Istana Pulau Es 8

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


ak tangga dan menggunakan kakinya melern-par-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang
berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruang-an. Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagal penyumbat, baru me-letakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya terbuka separuh memper-lihatkan beberapa jilid kitab tua. Akan tetapi, baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya tertu-tup dan "disegel' dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya. Agaknya karena tua dan lapuk, terutama ' sekali karena bisa Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 180
ular, kain itu robek dan daun pintunya terbuka separuh. Han Ki me-ngenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan tangan suhunya dengan huruf-huruf kem-bang yang amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya kembali baru dibaca.
Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhunya itu!
"Ilmu-ilmu silat dalam kitab--kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak patut dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan."
Membaca tulisan suhunya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari,
kemudian ia meloncat naik menghampiri kedua orang sumoinya yang memandang dengan heran.
"Suheng, kitab-kitab apakah itu?" Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga sucinya, dia selalu ingin sekali me-lihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.
"Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kauperiksa isinya, Suheng?" Maya juga bertanya.
"Mari kita kembali ke atas, nanti kuceritakan," kata Han Ki dan kedua orang sumoinya tidak banyak bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka, setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik napas panjang dan ber-kata.
"Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu."
"Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?" tanya Maya.
"Kitab-kitab itu sengaja disembunyi-kan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan lemari itu tadinya dipasangi tulisan suhunya yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenar-an dan, keadilan."
"Orang buangan di Pulau Neraka" Siapakah itu, Suheng?" Siauw Bwee ber-tanya.
"Aku sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca ditempat keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini kita tempati, terdapat orang-orang yang melanggar peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang merupakan neraka dunia, sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut Pulau Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana, dan melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main.
Sete-lah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?"
Sekali ini, kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam--diam Maya merasa penasaran dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu" Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia takut untuk membantah, apalagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhunya sendiri. Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya kepada-nya mengingatkan ia akan pandang mata Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, me-mandangnya penuh cinta kasih! Dia tidak tahu bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya seperti itu. Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan perlumbaan di anta-ra mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam mereka melanjutkan dengan perlumbaan mencinta pemuda itu!
Hal ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai perasaan kewani-taan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 181
mereka mencinta Han Ki, bukan kasih sayang seorang su-moi terhadap suhengnya, melainkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria. Biarpun keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut me-reka, namun keduanya saling mengerti. Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada lagi hal yang tidak diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke dalam ruangan rahasia itu dan diam-diam mem-buka dan membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoinya itu belajar Ilmu dengan amat tekunnya sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhunya dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas Pulau Es selama lima tahun, Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Biarpun mereka ber-tiga tinggal di atas pulau yang kosng, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk msreka sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan baik, seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang sumoinya itu menjadi matang, Siauw Bwee memiliki gin-kang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak seperti seekor burung walet dan pandai pula menggerak. kan tenaga sin-kangnya menjadi tenaga halus yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya
menghadapi senjata lawan yang keras dan tajam. Di lain pihak, Maya juga memperoleh ke-majuan luar biasa, tenaga sin-kangnya mengagumkan, kuat sekali, terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat dengan gerakan indah seperti menari--nari sehingga dara yang memilikl kecan-tikan luar biasa dan khas Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan me-nari-nari.
Han Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi se-orang pendekar sakti yang sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianyn sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti seorang tua, pendiam dan sering kali bersamadhi. Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoinya telah men jadi dara-dara dewa-sa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam putih, dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.
*** "Jangan tinggalkan aku.... ohhh, Koko.... jangan tinggalkan aku...., bawalah aku pergi....!"
Rintihan ini keluar dari mulut seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, yang pakaiannya setengah telanjang dan dicobanya membetulkan letak pakaian ketika ia turun dari pembaringan menghampiri seorang laki-laki yang sedang berkemas membetulkan pa-kaian di dekat pintu kamar.
Kamar itu mewah dan indah, kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan, bersih dan harum semerbak. Dara itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih seperti salju, halus seperti sutera. Rambutnya terural lepas, hitam dan pan-jang agak berombak, berbau harum sarl bunga. Pakaian yang dipakalnya, yang sedang dibetulkan letakrrya, juga terbuat dari sutera halus dan mahal. DI atas meja dekat pembarlngan tampak hiasan-hiasan baju dan hiasan-hlasan- rambut daripada emas dan batu kumala, serba indah, dan mahal. Mudah diduga bahwa dara berusia delapan belas tahun ini adalah puteri seorang bangsawan atau seorang hartawan. Adapun pria yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap tidak acuh itu adalah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 182
seorang laki--laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya juga indah dan pesolek sekali sikapnya ketika membetul-kan baju dan membereskan rambutnya.
"Aku harus pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak boleh mengingat aku lagi. Pertemuan kita hanya sekali ini dan untuk terakhir kali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi di antara kita."
Dara itu memandang terbelalak, se-olah-olah tidak percaya kepada telinga-nya sendiri.
Benarkah ucapan yang tadi penuh rayuan, yang manis dan sedap didengar, yang
membahagiakan hatinya semalam suntuk, keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengan sikap demikian dingin"
Ah, tidak mungkin! Dara itu lari ke depan dan menubruk laki-laki itu, me-rangkul pinggangnya dari belakang dan menjatuhkan diri berlutut, "Koko...., ja-ngan tinggalkan aku...., ahhh, tidakkah engkau mencintaku" Bukankah tadi telah kaubisikkan kata-kata cinta kepadaku" Mungkinkah orang seperti engkau akan begitu tega meninggalkan aku" Ahh, Koko!"
"Hemm, cinta telah mati di hatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-pe-rempuan
sepertimu."
"Koko...., aku...., aku cinta padamu...., uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku....?". Dara itu menangis.
"Engkau" Perempuan" Mencinta de-ngan seluruh jiwa raga" Ha-ha-ha!" Laki-laki itu tertawa, akan tetapi suara tawa-nya mengandung kepahitan.
"Koko...., sudah kubuktikan tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kube-rikan kepadamu tubuhku, cintaku, segala-galanya....?"
"HA-ha-ha, itukah buktinya cinta" Seperti semua perempuan yang telah ku-kenal. Bagimu, bukti cinta adalah pe-nyerahan tubuhmu" Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan aku pergi!
"Tidak....! Tidak....! Koko, jangan tinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku mau ikut bersamamu, ke mana pun kau pergi!"
Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya ke belakang dan tubuh dara itu terlempar ke atas pembaringan. Dia ter-banting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi bukti akan kelihaiannya. Si Dara terbanting telentang di atas pembaringan dan menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh sambil berkata,
"Tidak ada cinta lagi bagiku! Aku tidak percaya akan cinta. Yang ada hanyalah nafsu, kebutuhan tubuh. Yang kauberikan kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi dan meminta untuk mernuaskan nafsu, dan habis perkara. Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?"
"Engkau seorang pendekar yang perkasa, yang kucinta....!"
"Ha-ha-ha! Sama sekali bukan, Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak orang, yang dianggap sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Eng-kau tahu artinya" Jai-hwa-sian Si Dewa Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapa banyak bunga kupetik (Jai-hwa-sian ber-arti Dewa Pemetik Bunga), akan tetapi, bukan kupatahkan tangkainya melainkan kupetik atas kerelaan si bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar Jai-hwa-sian dan engkau seorang di antara ratus-an orang korbanku. Mau Ikut" Mencinta-ku" Ha-ha, menggelikan sekali.
Selamat tinggal, Nona manis, apa yang terjadi semalam itu hanya menjadi kenangan manis."
Sekali berkelebat, laki-laki itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya bayangan saja tampak melayang keluar dari jendela kamar yang seketika menjadi sunyi senyap, kemudian disusul dengan isak tangis tertahan dara itu. Terbayanglah semua yang terjadi oleh dara jelita itu. Tiga hari yang lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar naik perahu di telaga, perahunya bertumbukan dengan perahu lain dan terguling. Untung dari perahu yang
menumbuknya itu meloncat keluar seorang pemuda tampan dan gagah yang menyambar dia Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 183
dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu sekaligus, dan menurunkan mereka di atas perahu.
Ayahnya seorang kaya raya dan tentu saja para pelayan yang berada di perahu lain cepat memberi pertolongan, akan tetapi andaikata tidak ada pemuda itu, agaknya ayahnya dan dia akan meng-alami kekagetan dan basah kuyup sebe-lum tertolong. Setelah menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiri yang ddidayung pergi dengan cepat, tidak mempededulikan teriakan ayahnya. Akan tetapi, ketika tadi menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikan pemuda itu di telinganya,
"Malam nanti aku menerima terima kasihmu di dalam kamarmu, Nona manis."
Sehari itu Si Dara gelisah, akan tetapi kadang-kadang kedua pipinya menjadi merah dan jantungnya berdebar tidak karuan kalau ia terbayang akan wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah dan sikap yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak berani menceritakan ten-tang bisikan itu kepada orang tuanya. Benarkah pemuda itu membisikkan kata-kata seperti itu?"
Ah, tidak mungkin! Be-tapapun juga, hatinya menjadi gelisah dan malam itu ia mengunci semua jen-dela dan pintu kamarnya. Setelah mere-bahkan diri dan menjelang malam baru pulas dengan hati lega akan tetapi juga kecewa, lega karena yang dlkhawatirkan tidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memang aneh), tertidurlah Si Dara manis.
Akan tetapi, belum lama ia pulas, ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat, kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas tadi kini telah rebah di sampingnya! Dia memang ada meng-harapkan hal ini, akan tetapi setelah benar-benar terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka mulut hendak menjerit. Akan tetapi sekali bergerak, jari tangan pemuda itu telah menotok jalan darah di lehernya membuat dia tak dapat menge-luarkan suara. Kemudian, dengan halus dan menarik, pemuda itu mencumbu ra-yu, membujuk-bujuk dengan halus sehing-ga ketika totokannya dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau mela-wan. Jangankan melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya de-ngan hati rela karena dia merasa yakin bahwa pemuda itu mencintanya, maka tentu akan meminangnya.
"Aahhh....!" Dara itu menangis makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban seorang laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar suara aneh dari dalam kamar itu, seperti suara leher dicekik, suara yang akan menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu ke-luar dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena patah hati sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun Hwa, kemudian ditambah lagi de-ngan peristiwa bersama ibu tirinya se-hingga dia diusir oleh ayahnya sendlri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki yang suka mempermainkan cinta wanita. Mula-mula dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga dia berubah menjadi seorang yang selalu men-cari korban, seperti seekor burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak ayam! Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang roboh ketika berusaha me-nangkapnya, Suma Hoat diberl julukan Jai-hwa-slan (Dewa Pemetik Bunga), bahkan nama aselinya dilupakan orang.
Nona hartawan yang menggantung diri di kamarnya itu adalah korban yang en-tah ke berapa ratus, dan begitu kelu-ar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri dara yang telah menjadi korbannya. Dia tahu bahwa banyak di antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada pula yang diam-diam meraha-siakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli dan juga tidak ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa di antara dia dan korbannya sudah tidak ada sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan apa-apa lagi.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 184
Sudah lebih dari lima tahun ia me-ninggalkan kota raja, meninggalkan orang tuanya dan selama perantauannya di dunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sepak terjang orang-orang gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang golongan hitam. Biarpun dia sendiri tidak berani menganggap dirinya sebagai orang gagah atau pendekar budiman, namun di lubuk hatinya ia selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia hitam. Mulai-lah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan perbuatan-perbuat-an sewenang-wenang dan mulailah ia me-naruh penghargaan kepada Menteri Kam,
paman tuanya yang amat ia takuti itu. Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha menjadi atau sedikitnya men-contoh perbuatan-perbuatan para orang gagah. Karena itu, pemuda ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan menentang golongan dunia hitam sungguhpun ia tidak dapat naening-galkan kesukaannya merayu wanita-wanita untuk menjadi korbannya, bahkan ka-lau perlu menggunakan kekerasan! Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat
menghentikannya, ter-utama sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan patah hatinya. Inilah sebabnya, di samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun seringkali menolong orang-
-orang lemah tertindas sehingga dia di samping julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!
Pada masa itu, terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh Kerajaan Yu-cen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan Mongol ikut pula menyer-bu, diam-diam dibantu oleh pasukan-pa-sukan Sung yang berada dalam
kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan Yu-cen boleh dibilang tidak ada lagi saing-annya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa Mongol sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, na-mun bangaa ini sedang membangun dan menyusun
kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, di antara bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi makin kuat sehingga bangsa ini mendiri-kan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin. Namun segera menjadi ke-nyatean pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini ternyata lebih bengis dan sewenang-wenang dari-pada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh. Biarpun dahulu Kerajaan Khitan juga me-rupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han, tidak terlalu mendesak dan selalu memperlihatkan sikap yang ber-sahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin yang tahu akan kelemahan Sung, menuntut upeti yang lebih besar dan yang sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus dlberikan sebagai tanda pengakuan kebesaran kerajaan baru Cin.
Kalau dahulu bangsa Khitan tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi sedikit daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak dapat mempertahankan daerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan.
Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup, hidup Kaisar dan keluarganya terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah kesenangan-kesenang-an pribadi saja, seolah-olah tidak mem-pedulikan betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan dipaksa oleh bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan Cin yang makin kuat. Pesta pora, bersenang-senang, me-lakukan pemilihan dara-dara muda jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik, membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu
adalah hasil keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakanoleh kaisar dan keluar-ganya Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 185
setiap saat Di luar istana, pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, mera-jalela tanpa ada pengawasan, masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah masing-masing, mempergunakan kekuasannya untuk me-lakukan apa saja demi kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas dan mengadakan peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasihat dianggap melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
Di sebelah dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam pelukan data-dara muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat, mabok oleh tubuh ramping berlenggak-lenggok menari, ter-buai suara musik dan nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu kaum penjilat. Kekuasaan yang se-sungguhnya tidak terletak di tangan Kai-sar, melainkan dipegang oleh para pem-besar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan pera se-lir. Sedemikian besar kekuasaan dan pe-ngaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh dibilang seluruh urusan kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar, baik sipil
maupun militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar menelannya begitu saja. Ka-rena ini, timbullah sistim konco-isme, keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa apa saja, benda mati mau-pun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera halus, benda hidup berupa dara-dara jelita!
Keadaan semacam ini tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh kang-ouw, para partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah merasa marah sekali dan kecewa bukan main sehingga mereka mulai membenci kerajaan yang
dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Me-reka ini lalu terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda yang menguasai daerah--daerah dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui kedaulatan pemerintah Kerajaan Sung pusat. Yang paling dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di antara para pembesar daerah, di antara pembe-sar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma Kiat.
Kebencian mereka memuncak ketika pera pembesar daerah ini men-dengar akan perbuatam Suma Kiat terhadap Menteri Kam yang mereka hor-mati, mereka percaya sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri, menjadi tewas. Bukan hanya para pmbesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali para tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu, menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam.
Mulailah terjadi kesimpangsiuran dan bentrokan-bentrokan ketika pata pembe-sar daerah ini berkuasa dan berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw dan juga mata-mata para pembesar daerah.
Hampir semua partai persilatan meng-adakan aksi anti Kaisar dan anti Keraja-an Sung.
Kecuali Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw--lim-pai adalah seorang hwesio tua yang amat tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Ho Siang. Menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketika para muridnya menyatakan pendapat ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata, "Omitohud...., segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat daripada sepak terjang manusia yang selalu dikua-sai nafsu pribadinya! Kita adalah orang-orang beragama yang bertugas menyebar-kan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan kerajaan" Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi penerangan. Meng-ikuti perputaran dan pertentangan ke-rajaan, berarti terjatuh ke dalam api permusuhan dan hal ini sungguh Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 186
bertentangan dengan sifat kita. Tidak, Siauw--lim-pai tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk men-campuri pertentangan di antara pembe-sar-pembesar daerah, orang-orang kang-ouw dan pemerintah pusat."
"Maaf, Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasihat Supek benar belaka," kata se-orang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap sebagai seorang hwesio yang paling "ma-ju" dan yang diharapkan kelak
menggan-tikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua sekarang yang terhitung supeknya itu mengundurkan diri, "akan tetapi apabila badai mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binataang kecil seperti burung sekalipun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja men-jadi korban keganasan badai?"
Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan mereka tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim--pai,
disamping menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela.
"Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan. Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak lain. Nah, kalian tentu mengerti dan lak-sanakanlah pesan pinceng ini. Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang ber-sila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai bersamadhi. Maka mereka pun bubaran.
Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar dimana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan, namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
Cabang Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam kelenteng dengan tekun dan ten-teram, menyebar pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang
mem-butuhkan bantuan. Beberapa kali mereka didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kaki tangan para pembesar daerah, dan petu-gas-petugas pembesar pusat untuk mena-rik mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwe-sio, ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo--kiu itu.
Pada waktu itu memang belum ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil antara kaki tangan masing-masing pihak dan di mana-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat pertentangan paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang saing menyelidiki. Namun seperti biasa, rakyat yang sudah kenyang akan perten-tangan itu dan mash melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi
sesuatu.Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh tamu yang datang untuk makan minum sambil bercakap-cakap. Di tempat-tempat seperti inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara te-man golongan masing-masing sehingga tidak jarang pula terjadi bentrokan-ben-trokan yang mengakibatkan luka-luka dan kematian. Akan tetapi, hal ini amatlah mengherankan dan mengagumkan pihak yang melakukan bentrokan selalu mengganti kerugian pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat ben-trokan-bentrokan itu. Hal ini adalah ka-rena masing-masing golongan bukan ha-nya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlumba untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah, maka pemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi bentrokan yang Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 187
merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena sekali mereka ini mencampuri dan berat sebelah, berarti mereka akan me-nanam permusuhan!
Pada suatu pagi, restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Ketika seorang pemuda tam-pan yang pakaiannya indah, dengan pe-dang bergantung di punggung, gagah se-kali sikapnya, memasuki restoran, pela-yan menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan duduk di meja sudut se-belah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan lain adalah Suma Hoat. Semenjak meninggalkan gadis yang kemudian mem-bunuh diri, dua hari yang lalu, dia belumi bertemu dengan wanita yang menggerakkan berahinya sehingga hatinya menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu, juga dengan niat mencari calon korbannya, akan tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang menarik hatinya.
Ia menanggalkan pedang buntalan pakaiannya, meletakkan di atas meja dan memesan
makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya, pemuda ini menyapu ruangan restoran dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi tempat itu terdiri dari ber-macam-macam golongan, dan ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang menarik perhatian Suma Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancong-pelancong. Me-lihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil berca-kap-cakap bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang tenteram dan damai.
Akan tetapi ketika seorang tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali. Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi dua puluh lima tahun usianya, pakaiannya sederhana se-kali, bahkan yang amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu, telanjang sama sekali! Laki-laki ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain kuning yang agak-nya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak ada keanehan menonjol pada dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan sinar matanya yang tajam, senyumnya yang seolah-olah mengejek pada keadaan di sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau, hanya pa-kaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan seperti seorang petani yang bangkrut!
Tidaklah mengherankan apabila pela-yan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian sederhana dan kaki te-lanjang. Laki-laki itu menglkuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata,
"Bung Pelayan, engkau tidak melayani pakaian dan sepatu, bukan" Yang kaula-yani bukan pula orangnya, melainkan uangnya, bukan" Nah, aku mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu melayani uangku!" Setelah berkata demikian, laki-laki itu menepuk-nepuk
bungkusannya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak. Pelayan itu cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu dan ti-dak jauh dari meja Suma Hoat. Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik ke arah pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling tajam ke arah Suma Hoat, lalu tersenyum dan mem-bungkuk. Akan tetapi, betapapun tertarik hatinya, Suma Hoat pura-pura tidak me-lihatnya. Di dalam hatinya ia merasa geli dan menganggap betapa tepatnya ucapan orang aneh itu. Memang tidak dapat disangkal betapa palsu sikap manu-sia yang matanya sudah tertutup oleh bayangan perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan me-reka merupakan pengabdian terhadap harta dunia!
Orang menilai orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan kedudukannya, pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat mendatangkan ke-senangan dan keuntungan bagi yang me-nilai! Buktinya tersebar di mana-mana. Datanglah ke rumah seseorang ddengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan disambut dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan Rumah manganggap bahwa engkau hanya akan men-datangkan kerugian dan ketidaksenangan belaka.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 188
Sebaliknya, kalau engkau datang dengan pakaian serba indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan nama besar serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan ter-bongkok-bongkok dan tersenyum-senyum karena engkau dianggap akan
mendatangkan keuntungan atau kesenang-an! Hal ini tak mungkin dapatdibantah lagi karena memang kenyataannya demi-kianlah.
Maka, biarpun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat memperlihatkan laki-laki itu dan menduga bahwa orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguhpun tak tampak
sebatang pun senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya kaena ada sesuatu yang menarik hatinya dan di dalam hatinya timbul pula keyakinan bahwa munculnya seorang to-koh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan peristiwa yang menarik. Akan tetapi ia meragu.
Jangan-jangan orang yang masih muda ini hanya berla-gak saja, karena pada waktu itu memang tidak jarang orang berlagak dengan pa-kaian dan sikap yang aneh-aneh agar di-anggap orang aneh, atau setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain daripada yang lain!
Si Pelayan yang sudah biasa melayani orang-orang kang-ouw, kalau tadinya menganggap laki-laki itu sebangsa pe-ngemls yang merugikan, kini dapat men-duga pula bahwa orang aneh itu tentulah seorang kang-ouw maka ia bertanya dengan sikap hormat.
"Sicu hendak memesan apakah?"
Akah tetapi orang itu tidak menja-wab, hanya memandang ke arah pintu depan. Si Pelayan menoleh ke arah pintu dan tiba-tiba mukanya berubah, senyum-nya melebar dan serta-merta ia mening-galkan orang itu dan lari terbungkuk--bungkuk menyambut datangnya
serombongan tamu yang tiba. Melihat ini, Su-ma Hoat memandang pula dan diam-diam ia menaruh perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan sikap lima orang itu bahwa mereka adalah orang-orang penting dan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka itu terdiri dari dua orang yang pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah hwesio berkepala gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu sekacau itu, melihat seorang pendeta hwesio memasuki restoran bukan merupa-kan penglihatan aneh.
Lima orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, sedangkan Si Pelayan yang menyambut -segera berkata,
"Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Ber-lima) yang terhormat! Pesanan ciangkun kemarin telah kami sediakan. Silakan, di sanalah tempat terhormat Ngo-wi!" Pe-layan itu dengan bantuan beberapa orang temannya lalu mengatur meja, tiga meja disatukan di tengah ruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjang kaki. Dengan sikap angkuh lima orang itu menarik kursi dan duduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangi Suma Hoat dan Si Tosu membelakangi meja laki-laki berkaki telanjang.
Suma Hoat mulai makan, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan lima orang itu, dan juga memperhatikan Si Kaki Telanjang yang masih belum memesan makanan karena ditinggalkan pelayan yang kini sibuk melayani lima orang itu. Karena lima orang itu menanti pesanan makanan mereka yang amat banyak sam-bil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang telinga dan me-nangkap percakapan mereka.
"Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!" kata seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.
Akan tetapi, mulai malam nanti mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!" kata perwira kurus sambil tertawa.
"Kabarnya mereka lihai," kata orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna biru.
"Aahh, yang lihai hanya ketuanya, dan pinto sanggup melawannya," kata Si Tosu dengan suara rendah. "Pinto akan mem-perkenalkan diri sebagai tokoh Hoa-san...."
"Sstt, harap Totiang hati-hati," per-wira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 189
"Takut apa?" Tosu itu berseru dan melirik ke arah Suma Hoat yang masih makan dan berpura-pura tidak mendengar. "Semua sudah diatur baik."
"Memang Hoa-totiang benar. Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa cabang mereka terbasmi oleh perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak kulihat apakah ketua pusatnya akan tetap dingin saja," kata pula perwira kurus.
Percakapan mereka terhenti karena munculnya empat orang pelayan yang membawa hidangan yang mereka pesan. Banyak benar hidangan itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit ketika me-reka dikejutkan oleh suara orang meng-gebrak meja sambil berseru,
"He, Bung Pelayan yang tidak adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu, mengapa orang-orang lain yang datang belakangan dilayani lebih dulu" Sungguh
menjemukan!"
"Sicu, harap bersabar....!" Pelayan membujuk dengan wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si Kaki Telanjang, me-lainkan takut kepada rombongan lima orang itu karena ia
membungkuk-bungkuk kepada dua orang perwira sambil meng-gumam, "Ciangkun,
maafkan....!"
Melihat ini, Suma Hoat menjadi panas perutnya dan ia pun berkata, "Pelayan, tugasmu melayani tamu yang sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan pilih kasih!"
Pelayan itu makin ketakutan dan empat orang pelayan mundur-mundur ketika melihat betapa lima orang itu melototkan mata mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan berkata,
"Wah-wah, banyak sekali lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu makan saja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!" katanya dan menyambar kain lap dari pundak se-orang pelayan, kain itu ia gerakkan ke atas, ke kanan kiri dan.... belasan ekor la-lat yang memang banyak terdapat di situ terkena sambaran angin pukulan, runtuh semua ke atas meja Si Kaki Telanjang!
Si Kaki Telanjang melihat bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya, dan terdengarlah suara ketawa lima orang itu terbahak-bahak, "Ha-ha-ha!" Si Perwira Kurus yang memperlihatkan kepandaian-nya itu tertawa. "Kalau sudah amat ke-laparan, lalat pun merupakan hidangan yang lumayan!"
"Ha-ha-ha-ha!" Lima orang itu ber-tawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si Perwira Kurus karena ia sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang yang menoleh sambil tertawa mangerling ke arah Si Kaki Telanjang.
"Ha-ha-ha-hauuup....!" Tiba-tibe Si Perwira kurus menghentikan ketawanya, matanya mendelik, ia terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang menyambar memasuki mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ke tenggorokkannya.
"Haaak-agghh.... haaakk-huaaakkk!"
"Eh, kau kenapa?" Temannya, Si Per-wira Gemuk, bertanya, juga tiga orang lainnya memandang heran, menghentikan ketawa mereka.
"Ughh-ughh...., lalat...., masuk mulut...., si bedebah!" Perwira kurus itu terbatuk-batuk dan empat orang temannya terta-wa-tawa geli, akan tetapi mereka itu menjadi terheran-heran juga mengapa ada lalat bisa masuk ke mulut teman mere-ka.
"Tiga ekor...., ihh, huakk, si keparat!" Perwira itu menyumpah-nyumpah dan terpaksa menelan tiga ekor lalat itu ka-rena tidak berhasil mengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran.
Suma Hoat memandang dengan ka-gum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Te-lanjang itu menggunakan telunjuk kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari atas mejanya dan menerbangkan bangkai tiga ekor lalat itu memasuki mulut Si Perwira Kurus. Dia ikut merasa gembira dan tak dapat menahan ketawanya.
"Ha-ha-ha, memang bagi yang kela-paran, tiga ekor bangkai lalat juga me-rupakan hidangan lumayan!"
Lima orang itu semua menengok ke-pada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu minum Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 190
araknya setelah berkata, "Menangkap lalat banyak caranya, aku suka dengan cara ini!"
Setelah minum arak semulut penuh, ia lalu menyembur-kan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat yang beterbangan. Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan berikut percikan araknya, bangkai-bangkai lalat itu menyambar ke arah Suma Hoat! Ini pun merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti halnya Si Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan tenaga sin-kang yang kuat.
Dengan tenang Suma Hoat melambai-kan tangan kirinya dan percikan arak bersama bangkai-bangkai lalat itu terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah dan semua percikan arak berikut bangkai lalat masuk ke dalam mangkok itu, semua masuk dengan tepat seolah-olah dituangkan ke situ. Suma Hoat memandang kepada Si Gemuk dan berkata,
"Kalau orang gemar kuah deging la-lat, silakan minum!" Maka terbanglah mangkok dan kuah itu ke arah Si Perwira Gemuk.
"Setan....!" Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur ke-palanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biarpun ia gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan perwira gemuk itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu hancur berkeping--keping!
"Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi kuah lalat, ha--ha-ha!" Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan, diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.
"Makanlah!" Si Perwira Kurus me-nyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum
dimakan sesendok pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Akan tetapi orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas sekali gerakannya
se-hingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.
"Ha-ha-ha, lagi! Lagi....!" katanya gembira.
Dua orang kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyam-bar mangkok-mangkok masakan dan me-lemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu, namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas meja lima orang itu kini pindah ke mejanya.
"Singggg....!" Tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main ke arah Si Kaki Telanjang. Melihat ini, Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan sebuah piring sehingga "senjata rahasia" itu menyambar cepat bukan main, padahal saat itu, Si Kaki Telanjang sedang sibuk menerima sam-baran mangkok-mangkok terakhir.
"Ke sini....!" Suma Hoat membentak, tangannya diulur ke depan dengan penge-rahan sinkangnya yang kuat dan...., pi-ring yang berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan mela-yang kearah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang mele-takkannya ke arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang
meletakannya ke atas meja.
Lima orang itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di dalam res-toran itu terdapat dua orang yang demi-kian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.
"Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata." Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang pandai.
Empat orang temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 191
Si Kaki Telanjang itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang.
"Mohon tanya, Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?" Tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang tiga ekor lalat, bertanya.
"Aku bukan dari aliran apapun juga dan tidak mempunyai urusan dengan sia-papun juga,"
kata Suma Hoat acuh.
"Heh-heh, dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai backing (sandaran), seorang manusia biasa biarpun bukan tergolong lalat hijau," kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.
"Kalau begitu, sekali lagi maaf," kata Si Perwira Kurus. "Karena belum menge-nal, kami telah bersikap lancang, dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami."
"Ha-ha-ha, sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan hidangan-hidangan yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami"
Terima kasih, ya?"
Perwira Gemuk yang kini bersikap hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil berkata, "Hi-dangan kami hanya sekedarnya, harap Ji-wi-enghiong suka menerimanya dengan senang hati. Kami mohon diri!" Lima orang itu lalu menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.
"Eh, eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!" Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai.
"Harap jangan memper-mainkan aku orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya" Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian pergi tanpa memba-yar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!"
"Sahabat, biarlah aku yang membayar-nya!" Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki
Telanjang itu keterlaluan sekali.
"Tidak, mereka memberi hadiah, ke-napa harus kita bayar sendiri?" Si Kaki Telanjang berkata membantah.
Perwira gemuk merogoh kantung baju-nya dan menggapai pelayan yang datang
membungkuk-bungkuk, "Ini bayaran hi-dangan!" kata Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberi-kan kepada Si Pelayan. Si Pelayan mene-rima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau banyak, akan tetapi dia ber-gidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.
"Heii! Kenapa kau bengong" Apakah bayarannya kurang?" Si Kaki Telanjang menegur
pelayan. "Kalau kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!?"Tidak...., tidak kurang malah lebih...., akan tetapi...." Pelayan itu memperlihat-kan perak yang berada di telapak ta-ngannya dan ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah men-jadi satu seperti dijepit jepitan baja yang amat kuat!
Si Kaki Telanjang tertawa, "Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!" Pelayan ini pergi tanpa berani membantah karena kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan gentar terhadap dua orang aneh ini, apa-lagi dia!
"Mari, sahabat yang tampan. Kita makan bersama!"
Suma Hoat menjawab, "Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!"
Si Kaki Telanjang terbelalak, kemu-dian bangkit berdiri dan membungkuk. "Aihh...., dasar aku si tukang rakus! Per-kenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia ini menyebutku Im-yang Seng-cu."
Suma Hoat terkejut. Dia sudah men-dengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orangnya masih begitu muda, na-mun namanya sudah
menggemparkan dunia persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang dianggap "mur-tad", menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi, wataknya aneh dan gila--gilaan akan tetapi selalu menindas keja-hatan. Ia pun menjura dan berkata, "Aku pun tidak mempunyai nama, dan orang--orang suci di dunia ini
menyebutku Jai--hwa-sian!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 192
"Haiii!" Im-yang Seng-cu meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan
menggoyang-goyangkan tangannya, "Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut disebut Jai-hwa-sian!"
"Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan dengan...."
"Wah-wah, stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi menemaniku, makanan di mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang tadi!"
Suma Hoat memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki Telan-jang. Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.
"Benarkah engkau Jai-hwa-sian?" Ti-ba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.
"Kalau benar mengapa?" Suma Hoat balas bertanya.
Im-yang Seng-cu tertawa. "Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa percaya.
Akan tetapi aku tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu."
"Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-Yang Seng-cu yang terkenal."
"Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah arti-nya nama julukan" Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok sekali de-nganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat, bagai-mana pendapatmu tentang lima orang tadi?"
"Mereka lihai, akan tetapi sombong."
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. "Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Ge-muk yang
mencengkeram uang perak membuktikan bahwa sin-kangnya tinggi. Eh, apa yang hendak kaulakukan terhadap rencana mereka?"
"Rencana yang mana" Tentang niat mereka menyerbu kelenteng" Aku tidak mengerti dan tidak peduli," jawab Suma Hoat.
"Aihhh! Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana, dan masih tidak peduli" Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai, dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!"
Biarpun Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah dan semangat, Suma Hoat men-dengarkan dengan sikap dingin dan me-lanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.
"Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku," jawabnya.
"Apa?" Im-yang Seng-cu membelalak-kan matanya. "Jai -Hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan pendengaranku selama ini bahwa di samping.... eh.... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan menentang keja-hatan?"
Mendengar ini, Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam. "Im-yang Seng-cu, tentang kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku belum tahu siapa salah dan siapa yang benar."
Im-yang Seng-cu menggeleng-geleng-kan kepalanya. "Aih-aihh...., sampai be-gitu jauhkah engkau mengerti tentang keadaan di dunia kang-ouw dan keraja-an?"
"Aku tidak ada urusan dengan keraja-an dan dunia kang-ouw."
"Kalau begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik," Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan Sung dan banyak pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 193
ia me-nambahkan, "Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Ho-siang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti itu" Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk tadi hendak merusak pendirian-nya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa--san-pai. Kemudian, dua orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti orang-orang ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak ka-sihankah engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian yang bijaksana itu menjadi berantakan?"
Suma Hoat tertarik sekali. Dia sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat disejajarkan dengan paman tuanya. Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah pimpinan ayahnya sen-diri, hal yang amat menyesalkan hatinya.
"Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio kelenteng Siauw-lim-si ?"
Yang ditanya tertawa, "Biarpun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh
dibandingkan denganmu, akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentsng kele-dai-keledai gundul yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah barat kota. Dan percakapan me-reka tadi cocok dengan keadaan pada waktu ini.
Sudahlah, kalau memang eng-kau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri yang akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!"
Suma Hoat tersenyum dingin. "Sila-kan!"
Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah.
"Sebaiknya mulai saat ini, julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pe-metik Bunga) saja! Selamat tinggal!" Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat dan buntalan pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan restoran itu setelah membayar makanan yang dipesannya tadi.
*** Im-yang Seng-cu yang maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk
menghadapi lima orang lihai yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia lalu langsung pergi ke kuil itu yang ber-ada di sebelah barat, di ujung kota.
"Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini, kata-nya kepada penjaga kuil.
Penjaga kuil itu, seorang hwesio mu-da, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab, "Suhu sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak
bersembahyang, siauw-ceng dapat melayani Sicu.
Im-yang Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu
mengandung kecurigaan, maka kata-nya keras, "Aku mempunyai urusan pen-ting sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga ter-masuk urusan mati hidupmu. Harap ja-ngan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!"
Alis hwesio itu berkerut. Tamu ini biarpun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia, mengapa sikap-nya begini angkuh" "Maaf Sicu," jawab-nya dengan sikap yang sopan namun ke-ras. Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri, adapun urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada
hubungannya dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 194
melayanl orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Budda dan bersembahyang."
Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang benar" Dia penasaran dan ber-kata lagi, "Engkau sungguh terlalu curiga dan kleras kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu mo-hon bertemu!"
Sepasang mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta sembarangan dan telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena hwesio-hwesio Siauw-lim-pai ada-lah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terkenal di du-nia kang-ouw.
Sambil menjura hwesio itu berkata, Omitohud..., kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang" Maafkan Sicu, Siauw-ceng rasa bahwa Siauw-lim--pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Hoa-san-pai."
"Aku tidak datang sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas
kauberi-tahukan kepada suhumu sebelum terlam-bat."
Tiba-tiba dari sebelah dalam terde-ngar suara. halus, "Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?"
Im-yang Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi, kurus yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia ce-pat menjura dan bertanya. "Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?".
"Benar, Sicu." Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.
"Aku adalah Im-yang Seng-cu, ada urusan penting mengenai kuil ini hendak kusampaikan kepada Losuhu."
"Omitohud.... ! Pinceng merasa mene-rima kehormatan besar sekali dengan- kunjungan seorang pendekar kang-ouw yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan dalam."
Setelah mereka memasuki ruangan dalam yang sederhana namun bersih se-kali, dan duduk berhadapan, Im-yang Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius, "Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai terancam bahaya besar. Malam nanti, kuil ini akan diserbu, semua penghuninya akan dibunuh dan mungkin kuilnya akan dibakar!"
Hwesio tinggi kurus itu menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja sungguhpun sinar keheranan dan tidak percaya terpancar dari kedua ma-tanya. "Omitohud! Sungguh luar biasa sekali berita yang Sicu bawa ini. Siapa-kah yang begitu gatal tangan hendak melakukan hal-hal hebat itu" Kami sela-manya tidak bermusuhan dengan siapa juga, kami bersahabat dengan semua go-longan...."
"Aku mengerti Losuhu!" Im-yang Seng-cu memotong tak sabar. "Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi pegangan Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh ke-tua kalian, Kian Ti Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi, justeru sikap diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi siapa-siapa itulah yang menjadi sebab ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti."
Mulailah hwesio itu tertarik. "Siapa-kah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu" Dan kenapa?"
"Aku tidak tahu mereka itu siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan membasmi kuil ini dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira
Kerajaan Sung." Dengan singkat namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang yang ia lihat dan dengar percakapan mereka di dalam restoran pagi hari itu.
Gin Sim Hwesio adalah murid Siauw--lim-pai yang lebih condong dengan sikap suhengnya di Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 195
pusat, yaitu Ceng San Hwe-sio yang bersikap keras terhadap orang-orang yang memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerut-kan alisnya kemudian bangkit berdiri dan menjura kepada tamunya.
"Banyak terima kasih akan peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang berniat begitu jahat terhadap kuil ini, dan andaikata benar demikian, pinceng dan murid-murid akan sanggup menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu."
Im-yang Seng-cu membelalakkan ma-ta, "Losuhu, aku akan membantumu!"
"Tidak baik kalau pihak luar men-campuri, kami sanggup membela diri dan kami tidak ingin menarik orang luar se-hingga permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan, Sicu!"
Im-yang Seng-cu hampir tidak dapat percaya. Dia diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang Seng-cu bangkit berdiri, menampar kepalanya sendiri dan mengomel, "Dasar si bodoh yang ingin mencampuri urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si Jai-hwa-sian! "Selamat tinggal, Losuhu!" Ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya ja-ngan salah paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan tetapi kalau pinceng menerima bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan dengan orang-orang yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya"
Pinceng kira, kalau pinceng sudah berhadapan dengan mereka, pinceng dapat membujuk mereka agar tidak melanjut-kan niat jahat mereka sehingga perda-maian dapat dijaga dan dipertahankan."
Akan tetapi, Im-yang Seng-cu men-dengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya penasaran. Jiwa kependekarannya mengalahkan rasa jeng-kelnya dan biarpun penawarannya untuk membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin menjaga dan kalau perlu membantu pendeta-pendeta Siauw--lim-pai yang ia tahu bersih hatinya na-mun juga amat keras kepalanya itu.
Malam itu sunyi sekali di sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan di dalam dan di luarnya terang karena para hwesio menyalakan lampu penerang-an atas perintah Gin Sim Hwesio. Biar-pun hatinya keras dan kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para muridnya amat besar, namun ketua kuil itu telah siap sedia dan berlaku hati-hati. Kuil cabang Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya dibantu oleh murid-muridnya, para hwesio muda Siauw-lim-pai yang jumlahnya ada dua puluh orang. Dia merasa bahwa ke-dudukannya sudah cukup kuat karena murid-muridnya telah memiliki ilmu


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaian yang lumayan. Para muridnya menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila melaku-kan samadhi di tengah ruangan depan.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata, "Siap....!" Dan perintah ini segera disampaikan kepada semua murid sambung-menyambung. Tak lama kemudian
tampaklah berkelebat bayangan enam orang yang gerakannya gesit sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala yang ditugaskan menjaga di dalam, segera ke-luar membawa obor sehingga sinar penerangan di ruangan depan itu makin ce-merlang menerangi wajah enam orang itu. Gin Sim Hwesio sudah bangkit ber-diri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio di tangan kanan , memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw, dua orang berpakaian perwira, dan seorang tosu. Akan tetapi kini bertambah dengan se-orang lagi yang membuatnya terkejut karena gerakan dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa kepandaiannya amat tinggi, orangnya gendut pendek dan mu-lutnya tertawa-tawa atau tersenyum-senyum lebar, usianya kurang lebih em-pat puluh tahun.
"Liok-wi siapakah, malam-malam mengunjungi kuil kami secara ini?"
Si Perwira Gemuk yang agaknya memimpin penyerbuan itu, tertawa sambil mencabut pedang panjang dari pinggangnya, "Kami adalah dua orang perwira tinggi ,Kerajaan Sung, datang untuk membasmi kuil Siauw-lim-si karena para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan berontak!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 196
"Dan pinto Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!" kata Si Tosu sambil mengejek.
"Omitohud! harap Cu-wi tidak mem-bohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun hanyalah, perwira--perwira Sung yang palsu, sedangkan Toyu juga hanya
menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai. Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi datang menggang-gu" Cu-wi sudah mendengar bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan diri dengan pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami tidak mau memusuhi siapapun juga, dan kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan Siauw--lim-pai dan memancing-mancing usaha keji itu tidak akan berhasil, sebaliknya Cu-wi selamanya akan merasa tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah dengan aman sebelum kita semua melakukan dosa!"
Lima orang itu saling pandang dengan mata terbelalak, "Ahhhh Si Keparat.... tentu mereka yang membocorkan....!" teriak Si Perwira Kurus.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa dan berkata, "Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah engkau sudah keta-gihan lalat lagi dan datang ke sini hen-dak mencari makanan" Di sini terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!"
"Engkau.... Im-yang Seng-cu!" Tiba-tiba orang pendek gemuk yang terse-nyum-senyum tadi melangkah maju dan menegur.
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. "Hemm, hemm...., kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee juga hadir! Sekarang tahu-lah aku bahwa yang berdiri di belakang semua ini tentulah Coa Sin Cu!?"
"Setan kau!" Dua orang perwira gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang kang-ouw, sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee menerjang Gin Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya.
Im-yang Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya dan sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung di depan tubuhnya menangkis serangan empat batang pe-dang, dan sambil
meloncat mundur men-cari tempat luas ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si,
"Bagai-mana, Losuhu" Berhasilkah engkau meng-hadapi mereka dengan pelajaran suci agamamu" Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya patut dihadapi dengan tongkat penggebuk anjing!"
"Omitohud...., terpaksa pinceng me-langgar pantangan berkelahi!" Gin Sim Hwesio juga sudah menggerakkan tongkat hwesionya dan melanjutkan, "Im-yang Seng-cu, terima kasih atas bantuanmu akan tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau pembunuhan!"
Akan tetapi, biarpun mulutnya ber-kata demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua orang lawannya, terutama Si Gendut yang de-ngan gerakan golok besarnya di tangan kanan telah membuat senjata para mu-ridnya menyeleweng, kemudian dorongan tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di antara muridnya roboh ter-jengkang dan muntah darah!
"Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio. Kalau kita tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!" Im-yang, Seng-cu tertawa lagi, tongkatnya menyambar-nyambar dan dengan ilmu kepandaiannya yang campur-aduk, ia berhasil mengacaukan pertahan-an keempat orang pengeroyoknya.
Im-yang Seng-cu adalah seorang jagoan Hoa-san-pai, murid Tee Cu Cinjin yang meru-pakan orang terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak bertahun-tahun ia berkelana, merantau dan mempelajari banyak sekali ilmu silat. Memang mem-pelajari ilmu silat merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga kemurnian ilmu silat Hoa-san-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan atau partai lain, Im-yang Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apapun juga, baik ilmu silat kaum putih maupun kaum hitam sehingga dia dianggap murtad dari Hoa-san-pai. Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari segala macam ilmu silat dan "mengawin-ngawinkan" semua ilmu itu, Im-yang Seng-cu memperoleh kemajuan hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh, sedangkan
keuntungan lain adalah bahwa dia mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 197
memudahkannya untuk menghadapi lawan itu.
Selain segala keanehan yang dimiliki-nya, juga jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar biasa ini mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang sajak setiap melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar tongkatnya sam-bil bernyanyi, suaranya lantang dan nya-ring:
"Betapa dunia takkan kacau-balau oleh tingkah mahluk bernama manusia
pendeta tidak segan berbuat dosa
pejabat tidak segan bsrbuat khianat
Pendekar berubah menjadi penjahat
Si bengcu cerdik menggoyang kaki
membiarkan anjing-anjing memperebutkan tulang
tinggal dia menanti hasil terakhir!
Oh dunia....!Oh manusia....!
Sungguh menyedihkan, ataukah menggelikan"
Pada saat menyanyikan bait terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia menggerakkan ujung satunya untuk menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba mencuat melalui belakang ke-tiaknya dan langsung menyambar ke arah kaki Si Perwira kurus.
"Pletak!" Tulang kering kaki kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya, retak den rasa nyeri menusuk ke tengah jantung.
"Ayaaaa....! Aduh-aduhhh....!" Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya terlepas dan ia berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasa-nya patah-patah. Yang terpukul adalah tulang kering kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk jantung.
"Ha-ha-ha! Kalau menangis jangan terlalu lebar membuka mulut, nanti ke-masukkan lalat lagi!" Im-yang Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pe-ngeroyoknya.
"Im-yang Seng-cu, manusia sombong!" Tiba-tiba sebatang golok besar menyam-bar dari belakang.
"Syuuutt...., tranggg!" Im-yang Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya tergetar ketika tongkatnya menangkis golok. Kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Orang gendut pendek ini ketika melihat betapa empat orang kawannya tidak mampu pengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, segera meninggal-kan Gin Sim Hwesio karena tosu itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini hanya dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah roboh dan tewas.
Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya me-nyambar-nyambar merupakan gulungan sinar putih sehingga biarpun Gin Sim Hwesio sudah menggerakkan tongkat dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepa-la, tetap saja kedua orang hwesio ini terdesak. Betapapun juga, mereka berdua masih mampu mempertahankan diri, tidak seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu.
Adapun Im-yang Seng-cu, biarpun masih tertawa-tawa, namun dia kini ber-silat dengan hati-hati sekali. Setelah para pengeroyoknya tinggal tiga orang, tadinya ia memandang ringan, akan te-tapi begitu Si Gendut Pendek itu maju, dia terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud tidak kalah jauh olehnya.
"Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah di depan mata, engkau masih banyak berlagak?" Im-yang Seng-cu masih meng-ejek.
"Hu-ha-ha! Bualanmu tidak akan menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah bersepatu sehingga kalau mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi menerima orang tak sopan, bertelanjang kaki!"
Im-yang Seng-cu tertawa dan diam--diam ia mendongkol karena sekarang, ia bertemu batunya.Ternyata Si Pendek itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu menjalankan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 198
siasatnya yang ia dapatkan ketika merantau ke utara, di mana ia mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol. Ketika tiga batang pedang menyambar, disusul sambaran Si Gendut yang lihai, ia cepat memutar tongkatnya dengan pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget, dan pada saat golok menyambar. Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan mengelak. Akan tetapi begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia merendahkan tubuh, menangkap pergelangan tangan lawan! Sedetik mereka bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek Siauw-hud terlempar ke atas kepala Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga, ia mendapat kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong Si Gendut Pendek itu kuat sekali maka ia tadi telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan tuuh si gendut tu dengan kekuatan dari bokong dan punggungnya.
"Ngekkk....broooottt!" Tubuh si Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sin-kang untuk melawan bantingan, tanpa disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!
"Idiiih....! Bau....! Bau....!" Im-yang Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri sedangkan tangan kanannya memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang kang-ouw.
Muka Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah terbanting sampai terkentut-kentut! Memang aneh sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam
"penyakit" yang mungkin timbul karena kesalahan berlatih sin-kang dahulu. Entah terlalu banyak angin di dalam perutnya yang gendut itu, ataukah karena lubang belakangnya sudah longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan tenaga sin-kang sekuatnya dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa yang bocor sedikit ke belakang sehingga menimbulkan suara kentut yang nyaring! Ketika menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulu pun, dalam mengikuti pameran tenaga mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula dan sekarang, karena terbanting ia mengerahkan sin-kang agar tidak terluka, ia terkentut pula. Rasa malu membuat dia marah sekali dan bagaikan seekor harimau terluka, ia menerjang maju memutar goloknya sambil memaki,
"Im-yang Seng-cu calon bangkai! Ma-kanlah golokku!" Hebat bukan main se-rangan Thai-lek Siauw-hud yang marah sehingga Im-yang Seng-cu tidak berani main-main, cepat mainkan jurus-jurus pertahanan dengan ketat, menahan se-rangan golok dan tiga batang pedang yang bertubi-tubi itu. Sekali ini ia ter-desak hebat seperti halnya Gin Sim Hwe-sio dan murid kepalanya.
Gin Sim Hwesio mulai merasa khawa-tir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil tidak ada yang tampak. Tiba-tiba ia berseru, "Celaka....!" Dan ia memutar tongkatnya mengirim serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu itu dapat mengelak dan bah-kan mengirim tusukan dari samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil ini melihat api bernyala di belakang kuil membuat gerakannya kurang cepat dan ketika ia mengelak, pedang itu berkele-bat ke bawah melukai pahanya. Ia ter-huyung dan muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk menolong suhunya.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai me-nyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini segera terganti teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian, berkelebatlah bayangan orang yang cepat dan ringan sekali, dan di situ muncul seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan pedangnya, sekali terjang ia telah membuat Si Tosu ter-lempar ke belakang. Kemudian, laki-laki ini meloncat dan menerjang mereka yang mengepung Im-yang Seng-cu. Melihat laki-laki ini Im-yang Seng-cu tertawa dan berseru,
"Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian (Dewa), bukannya Kwi (Se-tan)!"
Suma Hoat atau Jai-hwa-sian tidak menjawab, hanya menggerakkan pedang-nya, diputar cepat sekali sehingga dua orang kang-ouw yang baru menangkis menjadi patah pedangnya dan terluka pundak dan dadanya.
"Siapa engkau....?" Thai-lek Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan ke-hebatan gerak Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 199
pedang Suma Hoat. Suma Hoat tidak menjawab, akan tetapi Im--yang Seng-cu sudah
memperkenalkan,
"Mau kenal sahabatku ini" Dialah Jai-hwa-sian!"
Si Gendut terkejut sekali. "Mengapa orang seperti engkau membela Siauw--lim-pai?"
Sebagai jawaban Jai-hwa-sian mener-jang dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok.
"Cringggg!" Golok dan pedang ber-temu dan melekat, pada saat itulah, Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan pedang panjangnya, menyambar ke leher Suma Hoat dari belakang.
"Pergilah....!" Suma Hoat membentak, menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung ke belakang dan secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sahingga pedang perwira gemuk menyambar atas kepala-nya. Detik itu juga, pedang Suma Hoat meluncur dari bawah, Si Perwira men-jerit, pedangnya terlepas dan ia
terjeng-kang roboh, darah muncrat-muncrat ke-luar dari perutnya.
Akan tetapi, puluhan orang sudah menyerbu datang. Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda dan belasan ga-dis-gadis yang memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah atau murid-murid dari Coa Sin Cu, beng-cu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si yang menjaga di luar tadi telah roboh oleh mereka dan ketika mereka mulai membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang merobohkan lima orang yang membakar kuil dan me-madamkan kebakaran lalu datang membantu Gin Sim Hwesio dan Im-yang
Seng--cu. Terjadilah pertadingan yang berat sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang sedangkan yang memper-tahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang sudah terluka, Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat. Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.
"Ha-ha-ha! Jai-hwa-sian, mari kita basmi anjing-anjing keparat ini!" Im-yang Seng-cu tertawa bergelak dan cepat mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar keting-galannya ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua orang. Gin Sim Hwesio mengeluh ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia hanya dapat menggerak-kan tongkatnya untuk melindungi tubuh-nya.
Dari pihak penyerbu, yang memiliki kepandaian tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud, dan tosu yang mengaku bernama Thian Ek Cinjin, Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang Suma Hoat, si Perwira Kurus telah remuk tulang kering kakinya dan dua orang kang-ouw teman mereka pun telah terluka oleh pedang Suma Hoat. Biarpun kepandaian dua orang itu cukup hebat, namun Si Tosu kewalahan menghadapi tomgkat Im-yang seng-cu dan Thai-lek Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi pedang Suma Hoat. Akan tetapi karena datang puluhan orang anak buah Coa Sin Cu, payah jugalah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, sedangkan Gin Sim Hwesio sudah tidak dapat menyerang lawan kecuali melindungi diri sendiri.
Bunyi senjata beradu bertubi-tubi nyaring dan terdengar Gin Sim Hwesio mengeluh panjang, tubuhnya terhuyung dan roboh ke belakang ketika kembali bahu kanannya terluka oleh sabetan pedang. Dia sudah terluka dan tenaganya makin berkurang sedangkan para
pengeroyoknya yang masih muda-muda itu terlampau banyak. Biarpun ia roboh terjengkang dan rebah sambil memutar tongkatnya, namun keadaannya terancam bahaya maut dengan serangan senjata pedang yang amat banyak, yang bagaikan hujan menimpa dirinya.
"Trang-trang-trang....!" Pedang-pedang yang menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang pengeroyok roboh terguling ketika Suma Hoat meloncat datang
meninggalkan para penge-royoknya untuk menolong Gin Sim Hwesio. Hwesio itu kini
sempat bangun kem-bali. Darah mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia sudah dapat mema-sang kuda-kuda dan melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini kembali dikepung dan pundaknya kena ujung pedang se-orang pengeroyok, bajunya robek dan ku-litnya ikut robek sehingga darahnya mulai mengucur keluar. Namun bagaikan seekor naga mengamuk, ia masih terus memutar pedangnya menyambut datang-nya serangan Thai-lek Siauw-hud dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 200
para murid Coa-bengcu.
Keadaan Im-yang Seng-cu juga tidak lebih baik. Biarpun ia masih tertawa-tawa, namun dia sudah terluka pula. Dada kanannya tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia sempat mengerahkan sin-kang sambil emmbanting diri sehingga hanya kulit dan daging dada saja yang robek berdarah. Diapun mengamuk hebat, bahkan terdengar dia bernyanyi nyaring:
"Malang-melintang di dunia kang-ouw
menentang kejahatan mengabdi kebenaran
tongkat di tangan haus darah dan nyawa
para penjahat angkara murka
biarpun tewas dalam membela kebenaran
dengan senjata tongkat tetap di tangan
apa lagi yang membuat penasaran?"
"Bress! Prookk!" Kembali dua orang pengeroyok roboh oleh tongkat di tangan Im-yang Seng-cu, akan tetapi pada saat itu, pedang Si Tosu yang lihai telah ber-hasil membacok ke arah lehernya. Im--yang Seng-cu cepat membuang diri ke belakang, namun sinar pedang menyusul dan darah muncrat keluar dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging bahu kanannya robek! Ia terhuyung dan memutar tongkatnya sehingga terdengar suara nyaring ketika tongkatnya berhasil menangkis banyak senjata lawan.
Suma Hoat mengeluarkan teriakan keras dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyilaukan mata tertim-pa api penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud dan temantemannya mundur, kesempatan itu dipergunakan Suma Hoat untuk meloncat jauh menyambar tubuh Im-yang Seng-cu, dibawa ke tempat di mana Gin Sim Hwesio masih memperta-hankan diri.
"Kalian berdua mempertahankan di belakangku!" kata Suma Hoat dan mulai-lah terjadi pengepungan yang ketat ter-hadap tiga orang itu. Gin Sim Hwesio sudah terluka parah, juga Im-yang Seng-cu sudah terluka berat, dan hanya Suma Hoat seorang yang masih mampu me-ngirim serangan balasan karena dua orang temannya hanya mampu mempertahankan diri saja.
Bukan main kagum hati Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma Hoat. Biarpun pun-daknya sudah berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus,
melindungi kedua orang yang terluka sambil balas mener-jang dengan sambaran pedangnya yang amat luar biasa sehingga sedikit saja ada pengeroyok lengah tentu menjadi korban. Im-yang Seng-cu kagum dan juga gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia sendiri bersama Gin Sim Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum bahwa kalau tidak ada Suma Hoat tentu niat buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi para hwesio Siauw-lim--pai dan membakar kuil akan terlaksana, bahkan ditambah dengan pengorbanan dirinya sendiri.
Saking gembiranya me-nyaksikan sepak terjang Suma Hoat, ia memutar tongkat sambil bernyanyi
"Dia dikatakaan Pemetik Bunga
perbuatannya bergelimang darah menghitam
kini dia mati-matian membela
kebenaran dengan taruhan nyawa penuh rela
hitam atau putihkah dia"
Dia disebut berbudi seperti dewa
tapi betapa banyak air mata runtuh dari dara-dara
menangis dengan hati merana
setan atau dewakah dia?"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 201
Suma Hoat tidak dapat memperhatikan nyayian ini hanya diam-diam ia pun kagum sekali akan sikap Im-yang Seng-cu yang dalam himpitan bahaya maut masih sempat bernyanyi-nyanyi. Betapa gagah perkasanya Si Kaki telanjang itu! Suma Hoat memusatkan perhatiannya diujung pedang dan amukannya membuat gentar Thai-lek Siauw-hud. Thian Ek Cinjin dan anak buah mereka. Malam sudah hampir terganti pagi dsn mulailah para penyerbu merasa khawatir. Kalau sampai pagi dan mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh penduduk, tentu rahasia mereka akan pecah dan semua usaha itu akan sia-sia belaka. Maka Thai-lek Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia. Semua anak buahnya mulai mengumpulkan temanteman yang tewas atau terluka, kemudian serentak mereka lari meninggalkan tempat itu membawa para korban pihak mereka.
"Engkau ikut denganku!" Tiba-tiba Suma Hoat berseru, tubuhnya berkelebat ke depan dan ia sudah menyambar ping-gang seorang di antara gadis-gadis penyerbu yang sejak tadi memang sudah diincarnya, bahkan ketika mengamuk tadi ia berlaku hati-hati agar jangan melukai gadis berpakaian hijau ini. Gadis itu menjerit, meronta dan menggerakkan pedang-nya membacok, akan tetapi sekali menge-tuk pergelangan gadis itu, pedangnya terbang dan di lain saat tubuhnya sudah ditotok dan dikempit lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang cantik itu tak dapat bergerak lagi.
Kemudian, tanpa menoleh lagi, Suma Hoat meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit.
"Eh, nanti dulu!" Im-yang Seng-cu berseru.
"Taihiap, harap tunggu dulu, Pinceng hendak menyampaikan terima kasih
Gin Sim Hwesio juga berteriak, akan tetapi Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak menengok atau menjawab.
Im-yang Seng-cu tertawa dan berkata kepada Gin Sin Hwesio, "Itulah seorang pendekar besar yang rusak hatinya oleh asmara! Ha-ha-ha-ha, dia terkenal di dunia kang-ouw sebagai Jai-hwa-sian, akan tetapi siapa kira malam ini dia membela Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu selamat berpisah!" Im-yang Seng--cu juga berkelebat pergi mengejar bayangan Suma Hoat yang sudah lenyap di telan keremangan pagi.
"Omitohod....!" Gin Sim Hwesio me-rangkap kedua tangan, kedua tangan seperti berdoa, diam-diam harus mengakui bahwa kese-lamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya keselamatan Siauw-lim-pai sehingga tidak terseret dalam perten-tangan adalah jasa pertolongan orang muda yang di dunia kang-ouw disohorkan sebagai seorang penjahat cabul yang dikutuk semua orang.
Im-yang Seng-cu, melakuan pengejar-an. Hatinya penuh rasa penasaran dan penuh rasa kekecewaan. Begitu bertemu dengan Suma Hoat, ia merasa tertarik, merasa suka dan kagum.
Ia tahu bahwa di dasar hatinya, Suma Hoat memiliki watak pendekar yang besar yang mengagumkan. Akan tetapi sayang seribu kali sayang watak yang baik itu dikotori oleh kesukaan lain yang dianggap terkutuk di seluruh dunia yaitu suka mengganggu wanita!
Bahkan perbuatannya semalam yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian disertai tekad untuk membela kebenaran dengan taruhan nya-wa tanpa ditawar-tawar lagi, pada akhir-nya dicemarkan oleh perbuatannya yang amat tercela, yaitu menculik seorang di antara para penyerbu yang masih muda dan cantik. Penculikan yang jelas diketa-hui apa maksudnya!
Padahal, di waktu mengamuk tadi, demi membela kebenaran membersihkan nama Siauw-lim-pai, dia sudah terancam bahaya maut dan kalau dikehendaki. Jai-hwa-sian yang sudah terluka itu masih sempat melarikan diri. Akan tetapi, dia sama sekali tidak mau menyelamatkan diri tidak mau meninggalkan Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu yang terluka parah, bahkan melindungi mereka dan mengamuk dengan nekat!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 202
"Jai-hwa-sian.... bagaimana aku akan dapat menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?" Im-yang Seng-cu berlari terus dan baru setelah matahari naik tinggi ia menemukan jejak Jai-hwa--sian yang membawa lari korbannya ke dalam sebuah hutan di luar kota Lok--kiu!
Im-yang Seng-cu mencari-cari di dalam hutan dan akhirnya ia mendengar suara-suara dari balik rumpun yang itu, dan tahulah ia bahwa Jai-hwa-sian bersa-ma korbannya berada di balik rumpun itu, di atas tanah yang ditilami rumput tebal hijau seperti permadani! Dia menyelinap mendekati, siap untuk menolong gadis yang menjadi korban itu. Betapapun kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, di sini terdapat seorang wanita yang perlu di-tolong! Dan dia akan melawan Jai-hwa--sian, demi kebenaran, kalau perlu berkorban nyawa! Memang tidak salah bahwa gadis itu adalah seorang diantara para pnyerbu kuil semalam, seorang anak buah Coa Sin Cu akan tetapi persoalan-nya sekarang lain. Gadis itu kini menjadi seorang wanita yang terancam kehormat-annya oleh seorang penjahat cabul tukang memperkosa, bukan oleh seorang pendekar yang semalam mempertahankan nya-wanya untuk membela kebenaran!
Ia menduga bahwa tentu akan men-dengar gadis itu menangis seperti biasa kalau seorang Jai-hwa-cat (Penjahat Pe-merkosa) menerkam korbannya, dan mendengar suara Jai-hwa-sian membujuk rayu atau mengancam. Akan tetapi, muka Im--yang Seng-cu menjadi merah sekali, matanya terbelalak ketika ia mendengar suara gadis itu, penuh kemanjaan penuh rayuan.
"Koko.... aku.... aku cinta padamu! Betapa gagah perkasa engkau.... betapa.... tampan dan mesra! Koko, aku rela men-jadi milikmu selamanya...., aku cinta padamu!"
Dan terdengarlah jawaban Jai-hwa-sian, suaranya mengandung kegetiran, "Aku tidak percaya akan cinta! Perem-puan yang cantik rupanya belum tentu cantik hatinya. Yang ada ini hanya naf-su! Nafsu berahi! Dan aku...." Tiba-tiba suara itu terhenti kemudian disusul ben-takan,
"Im-yang Seng-cu! Aku suka bersaha-bat denganmu karena aku kagum padamu, akan tetapi kalau kau mencampuri urusan pribadiku, aku akan melupakan kekagum-anku dan terpaksa engkau akan kuanggap penghalang. Pergilah, atau seorang di antara kita akan mati!"
Im-yang Seng-cu menarik napas pan-jang, merasa malu karena benar-benar keterlaluan baginya untuk mengintai dua orang yang sedang berkasih mesra, sama sekali tidak ada tanda-tanda perkosaan, dan kedua telinganya sendiri jelas men-dengar pernyataan cinta gadis itu kepada Jai-hwa-sian! Betapa mungkin ini" Dia menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Jai-hwa-sian, aku hanya ingin meli-hat engkau sadar bahwa perbuatanmu itu menyeleweng daripada kebenaran."
"Im-yang Seng-cu, perbuatan yang menyangkut urusan pribadiku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga, dan sama sekali engkau tidak berhak mencampurinya. Pilihlah sekarang, engkau mau pergi atau aku terpaksa mengguna-kan kekerasan?"
Im-yang Seng-cu menghela napas. Apa yang akan ia lakukan" Dia tidak takut menghadapi Jai-hwa-sian, sungguhpun ia maklum bahwa orang itu lihai sekali, apalagi sekarang dia sudah terluka cukup parah. Andikata dia mendengar gadis itu menangis dan minta tolong, jangankan baru orang selihai Jai-hwa-sian, biar sepuluh kali lebih lihai, dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela wanita yang tertindas dan terhina. Akan tetapi wanita yang suaranya manja dan merayu itu mana membutuhkan "pertolongannya?" Bahkan, kalau ia mencam-puri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang tidak senang hatinya, jelas bahwa wanita itu pun akan membecinya! Jadi siapa yang ditolongnya dan untuk apa ia men-campuri urusan ini" Ia menggerakkan pundak lalu pergi dari tempat itu.
*** Han Ki memandang kedua arca Maya dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar, penuh kegembiraan. Kedua arca yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya.
Arca-arca itu sudah jadi, persis seperti kedua orang sumoinya yang amat dikasihinya dan ia kagum akan hasil seni yang diciptakan tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 203
orang sumoinya. Baru sekarang ia dapat me-mandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya. Memang he-bat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apalagi ditambah bibir yang seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.
Gerakan harus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat
arca. Dia me-ngenal benar gerakan halus kedua orang sumoinya, malah dapat
membedakannya. Apalagi, ada keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang ber-lainan, bunga-bunga yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoinya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.
"Suheng...."
Han Ki menoleh tersenyum.
"Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai."
Maya berlutut di dekat suhengnya.
"Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?"
Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, "Tentu saja arcaku sendiri!"
"Ah, Suheng sombong!" Han Ki hanya tertawa.
"Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?"
Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemu-dian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, "Wah, tentu saja arcamu lebih cantik."
Wajah yang itu berseri, manis pan-dang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis memi-kat. "Suheng...." Maya menyentuh lengan suhengnya, "Benarkah engkau anggap aku paling cantik?"
Han Ki menatap wajah sumoinya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh "Eng-kau memang cantik jelita, Sumoi."
"Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?" Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah.
Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya ber-debar dan jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah, "Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya."
Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki,
suaranya menggetar berbisik, "Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini
"Maya....!" Han Ki membantah kaget.
Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan.
"Suheng, bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?"
"Maya-sumoi....!"
Maya sudah menjatuhkan diri ke da-lam pelukan suhengnya dan berbisik, "Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi...., aku...., Suheng, bukankah engkau mencintaku Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 204
seperti aku cinta padamu....?"
Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyen-tuh pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang
menyesakkan dada.
"Suheng....!" Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.
" Maya-sumoi, jangan....!" Han Ki ber-kata dan melepas kedua lengan yang me-rangkul pinggang itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi
sumoinya. Kini ia telah me-nguasai nafsunya dan matanya meman-carkan pandang mata penuh teguran.
"Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!"
"Suheng....! Aku.... cinta padamu, Su-heng...."
"Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!"
Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari keluar sambil terisak.
Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintai-nya! Dan biarpun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang--terangan, namun ia dapat menduga bah-wa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia" Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi" Namun ahhh...., dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu berahi menguasainya, mem-buat ia ingin memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan.... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, se-mudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya.
Ce-laka! "Kau...., kau mata keranjang!" Han Ki menampar kepalanya sendiri, terbayang-lah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya
memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, mengajaknya makan kemudian setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh,
"Aku tidak lapar dan tidak mengan-tuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauw-moi, tinggalkan aku sendiri."
Pada jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu den memandang suhengnya,
kemudian berkata, "Ini tentu kesa-lahan suci entah apa sebabnya!"
Han Ki terkejut, akan tetapi menin-das perasaannya dan menoleh. "Mengapa engkau, berpendapat demikian?"
"Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya ddan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng,
apakah yang terjadi?"
"Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa" Sudahlah, tinggalkan aku sendiri,Sumoi!"
Sejenak Siauw Bwee berdiri di bela-kangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih,
"Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?"
"Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!"
"Suheng, selama lima tahun kita ting-gal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 205
Suci menangis, Suheng, eng-kau...., engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, disamping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka...."
Han Ki memejamkan mata, jantung-nya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri ter-senyum dan berkata, "Engkau ini aneh--aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kau-buat" Telah selesaikah?" Dia sengaja membelokkan percakapan untuk meng-alihkan perhatian sumoinya itu.
"Sudah, Suheng. Layar yang kauberi sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba.
Aku ingin mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu"
Han Ki tersenyum. "Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang disana."
"Aku ingin menagkap kijang."
"Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pem-biakannya tidak terganggu."
"Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman disini."
Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoinya. "Apa" di sini ada aku dan sucimu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?"
Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, "Aku...., aku kadang-kadang merasa kesepian, Suheng tarutama sekali.... sekarang ini...."
Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
"Hei....! Khu-sumoi....?" Han Ki me-manggil akan tetapi dara itu tidak me-noleh dan lapat-lapat Han Ki mendengar sumoinya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Perempuan....!" gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.
Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kengan kedua sumoinya itu.
Untuk melupakan pekerjaannya. Semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.
*** Pada keesokan harinya, barulah pe-kerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah suara pukulan-pukulan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Biasanya, desir angin pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoinya berlatih akan tetapi sekali ini, desir angin hebat itu diseling suara ben-takan-bentakan nyaring orang bertempur. Ia merasa heran dan khawatir sekali cepat meloncat bangun dan melesat ke-luar dari Istana Pulau Es. Ketika ia tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoinya sudah saling se-rang dengan hebatnya! Pohon tumbang batu berhamburan dilanggar angin pukul-an kedua
sumoinya yang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Se-kali ini mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguh-sungguh, setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya me-nyerang seperti seekor singa betina ke-hilangan anaknya.
"Maya....! Siauw Bwee....!" Berhen-ti....!" Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.
Akan tetapi ia tertegun dan menghen-tikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sin--kang seperti tadi, melainkan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 206
mengguna-kan jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-
cengkeraman maut, totokan-totokan yang membawa nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.
"Engkaulah yang mem
Golok Yanci Pedang Pelangi 2 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 23
^