Pendekar Panji Sakti 16

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 16


eringankan tubuh untuk berkelit kian kemari..
Hingga detik itu, walaupun serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong amat cepat, dalam hal ilmu meringankan tubuh dia masih belum mampu melampaui musuhnya, padahal sebelum ini ilmu meringankan tubuh merupakan kepandaian andalannya.
Setelah memperoleh kemajuan yang pesat dalam tenaga dalam serta ilmu silatnya, ilmu meringankan tubuh malah sebaliknya menjadi bagian yang terlemah, itulah sebabnya walaupun berhasil merebut posisi diatas angin, untuk sesaat lamanya belum berhasil mengendalikan lawan.
Kembali manusia aneh itu berkata dengan lambat:
"Bertahan tanpa menyerang, kelembekan menimbulkan kerugian, menyerang tanpa bertahan, keberangasan menimbulkan kerugian. Mau menyerang atau bertahan, diam dan gerak harus saling mengisi, kemenangan tentu bisa diraih"
Satu ingatan segera melintas dalam benak Thiat Tiong-tong, tangan kanannya dari dalam berputar setengah busur ke arah luar, lima jarinya dipentangkan lebar, sementara tangan kirinya bagaikan ranting bunga yang lembut menggiring serangan lawan bergerak ke arah luar kemdian memunahkannya.
Tiba-tiba siucay muda itu merasakan tenaga dalamnya hilang lenyap tidak berbekas disusul datangnya ancaman serangan dari lawan, dalam terperanjatnya buru-buru dia merangkap sepasang kepalannya sambil dihentak keluar.
Jurus serangan ini dari posisi menyerang berubah jadi posisi bertahan, kekuatannya luar biasa dan sangat tepat sasaran.
Hong Lo-su kontan bertepuk tangan dan berseru sambil tertawa:
"Hahahaha.... muridku, bagus sekali jurus Jian kun it kie
(gempuran alam semesta) mu itu!"
Belum selesai dia tertawa, tampak tangan kanan Thiat Tiong-tong menyusut sambil menggiring, tahu-tahu tenaga musuh yang amat dahsyat itu berhasil digiring ke samping, ketika tangan kirinya berputar dari kanan ke arah kiri, sepasang iga lawan mulah berada dalam ancaman maut.
Dua serangan yang digabung jadi satu ini lagi lagi merupakan penggabungan jurus serangan ilmu penyakitan serta barisan tujuh bidadari, satu ancaman yang sangat berbahaya.
Terhuyung-huyung siucay muda itu mundur berapa langkah, peluh dingin bercucuran membasahi wajahnya, sementara paras muka Hong Lo-su ikut berubah hebat.
Terdengar manusia aneh itu tertawa terbahak bahak, teriaknya:
"Ooh, ternyata murid peluru angin cuma begitu
kemampuannya!"
Paras muka siucay muda itu dari pucat berubah jadi menghijau, dari hijau berubah jadi merah, tiba-tiba dia membentak nyaring, kepalan-nya disodok ke depan diikuti serudukan tubuhnya, rasa malu bercampur marah membuat pemuda siucay itu jadi nekad dan berniat adu jiwa Kembali satu ingatan melintas lewat dalam benak Thiat Tiong-tong, dia tidak menghindar, tidak berkelit ataupun menangkis, sambil melangkah maju dia sambut datangnya serangan lawan dengan ke dua telapak tangannya.
Ternyata saking asyiknya bertarung, dia sudah lupa untuk menyembunyikan kehebatannya, kini dia berhasrat untuk menjajal tenaga dalamnya.
Melihat tindakan pemuda itu, paras muka para jago berubah hebat, manusia aneh itu pun menjerit kaget:
"Celaka!"
Dia tahu tenaga dalam yang dimiliki Thiat Tiong-tong tidak terhitung tangguh, bagaimana mungkin dia sanggup menghadapi murid andalan dari perguruan peluru angin"
Sadar kalau sudah tidak mungkin lagi mencegah terjadinya bentrokan itu, manusia aneh itu hanya bisa menghentakkan kakinya dengan gegetun, diam-diam dia mengomel, Thiat Tiong-tong betul-betul tidak tahu diri, bukannya menggunakan kelebihan yang dimiliki untuk mengarahkan lawan, sebaliknya malah mengambil resiko besar....
Siapa tahu belum selesai ingatan tersebut melintas....
"Blaaaam!" terjadi benturan keras yang mnnekikkan telinga menyusul jerit kesakitan seseorang, sesosok bayangan manusia mencelat ke tengah udara mengikuti semburan darah segar yang ber ceceran kemana-mana.
Ternyata Thiat Tiong-tong masih berdiri tegak dengan sorot mata bersinar tajam, kenyataan ini bukan saja diluar dugaan manusia aneh itu, para jago yang hadir di arena pun sama-sama terkesiap dibuatnya.
Diam-dam manusia aneh itu berpikir:
"Jurus serangannya mengalami kemajuan pesat lantaran dia telah mempelajari rahasia jurus diatas dinding ruangan, tapi....
kenapa tenaga dalamnya pun mengalami kemajuan sepesat ini"
Apa yang telah terjadi?"
Alasan tersebut bukan saja tidak dipahami olehnya, bahkan terpikir pun tidak.
Dalam pada itu siucay muda tadi sudah terkapar tidak sadarkan diri, darah segar membasahi seluruh tubuhnya.
Hong Lo-su tahu kalau muridnya terluka parah, tapi dia melirik sekejap pun tidak.
"Tidak kau tengok keadaan dari murid kesayanganmu itu?"
ejek Coh Sam-nio sambil tertawa.
Hong Lo-su mendengus dingin.
"Hmmm, ilmu tenaga dalam perguruan kami hebat dan luar biasa, tapi dia enggan mempelajarinya, yang diajari justru ilmu sebangsa beradu nyawa, manusia macam begini memang pantas untuk mampus, buat apa ditengok lagi!"
"Kejam amat guru semacam ini" pikir Thiat Tiong-tong, "hanya manusia sebangsa Sim Sin-pek yang cocok menjadi muridnya!"
Ketika menengok ke sekeliling tempat itu, dia baru sadar ternyata Sim Sin-pek sudah tidak nampak lagi batang hidungnya.
Padahal belum lama berselang dia masih menjumpai orang itu, kenapa tahu-tahu dia sudah lenyap tidak berbekas"
Diam-diam dia terperanjat, sebab dia sadar walaupun kungfu yang dimiliki Sim Sin-pek tidak terhitung tinggi, namun kelicikan dan kebusukan hatinya betul-betul menakutkan.
Pada saat itulah mendadak terdengar manusia aneh itu membentak keras:
"Celaka!"
Menyusul kemudian terasa segulung angin pukulan lunak yang berhawa dingin menyergap tiba tanpa menimbulkan sedikit suara pun.
Thiat Tiong-tong terkesiap, sadar kalau ia sedang dibohongi Hong Lo-su, dalam kagetnya cepat dia mundur beberapa langkah, kemudian tanpa menggubris keadaan disekelilingnya lagi dia duduk bersila ditanah.
Terdengar manusia aneh itu berteriak gusar:
"Sungguh memalukan, kau sebagai seorang ketua perguruan besar, ternyata perbuatanmu lebih busuk dari seorang kurcaci, kau tidak malu dengan perlakukan busukmu itu?"
Terdengar Hong Lo-su tertawa seram.
"Hehehehe.... aku Hong Lo-su tidak lebih hanya ingin menjajal kemampuannya, kalau sudah berani muncul dalam dunia persilatan, mata mesti awas dan telinga mesti perhatikan empat arah delapan penjuru, siapa suruh dia begitu tidak becus?"
Menyusul perkataan itu terasa angin pukulan menderu-deru, tampaknya kedua orang itu sudah terlibat dalam pertarungan yang amat seru.
Thiat Tiong-tong merasa terkejut bercampur gusur, dia pun merasa sangat menyesal dan malu, tapi saat ini tubuhnya seolah terjerumus ke dalam liang salju yang amat dingin, bukan saja sekujur tubuhnya gemetar keras, bahkan saking kedinginan nya sepasang gigi saling beradu tiada hentinya.
"Sungguh lihay ilmu pukulan Kiu yu im hong miliknya...."
demikian ia berpikir.
Dalam keadaan begini, anak muda itu tidak berani berpikir yang lain lagi, kini dia hanya berharap bisa secepatnya memaksa keluar pengaruh hawa dingin dari tubuhnya, cepat dia bersemedi mengatur pernapasan.
Dia mengatakan tidak berani berpikir, tapi mana mungkin anak muda itu bisa tidak berpikir" Mula-mula dia teringat bagaimana sang hujin sedang menantinya didalam sampan, lalu teringat bagaimana dia sudah terluka sementara situasi di arena pertempuran sudah nampak jelas hasilnya, di mana manusia aneh itu kemungkinan besar terancam jiwanya, kemudian teringat pula bagaimana Suto Siau sekalian yang sedang menanti kesempatan untuk membalas dendam, dalam posisi begini, mana mungkin dia bisa bersemedi dengan tenang"
Tiba-tiba terdengar Coh Sam-nio berkata sambil tertawa:
"Kungfu yang dimliki Hong Lo-su memang tidak hebat, dia bisanya cuma main bokong, dengan kungfu macam begini mana mungkin kau bisa menandingi sang pangeran" Kelihatannya aku mesti membantu dia"
Sekalipun umpatannya tertuju kepada manusia aneh itu, jurus serangannya justru diarahkan ke tubuh manusia aneh.
"Hahahaha...." Hong Lo-su tertawa terbahak, "makian yang bagus, makian yang bagus...."
Ke dua orang tokoh ampuh ini segera bekerja sama melancarkan serangan secara bertubi-tubi, mereka berniat menghabisi dulu manusia aneh itu sebelum tokoh lihay yang ada didalam gua itu munculkan diri.
Dengan satu melawan dua, belasan gebrakan kemudian manusia aneh itu sudah terjerumus ke dalam posisi yang amat berbahaya.
Dalam pada itu Sui Leng-kong berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, rupanya perempuan bercadar itu kuatir si nona kelewat terpukul batinnya maka dia totok jalan darah tidurnya agar gadis itu dapat berisitrahat dengan tenang.
Si siucay muda itu masih tergeletak tidak sadarkan diri, sedang lelaki raksasa bertelanjang kaki berdiri kaku dengan mata melotot.
Suto Siau dan Hek Seng-thian saling bertukar pandangan sekejap, tanpa mengucapkan sepatah kata pun kedua orang itu mulai menggeserkan tubuhnya bergerak menghampiri Thiat Tiong-tong yang masih duduk bersemedi.
Ketika mendengar ada suara langkah kaki menghampirinya, Thiat Tiong-tong segera tahu kalau Suto Siau sekalian sedang berniat membokongnya, waktu itu dia sama sekali tidak bertenaga untuk melakukan perlawanan, maka sambil menghela napas pikirnya:
"Aaai, sudahlah!"
Di saat yang kritis itulah mendadak terdengar seorang perempuan bercadar menghardik keras:
"Hey, apa yang hendak kalian berdua lakukan?"
"Aaah, tidak melakukan apa-apa!" sahut Suto Siau cepat sambil tertawa.
"Kalau tidak melakukan apa-apa, lebih baik diam diri ditempat, jangan bergerak sembarangan!"
Dalam hati Suto Siau mengumpat habis-habisan, dia tahu bila kesempatan baik ini terbuang percuma maka jangan harap mereka punya peluang lagi untuk membuat perhitungan dengan Thiat Tiong-tong.
Sekalipun begitu, mereka tidak berani bertindak gegabah, sebab mereka tahu kepandaian silat yang dimiliki perempuan
bercadar itu masih jauh diatas kemampuan mereka, oleh sebab itu meski dalam hati mereka memendam rasa benci dan dendam namun senyuman paksa tetap ditampilkan diatas wajah.
Baru saja Thiat Tiong-tong menghembuskan napas lega, tiba-tiba dari sisi telinganya terdengar seseorang berbisik:
"Cepat atur pernapasanmu!"
Menyusul kemudian terasa ada sebuah telapak tangan menempel diatas punggungnya.
Rupanya sewaktu mengundurkan diri tadi, secara kebetulan dia mundur ke tengah kerumunan perempuan bercadar itu, telapak tangan yang membantunya sekarang tidak lain berasal dari perempuan bercadar itu.
Dalam waktu singkat dia merasa ada segulung hawa panas mengalir masuk melalui punggungnya kemudian membaur dengan tenaga dalamnya dan berputar mengitari tubuh.
Perlu diketahui, tenaga dalam yang dimilikinya termasuk aliran hawa Yang, itulah sebabnya ketika sang Hujin mengalirkan tenaga dalamnya, dengan cepat hawa murni itu terserap ke dalam tubuhnya.
Dengan tenaga dalam yang dimilikinya waktu itu,
sesungguhnya sudah lebih dari cukup baginya untuk mengusir hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya, apalagi dengan dibantunya tenaga dalam oleh perempuan bercadar itu, dalam waktu singkat asap putih telah mengepul keluar dari ubun-ubunnya.
Suto Siau sekalian yang menyaksikan kejadian itu merasa terkejut bercampur gusar, mereka tahu sesaat kemudian hawa dingin beracun akan tersapu bersih dari tubuh anak muda itu, yang membuat mereka gemas adalah kenapa perempuan bercadar itu membantunya"
Tidak selang berapa saat kemudian Thiat Tiong-tong telah dua kali menjalankan hawa murninya mengelilingi seluruh tubuh, kini paras mukanya telah berubah jadi merah segar, tapi rasa tercengang melintas dalam benaknya:
"Aneh, kenapa perempuan bercadar itu membantuku?"
Tapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, terdengar seseorang kembali berbisik:
"Kau tidak usah terkejut maupun keheranan, kaupun tidak perlu banyak bertanya, asal kau menyusul ke pulau Siang cun to, segala sesuatunya akan jelas dengan sendirinya"
Dengan sekali lompatan Thiat Tiong-tong bangkit berdiri, dia
ingin bertanya lagi, tapi kawanan perempuan bercadar itu telah duduk mematung, karena wajahnya bercadar, tidak jelas bagaimana mimik muka mereka saat itu.
"Pulau Siang-cun-to.... pulau Siang-cun-to...."
Secara lamat-lamat Thiat Tiong-tong merasa seolah pernah mendengar nama pulau itu, namun lupa mendengar dari siapa dan ditempat mana, melihat sikap kawanan perempuan bercadar itu, dia tidak berani banyak bertanya lagi.
Ketika menengok kembali ke arena pertarungan, dia jumpai manusia aneh itu sudah basah kuyup bermandikan keringat, posisinya amat berbahaya dan jiwanya dalam keadaan kritis.
Melihat itu Thiat Tiong-tong segera membentak gusar:
"Hong Lo-su, buktikan kalau kau mampu melukai aku!"
Tidak terlukiskan rasa kaget Hong Lo-su melihat kemunculan anak muda itu, belum sempat berpikir lebih jauh, Thiat Tiong-tong sudah melesat maju ke depan, tangan kirinya membabat ke samping sementara tangan kanannya menusuk lurus kemuka, dalam waktu sekejap dia sudah melepaskan dua jurus serangan kilat.
Manusia aneh itu seketika merasakan semangatnya bangkit kembali, tapi saat ini tenaga dalamnya telah menderita kerugian besar, walaupun Hong Lo-su berhasil disingkirkan oleh serangan maut Thiat Tiong-tong, namun dia tetap kewalahan menghadapi gempuran Coh Sam-nio.
Bagaikan sambaran petir tubuh Coh Sam-nio gentayangan disekeliling tubuhnya, sebentar ke sana sebentar kemari, bagaikan sukma gentayangan saja perempuan itu menempel ketat disisi tubuh manusia aneh itu.
Tiba-tiba dia berseru sambil tertawa:
"Hong Lo-su, si raksasa mu sudah mampus?"
Saat itu Hong Lo-su masih dicekam perasaan kaget bercampur ragu, dia tidak menyangka secepat itu Thiat Tiong-tong dapat memulihkan kembali kekuatannya, karena sangsi diapun tidak berani menyerang pemuda itu secara sembarangan.
Ketika mendengar teriakan Coh Sam-nio, dengan perasaan girang segera hardiknya:
"Kapak sakti, ada dimana kau" Cepat bantu aku membantai bajingan ini!"
Lelaki raksasa itu mengiakan dan langsung maju menyerbu sambil mengayunkan kapak raksasanya.
Kembali Hong Lo-su berseru sambil tertawa seram:
"Untuk menghadapi manusia macam kau, tidak perlu aku mengerubuti kalian berdua!"
Cepat tubuhnya melejit ke samping, lagi-lagi dia membantu Coh Sam-nio menyerang manusia aneh itu.
Bagaikan banteng terluka lelaki raksasa itu menerjang maju ke depan, kapak raksasanya diayunkan kesan kemari melancarkan serangan ke tubuh Thiat Tiong-tong secara bertubi tubi.
Thiat Tiong-tong cemas bercampur kaget, dengan nada gemetar serunya:
"Paman Sim.... paman Sim.... kau.... kau...."
Kendatipun dia memiliki kemampuan yang luar biasa dengan jurus serangan yang mematikan pun mustahil bagi pemuda ini untuk menghadapi paman Sim nya, padahal serangan kapak maut dari manusia raksasa itu boleh dibilang semuanya merupakan jurus mematikan, asal Thiat Tiong-tong terbentur sedikit saja, niscaya tubuhnya akan hancur lebur dan nyawanya melayang.
Dalam pertarungan ini jelas posisi Thiat Tiong-tong sangat dirugikan.
Sambil bertepuk tangan dan tertawa tergelak Suto Siau mengejek:
"Horee.... bagus, bagus sekali, keponakan dan paman saling gontok-gontokan sendiri, sungguh sebuah pertunjukkan yang menarik!"
Semakin Thiat Tiong-tong merasa panik bercampur cemas, jurus serangannya makin bertambah kacau, dipihak lain keadaan manusia aneh itu lebih mengenaskan lagi, dalam sepuluh gebrakan yang berlangsung dia tidak mampu melepaskan sebuah jurus serangan balasan pun.
Jago pedang berhati merah Seng Cun-hau tidak tega menyaksikan keadaan itu, cepat dia buang muka ke arah lain, sementara Li Lok-yang ayah beranak meski pingin turun tangan membantu, apa mau dikata kungfu mereka kelewat cetek, punya kemauan tidak punya kekuatan, tentu saja mereka tidak berani bertindak sembarangan.
Dalam keadaan seperti inilah tiba-tiba dari balik tirai hitam berkumandang suara tertawa yang manis lagi lembut, kemudian terdengar seseorang berkata:
"Sebelum aku turun tangan, siapa yang berani turun tangan secara sembarangan!"
Biarpun suaranya lembut, halus dan sedap didengar namun reaksinya justru melebihi suara guntur yang menggelegar disiang hari bolong, membuat hati semua orang tercekat.
Dengan cepat Hong Lo-su dan Coh Sam-nio berjumpalitan di udara sambil mundur sejauh berapa kaki, dengan suara keras Hong Lo-su segera menghardik:
"Kapak sakti, ada dimana kau" Cepat hentikan seranganmu!"
Waktu itu lelaki raksasa tersebut sedang mengayunkan kapaknya setengah jalan, begitu mendengar bentakan, seketika itu juga dia menghentikan bacokannya, coba lengannya tidak memiliki tenaga luar biasa, mustahil dia mampu melakukan hal itu.
Dalam waktu singkat perhatian semua orang tertuju ke satu arah, belasan pasang mata bersama-sama memandang ke balik tirai hitam itu, tidak seorangpun berani berisik atau bersuara.
Hanya Thiat Tiong-tong seorang yang diam-diam menghela napas, dia tahu tenaga dalam yang dimiliki hujin itu sudah nyaris punah, apa yang bisa dilakukan perempuan itu paling hanya menggertak dari balik tirai dan mustahil berani menampilkan diri.
Siapa tahu tirai hitam itu mendadak disingkap orang, dari balik ruangan muncullah tubuh seseorang.
Dia mengenakan jubah panjang hingga ke lantai, rambutnya disanggul tinggi, matanya bening bagai kaca, pinggangnya ramping bagai ranting pohon liu, wajahnya cantik jelita bak bidadari yang turun dari kahyangan, selain cantik, perempuan itu anggun dan penuh wibawa, membuat siapa pun tidak berani menatap wajahnya kelewat lama.
Diiringi jeritan tertahan serentak semua jago bangkit berdiri, manusia aneh itu segera menjatuhkan diri berlutut, sementara kawanan perempuan bercadar yang selama ini hanya duduk pun serentak bangkit berdiri.
Terlebih Thiat Tiong-tong, dia nyaris tidak percaya dengan apayang dilihatnya.
Yang membuat semua orang terkejut adalah wajahnya yang sama sekali tidak nampak tua atau keriputan kendatipun nyonya ini sudah puluhan tahun hidup mengasingkan diri, andaikata tenaga dalamnya tidak mencapai puncak kesempurnaan, darimana mungkin dia bisa tampil awet muda"
Sebaliknya yang membuat Thiat Tiong-tong kaget adalah penampilan nyonya ini, jelas penampilannya sewaktu bersua tadi
bukan begini, kenapa secara tiba-tiba wajahnya berubah awet muda dan cantik"
Semakin dipikir dia semakin tidak habis mengerti, akhirnya setelah memandang lagi berapa kejap, dia tidak berani memandang lebih jauh, buru-buru anak muda ini jatuhkan diri berlutut.
"Coh Sam-nio" dengan suara lembut Hujin itu menegur, "lama tidak bersua, apakah kau masih berada dalam keadaan baik?"
"Berkat berkah dari hujin!" sahut Coh Sam-nio sambil tundukan kepalanya rendah-rendah.
Kalau diwaktu biasa dia pandai bicara, maka sekarang, untuk menyampaikan berapa patah kata pun dibutuhkan tenaga ekstra.
"Bagaimana dengan Hong Lo-su?" kembali Hujin itu menegur.
"Berkat.... berkat...." sebetulnya Hong Lo-su ingin meniru jawaban dari Coh Sam-nio, namun kata berikut ternyata tidak sanggup dia ucapkan.
"Siapa yang barusan bertarung" Rasanya bukan kalian berdua bukan?" kata hujin itu tertawa.
"Ooh bu.... bukan...." buru-buru Hong Lo-su menyahut.
"Aku percaya para dewi dibawah pimpinan Jit ho (Ratu matahari) tidak akan berani bertindak sembrono!"
"Ucapan hujin tepat sekali" jawab perempuan bercadar itu cepat.
Meskipun jawaban itu disampaikan dengan nada datar dan tenang, namun gerak-gerik mereka mulai menunjukkan sikap tidak tenang.
Sambil menarik wajahnya kembali sang hujin berpaling ke arah Suto Siau sekalian, tegurnya ketus:
"Berarti kalian?"
"Bu.... bukan...." jawab Suto Siau gelagapan, saking gugup dan takutnya dia tidak sanggup bicara lebih jauh karena sepasang giginya terlanjur saling beradu.
"Kalau memang tidak ada yang berkelahi, berarti aku sudah salah mendengar" ujar nyonya itu lembut.
Semua orang menundukkan kepalanya tanpa bersuara, tidak ada yang berani mengatakan "hujin tidak salah dengar", apalagi mengatakan" hujin telah salah dengar".
Setelah tertawa hambar, nyonya itu berkata lagi:
"Hong Lo-su, Coh Sam-nio, sudah banyak tahun tidak bersua, rasanya kalian telah berhasil mempelajari berapa jurus baru, apakah hari ini ingin mempamerkan kelebihan kalian itu?"
"Hong Lo-su yang ingin kemari, siaumoay tidak tahu masalahnya!" buru-buru Coh Sam-nio menghindar.
Hong Lo-su jadi terperanjat, teriaknya panik:
"Kau.... kau...."
Dalam kaget dan gusarnya meski dia ingin menyangkal, namun saking paniknya bukan saja tidak mampu berkata-kata bahkan seluruh otot hijaunya pada menonjol keluar.
Kembali nyonya itu menghela napas panjang, katanya lebih jauh:
"Setelah datang kemari, tentunya kalian enggan pulang dengan tangan hampa bukan" Tapi akupun percaya kalian tidak ingin bertarung melawanku, bagaimana baiknya sekarang?"
Semua orang membungkam, tidak seorangpun berani
bersuara. Setelah termenung berapa saat kembali nyonya itu berkata:
"Begini saja, biar kusuruh Thiat Tiong-tong yang baru hari ini kuterima sebagai muridku untuk melayani kalian barang satu dua jurus, bagaimana?"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya lagi sambil tertawa:
"Tentu saja dia masih bukan tandingan kalian karena baru hari ini kuajarkan ilmu silat kepadanya, harap kalian jangan melukainya"
Ketika semua orang mendengar Thiat Tiong-tong yang baru sehari belajar silat darinya ternyata sudah memiliki kepandaian sehebat itu, diam-diam merasa terkejut bercampur ngeri.
"Tiong-tong!" terdengar nyonya itu berseru, "ayoh bangun.
Layani kedua orang cianpwee ini barang satu dua jurus"
Thiat Tiong-tong menyahut dan segera bangkit berdiri, kini dia merasakan seluruh tubuhnya dipenuhi dengan tenaga segar, apalagi mendengar nyonya yang cantik bagai bidadari itu memanggilnya sebagai murid, rasa gembiranya tidak terlukiskan dengan perkataan.
Hong Lo-su segera berpikir:
"Kalau muridnya saja sudah begini ampuh apalagi gurunya, sekalipun aku mampu mengalahkan muridnya, kalau sampai gurunya maju sendiri, bukankah bakal habis riwayatku"
Setelah melirik Coh Sam-nio sekejap, mendadak dia mendekap perut sendiri sambil berteriak keras:
"Aduh celaka, perutku sakit.... aku mau.... mau...."
Sembari berteriak dia segera kabur sipat kuping meninggalkan tempat itu.
"Dasar manusia tidak becus!" diam-diam Coh Sam nio mengumpat.
Terdengar sang hujin berkata sambil tertawa:
"Kalau Hong Lo-su sedang sakit perut, kau minta pelajaran dari Coh Sam-nio saja!"
"Aaah hujin sedang bergurau" buru-buru Coh Sam-nio berkata, "mana berani siaumoay bertarung melawan keponakan Thiat"
Bagaimana pun dia jauh lebih berani ketimbang Hong Lo-su, sesudah tertawa paksa, ujarnya lebih jauh:
"Sebetulnya siaumoay ingin menemani hujin berapa saat lagi, apa daya.... aaai, biarlah siaumoay mohon diri lebih dulu"
Walaupun dia masih mampu berbicara, namun begitu selesai berkata tubuhnya sudah kabur dari ruangan itu.
Kawanan perempuan bercadar itu pun saling memberi tanda, setelah membaringkan Sui Leng kong ke lantai, tanpa mengucapkan sepatah kata pun mereka ikut mengundurkan diri dari situ.
Melihat semua orang sudah kabur, Suto Siau sekalian tentu saja tidak berani bercokol lebih lama disitu, dengan sempoyongan mereka kabur terbirit-birit meninggalkan ruangan itu.
Dari kejauhan terdengar Hong Lo-su berteriak keras:
"Kapak sakti, berada dimana kau?"
"Siap!" sahut lelaki raksasa itu sambil siap berlalu.
"Paman Sim, tunggu sebentar" dengan perasaan terkesiap Thiat Tiong-tong menghadang jalan perginya.
Siapa tahu lelaki raksasa itu langsung membalikkan tubuh sambil melepaskan sebuah bacokan maut, mau tidak mau terpaksa Thiat Tiong-tong harus berkelit ke samping.
Begitu dia menghindar, lelaki raksasa itupun berlari meninggalkan ruangan.
Thiat Tiong-tong sangat menguatirkan keselamatan saudara seperguruannya ini, dia tidak rela membiarkan pamannya terjatuh ke tangan Hong Lo-su, baru saja siap melakukan pengejaran....
"Tiong-tong, balik kemari" tiba-tiba terdengar nyonya itu berseru.
Biarpun hanya berapa patah kata namun mendatangkan daya pengaruh yang luar biasa bagi Thiat Tiong-tong, seketika itu juga dia berhenti.
"Kau tetap tinggal disini, biar aku yang berjaga-jaga diluar"
manusia aneh itu segera berbisik.
"Tapi...."
"Kalian berdua tetap tinggal disini...." perintah sang hujin cepat.
Baru selesai bicara, peluh telah membasahi seluruh tubuhnya, tidak ampun perempuan itu roboh lemas ke tanah.
"Ibu, kenapa.... kenapa kau?" manusia aneh itu menjerit kaget.
"Hujin, kau.... kau...." Thiat Tiong-tong menjerit pula tertahan.
Ditengah teriakan kaget kedua orang itu segera lari mendekat.
Tampak nyonya itu tergeletak dengan wajah pucat pias bagai mayat, napasnya sangat lemah dan tinggal satu dua di antara tenggorokannya, dia sudah berada dalam keadaan sekarat.
Tanpa membuang waktu Thiat Tiong-tong maupun manusia aneh itu segera menempelkan telapak tangannya diatas jalan darah penting ditubuh sang hujin dan menyalurkan hawa murninya.
Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga gabungan kedua orang ini, sekalipun nyonya itu tidak mampu lagi menyerap tenaga murni tersebut, namun berapa saat kemudian paras mukanya nampak jauh lebih cerah.
Sambil membuka matanya dan tertawa pedih, bisik nyonya itu:
"Setelah tenaga sinkang ku buyar, raut wajahku lambat laun pulih kembali seperti sedia kala, tapi aku tahu inilah secercah cahaya terakhirku sebelum padam, tidak lama lagi aku akan meninggalkan dunia ini!"
Thiat Tiong-tong mengerti apa yang dimaksud, lain dengan manusia aneh itu, dia dibuat kebingungan dan tidak habis mengerti oleh perkataan ibunya. Waktu itu sebetulnya dia pingin bertanya: "Tenaga sinkang apa" Kenapa bisa buyar?" namun dalam suasana begini, mana mungkin dia mampu
mengutarakannya keluar" Terdengar nyonya itu berkata lagi:
"Kalian berdua tidak usah bersedih hati, Thian menghendaki kematianku dalam keadaan seperti ini sudah merupakan satu kemurahan yang luar biasa, aku berharap dikemudian hari kalian bisa saling menganggap sebagai saudara sendiri"
Kedua orang itu, yang satu adalah putra kandung darah dagingnya sendiri, sementara yang lain adalah orang yang mewarisi seluruh jerih payahnya, seluruh hasil karya latihan tekunnya selama banyak tahun.
Thiat Tiong-tong saling berpandangan sekejap dengan manusia aneh itu, dengan sedih mereka saling mengangguk.
Dengus napas nyonya itu mulai memburu, ujarnya lagi:
"Sementara waktu meski Coh Sam-nio dan Hong Lo-su kabur karena takut kepadaku, tapi mereka berdua adalah orang yang banyak curiga, tidak mungkin mereka akan pergi dengan begitu saja, tidak lama kemudian pasti akan balik lagi kemari"
"Ibu tidak usah kuatir, ananda sekalian yakin masih mampu membendungnya" sahut manusia aneh itu cepat.
Nyonya itu menggeleng, ujarnya sambil tertawa sedih:
"Saat ini kalian berdua masih bukan tandingan mereka berdua, tidak usah beradu nyawa, aku masih membutuhkan kalian berdua untuk melanjutkan generasi"
Thiat Tiong-tong serta manusia aneh itu menundukkan kepalanya, mereka tidak berani banyak bicara lagi.
Terdengar nyonya itu berkata lebih jauh:
"Coba kalian berdua perhatikan lukisan yang tertera di dinding sekeliling ruangan ini, di antara pemandangan alam yang sangat indah, disitulah tempat aku dikebumikan, ditempat itu masih.... masih terdapat pula banyak rahasia, bukan saja Coh Sam-nio dan Hong Lo-su selalu ingin mengetahuinya, orang lain pun.. uhuuh.. uhuuu.... kalian berdua harus berjanji kepadaku, kalian.... kalian harus menunggu.... menunggu selama dua puluh hari sebelum keluar dari situ.... uhuuu uhuuu.... jangan bertarung... bertarung lagi dengan Hong...."
Bukan saja dia batuk semakin keras, napasnya pun semakin sesak hingga susah untuk melanjutkan kembali perkataannya.
Dalam keadaan dan situasi seperti ini betapapun sulitnya persoalan, biarpun diancam dengan golok atau kapak, terpaksa mereka harus mengabulkan permintaannya itu.
Dengan sedih kedua orang itu mengiakan.
Nyonya itu berkata lagi:
"Selama hidup aku.... aku telah malang melintang di kolong langit, sebelum mati bisa.... bisa mendapat pewaris, aku.... aku akan mati dengan mata meram, tapi.... tapi masih ada.... masih ada...."
Buru-buru Thiat Tiong-tong dan manusia aneh itu
menyalurkan tenaga murninya untuk menunjang perempuan itu.
Setelah menghela napas nyonya itu berkata lagi:
"Aku tidak bisa banyak bicara lagi, kalian perhatikan....
perhatikan lukisan itu.... perhatikan diujung jalan buntu, jangan
lupa.... rahasia dari.... dari pakaian pengantin dari.... dari Perguruan Tay ki bun.... budi atau dendam hanya.... hanya ayahmu seorang yang.... yang tahu.... dia belum mati.... belum mati hingga kini.... dia bisa membohongimu.... jangan harap bisa membohongi aku...."
Perlahan-lahan sekulum senyuman tersungging diujung bibirnya.
"Apa" Ayah belum mati?" teriak manusia aneh itu terperanjat,
"berada dimana dia...."
Tapi ucapannya segera terpotong ditengah jalan, mendadak matanya terbelalak lebar, mulutnya melongo besar.... tiba-tiba kedua orang itu menangis tersedu-sedu, ternyata sebelum menyelesaikan perkataannya, nyonya itu sudah pergi menghadap ke langit barat, berangkat dengan diiringi sekulum senyuman.
Nyonya itu pergi dengan wajah yang tetap cantik dan menawan hati, matanya terpejam rapat, walaupun Thian telah mencabut kembali nyawanya namun tidak merenggut kecantikan wajahnya yang rupawan.
Bagaimana pun Thiat Tiong-tong serta manusia aneh itu adalah manusia luar biasa, kesedihan yang luar biasa tidak membuat mereka kehilangan akal dan kecerdasan, sambil menahan rasa sedih manusia aneh itu segera membopong jenasah ibunya.
Thiat Tiong-tong membalikkan tubuhnya membopong Sui Leng-kong, sementara siucay muda itu masih tergeletak tidak sadarkan diri, tidak seorangpun yang memperdulikan nasibnya.
Manusia aneh itu menghela napas panjang, dari dalam saku dia mengambil sebungkus obat dan dilempar ke samping tubuhnya, kemudian dia baru berkata:
"Saudaraku, mari ikut aku"
Panggilan "saudaraku" itu seketika membuat Thiat Tiong-tong terharu, gejolak perasaan dalam dadanya nyaris membuatnya tidak mampu mengendalikan diri, sampai sesaat kemudian dia buru menyusul di belakangnya.
Kedua orang itu menutup kembali pintu batu, melewati lorong rahasia dan balik lagi ke tepi kolam dengan pemandangan alam yang indah, saat itu sampan sudah bersandar ditepian, walaupun tirai halus masih berkibar seperti sedia kala, namun pemiliknya sudah pergi jauh diujung langit sana.
Setelah naik keatas sampan, Thiat Tiong-tong
menyembunyikan kitab pusaka itu ke dalam sakunya, kemudian
mereka berdua mulai meneliti lukisan yang terbentang diatas dinding ruangan.
Tampak empat penjuru merupakan bukit nan hijau dengan pepohonan yang rindang di antara mega berwarna putih, lukisan itu tidak mirip pemandangan di alam manusia melainkan pemandangan diatas langit, sebuah sungai kecil mengalir tenang di antara pepohonan dan awan.
Kedua orang itu merupakan orang yang berotak cerdas dan luar biasa, mereka cukup mengerti apa yang dimaksudkan dengan "perhatikan diujung jalan buntu", maka perhatian mereka mulai ditujukan ke arah aliran sungai itu, kemudian menelusuri ke bawah, melewati pepohonan, mengelilingi bangunan pagoda lalu dari sudut bangunan berputar berliku-liku sampai suatu ujung yang tiba-tiba lenyap tidak berbekas, ujung itu merupakan sebuah bukit tinggi dengan lapisan awan yang sangat tebal.
Kedua orang itu segera saling berpandangan sekejap, mereka tahu, "perhatikan diujung jalan buntu" yang dimaksud sang hujin pastilah tempat diseputar sana.
Tapi dinding batu diseputar sana kelihatan rata berkilat, sama sekali tidak nampak tombol rahasia atau sesuatu benda yang mencurigakan, kendati kedua orang ini cerdas dan tajam matanya, tidak urung untuk sesaat dibuat kebingungan juga.
Mereka mencoba mendayung sampan itu lebih mendekati dinding batu, namun belum berhasil juga menemukan sesuatu pertanda.
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong berkata:
"Lukisan disekeliling dinding ini tampak indah dan sangat hidup kecuali lukisan yang menggambarkan aliran sungai itu, coba lihat lukisan dibagian itu kelihatan kaku dan mati, sama sekali tidak menarik, nampaknya bukan berasal dari hasil karya seseorang yang sama"
"Betul juga perkataanmu itu, pasti ada sesuatu yang tidak beres dibalik kesemuanya ini" sahut manusia aneh itu, "Cuma...."
Belum selesai dia berkata, mendadak tampak Thiat Tiong-tong mengambil air kolam kemudian diguyurkan keatas dinding batu itu, ketika air mengalir sepanjang dinding, mendadak terlihat warna diseputar lukisan sungai itu berubah warna dan muncullah riak air yang bersisik, seakan dalam air terdapat ikan yang sedang berenang.
Lukisan semacam inilah baru mirip lukisan seorang seniman hebat, sementara lukisan pepohonan yang ada dibawah bukit itu
mendadak lenyap tidak berbekas setelah terkena guyuran air, kini muncullah sebuah pintu berwarna kuning emas, diatas pintu terlukis dua buah gelang lembaga, di antara gelang itu terlihat pula berapa bulatan kecil.
Thiat Tiong-tong sangat kegirangan, segera serunya:
"Tidak heran kalau lukisan diseputar aliran sungai nampak kaku dan mati, ternyata ada orang yang telah menambahkan warna lain untuk menutupi lukisan asli, kalau begitu rahasianya pasti berada disini"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manusia aneh itu menghela napas panjang, pujinya:
"Aaai, tidak kusangka selain bernyali besar dan pemberani, kau pun sangat teliti dan cermat, bisa jadi kunci rahasia untuk membuka pintu rahasia tersebut terletak pada ke dua gelang tembaga itu"
"Benar, kau punya pisau belati?"
Manusia aneh itu menggeleng, dengan kening berkerut Thiat Tiong-tong berpikir sejenak, tiba-tiba dia mencabut sebatang tusuk konde emas dari rambut Sui Leng-kong kemudian melakukan guratan melingkar diseputar gelang tembaga itu.
Tapi tidak nampak sesuatu gejala pun kendatipun sudah mengguratnya berapa saat.
Tiba-tiba terdengar manusia aneh itu berkata:
"Biasanya yang lurus akan berubah jadi kebalikan, coba kau gurat dengan berlawanan arah jam"
Thiat Tiong-tong menurut dan menggurat berlawanan jarum jam, benar saja di antara dinding batu segera berkumandang suara gemerincing nyaring.
Menyusul kemudian diatas dinding batu dengan lukisan pintu itu mulai bergerak ke samping dan muncullah sebuah liang gua setinggi satu setengah meter.
Tidak terlukiskan rasa girang kedua orang itu, tanpa ragu lagi mereka segera menerobos masuk ke dalam liang gua itu.
Siapa tahu begitu didorong dari arah dalam, pintu itu segera merapat kembali bahkan sama sekali tidak meninggalkan bekas, terutama ketika noda air sudah mengering, pintu emas itu lenyap seketika, dalam keadaan begini siapa pun jangan harap bisa menemukan sesuatu pertanda.
Dibelakang dinding merupakan sebuah lorong, meski sempit namun tidak terlalu panjang, diujung lorong merupakan sebuah ruang batu yang sangat lebar, mutiara sebesar kelengkeng tersebar disekeliling ruangan dan memancarkan sinar yang
sangat terang. Andaikata ditempat lain Thiat Tiong-tong menjumpai ruangan semacam ini, niscaya dia akan keheranan dibuatnya, karena dia cukup mengerti akan keunikan dan kehebatan tuan rumah disini, oleh sebab itu semua keanehan yang ada disana sudah berada dalam dugaannya.
Ditengah ruangan tersedia dua buah peti mati yang ternyata terbuat dari tembaga hijau, ketika tersorot sinar terang dari mutiara-mutiara itu, terlihat dengan jelas garis-garis pahatan yang tertera diatas peti mati itu.
Kecuali dua buah peti mati tembaga, didalam ruangan pun tersedia lengkap aneka perabot layaknya rumah tinggal seorang bangsawan kaya raya, ada meja, bangku, almari, khiem, catur, buku, lukisan serta perlengkapan lainnya, bahkan setiap benda yang tersedia terbuat dari bahan berkwalitas nomor satu.
Kain tirai halus melapisi sisi ruangan lain, indah, mewah dan sangat mentereng.
Justru kehadiran ke dua buah peti mati tembaga ditengah ruang batu itulah membuat suasana disitu terasa aneh dan penuh kemisteriusan.
Manusia aneh itu telah membuka tutup peti mati dan membaringkan jenasah ibunya ke dalam, air mata telah membasahi seluruh wajahnya, meski tangisannya tidak bersuara namun nampak jelas betapa sedihnya orang itu.
Sementara itu Thiat Tiong-tong pun telah menyadarkan kembali Sui Leng-kong, secara ringkas dia menceritakan pengalamannya selama ini, Sui Leng-kong kaget bercampur tercengang, dia pun girang bercampur sedih.
Akhirnya mereka bertiga pun berlutut di depan peti mati itu dan melakukan penghormatan terakhir.
Dalam suasana sedih ke tiga orang itu hanya berlutut di depan peti mati tanpa memperhatikan keadaan di sekelilingnya, sampai entah berapa lama kemudian, mungkin satu hari sudah lewat, mereka bertiga baru merasa lapar bercampur dahaga, saat ituiah mereka baru menjumpai kalau didalam gua tersedia aneka macam jinsom dan benda mestika lainnya yang bisa digunakan untuk menangsal perut.
Tapi mereka kesulitan menemukan air minum, di saat sedang kebingungan kembali mereka bertiga menemukan berapa puluh guci arak wangi. Asal ada arak berarti masalah dahaga pun dapat teratasi pula.
Hagi Thiat Tiong-tong biar minum seribu cawan pun tidak masalah, apalagi manusia aneh itu, dengan takaran minumnya yang luar biasa mereka hanya minum terus tanpa bicara.
Hanya Sui Leng-kong seorang yang kepayahan, baru secawan, paras mukanya telah berubah jadi merah padam.
"Arak ini benar-benar keras!" tiba-tiba manusia aneh itu bergumam.
Dalam seharian penuh, mereka bertiga sama sekali tidak berbicara, kali ini merupakan kali pertama dia berbicara, namun selesai bergumam lagi-lagi dia membungkam diri.
Sebetulnya Sui Leng-kong enggan untuk minum arak lagi, tapi rasa dahaga yang luar biasa memaksanya secara diam-diam meneguk lagi dua cawan.
Sampai lama kemudian Thiat Tiong-tong baru buka suara, tanyanya:
"Toa.... toako, boleh tahu siapa namamu?"
"Aku dari marga Cu bernama Cau"
"Boleh tahu toako adalah...."
"Putra kaisar malam"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, ujarnya lebih jauh:
"Sudah siaute duga sejak awal, hanya saja...."
Ketika menyaksikan wajahnya hijau membesi lantaran rasa duka yang mendalam, tidak tahan dia pun menghentikan perkataannya dan tidak bicara lagi.
Cu Cau sama sekali tidak menghentikan tegukan araknya, secawan demi secawan dia minum terus tiada hentinya, tiba-tiba sambil tertawa tergelak ujarnya:
"Putra kaisar malam, sebuah julukan yang keren bukan?"
Kembali dia menenggak tiga cawan arak, mendadak sambil membuang cawannya dia mulai menangis tersedu-sedu.
Thiat Tiong-tong sadar, kendatipun lelaki itu berusaha tampil dengan wajah senyuman, sesungguhnya banyak kedukaan yang dia alami, pikirnya:
"Lebih baik biarkan saja dia menangis sepuasnya"
Karena berpendapat begitu diapun tidak berusaha membujuk atau menghibur.
Tiba-tiba terdengar Sui Leng-kong menghela napas perlahan, bisiknya:
"Menangislah, menangislah sepuasnya, kalau bisa kepedihan didalam hati, keluarkan saja semuanya lewat tangisan...."
Cu Cau tidak menggubris, dengan tangannya menepuk diatas
bahu tiba-tiba dia bersenandung lantang:
"Jalan kesana, jalan kemari, yang dicari hanya bunga dan pohon liu, jalan kesana, jalan kemari, lidak lepas dari cawan emas berisi arak, hahahaha.... cawan emas berisi arak!"
Sebetulnya Thiat Tiong-tong ingin menghiburnya, tapi ingatan lain segera melintas lewat:
"Kami bertiga sama-sama sedang murung dan sedih, apa salahnya menggunakan kesempatan ini untuk minum sampai mabuk"
Berpikir begitu, sambil tertawa nyaring dia pun mulai meneguk arak cawan demi cawan.
"Saudara cilik" kata Cu Cau kemudian, "perselisihan kita dimasa lampau tidak perlu disinggung kembali, sejak kini kita adalah saudara, bukan begitu.... " baik, asal kau mengangguk, mari kita habiskan secawan arak ini"
Kembali ke dua orang itu menghabiskan secawan arak.
Mendadak Cu Cau berkata lagi:
"Saudara cilik, tahukah kau betapa sedihnya perasaan koko....
hahaha.... ayoh minum secawan lagi"
Begitulah sambil meneguk arak, Cu Cau tiada hentinya bersenandung sambil berteriak keras.
Sui Leng-kong menghela napas panjang, bisiknya:
"Hanya seorang pendekar sejati yang bisa menangis bisa bersenandung semau hati, biar romantis asal berhati lurus dia tetap seorang pendekar, Cu.... Cu toako, aku kagum kepadamu"
"Kau.... kau memanggil toako kepadaku?" bisik Cu Cau.
"Karena Thiat Tiong-tong memanggilmu begitu, tentu saja aku pun akan melakukan hal yang sama"
"Aaaai, ternyata kau memanggil aku toako lantaran dia?"
"Tidak, sebutan toako muncul dari hati sanubariku sendiri"
"Tampaknya kau sama sekali tidak menaruh kesan jelek terhadapku"
"Sejak awal sudah kuketahui kalau kau memang orang baik"
kata Sui Leng-kong agak mabuk, kemudian sambil menuding ke arah Thiat Tiong-tong lanjutnya, "bila tidak ada dia, mungkin saja.... mungkin saja aku dapat mencintaimu"
"Bagus! Bagus! Kalau kau bisa, kenapa aku tidak...." teriak Cu Cau sambil tertawa keras, tapi gelak tertawanya lambat laun makin sirna, sehabis meneguk lagi berapa cawan arak kembali dia menangis tersedu sambil bersenandung:
"Ingin bertanya, takut bertanya, bertanya hanya menambah
kepedihan, ketika musim semi menyelimuti kolam, kupu dan bangau saling bersua, kenapa tiada kesempatan untuk bertautan...."
Dengan sedikit mabuk sahut Sui Leng-kong:
"Kalau memang takut bertanya, mengapa masih bertanya?"
Menyaksikan betapa terpikatnya Cu Cau terhadap Sui Lengkong, diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, katanya tiba-tiba:
"Adik Leng-kong, aku tahu kau memang sangat baik terhadapku"
"jadi kau.... kau benar-benar tahu?" tanya Sui Leng-kong kegirangan.
"Benar, tapi perasaan kita berdua hanya terbatas hubungan antara kakak dan adik, jangan lupa kau adalah adikku"
Ketika mengucapkan kata-kata tersebut, dia sendiripun mengeluh didalam hati, mengapa nasib selalu mempermainkan orang.
Perlu diketahui, peraturan adat waktu itu masih berlalu sangat ketat, antara saudara Tong pun dilarang untuk mengikat tali perkawinan.
Isak tangis Sui Leng-kong semakin menjadi, jeritnya:
"Tidak, aku tidak mau jadi adikmu, aku tidak mau jadi adikmu!"
Tiba-tiba serunya kepada Cu Cau:
"Maukah kau menerima aku sebagai adikmu?"
"Tidak, aku tidak mau kau menjadi adikku!" tampik Cu Cau.
"Kenapa?"
"Kenapa pula kau tidak mau jadi adiknya?"
Sui Leng-kong tertegun, akhirnya setelah menghela napas uj arnya:
"Betul, betul, ternyata alasannya sama...."
Lama sekali dia termangu, kelopak matanya terasa makin lama semakin berat sebelum akhirnya dia tertidur nyenyak.
Dalam pada itu Cu Cau hanya memandang kejahuan dengan pandangan mendelong, dalam waktu sekejap dia seolah telah berubah semakin tua.
Thiat Tiong-tong tidak tega untuk memandang lebih jauh, cepat dia membalikkan tubuh dan mulai membolak-balik buku yang ada dimeja.
Kini didalam hatinya sudah mengambil keputusan, dia bertekad untuk menjodohkan Sui Leng-kong dengan Cu Cau,
pertama karena lelaki itu belum hilang jiwa pendekarnya, ke dua untuk membalas budi kebaikan ibunya yang telah tiada.
Begitu mengambil keputusan, Thiat Tiong-tong tidak mau berpikir lebih jauh lagi kendatipun perasaan hatinya amat pedih, dia mulai memeriksa kitab yang ada dimeja, ternyata isinya hanya kitab kitab syair dan sejarah.
Mendadak dia jumpai sejilid kitab tipis yang bersambul kain kuning terselip di antara kitab pujangga, ketika dibuka terbacanya berapa huruf yang berbunyi:
"Wan Siu-tin dari Hangciu, tahun Kengcu bulan satu tanggal delapan.
Kho siok-cu dari Siokciu, tahun Kengcu bulan satu tanggal sepuluh...."
Ternyata isinya adalah deretan nama perempuan serta saat terjadinya pertemuan, tanpa keterangan lain.
Diam-diam Thiat Tiong-tong keheranan, ketika membalik ke halaman dua, terbacalah:
"Sui Ji-song dari Ho-pan, Tahun Kengcu bulan empat tanggal enam belas"
Kontan saja Thiat Tiong-tong merasakan tubuhnya bergetar keras, cepat dia sembunyikan kitab itu ke dalam sakunya, sementara hatinya berdebar keras, dia tidak mengira kalau nama Sui Ji-song tercantum pula disitu, khususnya dia tidak ingin Sui Leng-kong melihat akan hal itu.
Pada saat itulah mendadak terjadi goncangan keras diatas dinding batu diikuti suara ledakan, meski suaranya tidak terlalu keras namun tidak lama kemudian hawa panas dan pengab mulai menyelimuti ruangan dalam.
Baru saja Thiat Tiong-tong mengernyitkan alis matanya, terdengar Cu Cau berseru:
"Saudaraku, terima ini!"
Ternyata diapun sedang membalik balik tumpukan buku dan menemukan sejilid kitab ilmu pedang yang ditulis ibunya, maka sambil dilempar ke arah Thiat Tiong-tong katanya:
"Kitab itu berisi ilmu pedang Siau hiang kiam hoat, pelajari baik-baik!"
Sudah cukup lama Thiat Tiong-tong tahu kalau dalam dunia persilatan terdapat sebuah ilmu pedang itmpuh yang bernama Siau hiang (penyayat harum), konon ilmu tersebut sudah lama punah, tidak nyana aku justru mendapatkannya hari ini.
Dalam kaget bercampur girangnya dia berseru:
"Toako, bagaimana dengan kau?"
Cu Cau tertawa pedih, ujarnya:
"Ilmu pedang Siau hiang kiam sut mengutamakan kecepatan gerak dan perubahan jurus, kecepatannya tiada duanya dikolong langit, dengan kelincahan pergelangan tanganmu, cocok sekali untuk mempelajari kepandaian semacam ini, sedang aku....
aaaai, aku sudah tidak berniat belajar pedang lagi"
Sambil duduk kembali dia meneguk arak, terkadang sambil memegangi peti mati dia menangis tersedu-sedu, kadangkala dia bersenandung sambil tertawa terbahak-bahak.
Sui Leng-kong sendiri meski tidak berani mabuk lagi namun dia pun tidak pernah betul-betul sadar, hanya Thiat Tiong-tong seorang yang masih berkobar semangatnya, dia tidak ingin membuang waktu dengan percuma, maka waktunya benar-benar dimanfaatkan untuk mempelajari ilmu pedang itu.
Entah berapa lama sudah lewat, menurut perhitungan Thiat Tiong-tong kalau bukan dua puluh hari paling tidak setengah bulan sudah lewat, maka diapun berniat untuk meninggalkan tempat itu.
Saat itulah Cu Cau baru membenahi pakaiannya sambil bangkit berdiri, mereka bertiga saling berpandangan dengan murung, tampak raut muka rekannya kelihatan jauh lebih kucal dan lusuh.
Maka setelah bersama-sama menyembah dihadapan peti mati, mereka pun bersama-sama meninggalkan tempat itu.
Membuka pintu batu dari arah dalam ternyata jauh lebih mudah, namun Thiat Tiong-tong segera merasakan tangannya menyentuh bebatuan yang panas, padahal seharusnya batuan disitu dingin, satu ingatan melintas dalam benaknya.
Dalam waktu singkat pintu sudah terbuka lebar, mereka bertiga pun secara beruntun keluar dari gua, tapi dengan cepat mereka semua berdiri tertegun.
Air kolam yang semula hijau bening kini sudah mengering setengah, dinding batu sekitar ruangan yang hijau penuh lumut sekarang sudah hangus hitam, sampan ditengah kolam lenyap tidak berbekas, sebagai gantinya tersisa berapa keping kayu hangus yang terapung diatas permukaan air.
Dalam sekilas pandang mereka bertiga tahu kalau kebakaran dahsyat baru saja padam ditempat itu, buru-buru mereka keluar dari lorong rahasia, sepanjang mata memandang yang terlihat hanya kayu hangus serta puing yang berserakan dimana-mana.
Semua keindahan, semua kemegahan dan kemewahan telah punah tidak berbekas, yang tersisa kini hanya sebuah bangunan batu, bangunan kosong yang berdiri sendu dihembus angin barat.
Keluar dari bangunan batu, aneka bunga, tanah berumput, pohon liu, maupun jembatan kecil kini tersisa seonggok abu, tempat indah bak surgawi yang dulu menyelimuti tempat itu, kini hilang lenyap tidak berbekas bahkan suasananya jauh lebih mengenaskan ketimbang neraka gersang.
Untuk sesaat semua orang berdiri tertegun, berdiri melongo, seolah tidak percaya dengan pandangan mata sendiri.
Mendadak Cu Cau menepuk bahunya dan menegur sambil tertawa:
"Saudara cilik, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku ingin tahu siapa yang telah melakukan perbuatan keji ini!" bisik Thiat Tiong-tong sambil menghela napas.
"Memangnya kau kuatir dia akan bersembunyi sepanjang masa, buat apa mesti disedihkan" sahut Cu Cau cepat.
Kemudian setelah mendongakkan kepalanya tertawa lantang, katanya lebih jauh:
"Apalagi semua benda itu hanya benda duniawi, dibakar habis pun tidak jadi masalah, toh tempat ini dibangun oleh manusia, harta pun dikumpulkan manusia, dia bisa membakarnya sampai habis, memangnya aku tidak bisa membangunnya kembali"
Hahahaha.... saudara cilik, yang penting kita punya kemampuan, apa susahnya untuk mengumpulkan kembali harta yang tercecer"
Melihat betapa lapangnya pikiran dan hati lelaki ini, kontan Thiat Tiong-tong menaruh kesan yang sangat baik terhadapnya, kembali dia berpikir:
"Jika adik Leng-kong bisa memperoleh suami macam dia, aku akan lega sekali, cuma...."
Tiba-tiba serunya sambil tertawa:
"Dengan memberanikan diri siaute ingin menasehati satu dua patah kata kepada toako"
"Katakan saja!"
"Toako, dalam segala hal kau sangat mengagumkan, hanya sifat pemogoranmu yang bikin orang tidak tahan"
"Hahahaha.... orang suka pemogoran di saat dia masih muda, apalagi aku...." mendadak dia menarik kembali senyumannya,
"kalau tidak menjumpai kekasih hati yang mencocoki, apa yang bisa kuperbuat selain cari kesenangan di luar...."
"Berarti jika toako sudah menemukan gadis yang mencocoki hatimu maka kau tidak akan main perempuan lagi?"
"Betul, bila aku sudah menemukan gadis yang cocok maka sejak itu tidak akan bermain perempuan lagi.... hei, kenapa kau bertanya begitu?"
"Aaah tidak apa-apa...." sahut Thiat Tiong-tong samon tertawa, "bagus, bagus sekali!
Tanpa membuang waktu lagi dia berjalan dulu keluar dari lembah.
Diluar lembah masih merupakan sebuah dunia yang tenang dan penuh kedamaian, tiba-tiba Thiat Tiong-tong memaksa Cu Cau untuk duduk diatas sebuah batu gunung, kemudian ujarnya:
"Toako, harap menerima tiga kali sembah sujudku"
"Aaah, tidak ada urusan apa-apa kenapa kau mesti bersujud kepadaku?" kata Cu Cau tertawa.
Dengan wajah serius sahut Thiat Tiong-tong:
"Sujudku yang pertama untuk berterima kasih atas budi kebaikan dari ibunda, sujud ke dua karena toako mau menerima aku sebagai saudara...."
Sambil bicara dia sudah mulai bersujud.
Sekilas perasaan sedih melintas diwajah Cu Cau, tapi sebentar kemudian dia sudah berkata lagi sambil tertawa:
"Baiklah, dua persembahanmu akan toako terima semua, tapi untuk apa sujudmu yang ke tiga?"
"Siaute mohon toako mau berkunjung ke sebuah rumah gubuk dibawah bukit Ong wo san yang disebut gubuk cay seng cau gwa (tumbuh lagi diladang lain) untuk menjumpai seseorang, tolong sampaikan surat siaute kepadanya"
Sambil berkata dia mengeluarkan sepucuk surat yang tampaknya telah dipersiapkan semenjak masih berada dalam ruang rahasia tadi.
"Itu mah gampang, kenapa kau mesti bersujud kepadaku?"
tanya Cu Cau. "Siaute berharap toako mau memandangnya sebagai saudara sendiri serta merawat dirinya, tapi siaute berani jamin orang ini adalah seorang lelaki luar biasa di dunia ini!"
"Kalau dibilang dia adalah seorang lelaki luar biasa, biar kau tidak bicara apapun surat ini pasti akan kusampaikan"
"Terima kasih toako" sekali lagi Thiat Tiong-tong bersujud dihadapan lelaki itu.
Kemudian sambil menarik tangan Sui Lengkong, ujarnya pula:
"Adik Leng-kong, aku pun ingin memohon sesuatu kepadamu, apakah kau bersedia mengabulkan?"
Sui Leng-kong menghela napas panjang.
"Aaai.... apa pun permintaanmu, yang baik atau yang jelek, asal sudah kau sampaikan maka aku pasti akan
mengabulkannya"
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas, ujarnya cepat:
"Aku minta kau mengikuti Cu toako menuju ke bukit Ong wo san, minta kepadamu untuk bersikap baik terhadap Cu toako, juga bersikap baik terhadap orang yang berada di rumah gubuk itu"
Berubah paras muka Sui Leng-kong, katanya perlahan:
"Karena sudah kau sampaikan, aku pasti akan mengabulkan, tapi.... tapi.... jangan kau sangka aku tidak memahami niatmu"
"Apa yang kau pahami?" tanya Thiat Tiong-tong sambil tertawa paksa.
"Aku tidak ambil perduli apa yang kau pikirkan" ucap Sui Leng-kong sepatah demi sepatah, "asal kau tahu saja, apa pun yang bakal terjadi aku tidak bakal kawin dengan orang lain dalam hidupku kali ini kecuali dengan kau seorang"
Biarpun perkataan itu disampaikan secara tegas namun wajahnya masih tenang tanpa emosi, jelas entah sudah berapa kali perkataan itu diucapkan olehnya didalam hati.
Berubah paras muka Thiat Tiong-tong.
"Tapi.... tapi.... kau.... aku...."
Sui Leng-kong tertawa hambar, tukasnya:
"Akupun tahu saudara itu tidak mungkin jadi suami istri, aku hanya menyesal kenapa nasibku begini jelek, aku bertekad selama hidup tidak akan menikah.... Cu toako, mari kita berangkat!"
Dari sikap serta mimik mukanya, Thiat Tiong-tong tahu kalau gadis itu tidak akan mengubah keputusannya walau dalam keadaan seperti apa pun, dia merasa sedih bercampur murung, cepat pemuda itu membuang wajahnya ke arah lain.
Tampak Cu Cau berdiri sambil bergendong tangan, wajahnya senyum tidak senyum, andaikata dia bukan manusia luar biasa, batinnya pasti akan tersiksa setelah mendengar perkataan dari Sui Leng-kong itu.
Setelah menghela napas sedih kata Thiat Tiong-tong lagi:
"Toako, kau.... sebenarnya kau hidup santai dan penuh
kecerian, gara-gara siaute, sekarang kau mesti berkelana dalam dunia persilatan!"
Padahal bukan perkataan itu yang ingin disampaikan, hanya saja setelah ucapan itu sampai di bibir, dia tidak tega untuk mengucap-kannya.
Cu Cau tertawa, sahutnya:
"Aku memang sudah lama berniat berkelana dalam dunia persilatan, ingin melihat dunia sambil menambah pengalaman, inilah kesempatan baik untukku, hanya saja.... aku tetap merasa keheranan"
"Apa yang toako herankan?"
"Kau minta aku menuju ke bukit Ong wo san, sementara kau sendiri hendak ke mana?"
"Sebetulnya siaute yang punya janji di bukit Ong wo san, apa daya saat ini siaute mempunyai persoalan lain yang jauh lebih penting sehingga mau lidak mau harus minta toako...."
"Apakah urusan pentingmu itu tidak bisa kau utarakan?"
Thiat Tiong-tong tertawa pedih, ujarnya:
"Persoalan ini panjang untuk diceritakan.... tapi siaute berjanji, begitu urusan itu selesai pasti akan segera menyusul ke sana dan bertemu kembali dengan toako dan adik Leng-kong"
"Sudahlah, kalau kau enggan membicarakannya, tidak usah disinggung lagi, yang penting aku tetap mempercayaimu!"
sambil bangkit berdiri serunya:
"Baik, Sui Leng-kong, kita berangkat!"
Tanpa membuang waktu dia segera beranjak pergi
meninggalkan tempat itu diikuti Sui Leng-kong di belakangnya.
Hingga bayangan tubuh kedua orang itu lenyap dari pandangan, Sui Leng-kong tidak pernah berpaling walau sekejappun.
Thiat Tiong-tong merasa sedih sekali, dia tahu bila Sui Lengkong masih mau berpaling, urusan agak mendingan. Dalam kenyataan dia sama sekali tidak menengok, hal ini menunjukkan kalau rasa sedihnya sudah mencapai puncak tertinggi.
Diam-diam dia menghela napas, gumamnya:
"Toako, Leng-kong, bukannya aku enggan membicarakan urusan penting itu, aku justru kuatir bila kuutarakan maka kalian berdua tidak bakalan meninggalkan diriku lagi, semoga sejak kini kalian berdua bisa hidup bahagia.... bila beruntung aku berhasil menyelesaikan ke dua tugasku itu, kita masih punya kesempatan untuk bersua lagi dikemudian hari, sebaliknya bila
aku gagal.... berarti...."
Perlahan dia mengangkat tangannya sambil menggosok matanya, lalu selangkah demi selangkah berjalan menelusuri jalan bukit menuju ke bawah gunung.
BAB 23 Saling Punya Rencana
Padahal persoalan penting yang memenuhi benak Thiat Tiong-tong saat ini bukan hanya dua hal saja.
Kenapa paman Sim nya bisa terjatuh ke tangan liong Lo-su"
Bagaimana keselamatan perguruannya" Apakah sudah dihabisi oleh si tangan beracun itu" Rahasia apa yang terdapat dibalik budi dendam perguruan Tay ki bun"
Duduk perkara yang sebenarnya dari beberapa masalah itu merupakan hal penting baginya untuk segera ditelusuri, dia bahkan merasa sedetikpun tidak bisa menahan diri lagi, namun sebelum melakukan penyelidikan atas ke tiga masalah tersebut, pertama-tama dia harus menemukan Hong lo su serta paman Sim nya terlebih dulu, sedang mengenai masalahnya yang terakhir, dia masih teringat dengan ucapan Cu hujin kepada Cu Cau menjelang ajalnya:
"Semua budi dendam serta rahasia yang menyangkut Perguruan Tay ki bun hanya diketahui secara jelas oleh ayahmu seorang, dia belum mati.... sekalipun Kaisar malam belum mati, tapi dimanakah dia" Siapa yang tahu akan hal ini"
Pertolongan serta bantuan dari kawanan perempuan bercadar itu jauh diluar dugaan siapa pun, bukan cuma membantu, mereka bahkan mengundangnya untuk berkunjung ke pulau Siang cun-to.
Salah satu dari tiga permintaan Cu hujin yang harus dia laksanakan adalah menemukan wanita penghantar nasi yang buta matanya itu, padahal seluruh gadis itu kemungkinan besar sudah diangkut balik ke pulau Siang cun-to oleh perempuan-perempuan bercadar itu, karenanya pulau Siang cun-to telah menjadi salah satu target yang wajib dikunjungi, siapa tahu di pulau tersebut dia akan berhasil mendapatkan berita tentang Hong Lo-su serta kaisar malam.
Setelah melakukan pembenahan secara kilat atas semua masalah pelik yang sedang dihadapi, Thiat Tiong-tong segera mengambil keputusan, bagaimana pun juga dia harus berkunjung dulu ke pulau Siang cun-to.
Ketika sinar senja belum hilang sama sekali dari cakrawala,
Thiat Tiong-tong sudah duduk disebuah batu cadas dikaki gunung, tempat dimana dia pernah duduk sebelum naik gunung tempo hari.
Dengan termangu dia duduk disitu, menerawang kejauhan dengan mata sayu, dia tidak tahu dimanakah letak pulau Siang cun-to, apakah ada umat persilatan yang mengetahui tempat itu"
"Kalau ditinjau dari makna namanya, jelas pulau Siang cun-to berada di tengah lautan!" demikian dia berpikir.
Maka setelan membenahi bajunya, berangkatlah pemuda itu menuju ke arah timur.
Ketika tiba di pesisir pantai, walaupun dia sudah berulang kali mencari berita dari para nelayan yang sudah puluhan tahun hidup di lautan, tapi ternyata todak seorang pun yang pernah mendengar tentang pulau Siang cun-to.
Seorang nelayan tua yang wajahnya penuh keriput berkata begini:
"Sudah hampir lima puluhan tahun aku hidup dilautan, asal disini terdapat sebuah pulau yang bernama Siang cun-to, mutahil aku tidak mengetahuinya"
Mendengar jawaban itu, Thiat Tiong-tong percaya apa yang dikatakan bukan omong kosong belaka, tidak tahan diapun menghela napas panjang.
"Aaai, apabila kau orang tua pun tidak tahu, rasanya memang tidak ada pulau tersebut di luar lautan"
"Perkataan siauya tepat sekali"
Thiat Tiong-tong menghabiskan dua hari lamanya untuk menelusuri sepanjang pesisir pantai, namun hasilnya tetap nihil, yang dia peroleh tidak lebih hanya bau asin air laut yang menempel diatas pakaiannya.
Dengan perasaan masgul dan putus asa terpaksa dia berbalik lagi menuju ke arah barat, tidak sampai satu hari dia sudah melewati bukit Go-uau dan tiba di kota Meh-shia.
Setelah menempuh perjalanan seharian penuh, saat itu Thiat Tiong-tong berencana mencari tempat penginapan, baru saja dia melahap semangkuk mie, mendadak terdengar ada orang berteriak keras:
"Cepat lihat, cepat lihat, kawanan Seng-kou (bibi suci) kembali melewati tempat ini!"
Sebagian besar orang yang berada dalam warung itu serentak berlarian keluar, bahkan satu demi satu menjatuhkan diri berlutut ditepi jalan.
Terdorong rasa heran dan ingin tahu, tidak tahan Thiat Tiong-tong ikut berjalan keluar dari warung.
Tiba-tiba dia merasa ada orang menarik ujung bajunya sambil berbisik:
"Seng kou sudah tiba, kenapa kau tidak berlutut?"
Thiat Tiong-tong tidak ingin membantah, terpaksa dia pun ikut berlutut.
Tidak selang berapa saat kemudian terdengar orang-orang diujung jalanan mulai bersorak sorai:
"Seng kou.... seng kou...."
Ditengah teriakan dan sorak sorai yang gegap gempita tampak ada enam, tujuh orang perempuan berjubah panjang warna hitam dan mengenakan kain cadar berwarna hitam berjalan lewat.
Gaya mereka sewaktu berjalan aneh sekali, bahunya tidak nampak bergerak, tangan pun tidak nampak diangkat, asal sepasang kakinya menutul diatas tanah maka tubuh mereka pun bergerak dengan sangat ringan.
Sekalipun begitu, ternyata mereka dapat bergerak cepat sekali, cepat dan ringan bagaikan sedang menunggang angin.
Thiat Tiong-tong merasa terkejut bercampur kegirangan, bukankah mereka adalah para utusan yang dikirim Ratu matahari dari pulau Siang cun-to"
Tapi kalau dilihat dari potongan tubuh orang orang itu, kelihatannya mereka bukan kawanan wanita yang muncul di tempat kediaman Cu Cau tempo hari.
Diam-diam Thiat Tiong-tong pun berpikir:
"Perduli mereka adalah rombongan yang tempo hari atau bukan, asal mereka sedang balik ke pulau Siang cun-to, aku dapat mengintil dari belakangnya"
Dibelakang rombongan wanita bercadar hitam itu mengikuti sebuah kereta kuda yang tertutup rapat pintu serta jendelanya.
Saat itulah terdengar orang yang menariknya agar berlutut itu berbisik:
"Kelihatannya kau berasal dari luar daerah, tahukah kau, bukan saja kawanan Seng kou itu berwelas asih bahkan memiliki ilmu yang luar biasa"
Thiat Tiong-tong tahu kawanan orang dusun itu telah memandang kawanan perempuan bercadar itu bagaikan malaikat, itulah sebabnya mereka menaruh sikap yang begitu menghormat.
Namun kalau didengar dari nada bicaranya, besar
kemungkinan para wanita bercadar itu pasti pernah melakukan perbuatan terpuji, entah mengapa, ternyata secara diam-diam Thiat Tiong-tong ikut merasa gembira.
Tidak selang berapa saat kemudian kawanan wanita bercadar itu sudah melewati jalanan itu, selama ini tidak seorangpun di antara mereka yang pernah celingukan kesana-kemari, mereka berjalan secara teratur dengan mata memandang ujung hidung, hidung memandang ke hati.
Kini sorak sorai telah berakhir, semua orang pun telah bangkit berdiri. Diam-diam Thiat Tiong-tong melampaui kerumunan orang banyak dan mulai menguntit jauh di belakang kawanan wanita bercadar itu.
Untung saat itu malam sudah menjelang tiba sehingga gerak-geriknya sama sekali tidak menimbulkan perhatian orang.
Tapi Thiat Tiong-tong tidak berani menempel kelewat dekat, diakuatir jejaknya ketahuan.
Tiba-tiba seorang perempuan bercadar yang berjalan paling belakang menghentikan langkah-nya dan menengok ke belakang.
Dengan hati tercekat Thiat Tiong-tong segera berpikir:
"Jangan-jangan jejakku ketahuan mereka dan dianggap punya niat jahat"
Dia tidak ingin terjadi bentrokan secara langsung dengan kawanan wanita bercadar itu, maka cepat tubuhnya menyelinap ke samping siap menyembunyikan diri.
Siapa tahu perempuan bercadar yang berdiri ditengah remang remangnya cuaca itu ternyata menggapai ke arahnya.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sadar kalau tidak mungkin bersembunyi lagi, terpaksa sambil bulatkan tekad Thiat Tiong-tong berjalan menghampiri.
"Kemari!" bisik perempuan bercadar itu sambil menyelinap ke sisi jalan dan bersembunyi ke balik pepohonan.
Thiat Tiong-tong semakin keheranan, pikirnya:
"Kalau dibilang dia adalah salah satu di antara kawanan perempuan yang pernah kujumpai berapa waktu berselang, kenapa tindak tanduknya begitu sok rahasia" Kalau dibilang dia berasal dari kelompok lain, dari mana bisa kenal aku?"
Walaupun pelbagai kecurigaan menyelimuti perasaan hatinya toh pemuda itu tetap berjalan mendekatnya.
Bagaikan sukma gentayangan perempuan berbaju hitam itu berdiri di bawah rindangnya pepohonan, kembali dia berbisik:
"Kemarilah lebih dekat"
"Cianpwee" ujar Thiat Tiong-tong sedikit sangsi, "apakah kau ada sesuatu petunjuk" Cayhe...."
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam itu tertawa ringan, tegurnya:
"Masa kau sudah tidak mengenali suaraku lagi?"
Suaranya manis, indah, lembut dan penuh daya tarik.
"Un Tay-tay!" teriak Thiat Tiong-tong, menjerit lantaran kaget.
"Betul!" dengan jari tangannya yang lentik perempuan berbaju hitam itu melepaskan kain cadar penutup wajahnya, maka terlihatlah sebuah raut muka yang cantik bak bunga mekar dengan mata yang bening bagai permukaan air danau.
Siapa lagi dia kalau bukan Un Tay-tay"
Terkejut bercampur girang seru Thiat Tiong-tong lagi:
"Kenapa.... kenapa kau bisa bergabung dengan mereka?"
Kemudian seakan teringat akan sesuatu, tanyanya lagi terperanjat:
"Bagaimanakeadaan Im samteku?"
Sekilas rasa murung bercampur sedih melintas dibalik mata Un Tay-tay, sahutnya setelah menghela napas:
"Aaai... panjang untuk menceritakan kejadian ini, aku hanya bisa memberitahukan secara ringkas"
"Samte, dia.... apakah lukanya telah sembuh?"
"Bukan hanya lukanya sudah sembuh, malah kungfu nya maju sangat pesat"
"Si.... siapa yang telah menolongnya?" tanya Thiat Tiong-tong kegirangan.
"Bu-si thaysu!"
"Ketua Siau-lim-pay?" Thiat Tiong-tong semakin girang, "aaah, tampaknya samte memang punya rejeki baik, tidak nyana Bu-si thaysu mau meringankan tangan mengajarinya ilmu silat"
Ternyata Bu-si thaysu dari Siau-lim-pay ini bukan saja merupakan Pendeta sakti nomor satu dijagad saat itu, nama maupun kedudukannya dalam dunia persilatan pun amat tinggi dan terhormat, jarang ada yang bisa menandinginya.
Tapi sudah cukup lama pendeta itu hidup mengasingkan diri, dalam belasan tahun terakhir nyaris belum pernah ada yang berjumpa dengan-nya, tidak heran kalau Thiat Tiong-tong kegirangan setengah mati setelah mendengar kabar itu.
"Hari itu dengan susah payah akhirnya aku berhasil membawanya keluar dari lorong bawah tanah" cerita Un Tay-tay,
"sesuai dengan nasehatmu, akupun langsung menghantarnya ke
kuil Siau-lim-sie di bukit Siong-san"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Kuil Siau-lim amat ketat penjagaannya, aku tidak habis mengerti dengan cara apa kau bisa masuk ke dalam kuil dan berjumpa dengan Bu-si thaysu?"
"Kau tidak perlu tahu dngan cara apa aku berhasil masuk ke dalam kuil" sahut Un Tay-tay sambil tertawa sedih, "pokoknya aku berusaha masuk, berusaha bertemu Bu-si thaysu dan minta kepadanya untuk mengobati luka Im Ceng"
Dari tertawanya yang begitu pedih, Thiat Tiong-tong segera tahu kalau pengalaman yang dialaminya selama itu pasti penuh kegetiran dan kesedihan, sebab dia tahu kendatipun perjalanan dari pintu kuil Siau-lim hingga ke depan kamar Hong tiang kelihatannya datar dan halus, dalam kenyataan jauh lebih sulit ketimbang mendaki bukit terjal atau menuruni jurang curam.
Tapi berhubung Un Tay-tay nampaknya enggan bercerita, tentu saja Thiat Tiong-tong kurang leluasa untuk mendesaknya lebih jauh, tentu saja dia tidak menyangka kalau kegetiran dan kesulitan yang harus dilaluinya selama ini kecuali Un Tay-tay seorang, mungkin orang lain tidak akan mampu melampauinya.
Rupanya hari itu ketika Un Tay-tay dengan membopong Im Ceng tiba di kuil siau-lim, dia sudah berada dalam keadaan lelah dan kehabisan tenaga, dengan segala daya dan upaya dia ingin bertemu tianglo kuil tapi selalu ditolak oleh para pendeta penerima tamu diluar pintu.
Menyaksikan pintu kuil tertutup rapat Un Tay-tay hanya bisa berlutut di depan pintu sambil menangis dan merengek, sebesar apa pun nyalinya tidak mungkin dia berani menerjang masuk secara paksa.
Sayangnya walaupun dia sudah berlutut setengah malaman, walau suara tangisannya telah membuat dia jadi parau, namun penghuni kuil Siau-lim tetap tidak ambil perduli, menggubris pun tidak.
Hal ini bukan disebabkan jiwa para pendeta Siau-lim yang kelewat keji dan tega, masalahnya nama dan pamor Siau-lim-pay kelewat besar, kelewat termashur, dalam ratusan tahun terakhir ada begitu banyak orang yang naik gunung mohon bantuan.
Menghadapi permintaan yang begitu meluber tentu saja pihak Siau-lim-pay tidak bisa mengabulkannya, apalagi di antara mereka yang datang, banyak di antaranya merupakan penjahat kambuh atau tokoh jahat yang kabur kesitu karena sedang
diburu petugas negara atau para penegak keadilan.
Malah ada banyak di antaranya yang pura-pura berlagak sakit atau terluka, padahal sebetulnya berniat mencuri belajar ilmu silat partai itu, jika pihak Siau-lim-pay menerima semua permintaan itu, bukankah tempat suci sang Buddha bakal berubah jadi tempat yang nista, kotor dan penuh dosa.
Itulah sebabnya pihak Siau-lim-sie menerapkan peraturan yang sangat ketat, kecuali ada yang merekomendasi atau orang itu benar-benar seorang pendekar sejati, jangan harap yang lain bisa melangkah masuk ke dalam kuil.
Un Tay-tay tidak ada yang memberi rekomendasi, diapun bukan seorang pendekar kenamaan, bukan hal yang aneh jika permintaannya ditampik mentah-mentah.
Entah suatu keberuntungan atau justru merupakan satu musibah, di saat yang amat menyulitkan itulah mendadak terasa ada angin berhembus lewat, entah sejak kapan, tahu-tahu dibelakang tubuhnya telah muncul seorang kakek berjubah ungu.
Biarpun angin yang ditimbulkan sewaktu datang amat ringan ternyata dia memiliki perawakan tubuh tinggi besar, sekilas pandang, kakek itu mirip malaikat raksasa yang datang dari langit.
Dia mempunyai alis mata yang tebal dengan mata yang tajam, dagunya memelihara cambang berwarna merah keungu-unguan, setelah memperhatikan Un Tay-tay beberapa saat lalu menegur:
"Nona cilik, kenapa kau menangis?"
Ternyata dia memiliki suara yang keras bagai guntur yang menggelegar di angkasa.
Melihat kemunculan orang itu Un Tay-tay nampak terperanjat, namun setelah melihat kakek itu tidak berniat jahat, secara ringkas dia pun menuturkan kisah kejadiannya.
Selesai mendengar penuturan itu, si kakek tinggi besar itu kontan tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... kalau ingin bertemu Bu-si hweesio mah gampang sekali, tapi aku tidak pernah mau membantu orang tanpa imbalan, kecuali setelah berhasil nanti kaupun berjanji mau memberi upah kepadaku"
"Walaupun siauli tidak punya apa-apa, tapi masih memiliki sedikit uang"
"Hahahaha.... buat apa uang" Aku sudah memiliki banyak sekali, lagipula buat apa aku mesti menolongmu kalau cuma
gara-gara sedikit barang rongsok" Aaah, masa kau pandang begitu tidak berharga diriku?"
"Tapi kecuali uang, siauli benar benar tidak.... tidak memiliki benda lain sebagai imbalan"
"Kalau begitu lanjutkan saja berlututmu!" kata si kakek sambil berjalan menuju ke arah pintu.
Melihat kondisi Im Ceng yang makin lama semakin bertambah parah, Un Tay-tay sadar bila tidak diberi pertolongan secepat mungkin, bisa jadi keadaan akan terlambat.
Akhirnya sambil menggigit bibir dia berteriak keras:
"Cianpwee, tunggu sebentar"
"Apakah kau sudah teringat ada benda lain yang bisa diberikan kepadaku?" tanya kakek berjubah ungu itu sambil membalikkan tubuh.
"Benar!"
"Apa itu?" berkilat sepasang mata si kakek.
"Tubuhku!"
Kakek berjubah ungu itu segera mendongak-kan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha,.... betul, betul sekali! Kalau bukan lantaran menunggu jawaban ini, buat apa aku mesti membuang banyak waktu, biarpun jawaban sedikit agak terlambat, paling tidak toh membuktikan kau memang perempuan pintar"
Tiba-tiba dia menghentikan gelak tertawanya, kemudian ujarnya lagi dengan nada keras:
"Tapi ingat, kau sendiri yang rela menjanjikan hal itu, aku tidak pernah berusaha memaksamu, jadi sampai waktunya kau jangan mencoba ingkar janji"
"Bagaimana kalau sebaliknya kau gagal mengajak kami masuk ke dalam?" Un Tay-tay balik bertanya, meski wajahnya tetap tenang, meski pancaran matanya tetap hangat namun perasaan hatinya telah mendingin, mati!
"Kalau tidak sanggup membawamu masuk, akan kuserahkan batok kepalaku ini"
"Tapi.... sekalipun kau dapat membawa masuk kami berdua, akupun tidak bisa langsung...."
"Aku tahu, kau masih ingin menemani bocah muda setengah mampus itu berapa hari lagi bukan" tukas kakek berjubah ungu itu cepat.
"Bukan berapa hari, tapi berapa puluh hari" Kembali kakek berjubah ungu itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... perempuan yang sangat lihay, sebelum ini belum pernah kujumpai perempuan macam kau, baiklah, kuberi waktu selama empat puluh hari, selewat empat puluh hari, tubuhmu akan menjadi milikku"
"Tapi perasaan hatiku tetap akan menjadi milikku sendiri"
sambung Un Tay-tay segera.
Kakek berjubah ungu itu agak tertegun, tanyanya tanpa terasa:
"Berapa nilai hatimu itu?"
"Harus ditukar dengan nyawamu!"
"Hahahaha.... bagus, bagus sekali" kembali kakek berjubah ungu itu tertawa tergelak, "tidak nyana di usia senja aku bisa bertemu perempuan macam kau, sayang perjumpaan kita tidak terjadi lebih awal"
"Sekalipun perjumpaan terjadi lebih awal, kau tetap tidak akan peroleh apa-apa"
Arti perkataan itu jelas sekali, maksudnya andaikata aku bukan sedang memohon bantuanmu, mana mungkin akan kuserahkan tubuhku kepadamu"
Kembali kakek berjubah ungu itu tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus sekali.... cepat sebut, siapa namamu"
"Un Tay-tay!"
Sekali lagi kakek berjubah ungu itu memperhatikan tubuhnya berapa kejap, mendadak dia membalikkan tubuh dan berteriak keras:
"Hei, apakah ada hwesio didalam kuil" Kalau masih ada yang hidup, cepat keluar!"
Suaranya yang keras bagai guntur membuat daun jarum pohon siong yang tumbuh disekitar sana rontok berguguran.
Tidak selang berapa saat kemudian, pintu kuil dibuka orang dan muncul seorang pendeta berjubah abu-abu, tampaknya dia dibuat terperanjat oleh suara teriakan itu.
Walau masih nampak kaget namun sambil menahan diri pendeta itu segera memberi hormat seraya bertanya:
"Sicu ada urusan apa?"
"Aku ingin bertemu Bu-si!"
Sekali lagi paras muka pendeta itu sedikit berubah, apalagi melihat orang itu begitu berani menyebut langsung nama hongtiang nya.
"Cousu sudah banyak tahun tidak menerima tamu!" kembali sahutnya dengan kening berkerut.
"Hmm, orang lain boleh saja tidak dijumpai, tapi dia harus bertemu aku"
"Boleh tahu nama sicu?" tanya pendeta itu dingin.
"Hmm, kau belum berhak untuk mengetahui namaku!" bentak kakek berjubah ungu itu keras.
Tiba-tiba dia membalikan tubuh, sepasang tangan dilontar keluar dari balik bajunya dan....
"Blaaaam!" sebatang pohon siong yang tumbuh disisi pintu kuil seketika terhajar patah jadi dua bagian, separuh bagian di antaranya berikut daun dan ranting langsung roboh ke arah pendeta itu.
Menyaksikan betapa dahsyatnya kemampuan lawan, rasa ngeri bercampur takut segera memancar keluar dari balik wajah pendeta itu, tanpa banyak bicara lagi tergopoh-gopoh dia lari masuk ke dalam kuil.
Un Tay-tay sendiripun berdiri terbelalak menyaksikan kehebatan kakek itu.
Terdengar si kakek kembali berseru sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha.... kalau aku tidak sedikit mendemonstrasikan kemampuanku, pendeta itu pasti tidak akan memberi laporan"
Tidak selang berapa saat kemudian tampak seorang pendeta berjenggot putih muncul dari balik ruangan, tapi begitu bertemu dengan kakek berjubah ungu itu, paras mukanya seketika berubah hebat.
"Hui-keng, kau masih kenali aku?" bentak kakek berjubah ungu itu.
"Aaah, rupanya cianpwee yang datang" buru-buru Hui-keng, pendeta berjenggot putih itu menjura dalam dalam, "pinceng segera akan memberi kabar kepada guru, pinceng rasa suhu pasti akan segera datang menyambut"
"Cepat, cepat!"
"Baik, baik!" kembali Hui-keng masuk ke dalam kuil dengan tergesa-gesa.
Sudah cukup lama Un Tay-tay tahu kalau Hui-keng thaysu termasuk salah satu pendeta kenamaan dari Siau-lim-pay, dia tidak menyangka kalau hwesio itu menaruh rasa takut, jeri bercampur hormat terhadap kakek berjubah ungu itu, kenyataan tersebut membuat perasaan hatinya makin tercekat.
Tidak selang berapa saat kemudian, pintu kuil dibuka lebar-lebar dan muncullah tujuh orang pendeta beralis putih, sambil memberi hormat serentak mereka berseru:
"Hongtiang mempersilahkan sicu untuk masuk"
Kakek berjubah ungu itu mendengus dingin.
"Hmmm, aku lihat lagak si hwesio tua itu makin lama semakin besar" serunya, "dia berani tidak menyambut kedatanganku.... Un Tay-tay, bopong dia dan ikut aku masuk!"
Benar saja, para pendeta Siau-lim itu tidak ada yang berani menghalangi, mereka membiarkan Un Tay-tay dengan membopong Im Ceng masuk ke dalam ruang kuil.
Tampak dua baris pendeta berdiri berjajar sepanjang jalan, di antara asap dupa yang harum, paras muka mereka nampak serius, sepasang tangan dirangkap di depan dada, tubuh mereka sama sekali tidak bergerak, dalam sekilas pandang wajah mereka mirip patung patung Buddha yang terbuat dari batu cadas, membuat suasana terasa makin mencekam.
Un Tay-tay mencoba untuk melirik sekejap, tapi setelah menyaksikan suasana tersebut dia tundukkan kepalanya semakin rendah, tidak berani memandang lagi.
Mereka berjalan jauh sekali ke dalam halaman kuil, dari jalan beralas batu berubah jadi jalan beralas pasir halus, lalu dari pasir halus beruba jadi jalan berbatu kerikil.
Entah berapa lama mereka sudah berjalan, akhirnya tibalah disebuah tempat dengan alas rerumputan yang hijau dan lembut, lamat-lamat terendus bau kayu cendana yang harum, dia tahu mereka sudah tiba di ruang Hongtiang, hal ini membuatnya semakin tidak berani celingukan.
"Bu-si lo-hweesio, apakah kau ada di dalam?" terdengar kakek berjubah ungu itu menegur.
Dari balik ruangan yang tertutup tirai bambu, tirai yang sudah berubah menjadi warna kuning karena asap dupa, terdengar seseorang menyahut dengan suara berat dan mantap:
"Tamu lama yang datang berkunjung, silahkan masuk"
"Selamanya aku tidak akan mengunjungi ruangan yang dipenuhi bau cendana" tampik kakek berjubah ungu itu cepat.
"Harap maklum, lolap pun tidak pernah keluar ruangan untuk menyambut sendiri kedatangan tamu!"
"Kau tidak perlu keluar, aku hanya ingin bertanya satu hal"
"Tanyakah saja!" ucap orang dibalik tirai bambu.
"Kau masih akan mengurusi persoalan itu atau tidak?"
"Persoalan yang mana?"
Kakek berjubah ungu itu kontan tertawa dingin.
"Persoalan yang mana tidak perlu lagi dijelaskan, kita sama-
sama sudah tahu dengan sangat jelas. Selama puluhan tahun, persoalan itu tidak pernah mengusik kau maupun aku, sekarang sebetulnya kau masih mau mengurusi atau tidak?"
Orang dibalik tirai bambu itu termenung berapa saat, kemudian ia baru menjawab:
"Mengurus adalah tidak mengurus, tidak mengurus adalah mengurus, sicu mendesak terus untuk menanyai hal ini, apakah kau sudah mulai merasa asor!"
"Hey hwesio tua, permainan busuk apa yang sedang kau lakukan, aku tidak paham" seru kakek berjubah ungu itu sambil berkerut kening.
"Mengerti adalah tidak paham, tidak paham adalah mengerti"
"Hahahahaha.... bagus.... bagus, kini aku telah datang sia-sia, tidak datang juga tidak sia-sia, urusan itu mau meledak juga boleh, tidak meledak pun juga boleh"
"Omintohud, akhirnya sicu memahami juga"
Sekali lagi kakek berjubah ungu itu terbahak bahak:
"Panji besar adalah panji kecil, panji kecil adalah tiada panji, cinta adalah dendam, cinta adalah benci.... perkataanku benar bukan?"
"Kau sudah mengerti.... kau sudah mengerti!"
Kakek berjubah ungu itu mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak, mendadak ujarnya lagi:
"Ada seseorang yang setengah mampus mohon
pertolonganmu, kini sudah kubawa kemari, mau ditolong atau tidak terserah kau sendiri, mau membiarkan dia mampus di depan kamar Hongtiang mu pun tidak ada sangkut pautnya denganku.... pergilah!"
Ketika mengucapkan kata yang terakhir tiba-tiba dia tangkap tubuh Un Tay-tay serta Im Ceng kemudian melemparnya ke dalam kamar Hongtiang. Serunya lagi sambil tertawa tergelak:
"Empat puluh hari kemudian, kemana pun kau pergi, aku tetap bisa menemukan dirimu kembali"
Un Tay-tay hanya merasakan desingan angin berhembus lewat dari sisi telinganya, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur masuk ke dalam ruangan melalui jendela.
Dia sangka bantingannya kali ini paling tidak akan membuatnya kesakitan setengah mati, siapa tahu penggunaan tenaga yang dilakukan kakek berjubah ungu itu ternyata sangat tepat.
Baru saja Un Tay-tay terkesiap, tahu-tahu tubuhnya sudah
berdiri tegap didalam ruangan, sementara gelak tertawa kakek berjubah ungu itu kedengaran semakin jauh, sesaat kemudian suasana sudah pulih kembali dalam keheningan.
Suasana didalam kamar hongtiang amat hening dan sepi, Bu-si thaysu duduk bersila bagaikan sebuah patung dewa.
Un Tay-tay tidak berani menatap wajahnya, dia hanya berlutut sambil memohon.
"Siapa kau" Siapa pula dia?" tanya Bu-si thaysu.
"Siauli Un Tay-tay, dia adalah Im Ceng, murid Perguruan Tay ki bun"
Begitu mendengar kata Tay ki bun, sepasang alis mata Bu-si thaysu nampak sedikit bergetar, katanya lagi dengan suara dalam:
"Apakah sebelumnya kalian berdua tidak pernah kenal dengan manusia berbaju ungu itu?"
Mendengar pertanyaan itu dengan keheranan Un Tay-tay berpikir:
"Thaysu ini sama sekali tidak pernah meninggalkan pintu kamar, dari mana dia tahu kalau orang tua itu mengenakan baju ungu, dari mana pula bisa tahu kalau aku tidak kenal dengannya?"
Meski terperanjat bercampur keheranan, dia tidak berani berbohong, apayang dialaminya selama ini pun diceritakan secara ringkas.
Selesai mendengar penuturan itu, Bu-si Thaysu
mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang, katanya:
"Buddha maha pengasih, Buddha maha penyayang.... ternyata dia yang menghantar murid Tay ki bun untuk berobat disini....
takdir, takdir!"
Makin didengar Un Tay-tay semakin keheranan, namun dia tidak berani banyak bertanya.
"Baik!" ujar Bu-si Thaysu kemudian, "pinceng akan mengobati lukanya, kau boleh pergi!"
Mimpi pun Un Tay-tay tidak menyangka kalau pendeta sakti dari Siau-lim-pay ini dengan begitu mudah menyanggupi permintaannya, dia merasa terkejut bercampur kegirangan, namun ketika mendengar dia diharuskan pergi, dengan agak gugup serunya:
"Tapi siauli...."
"Ajaran Buddha mengutamakan hukum sebab akibat" tukas Bu-si Thaysu cepat, "kau telah menyanggupi permintaannya
berarti kau telah menanamkan sebab, karena ada sebab tentu ada akibat, akibat yang harus kau selesaikan sendiri, jangan mengurusi orang lain"
"Siauli telah menyanggupi permintaannya, tentu masalah ini akan kuselesaikan sendiri" kata Un Tay-tay dengan air mata bercucuran, "siauli hanya memohon kepada thaysu, ijinkan lah siauli berdiam selama berapa hari disini, menunggunya hingga dia sembuh dari lukanya"
Bu-si Thaysu pejamkan mata sambil termenung berapa saat, gumamnya kemudian:
"Orang yang kelewat romantis pasti akan tersiksa karena cinta.... aaai.... dihalaman luar sana terdapat sebuah kamar kayu bakar, tinggallah disana, setiap hari kau hanya boleh masuk halaman ini selama setengah jam"
"Terima kasih Thaysu" Un Tay-tay berseru sambil
menyembah. "Pinceng hanya bisa melanggar peraturan sampai disini, sekarang pergilah!"
Ketika selesai mengisahkan pengalamannya, kembali Un Tay-tay tertawa getir, dia tidak ingin orang lain ikut bersedih hati atas kemalangan yang menimpa dirinya.
Terdengar Un Tay-tay berkata lebih jauh:
"Sebenarnya kuil Siau-lim-sie tidak menampung kaum wanita, tapi kali ini Bu-si Thaysu telah melanggar kebiasaan, dia ijinkan aku tinggal disitu bahkan setiap hari aku diijinkan menengok Im Ceng satu kali"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, ujarnya:
"Sikap baik Bu-si Thaysu terhadapmu sama artinya kalau kau telah berhutang budi kepadanya"
Darimana dia tahu penderitaan yang harus dialami Un Tay-tay selama berdiam dalam gudang kayu bakar, darimana dia tahu kalau perempuan itu hanya berdiam dalam sebuah gudang kayu bakar"
"Ternyata Bu-si Thaysu bukan saja memiliki ilmu silat yang hebat, diapun memiliki ilmu pertabiban yang luar biasa, tiga hari kemudian luka yang diderita Im Ceng sama sekali telah sembuh, bahkan dia dapat bergerak"
Setelah tertawa pedih, lanjut perempuan itu:
"Melihat lukanya begitu cepat telah sembuh, tentu saja aku merasa amat girang, apalagi ketika mendengar Bu-si Thaysu akan mengajarinya ilmu silat, rasa senang ku tidak terlukiskan,
tapi.... tapi...."
"Tapi kenapa?" tanya Thiat Tiong-tong ketika melihat perubahan aneh di wajahnya.
"Sejak awal hingga akhir, ternyata Im Ceng tidak pernah mengajakku bicara, walau hanya sekecap pun"
Thiat Tiong-tong tertegun.
"Kenapa.... kenapa bisa begitu...." bisiknya.
Membayangkan kembali bagaimana pengorbanan yang
dilakukan Un Tay-tay demi selamatkan nyawa Im Ceng, melihat nasib tragis yang menimpanya sekarang tidak urung pemuda itupun ikut merasa sedih.
"Dia bahkan tidak menengok sekejappun ke arahku" ujar Un Tay-tay sambil tertawa pedih, "tapi aku tahu kalau dulu sudah kelewat melukai hatinya, maka aku tidak menyalahkan dia"
"Apakah sekarang kau sudah benar-benar jatuh hati kepadanya?"
Un Tay-tay hanya tutup mulutnya tanpa menjawab,
sementara air matanya berurai makin deras.
"Apakah karena dia tidak menggubrismu maka kau enggan menceritakan semua kedukaan dan penderitaan yang kau alami kepadaku" Apakah lantaran itu kau menguraikan kejadian ini secara ringkas?"
Tidak kusangka ternyata dia memahami perasaan hatiku, hanya dia yang memahami perasaan hatiku!" batin Un Tay-tay dengan air mata berurai.
Sekarang dia merasa sedih, diapun merasa berterima kasih, entah kenapa, perasaan hatinya terhadap Thiat Tiong-tong saat ini tinggal perasaan sayang seorang adik terhadap kakaknya, sama sekali tidak ada perasaan cinta muda mudi.
Perlu diketahui, bila seorang wanita yang sudah kenyang pengalamannya dalam hal bercinta jatuh hati atau tergerak hatinya terhadap seseorang, maka perasaan cintanya itu akan lebih teguh dan murni daripada emas.
Dulu, walaupun dia pernah tertarik oleh penampilan Thiat Tiong-tong, namun rasa tertariknya itu hanya merupakan rangsangan yang bersifat sementara, berbeda dengan Im Ceng, pemuda itu benar-benar telah meluluhkan perasaan hatinya, perubahan yang terjadi saat itu mungkin hanya dia seorang yang memahaminya.
Tiba-tiba dia tertawa, sambil mengalihkan pokok pembicaran katanya:
"Siapa bilang aku menderita dan tersiksa" Kehidupanku selama ini selalu enak dan bahagia, aku.... aku hanya tidak bisa melupakan sorot mata Im Ceng sewaktu terluka dulu, pandangan matanya terhadapku, sekalipun setelah sembuh dia tidak menggubrisku, tapi perasaan hatinya tidak bisa berbohong, Thiat toako.... kau tentu bisa memahami perasaan hatiku ini bukan"
Biarpun sejak kini aku tidak bisa bertemu lagi dengannya, aku tidak akan perduli"
Begitu mendengar dia merubah panggilan terhadap dirinya menjadi toako, Thiat Tiong-tong tahu kalau perasaan hatinya sekarang sudah kembali ke jalan benar. Tidak tahan diapun bertanya:
"Siapa bilang kau tidak bisa bertemu lagi dengannya?"
"Sebab aku sudah akan pergi jauh sekali!" kata Un Tay-tay sedih.
Ternyata setiap malam dia tidur dalam gudang kayu bakar, sementara siang hari selalu berada dalam halaman dalam selama setengah jam, terkadang dia malah tidak bersua dengan Im Ceng, sekalipun bertemu, Im Ceng tidak pernah mau ambil perduli terhadapnya.
Dalam keadaan begini terpaksa Un Tay-tay harus menahan linangan air matanya, begitu setengah jam berlalu, dia harus segera balik ke gudang kayu, untuk mengisi waktu yang senggang dan menghibur hati yang murung, diapun tiap hari memotong kayu.
Dia tinggal di kuil Siau-lim hampir dua puluhan hari, dalam waktu yang relatip singkat dia telah memotong hampir setiap potong kayu bakar menjadi ranting yang kecil, membuat ke lima jari tangannya yang lentik berubah jadi kasar penuh dengan lapisan kulit tebal.
Kalau dia makin hari semakin sayu dan lusuh sebaliknya Im Ceng makin hari semakin bercahaya terang, wajahnya makin merah, dari caranya berlatih silat dapat diketahui kalau ilmu silatnya telah memperoleh kemajuan yang pesat.
Kendatipun Im Ceng nyaris tidak menggubrisnya, namun Un Tay-tay tidak pernah mau menyia-nyiakan waktu selama setengah jam yang dimilikinya, setiap hari dia selalu muncul di sana, mengawasi wajah Im Ceng yang makin segar, memandang sikapnya yang makin dingin.
Terlepas dia sedih atau gembira, Un Tay-tay selalu berusaha tampil dengan senyuman menghiasi wajahnya, walaupun di masa
lalu dia sudah terlalu sering berpura-pura mencintai lelaki, menipu kaum pria, tapi kini cinta yang tumbuh dalam hatinya adalah cinta sejati, hanya sayangnya cinta yang sejati justru tidak ingin dia perlihatkan secara terang-terangan.
Hari itu, dengan susah payah dia menanti hingga tiba saatnya kunjungan, dengan membawa secercah pengharapan dia memasuki halaman dalam, dia berharap hari ini Im Ceng mulai mau memperdulikan dirinya.
Siapa tahu ketika tiba di dalam halaman, tiba-tiba dia jumpai Im Ceng telah pergi meninggalkan tempat itu.
Dia merasa terkejut, tercekat, ngeri bercampur masgul, tanpa berpikir panjang diapun menyerbu masuk ke dalam kamar Hong tiang.
Tampaknya Bu-si Thaysu sudah menduga maksud
kedatangannya, dengan suara dalam ujarnya:
"Ooh, kau sudah datang, bagus, bagus, duduklah dahulu, dengarkan berapa patah kataku"
Menyaksikan sikap dari Bu-si Thaysu ini, Un Tay-tay tidak berani bertindak sembrono, terpaksa dia duduk sambil menahan lelehan air mata.
Dengan suara berat kembali Bu-si Thaysu berkata:
"Tentunya kau sudah tahu bukan kalau dia telah pergi, lolap yang menghantarnya pergi, demi suatu persoalan yang maha besar dan berat, mau tidak mau dia harus pergi"
"Meng.... mengapa dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku?" tanya Un Tay-tay dengan berurai air mata.
Bu-si Thaysu menghela napas panjang.
"Ketika hendak pergi, lolap pun pernah bertanya apakah dia ingin bertemu denganmu, diapun sudah mempertimbangkan masalah ini cukup lama, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak bertemu"
"Ke.... kenapa dia begitu tega?"
"Tiada rasa cinta berarti cinta, aaaai.... dari pada cinta lebih baik tiada cinta, justru karena setiap benda di dunia ini memiliki rasa cinta maka kehidupan manusia terjerumus dalam pelbagai kemurungan dan siksaan"
"Thaysu, boleh tahu dia telah pergi ke mana?" tanya Un Tay-tay lagi sambil menangis.
"Pulau Siang cun-to!" Bu-si Thaysu menghela napas,
"sekalipun sudah lolap katakan pun belum tentu kau akan mengetahuinya"
"Siang-cun-to, di mana letaknya?"
"Lolap sendiripun tidak tahu, dia harus mencari sendiri letak tempat itu, dengan tabiatnya, tidak mungkin dia akan berbalik ditengah jalan sebelum menemukan tempat itu...."
Tiba-tiba sekulum senyuman menghiasi wajahnya, dia melanjutkan:
"Dimana pun adalah tempat tujuan, dimana pun bukan tempat tujuan, aaai.... lagi-lagi lolap berfilsafat...."
"Thaysu, karena urusan apa dia harus pergi ke Siang cun-to?"
"Ada sebab tentu menimbulkan akibat, ada akibat tentu karena ada sebab, akibat yang muncul hari ini dikarenakan sebab dimasa lalu, tentu saja dia punya alasan untuk kesana, tentu ada persoalan hingga mesti ke sana...."
Perlahan-lahan pendeta itu memejamkan matanya dan tidak berbicara lagi.
Un Tay-tay tahu banyak bertanya pun tidak ada gunanya, maka setelah memberi hormat, dengan sedih dia meninggalkan kamar Hongtiang dan berjalan keluar dari pintu kecil halaman belakang.
Baru saja dia melangkah keluar dari pintu, pintu kecil itu sudah tertutup rapat, kalau selama berapa hari ini pintu tersebut hanya setengah tertutup maka kini pintu itu tertutup rapat sekali.
Un Tay-tay sadar, setelah hari ini dia berjalan keluar dari kuil Siau-lim maka jangan harap dia bisa masuk lagi ke tempat itu, dengan membawa rasa sedih yang luar biasa dia pun menelusuri jalan setapak menuju ke depan sana.
Dia tidak tahu ke arah mana dia pergi, terlebih tidak tahu harus kemana dia pergi.
Lama sekali dia berjalan hingga tiba disisi sebuah sungai kecil, saat itulah Un Tay-tay baru berjongkok, mengambil air dan membasahi tenggorokanya.
Waktu itu sinar matahari senja telah menyelimuti angkasa, cahaya keemas emasan memantul diatas permukaan air, menyinari wajahnya.
Ketika sinar senja semakin redup, seluruh cahaya pun mulai menghilang, tak ada yang terlihat lagi disekeliling permukaan air.
Mengawasi kegelapan yang mulai menyelimuti angkasa, dengan sedih Un Tay-tay bergumam:
"Mengapa kehidupan manusia bagaikan aliran air sungai, keindahan selalu berlangsung cepat, kenapa aku harus hidup
terus di dunia ini" Apakah sedang menanti saat menjadi gundiknya makhluk berjubah ungu itu?"
Ditengah hembusan angin malam yang semakin dingin, Un Tay-tay merasa hatinya makin pedih, makin putus asa, akhirnya dia mendongak-kan kepalanya menghela napas panjang, dia siap mengambil keputusan pendek.
Tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur:
"Benarkah kau ingin mati?"
Suaranya dingin dan sangat hambar.
Dengan cepat Un Tay-tay membalikkan tubuh, seketika itu juga dia merasakan munculnya hawa dingin dari telapak kaki menerjang naik ke ubun ubunnya.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata dibelakang tubuhnya, lebih kurang sejauh satu depa, entah sejak kapan telah berdiri sesosok bayangan wanita berbaju hitam, kecuali ujung gaunnya yang berkibar ketika terhembus angin, dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya sama sekali tidak nampak bergerak.
Kemunculannya ditempat dan saat seperti ini bukan saja menimbulkan perasaan seram, bahkan mudah menimbulkan prasangka lain yang lebih mengerikan.
Dengan perasaan bergidik Un Tay-tay segera berpikir:
"Dia.... sebenarnya dia ini manusia, atau setan gentayangan?"
Tapi ingatan lain segera melintas lewat, pikirnya lebih jauh:
"Perduli amat, toh aku bakal segera amati, mau siluman rase, mau setan gentayangan, kenapa aku mesti takut"
Maka dengan memberanikan diri diapun menyahut:
"Benar, aku memang ingin mati, mau apa kau?"
Dengan nada yang sedih perempuan berbaju hitam itu menyahut:
"Usiamu masih sangat muda, sekarang kau berkata ingin mati, ini dikarenakan dorongan emosimu sesaat, padahal sebentar lagi belum tentu kau masih ingin mati"
"Apalah arti dari kehidupan, kenapa aku masih ingin hidup"
"Kalau begitu kau pasti sedang dirundung perasaan sedih yang luar biasa! Apakah orang yang kau cintai telah menyia-nyiakan dirimu, meninggalkan dirimu dengan begitu saja?"
Rasa sedih kembali menusuk perasaan Un Tay-tay, sambil menghentakkan kakinya dia menjerit keras:
"Kau tidak usah ikut campur!"
Kemudan sambil menutup wajah sendiri dia lari secepatnya
meninggalkan tempat itu.
Siapa tahu baru saja dia berlarian beberapa saat, tiba-tiba dijumpai perempuan berbaju hitam itu bagaikan sukma gentayangan saja, tanpa menimbulkan sedikit suara pun kembali sudah menghadang dihadapannya.
"Kau.... kau.... sebenarnya apa mau mu!" teriak Un Tay-tay.
"Aku pun orang yang sedang bersedih hati, sedang ingin mati, kalau kau memang bertekad ingin mati, lebih baik kita mati bersama-sama saja" ujar perempuan berbaju hitam itu perlahan.
Diam diam Un Tay-tay berpikir:
"Ooh, rupanya kau sedang menjajal apakah aku benar-benar ingin mati" Bila kemudian mengetahui aku tidak ingin mati maka kau akan mengejekku, mempermalukanku" Baik, aku akan mati dihadapannya"
Maka sambil sengaja tertawa tergelak serunya:
"Baik, tidak kusangka dalam perjalanan menuju ke alam baka, aku bakal punya teman...."
"Ikut aku!" bisik perempuan itu tiba-tiba, sambil menarik tangan Un Tay-tay dia segera bergerak menuju ke barat.
Un Tay-tay merasakan tangan perempuan itu dingin bagaikan es, persis tangan orang yang sudah mati, selain dingin diapun merasakan munculnya semacam tenaga aneh yang membawa tubuhnya, tanpa kuasa dia ikut berlarian mengintil di belakangnya.
Sepanjang perjalanan diapun merasa ujung kakinya nyaris tidak menempel tanah, ketika memperhatikan pula pakaian hitam dan cadar hitamnya yang berkibar terhembus angin, nyaris tubuh perempuan itu seakan sedang melayang di angkasa saja.
Biarpun Un Tay-tay bertekad ingin mati, tidak urung berdiri juga bulu kuduknya setelah menyaksikan kejadian ini.
Jalan perbukitan makin lama semakin curam dan berbahaya, di antara tebing-tebing tinggi yang terjal terbentang jurang yang tidak terkira dalamnya, asal terpeleset sedikit saja niscaya tubuhnya akan hancur lebur.
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam itu menghentikan langkahnya sambil berkata: "Sudah sampai, disinilah tempatnya"
Ditengah kegelapan malam yang mencekam, Un Tay-tay menjumpai dirinya berdiri diatas sebuah batu gunung yang besar di puncak tebing yang tinggi lagi curam, dibawah tebing terbentang kegelapan yang luar biasa, tidak jelas seberapa dalam jurang dihadapannya itu.
"Apa lagi yang kau tunggu?" tanya perempuan berbaju hitam itu lagi, "ayohlah cepat melompat!"
Un Tay-tay tertawa pedih, sahutnya:
"Sebuah tempat mencari mati yang indah...."
Mendadak raut muka banyak orang yang pernah dikenalnya dulu satu per satu melintas dibenaknya, tidak kuasa lagi tubuhnya mulai gemetar keras....
"Bila kau enggan mati, masih sempat untuk kembali" kembali perempuan berbaju hitam itu berkata dingin.
"Aku.... aku...." mendadak wajah seram kakek berjubah ungu itu serta wajah Im Ceng yang begitu dingin kaku terlintas kembali dalam benaknya, sambil menggigit bibir segera teriaknya:
"Kenapa aku harus kembali!"
Sambil pejamkan mata dia segera melompat ke dalam jurang.
Begitu tubuhnya meluncur ditengah udara, benaknya seketika terasa bagaikan mau pingsan, lamat-lamat terdengar perempuan berbaju hitam itu berkata sambil tertawa:
"Tidak salah lagi, kau...."
Kata berikut sudah tidak sempat terdengar lagi, karena dia merasa tubuhnya terjatuh ke dalam pelukan seseorang.
Un Tay-tay merasa terkejut bercampur terkesiap, selain itu diapun merasa keheranan, sampai lama kemudian dia baru berani membuka matanya kembali, tampak enam orang wanita berbaju hitam dengan dandanan yang sama telah berdiri disekelilingnya.
Ketika dia mendongakkan kepalanya, batu dari mana dia melompat tadi ternyata persis berada diatas kepalanya, jarak dengan permukaan tanah paling sepuluh depa, tentu saja yang terlihat olehnya dari atas hanya kegelapan malam yang mencekam karena saat itu memang ditengah malam buta.
"Tampaknya kau sudah dibuat kaget" kata perempuan berbaju hitam yang membopongnya dengan perlahan, meski suaranya dingin dan hambar namun jelas memperlihatkan perasaan kuatir.
Un Tay-tay segera meronta sambil melompat turun, serunya dengan marah:
"Aku sudah bertekad untuk mati, kenapa kalian masih mempermainkan orang bernasib buruk macam aku!"
Perempuan berbaju hitam itu menghela napas panjang, sahutnya:
"Justru kau adalah orang yang bernasib jelek, maka kami pun melakukan hal ini"
"Kenapa?"
"Sebab kami semua adalah orang yang bernasib jelek, maka kami akan menampung semua perempuan bernasib jelek, tapi bila dia belum bertekad untuk mencari mati, berarti nasibnya belum betul-betul jelek"
"Oleh sebab itu kalian ingin menjajal aku bukan" Tapi kalian...."
Perempuan berbaju hitam itu tertawa pedih, tukasnya:
"Kami semua pernah mati satu kali, maka kaupun harus mati satu kali sebelum dapat bergabung ke dalam kelompok kami"
Perempuan yang lain menyambung dengan nada dingin:
"Kini kita semua adalah orang yang sudah mati, lewat beberapa hari kau akan tahu bahwa rasanya menjadi orang mati ternyata jauh lebih enak dari pada menjadi orang hidup"
Dengan perasaan bergidik Un Tay-tay celingukan memandang sekejap sekeliling tempat itu, dia tidak jelas saat ini sebenarnyia sudah mati atau masih hidup, tiba-tiba jeritnya:
"Aku tidak ingin jadi orang mati.... aku tidak ingin jadi orang mati...."
"Kau telah mati satu kali, memangnya ingin hidup lagi?"
perempuan berbaju hitam itu menegur ketus.
Dengan bulu kuduk pada berdiri dan perasaan ngeri yang luar biasa, Un Tay-tay mundur dua langkah, serunya:
"See.... sebenarnya siapa kalian" Ke.... kenapa aku harus bergabung ke dalam kelompokmu?"
"Setelah menjadi orang mati, kau dapat menjadi utusan langit, dapat menuntutkan keadilan bagi wanita-wanita lain dikolong langit yang menderita, masa kau tidak bersedia?"
Dalam menuturkan kisahnya kali ini, Un Tay-tay bercerita secara jelas dan mendetil, membuat Thiat Tiong-tong yang mendengarkan jadi bergidik.
Sampai disini, dia tidak tahan lagi untuk menghela napas seraya berkata:
"Tidak heran kalau tindak-tanduk serta cara berbicara mereka begitu dingin dan hambar, rupanya meski mereka belum mati namun perasaan mereka sudah mati.... bagaimana selanjutnya"
Apakah kau...."
Setelah menghela napas lanjut Un Tay-tay:
"Perasaan hatiku telah mati, tentu saja akupun bergabung dengan mereka, lihatlah sekarang akupun mengenakan jubah hitam dengan kain cadar hitam, walaupun banyak keraguan
muncul dihatiku, namun mereka melarangku banyak bertanya, hanya ujarnya: kalau perasaanmu sudah mati, buat apa mesti memikirkan urusan lain!
Bentrok Rimba Persilatan 12 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Golok Yanci Pedang Pelangi 7
^