Kisah Para Pendekar Pulau Es 16

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


dak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Kam-locianpwe,
selamat tinggal!" Dia lalu menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan
memondongnya, kemudian melon-cat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau meno-leh lagi.
"Ceng Liong....!" Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan
seben-tar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Dara remaja itu merasa kecewa dan
menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat
barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu saja ia merasa menyesal sekali melihat
penolongnya itu berkelahi melawan ayah-nya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.
"Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi" Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar
Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?" kini Bu Ci Sian
bertanya. Bi Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek
Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong.
"Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biarpun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-
ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik."
Kam Hong mengangguk-angguk dan mengelus dagunya. "Hemmm, sungguh aneh sekali,
sukar dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti men-jadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku,
Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Per-tama adalah Puteri Milanayang
menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya adalah Suma Kian
Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah
Suma Ceng Liong. Dan bagai-mana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya
saja Raja Iblis itu" Sungguh sukar di-mengerti...."
"Dan bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?" Bu Ci Sian
bertanya, nada suaranya masih penasaran walaupun kini nadanya agak lunak karena pemuda
yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Su-per Sakti! Kita dapat
memaafkan sikap Ci Sian ini karena kalau kita membuka mata memandang kehidupan
masyarakat kita ini, di mana termasuk juga diri kita, bukankah kita semua telah mempunyai
penyakit yang sama" Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tidak
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
462 lagi memandang orangnya, manusianya, me-lainkan kedudukannya, hartanya, kepandaiannya,
namanya, agamanya, dan sebagainya lagi. Ketika mendengar puterinya akan dijodohkan
dengan mu-rid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya sebagai seo-rang datuk sesat, hati nyonya ini
menjadi marah karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia
menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu
Pendekar Super Sakti, terda-patlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau
Es yang hendak berbesan dengan-nya, hal itu menjadi lain sama sekali!
"Ibu, mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia
ber-pura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan menjadi isteri
Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia
mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak
mau menjadi sua-miku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gu-runya menyembuhkanku."
Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa. "Sudahlah, memang orang-orang
sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada
ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk mengurus jenazah para
pelayan." *** Biarpun mereka itu hanya pelayan, akan tetapi mereka menerima pelajaran ilmu silat dari
Kam Hong sehingga merekapun dapat disebut murid-muridnya. Maka, ketika
menyembahyangi enam buah peti mati yang berjajar di halaman depan rumahnya, Kam Hong,
Ci Sian dan Bi Eng merasa berduka sekali. Bahkan Ci Sian dan Bi Eng tak ku-asa menahan
air mata mereka. Enam orang itu tewas karena membela keluarga mereka. Akan te-tapi,
siapakah yang akan dikutuk" Hek-i Mo-ong yang agaknya menjadi biang keladi penyerbuan
itu telah tewas, juga Jai-hwa Siauw-ok sudah tewas. Hanya tinggal murid-murid mereka.
Banyak juga tamu berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah enam
orang itu. Mereka sebagian besar adalah penduduk du-sun di sekitar pegunungan itu. Ada pula
beberapa orang tokoh ilmu silat yang kebetulan mendengar akan malapetaka yang menimpa
keluarga pendekar Kam lalu datang pula berkunjung untuk menyata-kan belasungkawa.
Malam itu tidak ada tamu lain. Hanya tiga orang anggauta keluarga itu saja yang masih
duduk di ruangan depan, menjaga enam buah peti jena-zah. Bulan bersinar terang sehingga
pekarangan depan pondok itu, yang merupakan istana tua, nampak jelas. Maka, ayah, ibu dan
anak itupun dapat melihat dengan jelas ketika ada dua bayangan orang berkelebat di
pekarangan mereka. Kam Hong memberi isyarat dengan tangan kepada iste-ri dan puterinya
agar waspada. Akan tetapi dua orang wanita itu juga sudah melihat berkelebatnya bayangan
dua orang dan merekapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah peristiwa
penyerbuan Hek-i Mo-ong dengan kawan-kawan-nya, keluarga Kam menjadi waspada dan
selalu da-lam keadaan tegang dan curiga.
Kini dengan gerakan gesit, dua bayangan itu telah tiba di tengah pekarangan, berdiri di situ
dengan tegak. Di bawah sinar bulan, nampak jelas bahwa mereka adalah dua orang pria. Yang
seo-rang berusia hampir empat puluh tahun, kira-kira tiga puluh enam tahun, bertubuh tegap
dan bersi-kap gagah, dengan pakaian sederhana dan ringkas membayangkan tubuh yang
masih kekar, wajahnya cerah dan mulutnya membayangkan senyum ramah. Adapun pria yang
ke dua, berusia kurang lebih enam belas tahun, wajahnya putih bundar dan alis-nya tebal,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
463 nampak tampan dan gagah. Kalau pria setengah tua itu membawa sebatang pedang di
punggung, pemuda itu membawa sebatang pedang di pinggang dan kedua orang itu jelas
merupakan orang-orang yang datang bukan dengan maksud baik. Maka, terdorong oleh rasa
duka dan marah kehilangan enam orang pelayan yang tewas, dara ini tidak dapat menahan
kemarahan hatinya lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking, tu-buhnya sudah
melayang ke depan, agak tinggi dan membuat gerakan jungkir balik tiga kali baru tu-buhnya
itu hinggap dengan ringannya di depan dua orang pria itu yang memandang dengan ka-gum.
"Gin-kang yang bagus!" Pria setengah tua itu berseru memuji.
Sementara itu, Bu Ci Sian sudah bangkit berdiri dan wanita inilah yang lebih dulu mengenal
pria itu. "Hong Bu....! Dia Hong Bu, Sim Hong Bu....!" Dan sekali meloncat, tubuh nyonya
inipun melayang sampai ke depan dua orang pria itu, di sisi puterinya yang memandang ragu
men-dengar seruan ibunya. Kam Hong juga melangkah keluar menyambut dengan wajah
berseri. Kini diapun mengenal pria yang gagah itu, dan diapun terkenang akan masa lalu,
belasan tahun yang lalu. Pria itu bernama Sim Hong Bu, seorang ahli pedang Koai-liong
Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang amat lihai dan boleh dibilang masih seketurunan
dalam ilmu silat dengannya, karena Ilmu Pedang Naga Sihunan berasal dari sumber yang
sama dengan Ilmu Pedang Suling Emas (baca kisahSuling Emas dan Naga Siluman). Bukan
itu saja. Sim Hong Bu dahulu, di masa mudanya, per-nah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian.
Ketika masih gadis, Bu Ci Sian menjatuhkan hati banyak sekali pemuda-pemuda pilihan, di
antaranya Jenderal Muda Kao Cin Liong dan pendekar pedang Sim Hong Bu ini. Akan tetapi
akhirnya Bu Ci Sian memilih yang dekat, memilih dia yang menjadi suhengnya sendiri
walaupun usianya belasan tahun lebih tua. Selain pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian, juga
Hong Bu inilah yang merupakan lawan paling tangguh di antara semua jagoan yang per-nah
dilawannya. Sian Hong Bu inilah yang paling gigih melawan Ilmu Pedang Suling Emas,
merupa-kan lawan yang seimbang, dan sungguh tidak mudah mengalahkan Hong Bu pada
belasan tahun yang lalu itu. Mereka pernah saling gempur, bertanding mati-matian, kemudian
berpisah sebagai sahabat. Dan kini, setelah belasan tahun berpisah dan tidak saling memberi
kabar, tahu-tahu pendekar itu muncul pada saat merekaberkabung atas kematian enam orang
pelayan atau murid itu.
Pendekar bernama Sim Hong Bu itu menjura kepada Bu Ci Sian. "Nona Bu Ci Sian.... eh,
maaf, nyonya Kam Hong, selamat bertemu! Aku berani bertaruh bahwa nona ini tentulah
puterimu!" -Sikap Sim Hong Bu nampak gembira sekali.
Kam Hong yang sudah tiba pula di situ terse-nyum. "Saudara Sim Hong Bu, apa kabar" Dan
akupun berani bertaruh bahwa pemuda ini tentu-lah puteramu!"
Sim Hong Bu tertawa bergelak, kemudian me-nepuk pundak pemuda di sebelahnya. "Houw-
ji (anak Houw), lihatlah baik-baik. Inilah keluarga yang sering kuceritakan kepadamu. Inilah
Kam-taihiap yang perkasa, Pendekar Suling Emas yang tanpa tanding, dan isterinya yang lihai
pula!" Pemuda itu adalah putera tunggal Sim Hong Bu. Pendekar ini kemudian menikah dengan Cu
Pek In, puteri dari gurunya sendiri yang bernama Cu Han Bu. Dia bersama isteri dan anak
mereka itu tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Himalaya, di mana tinggal
keluarga Cu yang merupakan keluarga sakti itu. Dan di sini pula Sim Hong Bu
menggembleng putera tunggalnya yang kini diajaknya melawat ke timur mengunjungi bekas
lawan, juga bekas sahabat yang menikah dengan wanita yang menjadi cinta pertamanya itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
464 Ketika dia diperkenalkan kepada ke-luarga Kam yang memang sudah seringkali diceri-takan
oleh ayahnya, Sim Houw memberi hormat.
"Saya Sim Honw memberi hormat kepada Kam-locianpwe dan...."
"Wah, anak baik. Kalau engkau putera saudara Sim Hong Bu, jangan menyebut locianpwe
kepada-ku. Sebut saja paman!" kata Kam Hong gembira.
Pemuda itu kembali menjura. "Terima kasih, paman Kam Hong dan bibi!"
Bu Ci Sian memandang kepada pemuda itu sambil tersenyum. Ia merasa suka kepada
pemuda yaug gagah ini, yang mengingatkan ia akan keadaan Sim Hong Bu di waktu
mudanya. Sejak kecil Sim Hong Bu adalah seorang pemburu binatang buas di hutan sehingga
sikapnya gagah dan jantan. Demikian pula sikap pemuda yang menjadi puteranya ini.
"Sim Houw, apakah seperti ayahmu, engkau juga suka berburu binatang?" tanya nyonya ini
sambil tersenyum.
"Karena daerah tempat tinggal kami penuh de-ngan hutan-hutan, maka saya memang kadang-
kadang suka pergi berburu, bibi," jawab Sim Houw sederhana.
"Kam-taihiap," kata Hong Bu yang memang sejak dahulu menyebut taihiap kepada Kam
Hong. "Maafkan kami yang datang mengganggu di waktu malam. Akan tetapi kami tadi
menjadi ragu-ragu melihat adanya perkabungan di sini. Enam buah peti jenazah! Apakah yang
telah terjadi dan siapakah yang meninggal dunia?"
"Mereka adalah enam orang muridku yang te-was di tangan penjahat-penjahat yang datang
me-nyerbu tempat tinggal kami. Engkau tentu masih ingat kepada Hek-i Mo-ong?"
"Apa" Iblis tua itu yang datang menyerbu?" Sim Hong Bu bertanya kaget.
"Dia dan Jai-hwa Siauw-ok murid Im-kan Ngo-ok, bersama dua orang murid mereka."
"Ahhh....!" Sim Hong Bu berseru kaget dan marah. "Dan di mana mereka" Tentu taihiap
telah dapat memukul mundur mereka."
Kam Hong menarik napas panjang. "Dua orang datuk sesat itu tewas dan murid-murid
mereka melarikan diri. Mari, mari kita bicara di dalam, saudara Hong Bu," ajak Kam Hong.
Sim Hong Bu dan Sim Houw lalu mengikuti Kam Hong sekeluarga setelah Bu Ci Sian
memper-kenalkan Kam Bi Eng yang segera memberi hormat kepada "paman Sim Hong Bu".
Ayah dan anak yang datang sebagai tamu itu lalu memasang hio di depan enam buah peti
jenazah. Kemudian me-reka duduk di ruangan depan sambil bercakap-cakap, saling
menceritakan pengalaman-penga-laman mereka semenjak berpisah belasan tahun yang lalu.
"Tempat tinggal kalian terlalu jauh, di Himala-ya, maka kami tidak pernah mendapat
kesempatan untuk berkunjung ke tempat sejauh itu," kata Bu Ci Sian kepada tamunya. "Baik
sekali kalian da-tang berkunjung, kami merasa gembira dan berte-rima kasih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
465 Sim Hong Bu menarik napas panjang. "Berta-hun-tahun kami seperti hidup terasing di
Lembah Gunung Naga Siluman dan baru sekarang saya mendapat kesempatan mengajak anak
kami mem-perluas pengetahuan dan menjelajah ke timur. Di dalam perjalanan menuju ke sini,
saya mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa Kam-taihiap telah mempunyai seorang
puteri. Maka ketika pu-teri kalian tadi muncul, saya dapat mengenalnya, apalagi karena
wajahnya mirip benar dengan ibunya.
"Dan puteramu mirip sekali dengan ayahnya," kata Bu Ci Sian.
"Kam-taihiap dan lihiap, begitu melihat puteri kalian, saya merasa terharu dan timbul suatu
niat dalam hati, bahkan maksud hati ini pernah saya bicarakan dengan isteri saya sebelum
saya berangkat."
"Kenapa isterimu tidak ikut datang berkun-jung?" Bu Ci Sian bertanya seperti baru teringat.
"Ibunya Houw-ji pasti akan datang berkunjung kalau maksud hati kami ini mendapatkan
sambutan baik dari Kam-taihiap berdua."
"Saudara Sim Hong Bu, katakanlah terus terang, apakah maksud baik kalian itu?" Kam Hong
su-dah dapat menduga, akan tetapi dia menginginkan kepastian maka dia mengajukan
pertanyaan itu.
"Baiklah, saya akan berterus terang saja. Dan kehadiran anak-anak kita di sinipun saya kira
ti-dak menjadi halangan, karena bukankah kita senan-tiasa menghargai keterbukaan dan
kejujuran" Kam-taihiap, kita menikah dalam waktu yang tidak begitu jauh selisihnya, bahkan
mungkin saya lebih dahulu beberapa bulan. Mengingat bahwa setahun kemudian terlahir
Houw-ji, maka saya yakin Houw-ji lebih tua dari puteri taihiap berdua. Nah, maksud hati
kami adalah untuk mengharapkan persetujuan Kam-taihiap berdua, kalau ber-kenan di hati,
kami ingin sekali melihat anak kami yang bodoh dapat berjodoh dengan puteri taihiap yang
mulia." Hening sejenak, keheningan yang terasa seperti mencekik leher Bi Eng. Sebagai seorang dara
remaja, biarpun sejak kecil ia digembleng menjadi orang gagah yang berpikiran terbuka,
namun kalau orang-orang membicarakan tentang perjodohan-nya, tentu saja ia merasa risi,
rikuh dan malu. A-khirnya, keheningan yang menyambung akhir ucap-an Sim Hong Bu yang
jujur itu, begitu mencekam hatinya dan iapun tanpa bicara bangkit berdiri perlahan-lahan,
dengan kepala tunduk lalu pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam kamar-nya!
Adapun Sim Houw, pemuda remaja itu, juga tidak berani bergerak dari tempat duduknya,
me-nundukkan mukanya yang menjadi merah. Ayah dan ibunya tidak pernah mengajaknya
bicara tentang perjodahan, apalagi tentang maksud hati ayahnya yang berkunjung ke rumah
keluarga Kam yang ternyata adalah untuk membicarakan perjodohannya atau melamar gadis
orang! Kemudian terdengar Kam Hong menarik napas panjang, disusul suara ketawanya yang
lembut. "Aih, saudara Sim, sungguh pernyataanmu tadi seperti serangan mendadak yang membuat
kami terkejut dan bungkam. Betapapun juga, kami merasa amat berterima kasih, bangga dan
girang bahwa engkau mempunyai niat yang demikian mulia terhadap diri puteri kami yang
bodoh. Karena pinanganmu ini datangnya terlalu tiba-tiba, dan untuk mengambil keputusan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
466 kami perlu mengadakan perundingan dalam keluarga lebih dahulu, maka harap engkau suka
bersabar menanti. Tunggu-lah sampai kami selesai mengurus penguburan je-nazah-jenazah
ini, baru kami akan memberi ja-waban dan keputusan."
Sim Hong Bu cepat bangkit dan menjura dengan hormat. "Maaf.... harap ji-wi maafkan
karena memang aku telah tergesa-gesa dan lancang sekali. Baik, tentu saja aku harus tahu diri,
lupa bahwa sekarang bukan saatnya yang baik. Saya akan menanti dengan sabar, Kam-
taihiap." "Akan tetapi, kalian tinggal saja di sini," kata Bu Ci Sian.
"Benar, tinggallah di sini selama beberapa hari," sambung suaminya.
Hong Bu tidak menolak dan ayah bersama pu-teranya ini tinggal di rumah gedung tua itu,
bah-kan membantu pihak tuan rumah ketika mengurus penguburan enam buah peti jenazah.
Pekerjaan ini dibantu pula oleh para penduduk yang berde-katan. Selama itu, biarpun
seringkali jumpa, Bi Eng dan Sim Houw tidak pernah bicara. Bi Eng biasanya lincah jenaka
dan gembira, pandai bicara, akan tetapi karena para orang tua membicarakan perjodohannya
dengan pemuda ini, ia menjadi malu dan tidak berani mendahului meregur pemuda itu.
Sebaliknya, Sim Houw memang seorang pemuda yang pendiam dan canggung kalau
berhadap-an dengan wanita, maka mereka hanya saling ber-tukar pandang saja sekilas tanpa
saling menegur kecuali mengangguk tanda hormat.
Kam Hong selalu membicarakan perkara perjodohan itu dengan isterinya. Mereka sebetulnya
merasa suka melihat putera Hong Bu itu. Mereka mengenal ayah pemuda itu sebagai seorang
pen-dekar perkasa, juga ibunya adalah keturunan kelu-arga Cu yang sakti. Sim Houw adalah
keturunan orang-orang gagah dan pemuda itupun cukup tampan dan bersikap baik, pantas
kalau menjadi suami Bi Eng. Akan tetapi, mereka harus berhati-hati agar jangan sampai salah
memilih calon suami puteri tunggal mereka. Oleh karena itu, setelah upacara penguburan para
jenazah itu selesai, suami isteri ini mengadakan perundingan dan memanggil puteri mereka.
Keluarga ini selalu bersikap bebas dan dalam hal inipun mereka akan bersikap terbuka
kepada puteri mereka. "Eng-ji," kata ibunya yang bertu-gas menyampaikan urusan itu kepada
puteri me-reka, "seperti telah kaudengar sendiri, keluarga Sim datang meminangmu. Engkau
telah melihat sendiri pemuda itu dan kami dapat menerangkan bahwa keluarga Sim adalah
keluarga gagah perkasa dan ayah pemuda itn sejak dahulu telah menjadi sahabat baik kami.
Betapapun juga, ayah ibumu ingin mengetahui isi hatimu karena engkaulah yang akan
menjalani dan urusan pernikahan adalah urus-an yang menyangkut diri selamanya.
Bagaimana pendapatmu, Eng-ji, setujukah engkau kalau men-jadi calon isteri Sim Houw?"
Biarpun pada waktu itu, belum dikenal orang tentang kebebasan memilih jodoh sendiri, dan
ham-pir setiap perjodohan yang terjadi selalu terjadi atas pilihan orang tua masing-masing
bahkan ja-rang ada pemuda atau pemudi yang dapat menge-nal lebih dahulu siapa calon
jodohnya dan tahu-tahu saling berjumpa di waktu upacara pernikahan, namun keluarga Kam
memang menganut sikap bebas dalam kehidupan keluarga mereka. Bagaimanapun juga, tentu
saja pengaruh tradisi yang sudah mengakar dan menjadi kebiasaan dan keso-panan umum itu
tidak dapat terlepas begitu saja, maka Kam Hong dan Ci Sian juga terpengaruh dan mereka
lehih condong untuk menilai dan memilih calon jodoh puteri mereka, walaupun mereka kini
menyerahkannya kepada penilaian Bi Eng sendiri. Di lain pihak, juga Bi Eng sebagai seorang
dara muda yang hidup di jaman itu, tidak terlepas dari rasa kikuk dan malu untuk
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
467 membicarakan urusan perjodohannya. Pada jaman itu, hubungan antara pria dan wanita
merupakan suatu hal yang diang-gap rahasia dan amat memalukan kalau dilihat atau didengar
orang lain, sedangkan urusan pernikahan adalah urusan hubungan antara pria dan wanita,
maka setiap orang, terutama gadisnya, tentu akan merasa malu sekali kalau diajak berunding
tentang pernikahannya. Bi Eng yang baru berusia lima belas tahun itu sebetulnya belum


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah berpikir tentar perjodohan, maka ketika tempo hari mendengar pinangan yang
diajukan tamunya, ia tidak kuat mendengar terus saking malunya, dan ia melarikan diri
bersembunyi ke dalam kamarnya. Kini, mendengar pertanyaan ibunya, iapun menunduk dan
mukanya berobah merah sekali. Ia menjadi bingung karena sama sekali belum pernah
membayangkan bahwa ia akan dilamar orang, akan menjadi isteri orang. Harus diakuinya
bahwa pemuda yang akan dijodohkan dengannya itu cukup ganteng dan gagah, akan tetapi ia
tidak tahu apakah ia akan suka menjadi isteri pemuda itu. Kini, ia merasa bingung harus
berkata apa. Untuk menolak begitu saja tentu dia tidak sampai hati kepada orang tuanya,
karena bukankah urusan jodoh adalah urusan orang tua dan anak yang berbakti tinggal
mentaatinya saja" Demikianlah anggapan umum para muda pada jaman itu. Menyimpang dari
anggapan ini akan dianggap hal yang amat tidak patut sekali! Maka, seperti sikap seorang
gadis sopan yang diharapkan semua orang pada jaman itu, iapun menunduk ketika menjawab
lirih. "Aku.... aku tidak tahu, ibu.... hal ini.... terserah kepada ayah dan ibu saja!" setelah berkata
demikian, Bi Eng lalu pergi meninggalkan orang tuanya, keluar dari rumah melalui pintu
belakang dan memasuki kebun belakang yang luas. Hatinya bingung dan perasaannya masih
tergun-cang oleh pertanyaan ibunya tadi. Selama ini be-lum pernah ia berpikir tentang
perjodohan, maka datangnya pertanyaan itu sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan
membingungkan hatinya.
"Ah, ia masih terlalu muda untuk dapat meng-ambil keputusan tentang perjodohannya
sendiri." kata Ci Sian kepada suaminya.
Suaminya mengangguk. "Akan tetapi kita sudah menanyakan pendapatnya sehingga kelak ia
tidak akan dapat menuduh kita melakukan pemaksaan dalam hal perjodohannya. Dan sebagai
seorang anak yang amat baik ia telah menyerahkan urusan itu kepada kita untuk mengambil
keputusan."
"Apakah ini berarti bahwa engkau akan mene-rima begitu saja pinangan Sim Hong Bu?"
isteri-nya bertanya.
Suaminya menarik napas panjang dan meng-geleng kepala. "Memang, dilihat begitu saja
tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak menerima pinangan Hong Bu. Dia seorang
gagah perkasa yang sudah kita kenal benar wataknya, dan isteri-nyapun keturunan keluarga
Cu yang perkasa. Pemuda itu sendiri kelihatan tidak ada cacatnya dan cukup gagah.
Betapapun juga, kita harus berhati-hati sekali memilihkan jodoh anak kita. Akupun tidak
tergesa-gesa mengambil keputusan, maka aku mengajakmu berunding dan kitapun tadi sudah
menanyakan pendapat Eng-ji sendiri."
Suami isteri itu termenung, masih diliputi kebimbangan walaupun mereka berdua memang
sudah condong sebelumnya untuk menerima pi-nangan itu dengan girang karena merasa
bahwa puteri mereka telah mendapatkan jodoh yang cocok.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
468 Pada jaman itu memang belum ada apa yang dinamakan pergaulan bebas antara para gadis
dan pemuda seperti sekarang. Gadis yang sudah mulai dewasa dikurung oleh orang tuanya,
dijadikan se-macam benda berharga yang menanti penawaran yang tentu saja diharapkan
mendapat penawaran tertinggi! Pingitan para gadis itu oleh orang tua mereka dianggap
sebagai hal yang amat baik, bah-kan akan mengangkat derajat dan harga diri gadis mereka
dalam pandangan para calon besan. Kea-daan yang sudah menjadi tradisi ini, yang pada
jamannya masing-masing berlaku puda di seluruh bagian dunia agaknya, tidak
memungkinkan adanya perjodohan atas pilihan hati sendiri. Pernikahan terjadi atas pilihan
dan kehendak orang tua yang tentu saja dengan cara masing-masing, dengan perhitungan dan
pertimbangan masing-masing, bertindak dengan tujuan membahagiakan anak sen-diri.
Pada jaman dan mungkin masih ada pula terjadi di jaman sekarang, orang-orang tua menilai
keadaan si calon mantu dari keadaan keluarganya, keturunannya, kedudukannya,
kekayaannya dan sebagainya. Ini penilaian orang tua si gadis. Adapun orang tua si pemuda
akan menilai seorang gadis calon mantu dari keadaan keluarganya, ke-turunannya,
kecantikannya, dan kepandaiannya atau juga sikapnya. Mereka itu, orang-orang tua yang
memang tidak mengerti itu, tidak tahu bahwa perjodohan adalah urusan hati, urusan cinta.
Bersatunya dua orang manusia pria dan wanita untuk hidup bersama, membentuk rumah
tangga dan keluarga, hanya dapat berhasil apabila terdapat cinta di dalam hati masing-masing.
Tanpa adanya cinta kasih, segala macam sarana lahiriah seperti kedudukan, harta benda,
kepandaian dan sebagai-nya itu tidak mungkin dapat mengokohkan hu-bungan antara dua
orang manusia yang berjumpa setelah keduanya dewasa dan hidup bersama selamanya!
Bukan kebahagiaan yang diperoleh, bahkan sebaliknya, mereka akan tersiksa selamanya.
Berknmpul terus menyiksa hati, bercerai tidak mungkin seperti keadaan di jaman itu.
Sebaliknya, kasih sayang akan mengalahkan segala rintangan.
Harus diakui bahwa memang ada pertumbuhan cinta kasih setelah keduanya bertemu dalam
upa-cara pernikahan. Namun, kebanyakan tidaklah de-mikian. Kebanyakan hanya memaksa
dirinya sendiri sesuai dengan tradisi yang sudah menjadi peratur-an, kesusilaan dan
kesopanan di jaman itu. Mere-ka, terutama yang wanita, hanya mampu menangis dan
menerima nasib, lalu memaksa diri melayani suaminya sebaik mungkin agar disebut sebagai
seorang isteri dan ibu rumah tangga yang baik! Pada jaman itu "nama baik" merupakan hal
yang paling penting dalam kehidupan. Untuk mengejar "nama baik" ini, orang rela
mengorban-kan apa saja, kalau perlu berkorban nyawa sekali-pun! Betapa banyaknya wanita
di jaman itu, bah-kan mungkin juga masih ada di jaman sekarang, yang hidup tersiksa
batinnya dan menderita seng-sara, sebagai seorang isteri yang sebenarnya tidak mencinta
suaminya, namun memaksa diri memper-tahankan nasibnya itu sampai selama hidupnya,
hanya karena ingin menjaga nama baiknya. Lebih baik hidup menderita selamanya akan tetapi
men-dapat nama baik sebagai seorang isteri yang setia, yang baik dan sebagainya daripada
bebas pende-ritaan batin namun menjadi bahan cemoohan dan celaan umum, demikianlah
pegangan batin mereka.
Perjodohan adalah urusan hati dan dasarnya hanya satu, ialah cinta kasih. Hanya cinta kasih
sajalah yang kekal. Cinta bukanlah nafsu. Nafsu hanya sementara saja dan mudah luntur.
Boleh saja untuk menentukan jodoh orang memperhitung-kan keadaan lahiriah, misalnya
keadaan pekerjaan dan keuangan sebagai sarana hidup berumah tang-ga, namun
sesungguhnya bukan itu yang menentu-kan. Uang, kedudukan, dan segala keadaan lahiriah itu
dapat berobah sewaktu-waktu. Pangkat dapat dicopot, uang dapat habis. Akan tetapi cinta
kasih akan dapat mengatasi segala macam gelombang hidup dan akan dapat bertahan dalam
keadaan bagaimanapun juga. Akan tetapi, mengapa kita masih saja tidak mau membuka mata
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
469 melihat ke-nyataan ini" Mengapa kita sampai sekarang masih meributkan urusan perjodohan
dan menilai orang dari keadaan lahiriah seperti keturunan, kekayaan, kedudukan, agama,
suku, bangsa dan sebagainya"
Setelah suami isteri itu termenung beberapa lamanya, akhirnya Ci Sian memperoleh suatu
hasil pemikiran yang dianggapnya baik sekali. "Memang kita harus berhati-hati, dan kurasa
ada jalan yang amat baik. Kita berdua memang sudah merasa co-cok, kalau anak kita menjadi
mantu Sim Hong Bu. Bagaimana kalau kita menerima pinangan mereka akan tetapi
menangguhkan pernikahannya sampai satu dua tahun lagi" Pertama, mengingat Bi Eng
sekarang baru berusia lima belas tahun dan ke dua, penangguhan ini dapat kita pergunakan
sebagai waktu untuk melakukan penyelidikan. Kita amati bagaimana tingkah laku calon
mantu itu agar hati kita menjadi lega dan puas."
Kam Hong menjawab hati-hati, "Usulmu itu memang baik sekali, akan tetapi kurasa tidak
mudah untuk dilaksanakan. Engkau tahu, keluarga itu tinggal jauh sekali di Pegunungan
Himalaya. Dalam jarak sejauh itu, bagaimana mungkin kita akan dapat mengamati kelakuan
calon mantu kita" Tidak, kita harus mencari jalan lain yang lebih baik."
"Jalan lain bagaimana?"
"Aku mempunyai pikiran yang kukira baik se-kali. Ingat, ilmu yang kita warisi, yaitu Ilmu
Pe-dang Kim-siauw Kiam-sut, merupakan lawan paling seimbang dan juga pasangan yang
amat baik dari ilmu pedang warisan mereka, yaitu Koai-liong Kiam-sut. Kurasa Sim Houw
telah memarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut, sedangkan anak kitapun sudah mewarisi
Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut kita, walaupun belum sempurna benar dan tinggal
memperdalam dengan latihan saja. Untuk dapat menilai keadaan Sim Houw, satu-satu-nya
jalan adalah kalau dia tinggal bersama kita di sini."
"Ehh" Bagaimana mungkin" Tidak pantas kalau dia tinggal dulu di sini sebelum menjadi
su-ami Bi Eng...."
"Bukan begitu maksudku. Biarlah perjodohan itu kita ikat, akan tetapi masa pertunangan itu
kita manfaatkan, baik juga sebagai syarat pernikahan. Biar Eng-ji mereka didik dan diajari
Koai-liong Kiam-sut, sedangkan Sim Houw kita didik dan kita ajari Kim-siauw Kiam-sut.
Dengan demikian, kita memperoleh dua keuntungan. Pertama, dengan menjadi murid kita
beberapa tahun lamanya, tentu saja kita akan dapat mengenal wataknya yang se-benarnya dan
kita dapat menilai apakah dia memang pantas menjadi jodoh anak kita. Dan ke dua, dengan
penukaran ilmu itu, tentu anak kita akan menguasai dua ilmu itu dan menggabungnya
se-hingga ia akan menjadi seorang yang amat tangguh, lebih tangguh daripada kita.
Bagaimana?"
Bu Ci Sian termenung. Usul suaminya itu sungguh baik sekali, akan tetapi kalau ia
memba-yangkan harus berpisah dari puterinya selama be-berapa tahun, hatinya merasa sedih.
Agaknya Kam Hong dapat mengetahui isi hati isterinya. Dia me-megang lengan isterinya
dengan mesra lalu berkata, suaranya halus dan penuh kasih sayang.
"Isteriku, engkau tahu bahwa demi cinta kita kadang-kadang harus berani berkorban. Aku
sen-diripun tentu saja merasa berat harus berpisah dari puteri kita yang kita cinta. Akan tetapi,
ingatlah bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Sekali waktu, pasti kita akan berpisah dari
orang-orang yang kita cinta, termasuk Bi Eng. Akan tetapi, biarpun kita merasa tidak senang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
470 kalau harus ber-pisah dari anak kita, kita harus ingat bahwa perpi-sahan sementara ini adalah
demi kebaikan anak yang kita cinta. Maka, demi anak kita, perasaan kita sendiri haruslah
dikesampingkan. Setujukah engkau?"
Bu Ci Sian menghela napas panjang. Tentu saja, demi kebaikan Bi Eng sendiri, mau tidak
mau ia harus menyetujui usul suaminya ini. Bagaimanapun juga, amat baik kalau Bi Eng
memperdalam ilmunya dengan menguasai Koai-liong Kiam-sut. Il-mu yang amat tinggi dan
penting untuk kehidupan puterinya. Bukankah ia dan suaminya sendiri, wa-laupun sudah
memiliki kepandaian tinggi, tidak luput daripada bencana ketika Hek-i Mo-ong dan kawan-
kawannya muncul" Dan Bi Eng per-nah hendak dijodohkan oleh iblis itu dengan muridnya!
Biarpun kemudian ternyata bahwa murid iblis itu adalah cucu Pendekar Super Sakti, namun
sebagai murid iblis itu tentu saja ia tidak setuju kalau menjadi suami Bi Eng. Putera Sim Hong
Bu jauh lebih baik dibandingkan dengan murid iblis itu. Maka iapun mengangguk setuju.
Tiba-tiba suami isteri ini terkejut mendengar suara angin dan lengkingan-lengkingan nyaring
diseling suara mengaum dan berdesing. Lengking-an itu adalah suara senjata suling anak
mereka, dan hal itu berarti bahwa Bi Eng sedang berkelahi mempergunakan sulingnya!
Seperti disengat bina-tang berbisa karena teringat akan malapetaka yang baru saja menimpa
keluarga mereka dengan ke-munculan datuk-datuk sesat, suami isteri perkasa ini sudah
meloncat dan seperti berlumba saja me-reka lari menuju ke arah datangnya suara itu, yalah
dari kebun belakang. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Bu Ci Sian melihat
bahwa puterinya itu sedang bertanding mati-matian me-lawan Sim Houw, pemuda yang
direncanakan akan menjadi mantunya itu! Tentu saja ia marah dan hendak meloncat dan
membentak, akan tetapi lengannya dipegang Kam Hong dan ketika isteri itu menoleh kepada
suaminya, ia melihat suaminya memberi tanda agar ia diam saja.
"Agaknya mereka sedang berlatih." bisik Kam Hong. Ci Sian memandang dengan mata
terbelalak khawatir. Ia sama sekali tidak melihat mereka se-dang berlatih, akan tetapi karena
perkelahian yang nampak sungguh-sungguh itu agaknya dikuasai oleh Bi Eng yang lebih
banyak menyerang dan mendesak dengan sulingnya dibandinakan dengan Sim Houw yang
lebih banyak mengelak atau menangkis dengan pedangnya, maka iapun diam saja.
Apakah yang telah terjadi antara Sim Houw dan Bi Eng" Seperti kita ketahui, ketika ia diajak
bi-cara tentang perjodohan oleh ayah ibunya, Bi Eng menyerahkan urusan itu kepada orang
tuanya dan karena merasa risi, canggung dan malu, iapun me-ninggalkan orang tuanya dan
memasuki kebun be-lakang rumahnya. Kebun ini luas, terdapat banyak pohon buah, sayur dan
bunga-bunga yang dira-watnya sendiri dibantu oleh para pelayan yang kini telah tewas semua.
Melihat kebunnya, Bi Eng ter-ingat kepada para pembantu yang juga merupakan murid-murid
ayahnya dan hatinya bersedih. Apalagi teringat akan pembicaraan ayah ibunya tadi, hatinya
menjadi semakin sedih. Ia belum mengenal Sim Houw dan ia tidak tahu apakah ia suka atau
tidak menjadi isteri pemuda itu. Ia lebih suka kepada Ceng Liong, walaupun bukan suka
sebagai isterinya. Masih terlalu jauh memikirkan hal itu. Ia suka kepada Ceng Liong yang
dianggapnya amat baik kepadanya, juga seorang pemuda gagah per-kasa dan berkepandaian
tinggi, cucu Pendekar Super Sakti pula! Tentang Sim Houw, ia tidak tahu sama sekali. Pernah
ayah ibunya bercerita tentang Sim Hong Bu, yang menurut ccrita ayahnya merupakan seorang
pendekar gagah perkasa yang kepandaiannya setingkat dengan ayahnya. Bahkan menurut
ibunya, pernah terjadi pertan-dingan antara ayahnya dan Sim Hong Bu dan ayahnya hanya
menang tipis saja. Menurut orang tuanya, keluarga Sim mempunyai ilmu Pedang Koai-liong
Kiam-sut yang masih sesumber dengan Kim-siauw Kiam-sut. Hal ini membuat hatinya
penasaran. Kalau begitu, keluarga Sim adalah mu-suh, atau setidaknya juga saingan!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
471 Mengapa se-karang ia akan dijodohkan dengan puteranya" Pi-kiran ini membuat hati dara
remaja itu menjadi bimbang dan penasaran. Keputusan orang tuanya untuk menjodohkannya
dengan putera keluarga Sim apakah tidak akan diartikan orang bahwa keluarga Kam merasa
takut terhadap keluarga Sim sehingga ingin mengakhiri persaingan itu dengan perjodohan"
Api penasaran dan kemarahan yang mulai ber-nyala ini menjadi berkobar ketika tiba-tiba ia
melihat seorang pemuda berjalan-jalan di dalam tamannya itu. Pemuda itu adalah Sim Houw.
Karena ia sedang merasa penasaran dan marah, timbul tidak senangnya melihat pemuda itu
dan di dalam pandangan mata yang dipengaruhi perasaan tidak seoang itu. Sim Houw
kelihatan angkuh dan congkak! Hatinya menjadi semakin panas. Pemu-da yang membawa
pedang di pinggang itu keli-hatan seperti memamerkan pedangnya!
Ketika Sim Houw melihat Bi Eng, mukanya berobah merah, akan tetapi dia melangkah maju
dan menjura dengan sikap hormat. "Selamat pagi, nona Kam. Maafkan, karena mengganggu,
aku telah berjalan-jalan di dalam kebunmu yang indah ini tanpa ijin."
Hemm, ternyata pemuda pendiam ini pandai juga bicara, pikir Bi Eng, akan tetapi perasaan
ma-rah dan penasaran membuat ia beranggapan bahwa sikap pendiamnya tempo hari itu tentu
hanya palsu saja untuk menarik perhatian!
"Pedang di pinggangmu itu tentulah Koai-liong Po-kiam, bukan?" tanyanya, tanpa
memperduli-kan salam dan ucapan orang.
Sim Houw menunduk dan memandang ke arah pedangnya, merabanya sambil menahan
senyum dan menggelengkan kepala. "Bukan, nona. Koai-liong Po-kiam adalah senjata pusaka
milik ayahku, pedangku ini biasa saja."
"Akan tetapi engkau tentu telah mewarisi semua kepandaian ayahmu dan pandai memainkan
Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut!"
"Memang aku pernah mempelajari ilmu silat ayah dan ibu, akan tetapi tidak berani aku
menga-takan pandai," jawab Sim Houw sederhana. Akan tetapi karena Bi Eng sedang marah,
kesederhanaan jawaban itu dianggap sebagai kepura-puraan yang menyembunyikan
kesombongan. "Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya di dunia ini, bukan?"
"Aku tidak beranggapan begitu, nona."
"Tak perlu berpura-pura. Keluarga Sim sangat membanggakan ilmu pedang itu dan aku ingin
se-kali merasakan seudiri sampai bagaimana kehebat-annya!" Berkata demikian Bi Eng
mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang suling emas kecil, panjangnya tidak sampai
dua kaki, besarnya hanya seibu jari dan berlubang-lubang seperti sebatang suling biasa.
Sim Houw membelalakkan matanya. "Ah, nona Kam, mana aku berani?" katanya bingung.
"Tak usah berpura-pura! Orang tua kita per-nah saling bertanding, kini apa salahnya kalau
kita melanjutkan dan menguji kehebatan ilmu masing-masing" Ingin kulihat apakah Koai-
liong Kiam-sut sehebat Kim-siauw Kiam-sut kami. Cabutlah pedangmu!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
472 "Aku.... aku tidak berani, nona. Ayah akan marah...."
"Pengecut! Kau bukan anak kecil dan mau atau tidak, aku tetap akan menyerangmu!"
"Wuuuuttt.... singggg....!" Suling itu meluncur dan mengeluarkan suara berdesing ketika
menyambar di atas kepala Sim Houw yang cepat mengelak tadi. Pemuda yang pada dasarnya
pen-diam inipun memiliki keberanian besar dan hati-nya keras. Dimaki pengecut, mukanya
berobah pucat dan dia tidak mau bicara lagi. Ketika suling yang ternyata amat hebat itu
berkelebat mendesak-nya, pemuda inipun terpaksa mencabut pedangnya menangkis. Bi Eng
semakin penasaran karena jurus-jurus serangannya dapat dielakkan atau di-tangkis lawan,
maka ia melanjutkan serangannya semakin dahsyat. Sim Houw terus melindungi diri dan
hanya membalas dengan serangan kalau dia betul-betul terdesak. Serangan balasan itu hanya
untuk menahan hujan serangan lawan. Maka kini terdengarlah suara suling yang melengking-
leng-king dan suara pedang di tangan Sim Houw yang mengeluarkan suara mengaum seperti
suara singa marah.
Kam Hong dan Ci Sian melihat pertandingan yang amat menarik itu dan diam-diam Kam
Hong melihat kenyataan bahwa sesungguhnya tingkat kepandaian pemuda itu masih menang
dibanding-kan Bi Eng. Bukan karena ilmu silatnya lebih tinggi, akan tetapi jelas bahwa
pemuda itu menang matang dalam latihan, juga memiliki tenaga yang lebih kuat. Hati
pendekar ini merasa puas, juga girang melihat kenyataan betapa pemuda itu ber-tanding
dengan hati-hati dan selalu mengalah. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki
kelembutan hati, juga kegagahan yang membuat dia berpantang mengalahkan seorang dara
remaja dalam suatu perkelahian latihan. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa
puterinya sama se-kali bukan berlatih, melainkan dengan sungguh hati menyerang pemuda itu
untuk mengalahkannya!
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan ta-hu-tahu di dekat dua orang yang bertanding itu
muncul Sim Hong Bu. "Tahan....! Houw-ji.... apakah engkau suaah gila" Berani engkau
kurang ajar terhadap nona rumah?" bentak Sim Hong Bu dengan marah, mukanya merah dan
matanya melo-tot memandang puteranya.
Sim Houw cepat meloncat mundur dan dengan gerakan kilat, tahu-tahu pedangnya sudah
berada kembali di dalam sarung pedang dan diapun me-nunduk. "Aku tidak berani, ayah...."
katanya lirih. Jawaban ini cukup melegakan hati ayahnya dan Hong Bu kini menoleh kepada
dara itu. Tadi dia melihat betapa puteranya mengalah dan betapa dara itu menyerang dengan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh hati, maka timbul kekhawatirannya dan mengira bahwa tentu puteranya melakukan
suatu kesalahan maka dara itu menjadi marah.
Kam Hong dan isterinya juga sudah meloncat keluar dari tempat mereka menonton. Ci Sian
segera mendekati puterinya dan menegur, "Bi Eng, apa yang terjadi" Kenapa kau menyerang
Sim Houw?"
Wajah dara itu menjadi merah. Dasar ia masih remaja dan berdarah panas, ia tidak merasa
betapa pemuda itu tadi banyak mengalah dan ia mengira bahwa sulingnya dapat mengungguli
pedang lawan sehingga biarpun ia belum dapat mengalahkan Sim Houw, setidaknya ia dapat
mendesaknya dan ini berarti bahwa Kim-siauw Kiam-sut lebih lihai daripada Koai-liong
Kiam-sut! Akan tetapi kini ia ditegur ibunya. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia
sengaja menantang pemuda itu, bahkan memaksa pemuda itu mengadu ilmu pedang. Dan ia
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
473 merasa takut kepada ayahnya yang tentu akan marah kalau tahu akan tantangannya. Maka kini
ia menjawab. "Ibu, kami hanya berlatih. Dia.... dia mengajakku berlatih maka kulayani!"
"Houw-ji, benarkah kalian tadi sedang berla-tih?" Sim Hong Bu tak danat menahan hatinya
untuk bertanya dengan penuh harapan karena dia akan merasa lega kalau dua orang muda itu
tadi hanya berlatih, bukan berkelahi sungguh-sungguh yang tentu akan membuat keadaan
menjadi tidak enak sekali. Dia datang untuk melamar gadis itu sebagai calon isteri Sim Houw,
maka akan repotlah hatinya kalau mereka berdua itu tadi berkelahi sungguh-sungguh.
Sim Houw melirik ke arah Bi Eng yang me-mandang kepadanya dengan senyum mengejek.
Dia mengangguk. "Benar, ayah, kami hanya berlatih, dan nona Kam telah memberi banyak
pelajaran kepadaku."
Mendengar ucapan ini, Bi Eng merasa bangga dan girang sehingga kedua pipinya merah
berseri, matanya bersinar dan hidungnya kembang kempis. Ayahnya melihat hal ini dan
diapun tertawa. Pen-dekar Kam Hong tertawa bergelak menghampiri puterinya. "Anak
bodoh! Kaukira engkau unggul dalam latihan tadi, ya" Hayo lekas mengucapkan terima kasih
kepada kakakmu Sim Houw karena dia telah banyak mengalah dan memberi pelajaran
kepadamu!"
Lenyaplah seri wajah dara itu, alisnya berkerut. Kegembiraannya lenyap dan berbalik ia
menjadi marah. Benarkah pemuda itu tadi mengalah" Ka-lau begitu, dia mempermainkan aku
dan diam-diam mentertawakan aku, pikirnya jengkel dan ketika ia melirik, sinar matanya
panas mengejutkan Sim Houw.
"Locianpwe, nona Kam tadi benar-benar hebat ilmu sulingnya, saya merasa kewalahan...."
Kam Hong saling pandang dengan Sim Hong Bu dan keduanya tertawa, sama-sama maklum
bahwa Sim Houw sengaja melindungi muka Bi Eng agar jangan sampai menjadi malu.
"Sudahlah, mari kita semua masuk ke dalam. Saudara Sim, ka-mi ingin bicara denganmu
sebagai jawaban atas maksud kedatanganmu."
Mereka lalu masuk ke dalam dan duduk di da-lam ruangan dalam. Dua orang pelayan baru
yang diambil dari dusun terdekat, lalu menghidangkan arak dan makanan. Kemudian mereka
disuruh mundur dan Kam Hong lalu berkata kepada Sim Hong Bu yang mendengarkan
dengan hati penuh harapan.
"Saudara Hong Bu, kami sekeluarga mengulang pernyataan terima kasih kami kepada
saudara yang telah mengajak kami untuk mengikat tali kekeluar-gaan. Pinangan saudara
sangat kami hargakan dan dapat kami terima dengan baik, akan tetapi...."
Wajah Sim Hong Bu yang tadinya berseri itu kini berobah dan timbul kerut-merut di antara
kedua alisnya karena ucapan tuan rumah itu seperti akan mengusir harapan yang sudah
membesar tadi. "Akan tetapi....?" Dia mengulang ketika Kam Hong menghentikan kata-katanya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
474 Kam Hong tersenyum. "Jangan salah mengerti, saudara Sim. Kami mempunyai usul atau
permin-taan, akan tetapi usul kami ini adalah untuk keba-ikan kedua pihak."
Sim Hong Bu menggeser kursinya, bangkit dan memberi hormat. "Saya percaya akan
kebijaksa-naan Kam-taihiap, katakanlah apa yang taihiap kehendaki dan saya tentu akan
mempertimbang-kannya dengan seksama."
"Kami berdua sudah sepakat menerima pinang-anmu dan kami akan merasa gembira kalau
puteri kami kelak menjadi jodoh puteramu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa puteri kami
baru berusia lima belas tahun, dan kamipun melihat betapa pu-teramu juga belum berusia
dewasa benar, kami minta agar pernikahan antara mereka ditangguh-kan."
"Bagus! Memang itupun menjadi keinginan kami berdua ayah dan ibu Sim Houw. Kami
seke-luarga sudah merasa terhormat dan berbahagia andaikata pinangan kami diterima,
sedangkan me-ngenai upacara pernikahan, kami serahkan kepada taihiap berdua, kapan
sekiranya waktu yang pa-ling tepat. Kamipun tidak tergesa-gesa dan memang benar bahwa
putera kamipun baru berusia enam belas tahun, jadi belum matang benar."
"Syukurlah kalau begitu, dalam hal ini kita su-dah ada kecocokan. Sekarang kami hendak
me-nyampaikan keinginan kami. Sebelum tiba saatnya, biarlah urusan jodoh ini dirahasiakan
dahulu, belum terdapat pengikatan apapun, dan kami minta agar saudara Sim suka mendidik
puteri kami, mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepadanya...."
"Ahh....!" Sim Hong Bu terkejut setengah mati mendengar ini. Mengajarkan Koai-liong
Kiam-sut kepada orang lain merupakan pantangan besar dan tentu takkan diperkenankan oleh
para gurunya. Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pusaka keluarga Cu yang dikuasai olehnya
seorang, bahkan guru-gurunya, keluarga Cu tidak ada yang mampu me-nguasai ilmu itu. Juga
pedang Koai-liong Po-kiam menjadi miliknya. Ilmu itu hanya boleh diwariskan kepada
keturunannya dan Sim Houw sudah pula mempelajarinya dengan baik. Kini, mendengar
permintaan Kam Hong agar dia menurunkan ilmu itu kepada Bi Eng calon mantunya, dia
menjadi ragu-ragu dan terkejut juga. Ada apakah di ba-lik permintaan aneh ini" "Kalau boleh
saya ber-tanya, mengapa Kam-taihiap mengajukan syarat seperti itu?"
"Saudara Sim, engkau melihat sendiri betapa kami sekeluarga baru saja ditimpa bencana
yang mengakibatkan tewasnya enam orang pembantu kami. Melihat ini, timbul gagasanku
untuk mem-beri ilmu yang setinggi-tingginya kepada anak kami. Kami tahu bahwa kedua
ilmu kita merupakan ilmu dari satu sumber yang kalau digabungkan akan menjadi semacam
ilmu yang amat hebat. Ja-ngan engkau khawatir, saudara Sim. Engkau mendidik dan melatih
anak kami selama beberapa tahun sampai ia menguasai Koai-liong Kiam-sut, sedangkan
puteramupun sebagai gantinya akan kami didik di sini untuk mempelajari Kim-siauw Kiam-
sut sampai berhasil."
"Ahhh....!" kembali Sim Hong Bu menge-luarkan seruan, akan tetapi sekali ini bukan seruan
kaget dan bimbang melainkan seruan lega dan gi-rang, walaupun masih ada keraguan di
dalam ha-tinya bagaimana mungkin dia menurunkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain.
Dia bangkit berdiri lagi dan menjura. "Saya tahu bahwa Kam-taihiap amat bijaksana dan usul
itu memang baik sekali. Akan tetapi tetap saja saya masih belum dapat menangkap maksud
yang sebenarnya dari usul taihiap ini. Karena, kalau mereka kdak men-jadi suami isteri,
bukankah mereka dapat saling mengajarkan ilmu mereka?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
475 Kam Hong dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum, lalu Bu Ci Sian berkata
dengan jujur, "Sudah kukatakan bahwa Hong Bu memang cerdik sekali. Lebih baik kita
berterus terang. Beginilah maksud kami. Kalau mereka itu belajar dari kita, kita yang lebih
berpengalaman dan sudah mendalam penguasaan kita akan ilmu masing-ma-sing, akan dapat
membantu mereka untuk meng-gabungkan kedua ilmu kita itu sehingga lahir suatu ilmu
gabungan yaug amat kuat. Selain itu, sambil mengajar, bukankah kita memperoleh
kesempatan banyak sekali untuk lebih mengenal watak dan keadaan calon mantu kita masing-
masing?" Mendengar ucapan ini, Sim Hong Bu tertawa pula dan mengangguk-angguk. "Sungguh
bijak-sana sekali. Memang tepat. Orang tua tentu akan memilihkan orang yang paling cocok
untuk anak-nya. Baiklah, aku terima usul itu. Houw-ji, lekas memberi hormat kepada calon
mertuamu, juga gurumu!"
Dengan muka merah Sim Houw mentaati pe-rintah ayahnya dan diapun berlutut di depan
kaki Kam Hong, menyebut "suhu" lalu memberi hormat di depan kaki Bu Ci Sian sambil
menyebut "subo".
Kam Hong dan isterinya tersenyum gembira menerima penghormatan itu. "Bi Eng, lekas kau
beri hormat kepada suhumu dan calon mertuamu!" kata Kam Hong.
Akan tetapi dara itu memandang ragu. Sejak tadi ia sudah mendengarkan percakapan mereka
dengan alis berkerut dan muka agak pucat. Walau-pun mulutnya tidak mengeluarkan
bantahan, na-mun hatinya sangat tidak setuju. Dara yang ber-hati keras ini lalu berkata,
"Ayah, aku tidak ingin mempelajari Koai-liong Kiam-sut! Dengan ilmu-ilmu kita sendiri, aku
merasa sudah cukup untuk melindungi diri sendiri!"
Ucapan dara ini mengejutkan tiga orang pen-dekar itu. Kam Hong dan isterinya merasa tidak
enak sekali dan wajah Kam Hong menjadi merah. Akan tetapi dia tidak marah. Memang sejak
kecil dia mendidik puterinya untuk hidup bebas dan memberi kebebasan kepadanya
mengeluarkan pen-dapat dan isi hati. Kini, dara itu bicara terus terang seperti itu,
sesungguhnya tidak dapat dipersalah-kan. Maka, diapun mendebat, bukan memarahi.
"Bi Eng, jangan engkau tekebur! Lupakah eng-kau betapa baru beberapa hari yang lalu
engkau dirobohkan penjahat" Hal itu tidak akan terjadi kalau ilmu kepandaianmu tinggi, tidak
akan terjadi kalau engkau sudah menguasai gabungan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut dan
Koai-liong Kiam-sut. Mengapa engkau kini memandang rendah Koai-liong Kiam-sut?"
"Ayah, aku dikalahkan penjahat karena dia menggunakan kecurangan. Pula, kalau aku
sampai kalah, tentu karena akn kurang matang berlatih ilmu-ilmu kita sendiri. Aku tadi sudah
merasakan Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi tidaklah sebe-rapa hebat. Apa artinya kalau aku
membuang waktu bertahun-tahun-mempelajarinya" Lebih baik aku memperdalam ilmu-ilmu
yang kudapat dari ayah."
Hati Kam Hong semakin tidak enak terhadap Sim Hong Bu. "Saudara Sim, harap kau sudi
me-maafkan kelancangan mulut anak kami."
Akan tetapi Sim Hong Bu tertawa girang dan wajar, tidak dibuat-buat. "Ha-ha-ha, Kam-
taihiap, aku kagum sekali kepada puterimu. Ia memiliki kewajaran, dan kejujuran yang amat
mengagumkan!" Ucapan ini bukan basa basi belaka. Pendekar ini di waktu kecilnya adalah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
476 seorang pemburu dan hidup di antara keluarga pemburu. Keluarga-nya, para pemburu,
memang sudah biasa dengan sikap wajar dan watak yang jujur berterus terang, maka kini dia
merasa kagum sekali melihat dan mendengar betapa dara calon mantunya ini berani
mengemukakan pendapatnya sebebas itu tanpa pu-ra-pura!
Tentu saja hati suami isteri itu merasa lega mendengar tanggapan Sim Hong Bu terhadap
si-kap yang diperlihatkan Bi Eng. Akan tetapi diam-diam Kam Hong merasa malu karena
biarpun Bi Eng memperlihatkan kebebasannya bersikap dan berpendapat, namun pendapatnya
tentang ilmu si-lat tadi hanya menunjukkan betapa dara itu masih mentah.
"Bi Eng, engkau bodoh dan tekebur sekali. Memang, biarpun engkau masih kalah matang
dalam ilmu silatmu dibandingkan dengan Sim Houw, akan tetapi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut
sebanding dengan Ilmu Koai-liong Kiam-sut. Memang ke-dua ilmu pedang itu dari sumber
yang sama, walaupun mempunyai perbedaan besar karena Kim-siauw Kiam-sut memang
khusus diciptakan untuk dimainkan dengan suling sedangkan Koai-liong Kiam-sut khusus
diciptakan untuk dimainkan de-ngan pedang. Akan tetapi, kalau kedua ilmu itu digabung,
kehebatannya menjadi berlipat ganda dan satu di antara kedua ilmu itu kalau dihadapi dengan
gabungan kedua ilmu, akan mati kutu."
"Tapi, bagaimana hal itu dapat dibuktikan se-hingga dapat meyakinkan hatiku, ayah?" tanya
Bi Eng yang masih merasa penasaran. Ia merasa ya-kin bahwa ilmu keluarganya masih
menang atas ilmu keluarga Sim, maka iapun segan kalau harus mempelajari ilmu itu.
Bukankah dahulu ayahnya juga menang ketika bertanding melawan Sim Hong Bu"
Kembali Sim Hong Bu tertawa. "Ha-ha-ha, jujur, tabah dan juga cerdik, tidak mudah dibujuk.
Sungguh watak yang amat baik untuk mempelajari Koai-liong Kiam-sut!" Dia memuji
sejujurnya, bukan sembarang memuji untuk menyenangkan hati calon mantu itu.
"Bi Eng, engkau tahu bahwa tingkat kepandai-anmu dalam ilmu Kim-siauw Kiam-sut sudah
setaraf dengan tingkat ibumu dan aku sendiri be-lum tentu dapat menundukkanmu kurang dari
tiga puluh jurus. Nah, sekarang engkau cobalah ha-dapi penggabungan ilmu Kim-siauw
Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan oleh ibumu dan saudara Sim Hong Bu.
Padahal, kalau dia seorang diri saja, aku berani tanggung bahwa dalam tiga puluh jurus belum
tentu diapun dapat menundukkanmu. Lihat kehebatan penggabungan kedua ilmu itu."
Bn Ci Sian mengerti akan maksud hati suami-nya. Ia sendiri dahulu, di waktu gadisnya,
pernah menghadapi lawan berat dengan cara bergabung dengan Sim Hong Bu dan hasilnya
memang hebat. Ilmu mereka menjadi kuat sekali karena kedua ilmu itu mengandung unsur
saling membantu. Maka dengan gembira iapun mencabut sulingnya dan berkata kepada
tamunya. "Hong Bu, mari kita perlihatkan kepada calon muridmu yang bandel ini!"
Tentu saja Hong Bu merasa tidak enak hati. Akan tetapi diapun maklum bahwa seorang anak
keras hati seperti Bi Eng ini perlu diyakinkan, maka diapun mencabut pedangnya sambil
tertawa. "Baik, akupun ingin melihat bekal yang dibawa muridku."
Bukan main kagetnya hati Bi Eng ketika meli-hat pedang itu dicabut. Terdengar suara
mengaum dan nampak sinar yang demikian berkilau menye-ramkan sehingga iapun harus
memicingkan mata-nya. Sungguh sebatang pedang yang luar biasa hebatnya! Kedua orang tua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
477 itu kini sudah mema-sang kuda-kuda dengan gaya masing-masing menghadapi Bi Eng, bukan
mengurung dari kanan kiri atau depan belakang, melainkan maju bersama dari depan. Melihat
ini, Bi Eng merasa agak lega. Iapun tahu bahwa ibunya memiliki gerakan yang amat cepat,
sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah itu tentu lihai sekali mengingat dia pernah
bertanding dengan ayahnya dan kata ayahnya ting-kat mereka seimbang. Kalau mereka itu
maju mengepung, ia akan repot juga. Akan tetapi kini mereka maju bersama, biarpun ia tidak
mungkin da-pat mengharapkan menang, namun setidaknya ia akan dapat membela diri dan
akan diperlihatkan kepada mereka bahwa penggabungan kedua ilmu itupun tidak banyak
artinya. Ia akan berusaha mempertahankan diri selama tiga puluh jurus agar ayahnya dan
keluarga Sim ayah dan anak itu akan menjadi kecelik dan iapun tidak usah belajar ilmu
kepada ayah Sim Houw!
Dengan tenang iapun menggerakkan sulingnya, melintang di depan dada, memasang kuda-
kuda untuk bertahan sebaik mungkin. Melihat ini, ibunya lalu berseru, "Bi Eng, kami berdua
akan menun-dukkanmu secepat mungkin. Engkau harus siap menjaga diri dan pergunakan
segala daya tahan Kim-siauw Kiam-sut dengan sulingmu!"
Hemm, ibunya terlalu memandang rendah ke-padanya, pikir Bi Eng. Masih diberi peringatan
dan nasihat pula, seolah-olah ia tidak akan mam-pu bertahan. Ia telah mengenal semua jurus
se-rangan yang akan dilakukan ibunya dan tahu pula bagaimana harus menghindarkan diri
dari jurus itu, dan biarpun ia belum mengenal jurus serangan Koai-liong Kiam-sut, namun
dengan mengandal-kan kehebatan gerakan sulingnya, mustahil ia akan dapat dikalahkan
dalam waktu singkat!
"Baik, ibu. Aku sudah siap! Majulah dan ke-royok aku!"
Ci Sian menoleh kepada Hong Bu sambil berkata, "Aku menjadi inti dan engkau pelengkap."
Hong Bu tersenyum mengangguk dan membiarkau wanita yang pernah menjatuhkan hatinya
itu ber-gerak lebih dulu.
"Singgg....!" Suling emas di tangan nyonya itu menyambar ke arah kaki puterinya dengan
to-tokan-totokan. Tentu saja Bi Eng mengenal jurus ini dan tahu bahwa cara
menghindarkannya adalah meloncat ke atas dan ke belakang. Akan tetapi, pada saat itu,
nampak sinar berkelebat dibarengi suara mengaum dan tahu-tahu pedang Koai-liong Po-kiam
telah menyambar dari atas dan terus ke arah belakangnya, menutup jalan keluarnya! Bi Eng
terkejut dan cepat memutar sulingnya me-nangkis pedang itu.
"Cringg....! Tukk....!" Dan iapun roboh terguling. Ketika ia menangkis pedang, ter-nyata
perhatiannya ke bawah menjadi lengah dau dengan mudah ibunya telah menotok betisnya
se-hingga betis itu menjadi kesemutan dan tanpa dapat ditahan lagi iapun terguling.
Dengan muka merah Bi Eng meloncat bangun lagi. "Aku masih belum puas!" teriaknya.
"Sekarang engkau penyerang inti dan aku pelengkap!" kata Ci Sian kepada Hong Bu sambil
tersenyum. Hong Bu mengangguk.
"Nona, awas serangan!" Pedangnya berkelebat dan nampaklah gulungan sinar pedang
menyam-bar dengan lengkungan indah, menyambar ke arah leher dan dilanjutkan dengan
tusukan ke arah pe-rut. Bi Eng mengelak dan menggerakkan sulingnya menangkis. Pada saat
itu, suling di tangan ibunya berkelebat ke arah pinggangnya. Iapun tahu bagaimana harus
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
478 menghindarkan serangan ini, akan tetapi karena pedang tadi mengancam perutnya, ia ti-dak
dapat menangkis pedang dan suling sekaligus dan terpaksa hanya menangkis pedang sambil
me-loncat ke belakang menghindarkan suling ibunya. Akan tetapi pedang itu meluncur terus
dari atas, membuat ia terpaksa memutar suling ke atas dan saat itu, kaki Hong Bu menyambar,
ujung sepatu-nya menyentuh lutut dan kembali Bi Eug terguling roboh!
Kini Bi Eng yakin akan kehebatan penggabung-an dua ilmu itu. Rasanya tidak mungkin ia
dapat dirobohkan sedemikian cepatnya oleh seorang di antara mereka. Gerakan dua orang itu
begitu te-pat pada waktunya, dan kedua senjata itu saling bantu secara tepat pula, menutup
jalan keluar dan menyambung serangan dengan serangan lain yang tak terduga-duga. Sebagai
seorang yang keras hati namun jujur dan memegang teguh janjinya, Bi Eng lalu menyelipkan
suling di pinggang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sim Hong Bu seperti yang
dilakukan Sim Houw tadi sambil ber-kata, "Suhu....!"
Sim Hong Bu tertawa girang. "Ha-ha, anak baik.... anak baik...."
Akan tetapi muridnya yang dipuji sebagai anak baik itu seorang anak yang bandel dan kritis.
"Su-hu, teecu memang telah dijatuhkan dua kali secara mudah. Akan tetapi, yang maju adalah
ibu dan suhu berdua, berarti teecu dikeroyok dua. Kalau yang maju seorang saja, biarpun
sudah memiliki kedua ilmu itu, mana mungkin" Seorang dan dua orang tentu berbeda sekali!"
"Anak baik, kalau engkau sudah menguasai kedua ilmu itu dan menggabungnya, gerakanmu
akan jauh lebih lihai daripada penggabungan yang dimainkan dua orang. Gerakanmu menjadi
otoma-tis. Karena sejak kecil engkau telah menguasai Kim-siauw Kiam-sut, biarlah ilmu itu
akan men-jadi penyerang inti, sedangkan Koai-liong Kiam-sut menjadi pelengkapnya, dan
untuk itu tangan kirimu akan memegang sebatang pedang pendek atau pisau belati."
"Bi Eng, kata-kata suhumu itu tepat sekali. Tadipun mereka berdua maju dengan jurus-jurus
yang saling melengkapi, bukan merupakan jurus terpisah. Dan kelak engkau akan mainkan
Kim-siauw Kiam-sut yang dilengkapi oleh Koai-liong Kiam-sut, sebaliknya Sim Houw akan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memainkan Koai-liong Kiam-sut dengan pedang di tangan kanan, dilengkapi oleh Kim-siauw
Kiam-sut yang dimainkan dengan suling di tangan kiri."
"Bagus sekali! Dan kita sama lihat saja kelak siapa di antara keduanya yang lebih lihai!" kata
Sim Hong Bu dengan suara setengah bersorak. "Kurasa tiga tahunpun sudah cukup karena
sumber kedua ilmu itu sama sehingga tidak sukar mempe-lajari gerakan dasar pada kaki."
"Benar!" kata pula Kam Hong gembira. "Tiga tahun lagi dan kita boleh coba murid kita
masing-masing, gabungan siapa yang lebih jitu!"
Diam-diam Bu Ci Sian tersenyum geli. Dua orang pendekar itu begitu gembira dengan murid
baru mereka sehingga seperti bersaing, agaknya sudah lupa bahwa murid saingan masing-
masing adalah anak sendiri dan juga agaknya sudah lupa akan urusan perjodohan!
Tiga hari kemudian, Bi Eng menggendong bun-talan bekalnya meninggalkan rumah orang
tuanya untuk mengikuti Sim Hong Bu yang menjadi guru dan calon ayah mertuanya, untuk
mempelajari ilmu selama tiga tahun. Sedangkan Sim Houw tinggal di rumah keluarga Kam.
Keberangkatan Bi Eng diantar oleh ayah bundanya dan Bu Ci Sian, biarpun ia sendiri seorang
wanita yang tabah dan keras hati, hanya mampu menahan tangis selama Bi Eng masih
nampak saja. Setelah bayangan dara itu lenyap, ia tidak dapat membendung tangisnya karena
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
479 kese-dihannya ditinggalkan puteri tunggalnya. Suami-nya mendiamkannya saja, lalu
merangkul dan menghiburnya.
"Bi Eng hanya pergi sementara dan mempelajari ilmu, sedangkan kita memperoleh
penggantinya, murid yang cerdik dan juga calon mantu. Apa yang perlu disedihkan?"
"Bagaimana hati ini tidak akan merasa sedih?" bantah isterinya. "Semenjak lahir sampai
sekarang, Eng-ji tidak pernah berpisah dari sampingku, dan sekarang akn harus berpisah
darinya untuk selama bertahun-tahun...."
"Jangan terlalu dipikirkan, bukankah semua itu memang sudah kita sengaja" Pula, kita yakin
bah-wa ia berada di tangan yang baik dan dapat diper-caya sepenuhnya. Kita telah mengenal
benar kea-daan dan watak Sim Hong Bu, bukan?"
Ci Sian mengangguk dan akhirnya hatinya ter-hibur juga, apalagi ketika ternyata bahwa Sim
Houw adalah seorang murid yang amat baik. Bu-kan saja pemuda ini memiliki bakat yang
tidak ka-lah dibandingkan dengan Bi Eng, akan tetapi pe-muda ini berwatak pendiam, tidak
banyak cakap akan tetapi amat rajin bekerja di ladang. Kam Hong dan isterinya merasa suka
sekali kepada ca-lon mantu ini dan Kam Hong mengajarkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut
dengan sepenuh hatinya, memberi sebatang suling emas kepada murid atau calon mantunya
ini. *** Kepercayaan penuh keyakinan yang terkandung dalam hati Kam Hong dan Ci Sian terhadap
Sim Hong Bu yang membawa pergi puteri mereka tidaklah sia-sia belaka. Sim Hong Bu
adalah seorang pendekar besar yang berhati bersih. Sejak semula diamemandang Bi Eng
sebagai calon mantu, jadi seperti anaknya sendiri. Apalagi sekarang dara itu telah
mengakuinya sebagai guru, maka sikapnya terhadap dara itupun penuh rasa sayang. Lebih
lagi karena bagaimanapun juga, dia merasa kehilangan puteranya yang ditinggalkan di rumah
keluarga Kam. Dara itu kini menjadi pengganti anaknya.
Biarpun hati Sim Hong Bu penuh dengan ke-gembiraan karena pinangannya diterima, bahkan
kini mereka saling menukar anak untuk dididik se-lama tiga tahun, hal yang sama sekali tak
pernah disangkanya dan yang amat menggembirakan hati-nya, namun diam-diam ada rasa
khawatir dalam hatinya. Dia teringat akan isterinya. Cu Pek In, yang pada mulanya merasa
agak tidak setuju mendengar suaminya mengajak putera mereka pergi ke timur untuk
berkunjung kepada keluarga Kam. Apalagi kalau mendengar bahwa putera mereka telah
dijodohkan dengan puteri keluarga Kam, bahkan kini dia pulang membawa calon mantu itu.
Hong Bu tahu bahwa di lubuk hati isterinya masih ada perasaan dendam dan tidak suka
kepada Kam Hong bersama isterinya yang oleh keluarga Cu dianggap sebagai pencuri ilmu
keluarga Cu! Biarpun demikian, Hong Bu yakin akan dapat melu-nakkan hati isterinya dan
memperoleh persetujuan isterinya, karena isterinya amat mencintanya dan taat selalu
kepadanya. Yang membuat dia ragu-ragu adalah kedua orang gurunya, yaitu Kim-kong-sian
Cu Han Bu ayah Pek In dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu.
Keluarga Cu terdiri dari tiga saudara, yang pertama adalah Kim-kong-sian Cu Han Bu yang
kini sudah berusia lima puluh delapan tahun. Ke dua adalah Bu-eng-sian Cu Seng Bu berusia
lima puluh tiga tahun dan selamanya tidak menikah. Dua orang kakak beradik ini sejak kalah
bertanding melawan Kam Hong lalu pergi bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
480 lagi (baca kisahSuling Emas dan Naga Siluman). Adapun orang ke tiga dari keluarga Cu itu
adalah Ban-kin-sian Cu Kang Bu yang menikah dengan Yu Hwi bekas tunangan Kam Hong.
Suami isteri itu kini tinggal pula di Lembah Naga Siluman, tempat tinggal ke-luarga Cu yang
dahulunya disebut Lembah Suling Emas dan dirobah namanya setelah keluarga itu kalah oleh
Kam Hong. Demikian sekelumit riwayat keluarga Cu. Riwayat yang lengkap dapat dibaca
dalamkisahSuling Emas dan Naga Siluman .
Sim Hong Bu merupakan pewaris tunggal dari ilmu simpanan keluarga Cu, yaitu Ilmu
Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia pula yang dahulu me-manggul tugas untuk mengalahkan
Kim-siauw Kiam-sut dengan ilmu pedangnya itu dan dia su-dah pula menantang Kam Hong
bertanding. Kedua ilmu yang sebetulnya dari satu sumber itu pernah dipertandingkan dan
Hong Bu yang ketika itu memenuhi tugas sebagai murid dan pewaris kelu-arga Cu, hanya
kalah sedikit saja. Akan tetapi, di dalam hati Hong Bu sama sekali tidak memusuhi Kam
Hong, apalagi Bu Ci Sian yang merupakan dara pertama yang pernah menjatuhkan hatinya.
Dia malah merasa suka dan kagum sekali kepada Kam Hong. Ini pula yang membuat dia
ingin mengikat tali perjodohan antara anak mereka, agar suasana persaingan itu dapat
dilenyapkan. Maka diapun merasa berbahagia sekali menerima usul Kam Hong untuk
menyatukan kedua ilmu yang oleh keluarga Cu dipertentangkan itu dalam diri anak-anak
mereka sehingga persaingan atau pertentangan itu lenyap dan menjadi persatuan yang kokoh
kuat. Kekhawatiran hati Sim Hong Bu bahwa usaha-nya membuat ikatan kekeluargaan antara
keluarga-nya dan keluarga Kam akan mendapat tentangan dari keluarga isterinya, bukan tanpa
alasan. Keluar-ga Cu adalah sebuah keluarga kuno yang tinggi ha-ti, menganggap keluarga
mereka tinggi dan mulia. Maka, kekalahan mereka terhadap Kam Hong me-rupakan pukulan
batin hebat bagi mereka. Apalagi kalau diingat bahwa suling emas dan ilmunya di tangan
Kam Hong itu berasal dari nenek mo-yang mereka (baca KisahSuling Emas dan Naga
Siluman). Biarpun Kam Hong menemukan ilmu itu secara kebetulan, bukan mencuri, dan
senjata su-ling emas itupun merupakan warisan nenek mo-yangnya, akan tetapi karena pusaka
dan ilmunya itu memang berasal dari nenek moyang keluarga Cu, maka keluarga Cu tetap
menganggap Kam Hong sebagai pencuri! Dan mereka telah berusaha keras untuk menyaingi
dan mengalahkan Kam Hong, dengan mengangkat Sim Hong Bu sebagai pewaris tunggal
ilmu Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi inipun gagal. Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menderita
pukulan batin dan mereka tekun bertapa di guha rahasia di lembah mereka.
Pagi hari itu, tiga orang penghuni Lembah Naga Siluman duduk di serambi depan sambil
menikmati udara pagi dan minum teh panas. Mereka adalah Cu Pek In isteri Sim Hong Bu,
dan pamannya yang ke tiga, yaitu Cu Kang Bu dan isterinya yang bernama Yu Hwi. Seperti
diceritakan dalamKisah Suling Emas dan Naga Siluman , Yu Hwi adalah bekas tunangan
Kang Hong, maka tentu saja dalam pertentangan itu, Yu Hwi sepenuhnya berpihak kepada
keluarga suaminya!
Cu Pek In sudah berusia tiga puluh empat tahun, wajahnya yang cantik membayangkan
kekerasan hatinya, terutama pada mulut yang kecil dan dikat-upkan rapat-rapat itu. Pamannya
yang termuda, Cu Kang Bu, adalah seorang pria berusia empat pu-luh enam tahun yang
perawakannya kokoh kuat dan tinggi besar, nampak gagah sekali. Cu Kang Bu berjuluk Ban-
kin-sian (Dewa Bertenaga Seribu Kati) dan dari julukannya saja dapat diduga bahwa dia
memiliki tenaga yang amat kuat. Di autara tiga saudara Cu, yang termuda ini memiliki hati
yang paling terbuka, jujur dan gagah perkasa. Maka, diapun mengagumi Kam Hong dengan
sejujur-nya dan tidak mendendam atas kekalahannya se-perti halnya kedua orang kakaknya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
481 yang sampai kini masih bertapa dengan tekunnya. Dia hidup saling mencinta dengan Yu Hwi,
isterinya yang usianya sekarang sudah empat puluh tahun. Sayang bahwa mereka tidak
mempunyai keturunan dan karena sejak Sim Houw terlahirselalu tinggal bersama mereka
dalam Lembah Naga Siluman itu, maka suami isteri yang tidak mempunyai anak ini juga amat
menyayang Sim Houw, cucu keponakan itu. Kini, tiga orang itu merasa kehilangan sekali
semenjak Sim Houw pergi merantau bcrsama ayah-nya.
"Aahhh...." terdengar Yu Hwi menarik na-pas panjang. "Betapa sepinya tempat ini semenjak
Houw-ji pergi...."
Mendengar ucapan isterinya, Cu Kang Bu me-lirik keponakannya, akan tetapi yang dilirik
hanya menundukkan muka tanpa menanggapi. "Ah, eng-kau ini!" katanya mencela isterinya
sambil terse-nyum. "Sebelum Sim Houw lahir, engkau tidak pernah merasa sepi!"
"Tentu saja!" Yu Hwi membantah. "Akan tetapi semenjak lahir, anak itu telah menjadi
sebagian daripada hidup kita semua, kalau sekarang diting-gal pergi, tentu akan merasa
kehilangan dan kese-pian. Pek In, kapan sih suami dan puteramu akan pulang?"
"Dia tidak pernah mengatakan kapan, bibi. A-kan tetapi mengingat akan jauhnya tempat yang
akan dikunjunginya, kurasa akan memakan waktu berbulan-bulan."
Yu Hwi menghela napas. "Aku tidak mengerti mengapa suamimu jauh-jauh pergi ke Bukit
Nela-yan mengunjungi keluarga Kam yang sepantasnya malah harus dijauhinya. Bukankah
keluarga Kam itu musuh keluarga kita?"
Cu Pek In diam saja, akan tetapi Cu Kang Bu mengerutkan alisnya mendengar ucapan
isterinya yang membakar ini. Akan tetapi, pendekar tinggi besar ini terlalu mencinta isterinya
untuk menegur dengan keras, maka diapun tertawa. "Ha-ha, agaknya engkau lupa bahwa
istana tua di puncak Bukit Nelayan itu adalah peninggalan nenek mo-yangmu sendiri yang
sudah kauserahkan kepada Kam-taihiap untuk dijadikan tempat tinggal! Dan mengapa Hong
Bu tidak mengunjunginya" Kam-taihiap adalah seorang sahabat baik."
Yu Hwi adalah seorang wanita yang galak, genit dan tentu saja sejak menikah ia sudah
menguasai su-aminya. Kini ia cemberut memandang suaminya, lalu berkata dengan suara
mengandung kejengkel-an. "Aihh, sungguh aku tidak mengerti jalan pikir-anmu! Ke manakah
harga dirimu sebagai angganta penting keluarga Cu" Hemm, kalau sampai kedua kakak kita
mendengar kata-katamu tadi, tentu mereka takkan merasa senang."
Cu Kang Bu tidak marah. Dia tahu bahwa di balik segala kecerewetannya, isterinya amat
men-cintanya dan selalu akan membela pendiriannya. Dia hanya menarik napas panjang dan
berkata. "Sejak dahulu, aku tidak suka menyimpan dendam. Apalagi urusan antara keluarga
kita dengan kelu-arga Kam sebetulnya tidak perlu diributkan lagi. Menurut keadaannya
bahkan di antara kita masih ada sangkutan perguruan, jadi, kalau kini Sim Hong Bu
mendekatinya, itu malah baik sekali!"
Cu Pek In yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba berkata dan suaranya mengandung penyesalan
besar yang ditahan-tahan. "Paman, bukan hanya mendekati, bahkan dia pernah mengatakan
bahwa kalau Kam Hong mempunyai seorang anak perem-puan, dia ingin menjodohkan
Houw-ji dengan keturunan keluarga Kam!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
482 "Ahhh.... gila itu!" Yu Hwi berseru ka-get dan marah.
Akan tetapi Cu Kang Bu teitawa gembira. "Bagus! Itu adalah niat yang bagus sekali!
De-ngan ikatan perjodohan, antara keluarga Cu dan keluarga Kam tidak ada lagi dendam dan
menjadi keluarga. Bagus!"
"Tidaaak, aku tidak mau....!" Tiba-tiba Cu Pek In menjerit, menangis lalu bangkit dari tempat
duduknya dan lari memasuki kamarnya. Cu Kang Bu dan isterinya terkejut dan saling
pan-dang. Tak mereka sangka Cu Pek In akan bersikap seperti itu. Memang nyonya muda ini
sudah me-nahan-nahan kemarahan dan penasaran dalam hatinya, akan tetapi ia tidak tega
untuk menentang suaminya. Kini, selagi suaminya tidak ada, tekanan batin itu meledak dan
iapun menjerit dan menangis.
"Ah, lihat, engkau membuat Pek In marah dan berduka," Yu Hwi mengomel. "Sudah jelas ia
tidak menyetujui suaminya, akan tetapi engkau malah mendukung Hong Bu sehingga
menjengkelkan hati Pek In."
"Akan tetapi, aku memang melihat kebaikan bagi keluarga Cu dengan adanya niat Hong Bu
itu...." "Hemm, engkau sudah pikun agaknya. Siapa bilang ini urusan keluarga Cu" Yang hendak
dijo-dohkan adalah keturunan keluarga Sim dan Kam, apa sangkut pautnya dengan keluarga
Cu" Dalam hal ini, kiranya kita tidak perlu mencampurinya."
Cu Kang Bu termangu-mangu dan baru dia teringat bahwa putera Pek In adalah keturunan
Sim, bukan Cu! Diapun menarik napas panjang dan tidak mau membantah lagi, sedangkan Yu
Hwi lalu menyusul Pek In untuk menghiburnya.
Dalam keadaan seperti itu, dapat dibayangkan betapa kemunculan Sim Hong Bu yang pulang
ke Lembah Naga Siluman membawa Kam Bi Eng mendatangkan bermacam perasaan pada
keluarga itu. Cu Kang Bu sendiri menyambutnya dengan ramah dan diam-diam pendekar
raksasa ini setuju dengan tindakan yang diambil mantu keponakan-nya. Yu Hwi menerima
tanpa bicara akan tetapi nyonya ini jelas tidak senang hatinya. Yang paling menderita
batinnya adalah Pek In. Bernacam pe-rasaan mengaduk hatinya ketika suaminya berce-rita di
depan keluarga Cu. Ada rasa marah, pena-saran, kecewa dan juga berduka. Terutama sekali
mendengar bahwa puteranya kini berada di rumah keluarga Kam, menjadi murid!
Kam Bi Eng sendiri bersikap tenang. Di sepanjang perjalanan, gurunya bersikap baik sekali
dan ia sudah mulai merasa hormat dan sayang kepada gurunya, juga calon ayah mertuanya. Di
sepanjang perjalanan ia sudah mulai menerima petunjuk mengenai teori ilmu Koai-long
Kiam-sut dan ternyata petunjuk pendekar itu amat berharga dan pengetahuan pendekar itu
amat luas mengenai ilmu silat. Maka, ketika ia bersama gurunya tiba di depan jurang yang
lebar dan curam, yang memisahkan Lembah Naga Siluman dengan dunia luar, ia memandang
dengan penuh kagum. Sudah bebe-rapa kali Bi Eng diajak pergi ayah ibunya, akan tetapi
belum pernah ia pergi merantau sejauh ini. Perjalanan yang memakan waktu berpekan-pekan
dan melalui daerah-daerah yang sama sekali asing baginya. Apalagi setelah tiba di daerah
Pegunungan Himalaya, ia merasa kagum menyaksikan kebesaran alam yang demikian luas
dan hebatnya. Dia berdiri di tepi jurang lebar, lalu melihat gu-runya memberi tanda ke
seberang dengan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon dan pegunungan, melihat betapa
ada tali perlahan-lahan naik dari dalam jurang yang tertutup kabut, ia semakin kagum.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
483 "Mari kita masuk lembah," kata gurunya yang meloncat ke atas tambang itu, setelah tambang
te-rentang lurus. Hati Bi Eng merasa ngeri. Berjalan di atas tambang sebesar itu bukan
merupakan pekerjaan sukar baginya. Akan tetapi, kalau tam-bang itu melintang di atas jurang
yang demikian lebarnya, demikian dalamnya sehingga dasarnya yang tertutup kabut itu tidak
nampak, merupakan hal lain lagi. Melintasi jembatan tambang seperti itu membutuhkan
ketahahan yang luar biasa. Akan tetapi ia bukan seorang dara penakut dan iapun meloncat di
belakang gurunya. Hong Bu tersenyum girang dan merekapun berjalan, setengah berlari,
menyeberangi jurang itu di atas tambang yang ha-nya bergoyang sedikit saja karena keduanya
mempergunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Sebentar saja mereka telah tiba di seberang, disambut oleh tiga orang penjaga jembatan yang
cepat memberi hor-mat kepada Hong Bu dan Bi Eng.
"Suhu, apakah jalan ke lembah hanya melalui jembatan tambang ini?" tanya Bi Eng. Ia
menye-but suhu kepada calon mertuanya, karena untuk menyebut ayah mertua ia merasa
malu. Pula, bu-kankah ia memang sudah menjadi murid sehingga layak menyebut suhu,
sedangkan ia masih belum resmi menjadi mantu"
"Benar, tidak ada jalan lain kecuali melalui jembatan tambang karena Lembah Naga Siluman
di-kurung oleh jurang-jurang yang amat curam, tak mungkin dilalui manusia." Sim Hong Bu
mene-rangkan ketika mereka berjalan melalui lorong penuh pohon-pohon besar.
"Sebuah tempat yang hebat, tak mungkin di-datangi orang jahat dari luar," gadis itu memuji.
"Keluarga Cu amat terkenal, Bi Eng. Para da-tuk sesat tidak ada yang berani main-main di
sini, karena selain tempatnya sukar diserbu, juga kelu-arga Cu termasuk keluarga sakti. Pula,
keluarga Cu tidak pernah mencampuri urusan orang luar, maka dapat dikata tidak mempunyai
musuh pribadi."
Kecuali ayah, pikir Bi Eng dan hatinya kecut mengenangkan cerita ibunya betapa ayahnya
per-nah dimusuhi oleh keluarga Cu yang lihai. Dan kini ia datang sebagai murid. Akan tetapi
gurunya hanya mantu keluarga Cu, dan gurunya she Sim, bu-kan she Cu. Hal ini agak
menenangkan hatinya yang mulai merasa tidak enak, seolah-olah di dalam dada gadis ini
timbul perasaan bahwa tempat yang angker ini tidak suka didatangi olehnya.
Dan perasaan hatinya itu ternyata tidak meni-punya. Ia merasakan penyambutan yang dingin
sekali ketika akhirnya ia berhadapan dengan tiga orang penghuni rumah besar di lemhah itu.
Ban-kin-sian Cu Kang Bu menyambut Hong Bu dengan gembira, hanya nampak heran dan
terkejut ketika Hong Bu memperkenalkan Bi Eng sebagai muridnya. Akan tetapi Yu Hwi dan
Cu Pek In tidak dapat menyembunyikan perasaan tak se-nangnya ketika mendengar bahwa
dara remaja itu adalah puteri Kam Hong!
"Apa.... apa artinya ini?" Cu Pek In ber-tanya kepada suaminya dengan muka pucat. "Di
mana anakku....?"
"Mari kita bicara di dalam. Aku membawa ka-bar yang baik dan menggembirakan sekali,"
kata Hong Bu sambil tersenyum, menyembunyikan rasa gelisahnya karena dia tahu bahwa
berita yang di-bawanya itu belum tentu menggembirakan hati isterinya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
484 Demikianlah, akhirnya mereka semua berada di ruangan dalam, duduk mengitari meja dan
Hong Bu lalu menceritakan pengalamannya bertemu de-ngan keluarga Kam. Dia
menceritakan dengan singkat namun jelas dan mengakhiri dengan kata-kata yang
mengandung nada gembira.
"Begitulah. Kami bersepakat untuk saling men-didik anak masing-masing selama tiga tahun
dan aku akan memimpin Bi Eng untuk menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-
liong Kiam-sut dan sebaliknya, Houw-ji akan digembleng oleh Kam-taihiap. Setelah lewat
waktu itu, baru kami akan mematangkan pembicaraan tentang perjodoh-an antara kedua anak
itu." Tiba-tiba Cu Pek In bangkit berdiri dari tem-pat duduknya dan dengan muka pucat
meman-dang kepada Hong Bu, lalu terdengar suaranya yang bernada marah, "Suamiku,
mengapa engkau bertindak begini lancang?"
Hong Bu mengerutkan alisnya, lalu tersenyum, senyum yang agak masam. "Isteriku,


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa kau berkata dcmikian" Urusan Houw-ji adalah urusan pribadi kita berdua, karena
dia adalah anak kita, dan sebelum barangkat aku sudah memperoleh persetujuanmu untuk
mengikat tali kekeluargaau dengan keluarga Kam!"
"Bukan itu maksudku!" bantah isterinya. "Akan tetapi tentang ilmu pusaka keluarga Cu itu!
Bagaimana engkau berani lancang hendak mengajar-kannya kepada orang lain tanpa lebih
dulu menda-pat perkenan dari ayah?"Hong Bu yang diserang dengan kata-ksta keras itu,
menjadi terkejut. Dia menoleh kepada Cu Kang Bu yang sedikit banyak berhak pula bersuara
dalam hal ini, akan tetapi pendekar raksasa itu hanya menunduk. Bibinya bahkan memandang
kepadanya dengan sikap marah, jelas sekali betapa wanita itu mendukung pendirian Cu Pek
In. "Ini adalah urusan dan tanggung jawabku, bi-arlah aku akan menghadap ayah mertua untuk
mohon perkenan beliau." Akhirnya dia berkata dan pertemuan itu dibubarkan dalam keadaan
yang amat tidak menyenangkan semua pihak. Akan te-tapi, biarpun hatinya sendiri diliputi
ketegangan melihat betapa suhunya menghadapi sikap menen-tang keluarganya, sikap Bi Eng
sendiri tetap te-nang. Hanya ada perasaan tidak suka kepada ibu dari Sim Houw itu yang
memiliki pandang mata demikian dingin kepadanya, bahkan seperti orang membenci.
Menghadap atau menemui Kim-kong-sian Cu Han Bu bukanlah merupakan hal yang mudah.
Semenjak dikalahkan oleh Kam Hong lalu menga-singkan diri bertapa, Kim-kong-sian Cu
Han Bu dan adiknya, Bu-eng-sian Cu Seng Bu, jarang mau diganggu dan kalau tidak ada hal
yang amat penting sekali, mereka tidak mau keluar dari tem-pat mereka bertapa atau
membolehkan orang luar datang menghadap. Dua kakak beradik ini bertapa, bukan hanya
untuk memenuhi janjinya terhadap Kam Hong karena kckalahan mereka, akan tetapi juga
diam-diam keduanya tekun mempelajari ilmu-ilmu mereka dan memperdalamnya dengan cara
menciptakan ilmu-ilmu secara bersama sehingga selama belasan tahun mengasingkan diri itu
mereka telah menjadi semakin lihai saja!
Dua hari kemudian barulah Hong Bu diperke-nankan untuk menghadap guru atau ayah
mertua-nya. Karena dia berwatak terbuka dan ingin agar urusan segera beres, dia mengajak Bi
Eng meng-hadap bersama. Dara itupun pergi bersama guru-nya dengan sikap tenang dan di
dalam hatinya, ingin sekali ia melihat wajah orang-orang yang pernah menjadi musuh
ayahnya, dan ingin ia me-ngetahui bagaimana sikap keluarga Cu itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
485 Tempat pertapaan itu sunyi sekali, berada di lereng bukit, di dalam sebuah guha besar ciptaan
alam yang disempurnakan oleh tenaga keluarga Cu. Guha itu menerima sinar matahari yang
cukup banyak, dibersihkan dan dibagi menjadi tiga ru-angan. Dua buah tempat untuk
bersamadhi yang terpisah, semacam kamar tidur kecil dan di tengah terdapat sebuah ruangan
lebar yang lantainya rata dan tempat ini selain menjadi semacam ruangan duduk, juga menjadi
tempat kakak beradik pertapa ini berlatih silat dan menciptakan ilmu baru ber-sama. Di
ruangan inilah Sim Hong Bu diterima oleh ayah mertua dan pamannya.
Dua orang pendekar Cu itu sudah duduk me-nanti di ruangan tengah yang luas itu. Matahari
pagi menyorotkan sinarnya melalui lubang di atas sebelah kiri sehingga ruangan itu terang
dan bersih. Cu Han Bu sudah berusia lima puluh enam tahun akan tetapi wajahnya masih
nampak segar. Hanya rambutnya yang putih semua itu yang menunjukkan bahwa dia sudah
berusia agak lanjut. Pakaiannya bersih sederhana dan longgar seperti pakaian per-tapa akan
tetapi pinggangnya memakai sabuk emas yang bukan hanya merupakan sabuk biasa,
mela-inkan menjadi senjata andalannya yang ampuh. Dia duduk bersila di atas dipan panjang
bertilam kasur bulu, bersanding dengan Cu Seng Bu. Kakek ke dua yang berjuluk Bu-eng-sian
(Dewa Tanpa Bayangan) ini usianya baru lima puluh satu tahun, akan tetapi kelihatan tidak
lebih muda dari kakak-nya. Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti orang
berpenyakitan. Di punggungnya ter-gantung sebatang pedang tipis. Mereka berdua duduk
bersila seperti orang sedang samadhi ketika Sim Hong Bu melangkah memasuki guha itu
ber-sama Bi Eng.
"Suhu, susiok, teecu datang menghadap," kata Hong Bu sambil berlutut di depan dipan
panjang bersama Bi Eng yang diam saja, hanya melirik ke arah dua orang itu.
Hening sejenak. Kedua orang tua itu membuka mata dan beberapa lamanya mereka
memandang kepada Bi Eng dengan pandang mata penuh selidik. Melihat betapa dua pasang
mata itu mengeluarkan sinar mencorong, Bi Eng merasa tegang dan ia menundukkan
mukanya. "Hong Bu, ada keperluan penting apakah maka engkau berani mengganggu ketenangan
kami?" ayah mertua atau gurunya bertanya. Sampai kini, sesuai dengan kehendak para tokoh
keluarga Cu, dia menyebut suhu dan susiok kepada mereka. Hal ini menunjukkan kekerasan
hati keluarga itu me-ngenai perguruan mereka. Hong Bu merupakan pewaris ilmu pusaka
keluarga mereka, oleh karena itu dipentingkan kenyataan bahwa pendekar itu adalah murid
mereka yang berhak mewarisi ilmu keluarga, bukan sekedar mantu!
"Suhu, seperti telah teecu laporkan ketika teecu berpamit kepada suhu, teecu telah mengajak
Houw-ji merantau ke timur dan sekarang teecu hendak melaporkan segala peristiwa yang
kami alami dalam perjalanan itu."
"Hong Bu, siapakah anak perempuan yang kau-ajak masuk ini?" Cu Seng Bu bertanya,
suaranya datar saja akan tetapi pandang matanya mengeras.
"Anak ini bernama Kam Bi Eng...."
"She Kam....?" Cu Seng Bu bertanya, suaranya mengeras.
"Benar, susiok. Bi Eng adalah puteri Kam Hong-taihiap."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
486 "Ehh" Tindakan apa yang kauambil ini, Hong Bu?" Cu Seng Bu berseru, matanya terbelalak.
"Biarkan dia menceritakan semua. Bicaralah, Hong Bu, kami siap mendengarkan," kata Cu
Han Bu dengan suara tenang, akan tetapi jelas bahwa diapun menekan perasaan marahnya.
Hong Bu memang sudah siap. Dia tahu bahwa tindakannya itu tentu akan menghadapi
tentangan, maka dengan sikap tenang tapi hormat diapun bercerita.
"Teecu bersama Houw-ji pergi ke Puncak Bukit Nelayan dan berkunjung ke tempat
kediaman Kam-taihiap. Di sana teecu melihat bahwa Kam-taihiap mempunyai seorang anak
perempuan, yaitu Kam Bi Eng ini dan timbullah niat di dalam hati teecu, yang sebelumnya
memang sudah teecu run-dingkan dengan isteri teecu, untuk mengikat tali kekeluargaan
dengan keluarga Kam, menjodohkan Houw-ji dengan Bi Eng." Sim Hong Bu berhenti
sebentar untuk melihat reaksi dua orang tua itu. Akan tetapi Cu Seng Bu diam saja sedangkan
Cu Han Bu hanya mengeluarkan suara tidak jelas, dan disusul kata-kata tak acuh.
"Hemm, niat yang ganjil. Teruskan ceritamu."
"Pinangan teecu diterima, kemudian kami ber-sepakat untuk menukar anak masing-masing,
un-tuk saling dididik ilmusehingga kedua anak itu kelak akan dapat menggabungkan Kim-
siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, maka Houw-ji teecu tinggalkan di sana sedangkan
Bi Eng teecu bawa pulang...."
"Sim Hong Bu....! Apa yang kaulakukan ini" Apakah engkau sudah gila?" Cu Han Bu
membentak, kini tidak lagi menahan-nahan ke-marahannya yang memang sudah
didendamnya sejak kemarin ketika dia mendengar pelaporan Pek In yang datang bercerita
sambil menangis.
"Suhu, teecu kira tidak ada sesuatu yang ganjil dalam tindakan teecu itu," Sim Hong Bu
berkata dengan sikap masih tetap tenang.
"Tidak ganjil" Engkau hendak berbesan dengan keluarga Kam dan kaukatakan tidak ganjil"
Se-jak dahulu keluarga Kam adalah saingan dan mu-suh keluarga Cu dan engkau malah
hendak meng-ikat tali perjodohan anakmu, mengikat tali kekelu-argaan dengan pihak
musuh?" "Suhu, harap Suhu maafkan. Urusan perjodohan putera teecu adalah urusan teecu sendiri dan
Houw-ji adalah she Sim, jadi tidak dapat disangkutkan dengan adanya permusuhan keluarga.
Pula, sejak dahulu teecu tidak melihat suatu kesalahan pada Kam-taihiap maka teecu tidak
dapat menganggapnya sebagai musuh. Harap suhu maafkan." Cu Han Bu mengepal tinju dan
mengerutkan alis. "Baiklah, Sim Houw hanyalah cucu luarku, bukan she Cu. Aku tidak akan
mencampuri urusanmu itu. Akan tetapi, engkau adalah muridku dan engkau pewaris ilmu
pusaka keluarga kami. Bagaimana kini engkau berani hendak menurunkan ilmu keluarga
kami kepada seorang murid,dan murid itu orang luar, bahkan anak musuh kami?"
"Suhu, kiranya dalam hal menerima murid, tidak dapat dibatasi dengan keluarga saja.
Buktinya, suhu menurunkan ilmu pusaka keluarga kepada teecu yang she Sim. Dan andaikata
harus diturun-kan kepada keluarga sendiri, Bi Eng ini adalah calon anak mantu teecu, berarti
iapun anggauta keluarga sendiri. Maka teecu berani mengangkat-nya menjadi murid."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
487 "Brakkk!" Ujung dipan di depan Cu Han Bu pecah berantakan oleh tangan pendekar ini
ketika dia menamparnya untak menyatakan kemarahan-nya. "Sim Hong Bu! Bagaimanapun
juga, aku tidak rela kalau ilmu keluarga kami diberikan kepada anak si pencuri Kam Hong!"
Sejak tadi Bi Eng mendengarkan dengan hati merasa tidak senang. Kini, mendengar ayahnya
dimaki pencuri, ia bangkit berdiri. "Suhu, bawa aku pergi dari sini! Mereka begini sombong,
siapa sih yang kepingin belajar ilmu keluarga Cu" Di-bandingkan dengan ilmu keluarga Kam,
ilmu kelu-arga Cu tidak ada artinya!"
Bi Eng mengeluarkan kata-kata itu dengan bernapsu dan dia berdiri sambil bertolak
pinggang. Tentu saja Sim Hong Bu terkejut bukan main sam-pai mukanya menjadi pucat,
sedangkan ucapan dan sikap yang merendahkan dan menantang itu membuat Cu Seng Bu tak
dapat merahan kema-rahannya lagi. Diapun meloncat turun dari atas dipan.
"Lihat kesombongan setan cilik ini! Dan anak seperti ini akan mewarisi ilmu kita" Bocah she
Kam, ingin kulihat sampai di mana kehehatan ilmu keluarga Kam!" Berkata demikian Cu
Seng Bu meloncat ke depan dan menggunakan tangan kiri-nya menampar ke arah leher Bi
Eng! Orang ini berjuluk Bu-eng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan, maka tentu saja dapat
diduga bahwa dia adalah seorang ahli gin-kang yang sudah tinggi tingkatnya. Gerakannya
demikian cepat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan Bi Eng dan tangannya menyambar
seperti kilat cepatnya.
Akan tetapi tidak percuma Bi Eng sejak kecil digembleng ayahnya sendiri sebagai anak
tunggal Pendekar Suling Emas itu. Ia memiliki kewaspa-daan dan gerakan yang amat lincah.
Begitu meli-hat tangan menyambar, ia sudah mengelak ke samping dan siap untuk membalas.
Akan tetapi, belum sempat ia membalas, Cu Seng Bu sudah menyusulkan totokan-totokan ke
arah pelipis, pundak dan pinggang secara bertubi dan cepat sekali. Melihat ini, Bi Eng
terpaksa melempar tu-buhnya ke belakang dan membuat jungkir balik sebanyak tiga kali ke
belakang. Gerakannya indah dan gesit seperti burung walet saja.
Cu Seng Bu merasa penasaran bukan main. Empat kali dia menyerang dan empat kali dara
remaja itu dapat menghindarkannya dengan mu-dah! Kalau dara ini tidak dihajar dan
berkenalan dengan kelihaian keluarga Cu, tentu kelak akan mentertawakan keluarga Cu,
apalagi diingat bahwa dara ini adalah anak Kam Hong! Maka kini iapun menerjang lagi ke
depan dengan niat untuk menurunkan tangan yang lebih keras!
Akan tetapi tiba-tiba Sim Hong Bu meloncat dan menghadangnya. "Susiok, harap maafkan
Bi Eng yang masih kanak-kanak," katanya.
"Kau.... kau berani melawan susiokmu?" Cu Seng Bu membentak, kemarahannya semakin
menjadi. "Teecu bukan melawan susiok, melainkan me-lindungi Bi Eng yang menjadi tanggung jawab
teecu," jawab Hong Bu dengan suara tegas.
"Bagus, engkau sudah terang-terangan melindungi anak musuh!" Cu Seng Bu kini dengan
dahsyatnya menyerang dan mengirim pukulan am-puh kepada Hong Bu. Pendekar ini
terpaksa meng-gunakan tangannya menangkis, akan tetapi karena dia merasa sungkan dan
hanya menggunakan te-naga setengah-setengah saja, dia terdorong ke belakang dan hampir
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
488 roboh. Sementara itu, ketika tadi Bi Eng berjungkir balik membuat salto tiga kali, tahu-tahu
pundaknya dicengkeram orang dari belakang dan ia tidak mampu berkutik lagi. Kiranya ia
telah dipegang oleh Cu Han Bu secara aneh dan pegangan kakek itu kuat sekali. Begitu Bi
Eng mengerahkan sin-kang dan hendak melolos-kan diri dari cengkeraman, dara itu merasa
betapa pundaknya nyeri bukan main, maka ia berhenti meronta. Kini, melihat suhunya
terdorong oleh pukulan kakek yang tadi menyerangnya, iapun menjadi marah.
"Hemm, bagus sekali! Kiranya jagoan-jagoan she Cu ini hanya tukang keroyok saja, tukang
menghina murid sendiri dan kakek tidak tahu malu yang beraninya melawan anak kecil.
Kalau kalian memang gagah, mengapa menyerang aku dan ti-dak berani menghadapi ayah
dan ibuku" Cih, sungguh tak tahu malu, pengecut dan curang!"
Hebat bukan main makian yang dilontarkan oleh mulut dara remaja itu, terasa oleh kedua
orang kakek itu seperti kotoran busuk dilemparkan ke muka mereka. Mereka berdua adalah
pendekar-pendekar perkasa yang sejak kecil menjunjung ting-gi kehormatan, nama dan
kegagahan, dan kini me-reka dicaci-maki seorang anak perempuan yang mengatakan mereka
curang, pengecut dan tak tahu malu. Kalau menurutkan napsu kemarahannya, ingin Cu Han
Bu sekali pukul menghancurkan ke-pala anak itu, akan tetapi dia tidak mungkin me-lakukan
hal ini karena dia akan merasa menyesal selama hidup dan caci maki anak itu akan men-jadi
kenyataan! Maka dengan hati mendongkol dia melempar tubuh anak itu ke atas lantai.
"Brukk!" Tubuh Bi Eng terbanting, akan tetapi, anak itu dapat menggulingkan tubuhnya dan
me-loncat bangun lagi dengan sikap penuh keberanian.
"Anak setan yang tekebur, suruh ayah ibumu datang ke sini dan kami akan memperlihatkan
bahwa kami tidak takut menghadapi mereka!" Kata Cu Seng Bu yang maklum betapa
kakaknya marah sekali akan tetapi juga tidak berdaya.
"Ayahku bukan tukang cari perkara seperti kalian! Kalau kalian datang menyerbu rumah
kami, tentu ayah dan ibu akan menghajar kalian sampai kalian terkentut-kentut!" Memang
dara ini lincah jenaka dan pandai bicara, maka kembali muka dua orang kakek itu menjadi
merah karena marah. Be-lum pernah selamanya, sebagai orang-orang yang paling dihormati
dunia kang-ouw, mereka dimaki seperti itu. Sim Hong Bu juga sudah mengenal watak
muridnya yang berani mati dan pandai bicara dan menggoda orang, maka dia cepat
menja-tuhkan dirinya berlutut.
"Suhu dan susiok, maafkanlah murid teecu...."
"Sim Hong Bu! Keluarkan anak setan ini dari lembah kita, baru engkau menghadap lagi dan
akan kami pertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni tindakanmu yang dangkal
ini!" ben-tak ayah mertuanya.
"Suhu, teecu adalah seorang laki-laki sejati, murid dan mantu suhu! Apakah suhu ingin
melihat teecu menjilat ludah sendiri yang sudah di-keluarkan, melanggar janji sendiri" Tidak,
suhu, teecu sudah mengikat janji dengan Kam-taihiap dan teecu tidak akan melanggarnya."
"Maksudmu?"
"Teecu akan tetap mendidiknya sampai tiga tahun seperti yang sudah teecu janjikan dengan
Kam-taihiap."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
489 "Engkau lebih memberatkan keluarga Kam daripada kami?"
"Teecu memberatkan janji, dan teecu membe-ratkan nasib Sim Houw anak teecu. Teecu tidak
mau membawa anak teecu terseret ke dalam permusuhan antara keluarga Cu dan keluarga
Kam yang tidak ada gunanya itu."
"Mantu jahat! Murid murtad! Kalau begitu, engkau boleh pilih antara kami dan anak ini.
Kalau engkau memilihnya, pergilah dari Lembah Naga Siluman dan jangan injakkan kaki lagi
di tempat kami! Juga kami tidak lagi mengakuimu sebagai murid atau mantu! Pergilah!" Cu
Han Bu ber-teriak marah dan dalam suara teriakannya terkan-dung isak kekecewaan dan
kedukaan hatinya. Da-hulu, dia dan adik-adiknya mendidik Sim Hong Bu dengan harapan
bahwa murid itu yang kelak akan membalaskan kekalahan mereka terhadap Kam Hong.
Harapan itu tidak pernah terkabul karena biarpun Hong Bu sudah melaksanakan tu-gasnya
dan menandingi Kam Hong, ternyata murid mereka itu tidak mampu mengalahkan Pendekar
Suling Emas. Dan sekarang, selagi mereka priha-tin dan berusaha menciptakan ilmu lain,
dengan harapan masih tertuju kepada murid yang juga menjadi mantu itu, tumpuan harapan
mereka ambyar dan porak-poranda. Murid itu bahkan mau berbesan dengan musuh, bukan itu
saja, malah sa-ling bertukar ilmu!
"Baiklah, suhu. Teecu akan pergi dari sini ber-sama Bi Eng dan.... dan kalau ia mau, dengan
isteri teecu." Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri lalu memegang tangan Bi Eng,
untuk diajak pergi dari tempat itu."Nanti dulu! Engkau lupa mengembalikan Koai-liong Po-
kiam! Engkau tidak berhak lagi memiliknya!" bentak Cu Han Bu dengan hati penuh rasa sesal
dan kecewa. Tanpa banyak cakap, Sim Hong Bu menangg-alkan pedang dan sarungnya, lalu
menyerahkan-nya kepada gurunya yang menyambarnya dari ta-ngannya dengan kasar.
Setelah menjura sekali lagi, pendekar itu lalu menggandeng tangan muridnya dan
meninggalkan guha itu, kembali ke rumah besar di mana Cu Pek In menyambutnya dengan
muka pucat. Isteri yang mencinta suaminya ini meman-dang khawatir dan sinar matanya
mengandung kedukaan ketika ia melihat betapa gadis cilik itu masih bersama suaminya, akan
tetapi pedang Koai-liong-kiam tidak lagi berada di punggung pendekar itu. Sebelum suaminya
bicara, ia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebagai akibat pertemuan suaminya
dengan ayahnya.
Dengan lemas Sim Hong Bu menjatuhkan diri-nya duduk di atas kursi. Isteri yang
menyambutnya juga duduk di depannya sedangkan Bi Eng berdiri saja di belakang kursi
gurunya, hatinya dili-puti keharuan karena ia merasakan benar perlin-dungan dan pembelaan
gurunya terhadap dirinya. Kini ia merasa tegang karena tahu bahwa gurunya akan
menghadapi suatu hal yang paling berat, yaitu isterinya yang sejak semula sudah
memperli-hatkan sikap tidak setuju.
"Suhu mengusirku karena aku bertahan untuk mendidik Kam Bi Eng. Terpaksa aku harus
pergi dan terserah kepadamu, apakah engkau akan ikut bersamaku ataukah tinggal di sini."
Suara pendekar itu datar saja karena dia menekan batinnya yang terguncang hebat. Dia
mencinta isterinya dan tentu saja merasa berat kalau harus berpisah, akan te-tapi keadaan
memaksanya. Dia tidak sudi menjadi seorang lemah yang mengingkari janji sendiri.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
490 Wanita itu menangis, akan tetapi tanpa suara. Hatinya terlalu keras untuk menangis sampai
mengeluarkan suara. Sejak kecil Pek In seperti laki-laki. Hanya air matanya yang mengalir
keluar dan segera ia menghapus air matanya.
"Keluarga Cu tidak mempunyai anak kecuali aku, dan tadinya engkau diharapkan untuk
menjadi keturunan mereka. Akan tetapi sekarang engkau malah menentang, dan kalau aku
juga pergi, habis siapa lagi yang akan dipandang oleh ayah dan para paman" Aku tidak bisa
meninggalkan ayah, aku akan tinggal di sini sampai mati.... sampai engkau atau Houw-ji ingat
kepadaku...."


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita itu menutupi mukanya dan air matanya mengalir keluar dari celah-celah jari
tangannya. Sim Hong Bu merasa terharu dan kasihan seka-li. Ingin dia merangkul dan menghibur
isterinya, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu akan percuma saja. Maka dia mengangguk-
angguk dan menarik napas panjang. "Sudah kuduga akan begini jadi-nya.... dan aku sama
sekali tidak menyalahkan engkau, isteriku. Biarlah aku memenuhi janjiku, setelah lewat tiga
tahun tentu aku akan mencarimu di sini. Selamat tinggal, isteriku, dan kaumaafkan suamimu
ini...." Sim Hong Bu lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu bersama Bi Eng, diikuti oleh
pandang mata isterinya yang masih terus berlinang air mata. Pada saat itu muncullah Cu Kang
Bu dan Yu Hwi. "Eh, engkau hendak pergi lagi?" Cu Kang Bu menegur.
Hong Bu menjura kepada paman dan bibinya. "Suhu mengusir teecu pergi karena teecu
bertahan hendak mendidik Bi Eng. Teecu memilih pergi daripada harus mengingkari janji
yang telah teecu ikat bersama Kam-taihiap. Sam-susiok, bibi dan eng-kau Pek In, harap
diketahui bahwa aku sama sekali tidak memihak musuh, bahwa aku sama sekali tidak
menentang keluarga Cu. Kalau aku terpaksa pergi dan tidak mentaati suhu, hanyalah karena
aku su-dah mengikat janji, dan semua ini kulakukan demi kebaikan anakku Sim Houw. Aku
tidak ingin Sim Houw terseret dalam permusuhan antar keluarga yang tidak ada gunanya ini.
Kalau pendirianku ini benar, semoga Thian melindungiku, dan kalau aku bersalah, biarlah aku
terhukum karena kesalahanku. Selamat tinggal!"
Sim Hong Bu bergegas pergi sambil menggandeng tangan Bi Eng yang sejak tadi diam saja.
Cu Kang Bu dengan kakinya yang panjang melangkah lebar mendampingi Hong Bu,
mengantarnya sam-pai di tepi jurang. "Aku harus melihatmu sendiri menyeberang dengan
selamat," katanya lirih. Di-am-diam Hong Bu bersyukur dan berterima kasih. Agaknya
pamannya yang dikenalnya amat jujur dan gagah ini meragukan kalau-kalau dua orang
kakaknya akan berbuat curang dan karena dendam lalu berusaha melenyapkan Hong Bu dan
Bi Eng dengan misalnya membuat mereka terjatuh ke da-lam jurang selagi melakukan
penyeberangan mela-lui tali.
"Terima kasih, susiok, terutama akan sikap su-siok yang tidak marah kepada teecu."
Pendekar tinggi besar itu tersenyum dan meng-hela napas. "Tak tahulah, Hong Bu. Aku
meng-hargai sikapmu yang memegang teguh perjanjian, akan tetapi kalau sudah menyangkut
nama dan kehormatan, orang dapat berbuat apa saja dan aku tidak tahu lagi mana benar mana
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
491 salah. Kalau di-pikir, bukankah mati-matian memegang janji juga merupakan usaha
mempertahankan nama dan kehormatan" Nah, selamat jalan, mudah-mudahan -segalanya
akan dapat berakhir dengan baik kelak."
"Selamat tinggal, susiok." Sim Hong Bu lalu mengajak muridnya meloncat ke atas jembatan
tambang yang sudah direntang. Mereka berlarian menuju ke seberang, dan pada saat itu, dari
balik batang pohon muncul dua bayangan orang yang bukan lain adalah Cu Han Bu dan Cu
Seng Bu. Mereka melihat adik mereka Cu Kang Bu, berdiri di tepi jurang dan keduanya
menyelinap pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.
*** "Ayah, bagaimanapun juga, aku tidak rela kalau Houw-ji menjadi murid orang she Kam itu!
Ka-lau ayah tidak mau pergi mengambilnya, biarlah aku sendiri yang akan pergi ke sana
untuk mengajaknya pulang!" Pek In berkata. Wanita ini berwajah pucat sekali dan matanya
merah karena banyak menangis. Ia menghadap ayahnya di guha pertapaannya. Ia pula yang
kemarin dulu menda-hului suaminya, menghadap ayahnya dan mela-porkan tentang tindakan
suaminya yang amat tidak disetujuinya itu. Ayahnya dan pamannya terpengaruh sehingga
begitu Hong Bu dan Bi Eng muncul, kedua orang tua ini sudah menghadapinya dengan hati
dicekam kemarahan. Dan kini, setelah Hong Bu pergi bersama Bi Eng, Pek In mengha-dap
ayahnya lagi dan merengek, minta agar ayah-nya suka pergi mengambil Sim Houw dari
tangan keluarga Kam yang dibencinya.
"Baiklah, memang aku sendiripun berpikir bahwa Sim Houw harus diajak pulang. Kami
ingin menggemblengnya dan dia akan menjadi seorang yang lebih lihai daripada ayahnya.
Dialah kelak yang akan members
Golok Yanci Pedang Pelangi 2 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Bentrok Rimba Persilatan 9
^