Kisah Para Pendekar Pulau Es 18

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 18


Tek Ciang dan hubungan di antara mereka
akrab sekali. Tek Ciang memang seorang yang amat cerdik. Seperti ketika dia mengelabui
Suma Kian Lee sehingga pendekar itu amat percaya kepada-nya, ketika berada di Lembah
Naga Silumanpun dia dapat membawa diri sehingga tidak nampak sama sekali sifat jahatnya.
Kedua orang sakti she Cu itu menganggapnya seorang murid yang baik dan yang berwatak
gagah perkasa, pantas menjadi seorang pendekar yang akan menjunjung tinggi nama dan
kehormatan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Juga Kui Lok, murid Kun-lun-pai yang
berwatak pendekar itu merasa suka kepada Tek Ciang dan menganggap suhengnya ini benar-
benar seorang gagah sejati. Apalagi suhengnya pernah menjadi murid, bahkan mantu
pendekar sakti Suma Kian Lee keluarga Pulau Es itu.
Dengan cerdik Tek Ciang pernah menceritakan riwayatnya kepada Kui Lok. Dia bercerita
bahwa dia sebagai murid Suma Kian Lee lalu diambil mantu. Akan tetapi akhirnya keluarga
Suma yang tinggi hati itu merasa menyesal karena dia hanya anak seorang guru silat yang tak
ternama. Dan keluarga itu hendak memisahkan dia dari isterinya.
Pouw Kui Lok tadinya merasa terkejut dan he-ran mendengar cerita itu. Sukar untuk dapat
di-percaya. Akan tetapi, ketika dia menyebut nama Suma Ceng Liong sebagai murid Hek-i
Mo-ong yang merupakan musuh besarnya, dia mendengar dari suhengnya bahwa Suma Ceng
Liong juga cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, masih adik sepupu isterinya. Barulah
timbul semacam perasa-an tidak suka di hati Kui Lok dan dia percaya bah-wa keluarga Suma
dari Pulau Es memang cong-kak, tinggi hati dan condong ke arah penyeleweng-an, seperti
dibuktikan dengan kenyataan bahwa Suma Ceng Liong menjadi murid Hek-i Mo-ong, dan
keluarga Suma Kian Lee bersikap tidak adil terhadap Tek Ciang. Bukan hanya Kui Lok yang
terpengaruh. Saking pandainya Tek Ciang bersikap dan bicara, kedua orang gurunya, Cu Han
Bu dan Cu Seng Bu yang tadinya kagum kepada keluarga Pulau Es, kinipun merasa tidak
senang. "Engkau atau aku yang mati!" bentak Ciang Bun yang sudah mencabut sepasang pedangnya
dan pemuda ini meloncat ke arah perahu di depan. Ganggananda menjadi bingung dan
menahan agar perahu yang terguncang itu tidak sampai terguling, kemudian dia cepat
mendayung perahu agak men-jauh sambil memandang dengan alis berkerut dan hati khawatir.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
522 Dia tidak tahu harus berbuat apa karena sahabat barunya itu tidak bercerita tentang musuh
besarnya. Dia tidak tahu bagaimana urus-annya. Apalagi ketirka mendengar betapa orang
yang diserang Ciang Bun tadi bicara seperti kakak ipar Ciang Bun sendiri, dia menjadi
semakin bi-ngung dan tidak berani sembarangan mencampuri.
"Trang.... trangg....!" Bunga api berpijar ketika sepasang pedang di tangan Ciang Bun yang
menyerang itu ditangkis oleh suling di tangan Tek Ciang. Pemuda yang baru saja turun dari
Lembah Naga Siluman ini terkejut ketika menangkis sepa-sang pedang Ciang Bun. Tadinya
dia mengira bahwa tingkat kepandaian Ciang Bun tentu tidak banyak bedanya dengan dahulu.
Maka dia tadi mengerahkan tenaga untuk menangkis dengan keyakinan bahwa tangkisan itu
akan membuat sepa-sang pedang lawan terpental. Akan tetapi ternyata ketika sulingnya
bertemu dengan sepasang pedang, dia merasa lengannya tergetar dan tenaga bekas adik
iparnya itu bukan main kuatnya. Di lain pi-hak, Ciang Bun juga kaget sekali karena selain
tiba-tiba saja musuh besar itu memiliki senjata aneh, sebatang suling emas yang digerakkan
me-nangkis dengan tenaga dahsyat, juga suling itu mengeluarkan suara melengking yang
seolah-olah menusuk telinganya. Akan tetapi karena hati Ciang Bun sudah penuh kemarahan
dan dendam, dia ti-dak perduli akan kenyataan itu dan diapun sudah menggerakkan sepasang
pedangnya lagi, menye-rang dengan dahsyat. Terjadilah perkelahian se-ngit di atas perahu
kecil itu. Pouw Kui Lok yang masih duduk di ujung pe-rahu sambil memegang dayung, menjadi
bingung melihat perkelahian seru di atas perahu kecil itu. Seperti juga Ganggananda, diapun
tidak tahu harus berbuat apa. Bedanya, kalau Ganggananda tidak tahu urusannya, dia sendiri
sudah tahu dan kare-nanya tidak berani lancang mencampuri. Bukan-kah urusan autara
suhengnya dan keluarga Suma adalah urusan pribadi" Perahu terguncang hebat dan dengan
susah payah Kui Lok berusaha mena-han dengan dayungnya agar perahu tidak sampai
terguling. Tingkat kepandaian Ciang Bun pada waktu itu sungguh tak dapat dibandingkan dengan
beberapa tahun yang lalu. Semenjak ayahnya sadar akan kekeliruannya, pendekar itu
menggembleng Suma Hui dan Ciang Bun dengan tekun sehingga kedua orang anaknya itu
memperoleh kemajuan pesat sekali. Akan tetapi, lawannya sekarang adalah Louw Tek Ciang
yang bukan saja telah mengenal semua ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi di samping itu
juga telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari para da-tuk Ngo-ok melalui gurunya yang lain, yaitu
Jai-hwa Siauw-ok. Apalagi setelah selama tiga tahun dia digembleng oleh orang-orang sakti
she Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan Ciang Bun. Maka, biarpun Ciang Bun menggerakkan siang-kiamnya
dan menyerang dengan sengit, tetap saja Tek Ciang dapat mengua-sai keadaan. Dia mengenal
jurus-jurus gerakan Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan Ciang Bun. Sebaliknya Ciang Bun
sama sekali tidak mengenal ilmu serangan yang dimainkan dengan suling itu, yang penuh
dengan totokan-totokan amat berba-haya. Dia terdesak hebat dan menjadi bingung.
Betapapun juga, karena mereka berkelahi di atas perahu kecil yang terombang-ambing, tentu
saja gerakan meraka tidak sempurna benar. Seba-gian dari perhatian mereka dikerahkan untuk
menjaga agar tubuh mereka jangan sampai terjungkal jatuh keluar perahu. Inilah sebabnya
mengapa sampai sekian lamanya Tek Ciang yang lebih unggul belum juga mampu
merobohkan Ciang Bun yang melawan dengan gigih. Karena maklum akan kelihaian lawan
yang ternyata memiliki tenaga amat kuat dan dapat memainkan suling itu sedemikian aneh
dan berbahaya, Ciang Bun memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya, dua
gulung sinar menyelimuti tubuhnya, merupakan perisai yang kokoh kuat dun sukar ditembus.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
523 Tek Ciang menjadi penasaran sekali. Dia tahu bahwa kalau mereka berkelahi di darat,
tentutidak akan begitu sukar baginya untuk merubuhkan pemuda ini. Perahu yang terombang-
ambing dan miring ke sana-sini itu sungguh membuat gerak-annya amat sukar dan tidak
leluasa, bahkan besar bahayanya dia akan terkena senjata lawan yang selain lebih panjang
juga berjumlah dua itu. Maka tiba-tiba dia lalu merendahkan tubuhnya, menge-rahkan tenaga
sakti Hoa-mo-kang, yaitu ilmu pukulan Katak Buduk yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-
ok sebagai ilmu peninggalan mendiang Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-
ok."Arrghhh....!" Suara yang menyerupai katak berkokok keluar dari perutnya dan tangan
kiri-nya sudah mendorong ke depan, ke arah Ciang Bun. Serangkum angin pukulan dahsyat
yang mengandung bau amis sekali menyambar. Ciang Bun terkejut bukan main. Dia maklum
akan datangnya pukulan jahat. Cepat dia miringkan tubuh untuk mengelak sambil meloncat,
akan tetapi karena perahu miring, dia terpeleset. Sebelum dia mampu mengatur keseimbangan
tubuhnya, suling di tangan Tek Ciang meluncur. Ciang Bun masih dapat melihat sinar kuning
emas menyambar pusarnya dan dalam keadaan miring hampir jatuh itu dia merendahkan
tubuhnya agar suling tidak mengenai tempat berbahaya. Dia mengerahkan sin-kang untuk
menerima suling yang kini menyambar ke arah perutnya.
"Dukk!" Sin-kang dari Pulau Es memang hebat, membuat tubuhnya kebal, akan tetapi,
totokan suling itupun dahsyat sekali sehingga biarpun kulit perutnya tidak terluka, namun
hawa pukulan kuat menembus dan mengguncangkan isi perut, membu-at Ciang Bun menahan
keluhannya karena rasa nyeri dan kepalanyapun pening. Sementara itu, kaki Tek Ciang masih
menyusulkan tendangan.
"Bukk.... byuurrr....!" Tak dapat dicegah lagi, tubuh Ciang Bun terlempar keluar dari perahu
dan menimpa air telaga.
"Ha-ha-ha-ha, mampus engkau sekarang!" Tek Ciang tertawa bergelak dan baru dia sadar
bahwa dia telah membiarkan perasaannya meliar ketika dia melihat pandang mata Kui Lok
terbela-lak ditujukan kepadanya. Memang pemuda Kun-lun-pai itu terkejut dan ngeri melihat
sikap Tek Ciang. Diapun mengenal pukulan keji tadi dan kini melihat sikap Tek Ciang
demikian kejam tertawa-tawa buas, dia terheran sampai terbelalak! Tek Ciang sudah
menguasai dirinya, maklum bahwa dia telah tanpa disengaja memperlihatkan perasaannya
yang sesungguhnya, maka diapun menghentikan tawanya, dan menarik napas panjang.
"Aih.... betapa tega hatiku melihat dia roboh. Pemuda itu lihai sekali dan tadi dia
bersungguh-sungguh hendak membunuhku." Ucapan ini agak-nya untuk membela diri
mengapa dia tadi kelihatan kejam.
Tiba-tiba dua orang itu terkejut bukan main. Perahu mereka tiba-tiba terguncang hebat dan
miring, seperti ada yang membalikkannya dari ba-wah! Tentu saja Tek Ciang sama sekali
tidak tahu bahwa biarpun sudah terkena pukulan dan ten-dangannya, namun Ciang Bun belum
tewas dan begitu tubuhnya terlempar ke dalam air, pemuda ini bahkan menjadi semakin
berbahaya! Dia tidak tahu bahwa Ciang Bun telah memiliki ilmu dalam air yang jarang
tandingannya, berkat latihan yang diperolehnya dari keluarga di Pulau Nelayan . Ba-gaikan
seekor ikan, walaupun sudah terluka, Ciang Bun dapat menyelam, menyimpan sepasang
pe-dangnya dan kini dia berusaha menggulingkan perahu yang ditumpangi Tek Ciang dan
kawannya. Kalausampai Tek Ciang dapat terlempar ke air , dia yakin akan dapat membunuh
musuh besar itu!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
524 "Hei, apa ini....?" Tek Ciang berseru kaget dan mengatur keseimbangan tubuhnya.
"Ada yang hendak menggulingkan perahu!" Kui Lok juga berseru kaget. Mereka melongok
ke bawah dan melihat kepala Ciang Bun nongol. De-ngan marah Tek Ciang lalu memukul ke
arah kepala itu, akan tetapi kepala itu menyelam dan lenyap. Kemudian perahu terguncang
lagi dan tiba-tiba ada pedang menembus dasar perahu yang tentu saja menjadi bocor! Air
memasuki perahu dari bawah!
"Celaka! Perahu bocor....!" seru Tek Ciang dan tiba-tiba dia tersentak kaget ketika ada
pedang menyambar dari luar perahu. Kiranya, dengan kecepatan seperti ikan berenang Ciang
Bun sudah muncul lagi dan menyerangnya dari luar pe-rahu. Tek Ciang cepat mengelak dan
siap untuk melawan, akan tetapi tubuh Ciang Bun sudah le-nyap menyelam lagi. Kini kembali
terasa guncang-an-guncangan dan perahu itupun berlubang-lu-bang karena ditusuki dari
bawah oleh Ciang Bun!
"Ah, iblis itu pandai bermain di air!" kata pula Tek Ciang terbelalak kaget dan khawatir.
"Berbahaya! Kita harus pergi dari sini!" Pouw Kui Lok juga berseru kaget melihat betapa
dengan cepat air memasuki perahu yang hampir tengge-lam.
"Byarrrr....!" Kembali perahu yang hampir tenggelam itu terguncang hebat, membuat kedua
orang muda itu terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang menyambar pula, membabat ke arah
kaki Tek Ciang. Pemuda ini cepat meloncat, akan tetapi pedang ke dua menusuk dan biarpun
dia menge-lak pula, tetap saja ujung pedang menyerempet pahanya. Celananya robek berikut
kulit paha dan darahpun mengucur deras.
Tiba-tiba Pouw Kui Lok yang melihat bahaya, menyambar tubuh suhengnya yang pahanya
terluka itu, membawanya melompat ke arah sebuah pe-rahu lain yang datang mendekat.
Perahu itu ditumpangi dua orang yaug agaknya melihat keributan di situ menjadi tertarik.
Terkejutlah mereka melihat betapa pemuda berpakaian hijau sambil memondong seorang
pemuda lain yang terluka, tiba-tiba melompat ke perahu mereka. Bukan main hebatnya
lompatan pemuda itu dan mereka mengeluarkan teriakan kaget ketika Kui Lok ber-hasil
hinggap di atas perahu bersama suhengnya.
Akan tetapi dengan mata terbelalak Tek Ciang dan Kui Lok melihat betapa Ciang Bun
berenang dengan amat cepatnya menuju ke perahu itu. Bukan main cepatnya pemuda itu
bergerak dalam air. Seperti seekor ikan saja.
"Ikan besar....!" Dua orang penumpang perahu yang masih belum hilang kagetnya itupun kini
melihat Ciang Bun dan mengira bahwa ada ikan besar hendak menyerang perahu mereka.
Kini Pouw Kui Lok merasa khawatir dan dengan sendirinya diapun harus melindungi dirinya.
Kalau pe-rahu terbalik, tentu diapun menjadi korban. Dia merasa ngeri menyaksikan
kehebatan gerakan pe-muda tampan di dalam air itu sehingga dia tahu bahwa sekali mereka
terjatuh ke air, tentu nyawa suhengnya tidak akan tertolong lagi. Maka dia lalu menyambar
sebatangdayung dalam perahu itu dan secepat kilat dia menggerakkan dayungnya menyerang
ketika pemuda yang berenang seperti ikan itu mendekati perahu.
Ciang Bun sudah terluka. Perutnya terasa nyeri dan juga pahanya biru terkena tendangan Tek
Ciangtadi. A kan tetapi dengan gigih dia menyerang terus, karena dia melihat satu-satunya
kesempatan baginya untuk membalaskan semua sakit hati keluarganya terhadap iblis itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
525 Kalau dia mampu membuat Tek Ciang terlempar ke air, dia pasti akan dapat membunuhnya.
Maka, ketika melihat betapa pemuda teman Tek Ciang memba-wa Tek Ciang meloncat ke
perahu lain, diapun mengejar. Tak disangkanya pemuda teman iblis itupun memiliki gin-kang
sedemikian baiknya se-hingga dapat menolong Tek Ciang yang sudah terobek sedikit pahanya
oleh pedangnya. Dan kini, tiba-tiba saja ada dayung menyambutnya dari atas perahu. Ciang
Bun terpaksa mengangkat pe-dangnya menangkis."Tranggg....!" Tubuh Ciang Bun
tengge-lam dan dia terkejut sekali. Tenaga hantaman dayung itu bukan main kuatnya! Kiranya
teman Tek Ciang itupun memiliki kepandaian tinggi. Ciang Bun diam-diam mengeluh. Makin
tipis harapan-nya kalau teman iblis itu kini membantu Tek Ciang. Dia muncul kembali dan
kini bukan hanya sebuah dayung, melainkan ada dua buah dayung panjang menyambutnya
sehingga terpaksa dia me-nyelam kembali. Kiranya kini Tek Ciang juga memegang sebatang
dayung panjang dan bersama dengan Kui Lok berjaga di kedua ujung perahu.
"Lekas dayung perahu ke tepi!" Tek Ciang berkata kepada dua orang penumpang perahu
yang masih ketakutan itu. Mereka tidak membantah dan mendayung dengan dayung pendek.
Sementara itu, Ciang Bun masih penasaran. Dia menyelam dan mencoba untuk
menggulingkan perahu dari bawah. Akan tetapi selagi dia menge-rahkan tenaga untuk
menggulingkan perahu, da-yung Tek Ciang menghantam punggungnya dengan cara
diluncurkan. Ternyata Tek Ciang dapat melihat bayangan tubuhnya dalam air dan dari atas,
iblis itu menusuknya dengan dayung yang mengenai punggungnya.
"Bukkk....!" Hantaman itu tidak terlalu kuat karena tenaga hantaman sudah dilawan air, akan
tetapi karena tenaga Tek Ciaug memang besar, tetap saja Ciang Bun merasa nyeri sekali pada
punggungnya. Kembali ada rasa muak dan bau amis membuat kepalanya terasa pening. Dia
tidak tahu bahwa yang paling hebat dideritanya adalah pukulan Hoa-mo-kang yang dilakukan
Tek Ciang di atas perahu tadi. Pukulan itu tidak mengenai dengan tepat, akan tetapi karena
perut Ciang Bun terkena sodokan suling, membuat isi perutnya terguncang sehingga hawa
beracun pu-kulan Hoa-mo-kang yang hanya menyerempet itupun dapat menerjang dan
meracuninya. Menerima pukulan dengan dayung yang mengenai punggungnya itu membuat
Ciang Bun merasa pening dan sejenak pandang matanya menjadi gelap, anta-ra sadar dan
tidak sadar dia menggerakkan kaki tangannya menjauhi perahu karena kalau sampai dalam
keadaan seperti itu dia diserang lagi, tentu dia akan celaka.
Dia masih dalam keadaan setengah pingsan terapung ketika tiba-tiba ada dua tangan yang
kuat mencengkeram leher bajunya dan menariknya ke atas perahu. Dengan terengah-engah
karena terlalu lama bertahan dalam air, Ciang Bun tergu-ling ke dalam sebuah perahu kecil
dan dengan pandang mata masih berkunang-kunang dia meli-hat wajah Ganggananda, sahabat
barunya. Lega hatinya melihat sahabatnya ini dan kini diapun dapat melepaskan
pertahanannya untuk jatuh tak sadarkan diri lagi. Dalam keadaan seperti itu saja semua rasa
nyeri dan kecewa lenyap dari dirinya.
Ganggananda sejak tadi nonton perkelahian itu dan hatinya merasa amat khawatir ketika
melihat Ciang Bun terlempar ke dalam air. Akan tetapi, diapun terbelalak kagum melihat
betapa Ciang Bun masih mampu membuat dua orang lawan da-lam perahu itu kebingungan
dengan cara menyerang perahu dari bawah. Sungguh hebat sekali pemuda keturunan
penghuni Pulau Es itu! Kira-nya memiliki ilmu di dalam air yang hebat pula. Akan tetapi
diapun melihat betapa dua orang da-lam perahu yang menjadi musuh besar Ciang Bun itu
bukan orang-orang sembarangan. Mereka da-pat menyelamatkan diri ke lain perahu, bahkan
dapat memukul Ciang Bun dengan dayung. Tadi-nya dia merasa terkejut karena perahu itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
526 didayung pergi dan tidak lagi nampak gerakan Ciang Bun dalam air. Celaka, pikirnya,
agaknya Ciang Bun terkena pukulan dayung dan tenggelam ke dasar telaga! Ganggananda
mendayung perahu-nya mendekat dan akhirnya dia melihat tubuh Ciang Bun bergerak-gerak
lemah di bawah per-mukaan air. Cepat dia lalu mendekatinya dan meraihnya, berhasil
menangkapnya dan menarik-nya ke dalam perahu. Kini Ciang Bun rebah di dalam perahu,
tidak nampak dari jauh dan diapun dengan pengerahan tenaga sin-kang, cepat menda-yung
perahu ke tepi yang berlawanan dengan tempat di mana dua orang musuh besar Ciang Bun
tadi mendarat. Begitu mendarat, Ganggananda cepat memon-dong tubuh Ciang Bun dan meloncat ke darat.
Dia sengaja mendarat di bagian yang sunyi, di mana tidak terdapat pelancong karena bagian
itu penuh dengan batu-batu koral dan semak-semak belukar. Pemuda remaja inipun bukan
seorang bodoh. Sebaliknya, dia cerdik sekali dan dia dapat menduga bahwa tentu dua orang
musuh besar Ciang Bun itu tidak akan tinggal diam dan tentu mencurigai perahunya karena
tadi mereka melihat Ciang Bun berperahu bersamanya. Maka diapun mendarat di bagian yang
berlawanan dan sunyi, dan begitu dia mendarat, dia memondong tubuh Ciang Bun yang masih
pingsan itu dan melarikan diri.
Ketika dia menoleh, benar saja dugaannya. Dua bayangan orang mengejarnya dan biarpun
mereka masih jauh dan tidak dapat melihat wajah mereka, namun dia yakin bahwa mereka itu
tentulah dua orang musuh besar tadi. Hal ini dapat diketahni betapa seorang di antara mereka
terpincang-pin-cang.
Memang dugaan Ganggananda itu benar. Be-gitu mendarat, Tek Ciang lalu mengobati
lukanya sambil memperhatikan ke tengah telaga. Dia me-lihat perahu kecil di mana terdapat
seorang pemu-da remaja yang menjadi teman berperahu Ciang Bun tadi. Kini perahu itu
meluncur cepat ke daratan yang berlawanan.
"Hemm, mencurigakan. Agaknya perahu itu membawa Ciang Bun. Mari kita mengejarnya."
Dan tanpa memperdulikan pahanya yang terluka, Tek Ciang lalu lari memutari telaga untuk
mengejar, dibayangi oleh Pouw Kui Lok yang mengerutkan alisnya karena hatinya sungguh
merasa kurang enak melihat bahwa dia terlibat dalam permusuhan itu.
"Lihat, benar saja! Itu pemnda cilik memondong dan melarikannya. Mari cepat!" teriak Tek
Ciang ketika melihat perahu itu mendarat dan Ganggananda meloncat keluar sambil
memondong tubuh Ciang Bun. Akan tetapi sekali ini, dua orang murid Lembah Naga Siluman
itu kecelik. Pemuda remaja itu ternyata dapat berlari luar biasa cepat-nya sehingga biarpun
mereka sudah mengerahkan tenaga, pemuda remaja yang memondong Ciang Bun itu sebentar
saja sudah berlari jauh seperti terbang cepatnya.
Tek Ciang membanting-banting kakinya yang tidak sakit ketika melihat pemuda itu lenyap.
"Ah, kalau saja kakiku tidak terluka, tentu aku akan dapat menyusulnya!"


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi Pouw Kui Lok menggelengkan kepalanya. "Suheng, apakah engkau tidak
melihat kehebatan itu" Pemuda remaja itu memiliki gin-kang yang amat luar biasa, dan aku
hampir percaya bahwa kepandaiannya dalam hal gin-kang dan berlari cepat, lebih lihai
daripada suhu Cu Seng Bu sendiri!"
Tek Ciang cemberut, walaupun diam-diam dia juga terkejut menyaksikan kehebatan pemuda
re-maja itu yang ternyata dapat berlari sedemikian cepatnya walanpun memondong tubuh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
527 orang yang jelas lebih berat daripada tubuh pemuda itu sendiri. Dengan uring-uringan Tek
Ciang terpaksa kembali ke rumah penginapan bersama sahabat atau sutenya itu, untuk
mengobati luka di pahanya yang pecah kembali karena dipakai berlari cepat tadi.
"Hemm, kalau kakiku sudah sembuh, aku harus dapat mencari keparat itu untuk membuat
perhi-tungan!" Dia mengomel di dalam kamar ketika mengobati lukanya.
Sejak tadi Pouw Kui Lok mengerutkan alisnya. "Suheng, aku tidak ingin mencampuri urusan
pribadimu, dan akupun tidak ingin memberi pendapat karena sesungguhnya hal itu sama
sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Mungkin saja ke-luarga Pulau Es memang
congkak dan tinggi hati, akan tetapi hal itupun tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Kepada
mereka aku tidak mempunyai dendam, tidak ada urusan apa-apa antara aku dan mereka.
Maka, aku tidak ingin terbawa-bawa dalam urusan pribadimu, suheng."
"Sute, lupakah engkau bahwa Suma Ceng Liong adalah murid Hek-i Mo-ong, seperti yang
kauceritakan itu" Tidakkah sepatutnya engkau memusuhi keluarga Suma mengingat bahwa
Ceng Liong juga musuhmu?"
Kui Lok menggeleng kepalanya. "Seperti sudah kuceritakan kepadamu, suheng. Mendiang
guruku, Yang I Cin-jin, tewas di tangan Hek-i Mo-ong dan kepada raja iblis itu sajalah aku
mendendam dan aku bersumpah di depan mayat suhu untuk membalas kematiannya. Dan aku
telah berhasil membunuh Hek-i Mo-ong. Suma Ceng Liong, biarpun murid iblis itu, tidak ada
sangkut-pautnya deugan aku. Kecuali kalau dia hendak membalaskan kematian Hek-i Mo-ong
kepadaku, tentu saja akan kulawan. Sementara ini, aku menganggap urusanku dengan Hek-i
Mo-ong sudah habis dan aku tidak ingin bermusuhan dengan Suma Ceng Liong."
"Akan tetapi, selama keluarga itu masih ada, mereka akan selalu memusuhiku."
"Hem, mengapa begitu, suheng?"
"Seperti sudah kuceritakan, Suma Kian Lee merasa menyesal telah mengambil aku sebagai
mantu. Dia tentu hendak menjodohkan puterinya dengan orang lain, kabarnya dia telah
memilih calon mantu yang dianggapnya sederajat, yaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong di kota
raja...." "Ah, jenderal gagah perkasa yang terkenal itu, putera Pendekar Naga Gurun Pasir?" seru Kui
Lok terbelalak karena pemuda ini pernah mende-ngar akan kebebatan jenderal muda ini.
Tek Ciang mengangguk dan tersenyum kecut. "Benar, keluarga itu menganggap bahwa Suma
Hui, isteriku itu, lebih cocok menjadi isteri jenderal muda itu yang juga jatuh cinta kepada
isteriku. Akan tetapi, karena perkawinan antara kami sudah disaksikan oleh banyak tokoh
kang-ouw, mana mungkin Suma Hui menikah dengan orang lain kalau aku masih hidup"
Karena itulah, keluarga Suma menginginkan aku mati. Engkau sudah melihat sendiri betapa
ganasnya adik isteriku tadi menyerangku.?"Begitu jahatkah mereka?" Kui Lok mengerutkan
alisnya dan hatinya merasa amat ragu. Kelu-arga Suma dari Pulau Es terkenal sebagai
keluarga sakti yang berjiwa besar, bahkan siapakah tidak mengenal nama-nama hebat seperti
Puteri Nirahai, Puteri Milana, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan lain-lainnya itu"
"Sute, kalau tidak mengalaminya sendiri tentu tidak percaya. Akan tetapi, kalau orang sudah
tergila-gila akan kedudukan dan derajat, tentu mampu berbuat kejam. Aku dianggap
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
528 penghalang kebahagiaan mereka, tentu saja mereka berdaya upaya agar aku lenyap dari muka
bumi. Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus mendahului mereka, dan pertama-tama
Suma Ciang Bun yang sudah menyerangku tadi akan kucari dan kubunuh."
"Aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu, suheng, akan tetapi harap kauingat pesan
suhu. Kita bertugas untuk pergi ke Puncak Bukit Nelayan, mencari dan menantang Kam Hong
sebagai wakil suhu, wakil Lembah Naga Siluman untuk mengadu ilmu dengan keluarga
Suling Emas."
"Hem, itupun bukan urusan pribadi kita, sute."
Kui Lok memandang suhengnya dengan mata terbelalak. "Eh, bagaimana engkau dapat
berkata demikian, suheng" Kita tahu bahwa para suhu di Lembah Naga Siluman mengambil
kita sebagai murid, bukan hanya untuk mewarisi ilmu keluarga Cu, akan tetapi juga untuk
mewakili Lembah Naga Siluman dalam menghadapi satu-satunya musuh atau saingan
keluarga Cu, yaitu Pendekar Suling Emas Kam Hong di Puncak Bukit Nelayan!"
Melihat ketegasan sikap Kui Lok, Tek Ciang merasa tidak enak kalau mengingkari hal itu.
Me-mang para suhu di Lembah Naga Siluman sudah menekankan hal itu dan kinipun mereka
diserahi tugas mewakili para suhu itu untuk menghadapi Kam Hong. Mengingkarinya berarti
akan merupa-kan kemurtadan dan dia tentu akan dihadapi oleh Kui Lok dan keluarga Cu
sebagai musuh pula. Sungguh tidak enak. Musuh-musuhnya sudah terlalu banyak dan mereka
semua sakti, kalau di-tambah lagi dengan keluarga Cu, sungguh berba-haya.
"Baiklah, sute. Aku terpaksa membiarkan Ciang Bun pergi. Mari kuturuti kehendakmu, kita
pergi ke Puncak Bukit Nelayan. Akan tetapi setelah itu, maukah engkau berjanji untuk
membantuku?"
"Suheng, urusan pribadimu seharnsnya kauha-dapi sendiri. Jangan kau melibatkan aku dalam
urusan pribadimu. Akan tetapi kalau aku melihat engkau terancam bahaya, tentu aku akan
turun tangan melindungi dan membantumu. Hal itu wajar, bukan?"
Tek Ciang tidak berani terlalu banyak cakap lagi. Dia khawatir kalau sutenya ini
mencurigainya dan dapat melihat rahasia di balik semua si-kapnya. Dia tidak tahu bahwa
memang Kui Lok sudah menjadi heran dan mulai menaruh curiga. Hari itu juga mereka
meninggalkan kota raja, me-lanjutkan perjalanan menuju ke pegunungan Tai-hang-sun untuk
mencari Pendekar Kam Hong sebagai wakil keluarga Cu di Lemhah Naga Si-luman.
*** "Di mana aku....?" Ciang Bun membuka mata dan mengeluh.
"Tenanglah, Ciang Bun, tenanglah. Engkau ber-ada di rumah Gu-sinshe, seorang tabib
kenamaan di kota raja."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
529 "Ohhh....!" Ciang Bun teringat dan me-raba dadanya. Dadanya terasa sesak dan perutnya
mual. Muak rasanya bau amis itu dan dia menahan diri agar tidak muntah. Ganggananda
duduk di dekatnya dan dia rebah di atas pembaringan.
"Bagaimana rasanya, Ciang Bun?" tanya pemuda remaja itu dengan nada suara khawatir.
Ciang Bun teringat, memandang wajah tampan itu dan memaksa senyum. "Nanda, engkau
seorang sahabat baru akan tetapi ternyata engkau telah me-nyelamatkan nyawaku. Aku
berhutang nyawa pa-damu, adik Nanda."
"Sudahlah, tidak perlu bicara tentang hutang-pihutang. Yang penting sekarang ini
menyembuh-kanmu dari luka dalam penuh hawa beracun itu."
"Hawa beracun" Di tubuhku" Ah, aku merasa dada sebelah kanan kadang-kadang panas
kadang-kadang dingin dan ada rasa muak, bau amis...."
"Itulah! Menurut Gu-sinshe, engkau terkena pukulan beracun yang amat berbahaya."
"Mana dia sekarang?"
"Dia sedang mengundang seorang hwesio tua ahli racun untuk datang memeriksamu."
Ciang Bun merasa heran. Dia juga pernah mendengar nama Gu-sinshe sebagai seorang tabib
yang pandai, bahkan kabarnya kadang-kadang di-panggil ke istana kaisar untuk memberi
pengobatan dan pemeriksaan. Bagaimana kini tabib itu demi-kian memperhatikan dia, bahkan
mengundang seorang ahli untuk memeriksanya"
"Nanda, apakah engkau mengenal baik tabib itu sehingga dia mau memperhatikan aku seperti
ini?" Ganggananda tersenyum dan jantung Ciang Bun berdebar keras. Dia terpaksa membuang
mu-ka karena senyum pemuda remaja itu seperti men-cengkeram jantungnya dan
membuatnya merasa aneh. Dia teringat bahwa beginilah perasaannya ketika dahulu dia
dicium oleh Liu Lee Siang ketika pemuda itu mengajarnya menolong orang yang tenggelam
atau kecelakaan di air.
"Ciang Bun, aku bingung ketika membawamu ke darat. Engkau pingsan terus dan segala
usaha-ku untuk menyadarkanmu gagal. Terpaksa kau kubawa ke sini dan karena aku tahu
bahwa seorang tabib terkenal tidak sembarangan mau mencurah-kan perhatian kepada orang
biasa, akupun lalu berkata bahwa engkau adalah seorang anggauta keluarga Suma dari Pulau
Es. Benar saja dugaan-ku, mendengar ini dia tergopoh-gopoh memerik-samu dengan teliti,
kemudian bahkan keluar untuk mengundang seorang hwesio kenalannya yang ahli tentang
pukulan beracun."
"Ahh....! Berapa lama aku pingsan?"
"Dua hari dua malam! Baru sekarang siuman, itupun setelah diberi obat tusuk jarum dan
ma-cam-macam oleh Gu-sinshe. Nah, menurut pesan Gu-sinshe, kalau engkau sudah sadar,
aku harus menyuapimu dengan bubur encer ini. Makanlah." Dan Ganggananda lalu
menyuapkan sesendok bu-bur.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
530 "Biar kumakan sendiri....!" Ciang Bun hendak bangun, akan tetapi kepalanya seperti
ter-putar-putar rasanya sehingga dia harus memejam-kan mata kembali dan terpaksa
merebahkan diri lagi.
"Nah, jangan rewel, biar kusuapkan. Makanlah."
Baru habis beberapa suap, Ciang Bun tidak mau lagi. "Rasanya semakin mual dan hendak
muntah...."
Tiba-tiba seorang kakek masuk ke dalam kamar itu. Ciang Bun memandang dengan mata
yang agak kabur. Seorang kakek berpakaian sasterawan yang tubuhnya jangkung kurus dan
melihat pakai-annya dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu Gu-sinshe. Orang ke dua
adalah searang hwesio gendut yang mukanya riang dan selalu tcrsenyum, matanya lebar dan
tajam. "Inikah Suma-taihiap yang terkena pukulan beracun?" kata hwesio itu. "Ah, untung taihiap
memiliki tubuh yang kuat. Mudah-mudahan pinceng dapat menemukan racun apa yang telah
di-pergunakan orang untuk memukul taihiap sehingga sahabatku ini dapat memberikan
obatnya yang tepat."
"Terima kasih, locianpwe...." kata Ciang Bun.
Hwesio itu lalu membuka baju Ciang Bun, di-bantu oleh Ganggananda dan dia lalu
memeriksa seluruh tubuh Ciang Bun bagian atas, memijat sana-sini, menepuk sana-sini dan
berkali-kali dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Taihiap, bagaimana rasanya
kalau sebelah sini ku-tekan seperti ini?" Dan hwesio itu menekan dada kanan.
Ciang Bun menggigit bibirnya. "Rasanya perih dan panas."
"Dan taihiap mencium sesuatu?"
"Amis.... mau muntah...."
"Omitohud....! Tak salah lagi, taihiap terkena pukulan yang mengandung hawa racun katak
buduk!" "Eh, apakah itu" Aku belum pernah mendengarnya, dan apa obatnya?"
Hwesio itu menggeleng kepala. "Masih untung bahwa, seperti menurut ceritamu tadi, Sinshe,
Suma-taihiap diselamatkan oleh sahabatnya yang membawanya ke sini. Terlambat akan
celaka. Dan kalau dalam waktu tiga hari dia tidak memperoleh obatnya yang tepat, kurasa
tidak akan ada obat yang dapat menolongnya lagi."
"Apakah obat itu" Dan di mana bisa kudapat-kan?" Ganggananda bertanya dengan lantang
dan tak sabar. "Obatnya hanya terdapat di tepi Sungai Huang-ho, akan tetapi pernah pinceng melihat katak
bu-duk hitam di dalam rawa di sebelah utara kota raja yang serupa dengan katak-katak di
Sungai Huang-ho itu. Katak buduk berkulit hitam yang matanya merah. Nah, kalau bisa
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
531 didapatkan belasan ekor saja anak katak buduk itu, tentu Suma-taihiap ini akan dapat
disembuhkan dari pengaruh racun pu-kulan Hoa-mo-kang."
"Biar aku pergi mencarinya! Tunjukkan dan gambarkan di mana rawa itu, locianpwe." kata
Ganggananda. Hwesio itu memandang wajah pemuda remaja itu dan menarik napas panjang. "Omitohud,
anda seorang pemuda yang baik sekali dan amat setia kawan. Akan tetapi, rawa itu terlalu
jauh. Dengan menunggang kuda yang paling cepatpun, belum tentu akan dapat dilakukan
pulang pergi selama tiga hari. Belum lagi waktu mencari anak katak itu...."
"Tapi aku dapat melakukannya, locianpwe!" kata Ganggananda penuh semangat.
Gu-sinshe menarik napas panjang dan menge-lus jenggotnya yang putih jarang. "Bagaimana
ca-ranya, orang muda" Apa yang dapat berlari lebih cepat daripada seekor kuda yang baik?"
"Aku dapat, Sinshe. Lariku lebih cepat dari kuda. Lekas gambarkan di mana rawa itu dan
ba-gaimana aku harus mencari anak-anak katak itu dan aku akan segera lari ke sana."
Dua orang kakek itu saling pandang dan menggerakkan pundak seolah-olah tidak percaya
kepa-da Ganggananda akan tetapi karena tidak ada ja-lan lain, si hwesio lalu menggambarkan
di mana letak rawa-rawa di sebelah utara di luar tembok kota raja itu. Ternyata tempat itu
memang amat jauh, naik turun gunung dan sudah dekat dengan Tembok Besar. Setelah
memperoleh keterangan lengkap, Ganggananda merenggut buntalan pakaiannya.
"Aku pergi sekarang juga. Kau tunggulah aku, Ciang Bun!" Dan sekali berkelebat, pemuda
itu-pun lenyap dari dalam ruangan itu. Mereka semua hanya melihat bayangan berkelebat
lenyap seo-lah-olah pemuda itu dapat menghilang dan me-robah dirinya menjadi asap. Saking
heran dan ka-gumnya, dua orang kakek itu lari ke jendela, mem-buka daun jendela dan
memandang keluar. Dan mereka melihat sebuah titik hitam bergerak cepat jauh di depan dan
sehentar saja lenyap. Mereka kembali saling pandang dan hwesio itu berbisik.
"Sinshe, hebat sekali orang muda itu, dan makin percayalah aku bahwa pendekar yang
terluka itu memang benar keturunan para pendekar Pulau Es."
Sementara itu, Ganggananda berlari cepat. Ti-dak mengherankan kalau dia dapat berlari
secepat itu karena Ganggananda ini, seperti para pembaca tentu sudahdapat menduganya,
adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri dari Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi! Dara
yang kini sudah berusia tujuh belas tahun ini memang suka sekali ber-kelana. Sudah sering ia
meninggalkan Bhutan, menjelajahi hutan-hutan dan pegunungan di se-kitarnya sehingga
kadang-kadang orang tuanya menjadi gelisah dan mencari-carinya. Akan tetapi kesukaannya
ini tidak pernah berkurang dan akhirnya, jalan satu-satunya untuk menenteram-kan hati
mereka, ayah dan ibu ini lalu menggem-bleng puteri mereka, menurunkan semua ilmu mereka
agar puteri mereka menjadi seorang gadis yang tangguh dan cukup kuat untuk menjadi bekal
pembela diri dalam perantauannya. Wan Tek Hoat pendekar sakti yang di waktu mudanya
pernah mempunyai julukan Si jari Maut mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang tinggi. Juga
Syanti Dewi mengajarkan ilmu gin-kangnya yang hebat, yang dahulu dipelajarinya dari Bu-
eng-kwi Ouw Yan Hwi. Setelah menguasai banyak ilmu, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee
pergi berangkat me-rantau menuju dunia timur (Tiongkok), yaitu nega-ra tempat asal
ayahnya. Sejak usia belasan tahun, ketika mulai gemar merantau, Hong Bwee suka menyamar
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
532 sebagai pria dan ia memakai nama Ganggananda. Hal inipun dianjurkan oleh orang tuanya
yang berpendapat bahwa sebagai pria, ten-tu puteri mereka tidak terlalu banyak menghadapi
gangguan di waktu melakukan perjalanan seorang diri. Dari seorang kakek pemain sandiwara
di istana Raja Bhutan, Hong Bwee juga mempelajari cara berhias dan menyamar sebagai pria
sehingga ia dapat membuat kulit mukanya nampak kasar, bahkan ia dapat menambah alisnya
menjadi tebal dengan alis tempelan namun sama sekali tidak kentara kepalsuannya.
Demikianlah, dengan bekal semua kepandaian ini, dara yang sejak kecil digembleng bu (ilmu
si-lat) dan bun (ilmu sastera) oleh orang tuanya itu, berangkat merantau sampai ia bertemu
dengan Ciang Bun. Selain dibekali kepandaian, juga ia fasih berbahasa Han walaupun agak
asing terde-ngarnya, dan iapun sudah banyak mendengar cerita ayah ibunya tentang para
tokoh dunia persi-latan, baik para pendekar maupun para datuk sesat. Hal ini perlu diketahui
agar ia dapat bersi-kap hati-hati kalau bertemu dengan para tokoh itu.
Raja Bhutan sendiri dan para pembesar tadinya merasa tidak setuju dan tidak rela melihat
Hong Bwee yang mereka sayang itu, sebagai seorang gadis dewasa, pergi merantau sendiri
sejauh itu. Akan tetapi, Syanti Dewi dan Tek Hoat menenang-kan hati mereka. Syanti Dewi
mengingatkan bah-wa ia sendiri di waktu masih gadisnya juga me-ninggalkan Bhutan dan
merantau ke timur. Adapun Tek Hoat sendiri adalah seorang pendekar yang suka merantau,
tentu saja tidak berkeberatan akan kesukaan puterinya. Di samping itu, bagaimana akan dapat
mencegah kehendak Hong Bwee" Anak ini memiliki kekerasan hati melebihi ibunya, tidak
mungkin kehendaknya dihalangi. Tidak mungkin merantainya di rumah. Kalau dihalangi
tentu ga-dis itu malah akan minggat dan hal ini jauh lebih buruk daripada kalau gadis itu
berangkat merantau dengan restu orang tuanya.
Biarpun demikian, diam-diam Raja Bhutan mengutus beberapa orang pengawal pilihan untuk
membayangi dan melindungi gadis itu. Sialnya, tidak ada seorangpun di antara para pengawal
itu yang mampu menandingi kecepatan lari Hong Bwee sehingga dalam waktu beberapa hari
saja mereka sudah kehilangan jejaknya dan tertinggal jauh. Terpaksa mereka melanjutkan
perjalanan ke timur dan mencari-cari karena mereka tidak tahu ke mana tujuan perjalanan
gadis itu.Demikianlah, dengan menyamar sebagai pria, Hong Bwee tiba di kotaraja. Ia merasa
gembira sekali melihat kota raja yang besar, megah dan indah itu, jauh lebih besar dan lebih
indah daripada kota raja Bhutan. Ketika ia bertemu dengan Suma Ciang Bun, ada sesuatu
pada diri pemn-da itu yang menarik perhatiannya. Baru dara ini mengerti bahwa ada suatu
persamaan atau kemirip-an pada diri pemuda ini dengan Ceng Liong sehingga menarik
perhatiannya ketika ia mendengar bahwa Ciang Bun adalah saudara sepupu Ceng Liong.
Mendengar bahwa Suma Ciang Bun ini saudara sepupu Ceng Liong, hatinya merasa hangat
dan tertarik. Bagaimanapun, ada hubungan akrab antara ibunya dan keluarga Pulau Es
sehingga ia merasa seperti bertemu sahabat lama atau sanak keluarga ketika berjumpa dengan
Ciang Bun. Kini ia mengerahkan semua tenaga dan ilmu-nya berlari cepat untuk menyelamatkan nyawa
pe-muda itu. Ia harus dapat mencari dan menemukan katak-katak buduk hitam dalam waktu
tiga hari. Kalau ia berlari cepat, menurut perhitungannya setelah mendengar penjelasan
hwesio ahli racun, dalam waktu sehari tentu ia akan dapat tiba di rawa yang dimaksudkan itu.
Ia harus dapat menemukan obat itu. Ngeri ia membayangkan betapa pemuda yang tampan
pendiam dan halus lagi ga-gah perkasa dan pandai bersajak itu akan mati ko-nyol keracunan.
Ilmu berlari cepat Jouw-sang Hui-teng (Ter-bang Di Atas Rumput) dari Wan Hong Bwee
me-mang hebat sekali. Tubuhnya ringan dan ia dapat berlari bagaikan terbang saja, dan dalam


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
533 waktu sehari lebih, hanya berhenti untuk makan roti bekal dan minum air, ia telah tiba di tepi
rawa. Akan tetapi, hari telah malam dan cuaca gelap sekali. Tak mungkin dapat mencari katak
buduk pada waktu malam gelap itu. Menurut keterangan hwesio ahli racun, katak-katak
buduk hitam itu berkeliaran di waktu malam mencari mangsa. Berbeda dari katak-katak biasa
yang makan se-rangga biasa seperti semut, nyamuk dan sebagai-nya, katak buduk hitam
mencari makanan serang-ga berbisa dan suka sekali makan binatang berbisa seperti kelabang,
kalajengking, bahkan ular-ular kecil yang berbisa. Hebatnya, katak ini tidak ta-kut terhadap
ular besar! Menurut hwesio itu, sukar menangkap anak-anak katak di waktu malam karena
selain katak-katak besar itu berkeliaran, juga berbahaya menangkap katak besar. Anak
anaknya di waktu malam bersembunyi di dalam guha-guha kecil atau celah-celah batu, sukar
ditemukan. Waktu yang tepat untuk menangkap adalah pada pagi hari di waktu induk-induk
katak memberi makan anak-anaknya di tepi rawa dan memberinya makanan yang
dimuntahkan dari perutnya.
Karena itulah, Hong Bwee lalu mencari tempat yang kering dan enak untuk melewatkan
malam, tak jauh dari rawa itu. Ia mengumpulkan rumput kering, menumpuknya di bawah
sebatang pohon. Kemudian ia mencari kayu kering dan membuat api unggun, bukan untuk
melawan dingin karena tubuhnya yang terlatih itu mampu menahan hawa dingin maupun
panas, melainkan untuk mengusir nyamuk. Memang ia dapat melindungi tubuhnya dari
gigitan nyamuk, akan tetapi bunyi nyamuk di sekitar telinga sungguh amat mengganggu dan
membuatnya tidak dapat mengaso enak. Api unggun akan membuat nyamuk-nyamuk itu
menjauh-kan diri karena panas dan asap.
Akan tetapi, baru saja api unggun itu jadi, tiba-tiba ada angin menyambar kuat dan nyala api
itu padam! Padamnya api membuat bara api pada kayu-kayu itu mengeluarkan asap yang
memedihkan mata. Akan tetapi Hong Bwee maklum bahwa angin yang menyambar tadi
bukanlah angin biasa, melainkan angin pukulan yang datangnya dari arah kiri, maka ia
terkejut sekali dan cepat meloncat ke arah tempat itu. Dan benar saja, di dalam cuaca remang-
remang yang hanya diterangi oleh jutaan bintang di langit, ia melihat sesosok tubuh seorang
wanita tua yang agak bongkok.
"Engkaukah yang tadi memadamkan api ung-gunku?" tanya Hong Bwee ragu-ragu karena ia
tidak tahu pasti apakah benar nenek bongkok ini yang memadamkan api dari jauh
menggunakan angin pukulannya.
Nenek itu agaknya melihat kelincahan Hong Bwee ketika meloncat, maka iapun berkata
dengan suara membela diri, "Api itu akan menakutkan ular dan katak!"
Disebutnya katak membuat hati dara ini tertariksekali. Ia mendekat, namun sikapnya
waspada dan ternyata nenek itu menyembunyikan sebuah teng (lampu minyak) yang tertutup
kertas tipis merah sehingga lampu itu mengeluarkan cahaya keme-rahan yang cukup
menerangi wajah nenek itu ke-tika ia mengeluarkan lampu dari balik tubuhnya. Kini Hong
Bwee dapat melihat bahwa biarpun tubuhnya agak bongkok, ternyata wajah nenek ini
menunjukkan tanda-tanda bahwa dahulu di wak-tu muda ia tentu memiliki wajah yang cantik.
Juga pakaiannya bersih dan rapi, rambutnya disisir rapi.
"Nenek yang baik, apa maksudmu dengan ular dan katak?"
"Hi-hik," nenek itu terkekeh. "Engkau melaku-kan perjalanan seorang diri dan berani tidur di
tepi rawa, tentu engkau seorang pemuda yang me-miliki kepandaian lumayan. Akan tetapi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
534 pernah-kah engkau melihat betapa ular besar dibunuh seekor katak" Aku sedang mengintai
seekor ular besar dan tiba-tiba engkau di sini membuat api unggun. Tentu saja ular dan
kataknya akan keta-kutan dan mana mungkin aku dapat menangkap ular itu?"
"Ah, maafkan aku, nek. Aku ingin sekali melihat engkau menangkap ular." Hati Hong Bwee
tertarik sekali karena ia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang kang-ouw yang
aneh dan berkepandaian tinggi. Hal ini terbukti dari keanehan sikap, bicara dan perbuatannya
seperti ketika ia memadamkan api unggun tadi.
"Kau mau nonton" Heh-heh, boleh sekali. Mari ikut aku." Nenek itu membalikkan tubuhnya
dan berjalan berindap-indap. Hong Bwee yang merasa tertarik sekali segera mendekati dan
ber-jalan di dekat nenek itu.
"Engkau melarang aku membuat api unggun, akan tetapi engkau sendiri membawa lentera,
apa-kah sinar lenteramu itu tidak akan menakutkan ular dan katak?"
"Heh-heh-heh, lentera ini merah, tidak akan menakutkan mereka. Sssttt.... sekarang
diam-lah...."
Nenek itu mendekati batu-batu besar di mana terdapat celah-celah dan ia mengeluarkan
sebuah kantung hitam dari punggunguya, di mana tergantung buntalan besar. Kantong ini
bergerak-gerak, tanda bahwa di dalamnya terdapat sesuatu yang bernyawa. Ketika nenek itu
meneteskan arak dari sebuah guci ke mulut kantong hitam, terdengarlah bunyi "kok-kok-kok"
keras sekali sehingga mengejutkan hati Hong Bwee. Akan tetapi karena nenek ini sudah
memberitahu agar diam, Hong Bwew tidak berani membuka mulut, hanyameman-dang penuh
perhatian. Ia menujukan pandang matanya ke arah mata nenek itu memandang, yaitu ke arah
sebuah celah besar di antara batu-batu hitam. Dan tiba-tiba saja terdengar bunyi berdesis,
mula-mula perlahan, makin lama makin nya-ring dan akhirnya dari celah-celah batu itu
tersembul keluar sebuah kepala ular yang besarnya sekepalan tangan. Kembali nenek itu
meneteskan arak dan kembali terdengar suara "kok-kok-kok" berkali-kali. Agaknya suara
inilah yang menarik perhatian ular itu. Binatang itu kini keluar dari dalam celah batu dan
ternyata tubuhnya sebesar betis orang dan panjangnya ada enam tujuh kaki! Seekor ular
kembang yang besar dan agaknya lapar.
Dengan tangan kanannya, nenek itu memungut sebuah batu dansekali tangan terayun, batu itu
meluncur dan memasuki celah tadi, menutupnya. Bidikannya demikian tepat sehingga
kembali Hong Bwee menyadari bahwa nenek ini memang lihai. Dan kini nenek itu membuka
mulut kantong hitam dan melemparkan isinya ke arah sang ular. Kiranya isi kantong itu
adalah seekor katak buduk hi-tam yang besarnya tiga empat kali katak biasa. Akan tetapi
dibandingkan dengan ular itu, katak ini tentu saja amat kecil dan sekali caplok tentu ular itu
akan dapat melahapnya. Lemparan nenek itu tepat pula. Katak terlempar dan terbanting ke
atas kepala ular, membuat kedua binatang itu ter-kejut dan segera bersiap siaga ketika saling
berha-dapan. Agaknya sang ular menganggap bahwa ia memperoleh mangsa, sebaliknya
katak itu merasa berhadapan dengan seekor binatang yang menjadi musuh besarnya.
Hong Bwee semakin tertarik. Ia tahu bahwa katak adalah satu di antara binatang yang
menjadi makanan ular. Akan tetapi ia sudah mendengar dari hwesio itu bahwa katak buduk
hitam demiki-an berbahaya dan lihainya sehingga berani mela-wan seekor ular besar.
Agaknya kini secara kebe-tulan ia akan menyaksikan pertunjukan yang tak masuk akal itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
535 Ular itu memandang dengan mata beringas, mengangkat kepalanya dan mendesis-desis,
agak-nya marah melihat sikap katak yang menantang. Memang katak itu menantang,
tubuhnya merendah, perutnya menempel tanah dan dari lehernya keluar bunyi "kok-kok-
kok!" nyaring sekali. Semua ini dapat dilihat jelas oleh Hong Bwee, di bawah cahaya lentera
merah yang agaknya tidak mengganggu kedua akor binatang yang sedang berlagak itu.Tiba-
tiba ular itu menyerang. Kepala yang diangkat itu bergerak meluncur ke depan dengan
moncong terbuka, siap mencaplok. Akan tetapi katak itupun tiba-tiba menggunakan kaki
bela-kangnya yang besar dan kuat itu, mengenjot tubuhnya menubruk ke depan, menyambut
kepala ular dari samping dengan tak kalah cepat dan kuatnya.
"Plokkk!" Tubuh bagian atas ular itu terpental dan ular itu kembali mengangkat kepala dan
leher, menggoyang-goyang kepala seperti mengusir rasa pening. Lalu ia mendesis dan
menyerang lagi. Kepalanya meluncur ke depan dengan moncong dibuka lebar hendak
mencaplok ke arah katak. Katak itu meloncat ke samping mengelak dan tiba--tiba saja ia
sudah melompat ke atas kepala ular itu dan menggigitnya.
"Bagus!" Ganggananda memuji kagum.
Akan tetapi ketika ular itu menggerak-gerakkan kepala untnk melepaskan diri dariterkaman
katak tanpa hasil, ia menggerakkan ekornya menghantam dari atas ke arah katak di kepalanya.
Katak itu amat cekatan dan cerdik sekali, cepat mengelak dengan lompatan ke bawah.
"Tarrr!" Ekor ular itu melecut kepalanya sen-diri! Kepalanya sudah terluka oleh gigitan
katak, kini masih dicambuknya sendiri membuat binatang itu merasa kesakitan dan semakin
marah. Iapun menyerang lagi dengan ganasnya. Serangan ini disambut oleh katak buduk
hitam dengan suara "kok-kok-kok!" dari mulutnya dan keluarlah uap hitam disemburkan ke
depan. Agaknya sang ular kebal terhadap racun katak, akan tetapi matanya terkena uap hitam,
menjadi nyeri dan iapun menggoyang kepala dengan geli-sah. Kesempatan ini dipergunakan
oleh katak hitam untuk meloncat dan menerkam lagi kepala ular, menggigit tengkuk yang
agaknya menjadi sumber kekuatan ular. Ular itu mencoba untuk melepaskan diri dari gigitan.
Akan tetapi tenaganya semakin lemah dan tubuhnya berkelojotan.
Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangannya dan kantong hitamnya sudah menubruk katak
dan kepala ular. Sekali tangan kirinya dibacokkan mi-ring ke arah leher ular, terdengar suara
keras dan leher itupun hancur dan putus! Dan kini kepala ular dan katak itu sudah masuk
kantong yang mu-lutnya cepat diikatnya kembali. Katak buduk hi-tam bergerak-gcrak di
dalam kantong, lalu terdengar suara katak berkokok disusul suara berkerotokan seolah-olah
katak itu sedang menggerogoti tulang kepala ular. Ganggananda bergidik ngeri.
Nenek itu menyimpan kantongnya dalam buntalan, lalu menusuk ekor bangkai ular dengan
kayu yang ditancapkan pada akar pohon. Direntangnya bangkai itu dan iapun merobek perut
ular meng-gunakan kuku jari telunjuknya dan semua isi perut ular itupun dikeluarkan.
Ganggananda me-mandang heran.
Nenek itu mengangkat muka memandang dan terkekeh. "Apakah engkau tidak merasa lapar,
orang muda?"
"Kalau lapar mengapa, nek?" tanya Ganggananda tertegun mendengar pertanyaan aneh itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
536 "Hi-hik, orang muda yang bodoh. Ular ini adalah ular kembang. Dagingnya gurih dan manis,
pula menguatkan otot-otot kaki, berguna bagi perantau-perantau seperti kita yang suka
berjalan kaki dan melakukan perjalanan jauh. Nah, sekarang buatlah api unggun, biar
kupanggang daging ini dan nanti kita makan sambil bercakap-cakap."
Ganggananda dapat menduga bahwa dia ber-hadapan dengan seorang nenek yang luar biasa
dan berilmu tinggi, dan yang dia yakin tentu tahu ba-nyak tentang katak buduk hitam yang
amat dibu-tuhkan itu. Maka diapun tidak mau membantah. Nenek ini harus dibaiki, pikirnya
dan tentu dia dapat mengharapkan bantuan nenek ini untuk memperoleh obat bagi Ciang Bun.
Segera dia membuat api unggun yang cukup besar, bahkan mem-bantu nenek itu ketika mulai
memanggang daging ular yang sudah dikuliti dan dipotong-potong itu. Ternyata dagingnya
putih bersih dan ketika di-panggang terciumlah bau sedap, apalagi karena nenek itu agaknya
sudah membawa bekal bumbu. Terciumlah bawang dan garam yang membuat daging itu
berbau sedap. Ketika nenek itu mengajak Ganggananda makan, gadis yang menyamar pemuda inipun tidak
menolak. Dan ternyata bahwa memang daging ular panggang itu lezat sekali! Nenek itupun
me-ngeluarkan seguci arak sehingga lengkaplah kini hidangan mereka. Tanpa banyak cakap
mereka makan dan nenek itu lahap sekali. Daging panggang itu diganyangnya panas-panas.
Setelah daging ular itu habis, barulah nenek itu bicara. "Orang muda, engkau seorang diri
saja di tempat sunyi yang amat berbahaya ini, sebetulnya bermaksud apakah?"
"Nenek yang baik, memang ada kepentingan yang amat mendesak sehingga aku berada di
tepi rawa ini, dan pertemuanku denganmu ini sungguh menggembirakan karena aku yakin
bahwa engkau akan dapat membantuku sehingga aku akan berha-sil dalam tugasku."
Nenek itu mengerutkan alisnya dan terkena ca-haya api unggun, wajahnya nampak
kemerahan. Akan tetapi wajah itu tidak mengerikan,bahkan sebaliknya, wajah itu jelas
membayangkan bahwa nenek itu amat cantik di waktu mudanya. "Kepen-tingan" Tugas"
Tugas apakah itu yang memba-wamu ke tepi rawa ini?"
"Aku harus mencarikan obat untuk orang yang keracunan pukulan Hoa-mo-kang...."
"Ihh! Su-ok sudah lama mampus dan pukulan jahat itu dibawanya mati. Siapa yang mampu
melukai orang dengan pukulan Hoa-mo-kang?"
"Entahlah. Pokoknya, seorang sahabat baikku terkena pukulan itu dan menurut keterangan
tabib yang ahli, obatnya harus dicari di tempat ini."
"Katak buduk hitam?"
"Benar, nek, karena itu aku mengharapkan bantuanmu."
"Engkau takkan berhasil!"
"Kenapa tidak" Menurut keterangan ahli itu, besok pagi aku akan dapat menangkap anak-
anak katak di tepi rawa, diberi makan induknya."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
537 "Hi-hik, engkau tolol!"
Ganggananda mengerutkan alisnya, akan teta-pi dia menahan kemarahannya. "Hemm,
mungkin juga, akan tetapi mengapa engkau menyebutku tolol" Dalam hal apa?"
"Engkau takkan berhasil, tak mungkin berhasil karena kini belum waktunya terdapat anak-
anak katak. Tiga bulan lagi mungkin ada karena seka-rang belum waktunya katak-katak itu
bertelur. Yang ada hanyalah katak-katak buduk hitam besar dan engkau takkan mampu
menangkap mereka."
"Ahh....!" Ganggananda terkejut dan bi-ngung, mukanya berobah pucat. "Lalu bagaimana
baiknya" Sahabatku itu akan mati kalau selama tiga hari tidak memperoleh obat itu, nek."
"Mengobati pukulan beracun Hoa-mo-kang dengan anak-anak katak memang tepat dan
man-jur sekali, akan tetapi tidak praktis. Aku mempu-nyai pel-pel racun katak buduk yang
jauh lebih mudah ditelan, juga menelan berturut-turut tiga butir saja sudah akan
menyembuhkan, tidak perlu menghancurkan belasan ekor anak katak untuk diminumkan
airnya. Ihh, kejam membunuhi begitu banyak anak katak."
"Nenek yang baik, kau tolonglah aku. Tolong-lah sahabatku itu dan aku mohon kau suka
mem-beri pel-pel itu kepadaku."
Nenek itu memandang tajam. "Hemm, di dunia ini memang harus tolong-menolong. Kalau
menolong sepihak saja tentu tidak mungkin. Aku mau menolongmu, akan tetapi ada syarat-
syarat-nya, orang muda."
"Apa syarat-syarat itu, nek?"
"Pertama, engkau harus dapat mengalahkan aku, dan ke dua engkau harus dapat membantuku
menghadapi musuh besarku."
Ganggananda mengerutkan alisnya. Menan-dingi nenek ini merupakan hal yang berat, karena
dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu lihai sekali. "Nek, untuk menghadapi musuh
bersama, aku mau membantu asal kaukatakan dulu mengapa engkau memusuhinya. Akan
tetapi apa perlunya aku harus menandingimu lebih dulu?"
"Heh-heh, kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, apa perlunya engkau membantuku"
Musuhku itu jauh lebih lihai daripada aku. Kalau aku mampu mengalahkannya sendiri, apa
perlunya minta bantuan orang lain?"
"Ah, begitukah?" Jantung Ganggananda ber-debar tegang. Nenek ini saja dia duga tentu
sudah amat lihai, kalau musuhnya itu lebih lihai, wah, tugasnya sungguh tidak ringan. "Akan
tetapi ba-gaimana engkau dapat mengira bahwa akn memi-liki kepandaian silat, nek" Aku
hanya seorang pe-rantau yang tidak berilmu, mana bisa menandingi-mu?"
"Heh-heh, orang muda, jangan engkau menco-ba untuk membodohi aku. Seorang muda
seperti engkau ini sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri, apalagi bermalam di
tepi rawa berbahaya ini seorang diri, bahkan bertugas men-cari katak buduk hitam, mana
mungkin berani ka-lau tidak memiliki kepandaian lihai?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
538 "Mungkin sedikit latihan silat pernah kulaku-kan, akan tetapi bagaimana akan dapat
menan-dingimu" Engkau yang selihai ini saja tidak mam-pu mengalahkan musuh besarmu itu,
apalagi aku. Sudahlah, nek, lebih baik engkau berbaik hati memberi pel obat itu kepadaku dan
hal itu berarti engkau telah berjasa besar menyelamatkan nyawa orang dari cengkeraman
maut." "Enak saja kau bicara. Orang hidup harus sa-ling menolong! Sebetulnya, dalam ilmu silat dan
tenaga, aku tidak kalah oleh musuhku itu, hanya aku kewalahan dan selalu kalah karena dia
memi-liki gin-kang yang amat tinggi. Dia terlampau ce-pat bagiku."
"Gin-kang?" Ganggananda bertanya dan sinar harapan muncul di dalam hatinya. "Jadi aku
harus memiliki gin-kang yang lebih tinggi darinya?"
"Setidaknya, harus setingkat agar engkau mampu membantuku."
Ganggananda mengangguk. "Baiklah, nek, hendak kucoba. Bagaimana kalau kita berlumba
meme-tik bunga putih di puncak pohon di depan itu?"
Biarpun malam itu hanya diterangi sinar bin-tang-bintang yang remang-remang, akan tetapi
bunga-bunga putih bergerombol di puncak pohon tinggi di depan itu mudah dilihat karena
menyolok warna putihnya di antara daun-daun yang nampak hitam.
Nenek itu mengangkat muka memandang. "Setinggi itu" Kita berlomba memanjat dan
me-metiknya?"
"Dengan gin-kang, tentu akan dapat dilakukan dengan cepat, berloncatan dari cabang ke
cabang." "Baik, nah, mari kita siap. Aku menghitung sampai tiga dan kita berlomba." Nenek itu
berkata dengan suara girang karena ia mulai memperoleh harapan. Kalau pemuda ini sanggup
bertanding gin-kang, berarti pemuda ini memiliki ilmu kepan-daian tinggi yang boleh
diharapkan akan dapat membantunya sampai ia berhasil menghadapi lawannya yang tangguh.
Mereka berdiri dan nenek itu menghitung "Satu.... dua.... tiga....!" Dan melesatlah tubuh
nenek itu ke depan karena ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk meloncat dan
berlari ke arah pohon itu. Ia hanya melihat bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu
ia melihat pemuda itu sudah tiba di pohon, padahal ia sendiri masih jauh dari tempat itu. Dan
ketika ia melihat betapa tubuh pemuda itu berloncat tinggi sekali, kemudian seperti burung
terbang atau seekor tupai berloncatan dari cabang ke cabang, maklum bahwa pemuda itu
memiliki gin-kang yang hebat. Maka iapun tidak melanjutkan larinya, melainkan menonton
saja dari bawah, melihat betapa pemuda itu dengan cepat sekali telah memetik bunga,
kemudian dari atas meloncat turun, bahkan melayang tanpa melalui cabang-cabang pohon lagi
ke atas tanah, hinggap di tanah sedemikian ringannya seperti sehelai daun kering melayang,
kemudian melesat ke dekat api unggun kembali.
"Hebat.... engkau telah mengalahkan aku....!" Nenek itu berkata sambil berlari menyusul.
Wajahnya berseri gembira. "Engkau.... kiranya engkau lihai sekali, engkau tentu akan dapat
mengalahkan gin-kangnya! Engkau bantulah aku, orang muda, dan kalau aku sudah berhasil
membunuhnya, engkau akan kuberi tiga butir pel racun katak buduk hitam untuk


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyembuhkan sahabatmu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
539 "Nanti dulu, nek. Aku bukan tukang pukul yang suka membantu orang membunuh orang lain
begitu saja. Aku hanya mau membantu orang ter-tindas, bukan membantu orang melakukan
kejahatan atau berbuat sewenang-wenang. Ceritakan dulu, siapakah musuh besarmu itu dan
kenapa engkau hendak membunuhnya?"
"A-ha, engkau berjiwa pendekar, ya" Bagus, memang aku mencari bantuan dari pendekar,
bukan dari kaum sesat. Orang muda, siapakah namamu dan siapa gurumu maka engkau dapat
memiliki gin-kang yang sedemikian hebatnya?"
"Namaku Ganggananda, nek."
"Ha, orang Nepal?"
"Bukan, orang Bhutan. Dan yang mengajarkan sedikit ilmu silat kepadaku adalah ayah
bundaku sendiri," kata Ganggananda cepat dan segera menyambungnya karena ia tidak suka
banyak cerita tentang keluarganya, tidak suka diketahui orang bahwa ia adalah keluarga Raja
Bhutan. "Sekarang ceritakanlah, nek, agar aku dapat mengambil ke-putusan apakah aku akan
membantumu atau tidak.?"Baik, dengarkanlah ceritaku. Puluhan tahun yang lalu, ketika
usiaku baru tiga puluh tahun le-bih, aku hidup sebagai isteri seorang pendekar dan tinggal di
selatan. Pada suatu hari datanglah seorang sahabat suamiku bertahun di rumah kami. Dia amat
tampan dan gagah, pandai merayu dan aku-pun jatuh oleh rayuannya." Nenek itu menarik
napas panjang dan Ganggananda memandang pe-nuh perhatian, merasa tertarik sekali. Tak
disang-kanya bahwa nenek ini mempunyai riwayat yang demikian romantis, akan tetapi juga
penuh aib. Seorang isteri jatuh hati kepada sahabat suaminya sendiri"
"Aku jatuh hati benar olehnya dan lupa daratan sehingga akupun rela menyerahkan diri
kepadanya, menyambut uluran cintanya. Akhirnya, hal ini di-ketahui oleh suamiku. Kami
tertangkap basah. Tentu saja suamiku marah dan sahabat itu dise-rangnya. Terjadilah
perkelahian seru. Ilmu kepan-daian sahabat itu amat tinggi dan kalau dia mau, dengan mudah
dia akan dapat membunuh atau mengalahkan suamiku, akan tetapi sahabat itu juga seorang
pendekar gagah. Dia merasa bersalah, maka diapun hanya melindungi diri saja tanpa mau
membalas. Melihat ini, aku berpikir. Kalau sam-pai aku harus kembali kepada suamiku, tentu
sua-miku benci kepadaku, dan bahkan mungkin akan membunuhku, setidaknya menceraikan
aku. Sudah kepalang bermain air sampai basah, lebih baik menyelam saja sekali, pikirku.
Maka akupun mem-bantu kekasihku itu dan karena kesalahan tangan, suamiku roboh dan
tewas oleh sahabatnya. Inilah yang kukehendaki agar aku terlepas dari suamiku dan
selanjutnya hidup bersama pria yang telah menjatuhkan hatiku itu."
Ganggananda mengerutkan alisnya. "Ah, eng-kau kejam terhadap suamimu, nek," celanya.
"Tidak, bukan kejam. Sejak menikah, pilihan orang tua, aku tidak pernah cinta suamiku. Dan
aku sudah jatuh hati kepada orang she Bu, sahabat suamiku itu. Dan akupun bukan turun
tangan membunuh suamiku, melainkan hanya membantu sahabat itu, terutama sekali untuk
membuka mata suamiku bahwa aku berpihak kepada kekasihku, juga membuka mata
kekasihku agar dia tahu bah-wa aku bersedia membantunya dan ikut dengannya. Akan tetapi
terjadi kesalahan tangan sehingga sua-miku roboh dan tewas."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
540 "Hemm, lalu bagaimana?" Ganggananda ber-tanya tidak puas. Dia sudah memperoleh
gambaran bahwa nenek ini dan orang she Bu itu keduanya adalah orang-orang yang tidak
baik! "Setelah suamimu tewas, engkau lalu hidup bersama orang itu?"
Nenek itu mengepal tinju tangan kanannya dan mengacungkannya ke atas. "Itulah yang
membuat aku sakit hati, mendendam dan harus membunuh-nya! Dia menolakku. Dia merasa
menyesal sekali telah kesalahan tangan membunuh suamiku dan dia menyalahkan aku,
memaki aku bahwa akulah yang menyebabkan sahabatnya tewas!"
Diam-diam Ganggananda mentertawakan ne-nek itu dan hatinya berbisik, "Puas! Rasakan
engkau!" akan tetapi mulutnya diam saja.
"Aku telah memohon, membujuk dan menangis, akan tetapi tetap saja dia tidak mau
menerimaku dan meninggalkan aku. Tentu saja aku merasa sakit hati sekali. Aku
memperdalam ilmuku dan mencarinya, menyelidiki siapa sebenarnya keka-sihku itu yang
belum kukenal baik karena baru pertama kali itulah aku bertemu dengan dia. Ke-mudian aku
mendengar bahwa kiranya dia itu memang seorang laki-laki yang terkenal sebagai tukang
mempermainkan wanita! Dengan modal kegagahannya, ketampanannya dan kepandaian-nya
yang tinggi, dia merayu dan menjatuhkan hati banyak wanita, tidak perduli masih gadis, isteri
orang, muda atau tua. Orang she Bu yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Bu-
taihiap itu ternyata adalah seorang perayu dan gila pe-rempuan!"
Ganggananda tidak pernah mendengar nama Bu-taihiap ini dan hatinya merasa semakin tidak
suka kepada laki-laki itu. Kini diapun dapat mem-bayangkan bahwa bukan semata kesalahan
nenek ini kalau sampai menyeleweng, akan tetapi teruta-ma karena pandainya orang she Bu
itu merayu wanita sehingga nenek ini pernah tergelincir.
"Aku berusaha menemuinya dan minta per-tanggungan jawabnya. Aku hidup sebatangkara
setelah suamiku meninggal dunia, dan hanya dia-lah satu-satunya orang yang menjadi
harapanku. Akan tetapi, dia tetap marah-marah kepadaku dan mengusirku. Aku bahkan
berusaha untuk menye-rangnya, akan tetapi selalu aku kalah olehnya."
Ganggananda merasa bingung. Dia tidak tahu bagaimana dia harus bersikap menghadapi
urusan itu. Dia ingin mendengarkan terus.
"Puluhan tahun aku menekan dendam ini, aku bertapa, berkelana mencari guru-guru dan
bela-jar silat dengan tekun dan mati-matian sampai akhirnya aku dapat mengimbangi tingkat
musuh besarku itu. Akan tetapi, aku masih kalah dalam gin-kang sehingga masih sukarlah
bagiku untuk mencapai kemenangan. Maka, aku minta bantuan-mu."
"Hemm, tidak begitu mudah, nek. Aku hanya mempunyai waktu tiga hari untuk mengobati
sa-habatku, dan sekarang sudah lewat sehari. Ting-gal dua hari lagi. Kalau terlambat,
sahabatku akan tewas. Jadi waktuku untuk membantumu hanya ada sehari saja, karena pada
hari ke tiga harus ku-pergunakan untuk berlari cepat kembali ke kota raja."
"Cukup, engkau takkan terlambat kalau seka-rang juga kita berangkat. Kebetulan musuhku
itu berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Dia senang melakukan perjalanan dan si
bedehah itu membawa ketiga orang isterinya!"
"Tiga....?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
541 "Itu yang resmi menurut penyelidikanku. Di mana-mana dia mempunyai kekasih yang
diting-galkan begitu saja seperti aku. Mereka tidak ber-daya menuntut, tidak mampu
melawan. Dan sam-pai sekarangpun, si tua bangka itu masih saja suka merayu dan
mempermainkan wanita-wanita muda."
"Dia tentu sudah tua sekali!"
"Sedikitnya enam puluh lima tahun usianya, akan tetapi dia masih.... gagah dan tampan.
Mari-lah, mari kita berangkat dan pada besok pagi-pagi kita sudah dapat tiba di tempatnya."
"Tapi obat itu...."
Nenek itu mengeluarkan tiga butir pel dari da-lam sebuah botol. "Inilah obatnya, akan tetapi
kusimpan dulu sampai selesai tugas kita. Mari!" Dan nenek itupun sudah lari meninggalkan
tempat itu, seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada Ganggananda untuk membantah
lagi. Dara yang menyamar pria ini terkejut. Satu-satunya harapan untuk dapat menyelamatkan
nya-wa Ciang Bun adalah nenek itu, maka diapun cepat menyambar buntalan pakaiannya dan
meloncat, lari mengejar. Karena memang gin-kang dari Gang-gananda amat hebat, sebentar
saja nenek itu sudah tersusul. Mereka turun dari lembah dan perja-lanan itu melalui tanah
datar, menuju ke sebuah bukit yang banyak batu-batu besarnya. Perjalan-an mendaki dan agak
sukar, dan karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang, cuaca suram muram, maka
perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, tidak dapat berlari cepat lagi. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Ganggananda untuk mencari keterangan lebih lanjut. Nenek itu
memperkenalkan diri sebagai Gan Cui, akan tetapi ketika ditanya tentang keadaan Bu-taihiap,
ia tidak mau banyak bicara, hanya mengatakan bahwa Bu-taihiap ada-lah seorang laki-laki
yang gila perempuan.Kalau saja Ganggananda tahu siapa adanya Bu-taihiap, tentu dia akan
terkejut sekali karena Bu-taihiap yang dianggap musuh besar oleh nenek Gan Cui sebetulnya
adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai
seorang datuk yang berilmu tinggi. Di dalamKisah Suling Emas dan Naga Siluman ba-nyak
diceritakan tentang pendekar ini. Bu-taihiap bernama Bu Seng Kin. Memang dia terkenal
sebagai seorang pria yang ganteng, tampan dan gagah dan pandai sekali merayu wanita.
Memang dia remantis sekali, dan tidak aneh kalau disebut gila perempuan karena dia jarang
mau melepaskan kesempatan untuk menggoda dan merayu setiap kali bertemu wanita cantik.
Entah berapa ratus wanita cantik yang sudah jatuh oleh rayuannya, menjadi kekasihnya.
Bahkan isterinyapun banyak, di antaranya yang terus mendampinginya sampai tua adalah
Tang Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li, tokoh Lembah Suling Emas yang kini berganti
nama menjadi Lembah Naga Siluman karena nyonya ini tadinya adalah isteri seorang di
antara tokoh keluarga Cu, yaitu mendiang Cu San Bu. Begitu bertemu dengan Bu-taihiap,
nyonya inipun dirayu dan jatuh. Dan akhirnya nyonya ini-pun mencari Bu-taihiap dan ikut
mendampingi-nya. Ada pula yang bernama Gu Cui Bi, seorang nikouw! Nikouw yang sudah
jatuh pula inipun mendampingi suaminya yang bangor. Yang ke tiga adalah Nandini, seorang
wanita Nepal, bukan sem-barang orang karena wanita ini pernah menjadi panglima Nepal.
Tiga orang isteri yang mendam-pinginya di hari tua ini rata-rata memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Nenek Gan Cui adalah satu di antara ratusan orang wanita yang jatuh oleh rayuannya,
kemudian ditinggalkannya begitu saja. Tidak mengherankan kalau nenek itu tidak pernah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
542 berhasil membalas dendam, karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar sakti yang
amat terkenal. Kalau dahulu di waktu mudanya Bu-taihiap tinggal di Puncak Merak Emas di
Pegunungan Himalaya, kini dia lebih suka merantau di seluruh daratan bersama tiga orang
isterinya. Karena mereka kini sudah tua, sudah rata-rata enam puluh tahun usianya, maka
kalau mereka memperoleh tempat yang indah menyenangkan, mereka tinggal di tempat itu
untuk sementara. Setelah bosan lalu berangkat merantau lagi.
Dan pada waktu itu, Bu-taihiap dan tiga orang isterinya tinggal untuk sementara di bukit
berbatu-batu itu. Bukit itu puncaknya ternyata datar dan indah, penuh dengan pohon bunga
yang aneh-aneh dan yang jarang terdapat di daerah lain. Di tempat ini Bu-taihiap membangun
sebuah pondok kayu yang cukup besar dengan beberapa buah kamar untuk dia dan tiga orang
isterinya. "Nenek Gan, engkau sendiri yang begini pandai tidak mampu mengalahkan Bu-taihiap, lalu
ba-gaimana seorang muda seperti aku akan mampu mengalahkannya. Aku harus tahu diri, dan
kalau aku disuruh menghadapi seorang yang ilmunya jauh lebih tinggi dariku, bukaukah itu
berarti aku akan mati konyol dan akan bunuh diri?"
"Heh-heh, aku tidak setolol itu. Aku sudah mengenal wataknya. Selain mata keranjang,
manusia she Bu itupun tinggi hati dan angkuh sekali. Dia tidak pernah mau kalah dalam ilmu
kepandai-an bu. Maka, aku akan menemuinya dan menan-tang kepadanya untuk mengadu
ilmu gin-kang. Karena ilmu itu merupakan andalan dan kebang-gaannya, tentu dia dengan
girang menerimanya dan aku akan mengajukan engkau sebagai jagoku. Dan kalau dia sampai
kalah, heh-heh, selain dia harus memenuhi janji, juga dia akan malu setengah mati. Dia, Bu-
taihiap jagoan terkenal itu, jagoan perempuan, akhirnya harus mengaku kalah oleh seorang
wanita!" Ganggananda terkejut sekali dan cepat ia agak menjauh dan menghentikan langkah,
memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Apa maksud-mu, nek?"
"Hi-hik, antara kita sama-sama wanita, tentu engkau berpihak padaku daripada laki-laki gila
perempuan itu, bukan?"
"Bagaimana engkau bisa tahu, nek?" Ganggananda bertanya penasaran. Selama ini,
penyamarannya dapat dibilang sempurna sehingga belum pernah ada orang yang dapat
mengenalnya sebagai wanita. Akan tetapi nenek ini yang sejak tadi tidak memperlihatkan
sikap bahwa ia tahu akan keadaan dirinya, menyebutnya orang muda, bagaimana tiba-tiba kini
mengatakan bahwa ia seorang wa-nita"
"Ah, apa sukarnya bagiku! Penyamaranmu memang baik dan engkau seorang ahli pula dalam
hal itu. Akan tetapi terhadap ketajaman pencium-anku, mana mungkin engkau mampu
menyembu-nyikan atau merobah bau khas seorang wanita" Dengan ketajaman hidungku, aku
dapat mencium bau binatang-binatang berbisa dari jarak jauh. Ular itupun dapat kucium
biarpun ia bersembunyi di dalam lubang, bukan" Dan sejak pertemuan pertama, baumu
sebagai wanita sudah pula tercium olehku. Dan karena engkau seorang wanita pulalah yang
mendorongku untuk minta bantuanmu. Wanita manapun akan membenci pria yang suka
mempermainkan wanita."
Ganggananda atau Gangga Dewi atau yang biasa disebut Gangga saja, menarik napas
panjang dan diam-diam dara ini kagum terhadap nenek yang selain lihai juga memiliki
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
543 ketajaman penciuman yang istimewa itu. "Engkau benar, nek. Aku adalah seorang gadis.
Akan tetapi merantau seo-rang diri dalam dunia yang begini kotor dan penuh dengan orang
jahat...."
"Memang tepat menyamar sebagai pria agar lebih aman, apalagi kalau bertemu dengan laki-
laki jahat dan gila perempuan macam Bu-taihiap, sungguh tidak aman sekali bagi seorang
wanita yang muda lagi cantik seperti engkau."
Pada keesokan harinya, ketika matahari telah menyinari permukaan bumi, membuat
bayangan panjang dan masih lemah, tibalah nenek Gan Cui dan Gangga di depan sebuah
pondok kayu yang berada di tanah datar puncak bukit itu. Rumah itu terpencil, sederhana dan
keadaan sekeliling tempat itu sunyi namun indah. Memang indah peman-dangan alam di
tempat itu. Dari puncak ini nampak bumi terhampar luas, sinar matahari tak terhalang apapun
dan tanah di puncak itu sendiri amat subur, penuh dengan tanaman bunga dan tanaman obat.
Akan tetapi tidak nampak seorangpun ma-nusia, seolah-olah pondok itu kosong. Hal ini
mu-lai dikhawatirkan Gangga. Kalau pondok itu kosong, berarti usaha mereka gagal dan
bagaimana nenek itu akan mau memberikan obat yang amat dibutuhkan Ciang Bun" Akan
tetapi, nenek itu tidak nampak khawatir seperti Gangga. Ia kelihatan tegang dan siap, maju
menghampiri pondok dari depan.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang muncul dari sebelah kiri pondok dan ternyata ia
adalah seorang nenek yang usianya tentu sudah lima puluh lima tahun kurang lebih, namun
masih nampak bekas kecantikannya. Nenek ini memakai pakaian mewah, tubuhnya masih
ramping dan pa-dat dan gerakannya gesit. Wajahnya yang cantik dan terawat baik itu
membayangkan kegalakan dengan sinar matanya yang tajam. Sebatang pedang yang
tergantung di punggungnya menanda-kan bahwa nenek ini adalah seorang ahli silat dan hal
inipun kentara dari gerakannya ketika berkele-bat datang tadi. Kini ia sudah berdiri di depan
Gan Cui dan Gangga, sejenak memandang tajam penuh selidik, kemudian tersenyum
mengejek menatap wajah nenek Gan Cui.
"Hemm, perempuan tak tahu malu. Engkau masih berani merangkak datang lagi setelah
ber-kali-kali kalah oleh suamiku?" kata wanita itu dengan suara mengejek. Wanita ini adalah
seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap dan ialah yang memiliki tingkat kepandaian paling
tinggi. Ia adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, janda tokoh keluarga Lu yang tergila-gila
kepada Bu-taihiap dan kini menjadi seorang di antara isteri-isterinya yang selalu
mendampingi pendekar pe-tualang asmara itu.
Disambut dengan ucapan keras itu, nenek Gan Cui tetap tenang saja. Agaknya ia tidak mau
ribut dengan para isteri Bu-taihiap karena urusannya adalah urusan pribadi, antara ia dan
pendekar itu sendiri. Kalau sampai ia melibatkan isteri-isterinya, terlalu berat dan berbahaya
baginya, karena iapun maklum betapa lihainya para isteri Bu-taihiap. Maka, iapun hanya
memandang tajam dan berkata, "Aku datang untuk bertemu dengan orang she Bu. Dan sekali
ini aku tidak akan gagal."
"Kami sudah tahu akan kedatanganmu dan kami sudah siap menyambutmu. Marilah masuk
dan langsung saja ke ruangan belakang di mana suami kami telah menantimu," kata nyonya
itu yang segera membalikkan tubuhnya masuk ke dalam pondok. Nenek Gan Cui
mengikutinya tanpa ragu-ragu, sedikitpun tidak kelihatan takut, pada-hal Gangga mempunyai
perasaan seperti memasuki guha naga atau sarang harimau. Bagaimana tidak akan merasa
ngeri memasuki rumah orang yang dianggap musuh" Dan melihat sikap gagah nyonya rumah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
544 itu, iapun merasa semakin ngeri. Ia sudah dapat menduga, dari langkah kaki nyonya tua itu,
bahwa nyonya itu tentu lihai sekali, apalagi telah berani bersikap memandang rendah seperti
itu terhadap seorang nenek seperti Gan Cui.Ruangan belakang itu ternyata cukup luas dan
dinding belakangnya tidak ada, terbuka menembus ke taman bunga di belakang. Hawanya
sejuk sekali di ruangan itu. Di ruangan ini nampak duduk seorang kakek yang usianya tentu
sudah enam puluh tahun lebih, dan di sebelah kirinya duduk dua orang wanita. Kakek itu
bertubuh tegap dan wa-jahnya yang sudah mulai dibayangi ketuaan usia-nya itu masih
nampak amat tajam dan ganteng, dengan kulit mukanya yang bersih kemerahan, alis-nya yang
tebal dan pandang matanya yang demi-kian tenang dan penuh pengertian, mulutnya selalu
tersenyum dan tahulah Gangga mengapa pria ini banyak digandrungi wanita. Senyumnya itu!
Sungguh merupakan senyum yang melumpuhkan. Dan sepasang matanya juga begitu hidup
seolah-olah dia dapat menyatakan isi hatinya melalui pandang mata dan senyumnya. Dua
orang wanita itupun cantik-cantik. Yang seorang memakai penutup kepala pendeta, berjubah
seperti seorang nikouw, wajahnya putih bundar, mulutnya kecil dan ia nampak manis sekali
walaupun usianya juga sudah lima puluh tahun lebih. Wanita ke dua juga bebe-rapa tahun
lebih tua, akan tetapi wanita ini jelas bukan orang Han. Sekali pandang saja tahulah Gangga
bahwa wanita itu adalah seorang wanita berbangsa India atau Nepal, tubuhnya kecil jangkung,
hidungnya mancung dan matanya hitam tajam sekali, sikapnya ketika duduk itu
memba-yangkan kegagahan. Dua orang nenek ini adalah dua orang isteri Bu-taihiap di
samping Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang menyambut tamu tadi. Yang seorang adalah Gu
Cui Bi yang pernah men-jadi nikouw dan sampai sekarang tidak pernah mengganti jubah
nikouwnya dan selalu menutupi kepalanya dengan penutup kepala para nikouw. Adapun yang
ke dua adalah Nandini, puteri Ne-pal yang pernah memimpin pasukan Nepal sebagai
panglima yang gagah perkasa. Dua orang wanita ini duduk dengan anteng, hanya pandang
mata mereka menyambut munculnya nenek Gan Cui dan Gangga dengan sikap memandang
rendah. Tanpa bicara, Tang Cun Ciu juga duduk di kursi pertama di sebelah kiri suaminya.
Kini Bu-taihiap memandang nenek Gan Cui sambil tersenyum. "Adik Cui, engkau baru
datang" Apakah sekali ini engkau datang untuk menerima usulku dan menghabiskan sisa
hidup bersama ka-mi" Agaknya engkau membutuhkan waktu berta-hun-tahun untuk


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil keputusan yang amat baik itu."
"Orang she Bu! Jangan engkau mimpi bahwa aku akan mengalah begitu saja! Aku datang
untuk menantangmu!"
Pendekar itu menarik napas panjang dan masih tersenyum, menoleh kepada tiga orang
isterinya dan berkata lirih, "Lihat, ia ini sungguh memiliki hati yang keras seperti baja!"
Ucapan itu bukan memburukkan, bahkan lebih condong memuji. Tiga orang wanita di
sampingnya hanya melirik dan melihat cebiran bibir mereka menunjukkan bahwa ketiganya
merasa tidak puas dengan ucapan ini dan di dalam hati mereka mengejek, walaupun tidak
sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Gangga melihat semua ini dan diam-diam dara ini
tertarik sekali. Sebuah kelu-arga yang aneh, pikirnya, juga penuh diliputi sikap gagah.
Kini Bu-taihiap memandang kepada Can Cui, masih tersenyum. "Adik Cui, kiranya selama
tiga tahun tidak jumpa, engkau menghimpun kekuatan untuk berusaha menantangku kembali"
Hemm, engkau menantangku" Ingat baik-baik, tidak mudah mengalahkan ilmuku dan
andaikata aku kewalahan menghadapimu, tentu tiga orang isteri-ku ini tidak akan tinggal
diam. Apakah engkau mampu menghadapi kami berempat?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
545 "Boleh! Kalau kalian begitu tidak tahu malu untuk mengeroyokku, akupun tidak takut!"
"Bukan mengeroyok, akan tetapi sebagai isteri, tak mungkin mendiamkan saja suaminya
terancam bahaya. Sudahlah, kenapa engkau tidak mau me-nempuh jalan damai saja?"
"Orang she Bu, aku datang bukan untuk men-dengar ocehan dan rayuanmu, Pendeknya,
sekali ini aku datang untuk menantangmu mengadu ilmu gin-kang. Kalau aku kalah, aku akan
pergi dan tak-kan mengganggumu lagi. Akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus
memenuhi tuntutanku!"
"Wah, tuntutanmu itu tidak masuk akal, adikku yang manis! Mereka bertiga ini adalah isteri-
iste-riku yang setia, mana mungkin harus kutinggalkan begitu saja agar aku dapat hidup
berdua saja de-nganmu" Sebaiknya kalau engkau tinggal bersama kami, hidup aman dan
damai bersama kami...."
"Tidak! Tidak sudi aku kalau cintamu dibagi-bagi!"
"Siapa yang membagi-bagi" Cinta tidak mungkin dibagi-bagi. Aku cinta kepada mereka, aku
cinta kepadamu seperti cinta kepada banyak orang lain lagi. Kalau aku menghadapimu, aku
mencintamu sepenuhnya, demikian pula kalau aku menghadapi seorang di antara mereka.
Marilah, adikku, untuk apa kita bersitegang" Kita sudah tua, tinggal menikmati hidup
tenteram beberapa tahun lagi saja." Pendekar itu sungguh pandai merayu dengan suara halus
dan pandang mata demikian lembut, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Dan
Gangga yang mendengarkan percakapan itu diam-diam terkejut bukan main. Bagaimana pula
ini" Pendekar itu dengan baik membujuk nenek Gan Cui untuk hidup bersama dia dan isteri-
isterinya, akau tetapi sebaliknya nenek ini ingin Bu-taihiap meninggalkan isteri-isterinya yang
lain agar dapat hidup berdua saja dengannya, agar ia dapat memonopolinya" Mulai-lah ia
mengerti dan ia meragukan kebenaran nenek yang dibantunya.
"Cukup semua kata-kata itu! Berani atau tidak engkau menerima tantanganku mengadu gin-
-kang" Kalau tidak berani engkau harus memenuhi tuntutanku dan mengaku kalah!"
Tiba-tiba pendekar itu tertawa dan begitu dia tertawa, dia nampak jauh lebih muda daripada
usianya. Dan memang dia masih ganteng! "Ha-ha-ha, engkau lucu, adik Cui. Engkau tahu
bahwa dalam hal gin-kang, engkau kalah jauh dari aku, biar engkau belajar puluhan tahun
lagi, belum tentu engkau akan mampu mengalahkan aku. Ten-tu saja kuterima tantanganmu."
"Dan kalau engkau kalah, engkau akau meme-nuhi tuntutanku?"
"Aha, soal itu nanti dulu."
"Tapi, tiga tahun yang lalu, seperti yang sudah-sudah, engkau menerima taruhan itu!" Nenek
Gan Cui berteriak penasaran.
"Hemm, karena ketika itu aku merasa yakin akan kemenanganku. Dan sekarang, selagi aku
semakin tua dan engkau semakin bersemangat mempelajari ilmu-ilmu, aku harus hati-hati."
"Tapi engkau terima tantanganku?"
"Tentu saja."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
546 "Nah, dengarkan baik-baik, Bu Seng Kin! Aku menantangmu untuk mengadu ilmu gin-kang
dan aku mengajukan jagoku ini!" Nenek Gan Cui me-nepuk pundak Gangga.
"Siapa dia?" Bu-taihiap bertanya dengan sikap kaget, tidak disangkanya bahwa pemuda
remaja yang datang bersama Gan Cui itu ternyata adalah jago yang hendak diajukan oleh
nenek yang keras hati itu. Kini dia menatap tajam wajah dan tubuh Gangga, penuh selidik.
"Siapa dia tak perlu kau tahu. Pendeknya, dia adalah jago dan wakilku untuk menandingimu
dalam ilmu gin-kang. Kalau dia kalah, berarti aku kalah olehmu, akan tetapi kalau dia
menang, ber-arti engkau harus mengaku kalah."
Bu-taihiap tidak merasa khawatir, bahkan ke-lihatan sepasang matanya bersinar-sinar, seperti
merasa gembira menghadapi peristiwa yang me-narik. Dia mengangguk-angguk. "Baiklah,
adik Cui, lalu bagaimana pertandingan ini akan diatur?"
"Aku tidak ingin tertipu olehmu yang licik. Aku akan pergi ke ujung puncak ini dan
membawa ini. Kemudian kalian berdua merebut botol ini dari tanganku dan berlari dari sini."
Nenek itu mengeluarkan sebuah botol dan melihat ini, Gangga ter-kejut karena botol itu
adalah botol yang terisi tiga butir pel katak buduk hitam yang dibutuhkannya! Agaknya nenek
yang cerdik itu sengaja mengeluar-kan benda itu untnk dipakai berebut, agar ia mau berlumba
dengan sesungguhnya mengalahkan Bu-taihiap untuk memiliki obat itu!
"Perempuan licik!" Tiba-tiba Tang Cun Ciu membentak. "Pertandingan macam apa itu"
Ka-lau engkau yang menjadi sasarannya, tentu engkau akan membantu agar jagomu yang
menang! Ka-takan saja engkau hendak mengeroyok!"
Bu-taihiap tertawa dan menggerakkan tangan mencegah isterinya itu marah-marah.
"Biarkanlah. Tentu saja aku tahu bahwa kalau kami berdua tiba di dekatnya, ia akan
menyerahkan benda itu ke-pada jagoannya dan kalau aku yang hendak meng-ambilnya tentu
ia akan melawan. Akan tetapi, ja-goannya itu masih begini muda, patutnya menjadi muridku,
maka biarlah dibantu oleh adik Cui. Ba-gaimanapun juga, akhirnya aku yang akan menang.
Baik, adik Cui, engkau bawalah benda itu ke ujung sana dan kami berdua akan berlumba.
Siapa yang lebih dahulu mendapatkan botol ditanganmu itu, dia menang!"Nenek itu
menyeringai. "Orang she Bu, sekali ini engkau akan kecelik dan kalah!" Dan iapun menoleh
kepada Gangga sambil berkata, "Ingat, engkau tidak boleh kalah kalau engkau menghen-daki
benda ini!" Setelah berkata demikian, nenek itupun berlari cepat sekali menuju ke ujung
puncak itu. Jarak itu cukup jauh dan tubuhnya semakin kecil, akhirnya hanya menjadi sebuah
titik hitam yang makin mengecil. Puncak itu memang merupakan tanah datar yang amat
panjang, akan tetapi permukaannya yang halus hanyalah di sekitar pondok, sedangkan jarak
itu melalui tanah yang penuh dengan batu besar kecil yang kasar dan tidak mu-dah dilalui
karena kalau tidak berhati-hati, orang dapat tergelincir.
Gangga tadinya sudah merasa tidak senang ke-pada nenek Gan Cui yang ternyata sedikit
mem-bohong ketika bercerita tentang urusannya dengan Bu-taihiap. Ia sudah mulai ragu-ragu
apakah baik kalau ia melanjutkan pertolongan dan bantuannya kepada nenek itu. Akan tetapi
ketika ia mendengar kata-kata Bu-taihiap tentang dirinya yang dianggap terlalu muda dan
hanya patut menj-adi murid pendekar itu dengan pandang mata dan nada suara memandang
rendah, hatinya menjadi panas juga. Pendekar ini terlampau sombong, pi-kirnya, memandang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
547 rendah orang lain. Inilah se-babnya timbul dorongan hati untuk membuktikan bahwa ia
tidaklah lemah untuk dapat dipandang ringan saja.
Bu-taihiap sudah bangkit berdiri bersama tiga orang isterinya. Bagaimanapun juga, tiga orang
isterinya tidak akan tinggal diam saja dan mereka itu hendak mengikuti sang suami agar
jangan men-jadi korban kecurangan lawan. "Kita mulai?" tanya Bu-taihiap kepada Gangga
sambil tersenyum. Setelah Gangga mengangguk, Bu-taihiap berkata lagi. "Akan kuhitung
sampai tiga dan kita mulai berlari. Satu, dua.... tiga!"
Dua tubuh itu melesat ke depan. Bu-taihiap mengerahkan tenaganya dan larinya cepat sekali,
seperti terbang saja. Akan tetapi, betapa kaget hatinya ketika dia melihat Gangga berkelebat di
sampingnya dan ternyata pemuda itu bergerak dengan demikian ringannya seolah-olah kedua
kakinya tidak menyentuh bumi! Sebentar saja tu-buh pemuda itu sudah melesat ke depan dan
me-lewatinya. Bu-taihiap menjadi penasaran dan diapun mengerahkan seluruh tenaganya,
mengenjot tubuhnya untuk menyusul. Akan tetapi, pemuda itu agaknya juga menambah
tenaganya dan betapapun dia membalap, tetap saja pemuda itu berada di depannya! Barulah
dia benar-benar terkejut dan dari gerakan kaki pemuda itu dia dapat men-duga bahwa pemuda
itu memiliki ilmu gin-kang Jouw-sang Hui-teng (Ilmu Terbang Di Atas Rumput) yang amat
hebat. Mereka berkejaran dengan cepat sehingga tiga orang wanita yang juga membayangi
tertinggal jauh dan sebentar saja me-reka sudah dapat melihat nenek Gan Cui berdiri di ujung
timur tanah datar puncak bukit itu.
Sementara itu, Gangga merasa puas bahwa ternyata gin-kangnya tidak kalah oleh Bu-taihiap.
Akan tetapi ia lalu teringat bahwa sebenarnya ia membantu orang yang tidak benar, dan diam-
diam ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Kalau sampai nanti ia menang, seperti yang
sudah jelas dapat diduga, lalu nenek itu minta yang bukan-bukan, bukankah berarti ia telah
membantu kesewenang-wenangan" Akan tetapi ia membutuhkan obat itu!
Tiba-tiba nenek Gan Cui lari menuju ke se-latan, menjauhi dua orang yang sedang berlari
cepat ke arahnya itu. Hal ini mengingatkan lagi kepada Gangga bahwa nenek yang dibantunya
itu adalah seorang yang penuh tipu muslihat dan su-dah beberapa kali memperlihatkan
kecurangannya. Bagaimana kalau nanti melanggar janji dan tidak mau memberikan obat itu
kepadanya"
Mereka kini terpaksa juga merobah arah mengejar nenek itu yang sudah berada di ujung
selatan. Dan dengan sengaja Gangga memperlambat lari-nya sehingga Bu-taihiap dapat
berlari di samping-nya. Kakek itu sudah agak terengah dan mandi peluh. Gangga menoleh
kepadanya, tersenyum dan menambah lagi tenaganya sehingga tubuhnya kem-bali melesat ke
depan dalam jarak satu tombak. Ia masih ingin meyakinkan hatinya bahwa ia me-mang lebih
menang dalam adu gin-kang ini.
"Nona, perlahan dulu....!" Tiba-tiba ia mendengar suara Bu-taihiap dan ada tenaga aneh yang
menahannya dari belakang. Pendekar tua itu agaknya telah mempergunakan ilmu
kepandai-annya untuk menahannya dari belakang, dengan tenaga sin-kang! Dan pendekar tua
itupun telah mengetahui penyamarannya, tahu bahwa ia adalah seorang wanita. Gangga cepat
mengerahkan sin-kangnya pula dan tangan kanannya ditepiskan de-ngan pengerahan sin-kang
yang kuat. "Wuutttt....!" Dan tenaga yang menahan-nya dari belakang itupun terlepas.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
548 Kembali Bu-taihiap terkejut bukan main. Ki-ranya gadis ini bukan hanya tukang lari yang
ahli gin-kang, melainkan juga mampu menangkis sin--kangnya yang dipergunakan untuk
menahan larinya yang cepat itu.
"Ahhh.... nona...." katanya agak terengah-engah. "Engkau sungguh.... seorang dara yang luar
biasa! Masih begini muda, begini cantik, dan memiliki kepandian tinggi.... aku kagum sekali,
nona...." Berdebar rasa jantung dalam dada Gangga. Hati siapa takkan senang mendengar pujian"
Apalagi kalau pujian itu keluar dari mulut orang pen-ting, dan Bu-taihiap adalah seorang
pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi iapun teringat bahwa pendekar tua ini adalah
seorang perayu, seorang penaluk wanita, maka sikapnya menjadi keras lagi.
"Nona, sehebat engkau ini.... mengapa membantu orang yang sesat" Gan Cui bertindak salah
dalam urusan kami.... aku membujuknya untuk hidup rukun.... tapi ia menghendaki agar aku
menceraikan semua isteriku dan harus melayani ia seorang saja.... apakah itu adil namanya?"
Biarpun ia bersikap tak acuh, namun diam-diam Gangga mendengarkan semua kata-kata itu
dan dengan sendirinya iapun mengurangi lagi kece-patanlarinya. Ia sudah menduga apa yang
terjadi antara pendekar ini dan nenek itulah yang mau menang sendiri dalam urusan itu.
"Aku membutuhkan obatnya itu untuk meno-long seorang sahabatku yang keracunan,"
katanya. "Aha, jadi ia memaksamu membantu dan me-ngalahkan aku karena obat itu" Sudah kuduga.
Dan kaukira ia akan menyerahkan obat itu pada-mu" Ia seorang yang keras hati dan licik
sekali, dan kalau ia tidak mau memberikan kepadamu, jangan harap dengan mudah engkau
akan bisa memperolehnya. Ia curang dan lihai!"
"Aku.... aku sudah menduga begitu...."
"Nona, biarkan aku yang merampasnya untuk-mu. Kalau engkau tidak mendahuluiku, dan
aku lebih dahulu mencapainya, tentu ia akan berusaha menghindariku, akan tetapi, aku dapat
menguasai-nya."
Gangga hanya mempergunakan waktu sejenak untuk berpikir dan mengambil keputusan.
Entah bagaimana, ia merasa jauh lebih percaya kepada pendekar ini daripada nenek Gan Cui
yang curang. "Silahkan...." katanya dan iapun memper-lambat larinya. Tubuh Bu-taihiap melesat ke depan
dan berlari di depannya, seolah-olah pen-dekar itu mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya
dan dapat menyusul dara itu. Melihat ini, tiga orang isterinya yang tertinggal jauh di belakang
merasa lega. Mereka bertiga memang tidak dapat dibilang suka kalau melihat suami mereka
menambah seorang isteri lagi, akan tetapi urusan seperti itu bagi mereka kecil saja artinya.
Mereka sudah terbiasa oleh ulah suaminya yang suka perempuan itu dan agaknya baru akan
sembuh kalau sudah mati. Bagi mereka, lebih penting lagi kalau suami-nya tidak sampai
kalah, karena wanita itu tentu akan berbuat yang bukan-bukan, menuntut yang tidak-tidak dan
juga, suaminya akan terpukul pe-rasaannya dan akan merasa malu kalau sampai ka-lah oleh
seorang muda! Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
549 Sebaliknya, ketika melihat betapa kini jagonya tertinggal, nenek Gan Cui terkejut sekali. Tadi
ia sudah merasa girang melihat betapa Gangga dapat berada di depan dan ia sengaja lari
menjauh untuk memberi kesempatan kepada Gangga untuk me-ninggalkanlawannya jauh di
belakang. Ia sudah merasa yakin bahwa jagonya tentu akan menang karena selain sudah
berada di depan, tentu daya tahan Gangga lebih kuat daripada lawannya yang sudah tua,
napasnya juga lebih panjang. Akan tetapi kenyataannya, kini Gangga tersusul dan tertinggal,
makin lama makin jauh.
Gan Cui segera menjauhkan diri lagi, lari ke arah barat. "Bocah tolol, lari ke sini....!" Ia
berteriak-teriak dan berusaha mendekati Gangga.Akan tetapi Bu-taihiap selalu menghadang
antara ia dan Gangga, dan pendekar itu kini makin dekat dengannya. Terpaksa nenek itu
membalikkan tu-buh dan melarikan diri. Akan tetapi, gin-kangnya memang kalah
dibandingkan Bu-taihiap sehingga pendekar itu sebentar saja dapat mengejarnya.
"Adik Cui, jangan curang. Aku yang lebih dulu mencapaimu, serahkan botol obat itu!"
"Tidak.... tidak....!" Gan Cui meng-hindarkan diri ketika Bu-taihiap mengulur ta-ngan untuk
menyambar botol di tangannya itu.
"Adik Cui, jagomu sudah kalah, kau jangan main curang! Serahkan botol itu!" kembali Bu-
taihiap menubruk, akan tetapi sekali ini Gan Cui menyambutnya dengan pukulan yang
dilakukan dengan cepat dan kuat sekali, pukulan maut karena pukulan itu adalah jurus dari
Ilmu Coa-tok-ciang (Tangan Racun Ular) yang dahsyat sekali!
Bu-taihiap tentu saja mengenal pukulan ganas itu dan cepat dia mengelak dan membalas
dengan totokan jari tangannya ke arah leher Gan Cui. Na-mun, nenek itupun memiliki
gerakan cepat dan ia sudah mengelak sambil melayangkan kakinya me-nendang ke arah perut
lawan disusul dengan ceng-keraman tangan kanan ke arah mata, sedangkan tangan kiri yang
menggenggam botol itupun diso-dokkan ke arah ulu hati. Sekali bergerak wanita itu telah
mengirim tiga serangan yang kesemuanya mematikan!
"Hemm, engkau sungguh keras hati, adik ma-nis!" kata Bu-taihiap mengejek dan pendekar
ini mengerahkan tenaga sin-kangnya menerima ten-dangan di perutnya, mengelak dari
cengkeraman ke arah mata dan tangan kiri yang menggenggam botol itu disambutnya dengan
cengkeraman untuk merampas botol.
"Bukk!" Tendangan itu tepat mengenai perut dan sebagian mengenai bawah perut di mana
terle-tak anggauta rahasia. Akan tetapi Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang
memiliki sin--kang amat kuatnya. Bukan saja seluruh bagian perut telah dilindungi oleh hawa
sakti sehingga menjadi kebal, akan tetapi juga anggauta kelamin-nya telah tersedot memasuki
perut dan terlindung sehingga ketika tertendang, yang terkena tendang-an hanyalah kulit yang
keras dan licin saja.
Gan Cui terkejut. Ia memang membual ketika menceritakan kepada Gangga bahwa dalam hal
ilmu silat ia dapat menandingi Bu-taihiap, hanya kalah dalam hal gin-kang saja. Sebetulnya,
mana ia mampu mengalahkan tingkat kepandaian Bu-taihiap" Biar ia belajar sampai selama
hidupnya, agaknya ia tidak akan mampu menyusul tingkat pendekar itu karena selain kalah
dasar, juga kalah bakat. Kini, setelah melakukan tiga serangan seka-ligus, ia berbalik malah
terancam akan dirampas botol obat di tangannya. Gan Cui mengeluarkan teriakan nyaring,
tangan kanannya mencabut saputangan hitam yang dikebutkannya ke arah muka Bu-taihiap
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
550 sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol diangkatnya tinggi-tinggi untuk dija-uhkan
dari lawan. Menghadapi kebutan kain hitam yang mengelu-arkan debuhitam kehijauan ini, Bu-taihiap
terkejut dan cepat dia meniup dan mengebutkan ujung lengan bajunya untuk mengusir debu
beracun, dan pada saat itu, Gan Cui menjerit karena tiba-tiba saja botol di tangan kirinya
terlepas dan terampas dari tangannya. Ia mengangkat mukanya dan me-lihat bahwa yang
merampas botol itu adalah Gang-ga! Kiranya Gangga mempergunakan kesempatan itu untuk
mengerahkan gin-kangnya, melompat ke atas tinggi sekali lalu menukik turun dan meram-pas
botol itu tanpa Gan Cui mengetahuinya.
Tentu saja nenek itu menjadi terkejut dan ma-rah. "Bocah tolol! Kembalikan botol itu....!"
Akan tetapi ia tidak dapat bergerak lagi karena pada saat itu Bu-taihiap telah menubruk dan
me-rangkulnya, memegangi kedua pergelangan ta-ngannya. Nenek itu hendak meronta, akan
tetapi Bu-taihiap memeluknya dan berbisik di telinganya.
"Adik Cui yang manis, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan selalu memusuhiku" Aku
masih cinta padamu...." Dan pendekar itu mengusap leher Gan Cui dengan hidungnya.
Seketika lemaslah seluruh tubuh Gan Cui. Me-rasa betapa kulit lehernya dicium oleh laki-
laki yang sebenarnya masih amat dicinta dan dirindu-kannya ini, lenyaplah seluruh daya
lawannya dan ia seperti lumpuh, menyandarkan diri ke atas dada yang bidang itu dan
menangis lirih! Tiga orang isteri Bu-taihiap yang telah tiba di situ membu-ang muka dan
mencibirkan bibir, akan tetapi tidak merasa cemburu lagi karena memang sejak dahulu
mereka tahu bahwa Gan Cui adalah seorang di antara wanita-wanita yang jatuh oleh rayuan
suami mereka. Sementara itu, Gangga yang telah ber-hasil merampas botol terisi tiga butir


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pel, meman-dang dengan muka merah.
"Adik Cui, mulai saat ini, engkau mau bukan hidup bersama kami dengan damai?" Kembali
Bu-taihiap berbisik dan Gan Cui mengangguk. Bu-tahiap maklum bahwa dia telah
menalukkan hati nenek itu, maka diapun melepaskan kedua tangan-nya dan masih tetap
menggandeng lengannya dengan sikap mesra. Gan Cui mengusap air mata dengan ujung
lengan bajunya, kemudian meman-dang ke arah Gangga. Biarpun sikapnya tidak ga-1ak lagi
seperti tadi, seolah-olah seekor kucing liar yang sudah dijinakkan, namun suaranya masih
ti-dak senang ketika ia berkata kepada Gangga.
"Engkau telah kalah, engkau tidak berhak meng-ambil obat itu. Kembalikan!"
"Adik Cui, engkau salah paham. Sesungguhnya, dalam hal gin-kang, aku Bu Seng Kin harus
menga-kui keunggulan gadis ini."
Sepasang mata Gan Cui terbelalak. "Engkau.... kalah" Dan engkau tahu ia seorang gadis"
Eng-kau tidak malu kalah oleh seorang gadis muda?"
"Mengapa mesti malu" Ia memang memiliki ilmu Jouw-sang Hui-teng yang langka. Sungguh
luar biasa sekali ilmu gin-kangnya itu. Nona, ku-lihat engkau bukan gadis Han. Dari manakah
engkau dan siapa gurumu?"
"Tak salah lagi, ia tentu puteri atau murid Syanti Dewi!" Tiba-tiba nenek Nandini berkata.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
551 Gangga terkejut dan memandang wanita Ne-pal itu, juga Bu-taihiap terkejut karena diapun
sudah pernah mendengar nama puteri Bhutan yang kabarnya memiliki kecantikan amat luar
biasa, ju-ga di samping itu memiliki gin-kang yang hebat. "Benarkah, nona?"
Gangga mengangguk. "Benar, ibuku adalah Puteri Syanti Dewi dan ayahku bernama Ang
Tek Hoat yang pernah berjuluk Si Jari Maut."
"Ahhh....!" Bu-taihiap berseru kaget dan kagum. "Kalau begitu, aku semakin tidak merasa
malu lagi kalah dalam gin-kang olehmu, nona!"
"Siapakah namamu?" tanya Nandini.
"Gangga Dewi."
"Nama yang indah sekali. Mari, nona, mari si-lahkan duduk dalam pondok kami dan kita
berca-kap-cakap." Bu-taihiap berkata dan tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika lengannya
dicubit keras sekali oleh Gan Cui.
"Lelaki mata keranjang! Baru saja berkumpul denganku, sudah berani berlagak memikat
gadis muda?" bentak Gan Cui, dan tiga orang isteri pen-dekar itu menahan tawa, kelihatan
geli dan juga mengejek dan menyukurkan keadaan suami mere-ka. Rasakan kau sekarang,
pikir mereka, menda-patkan isteri lagi yang amat cemburu dan galak! Tentu saja Bu-taihiap
tersipu-sipu mendengar teguran ini karena sesungguhnya dia sama sekali tidak mempunyai
niat sedikitpun untuk merayu Gangga Dewi, hanya mempersilahkan ke rumah untuk beramah
tamah karena diapun kagum sekali mendengar bahwa gadis muda ini ternyata puteri orang-
orang terkenal.
"Terima kasih atas kebaikan kalian semua." Kata Gangga Dewi sambil menjura. "Saha-batku
itu terancam nyawanya oleh pukulan Hoa-mo-kang dan obatnya hanya racun katak buduk
inilah. Maka, aku mohon diri, tak dapat berlama--lama di sini. Aku harus cepat ke kota raja
untuk memberikan obat ini kepadanya."
"Pukulan beracun Hoa-mo-kang?" tanya Bu-taihiap kaget. "Bukankah Su-ok Siauw Siang-cu
sudah mati?" Pertanyaan yang sama seperti pernah diajukan oleh nenek Gan Cui kepada
Gangga. "Bukan Su-ok yang memukulnya, mungkin murid atau keturunannya. Menurut kata ahli yang
mengobatinya, hanya tinggal waktu tiga hari. Kalau dia tidak mendapatkan obat racun katak
buduk hitam, dia akan mati. Se-jak kemarin pagi aku melakukan perjalanan, kini sudah lewat
dua hari, tinggal sehari lagi. Maka aku harus pergi sekarang juga." Lalu ia menoleh ke-pada
Gan Cui. "Sudah benarkah obat ini" Dan bagaimana cara menelan pil ini" Sehari berapa kali,
sekaligus ataukah satu-satu?"
Akan tetapi nenek Gan Cui mendengus marah. "Engkau merampasnya dariku dengan curang,
per-lu apa aku memberitahu" Cari saja sendiri bagai-mana caranya!"
Akan tetapi Bu-taihiap yang sudah amat ter-tarik mendengar cerita tadi bertanya, "Nona
Gangga, bolehkah aku bertanya siapa pendekar atau sahabatmu yang terkena pukulan Hoa-
mo--kang itu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
552 "Namanya Suma Ciang Bun dan dia berada di kota raja...."
"Suma....?" Bu-taihiap terbelalak.
"Ya, dia cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!" kata Gangga dengan suara
bangga. "Ah....! Adik Cui, kalau begitu kita tidak boleh sembarangan. Hayo katakan bagaimana
caranya mempergunakan pelmu itu untuk mengobatinya."
"Sehari makan satu pel, dalam waktu tiga hari tentu penyakit itu lenyap dan orangnya
sembuh," Jawab nenek itu singkat dan dengan muka masih cemberut. Agaknya kegalakan
wanita ini sudah benar-benar dapat ditundukkan dan dijinakkan oleh Bu-taihiap.
"Terim Golok Halilintar 12 Bara Naga Karya Yin Yong Bentrok Rimba Persilatan 9
^