Kisah Para Pendekar Pulau Es 7

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


ukan sekali-kali aku hendak mengujimu, dan bukan sekali-kali aku tidak percaya akan
kepan-daianmu. Akan tetapi, tanpa memperlihatkan ke-pandaian, kedudukan jabatan penting
itu berarti kauperoleh terlalu mudah dan tidak mengesankan. Karena itu, engkau harus
memperlihatkan kepan-daianmu di depan gubernur."
"Dengan cara bagaimana" Siapa yang akan mengujiku?" tanya Hek-i Mo-ong dengan sikap
takabur karena tokoh ini memang sudah biasa me-mandang rendah semua orang dan
mengangkat diri sendiri di tempat tertinggi.
"Aku sendiri tidak begitu pandai ilmu silat, akan tetapi di sini hadir ahli-ahli yang pandai,
yaitu Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, sau-dara Siwananda dan saudara Tailucin. Sebagai
para pembantu dan sekutu dari taijin, maka saya kira mereka berempat tidak keberatan untuk
membantu taijin menguji kelihaian orang yang pantas menjadi calon koksu. Kelirukah
pendapat hamba ini, taijin?"
Gubernur Yong tersenyum lebar dan mengang-guk-angguk. "Sungguh bagus sekali usul itu!
Memang sudah lama aku mendengar akan kelihai-an cu-wi lo-sicu yang terhormat. Dan
sekarang, setelah kita memperoleh kesempatan berkumpul, agaknya sayang kalau aku
menyia-nyiakan ke-sempatan ini untuk menyaksikan dengan mata sen-diri kehebatan para
pembantu dan sekutuku. Ten-tu saja kalau cu-wi tidak berkeberatan."
Hek-i Mo-ong segera menjawab, "Saya tidak berkeberatan, kalau saja keempat orang saudara
yang gagah ini melakukan ujian terhadap diri sa-ya." Ucapan ini setengah merupakan
tantangan kepada empat orang yang hadir itu!
Pek-bin Tok-ong adalah tokoh dunia persilatan yang sepeti kebanyakan para tokoh kang-ouw
selalu "haus" akan ilmu silat dan mempunyai kesukaan mengadu ilmu untuk menguji
kepandaian masing-masing. Kini mendengar usul Thong-ciangkun yang sudah disetujui oleh
gubernur dia menjadi gembira sekali. "Kalau hanya merupakan ujian kepandaian, apa
salahnya" Pibu untuk menguji seseorang merupakan hal yang biasa saja dan saya sungguh
merasa setuju sekali!" Tokoh ini baru saja merampungkan ilmunya Hun-kin Coh-kut-ciang
yang dahsyat, maka diam--diam diapun ingin sekali mengadu ilmunya dengan Ilmu Tok-hwe-
ji yang dikuasai Hek-i Mo-ong!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
181 Tailucin mengerutkan alisnya. Dengan baha-sanya yang kaku dan asing diapun berseru,
"Akan tetapi, saya sama sekali tidak mengenal ujian ke-pandaian berkelahi yang tidak akan
mendatangkan cedera, bahkan mungkin kematian kepada seseo-rang. Kalau sekali saya maju
memperlihatkan ke-pandaian, maka akibatnya hanya dua, yaitu saya menang atau kalah.
Kalau memang, tentu pihak lawan cedera atau mati dan demikian sebaliknya kalau saya kalah,
saya cedera atau mati. Bukankah hal ini akan merugikan sekali bagi persekutuan
kita?"Siwananda hanya tersenyum saja. Dia hanya akan menurut bagaimana keputusan
teman-temannya yang hadir di situ. Wakil Koksu Nepal ini adalah seorang cerdik dan tidak
mau mengambil tindakan sembrono. Dia tidak mau menyinggung hati seorang di antara
mereka yang dianggap men-jadi sekutunya, yang akan menguntungkan negara-nya dalam
pergerakan negaranya.
Thai Hong Lama masih memutar tasbehnya ke-tika dia berkata, "Omitohud....! Kekerasan
tidak akan mengatasi persoalan! Masalah ujian kepan-daian ini dapat saja dilakukan tanpa
kekerasan, yaitu dengan jalan menguji ketangkasan yang men-jadi inti dari ilmu kepandaian
silat. Entah Hek-i Mo-ong setuju ataukah tidak dengan pendapat pinceng ini."
"Ha-ha-ha! Thai Hong Lama memang pan-dai. Akan tetapi bagiku, diuji secara
bagaimanapun juga aku tentu setuju saja, untuk memenuhi harap-an Yong-taijin. Nah,
katakanlah, bagaimana usul-mu itu, Lama?"
"Menggunakan sepasang sumpit untuk menjepit makanan, merupakan hal yang amat mudah
dan seorang anak kecil sekalipun akan mampu me-lakukannya. Akan tetapi, untuk melakukan
hal itu, tenaga dalam tangan yang memegang sumpit ha-ruslah seimbang dan tidak boleh
terganggu, karena kalau terganggu, banyak bahayanya makanan yang dijepit sumpit akan
terlepas. Kalau Mo-ong mem-pertahankan makanan yang dijepit di antara dua batang
sumpitnya agar jangan sampai terlepas ketika menghadapi serangan sampai sepuluh jurus dari
kami masing-masing, maka dapat dianggap dia menang. Akan tetapi, pinceng peringatkan
ke-pada Mo-ong bahwa amatlah sukar mempertahan-kan makanan itu sampai sepuluh jurus
serangan karena selain tenaganya harus dibagi, juga kalau dia terlalu mempertahankan
makanan itu, tubuh-nya terbuka dan dapat menjadi sasaran serangan. Kalau makanan itu
terlepas, dia kalah, juga kalau sampai ada serangan yang menyentuh sasaran di tubuhnya, dia
dapat dianggap kalah."
Hek-i Mo-ong yang menghadapi syarat berat ini, tidak menjadi khawatir malah tertawa
bergelak. "Bagus! Bagus! Usulmu itu baik dan cerdik se-kali, Lama! Nah, aku sudah siap!
Siapa yang bendak menguji lebih dulu" Ataukah kalian ber-empat hendak maju
berbarengan?" tantangnya dan tangan kanannya yang memegang sepasang sumpit itu telah
menjepit sepotong daging dari dalam panci masakan.
"Ah, tidak adil kalau maju berbareng. Seyo-gianya satu demi satu." Tiba-tiba Thong-
ciangkun berkata dan memang perwira ini cerdik sekali. Se-lain ingin menguji kemampuan
Hek-i Mo-ong, juga ia tidak ingin membuat Raja Iblis itu tidak senang kepadanya karena
usulnya tentang ujian tadi, maka kini dia cepat mencela kalau empat orang penguji itu maju
semua. "Dan pula, karena yang boleh menyerang hanya pihak penguji se-dangkan Mo-ong
sendiri hanya mempertahankan dan tidak boleh membalas, maka terlalu berat bagi yang
mempertahankan kalau sampai sepuluh jurus. Lima juruspun sudah cukup baik kalau dia
mampu mempertahankan diri."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
182 Gubernur Yong sudah memiliki kepercayaan mutlak kepada pembantunya ini, maka biarpun
dia tidak paham tentang ilmu silat, dia tahu bahwa tentu Thong-ciangkun mempunyai alasan
kuat dengan pendapat-pendapatnya itu. Maka diapun mengangguk dan berkata, "Benar sekali
seperti yang dikatakan oleh Thong-ciangkun. Harap ma-ju satu demi satu dan menggunakan
lima jurus saja!"
Karena meja di mana mereka duduk itu penuh hidangan, maka Thong-ciangkun lalu
mengatur sebuah meja kecil dengan dua bangku berhadapan, terhalang meja. Di atas meja itu
hanya ditaruh semangkok masakan dan dua pasang sumpit. Kini Hek-i Mo-ong sambil
tersenyum-senyum me-mandang rendah, duduk di atas sebuah bangku dan memegang
sepasang sumpit. Orang-orang lain masih duduk di tempat masing-masing dan memandang
dengan penuh perhatian. Tailucin sudah bangkit dari tempat duduknya dan kini raksasa ini
duduk di atas bangku, berhadapan de-ngan Hek-i Mo-ong terhalang meja.
Hek-i Mo-ong lalu menggunakan sumpitnya, menjumput sepotong daging, kemudian
mengacungkan daging itu ke depan sambil berkata kepada Tailucin, "Nah, saudara Tailucin,
engkau coba rampas daging ini kalau mampu. Pergunakan se-pasang sumpitmu itu!"
Akan tetapi Tailucin hanya memandang ke arah sepasang sumpit yang menggeletak di
depannya tanpa menyentuhnya, lalu menggeleng kepala. "Biarpun banyak bangsaku sudah
ikut-ikut makan dengan sumpit, akan tetapi aku sendiri lebih suka makan dengan
menggunakan tangan. Oleh karena itu, bagaimana kalau aku mencoba merampas da-ging itu
dari sumpitmu menggunakan tangan saja, Mo-ong?"
Tentu saja kalau lawan menggunakan tangan, keadaan ini amat tidak menguntungkan bagi
Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena tokoh ini memang angkuh dan memandang rendah lawan,
diapun mengangguk. "Boleh saja, akan tetapi, makan de-ngan tangan tanpa mencuci tangan
lebih dulu, amatlah tidak sehat!" Ucapan ini sama saja dengan mengejek lawan yang memiliki
kebiasaan makan tanpa sumpit!
"Mo-ong, jaga seranganku!" Raksasa Mongol itu membentak tanpa memperdulikan ejekan
orang dan tangan kanannya yang besar dan lebar itu terbuka jari-jarinya menyambar ke arah
daging di ujung sumpit dengan cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin keras.
"Wuuuutttt....!" Raksasa itu tercengang ka-rena sumpit yang disambarnya itu tiba-tiba saja
lenyap dan sambarannya hanya mengenai angin kosong belaka. Tak disangkanya bahwa
lawan da-pat bergerak sedemikian cepatnya. Tentu saja dia merasa penasaran dan dengan
bentakan nyaring, kini kedua tangannya menyambar dari kanan kiri!
"Ha-ha-ha, agaknya Tailucin biasa makan dengan kedua tangan!" Hek-i Mo-ong tertawa dan
seperti tadi, dia cepat menggerakkan tangan kanannya, mengelak dari sambaran kedua tangan
dari kanan kiri itu.
"Plakk!" Kedua telapak tangan besar itu ber-temu seperti bertepuk dan untuk kedua kalinya
serangan itu gagal. Wajah raksasa itu menjadi merah karena kembali terdengar Hek-i Mo-ong
mentertawakannya.
Karena tadi dia mendengar bahwa usaha me-rampas daging itu boleh dilakukan dengan
menye-rang maka kini dia menggunakan lengannya yang panjang dan kuat itu untuk
menonjok ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya menyusul dengan sambaran ke arah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
183 ujung sumpit. Akan tetapi, de-ngan mudah saja Hek-i Mo-ong mengelak dari pukulan itu
tanpa menarik tubuhnya dan juga ta-ngan yang memegang sumpit itu mengelak tepat pada
saat tangan kiri lawan menyambar dari kiri.
Melihat usahanya gagal lagi, si Raksasa Mongol sudah melanjutkan serangannya, kini
mencengkeram dengan tangan kanan ke arah pundak Hek-i Mo-ong dan tangan kirinya
menghantam ke arah lengan kanan yang memegang sumpit. Hebat se-rangan yang keempat
kalinya ini dan amat berba-haya bagi Hek-i Mo-ong. Kalau dia hanya mengelak dari
cengkeraman itu, tentu lengannya akan diancam bahaya pukulan yang seperti palu godam
datangnya itu. Akan tetapi, Raja Iblis ini dengan tenang saja menerima cengkeraman itu
dengan pundaknya sambil menarik tangan yang memegang sumpit sehingga terhindar dari
hantaman. Ketika cengkeraman tiba, si raksasa Mongol sudah merasa girang karena
cengkeramannya itu tentu akan mem-buat lengan kanan itu lumpuh dan sumpitnya akan
terlepas! Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang
menceng-keram itu meleset seperti mencengkeram bola baja yang amat licin saja. Hanya
terdengar kain robek, yaitu baju Hek-i Mo-ong yang hitam itu di bagian pundaknya robek
terkena cengkeraman yang amat kuat.
"Ha-ha, engkau sudah menyerang empat jurus, Tailucin!" Hek-i Mo-ong memperingatkan
sam-bil tertawa lagi.Tiba-tiba semua orang menahan napas karena tanpa menjawab, tahu-tahu
kedua tangan orang Mongol itu telah berhasil menangkap lengan kanan Hek-i Mo"ong!
Ternyata raksasa Mongol itu mengeluarkan ilmu gulatnya dan dengan kecepatan kilat tahu-
tahu kedua tangan dan jari-jari tangan yang panjang dan kuat berotot itu telah menangkap
lengan Hek-i Mo"ong, mencengkeramnya dengan keras hendak memaksanya melepaskan
sumpit! Terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan. Buku-buku jari tangan raksasa
Mongol itu berkerotokan dan otot-ototnya menggembung. Akan tetapi, lengan Hek-i Mo-ong
yang nampak kecil dibandingkan dengan lawannya itu, sama sekali tidak terguncang dan
sepasang sumpit di tangannya itu masih tetap menjepit potongan daging, bahkan jari-jari
tangan itu masih dapat mempermainkan sumpit itu sehingga bergerak ke sana-sini! Selain itu,
dari wajah Raja Iblis itu dapat dilihat bahwa dia sama sekali tidak merasa nyeri, seolah-olah
himpitan dan cengkeraman ja-ri-jari tangan yang amat kuat itu tidak terasa sama sekali
olehnya! Dan terjadilah keanehan ketika tiba-tiba raksasa Mongol itu melepaskan
cengkeraman kedua tangannya, menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang kepanasan
lalu dia bangkit dan menjura ke arah Hek-i Mo-ong sam-bil berkata, "Aku terima kalah!" Lalu
dia kemba-li ke tempat duduknya di meja besar. Ternyata kedua telapak tangannya itu
nampak merah sekali seperti baru saja dekat dengan benda panas. Rakasa itu lalu mengambil
arak dan membasahi kedua tangannya dengan arak! Dan memang se-sungguhnya, tadi Hek-i
Mo-ong memperlihatkan kepandaiannya dengan penyaluran tenaga sin-kang yang
mengeluarkan hawa panas sehingga raksasa Mongol itu merasa seolah-olah telapak kedua
tangannya dibakar maka terpaksa dia melepaskan cengkeramannya.
"Omitohud! Nama besar Hek-i Mo-ong ternyata bukanlah kosong belaka. Biarlah pinceng
yang bodoh mencoba-coba." Sambil berkata de-mikian, Thai Hong Lama lalu bangkit dan
meng-hampiri meja kecil, duduk berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, dan mengeluarkan suling
dan tasbehnya. "Maaf, Mo-ong, biarpun pinceng biasa makan dengan sumpit, akan tetapi
tidak biasa mempergunakannya untuk menguji. Maka, kalau eng-kau tidak berkeberatan,
pinceng hendak memper-gunakan tasbeh dan suling untuk menguji. Bagai-mana?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
184 Hek-i Mo-ong mengangguk sambil tersenyum. "Boleh saja, Lama. Suling adalah alat musik
untuk menghibur hati lara, sedangkan tasbeh adalah alat pemusatan pikiran. Kedua benda itu
tentu tidak akan menyakitkan aku, ha-ha-ha!"
Pendeta Lama itu lalu menoleh ke arah meja besar dan berkata, "Harap taijin dan ciangkun
suka menggunakan kedua tangan untuk menutupi kedua telinga rapat-rapat jangan sampai
suara suling pinceng kedengaran oleh ji-wi."
Mendengar ini gubernur itu menoleh dan me-mandang kepada Thong-ciangkun dengan
heran, akan tetapi melihat panglimanya itu mengangguk dan panglima itu mengunakan kedua
telapak tangan menutupi kedua telinganya sendiri, diapun melakukan hal serupa. Sementara
itu, Pek-bin Tok-ong, Siwananda dan Tailucin sudah menga-tur pernapasan dan mengerahkan
sin-kang karena mereka maklum apa yang akan dilakukan oleh rekan mereka itu. Hanya Ceng
Liong yang tidak mengerti dan anak ini hanya memandang kepada gurunya yang amat
dikagumi karena gurunya tadi telah mengalahkan lawan dengan baik sekali.
"Ceng Liong, kau tutup kedua telingamu dengan tangan, atau untuk sementara keluarlah
eugkau dari ruangan ini," kata Hek-i Mo-ong kepada mu-ridnya.
"Aku ingin nonton, Mo-ong!" Ceng Liong membantah dan gurunya tertawa. Anak itu
sun-gguh tabah dan membanggakan hati yang menjadi gurunya. Sementara itu, Thai Hong
Lama telah mulai meniup suling dengan tangan kanannya. Terdengar suara melengking
nyaring, makin lama makin tinggi dan halus sekali, memasuki anak telinga seperti jarum
menusuk-nusuk! Itulah suara suling yang ditiup dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat.
Hek-i Mo-ong melempar pandang sekali lagi ke arah muridnya, akan tetapi dia tidak bicara
lagi karena diapun harus mengerahkan sin-kangnya un-tuk menghadapi serangan suara ini.
Dia merasa tubuhnya agak tergetar dan maklumlah dia bahwa suara suling itu sungguh
berbahaya dan kalau dia tidak hati-hati, maka pertahanannya dapat dibo-bolkan sekali ini oleh
Lama yang lihai itu.
"Rrrrtttt....!" Tiba-tiba nampak sinar putih berkelebat dan tasbeh di tangan kiri kakek gundul
itu telah menyambar ke arah sepasang sumpit yang menjepit daging. Hek-i Mo-ong terkejut
dan ce-pat menarik tangan kiri mengelak, akan tetapi dia merasa betapa jari tangannya
tergetar, tanda bah-wa pertahanannya sudah goyah oleh suara suling itu. Urat-urat halus di
jari-jari tangan yang me-megang sumpit itu terpengaruh dan keadaannya berbahaya sekali.
"Rrrrkkkkkkk!" Kembali tasbeh menyambar, sekali ini ke arah pergelangan tangan yang
meme-gang sumpit.
"Trikkkkk!" Hek-i Mo-ong terpaksa melem-par daging itu ke atas, menggunakan sumpitnya
menangkis tasbeh dan ketika daging itu meluncur turun, disambutnya dengan sepasang
sumpitnya lagi! Sungguh indah sekali pertahanan ini sampai Thai Hong Lama mengangguk
sedikit tanpa meng-hentikan permainan sulingnya. Memang hebat Raja Iblis ini, pikirnya.
Akan tetapi dia masih mempunyai tiga jurus lagi.
Sementara itu, ketika suling mulai ditiup, Ceng Liong mendengarkan dengan penuh
perhatian. Ada getaran halus yang menyerang telinganya, membu-at tubuhnya tergetar, akan
tetapi tanpa disadarinya, sumber tenaga sin-kang yang amat kuat, yang ber-ada di pusarnya,
bergerak sendiri naik dan me-lindungi tubuhnya yang segera terasa hangat dan suara suling itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
185 sama sekali tidak mempengaruhi telinga, jantung maupun syarafnya. Hanya anak ini merasa
tidak senang sekali oleh suara itu, yang dianggapnya sumbang dan tidak enak seperti orang
mendengarkan kaleng diseret. Maka, kegemasan mendengar suara tidak enak ini mendorong
Ceng Liong untuk memukul-mukulkan sumpit gading di bibir mangkok kosong di atas meja
di depannya sehingga terdengarlah bunyi tang-ting-tang"ting nyaring.
Suara tang-ting-tang-ting ini berlawanan dengan suara suling, dan karena Ceng Liong
me-mukulnya dengan sengaja untuk mengacaukan suara suling yang dianggapnya tidak enak
itu, maka terdengarlah paduan suara yang sumbang dan tidak karuan! Mula-mula suara ini
membu-at Thai Hong Lama terheran, akan tetapi perhati-annya segera tertarik dan suara
sulingnya tersen-dat-sendat seperti dihalangi oleh suara pukulan mangkok itu. Tentu saja
kekuatan dalam suara suling menjadi terpecah dan kehilangan banyak daya serangnya.
Hal ini terasa oleh Hek-i Mo-ong dan Raja Iblis inipun tertawa, suara ketawanya
mengandung khi-kang dan segera sisa tenaga dalam suara suling itu lenyap oleh suara ketawa
ini. "Ha-ha-ha, Lama apakah engkau sudah lupa akan sisi seranganmu?"
Diejek demikian, tanpa mengandalkan suara sulingnya lagi, Thai Hong Lama lalu
menggunakan suling yang sudah dilepas dari mulutnya itu untuk menotok ke arah pundak
lawan sedangkan tasbehnya menyambar ke arah daging di sumpit.
"Wirrr.... wuuuutt!" Kembali serangan itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Hek-i Mo-ong
yang kini telah terbebas dari gangguan suara su-ling sehingga dia mampu mencurahkan
seluruh perhatiannya untuk mempertahankan daging di ujung sumpit.
Dua kali lagi berturut-turut Lama itu menye-rang, akan tetapi, selain sumpit itu selalu dapat
dihindarkan dari benturan, juga kini tangan kiri Hek-i Mo-ong membantu dan melakukan
penang-kisan. Pada serangan terakhir, tiba-tiba tangan kiri Hek-i Mo-ong menyambar
sepotong bakso di dalam mangkok dan sekali menyentilkan bakso itu dengan telunjuk kirinya,
"peluru" ini meluncur cepat dan memasuki lubang suling. Kalau tadinya suling yang
digerakkan itu mengeluarkan suara, kini tiba-tiba saja suara itu terhenti seperti jengkerik
terpijak! Serangan terakhir itu menjadi kacau dan tidak berhasil menjautuhkan daging dari
jepitan suling di tangan Hek-i Mo"ong.
"Sungguh Hek-i Mo-ong amat lihai, pinceng mengaku kalah," kata pendeta berjubah merah
itu yang segera kembali ke tempat duduknya semula.
Kini Pek-bin Tok-ong mempersilahkan Siwa-nanda untuk maju akan tetapi Siwananda yang
merasa bahwa dia adalah wakil pemerintah Nepal, seorang wakil koksu negara, bersikap
tenang dan berkata, "Silahkan Tok-ong maju memperlihatkan kepandaian, kami ingin
memperluas pengetahuan dengan menjadi saksi saja."
Terpaksa Pek-bin Tok-ong maju dan meng-hampiri Hek-i Mo-ong. Kakek iblis ini tertawa
dan mengganti daging baru yang diambilnya dari dalam mangkok. "Ha-ha-ha. Tok-ong,
terhadap engkau aku akan menghormati dengan daging baru, dan juga harus berhati-hati.
Jangan-jangan se-mua ototku akan putus dan tulang-tulangku akan terlepas!" Jelaslah bahwa
dengan kata-kata itu Hek-i Mo-ong hendak menyindir calon lawan ini dengan Ilmu Hun-kin
Coh-kut-ciang yang dimiliki Si Raja Racun itu.Pek-bin Tok-ong tersenyum. Tokoh Go-bi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
186

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertapa ini sudah pandai menyimpan perasaannya dan wajahnya nampak sabar dan tenang
walaupun sesungguhnya orang ini memiliki kekejaman yang luar biasa. "Mo-ong, aku selalu
tidak percaya bahwa ada ilmu lain dapat menandingi ilmu barumu Tok-hwe-ji itu. Marilah
kita coba-coba da-lam kesempatan ini!" Sambil berkata demikian, kakek ini menyingkap
jubah putihnya, menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang kurus
panjang seperti tulang terbungkus kulit saja. Akan tetapi, begitu dia menggerak-gerakkan
kedua lengannya, kulit lengan yang tadinya putih pucat itu berobah menjadi agak biru seperti
warna baja matang! Biru mengkilap dan kelihatan keras sekali. Diam-diam Hek-i Mo-ong
terkejut juga dan maklumlah dia bahwa lawannya ini ternyata telah melatih sin-kang yang
amat kuat, yang mem-buat kedua lengan itu menjadi seperti baja dan jari-jari tangan itu
tentulah amat kuat pula se-hingga mampu memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan.
Maka, diam-diam diapun menge-rahkan tenaganya dan mempersiapkan diri dengan ilmunya
yang mujijat, yaitu Ilmu Tok-hwe-ji yang mengerikan itu.
Dengan tubuh tegak di bangkunya, tangan ka-nan memegang sumpit yang menjepit daging
baru, tangan kiri siap di atas meja di depan dadanya, Hek-i Mo-ong memandang lawan
dengan mata beringas. Dari pandang matanya saja keluar tenaga mujijat dan walaupun dia
tidak bermaksud mem-pergunakan ilmu sihirnya di dalam ujian itu, na-mun tenaga ilmu hitam
keluar dari matanya dan membuat Pek-bin Tok-ong bergidik. Tokoh ini-pun maklum bahwa
kalau saja pertandingan ilmu ini bukan hanya sekedar ujian dan main-main, dia akan berpikir
beberapa kali sebelum menentang seorang seperti Raja Iblis ini.
"Mo-ong, jagalah seranganku!" Tiba-tiba Pek-bin Tok-ong berseru nyaring dan berbareng
dengan bentakannya itu, tubuhnya sudah bergerak dan kedua lengannya menyambar ke arah
lawan melalui atas meja yang menjadi penghalang di an-tara mereka. Kedua tangannya itu
menyambar ke depan dengan jari terbuka, seperti sepuluh batang pisau yang amat kuat dan
cepat menyambar ke arah pundak dan lengan kanan Mo-ong. Terde-ngar suara bercuitan
ketika kedua tangan itu menyambar dan terasa angin yang dingin sekali ber-tiup. Itulah ilmu
pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat itu.
Namun, Hek-i Mo-ong tidak merasa gentar dan cepat tangan kirinya melakukan totokan-
to-tokan ke arah pergelangan tangan dan siku untuk menangkis atau mematikan serangan
pertama itu, sedangkan tangan kanan yang memegang sumpit juga bergerak untuk mengelak.
Serangannya belum mencapai sasaran dan di tengah gerakan telah disambut oleh totokan jari
tangan yang dia tahu amat ampuh itu, maka tentu saja Pek-bin Tok-ong terpaksa menarik
kembali serangannya sehingga serangan pertama itu gagal. Selanjutnya, dia me-nyerang lagi
dengan Hun-kin Coh-kut-ciang dan lawannya menyambut dengan Tok-hwe-ji yang
menggerakkan ilmu totokan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat ampuh itu.
Hebat-nya, ketika mengerahkan ilmu ini, bukan hanya jari-jari tangannya yang amat hebat,
dapat menembus tulang, akan tetapi juga dari mulutnya keluar uap putih yang amat panas dan
inilah yang membuat Pek-bin Tok-ong merasa kewalahan. Beberapa kali kedua lengan
bertemu, bahkan jari-j-ari tangan mereka sempat bertemu, akan tetapi selalu pertemuan itu
mengakibatkan lengan dan tangan Raja Racun Muka Putih itu terpental dan tubuhnya tergetar.
Setelah lewat lima jurus dia menyerang tanpa hasil, akibatnya malah muka dan lehernya
penuh keringat dan mukanya yang putih itu menjadi kemerahan seperti terbakar. Itulah akibat
dari serangan atau tangkisan Ilmu Tok-hwe--ji!
"Hebat.... engkau memang pantas menjadi calon koksu, Mo-ong!" kata kakek muka putih itu
sambil menjura dan kembali ke tempat duduk-nya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
187 Melihat kemenangan Hek-i Mo-ong secara berturut-turut itu, Yong-taijin memuji dan
me-rasa girang sekali. Mempunyai seorang pembantu atau koksu seperti Hek-i Mo-ong
sungguh membesarkan hati, pikirnya. Akan tetapi di situ masih terdapat Siwananda yang
menjadi seorang dian-tara sekutunya yang terpenting. Bukankah kakek berkulit kehitaman ini
wakil dari Kerajaan Nepal yang amat diharapkan akan dapat memperkuat kedudukannya
kalau tiba waktunya dia menyerang kota raja" Maka, Gubernur Yong lalu berkata sam-bil
tersenyum, "Sekarang tiba giliran saudara Wa-kil Koksu Nepal untuk menguji calon
pembantu kami."
Siwananda bangkit berdiri dengan sikap ang-kuh, menjura kepada sang gubernur dan berkata,
"Maaf, taijin. Sesungguhnya, kami sudah melihat kelihaian calon koksu yang menjadi
pembantu taijin dan merasa kagum sekali. Karena tiga orang rekan kami tadi sudah
mengujinya dan dia lulus dengan baik, biarlah sekarang kami menguji sam-pai di mana
kekuatan batinnya, karena kekuatan badan saja bukan merupakan syarat mutlak untuk
menjadi seorang koksu yang baik."
Gubernur Yong sudah mendengar bahwa orang Nepal ini, di samping ilmu silatnya, juga
mahir il-mu sihir. Akan tetapi diapun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang
ahli sihir, maka dia merasa gembira akan dapat menyaksikan pertandingan adu kekuatan sihir.
Dia mengangguk gembira dan berkata, "Silahkan, saudara Siwananda."
Kakek Gurkha yang tinggi besar ini segera menghampiri meja kecil di mana Hek-i Mo-ong
telah menantinya dan duduk berhadapan dengan Raja Iblis itu. Sejenak mereka hanya saling
berpandang mata. Biarpun bagi orang lain mereka itu hanya saling pandang, namun
sesungguhnya ke-dua orang ini sedang mengukur tenaga dan keku-atan batin mereka masing-
masing melalui pan-dang mata itu! Terjadilah adu kekuatan mujijat melalui sinar mata mereka
dan diam-diam Siwa-nanda terkejut. Diapun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong pandai
ilmu sihir, akan tetapi dia tidak mengira bahwa kekuatan yang terkandung dalam sinar mata
itu demikian kuatnya! Dia tidak tahu bahwa kekuatan ilmu sihir memang menjadi berlipat
ganda dengan kuatnya tenaga sin-kang yang dimiliki Hek-i Mo-ong. Biarpun mereka yang
hadir itu hanya menduga-duga bahwa kedua orang itu saling mengukur tenaga batin, namun
mereka mulai merasakan getaran aneh yang memenuhi ruangan itu, yang membuat mereka
merasa tegang dan juga seram.
"Hek-i Mo-ong, yang kaupegang dengan sum-pit itu seekor burung hidup!" Tiba-tiba
terde-ngar suara Wakil Koksu Nepal itu. Semua orang memandang ke arah potongan daging
yang dijepit sumpit di tangan Hek-i Mo-ong dan terbelalak-lah mereka ketika melihat bahwa
daging itu kini benar-benar telah menjadi seekor burung kecil yang menggelepar-geleparkan
sayapnya berusaha untuk lolos dari jepitan sepasang sumpit. Kalau burung itu sampai lolos,
maka berarti Hek-i Mo-ong kalah karena bukankah ujian itu untuk meram-pas daging dari
jepitan sumpitnya" Dan agaknya tidak akan mudah menahan terbangnya burung itu dengan
jepitan sumpit saja.
"Biarpun burung hidup, kalau sayapnya gundul, mana bisa terbang?" tiba-tiba terdengar
suara Hek-i Mo-ong, sama berwibawanya dengan suara Siwananda tadi. Dan burung yang
tadinya meng-geleparkan sayapnya itu tiba -tiba saja kehilangan kekuatannya dan sayap itu
benar-benar telah ke-hilangan bulunya, menjadi gundul dan hanya dapat digerak-gerakkan
naik turun dengan lemah saja!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
188 "Hek-i Mo-ong, sepasang sumpitmu itu ada-lah sepasang ular!" Dan semua orang terbelalak
kaget dan heran karena begitu Siwananda menge-luarkan teriakan ini, sepasang sumpit di
tangan Raja Iblis itu benar-benar berobah menjadi dua ekor ular, sedangkan burung tadi telah
berobah pula menjadi sepotong daging!
"Sepasang ular yang membantuku menjaga agar daging jangan terlepas!" Hek-i Mo-ong
menyam-bung, dan dua ekor ular itu kini "menari"nari" berlenggak-lenggok, akan tetapi
daging itu me-reka gigit dengan kuat-kuat sehingga tidak mung-kin terlepas lagi.
Siwananda tertawa dan bangkit sambil menjura. "Hek-i Mo-ong memang hebat dan kami
meng-ucapkan selamat kepada Yong-taijin yang telah memperoleh seorang calon koksu yang
amat pan-dai!" Kakek Gurkha ini lalu memberi hormat ke-pada Gubernur Yong. Pembesar ini
merasa girang sekali, memandang kepada Hek-i Mo-ong yang kini mengantar sepotong
daging dengan sepasang sumpitnya yang telah kembali berbentuk sumpit biasa itu ke mulut,
lalu makan dengan lahapnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Ceng Liong merasa bangga dan girang. Dia menghampiri gurunya dan berkata, "Mo-ong, aku
mengucapkan selamat atas pengangkatanmu seba-gai koksu!" Dan dengan hati setulusnya
anak ini mengangkat kedua tangan ke dada untuk membe-ri hormat!
"Ha-ha-ha, terima kasih, Ceng Liong. Akan tetapi aku belum menjadi koksu, hanya baru
calon saja. Mudah-mudahan semua usaha kita bersama ini berhasil sehingga aku benar-benar
menjadi koksu dan engkau menjadi seorang pemuda bang-sawan, murid koksu. Ha-ha-ha!"
Tailucin, Thai Hong Lama, dan Pek-hin Tok--ong juga mengucapkan selamat atas
kemenangan dan keberhasilan Hek-i Mo-ong menempuh ujian itu, dan Thai Hong Lama yang
tadi merasa betapa suara sulingnya dikacaukan oleh anak itu sehingga memudahkan Hek-i
Mo-ong memperoleh keme-nangan atas dirinya, menambahkan, "Omitohud.... Mo-ong,
muridmu ini benar-benar hebat dan kelak dia akan lebih hebat dan lebih jahat daripada
gurunya!" Dikatakan jahat bagi seorang datuk sesat ma-cam Hek-i Mo-ong sama saja dengan menerima
pujian! Maka diapun tertawa bergelak. Akan te-tapi Ceng Liong memandang pendeta Lama
itu dengan mata mendelik, lalu terdengar dia berkata lantang.
"Lama, jangan sembarangan saja bicara! Aku bukan seorang penjahat dan tidak akan menjadi
seorang penjahat biarpun aku mempelajari ilmu dari Hek-i Mo-ong!"
Tentu saja semua orang menjadi heran mende-ngar ucapan anak itu, akan tetapi Hek-i Mo-
ong tertawa semakin keras karena dia melihat betapa lucunya keadaan yang ditimbulkan oleh
sikap mu-ridnya yang aneh ini. Semakin aneh watak murid-nya, semakin sukalah hati Hek-i
Mo-ong, karena bagi kaum sesat, yang diutamakan adalah keanehan dan sifat yang lain
daripada orang lain, dan me-nerjang semua hukum-hukum yang telah ada tanpa
memperdulikan tata susila atau kesopanan pula.
Gubernur Yong yang diam-diam tidak suka dengan watak orang-orang ini akan tetapi
terpak-sa bersikap ramah terhadap mereka karena memang dia amat membutuhkan bantuan
mereka, lalu mengajak mereka untuk mulai berunding yang se-sungguhnya merupakan acara
inti dari pertemuan itu. Sebagai seorang yang mengharapkan kedu-dukan koksu dan pembantu
utama gubernur yang hendak memberontak itu, Hek-i Mo-ong mendengarkan dengan penuh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
189 perhatian. Juga Ceng Liong, walaupun belum dapat menangkap seluruh maksud dari
percakapan itu, mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia mendapatkan perasaan bahwa
apa yang didengarnya itu amat penting baginya.
Dengan panjang lebar dan jelas, Gubernur Yong menceritakan rencana mereka bersama.
Kerajaan Nepal akan mengirim pasukan yang kuat dan be-sar untuk menyerang Tibet.
Serbuan ini diharap-kan dapat berhasil dalam waktu yang tidak terla-lu lama dan
mengandalkan bantuan dari dalam yang akan digerakkan dan diatur oleh Thai Hong Lama.
"Jangan khawatir, untuk keperluan itu pinceng telah memiliki banyak kawan sehaluan dan
sewak-tu-waktu tentu kami akan dapat membantu. Pen-deknya, dengan bantuan kami, bala
tentara Nepal tentu tidak akan suka untuk menduduki Tibet." Demikian Thai Hong Lama
mengutarakan isi ha-tinya. Menurut perjanjian mereka, setelah Tibet jatuh ke tangan Kerajaan
Nepal, Thai Hong Lama yang akan diangkat sebagai penguasa Tibet, tentu saja sebagai negara
taklukan dari Nepal. Dan untuk keperluan menyerbu Tibet, Gubernur Yong akan membantu,
yaitu dengan mencegah datang-nya bala bantuan berupa bala tentara Kerajaan Ceng. Dengan
demikian, tentu Tibet akan mudah direbut dan bantuan Gubernur Yong ini amatlah penting
karena kalau sampai bala tentara Ceng membantu Tibet, tentu akan sukarlah daerah itu
direbut oleh pasukan Nepal. Apalagi kalau bala tentara Kerajaan Ceng itu dipimpin oleh
panglima-panglima pandai seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah membuat
tentara Nepal kocar-kacir beberapa tahun yang lalu (bacaKisah Suling Emas dan Naga
Siluman). Kemudian, setelah mereka berhasil merebut Ti-bet, barulah mereka akan mengadakan
pasukan gabungan antara bala tentara Nepal, Tibet dan pasukan-pasukan yang berjaga di barat
dan telah dikuasai oleh Thong-ciangkun sebagai pembantu Gubernur Yong dan melakukan
penyerbuan ke timur untuk menentang Kerajaan Ceng.
"Akan tetapi, kita harus bertindak hati-hati sekali, tidak perlu tergesa-gesa dan menanti saat
yang baik. Kita harus ingat bahwa kerajaan memi-liki banyak panglima yang pandai dan
pasukan yang kuat," kata sang gubernur.
"Ha-ha-ha, harap taijin tenangkan hati dan tidak perlu khawatir tentang orang-orang pandai
itu. Dengan bantuan para rekan yang kini hadir, saya sanggup untuk menentang dan
membasmi para jagoan kerajaan itu. Dengan bantuan teman--teman, bahkan para penghuni
Pulau Es pun tidak dapat melawan kami!" Akan tetapi, ketika bicara sampai di situ, Hek-i
Mo-ong merasa betapa ada sepasang mata yang mendelik kepadanya. Dia menoleh dan
terkejut melihat bahwa orang yang melotot kepadanya itu adalah muridnya. Dia sadar dan
tidak melanjutkan kata-katanya. Akan tetapi ucapannya yang terakhir itu telah membuat para
tokoh di situ menjadi terbelalak.
"Apa katamu" Para penghuni Pulau Es....?" kata Pek-bin Tok-ong kaget.
"Omitohud....! Kaumaksudkan bahwa eng-kau telah berhasil membunuh Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es?" tanya pula Thai Hong Lama yang menganggap berita itu seperti petir
menyambar di siang hari panas.
Hek-i Mo-ong menjadi serba salah. Dia tahu bahwa di depan muridnya, amat tidak baik
mem-bicarakan tentang kebinasaan para penghuni Pu-lau Es, akan tetapi dia telah terlanjur
bicara dan takkan dapat ditariknya kembali. Maka diapun menarik napas panjang.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
190 "Manusia mana di dunia ini yang sanggup mengalahkan Pendekar Super Sakti, majikan
Pulau Es" Bahkan dewa sekalipun akan sukar mengalah-kannya. Tidak, kami tidak berani
melawan Pende-kar Super Sakti. Kami hanya melawan isteri-iste-rinya dan hal itupun
mengakibatkan tewasnya ba-nyak anak buah dan hampir semua kawan-kawan-ku. Mereka itu
sungguh hebat bukan main. Aku sendiri nyaris binasa. Bagaimanapun juga, kini Pulau Es
telah terbakar habis berikut para penghuninya, dan kami akan terus melakukan sampai semua
pendekar yang menentang kami lenyap dari permukaan bumi. Bukankah kalau sudah begitu,
gerakan taijin akan lebih mudah dilakukan?"
Gubernur Yong mengangguk-angguk, akan tetapi Pek-bin Tok-ong agaknya masih penasaran
mengenai Pulau Es. "Mo-ong, kaukatakan bahwa Pulau Es terbakar habis berikut para
penghuninya. Benarkah itu" Apakah engkau dan kawan-kawan-mu yang telah berhasil
membakar pulau itu?"
Kalau saja dia tidak teringat kepada kehadiran muridnya, tentu dengan senang dan bangga
sekali Hek-i Mo-ong akan membual dan mengaku bah-wa dialah yang telah menghancurkan
dan memba-kar Pulau Es. Akan tetapi, kehadiran Ceng Liong membuat dia tidak mungkin
dapat membohong. Watak muridnya ini aneh sekali, siapa tahu murid-nya akan membuatnya
malu dan menyangkalnya kalau dia berbohong.
"Tidak, kami sisa para penyerbu telah mening-galkan pulau ketika kami melihat dari jauh
pulau itu terbakar habis." Karena tidak ingin mereka itu mendesak lebih lanjut tentang Pulau
Es dan kini sikap Ceng Liong telah biasa kembali, Hek-i Mo--ong lalu berkata cepat, "Akan
tetapi, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kita. Lebih baik kita sekarang
melihat halangan dan hambatan apa yang kiranya akan mengganggu gerakan kita dan kita
lenyapkan halangan itu."
Semua orang mengangguk setuju dan Wakil Koksu Nepal lalu berkata, "Memang benar apa
yang dikatakan Mo-ong. Kita harus menghalau semua hambatan dan ada beberapa hal yang
mem-buat kami merasa gelisah. Pertama-tama adalah negara tetangga kami yang kecil, yakni
Bhutan. Negara kecil itu menjadi penghalang besar bagi gerakan kami menyerbu Tibet karena
sampai se-karang Bhutan tidak mau tunduk, bahkan tidak memiliki sikap bersahabat dengan
kami. Karena itu, setiap gerakan kami yang melanggar wilayah mereka, tentu akan mereka
tentang dan hal ini sungguh memusingkan dan membuang banyak te-naga kalau kami harus
menggempur Bhutan lebih dulu."
"Bhutan" Negara yang demikian kecilnya?" Gubernur Yong memandang rendah. "Apa sih
ke-kuatan negara kecil itu" Mengapa tidak ditunduk-kan saja lebih dulu" Hal itu tentu jauh
lebih mu-dah daripada menundukkan Tibet."
"Agaknya Yong-taijin belum mendengar. Bhu-tan sekarang tidak dapat disamakan dengan
Bhutan belasan tahun yang lalu. Biarpun negara itu kecil, akan tetapi memiliki pasukan
pilihan yang amat kuat, di bawah pimpinan Puteri Syanti Dewi yang lihai dan suaminya yang
lebih lihai lagi. Tidak, menyerbu Bhutan sama dengan mencari penyakit," kata Siwananda,
orang Gurkha yang menjadi Wa-kil Koksu Nepal itu dan sikapnya nampak jerih. Tentu saja
hal ini membuat semua orang merasa heran. Wakil koksu itu sendiri demikian lihai, akan
tetapi kelihatan jerih ketika menyebutkan nama seorang Puteri Bhutan dan suaminya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
191 "Omitohud, pinceng pernah mendengar tentang mereka dan kabarnya suami isteri itu
memang luar biasa lihainya. Kabarnya, puteri itu pandai meng-hilang saking cepatnya ia
dapat bergerak, sedang-kan suaminya adalah seorang Han yang pada be-lasan tahun yang lalu
pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Kalau tidak salah, dia berjuluk Toat--beng-ci atau Si
Jari Maut. Sang puteri kabarnya tidak mau menggantikan ayahnya dan menyerah-kan tahta
kerajaan kepada seorang saudara laki-laki, sedangkan ia sendiri bersama suaminya menjadi
panglima-panglima yang memimpin bala tentara Bhutan. Benarkah demikian, saudara
Siwananda?" Yang ditanya mengangguk membenarkan.
"Dan halangan lain, apakah itu, saudara Siwananda?" tanya sang gubernur.
"Selain adanya Bhutan yang menjadi pengha-lang, juga kini banyak terdapat tokoh-tokoh
per-tapa di Himalaya yang kabarnya diam-diam juga mengamati gerak-gerik kami. Mereka itu
kadang--kadang mengambil sikap bermusuh dan agaknya mereka tentu akan ikut menentang
kalau kami me-nyerbu Tibet. Semua ini adalah gara-gara Jende-ral Kao Cin Liong yang
dahulu pernah menentang kami dan di sana dia telah mempunyai banyak sa-habat yang siap
membantunya dan menentang ka-mi."
Semua orang merasa khawatir dengan berita yang tidak baik ini. "Ah, kalau begitu.... gerakan
kita menghadapi ancaman yang berat." kata Gubernur Yong, kemudian ia teringat akan Hek-i
Mo-ong yang menjadi pembantu utamanya, maka diapun menoleh kepada Raja Iblis itu."Lo-
sicu, kita menghadapi rintangan yang cu-kup berat, kalau menurut pendapatmu, apa yang
harus kita lakukan?" Pertanyaan ini selain me-mancing, juga agaknya sang gubernur ingin
meli-hat kegunaan dari orang lihai ini.
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk sambil mengerutkan sepasang alisnya yang sudah
beruban, seperti seorang ahli pikir yang sedang mengerjakan otaknya yang cerdik. "Hal itu
sudah saya pikir-kan sejak mendengar dari saudara Siwananda tadi, taijin. Harap taijin jangan
khawatir. Kalau yang menjadi penghalang itu berupa pasukan besar, ten-tu saja yang harus
menghalaunya juga pasukan yang lebih kuat lagi. Akan tetapi kalau yang dikhawa-tirkan itu
perorangan, seperti suami isteri bangsa-wan Kerajaan Bhutan itu atau tokoh-tokoh perta-pa di
Himalaya, serahkan saja kepada saya, tentu akan dapat saya enyahkan mereka!"


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang gubernur mengangguk-angguk girang. "Lalu, sekarang apa yang hendak sicu lakukan?"
"Perkenankan saya dan murid saya pergi ke Bhutan dan Himalaya untuk melakukan
penyeli-dikan dan saya akan membasmi setiap orang yang hendak menentang gerakan kita
dari Nepal ke Ti-bet lalu ke timur."
Omitohud....! Itulah yang terbaik!" kata Thai Hong Lama. "Kalau Mo-ong mau membantu,
nanti akan pinceng tunjukkan siapa-siapa orang-nya yang patut dibasmi. Kita dapat bekerja
sama, Mo-ong."
"Akupun mengenal mereka yang berpihak ke-pada Kerajaan Ceng!" kata Pek-bin Tok-ong.
"Dan engkau bisa mendapatkan bantuanku untuk menghantam para pertapa itu, Mo-ong."
Hek-i Mo-ong mengangguk. "Baik, kalau perlu, aku akan menghubungi kalian di sana. Akan
tetapi, agaknya untuk melaksanakan pekerjaan ri-ngan ini aku tidak akan membutuhkan
bantuan orang lain."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
192 "Dan kami akan mempersiapkan pasukan kami di perbatasan utara dan Tibet. Harap saudara
Si-wananda selalu mengirim kurir penghubung agar kami selalu dapat mengikuti sampai di
mana ma-junya gerakan dari Nepal," kata Tailucin.
"Baik, kami tentu selalu menghubungi pasukan-mu, saudara Tailucin, jangan khawatir,"
jawab orang Gurkha itu.
Perjamuan dilanjutkan dengan meriah dan gembira. Kemudian sang gubernur dengan royal
lalu membagi-bagi hadiah berupa barang-ba-rang berharga kepada mereka semua sebelum
me-reka bubaran. Hek-i Mo-ong menerima sekan-tung uang emas sebagai bekal, juga dua
ekor ku-da yang amat baik. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hek-i Mo-ong dan
Ceng Liong telah berangkat menunggang kuda menuju ke barat.
*** "Sumoi, engkau lihat bagaimana dengan kemajuan latihanku" Telah empat bulan lamanya
aku berlatih menurut petunjuk suhu, aku khawatir ma-sih belum sempurna," kata Louw Tek
Ciang, pe-muda yang diambil murid dan diambil calon mantu oleh Suma Kian Lee itu, pada
suatu pagi kepada Suma Hui yang bertugas mengawasi dan mem-bimbingnya. Mereka berada
di halaman samping rumah yang juga merupakan sebuah taman bunga. Entah sudah berapa
puluh kali pemuda itu selalu minta pendapat dara itu. Suma Hui menganggap pertanyaan itu
lumrah saja, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda itu sengaja bertanya agar
kembali diuji oleh Suma Hui. Dan cara mengujinya adalah mengadu telapak tangan, suatu hal
yang amat disuka oleh pemuda itu.
"Dua pekan yang lalu latihanmu sudah hampir sempurna, suheng. Kurasa sekarang engkau
tentu sudah paham benar," jawab Suma Hui yang se-dang memotongi daun-daun bunga yang
ditempeli telur belalang.
"Maukah engkau mencoba dan mengukur latih-an dasar sin-kang yang kupelajari, sumoi?"
Tek Ciang memohon dan seperti biasa, Suma Hui ti-dak menolaknya. Biarpun tadinya ia
merasa tidak puas melihat ayahnya menerima pemuda ini seba-gai murid, akan tetapi setelah
bergaul selama em-pat bulan, sikap Tek Ciang selalu baik kepadanya, ramah dan sopan,
sehingga tidak ada alasan bagi Suma Hui untuk membencinya, walaupun hal itu bukan berarti
bahwa ia suka kepada pemuda ini. Ada sesuatu dalam sikap pemuda ini, mungkin si-kap yang
terlalu sopan dan terlalu manis itu, yang membuatnya selalu curiga dan belum penuh
ke-percayaan hatinya kepada suhengnya ini.
"Tentu saja. Nah, marilah kita mulai!" kata Suma Hui.
Dengan girang Tek Ciang Lalu memasang kuda--kuda seperti yang diajarkan suhunya,
menggerak-kan kedua lengannya ke atas bawah lalu bersilang dan pada saat itu
mendorongkan kedua lengan-nya ke depan dengan tangan terbuka sambil me-ngerahkan
tenaga. Suma Hui yang berdiri di de-pannya menyambut tangan yang didorongkan itu dengan
kedua tangannya sendiri.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
193 "Plakkk!" Kedua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan seperti biasa, Tek Ciang
mera-sakan telapak tangan yang lunak, halus dan ha-ngat, membuat jantungnya berdebar
penuh gairah. Suma Hui mengerutkan alisnya. Pemuda ini me-mang berbakat dan agaknya
telah menguasai teh-nik latihan dasar dari Pulau Es, yaitu dasar sin-kang yang kemudian
dapat dilanjutkan dengan latihan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Akan tetapi,
seperti juga dua pekan yang lalu, pada akhir getaran itu terdapat kekacauan yang hanya terjadi
kalau pemuda itu kurang memusatkan per-hatian pada getaran melalui telapak tangan itu. Ini
menjadi tanda bahwa pikiran pemuda itu melayang atau terkacau oleh sesuatu.
"Suheng, engkau sudah berhasil baik, hanya ma-sih saja engkau belum dapat memusatkan
seluruh perhatianmu kepada telapak tangan yang mendo-rong. Aku merasakan adanya
kekacauan pada akhir getaran itu. Apa sih yang kaupikirkan setelah engkau melakukan
gerakan mendorong itu?"
Apa lagi yang mengacaukan pikiranku kalau bukan telapak tanganmu yang lunak, halus dan
hangat itu, demikian pikir Tek Ciang. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk berkata demikian
lancang, maka diapun mengambil sikap menyesal. "Ah, da-sar aku yang bodoh, sumoi. Aku
selalu merasa ra-gu-ragu akan kemampuan sendiri sehingga pada saat aku mendorong, aku
merasa khawatir kalau-kalau salah."
"Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, suheng. Gerakanmu sudah benar, dan engkaupun
sudah menguasai dasar penghimpunan tenaga sin-kang da-ri keluarga kami. Aku
mengucapkan selamat, su-heng."
"Dan engkau terlalu memuji, sumoi, padahal aku belum bisa apa-apa. Memang engkau amat
baik hati, sumoi. Engkaulah gadis yang paling baik, paling gagah perkasa, paling cantik jelita,
yang pernah kukenal."
"Suheng....!" Suma Hui berseru agak keras untuk menegur, akan tetapi mukanya berobah
me-rah. Bagaimanapun juga, suhengnya ini hanya me-mujinya, jadi, tidak ada alasan baginya
untuk ma-rah-marah.
"Aku hanya bicara apa adanya, sumoi...." Tek Ciang melanjutkan rayuannya.
"Sudahlah, aku tidak suka bicara tentang diriku...."
"Tapi, sebaliknya aku suka sekali...."
Pada saat itu, terdengar langkah orang di atas lorong berkerikil yang menuju ke taman itu dari
luar. Keduanya mengangkat muka memandang.
"Siapa engkau berani masuk ke sini tanpa ijin.....?" Tek Ciang membentak marah akan tetapi
dia menghentikan tegurannya ketika melihat sikap sumoinya berobah menjadi amat gembira.
"Cin Liong....!" Suma Hui berseru gembira dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ berdiri
orang lain, tentu ia sudah berlari menghampiri pemuda yang baru datang itu.
"Hui-i....!" Cin Liong juga berseru girang, akan tetapi diapun berhenti berdiri saja sambil
memandang kepada pemuda tampan bermuka pu-tih dan pesolek itu, yang tidak dikenalnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
194 Melihat sikap Cin Liong yang ragu-ragu, Su-ma Hui lalu memperkenalkan, "Cin Liong, dia
ini adalah suheng Louw Tek Ciang, murid ayah yang baru empat bulan diangkatnya."
"Ahhh....!" Cin Liong kelihatan terkejut dan juga girang, lalu teringat bahwa menurut
kedu-dukan, dia lehih rendah, maka diapun menjura de-ngan sikap hormat kepada pemuda itu
sambil ber-kata, "Susiok....!"
Kini giliran Tek Ciang yang termangu-mangu. Pemuda yang baru datang ini menyebutnya
susiok (paman guru)! "Sumoi.... siapakah orang ini....?" tanyanya gagap dan bingung.
"Suheng, dia bernama Kao Cin Liong dan dia ini adalah.... eh, seorang keponakanku."
Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan dia memandang Suma Hui dan Cin Liong
bergantian dengan sinar mata tidak percaya. "Keponakan...." Tapi.... tapi mana mungkin....!"
Suma Hui tersenyum. Kegembiraannya meli-hat kedatangan kekasihnya itu terlalu besar
untuk dapat diganggu oleh keheranan dan kebingungan Tek Ciang. "Sudahlah, suheng.
Engkau tidak me-ngerti dan terlalu panjang kalau diterangkan. Bi-arlah lain kali saja
kuceritakan dan sekarang kuha-rap engkau suka meninggalkan kami dan membi-arkan kami
bercakap-cakap."
Tek Ciang merasa terpukul. Dia menunduk de-ngan muka merah, sekali lagi mengerling ke
arah Cin Liong lalu berkata, "Baiklah, sumoi, baiklah...." dan diapun pergi dari situ menuju ke
belakang ru-mah di mana terdapat sebuah kamarnya di dekat lian-bu-thia, yakni ruangan
berlatih silat.
Melihat pemuda itu sudah pergi, Suma Hui la-lu memandang kekasihnya. Sejenak mereka
saling pandang, kemudian Suma Hui tersenyum, sepasang matanya agak basah. Selama ini
dara itu merasa rindu bukan main kepada kekasihnya dan merasa seolah-olah kehidupan
menjadi sepi dan lesu. Kini, kemunculan Cin Liong yang tiba-tiba itu membu-at hidup seolah-
olah menjadi cerah dan penuh dengan sinar kebahagiaan."Cin Liong, mari bicara di dalam...."
ajak-nya dengan gembira dan iapun mengulurkan tangan kanan untuk menggandeng tangan
pemuda itu. Melihat sikap kekasihnya ini, tentu saja Cin Liong merasa gembira sekali, akan
tetapi juga membuat-nya ragu-ragu dan takut.
"Ayah ibumu....?" bisiknya khawatir ketika tangan mereka sudah saling bergandeng dalam
pertemuan antara jari-jari tangan yang hangat dan bergetar mesra penuh perasaun rindu dan
sayang. "Mereka telah pergi empat bulan yang lalu, mencari Ciang Bun dan sampai kini belum
kembali. Di rumah kosong tidak ada orang...."
"Dan susiok tadi?"
"Ah, jangan terlalu banyak peraturan. Tidak patut engkau menyebut susiok kepada pemuda
yang baru belajar itu. Dia disuruh tinggal di kamar belakang oleh ayah, untuk melatih diri
dengan dasar sin-kang kami dan aku membimbingnya. Ma-ri, Cin Liong...." Mereka
bergandeng tangan dan berjalan memasuki rumah itu dari pintu samping, menuju ke ruangan
depan atau ruangan ta-mu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
195 Begitu mereka tiba di ruangan itu, keduanya kembali saling berpandangan dengan tangan
masih bergandengan dan agaknya seperti ada daya tarik yang luar biasa membuat keduanya
makin mende-kat dan tahu-tahu mereka telah berangkulan dan berdekapan, entah siapa yang
lebih dahulu me-mulai gerakan itu.
"Hui...." bisik Cin Liong.
"Cin Liong...." Dan seperti secara otomatis, pemuda itu mengangkat dagu Suma Hui dan
men-ciumnya. Suma Hui mendesah, tubuhnya tergetar dan matanya terpejam, kemudian ia
menyembu-nyikan mukanya di dada pemuda itu, menghela napas lega dan bahagia.
"Aku.... aku sudah bertemu dengan ayah ibu-ku, dan aku sudah minta kepada mereka untuk
datang ke sini meminangmu, mungkin dalam wak-tu dua tiga bulan ini...." bisik Cin Liong.
Suma Hui hanya mengangguk, hatinya terharu bukan main, keharuan yang timbul karena
kegi-rangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu.
"Dan engkau.... sudahkah orang tuamu me-ngetahui?"
Suma Hui hanya menarik napas panjang, ke-mudian melepaskan dirinya dari rangkulan, dan
menggandeng tangan kekasihnya untuk duduk di atas bangku. Mereka duduk berhadapan,
terhalang meja. Tangan mereka masih saling berpegang di atas meja. Kemudian Suma Hui
menceritakan ke-adaannya, bahwa ia sudah berterus terang kepada ibunya dan bahwa ibunya
agaknya tidak berkeberatan.
"Ah, bagus sekali! Jadi ibumu setuju" Ayah ibuku tadinya terkejut dan meragu, akan tetapi
dengan bijaksana mereka akhirnya juga setuju, wa-laupun mereka masih merasa takut-takut
untuk melakukan peminangan atas dirimu."
"Ibuku amat bijaksana dan mencintaku. Ia se-tuju sepenuhnya, akan tetapi ibu menyatakan
ke-khawatirannya kalau-kalau ayahku yang tidak se-tuju."
"Lalu bagaimana dengan ayahmu?" tanya Cin Liong khawatir.
"Entahlah, aku minta tolong ibu untuk memberitahukan ayah, dan aku tidak tahu apakah hal
itu dilakukan dan tidak tahu pula bagaimana tanggap-an ayah...."
"Aihh, aku merasa khawatir sekali.... jangan-jangan beliau tidak setuju...."
Melihat wajah kekasihnya muram dan agak pucat, Suma Hui mencengkeram tangan
kekasihnya dan mukanya menjadi merah, sepasang matanya berapi-api ketika ia berkata,
"Baik ayah maupun segala dewa dan siluman di dunia ini, tidak akan dapat menghalangiku
berjodoh denganmu!"
Cin Liong memejamkan mata, mengusir kenge-rian yang membayang di matanya. Dia
mengenal benar watak kekasihnya ini yang amat keras dan memiliki tekad sekuat baja yang
tidak mungkin ditekuk sampai bagaimanapun juga. Dia khawatir kalau-kalau jalinan cinta
mereka ini akan mengakibatkan kemelut dan malapetaka di dalam keluarga itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
196 "Kita harus tenang dan menghadapi segala se-suatu dengan tabah, tanpa kekerasan. Ingat,
Hui, andaikata ada yang menentang, maka yang menen-tang itu bukan orang lain, melainkan
orang tua kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mempergu-nakan kebijaksanaan dan
menjauhkan kekerasan antara keluarga yang hanya akan mendatangkan kedukaan besar."
Suma Hui merangkul lagi, menyembunyikan mukanya yang kini dibayangi kekhawatiran itu
di dada kekasihnya. Sepasang kekasih ini lalu bicara bisik-bisik sampai beberapa lamanya,
sama sekali tidak tahu bahwa segala percakapan mereka telah didengarkan telinga lain dan
segala yang terjadi antara mereka telah ditonton mata orang lain yang penuh dengan
kemarahan, mata yang beringas kemerahan, mata dari Louw Tek Ciang! Biarpun mereka
memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Cin Liong, namun saat itu mereka lengah.
Gelora asmara yangmengamuk dan melanda hati mereka mengurangi kewaspadaan. Selain
itu, juga Tek Ciang amat cerdik. Sebelum kedua orang mu-da itu memasuki ruangan itu, dia
telah lebih dulu berada di tempat persembunyiannya sehingga dia dapat mengintai tanpa
mengeluarkan suara sedi-kitpun juga.
"Aku akan pergi mencari rumah penginapan dulu, Hui-i...."
"Hishh, masa engkau masih harus terus menye-but i-i (bibi) kepadaku" Tidak pantas!" sela
Su-ma Hui. Cin Liong tersenyum, "Ah, segala macam se-butan dalam huhungan keluarga yang jauh
masih terus dipertahankan orang, sungguh membuat kita merasa canggung saja. Di dalam
hatiku, tentu sa-ja aku menyebutmu Hui-moi (dinda Hui)...."
"Kenapa mesti lain di mulut lain di hati" Sebut saja begitu!"
"Tapi kalau terdengar orang...."
"Perduli apa dengan orang lain" Cin Liong, hidup kita tidak mungkin dapat seterusnya
disan-darkan pada pendapat orang lain, bukan?"
Cin Liong menarik napas panjang. "Baiklah, Hui-moi. Memang manusia amatlah lemah,
sukar sekali dan merasa takut meninggalkan kebiasaan lama atau tradisi, dan aku agaknya
termasuk satu di antara manusia-manusia lemah itu. Selanjut-nya aku akan banyak belajar
tabah dan berani menghadapi kenyataan seperti engkau. Nah, aku pergi dulu, Hui-moi. Sore
nanti aku akan datang berkunjung."
"Baik, kita makan bersama sore ini di sini, Cin Liong. Aku akan masak-masak untukmu."
"Baiklah, tentu lezat sekali masakanmu."
Mereka lalu bangkit berdiri dan dengan ber-gandeng tangan meninggalkan ruangan itu
me-nuju keluar. Cin Liong lalu meninggalkan keka-sihnya yang mengantarnya dengan
pandang mata mesra dan wajah berseri-seri. Setelah berpisah dari kekasihnya, kewaspadaan
Cin Liong timbul kembali sehingga dia dapat melihat bahwa ada orang membayanginya dari
jauh! Hatinya tertarik sekali dan juga merasa terheran-heran setelah mendapatkan kenyataan
bahwa yang membayangi-nya itu adalah Lonw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng dari
Suma Hui dan yang disebut-nya susiok itu! Diam-diam dia merasa geli hatinya. Apakah
suheng yang tolol itu diutus oleh Suma Hui untuk membayanginya dan untuk melihat di
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
197 rumah penginapan mana dia bermalam" Ah, apakah kekasihnya akan melakukan hal yang
seto-lol itu" Ataukah pemuda itu sendiri yang mem-bayanginya, mungkin karena pemuda itu
belum begitu mengenalnya dan merasa curiga dan seo-lah-olah hendak "melindungi"
sumoinya" Ba-gaimanapun juga, Cin Liong tidak mau membuat "susioknya" itu menjadi
tidak enak hati dan malu kalau dia memperlihatkan bahwa dia tahu akan perbuatan pemuda
pesolek itu, maka dia pura-pura tidak tahu dan memilih kamar di sebuah rumah penginapan.
Setelah memperoleh kamar dia keluar lagi untuk melihat. Ternyata "susiok" itu telah lenyap
dan diapun tersenyum sendiri.
Dengan napas terengah-engah karena hampir seluruh perjalanan menuju ke rumah ayahnya
dilakukan sambil berlari cepat, Tek Ciang meng-hadap ayahnya. Guru silat Louw terkejut
melihat puteranya datang terengah-engah seperti itu dan cepat menyambutnya.
"Wah, celaka, ayah! Aku tidak sudi menikah dengan Suma Hui....!"
"Hushhh....!" Louw-kauwsu terkejut bu-kan main, menarik tangan anaknya masuk ke da-lam
kamar dan menutup pintu kamarnya. "Ucapan apa itu?" bentaknya ketika dia berada aman di
dalam kamar bersama puteranya.
"Siapa sudi menikah dengan gadis seperti itu" Ia gadis tak tahu malu, ayah, berpacaran
dengan keponakannya sendiri!" Dengan suara mengan-dung kemarahan Tek Ciang lalu
menceritakan se-mua yang telah didengar dan dilihatnya ketika pe-muda bernama Kao Cin
Liong datang berkunjung ke rumah suhunya.
Bukan main kaget dan herannya hati Louw Kam mendengar penuturan puteranya. Sungguh
meru-pakan hal yang amat aneh dan sukar dapat diper-caya. "Benarkah ceritamu itu"
Benarkah pemuda itu keponakannya?" Kalau Suma Hui mempunyai seorang pacar, hal itu
masih dianggapnya biasa walaupun tentu saja tidak menyenangkan. Akan tetapi berpacaran
dengan seorang keponakan sen-diri" Mustahil rasanya!
"Akupun tadinya tidak percaya, ayah. Akan tetapi setelah diperkenalkan, orang itu mengaku
keponakan Suma Hui, bahkan dia menyebut aku susiok."
"Jangan-jangan hanya murid keponakan saja, bukan keluarga."
"Dia menyebutnya Hui-i, berarti sumoi adalah i-i-nya, bukan hanya sekedar bibi gurunya.
Ayah, aku tidak sudi berjodoh dengan gadis tak tahu malu begitu!"
"Tolol! Engkau menjadi murid, bahkan calon mantu seorang pendekar sakti seperti Suma
Kian Lee-taihiap, dan engkau mengatakan tidak sudi! Kita harus berusaha untuk
menggagalkan hubung-an mereka, dan aku yakin kalau Suma-taihiap mengetahui hubungan
antara puterinya dan ke-ponakan puterinya itu, tentu dia akan menentang. Bukankah dia sudah
memilih engkau untuk men-jadi calon mantunya" Pula, kurasa hubungan itu hanya hubungan
akrab antara bibi dan keponakan-nya saja."
"Hubungan akrab" Ayah, kalau mereka itu sudah saling berpelukan, saling berdekapan,
saling berciuman bibir, mungkin sekali mereka itu sudah saling bermain cinta, tidur
bersama....!" kata Tek Ciang marah.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
198

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hushh....! Tahan mulutmu. Pemuda itupun sungguh jahat dan kurang ajar. Kalau benar dia
itu keponakan Suma Hui, kenapa dia berani ber-main gila dengan bibi sendiri" Tek Ciang,
kita adalah calon keluarga Suma-taihiap, dan engkau sendiri malah muridnya yang ditugaskan
mene-mani nona Suma di rumah. Kini, pemuda itu da-tang mengacau, kita harus melindungi
kehormatan calon isterimu. Aku sendiri yang akan menghajar dan membunuh pemuda tidak
sopan itu. Di mana dia?" Louw-kauwsu tentu saja marah dan kha-watir sekali melihat bahaya
kegagalan ikatan jo-doh antara puteranya dan puteri Suma Kian Lee. Hal ini berarti akan
hancurnya semua kebanggaan hatinya dapat berbesan dengan keturunan Pendekar Super
Sakti, keluarga Pulau Es yang amat ter-kenal itu.
"Tadi aku membayanginya dan dia bermalam di hotel Tong-an, kamar nomor lima yang
berada di bagian kiri."
"Baik, engkau jangan ikut-ikut. Malam ini akan kubereskan dia! Kukira itu satu-satunya
ja-lan untuk membela kehormatan calon mantuku dan melenyapkan saingan untukmu. Nah,
kau kemba-lilah ke rumah suhumu dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu."
"Tapi, ayah....!" Tek Ciang yang merasa cemburu dan panas hatinya membantah karena
sudah tertanam rasa tak senang bahkan benci ter-hadap diri Suma Hui yang mengecewakan
hatinya. "Diam! Engkau harus mentaati perintahku. Ketahuilah bahwa aku melakukan semua ini demi
masa depanmu sendiri, tahu?" Tek Ciang tidak berani merbantah lagi lalu kembalilah dia ke
ru-mah keluarga Suma.
Bagaimanapun juga Tek Ciang adalah seorang pemuda yang cerdik dan pandai
menyembunyikan perasaan hatinya. Ketika sore hari itu Cin Liong datang dan diapun
diundang untuk makan bersa-ma, dia duduk semeja dengan Cin Liong dan Suma Hui
menikmati masakan gadis itu dan biarpun Cin Liong dan Suma Hui menjaga sikap mereka
sehingga tidak menonjolkan kemesraan di antara me-reka, namun Tek Ciang merasa sekali
adanya kemesraan itu di dalam pandang mata, senyum dan suara mereka. Tentu saja hatinya
terasa panas membakar, namun dia menekannya dan diam saja. Akan tetapi begitu selesai
makan, diapun berpa-mit dengan alasan untuk berlatih di dalam kamarnya.
Cin Liong bercakap-cakap dengan Suma Hui. Dia mengatakan bahwa dia akan tinggal
beberapa hari saja di Thian-cin, karena kedatangannya itu hanya untuk menyampaikan berita
tentang akan datangnya orang tuanya ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan. Mereka
bercakap-cakap dengan santai dan tentu saja dengan mesra, seper-ti yang hanya dapat
dirasakan oleh dua orang yang saling mencinta. Kekhawatiran yang timbul bahwa hubungan
mereka akan ditentang oleh ayah ga-dis itu, dapat mereka lenyapkan dengan kebulatan tekad
mereka bahwa apapun yang akan terjadi, mereka berdua akan menghadapinya bersama dan
tidak ada apapun di dunia ini yang akan dapat menghalangi huhungan mereka dan niat mereka
untuk menjadi suami isteri!
Senja telah berganti malam ketika Cin Liong meninggalkan rumah kekasihnya.
Bagaimanapun juga, dia dan Suma Hui masih menjaga anggapan orang luar yang kurang baik
sehingga pemuda itu bermalam di rumah penginapan, dan diapun ti-dak berani terlalu malam
bertamu walaupun ha-tinya merasa berat untuk meninggalkan kekasihnya. Dia berjalan
menuju ke rumah penginapan Tong-an dengan mulut tersenyum dan hati penuh rasa bahagia.
Biarpun usianya sudah dua puluh sembilan tahun, namun baru dua kali inilah Cin Liong jatuh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
199 cinta. Pertama kali, cintanya ter-hadap pendekar wanita Bu Ci Sian mengalami ke-gagalan
karena cintanya tidak terbalas dan semen-jak itu, dia tidak pernah mengalami jatuh cinta lagi
sampai dia bertemu dengan Suma Hui. Maka, kebahagiaan yang terasa di hatinya membuat
pe-muda ini melenggang dengan senangnya, seperti seorang pemuda remaja mengalami cinta
pertama saja. Cin Liong adalah seorang jenderal muda yang namanya sudah amat terkenal di kota raja, di
anta-ra perajurit dan perwira, juga terkenal di dunia sesat, di antara para datuk yang
menganggapnya sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai, putera dari Si Naga Sakti
Gurun Pasir. Akan te-tapi, rakyat tidak mengenalnya karena dia selalu pergi dengan pakaian
preman, seperti seorang pe-muda pelajar biasa. Hanya ketika memimpin pa-sukan sajalah dia
berpakaian seragam seorang panglima. Kebiasaan berpakaian preman ini dilakukan karena
memudahkan dia dalam tugasnya untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan rahasia.
Itulah sebabnya, walaupun Thian-cin sebuah kota yang tidak jauh letaknya dari kota raja,
akan tetapi ketika pemuda ini melenggang menuju ke hotelnya, tidak ada yang mengenalnya
sebagai Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu. Demikian pula Louw Kam atau
Louw-kauwsu bersama dua orang pembantunya yang sejak tadi membayanginya, sama sekali
tidak tahu bahwa pemuda yang dibayangi dan hendak diserang itu adalah seorang panglima
kerajaan yang ternama, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir yang sakti. An-daikata Louw-
kauwsu tahu akan hal ini, tentu dia akan menghitung sampai seribu kali sebelum dia berani
menggunakan tindakan menyerang pemuda ini dan tentu akan menggunakan akal lain.
Penyerangan itu dilakukan ketika Cin Liong tiba di lorong yang gelap dan sepi itu. Ketika
ada tiga orang laki-laki menyerangnya dari belakang dan kanan kiri, mempergunakan golok
dan pedang, Cin Liong cepat mengelak dan melompat ke de-pan, lalu membalikkan tubuhnya.
Penyerangan gelap merupakan hal yang tidak aneh baginya, bahkan dia sudah hampir terbiasa
oleh peristiwa seperti ini. Dia dalam tugasnya, sudah seringkali dia menghadapi penyerangan
gelap yang dilaku-kan oleh pihak lawan. Orang-orang ini tentu ka-ki tangan pemberontak,
atau mata-mata yang mengenalinya dan yang berusaha membunuhnya dengan jalan
membokong. Diapun tidak merasa heran ketika melihat bahwa dia sama sekali tidak mengenal
tiga orang ini.
Sementara itu, melihat betapa serangan mereka yang pertama itu dengan mudah dapat
dielakkan lawan, Louw-kauwsu merasa kaget dan juga pe-nasaran sekali. Tadinya sudah
dibayangkannya bahwa pemuda itu akan dapat dirobohkan dengan sekali serang saja. Maka
diapun lalu membentak marah, "Penjahat cabul perusak anak gadis orang, rasakan pedangku!"
Dan diapun sudah menye-rang lagi dengan tusukan pedangnya ke arah dada Cin
Liong."Wirrr....!" Cin Liong mengelak lagi. Pemuda ini agak heran mendengar tuduhan
orang. Bia-sanya, kalau dia diserang orang-orang secara menggelap, tentu ada hnbungannya
dengan tugas dan kedudukannya sebagai panglima. Akan tetapi sekali ini dia diserang orang
dengan tuduhan men-jadi penjahat cabul perusak anak gadis orang! Tentu saja dia menjadi
penasaran sekali.
"Eh, nanti dulu, sobat. Kalian salah melihat orang!" bantahnya.
Akan tetapi, dua orang pembantu Louw Kam sudah menyerangnya dari kanan kiri,
menggunakan golok mereka. Serangan mereka itu jelas serangan untuk membunuh dengan
gerakan yang cepat kuat dan keji sekali. Memang dua orang ini adalah pembunuh-pembunuh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
200 bayaran yang disewa oleh Louw Kam untuk membantunya membunuh pe-muda yang
dianggapnya menjadi penghalang dan pengacau besar itu.
Karena menghadapi serangan maut, Cin Liong tidak tinggal diam lagi. Cepat tubuhnya
berkele-bat ke belakang dan pada saat dua batang golok itu menyambar, dia bergerak seperti
kilat ke depan sambil menggerakkan kaki kiri dan tangan kanan-nya.
"Bukkk! Dessss....!" Dua orang itu terpelanting, golok yang berada di tangan mereka
terpental dan mereka mengaduh-aduh kesakitan. Yang seorang tertendang patah tulang
lututnya, dan orang ke dua terkena tamparan dan patah-patah tulang pundaknya.
Melihat ini, Louw Kam makin kaget dan juga makin penasaran. Dua orang pembantunya itu
adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang wa-laupun tidak memiliki ilmu silat terlalu tinggi,
akan tetapi cukup dapat diandalkan. Siapa kira dalam segebrakan saja mereka sudah roboh
dan tidak berdaya menghadapi pemuda yang tadinya dianggap sebagai makanan lunak itu.
Karena sudah terlanjur, guru silat yang ambisius ini lalu menyerang lagi dengan pedangnya.
Cin Liong dapat mengenal jurus ilmu silat yang baik, jauh lebih baik dan lebih tangguh
dibandingkan dua orang pertama tadi, maka diapun dapat menduga bahwa tentu orang ke tiga
inilah pemimpinnya. Dia cepat mengelak dan membiarkan tusukan itu le-wat di samping
tubuhnya dan dengan perlahan dia mendorong dengan tangan kirinya. Louw Kam tak dapat
menahan hawa dorongan dahsyat itu dan diapun terjengkang!
Akan tetapi, Louw Kam sudah meloncat bangun lagi. Dia menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa
pe-muda itu bukan orang sembarangan. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa hal ini
tidak diseli-diki lebih dahulu. Betapa bodohnya dia. Tentu saja seorang anggauta keluarga
Pulau Es memiliki kepandaian yang tinggi! Kenekatan Louw Kam membuat dia dapat
meloncat bangun dan segera menyerang lagi, kini menggunakan jurus-jurus dari ilmu silat
Siauw-lim-pai. Biarpun baru diserang beberapa kali, Cin Liong sudah dapat mengenal dasar
gerakan silat Siauw-lim-pai ini maka diapun mengelak lagi, merasa ragu menja-tuhkan atau
melukai lawan. "Nanti dulu, sobat. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai" Mengapa engkau
menyerangku?"
Makin jelaslah bagi Louw-kamsu bahwa pe-muda ini benar-benar seorang ahli silat yang
pandai sehingga dalam beberapa jurus saja sudah mengenal dasar ilmu silatnya. Dia merasa
makin menyesal akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berterus terang. Terus terang sama saja
artinya dengan membongkar rahasianya. Jalan satu-situnya hanyalah membunuh orang ini.
Dia menyerang lagi tanpa menjawab dan kini dia menyerang sam-bil mengerahkan seluruh
tenaga dan kepandaiannya. Pedangnya berdesing dan mengeluarkan si-nar ketika menyambar
ke depan, dibarengi ben-takannya yang nyaring.
Cin Liong menjadi marah. Diapun tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai ada pula yang
murtad, di antaranya adalah mendiang Kaisar Yung Ceng scndiri. Maka tentu orang di
depannya ini juga seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad, atau bukan murid Siauw-lim-
pai yang mencuri ilmu perguruan silat itu. Dia harus dapat membongkar rahasia penyerangan
ini dan untuk itu, dia tidak akan membunuh lawannya.
"Bressss....!" Serangan Louw Kam disam-but oleh Cin Liong dengan sebuah tendangan ki-lat
yang amat dahsyat dan membuat tubuh guru silat itu terlempar sampai empat meter jauhnya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
201 dan terbanting ke atas tanah. Diam-diam guru silat itu merasa terkejut bukan main. Kalau
bukan seorang sakti, mana mungkin menghadapi serang-an pedangnya tadi dengan tendangan
yang mem-buatnya terlempar" Dia merasa sakit pada iganya, maklum bahwa ada tulang
iganya yang patah. A-kan tetapi, tidak ada jalan lain baginya. Menyerah dan mengaku berarti
akan mencelakakan namanya dan nama puteranya. Kalau sampai terdengar oleh Suma Kian
Lee bahwa dia mengajak dua orang pembunuh bayaran berusaha membunuh cucu ke-ponakan
pendekar itu, sungguh dia tidak berani membayangkan apa yang akan menjadi akibatnya
sehubungan dengan rencana perjodohan antara puteranya dan puteri pendekar sakti itu! Satu-
sa-tunya jalan hanyalah melawan dan berusaha se-dapat mungkin untuk membunuh pemuda
ini. Dua orang kawannya sudah dapat bangkit kembali dan mereka kini sudah maju pula,
biarpun dengan ter-pincang-pincang. Ternyata dua orang pembunuh bayaran itu juga
memegang teguh janji mereka dan biarpun mereka sudah terluka, melihat betapa Louw-
kauwsu melawan terus, merekapun menco-ba untuk membantunya
Diam-diam Cin Liong merasa heran dan juga penasaran. Dia sudah menghajar orang-orang
ini, akan tetapi mereka nekat terus. Apakah yang menyebabkan mereka begini nekat dan
mem-bencinya" Tentu ada sebabnya, dan mungkin ju-ga hanya suatu kesalahpahaman belaka.
Maka, ketika mereka menerjang lagi, diapun cepat ber-gerak dan mendorong mereka sampai
mereka terlempar jauh ke belakang. Sekali ini, dua orang pembantu Louw Kam tidak dapat
bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh saja. Louw Kam sendiri mengalami patah tulang
pundak kirinya dan dia maklum bahwa melawan terus tidak ada artinya. Pemuda itu sungguh
terlampau kuat untuk dila-wan olehnya. Dan dia tahu bahwa pemuda itu agaknya hendak
menangkapnya dan hendak me-maksanya mengaku mengapa dia dan dua orang temannya
melakukan serangan-serangan tanpa alasan. Hal ini membuat Louw Kam menjadi bi-ngung
sekali. Akan tetapi tiba-tiba dia memper-oleh jalan terbaik untuk menolong nama puteranya
dan juga untuk menjatuhkan fitnah buruk terha-dap pemuda yang menjadi penghalang
kebahagiaan puteranya ini. Melihat betapa kedua orang temannya menggeletak tidak jauh dari
tempat dia ro-boh, cepat dia menggerakkan pedangnya. Dua kali dia menusuk dan pedangnya
menembus jantung dua orang pembantunya itu. Darah muncrat dan mereka berkelojotan
sekarat. "Heiiii!" Cin Liong berseru kaget bukan main melihat perbuatan laki-laki murid Siauw--lim-
pai itu. Dia melihat orang itu meloncat dan melarikan diri. Tentu saja dia tidak mau
membi-arkan orang itu lari. "Tunggu dulu, jangan lari!" bentaknya dan dengan beberapa kali
lompatan saja dia sudah dapat menyusul. Akan tetapi, tiba--tiba Louw Kam membalik dan
menggunakan pe-dang di tangannya menggorok leher sendiri.
"Celaka....!" Cin Liong berteriak dan cepat kakinya menendang lengan yang memegang
pe-dang. Namun karena perbuatan guru silat itu sa-ma sekali tidak pernah diduganya, biarpun
ten-dangan itu tepat mengenai lengan dan pedang itu terlempar, akan tetapi leher orang she
Louw itu sudah tergorok hampir putus dan tubuh Louw Kam berkelojotan lalu tewas tak lama
kemudian! Sejenak Cin Liong termenung, memandangi ti-ga mayat itu dengan hati sedih. Banyak orang
ja-hat memusuhinya, akan tetapi setiap kali dia me-robohkan lawan, tentu dia mengenal siapa
lawan itu dan apa sebabnya lawan menyerangnya. Akan tetapi, tiga orang ini menyerangnya
tanpa alasan dan mereka mati bukan di tangannya. Mengapa mereka begitu nekat" Mengapa
pemimpin me-reka itu sampai tega membunuh kawan-kawan sendiri kemudian membunuh
diri" Hanya satu jawaban, yakni bahwa orang itu tentu menyimpan rahasia dan tidak ingin
diketahui rahasianya, tidak ingin dikenal dan lebih baik mati daripada me-nyerah dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
202 tertangkap! Cin Liong lalu pergi me-ngunjungi perwira yang menjadi komandan kea-manan
di kota Thian-cin. Ketika Cin Liong ma-lam-malam datang ke rumah komandan ini dan
memperkenalkan diri, tentu saja komandan itu terkejut sekali dan dengan gugup melakukan
pe-nyambutan atas kedatangan Jenderal Kao Cin Liong, panglima muda yang amat terkenal
dan yang datang dengan pakaian preman itu.
Cin Liong menceritakan tentang penyerangan tiga orang itu. "Harap ciangkun suka
melakukan penyelidikan, siapakah mereka itu dan mengapa pula mereka menyerangku mati-
matian. Besok kutunggu laporanmu di hotel Tong-an."
Coa-ciangkun, komandan itu, mengangguk--angguk. "Baik, Kao-goanswe, akan saya
laporkan besok. Akan tetapi, apakah Kao-goanswe sebaik-nya tidak bermalam saja di rumah
kami" Daripada di rumah penginapan umum itu...."
Akan tetapi Cin Liong menggoyang tangan. "Engkau tahu, aku lebih suka menyamar dan
me-lakukan perjalanan dengan diam-diam untuk da-pat melakukan pengamatan dan
penyelidikan de-ngan mudah. Jangan beritakan tentang kehadiran-ku di kota ini."
Biarpun kehadiran jenderal muda itu dirahasia-kan sehingga tidak ada yang tahu, namun
peristi-wa itu diketahui umum dan menggegerkan kota Thian-cin. Louw Kam yang dikenal
sebagai Louw-kauwsu, bersama dua orang yang dikenal sebagai pembunuh-pembunuh
bayaran, telah te-was di tepi jalan tanpa diketahui siapa pembunuh-nya! Tentu saja Tek Ciang
menjadi terkejut seka-li dan pemuda ini menangisi jenazah ayahnya. Ha-nya dialah seorang
yang tahu benar mengapa ayah-nya tewas dan dia dapat menduga siapa pembunuh ayahnya
itu. Akan tetapi, dia tidak dapat membu-ka mulut mengatakan kepada siapapun juga karena
hal itu akan membuka rahasia ayahnya yang hen-dak membunuh Cin Liong dan juga
membuka ra-hasia dirinya sendiri.
"Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan ke-matian ayah kepada Kao Cin Liong itu,
apapun jalannya!" Begitulah dia berbisik dalam hati ke-tika dia menyembahyangi peti mati
ayahnya. Suma Hui yang mendengar berita itupun terkejut sekali dan dara ini menyatakan
duka citanya atas mala-petaka yang menimpa diri ayah suhengnya. Karena orang tuanya tidak
berada di rumah, ia pun mewa-kili mereka untuk datang melayat dan bersembah-yang di
depan peti mati guru silat Louw Kam. Dara ini tidak tahu betapa selagi ia bersembahyang,
sepasang mata Tek Ciang memandangnya dengan penuh dendam dan kemarahan yang
dita-han-tahan.
Sementara itu, pada keesokan harinya Cin Liong menerima laporan dari komandan Coa
mengenai tiga orang itu. Akan tetapi, laporan itu hanya menjelaskan siapa adanya mereka.
"Kami tidak dapat mengetahui mengapa mereka itu menye-rang paduka," demikian kata
komandan Coa. "Louw Kam adalah seorang duda, pekerjaannya guru silat, seorang murid
Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan. Sedangkan dua orang itu adalah dua
orang pembunuh bayaran dan sia-papun akan mereka serang dan bunuh asalkan mereka diberi
uang. Louw-kauwsu sudah tewas, kami tidak dapat mencari keterangan mengapa dia minta
bantuan dua orang penjahat itu untuk meng-hadang dan menyerang paduka. Putera
tunggal-nya juga tidak tahu, apalagi karena sudah beberapa bulan ini putera tunggalnya
tinggal bersama Suma--taihiap...."
"Suma-taihiap?" Cin Liong bertanya kaget. "Suma-taihiap siapa?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
203 "Pendekar Suma Kian Lee. Kabarnya, putera Louw-kauwsu itu menjadi murid Suma-taihiap
dan memang ada jalinan persahabatan antara Su-ma-taihap dan Louw-kauwsu."
"Ahhh....!" Cin Liong tidak bertanya lagi dan mengucapkan terima kasih. Kemudian pergilah
dia bergegas ke rumah Suma Hui.
Gadis itu menyambutnya dengan berita yang mengejutkan itu. "Cin Liong, telah terjadi
mala-petaka hebat. Ayah Louw-suheng tewas terbu-nuh orang!"
Akan tetapi, bukan Cin Liong yang terbelalak kaget, sebaliknya malah Suma Hui yang
meman-dang dengan mata terbelalak melihat kekasihnya itu tenang saja, bahkan menjawab,
"Aku sudah tahu, Hui-moi, karena orang itu adalah aku sen-diri."
"Apa.... apa maksudmu....?"
Cin Liong menyambar tangan kekasihnya yang terasa agak dingin itu dan menariknya masuk
ke dalam rumah. "Mari kita bicara di dalam."
Setelah mereka berada di dalam rumah, Cin Liong lalu menceritakan semua pengalamannya
malam tadi sudah meninggalkan rumah kekasihnya. "Aku berusaha untuk mengetahui sebab-
sebab mengapa mereka menyerangku kalang-kabut tan-pa alasan, dan aku sudah berhati-hati
agar tidak sampai membunuh mereka. Maka aku hanya merobohkan mereka dengan
mematahkan tulang pun-dak saja. Siapa kira, orang itu membunuh kedua orang temannya
dengan tusukan pedang, kemudian melarikan diri. Ketika aku mengejarnya, tiba--tiba dia
menggorok leher sendiri. Aku menyesal tidak dapat mencegah kenekatannya itu. Koman-dan
Coa yang kuperintahkan menyelidiki, juga ti-dak dapat menerangkan mengapa guru silat
Louw itu hendak membunuhku."Suma Hui merasa demikian kaget dan heran sehingga tak
dapat berkata-kata sampai beberapa lamanya. Kemudian ia menarik napas panjang. "Sungguh
mati kejadian itu amat aneh dan sukar dipercaya. Ketika komandan Coa itu datang dan
bertanya kepada Louw-suheng pagi tadi, akupun berada di sana melayat. Louw-suheng ti-dak


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat memberi keterangan apa-apa, karena diapun sama sekali tidak tahu dan sudah empat
bulan selalu berada di rumah ini."
Cin Liong mengangguk akan tetapi alisnya berkerut karena dia ingat betapa siang hari
kema-rin, Tek Ciang membayanginya dari rumah ini sampai ke rumah penginapan! Ada
sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu, pikirnya.
"Aku ingin dapat bicara dengan Louw Tek Ciang. Bagaimanapun juga, aku ingin mengetahui
apa sebabnya ayahnya yang sama sekali tidak ke-nal denganku itu demikian membenciku dan
ingin membunuhku, sampai ditebus dengan nyawanya sendiri. Tentu ada sebab-sebab yang
amat pen-ting di balik perbuatannya itu dan agaknya, tidak mungkin kalau puteranya tidak
tahu." Suma Hui memandang khawatir. "Akan tetapi, suheng tidak tahu bahwa yang menyebabkan
ke-matian ayahnya adalah engkau! Perlukah hal itu diberitahukan kepadanya?"
Cin Liong tersenyum dan memandang wajah kekasihnya, lalu memegang tangannya. "Hui-
moi, kenapa engkau" Bukankah itu sudah seharusnya" Seorang gagah tidak akan
memyembunyikan semua perbuatannya, bahkan berani bertanggung jawab atas semua
perbuatannya. Guru silat she Louw itu tewas bukan oleh tanganku, melainkan membunuh diri
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
204 karena tidak mau kutangkap. Dan serang-an-serangan itupun dimulai dari pihaknya terha-dap
diriku tanpa alasan. Betapapun pahitnya, Louw Tek Ciang harus berani menghadapi
kenya-taan ini, dan kalau dia menganggap aku sebagai pembunuh ayahnya dan mendendam,
dia bukan seorang gagah dan tidak patut menjadi suhengmu!"
Suma Hui sadar dan iapun mencengkeram ta-ngan kekasihnya. "Engkau benar, Cin Liong,
eng-kau benar dan memang seharusnya hal ini dibica-rakan dengan terus terang kepadanya.
Aku sungguh merasa heran sekali. Ayahnya adalah sahabat baik ayahku. Agaknya ayahku
tidak akan keliru memilih sahabat."
"Akupun sudah mendengar pelaporan Coa--ciangkun bahwa Louw-kauwsu belum pernah
melakukan kejahatan. Hal ini membuat aku semakin tertarik dan ingin tahu apa sesungguhnya
yang menjadi sebab sehingga dia membenciku. Apakah dia telah tersesat menjadi kaki tangan
pemberon-tak" Dan ada satu hal lagi yang amat menggang-gu pikiranku. Sebelum roboh dan
sebelum membunuh diri, orang itu pernah memakiku sebagai seorang penjahat cabul perusak
gadis orang!"
"Ehhh....?" Suma Hui mengerutkan alisnya, menjadi makin heran dan tidak mengerti.
Keka-sihnya dimaki penjahat cabul perusak anak gadis orang" Sungguh aneh, lucu dan
membuat orang menjadi penasaran! Kekasihnya seorang jenderal muda, seorang panglima
yang terhormat, seorang pendekar sakti yaug berilmu tinggi dan gagah perkasa!
"Itulah sebabnya yang mendorongku untuk bi-cara dengan Tek Ciang. Mungkin dia dapat
mem-bantu memecahkan persoalan yang membingung-kan ini."
Terpaksa Cin Liong menunggu sampai upacara pemakaman jenazah Louw Kam selesai dan
diapun memperpanjang tinggalnya di Thian-cin selama beberapa hari lagi. Setelah
penguburan selesai dan Tek Ciang kembali ke rumah suhunya dengan pa-kaian berkabung,
Cin Liong datang menemuinya dengan perantaraan Suma Hui. Wajar Tek Ciang masih pucat
ketika dia duduk berhadapan dengan Cin Liong dan Suma Hui.
"Louw-suheng, Cin Liong ingin bicara dengan jujur dan terbuka denganmu mengenai
ayahmu," Suma Hui memulai dengan percakapan yang amat tidak enak itu.
Tek Ciang mengangkat mukanya yang agak pucat, sejenak memandang kepada Cin Liong,
ke-mudian menoleh kepada Suma Hui. "Sumoi, apa lagi yang dapat dibicarakan" Ayahku
telah me-ninggal...." suaranya gemetar dan matanya menjadi merah.
"Louw-susiok," kata Cin Liong dengan sikap tenang. Dia tetap menyebut susiok untuk
meng-hormati Suma Kian Lee biarpun kekasihnya sudah menegurnya akan hal itu. "Apakah
engkau tahu bagaimana meninggalnya ayahmu?"
Tek Ciang memandang dan matanya mengan-dung kemarahan dan dendam. "Dia dibunuh
pen-jahat, apa lagi yang perlu diketahui" Kalau aku dapat mengetahui siapa penjahat itu....!"
Pe-muda ini mengepal tinjunya dan pandang mata-nya menjadi beringas. Tentu saja hati
Suma Hui menjadi semakin tidak enak. Kalau saja bukan kekasihnya yang menghadapi
urusan ini, tentu ia lebih baik pergi saja dan tidak usah menjadi saksi dalam perkara yang
tidak enak ini.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
205 "Susiok, ayahmu sama sekali tidak dibunuh penjahat. Ayahmu telah membunuh dirinya
sen-diri dengan menggorokkan pedangnya sendiri ke lehernya."
Tek Ciang bangkit berdiri dan memandang de-ngan mata terbelalak dan muka pucat.
"Bagaima-na engkau bisa tahu?"
"Karena akulah orangnya yang kaunamakan penjahat tadi."
Wajah itu semakin pucat dan matanya semakin terbelalak. "Kau.... kau...." Kau pembunuh
ayahku!" Dan pemuda itu sudah mengepal kedua tinjunya. Dia tentu sudah menyerang Cin
Liong kalau saja Suma Hui tidak cepat berteriak menegurnya.
"Suheng, tenang dan duduklah lagi!"
Tek Ciang menoleh kepada sumonya, lalu menjatuhkan diri duduk kembali, menggunakan
kedua tangan menutupi mukanya.
"Maaf, Louw-susiok, kalau aku mengejutkan dan mengguncangkan hatimu. Akan tetapi,
eng-kau sebagai puteranya harus mendengarkan peris-tiwa yang sesungguhnya terjadi.
Akulah orangnya yang diserang oleh ayahmu tanpa sebab. Kemudian ayahmu menggunakan
pedangnya membunuh dua orang temannya sebelum dia membunuh diri de-ngan pedangnya
pula." "Aku sudah mendengar akan kematian ayah!" Tek Ciang memotong, menurunkan kedua
tangan-nya dan wajahnya kini merah sekali, kedua pipi-nya basah air mata. "Kedua orang itu
adalah pen-jahat atau dikenal sebagai orang jahat. Mungkin saja ayah membunuh mereka,
kemudian ayah di-bunuh orang yang lebih kuat!"
"Suheng! Cin Liong sudah mengatakan dengan terus terang. Ayahmu membunuh diri sendiri
de-ngan pedangnya setelah membunuh dua orang itu. Keterangan Cin Liong dapat kaupercaya
sepenuh-nya. Akulah yang menanggung bahwa keterangan-nya itu benar dan tidak bohong."
Sejenak Tek Ciang menentang pandang mata sumoinya, kemudian menunduk sambil berkata
pe-nasaran, "Akan tetapi ayah adalah seorang yang baik. Sungguh tak masuk di akal kalau dia
mem-bunuh dua orang yang dikatakan temannya sendiri kemudian dia membunuh diri."
"Untuk hal itu ada penjelasannya. Harap kau suka dengarkan semua ceritaku, susiok,
kemudian kaucoba memberi penafsiran mengapa ayahmu berbuat demikian. Kemarin malam,
ketika aku pulang dari sini dan tiba di lorong sunyi dan ge-lap, tiba-tiba ada tiga orang
menyerangku. Dua orang menggunakan golok dan seorang, yaitu ayahmu, menggunakan
pedang. Aku mengelak dan berusaha bertanya, mengatakan bahwa mung-kin mereka salah
mengenal orang. Akan tetapi mereka bertiga terus mendesakku dan mengirim serangan
bertubi-tubi yang berbahaya. Terpaksa aku menyerang dan membalas. Aku bermaksud
me-robohkan dan menangkap mereka hidup-hidup karena aku ingin tahu mengapa mereka
menye-rangku dan siapa pula adanya mereka. Akhirnya aku dapat merobohkan dua orang
pemegang golok yang rendah ilmu silatnya. Aku dapat mengenal jurus-jurus ilmu silat Siauw-
lim-pai yang dima-inkan ayahmu sehingga aku menjadi semakin heran karena Siauw-lim-pai
adalah perkumpulan para pendekar yang menjadi sahabat-sahabatku. Be-berapa kali aku
membuat ayahmu tak berdaya dan roboh tanpa melukainya terlalu berat. Tiba-tiba saja
ayahmu menusukkan pedangnya, membunuh kedua orang pengeroyok yang telah roboh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
206 terluka itu tanpa aku sempat menduganya, dan dia melari-kan diri. Aku mengejarnya dan dia
lalu menggo-rok leher sendiri. Sayang aku tidak sempat mence-gahnya. Nah, demikianlah
kejadian yang sebenar-nya, Louw-susiok. Sekarang, setelah engkau mendengar semua itu,
dapatkah engkau mengetahui atau menduga apa yang menyebabkan ayahmu marah dan
membenciku, lalu menyerang dan hen-dak membunuhku?"
Sebetulnya, tanpa mendengarkan cerita itupun Tek Ciang sudah dapat menduga apa yang
telah terjadi. Dia merasa berduka sekali akan kematian ayahnya, dan merasa menyesal bahwa
ayahnya telah mengorbankan diri dan nyawa untuknya. Biarpun dia suka menjadi murid Suma
Kian Lee, dan lebih senang lagi menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi kalau harus
mengorbankan nyawa ayahnya, sungguh dia tidak rela! Dan kini, meli-hat orang yang
menyebabkan kematian ayahnya berada di depannya, bahkan menjadi saingannya dan
agaknya akan menjadi penghalang perjodoh-annya dengan Suma Hui, bagaimana dia tidak
akan membencinya setengah mati"
Pertanyaan Cin Liong tak dapat dijawabnya dan dia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu
mengapa ayah berbuat demikian, yang kutahu be-nar adalah bahwa ayah seorang guru silat
yang baik dan menjadi sahabat baik dari suhu."
Dengan ucapan itu dia hendak mengingatkan Suma Hui bahwa ayahnya adalah sahabat ayah
ga-dis itu dan bahwa ayahnya orang baik, maka ke-nyataan ini dapat dipakai untuk
menyudutkan pe-muda itu, sebagai peringatan bahwa kalau ayah-nya baik sampai terbunuh,
kemungkinan besar pemuda itulah yang jahat!
Mendengar jawaban itu, Cin Liong lalu mempergunakan pegangannya yang terakhir.
"Dengar-lah, Louw-susiok. Sebelum ayahmu meninggal, dia pernah memaki aku sebagai
penjahat cabul perusak anak gadis orang. Nah, apakah ucapan ayahmu itu tidak mengingatkan
engkau akan sesua-tu" Barangkali ayahmu bermusuhan dengan se-seorang" Ataukah engkau
mengenal seorang penjahat cabul yang dimusuhi ayahmu, seorang penja-hat yang suka
merusak wanita dan membuat ayah-mu marah dan mendendam kepadanya?"
"Ahhh....! Itukah sebabnya?" Kini Tek Ciang bangkit berdiri lagi dan menggebrak meja di
depannya. "Aku ingat sekarang! Memang dalam pertemuan terakhir, beberapa hari yang lalu,
ayah pernah bercerita bahwa di kota ini terdapat seo-rang penjahat cabul, seorang jai-hwa-cat
dan ketika bertemu denganmu.... hemmm, Kau Cin Liong, mengapa ayahku memakimu
penjahat cabul" Siapa tahu penjahat cabul yang berkeliar-an di kota ini adalah engkau?"
"Suheng, jangan menuduh sembarangan!" Ti-ba-tiba Suma Hui membentak suhengnya
dengan muka merah karena marah.
Akan tetapi Cin Liong hanya tersenyum "Ma-afkan dia, Hui-moi. Dia terdorong oleh
perasaan dendam dan duka."
"Louw-suheng, buang jauh-jauh pikiran yang tidak sehat itu. Engkau belum mengenal siapa
adanya Kao Cin Liong. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong,
panglima muda di kota raja yang menjadi kepercayaan sri baginda kaisar, berkedudukan
tinggi dan diapun putera tunggal dari pendekar sakti Si Naga Sakti Gurun Pasir. Nah, apakah
engkau masih mempu-nyai kecurigaan bahwa dia adalah seorang penja-hat cabul?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
207 Pemuda itu duduk bengong, mulutnya ternga-nga dan matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa
dia dan ayahnya telah menghantam batu karang! Siapa yang mengira bahwa pemuda ini
adalah se-orang panglima kota raja dan bahkan putera pen-dekar sakti yang amat ditakuti
semua orang itu" Ayahnya tentu saja bukan lawan pemuda ini dan tidak heran kalau ayahnya
membunuh diri karena khawatir tertawan kemudian terbuka rahasianya.
"Ahhh....!" keluhnya lirih. "Maafkan, aku tidak menuduh siapa-siapa akan tetapi agaknya
ayah menyangka engkau penjahat itu."
Cin Liong mengangguk-angguk. "Hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang ada.
Mungkin memang ada penjahat cabul berkeliaran dan ayah-mu belum mengenal mukanya,
lalu menyangka aku, atau memang ada kemiripan wajah antara penjahat itu dan aku atau...."
Cin Liong berhenti.
"Atau kemungkinan apa lagi?" Suma Hui mendesak.
"Tidak ada lagi," kata Cin Liong menahan di-ri karena dia tadi teringat akan sikap aneh Tek
Ciang yang membayangi kemarin.
"Bagaimanapun juga, penjahat cabul itulah yang menjadi biang keladi kematian ayah!" teriak
Tek Ciang. "Aku takkan tinggal diam dan setiap ma-lam aku akan mencoba melanjutkan
usaha ayah, mencari jejaknya."
Suma Hui dan Cin Liong tak dapat mencegah dan pemuda itu memang benar-benar setiap
ma-lam keluar rumah dan baru pada pagi harinya pu-lang dengan wajah pucat dan tubuh lesu.
Tek Ciang melakukan hal ini sama sekali bukan karena dia percaya adanya penjahat cabul
yang berkeli-aran, melainkan hal itu dilakukan karena kecerdik-annya. Dia tahu bahwa
penjahat cabul itu tidak ada dan bahwa ayahnya memaki Cin Liong saking marahnya melihat
Cin Liong sebagai penghalang perjodohannya dengan Suma Hui. Cin Lionglah yang dimaki
ayahnya sebagai penjahat cabul yang hendak merusak Suma Hui! Akan tetapi, untuk
mempertebal kesan di hati Suma Hui dan Cin Liong bahwa memang ayahnya tidak punya
rahasia lain lagi dan bahwa benar ada penjahat cabul, maka diapun berpura-pura mencari
penjahat cabul itu setiap malam!
Sebenarnya, ke manakah perginya pemuda ini setiap malam" Dia pergi ke tempat sunyi di
luar kota Thian-cin, di dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan duduk
melamun sampai kantuk membuatnya tertidur di tempat itu pula. Pada malam ke tiga, selagi
dia duduk me-lamun, dia mendengar suara orang berdehem di bagian belakang kuil. Tek
Ciang terkejut sekali. Akan tetapi dia bukanlah seorang penakut, apala-gi setelah dia merasa
menjadi murid pendekar sak-ti Suma Kian Lee. Dia melompat berdiri dan cepat menuju ke
ruangan belakang. Sinar bulan mema-suki ruangan itu dari atap yang sebagian besar telah
berlubang dan rusak. Dan di bagian belakang kuil itu, di ruangan sembahyang yang lantainya
sudah disapu bersih, dia melihat seorang laki-laki duduk bersila! Diam-diam dia merasa heran
bukan main. Kapan datangnya orang ini dan kalau baru saja datang, mengapa dia tidak
mendengar kedatangannya" Laki-laki itu berusia lima puluh tahun lebih namun masih nampak
ganteng dan pakaiannya juga rapi dan serba baru. Di dekatnya terdapat sebatang dupa yang
mengepul dan bau harum aneh kini tercium oleh Tek Ciang. Agaknya angin datang dari arah
depan kuil sehingga asap hio wangi itu terbang ke arah belakang. Kalau ter-jadi sebaliknya,
tentu sejak tadi dia mencium bau harum ini karena dupa itu telah terbakar setengah-nya lebih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
208 Dan di sebelah kanannya terdapat pula sebuah karung besar terbuat dari sutera yang isi-nya
entah apa akan tetapi besarnya sama dengan tubuh seorang manusia.
"Siapakah engkau....?" Dengan memberani-kan diri Tek Ciang menegur.
Laki-laki yang tadinya bersila sambil meme-jamkan matanya itu kini membuka mata
meman-dang lalu tersenyum. "Engkau hendak mencari se-orang pemetik bunga" Nah, di
sinilah aku, lalu engkau mau apa?"
Jawaban dan pertanyaan itu membuat Tek Ciang terheran. Tentu saja dia sama sekali tidak
pernah mencari penjahat pemerkosa yang biasanya disebut jai-hwa-cat (penjahat pemetik
bunga) karena hal itu dikemukakan kepada Cin Liong dan Suma Hui hanya untuk menutupi
rahasia ayahnya saja. Dan orang ini begitu saja mengaku dirinya jai-hwa-cat dan bahkan tahu
bahwa dia mencari jai-hwa-cat! Yang mendengar pernyataannya itu hanya Cin Liong dan
Suma Hui, bagaimana orang ini dapat mengetahuinya" Tentu orang ini kaki tangan Cin
Liong! Benar, bukankah Cin Liong katanya seorang jenderal dan panglima" Tentu banyak
anak buah dan kaki tangannya, dan orang ini tentu diutusnya untuk menyelidikinya. Tek
Ciang merasa kaget dan juga marah. Dia bukan seorang bodoh yang mudah dipancing begitu
saja. "Hemm, setiap orang bisa saja mengaku seba-gai jai-hwa-cat, akan tetapi apa buktinya bahwa
engkau seorang jai-hwa-cat tulen ataukah pal-su hanya pura-pura saja?"
"Bocah tolol, berani engkau mengatakan aku jai-hwa-cat palsu" Hati-hati menjaga
mulut-mu!" Orang itu menegur dengan alis berkerut, jelas merasa tidak senang dikatakan
penjahat pal-su.
Sebaliknya, Tek Ciang yang masih menaruh hati curiga, mendengar ucapan keras itu juga
men-jadi marah. "Habis engkau mau apa" Engkau ten-tu datang untuk memata-mataiku,
keparat!" Pemuda ini lalu menerjang ke depan menyerang orang itu dengan kedua kepalan
tangannya, meng-hantam dua kali berturut-turut ke arah kepala orang itu.
Akan tetapi, sebelum kedua kepalannya me-nyentuh orang itu, yang diserang mengulur
tangan dengan jari tangan terbuka didorongkan ke depan dan akibatnya tubuh Tek Ciang
terlempar ke be-lakang, terjengkang seperti tertolak oleh kekuatan dahsyat yang tidak
nampak! Pemuda ini kaget bukan main. Akan tetapi dia bukan seorang pe-nakut dan dengan
penasaran dia sudah menubruk maju lagi, mengirim pukulan yang lebih dahsyat. Kembali
orang itu mendorongkan tangannya dan makin keras pukulan Tek Ciang, makin keras pula dia
terjengkang dan terbanting ke atas lantai kuil yang berlubang-lubang.
"Ha-ha-ha, sebagai murid Suma Kian Lee, engkau masih kosong! Dan kenapa engkau
me-nyerangku kalau kita mempunyai kepentingan ber-sama" Engkau kematian ayahmu dan
tunangan-mu direbut orang. Engkau mendendam kepada Kao Cin Liong, dan akupun juga.
Kalau kita be-kerja sama, tentu akan lebih mudah membalas dendam!"
Tek Ciang memandang dengan mata terbela-lak dan muka berobah. Orang ini agaknya
menge-tahui segala-galanya! Tidak mungkin dia kaki tangan Cin Liong. Bahkan Cin Liong
sendiri, juga Suma Hui, tidak tahu bahwa dia telah diang-kat menjadi calon suami Suma Hui,
akan tetapi orang ini mengatakan bahwa tunangannya direbut orang!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
209 "Siapakah engkau....?" Kembali dia berta-nya, akan tetapi sekali ini dia sudah kehilangan
keberaniannya. Orang itu jelas memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tanpa menyentuh
sudah dapat membuat dia terjengkang dua kali.
"Di dunia kang-ouww, di mana engkau tentu masih asing, aku disebut orang Jai-hwa Siauw-
ok. Tentu engkau belum mengenal namaku, akan te-tapi kalau engkau mencari pemetik
bunga, aku adalah Raja Pemetik Bunga!"
Orang itu memang Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng, seorang di antara sekutu Hek-i Mo-ong
ketika para datuk kaum sesat itu melakukan penyerbuan ke Pulau Es. Seperti telah kita
ketahui, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng berhasil menawan Suma Hui yang dibawanya lari ke
daratan dan kemudian dia hendak mempermainkan dan memperkosa dara cucu Majikan Pulau
Es itu. Akan tetapi perbuatan keji ini gagal ketika Cin Liong muncul dan nyaris dia celaka
kalau dia tidak sege-ra melarikan diri. Tentu saja hatinya merasa ke-cewa bukan main dan
diapun tidak mau berhenti sampai di situ saja. Diam-diam dia melakukan penyelidikan ke
Thian-cin dan dengan ilmu ke-pandaiannya yang tinggi, dia dapat membayangi Suma Kian
Lee ketika berkunjung ke rumah guru silat Louw Kam, dan kemudian diapun dapat
men-dengar percakapan rahasia antara guru silat itu dan puteranya. Setelah dia melihat Loaw
Kam tewas dan Louw Tek Ciang yang diangkat menjadi murid dan calon mantu oleh Suma
Kian Lee itu mendendam terhadap Cin Liong, dia menjadi gi-rang sekali. Apalagi setelah dia
melakukan penyelidikan dan tahu akan isi perut Louw Tek Ciang. Dia melihat seorang
pembantu yang amat baik dalam diri Tek Ciang, seorang pembantu yang akan dapat
melampiaskan dendam dan kebenciannya terhadap keluarga Pulau Es, terutama Suma Hui dan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cin Liong. Demikianlah, diam-diam dia membayangi Tek Ciang dan malam itu memperoleh
kesempatan baik untuk melakukan penjajagan terakhir dengan menjumpai pemuda itu di kuil
tua. Sementara itu, mendengar bahwa orang ini mengaku berjuluk Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat
Kecil Pemetik Bunga), hati Tek Ciang menjadi bimbang. Dia tidak mengenal orang ini,
bagaimana mungkin dia akan membuka rahasia hatinya yang amat berbahaya" Memang,
setelah ayahnya tewas, dalam keadaan seperti itu dia membutuhkan seo-rang teman dan
pembantu yang boleh dipercaya. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Biarpun orang ini lihai
sekali, akan tetapi dia belum mengenalnya dan untuk itu dia harus yakin dulu sebelum
mem-buka rahasianya.
"Lociapwe adalah seorang yang berilmu tinggi, hal ini aku dapat percaya," katanya hati-hati,
"akan tetapi aku belum mengenal locianpwe, bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu
saja akan maksud baik locianpwe terhadap diriku?"
"Ha-ha-ha, di dalam dunia kita, tidak dikenal maksud baik. Aku membutuhkan bantuanmu,
ka-rena itu aku menghubungimu, dan engkau membutuhkan aku, maka engkaupun sepatutnya
me-nerima uluran tanganku untuk bekerja sama. Dan kalau engkau belum yakin bahwa aku
adalah seo-rang Raja Pemetik Bunga, lihatlah, ini korbanku terakhir malam ini, baru saja
kuambil dari dalam kamarnya, ha-ha-ha!" Jai-hwa Siauw-ok me-narik ujung karung dan
isinyapun menggelinding keluar. Tek Ciang terkejut melihat bahwa isi ka-rung itu ternyata
adalah seorang gadis muda ber-usia paling banyak lima belas tahun, wajahnya can-tik akan
tetapi pucat sekali, rambutnya awut-awut-an dan sepasang matanya yang indah lebar itu
se-perti mata kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau, penuh rasa ngeri dan takut.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
210 Gadis itu tadinya tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ketika Jai-hwa Siauw-ok
menggerakkan tangan menotoknya, iapun dapat meronta dan mengeluh lirih, dan melihat Tek
Ciang ia lalu merintih memohon, "Tolonglah aku.... tolonglah aku.... lepaskan aku...."
Tanpa disadarinya sendiri, melihat gadis rema-ja cantik ini ketakutan setengah mati, Tek
Ciang merasa gembira. Dia memang pembenci wanita, dan kalau dia suka mendekati wanita,
hanyalah untuk mempermainkannya, bersenang-senang diri dengan menghina wanita yang
dibencinya-. Kini, melihat gadis itu menderita, diapun merasa gembira dan puas. Seri wajah
dan sinar matanya tidak lepas dari pengamatan Jai-hwa Siauw-ok, walau-pun cuaca di situ
remang-remang saja, hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk.
"Ha-ha-ha, memang cocok sekali. Engkau adalah calon seorang jai-hwa-cat yang hebat!
Engkau pembenci wanita, dan dalam hal itu, aku kalah olehmu!" kata Jai-hwa Siauw-ok.
"Nah, Louw Tek Ciang, apakah engkau masih sangsi bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik
Bunga dan apakah engkau masih curiga kepadaku?"
Tek Ciang menggeleng kepala. "Kesangsian dan kecurigaanku sudah mulai berkurang,
locianpwe."
"Bagus! Nah, kau bersenang-senanglah, baru nanti kita bicara lagi," katanya sambil
menunjuk ke arah gadis yang masih ketakutan dan yang kini mundur-mundur merangkak dan
mepet di sudut ruangan itu. Pakaiannya masih utuh akan tetap kusut dan kini saking takutnya
ia sudah tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang bergantian kepada
Siauw-ok dan Tek Ciang, merasa putus asa karena pemuda itu ter-nyata agaknya sahabat dari
penculiknya. Tadi, dia masih menyulam di kamarnya dan belum tidur ketika tiba-tiba ada
bayangan berkelebat, jendelanya terbuka dan tahu-tahu ada laki-laki itu berdiri di depannya.
Ia hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja ia tidak mampu bersuara, bahkan tubuhnya
seketika menjadi lemas ketika ia dipondong, kemudian dimasukkan karung dan merasa
tubuhnya terayun-ayun dan dilarikan ce-pat sekali. Berkali-kali ia pingsan dan ketika sa-dar,
ia masih berada di dalam karung, di ruangan itu, akan tetapi baru mampu bergerak dan
bersu-ara setelah dikeluarkan dari dalam karung.
Sepasang mata Tek Ciang berkilat. Dia belum pernah memperkosa wanita, dalam arti kata
mem-perkosa mempergunakan kekerasan. Tentu saja diapun sudah memperkosa banyak
wanita dengan uangnya, kemudian mempermainkan wanita itu dan menghinanya. Sesaat
timbul nafsu berahinya, akan tetapi kesadarannya melarangnya. Dia masih dalam kesulitan.
Dia masih mempunyai perkara besar yang harus diselesaikan. Di samping itu, dia masih
belum yakin sepenuhnya kepada orang ini. Siapa tahu semua ini hanya pancingan belaka dan
kalau dia terpancing, orang lihai ini akan turun tangan mencegahnya memperkosa gadis itu,
atau malah membunuhnya!
Tek Ciang menggeleng kepala. "Tidak, locian-pwe. Aku.... aku tidak ingin...."
Siauw-ok menyeringai. "Siapa bilang tidak ingin" Nafsu berahimu membakar sampai
nampak di pandang matamu, akan tetapi engkau tidak be-rani, engkau takut dan masih belum
percaya kepadaku. Hemm, kalau begitu biarlah kunikmatinya sendiri. Nanti lewat tengah
malam baru kita
Golok Yanci Pedang Pelangi 8 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bara Naga 2
^