Pendekar Pemetik Harpa 12

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 12


tempat jauh, dan kau akan selamat dan tidak akan
direcoki mereka."
Haru dan sedih hati Tan Ciok-sing, tanpa terasa air mata
berkaca-kaca di kelopak matanya, katanya: "Lui Tayhiap,
karena aku kau rela memikul segala resiko buruk itu, demi aku
pula kau mengorbankan rumah dan harta benda, tapi aku
justeru menuduh dan menyalahkan kau, budi kebaikanmu ini,
selama hidup sukar aku membalasnya."
Tam Pa-kun menghela napas, katanya: "Aku pun harus
disalahkan karena terlambat datang empat hari waktu yang
dijanjikan. Sampai detik ini aku masih belum mengerti, entah
bagaimana perjanjianku dengan In Tayhiap bisa bocor. Di
tengah jalan aku kepergok Huwan bersaudara, dua hari
lamanya aku dilibat dan dikeroyok mereka, akhirnya dua di
antaranya dapat kulukai dan membobol kepungan dari barisan
golok mereka. Siang dan malam aku menempuh perjalanan,
alangkah sayangnya tenagaku sudah hampir habis. Lebih tak
terpikir lagi setelah aku terlambat empat hari tiba di Cit-singgiam,
orang-orang Tok-liong-pang masih menunggu aku dan
mengatur jebakan sehingga aku terperangkap, begitu tiba aku
lantas terbokong dan terluka parah. Untung Lui Toako
bertindak tepat pada saatnya kalau tidak jiwaku takkan hidup
sampai sekarang."
"Rahasia ini dicuri dengar oleh Liong Seng-bu bangsat
kurcaci itu." demikian Tan Ciok-sing menjelaskan, "lalu
pamannya yang bernama Liong Bun-kong mengatur tipu daya
662 sehingga In Tayhiap celaka dan kita semua mengalami
musibah ini," lalu dia menceritakan pula apa yang dia ketahui
dari penuturan In-hujin. Baru sekarang Tam Pa-kun tahu
duduknya perkara.
Dalam pada itu mereka sudah tiba di bawah gunung,
rumah keluarga Nyo. sudah tampak di kejauhan sana, haripun
sudah mendekati fajar.
Teringat sesuatu Tan Ciok-sing lantas berkata: "Aku hendak
menemui seorang teman, kira-kira memerlukan waktu
setengah jam. Adik San, kau boleh ikut Tam Tayhiap dan Lui
Tayhiap menunggu di rumah keluarga Nyo saja."
"Dimana temanmu berada?" tanya It-cu-king-thian.
"Berada di bawah Bik-lian-hong, di tepi sungai," sahut Tan
Ciok-sing. "Kau datang bersamanya kemarin malam?" tanya It-cuking-
thian pula. "Ya, dialah yang mengantarku kemari dengan perahunya."
"Kalau dia temanmu, kenapa tidak kau ajak ke rumah
keluarga Nyo saja, supaya kita semua bisa kumpul."
"Dia bukan kaum persilatan, dia seorang nelayan cilik yang
waktu kecil menjadi teman baikku. Aku tidak ingin dia ikut
terjun kedalam pusaran pertikaian kaum persilatan."
Waktu Tan Ciok-sing buru-buru menyusul ke tepi sunyai,
tampak perahu Siau-cu-cu masih ditambat di pinggir sungai,
ternyata dia masih menunggu disana.
Siau-cu-cu amat girang, katanya: "Memangnya aku lagi
kuatir, syukurlah kau kembali dengan selamat. Semalam apa
yang terjadi" Mana nona In, kenapa tidak pulang
bersamamu?"
Tan Ciok-sing tertegun, katanya tertawa: "Ternyata kau
sudah tahu kalau dia menyaru laki-laki. Jangan kuatir, dia
663 tidak apa-apa, Dia ketemu dua orang sahabat ayahnya, kini
seperjalanan menuju ke rumah keluarga Nyo."
"Kalau begitu marilah kau pulang naik perahu kecilku ini"
Hari ini angin menghembus kencang, kembalinya pasti lebih
laju." "Memang aku kemari hendak memberitahu kepadamu, aku
akan tinggal dua hari lagi disini kuharap kau pulang lebih
dulu." Siau-cu-cu tersentak, katanya tersenyum: "Ya memang aku
yang goblok. Kalau nona In belum pulang, sepantasnya
kaupun tetap berada disini."
Merah muka Tan Ciok-sing, katanya: "Baru saja aku
berkenalan dengan seorang teman she Kek, yaitu teman yang
kuceritakan padamu mengundangku kesini."
"Adakah urusan lain yang perlu kau pesan padaku?" tanya
Siau-cu-cu. "Tidak ada, cuma tolong kau rawat kedua ekor kudaku itu."
"Bicara soal kedua ekor kuda itu, ada sebuah hal perlu
kuberitahu padamu."
Melihat sikapnya agak ganjil Tan Ciok-sing bertanya: "Hal
apa?" "Tadi pagi sebelum fajar menyingsing, kudengar ada orang
yang memperbincangkan kedua ekor kuda putihmu itu."
Tan Ciok-sing kaget, tanyanya: "Siapa mereka?"
"Entah siapa, mereka lewat di pinggir kali, perahuku ini
berada di tengah lebatnya daun-daun welingi, sehingga
mereka tidak melihatnya."
"Apa yang mereka bicarakan?"
Seorang berkata: "Aneh, bocah itu dan temannya
menunggang kuda putih milik Kanglam Sianghiap, bila mereka
664 muncul di tengah jalan, orang-orang pihak kita pasti dapat
mengenalinya. Tapi tiada seorangpun yang melihat kuda putih
itu, tahu-tahu bocah itu sudah berada disini." Seorang lagi
berkata: "Memangnya kau kira dia tidak bisa datang naik
perahu?" Yang duluan berkata pula: "Hal itu sudah kupikir,
sayang sekarang tinggal kita berdua, apa masih ada orang lain
yang berhasil lolos belum diketahui.. Keadaan kita sekarang
masih cukup berbahaya, syukur kalau Liong-tayjin ada
mengutus orang untuk membantu kita." -"Sampai disini
pembicaraan mereka, selanjutnya apa pula yang dibicarakan
aku tidak mendengar dengan jelas. Dari nada pembicaraan
mereka, agaknya mereka adalah tawanan yang berhasil
meloloskan diri."
Setelah Tan Ciok-sing tiba di rumah keluarga Nyo, langsung
dia bicarakan hal ini kepada Nyo Hou-hu, setelah diperiksa,
memang, ada tiga orang yang berhasil lolos dari orang-orang
jahat yang terdaftar. Itu berarti kecuali dua orang yang
ditemui Siau-cu-cu, masih ada seorang lain pula yang lolos.
Tapi ketiga orang ini hanya kaum kroco yang tidak begitu
penting peranannya, semuanya sudah ditangkap dan
dijebloskan dalam tahanan oleh Nyo Hou-hu.
Ternyata Tan Ciok-sing amat cocok dengan Kek Lam-wi,
maka dua pasangan kekasih bertamasya bersama, satu
memetik harpa yang lain meniup seruling, kedua pemudinya
bernyanyi, berdendang dan menari, suasana sungguh amat
riang dan menggembirakan. Sehari itu mereka menjelajah
seluruh obyek-obyek turis di Kwan-san tanpa merasakan lelah,
maklum setiap kali berada di suatu tempat yang indah
pemandangannya, maka alunan harpa dan seruling pasti
berkumandang di antara alam pegunungan nan permai,
dipadu pula dengan kicauan burung yang merdu, sungguh
indah dan mengasyikan sekali. Akhir kali dari paduan suara
harpa dan seruling, dimana gema suaranya masih
berkumandang di antara lembah dan sungai, tiba-tiba
665 terdengar sebuah suitan panjang, malah sayup-sayup seperti
terdengar seorang memuji: "Bagus."
Kek Lam-wi melongo sejenak, katanya kaget dan senang:
"Agaknya orang ini punya hobi jugatialam bidang musik,
mungkin dia ingin berkenalan dengan kita." Suitan itu
berkumandang dari atas puncak sana, kalau bukan seorang
yang memiliki lwekang tinggi, suaranya tak mungkin bisa
terdengar sejauh ini.
Teringat sesuatu Tan Ciok-sing berkata: "Bukan saja orang
ini sehobi dengan kita, kemungkinan dia memang punya
maksud tertentu, agaknya dia sengaja hendak menarik
perkenalan, kali ini aku pasti tidak salah dengar."
Kek Lam-wi heran, katanya: "Soal apa yang kau katakan"
Apakah orang itu pernah muncul?"
"Waktu aku datang, di atas perahu pernah juga kupetik
harpaku untuk teman tukang perahuku, waktu itu sayup-sayup
pernah juga kudengar suara suitan. Tapi hanya suaranya saja
tanpa kelihatan bayangannya, kuduga orangnya pasti sama."
"Kemungkinan orang ini masih ada di atas gunung, mari
kita cari dia," demikian ajak Kek Lam-wi.
Tak nyana setiba mereka di puncak Kwa-san, bayangan
seorangpun tiada yang terlihat.
Kek Lam-wi menghela napas, katanya: "Agaknya orang
kosen ini tak sudi bertemu dengan kita semua."
"Aneh, kenapa dua kali dia sengaja bersuit?" ujar In San.
Tan Ciok-sing juga tidak habis mengerti katanya: "Kukira
dia sengaja, hendak menarik perhatian kami, ternyata salah
dugaanku."
"Tapi aku yakin orang itu tidak ' punya maksud jahat
terhadap kita," timbrung In San.
666 "Sudah tentu, kalau dia seorang musikus, seorang seniman,
yakin dia bukan orang jahat."
Tapi Tan Ciok-sing tidak sependapat, batinnya: "Liong
Seng-bu juga seorang pelajar pandai main musik pula,
kelihatannya lemah lembut, kenyataannya dia lebih ganas dari
serigala," namun dia tidak ingin berdebat dengan teman baru
ini, maka dia simpan pikirannya dalam hati.
Sepulang ke rumah keluarga Nyo hari sudah petang, Nyo
Hou-hu berkata: "Aku dan Lui Tayhiap sedang menunggu
kalian pulang."
"Apa ada urusan?" tanya Tan Ciok-sing.
"Hayo masuk dulu, bicara didalam saja," ucap Nyo Hou-hu.
Nyo Hou-hu membawa mereka kedalam kamar bukunya, Itcu-
king-thian sudah menunggu mereka. Melihat mereka
datang, dia tertawa, katanya: "Hari ini kalian tentu amat
riang?" "Hari ini bertamasya dengan Kek-heng, sungguh
merupakan hari yang paling menyenangkan selama hidupku
ini. Tapi..."
"Tapi apa?" tanya It-cu-king-thian.
"Entah Nyo Cengcu ada persoalan apa yang hendak
dibicarakan dengan kami, silakan bicarakan lebih dulu."
"Ada satu urusan yang perlu kusampaikan kepada Kekheng,
tapi bukan soal penting, silakan kalian dulu yang
bicara." "Kami juga tiada urusan apa, cuma ingin kami tanya
seseorang kepada Nyo Cengcu."
"Siapa- yang kalian maksud?"
667 "Seorang yang belum kami ketahui nama dan wajahnya,"
kata Tan Ciok-sing, lalu dia tuturkan kejadian yang mereka
alami di Kwa-san.
Nyo Hou-hu tampak keheranan, katanya: "Penduduk di
sekitar Kwa-san boleh dikata amat kukenal, tapi tiada orang
kosen seperti kalian katakan itu. Kukira dia orang luar yang
datang kesana."
"Kalau dia orang luar sepantasnya juga kemari memberi
selamat kepada Nyo Cengcu. Kalau tidak untuk apa pula dia
berada di sekitar sini?" demikian kata Kek Lam-wi.
Nyo Hou-hu berkata: "Kalian terlalu memberi muka
kepadaku, kalau dia seorang kosen, masakah berani aku
menerima ucapan selamatnya" Tapi secara kebetulan, tadi
memang ada seorang kemari mencari tahu tentang dirimu."
"Siapa?" tanya Kek Lam-wi.
"Kek-heng, bukankah kau punya seorang Susiok yang
bernama Ti Nio tinggal di kota Khong-gwan di daerah Jwansay?"
tanya Hou-hu. "Benar," sahut Kek Lam-wi, "tapi belum pernah aku
bertemu dengan Ti-susiok."
"Dia mengutus seorang muridnya she Kok kemari, dia
mengharap kedatanganmu ke Khong-gwan tanggal lima belas
bulan depan untuk menemuinya."
"Sebetulnya aku ingin kumpul beberapa hari lagi disini
dengan Tan-heng, karena hal ini terpaksa besok juga aku
harus berangkat," demikian ucap Kek Lam-wi.
"Baiklah, karena kau ada urusan, aku tidak akan
menahanmu lebih lama lagi. Tolong sampaikan salamku
kepada Susiokmu."
"Kek-heng besok menuju ke Kwi-lin lebih dulu?" tanya Tan
Ciok-sing. 668 "Betul, kupikir akan menempuh perjalanan darat saja
dengan nona Toh, sepanjang jalan bisa menikmati pemandangan alam,
petangnya kebetulan tiba di Kwi-lin."
"Kalau begitu besok kita bisa seperjalanan," kata Tan Cioksing.
"Lho, kau juga mau pergi" Apa kau tidak menunggu Lui
Tayhiap?" Tanya Nyo Hou-hu.
"Temanku tukang perahu itu tiada pengalaman Kangouw
sama sekali, aku menguatirkan keselamatannya," demikian
kata Tan Ciok-sing, "kalau dia kena perkara lantaran aku,
bagaimana hatiku bisa tentram."
Sesaat berpikir akhirnya It-cu-king-thian berkata:
"Ucapanmu betul, hati-hati memang lebih baik. Kedua ekor
ikan yang lolos itu tidak perlu dibuat kuatir, tapi kalau orang
aneh itu sengaja hendak mencari perkara kepadamu, di Kwilin
aku sudah menyebar beberapa orang, kuatirnya merekapun
tak kuasa menghadapinya."
"Kalau demikian, akupun takkan menahanmu, kelak kita
bertemu saja di markas Kim-to Cecu," kata Nyo Hou-hu.
Kata It-cu-king-thian lebih lanjut: "Muridku yang ketiga
bernama In Ih, dia kenal kau dan Kek-siheng, besok setiba
kalian di Kwi-lin, boleh menginap di rumahnya demikian pula
temanmu itu bila menghadapi sesuatu persoalan boleh minta
bantuan kepadanya. Temanmu itu walau dari kaum lemah
namun punya jiwa ksatria, bila dia suka belajar silat, boleh aku
suruh In Ih menerimanya sebagai murid."
Setelah segala sesuatunya diatur baik, hari kedua, Tan
Ciok-sing, In San, Kek Lam-wi dan Toh So-so berempat
mohon diri, lalu menempuh perjalanan bersama.
Dari Yang-siok ke Kwi-lin sejauh seratus dua puluh li, sehari
perjalanan supaya tidak terlambat, terpaksa mereka hanya
669 menikmati pemandangan sepanjang jalan sambil lalu belaka.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah jalan mereka kehujanan dan harus berteduh selama
satu jam, karena jalanan becek, waktu mereka memasuki kota
Kwi-lin, hari sudah gelap.
"Seharusnya aku ikut pergi ke rumah keluarga In, tapi
kuatir terlalu malam, tidak leluasa mencari temanku itu.
Tolong sampaikan saja salamku kepada In Ih."
Kek Lam-wi mengiakan katanya: "Tapi, apa kau tidak
makan malam dulu" Marilah, kita makan dulu."
Perut Tan Ciok-sing memang sudah lapar, dari pada bikin
susah Siau-cucu, dia pikir lebih baik mampir ke warung dulu
baru ke rumahnya. Maka katanya: "Baiklah, besok aku tak bisa
mengiringi perjalanan kalian lebih jauh, biar kali ini aku yang
traktir, kalian ingin makan apa boleh pesan saja,"
"Supaya tidak membuang waktu, kita makan di warung
saja. Aku hanya ingin menikmati satu macam makanan saja."
"Masakan apa?" tanya Tan Ciok-sing.
"Nasi tim daging kuda."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Kau memang pandai
mencari makan, nasi tim daging kuda dari Kwi-lin memang lain
dari yang lain, di lain tempat takkan bisa kau nikmati. Di jalan
Yong-im ada sebuah warung tua yang paling baik, mari kuajak
kesana. Tapi jangan kau pandang warung itu sudah reyot dan
kotor." Warung tua ini memang kecil, kotor lagi, dinding rumahnya
sudah hitam hangus oleh asap, agaknya sudah sekian tahun
tidak pernah dibersihkan. Toh So-so dari keluarga besar yang
kaya raya, sudah tentu tak biasa berada di warung sekotor ini,
dia masuk dan duduk sambil menutup hidung.
Melihat ada tamu, pelayan segera menyilakan duduk, tanpa
dipesan segera dia lari kesana mulai mengiris daging kuda.
670 Secara bisik-bisik In San berkata: "Kenapa tidak kau pesan
beberapa mangkok lebih dulu?"
"Tidak usah pesan," kata Tan Ciok-sing, "apalagi orangorang
yang kemari makan nasi tim daging kuda tiada yang
tahu pasti berapa banyak dia menghabiskan."
"Eh, memangnya takeran makan sendiri tidak tahu?" tanya
In San bingung.
"Orang yang takeran makannya besar sekaligus bisa
menghabiskan tiga puluh sampai empat puluh mangkok, bagi
yang takeran kecil sedikitnya juga belasan atau dua puluhan
mangkok. Makan banyak atau sedikit kan tidak menjadi
persoalan."
"Apa?" teriak In San, "seorang bisa menghabiskan empat
puluh mangkok" Mangkok apa itu?"
"Nanti setelah disuguhkan kau akan tahu sendiri," sahut
Tan Ciok-sing. Tak lama kemudian pelayan sudah membawa
nampan menyuguhkan nasi tim daging kuda.
Ternyata mangkok yang berisi nasi daging kuda hanya
sebesar cangkir teh. Seketika In San tertawa, katanya: "O,
kiranya sekali gares dapat melalap satu mangkok, tak heran
yang doyan makan bisa menghabiskan empat puluh
mangkok." "Nasinya juga amat harum," kata Toh So-so. Setelah
dicicipi ternyata daging kudanya empuk wangi dan manis,
nasinyapun lembut dan segar, memang lezat dan nikmat.
Semula dia makan sambil menutup hidung, akhirnya semakin
lahap semakin riang dan berseri tawa.
Sudah menjadi aturan umum, bila sang tamu tidak suruh
berhenti, pelayan masih terus menyuguhkan tanpa berhenti.
Tan Ciok-sing minta Sam-hoa-ciu, dengan Kek Lam-wi dia
makan sambil minum arak. Sebentar saja mangkok kosong
sudah bersusun memenuhi meja.
671 In San berkata: "Aneh, semakin makan semakin enak."
"Itupun merupakan peraturan untuk yang suka makan nasi
tim daging kuda. Beberapa mangkok permulaan daging yang
disuguhkan adalah daging kuda biasa, kira-kira setelah lima
mangkok, baru kau akan betul-betul merasakan daging kuda
yang paling lezat, bila kau sudah merasakan bagian dalamnya,
tanggung kau takkan merasa kenyang."
Waktu pelayan menghitung rekening, mereka berempat
seluruhnya menghabiskan sembilan puluh delapan mangkok.
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Kurang dua genap seratus
mangkok, takeran makan kita ternyata biasa saja."
Di tengah jalan mereka berpisah, Tan Ciok-sing dan In San
menuju ke pintu timur, waktu mendongak ternyata rembulan
sudah bercokol di tengah langit, Tan Ciok-sing kaget, katanya:
"Begitu lama kita makan nasi tim daging kuda, sekarang
mungkin sudah menjelang kentongan ketiga."
"Salahmu minum arak segala, kalau sudah terlambat mau
apa lagi, paling mengganggu tidur Siau-cu-cu, kukira dia tidak
akan salahkan kau," demikian kata In San.
Berendeng mereka beranjak di Hoa-kio terus menuju ke
Cit-sing-giam, rumah Siau-cu-cu berada di belakang Cit-singgiam,
mereka masih harus menempuh perjalanan cukup jauh.
Pada saat itulah di atas lereng sana kedengaran ada suara
orang. Lekas Tan Ciok-sing tarik tangan In San sambil
memberi tanda supaya dia berhenti. In San melengak, lekas
diapun mendengar suara orang di atas.
Suara yang terbawa angin lalu kedengaran jelas, ternyata
pembicaraan dua orang yang sudah mereka kenal suaranya.
Seorang adalah Siang Po-san, seorang lagi adalah Phoa Lathong.
Terdengar Phoa Lat-hong sedang berkata: "Sungguh
sial, tak nyana tak berhasil mencuri ayam malah kehilangan
segenggam beras. Entah siapa kedua keparat itu?"
672 "Kalah menang sudah biasa, suatu ketika gagal juga sudah
sering terjadi, untung kita sudah tahu dimana sembunyinya
Tan Ciok-sing bocah keparat itu, besok mungkin dia akan
kembali dari Yang-siok, asal dia tidak bersama It-cu-kingthian,
kita masih bisa mengerjai dia."
Phoa Lat-hong berkata: "Kuatirnya kedua keparat itu
adalah komplotannya, kita kuntit diam-diam, ternyata mereka
juga mengawasi kita.
"Kukira bukan, kalau kedua orang itu temannya, mana bisa
mereka melakukan perbuatan seperti kita?"
Sampai disini Tan Ciok-sing tidak tahan lagi, segera dia
kembangkan Pat-pou-kan-sian terus melompat keluar
memburu ke atas lereng, bentaknya: "Tak usah tunggu
sampai besok bagaimana kalian hendak menjebakku, sekarang
saja," belum habis dia bicara pedang pusakanya sudah
terlolos, tubuh dan pedangnya bagai selarik lembayung
menukik turun terus menggulung tiba, "Trang" pedangnya
membentur keras dengan gitar besi Siang Po-san.
Sebagai murid tunggal Bi-ba-bun kungfu Siang Po-san
memang cukup tinggi, dalam sekejap itu dia sudah bergebrak
tiga jurus dengan Tan Ciok-sing, namun tiada yang dirugikan.
Samentara itu In San terlambat bertindak, maka dia belum
menyusul tiba. Setelah mendesak Tan Ciok-sing mundur dua langkah tibatiba
Siang Po-san berteriak: "Angin kencang." begitu gitar
ditekan, "Ting, ting" tiba-tiba dua batang paku penembus
tulang melesat kesana menyerang ke arah In San yang
memburu tiba. Tan Ciok-sing tahu betapa liehay paku orang,
kuatir In San tak kuasa menangkisnya, lekas dia membalik
tubuh sambil menyambit dua batang piau besi, sehingga paku
penembus tulang itu dirontokkan di tengah jalan.
Siang dan Phoa berdua pernah merasakan betapa liehaynya
Siang-kiam-hap-pik dari Tan Ciok-sing dan In San, begitu
673 melihat In San memburu tiba, kontan mereka ngacir
mencawat ekor. Sementara Tan Ciok-sing menguatirkan
keselamatan Siau-cu-cu, maka dia tidak mengejar.
"Dari pembicaraan mereka tadi dapat disimpulkan, bahwa
mereka berada disini hendak melakukan kerja tanpa modal.
Tapi di kala mereka hendak bertindak, ternyata kebentur
lawan tangguh yang bertujuan sama," demikian In San
mengutarakan pendapatnya.
"Syukur kalau orang yang bentrok dengan mereka adalah
orang-orang utusan Lui Tayhiap."
"Mungkin hanya tinggal harapanmu belaka, kan belum
tentu kedua orang itu orang baik."
"Betul, agaknya kedua orang itu juga melakukan perbuatan
yang sama, jelas perbuatan mereka terhitung jahat pula.
Entah perbuatan jahat apa yang mereka lakukan?"
Setiba di depan rumah Siau-cu-cu, tampak sinar api masih
menyorot keluar dari jendela. Waktu itu sudah lewat
kentongan ketiga, jantung Tan Ciok-sing jadi berdebar,
batinnya: "Sampai malam begini ternyata Siau-cu-cu belum
tidur, jangan-jangan memang terjadi apa-apa pada dirinya,"
tengah berpikir dia beranjak lebih dekat, maka didengarnya
Siau-cu-cu sedang berbicara dengan ibunya didalam rumah.
Ayah Siau-cu-cu sudah lama wafat, sejak kecil mereka anak
dan ibu hidup berdampingan.
"Aduh, dadamu menghitam begini, mungkin lukanya tidak
ringan, tengah malam buta rata begini, bagaimana bisa masuk
kota mengundang tabib kemari, bagaimana baiknya?"
"Bu, tak usah kau kuatir, aku sudah jauh lebih baik.
Sekarang tidak terlalu sakit lagi."
"Ah, masa iya, kau ditendang roboh dan jatuh pingsan oleh
rampok bengis itu, baru saja siuman, mana mungkin bisa
674 sembuh secepat ini" Em, ya orang itu memberi sebotol pil
obat ini untukmu, baiklah dicoba saja,"
Mendengar Siau-cu-cu terluka, karuan Tan Ciok-sing gugup
dan gelisah, lekas dia menggedor pintu. Siau-cu-cu kira
kawanan rampok putar balik lagi, serunya murka: "Bu, lekas
kau sembunyi, biar aku adu jiwa dengan kawanan anjing itu,"
entah dari mana datangnya tenaga, tiba-tiba dia berjingkrak
berdiri. "Siau-cu-cu, tak usah takut, inilah aku," lekas Tan Ciok-sing
berteriak keluar.
Sudah tentu Siau-cu-cu kaget dan girang, tapi dia tak
percaya akan pendengaran sendiri, tanyanya: "Apa betul kau
Siau-ciok-cu?"
"Coba dengarkan dengan cermat, memangnya kau tidak
mengenal suaraku lagi" Aku pulang bersama nona In."
Lekas Siau-cu-cu membuka daun pintu, tanpa terasa air
mata berkaca-kaca, katanya: "Siau- ciok-cu, aku malu
berhadapan dengan kau," tubuhnya limbung, hampir saja dia
tersungkur jatuh.
Lekas Tan Ciok-sing membimbingnya ke atas pembaringan,
katanya: "Peduli apa yang telah terjadi, aku tidak salahkan
engkau. Sembuhkan dulu luka-lukamu lebih penting."
Tapi Sian-cu-cu berkata: "Kedua ekor kudamu itu dicuri
orang." Hal ini sudah diduga oleh Tan Ciok-sing, lekas dia
menghibur: "Memang sayang kalau kuda itu direbut kawanan
rampok, apapun yang terjadi, jiwa dan keselamatan lebih
penting. Jangan kau ambil dalam hati peristiwa ini mari biar
kuperiksa lukamu."
"Kau pernah bilang kuda itu kau pinjam dari orang lain,
mereka bisa menempuh ribuan li sehari, kuda sebagus itu tapi
aku tak mampu melindunginya."
675 "Memangnya kuda yang dapat lari ribuan li sehari lebih
tebal dari persahabatanmu terhadapku, tak usah kau pikirkan
hal ini, kalau tidak mendengar nasehatku, aku bisa marah
lho." Tengah mereka bicara ibu Siau-cu-cu sudah melepas
pakaian atas putranya, katanya lembut: "Siau-ciok-cu, tolong
kau periksa, apakah lukanya parah?"
Tampak rona hitam menghiasi dada Siau-cu-cu, selintas
pandang memang menakutkan, Tan Ciok-sing tahu luka-luka
ini memang cukup parah, tapi kini sudah jauh lebih mending.
Kulit yang membengkak hitam itu semula cukup lebar dan
luas, kini rona hitamnya sudah agak luntur. Begitu pakaian
Siau-cu-cu dibuka hidung Tan Ciok-sing mengendus bau Kimjong-
yok. Tanyanya: "Kau pernah memoles obat pada lukamu
ini" Lho kenapa diusap lagi?"
"Kawanan rampok itulah yang membubuhi obat ini, aku tak
percaya ada rampok sebaik itu, maka aku mengusapnya
bersih." "Rampok itu memang aneh, kenapa setelah melukai kau
membubuhi obat lagi" Tapi inilah Kim-jong-yok tulen dari
kwalitet paling baik."
"Tapi mereka adalah dua rampok yang lain, bukan dua
rampok yang duluan," demikian ibu Siau cu-cu menerangkan.
Tiba-tiba In San menyeletuk: "Rampok yang memberi salep
kepadamu itu bukankah juga memberi sebotol pil obat, coba
keluarkan supaya kuperiksa."
Lekas ibu Siau-cu-cu angsurkan botol obat itu kepada In
San, katanya: "Lekas nona periksa apakah pil obat inipun
tulen?" Setelah melihat pil obat itu seketika In San keheranan,
katanya: "Inilah Wi-yang-tan buatan keluargaku dari resep
tunggal warisan leluhur khusus mengobati luka-luka dalam,
676 menurut ayah Wi-yang-tan dari keluarga kita ini kira-kira
sejajar mujarabnya dengan Siau-hoan-tan buatan Siau-lim-si.
Aku juga punya resep rahasia ini, tapi aku sendiri belum
pernah membuatnya."
Mau tak mau Tan Ciok-sing ikut heran, katanya: "Apa
betul?" "Coba kau buktikan, aku sekarang juga membawa Wi-yangtan."
In San keluarkan sebuah botol porselin kecil diangsurkan
kepada Tan Ciok-sing, bentuk dan warnanya memang sama
demikian pula baunya yang harum juga tak berbeda.
Kata In San: "Lauw Toako, luka-luka yang kau derita ini
sebutir sudah lebih dari cukup untuk menyembuhkannya. Tapi
rampok itu sekaligus memberi tiga butir padamu, dia benarbenar
seorang rampok yang baik hati."
"Masakah rampok ada yang berhati baik, wah merupakan
berita jadinya. Tapi aku tetap tak percaya."
"Kim-jong-yok itu jelas tulen, maka pil inipun pasti bukan
palsu," ucap Ciok-sing.
"Kalau kau tak percaya obat pemberian rampok ini, biarlah
kutukar saja dengan Wi-yang-tan milikku ini," demikian kata
In San.

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-cu-cu segera telan sebutir Wi-yang-tan tak lama
kemudian terasa hawa hangat timbul dalam pusarnya,
seketika semangatnya berkobar dan badan lebih segar.
Waktu Siau-cu-cu makan obat Tan Ciok-sing bertanya
kepada In San: "Apakah Wi-yang-tan ayahmu sering
disumbangkan kepada teman-temannya?"
Cukup lama In San berpikir, katanya kemudian: "Aku tidak
mengerti. Walau ayah takkan mungkin memberikan obat-obat
ini kepada teman-temannya, tapi kawan-kawan dari kaum
ksatria memerlukan ayah akan memberikan dengan sukarela.
Teman-temannya yang paling akrab hanya yakin tahu TamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
677 pepek dan Kim-to Cecu," sebetulnya dalam hati dia sudah
curiga, tapi sekarang dia tidak leluasa memberitahu kepada
Tan Ciok-sing. "Dengan kepandaian ayahmu, orang lain tak mungkin bisa
mencuri Wi-yang-tan dari tangannya," demikian kata Cioksing,
aneh juga mungkinkah kawanan rampok ini dari
kalangan ksatria?"
Kesehatan Siau-cu-cu sudah juga lebih baik, tak tahan dia
berteriak: "Kaum ksatria apa" Kau tahu rampok yang memberi
obat inilah yang merebut kudamu. Ai, sayang kedatanganmu
terlambat satu jam, kalau kau bisa datang lebih pagi, kalian
akan bentrok dengan kawanan rampok itu."
"Kawanan rampok" Jadi bukan hanya dua orang saja yang
kemari?" tanya Ciok-sing.
"Semua empat orang, tapi mereka tidak datang bersama.
Dua orang datang lebih dulu lalu datang pula dua yang lain."
"Dua orang yang datang duluan apakah berwajah begini
begitu" Satu di antaranya membawa gitar?" lalu dia lukiskan
bentuk tampang Siang Po San dan Phoa Lat-hong.
"Sedikitpun tidak salah, dari mana kau bisa tahu?" tanya
Siau-cu-cu terbeliak.
"Aku sudah ketemu mereka di tengah jalan," ujar Ciok-sing
tertawa, lalu dia ceritakan bahwa kedua gembong iblis itu
sudah digebahnya lari mencawat ekor.
Keruan Siau-cu-cu amat senang, katanya: "Sayang kau
tidak merebut balik kuda itu, tapi terlampias juga rasa
penasaranku."
"Kuda kami itu dirampas oleh kedua rampok yang datang
belakangan bukan?" tanya Ciok-sing. "Ya, betul," sahut Siaucu-
cu. 678 "Bagaimana pula tampang perampok yang datang
belakangan?"
"Rampok yang datang duluan sebetulnya sudah hendak
membunuh aku. Pada detik-detik genting di kala jiwaku sudah
hampir menghadap Giam-lo-ong itu, tiba-tiba muncul dua
sosok bayangan orang, secepat angin lesus tahu-tahu
menubruk tiba. Rampok yang bersenjata gitar segera
berteriak: 'Jangan hiraukan bocah itu, kita sudah berhasil,
lekas pergi saja.' Aku melihat mereka sudah mencemplak ke
punggung kuda, tapi kejadian selanjutnya bagaimana aku
tidak tahu. Dadaku kena ditendang sekali sakitnya bukan
main, kontan aku jatuh semaput."
Maka tiba giliran ibu Siau-cu-cu bercerita: "Aku mengintip
dari belakang daun pintu, melihat Siau-cu-cu ditendang roboh,
saking kaget aku gemetar dan tak mampu berdiri lagi, ingin
keluar menolongnya tapi kedua kakiku terasa lunglai tak
bertenaga. Kudengar suara gaduh dan gedebukan yang ramai
diluar kiranya kawanan rampok itu saling pukul dan genjotgenjotan
dengan seru. Ternyata dua rampok yang datang
duluan bukan tandingan dua rampok datang belakangan,
mereka akhirnya lari."
"Apa kau melihat wajah kedua rampok yang datang
belakangan?" tanya In San.
Ibu Siau-cu-cu menutur: "Saking kaget aku jadi
kebingungan, aku hanya bisa mengintip dari sela-sela pintu,
mana bisa kulihat jelas" Tapi satu di antaranya kelihatan
masih muda, mirip anak sekolahan, setelah memukul lari
kedua orang itu, dia berdiri di depan pintu dan berkata: "Lomama
(ibu tua) kau tak usah takut, kami tidak akan
mencelakai putramu. Tapi kedua ekor kuda ini akan kami
ambil. Disini kutinggalkan seratus tahil perak, nanti, boleh
keluar mengambilnya. Lekas kau tolong putramu."
Maka Siau-cu-cu menyambung: "Entah berapa lama aku
semaput, tiba-tiba terasa sekujur badan dingin nyaman,
679 seketika aku siuman, samar-samar sempat kulihat ada dua
bayangan orang berdiri di depanku, aku hanya mendengar
perkataannya."
"Apa yang dia katakan kepadamu?" tanya In San.
"Dia membisiki aku: 'Kau tak usah kuatir, aku sudah
memoles obat di dadamu, kutinggalkan pil obat pula, yakin
setelah kau menelan pil obat ini kesehatanmu akan lebih kuat
dan fit.' Sebelum pergi perampok ini ternyata masih berpurapura
baik di hadapanku, katanya pula: "Malam ini bikin kau
menderita sungguh harus disesalkan. Aku mohon maaf
padamu, rawatlah luka-lukamu dengan baik,' lalu dia naik ke
punggung kuda tinggal pergi temannya."
Tan Ciok-sing masih ragu-ragu katanya: "Orang itu
memang tidak ngapusi, dia memberi obat paling mujarab
untuk kau."
Ibu Siau-cu-cu bercerita pula: "Waktu aku membuka pintu
dan keluar, betul juga kulihat sebungkus uang perak, Siau-cucu
suruh aku kembalikan kepada orang itu, tapi orang itu
sudah keburu pergi."
Siau-cu-cu berkata: "Aku justeru tidak percaya ada rampok
sebaik itu maka aku bersihkan salep yang dipoleskan di
dadaku. Siapa kira ternyata dia betul menolong jiwaku. Tapi
kenapa dia merebut kudamu?"
"Akupun tak tahu sebab musababnya. Tapi rampok
memang beraneka ragam, pelajar yang kau temui ini umpama
betul adalah rampok, dia boleh terhitung rampok yang baik
hati." "Betul, kalau dia seorang rampok yang baik hati, karena
Siau-cu-cu terluka dia merasa menyesal, maka memberinya
uang dan obat, kalau demikian sepantasnya dia memberi tahu
apa tujuannya merampas kuda itu. Siau-cu-cu coba kau pikir
lagi lebih cermat, mungkin masih ada kata-kata yang kau
lupakan?" 680 Agaknya Siau-cu-cu menjadi kikuk dan kuatir pula, katanya:
"Sebelum rampok itu pergi, dia memang ada berpesan
kepadaku, tapi aku, aku kuatir kau tertipu oleh rampok itu,
maka tak berani aku menyampaikan pesannya itu."
"Aku takkan gampang ditipu orang," bujuk Tan Ciok-sing,
"apa pesannya lekas kau beritahu kepadaku."
"Dia bilang: 'Temanmu mungkin besok pulang, beritahu
kepadanya, kalau dia ingin tahu kenapa aku merebut kuda
tunggangannya, boleh suruh dia pergi ke panggung batu di
atas Cit-sing-giam menemui aku besok malam setelah
kentongan ketiga.'"
"Syukurlah kalau begitu," ucap Tan Ciok-sing, "besok
malam aku akan tahu siapa dia sebenarnya."
"Tapi dia menekankan, besok malam hanya kau seorang
saja yang boleh kesana. Kalau ada orang lain lagi, dia tidak
akan menemui kau," demikian Siau-cu-cu menambahkan.
Hari kedua Tan Ciok-sing bawa Siau-cu-cu dan ibunya
bertandang ke rumah keluarga In, kemarin In Ih sudah
bertemu dengan Kek Lam-wi diapun sudah tahu akan pesan
gurunya bahwa gurunya bakal menerima seorang murid baru
lagi maka dia terima Siau-cu-cu dan ibunya tinggal di
rumahnya. Setelah makan siang Tan Ciok-sing segera memohon diri.
Kalau orang itu berjanji akan menemui pada kentongan
ketiga, tapi kentongan kedua dia sudah datang lebih dini ke
Cit-sing-giam. Panggung yang ditunjuk terletak di belakang karang Citsing-
giam, didalam gua karang Cit-sing-giam terdapat sebuah
mulut gua, dari sini bisa langsung menuju ke panggung batu
itu. Tapi penduduk setempatpun jarang yang tahu akan
rahasia ini. Sejak kecil Tan Ciok-sing sering bermain di Citsing-
giam, dengan memejam matapun dia tidak akan kesasar
jalan. Lorong gelap ini dahulu sering dia bermain petak
681 dengan Siau-cu-cu dan secara kebetulan mereka temukan
jalan tembus rahasia ini.
Walau dia yakin orang itu tidak akan mencelakai dirinya,
tapi waspada tiada ruginya, maka untuk menjaga segala
kemungkinan dia berkeputusan untuk mencari suatu tempat
sembunyi, sekaligus untuk mengamati gerak gerik orang. Dia
naik tidak dari arah depan, karena jejaknya mungkin bisa
konangan, maka dia putar ke belakang, dari sini diam-diam
dia berbalik dapat memeriksa keadaan sekelilingnya, apakah
orang ada mengatur perangkap.
Baru saja kentongan kedua lewat, dia kira orang itu belum
datang. Tapi rekaannya ternyata tidak sesuai dengan
kenyataan, di waktu dia menongol keluar dari mulut lobang,
lapat-Iapat sudah dilihatnya dua bayangan orang berada di
atas panggung batu itu, dua orang ini sedang bicara.
Ciok-sing sembunyi di belakang batu didengar seorang
berkata: "Siauya sungguh aku tak mengerti kenapa kau
berbuat demikian?"
Suaranya seperti sudah dikenal, baru saja Tan Ciok-sing
melenggong, orang yang dipanggil Siauya itu menghela napas,
katanya: "Tan Ciok-sing adalah orang baik, walau baru sekali
aku bertemu dan bersahabat dengan dia, dalam lubuk hatiku
aku sudah anggap dia sebagai teman karibku."
Suara orang ini lebih dikenal lagi, keruan Ciok-sing kaget,
batinnya: "Kenapa dia?" segera dia mengamati lebih tajam,
memang tidak salah orang yang berdiri di atas panggung dan
kebetulan menghadap kemari itu, bukan lain adalah Siauongya
dari keluarga Toan di Tayli. Yang berdiri di sampingnya
adalah kacungnya. Waktu mampir ke Tayli tempo hari.
Tan Ciok-sing pernah melihatnya juga.
Agaknya kacung cilik ini uring-uringan, katanya dengan
meninggikan suaranya: "Siauya, maafkan kalau aku bicara
blak-blakan umpama betul kalian bersahabat baik, apakah
682 pantas kau menyerahkan nona pujaan hatimu kepadanya
begitu saja."
Siau-ongya Toan Kiam-ping menghela napas, katanya: "Kau
tidak tahu, hubungan Tan Ciok-sing dengan keluarga In bukan
sembarangan, didalam pandangan nona In, sudah tentu dia
lebih dekat dan mesra dari aku."
"Aku tidak percaya keluarga Toan dan keluarga In juga
sudah berhubungan turun menurun, sejak kecil Siauya juga
dibesarkan bersama nona In, hubungan kalian lebih intim dari
saudara sepupu. Bagaimana tidak sebanding dengan bocah
she Tan itu."
"Jangan kau kurang ajar terhadap Tan-siangkong. Kau
tidak tahu, jangan sembarang ngomong."
"Memang aku tidak tahu, tolong kau jelaskan kepadaku."
"Hal itu juga baru akhir-akhir ini kuketahui, memang
keluarga Toan kita punya hubungan intim sejak kakek moyang
dengan keluarga In, tapi Tan Ciok-sing adalah tuan penolong
keluarga In."
"Umpama betul tuan penolong, Siauya kau bisa wakilkan
nona In membalas budi kebaikannya itu, tapi kenapa mentahmentah
kau serahkan nona In kepada bocah she Tan itu,
memangnya kau tidak menyukai nona In lagi" Siauya, kau bisa
mengelabui orang lain, tapi jangan kau ngapusi aku, aku tahu
selama beberapa tahun yang kau tunggu hanyalah nona In
seorang." Toan Kiam-ping menghela napas, ujarnya: "Yang disukai
nona In justeru adalah Tan Ciok-sing."
"Dari mana tahu" Setiba disana, kau kan belum bertemu
nona In." "Aku pernah melihatnya, kemarin waktu di Kwan-san aku
sudah melihat mereka. Aku tahu dia amat menyukainya."
683 "Apakah nona In sendiri yang mengatakan kepadamu?"
"Kenapa harus dia memberitahu kepadamu, memangnya
aku tidak bisa melihatnya."
"Kalau begitu, itu hanya rekaanmu saja Siauya, yang benar
malam ini seharusnya kaupun undang nona In kemari, tiga
orang berhadapan bukankah lebih baik dari pada main teka
teki" Siauya, kalau kau tidak berani tanya kepada nona In biar
aku yang tanya dia."
"Banyak urusan, memangnya kau sedikitpun tidak tahu
akan penderitaanku."
"Siapa bilang aku tidak tahu" Aku tahu kau ingin berbuat
baik terhadap teman, aku tahu kau ingin merangkap
perjodohan mereka, aku juga tahu kau kepingin bertemu
dengan nona In tapi juga takut berhadapan dengan nona In."
Mendengar sampai disini tanpa terasa Tan Ciok-sing
menjublek di tempatnya, pikirnya: "Jika orang yang sembunyi
di Kwan-san itu kiranya memang dia. Kedatangannya ke Kwilin
tentu ingin menengok In San, tapi lantaran kehadiranku
disini, dia lebih rela berkorban. Ai, bagaimana baiknya aku
bertindak?"
"Siauya," terdengar kacung itu berkata pula: "Ada satu hal
mungkin masih belum kau ketahui."
"Hal apa?"
"Ling Suhu pernah memberitahu kepadaku. Waktu kalian
masih kecil, suatu ketika In Tayhiap bertandang ke rumah
kau, waktu bicara dengan Lo-ongya dia bilang dia hanya
punya seorang putri, harapannya kelak putrinya bisa hidup
tentram dan bahagia, jangan seperti dirinya yang hidup kelana
di Kangouw, selalu harus menempuh dan menyerempet
bahaya. Waktu itu Ling Suhu ada di samping, setengah
kelakar dia menyeletuk. Kalau demikian lebih baik kalau
putrimu kelak dinikahkan dengan Siau-ongya kita ternyata In
684 Tayhiap dan Lo-ongya punya maksud yang sama. Tapi
lantaran waktu itu usia kalian masih terlalu kecil, maka soal
jodoh ini tidak seketika diputuskan secara resmi."
"Lain dulu lain sekarang, Umpama betul dulu In Tayhiap


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya maksud itu, bukan mustahil belakangan dia merubah
niatnya. Apalagi soal jodoh ini belum resmi?"
Tiba-tiba kacung itu bertanya: "Siauya, kenapa malam ini
kau tidak minta Ling Suhu menemani kau?"
"Aku suka kau yang menemaniku, apa kau tidak sudi?"
"Sudah tentu aku senang hati, tapi coba biar kutcbak isi
hatimu, malam ini kau tidak berani mengajak Ling Suhu
lantaran kau takut Ling Suhu mencegah perbuatan bodohmu.
Bukan mustahil begitu berhadapan dengan Tan Ciok-sing, dia
bakal memaki dan menistanya sebagai pemuda mata
keranjang yang tidak tahu diri seperti kodok buduk yang ingin
mencaplok daging bangau saja"
Toan Kiam-ping marah serunya: "Mana boleh kau
mengundal obrolan tidak genah begini, merendahkan
martabat Tan-siangkong saja memangnya kau sudah lupa
akan pesanku" Berani sembarang omong lagi awas kugampar
mulutmu." Sejauh ini pembicaraan mereka, maka persoalanpun sudah
gamblang, ternyata dari mulut Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu,
Toan Kiam-ping tahu jejak mereka, maka sengaja dia
menyusul ke Kwi-lin. "Maka rampok baik hati semalam
merampas kuda putih di rumah Siau-cu-cu kini sudah jelas
adalah perbuatan Siau-ongya ini, sementara seorang
temannya lagi adalah Cong-kau-thau dari rumah keluarga
Toan, yaitu Ling Suhu, bukan heran kedua gembong iblis itu
bukan tandingan mereka," demikian batin Tan Ciok-sing.
Setelah tahu duduknya persoalan, hati Ciok-sing jadi risau,
resah dan ruwet, darah seperti bergolak dalam tubuhnya
685 "Kacung itu memaki aku sebagai kodok buduk, ai, tak bisa
disalahkan kalau dia memakiku demikian, kalau aku dibanding
Siau-ongya memang tidak setimpal menjadi pasangan putri In
Tayhiap." Syukur hembusan angin malam pegunungan yang sepoisepoi
dingin menyegarkan otak Tan Ciok-sing, kembali dia
membatin: "Toan Kiam-ping memandangku sebagai sahabat
karib, suka rela berkorban dan menyerahkan nona pujaannya
kepadaku, begitu luhur budinya, sungguh aku patut menyesal
dan malu diri, bagaimana aku harus bertindak?"
Didengarnya kacung itu sedang berkata pula: "Siauya,
bukan aku suka ceriwis, kau begini baik terhadap Tan Cioksing,
tapi dia justru berbuat salah kepadamu."
"Omong kosong, dalam hal apa dia berbuat salah
terhadapku?" Semprot Toan Kiam-ping.
"Kau suruh dia mengirim kabar kepada nona In, berarti kau
mempercayainya, tapi dia justeru merebut kekasihmu."
"Dia menolong nona In sebelum aku minta dia mengirim
suratku itu."
"Memang, kau menganggapnya teman yang dapat
dipercaya, tapi dia justeru menyembunyikan hubungan
akrabmu dengan keluarga In,.dapatkah ini dikatakan dia
menganggap kau sebagai temannya" Hm, yang jelas dia tahu
bahwa kau diam-diam mencintai nona In."
Berkerut alis Toan Kiam-ping, katanya: "Kularang kau
rasani Tan-siangkong."
"Begini tidak boleh, begitu juga dilarang, baiklah terpaksa
mulutku biar bungkam saja. Ai, Siauya, kalau kau rela berbuat
sebodoh ini, ya akupun apa boleh buat."
Toan Kiam-ping menengadah, tampak rembulan sudah
meninggi di tengah angkasa, katanya: "Sudah mendekati
kentongan ketiga, turunlah kau menjaga di bawah." Kini
686 tinggal Toan Kiam-ping seorang yang berdiri di atas panggung
batu, kini rembulan sudah tepat di tengah angkasa, tepat tiba
kentongan ketiga.
Tan Ciok-sing masih bimbang apakah dia perlu keluar
menemui Toan Kiam-ping. Persoalan kuda putih sudah jelas.
Isi hati Toan Kiam-ping sudah dia ketahui. Perlukah dia keluar
menemuinya pula"
Agaknya Toan Kiam-ping sudah tidak sabar dan tampak
gelisah, dia celingukan kian kemari sambil mondar mandir
menggendong tangan, mulutnya terdengar menggumam:
"Kenapa belum datang juga" Apakah dia curiga dan kuatir
musuh mengatur perangkap hendak mencelakai jiwanya" Atau
di tengah jalan dia mengalami sesuatu?"
Tan Ciok-sing tetap mendekam di semak belukar di
belakang batu, dia tetap tak kuasa mengambil keputusan.
Mendadak muncul sesosok bayangan dari lamping gunung
sana, berlari kencang, tujuannya adalah panggung batu di
atas Cit-sing-giam, dilihat gerak geriknya ternyata ginkangnya
tidak lemah. Terdengar Toan Kiam-ping menghela napas lega, katanya:
"Nah, akhirnya datang juga."
Sudah tentu Tan Ciok-sing keheranan, "Siapakah yang
datang?" Cepat sekali orang ini sudah melejit ke atas panggung batu,
begitu melihat yang datang ini bukan Tan Ciok-sing, sesaat
Toan Kiam-ping jadi menjublek, bentaknya: "Siapa kau."
Orang itu menjawab: "Aku mengantarkan surat Tan Cioksing.
Siapa kau?"
"Akulah Toan Kiam-ping dari Tayli, kau, kau ini..."
"Hah, kiranya Siau-ongya dari Tayli. Kalau Tan-siangkong
tahu akan dirimu, tak usah dia suruh aku kemari."
687 "Jadi kau, adalah teman Tan-siangkong, tolong tanya siapa
she dan namamu?"
"Aku adalah murid tertua dari It-cu-king-thian, namaku In
Ih..." "Jadi kau ini In Ih?" Toan Kiam-ping menegas heran, walau
dia belum pernah ketemu In Ih, tapi dia tahu kalau In Ih baru
berusia tiga puluhan tapi laki-laki ini berusia empat puluhan
lebih. "Aku pesuruh dari keluarga In. Tan-siangkong tinggal di
rumah kami, kejadian hari ini sudah dia sampaikan kepada
majikan kami. Maka majikan kami membujuknya supaya tidak
usah datang, maka Tan-siangkong menulis sepucuk surat
suruh aku mengantar kemari, tapi aku bukan teman Tansiangkong
lho." Sebetulnya Tan Ciok-sing sudah hendak menerobos keluar
membongkar omongan bohong orang ini, tapi setelah
mendengar kata-kata orang terakhir, dia jadi ragu-ragu dan
merandek. Batinnya: "Mungkin Siau-cu-cu kuatir aku
menghadapi bahaya, tanpa memperdulikan pesanku dia
memberitahu In Ih meminjam namaku menyuruh
pembantunya kemari mengirim surat itu?"
Toan Kiam-ping memang sudah tahu bahwa Tan Ciok-sing,
In San, Siau-cu-cu dan ibunya siang tadi sudah pindah
kerumah keluarga In, bahwa belakangan Tan Ciok-sing sudah
keluar dari rumah kediaman keluarga In ternyata belum
diketahui olehnya. Orang ini mengaku pesuruh keluarga In,
ternyata dia kena ditipu begitu saja.
Dengan rasa kecewa Toan Kiam-ping berkata: "Ternyata
begitu. Baiklah kau serahkan surat itu kepadaku," waktu Toan
Kiam-ping membuka sampul surat dan membeber kertas putih
didalam sampul, ternyata melulu kertas putih belaka tanpa
tulisan sehurufpun. Karuan Toan Kiam-ping melongo,
tanyanya: "Apa maksudnya ini?" mendadak dirasakan jariTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
688 jarinya linu dan pati rasa, sekejap saja telapak tangannya juga
gatal-gatal rasanya tidak karuan.
Pada saat dia kaget dan melongo inilah orang itu mendadak
tertawa tergelak-gelak, tiba-tiba tangannya terayun.
Begitu mendengar gelak tawa orang, seketika Tan Ciok-sing
merinding dibuatnya, saking kaget seketika dia berjingkrak
berdiri. Tadi orang itu mengaku sebagai pesuruh keluarga In, Tan
Ciok-sing masih belum berani memastikan palsu atau tulen,
setelah mendengar gelak tawa orang, segera dia tahu akan
kepalsuannya malah seketika pula dia tahu siapa sebenarnya
orang ini. Kiranya di kala menghadapi sesuatu yang
memuaskan dirinya, orang ini bergolak tawa tanpa
menggunakan suara palsu lagi, sehingga keasliannya terunjuk
diluar sadarnya.
Siapakah laki laki ini" Dia bukan lain adalah Tok-liongpangcu
Thi Khong. Thi Khong memang mahir menggunakan
senjata rahasia beracun dan mahir menyamar lagi, In Ih
sudah berulang kali berpesan wanti-wanti supaya Tan Cioksing
berhati-hati bila menghadapinya.
Tak duga bukan Tan Ciok-sing yang kena bokong, tapi
Toan Kiam-ping lah yang kecundang oleh kelicikan orang.
Begitu tahu bahwa orang yang memalsu pesuruh dari rumah
keluarga In ini adalah Thi Khong, sudah tentu secara reflek
Tan Ciok-sing lantas teringat akan permainan keji dan jahat
orang yang suka membokong dengan senjata beracun. Begitu
orang itu mengayun tangan, Tan Ciok-sing segera berteriak:
"Awas Toan-heng senjata rahasia," berbareng diapun
mengayun tangan, menimpuk sebutir batu dengan kekuatan
Sian?ci-sin-thong.
Begitu orang itu mengayun tangan, tujuh bintik sinar
bintang seketika melesat keluar. Senjata rahasia yang dia
timpukan ini adalah Bwe-hoa-ciam yang sudah dilumuri racun
689 jahat. Untung Tan Ciok-sing sempat memberi peringatan,
dalam detik-detik yang gawat itu Toan Kiam-ping lekas
membalik tubuh sambil mengebas lengan baju. Maka
terdengarlah suara mendesis ramai, enam dari tujuh batang
jarum itu kena disampuk jatuh berhamburan, tapi ada
sebatang lagi yang mengenai tubuhnya.
Ternyata kertas surat yang blanko itu juga sudah dibubuhi
racun, jari tangan Toan Kiam- ping sudah berlumuran racun,
maka dalam sekejap lengannyapun sudah linu pegal dan tak
mampu bergerak lagi. Sudah tentu tenaganya menjadi banyak
berkurang, sehingga jarum terakhir susah untuknya
meluputkan diri.
Sekilas menarik napas, mendadak Toan Kiam-ping putar
balik seraya membentak: "Ternyata kau adalah Thi Khong,
hm, kepandaian kroco yang rendah dan hina dari Tok-liongpang
seperti ini memangnya dapat berbuat apa terhadap
diriku." Jentikan batu Tan Ciok-sing diselentikan dari jarak
seratusan langkah, daya luncurnya ternyata mengandung deru
kencang. Tersipu-sipu Thi Khong melompat menyingkir namun
batu itu menyerempet pundaknya, rasanya pedas dan sakit,
untung tidak tersambit telak.
Tapi walau dia terhindar dari samberan batu dari jarak
ratusan langkah ini, tak luput dia termakan oleh tamparan
telapak tangan Toan Kiam-ping yang berdiri di depannya.
Seperti diketahui ilmu silat keluarga Toan di Tayli telah turun,
temurun sejak beberapa ratus tahun diwariskan secara murni,
sejak ratusan tahun yang lalu jago-jago silat dari keluarga
Toan di Tayli cukup menonjol dan tinggi pamornya, Toan
Kiam-ping tidak ketinggalan memperoleh warisan ilmu silat
leluhurnya, maka bekal kepandaiannya sekarang
sesungguhnya tidak rendah. Meski dia sudah terkena racun,
namun tamparan telapak tangannya ini ternyata membikin
kulit muka Thi Kong pecah dan terluka serta membengkak
690 besar, darah tercampur dengan ingus bertetesan, kulit
mukanya membengkak hijau dan biru.
Diam-diam Toan Kiam-ping sendiri mencelos hatinya,
pikiraya: "Ternyata aku sudah tak becus lagi, tamparanku tadi
ternyata tak mampu merobohkan keparat keji ini."
Sudah tentu Thi Khong sudah angkat langkah seribu,
mulutnya masih sempat bersiul, agaknya dia mengirim tanda
kontak dengan kamrat-kamratnya.
Secepat terbang Tan Ciok-sing memburu tiba di samping
Toan Kiam-ping, kebetulan Toan Kiam-ping limbung hampir
jatuh lekas dia memapahnya, tanyanya gugup: "Bagaimana
keadaanmu Toan-heng?"
"Tidak apa-apa Thi Khong pasti membawa begundalnya,
tolong lekas kau gebah mereka, jangan sampai kacungku di
bawah sana dicelakai mereka," maklum sejak kecil kacung itu
sudah meladeni dirinya, bukan saja rajin bekerja diapun amat
setia, maka selama ini dia melindunginya seperti adik kandung
sendiri. Pada saat itu didengarnya kacungnya berteriak minta
tolong dan menjerit kaget. Ternyata kacungnya itu memang
kepergok oleh kawanan penjahat.
Tak sempat bicara lagi lekas Tan Ciok-sing jejalkan sebutir
pil penawar racun ke mulut orang, katanya: "Baik, segera aku
menolongnya."
Baru saja kacung cilik itu berteriak maka dilihatnya seorang
Hwesio gendut menubruk ke arah dirinya, Hwesio gendut ini
bukan lain adalah murid murtad Siau-lim-si yang bergelar
Hoat-khong, di kalangan Kangouw orang memanggilnya Thiciang
Siansu. Kedatangan-nya hendak membantu Thi Khong,
sebetulnya dia tidak perlu hiraukan seorang kacung cilik, tapi
karena kacung itu berteriak, kebetulan mencegat jalan
majunya pula, maka sambil lalu dia ayun tongkat besinya
hendak membunuh kacung cilik ini. Tak nyana tongkat besinya
691 ternyata menyambar angin, kembali dia ulur tangan
mencengkram ternyata gagal pula.
Maklum sejak kecil kacung ini ikut Toan Kiam-ping latihan
silat, pertama ginkang yang dia yakinkan ternyata lebih
menonjol dari pelajaran silat lain yang pernah dia pelajari.
Beruntun dua kali dia berhasil mengegos dari serangan Hwesio
gendut, tapi serangan ketiga jelas tak mungkin lolos lagi. Baru
saja dia melompat berdiri, tumit kakinya tahu-tahu sudah
tercengkram oleh Thi-ciang Siansu.
Pada saat itulah mendadak Thi-ciang Siansu merasakan
datangnya sambaran angin tajam dari arah belakang, sebagai
ahli silat, kupingnya cukup tajam pula, dia tahu sebilah
pedang tahu-tahu sudah menuding tiba di punggungnya.
Di kala jiwa sendiri terancam bahaya, sudah tentu dia tidak
hiraukan jiwa kacung cilik lagi, sekenanya dia melempar tubuh
orang lalu setangkas kera dia melompat maju setombak lebih
seraya memutar tongkat menyapu ke belakang dengan jurus
bertempur di empat penjuru angin.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Trang" benturan keras menimbulkan percikan kembang
api, pedang lawan hakikatnya tidak terbentur jatuh oleh
tongkatnya yang besar dan berat, malah mengikis turun
menabas jari-jarinya yang memegang tongkat.
Siapa gerangan yang memiliki ilmu pedang setinggi dan
seliehay ini" Sudah tentu Thi-ciang Siansu amat kaget, lekas
dia tekan tongkat serta menggiringnya ke pinggir, sementara
kakinya melompat pula tiga kaki ke samping, baru dia
menoleh dan melihat musuhnya, ternyata pemuda yang
pernah dilihatnya di tempat kuburan In Hou dan Tan Khimang
belasan hari yang lalu. Malam itu dia bersama Thi Khong,
Siang Po-san, Phoa Lat-hong berempat menempur Siangkiam-
hap-pik dari Tan Ciok-sing dan In San, akhirnya mereka
dikalahkan dan ngacir. Kini meski hanya Tan Ciok-sing seorang
saja, tapi diapun hanya sendirian, betapa pun besar nyalinya,
bagaimana juga dia tidak berani melabrak Tan Ciok-sing,
692 tanpa banyak pikir lekas dia putar badan terus lari turun
gunung. Waktu Tan Ciok-sing lari balik menengok keadaan kacung
cilik itu, tampak kacung cilik ini terlempar tinggi ke udara, tapi
di tengah badan terapung itu dia mampu jumpalitan seperti
burung dara, gerakan ini sekaligus memunahkan daya
lemparan keras lawan, sehingga tubuhnya melayang turun
lebih lambat dan enteng, waktu kedua kakinya hinggap di
bumi ternyata dia mampu berdiri tegak tanpa kurang suatu
apa. Walau tidak terluka tapi telapak kakinya terasa pedas dan
sakit, waktu dia menunduk pergelangan kakinya ternyata
berjalur lima jari warna hitam seperti dicap saja, tanpa merasa
dia merinding dan mencucurkan keringat dingin.
"Adik cilik," kataTan Ciok-sing, jangan takut, mari kuberi
obat,'.' Teringat akan kata-katanya yang memburukkan orang, tak
terasa kacung cilik ini menjadi malu dan haru, katanya
menyesal: "Tan-siangkong, banyak terima kasih akan
pertolonganmu, aku, aku tadi justru melakukan perbuatan
tercela atas dirimu."
Ciok-sing tersenyum:
"Istrirahatlah sebentar, aku akan ke atas memeriksa Siauongya."
Dilihatnya Thi-ciang Siansu sudah menyusul Thi Khong dan
sama-sama lari sampai di lamping gunung, sekitarnya tiada
musuh yang lain, maka dengan lega hati lekas dia
kembangkan ginkang berlari ke atas panggung batu pula
Dilihatnya Toan Kiam-ping sedang duduk bersimpuh, uap
putih tampak mengepul di atas kepalanya. "Oh, kau sudah
kembali," kuping Toan Kiam-ping ternyata amat tajam, begitu
693 Tan Ciok-sing tiba di atas panggung segera dia membuka
mata. "Jangan bicara dulu," kata Tan Ciok-sing, dia tahu orang
sedang mengerahkan Iwekang untuk mendesak racun keluar
dari dalam badannya lewat uap dan keringat, sehingga
mengeluarkan bau bacin. Lekas Tan Ciok-sing tekan telapak
tangan punggung orang, dengan hawa murni sendiri dia
salurkan ke tubuh orang membantunya melancarkan jalan
darahnya. Pil obat yang diberikan Ciok-"sing tadi memang berkasiat
untuk menawar racun, tapi untuk memunahkan racun jahat
buatan Tok-liong-pangcu ini ternyata tidak membawa banyak
manfaat, paling hanya menahan sementara sehingga
bekerjanya racun tertunda untuk beberapa waktu lamanya.
Untung Toan Kiam-ping memiliki dasar Iwekang ajaran
leluhurnya, mendapat bantuan Ciok-sing lagi, hawa racun
lambat laun menguap keluar badan, Ciok-sing sedikit mahir
ilmu pengobatan, setelah dia memeriksa urat nadinya, terasa
jiwanya sudah tidak terancam lagi, maka legalah hatinya.
Tapi denyut nadi Toan Kiam? ping masih lemah,
darahnyapun belum normal. Dalam hati Ciok-sing membatin:
"Racun dalam tubuhnya amat liehay, untuk memunahkan
seluruhnya tanpa obat penawarnya yang tulen, sedikitnya
memerlukan perawatan tekun dan hati-hati selama tiga bulan,
maka dia perlu mendapat penjagaan dan tempat yang aman.
Em, seharusnya aku harus membantunya, tapi dalam keadaan
seperti ini, aku jadi kurang cocok untuk tugas ini."
Tengah dia melamun, Toan Kiam-ping sudah membuka
mata, katanya: "Sudah lebih baik, Tan-heng, banyak terima
kasih akan pertolonganmu, sungguh aku tidak tahu
bagaimana aku harus membalas kebaikanmu."
"Kau berkata demikian, berarti kau tidak menganggapku
sebagai sahabat karib lagi. Jangan banyak bicara, setelah
kesehatanmu pulih, kita masih banyak waktu untuk ngobrol."
694 "Tidak, satu hal harus kuberitahu padamu. Kuda kalian
akulah yang mengambilnya sebelum sempat memberitahu
padamu. Kukira kau dan nona In tidak akan kembali ke Tayli,
maka aku wakilkan Kanglam Sianghiap mengambilnya supaya
kau tidak usah putar balik pula," demikianlah kata Toan Kiamping
tanpa hiraukan nasehat Ciok-sing.
Sebelum bersua kembali dengan In San, memang Ciok-sing
tidak ingin pergi ke Tayli, tapi selama ini tak pernah terpikir
olehnya untuk melarang In San pergi ke Tayli menemui Toan
Kiam-ping. Mendengar perkataan orang tanpa merasa dia
tertawa getir, katanya: "Hal itu sudah kuketahui. Tapi, yang
betul kau harus bertemu dengan nona In."
"Terus terang, aku memang amat memperhatikan In San,
terhadapnya aku seperti kakak kandung yang memperhatikan
adik sendiri," demikian kata Toan Kiam-ping lebih lanjut, "Ada
kau yang mendampingi dia, aku sudah amat lega dan
bersyukur. Bahwa malam ini aku mengundangmu kemari
adalah supaya kau tahu isi hatiku, kuharap selanjutnya kau
lebih baik terhadapnya," lalu dengan nada mencemooh awak
sendiri dia menambahkan, "sebetulnya, sudah tentu aku harus
tahu bahwa kau pasti baik terhadapnya, memangnya perlu
aku berpesan kepadamu?"
Ruwet pikiran Ciok-sing, katanya: "Bicara soal nona In, aku
memang ingin berunding dengan kau."
Kini giliran Toan Kiam-ping yang mencegah dia bicara.
"Tan-heng, aku tahu apa yang ingin kau kemukakan, tak usah
kau jelaskan lagi. Setulus hati dan sejujurnya aku memberi
selamat kepada kalian, semoga kalian hidup senang dan
bahagia sampai di hari tua."
Bahwa pikiran Ciok-sing ruwet, demikian pula hati Toan
Kiam-ping kalut dan risau.
695 Di kala Toan Kiam-ping bicara, terasa oleh Ciok-sing denyut
nadinya berdetak keras, hati Ciok-sing menjadi rawan dan
penasaran tidak tentram.
Angin gunung menghembus lewat, seketika Tan Ciok-sing
merasa dingin dan merinding, bukan lantaran dia tidak tahan
dihembus angin lalu, tapi karena mendadak dia mendapat
suatu akal, selama ini tak pernah dia berpikir untuk berbuat
demikian, tapi sekarang dia terpaksa harus melakukan.
Mendadak dia menutuk hiat-to tidur Toan Kiam-ping. Setelah
menurunkan Toan Kiam-ping dan merebahkan di atas
panggung, dia berdiri, dilihatnya kacung kecil itu sedang naik
ke atas dengan langkah terseyot-seyot.
"Kenapakah Siauya?" tanyanya begitu melihat Toan Kiamping
rebah di atas panggung tanpa bergerak.
"Racun di tubuhnya amat liehay, tapi kau tidak perlu kuatir,
masa bahaya sudah silam, jiwanya tidak terancam lagi.
Kebetulan kau datang, mari bantu aku."
"Silakan Siangkong memberi petunjuk."
"Kalian tinggal dimana" Apakah Ling Suhu ada disana?"
"Kami menyewa sebuah kamar dari rumah penduduk
kampung diluar pintu barat, Ling Suhu sudah disuruh pulang.
Siauya yang suruh dia pulang menunggang kuda putih."
"Luar kota pintu barat terlalu jauh. Ling Suhu sudah pulang
lagi, kalau Siauyamu merawat sakitnya disini kurasa kurang
leluasa." "Akupun kuatir akan hal ini."
"Apa kau percaya padaku?" tiba-tiba Tan Ciok-sing
bertanya Kacung itu melongo, katanya: "Jiwaku dan Siauya bisa
selamat berkat pertolongan Tan-siangkong, bagaimana aku
tidak bisa percaya padamu?"
696 "Baiklah, akan kucari suatu tempat, dan akan kutitipkan
seorang teman untuk merawatnya. Temanku itu bernama In
Ih, murid It-cu-king-thian yang termashur itu. Dia akan
mengundang tabib ternama dan terpandai di Kwi-lin untuk
mengobati penyakit Siauyamu."
"Baiklah kalau begitu. Marilah sekarang kita berangkat. Biar
aku gendong Siauya."
"Jangan kau membuang tenaga, biar aku yang
menggendongnya."
"Tan-siangkong," kata si kacung rikuh, "bantuanmu teramat
besar terhadap kami, mana boleh kau memanggul Siauya
lagi?" Tugas ini sepantasnya serahkan padaku. Kakiku sudah tidak
sakit lagi."
"Kalau kau ingin membantu juga boleh, nah kau bantu
memanggul harpaku saja." Ciok-sing turunkan harpanya tapi
tidak langsung diserahkan, seperti ada sesuatu yang
dipikirkan, mendadak dia membuka kotak harpa serta
diletakkan di atas panggung batu, mulailah dia memetik senarsenar
harpanya. Sudah tentu si kacung berdiri bingung, batinnya: "Eh, ada
juga seleranya memetik harpa dalam suasana seperti ini?"
Tan Ciok-sing seperti tahu isi hatinya, katanya: "Tuan
mudamu sedang tidur nyenyak, lukanya tidak akan
memburuk. Mungkin untuk terakhir kali inilah aku bisa
memetik harpa ini."
Si kacung kaget, tanyanya: "Kenapa?"
"Tak lama lagi kau akan tahu."
Melihat rona muka orang yang kelam, si kacung tak berani
tanya lagi, segera dia terima kotak harpa yang diangsurkan
697 kepadanya Lalu dia mengintil di belakang Tan Ciok-sing yang
memanggul Toan Kiam-ping.
Setiba di ujung jalan dimana terletak rumah keluarga In,
hari sudah menjelang fajar. Tiba-tiba Tan Ciok-sing turunkan
Toan Kiam-ping, katanya "Rumah besar dengan pintu merah
di tengah jalan itu adalah rumah keluarga In, lekas kau bawa
Siauyamu masuk kesana."
"Dan kau?" tanya si kacung kaget dan heran.
"Ada orang dalam rumah itu yang kenal tuan mudamu. Aku
masih ada urusan ke lain tempat, aku tidak usah masuk ke
rumah," "Sudah tiba diambang pintu, kenapa tidak masuk dulu?"
"Kau tidak tahu, begitu aku masuk, mereka tidak akan
membiarkan aku pergi," melihat si kacung ragu-ragu segera
dia menambahkan: "Kau tidak percaya padaku, kau kira aku
mencelakai tuan mudamu?"
"Maaf, Tan-siangkong, tak pernah aku berpikir demikian."
"Nah, lekas kau panggul tuan mudamu dan pergilah ketuk
pintu" Tak lama lagi, penduduk kota sudah banyak yang akan
keluar pintu."
Meski curiga dan tidak habis mengerti tapi si kacung
terpaksa menuruti kehendak Tan Ciok-sing. Setelah dia terima
tuan mudanya serta dipanggul, Tan Ciok-sing segera putar
badan terus berlalu.
"Hai, Tan-siangkong," panggil si kacung, "harpamu ini..."
"Nanti kalau tuan mudamu siuman, beritahu kepadanya,
harpa ini kuserahkan sebagai kado sumbanganku," tiba-tiba
langkahnya dipercepat, dalam sekejap saja dia sudah pergi
dan lenyap di tikungan jalan sana.
Terpaksa si kacung panggul majikannya, dengan langkah
tertatih-tatih dia beranjak kesana, akhirnya dia tiba di depan
698 pintu besar cat merah itu serta ulur tangan mengetuk gelang
tembaga di atas daun pintu sebanyak tiga kali.
Cepat sekali daun pintu sudah terpentang, yang keluar
ternyata seorang gadis jelita yang berwajah lesu dan lusuh.
Kaget dan girang si kacung, seketika dia menjerit girang,
teriaknya: "Nona In, kiranya kau ada disini," dalam hati diapun
membatin: "Tak heran tadi Tan-siangkong bilang ada orang
yang kukenal ada disini."
Semalam suntuk In San tidak pernah memejam mata
barang sekejap, hatinya gelisah, risau dan gugup pula
menunggu kedatangan Tan Ciok-sing. Lekas In San bertanya:
"Apakah yang terjadi?"
"Siauya terluka oleh senjata rahasia beracun Tok-liongpang
Pangcu, untung Tan-siangkong menolongnya, kini dia
sedang tidur nyenyak. Tan-siangkong bilang, jiwanya tidak
berbahaya lagi."
Sedikit lega hati In San, tanyanya: "Mana Tan-siangkong?"
diam-diam dia perhatikan kotak harpa yang dijinjing si kacung.
"Dia sudah pergi," sahut si kacung cilik.
In San kaget, serunya: "Dia akan kembali pula" Harpanya
ini..." " " dia tahu harpa ini adalah warisan keluarganya,
maka dalam hati dia menghibur diri sendiri: "Harpanya masih
ada disini, yakin dia pasti kembali lagi."
Tak tahunya jawaban si kacung justru menjadikan setitik
harapannya sirna tanpa bekas: "Tan-siangkong bilang, dia
hendak pergi ke tempat lain, tidak akan ke mari lagi. Harpa ini
dia minta kepadaku supaya menyerahkan kepada tuan muda."
Seketika In San menjublek di tempatnya, Tan Ciok-sing
sudah pergi, yang ada di hadapannya sekarang adalah Toan
Kiam-ping yang terluka parah, apa yang harus dia lakukan"
699 Dalam pada itu In Ih sudah mendengar percakapan diluar
terus beranjak keluar, kebetulan dia mendengar si kacung
berteriak: "Nona, kenapa kau?"
Sudah tentu In Ih ikut terkejut, tanyanya: "Siapakah orang
ini nona In" Kau tidak apa-apa bukan?"
Seketika In San tersentak, katanya: "Inilah Siau-ongya dari
keluarga Toan di Tayli, teman baik Ciok-sing. Paman In,
tolong kau bantu aku merawat dia, aku hendak keluar
sebentar."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau hendak kemana?" tanya In Ih.
"Aku akan mencari Ciok-sing," sebelum In Ih sempat
bertanya apa sebetulnya yang telah terjadi, In San sudah
berlari pergi. Karuan In Ih dan si kacung sama berdiri melongo
saling pandang.
Akhirnya si kacung paham duduk persoalannya. Dia
maklum apa yang dikatakan majikannya memang tidak salah.
"Agaknya nona In memang mencintai Tan-siangkong,"
sekaligus diapun mengerti apa sebabnya Tan Ciok-sing tidak
mau ikut dia masuk ke rumah keluarga In pula. "Tan-.
siangkong ternyata begini baik, ai, semalam aku memakinya
kodok buduk, agaknya akulah yang kurang ajar dan tidak
genah." Tanpa terasa hatinya menjadi hambar dan masgul,
entah apakah dia mengharap In San berhasil menemukan Tan
Ciok-sing- dan mengajak kembali atau lebih baik gagal saja.
Sudah tentu In San takkan bisa menemukan Tan Ciok-sing,
kalau Tan Ciok-sing sengaja menyembunyikan diri, bagaimana
mungkin dia bisa menyandak atau menemukan jejaknya"
Jalan raya dalam kota masih sepi lengang, belum ada
penduduk kota yang keluar pintu, hakikatnya dia tidak tahu ke
arah mana Ciok-sing pergi" Kepada siapa pula dia harus tanya
kemana juntrungan Ciok-sing"
700 000OOO000 Di kala In San mencari Ciok-sing ubek-ubekan ke segala
pelosok kota, sementara itu Tan Ciok-sing sudah jauh
meninggalkan kota Kwi-lin. Dengan hati yang tidak karuan
rasanya dia menempuh perjalanan seorang diri. Harpa kuno
itu dia serahkan kepada Toan Kiam-ping demi menepati
janjinya sendiri, walaupun soal janji sendiri ini tidak atau
belum pernah dia utarakan langsung kepada Toan Kiam-ping.
Sepanjang jalan semula dia tidak punya tujuan tertentu,
tapi akhirnya dia mendapat suatu ilham: "Dalam dunia ini kini
hanya Khu Locianpwe saja adalah sahabat karib kakek dan
ayah yang masih hidup, dia begitu sayang dan prihatin akan
diriku, kenapa aku tidak mencari dia saja" Sekaligus aku bisa
memberi laporan akan keinginannya membantu It-cu-kingthian
itu sudah kulaksanakan dengan baik."
Seperti diketahui warung minum Khu Ti ditutup. Tapi dia
ada memberitahu kepada Ciok-sing dimana dirinya bisa
ditemukan, malah pernah dia berpesan bila urusannya di Kwilin
selesai dan kebetulau lewat diharap dia mampir ke tempat
kediamannya. Di Ong-ju-san jarak lebih dekat sekaligus lebih leluasa
mencari tahu tentang berita yang terjadi di Gan bun-koan.
Markas besar Kim-to Cecu didirikan diluar Gan-bun-koan
kedudukannya di tengah antara Tiongkok dan Watsu yang tak
tercapai oleh kekuatan militer kedua negara ini.
Bila In San tidak jadi pergi ke markas Kim-to Cecu sesuai
rencana semula dia akan membantu Kim-to Cecu, kalau
sebaliknya meski selanjutnya dia tidak akan unjuk diri, dia
bertekad akan selalu membantu gerakan laskar rakyat.
Setelah mengambil keputusan, Tan Ciok-sing langsung menuju
ke Ong-ju-san. 701 Sepanjang jalan tiada terjadi apa-apa, selama dua bulan
perjalanan, akhirnya dia tiba di bawah Ong-ju-san yang
terletak di perbatasan Ho-lam Shoa-say. Warung milik Khu Ti
dulu sudah ambruk dan rata dengan tanah, mungkin digrebek
tentara dan dibakar habis.
Khu Ti pernah memberi tahu padanya, bahwa tempat
pengasingannya di Ong-ju-san terletak di puncak Jwi-whihong
di belakang ngarai, dengan pemandangan yang
mempersona. Malam itu Ciok-sing bermalam didalam hutan,
semalam suntuk dia hampir tidak bisa tidur diganggu oleh
pekik dan suara ribut orang-orang hutan, untung dirinya tidak
diganggu. Hari kedua setelah mentari terbit baru dia beranjak
lebih lanjut memanjat Jwi-whi-hong puncak tertinggi dari Ongju-
san. Setiba di belakang ngarai betul juga ditemukan sebuah
gubuk bambu, di depan gubuk tumbuh sebatang pohon
cemara, demikian pula di belakang rumah juga terdapat
sebuah pohon cemara, tempatnya cocok dengan apa yang
pernah dilukiskan oleh Khu Ti tempo hari. Girang Tan Cioksing,
bergegas dia maju mengetuk pintu.
Lama dia tidak mendapat jawaban, dalam rumah tiada
reaksi lagi, akhirnya Tan Ciok-sing berteriak: "Khu locianpwe,
aku adalah Tan Ciok-sing sengaja aku bertandang kemari."
Setelah dia menyebut nama dan menyatakan maksud
kedatangannya, suasana tetap sepi tiada penyahutan tiada
reaksi apapun. Keruan timbul rasa curiga Ciok-sing,
mungkinkah aku kesasar rumah ini tempat tinggal orang lain?"
akhirnya dia membesarkan hati, tanpa peduli apakah dalam
rumah ada penghuninya, setelah mohon permisi segera dia
dorong daun pintu terus melangkah masuk.
Rumah ini kosong melompong, di tengah rumah terdapat
meja kursi dan sebuah dipan, beberapa jilid buku gambar
tampak berserakan di atas dipan, di dinding tergantung
sebuah pigura dengan hiasan tulisan gaya kuno hasil karya
Khu Ti sendiri. Tan Ciok-sing masih kenal betul gaya tulisan
702 Khu Ti, maka dia lebih yakin bahwa gubuk ini memang tempat
tinggalnya dalam pengasingan. Tapi gentong beras ternyata
kosong, dalam rumah tiada rangsum lain pula, buku yang
berserakan itupun dilapisi debu, jelas sudah beberapa hari
lamanya Khu Ti meninggalkan rumah ini.
Tan Ciok-sing menjadi kecewa, tapi dia masih menyimpan
setitik harapan, semoga Khu Ti masih tetap di bilangan
pegunungan tinggi ini. "Mungkin hidupnya selalu was-was oleh
gebrakan pasukan pemerintah, maka sementara dia sembunyi
entah di goa mana" Atau dia sedang keluar mencari daun
obat, beberapa hari baru pulang."
Dengan perasaan yang tidak keruan Ciok-sing keluar pintu
lalu berdiri di pucuk sebuah batu besar, tiba-tiba dia bersuit
panjang dan nyaring, setelah itu dengan suara lantang diapun
bersenandung melimpahkan perasaan hatinya. Ciok-sing
kerahkan Iwekangnya untuk bersenandung, semula suaranya
kedengaran lembut dan jelas, tapi lama kelamaan gema
suaranya mengalun keras dan meninggi seperti lambaian kain
sutra yang tertiup angin diangkasa, seperti putus tapi terus
menyambung, tiba-tiba rendah mendadak tinggi, suaranya
laksana kumandang dari sorga bergema di atas pegunungan
nan luas. Cukup lama setelah dia berhenti senandung, gema
suaranya masih tetap mengalun diangkasa raya dan tersiar
jauh sekali. Dia yakin bila Khu Ti ada digunung ini meski
dalam jarak 10 li orang pasti mendengar suaranya. Betul juga
kira-kira sesulutan dupa kemudian dia mendengar derap
langkah orang. Setelah semakin dekat dia tahu yang datang
ternyata bukan seorang saja.
Keruan Ciok-sing kaget, pikirnya: "Kenapa yang datang ada
lima orang?"
Cepat sekali ke lima orang itu sudah muncul di
hadapannya. Memang betul lima orang, tapi Khu Ti tiada di
antara mereka. Empat di antara ke lima orang ini malah sudah
dia kenal, mereka bukan lain adalah Huwan bersaudara.
703 Seorang lagi adalah laki-laki kurus tinggi tampangnya aneh
dan lucu, mukanya panjang seperti tampang kuda, kulit
mukanya kuning seperti malam, mirip orang penyakitan. Tapi
kedua Thay-yang-hiat di pelipisnya menonjol besar, selintas
pandang siapapun akan tahu bahwa dia seorang jago kosen
yang berilmu tinggi dari aliran sesat.
Bahwa Tan Ciok-sing berada disini Huwan bersaudara juga
kaget. Losam Huwan Pau segera mendekati laki kurus tinggi
dan berkata padanya: "Bocah inilah yang bernama Tan Cioksing
yang berulang kali mencari setori dengan kita. Dia
sekomplotan dengan Khu Ti.
Laki-laki kurus itu mendengus hidung katanya: "Kalian
bilang dia amat liehay, kiranya cuma bocah yang masih
ingusan" Eh, memangnya kalian ingin aku turun tangan
sendiri?" lagaknya amat-amat angkuh seolah-olah dia tidak
sudi bergebrak dengan Tan Ciok-sing.
Merah muka Huwan Liong, segera dia maju membentak:
'"Mana budak she In itu?"
"Ada hubungan apa nona In dengan aku, memangnya aku
harus memberi laporan kepadamu. Kalau kalian cari perkara,
nah urusan saja dengan aku," tantang Ciok-sing.
Legalah hati Huwan bersaudara bahwa In San tidak ikut
datang, agaknya mereka sudah jeri menghadapi Siang-kiamhap-
pik. Huwan Liong tertawa tergelak-gelak, katanya: "Bocah
angkuh, kau kira kami takut padamu. Hari ini tiada orang
membantumu, jangan lari lho, tapi kau pasti takkan lolos lagi,"
lalu dia berpaling berkata kepada laki kurus itu, "Lenghousiansing,
membunuh ayam mana perlu pakai golok, silahkan
kau orang tua saksikan saja, tolong perhatikan bila bocah ini
masih ada kamrat-kamratnya yang sembunyi di sekitar sini.
Biar kami bekuk bocah ini, dan kupersembahkan kepada kau
orang tua."
704 Laki-laki kurus tinggi she Lenghou tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Umpama Khu Ti sendiri yang muncul aku juga tidak
gentar. Boleh silahkan kalian labrak dia dan tidak usah kuatir."
Huwan Liong memberi aba-aba, empat bersaudara serentak
mencabut pedang, masing-masing berpencar menduduki
posisi sendiri, Ciok-sing terkepung di tengah kalangan. Empat
pedang serempak menuding ke arah Tan Ciok-sing, namun
mereka tidak segera menyerang tapi menungggu reaksi lawan
muda ini. Tan Ciok-sing tahu mereka sudah membentuk
barisan pedang, dengan strategis yang menguntungkan,
namun Ciok-sing sedikitpun tidak jeri. Jengeknya: "Bagus
sekali, coba saja buktikan undangan Giam-lo-ong diserahkan
aku atau dikirim kepada kalian?" Belum rampung dia bicara,
keempat musuhnya serempak bergerak, empat batang pedang
membentuk sebuah jaringan sinar pedang mengurung dirinya
di tengah. Kalau satu lawan satu ke empat orang ini jelas bukan
tandingan Ciok-sing. Tapi mereka memang sudah meyakinkan
ilmu barisan pedang kalau sekaligus dimainkan empat orang
kekuatannya sungguh amat besar.
Mencelos juga hati Tan Ciok-sing, dalam menghadapi
kesulitan ini, pikirannya serta merta teringat kepada In San:
"Sayang In San tak berada disini, dengan cara apa aku harus
memecahkan barisan pedang mereka."
Laki-laki setengah umur kurus tinggi itu berdiri diluar
gelanggang sambil menggendong tangan, sikapnya seperti
tertawa tidak tertawa, lagaknya seperti tuan yang lagi
menyaksikan jagonya berhantam di arena. Di samping senang
dia merasa was-was, dasar licik dia berpikir: "Barisan pedang
Huwan bersaudara ternyata memang cukup lihay, agaknya
aku tidak perlu turun tangan," sebetulnya dia mengharap ke
empat orang ini kalah, baru dirinya akan jadi lakon
mengalahkan dan membekuk Ciok-sing yang sudah kehabisan
tenaga, bukan saja dia bakal unjuk gengsi sekaligus dia
705 hendak menekan dan menundukkan orang-orang
sekoleganya. Di samping rasa was-wasnya diapun merasa
bersyukur pula, "Ilmu pedang bocah ini ternyata amat liehay
pula, bila permulaan gebrak aku lantas harus menghadapinya,
umpama akhirnya berhasil membekuk dia mungkin aku sendiri
juga bisa menderita. Kali ini kesempatan merebut pahala
memang tak bisa kuraih, namun mending juga dari pada aku
menderita."
Perlu diketahui laki-laki kurus tinggi ini bernama Lenghou
Yong, salah satu jago tangguh undangan Liong Bun-kong yang
disogoknya, dengan harta dan pangkat untuk menjadi anak
buahnya, Lenghou Yong menggantikan jabatan Ciang Thi-hu
yang sudah mampus di tangan It-cu-king-thian.
"Toako," teriak Huwan Pau. "Bocah ini tak kan kuat
bertahan lagi, ayo pergencar serangan tak usah takut
menghadapinya."
Tak kira belum lenyap suaranya mendadak "Trang", pedang
Huwan Pau hampir terlepas dari cekalannya karena benturan
keras dari senjata Tan Ciok-sing. Dalam sekejap ini beruntung
Ciok-sing gunakan Jong-jiu-hoat secara kilat dia balas
mendesak, demikian pula telapak tangan Huwan Kiau dan
Huwan Hou terasa linu pedas. Keringat seketika gemerobyos
membasahi dahi, jelas kelihatan mereka sudah kerahkan
setaker tenaga tapi apa daya tenaga tak sampai untuk
menghadapi kekuatan lawan.
Karena tak berhasil menjebol barisan pedang lawan,
terbayang oleh Ciok-sing berbagai cara untuk memecah dan
membobol kepungan musuh. Waktu bertanding dengan It-cuking-
thian di Lian-hoa-hong tempo hari, memang It-cu-kingthian
banyak memetik manfaatnya dari pertarungan sengit itu,
tapi Tan Ciok-sing sendiri juga tidak sedikit menyelami inti sari
ilmu golok tingkat tinggi.
Permainan golok It-cu-king-thian keras dan deras, tapi itu
bukan berarti permainannya selalu kencang dan berat, cara
706 yang dia anut adalah memilih kesempatan baik baru akan
memberikan pukulan telak kepada lawan, kesempatan itu
akan lahir di kala lawan merangsak dan tipu yang dilancarkan
sudah mendapat titik terakhir, di kala tenaga yang digunakan
sudah hampir habis dan akan diganti dengan jurus susulan
dan tenaga akan terkerahkan pula itu, kesempatan yang
terpaut sekejap inilah yang dikejarnya untuk memberikan
serangan balasan yang telak, yakin usahanya umpama
meleset, sedikitnya lima puluh persen pasti tercapai.
Sebetulnya akal ini biasa saja, tapi untuk melaksanakan secara
tepat itulah yang sukar.
Untung tiga tahun lamanya Ciok-sing menggembleng diri
didalam Ciok-lin, Hian-kang-yau-hiap dan Bu-bing-kiam-hoat
warisan Thio Tan-hong berhasil dia selami dan pelajari dengan
nilai yang amat memuaskan, memangnya teori ilmu silat
tingkat tinggi umumnya sama, oleh karena itu begitu dia
sudah hafal yang satu, maka pengetahuannya menjadi luas
lagi dan mudah untuk menyelami pelajaran yang lain, apalagi
dalam praktek, sehingga permainannya sekarang boleh dikata
cukup wajar dan lancar. Sayang dia harus menyimpan separo
tenaganya siap untuk menempur laki-laki kurus yang kosen
itu, kalau tidak barisan pedang Huwan bersaudara ini sejak


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi tentu sudah porak poranda.
Lenghou Yong mengerutkan kening, akhirnya dia bersuara:
"Kalian mundur, biar aku menghadapinya."
Detik-detik sebelum pertempuran usai tiba-tiba Tan Cioksing
memutar tubuh, maka terdengarlah suara berdering
nyaring yang susul menyusul, pedang panjang Huwan Pau dan
Huwan Kiau tahu-tahu terpental terbang ke udara, sementara
Huwan Liong tergentak mundur tubuhnya meliuk-liuk dan
berputar beberapa kali, namun tak kuasa kendalikan tubuh
sendiri, akhirnya terjerembab. Pedang Huwan Huo memang
tidak terlepas jatuh, tapi mulutnya terpentang menyemburkan
darah sebanyak-banyaknya.
707 Lenghou Yong mengejek: "Sudah kusuruh kalian mundur,
masih ndablek, untung ada aku disini. Minggirlah kalian dan
istirahatlah, saksikan bagaimana aku membekuk bocah ini."
Begitu berhasil mengalahkan musuh Tan Ciok-sing segera
melintang pedang di depan dada dengan penuh perhatian dia
awasi gerak gerik musuh yang satu ini. Semula Lenghou Yong
memang bermaksud menyergap, namun setelah melihat orang
sudah siaga, maka dia tidak berani bertindak semberono.
Seperti dua ayam jago yang berhadapan didalam
gelanggang, keduanya menatap siapapun tak berani
sembarang bertindak. Maklum pertarungan jago kosen, kalah
menang hanya terebut dalam segaris belaka, jikalau tidak
punya keyakinan yang tebal, menyerang secara serampangan
titik kosong atau kelemahan sendiri justru merupakan incaran
utama pihak musuh.
Beberapa kejap lagi akhirnya Tan Ciok-sing memecah
kesunyian, jengeknya: "Usiamu sudah selanjut ini, kenapa
hanya pandai membual belaka, hayolah kenapa tidak
bergerak?"
Lenghou Yong menyeringai, sikapnya seperti tak acuh,
katanya: "Kau bocah yang masih minum tetek ini, bahwa aku
sudi melawanmu sudah terhitung memberi muka kepadamu,
kau masih ingin aku turun tangan lebih dulu." Semprotannya
ini sebetulnya cukup pedas, seolah-olah dia ingin supaya Tan
Ciok-sing berlaku hormat dan mohon petunjuk kepadanya, lalu
mulai bergerak dengan sopan.
Huwan Pau yang suka cerewet itu mendadak menyeletuk:
"Bocah ini memang tidak tahu sopan santun, mana mungkin
kau orang tua dapat memaksa dia menganggapmu sebagai
locianpwe. Lekaslah beri balasan setimpal saja, yakin dia akan
tunduk kepadamu. Kami akan menunggu dan saksikan
membekuk bocah keparat ini."
708 Bahwa orang pihak sendiri juga mengundal omongan,
sudah tentu pamor Lenghou Yong menjadi ludes kalau tidak
segera bertindak, maka sambil menggosok kejiua telapak
tangan dia berkata: "Baiklah, kalian saksikan saja."
Tak nyana Tan Ciok-sing saat mana juga sudah tertawa
dingin, katanya: "Baiklah biar aku mohon petunjuk dari
locianpwe." "Sret" tiba-tiba dia menyerang.
Bagai kelinci meloncat elang menerkam, betapa kuat sayap
elang dan paruhnya. Jarak kedua orang diluar belasan
langkah, hampir bersamaan keduanya melancarkan serangan
malah sedikit Lenghou Yong mendahului bergerak namun
gerakan pedang Ciok-sing laksana kilat, bergerak belakangan
tapi mengancam sasarannya lebih dulu.
"Plok", ujung pedang Ciok-sing seperti menusuk tembus
sebuah bola layaknya, namun bukan menusuk luka di tubuh
Lenghou Yong, tahu-tahu ujung pedangnya tergeser ke
samping. Ternyata karena mendapat tekanan tenaga pukulan tangan
lawan, sehingga dua tenaga yang cukup keras. Tenaga Tan
Ciok-sing terpusatkan pada ujung pedangnya, walau berhasil
menembus tekanan tenaga lawan yang tidak kelihatan, namun
masih terpaut serambut saja ujung pedangnya tak kuasa
melukai lawan. Diam-diam dia mengeluh "sayang" dalam hati.
Sebat sekali gerakan Linghou Yong, di tengah deru angin
pukulannya yang dahsyat, tahu-tahu telapak tangannya bagai
sebuah cap yang membara telah menyelonong kepada Tan
Ciok-sing dengan serangan Toa-jiu-in. Jari tengah tangan kiri
Tan Ciok-sing yang bergerak mengimbangi gerak pedangnya
tiba-tiba terjulur keluar menutuk Lau-kiong-hiat di tengah
telapak tangan lawan. Inilah jurus tipu yang dilancarkan
secara berbahaya untuk balik mendesak lawan yang
mengancam awak sendiri, reflek dia telah menggunakan
permainan Bu-bing-kiam-hoat yang liehay
709 Dalam sekejap ini Linghou Yong sendiri juga mencelos
hatinya, pikirnya: "Entah bagaimana asal-usul bocah ini.
Kungfunya kok begini aneh dan liehay?" meski dia
berpengalaman luas, sudah tentu takkan tahu akan ilmu
pedang ciptaan guru besar ilmu silat Thio Tan-hong"
Dalam pada itu Huwan bersaudara sama berdiri di depan
gubuk menonton pertandingan seru ini, luka-luka dalam
Huwan Hou agak berat, tapi tidak sampai membahayakan
jiwanya. Huwan Liong sudah mengurut dan memberi obat
padanya, meski jiwanya tidak terancam, tapi pertempuran
sengit di hadapan mereka betul-betul membikin mereka kebatkebit
dan tegang. Huwan Kiau yang cerewet tiba-tiba berteriak: "Kenapa kau
orang tua mundur saja" Kenapa tidak lekas ganyang bocah
ini?" sebetulnya dia masih ingin menyindir lagi, tapi Huwan
Liong sang kakak telah mendelik kepadanya, katanya lirih:
"Jangan gembar gembor memecah perhatian Linghou Yong.
Jikalau dia kalah, kita juga bisa celaka." Huwan Pau baru
sadar, walau dia tidak terluka, untuk lari kini diapun tidak
mampu lagi. Kini disaksikannya Linghou Yong masih terus
mundur, karuan hatinya menjadi was-was dan kuatir. Sejenak
kemudian baru didengarnya Huwan Liong menarik napas
panjang serta berkata: "Nah syukurlah sekarang."
"Apanya yang syukur," tanya Huwan Pau tidak mengerti.
"Jahe tua memang lebih pedas, kini Linghou cianpwe yakin
pasti dapat memperoleh kemenangan, dalam seratus jurus
kukira dia sudah dapat mengalahkan bocah itu," demikian kata
Huwan Liong. Dengan mata terbelalak Huwan Pau saksikan pertempuran
ini, tapi sejauh ini dia tak tahu dimana letak kunci dari kalah
menang pertempuran ini. Namun biasanya dia percaya akan
obrolan sang kakak, meski mata sendiri belum yakin akan apa
yang dilihatnya, hati sudah merasa lega juga. Penilaian Huwan
Liong agaknya memang tidak meleset, di tengah percakapan
710 mereka itulah, tiba-tiba tampak perubahan di tengah arena,
kini Linghou Yong tampak balas menyerang dari pada
bertahan. Dengan bertahan tadi tujuan Linghou Yong hendak
menguras tenaga Tan Ciok-sing. Pada hal kakinya melangkah
dan bergerak sesuai posisi Ngo-hing-pat-kwa, walau kakinya
terus mundur, tapi pertahanannya mantap dan rapat, setiap
langkah kakinya berarti memunahkan sebagian tenaga Tan
Ciok-sing. Setelah mencapai suatu babak tertentu, kedua telapak
tangan Linghou Yong bergesek sekali terus bergerak menyamping
kedua telapak tangan melontarkan dua tenaga yang beda
arah, kiri menyeret kanan menuntun, tanpa kuasa Tan Cioksing
berputar, dan ini memberi peluang bagi Linghou Yong
untuk merubah posisi dan berinisiatif menyerang secara
terbuka. "Anak bagus," bentak Linghou Yong, "kinilah saatnya
kau rasakan keliehayanku." Ilmu yang dia yakinkan ternyata
Kungfu dari aliran sesat yang bernama Im-yang-ciang, satu
negatif yang lain positip, yang ini keras yang itu lunak saling
isi dan sama tambal. Bagi yang lwekangnya rendah,
menghadapi tenaga Im-yang-ciang ini, tak ubahnya seperti
sebuah sampan yang terseret didalam pusaran gelombang air
dahsyat. Akan tetapi penilaian Huwan Liong hanya betul separo,
memang kenyataan Linghou Yong kini berinisiatif menyerang,
kelihatannya dia berada di atas angin. Tapi pertahanan Tan
Ciok-sing ternyata sedemikian kokoh kuat dan tidak gampang
dikalahkan seperti yang diduganya.
Latihan berat selama tiga tahun didalam Ciok-lin bagi Tan
Ciok-sing ternyata memang tidak sia-sia, pada saat-saat yang
gawat dan berbahaya ini, tampak betapa besar dan
menakjubkan hasil gemblengan dirinya itu. Semakin kencang
dan deras Linghou Yong menarikan sepasang telapak
711 tangannya, beberapa kali terjadi seakan-akan dia sudah
takkan mampu berkelit, tak nyana keadaannya memang persis
sebuah sampan kecil yang terombang-ambing mengikuti gerak
alunan gelombang badai, timbul tenggelam, namun tak
pernah dia ditelan oleh badai yang mengamuk dahsyat ini.
Maklum setelah memperoleh lwekang murni ajaran Thio Tanhong,
walau latihannya belum matang atau sempurna, namun
dalam praktek dia sudah mampu menguasai ilmunya itu
sesuka keinginan hatinya. Taraf lwekangnya mungkin belum
setingkat kepandaian Linghou Yong, namun lwekang yang
diyakinkan dari aliran murni yang lurus, ini jelas lebih baik dan
matang dari apa yang pernah diyakinkan Linghou Yong. Maka
keuletan dan ketahanannya yang kokoh dan lama sungguh
diluar dugaan Linghou Yong. Apalagi Bu-bing-kiam-hoat
memang peranti menghadapi segala serangan perubahan
serta melayaninya sesuai situasi dan kondisi, pedangnya itu
ternyata mampu membendung segala serangan Linghou Yong
dan dalam waktu dekat jelas lawan takkan mampu
menundukkan dia.
Tanpa terasa pertempuran sudah mencapai seratus jurus.
Diam-diam Linghou Yong amat kaget: "Kalau begini terus
salah-salah bisa mencapai tiga ratusan jurus. Umpama aku
dapat mengalahkan dia, aku sendiri pasti bakal jatuh sakit
cukup parah."
Dengan suara lirih Huwan Pau berkata: "Naga-naganya
keadaan tidak menguntungkan, bagaimana baiknya" Lari atau
melabraknya?" memang dalam situasi seperti sekarang ini,
hanya ada satu pilihan dari dua keadaan yang harus mereka
tempuh. Huwan Liong bertanya sambil mendekati Huwan Hou: "Jite,
bagaimana luka-lukamu?"
"Jauh lebih baik, mungkin belum mampu mengembangkan
ginkang," sahut Huwan Hou. Tahu maksud engkohnya dia
menambahkan, "Kalian boleh tak usah hiraukan aku, Toako,
712 aku hanya ingin tahu, apakah kita punya kemampuan untuk
membantu Linghou Yong" Umpama Linghou Yong bukan
tandingan bocah itu, kukira juga takkan terpaut terlalu jauh,"
karena tadi dia kecundang dan dilukai Tan Ciok-sing, maka dia
lebih condong untuk membantu Linghou Yong secara beramairamai.
Huwan Liong ragu-ragu, katanya kemudian: "Sulit
dikatakan. Lari atau ikut melabraknya sukar ditentukan, kita
bertaruh saja dengan nasib."
Meski perlahan percakapan mereka, tapi Linghou Yong dan
Tan Ciok-sing mendengar omongan mereka. Diam-diam Tan
Ciok-sing terkesiap, batinnya: "Jika mereka berempat ikut
mengeroyokku, mungkin sulit aku meloloskan diri."
Sebaliknya Linghou Yong kaget dan marah pula,
bahwasanya dia sudah berada di atas angin, namun Huwan
Liong tidak tahu. "Mungkin dia sudah tahu, tapi sengaja
hendak memojokkan diriku supaya bertempur mati-matian dan
akhirnya gugur bersama bocah ini," demikian batin Linghou
Yong. Perlu diketahui, bila Huwan bersaudara saat itu terjun
ke tengah gelanggang, sudah pasti Tan Ciok-sing pasti dapat
dikalahkan dengan mudah. Kalau tidak umpama betul dia
berhasil membunuh Tan Ciok-sing, dia sendiri juga perlu
memulihkan tenaganya tiga bulan lamanya. Tapi wataknya
memang angkuh dan tinggi hati, suka gengsi lagi, betapapun
dia tidak sudi menebalkan muka untuk memberi penjelasan
dan minta bantuan Huwan bersaudara.
Tiba-tiba Huwan Pau berkata: "Aku ingin masuk
menggeledahnya," saat mana mereka berada di muka pintu
rumah Khu Ti, tadi seisi rumah sudah mereka obrak-abrik.
"Apa pula yang hendak kau cari?" tanya Huwan Liong.
"Aku pingin minum arak, arak buatan Khu-lothau tempo
hari tidak jadi kunikmati, kalau dibayangkan sampai sekarang
aku masih ngiler. Mungkin dia masih menyimpannya seguci
713 dan diletakkan di pojokan yang tidak terlihat kita tadi. Cukup
setengah guci saja, sudah akan menambah banyak tenagaku."
Huwan Liong marah, semprotnya: "Kau memang setan
arak, dalam keadaan seperti ini, masih juga kau gila air katakata
(arak)." Huwan Pau tertawa, katanya: "Memangnya kau sendiri
belum berkepastian, mau tarung atau lari, mumpung ada
kesempatan lebih baik aku cari arak, setelah minum tenaga
pulih dan bertambah kuat, nanti aku bantu kalian berhantam."
Baru saja usai percakapan mereka, tiba-tiba didengarnya
dari dalam rumah ada orang batuk-batuk, disusul sebuah
suara dingin berkata: "Kalian kawanan kurcaci memang
sontoloyo, baru saja aku selesai minum dan mau tidur, kalian
sudah bikin ribut di depan rumahku sehingga impian bagus
sirna tak karuan. Hm, kalian masih ingin minum arak bukan,"
ternyata itulah suara perkataan Khu Ti. Karuan kejut Huwan
bersaudara seperti disengat kala. Pada hal tadi mereka sudah
menggeledah seluruh pelosok, rumah dan mengobrak-abrik
isinya, menurut keadaannya agaknya Khu Ti sudah
meninggalkan rumah itu, entah bagaimana sekarang tahutahu
sudah berada dalam rumah pula" Pelan- pelan daun
pintu terbuka dan muncullah Khu Ti.
Khu Ti memanggul sebuah buli-buli besar warna merah,
wajahnya tampak lebih tua sedikit dari setengah tahun yang
lalu, tapi sepasang matanya masih tampak mencorong terang.
Sesaat itu empat bersaudara ini seperti merasakan kedua
mata Khu Ti sama menatap ke arah mereka, sekali dideliki,
hati mereka seketika kuncup, jantungnyapun berdetak keras,
saking kaget serasa terbang arwah mereka.
Menuding Huwan Pau, Khu Ti berseru: "Nah, kau yang
ingin minum arak, mari kuberi," arak didalam buli-buli
sekaligus dia minum sampai habis tiba-tiba dia pentang mulut


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyemburkan araknya, sejalur arak seketika menyemprot ke
arah Huwan Pau. Waktu di kedai Khu Ti tempo hari
714 merekapun pernah kecundang oleh Khu Ti dengan cara yang
sama ini. Karena terluka gerak-gerik Huwan Pau kurang tangkas,
lekas dia tutup muka sendiri dengan kedua tangan, sederas
hujan semburan arak Khu Ti semua mengenai punggung
tangannya, wah rasanya sakit dan pedas sekali. Tempo hari
Khu Ti tenggak setengah guci arak untuk menyemprot mereka
berempat, kali ini hanya menghabiskan setengah buli-buli,
yang disembur juga hanya Huwan Pau saja, gelagatnya jelas
jauh lebih asor. Apalagi meski Huwan Pau merasa sakit, tapi
rasanya tidak sehebat tempo hari.
Walau demikian Huwan Pau sudah ciut nyalinya, mau lari
kaki sudah tak mampu bergerak, saking ketakutan, saking
gugup tanpa malu segera dia berlutut dan menyembah,
teriaknya: "Ampun Khu-locianpwe, selanjutnya aku yang kecil
tidak berani mengganggumu lagi."
Khu Ti menyeringai dingin, jengeknya: "Memang kalian
belum setimpal mengotori tanganku, lekas enyah dari sini."
Semula Huwan Liong agak curiga dan ragu-ragu, kini
melihat Khu Ti ini kembali menggunakan cara lama
menyembur arak pada adiknya sehingga orang ketakutan
sampai menyembah pula, sudah tentu diapun tak berani mainmain
coba-coba lagi. Mendengar Khu Ti mengusir mereka,
seperti mendapat pengampunan saja, lekas Huwan Pau
merangkak bangun terus mendahului lari sipat kuping. Huwan
Liong menggendong Huwan Hou ikut lari juga. Huwan Kiau lari
paling akhir, meski ke dua kakinya tersapu ruyung dan dia
jatuh terguling-guling, dia tidak berani melawan terus
menggelundung turun gunung.
Setelah menggebah Huwan bersaudara. Khu Ti melangkah
maju, katanya setelah tertawa terkekeh-kekeh: "Linghou
Yong, kau membawa kamrat kemari hendak menangkap aku
bukan" Hehe, sengaja aku pulang untuk menyambut
715 kedatanganmu. Kau berani hayo lawan aku saja, ingin aku
lihat kau mampu berbuat apa terhadapku?"
Sebetulnya Linghou Yong amat membanggakan diri,
sebelum bertemu dengan Khu Ti, dia kira meski tinggi
kepandaian Khu Ti, tapi belum tentu liehay seperti apa yang
digambarkan oleh Huwan bersaudara, dengan bekal Im-yangciang
dirinya, ditambah barisan pedang Huwan bersaudara dia
yakin masih cukup berkelebihan untuk mengalahkan lawan,
maka dia berani meluruk kesini.
Tapi keadaan sekarang justru diluar perhitungan, bukan
saja terbalik keadaannya sekarang malah lebih celaka, rasa
angkuhnya seketika sirna karena tak mampu menjatuhkan Tan
Ciok-sing, kini Khu Ti muncul pula di saat-saat kritis begini,
karuan nyalinya menjadi ciut. Maklum sejauh ini dia hanya
setanding dengan Tan Ciok-sing, Huwan bersaudara sudah
angkat langkah, meski nyalinya besar, betapapun dia tidak
berani menempur Khu Ti pula. Segera dia kerahkan seluruh
sisa tenaganya, sekali pukul dia bikin Tan Ciok-sing tergetar
mundur, terus putar tubuh angkat langkah seribu.
Tan Ciok-sing tergetar mundur beberapa langkah oleh
tenaga gempuran lawan, hampir saja dia terjengkang jatuh.
Bentaknya gusar: "Sudah kalah mau lari, memangnya
semudah yang kau kira."
Tapi Khu Ti sudah lekas maju dan menariknya, katanya
perlahan: "Musuh yang sudah ngacir jangan dikejar, biarkan
dia pergi."
Sebetulnya Tan Ciok-sing tidak ingin mengejar, kini melihat
Khu Ti mendadak muncul sungguh senangnya seperti
kejatuhan rejeki dari langit, sudah tentu lebih penting dia
bercengkrama dengan Khu Ti. Setelah Linghou Yong lari, dia
punya kesempatan menentramkan pernapasan, lalu maju
memberi salam hormat kepada Khu Ti.
716 "Jangan banyak adat," ujar Khu Ti, "kau kemari mencari
aku, ada urusan apa?"
Pertanyaan ini sungguh diluar dugaan Tan Ciok-sing,
seketika dia berdiri melongo.
Khu Ti adalah seorang tua yang simpatik, supel dan rendah
hati, sahabat baik kakeknya. Waktu di kedai tempo hari,
sikapnya ramah dan sayang, apalagi setelah tahu akan asalusul
dirinya. Tapi kenapa sekarang kok bersikap tak acuh dan
keliwat dingin dibanding pembawaannya tempo hari. Tapi
yang lebih mengejutkan dan membuatnya melongo adalah
pertanyaan Khu Ti: "Untuk apa dia kemari" Memangnya
kejadian setengah tahun yang lalu sudah dia lupakan sama
sekali?" Tan Ciok-sing berdiri tegak dan mengawasi seksama, yang
berdiri di depannya tidak salah memang Khu Ti, cuma kerut
mukanya agaknya lebih banyak dan tua. "Mungkin karena
mengalami kejadian tempo hari sehingga batinnya agak
tertekan, maklumlah orang tua ingatannya sudah jauh lebih
mundur," demikian batin Tan Ciok-sing.
"Untuk apa kau mencariku" Kenapa melongo saja?" desak
Khu Ti. "Khu-locianpwe, bukankah kau yang menjanjikan aku
kembali. Aku sudah menunaikan keinginanmu dahulu,"
demikian kata Tan Ciok-sing.
"Apa iya" Keinginanku yang mana sudah kau tunaikan"
Coba jelaskan kepadaku."
Ciok-sing mengiakan, baru saja dia berkata: ''Waktu aku
pulang ke Kwi-lin..."
Baru sampai disini mendadak
Khu Ti seperti ingat, tukasnya tertawa: "Oh, ya, betapa
pikunnya aku kini, ceritamu pasti panjang, hayolah duduk
dalam rumah."
717 Baru sekarang dia mendengar suara tawa Khu Ti, tapi raut
muka Khu Ti tetap dingin membeku, setelah duduk dalam
rumah, Khu Ti berkata: "Maaf kalau aku tak bisa menyuguh
apa-apa, secangkir tehpun tiada," bukan saja teramat sungkan
sikapnya malah terasa kaku dan dingin.
Tujuan Ciok-sing kemari sebetulnya ingin menetap disini,
setelah menghadapi sikap orang, diam-diam dia sudah
merubah maksud semula, pikirnya: "Entah karena apa,
agaknya Khu-locianpwe tidak seramah dulu menyambut
kedatanganku. Setelah kusampaikan soal itu aku harus segera
pergi." Maka dia bercerita amat jelas dan terperinci, kalem lagi,
kuatir Khu Ti sudah lupa dia tambahkan pula pesan orang
akan keinginannya itu sebelum mereka berpisah tempo hari.
Khu Ti juga mendengarkan dengan asyik dan penuh
perhatian, waktu Tan Ciok-sing bercerita tentang pertandingan
pedang melawan It-cu-king-thian Lui Tin-gak di Lian-hoa-hong
tampak sikapnya amat senang dan tertarik, sering dia
mengajukan pertanyaan.
Setelah Ciok-sing habis bercerita, Khu Ti segera tertawa,
katanya: "Kalau demikian, jadi kau sudah menunaikan
pesanku, dengan alasan bertanding pedang kau sudah
mendemontrasikan Bu-bing-kiam-hoat itu di hadapan It-cuking-
thian sehingga keinginan orang sejak lama itu tercapai.
Anak bagus, baik sekali kau melaksanakan tugas, bahwa
dengan Bu-bing-kiam-hoat kau setanding dan akhirnya seri
melawan It-cu-king-thian Lui Tin-gak, sungguh kau harus
diberi selamat dan patut dipuji."
Kata Ciok-sing: "Pesan cianpwe betapapun harus
kulaksanakan. Banyak terima kasih akan pujian cianpwe,
baiklah sekarang Siautit minta diri saja."
"Nanti dulu," tiba-tiba Khu Ti berseru menahannya.
718 Ciok-sing melengak, katanya: "Khu-locianpwe masih ada
pesan apa?"
Khu Ti tertawa tergelak-gelak, katanya: "Bagus ternyata
kau memang Tan Ciok-sing, sekarang aku mau percaya
kepadamu. Tan-toako, kau memang orang yang dapat
dipercaya, kukira kau takkan kemari lagi."
Sudah tentu kaget Ciok-sing bukan kepalang, Khu Ti
ternyata memanggilnya "Tan-toako", naga-naganya orang
sudah tidak mengenalnya lagi. Kulit muka Khu Ti tampak tetap
tak menunjukkan mimik perubahan apa-apa meski sedang
tertawa lebar, tapi nada suaranya kedengaran amat senang
dan riang. "Sekarang aku sudah tahu kau adalah Tan Cioksing,
memang aku sedang mengharap kedatanganmu. Tapi
apakah kau tahu siapa aku?"
Kembali Ciok-sing berjingkat kaget dibuatnya, katanya
tergagap: "Khu-locianpwe, kenapa kau bilang begitu"
Memangnya kau, kau, kau bukan..."
"Betul, rekaanmu benar," ujar Khu Ti, "kalau bukan tiruan,
sebaliknya akulah yang palsu."
"Kau, siapa kau?" teriak Ciok-sing, "kenapa kau memalsu
Khu-locianpwe?"
Khu Ti berkata: "Kalau kau ingin tahu siapa aku, nah
berpalinglah kau kesana dan jangan menoleh serta
mengintip."
Memutar tubuh dan membelakangi seorang asing belum
diketahui asal-usulnya, bahwasanya merupakan suatu
perbuatan yang amat berbahaya, Tapi Tan Ciok-sing tanpa
bimbang segera melaksanakan permintaan orang, lekas dia
berpaling dan berputar kesana, berdiri tegak meluruskan
tangan, pandangan menatap jauh ke depan.
Terdengar Khu Ti tertawa cekikikan, katanya: "Baik sekali,
kau mau percaya padaku aku amat senang," lalu didengarnya
719 sesuatu yang berjatuhan seperti lempung dan sebangsanya
yang mengelotok dan berhamburan di tanah.
Sesaat kemudian,, tiba-tiba didengarnya suara merdu
nyaring bak suara kelinting berkata: "Sudah, sekarang kau
boleh berpaling kesini."
Begitu Ciok-sing membalik tubuh, seketika dia berdiri
melongo dan menjublek di tempat. Ternyata Khu Ti yang tadi
bermuka penuh keriput kini berubah menjadi seorang gadis
jelita. Seperangkat pakaian laki-laki tampak menggeletak di
tanah, di sekitar kakinya berserakan pula bubuk dan
lempingan-lempingan kecil dari adonan gandum yang sudah
kering. Pulih wajah si gadis laksana sebingkai porselin, alisnya
lentik, kecantikannya tidak kalah dibanding In San. Mulut yang
kecil mungil tengah menyungging senyum nan molek, sesaat
lamanya Ciok-sing terpesona.
"Tan-toako, maaf bila aku mempermainkan kau. Tadi sudah
kuduga akan dirimu, tapi aku belum yakin, terpaksa aku harus
bertindak hati-hati," melihat Ciok-sing masih berdiri menjublek
gadis itu tertawa geli sambil menutup mulutnya.
Setelah tenang Ciok-sing baru berkata: "Ah, kenapa nona
bilang begitu, kau sudah menolong jiwaku, belum lagi aku
nyatakan terima kasih. Harap tanya nona, ke manakah Khulocianpwe"
Nona, kau pernah apanya?"
Seketika kuncup seri tawa si gadis, wajahnya menampilkan
rasa duka, katanya: "Kau terlambat datang, ayah sudah
meninggal dunia."
Bagai disambar petir layaknya, kontan Tan Ciok-sing
tergentak kaget, sesaat dia melongo, tanpa terasa air mata
berlinang, katanya: "Dengan wanti-wanti ayahmu berpesan
padaku supaya kembali memberi kabar kepadanya, tak nyana
beliau sudah mangkat. Entah adakah pesannya yang terakhir
untuk aku?"
720 Dalam rasa dukanya diam-diam hatinya merasa heran dan
bertanya-tanya: "Ternyata Khu-locianpwe masih punya
seorang putri, kenapa setengah tahun yang lalu tak pernah
kulihat dia ada di kedai, beliau tak pernah menyinggung hal ini
kepadaku. Mungkin putrinya ini sudah menikah dan tidak
tinggal bersama ayahnya?" tapi dilihatnya gadis ini paling baru
berusia delapan belas, potongan tubuhnya semampai dan
padat, jelas masih seorang gadis perawan.
Agaknya si gadis merasakan sorot pandangan Ciok-sing
penuh tanda tanya, segera dia menjelaskan. "Aku bukan anak
kandungnya, aku anak angkat beliau. Aku she Han bernama
Cin," sambil bicara dengan jari telunjuknya dia menulis di atas
meja. "Cara bagaimana Khu-loyacu meninggal?" tanya Ciok-sing,
"agaknya beliau pernah menyinggung diriku kepada nona."
"Silahkan duduk, biar kuseduhkan air teh, nanti kuceritakan
kepadamu."
"Tak usah repot nona Han, lebih baik kau ceritakan dulu
kepadaku."
"Aku harus mewakili Gi-hu (ayah angkat) melayanimu dulu,
tak usah buru-buru, kawanan brandal itu toh sudah lari
mencawat ekor, sambil masak air, nanti kuceritakan
kepadamu."
Ayah kandung Han Cin bernama Han Cui penduduk Thongciu
asli, karena peperangan melanda kampung halamannya,
terpaksa dia ngungsi ke Ong-ju-san, Han Cui kenyang
membaca dan pandai membuat syair, hakikatnya dia tidak
punya kepandaian apapun untuk bekal hidupnya, maka di
bawah Ong-ju-san dia membuka sekolahan desa, muridmuridnya
adalah anak-anak petani atau pemburu. Han Cin
berkata: "Sekolah desa ayah berada di utara gunung, kedai
minum Khu-lopek berada di selatan gunung, jaraknya lima
puluhan li. Tapi karena kedua orang mempunyai hobi yang
721 sama, setiap dua tiga hari, kalau bukan ayah pergi ke kedai
arak Khu-lopek, pasti dia yang bertandang ke rumahku, sejak
itu mereka menjadi sahabat baik."
Sampai disini airpun telah mendidih, Han Cin memerlukan
dua mangkok serta menyeduh teh, katanya: "Aku tahu kau
bisa minum arak, sayang sisa setengah buli-buli arak yang
kusimpan tadi kubuang percuma untuk menggebah kawanan
brandal itu. Terpaksa aku hanya bisa menyuguh teh hangat
saja." Setelah sama-sama menghirup teh Han Cin meneruskan
ceritanya: "Waktu itu aku masih anak nakal yang berusia
enam tahun, tapi Khu-lopek amat senang dan sayang padaku,
agaknya selama hidup beliau tak pernah menikah, tak punya


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak maka aku dipungutnya sebagai putri angkatnya, beliau
mengajar dan mendidik aku belajar Kungfu."
Sampai disini dia menghirup seteguk air teh lalu
melanjutkan: "Kepandaian ayah angkatku ternyata amat
banyak, kecuali Kungfu, dia masih punya kepandaian lain-lain
yang serba aneh dan lucu. Umpama cara merias dan
berdandan tadi juga kupelajari dari beliau, tak nyana hari ini
berhasil kumanfaatkan."
"Kepandaianmu dalam bidang ini ternyata memang amat
menakjubkan, aku sendiripun kena kau kelabui?" demikian puji
Ciok? sing. "Maklum aku memalsu ayah yang paling kukenal, jika
memalsu orang lain, mungkin takkan dapat mengelabuhi
matamu." Han Cin bercerita lebih jauh, "tiga tahun yang lalu,
tiba-tiba beliau kangen akan kampung halaman, maka beliau
ajak aku pulang ke Thong-ciu. Tak nyana tak lama setiba di
kampung halaman beliau jatuh sakit dan selama beberapa
lama rebah di ranjang sampai tahun lalu baru meninggal
dunia. Setelah ayah di kebumikan dan aku berkabung selama
seratus hari, baru aku kembali dan menetap disini bersama Gihu.
Baru tiga bulan yang lalu aku sampai disini."
722 "Kedai minum itu dibakar oleh pasukan pemerintah,
penduduk sekitarnya memberitahu padaku, untuk menghindari
petaka ini, entah kemana ayah menyembunyikan diri. Aku
masih ingat entah beberapa kali ayah pernah menyatakan
keinginannya hendak mengasingkan diri di Cui-hwi-hong
puncak tertinggi dari Ong-ju-san yang indah panoramanya.
Tapi lantaran tidak tega meninggalkan sahabat baiknya, maka
sejauh itu dia tunda keinginannya. Ayahku tidak bisa main
silat, tak mungkin dia memanjat ke Cui-hwi-hong.
"Dengan perasaan ingin coba-coba, aku memanjat ke Cuihwi-
hong. Ternyata aku memang beruntung, tapi juga tidak
beruntung. Waktu aku menemukan beliau, dia sudah sakit
amat parah dan hampir menghembuskan napasnya terakhir.
Melihat kedatanganku dia berusaha menguatkan diri, tapi aku
hanya satu jam menemani dia."
Dalam dukanya Tan Ciok-sing merasa lega juga, katanya:
"Syukurlah, bukan lantaran dicelakai pasukan pemerintah itu,"
lalu menyambung: "Gi-humu memiliki Kungfu yang tingggi,
sebelum berpisah dengan aku, hari itu dia sudah pamer
kepandaiannya yang khas, dengan seguci arak dia menyembur
ke empat bersaudara tadi sampai lari lintang pukang. Sungguh
tak nyana secepat ini tahu-tahu dia sudah mangkat."
"Bagi orang yang berkungfu tinggi, mungkin puluhan tahun
tak pernah sakit, tapi sekali jatuh sakit maka kesehatannya
akan terganggu secara hebat. Demikianlah keadaan Gi-hu.
Akulah yang harus disalahkan kenapa tidak datang lebih dini
beberapa hari, beliau tiada yang meladeni..."
"Mati hidup manusia sudah suratan takdir," demikian hibur
Tan Ciok-sing, "manusia mana yang bisa meramal akan nas
Istana Pulau Es 8 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 1
^