Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 7

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 7


ukup jelas, yakni tak akan
membiarkan Lamkiong Giok hidup lebih lama. Ke-ruan air muka anak muda itu berubah hebat.
Tapi sejenak kemudian ia tertawa lagi, katanya, "Lihiap, tempo hari aku memang bersalah mengganggu
ketenanganmu, apakah engkau".."
"Tak usah banyak bicara," dengus Lik-ih-hiat-li dengan menghina, "jagalah keselamatan jiwa-mu, asal kau sanggup menyambut sepuluh ju-rus pukulanku, maka malam ini akan kuberi ke-sempatan bagimu untuk pergi!"
Habis berkata, pelahan ia menghampiri anak muda itu.
Sambil mundur berulang kali, Lamkiong Giok berseru, "Aku merasa kagum pada kehebat-an silatmu, tak berani kuterima seranganmu, urung-kan saja kehendakmu"."
"Hm, dengan kepandaian simpananmu, kukira sepuluh
jurus seranganku masih mampu kau sambut, baik-baiklah
siapkan diri, tentunya kau tahu bahwa aku tak akan menaruh belas kasihan kepadamu!"
Sambil mundur selangkah demi selangkah, kem-bali
Lamkiong Giok berkata, "Lihiap, Peng-sian-jit-gwat-ciangmu tiada tandingannya di dunia ini, kutahu tak sanggup menyambut satu gebrakan saja."
"O, rupanya kau takut pada ilmu pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciangku"..Hm, agar kau bisa mampus de-ngan
tenteram, dalam sepuluh gebrakan aku tak akan
mempergunakan kepandaian tersebut, sambut saja
seranganku!"
Dengan watak Lamkiong Giok yang tinggi hati, sudah barang tentu ia tak sudi dipandang enteng oleh musuh, sekalipun ayahnya Lamkiong Hian ju-ga tak mampu
mengalahkannya dalam sepuluh ge-brakan bila tidak
mengeluarkan ilmu simpanan.
Ia cuma jeri pada Peng-sian-jit-gwat-ciang an-dalan Lik-ih-hiat-li, sebab sekalipun ayahnya juga belum tentu sanggup menghadapi kepandaian ini. Oleh sebab itulah ia sengaja memancing agar orang tidak mempergunakan kepandaian tersebut dalam sepuluh gebrakan.
Betapa girangnya setelah mendengar janji la-wan, pikirnya,
"Aku cuma takut bila kau meng-gunakan Peng-sian-jit-gwat-ciang, sekarang setelah kau berjanji takkan menggunakan kepandaian itu, hmm, akan kulihat dengan cara apa akan kau melukaiku, jika aku tidak perlihatkan sedikit kepandaian, pasti kau pandang enteng diriku".."
Berpikir demikian, Lamkiong Giok lantas ber-kata, "Orang persilatan selalu pegang teguh setiap perkataannya. Baiklah, malam ini sekuatnya kusambut beberapa jurus saktimu."
Lamkiong Giok betul-betul lihai, di balik se-tiap
perkataannya selalu mengandung perkataan lain, sekalipun di luar ia berkata demikian, sesung-guhnya ia kuatir kalau Lik-ih-
hiat-li melanggar janji dengan menggunakan ilmu sakti Peng-sian-jit-gwat-ciang, maka dia sengaja mengikatnya dulu dengan kata-kata.
Sinar mata dingin terpancar dari balik mata Lik-ih-hiat-li, katanya kemudian ketus, "Kau betul-betul memanfaatkan kelicikanmu menghadapi setiap persoalan. Hm, suatu hari kau pasti akan runtuh! Nah, jangan kuatir, aku tidak serendah yang kau- bayangkan!"
"Mana, mana!"Kalau begitu aku minta maaf dulu!" seru Lamkiong Giok sambil tertawa.
Mendadak ia angkat pergelangan tangan, cahaya tajam segera terpancar, segera ia menerjang ke arah Lik-ih-hiat-li.
Sejak tadi Lik-ih-hiat-li sudah siap, begitu Lamkiong Giok menggetarkan pedangnya, serentak iapun turun tangan, pada saat yang sama tangan kanan didorong ke depan, segulung tenaga pukulan yang kuat mendampar ke sana, berbareng perempuan itu terus meluncur ke samping, tapi tiba-tiba menerjang maju lagi, ujung baju-nya mengebas, suatu pukulan dilancarkan.
Ilmu silatnya memang luar biasa, setiap jurus serangannya jarang dijumpai dalam dunia persilatan, gerakan mundur lalu maju lagi ini dilakukan de-ngan gerakan cepat. Lamkiong Giok tahu kelihaian perempuan itu, buru-buru ia berganti jurus serangan, pedangnya segera menabas lengan kiri lawan.
Siapa tahu Lik-ih-hiat-li sudah menduga akan serangannya itu, sambil tertawa ia mengegos, dengan jari tengah di telunjuk ia jepit pedang lawan, se-mentara kaki kanan menendang ke perut dan ta-ngan kanan menghantam iga kirinya.
Satu jurus dengan tiga gerakan, semuanya di-lakukan hampir sama waktunya, jurus yang aneh serta sasaran yang tepat, mau-tak-mau lawan harus menyelamatkan diri atas ancaman tersebut.
Lamkiong Giok terkejut, ia batalkan serangan-nya, lalu dengan jurus Thian-ho-nu-sia atau sungai langit mengalir deras, dengan selapis cahaya hijau ia melindungi sekujur tubuhnya. Sekalipun Lik-ih-hiat-li berilmu tinggi, tapi iapun tak berani menangkis pedang yang tajam itu dengan tubuhnya sendiri, satu jurus dengan tiga gerakannya segera kena dibendung oleh pedang lawan.
"Sudah lima gebrakan!" teriak Lamkiong Giok tiba-tiba.
Pedangnya berputar dan menabas lagi ke tubuh Lik-ih-hiat-li.
Ternyata Lamkiong Giok telah mengeluarkan Huan-in-kiam-hoat yang lihai. Tapi Lik-ih-hiat-li lantas mendengus, dengan cepat ia melompat mundur. Lamkiong Giok tertawa nyaring, dia kembang-kan serangkaian serangan berantai yang hebat, ujung pedangnya memancarkan titik cahaya yang banyak dan bergerak-gerak seperti ular. Sret!"Sret!"Sret!".Dalam waktu singkat ia menusuk tiga kali.
Ketiga jurus serangan lihai ini memaksa Lik-ih-hiat-li harus berkelit berulang kali.
Lamkiong Giok tertawa dingin, serunya, "Jurus ke
sembilan!"
Pekikan nyaring menggema, dengan jurus Yok-siu si-huan (seperti kosong bagaikan khayal), sinar tajam yang menyilaukan mata pelahan menusuk tu-buh Lik-ih-hiat-li.
Mencorong tajam sinar mata Lik-ih-hiat-li, di tengah gelak tertawa ia berkelit ke samping Lam-kiong Giok, tangan kirinya mengebas pelahan, angin tajam menyambar pergelangan tangan kanan pe-muda itu.
Lamkiong Giok terperanjat, ia tak menyangka jurus Yok-siu-si-kiam bisa dihindari musuh secara mudah, ketika merasakan sambaran angin tajam, tahu-tahu urat nadi pergelangan tangannya tersabet, separuh tubuh bagian atas menjadi kaku, nyaris pe-dangnya terlepas dari genggaman.
Buru-buru dia menghimpun tenaga, tangan ka-nan ditarik ke belakang, ujung pedangnya bergetar, dengan jurus Ciau-san-cu-hwe (kipas angin meng-usir api) ia tusuk bahu kiri lawan. Tapi tatkala jurus serangan itu baru dilan-carkan, sikut kanannya mendadak terasa kaku, pedang rontok di tengah jalan.
Menyusul terdengar serentetan suara tertawa dingin berkumandang, "Jurus kesepuluh, Song-mia-kui-im
(mengantar nyawa pulang ke akhirat)!"
Telapak tangan kanan Lik-ih-hiat-li yang putih berkilat pelahan menekan ke jalan darah Sim-kan-hiat di hulu hati Lamkiong Giok.
Tampaknya Lamkiong Giok pasti akan tewas di bawah
telapak tangannya, mendadak terdengar seorang berteriak,
"Jangan melukai dia!"
Embusan angin yang sangat kuat segera me-nyambar tiba dari samping Lik-ih-hiat-li. Pukulan itu mengandung tenaga yang sangat kuat, sekalipun lihai Lik-ih-hiat-li tak berani me-nyambutnya dengan kekerasan, apalagi yang
me-lancarkan serangan itu ternyata adalah Bok Ji-sia.
Terpaksa perempuan aneh itu membatalkan se-rangannya yang nyaris merenggut nyawa Lamkiong Giok itu, cepat ia melayang mundur ke belakang.
Belum sempat ia bersuara, Lamkiong Giok te-lah menjtira pada Ji-sia sambil berseru, "Terima kasih saudara Bok, kembali kau selamatkan jiwaku, budi kebaikan ini terukir dalam hatiku dan takkan kulupakan untuk selamanya."
"Lamkiong Giok, kalau begitu kau pandang asing diriku!"
seru Ji-sia dengan lantang.
Lik-ih-hiat-li tertawa dingin, "Bok Ji-sia, jangan kau berhubungan dengan manusia licik ini"."
Lamkiong Giok menghela napas sedih, tiba-tiba dia
menukas ucapan perempuan itu, "Sekalipun banyak kenalan di dunia ini tapi berapa orang yang bisa cocok dengan kita"
Meski Siaute baru berkenalan dengan saudara Bok, ta-pi aku merasa amat cocok denganmu, sekalipun aku tahu saudara Bok mempunyai pandangan lain ter-hadap perbuatanku, tapi Siaute amat berkesan akan kebesaran jiwa saudara Bok dan ingin menjalin hubungan yang lebih erat denganmu, percaya atau tidak terserah kepada saudara Bok sendiri"."
Rupanya ia kuatir Lik-ih-hiat-li menceritakan niatnya membunuh Ji-sia tempo hari, maka dia per-gunakan kata-kata tersebut untuk menanamkan ke-percayaan atas diri anak muda itu.
Terdengar Lamkiong Giok berkata lebih lan-jut, "Malam ini kembali kuperoleh bantuan saudara Bok, kebaikan ini pasti akan kubayar di kemudian hari, untuk sementara ini biarlah kumohon diri le-bih dulu."
Selesai berkata, dia putar badan dan berlalu. Melihat Ji-sia sama sekali tidak menunjukkan perubahan pada wajahnya setelah mendengar per-kataannya, Lamkiong Giok kuatir jika Lik-ih-hiat-li membongkar kedok kemunafikannya, mungkin mau kabur pun susah nanti, maka ia manfaatkan kesempatan itu untuk ngeluyur pergi.
Bayangan hijau berkelebat, tahu-tahu Lik-ih-hiat-li telah menghadang lagi jalan perginya.
"Lamkiong Giok!" serunya ketus, "kita telah berjanji tadi, jika tak mampu kau sambut sepuluh jurus seranganku, nyawamu harus kau tinggalkan di sini."
Ji-sia menerjang maju, bentaknya kepada Lik-ih-hiat-li,
"Kau jangan terlalu mendesak orang jika tidak mengingat budi kebaikanmu memukul mun-dur Kun-tun Cinjin tadi, tentu aku orang she Bok takkan sungkan padamu. Jika kau hendak membu-nuhnya, lebih baik bunuh sekalian diriku!"
Lik-ih-hiat-li tidak marah, ia malah berkata dengan lembut,
"Bok Ji-sia, tahukah dia ini orang baik atau jahat?"
"Hei, Lihiap, jangan terlalu mendesak orang," seru Lamkiong Giok dengan tertawa seram, "peng-hinaan yang kuterima malam ini pasti akan kubalas kelak, sekarang kita berpisah dulu untuk sementara, selamat tinggal!"
Habis berkata, ia melejit dan berkelebat pergi.
"Jangan harap bisa kabur malam ini!" seru Lik-ih-hiat-li sambil tertawa dingin.
Gerak tubuhnya yang cepat seperti setan itu sungguh sukar dibayangkan, dengan sekali berkelebat saja tahu-tahu ia sudah menghadang lagi di depan Lamkiong Giok, telapak tangan kanannya segera diayun ke depan, segulung angin dingin segera meng-hantam tubuh Lamkiong Giok.
"Jangan kuatir saudara Lamkiong!" Ji-sia segera
membentak, "kau boleh pergi lebih dulu!"
Di tengah bentakan, tangan kanannya mele-paskan
pukulan dahsyat, menyambut serangan Lik-ih-hiat-li tadi.
Ketika dua gulung tenaga pukulan saling ber-temu, tubuh Lamkiong Giok telah berjumpalitan di udara dan melayang ke sana, kemudian sekali lompatan lagi ia sudah berada jauh.
Ji-sia juga melompat ke sana, dengan kecepat-an luar biasa dia ikut melayang pergi.
"Sia,"..kau tunggu sebentar".."
Belum habis teriakan Lik-ih-hiat-li, Ji-sia dan Lamkiong Giok sudah lenyap di balik kegelapan sana?".
Ji-sia percepat larinya, dalam beberapa kali lompatan saja ia sudah jalan bersanding dengan Lamkiong Giok, tanyanya dengan suara pelahan, "Saudara Lamkiong, kepergian kita ini apakah da-pat bertemu dengan Ku-locianpwe?"
"Jangan kuatir saudara Bok," jawab Lamkiong Giok sambil berpaling dan tertawa, "berita yang kudapat pasti bisa dipertanggungjawabkan, tak mungkin salah lagi, cuma kepagian kita ke situ, juga sangat berbahaya"."
Ji-sia menghela napas panjang, katanya, "Ku-locianpwe amat menyayangi diriku, sekarang ia ter-jatuh ke tangan orang Hek-liong-kang, mana boleh aku berpeluk tangan belaka" Sekalipun bukit pedang atau hujan golok yang akan kita datangi sekarang, te-tap aku akan pergi menyelamatkan dia."
Agaknya Lamkiong Giok terpengaruh oleh ke-besaran jiwa Bok Ji-sia, katanya tegas, "Saudara Bok, kau betul-betul berjiwa besar dan amat setia kawan, hal mana sungguh membuatku sangat ter-haru, malam ini akupun pasti akan membantumu untuk menolong Ku-locianpwe."
"Saudara Lamkiong, maksud baikmu biar ku-terima di dalam hati saja"."
"Ah, saudara Bok, masa kau tidak memberi muka
kepadaku?" kata Lamkiong Giok.
"Ah, kenapa saudara Lamkiong berkata demi-kian" Justru karena kuatir mengganggu dirimu, ma-ka tak berani aku minta bantuanmu."
"Aku merasa beruntung dapat berkenalan de-ngan saudara Bok, apalagi kau pun sudah beberapa kali membantuku, kini saudara Bok sedang meng-hadapi kesulitan, bila aku tidak membantumu, bu-kankah diriku ini bukan seorang laki-laki sejati?"
Ji-sia menghela napas dan tidak menjawab lagi. Untung tenaga dalam mereka berdua amat sempurna, perjalanan pun dilanjutkan dengan cepat. Dalam waktu singkat mereka telah melewati dua bukit yang tinggi dan tiba di suatu lembah"..
Lamkiong Giok berpaling ke arah Ji-sia dan berkata,
"Saudara Bok, kita sudah tiba di tempat tujuan, setelah memasuki lembah ini, gedung besar yang kita temukan nanti adalah tempat tinggal orang-orang Hek-liong-kang, kita harus bertindak lebih hati-hati."
"Saudara Lamkiong, apakah Ku-cianpwe terse-kap di
dalam gedung tersebut?"
Lamkiong Giok mendongak mamandaag cuaca, lalu
sahutnya pelahan, "Mungkin Ku-cianpwe belum datang, tapi waktu perjanjian mereka sudah hampir tiba."
Sementara itu mereka telah memasuki lembah tersebut.
Tampaklah di ujung lembah, di tengah kegelapan malam berdiri angker sebuah bangunan yang megah. Kecuali bangunan rumah yang sambung me-nyambung serta loteng yang menjulang tinggi, di sekeliling bangunan tadi penuh tumbuh pepohonan yang rimbun, cuaca gelap gulita tiada cahaya lampu, ini semua menambah seramnya keadaan.
Ji-sia dan Lamkiong Giok segera melayang ke bawah pohon besar di depan pagar halaman. Dengan sorot matanya yang tajam Ji-sia me-mandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian mereka tarik napas dan melompat masuk ke dalam halaman.
Bangunan ini terletak sangat terpencil, sepi dan
menyeramkan, rumput ilalang tinggi lebat memenuhi halaman, bangunan sudah bobrok dan hampir roboh, banyak dinding yang retak atau berlubang.
Angin lembut berhembus menggoyangkan de-daunan,
suara mendesir menambah seramnya suasana.
Setelah berdiri sekian lama di tempat kegelap-an, Lamkiong Giok dan Ji-sia kembali melayang ke atas bangunan dan melintasi wuwungan rumah. Mendadak mereka melihat
sesosok bayangan melejit ke udara kemudian meluncur ke arah barat-laut dan lenyap di balik kegelapan.
Terkejut Ji-sia, pikirnya, "Ditinjau dari gerak tubuh orang itu, jelas ilmu silatnya tidak lemah, sungguh banyak sekali jago lihai dalam dunia per-silatan, rasanya kepandaianku masih selisih jauh"."
Berpikir sampai di sini, timbul perasaan kesal dalam hati, tiba-tiba ia menghela napas dan berbisik, "Saudara Lamkiong, bukankah di sekitar tempat ini sudah bersembunyi jago lihai dunia petsilatan?"
Lamkiong Giok tak tahu apa yang menimbul-kan helaan napas pemuda itu, sahutnya, "Saudara Bok, kita sudah berada di tengah bangunan ini, ibaratnya masuk ke sarang naga atau gua harimau, lebih baik kita bertindak hati-hati dan meningkat-kan kewaspadaan. Menurut apa yang kuketahui, terdapat banyak sekali jago lihai dari dunia persi-latan yang berdatangan kemari, terutama orang-orang dari Hek-liong-kang rata-rata berilmu silat tinggi."
"Apakah saudara Lamkiong berminat melaku-kan
pemeriksaan lebih dulu keadaan bangunan ini?"
Lamkiong Giok tersenyum, "Saudara Bok, se-telah sampai di sini, kita harus masuk ke dalam untuk melihat sendiri tempai macam apakah ba-ngunan ini, apa benar tempat yang mirip sarang naga atau gua harimau?"
Segera Ji-sia melompat ke depan lebih dulu, dengan suatu gerakan indah ia melayang ke sebelah sana.
Mendadak Lamkiong Giok berseru tertahan, "Ada orang datang, saudara Bok, cepat menyem-bunyikan diri!"
Waktu itu Ji-sia sudah berada dua tombak ja-uhnya dari tempat semula, mendengar seruan terse-but mendadak ia berjumpalitan, lalu berubah arah, setelah berputar di udara, cepat ia melayang kem-bali ke tempat semula, turun di sisi Lamkiong Giok.
Waktu Ji-sia memandang ke sana, betul juga, ada dua sosok bayangan manusia dengan cepat luar biasa sedang meluncur datang. Dalam sekejap telah tiba di rumah di depan sana, setelah celingukan sebentar, kemudian melompat turun.
Lamkiong Giok telah menyaksikan demonstrasi ilmu
meringankan tubuh Ji-sia yang lihai tadi, di-am-diam ia menghela napas, pikirnya, "Kepandaian orang ini sungguh sukar diukur, menurut pengamat-anku selama beberapa hari ini, jelas ilmu silatnya setiap saat memperoleh kemajuan yang pesat, kecuali tenaga pukulannya yang bertambah kuat, jurus se-rangannya juga sangat lihai, malah tidak kalah da-ri pada jurus serangan Lik-ih-hiat-li. Dia mengaku sebagai murid Ban-pian-sinkun, tapi mungkinkah Auyang Seng dapat melatih seorang jago lihai se-perti dia ini".." Sungguh sukar di mengerti."
Sementara itu Bok Ji-sia tidak melihat sesuatu gerakan lag,i setelah menunggu sekian lama, ia ber-paling dan berkata,
"Saudara Lamkiong, mari kita menyusup ke depan sana, kita lihat orang macam apakah kedua orang tadi!"
Lamkiong Giok mengangguk, ia melompat ke depan tanpa menimbulkan suara ia melayang turun, diam-diam mereka mengitari pekarangan dan ber-sembunyi di belakang pohon siong untuk mengintip.
Tempat ini merupakan halaman samping yang sepi,
tertampak seorang kakek kecil dan seorang kakek jangkung berdiri tegak hormat di depan pin-tu ruangan sebelah kanan, agaknya mereka sedang menanti sesuatu perintah, tapi pintu dan jendela kamar itu tertutup rapat dan sama sekali tak terdengar suara apapun.
Ji-sia dan Lamkiong Giok menjadi heran me-nyaksikan adegan tersebut, mereka tak tahu kenapa kedua kakek itu berdiri di situ.
"Saudara Lamkiong, siapakah kedua orang itu?" bisik Ji-sia kemudian.
Tempat di mana mereka menyembunyikan di-ri masih
selisih enam-tujuh tombak jauhnya, Ji-sia pun berbisik dengan suara yang lirih, sekalipun jago yang berilmu tinggi juga belum tentu bisa menangkap suaranya.
Tapi baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, terdengar si kakek jangkung yang ceking itu mendengus, "Tak tersangka di tengah malam buta be-gini, saudara sekalian bersedia mengunjungi per-kampungan sepi ini, jika aku Kau-lau-coa-siu (ka-kek ular dari bukit Kau-lau) tidak sempat menyam-but, harap kalian sudi memberi maaf."
Mendengar nama Kau-lau-coa-siu, diam-diam Lamkiong Giok terperanjat, ia tak mengira kedua orang ini adalah Kau-lau-liong-coa-siang-siu (sepa-sang kakek ular dan naga dari Kau-lau-san) yang telah termashur pada sepuluh tahun yang lalu.
Bila ditinjau dari munculnya kedua kakek sakti ini di perkampungan ini, jelas membuktikan bahwa mereka
termasuk jago-jago Hek-liong-kang, apalagi ditinjau dari sikap hormat kedua oraag itu, tampak-nya kedudukan mereka teramat rendah. Jika tokoh dunia persilatan yang pernah me-nonjol pada sepuluh tahun yang lalu ternyata mem-punyai tingkat kedudukan yang begini rendah da-lam aliran Hek-liong-kang, ini mumbuktikan pula bahwa kungfu tokoh "tiga pria dan empat perem-puan" dari Hek-liong-kang pasti amat tinggi.
Ketika mendengar perkataan tadi, Ji-sia me-ngira jejaknya ketahuan orang, baru saja akan me-nampilkan diri untuk menjawab, tiba-tiba Lamkiong Giok menarik ujung bajunya.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari atas pohon di sebelah sana terdengar seseorang tertawa dingin dan berseru, "Mana, mana! Sudah sepuluh tahun lama-nya Kau-lau-liong-coa-siang-giu tidak pernah muncul dalam dunia persilatan, kukira kalian sudah lama pulang ke akherat, eh", tak tahunya
sekarang berse-dia melacurkan diri dengan menjadi pelayan orang Hek-liong-kang, hehehe".."
Meskipun disindiriorang, Kau-lau-coa-siu tidak menjadi gusar, katanya dengan dingin, "Si-apa kau" Kenapa tidak unjuk diri" Kalau didengar dari perkataanmu, tampaknya kau pun terhitung se-orang yang punya nama."
Gelak tertawa aneh memanjang berkumandang lagi dari puncak pohon, suaranya sedemikian di-nginnya bagaikan embusan angin dari gudang es, membuat orang bergidik.
Hampir sekian lama, gelak tertawa panjang itu baru berhenti, katanya, "Sudah kalian kenali gelak tertawaku yang panjang ini?"
Air muka Lamkiong Giok berubah hebat se-telah
mendengar gelak tertawa aneh itu, bisiknya kepada Ji-sia,
"Saudara Bok, hati-hati sedikit, orang yang berada di atas pohon itu adalah Sip-hun-koay-sat-jiu (tangan aneh pembetot sukma) dari Bu-lim-jit-coat."
Rupanya Kau-lau-liong-coa-siang-siu pun ter-peranjat mendengar gelak tertawa itu, si kakek ular dari bukit Kau-lau segera menjengek dan berseru, "Tak kusangka adalah kau.
Bagus, bagus sekali! Malam ini perkampungan kami pasti tambah se-marak!"
Orang yang bersembunyi di atas dahan pohon itu
mendengus, lalu melayang turun dan berdiri di hadapan kedua kakek ular dan naga dari Kau-lau-san. Waktu Ji-sia mendengar bahwa orang itu ada-lah Sip-hun-koay-sat-jiu yang seangkatan dengan gurunya dalam dunia persilatan tanpa terasa ia me-ngawasinya dengan lebih saksama.
Orang itu memakai jubah panjang dengan ujung baju yang lebar, rambutnya di sanggul tinggi di atas kepala, wajahnya angker, tulang pipi tinggi dengan mata cekung, sinar matanya tajam membuat orang jeri untuk memandangnya.
Sementara itu Sip-hun-koay-sat-jiu telah me-mandang sekejap ke sekeliling tempat itu, lalu kata-nya dengan dingin,
"Sampai sekarang kenapa ma-jikannya belum juga tiba?"
"Entah majikan siapa yang kau maksudkan?" jengek si kakek ular.
Rada dongkol Sip-hun-koay-sat-jiu mendengar jawaban Kau-lau-coa-siu yang ketus itu, ia men-dengus dan berkata dengan menghina, "Hmm, bu-kankah yang disanjung pula oleh Liong-coa-siang-siu berdua adalah budak dari Hek-liong-kang itu?"
"Siapakah yang kau maksudkan sebagai budak?" bentak si kakek naga dari Kau-lau-san.
"Tentu saja si gadis pemimpin aliran Hek-liong-kang."
Kau-lau-coa-siu tertawa seram, katanya, "Sip-hun-koay-sat-jiu, tampaknya kau sudah bosan hidup, betapa agung dan terhormatnya kedudukan putri Hek-liong-kang Siancu, memangnya kau kira boleh di maki seenaknya?"
Sip-hun-koay-sat-jiu tertawa panjang pula, sahutnya, "Aha, barangkali kalau kumaki dia jiwaku bakal melayang" Ingin kulihat betul terjadi atau tidak" Hehehe, ketahuilah, kawanan jago persilatan yang datang malam ini tak sedikit jumlahnya, ku-rasa di sekeliling bangunan yang dihuni bocah dogol kalian itu sudah dikurung oleh beberapa ribu orang, apakah dengan andalkan tenaga kalian, dapat membunuh sekian banyak orang?"
Tiba-tiba dari wuwungan rumah sebelah barat sana
berkumandang suara gelak tertawa nyaring, kemudian seseorang menimpali, "Betul juga perkataanmu, hei makhluk tua, melulu kau dan aku sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka tahu rasa nanti!"
Begitu mendengar suara orang itu, dengan terkesiap Lamkiong Giok lantas berpikir, "Wah, tampaknya lebih baik
bagiku tidak menampakkan diri pada malam ini, kalau tidak, jelas keadaan ti-dak menguntungkan diriku"."
Berbareng dengan sirapnya gelak tertawa tadi, sesosok bayangan melambung di udara dan seperti badan halus melayang turun di belakang Sip-hun-koay-sat-jiu, ternyata orang ini adalah Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin.
Sip-hun-koay-sat-jiu berpaling dan memandangi sekejap ke arah Kun-tun Cinjin, kemudian sambil tertawa dingin katanya, Kun-tun Tosu tua, sedari kapan kau tinggalkan Hian-thian-koan" Tampaknya ilmu silatmu telah memperoleh banyak kemajuan?"
"Ya, lumayan," sahut Kun-tun Cinjin sambil tertawa dingin,
"kukira selama delapan belas tahun ini kau si mahluk tua pun banyak mendapat kema-juan, cuma tampaknya kepandaian kita masih be-lum cukup untuk menjagoi dunia persilatan."
"Hei, si hidung kerbau, kenapa kau mengucap-kan kata-kata patah semangat seperti itu?" damprat Sip-hun-koay-sat-jiu, "tampaknya dalam pertanding-an Bu-lim-jit-coat kita delapan belas tahunan nanti, lagi-lagi kau akan menempati urutan terakhir."
Kun-tun Cinjin tertawa, katanya, "Setelah me-lewati masa delapan belas tahun yang panjang, ku-rasa Jit-coat sudah tak bisa berkumpul secara leng-kap lagi, soal pertarungan yang di tentukan juga tak mungkin bisa dilangsungkan, bila berlangsung, kuyakin masih mampu menangkan satu jurus dari kau si makhluk tua."
"Hm, coba tiada perjanjian pada delapan be-las tahun dulu, pasti kutantang dirimu untuk ber-tarung lebih dulu."
"Betul!" Kun-tun Cinjin tertawa licik, "maka sebelum waktu bertarung tiba, sepantasnya kita be-kerja sama menghadapi persoalan ini."
Mendengar ucapan tersebut, diam-diam Lam-kiong Giok menggerutu, "Tosu tua ini betul-betul licik sekali, jika mereka bertujuh sampai bersatu, maka keadaan dunia persilatan dewasa ini harus di-nilai kembali."
Ji-sia tak tahu tentang perjanjian Bu-lim-jit-coat pada delapan be-las tahun yang lalu, maka sesudah men-dengar perkataan itu iapun berpikir, "Bu-limn-jit-coat sekarang ada tiga orang yang telah tiada, sisa empat orang tentu saja tak bisa melanjutkan perjanjian semula, tapi bila mereka melangsungkan juga pertarungan itu, aku pasti akan mewakili gu-ruku Oh Kay-gak untuk bertarung melawan mereka.
Sementara itu Sip-hun-koay-sat-jiu sedang ter-tawa dingin dan berkata, "He, hidung kerbau, rupa-nya kau mempunyai tujuan yang lain, untuk kerja sama tentu boleh, tapi harus diketahui dulu siapa lawan kita!"
Kun-tun Cinjin tersenyum, "Makhluk tua, tahu-kah kau bahwa dunia persilatan dewasa ini telah mengalami
perubahan yang amat besar?"
"Ehm, tampaknya memang ada perubahan, ta-pi dunia
persilatan toh bukan ajang kekuasaan Jit-coat kita melulu?"
"Bukan begitu persoalannya, bila Jit-coat ingin menjagoi dunia persilatan maka kita harus berjuang dengan
mempertaruhkan nyawa, bukan mustahil Jit-coat, bakal dimusnahkan oleh orang lain".."
Jilid 10 Kiranya semenjak dikalahkan Lik-ih-hit-li, Kun-tun Cinjin masih penasaran, ia berusaha mencari jalan untuk membalas dendam, maka ia sengaja mengumbar kata-kata besar di hadapan Si-hun-koay-sat-jiu dengan harapan orang mau bekerja sa-ma dengannya untuk membunuh Lik-ih hiat-li.
Melihat keseriusan orang, Si-hun-koay-sat-jiu tertawa dingin, ujarnya, "Hidung kerbau, rupanya nyalimu sudah
dibikin ciut oleh tiga pria dan em-pat perempuan dari Hek-liong-kang?"
"Kau anggap ketiga orang laki-laki dan empat orang perempuan dari Hek-liong-kang itu bisa kau robohkan dengan mudah!?" Kun-tun Cinjin balas mengejek,"sesungguhnya bukan cuma orang-orang Hek-liong-kang saja yang lihai, masih ada jago lain yang lebik tangguh lagi, terus terang, aku sendiri pun pernah kecundang di tangannya."
"Tosu tua, permainan setan apa yang sedang kau lakukan, dapatkah kau jelaskan perkataanmu dengan lebih terperinci?"
"Makhluk tua, tahukah kau siapa di dunia de-wasa ini yang sanggup menahan pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang yang maha lihai itu?" tanya Kun-tun Cinjin.
Mendadak Ji-sia berbisik kepada Lamkiong Giok, "Saudara Lamkiong, apakah kau tahu bilakah diselenggarakan
pertemuan Bu-lim-jit-coat?"
Belum lagi Lamkiong Giok menjawab, tiba-ti-ba dari belakang mereka berkumandang suara ge-lak tertawa, menyusul seseorang menegur, "Lamkiong lote, kiranya kaupun berada di sini, kenapa tidak segera menampakkan diri?"
Lamkiong Giok segera berpaling, dengan ma-tanya yang tajam ia memandang sekejap sekeliling tempat itu.
Tertampaklah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat dan Bu-sian-gisu Kwanliong Ciong-leng mun-cul dari balik kegelapan sana.
Menyusul kemudian beberapa sosok bayangan lantas
muncul juga, mereka adalah Hek-to-sam-koay yang terdiri dari Kui-tau-kau Tu Leng-mong, Sat-hong-tok-ciang Ki Thi-hou serta Eng-jiau-jiu Hou Wi-kang, lalu tampak pula Im-hong-ciang Kui Kok-hou dan Mo-in-jiu Kok Siau-thian.
Bekernyit alis Lamkiong Giok menyaksikan Bu-sian-gisu Kwanliong Ciong-leng berada bersama orang-orang Thian-seng-po, tapi segera katanya de-ngan tertawa, "Saudara
Kwanliong, sedari kapan kau bergaul dengan Oh Ku-gwat sekalian?"
Bu-sian-gisu Kwanliong Ciong-leng tertawa, sa-hutnya,
"Kami baru saja tiba di sini dan bertamu secara tak sengaja, maka kamipun beramai-ramai datang melihat keramaian. Mari, mari! Kita ber-sama-sama unjukkan diri untuk bertemu dengan mereka."
Sambil bicara Oh Ku-gwat sekalian lantas barjalan menuju ke tengah arena".
"Saudara Bok," tiba-tiba Lamkiong Giok ber-bisik, "coba lihatlah keadaan kita yang tidak me-nguntungkan ini, bagaimana kalau kita menghindar dulu untuk sementara waktu?"
Baru selesai berkata, mendadak suara tertawa yang
menyeramkan berkumandang tiba, menyusul seseorang
berkata, "Anak keparat Lamkiong Giok, jangan harap kau bisa kabur dari sini. Hehehe, se-kali ini pasti ada kesenangan yang akan kau cicipi kecuali bila setan tua ayahmu muncul mendadak di sini sekarang juga."
Ternyata Kun-tun Cinjin sedang berjalan ke arah mereka dengan langkah perlahan. Melihat itu, sadarlah Lamkiong Giok tak bi-sa kabur lagi, dengan nekat ia tertawa dingin, "Kun-tun Locianpwe, apakah kau hendak menganiaya orong muda?"
Kun-tun Cinjin tertawa seram, mendadak ia mencengkeram tubuh Lamkiong Giok, cepat serang-annya, tepat sasarannya.
"Mundur kau!" bentak Ji-sia, tangannya segera menabas tubuh Kun-tun Cinjin.
Terkejut Kun-tun Cinjin, terpaksa ia batalkan ancamannya terhadap Lamkiong Giok dan menyong-song serangan Bok Jisia.
"Plak!" terjadi adu tenaga pukulan.
Kun-tun Cinjin segera merasakan segulung te-naga pukulan yang kuat menumbuk tubuhnya, ia tergetar mundur tiga langkah.
Hal ini membuat Kua-tun Cinjin terkejut, pi-kirnya, "Kenapa tenaga pukulan bocah ini jauh le-bih kuat dari dulu" Padahal dalam seranganku ba-rusan paling tidak telah kusertakan enam bagian te-nagaku, jangan-jangan malam ini aku mesti tertimpa sial terus menerus."
Kemampuan Ji-sia memukul mundur Kun-tun Cinjin,
seorang tokoh di antara Bu-lim-jit-coat, tentu saja mengejutkan semua jago yang hadir, meskipun semua orang tahu ia memiliki kungfu yang hebat, tapi tidak menyangka sedemikian pesat kemajuan yang dicapainya.
Si-hun-koay-sat-jiu dengan sorot matanya yang tajam mengamati wajah Ji-sia sekejap, tiba-tiba ia maju
menghampirinya.
"Saudara Bok, awas Si-hun-koay-sat-jiu!" mendadak
terdengar Lamkiong Giok berseru kuatir.
Baru lenyap suaranya, mendadak Si-hun-koay-sat-jiu mengebaskan lengan baju kiri setajam pisau menyabat pergelangau tangan kanan Ji-sia.
Setelah mengalami pelbagai kelicikan dan ba-hayanya dunia persilatan selama setengah bulan ter-akhir ini, dalam hati Ji-sia telah mempertinggi ke-waspadaan, setelah menghajar mundur Kun-tun Cinjin tadi, diam-diam ia menghimpun tenaga dalam untuk menghadapi segala
kemungkinan, maka wak-tu Si-hun-koay-sat-jiu
menghampirinya, ia lantas ta-hu orang hendak mencari perkara kepadanya.
Karena itulah, ketika ujung baju Si-hun-koay-sat-jiu menyambar pergelangan tangan kanannya, cepat Ji-sia
berkelit ke samping, kemudian ia balas mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-koay-sat-jiu.
Si-hun-koay-sat-jiu tidak menyangka pemuda itu memiliki ilmu silat begini hebat, sebab serangan balasan itu sedemikian aneh sehingga ia tak men-duga sebelumnya, apalagi di antara rentang jari la-wan terasa ada lima gulung angin tajam menyam-bar tiba.
Dengan terkejut buru-buru ia tarik kembali se-rangannya sambil melompat mundur. Ji-sia tak memberi peluang bagi musuh, sambil membentak telapak tangan kirinya menyerang pula dengan jurus Sin-liong-jut-in (naga sakti keluar dari mega), kembali ia menabas.
Meski Ji-sia tahu tenaga dalam sendiri menda-pat kemajuan pesat sejak mendapat warisan tenaga murni hasil latihan puluhan tahun Oh Kay-gak, te-rutama setiap kali bila terhantam oleh orang selalu muncul hawa murni yang aneh menyalur ke sendi tulang sehingga membuat tubuh menjadi se-gar dan tenaga dalam seakan-akan bertambah kuat, tapi dia sendiri tak tahu sampai taraf bagaimanakah tenaga dalamnya sekarang.
Kini ia berhadapan dengan Si-hun-koay-sat-jiu yang seangkatan dengan gurunya dalam Bu-lim-jit-coat, mau-tak-mau timbul juga rasa tegangnya, maka be-gitu turun tangan ia gunakan tenaga sepenuhnya.
Melihat datangnya serangan hebat, Si-hun-koay-sat-jiu tertawa dingin, dengan tujuh bagian tenaga dalam telapak tangan kirinya menyambut ancaman lawan.
Ketika dua gulung angin pukulan ysng maha dahsyat itu bertemu, Ji-sia terguncang keras, tapi ia tetap berdiri tegak di tempatnya, sebaliknya Si-hun-koay-sat-jiu merasakan tenaga dahsyat menum-buknya, untung tenaga dalamnya cukup sempurna sehingga tubuhnya tak sampai tertolak mundur.
Semua orang yang hadir sama terkesiap, tim-bul perasaan jeri dan ngeri setiap orang terhadap Bok Ji-sia. Lamkiong Giok sendiripun merasa kaget me-nyaksikan kemampuan Ji-sia menyambut dua pukul-an dari dua tokoh Bu-lim-jit-coat, tapi diam-diam iapun kagum atas kesempurnaan tenaga dalam Jisia, tanpa terasa jerinya terhadap Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu jadi berkurang.
"Meskipun posisiku malam ini sangat berba-haya,"
demikian pikirnya, "tapi bila aku bekerja sa-ma dengan Bok Jisia, sekalipun tak bisa menan-dingi kedua jago lihai itu, untuk mempertahankan diri atau melarikan diri rasanya tidak menjadi soal."
Ketika rasa jerinya hilang, keberanian Lamkiong Giok pun timbul lagi, ia tertawa terbahak-bahak, sambil memberi hormat keoada Si-hun-koay-sat-jiu katanya dengan lantang,
"Sudah lama kudengar nama kebesaran Si-hun-koay-sat-jiu, sayang belum ada ke-sempatan untuk bertemu, sungguh beruntung ke-inginanku itu terpenuhi pada malam ini."
Dengan sinar mata tajam Si-hun-koay-sat-jiu
memperhatikan Lamkiong Giok dari atas hingga ke bawah berulang kali, kemudian ia tertawa seram.
"Konon Lamkiong Hian mempunyai seorang putera
kesayangan bernama Huan-in-kiam Lam-kiong Giok, apakah kau ini orangnya?" ia mene-gur dingin.
"Tidak berani! Tidak berani!" Lamkiong Giok tersenyum.
"Wanpwe hanya seorang pemuda ke-marin sore, masih sangat mengharapkan petunjuk dari Locianpwe."
Si-hun-koay-sat-jiu lantas menuding Bok Ji-sia dan bertanya. "Lamkiong Giok, siapakah orang ini?"
"Dia adalah seorang sahabat karib Wanpwe, harap
Cianpwe suka memaafkan," jawab Lamkiong Giok.
Meski orang berwatak aneh dan tinggi hati, menghadapi sikap sopan dan hormat Lamkiong Giok ini terasa enggan juga untuk bersikap keras, di sinilah terbukti betapa cerdiknya pemuda ini.
Ketika Kun-tun Cinjin melihat Si-hun-koay-sat-jiu
bermaksud mengundurkan diri, buru-buru seru-nya, "Anak keparat Lamkiong, mulutmu memang tajam sekali, sungguh kagum Lamkiong Hian mem-punyai seorang putera seperti kau, cuma malam ini jangan harap kau bisa lolos dari perhitungan utang lama."
Sambil berkata, pelahan Tosu itu mendekati Bok Ji-sia.
Pada saat itulah mendadak dari kamar sebelah kanan berkumandang suara teguran seorang laki-laki yang amat angkuh, "Hei, kalian manusia-manusia tak tahu diri, di tengah malam buta begini bukan saja sembarangan memasuki rumah orang, membuat gaduh lagi sehingga mengganggu
ketenangan tidur orang, jika tidak cepat-cepat enyah dari sini, jangan menyesal jika aku bertindak bikin kalian mati tanpa tempat kubur."
Sungguh nada yang sombong, siapa pun merasa tidak
puas. Si-hun-koay-sat-jiu tertawa seram, katanya, "Orang-orang Hek-liong-kang memang sombong, sebelum sempat melihat tampang mereka sung-guh aku merasa berat meninggalkan tempat ini!"
"Liong-coa-siang-siu, di mana kalian berdua?" suara orang tadi kembali berkumandang dari da-lam ruangan.
Dengan hormat Kau-lau-liong-siu menyahut "Kau-lau-liong-coa-siang-siu siap menunggu perintah Hoa-siauya!"
"Kalian berdua lekas turun tangan, bunuh orang yang baru saja berbicara itu!" perintah orang she Hoa dalam ruangan itu.
"Liong-coa-siang-siu siap melaksanakan perin-tah Siauya, cuma orang ini?""
"Macam apakah orang ini?"


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia Si-hun-koay-sat-jiu, salah satu tokoh Bu-lim-jit-coat yang termashur dalam dunia persilatan."
"Kenapa?" seru orang she Hoa dalam ruangan dengan
gusar, "hanya seorang Si-hun-koay-sat-jiu saja masa membuat kalian ketakutan" Betul-betul gentong nasi yang tak berguna, hayo cepat laksa-nakan perintahku!"
Meskipun kedua kakek ular dan naga dari bu-kit Kau-lau jeri terhadap Bu-lim-jit-coat, tidak ber-arti mereka takut kepada Si-hun-koay-sat-jiu.
"Hoa-siauya" kembali Kau-lau-liong-siu berkata dengan hormat, "kami mendapat perintah Sian-Li-nio-nio untuk melindungi keselamatanmu, dewasa ini kawanan jago lihai dari segenap penjuru dunia telah berkumpul di sini"."
"Tidak usah banyak bicara," tukas orang da-lam ruangan itu sambil membentak, "kalau tidak kau laksanakau perintah, segara kujatuhi hukuman mati kepada kalian!"
Si-hun-koay-sat-jiu merasa gusar sekali, dengan suara dingin serunya, "Setan cilik dari Hek-liong-kang, kau betul-betul sombong, kalau punya kepandaian, ayo menggelinding keluar!"
Sungguh amat aneh, meski suara orang dalam ruangan itu amat sombong, tapi setelah Si-hun-koay-sat-jiu
menantangnya, orang itu lantas membungkam.
Tiba-tiba Ji-sia berpaling kepada Lamkiong Giok dan bertanya, "Saudara Lamkiong, apakah orang yang berada di dalam itu adalah sasaran utama kita dari Hek-liong-kang?"
Lamkiong Giok tersenyum, sahutnya, "Saudara Bok, dari pihak Hek-liong-kang telah datang tiga orang laki-laki dan
empat orang perempuan, pen-tolannya ialah seorang gadis muda."
"Ku-cianpwe akan datang kemari, apakak maksudnya
hendak berjumpa dengan pemuda itu?" kembali Ji-sia bertanya.
Lamkiong Giok manggut-manggut, "Mungkin begitu!"
Dalam pada itu, Kau-lau-liong-coa-siang-siu, yang satu jangkung dan yang lain pendek telah tiba di samping Si-hun-koay-sat-jiu, tanpa bicara ke-dua orang itu lantas melolos senjatanya.
Kau-lau-coa-siu dengan senjata Poan-koan-pit segera menerjang ke muka, senjatanya langsung menutuk dada Si-hun-koay-sat-jiu.
Menghadapi serangan tersebut, Si-hun-koay-sat-jiu tidak melakukan reaksi apa-apa, ketika senjata Poan-koan-pit mendekati dadanya, ia baru tertawa dingin, telapak tangan kirinya menyampuk Poan-koan-pit lawan, sementara kakinya menendang perut Kau-lau-liong-siu.
Ketika Kau-lau-coa-siu menyerang Kau-lau-liong-siu juga segera mencabut kipas dan menutuk ke depan, tapi oleh tendangan Si-hun-koay-sat-jiu yang cepat, terpaksa ia menarik kembali kipasnya sambil melompat mundur.
Setelah berhasil mendesak mundur Kau-lau-liong-siu dengan tendangannya, tiba-tiba Si-hun-koay-sat-jiu merasa angin tajam kuat menyergap datang, kiranya Kau-lau-coa-siu telah memanfaatkan kesempatan itu untuk menghantam dari samping.
Si hun-koay-sat-jiu tertawa seram, tiba tiba ia memutar tangan kanannya, ia sambut ancaman Kau-lau-coa-siu tersebut dengan keras lawan keras.
Kau-lau-coa-siu cukup mengetahui kesempur-naan tenaga dalam musuh, melihat kuda-kudanya sangat kuat, tanpa
menggeser menangkis serangan-nya, ia tak berani
menyambut serangan tadi dengan kekerasan, cepat ia melompat ke samping.
Setelah dipaksa mundur tadi, Kau-lau-liong-siu menanti kesempatan baik untuk melancarkan se-rangan pula, maka ketika dilihatnya Si-hun-koay-sat-jiu mendesak mundur Kau-lau-coa-siu segera ia mem-bentak, pada saat musuh belum sempat menarik kembali tangannya, secepat kilat kipasnya mengebas pula dengan kuat.
Kau-lau-liong-coa-siang-siu memang mahir me-lancarkan serangan bersama, kerja sama mereka ke-tat dan hebat, apalagi tenaga dalam mereka memang sempurna, setiap gerak tangan cukup untuk me-renggut jiwa orang.
Jangan kira senjata Kau-lau-liong-siu hanya se-batang kipas saja, bila Si-hun-koay-sat-jiu sampai tersambar, niscaya akan terluka parah.
Si-hun-koay-sat-jiu memang bukan jago yang lemah, ketika menahan serangan Coa-siu di se-belah kanan, mendadak dari arah kiri mendesing angin tajam, ia tertawa dingin, tanpa berkelit dia ayunkan telapak tangan kiri untuk menolak kipas yang sedang menyergap itu.
Serangan Kau-lau-liong-siu itu sebenarnya di-lancarkan di luar dugaan lawan, tenaga yang diper-gunakan sangat hebat.
Ketika dilihatnya pihak lawan tidak berkelit, malahan menangkis pukulannya, dari kaget ia jadi takut, ia merasa sangsi, tahu-tahu te-naga pukulan Si-hun-koay-sat-jiu telah menekan kipasnya.
Ia merasa pergelangan tangan bergetar keras, kipasnya tertahan ke bawah dan nyaris terlepas, ke-ruan ia terperanjat.
Kau-lau-liong-siu sudah termashur selama pu-luhan tahun di dunia persilatan, seandainya senjata andalannya kena dipukul lepas oleh musuh dengan tangan kosong, hal ini akan
merupakan kejadian yang sangat memalukannya, dan pasti akan dipan-dang hina oleh majikannya.
Berpikir demikian, dengan dahi berkerut tanpa
mempedulikan keselamatan sendiri lagi ia himpun hawa murninya, kipas bergerak ke depan mengiringi gerak maju tubuhnya, serangan langsung pada Ciang-tay-hiat di dada musuh.
Pada saat yang sama senjata Poan-koan-pit dengan
membawa desing angin tajam juga menutuk dari samping. Si-hun-koay-sat-jiu menjadi gusar, hawa nafsu membunuh menyelimuti wajahnya, sambil tertawa aneh ia mendesak maju.
Telapak tangan kiri masih tetap menahan kipas Kau-lau-liong-siu, sedangkan kelima jari tangan kanan terentang lebar, dari serangan memukul ber-ubah jadi mencengkeram, secepat kilat ia mendak ke bawah lalu meraih ke atas dengan jurus Pek-hay-pok-li (laut hijau memantulkan sinar).
Dengusan tertahan berkumandang, tahu-tahu senjata
Poan-koan-pit Coa-siu kena dirampas oleh Si-hun-koay-sat-jiu.
Setelah berhasil merampas Poan-koan-pit itu dengan tangan kanannya, hawa nafsu membunuh Si-hun-koay-sat-jiu tambah berkobar, pergelangan tangannya bergetar dan Poan-koan-pit rampasan langsung menusuk dada Kau-lau-liong-siu.
Kakek naga dari bukit Kau-lau itu terperanjat, buru-buru ia membuang kipasnya sambil melompat mundur. Beberapa jurus serangan tersebut mereka laku-kan dengan cepat, terutama cara Si-hun-koay-sat-jiu merampas senjata lawan boleh dibilang merupa-kan jurus-jurus serangan ajaib.
Sambil mengacungkan senjata Poan-koan-pit dan kipas rampasan, Si-hun-koay-sat-jiu tertawa di-ngin, "Sekarang kalian harus memanggil anak jumawa itu untuk minta kembali senjata kalian ini."
Sejak terjun ke dunia persilatan, belum per-nah Kau-lau-liong-coa-siang-siu mengalami kekalahan seperti ini, mana mereka tahan terhadap ejek-an tersebut" Sambil membentak, kembali kedua orang itu menerjang maju.
"Jika ingin mampus jangan coba berkelit!" ejek Si-hun koay-sat-jiu, Poan-koan-pit dan kipas ram-pasan itu langsung diayunkan ke tubuh kedua ka-kek yang sedang menubruk maju itu".
Siapa yang tidak sayang akan jiwa sendiri" Se-kalipun Kau-lau-liong-coa-siang-siu telah mendapal penghinaan besar, tapi mereka enggan mati konyol, kedua orang itu segera
menghindar dengan melom-pat ke kiri dan kanan.
"Liong-siu, Coa-siu, mundur kalianl" suara jumawa tadi tiba-tiba berkumandang kembali dari dalam ruangan, "kalian bukan tandingan orang ini!"
Berbareng dengan selesainya ucapan tersebut pintu kamar tiba-tiba terpentang, empat orang laki laki berbaju ketat berpedang muncul beruntun dari dalam ruangan, paling belakang muncul lagi seorang pemuda yang berdandan perlente.
Sikap maupun gerak-gerik keempat laki-laki dan pemuda perlente itu amat sombong, seakan-akan tiada orang lain yang terpandang oleh mereka, sambil membusungkan dada mereka maju ke tengah.
Sinar mata mereka tak pernah memandang ke arah
kawanan jago itu, sikap sombong semacam itu sungguh menggusarkan hati semua orang. Mendadak keempat laki-laki itu terpencar ke kiri dan kanan, lalu berdiri tegak di situ, semen-tara si pemuda parlente berdiri tepat di depan Si-hun-koay-sat jiu.
Diam-diam Ji-sia mengamati pemuda parlente itu,
wajahnya tampak tampan dengan mata yang memancarkan sinar tajam, pemuda itu tampak ga-gah perkasa. Cuma
bibirnya tipis lagi lancip, jelas dia seorang yang berhati culas dan berjiwa sempit.
Pada saat itulah mendadak berkumandag su-ara siulan nyaring bernada sedih yang berkumandang dari jauh.
Tahu-tahu di tengah arena telah bertambah dengan
seorang laki-laki berwajah kurus, orang ini adalah pendekar besar satu jaman, Siau-yau-sian hong-khek Ku Thian-gak, ketika ia muncul, pemu-da perlente itu tampak gelisah.
Melihat kemunculan Ku Thian gak, buru-buru Ji-sia
menyongsong ke depan sambil berseru, "Ku-cianpwe, sungguh amat payah Wanpwe mencari-mu!"
Ketika melihat Ji-sia hadir di situ, sekulum senyuman pedih segera tersungging di ujung bibir Siau-yau-sian-hong khek Ku Thian-gak, wajahnya seperti sedih seperti juga murung, seakan-akan seorang yang putus asa dan menghadapi jalan bun-tu. Dari mimik wajah Ku Thian-gak tersebut Ji-sia segera tahu bahwa pendekar tersebut sedang di-liputi perasaan sedih luar biasa.
Tiba-tiba saja suasana di sekeliling tempat itu khidmat luar biasa. Ji-sia mempunyai rasa persahabatan yang te-bal dengan Ku Thian-gak, dengan perasaan terha-ru ia lantas menegur, "Ku-cianpwe, apakah engkau ada urusan yang perlu Wanpwe laksanakan ba-gimu?"
Sambil berkata ia maju ke depan menghampiri Ku Thian-gak".
Mendadak pemuda perlente tadi tertawa dingin dan
menegur, "Siapa kau" Cepat berhenti!"
"Ada apa?" sahut Ji-sia dingin, "kau hendak menghalangi aku bicara dengannya?"
"Betul, kau merasa tidak puas?"
Ji-sia tertawa hambar, "Ya, boleh kutahu si-apa nama Anda?"
Biasanya pemuda perlente itu beranggapan wajahnya amat tampan sehingga menimbulkan sikap angkuhnya, tapi setelah menyaksikan Ji-sia dan Lamkiong Giok sekarang, hatinya bergetar, pikirnya, "Tak nyana dalam dunia persilatan masih terdapat dua orang pemuda tampan dan gagah seperti mereka, saat ini Sumoay sudah mulai menginjak usia remaja, api asmaranya lagi berkobar, jika?""
Berpikir sampai di sini, sekulum senyuman li-cik segera tersungging di ujung bibir pemuda per-lente itu, katanya,
"Siaute she Hoa bernama Hong-hui, mau apa kau tanya namaku?"
"Kulihat saudara Hoa cukup gagah, ingin se-kali kuikat tali persahabatan denganmu."
"Ah, terpaksa membuatmu kecewa, aku tak suka
bersahabat dengan orang," sahut Hoa Hong-hui, si pemuda perlente itu dengan ketus.
Lamkiong Giok segera berseru sambil tertawa dingin,
"Saudara Bok, lagak orang itu terlalu som-bong, mana ia mau menerima uluran tanganmu!"
Tiba-tiba Ji-sia tertawa dan bertanya lagi, "To-long tanya saudara Hoa, ada perselisihan apakah antara pihak kalian dengan Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak Locianpwe?"
Hoa Hong-hui, pemuda perlente itu tidak men-jawab, sebaliknya malahan menegur dengan dingin, "Sudah cukup belum pertanyaanmu?"
Ji-sia mengernyitkan kening, lalu berkata lagi dengan dingin, "Jika saudara Hoa daa Ku-cianpwe tiada perselisihan apa-apa, maka sekarang juga akan kuajak Ku-cianpwe meninggalkan tempat ini, bila kau berani mengalangi kami, hati-kati dengan batok kepalamu."
Pemuda perlente itu sudah terbiasa bersikap jumawa, ia tak menyangka Ji-sia jauh lebih sombong daripadanya,
mendengar perkataan tersebut sambil tertawa seram katanya,
"Nyalimu sungguh besar sekali, kuberi batas waktu sekarang juga se-gera meninggalkan tempat ini, kalau tidak, tentu kau akan mampus tanpa tempat kubur!"
Tiba-tiba Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak menghela napas sedih, ucapnya," Bok-lote, tinggalkan tempat ini! Aku tidak menjadi soal di sini."
Ji-sia tak mengira jagoan yang termashur dan disegani ini tanpa sebab yang jelas bisa berubah menjadi lemah begini.
"Ku-cianpwe," Ji-sia berkata pula sambil menghela napas sedih, "bila kau tidak pergi bersamaku sekarang, maka segera kubunuh orang itu."
Hoa Hong-hui tertawa dingin, serunya, "Ka-lau kau
memang mencari kematian sendiri, jangan salahkan aku akan bertindak kejam padamu."
Terdengar ujung baju berkesiur, dengan gerak-an yang sangat cepat Hoa Hong-hui menerjang ke samping Ji-sia, lalu dengan suatu cengkeraman ki-lat mengancam urat nadi pergelangan tangan Ji-sia.
Menyaksikan gerakan lawan diam-diam Ji-sia memuji di dalam hati, "Betul-betul ilmu meringan-kan tubuh yang sempurna."
Sambil tertawa dingin, tangan kirinya segera membalik, secepat kilat ia balas cengkeram jalan darah Pit-ji-hiat pada lengan kiri Hoa Hong-hui. Tapi Hoa Hong-hui telah melayang lewat, ta-hu-tahu ia sudah berpindah ke belakang Ji-sia, su-atu pukulan dahsyat langsung menghantam pung-gung anak muda itu.
Ji-sia terkesiap, tanpa berpaling kaki kanannya mendepak ke belakang dan tepat mendepak Ho-im-hiat di selangkangan Hoa Hong-hui.
Pemuda perlente yang jumawa itu tertawa se-ram,
mendadak ia menyurut mundur, jurus-jurus serangan ganas dan lihai dilontarkan pula. Dalam waktu singkat ia telah melepaskan tiga kali tendangan dan enam pukulan, semua jurus se-rangan itu disertai dengan pancaran tenaga murni yang dahsyat.
Tapi semua serangan dapat dihindarkan oleh Bok Ji-sia, mendadak Hoa Hong-hui tertawa seram, tiba-tiba tangan kirinya menghantam Bok Ji-sia dari jauh.
"Awas, saudara Bok, ilmu pukulan Siau-yang-cin-kang"."
teriak Lamkiong Giok dengan kaget.
Melihat datangnya ancaman, sebenarnya Ji-sia telah menghimpun kekuatan untuk balas-menyerang.
Mendadak dirasakan segulung tenaga panas menyengat meluncur tiba yang memaksanya mundur tujuh-delapan langkah.
"Ia sudah terkena pukulan Siau-yang-cin-kang-ku," kata Hoa Hong-hui dengan suara dingin, "mumpung belum
terlambat, lekas pergi mencari tempat untuk mengubur tubuhmu!"
Mendengar ucapan tersebut, Ji-sia gusar se-kali, sambil membentak kedua telapak tangannya menyodok ke depan".
Tapi sewaktu tangannya ditolak ke depaa, ter-nyata sama sekali tidak bertenaga lagi.
Terdengar Lamkiong Giok menjerit kaget, "Saudara Bok, wajahmu"."
Ternyata wajah Ji-sia telah berubah menjadi merah darah, bahkan pemuda itu merasakan ke-palanya pusing seperti mau
pecah, langit serasa ber-putar dan bumi terbalik. Kehebatan ilmu pukulan Siau-yang-cin-kang ini seketika membuat kaget segenap jago lihai yang hadir.
Konon, barang siapa terkena pukulan itu, maka tujuh jam kemudian hawa racun panas akan me-nyerang jantung dan mengakibatkan korban tewas secara mengerikan, sesaat sebelum ajal tiba, dia akan merasakan siksaan yang hebat akibat kepanasan, penderitaan tersebut membuat siapapun tak kuat bertahan.
Setelah berhasil melukai Ji-sia, Hoa Hong-hui tergelak tertawa penuh rasa bangga, katanya, "O, rupanya dunia persilatan dewasa ini semakin keku-rangan jago berbakat"."
Ucapan itu sama artinya dengan menghina se-genap umat persilatan yang berasal dari Tionggoan, serentak air muka semua orang yang hadir berubah hebat.
Ketika selesai bicara, tiba-tiba Hoa Hong-hui bergerak maju dengan cepat luar biasa, ia mener-jang ke depan Si-hun-koay-sat-jiu.
Sebagai salah satu tokoh Bu lim-jit-coat, Si-hun-koay-sat-jiu juga seorang yang angkuh, ia me-rasa dongkol pada sikap Hoa Hong-hui yang som-bong itu, sambil tertawa dingin, tangannya segera mencengkeram ke sana.
Serangan ini menggunakan ilmu Toa-kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan mencengkeram) yang lihai, ia pikir meski Hoa Hong-hui memiliki ilmu yang lihai, pasti sulit juga untuk meloloskan diri dari sergapannya yang tiba-tiba itu.
Siapa tahu kejadian sama sekali di luar duga-annya, jangankan kena mencengkeram orang, men-jawil ujung baju Hoa Hong-hui saja tak berhasil, semua ini membuatnya terperanjat sekali.
"Tak nyana bangsat takabur ini bisa lolos dari
cengkeramanku," demikian ia pikir, "tampaknya orang Hek-liong-kang rata-rata adalah jago silat yang tangguh."
Hoa Hong-hui tertawa seram seraya berseru, "Rupanya Si-hun-koay-sat-jiu yang namanya ter-cantum dalam deretan Bu-lim-jit-coat tak lebih hanya begini saja."
Tiba-tiba ia menerjang ke sisi kiri Si-hun-koay-sat-jiu, tangan kanan mengebas, segulung angin ta-jam menghajar dada musuh. Tenaga pukulan ini cukup hebat, kelihayannya tidak berada di bawah beberapa tokoh persilatan terkemuka yang hadir.
Si-hun-koay-sat-jiu menyingkir ke samping, kemudian secara beruntun ia melepaskan enam kali pukulan dahsyat.
Hoa Hong-hui berseru heran, ia berputar cepat dan berpindah tempat beberapa kali, dalam waktu singkat ia berhasil menghindari keenam kali pu-kulan Si-hun-koay-sat-jiu tersebut.
Tapi berhubung kedua orang itu menyerang dan
menghindar dengan cepat luar biasa, maka mereka yang berada di sekitar arena tak dapat melihat je-las jurus serangan yang dipergunakan mereka, tapi semua orang mempunyai satu perasaan yang sama yakni jurus serangan kedua orang itu jelas jurus sakti yang mematikan.
Setelah berhasil menghindarkan diri dari keenam kali serangan kilat, Hoa Hong-hui kembali melancarkan
serangkaian serangan balasan. Tampak-nya kedua tangannya menyambar kian kemari men-ciptakan bayangan pukulan yang berlapis-lapis. Agaknya semua orang tidak menduga ilmu si-lat pemuda perlente ini akan begini lihai, keruan semua orang terperanjat.
Pertarungan antara kedua orang itu makin la-ma semakin cepat, kedua pihak sama-sama berusaha merebut posisi yang lebih menguntungkan. Mereka berdua sama menyadari hari ini
mereka telah bertemu dengan lawan paling tangguh yang pernah dijumpainya, menang kalah pertarungan ini sangat mempengaruhi kedudukan mereka selanjut-nya, maka siapa pun tak ada yang berani meman-dang enteng musuhnya.
Di tengah berlangsungnya pertarungan sengit itu, tiba-tiba Hoa Hong-hui berseru, "Si-hun-koay-sat-jui, ternyata nama besarmu bukan nama kosong belaka, bagaimana kalau kau coba lagi tiga jurus pukulanku Toh-hun-kui-im-ciang (perengut nyawa kembali ke akhirat}?"
"Kepandaian andalan apalagi yang kau miliki, keluarkan saja semuanya!" ejek Si-hun-koay-sat-jiu.
Sudah belasan jurus pertarungan mereka berlangsung, ia sudah mendongkol karena dengan kedudukannya sebagai jago kenamaan ter-nyata tak sanggup mengalahkan seorang anak mu-da, maka sambil membentak ia lancarkan pukulan tangan kiri dengan jurus To-coa-seng-gi (poros ber-putar bintang beralih), sementara tangan kanan membacok dengan jurus Thian-thian-lui-ing (ge-ledek membelah angkasa).
Kedua jurus serangannya ini yang satu me-rupakan
pukulan aneh dengan tenaga keras dan pukulan yang lain justeru merupakan pukulan hebat, ia ingin mengalahkan Hoa Hong-hui dengan cepat.
Tak sempat Hoa Hong-hui melancarkan se-rangan
mematikan, tahu-tahu jurus pukulan Si-hun-koay-sat-jiu telah mengurung batok kepalanya, terpaksa ia mesti membendung serangan lawan le-bih dulu.
Pada umumnya bila jago-jago lihai sedang ber-tarung, maka begitu dirasakan pihak musuh me-nyerang secara gencar, biasanya mereka akan meng-gunakan cara yang jitu untuk memaksa lawannya menarik ancaman itu.
Hoa Hong-hui bukan jago sembarangan, ten-tu saja iapun dapat melihat bahwa jurus Thian-thian-lui-ing pada tangan kanan Si-hun-koay-sat-jiu yang menabas pelahan itu
sesungguhnya me-ngandung tenaga dahsyat, bahkan
kemungkinan be-sar tersimpan pula perubahan lain yang lebih hebat.
Maka dengan jurus Hua-liong-thiam-cing (melukis naga memberi mata), tangan kirinya men-cengkeram urat nadi tangan kanan Si-hun-koay-sat-jiu, maksudnya hendak mendahului lawan se-hingga terpaksa menarik kembali ancamannya dan tak dapat mengembangkan kekuatannya.
Sekalipun tujuannya betul, tapi jurus serangan tersebut adalah andalan Si-hun-koay-sat-jiu, sampai di mana perubahan gerak yang sesungguhnya sulit untuk diduga orang. Melihat serangan Hoa Hong-hui, dengan ce-pat Si-kun-koay-sat-jiu menarik kembali telapak ta-ngannya.
Tapi menyusul tenaga pukulan yang sesung-guhnya lantas terhimpun terus ditolak keluar pula. Kebanyakan jago yang hadir sama-sama di-bikin bingung oleh kejadian itu, mereka tak tahu kepandaian apa yang telah digunakan Si-hun-koay-sat-jiu sehingga pukulan yang pelahan dan tak ber-suara itu ternyata sanggup memukul mundur pe-muda jumawa yang kosen itu.
Sesudah merasakan pukulan itu, rasa jumawa Hoa Hong-hui jauh berkurang, sambil mengatur napas-nya, ia berkata dingin, "Ilmu silatmu memang sa-ngat hebat, sekarang sepantasnya kaupun menyam-but sekali pukulanku!?"
Selesai berkata, mendadak terdengar Ji-sia membentak,
"Hei, orang she Hoa, pukulanmu itu biar aku orang she Bok yang menerimanya!"
Kiranya warna merah pada wajah Ji-sia telah hilang, mendadak ia menerjang maju, dengan telapak tangan
langsung ia menghantam.
Hoa Hong-hui tidak mengira Ji-sia masih mam-pu
menyerangnya meski sudah kena pukulan Siau-yang-sin-kang,
bahkan tenaga pukulannya tambah kuat. Ia terkesiap dan buru-buru menghimpun te-naga dan menangkis.
Dengusan tertahan berkumandang, tubuh Ji-sia yang
melompat maju itu terjatuh kembali ke ta-nah termakan oleh tenaga pukulan Hoa Hong-hui yang hebat.
Lamkiong Giok berkerut kening, cepat ia menerjang maju dan berseru, "Jangan gugup sau-dara Bok, kudatang
membantumu!"
Belum selesai ucapannya, tiba-tiba terdengar Hoa Hong-hui, si pemuda parlente menjerit keras, tubuhnya mencelat sejauh empat-lima langkah ke belakang. Lamkiong Giok tertegun, tanpa terasa ia henti-kan langkahnya.
Dengan pengetahuan dan pengalamannya yang luas, sekali pandang saja ia lantas mengetahui bahwa Hoa Hong-hui telah terkena pantulan tenaga pu-kulan Ji-sia.
Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin amat ter-peranjat, pikirnya, "Sungguh aneh anak muda itu, jarang ada Lwekang sehebat ini kecuali Boan-yok-sin-kang dari golongan Buddha yang dapat menge-luarkan tenaga pantulan sedahsyat ini".Jangan-jangan anak muda ini sudah berhasil pula meyakinkan ilmu sakti tersebut"."
Ketika menyaksikan Hoa Hong-hui tergetar mundur,
Lamkiong Giok yang licik merasa ada ke-sempatan baik baginya untuk membunuh orang itu, mendadak ia melolos pedangnya, cepat ia menusuk Hoa Hong-hui.
Tak terlukiskan rasa gusar Hoa Hong-hui oleh serangan itu, ujung bajunya segera dikebaskaa ke depan. Tiba-tiba Lamkiong Giok merasakan angin pu-kulan yang panas
menerjang tiba, sambil tertawa dingin ia melayang ke samping, dengan pedang panjang ia tebas ujung baju Hoa Hong-hui yang mengebas datang itu, sementara tangan kirinya mengebut, empat titik cahaya putih secepat kilat me-nyambar ke sana.
Mendadak Kau-lau-liong-coa-siang-siu memben-tak, dari kiri dan kanan mereka menubruk Lam-kiong Giok, sanjata mereka serentak bekerja.
Lamkiong Giok melotot gusar, bukan mundur sebaliknya ia malah maju, ia putar pedangnya hingga menciptakan berlapis-lapis cahaya hijau untuk melindungi seluruh tubuhnya.
Bentrokan nyaring berkumandang secara be-runtun,
keempat bilah pedang pendek di tangan kiri Lamkiong Giok tahu-tahu terpukul rontok oleh sabatan kilat pedang Hoa Hong-hui, lalu hendak dipungutnya pedang pendek itu dari tanah.
Lamkiong Giok segera membentak, ia melom-pat maju, pedang berputar dan membacok tangan orang, serangan ini datang dengan cepat luar biasa, Hoa Hong-hui terkejut dan cepat melompat mundur.
Lamkiong Giok tampak gagah perkasa, sekali lagi ia lancarkan serangan, di antara putaran cahaya tajam, ia desak mundur Kau-lau-liong-coa-siang-siu yang sedang menubruk maju itu.
Pada kesempatan itu Lamkiong Giok menge-baskan ujung baju kirinya, keempat bilah pedang yang jatuh itu kembali meluncur masuk ke balik ujung bajunya.
Diam-diam Ji-sia kagum menyaksikan kehebat-an Lamkiong Giok, ia merasa ilmu silat sendiri terlampau cetek dibandingkan orang.
Di sebelah sana terdengar Bu-sian-gisu Kwan-liong Ciong-leng tertawa terbahak-bahak sambil ber-seru, "Lamkiong-lote, malam ini kami dapat me-nyaksikan ilmu silat andalan keluargamu, ternyata memang hebat sekali, sungguh kagum!"
Dengan gebrakan tadi, Hoa Hong-hui merasa kehilangan muka, matanya memancarkan sinar dengki dan benci, dengan gusar ia memelototi Lam-kiong Giok dan Ji-sia secara
bergantian. Padahal kalau Hoa Hong-hui tidak kena di-hajar oleh Ji-sia lebih dulu sehingga darah di tu-buhnya bergolak keras, tak nanti Lamkiong Giok bisa mendesak mundur lawannya.
Melihat sorot mata Hoa Hong-hui itu, Ji-sia lantas mendongkol sekali, ia mendengus, "Mau apa kau melotot"
Kalau mampu hayo majulah dan ber-tarung lagi beberapa jurus!"
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan merdu
berkumandang, "Aduh, Enci Sat, tahukah kau siapa orang itu"
Kenapa begitu galak se-hingga membuat akupun merasa ketakutan?"
Mendengar suara tersebut, semua orang sama berpaling ke arah suara itu. Di bawah sinar bulan tertampak tiga sosok bayangan tubuh yang indah muncul dari kegelap-an. Setelah melihat jelas wajah ketiga orang gadis itu, seketika semua orang merasakan jantung berdebar, mereka sama menaruh perhatian ke arah ga-dis berbaju biru yang berada di tengah.
Kiranya gadis yang berada di tengah itu me-makai baju berwarna biru dengan potongan badan yang ramping tapi padat berisi, kulit tubuhnya pu-tih, jari lentik, sayang mukanya tertutup oleh kain cadar berwarna biru sehingga orang sulit melihat jelas wajahnya.
Walaupun semua orang tak dapat melihat je-las wajahnya, anehnya dalam hati setiap orang tim-bul perasaan bahwa dibalik kain cadar biru itu pasti tersembunyi seraut wajah yang cantik jelita bak bidadari dari kayangan. Sebab baik potongan tubuhnya yang menggiurkan serta suaranya yang merdu dan kulit tubuh yang putih dengan jari yang lentik, semuanya ciptaan Thian yang amat sempurna.
Potongan tubuhnya baik dipandang dari sudut manapun akan mendatangkan daya rangsang dan daya pikat bagi setiap lelaki. Kedua gadis lainnya mengenakan baju berwarna putih,
mereka tidak bercadar, tapi wajahnya pun sangat molek, alisnya hitam bagaikan semut ber-iring, hidungnya mancung dan bibirnya mungil, kulit badannya putih, betul-betul kecantikan yang ti-ada tara.
Tapi setiap lelaki tak berani menikmati ke-cantikan mereka, sebab pada wajah kedua orang gadis berbaju putih itu masing-masing membawa ciri khas yang membuat orang takut.
Gadis di sebelah kiri yang berwajah kemerah-an selalu diliputi keseriusan seakan-akan sekuntum bunga sakura yang tumbuh dipuncak bukit salju, sikapnya anggun tapi dingin itu membuat orang tak berani memandangnya.
Si gadis yang di sebelah kanan selalu tersenyum simpul, senyuman yang penuh daya pikat dan cu-kup untuk
merenggut nyawa siapapun, potongan tubuh serta gerak-geriknya genit penuh kemanjaan, membuat siapapun yang memandangnya jadi terpesona, bisa melayang sukma mereka, maka semua orang pun tak berani menikmati kecantikannya.
Sebab itulah pandangan semua orang sama ter-tuju pada diri gadis baju biru itu, karena hanya dia yang memiliki segala daya tarik bagi kaum pria sekalipun tanpa melihat mukanya.
Setelah melirik sekejap ke arah ketiga gadis itu diam-diam Ji-sia menghela napas, ia merasa dunia ini benar-benar ajaib bisa terdapat tiga orang pe-rempuan seaneh itu.
Setelah ketiga gadis ini muncul, serentak ke-empat orang laki-laki berbaju ringkas, Kau-lau-Liong-coa-siang-siu serta pemuda perlente tadi sama memberi hormat kepada gadis baju biru yang ber-cadar itu, kemudian dengan khidmat mereka ber-diri di samping.
Dengan suara nyaring Hoa Hong-hui lantai berkata, "Bila kehadiran Siocia tidak disambut oleh kakak sekalian, harap sudi dimaafkan."
"Hoa-suheng," kata gadis berbaju biru itu dengan suara merdu, "siapakah laki-laki yang barusan berkelahi denganmu itu?"
Hoa Hong-hui melengak, sahutnya, "Siocia, akupun tak tahu siapa namanya"."
"Sangat tinggikah ilmu silatnya?" kembali gadis baju biru bercadar itu bertanya.
Hoa Hong-hui tersenyum, "Orang itu sudah terluka oleh pukulan Siau-yang-sin-kangku, mung-kin tak lama lagi akan pulang ke akhirat."
"O, kalau begitu orang ini memang ganas dan keras
kepala?" Mendengar ucapan tersebut, Ji-sia merasa gu-sar sekali, bentaknya, "Perempuan liar, kalian jangan terlalu menghina orang. Hmm, orang she Hoa, kau betul-betul tak tahu malu, beraninya cuma di de-pan perempuan?"
Belum lagi selesai dampratan itu, kedua kakek naga dan ular dari Kau-lau-san segera menghardik, "Bangsat cilik, kau sudah bosan hidup?"
Ji-sia tertawa dingin, mendadak ia melompat maju ke depan kakek naga dari bukit Kau-lau, be-runtun tangan kiri dan kanannya melancarkan han-taman berantai.
Kedua kakek naga dan ular dari Kau-lau-san tidak
menyangka Bok Ji-sia berani menyerang me-reka, cepat mereka membentak, kedua telapak ta-ngannya menolak ke depan.
Kedua orang itu berhasrat membinasakan Ji-sia, maka serangan itu menggunakan sepenuh tenaga mereka.
Tiba-tiba gadis berbaju biru itu berseru merdu, "Kalau dua lawan satu, itu artinya tidak adil. Enci Sat, punahkanlah tenaga pukulan mereka itu!"
Baru selesai ia berkata, gadis bermuka dingin yang berada di sebelah kirinya segera mengebaskan tangan kanannya pelahan, segulung angin lembut se-gera berhembus ke tengah tenaga pukulan kedua pihak.
"Brek! Brek!" benturan terjadi, Kau-lau-liong-coa-siang-siu merasakan tenaga pukulan halus me-maksa mereka harus menyurut mundur dua langkah.
Ji-sia mendengus gusar, secepat kilat tubuhnya berkelebat ke samping Kau-lau-lioug-siu, telapak tangan kanan kembali melancarkan pukulan dahsyat.
Cepat Kau-lau-liong-siu memutar tangan kiri untuk
menangkis dengan keras lawas keras. Begitu tenaga pukulan itu saling bentur, seketika Kau-lau-liong-siu merasakan darah dalam tubuh bergolak, tak kuasa lagi ia mundur tiga langkah.
"Sambut lagi pukulanku ini!" bentak Ji-sia, ta-ngan kirinya segera menghantam pula.
Kau-lau-liong-siu tidak mengira musuh yang cuma seorang pemuda lemah ternyata memiliki te-naga dalam sedemikian sempurna sehingga mampu menahan pukulannya, ini
membuatnya terkejut, ma-ka ketika melihat serangan kedua Ji-sia datang lagi dengan kekuatan yang jauh lebih hebat dari serang-an pertama, ia jadi tak berani menyambutnya se-cara kekerasan, cepat ia lompat ke samping.
Melihat musuh tak berani menerima serangan-nya dengan kekerasan, Ji-sia memburu maju dan menghantam pula.
Kau-lau-liong-siu berkelit lagi, kemudian iapun balas hantam dada lawan. Ji-sia seolah-olah tak sempat lagi menghindar, ia menjatuhkan diri ke belakang sehingga tubuh ba-gian bawah sama sekali terbuka di bawah ancaman lawan.
Kesempatan baik ini tentu saja tidak dilewat-kan Kau-lau-liong-siu dengan begitu saja, kontan ia menghantam ke bawah, yang dibacok adalah perut Ji-sia.
Tiba-tiba gadis berbaju biru tadi menghela na-pas sambil bergumam, "Kali ini dia terperangkap oleh siasat licin musuh"."
Belum lenyap suaranya, mendadak Ji-sia me-mutar tubuh, secepat kilat tangan kanannya me-nyambar dan samping.
Cengkeraman ini cepat luar biasa, lagipula di luar dugaan musuh, Kau-lau-liong-siu hanya mera-sakan pergelangan tangan kanannya menjadi kaku, tahu-tahu urat nadinya telah tercengkeram lawan, Ji-sia mengerahkan tenaga murninya, Kau-lau-liong-siu segera merasakan darah mengalir balik dan menyerang jantung, separuh tubuhnya menjadi kaku, seluruh kekuatan lenyap.
Air muka kawanan jago yang hadir sama be-rubah hebat, mereka terkesiap menyaksikan Kau-lau-liong-siu yang termashur ternyata kena diceng-keram urat nadinya oleh musuh hanya dalam bebe-rapa gebrak saja.
Terutama sekali Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, rasa
kagetnya betul-betul tak terlukiskan, pikirnya, "Meskipun ia mendapat perhatian dari Oh Kay-gak dan memperoleh warisan tenaga murninya sehingga dalam waktu singkat menjadi seorang jago lihai, ta-pi bagaimanapun, mustahil ia dapat menguasai se-luruh kepandaian sakti Jite dalam beberapa hari saja. Tapi semua kepandaian yang ia gunakan ini jelas merupakan inti kepandaian Jite, kemajuannya betul-betul mengerikan sekali, bila manusia sema-cam ini dibiarkan hidup beberapa tahun lagi, nis-caya tak seorang pun dalam dunia persilatan yang mampu menandinginya lagi"."
Ji-sia mencengkeram urat nadi Kau-lau-liong-siu erat-erat, sementara telapak, tangan kirinya, ditempelkan pada punggungnya, lalu dengan dingin katanya kepada gadis berbaju biru itu, "Nona, ta-hukah kau bahwa mati hidupnya telah berada di ta-nganku" Jika kau masih memikirkan keselamatannya, maka kuharap kaupun bersedia mengabulkan sebuah permintaanku."
Air muka Hoa Hong-hui berubah hebat, tiba-tiba ia maju menghampiri Bok Ji-sia.
"Berhenti Hoa-suheng!" tiba-tiba gadis berbaju biru itu berseru merdu, "biar ia bicara dulu apa permintaannya!"
Ji-sia tertawa dingin, katanya, "Aku cuma ber-harap kau mau pulihkan kebebasan Siau-yau-sian-hong khek Ku Thian-gak Ku-locianpwe!"
Gadis genit di sebelah kanan gadis berbaju bi-ru itu tiba-tiba tersenyum, dengan lemah gemulai ia berjalan
menghampiri Ji-sia. Melihat senyumannya yang penuh daya pikat itu, hati semua orang bergetar keras, tanpa terasa mereka sama menunduk kepalanya dan tak berani
memandang lagi.
Mencorong sinar mata Ji-sia, ia mendengus pe-nuh
menghina, lalu serunya, "Jangan coba main gila denganku, bila maju selangkah lagi, segera ku-hancurkan isi perutaya."
Gadis baju biru bercadar itu berseru kuatir, "Enci Sat, sungguh aneh sekali! Kenapa orang ini sedikitpun tidak takut"
Orang lain sama terkesima seperti orang linglung, tapi ia sama sekali tidak me-rasa apa-apa, seakan-akan sama sekali tidak terpengaruh?"
"Ia tidak melihat," ujar gadis berwajah dingin, "coba kalau melihat pasti juga"."
Gadis genit tadi merasa dongkol ketika semua orang terkesima oleh senyuman manisnya sehingga menundukkan kepala, tapi hanya Ji-sia saja yang sama sekali tidak terpengaruh, ia mendengus, lalu putar badan sambil bergumam, "Aku tidak percaya kau adalah seorang lelaki berhati sekeras baja yang sama sekali tidak terpengaruh oleh nafsu. Hmm tunggu saja, suatu hari aku pasti akan menyuruh kau berlutut dan memohon di hadapanku."
Sebetulnya kata-kata ini merupakan isi hatinya, tapi dalam keadaan marah tanpa terasa terucapkannya.
Gadis baju biru bercadar itu tertawa cekikikan, serunya,
"Enci Pek Bi, mulai kapan kau akan mem-buatnya berlutut dan memohon kepadamu?"
Selapis warna merah dadu menghiasi wajah gadis yang bernama Pek Bi itu, katanya dengan su-ara merdu, "Siocia, kenapa kau malah bergurau dengan Cici?"
"Hai, sesungguhnya bagaimana kalian?" Ji-sia berseru dengan dingin, "kalau tiada jawaban, segera akan kubunuh dia."
"Kalau ia mati, kaupun jangan harap bisa hi-dup," kata si gadis dingin dengan suaranya yang menggidikkan.
Mendengar ucapan tersebut, Ji-sia berpaling, tapi ketika beradu pandang dengan sorot mata la-wan, timbul rasa seram dalam hatinya, sebab so-rot mata gadis itu mengandung hawa pembunuhan yang mengerikan.
Dengan perasaan terkejut Ji-sia berpikir, "Kedua orang gadis yang berada di hadapanku ini, yang satu senyumnya mengandung daya pikat yang luar biasa sebaliknya yang lain sedingin salju yang mem-buat orang bergidik, mungkin mereka melatih semacam ilmu sesat yang lihai, kalau tidak kenapa sebesar itu daya pengaruhnya" Tampaknya ilmu di dunia ini memang beraneka ragam?""
Berpikir demikian, segera ia menjengek, "Ah, belum tentu!"
Sambil berseru cengkeramannya tambah kuat lagi, Kau-lau-liong-siu segera merasakan isi perut-nya seperti dipuntir, ia kesakitan.
"Bukankah Ku Thian-gak masih berada disitu dengan
baik?" kata gadis berbaju biru itu de-ngan suara yang lembut,
"kenapa kau malah memo-hon kepadaku, sungguh aneh."
"Hmm, jangan main gila padaku."
Bicara sampai di sini, mendadak Ji-sia mem-bungkam, ia memang tak tahu ada perselisihan apa antara Siau-yau-sian-hong-khek dengan pihak Hek-liong-kang, cuma dia pikir Ku Thian-gak pasti ada alasannya sehingga kena dikuasai mereka, kalau tidak dengan jiwanya yang gagah perkasa mana sudi tunduk pada gadis-gadis itu.
Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak tertawa getir, katanya, "Bok-lote, aku tidak apa-apa, cepat-lah tinggalkan tempat ini!"
Ji-sia dapat menangkap kesedihan yang meng-hiasi wajah Ku Thian-gak, sambil menghela napas katanya, "Ku-cianpwe, kau".."
"Ku Thian-gak!" mendadak Hoa Hong-hui, si pemuda
perlente itu berseru dengan nada memerintah, "cepat laksanakan perintahku, bunuh orang itu!"
Air muka Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak tampak berubah, kulit mukanya mengejang pe-nuh penderitaan, katanya sedih, "Hoa".masa su-dah kau lupakan hubungan baik dahulu" Daripada membunuhnya, lebih baik kuterima hukuman yang mengerikan menurut peraturan perguruanmu, matipun aku tak sudi melakukan perbuatan yang khi-anat dan durhaka."


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau berani membangkang perintah Thian-yang-
ciangbunjin!" bentak Hoa Hong-hui dengan gusar.
"Matipun tak berani aku melawan perintah Thian-yang-ciangbunjin, cuma kau".."
"Tutup mulut, rupanya kau ingin, mampus!" bentak Hoa Hong-hui semakin marah.
Di tengah bentakan tersebut, secepat kilat ia menerjang maju, telapak tangan kanannya langsung menabas.
Anehnya, pendekar besar yang gagah perkasa itu sedikit pun tidak berniat menghindarkan se-rangan tersebut, "Blang!"
dengan telak dadanya termakan oleh pukulan itu.
Tidak enteng pukulan itu, tubuh Siau-yau-sian-hong-khek seketika mencelat sejauh beberapa kaki dan muntah darah, mukanya berubah menjadi pucat seperti mayat, kulit mukanya mengejang me-nahan rasa sakit dan penderitaan yang hebat.
Rasa sedih dan kesal jelas terpancar pada wajahnya".
Sambil tertawa dingin Hoa Hong-hui mengejar maju, suatu pukulan dahsyat dilancarkan pula. Para jago yang hadir betul-betul tak habis me-ngerti kenapa Ku Thian-gak tidak berusaha meng-hindarkan diri dari serangan tersebut, sebaliknya rela dipukul begitu saja, lebih-lebih tak dimengerti ada perselisihan apakah yang sesungguhnya di an-tara mereka.
Mencorong sinar mata Bok Ji-sia menyaksikan kejadian itu, bentaknya dengan gusar, "Orang she Hoa, aku Bok Ji-sia bersumpah tak akan hidup bersama denganmu!"
Tenaga murninya segera terpancar dari telapak tangan kirinya, tubuh Kau-lau-liong-siu tergetar hingga mencelat ke arah ketiga gadis tadi.
Kemudian bagaikan burung ia melayang ke arah Hoa Hong-hui, telapak tangan kanannya se-gera menghantam. Dalam serangan itu ia sertakan tenaga dalam-nya sembilan bagian, di mana desing angin me-nyambar, debu pasir segera
beterbangan. Hoa Hong-hui, si pemuda yang angkuh itu ter-tawa dingin, kedua telapak tangannya bergerak
mem-bentuk satu lingkaran di depan dada lalu ditolak ke depan, ia sambut ancaman Ji-sia itu dengan kekerasan.
"Blang!" benturan keras meledak, tenaga pu-kulan
menyerang dengan membawa deru angin ke-ras.
Hoa Hong-hui merasakan tenaga tekanan yang maha kuat menyambar datang, buru-buru ia him-pun tenaga untuk mempertahankan diri agar jangan terlempar ke belakang.
Ji-sia mendengus, telapak tangan kiri melan-carkan bacokan kilat pula. Dengusan tertahan berkumandang, tubuh Hoa Hong-hui segera terpental jauh.
Kejadian ini sungguh merupakan peristiwa me-malukan yang belum pernah dialami Hoa Hong-hui, selapis hawa pembunuhan yang kejam segera menghiasi wajahnya yang tampan, sambil tertawa dingin ia berseru, "Bagus! Bagus sekali! Orang she Bok, kali ini kau harus mampus!"
Sambil berkata pelahan dia mengangkat te-lapak tangan kanannya".
Ji-sia tahu ilmu silat orang sangat lihai, ia tak berani gegabah, ia menengadah ke depan.
Di bawah sinar bulan tertampak telapak ta-ngan musuh telah berubah menjadi merah membara, hatinya bergetar keras, pikirnya, "Inikah ilmu pu-kulan Siau-yang-sin-kang?"
Sementara ia termenung, telapak tangan Hoa Hong-hui yang diangkat itu mendadak memukul ke depan. Tiba-tiba saja Ji-sia merasa ada segulung ha-wa panas menerjang tubuh bagian atas, dengan ka-get ia kerahkan tenaga untuk mempertahankan diri sambil melancarkan serangan balasan.
Hoa Hong-hui cukup dalam pengetahuan ilmu silatnya, sewaktu dilihatnya serangan Ji-sia tidak membawa desing angin tajam, bahkan terasa halus dan pelahan, hatinya terperanjat, hawa murni Siau-yang-sing-kang yang terhimpun segera dilon-tarkan lebih cepat untuk menyongsong
datangnya pukulan Ji-sia itu.
Pertarungan mereka ini berbeda dengan per-tarungan yang terjadi pada umumnya, jika dalam pertarungan biasa orang akan bertarung dengan ce-pat, sekarang pertarungan mereka
dilakukan dengan lambat dan kelihatan amat sederhana.
Namun dalam pandangan seorang ahli, justru mereka tahu di balik kelambanan tersebut sesung-guhnya terkandung tenaga pukulan yang maha dah-syat.
Dalam waktu singkat, hawa murni Siau-yang-sin-kang Hoa Hong-hui telah saling bertumbukan dengan tenaga pukulan Jisia.
Tiba-tiba di antara kedua orang itu muncul pusaran angin yang sangat kuat. Setelah melepaskan pukulan tadi, hati Ji-sia bergetar, ia merasa kekuatan pukulan lawan datang bagaikan gelombang yang tak terputus, nyaris ia tak sanggup mempertahankan diri, dengan mata melotot, telapak tangan kiri cepat melancarkan pukul-an pula.
Hoa Hong-hui dendam kepada Ji-sia kerena pemuda itu membuatnya malu di depan umum, timbul niatnya untuk membinasakan pemuda ter-sebut, asal musuh mampus maka iapun dapat jual tampang lagi di depan Sumoaynya.
Siapa tahu baru berpikir sampai di sini, men-dadak tubuhnya bergetar keras, tenaga pukulan yang merembes datang tiba-tiba bertambah kuat sehing-ga ia terdorong mundur selangkah. Dengan rasa kaget bercampur gusar ia men-dengus, telapak tangan kiri cepat dilontarkan pula ke depan.
Terdengar kua kali dengusan tertahan, debu pasir pun menyelimuti udara sekitar situ. Walaupun di antara para jago yang hadir ada yang memiliki ketajaman mata melebihi orang lain, tapi siapapun tak berhasil melihat jelas keadaan se-benarnya di balik tabir debu pasir itu.
Setelah tebaran debu pasir mulai rnereda, para jago berseru tertahan dan menghela napas panjang".
Di bawah sinar bintang tertampak dua sosok tubuh roboh terkapar di atas tanah.
Melihat Ji-sia tergeletak tak berkutik, pelahan Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat menghampirinya, lalu menghela napas sedih, "Ai, tak kusangka beginilah akhirnya pemuda yang keras hati ini, mengingat hubunganku dengan gurunya, bila kuuruskan jenazahnya ini"."
"Setan tua, jangan berlagak kasihan," ejek ga-dis baju biru bercadar tadi, "memangnya kau kira dia sudah mampus?"
Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tertegun mende-ngar ucapan tersebut, diamati wajah Bok Ji-sia se-kali lagi, betul juga, meski pemuda itu berbaring dengan mata terpejam, tapi dengan ketajaman mata Oh Ku-gwat, di bawah sinar bintang yang redup tampak muka anak muda itu tetap segar seperti sediakala, hal ini membuatnya terperanjat.
Meski demikian, dengan wajah yang tak ber-ubah tapi bernada sedih ia berkata, "Coba lihat, begitu parah lukanya, mana mungkin ia hidup lagi?"
Sambil berkata, dengan tenaga dalam yang ter-himpun pada telapak tangan ia pura-pura memeriksa napas Bok Ji-sia, padahal pada kesempatan itu ia justeru hendak
membinasakan pemuda itu.
Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak segera memben-tak, suatu pukulan dilontarkan ke depan.
Tak sempat lagi Oh Ku-gwat mencelakai Bok Ji-sia,
terpaksa bentaknya, "Saudara Ku, kenapa kau ini?"
Telapak tangan kanannya menyambut serangan orang
dengan keras lawan keras. Ketika tenaga pukulan saling bertemu, timbul angin puyuh yang mendampar kemana-mana, ke-dua pihak sama-sama merasakan tubuh bergetar keras.
Ku Thian-gak menarik kembali tangannya di depan dada, kemudian berkata dengan dingin. "Kenapa" Masa kau tidak mengerti" Sekalipun ia sudah mati, adalah menjadi
kewajibanku untuk mengurus layonnya, apa urusannya denganmu?"
Tiba-tiba ia berjongkok dan meraba dada Ji-sia, ternyata denyut jantungnya masih ada, napas-nya juga masih
terdengar meski amat lirih, sebagai seorang jago yang berpengalaman, hanya sekilas pandang saja ia sudah tahu Jisia terluka oleh se-macam tenaga pukulan beracun, sebab kalau pu-kulan Siau-yang-sin-kang saja air mukanya tak akan berubah menjadi semu merah.
Ia coba memegang jidatnya, ternyata dingin ba-gaikan es, parah sekali rupanya lukanya, cepat ia mengangkat tubuh Jisia. Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tertawa dingin, mendadak ia maju menyerang, secepat kilat tangan kirinya menyambar tubuh Ji-sia.
Dengan cekatan Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak melompat ke samping untuk menghindar.
"Oh Ku-gwat!" tegurnya ketus, "sekali lagi kau berani menyerang, kubeberkan semua akal busuk-mu di kepan umum, akan kulihat bagaimana cara-mu memberi sangkalan!"
Gagal dengan serangannya, Oh Ku-gwat ter-kekeh-kekeh,
"Hehehe, mana, mana! Asal saudara Ku sanggup melindungi keutuhan jenazahnya akupun tak perlu banyak urusan lagi."
Heran dan bingung bagi kawanan jago yang hadir,
siapapun tak mengerti akan ucapan mereka berdua, yang jelas Oh Ku-gwat berniat membunuh Bok Ji-sia yang terluka parah, tapi apa tujuannya"
Sudah barang tentu semua orang tak menyangka ruyung emas Jian-kim-si-kun-pian berada dalam baju Bok Ji-sia, seandainya Oh Ku-gwat berhasil mem-bunuh anak muda itu dan mengurus layonnya, bukan-kah ruyung emas itupun tanpa diketahui orang akan berpindah tangan"
Sayangnya, justru tipu muslihat Oh Ku-gwat yang licin ini diketahui oleh Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak serta Bu-sian-gisu Kwanliong Ciong-leng.
Sementara itu tiga nona dari Hek-liong-kang telah berada di samping Hoa Hong-hui, si nona genit Pek Bi coba memegang urat nadi Hoa Hong-hui, sejenak kemudian tiba-tiba ia lepas tangan, lalu katanya dengan senyum dikulum, "Nona, me-nurut analisa Cici, luka Hoa-suheng diakibatkan semacam tenaga pukulan yang lihai, Cici tak tahu ilmu pukulan apakah itu, tampaknya terpaksa nona harus turun tangan sendiri."
Nona bercadar biru itu menghela napas sedih lalu berkata,
"Pemuda she Bok itu betul-betul ga-nas. Ai, Pek Sat Cici, apakah kau hendak menyem-buhkan luka Hoa-suheng" Ia sudah terkena sejenis pukulan yang melukai pelbagai nadinya, untung saja tenaga dalam orang she Bok itu belum sempurna, coba kalau sudah mencapai puncak sempurnanya, mungkin korbannya akan tewas seketika".."
"Apakah nona menyuruh aku membuyarkan darah beku
dalam nadinya dengan tusuk jarum?" tanya Pek Sat dengan dingin.
Nona bercadar biru itu mengangguk.
"Enci Pek Sat," katanya, "ambil jarum perak ini dan tusuk jalan darahnya mengikuti petunjuk-ku, asal beristirahat dua hari, niscaya lukanya akan sembuh kembali seperti sediakala."
Sambil berkata, ia mengeluarkan sebatang ja-rum perak dari sakunya dan diarahkan kapada no-na yang bernama Pek Sat itu.
Pek Sat menerimanya, lalu berjongkok di sisi Hoa Hong-hui, semua perhatiannya dipusatkan ke tubuh pemuda itu dan menusuk jalan darahnya.
Titba-tiba nona bercadar biru itu berkata, "Ja-rum pertama tusuk pada jalan darah Bong-gi-hiat, kedua pada jalan darah Im-tok-hiat, ketiga?"."
Secara beruntun nona bercadar biru itu me-nyebut nama lima jalan darah dan enam nadi, Pek Sat pun dengan cekatan menggerakkan jarum pe-raknya, dalam waktu singkat
pengobatan tusuk ja-rum pun rampung.
Diam-diam kagum juga kawanan jago yang hadir di situ, sesudah menyaksikan cara pengobatan yang dilakukan kedua gadis itu, bukan saja cara-nya cepat, sasarannya pun tepat.
Sambil tertawa tiba-tiba Lamkiong Giok tam-pil ke depan, katanya, "Nona bertiga betul gadis terpuji, mana ilmu silatnya lihai dan cantik lagi, Cayhe benar-benar sangat kagum!"
Nona yang bernama Pek Bi itu berpaling dan menatap sekejap wajah Lamkiong Giok, lalu ter-senyum simpul.
Senyuman itu kontan membuat jantung Lam-kiong Giok berdebar keras, ia merasa dibalik se-nyuman itu mengandung suatu tenaga pembetot sukma yang amat kuat. Senyuman nona yang bernama Pek Bi ini me-mang berbeda daripada senyuman orang biasa, se-akan-akan setiap bagian yang terkecil pun meng-andung kekuatan yang memikat, seolah-olah be-ratus kuntum bunga beraneka warna yang mekar bersama, terhimpun menjadi suatu keindahan yang
mempesona. Tapi sayang, justru pada saat itu pula si nona Pek Sat yang dingin sedang melotot ke arah Lam-kiong Giok, anak muda itu kontan merasa bergidik, hati yang terpesona menjadi dingin kembali, segera pikirnya, "Dingin dan menyeramkan betul tampang orang ini".."
Dalam pada itu, si nona bercadar biru telah menerima kembali jarum peraknya dari Pek Sat, tanpa melirik barang sekejap pun ke arah Lam-kiong Giok, ia menegur, "Mau apa kau?"
Buru-buru Lamkiong Giok memberi hormat, jawabnya,
"Memang ada persoalan yang hendak kuajukan kepada nona!"
Melihat gaya sopan santun orang, Pek Bi ter-senyum,
"Apakah kau ingin mohon kepada nona kami untuk
menyembuhkan juga luka orang she Bok itu?" sindirnya,
"kalau tidak, dengan lagak kalian waktu menyerbu ke sini tak nanti sikapmu tiba-tiba ber-ubah menjadi begini ramah."
Merah juga pipi Lamkiong Giok oleh sindiran tersebut, buru-buru tukasnya dengan tergegap, "O, bu".bukan, bukan, adapun kedatanganku dan saudara Bok tak lain hanya ingin melihat kecantik-an nona?""
"Omong kosong!" bentak Pek Sat ketus, "per-kataanmu hanya dipercaya oleh setan!"
"Soal ini".soal ini".harap kalian jangan sa-lah paham". "
kembali Lamkiong Giok tergagap.
"Jangan ini itu," tukas nona bercadar biru sambil tertawa,
"bawa orang itu kemari, asal belum putus nyawa, pasti aku bisa menyembuhkan lukanya."
Begitu meyakinkan perkataannya seakan-akan segala ilmu pertabiban yang ada di dunia ini telah dikuasainya semua olehnya.
Lamkiong Giok sangsi sebentar, kemudian se-runya, "Ku-cianpwe, tolong bawalah saudara Bok kemari!"
Padahal Lamkiong Giok tidak bermaksud de-mikian,
tujuannya bukan memohonkan pengobatan bagi Bok Ji-sia melainkan hanya ingin mempergu-nakan kesempatan ini untuk berhubungan lebih akrab dengan ketiga nona cantik itu.
Lamkiong Giok bukan orang bodoh, ia tahu setelah Bok Jisia terluka parah, maka dia harus berdiri sendiri sekarang, padahal setiap jago silat yang hadir hampir semua menaruh dendam pada-nya, maka dia ingin membaiki Hek-liong-kang-sam-li atau tiga gadis Hek-liong-kang, agar seandainya ia
dikerubut kawanan jago, gadis-gadis lihai itu mau
membantunya. Sebagai pemuda yang cerdik, semenjak kemun-culan ketiga gadis itu, Lamkiong Giok sudah men-duga ketiga orang itu pasti memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, asal mereka bersedia membantunya, maka kendatipun Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin dan lain-lain juga tidak perlu ditakuti lagi.
Selain itu iapun punya perasaan yang aneh dan muluk-muluk terhadap ketiga gadis cantik ini. Di pihak lain, Ku Thian-gak berdiri termangu sambil tundukkan kepala, termenung memandangi tubuh Bok Ji-sia yang dipondongnya, ia tak tahu luka apa yang diderita anak muda itu.
Ia sadar kambali setelah mendengar teriakan Lamkiong Giok, cepat ia berpaling, katanya, "Lam-kiong Giok, lukanya parah, aku kuatir".?"
Ternyata dia kuatir ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian dalam baju Bok Ji-sia diketahui ketiga gadis Hek-liong-kang saat menyembuhkan luka-nya nanti.
Sementara itu Hian-thian-koancu Kun-tun Cin-jin telah berseru, "Lamkiong Giok, aku heran kenapa hatimu menjadi begitu welas-asih malam ini! He he he terus terang kukatakan padamu, jangan kau mimpi akan berlindung di bawah
selangkangan perempuan itu. Hmm, sekarang juga akan kubunuh kau!"
Kata-kata Kun-tun Cinjin memang kasar dan jorok, kontan saja membuat gusar ketiga gadis da-ri Hek-liong-kang.
"Pek Sat Cici, apakah si hidung kerbau itu se-dang memaki kita?" tiba-tiba nona bercadar biru bertanya.
Melihat ada peluang bagus, cepat Lamkiong Giok
membakar sumbu perpecahan antara Hian-thian-koancu dengan ketiga nona dari Hek-liong-kang, ia berpaling ke arah nona-nona itu dan ber-kata sambil tertawa, "Maaf nona, gara-
gara urusanku sampai nona sekalian ikut di damprat hidung kerbau itu, Lamkiong Giok menyesal atas kejadian ini."
Hawa nafsu membunuh segera menyelimuti wa-jah Pek
Sat, tiba-tiba ia maju menghampiri Kun-tun Cinjin. Bergidik Kun-tun Cinjin melihat ketajaman ma-ta orang, ia tertawa seram, mendadak ia menerkam ke arah Ku Thian-gak.
Gelak tertawa yang panjang melengking tiba-tiba
berkumandang, berbareng sesosok bayangan hijau dengan cepat meluncur pula ke arah Ku Thian-gak".
Begitu mendengar suara tertawa itu, air muka Kun-tun Cinjin berubah hebat, tubuhnya yang me-ngapung di udara segera berjumpalitan dan mela-yang pergi dari situ. Pek Sat yang menubruk ke arah Kun-tun Cin-jin itu tak berhenti, tubuhnya berkelebat lewat lebih ke depan.
Melihat Pek Sat, bayangan hijau itu serentak
menghadangnya, angin pukulan yang kuat langsung
menyambar. Pek Sat mendengus, iapun menyerang, bentur-an keras bergema, tiba-tiba Pek Sat melambung ke udara dan melayang turun dua tombak jauhnya.
Seorang perempuan bercadar memakai baju hi-jau tahu-tahu sudah berada di tengah arena, dengan sorot matanya yang tajam ia sedang mengawasi Bok Ji-sia yang dalam dukungan Ku Thian-gak itu dengan termangu.
Sejak kemunculan perempuan baju hijau ini suasana lantas hening dan serasa membeku, air mu-ka setiap orang tampak prihatin. Sesungguhnya Ku Thian-gak tak tahu perempu-an di hadapannya adalah Lik-ih-hiat-li yang terso-hor itu, tapi dari matanya yang tajam serta ke-mampuannya memukul mundur Pek Sat, sadarlah dia bahwa perempuan ini ternyata berilmu tinggi.
Jantung Ku Thian-gak berdebar keras, makin tak tenteram setelah dilihatnya perempuan itu me-ngawasi Bok Ji-sia terus
menerus tanpa berkedip, ia tak tahu itu pertanda dari bencanakah" Atau rejekikah"
"Siapa yang melukainya" Bicara!" tiba-tiba Lik-ih-hiat-li membentak.
Kedua mata Lik-ih-hiat-li yang tajam tiba-tiba beralih ke wajah Kun-tun Cinjin dan menatapnya lekat-lekat.
Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin segera tertawa, "Lik-ih-hiat-li, apakah bentakanmu barusan ditujukan kepadaku?"
"Hmm, diantara sekian orang yang ada di sini, hanya kau dan Lamkiong bajingan tengik itu yang berulang kali ingin mencelakainya, kalau perkata-anku bukan kutujukan kepada kalian berdua, lalu kutujukan kepada siapa?"
Terkejut Lamkiong Giok mendengar perkataan itu, pelahan ia maju ke depan dan memberi hormat kepada Lik-ih-hiat-li, kemudian katanya, "Lihiap, harap jangan salah menuduh diriku, sekalipun ber-nyali, Lamkiong Giok tak berani mencelakai sau-dara Bok."
"Lantas siapa yang mencelakainya?" bentak Lik-ih-hiat-li.
Mendongkol juga Si-hun-koay-sat-jiu mendengar bentakan perempuan itu, mendadak ia menegur ke-tus, "Di sini tidak ada orang tuli, buat apa kau berkaok macam orang gila?"
"Hmm, dilihat dari kata dan lagakmu, agaknya kau punya nama juga dalam dunia persilatan, siapa namamu?"
"Hehehe!"kami sama-sama termasuk dalam deretan Bu-
lim-jit-coat".dia yang bernama Si-hun-koay-sat-jiu!" Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin tahu bila sendirian sukar menghadapi lawan yang tangguh itu, sejak awal sudah timbul niatnya untuk bersekutu dengan Si-hun-koay-sat-jiu, maka melihat ada kesempatan baik, cepat-cepat ia menyebutkan nama Si-hun-koay-sat-jiu.
Terdengar Lik-ih-hiat-li mendengus, teriaknya, "Biar orang lain takut kepada Bu-lim-jit-coat, aku Lik-ih-hiat-li tak gentar terhadap kalian!"
Si-hun-koay-sat-jiu juga tahu Kun-tun Cinjin sengaja hendak menyeretnya terjun ke air keruh, tapi iapun tak tahan mendengarkan kata-kata yang tak sedap itu, kontan saja ia balas menjengek.
"Biar kau tidak takut pada Bu-lim-jit-coat, me-mangnya orang lain lantas takut padamu?"
Lik-ih-hiat-li marah sekali, sambil membentak ia
menghantam dari kejauhan.
Si-hun-koay-sat-jiu tertawa seram, ia tak mau kalah, kedua tangan didorong ke depan untuk me-nyongsong datangnya ancaman tersebut. Tapi akibat dari benturan itu, kontan ia sem-poyongan mundur dua langkah."
"Hm, rupanya nama besar Bu-lim-jit-coat me-mang bukan nama kosong," jengek Lik-ih-hiat-li pula, "tapi kau tidak lebih lihai daripada Kun-tun tua, untuk merobohkan dia saja belum mampu apa-lagi melukaiku. Hm, hayo jawab siapa yang telah melukai anak itu?"
Matanya tampak merah membara, sekujur badan gemetar, jelas ia sangat marah, sedih dan emosi. Dari pancaran emosi yang diperlihatkan pe-rempuan itu, Ku Thian-gak menduga orang pasti mempunyai hubungan yang erat dengan Bok Jisia, segera ia berkata dengan menghela napas sedih, "Tolong tanya apa panggilan Lihiap terhadap anak muda ini?"
Seakan-akan luka hatinya tersentuh, mendadak Lik-ih-hiat-li menjerit keras-keras, "Tak perlu tanya, serahkan dia padaku!"
Jilid 11 Bayangan hijau berkelebat, Ku Thian-gak me-rasakan dada tergetar keras, tahu-tahu Bok Ji-sia sudah berpindah ke pondongan Lik-ih-hiat-li, de-ngan air mata bercucuran
perempuan itu sedang mengawasi wajah Bok Ji-sia tanpa berkedip.
Ku Thian-gak tertegun, demikian pula kawanan jago
lainnya, tak seorang pun dapat menduga apa hubungan antara Bok Ji-sia dengan perempuan itu, bahkan siapa gerangan Bok Ji-sia juga tak ada yang tahu.
Tiba-tiba Lik-ih-hiat-li bergumam, "Sia"matilah dengan tenang! Akan kubunuh seribu orang untuk mengiringi kepergianmu, cuma kematiamu terlalu tak barharga?"
Saking sedihnya Lik-ih-hiat-li mengira Ji-sia telah tewas.
Ku Thian-gak segera berkata dengan sedih, "Lihiap, Bok-siauhiap belum mati!"
Dengan cepat Lik-ih-hit-li memeriksa denyut jantung anak muda itu, rasa sedih dan cemasnya berangsur mulai hilang. Ia berpaling ke arah Ku Thian-gak, tanyanya, "Siapa yang melukainya?"
"Lihiap, Bok-heng terluka karena melindungi Ku-tayhiap,"
tiba-tiba Lamkiong Giok menimbrung, "ia bertarung melawan pemuda jumawa dari Hek-liong-kang, akibat beradu tenaga dalam, akhirnya kedua pihak sama-sama terluka."
Sembari berkata ia menuding pemuda parlente Hoa Hong-hui yang dipapah Kau-lau-liong-coa-siang siu itu.
"Kalau membantunya masih mendingan!" jengek Lik-ih-hiat-li dingin, "kalau ia terluka karena membantumu, itulah terlalu tidak berharga."
"Perempuan bejat!" diam-diam Lamkiong Giok menyumpah dalam hati, "begitu bencimu terhadap Lamkiong Giok" Hm, dengan tampangmu jangan mimpi akan merebut hati Bok Jisia."
Mendadak Li-ih-hiat-li beraling ke arah ketiga nona Hek-liong-kang, kemudian bertanya "Apakah kalian orang-orang Hek-liong-kang?"
Pek sat yang tergetar mundur oleh Lik-ih-hiat-li tadi pelahan maju ke muka, lalu sahutnya ketus, "Kalau betul orang Hek-liong-kang, lantas mau apa kau?"
Terkesiap juga hati Lik-ih-hiat-li demi meman-dang wajahnya, tapi bagaimanapun tenaga dalam-nya cukup sempurna, setelah melengak, segera ia tenang kembali seperti semula, katanya ketus, "Jika lukanya tak bisa sembuh, maka aku menghendaki nyawa kalian orang-orang Hek-liong-kang."
"Kalau nyawanya kau hargai, apakah nyawa orang lain tidak terhitung nyawa!" Pek Sat balas mendengus.
"Tak perlu banyak bicara!" bentak Lik-ih-hiat-li, "sekalipun seribu nyawa orang lain juga tak bisa menandingi nyawanya, mau apa kau" Katakan saja terus terang!"
"Betul, kedatangan aliran Hek-liong-kang kami ke
Tionggoan adalah untuk mencari dua macam benda mestika perguruan kami, tapi sekalian kami ingin berkenalan dengan orang-orang persilatan di sini, aku mau tahu sampai berapa hebat kungfu ka-lian."
"Kalau begitu, ayolah serang!" jengek Lik-ih-hiat-li."
Tiba-tiba Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak maju ke muka, desisnya, "Lihiap, serahkan saja tubuh Bok Ji-sia kepadaku."
Ia ambil alih badan Bok Ji-sia, lalu pikirnya lagi, "Lukanya amat parah, kalau dibiarkan begini terus, tentu akan tambah runyam, meski aku tak tahu ilmu apakah yang melukainya, tapi apa salah-nya kalau kulancarkan dulu jalan darahnya dengan ilmu mengurut.
Hawa murninya lantas dihimpun dan siap mengurut jalan darah di tubuh anak muda itu.
Mendadak suara merdu menggema, "Lukanya paling
pantang diurut, kalau kau mengurut jalan darahnya, maka dia tak bakal tertolong lagi."
Terkesiap Ku Thian-gak mendengar peringatan si nona baju biru itu, buru-buru ia menarik kem-bali tangannya.
"Ilmu pukulan apakah yang mengenai tubuh-nya?" tanya Lik-ih-hiat-li tiba-tiba, "asal kau sebutkan segera aku dapat menolongnya."
"Kami tak tahu ilmu pukulan apa yang melu-kainya, tapi kami dapat menolongnya," jengek Pek Sat.
Lik-ih-hiat-li mendengus, "Biarpun tak tahu dia dilukai pukulan apa, tetap dapat kuselamatkan dia. Nanti bila aku lukai dirimu, akan kulihat dengan ca-ra apa mereka akan menolongmu."
"Menang dan kalah masih sukar diramalkan, buat apa banyak omong?" seru Pek Sat.
"Sambut dulu pukulanku ini!" seru Pek Sat pu-la dengan kening berkerut.
Begitu ia melangkah maju, telapak tangan kiri langsung membacok dada lawan.
Lik-ik-hiat-li mendengus, "Aku tuan rumah dan kau adalah tamu, biar aku mengalah tiga jurus padamu!"
Sambil bicara, dengan gemulai Lik-ih-hiat-li melayang mundur.
Dengan gusar Pek Sat mendengus, "Nona akan
membuatmu tak ada peluang untuk melancarkan serangan balasan!"
Tiba-tiba ia menubruk ke depan, secepat kilat kedua telapak tangannya melancarkan serangan be-rantai".
Bayangan tangan melayang kian kemari, dalam waktu
singkat ia telah memukul dua puluh empat kali.
Betapa hebatnya Lik-ih-hiat-li, terdesak juga mundur beberapa langkah dari posisi semula, ia terkesiap, pikirnya,
"Sejak mempelajari ilmu dalam kitab Hian-ki-hian-cing-pit-lok, pelbagai ilmu silat di dunia telah kukenal, tapi ilmu pukulan apa ini" Kenapa begini cepat?"
Ia tunggu setelah pukulan musuh habis dilepaskan, ia tarik napas panjang, pelahan telapak tangan kanannya ditolak ke depan. Tenaga pukulan berhawa lembut segera berhembus dan menerjang musuh.
Agaknya Pek Sat juga dapat merasakan kelihayan tenaga dalam Lik-ih-hiat-li, sambil tertawa dingin telapak tangan kanannya menyampuk ke samping sehingga angin pukulan Lik-ih-hiat-li yang dahsyat itu terhindar, berbareng itu telapak tangan kirinya menghantam bahu kiri lawan dengan jurus Kai-bun-kian-jit (buka pintu melihat matahari).
Lik-ih-hiat-li merasakan juga tenaga yang kuat yang menolak pukulannya ke samping, ia kaget, pikirnya, "Aneh dan hebat benar ilmu silat aliran Hek-liong-kang."
Serentak ia menarik kembali serangannya yang kuat itu, lalu tangan kiri dengan jurus Kim-soh-poh-liong (tali emas membelenggu naga), ia berbalik mencengkeram urat nadi pergelangan tangan ki-ri Pek Sat.
Sungguh cepat gerak tangan Pek Sat, sekali berkelebat tahu-tahu ujung jarinya sudah menyen-tuh baju bahu kiri Lik-ih-hiat-li, tapi pada saat itu juga tahu-tahu tangan kiri Lik-ih-hiat-li juga me-nempel pergelangan tangan Pek Sat, keduanya sama mendengus pelahan dan sama menyurut mundur
de-ngan cepat. Setelah kedua orang saling menghindari serang-an lawan, masing-masing saling tukar pandang se-kejap, lalu dengan cepat mereka terlibat kembali dalam pertarungan seru.
Pertarungan ini tambah hebat, kedua pihak sama tidak berani meremehkan lawan lagi, dengan cepat mereka saling berebut posisi yang lebih meng-untungkan.
Hian-thian-koancu Kun-tim Cinjin pernah ber-gebrak dengan Lik-ih-hiat-li, dia tahu kelihayan il-mu silat dan kehebatan tenaga dalamnya, meski ilmu silat aliran Hek-liong-kang juga hebat, tapi sulit rasanya bagi nona itu untuk bertahan sampai dua puluh gebrakan.
Siapa tahu kenyataannya jauh di luar dugaan Kun-tun Cinjin, pertarungan makin lama makin ce-pat, dalam waktu singkat tiga puluh gebrakan su-dah lewat tanpa terasa.
Bukan saja Pek Sat tidak tampak tanda-tanda akan kalah, malahan serangannya semakin aneh dan makin dahsyat, semua jurus serangannya tak pernah terlihat dalam dunia persilatan.
Tampaknya kemarahan Lik-ih-hiat-li pun semakin berkobar, pukulan demi pukulan dilancarkan dengan dahsyat, setiap serangan berkekuatan yang sanggup menghancurkan batu karang, keampuhan jurus serangannya tak kurang hebatnya dibanding-kan gadis yang bernama Pek Sat itu.
Menyaksikan itu, Siau-yau-khek Ku Thian-gak menghela napas panjang, pikirnya, "Kungfu kedua orang perampuan ini sungguh luar biasa, yang se-orang bergerak enteng dengan serangan maut yang sukar diduga, yang lain bergerak mantap bertenaga dengan kelembutan di balik kekerasan, jurus se-rangannya ampuh, perubahannya tak terduga, coba kalau kedua macam kungfu iai disatukan, niscaya tiada
tandingannya lagi di dunia ini. Andaikata isi kitab Ceng-shia-bu-sia-pit-lok ciptaan Thian-seng Taysu dari Siau-lim-si dan Te-im Sinni dari Hek-liong-kang bisa kupelajari, tak sulit rasanya bagiku untuk menjadi seorang jago tangguh dalam
waktu singkat, sayang aku tak punya rejeki sebesar ini dan telah kuberitahukan rahasia kitab tersebut kepada Tong Yongling"."
Tiba-tiba terdengar Lik-ih-hiat-li membentak nyaring, beruntun ia lancarkan tiga kali pukulan berantai.
Ketiga kali pukulan itu tampaknya enteng seakan-akan tak bertenaga, tapi waktu serangan di-lancarkan amat tepat, seketika itu Pek Sat dipaksa mundur tiga langkah. Setelah dipaksa mundur oleh Lik-ih-hiat-li, tampaknya Pek Sat menderita luka dalam, sekujur badan gemetar keras, setelah muntah darah wajah-nya berubah menjadi pucat seperti mayat.
Melihat itu, si nona baju biru bercadar meng-hela napas sedih, katanya, "Tak kusangka di Tionggoan masih terdapat jago selihai ini. Enci Pek Bi, bimbinglah enci Pek Sat kemari!"
Wajah Pek Sat yang dingin itu tiba-tiba ber-ubah menjadi pedih, katanya, "Siocia, enci terluka parah?"
Baru bicara sampai di sini, sekujur badan kem-bali gemetar keras, dan pelahan roboh ke tanah. Pek Bi cepat melangkah maju dan memegang tubuh saudaranya yang hampir roboh itu.
"Ia terkena pukulan Keng-sian-jit-gwat-ciang!" kata Lik-ih-hiat-li dengan suara seram, "hm, kalau ti-dak segera mendapat pengobatan, darahnya akan membeku dan
mengakibatkan kematian yang me-ngerikan."
"Tapi, dia juga jangan harap bisa hidup!" no-na baju biru itu menyambung dengan dingin, "dia" yang dimaksud ialah Jisia.
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Pek Sat menghela napas sedih, katanya, "Siocia, benarkah Cici tak tertolong lagi?"
Nadanya penuh kesedihan dan mengharukan. Besar sekali perubahan sikap Pek Sat, dari se-orang gadis yang dingin dan keras kepala, kini berubah menjadi lemah dan mengenaskan.
Mendengar ucapan tersebut, nona baju biru bercadar itu mendongak dan memandang langit yang redup, lama sekali ia termenung".
Sampai sekian lama ia baru berkata dengan pelahan, "Enci Pek Sat, kau bisa tertolong!"
Pek Sat menjadi girang, rasa putus asa seketika buyar, semangat pun terbangkit kembali, seakan-akan setiap perkataan nona baju biru itu mengen-dalikan mati atau hidupnya.
"Pek Bi Cici, mari kita pergi!" nona baju biru bercadar itu berseru.
Tiba-tiba Si-hun-koay-sat-jiu tertawa seram, ejeknya
"Orang-orang dari Hek-liong-kang harap tetap tinggal di sini, kalian kira bisa kabur dari si-ni dengan begitu saja?"
"Mau apa kau?" tanya nona baju biru itu ketus.
Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat lantas tertawa terkekeh-kekeh dengan seramnya, "He he he, kehadiraa kami ini adalah untuk membasmi kalian orang-orang Hek-liong-kang,"
demikian ia berkata, "selain itu, tentu saja kami pun ingin melihat beberapa macam mestika Hek-liong-kang itu!"
"Antara Thian-kang, Te-sat dan Seng-gwat-kiam dari Thian-seng-po, kau ini yang mana?" ta-nya si nona baju biru sambil tertawa.
Mendengar pertanyaan itu hati Oh Ku-gwat bergetar, pikirnya, "Entah untuk apa budak setan ini menanya soal ini?"
Oh Ku-gwat menyahut dangau terbahak, "Tidak berani, aku ini Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, entah ada petunjuk apa darimu?"
"O, rupanya kau adalah si Lotoa tertua yang kungfunya paling rendah, Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat!"
Hampir saja meledak dada Oh Ku-gwat men-dengar
perkataan itu, segera ia tertawa dingin, "Ah, kalau sesama saudara sendiri bukan sesuatu yang memalukan bila ada perbedaan dalam tingkat ilmu silat masing-masing."
"Benarkah Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak telah berpulang ke alam baka?" tiba-tiba nona baju itu mengajukan pertanyaan yang menggemparkan.
Baik Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat sendiri maupun kawanan jago lainnya sama-sama berubah air mukanya demi
mendengar perkataan tersebut, pandangan berpuluh pasang mata segera beralih pada wajah si rase tua Oh Ku-gwat.
Budak liar, hendaknya ucapanmu sedikit tahu diri!" damprat Oh Ku-gwat.
"Wahai, rase tua, kau berani memakiku" Ha-ti-hati bila mulutmu tiba-tiba membengkak besar!"
Baru selesai perkataannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin, menyusul dari arah belakang Oh Ku-gwat lantas terdengar suara-suara "plak, plok, plak, plok", suara gamparan, ternyata muka Oh Ku-gwat telah ditempeleng orang.
Peristiwa ini kontan saja membuat semua ja-go yang hadir terbelalak kaget. Kiranya entah sedari kapan, tahu-tahu di be-lakang Oh Ku-gwat telah bertambah dengan se-orang kakek tinggi besar, rambutnya telah beruban, mengenakan jubah panjang warna abu-abu dengan mengempit toya besi yang panjang, besar dan hitam, jenggotnya panjang sebatas dada.
Telapak tangan kanan si kakek sedang di tem-pelkan pada punggung Oh Ku-gwat ketika itu, se-dangkan tangan kirinya melancarkan penempelengan sebanyak enam kali lagi pada
Bukit Pemakan Manusia 12 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 15
^