Pendekar Riang 8

Pendekar Riang Karya Khu Lung Bagian 8


n pandangan mata.
"Aku sudah pernah mati tujuh kali !"
Hingga sekarang, Kwik Tay-lok baru percaya bahwa ucapan dari Yan Jit itu tidak bohong.
Hanya orang yang pernah mati sebanyak tujuh kali akan memiliki kecepatan reaksi sehebat itu
dan pengalaman seluas itu.
Lim Tay-peng sudah merasa kesakitan setengah mati, peluh dinginpun telah jatuh bercucuran,
tapi dia belum lupa unluk memeriksa kertas di tangannya itu.
Sambil menggigit bibir dan napas terengah-engah, katanya:
"Coba kau lihat tulisan apakah diatas kertas itu ?"
Diatas kertas itu tertera beberapa huruf yang kecil dan lembut : "Seandainya kau bukan Ong
Tiong, maka kaulah setan sial yang akan menggantikannya untuk mampus!"
Angin masih berhembus lewat.
Orang-orangan itu bergoyang-goyang terhembus angin, seakan-akan merupakan suatu
tantangan bagi mereka.
Mendadak Kwik Tay-lok naik pitam, tiba-tiba dia mengayunkan tinjunya menghantam orangorangan
itu. Tentu saja orang-orangan tak bisa membalas, juga tak bisa menghindarkan diri.
Baru saja Kwik Tay lok mengayunkan tinjunya, Yan Jit segera merangkul pinggangnya,
tinjunya tak sampai telak bersarang ditubuh orang-orangan itu, tapi toh kena juga.
Dikala bogem mentahnya mampir didada orang-orangan itu, tangannya segera merasa
bagaikan digigit nyamuk pula.
Seketika itu juga kepalanya terasa gatal sekali, bahkan rada kaku rasanya, setitik warna hitam
muncul pada ruas jari tengahnya....
Ketika Yan Jit mencukil dengan ujung pisaunya, darah berwarna hitam segera jatuh
bercucuran. Darah yang mengandung racun, bahkan terendus bau amis yang sangat memuakkan.
Tapi Yan Jit tidak takut bau, tidak takut kotor, dengan mulutnya dia hisap keluar semua darah
beracun itu. Air mata Kwik Tay-lok hampir saja jatuh bercucuran membasahi pipinya....
Mendadak dia merasakan bahwa Yan Jit terhadapnya bukan sikap seorang sahabat saja,
bahkan semacam hubungan yang lebih dalam dari pada persahabatan, lebih akrab dan hangat
dari pada sahabat biasa.
Tapi dia sendiripun tak dapat menerangkan perasaan yang bagaimanakah itu.
Hingga Yan Jit berdiri, dia masih tidak berbicara apa-apa, sepotong kata terima kasihpun tidak.
Bukan berarti dia tidak merasa berterima kasih, rasa terima kasihnya waktu itu pada
hakekatnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Yan Jit menghembuskan napas panjang, kemudian pelan-pelan berkata:
"Sekarang, bagaimana rasamu?"
Kwik Tay-lok tertawa getir.
"Aku merasa diriku adalah seorang tolol, seratus persen seorang manusia tolol!"
Lim Tay-peng menatap mereka terus menerus, mendadak dia menghela napas dan
bergumam: "Yaa, kau memang tolol sekali !"
Air mukanya jauh lebih menarik dari pada tadi, cuma kakinya sama sekali tak mampu berkutik.
Yan Jit sama sekali tidak menghisapkan darah beracun dari mulut lukanya, tapi dia sama
sekali tidak bermaksud untuk menggerutu, apa lagi tak senang hati, seakan-akan hal tersebut
sudah merupakan sesuatu yang wajar.
Apakah dia telah melihat sesuatu " Menemukan sesuatu rahasia yang tak dapat dilihat oleh
Kwik Tay-lok "
Paras muka Yan Jit tampak agak memerah, tapi dengan cepat dia melengos ke samping,
kemudian menggunakan pisaunya mencongkel baju dari orang orangan itu...
Sekarang Kwik Tay lok baru melihat bahwa seluruh badan orang-orangan itu penuh berisikan
jarum-jarum tajam, dibawah teriknya matahari, ujung-ujung jarum itu kelihatan bersinar gelap dan
berkilap, sekalipun orang dungu juga tahu kalau setiap batang jarum itu sangat beracun dan
mematikan. Tadi, seandainya Yan Jit tidak menariknya, dan bila kepalan tersebut menghajar telak badan
orang-orangan itu sekalipun jiwanya masih bisa diselamatkan, paling tidak tangannya juga bakal
musnah.... Sekarang, tentu saja Lim Tay-peng juga mengerti bahwa kertas surat itu merupakan
kunci tombol untuk menggerakkan semua alat rahasia dari orang-orangan tersebut, bila kertasnya
ditarik maka alat rahasia itupun ber jalan.
Dari atas sampai kebawah dari orang-orangan itu ternyata tersembunyi siasat busuk seperti
itu, sesungguhnya kejadian ini sama sekali diluar dugaan siapapun.
Kwik Tay-lok menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa geli:
"Sebuah orang-orangan ternyata mampu merobohkan dua orang manusia hidup, andaikata
kejadian ini tidak kualami sendiri, siapapun yang bercerita aku juga tak akan percaya."
"Aaaai..... kalau orang-orangnya saja sudah sedemikian lihaynya, bukankah itu berarti orang
yang membuat orang-orangan itu jauh lebih menakutkan lagi ?"
"Kalau tidak amat menakutkan, masa Ong lotoa bisa begitu terperanjatnya ?"
Paras muka Yan Jit berubah memucat, serunya kemudian:
"Sekarang, orang-orangannya sudah muncul, entah mereka sendiri sudah datang belum?"
"Aaaah ! Mari kita masuk menengok Ong lotoa" teriak Lim Tay-peng, "jangan pedulikan aku,
tanganku masih dapat bergerak."
Kwik Tay-lok tidak berkata apa-apa, dia hanya memayang tubuhnya dan menyeretnya masuk.
Yan Jit telah menyerbu ke dalam sambil berteriak keras:
"Ong lotoa... Ong Tiong !"
Tiada jawaban, tiada suara barang sedikitpun jua.
Ong Tiong telah lenyap tak berbekas!
Selimut diatas ranjangnya Ong Tiong tidak berada diatas ranjangnya, juga tak ada dalam
rumah. Kwik Tay-lok sekalian sudah mencarinya dari depan sampai belakang, namun tak berhasil
menemukan orangnya.
Mereka semua cukup memahami watak Ong Tiong. Persoalan yang bisa membuat Ong Tiong
bangun dari ranjangnya sudah tidak banyak, apalagi menyuruhnya pergi sendirian.
"Jangan-jangan disini telah terjadi suatu peristiwa " Dan Ong Tiong sudah...."
Untuk berpikir lebih jauhpun Kwik Tay-lok tidak berani.
Lima Tay-peng berbaring diatas ranjangnya Ong Tiong, muka yang pucat sudah berubah
menjadi merah karena gelisah, teriaknya keras-keras:
"Aku toh sudah bilang kepada kalian, tak usah urusi aku, cepat mencari Ong lotoa..."
Kwik Tay lok juga amat gelisah, teriaknya segera keras keras:
"Tentu saja harus dicari, tapi kau suruh kami pergi mencarinya ke mana...."
Lim Tay-peng tertegun.
Dia mencoba untuk menengok ke arah Yan Jit, tapi Yan Jit juga tertegun.
Sekarang, dua diantara mereka sudah terluka, tapi siapakah musuhnya hingga kini masih
belum diketahui.
Malahan setitik cahaya terangpun tidak di temukan.
Sekarang, mereka hanya mengetahui akan satu hal.
Orang-orang itu sudah pasti punya dendam dengan Ong Tiong, bahkan dendam itu lebih
dalam dari lautan.
Tapi, sekalipun sudah tahu apalah gunanya " Pada hahekatnya sama halnya dengan tidak
tahu. Pada saat itulah mendadak mereka mendengar suara langkah kaki diatas beranda.
Langkah kaki itu pelan dan sangat lambat.
Hampir saja tersirat darah panas dalam tubuh Kwik Tay-lok, jantung mereka serasa berhenti
berdetak. Yang datang bukan orang-orangan. Orang orangan tak mungkin bisa berjalan.
Yan Jit memberi tanda kepada Kwik Tay-lok dengan kerlingan mata, kedua orang itu segera
menyelinap ke samping dan bersembunyi dibelakang pintu.
Suara langkah kaki itu kian lama kian mendekat, akhirnya berhenti didepan pintu.
Yan Jit sudah menyiapkan pisau belatinya yang siap diayunkan setiap saat.
Pintu pelan-pelan dibuka orang tangan seseorang pun mendorong pintu.
Yan Jit membalikkan badannya, secepat kilat pisau belatinya diayunkan ke depan siap
membabat urat nadi orang itu.
"Tahan!" tiba-tiba Lim Tay-peng membentak.
00000000000 Bentakan begitu menggelegar, Yan Jit segera menghentikan gerakan tangannya ditengah
jalan, mata pisau tinggal setengah inci saja dari urat nadi dipergelangan tangan orang itu.
Tapi tangan itu masih tetap tenang, masih melanjutkan gerakannya pelan-pelan membuka
pintu. Tangan itu seolah-olah berurat kawat yang terbuat dari baja murni.....
Pintu sudah dibuka, Ong Tiong pelan-pelan berjalan masuk ke dalam, tangannya yang lain
membawa sebuah guci arak.
Mata pisau ditangan Yan Jit masih berkilauan tajam.
Lim Tay-peng masih berbaring diatas ranjang, siapapun tahu kalau dia sedang menderita luka.
Tapi Ong Tiong seolah-olah tidak melihat apa-apa, wajahnya masih tanpa emosi. Seolah-olah
seluruh badan orang ini terbuat dari baja murni.
Pelan-pelan dia berjalan masuk, pelan-pelan meletakkan araknya diatas meja.
Orang pertama yang tak mampu mengendalikan diri adalah Kwik Tay-lok, dengan suara keras
dia bertanya: "Kau pergi kemana ?"
"Pergi membeli arak !" jawab Ong Tiong hambar.
Jawabannya amat santai dan biasa, seakan-akan apa yang dilakukan adalah sesuatu yang
wajar. "Pergi membeli arak ?" ternyata dalam keadaan beginipun dia masih sempat meluangkan
waktu untuk membeli arak "
Kwik Tay lok memandangnya dengan terbelalak, hampir boleh dibilang ia dibikin tertawa tak
bisa, menangispun tak dapat.
Sekali tepuk Ong Tiong membuka penutup guci arak tersebut, diendusnya sebentar, kemudian
tampaknya ia merasa puas sekali, sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibirnya.
"Lumayan juga arak ini, mari kita masing-masing meneguk dua cawan arak....!"
"Sekarang aku tak ingin minum!" kata Kwik Tay-fok tak tahan.
"Tidak inginpun harus minum, pokoknya kalian harus minum arak ini barang dua cawan."
"Mengapa?"
"Sebab inilah arak perpisahan untuk kalian dengan diriku."
"Perpisahan! Kenapa harus memberi salam perpisahan kepada kami?" jerit Kwik Tay-lok.
"Karena sebentar lagi kalian akan berangkat meninggalkan tempat ini....."
Kwik Tay-lok segera melompat bangun, teriaknya keras-keras:
"Siapa yang bilang kalau kami akan pergi ?"
"Aku yang bilang."
"Tapi kami toh tak ingin pergi !" teriak Yan Jit.
Sambil menarik muka Ong Tiong berkata dengan dingin:
"Tidak ingin pergi juga harus pergi, apakah kalian ingin tinggal disini sepanjang hidup?"
Yan Jit memandang ke arah Kwik Tay-lok, Kwik Tay-lok segera mengerdipkan matanya, lalu
sahutnya sambil tertawa:
"Tepat sekali jawabanmu, kami memang ingin berdiam terus disini sepanjang jaman!"
"Selama tinggal disini, pernahkah kalian membayar uang sewa?" seru Ong Tiong dengan
wajah hijau membesi.
"Belum pernah."
"Akukah yang suruh kalian pindah kemari ?"
"Bukan, kami yang datang sendiri."
Ong Tiong segera tertawa dingin.
"Heeehhh.... heeehhhh...... heeehhh...... kalau memang begitu, atas dasar apa kalian tak mau
pergi dari sini?"
"Baik, pergi yaa pergi !" tiba-tiba Yan Jit berseru.
Begitu bilang akan pergi dia lantas pergi, cuma sewaktu lewat dihadapan Kwik Tay-dok, dia
segera mengerdipkan matanya.
Kwik Tay-lok memutar biji matanya, lalu berseru pula:
"Betul, pergi yaa pergi, apanya yang luar biasa."
Ternyata dia bilang pergi lantas pergi, seakan-akan sedetikpun sudah tidak tahan lagi.
Lim Tay-peng yang menyaksikan kejadian itu menjadi tertegun, serunya kemudian:
"Hei, apakah minum arakpun tidak kalian tunggu?"
"Kalau memang sudah diusir, masa punya muka untuk minum arak lagi.....?" jawab Kwik Taylok.
Lim Tay-peng segera berpaling dan memandang ke arah Ong Tiong.
Paras muka Ong Tiong masih sama sekali tidak berperasaan, katanya dengan dingin:
"Tidak minum yaa tidak minum, memangnya kalau arak ini disimpan lantas bakal busuk?"
"Bagaimana kalau aku tinggal disini saja?" Aku tak mampu berjalan lagi....!"
"Tak mampu berjalan memangnya tak bisa merangkak ?" tukas Ong Tiong sambil menarik
muka. Lim Tay-peng tertegun beberapa saat lamanya, akhirnya dia menghela napas panjang
kemudian dengan terpincang-pincang turut mereka keluar dari situ.
Ong Tiong masih berdiri disitu, memandang mereka dengan pandangan dingin, tubuhnya
sama sekali tak berkutik.
Lewat beberapa saat kemudian terdengar.... "Blaam!" entah siapa yang melakukannya, tahutahu
pintu gerbang dibanting keras-keras hingga tertutup.
Mendadak Ong Tiong menyambar guci arak dimeja lalu meneguknya tujuh delapan tegukan
baru berhenti, kemudian sambil menyeka mulut gumamnya lirih:
"Arak bagus, arak wangi, ternyata ada juga manusia yang enggan minum arak wangi seperti
ini, kalau bukan orang tolol, apa pula namanya.."
Memandang guci arak yang berada di tangannya, sepasang mata yang dingin itu mendadak
berubah menjadi merah, seolah-olah sstiap saat kemungkinan besar air matanya akan jatuh
bercucuran. Tanpa berpaling Yan Jit berjalan keluar dari pintu gerbang, tiba-tiba ia berhenti.
Kwik Tay-lok yang berjalan ke sisinya juga tiba-tiba berhenti.
Lim Tay-peng turun ke luar, "Blaaam !" ia membanting pintu itu keras-keras, lalu sambil
mendelik ke arah mereka, teriaknya:
"Sungguh tak kusangka kalian mengatakan pergi lantas pergi !"
Kwik Tay-lok memandang ke arah Yan Jit, Yan Jit tidak mengucapkan sepatah katapun,
melainkan duduk di undak-undakan di luar pintu persis saling berhadapan dengan orang-orangan
itu. Kwik Tay-lok segera duduk pula sambil mengawasi orang-orangan itu, kemudian gumamnya:
"Setiap tahun tentu ada kejadian aneh, tapi tahun ini paling banyak, bukan saja orang-orangan
bisa main layang-layang juga pandai membunuh orang, coba katakan aneh tidak ?"
"Aneh !" jawab Lim Tay-peng.
Dia pun telah duduk, tangannya yang sebelah masih memegangi mulut lukanya kencangkencang.
Sekarang ia sudah memahami maksud Yan Jit dan Kwik Tay-lok, maka diapun tidak berkata
apa apa lagi. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar suara langkah kaki Ong Tiong pelan-pelan
berjalan keluar, menyeberangi halaman dan menuju kepintu gerbang, kemudian memalang pintu
itu dari dalam.
Mendadak palang pintu itu dicabut kembali, kemudian pintu gerbangpun dibuka lebar-lebar.
Ong Tiong berdiri didepan pintu, memandang kearah mereka dengan sepasang mata
terbelalak lebar-lebar.
Yan Jit, Kwik Tay-lok, Lim Tay-peng tiga orang rekannya itu duduk diluar pintu seorangpun tak
ada yang berpaling.
Ong Tiong tak kuasa menahan diri, segera teriaknya keras-keras:
"Kenapa kalian belum pergi " Mau apa kalian duduk disini ?"
Tak seorangpun diantara mereka bertiga yang memperdulikan dirinya.
Yan Jit hanya melirik sekejap kearah Kwik Tay-lok, lalu bertanya:
"Melanggar hukumkah jika kita duduk disini ?"
"Tidak !"
"Yaa, orang-orangan saja boleh duduk di sini, kenapa kita tak boleh....?" sambung Lim Taypeng.
Dengan suara keras Ong Tiong segera berteriak kembali:
"Tempat ini adalah pintu gerbang rumahku, kalau kalian duduk disitu, berarti telah
menghalangi jalan pergiku!"
Kembali Yan Jit melirik sekejap kearah Kwik Tay-lok, lalu katanya:
"Orang bilang kita menghalangi jalan lewatnya !"
"Kalau begitu mari kita duduk bergeser kesamping, sedikit !" kata Kwik Tay-lok.
Tiga orang itu segera bangkit berdiri lalu pindah ke seberang sana, dengan duduk berjajar, kali
ini mereka duduk menghadap ke pintu gerbang rumah.
"Boleh tidak kita duduk di sini ?" tanya Yan Jit kemudian.
"Kenapa tidak" sahut Kwik Tay-lok, "tempat ini toh bukan tempat orang, juga tidak menghalangi
jalan lewat orang."
"Betul" sambung Lim Tay-peng.. "Siapa yang suka duduk di sini, dia boleh duduk seenaknya di
sini." "Lagi pula suka duduk berapa lama, dia boleh duduk berapa lama pula." Yan Jit
menambahkan. Ong Tiong semakin mendelik ke arah mereka.
Tapi ketiga orang itu menengok ke sana ke mari, tak seorangpun yang memandang ke arah
Ong Tiong. Dengan suara keras kembali Ong Tiong berteriak:
"Kalian mau apa duduk disitu ?"
"Mau apa" Apapun tidak kami lakukan, kami cuma ingin duduk-duduk saja...." kata Kwik Taylok.
"Yaa, kami senang duduk disini, kamipun duduk disini, tak ada orang yang biasa mengurusi
kami." "Tempat ini nyaman sekali." Lim Tay-peng berkata.
"Mana nyaman, segar lagi !" Yan Jit menimbrung.
"Lagi pula tak bakal ada orang yang akan memungut uang sewa kepada kita"
Mendadak Ong Tiong membalikkan badan dan masuk ke dalam, "Blaaam!" ia membanting
pintu gerbang dan menutupnya rapat-rapat.
Yan Jit segera memandang ke arah Kwik Tay-lok, Kwik Tay-lok memandang kearah Lim Taypeng,
lalu ketiga-tiganya tertawa tergelak.


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun tertawa, namun dibalik tertawa tampak wajah yang murung dan kesal.
Matahari telah tenggelam dibalik bukit.
Bagaimanapun juga musim semi memang belum waktunya tiba, terang hari masih terlalu
pendek. Begitu sang surya sudah tenggelam, cuaca pun berubah menjadi gelap gulita.
Bila cuaca mulai gelap, berarti segala sesuatu kemungkinan bakal terjadi, siapa pun tak tahu,
siapa pun tak bisa menebak, peristiwa apakah yang bakal terjadi"
Diam-diam Yan Jit menarik tangan Kwik Tay-lok, kemudian tanyanya:
"Bagaimana dengan lukamu ?"
"Tidak menjadi soal, seperti sediakala, mampu untuk menghajar orang..."
"Dan kau ?" Yan Jit baru berpaling ke arah Lim Tay-peng.
"Mulut lukaku secara lamat-lamat sudah mulai terasa sakit."
Yan Jit segera menghembuskan napas panjang.
"Kalau begitu sudah tidak berbahaya lagi." katanya.
Jika mulut luka yang terkena sambitan senjata rahasia beracun sudah mulai terasa sakit itu
menandakan kalau sari racun sudah mulai bersih dari tubuh.
Kwik Tay-lok masih kurang lega, maka kembali dia bertanya:
"Hebatkah sakitnya ?"
Lim Tay-peng tertawa:
"Masih mendingan, meskipun belum tentu bisa dipakai untuk melompati pagar, tapi masih bisa
menghantam orang."
"Laparkah kalian ?" tanya Yan Jit lagi.
"Saking laparnya sampai ingin menelanmu hidup-hidup"
"Tapi dikala sedang lapar, kau pun masih mampu untuk menonjok hidung orang, betul bukan
?" "Tepat sekali !"
Dengan cepat cuaca telah menjadi gelap.
Sikap dan perasaan ketiga orang itupun makin lama semakin menjadi tegang.
Tapi sekarang mereka sudah mempunyai persiapan, siap untuk menghajar orang.
Kwik Tay-lok mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, dengan mata melotot besar
serunya: "Sekarang kita boleh dibilang siap sedia secara komplit dan menunggu datangnya angin timur
!" "Apakah yang dimaksud angin timur itu?" tak tahan Lim Tay-peng bertanya.
"Angin timur adalah orang yang hendak kita tonjok hidungnya !"
Pada saat itulah, dia telah menyaksikan seseorang.
Seorang yang membopong seguci arak.
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka lagi, sambil membopong guci arak Ong Tiong berjalan keluar.
Kali ini diapun memperdulikan mereka, sebaliknya duduk diatas undak-undakan pintu
gerbangnya. Empat orang duduk saling berhadapan, siapapun tak ada yang mulai berbicara.
Orang pertama yang tak kuasa menahan diri tentu saja masih tetap Kwik Tay-lok adanya.
Dia menghela napas panjang, kemudian bergumam:
"Aku masih ingat, agaknya tadi ada orang yang hendak mengundang kami minum arak."
Ong Tiong tidak menjawab, juga tidak memandang kearahnya, tiba-tiba guci arak itu
digelindingkan ke hadapannya.
Bila kau melemparkan sesuatu benda ke arah Kwik Tay-lok, mungkin saja ia tak mampu untuk
menerimanya, tapi kalau guci arak...
Bila guci arak yang dilemparkan kepadanya, sekalipun selagi tidur, ia juga sanggup untuk
menerimanya. Dalam waktu singkat ia sudah meneguk beberapa tegukan diberikan kepada Yan Jit, Yan Jit
meneguk kemudian diserahkan kepada Lim Tay-peng.
Mendadak Ong Tiong berkata:
"Orang yang sudah terluka masih ingin minum arak, itu berarti dia sudah bosan hidup."
"Siapa bilang aku terluka" Aku tidak lebih cuma terpagut oleh binatang kecil."
"Binatang apa?" tak tahan Ong Tiong kembali bertanya.
"Seekor kelabang kecil !"
Mendadak Ong Tiong merebut ke depan dan merampas guci arak itu kemudian dengan wajah
hijau membesi serunya:
"Sebenarnya kalian hendak duduk sampai kapan disini ?"
Kwik Tay-lok tidak sabar, teriaknya:
"Duduk sampai ada orang yang datang mencarimu."
"Siapa bilang ada orang hendak mencariku ?"
"Aku!"
"Dari mana kau bisa tahu ?"
"Orang-orangan itu yang memberitahukan kepadaku."
Diliriknya Ong Tiong sekejap dengan ekor matanya, kemudian melanjutkan sambil tertawa:
"Orang-orangan ini selain bisa main layang-layang, juga pandai berbicara, coba kau katakan
lucu tidak?"
Mendadak paras muka Ong Tiong berubah hebat, pelan-pelan ia mundur kembali ke undakundakan
batu didepan pintu gerbangnya.
Suasana disekeliling tempat itu amat sunyi, hanya arak dalam guci yang masih kedengaran
berbunyi. Tiba-tiba Yan Jit berkata:
"Hei, coba dengar ! Arak didalam guci pun pandai berbicara, sudah kalian dengar belum?"
"Apa yang dia katakan!" tanya kwik Tay- lok.
"Dia bilang ada tangan seseorang sedang gemetar, bahkan gemetar sampai kepalanya ikut
pusing." Mendadak Ong Tiong melompat bangun lalu mendelik ke arahnya.
Tapi ia tidak ambil perduli, menengok ke arah Ong Tiong pun tidak. Mereka bertiga masih
celingukan kesana kemari, memandang ke semua tempat kecuali ke arah Ong Tiong.
Mendadak meluncur datang setitik cahaya api dan tepat menghajar telak di atas tubuh orangorangan
yang pertama. "Bluuuummm....!" orang-orangan itu segera terbakar hebat.
Dibalik cahaya api yang menjilat-jilat tampak warna hijau yang membawa bau aneh tersiar ke
mana-mana. Paras muka Ong Tiong segera berubah hebat, teriaknya tiba-tiba:
"Cepat mundur, mundur ke dalam rumah"
Dia melemparkan guci arak itu ke arah Kwik Tay-lok, kemudian membalikkan badan
membopong Lim Tay-peng dan menyerbu masuk ke dalam pintu gerbang.
Ong Tiong akhirnya bergerak juga.
Bila sedang tidak bergerak ia tampak malas, tapi begitu bergerak ternyata jauh lebih cepat dari
siapapun. Kwik Tay-lok juga bergerak, dia letakkan dulu guci arak itu kemudian baru bergerak.
Karena dia tidak mundur ke arah rumah, sebaliknya menerjang ke arah mana berasalnya
cahaya api itu.
Begitu dia menubruk ke sana, tentu saja Yan Jit juga mengikuti dibelakangnya.
0ng Tiong segera berteriak keras:
"Cepat mundur kembali, tempat itu tak boleh didatangi ?"
Kwik Tay-lok tidak menggubris, seakan-akan secara tiba-tiba berubah menjadi orang tuli.
Ia tidak mendengar, tentu saja Yan Jit juga tidak mendengar.
Lim Tay-peng segera menghela napas panjang, katanya:
"Orang ini tampaknya paling suka pergi ketempat yang tak boleh dikunjungi, sekarang apakah
kau masih belum paham dengan penyakitnya itu...."
Jika sebuah gedung, rumah bisa disebut orang sebagai ?"perkampungan," paling tidak dia
harus mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi dulu.
Rumah itu pasti tidak terlampau kecil.
Sekalipun rumah itu tidak didirikan di atas bukit, paling tidak harus berada di kaki gunung.
Di luar gedung tersebut, besar atau kecil harus terdapat sebidang hutan yang rimbun.
Meskipun Hok-kui-san-ceng sedikitpun tidak kaya raya, paling tidak masih termasuk juga
sebuah "san-ceng" (perkampungan).
Oleh karena itu, diluar gedung juga terdapat sebuah hutan, dari hutan itulah cahaya api tadi
dibidikan. Dengan suara dalam Kwik Tay-lok, berseru:
"Apakah titik api itu dibidikan dari belakang pohon tersebut?"
"Aku tidak melihat jelas" jawab Yan Jit "dan kau ?"
"Aku juga tidak terlalu jelas."
Cuaca memang sudah gelap, hutan itu tampak lebih gelap lagi, tidak nampak bayangan
manusia, juga tidak kedengaran sedikit suarapun.
Kembali Yan Jit berkata:
"Aku rasa lebih baik kita kembali dulu untuk merundingkan persoalan ini dengan Ong lotoa."
"Orang lain enggan berunding dengan kita, mau apa kita berunding dengannya " Berunding
soal kentut ?"
Jika ia sudah mulai mengeluarkan kata-kata kotor, itu menandakan kalau hawa amarahnya
sudah mulai berkobar.
"Bila bertemu hutan jangan masuk. Apakah peraturan dunia persilatan inipun tidak kau pahami
?" "Aku tidak paham. Aku memangnya bukan jago kawakan, segala macam peraturan dunia
persilan tak sebuahpun yang kupahami."
Mendadak tubuhnya menerjang kedepan, langsung menerjang masuk kedalam hutan. .
Dari dalam hutan itu seakan-akan ada cahaya tajam yang berkilauan.
Sebelum mata Kwik Tay lok melihat jelas, tubuhnya sudah menerjang ke dalam.
Kemudian diapun menyaksikan sebilah pisau.
Sebilah pisau untuk memotong daging.
Pisau itu menancap di atas pohon, memantek secarik kertas.
Di atas kertas itu tentu saja ada tulisannya, tapi tulisan itu lembut sekali, sekalipun berada
ditengah hari yang terang benderang juga belum tentu bisa melihatnya dengan jelas.
Baru saja Kwik Tay-lok hendak mencabut pisau itu, Yan Jit telah menariknya.
Dengan wajah pucat pias Yan Jit melotot sekejap ke arahnya, kemudian menegur:
"Kau toh sudah tertipu satu kali, apakah sekarang ingin tertipu untuk kedua kalinya ?"
Dia gelisah dan jengkel, sebaliknya Kwik Tay-lok malah tertawa tergelak:
"Hei, apa yang kau tertawakan ?" Yan Jit segera menegur.
"Aku sedang mentertawakan kau !"
"Tertawa kentutmu!"
Jika dia sudah turut sertakan kata kotor dalam makiannya, itu menandakan kalau ia sudah
jengkelnya setengah mati.
Kwik Tay-lok tidak tertawa lagi, katanya dengan bersungguh-sungguh:
"Sekalipun mereka masih menginginkan aku tertipu, pasti cara lain yang lebih segar yang akan
dipakai, kenapa musti mengulangi lagi dengan cara itu, memangnya mereka anggap aku ini
seorang bego yang tololnya bukan kepalang ?"
"Kau anggap kamu ini bukan bego ?" teriak Yan Jit sambil menarik mukanya.
Kwik Tay-lok menghela napas panjang lalu tertawa getir.
"Baik!" katanya, "kau suruh aku tidak turun tangan, akupun tak akan turun tangan, tapi maju
mendekat toh tidak menjadi soal bukan ?"
Ternyata ia benar-benar menggendong tangan sambil maju kedepan.
Tangan tidak bergerak, kalau cuma memandang dengan mata tentunya tak menjadi soal.
Tapi huruf diatas kertas itu benar-benar terlalu kecil, mau tak mau terpaksa dia harus maju lagi
lebih mendekat.
(Bersambung jilid 16)
Jilid 16 AKHIRNYA SECARA lamat-lamat dia dapat membaca juga tulisan yang tercantum di atas
kertas itu. "Hati-hati kakimu..."
Ketika membaca tulisan itu, kakinya menjadi kehilangan keseimbangan dan segera terjerumus
ke bawah. Ternyata di bawah sana terpasang sebuah perangkap.
"Hati-hati . . . ." teriak Yan Jit.
Ditengah bentakan, dia sudah menerjang, ke muka dan menarik tangan Kwik Tay-lok.
Mendapat tarikan, Kwik Tay-lok segera mementalkan tubuhnya ke udara dan melompat ke
atas. Ilmu dalam meringankan tubuh yang dimilikinya tidak terhitung lemah, lompatannya itu sangat
tinggi. Sayangnya sekali, semakin tinggi dia melompat, semakin ruyamlah keadaannya.
"Kraaakkk....!" tiba-tiba dari balik daun berkumandang suara keras, tiba-tiba sebuah jaring
besar terjatuh dari atas.
Sungguh sebuah jaring yang besar sekali.
Sekalipun Kwik Tay-lok punya sayap dan bisa terbang seperti burung, juga jangan harap bisa
menghindarkan diri dari sergapan tersebut.
Apalagi tubuhnya sedang melompat ke tengah udara, seakan-akan tubuhnya sedang
menyongsong datangnya jaring tersebut, mau menghindar ke arah manapun tak sempat lagi.
Bukan dia saja yang tak bisa menghindar, Yan Jit sendiripun tak dapat menghindarkan diri.
Tampaknya kedua orang itu segera akan terkurung oleh jaring besar itu....
Mendadak sesosok bayangan hitam meluncur lewat seperti peluru yang ditembakkan oleh
meriam, kecepatannya hampir sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Bayangan hitam itu menyambar lewat dari atas kepala mereka, tangannya dengan cekatan
menyambar jaring tadi.
Bayangan hitam itu bukan peluru kanon, melainkan manusia.
Dia adalah Lim Tay-peng !
Setelah menyambar jaring itu, tubuh Lim Tay-peng masih meluncur ke depan sejauh dua tiga
kaki lebih ke depan sebelum akhirnya gerakan itu melamban.
Sementara itu Kwik Tay-lok dan Yan Jit sudah mengundurkan diri keluar dari hutan itu, tampak
Lim Tay-peng masih bergelantung di atas pohon dengan tangan yang satu memegang dahan,
tangan lain memegang jala, tubuhnya berayunan kesana kemari.
Jantung Kwik Tay-lok masih berdebar keras, tak tahan lagi dia menghela napas panjang, lalu
katanya sambil tertawa getir:
"Kali ini, seandainya bukan kau, aku benar-benar sudah menghantarkan diri ke dalam jaring."
"Kau tak usah berterima kasih kepadaku!" kata Lim Tay-peng sambil tertawa.
"Kalau tidak berterima kasih kepadamu, lantas harus berterima kasih kepada siapa?"
"Berterima kasih saja kepada orang yang berada di belakangmu."
Ketika Kwik Tay-lok membalikkan badannya, dia baru melihat Ong Tiong dengan wajah hijau
membesi sedang berdiri di belakang.
Sambil tertawa kembali Lim Tay-peng berkata:
"Sedari tadi toh sudah kukatakan, aku sudah tak mampu untuk melompati tembok lagi"
"Lantas tadi..."
"Tadi, Ong lotoalah yang melemparkan tubuhku dengan kekuatan yang hebat, kalau tidak
masa bisa secepat itu gerakan tubuhku?"
Di dunia ini memang tak akan ada orang yang memiliki gerakan tubuh sedemikian cepatnya,
andaikata tidak meminjam daya lemparan dari Ong Tiong, siapapun mustahil bisa memiliki
gerakan tubuh sedemikian cepatnya.
Kwik Tay-lok melirik sekejap ke arah Ong Tiong, lalu katanya sambil tertawa paksa:
"Tampaknya tenaga lemparan yang dimiliki Ong lotoa memang hebat juga...!"
"Tapi Ong lotoa justru mengagumimu." ucap Lim Tay-peng.
"Mengagumi aku ?"
"Meski tenaga lemparannya besar, nyalimu jauh lebih besar." kontan Kwik Tay-lok melotot
sekejap ke arahnya sambil mengomel:
"Apakah kau harus menirukan seekor monyet, berbicara sambil bergelantungan di atas pohon
?" "Sebetulnya sedari tadi aku sudah pingin turun," jawab Lim Tay-peng sambil tertawa: "sayang
kakiku memang tidak penurut."
Ong Tiong tidak berbicara apa-apa selama ini, demikian pula Yan Jit....
Kedua orang itu sedang mengawasi Kwik Tay-lok dengan mata mendelik.
Kwik Tay-lok cuma bisa tertawa getir sambil berkata:
"Tampaknya, bukan cuma tiada perbuatan yang berhasil kulakukan hari ini, bahkan
berbicarapun tak ada yang benar."
Saat itulah Yan Jit baru menghela napas.
"Aaaai.....! Baru kali ini perkataanmu itu benar," katanya.
Cahaya lampu menyinari dalam ruangan.
Di atas meja, selain terdapat lampu, masih ada lagi secarik kertas, sebilah pisau dan seguci
arak. Karena pada akhirnya Kwik Tay-lok tak tahan juga untuk mencabut keluar pisau itu dari atas
pohon, tentu saja dia tak lupa untuk membawa pulang seguci arak itu.
Meski potongan badan orang ini tidak mirip kerbau, wataknya justru watak kerbau.
Dia malah kelihatan berbangga hati, ujarnya sambil tertawa:
"Aku toh sudah bilang, mencabut pisau itu tidak ada pengaruhnya, aku sudah tahu bahwa
permainan yang mereka persiapkan kali ini sudah pasti adalah suatu permainan baru, coba
lihatlah, bukankah permainan ini termasuk suatu permainan baru?"
"Barunya sih memang baru, tapi ikan yang masuk jaringpun lebih baru dan segar." sambung
Yan Jit dingin.
Dia mengambil pisau di meja itu dan melanjutkan:
"Sekarang aku baru tahu, pisau ini sebetulnya dipersiapkan untuk memotong daging apa."
"Apakah untuk memotong daging ikan ?" tanya Kwik Tay-lok kemudian dengan cepat.
"Akhirnya betul juga jawabanmu itu."
"Kalau begitu, lebih baik aku menjadi seekor ikan yang mabuk saja, biar kalau di potong tidak
terasa sakit."
Dia lantas mengangkat guci arak itu siap untuk diminum, gumamnya kembali:
"Udang mabuk konon merupakan hidangan yang terlezat dari wilayah Kanglam, aku rasa ikan
mabuk pasti sedap pula rasanya."
Tapi arak itu belum sempat diteguk olehnya, sebab secara tiba-tiba Ong Tiong merampas guci
araknya itu. Kwik Tay-lok menjadi tertegun, lalu serunya:


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eeeh.... sejak kapan kau berubah menjadi seorang setan arak seperti aku ?"
"Arak ini tak boleh diminum !" ucap Ong Tiong.
"Tadi saja masih bisa diminum, mengapa sekarang tak boleh diminum ?"
"Sebab tadi adalah tadi dan sekarang adalah sekarang"
Yan Jit memutar sepasang biji matanya, lalu berkata:
"Tadi guci arak ini kau letakkan dimana?"
"Di depan pintu!" jawab Kwik Tay-lok.
"Tadi kita semua berada didalam hutan, apakah di depan pintu tiada orang lain?"
"Yaaa tak ada !"
"Itulah sebabnya arak itu tak boleh diminum sekarang"
"Masa baru pergi sejenak, sudah ada orang yang meracuni arak kita itu ?"
"Jangan kau bilang kepergian kita tadi cuma sebentar, saat seperti itu sudah cukup buat orang
lain untuk meracuni delapan puluh guci arak!"
"Aaah. Kalian jangan menakut-nakuti aku, jangan kau lukiskan mereka itu menakutkan sekali,
memangnya mereka benar-benar bisa menerobos masuk tanpa lubang dan tak pernah
melewatkan setiap kesempatan yang bisa dipakai untuk mencelakai orang."
Ong Tiong tidak berbicara, tiba-tiba dia melangkah keluar pintu dan membanting guci itu keraskeras.
Guci itu seketika hancur berantakan, arakpun mengalir membasahi seluruh tanah.
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, gumamnya:
"Sayang, benar-benar amat...."
Tiba-tiba suaranya terhenti sampai separuh jalan, orangnya juga mendadak ikut tertegun.
Seekor ular yang kecil, kecil sekali sedang merambat keluar dengan pelan sekali dari balik
hancuran guci arak tersebut.
Ular itu bukan cuma kecilnya bukan kepalang, tapi semakin kecil tubuhnya, konon semakin
berbisa pula. Paras muka Kwik Tay-lok berubah hebat tak tahan lagi dia menghela napas panjang,
gumamnya: "Tampaknya orang-orang itu betul-betul sudah menerobos masuk melalui setiap lubang yang
ada !" "Yaa, itulah ular bergaris merah yang bisa masuk melalui setiap lubang yang ada!" seru Yan Jit
secara tiba-tiba.
Dengan terkejut dia memandang ke arah Ong Tiong, kemudian ujarnya kembali:
"Betulkah ular itu adalah ular bergaris merah yang disebut Bu-khong-put-ji ?"
Dengan wajah hijau membesi pelan-pelan Ong Tiong membalikkan tubuhnya lalu berjalan,
kembali ke ruangan dan duduk di bawah sinar lentera.
Kali ini, ternyata ia tidak membaringkan diri.
Kembali Yan Jit menghampirinya sambil bertanya:
"Apakah dia. ." Sebenarnya benarkah dia?"
Kembali Ong Tiong termenung sampai lama sekali, tapi akhirnya dia mengangguk juga.
Yan Jit segera menghembuskan napas panjang, selangkah demi selangkah ia mundur ke
belakang, tiba-tiba diapun membaringkan diri.
Kali ini dia membaringkan diri di atas ranjang.
Kwik Tay-lok segera menghampirinya sambil bertanya:
"Apa sih yang dimaksudkan dengan Bu-khong-put-ji tersebut ?"
"Dia adalah seorang manusia !"
Bukan saja keadaan Yan Jit saat ini sudah lemas sekali, bahkan tenaga untuk berbicarapun
sudah tidak dimiliki.
"Manusia macam apakah dia " Kau kenal dengan orang itu ?" tanya Kwik Tay-lok lagi.
Yan Jit tertawa getir.
"Seandainya aku kenal dia, aneh namanya kalau aku masih bisa hidup sampai sekarang."
Tiba-tiba dia melompat bangun dan menerjang kehadapan Ong Tiong, setelah itu serunya:
"Tapi kau, sudah pasti kau mengenalnya!"
Ong Tiong termenung lagi beberapa saat lamanya, kemudian ia berkata sambil tertawa:
"Sekarang, aku toh masih hidup !"
"Aaaai.... orang yang mengenali dirinya, ternyata masih bisa hidup dengan segar bugar,
memang kejadian ini merupakan suatu kenyataan yang tidak mudah."
Pelan-pelan senyuman di wajah Ong Tiong lenyap tak berbekas, kemudian iapun menghela
napas panjang. "Yaa, memang tidak mudah !" sahutnya.
Hampir berteriak keras Kwik Tay-lok karena tak sabar, serunya dengan lantang:
"Sebenarnya kalian sedang membicarakan soal manusia " Atau soal ular ?"
"Manusia !" jawab Yan Jit.
"Apakah orang itu bernama ular bergaris merah ?"
"Yaa, lagi pula Bu-khong-put-ji, artinya: kau mempunyai setitik keteledoran saja maka dia akan
segera meracunimu sampai mampus."
"Setitik keteledoran " Setiap orang tak akan terhindar untuk membuat sedikit keteledoran."
"Aaai... itulah sebabnya andaikata dia hendak meracunimu, maka hanya ada satu jalan saja
bagimu." "Jalan yang mana ?"
"Mati diracuni olehnya !"
Tanpa terasa Kwik Tay lok menghembuskan napas dingin, serunya:
"Kalau begitu permainan busuk yang dipakai untuk mencelakai orang tadipun merupakan
bagian dari permainan busuknya?"
"Meskipun kepandaian meracuni orang yang dimiliki orang itu sudah mencapai tingkatan yang
tak terhingga di dunia ini, tapi kepandaian yang lain masih belum seberapa hebat."
"Kalau begitu, akupun bisa berlega hati" kata Kwik Tay-lok sambil menghembuskam napas
lega. "Sayang, kecuali dia masih ada orang lain lagi."
"Siapa ?"
"Jian jiu-jian-hu-kong-sin (Dewa kelabang bertangan seribu bermata seribu) !"
"Bertangan seribu bermata seribu ?"
"Maksudnya orang ini mampu melepaskan sambitan senjata rahasia yang bagaimana
gencarpun sehingga seakan-akan dia mempunyai seribu buah tangan dan seribu buah mata,
konon seluruh bagian tubuhnya penuh berisikan senjata rahasia, bahkan dari hidungnyapun dapat
mengeluarkan senjata rahasia"
Kwik Tay-lok, mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, tiba-tiba katanya sambil tertawa:
"Bagus sekali, asal aku bisa berjumpa dengan orang ini, maka hidungnya pasti akan kuhajar
dulu sampai pesek"
"Tapi bila kau berjumpa dengan Ciu-ku-ciu-lam-ang-nio-cu (perempuan berbaju merah yang
menolong kesulitan dan menolong penderitaan orang), sudah pasti pukulanmu itu tak akan tega
kau lepaskan."
"Perempuan baju merah yang menolong kesulitan dan penderitaan orang" Kalau didengar dari
namanya sih tampaknya seorang manusia baik-baik....."
"Dia memang orang baik, tahu kalau kebanyakan orang di dunia ini hidup dalam kesulitan dan
penderitaan, oleh sebab itu dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membantu mereka cepatcepat
memperoleh pelepasan."
"Aaaai.... kalau kudengar dari perkataanmu itu, tampaknya dia seperti orang jahat."
"Sekalipun kau memilih di dalam delapan ratus laksa orang, belum tentu dapat kau jumpai
seorang manusia baik seperti dia."
"Apakah dia memiliki kepandaian khusus?"
Sambil menarik muka dan bernada dingin, sahut Yan Jit:
"Soal kepandaiannya, lebih baik kau tak usah tahu."
"Apakah dia adalah seorang perempuan yang cantik jelita?"
"Sekalipun benar, sekarang juga telah menjadi seorang nenek tua, seorang nenek yang
cantik." "Ia sudah berusia enam-tujuh puluh tahunan?"
"Belum."
"Lima-enam puluh tahunan?"
"Agaknya belum sampai !"
"Kurang lima empat puluh tahunan ?"
"Mungkin sudah mencapai!"
Kwik Tay-lok segera tertawa,
"Saat itu merupakan saat orang menjadi muda untuk kedua kalinya, mana bisa dianggap
sebagai seorang nenek ?"
Yan Jit melotot sekejap ke arahnya, lalu berseru:
"Usianya sudah tidak muda, apa pula hubungannya dengan dirimu " Apa yang kau girangkan
?" "Kapan sih aku merasa gembira ?"
"Kalau tidak gembira, kenapa tertawamu macam anjing mendapat tulang ?"
"Karena aku memang seekor anjing"
Sekali lagi Yan Jit melotot sekejap ke arahnya, kemudian tak tahan dia tertawa gelak sendiri.
Menggunakan kesempatan itu Kwik Tay-lok segera bertanya lagi:
"Kalau kudengar dari perkataanmu tadi, kepandaian yang dia miliki itu sudah pasti khusus
dipakai untuk menghadapi kaum lelaki, bukan begitu ?"
Sekali lagi Yan Jit menarik mukanya.
"Aku sendiripun tak tahu kepandaian apakah yang dia miliki, aku cuma tahu tidak sedikit orang
lelaki yang mampus di tangannya."
Selama ini Lim Tay-peng hanya bersandar di kursi sambil beristirahat, tiba-tiba selanya:
"Mungkinkah orang-orangan itu hasil bikinannya?"
"Bukan !" jawab Yan Jit.
"Kalau bukan dia, lantas siapa ?"
"Sudah pasti It-kian-son-tiong-cui-mia-hu (Lencana pembetot sukma yang bertemu orang
lantas mengantar jenasah) !"
"Cui-mia-hu ?" ulang Lim Tay-peng dengan kening berkerut.
"Bukan saja orang ini mempunyai akal busuk yang tak terhitung jumlahnya, lagi pula dia
memiliki sepasang tangan yang pandai sekali membuat kerajinan tangan, pandai menyaru, pandai
membuat alat perangkap, alat jebakan dan lihay sekali dalam melepaskan senjata rahasia serta
membuat senjata aneh, pokoknya orang ini hebat sekali.
Berkilauan sepasang mata Kwik Tay-lok setelah mendengar perkataan itu tiba-tiba gumamnya:
"Aku mengerti sekarang.... Aku mengerti...."
"Apa yang kau pahami ?"
"Seekor ular, seekor kelabang, seekor kalajengking dan sebuah lencana pembetot sukma,
sekarang yang masih kurang adalah seekor burung elang...."
Tiba-tiba Lim Tay-peng menimbrung:
"Sewaktu aku masuk ke hutan bersama Ong lotoa tadi, aku seperti menyaksikan ada sesosok
bayangan manusia sedang melayang turun dari atas jaring tersebut ke atas dahan pohon yang
lain." "Jaring itu sudah barang tentu tak mungkin bisa melayang sendiri dari atas pohon, tentu saja di
atas pohon ada orangnya." Seru Yan Jit.
"Kemana perginya orang itu ?" tanya Kwik Tay-lok.
Lim Tay-peng segera-tertawa getir.
"Waktu itu aku sedang dilemparkan Ong Lo-toa ke atas pohon, dalam keadaan begitu, aku
mana sempat untuk menggubris orang lain lagi" Apalagi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
orang itu lihay sekali, pada hakekatnya seperti seekor burung elang saja !"
"It-hui-ciong-thian-pah-ong-heng (Raja elang sakti yang terbang menembusi angkasa)!"
"Yaa betul, lima buah layang-layang dengan lima orang manusia, akhirnya komplit juga
sekarang !" seru Kwik Tay-lok sambil bertepuk tangan.
"Diantara kelima orang ini, bukan saja ilmu meringankan tubuh dari Pah-ong-heng yang
terhitung tinggi, konon ilmu silat yang dimilikinya pun termasuk paling lihay."
"Menurut penglihatanku, diantara kelima orang itu, yang paling sukar dihadapi adalah si
perempuan baju merah yang suka menolong kesulitan dan penderitaan orang itu."
"Kenapa ?"
"Karena kita semua adalah orang lelaki."
"Jika seorang lelaki tidak suka bermain perempuan, sekalipun dia memiliki kepandaian
sejagadpun tak akan mampu digunakan." dengus Yan Jit dingin.
"Aaai.... tapi lelaki manakah di dunia ini yang tidak suka akan kecantikan wajah seorang
perempuan ?"
Selama ini Ong Tiong cuma duduk di situ dengan wajah serius, dia tidak berbicara, tidak pula
bergerak. Bila dapat tidak bergerak, dia tak akan sembarangan bergerak.
Yan Jit mengambil sebuah bangku dan duduk tepat di hadapannya, lalu berkata:
"Kau telah melihat layang-layang itu, kau tentu tahu bukan siapa-siapa saja yang telah datang
mencari gara-gara denganmu?"
Kwik Tay-lok memindahkan pula sebuah bangku di hadapannya, lalu berkata pula:
"Oleh sebab itu kau mengusir kami pergi, karena kau tahu bilamana kelima orang itu sudah
muncul di sesuatu tempat, maka mereka akan mengobrak-abrik tempat tersebut."
"Kau tak ingin menarik kami tercebur di dalam air keruh ini, maka kau baru berusaha untuk
mengusir kami pergi dari sini."
"Tapi, tahukah kau bahwa kami telah bersiap-siap untuk terjun pula ke dalam air keruh itu ?"
"Yaa, sejak kami kenal denganmu, kami telah bertekad untuk selalu berada bersamamu."
"Karena kami adalah temanmu"
"Maka entah kemanapun kau pergi, kami pasti ada di situ!"
"Maka dari itu, bila kau ingin mengusir kami sekarang, keadaan sudah terlambat!"
Ong Tiong memandang kedua orang itu secara bergantian, dia belum juga berkata apa-apa.
Dia tahu, sekarang ia sudah tak perlu berkata apa-apa lagi.
Dia kuatir bila sampai buka mulut maka air matanya akan jatuh bercucuran.
Teman ! Kata-kata itu memang amat sederhana, tapi tahukah kalian bahwa dibalik kesederhanaan itu
justru tersimpan sesuatu yang agung"
Ong Tiong telah mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, lalu sepatah demi sepatah
katanya: "Kalian memang benar-benar merupakan sahabat karibku !"
Walau cuma satu kalimat, namun itu sudah lebih dari cukup.
Asal kau benar-benar dapat memahami makna yang sebenarnya dari ucapan tersebut, maka
kau tak usah berkata apa-apa lagi.
Yan Jit tertawa, Lim Tay-peng juga tertawa.
Kwik Tay-lok menggenggam tangan Ong Tiong erat-erat. Asal mereka dapat mendengar,
ucapan tersebut, hati mereka sudah merasa amat puas.
Mereka tidak bertanya apa sebabnya Ong Tiong bisa bermusuhan dengan kelima orang itu,
juga tidak menanyakan darimana datangnya kesulitan tersebut.
Selama Ong Tiong tidak mengatakannya, merekapun tak akan bertanya...
Sekarang, satu-satunya persoalan didalam hati mereka adalah:
"Bagaimana caranya untuk menghilangkan kesulitan tersebut ?"
"Begitu melihat munculnya kelima buah layang-layang tersebut, aku sudah tahu kalau
kesulitan telah datang" ujar Yan Jit.
"Layang-layang itu sesungguhnya memang merupakan suatu peringatan." Ong Tiong
menerangkan. "Kalau toh mereka bermaksud untuk mencari gara-gara denganmu, apa sebabnya mereka
memberi peringatan lebih dulu agar kau membuat persiapan-persiapan ?"
"Sebab, mereka tidak menghendaki kematianku yang terlampau cepat !"
Dengan wajah membesi, pelan-pelan terusnya:
"Karena mereka tahu betapa hebatnya penderitaan seorang dalam menantikan saat tibanya
kematian, sebab penderitaan dan siksaan semacam itu beratus-ratus kali lipat lebih hebat
daripada siksaan serta penderitaan macam apapun"
Yan Jit segera menghela napas panjang.
"Aaai.... tampaknya kesulitan yang kau hadapi sekarang benar-benar bukan suatu kesulitan
yang kecil."
"Yaa, memang tidak kecil."
Mendadak Kwik Tay-lok tertawa, katanya:
"Cuma sayang mereka toh masih salah menghitung sesuatu."
"Oooooh....."
"Meskipun mereka terdiri dari lima orang kamipun berempat, kenapa kita musti takut" Kenapa
kita musti menderita ?"
"Tapi paling tidak mereka lebih untung dalam posisi dari pada kita....."
"Maksudmu ?"
"Serangan yang terang-terangan mudah dihindari, serangan yang bersembunyi susah
dihadapi, tentunya kau mengerti bukan apa maksudnya."
"Aku mengerti, tapi aku tidak takut."
"Apa yang kau takuti ?" seru Yan Jit dengan mata melotot.
"Takut padamu !"
Tak tahan Yan Jit tertawa geli, tapi dengan cepat dia menarik muka kembali sambil melengos.
Padahal diapun memahami perkataan dari Kwik Tay-lok, sebab dia sendiripun demikian.
Manusia macam mereka hanya takut kalau orang lain baik kepada mereka, takut kalau di bikin
terharu oleh orang lain.
Andaikata membuat mereka terharu, sekalipun mereka disuruh memenggal batok kepalanya
untuk diberikan kepadamu pun, mereka tak akan mengerutkan dahi.
Kembali Kwik Tay-lok berkata:
"Tentara datang kita tahan, air datang kita bendung, manusia-manusia semacam itupun bukan
manusia yang luar biasa, selain mencelakai orang dengan akal busuk dan cara tersembunyi, aku
lihat kepandaian sesungguhnya yang mereka miliki terbatas sekali."
Setelah berhenti sebentar, terusnya:
"Persoalannya sekarang hanyalah, kapan mereka baru akan benar-benar datang kemari?"
"Entahlah !" ucap Ong Tiong.
"Masa kau sendiripun tidak tahu ?"
"Aku hanya tahu sebelum mereka menghantar keberangkatanku ke alam baka, sudah pasti
orang-orang itu tak pergi dari sini!"
Kwik Tay-lok segera tertawa, katanya:
"Sekarang, siapa yang akan menghantar keberangkatan siapa masih sukar ditentukan,
rasanya kitapun tak perlu cepat berputus asa!"
Disitulah terletak daya tarik Kwi Tay-lok..


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia selalu percaya pada diri sendiri, dia selalu periang, manusia macam ini, sekalipun
menghadapi langit ambrukpun tak akan bermuram durja, sebab dia beranggapan asal seseorang
memiliki keyakinan serta rasa percaya pada diri sendiri, maka kesulitan macam apapun dapat
diselesaikan. Bukan saja dia memiliki rasa percaya pada diri sendiri, selain itu dia pun berusaha
menanamkan rasa percaya pada diri sendiri itu di dalam hati orang lain.
Pelan-pelan paras muka Ong Tiong berubah menjadi cerah kembali, tiba-tiba ujarnya:
"Walaupun mereka agak menang posisi, tapi akupun mempunyai suatu cara yang baik untuk
menghadapi mereka."
"Apa caramu itu ?" cepat-cepat Kwik Tay lok bertanya.
"Tidur !"
Kwik Tay-lok agak tertegun, kemudian tertawa geli.
"Cara semacam ini mungkin hanya kau seorang yang dapat memikirkannya..." dia berseru.
"Tidak baikkah cara ini " Itulah yang dinamakan dengan ketenangan kita menantikan
perubahan."
Kwik Tay-lok segera bersorak sambil bertepuk tangan tiada hentinya.
"Betul, betul sekali !" serunya, "kalau ingin tidur mari sekarang juga kita pergi tidur, dengan
semangat yang segar serta kondisi badan yang lebih baik, kita hadapi cecunguk-cecunguk itu."
"Kalau ingin tidurpun kita harus membagi waktu meronda!" usul Yan Jit dengan cepat.
"Betul, aku dan kau menjaga setengah malam pertama, kentongan ketiga nanti Ong lotoa dan
Lim Tay-peng baru menggantikan kita."
"Cara ini kurang baik," tiba-tiba Lim Tay-peng berseru, "lebih baik aku dan kau menjadi satu
regu." "Kenapa?"
Lim Tay-peng melirik sekejap ke arah Yan Jit, lalu berkata:
"Sebab perkataan kamu berdua terlalu banyak, apalagi jika sudah berbincang dengan asyik,
ada orang masuk ke rumah pun kalian tak akan tahu."
Tiba-tiba Yan Jit berjalan keluar, sebab paras mukanya seperti agak memerah secara tiba-tiba.
"Lebih baik aku satu regu dengan Yan Jit saja." kata Kwik Tay-lok dengan cepat, "justru karena
ada teman berbicara, rasa mengantuk baru bisa dihilangkan."
Di mulut dia berkata demikian, dia sudah melompat keluar dari ruangan itu.
Perduli apapun yang diucapkan orang lain pokoknya dia tetap bersikeras menjadi satu dengan
Yan Jit. Ia merasa seakan-akan antara dia dengan Yan Jit sudah terikat oleh seutas tali yang tidak
nampak. Memandang kedua orang itu sudah keluar dari ruangan, tiba-tiba Lim Tai-peng tertawa, lalu
gumamnya: "Kadangkala aku betul-betul merasa heran, mengapa Siau-kwik bisa begitu tololnya."
Ong Tiong juga tertawa, sahutnya sambil tersenyum:
"Jangan kuatir, dia tak akan terlalu lama berada dalam keadaan bodoh seperti itu."
"Padahal aku sangat berharap agar dia bisa lebih lama lagi berada dalam keadaan begini baru
terhitung menarik sekali."
Suasana di ruang tamu sangat gelap.
Setelah masuk ke ruang tamu, Yan Jit segera duduk.
Kwik Tay-lok juga masuk ke ruang tamu serta ikut duduk pula.
Cahaya bintang memancar masuk lewat jendela dan menyinari wajah Yan Jit, menyoroti
sepasang mata Yan Jit.
Sepasang matanya itu tampak jeli dan bercahaya berkilauan.
Kwik Tay-lok duduk disampingnya sambil menatap wajahnya lekat-lekat, tiba-tiba katanya
sambil tertawa:
"Tahukah kau, kadangkala matamu itu persis seperti mata perempuan !"
"Bagian mana lagi dari tubuhku yang mirip perempuan?" tegur Yan Jit sambil menarik muka.
"Sewaktu tertawa pun kau juga sangat mirip !"
"Kalau toh aku mirip perempuan, mengapa kau masih mengintil terus di belakangku ?"
"Sebab bila kau ini perempuan, aku akan lebih getol lagi mengikutimu...." jawab Kwik Tay-lok
sambil tertawa.
Tiba-tiba Yan Jit melengos ke arah lain kemudian bangkit berdiri, mencari batu api dan
memasang lentera.
Tampaknya dia kurang berani untuk duduk berduaan dengan Kwik Tay-lok ditempat
kegelapan. Setelah cahaya lentera bersinar, bayangan tubuh merekapun terbias di atas jendela.
Mendadak Kwik Tay-lok menarik tubuhnya, seperti hendak memeluknya.
Dengan kaget Yan Jit berseru:
"Kau, mau apa kau ?"
"Bila kau berdiri di situ, bukankah persis akan menjadi sasaran hidupnya Jian-jiu- jian-gan toahu-
kong ?" Biji matanya berputar, mendadak sinar tajam dari balik matanya, dia lantas bergumam:
"Yaaa, inilah suatu ide yang bagus sekali."
"Huuuh, masa manusia macam kau juga mempunyai ide yang bagus ?" Yan Jit melotot
sekejap ke arahnya.
"Kalau memang si kelabang besar itu suka melukai orang dengan senjata rahasianya, apa
salahnya kalau kita mencarikan beberapa buah sasaran hidup baginya?"
"Siapa yang hendak kau jadikan sebagai sasaran hidup ?"
"Orang-orangan dari rumput jerami itu!"
Kemudian lanjutnya lagi:
"Mari kita pindahkan orang-orang itu kemari dan dudukkan di sini, bila dilihat dari luar jendela,
siapa yang akan tahu kalau mereka itu bukan orang sungguhan?"
Kening Yan Jit yang semula berkerut dengan cepat mengendor kembali.
"Si kelabang besar itu pasti cuma melihat bayangan manusia dari luar jendela," kata Kwik Taylok,
"dia pasti akan merasa gatal tangannya setelah melihat bayangan manusia."
"Kemudian ?"
"Kitapun menunggu di luar, asal tangannya mulai gatal, maka kitapun gunakan akal untuk
menghadapinya."
Yan Jit termenung sebentar, lalu sahutnya hambar:
"Kau anggap caramu itu sangat bagus ?"
"Sekalipun tidak bagus juga tak ada salahnya untuk dicoba, kita toh tak bisa menunggu saat
kematian di sini, bagaimanapun juga tak ada salahnya bila kita gunakan akal untuk menggoda
mereka." "Jangan lupa, orang-orangan jerami itu tak bisa melukainya."
"Bagaimanapun juga, orang-orangan dari jerami itu toh benda mati, bagaimanapun juga
rasanya jauh lebih muda dihadapi dari pada orang hidup" Yan Jit segera menghela napas panjang.
"Baiklah !" katanya kemudian, "untuk kali ini aku akan menuruti perkataanmu, coba lihat saja
nanti apakah akalmu itu akan berhasil atau tidak."
Kwik Tay-lok tertawa.
"Akal yang bodoh paling tidak toh jauh lebih baik dari sama sekali tak punya akal"
Bayangan dari orang-orangan dari jerami masih terhias di atas jendela, dilihat dari luar
memang mirip sekali dengan orang sungguhan.
Sebab, bukan saja orang-orangan itu memakai baju, juga memakai topi.
Malam sudah semakin kelam, angin yang berhembus lewat membawa udara yang dingin yang
menyayat badan.
Walaupun Kwik Tay-lok dan Yan Jit telah menyembunyikan diri dibalik wuwungan rumah yang
terhindar dari hembusan angin, namun masih terasa kedinginan sampai menggigil badannya.
Mendadak Yan Jit berkata:
"Sekarang kalau ada sedikit arak untuk diminum, sudah barang tentu kita tak akan kedinginan
seperti ini."
"Oooh.... tidak kusangka suatu ketika kaupun ingin minum arak...." kata Kwik Tay-lok sambil
tertawa. "Aaai.... inilah yang dinamakan dekat tinta jadi hitam, dekat gincu jadi merah, bila seseorang
bergaul dengan setan arak tiap harinya, cepat atau lambat diapun akan berubah menjadi seorang
setan arak."
"Itulah sebabnya cepat atau lambat kaupun tak akan membenci orang perempuan." sambung
Kwik Tay-lok sambil tertawa.
Mendadak Yan Jit menarik muka dan tidak berbicara lagi.
Lewat beberapa saat kemudian, Kwik Tay lok baru berkata kembali:
"Aku selalu tidak habis mengerti, manusia macam Ong lotoa mengapa bisa mengikat tali
permusuhan dengan si kelabang besar, si ular bergaris merah dan lain-lainnya " Lagi pula
permusuhan mereka itu tampaknya mendalam sekali."
"Kalau tidak habis mengerti, lebih baik jangan dipikirkan !" jawab Yan Jit dingin.
"Apakah kau tidak merasa keheranan ?"
"Tidak!"
"Kenapa ?"
"Sebab aku tak pernah bermaksud untuk menyelidiki rahasia orang lain, terutama rahasia
teman." Terpaksa Kwik Tay-lok membungkam dan tidak berbicara lagi.
Lewat lama kemudian, mendadak terdengar bunyi.... "Krooooookkk!"
Dengan wajah berubah Yan Jit segera berbisik:
"Bunyi apakah itu ?"
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, sahutnya sambil tertawa getir:
"Perutku yang berbunyi karena lapar !"
Dia memang merasa kelaparan setengah mati.
Lewat lama kemudian, tiba-tiba terdengar, lagi bunyi aneh...
"Kroook .. . . krooookkk!"
"Bunyi apa lagi kali ini ?" bisik Kwik Tay-lok.
"Gigiku lagi saling beradu !" jawab Yan Jit sambil menggigit bibirnya kencang-kencang.
Rupanya saking kedinginan sampai giginya saling bergemerutukan dengan kerasnya.
"Kalau memang kedinginan, mengapa tidak bersandar saja di tubuhku ?" usul Kwik Tay-lok.
"Ehmmm....!"
"Ehmm itu apa maksudnya ?"
"Ehmm artinya kau jangan berisik, bila mulutnya, nyerocos terus, mana mungkin kelabang
besar itu berani muncul ?"
Kwik Tay-lok tak berani bersuara lagi.
Terhadap persoalan apa saja dia tak takut, diapun tidak takut kepada mereka, yang ditakuti
adalah mereka tak berani datang.
Bila mereka berdua harus menanti terus dalam keadaan begini, lama kelamaan mereka pun
tak akan tahan.
Yang paling tidak tahan adalah siapapun tak tahu sampai kapan orang-orang itu baru
munculkan diri, mungkin harus menunggu beberapa hari lagi, mungkin juga sedetik kemudian....
Kwik Tay-lok sedang bersiap-siap menyelimuti tubuh Yan Jit dengan jala ikan yang berada di
tangannya. Jala itu enteng dan lembut, tapi kuatnya bukan kepalang, entah terbuat dari bahan apa " Lim
Tay-peng sengaja membawanya pulang dan Kwik Tay-lok bersiap-slap mempergunakannya untuk
menghadapi si kelabang besar. Dia telah bersiap-siap untuk menggunakan gigi membalas gigi,
dengan mata membalas mata.
Meski jaring itu enteng, tapi dalam hati Yan Jit merasa amat hangat dan mesra.
Mendadak tampak sesosok bayangan manusia meluncur masuk lewat dinding pekarangan
sebelah depan, sesudah berjumpalitan ditengah udara, cahaya tajam segera berkilauan memenuhi
seluruh angkasa, ada tiga empat puluh macam senjata rahasia yang disambitkan ke dalam jendela
bagaikan hujan deras.
Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu, tapi sambitan senjata rahasianya jauh lebih cepat.
Baik Kwik Tay-lok maupun Yan Jit ternyata tak sempat menyaksikan bagaimana caranya
senjata rahasia itu dipancarkan ke depan.
Begitu senjata rahasia itu disambit ke depan, orang itu pun menutulkan ujung kakinya ke tanah
dan segera meluncur ke atas siap-siap kabur ke atas wuwungan rumah.
Baru saja orang itu melayang ke atas, mendadak ia menemukan ada sebuah jala yang amat
besar menyongsong kedatangannya, pada hal dia sedang meluncur ke atas, keadaan ini ibaratnya
dia sedang menyongsong datangnya jala itu.
Dalam kejutnya dia ingin meronta, tapi jaring itu bagaikan sarang laba-laba segera
membelenggu tubuhnya.
Dengan kegirangan Kwik Tay-lok segera berteriak:
"Lihat kau, akan kabur kemana lagi ?"
Yan Jit juga telah menerjang ke muka, kakinya langsung menendang jalan darah Hiat hay di
pinggang orang itu.
Siapa tahu, pada saat itulah dari balik jaring tersebut kembali memancar keluar berpuluh puluh
titik cahaya tajam yang meluncur ke depan bagaikan hujan deras.
Kali ini giliran Kwik Tay-lok dan Yan Jit yang merasa terkejut.
Pada saat itu pula dari luar dinding mendadak melayang datang sebuah kaitan yang segera
menggaet jaring tersebut.
Tentu saja di ujung kaitan itu terdapat seutas tali.
Tentu pula tali itu sedang ditarik seseorang.
Dengan demikian, jaring itupun segera tertarik ke atas.
Sewaktu jaring itu ditarik kembali, Kwik Tay-lok dan Yan Jit telah menubruk datang.
Walaupun dia dan Yan Jit sama-sama merasa terkejut, tapi senjata rahasia tersebut sama
sekali tidak disambitkan ke arah mereka berdua secara bersamaan waktu.
Semua senjata rahasia tersebut ditujukan hanya pada tubuh Yan Jit seorang.
Maka Kwik Tay-lok lebih kaget dan lebih gelisah dari pada Yan Jit.
Meskipun dia tak tahu bagaimana caranya untuk menghadapi keadaan tersebut, namun
tubuhnya telah menubruk ke arah Yan Jit, menubruk tubuh Yan Jit.
Dengan cepat kedua orang itu bergulingan di atas tanah.
Kwik Tay-lok hanya merasakan badannya menjadi sakit, tiba-tiba sekujur badannya menjadi
kaku. Sedemikian kakunya sampai perasaan dan kesadarannya pun ikut menjadi kaku.
Ia tak sempat menyaksikan jaring itu ditarik orang, pun tidak menyaksikan orang dalam jaring
itu melompat ke atas.
Dalam keadaan sadar tak sadar, dia hanya mendengar dua kali jeritan, sebuah jeritan kaget,
sedang yang lain jeritan kesakitan.
Tapi dia sudah tak dapat membedakan lagi siapa yang menjerit kaget dan siapa pula yang
menjerit kesakitan.
Dia hanya tahu dirinya tak sempat menjerit apa-apa, sebab giginya sedang saling menggertak.
Ada sementara orang mungkin akan menjerit keras dihari biasa, tapi dikala sedang menderita,
dia tak akan mendengus atau merintih.
Tak disangkal lagi Kwik Tay-lok adalah manusia seperti itu.
Ada sementara orang menjadi lupa akan keselamatan jiwa sendiri sewaktu menyaksikan
temannya sedang terancam oleh bahaya.
Tak disangkal, Kwik Tay-lok juga manusia seperti ini.
Asal dia sudah menerjang ke depan, pada hakekatnya dia tak akan memperdulikan mati
hidupnya lagi. Jeritan kaget itu seakan-akan makin jauh, makin tak terdengar lagi....
Tapi, suara apakah ini "
Betulkah ada orang sedang menangis "
Pelan-pelan Kwi Tay-lok membuka matanya, dia lantas menyaksikan butiran air mata di atas
wajah Yan Jit. Ketika Yan Jit melihat matanya terbuka lebar, tak tahan diapun berteriak keras dengan penuh
kegirangan: "Dia telah sadar kembali !"
Dari sisinya segera terdengar seseorang menyambung:
"Kalau orang baik tidak berumur panjang bencana akan berlangsung seribu tahun, aku sudah
tahu kalau dia pasti tak akan mati."
Itulah suara dari Ong Tiong. Suara itu sebenarnya hambar, tapi sekarang kedengarannya agak
gemetar. Kemudian, Kwik Tay-lok baru menyaksikan raut wajahnya.
Selembar wajah yang dingin dan hambar itu sekarang diliputi rasa girang, berseri dan agak
emosi. Sambil tertawa Kwik Tay-lok lalu berkata:
"Apakah kalian mengira aku sudah mampus."
Ia memang lagi tertawa, tapi tampangnya sewaktu tertawa jauh lebih mirip menangis.
Sebab begitu tertawa, sekujur badannya segera terasa sakit.
Diam-diam Yan Jit menyeka air matanya, lalu berbisik:
"Baik-baiklah berbaring, jangan pergi-pergi dan jangan berbicara apa-apa !"
"Baik !"
"Sepatah katapun tak boleh bicara" kata Yan Jit lagi.
Kwik Tay-lok mengangguk.
"Juga tak boleh mengangguk, pokoknya bergerak sedikitpun tidak boleh....!"
Kwik Tay-lok benar-benar tidak berkutik lagi, hanya sepasang matanya saja yang terbelalak
lebar sambil mengawasi Yan Jit.
Yan Jit menghela napas panjang, katanya dengan lembut:
"Tubuhmu sudah terkena sebatang paku Siang-bun-teng, sebatang panah pendek, ditambah
lagi dengan dua batang jarum beracun, hakekatnya selembar nyawamu itu berhasil di pungut
kembali, maka kau harus baik-baik menyayangi dirimu."
Sewaktu berbicara, sepasang matanya kembali menjadi merah.
Ong Tiong juga menghela napas, katanya:
"Bila kau melarang dia berbicara, mungkin dia akan lebih menderita lagi."
"Betul!" seru Kwik Tay-lok cepat-cepat.
Yan Jit segera melotot sekejap ke arahnya, serunya:
"Tampaknya aku benar-benar menjadi bibir orang ini !"
"Kalau aku sedang berbicara, badanku tidak terasa sakit."
"Masa benar ?"
"Benar !"
Dia ingin tertawa tapi ditahan, pelan-pelan terusnya:
"Sebab kalau aku sedang berbicara, maka semua rasa sakit itu baru akan kulupakan!"
Yan Jit memandangnya, sinar mata itu entah memancarkan rasa sayang " Atau mengomel "


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atau perasaan cinta yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Paras mukanya pucat pias seperti mayat, lebih pucat dari pada kertas jendela di depan sana.
Fajar telah menyingsing, sinar sang surya telah memancar masuk lewat balik jendela.
Walaupun malam ini mereka lewatkan dengan penuh penderitaan, toh akhirnya dilewatkan
juga. Tak tahan lagi Kwik Tay-lok lantas bertanya:
"Bagaimana dengan si kelabang besar itu?"
"Sekarang telah berubah menjadi seekor kelabang mampus !" jawab Yan Jit cepat.
Rupanya jeritan ngeri yang terdengar oleh Kwik Tay-lok adalah jeritan dari mulutnya.
Tapi kata orang, ulat yang berkaki seratus matipun tidak kaku, maka Kwik Tay-lok bertanya
lebih jauh: "Benar-benar mampus " sudah mampus seutuhnya ?"
Yan Jit tidak menjawab, yang menjawab adalah Lim Tay-peng:
"Kujamin dia sudah mampus, mampus sampai keakar-akarnya !"
"Kau kah yang membunuhnya ?"
Lim Tay-peng menggeleng.
"Yan Jit yang melakukan !" sahutnya.
Tiba-tiba ia tertawa dan lanjutnya:
"Apakah, kau tak pernah menyangka kalau dalam keadaan seperti itu, dia masih sempat
membalaskan dendam bagimu ?"
Kwik Tay-lok memang tak pernah menyangka, sebab pada waktu itu sudah jelas dia sedang
menindihi tubuh Yan Jit. Dia ingin bertanya kepada Yan Jit, tapi Yan Jit sudah melengos ke arah
lain. Lim Tay-peng pun berkata lagi:
"Akupun tidak menyangka sampai di situ, tapi aku dapat menyaksikan ketika si kelabang besar
itu baru melompat bangun, ada sebilah pisau telah menembusi tenggorokannya, akupun dapat
melihat darah yang bercucuran di tanah."
"Di tanah cuma ada darahnya " Kemana orangnya ?"
"Sudah pergi, kabur sambil membawa pisau tersebut."
"Masa orang mati juga masih bisa berjalan?"
"Karena orang mati ini masih memiliki sisa tenaganya yang sedikit, paling banter juga sekali
hembusan napas saja !"
Kwik Tay-lok segera menghembuskan pula napasnya yang mengganjal didalam dada, dengan
wajah berseri katanya:
"Tampaknya kita masih belum terlalu rugi!"
"Betul, sekarang kita akan menghadapi mereka berempat dengan empat orang pula," kata
Kwik Tay-lok sambil tertawa getir.
Tiba-tiba Ong Tiong berkata:
"Mereka tak lebih hanya tinggal tiga orang saja."
"Mana mungkin tinggal tiga ?"
"Ang-nio-cu, ular bergaris merah dan Cui- mia-hu !"
"Apakah kau lupa dengan It-hui-ciong thian Eng Tiong-ong ?"
"Aku tak akan melupakannya !"
Mendadak mimik wajahnya berubah menjadi aneh sekali, sorot matanya seakan-akan sedang
memandang suatu tempat yang jauh sekali.
"Hong-nio-cu, Ci-lion-cua, Cui mia hu di tambah pula dengan Eng tiong ong, bukankah jumlah
mereka menjadi empat orang ?"
"Tiga tambah satukan menjadi empat kenapa masih tiga?"
Pandangan Ong Tiong terasa kosong, entah apa yang sedang dilihat, dan entah apa pula yang
sedang dipikirkan, wajahnya hanya kosong dan hambar...
Sampai lama sekali, sepatah demi sepatah dia baru berkata:
"Karena akulah It-hui-ciong-thian eng- tiong ong !"
Tak seorangpun yang menanyakan masa lalu Ong Tiong, sebab mereka dapat menghormati
hak setiap orang untuk menyimpan rahasia pribadinya.
Kalau Ong Tiong tidak berkata, merekapun tak akan bertanya. Rahasia dari Ong Tiong hanya
Ong Tiong sendiri yang berhak untuk membicarakannya.
Ong Tiong bukanlah seseorang yang tidak suka bergerak semenjak dilahirkan.
Sewaktu masih kecil dulu, bukan saja gemar bergerak, bahkan sukanya setengah mati dan
bergeraknya luar biasa.
Sejak berusia enam tahun, dia sudah pandai memanjat pohon.
Ia pernah memanjat pelbagai macam pohon, maka diapun pernah terjatuh dari pelbagai
macam pohon. Jatuh dengan posisi serta gaya yang beraneka macam.
Yang paling parah adalah sewaktu batok kepalanya mencium tanah lebih dulu, hampir saja
batok kepalanya putus jadi dua.
Menanti ia sudah mulai dapat bergelantungan di atas pohon macam monyet, dia baru tidak
memanjat pohon lagi.
Karena memanjat pohon baginya sudah seaman tidur didalam balik selimut saja, sama sekali
tidak mendatangkan rangsangan.
Sejak itu pula, setiap hari ayah ibunya harus mengirim segenap pembantunya untuk mencari
dia kemana-mana.
Waktu itu meski keluarganya sudah jatuh pailit, tapi pembantunya, masih ada beberapa orang.
Setiap kali mereka berhasil menemukannya kembali, keadaannya pasti kecapaian setengah mati,
seakan-akan didorong dengan ujung jaripun besar kemungkinan akan roboh.
Tapi dia masih tetap melompat-lompat dengan segarnya, bagaikan udang yang baru keluar
dari air. Sampai pada akhirnya siapapun enggan untuk pergi mencarinya.
Lebih baik memotong kayu bakar delapan ratus kati dari pada disuruh menemukan dirinya.
Lebih baik membersihkan jalan raya dari pada disuruh mencari jejaknya....
Oleh karena itu orang tuanyapun terpaksa harus menyingkirkan ingatan tersebut, terpaksa
mereka membiarkan dia bermain sekehendak hatinya dan selama dia suka.
Untung saja setiap dua-tiga hari dia masih mau pulang satu kali. Pulang untuk mandi, makan,
ganti pakaian, Pulang untuk meminta uang jajan.
Sebab pada waktu itu dia masih berusia tiga empat belas tahunan, dia masih merasa minta
uang kepada orang tuanya masih merupakan suatu kewajiban yang lumrah.
Menanti dia sudah menginjak dewasa, dan merasa sudah saatnya untuk berdiri sendiri, sulitlah
bagi orang tuanya untuk bersua muka lagi dengannya.
Lo-sianseng dan Lo-tay-tay ini entah sudah berapa kali bersumpah didalam hatinya:
"Bila ia pulang nanti, akan kurantai kaki dan tangannya dengan rantai yang besar, akan
kuhajar kakinya sampai putus, coba lihat apakah dia masih bisa kelayapan lagi atau tidak."
Tapi menanti dia pulang ke rumah, menyaksikan tubuhnya yang kurus dan kelaparan,
mukanya kuning dan mengenaskan, hati Lo-sianseng pun menjadi lemah dan paling banter dia
hanya dipanggil masuk ke kamar baca untuk dia beri pelajaran dan nasehat.
Sementara Lo-tay-tay pun sudah turun ke dapur dan buatkan kuah ayam, belum habis nasehat
dari Lo-sianseng, paha ayam sudah di jejalkan ke mulut anaknya.
Mungkin di dunia ini hanya orang tua berputera tunggal yang dapat memahami perasaan
mereka waktu itu.
Mereka yang menjadi anaknya, tak pernah akan mengerti perasaan dari orang tuanya.
Ong Tiong pun tidak terkecuali.
Dia hanya mengerti, bila seorang lelaki sudah menginjak dewasa, dia harus berkelana untuk
membangun dunianya sendiri.
Maka diapun mulai berpetualangan untuk berusaha membangun dunianya sendiri.
Ketika itu dia baru berusia tujuh belas tahun.
Seperti pula pemuda-pemuda berusia tujuh delapan tahun lainnya di dunia ini, sewaktu Ong
Tiong pertama kali meninggalkan rumahnya, dia hanya merasakan semangat yang menyala-nyala
serta ambisi dan cita-cita yang setinggi langit.
Tapi bila dua hari kemudian, dikala perut sudah mulai lapar, lambat laun diapun mulai teringat
akan rumah. Kemudian diapun akan merasakan hatinya menjadi kosong, merasa amat kesepian.
Dalam keadaan begini, diapun akan berusaha keras untuk berkenalan dengan teman baru,
tentu saja seorang teman perempuan yang paling baik.
Pemuda berusia tujuh delapan belas tahunan manakah yang tidak mengharapkan cinta" Tidak
mengkhayalkah dia "
Menanti dia sudah merasa kesepian setengah mati itulah, si Ang-nio-cu yang suka menolong
kesulitan dan penderitaan orangpun muncul di depan mata.
Perempuan itu dapat memahami ambisinya, memahami pula penderitaan serta kemurungan
yang mencekam perasaannya.
Dia menghibur hatinya, menganjurkan kepadanya untuk melakukan pelbagai urusan.
"Bila seorang lelaki sejati mau hidup di dunia ini, maka pekerjaan macam apapun harus
dicoba, perbuatan apapun harus dilakukan."
Dalam pandangan Ong Tiong waktu itu, setiap patah katanya seakan-akan merupakan suatu
firman. "Bila seseorang ingin hidup maka dia harus punya uang, punya nama, sebab kehidupan
seseorang di dunia ini sesungguhnya adalah demi kenikmatan, serta kebahagiaan."
Waktu itu dia masih belum tahu, kalau dalam kehidupan seseorang selain kenikmatan masih
terdapat pula lebih banyak perbuatan yang lebih bermakna.
Oleh karena itu untuk berhasil mendapat nama, dia tak segan-segannya untuk melakukan
perbuatan apapun.
Akhirnya diapun menjadi tenar.
Waktu itu umurnya belum mencapai dua puluh tahun, tapi dia telah menjadi Raja elang yang
sekali terbang menembusi langit!
Ternama memang merupakan suatu peristiwa yang menggembirakan.
Dengan sebisanya dia melakukan banyak pekerjaan, dengan begitu saja menjadi tenar.
Pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang termahal, arak yang diminumpun merupakan
arak wangi yang harganya tiga tahil perak sekatinya.
Dia sudah mengerti untuk memilih tukang jahit yang paling baik.
Hidangan Hi-sit yang masak kurang matang sedikit saja, dia segera akan menumpahkannya di
atas wajah koki.
Bukan saja dia mengerti untuk mencari kenikmatan, lagi pula kenikmatan yang dirasakan pun
luar biasa sekali.
Sebenarnya dia merasa puas sekali.
Tapi entah apa sebabnya, mendadak ia merasa agak menderita, agak murung, lagi pula jauh
lebih murung daripada dahulu.
Sebenarnya setiap kali kepalanya menempel bantal, dia lantas tertidur nyenyak, tapi sekarang
dia seringkali tak bisa tidur.
Bila sudah tak bisa tidur, diapun seringkali bertanya kepada diri sendiri:
"Semua perbuatan yang kulakukan, sebenarnya pantaskah ku lakukan ?"
"Teman-teman yang kujalin selama ini, sebenarnya betulkah merupakan teman sejati.?"
"Seseorang selain mencari kenikmatan buat diri sendiri, apakah harus memikirkan pula urusan
yang lain ?"
Tiba-tiba ia mulai teringat rumah, teringat orang tuanya.
Di dunia ini memang terdapat banyak sekali koki-koki kenamaan, tapi tak akan mampu
membuat kuah ayam seperti yang dibuat oleh ibunya.
Kata-kata sanjungan dan muluk-muluk diterimanya selama ini, lambat laun terasa kurang
menarik bila dibandingkan dengan kata-kata nasehat dari ayahnya.
Bahkan cumbu rayu dari Ang Nio-cu yang manis dan mesra pun kedengarannya tidak lebih
menarik daripada kata-kata yang pernah didengarnya dulu.
Kesemuanya itu masih belum terhitung penting.
Yang paling penting lagi adalah secara tiba-tiba dia ingin menjadi seorang manusia yang
normal. Seseorang yang tiap malam bisa tidur dengan hati yang aman tenteram.... Maka diapun mulai
menyusun rencana untuk meninggalkan penghidupan semacam itu, meninggalkan teman-teman
seperti itu. Tentu saja diapun tahu bahwa mereka tak akan melepaskannya pergi dengan begitu saja.
Pertama. Karena mereka masih membutuhkan dirinya. Kedua. Karena banyak rahasia yang
dia ketahui. Satu-satunya yang masih mujur adalah selama berada di hadapan mereka, ia tak pernah
menyinggung soal rumahnya dan orang tuanya.
Hal ini entah dikarenakan dia takut orang tuanya kehilangan dia, atau dia takut kehilangan
orang tuanya. (Bersambung jilid 17)
Jilid 17 ORANG TUANYA bukanlah seseorang yang luar biasa.
Teman-temannya juga tak pernah menanyakan soal keluarganya dan soal orang tuanya,
mereka hanya berkata:
"Darimana kau latih ilmu silatmu itu?"
Ilmu silatnya ia latih sewaktu masih kecil dulu.... seorang kakek yang amat misterius tiap hari
menunggu kedatangannya dalam hutan dan memaksanya untuk berlatih tekun.
Sampai sekarang dia tak tahu siapakah kakek itu, juga tidak tahu seberapa tinggi ilmu silat
yang dia wariskan kepadanya.
Sampai dia berkelahi untuk pertama kalinya, dia baru tahu dengan pasti.
Itulah pengalaman aneh baginya. Yaa aneh, yaa misterius
Maka dia tak pernah membicarakan persoalan ini di depan orang lain, sebab walaupun dia
katakan orang lain belum tentu akan mempercayainya....
Bahkan kadangkala dia sendiripun tidak terlalu percaya.
Setiap orang tentu mempunyai masa lalu.
Setiap orang tak bisa dihindari pasti pernah membicarakan masa lalunya di depan teman
akrabnya. Ada kalanya keadaan tersebut bagaikan sedang mengisahkan suatu cerita saja.
Kisah cerita semacam ini sering kali tidak menarik perhatian orang lain.... dari pada
mendengarkan orang lain mengibul, lebih baik dirinya sendiri yang mengibul.
Tapi entah persoalan apa, saja tentu ada pengecualiannya.
Ketika Ong Tiong sedang berbicara, setiap orang mendengarkan dengan mata terbelalak,
bahkan menukaspun tidak.
Orang pertama yang menimbrung cerita itu tentu saja Kwik Tay-lok.
Dalam kenyataan sudah lama dia menahan diri, setelah mendengarkan sampai di situ dia baru
tak tahan untuk menimbrung.
Dia menghembuskan napas panjang lebih dulu, kemudian baru bertanya:
"Apakah tiap hari orang tua itu pasti menunggumu ?"
"Yaa, setiap hari pasti menungguku dalam hutan belakang dekat tanah pekuburan itu" sahut
Ong Tiong. "Dan setiap hari kau pasti pergi !"
"Baik hujan deras, atau hujan badai, tak seharipun aku absen...."
"Jadi seluruhnya kau telah pergi berapa lama ?"
"Jumlah seluruhnya tiga tahun empat bulan...."
Kwik Tay-lok segera menghembuskan napas panjang, gumamnya:
"Waaah.... bukankah jumlahnya menjadi seribu kali lebih ?"
Ong Tiong manggut-manggut.
"Aku dengar, bila belajarmu agak lamban maka kau akan menerima gebukan, bahkan tidak
enteng gebuknya?" kata Kwik Tay-Iok.
"Sejak tahun itu, aku hampir jarang sekali tidak kena digebuk !"
"Kalau toh setiap hari kena digebuk, kenapa kau masih tetap pergi....?"
"Sebab waktu itu aku merasa perbuatan bukan cuma misterius saja, lagi pula segar dan
merangsang."
Kwik Tay-lok berpikir sebentar, kemudian katanya sambil tertawa:
"Seandainya berganti aku, akupun tetap akan datang !"
Lim Tay-peng juga tak kuasa menahan diri, dia lantas bertanya:
"Apakah kau belum pernah menanyakan nama dari orang tua itu ?"
"Aku sudah bertanya berapa ratus kali !"
"Tahukah kau dia berasal dari mana ?"
Ong Tiong menggeleng.
"Setiap kali aku datang kesana, dia selalu sampai duluan."
"Kenapa kau tidak mendahuluinya ?"
"Bagaimanapun awalnya aku datang, dia selalu sampai duluan ditempat itu."
"Kenapa tidak kau kuntil dirinya, coba lihat dia pulang ke mana?" tanya Kwik Tay-lok dengan
kening berkerut.
Ong Tiong tertawa getir.
"Tentu saja sudah kucoba !" sahutnya.
"Bagaimana hasilnya ?"
"Hasilnya tiap kali pasti kena digebuk setengah mati, kemudian pulang seorang diri tanpa
banyak membantah!"
Kening Kwik Tay-lok berkerut makin kencang, lalu gumamnya:
"Setiap kali dia menunggu kedatanganmu di sana, setiap kali memaksa kau untuk berlatih silat,
tapi ia enggan membiarkan kau tahu siapakah dia yang sebenarnya, betul-betul mengherankan !"
"Masih ada yang lebih mengherankan lagi yakni diapun tak pernah bertanya siapakah aku ?"
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.
"Kejadian aneh semacam ini memang jarang terjadi di dunia ini, tampaknya hanya manusia
aneh semacam kau saja yang bisa bertemu dengan kejadian aneh seperti itu."
Tiba-tiba Yan Jit turut bertanya:
"Ketika kau bersiap-siap hendak meninggalkan rekan-rekanmu, apakah Ang Nio-cu pun tidak
tahu ?" "Aku tak pernah membicarakan hal ini di hadapan siapa saja."
"Tapi Ang Nio-cu.... bukankah ia sangat baik kepadamu ?"
Paras muka Ong Tiong berubah semakin tak sedap dipandang, lewat lama sekali dia baru
berkata dengan dingin:
"Kepada banyak orang pun dia selalu baik!"
Agaknya Yan Jit baru merasa kalau dia telah salah berbicara, segera dia mengalihkan pokok
pembicaraannya ke soal lain, ujarnya kemudian:
"Selanjutnya dengan cara apakah kau melarikan diri ?"
"Suatu ketika mereka sedang bersiap-siap untuk mencuri kitab didalam kuil Siau-lim-si, mereka


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suruh aku mencari info terlebih dahulu maka aku pun manfaatkan kesempatan ini untuk melarikan
diri." Yan Jit segera menghembuskan napas panjang katanya:
"Beberapa orang itu berani juga membuat keonaran didalam kuil Siau-lim-si, nyatanya nyali
mereka tidak kecil !"
"Setelah kau melarikan diri, apakah mereka tak pernah menemukan dirimu?"
"Tak pernah !"
Mendadak dia bangkit berdiri dan menghampiri jendela.
Malam itu sangat gelap, lagi pula dingin sekali.
Dia berdiri kaku di depan jendela, berdiri termangu-mangu sampai lama sekali, kemudian baru
pelan-pelan melanjutkan:
"Sekembalinya ke rumah, aku jarang keluar."
"Apakah secara tiba-tiba kau telah berubah menjadi tak ingin bergerak lagi?"
"Aku memang telah berubah, berubah sangat cepat, berubah sangat banyak...."
Suaranya menjadi parau dan sedih sekali, lanjutnya:
"Karena sekembalinya kemari, aku baru tahu bahwa tahun kedua setelah kepergianku, ibuku
telah...."
Dia tidak melanjutkan kata-katanya.
Sepasang kepalannya telah di genggam kencang-kencang, sekujur badannya gemetar dan ia
tak mampu untuk melanjutkan kembali kata-katanya.
Kali ini, bahkan Kwik Tay-lok pun tidak bertanya lagi, ia tak tega untuk bertanya, juga tak perlu
bertanya. Semua orang sudah mengetahui musibah yang menimpa Ong Tiong, juga memahami
perasaannya. Menanti dia pulang untuk membalas budi kebaikan ayah ibunya, keadaan sudah terlambat.
Kenapa setiap orang baru memahami perasaan orang tuanya dikala keadaan sudah
terlambat"
Lim Tay-peng menundukkan kepalanya, sepasang matanya seperti basah oleh air mata.
Kwik Tay-lok merasakan pula hatinya menjadi kecut, sepasang matanya berubah menjadi
merah membara. Sekarang dia baru tahu, mengapa Ong Tiong bisa berubah menjadi begini miskin, begitu
malas dan begitu aneh.
Sebab dia merasa amat sedih dan menyesal.
Dia sedang menghukum dirinya sendiri.
Seandainya kau hendak mengatakan bahwa dia sedang berusaha menghindarkan diri, maka
yang dihindari bukanlah Ang Nio-cu, juga bukan ular bergaris merah, lebih-lebih bukan yang
lainnya. Yang dihindari sesungguhnya adalah diri sendiri.
Membayangkan kembali ketika untuk pertama kalinya dia menyaksikan orang itu berbaring
seorang diri dalam kegelapan, membiarkan tubuhnya dibuat bermainnya tikus, tanpa terasa Kwik
Tay-lok menghela napas panjang...
Seandainya seseorang tidak kehilangan semangatnya, sekalipun bisa menahan lapar, dia tak
akan tahan membiarkan tikus bermain di atas badannya.
Malam itu, seandainya Kwik Tay-lok tidak menyerbu ke sana dan tanpa sengaja bersahabat
dengannya, entah dia masih bisa hidup sampai hari ini atau tidak "
Pertanyaan semacam ini bahkan dipikirkan pun Kwik Tay lok tidak berani.
Akhirnya Ong Tiong berpaling, kemudian katanya:
"Aku sudah pulang tiga tahun, selama tiga tahun ini mereka pasti tiada hentinya mencari aku."
Kwik Tay lok tertawa paksa, katanya:
"Tentu saja mereka agak susah menemukan dirimu, siapakah yang akan menyangka kalau si
raja elang It hui ciong thian Eng-tiong-ong bisa berdiam ditempat semacam ini dan melewati
penghidupan seperti ini ?"
"Tapi aku sudah tahu, cepat atau lambat suatu hari mereka pasti akan berhasil menemukan
diriku." Yan Jit segera mengerdipkan matanya berulang kali, lalu katanya:
"Sudah lewat sekian lama, kenapa mereka masih belum mau juga lepas tangan ?"
"Karena perhitungan hutang piutang antara mereka denganku masih belum diselesaikan."
"Sudahkah kau perhitungkan sendiri" Adalah kau yang berhutang kepada mereka ataukah
mereka yang berhutang kepadamu?"
Ong Tiong termenung agak lama, kemudian baru sahutnya:
"Ada sementara hutang piutang yang siapapun tak dapat memperhitungkannya sampai beres."
"Kenapa ?".
"Sebab setiap orang tentu mempunyai cara perhitungan setiap orang selalu tidak sama."
Paras mukanya segera berubah makin serius dan berat, pelan-pelan sambungnya:
"Didalam pandangan mereka, hutang piutang ini hanya bisa diselesaikan dengan suatu cara."
"Cara yang mana ?"
"Kau harus mengerti cara yang manakah itu"
Yan Jit berbicara lagi, tapi dia mengetahui dengan jelas.
Ada sementara hutang yang cuma bisa di perhitungkan dengan darah, sebab hanya darahlah
yang bisa menyelesaikannya.
Setetes darah masih tidak cukup, yang diperlukan adalah sejumlah darah yang cukup banyak.
Kalau darah satu orang saja tidak cukup yang dibutuhkan adalah darah banyak.
Yan Jit memandang sekejap mulut luka di tubuh Kwik Tay-lok, lewat lama dia baru berkata
sambil menghela napas:
"Tampaknya hutang piutang ini makin lama semakin sukar untuk diperhitungkan, entah sampai
kapankah perhitungan ini baru bisa diselesaikan ?"
"Jangan kuatir," sahut Ong Tiong sambil menghela napas, "sudah pasti kita tak usah
menunggu terlalu lama lagi sebab...."
Mendadak ia menutup mulutnya rapat- rapat.
Setiap orang menutup mulut, bahkan napaspun seakan-akan ikut berhenti. Sebab setiap orang
seperti mendengar suara langkah kaki.
Suara langkah kaki itu sangat enteng, sedang berjalan menembusi halaman yang bersalju
dengan langkah yang sangat lamban.
"Siapa yang telah datang ?"
"Apakah saat ini sudah tiba pada saatnya untuk membuat perhitungan...?"
Lim Tay-peng ingin meronta sambil menerjang keluar dari pintu, namun niat itu kembali
diurungkan. Kwik Tay-lok menunjuk keluar jendela, sedang Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang
kali. Hanya sebuah langkah kaki....
Orang itu sedang menaiki anak tangga dan berjalan menuju ke pintu sebelah luar.
Mendadak terdengar orang itu mengetuk pintu.
Ternyata orang tersebut datang sambil mengetuk, datang secara terang-terangan, kejadian ini
benar-benar sama sekali di luar dugaan mereka.
Akhirnya Ong Tiong menegur:
"Siapa ?"
"Aku !" jawab orang diluar itu pelan.
"Siapakah kau ?"
Tiba-tiba orang di luar itu tertawa, suara tertawanya merdu seperti keliningan, malah jauh lebih
merdu dan menarik hati.
"Masa suaraku saja tidak kau kenali, kau benar-benar seorang bocah yang tak punya liang sim
!" Ternyata orang yang munculkan diri itu adalah seorang perempuan.
Seorang perempuan yang merdu suaranya dan tampaknya masih sangat muda lagi.
Menyaksikan mimik muka Ong Tiong, setiap orang sudah dapat menduga siapa gerangan
perempuan itu..
Paras muka Ong Tiong lebih pucat dari pada mayat.
Yan Jit segera menepuk bahunya, kemudian setelah menuding pintu depan, dia menuding
pula pintu belakang.
"Maksudnya... Bila kau tak ingin berjumpa dengannya, lebih baik menghindarlah lewat pintu
belakang, aku akan menghadapinya untuk merintangi kedatangannya."
Tentu saja Ong Tiong memahami pula ucapannya itu, hanya dia menggelengkan kepalanya
berulang kali. Dia jauh lebih memahami keadaan diri sendiri daripada orang lain.
Dia telah mundur sampai langkah yang terakhir.
Artinya dia sudah tak dapat mundur lagi, lagi pula diapun tak ingin mundur kembali.
"Mengapa kau belum keluar untuk membuka pintu ?"
Siapapun belum pernah bertemu dengan perempuan yang bernama Ang Nio cu itu, tapi kalau
di dengar dari suaranya, entah siapa saja pasti akan membayangkan bahwa dia adalah seorang
perempuan yang sedemikian cantik serta mempesonakan hati.
"Apakah didalam rumahmu masih ada perempuan lain, maka kau takut bertemu denganku"
Kau harus tahu, aku tidak seperti kau yang begitu pencemburu"
Mendadak Ong Tiong maju ke muka dengan langkah lebar, tapi kemudian berhenti lagi,
serunya dengan suara dalam:
"Pintu itu tidak terkunci !"
Hanya didorong pelan saja, pintu itu segera terbuka.
Seseorang berdiri di depan pintu, lagi pula menyongsong sorotan cahaya lampu yang
memancar keluar dari dalam ruangan.
Segenap sinar lentera seakan telah terpusatkan di atas tubuhnya seorang, sinar mata setiap
orang tentu terpusatkan pula di atas tubuhnya.
Dari atas badannya seakan-akan memancarkan pula serentetan cahaya. Semacam cahaya
merah yang menyilaukan mata dan membuat jantung orang serasa berdebar.
"Pakaian yang dikenakan Ang-Nio-cu sudah barang tentu berwarna merah, tapi sinar tersebut
bukan memancar keluar dari bajunya itu.
Dalam kenyataan, selain pakaiannya, dari setiap bagian tubuhnya itu seakan-akan terpancar
keluar cahaya yang menyilaukan mata.
Terutama sekali sepasang matanya dan senyumannya.
Setiap orang merasa bahwa sorot matanya itu seakan-akan sedang memandang ke arahnya
merasa seakan-akan dia sedang tertawa kepadanya.
Andaikata orang bilang dibalik senyuman terdapat daya tarik yang membetot sukma, maka
sudah pasti senyuman yang dimaksudkan semacam inilah.
Yan Jit menggeserkan sedikit tubuhnya, seperti sengaja tak sengaja dia menghalangi
pandangan Kwik Tay-lok.
Entah bagiamanapun juga, dia tak akan membiarkan temannya itu menyaksikan senyuman
maut dari perempuan semacam itu, maka daripada membiarkan dia melihatnya, lebih baik tidak
membiarkan dia menyaksikannya.
Bukankah setiap orang selalu berusaha untuk membawa temannya menjauhi segala dosa"
Ang Nio-cu memutar sepasang biji matanya yang jeli, tiba-tiba dia berkata:
"Kalian orang lelaki, mengapa selalu bersikap macam maknya...."
Itulah kata-katanya yang pertama.
Ketika berbicara sampai di situ, mendadak dia berhenti sebentar, seakan-akan sengaja hendak
membuat kata "Maknya" nya itu berkesan sekali didalam benak lelaki-lelaki itu....
Seakan-akan dia tahu kalau setiap lelaki yang berada dalam ruangan itu senang sekali
mendengarkan kata-katanya itu, juga senang mendengarkan kata-kata semacam itu muncul dari
balik bibirnya. Sebab kata semacam itu memang mendatangkan suatu perasaan yang lain dari
pada yang lain bila muncul dari mulutnya.
Pada saat dia sedang berhenti sejenak inilah, terdengar seorang tak tahan sedang bertanya.
"Kau bilang, kami lelaki adalah manusia maknya macam apa?"
Suara itu muncul dari belakang tubuh Yan Jit.
Dia bisa saja menghalangi pandangan mata Kwik Tay-lok, namun tak akan dapat menghalangi
telinganya, juga tak dapat menghalangi mulutnya untuk berbicara.
Ang Nio-cu segera berkata:
"Kenapa sikap kalian macam bertemu dengan setan saja bila bertemu dengan perempuan
yang menarik hati" Bahkan sampai berkentut pun tidak dapat ?"
Dia mengerutkan hidungnya, lalu memperlihatkan kembali sekulum senyuman yang Yan Jit tak
ingin membiarkan Kwik Tay-lok sampai melihatnya itu, kemudian baru sahutnya dengan pelan:
"Diantara kalian semua, paling tidak harus ada satu orang yang mempersilahkan aku untuk
masuk ke dalam lebih dahulu"
Dalam kenyataannya, sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, dia sudah melangkah ke
dalam ruangan. Setelah orang di dalam ruangan itu mengetahui siapakah dia, juga tahu mau apa dia datang ke
situ, ketika menyaksikan perempuan itu benar-benar masuk ke dalam, semua orang seharusnya
merasa sangat gusar dan merasa sangat tegang.
Tapi, secara tiba-tiba Yan Jit menemukan bahwa dibalik sorot mata Kwik Tay-lok serta Lim
Tay-peng bukan saja sama sekali tiada rasa dendam atau tegang, malahan sebaliknya tampak
sekulum senyuman.
Bahkan Yan Jit sendiripun sudah mulai tergoda pikirannya dan mulai curiga.
Didalam anggapannya semula, Ang Nio-cu tidak seharusnya adalah manusia semacam itu.
Sejak dia mengucapkan kata "Mak-nya" tadi, suasana didalam ruangan itu seakan-akan sama
sekali telah berubah, kesan orang lain terhadapnya pun sama sekali berubah juga.
Seorang perempuan siluman yang berhati keji seperti ular, tidak seharusnya mengucapkan
kata-katanya dengan perkataan semacam itu....
Sampai detik itulah, Yan Jit baru menemukan bahwa di tangannya masih membawa sebuah
keranjang sayur yang besar sekali.
Dia meletakkan keranjang sayur itu ke atas meja, kemudian meluruskan tangannya dan
menghela napas panjang, katanya:
"Seorang perempuan, hanya demi membawakan sedikit makanan buat kalian, bukan saja
harus membawa keranjang yang berat, lagi pula harus menempuh perjalanan selama setengah
jam lebih, sampai lengan seperti hampir putus rasanya, apakah kalian sama sekali tidak merasa
berterima kasih barang sedikit pun jua kepadaku".
Mendadak Ong Tiong berkata dengan suara dingin:
"Tak ada orang yang menyuruh kau mengirim makanan kemari, pada hakekatnya tak seorang
manusiapun yang menyuruh kau datang kemari !"
Hingga kini, Ang Nio-cu baru mengerling sekejap ke arahnya dengan ujung matanya, lalu
dengan marah tak marah, tertawa tak tertawa sambil menggigit bibirnya dia berkata:
"Aku ingin bertanya kepadamu, apakah orang-orang ini semua adalah sahabatmu?"
"Benar !"
Ang Nio-cu segera menghela napas panjang, katanya lagi:
"Dapatkah kau menyaksikan teman-temanmu kelaparan " Kau bisa tapi aku tak dapat."
"Apakah mereka sedang kelaparan atau tidak, denganmu sama sekali tak ada sangkut
pautnya." "Mengapa tak ada sangkut pautnya " Temanmu adalah temanku juga, seperti seorang enso,
mana tega menyaksikan saudara-saudaranya menderita kelaparan ?" kata Ang Nio-cu.
"Siapa sih enso itu ?" tanya Yan Jit tak tahan.
Ang Nio-cu segera tertawa.
"Kalian adalah teman baiknya Ong lotoa, mengapa dengan enso Ong pun tidak kenal ?"
Dia lantas menyingkap kain yang menutupi keranjang besarnya itu, kemudian berkata lagi
sambil tertawa:
"Hari ini ensomu akan menjamu kalian, dan aku minta kalianpun tak usah sungkan-sungkan,
tidak di makanpun sia-sia saja tak dimakan....."
"Setelah dimakan ?"
"Setelah di makanpun kalian akan makan dengan gratis !"
Yan Jit segera tertawa dingin, serunya:
"Orang yang makan gratis, biasanya tak akan berumur panjang !"
Ang Nio-cu melotot ke arahnya, kalau dilihat tampangnya itu seakan-akan baru saja dia kena
ditempeleng orang.
Lewat lama kemudian, dia baru berpaling ke arah Ong Tiong sembari katanya lagi:
"Apakah kalian beranggapan bahwa makanan yang ku bawa itu semuanya beracun?"
"Benar !"
"Kau mengira kedatangan kami ini adalah bertujuan untuk meracuni kalian semua ?"
"Benar !"
"Bukan saja meracuni orang lain, juga meracuni pula dirimu ?"
"Benar !"
Sepasang Ang Nio-cu seakan-akan berubah menjadi merah, mendadak dia berpaling ke arah
lain dan mengeluarkan sepotong paha ayam dari dalam keranjangnya, lalu serunya lagi:
"Kalau begitu kau mengatakan dalam paha ayam inipun tentunya ada racunnya juga bukan?"
"Kemungkinan besar !"
"Baik, baik....."
Dia menggigit paha ayam itu dan ditelannya, kemudian mengambil sebotol arak dan berkata
lagi: "Apa didalam arakpun ada racunnya juga?"
"Besar kemungkinannya.!"
"Baik !"
Kembali perempuan itu meneguk arak tersebut dari dalam botol araknya....
Pokoknya perempuan itu telah makan setiap hidangan yang berada di keranjangnya itu satu
demi satu, kemudian baru mendongakkan kepalanya dan melotot ke arah Ong Tiong, tanyanya:
"Sekarang, bagaimana pendapatmu ?"
Tanpa berpikir lagi, Ong Tiong segera menjawab:
"Seperti dengan jawabanku tadi."
"Kau masih menganggapnya beracun ?"
"Benar !"
Air mata telah jatuh bercucuran membasahi wajah Ang Nio-cu, tapi dia berusaha menahan diri,
lewat lama kemudian dia baru pelan-pelan mengangguk, katanya dengan sedih:
"Aku sudah memahami sekarang dengan jalan pemikiranmu itu."
"Seharusnya kau dapat memahaminya semenjak dulu!"
"Kau menganggap sebelumnya aku telah makan obat penawarnya dulu baru datang kemari ?"
"Hmmm !"
Dengan sedih kembali Ang Nio-cu berkata:
"Kau selalu menganggap aku sebagai seorang perempuan yang berhati keji bagaikan racun
kala, selalu menganggap aku hanya berbaik kepadamu karena ingin memperalat dirimu ?"


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika berbicara sampai di situ, tidak tahan lagi air matanya jatuh bercucuran membasahi
pipinya. Ketika mendengar sampai di situ, baik Kwik Tay-lok maupun Lim Tay-peng sudah merasakan
hatinya bertambah lunak, meski dimulut dia tidak berkata apa-apa, namun dalam hati kecilnya
mulai berpikir kenapa sikap Ong Tiong kepadanya bisa begitu keras " Tidakkah tindakan tersebut
kelewat batas "
Bagaimanapun juga, dahulu mereka toh pernah terikat dalam suatu hubungan percintaan yang
cukup mesra. Andaikata berganti dengan Kwik Tay-lok mungkin sekali dia sudah memeluk perempuan itu ke
dalam pelukannya.
Tapi wajah Ong Tiong masih belum menunjukkan perubahan apa-apa. Perasaan orang ini
seakan-akan terbuat dari baja asli.
Tampak Ang Nio-cu memasukkan kembali hidangan yang telah dikeluarkannya itu ke dalam
keranjang, kemudian sambil menggigit bibir dia berkata:
"Baik, kalau toh kau beranggapan bahwa makanan itu beracun semua, aku akan
membawanya pergi."
"Memang paling baik kalau kau cepat-cepat kau bawa pergi."
Sekujur badan Ang Nio-cu telah gemetar keras, sambil menggigil serunya lagi.
"Bila kau menganggap aku tak pernah berpikiran baik kepadamu, selanjutnya akupun dapat
menghindari dirimu sedapatnya."
"Kau sudah seharusnya tidak datang kemari dan berjumpa dengan diriku...."
"Aku.... aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu...."
Mendadak ia menerjang kehadapan Ong Tiong, lalu teriaknya keras-keras:
"Aku ingin bertanya kepadamu, sejak kau berkenalan denganku, pernahkah aku melakukan
suatu perbuatan yang menyalahi dirimu atau merugikan dirimu ?"
Tiba-tiba Ong Tiong tak dapat berbicara.
Ang Nio-cu mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, masih dengan sekujur badan yang
gemetar keras, teriaknya lagi.
"Betul aku memang bukan seorang perempuan baik-baik, aku memang sudah pernah
mencelakai banyak sekali lelaki yang lain, tapi sikapku kepadamu.... kapan aku pernah mencelakai
" Katakan! Hayo cepat katakan !"
"Sekarang, diantara kita sudah tiada perkataan lain yang bisa dibicarakan Lagi !" ujar Ong
Tiong dingin. Ang Nio-cu menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan
mengangguk, katanya dengan sedih:
"Baik, aku akan pergi, aku akan pergi.... tak usah kuatir, kali ini aku akan pergi, selama hidup
aku tak akan datang mencari dirimu lagi...."
Pelan-pelan dia membalikkan badannya, mengambil keranjang dan pelan-pelan berjalan
keluar dari situ.
Memandang bayangan punggungnya yang kesepian, kurus dan mengenaskan itu menuju ke
halaman yang dingin dan gelap, Kwik Tay-lok merasakan hatinya turut menjadi duka.....
Angin di halaman luar berhembus kencang, bunga salju berterbangan dan menyebar kemanamana,
suasana terasa amat mengenaskan sekali.
Bukankah perasaan manusia pun seperti keadaan tersebut"
Cinta kasih yang telah terjalin selama banyak tahun, kadangkala seperti juga tumpukan salju di
atas pohon, bila angin berhembus lewat, maka salju itu akan berguguran dan tersebar entah
kemana. Kwik Tay-lok merasakan hatinya menjadi pilu dan kecut, dia cuma berharap perasaan Ong
Tiong bisa turut menjadi lembek dan bisa menahan perempuan yang mengenaskan itu agar
jangan pergi. Tapi hati Ong Tiong tampak lebih keras daripada baja, dia hanya menyaksikan kepergian
perempuan tersebut dengan begitu saja, matanya melotot besar dan sama sekali tidak
menunjukkan perubahan sikap apapun juga...
Menyaksikan Ang Nio-cu sudah melangkah keluar dari pintu, hampir saja Kwik Tay-lok tidak
tahan untuk mewakili Ong Tiong menahannya di situ....
Mendadak, sekujur badan Ang Nio-cu mengejang keras, seakan-akan seseorang yang kena di
cambuk secara tiba-tiba.
Kemudian tubuhnya roboh terjengkang ke atas tanah.
Begitu mencium tanah, ke empat anggota badannya segera mengejang lagi dengan kerasnya,
paras mukanya yang putih bersihpun berubah menjadi hitam pekat, sepasang matanya melotot ke
atas, buih putih tiada hentinya keluar dari ujung bibirnya.
Dibalik buih putih itu masih terlihat noda darah.
Dengan paras muka berubah Yan Jit segera berseru:
"Aaaah.... rupanya makanan yang dia bawa itu benar-benar ada racunnya...!"
"Tapi dia sendiri pasti tidak tahu" sambung Kwik Tay-lok dengan cepat, "kalau tidak, mengapa
dia sendiri bisa keracunan?"
Ong Tiong masih berdiri di situ bagaikan sebuah patung arca, bergerak sedikitpun tidak,
seakan-akan dia sama sekali tidak menyaksikan peristiwa itu.
Bahkan Yan Jit sendiripun merasa agak gelisah, tak tahan dia lantas berseru:
"Ong lotoa, bagaimanapun juga seharusnya pergi menengok keadaannya..."
"Melihat apa ?"
"Periksalah dulu apakah dia keracunan atau tidak " Apakah masih bisa tertolong atau tidak ?"
"Tiada sesuatu yang perlu dilihat lagi." jawab Ong Tiong dengan suara dingin.
Kwik Tay-lok yang mendengar jawaban tersebut, tak tahan lagi segera berteriak:
"Bagaimana sih kamu ini" Mengapa kau sama sekali tidak berperikemanusiaan ?"
Seandainya Yan Jit tidak menekan tubuhnya, mungkin dia sudah meronta dan merangkak
bangun. Tampak Ang Nio-cu tiada hentinya mengejang keras, terengah-engah dan berseru tiada
hentinya: "Ong Tiong.... Ong Tiong...."
Akhirnya Ong Tiong tak tahan juga untuk menghela napas panjang, katanya lirih:
"Aku berada di sini"
Ang Nio-cu segera meronta dan mengulurkan tangannya seraya berseru kembali:
"Kau... kau kemarilah.... aku mohon kepadamu datanglah menjumpai aku...."
Ong Tiong menggigit bibirnya kencang-kencang, lalu berkata:
"Jika kau ingin mengucapkan sesuatu, sekarang katakan saja, aku dapat mendengarnya dari
sini." "Aku tidak tahu.... benar-benar tidak tahu kalau makanan tersebut ada racunnya, aku benarbenar
bukan datang kemari untuk mencelakai dirimu, kau.... kau seharusnya percaya kepadaku."
Ong Tiong belum juga menjawab.
Tapi Kwik Tay-lok sudah tak kuasa menahan diri lagi, dia segera berteriak-keras:
"Aku percaya kepadamu, kami semua percaya kepadamu."
Ang Nio-cu tertawa sedih, katanya lagi:
"Walaupun ular bergaris merah sekalian beranggapan bahwa kau telah berbuat sesuatu yang
menyalahi mereka, meski mereka ingin membinasakan dirimu, tapi aku... aku sama sekali tidak
bermaksud demikian."
Kembali dia mengejang keras, peluh dingin telah membasahi sekujur badannya sambil
meronta, kembali katanya:
"Walaupun aku bukan seorang perempuan baik-baik, tapi sikapku kepadamu selalu
bersungguh hati. Asal kau dapat memahami perasaanku, aku.... sekalipun aku harus mati juga
rela, aku rela berkorban demi dirimu...."
Ketika habis mengucapkan perkataan itu, tampaknya dia telah mempergunakan segenap
tenaga yang dimilikinya, sehingga tenaga untuk merontapun sudah tidak dimilikinya lagi.
Kwik Tay-lok yang menyaksikan keadaan tersebut, tanpa terasa matanya ikut menjadi basah,
sambil menggigit bibir katanya:
"Ong lotoa, sudah kau dengarkah perkataannya?"
Ong Tiong manggut-manggut.
Kembali Kwik Tay-lak berseru sambil menggigit bibir:
"Kalau sudah kau dengar, mengapa masih berdiri tak berkutik ditempat itu ?"
"Gerakan apa yang harus kulakukan?"
"Demi kau, dia telah berubah menjadi begitu, apakah kau tak bisa mencarikan akal untuk
menyelamatkan jiwanya ?"
"Kau suruh aku menolongnya dengan cara apa ?"
Tiba-tiba Lim Tay-peng berkata:
"Kalau toh kau bisa memunahkan racun senjata rahasia yang bersarang di tubuh Siau Kwik,
seharusnya kaupun bisa memunahkan racun yang mengeram didalam tubuhnya sekarang."
Ong Tiong segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Itu mah berbeda, sama sekali berbeda !" katanya.
"Apa perbedaannya?" seru Kwik Tay-lok.
Tiba-tiba Ong Tiong tidak berbicara lagi.
Walaupun dia masih berusaha keras untuk mengendalikan diri, tapi dibalik sorot matanya itu
seakan terpancar sinar air mata, bukan air mata kesedihan, melainkan rasa gusar yang tampaknya
sudah mulai meluap...
Jari tangannyapun turut gemetar keras.
Yan Jit termenung sebentar, lalu ujarnya.
"Andaikata Ong lotoa tak dapat memunahkan racun didalam tubuhnya, maka di dunia ini
hanya ada satu orang yang bisa memunahkan racunnya itu..."
"Siapa ?"
"Si ular bergaris merah !"
"Betul !" teriak Kwik Tay-lok, "kita harus minta si ular bergaris merah itu menyerahkan obat
pemunahnya."
"Aku kuatir inipun sulit" kata Yan Jit sambil menghela napas panjang. "Ingin meminta obat
penawar dari ular bergaris merah, hakekatnya keadaan tersebut sama sulitnya dengan meminta
harimau untuk menguliti kulitnya sendiri."
Tentu saja Kwik Tay-lok juga menyadari akan teori tersebut.
Sementara itu dengusan napas Ang Niocu makin lama semakin lemah, tapi dia masih tiada
hentinya memanggil nama Ong Tiong.
"Ong Tiong.... Ong Tiong..."
Suara panggilannya makin lama semakin lemah, Kwik Tay-lok yang mendengarkan suara
tersebut merasakan hatinya seperti hancur lebur tak tahan dia berteriak keras:
"Kalau memang kalian tak bisa menolongnya dan tak mau memintanya obat penawar dari si
ular bergaris merah, apakah kalian akan menyaksikan orang itu mati di hadapan kalian "
Sebetulnya kalian ini manusia atau bukan ?"
Yan Jit menghela napas pula, sahutnya:
"Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan ?"
"Sekalipun si ular bergaris merah sendiri, diapun tidak akan membiarkan ia mati karena
keracunan, kalian...."
Selama ini Lim Tay-peng hanya duduk di situ sambil termangu-mangu, pada saat itulah
mendadak ia menukas perkataannya sambil berteriak keras:
"Bena Pendekar Panji Sakti 21 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 19
^