berjajar di pinggir. Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok meniru langkah se-ekor harimau supaya kellhatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, karena tu-buhnya gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagah-an melainkan mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!
"Heh-heh-heh, maafkan....! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi, karena sayembara ini mempere-butkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu-wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya. adalah Tai-lek Siauw-hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar)."
Melihat sermua tamu tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagak-nya amat lucu seperti seorang badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling ke arah Maya dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, membasahi bibir bawah dengan
lidahnya yang bundar sehingga makin lucu tam-paknya, kemudian ia membungkuk dan
memegang kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua orang
tercengang dan bertepuk Tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ saja,menahan napas dan
mendorongkan kedua lengannya ke atas!
"Uhhh.... brooooottt!!"
Si Gendut cepat menurunkan singa besi ke atas lantai dan semua tamu ter-tawa geli. Para pelayan murid Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar ja-ngan tampak mereka tertawa.
Maya sen-diri terpingkal-pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri se-hingga membuat Maya makin terpingkal--pingkal. Kiranya karena terlalu mengerahkan tenaga sebagian hawa yang me-menuhi perut gendut itu menerobos ke-luar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan kentut besar!
Biarpun merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini ter-tawa-tawa dan menyoja ke kanan kiri sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan agak merendah seperti seorang iagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia
me-mandang ke atas, ke arah paku-paku yang menancap di balok melintang. la lalu melepas sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui dinding seperti seekor cecak! Ia menggunakan kedua telapak kaki telan-jang itu merayap cepat melalui dinding sampai ke atas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gen-dut ini bukan merayap turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah batu! Semua orang terkejut sekali menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk. Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi!
Para tokoh berilmu tinggi yang hadir di situ mengangguk-angguk. Si Gendut itu biarpun tingkahnya seperti badut, namun memiliki tenaga kuat dan kepandaian tinggi. Mungkin gin-kangnya tidak seting-gi Coa-bengcu, namun dia telah mampu mempergunakan ilmu merayap Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 116
di tembok seperti cecak, hal ini menandakan bahwa sin-kang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga ia dapat menggunakan telapak kaki tangannya, untuk melekat pada din-ding seperti telapak kaki cecak!
"Aihh, aku suka kalau dia yang me-nang Enci Maya. Setiap hari dia akan kusuruh
membadut," bisik Siauw Bwee yang masih tertawa-tawa ditahan.
"Hussh, siapa sudi" Jangan-jangan ketika melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut terbawa keluar!" jawab Maya.
"Ihhh....! Jijik....!" Keduanya tertawa--tawa lagi dan hal ini memang amat mengherankan.
Dua orang anak perem-puan yang masih kecil dalam keadaan seperti itu menjadi tawanan, bahkan di-jadikan barang sumbangan dan kini di-jadikan hadiah perebutan sayembara, masih enak-enak makan minum dan ter-tawa-tawa melihat kelucuan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee!
Sedikit pun mereka tidak kelihatan takut atau putus asa, padahal kalau anak-anak lain yang meng-alami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan setengah mati!
Puluhan tamu maju mencoba setelah melihat hasil baik kepala rampok dan Si Gendut, akan tetapi yang berhasil hanya tujuh orang lagi saja, termasuk Pat-jiu Sin-kauw, Si Monyet Sakti berpakaian hitam itu. Dan hanya Pat-jiu Sin-kauw seorang yang dapat mengangkat singa besi semudah yang dilakukan Bengcut kemmudian menurunkan semua paku dengan kebutan
lengan bajunya dari bawah, me-nerima sebatang kemudian melontarkan paku-paku lainnya kembali ke atas de-ngan sapuan lengan bajunya! Ternyata lihai sekali pendeta rambut panjang ini!
Memang masih banyak tokoh yang pandai hadir di situ, yang kiranya akan dapat melakukan dua syarat itu tanpa kesukaran, akan tetapi mereka ini tidak mempunyai niat untuk mengikuti sayem-bara. Para tokoh partai memang tidak mau mencampuri urusan mereka, sedang- kan tokoh-tokoh kaum sesat tidak mau ikut karena tidak tertarik kepada hadiahnya!
Kini terkumpul sepuluh orang bersama Coa-bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara me-reka dan berhak memiliki dua orang gadis cilik. Mereka itu telah berkumpul di tengah dan hendak
merundingkan de-ngan Coa-bengcu bagaimana pibu akan diatur. Saat itu kembali
dipergunakan oleh Maya yang menggandeng tangan Siauw Bwee, sekali ini tidak lari melain-kan berjalan pelahan ke pintu.
*** "He. ke mana kalian mau lari?" Tiba--tiba seorang murid Coa-bengcu berseru dan mendengar ini, Maya mengajak Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu. Coa-bengcu, puteranya dan murid-murid-nya, juga tamu-tamu yang lulus ujian, meloncat dan mengejar pula. Akan tetapi betapa heran hati mereka ketika melihat bahwa kedua orang anak perempuan itu telah lenyap!
Mereka mengejar keluar dan tampaklah dua orang anak perem-puan itu berjalan pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang hanya kelihatan tubuh belakangnya oleh semua orang.
Mereka semua mengejar dan berteriak--teriak. Akan tetapi, dua orang anak pe-rempuan itu berlari di kanan kiri Si Ka-kek yang rambutnya panjang dan sudah putih semua, sama sekali tidak mempe-dulikan teriakan-teriakan mereka. Yang amat luar biasa dan membuat Coa-beng-cu dan para tokoh pandai mengkirik (bulu tengkuk meremang) adalah kenyataan bahwa betapapun cepat mereka mengejar sambil mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga dapat menyusul kakek dan kedua orang anak perempuan itu! Mereka mulai penasaran dan marah, mencabut senjata rahasia dan menyerang. Berhamburan senjata rahasia bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum, uang logam, peluru besi, pisau terbang, ke-semuanya menyambar dengan cepat ke arah punggung Si Kakek rambut putih. Semua senjata rahasia itu mengenai tu-buh belakang kakek itu, tepat sekali, dan anehnya, tidak sebatang pun me-ngenai punggung Maya dan Siauw Bwee. Dan lebih aneh lagi, semua senjata raha-sia yang
dilontarkan dengan tenaga sin-kang dan yang tepat mengenai tubuh be-lakang Si kakek runtuh Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 117
tak meninggalkan bekas pada tubuh belakang itu!
Akhirnya, semua tokoh kang-ouw dan liok-lim yang melakukan pengejaran, menjadi gentar dan ngeri. Mereka adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, ahli-ahli senjata rahasia, dan senjata rahasia mereka itu sebagian besar mengandung racun. Na-mun, tak seorang pun di antara mereka dapat menyusul kakek itu, dan tak se-buah pun senjata rahasia melukai
pung-gungnya. Kini para tokoh itu menghenti-kan pengejaran, saling pandang dengan mata terbelalak.
"Siancai....! Kiranya di dunia ini ha-nya satu orang saja yang memiliki ke-pandaian seperti itu....!" Seorang tosu yang menjadi tamu berkata lirih.
Ucapannya ini menyadarkan semua orang dan mereka menjadi gentar sekali. Mereka
menduga-duga siapa gerangan tokoh itu.
"Suling Emaskah....?"
Tosu itu, seorang tokoh dari Kun-lun-pai, menggeleng kepala. "Kalau tidak salah dugaan pinto, hanyalah manusia dewa yang dapat memiliki kepandaian sehebat itu, beliau adalah....
Bu Kek Siansu...."
"Aihhh....! Mana mungkin" Mana mungkin tokoh yang sudah ratusan tahun itu masih hidup"
Aku lebih percaya kalau dia tadi adalah Bu Beng Lojin, julukan Suling Emas setelah mengasingkan diri!"
"Akan tetapi, biasanya pendekar itu bergerak secara berterang dan meroboh-kan semua lawan dengan berdepan. Se-baliknya kakek itu seolah-olah hendak menghindarkan bentrokan.
Agaknya me-mang benar dugaan Totiang, beliau ada-lah Bu Kek Siansu...."
Demikianlah, para tokoh itu menjadi ribut membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu saja otomatis sayembara ditia-dakan. Betapapun juga, tidak ada yang merasa penasaran karena kalau memang benar bahwa yang membawa pergi dua orang anak perempuan itu adalah Bu Kek Siansu seperti yang mereka duga, tentu saja mereka tak dapat berbuat apa-apa. Siapakah orangnya di dunia ini yang akan mampu menandingi manusia dewa itu"
Maya dan Siauw Bwee masih terhe-ran-heran dan mereka melongo menman-dang wajah
kakek berambut panjang pu-tih yang menggandeng tangan mereka. Tadi, ketika mereka ketahuan dan dike-jar, mereka tiba di pintu dan tahu-tahu tubuh mereka seperti ditarik keluar.
Tahu-tahu mereka telah digandeng oleh seorang kakek dan mereka meluncur ke depan dengan kecepatan yang mengerikan.
Tentu saja Maya dan Siauw Bwee tahu bahwa mereka dikejar-kejar, bahkan telinga mereka yang terlatih telah men-dengar menyambarnya banyak senjata rahasia dari belakang, akan tetapi kakek tua renta itu masih enak-enak saja ber-jalan! Langkah kakek ini biasa saja, akan tetapi mengapa tubuh mereka meluncur ke depan seperti angin cepatnya" Mereka berdua adalah anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak mendengar akan orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu me-reka tertolong oleh seorang kakek yang sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu orang macam apakah kakek yang me-nolong ini.
Seorang baik-baikkah" Atau-kah jangan-jangan seorang manusia iblis yang lebih jahat daripada sekumpulan manusia sesat tadi!
"Kong-kong (Kakek), engkau siapa-kah?" tanya Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan yang amat cepat meluncur ke depan seperti terbang itu membuat orang sukar bernapas.
Akan tetapi kakek itu tidak menja-wab, seolah-olah tidak mendengar per-tanyaan ini. Masih melangkah satu-satu dan wajahnya tegak memandang ke de-pan, kedua tangan menggandeng tangan Siauw Bwee dan Maya. Kedua orang anak perempuan itu menengadah, menanti
jawaban yang tak kunjung datang.
Maya menjadi curiga dan tidak sabar. "Kakek yang aneh, kalau engkau tidak suka bicara dengan kami, mengapa eng-kau membawa kami lari dari mereka?"
Kembali kakek itu tidak menjawab sama sekali.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 118
"Enci Maya, jangan-jangan dia tuli!" Siauw Bwee berkata tak lama kemudian setelah dinanti-nanti tetap tidak ada jawaban dari kakek tua renta itu.
"Hemm, kalau hanya tuli masih un-tung! jangan-jangan dia ini malah lebih jahat daripada Bengcu dan kawan-kawan-nya tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan manusia Iblis!" kata Maya, suaranya mulai ketus karena marah.
"Anak-anak, kalian menghadapi urusan besar, harap jangan lengah dan bergan-tunglah kepada tanganku. Kalau kalian ingin tahu, orang-orang menyebut aku orang tua Bu Kek Siansu."
"Ohhh....!" Siauw Bwee melongo.
"Ahhh....!" Maya juga berseru dengan mata terbelalak! Kedua orang anak pe-rempuan ini sudah mendengar penuturan orang tua masing-masing, akan seorang manusia dewa yang kesaktiannya luar biasa, bernama Bu Kek Siansu yang mun-cul dan lenyap tanpa ada yang tahu bagaimana caranya. Bahkan ilmu-ilmu silat keluarga Suling Emas, yaitu sebagian kecil yang pernah mereka pelajari, ber-sumber daripada pemberian manusia dewa ini. Tak terasa lagi hati mereka menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat dan takut. Mereka mentaati permintaan ka-kek itu, mencurahkan perhatian ke depan dan tidak bertanya-tanya lagi!
Bahkan Maya yang biasanya liar ini kini menjadi jinak! Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada kakek itu dan ketika kakek itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening, dua orang anak perempuan ini lalu memejamkan mata.
Dengan ilmu kepandaian yang tinggi, Han Ki berhasil menyelinap ke dalam taman bunga di istana, melompati pagar tembok yang tinggi setelah memancing perhatian para peronda dengan melemparkan batu ke sebelah barat. Ketika para peronda itu, perhatian mereka ter-pecah dan kesempatan itu dipergunakan Han Ki melompati pagar tembok dan menyelinap ke bawah pohon-pohon me-nuju ke taman bunga. Jantungnya ber-debar keras dan ia tahu bahwa dia me-lakukan hal yang amat berbahaya dan gawat. Puteri Sung Hong Kwi,
kekasih-nya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain, bahkan di halaman tamu is-tana Kaisar sendiri sedang menjamu urusan-urusan Raja Yucen calon suami Hong Kwi. Akan tetapi, dengan nekat dan berani mati dia menyelundup ke dalam taman untuk menemui kekasihnya itu seperti biasa dahulu ia lakukan. Hal ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang membesarkan semangat. Hebat bu-kan main bocah itu, pikir Han Ki sambil tersenyum.
Besar hatinya. Dia harus bertemu dengan Hong Kwi. Benar kata Maya, biarpun dia itu masih belum de-wasa. Kalalu memang Hong Kwi mencintainya, mengapa mereka tidak melarikan diri saja berdua" Urusan perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia dapat dipaksa!
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dari tempat sembunyinya di balik sebatang pohon besar, dia melihat keka-sihnya yang mengenakan pakaian indah sekali, pakaian baru calon mempelai, dari sutera berwarna-warni, dangan hiasan rambut terbuat dari permata, terhias mutiara, yang membuat kekasihnya nampak makin cantik gilang-gemilang sehing-ga
mendatangkan keharuan di hati Han Ki.


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Puteri Sung Hong Kwi sedang duduk di atas bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai putih. Ikan-ikan emas berenang ke sana ke mari, berpasang-pasangan.
Melihat ini, teringatlah Hong Kwi akan pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih sayang, penuh kemesraan dengan pemuda idamannya, Kam Han Ki! Dia mendengar betapa
kekasihnya itu melakukan tugas keluar, tugas yang amat berbahaya. Kekasihnya belum juga pulang dan tahu-tahu ia akan diberikan kepada Raja Yu-cen yang belum pernah dilihatnya.
Teringat akan ini, dan melihat betapa ikan-ikan emas itu berenang berpasangan, kadang-kadang bercumbu dan berkasih-kasihan, tak tertahan pula kesedihannya dan Puteri Sung Hong Kwi menutup mukanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang, menangis tersedu-sedu!
"Han Ki-koko....!" Gadis bangsawan itu menjerit lirih, lirih sekali tertutup isaknya, namun Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 119
masih dapat ditangkap oleh telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir air mata terloncat ke atas pipi pemuda itu. Seorang pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal satu-satunya pela-yan yang paling dikasihi dan setia kepada nona majikannya, berlutut dan mengelus--elus pundak nona majikan itu sambil ikut menangis.
Han Ki tak dapat menahan keharuan dan kerinduan hatinya lebih lama lagi menyaksikan kekasihnya menangis se-demikian sedihnya. Ia meloncat keluar dan berlutut di depan kaki Sung Hong Kwi. "Dewi pujaan hatiku.... kekasihku....,
"Hong Kwi....!"
Pelayan itu cepat bangkit berdiri dan pergi dari tempat itu, kedua pipinya masih basah air mata dan dadanya masih terisak-isak. Hong Kwi mengangkat mu-kanya perlahan, ketika ia memandang wajah Han Ki yang berada di dekat didepannya, matanya yang basah terbela-lak, ia takut kalau-kalau pertemuan ini hanya terjadi dalam alam mimpi. Ke-mudian ia menjerit lirih dan menubruk, merangkul leher pemuda itu. "Koko.... ah, Koko....! Aku.... aku telah...."
Han Ki mengangkat tubuh kekasihnya dan memangkunya, sambil duduk di atas bangku Hong Kwi menyandarkan pipinya di dada Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki membelai rambutnya, dahinya, kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya, menghisap air mata mengalir deras sambil berbisik.
"Aku tahu, Dewiku. Aku tahu kesemuanya yang telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang mengunjungimu malam ini...."
"Aduh, Koko.... bagaimana dengan nasibku...." Bagaimana cinta kasih kita" Kita sudah saling mencinta, saling bersumpah sehidup semati di bawah sinar bulan purnama! Bagaimana....?"
IA tersedu kembali.
"Jangan berduka, Hong Kwi. Aku datang untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini sekarang juga!"
"Aihhh....!" Puteri bangsawan itu terkejut sekali, tersentak duduk dan memandang wajah kekasihnya penuh selidik, "Kaumaksudkan.... minggat?"
"Mengapa tidak" Bukankah kita saling mencinta"' Han Ki teringat akan ucapan Maya, seolah-olah bergema suara anak perempuan itu di telinganya di saat itu. "Kita pergi bersama, takkan saling ber-pisah lagi selamanya. Kita pergi jauh dari sini dan aku akan melindungimu se-bagai suami yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Marilah, , Hong Kwi....!"
"Tidak! Tidak bisa begitu, Koko....! Aku lebih baik mati. Lebih baik kaubu-nuh saja aku sekarang ini. Aahhh, untuk apa aku hidup lebih lama lagi...." Koko, kaubunuhlah aku....!"
Han Ki memeluk kekasihnya dan dia menjadi bingung. Ia dapat memaklumi isi -hati
kekasihnya. Kekasihnya adalah se-orang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari minggat begitu saja karena hal ini selain akan menyeret namanya ke dalam lumpur hina, juga akan mencemarkan nama Kaisar dan karenanya membikin malu kerajaan!
"Hong Kwi, aku tidak melihat jalan lain kecuali membawamu lari dari sini menjauhi segala kesusahan ini. Apakah engkau melihat jalan lain yang lebih baik, Hon Kwi kekasihku?"
"Ada jalan yang lebih baik Koko!" Tiba-tiba gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat dan biarpun kedua pipinya masih basah, namun sepasang pipi itu se-karang menjadi kemerahan, merah jam-bon berbeda sekali, dengan bibirnya yang merah segar, dan matanya, berseri-seri aneh. "Koko, aku telah bersumpah hanya mencinta kau seorang, mencinta dengan seluruh, jiwa ragaku. Jiwa dan hatiku se-lamanya adalah kepunyaanmu, tidak da-pat dirampas oleh siapapun juga. Akan tetapi tubuh ini... ah, bagaimana aku dapat membiarkan tubuhku dimiliki orang lain" Engkaulah yang berhak memiliki, Koko! Aku menyerahkan tubuhku kepa-damu, ahhh.... kalau tak terhimpit seperti ini, sampai mati pun aku tidak akan dapat bicara seperti ini, Koko... ambillah tubuhku.... barulah aku akan dapat me-nahan hatiku kalau tubuhku dimiliki orang lain, secara paksa!"
Han Ki meloncat turun dari bangku dan melangkah mundur dua tindak. Mu-kanya pucat sekali dan bulu tengkuknya berdiri! Sampai lama dia tidak, dapat berkata apa-apa hanya Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 120
memandang wajah gadis yang dicintanya itu.
"Bagaimana, Koko...." Apakah.... apa-kah cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaanku terakhir ini?" Hong Kwi juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki, merangkul ping-gangnya sehingga tubuh mereka merapat.
"Tidak, Hong Kwi! Tidak mungkin itu! Aku.... ah...., janganlah mengajak aku menjadi seorang pria yang keji dan ko-tor! Lebih baik aku mati daripada mengotori dirimu yang murni! Tidak, beta-papun besar hasrat hatiku, betapa darah-ku telah mendidih bergolak pada saat ini dengan kerinduan dan kemesraan sepenuhnya, betapa nafsu berahiku terhadap-mu!
sudah hampir menggelapkan mataku, namun.... aku.... aku tidak akan melakukan hal itu, Hong Kwi!"
"Kalau begitu, bagaimana baiknya.... Koko" Ahhh, engkau membuat aku makin putus asa dan menderita.... Gadis bang-sawan itu terisak-isak lagi sambil berpe-lukan dengan Han Ki.
Han Ki mengelus-elus rambut yang halus hitam dan harum itu. "Kekasihku, pujaan hatiku, nasib kita boleh buruk, hati kita boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh menggelapkan kesadaran kita. Kalau engkau suka pergi denganku, biarpun hal ini merupakan pelanggaran besar, namun kita akan dapat hidup ber-sama menanggung semua akibat bersama pula, maka aku mengajakmu minggat. Adapun kalau menurutkan permintaanmu tadi, aku menjadi
seorang lakl-laki hina-dina, setelah melakukan pelanggaran suslia, menikmati pelanggaran, mence-markan dan menodaimu, lalu pergi begitu saja, membiarkan engkau yang akan
me-nanggung semua akibatnya! Betapa hina dan rendahnya apalagi terhadap engkau satu-satunya wanita yang kucinta didu-nia ini!"
"Aduhhh, Koko.... bagaimana baik-nya....?"
"Hong Kwi kelahiran, perjodohan dan kematian merupakan tiga hal yang tidak dapat diatur oleh manusia karena sudah ada garisnya sendiri. Keadaan sekarang ini membuktikan bahwa Thian tidak menghendaki kita menjadi suami isteri, atau jelasnya, kita tidak saling berjodoh, betapapun murni cinta kasih yang terjalin antara kita. Memang sudah nasib kita.... ah, Hong Kwi...." Dua orang yang dima-bok cinta dan kedukaan itu, seperti ter-getar oleh sesuatu, tertarik oleh tenaga gaib, saling mencium dengan perasaan penuh duka, haru dan cinta tercampur menjadi satu.
"Aduhhh.... Sri Baginda datang...." Bisikan yang keluar dari mulut pelayan itu membuat sepasang orang muda yang sedang berpelukan dan berciuman itu terkejut sekali dan saling melepaskan pe-lukannya.
"Koko....! Cepat.... Bersembunyi...." Hong Kwi berseru lirih.
"Di mana...." Lebih baik aku pergi saja...."
"Jangan! Kau bisa ketahuan dan.... dan kita celaka! Lekas.... kolam itu, kauma-suklah dan bersembunyi di bawah daun teratai...."
Karena kini sudah tampak rombongan pengawal Kaisar datang memasuki taman membawa lampu, Han Ki tidak melihat jalan lain. Ia meloncat dan air muncrat ke atas ketika pemuda itu menyelam ke bawah permukaan air yang dalamnya hanya sampai ke pinggang, bersembunyi di bawah daun-daun teratai yang lebar. Dia menengadahkan mukanya, mengeluar-kan
hidungnya saja di bawah daun teratai agar dapat bernapas sedangkan matanya kadang-kadang ia buka untuk melihat melalui air yang bening.
"Hong Kwi, mengapa malam-malam begini engkau masih berada di taman.... eh, kau.... habis menangis?" Kaisar me-negur puterinya dengan suara keren dan marah. Memang Kaisar tahu bahwa pu-terinya ini tidak suka dijodohkan dengan Raja Yucen, maka hati Kaisar menjadi mengkal dan penasaran. Apalagi ketika ia tadi mendengar bisikan Jenderal Suma Kiat yang mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai saat itu keadaan Sang Puteri harus dijaga karena ada kemungkinan masuknya seorang "pengganggu kesusilaan"!
Sung Hong Kwi yang berlutut tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 121
"Apakah ada orang luar masuk ke sini malam ini?" Kembali Sri Baginda berta-nya dengan suara keren.
Hong Kwi menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Heh, pelayan! Apakah ada orang datang ke sini tadi?" Kaisar bertanya kepada pelayan yang berlutut di belakang nonanya.
"Ham.... hamba ti.... tidak melihat-nya...." Pelayan itu menjawab lirih sam-bil membentur-benturkan dahi di atas tanah di depannya.
"Periksa semua tempat di sekitar sini!" Kaisar memerintahkan para penga-walnya yang segera berpencar ke segala sudut, mencari-cari dan menerangi tem-pat gelap dengan lampu-lampu yang me-reka bawa. Jantung Sung Hong Kwi dan pelayan itu hampir copot saking tegang dan takutnya.
"Mulai saat ini, engkau harus selalu berada dalam kamar, tidak boleh sekali--kali keluar.
Mengerti?" Kaisar memben-tak dan kembali Hong Kwi mengangguk. Para pengawal selesai menggeledah dan melapor bahwa tidak ada orang luar di dalam taman itu. Dengan uring-uringan karena sikap puterinya, Kaisar lalu men-dengus dan meninggalkan taman itu di-iringkan para pengawalnya.
Setelah rombongan Kaisar lenyap memasuki pintu belakang, barulah Hong Kwi dan
pelayannya berani bangkit ber-diri. Han Ki yang juga melihat semua kejadian itu dari dalam air, berdiri de-ngan muka, rambut dan seluruh pakaian basah kuyup! Ia bergidik ketika merasa sesuatu menggelitik lehernya. Ditangkapnya ikan emas yang berenang di leher bajunya dan dilepaskannya kembali ke air.
"Hong Kwi....!" Ia berkata lalu melon-cat keluar.
"Koko.... ahhh...., hampir saja....! Aku harus segera masuk. Han Ki-koko, sela-mat berpisah, selamat tinggal.... sampai jumpa pula di akherat kelak...." puteri itu terisak dan lari pergi diikuti pelayan-nya yang juga menangis, meninggalkan Han Ki yang berdiri melongo di tepi kolam dalam keadaan basah kuyup dan tubuh seolah-olah kehilangan semangat.
"Hong Kwi...." ia mengeluh, kemudian membalikkan tubuh dan.... kiranya dia terkurung sepasukan pengawal Istana yang dipimpin oleh.... Jenderal Suma Kiat sendiri bersama muridnya Siangkoan Lee dan masih banyak panglima tinggi istana!
"Kam Han Ki! Engkau manusia rendah budi, engkau membikin malu keluargamu saja!
Membikin malu aku pula karena biarpun jauh engkau terhitung keluargaku juga. Cihh!
Sungguh menyebalkan. Berlu-tutlah engkau menyerah agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan!"
Han Ki pernah jumpa dengan Suma Kiat yang masih terhitung kakak misan-nya sendiri, karena ibu Suma Kiat ini adalah adik kandung mendiang ayahnya. Akan tetapi dalam perjumpaan yang ha-nya satu kali itu, Suma Kiat bersikap dingin kepadanya, maka kini ia menja-wab.
"Goanswe, perbuatanku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Ini adalah urusan pribadi, biarlah semua tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan menyeret nama keluarga, apalagi namamu!"
Wajah Suma Kiat menjadi merah sa-king marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong karena maklum akan pengaruh kekuasaan dan kelihaian men-teri itu. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi Han Ki. Biarpun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap selama belas-an tahun itu kini kabarnya telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia belum
membuktikannya sendiri dan pula pemuda yang hanya dijadikan pengawal Menteri Kam itu kini melakukan kesalah-an yang amat berat yaitu berani menyelundup ke dalam taman istana dan me-lakukan hubungan gelap dengan puteri Kaisar, calon isteri Raja Yucen Pula, saat ini dia sudah mengirim laporan ke-pada Kaisar bahwa pemuda itu benar--benar berada di taman sehingga menang-kap atau membunuhnya bukan merupakan kesalahan lagi.
"Kam Han Ki manusia berdosa! Sete-lah engkau melakukan pelanggaran me-masuki taman Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 122
seperti maling, apakah kau tidak lekas menyerahkan diri dan hendak melawan petugas negara?" Kembali Suma Kiat membentak sambil mencabut pe-dangnya. Melihat gerakan jenderal ini, semua anak buah pasukan dan para pang-lima juga mencabut senjata masing-masing.
Han Ki tidak mau banyak bicara lagi karena ia maklum bahwa tidak ada pilih-an lain bagi dia yang sudah "tertangkap basah" ini, yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan menyerahkan diri karena dia tidak merasa bersalah! Dahulu pernah ia mendengar wejangan gurunya Bu Kek Siansu yang pada saat itu bergema di dalam
telinganya. "Jika engkau dengan pertimbangan hati nuranimu merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau harus mengalah terhadap seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika engkau yakin benar bahwa engkau tidak bersalah, tidak perlu takut mempertahankan kebenaran-mu menghadapi orang yang lebih kuat pun."
Kini Han Ki tidak merasa bersalah. Berasalah kepada siapa" Dia dan Hong Kwi sudah saling mencinta, dengan murni dan tulus. Kaisarlah yang salah, Karena hendak memberangus kemerdekaan hati puterinya sendiri! Tidak, dia tidak ber-salah karena itu dia tidak akan menye-rahkan diri. Dia akan melarikan diri dan tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi, dia tidak akan dekat dengan Istana! Berpikir demikian, Han Ki lalu memba-likkan tubuh dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.
Akan tetapi, ia berseru keras dan cepat berjungkir-balik dan meloncat kem-bali ke depan Suma-goanswe karena di dekat pagar tembok telah menghadang banyak pengawal dan tadi ketika ia me-loncat hendak lari, mereka telah melepas anak panah ke arah tubuhnya.
"Ha-ha-ha! Kam Han Ki, engkau ma-ling cilik sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk kuseret ke depan kaki Hong-siang agar menerima hukuman!" Suma Kiat tertawa mengejek.
Hati pemuda itu menjadi panas, akan tetapi dia tidak melupakan kakak sepu-punya, Menteri Kam. Kalau dia melaku-kan perlawanan, mengamuk sehingga membunuh para pengawal,
panglima atau Jenderal Suma, tentu Menteri Kam Liong akan celaka karena bukankah dia menjadi pengawal Menteri Kam" Dia akan men-celakakan orang yang dihormatinya itu kalau dia mengamuk, maka dia mengam-bil keputusan untuk mencari jalan keluar tanpa membunuh orang.
"Sampai mati pun aku tidak akan menyerah kepadamu, Suma-goanswe!" katanya gagah
sambil mencabut pedang-nya juga.
"Apa" Kau hendak melawan" Serbu!" Suma Kiat berseru dan mendahului ka-wan-kawannya menerjang maju dengan pedangnya berkelebat melengkung ke arah pusar Han Ki sedangkan tangan kirinya sudah mengirim totokan maut yang amat berbahaya ke arah pangkal leher.
Ilmu kepandaian Suma Kiat amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dan aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri Suling Emas yang pernah men-jadi tokoh yang menggemparkan para datuk golongan hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila, membuat sepak terjangnya aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat menye-ramkan.
Melihat serangan Jenderal itu diam-diam Han Ki terkejut. Sinar pedang yang menyerang ke arah pusarnya itu mem-buat lingkaran melengkung yang sukar diduga dari mana akan menyerang se-dangkan totokan jari tangan kiri itu di-kenalnya sebagai totokan yang bersumber dari ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai yang amat lihai dan ber-bahaya, yaitu Im-yang Tiam-hoat!
"Cringgg....! Dukkk!" Han Ki yang sudah mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih keluarga sendiri ini, sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula totokannya se-hingga dua pedang dan dua lengan berte-mu susul-menyusul. Suma Kiat terkejut karena pedang dan lengan kirinya geme-tar dan tubuhnya bertolak ke belakang, tanda bahwa pemuda ini memiliki sin--kang yang amat kuat. Namun ia berseru keras dan
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 123
menyerang lagi, dibantu para panglima dan pengawal sehingga di lain saat Han Ki telah terkurung rapat dan dihujani senjata dengan gencar sekali.
Pemuda ini terpaksa memutar pedang-nya dengan cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang menyelimuti seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah sehing-ga semua senjata para pengeroyok ter-pukul mundur oleh sinar pedangnya yang berkilauan. Namun, pemuda ini harus mengerahkan seluruh tenaganya karena sekali saja pedangnya terpukul miring, tentu akan terdapat lowongan dan tubuh-nya akan menjadi sasaran senjata para pengeroyok yang rata-rata memiliki ke-pandaian tinggi itu.
Tiba-tiba Han Ki mengeluarkan lengkingan dahsyat yang menggetarkan jan-tung para pengeroyoknya dan membuat sebagian dari mereka ragu-ragu dan me-nunda gerakan senjata.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Han Ki untuk memutar pedangnya membalas dengan
ancaman serangan ke arah kepala para pengero-yoknya. Demikian ganas dan cepat sam-baran pedangnya itu sehingga para pe-ngeroyoknya menjadi terkejut, cepat mengelak dengan merendahkan tubuh atau meloncat ke belakang. Kesempatan yang amat baik, pikir Han Ki dan sekali ia mengenjot tubuhnya sambil menang-kis serangan susulan pedang Suma Kiat dan golok di tangan Siangkoan Lee, ia telah meloncat jauh ke kiri, ke atas wuwungan bangunan kecil di tengah taman di mana ia sering kali mengadakan pertemuan rahasia dengan Sung Hong Kwi.
"Penjahat cabul hendak lari ke ma-na?" Terdengar bentakan keras dan se-batang tombak menusuknya dari kanan, sebatang pedang dari depan sedangkan dari kiri menyambar sehelai cambuk besi.
"Cringg.... tranggg.... wuuuttt!" Han Ki terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis tombak dan pedang serta mengelak dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat itu telah menjaga tiga orang panglima yang kepandaiannya cu-kup tinggi, terbukti dari serangan-serang-an tadi yang amat kuat dan cepat. Ia melempar diri ke bawah, berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah, makin ke tengah mendekati Istana karena untuk lari ke pagar tembok tidak mungkin lagi, terhalang oleh pengejarnya."Siuuttt!" Kembali Han Ki harus me-loncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran toya yang amat kuat, yang tadi datang menyambutnya dari bawah. Ia mencelat mundur sambil memandang. Kiranya di situ telah berjaga seorang panglima pengawal yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang toya ku-ningan yang berat. Kini panglima itu terus menerjangnya dan toyanya yang diputar menimbulkan angin bersuitan. Han Ki mengelak ke kanan kiri dan menge-rahkan tenaga lalu membabat dari samping.
"Tranggg!" Bunga api berhamburan dan panglima tinggi besar itu berseru kaget, tubuhnya terguling lalu ia bergu-lingan dan baru meloncat bangun setelah agak jauh, memandang ujung toyanya yang buntung oleh sambaran pedang di tangan Han Ki tadi! Sementara itu, Suma Kiat, Siangkoan Lee dan para panglima yang tadi mengeroyoknya, telah mengejar sampai di situ dan kembali Han Ki di-kurung dan dikeroyok. Makin lama makin bertambah banyak jumlah pengeroyok ka-rena tanda bahaya telah dipukul sehingga panglima dan pengawal yang berada di istana muncul semua!
Betapapun tinggi ilmu kepandaian Han Ki, namun menghadapi pengeroyokah begitu banyak orang lihai sedangkan dia menjaga agar jangan sampai membunuh lawan, tentu saja Han Ki menjadi kewa-lahan. Dia memang menerima gembleng-an seorang manusia sakti seperti Bu Kek Siansu, menerima pelajaran ilmu sllat yang amat tinggi, bahkan telah mempe-lajarl inti sari ilmu silat sehingga segala macam ilmu silat yang dimainkan lawan dapat ia kenal sumber dan gerakan da-sarnya. Akan tetapi selama belasan tahun ini waktunya habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam pertempuran, apalagi
dikeroyok begini banyak panglima dan pengawal yang pandai!
Namun, harus dipuji keuletan pemuda ini. Biarpun tubuhnya dihujani serangan senjata dari Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 124
segenap penjuru, ia masih dapat mempertahankan diri, memutar pedang menangkis dengan gerakan lincah ke sana ke mari, bahkan masih sempat menggunakan tangan kirinya kadang-ka-dang untuk menyampok senjata lawan dan kadang-kadang menggunakannya de-ngan
pengerahan sin-kang untuk mendorong pengeroyok sampai terjengkang atau terhuyung mundur. Entah berapa belas orang pengeroyok yang ia robohkan dengan tendangan kedua kakinya, me-robohkan mereka tanpa membunuh, hanya mematahkan tulang kaki dan
mengakibat-kan luka ringan saja.
Jenderal Suma Kiat yang memimpin
pengeroyokan ini, berulang-ulang me-nyumpah-nyumpah. Dia dibantu oleh pa-sukan
pengawal, bahkan para panglima yang menjadi rekan-rekannya, yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi, dengan jumlah seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang, masih belum mampu mem-bekuk pemuda itu setelah mengeroyok selama tiga empat jam! Bahkan ada be-lasan orang anak buah pengawal yang roboh tertendang atau terdorong oleh pemuda itu! Benar-benar amat memalu-kan!
"Panggil semua panglima yang berada di luar istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar istana!" bentak Suma Kiat kepada anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah itu.
Han KI masih memutar pedangnya dan makin lama makin mendekati istana. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia dapat bertahan terus. Tubuhnya basah kuyup, bukan oleh air kolam ikan tadi yang sudah menjadi, kering kembali melainkan dari keringatnya sendiri. Tubuhnya mulai terasa lelah dan lemas, juga amat panas seolah-olah dari dalam tubuhnya timbul api yang membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak pukulan dan bacokan senjata lawan dan biarpun sin-kangnya telah melindungi tubuh sehingga luka--luka itu tidak berat, namun membuat kaki tangannya terasa linu dan berat.
"Habis aku sekali ini...." keluhnya diam-diam, namun ia tidak putus asa dan masih terus melawan sampai malam ter-ganti pagi! Telapak tangannya yang me-megang gagang pedang sampai kehilangan rasa, seolah-olah telah menjadi satu de-ngan gagang pedangnya. Tak mungkin aku melarikan diri melalui pagar tembok, pikirnya. Pagar tembok itu tentu telah terkepung ketat. Jalan satu-satunya ha-nyalah sekalian masuk ke dalam istana! Kalau berada di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak orang, akan te-tapi kalau dia main kucing-kucingan di dalam istana yang banyak kamar-kamar-nya dan tidak terbuka seperti di taman, tentu dia dapat membatasi jumlah penge-royok. Siapa tahu dia dapat menyelinap dan melarikan diri, atau setidaknya ber-sembunyi di dalam istana yang amat besar itu. Bukankah dahulu pernah dika-barkan ada orang sakti mengacau istana hanya untuk "menyikat"
hidangan Kaisar dan orang itu dapat bersembunyi di da-pur sampai berpekan-pekan"
Dia harus dapat menyelinap ke Istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya dan dengan penuh semangat Han Ki memutar pedang berloncatan ke sana sini seperti orang nekat.
Semenjak dike-royok tadi, Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan pengero-yok yang tidak terlalu kuat dengan ten-dangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya. Akan tetapi kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jerih, otomatis meloncat mundur. Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambit-kan pasir itu ke depan, ke arah para pengepungnya.
"Awas senjata rahasia!" bentaknya, Suma Kiat dan para panglima yang ber-ilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh tanpa berkedip, akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai, menjadi kaget dan cepat membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat segera memekik kesakitan karena biarpun hanya butiran-butiran pasir kalau dapat menem-bus kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua orang memandang ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah meloncat cepat sekali dan menerobos masuk me-lalui pintu yang menuju ke Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 125
kompleks bangunan istana dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari.
Penjaga penjaga itu terpelantlng ke ka-nan kiri sedangkan tombak panjang me-reka patah-patah!
"Kejar! Tangkap dia, mati atau hi-dup!" Suma Kiat membentak para pe-ngawal yang sejenak melongo penuh rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat ditangkap bahkan kini berani memasuki istana. Tentu saja semua orang cepat menyerbu, berlumba memasuki istana, ada yang menerobos dari pintu--pintu belakang, ada pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap pemuda itu ka-rena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya dapat diancam bahaya!
Bala bantuan dari luar Istana sudah datang dan kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang lenyap! Ke manakah perginya Han Ki"
Han Ki yang berhasil menerobos me-masuki Istana, terus berlari melalui lo-rong-lorong di antara kamar-kamar dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan, hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya berdenyut-denyut saking lelah-nya dan setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka bekas gebukan-gebukan senjata lawan. Tiba--tiba ia berhenti di luar sebuah kamar besar dan menyelinap di balik jendela. Ia mendengar suara wanita berliam-keng (berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu.
Ketika ia mengintai, tampak olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadap seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah keriputan dan tua, yang se-olah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.
Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang menge jarnya. Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah
menggerakkan kaki untuk lari ke kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara pengawal-pe-ngawal yang menuju ke tempat itu!
"Kita harus mengepung seluruh jalan dalam Istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa menghilang seperti setan!" Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang dekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya diketahui me-reka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat ke atas menerobos langit-langit, ia tahu merupa-kan hal berbahaya sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjaga-an di atas sehingga begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang ber-bahaya sekali. Tiba-tiba ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, ke-mudian ia meloncat ke dalam, menutup daun jendela dan menggunakan saputa-ngan yang tadi dipakai mengusap peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia! Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang se-dang asyik membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan tetapi, pelayan wa-nita yang berlutut di depannya, tentu saja dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit berdiri dengan mata terbelalak.
"Jahgan menjerit!" Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri.
"Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!"
Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri ber-lutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng saputangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, ha-nya terheran Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 126
lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri. "Engkau siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?"
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Hamba dike-jar-kejar pengawal dan mohon perlindungan...."
Sejenak nenek itu menunduk, meman-dang wajah yang setengahnya tertutup saputangan itu.
"Hemm, apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman
istana dan mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?"
"Benar, hambalah orang itu!"
"Siapa namamu?"
"Hamba Kam Han Ki...."
"She Kam" ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?"
"Paduka maksudkan Suling Emas" Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba...."
"Hemmm....! Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat
perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini lemah" Mengapa tidak meng-hadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih" Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu" Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?"
Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya ber-sembuny di kamar nenek ini" Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi kitabnya, menegur halus, "Siapa di luar?"
"Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba meme-riksa di dalam!" terdengar jawaban dari luar.
"Masuklah, daun pintu tidak dikunci," jawab Si Nenek dengan tenang!
Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia, melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran.
Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya! Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakut-an dan menubruk kaki nyonya
majikan-nya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya.
"Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?" tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pe-dangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini ne-nek itu berkata, "Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar." Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pe-ngawal memberi hormat dan setelah me-lempar pandang mata marah sekali lagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 127
kamar itu. "Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat per-buatanmu dengan gagah seperti pek-humu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan."
"Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!" kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela ka-mar itu.
Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri.
Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pe-ngawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pe-dang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak membunuh mereka, kini Han Ki meroboh-kan orang dengan niat agar yang diro-bohkan tak dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di mana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya
berkepandaian tinggi! Di antara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang men-jadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu, Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan seba-gai seorang buronan yang telah menga-caukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap atau dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat. Pe-dangnya lenyap menjadi sinar yang ber-gulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini, para
pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat
dibanding-kan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah se-kali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah malam suntuk ia telah ber-tanding dikeroyok banyak orang pandai, dan kini, di ruangan terbatas, ia dikero-yok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapapun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
"Aku tidak bersalah! Aku datang me-nemui wanita yang kucinta! Apa dosaku" Kalian semua tahu bahwa aku tidak me-lakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!"
"Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu!" Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
"Rrrrtt.... cring-cring....!" Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan ke samping secara aneh dan tak terdaga-duga. Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang me-ngandung sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua pengeroyok diam--diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini he-bat sekali kepandaiannya.
Kembali Han Ki terkena pukulan-pu-kulan, bahkan bajunya robek-robek ter-makan senjata tajam para pangerayoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya, dia hanya terluka dan belum tertangkap, sebaliknya ia telah merobohkan empat orang
penge-royok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok lagi, dan melukai ringan tubuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah Siangkoan Lee murid Suma Kiat yang tergores pedang dadanya sehingga kulit dadanya robek berdarah!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 128
Akan tetapi kehilangan darah dan ke-lelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung. Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya berkat sin-kangnya saja maka tulang lengan itu tidak remuk, akan tetapi pedangnya ter-lepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak berkutik lagi, pingsan!
Suma Kiat melarang para panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang terhadap anggauta keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han Ki dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukum-an gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah hatinya.
Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu "enak" bagi Han Ki yang dibencinya!
Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang Istana, dijaga kuat oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat Han Ki tewas secara enak, juga dia me-nahan pemuda itu dengan niat lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga ia dapat pula
mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya!
Dalam keadaan pingsan dan terbeleng-gu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas pembaringan batu dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di luar kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal.
Ketika Han Ki siuman dari pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah, apa-lagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan daripada penderitaan batin akibat kasih tak sampai. Namun hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia ter-ingat akan Menteri Kam Liong, kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya yang tentu dianggap me-ngacau Istana dan dianggap berdosa besar, pasti akan mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap Menteri Kam padahal ini sungguh tidak ia kehendaki dan ia merasa menyesal sekali. Betapapun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang, matanya memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat "mematikan rasa" sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderlita. Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datang-nya maut dalam bentuk apapun juga.
Bukit Pemakan Manusia 12 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Seruling Samber Nyawa 16
^