Pendekar Panji Sakti 6

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 6


anusia serta suara langkah kaki yang ramai, bahkan secara lamat-lamat terdengar pula suaara desingan anak panah yang memenuhi angkasa.
Terdengar seseorang dengan suara parau berlarian sambil berteriak:
"Celaka, celaka, semua hewan yang berada dalam kandang telah mati secara mengerikan!"
Teriakan tersebut penuh dicekam perasaan ngeri bercampur seram, berkumandang dari arah belakang menuju ke ruang depan.
Dua orang bocah lelaki itu saling bertukar pandangan sekejap, kendatipun mereka berdua termasuk bocah cerdas yang memiliki kepintaran luar biasa, bagaimana pun usia kedua orang itu masih kelewat muda, setelah mendengar jeritan ngeri yang begitu menyayat hati, tidak urung tubuh mereka gemetar juga saking takutnya.
Dengan wajah pucat seru Un Tay-tay:
"Bagaimana baiknya sekarang" Hey,kenapa kalian masih belum juga membenahi semua intan permata serta barang barang berharga itu" Jika kekacauan sudah terjadi, kalian bakal tidak sempat bebenah"
"Hmm! Kalau orang pun hampir mampus, apa gunanya barang berharga itu?" dengus Thiat Tiong-tong dingin.
Un Tay-tay tertegun, tiba-tiba dia mulai menangis, sambil menubruk ke dalam pelukan pemuda itu serunya berulang kali:
"Aku tidak mau mati, aku tidak pingin mati, kau harus menjamin agar aku tidak sampai mati...."
Thiat Tiong-tong sekali lagi mendengus dingin, dia segera mendorong tubuh perempuan itu dari pelukannya.
Suara genta kembali bergema, sang bocah pun kembali bersenandung:
"Bunyi genta untuk ke tiga kalinya, malaikat maut telah tiba, persiapkan peti mati dan bersiaplah berangkat ke tanah pekuburan!"
Dua orang bocah lelaki itu mulai menggigil keras saking takutnya, mereka berdua berdiri saling merapatkan badan.
Pada saat itulah Li Kiam-pek yang berpakaian ringkas menyelinap masuk lagi sambil berseru:
"Kekacauan segera akan terjadi, semua orang dipersilahkan berkumpul di ruang utama, kita harus bersatu padu melakukan perlawanan"
Un Tay-tay seketika menghentikan isak tangisnya, serunya:
"Kalau kami semua berkumpul di ruang Utama, bagaimana dengan barang-barang ini?"
Biarpun kematian sudah di depan mata, ternyata perempuan ini masih belum dapat melupakan intan permata dan barang-barang ber harga itu.
"Semua barang yang tertinggal disini akan kami uruskan"
sahut Li Kiam-pek dingin, "asal kita semua belum mati, kujamin barang kalian tidak bakal ada yang hilang"
Thiat Tiong-tong termenung sejenak, katanya kemudian:
"Kalau begitu ayoh kita berkumpul!"
Maka berangkatlah mereka semua meninggalkan tenda menuju ke ruang utama, waktu itu satu pasukan lelaki kekar berbaju hitam bersenjata golok dan tombak telah mengepung sekeliling ruangan itu rapat-rapat.
Li Lok-yang telah menghimpun seluruh kekuatan yang dimilikinya ditempat tersebut.
Cahaya senja masih memancarkan sinarnya yang kemerah-merahan, ketika cahaya itu menimpa ujung golok segera terhiaslah sinar yang menyilaukan mata.
Paras muka semua orang nampak serius dan berat, biarpun mendekati seratusan orang yang berkumpul diseputar halaman gedung, namun tidak kedengaran suara apapun kecuali suara langkah kaki yang bergeser.
Semua lampu yang ada di ruang utama telah dinyalakan, ditengah senja yang redup, cahaya lentera itu kelihatan suram, membuat ruang utama yang sangat luas nampak lebih menyeramkan dan menggidikkan hati.
Meja kursi yang semula memenuhi ruang utama, kini ada sebagian besar telah disingkirkan, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Suto Siau sedang berkumpul disebuah sudut ruangan sambil berbisik-bisik merundingkan sesuatu, entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Bi lek hwee serta si bintang pembunuh sedang menikmati arak langsung dari dalam guci, beberapa kali mereka perdengarkan gelak tertawa yang amat keras, suara tertawa yang
memecahkan keheningan.
Phoa Seng-hong duduk seorang diri disisi meja dari Li Lokyang, saat itu dia sedang menggotong mata pedangnya dengan seksama, entah berapa kali dia sudah menggosok hingga mata pedangnya nampak berkilat tajam.
Im Ceng hanya berdiri di depan gedung tanpa berbuat apa-apa, ketika melihat kemunculan Thiat Tiong-tong dan rombongan, tiba-tiba dia membalikkan tubuh sambil masuk ke dalam, mencabut keluar pedangnya, duduk persis dihadapan Phoa Seng-hong dan mulai menggosok pedangnya.
Mendadak Li Lok-yang berkata dengan suara dalam:
"Aku sudah bersiap-siap melakukan pertahanan ditempat ini, meskipun tidak tahu bisa bertahan sampai kapan, akupun tidak tahu apakah pertahanan ini bakal jebol atau tidak, tapi sudah kuputuskan akan melawan mereka hingga titik darah penghabisan"
Dengan sorot matanya yang tajam dia menyapu sekejap wajah semua orang yang hadir, kemudian lanjutnya:
"Kini kalian semua berada ditempat ini, berarti bukan saja akan menderita bersama bahkan akan mati hidup bersamaku!"
"Memang seharusnya begitu!" seru Hay Tay-hau sambil menggebrak meja keras-keras.
Dengan pandangan berterima kasih Li Lok-yang memandang sekejap ke arahnya, kemudian lanjutnya:
"Oleh sebab itu di saat kesulitan belum lewat, terpaksa kalian tidak akan peroleh pelayanan yang sepantasnya"
"Apalah artinya tidak peroleh pelayanan yang pantas!" seru Bi-lek hwee pula sambil menggebrak meja.
"Hahahahaha.... bagus, bagus sekali" seru Li Lok yang sambil tertawa tergelak, "asal kita benar-benar dapat bekerja sama dengan baik, biar menang kalah belum ketahuan hasilnya, saudara sekalian, mari kita bersantap dulu, setelah kenyang bersantap kita baru persiapkan diri untuk menghadapi pertarungan berdarah!"
Suara jawaban bergema gegap gempita, tidak lama kemudian muncul berapa orang lelaki berbaju hitam yang segera menyiapkan meja berjamuan ditengah ruangan.
Sejak dicekam perasaan gelisah, ngeri dan kuatir, sebagian besar orang seakan sudah lupa untuk bersantap, kini begitu mengendus bau harumnya hidangan dan arak, kontan saja semua orang mulai merasakan perutnya keroncongan.
Thiat Tiong-tong memandang keluar sekejap, tiba-tiba ujarnya dengan suara dingin:
"Semua hewan yang ada di kandang telah mati keracunan, jika dalam hidangan itupun dicampuri racun, bukankah kita semua bakal mampus seperti hewan hewan di halaman belakang?"
"Semua hidangan dibuat dibawah pengawasan serta
penjagaan yang sangat ketat" sahut Li Kiam-pek cepat, "kecuali Kiu cu Kui bo memiliki kepandaian yang luar biasa, kalau tidak, dengan cara apa dia akan meracuninya?"
"Kiu cu Kui bo memiliki banyak macam cara untuk
menyebarkan racun jahatnya" kata Phoa Seng-hong pula,
"kemampuannya meracuni orang sangat hebat dan diluar dugaan, memang lebih baik jika kita bersikap lebih berhati-hati!"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, dari sakunya Li Lok-yang telah mengeluarkan sebatang jarum berwarna perak dan dicelupkan pada hidangan tersebut, dalam waktu singkat jarum perak itu berubah jadi hitam pekat.
Berubah hebat paras muka semua orang, Li Lok-yang sendiripun nampak tertegun, akhirnya dengan wajah tidak habis mengerti dia menengok ke arah Li Kiam-pek.
"Apa yang telah terjadi?" seru Li Kiam-pek pula keheranan.
Phoa Seng-hong menghela napas panjang.
"Aaai, aku rasa mereka telah menebarkan racun dalam setiap sumur yang ada disini" katanya.
"Biar kuperiksa" seru Li Kiam-pek sambil berlari keluar.
Semua orang saling berpandangan tanpa bicara, suasana hening pun mencekam seluruh ruang gedung.
Tidak selang berapa saat kemudian Li Kiam-pek sudah muncul kembali dengan wajah gelisah bercampur cemas.
"Ternyata benar juga" serunya, "ke empat sumur utama yang ada dalam gedung telah diracuni mereka!"
"Kalau begitu dalam nasi pun pasti ada racunnya" sambung Phoa Seng-hong.
"Betul-betul manusia berhati iblis" umpat Hek Heng thian gusar, "memangnya dia ingin kami semua mati kelaparan disini"
Saudara Li, bagaimana kalau kita sembelih ayam dan bebek lalu dipanggang saja tanpa menggunakan air?"
Li Kiam-pek menghela napas panjang.
"Semua ayam, itik, babi dan kambing yang kami miliki telah mati keracunan" katanya.
Sekujur tubuh Hek Seng-thian bergetar keras, dia tidak banyak bicara lagi.
Mengawasi hidangan lezat yang menyiarkan bau harum semerbak, namun tidak dapat di santap, kontan saja semua orang merasa semakin kelaparan dan amat tersiksa.
Harus diketahui manusia adalah besi, nasi adalah baja, biarpun seorang enghiong hohan, sulit baginya untuk menahan rasa lapar.
Paras muka Li Lok-yang dingin bagaikan es, setelah termenung sambil berpikir berapa saat mendadak teriaknya keras:
"Kiam-pek, perintahkan orang untuk mencari semua telur ayam dan telur itik yang masih tersisa, kemudian ambil arak yang tersimpan di gudang bawah tanah!"
Li Kiam-pek menyahut dan segera berlalu.
"Bagus, bagus sekali" seru Hay Tay-sau pula sambil tertawa,
"telur ayam, telur itik, arak segelan di gudang bawah tanah, benda seperti ini tidak mungkin bisa diracuni biar dilakukan seorang malaikat pun. Hahahaha.... kalau begitu kita semua tidak perlu mati kelaparan lagi!"
Dengan termangu Li Lok-yang mengawasi para anak buahnya yang berada di halaman luar, air mukanya berubah makin berat dan serius.
Tidak selang berapa saat kemudian Li Kiam-pek telah mengangkut semua telur dan arak yang ada ke dalam ruangan.
Keluarga Li merupakan sebuah keluarga kaya raya, tentu saja simpanan araknya sangat banyak, ketika ditumpuk ke dalam ruangan hampir memenuhi separuh ruangan lebih, tapi telur yang berhasil dikumpulkan tidak lebih hanya dua keranjang, ditambah satu keranjang besar berisi daging ayam asap serta ikan asin.
"Hanya sebanyak ini?" tanya Li Lok-yang sambil menghela napas sedih.
"Semua sayuran yang akan dipergunakan di dapur, sebagian besar dibeli pada hari itu juga...."
Li Lok-yang kembali menghela napas panjang, tukasnya:
"Ada berapa banyak telur ayam yang berhasil dikumpulkan?"
"Tadi sudah kusuruh orang menghitung, jumlah keseluruhan ada lima ratus tujuh puluh dua butir!"
"Lima ratus tujuh puluh dua butir?" seru Phoa Seng-hong sambil tertawa, "itu hanya cukup untuk menangsel perut selama
berapa hari!"
"Hengtay jangan lupa" sela Li Lok-yang dingin, "Dihalaman luar masih terdapat seratus dua puluhan saudara, mereka pun butuh telur itu untuk mengisi perutnya"
Phoa Seng-hong tertegun, akhirnya dia terduduk kembali di bangkunya, sekujur tubuh terasa sangat lemas.
Setelah menghela napas kembali Li Lok-yang berkata:
"Beruntung, setiap tahun keluargaku bersama para dayang, tentu pergi ke kuil untuk pasang hio, kalau tidak, aaai! Tidak bisa kubayangkan bagaimana situasinya saat itu"
Tiba-tiba Suto Siau menyela:
"Barusan cayhe telah membuat perhitungan, disini terdapat seratus empat puluh orang, berarti setiap orang mendapat jatah empat butir telur dan masih tersisa dua belas butir"
"Henglay, cermat amat perhitunganmu...." seru Li Lok-yang sambil tertawa.
Mendadak Phoa Seng-hong bangkit berdiri, teriaknyanya:
"Kami adalah tamu dari keluarga Li, apakah kitapun harus mengalami nasib yang sama dengan para budak dan pelayan itu?"
"Mereka semuapun dilahirkan oleh ayah dan ibunya, sama seperti kita semua, kenapa mereka tidak pantas memperoleh perlakuan yang sama dengan kita?"
"Sekalipun sama-sama manusia, toh tingkat sosial kita jauh berbeda" teriak Phoa Seng-hong.
"Apanya yang beda?" sela Hay Tay-sau gusar, "justru para saudara dari Li toako jauh lebih berperikemanusiaan ketimbang dirimu, apalagi kalau dinilai dari jiwanya yang berbudi serta kesetiaan mereka, Hmmm! Orang-orang itu justru jauh melebihi watak busukmu"
Phoa Seng-hong tertawa dingin.
"Hmm, sudah tahu kalau dalam keadaan seperti ini tidak mungkin orang lain membiarkan kita bertarung, kau sengaja memanasi hatiku dengan kata-kata busukmu...."
"Sekalipun tidak berada dalam situasi seperti sekarangpun, aku tetap akan mengucapkan perkataan itu"
"Sudahlah, kalian berdua tidak usah ribut lagi" tukas Li Lokyang sambil menghela napas, "sisanya yang dua belas butir bisa dibagi rata khusus untuk mereka yang ada di ruangan ini"
"Hahahaha...." Hay Tay-sau tertawa tergelak, "aku bukan sedang rebutan jatah telur, aku hanya merasa tidak tahan
mendengar suara kentut busuk dari bajingan itu"
Li Lok-yang segera perintahkan orang untuk membuat empat onggok api unggun ditengah halaman dan menumpangkan empat buah wajan raksasa diatasnya, untuk menggodok telur mereka tidak berani menggunakan air sumur yang sudah keracunan, maka digunakan bekas air cuci muka yang dipergunakan kemarin.
Ketika telur sudah matang dan dihantar ke ruang tengah, benar saja, setiap orang mendapat jatah lima butir.
Hay Tay-sau segera mengambil jatah telurnya dan membuka guci arak, seteguk minum arak satu gigitan makan telur, dalam waktu sekejap dia sudah menghabiskan ke lima butir telur jatahnya.
Bi lek hwee kelihatan sedikit sangsi ketika habis makan telur ke empat, tapi setelah meneguk berapa cawan arak, akhirnya dia pun menghabiskan telur yang ke lima, setelah itu dia mulai tidur diatas meja.
Sambil menghela napas Phoa Seng-hong mengupas sebutir telur, diamatinya dulu dengan seksama lalu dipotong jadi delapan bagian dan dimakan dengan perlahan, sementara ke empat butir telur lainnya disimpan ke dalam saku dengan hati-hati.
Orang lain ada yang cuma makan dua butir, ada pula yang makan tiga butir, kawanan jago yang sudah terbiasa bersantap mewah ini meski hari ini mesti makan telur ayam yang tawar tidak ada rasanya, ternyata semua orang bisa menaikmatinya dengan puas.
Sambil tertawa tergelak kembali Hay Tay-sau berseru:
"Hahahaha,.... baru hari ini aku tahu ternyata telor ayam godok pun rasanya sangat nikmat"
Hanya Im Ceng seorang yang duduk sambil makan sebutir telur, sorot matanya seakan tidak sengaja melirik sekejap ke arah Un Tay-tay yang duduk disamping Thiat Tiong-tong, akhirnya dia tidak sanggup lagi untuk makan butir telur ke dua.
Seorang diri dia menghabiskan separuh guci arak, ketika paras mukanya mulai berubah jadi merah padam akhirnya dia mendongakkan kepalanya dan memandang ke arah Un Tay-tay dengan main melotot.
Malam semakin larut, sudah tidak terdengar suara pembicaraan manusia dalam ruang utama, api unggun di halaman luarpun sudah padam, kegelapan malam yang sepi membuat suasana ditempat itu terasa makin berat dan
mencekam. Sepintas lalu semua orang yang ada dalam diruang utama seakan sudah terlelap tidur, padahal tidak seorangpun benar-benar bisa memejamkan matanya. Berulang kali Phoa Seng-hong merogoh kedalam sakunya meraba ke empat butir sisa telur ayamnya, tapi setelah di keluarkan, dipandang sekejap akhirnya dimasukkan kembali ke dalam saku.
Ketika tengah malam sudah lewat, akhirnya Im Ceng roboh dalam keadaan mabuk berat, dia bersandar dimeja sementara mulutnya mengigau berulang kali, ketika didengarkan dengan seksama, lamat-lamat terdengar kalau dia sedang memanggil nama Un Tay-tay.
Thiat Tiong-tong duduk bersandar dibangku dengan mata terpejam, namun hatinya terasa sedih dan amat tersiksa.
Dengan langkah kaki yang ringan Li Lok-yang berpatroli kian kemari, tiba-tiba terdengar Li Kiam-pek bertanya:
"Ayah, kau tidak tidur sebentar?"
"Tidurlah, ayah tidak bisa tidur!"
"Ananda juga tidak bisa tidur, mungkinkah mereka akan datang pada malam ini?"
Sambil menghela napas Li Lok-yang gelengkan kepalanya berulang kali, dia berjalan menuruni undak-undakan di depan gedung dan memandang sekejap sekawanan lelaki kekar yang hampir semuanya sedang mengawasi dinding pekarangan dengan mata melotot.
"Semoga mereka melancarkan serangan pada malam ini"
mendadak terdengar Suto Siau berbisik dari belakang,
"mumpung kami semua masih punya semangat bertarung, kalau tidak, cukup dua hari saja, mungkin.... aaai!"
"Yaa, kalau dua hari lagi mereka belum datang juga, terpaksa kita harus menyerbu keluar" jawab Li Lok-yang sedih.
"Musuh berada di kegelapan sementara kita berada ditempat terang, jika bersikeras hendak menyerbu keluar, mungkin lebih banyak bahayanya daripada selamat, lagipula.... bukankah saudara Li mempunyai harta kekayaan yang amat banyak disini"
Li Lok-yang tertunduk lesu, sampai lama sekali tidak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Dengan perasaan tidak tenang, hati berdebar dan penuh kewaspadaan, semua orang melewatkan malam itu dengan penuh penderitaan, akhirnya fajar pun mulai menyingsing.
Semua orang pun mulai bangkit berdiri dan berjalan mondar
mandir disekeliling ruangan, hanya saja karena perasaan dan pikiran setiap orang terasa berat penuh beban, siapa pun tidak ingin banyak bicara.
Im ceng yang baru sadar dari mabuk merasakan kepalanya amat sakit dan pening, kembali dia membuka guci arak dan mulai meneguk lagi dengan rakusnya.
Biarpun baru lewat satu malam, namun wajahnya kelihatan jauh lebih lesu, kusam dan mengenaskan.
"Saudara Phoa" mendadak Thiat Tiong-tong berjalan menghampiri Phoa Seng-hong sambil menepuk bahunya,
"bersedia menemani lohu untuk berjalan-jalan di halaman luar?"
"Tentu saja bersedia" jawab Phoa Seng-hong
Buru-bur Un Tay-tay ikut bangkit berdiri, tapi Thiat Tiong-tong segera menghardik:
"Kau tetap tinggal disini!"
Dengan wajah masgul Un Tay-tay manggut-mauggut, akhirnya dia duduk kembali.
"Tidak ada salahnya bila ingin berjalan-jalan ditengah halaman, tapi kalian harus lebih berhati-hati" Li Lok-yang mengingatkan.
Setelah keluar dari gedung, sambil tertawa licik tanya Phoa Seng-hong:
"Loya-cu, apakah ada siasat busuk lagi yang hendak kau suruh aku lakukan?"
"Dugaanmu tepat sekali!"
"Disini kelewat banyak orang, mari kita berbicara di belakang saja" bisik Phoa Seng-hong dengan semangat berkobar.
Berkilat sepasang mata Thiat Tiong-tong.
"Asal kau dapat memancing keluar Hay Tay-hau, Li Lok-yang, Li Kiam-pek serta Im Ceng dari dalam gedung, aku akan ajarkan sebuah siasat bagus untuk meloloskan diri dari sini"
"Sungguh?" seru Phoa Seng-hong kegirangan.
"Kalau tidak percaya yaa sudahlah!"
"Apa susahnya untuk melakukan hal itu" seru Phoa Seng-hong kemudian, dia membalikkan tubuh dan berjalan masuk ke dalam ruangan.
Tidak lama kemudian tampak Hay Tay-sau dengan menarik tangan Li Lok-yang dan Li Kiam-pek berjalan keluar dari ruang gedung, mereka segera terlibat perbincangan dengan para lelaki kekar ditengah halaman.
Menyusul kemudian Im Ceng dengan langkah sempoyongan
ikut berjalan keluar, sambil berjalan pemuda itu bergumam tiada hentinya:
"Selama hidup aku tidak ingin melihatmu lagi, selama hidup aku tidak ingin melihatmu...."
"Sekarang giringlah mereka menuju ke belakang gedung, cari tempat persembunyian yang tertutup dan suruh mereka menunggu disitu, persoalan lainnya biar aku yang selesaikan"
kata Thiat Tiong-tong lagi.
"Baik!"
Phoa Seng-hong segera mendekati Im Ceng dan menggandeng lengannya.
Im Ceng yang mabuk segera meronta melepaskan diri dari genggaman, teriaknya:
"Mau apa kau?"
Phoa Seng-hong dapat mengendus bau arak yang menusuk penciuman, segera jawabnya:
"Kau sudah mabuk berat, mari kuajak kau mencari angin"
Diam-diam dia menotok jalan darah lemas dan jalan darah bisunya.
Im Ceng yang tidak bisa berkutik, mulutpun tidak dapat berbicara langsung diseret menuju ke belakang gedung, menanti Phoa Seng-hong berpaling lagi, dia sudah tidak menjumpai jejak Thiat Tiong-tong.
Terpaksa dia mencari sebuah jendela yang tersembunyi dan membuat sebuah lubang kecil diatas kertas jendela, bisiknya:
"Cepat kau tengok ke arah dalam sana!"
Biarpun Im Ceng tidak mampu bicara namun hati kecilnya merasa gusar sekali, pikirnya:
"Kau memaksa aku berbuat begitu" Hmm, aku justru sengaja tidak mau melihat!"
Dia segera memejamkan matanya rapat-rapat.
Melihat itu Phoa Seng-hong kembali berpikir:
"Tampaknya pemuda ini benar-benar keras kepala, biarpun kupaksa juga percuma, belum tentu dia mau membuka matanya untuk melihat...."
Ketika dia sedang serba salah, tiba-tiba Thiat tiong tong sudah muncul disampingnya sambil berkata dengan suara berat:
"Coba lihat, dia sudah mabuk hebat sampai mata pun tidak sanggup dibuka, masa kau masih menyuruhnya membuka mata?"
Mendengar perkataan itu kontan Im Ceng naik pitam,
pikirnya: "Siapa bilang aku mabuk" Hmm, aku justru mau mementang mataku lebar-lebar"
Benar saja dia segera membuka matanya lebar-lebar dan mengintip keluar melalui lubang diatas jendela.
Phoa Seng-hong benar-benar merasa kagum bercampur geli, dia tidak menyangka dengan sepatah kata saja Thiat Tiong-tong sudah dapat membuat Im Ceng membuka matanya kembali, segra pikirnya:
"Tua bangka ini ternyata hebat, rupanya dia bisa memahami perasaan hati seorang setan arak"
Perlu diketahui, orang yang semakin takut mabuk biasanya dia semakin tidak mau mengakui bahwa dirinya sedang mabuk.
Sambil menepuk bahu Phoa Seng-hong kata Thiat Tiong-tong kemudian:
"Tugasmu telah selesai, sekarang pergilah cepat!"
Walaupun rasa ingin tahu menyelimuti perasaan Phoa Seng-hong, sekalipun dia ingin turut menyaksikan pertunjukan apa yang bakal berlangsung ditengah ruangan, namun menyaksikan sorot mata Thiat Tiong-tong yang mengerikan, pada akhirnya dia pergi juga.
Kini Thiat Tiong-tong bersama Im Ceng berdiri berjajar di depan jendela sambil mencuri lihat ke luar....
Waktu itu Un Tay-tay sudah bangkit berdiri siap berjalan keluar, tapi dia segera dihadang jalan perginya oleh Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu.
"Mau apa kalian?" tegur Un Tay-tay kemudian.
"Saudara Suto ingin berbicara denganmu" kata Pek Seng-bu ketus.
"Apa yang perlu dibicarakan, aku tidak mengenalinya" seru Un Tay-tay dengan wajah berubah.
Tiba-tiba Suto Siau mencengkeram urat nadinya dan mengejek sambil tertawa dingin:
"Perempuan rendah, kau berani mengatakan tidak kenal aku"
Sialan, aku sudah sepuluh tahun memeliharamu, memelihara seekor anjing saja tahu balas budi, masa memelihara kau tidak tahu budi?"
Un Tay-tay yang kena dicengkeram mulai merasakan separuh tubuhnya linu dan kesemutan, buru-buru dia tampilkan senyuman genitnya dan berseru sambil tertawa:
"Aaii, masa diajak bergurau pun kau marah-marah. Jangan
sok serius!"
Thiat Tiong-tong yang mengintip dari balik jendela mulai tertawa dingin, pikirnya:
"Ternyata dugaanku tidak meleset, asal aku tinggalkan ruang gedung, Suto Siau pasti tidak tahan untuk menginterogasi perempuan rendah itu"
Dia mencoba menengok ke samping, dilihatnya Im Ceng sedang mengintip dengan mata terbelalak besar dan wajah diliputi perasaan terkejut, keheranan bercampur ngeri, jelas pemandangan yang terbentang di depan matanya seketika memmbuat rasa mabuknya hilang separuh.
Terdengar Suto Siau menegur lagi dengan suara dingin:
"Aku suruh kau mengintil disamping pemuda itu sambil mencari tahu sarangnya, kenapa setengah jalan kau lepaskan dia dan malahan menempel disamping tua bangka sialan itu?"
Mendengar sampai disini, peluh dingin mulai bercucuran membasahi seluruh tubuh Im Ceng.
Melihat perubahan sikap pemuda itu, Thiat tiong tang segera berpikir:
"Aku rasa ini sudah lebih dari cukup, kalau sampai Suto Siau mendesak lebih jauh, bisa jadi perempuan itu malah sekalian menghianati aku"
Berpikir sampai disitu dia segera menghantam daun jendela hingga bergetar keras, dengan cekatan dia sambar tubuh Im Ceng lalu secepat kilat menyelinap ke dalam deretan bangunan rumah disamping lain.
Jeritan kaget seketika berkumandang dari dalam ruang tengah, Suto Siau, Hek Seng-thian sekalian secepat kilat meluncur keluar dari ruangan.
Thiat Tiong-tong sama sekali tidak menggubris mereka, sambil membopong Im Ceng menyembunyikan diri, dia segera menepuk bebas totokan jalan darah ditubuh pemuda itu dan menegur:
"Kau sudah mendengar dengan jelas?"
"Perempuan rendah!" umpat Im Ceng sambil menyeka butiran keringat dari jidatnya.
"Kalau sudah tahu jika dia hanya seorang perempuan rendah, tidak sepantasnya kau menderita lantaran dia. Jika kau masih bersedih hati gara-gara perempuan itu, berarti kau memang bukan seorang lelaki!"
Lama sekali Im Ceng tertunduk melamun, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Saat ini situasi sangat gawat" kembali Thiat Tiong-tong berkata, "sekalipun mereka sudah tahu kalau kau adalah anggota Perguruan Tay ki bun, tidak mungkin orang-orang itu bakal turun tangan terhadapmu, cuma kau pun jangan melakukan tindakan ngawur"
Im Ceng manggut-manggut, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya, sambil menatap lurus wajah Thiat Tiong-tong, tegurnya:
"Kau.... siapakah kau sebenarnya" Kenapa segala persoalan seolah tidak dapat mengelabuhi dirimu?"
Sinar matanya penuh dengan perasaan terkejut, keheranan bercampur perasaan hormat yang tinggi.
Thiat Tiong-tong tidak berani beradu mata dengannya, sembari berpaling ujarnya:
"Siapakah aku" Suatu hari kelak kau pasti akan tahu sendiri"
"Kenapa tidak kau katakan sekarang?"
"Sebab bila kuungkap sekarang, keadaan pasti akan mengalami perubahan drastis"
Nada ucapannya dipenuhi rasa serius, berat dan
menyeramkan, membuat siapa pun yang mendengartidak berani banyak bertanya lagi.
Mendadak terdengar seseorang membentak nyaring.
"Siapa disitu?"
Ditengah bentakan keras, terdengar suara ujung baju yang tersampok angin berkumandang membelah angkasa.
Buru-buru Thiat Tiong-tong berbisik dengan suara berat:
"Gunakan kesempatan ini untuk kabur, biar aku yang menghadapi mereka"
Seraya berkata, dia berjalan keluar dengan langkah lebar.
Secara beruntun Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu meluncur tiba ditempat itu, ketika menyaksikan thiat Tiong-tong yang muncul dengan langkah santai, tidak kuasa mereka berdua berteriak:
"Aaah, rupanya kau!"
"Betul, memang lohu, ada urusan?"
"Ditengah kekacauan, mau apa kau berada disini?" tegur Hek Seng-thian dengan suara berat.
"Jalan-jalan...." sahut Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin, kemudian tanpa perdulikan kedua orang itu lagi dia melanjutkan perjalanannya sambil bergendong tangan.
"Aku lihat tua bangka ini makin lama semakin bertambah
aneh" gumam Hek Seng-thian dengan kening berkerut.
"Akupun merasakan kemisteriusan orang ini, mula-mula aku curiga kalau dia adalah penyamaran dari anggota Perguruan Tay ki bun, tapi setelah menyaksikan hubungannya dengan Im ceng, aku pun merasa sepertinya tidak mirip"
"Jangan jangan mereka sedang bermain sandiwara?" bisik Hek Seng-thian setelah termenung sejenak.
Dengan cepat Pek Seng-bu menggeleng.
"Pemuda she-Im itu emosinya tinggi dan berangasan sekali, jika ditilik dari penderitaan hatinya, jelas siksaan itu bukan cuma pura-pura, dalam hal ini siaute berani menjamin"
Sekalipun ke dua orang ini termasuk jagoan yang licik dan berakal banyak, namun mereka tidak berhasil juga untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya dibalik kesemuanya itu.
Akhirnya Hek Seng-thian berkata:
"Sekalipun orang tua ini mempunyai rahasia, selama tidak ada sangkut pautnya dengan kita, lebih baik tidak usah kita campuri!"
Dalam pada itu ke dua belas orang centeng keluarga Li yang sedang mendapat giliran bertugas pun nampak bersiap-siap dengan wajah tegang, anak panah sudah dibentang diatas busur, golok pun sudah diloloskan dari sarung, dengan perasaan waswas mereka sedang melakukan penggeledahan disekeliling tempat itu.
Li Kiam-pek muncul dari samping seraya berseru:
"Silahkan saudara semua kembali ke ruang tengah, saudara-saudara yang lain pun silahkan kembali ke pos masing masing, jangan semba-rangan bergerak"
Ketika tidak menjumpai sesuatu yang mencurigakan diseputar itu, semua orang pun balik kembali ke ruang tengah.
Waktu itu sebenarnya Li Lok-yang sedang berjalan mondar mandir di depan gedung, ketika melihat semua orang sudah kembali, dia segera menghentikan langkahnya dan berkata dengan suara dalam:
"Sekarang, kekuatan yang kita miliki harus dihimpun jadi satu, pikiran dan perasaan harus tetap tenang, jangan sampai hanya disebabkan sedikit suara yang mencurigakan, seluruh kekuatan bubar kesana kemari, dalam situasi yang membingungkan, musuh bisa manfaatkan kesempatan tersebut untuk melancarkan serangan!"
"Tapi hanya bertahan melulu tanpa melakukan perlawanan
apapun jelas bukan cara terbaik" seru Bi lek hwee dengan suara lantang.
"Apakah saudara mempunyai usul lain?" tanya Li Lok yang.
Bi lek hwee tertegun, kontan dia tutup mulut dan tidak buka suara lagi.
Matahari makin lama semakin meninggi, perasaan semua orang pun semakin kalut bercampur gelisah, sisa telur yang mereka simpan pun sudah mulai dikeluarkan untuk menangsal perut yang lapar, dalam keadaan begini, biar di antara mereka mempunyai hubungan persauda-raan pun, siapa saja sudah tidak saling mengalah lagi.
Melihat orang lain makan telur, tiba-tiba Hay tay sau merasakan perutnya berbunyi keras saking laparnya, suara yang keras kedengaran semakin nyaring ditengah keheningan yang mencekam sehingga tidak tahan banyak orang berpaling ke arahnya.
Sembari tertawa tergelak dan memegangi perut sendiri, dia berseru:


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hahahaha.... biarpun aku seorang enghiong, apa mau dikata perutku tidak mau diajak kompromi"
"Dasar maling konyol" umpat Bi lek hwee sambil mengambil guci araknya, "ternyata menahan lapar memang merupakan siksaan yang sangat menderita, terus terang, perut lohu pun sudah mulai berontak dan tidak mau menurut"
Phoa Seng-hong mengeluarkan sisa telur yang dimilikinya dan sengaja berjalan mondar mandir dihadapan Hay Tay-sau, sambil berjalan dia menggigit telurnya, mengunyah dengan perlahan lalu menghela napas.
Dengan mata melotot sebesar gundu, Hay Tay-sau mengikuti gerakan telurnya kian kemari, akhirnya saking tidak tahannya dia meludah sembari mengumpat:
"Sialan, apa enaknya telur godokan?"
"Hahahaha.... memang tidak enak, memang tidak enak" sahut Phoa Seng-hong sambil tertawa tergelak, dia semakin menikmati telurnya dengan gaya yang dibuat-buat.
Dengan wajah merah padam Hay Tay-sau melompat bangun, tanpa sadar Phoa Seng-hong ikut mundur satu langkah.
"Jangan kuatir bocah busuk" Hay Tay-sau segera tertawa tergelak, "tidak bakalan kurampas telur milikmu"
Kontan gelak tertawa bergema memecahkan keheningan, suasana yang semula tegang pun sedikit lebih mengendor,
bahkan sekulum senyuman sempat menghiasi pula wajah Im Ceng.
Tapi sayang keadaan para lelaki kekar yang berjaga diluar halaman sudah mulai layu dan lemas, kendatipun ilmu silat yang mereka miliki diatas rata-rata, namun setelah kelaparan seharian, tubuh mereka sudah mulai melemas, kepala pusing dan mata pun mulai berkunang.
Mengawasi keadaan diluar halaman, Li Lok-yang menghela napas panjang, gumamnya dengan alis mata berkenyit:
"Senja.... paling banter hanya bisa bertahan
sampai senja nanti...."
Sekonyong-konyong suara genta kembali berdentang, suara si bocah pun kembali bersenandung:
"Genta berbunyi untuk ke empat kalinya, bila perut mulai kelaparan, kuberi berapa kerat daging babi"
Ditengah suara senandung, tiba-tiba dari luar tembok pekarangan bermunculan belasan batang bambu yang lebih tinggi daripada dinding, diujung bambu terikat daging babi yang sudah dipanggang matang, daging-daging itu mulai bergoyang dihembus angin.
Kulit babi berwarna kuning tampak berkilauan ketika tertimpa sinar matahari, bau harum yang semerbak tersebar mengikuti hembusan angin, sekalipun semua orang tidak ingin mengendus juga tidak sudi memandang, tidak urung tersiksa dalam perasaan hatinya.
Langkah kaki kawanan lelaki dalam halaman mulai kalut, sepasang mata mereka pun terbelalak semakin lebar.
Tiba-tiba terdengar seorang lelaki kekar mengumpat:
"Sialan, maknya, ayam itik sudah terbiasa bagi kami, apa anehnya dengan daging babi" Saudara sekalian, buat apa kita perhatikan barang haram itu?"
Dia langsung mengambil sebatang anak panah dan dibidikkan ke arah daging babi itu.
Siapa tahu ketika anak panah tiba diluar dinding pekarangan, tiba-tiba arahnya berubah kemudian langsung rontok ke atas tanah.
Melihat persiapan yang begitu ketat diluar dinding sana, perasaan semua orang makin berat dan tercekam.
Thiat Tiong-tong ikut mengawasi daging babi panggang berwarna kuning itu, mendadak dia jadi teringat dengan senandung Sui Leng-kong tentang daging babi, tidak tahan
diapun bersenandung:
".... Kucicipi kulit babi yang berminyak, sudah terpanggang hingga menguning, kuiris sekerat daging, kupersilahkan kau mencicipi, kupersilahkan kau mencicipi...."
Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibirnya, namun perasaan hatinya justru terasa lebih sendu dan murung.
Hay Tay-sau yang masih berjalan mondar mandir dalam ruangan tiba-tiba menghentikan langkahnya, setelah meludah ke lantai, kembali umpatnya:
"Kujamin daging babi itu pasti masam rasanya, lebih baik jangan dimakan! Lebih baik jangan dicicipi!"
"Biarpun belum tentu masam rasanya, kujamin pasti beracun...." sambung Li Lok-yang sambil tertawa.
Belum selesai dia bicara, mendadak tampak ada belasan sosok bayangan manusia meluncur naik ke atas tiang bambu itu.
BAB 8 Sang Mutiara Pembetot Sukma
Ke sepuluh orang itu ada lelaki ada wanita, ada lelaki berlengan tunggal ada pula manusia kudisan berkepala botak, tapi ada juga gadis gadis cantik berpakaian warna warni.
Dalam genggaman mereka masing-masing menggenggam sebilah pisau belati, gerakan tubuhnya ringan dan cepat, dalam waktu singkat mereka sudah berdiri diujung bambu, tubuh mereka bergoyang mengikuti hembusan angin, seakan-akan setiap saat bisa terbang ke angkasa.
Dengan wajah berubah Phoa Seng-hong segera berbisik:
"Orang orang itu adalah Kiu Kui cu (Sembilan setan) serta Jit Moli (tujuh iblis wanita) dari perguruan Kiu cu Kui bo, aneh, kenapa mereka menampakkan diri secara tiba-tiba" Permainan busuk apa yang sedang mereka persiapkan?"
Setelah berdiri tegak diujung bambu, mendadak kawanan manusia itu berjumpalitan dengan kepala dibawah kaki diatas, gaya mereka bagaikan orang yang tiba-tiba terpeleset hingga jatuh ke bawah.
Tapi pada saat itulah ujung kaki mereka dengan cekatan menggaet kembali ujung bambu, lalu dengan pisau belatinya mereka mulai mengiris daging babi tadi dan menikmatinya dengan lahap.
Seorang lelaki berlengan tunggal segera berseru sambil tertawa tergelak:
"Sudah kalian lihat, semua daging babi ini tidak beracun, asal kalian punya nyali, silahkan saja dicicipi!"
"Lepas panah!" bentak Li Lok-yang keras.
Hujan anak panah kontan berhamburan di udara menyambar tubuh sekawanan manusia tersebut.
Kawanan laki perempuan yang ada diujung bambu tertawa ringan, tiba-tiba mereka melambung ke udara dan menyongsong datangnya hujan anak panah itu.
Tampak bayangan manusia berkelebat di-tengah hujan panah, ternyata semua anak panah yang dibidikkan telah mereka tangkap semuanya, tidak satu pun dibiarkan rontok ke tanah.
Dalam waktu singkat hujan panah dan bayangan manusia
hilang lenyap tidak berbekas, yang tersisa hanya ke sepuluh kerat daging babi panggang serta suara ejekan dari kawanan manusia itu.
Berubah hebat paras muka Suto Siau, gumamnya:
"Ilmu ginkang yang hebat, ilmu telapak tangan yang tangguh, tampaknya kungfu yang dimiliki kawanan manusia itu sama sekali tidak dibawah kemampuan kita semua"
Li Lok-yang menghela napas panjang.
"Dengan melakukan tindakan tersebut, bukan saja mereka hendak membuktikan kalau daging babi itu tidak beracun dan memancing semua orang untuk berebut, mereka pun ingin memamerkan juga kebolehan ilmu silat yang dimilikinya!"
Hay Tay-sau memandang sekejap sekitarnya, tiba-tiba dia melompat ke tengah halaman, dari sakunya dia mengeluarkan seutas tali panjang, dibuatkan simpul hidup diujungnya kemudian dilontarkan keluar.
"Dasar maling" kontan Phoa Seng-hong mengejek sambil tertawa dingin, "tidak aneh kalau kamana pun pergi selalu menggembol peralatan untuk mencuri!"
Sementara ejekan bergema, tali simpul itu telah berhasil menjerat sepotong daging babi panggang.
Sambil membentak keras Hay Tay-sau segera menarik kembali talinya, babi panggang itupun terpental dan lepas dari ujung bambu.
Siapa tahu pada saat itulah terlihat sesosok bayangan manusia melesat ke udara dari luar dinding, pisaunya langsung membabat ke arah ujung tali itu.
"Kau berani!" hardik Hay Tay-sau gusar, tubuhnya secepat anak panah yang terlepas dari busurnya ikut melesat ke udara, telapak tangan kirinya diayunkan cepat, dia langsung membacok tubuh bayangan manusia itu, ternyata ilmu pukulannya sangat mengerikan.
Bayangan manusia itu memiliki perawakan tubuh kurus kering, cepat goloknya diputar membabat pergelangan tangan Hay Tay-sau, gerakan tubuh yang dimiliki orang inipun sangat hebat, kecepatannya berganti jurus diudara bagaikan ikan yang berenang di air.
Dengan tangan kanannya Hay Tay-sau menyambut daging babi itu, tangan kirinya diputar kembali dan kali ini berusaha merampas senjata lawan.
Kembali terdengar seseorang mengejek sambil tertawa dingin:
"Setelah keluar dari dinding pekarangan, kau masih ingin balik?"
Seorang lelaki bermata tunggal melejit ke udara bagaikan seekor burung rajawali, tangan kirinya diayun ke depan menahan telapak kaki lelaki kurus kering tadi sementara tangan kanannya menghajar dada Hay Tay-sau.
Tubuh lelaki kurus kering yang sedang meluncur ke bawah itu seketika melambung lagi berapa meter ke udara, kali ini dia mengayunkan kakinya menendang wajah Hay Tay-sau.
Menghadapi serangan dari kiri kanan, tenaga dalam Hay Tay-sau mulai tersendat, meski dia berhasil menghindari ke dua jurus serangan itu, tampak tubuhnya segera akan terjatuh ke luar dinding pekarangan, kalau sampai terjadi begitu, jelas keadaannya sangat berbahaya.
Dengan wajah berubah kawanan jago dalam ruangan
berbondong-bondong menerobos keluar halaman, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu serentak turun tangan, di antara ayunan telapak tangannya, puluhan titik cahaya bintang seketika disambitkan ke arah dua orang yang berada diluar dinding.
Menggunakan kesempatan itu Hay Tay-sau membentak keras, sembari membusungkan dada menyambut pukulan dari lelaki bermata tunggal, dia meminjam tenaga serangan tersebut untuk mencelat ke belakang, kemudian setelah berjumpalitan beberapa kali, dia melayang turun ke dalam halaman rumah.
"Kau terluka?" Bi lek hwee segera menegur.
"Hahahaha.... kulit tubuhku mah lebih tebal dari kulit badak, masa pukulan macam begitu bisa melukaiku" Satu pukulan ditukar dengan sepotong daging babi, rasanya jual beli ini tidak kelewat merugikan!"
Sambil mengacungkan jempolnya Bi lek hwee berseru memuji:
"Lelaki hebat, lelaki jempolan! Hahahaha... hey anak setan cucu setan yang berada diluar tembok, dengarkan baik-baik!
Pukulan kalian hanya dianggap orang sebagai sebuah garukan!"
Waktu itu semua bayangan manusia yang semula ada diujung bambu, kini sudah melompat turun bahkan tidak kedengaran seorang pun yang menanggapi teriakan itu.
Dengan membawa babi panggang hasil rampasannya Hay Tay-sau balik ke dalam ruangan, dia mengambil sebilah pisau dan serunya sambil tertawa:
"Setiap orang dapat seiris daging, kecuali sahabat yang tadi makan telur sambil mengejek dihadapanku!"
Sambil berkata dia mulai mengiris daging babi itu.
Kemudian selesai mengiris, kembali Hay Tay-sau berkata sambil tertawa:
"Bagaimana pun daging babi ini kuperoleh dengan cara mencuri, rasanya ada orang memang tidak sudi makan daging curian!"
Phoa Seng-hong mendengus dingin.
"Hmmm, daging yang mereka iris boleh saja tidak beracun, memangnya kau anggap dibagian yang lain tidak dibubuhi racun?"
Hay Tay-sau tertegun, kontan umpatnya: "Sialan, memangnya lantaran tidak kebagian daging lantas kau mau menakut-nakuti orang?" Sekalipun berkata begitu, tidak urung dia hentikan juga irisannya.
Dari dalam saku Pek Seng-bu mengeluarkan sebatang jarum perak dan ditusukkan ke dalam daging, seketika itu juga jarum perak itu berubah jadi hitam pekat.
Paras muka Hay Tay-sau kontan berubah hebat, saking tertegunnya dia sampai tidak mampu bicara.
Menyaksikan kejadian ini semua orang hanya bisa menghela napas di hati. Suto Siau pun segera mendorong pergi Phoa Seng-hong sambil ujarnya:
"Masih untung pukulan bajingan tadi tidak kelewat berat, kalau tidak benar-benar rugi besar"
Dengan perasaan kaku Hay Tay-sau manggut-manggut, mendadak percikan darah segar mulai meleleh keluar dari ujung bibirnya. Ternyata pukulan lelaki bermata tunggal tadi meski dilancarkan ditengah udara, namun tenaga serangannya sangat tangguh.
Sejak awal Hay Tay-sau sudah merasakan gelagat tidak menguntungkan, hanya saja karena dia tidak ingin menghilangkan harapan rekan lainnya maka dia memaksakan diri menahan rasa sakit, paling tidak luka dalamnya baru akan diperlihatkan setelah semua orang mencicipi daging babi itu, siapa sangka daging tersebut tetap tidak bisa terjamah.
Hanya Im Ceng seorang yang tidak banyak bicara, dengan langkah lebar dia berjalan menuju ke tengah halaman, dari tangan kawanan jago disitu dia minta sebuah gendawa lalu panah demi panah dibidikkan ke tengah udara.
Anak panah tampak meluncur bagaikan sambaran kilat, dalam waktu singkat ke sepuluh kerat daging babi yang
tergantung diujung bambu sudah rontok semua ke tanah.
Sorak sorai segera bergema memecahkan keheningan, Suto Siau sekalian yang menyaksikan kehebatan itu diam-diam merasa terkejut, hanya Un Tay-tay seorang yang berlagak seolah tidak melihat.
Baru berhenti suara sorakan, dari luar dinding terdengar seseorang berseru dengan nada dingin:
"Bidikan yang jitu! Ilmu memanah yang hebat! Kepandaian yang mengagumkan! Siapa yang melakukan bidikan" Apa berani berdiri diatas dinding pekarangan?"
"Jangan terpancing!" bentak Thiat Tiong-tong tanpa sadar.
Terdengar Im Ceng menyahut dengan lantang:
"Sauya berdiri ditengah halaman, kalau ingin melihat, silahkan saja datang kemari!"
Dengan tangan kiri memegang busur, ditangan kanannya telah disiapkan tiga batang anak panah.
"Bagus, biar kutengok manusia macam apakah dirimu!" orang diluar dinding tertawa ringan.
Tampak sesosok bayangan tubuh seorang gadis melayang di udara dan meluncur tiba, gerakan tubuh perempuan itu sangat indah dan menawan, bagaikan bidadari yang turun dari kahyangan.
"Perhatikan baik-baik!" bentak Im Ceng nyaring.
Anak panah segera dibidikkan ke depan dalam posisi segitiga, diiringi desing angin tajam serangan tersebut langsung mengancam tubuh pendatang.
"Waah, ternyata hebat juga!" seru gadis itu sambil tertawa merdu.
Sepasang tangannya diangkat tinggi-tinggi untuk menyambut ke dua batang anak panah pertama, sementara sebuah tendangan kilat menghadang anak panah ke tiga.
Gerak serangannya kembali dilakukan dengan lemah gemulai, persis seperti bidadari yang sedang menari.
Siapa tahu saat itulah Im Ceng telah menyiapkan bidikan berikut, hardiknya:
"Masih ada lagi!"
Kembali tiga anak panah melesat dengan cepatnya, meskipun ke tiga serangan itu tidak dilepas berbarengan namun selisih gerakan nya tidak berbeda banyak.
Semua orang hanya merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu terdengar gadis itu menjerit kaget dan terjatuh ke luar
pagar. Sambil mengelus jenggotnya Bi lek hwee tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... mereka telah melukai seorang anggota kita, sekarang kita pun balas hadiah itu. Wah... waah.... pertarungan ini benar-benar menarik, betul-betul berarti!"
Rasa gembira hanya sejenak menyelimuti perasaan semua orang, tidak lama kemudian suasana berubah hening kembali, rasa lapar yang luar biasa seakan iblis keji yang sedang mencekik leher mereka.
Menjelang senja, sudah banyak lelaki kekar dihalaman luar yang tidak mampu menahan diri, mereka mulai bersandar disudut dinding.
Dibawah sinar matahari senja, suasana ditempat itu tampak lebih muram, kusam dan mengenaskan.
Mulut setiap orang sudah terjahit rapat karena rasa lapar, tidak ada yang bicara, tidak ada yang minum arak. Bahkan keinginan untuk minum arak pun sudah ikut lenyap.
Mengawasi matahari senja yang menyinari jagad, tiba-tiba Li Lok-yang berkata dengan suara berat:
"Lohu sudah putuskan akan menyerbu ke luar, adakah di antara kalian yang bersedia mengikutiku?"
Perkataan itu bagaikan sebuah lecut yang mencambuk tubuh setiap orang, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Im Ceng serta Bi lek-hwee seperti kena dihajar keras, serentak mereka melompat bangun dari bangkunya.
"Mati hidup menang kalah tergantung pada gempuran kali ini"
kata Suto Siau sambil tertawa, "Li toako, sebelum mengambil keputusan terakhir, lebih baik pertimbangkan lagi masak-masak!"
"Selama hidup aku selalu bertindak sangat hati-hati, tapi saat ini aku sudah tidak punya jalan lain kecuali melakukan pertaruhan terakhir ini!"
Bicara sampai disitu tiba-tiba dengan sorot mata setajam sembilu dia melanjutkan:
"Dari pada mati terkepung ditempat ini, lebih baik tewas dalam pertempuran!"
Jika menunggu dua hari lagi, mungkin saja akan datang bintang penolong...."
"Tidak, keputusanku sudah bulat, hengtay tidak perlu banyak bicara lagi, bila ada orang yang ingin keluar dari sini, silahkan
saja bertahan ditempat ini, cayhe tidak bakalan memaksa!"
Kalau diwaktu biasa dia selalu bicara halus, lembut penuh kedamaian maka perkataannya sekarang lebih keras dari baja.
Setelah memandang sekejap seputar sana, tambahnya:
"Siapa yang bersedia mendampingi aku untuk bertarung, silahkan acungkan tangan!"
Bi lek-hwee dan Im Ceng segera mengacungkan tangannya, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu saling bertukar pandangan sekejap, akhirnya sambil angkat tangan serunya:
"Saudara Suto, kau...."
"Tentu saja siaute harus turut bergabung" tukas Suto Siau sambil tertawa getir.
"Aaah, ada sekian banyak jago yang ikut sudah lebih dari cukup, Hay Tay-sau masih terluka sedang lo sianseng ini tidak pandai bersilat, tentu saja mereka harus tetap tinggal disini"
"Masih untung Hay tayhiap sudah tertidur" bisik Li Kiam-pek,
"kalau sampai kedengaran dia.."
"Siapa bilang aku sudah terluka dan susah bergerak?" tiba-tiba Hay Tay-sau melompat bangun sambil berteriak keras, "siapa bilang aku sudah tertidur" Bila kalian ingin menyerbu keluar, biar aku yang menjadi pembuka jalan"
"Seharusnya aku yang menjadi pembuka jalan!" buru-buru Li Kiam-pek mengayunkan pedang siap melangkah pergi.
Bi lek hwee tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... tugas sebagai pembuka jalan sudah menjadi milikku seorang, kalian tidak perlu berebut lagi dengan lohu"
serunya. "Kenapa?" tanya Hay Tay-sau dan Im Ceng hampir berbareng.
Sambil menepuk kantung kulit yang tergantung
dipinggangnya Bi lek hwee berkata:
"Didalam kantungku terdapat puluhan butir Bi lek cu (peluru peledak), kekuatannya melampaui kehebatan ribuan prajurit, dengan mengandalkan benda ini aku bisa membuka sebuah jalan berdarah"
"Kalau memang begitu, tanggung jawab sebagai pembuka jalan kuserahkan kepada hengtay" tukas Li Lok-yang segera,
"sementara sauhiap dan putraku biar menjadi pembantu"
Lalu sambil berpaling ke arah Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu, lanjutnya:
"Aku harap Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu menjadi barisan paling belakang, sedang aku dan saudara Suto akan berada
dibarisan tengah, apapun yang terjadi dan bagaimanapun sengitnya perta-rungan, aku harap bagian depan maupun barisan belakang harus saling berhubungan, jangan sampai masing-masing kelompok kehilangan kontak!"
"Bagaimana dengan aku?" teriak Hay Tay-sau gusar,
"memangnya kau sudah melupakan aku?"
Perlahan-lahan Li Lok-yang menghampirinya.
"Mengenai hengtay...." tiba tiba dia menotok jalan darah dibahunya dan melanjutkan, "lukamu belum sembuh, lebih baik jangan sembarangan bergerak"
Hay Tay-sau mendongkol bercampur jengkel, namun dia sudah tidak mampu berdebat lagi.
Sembari berpaling, Li Lok-yang kembali berkata dengan nada berat:
"Saudara-saudara yang berada diluar, siapkan busur kalian, jangan biarkan siapa pun menerobos masuk kemari!"
"Biar cayhe yang berjaga disini!" Phoa Seng-hung segera nyelutuk.
Sambil tertawa dingin Li Kiam-pek melirik sekejap ke arahnya, kemudian jengeknya:
"Memang tidak ada orang yang suruh kau ikut keluar!"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, semua orang sudah mengencangkan tali pinggang dan meloloskan senjata andalan.
Im Ceng sambil mengayunkan pedangnya tiba-tiba berseru sambil menghela napas:
"Aaai, seandainya dia berada disini, keadaan pasti lebih mendingan!"
"Siapa?" tanya Li Kiam-pek.
"Dia adalah suhengku, kecerdasan dan kecekatannya seratus kali lipat lebih hebat ketimbang aku, meski dalam situasi yang kalut pun dia dapat menghadapi dengan tenang, hanya sayang...."
Dia melirik Suto Siau sekejap, lalu dengan penuh perasaan dendam lanjutnya:
"Sayang dia sudah menghianati perguruan, menganggap bajingan sebagai ayah, jika aku berjumpa lagi dengannya, pasti akan kuhajar dia habis habisan!"
Thiat Tiong-tong merasakan timbulnya hawa dingin dari dasar hatinya, diam-diam dia pejamkan mata.
Sambil menggenggam pedangnya kencang kencang, Li Lok-
yang berseru lagi:
"Sekarang matahari senja belum tenggelam, inilah saat yang tepat untuk melangsungkan pertarungan berdarah, ayoh teman, kita segera menyerbu ke luar!"
Seketika itu juga cahaya pedang dan hawa pembunuhan menyelimuti seluruh ruang utama.
Mendadak Thiat Tiong-tong mengangkat kepalanya dan berkata pula dengan suara dalam:
"Kini keadaan sudah berkembang makin gawat, apa pun yang akan kalian lakukan diluar sana, lohu pasti akan berjaga-jaga ditempat ini, tapi...."
Setelah menyapu sekejap wajah semua orang yang hadir, dia menambahkan:
"Bila dalam setengah jam kemudian kalian belum berhasil meraih kemenangan, kuanjurkan lebih baik cepatlah balik kemari, hindari pengorbanan yang tidak berguna"
"Memang seharusnya begitu" sahut Suto Siau, "bila dalam setengah jam kita tidak peroleh hasil, lebih baik secepatnya mundur kemari dan kita membuat perencanaan yang lain"
"Baik!" kata Li Lok-yang kemudian setelah termenung sejenak.
"Lohu akan menggunakan tambur sebagai tanda" ujar Thiat Tiong-tong lagi, "bila suara tambur berhenti, itu berarti waktu selama setengah jam telah tiba!"
Li Lok-yang manggut-manggut, Li Kiam-pek segera
perintahkan orang untuk mengambil tambur.
Semangat tempur kawanan lelaki kekar ditengah halaman kembali berkobar, suasana keheningan yang semula mencekam seluruh bangunan dalam waktu singkat terbakar kembali oleh semangat tempur yang meluap.
Diiringi bentakan keras Bi lek hwee menerjang keluar dari halaman, Im Ceng dan Li Kiam-pek dengan pedang terhumus mengikuti di belakangnya
Kedua orang ini selain sama-sama masih muda, tampan, gerak geriknya amat cekatan.
Bi lek-hwee menyambar sebuah busur, kemudian sambil bersuit nyaring melayang ke atas dinding pekarangan.
Dalam waktu singkat dia telah merogoh segenggam peluru Bi lek cu, dengan menggunakan Ilmu Bi lik ciang Tan ta kim kiong (pukulan geledek menghamburkan gendewa emas) dia melepaskan serangan mematikan.
Terdengar serangkaian suara desingan tajam menggema
membelah angkasa, belasan peluru peledak segera berhamburan ke angkasa dan menimbulkan serangkaian ledakan dahsyat disekeliling tempat itu.
Diluar dinding pekarangan merupakan sebuah tanah lapang yang luas, pepohonan yang rimbun tumbuh dikejauhan sana, sebuah jalan raya dengan alas batu membentang hingga ke dalam hutan.
Tampak bayangan manusia bergerak kian kemari diatas jalanan tersebut, ketika melihat datangnya serangan mematikan, serentak mereka membubarkan diri ke empat penjuru.
Terdengar sibocah pincang itu berteriak keras: "Yang meng hantar kematian sudah keluar, jangan biarkan mereka balik kembali!"
Bayangan manusia kembali bergerak ditengah hutan, seseorang menyahut sambil tertawa seram:
"Mereka tidak bakalan bisa balik lagi!"
"Setan cilik, kena kau!" mendadak Bi lek hwee membentak nyaring.
Sekali lagi serangkaian peluru peledak berhamburan di udara.
Bocah pincang itu tertawa tergelak.
"Hahahaha.... setan tua, kau tidak bakal bisa menyentuh tubuhku...."
Sambil memutar tubuh dia melesat naik keatas tiang bambu, kemudian ejeknya lagi:
"Hey setan tua, apa kau berani naik ke atas?"
Belum selesai teriakan itu, hujan anak panah telah beterbangan mengancam tubuhnya, buru-buru bocah pincang itu merosot turun ke bawah dengan jurus "menenteng orang mati".
Tiba-tiba terlihat cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu Im Ceng sudah merangsek maju ke depan sambil melancarkan tiga jurus serangan pedang, seketika itu juga bocah pincang tersebut terkurung dalam kepungan.
"Bocah busuk, hebat juga ilmu pedangmu!" seru bocah pincang itu sambil mengerdipkan matanya.
Tubuhnya berputar beberapa lingkaran mengelilingi cahaya pedang itu, dalam waktu sekejap dia melancarkan pula tiga jurus serangan balasan.
Paras muka Im Ceng berubah berat dan serius, permainan pedangnya makin berat dan penuh tenaga.
Kembali bocah pincang itu melayani pertarungan sebanyak tiga gebrakan, kini wajah senyum nakalnya telah lenyap,
mendadak jeritnya:
"Bocah keparat ini lihay sekali, kalian cepat datang membantu!"
Belum selesai dia berteriak, kembali muncul dua sosok bayangan manusia dari sisi kiri dan kanan, seorang gadis berbaju abu-abu dan seorang nona berbaju hijau, gerakan tubuh mereka cepat sekali bagai sambaran kilat.
Sambil membalikkan tubuh dan menarik kembali senjatanya, bocah pincang itu berseru sambil tertawa: "aku sudah tidak tahan lagi, lebih baik kalian saja yang menemaninya bermain!"
Dengan dua tiga kali jumpalitan, dia segera menyingkir jauh jauh.
"Dasar setan cilik" umpat si nona berbaju abu-abu sambil tertawa, "sudah kabur dari medan pertarungan, masih banyak bicara...."
Ditengah suara tertawanya yang merdu, ujung bajunya menari kian kemari, sekejap mata dia sudah melancarkan berapa jurus serangan.
Dalam pada itu si nona berbaju hijau telah meluluskan pula sebuah rantai perak sepanjang satu setengah meter, serunya sambil tertawa:
"Ngo-moay, kau menyerang jarak dekat, aku menyerang jarak jauh, coba kita lihat bocah ini dapat bertahan berapa jurus!"
Walaupun Im Ceng tidak pernah suka bertarung melawan perempuan, tapi sekarang dia sudah terkurung oleh jurus serangan ke dua orang gadis yang aneh, sakti dan cepat sehingga sulit baginya untuk menghindarkan diri.
Disisi lain, Li Kiam-pek telah bertarung melawan seorang lelaki berewok bermata satu, orang itu bersenjatakan sebatang golok panjang dan sebilah golok pendek, perawakan tubuhnya tinggi besar bagaikan setengah bangunan pagoda.
Suara tambur begitu berkumandang, pertarungan pun berlangsung makin seru.
Jurus serangan yang dipergunakan dua orang itu sama-sama keras, cepat dan ganas, terdengar suara benturan senjata berkumandang silih berganti, tiga titik cahaya tajam saling menyambar dan saling membabat dengan serunya.
Biarpun lelaki bermata satu itu berperawakan tinggi besar, namun gerak geriknya sama sekali tidak lamban ataupun bebal, golok panjang dan golok pendeknya melancarkan serangan secara bergantian, jurus serangan yang digunakan pun ganas, telengas
dan aneh. Sebaliknya ilmu pedang Li Kiam-pek berasal dari aliran lurus yang mengutamakan kemantapan dan ketenangan, sekalipun harus menghadapi lelaki kekar yang banyak pengalaman, namun dua ratus gebrakan kemudian menang kalah masih susah ditentukan.
Sementara kedua orang itu masih asyik saling menyerang, terdengar Bi lek hwee berteriak keras:
"Jangan melibatkan diri dalam pertarungan berkepanjangan, cepat terjang! Cepat terjang!"
Ditengah bentakan nyaring, lagi-lagi dia melontarkan serentetan peluru peledak.
Mendadak terdengar suara tertawa seram bergema dari balik hutan, terlihat sesosok bayangan manusia meluncur datang sambil mengebaskan bajunya berulang kali.
Ditengah deruan angin kencang, peluru peledak yang beterbangan di angkasa itu seketika terpental balik ke belakang, bukan Cuma terpental ke belakang bahkan segera berhamburan di dalam halaman keluarga Li.
Ledakan demi ledakan pun bergetar diseluruh gedung, jeritan kaget bergema memecahkan keheningan.
Berubah hebat paras muka Li Lok-yang, teriaknya:
"Jangan kau gunakan lagi peledak Bi lek cu!"
Dengan pedang terhunus dia menyambut kedatangan
bayangan manusia itu.
Tampak bayangan manusia yang baru muncul dari balik pepohonan itu segera melayang turun ke tanah, ke dua ujung bajunya berkibar ketika terhembus angin, bentuknya persis seperti sepasang sayap kelelawar, bahkan ketika sudah berdiri diatas permukaan, ujung bajunya kelihatan makin panjang hingga terjulai diatas tanah.
Dia memiliki perawakan tubuh yang tinggi tapi kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, tulang jidatnya menonjol tinggi, kelopak matanya mendelong ke dalam, bila diamati sekilas pandang mirip sekali dengan seorang lelaki buta.
Begitu melihat kemunculan orang itu, si bocah pincang segera bertepuk tangan sambil bersorak sorai, teriaknya tertawa:
"Bagus, bagus sekali! Ternyata toako juga telah datang, sekarang akan kulihat masih ada berapa banyak senjata rahasia yang kalian miliki, ayoh keluarkan semua!"
Tercekat perasaan hati Bi lek hwee mendengar seruan itu,
dengan suara keras segera tegurnya:
"Apakah kau adalah Ai Thian-hok?"
Semua jago senjata rahasia yang ada dikolong langit pasti bergidik hatinya bila mendengar nama Ai Thian-hok disebut orang, bukan saja bergidik bahkan boleh dikata merasa takut hingga bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Biarpun dia buta namun sangat ahli dalam meluncurkan pelbagai jenis senjata rahasia yang ada dikolong langit, ketajaman pendengarannya luar biasa, seakan-akan disekujur tubuhnya memiliki mata yang tajam.
Dengan wajah yang dingin tanpa perasaan orang itu menyahut:
"Benar, siapa yang akan menemani aku si buta untuk bermain berapa gebrakan?"
Suaranya begitu ketus, dingin, kaku, sama sekali tidak berperasaan.
Dengan satu langkah cepat Li Lok-yang melompat melampaui Bi-lek hwee sambil menyelinap maju ke depan, setelah memandang orang itu dari atas hingga ke bawah, katanya dengan nada berat:
"Rupanya kaulah murid pertama dari Kiu cu Kui bo!"
"Betul!" seru bocah pincang yang berdiri jauh di belakang Ai Thian-hok, "dialah toa-suko kami!"
"Kehadiran suhengmu benar-benar merupakan satu
penghormatan bagiku"
"Li sianseng kelewat memuji" tukas Ai Thian-hok ketus.
Li Lok-yang tertegun.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Darimana kau bisa tahu kalau cayhe adalah Li Lok-yang?"
Ai Thian-hok tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... biarpun sepasang mataku buta, hatiku tidak buta, dalam situasi dan keadaan seperti ini, siapa lagi yang masih bisa bicara sopan dan penuh sungkan kepadaku kecuali Li Lokyang?"
"Orang bilang bintang pembunuh yang tidak bermata biasanya tajam dalam perasaan, setelah perjumpaan hari ini, nyata sekali kalau ucapan tersebut bukan kosong belaka"
"Li sianseng begitu memuji diriku, apakah kau menginginkan Ai Thian-hok melakukan sesuatu untukmu?" tanya Ai Thian-hok sambil menghentikan gelak tertawanya.
Sekalipun sedang tertawa, paras mukanya tetap kaku tanpa perasaaan. Dan kini, begitu dia berhenti tertawa, raut mukanya
nampak semakin dingin menakutkan, seolah-olah perasaan hatinya memang terbuat dari bongkahan salju abadi, siapa pun di dunia ini tidak ada yang mampu menggerakkan perasaan hatinya.
"Betul" sahut Li Lok-yang sambil tertawa keras, "cayhe memang ingin mengajak anda untuk bertaruh"
"Hmmm, setiap kali aku she-Ai sedang menduduki posisi diatas angin, aku tidak pernah mau bertaruh dengan siapa pun, Li sianseng, tampaknya keinginanmu itu tidak bakalan terkabul!"
Sekali lagi Li Lok-yang tertegun, sebenarnya dia ingin mempertaruhkan keselamatan dirinya untuk mengajak Ai Thian-hok mempertaruhkan keselamatan saudara-saudara
seperguruannya.
Terdengar si bocah pincang tertawa tergelak.
"Hahahaha.... bertaruh atau tidak kau tetap berada di pihak yang kalah, apa lagi yang ingin kau pertaruhkan?" serunya, "kau boleh saja membohongi orang lain, tapi jangan harap bisa membohongi toako ku!"
"Li sianseng" kembali Ai Thian-hok berkata, bila kau ingin bertarung, cayhe pasti akan menerima tantanganmu itu, cuma ada baiknya kau bersihkan dulu bekas kulit telur yang menempel didalam alas sepatumu, daripada mengganggu gerak-gerikmu nanti"
Tanpa sadar Li Lok-yang memeriksa alas sepatu sendiri, benar saja, ternyata alas sepatunya memang tertempel bekas kulit telur yang banyak, andaikata tidak diberitahu Ai Thian-hok, mungkin dia sendiripun tidak bakal menyadari.
Ai Thian-hok yang buta sepasang matanya ternyata memiliki ketajaman pandang melebihi manusia yang bermata normal, padahal kalau dilihat kelopak matanya yang mendelong, jangan lagi tidak nampak ada biji mata, cukup dilihat dari bentuknya pun sudah menyeramkan sekali, jelas dia bukan orang yang berlagak buta.... tapi, kenapa dia bisa tahu kalau alas sepatunya ada bekas kulit telur"
Dalam waktu singkat perasaan hati Li Lok-yang dicekam dalam ketakutan dan kengerian yang luar biasa.
"Kau tidak perlu keheranan darimana aku bisa mengetahui akan hal tersebut" terdengar Ai Thian-hok berkata lagi, "aku tahu karena dari suara langkah kakimu tadi dapat kudengar suara kulit telur yang menempel di sol sepatumu"
"Darimana kau bisa tahu kalau suara tersebut berasal dari
kulit telur?"
Ai Thian-hok tertawa tergelak.
"Hahahaha.... semua bahan makanan sudah keracunan, aku duga kalian pasti makan telur ayam untuk memperpanjang umur, tidak aneh jika dalam situasi serba kalut, kulit telur akan berceceran di mana-mana, oleh sebab itulah aku menduganya, ternyata dugaanku memang benar"
Kembali Li Lok-yang menghela napas panjang, pikirnya:
"Aai, ternyata Ai Thian-hok memang seorang jagoan yang sangat hebat dan luar biasa"
Sebagaimana diketahui, pertempuran sengit sedang berlangsung waktu itu, seluruh udara, diliputi suara dentingan senjata yang nyaring, suara bentakan yang keras serta suara tambur yang menggelegar bagai halilintar.
Tapi dalam keadaan seperti itu, ternyata di dapat menangkap suara langkah kaki orang lain, ketajaman pendengarannya boleh dibilang sangat mengerikan, ditambah lagi kemampuannya untuk menganalisa serta mengambil kesimpulan, kehebatan yang dimiliki orang ini benar-benar luar biasa.
Bi lek-hwee yang selama ini hanya berdiri dibelakang Li Lokyang sambil menahan diri, saat ini sudah tidak mampu mengendalikan diri lagi, segera bentaknya nyaring:
"Ai Thian-hok, ternyata mulutmu hebat, perasaanmu juga hebat, lohu ingin membuktikan apakah tanganmu juga trampil dan hebat?"
Gendewanya digetarkan, dengan satu langkah cepat dia menerobos maju ke depan, dengan ujung lamur dia totok jalan darah Ciang tay hiat di antara dada dan lambung Ai Thian-hok.
Sambil berjumpalitan maju ke depan, si bocah pincang itu menghardik:
"Toako ku hanya ingin bertarung melawan Li lok yang, mau apa kau banyak urusan" Hmm, biar sauya saja yang menemanimu bermain berapa gerakan!"
Ditengah bentakan, sepasang kakinya meluncur datang dengan kecepatan tinggi, langsung menendang wajah lawannya.
Menghadapi serangan semacam ini terpaksa Bi lek hwee harus selamatkan diri dengan mengegos ke samping, teriaknya penuh amarah:
"Kau sudah tahu kalau selama hidup lohu paling pantang bertarung melawan bocah dan kaum wanita, mau apa kau datang kemari?"
Bocah pincang itu tertawa terkekeh.
"Hahaha.... kau tidak ingin bertarung melawanku" Huuuh, ketahuilah, aku pun belum tentu sudi bertarung melawanmu.
Kalau toh kau belum menerima mutiara pengganti nyawa, lebih baik menyingkir saja ke samping dan tidak usah turut campur dalam persoalan ini!"
"Sialan!" umpat Bi lek hwee gusar.
Tinjunya langsung disodokkan ke depan dan menghantam ke tubuh seseorang yang sedang bertarung melawan Hek Seng-thian.
Biarpun dia berada dalam keadaan gusar, namun orang ini tetap tidak ingin bertarung melawan anak-anak dan kaum wanita, sekalipun wataknya agak kasar ternyata kekasarannya cukup simpatik.
Sementara itu Pek Seng-bu serta Suto Siau sekalian masing-masing sudah menemukan lawannya, pertarungan sengit pun berkobar di tanah lapang diluar pagar dinding.
Dari balik pepohonan terlihat bayangan manusia bergerak kian kemari, meskipun serangan yang mereka lancarkan sangat tangguh, ternyata orang orang itu belum juga berhasil membuka sebuah jalan berdarah ditempat itu.
Perlahan-lahan Li Lok-yang dan Ai Thian-hok bergerak semakin mendekat, namun hingga detik ini mereka belum sampai bertarung barang satu gebrakan pun.
Dengan wajah penuh senyuman si bocah pincang itu memukul satu jurus kekiri, menendang kemudian kekanan, tiba-tiba dia berjumpalitan lagi di udara dan balik ke dalam hutan sambil berseru:
"Suhu telah tiba!"
Benar saja, terlihat Kiu cu Kui bo didampingi dua orang gadis cantik telah munculkan diri dari balik pepohonan.
Perempuan itu berjalan mendekat dengan langkah tertatih, pakaian yang dikenakan pun amat sederhana. Sebaliknya dua orang gadis yang mendampinginya justru berpakaian amat mewah dan indah, dandanannya sangat mencolok mata.
Li Lok-yang sangat terkesiap.... ternyata
wanita cantik yang saat itu berdiri disamping Kiu cu Kui bo tidak lain adalah wanita cantik yang mendampingi si kakek aneh tadi.
Tentu saja dia tidak memahami betapa rumitnya hubungan mereka semua, timbul perasaan ragu dan curiga dalam hatinya.
Siapa tahu di saat dia masih tertegun dan bediri penuh keraguan itulah Ai Thian-hok sudah melambung ke tengah udara, tampak sepasang ujung bajunya berkibar terhembus angin, persis seperti seekor kelelawar yang sedang terbang di angkasa.
Ujung bajunya panjang lagi lebar, dibalik kelembutan terselip kekerasan, inilah dua jenis senjata pembunuh yang paling aneh dan hebat, ketika sepasang ujung bajunya diputar, sehebat apapun kepandaian silat yang dimiliki lawan, jangan harap bisa mendekati tubuhnya dalam waktu singkat.
Dalam pada itu kawanan lelaki kekar yang bertahan dibalik halaman mulai merasa sangat gelisah, mereka hanya bisa mendengar suara berlangsungnya pertarungan dari balik dinding tanpa bisa mengikuti jalannya pertarungan.
Lama kelamaan ada sebagian centeng yang tidak mampu menahan diri lagi, ada di antara mereka yang mulai memanjat ke atas dinding pagar untuk menonton jalannya pertempuran.
Paras muka Thiat Tiong-tong sendiripun nampak amat serius, dia masih memukul tambur tiada hentinya.
Un Tay-tay dengan wajah murung dan kesal duduk
mendampinginya, perempuan itupun sama sekali tidak berbicara.
Sepuluh orang lelaki kekar yang semula berkumpul disudut halaman sambil berbisik-bisik, tiba-tiba berteriak keras dan serentak mereka lari kedepan pintu gerbang yang tertutup rapat.
Seseorang dengan cepat mengayunkan goloknya membacok ke pintu gerbang....
"Mau apa kalian?" tegur Phoa Seng-hong dengan wajah berubah.
"Kami akan menyerbu keluar!" sahut para centeng.
Baru selesai mereka bicara, tiba-tiba suara tambur berhenti berbunyi.
Tidak lama setelah bunyi tambur berhenti, tampak Hek Seng-thian muncul terlebih dulu ke dalam ruangan, seluruh tubuhnya basah oleh darah, dadanya naik turun tidak beraturan, senjata andalannya juga telah hilang.
"Hengtay, kau terluka?" tegur Phoa Seng-hong dengan wajah berubah.
Hek Seng-thian manggut manggut.
"Bahu.... bahu kiriku...."
Mendadak dia jatuh terduduk di lantai. Dari luar dinding pagar kembali terdengar suara teriakan keras menyusul
kemudian tampak Pek Seng bu dan Suto Siau kabur masuk dengan gerakan cepat, paras muka ke dua orang inipun nampak kusam dan kelelahan, butiran keringat bercucuran membasahi jidatnya.
Walaupun Thiat Tiong-tong tidak dapat mengikuti jalannya pertarungan diluar pagar, namun setelah menyaksikan raut muka beberapa orang itu, dia dapat membayangkan betapa sengit dan hebatnya pertarungan yang baru berlangsung diluar sana.
Masih memegangi pemukul tambur dia segera berlari keluar dari halaman, teriaknya keras: "Masih ada yang lain?"
Dengan peluh bercucuran Pek Seng-bu segera menuding ke luar halaman.
Saat itulah terdengar Li Lok-yang yang berada diluar halaman berteriak keras:
"Saudara sekalian, cepat mundur kembali, biar cayhe yang melakukan penghadangan"
Menyusul kemudian terdengar seseorang menyambung sambil tertawa dingin:
"Biarpun jalan keluar tersumbat, kalau ingin mundur tidak bakalan dihadang orang, kau tidak perlu kuatir!"
Baru selesai ucapan tersebut bergema, Li Lok-yang, Li Kiam-pek, Bi lek hwee dan Im Ceng secara beruntun telah mundur balik ke dalam halaman, tapi wajah ke empat orang inipun nampak sangat mengenaskan, baju yang mereka kenakan basah kuyup oleh keringat.
Setelah mengatur pernapasan sejenak Li Lok-yang baru menghela napas panjang, dengan kepala tertunduk dia berjalan mondar mandir dalam ruangan. Ditinjau dari wajahnya yang murung dan helaan napasnya yang sedih, bisa diketahui bahwa persoalan yang sedang dihadapi sangat gawat.
Ketika tiba kembali dalam ruang tengah, perasaan hati semua orang pun ikut nampak berat.
Setelah berjalan mondar mandir berapa saat, akhirnya Li Lokyang menuju ke depan undak-undakan batu dan berseru dengan nada berat:
"Saudara sekalian, harap dengarkan dulu perkataanku"
Perlahan-lahan para centeng yang berada ditengah halaman bergeser mendekat dan berkumpul menjadi satu.
Menyaksikan kawanan jago yang di hari-hari biasa selalu gesit dan cekatan bagai seekor harimau, kini, meskipun berusaha tampil dengan penuh semangat namun tidak dapat menutupi
perasaan kecewa dan sedihnya, tidak kuasa lagi dia merasakan hatinya sangat pedih.
"Kalian cepat buang senjata masing-masing! dan mengangkat tinggi ke dua belah tangan, asal kalian tidak melakukan perlawanan, sekeji dan sebuas apapun tidak mungkin Kiu cu Kui-bo akan mencabut nyawa kalian semua. Aku tahu, kalian sudah banyak tahun mengikuti aku, tapi hari ini, terus terang aku merasa tidak sanggup melindungi keselamatan kalian lagi, harap kalian jangan menyalahkan aku"
Belum selesai dia berkata sudah terjadi kegaduhan di antara para centeng itu, maka ketika dia menyelesaikan perkataannya, kawanan lelaki kekar itu segera teriak bersama:
"Biar harus matipun kami tidak akan pergi"
"Bila tetap tinggal disini, kalian hanya akan menghantar kematian saja" kata Li Lok-yang sedih.
Seorang centeng segera melompat keluar sambil berteriak:
"Loya selalu baik dan sayang kepada hamba semua, biar harus mati pun hamba lebih rela mati bersama loya"
Seorang rekannya segera menimpali:
"Biarpun hamba sekalian hanya orang bodoh, tapi kami bukan manusia kurcaci yang takut mati, jika loya memaksa hamba semua untuk pergi, terpaksa hamba akan mati duluan disini"
Lama sekali Li Lok-yang berdiri tertegun sambil mengawasi anak buahnya, mendadak sambil menghentakkan kakinya dia berpaling dan beranjak pergi, lamat-lamat butiran air mata nampak mengembang dalam kelopak matanya.
Un Tay-tay segera bertanya lirih:
"Masa kita benar-benar tidak punya harapan untuk menyerbu keluar dari tempat ini?"
Selama ini dia hanya menguntil terus disamping Thiat Tiong-tong, sedetik pun tidak ingin meninggalkan dirinya.
Tanpa bicara Li Lok-yang mengangguk.
Un Tay-tay tertegun berapa saat, tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan berjalan keluar dari ruangan.
Suto Siau maupun Im Ceng nampak seakan hendak
menggerakkan tubuhnya, namun siapa pun tidak ada yang mengejarnya.
Perlahan-lahan Li Lok-yang berjalan mendekati Hay Tay sau, sembari membebaskan totokan jalan darahnya dia berkata:
"hengtay, harap kau jangan marah!"
"Kenapa aku mesti menyalahkan dirimu?" teriak Hay Tay-sau sambil bangkit berdiri, "mendengar perkataanmu yang begitu patah semangat, hampir saja aku mati lantaran jengkel"
Li lok yang tertawa getir.
"Bukannya cayhe ingin mengucapkan kata-kata yang patah semangat, hanya saja situasi dan keadaan yang kita hadapi sekarang memang lebih banyak bahayanya daripada selamat"
Hay Tay-sau membelalakkan matanya lebar-lebar, sementara orang yang lain seolah mengakui akan kebenaran perkataan tersebut.
"Ayoh, kalian bicaralah" teriak Hay Tay-sau kemudiann
"sebenarnya kalian mampu tidak untuk bertempur melawan mereka?"
Li lok yang mendongakkan kepalanya memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian katanya:
"Saudara Hay, saat ini kau tidak usah banyak bertanya lagi, kita tunggu saja senja menjelang nanti, kita berdua sekali lagi mencoba untuk menerjang keluar dari sini"
"Nah, itu baru kata-kata yang bersemangat" teriak Hay tay-sau sambil menggebrak meja.
Perlahan-lahan Li Lok-yang mengalihkan sorot matanya kewajah Thiat Tiong-tong, kemudian bertanya.
"Kami berhasil atau tidak meloloskan diri dari sini, yang pasti anda tidak bakalan mati"
"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Thiat Tiong-tong.
"Orang terdekat yang berada disamping Kiu cu Kui bo saat ini tidak lain adalah istrimu yang lembut dan cantik jelita itu!"
Berubah hebat paras muka Thiat Tiong-tong.
Sementara itu Li Lok-yang sudah berlalu dari hadapannya, ucapan tersebut kembali menimbulkan kegaduhan bagi kawanan jago lainnya, mereka memang tidak mengetahui asal usul Thiat Tiong-tong yang sebenarnya, tanpa terasa pikirnya:
"Mungkinkah dia adalah jagoan yang dikirim Kiu cu Kui bo untuk membantunya dari dalam?"
Waktu itu Li Lok-yang sudah berdiri di depan gedungnya sambil bergendong tangan, dia saksikan disudut halaman ada berapa orang centengnya sedang mencabut rumput dan menguliti kulit pohon secara diam-diam.
Rasa pedih seketika menyelimuti perasaan hatinya, buru-buru dia berpaling ke arah lain, tidak tega untuk memandangnya lebih jauh.
"Ooh Thian!" keluhnya dihati, "aku Li Lok-yang selalu berbuat baik terhadap siapa pun, kenapa nasibku harus berakhir dalam keadaan yang begini tragis?"
Perasaan hatinya amat sakit dan tersiksa, tanpa disadari apa yang sedang dia pikirpun terucapkan keluar secara jelas, tentu saja nada keluhannya amat pedih dan memilukan hati.
Tiba-tiba Hay Tay-sau menggebrak meja sambil mengumpat:
"Li toako selalu bersikap jujur dan setia kawan, heran, kenapa ditempat ini justru muncul pengkhianat"
"Siapa pengkhianatnya?" tanya Li Kiam-pek cepat.
"Dia!" sambil berteriak, Hay Tay-sau segera menuding langsung ke arah Thiat Tiong-tong.
Sebenarnya semua orang sedang memikirkan persoalan itu, tidak heran kalau kegaduhan segera terjadi setelah mendengar teriakan itu.
Dengan suara keras Bi lek hwee segera berteriak:
"Benar, orang ini sangat mencurigakan, gerak-geriknya penuh misterius, dia pasti musuh yang sengaja menyusup kemari"
Li Lok-yang segera berpaling menatap wajah Thiat Tiong-tong, dia sangka pemuda itu pasti akan berusaha menyangkal atau berkelit.
Siapa sangka Thiat Tiong-tong sama sekali tidak menyangkal, dia hanya berdiri kaku disitu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali Hay Tay-sau membentak nyaring:
"Terlepas bagaimana akhir dari pertempuran yang bakal berlangsung hari ini, kita tidak boleh membiarkan penghianat ini tetap hidup di kolong langit, mari kita bantai dulu dirinya"
"Benar, harus kita bantai dulu bajingan itu" serentak semua orang menyahut.
Sambil berteriak, semua orang mulai menggeserkan langkahnya mengepung Thiat Tiong tong, rasa jengkel, benci dan mendongkol yang selama ini menyelimuti perasaan semua orang pun seketika dilampiaskan ke tubuh pemuda itu.
Saking takutnya ke dua orang bocah lelaki itu sudah berdiri menggigil dengan wajah menghijau dan bibir pucat pasi, sambil menarik baju Thiat Tiong-tong mereka berusaha menarik pemuda itu untuk kabur.
Kembali Li Lok-yang menghela napas panjang, ujarnya:
"Semua orang berkeinginan begitu, apa lagi yang hendak kau katakan?"
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, pikirnya:
"Siasat berantai yang kulakukan telah menciptakan situasi berubah jadi begini rupa, boleh dibilang harapanku sudah tercapai, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Suto Siau maupun Bi lek hwee tidak ada yang bisa kabur lagi dalam keadaan selamat, hanya sayang berapa lembar nyawa tidak bersalah harus ikut menjadi korban, aaai! "Sebenarnya betulkah tindakanku ini"
Benarkah langkah yang kuambil?"
Berpikir sampai disitu, perasaan kecewa segera menyelimuti hatinya, dia pun tidak ingin melakukan perlawanan lagi.
"Betul" katanya kemudian sambil menghela napas, "aku telah mencelakai kalian, bunuhlah aku!"
Tantangan ini justru membuat semua orang termangu.
Tiba tiba terdengar seseorang berseru:
"Bila kalian ingin membunuhnya, lebih baik sekalian bunuhlah aku!"
Dibawah sorot cahaya senja yang redup, Un Tay-tay berjalan masuk dengan langkah perlahan.
Saat itu tubuhnya sudah dipenuhi dengan aneka macam perhiasan serta intan permata yang memantulkan cahaya berkilauan ketika tertimpa sinar senja, sambil tertawa ringan lanjutnya:
"Aku dapat mengenakan intan permata yang paling kusukai, dapat mati disisi orang yang paling kusayangi, nasibku jauh lebih beruntung daripada nasib kalian yang harus mati di medan pertempuran, bila kalian hendak turun tangan, ayohlah cepat turun tangan!"
Ternyata dia kabur keluar dari ruang gedung tadi tidak lebih hanya ingin mengambil perhiasan mahal itu dan
mengenakannya. "Turun tangan yaa turun tangan, siapa takut!" teriak Hay Tay-sau keras.
Waktu itu Un Tay-tay sudah berdiri disamping Thiat Tiong-tong, kembali dia bertanya:
"Siapa yang akan turun tangan?"
Semua orang saling bertukar pandangan, siapapun tidak ingin menghabisi nyawa dua orang yang sama sekali tidak melakukan perlawanan di saat kematian mereka sendiri menjelang tiba, tanpa sadar mereka malah mundur dua langkah.
Entah sejak kapan langit telah semakin redup dan gelap,
dalam keadaan seperti ini tidak ada orang lagi yang pergi menyulut lilin, suasana dalam ruangan pun makin lama semakin gelap.
Pintu gerbang yang tadi sudah ditutup rapat oleh Phoa Seng-hong, entah sejak kapan telah terbuka lebar kembali.
Ditengah remang-remangnya kegelapan, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan putih berjalan keluar dari balik pintu, dalam kegelapan, bayangan Itu bagaikan sesosok sukma gentayangan yang sedang bergerak mendekat.
Ketika bayangan itu semakin mendekat, semua orang dapat melihat raut mukanya yang cantik jelita, ternyata dia tidak lain adalah Sui Leng-kong.
Berubah paras muka Li Lok-yang, segea ujarnya:
"Apakah nona datang untuk menyampaikan pesan dari Kiu cu Kui bo?"
Sui Leng-kong sama sekali tidak menggubris, melirik sekejap pun tidak, dia langsung berjalan menuju kehadapan Thiat Tiong-tong.
"Kau sudah keluar dari sini, mau apa balik lagi kemari?" tanya Thiat Tiong-tong sambil tertawa sedih.
"Jika kau hidup, akupun akan pergi dalam keadaan hidup"
sahut Sui Leng-kong perlahan, "bila kau benar-benar ingin mati, akupun tidak ingin hidup, tentu saja aku harus datang kemari untuk menemanimu"
Meskipun perkataan itu menyangkut masalah mati hidupnya, namun dia ucapkan dengan santai dan tenang, perasaan tenangnya yang luar biasa membuat setiap patah katanya pun dapat diucapkan dengan lancar.
"Jadi kalian berdua bukan anak buah Kiu cu Kui bo?" Hay Tay-sau segera menegur dengan kening berkerut.
"Walaupun dia ingin menerimaku sebagai muridnya, tapi aku lebih suka mati!" jawab Sui Leng-kong perlahan.
Hay Tay-sau tertegun, peluh segera bercucuran bagaikan air hujan, teriaknya kemudian:
"Wouw.... hampir saja aku salah membunuh!"
Dia segera menampar wajah sendiri dua kali, kemudian katanya lagi:
"Lo sianseng, aku mohon maaf atas kelancanganku tadi!"
Thiat Tiong-tong tertawa hambar, sahutnya: "Bagaimana pun kita semua toh bakal mati, mati lebih cepat atau lebih lambat sama sekali tidak ada bedanya, bila waktunya telah tiba, silahkan
saudara Li mencoba lagi untuk menerjang keluar!"
Kemudian dia berpaling ke arah Sui Leng-kong dan menambahkan sambil menghela napas:
"Aaai, hanya sayang.... kau harus mati penasaran"
Sui Leng-kong tertawa.
"Apakah kau berharap aku hidup terus?" dia bertanya.
"Betul, aku lebih suka mengorbankan segala-galanya demi kehidupanmu"
"Kau pun berharap semua orang yang berada disini dapat hidup terus?" kembali Sui Leng-kong bertanya.
"Apa kau bilang?" Thiat Tiong-tong terkesiap.
"Jika kau benar-benar ingin mengorbankan segalanya, dapat melupakan semua budi dan dendam, aku pun punya cara agar semua orang yang berada disini tetap hidup, apakah kau tersedia?"
Dalam kegelapan meski tidak dapat melihat jelas perubahan wajah semua orang, namun seluruh ruangan segera timbul kegaduhan, jelas setiap orang yang hadir disitu sudah tergerak hatinya oleh perkataan tersebut.
Thiat Tiong-tong sendiripun merasakan seluruh tubuhnya jadi tegang, serunya:
"Sungguh perkataanmu itu?"
Sui Leng-kong manggut-manggut, dia segera membalikkan badan sambil berbisik:
"Ikutilah aku!"
Dengan gerakan tubuh yang enteng dia meninggalkan ruangan tengah, tanpa sadar Thiat tiong-tong mengikuti di belakangnya.
Gadis cantik yang aneh ini seolah-olah memiliki semacam daya kekuatan yang luar biasa didalam perkataan maupun gerak-geriknya, membuat siapa pun merasa sangat percaya dengan apa yang dia ucapkan.
Semua orang hanya mengawasi bayangan tubuh mereka berdua berjalan keluar dari halaman lalu lenyap dibalik kegelapan dengan mata terbelalak, tidak ada yang berusaha menegur, lebih-lebih tidak ada yang berniat menghalangi.
Kegelapan malam diluar pintu terasa berat bagai baja, keheningan dan kegelapan yang menyelimuti seluruh permukaan bumi seakan menghimpit suasana ditempat itu hingga tidak mampu mengeluarkan sedikit suarapun.
Tanpa bersuara Thiat Tiong-tong mengikuti di belakang Sui
Leng-kong, berjalan masuk ke dalam hutan yang gelap, bahkan dibalik hutan pun sama sekali tidak terdengar suara apapun, suara angin, suara jangkrik, seakan semuanya sudah tersumbat mati oleh kegelapan malam yang mencekam.
Thiat Tiong-tong merasa hatinya tercekat, perasaan bergidik muncul di dalam hatinya, langkah kakinya makin ringan, makin cepat, akhirnya secercah cahaya yang lirih muncul ditengah hutan itu.
Cahaya api berwarna hijau bagaikan api setan menerangi seluruh hutan, bayangan manusia tampak bergerak kian kemari dibalik pepohonan, seakan-akan disitu sedang diselenggarakan pertemuan para sukma gentayangan.
"Apakah sudah datang?" mendadak terdengar seseorang menegur dengan suara menyeramkan.
"Yaa, sudah datang!" jawab Sui Leng-kong,
Ditengah pepohonan yang rimbun terdapat sebuah tanah lapang, berpuluh titik cahaya mutiara yang hijau bergoyang disekeliling tempat itu, bergoyang bagaikan mata sukma gentayangan yang sedang bergerak.
Dibawah cahaya mutiara hijau tampak bayangan manusia sedang duduk mengelilingi seseorang, cahaya yang memantul diwajah mereka, membiaskan sinar hijau yang menyeramkan di tubuh kawanan manusia tersebut.
Orang yang duduk ditengah bukan lain adalah Kiu cu Kui bo yang amat termasyur dikolong langit.
Waktu itu dia sudah berganti baju dengan mengenakan sebuah gaun berwarna hijau pupus, rambutnya disanggul tinggi, dia sedang duduk bersila.
Thiat Tiong-tong langsung berjalan menuju ke hadapannya.
Kiu cu Kui bo memperhatikan berapa kejap wajah pemuda itu, kemudian sambil tertawa seram ujarnya:
"Anak murid Perguruan Tay ki bun memang selalu memiliki nyali yang jauh lebih besar daripada siapa pun!"
"Dari mana kau bisa tahu kalau aku adalah anggota Perguruan Tay ki bun?" tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah.
"Aku yang beritahu" kata Sui Leng-kong perlahan.
"Dia bilang kau menggembol panji darah milik Perguruan Tay ki bun, benarkah ucapannya?" lanya Kiu cu Kui bo lagi.
"Perkataannya tidak pernah bohong"
"Keluarkan dan perlihatkan kepadaku!"
Thiat Tiong-tong melirik Sui Leng-kong sekejap, tiba-tiba dia merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan panji berdarah yang disimpan dalam sakunya, kemudian dengan sekali getaran dia sudah mengibarkan panji tersebut.
Dengan satu gerakan cepat Kiu cu Kui bo melompat bangun sambil mengawasi panji berdarah itu dengan sorot mata yang tajam, dia mengawasi hampir setengah perminum teh lamanya, mengamati tanpa berkedip sedikitpun juga.
"Sudah kau lihat dengan jelas?" tegur Thiat Tiong-tong kemudian.
Mendadak Kiu cu Kui bo mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang, setelah duduk kembali, katanya perlahan:
"Ternyata memang panji darah yang dulu pernah memerintah di seluruh kolong langit!"
Saat itulah Sui Leng-kong baru berkata lagi:
"Dia orang tua bilang, dikolong langit saat ini hanya panji berdarah itu yang bisa menyelesaikan pengepungan yang dilakukannya hari ini, karena itulah aku baru memanggilmu datang kemari"
"Sungguh?" seru Thiat Tiong-tong dengan penuh semangat.
"Benar" Kiu cu Kui bo manggut-manggut, "dulu, perguruan kami pernah menerima budi dari panji ini, kamipun pernah bersumpah, asal bertemu dengan panji darah sama seperti bertemu dengan pemilik panji itu, maka semua yang dikatakan pemegang panji akan ku taati tanpa membantah"
"Kalau begitu...." Thiat Tiong-tong jadi sangat kegirangan.
"Tunggu sebentar" mendadak Kiu cu Kui bo membentak keras sambil menukas, "sekalipun kau memiliki panji sakti itu, tahukah kau peraturan apa yang harus dipegang oleh pemegang panji?"
Thiat Tiong-tong kembali tertegun, dalam benaknya dia seakan masih memiliki sedikit bayangan yang buram, tapi sudah banyak tahun panji sakti tidak pernah munculkan diri, kebanyakan anggota generasi terakhir Perguruan Tay ki bun boleh dibilang telah melupakan akan hal ini.
Perlahan-lahan Kiu cu Kui bo berkata lagi: "Dulu, meskipun Im dan Thiat dua orang cianpwee pernah memimpin kolong langit dengan mengandalkan panji sakti itu, namun karena kuatir kehadiran mereka akan sangat mengganggu umat persilatan lainnya, maka mereka pun membentuk sebuah peraturan bagi
pemegang panji sakti!"
Pada hakekatnya Thiat Tiong-tong sama sekali tidak mengetahui tentang peraturan itu, karenanya dia tidak berani menimbrung.
Dengan suara dingin kembali Kiu cu Kui bo melanjutkan:
"Panji sakti sudah banyak tahun tidak pernah muncul dalam dunia persilatan, tentang peraturan yang berlaku, apakah kau akan pulang dulu bertanya kepadanya, ataukah akan mendengarkan lewat penuturanku sekarang?"
"Cianpwee adalah seorang tokoh persilatan vang termashur, aku percaya kau tidak bakal membohongi orang"
"Sebutkah dulu nama dari pemegang panji sakti!" kata Kiu cu Kui bo kemudian dengan nada lierat.
"Thiat Tiong-tong!"
"Thiat Tiong-tong!" bentak Kiu cu Kui bo keras, "kau seharusnya memegang panji itu dengan kedua belah tanganmu, berdiri tegap dan pejamkan mata, sejak itu maka setiap ucapan yang kau katakan akan merupakan perintah dari panji sakti, oleh sebab itu kau tidak boleh lagi berbicara sesuka hatimu tanpa dipikirkan dulu, mengerti?" Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Ada satu hal lagi yang perlu kau ingat, perintah hanya boleh diucapkan bila persoalan itu menyangkut mati hidup seseorang, lagipula perintahmu tidak boleh melebihi sepuluh patah kata!"
Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya: Tidak boleh melampaui sepuluh patah kata" Bagaimana caraku menurunkan perintah?"
Dia mencoba memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, suasana disitu dicekam dalam keheningan, tampaknya semua orang sedang mendengarkan dengan seksama.
Paras muka Kiu cu Kui bo pun berubah amat serius, dia tidak berkata apa-apa lagi.
Perlu diketahui, dulu para pendiri Perguruan Tay ki bun selalu bertindak dengan berdasarkan jiwa ksatria, walaupun panji sakti itu diciptakan dari lumuran darah para penjahat dan kaum laknat, namun mereka sama sekali tidak pernah menggunakan alasan balas budi untuk menguasai dan mengendalikan umat persilatan.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih umat persilatan kepada mereka berdua, maka ditetapkan peraturan yang tidak pernah tertulis ini, yakni dimana panji sakti muncul maka semua orang
wajib mentaati perintahnya.
Im dan Thiat cianpwee berduapun sadar, bila mereka tidak mengikat diri dengan peraturan maka lama-kelamaan mereka akan menjadi jumawa dan memberi perintah semaunya sendiri.
Karenanya merekapun menetapkan, jika tidak menyangkut mati hidup seseorang maka mereka tidak boleh memberi perintah, sekalipun harus menurunkan perintah pun tidak boleh melampaui sepuluh patah kata.
Peraturan ini berlaku turun-temurun dan harus ditaati oleh setiap orang yang memegang panji sakti itu.
Hanya sayang karena belakangan Perguruan Tay ki bun tertimpa bencana, daya pengaruhnya juga tidak sekuat dulu, meski ada panji sakti pun belum tentu ada orang mau menuruti perintahnya, oleh sebab itu para ciangbunjin nya tidak pernah juga mewariskan peraturan ini kepada generasi berikut.
Dengan sepasang tangan memegang panji sakti itu, perlahan-lahan Thiat Tiong-tong memejamkan matanya, berbagai pikiran berkecamuk didalam benaknya, dia mulai bertanya kepada diri sendiri:
"Apa yang harus kuucapkan dalam perintahku?"
Bila dia mengatakan: "Harap lepaskan mereka semua dalam keadaan hidup", ini berarti termasuk musuh besar Perguruan Tay ki bun pun akan dibebaskan, dia tidak ingin menggunakan panji sakti untuk menyelamatkan para musuh perguruannya.
Jika dia mengatakan: "Bebaskan saudara seperguruanku!"
maka semua orang yang ada dalam gedung keluarga Li akan turut mati terkepung, dia tidak tega untuk mencelakai Li Lokyang dan putranya yang berjiwa ksatria dan amat seti kawan itu.
Sebaliknya bila dia mengatakan" "bebaskan saudara seperguruan ku dan anggota keluarga Li" maka orang orang seperti Hay Tay-sau serta para centeng yang bukan bermarga Li akan tewas secara mengenaskan disitu.
Tentu saja dia tidak tega mencelakai kawanan manusia yang tidak bersalah itu.
Untuk sesaat dia hanya berdiri kaku, tidak sepatah kata pun mampu diucapkan keluar.
Mendadak terdengar Kiu cu Kui bo berseru:
"Bila tidak segera kau sampaikan, perintahmu tidak berlaku lagi"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berhenti sejenak, kembali dia menambahkan:
"Sebenarnya perintah inipun ada batas waktunya yakni
sampai hitungan ke sepuluh, biarpun aku tidak menghitung tapi aku rasa waktunya sudah tiba!"
Dalam cemas dan gelisahnya buru-buru Thiat Tiong-tong berseru:
"Menyingkir dan memberi jalan kebebasan, segera mundur dari sini"
Perlahan-lahan Thiat Tiong-tong menurunkan kembali tangannya, namun dia masih berdiri kaku, peluh dingin membasahi jidatnya dan bercucuran membasahi seluruh pakaian yang dikenakan.
Tiba-tiba terdengar Sui Leng-kong menghela napas panjang sambil berkata:
"Kusangka kau akan mengucapkan kata-kata itu"
"Perkataan apa?" tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah.
"Bebaskan orang yang ingin kubebaskan!"
Sekujur tubuh Thiat Tiong-tong segera gemetar keras, sepasang matanya terbelalak lebar, tiba-tiba dia menjerit keras lalu muntahkan darah segar, darah yang segera menodai panji sakti dalam genggamannya.
"Kee.... kenapa kau?" tanya Sui Leng-kong terperanjat.
Dengan air mata berlinang kata Thiat Tiong-tong:
"Kenapa tidak terpikir olehku akan kalimat perintah itu?"
Begitu selesai berkata, kembali dia memuntahkan darah segar, tubuhnya ikut roboh terkapar ke atas tanah.
Buru-buru Sui Leng-kong memeluk tubuhnya dan berseru dengan air mata bercucuran:
"Kau jangan menyalahkan diri sendiri, jangan menyalahkan diri, dalam keadaan seperti ini, siapa pun pasti akan merasa tegang"
Ai Thian-hok yang duduk disamping Kiu cu Kui bo tiba-tiba menyindir sambil tertawa dingin:
"Jika seorang lelaki sejati ingin membalas dendam, seharusnya andalkan kepandaian sendiri, jangan manfaatkan kemampuan orang untuk hapuskan sakit hatimu, lelaki macam apa itu?"
Perkataan tersebut bagaikan sebuah lecut yang menghajar tubuhnya.
Sekali lagi Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergetar keras, bagaikan kepalanya diguyur dengan sebaskom air dingin, dia termangu berapa saat lamanya, kemudian sambil melompat bangun
serunya: "Terima kasih banyak atas petunjukmu, akan kuingat terus perkataan ini!"
Ai Thian-hok berseru nyaring:
"Menggunakan siasat bagus untuk menghadapi orang baik, sekalipun kau lakukan itu dengan cara yang jujur dan gagah, namun perbuatan semacam ini tidak patut dilakukan oleh seorang lelaki macam kau...."
"Kata-kata yang indah ini akan selalu kuingat dalam hati"
Perlahan-lahan Ai Thian-hok bangkit berdiri, tambahnya dengan suara dalam:
"Oleh karena kuhormati kau sebagai seorang lelaki sejati, maka aku baru berbicara begitu, Suhu, mari kita pergi!"
"Boleh tahu siapa nama anda?" teriak Thiat tiong-tong.
"Perguruan kami hanya satu kali mendengarkan perintah dari panji sakti, itupun demi mewujudkan sumpah yang pernah diucapkan dulu, bila kita bersua lagi dikemudian hari mungkin kita akan berhadapan sebagai musuh, buat apa kau tanyakan soal ini?"
Sambil mengebaskan ujung bajunya dia segera bangkit berdiri.
Si bocah pincang buru-buru berjumpalitan dua kali di udara dan melayang turun di sisinya, teriaknya:
"Suheng, aku ikut bersamamu"
"Bocah nakal" seru Ai Thian-hok sambil tersenyum, "kenapa kau selalu berjumpalitan" Memangnya sudah tidak bisa ilmu meringankan tubuh!"
Sambil menarik tangan bocah pincang itu, dia segera meninggalkan hutan dengan langkah lebar.
Kawanan manusia berbaju hijau yang berada diseputar hutan pun beramai-ramai bangkit berdiri, ketika berjalan lewat dari samping Thiat Tiong-tong, satu per satu mereka mengawasi pemuda itu dengan seksama.
Orang yang berjalan di belakang bocah pincang itu adalah seorang lelaki berlengan tunggal yang memiliki perawakan tinggi besar, wajahnya selalu muram tapi langkahnya ringan bagaikan sedang melayang.
Dibelakang lelaki berlengan tunggal adalah si manusia kudis yang mirip orang idiot, sambil menengok kearah Thiat Tiong-tong dan tertawa, ujarnya:
"Kami telah membuatmu kelaparan hampir dua hari, maaf,
maaf." Lelaki bermata juling yang mengikuti di belakangnya segera tertawa seram.
"Saudara Thiat" serunya, "lebih baik jangan kelewat dekat dengan orang ini, hati-hati kalau sampai tertular penyakit kudisnya"
Dibawah sinar mutiara berwarna hijau, raut muka orang ini benar-benar lebih menakutkan daripada setan.
Tanpa sadar Thiat Tiong-tong mundur selangkah kebelakang, melihat itu sambil tertawa tergelak ke dua orang itu berjalan keluar meninggalkan hutan.
Dibelakang mereka adalah seorang lelaki cebol yang berwajah kusut, bermata tikus, berbibir seperti babi dan giginya bertaring, waktu itu dia sedang mengawasi Thiat Tiong-tong bagaikan seekor ular berbisa.
Begitu menyaksikan tampang orang itu kontan saja Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergidik dan sangat muak, tidak kuasa dia mundur selangkah lagi.
Tiba-tiba dari belakang tubuhnya kedengaran seorang menimpali sambil tertawa:
"Harap hengtay jangan berkerut kening, meskipun wajah beberapa orang ini sedikit kurang sedap dipandang, namun hati mereka jauh lebih haik ketimbang lelaki tampan"
Orang ini berdada ayam dan bungkuk punggungnya, suaranya keras bagai gembrengan pecah.
Dibelakang orang ini adalah seorang lelaki tinggi besar bagaikan sebuah pagoda, wajahnya kasar dan dipenuhi burik sebesar mata uang emas.
Ke enam orang itu ditambah dengan Ai Thian-hok yang buta serta si bocah pincang berjumlah persis delapan orang, satu demi satu mereka berjalan lewat dibawah sinar mutiara berwarna hijau sehingga kelihatan bagaikan sukma gentayangan.
Kembali Thiat Tiong-tong berpikir:
"Kiu cu Kui bo memang luar biasa, entah darimana dia peroleh anak muridnya ini, masih ada satu orang lagi, bagaimana pula tampangnya?"
Dia kembali berpaling, tampak seorang pemuda berbaju putih yang berwajah tampan berjalan mendekat sambil menjura, sambil menengok ke arahnya pemuda itu melemparkan sekulum senyuman.
Pemuda ini bukan cuma tampan, gerak geriknya amat sopan,
senyumannya sangat ramah.
Kenyataan ini jauh diluar perkiraan Thiat Tiong-tong, buru buru dia balas memberi hormat seraya berkata:
"Hati hati dijalan hengtay!"
Tapi pemuda itu segera menggelengkan kepalanya sambil menuding ke telinga dan mulut sendiri, ternyata walaupun dia memiliki panca indera yang genap dan empat anggota badan yang sempurna, namun selain tuli, diapun bisu.
Tidak perlu ditanya lagi ke sembilan orang itu tidak lain adalah sembilan setan yang paling tersohor dan paling misterius dalam dunia persilatan, sembilan jagoan andalan Kiu cu Kui bo.
Setelah ke sembilan orang itu keluar dari hutan, dibelakang mereka mengikuti enam orang gadis cantik berbaju warna warni.
Biarpun ke sembilan orang setan adalah kawanan manusia cacad yang berwajah aneh lagi jelek, tapi ke tujuh iblis wanita justru cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, bukan saja rambutnya disanggul indah, matanya bening, senyuman pun sangat menawan hati.
Perempuan pertama adalah seorang gadis berbaju ungu, sambil mendekati Thiat Tiong-tong katanya sambil tertawa:
"Jit-moay kami menaruh perhatian yang begitu besar terhadapmu, aku pikir kau tentu seorang pemuda yang tampan, bersediakah kau tunjukkan wajah aslimu?"
Lima orang gadis cantik lainnya segera maju mengerubung.
"Siapakah jit-moay kalian itu?" Tanya Thiat l'iong-tong kaget.
"Dia!" seru gadis berbaju ungu itu sambil menuding ke arah Sui Leng-kong.
Thiat Tiong-tong tercekat hatinya, tanpa terasa dia berpaling kea rah Sui Leng-kong.
Kembali gadis berbaju ungu itu tertawa cekikikan.
"Sebentar lagi dia akan pergi bersama kami, sekarang per hatikan dulu wajahnya beberapa kejap!"
"Leng-kong, kau.... kau.... ?"
"Sui Leng-kong sudah bergabung dalam perguruan kami dan menempati urutan paling buncit dari Jit sian cu (tujuh orang dewi)" kata Kiu cu Kui bo dingin, "berarti mulai saat ini kau akan jarang sekali dapat bertemu dengannya"
"Tujuh dewi?"
"Betul, ke tujuh orang murid wanita ku persis seperti tujuh dewi yang baru turun dari kahyangan, mereka tidak bisa menjamah semua kehidupan keduniawian"
"Bukankah kau sudah mempunyai tujuh orang murid yang persis menempati posisi tujuh wanita iblis, kenapa kau harus memaksa dia bergabung denganmu?"
"Lo-jit sudah dinodai Phoa Seng-hong, dia sudah bukan perawan lagi, kini Sui Leng-kong muncul, kebetulan sekali dia bisa menempati tempat kosong itu"
"Apakah kau tidak akan mengakui muridmu yang sudah ternoda?"
"Kalau dewi sudah ternoda oleh napsu duniawi, tentu saja dia tidak berhak menempati posisi sebagai dewi lagi" bentak Kiu cu Kui-bo dengan suaara nyaring, "sekalipun aku harus mewakilinya melakukan pembalasan dendam, namun dia pun harus diusir keluar dari perguruan"
"Hmm, aku tidak percaya kalau anak muridmu benar-benar dapat menjaga keperawanan tubuh mereka" jengek Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin.
Kiu cu Kui bo tertawa terbahak bahak:
"Hahahaha.... aku justru akan suruh kau mempercayainya"
Ditengah gelak tertawa yang keras, dia memberi tanda sambil serunya:
"Anak anak, tunjukkan kepadanya!"
Gadis berbaju merah itu segera tertawa cekikikan, ujarnya:
"Thiat siangkong, pentang matamu lebar lebar"
Sambil berkata dia menggulung lengan bajunya dan mem perlihatkan pergelangan tangan-nya yang putih dan mulus.
Kelima orang gadis lainnya segera mengikuti gerakannya dengan menggulung lengan baju masing-masing.
Thiat Tiong-tong segera memperhatikan dengan seksama, biarpun hanya disinari cahaya hijau yang redup dari mutiara, namun ke lima buah lengan tersebut kelihatan begitu putih, halus dan lembut, bagaikan lengan orok yang baru lahir.
Pada ke enam lengan yang putih itu, tepatnya dibawah bahu, terlihat ada sebuah tahi lalat berwarna merah cerah, warna merah itu segar dan kontras dibalik kulit tubuh yang putih, tapi jelas dapat dilihat kalau benda itu tidak lain adalah tahi lalat tanda keperawanan.
Tidak kuasa lagi Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, pikirnya:
"Nama besar tujuh wanita iblis sudah tersohor di seantero dunia persilatan, selama ini orang beranggapan mereka adalah sekawanan iblis wanita yang cabul dan suka merusak kaum pria,
tak disangka ternyata mereka adalah gadis-gadis suci yang bisa menjaga keperawanan masing-masing. Phoa Seng-hong telah menodai seorang gadis suci bersih, tidak heran jika orang lain datang mencarinya untuk membalas dendam"
Tiba-tiba terlihat ada sesosok bayangan manusia melintas masuk ke dalam hutan, orang itu berbaju putih dengan gerakan tubuh yang cepat dan lincah, dia tidak lain adalah Im Ceng, anak murid Perguruan Tay ki bun.
Setibanya ditempat tersebut, dia segera memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan cepat berdiri dihadapan Thiat Tiong-tong dengan sikap melindungi.
"Im kongcu, mau apa kau datang kemari?" tidak tahan Thiat Tiong-tong bertanya.
"Aku menguatirkan keselamatanmu, maka tidak tahan untuk kemari menengokmu!"
Thiat Tiong-tong seketika merasakan hawa panas bergolak dalam dadanya, serunya lagi:
"Aku sama sekali tidak kenal dengan Im kmigcu, kenapa Im kongcu menaruh perhatian besar terhadapku?"
"Kau telah selamatkan aku dari jebakan wanita busuk, tanpa pertolonganmu, mungkin aku akan menjadi manusia paling berdosa bagi Pergurua
Pendekar Cacad 15 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 30
^