Pendekar Pemetik Harpa 31

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 31


menurut kebiasaan, paling lambat sebelum
kentongan ketiga pasti pulang."
"Lalu kenapa?"
"Dua hari yang lalu sudah pernah aku dengar ayah bilang,
kuatir tenaga dalam gedung ini tidak mencukupi kebutuhan,
terutama setelah Koksu mengajak Tang-hay-liong-ong
bertamu ke Putala, dia kuatir penjagaan untuk tamu agung
kurang kuat dan ketat, takut bila terjadi sesuatu, Khan besar
pasti akan menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Maka dia
suruh Kampula berusaha mencari jago-jago silat sebagai Wisu,
tapi dalam waktu sesingkat ini kemana dapat mencari jagojago
silat tinggi" Maka menurut dugaanku, masuknya ayah ke
istana kali ini pasti akan melaporkan bahwa Abu Ciangkun
telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han, di
samping mohon pinjam tenaga Kim-tiang Busu. Kalian mau
1831 membunuh Liong Bun-kong, bila sebelum kentongan ketiga
belum berhasil, maka bahayanya akan lebih besar."
"Terima kasih akan pemberitahuanmu ini." Kata In San
tertawa, "kalau kami takut menghadapi bahaya, kami tidak
akan datang kemari."
Setelah meninggalkan Siau-ongya. Tan .Ciok-sing melihat
cuaca, mega masih mendung, tapi bintang utara tampak kelap
kelip di angkasa raya, cuaca tidak segelap waktu mereka
datang tadi. Setelah menentukan arah, Tan Ciok-sing langsung menuju
ke Hi-hi lou. Di tengah jalan In San berbisik: "Menurut
dugaanmu, siapa orang yang memberi laporan rahasia itu?"
"Baiklah, kita sama-sama sebut nama orang yang kita
curigai itu."
"Mulai, satu, dua, tiga..." berbareng dengan suara lirih
mereka menyebut 'Buyung Ka'.
"Lalu bagaimana baiknya" Di samping Jendral Abu ada
sembunyi seorang musuh yang berbahaya."
"Yang penting sekarang kita harus dapat membunuh
bangsat she Liong itu sebelum kentongan ketiga, urusan lain
boleh dikesampingkan dulu."
In San menarik lengan bajunya, bisiknya: "Sssst lihat sana."
"Di tempat yang dituding tampak kemilau sinar emas, Tan
Ciok-sing senang, katanya: "Betul, Hi-hi-lou ada disana." Katakatanya
dia kirim menggunakan ilmu mengirim suara
gelombang panjang, umpama ada orang berdiri di samping
mereka juga tidak akan mendengar.
In San berkata: "Kalau Yu-hianong sudah mengatur
perangkap untuk menjebak kita, yakin dia tidak akan pasang
perangkapnya itu di tiga tempatnya sendiri, Hi-hi-lou bukan
mustahil juga ada perangkap."
1832 "Biar aku coba tanya jalan dengan melempar batu. Tanghay-
liong-ong tidak berada di samping bangsat tua itu,
umpama jejak kita konangan, mereka tiada yang kuat
menandingi kita, takut apa." Sekenanya Tan Ciok-sing
menjemput sebutir batu, dengan kekuatan jarinya dia
menjentik, batunya meluncur ke arah loteng.
"Daaar!" mendadak terjadi ledakan keras, begitu batu itu
menyentuh lankan, loteng ambrol api menyembur, ujung
loteng sebelah sana ternyata runtuh. Mungkinkah sebutir batu
kecil dapat mengakibatkan kerusakan separah itu" Ternyata di
atas loteng telah dipasangi alat rahasia, kecuali naik dari
tangga yang membujur dari pekarangan dalam, baru orang
akan selamat tiba di atas loteng. Belum lenyap gema ledakan
keras itu, panahpun melesat selebat hujan. Bila seseorang
betul-betul lompat naik ke atas loteng, umpama Ginkangnya
tinggi dan selekasnya dapat menyingkir dari tempat ledakan,
juga takkan luput dari samberan hujan panah lebat itu.
Belum reda suara ledakan dan hujan panah, dari berbagai
penjuru berdatangan kawanan Wisu seraya berteriak-teriak:
"Tangkap pembunuh. Tangkap pembunuh, tiba-tiba dari
berbagai tempat gelap di atas loteng menyorot beberapa jalur
cahaya dari Khong-bing-ting, jumlahnya ada puluhan.
Cuaca memang sukar diramalkan, mega mendung yang
semula hampir hilang ditiup angin lalu mendadak bertambah
tebal, bukan saja kembali gelap dan lembab, hujan rintik-rintik
pun mulai turun. Tapi sorot lampu suar yang benderang itu
masih terus berkeliaran ke segala penjuru, sehingga taman
kembang sekitar Hi-hi-lou boleh dikata terang seperti di kala
senja. Tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, kembali dia meraih
sebuah batu agak besar, lalu diremasnya menjadi krikil,
dengan kepandaian Tan-ci-sin-thong, beruntun dia menjentik,
dalam sekejap lampu-lampu suar di atas loteng itu banyak
1833 yang telah padam, bila kawanan Wisu datang lebih banyak
lagi lampu-lampu itupun sudah padam seluruhnya.
Cuaca gelap pekat, ini menguntungkan mereka. Sebelum
lampu suar padam mereka sudah menentukan arah, dengan
mengembangkan Ginkang mereka mengitari sebuah gununggunungan
menyusup kembang menghindari bentrokan dengan
kawanan Wisu terus melarikan diri.
Kawanan Wisu masih terus berdatangan dari berbagai arah
ke Hi-hi-lou, lekas sekali mereka sudah tiba di daerah yang
tiada penjagaan.
Legalah hati In San, tanyanya: "Sing-ko menurut
pendapatmu apakah omongan Siau-ongya dapat dipercaya?"
"Kukira dia tidak akan ngapusi kita. Dalam hal apa kau
curiga?" "Yu-hian-ong sudah masuk istana menghadap Khan
Agung?" "Kuatir malam ini ada pembunuh meluruk datang, dia
sudah mempersiapkan diri, kuatir tenaga yang dipersiapkan
tidak mencukupi, untuk menjaga segala kemungkinan, maka
dia merasa perlu mengungsi ke lain tempat."
"Apa dia tidak takut Liong Bun-kong mengalami sesuatu?"
"Iya, maksudmu Liong Bun-kong mungkin ikut dia masuk
ke istana menghadap Khan Besar?"
"Hanya dugaan saja. Bila ucapan Siau-ongya dapat
dipercaya."
Tiba-tiba mereka mendengar ringkik kuda ternyata
sekarang mereka tak jauh dari samping istal istana, kuda
dalam istal banyak yang kaget sehingga menjadi ribut, ada
beberapa ekor kuda malah terlepas dari kandangnya.
Sudah tentu para petugas istal kuda menjadi sibuk
menentramkan dan menangkap kembali kuda yang terlepas,
1834 Tan Ciok-sing mendengar salah seorang petugas menggerutu:
"Malam ini sungguh sebal, baru saja mengantar ongya keluar,
baru saja mapan tidur, terjadi keributan ini, entah apa yang
telah terjadi, celakanya aku telah tidur nyenyak."
Belum habis dia menggerutu tiba-tiba Tan Ciok-sing muncul
merenggut kuduknya, dua orang lagi telah ditutuk Hiat-tonya
oleh In San. Yang dibekuk kuduknya berteriak kesakitan:
"Kau, kau siapa?" Tan Ciok-sing berpakaian busu Mongol,
petugas itu kira orang sedang berkelakar dengan dirinya.
Dengan bahasa Mongol Tan Ciok-sing menjawab: "Aku
adalah pembunuh."
Karuan petugas itu ketakutan, ratapnya: "Aku hanya
bekerja mengurus kuda, Hohan jangan kau bunuh aku."
"Kalau kau bicara jujur, aku boleh mengampuni kau, kalau
tidak... coba lihat." Begitu dia layangkan kakinya, enam
batang balok-balok kayu yang tertancap jajar di depan istal
kena disapunya runtuh patah enam batang.
"Hohan, kau, kau ingin tahu apa" Hamba akan
menerangkan setahuku."
"Adik San, kau saja yang tanya." Ujar Tan Ciok-sing,
bahasa Mongolnya tidak sefasih In San, maka dia minta In
San yang mengompres keterangan.
"Dengan siapa Ongya keluar?"
"Orang itu aku tidak kenal."
"Orang Mongol atau orang Han?"
"Agaknya orang Han."
"Satu di antaranya apakah usianya sudah lanjut?"
"Ada seorang yang sudah beruban rambut dan jenggotnya,
pada hal usianya kira-kira baru enam puluhan."
"Kapan mereka meninggalkan istana?"
1835 "Kentongan pertama."
"Kapan kembali?"
"Entahlah hamba tidak tahu, Ongya tidak memberitahu."
"Cukuplah, orang itu jelas adalah bangsat tua she Liong."
"Baiklah, kau boleh tidur nyenyak." In San tutuk Hiat-to
penidur petugas istal, katanya: "Toako lekas kau pilih dua ekor
kuda." Mencemplak kuda mereka lolos dari pintu belakang, meski
disini dijaga beberapa Wisu, mana mereka mampu merintangi
Tan dan In, kecuali dua tiga orang yang cerdik melihat
gelagat, siang-siang telah menyembunyikan diri, sisa Wisu
yang lain semua ketimpuk batu sambitan Tan Ciok-sing dan
tertutuk Hiat-tonya.
Di tengah kegelapan mereka menempuh perjalanan, kini
cuaca lebih mending, bintang utara tampak kelap kelip,
berpedoman pada bintang utara itulah mereka terus maju ke
depan. In San berkata: "Entah sudah kentongan ketiga
belum?" Dalam hal melihat cuaca Tan Ciok-sing lebih
berpengalaman, katanya: "Bintang utara sudah berputar
doyong ke barat, kentongan ketiga mungkin sudah lewat."
Tengah mereka mencongklang kuda, tiba-tiba terdengar
derap kuda dan roda kereta menggelinding, sebuah kereta
ditarik empat kuda muncul dari lereng sebelah sana. Di depan
kereta digantung sebuah lentera angin, kelihatan kereta itu
cukup mewah dan besar, jelas bukan kereta milik keluarga
biasa. In San kegirangan, katanya pelan-pelan: "Pasti itulah
kereta Yu-hian-ong, entah bangsat she Liong itu ada tidak
dalam kereta itu. Mari kita cegat mereka."
1836 "Jangan gegabah, kita tetap menyaru pesuruh keluarga
raja, bertindak menurut gelagat." Demikian Tan Ciok-sing
menganjurkan. Kuda mereka berhenti di tengah jalan, kereta besar itupun
dihentikan. Dengan mengecilkan suara In San berkata:
"Pesuruh ong-hu datang memberi lapor kepada Ongya."
Kerai kereta tersingkap, kepala Yu-hian-ong muncul,
katanya "Siapa namamu, terjadi apa di istana?" Dirasakan
suara In Sun masih asing baginya, jelas bukan anak buah
kepercayaannya, tapi dalam istananya terlalu banyak orang,
tidak mungkin setiap orang dia kenal, maka dia tanya dulu
nama In San. Ciok-Sing dan In San turun dari kuda serta menghampiri ke
depan kereta, dalam jarak sepuluh langkah berhenti serta
membungkuk memberi hormait kepada Yu-hian-ong, sengaja
In San pura-pura sengal-sengal. katanya tergagap: "Ada
pembunuh membuat onar harap Ongya jangan pulang dulu,
aku, aku adalah. " suaranya makin serak dan lirih sehingga
Yu-hian-ong tidak dengar apa yang dia katakan lagi.
Yu-hian-ong tertawa tergelak-gelak, katanya: "Sudah
kuduga pembunuh bakal meluruk ke istanaku, memangnya
mereka bisa meloloskan diri, sekarang aku akan pulang
mengompres mereka, le, siapa namamu, katakan yang
jelas..." Belum habis dia bicara mendadak Tan Ciok-sing dengan
gerakan kilat telah menubruk ma|u mencengkram ke arah Yuhian-
ong. Mimpipun Yu-hian-ong tidak menduga bahwa budak
keluarganya bakal menyergap dirinya, baru saja dia menjerit
sekali, tahu-tahu dadanya sudah direnggut Tan-Giok-sing.
Yang duduk di sebelah Yu-hian-ong adalah seorang padri
asing yang berperawakan kekar besar berkasa merah,
1837 gerakannyapun tidak kalah cepat, hampir bersamaan, "wut"
tiba-tiba dia memukul batok kepala Tan Ciok-sing.
Merasakan samberan angin kencang, Ciok-sing tahu
penyerang berkepandaian lebih tinggi. Cepat dia gunakan
Hong-tiam-thau, berbareng tubuh Yu-hian-ong dia angkat ke
atas, bentaknya: "Kalau berani, boleh pukul,"
Ciok-sing kira Yu-hian-ong berada di tangannya, betapapun
padri asing ini tidak akan mencelakai jiwanya. Tak nyana
tanpa ayal sambil mendengus dia membentak: "Kenapa tidak
berani." "Blang" telapak tangannya dengan telak menggaplok
punggung Yu-hian-ong.
Begitu padri asing ini bersuara Ciok-sing lantas kenal, dia
bukan lain adalah jago kosen nomor satu di Watsu, Milo
Hoatsu adanya. Kejadian aneh sekali, pukulan Milo Hoatsu mengenai
punggung Yu-hian-ong tapi yang kena pukul ternyata seperti
tidak merasa apa-apa, celakanya Tan Ciok-sing justru seperti
diterjang arus badai, dadanya seketika sesak seperti dipukul
godam raksasa. Milo Hoatsu menggunakan Kek-but-thoan-kang, bila jenis
ilmu seperti ini diyakinkan pada puncaknya, sekeping tahu
yang ditaruh di atas batu, sekali pukul, tahunya tetap utuh
tapi batu di bawahnya hancur luluh. Meski Kek-but-thoan-kang
Milo Hoatsu belum setaraf itu, tapi liehaynya bukan main.
Begitu dada seperti digodam, reaksi Tan Ciok-sing ternyata
cukup tangkas juga kontan dia bersalto ke belakang, jarinya
masih mencengkram Yu-hian-ong.
Milo Hoatsu kira sekali pukulan tadi pasti membuat lawan
tak sempat melukai Yu-hian-ong dan terluka parah oleh
tenaga Liong-siang-kang, bila lawan terluka dengan sendirinya
Yu-hian-ong dapat meloloskan diri dengan mudah. Tak nyana
1838 Tan Ciok-sing masih kuat memegang tawanannya serta
menyeretnya turun dari kereta, hal ini betul-betul diluar
dugaannya. In San juga lompat turun, pedang di tangannya lantas
terayun, dua kaki depan kuda-kuda penarik kereta itu dia
babat kutung, kuda roboh keretapun serong dan akhirnya
roboh terjungkir, lentera angin itupun padam, keadaan
menjadi gelap, dalam keributan ini Tan dan In masih


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatikan sekelilingnya, tapi orang yang diharapkan tidak
kelihatan. Begitu menginjak bumi Ciok-sing kerahkan hawa murninya,
sehingga rasa sesak dadanya sirna seketika. Bentaknya: "Yuhian-
ong, kau ingin hidup tidak?"
Saking ketakutan Yu-hian-ong menjublek tak mampu
bicara. Begitu melompat turun Milo Hoatsu menjemput batu
menimpuk mampus kuda tunggangan Tan Ciok-sing.
Bentaknya: "Berani kalian melukai Ongya, coba saja apakah
kalian mampu meloloskan diri."
"Siapa bilang kami mau lari?" jengek Tan Ciok-sing.
Dari sebuah kereta lain yang baru tiba turun orang
mendekati mereka, katanya tergelak-gelak: "Tidak lepas dari
dugaan, kau bocah she Tan dan budak she In pula yang
membuat keributan. Syukurlah kalau tidak ingin lari, mari kita
tentukan siapa jantan siapa betina."
Orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong Sugong Go,
Tan dan In sudah menduga bahwa Yu-hian-ong pasti dikawal,
tapi mereka tidak menduga yang mengawal adalah Milo
Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong, dalam hati Ciok-sing
membatin: "Syukur Yu-hian-ong sudah kuringkus lebih dulu,
kalau tidak sulit kita menghadapi kenyataan ini." Dengan
tertawa dia berkata:
1839 "Sekarang kami tiada tempo melayani kau berkelahi, kalau
mau bertanding boleh setelah urusanku beres, boleh kau
tentukan waktu dan tempatnya."
Jantung Yu-hian-ong masih berdebar, katanya: "Apa
kehendak kalian?"
"Serahkan jiwa Liong Bun-kong, kalau kau masih ingin
hidup, barter dengan jiwa bangsat tua itu."
Selama ini Yu-hian-ong tidak mendengar suara atau melihat
bayangan Liong Bun-kong, dalam hati dia mengumpat:
"Keparat tua, enak-enak sembunyi dalam kereta."
"Betul, dia memang masuk istana bersama aku, melihat
kesehatannya yang terganggu, Khan telah menahannya di
istana," Demikian Yu-hian-ong berbohong. Pada hal dia tahu
bualannya ini tidak akan dipercaya lawan tapi tujuannya
memang hendak mengulur waktu, dengan kepandaian Milo
Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong yang tinggi bukan mustahil
mereka dapat membantunya meloloskan diri.
Tan Ciok-sing setengah percaya setengah curiga, pikirnya:
"Liong Bun-kong menjual negara dan bangsa, memang bukan
mustahil untuk merangkulnya Khan Agung sengaja
menahannya di istana. Aku sudah janji terhadap Siau-ongya
untuk tidak melukai ayahnya, bagaimana baiknya?" Tengah
hatinya menerawang, ujung matanya tiba-tiba menangkap
gerakan Tang-hay-Iiong-ong yang diam-diam mendekati In
San. "Awas adik San." Teriaknya memperingati.
Sebat sekali In San menyelinap ke belakang Yu-hian-ong,
pedangnya mengancam batok kepala Yu-hiang-ong.
bentaknya: "Siapa berani bergerak, jiwa Ongya kalian segera
kuhabisi lebih dulu."
Maksud Tang-hay-liong-ong, hendak membekuk In San
sebagai sandera, untung Tan Ciok-sing memperingatkan,
1840 terpaksa Tang-hay-Iiong-ong mundur kembali ke tempat
semula. Pedang In San kini mengancam tenggorokan Yu-hian-ong,
jengeknya dingin: "Jangan kira obrolanmu dapat menipu kami.
Kuhitung tiga kali, kalau dia tidak kau serahkan jangan
menyesal bila kepalamu kupenggal lebih dulu."
Kulit leher Yu-hian-ong sudah terasa perih dingin, nyalinya
serasa hampir pecah, mana dia bisa meresapi ancaman In San
dengan pikiran jernih, lekas dia berteriak: "Baik, baiklah akan
kukatakan, singkirkan dulu pedangmu..."
Belum habis dia bicara, Liong Bun-kong yang sembunyi di
belakang batu besar segera cemplak ke punggung seekor
kuda terus dibedal pergi. Yu-hian-ong berteriak kalap: "Liong
Bun-kong, kura-kura kurcaci, jiwaku teracam lantaran kau,
hayo kembali, kembali."
Sudah tentu Liong Bun-kong tidak mau kembali, teriaknya
dianggap tidak dengar, beberapa kali dia lecut kudanya
supaya berlari lebih kencang lagi.
In San segera berkeputusan, katanya: "Toako, biar aku
mengejarnya, kau tahan tawanan kita."
Tan Ciok-sing cengkeram tulang pundak Yu-hian-ong,
sementara telapak tangan menempel punggung, serunya
lantang: "Sebelum nona In kembali, siapapun kularang
bergerak, kalau tidak terpaksa aku tidak sungkan lagi
menamatkan jiwa Ongya."
"Kalau nona In tidak kembali bagaimana" Memangnya kau
akan menyandera Ongya selamanya?" Jengek Milo Hoatsu
"Paling lama satu jam, peduli dia pulang atau tidak, asal
kalian tidak bergerak, aku akan bebaskan dia."
Bayangan In San sudah tidak kelihatan, derap lari kuda
juga tidak terdengar, perasaan Tan Ciok-sing seperti diganduli
1841 barang berat, dia kuatir Ginkang In San tidak kuasa mengejar
cepatnya lari kuda.
Di kala jantungnya berdebar-debar itu, angin lalu
menghembus agak kencang, Lwekang Tan Ciok-sing amat
tangguh, pendengarannya amat tajam, sayup-sayup dia
seperti mendengar jeritan menyayat hati yang terbawa angin.
Tersirap darah Tan Ciok-sing lekas dia berteriak: "Adik San,
bagaimana kau?" Dia menggunakan ilmu mengirim suara
gelombang panjang, dia perkirakan umpama In San berada
dalam tiga atau lima li pasti mendengar teriakannya. In San
mengudak ke atas gunung, jikalau dihitung jarak dalam tanah
datar, dia pergi kira-kira setengah jam lamanya, jarak yang
ditempuhnya kira-kira sejauh itu.
Dengan seksama dia pasang kuping menunggu jawaban In
San. Sedikit seperti setahun, berapa risau hatinya, sungguh
umpama menunggu sedetik seperti setahun. Alam semesta
hening lelap, tidak terdengar reaksi In San.
Bagaimanakah pengalaman In San" Apa yang dialaminya"
Kuda-kuda penarik kereta Yu-hian-ong rata-rata adalah
kuda kilat yang dapat lari seribu li sehari, kalau di siang hari,
betapapun tinggi Ginkang In San jangan harap bisa mengejar.
Untung sekarang malam, baru saja turun hujan. Jalanan
gunung licin dan becek, tidak rata lagi. Walau kuda ini kuda
perang yang sudah dilatih sedemikian rupa, namun lari di
malam gelap, dia masih bisa menghindari bahaya, langkahnya
pun teramat hati-hati. Karena itu daya kecepatannya menjadi
agak berkurang bila dibandingkan berlari di tanah datar.
In San mengembangkan Pat-pou-kan-sian Ginkang delapan
langkah mengejar tonggeret, makin lama jarak kedua pihak
makin dekat, tiba-tiba dia bersuit panjang sembari melolos
golok peninggalan ayahnya, katanya: "Mohon ayah melindungi
di alam baka, semoga anak dapat menuntut balas dengan
golok pusakamu ini."
1842 Serasa terbang arwah Liong Bun-kong saking ketakutan,
serunya gemetar: "Nona In, mohon kau suka pandang muka
ibumu." In San lebih gusar, semprotnya: "Berani kau mengungkat
ibuku, akan kutambah sepuluh bacokan di atas badanmu."
Karuan nyali Liong Bun-kong serasa pecah, kuda dilecut
berulang kali sekeras tangannya mengayun cambuk, tapi
jalanan memang terlalu licin, betapapun kuda tak berani
menancap gas lari sekencang biasanya di siang hari.
Dalam pada itu dari arah berlawanan yang jauh sama
terdengar serombongan kuda dari tentara Watsu sedang
dicongklang ke arah sini, lekas sekali Liong Bun-kong sudah
mendengar derap gegap gempita dari kuda-kuda banyak itu.
In San juga sudah mendengar, lekas dia meraih sebutir batu
terus ditimpukkan ke depan, jarak sudah agak dekat, tapi
timpukan batunya tidak mencapai sasaran.
Tiba-tiba Liong Bun-kong berteriak sekeras-kerasnya:
"Lekas, lekas kemari, tolong, tolong, lekas tolong aku." Tibatiba
teriakannya berganti jeritan kaget yang mengerikan,
ternyata kaki depan kudanya terpeleset, tubuhnya terpelanting
ke atas terus ambruk dengan keras, menggelundung turun ke
bawah lereng. Ternyata karena dihujani cambuk kuda itupun
menjadi sengit dan kumat sifat liarnya, maklum kuda yang
sudah terlatih baik paling tidak suka dicambuk atau banyak
diperintah, padahal Liong Bun-kong tidak pandai menunggang
kuda lagi, mana dia bisa pegang kendali. Waktu kuda
melompati sebarisan batu-batu tonggak, Liong Bun-kong
lantas dilempar dari punggungnya.
In San membentak: "Lari kemana." Beberapa kali lompatan
jarak jauh dia mengudak ke arah suara berisik, dimana Liong
Bun-kong terguling-guling hampir jatuh ke dasar lembah. Kala
itu habis hujan, cuaca cerah, langit membiru, sang putri
malam menongol pula memancarkan sinar peraknya,
meminjam sinar rembulan In San menemukan Liong Bun-kong
1843 rebah di atas tanah, untung tubuhnya tersanggah di atas
sebuah batu sehingga tubuhnya tidak menggelinding lebih ke
bawah lagi. "Bangun." Bentak In San sambil menendang, ternyata
Liong Bun-kong tidak bergerak, lekas In San menyulut api,
tampak sekujur tubuh Liong Bun-kong cecel dowel penuh
luka-luka, darah memenuhi sekujur tubuhnya, waktu dia
meraba pernapasannya, ternyata jiwanya sudah melayang.
Sebetulnya kalau hanya terjatuh bergulingan di lereng
gunung, jiwanya masih belum mati. Tapi lantaran dia
ketakutan, gugup lagi, setelah jatuh jantungnya pecah dan
jiwanya melayang.
Melihat kematian orang yang mengenaskan, In San jadi
tidak tega menambahi sekali bacokan. Golok dia sarungkan
kembali, katanya: "Inilah ganjaran perbuatan jahatmu, tak
usah aku membunuhmu pula."
Akhirnya Tan Ciok-sing memperoleh jawaban In San: "Sakit
hati sudah terbalas, lekas kau kemari."
Dengan mengangkat tinggi Yu-hian-ong di atas kepalanya,
Tan Ciok-sing angkat langkah seribu, katanya: "Biarlah Ongya
kalian mengantarku dalam jarak tertentu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya: "Ucapan seorang kuncu
laksana kuda dipecut, kau sudah berjanji, kenapa, kenapa
ingkar..."
Tang-hay-liong-ong juga gusar, dampratnya: "Jangan
banyak bicara, kalau dia tidak membebaskan Ongya, hayo kita
labrak dia bersama."
Tan Ciok-sing sudah mendahului lari puluhan langkah, di
belakang Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong mengudak
kencang. Tan Ciok-sing sudah pikirkan akal, tiba-tiba dia
tertawa tergelak-gelak katanya lantang: "Janji yang sudah
kuucapkan pasti kutepati, biarlah Ongya kuserahkan kepada
kalian, nah terimalah." Di tengah gelak tawanya dia
1844 menggentak kedua lengan, tubuh Yu-hian-ong dia lempar jauh
ke samping sana.
Tersipu-sipu Milo memburu kesana menangkap tubuh Yuhian-
ong. Tampak tubuh Yu-hian-ong lemas lunglai, tidak bisa
bersuara, tapi napasnya masih ada. Karuan Milo Hoatsu kaget,
saking gugup dia tidak pikir apakah Ongya telah dikerjai,
bentaknya: "Kau, kau apakan Ongya?"
"Jangan kuatir," kata Ciok-sing, "aku hanya menutuk Hiattonya
dengan Jong-jiu-hoat, bukan Hiat-tonya yang
mematikan."
Milo Hoatsu seorang ahli silat juga, kini dia sudah tahu Yuhian-
ong hanya tersumbat Hiat-tonya, tapi belum tahu Hiat-to
mana yang tertutuk.
Tan Ciok-sing berkata: "Aku menutuk Hiat-to yang
tersembunyi, silakan kalian cari sendiri. Dengan Lwekang
kalian, untuk membebaskan tutukan itu pasti bisa tercapai.
Tapi perlu aku beritahu, untuk membebaskan Hiat-tonya-harus
segera, walau dia tidak akan mati, kalau terlambat mungkin
bisa cacat."
Tan Ciok-sing sengaja bermain muslihat pula, maklum
kalau Yu-hian-ong dia bebaskan begitu saja, Milo Hoatsu dan
Tang-hay-liong-ong jelas tidak akan membiarkan dirinya pergi
begitu saja. Untuk selekasnya membebaskan Hiat-to yang
tertutuk, kedua orang ini harus kerja sama membebaskan
Hiat-to Yu hian-ong dengan saluran hawa murni menembus
Ki-keng-pat-meh, jadi tidak usah satu persatu membebaskan
Hiat-to yang tertutuk.
Yang benar, walau Ciok-sing menutuk dengan Jong-jiuhoat,
tapi tutukan Hiat-to di tempat sembunyi itu sendiri tidak
akan membawa pengaruh apa-apa terhadap Yu-hian-ong,
umpama Hiat-tonya tidak dibebaskan, dalam jangka dua belas
jam juga akan bebas sendiri, jadi tidak akan menjadi cacat
1845 seperti yang dikatakan Ciok-sing, perkataan Ciok-sing tadi
hanya untuk menggertak musuh belaka.
Bagi Milo Hoatsu dia harus percaya daripada mengabaikan
keselamatan jiwa Yu-hian-ong. Kuatir Tang-hay-liong-ong
terburu ingin menuntut balas, lekas dia menarik lengannya
katanya: "Marilah kita bebaskan dulu Hiat-to Ongya."
Sembari bekerja menembus Ki-keng-pat-meh, Tang-hay-
Iiong-ong menyatakan isi hatinya: "Setiba di negerimu ini,
sepantasnya aku setia kepada Khan Agung dan Ongya. Jangan
kuatir bocah keparat itu tidak akan lari jauh, nanti kita bisa
membuat perhitungan lagi."
Setelah menyarungkan goloknya, In San tendang jenazah
Liong Bun-kong sehingga menggelundung ke dasar lembah,
serunya berdoa: "Ayah, sakit hatimu sudah terbalas malam ini,
semoga di alam baka kau bisa tentram."
Baru dia putar badan hendak bertemu dengan Ciok-sing,
tiba-tiba didengarnya seorang membentak: "Budak bangsat,
mau lari kemana kau?"
Lenyap suaranya orangnyapun menubruk tiba, "sret"
senjatanya menusuk Hong-hu-hiat di punggung In San.
Mendengar senjata membelah angin, In San tahu penyerang
ini seorang tangguh. Lawannya ini bukan lain adalah Poyang
Gun-ngo. Mendengar jeritan Liong Bun-kong lekas dia
mendahului menyusul datang, barisan besar masih jauh


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketinggalan di belakang.
Dengan gerakan Hong-biau loh-hoa-sin-hoat sambil berkelit
In San balas menyerang tanpa menoleh, "sret" pedangnyapun
menusuk. Tusukan pedang Poyang Gun-ngo mengenai tempat
kosong, tahu-tahu ujung pedang In San sudah mengancam
Hian-ki-hiat di dadanya.
Lekas Poyang Gun-ngo menahan napas menarik dada,
gerak pedangnya menyimpang dirobah babatan ke bawah
menyerampang kedua kaki In San. Dalam gebrak pertemuan
1846 ini, kedua pihak sudah serang menyerang, sama-sama
menyerang sekaligus memunahkan serangan lawan.
In San cabut golok peninggalan ayahnya, golok di tangan
kiri pedang di tangan kanan, bentaknya: "Biar aku adu jiwa
dengan kau." Permainan goloknya diselingi gerakan pedang,
demikian pula sebaliknya, serangan pedangnya diselingi
rangsakan golok, gerakannya aneh liehay dan mendadak pula
sehingga Poyang Gun-ngo kena didesak mundur.
Lekas Poyang Gun-ngo berteriak: "Hayo kalian lekas
kemari." Pada saat itulah, suitan nyaring Tan Ciok-sing di puncak
gunung sudah terdengar mereka disini. Tan Ciok-sing
menggunakan ilmu Joan-im-jip-bit, mendengar suitan itu,
Poyang Gun-ngo amat kaget, genderang kupingnya seperti
tergetar pecah, dia kira Tan Ciok-sing tak jauh di sekitar sini.
Pertarungan jago kosen mana boleh perhatian terpencar,
apalagi gugup dan gelisah" Sekuat tenaga Poyang Gun-ngo
merangsak tiga serangan, maksudnya mendesak lawan
mundur supaya awak ada kesempatan melarikan diri. Tak
nyana pedangnya tidak mampu menusuk lawan karena
serangan sudah kebacut, "sret" pedang ln San tiba-tiba
menyelonong tiba menusuk dari arah yang tidak terduga, dada
Poyang Gun-ngo tertusuk telak, kembali In San mengetuk
dengan punggung goloknya, kontan Poyang Gun-ngo kena
dirobohkan menggelinding ke bawah lereng mengejar arwah
Liong Bun-kong.
Terdengar kawanan Wisu di bawah lereng berteriak kaget
dan takut: "Haya, itulah Poyang Ciangkun yang menggelinding
jatuh." "Waduh celaka, Poyang Tayjin terluka, lekas, lekas
keluarkan obat."
"Ha tidak, celaka, tidak berguna lagi. Poyang Tayjin sudah
mati." Kawanan Wisu menjadi geger.
1847 Tan Ciok-sing tengah gelisah, tiba-tiba didengarnya In San
berteriak: "Toako, maaf bikin kau menunggu."
Dari suaranya Tan Ciok-sing merasakan hawa murninya
kurang kuat, tanyanya kaget: "Adik San, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa aku sudah menuntut balas sakit orang tua,
Poyang Gun-ngo juga kubunuh." Secepat angin lesus dia lari
ke hadapan Tan Ciok-sing, entah karena terlalu lelah, atau
karena kegirangan, langkahnya tiba-tiba sempoyongan dan
jatuh kedalam pelukan Tan Ciok-sing.
Pada saat itulah seorang mendadak membentak beringas:
"Kalian telah membunuh Liong-tayjin masih mau lari?"
Seorang membentak dengan bahasa Mongol: "Kalian berani
mengganas di Holin, Lolap tidak akan memberi ampun kepada
kalian." Suaranya keras berisi dan memekak telinga, jelas kedua
orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong dan Milo
Hoatsu yang telah menyusul datang setelah menolong Yuhian-
ong. "Jangan gugup adik San,' biar kita adu jiwa dengan
mereka." Bujuk Tan Ciok-sing menentramkan perasaan In
San. In San genggam tangannya, katanya tandas: "Aku sudah
menuntut balas, asal berada bersama kau, mati atau hidup
sudah tidak peduli lagi, hatiku tetap riang."
Lahirnya saja Tan Ciok-jinj menghibur In San, pada hal
hatinya sudah putus asa. Maklum meski Lwekangnya
belakangan maju pesat, tapi masih bukan tandingan Tanghay-
Iiong-ong, apalagi lawan ditambah Milo Hoatsu yang
setaraf dengan Tang-hay-Iiong-ong.
Di kala menghadapi mati atau hidup, timbullah cinta sejati.
In San malah tidak menghiburnya, tekadnya sudah besar
untuk gugur bersama, beberapa patah perkataannya tadi
1848 sudah merupakan pernyataan tegas melebihi rangkaian katakata
mutiara yang tiada artinya. Memperoleh dukungan batin,
meski menghadapi lautan api juga Tan Ciok-sing berani
menantangnya. Diapun genggam tangan In San, katanya
perlahan: "Adik San, kau benar, bila kita bersama, entah mati
atau hidup, hatikupun amat senang." Tang-hay-Iiong-ong
sudah muncul di hadapan mereka sambil menenteng sepasang
senjatanya yang berat. Sementara Milo Hoatsu memilih
kedudukan yang lebih menguntungkan, dia mengawasi dari
samping, sikapnya santai, yang terang dia sudah mencegat
jalan mundur Tan Ciok-sing berdua.
Setahun ini Tang-hay-Iiong-ong sudah memikirkan cara
untuk memecahkan gabungan sepasang pedang mereka, kini
dia yakin dirinya sudah mampu mencapai kemenangan,
pikirnya: "Sejak mereka menerjang keluar dari Onghu, In San
budak ini baru saja mengalami pertempuran, tenaganya jelas
banyak terkuras. Titik kelemahan inilah yang akan kucecar,
memangnya tak mampu mengalahkan mereka?" Memang
muluk rencananya jikalau tanpa bantuan Milo Hoatsu dia
berhasil menangkap kedua pembunuh ini dan diserahkan
kepada Khan besar, bukankah namanya akan lebih disegani.
Ternyata Milo Hoatsu juga punya perhitungannya sendiri, di
Pakkhia, dua kali dia pernah bentrok dengan Tan dan In, dia
tahu benar betapa hebat permainan sepasang pedang
mereka, kali ini dia terima berdiri di samping menjadi
penonton saja, biar Tang-hay-Iiong-ong terjun pada babak
pertama, bila tenaga kedua pihak sudah terkuras, dengan
mudah dirinya akan menyerap keuntungan.
Diluar tahu Tang-hay-Iiong-ong, ternyata perhitungannya
meleset, benar setahun ini ilmu silatnya maju pesat, tapi Tan
dan In juga tidak ketinggalan, kemajuan Tan Ciok-sing malah
jauh lebih hebat. Permainan sepasang pedang mereka kini
semakin serasi, hidup dan senyawa, meski masing-masing
bersilat sendiri-sendiri, namun permainan mereka menuruti rel
1849 sehingga kerja sama mereka teramat rapat dan tiada titik
kelemahannya. Sepasang gaman berat Tang-hay-Iiong-ong memang
mempunyai perbawa hebat, sedahsyat gemuruh guntur,
sehebat tindihan gugur gunung, sinar pedang seperti menyala
benderang, bianglala laksana kilat menyamber. Terdengar
"Tring" sekali, kembang apipun berpijar, pedang mustika Tan
Ciok-sing telah membentur gaman di tangan kiri Tang-hay-
Iiong-ong, ujung pedang mendadak membal balik bergabung
dengan gaya pedang In San membentuk satu lingkaran besar
sehingga Tang-hay-Iiong-ong seperti terbungkus didalam sinar
pedang. Begitu senjata beradu, sebetulnya Tang-hay-Iiong-ong
hendak menindih pedang Tan Ciok-sing, tak nyana daya
membalnya begitu cepat dan keras sehingga tusukan gaman
kanannya ke arah In San mengenai tempat kosong, karuan
kejutnya bukan main, pikirnya: "Bukan saja Kiam-hoat bocah
ini makin liehay, Lwekangnya ternyata juga maju pesat."
Mendadak Tang-hay-Iiong-ong menghardik, sepasang
senjatanya bekerja sekaligus menusuk ke arah In San, denggn
enteng In San berkelebat melayang kesana, dia kembangkan
Joan-hoa-yau-jiu-sin-hoat, sebat sekali dirinya sudah berkisar
pada posisi lain. Dalam waktu yang sama, pedang Tan Cioksing
laksana pelangi tahu-tahu dari sela-sela sepasang gaman
lawan menusuk dada.
"Serangan bagus." Hardik Tang-hay-Iiong-ong, tusukan dia
robah menjadi menangkis. Sepasang gamannya melintang
dengan gerakan Heng-hun-toan-hong, secara kekerasan dia
hendak menggempur hancur pedang lawan. Tapi pada detik
itu, In San telah menerjang maju pula, ujung pedangnya
memancarkan bintik sinar gemerlap menusuk Hong-hu-hiat di
punggung Tang-hay-Iiong-ong.
Mata dan kuping Tang-hay-Iiong-ong dipasang sejeli radar,
sudah tentu dia tidak gampang dilukai. Kungfunya memang
1850 sudah mencapai taraf dapat dilancarkan dapat pula ditarik
kembali, begitu merasa punggungnya diserang, secara reflek
gaman di tangan kiri berputar balik dengan jurus Wi-seng-jianjin,
tapi karena itu sepasang gamannya terpaksa dipencar,
tekanan yang menindih pedang Tan Ciok-sing dengan
sendirinya berkurang, pedang mustika itu mengikis naik terus
menusuk, sementara In San melayang lewat, kembali berkisar
ke arah lain menyergap pula dari posisi yang berbeda. Kalau
Tang-hay-Iiong-ong tidak gesit dan tangkas melayani
perobahan, jari jemarinya hampir terpapas kutung oleh
pedang Tan Ciok-sing.
Setelah berlangsung sepuluh jurus Tan Ciok-sing insyaf
Lvvekang lawan setingkat lebih tinggi, sepasang senjata
lawanpun tidak boleh dipandang ringan, terpaksa dia harus
kembangkan ilmu pinjam tenaga menggunakan tenaga tingkat
tinggi yang akhir-akhir ini berhasil dipahami, gerak gerik
pedangnya lincah dan enteng, dengan mantap dia masih
mampu memunahkan seluruh rangsakan lawan. In San bisa
mengikuti permainannya dengan cukup baik, berputar
menyergap dan melabrak lawan secara bergerilya, di kala
Tang-hay-liong-ong kerepotan menghadapi rangsakan
mereka, jurus-jurus pedang permainan mereka sering
menyerang dari arah yang tidak terduga mengincar posisi
yang tidak mungkin dicapai oleh pesilat umumnya.
Tan dan In merubah permainan pedangnya pula, pedang
dan batin bersatu, gerak tubuh bergerak mengikuti gaya
pedang, semakin bertempur gerak-gerik mereka semakin
lincah, wajar dan mantap. Dalam beberapa gebrak sekejap itu,
beruntun Tang-hay-liong-ong telah mengalami bahaya, kalau
lawan tidak kuatir akan sepasang gamannya yang berat,
mungkin dia sudah terluka oleh sepasang pedang lawan. Mau
tidak mau terkejut hati Tang-hay-liong-ong, baru sekarang dia
sadar, dalam setahun ini, usahanya mencipta suatu cara untuk
memecah gabungan pedang lawan ternyata masih belum
mampu menandingi kemajuan lawan pula.
1851 Semula Milo Hoatsu berpeluk tangan, pikirnya setelah
kedua pihak kehabisan tenaga, baru dia akan terjun ke arena,
kini melihat gelagatnya agak buruk, dalam hati dia pikir:
"Jikalau aku tidak turun tangan, Tang-hay-liong-ong tidak
akan kuat bertahan seratus jurus, akhirnya pasti Tang-hayliong-
ong saja yang terluka parah, jadi bukan gugur bersama."
Betapapun dia adalah seorang guru silat kenamaan, malu
kalau main sergap, maka dengan tertawa dia berkata:
"Sugong-heng, aku tahu sepasang senjatamu cukup mampu
menandingi sepasang pedangnya, jadi aku tidak usah
membantu. Tapi waktu tidak boleh berlarut, menangkap
pembunuh adalah penting untuk segera diserahkan kepada
Khan besar. Mereka berani membuat keributan di negeriku,
jadi aku menjalankan tugas bukan karena dendam pribadi,
maka tidak usah kita mematuhi aturan Kangouw segala
bukan?" Dia mencari alasan supaya tidak malu terjun ke arena,
sekaligus memberi muka kepada Tang-hay liong-ong pula.
Sayang Tang-hay-liong-ong sedang kececar oleh sepasang
pedang lawan, pertempuran sedang mencapai puncaknya,
hakikatnya tidak mampu menyambut pernyataannya.
Tan Ciok-sing malah yang menjengek dingin: "Tadi sudah
kutantang kalian maju bersama, berani maju silakan, buat apa
cari alasan. Omong kosong melulu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya: "Bocah sombong, biar kau
tahu keliehayanku." Dari nadanya orang pasti menyangka dia
akan melabrak Tan Ciok-sing, tak tahunya dia justru bersuara
di timur menggempur ke barat, mendadak jarinya
mencengkram ke arah In San. Dengan harapan sekali labrak
tujuan berhasil.
Tak nyana perhitungan yang muluk-muluk ternyata gagal.
Lahir batin Tan dan In sekarang sudah terjalin, gerak pedang
merekapun sudah senyawa, di kala menghadapi detik-detik
1852 bahaya, semakin memperlihatkan kehebatan dan keliehayan
gabungan pedang.
Begitu jarinya luput mencengkram, kesiur angin dingin
disertai sinar gemerdep tahu-tahu merangsak ke arah dirinya
malah, dari kiri kanan pedang Ciok-sing dan In San mengincar
Ih-khi-hiat di ketiak kanan kirinya. Agak gugup Milo Hoatsu
menjentik jari tapi pedang In San tidak berhasil diselentik,
namun In San merasa pergelangan tangannya seperti digigit
semut, di samping panas ternyata agak linu. Hanya sedikit
pengaruh saja, gerakan pedang mereka sudah tidak serapat
dan setangguh semula. Milo Hoatsu dapat memanfaatkan
kesempatan ini, mendadak dia menyelinap maju terus
menjejak mundur, berhasil lolos dari libatan sinar pedang
lawan. Cepat sekali gaya pedang Tan dan In berputar arah,
dilancarkan belakangan tapi sasaran lain ternyata dirangsak
lebih dulu, secara kebetulan mereka menyambut serangan
gaman Tang-hay-liong-ong, kecepatan gerak pedang mereka
susah dilukiskan dengan kata-kata. Rangsakan Tang-hayliong-
ong, tahu-tahu telah dibendung di tengah jalan.
"Sret, sret" dua kali serangan pedang Tan Ciok-sing bantu
In San memunahkan sejurus serangan Tang-hay-liong-ong,
dengan perlahan dia berkata: "Di mata ada musuh di hati
tiada lawan." Itulah ajaran inti yang diwariskan Thio Tanhong,
maksudnya di waktu menghadapi, meski musuh teramat
tangguh, jangan ambil dalam hati, lahir batin harus dipusatkan
dan dikonsentrasikan sehingga mencapai taraf lupa akan
anlaia musuh dan diri sendiri. Tapi setiap gerak serangan
lawan harus diperhatikan dengan seksama. Kalau diartikan
secara modern pada jaman ini, yaitu di medan laga musuh
dipandang ringan, namun dalam strategi perang musuh harus
dihargai. Lekas sekali In San sudah memadukan lahir dan batin,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Tan Ciok-sing dia mulai memulihkan posisinya semula,
1853 bahkan lebih meyakinkan dan serasi, Siang-kiam-hap-pik
dikembangkan mencapai puncaknya. Tidak memburu menang
atau kalah, tidak hiraukan mati dan hidup, tidak peduli nama
dan gengsi, segala pikiran dan kekuatiran semua tersingkap
dari benaknya. Karena itu gerak pedang mereka semakin
santai, rapat dan lembut laksana air mengalir halus. Keadaan
yang semula terdesak kini telah pulih pada posisi yang lebih
mantap. Pertandingan semakin seru dan seimbang.
Di tengah pertempuran sengit itu mendadak Tang-hay-
Iiong-ong merasa Kik-ti-hiat di lengan kanannya sakit seperti
ditusuk jarum, sakitnya meresap ke tulang sumsum. Kiranya
Tan Ciok-sing menggunakan cara mengumpul tenaga pada
satu titian, menyerang satu titik kelemahan lawan dari ajaran
Hian-kang-yau-kek warisan Thio Tan-hong, begitu ujung
pedang menyentuh senjata lawan, seumpama ilmu Kek-butthoan-
kang. Walau Tang-hay-Iiong-ong tidak mengalami lukaluka,
tapi di saat mengalami sergapan tidak terduga ini, di kala
dia mengembangkan tenaga dalamnya sehingga kekuatannya
banyak terpengaruh. Jurus yang seharusnya menyerang In
San itu menjadi lemas lengannya, sehingga senjatanya
berhasil ditangkis pergi oleh In San.
Tapi cara Ciok-sing ini hanya khusus menghadapi Tanghay-
Iiong-ong, maklum gaman Tang-hay-Iiong-ong yang
terbuat dari hian-tiat itu paling mudah mengalami tekanan
tenaga. Sebaliknya Milo Hoatsu menggunakan kasa yang
lunak, Lwekangnya pun diperuntukkan menandingi tenaga
kekerasan, latihannya lebih matang dan murni dari Tang-hay-
Iiong-ong. Tan Ciok-sing tahu kekuatan sendiri, diapun sudah
mengukur kemampuan musuh, diduga kalau dia mampu
punahkan serangan lawan, maka dia tidak perlu menggunakan
caranya itu. Diam-diam Tang-hay-Iiong-ong mengeluh, batinnya: "Kalau
begini dilanjutkan, setiap mengalami sergapan tenaga
dalamku selalu dikorting, akhirnya pasti bakal gugur bersama
1854 Tan Ciok-sing, sementara Milo Hoatsu yang memungut
keuntungannya." Meski akibat dari pertempuran ini pihak
mereka juga yang mencapai kemenangan, tapi mana mau dia
sendiri yang dirugikan?"
Pedang Tan Ciok-sing teramat cepat, dengan gerakan kilat
dia menyergap Tang-hay-liong-ong, lalu bergabung pula
dengan In San, dengan kerja sama yang semakin manunggal,
dengan mudah rangsakan Milo Hoatsu mereka patahkan pula.
Dalam pertempuran sengit itu, hakikatnya Tang-hay-liongong
tidak berani pecah perhatian untuk bicara, terpaksa hanya
mengerutkan alis atau mengedip mata memberi isyarat
kepada Milo Hoatsu. Mendadak Milo Hoatsu membentak
dengan bahasa Mongol: "Kerahkan setaker tenagamu
menghadapi budak ini, jangan hiraukan anak keparat ini."
Tang-hay-liong-ong bimbang, ya berani ya takut,
semestinya dia tidak akan berani menyerempet bahaya, tapi
kenyataan sekarang dia sudah tidak mampu menghadapi
serangan Tan Ciok-sing yang selalu menguras tenaganya, dari
pada akhirnya gugur bersama, lebih baik menerima anjuran
Milo Hoatsu, dia yakin Milo Hoatsu tidak akan menjebak
dirinya sehingga mengalami kerugian yang fatal. Mungkin dia
sudah mempunyai akal yang meyakinkan untuk merobohkan
kedua musuh ini." Demikian batinnya. Segera Tang-hay-liongong
bertindak, dia menubruk ke arah In San, gabungan
pedang lawan yang sudah manunggal hakikatnya tidak
dihiraukan lagi.
Tan Ciok-sing boleh tidak pikirkan keselamatan jiwa raga
sendiri, tapi keselamatan In San tetap menjadi perhatiannya
juga. Dalam saat-saat genting ini, secara langsung kembali dia
kerahkan tenaganya pada satu titik menyerang ke satu
sasaran di tubuh lawan pula.
Cepat sekali, dalam waktu yang sama Milo Hoatsu pun
sudah melontarkan Toa-jiu-in menggablok punggung Tan
Ciok-sing. 1855 Kalau Tan Ciok-sing mau menghindar, sebenarnya dia
masih sempat meluputkan diri. Tapi dia lebih mementingkan
keselamatan In San, mana hiraukan mati hidup sendiri" "Ting"
ujung pedang kembali menutul gaman lawan yang berat itu,
Tan Ciok-siiig kontan melancarkan serangan mematikan
dengan jurus Lam-to-jit-sing, secepat kilat pedangnya
menciptakan tujuh kuntum sinar kembang, kebetulan
bergabung dengan gaya pedang In San pada puncaknya.
Lwekang Tang-hay-liong ong sudah terkuras sedikit demi
sedikit, saat mana seluruh perhatian dan tenaganya dia
pusatkan untuk menghadapi In San, mana dia mampu
melawan dan menghindar dari tujuh serangan pedang yang
mematikan ini. Terdengar mulutnya menjerit ngeri, didalam
sekejap sinar pedang menyamber itu, tubuh Tang-hay-liongong
dihiasi tujuh luka-luka pedang. Dua tempat telak
mengenai Hiat-tonya yang mematikan, meski dia memiliki
Lwekang ampuh, juga jiwanya susah diselamatkan lagi. Di
tengah jeritan itu badan Tang-hay-Iiong-ong tumbang sekaku
balok terus menggelinding ke bawah lembah.
Tapi di waktu Ciok-sing berhasil melukai Tang-hay-Iiongong,
punggungnyapun menerima gablokan keras Milo Hoatsu.
Toa-jiu-in Milo Hoatsu khusus untuk menggetar isi perut dan
memutus Ki-keng-pat-meh. Ternyata Milo Hoatsu sengaja
mengorbankan Tang-hay-Iiong-ong untuk menyergap lawan
merebut kemenangan.
"Huuuaaah". Tan Ciok-sing tumpah darah sebanyakbanyaknya.
Bentaknya: "Biar aku adu jiwa dengan kau."
Membalik tubuh seraya menyerang kalap seganas singa liar.
Kaget In San bukan kepalang, teriaknya: "Toako, kenapa
kau?" Tan Ciok-sing menarik napas panjang, sekuatnya dia
bersikap wajar untuk mengelabui musuh bahwa luka-luka
dalamnya hakikatnya teramat parah, katanya sambil kertak
1856 gigi: "Tidak apa-apa, lekas lancarkan serangan, ingat di mata
ada musuh, dalam hati tiada lawan."
Kejut Milo Hoatsu lebih besar dari In San, baru sekarang
dia sadar bahwa Lwekang Tan Ciok-sing bukan saja tangguh
juga murni, jauh melebihi dugaannya.
In San singkirkan segala pikiran, menghimpun semangat
mengkonsentrasikan pikiran, tanpa terasa gerakan pedang
mereka manunggal pula, perbawanya kembali bertambah.
Kalau dulu setiap melancarkan gabungan pedang, Tan Cioksing
selalu menjadi poros utama sebagai soko kekuatan
manunggal itu, kini sebaliknya kedudukan berganti pada In
San. Keadaan Tan Ciok-sing sudah umpama ada hati memeluk
gunung, apa daya tenaga tidak sampai, hakikatnya sudah
tidak mungkin lagi kerja sama sebaik tadi, tapi disini dan kali
ini dalam menghadapi ujian berat, In San membuktikan
kemampuannya yang luar biasa, ditunjukan bahwa dirinya
sebenarnyapun mampu berdikari di samping membantu
rekannya malah, seluruh kelemahan gerak pedang Tan Cioksing
berhasil ditambalnya. Mau tidak mau Milo Hoatsu
terkejut: "Makin tempur kenapa budak ini makin gagah
malah." Sayang bekal Lwekang In San betapapun terpaut jauh
dibanding lawan, di samping menghadapi lawan harus
berusaha melindungi kekasih pula, meski dia berusaha
mengembangkan kekuatan ilmu pedangnya, sukar untuk
memukul mundur musuh. Tapi karena dia nekat dan
merangsak dengan gagah berani, untuk menangkapnya hiduphidup
Milo Hoatsu memerlukan waktu dan kesabaran, dalam
waktu singkat jelas tidak mungkin.
Tan Ciok-sing masih payah, deru napasnya makin berat dan
tersengal. Di saat genting dan tegang itu, terdengar suara
ribut-ribut orang dan kuda mendatangi, ternyata Yu-hian-ong
memimpin sebarisan pasukan berkuda menyerbu tiba.
1857 Di bawah lembah Yu-hian-ong menemukan jenazah Tanghay-
Iiong-ong, kagetnya bukan main, bentaknya: "Tan Cioksing
anak keparat itu terlalu menghinaku, kalau tidak
mencacah tubuhnya menaburkan abunya, sungguh tidak
terlampias penasaranku. Koksu silahkan mundur." Dia kuatir
Milo Hoatsu tidak unggul menghadapi keroyokan, maka dia
berniat suruh anak buahnya menghujani anak panah untuk
membunuh Tan Ciok-sing berdua.
Harapan In San ialah dapai gugur bersama di pelukan Tan
Ciok-sing, maka menghadapi kematian sedikitpun dia tidak
takut. Meski tidak takut mati, namun dia kuatir bila dirinya
terjatuh di tangan musuh, Kungfu Milo Hoatsu teramat
tangguh, kuatirnya dengan sisa tenaganya bila dia membunuh
diri, lawan sudah berhasil membekuknya tanpa daya, maka dia
nekat, pikirnya: "Untuk menyelamatkan diri jelas tidak
mungkin. Lebih baik biar aku berangkat lebih dulu, akan
kutunggu Sing-ko dalam perjalanan ke sorga."
Karena putus asa diam-diam dia sudah kerahkan Lwekang
hendak menggetar putus urat nadi hingga mati. Untunglah di
saat-saat pikirannya bekerja itu, tiba-tiba didengarnya seorang
membentak dari atas puncak: "Yu-hian-ong, kau
menginginkan putramu tidak" Berani kau mengusik seujung
rambut Tan Ciok-sing, biar kubanting putra kesayanganmu ini
ke bawah jurang." Bentaknya sekeras guntur, karuan Yu-hianonij
kaget dan ketakutan, teriaknya. "Koksu harap berhenti
sebentar "
Waktu orang banyak menengadah, tampak di puncak atas
berdiri satu orang sambil mengangkat tinggi di atas kepalanya
seseorang, orang yang diangkat itu bukan lain adalah putra
tunggal Yu-hian-ong.
Siau-ongya berkaok-kaok: "Ayah, bebaskan mereka.
Mereka pernah menolong jiwaku, aku tidak boleh membalas
budi kebaikan dengan kejahatan, aku ingin hidup, aku tidak
mau mati bersama tuan penolongku."
1858 Perobahan yang tidak terduga ini, bukan saja Milo Hoatsu
amat kaget, Tan Ciok-sing juga heran, kaget sampai tidak
percaya akan pandangan mata sendiri. Ternyata orang yang
menyandera Siau-ongya bukan lain adalah Buyung Ka.
"Apakah orang yang memberi laporan rahasia kepada Yuhian-
ong bukan dia?" Demikian batin Tan Ciok-sing. Semula
mereka kira Buyung Ka adalah pelapor gelap itu, tapi dari
kejadian di depan mata ini, curiganya terpaksa harus
tumbang. Yu-hian-ong seperti tidak kenal Buyung Ka, bentaknya:
"Siapa kau" Ada salah apa aku terhadapmu, kenapa kau
mencelakai putraku?"
Mendengar seruan Yu-hian-ong, In San pun ikut bimbang,
bingung seperti jatuh kedalam kabut tebal. Pikirnya: "Mungkin
kami salah menduga, Buyung Ka bukan orang jahat?"
"Ongya," seru Buyung Ka tertawa tergelak-gelak, "kau
suruh orang membunuh putra Jendral Abu, aku hanya
membekuk putramu sebagai sandera saja."
Yu-hian-ong gusar, bentaknya: "Omong kosong, mana ada
kejadian itu."
Siau-ongya tiba-tiba berteriak: "Ayah, urusan sudah sejauh
ini, terpaksa aku bicara sejujurnya. Kau suruh Jik Thian-tek
menyergap dan membunuh putra Abu, aku sendiri
mendengarnya. Hari itu secara diam-diam aku menguntit Jik
Thian-tek yang membawa tiga orang pernah menyergap A
Kian, putera Abu. Perlu aku beritahu padamu, karena aku
menguntit mereka di tengah jalan aku kepergok seekor badak
bercula, untung kedua orang Han itu yang telah menolongku
serta membunuh badak itu."
Buyung Ka tertawa tergelak-gelak, katanya: "Ongya,
puteramu sendiri yang membeber rahasia ini, masih berani
kau mungkir?"
1859 Sudah tentu pasukan yang hadir di sekitarnya amat kaget
mendengar 'pengakuan' Siau-ongya. Mereka adalah anak buah
kepercayaan Yu-hian-ong, bukan kaget lantaran pemimpin
mereka berusaha membunuh Jendral Abu ayah dan anak, tapi
mereka menguatirkan keselamatan Yu-hian-ong karena
kejahatannya terbongkar. Serta merta dalam hati mereka
membatin: "Entah Jendral Abu tahu tidak akan hal ini, jikalau
dia berhasil meringkus salah satu pembunuh itu dan
menyeretnya ke hadapan Khan sebagai saksi akan
kejahatannya, urusan bisa berlarut menjadi besar dan
menggemparkan."
Apa yang dipikirkan orang banyak sudah tentu juga terpikir
oleh Yu-hian-ong, katanya: "Baiklah, anggaplah aku mengaku
kalah hari ini, apa kehendakmu katakan saja?"
"Soal apa yang perlu dirundingkan" Taripku tidak boleh
ditawar, jiwa puteramu sebagai barter jiwa mereka berdua,
jikalau kau tidak setuju, aku tidak akan membunuh puteramu,
cuma asal kuserahkan dia kepada Jendral Abu, lalu kuseret dia
menghadap dan mengadukan persoalan ini kepada Khan
Agung." "Baik, aku setuju untuk menukar mereka dengan puteraku,
kau bebaskan dulu puteraku."
"Kita bebaskan bersama, aku tak takut kau main licik, kau
tak usah kuatir aku bakal mencelakai puteramu. Orangmu
sebanyak ini, jadi sepantasnya akulah yang berhati-hati
terhadap kalian."
"Baik, satu, dua, tiga. Kita bebaskan bersama."
Tan Ciok-sing menarik napas menahan sakit terus lari ke
atas puncak, walau terluka parah, kecepatan larinya masih
lebih cepat dari Siau-ongya. Yu-hian-ong memang tidak suruh
anak buahnya membidik dengan anak panah.
1860 Di tengah jalan Ciok-sing bertemu dengan Siau-ongya,
katanya lirih: "Siau-ongya kau memang setia kawan, terima
kasih." Lalu dia ulur tangan ajak berjabat tangan.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Yu-hian-ong.
Tan Ciok-sing sudah lepaskan tangan Siau-ongya, dengan
cepat Siau-ongya lari ke bawah gunung katanya: "Dia adalah
tuan penolongku, aku berjabat tangan perpisahan, ayah
jangan kau terlalu curiga."
Siau-ongya kembali di samping ayahnya, sementara Tan
Ciok-sing dan In San sudah bergabung dengan Buyung Ka di


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas puncak. "Tan-toako, beratkah lukamu," tanya Buyung Ka.
"Tidak apa-apa, aku bisa lari." Ujar Tan Ciok-sing
"Baiklah, jangan banyak bicara, kalian ikut aku saja." Ujar
Buyung Ka. Tan dan In ikut masuk kedalam hutan, pengurus rumah
tangga Abu ternyata sudah menunggu. Baru sekarang Buyung
Ka sempat bercerita cara bagaimana dia berusaha menolong
mereka. Ternyata atas perintah Jendral Abu mereka datang
kemari untuk membantu. Melihat mereka terkepung, timbullah
akalnya, segera dia lari ke Onghu.
"Aku membekuk Siau-ongya, ternyata Siau-ongya mau
kerja sama, tanpa banyak bicara dia serahkan diri supaya aku
membelenggunya. Malah dia membantuku mencuri sebatang
panah perintah ayahnya."
Tan Ciok-sing berkata: "Di Onghu kami pun pernah
mendapat bantuannya, Siau-ongya memang setia kawan."
"Hutang budi tahu membalas. Adalah pantas kalau dia
balas menolongmu setelah jiwanya pernah kau selamatkan."
1861 Haru hati Tan Ciok-sing, katanya setelah menghela napas:
"Buyung-heng, budi pertolonganmu, entah kapan aku bisa
membalasnya."
"Sekarang bukan saatnya basa-basi ambillah panah
perintah ini dan lekas berangkat. Em, ada sebuah hadiah lagi,
Jendral Abu suruh aku menyerahkan kepada kau." Dia
keluarkan sebatang Ho-siu-oh yang sudah membentuk seperti
manusia, mirip orok yang baru lahir, Ho-siu-oh adalah obat
mujarab yang tak ternilai harganya, apalagi obat sebesar ini,
jelas sudah ribuan tahun lamanya.
Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Obat mujarab yang jarang
ada, mana berani aku menerimanya."
Timanor pembantu Jendral Abu berkata: "Tan-toako, bicara
terus terang, Ciangkun sebelumnya memang sudah
menguatirkan bila dirimu terluka, maka sengaja suruh aku
mengantar Ho-siu-oh ini. Aku tahu kau terluka cukup parah,
Ho-siu-oh cukup untuk menyembuhkan luka-luka itu, kau
pernah menolong jiwa majikan muda, kalau tidak mau terima
obat ini, mana hatinya bisa tenteram?"
"Toako," ujar In San, "setulus hati Ciangkun memberi obat
ini kepadamu, boleh kau terima saja."
Apa boleh buat, setelah dibujuk akhirnya Tan Ciok-sing
terima Ho-siu-oh itu. Waktu itu fajar hampir menyingsing,
terpaksa mereka berpisah dengan Buyung Ka dan Timanor.
Panah perintah Yu-hian-ong ternyata besar manfaatnya,
tiga pos gelap diluar Holin ternyata dapat mereka tembus
setelah para penjaganya melihat panah perintah itu, padahal
mereka orang Han, tapi tidak banyak diminta keterangan.
Tiga puluh li setelah meninggalkan Holin, sepanjang jalan
ini sudah tiada pos penjagaan lagi. Lega hati ln San, katanya:
"Toako, bagaimana luka-lukamu" Mumpung tidak ada orang,
lekas kau makan Ho-siu-oh ini."
1862 "Kita capai dulu gunung itu baru istirahat, aku masih kuat
bertahan, tak usah segera makan obat."
In San seperti juga Timanor, walau tahu Ciok-siong terluka
parah, namun mereka tidak tahu luka-lukanya sudah teramat
kronis. Maka dia pikir minum obat perlu istirahat dan setelah
perasaan lega baru khasiat obat akan bekerja lebih nyata.
"Baiklah," katanya kemudian.
Tak jauh mereka berjalan, dari depan mendatangi
serombongan orang berkendaraan unta. Melihat mereka
orang-orang Han, orang-orang itu mengawasi dengan
pandangan heran dan penuh tanda tanya, tapi tiada yang
mencegat atau menegur. Agaknya mereka juga dirundung
banyak persoalan, maka tidak mau mencampuri urusan orang
lain. In San lewat dari samping mereka, didengarnya seorang
berkata: "Kupernah dengar, di atas gunung di depan itu ada
seorang tabib liehay yang kenamaan, tapi penghasilannya
bukan dari mengobati orang, karena tidak praktek orang sukar
menemukan dia."
Seorang lagi berkata: "Kabar angin belum bisa dipercaya,
aku lebih percaya tabib kenamaan di Holin. Kalau betul belum
bisa sembuh, baru kita kemari mencarinya."
Jarak makin jauh maka pembicaran selanjutnya tidak
terdengar lagi. Karena mereka membicarakan tabib, maka In
San pasang kuping, pikirnya: "Untung kami sudah punya Hosiu-
oh, jadi tidak perlu cari tabib segala."
Tak lama kemudian mereka sudah tiba di bawah gunung.
Setelah menempuh perjalanan sejauh ini, dengan bekal lukalukanya
yang parah lagi, mau tidak mau keadaan Tan Cioksing
agak payah juga, Mereka langsung masuk hutan, setelah
istirahat lalu makan rangsum. Bekal itupun pemberian Buyung
Ka. Setelah makan, agak pulih semangat Tan Ciok-sing,
katanya: "Aku jadi sayang untuk makan Ho-siu-oh ini."
1863 "Toako, meski Lwekangmu tangguh, tapi keadaanmu tak
bisa terus bertahan dengan Lwekang melulu, jangan lupa kita
masih harus pergi ke Thian-san."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Aku tidak mengatakan
tidak mau makan,. Buyung Ka bermaksud baik, kalau tidak
kumakan berani mengabaikan maksud baiknya Aku hanya
merasa sayang bila setangkai Ho-siu-oh ini harus kumakan."
Sambil berkata dengan pedang dia mengiris kecil-kecil
beberapa keping terus ditelannya
"Hanya sedikit saja, mana bisa membawa kasiat nyata?"
"Kau tidak tahu, Ho-siu-oh yang sudah terbentuk kasiatnya
dapal menghidupkan orang yang tampil mati, aku punya dasar
lwekang sedikit juga sudah berkelebihan. Sisanya yang lebih
besar ini disimpan untuk keperluan kelak saja."
"Coba kau makan lagi seiris saja." Pinta In San.
Segan menolak maksud baik In San, terpaksa Ciok-sing
makan satu iris lagi. Sisanya dia serahkan kepada In San
untuk disimpan.
In San menghela napas, katanya: "Sungguh tak nyana di
Watsu kita bisa berkenalan dengan banyak teman, Buyung Ka
betul-betul orang baik diluar dugaanku."
Tiba-tiba dilihatnya alis Tan Ciok-sing berkerut, seperti
menahan sesuatu penderitaan, In San kaget, katanya: "Toako,
kenapa?" "Tidak apa-apa." Ujar Tan Ciok-sing, lekas dia kerahkan
hawa murni lalu menarik napas panjang, katanya: "Kurasa
agak aneh."
"Apanya yang aneh?" tanya In San gelisah.
"Ho-siu-oh biasanya pahit, tapi yang satu ini kenapa
rasanya manis?"
1864 "Mungkin Ho-siu-oh yang sudah jadi rasanya beda dengan
yang setengah matang."
Obat mujarab pahit menguntungkan si penderita. Terasa
oleh Ciok-sing bahwa rasa obat agak ganjil, semula dia sudah
curiga, tapi dia tidak ingin memberitahu kepada In San,
supaya orang tidak kuatir. Tapi sekarang dia sudah tidak
tahan lagi, terpaksa bicara sejujurnya. "Rasanya seperti habis
minum arak saja, aku mabuk."
In San tidak tahu mungkinkah obatnya sudah mulai
bekerja, katanya: "Bagaimana bisa demikian" Coba kau
pusatkan hawa murni kedalam pusar."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba dilihatnya wajah Ciok-sing
berobah hebat, ternyata isi perutnya mendadak sakit bukan
kepalang seperti diiris, ditusuk dan entah diapakan lagi, yang
terang dia menjungkir sambil menahan sakit.
Sudah tentu kejut In San bukan main, lekas dia pegang
kedua lengannya terus bantu menyalurkan hawa murni ke
tubuhnya. Untung Tan Ciok-sing telah meyakinkan Lwekang
ajaran Thio Tan-hong, sesaat kemudian rasa sakitnya mulai
mereda. "Kurasa Ho-siu-oh itu bukan barang tulen, kau buang saja."
Desis Tan Ciok-sing dengan keringat dingin membasahi jidat.
"Maksudmu Ho-siu-oh ini beracun?" Teriak ln San tersirap.
"Obat ini pemberian Jenderal Abu, semestinya tidak beracun.
Tapi setelah kumakan, keadaanku semakin parah malah, aku
tidak habis mengerti apa sebabnya. Lebih baik kita hati-hati,
buang saja dari pada mencelakai orang lain."
"Sementara akan kusimpan, bila betul ada racunnya, bisa
kujadikan barang bukti. Tapi aku yakin Ciangkun tidak akan
mencelakaimu, kukira urusan agak ganjil dan perlu
diperhatikan, kita pasti dapat membongkar kejadian ini.
Toako, bagaimana perasaanmu sekarang?"
1865 "Sementara mungkin aku tidak bisa berangkat, entah tiga
hari atau lima hari, kita tidak perlu pikirkan perjalanan yang
tertunda ini."
In San memapahnya masuk kedalam hutan, terasa langkah
Tan Ciok-sing amat berat dan kakinya susah bergerak, meski
dia berusaha berbuat sebaik mungkin, tapi In San tahu racun
yang bersemayam dalam tubuhnya teramat parah. Seorang
jago kosen yang memiliki Lwekang tinggi sudah sempurna
lagi, tidak mungkin tidak mampu berjalan meski dalam
keadaan luka parah atau terkena racun. Sambil memapahnya,
setiap langkah perasaan In San semakin berat.
Akhirnya Tan Ciok-sing duduk bersimpuh, tak lama
kemudian asap putih mengepul di atas kepalanya Melihat dia
masih mampu mengerahkan Lwekang, sedikit lega hati In San.
Selesai samadi, pakaian Ciok-sing dan In San sudah basah
kuyup. Teramat besar perhatian In San, sehingga dia selalu
mencucurkan keringat dingin.
"Aku agak dahaga, carikan minum," Kata Tan Ciok-sing.
"Baiklah, akan kucarikan air. Bila menghadapi bahaya, kau
lepas panah berasap." Panah itu bisa memancarkan sinar biru
berasap putih, setelah meledak memancarkan kembang api
yang indah warnanya.
"Jangan kuatir, musim dingin, binatang liar jarang keluar,
ada Pek-hong-kiam untuk membela diri, binatang kecil masih
bisa aku melayani."
Setelah In San pergi, Ciok-sing mulai bersamadi pula.
Makin lama makin terasa adanya gejala-gejala yang tidak
beres. Bukan karena pengerahan Lwekang tiada manfaatnya,
tapi setahap dia lebih mendalami bahwa racun yang
mengeram dalam tubuhnya jauh lebih hebat dan keadaannya
lebih parah dari dugaannya semula.
Sesuai ajaran Lwekang Thio Tan-hong dia menghimpun
hawa murni kedalam pusar tiba-tiba jantungnya melonjak
1866 keras sekali, seperti denyut kaget karena ditusuk benda tajam,
sehingga hawa murni yang dihimpunnya susah payah buyar
seperti tanggul yang jebol sehingga air bah melanda keluar.
Terpaksa diulang dari permulaan, syukur tenaga dapat
dihimpun dua bagian, tak lama kemudian denyut kaget pada
jantungnya terulang lagi. Demikian berulang kali, belum penuh
sudah bobol, hawa murni yang dikumpulkan selalu tidak
berhasil, sehingga dia tidak mampu bantu menyembuhkan
luka-luka sendiri melalui penyaluran Lwekang murninya.
Dengan tangan kiri dia periksa denyut nadi tangan kanan
sendiri, terasa denyut nadinya berbeda dengan biasanya,
kadang-kadang kasar cepat, tiba-tiba lembut perlahan, cepat
dan lambat terus bergantian, jadi boleh dikata kacau balau,
tidak karuan. Dari sini dapatlah dia menyimpulkan bahwa
kadar racun telah meresap ke jantung dan paru-paru, bukan
saja aliran darah, racun sudah masuk ke tulang pula.
Mengkirik sendiri Tan Ciok-sing membayangkan keadaan
dirinya, pikirnya: "Aku mati tidak jadi soal, pesan guru harus
kulaksanakan." Seperti diketahui sebelum ajal Thio Tan-hong
ada memberi pesan kepadanya, supaya ilmu ciptaannya di hari
tua diserahkan kepada muridnya yang terbesar yaitu Toh
Thian-tok Ciangbunjin Thian-san-pay yang sekarang. Keadaan
Tan Ciok-sing separah ini, untuk berjalan saja tidak bisa,
bagaimana dia bisa pergi ke Thian-san"
Satu hal lagi yang menguatirkan, In San sudah berjanji
sehidup semati dengan dirinya bila dirinya akhirnya
meninggal, meski semasa masih hidup dia memberi pesan,
melarang In San memburu jejaknya ke alam baka, mungkin In
San tidak mau menurut.
Tiba-tiba dia teringat didalam ajaran Hian-kang-yau-kek
ciptaan gurunya itu ada sejenis ilmu yang dinamakan Tay-ciuthian-
to-nah, dengan ilmu ini orang dapat menghimpun dan
mengumpulkan kadar racun di tubuh manusia di satu tempat
yang terisolir, untuk sementara racun tidak akan bekerja,
1867 kelak masih ada kesempatan untuk berusaha menawarkannya.
Tapi menempuh cara ini harus, menyerempet bahaya. Karena
kadar racun yang terkumpul di suatu tempat kadarnya akan
bertambah besar dan ganas, bukan saja waktu bekerjanya
bisa lebih cepat, kumatnya juga sukar diduga, malah begitu
kumat jiwa pasti melayang seketika.
Diam-diam Tan Ciok-sing menepekur, apakah perlu dia
menggunakan Tay-ciu-thian-to-nah, dengan bekal Lwekang
yang dimilikinya sekarang, kira-kira dia masih kuat bertahan
setahun lamanya, sebaliknya bila menggunakan ajaran
Lwekang itu, dia belum mampu menyalurkan kadar racun
pada suatu tempat yang terisolir, maka sembarang waktu
kadar racun bakal meledak, itu berarti jiwa akan segera
melayang. Tapi ada baiknya, karena untuk sementara
kekuatannya akan pulih sebagian, "asal aku bisa hidup
sebulan saja, aku sudah bisa mencapai Thian-san." Demikian
pikir Tan Ciok-sing.
"Terpaksa aku harus mengelabui adik San, supaya dia tidak
ikut kuatir akan keselamatanku. Cepat atau lambat juga pasti
mati. Budi guru setinggi gunung, bila aku berhasil menunaikan
tugas peninggalan guru, matipun aku bisa meram." Akhirnya
Tan Ciok-sing ambil keputusan mencoba cara menghimpun
racun pada tempat yang terisolir dengan menentang bahaya.
Diluar tahu Tan Ciok-sing, saat mana In San pun punya
pendirian dan pikiran yang serupa. Nasib ln San yang mencari
air ternyata cukup mujur, tidak jauh menuju ke arah utara,
tiba-tiba didengarnya gemericik air. Lekas dia berlari ke arah
selokan gunung.
Tiba-tiba didengarnya teriakan bocah kecil: "Kakek, lekas
kemari, aku berhasil mengeduk mustika." Bahasa Mongol yang


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipelajari In San jauh lebih banyak dibanding Tan Ciok-sing,
maka dia bisa menangkap arti pembicaraan orang Mongol.
1868 Tampak seorang berperawakan besar berlari-lari
mendatangi, tanyanya dengan tertawa: "Gembar gembor, kau
menemukan mustika apa?"
Anak itu berkata: "Kek, coba lihat. Akar ini mirip orok kecil.
Kek, aku masih ingat kau pernah bilang Jin-som dan Ho-siu-oh
bentuknya mirip orok kecil, coba kau periksa ini Jin-som atau
Ho-siu-oh?" Umpama bukan, pasti sejenis obat mujarab?"
Agaknya bocah itu sering ikut kakeknya naik gunung mencari
obat, sekarang mereka sedang cari obat dalam hutan ini.
Kaget dan senang hati In San, katanya: "Mungkin orang
inilah tabib yang dikata mengasingkan diri di gunung ini"
Bahan obat yang ditemukan bocah itu entah mirip tidak
dengan Ho-siu-oh dalam kantongku?"
Baru saja In San hendak mengunjuk diri, tiba-tiba
didengarnya orang tua itu berteriak gugup: "He, lekas buang,
ini bukan obat mujarab atau barang mustika, inilah racun
jahat yang bisa mencelakai jiwa orang."
Kaget In San bukan main, lekas dia memburu ke arah
mereka. Sementara itu si bocah sedang mencuci Ho-siu-oh itu
didalam selokan, walau kakeknya bilang benda itu beracun,
tapi dia masih merasa sayang untuk membuangnya.
Orang itu kaget, tanyanya: "Nona muda, dari mana kau
datang?" Maklum sudah lama dia semayam di atas
pegunungan, orang Mongol pun jarang dijumpai, apalagi In
San adalah gadis belia bangsa Han" Agaknya dia melihat In
San adalah orang Han, maka hatinya makin heran.
Tak nyana In San jauh lebih kaget dari dia, tanpa hiraukan
pertanyaan, langsung dia berkata kepada si bocah: "Engkoh
kecil, coba kau berikan Ho-siu-oh itu kepadaku."
Mendengar In San menyebut Ho-siu-oh, si bocah jadi
bingung, dia tidak tahu perkataannya yang benar atau
1869 perintah ayahnya yang keliru, segera dia sembunyikan Ho-siuoh
itu di belakang tubuhnya, serunya: "Kau mau menipu,
memangnya aku mudah kau tipu. Aku yang menemukan
mustika ini, kenapa harus kuberikan padamu." Demikian kata
si bocah dengan mendelik.
"Aku tidak akan merebut mustikamu, coba lihat aku juga
punya setangkai, akan kucocokkan apakah mirip mustikamu
itu." Demikian kata In San. Segera dia merogoh saku
keluarkan Ho-siu-oh itu diacungkan ke depan si bocah, melihat
Ho-siu-oh di tangan In San lebih gede, baru si bocah mau
menyerahkan, katanya: "Aneh, ternyata mirip. Mungkin
milikmu ini lebih tua, punyaku masih muda." Ternyata Ho-siuoh
di tangan In San sepanjang satu kaki sementara yang
dipegang si bocah kira-kira delapan dim.
Baru saja si bocah ulur tangan mau terima Ho-siu-oh dari
tangan In San, tiba-tiba orang tua itu menyela: "Berikan
kepadaku," hanya sekilas dia periksa Ho-siu-oh yang diterima
dari In San, mendadak dia pegang pergelangan tangan In
San. In San kaget, teriaknya: "Kau mau apa?" Tapi dia lantas
tahu bahwa orang ini tidak bisa silat, dilihatnya pula maksud
orang tidak jahat, maka dia tidak kerahkan tenaga meronta.
Orang tua itu menghela napas lega, katanya melepas
tangan In San: "Tok-ing-ji milikmu ini pernah digigit siapa?" In
San baru tahu bahwa orang memeriksa nadinya karena
menyangka dirinya keracunan, padahal keadaan In San
normal saja, maka dia tanya demikian.
In San tersirap, teriaknya melengking: "Apa, apa katamu"
Ini bukan Ho-siu-oh" Jadi, jadi..."
"Inilah Tok-ing-ji (orok beracun)." Kata orang itu,
"bentuknya memang hampir mirip Ho-siu-oh, tapi kadar
obatnya justru berlawanan, kalau Ho-siu-oh dapat
menyembuhkan orang yang sudah hampir mati, sebaliknya
1870 Tok-ing-ji adalah benda beracun yang paling jahat di dunia
ini." Ternyata Buyung Ka memang sudah berintrik dengan Yuhian-
ong untuk melukai jiwa Tan Ciok-sing. Ho-siu-oh yang
asli mereka tukar dengan Tok-ing-ji yang beracun, sehingga
Tan Ciok-sing benar-benar keracunan.
Orang yang memberi laporan gelap di tempat kediaman Yuhian-
ong yang dicuri dengar oleh puteranya memang bukan
lain adalah Buyung Ka.
Dalam rencana, Yu-hian-ong menganjurkan Buyung Ka
menjadi orang baik untuk menarik simpati dan kepercayaan
Tan Ciok-sing, di belakang rencana ini Yu-hian-ong sendiri
memang punya perhitungan jangka panjang. Waktu mengatur
tipu daya ini sebetulnya Yu-hian-ong dan Buyung Ka tidak
yakin muslihatnya bakal berhasil membunuh Tan Ciok-sing.
Tapi kalau menggunakan cara yang satu ini, jiwa Ciok-sing
jelas takkan bisa diselamatkan lagi. Dia mati di tengah jalan,
Jendral Abu dan anaknya tidak akan tahu, malah harus
berterima kasih kepada Buyung Ka yang telah menolong
sahabat mereka.
Rencana mereka memang sempurna, jangan kata Tan Cioksing,
ln San yang semula mencurigai Buyung Ka pun akhirnya
kena dikelabui.
Sayang In San tahu setelah terlambat. Tak tertahan air
matanya bercucuran, tanyanya kepada orang itu: "Apakah
Tok-ing-ji ada penawarnya?"
Orang itu geleng-geleng kepala, sahutnya: "Tiada obat
penawarnya."
Gelap pandangan In San, tubuhnya sempoyongan. Lekas
orang itu memapahnya, tanyanya: "Siapa yang makan racun
ini" Lekas kau pulang..." Melihat keadaan In San, dia duga
yang minum racun tentu sanak familinya. Maksudnya suruh
1871 dia lekas pulang mengurus penguburannya, cuma tidak tega
dia mengucapkannya!
Dengan air mata berlinang tiba-tiba In San menjatuhkan
diri berlutut dan menyembah.
Lekas orang itu memapahnya, katanya: "Nona, apa yang
kau lakukan, lekas bangun, lekas bangun."
Sudah tentu orang itu tidak mampu menarik bangun ln
San, beruntun In San menyembah tiga kali, katanya: "Mohon
kau orang tua suka menolong jiwa engkohku, dia terluka
parah, karena tidak tahu, Tok-ing-ji ini dia makan dua keping."
Karena tidak mampu menarik In San, orang itu kaget, tiba
tiba timbul rasa curiganya, katanya: "Darimana kau tahu kalau
aku bisa mengobati, siapa suruh kau kemari?"
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar ringkik kuda dan derap
kuda yang ramai mendatangi.
Orang itu beringas, bentaknya: "Siapa yang kau bawa
kemari, apakah mau menangkap aku?"
"Tidak, tidak, bukan aku yang membawa mereka. Aku tidak
tahu..." Terdengar langkah orang berlari-lari menuju kesini, seorang
terdengar berkata: "Disana seperti ada orang bicara, kita
periksa kesana."
In San merendahkan suara: "Kedua orang ini mungkin yang
mencari jejak kami kakak beradik." Dari langkah mereka dia
tahu bahwa kedua orang ini pandai silat.
Orang itu mendengus, jengeknya: "Kau mau menipu aku."
Waktu mendesak In San tidak sempat menjelaskan,
terpaksa dia berbisik: "Kalau kau takut mereka akan berbuat
jahat kepadamu, lekas kau sembunyi, biar kuhadapi mereka."
1872 "Aku tidak akan sembunyi." Ucap orang itu, "kalau kau
tidak sekomplotan dengan mereka, baiklah kau saja yang
sembunyi." Maklum dia tinggal di gunung ini, bila jejaknya
sudah diketahui orang, mau sembunyi juga tidak akan bisa
menyingkir, apalagi terhadap In San dia belum percaya
sepenuhnya, maka dia berani nekat.
Apa boleh buat, terpaksa In San menerima anjuran orang,
dia sembunyi ke belakang pohon. Lekas sekali kedua orang itu
sudah berlari datang, kiranya dua Busu yang membawa busur.
Seorang Busu bertanya: "Kalian melihat dua orang Han tidak,
seorang laki seorang perempuan, usianya kira-kira likuran
tahun." Orang tua itu geleng-geleng, katanya: "Tidak pernah lihat,
kalian ini..."
"Kami adalah Busu kelas satu Yu-hian-ong, atas perintah
Ongya hendak menangkap pembunuh gelap. Pembunuhnya
adalah sepasang muda mudi bangsa Han itu, karena gagal
mereka lari ke gunung ini. Maka kau harus bicara jujur di
hadapanku..."
"Dua orang Han yang kalian katakan betul-betul tidak
pernah kulihat, mana berani aku bohong terhadap kalian."
"Kau penduduk setempat tentu hapal seluk beluk
pegunungan ini, hayo kau bantu kami mencarinya."
"Bukan aku tidak mau membantu, tapi, tapi..."
"Tapi apa?"
"Gunung sebesar dan seluas ini, usiaku sudah lanjut, kakiku
tidak leluasa berjalan. Kalau aku temani kalian mencari
mungkin bakal menghabiskan waktu. Kukira lebih baik kalian
cari sendiri, supaya mereka tidak melarikan diri.
Alasannya memang masuk akal, maka kedua Busu itu mau
pergi, tiba-tiba temannya itu mendorong si bocah, teriaknya:
"He coba lihat, apa, apa ini?"
1873 Ternyata si orang tua membuang
Tok-ing ji ke semak-semak rumput, tadi kebetulan semaksemak
itu teraling oleh tubuh si bocah, sayang tubuhnya kecil
sehingga Tok-ing-ji masih kelihatan oleh salah satu Busu.
Bergegas si Busu memburu serta menjemput kedua Toking-
ji, sejenak dia memeriksa, lalu bersorak kegirangan. "Kita
mendapatkan mustika. Hahaha, coba lihat bukankah ini Hosiu-
oh yang telah mencapai usia ribuan tahun?" demikian
teriak Busu itu.
Orang tua itu gugup, serunya: "Jangan kalian ambil
barang-barang itu."
Busu itu mendelik, bentaknya: "Kau tidak mau bantu
mencari pembunuh, barang sepele begini juga larang kami
mengambilnya?"
"Ini, ini bukan Ho-siu-oh..." Seru si orang tua.
Busu itu mencabut golok dan membentak: "Berani kau
menipu aku, kau larang aku ambil, kubunuh kau."
Setelah membawa Ho-siu-oh kedua Busu itu tidak banyak
bicara lagi terus tinggal pergi, tak lama kemudian, mendadak
terdengar dua jeritan menyayat hati, ternyata kedua Busu di
tengah perjalanan telah mengigit masing-masing secuil,
ternyata racun bekerja jiwapun melayang.
In San segera melompat keluar, katanya: "Lo-siansing,
siapa aku tak usah kujelaskan tentu kau sudah tahu?"
Akhirnya mereka saling berkenalan, orang tua ini memang
benar tabib liehay yang mengasingkan diri di atas gunung,
namanya Kokulon, cucunya bernama Komido.
Sambil jalan Kokulon tanya pengalamannya. In San
ceritakan maksud perjalanannya ke Holin, bagaimana mereka
kenal Jendral Abu dan puteranya, membuat geger Onghu dan
1874 akhirnya Tan Ciok-sing keracunan karena salah makan Toking-
ji. "Terus terang, Yu-hian-ong manusia yang paling kubenci,"
demikian kata Kokulon. "Jendral Abu adalah orang yang paling
kuhormati dan kusegani. Ternyata kalian adalah teman baik
Jendral Abu, jikalau sejak mula kau menjelaskan, aku tidak
akan curiga kepadamu."
"Jadi kau mau menolong jiwa engkohku?"
"Bukan aku tidak mau, sayang tenagaku tidak mampu
menolongnya."
Tiba-tiba Komido berjingkrak, serunya: "Kakek, kau dengar
tidak?" "Mendengar apa?"
"Aku seperti mendengar seseorang menghela napas
perlahan."
Kokulon celingukan, katanya:
"Disini mana ada orang lain, pasti kau salah dengar."
Komido bergidik ngeri, katanya memeluk sang kakek:
"Mungkin setan kedua orang itu gentayangan."
Pikiran butek, perasaan gundah sehingga In San tidak
mendengar helaan napas itu, mungkin desau angin lalu,
demikian pikirnya.
Diluar tahunya Tan Ciok-sing telah berhasil menghimpun
tiga bagian tenaganya, mendengar bagian sini ada suara
orang, diam-diam dia datang memeriksa. Maka percakapan
Kokulon dengan In San diapun mendengar jelas.
Waktu In San bawa Kokulon tiba di tempat semula, tampak
Tan Ciok-sing masih bersamadi, uap putih masih mengepul
dari kepalanya.
1875 Kokulon heran, katanya: "Jangan ganggu dia, nanti
sebentar baru akan kuperiksa." Lalu dia berkata kepada In
San: "Sementara kalian boleh tinggal di rumahku, aku akan
berusaha sekuat tenaga."
Timbul setitik harapan dalam benak In San, katanya:
"Terima kasih paman."
Tiba-tiba Komido berkata: "Ayam salju di rumah sudah
kami makan, dengan apa kau hendak menjamu para tamu?"
In San tertawa, katanya: "Menangkap ayam salju adalah
keahlianku, biar nanti kutemani kau menangkap ayam salju."
Setelah In San pergi, tiba-tiba Tan Ciok-sing membuka
mata, katanya: "Paman Kokulon, aku mohon sesuatu
kepadamu."
"Nanti dulu, biar kuperiksa nadimu dulu." Dia kira Tan Cioksing
akan minta dia menolong jiwanya, maka setelah
memeriksa dia berkata: "Jangan kau banyak tanya, aku akan
berusaha sekuat tenagaku menyembuhkan penyakitmu. Kau
adalah pasienku satu-satunya yang mempunyai daya tahan
luar biasa di antara pasien-pasienku selama aku jadi tabib."
Tan Ciok-sing berkata: "Aku tidak minta kau berusaha
menolong jiwaku, aku sudah tahu penyakit ini tidak mungkin
disembuhkan lagi. Manusia mana tidak akan mati, soalnya
hanya waktu saja, aku sih tidak perduli."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kokulon kaget, tanyanya: "Darimana kau tahu?"
"Paman Kokulon, pembicaraanmu dengan adikku, aku
mendengarnya semua."
Kokulon terbeliak, dia insyaf bahwa persoalan tidak bisa
mengelabui Ciok-sing lagi, sesaat lamanya dia melenggong tak
mampu bicara. 1876 Diam sebentar, akhirnya Tan Ciok-sing berkata: "Aku hanya
mohon kau suka menolong jiwa adikku. Kau tidak tahu bahwa
kami sudah sumpah setia, sehidup semati..."
"Aku tahu." Tiba-tiba Kokulon menukas. "Tunggu sebentar,
biar aku berpikir sejenak."
Setelah berpikir beberapa kejap lamanya, Kokulon berkata:
"Bahwa kau sudah tahu penyakitmu takkan bisa sembuh,
maka aku harus bicara blak-blakan dengan kau. Tapi aku
harus tanya kau dulu, dengan cara apa kau menghimpun
kadar racun didalam pusarmu?"
"Inilah sejenis Lwekang ciptaan guruku, namanya Tay-ciuthian-
to-nah. Sayang latihnya belum sempurna."
"Bisakah kau mengerahkan Lwekang sehingga kadar racun
sedikit demi sedikit dibikin buyar?"
"Aku tidak mampu. Berlatih sepuluh tahun lagi juga belum
bisa mencapai taraf setinggi itu."
"Baiklah aku bicara jujur, dengan bekal Lwekangmu
sekarang, bila kau tidak menghimpun kadar racun itu, paling
lama kau bisa hidup setahun. Tapi selama setahun ini kau
tidak akan mampu bergerak. Kini kau gunakan caramu itu,
meski Kungfu sementara masih utuh, tapi bila racunnya
kumat, racunnya lebih hebat dan jiwa melayang seketika."
"Ya, aku tahu. Bila racun kumat, jiwaku pasti melayang.
Tapi aku harus pergi ke Thian-san menunaikan pesan guruku,
terpaksa aku menempuh jalan pendek. Entah berapa lama aku
bisa bertahan hidup" Paman, harap kau bicara sejujurnya."
"Kurang lebih tiga bulan, tapi juga bisa lebih cepat atau
mundur beberapa hari, itu tergantung kau sendiri..."
"Mohon paman memberi petunjuk."
"Menuju jalan kehidupan, terutama mementingkan
ketenangan jiwa, girang senang atau duka lara dapat
1877 mengurangi umur orang. Di samping itu sedapat mungkin kau
harus berusaha tidak berkelahi dengan orang, tidak boleh
terlalu menguras tenaga."
Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Tubuh sekokoh
pohon Bodhi, batin harus sejernih permukaan kaca. Untuk
mencapai taraf ketenangan hidup seperti ini, jarang bisa
dilakoni oleh manusia biasa. Tapi kalau hanya menghindari
rasa senang, duka dan segala keinginan sih kurasa mampu
kulakukan. Tapi ke Thian-san merupakan perjalanan jauh,
kejadian diluar dugaan apa yang bakal menimpa kami, susah
diramalkan sebelumnya, maka untuk menghindari
pertempuran jelas tidak mungkin."
Kokulon seperti dapat meraba jalan pikirannya, katanya:
"Kalau lawan kelas rendah cukup tiga empat jurus telah beres,
akibatnya tidak fatal. Yang dikuatirkan ialah bila berhadapan
dengan musuh setangguh dirimu, begitu tenaga murni
terkuras, luka dalam pasti kambuh. Oleh karena itu kecuali
terpaksa, kuanjurkan kau harus berani dihina dan dicemooh
orang." "Terima kasih akan petunjuk paman, Wanpwe akan patuh
pada petunjukmu."
"Kalau kau bisa mematuhi kedua petunjuk tadi, mungkin
jiwamu bisa diperpanjang setengah bulan. Kalau tidak mampu
kau lakukan, kemungkinan elmaut kematian sembarang waktu
bisa merenggut jiwamu. Apakah sudah besar tekadmu untuk
pergi ke Thian-san?"
"Aku sudah menerima pesan guru, semoga sebelum aku
ajal, aku sudah menunaikan tugas terakhir."
Kokulon berkata: "Tekadmu besar, aku tidak akan
mencegahmu. Boleh kau teruskan cara Tay-ciu-thian-to-nah,
sementara kadar racun masih dapat kau kendalikan. Cara
yang kau tempuh ini jauh lebih berguna dari ramuan obatku,
maaf bila aku tak bisa membantumu lebih jauh."
1878 "Tapi aku kuatir akan keselamatan adikku, dia ingin sehidup
semati denganku..."
"Maksudmu bagaimana aku harus membantumu?"
"Dapatkah kau berusaha menahannya disini?"
"Aku pernah bicarakan soal itu kepadanya, tapi dia
bertekad dan bersumpah takkan mau berpisah dengan kau
sampai mati."
"Gunakan sejenis obat, umpamanya obat bius sehingga dia
kehilangan tenaga, tapi tidak membawa efek buruk bagi
kesehatannya, maka dia tidak akan bisa ikut menempuh
perjalanan yang kutempuh. Setahun sebagai angka waktunya,
tahun depan boleh kau berikan obat penawarnya. Dalam
jangka setahun ini, pasti aku sudah ajal entah dimana. Bila dia
tidak memperoleh berita kematianku, maka dia akan
mencariku dan tak sempat mencari jalan pendek lagi."
Kokulon geleng-geleng, katanya: "Itu hanya dapat
mengelabuinya sementara, akhirnya pasti konangan juga. Dan
lagi aku tidak punya dan tak pernah membuat obat macam
itu." "Paman bagaimana juga harap kau suka berusaha, aku
harus mepertahankan jiwanya, jangan lantaran aku dia ikut
menjadi korban."
Kokulon berpikir sejenak, tiba-tiba bertanya: "Kau she Tan
dia she In, wajah kalian juga tidak sama. Walau aku tidak
paham adat istiadat bangsa Han kalian, kalau tidak salah
sesama saudara sepupu biasanya punya marga sama bukan"
Lalu kalian ini saudara angkat?"
"Ya, kami saudara angkat lain marga. Tapi hubungan kami
amat mendalam melebihi saudara sepupu sendiri."
"Bagus, kau harus bicara jujur kepadaku, bukankah kalian
sudah jatuh cinta dan bersumpah setia sehidup semati?"
1879 "Betul, kami sudah janji setia akan hidup sampai tua, meski
dilahirkan tidak pada tahun bulan dan hari yang sama,
diharapkan akan mati di hari bulan dan tahun yang sama.
Hidup rukun sampai tua agaknya tidak mungkin lagi, maka
kudoakan supaya dia tidak ikut mati di saat ajalku sudah tiba."
Sebelum Kokulon bicara Ciok-sing memohon pula: "Paman,
pengalaman hidupmu jauh lebih matang dari aku, bagaimana
juga kumohon kau sudi berusaha untuk menolong jiwanya."
Tiba-tiba Kokulon berkata: "Ada satu cara boleh dicoba,
tapi hidupmu mungkin harus diperpendek lagi satu bulan. Itu
berarti dihitung hari ini, paling lama kau hanya bisa hidup dua
bulan lagi, kau mau tidak?"
"Sudah tentu mau, asal dapat menyelamatkan jiwanya,
sekarang juga aku mati juga tidak jadi soal, aku suka rela."
"Tapi waktu dua bulan mungkin tidak cukup untuk
perjalananmu ke Thian-san."
"Menunaikan pesan guru sudah tentu merupakan tugas
utama yang tidak boleh diabaikan. Tapi kalau dibanding,
usaha menyelamatkan jiwa adik San adalah lebih penting lagi.
Tolong tanya paman, cara apa yang kau gunakan?"
"Sekarang belum boleh menjelaskan, bila cara ini
kuberitahu kepada kau, mungkin tidak akan manjur, cukup
asal kau percaya kepadaku saja."
Walau agak bimbang, tapi Ciok-sing sudah percaya kepada
tabib pengasingan ini. Katanya: "Kalau demikian, baiklah aku
tidak akan banyak tanya lagi."
"Bagus, sekarang kau membantu aku melakukan sesuatu."
"Silahkan memberi petunjuk."
"Ikutlah aku membersihkan kamar obatku. Tak takut kau
tertawakan, terus terang rumahku reyot, kotor dan jorok lagi,
1880 kamar tidak ada. Hanya ada sebuah bilik obat yang bisa
dibersihkan untuk tempat tidurmu."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Paman kenapa sungkan,
asal ada tempat berteduh sudah lebih dari cukup untukku."
Bilik itu memang banyak menyimpan berbagai jenis obatobat
mujarab yang sukar dicari, tapi lekas sekali bilik itu sudah
dibersihkan dan ditata rapi. Tak lama kemudian In San dan
anak itu sudah masuk kembali.
Begitu masuk rumah Komido berjingkrak dan mengoceh
dengan riang: "Kepandaian cici In memang hebat, coba lihat
tiga ekor ayam salju, semuanya gemuk-gemuk."
In San tertawa, katanya: "Kepandaianmu juga patut dipuji,
tidak sedikit telur akar yang berhasil kau keduk."'
Kokulon tertawa tergelak-gelak, katanya: "Bagus, nanti kita
bisa bersantap malam dengan hidangan sedap, ubi bakar
dengan ayam bakar memang mencocoki seleraku."
Dua ekor ayam panggang, seekor dimasak kuah, sementara
ubi dibakar, selesai mereka menyiapkan hidangan malam,
sinar rembulanpun sudah menyorot masuk lewat jendela.
Angin menghembus kencang diluar, kabut tebal menyelimuti
alam semesta, hawa mulai dingin. Tapi suasana hangat
meliputi gubuk kecil mungil itu, perasaan mereka sehangat
nyala api yang masih membara, dimana ayam yang sudah
diberi bumbu sedang dipanggang, baunya aduhai, lezat sekali.
Dari kamarnya Kokulon mengeluarkan sebuah buli-buli
besar warna merah, katanya: "Inilah arak obat buatanku
sendiri, khasiatnya dapat menambah semangat melancarkan
aliran darah, kalian bersaudara patut minum beberapa
cangkir." In San berkata: "Aku tidak biasa minum arak, biarlah Koko
wakili aku minum bagianku."
1881 "Arak obat ini jelas berguna bagi kesehatan engkohmu,
bagi kau sendiri juga tidak sedikit manfaatnya. Bila kalian
sama-sama minum, manfaatnya pasti lebih kentara."
"Ah, aku tidak percaya, kenapa kalau sama-sama minum,
khasiatnya bisa lebih kentara?"
"Kau tidak tahu, arak obatku ini memang punya kadar yang
luar biasa."
"Apanya yang istimewa?"
"Bila tutup dibuka dan arak tercium angin, bila didalam
jangka satu jam tidak segera diminum, khasiat obatnya akan
pudar tidak berguna lagi. Tapi terlalu banyak juga tidak boleh,
maka engkohmu hanya boleh minum dua pertiga, dan kau
harus bantu dia minum satu pertiga."
"Kalau demikian, kau saja yang bantu dia minum bagian
satu pertiga ini."
Kokulon tertawa, katanya: "Arak obat ini dapat menambah
semangat dan tenaga, besar manfaatnya untuk kalian bila naik
gunung. Aku tidak pernah meyakinkan Lwekang arak obat ini
tiada berguna bagi diriku. Aku tidak sakit apa-apa, buat apa
harus minum obat. Apalagi aku tidak akan menempuh
perjalanan jauh, bukankah terlalu sayang menghabiskan arak
sebagus ini" Maklum aku tinggal di pengasingan yang jauh
dari keramaian kota, maka tiada hidangan apa-apa yang patut
kusuguhkan untuk para tamuku, jikalau kau masih sungkan,
berarti anggap aku ini orang luar. Maka akupun tidak akan
berusaha menyembuhkan penyakit engkohmu."
Melihat sikap bicara Kokulon amat serius, In San berkata:
"Paman, kau harus mengobati penyakit engkohku, jangan kau
menakuti aku, baiklah aku minum, akan kuhabiskan jatahku."
Tan Ciok-sing juga tertawa, katanya: "Maksud baik tuan
rumah, lebih baik kita terima saja kehendaknya. Adik San,
1882 terpaksa kau harus berani tahan uji, mari temani aku minum
sampai habis."
Karena didesak dan dibujuk terpaksa In San menemani Tan
Ciok-sing minum arak, baru seteguk diminumnya, terasa bau
harum menyegarkan dada seketika In San tertawa, katanya:
"Ternyata arak ini enak rasanya."
Belum ada satu jam, seekor ayam telah habis diganyang
masuk perut, arak sebuli itu pun telah habis disikat mereka
berdua. "Nona In, tubuh engkohmu kelihatan memang masih segar,
betapapun dia adalah orang sakit, maka dia perlu selalu dijaga
dan dirawat. Kau tahu maksudku?" tanya Kokulon.
In San tertawa, ujarnya: "Kenapa aku tidak maklum, setiap
saat aku akan mendampinginya."
"Gubukku reyot dan jorok, hanya ada bilik obat itu yang
bisa kusediakan tempat bermalam kalian. Untung kaliankan
saudara, tentu tidak perlu berpisah tidur. Waktu sudah larut,
kalian habis menempuh perjalanan jauh, silahkan istirahat
lebih dini."
In San rasa hal itu sudah logis. Sebelum ini sepanjang
perjalanan dengan Ciok-sing bila tidak menemukan kota atau
rumah penduduk, sering mereka tidur didalam hutan tapi tidur
sekamar selama ini baru pertama kali, mau tidak mau In San
agak malu-malu kucing.
Setelah ln San papah Tan Ciok-sing masuk kamar, Kokulon
segera menutup pintu kamar, katanya: "Bila kalian merasa
panas, tidak usah gelisah, itulah reaksi setelah kalian minum
arak obatku itu. Meski gerahnya luar biasa, sekali-kali kularang
kalian keluar, nanti masuk angin."
"Aku sudah tahu," ucap In San, "paman tidak usah kuatir."
1883 In San tidak berani membuka jendela, tapi angin
menghembus dari celah-celah papan ynag bolong, hawa
menjadi agak sejuk dan segar.
In San berkata: "Setelah minum arak tadi, rasanya segar
dan nyaman sekali. Aku hanya merasa sejuk, bukan
kedinginan. Apalagi perasaan gerah, sedikitpun tidak. Toako,
apa kaupun merasa sejuk ?"
"Memangnya, segar dan sejuk sekali, sejuk sekali. Eh,
kenapa aku jadi seperti mengambang di tengah mega."
"Ah, apa benar" Hahaha, aku juga merasa mengambang,
terombang ambing. Sungguh aneh perasaanku ini."
Tak lama kemudian mereka sama-sama seperti mabuk
tidak mabuk, didalam kamar hanya dipasang sebuah dian,
angin dingin yang menghembus dari celah-celah pintu
membikin nyala api bergoyang-goyang, demikian pula
perasaan-mereka seperti dibuai asmara nan nikmat.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing seperti berada di Kanglam di musim
semi, berkuntum-kuntum kembang berbagai jenis seperti
menghambur di sekelilingnya, Tan Ciok-sing berkata: "Adik


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

San, kau masih ingat waktu aku ajak kau tamasya di Jit-singgiam
dulu?" "Kenapa tidak ingat, panorama dalam goa itu sungguh
indah mempesona. Eh..."
"Kau kenapa?"
"Membicarakan Jit-sing-giam, sekarang aku seperti kembali
disana. Ah, tidak panorama di depan mataku jauh lebih indah
dari pemandangan dalam goa itu, aneka ragam dan warna
warni, berobah dan berganti..."
"Akupun punya perasaan yang sama."
"He, kurang ajar, kenapa segulung hawa panas timbul dari
pusarku." 1884 In San tertawa, katanya: "Kau melupakan penjelasan
paman tadi, perasaan hangat itu lantaran kita minum arak
obatnya tadi."
"Bukan hangat yang menjadikan badan gerah, tapi
kehangatan jenis lain..." Rasa hangat yang menghinggapi
perasaannya ini memang sukar dilukiskan dengan kata-kata
tapi tak usah dijelaskan, In San sendiri mulai merasakan
kehangatan yang sama. Badannya menjadi lemas lunglai,
setelah menggeliat, dia berkata: "Toako, peluklah aku."
Tan Ciok-sing masih sedikit sadar, katanya tertawa: "Ah,
anak segede ini masih minta dipeluk segala?""
"Aku tidak ingin dipeluk orang lain, tapi kaulah yang harus
memelukku. Nah kau berpikir yang tidak-tidak, aku hanya
ingin tidur pulas dalam pelukanmu."
Mulutnya bilang jangan berpikiran yang tidak-tidak, padahal
dia sendiri sudah tidak kuasa kendalikan diri sendiri. Tiba-tiba
dia cekikikan, katanya: "Malam pertama di kamar pengantin!
Ah, Toako keadaan kita sekarang bukankah mirip malam
pertama di kamar pengantin?"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Dalam kamar hanya
diterangi sebuah dian, mana mirip kamar pengantin yang
dipasangi sepasang lilin merah" Kini sedang musim dingin,
dari mana datangnya kembang segar?"
"Siapa bilang tidak ada" Di depanku sekarang tersebar
bermacam jenis kembang yang sedang mekar, eh
kembangnya berputar-putar, ada seruni, mawar, sedap
malam, eh sekali, aku jadi bingung untuk menyebut satu
persatu, apa kau tidak melihatnya" Dian itu berubah menjadi
lilin, berubah sepasang lilin?"
"Jangan mengigau aku, aku..."
In San sudah jatuh dalam pelukannya. Perasaan Ciok-sing
seperti hambar, kosong, katanya sambil mendorong perlahan:
1885 "Jangan begitu adik San. Biar aku buka jendela, supaya kau
lebih merasa segar." Mulut bicara, pada hal niat bangkit sudah
tiada karena badan sudah ogah bergerak.
"Eeh, kenapa lupa, paman tadi berpesan tidak boleh
membuka jendela."
Kedua tangan Ciok-sing kebetulan memegang tubuh In San
yang bulat kenyal, lembut tapi juga mengencang. Bukan lagi
mendorong, sekarang Ciok-sing malah memeluk kencang dan
jari jemarinya mulai meremas dan merambat naik turun.
Di kala Ciok-sing membalik tubuh balas menindih In San,
tiba-tiba sebuah kotak emas kecil jatuh dari kantong baju
Ciok-sing, kotak yang terbuka ternyata berisi kacang merah,
In San menjemput kotak emas itu lalu menuang satu butir
kacang merah di telapak tangannya. Kacang merah ini mereka
petik bersama di pinggir sungai dalam kota Kwi-lin, salah satu
hasil bumi yang terkenal di Kwi-lin adalah kacang merah ini,
dinamakan juga kacang rindu.
In San juga keluarkan kacang merah punyanya sendiri,
sepasang kacang rindu berada di telapak tangannya, dengan
berbisik dia berkata di pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Toako
kau masih ingat sumpah setia kita dulu" Kacang rindu ini
sebagai bukti, bumi dan langit sebagai saksi, selama hidup
cinta kita takkan luntur."
Keluhan halus disusul deru napas yang memburu sebagai
jawaban, sepasang kacang merah itu jatuh di lantai. Sinar
dian yang sudah guram kehabisan minyak kebetulan
terhembus padam oleh angin yang meniup masuk lewat celahcelah
pintu. Didalam kegelapan, di alam sorga mereka nan
indah, jiwa dan batin mereka berpadu, berpadu memperoleh
sumber jiwa nan abadi, dua jiwa yang manunggal.
Rasa resah telah lenyap, pikiran pun telah jernih kembali.
Sinar pagi pun telah menerobos jendela. Begitu siuman Tan
Ciok-sing teramat menyesal dan mendelu, tak berani dia
1886 melirik In San. Katanya perlahan: "Adik San, aku telah
membuatmu celaka."
In San mengenakan pakaian, lalu duduk menggelendot
dalam pelukannya, katanya dengan mendongak menatap
wajah sang kekasih: "Toako, jangan kau bilang demikian,
sedikitpun aku tidak menyesal, kita sudah sumpah setia, apa
pula salahnya kita lebih mempererat ikatan. Kenapa kau
sesalkan dirimu malah?"
Seperti diiris perasaan Ciok-sing, pikirnya: "Kau tidak tahu,
sayang aku tidak akan hidup berdampingan dengan kau
sampai hari tua." Karena tidak ingin membuat In San sedih,
maka dia tidak berani utarakan isi hatinya.
Tanpa terasa, setelah asyik masyuk di atas ranjang, tahutahu
hari sudah terang tanah, waktu mereka buka pintu keluar
kamar, Kokulon sudah menunggu di ruang tengah, seperti
tertawa tidak tertawa dia mengawasi mereka, katanya:
"Semalam kalian bisa tidur nyenyak"!"
Merah jengah muka In San, plegak-pleguk tak bisa bicara.
Tan Ciok-sing berkata: "Aku sudah lebih sehat, hari ini kami
harus melanjutkan perjalanan."
In San masih membujuk supaya dia istirahat beberapa hari,
tanpa bersuara Tan Ciok-sing angkat telapak tangannya terus
menggablok, sebatang balok yang sedianya untuk dibakar
digabloknya pecah berantakan katanya tertawa: "Coba
periksa, tenagaku sudah pulih setengah lebih bukan?"
In San kira ini berkat arak obat semalam katanya: "Baiklah,
terserah kehendakmu."
Setiba di bawah gunung, terbayang akan kejadian
semalam, In San dipeluknya kencang, mukanya merah sampai
ke telinga, katanya: "Adik San, memang akulah yang salah.
Jangan kau menyalahkan paman Kokulon."
1887 In San tertawa cekikikan, katanya: "Sedikitpun aku tidak
menyesal, jangan kau salahkan dirimu sendiri, akupun tidak
menyalahkan paman Kokulon. Aku tidak tahu cara
pengobatan, mungkin harus demikian, sehingga begitu
sikapku terhadapmu dan membawa manfaat pula bagi kau.
Paman sengaja merangkap perjodohan kita lebih nyata,
maksudnya juga baik."
Lekas Tan Ciok-sing bicarakan persoalan lain: "Marilah
lekas jalan, untuk mencapai Thian-san bukan perjalanan yang
gampang." "Sepanjang jalan ini ada banyak peternakan, nanti kita bisa
beli kuda yang baik."
Tak nyana setiba di bawah gunung setelah beberapa hari
perjalanan, tak pernah mereka bertemu dengan manusia.
Meski akhirnya bertemu dengan orang, mereka juga
menempuh perjalanan dengan jalan kaki, jarang yang naik
kuda. Yang naik kuda juga untuk kebutuhan sendiri, mana
mau mereka menjualnya.
Negeri Watsu banyak terdapat padang rumput, rakyatnya
banyak yang hidup dari hasil peternakan. Jadi peternakan
tersebar dimana-mana. Tapi karena mereka harus
menghindari pengejaran, maka jalan yang ditempuh harus
jalan-jalan pegunungan yang sepi, apalagi tujuan mereka ke
arah barat yang semakin sepi dan belukar, semakin jauh
meninggalkan Holin kehidupan manusia semakin jarang.
Selama tiga hari itu mereka sibuk menempuh perjalanan
sehingga tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tanpa terasa mereka sudah sepuluh hari menempuh
perjalanan, sepanjang jalan mereka makan buah-buahan,
adakalanya berburu binatang atau burung, hari ke sebelas
mereka sudah keluar dari wilayah Watsu dan memasuki
propinsi Sinkiang.
1888 Hari itu mereka sedang melanglang di padang rumput, tibatiba
tampak seekor kuda dilarikan kencang bagai terbang,
penunggangnya adalah seorang bocah berusia tiga belasan
tahun. Di belakangnya ada orang mengejar seraya berteriak:
"Siauwya tarik kendalinya, jangan lari sekencang ini."
Penduduk Sinkiang yang dekat perbatasan masih
menggunakan bahasa Mongol, maka Tan dan In tahu maksud
perkataannya. Dari cara lari kuda itu Tan Ciok-sing tahu kuda yang
ditunggangi bocah itu masih liar, meski padang rumput adalah
tanah datar, tapi ada juga batu-batu atau tanah lekukkan
yang bisa membuat kuda tersandung, bila kuda liar
mengumbar adatnya, seorang pawang liehay pun jangan
harap bisa menundukkan dia, apalagi seorang bocah sekecil
itu. Ternyata bocah ini adalah putra seorang pemilik
peternakan di daerah ini, sejak kecil dibesarkan di punggung
kuda, sifatnya suka menang dan sombong, meski tahu kuda
ini masih liar, tapi dasar bersifat angkuh, dia merengek ingin
mencobanya. Orang yang mengejar di belakang itu adalah
salah satu pawang kuda yang bekerja di peternakan ayahnya.
Di punggung kuda si bocah seperti terapung di atas mega
saja, lama kelamaan hatinya menjadi takut, karena takut dia
jadi gugup, teriaknya: "Aku tak berhasil menguasainya, lekas
kau bantu aku." Dasar bocah kalau pawang kuda itu bisa
mengejarnya, buat apa suruh dia menarik kendali dan berhatihati.
Begitu kencang dan liar cara lari kuda itu sehingga kakinya
menendang sebuah batu cukup besar, kuda itu melonjak ke
atas, empat kaki meninggalkan bumi. Jelas si bocah pasti
terlempar jatuh dari punggung kuda.
Untung Tan Ciok-cing datang tepat pada waktunya, begitu
kuda anjlok menyentuh bumi, tali kekang sudah terpegang
oleh tangan kiri, sementara tangan kanan dia tekan
kepalanya. Secara kekerasan kuda itu telah ditahannya hingga
1889 tidak bisa berkutik, kepala tak kuat diangkat semula kakinya
masih mencak-mencak, tapi akhirnya dia hanya meringkikringkik
saja. Dalam pada itu In San telah membopong bocah
itu turun. Saking takut dan kaget pawang kuda itu sudah pucat dan
sengal-sengal melihat majikan mudanya selamat tidak kurang
suatu baru lega hatinya, lekas dia memburu tiba serta
menghaturkan terima kasih.
Tiba-tiba tampak seorang laki-laki suku Uighor
menunggang kuda mendatangi, langsung dia disongsong oleh
bocah laki-laki itu, dengan kaget dan senang dia berteriak:
"Liang-ji, besar betul nyalimu, berani kau menunggang kuda
galak dan masih liar itu, kau tidak jatuh?"
Orang ini adalah pemilik peternakan di daerah ini, bernama
Tuli-bun, bocah yang menunggang kuda liar itu adalah putra
tunggalnya bernama Tuli-liang.
Menghampiri ayahnya Tuli-liang berseru: "Ayah, kuda liar
ini sudah tunduk, tapi bukan jasaku." Lalu mulutnya nyerocos
kilikuluk entah apa yang dikatakan, begitu cepat ungkapan
perkataannya, sehingga Tan Ciok-sing dan In San tidak bisa
menangkap artinya, tapi mereka menduga si bocah sedang
menceritakan kejadian yang dialaminya kepada sang ayah.
Maka Tuli-bun mengeluarkan selembar sapu tangan besar,
dengan kedua tangannya dia persembahkan kepada Tan Cioksing.
Tan Ciok-sing tahu inilah salah satu adat orang-orang
Mongol untuk menyatakan terima kasih dan kehormatan
kepada tamunya, yaitu memberikan 'hata' sebagai tanda tali
persahabatan pula.
Tuli-bun bukan bangsa Mongol, tapi karena dia hidup di
perbatasan yang dekat dengan perbatasan Watsu, maka adat
istiadat itupun sering dipakainya, lekas Tan Ciok-sing
menerima hata itu dengan kedua tangan lalu membalas
1890 hormat dengan membungkuk tubuh, katanya: "Jongcu
(pemilik peternakan), harap jangan terlalu banyak peradatan."
"Kapan aku bisa kedatangan tamu dari jauh, berkat
pertolonganmu pula hingga jiwa putraku selamat, tiada yang
kubawa bisa kuhaturkan sebagai pernyataan terima kasih,
bagaimana kalau kalian mampir ke rumahku menginap
beberapa hari."
"Terima kasih Jongcu, kami tidak tahu sungkan, tawaranmu
kami terima dengan senang hati, biarlah malam ini bikin repot
kalian saja. Tapi kami masih ada urusan, hanya menginap
semalam saja, besok juga harus terus berangkat."
"Lho, kenapa hanya semalam, menurut kebiasaan kami
disini, menyambut kehadiran tamu dari jauh, apapun tidak
bisa hanya menginap sehari semalam. Apalagi kau adalah
penolong jiwa putraku?"
"Sebetulnya ada urusan penting yang harus kami
selesaikan, perjalanan kami masih jauh, maaf waktu tidak
boleh ditunda-tunda."
Ternyata Tuli-bun seorang yang lapang dada, dengan
tertawa dia berkata: "Baiklah, urusan besok biar dibicarakan
besok, mari silakan masuk, malam ini aku akan menjamu
kalian sebagai tuan rumah menyambut tamu-tamunya."
Setiba di peternakan, perjamuan ternyata sudah mulai
dipersiapkan. Setelah membersihkan badan Tan Ciok-sing
berdua dipersilahkan duduk dalam sebuah kemah yang
mewah dengan alas kulit bulu. Hidangannya adalah kambing
utuh yang sedang dipanggang di atas api unggun, ada arak
susu kuda. Beberapa hari ini Tan Ciok-sing dan In San hanya
makan buah-buahan dan daging burung atau kelinci, tuan
rumah begitu ramah lagi, maka merekapun tidak sungkan lagi,
hidangan yang tersedia dimakannya dengan lahap.
Setelah menghabiskan tiga cangkir arak, Tuli-bun berkata:
"Kalian bangsa Han bukan, datang dari mana mau kemana?"
1891 "Ya, kami orang Han datang dari kota raja Pakkhia," sahut
Tan Ciok-sing. Tuli-bun tertawa, katanya: "Apa benar" Wah betul-betul
tamu agung. Terus terang, sudah belasan tahun di tempat kita


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini jarang didatangi tamu bangsa Han, sungguh tak nyana
dalam beberapa hari ini, beruntun kami kedatangan empat
tamu bangsa Han."
In San melengak, katanya: "Beberapa hari yang lalu,
tempat kalian juga kedatangan tamu orang Han?"
"Iya. Kedua tamuku itu seperti juga kalian, muda-mudi,
usianya kira-kira sebaya dengan kalian. Aku ingin tanya
kalian..."
Untuk mendengar dan bicara bahasa Morgol, Tan Ciok-sing
tidak sefasih In San dia sedang mendengarkan dengan
seksama, kuatir mendengar tidak lengkap. Tapi sebelum Tulibun
habis bertanya, putranya Tuli-liang telah merebut tanya:
"Toako orang Han, apa kau pandai meniup seruling?"
Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Aku hanya mahir memetik
harpa, sayang tidak bisa meniup seruling, Kenapa kau tanya
aku pandai tidak meniup seruling?"
Tuli-liang berkata: "Orang Han yang datang dua hari yang
lalu pernah membawakan sebuah lagu dengan alat musik
sebatang bambu, begitu merdu tiupan lagunya, waktu
kutanya, dia menjelaskan bahwa yang dibuat tiupan itu
bernama 'seruling'. Aku senang memainkan alat musik seperti
itu, kukira setiap orang Han pasti pandai meniup seruling.
Harpa itu juga sebuah alat musik bukan, mirip tidak alat gesek
kepala kuda milik kita, kapan kau memetik harpamu itu?"
Mendengar orang Han yang bertamu dua hari yang lalu
pandai meniup seruling, saking senang Tan Ciok-sing sampai
menjublek. Sehingga perkataan akhir dari si bocah tidak
diperhatikan. 1892 Tuli-bun mengomel: "Orang tua sedang bicara, anak-anak
tidak boleh menimbrung. Sampai dimana aku tadi bicara?"
In San berkata: "Kau ada sesuatu yang ingin tanya kepada
kami?" "Betul. Memang aku ingin tanya, bukankah kalian ingin
pergi ke Thian-san?"
"Jongcu," ucap In San heran, "darimana kau tahu?"
"Kedua tamu Han yang datang duluan itupun hendak pergi
ke Thian-san."
"Pernahkah mereka bercerita apa-apa?" tanya Ciok-sing.
"Agaknya kalian kenal baik dengan mereka" Jadi orang
yang mereka cari pasti kalian. Mereka tanya apakah aku
pernah melihat sepasang muda mudi bangsa Han yang sebaya
mereka." "Betul. Mereka memang sahabatku. Tapi aku tidak nyana
mereka bisa berada disini."
Maklum orang Han yang pandai meniup seruling dan
mencari mereka jelas adalah kenalan baik, lalu siapa lagi kalau
bukan Kek Lam-wi.
In San berkata: "Gadis yang mendampingi Kek-toako jelas
adalah Toh So-so cici, Jongcu, mereka menyebutkan namanya
tidak?" "Nama bangsa Han kalian aku susah mengingatnya, bahasa
Mongol mereka tidak sefasih kalian, hingga aku tidak jelas
tentang nama mereka. Tapi dalam rumahku ada orang yang
pandai bic Kisah Pendekar Bongkok 5 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 22
^