Kisah Para Pendekar Pulau Es 6

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


ngkul. "Siang-twako.... ah, Siang-twako...." keluhnya.
Lee Siang memeluk. "Bun-te, adikku yang baik, kautenangkanlah hatimu, kuatkanlah
hati-mu...."
Dalam rangkulan pemuda itu, Ciang Bun me-rasa demikian senang dan terhibur, akan tetapi
dia teringat akan janggalnya perasaannya sendiri ini. Teringat bahwa diapun seorang pria,
maka diapun kembali diingatkan akan keadaannya yang luar biasa itu, keadaan yang
membuatnya berduka dan menangis. Maka diapun meronta dan sekali merenggutkan
tubuhnya, dia telah terlepas dari pe-lukan Lee Siang.
"Tidak.... tidak.... jangan....!" Dan diapun meloncat dan berlari keluar dari kamar, te-rus
keluar dari pondok itu.
"Bun-hiante....!" Lee Siang tadi terpental ketika pemuda itu meronta, dan dia memanggil
dengan khawatir, akan tetapi melihat pemuda itu lari keluar, dia tidak berani mengejar, takut
kalau-kalau akan membuat Ciang Bun menjadi marah dan tersinggung hatinya. Lee Siang
keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri kamar adiknya. Dia berpikir bahwa dalam
keadaan seperti itu, orang yang paling tepat untuk menghibur hati Ciang Bun hanyalah Lee
Hiang. Adiknya itu mencinta Ciang Bun dan diapun hampir merasa yakin bahwa pe-muda itu
tentu membalas cinta ini. Adiknya amat cantik manis, dan hubungan antara mereka itupun
nampak demikian akrabnya.
Lee Hiang belum tidur dan dara ini terkejut sekali ketika mendengar cerita kakaknya bahwa
Ciang Bun berduka dan menangis dan kini keluar dari dalam pondok.
"Agaknya dia teringat akan keluarga Pulau Es dan dilanda duka yang amat besar sampai dia
lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Sudah kucoba menghiburnya akan
tetapi gagal, malah dia lari keluar pondok. Adikku, kalau memang engkau mencintanya,
engkau harus dapat menghibur hatinya. Kasihan sekali dia.?"Baik, koko, akan kuusahakan
agar dia terhibur. Kasihan Bun-ko." Dan Lee Hiangpun lalu keluar dari dalam pondok
mencari pemuda yang dicintanya itu.
Ciang Bun duduk termenung di tepi laut, meng-hadap ke timur di mana nampak bulan
mengambang di atas air. Indah bukan main. Akan tetapi tiada keindahan baginya di saat itu.
Bahkan kein-dahan itu menambah keharuan hatinya, karena dia teringat akan Pulau Es,
teringat akan keluarga ka-keknya yang binasa. Akan tetapi semua kenangan itu ditelan oleh
gelombang kesedihannya karena kenyataan yang dihadapinya. Aku seorang manusia yang
tidak lumrah, pikirnya. Akan tetapi, tiba-tiba darah pendekar di tubuhnya memberontak. Dia
tidak boleh bersikap lemah! Ibunya tentu akan marah-marah dan mentertawakannya. Ibunya
adalah seorang pendekar wanita yang amat keras hati, yang kuat dan sama sekali tidak lemah,
bah-kan ibunya membenci kelemahan. Ketika dia masih kecil, kalau dia terjatuh atau
mengalami nyeri dan menangis, ibunya marah-marah dan menga-takan bahwa tangis hanya
pantas bagi seorang pe-ngecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Tangis hanya
tanda iba diri dan kelemahan batin, demikian kata ibunya. Ciang Bun yang du-duk di atas
pantai berpasir itu meugepal tinju. Kenapa dia begini lemah" Kenapa dia tidak berani
menghadapi kenyataan ini dan melawannya" Dia tahu bahwa perasaannya yang berlainan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
150 dengan laki-laki biasa ini, yang condong untuk lebih me-nyukai pria daripada wanita, adalah
sesuatu yang tidak lumrah dan dia harus dapat melawan dan menundukkannya. Akan
diperlihatkannya bahwa dia adalah seorang laki-laki sejati!
"Bun-koko....! Eh, Bun-ko, engkau sedang mengapa di situ?"
Ciang Bun menoleh. Lee Hiang sudah berdiri di situ, di belakangnya. Cahaya bulan yang
baru tersembul dari permukaan air itu menyorotkan cahaya kemerahan dan menimpa kepala
dara itu, membuat wajah itu berada di dalam cahaya keme-rahan yang indah. Seorang dara
yang cantik manis dengan tubuh yang sedang ranum padat menggairahkan. Mengapa dia tidak
tertarik" Bodoh! Demikian Ciang Bun mencela diri sendiri dan diapun bangkit berdiri.
"Hiang-moi...." katanya perlahan.
"Bun-ko.... ah, Bun-ko, engkau membikin aku khawatir sekali. Siang-koko bilang bahwa
engkau berduka dan keluar dari pondok. Aku men-cari-carimu dan melihat engkau duduk
termenung di sini." Dara itu menghampiri dan merangkul pinggang pemuda itn dengan mesra,
mengangkat mukanya memandang. "Bun-koko, jangan berduka, Bun-ko, ada Lee Hiang di
sini yang akan ikut memikul semua kedukaanmu...." Bukan main lembut dan mesranya sikap
dan ucapan dara itu.
Aku seorang laki-laki sejati, demikian Ciang Bun menguatkan hatinya dan dia memaksa diri,
memeluk tubuh dara itu. "Hiang-moi, engkau se-orang dara yang baik sekali."
"Bun-ko....!" Lee Hiang berkata girang dan mempererat dekapannya pada pinggang pemuda
itu. Aku harus memperlihatkan kejantananku, pikir Ciang Bun dan diapun mempererat
rangkulannya. Ketika wajah dara itu terangkat ke atas, menenga-dah dan memandang
kepadanya dengan sinar ma-ta lembut, dengan mulut setengah terbuka, Ciang Bun lalu
menundukkan mukanya dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri, mencium bibir yang
menantang itu. Ciuman itu membuat tubuh Lee Hiang meng-gigil dan rintihan halus keluar dari
kerongkongan-nya. Bagi Ciang Bun sendiri, terjadi hal yang sungguh membuatnya ngeri,
mulut yang panas itu, bibir yang lunak lembut itu, ketika bertemu dengan bibirnya dalam
sebuah ciuman mesra, mendatang-kan rasa muak! Bukan, bukan kelembutan seorang wanita
yang didambakan, sama sekali bukan. Dia merindukan kejantanan seorang pria, mulut yaug
kuat namun lembut, bukan lunak menyerah macam mulut wanita ini. Dia tak tahan lagi dan
cepat dia merenggutkan dirinya, melepaskan pelukan.
"Tidak....! Tidak....! Jangan....!" Dan diapun, seperti tadi ketika meninggalkan Lee Siang,
melarikan diri meninggalkan Lee Hiang yang ber-diri bengong dengan wajah berohah pucat
dan mata terbelalak.
"Bun-koko....!" Ia berteriak dan mengejar.
Sesosok bayangan lain muncul dan ikut menge-jar Ciang Bun. Bayangan ini adalah Lee
Siang. Pemuda ini tadi mengintai dan ikut bergembira melihat betapa adiknya dan Ciang Bun
berciuman di pantai. Akan tetapi, dia ikut terkejut melihat perobahan pada diri Ciang Bun dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
151 ketika Ciang Bun melarikan diri dan dikejar oleh adiknya, dia-pun ikut mengejar dengan hati
khawatir. Ciang Bun berdiri di tepi pantai utara, berdiri seperti arca memandang jauh ke depan, tanpa
ber-gerak sama sekali, wajahnya pucat dan matanya sayu.
"Bun-koko....!"
"Bun-hiante....!"
Dia membalik, memandang kepada dua orang kakak beradik itu dengan muka pucat dan
diapun menghardik, "Pergilah kalian! Jangan dekati aku....! Pergiiii....!"
Terdengar Lee Hiang terisak dan Lee Siang menahan napas saking kagetnya melihat sikap
pe-muda yang mereka sayang itu. Ciang Bun biasanya bersikap ramah dan halus, akan tetapi
mengapa sekarang begitu berobah sikapnya, menjadi kasar dan seperti orang yang marah
sekali" Akan tetapi Lee Siang mempunyai pemandangan yang jauh dan bijaksana. Dia memegang
lengan adiknya dan berkata lirih, "Baiklah, kami pergi, kami hanya ingin menghiburmu, Bun-
te. Marilah, adikku!" Dan diapun setengah menyeret tubuh Lee Hiang meninggalkan Ciang
Bun sendirian. Sejenak Ciang Bun masih berdiri tegak dengan sikap marah seperti tadi, memandang ke arah
dua sosok bayangan yang pergi dengan lemas itu. Kemudian, terasalah seluruh tubuhnya
lemas seperti dilolosi urat-uratnya dan diapun terkulai, jatuh berlutut di atas pasir. "Ya Tuhan,
ampunilah ham-ba....!" Dia mengeluh dengan hati penuh penyesalan. Dan semalam itu dia
duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu. Dia bingung sekali. Ketika
berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam batinnya. Perasaannya senang akan
tetapi pikirannya menentang. Sebalik-nya, ketika dia memeluk dan mencium Lee Hiang,
pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya menentang keras. Dia menjadi bingung,
menyesal dan berduka.
Liu Ek Soan menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya. Kakek
ini menarik napas panjang. "Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki keanehan-
keanehan wa-tak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan ganggu. Besok baru aku
akan bicara de-ngannya."
Pada keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di tepi
pantai dan menegur halus, "Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di sini dan kelihatan
susah hatimu, anak baik?"
Ciang Bun menoleh lalu berkata dengan sedih, "Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri
darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku atau aku akan
pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku."
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang. "Kami akan merasa kehilangan,
Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau engkau melaporkan semua
yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih engkau di sini dan semua dasar ilmu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
152 dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih dan mema-hirkan saja. Akan tetapi ada suatu
hal yang amat penting yang ingin kubicarakan denganmu, anak baik."
"Hal apakah itu, kong-kong?"
"Tentang engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat
mencintamu dan engkaupun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang
tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee Hiang
denganmu."Ciang Bun menundukkan mukanya yang men-jadi merah sekali. Kalau dia tidak
ingat akan ke-baikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada
saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini, maka diapun
cepat berkata, "Aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong.
Pula, soal perjodohan itu tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tidak dapat
membicarakannya."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku
tentu akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku hanya
mem-beri tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Akan tetapi, kalau engkau
hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar, biarlah Lee Siang dan
Lce Hiang mengantar dan menemanimu."
"Tidak, Liu-kong-kong, tidak usah! Aku pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan berada
di barat dan sekarang, setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam air darimu, aku
tidak takut menghadapi badai."
Kakek itu tidak dapat membantah lagi dan ke-tika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu,
mereka berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera
berkata, suara-nya penuh penyesalan. "Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian berdua sudi
maafkan sikapku semalam...."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf"
Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka."
"Sudahlah, semua itu karena kebodohanku sen-diri, twako."
"Bun-koko.... engkau.... engkan hendak pergi....?" Lee Hiang bertanya, suaranya
mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.
Ciang Bun memandang wajah dara itu dan di-am-diam dia merasa kasihan kepada dara yang
jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta
kasih Lee Hiang atau wanita yang manapun juga di dunia ini. Cintanya terhadap Lee Hiang
hanya cinta se-perti seorang kakak terhadap adiknya, atau paling-paling seperti cinta seorang
sahabat saja, cinta tanpa daya tarik dan gairah.
"Benar, siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah
bun-daku."
"Kau pergi.... untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
153 "Ah, kenapa engkau berkata demikian, adikku?" Ciang Bun berkata ramah. "Selagi kita
masih hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi."
"Tapi, kapan, koko...." Ah, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa
hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan berduka....
ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku" Aku ikut....!" Dan Lee
Hiang memandang dengan air mata mulai mem-basahi kedua matanya.
Ciang Bun merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara
itu, sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.
"Adikku yang baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau
tahu bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan eng-kau, Siang-twako, dan Liu-kong-kong.
Kelak kita pasti akan bertemu kembali."
Lee Hiang sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tidak
lagi merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang menghibur
adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan dihiburnya dengan kata-kata
halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan berhenti mena-ngis.
"Bun-ko, kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan
mencari-mu!" katanya.
"Aih, moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong ten-tu akan menguruskan perjodohan kalian!" kata
Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan membuat
pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.
Akhirnya, berangkatlah Ciang Bun naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya
oleh kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk
mencapai pantai daratan besar.
"Angin bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku,
dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun," kata kakek itu.
Dengan diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air mata
yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun dan diapun
memandang ke arah pula itu sampai lambat-laun tiga buah titik di atas pulau yang makin
mengecil itu tidak dapat nampak lagi. Perahunya meluncur cepat ketika layarnya terkembang
penuh. Sambil mengemudikan perahu, pemuda ini termenung. Terjadi keadaan yang
bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya meluncur cepat
menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan tetapi mata batinnya
melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan suram. Keadaan ini membuat
mnlutnya bergerak, perasaan dan pikirannya menciptakan sebuah sajak keluhan.
"Perahuku meluncur laju
menuju arah tertentu
angin kencang layar terkembang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
154 di depan terang cemerlang!
Namun betapa suram jalan hidupku
hati gelisah tak menentu
gelap pekat meraba-raba
tak tahu harus ke mana?"
*** "Ayah....! Ibu....!"
Melihat Sama Hui datang bersama seorang pe-muda tampan dan dara itu dari pekarangan
sudah lari menghampiri mereka sambil menangis, hati Suma Kian Lee dan isterinya diliputi
kekhawatiran yang timbul dari kejutan dan keheranan. Mereka mengenal puteri mereka yang
cerdik, lincah dan galak, keras hati dan tidak mudah menjadi lemah, tidak mudah menangis
cengeng menghadapi apa-pun juga. Kalau sekarang puteri mereka sampai demikian sedihnya,
tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Puteri mereka berada di Pulau Es bersama Ciang
Bun, akan tetapi sekarang puteri mereka itu pulang tanpa Ciang Bun, bahkan bersama seorang
pemuda asing, dan dara itu mena-ngis seperti itu!
Suma Kian Lee, ayah Suma Hui, adalah seorang pendekar sakti, putera dari Pendekar Super
Sakti Suma Han dan Lulu. Berbeda dengan Suma Kian Bu, pendekar ini orangnya serius,
pendiam, tenang dan sabar. Isterinya bernama Kim Hwee Li, da-hulunya seorang gadis
petualang yang gagah per-kasa dan berani, yang berkecimpung di dalam du-nia kaum sesat
namun tak pernah ikut menjadi jahat, seperti mutiara yang terendam di lumpur, tetap
cemerlang bahkan lebih cemerlang. Akan tetapi, hidup di antara kaum sesat itu membuat
hatinya menjadi keras sekali dan tidak pernah me-rasa takut, sedangkan ilmu kepandaiannya
juga amat hebat. Ia berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun sekarang, empat tahun lebih
muda dari suaminya, namun, dengan pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, ia masih
nampak ramping dan padat, wajahnya masih tetap cantik dan nam-pak jauh lehih muda
daripada usianya yang sesungguhnya. Mereka hidup dengan tenang di Thian-cin, sebuah kota
di selatan kota raja. Seperti telah kita ketahui, dua orang anak mereka, yaitu Suma Hui dan
Suma Ciang Bun, menemani kakek nenek mereka di Pulau Es sambil memperdalam ilmu
mereka. Tentu saja suami isteri ini merasa kesepian setelah dua orang anak mereka pergi ke
Pulau Es dan hampir setiap hari mereka membicarakan dua orang anak mereka dengan hati
rindu. Mereka tidak menyangka bahwa pagi hari itu, selagi mereka duduk di serambi depan,
mereka akan melihat puteri mereka pulang dalam keadaan yang demikian mengherankan dan
mengkhawatir-kan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
155 Suami isteri itu menyambut Suma Hai dengan rangkulan dan ciuman. Kalau Suma Kian Lee
bersikap tenang-tenang saja, tidak demikian dengan Kim Hwee Li. Setelah merangkul dan
menciumi pipi puterinya, ibu ini membentak, "Apa-apaan engkau ini, Hui-ji" Hayo hentikan
kecengengan-mu ini dan ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi denganmu! Dan mana
Ciang Bun?"
"Nanti dulu," kata Kian Lee. "Hui-ji, perke-nalkan dulu siapa orang muda yang datang
bersa-mamu ini."
Suma Hui juga memiliki kekerasan hati seperti ibunya, maka sebentar saja ia sudah dapat
mengu-asai hatinya dan menghentikan tangisnya. "Ayah, ibu, dia ini adalah Kao Cin Liong,
putera dari enci Wan Ceng."
"Aihhh....! Jadi engkau ini putera Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu?" Kim Hwee Li
berseru girang.
"Hemm, kalau begitu masih cucu keponakanku sendiri, bukan orang lain. Mari kita masuk


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bicara di dalam," kata Kian Lee dengan sikapnya yang tenang.
Kao Cin Liong memandang kepada sepasang pendekar itu dengan kagum. Sikap kakek
paman-nya itu sungguh mengagumkan, begitu tenang dan terkendali, sebaliknya suami isteri
pendekar itupun membayangkan keagungan dan wibawa yang ga-gah perkasa. Hatinya terasa
gentar dan mengecil kalau dia teringat bahwa dia telah jatuh cinta de-ngan Suma Hui dan dia
gentar membayangkan bagaimana suami isteri pendekar ini akan bersikap kalau mendengar
akan urusan cintanya itu. Maka diapun cepat menjura dengan hormat. Sebenarnya dia harus
menyebut cek-kong (kakek paman) ke-pada pendekar ini, akan tetapi dia tidak berani dan
menyebut locianpwe, sebutan yang menghor-mat dalam dunia persilatan terhadap orang yang
lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya.
"Terima kasih, locianpwe."
Merekapun memasuki ruangan dalam. Setelah pelayan mengeluarkan air teh, Hwee Li
menutup-kan pintu yang menembus ruangan itu sebagai tanda bahwa para pelayan tidak
diperkenankan masuk atau mendekat. Setelah itu berkatalah nyonya ini, "Nah, sekarang
ceritakanlah apa yang terjadi."
"Ohh, ibu, telah terjadi malapetaka yang amat hebat menimpa keluarga kita...." Suma Hui
mengeluh, "peristiwa yang amat buruk...."
"Setiap peristiwa yang terjadipun terjadilah. Setiap penilaian baik atau buruk hanya
menipiskan kewaspadaan," kata Kian Lee mencela pendapat puterinya. "Ceritakan saja
selengkapnya dan ja-ngan menilai."
Akan tetapi Hwee Li sudah memegang lengan puterinya dan cengkeramannya itu kuat sekali
se-hingga kalau bukan puterinya yang diceng-keram, tentu tulang lengan itu akan patah atan
setidaknya kulit lengan itu akan terluka! "Hayo cepat katakan, apa yang telah terjadi?"
Karena maklum akan watak ibnnya yang dike-naluya dengan baik, yaitu tidak sabaran dan
menjadi kebalikan dari watak ayahnya, Suma Hui tidak mau membuat ibunya kehilangan
kesabaran, maka iapun langsung saja menceritakan inti semua pe-ristiwa dengan kata-kata
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
156 lirih, "Kakek dan kedua orang nenek telah tewas, Pulau Es telah terbakar habis dan lenyap,
adik Ciang Bun terjatuh ke dalam lautan berbadai dan lenyap, sedang adik Ceng Liong
dilarikan oleh Hek-i Mo-ong!"
Suma Kian Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin kuat, tenang dan
bi-jaksana, sedangkan isterinya adalah seorang pen-dekar wanita yang gagah dan tabah, tidak
menge-nal takut. Akan tetapi, berita yang diucapkan dari mulut puteri mereka sekali ini
sungguh terlalu amat hebat! Wajah Kian Lee menjadi pucat dan alis-nya berkerut, matanya
memandang jauh dengan kosong dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, sedangkan isterinya
juga terbelalak pucat, mulutnya terbuka dan mulut itu ditutup dengan pung-gung tangan
seolah-olah nyonya ini hendak menahan jeritnya. Suasana menjadi sunyi dalam beberapa
detik, kesunyian yang mengerikan dan suasana menjadi tegang penuh getaran.
"Tidak....! Tidak mungkin....! Siapa yang melakukan itu" Siapa" Hayo katakan, siapa yang
melakukan kebiadaban itu" Akan ku-hancurkan kepalanya, kupecahkan dadanya, ku-patahkan
kaki tangannya!" Nyonya itu bangkit dan mengepal tinjunya, dan Cin Liong mendengar suara
berkerotokan pada buku-buku jari tangan yang masih halus itu! Bukan main hebatnya
nyo-nya ini, pikirnya kagum dan juga gentar.
Melihat keadaan isterinya tercinta itu, Kian Lee melangkah maju dan memegang kedua
tangan Hwee Li. Nyonya yang seperti tak sadar ini me-rasakan hawa yang hangat menggetar
memasuki kedua lengannya dan iapun tersadar, lalu menoleh memandang suaminya dan tiba-
tiba ia terisak, merangkul suaminya dan menangis tanpa suara di dada suaminya. Kian Lee
memejamkan kedua matanya dan mengelus rambut isterinya, mene-puk-nepuk bahu isterinya,
suatu gerakan yang sebenarnya untuk menepuk hatinya sendiri setelah mendengar akan
kematian ayah bundanya di Pulau Es itu.
"Tenanglah.... mati hidup adalah wajar, bukan kita yang menguasainya...." katanya lirih
sekali sehingga seperti bisikan dan tidak kentara kalau suaranya tergetar.
Hanya sebentar saja nyonya itu menangis tanpa suara, hanya pundaknya yang bergoyang
sedikit. Kini ia telah mengangkat mukanya dari dada sua-minya dan bukti tangisannya
hanyalah baju suami-nya yang menjadi basah dan matanya yang agak merah. Akan tetapi kini
tidak nampak setetespun air mata pada mata atau pipinya ketika ia duduk kembali.
"Hui-ji, kini ceritakanlah selengkapnya terjadinya peristiwa itu," Kian Lee berkata dengan
suara yang lirih dan lesu.
Untuk kedua kalinya, pcrtama kali kepada Suma Kian Bu dan isterinya, dan kedua kalinya
kepada ayah bundanya, Suma Hui menceritakan peristiwa di Pulau Es itu, didengarkan oleh
ayah bundanya dengan penuh perhatian. Tentang peuyerbuan para datuk, tentang kedatangan
Cin Liong dan kemu-dian tentang kematian dua orang neneknya yang disusul kematian aneh
dari kakeknya. Kemudian tentang penyerbuan para datuk dan anak buahnya atas perahu
mereka sehingga mereka cerai-berai dan tentu saja Suma Hui menceritakan dan menonjolkan
peran Cin Liong yang telah banyak berjasa itu. Bahkan dara itu menceritakan dengan teliti
tentang jasa dan pertolongan Cin Liong kepadanya ketika dia ditawan oleh Jai-hwa Siauw-ok
Ouw Teng. "Kalau tidak ada Cin Liong yang menyelamatkan aku, mungkin hari ini aku hanya tinggal
nama saja," demikian dara itu menutup kata-katanya sambil mengerling ke arah Cin Liong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
157 "Bibi Hui terlalu memuji-muji saya, sesungguhnya saya merasa menyesal sekali tidak dapat
melindungi para paman kecil sehingga tidak diketahui bagaimana dengan nasib mereka
sekarang." Cin Liong merendahkan diri.
"Jadi di antara lima orang datuk itu, tiga telah tewas dan yang masih hidup adalah Hek-i Mo-
ong yang melarikan Ceng Liong dan Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng itu?" tanya Kim Hwee
yang seolah-olah hendak mencatat kedua nama itu baik-baik ke dalam ingatannya.
"Betul, ibu," kata Suma Hui. "Akupun kelak harus dapat membalas sakit hati ini kepada dua
orang datuk sesat itu, mencari adik Ciang Bun dan menolong adik Ceng Liong."
"Mudah saja engkau bicara," kata Suma Kian Lee. "Mereka adalah orang-orang lihai, kalau
tidak mana mungkin kedua orang nenekmu sampai tewas" Pula, nama Hek-i Mo-ong sudah
amat tersohor karena ilmu-ilmunya yang hebat. Engkau tinggal di rumah, aku sendiri yang
akan mencari Ciang Bun."
"Aku juga pergi!" kata Kim Hwee Li. "Biar Kian Bu dan isterinya menyusul dan mencari
Ceng Liong sedangkan kita pergi mencari anak kita yang hilang. Perkara balas dendam, kelak
kita rundingkan bersama keluarga Pulau Es."
Kian Lee tidak dapat membantah keinginan isterinya. Cin Liong lalu berkata dengan sikap
hormat, "Karena sudah berhasil menemani bibi Hui sampai di rumah, perkenankan saya untuk
melanjutkan tugas saya. Dan saya berjanji untuk ikut juga mendengarkan berita tentang
paman-paman kecil Ciang Bun dan Ccng Liong."
"Tugasmu sebagai jenderal?" tanya Kim Hwee Li tertarik.
"Benar, locianpwe. Saya ditugaskan oleh sri baginda kaisar untuk menyelidiki berita tentang
pergerakan-pergerakan para pemberontak di barat dan utara. Saya ke Pulau Es juga hanya
kebetulan saja dalam perjalanan saya melakukan tugas itu, ketika saya melihat rombongan
anak buah para datuk itu membicarakan tentang Pulau Es. Sekarang saya akan melapor dulu
ke kota raja, kemudian melanjutkan perjalanan ke barat."
Kian Lee mengangguk-angguk. "Kalau memang begitu, tidak sepatutnya kami menahanmu,
Cin Liong. Dan kami sekeluarga mengucapkau terima kasih atas segala bantuanmu, baik
terhadap keluarga Pulau Es maupun terhadap Hui-ji."
"Saya kira tidak perlu demikian, locianpwe, mengingat bahwa di sana terdapat pula nenek
buyut Lulu dan agaknya sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu keluarga Pendekar
Super Sakti Suma Han locianpwe dari serbuan para pen-jahat. Nah, saya mohon diri,
locianpwe." Dia mem-beri hormat kepada Suma Kian Lee dan Hwee Li, kemudian
menghadapi Suma Hui.
"Bibi Hui, selamat tinggal...."
"Cin Liong....!" kata Suma Hui ketika ia melihat pemuda itu melangkah keluar, lalu ia
me-ragu dan akhirnya ia lari menghampiri dan berbisik, "Bagaimana dengan urnsan kita....?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
158 "Jangan khawatir, sebelum pergi ke barat, aku akan memberitahukan orang tuaku," bisik Cin
Liong kembali, lalu dia menjura lagi dan pergi dari situ, meninggalkan Suma Hui yang berdiri
termangu-mangu dan merasa betapa hatinya perih dan sepi ditinggal pemuda yang semenjak
beberapa lama menemaninya dan telah memenuhi hatinya itu. Ia tidak tahu betapa suami isteri
itu saling pandang dengan penuh arti, dan Suma Kian Lee membalikkan tubuhnya dengan
tiba-tiba. Malam itu Kim Hwee Li merangkul pu-terinya dan mereka bicara bisik-bisik di dalam kamar
gadis itu. "Hui-ji, engkau cinta pa-danya, bukan?"
Dalam pelukan ibunya, Suma Hui mengangguk. Suasana sunyi dan tegang karena Suma Hui
mak-lum betapa pentingnya pengakuannya itu bagi ibunya dan ia menantikan datangnya
teguran ibu-nya.
Setelah hening beberapa lama, terdengar suara ibunya, akan tetapi bukan suara marah
sehingga debar jantung di dalam dada Suma Hui menjadi tenang. "Hui-ji, sudah kau yakini
akan cintamu itu?"
Kembali Suma Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi dalam
rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama berturut-turut ini,
kini ia merasa aman sentausa dalam rangkulan ibu kan-dungnya.
Kembali sunyi sejenak. Dan kini kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan,
"Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!"
Biarpun ibunya tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap
saja merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka iapun merenggutkan dirinya
terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada ibunya
yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter. Sampai beberapa lamanya dua
orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling pandang, dan barulah Suma Hui merasa
yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak menentangnya. Maka iapun menubruk ibunya,
duduk lagi dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.
"Akan tetapi dia itu lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih segala-
galanya, ibu. Dia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, dia gagah perkasa,
berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang membantu keluarga kakek di Pulau
Es, dan dia pula yang menyelamatkan aku dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia
itu terhitung keponakanku, pa-dahal, hubungannya sudah amat jauh!"
"Memang sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya
yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah. Jadi,
kalaupun ada hu-bungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui darah nenekmu saja,
akan tetapi pihak ka-kek, sama sekali berlainan."
Mendengar ini, Suma Hui bangkit dan meman-dang ibunya penuh harapan. "Kalau begitu,
ibu setuju?"
Kim Hwee Li menahan rasa panas di kerong-kongannya dan ia seperti menelan kembali air
matanya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan mendalam
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
159 membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama. Lalu ia
memandang wajah puterinya dan mengangguk. "Ibu sih setuju saja."
"Ibuuu....!" Suma Hui merangkul dan men-ciumi pipi ibunya. "Ibu memang seorang yang
amat berbudi....! Terima kasih, ibu."
Kim Hwee Li mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan
ujung lengan bajunya. Di depan anaknya perem-puan, ia tidak begitu malu menitikkan air
mata walaupun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.
"Jangan bergirang-girang dahulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan
per-talian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah ayahmu
sebelum bertemu dengan aku, jatuh hati kepada Ceng Ceng, akan tetapi begitu mengetahui
bahwa Wan Ceng adalah keponakan tirinya, segera perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah
bagaimana pendapatnya kalau mendengar bahwa engkau saling mencintai dengan orang yang
masih terhitung keponakanmu sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang
mende-ngarnya."
"Akan tetapi.... ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!" kata Suma Hui,
sikap-nya keras.
Kim Hwee Li menarik napas panjang. Ia me-ngenal watak anaknya yang keras, dan suaminya
walaupun pendiam dan tenang, namun juga di da-sar hatinya memiliki kekerasan dan
pendirian yang teguh. Maka ia melihat bayangan yang tidak me-nyenangkan dalam peristiwa
ini. "Mudah-mudahan saja tidak akan timbul per-tentangan dalam keluarga kita sendiri karena
urusan-mu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu."
"Terima kasih, ibu.... engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!" Suma Hui
kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas rasa
rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya itu dengan hati
khawatir. Pada malam hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar
pu-terinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.
"Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tidak tahu aturan sekali. Apakah mereka
sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat besar
dan amat memalukan" Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang tidak sopan itu.
Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan juga pemuda itu akan kutegur
dengan keras!" Dengan muka merah Suma Kian Lee berkata setelah men-dengar keterangan
isterinya bahwa puterinya sa-ling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah
disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia merasa
tidak enak sekali. Dialah yang me-nyuruh isterinya menyelidiki persoalan itu untuk
meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan is-terinya bahwa memang benar puterinya jatuh
cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sen-diri, dia marah bukan main.
"Akan tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek Lulu,"
is-terinya mencoba untuk membantah.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
160 "Jauh atau dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa
akan dikata orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang keponakannya
sen-diri" Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama dan kehormatan lebih
berharga daripada nyawa!" Makin bicara, makin marahlah Kian Lee. "Panggil Hui-ji ke sini,
biar malam ini juga kutegur anak itu!"
"Tenanglah, suamiku. Hui-ji baru saja meng-alami hal-hal yang amat mengerikan. Biarkan ia
beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong, apalagi
karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia tertarik dan jatuh hati.
Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin
Liong juga mempunyai orang tua dan kurasa, ayah bundanyapun belum tentu setuju kalau
mendengar putera mereka hen-dak berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu
perkembangan. Kalau benar mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk
menolak pinangan itu."
"Kalau Kao Kok Cu dan Wan Ceng berani da-tang meminang anak kita, berarti mereka
menghi-naku dan aku akan menghajar mereka!" kata pula Kian Lee semakin panas.
Isterinya lalu merangkulnya. "Ihh, jadi pema-rah amat engkau" Makin tua makin pemarah,
sungguh tak baik itu. Sudahlah, mari kita tidur. Kita masih mempunyai kepentingan lain yang
le-bih mendesak, yaitu cepat mencari dan menemukan anak kita Ciang Bun."
Diingatkan akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan
kedukaan. Namun, isterinya yang amat mencintanya itu pan-dai menghibur hatinya sehingga
akhirnya sepasang suami isteri pendekar itupun tertidur.
Akan tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya,
"Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu mengatur
sebaiknya untuk Hui-ji."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan
Louw Tek Ciang, akan kulaksanakan."
"Putera Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu" Ah, suamiku, apakah itu bijaksana" Hui-ji
belum berkenalan dengan dia."
"Sudah kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana daripada membiarkan ia
jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan berbakat
dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw- twako adalah sahabatku terbaik di kota ini dan dia
adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup baik, berwatak gagah pula."
"Tapi.... bagaimanapun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah hal ini
tidak akan mengecewakan kelak?"
"Hal itu tidak perlu khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri akan
menggemblengnya sehingga dia cukup pantas men-jadi suami Hui-ji."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
161 "Ahhh....!" Kim Hwee Li mengerutkan alis-nya. Melihat kekhawatiran isterinya, Kian Lee
memegang pundaknya dan berkata dengan tegas."Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di
ke-mudian hari, demi menjaga baik nama dan ketu-runannya, kita harus berani bertindak
bijaksana dan tepat. Hari ini juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal
itu, dan kalau kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara
tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka berkesempatan untuk saling
berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?"
Percakapan dengan ayahnya itulah yang me-nimbulkan guncangan hebat dalam batin Tek
Ciang dan tanpa disadarinya, dia memandang rendah ke-pada kaum wanita, bahkan ada
timbuh semacam kebencian! Akan tetapi, hal ini tumbuh di bawah sadar dan dia sendiri tidak
merasakannya, karena pada lahirnya, dia suka melihat wanita-wanita cantik dan bukan
tergolong seorang pemuda alim. Dengan para murid ayahnya yang sudah dewasa, kadang-
kadang dia pergi bermain-main dan ada kalanya pula dia terbawa oleh teman-teman itu pergi
mengunjungi tempat pelesir dan bergaul dengan pelacur-pelacur sehingga dalam hal
per-mainan cinta, Tek Ciang bukanlah pemuda yang hijau. Akan tetapi, dia bersikap halus dan
kelaku-annya sopan seperti seorang terpelajar, maka tidak seorangpun yang akan menduga
bahwa sebetulnya pemuda ini tidak asing di antara para pelacur kelas tinggi di kota Thian-cin.
Tek Ciang terlalu cer-dik untuk membiarkan dirinya terlihat oleh umum di tempat pelacuran


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, maka ayahnya sendiripun tidak tahu bahwa putera tunggalnya itu bukanlah seorang
perjaka tulen dan kadang-kadang meng-hamburkan uang di tempat pelesir itu. Juga dia tidak
tahu bahwa biarpun pada lahirnya begitu halus, ramah dan sopan, namun setelah berada
berdua saja dengan seorang pelacur di dalam ka-mar, pemuda itu dapat bersikap lain, menjadi
kej-am dan suka mempermainkan wanita pelacur sesuka hatinya, suka menghinanya dan
agaknya menikmati penderitaan lahir batin seorang wanita pelacur. Maka, pemuda ini
tersohor sebagai pemuda yang kejam dan tidak disukai di kalangan para pelacur, walaupun
dia memang royal dengan uangnya.
Louw Kam atau Louw-kauwsu bersahabat dengan pendekar sakti Suma Kian Lee. Tentu saja
guru silat ini mengenal siapa pendekar itu, dan selain kagum, juga amat hormat kepadanya.
Maka, dia merasakan sebagai kehormatan besar sekali dapat berkenalan bahkan bersahabat
dengan pen-dekar sakti itu. Kunjung- mengunjung di antara mereka sering terjadi, dan
perkenalannya dengan pendekar ini sungguh amat menguntungkan diri-nya. Perguruannya
semakin maju karena para mu-rid itu berpendapat bahwa seorang guru silat yang menjadi
sahabat pendekar sakti Suma Kian Lee, tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Bah-kan
kalau ada yang diam-diam memusuhi guru silat ini, menjadi gentar melihat hubungan yang
akrab antara Louw-kauwsu dan pendekar sakti itu. Karena hubungan persahabatan ini maka
mar-tabat Louw-kauwsu ikut terangkat.
Demikianlah perkenalan kita dengan keluarga Louw ini dan pada suatu pagi, Louw-kauwsu
me-rasa girang sekali melihat munculnya Suma Kian Lee di depan pintu rumahnya. Akan
tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat wajah pendekar itu nampak agak muram yang
berarti bahwa hati sa-habat yang dihormatinya itu tentu sedang kesal.
"Ah, selamat pagi, Suma-taihiap!" kata guru silat itu dengan ramah. "Silahkan masuk dan
du-duk. Sungguh gembira sekali hati saya menerima kunjungan taihiap sepagi ini."
"Terima kasih, Louw-twako," kata Suma Kian Lee dan merekapun duduk menghadapi
minuman teh panas sebagai sarapan pagi di atas meja.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
162 "Eh, kenapa taihiap memakai pakaian berka-bung?" Tiba-tiba guru silat itu terkejut ketika
melihat pakaian serba putih dan tanda berkabung yang dipakai oleh pendekar itu.
Pendekar itu menarik napas panjang. Dia tidak ingin menceritakan tentang malapetaka yang
me-nimpa keluarga ayah bundanya di Pulau Es, akan tetapi pakaian berkabung yang
dipakainya itu tentu saja tidak dapat disembunyikan. Mengingat bahwa guru silat ini adalah
sahabat baiknya dan juga bahkan mungkin akan menjadi calon besan-nya, maka dia
mengambil kebijaksanaan untuk ber-terus terang saja.
"Anak perempuan kami pulang dari Pulau Es kemarin...."
"Ah, Siocia sudah pulang" Tentu telah memba-wa ilmu-ilmu yang luar biasa dari Pulau Es!"
teriak guru silat itu dengan kagum.
"Ia membawa berita buruk, yaitu bahwa ayah ibuku telah meninggal dunia."
"Ahhh....!" Guru silat itu terkejut bukan main, cepat bangkit berdiri dan menjura dengan
hormat kepada pendekar itu sambil berkata, "Ma-afkan saya, taihiap, karena tidak tahu maka
berani bicara sembarangan. Semoga saja Thian dapat menerima arwah orang tua taihiap dan
memberi tempat yang baik."
"Terima kasih, Louw-twako. Kematian adalah hal yang wajar saja dan kami dapat
menerimanya dengan tenang. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, terjadi malapetaka di
perahu yang menga-kibatkan puteraku hilang...."
"Ahhh!" Untuk kesekian kalinya guru silat itu terkejut. "Suma-kongcu hilang" Ke mana dan
bagaimana?"
"Dia tercebur ke lautan, terpisah dari encinya dan sampai kini belum ada kabar-kabar tentang
dia." "Siancai....! Sungguh saya ikut merasa ber-duka sekali, taihiap. Bagaimana malapetaka
me-nimpa demikian berturut-turut?"
"Memang itulah nasibku sekarang ini. Aku dan isteriku akan melakukan perjalanan untuk
mencari anakku yang hilang itu dan sebelum aku pergi, aku ingin membicarakan hal penting
yang pernah ku-singgung dahulu itu, twako, yaitu tentang perjo-dohan antara puteri kami dan
puteramu."
Berdebar kencang jantung dalam dada Louw Kam. Hal itu memang menjadi idamannya
selama ini. Pernah secara iseng-iseng pendekar ini bicara tentang kemungkinannya tali
perjodohan itu dan tentu saja dia akan merasa girang dan bangga sekali untuk dapat berbesan
dengan pendekar sakti ini. Mempunyai mantu cucu Pendekar Super Sakti! Tentu saja cucu
pendekar itu tidak dapat disamakan dengan perempuan-perempuan biasa macam isterinya itu.
Biarpun jantungnya berdebar kencang penuh kegembiraan, namun sikapnya biasa dan tenang
saja. "Bagaimanakah kehendak taihiap" Sejak da-hulu kami hanya dapat menanti keputusan
taihiap dan tentu saja pihak kami setuju sepenuhnya, bah-kan merasa memperoleh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
163 kehormatan besar sekali kalau anakku yang bodoh itu terpilih untuk men-jadi calon jodoh
puteri taihiap yang mulia."
"Tak perlu memuji atau merendah, twako. Manusia ini di permukaan bumi sama saja, dan
kelebihan seseorang dalam suatu hal tidak perlu dijadikan alasan untuk mengangkatnya
tinggi-ting-gi. Kami merasa setuju dengan puteramu, akan tetapi.... maafkan pernyataanku ini,
agaknya ke-lak akan merupakan kepincangan yang kurang se-hat kalau ilmu silat antara
mereka berselisih jauh."
Wajah guru silat itu menjadi merah dan dia menutupinya dengan tertawa. "Ah, biar saya latih
seratus tahun lagi, takkan mungkin tingkat kepan-daian Tek Ciang akan dapat menandingi
tingkat Suma-siocia."
"Bukan maksudku untuk merendahkan, twako. Akan tetapi kenyataannya memang demikian,
yaitu bahwa puteraku dalam ilmu silat jauh lebih pandai daripada puteramu. Akan tetapi
kulihat puteramu itupun memiliki bakat yang baik sekali, maka an-daikata engkau
memperkenankan, kalau dia menjadi muridku dan menerima bimbinganku sehingga dia dapat
menyamai tingkat Hui- ji, alangkah akan baiknya itu...."
Louw-kauwsu cepat bangkit dari tempat du-duknya dan memberi hormat. "Laksaan terima
ka-sih saya kepada taihiap! Tentu saja saya setuju sepenuhnya dan agaknya sudah menjadi
anugerah bagi anakku yang bodoh untuk memperoleh nasib sebaik ini. Heii! Tek Ciang....! Di
mana eng-kau" Ke sinilah!"
"Jangan beritahukan dia tentang perjodohan itu lebih dulu, twako," kata Suma Kian Lee
berbisik sebelum pemuda itu muncul dari belakang. Meli-hat pendekar itu, Tek Ciang segera
menjura dengan sikap hormat dan sopan.
"Ah, kiranya Suma-locianpwe yang hadir. Harap locianpwe dalam keadaan baik saja dan
te-rimalah hormat saya," katanya ramah.
"Terima kasih, Tek Ciang," jawab Suma Kian Lee senang melihat sikap pemuda yang sopan
itu. Seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, sayang agak pendek, dan pakaiannya
selalu rapi dan bagus.
"Tek Ciang, cepat engkau berlutut kepada Su-ma- taihiap dan menyebut suhu. Dia hendak
mengangkatmu sebagai muridnya!" kata Louw--kauwsu dengan girang.
Mendengar ucapan ayahnya ini, Louw Tek Ciang terkejut bukan main dan memandang
kepada pendekar itu. Suma Kian Lee mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tek Ciang
adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menjadi murid
pendekar ini, selain ke-mungkinan besar untuk memperoleh ilmu yang hebat, juga namanya
akan terangkat dan tak seo-rangpun di kota Thian-cin, bahkan sampai di kota raja yang akan
berani menentangnya! Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki Suma Kian Lee, memberi hormat sampai delapan kali dan menyebut "Suhu!" ber-kali-
kali. Kian Lee membangunkan pemuda itu dan ber-kata, "Tek Ciang, engkau merupakan murid
perta-ma dariku. Selama ini aku belum pernah menerima murid dan hanya mengajarkan ilmu-
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
164 ilmuku kepada kedua orang anakku saja. Kini, melihat kebaikan ayahmu dan besarnya
bakatmu, aku suka membimbingmu mempelajari ilmu silat."
"Terima kasih, suhu. Segala petunjuk dan bim-bingan suhu pasti akan teecu taati dan junjung
tinggi.?"Sekarang keluarlah dulu dari ruangan ini ka-rena aku hendak bicara urusan penting
dengan ayahmu."
Tek Ciang kembali menghaturkan terima kasih, kemudian pergi dari tempat itu dengan sikap
patuh sekali. Setelah pemuda itu pergi dan dengan pendengarannya yang tajam Kian Lee
merasa yakin bahwa pemuda itu sudah pergi jauh ke belakang rumah, diapun berkata, "Louw-
twako, biarlah sementara ini perjodohan antara puteramu dan anakku tidak diumumkan dulu,
akan tetapi kita berdua telah menyetujui untuk menjodohkan me-reka. Dan demi kebaikan
mereka berdua, kurasa mereka berdua harus dipertemukan dan diperke-nalkan. Maka, aku
akan mengajak puteramu untuk tinggal di rumahku, dan selama aku dan isteriku pergi
mencari putera kami, biarlah anakku yang memberi petunjuk-petunjuk dalam latihan dasar.
Dengan demikian, ada dua keuntungan, yaitu per-tama, anakku tidak akan bersendirian saja di
rumah dan ke dua, mereka akan dapat saling berkenalan sebelum perjodohan itu diumumkan.
Bagaimana pendapatmu, Louw-twako?"
Louw-kauwsu yang sudah kegirangan dan merasa amat beruntung itu tentu saja merasa setuju
sekali dan berkali-kali dia mengang-guk. Demikian girang hatinya sehingga guru silat ini
tidak lagi mampu berkata-kata! Betapa tidak" Putera tunggalnya yang amat disayangnya itu
se-lain akan dipungut mantu juga diangkat menjadi murid pertama dan tunggal oleh pendekar
sakti Suma Kian Lee! Peristiwa itu tentu saja akan mengangkat namanya setinggi langit. Baru
men-jadi sahabat dekatnya pendekar itu saja dia sudah merasakan keuntungan besar di bidang
nama, ke-dudukan dan pekerjaannya. Apalagi kalau puteranya menjadi murid, bahkan mantu
Suma-taihiap! "Kalau begitu, sebaiknya kalau Tek Ciang hari ini juga berangkat ke rumahku, membawa
bekal pakaian karena kami harus segera bersiap-siap. Dalam seminggu ini kami sudah akan
berangkat pergi mencari puteraku, Louw- twako. Dan sela-ma kami pergi dan putera twako
menemani anakku di rumah, harap twako suka berbaik hati untuk kadang-kadang lewat di
rumah kami melihat-lihat keadaan."
"Jangan khawatir, taihiap. Mulai hari ini, rumah keluarga taihiap sama dengan rumah yang
menjadi tanggung jawab saya sendiri. Pasti akan saya ban-tu jaga seperti rumah saya sendiri
selama taihiap berdua bepergian."
Setelah Suma Kian Lee pulang, Louw-kauwsu cepat menyuruh puteranya berkemas dan dia
mem-beri banyak nasihat kepada puteranya itu. "Tek Ciang, engkau memperoleh berkah yang
jauh lebih berharga daripada harta benda apa saja di dunia ini. Engkau diangkat menjadi
murid putera Pen-dekar Super Sakti dari Pulau Es! Tahukah engkau apa artinya itu" Berarti
bahwa kalau engkau be-lajar dengan baik-baik, kelak engkau akan menjadi seorang pendekar
sakti yang hebat! Bahkan seluruh nasib hidupmu di kemudian hari tergantung pada saat-saat
inilah. Suma-taihiap menghendaki agar engkau berangkat ke rumahnya sekarang juga.
Engkau akan diberi latihan dasar dan disuruh berlatih dengan petunjuk dari Suma-siocia,
karena gurumu itubersama isterinya akan melakukan per-jalanan jauh dan meninggalkan
ergkau di sana bersama puteri mereka. Berhati-hatilah engkau di sana, jaga rumah itu seperti
rumah sendiri, ber-sikaplah sopan terhadap Suma-siocia dan semua pelayan di sana.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
165 Berusahalah agar semua orang menyukaimu, Tek Ciang. Dengan demikian, eng-kau tidak
akanmembikin malu aku sebagai ayah-mu."
Tek Ciang tersenyum. Ayahnya ini bersikap seperti memberi nasihat kepada seorang anak
kecil saja! Tentu saja dia sudah tahu apa yang harus dibuatnya agar suhunya suka kepadanya.
Dan tentu saja dia sudah mendengar akan Suma-siocia, dara remaja yang kabarnya selain lihai
dan sakti, juga memiliki kecantikan yang amat menggairah-kan! Ah, betapa beruntungnya
dia! Berlatih diri di bawah petunjuk seorang dara remaja yang lihai dan cantik jelita! Akan
tetapi, pemuda yang cerdik ini pandai menyembunyikan perasaannya, dan diapun
mengangguk taat. "Baik, ayah. Aku akan mengingat semua nasihatmu."
Ketika Tek Ciang tiba di rumah keluarga Suma, Kim Hwee Li dan juga Suma Hui sudah
mende-ngar dari Suma Kian Lee tentang pemuda itu yang diangkat menjadi murid dan akan
tinggal di rumah itu selama suami isteri itu pergi mencari Ciang Bun.
"Ayah," Suma Hui membantah ketika ayahnya memberitahukan perihal pemuda yang belum
dike-nalnya itu. "Apakah ilmu keluarga kita akan ditu-runkan kepada orang luar?"
Ayahnya mengerutkan alis. "Hui-ji, di dalam keluarga kita tidak ada peraturan yang melarang
bahwa kita tidak boleh memberikan ilmu-ilmu Pulau Es kepada orang luar. Ayah dari Louw
Tek Ciang, yaitu Louw- kauwsu adalah seorang sahabat baikku, dia seorang yang bersih
namanya dan aku melihat putera tungggalnya itupun memiliki bakat yang amat baik, juga
sikapnya baik. Karena itu aku mengangkatnya menjadi murid. Agar kelak dia dapat menerima
ilmu-ilmu dariku secara sempur-na, maka dia harus lebih dahulu berlatih sin-kang dan
samadhi yang bersih, maka dia akan tinggal di sini melatih dasar-dasar sin-kang dari kita.
Ka-rena aku dan ibumu akan pergi mencari Ciang Bun, maka aku minta engkau mewakili aku
dan kadang--kadang memberi petunjuk kepadanya kalau dia berlatih."
Mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan nada sungguh-sungguh itu, Suma Hui
mengangguk. Ia belum memperoleh kepastian dari ibunya tentang sikap ayahnya terhadap
urusannya dengan Cin Liong, maka ia berpendapat bahwa sebaiknya, sebelum urusan
pribadinya itu dibikin terang, ia tidak membuat ayahnya marah. Bagaimanapun juga, hatinya
seperti merasa tidak rela ayahnya mengangkat seorang murid.
Ketika Tek Ciang muncul dengan buntalan pakaiannya dan menjatuhkan diri berlutut di
de-pan ayah ibunya dan menyebut mereka suhu dan subo dengan sikap amat menghormat,
Suma Hui terkejut. Tak disangkanya bahwa murid yang di-angkat oleh ayahnya itu ternyata
adalah seorang pemuda dewasa yang lebih tua darinya! Seorang pemuda yang cukup ganteng
dan gagah, dan si-kapnya amat sopan. Pemuda itu sedikitpun tidak pernah melirik kepadanya
dan hanya menunduk ketika memberi hormat kepada suami isteri pen-dekar itu.
"Bangkitlah, Tek Ciang. Perkenalkan, ini adalah puteri kami yang bernama Suma Hui," kata
Kim Hwee Li yang sudah diberi tahu oleh suaminya tentang "siasat" suaminya untuk
mendekatkan ke-dua orang muda itu. Hwee Li menyuruh pemuda itu bangkit untuk dapat
melihat lebih jelas wajah dan perawakan pemuda yang oleh suaminya telah dipilih untuk
menjadi calon mantunya ini.
"Terima kasih, subo," kata Tek Ciang sambil memandang kepada suhunya dengan ragu-ragu,
seolah-olah dia tidak berani bangkit sebelum me-nerima perintah suhunya. Melihat ini, diam-
diam Suma Kian Lee menjadi girang. Bocah ini sung-guh amat taat dan bijaksana, berhati-hati
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
166 dalam sikap agar tidak menyinggung hati gurunya, me-nandakan bahwa dia amat teliti dalam
melakukan tindakan dan menentukan sikap!
"Bangkit dan duduklah, Tek Ciang," katanya halus. Baru pemuda itu bangkit dan menjura
kepa-da suhu dan subonya.
"Terima kasih, subo." Kemudian dia baru me-noleh kepada Suma Hui, akan tetapi hanya
sekele-batan saja dia berani menatap wajah itu, wajah yang membuat jantungnya berdebar
kencang wa-laupun baru melihat sekelebatan saja, kemudian diapun cepat menjura kepada
dara itu. "Suma-siocia (nona Suma), saya Louw Tek Ciang yang bodoh menghaturkan hormat kepada
siocia." Sepasang alis Kim Hwee Li berkerut sebentar. Pemuda ini terlalu sopan, pikirnya, begitu
amat sopan sehingga berkelebihan dan cenderung kepada sikap bermuka-muka dan menjilat.
Tentu saja ia segera menekan perasaannya karena dugaan itupun masih membuat ia ragu.
Sebaliknya, Suma Hui merasa canggung juga diperlakukan dengan sikap yang sedemikian
merendah dan menghormatnya. Ia cepat membalas penghormatan itu.
"Terima kasih, Louw-kongcu (tuan muda Louw)," katanya.
"Hemm, buang saja cara panggilan yang sung-kan- sungkan itu!" Suma Kian Lee berkata
sambil tersenyum. "Hui-ji, dia adalah murid ayahmu dan biarpun dia murid baru, akan tetapi
dia lebih tua darimu dan juga engkau puteriku, bukan muridku. Maka, biarpun sebagai murid
tingkatmu lebih tinggi, namun sepatutnya engkau menyebut-nya suheng dan engkau Tek
Ciang, engkau harus menyebut sumoi kepada Hui-ji."Kembali Louw Tek Ciang menjura
kepada Suma Hui dan tetap saja dia tidak berani mengangkat muka memandang langsung,
dan suaranya halus sopan merendah ketika dia berkata, "Maafkan saya, sumoi (adik
perempuan seperguruan), saya hanya mentaati perintah suhu, walaupan sesungguhnya saya
tidak berani lancang."
Bagaimanapun juga, sikap pemuda ini menye-nangkan hati Suma Hui. Pemuda ini jelas tidak
kurang ajar, dan matanya juga tidak jelalatan ketika memandang kepadanya, tidak seperti
mata laki--laki lain yang kalau memandang kepadanya seperti mata seekor singa kelaparan.
Maka iapun menjura dan berkata manis, "Tidak mengapa Louw-suheng, kurasa ayah benar
sekali dan panggilan ini terasa lebih mudah, bukan?"
"Tek Ciang, dalam beberapa hari ini aku dan subomu akan pergi merantau untuk beberapa
la-manya. Karena itu, sebelum aku pergi, aku akan menurunkan beberapa latihan dasar untuk
mempe-lajari sin-kang dan samadhi. Harus kauperhatikan baik-baik karena dasar latihan sin-
kang ini adalah pokok dari pada ilmu-ilmu yang akan kuturunkan kepadamu. Kalau latihan
dasar keliru, maka kelak dalam mempelajari ilmu-ilmu dariku engkaupun tidak akan dapat
menguasainya dengan sempurna. Karena itu, engkau harus selalu tekun berlatih dan teliti,
jangan sampai keliru. Di sini ada sumoimu yang akan dapat memberi petunjuk sewaktu-waktu
kalau engkau merasa ragu-ragu."
"Baik, suhu. Sumoi, saya mengharapkan petunj-uk- petunjuk dari sumoi, untuk itu
sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih kepada-mu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
167 "Aku bersedia membantumu, suheng. Harap jangan sungkan bertanya," jawab Suma Hui
yang mulai merasa suka kepada pemuda yang sopan dan halus budi ini. Hanya Kim Hwee Li
yang sejak tadi tidak berkata apa-apa, karena nyonya ini masih merasa tidak puas melihat
sikap pemuda itu yang dianggapnya tidak wajar dan terlalu sopan, seperti dibuat-buat. Ia
hanya mengharapkan bahwa sikap itu adalah sikap yang sewajarnya dan bahwa pemuda itu
memang seorang yang sopan dan halus budi, bukannya dibuat-buat karena di baliknya
terkandung suatu pamrih tertentu.
"Sekarang pergilah ke kamarmu dan simpan pakaianmu, kemudian kita pergi ke lian-bu-
thia (ruangan berlatih silat) untuk mulai dengan teori--teori dasar latihan sin-kang," kata pula
Suma Kian Lee. "Hui- ji, suruh pelayan datang untuk meng-antar suhengmu ke kamarnya
yang sudah disedia-kan untuknya itu."


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, ayah." Melihat sikap ayahnya yang gem-bira, hati Suma Hui juga menjadi gembira.
Ayah-nya tidak kelihatan marah, padahal ibunya tentu sudah menyampaikan kepada ayahnya
itu perihal urusannya dengan Cin Liong dan ini berarti bahwa ayahnya itu tidak menjadi
marah atau menentang. Hal itupun mendatangkan kegembiraan dalam hati Suma Hui dan ia
melakukan perintah ayahnya de-ngan hati senang pula.
Demikianlah, dalam beberapa hari itu dengan sungguh-sungguh Suma Kian Lee memberi
dasar latihan sin-kang kepada Tek Ciang. Biarpun pemu-da ini pernah mempelajari samadhi
dan latihan sin-kang dari ayahnya, akan tetapi dasar latihan yang diberikan oleh suhunya itu
amat berbeda, juga amat sukar sehingga dia harus bersungguh-sungguh ka-lau dia ingin
mengerti benar- benar. Memang pe-muda ini cerdik dan berbakat sekali sehingga biar-pun
latihan itu tidak mudah dan membutuhkan perhatian dan pengerahan semua kemauan dan
kejujuran hati, akhirnya dia dapat juga mengerti. Selagi ayahnya memberi petunjuk, Suma
Hui juga hadir dan gadis ini diam-diam harus memuji ke-tekunan murid ayahnya ini dan
iapun yakin bahwa seorang murid seperti Tek Ciang ini pasti kelak akan menjadi seorang ahli
silat keluarga Pulau Es yang baik dan belum tentu akan kalah tinggi tingkatannya
dibandingkan dengan dirinya sendiri.
Seminggu kemudian, berangkatlah suami isteri itu meninggalkan rumah mereka, memulai
dengan perjalanan mereka yang tanpa tujuan tempat ter-tentu, seperti orang meraba-raba di
dalam kege-lapan. Bagaimanapun juga, sungguh amat sukar mencari seorang anak yang
hilang di tengah lautan yang demikian luasnya. Setelah memberi pesanan banyak nasihat
kepada puterinya dan muridnya, Suma Kian Lee dan isterinyapun berangkatlah de-ngan
menunggang dua ekor kuda.
Louw-kauwsu seringkali lewat di depan rumah keluarga Suma dan karena kakek ini ingin
sekali agar puteranya jangan sampai "gagal" menjadi mantu pendekar sakti Suma Kian Lee,
maka berla-wanan dengan kekerasaan hatinya sendiri diapun diam-diam membisikkan urusan
pertalian jodoh itu kepada puteranya!
"Tek Ciang, engkau harus pandai-pandai mem-bawa diri. Ketahuilah, engkau bukan saja
telah diangkat menjadi murid oleh Suma-taihiap, akan tetapi juga bahkan telah diangkat
menjadi calon mantu, berjodoh dengan Suma-siocia. Akan tetapi hal ini masih belum
diresmikan, maka engkaupun pura-pura tidak tahu sajalah. Aku menceritakan-nya kepadamu
agar engkau pandai-pandai mem-bawa diri." Demikianlah bisikannya dan mende-ngar ini
tentu saja Tek Ciang menjadi semakin girang.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
168 Dan pemuda ini memang terlalu amat cerdik untuk dapat terpeleset oleh tindakan yang
kurang hati-hati maka dia selalu bersikap penuh hormat dan sopan terhadap Suma Hui
sehingga tidak ada alasan sedikitpun juga bagi dara ini untuk merasa tidak suka kepada
suhengnya ini. Maka dengan sungguh-sungguh Suma Hui juga memberi petun-juk-petunjuk
kepada suhengnya ini sehingga Tek Ciang dapat melatih dasar sin-kang itu dengan baik.
*** "Hyaaaaatttt, ahh! Hyaaaaatttt, ahh!"
Lengkingan ini terdengar berkali-kali, meng-gema di sekeliling tempat yang amat sunyi itu,
dari bagian belakang sebuah pondok yang berdiri terpencil di bukit rimbun itu. Itulah bukit
Pegunungan Ci-lian-san yang terdapat di perbatasan Sin-kiang dan Cing-hai. Sebuah pondok
kayu yang nampaknya masih baru di antara puing-puing banyak bangunan yang pernah
kebakaran. Dan pondok ini memang baru saja dibangun oleh Hek--i Mo-ong yang dibantu
oleh muridnya yang baru, yaitu Suma Ceng Liong! Puing-puing itu adalah bekas sarang Hek-
i-mo-pang, yaitu Perkumpulan Iblis Baju Hitam yang pernah dipimpinnya akan tetapi yang
dihancurkan oleh tiga orang pendekar pada waktu itu, ialah Bu Ci Sian, Kam Hong, dan Sim
Hong Bu (baca kisahSuling Emas dan Naga Si-luman), bahkan kemudian bekas sarang itu
dibakar oleh rakyat yang tinggal di bawah gunung.
Karena tempat itu sunyi dan indah, Hek-i M-o-ong mengajak muridnya tinggal di situ,
memba-ngun sebuah pondok kayu yang cukup kuat biar-pun sederhana dan mulailah dia
melatih ilmu-ilmu yang dahsyat kepada muridnya yang baru berusia sepuluh tahun lebih itu.
Lengkingan nyaring berulang-ulang yang ter-dengar dari belakang pondok itu adalah
lengking suara Ceng Liong! Dan kalau ada orang yang berani melongok ke dalam tanah
daratan di bela-kang pondok itu, tentu dia akan bergidik. Akan tetapi siapa berani
mengunjungi tempat itu" Se-belum Hek-i Mo-ong pulang ke situpun tidak ada orang yang
berani mendekat. Rakyat yang membakar sarang itu hanya melampiaskan dendam mereka
terhadap gerombolan yang sudah banyak mengganggu mereka itu. Akan tetapi setelah
mem-bakar, merekapun cepat- cepat pergi, tidak berani berlama-lama di situ apalagi ketika
mereka men-dengar berita bahwa Hek-i Mo-ong sendiri tidak nampak mayatnya di antara
anak buahnya, berarti bahwa iblis itu masih belum mati. Maka yang tinggal di tempat
mengerikan itu hanyalah puing bersama tulang-tulang dan tengkorak anak buah Hek-i-mo-
pang yang berserakan di tempat yang kini menjadi tanah datar, di belakang pondok batu itu.
Apakah yang sedang dilakukan oleh guru dan murid di belakang pondok itu" Mereka sedang
berlatih dengan cara yang aneh dan mengerikan. Hek-i Mo-ong sendiri nampak sedang
bersamadhi dengan cara yang aneh, yaitu dengan jungkir balik. Samadhi jungkir balik ini
memang tidak menghe-rankan dan sudah banyak dilakukan orang, yaitu dengan kepala di atas
tanah, kedua kaki lurus ke atas, kedua tangan menopang kepala. Samadhi se-perti ini amat
baik untuk melancarkan jalan darah, untuk memperbanyak dan memperlancar jalannya darah
ke dalam kepala untuk memulihkan kembali ketidakseimbangan antara hawa Im dan Yang di
dalam tubuh. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong itu lain daripada yang lain.
Ke-palanya memang di bawah dan kedua kakinya te-gak lurus ke atas, akan tetapi kepalanya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
169 itu, tidak berada di atas tanah, melainkan di atas sebuah tengkorak! Dan kedua lengannya
bersedakap di depan dadanya, dan diapun tidak berjungkir balik dengan diam saja, melainkan
tubuhnya yang ber-jungkir balik itu berloncatan! Kepalanya itu me-loncat dan hinggap di atas
sebuah tengkorak lain dan demikian seterusnya, berpindahan dari teng-korak yang satu ke
tengkorak yang lain. Semua terdapat sembilan buah tengkorak yang diletakkan di atas tanah
dengan membentuk garis bintang Sim-seng (Bintang Hati) yang terdiri dari tiga titik dengan
tiga buah tengkorak dan bintang Jui-seng (Bintang Mulut) yang terdiri dari enam buah
teng-korak. Dia berpindah-pindah dengan berloncatan seperti itu, terdengar suara dak-duk-
dak-duk ketika kepalanya bertemu dengan sebuah tengkorak ber-ikutnya, seperti seorang anak
kecil bermain loncat--loncatan.
Tak jauh dari situ, Ceng Liong juga berlatih dengan ilmu pukulan yang diajarkan gurunya.
Setiap kali berteriak "hyaaaaaatt!" dia berlari menyerbu ke arah sepotong tulang, baik itu
tulang- kaki atau tengkorak atau tulang-tulang lainnya, dan begitu tiba dia berteriak "ahh!"
dan tangannya dengan jari-jari terbuka, agak melengkung seperti cakar, mencengkeram ke
arah tulang-tulang itu. Dan tulang-tulang itupun berlubang! Nampak lubang-lubang kecil
bekas cengkeraman jari-jari tangannya! Itulah Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penu-suk Tulang) yang
amat keji karena selain jari-jari tangan itu dilatih untuk dapat menembus tulang, juga serangan
jari itu membawa hawa beracun yang lama-lama terkumpul dari hawa dalam tengkorak-
tengkorak dan tulang-tulang mayat itu ketika berlatih! Biarpun masih kecil, Ceng Liong
adalah putera Pendekar Siluman Kecil dan cucu Pendekar Super Sakti, sejak kecil sudah
digembleng dengan hebat dan lebih dari itu, dia telah menerima warisan sumber tenaga sakti
dari men-diang kakeknya. Oleh karena itu, kini mudah saja bagi Hek-i Mo-ong untuk
menggerakkan sumber tenaga sakti itu dan mempergunakannya untuk memmpelajari ilmu-
ilmu sesat darinya. Tentu saja Ceng Liong belum tahu apa artinya ilmu bersih dan ilmu kotor,
hanya merasa suka kalau diberi pelajaran ilmu-ilmu baru yang aneh dan dahsyat.
Agaknya kakek iblis itu telah merasa cukup berlatih dengan loncatan-loncatan itu, maka tiba-
-tiba tubuhnya meloncat agak tinggi dan membuat poksai (salto), terus turun dan kini dia
berdiri de-ngan biasa sambil tersenyum memandang kepada muridnya yang berlatih itu.
Kakek itu nampak me-ngerikan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar se-perti raksasa itu
nampak kuat dan kokoh, pakaian-nya serba hitam sampai ke sepatunya sehingga rambutnya
yang putih nampak menyolok.
"Cukup, Ceng Liong. Sekarang engkau harus membantuku melakukan latihan yang amat
pen-ting." Berkata demikian, kakek ini lalu mengum-pulkan tengkorak-tengkorak di tempat
itu dan mulai menumpuki tengkorak-tengkorak itu dengan cara-cara tertentu, bersusun teratur
dengan teng-korak-tengkorak itu seperti saling mengisap teng-kuk tengkorak di atasnya dan
semua terlentang. Paling bawah diatur sepuluh buah, lalu di atasnya sembilan buah, terus
delapan buah, dan seterusnya setiap tingkat berkurang satu sampai paling atas hanya sebuah
tengkorak saja.
"Latihan bagaimana, Mo-ong ?" Ceng Liong bertanya. Memang anak ini tidak menyebut
suhu kepada gurunya, melainkan menyebut Mo-ong (Raja Iblis) begitu saja karena dia
memang sudah berjanji bahwa dia mau menjadi murid akan tetapi tidak mau menyebut suhu
dan tidak mau mempe-lajari kejahatan. Dan bagi seorang datuk kaum sesat yang berwatak
aneh seperti Hek-i Mo-ong, sebutan Mo-ong sebaliknya daripada suhu ini bahkan
menggembirakan hatinya. Makin aneh ke-adaannya, makin sukalah datuk ini, dan dia akan
berbangga kalau orang-orang lain mendengar bahwa muridnya menyebutnya Mo-ong begitu
saja, tanda keanehan mereka yang lain daripada orang lain!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
170 "Aku hendak berlatih Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun) bagian yang paling akhir.
Selama aku berlatih, keadaan diriku kosong dan sama sekali tidak berdaya andaikata ada
musuh datang me-nyerang. Dengan pukulan sederhana saja aku bisa mati! Oleh karena itu,
engkau harus berjaga-jaga dan engkau lindungi aku selama aku berlatih. Ingat, selama hawa
api itu masih di luar badan dan belum kutarik kembali, berarti aku masih tak berdaya dan
engkau harus melindungiku dari serangan lain dari luar."
"Tapi, siapakah yang akan berani menyerangmu, Mo-ong?"
"Memang tidak ada, akan tetapi siapa tahu" Di dunia ini lebih banyak musuh daripada
sahabat. Dan siapa tahu malapetaka datang selagi aku ber-latih. Kau jagalah baik-baik dan
hentikan latih-anmu."
"Baik, Mo-ong. Aku akan menjagamu," anak itu berjanji, ia lalu dia berdiri di bawah pohon
tak jauh dari timbunan tengkorak itu, memandang de-ngan hati tertarik sekali karena dia tahu
bahwa gurunya itu memang amat lihai dan memiliki ba-nyak ilmu yang aneh-aneh.
"Nah, kau siaplah!" kata Hek-i Mo-ong. Dia sendiri lalu mengatur pakaiannya, menggulung
le-ngan bajunya, mempererat ikat pinggang, membe-tulkan ikatan pita rambutnya, kemudian
dia berdiri tegak dan mengambil napas dalam-dalam sam-pai beberapa lamanya. Kemudian,
tiba-tiba saja tubuhnya itu meloncat ke atas tumpukan tengko-rak, berjungkir balik dan
kepalanya hinggap di atas tengkorak yang berada di tumpukan paling atas. Karena tengkorak
ini, seperti tengkorak-tengkorak yang lain, menghadap ke atas, maka mulut teng-korak itu
seperti mengecup tengkuknya.
Setelah tubuhnya yang berjungkir balik itu te-gak lurus dan sedikitpun kakinya tidak
bergoyang, kedua lengannya lalu bersedakap seperti tadi. Terdengar dia bernapas dalam dan
keras, makin lama suara napasnya semakin keras mendesis-desis dan tak lama kemudian,
Ceng Liong melihat betapa ada uap putih perlahan-lahan keluar dari mulut kakek itu yang
terbuka! Dan dia yang berdiri di sebelah kiri gurunya dalam jarak hampir tiga meter sudah
mulai merasakan adanya hawa panas! Uap putih itu ternyata tidak melayang pergi, melainkan
berkumpul di depan mulut, perlahan-lahan mela-yang maju dan makin memanjang ada
kalanya tertarik kembali mendekati mulut.
Ceng Liong memandang dengan penuh perha-tian. Biarpun dia masih kecil, namun sudah
banyak melihat ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan diapun telah mempelajari teori-teori ilmu yang
tinggi lari Pulau Es. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu keluarganya juga amat tinggi dan di antara
ilmu-ilmu itu terdapat pula penggunaan hawa sin-kang yang panas, yaitu Hwi-yang Sin-kang
yang dapat membakar dan mencairkan es. Akan tetapi, hawa tenaga sakti itu hanya
dipergunakan melalui ge-rakan pukulan. Dan Raja Iblis ini menggunakan hawa sakti itu
melalui pernapasannya, dikeluarkan dari dalam tubuh berupa uap panas yang langsung
dipergunakan untuk menyerang musuh!
Kini, uap putih yang tebal itu makin lama se-makin tebal dan semakin panjang, sampai
mela-yang lebih dari satu meter dari mulut, akan tetapi tidak pernah terlepas dari mulut yang
terbuka itu. Kalau uap itu sampai dapat mencapai dua meter lebih, baru akan menjadi senjata
yang amat ber-bahaya bagi lawan. Dan agaknya, dalam latihan ini, Hek-i Mo-ong
mengerahkan banyak tenaga. Tubuhnya mandi peluh dan napasnya mulai ter-engah. Padahal,
uap itu baru melayang sejauh satu setengah meter. Terpaksa dia menghentikan do-rongan dari
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
171 dalam itu dan uap itu kini berhenti dan tidak bergerak, nampak aneh karena seperti benda
keras saja. Pada saat itu, tiba-tiba telinga Ceng Liong mendengar gerakan ringan dari belakangnya dan
munculah seorang kakek berpakaian seperti tosu dengan rambut digelung ke atas. Tosu ini
memba-wa pedang di punggungnya dan mukanya merah sekali. Usianya ada enam puluhan
tahun. Selain tosu ini, Ceng Liong masih melihat berkelebatnya banyak bayangan orang di
sekitar tempat itu. Ten-tu saja dia bersikap waspada dan siap sedia melin-dungi gurunya.
Mula-mula tosu itu nampak kaget dan heran, akan tetapi setelah dia mengenal muka Hek-i
Mo--ong, matanya segera mendelik, mulutnya mengelu-arkan seruan tertahan dan tiba-tiba
saja dia me-ngirim serangan, pukulan yang dahsyat dilayangkannya ke arah punggung Raja
Iblis itu! "Desss....!" Tubuh tosu itu terhuyung ke belakang dan dia memandang terbelalak kepada
anak berusia sepuluh tahun yang tiba-tiba me-nangkis pukulannya tadi dan membuatnya
terhu-yung! Hampir saja dia tidak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Dia
adalah seorang yang memiliki sin-kang kuat, dan ketika anak kecil tadi menangkis, dia merasa
adanya hawa sakti yang amat kuat menolaknya. Dia terhuyung dan anak itu hanya mundur
dua langkah, tanda bahwa dia kalah kuat! Tentu saja dia menjadi penasaran dan marah, dan
menduga bahwa tentu anak ini murid Hek-i Mo-ong. Tidak terlalu mengherankan kalau Raja
Iblis itu memiliki murid kecil yang sudah begini lihai, dan sebelum membunuh iblis itu dia
harus lebih dulu menyingkirkan anak ini. Akan tetapi, bagaimanapun juga, di depan banyak
orang dia masih merasa malu untuk mempergunakan pedangnya. Maka tanpa banyak cakap,
dia lalu menerjang maju dan menyerang Ceng Liong.
Ceng Liong mengelak, menangkis dan membalas, dan dia mainkan Iimu Silat Sin-coa-kun
yang pada waktu itu merupakan satu-satunya ilmu silat dari keluarganya yang sudah agak
matang dilatihnya. Maka, untuk berkali-kali, tosu itu terheran-heran karena serangannya luput
dan tertangkis, bahkan anak itu dapat mengirim serangkain balasan yang cukup cepat.
Bagaimanapun juga, Ceng Liong hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahun.
Gerakannya belum mantap, lengannya masih terlalu pendek dan biarpun dia mudah mewarisi
tenaga sakti kakeknya, namun dia belum menguasainya benar-benar se-hingga belum dapat
mempergunakan sumber tena-ga itu dengan baik. Maka, belasan jurus kemudian, dia mulai
dihajar tunggang-langgang oleh tam-paran, pukulan dan tendangan tosu itu.
"Plakkk!" Keras sekali pukulan sekali ini yang mengenai dada Ceng Liong, membuat
tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi, bulu tengkuk tosu itu meremang
ketika dia melihat anak itu meloncat bangun kembali. Padahal pukulannya tadi amat keras dan
akan dapat mencabut nyawa seorang lawan yang cukup tangguh! Akan tetapi, Ceng Liong
merasa agak pening dan tahulah anak ini bahwa keadaan gurunya terancam bahaya. Kalau
orang-orang lain yang kini sudah berdiri mengepung tempat itu turun tangan, tak mungkin dia
dapat melindungi gurunya.
"Mo-ong, sadarlah, bantulah! Sadarlah kalau engkau tidak ingin mati!" Ceng Liong mulai
ber-teriak-teriak menyadarkan gurunya. Teriakannya itu tentu saja membuat si tosu dan
orang-orang lain merasa terheran-heran. Tosu itupun meragu mendengar seruan anak itu.
Tidak mungkin murid si raja iblis kalau menyebut kakek itu Mo-ong begitu saja.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
172 Bagaimanapun juga, dia khawatir kalau-kalau Raja Iblis itu sadar dan tentu tidak akan mudah
menyerangnya maka dengan gemas tosu inipun melakukan serangan dahsyat sekali.
"Bresss....!" Tubuh Ceng Liong kini ter-lempar sampai empat meter lebih terkena ten-dangan
kilat tosu itu. Tubuhnya terbanting keras dan sebelum anak itu sempat bangkit, tosu tadi te-lah
tiba di depannya dan dengan ganas tosu itu mengirim pukulan ke arah kepala Ceng Liong!
Anak itu maklum akan datangnya bahaya maut, maka diapun teringat akan ilmu yang baru
saja dilatihnya, yaitu Coan-kut-ci, maka dia meng-angkat tangan kanannya menyambut
pukulan itu dengan cengkeraman tangannya.
"Crottt....! Aughhh....!" Tosu itu terkejut bukan main. Karena dia kuat, maka jari-jari ta-ngan
Ceng Liong tidak sampai melubangi tulang lengannya, akan tetapi kulitnya robek dan
daging-nya terluka sedikit mengeluarkan darah. Bukan main marahnya dan diapun mencabut
pedangnya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dan sebuah tengkorak
menyambar ke arah kepala-nya dengan kecepatan dahsyat dan mendatangkan angin
menyambar kuat.
"Trakkk....!" Tosu itu mengggerakkan pe-dangnya menangkis. Dia berhasil menangkap
tengkorak itu yang runtuh ke atas tanah, akan te-tapi dia sendiripun hampir saja terjengkang
saking kerasnya tenaga sambitan tadi ketika bertemu dengan tangkisannya. Diapun terkejut
dan me-mandang ke arah Hek-i Mo-ong yang ternyata kini telah berdiri di atas tumpukan
tengkorak de-ngan kaki di bawah dan tadi dia mengunakan kakinya untuk menendang sebuah
tengkorak yang melayang ke arah tosu itu.
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tidak memperha-tikan tosu itu, melainkan memandang kepada
be-berapa orang yang memimpin pengepungan itu dan berdiri menghadapinya. Sementara itu,
Ceng Liong juga sudah menghampiri gurunya dan berdiri di dekat tumpukan tengkorak.
"Huh, bukankah Thong-ciangkun yang datang ini" Dan juga bersama Thai Hong Lama dari
Ti-bet, Pek-bin Tok-ong dari Go-bi dan agaknya tokoh-tokoh penting lainnya yang belum
kukenal. Hemm.... hemm.... tokoh-tokoh besar berkumpul di sini dan mendatangi aku secara
begini, ada keperluan apakah?" Hek-i Mo-ong menatap wajah mereka satu demi satu dan
diam-diam dia-pun terkejut karena banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang
berilmu tinggi. Mau apa begini banyak orang sakti yang dia tahu adalah dari golongan sesat
berkumpul" Kalau mereka ini ter-diri dari para pendekar, tentu dia akan merasa kha-watir
karena kedatangan mereka tentu akan memusuhinya. Akan tetapi mereka ini jelas datang dari
golongan hitam bercampur dengan orang--orang yang menduduki jabatan penting seperti
Thong-ciangkun, maka hatinya pun tenang.
"Hek-i Mo-ong, aku datang sebagai utusan pribadi yang rahasia dari Gubernur Yong untuk
mengundang para tokoh ini menghadap ke gedung beliau. Dan engkau termasuk seorang di
antara para undangan itu untuk membicarakan urusan penting sekali. Maka dengan resmi aku
atas nama Gubernur Yong mengundangmu, Hek-i Mo-ong, agar ikut bersama kami ke gedung
gubernur."


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm, mana bisa begitu" Kalau ada urusan, katakanlah sekarang dan di sini. Tak mungkin
aku pergi menghadiri suatu undangan tanpa kuketahui urusannya, biar yang mengundang itu
gubernur sekalipun!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
173 Thong-ciangkun, perwira tinggi yang menjadi pembantu gubernur dan panglima pasukan di
wi-layah barat ini adalah seorang perwira yang usia-nya sudah enam puluh tahun dan sudah
lama dia mengenal Hek-i Mo-ong. Dahulu sebagai ketua Hek-i-mo-pang, Raja Iblis ini
memang sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan pem-besar, bahkan ada hubungan
baik antara dia dan Gubernur Yong, maka kini perwira itu maklum bahwa menghadapi
seorang seperti Hek-i Mo-ong ini dia harus berhati-hati. Sambil tersenyum dia lalu berkata.
"Hek-i Mo-ong, saudara-saudara ini datang dari Go-bi-san, dari Tibet, dari Nepal dan dari
Mongol. Mereka ini adalah sahabat-sahabat atau sekutu dari Yong-taijin. Maka engkau
diundang untuk meramaikan dan memperkuat persekutuan ini agar kelak dapat memperoleh
kemuliaan ber-sama."
Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut, akan tetapi juga girang. Memang sudah menjadi niatnya
untuk menentang kekuasaan Kaisar Kian Liong dan dia tahu bahwa kalau dia tidak
mempu-nyai sekutu yang kuat, niat itu tidak akan mungkin berhasil. Baru menyerbu Pulau Es
saja, biarpun dia sudah mengajak empat orang datuk lain yang lihai, dia telah kehilangan
kawan-kawannya itu, yang tiga orang tewas yang seorang lagi entah lari ke mana! Kini
terbukalah kesempatan baginya dan tentu saja dia tidak mau melewatkannya begitu saja. Akan
tetapi, dia adalah Hek-i Mo-ong dan di dalam persekutuan itu, dia harus dapat menjadi yang
nomor satu atau setidaknya, menjadi pem-bantu gubernur yang paling berpengaruh dan lihai.
Maka, dia harus pula memperlihatkan kelihaian-nya di depan semua orang ini. Dia tersenyum
ke-pada Thong-ciangkun.
"Baik, aku akan ikut menghadap. Akan tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu aku
akan membuat perhitungan dengan tosu bau itu. Sebelum itu, aku tidak akan mau pergi." Dia
me-nudingkan telunjukya ke arah tosu yang tadi menyerangnya dan berkelahi dengan Ceng
Liong. Tosu itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh
kebencian.Thong-ciangkun memandang ke arah tosu itu dan alisnya berkerut. Tosu itu adalah
Yang I Cin-jin, seorang tosu perantau pertapa di daerah Pe-gunungan Himalaya, bukan dari
golongan kaum sesat akan tetapi memiliki ambisi besar untuk membantu dan kelak
memperoleh kedudukan ting-gi yang mulia. Karena kepandaiannya tinggi maka Gubernur
Yong menghubunginya dan ingin menarik tenaganya untuk membantu, di samping
pengeta-huannya yang luas menguasai daerah Himalaya dari sekitar Tibet.
"Sungguh kami tidak tahu bahwa antara Yang I Cinjin dan engkau ada suatu urusan, Hek-i
Mo-ong. Cinjin, mengapa engkau tadi menyerang Hek-i Mo-ong dan anak itu?"
"Iblis ini pernah membunuh guru dan suheng pinto, dan memaksa isteri suheng menjadi
selirnya. Maka, apapun akibatnya, hari ini pinto harus me-nebus hutang itu!" kata Yang I
Cinjin. Mendengar keterangan itu, mengertilah Thong-ciangkun bahwa dia tidak dapat turun tangan
melerai atau mendamaikan. Permusuhan itu agak-nya terlampau mendalam sehingga satu-
satunya yang dapat mengakhiri hanyalah adu nyawa! Maka diapun melangkah mundur dan
berkata, "Kami mempunyai urusan penting, tidak akan mencampuri segala urusan pribadi."
Mendengar ucapan ini, para tokoh lainnya juga melangkah mundur dan hanya menonton dari
jauh. Bagaimanapun juga demi untuk suksesnya persekutuan mereka, tentu saja mereka
berpihak kepada orang yang lebih kuat, yang tentu akan merupakan tenaga yang le-bih
berharga bagi persekutuan mereka.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
174 Hek-i Mo-ong menghampiri tosu yang untuka-nya pucat itu. "Ha ha, kiranya engkau adalah
sute dari Yang Heng Cinjin dan murid dari Thian-teng Losu. Tidak ada perlunya
menerangkan sebab-sebab urusan lama. Kalau engkau hendak menggali urusan lama dan
membalas, majulah!"
Yang I Cinjin mencabut pedangnya dan nam-pak sinar berkelebat. Jelas dapat diduga bahwa
pedangnya itu tentu sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tertawa
mengejek dan menoleh kepada Ceng Liong yang juga melangkah mundur dan menonton
dengan jan-tung berdebar tegang dan gembira melihat guru-nya akan bertanding dengan tosu
yang sudah di-ketahui kelihaiannya itu.
"Heh, Ceng Liong, Coan-kut-ci yang kauma-inkan tadi sudah baik akan tetapi kurang kuat.
Kaulihat baik-baik bagaimana harus mainkan Coan-kut-ci dan mengalahkan tosu bau ini!"
"Iblis busuk lihat pedang!" Tiba-tiba tosu itu membentak dan pedangnya diputar sedemikian
cepatnya sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berobah menjadi sinar bergulung-gulung.
Semua orang memandang kagum. Memang tosu ini adalah seorang ahli pedang yang
kenamaan dan kalau tadi dia tidak menggunakan pedang adalah karena se-bagai seorang ahli
pedang dia enggan menghadapi seorang bocah berusia sepuluh tahun dengan sen-jata yang
ampuh itu. Akan tetapi sekali ini, ahli pedang itu berha-dapan dengan Hek-i Mo-ong, seorang datuk
kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Sebelum menghadapi pedang lawan, Hek-i
Mo--ong menggulung kedua lengan bajunya dan kini dengan kedua lengan telanjang dia
menandingi pedang lawan. Hek-i Mo-ong menangkis, mengelak dan memper-mainkan.
Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok ketika kedua lengan itu menangkis pedang dan setiap kali
menangkis dan pedang bertemu dengan lengan telanjang, tosu itu merasa betapa tangannya
ter-getar hebat dan hanya dengan pengerahan tenaga sajalah dia masih berhasil
mempertahankan pe-dangnya sehingga tidak terlepas dari pegangannya.
Setelah membiarkan lawan menghunjamkan se-rangan sampai tiga puluh jurus tanpa
dibalasnya, seolah-olah memperlihatkan kepada semua yang menonton bahwa serangan-
serangan itu sama se-kali tidak ada artinya baginya, dan menyatakan pula bahwa dia sudah
banyak memberi "hati" dan kelonggaran kepada lawan, juga untuk mendemon-strasikan
keunggulan dan kepandaiannya, tiba-tiba kakek itu berseru, "Ceng Liong, lihat Coan-kut-ci
ini!" Maka mulailah kakek ini mengerahkan tena-ga dan kedua tangannya membentuk cakar,
persis seperti ketika Ceng Liong berlatih tadi.
"Haaaiiiiittt.... ah....!" Tangan kirinya berge-rak mencengkeram ke depan, ke arah pedang
yang menusuk lambungnya. Lengan itu meluncur ke depan dan ketika tangannya yang
membentuk cakar itu bertemu pedang, pergelangan tangannya ber-goyang kuat, tangannya
mencengkeram dibarengi bentakan "ahh!" tadi.
"Krekkk!" Ujung pedang itu kena dicengkeram dan patah!
"Haaiiiiittt, ahh!" Tangan kanan menyambar ke depan, sebelum dapat dihindarkan oleh tosu
yang terkejut setengah mati melihat betapa pedang pu-sakanya dicengkeram patah itu, tangan
kanannya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
175 "Krakkk....!" Tosu itu mengeluh dan ketika dia meloncat ke belakang, lengan kanannya
terkulai karena tulang lengan itu sudah patah dan remuk, hanya tinggal kulit saja yang
menahan sehing-ga lengan itu tidak buntung. Pedangnya terlepas dan jatuh ke atas tanah.
Kini tubuh Hek-i Mo-ong bergerak ke depan, mulutnya melengking, "Haiiiiitttt, ah!" Dan
cengkeraman tangan kiriya menyambar ganas ke arah perut. Tosu itu maklum akan hebatnya
cengkeraman tangan yang mengandung hawa mujijat Coan-kut-ci itu, cepat mengelak ke
samping. Cengkeraman itu luput, akan tetapi ternyata ceng-keraman itu hanya merupakan
pancingan karena kini cengkeraman tangan kanan sudah menyambar ke arah kepala lawan.
"Haiiiiittt! Ahhh!" Dan cengkeraman tangan kanan itu menyambar dahsyat, tak dapat
dielakkan lagi.
"Crotttt....!" Lima jari tangan kanan Hek-i Mo-ong amblas ke dalam kepala tosu itu. Tosu itu
membalik, mulutnya terbuka dan mengeluarkan pekik aneh dan ketika Hek-i Mo-ong
mencabut jari-jari tangannya, tubuh tosu itu mengejang lalu terkulai, jatuh terguling ke atas
tanah. Terda-pat lima lubang di kepalanya dari mana mengucur darah bercampur otak dan
tosu itu tewas seketika.
Semua orang yang menyaksikan perkelahian itu bergidik ngeri. Bukan oleh pembunuhan itu
karena mereka semua adalah orang-orang yang sudah biasa melihat perkelahian dan
pembunuhan. Akan tetapi mereka ngeri menyaksikan ilmu ceng-keraman maut yang
mengerikan itu. Mereka yang mengenal betapa lihainya pedang dari Yang I Cinjin, lebih-lebih
merasa kagum bukan main dan tahu bahwa Raja Iblis itu memiliki tingkat kepan-daian yang
amat tinggi. Tentu saja, orang-orang seperti Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong dan beberapa
orang lagi dalam rombongan itu tidak menjadi heran. Bahkan Pek-bin Tok-ong ter-tawa
sambil mengacungkan ibu jarinya.
"Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Coan-kut-ci itu, Mo-ong. Engkau semakin tua menjadi
semakin lihai saja!"
"Omitohud!" kata Thai Hong Lama sambil merangkap jari-jari tangannya di depan dada
seperti orang bersujud. "Coan-kut-ci itu memang ilmu yang hebat!"
Hek-i Mo-ong tertawa. "Hah, pujian kalian itu kosong belaka, untuk menutupi kalian
menter-tawakan pukulanku tadi. Mana bisa dibandingkan dengan Hun-kin Coh-kut-ciang
(Tangan Pemu-tus Otot dan Pelepas Tulang) dari Pek-bin Tok-ong dan ilmu pukulan Cui-
beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pengejar Arwah) dari Thai Hong Lama?"
"Heh-heh, itu masih harus dibuktikan, masih harus dibuktikan!" kata Pek-bin Tok-ong sambil
terkekeh. "Omitohud, mana yang lebih hebat, sukar untuk dapat dikatakan!" kata pula Thai Hong Lama
dan ucapan itupun mengandung arti bahwa dia tidak atau belum menerima kalah.
Thong-ciangkun lalu melangkah maju dan menjura. "Hek-i Mo-ong, setelah utusan pribadi
selesai, kami mengundang dengan resmi untuk bersama kami berkunjung ke tempat pertemun.
Bagaimana, dapatkah undangan kami terima?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
176 Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. "Baik, akan tetapi aku harus datang berdua dengan
mu-ridku ini. Bukankah begitu, Ceng Liong muridku?"
Ceng Liong mengangguk. Dia merasa bangga akan kemampuan gurunya yang demikian
mudah dan dia merasa kagum akan kelihaian gurunya. "Memang harus begitu, Mo-ong.
Aku tidak sudi ditinggal di sini sendirian saja!" Tentu saja semua orang merasa heran sekali
mendengar ucapan bo-cah itu terhadap gurunya, demikian kasar tanpa hormat, bahkan
menyebut gurunya Mo-ong begitu saja.
"Kalau begitu, marilah kita berangkat!" kata pula Thong"ciangkun.
Hek-i Mo-ong mengangguk dan menyuruh Ceng Liong berkemas membawa pakaian. Pada
-saat itu terdengar teriakan dan tangis orang. Kira-nya seorang pemuda tanggung yang
usianya tidak akan lebih dari tiga belas tahun telah berlutut dan menangisi mayat Yang I
Cinjin, kemudian memon-dong mayat itu dan pergi dari situ. Sebelum pergi dia menoleh dan
memandang kepada Hek-i Mo--ong dan Ceng Liong. Peristiwa ini mengejutkan semua orang
dan seorang di antara mereka yang berada di situ berkata, "Itu adalah muridnya...."
Mendengar ini, Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. "Hei, anak tikus, lihat dan ingat baik-baik
muka Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong muridku ini. Aku tidak akan membunuhmu, memberi
waktu dan kesempatan kepadamu untuk kelak datang mencari aku atau muridku ini, ha-ha-
ha!" Di dalam hatinya, Ceng Liong sungguh tidak setuju dengan sikap gurunya itu, akan tetapi
karena ucapan itu sudah terlanjur dikeluarkan, diapun hanya memandang kepada anak itu
dengan penuh perhatian agar dia tidak akan mudah melupakan-nya kelak. Dia melihat sebuah
tahi lalat hitam di ujung bawah telinga kiri anak itu dan ini menjadi tanda yang takkan pernah
dilupakan oleh ingatan Ceng Liong yang tajam. Setelah menatap wajah Hek-i Mo-ong dan
Ceng Liong, anak itu sambil menangis melanjutkan perjalanan memondong jenazah gurunya
dan pergi dari tempat itu.
Bagaimanapun juga, peristiwa ini membuat Thong-ciangkun merasa tidak enak dan diapun
cepat merobah suasana dengan memperkenalkan tokoh-tokoh yang lain kepada Hek-i Mo-
ong. "Karena akan menjadi rekan seperjuangan, maka kami ingin memperkenalkan sahabat-
sahabat ini kepadamu, Mo-ong. Ini adalah saudara Siwananda, dialah wakil koksu (guru
negara) Kerajaan Nepal yang baru dan yang telah memperoleh kekuasaan mutlak dari Raja
Nepal untuk menghadap Yong-taijin."
"Hemm, Koksu Nepal" Aku pernah mengenal Sam-ok Bun Hwa Sengjin...." kata Hek-i Mo-
-ong. "Saudara Lakshapadma" Dia memang pernah menjadi Koksu Nepal, akan tetapi karena
menga-lami kegagalan tidak berani pulang ke Nepal. Kami pernah mendengar bahwa dia
bekerja sama de-nganmu sampai menemui kematiannya di tangan Jenderal Muda Kao Cin
Liong." Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. Kiranya orang-orang Nepal ini telah mendengar
segalanya dan dia percaya bahwa tentu orang inipun lihai seperti juga Sam-ok Ban Hwa
Sengjin dahulu. Seperti diceritakan dalam kisahSuling Emas dan Naga Siluman , Sam-ok Ban
Hwa Sengjin adalah orang ke tiga dari Ngo-ok (Lima Jahat) dan pernah menjadi Koksu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
177 Nepal. Akhirnya, ketika Sam-ok bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan bentrok dengan para
pendekar muda, Sam-ok tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.
"Dan saudara ini adalah kepala Suku Tailu-cin dari Mongol. Dia mewakili sukunya untuk
berun-ding dengan Gubernur Yong."
Hek-i Mo-ong dan orang Mongol bertubuh raksasa itu saling memberi hormat. Kemudian
mereka berangkat menuju ke kota Li-tan yang le-taknya di dekat perbatasan antara Tibet,
Ching-hai dan Propinsi Uighur yang kemudian menjadi daerah yang disebut Sin-kiang
(Daerah baru). Pa-sukan pengawal Thong-ciangkun mengiringkan mereka sehingga mereka
itu dianggap sebagai ta-mu-tamu pemerintah dan tidak menimbulkan kecurigaan pada rakyat.
Di dalam sebuah gedung di kota Li-tan ini telah menanti Guberur Yong. Pembesar ini
ber-nama Yong Ki Pok peranakan Uighur yang mem-peroleh kedudukannya melalui
ketentaraan. Karena Kaisar Kian Liong paling benci akan kecurangan para pembesar, maka
pembersihan diadakan sampai ke daerah ini dan Gubernur Yong merasa tersinggung ketika
menerima teguran dari para pejabat pemeriksa. Maka, diam-diam gubernur ini lalu
mengadakan hubungan dengan pihak-pihak lain yang menentang kekuasaan kaisar. Apalagi
ketika dia mendengar pergerakan pasukan Nepal yang melakukan penyerbuan ke Tibet,
dianggapnya itu-lah kesempatan baik untuk bersekutu dengan pa-sukan asing agar
kedudukanya menjadi lebih kuat. Maka dia lalu mengutus Thong"ciangkun, orang
kepercayaannya untuk menghubungi pihak-pihak itu dan pada hari ini diadakan pertemuan
antara wakil-wakil semua pihak dan dengan Gubernur Yong sendiri.
Mereka sudah berkumpul di dalam ruangan itu, sebuah ruangan besar yang cukup mewah.
Meja besar diatur memanjang sehingga semua orang da-pat duduk di sekelilingnya. Agak lucu
melihat Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu, duduk pula semeja dengan gubernur dan
tokoh-tokoh kaum persilatan yang berilmu tinggi itu. Lucu dan jang-gal. Akan tetapi ini
merupakan syarat kehadiran Hek-i Mo-ong, yang tidak mau berpisah dari mu-ridnya. Tak ada
seorangpun di antara mereka itu pernah menduga seujung rambutpun bahwa bocah itu adalah
cucu dalam dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Entah apa akan menjadi reaksinya kalau
hal ini mereka ketahui. Hek-i Mo-ong sendiri duduk dengan tenang sambil memandang dan
memperhatikan orang-orang yang duduk se-meja dengannya itu.
Dengan sinar matanya yang tajam, Hek-i Mo-ong memperhatikan tokoh-tokoh yang hadir
dan sinar matanya seperti menilai dan mengukur ke-lihaian mereka itu. Yang hadir di tempat
itu me-mang merupakan tokoh-tokoh yang amat lihai. Panglima Thong Su adalah tangan
kanan Gubernur Yong dan panglima yang usianya sudah enam puluh tahun ini, yang
tubuhnya tegap dan terlatih, adalah seorang ahli perang yang berpengalaman. Biarpun ilmu
silat atau kekuatan pribadinya tidaklah demi-kian hehat, namun dalam gerakan perang, orang
seperti dia amat diperlukan untuk memimpin pasukan dan mengatur siasat pertempuran.
Thai Hong Lama, pendeta dari Tibet yang ke-palanya gundul dan jubahnya merah itu nampak
menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh kuat, sepasang telinganya lebar
sekali dan tangan kirinya memutar-mutar biji tasbeh dengan sikap alim seperti sepatutnya
menjadi sikap seorang pendeta. Sebatang suling terselip di pinggang, ter-tutup jubah. Akan
tetapi, di balik sikap alim ini tersembunyi ambisi yang amat besar. Pada waktu itu, Tibet
termasuk wilayah yang tunduk kepada pemerintah Ceng yang dikendalikan oleh Kaisar Kian
Liong dan sebagai kepala-kepala daerah, ditunjuklah beberapa orang pembesar yang bekerja
sama dengan para pendeta Lama yang berpenga-ruh. Thai Hong Lama tidak kebagian tempat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
178 ka-rena pendeta ini, biarpun memiliki kepandaian tinggi, telah dicap sebagai seorang
penyeleweng ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap basah memperkosa seorang
wanita di kuilnya. Ma-ka, diam-diam dia merasa sakit hati dan bercita-cita untuk
menggulingkan mereka yang berkuasa di Tibet dan agar dia dapat terangkat menjadi orang
nomor satu yang paling berkuasa di daerah itu. Ilmu silatnya tinggi dan sin-kangnya sudah
sedemi-kian kuatnya sehingga dengan tenaga khi-kang kalau dia meniup sulingnya, dia dapat
menyerang lawan dengan suara suling itu! Juga tasbeh yang selalu dipermainkan oleh jari-jari
tangan kirinya seperti orang bersembahyang membaca mantera setiap saat itu sesungguhnya
merupakan senjata yang ampuh.
Kemudian Hek-i Mo-ong memperhatikan Pek--bin Tok"ong. Dia sudah tahu akan kelihatan
orang ini. Pek--bin Tok-ong (Raja Racun Muka Putih) adalah seorang kakek berusia enam
puluh lima ta-hun, seorang tokoh Pegunungan Go-bi-san yang luas itu. Dia berpakaian
pertapa, serba putih dan longgar, rambunya putih panjang dan kadang-kadang dibiarkan
terurai, kadang-kadang digelung ke atas secara sembarangan saja. Tubuhnya kurus tinggi dan
mukanya putih seperti kapur, karena mu-ka yang putih itulah maka dia dijuluki Raja Racun
Muka Putih. Dari julukannya saja orang sudah da-pat menduga bahwa tokoh ini adalah
seorang ahli yang lihai sekali dalam hal racun. Akan tetapi, bukan dalam urusan mengenai
racun saja dia lihai, juga ilmu silatnya amat tinggi dan lebih berhahaya lagi adalah ilmu-
ilmunya yang semua dilatih de-ngan hawa beracun sehingga pukulannya bukan saja kuat,
melainkan juga mengandung racun me-ngerikan. Satu di antara ilmu-ilmunya yang amat
hebat, seperti yang disebut oleh Hek-i Mo-ong tadi, adalah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-
ciang (Tangan Memutuskan Otot Melepaskan Tulang).
Orang lain yang diperhatikan oleh Hek-i Mo-ong adalah Siwananda dan Tailucin. Siwananda
berusia enam puluh tahun lebih, seorang Gorkha yang berkulit kehitaman, tinggi besar dan
tubuhnya berbulu, mukanya brewok dan rambut kepalanya yang masih hitam itu dibalut kain
kuning. Wakil Koksu Nepal ini juga amat lihai dan tenaganya da-pat dilihat dari keadaan
tubuhnya. Walaupun dia kurus, namun nampak tinggi besar karena tulang--tulangnya
memang besar dan kokoh kuat. Dia bukan hanya pandai ilmu silat Nepal, akan tetapi juga ahli
gulat dan pandai pula ilmu sihir.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarpun tubuh Thai Hong Lama dan Siwananda dari Nepal itu termasuk tinggi besar, akan
tetapi mereka itu nampak sedang-sedang saja kalau dibandingkan dengan Tailucin, tokoh
Mong ol itu. Tailucin ini, yang mengaku sebagai keturunan Jenghis Khan, itu Raja Mong ol
yang amat termasyhur, bertubuh raksasa. Diapun lihai sekali dan bertenaga gajah. Juga dia
pandai berlari sa-ngat cepat seperti larinya kuda dan juga amat pan-dai menunggang kuda,
bahkan pandai menjinakkan kuda-kuda liar. Tentu saja di samping itu semua, dia ahli pula
dengan ilmu silat dan gulat Mong ol. Seperti diketahui, Bangsa Mong ol pernah menja-jah
daratan Tiong kok dan mendirikan Dinasti Goan-tiauw, mengoper sebagian besar kebudayaan
Tiong -kok, termasuk ilmu silatnya. Maka raksasa Mong ol inipun tidak asing dengan ilmu
silat yang telah dipelajarinya semenjak dia masih kecil. Kalau senjata dari Siwananda berupa
sebatang tong kat pikulan yang berat, maka senjata Tailucin ini lebih dahsyat lagi, yaitu
sebuah tong kat penggada yang besar dan lebih berat, terbuat dari pada kayu dari batang
semacam pohon yang dinamakan pohon besi.
Hek-i Mo-ong sudah pernah mendengar ba-nyak mengenai kelihaian Thai Hong Lama dari
Ti-bet dan Pek-bin Tok-ong dari Go-bi, akan tetapi dia belum pernah mendengar tentang
Siwa-nanda dan Tailucin, maka diapun hanya dapat menduga-duga saja sampai di mana
kehebatan kedua orang ini.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
179 "Kami merasa gembira sekali melihat betapa lo-sicu (orang tua gagah) Hek-i Mo-ong suka
memenuhi undangan kami dan dapat hadir dalam pertemuan ini. Kami harap saja bahwa
kehadiran lo-sicu ini berarti bahwa lo-sicu telah sanggup untuk membantu kami, bukan?"
Demikian antara lain Gubernur Yong berkata kepada Hek-i Mo-ong .
Hek-i Mo-ong menatap wajah pembesar itu dengan berani dan tajam seperti hendak
menjenguk isi hatinya, kemudian dengan suara lantang diapun menjawab, "Taijin, terus
terang saja tadinya saya sedikitpun juga tidak mempunyai niat atau minat untuk mencampuri
urusan pergerakan dan pembe-rontakan terhadap pemerintah. Resiko dan baha-yanya
terlampau besar menentang pemerintah yang amat kuat. Akan tetapi, karena saya sejak dahulu
tidak suka kepada Kaisar Kian Liong dan melihat adanya sahabat-sahabat dari Tibet, Nepal,
dan Mongol yang bekerja sama, saya sanggup memban-tu, akan tetapi hanya dengan satu
syarat...." Hek-i Mo-ong menghentikan kata-katanya dan menatap wajah mereka yang hadir
satu demi satu, seolah-olah hendak melihat apakah ada yang me-nentang atau merasa tidak
setuju dengan ucapan-nya itu. Akan tetapi semua orang hanya mendengarkan tanpa reaksi
pada wajah mereka, hanya Gubernur Yong mengerutkan alisnya karena pem-besar ini diam-
diam mengkhawatirkan bahwa syarat yang diajukan oleh Raja Iblis ini akan ter-lampau
memberatkan dirinya.
"Syarat apakah itu" Kalau memang pantas dan dapat dilaksanakan, apa salahnya" Harap lo-
sicu suka memberitahu." Gubernur Yong yang pan-dai mempergunakan tenaga orang-orang
kuat ini berkata dengan nada suara ramah.
"Taijin, sudah menjadi watakku bahwa satu kali saya bekerja, saya akan melakukannya
dengan pencurahan seluruh tenaga dan pikiran, dan akan saya bela sampai mati. Oleh karena
itu, tanpa im-balan yang pantas, tentu saja saya segan untuk melakukannya. Imbalan atau
syarat itu adalah bahwa taijin akan mengangkat saya menjadi pe-nasihat utama dan kalau
kelak taijin berhasil, saya diangkat menjadi koksu."
Semua orang terkejut mendengar ini. Jabatan koksu adalah jabatan yang amat tinggi dalam
se-buah pemerintahan karena koksu memiliki kekua-saan yang amat besar, hanya di bawah
kekuasaan raja. Bahkan sang raja akan selalu bertindak se-telah memperoleh nasihat dan
persetujuan dari koksu. Akan tetapi, Gubernur Yong tertawa gem-bira.
"Ah, tanpa syarat itupun kami akan merasa berterima kasih dan bergembira sekali kalau lo-
sicu suka menjadi pembantu dan penasihat utama kami. Tentu saja syarat itu kami terima
dengan segala senang hati!"
Tiba-tiba Thong-ciangkun, panglima yang sudah belasan tahun mengabdi kepada gubernur
itu dan menjadi kepercayan utama, berdehem lalu berkata dengan lembut dan sopan, "Harap
taijin dan cu-wi yang hadir suka memaafkan saya. Ter-utama sekali harap Mo-ong suka
memaafkan ka-rena sesungguhnya saya bukan bermaksud menen-tang, melainkan sudah
menjadi kewajiban saya untuk mengingatkan Yong -taijin yang menjadi atasan saya. Begini,
taijin. Jabatan calon koksu adalah jabatan yang amat penting sekali. Seorang koksu bukan saja
harus pandai mengatur siasat dan menasihati atasannya, akan tetapi juga harus me-miliki ilmu
kepandaian yang tinggi, lebih tinggi daripada kepandaian orang-orang lain yang mem-bantu
taijin. Oleh karena itu saya kira sudah amat tepat kalau kita semua melihat sampai di mana
kehebatan ilmu kepandaian Mo-ong agar kita semua dapat menilai apakah memang dia sudah
cukup pantas untuk menjadi seorang calon koksu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
180 Wajah Hek-i Mo-ong berobah merah ketika dia menatap tajam kepada panglima itu.
"Hemm...., Thong-ciangkun, agaknya engkau sendiri juga menginginkan kedudukan calon
koksu" Kalau be-gitu, majulah dan mari kita memperebutkan kedu-dukan itu!" berkata
demikian, Hek-i Mo-ong sudah bangun dari tempat duduknya.
Thong Su juga bangkit lalu menjura kepada Hek-i Mo-ong sambil tersenyum. "Ah, satu di
antara syarat menjadi koksu haruslah dapat mena-han kesabaran hati, Mo-ong. Bukan sekali-
kali aku bermaksud memperebutkan kedudukan koksu. Aku seorang perajurit, seorang
perwira, sama seka-li tidak pandai bersiasat, kecuali siasat perang. Da-lam hal perang, tentu
saja aku berani melawanmu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, sedikitpun aku tidak akan
menandingimu."
Hek-i Mo-ong tersenyum "Kalau engkau ti-dak ingin menjadi koksu, mengapa engkau
mengusulkan agar aku diuji" Nah, kalau engkau hen-dak menguji, majulah!"
Kembali Thong Su mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Jangan salah sangka, Mo-
ong. B Bara Naga 10 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Golok Yanci Pedang Pelangi 4
^