Pendekar Pemetik Harpa 4

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 4


puran sengit itu,
beruntun terdengar suara mendesis, pakaian Tan Ciok-sing
ternyata tersayat sobek, lengan bajunya tertabas jatuh
sebagian, sobekan yang melayang jatuh ini terkoyak-koyak
kecil beterbangan pula oleh samberan golok ketiga orang itu.
181 Tapi karena gerakan golok teramat cepat, meski pakaian
tersayat sobek, kulit dagingnya tidak sampai terluka. Kalau
sebelum ini, menghadapi detik-detik yang berbahaya ini
betapa pun besar nyalinya, terang dia sudah gugup dan
ketakutan. Kini sedikitpun dia tidak terpengaruh malah seperti
tidak merasakan sama sekali akan ancaman bahaya, setelah
bertempur seratusan jurus permainan goloknya malah
semakin lancar dan mahir, gerak permainan yang semula kaku
lama kelamaan menjadi wajar dan liehay, semakin
dipraktekkan, semakin banyak dan mendalam pula hasil yang
dapat diselaminya.
Dalam pertempuran memperebutkan antara hidup dan mati
ini, mendadak Tan Ciok-sing menggerung keras, jurus Hunmo-
sam-bu dilancarkan pula, dimana golok pusakanya
terayun. Jurus Hun-mo-sam-bu yang sama namun setelah
dilancarkan untuk yang kedua kalinya oleh Tan Ciok-sing
ternyata perbawanya jauh lebih hebat dari yang pertama tadi.
Sekonyong-konyong cahaya golok bertambah terang
bertaburan seperti tabir bintang, maka terdengarlah lengking
jerit yang menyayat hati, laki-laki pendek yang menyerang
dari arah depan itu lengan kanannya kena tertabas buntung,
kontan dia roboh kelejetan Sementara laki-laki di sebelah kiri
golok bajanya terbabat putus jadi dua, telapak tangannya
tergetar pecah berdarah, sedangkan laki-laki di sebelah kanan
kena disodok Ih-khi-hiatnya oleh gagang pedang Tan Cioksing,
saking kesakitan dia melengking sambil memeluk perut.
Tanpa hiraukan temannya yang terluka, kedua orang ini lekas
melarikan diri sambil menahan sakit.
Selama ini belum pernah membunuh orang, kini mendadak
dia memperoleh kemenangan setelah mengalami pertempuran
sengit, sungguh tidak pernah terpikir olehnya bahwa
permainan goloknya tadi mempunyai kekuatan sehebat itu,
maka dengan mendelong dia mengawasi saja laki-laki yang
buntung lengannya terguling-guling di depannya.
182 Meski dikerubut serta kerepotan, tapi pandangan dan
pendengaran Hek-moko tetap memperhatikan keadaan
sekitarnya, melihat Tan Ciok-sing berhasil mengalahkan
lawannya, segera dia berteriak: "Tidak lekas lari tunggu apa
pula" Mau kemana kau pergi boleh terserah, aku punya akal
untuk mencarimu."
Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, dilihatnya Hek-pekmoko
masih terkurung dalam barisan golok musuh, antara
sinar terang dan cahaya coklat selalu berkutet dan timbul
tenggelam, kedua pihak bergelut dengan seru dan sengit.
Maklum taraf kungfunya masih rendah, tidak bisa dia
membedakan pihak mana bakal unggul dan asor. Pikirnya:
"Gelagatnya Hek-pek-moko masih kuat bertahan dan tak
mampu menjebol kepungan, tapi mereka takkan mudah
dikalahkan. Setelah aku menyingkir dari sini, mereka tidak
perlu kuatir akan keselamatanku, mungkin mereka akan
bertempur lebih terkontrol," hatinya kini betul-betul sudah
kagum dan terima kasih pada Hek-pek-moko, apa yang
dikatakan orang sudah dipercaya seratus persen. Batinnya:
"Dia bilang akan bisa menemukan aku, pasti akan bisa
bertemu lagi. Ginkang mereka begitu bagus, asal bisa
menjebol kurungan, memangnya mereka tak mampu
menyusul aku?"
Karena musuh berada di depan mata pula, sudah tentu dia
tidak berani membocorkan jejak Thio Tan-hong, maka dia
berkata: "Baiklah, kutunggu kalian di tempat tujuanku," lalu
dia lari kencang turun gunung. Kini dia sudah percaya penuh
bahwa Hek-pek-moko adalah teman baik Thio Tan-hong,
maka dia kira bahwa merekapun pasti sudah tahu kalau Thio
Tan-hong sekarang semayam di Ciok-lin, dia yakin Hek-pekmoko
pasti maklum kemana juntrungan kata-katanya.
Seperti baru bermimpi buruk, setelah berlari sekian
lamanya, suara dencing senjata beradu tak terdengar lagi,
pikirnya: "Manusia memang tidak boleh dinilai dari
183 tampangnya, semula kukira kedua kakek tua ini adalah
gembong penjahat, siapa tahu mereka justru menyelamatkan
jiwaku. Betapa menyenangkan bila aku bisa pergi ke Ciok-lin
menemui Thio Tayhiap bersama mereka?"
Waktu dia lari menuruni lereng gunung, mendadak di
dengarnya dari semak-semak rumput sana ada rintihan orang.
Tan Ciok-sing tak kuasa menghentikan daya larinya yang
menurun, kakinya hampir saja menendang tubuh seseorang,
tapi kedua kakinya tiba-tiba dipeluk orang itu, karuan
kagetnya bukan main, waktu dia menunduk, di tengah
keremengan cahaya bulan masih dikenalinya orang yang
memeluk kakinya adalah anak buah Ie Cun-hong yang tadi
dilempar ke bawah lereng oleh Hek-pek-moko. Luka-lukanya
amat parah, terutama kedua kakinya putus, namun dengan
kencang dia peluk kedua kaki Tan Ciok-sing.
Tan Ciok-sing menaruh belas kasihan dan tidak tega
melihat keadaannya, segera dia berjongkok sambil keluarkan
Kim-jong-yok mengobati luka dan
menyambungkan tulang kakinya, orang itu menjadi terharu
dan berterima kasih akan kebaikan hati si pemuda, setelah dia
tahu kemana arah tujuan si pemuda, segera dia memberi
petunjuk ke arah mana dia harus menempuh perjalanan.
Sesuai petunjuk orang ini dengan leluasa Tan Ciok-sing
turun gunung terus menuju ke barat. Tujuannya adalah Cioklin
yang berada di Hun-lam, arahnya tepat ke arah barat.
Hari kedua pagi-pagi benar Tan Ciok-sing sudah tiba di
bawah gunung, angin gunung menghembus sepoi-sepoi, kicau
burung terdengar merdu, sesaat dia berhenti dan pasang
kuping dengan cermat suara pertempuran jelas tidak
terdengar dari tempat sejauh ini. Tanpa merasa gundah dan
was?was perasaan hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Kedua kakek
bangsa Thian-tiok apakah bisa lolos dari bahaya?" Tapi
teringat akan dendam sakit hati sendiri, sekali-sekali dia tidak
boleh berada di tempat berbahaya ini. Ie Cun-hong punya
184 anak buah sebanyak itu, tersebar luas lagi, umpama Hek-pekmoko
mampu mengalahkan mereka, sukar juga untuk
memberantas musuh yang banyak. Bila beberapa di antaranya
yang lolos melarikan diri turun gunung dan kepergok dirinya,
akibatnya bisa celaka.
Mumpung hari masih pagi dan penduduk kampung belum
banyak yang keluar, segera ia kembangkan ginkang, sekaligus
dia berlari dua tiga puluh li, akhirnya dia memasuki sebuah
kota kecil, disini dia mampir ke kota membeli dua perangkat
pakaian serta sarapan pagi sekenyangnya, lalu melanjutkan
perjalanan ke barat pula, Tan Ciok-sing terus maju menempuh
perjalanan dengan perasaan tidak tenang, beruntung dia tidak
pernah mengalami rintangan pula. Sebelum matahari
tenggelam dia sudah menempuh perjalanan seratus li jauhnya.
"Semoga Thian memberi pelindungan, dengan selamat aku
bisa tiba di Ciok-lin dan menemukan Thio Tan-hong yang
dijuluki jago pedang nomor satu pada jaman ini, dia bertekad
untuk belajar Kungfu sampai berhasil, pulang untuk menuntut
balas. Tapi dia dengar usia Thio Tan-hong sudah amat lanjut,
apakah dia masih hidup" Kedua kakek Thian-tiok itu adalah
teman Thio Tan-hong dan In Tayhiap, jikalau aku bisa
bertemu pula dengan mereka, akan kumohon petunjuk dan
ajaran kepandaian mereka, tentunya mereka tidak akan
menampik" angan-angan Tan Ciok-sing memang merasuk
hati, tapi apa yang harus dia hadapi kemudian sungguh
menjadi kecewa.
Perjalanan terus dilanjutkan ke arah barat, hari ini adalah
yang ketiga. Sepanjang jalan tetap selamat, namun dia belum
juga bertemu dengan Hek-pek-moko. Di kala dia berayun
langkah dengan hambar itulah, mendadak dia dengar seorang
berteriak: "Haya, kau, bukankah kau ini adik cilik pemetik
harpa itu" Sungguh iak nyana bertemu pula dengan kau."
Waktu Tan Ciok-sing berpaling, tampak seorang pemuda
berpakaian pelajar tengah mempercepat langkahnya memburu
185 ke arah dirinya. Meski bukan Hek-pek-moko, Tan Ciok-sing
sedikit kecewa, tapi karena pertemuannya yang tidak terduga
dengan pemuda pelajar ini, rasa gundah dan was-wasnya
selama ini agak terhibur juga.
Pemuda pelajar ini bukan lain adalah siucay yang pernah
jumpa di warung makan tempo hari, orang memberi dua tahil
perak setelah dia membawakan sebuah lagu di bawah iringan
dan petikan harpa, dia hanya tahu orang dipanggil Liongsiucay.
"Liong-siangkong," kata Tan Ciok-sing menghentikan
langkah, "aku belum mengucapkan banyak terima kasih akan
kejadian tempo hari itu."
Pelajar itu berkata tertawa: "Hari itu aku betul-betul
menguatirkan keadaanmu, tak nyana kecuali kau pandai
memetik harpa, ilmu silatmu ternyata juga hebat. Setelah kau
lolos dari kerubutan orang-orang jahat itu, baru legalah
hatiku. Oh, ya, aku belum berkenalan dengan nama dan shemu."
Tahu bahwa dirinya adalah anak gunung yang masih bau
pupuk bawang, belum pernah kecimpung di dunia Kangouw
lagi, dalam kalangan bulim jelas takkan ada orang yang kenal
dirinya, kalau pelajar ini tahu namanya pasti juga tidak jadi
soal, maka dia bicara sejujurnya. Pelajar itu segera
memperkenalkan diri pula: "Aku she Liong, bernama Seng-bu.
Boleh kau panggil namaku atau panggil Liong-toako juga
boleh." "Aku ini kan anak rudin, mana berani aku menjajarkan diri
dengan dirimu," ujar Tan Ciok-sing.
Berkerut alis Liong Seng-bu, katanya: "Kalau demikian kau
anggap aku ini orang apa" Bersahabat tidak perduli tinggi
rendah kedudukan, apalagi kau pandai bermain Kungfu, bicara
terus terang, malah kuatir tak sebanding bersahabat dengan
dirimu." 186 "Paling aku pernah belajar beberapa gerakan cakar kucing,
mana boleh dikata membekal Kungfu segala?" kata Ciok-sing
tertawa. "Soal Kungfu aku ini termasuk orang luar, Kungfu yang
pernah kau pamerkan hari itu, cukup membuat aku kagum
dan tunduk lahir batin. Tapi kepandaian yang kumaksud akan
dirimu bukan soal Kungfu saja, kemahiranmu memetik harpa
itu juga termasuk keahlian yang tak ada bandingannya. Terus
terang hobyku juga bermain catur, melukis dan memetik
harpa. Guru-guru ahli musik atau ahli pemetik harpa yang
kukenal tidak sedikit, tapi tiada seorangpun yang mampu
menandingimu."
Mendengar orang memuji kepandaian dirinya memetik
harpa, Tan Ciok-sing merasa orang sehoby dirinya, katanya:
"Liong-siangkong terlalu memuji."
"Lho, kenapa memanggilku Liong-siangkong segala" Kalau
sudi sukakah kau memanggil aku Liong-toako saja."
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi Tan Ciok-sing
memanggilnya, "Liong-toako, dimanakah
alamatmu. Kelak kalau aku lewat ke kotamu, pasti aku
mampir ke rumahmu," secara tidak langsung dia hendak pamit
untuk berpisah.
"Kenapa terburu-buru, adik cilik, kau mau kemana?" tanya
Liong Seng-bu. Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak mau menceritakan
tujuannya ke Ciok-lim mau menemui Thio Tan-hong, setelah
berpikir dia berkata: "Aku ini hanyalah bocah yang mencari
nafkah dengan menyanyi dan memetik harpa, empat penjuru
lautan ini adalah rumahku, tiada tujuan tertentu yang menjadi
arah perjalananku."
"Kalau kau tiada tujuan tertentu, ingin aku berunding
dengan kau."
187 "Berunding soal apa?"
"Ingin aku mengundangmu ke tempat tinggalku, angkat
kau sebagai guru, entah kau sudi atau tidak?"
"Kepandaianku serendah ini mana pantas menjadi guru"
Liong-toako, banyak terima kasih akan bantuanmu,
kebaikanmu akan kuukir dalam benakku."
"Usiamu memang lebih muda, jaman dulu ada juga bocah
yang pernah menjadi sarjana, kau kan punya keahlian, kenapa
begini sungkan. Adik cilik, setulus hati aku suka mengangkat
kau sebagai guru, jikalau kau tidak percaya, sekarang juga
boleh aku berlutut kepadamu."
Tan Ciok-sing tersipu-sipu mencegah orang, katanya:
"Bukan sungkan, aku tahu apa yang aku bisa sekarang belum
matang betul. Dan lagi aku sudah biasa kelana di Kangouw,
tidak kerasan kalau menetap pada suatu tempat."
Melihat orang menolak dengan tegas, dibujuk juga tetap
tidak mau, mendadak Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Siausuhu,
kalau kau tidak mau menetap di rumahku, terpaksa biar
aku yang mengikuti kau saja."
Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Kau ini seorang pelajar,
mana boleh berkelana di Kangouw bersamaku?"
"Pangkat dan harta tidak terpandang di mataku, kapan aku
bisa bertemu dengan guru harpa seahli dirimu. Hari ini setelah
kutemukan, bagaimana juga aku tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan ini."
Tan Ciok-sing berterima kasih akan tekad dan ketulusan
hatinya, tapi betapapun dia tidak boleh selalu mengikuti
diriku" Sesaat dia jadi bingung dia seperti merengek: "Mana
boleh" Bagaimana mungkin?"
"Kenapa tidak mungkin?" tanya Liong Seng-bu.
"Kau punya pekerjaan, aku juga punya urusan!"
188 "Kau punya urusan apa?"
"Aku harus berkelana mencari sesuap nasi dengan harpaku,
kau harus belajar mengikuti ujian, kalau tidak pulang apakah
kau tidak jadi kapiran nanti?"
"Tadi sudah kukatakan aku tidak gila pangkat dan harta.
Tentang kau mencari nafkah, kukira tidak akan menjadi
persoalan, kalau aku belajar kepadamu, kan menjadi


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kewajibanku untuk meladeni guru?"
"Tidak, tidak bisa," ucap Tan Ciok-sing geleng kepala,
"tetap tidak bisa."
"Kenapa tetap tidak bisa?"
"Kau keluar kali ini tentunya punya sesuatu urusan, mana
bisa kau ingin ikut aku lalu bersikap sekukuh ini?"
"O, jadi kau kuatirkan hal ini atas diriku. Bicara terus
terang, aku ini suka melancong, kali ini meninggalkan rumah,
seperti juga dirimu, tanpa tujuan tertentu, kemana kaki
melangkah ke situlah aku pergi, dimana ada pemandangan
bagus, disana aku akan tinggal beberapa hari. Hehehe
bukankah ini cocok dengan tabiatmu?"
"Apalagi dari pada kau menempuh perjalanan seorang diri,
bukankah lebih baik punya teman?" demikian kata Liong Sengbu
lebih lanjut, "Setiap waktu bila kau merasa senang, boleh
kau ajarkan aku cara memetik harpa."
Tan Ciok-sing memang anak gunung yang masih hijau
plonco tidak punya pengalaman lagi, karena kalah debat
akhirnya dia berkata: "Baiklah, kita boleh seperjalanan, aku
akan ajarkan memetik harpa, kau mengajar beberapa huruf
kepadaku. Toako, kemana kau hendak melancong?"
"Daerah ini termasuk perbatasan Hun-lam dan Kwi-ciu,
bagaimana kalau kita keliling ke tempat-tempat wisata. Lusa
kita mampir ke Gun-bing, lalu melancong pula ke Tayli." Di
tengah jalan Tan Ciok-sing sudah mencari tahu, bahwa letak
189 Ciok-lin berada di karisidenan Lok-lam kira-kira dua ratus li di
selatan Gun-bing.
"Boleh saja, hayolah berangkat," kata Tan Ciok-sing.
Sengaja dia berjalan dengan langkah lebar, maksudnya
supaya pelajar ini memburunya, kalau sedikit tersiksa tentu
orang akan kapok, Liong Seng-bu memang berjalan cepatcepat
sampai napasnya ngos-ngosan, akhirnya. Tan Ciok-sing
sendiri yang merasa tidak tega lalu memperlambat langkahnya
mengiringinya. Begitulah jalan berhenti, berhenti jalan pula,
hari itu mereka hanya menempuh tujuh puluhan li, ternyata
Liong Seng-bu tidak pernah mengeluh, kalau malam menginap
di hotel, sikapnya tetap gagah bergairah, tidak kelihatan lelah,
bersenda gurau dan bercakap riang gembira.
"Liong-toako," kata Tan Ciok-sing tertawa, "tidak duga,
kaupun kuat berjalan."
"Sering aku melancong seorang diri, maka aku lebih kuat
dari pada kaum pelajar umumnya. Kepandaian begini bagus
siapa yang mengajarkan kau?"
"Aku ini anak gunung, sejak kecil diasuh oleh kakek,
beliaulah yang mengajar aku, tahun ini kakek telah meninggal,
terpaksa aku kelana di Kangouw mencari sesuap nasi."
"Jadi kakekmu yang mengajar harpa dan ilmu silat. Entah
siapakah nama besar kakekmu" Sudilah kau memberitahu?"
"Biasanya orang memanggil beliau Ki Harpa. Siapa
namanya aku pun tidak tahu," teringat akan kematian
kakeknya, tanpa merasa berkaca-kaca bola mata Tan Cioksing.
"Adik cilik, hal apa yang kau sedihkan?" tanya Liong Sengbu.
"Tidak apa-apa, aku teringat pada kakek, Liong-toako, biar
kupetikkan sebuah lagu untuk kau dengar."
190 Liong Seng-bu tersentak sadar, pikirnya: "Benar kalau aku
terlalu banyak mengajukan pertanyaan, mungkin dia bisa
curiga padaku," maka dia lantas berkata: "Baiklah,
memangnya aku kan ingin belajar padamu."
Mereka menginap semalam, hari kedua melanjutkan
perjalanan ke arah barat. Liong Seng-bu tidak pernah tanya
soal pribadinya lagi, yang diperbincangkan hanya soal seni
lukis dan kesastraan melulu. Tan Ciok-sing sendiri juga tidak
sedikit memungut hasil.
Seperjalanan dengan orang, di samping kuatir orang tanya
tentang riwayat hidupnya, Tan Ciok-sing juga kuatir bila dia
kebentur dengan Hek-pek-moko bagaimana baiknya" "Aku tak
mungkin menjelaskan padanya, bila tiba saatnya terpaksa biar
ku tinggal dia pergi ikut Hek-pek-moko saja," demikian pikir
Tan Ciok-sing. Kira-kira setengah bulan mereka seperjalanan, tanpa
merasa hari itu mereka telah tiba di Gun-bing, tapi jejak Hekpek-
moko tidak muncul juga.
Cuaca kota Gun-bing sepanjang tahun seperti musim semi.
Kotanya makmur, pusat perdagangan dan kebudayaan lagi.
Tan Ciok-sing terpesona waktu memasuki kota budaya ini.
Melihat dia senang, Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Bagus
tidak kota ini, biarlah kita tinggal beberapa hari sambil plesir di
kota ini," setelah berputar kayun setengah harian dalam kota,
akhirnya mereka menetap di sebuah hotel besar yang terletak
di pusat kota Hari kedua Liong Seng-bu sudah membuat rencana untuk
tamasya, pagi pergi ke Toa-koan-wan sorenya pergi ke Saysan.
Kedua tempat ini merupakan pusat keramaian dari kota
Gun-bing, Agaknya Liong Seng-bu memang sudah biasa
berpetualang, disini dia menjadi petunjuk dan pandai
menceritakan seluk beluk dan asal-usul tempat-tempat yang
mereka kunjungi.
191 Pada saat mana mereka berada di suatu tempat yang
bernama Liong-bun (pintu naga), entah benar-benar lelah
atau hanya beraksi Liong Seng-bu berhenti serta berdiri
menggelendot di pagar, katanya: "Siau-suhu, beberapa hari
ini, aku sampai tak sempat belajar harpa lagi dengan kau,
mumpung di tempat sejuk dan sepi ini, bagaimana kalau kita
bermain disini?" lalu Liong Seng-bu pinjam harpa Tan Cioksing
terus ditabuhnya, dia membawakan sebuah lagu
kenangan seorang jejaka yang jatuh cinta terhadap seorang
gadis yang dipujanya, sayang dia tidak memperoleh
tanggapan yang diharapkan.
"Cinta juga termasuk seni, dengan irama musik dapat
menyatakan makna cinta, apakah lagu yang kau mainkan tadi
adalah apa yang terkandung dalam sanubarimu?" demikian
kata Ciok-sing tertawa.
"Betul. Aku tahu, aku tidak setimpal jadi jodoh nona itu,
maka tak berani aku nyatakan isi hatiku."
"Liong-toako, orang setampan kau, pandai tulis pintar
membaca, gadis cantik mana yang tidak setimpal jadi
jodohmu, kenapa kau merendahkan diri?"
"Gadis yang kupuja itu di samping pandai sastera, dia pun
ahli silat pula Siau-suhu, kaupun pandai Kungfu sudikah kau
mengajarkan kepadaku, atau berilah petunjuk supaya aku
dapat belajar pada seorang tokoh kosen?"
"Apakah dia hendak mengorek isi hatiku?" demikian batin
Tan Ciok-sing, "tapi melihat sikap orang yang tulus dan
sungguh-sungguh, diam-diam dia salahkan jalan pikirannya
yang tidak genah ini. Katanya dengan tawa getir: "Aku sendiri
juga ingin belajar lebih tinggi, toh sejauh ini tak berhasil aku
menemukan jago kosen."
"Siau-suhu, adakah jago kosen siapa yang sudah menjadi
pilihanmu?" tanya Liong Seng-bu.
192 Tan Ciok-sing mengelak, katanya: "Aku toh belum
berkecimpung dalam bulim, siapa saja jago-jago kosen dalam
bulim ini, hakikatnya aku tidak tahu. Dan lagi jago kosen
hanya bisa di temukan secara kebetulan, tak mungkin diburuburu,
sebelum ini cara bagaimana aku bisa tahu kepada siapa
aku harus belajar?"
Liong Seng-bu seperti kecewa, katanya lesu: "Adik cilik,
memang betul ucapanmu. Biarlah aku berdoa semoga kelak
aku bisa menemukan seorang jago kosen dan mengangkat
guru kepadanya."
"Lebih baik kita tetap belajar harpa saja, Liong-toako
petikan harpamu sudah bertambah maju, kini marilah
kugantikan, coba kubawakan syair lagu hasil ciptaanmu,
kemarilah."
Setelah menyambuti harpa, Tan Ciok-sing duduk
mendeprok lalu mulai menyetem serta siap membawa
lagunya. Di kala mereka asyik dan tenggelam dalam alunan irama
harpa, mendadak terdengar seorang tarik suara keras-keras
terus berkaok-kaok dengan suara kasar dan serak, suaranya
sumbang menusuk pendengaran, konsentrasi Tan Ciok-sing
sampai buyar dan menghentikan petikannya.
Tampak dari ujung pengkolan sana tiba-tiba muncul dua
orang laki-laki yang bertampang kriminil. Berkerut kening
Liong Seng-bu, katanya: "Menyebalkan."
"Apa menyebalkan?" seru salah seorang laki-laki itu,
"kepada siapa kau tujukan ucapanmu?" dengan langkah lebar
dia terus menumbuk ke arah Liong Seng-bu.
Jalanan gunung yang sempit terletak di atas ngarai ini
memangnya licin dan membelakangi jurang, Liong Seng-bu
berdiri membelakangi jurang, meki di belakangnya ada pagar,
kalau di tumbuk bukan mustahil dia bisa terjungkel ke bawah
jurang! Karuan Tan Ciok-sing kaget, namun hendak menolong
193 Liong Seng-bu jelas tidak keburu lagi, sementara seorang laki
yang lain juga menumbuk ke arah dirinya. Lekas Tan Ciok-sing
angkat harpanya seraya bergerak dengan Hud-in-jiu, sekali
putar tahu-tahu dia seret orang itu lewat ke samping terus
menyelonong ke belakang.
Ilmu silat orang ini agaknya lumayan juga, meski badan
kehilangan keseimbangan, tapi sekaligus dia doyongkan badan
sambil angkat sebelah kakinya mendepak, sebelah kakinya
pula menggantol ke tumit Tan Ciok-sing maksudnya hendak
menjegalnya jatuh.
Untung bekal kepandaian Tan Ciok-sing sekarang tidak
serendah beberapa bulan yang lalu, dalam keadaan kritis ini,
gerakannya masih cepat lagi, sambil merendahkan pundak,
sikutnya bekerja, "Buk" kaki orang memang menggantol
kakinya, tapi sebelum lawan kerahkan tenaga, dadanya sudah
kena disikut sampai terjerumus jatuh terguling ke jalanan
sempit yang menurun ke bawah sana.
Waktu Tan Ciok-sing memutar badan, apa yang dilihatnya
membuat hatinya mencelos. Yang dilihatnya kiranya laki-laki
kasar itu sedang jatuh celentang di tanah,* sementara
bayangan Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi.
Cepat sekali laki-laki ini sudah melejit berdiri, sikapnya
sudah siap menggasak Tan Ciok-sing pula tapi ragu-ragu.
Agaknya dia melihat temannya yang terguling-guling itu, maka
tidak berani bertindak pula secara semberono.
Jarak kira-kira ada tiga tombak, angin pukulan menyampuk
muka menimbulkan rasa pedas dan panas. Kuatir bukan
tandingan lawan, lekas Tan Ciok-sing mencabut golok, sekali
ayun dia membelah sebuah batu gunung yang besar serta
membentak: "Mari maju ingin aku tahu apakah batok
kepalamu lebih keras dari batu ini."
194 Betapa tajam golok pusaka Tan Ciok-sing ini, karuan lakilaki
itu ciut nyalinya, tanpa berani bersuara segera dia putar
tubuh angkat langkah seribu.
Setelah kedua orang kasar itu dipukul kabur, baru Tan
Ciok-sing mendengar teriakan Liong Seng-bu: "Adik cilik,
tolong, tolong."
Waktu menengok keluar pagar, dilihatnya Liong Seng-bu
bergantung di atas jurang, sebelah tangannya menangkap
kaki sebatang cagak besi dari pagar gunung. Lekas Ciok-sing
mencopot kain sabuknva, kedua kaki menggantol pagar besi,
segera dia ulurkan kain sabuknya ke bawah, untung panjang
sabuk kainnya pas-pasan mencapai tempat dimana Liong
Seng-bu bergelantung di udara.
Pucat dan ketakutan yang teramat sangat membuat Liong
Seng-bu tak kuasa bicara untuk sekian lamanya. Setelah
napas teratur dan perasaan tenang kembali, baru dia ingat
mengucapkan terima kasih kepada Tan Ciok-sing.
"Liong.toako," kata Tan Ciok-sing, "peristiwa ganjil ini agak
mencurigakan."
"Memangnya, kita tidak pernah bermusuhan dengan
mereka sungguh aku tak habis mengerti kenapa mereka
membuat gara-gara, syukur Tuhan masih melindungi, kalau
tidak tentu aku sudah hancur lebur di jurang sana."
"Liong-toako, kau terluka tidak?"
"Syukur hanya lecet sedikit. Waktu orang tadi menumbuk
datang, aku sempat mendengkul perutnya, tapi aku sendiri
terjungkel ke bawah, untung aku sempat meraih cagak besi.
Adik cilik, kepandaianmu memang hebat, kedua orang kasar
itu kena kau pukul pergi."
"Bukan kepandaianku tinggi, mereka takut pada golokku
ini," demikian ujar Tan Ciok-sing, terbayang kejadian tadi, rasa
curiganya timbul lagi. Pikirnya: "Kalau tiga bulan yang lalu,
195 mungkin aku sudah celaka. Liong-toako katanya tidak bisa
silat, tapi setelah disergap orang yang pandai Kungfu, jiwanya
masih selamat, sungguh aneh bin ajaib."
"Adik cilik," tanya Liong Seng-bu, "harpamu tidak rusak?"
Mencelos hati Tan Ciok-sing, lekas dia periksa harpanya
dengan teliti, akhirnya menghela napas, katanya: "Untung
tidak kurang apa?-apa."
"Say-san masih banyak lagi tempat tamasya, setelah
kejadian yang tidak menyenangkan ini, jadi lenyap seleraku
untuk melancong. Hayolah kita pulang saja," sepanjang jalan
ini Liong Seng-bu seperti khawatir bila kedua laki-laki kasar itu
akan mengejar lagi, maka sikapnya tampak gugup dan sering
celingukan, langkahnyapun buru-buru.
Tapi Tan Ciok-sing diam-diam membatin: "Kalau benar
kedua orang itu tiada bermusuhan dengan Liong-toako,
kenapa mereka bertindak sekasar ini, kan tidak pantas
bertujuan jahat" Tapi bukan mustahil tujuan mereka adalah
diriku. Mungkinkah mereka anak buah Ie Cun-hong?" sulit
juga Tan Ciok-sing memperoleh jawaban dari rekaannya,
diam-diam dia malah sedikit menyesal dan merasa bersalah
terhadap Liong Seng-bu yang harus ikut ketimpa bahaya.
Pikirnya: "Kalau betul dugaanku, bukankah aku yang
membikin Liong-toako turut susah?"
Setelah tiba di hotel baru Liong Seng-bu tampak lega dan
dapat bicara dengan tertawa, katanya: "Adik cilik, hari ini aku
terhindar dari kematian, kaupun dibuat kaget, marilah kita
minum beberapa cawan untuk menenangkan hati."
Entah karena kebanyakan minum atau karena terlalu lelah


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan rasa ketakutan yang menghantui hatinya, setelah makan
malam Liong Seng-bu terus menutup diri dalam kamar dan
tidur dengan nyenyak, dengkur pernapasannya lambat dan
teratur. 196 Tapi Tan Ciok-sing malah gundah gulana tidak bisa
memejamkan mata. Tanpa terasa didengarnya suara
kentongan tukang ronda yang mundar-mandir di jalan raya
sebanyak tiga kali, berarti hari sudah menjelang subuh.
Tan Ciok-sing bangun perlahan-lahan lalu mengenakan
bajunya, dengan suara lirih dia memanggil "Liong-toako" dua
kali, tapi dengkur Liong Seng-Bu masih sekeras babi, jelas
tidak mudah untuk membangunkannya.
Pikiran Tan Ciok-sing kalut seruwet benang, pikirnya:
"Sebetulnya aku masih bisa menemani Liong-toako beberapa
hari lagi, tapi biarlah aku berangkat sendiri saja lebih cepat
lebih baik. Yang terang kapan saja aku toh harus berpisah
dengan dia. Laki-laki kasar itu kalau hendak mencari setori
padaku, Liong-toako tentu tidak akan diapa-apakan."
Tengah dia menimbang-nimbang apakah dia perlu
meninggalkan tulisan untuk memberi penjelasan kepada Liong
Seng-bu, tiba-tiba daun jendela yang tertutup itu menjeplak
terbuka sendiri, selarik sinar tampak meluncur dan "Trak"
sebuah pisau belati yang tajam kemilau tahu-tahu menancap
di atas meja, di ujung belati yang menancap meja tertusuk
secarik kertas surat.
Mengira musuh telah meluruk datang, lekas Tan Ciok-sing
ambil surat itu serta dibuka sampulnya, pikirnya: "Begini lebih
baik, aku jadi terang duduknya persoalan," tapi setelah dia
membaca isi suratnya, sungguh amat diluar dugaannya. Surat
itu bukan ditujukan dirinya, tapi ditujukan kepada Liong Sengbu
malah. Tulisan surat ini miring dengan . gaya yang tidak karuan,
jelas ditulis orang kasaran, bunyinya demikian: "Liong-san,
kebetulan kau berada di Gun-bing, perhitungan lama kita
harus lekas diselesaikan. Kalau kau berani, kita janji bertemu
di Liong-bun. Aku tidak akan membawa anak buah, kita
bertanding satu lawan satu. Kuperingatkan kepadamu untuk
197 terakhir kali, mau lari kau tidak akan lolos dari pengawasanku,
kuharap kau tahu diri."
Sebetulnya Tan Ciok-sing siap meninggalkan Liong Seng-bu
secara diam-diam, setelah membaca surat ini, sesaat dia
melenggong Tiba-tiba sebuah tangan menyelonong dari
belakang merebut pucuk surat yang dibacanya, kata orang di
belakangnya: "Adik cilik, bikin kaget kau saja," entah kapan
ternyata Liong Seng-bu sudah bangun dan tahu-tahu berdiri di
belakang. "Maaf Liong-toako, surat ini untuk kau, aku tidak tahu
barusan sudah kubuka dan kubaca."
Setelah membaca surat itu, berubah hebat muka Liong
Seng-bu, katanya sesaat kemudian: "Adik cilik, ada sebuah
hal, kuharap kau suka memaafkan diriku. Kukatakan aku tidak
pandai silat, ini memang aku menipumu. Kelihatannya aku
seperti Siucay, yang benar akupun kaum persilatan."
"Kemarin kau tidak terluka apa-apa, memangnya aku sudah
curiga. Tapi aku tak habis mengerti, apa sebetulnya yang
pernah terjadi?"
"Panjang ceritanya, pendek kata aku pernah berbuat salah
terhadap seorang jahat yang memiliki kepandaian tinggi,
kedua orang yang di Liong-bun tadi hanyalah anak buahnya
saja." "Lalu siapa yang mengirim surat ini?" tanya Tan Ciok-sing.
"Pasti anak buahnya juga. Orang jahat itu terlalu tinggi
hati, caranya keji, hatinya kejam, dia memang yakin bahwa
aku tidak akan lolos dari telapak tangannya, maka dia
mengundang untuk bertanding satu lawan satu. Agaknya dia
sengaja supaya aku banyak menderita lahir batin baru akan
membunuhku."
198 "Undangannya itu jelas tidak bermaksud baik. Kalau kau
memang bukan tandingannya, lebih baik kau tidak usah tepati
undangannya."
"Tiada gunanya, anak buahnya tersebar dimana-mana,
kemana aku lari tetap kecari juga. Umpama hari ini aku
berhasil lolos besok juga pasti harus membuat perhitungan.
Kecuali ada seorang jago kosen yang sudi membantuku."
"Sayang, besar keinginanku membantu apa daya tenaga
tak sampai. Musuhmu itu pasti teramat liehay, kedua anak
buahnya tadi, akupun bukan tandingan mereka."
"Aku tahu. Bicara terus terang, aku bersahabat dengan
kau, maksudku ingin minta bantuanmu, tapi dari peristiwa
tadi, meski kepandaianmu lebih tinggi dari aku, kau tetap
bukan tandingan gembong penjahat itu. Umpama kau tetap
hendak membantuku, terpaksa aku harus menampik
kebaikanmu, aku tidak ingin kau mendapat susah. Adik cilik
buntalanmu sudah kau siapkan, apakah kau sudah siap
meninggalkan tempat ini?"
Merah muka Tan Ciok-sing, katanya: "Bukan maksudku
hendak pergi diluar tahu Liong-toako, tapi, tapi..."
"Adik cilik, lekaslah kau pergi, tak perlu kau menjelaskan
padaku. Begini besar perhatianmu kepadaku, tidak sia-sialah kami
bersahabat. Mati hidup seseorang sudah ditentukan takdir,
kalau besok malam aku memang harus celaka, akupun akan
menerima nasibku ini."
Bergolak dada Tan Ciok-sing, sifat satrianya berkobar,
tanpa pikirkan diri sendiri lagi, segera dia berseru: "Liong
toako, kau ikut aku saja?"
"Ikut kau" Kemana?" "Toako, kau tak usah peduli, aku
punya satu tujuan,"
199 "Kalau tak bisa lolos bagaimana" Bukankah kau ikut celaka
malah?" "Tadi aku ingin pergi diam-diam karena aku belum tahu
persoalanmu. Kini setelah kau menghadapi mara bahaya,
kalau aku tidak ikut memikul bebanmu, buat apa
persahabatan kita ini. Aku juga tidak tahu apakah kita bisa
lolos, tapi kan lebih baik dari menunggu nasib."
Lekas Liong Seng-bu- goyang-goyang tangan, katanya:
"Jangan, lebih baik kau lari seorang diri saja."
"Kau berkata demikian berarti memandang rendah diriku.
Toako sebetulnya kau tidak perlu banyak kuatir, tempat itu
tidak jauh dari Gun-bing, kalau sekarang berangkat,
menempuh perjalanan siang malam, kalau lari cepat, besok
malam tentu sudah tiba di tempat tujuan. Setiba di tempat itu,
pasti ada orang akan membantu. Betapa liehay musuhmu,
pasti takkan petingkah disana," kuatir Liong Seng-bu tidak
mau ikut lari, terpaksa dia sedikit membocorkan rahasia itu.
Girang Liong Seng-bu bukan kepalang, lekas dia rogoh
keluar sekeping uang mas terus ditaruh di atas meja, katanya:
"Syukur adik begini setia kawan, baiklah sekarang kita
berangkat. Tak usah mengganggu pemilik hotel."
Maksud Tan Ciok-sing adalah ingin mengajak Liong Sengbu
ke Ciok-lin dan semoga diterima Thio Tan-hong sebagai
murid. Alam pikiran Tan Ciok-sing memang terlalu Jenaka, karena
iba dan merasa punya kewajiban sebagai sesama sahabat,
kalau teman memang hadapi bahaya adalah pantas kalau dia
ikut memikul kesulitan yang menimpa Liong Seng-bu, pada hal
dia tidak memikirkan untung rugi akibat yang diperbuatnya ini.
Thio Tan-hong adalah pendekar besar yang dikagumi dan
diagungkan oleh kaum persilatan di kolong langit ini, sudah
tentu dia berjiwa ksatria dan perkasa dalam membela
kepentingan si lemah. Dengan membawa surat dan barang
200 milik In Tayhiap memohon sesuatu bantuannya, tentu dia
akan meluluskan permintaanku. Jikalau dia suka menerima
Liong-toako sebagai muridnya pula sudah tentu baik sekali,
umpama tidak mau, demi memandang muka In Tayhiap,
paling tidak pasti suka melindungi Liong-toako," demikian pikir
Tan Ciok-sing. Tapi apakah Thio Tan-hong masih hidup, setiba
di Ciok-lin apakah lantas dapat menemukan Thio Tan-hong"
Semua ini masih sukar diramalkan, oleh karena itu terhadap
Liong Seng-bu dia masih belum berani menjelaskan
sejujurnya, sebelum tiba di Ciok-lin, sementara dia hanya akan
memberi keterangan samar-samar.
Setelah meninggalkan uang, secara diam-diam Liong Sengbu
dan Tan Ciok-sing meninggalkan hotel itu. Baru sekarang
Tan Ciok-sing menyadari bahwa ginkang orang ternyata masih
lebih tinggi dibanding dirinya. Tinggi tembok kota Gun-bing
ada tiga tombak, Tan Ciok-sing takkan mampu melompatmya,
maka Liong Seng-bu merambat naik lebih dulu dengan ilmu
cecak merambat, lalu menggunakan tambang panjang yang
memang sudah disiapkan mengerek Tan Ciok-sing ke atas.
Setiba diluar kota, langkah 1 long Seng-bu ternyata lebih
ringan bagai terbang, kcadaaanya jelas jauh berbeda dengan
sebelum ini, sekuat tenaga Tan Ciok-sing kerahkan
kemampuannya baru sejajar.
Tak nyana Liong-toako pandai berpura-pura dan menipu
orang. Tanpa merasa Tan Ciok-sing geli sendiri akan
kebodohannya yang sejak mula kira orang adalah pelajar yang
lemah, tapi dia merasa jengkel juga karena telah tertipu
mentah-mentah. Dasar bajik dan jujur lekas dia berpikir pula:
"Dia punya kesulitannya sendiri, bukankah ada beberapa
persoalan yang tidak mungkin kubicarakan dengan dia?"
Mendengar musuh Liong Seng-bu sedemikian liehay,
sepanjang jalan hati Tan Ciok-sing ikut kebat-kebit, kuatir di
tengah jalan bentrok dengan musuh liehay dan teringkus
201 balik. Namun diluar dugaannya, sepanjang jalan ini tiada
terjadi apa-apa pula, mereka tiba di tempat tujuan satu jam
lebih pagi, sebelum senja dengan selamat merekapun tiba di
Ciok-lin. Hembusan angin barat di waktu senja memang membawa
suasana hangat dan silir nyaman, waktu angkat kepala,
tampak puncak-puncak batu yang tak terhitung banyaknya
terbentang di depan mata, berlapis-lapis dan bersusun seperti
sedang lomba menembus langit.
Dengan langkah gontai mereka mulai memasuki hutan
batu, tampak di tengah sana sebatang balok batu besar
seperti bergelantungan di tengah udara melintang panjang, di
atas batu terukir empat huruf yang berbunyi: "Thian-kay-gikin"
(Tuhan mencipta pandangan aneh), di sebelah dan
sekitarnva masih pula banyak tulisan-tulisan dari pujanggapujangga
yang memujikan keindahan alam ciptaan Thian ini.
Selintas pandang kedalam hutan batu, tampak pintu seperti
beribu berlaksa banyaknya, suasana tenang sepi dan
menjelang keremangan malam menjadikan keadaan
sekitarnya serba mengerikan.
Liong Seng-bu tampak menampilkan rasa kaget dan senang
luar biasa, dia berhenti di ambang pintu hutan batu, katanya:
"Adik cilik, bukankah disini Hutan Batu?"
"Betul, marilah kita masuk. Kenapa, apa kau merasa
adanya gejala yang tidak benar?"
"Nanti dulu, nanti dulu. Sebelum ini pernahkah kau datang
ke Ciok-lin?"
"Tidak, belum pernah."
"Terlalu berbahaya kalau begitu. Dalam catatan kuno ada
dikatakan, kalau laksana pintu hutan batu sampai tertutup, tak
ubahnya berada dalam Pat-tin-koh ciptaan Cukat Liang di
jaman Sam Kok dulu. Memangnya boleh kita masuk secara
202 gegabah" Jikalau sampai kesasar dan salah jalan, selama
hidup ini takkan bisa keluar dari hutan batu."
"Menempuh sedikit bahaya kukira juga patut, cianpwe
kosen yang hendak kita cari itu, justeru bertempat tinggal
didalam Ciok-lin."
"Siapa cianpwe kosen itu, sudikah kau sekarang berterusterang
padaku?" "Kalau aku sudah mengajaknya kemari, adalah logis kalau
aku terangkan asal-usul Thio Tan-hong," maka dia berkata:
"Yahlah Thio Tan-hong Thio Tayhiap yang diakui secara umum
sebagai jago pedang nomor satu di jagat ini."
"Haya," teriak Liong Seng-bu, "kenapa tidak kau jelaskan
sejak semula, jadi kau kenal Thio Tayhiap?"
Kuatir orang salah paham Tan Ciok-sing berkata: "Bukan
aku sengaja mau main teka teki waktu meninggalkan Gunbing,
aku tidak pernah duga kita bakal tiba di tujuan begini
leluasa. Tapi selamanya belum pernah aku bertemu dengan
Thio Tayhiap, jadi belum bisa dikatakan kenal."
Liong Seng-bu menarik muka, katanya: "Adik cilik, apa kau
tidak berkelakar denganku?"
"Toako tak usah gelisah, dengar dulu penjelasanku. Walau
selamanya belum pernah aku bertemu dengan Thio Tayhiap,
tapi aku mendapat titipan seorang untuk menemui beliau.
Orang itu adalah famili dekat Thio Tayhiap, dan memberitahu
padaku, asal aku menjelaskan urusannya, Thio Tayhiap pasti
akan sudi menerima aku sebagai muridnya."
"Orang itu siapa" Urusan apa pula yang dia titip supaya kau
kerjakan?"
Pertanyaan bertubi ini seolah-olah hendak membanting
kwali mengorek intip ini membuat Tan Ciok-sing serba susah.
Haruskah dia membeber rahasia In Hou kepadanya"
203 Melihat orang mengunjuk sikap serba susah, sengaja Liong
Seng-bu menghela napas, katanya: "Adik cilik, sebetulnya
tidak pantas aku mencari tahu rahasiamu, tapi soal ini
menyangkut urusan mati hidupku, adalah jamak kalau aku
prihatin akan hal ini. Ai, adik cilik setelah kita bergaul selama
beberapa hari ini, memangnya kau masih tidak percaya
kepadaku" Dan lagi kalau aku tidak tahu menahu segala
persoalan ini, bila berhadapan dengan Thio Tayhiap, mungkin
sukar aku memberi jawaban yang tepat."
"Kalau aku sudah mau membawa Liong-toako menemui
Thio Tayhiap, cepat atau lambat rahasia ini pasti diketahuinya
juga. Waktu aku memberi laporan kepada Thio Tayhiap,
memangnya aku harus menyuruh dia menyingkir dulu" Kalau
akhirnya toh dia mesti tahu, soal cepat atau lambat yang


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpaut beberapa jam ini kenapa harus kujadikan alasan?"
maklumlah Tan Ciok-sing betapapun baru berusia belasan,
meski sudah kenyang hidup menderita, namun dia masih
cetek pengalaman dan belum bisa membedakan baik buruk
serta menyelami keculasan hati manusia, akhirnya dia
membeber rabasia itu: "Orang itu bernama In Hou, dia
keponakan dekat Thio Tayhiap."
"Kenapa tidak dia sendiri yang mencari sang paman, malah
titip kepadamu" tanya Liong Seng-bu.
"In Tayhiap sudah meninggal, sebelum ajalnya itu dia
berpesan kepadaku," teringat betapa mengenaskan kejadian
waktu itu, tanpa merasa dia mencucurkan air mata.
"Adik cilik kau masih begini sedih, bolehlah kau menangis
sepuas-puasnya, Meski aku bukan sanak kadangmu, tapi
persahabatan kita sudah laksana saudara kandung, boleh kau
anggap aku sebagai sanak kadang sendiri. Soal yang
menyedihkan setelah terlampias dalam tangis, mungkin
perasaanmu bisa sedikit longgar."
Liong Seng-bu memang sengaja hendak mengorek
keterangannya, maka kata-katanya kelihatan setulus hati.
204 Sayang Tan Ciok-sing yang belum kenyang mengalami
gelombang hidup ini, mana dia tahu kemunafikan hati orang,
tanpa sadar dia menjadi haru dan menaruh simpatik padanya.
Kalau rahasia sudah bocor sedikit, seperti juga tanggul
yang bocornya semakin besar sehingga air bah akhirnya tidak
tertahan lagi. Waktu Tan Ciok-sing menyeka air mata, rahasia
dirinyapun telah habis dia ceritakan tanpa tedeng aling-aling.
Setelah tahu lika liku persoalannya sudah tentu bukan
kepalang senang hati Liong Seng-bu, namun lahirnya dia
berpura-pura ikut sedih dan prihatin, katanya membujuk:
"Adik cilik, pengalaman hidupmu memang harus dikasihani
penderitaan lahir batinmu memang patut dikasihani, kini tiba
saatnya kau membangkitkan semangat. Kau membawa golok
In Tayhiap, tanda bukti ini kukira sudah cukup, apalagi kaupun
membawa buku ilmu pedang karya Thio Tayhiap sendiri, Thio
Tayhiap pasti percaya padamu dan mengangkatmu sebagai
murid." "Doakan saja. Malah aku masih punya angan-angan, jikalau
kita bisa menjadi Suheng-te, bukankah, lebih baik."
Liong Seng-bu berpura-pura amat haru dan terima kasih,
katanya: "Adik cilik, terima kasih atas penghargaanmu akan
diriku, bahwa aku bisa berlindung di tempat Thio Tayhiap
sudah cukup puas bagi aku," sampai disini mendadak dia
seperti teringat sesuatu, katanya: "Adik cilik, tanda
kepercayaan yang diberikan In Tayhiap untukmu tidak kau
hilangkan bukan?"
"Barang sepenting ini, mana boleh hilang" Nah coba lihat,
Kiam-boh karya Thio Tayhiap dan ilmu golok ajaran keluarga
In semua kusimpan dalam kotak ini," sambil bicara dia
keluarkan kotak kayu persegi itu.
Seperti mencorong bola mata Liong Seng-bu, dia maju
mendekat ke samping Tan Ciok-sing, mendadak dia ulur jari
menutuk Ciang-bun-hiat di bawah ketiak Tan Ciok-sing secara
205 keras. Baru saja Tan Ciok-sing hendak membuka kotak itu,
sungguh mimpipun tak pernah terbayang olehnya bahwa
Liong Seng-bu yang sudah dipandang sebagai saudara
kandung sendiri ini bakal membokongnya. "Bluk" kontan dia
tersungkur jatuh.
Ciang-bun-hiat adalah salah satu dari dua belas hiat-to di
tubuh manusia yang membuat badan lemas lunglai, kalau
kena ditutuk, takkan mampu bergerak sedikitpun, bicarapun
tidak bisa, tapi tetap sadar dan dapat mendengarkan.
Tanpa hiraukan Tan Ciok-sing yang tersungkur, Liong
Seng-bu merebut kotak kayu itu lebih dulu, lalu dia jemput
pula golok pusaka itu, serunya berjingkrak senang seperti si
gila putus lotre: "Adik cilik," katanya kemudian, "jangan kau
salahkan bila aku bertindak keji, dari pada kau yang menjadi
murid Thio Tan-hong, kan lebih baik aku saja yang menjadi
muridnya." Tahulah Tan Ciok-sing bahwa orang hendak
memalsu dirinya, menipu Thio Tan-hong menerima dia
sebagai murid, karuan bukan kepalang dongkol, gemes dan
marah hatinya, hampir saja dia kelenger dibuatnya.
Di tengah gelak tawanya yang menggila, Liong Seng-bu
berkata lebih lanjut: "Sebetulnya setelah aku memperoleh
kebaikan ini dari kau, tidaklah pantas kalau aku
membunuhmu. Tapi aku yakin kau tidak akan terima
menderita kerugian besar ini, umpama kau tidak akan mencari
perkara padaku kelak, aku kuatir kau akan membocorkan
rahasiaku ini. Supaya tidak menjadikan bencana di kelak
kemudian hari, terpaksa kubunuh kau dan kusumbat mulutmu.
Tapi harpa kesayanganmu ini akan kukubur bersamamu,
terhitung aku menanam sedikit kebaikan demi persaudaraan
kita." Pelan-pelan Liong Scng-bu mencabut golok, setelah disentil
sekali, dia memuji: "Golok bagus, golok bagus," seperti kucing
yang mempermainkan tikus yang telah dicaploknya, dia
mengamati, mengelus dan membolak-balik golok pusaka itu di
206 samping Tan Ciok-sing, tapi tidak segera ayun golok
membunuhnya. Baru sekarang Tan Ciok-sing menyesal dan gegetun,
pikirnya: "Goblokku sendiri, kenapa mau percaya begini saja
terhadap orang yang baru dikenalnya," apa boleh buat,
terpaksa dia pejam mata menunggu kematian saja.
Mendadak terdengar suara dua orang yang berpadu:
"Golok bagus, golok bagus. Cara yang keji, cara yang keji."
Sudah tentu kaget Liong Seng-bu bukan main, tak sempat
lagi dia ayun goloknya untuk membunuh Tan Ciok-sing, lekas
dia lompat ke samping, golok melintang melindungi badan
baru pelan-pelan dia menoleh.
Mendengar suara yang pernah didengarnya ini, Tan Cioksing
buka matanya pula, ternyata kedua orang ini bukan lain
dua laki-laki kasar yang sengaja cari perkara di Liong-bun itu.
Liong Seng-bu tertawa sambil memasukkan golok kedalam
sarungnya, katanya: "Kiranya kalian berdua, bikin kaget aku
saja. Tapi, kenapa kalianpun ikut menyusul kemari?"
Laki-laki yang bertubuh kekar itu berkata: "Liong-losam,
kuucapkan selamat akan kesuksesanmu. Kemarin kami ikut
membantu sebagai pembantu pemainmu, tidak jelek bukan
permainan kami?"
Baru sekarang Tan Ciok-sing kembali sadar, "musuh" yang
diomongkan Liong Seng-bu kemarin hakikatnya hanya isapan
jempol belaka, ternyata dia memang sekongkol dengan kedua
laki-laki ini untuk menipu dirinya.
Liong Seng-bu tertawa dipaksakan, katanya: "Lo-li, kau
punya tampang kriminil dan pandai memerankan orang jahat,
sudah tentu permainanmu kemarin bagus sekali."
Laki-laki lainnya yang bertubuh lebih pendek berkata:
"Tapi, usaha dagang ini kan kita kerjakan bersama, setelah
207 kau memperoleh keuntungan besar tentunya tidak melupakan
kami berdua?"
"Itu sudah selayaknya, kita kan seperti saudara sendiri,
memangnya kalian masih tidak percaya padaku?"
Yang dipanggil Lo-li berkata: "Bukan tidak percaya, tapi ada
lebih baik kalau kita selesaikan usaha bersama ini secara
damai saja. Kalau toh sudah berhasil maka pembagian harus
sama dan adil. Kalau secara diam-diam kami tidak
membuntutimu ke mari, cara bagaimana kami tahu kau
berhasil atau tidak?"
Merasakan nada pembicaraan mereka sudah tidak
mempercayai dirinya lagi, maka Liong Seng-bu berkata: "Apa
yang kuucapkan kepada bocah ini tadi, tentu kalian juga
sudah dengar. Maka kalian tentu sudah tahu, maafaatnya
masih belum kita capai seluruhnya. Coba pikirkan, Thio Tanhong
hanya mau menerima seorang murid, terpaksa hanya
aku saja yang memalsu dirinya. Kelak bila aku berhasil
mempelajari Kungfu tinggi, baru bisa aku membagi hasil
dengan kalian."
Laki-laki kasar tinggi itu berkata: "Bagaimana pendapatmu
Lo-han." "Manfaat besar memang ada di belakang, namun
keuntungan kecil kan sekarang juga bisa dibagi bukan?" kata
orang she Han. "Apa yang perlu dibagi sekarang?" Liong Seng-bu menegas.
"Li-toako," kata orang she Han, "kau terima golok pusaka,
sedang aku menginginkan Kiam-boh itu, bagaimana?" tidak
langsung menjawab pertanyaan Liong Seng-bu sebaliknya dia
berunding dengan laki-laki she Li itu, jelas bahwa mereka
sebelumnya sudah ada kata sepakat.
Laki-laki kekar she Li bergelak tawa, katanya: "Sebetulnya
Kiam-boh karya Thio Tan-hong sedikit lebih bernilai, tapi kita
208 kan sesama saudara, aku sebagai engkoh boleh saja
mengalah, terserah bagaimana keinginanmu."
Lekas Liong Seng-bu berkata: "'Bagaimana boleh cara
begitu." "Liong-losam," dingin tegas suara laki-laki kasar, "seorang
laki-laki harus tahu diri, dalam hal ini kau sudah memperoleh
keuntungan yang paling besar, buat apa berdebat dan rebutan
pula dengan kami?"
Orang she Han itu menambahkan: "Memangnya, Lionglosam,
coba kau pikir, setelah kau menjadi murid Thio Tanhong
jago pedang nomor satu di dunia ini, berarti Kungfumu
kelak nomor satu di jagat ini, bukankah keuntungan yang kau
peroleh jauh lebih berharga dari golok pusaka atau Kiam-boh
segala" Memangnya kau tidak rikuh mengukuhi soal sepele
dan kecil ini?"
Liong Seng-bu menyeringai getir, katanya: "Toako berdua
tidak fahu, kedua barang ini harus kugunakan sebagai tanda
kepercayaan supaya bisa bertemu dan dipercaya oleh Thio
Tan-hong. Kelak setelah aku berhasil belajar Kungfu kan
belum terlambat kuberikan kepada kalian. Itu waktu bukan
saja boleh aky serahkan golok dan Kiam-boh, Kungfu yang
telah kupelajari juga bisa kuajarkan .pula kepada kalian,
bukankah itu lebih menguntungkan?"
Mendelik mata laki-laki kekar, katanya: "Liong-losam,
bukan aku sebagai saudara tua ini tidak percaya kepadamu,
memangnya kami goblok harus menunggu selama itu."
Liong Seng-bu mengerutkan alis, katanya: "Kalau kalian
ambil kedua barang kepercayaan ini, cara bagaimana aku
harus menemui Thio Tan-hong dan mendapat kepercayaann
ya?" "Liong-losam," ujar laki-laki pendek she Han, "mulutmu
manis pandai bicara. Segala rahasia telah kau ketahui dari
mulut bocah ini, memangnya apa pula yang kau kuatirkan?"
209 "Jangan kalian lupa Thio Tan-hong tokoh besar yang
pernah digembleng dalam pengalaman hidup, memangnya dia
gampang ditipu seperti bocah ingusan ini?"
"Belum tentu," ucap laki-laki she Han, "kau bisa juga
menipunya asal tepat pada sasaran, In Hou mati di Kwi-lin ini
memang kenyataan. Ki Harpa kakek dan cucu berbudi
terhadap In Hou, inipun tidak keliru. Kalau toh apa yang
diceritakan semua kenyataan, tanpa tanda pengenal segala
juga pasti keteranganmu dipercaya."
Laki-laki kekar itu jadi kurang sabar, katanya: "Liong-losam,
terserah bagaimana kau akan menipu Thio Tan-hong, yang
terang kami tidak mau membantumu secara percuma."
"Tadi aku sudah berjanji kelak akan membagi hasil pada
kalian!" kata Liong Seng-bu.
"Kelak, kelak, siapa tahu kelak kau akan mungkir dan
menyikat seluruh hasil hari ini. Pendek kata, tidak usah banyak
bicara lagi, golok dan Kiam-boh harus kau serahkan, kalau
tidak, terpaksa kami tidak sungkan lagi kepadamu."
Liong Seng-bu bersikap apa boleh buat, katanya getir:
"Agaknya kalian memang tidak percaya lagi kepadaku,
terpaksa aku kabulkan keinginan kalian."
"Memangnya, sebaiknya sejak tadi kau terima usul kami,
kau tidak perlu banyak debat?" kata laki-laki she Li.
Orang she Han berkata: "Kotak yang berisi Kiam-boh itu
kau letakkan di tanah, aku bisa mengambilnya sendiri."
"Betul," laki-laki she Li tersadar, "lemparkan golok itu, tak
usah kau kemari."
Liong Seng-bu tertawa pahit, katanya: "Kalian begini
curiga, memangnya Siauwte bakal membokong kalian?" lalu
dia keluarkan kotak itu dan ditaruh di tanah.
210 Orang she Han memutus sebatang dahan sebagai genter
lalu menjungkit kotak itu ke arahnya.
Sementara laki-laki kekar itu berseru: "Lemparkan golok itu
ke mari." "Ya, terimalah," seru Liong Seng-bu, mendadak sinar golok
berkelebat bagai kilat, dengan gerakan yang luar biasa cepat
mendadak Liong Seng-bu mencabut golok terus ditimpuk.
Walau sudah bersiaga, tapi tidak terbayang oleh laki-laki
kekar ini setelah tipu daya Liong Seng-bu mereka bongkar, dia
masih berani turun tangan keji pada mereka. Mau meloloskan
senjata menangkis terang tidak keburu lagi. Maka terdengar
"Crap" menyusul darah muncrat berhamburan, tahu-tahu
golok pusaka itu sudah menusuk amblas ke ulu hatinya. Pada
saat itu pula laki-laki she Han itu telah timpukan sebatang
Kong-piau. Mendengar deru angin kencang, lekas Liong Sengbu
mendak ke bawah sambil berputar miring. Tapi tak urung
pundaknya terserempet lecet berdarah, untung tidak sampai
mengenai tulang pundaknya.
Cepat sekali tanpa berjanji kedua orang sama menubruk
kesana untuk merebut golok. Ternyata orang she Han
setengah langkah lebih cepat, tapi dia tidak sempat
memungut golok tersebut, terpaksa dia tendang golok itu ke
samping sehingga keduanya sama-sama tidak memperoleh
apa yang diinginkan, "Liong-losam," bentak laki-laki she Han,
"Keji benar kau."
"Siapa salah, kalian memaksa aku turun tangan," bantah
Liong Seng-bu. Kedua orang saling menyalahkan, namun kaki
tangan mereka tidak pernah berhenti.
Rebah di tanah tak mampu berkutik. Tan Ciok-sing hanya
mendelong mengawasi mereka baku hantam, diam-diam dia


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpikir: "Kepandaian Liong Seng-bu ternyata memang lebih
unggul dari aku. Kepandaian laki-laki she Harr ini juga lebih
tinggi dari aku."
211 Dinilai taraf kepandaian silat Liong Seng-bu setingkat lebih
unggul, tapi pundaknya tergores Piau, sedikit banyak
mengurangi kelincahannya, maka keadaan tetap sama kuat.
"Han-toako, hentikan saja pertempuran ini," demikian kata
Liong Seng-bu, "golok dan Kiamboh akan kuserahkan
kepadamu."
"Siapa lagi percaya omongan setanmu," damprat laki-laki
she Han. "Biang" dengan sejurus pukulan Tiang-kun, dia pukul
dada Liong Seng-bu, bagai sebatang tonggak kayu yang
terpukul, Liong Seng-bu terhuyung kaku beberapa langkah
terus roboh dan terbanting dengan keras.
Girang laki-laki she Han, lekas dia memburu maju hendak
memeriksa apakah sang korban sudah mampus atau masih
hidup, baru saja dia angkat kaki hendak persen lagi dengan
sekali tendangan ke ulu hati orang, tak nyana baru saja
kakinya terangkat tahu-tahu terasa kesemutan, dia sendiri tak
kuasa berdiri tegak lagi terus roboh tersungkur. Ternyata
Liong Seng-bu menggunakan akal licik pula, dia pura-pura
terpukul luka parah, rebah celentang menunggu musuh maju
mendekat, mendadak kedua kaki bekerja, lawan kena
dijegalnya roboh.
Dengan menahan rasa sakit di dada Liong Seng-bu melejit
bangun terus menindih di atas badan laki-laki she Han.
Dengan mengerahkan seluruh tenaganya jari-jari Liong Sengbu
mencekik leher orang she Han. Sudah tentu laki-laki she
Han berontak dan meronta sekuatnya sambil berguling-guling.
Pertempuran ala binatang buas ini memang amat
mengerikan. Tulang iga Liong Seng-bu putus dua, tapi sepuluh
jari jemarinya laksana tanggem mencekik kencang leher
lawan, sedikitpun tidak pernah kendor. Kira-kira setengah
sulutan dupa, lambat laun laki-laki she Han mengeluarkan
suara keluhan aneh dari lehernya, akhirnya dia tak kuat
bertahan lagi, napas putus jiwa melayang. Tan Ciok-sing
212 sampai merinding dan seram melihat adegan yang mengerikan
ini. Liong Seng-bu kehabisan tenaga, napasnya empas-empis,
luka-lukanya tidak ringan lagi. Meski kedua temannya berhasil
dibunuh, tapi dia sendiri sekarang tidak kuat berdiri. Lama
kemudian baru dia merayap kesana memungut golok pusaka
dari tubuh laki-laki kekar. Lobang besar di dadanya segera
menyemburkan darah yang deras, jiwanya tidak tertolong lagi.
Terasa lunglai sekujur badan Liong Seng-bu, Pikirnya:
"Untung hiat-to bocah ini sudah kututuk, tak usah kuatir dia
bisa mengerjai aku biar nanti kubunuh juga dia," setelah
beristirahat sejenak lagi, dia merayap pula kesana mengambil
kotak itu. Saking senang dia sampai terloroh-loroh: "Dua
pusaka kini berada di tanganku," karena tak kuasa menahan
rasa ingin tahunya, sambil terkial-kial dia membuka tutup
kotak. Rasa puas harus diutamakan, ingin dia menyaksikan
Kiam-boh macam apa sebetulnya karya atau ciptaan Thio Tanhong
yang termashur itu.
Tak nyana saking girang dan berakhir dengan rasa duka,
belum lenyap gelak tawanya, tahu-tahu dia menggembor
kesakitan. Ternyata waktu membuka tutup kotak dia
menyentuh alat rahasia, begitu tutup terbuka, lembaranlembaran
pisau kecil itu seketika mengiris putus sebuah jari
tangannya. Umumnya jari sakit bisa meresap ke sum-sum apalagi
dalam keadaan lunglai seperti Liong Seng-bu, badan terluka
luar dalam lagi, kini sebuah jarinya harus terputus lagi, sudah
tentu kondisi fisiknya menjadi semakin goyah" Setelah
menjerit kesakitan, kontan dia jatuh semaput.
Ganti Tan Ciok-sing yang kaget dan girang, pikirnya: "Thian
memang maha adil, yang berbuat jahat tentu memperoleh
ganjaran setimpal. Tadi sebetulnya aku sudah < hendak
membukakan kotak itu, jikalau dia tidak begitu keburu nafsu,
pasti Kiam-boh itu kini sudah berada di tangannya. Dia
213 menutuk hiat-toku, tapi cara membuka kotak tidak tahu,
patutlah kalau dia harus mengorbankan sebelah jarinya. Tak
nyana kotak itu sekali lagi membantuku." Tapi Tan Ciok-sing
sekarang belum lagi terhindar dari mara bahaya. Kuncinya
terletak pada: Apakah hiat-tonya yang tertutuk bisa punah
sebelum Liong Seng-bu siuman dari pingsannya"
Soalnya Liong Seng-bu menggunakan Jiong-jiu-hoat
menutuk jalan pelemasnya, tanpa bantuan orang untuk
membebaskan sendiri hiat-to itu harus makan waktu dua belas
jam padahal Liong Seng-bu hanya jatuh semaput saja. Apalagi
dasar kungfunya juga tidak lemah, meski luka-lukanya cukup
parah, tapi yakin sebelum dua belas jam tentu dia sudah
siuman. Maka jiwa Tan Ciok-sing pasti terancam bahaya.
Di tempat belukar yang jauh dari keramaian penduduk
seperti ini, mana mungkin orang datang kemari" Kecuali Thio
Tan-hong yang semayam didalam Ciok-lin kebetulan keluar.
Tapi Ciok-lin begini luas, pucuk-pucuk batu berlapis dan
bersusun ribuan seperti bentuk pintu-pintu langit, kalau Thio
Tan-hong semayam jauh didalam hutan batu, betapapun
keras kejadian diluar sini juga takkan terdengar dari dalam,
memangnya tanpa sebab dan alasan mungkinkah Thio Tanhong
keluar" Mulut tak mampu bersuara lagi, karuan Tan
Ciok-sing hanya tertawa getir saja sambil terima nasib.
Dengan mendelong dia awasi keadaan Liong Seng-bu,
sedikit kaki tangan atau badan Liong Seng-bu bergerak,
jantungnya pun ikut berdetak, untung sejauh ini Liong Sengbu
tetap belum siuman. Pada hal hari itu sudah mulai gelap,
sia-sialah dia mengharap pertolongan orang lain.
Lama-kelamaan Tan Ciok-sing tak tahan mengalami siksaan
lahir batin ini, meadadak pikirnya: "Dari pada menunggu
pertolongan orang lain, kenapa aku tidak berusaha menolong
diriku sendiri, kenapa tidak kucoba kerahkan hawa murni
untuk membebaskan tutukan hiat-to ini" Umpama usaha ini
sia-sia, kan lebih baik daripada menunggu kematian begini,"
214 maka dia tidak perdulikan mati hidup Liong Seng-bu lagi,
memusatkan konsentrasi lalu mulai kerahkan hawa murni.
Buku pelajaran ilmu golok dan pukulan peninggalan In Hou
ada juga yang tercantum cara belajar lwekang. Lwekang yang
terlatih baik ini dapat membantu membebaskan hiat-to yang
tertutuk. Tapi Tan Ciok-sing baru latihan tiga bulan, hasilnya
boleh dikata baru pupuk dasarnya saja, untuk membebaskan
tutukan hiat-to sendiri sudah tentu bukan suatu kerja yang
mudah. Entah berapa lamanya, terasa oleh Tan Ciok-sing hawa
hangat tiba-tiba timbul dari pusarnya, agaknya usahanya
sudah mulai menunjukkan hasilnya.
Meyakinkan lwekang tingkat tinggi bila sudah mencapai
taraf tertentu, untuk membebaskan tutukan hiat-to di tubuh
sendiri biasanya paling lama memakan waktu setengah jam,
tapi sekarang entah berapa jam telah berlalu, Tan Ciok-sing
tetap hanya dapat menghimpun sedikit demi sedikit hawa
murninya, bahwasanya badan masih tetap tidak mampu
bergerak. Hari sudah gelap, untung sang Dewi malam yang setengah
bulat bercokol di cakrawala. Tiba-tiba Liong Seng-bu
menggeliat serta membalik badan, mulutnya berkerok-kerok
seperti suara kodok agaknya takkan lama lagi pasti dia sudah
siuman. Diam-diam Tan Ciok-sing kertak gigi, batinnya: "Mati
hidup sudah ditentukan takdir, betapapun aku harus terus
berusaha," maka dia tidak perduli lagi ada kejadian apa di
sekitarnya, mata tidak melihat kuping tidak mendengar.
Karena itu, hawa murni yang dia kerahkan menjadi bertambah
cepat dan lancar.
Akhirnya Liong Seng-bu siuman juga. Darah masih menetes
dari jarinya yang putus, sakit dan perihnya luar biasa. Tapi dia
sudah mulai dapat bergerak. Setelah membubuhi obat pada
luka-luka jarinya, istirahat pula sejenak, setelah badan terasa
sedikit segar, dengan hati-hati dia memeriksa, didapatinya
215 kotak itu masih terletak di samping kakinya, tutup kotak
ternyata sudah menutup kembali.
Liong Seng-bu jemput dahan pohon yang dibuat
menyongkel oleh laki-laki pendek tadi, pelan-pelan dia sentuh
kotak itu, lalu didorong kian kemari tapi tiada menunjukkan
reaksi apa-apa, akhirnya dia membesarkan nyali, namun
dengan rasa kebat-kebit dia masukkan kotak itu kedalam
kantongnya. Kalau tidak dibuka kotak itu takkan menyentuh
alat rahasianya.
Waktu sang dewi malam bercokol di tengah langit, barulah
Liong Seng-bu pulih seluruhnya, namun tenaganya baru
terhimpun dua bagian. Pikirnya: "Bocah ini berkepandaian
lumayan mungkin sebelum dua belas jam dia sudah bebas
hiat-tonya, maka perlu aku segera membunuhnya." Padahal
waktu itu sudah lewat delapan jam setelah hiat-to Tan Cioksihg
tertutuk, sebelum terang tanah hiat-tonya takkan punah
sendirinya. Memang Liong Seng-bu tidak pernah menduga
bahwa Tan Ciok-sing sedang berusaha membebaskan tutukan
hiat-tonya, maka dengan menabahkan hati dia angkat golok
pusaka serta berkata pula tertawa: "Adik cilik, untung aku
sudah siuman lebih dulu, sebelum hiat-tomu yang kututup
punah, ini berarti umurku memang panjang, maka tak usah
kau menyesali nasibmu ini."
Sekonyong-konyong terdengar suara "Trang", entah dari
mana datangnya sebutir krikil tiba-tiba membentur goloknya
sampai tak kuasa dia memegangnya lagi, jatuh
berkerontangan di tanah. Karuan Liong Seng-bu kaget
setengah mati, waktu dia menegas, dilihatnya Tan Ciok-sing
sedang melompat bangun berdiri.
Ternyata menghadapi detik-detik yang genting ini, Ki-kingpat-
meh di tubuhnya yang belum lancar karena tutukan hiatto
di tubuhnya mendadak jebol, seperti air bah yang tak
terbendung, hawa murninya lantas mengalir bagai arus
216 kencangnya, sudah tentu hiat-to yang tertutuk jadi terbuka
karenanya. Setelah menjatuhkan golok di tangan orang Tan Ciok-sing
lantas menudingnya serta mendamprat: "Liong Seng-bu, siasialah
kau membaca buku-buku kuno dari para Nabi, tapi
sepak terjangmu ternyata begini rendah dan hina, untung
Tuhan memang maha pengasih, kau kurcaci ini tak berhasil
mencelakai jiwaku."
Pergelangan tangan Liong Seng-bu kesemutan dia kira ilmu
silat Tan Ciok-sing sudah pulih seperti sedia kala, orang akan
segera membunuh dirinya malah. Dia insaf luka-lukanya tidak
ringan, mana dia berani gebrak dengan Tan Ciok-sing.
"Adik cilik, sukalah kau mengingat hubungan akrab kita
beberapa hari ini, sukalah ampuni jiwaku," saking ketakutan
Liong Seng-bu lupa memungut golok pusaka itu, sembari
bicara dia sudah putar badan lari sipat kuping. Entah dari
mana dia peroleh tenaga, di kala jiwa terancam, meski badan
masih lemah, ternyata dia bisa merat begitu cepat, cepat
sekali dia sudah menggelundung turun ke lereng sana, kejap
lain sudah tak kelihatan lagi.
"Enyahlah kau," damprat Tan Ciok-sing, "siapa sudi
bersaudara dengan tampangmu." Setelah rasa penasaran
terlampias, mendadak lututnya terasa lemas lagi, tanpa kuasa
dia meloso jatuh pula. Ternyata pada detik-detik yang kritis
tadi, kebetulan hiat-tonya yang tertutuk tiba-tiba bebas, maka
dia menjemput krikil terus dijentikkan merontokkan golok
Liong Seng-bu, padahal kondisinya masih teramat lemah,
maka dia tidak kuat bertahan lama. Jikalau Liong Seng-bu
cukup tabah dan tidak lari ketakutan, susah dibayangkan
bagaimana akibatnya.
Setelah tidur nyenyak, waktu siuman haripun telah terang
tanah. Melihat keadaan kedua mayat yang mengenaskan ini,
hatinya tidak tega, segera dia menggali liang lahat
menggunakah goloknya mengebumikan kedua mayat itu.
217 Sambil memasukkan golok kedalam sarungnya dia berpikir:
"Untung golok pusaka dan harpa ini tidak hilang, sayang sekali
kotak berisi Kiam-boh karya Thio Tayhiap itu terbawa lari oleh
keparat itu. Tapi hanya beberapa lembar tulisan tangan yang
belum lengkap itu, kukira dia takkan paham membaca dan
mempelajarinya."
Menyongsong terbitnya matahari, jagat raya ini penuh
diliputi cahaya keemasan yang cemerlang, dengan langkah
lebar dan tegap Tan Ciok-sing memasuki Ciok-lin.
Tapi Tan Ciok-sing tiada selera menikmati keanehan di
sekitarnya, dia ingin buru-buru masuk kedalam dan ingin tahu
apakah Thio Tan-hong masih hidup dan semayam di Ciok-lin"
Padahal kemana dan bagaimana dia harus menemukan
tempat tinggal Thio Tan-hong didalam hutan batu yang
berlapis-lapis seperti punya ribuan sampai laksaan pintu ini,
terpaksa dia asal mengayun langkah saja.
Setelah dia memasuki sebuah jalanan sempit dan tiba pada
sebuah celah batu yang bentuknya menyerupai pintu,
pandangannya tiba-tiba menjadi terang dan terbentang,
tampak di bawah samping gunung sana terdapat sebuah
danau kecil, sepanjang pinggir danau penuh ditumbuhi
beraneka ragam kembang dan tetumbuhan liar, bau kembang
yang wangi semerbak merangsang hidung menyegarkan
badan, di atas dinding gunung yang curam tegak itu terdapat
dua huruf besar yang berbunyi: "Kiam-hong" (puncak
pedang). Tan Ciok-sing bersorak girang dalam hati, dia ingat In Hou
pernah menuturkan, bahwa setiap hari Thio Tan-hong pasti
berlatih pedang di Kiam-hong ini, mencuci pedang di danau
kecil itu pula. Coretan huruf di puncak dinding gunung itu juga
hasil karya Thio Tan-hong. Tanpa sengaja, secara kebetulan
dirinya kesasar ke tempat yang ditujunya, danau kecil itu
dinamakan Kiam-ti (danau pedang). Tapi bayangan orang
tidak kelihatan disini, maka dia tarik suara berteriak sekerasTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
218 kerasnya: "Thio Tayhiap, Wanpwe Tan Ciok-sing, atas
permintaan In Hou In Tayhiap datang kemari mohon


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertemu," ditunggu-tunggu tiada reaksi, tak terdengar suara
jawaban. Karena kesal akhirnya Tan Ciok-sing duduk di atas
batu di pinggir danau, waktu menurunkan harpa, mendadak
pikirannya tergerak: "Kenapa tidak kugunakan irama harpa ini
untuk menyatakan maksud kedatanganku?"
Tapi setelah sebuah lagu habis dia bawakan, gema irama
harpa seperti masih mengalun dalam hutan batu ini, tapi
setelah ditunggu sekian lama, keadaan tetap sunyi, hanya air
danau saja yang kelihatan bergelombang lembut tertiup angin
lalu, puncak pedang tetap dalam keheningan lelap.
"Mungkin Thio Tayhiap tidak suka menemui orang-orang
awam" Atau mungkin beliau sudah meninggal?" demikian
batin Tan Ciok-sing, hatinya risau dan masgul. Mengingat
betapa dirinya susah payah dan mengalami mara bahaya, jiwa
hampir tamat lagi baru bisa mencapai tempat tujuan, jikalau
tidak berhasil menemukan Thio Tan-hong, bagaimana dia
dapat menuntut balas kematian kakeknya" Saking duka
nestapa tak tertahan air mata bercucuran, tanpa terasa pula
jari jemarinya yang sudah ahli memetik senar itu telah
memetik lagu Khong-ling-san.
Bagian belakang dari Khong-ling-san merupakan irama lagu
yang paling menyedihkan di kolong langit ini, kecuali Tan Cioksing,
pada jaman ini rasanya tiada orang lain yang mampu
memetik lagu ini. Biasanya kicau burung didalam hutan begitu
merdu pada setiap pagi, kini entah karena terbuai oleh irama
lagu yang sedih memilukan ini, burung-burung itu seperti lupa
terbang pergi mencari makan, malah tidak sedikit yang
berdatangan hinggap di dahan-dahan pohon.
Di kala dia memetik harpa melimpahkan rasa dukanya,
mendadak didengarnya langkah kaki orang yang bergema
didalam hutan batu. Tidak terhitung jumlah tonggak-tonggak
batu yang berdiri menjulang tinggi ke atas, maka dinamakan
219 hutan batu. Berada didalam hutan, orang bisa mondar-mandir
kemari, tanpa bisa menemukan jalan keluarnya. Tapi langkah
kaki orang itu mendatangi semakin dekat, seolah-olah
orangnya sudah berada di depan mata, hakikatnya masih
banyak pengkolan dan pintu-pintu yang berlapis itu harus
dilewati baru orang akan bisa berhadapan muka.
Begitu mendengar langkah kaki orang, semula Tan Cioksing
kaget dan senang, tapi setelah langkah kaki itu semakin
dekat dan jelas, hatinya bukan lagi girang tapi kaget dan waswas.
Karena yang datang terang tidak seorang saja, tapi dari
langkah tiga orang. Padahal In Hou memberitahu padanya,
bahwa Thio Tan-hong seorang diri semayam di hutan batu.
Selama puluhan tahun ini, hanya In Hou seorang saja yang
terkecuali pernah masuk ke hutan batu. Tapi kini ada tiga
orang yang mendatangi.
Kalau orang biasa jelas tidak mungkin tanpa sebab mau
memasuki hutan batu, apalagi perjalanan kedalam hutan batu
amat berbahaya. Oleh karena itu kalau hal ini dipikirkan secara
sehat, kalau yang datang bukan Thio Tan-hong sendiri, maka
pendatang ini jelas adalah musuh besarnya.
Di kala hatinya kebat-kebit itu, walau jari-jarinya bergerak
menyentil senar, tapi pandangan matanya tertuju kearah
datangnya suara langkah.
Tiba-tiba terdengar suara serak seseorang tua berkata di
belakangnya: "Sudahlah, hentikan permainan harpamu."
Sudah tentu Tan Ciok-sing kaget setengah mati, waktu dia
menoleh, hatinya seketika bersorak girang. Yang berdiri di
belakangnya ternyata Hek-moko adanya.
Tapi tidak terbayang rasa senang pada wajah Hek-moko,
malah seperti mau menyalahkan dirinya. "Thio Tayhiap sedang
'menutup diri latihan semadi', kau tahu tidak?"
Apa itu menutup diri latihan semadi, hakikatnya Tan Cioksing
tidak tahu. Tapi dari nada perkataan Hek-moko, seakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
220 akan dia menyalahkan dirinya telah mengganggu ketenangan
Thio Tan-hong dengan irama musiknya yang menyedihkan
tadi. Maka dengan hambar dia berkata: "Aku, aku tidak tahu.
Tapi, diluar, diluar..."
Langkah orang diluar sudah semakin dekat lagi, sebuah
suara yang sudah dikenalnya sedang berkata: "Aneh, Thio
Tan-hong masih senggang juga mendengarkan irama harpa?"
seorang yang tak dikenal menanggapi: "Mungkin dia ingin
meniru Cukat Liang yang mengundurkan musuh dengan
petikan harpanya" Tapi aku tak percaya dia sebanding dengan
Khong Bing, memangnya kita ini bangsa kurcaci."
Prihatin sikap Hek-moko, katanya di pinggir telinga Tan
Ciok? sing: "Lekas sembunyi, beberapa orang ini jauh lebih
liehay dan jahat dibanding Ie Cun-hong, aku takkan kuasa
melindungimu."
Pernah mendapat pengalaman sekali Tan Ciok-sing cukup
tahu diri, maklum kalau kehadirannya disini bukan saja tidak
akan membantu Hek-moko, malah menjadikan beban orang,
maka lekas dia angkat harpanya, terus merambat naik ke
Kiam-hong dan sembunyi di belakang sebuah batu.
Baru saja dia menyembunyikan diri, ketiga orang itupun
telah tiba di pinggir danau. Salah seorang di antaranya bukan
lain adalah gembong iblis besar Le Khong-thian yang pernah
dilihatnya di Cit-sing-giam dulu. Dua orang lagi adalah seorang
Tosu tua dan seorang nenek uban menjinjing tongkat
berkepala naga.
Bukan saja kaget Tan Ciok-sing juga keheranan, pikirnya:
"Hek-pek-moko kakak beradik laksana dwi-tunggal, kenapa
yang kelihatan sekarang hanya kakaknya, kemana adiknya"
Celaka kalau ketiga penyatron itu berkepandaian lebih liehay
dari Ie Cun-hong, seorang diri mana Hek-moko mampu
menghadapi mereka" Thio Tayhiap sedang semadi, jelas dia
takkan bisa keluar menghadapi musuh-musuh ini."
221 Kedua belah pihak umpama busur yang telah dipentang
tinggal angkat senjata terus saling labrak, dengan diliputi rasa
was-was dan serba curiga, Tan Ciok-sing tidak sempat pikirkan
urusan tetek bengek lagi.
Le Khong-thian terloroh-loroh, katanya: "Hek-moko,
tentunya kau tidak kira bahwa akhirnya aku bisa menemukan
tempat ini, bukan. Hehe, tahukah kau, sebetulnya hari itu aku
bisa bantu le Cunhong membunuhmu, tapi aku justru hendak
pinjam tenagamu untuk menunjukkan jalan kemari, terpaksa
kubiarkan kau hidup beberapa hari lagi. Hehche, kini kau tiada
gunanya, sekali kemplanganmu kepada Ie Cun-hong biar
sekarang kutagih padamu."
"Hek-moko," terdengar nenek uban itu berkata, "kalau ingin
hidup, lekas kau panggil Thio Tan-hong keluar."
Hek-moko tertawa dingin, katanya: "Kau nenek gembel ini
berani gebrak dengan Thio Tayhiap, memangnya kau ini tahu
diri tidak?"
"Kau ini terhitung barang apa, berani menghina aku Kiupoan-
bo" Tahukah kau, Thio Tan-hong pun takkan berani
kurang ajar terhadapku," waktu mengucapkan "kurang ajar"
sengaja dia gedrukkan tongkatnya, batu di bawah kakinya
seketika terketuk hancur Hek-moko terbahak-bahak, katanya:
"Kiu-poan-bo, puluhan tahun tak bertemu, ternyata kulit
mukamu semakin tebal saja. Dulu bersama Liok-yang Cinjin,
Jit-sia Tojin bukankah kau diusir dari Tiam-jong-san, apa pula
yang Thio Tayhiap pernah katakan kepadamu" Kalau kau tidak
ingat boleh kuperingatkan sekali lagi kepadamu."
Kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, di dunia ini ada empat
gembong iblis, yang jadi pentolannya adalah guru dari Le
Khong-thian, yaitu Kiau Pak-bing, disusul Liok-yang Cinjin, Jitsia
Tojin dan Kiu-poan-bo yang sekarang adu mulut dengan
Hek-moko. Setelah Kiau Pak-bing dikalahkan Thio Tan-hong,
dia merat jauh ke lautan timur. Tiga gembong iblis yang lain
bergabung hendak menuntut balas kepada Thio Tan-hong,
222 pertempuran sengit terjadi di puncak Tiam-jong-san, akhirnya
mereka bertiga tetap bukan tandingan lawan, pada waktu itu
mereka sudah bersumpah selama Thio Tan-hong masih hidup
tidak akan muncul di kalangan Kangouw, barulah Thio Tanhong
mau mengampuni jiwa mereka.
Selama tiga puluh tahun ini, Jit-sia Tojin sudah meninggal,
sementara Kiau Pak-bing sembunyi di lautan timur, hanya
muridnya saja yang diutus kemari. Jadi empat gembong iblis
yang dulu menjagoi Tionggoan kini tinggal Kiu-poan-bo dan
Liok Yang Cinjin. Liok Yang Cinjin adalah Tosu tua yang berdiri
di pinggir gelanggang sebelah sana.
Bahwa Hek-moko mengorek borok mereka, karuan Kiupoan-
bo dan Liok-yang Cinjin naik pitam. Kata Liok Yang Cinjin
dengan suara berat: "Kau tahu apa, mumpung Thio Tan-hong
belum mampus, maka hari ini aku datang ke mari."
"Hek-moko," seru Kiu-poan-bo, "kalau kau tidak ingin jadi
setan gentayangan, "lekas kau suruh Thio Tan-hong keluar."
Hek-moko tertawa tergelak-gelak, katanya: "Menyembelih
ayam tak perlu menggunakan golok kerbau, kalian bertiga
boleh maju bersama, biar aku wakilkan Thio Tayhiap ajar adat
kepada kalian."
"Hek-moko, memangnya berapa tinggi kepandaianmu"
Kalau ingin mampus apa susahnya, cukup si nenek tua ini
berkelebihan untuk menamatkan riwayatmu?" begitu habis
ucapannya "Wut" pentungnya lantas menyapu tiba.
Liok Yang Cinjin sudah maju beberapa langkah, mendengar
perkataan Kiu-poan-bo, terpaksa dia mundur ke tempatnya,
dalam hati dia berpikir: "Betul, aku perlu menyimpan tenaga
untuk menghadapi Thio Tan-hong. Walau Thio Tan-hong
sudah berusia lanjut, betapapun dia tidak boleh dipandang
remeh." Hek-moko angkat juga tongkatnya, terdengar dencing
keras beruntun memekak telinga sampai Tan Ciok-sing yang
223 sembunyi di tempat ketinggian sana terasa mendengung
kepalanya. Waktu dia pentang mata, dilihatnya dua bayangan
Hek-moko dan Kiu-poan-bo tiba-tiba mundur terpisah, masingmasing
pihak tergentak tiga langkah. Hek-moko rasakan
telapak tangannya kesemutan, tapi kepala naga di atas
pentung Kiu-poan-bo gumpil sedikit.
Diam-diam mencelos hati Hek-moko, pikirnya: "Tak heran
nenek reyot ini dulu bisa sejajar dengan Kiau Pak-bing sebagai
empat pentolan gembong iblis, lwekangnya ternyata memang
luar biasa. "Selama hidup ini entah berapa kali Hek-moko
bertanding satu lawan satu dengan musuh, kecuali Thio Tanhong
selamanya belum ada orang yang berani mengadu
kekuatan dengan dia, apalagi memungut keuntungan. Walau
Kiu-poan-bo kali ini tidak memungut keuntungan apapun, tapi
hasil dari adu kekuatan ini, ternyata sama-sama tergetar
mundur tiga langkah, malah kalau dia tidak lekas-lekas
menggunakan Jian-kin-tui untuk memberati badan, hampir
saja dia kecundang di depan umum, jadi kalau dinilai secara
adil, sebetulnya dia sudah terhitung kalah setengah urat.
Liok-giok-cang miliknya itu termasuk barang pusaka juga,
tak heran barisan golok Ie Cun-hong tetap tak mampu
membekuk mereka kakak beradik.
Kalau Hek-moko setengah kaget, Kiu-poan-bo juga tidak
kalah kagetnya karena kepala, naga di atas pentungnya
gumpil. Biasanya saudara kembar ini selalu berdampingan,
kelihatan sang engkoh pasti ada sang adik, kenapa sekarang
hanya Hek-moko yang menghadapi kami" Agaknya kami diberi
kesempatan untuk menamatkan jiwa Thio Tan-hong. Konon
kekuatan gabungan permainan sepasang tongkat mereka
hebat luar biasa, jikalau aku tidak menyelesaikan pertempuran
ini dalam waktu singkat bila Pek-moko keburu datang,
mungkin kami bertigapun susah mengalahkan mereka kakak
beradik, bagaimana kita masih bisa menghadapi Thio Tanhong?"
karena otaknya memang encer, kepengin menang
224 dalam waktu singkat, maka dia tidak kepalang tanggung lagi
serangan bertubi-tubi dilancarkan dengan sengit.
Dalam detik-detik pcrtcmpiii.in yang sengit ini, kembali
bayangan mereka terpisah lalu saling tubruk pula. Tongkat
Kiu-poan-bo menjojoh ke Hiat-hay-hiat di bawah pusar lawan,
sementara bentuk permainan tongkat Hek-moko yang
mencorong mirip Pek-ho-liang-ci (bangau putih pentang
sayap), dari samping mengetuk urat nadi lawan.
Sinar coklat berkelebat, mendadak membuat sebuah
lingkaran, kepala naga di ujung pentung Kiu-poan-bo seperti
terbungkus didalamnya, dua gembong iblis yang menyaksikan
dari samping ikut kebat-kebit hatinya.
Mendadak Kiu poan-bo menggertak sekali, pentung kepala
naganya menekan turun ke bawah dengan jurus Ping-sa-lohyan
(blibis hinggap di pasir datar) untuk memunahkan tekanan
tongkat Hek-moko sekaligus pentungnya itu mengetuk naik
terus melintirnya pula. "Kena" kembali mulutnya menghardik,
begitu pentungnya berputar, mulut dari kepala naga besi itu
tahu-tahu sudah nyelonong ke muka Hek-moko. Serempak
Liok-yang Cinjin dan Le Khong-thian sama bersorak memuji,
sebaliknya Tan Ciok-sing mengucurkan keringat dingin,
hatinya kuatir setengah mati.
Beberapa jurus permainan pentung Kiu-poan-bo memang
teramat liehay dan menakjubkan, tapi juga ganas dan keji.
Dengan gerakan kilat balas menyerang ini, dia yakin Hekmoko
pasti sukar lolos dari pentung besinya. Tak kira
gerakannya sudah begitu cepat, tapi Hek-moko masih lebih
cepat lagi, terdengar "Trang" yang keras, tongkat coklat Hekmoko
ternyata sudah menutup gerakan pentung lawan
selanjutnya, jengeknya dingin: "Belum tentu," kembali sinar
coklat melingkar, pentung lawan seolah-olah terbungkus
didalamnya. Beberapa gerakan saling lomba dan tubruk ini terjadi dalam
sekejap mata, kedua pihak berlomba dahulu mendahului
225 merebut kesempatan, sehingga tiga orang penonton diluar
gelanggang sama silau dan terpukau. Terdengar Kiu-poan-bo
berkaok-kaok gusar beberapa kali, pentung kepala naganya
menuding timur mengepruk ke barat mengemplang ke utara
menyapu ke selatan, tapi tetap tak kuasa membebaskan diri
dari libatan sinar coklat lawan.
Lwekang Kiu-poan-bo memang setingkat lebih tinggi,
namun permainan tongkat Hek-moko lebih liehay dan hebat,
apalagi tongkat coklat itu ternyata tahan dan kuat beradu


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan besi, dalam hal senjata jelas dia memungut
keuntungan, oleh karena itu, meski dalam waktu singkat sukar
dia mengalahkan lawan, namun sedikit banyak dia sudah
unggul di atas angin. Tak berapa lama kemudian, kepala naga
di atas pentung Kiu? poan-bo kembali gumpil pula.
Semakin dalam kerut kening Liok-yang Cinjin melihat laju
pertempuran ini, ingin maju membantu tapi kuatir Thio Tanhong
mendadak muncul, kalau dirinya sudah menguras
tenaga, jelas ini bukan tindakan bijaksana yang bakal
menguntungkan pribadinya.
Tiba-tiba, Le Khong-thian berkata: "Yang memetik harpa
tadi terang bukan Thio Tan-hong."
"Darimana kau tahu?" tanya Liok-yang Cinjin.
"Walau Thio Tan-hong serba mahir dalam bidang sastra,
tapi dalam hal memetik harpa jelas dia tidak lebih unggul dari
satu orang ini. Dalam jaman ini, kecuali Ki Harpa dari Kwi-lin
tiada orang lain yang mahir memetik harpa semerdu itu,
waktu di Cit-sing-giam tempo hari pernah aku mendengar
irama harpanya ini."
"Bukankah kau bilang bahwa Ki Harpa telah mati"!" tanya
Liok-yang Cinjin.
"Aku tahu kalau dia terluka parah, hanya dugaanku saja dia
telah mati, aku sendiri tidak melibat jenazahnya."
226 "Bagaimana kepandaian Ki Harpa?" tanya Liok-yang Cinjin.
"Petikan harpanya aku yakin nomor satu di dunia ini, tapi
dalam hal Kungfu, dia paling terhitung kelas kambing."
Liok-yang Cinjin menepekur sejenak, katanya: "Aneh,
kenapa Thio Tan-hong belum juga keluar?"
"Thio Tan-hong sudah lanjut usia, kemungkinan karena
ingin cepat-cepat menyelesaikan latihan Iwekangnya,
sekarang dia sedang mengalami Jau-hwe-jip-mo."
Pengalaman Liok-yang Cinjin jelas jauh lebih tinggi dari Le
Khong-thian, diam-diam dia membatin: "Ketangguhan lwekang
Thio Tan-hong sudah teruji dan tiada bandingannya sejak tiga
puluh tahun yang lalu. Apalagi lwekang yang diyakinkan
adalah ajaran murni dari aliran lurus. Jau-hwe-jip-mo jelas
tidak mungkin. Tapi Hek-pek-moko adalah kawan yang paling
setia terhadapnya, jikalan dia berada disini tak mungkin dia
berpeluk tangan saja" Em, kemungkinan dia sudah
meninggalkan Ciok-lin dan suruh Hek-moko menjaga tempat
tinggalnya?"
Yang dikuatirkan Liok-yang Cinjin adalah bila Thio Tanhong
tak jauh dari tempat ini, orang mendadak muncul di
saat-saat kritis. Kini setelah diketahui yang memetik harpa tadi
bukan Thio Tan-hong, maka dia pikir adalah patut kalau dia
menyerempet bahaya. Maka dia berkata: "Baiklah, pergilah
kau eaii pemetik harpa itu, biar aku membantu Kiu-poan-bo."
Memang itulah yang diharapkan Le Khong-thian, sudah tentu
dengan senang hati dia menerima tugas enteng ini.
"Hek-moko," bentak Liok-yang Cinjin, "kemana adikmu"
Ingin aku merasakan betapa hebat kekuatan gabungan
permainan tongkat kalian kakak beradik."
Hek-moko tertawa dingin, ejeknya: "Menghadapi hidung
kerbau macam tampangmu ini, memangnya perlu
menggunakan ilmu tongkat gabungan" Sejak tadi toh sudah
227 kusuruh kalian maju bersama, hayolah maju jangan pura-pura
cari alasan."
"Baik, kau sendiri yang ingin mampus, jangan salahkan
kalau aku main keroyok," sembari bicara, dia sudah
melangkah memasuki arena, senjata yang dikeluarkannya
ternyata berbentuk aneh.
Senjata tunggalnya itu adalah seutas cambuk panjang
berwarna merah darah, entah terbuat dari jenis barang apa, di
atas cambuknya ini digantung dua tengkorak manusia yang
terbuat dari besi, warnanya yang putih dengan bentuknya
yang bagus pula, sekilas pandang orang akan menyangka
bahwa itu tengkorak asli.
"Tar", sekali sabet cambuk Liok-yang Cinjin, kedua
tengkorak itu ikut berputar dan menari mengikuti kisaran
cambuk, mendadak mulut kedua tengkorak meringis lalu
terpentang hendak menggigit ke arah Hek-moko."
Hek-moko menyengel dingin: "Menggunakana senjata aneh
semacam ini, memangnya kau kira dapat menciutkan nyaliku?"
sekali gentak dia ayun tangan, begitu tongkat coklat
menggetarkan pergi pentung Kiu-poan-bo, ujung tongkatnya
tiha-tiba menyelonong maju menusuk ke mulut tengkorak
yang terpentang lebar.
Begitu Liok-yang Cinjin memutar pergelangan tangan,
kedua tengkorak itu tiba-tiba melejit terbang ke atas,
beruntun dia melancarkan tipu Lian-hoan-sam-pian, Wi-hongsau-
liu, dua ilmu tunggal dari permainan cambuknva yang
paling liehay. Hek-moko gunakan Ih-sing-hoan-wi berkelit dari
serangan pentung Kiu-poan-bo, sementara tongkat coklatnya
mengetuk pergi ujung cambuk lawan yang satunya pula,
"Bret" ternyata bajunya tergigit oleh tengkorak dan sobek
sebagian besar. Mendapat angin Liok-yang Cinjin menyeringai
dingin, katanya: "Bagaimana, senjata aneh dari kalangan sesat
ini liehay bukan."
228 Hampir melonjak keluar jantung Tan Ciok-sing menyaksikan
pertempuran seru ini, dilihatnya Le Khong-thian sudah tiba di
kaki puncak, teriaknya: "Ki Harpa, tak usah sembunyilah. Asal
kau mau menjawab beberapa pertanyaanku secara jujur, aku
tidak akan mencabut jiwamu, hayolah keluar."
Pada saat itulah, mendadak Tan Ciok-sing merasa
pundaknya kesemutan, tahu-tahu dia telah ditangkap
seseorang dari belakang. Karuan kejutnya bukan main, untung
orang itu segera berbisik di pinggir telinganya: "Jangan
berisik, kubawa kau menemui Thio Tayhiap," suaranya sudah
dikenal, setelah tenangkan diri baru Tan Ciok-sing tahu bahwa
orang di belakangnya ini adalah Pek-moko.
Agaknya Pek-moko tahu seluk beluk hutan batu ini, di
tengah hutan batu dia putar kanan belok kiri, dengan
meminjam gugusan batu-batu besar kecil dia main sembunyisembunyi
terus maju ke depan, gerakannya begitu tangkas
dan gesit, tujuannya adalah Kiam-hong. Le Khong-thian yang
berada di kaki bukit ternyata tidak tahu sama sekali. Lekas
sekali Tan Ciok-sing telah dibawa masuk ke sebuah lobang
batu. Didalam lobang batu besar inilah tampak duduk bersila
seorang laki-laki berwajah bersih welas asih berjenggot tiga
baris, Tan Ciok-sing menduga laki-laki tua inilah pasti Thio
Tan-hong adanya.
Setelah mengalami berbagai rintangan dan penderitaan,
akhirnya keinginan bisa tercapai, sudah tentu bukan kepalang
rasa senang dan haru serta kaget Tan Ciok-sing sesaat
lamanya dia sampai berdiri melenggong tak kuasa
mengeluarkan suara.
Pek-moko menurunkan Tan Ciok-sing serta berkata: "Yang
memetik harpa tadi adalah bocah ini. Dia, dia adalah..."
"Aku sudah tahu asal-usulnya," tukas Thio Tan-hong,
"jangan kau membuang waktu, pergilah bantu engkohmu."
229 Tampak sikap ragu-ragu dan serba susah pada wajah Pekmoko,
katanya: "Thio Tayhiap, lalu kau..."
"Takkan lama lagi aku sudah akan selesai dengan
semadiku, kau tidak perlu kuatir, lekas, lekas pergi," desak
Thio Tan-hong. Ternyata dalam latihan lwekang tingkat tinggi setelah
mencapai taraf yang paling top dinamakan Pit-koan-lian-kang,
untuk Pit-koan atau semadi paling lama tujuh hari paling cepat
tujuh hari, didalam jangka waktu latihan ini, tidak tidur, tidak
makan, tak boleh bergerak atau bicara, keadaannya mirip
seperti kaum padri yang semadi, maka apa yang terjadi di
sekitarnya boleh melihat seperti tidak melihat, mendengar
tidak didengarkan, jikalau dalam saat-saat kritis ini sampai ada
musuh datang mencari setori, seorang biasa yang tidak belajar
silatpun mampu untuk membuatnya mati cukup dengan
tonjokan sebuah jari tangannya saja. Waktu Hek-pek-moko
tiba di hutan batu, kebetulan Thio Tan-hong sedang Pit-koanlian-
kang, maka begitu mereka tahu kedatangan ketiga
gembong iblis itu, salah satu di antara mereka perlu tinggal
disini untuk menjaga keselamatan Thio Tan-hong.
Tahu bahwa kakaknya kini sedang terancam bahaya, apa
boleh buat akhirnya Pek-moko berkata: "Thio Tayhiap, sukalah
kau berhati-hati dan jaga dirimu sendiri, tak perlu kau buruburu
ikut melayani musuh-musuh itu," lalu dia lari keluar dari
lobang batu. Cepat sekali terdengarlah dering beradunya
senjata yang ramai, gema suaranya yang keras seperti
mendengung di atas pegunungan batu, dapat diduga bahwa
Pek-moko tentu sedang melabrak Le Khong-thian.
"Anak bagus," kata Thio Tan-hong dengan suara lembut
dan ramah, "sudah lama aku menunggu kedatanganmu, tapi
tak tersangka baru kau tiba di saat aku Pit-koan-lian-kang,
tapi untuk sementara kau boleh tidak usah urus kejadian
diluar." 230 Baru-buru Tan Ciok-sing berlutut serta menyembah,
katanya: "Wanpwe Tan Ciok-sing, mendapat pesan langsung
dari In Tayhiap..."
Belum habis dia bicara Thio Tan-hong sudah
membimbingnya bangun, katanya: "Kau tidak perlu banyak
hormat," lalu menghela napas, "nasib In Hou yang buruk
sudah kuketahui. Anak bagus, lagu apa yang kau petik dengan
irama harpa tadi?"
Tan Ciok-sing melengak, dia tidak habis mengerti kenapa
pada situasi segenting ini Thio Tan-hong masih sempat
menanyakan hal-hal kecil ini. Tapi dengan laku hormat dia
menjawab: "Yang kupetik tadi adalah lagu Khong-ling-san."
"O, ternyata Khong-ling-san," ujar Thio Tan-hong manggut
sambil menghela napas, "tak heran begitu memilukan, dengan
latihan ketenanganku selama lima puluh tahun, ternyata
terpengaruh juga diriku."--Kiranya di waktu Thio Tan-hong
menjalani Pit-koan-lian-kang, keadaannya tak ubahnya seperti
padri sakti yang semadi, tapi irama Khong-ling-san ternyata
dapat menyentak konsentrasinya, sehingga dia terjaga dari
puncak semadinya.
"Thio Tayhiap," Tan Ciok-sing berkata was-was, "aku tak
sengaja mengganggumu, aku, aku tidak tahu..."
Pelan-pelan Thio Tan-hong mengusap kepalanya, katanya
lembut: "Bukan saja aku tidak menyalahkan kau, aku harus
terima kasih padamu. Jikalau bukan irama harpamu yang
membuatku terjaga, hutan batu yang permai ini, pasti akan
diinjak-injak oleh kawanan iblis itu. Anak bagus, sekarang
tolong kau petikkan pula lagu Khong-ling-san, tapi bagian
depannya saja."
Bagian depan Khong-ling-san adalah mengisahkan dua
sahabat yang sedang tamasya riang gembira di alam bebas
setelah sekian lama tidak bersua. Maka begitu irama lagu
mulai berkumandang, suasana lobang batu besar yang semula
231 terasa redup kini mendadak tambah semarak, tak ubahnya
seperti alam semesta yang diliputi kehidupan subur dan
makmur di musim semi. Pelan-pelan Thio Tan-hong pejamkan
mata menunduk kepala, lekas sekali dia sudah tenggelam pula
dalam latihan semadinya. Di kala Tan Ciok-sing mencapai
ritme terakhir dari lagu yang dibawakan, Thio Tan-hong sudah
mulai membuka mata serta angkat kepala, irama musik masih
bergema dalam lobang batu. Mendadak Thio Tan-hong bersuit
panjang, suaranya seperti auman harimau laksana pekik naga,
Tan Ciok-sing yang berada di sampingnya sampai berjingkrak
girang dan melongo.
Suitan panjang dan menggelegar ini sekaligus telah
memamerkan betapa tangguh Iwekangnya, sebetulnya Tan
Ciok-sing masih terlalu cetek untuk bicara soal teori ilmu silat,
tapi kini dia tahu juga bahwa semadi yang sekejap di bawah
iringan lagu petikan harpanya tadi semangat dan tenaga Thio
Tan-hong telah pulih seluruhnya, hawa murni seperti bergolak
dalam tubuhnya.
Betul juga dilihatnya Thio Tan-hong sudah berdiri, katanya:
"Anak bagus sekarang aku sudah boleh berbuka semadi,
marilah kau ikut aku luar."
000OOO000 Hek-pek-moko sedang memainkan gabungan ilmu
tongkatnya di bawah Kiam-hong menempur tiga gembong
iblis, saat mana keadaan telah mencapai saat-saat tegang
yang terakhir. Mendadak suitan panjang mengalun tinggi di
angkasa, sudah tentu ketiga gembong iblis itu amat kaget,
sebaliknya Hek-pek-moko girang setengah mati.
Liok-yang Cinjin berlaku nckad, hardiknya: "Biar aku adu
jiwa dengan kau." Cambuk panjangnya tiba-tiba menggulung
seperti dari kiri tapi terbalik ke kanan, ujung cambuk sudah
232 membelit ujung kaki Pek-moko, sementara dua kerangka yang
tergantol di atas cambuk sudah mental terbang ke atas. yang
satu menggigit ke pundak kanan Hek-moko, yang lain
menggigit pundak kiri Pek-moko. gerakan satu jurus tiga
serangan ini sungguh teramat keji dan telengas.
Dengan gerakan Yan cu coan hun (burung walet
menyelinap di mega) mendadak Hek-moko melambung
setombak lebih, tongkat coklat di tangannya dengan jurus Ingkik-
tiang-khong (burung elang menyerang dari tengah udara)
mengemplang turun ke bawah. Sementara Pek-moko
melancarkan jurus Ko-teng-jan-siok (akar menjalin membelit
pohon), menyampuk pergi kepala tengkorak yang hendak
menggigit pundaknya. Maka terdengarlah suara "Dar, dar",
dua kali, begitu tersentuh tongkat kedua tengkorak itu
mendadak meledak, menyemburlah kembang api dan asap
merah gelap. Perlu diketahui bahwa cambuk panjang yang dimainkan
Liok-yang Cinjin ini dinamakan Ko-lo-liat-hwe-pian (cambuk
api tengkorak), didalam kepala tengkorak besi dipasang alat
rahasia, bukan saja dapat menggigit orang sampai urat nadi
dan tulangnya putus, di dalamnya pun dipasang alat rahasia
yang dapat menyemburkan api yang bersuhu tinggi. Bahwa
hari itu Liok Yang Cinjin berani meluruk kesini mau menantang
Thio Tan-hong bersama Kiu-poan-bo dan Le Khong-thian
lantaran dia kira Thio Tan-hong sudah tua dan lemah badan,
di samping dia memiliki cambuk api yang keji ini.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kejadian sungguh tak terduga sama sekali, saat mana Tan
Ciok?sing masih berada di lamping gunung, tampak setelah
ledakan keras tadi, Hek-pek-moko sama-sama terkurung
didalam kobaran api, pakaian dan rambut mereka yang uban
telah dijilat api.
"Tosu iblis," hardik Hek-moko murka, "biar aku adu jiwa
dengan kau," tanpa hiraukan api yang menjilat badan,
mendadak dia ayun tongkatnya mengepruk ke arah Liok Yang
233 Cinjin. Lwekang Pek-moko lebih rendah, dia tidak kuat
bertahan, lekas dia jatuhkan diri menggelinding beberapa kali,
pikirnya hendak memadamkan api yang membakar pakaian
tapi belum lagi dia melompat berdiri pula pentung kepala naga
Kiu-poan-bo tahu-tahu sudah mengemplang ke arah dirinya.
Kemplangan tongkat Hek-moko berhasil menyampuk pergi
Ko-lo-pian Liok Yang Cinjin, mendadak diapun menjatuhkan
diri berguling seraya berseru: "Lui-thian-kiau-hong" belum lagi
Pek-moko sempat melompat berdiri tahu-tahu Hek-moko
sudah menggelinding tiba hendak melancarkan gabungan ilmu
tongkat mereka, maka dia urungkan niatnya malah ikut
merebahkan diri pula.
Begitu kedua tongkat mereka terangkat, "Trang" keras
sekali, kontan Kiu-poan-bo menyemburkan darah segar,
badanpun melejit jumpalitan beberapa tombak ke belakang.
Ternyata jurus Lui-tian-kiau-hong merupakan pusat gabungan
lwekang kedua saudara kembar yang dilandasi setaker
lwekang mereka, meski Kungfu Kiu-poan-bo lebih hebat lagi
juga takkan kuat menghadapinya.
Tapi .erangan tongkat Hek-moko inipun merupakan
kekuatan terakhir saja, lekas dia bimbing adiknya berdiri terus
lari belasan langkah kesana, keduanya tampak sempoyongan,
tak ubahnya kembang lilin yang tertiup angin.
Le Khong-thian kegirangan, teriaknya: "Mereka sudah tidak
kuat lagi, lekas sikat mereka."
Belum habis dia bicara mendadak terdengar sebuah
bentakan menggelegar: "Kalian beberapa siluman jahat ini
berani menjilat ludah melanggar sumpah, hari ini Thio Tanhong
tak bisa memberi ampun lagi pada kalian," hardikan Thio
Tan-hong ini menggunakan lwekang auman singa, begitu
hebat tenaga getarannya sampai Le Khong-thian berdiri
memukau seperti patung yang kehilangan semangat, To-kaktong-
jin yang sudah diangkatnya tinggi ke atas tak bergerak
234 lagi, agaknya dia jeri untuk memukulkan ke arah Hek-moko
lagi. Cepat sekali, sebelum gema hardikan itu lenyap, tiba-tiba
Thio Tan-hong sudah melayang turun seperti terjun dari tengah
langit, orangnya masih puluhan langkah jauhnya, tapi tenaga
Pit-khong-ciang yang dia lancarkan ternyata mendampar
hebat laksana gugur gunung.
"Blum" kepala tengkorak besi yang tercantol di ujung
cambuk Liok-yang Cinjin terpukul hancur menjadi bubuk oleh
tenaga pukulan Thio Tan-hong, kobaran api yang menyala
hebat itu seperti dihembus angin lesus malah tertolak balik
membakar badannya sendiri, lekas sekali dia terguling-guling
sambil menggerung, memekik dan meraung minta tolong pula,
tapi kobaran api itu memang hebat, cepat sekali dia sudah
mampus terbakar menjadi abu.
Thio Tan-hong membentak: "Le Khong-thian, tidak setimpal
kau mengotori pedangku, lekaslah punahkan sendiri ilmu
silatmu." Le Khong-thian tetap berdiri kaku seperti patung, Tong-jin
tetap terangkat di atas kepalanya, badannya tidak bergeming
sama sekali. Thio Tan-hong mengerutkan kening, katanya:
"Mengingat rasa baktimu yang ingin menuntut balas bagi
gurumu, maka boleh aku mengampuni jiwamu, memangnya
kau masih tidak terima?" Le Khong-thian tetap tidak
bergerak atau menjawab pertanyaannya. Baru kini Thio Tanhong
merasakan keganjilan ini, lekas dia memburu maju
merebut Tong-jin di tangan Le Khong-thian. Begitu tubuh
orang tersentuh, seperti sebatang balok pelan-pelan badan Le
Khong-thian roboh berdentam. Ternyata jantungnya pecah
oleh getaran hardikan Thio Tan-hong, jiwapun melayang.
235 Kiu-poan-bo rebah di antara genangan darahnya sendiri,
setelah merintih-rintih dia berteriak: "Thio Tayhiap, mohon
sukalah kau bermurah hati, tamatkan saja jiwaku."
Jurus Lui-tian-kiau-hong yang dilancarkan Hek-pek-moko
memang dahsyat luar biasa, seorang diri Kiu-poan-bo berani
melawan jurus dahsyat ini secara kekerasan, karuan dia
tergetar luka parah sampai muntah darah, kini keadaannya
sudah empas empis dan sekarat.
Thio Tan-hong jadi tidak tega, katanya setelah menghela
napas: "Inilah yang dinamakan orang jahat berbuat jahat
akhirnya pasti memperoleh ganjaran setimpal," segera jarinya
menjentik sebuah krikil dengan telak mengenai hiat-to
mematikan di tubuh Kiu-poan-bo, tujuannya memang untuk
mengurangi penderitaannya, jiwapun melayang seketika.
Api yang menjilat tubuh Hek-pek-moko sudah padam, tapi
keadaan mereka juga empas-empis. Mereka rebah sejajar di
tanah, kini keduanya berusaha meronta bangun.
"Kalian jangan bergerak," kata Thio Tan-hong, "biar aku
obati kalian."
Napas Pek-moko sudah lemah, mulutnya megap-megap,
bibirnya bergerak seperti ingin bicara, lekas Thio Tan-hong
dekatkan telinganya ke mulut orang, didengarnya Pek-moko
berkata: "Thio Tayhiap, kau sudah menuntut balas sakit hati
kami, aku amat senang, api yang membakar kami
mengandung racun..." suaranya selembut bunyi nyamuk,
sebelum habis dia berpesan, jiwapun telah melayang.
Lekas kedua tangan Thio Tan-hong bekerja, telapak tangan
kiri mendempel punggung Pek-moko, tangan kanan
mendempel punggung Hek-moko, pelan-pelan dia salurkan
hawa murninya ke tubuh mereka. Tak lama kemudian, terasa
badan Pek-moko semakin dingin dan kaku, sementara Hekmoko
tampak bergerak dan menggeliat, pelan-pelan dia
membuka mata. 236 Diam-diam Thio Tan-hong menghela napas, pikirnya:
"Ternyata aku sendiri juga seperti pelita yang sudah hampir
kehabisan minyak," tadi dengan hawa mumi sendiri dia bantu
Hek-pek-moko dengan saluran tenaga, tak nyana jiwa Pekmoko
tetap tak berhasil ditolongnya. Hek-moko memang sadar
kembali, tapi keadaannya juga sudah payah takkan bertahan
lama lagi. "Thio Tayhiap," kata Hek-moko lemah, "seharusnya tidak
secepat ini kau menyelesaikan samadimu, kami berkorban
tidak jadi soal kau justru harus menjaga kesehatanmu,
bukankah kau harus menamatkan karya ciptaan ilmu
pedangmu untuk diwariskan murid didikmu kelak?"
Seperti disayat hati Thio Tan-hong, katanya pilu: "Jangan
kau banyak pikiran, lekas pusatkan hawa murni ke pusar, aku
akan membantumu menjebol Ki-king-pat-meh."
"Bagaimana keadaan adikku?" tanya Hek-moko.
"Sementara tak usah kau pedulikan dia, dengarkan
perkataanku. Setelah racun api yang mengenai badanmu
dapat dibersihkan kau masih bisa tetap hidup," kata Thio Tanhong.
Selama hayatnya belum pernah Thio Tan-hong
berbohong terhadap kawannya, kini karena tidak tega
memberi tahu kematian Pek-moko kepada kakaknya, terpaksa
dia berbohong, namun Hek-moko sudah tahu dari nada
jawabannya. "Thio Tayhiap," kata Hek-moko, "syukurlah kau tidak apaapa.
Kami bersaudara dilahirkan pada hari bulan dan tahun
yang sama, adalah jamak kalau mati pada hari bulan dan
tahun yang sama pula. Tak usah kau membuang tenaga
percuma untuk kami. Kedua tongkat harap kau suka simpan
untuk warisan muridku yang datang mengambilnya. Kalau
tiada yang mengambil, boleh serahkan saja kepada adik cilik
ini." 237 "Jangan," teriak Thio Tan-hong. Tapi kepala Hek-moko
sudah tertekuk lemas didalam pelukannya, ternyata dia
menggetar putus urat nadi sendiri sehingga jiwa melayang.
Baru sekarang Tan Ciok-sing tiba di tempat kejadian,
melihat kematian Hek-moko yang mengenaskan, tak tertahan
dia memekik panjang terus menubruk maju dan menangis
tersedu-sedu. Lengan baju Thio Tan-hong mengebas enteng, seguiung
tenaga lunak segera mendorong Tan Ciok-sing ke samping,
katanya: "Badannya sudah keracunan, Iwekangmu masih
rendah, jangan kau menyentuhnya."
Setelah pertempuran yang berakhir korban beberapa jiwa
ini, keadaan hutan batu kembali tenang dan sunyi, namun
Hek-pek-moko harus ikut berkorban bersama musuh-musuh
penyatron Teringat kebaikan dan budi pertolongan kedua
cjanpwc ini, Tan Ciok-sing hampir tidak berani percaya akan
kenyataan ini, nangispun tak keluar air mata, sesaat dia berdiri
mematung. Kata Thio Tan-hong: "Dari sesat kedua saudara kembar ini
telah kembali ke jalan lurus, apa yang ingin mereka kerjakan
sudah terlaksana. Aku tahu, sebelum ajal mereka hakikatnya
tak terasa derita apa-apa dalam sanubari mereka. Tapi nak,
kalau mau menangis lekaslah kau menangis sepuasmu,"
pelan-pelan rebahkan badan Hek-moko lalu berlari naik ke
Kiam-hong. Agak lama Tan Ciok-sing terlongong baru akhirnya
meneteskan air mata. Di kala tangisnya sampai serak,
didengarnya di belakang ada orang berkata: "Anak bagus,
kaupun tidak perlu bersedih hati, hayolah kau bantu aku,
biarlah mereka beristirahat dengan tenang." Waktu Tan Cioksing
berpaling dilihatnya Thio Tan-hong sudah kembali sambil
membawa sebuah sekop dan pacul.
238 Tan Ciok-sing tidak berbicara, dia terima sekop itu lalu
bantu menggali tanah. Setelah mengebumikan Hek-pek-moko,
Thio Tan-hong berkata: "Galilah lagi sebuah liang lahat, ketiga
mayat itupun perlu dikubur."
Dalam pada itu Thio Tan-hong mencari sebuah batu yang
dirasa cocok untuk dijadikan nisan. Pedang pendek
dikeluarkan, di atas batu nisan ini dia menulis beberapa huruf
yang berbunyi: "Sahabat dari Thian-tiok tempat beristirahat
Hek-pek-moko."
Sementara itu Tan Ciok-sing juga sudah selesai mengubur
mayat ketiga gembong iblis itu, sambil menahan air mata,
sekarang ganti dia yang membujuk Thio Tan-hong: "Thio
Tayhiap lebih penting kau menjaga kesehatanmu sendiri.
Kalau manusia hidup pasti mengalami mati dan hidup, kaupun
tidak perlulah menyesalinya," dilihatnya Thio Tan-hong
mendadak seperti menjadi tua dan loyo, setelah menegakkan
batu nisan itu, napasnya ternyata memburu, badanpun basah
oleh keringat. Thio Tan-hong seperti tersentak sadar, katanya: "Betul,
urusanku yang belum selesai, sudah seharusnya lekas kuatur
dengan baik."
Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak tahu "urusan" apa dan
pesan apa yang akan diberikan kepada siapa" Tapi lapat-lapat
dia merasakan firasat yang tidak baik, dilihatnya sang dewi
malam sudah bercokol tinggi di angkasa, katanya: "Thio
Tayhiap kau harus lekas beristirahat, urusan yang harus di
selesaikan biarlah dikerjakan besok pagi saja?"
Thio Tan-hong tertawa, ujarnya: "Kalau sudah suratan
takdir mau apa, besok, besok matahari akan tetap terbit dari
timur, tapi aku sendiri mana kala entah telah berada dimana?"
Mencelos hati Tan Ciok-sing bulu kuduknya merinding,
sesaat lamanya dia berdiri terpukau tak tahu apa yang harus
dilakukan dan dikatakan.
239 "Anak bagus," kata Thio Tan-hong, "maksud kedatanganmu
sudah kuketahui, bukankah kau ingin mengangkat guru
kepadaku?"
Sebetulnya Tan Ciok-sing tidak ingin membikin repot orang
di kala Thio Tan-hong kesusahan, tapi Thio Tan-hong sendiri
sudah membeberkan urusannya, sudah tentu malah
kebetulan, lekas dia berlutut serta menyembah kepada Thio
Tan-hong sebagai lazimnya murid bersujut kepada sang guru
katanya: "Memang Tecu ada maksud itu, entah Thio Tayhiap
sudi..." "Meski aku baru saja mengenalmu, aku tahu bahwa kau
adalah pemuda jujur yang sederhana pula, syukurlah kaupun
orang yang tahu hutang budi, ini lebih mencocoki seleraku.
Sejak hari ini, kau adalah murid penutupku."
Sungguh girang dan sedih pula hati Tan Ciok-sing, setelah
menyeka air mata, lekas dia menyembah pula serta
memanggil: "Suhu."
Thio Tan-hong membimbingnya bangun, katanya: "Ilmu
golok ajaran In Hou coba mainkan sekali."
Sebenarnya tiada selera Tan Ciok-sing memainkan ilmu
goloknya lagi, tapi mengingat keadaan gurunya, baik juga
untuk mengalihkan perhatian beliau, oleh karena itu meski
hati masih dirundung kesedihan, segera dia melolos golok lalu
mendemontrasikan ilmu golok keluarga In menurut apa
yang dapat dia pelajari di hadapan Thio Tan-hong.
"Anak baik," ucap Thio Tan-hong tertawa, "kau cukup
pintar, dengan dasar yang sudah kau pupuk ini, untuk
meyakinkan lwekang taraf tinggi kukira tanpa bimbingan
langsung dari seorang guru pasti dapat juga kau belajar dan
menyelaminya. Em, legalah hatiku."
Tan Ciok-sing melengak. Thio Tan-hong memujinya ini jelas
menggirangkan hatinya, tapi kenapa suhu harus berkata
240 demikian, bahwa aku bisa belajar sendiri tanpa bimbingan
guru, beliaupun legalah.
Thio Tan-hong mengeluarkan sejilid buku, katanya
perlahan: "Inilah intisari latihan lwekang karyaku sendiri, kau
harus tekun membaca dan mempelajarinya dengan rajin,
dalam jangka tiga tahun yakin kau akan berhasil. Ada
beberapa bagian yang sukar di mengerti, mumpung sekarang
ad

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukit Pemakan Manusia 20 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 15
^